deskriptif.
Pendapat Kridalaksana di atas merupaka stilistika
dengan memisahkan
(a) pikiran yang diucapkan, dan
(b) bungkusan atau cara menyampaikan-
nya
Jadi, disitu ada hubungan antara signifiant
(penanda) dan signifia (petanda).
Misal, lebih dahulu ada yang ditanda berupa:
medium bahasa.
Bahasa sebelum diintegrasikan dalam sastra
sudah merupakan sistem tanda (semiotik) yang
mempunyai arti, merupakan sistem tanda
tingkat pertama =denotasi.
Dalam sastra bahasa itu menjadi bahasa sastra,
menjadi sistem tanda tingkat kedua =konotasi.
Bahasa merupakan tanda yang mempunyai arti
(meaning).
Setelah bahasa ditingkatkan menjadi bahasa
sastra, yang merupakan sistem tingat kedua,
mendapat arti sastra.
Jadi, bahasa itu mendapat arti lagi.
Oleh karena itu, arti bahasa sastra adalah arti
dari arti (meaning of meaning) atau makna
significance)
Bahasa sastra sebagai sistem semiotik
merupakan tanda.
Tanda itu mempunyai dua aspek yaitu:
aspek bentuk yang menandai atau penanda (signifier)
dan
aspek isinya yang ditandai atau petanda (signified).
Penanda adalah bentuk formalnya yang
menandai artinya.
Misalnya kata ibu adalah penanda berupa bunyi [fonem
(i/b/u) ] yang menandai arti: orang yang melahirkan
kita.
Gaya bahasa sebagai bentuk formal menandai
maknanya.
Hal ini seperti dikatakan Yunus (1989:387-138)
gaya adalah tanda yang mempunyai makna.
Gaya itu sarat makna
Gaya sebagai tanda harus dilihat dalam suatu
adalah:
Intonasi
Bunyi,
Kata
Kalimat.
Oleh karena itu, ada
gaya intonasi
gaya bunyi,
gaya kata,
gaya kalimat.
Akan tetapi, karena intonasi itu hanya ada
dalam bahasa lisan dan tidak tercatat dalam
bahasa tulisan, maka gaya intonasi sukar
diteliti dan tidak diteliti.
Gaya bunyi meliputi kiasan bunyi, sajak (rima),
orkestrasi, dan irama.
Gaya kata meliputi gaya bentuk kata
(morfologi), arti kata (semantik): diksi dan
bahasa kiasan, dan gaya asal usul kata
(etimologi).
Gaya kalimat meliputi gaya bentuk kalimat dan
sarana retorika.
Gaya wacana yang merupakan satuan dari
kalimat-kalimat yang merupakan satuan
ekspresi khusus.
Semua gaya bahasa di atas terdapat dalam prosa
(cerita rekaan) dan puisi.
Oleh karena itu, penelitian gaya bahasa dapat
dilakukan pada prosa atau pun puisi.
Dalam penelitian gaya bahasa (karya sastra),
karena gaya bahasa itu merupakan penggunaan
bahasa secara khusus untuk mendapatkan efek-
efek tertentu, maka yang diteliti adalah wujud
(bagaimana bentuk) gaya bahasa itu dan efek
apa yang ditimbulkan oleh penggunaannya.
Tentu saja, efek itu berdasarkan situasi gaya itu
dalam karya sastra karena letak gaya dalam karya
sastra itu menentukan maknanya dan efeknya.
Unsur karya sastra adalah unsur fungsional, maka
tiap-tiap unsur dalam karya sastra mempunyai
fungsi struktural sebagai pembentuk struktur
karya sastra.
Karya sastra merupakan struktur tanda-tanda
yang bermakna.
Begitu juga halnya gaya bahasa sebagai salah satu
unsur karya sastra mempunyai fungsi struktural.
Oleh karena itu, gaya bahasa itu turut
menentukan makna karya sastra berdasarkan
fungsi strukturalnya.
GAYA BUNYI VIII
Gaya bunyi meliputi penggunaan bunyi-bunyi
tertentu untuk mendapatkan efek tertentu,
yaitu efek estetis.
Gaya bunyi berupa gaya ulangan bunyi:
asonansi, aliterasi, persajakan; sajak awal,
sajak akhir, sajak dalam, dan sajak tengah.
Kombinasi pola-pola bunyi itu membuat sajak
menjadi merdu.
Kombinasi bunyi yang merdu itu menimbulkan
(Inggris)
Asonansi ini disamping untuk kemerduan dan
serta r-r.
“Teriak riuh redam terbelah”: aliterasi r-r
dikombinasikan: a-a
Dengan kombinasi demikian, intensitas arti
menjadi bertambah.
Sajak awal untuk membuat berirama, sajak
sering mempergunakan sajak (rima) awal,
seperti :
Sajak awal adalah sajak yang berada di awal
baris-baris sajak.
Lihat sajak Lukisan oleh”: J.E.Tatengkeng
Dalam bait pertama, sajak awal berupa
“musafir”--”mudik”;
Bait kedua: “terkatung-katung”--”tergantung-gantung”;
Bait ketiga: “penyelam”--”pemilik”;
Bait keempat: s--s: “sebegini--sukmaku”
Lukisan
oleh”: J.E.Tatengkeng
Musafir mudik menghilir’
Tak ketentuan tempat pergi’
Sedang tak ada tempat berdiri,
Pengembara
Laut dan udara,
Terkatung-katung di ombak rawan,
Tergantung-gantung di angan awan,
Penyelam
Pemilik alam
Haus dahaga akan kebenaran,
Kecewa melihat dunia keliaran,
Sebegini
Sukmaku seni
Merindu, mencara ketentuan hati,
Kebenaran, Damai dan kasih sejati
persajakan
Sajak akhir adalah pola persajakan (ulangan
suara) di akhir (tiap-tiap) baris.
Dapat dikatakan sajak akhir ini yang paling
banyak dipergunakan dalam sajak untuk
mendapatkan:
efek estetis berupa hiasan,
penyangatan (intensitas) makna,
sering untuk pertentangan arti, dan
untuk menimbulkan irama yang menyebabkan liris
(pencurahan perasaan) ataupun
ekspresivitas.
Pola sajak akhir ini paling bervariasi di antara
pola persajakan yang lain.
Sajak akhir ada yang berpola tetap dan ada
yang berpola tidak tetap.
Pada umumnya sajak Pujangga Baru berpola
A. Onomatope
….
Berberita ringkik kuda muncullah Joko Pandan
Segala menyibak bagi derapnya kuda hitam
Ridla dada bagi derunya dendam yang tiba
(Ballada Terbunuhnya Atmo Karpo)
C. Simbolik Bunyi
Simbolik bunyi (klanksymboliek) disebut juga
perasaan.
Pada umumnya berupa kombinasi bunyi vokal.
Bunyi vokal /i/, /e/ menimbulkan biasanya
rubuh
patah
mengatup luka
aku bersuka
Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah
orkestrasi
d.1 Efoni
Seperti:
Kombinasi bunyi yang merdu disebut efoni.
Kombinasi bunyi yang merdu biasanya dapat
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk (Chairil “Doa”)
SODOM DAN GOMORA
Tuhan
tertimbun
dibalik surat pajak
berita politik
pembagian untung
dan keluh tangga kurang air
Kita mengikut sebuah all-night ball
kertas berserak
terompet berteriak
muka pucat mengantuk
asap asbak menyaput mata.
tak terdengar pintu di ketuk
Kau?
Yippee!!
Rock-rock-rock.
Jam menunjukk tiga
Kakafoni itu memberikan suasana yang kacau,
tidak menyenangkan seperti tampak dalam sajak
Chairil Anwar dan Sajak Subagio tersebut
Dalam sajak Subagio kombinasi bunyi k, p, t, s