Anda di halaman 1dari 48

BAB I

STILISTIKA

A. Latar belakang

Analisis terhadap teks sastra yang bertujuan untuk memahami karya

sastra (termasuk puisi) yang dianalisis, sekarang makin berkembang dengan

berbagai macam pendekatannya. Secara umum, pendekatan tersebut

meliputi pendekatan intrinsik dan pendekatan ekstrinsik.

Setiap pengkajian tersebut bertujuan agar karya sastra itu dapat

dipahami lebih baik sehingga dapat dinikmati (dulce) lebih intens serta

ditarik manfaatnya(untile) dalam memahami hidup ini (Sudjiman, 1993:1;

Mas:1988:9). Dengan kata lain, semua pendekatan bikin intrinsik maupun

ekstrinsik, dilakukan sebagai usaha merebut makna yang terkandung di

dalam karya sastra tersebut serta menikmati keindahan nya.

Pada kajian intrinsik karya sastra,, bahasa sebagai medium sastra

tidak dapat diabaikan. Karya sastra disusun dengan bahasa (Widdowson,

1978:203). Apapun rumusan dan pengertian orang tentang sastra, bahasa

tetap merupakan medium sastra yang tidak dapat diabaikan

(Subroto,1976:13). Medium bagi penciptaan seni sastra adalah bahasa.


1
bahasa bagi seni sastra dapat disamakan dengan garis dan bidang bagi seni

lukis, gerak dan irama pada seni tari, nada dan irama pada seni musik, dan

sebagainya. Oleh sebab itu, tidak dapat dipungkiri bahwa karya sastra

memiliki status khusus sebagai seni verbal (Cummings dan Simmoris,

1986:vii). Selanjutnya Cummings dan Simmons menyatakan bahwa bahasa

merupakan aktivitas bermakna. Bahasa sebagai inti dari semiotika

kemanusiaan dan sebuah model bagi semua bentuk pelaku bermakna

lainnya. Dengan demikian untuk memahami hakikat bahasa, kita harus

memiliki kepekaan terhadap pola pola makna dalam semua jenjang bahasa

seperti simbol-simbol grafik leksikogramatikal serta organisasi semantik

yang terdapat dalam setiap bentuk teks.

Karya sastra bersifat text-contained sehingga interpretasi sebuah

karya sastra ditemukan dalam karya itu sendiri (Widdowson, 1978; Teeuw,

1983:22). Widdowson (1978:204-205) selanjutnya menyatakan sebagai

berikut:

“With literary text, generally speaking we can concentrate on the

text itself without worrying about distracting social appendages.

Literary messagges to convey meaning because they organize their


2
debiations from the code into pattens which are discernible in the

texts themselves.”

Dengan demikian, sebuah karya sastra dapat dilihat dari teks sastra

itu sendiri tanpa melibatkan aspek “di luar” teks tersebut.

Karena medium yang digunakan oleh pengarang adalah bahasa,

pengamatan terhadap bahasa ini pasti menggunakan hal-hal yang

membantu kita menafsirkan makna suatu karya atau bagian-bagiannya,

untuk selanjutnya memahami dan menikmatinya (Sudjiman, 1993:vii).

Menurut sudjiman, pengkajian tersebut disebut pengkajian stilistik. Dalam

pengkajian stilistik tampak relevansi linguistik terhadap studi sastra.

Dengan stilistika dapat dijelaskan interaksi yang rumit antara bentuk dan

makna yang sering luput dari perhatian dan pengamatan para kritikus

sastra.

Pada dasarnya kajian stilistik melihat bagaimana unsur-unsur

bahasa digunakan untuk melahirkan pesan kesan dalam karya sastra. Atau

dengan kata lain stilistika berhubungan dengan pola-pola bahasa dengan

bagaimana bahasa yang digunakan dalam teks sastra yang dikaji.

3
Dengan menganalisis bahasa yang di polakan secara khas, kita

menunjukkan kekompleksan dan kedalaman bahasa teks sastra tersebut dan

juga menjawab bagaimana bahasa tersebut memiliki kekuatan yang

menakjubkan termasuk kekuatan kreativitas karya sastra (Cumming dan

Simmons, 1986:vii).

Stilistika merupakan kritik terhadap studi karya sastra yang secara

tradisional sebagai cabang estetika. Pandangan estetika tersebut

berhubungan dengan efek-efek total yang timbul ketika berhadapan dengan

karya sastra dan efek tersebut dianggap sebagai keseluruhan artistik. Jadi,

kritik sastra tradisional tersebut menggunakan teori estetika dengan

mendalilkan nilai-nilai keuniversalan artistik. Keuniversalan artistik dapat

menimbulkan kesadaran intuitif. Kajian yang mengandalkan kesan dan

“kesadaran intuitif” dianggap kurang tepat karena tidak menggunakan

bukti-bukti yang menguatkannya dan lebih bersifat subjektif. Bukti-bukti

tersebut hendaknya berkaitan dengan pola-pola bahasa dalam teks sastra.

Dengan demikian, stilistika memberikan kontribusinya dengan berusaha

mengurangi subjektivitas dan menampilkan interpretasi berdasarkan

4
pemunculan unsur-unsur bahasa yang terdapat dalam teks sastra itu sendiri

namun dengan tidak melupakan kesan intuitif tersebut.

Sudjiman (1993:1) menyatakan bahwa pada dasarnya karya sastra

merupakan peristiwa bahasa. Dengan menggunakan atau lambang

pencitraan menyampaikan apa yang dipikirkan atau dirasakan dengan

bahasa yang khas, yaitu ragam bahasa sastra. Mas (1988:4)

mengungkapkan pula bahwa pengucapan pengucapan sastra sering berbeda

dari pengucapan biasa yang lulus dan teratur mengikuti struktur tata bahasa.

Dengan adanya sifat bahasa, karya sastra yang menyimpang dari

norma bahasa yang umum atau konvensional, kajian yang menggunakan

pendekatan stilistik dapat membantu memaknai karya sastra terlebih-lebih

karya sastra puisi.

Widdowson (1975:vii-viii) memandang bahwa stilistika dapat

diaplikasikan ke dalam pengajaran baik di sekolah maupundi universitas.

Terhadap pengajaran sastra kita dewasa ini, terutama pengajaran sastra di

sekolah, banyak keluhan yang muncul di kalangan masyarakat. Hal ini

menandai bahwa baik dalam fungsi edukasional maupun dalam fungsi

5
kulturalnya, pengajaran sastra belum memenuhi harapan masyarakat

(Sayuti ; 1994:2)

Kurangnya perhatian terhadap pengajaran sastra oleh para guru

sering pula dilontarkan dalam berbagai pertemuan dan tulisan. Salah satu

penyebab “ketidakseriusan” para guru terhadap pengajaran sastra

disebabkan pengajaran sastra tersebut terlalu “sarat dengan beban” yang

menitikberatkan kepada pesan moral dan estetika tanpa memperdulikan

bahwa pada hakikatnya nya sastra adalah bahasa itu sendiri.

Begitu pula terhadap sistem pengajaran bahasa yang sering

menyediakan kalimat-kalimat terpisah untuk menggambarkan unsur-unsur

bahasa tertentu dapat mencegah para siswa membuat analisis berdasarkan

konteks ( Hill, 1986:19). Siswa sulit mengingat kata-kata dan struktur yang

terpisah-pisah tersebut. Mereka memerlukan konteks yang bermakna dan

dengan konteks tersebut mereka dapat menghubungkan apa yang telah

dipelajarinya (unsur-unsur bahasa). Dalam pada itu, teks-teks sastra yang

menarik dapat memenuhi kebutuhan mereka.

Oleh sebab itu, perlu dikembangkan suatu strategi yang melibatkan

aspek intuisi yang menjadi bagian pengajaran sastra dengan penggunaan


6
pola-pola bahasa yang terdapat dalam karya sastra. Adanya “titik singgung”

antara pengajaran bahasa dengan pengajaran sastra. Seperti diungkapkan

oleh Widdowsow (1984:86)... to serve an essentially pedagogic purpose: to

develop in learnes an awareness of how literature functions as discourse

and so to give them some access to the means of interpretation.

Hal senada diungkapkan pula oleh Mealey ( lihat Carter Dkk.,

1989:1) yang menyatakan bahwa karya sastra dapat digunakan sebagai

bahan atau materi dalam pengajaran menunjukkan kenyataan bahwa karya

sastra pada hakekatnya adalah bahasa dalam penggunaannya.

Karya sastra tidak hanya menyediakan teks yang “asli” untuk

pengajaran di kelas namun juga memberikan “kesenangan” dengan

mengikutsertakan emosi siswa (Hill,1986:9). Dengan demikian, karya

sastra termasuk puisi dapat digunakan untuk tujuan pengajaran bahasa.

Secara umum, analisis terhadap karya sastra dengan menggunakan

pendekatan stilistik masih langka. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh

keengganan adanya campur tangan terhadap bidang masing-masing. Seperti

dikemukakan oleh Becker (1978:3) “Ahli gramatika jarang sekali melihat

keluar batasan kalimat, dan ahli sastra jarang sekali melihat ke dalam
7
kalimat untuk mengetahui bahwa di sana ada struktur-struktur dan sistem-

sistem yang mencerminkan arsitektur keseluruhan karya sastra". Lebih jauh

Becker mengungkapkan bahwa stilistika adalah suatu tempat pertemuan

antara makro analisis dan mikro analisis.

Secara khusus, kajian terhadap puisi dengan menggunakan

pendekatan stilistik di Indonesia jarang pula dibentangkan baik di dalam

karya tulis tanpa makalah, buku, ataupun dalam karya ilmiah yang lebih

kompleks dan terfokus. Setahu penulis, kajian stilistik terhadap puisi yang

dilakukan secara eksplisit dan lebih serius dalam bentuk buku baru

dilakukan oleh Teeuw dengan judul Tergantung Pada Kata (1972). Dan

Boen S. Oemarjati melakukannya dalam bentuk Language (1972). Kedua

kajian tersebut tidak mengungkit kemungkinan aplikasi sitilistika dalam

pengajaran bahasa dan sastra. Dengan demikian, kajian ini diharapkan

dapat mengisi kekosongan itu.

B. Asal Kata Stilistika

Pembicaraan stilistika berhubungan dengan style (bahasa

Inggris),dari kata stylistics, dan menjadi stilistika dalam bahasa Malaysia

8
(Junus, 1999:ix). Sementara Slamemuljana (1956) menggunakan istilah

stilistika. Pada kajian ini digunakan istilah stilistika bila mengacu kepada

nominanya dan stilistika sebagai adjektivanya (lihat Sudjiman, 1993).

Kata style berasal dari kata latin “stilus” yang berarti alat (ujungnya

tajam) yang di gunakan untuk menulis di atas lembaran-lembaran (kertas)

berlapis lilin (Shipley, 1979 314; Scott, 1990:279). Kata stilus kemudian

dieja menjadi stylus oleh penulis-penulis selanjutnya karena ada kesamaan

makna dengan bahasa Yunani stulos (a pillar, bahasa Inggris) yang berarti

alat tulis yang terbuat dari logam, kecil dan berbentuk batang, memiliki

ujung yang tajam. Alat tersebut digunakan juga untuk menulis di atas kertas

berlapis lilin (Scott, 1980:280). Dalam perkembangan bahasa latin

kemudian, stylus memiliki arti khusus yang mendeksripsikan tentang

penulisan; kritik terhadap kualitas sebuah tulisan.

C. Pengertian Stilistika

Salah satu cara untuk menikmati karya sastra yakni melalui

pengkajian stilistika. Stilistika adalah ilmu yang mempelajari gaya bahasa

suatu karya sastra. Hal ini sesuai dengan pendapat Zhang (mengutip

9
pendapat Lodge, 1966) bahwa untuk menjembatani apresiasi karya sastra

dengan bahasa, maka diperlukan telaah yang dikenal dengan telaah ilmu

gaya bahasa (Zhang, 2010: 155). Sementara itu, Endraswara (2003: 72)

mengatakan penelitian stilistika berdasarkan asumsi bahwa bahasa sastra

mempunyai tugas mulia. Bahasa sastra memiliki pesan keindahan dan

sekaligus membawa makna. Tanpa keindahan bahasa, karya sastra menjadi

hambar. Keindahan karya sastra, hampir sebagian besar dipengaruhi oleh

kemampuan pengarang dalam memainkan bahasa.

Secara definitif stilistika adalah ilmu yang berkaitan dengan gaya

dan gaya bahasa. Tetapi pada umumnya lebih banyak mengacu pada gaya

bahasa. Jadi, dalam pengertian yang paling luas, stilistika sebagai ilmu

tentang gaya, meliputi berbagai cara yang dilakukan dalam kegiatan

manusia. (Ratna, 2009: 167). Gaya menyangkut masalah penggunaan

bahasa, dalam hal ini karya sastra dianggap sebagai sumber data utama dan

pada perkembangan terakhir dalam sastra menunjukkan bahwa gaya

dibatasi dalam analisis puisi, karena dilihat secara umum puisilah yang

memiliki penggunaan bahasa yang khas, selain itu gaya pada dasarnya ada

dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari.


10
Istilah stilistika diserap dari bahasa bahasa Inggris stylistics yang

diturunkan dari kata style yang berarti gaya. Secara etimologi, istilah style

atau gaya itu sendiri menurut Shipley (1979: 314) dan Mikics (2007: 288)

berasal dari bahasa Latin stilus, yang berati batang atau tangkai, menyaran

pada ujung pena yang digunakan untuk membuat tanda-tanda (tulisan) pada

tanah liat yang berlapis lilin (metode kuno dalam menulis). Jadi, secara

sederhana stilistika dapat diartikan sebagai ilmu tentang gaya bahasa.

Secara teoretis, telah banyak pakar sastra yang memberikan definisi

tentang stilistika. Beberapa di antaranya seperti diuraikan berikut ini.

Verdonk (2002: 4) memandang stilistika, atau studi tentang gaya, sebagai

analisis ekspresi yang khas dalam bahasa untuk mendeskripsikan tujuan

dan efek tertentu. Bahasa dalam karya sastra adalah bahasa yang khas

sehingga berbeda dari bahasa dalam karya-karya nonsastra. Untuk itulah,

analisis terhadap bahasa sastra pun membutuhkan analisis yang khusus.

Dalam hal ini dibutuhkan stilistika sebagai teori yang secara khusus

menganalisis bahasa teks sastra (Mills, 1995: 3).

Stilistika (stylistic) adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa

dan gaya bahasa di dalam karya sastra (Sudjiman, 1990: 75). Stilistika
11
sangat penting bagi studi linguistik maupun studi kesusastraan. Stilistika

dapat memberikan sumbangan penelitian gaya bahasa untuk merupakan

unsur pokok untuk mencapai berbagai bentuk pemaknaan karya sastra,

dikarenakan karya sastra tidak lepas dari penggunaan gaya bahasa yang

keindahan. Penggunaan gaya bahasa dalam karya sastra berlawanan dengan

pengunaan bahasa pada karya ilmiah.

Penggunaan bahasa pada karya ilmiah pastinya menggunakan

bahasa yang baik dan benar, pemilihan kata yang tepat, kalimatnya jelas,

ini harus diperhatikan sekali agar tidak menimbulkan makna ambigu/ganda.

Sedangkan pemakaian bahasa dalam karya sastra lebih memiliki kebebasan

yang berasal dari kreatifitas pengarang, karena dimaksudkan agar dapat

memiliki kekayaan makna.

Musthafa (2008: 51) berpendapat bahwa stilistika adalah gaya

bahasa yang digunakan seseorang dalam mengekspresikan gagasan lewat

tulisan. Pengertian stilistika yang cukup komprehensif dan representatif

seperti dikemukakan oleh Tuloli (2000: 6), stilistika atau ilmu gaya bahasa

pada umumnya membicarakan pemakaian bahasa yang khas atau istimewa,

yang merupakan ciri khas seorang penulis, aliran sastra, atau pula
12
penyimpangan dari bahasa sehari-hari atau dari bahasa yang normal atau

baku, dan sebagainya. Dengan demikian, secara sederhana dapat

disimpulkan bahwa stilistika (stylistics) adalah ilmu yang secara spesifik

mengungkap penggunaan gaya bahasa yang khas dalam karya sastra.

Kajian sastra dengan memanfaatkan teori stilistika hakikatnya

berangkat dari pendekatan objektif seperti yang dibicarakan oleh Abrams

dalam bukunya The Mirror and The Lamp (1976: 8). Pendekatan objektif

merupakan pendekatan dalam kajian sastra yang menitikberatkan pada

hubungan antarunsur karya sastra. Fokus pendekatan objektif adalah karya

sastra itu sendiri. Kajian stilistika merupakan bentuk kajian yang

menggunakan pendekatan objektif karena ditinjau dari sasaran kajian

stilistika merupakan kajian yang berfokus pada wujud penggunaan sistem

tanda dalam karya sastra

Stilistika tidak hanya merupakan studi gaya bahasa dalam

kesusastraan saja, melainkan juga studi gaya bahasa pada umumnya

walaupun terdapat penelitian khusus pada bahasa kesusastraan seperti hal-

nya yang dikemukakan oleh (Turner. G.W dalam Pranawa, 2005: 21) yang

mengatakan bahwa. ..Stylistics is that part of linguistics which concentrate


13
on variation in the use of language (Stilistika adalah bagian dari linguistik

yang memusatkan diri pada variasi dalam penggunaan bahasa). Style, atau

gaya, yaitu cara yang khas dipergunakan oleh seseorang untuk

mengutarakan atau mengungkapkan diri gaya pribadi. Cara pengungkapan

tersebut bisa meliputi setiap aspek kebahasaan: diksi, penggunaan bahasa

kias, bahasa pigura (figurative language), struktur kalimat, bentuk-bentuk

wacana, dan sasaran retorika yang lain. Stilistika sebagai bidang linguistik

terapan, dalam pengertian extended adalah cara untuk mengungkapkan

teori dan metodologi penganalisisan formal sebuah teks sastra. Sedang

dalam pengertian restricted, linguistik terapan dikaitkan khusus pada

bidang pendidikan bahasa (Satoto, 1995: 36).

tilistika adalah studi tentang cara pengarang dalam menggunakan

sistem tanda sejalan dengan gagasan yang ingin disampaikan, dari

kompleksitas dan kekayaan unsur pembentuk karya sastra itu yang

dijadikan sasaran kajian hanya pada wujud penggunaan sistem tandanya.

Walaupun fokusnya hanya pada wujud sistem tanda, untuk memperoleh

pemahaman tentang ciri penggunaan sistem tanda bila dihubungkan dengan

cara pengarang dalam menyampaikan gagasannya, pengkaji perlu juga


14
memahami (1) gambaran objek atau peristiwa, (2) gagasan, (3) satuan isi,

dan (4) ideologi yang terkandung dalam karya sastranya (Aminuddin, 1995:

46). Secara umum lapangan kajian stilistika adalah pemakaian bahasa,

sehingga dapat dilihat bahasa yang digunakan dalam suatu karya sastra.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa stilistika

merupakan ilmu yang mempelajari tentang gaya bahasa, pilihan kata, dan

penggunaan bahasa. Bahasa hampir selalu memiliki variasi yang

disebabkan oleh lingkungan tertentu. Linguistik merupakan ilmu yang

berupaya memberikan bahasa dan menunjukkan bagaimana cara kerjanya,

sedangkan stilistik merupakan bagian dari linguistik yang memusatkan

perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa, yang walaupun tidak secara

eksklusif, terutama pemakaian bahasa dalam sastra (Turner G.W. dalam

Pranawa, 2005: 20).

Hal ini berarti stilistika adalah studi gaya yang menyarankan bentuk

suatu ilmu pengetahuan atau paling sedikit studi yang metodis. Kajian

stilistika berpangkal pada bentuk ekspresi, bentuk bahasa kias dan aspek

bunyi. Akan tetapi, istilah stilistika secara umum dikenal sebagai studi

pemakaian bahasa dalam karya sastra. Adapun alasan penggunaan bahasa


15
dalam karya sastra karena bahasa mampu menghadirkan kekayaan makna,

mampu menimbulkan misteri yang tidak ada habisnya, mampu

menimbulkan efek emotif bagi pembaca atau pendengarnya, citraan serta

suasana tertentu. Pengungkapan hal tersebut dilakukan oleh pengarang

untuk menunjukkan sifat kreativitasnya serta pengungkapan gagasan

tersebut bersifat individual, personal yang tidak dapat ditiru dan selalu ada

pembaharuan.

D. Tujuan kajian stilistika

Leech dan Michael short (1984:13) menyatakan ...the aim of

literary stylistics is...to relate the critic's concern of linguistic description.

(Tujuan stalistika Sastra adalah untuk menghubungkan perhatian kritikus

dalam apresiasi estetik dengan perhatian linguis dalam deskripsi

lingkuistik).

Sementara itu, Widdowson (1978:202) mengungkapkan bahwa pada

dasarnya tujuan analisis stilistika ialah untuk menelaah bagaimana unsur-

unsur bahasa ditempatkan dalam menghasilkan pesan-pesan aktual.hal ini

16
jelas berhubungan dengan pola-pola yang digunakan dalam sebuah karya

sastra.

Bila Widdowson hanya menelitikberatkan kepada unsur-unsur

bahasa maka Ronald Carter (dalam Carter dan Paul Simpson, 1989:68)

menyatakan bahwa tujuan analisis stilistika menghubungkan intuisi-intuisi

tentang makna dengan pola-pola bahasa dalam teks yang dianalisis.

Lebih jual lagi, Ronald Carter (1982:5) menyatakan bahwa

pembaca-pembaca karya sastra terutama akan terlibat dalam sebuah

respons interpretatif tersebut mengacu kepada bahasa yang telah diketahui

pembaca. Secara intuitif kita merasakan bahwa apa yang kita baca termasuk

aneh dalam pengungkapannya dan terdengar harmonis. Intuisi-intuisi dan

impresi yang demikian pada dasarnya merupakan respons terhadap bahasa.

Untuk menerangkan dan memperkokoh intuisi tersebut diperlukan bukit-

bukti yang diperoleh berdasarkan metode yang dapat memberikan

kepastian untuk mengungkapkan intuisi pertama tadi secara lebih eksplisit

dan bermakna.

The study of the language used on auther-can lead the to a better

undeetanding of the auther's meaning and a fuller apprecation of His


17
liteary skill (Brook, 1970:131). (Studi tentang bahasa yang digunakan oleh

pengarang dapat menentukan kepada pemahaman yang lebih baik terhadap

makna makna yang diungkapkan dan memberikan apresiasi yang lebih ih

terhadap kemampuan sastra pengarangnya).

Sejalan dengan pandangan tersebut, Sudjiman (1993:v-vi)

mengungkapkan bahwa titik berat pengkajian Stilistik itu sendiri memang

terletak pada penggunaan bahasa dan gaya bahasa suatu karya sastra, tetapi

tujuannya adalah adalah meneliti efek estetika bahasa. Dengan demikian,

stilistika dapat menjadi instrumen untuk lebih memahami suatu karya

sastra. Dan pemahaman yang lebih baik ini pada gilirannya memungkinkan

pembaca memberi apresiasi dan penilaian secara benar. Di samping itu,

Sudjiman menyatakan pula bahwa pengkajian Lipstik juga menyadarkan

kita akan kita pengarang dalam memanfaatkan kemungkinan yang tersedia

dalam bahasa sebagai sarana pengungkapan makna.hal ini diungkapkan

pula oleh leach dan short (1984:74) every analysis of style.... Is an attempt

to find the arlistic principles inderlying a witer'schoice of tanguage

All.writers...have their individual qualites. (Setiap analisis style merupakan

suatu usaha untuk menemukan prinsip-prinsip artistik yang mendasari


18
pemilihan bahasa seseorang penulis. Semua penulis memiliki kualitas

Individual masing-masing).

Apabila stilistika dikaitkan dengan pengajaran bahasa dan sastra,

analisis yang menggunakan pendekatan ini diharapkan dapat memberikan

kontribusi sebagai berikut.

Medium sastra adalah bahasa .Oleh sebab itu menurut Carter dan

Simpson (1989:18), the more that students are able to understand and

describe effect produced by language, the stronger the position they will be

in when attemping to account systematically for their intuitions, and to

build the base for a fuller interpretation of the text. (Semakin siswa dapat

memahami dan mendeskripsi efek yang dihasilkan oleh bahasa, semakin

kuat posisi mereka manakala Mereka mencoba untuk menjelaskan secara

sistematis institusi-institusi yang mereka miliki, dan untuk membangun

landasan bagi interpretasi dengan lebih baik).

Dengan kata lain, melalui pembelajaran teknik analisi stilistik para

siswa memperoleh alat yang dapat menolongnya untuk menjelaskan untuk

menjelaskan intusi-intusi yang mereka miliki dan membangun interpertasi

dengan secara sistematik.


19
Selain tujuan tersebut, Widdowson (1984:86) mengungkapkan

bahwa tujuan pengajaran yang paling utama yang ingin diciptakan ialah

untuk mengembangkan "kesadaran" dalam diri siswa "kesadaran" yang

dimaksud ialah "kesadaran" bahwa wacana sastra berbeda dengan wacana

konvensional (non-sastra) dalam pengungkapannya titik lebih jauh, ia

menyatakan bahwa tujuan pedagogis yang ingin dicapai tetap memberikan

sarana untuk tercapainya interpretasi titik jadi tegasnya, kajian terhadap

sebuah karya sastra dapat menjadi sarana pemahaman dan apresiasi yang

lebih baik terhadap pencapaian artistik penulis sastra tersebut.

E. Manfaat Stilistika

Berbicara tentang stilistika, sudah mengandaikan suatu bentuk

pendekatan bahasa, yang kedengaranya agak asing diteliga kita. Kemudian,

kita tidak akan berapologi atau berdiskusi berlarut-larut, bahwa semua

metodologi ilmu pengetahuan kita adopsi dari dunia barat. Terlepas sedikit

dari persoalan itu, keberakaran pengetahuan secara empiris, berasal dari

kebertautan kita dengan realitas sosiologis, tidak bisa dibantah. Apa yang

ingin dibcarakan pada dataran teoritis adalah suatu rekonstruksi realitas

20
sosiologis sedemikian rupa, sehingga ruang, waktu dan peristiwa yang

terjadi, berusaha dibekukan dalam tulis-menulis, dan lealitas sosiologi itu

sendiri seakan-akan hadir, tersaji secara utuh. Dan pembaca dibawa masuk

kedalam dunia baru, ruang pentas imajenatif, yang sekaligus melibatkan

dirinya, seakan menonton secara langsung, kisah atau peristiwa yang di

tuturkan di dalamnya.

Inilah kemampuan bahasa dalam bengambarkan atau menjelaskan

sesuatu hal. Dalam sekala yang lebih luas, tindakan bahasa semacam ini,

memadukan banyak hal, mulai dari ekspresi kreatif penutur ataupun

bentuk-bentuk bunyi dan sususnan kalimat tutur sampai dengan keindahan

susatra.

Dalam konteks kebudayaan dan peradaban, paradigma

perkembangan bahasa justru dapat menjadi indikasi, sejauh mana

kebudayaan atau peradaban secara positivisik, lebih maju atau lebih

berkembang dari sebelumnya. Istilah-istilah baru yang muncul, atau

revitalisi makna kosa kata lama, ataupun suatu kata yang memperoleh

makna baru, dapat menjadi tolak ukur tingkat penemuan dan eksplorasi

pemikiran masyarakatnya sendiri. Wajar bila kemudian, dibarat saat ini,


21
setiap tuhunya selalu dilakukan pemantauan (penghitungan dan pengkajian

istilah-istilah atau kosa kata baru, baik yang digunakan dala duna sains-

ilmiah ataupun yang digunakan sehari-hari dalam masyarakat) terhadap

pengunaan masyarakatnya.

F. Lapangan Kajian Stilistika

Junus mengemukakan bahwa terdapat beberapa hal yang perlu

diolah dalam kajian stilistika yaitu bunyi bahasa, kata, arti, dan struktur

kalimat (1984:8). Di pihak lain, maksud Sudjiman menyatakan bahwa pusat

penelitian klitika adalah file, yaitu cara yang digunakan seseorang

pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan

menggunakan bahasa sebagai saran. Dengan demikian, Sudjiman

berkesimpulan bahwa Style dapat diterjemahkan sebagai gaya bahasa. Gaya

bahasa itu sendiri mencakup diksi, struktur kalimat, majas dan citraan, pola

rima serta mantra yang digunakan seorang pengarang atau yang terdapat

dalam sebuah karya sastra (bandingkan Keraf 1981:99). Sudjiman dalam

hal ini memasukkan kajian matra sementara dalam puisi Indonesia tidak

dikenal matra. Oleh sebab itu kajian bidang ini tidak dapat dilakukan.

22
Sejalan dengan pernyataan diatas, Keris Mas (1989:7-9)

mengungkapkan bahwa kajian stilistika tradisional hanya membicarakan

kelainan-kelainan bahasa dalam hubungan dengan hendak tatabahasa

disamping kelainan-kelainan yang bersifat figuratif yaitu penggunaan

peribahasa, bahasa kiasan, sindiran dan ungkapan titik keris emas lalu

mengemukakan bahwa kajian stilistik modern membicarakan hal-hal yang

mengandung ciri-ciri linguistik seperti ciri fonologi, struktur kalimat ciri

makna kata serta tidak melupakan ciri-ciri bahasa yang bersifat figuratif.

G. Sejarah Perkembangan Stilistika

Sastra adalah karya yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya.

Hasil kemasannya akan tergantung bagaimana cara mengemasnya. Apabila

bahasa dikemas dengan penekanan pada aspek bunyi atau musik huruf,

maka hasilnya dinamai puisi. Apabila bahasa dikemas dengan penekanan

pada aspek dialog, maka hasilnya dinamai teater. Sedangkan apabila bahasa

dikemas dengan penekanan pada aspek uraian atau deskripsi, maka

hasilnya dinamai kisah, hikayat, novel atau semacamnya.

23
Pada dasarnya, karya sastra bukanlah semata-mata pengungkapan

kata-kata, melainkan juga merupakan hasil pemikiran serta media

penyampaian misi kemanusiaan, nasionalisme, seni dan sikap dalam

menghadapi tingkah laku dalam kondisi tertentu. Disamping itu karya

sastra juga lahir dari sosok pribadi tertentu yang memiliki kecakapan

tertentu Dan dalam kondisi yang tertentu pula. Semuanya itu berperan pada

pembuatan suatu karya sastra.

Banyak faktor pembentuk sebuah karya sastra membuat kritik sastra

di Barat pada abad ke-19 dan ke-20 berada dikesimpangan, tarik menarik

antara berbagai kecenderungan. Ada sekelompok kritikus yang melihat

sastra dari hubungan antara sastrawan dengan karyanya. Menurut mereka,

karya sastra adalah pengungkapan sebagai objek atau keseluruhan

kehidupannya. Dari perspektif ini, muncullah apa yang dikenal dengan

biografi sastrawan. Sementara itu, ada juga kritikus sastra yang

memperhatikan sastra dari aspek kejiwaan sasatrawannya yang terkadang

tidak tampak dalam hidup kesehariannya. Dari perspektif ini muncullah

psikologi sastra. Kritikus lainnya memperhatikan sastra dari kaitannya

dengan msyarakat termasuk lapisan-lapisannya dan kondisi serta masa


24
lahirnya. Dari perspektif ini muncullah sosiologi sastra. Disamping itu, para

kritikus sastra yang memperhatikan aspek-aspek lainnya, seperti

nasionalisme, politik, teologi, filsafat dan lain-lain.

Kecenderungan-kecenderungan tersebut membuat para kritikus

terlena. Mereka lebih memperhatikan teori-teori sosial, teori psikologi dan

teori-teori lainnya daripada teori sastranya. Kejadian-kejadian ini

mendorong para peneliti dan kritikus sastra lainnya untuk kembali kepada

kritik sastra yang berfokus pada aspek bahasa sastra itu sendiri sehingga

bisa diketahui nilai suatu sastra. Corak analisis dan kritik sastra yang

berfokus pada aspek kebahasaan terus berlangsung didunia kritik dibelahan

Eropa dengan nama kritik bahasa, analisis struktual, dan stilistika.

Revolusi terhadap paradigma analisis sastra klasik dilakukan oleh

Charles Bally (1865-1947) dengan teori stilistika deskriptif ekspresif-nya.

Ia merupakan murid Ferdinand De Saussure (1857-1913). De Saussure

dikenal dengan peletak linguistik modern, sedangkan Bally adalah peletak

stilistika moderan.

Pemikiran yang berkembang sebelum De Saussure bahwa bahasa

merupakan produk masyarakat. Individu hanya mewarisi bahasa dari


25
masyarakat sehingga peran individu terhadap perkembangan bahasa sangat

minim. Bahasa, kaidah-kaidah dan sastranya, adalah karya generasi lalu,

sedangkan individu hanyalah mengungkapkan pola-pola lama. De Saussure

berpendapat bahwa individu memiliki peran palimg besar dalam

menciptakan bahasanya yang khas. Menurutnya, bahasa bukan hanya

merupakan pola-pola kolektif yang lama, melainkan juga dalam ukuran

tertentu merupakan pencampuran dengan spirit individu.

Ferdinand De Saussure (1857-1913) membagi bahasa menjadi dua:

languge dan parole. Yamg pertama menitikberatkan pada kaidah-kaidah

dasar kebahasaan, sedangkan yang kedua menitikberatkan pada bagaimana

bahasa itu dalam penggunaanya. Dan, yang terakhir ini merupakan objek

analisis stilistika.

`Parole yang merupakan analisis stilistika dibagi menjadi dua:

tuturan biasa dan tuturan sastra atau seni. Tuturan biasa bersifat spontan,

rasional. Jenis ini menggunakan bahasa sesuai dengan keterbatasan makna

yang terkandung dalam kamus, tidak ada kata ataupun makna yang baru

sehingga tidak dibutuhkan pemikiran yang mandalam untuk memahaminya.

Adapun tuturan sastra bersumber dari penutur yang megarahkan tuturannya


26
pada indera perasaan pendengaranya atau pembacanya dengan

menggunakan kata-kata dan makna pilihan yang terkadang bisa dipahami

secara mudah dan terkadang dibutuhkan pemikiran secara mendalam.

Tujuan tuturan biasa adalah penyampaian isi pesan dengan

gambaran yang jelas, berbeda dengan tuturan sastra: mempengaruhi

penutur dengan kata-kata yang bagus yang kadang tidak dijumpai dalam

tuturan biasa.

Dalam stilistika desktiptif terdapat dua aliran. Dalam hal-hal yang

bersifat rinci, keduanya banyak perbedaan. Namun, dalam hal-hal yang

prinsip keduanya ada persamaan: sama-sama berfokus pada karya sastra

berdasarkan analisis tuturan itu sendiri. Aliran pertama dinamai structural

deskriptif. Aliran ini memandang tuturan atau karya sastra sebagai kesatuan

dari unsur-unsurnya yang saling berhubungan tanpa bisa dipisah-pisahkan.

Jika ada unsur yang rusak, rusaklah stuktur karya sastra secara keseluruhan.

Kesatuan unsur-unsur ini bukan terjadi secara kebetulan, tetapi didasarkan

pada analisis dan aturan-aturan.

Aliran kedua dinamai formalisme. Muncul di Rusia pada tahun

1917, aliran ini dipelopori oleh Roman Jacobson. Diantara pendapatnya,


27
bahwa studi sastra adalah analisis terhadap faktor-faktor yang menjadikan

karya ini mempunyai nilai sastra. Dengan kata lain, mereka memfokuskan

pada tuturannya saja dan mengabaikan aspek-aspek lain seperti aspek

psikologi dan sosial kemasyarakatan.

Dengan demikian, perbedaan diantara kedua aliran ini adalah bahwa

structural deskriptif memperluas analisisnya, disamping tuturan ke aspek

sosial, filsafat, psikologi, sejarah dan laim-lain yang mempengaruhi dan

mewarnai karya sastra. Dilain pihak, aliran formalisme menjauhi aspek-

aspek tersebut dan memfokuskan hanya pada tuturan yang sudah menjadi

karya sastra.

Berdasarkan atas pemikiran De Saussure, Charles Bally

mengembangkan pemikiran stilistika ekspresif. Menurutnya, nilai-nilai

stilistika tidak bisa ditampung dalam “nilai-nilai statis”. Pendapat ini

bersebrangan dengan pendapat para ahli sastra sebelumnya ( pra De

Saussure ), yang mengatakan bahwa nilai-nilai stilistika terletak pada

kerangka nuansa atau rasa bahasaa, yang menurut mereka berpusat pada

soal metapora. Menurut Bally, nilai-nilai stilistika lebih dari itu. Kadang

ungkapanungkapan sederhana pun terdapat nilai-nilai keindahan. Dengan


28
kata lain, ungkapanungkapan seperti itu termasuk kedalam kerangka nuansa

atau rasa bahasa. Dengan demikian, ranah analisis stilistika semakin meluas

karena termasuk juga bahasa tuturan yang tidak bisa lepas dari konteks.

Berdasarkan penjelasan diatas, stilistika deskriptifnya Charles Bally

merangkum dalam tiga prinsip berikut ini :

1. Ranah analisis stilistika deskriptif tidak terbatas pada kaidah-kaidah

sastra tradisional saja.

2. Bahasa tuturan dimasukan kedalam ranah analisis stilistika. Stilistika

menggunakan metode deskriptif.

3. Konsep ini merupakan salah satu fragmen stilistika di dunia barat dari

sekian banyak fragmen yang ada.

Di Indonesia, stilistika juga mengalami sejarah dan perkembangan.

Pada tahun1956, Slamet Mulyana menerbitkan buku Peristiwa Bahasa dan

Peristiwa Budaya, penerbit Ganaco, Bandung. Buku ini berisi sekalar

pemandangan tentang Poesi juga biasa disebut Puitika. Pandangan Puitika

tidak terlepas dari persoalan poetika padahakikatnya adalah persoalan

filsafat. Dengan demikian, peristiwa sastra dihubungkandengan peristiwa

Bahasa Indonesia. Hal ini ada hubungannya dengan pengajaran bahasa.


29
Kekurangan penyelidikan bahasa dan sastra Indonesia terasa sekali oleh

pengajar di sekolah, yaitu sifat pembelajaran tidak lagi merupakan

perluasan, tetapi pendalaman. Bahasa Indonesia merupakan salah satu

fenomena yang berhubungan adat dengan manusia Indonesia. Slamat

Mulyana mendefinisikan stilistika adalah pengetahuan tentang kata yang

berjiwa.

Istilah stilistika kemudian dikembangkan oleh Jassin. Ia

menguraikan bahwa ilmu bahasa yang menyelidiki gaya bahasa disebut

stilistika atau ilmu gaya biasa orangmenyebut gaya bahasa apa yang disebut

Stijl dalam bahasa Belanda, Style dalam bahasa Ingggris dan Perancis, Stil

dalam bahasa Jerman. Jassin selanjutnyamengemukakan bahwa kata gaya

bahasa bermakna cara menggunakan bahasa. Didalamnya tercakup gaya

bercerita. Biasanya orang jika berbicara tentang stil seseorang pengarang

yang dimaksud bukan saja gayanya dalam mempergunakan bahasa,

melainkan juga gayanya bercerita. Seorang stilistikus atau ahli gaya bahasa

menjawab pertanyaan mengapa seorang pembicara atau pengarang

menyatakan pikiran dan perasaan seperti yang dilakukan dan tidak dalam

bentuk lain, atau bagaimana keharmonisan gabungan isi dan bentuk.


30
Pada 1982, Sudjiman membuat Diktat Mata Kuliah Stilistika,

Program S1.Universitas Indonesia. Kemudian Ia menerbitkan buku Bunga

Rampai Stilistika.Grafiti, Jakarta 1993. Istilah stilistika sejak 1980-an ini

mulai dikenal di duniaPengetahuan Tinggi sebab telah menjadi satu disiplin

ilmu. Hal ini dilatarbelakangioleh kenyataan selama ini bahwa dalam usaha

memahami karya sastra para kritikussastra menggunakan pendekatan

intrinsik dan ekstrisik, bahkan ada yangmenggunakan beberapa pendekatan

sekaligus. Semua itu ada hukum untukmendapatkan gambaran yang lebih

jelas tentang alasan pengarang menciptakan karyatertulis, gagasan yang

hendak disampaikan ataupun hal-hal yang mempengaruhi cara

penyampaiannya semua itu dilakukan untuk merebut makna yang

terkandung dalamkarya sastra serta menikmati keindahannya. Karena

medium yang digunakan oleh pengarang adalah bahasa, pengantar bahasa

pasti akan mengungkapkan hal-hal yangmembantu kita menafsirkan makna

suatu karya sastra atau bagian-bagiannya untukselanjutnya memahami dan

menikmatinya. Pengkajian ini disebut pengkajian stilistika. Dalam

pengkajian ini tampak relevansi linguistik atau ilmu bahasa terhadapstudi

sastra. Dengan stilistika, dapat dijelaskan interaksi yang rumit antara


31
bentuk danmakna yang sering luput dari perhatian dan pengamatan para

kritikus sastra.

Pada tahun 1986, Natawidjaja menerbitkan buku Apresiasi

Stilistika, Intermasa,Yogyakarta. Dalam buku ini diuraikan penggunaan

bahasa suatu karya sastra melaluiaspek bahasa, misalnya peribahasa,

ungkapan, dan gaya bahasa dalam karya sastra.Buku ini sangat bermanfaat

bagi siswa SMA dan mahasiswa yang inginmeningkatkan pemahaman

mengenai stilistika bahasa Indonesia. Di UniversitasGadjah Mada,

penelitian skripsi sarjana juga membahas masalah stilistika. Hal inisudah

dilaksanakan sejak 1958 sampai dengan sekarang ini, misalnya Budi S telah

membuat skripsi tentan ”Bahasa Danarto dalam Godlob: Kajian Stilistika

Cerpen-cerpen Danarto”, 1990. Ia memberi penekanan analisis terhadap

kosakata, majas(bahasa kiasan), sarana retorika, struktur sintesis, interaksi

bahasa dan humor dari mantra (Puleh, 1994:X). Pada 1993, Lukman

Hakim membahas stilistika judulmakalahnya ”Tinjauan Stilistika terhadap

Robohnya Surau Kami”, (AA. Navis). Ia membahas cerita pendek ini dari

sisi gaya bahasa/stil, pengarangnya terutama yang berhubungan dengan (1)

struktur kalimat yang dihubungkan dengan gaya bercerita;dan (2)


32
pemilihan leksikal yang dikaitkan dengan pemakaian majas

(Depdikbud,1993:28-38, Bahasa dan Sastra, X.4).

Pada 1995, Aminuddin menerbitkan bukunya Stilistika Pengantar

MemahamiBahasa dalam Karya Sastra, IKIP Semarang Press, Semarang.

Kajian stilistika dalam buku ini terdiri dari enam bab. Bab 1 mengenai

Pengertian Gaya dalam PerspektifKesejarahan; Bab 2 mengenai Studi

Stilistika dalam Konteks Kajian Sastra; Bab 3Bentuk Ekspresi sebagai

Pangkal Kajian Stilistika; Bab 4 Aspek Bunyi dalam TeksSastra; Bab 5

Bentuk Simbolik dalam Karya Sastra; dan Bab 6 Bentuk Bahasa Kiasdalam

Karya Sastra. Pada 2003, Tirto Suwondo membahas cerpen dengan

pandanganstilistika, judul makalahnya ”Cerpen Dinding Waktu, karya

Danarto, Studi Stilistika dimuat dalam bukunya Studi Sastra Beberapa

Alternatif, Hanindita, Yogyakarta, 2003. Suwondo berkesimpulan bahwa

cerpen dinding waktu karya Danarto kaya akangaya bahasa, baik gaya

bahasa berdasarkan struktur kata dan kalimat maupun berdasarkan

langsung atau tidaknya makna. Dengan demikian, hingga saat sekarangini,

stilistika sudah berkembang dengan pesat.

33
Perkembangan stilistika di Indonesia sangat lambat bahkan hampir

tidakmengalami kemajuan. Penelitian tentang stilistika pada umumnya

terbatas sebagaisub bagian dalam sebuah buku teks atau dalam skripsi dan

tesis. Kualitas penelitianpun terbatas sebagai semata-mata deskripsi

pemakaian bahasa yang khas,sebagai gaya bahasa. Oleh karena itu sampai

saat ini belum ada buku yang secarakhusus membahas stilistika.

Sebagai contoh untuk menelusuri sejarah perkembangan stilistika di

Indonesia,maka dicoba menelusuri buku-buku yang dapat diimplikasikan

baik terhadap gaya bahasa maupun stilistika itu sendiri.

Buku pertama berkaitan dengan gaya bahasa ditulis oleh

Slametmuljana.Meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan gaya bahasa

dan stilistika, tetapidikaitkan dengan judulnya Peristiwa Bahasa dan

Peristiwa Sastra (1956) dapatlah disebutkan bahwa buku tersebut

mengawali studi stilistika di Indonesia. Sebagian besar pembicaraan yang

dilakukan berkaitan dengan Bahasa Sastra, khususnya puisi (yang disebut

kata “berjiwa‟), bahasa kontekstual, yang di bedakan dengan bahasa kamus

(bahasa dengan arti tetap), sebagai bahasa bebas konteks. Menurut

Slametmuljana, perkembangan mengenai kata-kata berjiwa inilah yang


34
disebutsebagai stilistika. Bahasa adalah alat untuk mewujudkan

pengalaman jiwa yaitu citadan rasa ke dalam rangkaian bentuk kata yang

tepat dan dengan sendirinya sesuaitujuan pengarang.

Teeuw dalam bukunya yang berjudul Tergantung pada Kata (1980)

menganalisis sepuluh puisi dari sepuluh penyair terkenal, sehingga dapat

mewakili ciri-ciri pemakaian bahasa pada masing-masing puisi sekaligus

mewakili kekhasan personalitas pengarangnya. Menurut Teeuw, melalui

karya-karya Chairil Anwar lah terjadi revolusi total dalam bahasa, dengan

cara mendekonstruksi sistem sastra lamayang didiominasi oleh berbagai

ikatan, sehingga menjadi baru sama sekali.

Panuti Sudjiman dalam bukunya yang berjudul Bunga Rampai

Stilistika (1993), secara jelas telah menyinggung makna stilistika itu

sendiri, yaitu mengkaji ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra.

Dengan singkat stilistika mengkaji fungsi puitika suatu bahasa. Sesuai

dengan judulnya, sebagai bunga rampai pembicaraan stilistika dibicarakan

dalam empat bab dari keseluruhan buku yang terdiri atasdelapan bab.

Menurut Sudjiman, stilistika menjembatani analisis bahasa dan sastra.

35
Pembicaraan ini hanya mengemukakan pembicaraan gaya bahasa

dan stilistika dalam bentuk buku yang sudah diterbitkan dengan maksud

untuk mengetahuiseberapa jauh stilistika menjadi pusat perhatian bagi

kritikus sastra Indonesia,sekaligus menunjukkan masih lemahnya industri

penerbitan di Indonesia.

36
BAB II

PENDEKATAN STILISTIKA

A. Pengertian Pendekatan Stilistika

Pendekatan stilistika di dalam kritik sastra bertolak dari pandangan

bahwa isi pokok karya sastra itu ada dua, yang pertama adalah bahasa dan

kedua adalah isi yang berupa tema pemikiran dan falsafah. Pendekatan

stilistika menganut paham bahwa unsur pokok sastra adalah bahasa. Bahasa

yang digunakan dalam karya sastra itu mempunyai kaitan pula dengan

sastrawan. Sastrawan menegerahkan kemampuan dan kreatifitas masing-

masing dalam menciptakan karya mereka. Dengan kata lain, pendekatan

stilistika berarti asumsi dasar yang digunakan oleh kritikus dalam menilai

suatu karya sastra ditinjau dari segi kebahasaannya.

1. Pendekatan Halliday

M.A.K. Halilday menganalisis puisi "Leda and Swan" Karya

yeat dalam buku Patterns Of Language, Papers In General Description

And Apple Pngusties 1966).

37
Tujuan utama Halliday adalah mengilustrasikan bagaimana

kategori-kategori dan metode metode linguistik deskripsi dapat

diaplikasikan ke dalam analisis teks sastra seperti dalam analisis materi

teks lainnya. Perhatiannya bukan bertujuan kepada interprestasi atau

evaluasi estetika terhadap pesan-pesan sastra yang dianalisis Tetapi

hanya kepada deskripsi unsur-unsur bahasa.

Setelah membuat analisis, Halliday tidak memprosesnya lebih

jauh. Ia tidak mengungkapkan bagaimana bentuk-bentuk verbal tersebut

disusun sehingga berhubungan dengan bentuk lainnya pada hubungan

intra-tekstual. Halliday juga tidak menghubungkan analisinya dengan

interprestasi puisi secara kesuluruhan.

2. Pendekatan Sinclair

Searah dengan cara kerja Halilday, Sinclear (1966) menguraikan

puisi philip larkin yg berjudul "first sight" ia seperti halilday, hasil

analisis direkam dan interpretasi sementara tidak ada kesimpulan yang

berhubungan dengan interpretasinya terhadap puisi yang dikaji

tersebut . Walaupun demikian,Sinclair menyebutkan dua aspek

38
organisasi linguistik yang berperan penting dalam pengungjapan pola-

pola intratekstual dalam karya sastra.

Pertama, ia mengemukakan arrest yang terjadi manakala sebuah

pola sintaksis yang dapat diprediksi terhalang atau terpotong oleh unit-

unit linguistik lainnya sehingga penyelesaiannya tertunda.

Kedua, release yang terjadi manakala sebuah struktur sintaksis

diperluas setelah prediksi-prediksi semua unsur gramatikal terpenuhi.

Pada kasus ini terdapat perluasan unit-unit linguistik terhadap sebuah

pola yang keseluruhannya sintaksis.

3. Pendekatan Geoffrey Leech

Pendekatan yang digunakan oleh Leech berbeda dengan pendekatan

Halliday dan Sinclair. Leech menghubungkan deskripsi linguistiknya dengan

interpretasi yang kritis. Ia mengungkapkan bahwa karya sastra mengandung

dimensi-dimensi makna tambahan yang beroperasi pula di dalam wacana

lainnya. Dengan alasan tersebut, deskripsi lingusitik tidak dapat sama sekali

diaplikasikan berbeda dengan tipe-tipe teks lainnya. Leech mengungkapkan

tiga gejala ekspresi sastra yang menghadirkan dimensi-dimensi makna yang

berbeda yang tidak tercakup oleh deksripsi linguistik dengan kategori-

39
kategori normalnya. Ketiga gejala ekspresi tersebut adalah cohesion,

foregrounding, dan cohesion of foregorunding.

Cohesion ialah hubungan intratekstual antara unsur gramatikal dengan

unsur leksikal yang jalin-menjalin dalam sebuah teks sehingga menjadi sebuah

unit wacana yang lengkap; dengan demikian keduanya menyampaikan makna

teks sebagai satu kesatuan.

Leech mengungkapkan pila bahwa kohesi bukanlah hal yang

unik yang hanya terdapat pada puisi namun terdapat pula pada semua

materi teks lainnya karena kohesi inilah yang mengkombinasi unit-unit

linguistic yang terpisah-pisah ke dalam rangkaian wacana yang

bermakna.

Berbeda dengan kohesi, foregrounding merupakan gejala khas

yang hanya terdapat dalam karya sastra. Foregrounding merupakan

bahasa atau dari konvensi-konvensi yang berlaku; melawan penggunaan

bahasa yang normal. Lecch berpendapat bahwa foregrounding terjadi

manakala ciri-ciri semantis sebuah unsur bahasa yang digunakan tidak

berhubungan dengan ciri-ciri semantis yang diberikan kepadanya

dengan lingkungan kontekstual tempat unsur tersebut muncul.

40
Leech juga mengemukakan manifestasi lain dari gejala

foregrounding. Hal ini terjadi apabila penulis alih-alih menggunakan

pilihan yang banyak namun lebih memilih menggunakan bentuk yang

seragam yang justru menimbulkan keragaman.

Cohesion of foregrounding adalah penyimpangan-

penyimpangan dalam teks yang dihubungkan dengan bentuk lain untuk

membentuk pola-pola intratekstual.

4. Pendekatan Roman Jakobson

Jakobson membicarakan fungsi puitik bahasa dalam tulisanya

yang berjudul “clasing statement:Llinguistics and Poetics” dalam style

and linguage yang di edit oleh T.A sebeok 1960. Jakobson

menggolongkan fungsi puitik bahasa sebagai sebuah penggunaan

bahasa yang berpusat kepada bentuk actual dari pesan itu sendiri.

Dalam tulisan sastra ditemukan pesan yang berpusat pada tulisan itu

sendiri. Jadi agak berbeda dengan Leech yang mengungkapkan bahwa

foregrounding berfokus pada perhatian pembaca terhadap bentuk aktual

pesan yang disampaikan. Jakobson mengungkapkan pandangan bahwa

jenis kedua foregorunding yang dikemukakan oleh Leech merupakan


41
kriteria esensial fungsi puitik yaitu adanya pembentukan kesejajaran di

mana kesejajaran tersebut tidak secara normal terjadi.

Jakobson mengacu kepada dua poros bahasa yang disusun yaitu

poros sintagmatis atau poros seleksi dan poros paradigmatis atau poros

kombinasi. Jika yang digunakan oleh penulis prinsip kombinasi alih-

alih menggunakan prinsip penseleksian tidak ditemukan dalam

komunikasi biasa. Poros seleksi menonjolkan prinsip ekuivalensi di

mana fungsi-fungsi bahasa berlaku secara normal sementara pada poros

kombinasi fungsi-fungsi tersebut tidak berlaku normal. Jakobson

menyatakan, fungsi puitis bahasa menonjolkan prinsip ekuivalaensi dari

poros seleksi ke dalam poros kombinasi.

Menurut Jakobson, yang harus diperhatikan ialah kesejajaran

intratekstual tersebut terjadi pada tingkat fonologi, semantis, dan juga

sintaksis.

5. Pendekatan Samuel R. Levin

Levin mengembangkan gagasan kesejahteraan seperti di

kemukakan oleh jakobson dan menunjukan bagaimana kesejahteraan

tersebut berlaku pada level fonologi, sintaksis, dan semantik untuk


42
menghasilkan ciri-ciri structural yang membedakan antara wacana

puisi dengan wacana lainnya.

Ia membedakan dua tipe padananya itu padanan posisional dan

padanan natural.pada tipe posisional terdapat elemen-elemen yang

memiliki potensi yang sama untuk muncul dalam lingkungan tertentu .

Dengan demikian, prefiks di-, re-, per-, ad-, in-, sub-, dan con-

merupakan padanan posisional sebab semua bentuk tersebut dapat

muncul di depan bentuk –vert. Senada dengan hal tersebut, unsur-unsur

seperti night, seven, your house, dan the end of last semester dapat

muncul dalam lingkungan I saw him at....

Pada tipe kedua yaitu padanan natural berlaku unsure-unsur

yang bersama-sama menghasilkan ciri-ciri semantik dan fonologi yang

umum.Dua unsur bahasa mempunyai padanan semantik apabila

keduanya di hubungkan dengan system relasi makna dalam bahasa

tersebut dan dianggap memiliki kelas padanan natural yang sama. Kata-

kata yang terdapat dalam bidang semantik juga termasuk anggota kelas

padanan yang sama seperti nama-nama binatang, atau sekelompok kata

43
seperti,bulan, bintang, laut, dan matahari. Kata-kata tersebut memiliki

pertalian semantis.

Padanan natural dalam fonologi terjadi apabila unsur-unsur

tertentu memiliki sturuktur suku kata yang sama seperti adanya ciri-ciri

persamaan fonologi dalam nasalisasi, suara dan sebagainya. Misalkan

larik soneta Shakespare berikut.

Full fathom five father lies

Pada larik soneta tersebut tiga kata pertama dan kata kelima

memiliki konsonan awal yang sama sehingga ekuivalen secara natural

sedangkan kata ketiga, keempat serta keenam memiliki ekuivalensi

natural dengan adanya vokal tengah yang sama. Kata fathom dan father

termasuk kelas ekuivalensi natural yang sama karena memiliki

sturuktur suku kata yang sama dan suku kata pertama dan keduanya

mempunyai segmen yang sama pula. Kata-kata ini tentu saja tidak

memiliki ekuivalensi natural dari sudut pandang semantik.

Berangkat dari dua tipe ekuivalensi tersebut, posisional dan

natural, Levin memperkenalkan gagasan yang ketiga yaitu perpaduan

kedua ekuivalensi tersebut. Hal ini terjadi apabila satu tipe ekuivalensi
44
bertemu dengan ekuivalensi yang lain sehingga menghasilkan sebuah

struktur. Misalnya dalam larik puisi Pope berikut.

A soul as full of worth as void of pride

Frasa ‘full of worth’ dan ‘void of pride’ termasuk ekuivalen

secara posisional karena keduanya menjelaskan ‘soul’ dan pada saat

yang sama memiliki ekuivalensi secara fonologi karena mempunyai

sturktur ritmik yang sama. Perpaduan antara ekuivalensi posisional dan

fonologi inilah yang disebut dengan gagasan ketiga. Hal tersebut

didukung oleh kenyataan bahwa ‘full’ dan ‘void’ memiliki ekuivalensi

secara posisional karena keduanya berada pada lingkungan yang sama

dan memiliki serta secara fonologi keduanya termasuk kata yang terdiri

dari satu suku kata. Kehadiran kata-kata ‘worth’ dan ‘pride’ dalam

mengembangkan hubungan yang kontras di antara keduanya. Hal ini

merupakan contoh pola-pola intratekstual dari konteks larik puisi

tersebut “di luar” kata-kata yang terekam.

Hal yang terpenting dari pendekatan Levin ini adalah ia tidak

menerapkan analisisnya ke dalam interpretasi suatu karya sastra yang

45
diuraikannya. Dia hanya tertarik kepada analisis bagaimana bahasa

dalam sebuah puisi disusun.

Tampaknya, pendekatan Levin dalam analisis stilistik serupa

dengan pendekatan Halliday dan Sinclair hanya terbatas pada analisis

butir-butir linguistik.

B. Prinsip Pendekaran Stilistika

Seorang peneliti yang ingin menggunakan pendekatan stilistika

dalam menguraikan sebuah karya sastra harus menguasai dengan baik

konsep-konsep linguistik. Konsepsi dan krtieria pendekatan stilistika dalam

kritik sastra adalah ssebagai berikut.

1. Pendekatan stilistika memberikan perhatian utama terhadap tampilan

bahasa di dalam karya sastra. Hal-hal yang terkait, yaitu:

a. Bentuk dan variasi kalimat, klausa, frase, kata, bunyi, dan majas

b. Bentuk-bentuk penyimpangan dari struktur bahasa natural

c. Manipulasi bunyi, kata, ungkapan, frase, kalimat, dan wacana dalam

penciptaan gaya

d. Pilihan kata yang epat

46
e. Pencapuran berbagai gaya dalam suatu karya sastra

f. Analisis pemakaian kata dalam kalimat, kalimar dalam paragraf,

dan paragraf dalam wacana

g. Pemakaian dialek daerah atau ragam bahasa non-formal

h. Aspek makna

2. Pendekatan stilistika memberikan perhatian penuh kepada kemampuan

dan kreatifivas pengarang. Hal-hal yang harus diperhatikan yaitu

sebagai berikut.

a. Memperhatikan ciri khas atau gaya personal pengarang

b. Memperhatikan corak dan pancaran bakat kepengarangan

c. Analisis ciri khas kepengarangan tersebut kemudian dikaitkan

dengan kelompok pengarang pada periode tertentu

d. Analisis tersebut juga dapat dilakukan untuk melihat kemungkinan

terjadinya perubahan gaya pada seseorang yang menjalankan

profesi dalam jangka waktu yang panjang

3. Pendekatan stilistika juga memberikan perhatian terhadap analisis

wacana. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut.

47
a. Dalam menganalisisnya, cukup yang hanya terkait dengan aspek

pemakaian bahasa

b. Cara pengembangan narasi dalam fiksi

c. Cara pengembangan pola deskriptif dalam fiksi

d. Cara pengembangan baris dalam larik-larik dalam puisi

e. Hubungan antar kalimat dalam wacana

4. Pendekatan stilistika juga dikaitkan dengan analisis perwatakan. Hal ini

penting karena bahasa mempunyai kaitan dengan karakter tokoh. Selain

itu, perwatakan atau perilaku pengarang juga senantiaasa tercermin dari

bahasa yang digunakan.

5. Pendekatan stitlistika juga terkait dengan pemahaman pembaca. Hal itu

disebabkan adanya pandangan bahwa keberhasilan sebuah komunikasi

tidak diukur dari segi pembicara (sastrawan) tetapi diukur dari

penerimaan khalayak pembaca. Bila terjadi kesukaran pemahaman pada

pembaca, maka harus dicari faktor penyebabnya. Resepsi pembaca

yang terganggu mungkin disebabkan kelemahan pembaca itu sendiri

atau mungkin terjadi karena kesalahan penulis dengan karyanya.

48

Anda mungkin juga menyukai