Anda di halaman 1dari 6

NAMA : FIRMANSYAH MUFTI

NIM : 2210723033
MATKUL : KAJIAN PROSA KELAS A

BAB 9 : BAHASA

1. BAHASA SEBAGAI UNSUR FIKSI


Bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra. Di pihak lain sastra lebih dari
sekadar bahasa, deretan kata, namun unsur "kelebihan"-nya itu pun hanya dapat
diungkap dan ditafsirkan melalui bahasa. Jika sastra dikatakan ingin menyampaikan
sesuatu, mendialogkan sesuatu, sesuatu tersebut hanya dapat dikomuni kasikan lewat
sarana bahasa. Bahasa dalam sastra pun mengemban fungsi utamanya: fungsi
komunikatif (Nurgiyantoro, 1993: 1).
a. Bahasa Sastra : sebuah Fenomena
Beberapa ciri bahasa sastra yang dikemukakan beberapa orang berikut akan
sedikit disinggung. Bahasa sastra mungkin dicirikan sebagai bahasa (yang
mengandung unsur) emotif dan bersifat konotatif sebagai kebalikan bahasa
nonsastra, khususnya bahasa ilmiah, yang rasional dan denotatif. Namun, untuk
pencirian itu kiranya masih memerlukan penjelasan (lihat Wellek & Warren, 1956:
22-3). Ciri adanya unsur "pikiran" bukan hanya monopoli bahasa nonsastra, tetapi
bahasa sastra pun memilikinya. Sebaliknya, ciri unsur emotif pun bukan hanya
monopoli bahasa sastra. Unsur pikiran dan perasaan akan sama-sama terlihat dalam
berbagai ragam penggunaan bahasa,
Demikian pula halnya dengan makna denotatif dan konotatif. Bahasa sastra tidak
mungkin secara mutlak menyaran pada makna konotatif tanpa melibatkan sama
sekali makna denotatif. Penuturan yang demikian akan tidak memberi peluang
kepada pembaca untuk dapat memahaminya. Pemahaman pembaca, bagaimanapun,
akan mengacu dan berangkat dari makna denotatif.
Bahasa sastra, menurut kaum Formalis Rusia, adalah bahasa yang mempunyai ciri
deotomatisasi, penyimpangan dari cara penuturan yang telah bersifat otomatis, rutin,
biasa, dan wajar Penuturan dalam sastra selalu diusahakan dengan cara lain, cara
baru, cara yang belum (pernah) dipergunakan orang. Sastra mengutamakan keaslian
pengucapan, dan untuk memperoleh cara itu mungkin sampai pada penggunaan
berbagai bentuk penyimpangan, deviasi (deviation) kebahasaan. Unsur kebaruan dan
keaslian merupakan suatu hal yang menentukan nilai sebuah karya. Kaum Formalis
berpendapat bahwa adanya penyimpangan dari sesuatu yang wajar itu merupakan
proses sastra yang mendasar (Teeuw, 1984: 131). Penggunaan bahasa kias
merupakan salah satu bentuk penyimpangan (penyimpangan semantik), namun hal
itu bakan merupakan ciri khas bahasa sastra sebab dalam penuturan nonsastra pun
banyak dipergunakan.
Yang membedakan sebuah karya itu menjadi sastra, fiksi atau puisi, dengan yang
bukan sastra, pertama- tama tidak dicirikan oleh unsur kebahasaannya.
Pembedaan itu lebih ditentukan oleh konvensi (konvensi kesastraan), konteks, dan
bahkan harapan pembaca. Hal itu berarti bahwa sebenamya hal-hal tersebutlah
yang mencirii apakah sebuah (penuturan) bahasa dapat digolongkan ke dalam
sastra atau bukan. Pratt (1977, lewat Teeuw, 1984: 82-3) mengemukakan bahwa
masalah kelitereran (literariness) tidak ditentu kan oleh ciri khas pemakaian
bahasa, melainkan oleh ciri khas situasi pemakaian bahasa tersebut. Organisasi
estetik sebuah teks tergantung pada konteks pemakaian, situasi wacana di mana
tuturan itu terjadi. Jika dilihat dari segi kebahasaan saja, tampaknya, bahasa sastra
tidak (begitu) berbeda dengan bahasa cerita-alamiah seperti yang sering ditemui
dalam kehidupan sehari-hari.

b. Stile dan Stilistika


Stile, (style, gaya bahasa), adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau
bagaimana seorang pengarang mengungkapan sesuatu yang akan dikemukakan
(Abrams, 1981: 190-1). Stile ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan
kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-
lain. Makna stile, menurut Leech & Short (1981: 10), suatu hal yang pada umumnya
tidak lagi mengandung sifat kontroversial, menyaran pada pengertian cara
penggunaan bahasa dalam konteks tertentu, oleh pengarang tertentu. untuk tujuan
tertentu, dan sebagainya. Dengan demikian, stile dapat bermacam-macam sifatnya,
tergantung konteks di mana dipergunakan, selera pengarang, namun juga tergantung
apa tujuan penuturan itu sendiri.
Stile pada hakikatnya meru- pakan teknik, teknik pemilihan ungkapan kebahasaan
yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan. Teknik itu sendiri, di
pihak lain, juga merupakan suatu bentuk pilihan.. dan pilihan itu dapat dilihat pada
bentuk ungkapan bahasa seperti yang dipergunakan dalam sebuah karya
(Nurgiyantoro, 1993: 4).
Stile: Masalah Struktur Lahir. Bentuk ungkapan kebahasa- an seperti yang terlihat
dalam sebuah novel merupakan suatu bentuk performansi (kinerja) kebahasaan
seseorang pengarang. Ia merupakan pernyataan lahiriah dari sesuatu yang bersifat
batiniah. Jika hal itu dikaitkan dengan teori kebahasaan-nya Saussure, yang
membedakan antara langue dan parole.
Stilistika kesastraan, dengan demikian, merupakan sebuah metode analisis karya
sastra (Abrams, 1981: 192). Ia dimaksudkan untuk menggantikan kritik yang bersifat
subjektif dan impresif dengan analisis stile teks kesastraan yang lebih bersifat
objektif dan ilmiah Analisis dilakukan dengan mengkaji berbagai bentuk dan tanda-
tanda linguistik yang dipergunakan seperti terlihat dalam struktur lahir Dengan cara
ini akan diperoleh bukti-bukti konkret tentang stile sebuah karya.
Metode (teknik) analisis ini akan menjadi penting karena dapat memberikan
informasi tentang karakteristik khusus sebuah karya Tanda-tanda stilistika itu sendiri
dapat berupa (a) fonologi, misalnya pola suara ucapan dan irama, (b) sintaksis,
misalnya jenis struktur kalimat, (c) leksikal, misalnya penggunaan kata abstrak atau
konkret, frekuensi penggunaan kata benda, kerja, sifat, dan (d) penggunaan bahasa
figuratif, misalnya bentuk-bentuk pemajasan, permainan struktur, pencitraan, dan
sebagainya.
Analisis Stilistika: Metode Kuantitaif. Berbagai tanda linguistik yang terwujud
dalam bentuk ungkapan bahasa sebuah fiksi. seperti dikemukakan di atas, menjadi
sarana pembentuk stile, dan hal itulah yang menjadi objek analisis stilistika.
Dibanding analisis kebahasaan bahasa nonsastra, stilistika kesastraan terlihat lebih
beragam dan kompleks, karenanya lebih sulit, dan hal itu tampak dalam kegiatan
pengumpulan data (Chapman, 1973: 13).
Analisis stilistik, menurut Wellek & Warren (1956: 180), dapat dilakukan melalui
dua cara. Pertama, ia mulai dengan analisis secara sistematik terhadap sistem dan
tanda-tanda linguistik dan kemudian menginterpretasikannya sebagai satu
keseluruhan makna, dan tentu saja hal itu dalam hubungannya dengan tujuan estetis
sebuah karya. Kedua. bukan dalam pertentangannya dengan yang pertama, analisis
dilakukan dengan mengkaji semua bentuk khusus linguistik yang menyimpang dari
sistem yang berlaku umum. Kita mengobservasi berbagai bentuk deviasi yang
terdapat pada sebuah karya dan disoroti dari pemakaian hahasa yang wajar-baku.
Jadi, kita mengontraskan antara bentuk penyimpangan (deotomatisasi) dengan
bentuk yang normal-baku (cotomatis), dan dari sinilah kemudian dicobatemukan
fungsi estetisnya.
c. Stile Dan Nada
Nada (none), nada pengarang (authorial tone), dalam pengertian yang luas,
dapat diartikan sebagai pendirian atau sikap yang diambil pengarang (tersirat,
implied author) terhadap pembaca dan terhadap (sebagian) masalah yang
dikemukakan (Leech & Short, 1981: 280) Sebelumnya, Kenny (1966: 69) juga telah
mengemukakan bahwa nada merupakan ekspresi sikap, sikap pengarang terhadap
masalah yang dikemukakan dan terhadap pembaca. Dalam bahasa lisan, nada dapat
dikenali melalui intonasi ucapan, misalnya nada rendah dan lemah- lembut, santai,
meninggi dan sengit, dan sebagainya. Dalam bahasa tulis, di pihak lain, nada akan
sangat ditentukan oleh kualitas stile. Oleh karena itu, Kenny mengemukakan bahwa
stile adalah sarana, sedangkan nada adalah tujuan. Salah satu kontribusi penting dari
stile adalah untuk membangkitkan nada (Kenny, 1966: 57).
2. UNSUR STILE
Pembicaraan unsur stile berikut dilakukan dengan menggabungkan antara pembagian
unsur menurut Abrams (1981) dan Leech & Short (1981) tersebut, namun unsur
fonologis (dari Abrams) sengaja tak dibicarakan karena unsur itu kurang begitu
penting kontribusinya dalam stilistika fiksi (lebih penting untuk stilistika puisi).
Analisis unsur stile, misalnya, dilakukan dengan mengidentifikasi masing-masing
unsur dengan tanpa mengabaikan konteks, menghitung frekuensi kemunculannya,
menjumlahkan, dan kemudian menafsirkan dan mendeskripsikan kontribusinya bagi
stile karya fiksi secara keseluruhan.

a. Unsur leksikal
Unsur leksikal yang dimaksud sama pengertiannya dengan diksi, yaitu yang
mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih
oleh pengarang. Mengingat bahwa karya fiksi adalah dunia dalam kata,
komunikasi dilakukan dan ditafsirkan lewat kata-kata, pemilihan kata-kata
tersebut tentulah melewati pertimbangan-pertimbangan tertentu untuk
memperoleh efek tertentu. efek ketepatan (estetis). Masalah ketepatan itu sendiri
secara sederhana dapat dipertimbangkan dari segi bentuk dan makna, yaitu
apakah diksi mampu mendukung tujuan estetis karya yang bersangkutan mampu
mengkomunikasikan makna, pesan, dan mampu mengungkap kan gagasan
seperti yang dimaksudkan oleh pengarang.
b. Unsur Gramatikal
Unsur gramatikal yang dimaksud menyaran pada pengertian struktur kalimat.
Dalam kegiatan komunikasi bahasa, juga jika dilihat dari kepentingan stile,
kalimat lebih penting dan bermakna daripada sekedar kata walau kegayaan
kalimat dalam banyak hal juga dipengaruhi oleh pilihan katanya. Sebuah
gagasan, pesan (baca: struktur batin). dapat diungkapkan ke dalam berbagai
bentuk kalimat (baca: struktur lahir) yang berbeda-beda struktur dan kosa
katanya. Dalam kalimat. kata-kata berhubungan dan berurutan secara linier yang
kemudian dikenal dengan sebutan sintagmatik. Hubungan tersebut dapat dilihat
dalam bentuk realisasi grafologis kalimat dalam bentuk baris-baris seperti pada
halaman buku. Untuk menjadi sebuah kalimat, hubungan sintagmatik kata-kata
tersebut harus gramatikal, sesuai dengan sistem kaidah yang berlaku dalam
bahasa yang bersangkutan. Secara teoretis jumlah kata yang berhubungan secara
sintagmatik dalam sebuah kalimat tak terbatas, dapat berapa saja sehingga
mungkin panjang sekali. Secara formal, memang, tak ada batas berapa jumlah
kata yang seharusnya dalam sebuah kalimat (Chapman, 1973: 45).
c. Retorika
Retorika merupakan suatu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh efek
estetis. Ia dapat diperoleh melalui kreativitas pengungkapan bahasa, yaitu
bagaimana pengarang menyiasati bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan
gagasannya. Pengungkapan bahasa dalam sastra, seperti telah dibicarakan di atas,
mencerminkan sikap dan perasaan pengarang, namun sekaligus dimaksudkan
untuk mempengaruhi sikap dan perasaan pembaca yang tercermin dalam nada.
Untuk itu, bentuk pengungkapan bahasa haruslah efektif mampu mendukung
gagasan secara tepat sekaligus mengandung sifat estetis sebagai sebuah karya
seni. Retorika, pada dasarnya, berkaitan dengan pembicaraan tentang dasar-dasar
penyusunan sebuah wacana yang efektif.
d. Kohesi
Hubungan semantik merupakan bentuk hubungan yang esensial dalam kohesi
yang mengaitkan makna-makna dalam sebuah teks (Halliday & Hasan, 1989: 73)
Hubungan itu mungkin bersifat eksplisit yang ditandai oleh adanya kata
penghubung, atau kata kata tertentu yang bersifat menghubungkan, namun
mungkin juga hanya berupa hubungan kelogisan, hubungan yang disimpulkan
(olch pembaca) (infered connection), hubungan implisit. Hubungan tersebut
dalam ilmu bahasa disebut kohesi (cohesion, keutuhan).
Penghubungan antarunsur sebuah teks pada hakikatnya merupa kan
penghubungan makna dan referensi, namun biasanya orang lebili melihatnya dari
segi sarana formal sebagai penanda hubungannya. Misalnya sebuah kalimat:
"Teto dan Atik saling mencitai, tetapi mereka tidak dapat kawin", memiliki kata
sambung "dan" yang menghu bungkan Teto dan Atik yang telah disebut pada
klausa sebelumnya Kata-kata "dan, tetapi", dan "mereka" dalam kalimat tersebut
memperti hatkan adanya dua macam kohesi linier: sambungan (linkage) dan
rujuk-silang (cross-reference) (Leech & Short, 1981, 1981: 244) Sambungan
merupakan alat kohesi yang berupa kata-kata sambung sedangkan rujuk-silang
berupa sarana bahasa yang menunjukkan kesamaan makna dengan bagian yang
direferensi.

3. PERCAKAPAN DALAM NOVEL

a. Narasi dan dialog


Pengungkapan bahasa dengan gaya narasi-dalam hal ini yang saya maksudkan
adalah semua penuturan yang bukan bentuk perca kapan sering dapat
menyampaikan sesuatu secara lebih singkat dan langsung. Artinya, pengarang
mengisahkan ceritanya secara langsung. pengungkapan yang bersifat
menceritakan, telling. Ia dapat berupa pelukisan dan atau penceritaan tetang latar,
tokoh, hubungan antarto koh, peristiwa, konflik, dan lain-lain. Bentuk narasi
dapat menceritakan sesuatu secara singkat sebab pengarang biasanya cenderung
menuturkanya secara singkat.
Dalam pengungkapan bahasa bentuk percakapan, seolah-olah pengarang
membiarkan pembaca untuk melihat dan mendengar sendiri kata-kata seorang
tokoh, percakapan antartokoh, bagaimana wujud kata-katanya dan apa isi
percakapannya. Gaya dialog dapat memberikan kesan realistis, sungguh-
sungguh, dan memberi penekanan terhadap cerita atau kejadian yang dituturkan
dengan gaya narasi. Sebaliknya, gaya dialog pun hanya akan terasa hidup dan
terpahami dalam konteks situasi yang dicipta dan dikisahkan lewat gaya narasi.
Dengan demikian, pengungkapan bentuk narasi dan percakapan dalam sebuah
novel haruslah berjalan seiring, sambung-menyambung, dan saling melengkapi.
enuturan bentuk dialog tak mungkin hadir sendiri tanpa disertai (atau menyatu
dengan) bentuk narasi, sebaliknya, bentuk narasi dapat hadir tanpa dialog, walau
mungkin terasa dipaksakan, misalnya dalam sebuah cerita yang relatif pendek.
Percakapan yang terjadi baru akan efektif jika telah jelas konteks berlangsungnya
sebuah penuturan. misalnya yang menyangkut masalah: di mana, kapan,
antarsiapa, masalah apa, dalam situasi bagaimana, dan sebagainya.
b. Unsur pragmatik dalam percakapan
Percakapan yang hidup dan wajar, walau hal itu terdapat dalam sebuah novel,
adalah percakapan yang sesuai dengan konteks pemakaiannya, percakapan yang
mirip dengan situasi nyata penggunan bahasa. Bentuk percakapan yang demikian
bersifat pragmatik. Istilah pragmatik itu sendiri mungkin diartikan pada beberapa
pengertian yang berbeda, namun intinya adalah mengacu pada (telaah)
penggunaan bahasa yang mencerminkan kenyataan. Dalam situasi nyata, orang
mempergunakan bahasa tak hanya berurusan dengan unsur bahasa itu sendiri,
melainkan juga mempertimbangkan unsur-unsur lain yang di laur konteks
bahasa:kontek ekstra linguistik.
Kontek yang diluar bahasa inilah sering juga disebut sebagai faktor penentu yang
justru lebih menentukan wujud percakapan. Faktor-faktor itu antara lain berupa
situasi berlangsungnya percakapan. orang-orang yang terlibat, masalah yang
dipercakapkan, tempat terja- dinya percakapan, dan sebagainya. Ketepatan
penggunaan bahasa secara pragmatik tidak semata-mata dilihat dari ketepatan
leksikal dan sintaksis, melainkan juga ketepatannya sesuai dengan konteks
pembi- caraan. Ketepatan penggunaan bahasa percakapan adalah ketepatan
konteks situasi, maka bentuk percakapan dalam sebuah situasi belum tentu tepat
untuk situasi yang lain.
c. Tindak ujar
Bentuk penampilan tindak ujar dapat diketahui dari makna kalimat (-kalimat)
yang bersangkutan, namun sering juga pembicara menekankannya dalam wujud
kata kerja tertentu. Misalnya, ucapan: "datanglah kemari" ditegaskan menjadi
"Saya mengharapmu datang kemari". Contoh tersebut sekaligus menunjukkan
bahwa kalimat dengan makna yang kurang lebih sama, dapat dituturkan secara
lain yang menyaran pada tindak ujar yang berbeda. Ucapan: "Datanglah kemari"
berupa kalimat perintah, "Maukah kau datang kemari?" kalimat tanya, sedang
"Saya mengharap kau datang kemari", kalimat pernya taan. Bentuk-bentuk
penampilan yang berupa perintah, tanya, dan pernyataan inilah, antara lain, yang
disebut tindak ujar. Pengung kapan kalimat secara berbeda dengan makna yang
kurang lebih sama, seperti telah dikemukakan, merupakan salah satu cara
pemilihan stile.

Anda mungkin juga menyukai