Anda di halaman 1dari 72

KAJIAN UNSUR KOHESI DALAM KUMPULAN CERPEN

PEREMPUAN PATAH HATI YANG KEMBALI


MENEMUKAN CINTA MELALUI MIMPI KARYA EKA
KURNIAWAN

Mata Kuliah: Stilistika


Dosen Pengampu: Dr. Hartomo, M.Hum.

Oleh:
1. Yanuarika Wulan Rahmadhani 16201241002

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Tujuan Kajian
Tujuan karya sastra di samping sebagai karya seni ialah menjadi
medium komunikasi untuk menyampaikan pikiran dan perasaan pengarang
kepada pencintanya. Sebab, karya sastra merupakan satu kesatuan unsur bentuk
dan isi yang mendatangkan sebuah karya yang bernilai seni, indah, dan
menghibur. Dalam membaca karya sastra, unsur yang dilihat pertama kali
adalah unsur bentuk. Unsur bentuk berupa bahasa merupakan unsur yang
paling utama selain unsur-unsur yang lain. Karya sastra yang baik, khususnya
karya fiksi, harus didukung oleh keindahan bahasa yang terlihat dalam narasi
maupun dialog yang ditampilkan dalam cerita.
Dalam membaca sebuah karya fiksi, pembaca sering kali merasa
terbawa dalam peceritaan pengarang, merasa puas, dan menikmati cerita yang
disajikan. Akan tetapi, pembaca tidak bisa mengungkapkan alasan mengapa
mereka mendapat kepuasan dan kenikmatan ketika membaca karya fiksi.
Jawaban mengapa aspek bahasa dalam karya sastra, puisi, fiksi, atau yang lain,
itu indah atau memenuhi tuntutan keindahan dengan kriteria tertentu, harus
dikaji melalui bidang kajian ilmu tertentu yaitu stilistika. Stilistika merupakan
kajian yang dimaksudkan untuk menerangkan sesuatu pada umumnya dalam
dunia kesastraan untuk menerangkan hubungan bahasa dengan fungsi artistik
dan maknanya (Leech & Short, 2007: 11; Wellek & Warren, 1989: 180 via
Nurgiyantoro, 2017: 75).
B. Pentingnya Mengkaji Stilistika dalam Prosa
Kajian stilistika dalam prosa memiliki peran penting sebagai berikut.
1. Mengapresiasi teks kesastraan.
2. Menemukan dan menjelaskan fungsi penggunaan berbagai bentuk
kebahasaan sehingga dapat dikatakan mendukung capaian efek keindahan.
3. Menjelaskan keindahan penuturan dan ketepatan bentuk sebagai sarana
berkomunikasi.

1
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Stilistika
Silistika adalah teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dapat
mewakili sesuatu yang akan diungkapkan dan sekaligus untuk mencapai efek
keindahan (Nurgiyantoro, 2017: 42).
Silistika berkaitan erat dengan stile, bahasa yang dipakai dalam
konteks tertentu, dalam ragam bahasa tertentu. Jika style diindonesiakan
dengan diadaptasikan menjadi ‘stile’ atau ‘gaya bahasa’, istilah stylistic juga
dapat diperlakukan sama, yaitu diadaptasi menjadi stilistika. Stilistika
merupakan kajian tentang stile, khususnya yang terdapat dalam teks kesastraan.
Penggunaan bahasa sastra dalam berbagai karya sastra menjadi fokus kajian
(Nurgiyantoro, 2017: 74-75).
Kajian mengenai stilistika bertujuan untuk menjelaskan fungsi
keindahan pengunaan bentuk kebahasaan tertentu mulai dari aspek bunyi,
leksikal, struktur, bahasa figuratif, sarana retorika, sampai grafologi. Selain itu,
kajian stilistika bertujuan menentukan seberapa dalam pengarang
menggunakan tanda-tanda linguistik untuk mencapai efek khusus
(Nurgiyantoro, 2017: 75-76).
B. Stile dan Unsur Stile
Wujud formal stile adalah bahasa. Bahasa merupakan sistem yang
didalamnya terdapat subsistem yang secara bersama dan sinergis membentuk
bahasa. Bahasa yang dimaksud adalah bahasa yang digunakan sebagai sarana
komunikasi. Ia adalah stile, yaitu bahasa yang digunakan dalam konteks
penuturan tertentu. Stile disebut sebagai sistem. Subsistem stile adalah
subsistem bahasa. Artinya, komponen stile adalah komponen bahasa.
Unsur stile mencakup unsur bunyi, leksikal, struktur, bahasa figuratif
(pemajasan), sarana retorika, (penyiasatan struktur), citraan, serta kohesi.
Kajian terhadap stile sebuah teks dilakukan dengan menganalisis unsur stile

2
teks yang bersangkutan. Selain itu, teks-teks yang dikaji haruslah teks-teks
yang jelas konteksnya (Nurgiyantoro, 2017: 148-152).
1. Aspek Leksikal
a. Pentingnya Aspek Leksikal
Sebuah kata mendukung dan menghadirkan muatan makna.
Satuan arti yang menentukan struktur formal linguistik karya sastra
adalah kata (Slametmuljana via Pradopo, 2012: 48). Dalam rangka
mengkaji, menemukan, dan menjelaskan fungsi keindahan bahasa
dalam sebuah wacana, khususnya wacana sastra, peran kata cukup
signifikan. Maka, kajian penggunaan kata harus mendapat perhatian
yang cukup.
Aspek leksikal adalah satuan bentuk terkecil dalam struktur
sintaksis dan wacana. Kalimat dibangun dan dihadirkan lewat kata.
Demikian juga wacana yang dibangun dari kalimat, pada hakikatnya
juga dibangun lewat kata (Nurgiyantoro, 2017: 172). Pada definisi ini,
unsur leksikal yang dimaksud sama halnya dengan diksi, yaitu yang
mengacu pada penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih
pengarang untuk mencapai tujuan tertentu. Kata-kata pilihan itulah
yang digunakan untuk memanifestasikan perasaan, ide, dan
gagasannya yang masih abstrak untuk tujuan komunikasi.
Penggunaan kata dalam bahasa sastra berbeda dengan
penggunaan kata ragam bahasa ilmiah. Pada bahasa sastra, penggunaan
kata-kata kolokial, kata-kata yang secara struktur menyimpang, dan
campur aduk kata dari bahasa-bahasa lain tidak dipermasalahkan.
Penggunaan bentuk penyimpangan itu dapat ditoleransi asal jelas
fungsi dan ketepatan dalam rangka mencapai efek estetis
(Nurgiyantoro, 2017: 173).
Aspek kata dalam karya fiksi tidak terlalu dipentingkan.
Nurgiyantoro (2017: 180) mengemukakan bahwa fiksi dibangun oleh
banyak unsur cerita. Aspek kata hanya merupakan salah satu bagian
dari kompenen stile, dan stile hanya salah satu unsur dari fiksi yang

3
secara bersama menghadirkan cerita fiksi itu. Dalam teks fiksi,
terdapat penggunaan kata menyimpang, kolokial, kaya bahasa lain,
kata bentukan baru, menunjuk makna khusus, repetisi, dan lain-lain
sehingga teraktualisasikan, atau mengandung foregrounding. Kata-kata
yang demikian yang menjadi bahan kajian stile. Jadi, kajian aspek
leksikal dapat difokuskan pada kata-kata tertentu yang tampak
dominan mewarnai keindahan stile secara keseluruhan itu.
b. Kajian Stilistika Unsur Leksikal
Karakteristik aspek leksikal yang dijadikan fokus kajian dalam
analisis unsur leksikal seperti yang dikemukakan oleh Leech & Short
via Nurgiyantoro (2017: 183) dapat berupa kompleksitas kata;
keformalan kata; penyimpangan dari struktur kaidah bahasa baku;
berasal dari bahasa lain; dan arah makna kata yang ditunjuk dari kata
yang digunakan.
2. Aspek Gramatikal
Gramatikal dalam unsur stile ini adalah struktur sintaksis. Ramlan
(2005: 18) mengartikan sintaksis sebagai cabang dari ilmu bahasa yang
membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frase. Artinya,
dalam aspek gramatikal, kata-kata tidak dapat dideretkan begitu saja tanpa
mengikuti kaidah suatu bahasa. Makna sebenarnya dari suatu kata pasti
baru ditemukan jika berada dalam struktur kalimat atau wacana.
a. Pentingnya Aspek Gramatikal
Wujud struktur gramatikal adalah frase, klausa, dan kalimat.
Lewat kalimat itulah sebenarnya sebuah satuan makna, sebuah pokok
pikiran, terbentuk dan terkomunikasikan. Oleh karena itu, kalimat
dalam hal ini menjadi lebih penting daripada sekadar kata. Sebuah
gagasan atau pesan dapat diungkapkan dalam berbagai bentuk
kalimat.
Untuk menjadi kalimat yang bermakna, hubungan kata-kata
harus sesuai dengan kaidah yang berlaku. Secara teoretis, jumlah kata
dalam sebuah kalimat tidak dibatasi. Akan tetapi, kalimat yang

4
panjang (terdiri atas banyak kata) biasanya lebih sulit dipahami.
Kemudian, struktur kalimat yang sederhana juga akan mempermudah
pembaca untuk memahami maknanya. Dalam hal ini, struktur
sintaksis menjadi penting karena dapat dipandang sebagai salah satu
faktor penentu kelancaran komunikasi.
Aspek stile berwujud struktur sintaksis sering dikreasikan
sedemikian rupa agar penuturan menjadi menarik dan tidak
membosankan. Aspek struktur sintaksis banyak dijumpai dalam
berbagai teks untuk meraih efek keindahan, khususnya di sarana
retorika.
b. Kajian Stilistika Unsur Gramatikal
Kehadiran unsur gramatikal dalam teks dapat sedikit, banyak,
atau bahkan sangat banyak. Jika dalam prosa fiksi, kehadiran unsur
gramatikal tentu sangat banyak, lain halnya jika dengan puisi yang
biasanya berupa larik-larik pendek. Kajian terhadap unsur gramatikal
dapat dilakukan dengan penyampelan. Hal ini tentunya membutuhkan
bahan pertimbangan.
Pertama, dalam sebuah teks panjang, kita dapat mengambil
satu atau dua bab saja. Biasanya, bab tersebut akan mewakili stile
keseluruhan dalam teks. Jika terdapat perbedaan, tentu perbedaan itu
tidak banyak. Kedua, bab yang dijadikan sampel tersebut diamati
untuk ditemukan bagian yang tampak menonjol dan mewarnai stile
secara keseluruhan. Istilah mewarnai dimaknai sebagai memiliki
kualitas keindahan dan memiliki peran penting dalam mencapai efek
keindahan.
Berdasarkan fungsinya, dalam hubungan situasi, kalimat dapat
digolongkan menjadi tiga golongan, ialah kalimat berita, kalimat
tanya, dan kalimat perintah. Sejalan dengan teori tersebut, sebagai
fokus kajian, kegiatan analisis unsur gramatikal dapat dilakukan
terhadap aspek jenis kalimat yang digunakan. Jenis kalimat yang
yang digunakan dapat didasarkan pada berbagai hal. Dalam makalah

5
kali ini, kajian penggolongan kalimat akan difokuskan berdasarkan
langsung tidaknya sebuah penuturan dan juga fungsi kalimat.
Kalimat berdasarkan langsung tidaknya sebuah penuturan
tergolong menjadi dua, yakni kalimat langsung dan kalimat tidak
langsung. Kalimat langsung adalah kalimat yang menirukan ucapan
atau ujaran orang lain yang ditandai dengan adanya tanda petik (“...”)
yang dapat berupa kalimat berita, tanya, atau perintah. Kemudian,
kalimat tidak langsung adalah kalimat yang mmelaporkan ucapan atau
ujaran orang lain. Bagian kutipan kalimat langsung semuanya
berbentuk kalimat berita.
Selanjutnya, kalimat berdasarkan fungsinya seperti yang
dikemukakan oleh Ramlan (2005: 26) dalam hubungan situasi,
kalimat dapat digolongkan menjadi tiga golongan, ialah kalimat berita,
kalimat tanya, dan kalimat suruh. Kalimat berita atau deklaratif ialah
kalimat yang menyatakan sesuatu. Kalimat tanya atau interogatif
adalah kalimat yang mengandung makna pertanyaan. Selanjutnya,
kalimat suruh atau imperatif adalah kalimat yang mengandung makna
perintah atau larangan (Nurgiyantoro, 2017: 191).
3. Kohesi
Kohesi merupakan salah satu aspek teks yang membangun retorika
teks, baik dalam teks sastra maupun nonsastra. Dalam teks prosa fiksi,
kohesi bahkan sering dilihat sebagai semacam latar belakang yang secara
signifikan memengaruhi bentuk stile (Leech & Short, 2007 via
Nurgiyantoro, 2017: 194). Kohesi dapat dimaknai sebagai keterkaitan
antarunsur yang terdapat pada wacana baik yang ditunjukkan secara
implisit maupun eksplisi melalui hubungan logika. Sedangkan Koherensi,
dimaknai sebagai hubungan yang logis antarbagian struktur kalimat dan
wacana, kepaduan makna antarbagian dalam sebuah penuturan. Pada
pembahasa ini, akan dipaparkan katagori kohesi berupa kohesi rujuk silang
(cross-reference) dan sambungan (linkage).
a. Rujuk Silang

6
Rujuk silang memungkinkan terjadinya hubungan perkitan
antarkalimat dalam suatu wacana lewat pengulangan makna dan
pengulangan pengacuan. Pengulangan eksplisit terlihat mencolok
berupa bentuk pengulangan formal dan pengulangan sederhana sebuah
kata atau frasa. Kohesi berupa rujuk silang terdiri atas pengacuan,
substitusi, elipsis, pengulangan formal, dan variasi elegan.
Pengacuan ditandai oleh penggunaan bentuk kata ganti orang,
deiksis, dan penggunaan definite articles seperti the dalam bahasa
Inggris. Penggunaan kata ganti orang, seperti aku, dia, dan mereka.
Sedangkan penggunaan bentuk deiksis kata tunjuk ini dan itu yang
menunjuk sesuatu.
Substitusi adalah penggantian suatu bentuk struktur leksikal
dengan bentuk lain yang mengacu pada referen yang sama. Dalam
kaitannya dengan stile, penggantian tersebut dapat dipandang sebagai
variasi penuturan dengan cara lain untuk mencapai efek tertentu.
Elipsis, pengurangan atau penyingkatan satuan struktur
tertentu yang sudah disebutkan sebelumnya dengan hanya
menyebutkan sebagian kata atau satuan lain.
Pengulangan formal juga sering disebut pengulangan ekspresif
karena penggunaan bentuk ini mampu membangkitkan kesan
ekspresif. Gaya repetisi dan anafora dapat dijadikan contoh bentuk
pengulangan ekspresif tergantung dari sudut pandang mana bentuk itu
dilihat.
Variasi elegan merupakan bentuk pengulangan dengan
menggunakan kata-kata yang berbeda, tetapi mengacu pada referen
yang sama. Jadi, unsur yang divariasikan penuturannya lewat
penggantian dengan bentuk kesinoniman atau kesejajaran.
b. Kohesi sambungan
Kohesi sambungan adalah kohesi yang mempergunakan kata-
kata sambung tertentu untuk menghubungkan bagian-bagian kalimat
dan antarkalimat. Kata sambung yang dimaksud dapat berwujud dan

7
berfungsi sebagai preposisi atau konjungsi. Penggunaan berbagai
bentuk kohesi sambungan dalam teks dapat disiasati, didayakan, dan
dibuat bervariasi sehingga menghasilkan teks yang efektif.

4. Bahasa Figuratif (Pemajasan)


Pemajasan merupakan istilah lain dari bahasa figuratif. Pemajasan
(figurative language, figures of thought) merupakan teknik pengungkapan
bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya tidak menunjuk pda makna
harafiah kata-kata yang mendukungnya, melainkan makna tersirat
(Nurgiyantoro, 2017: 215). Dengan demikian, penggunaan majas
menyebabkan karya sastra menjadi menarik perhatian, menimbulkan
kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan
(Pradopo, 2012: 62). Berikut merupakan jenis-jenis pemajasan.
a. Majas Perbandingan
Majas perbandingan adalah majas yang membandingkan
sesuatu dengan sesuatu yang lain melalui ciri-ciri kesamaan antara
keduanya. Jadi, di dalamnya ada sesuatu yang dibandingkan dan
sesuatu yang menjadi pembandingnya. Kesamaan itu misalnya berupa
ciri fisik, sifat, sikap, keadaan, suasana, tingkah laku, dan sebagainya.
1) Simile
Nurgiyantoro (2017: 219) mengemukakan bahwa simile
adalah majas yang memergunakan kata-kata pembanding langsung
atau eksplisist untuk membandingkan sesuatu yang dibandingkan
dengan pembandingnya. Majas simile lazimnya mempergunakan
kata-kata tertentu yang berfungsi sebagai penanda keeksplesitan
pembandingnya, misalnya kata-kata seperti, bagai, bagaikan,
sebagai, laksana, mirip, bak, dan sebagainya.
Sejalan dengan pendapat di atas, Pradopo (2012: 62)
mengemukakan bahwa simile ialah bahasa kiasan yang
menyamakan satu hal dengan yang lain mempergunakan kata-kata

8
pembanding seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal,
seumpama, laksana, sepantun, penaka, se, dan kata-kata
pembanding lainnya. Penggunaan majas ini dapat dikatakan paling
sederhana dan paling banyak digunakan.

2) Metafora
Metafora adalah bentuk pembandingan antara dua hal yang
dapat berwujud benda, fisik, ide, sifat, atau perbuatan dengan
benda, fisik, ide, sifat, atau perbuatan lain yang bersifat implisit
(Baldick via Nurgiyantoro, 2017: 224). Hubungan antara sesuatu
yang dinyatakan pertama dan yang kedua hanya bersifat sugestif,
tidak ada kata-kata penunjuk pembandingan secara eksplisit.
Sesuatu yang dibandingkan berupa ciri-ciri fisik, sifat, keadaan,
aktifitas, atau sesuatu yang lain yang harus ditemukan untuk dapat
memahami makna.
Metafora melihat sesuatu dengan perantara benda yang lain.
Metafora menyatakan sesuatu sebagai suatu yang sama atau
seharga dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama
(Altenbernd via Pradopo, 2012: 66). Metafora terdiri dari dua term
atau dua bagian, yaitu term pokok, dan term kedua. Sering kali
penyair langsung menyebutkan term kedua tanpa menyebutkan
term pokok.
3) Personifikasi
Personifikasi merupakan bentuk pemajasan yang memberi
sifat –sifat benda mati dengan sifat-sifat kemanusiaan. Artinya,
sifat yang diberikan itu sebenarnya hanya dimiliki oleh manusia
dan tidak untuk benda-benda atau makhluk nonhuman yang tidak
bernyawa dan tidak berakal. Dalam majas personifikasi berbagai
benda dan makhluk nonhuman diberi karakter human. Maka, benda
atau makhluk itu dapat bersikap dan bertingkah laku seperti
manusia.

9
4) Alegori
Alegori adalah sebuah cerita kiasan yang maknanya
tersembunyi pada makna literal. Alegori mengandung dua makna
yaitu makna literal, makna yang secara langsung ditunjuk oleh
teks, dan makna yang sebenarnya dimaksudkan, makna
tersembunyi yang perlu ditafsirkan (Baldick via Nurgiyantoro,
2017: 240). Alegori adalah cerita kiasan ataupun lukisan kiasan.
cerita kiasan ataupun lukisan kiasan ini mengiaskan hal lain atau
kejadian lain (Pradopo, 2012: 71).
5) Majas Pertautan
Majas pertautan adalah majas yang didalamnya terdapat
unsur pertautan, pertalian, penggantian, atau hubungan yang dekat
antara makna yang sebenarnya dimaksudkan dan apa yang secara
konkret dikatakan oleh pembicara. Artinya, makna yang
sebenarnya juga bukan makna literal, melainkan dicari dari
pertautannya (Nurgiyantoro, 2017: 243).
 Metonimi
Majas metonimi merupakan sebuah ungkapan yang
menunjukkan adanya pertautan atau pertalian yang dekat antara
kata-kata yang disebut dan makna yang sesungguhnya. Majas ini
lazimnya berwujud penggantian sesuatu dengan sesuatu yang
lainnya yang masih berkaitan. metonimi dalam bahasa
Indonesiasering disebut kiasan pengganti nama. Bahasa ini
berupa penggunaan atribut sebuah objek atau penggunaan
sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk
menggantikan objek tersebut (Altenbernd via Pradopo, 2012:
77).
 Sinekdoki
Majas sinekdoki adalah sebuah ungkapan dengan cara
menyebut bagian tertentu yang penting dari sesuatu untuk
sesuatu itu sendiri. Sinekdoki ini terdiri dari dua macam yaitu,

10
pars pro toto (sebagian untuk keseluruhan), dan totum pro parte
(keseluruhan untuk sebagian).
5. Penyiasatan Struktur
Penyiasatan struktur adalah istilah lain dari sarana retorika.
Kehadiran penyiasatan struktur akan memperindah penuturan teks yang
bersangkutan dan bagian dari stile sebuah penuturan yang bermain di
ranah struktur. Penyiasatan struktur dimaksudkan sebagai struktur yang
sengaja disiasati, dimanipulasi, dan didayakan untuk memperoleh efek
keindahan (Nurgiyantoro, 2017:245).
Pradopo (2012, 93-94) menunjukkan bahwa sarana retorika itu
sendiri oleh Altenbernd dipandang sebagai sarana kepuitisan yang berupa
muslihat pikiran Hal tersebut sengaja dimunculkan untuk menarik
perhatian pembaca. Beberpa bentuk stile yang digunakan untuk
menganalisis cerpen Peradilan Rakyat karya Putu Wijaya adalah
penyiasatan struktur jenis repetisi, yaitu repetisi dan paralelisme, serta
penyiasatan struktur jenis pengontrasan, yaitu hiperbola dan ironi dan
sarkasme.
a. Repetisi
Gaya repetisi mengandung unsur pengulangan pada kata-kata
atau frase tertentu untuk menekankan dan menegaskan pentingnya
sesuatu yang dituturkan. Kata atau kelompok kata yang diulang dalam
bentuk repetisi bisa terdapat dalam satu kalimat atau lebih, berada
pada posisi awal, tengah, akhir, atau di tempat yang lain.
b. Paralelisme
Gaya paralelisme menunjuk pada pengertian penggunaan
bentuk, bagian-bagian kalimat, atau kalimat yang mempunyai
kesamaan struktur gramatikal (struktur kata, frase, atau kalimat) dan
menduduki fungsi yang kurang lebih sama secara berurutan.
Penggunaan bentuk paralelisme lazimnya dimaksudkan untuk
menekankan adanya kesejajaran bangun struktur yang menduduki
posisi yang sama dan mendukung gagasan yang sederajat.

11
c. Hiperbola
Gaya hiperbola dipakai dengan maksud melebih-lebihkan sesuatu
yang dimaksudkan dengan membandingkan keadaan yang sebenarnya
untuk menekankan penuturannya. Ungkapan yang menggunakan gaya
hiperbola dapat membangkitkan imajinasi pembaca karena
menggunakan efek yang berbeda dari cara-cara penuturan yang telah
menjadi biasa.

d. Ironi dan Sarkasme


Gaya ironi dan sarkasme menampilkan sesuatu yang bermakna
kontras. Gaya ini lebih bersifat ironis yang dimaksudkan utnuk
menyindir, mengkritik, mengecam, dan lainnya yang sejenis.
6. Citraan
a. Hakikat Citraan
Citraan merupakan kumpulan citra, the collection of image, yang
digunakan untuk menuliskan objek dan kualitas tanggapan indra yang
dipergunakan dalam karya sastra, baik dengan deskripsi secara harfiah
maupun kias (Abrams via Nurgiyantoro, 2017: 276). Ketika kita membaca
atau mendengar kata atau ungkapan yang mengandung unsur citraan, ada
reproduksi mental di rongga imajinasi yang menunjukkan adanya
gambaran konkret dari suatu objek.
Usaha pengonkretan sesuatu yang abstrak menjadi konkret lewat
bentuk citraan, tidak berbeda hanya dengan pendayaan pemajasan dan
penyiasatan struktur, adalah sebuah upaya untuk lebih mengefektifkan
penuturan itu. Penggunaan bentuk citraan membuat sesuatu yang
dituturkan menjadi lebih konkret. Maka, penggunaan itu pada hakikatnya
merupakan upaya pengarang untuk memfasilitasi pembaca agar lebih
mudah menangkap muatan makna dari apa yang disampaikan.
b. Macam-macam Citraan
Pradopo (2012) menyebut citraan sebagai imaji (gambaran-gambaran
angan). Citraan dihasilkan oleh indera penglihatan, pendengaran, perabaan,

12
pencecapan, dan penciuman. Bahkan juga diciptakan oleh pemikiran dan
gerakan.
1) Citraan Penglihatan
Citraan ini timbul oleh penglihatan. Pradopo (2012: 81) menyebut
citraan ini paling sering digunakan oleh penyair dibanding citraan yang
lain. Citraan ini memberi rangsangan kepada indera penglihatan, hingga
hal-hal tidak terlihat seolah-olah menjadi terlihat.

2) Citraan Pendengaran
Citraan pendengaran erat kaitannya dengan indera pendengaran,
yaitu telinga. Citraan ini terkait usaha pengonkretan bunyi-bunyi tertentu.
Bunyi-bunyi tersebut dapat dideskripsikan secara verbal maupun
ditirukan, sehingga pembaca seolah-olah dapat mendengar bunyi tersebut.
3) Citraan Gerak
Citraan gerak (movement imagery) menggambarkan sesuatu yang
sesungguhnya tidak bergerak, tetapi dilukiskan dapat bergerak, atau
gambaran gerak pada umumnya. Citraan ini membuat hidup dan
gambaran menjadi lebih dinamis. Citraan gerak dapat berupa aktivitas
maupun gerak motorik.
4) Citraan Rabaan
Citraan ini merupakan citraan yang jarang dipakai jika
dibandingkan citraan lainnya. Hanya beberapa kali saja ditemukan.
5) Citraan Penciuman
Citraan ini juga jarang digunakan sebagaimana citraan rabaan.
Secara fungsi, memang citraan ini (dan citraan rabaan) tidak begitu
penting jika dibandingkan dengan tiga citraan lain yakni, penglihatan,
pendengaran, dan gerak. Jika dicari dalam karya sastra, baik citraan
penciuman maupun rabaan akan jarang ditemukan.

13
BAB III
HASIL KAJIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Kajian
Hasil kajian cerpen Peradilan Rakyat karya Putu Wijaya mencakup
pemunculan aspek leksikal, aspek gramatikal, aspek kohesi, pemajasan,
penyiasatan struktur, dan citraan. Berikut data analisis cerpen tersebut.

Tabel 1. Pemunculan Aspek Leksikal pada Cerpen Peradilan Rakyat


Pemunculan
No. Jenis Aspek Leksikal Keterangan
Frekuensi Persentase
1 Kata yang menunjuk 14 93,3 Lihat Lampiran
makna khusus
2 Kata dari bahasa lain 1 6,67 Lihat Lampiran
Total 14 100

Tabel Pemunculan Aspek Gramatikal pada Cerpen Peradilan Rakyat

Tabel 2.1. Jenis Kalimat Berdasarkan Langsung Tidaknya Penuturan


Pemunculan
Jenis
No. Persentas Keterangan
Kalimat Frekuensi
e
1. Kalimat 151 70,56 Dominan muncul kalimat
Langsung langsung melalui percakapan
tokoh-tokohnya.
2. Kalimat 63 29,44 Kalimat tidak langsung tetap
Tidak muncul sebagai deskripsi, baik
Langsung tokoh, latar, perilaku, dan
sebagainya.
Total 214 100

Tabel 2.2. Jenis Kalimat Berdasarkan Fungsi


Pemunculan
Jenis
No. Persentas Keterangan
Kalimat Frekuensi
e
Kalimat deklaratif yang muncul
Kalimat memiliki fungsi yakni untuk
1. 175 81,78
Deklaratif memberitahukan sesuatu kepada
pihak lain.

14
Kalimat-kalimat interogatif yang
Kalimat
2. 26 12,15 muncul diutarakan antartokoh
Interogatif
untuk membangun emosi.
Kalimat-kalimat ini kurang
Kalimat
3. 13 6,07 menambah warna bagi
Imperatif
keseluruhan teks cerpen.
Total 214 100

Tabel 3. Pemunculan Aspek Kohesi pada Cerpen Peradilan Rakyat


Pemunculan
No. Aspek Kohesi Keterangan
Frekuensi Persentase
Lihat
a. Pengacuan 141 90,38
Lampiran
Lihat
b. Substitusi 3 1,92
Rujuk Lampiran
1
Silang Lihat
c. Elipsis 10 6,41
Lampiran
d. Pengulangan Lihat
2 1,28
Formal Lampiran
Lihat
2 Sambungan 190 100
Lampiran

Tabel 4. Pemunculan Aspek Pemajasan pada Cerpen Peradilan Rakyat

Jenis Aspek Pemunculan


No. Fungsi
Pemajasan Keterangan
Fre- Persen
kuensi -
tase
1 Majas Perbandingan
a. Simile 5 50 1) perbandingan Pada cerpen Peradilan
secara eksplisit Rakyat simile menjadi
2) membangkitkan aspek pemajasan yang
daya tanggap paling dominan hadir.
3) membangkitkan Menggunakan kata
asosiasi bagai, bagaikan,
pembaca untuk seperti, dan sebagai
mencapai yaitu unsur
makna tersirat konstruksional
perbandingan
langsung. Contohnya
“seperti macan
ompong”.
b. Metafora 1 10 1) perbandingan contohnya raja
secara implisit penjahat
2) membangkitkan
suasana cerita
3) yang abstrak
menjadi konktet
4) suasana mejadi

15
tampak terlihat,
terdengar,
terasakan, dan
terbayangkan
3. c. Personifikasi 1 10 1) mengedepankan
gagasan
2) menghidupkan
contohnya susaranya
dan
yang empuk
3) mendramatiskan
keseluruhan
puisi
d. Depersonikfikasi 1 10 suasana mejadi membendakan
tampak terlihat, manusia. Contoh
terdengar, mereka terbakar dan
terasakan, dan mengalir agai lava
terbayangkan panas
2 Majas 2 20 1) menimbulkan
Perumpamaan reaksi sifat manusia dengan
emosional simbol binatang.
2) menunjukkan contohnya singa lapar
karakter tokoh

Tabel 5. Pemunculan Aspek Penyiasatan Struktur pada Cerpen Peradilan


Rakyat
Pemunculan
Aspek Penyiasatan
No. Fre- Persen Fungsi Keterangan
Struktur
kuensi -tase
a. Repetisi 1) menekankan aspek yang
dan paling dominan
menegaskan dalam cerpen
tuturan Peradilan
2) menunjukkan Rakyat. Cerpen
pentingnya tersebut berisi
tokoh perdebatan dan
24 51 3) agar pembaca pertentangan,
mendalami sehingga repitisi
cerita menjadi
Repe-
1. memperjelas dominan
tisi
suasana dan sebagai bentuk
konflik penekanan-
penekanan
tuturan.
b. 1) mempermudah aktivitas sejajar
Paralel pemahaman yang
isme pembaca memperkuat
7 15
2) memperkuat karakter tokoh
karakter tokoh
utama
2. Pengo a. Hiperbo- 15 32 1) bernilai estetis contohnya
ntrasa la 2) membangkitkan pencarian
n imaji pembaca keadilan yang

16
kalau perlu
dingin dan beku
b. Ironi menyindir,
dan 1 2 mengkritik, lihat lampiran
Sarkasme mengecam

Tabel 6. Pemunculan Aspek Citraan pada Cerpen Peradilan Rakyat


Jenis Pemunculan
No. Frekuensi Persentase Fungsi Keterangan
Citraan
Pendengara citraan yang paling
1. 16 24 1) Gambaran
n dominan
watak dan
karakter contohnya suara
2. Penglihatan 31 47 2) Menghidupkan yang tenang dan
suasa dan agung
contohnya
3. Gerak 19 29 konflik
mengelus jenggot

B. Pembahasan
1. Aspek Leksikal
a. Kata yang berupa istilah dari bahasa daerah
Salah satu aspek leksikal yang muncul dalam cerpen Peradilan
Rakyat karya Putu Wijaya adalah aspek kata yang berupa istilah dari
bahasa daerah. Ketepatan penggunaan kata yang berupa istilah dari bahasa
daerah bertujuan untuk menghadirkan aspek sosial penggunaan bahasa
masyarakat tertentu. Pengarang turut mengadirkan istilah dari bahasa
daerah dalam cerpen Peradilan Rakyat, seperti dalam kutipan berikut.
Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba
memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun
sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.
(Peradilan Rakyat, 2006: 1)
Penggunaan kata ompong dalam konteks kalimat tersebut tersebut
menghadirkan perumpamaan. Kata ompong dalam bahasa Jawa berarti
tidak bergigi karena giginya sudah ada yang tangga. Kata ompong dipilih
sebagai penjelas dari pereumpaan yang disampaikan pengarang. Dengan
demikian, penggunaan kata ompong dikatakan tepat. Kemudian, tidak
ditemukan penggunaan kata lainnya yang berasal dari bahasa daerah dalam

17
cerpen ini. Jadi, dapat dikatakan bahwa penggunaan kata yang berupa
istilah dari bahasa daerah dalam cerpen ini hanya sedikit ditemukan.
b. Kata yang menunjuk makna khusus
Kata yang mengarah pada makna khusus terdapat pula dalam
cerpen Peradilan Rakyat karya Putu Wijaya. Ketepatan penggunaan aspek
kata yang mengarah makna khusus bertujuan untuk menghadirkan kesan
hidup dalam kata yang digunakan. Kemudian penggunaan makna yang
merunjuk pada makna khusus ditujukan untuk menghindari penggunaan
kata yang monoton.
"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi
ini."
...
"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani,
kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan
kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak
seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan
tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di
luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh
kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu
diberhalakannya.
(Peradilan Rakyat, 2006: 1)
Kata “ujung tombak” dalam bahasa Indonesia memiliki arti bagian
kepala tombak yang runcing. Akan tetapi, dalam konteks yang ada dalam
cerita tersebut, “ujung tombak” memiliki arti bahwa pengacara muda
berperan sebagai pasukan, pemain, dan sebagainya yang berada di baris
paling depan dan menjadi penggerak utama. Kata “dicabik-cabik” yang
berarti koyak-koyak, robek-robek, serta sobek-sobek, dalam konteks cerita
di atas, memiliki arti bahwa negeri tempat tinggal si pengacara telah
menjadi negeri yang mengalami permasalahan beruntut kasus korupsi tiada

18
henti yakni diungkapkan sebgai negeri yang “dicabik-cabik” korupsi.
Selain itu, kata “berdagang” yang berarti berjual beli, dalam konteks
tersebut “berdagang” didefinisikan sebagai kondisi pengacara masa kini
yang salah persepsi menjadi mengomersialkan profesi pengacara yang
dimiliki. Terakhir, kata “meninjak-injak” yang berarti meletakkan kaki
pada (memijak), pada konteks kalimat tersebut bermakna sebagai
meposisikan keadilan di tempat terbawah.
Penggunaan kata ujung tombak menghadirkan kesan kehebatan,
kemudian kata dicabik-cabik, berdagang dan menginjak-injak,
menghadirkan efek parahnya kondisi yang sebnarnya terjadi di cerpen
tersebut. Penggunaan kata tersebut tepat, dapat mendukung jalannya cerita
tentang keadaan negeri maupun peradilan yang mengangkat perjuangan
tokoh pengacara muda dalam menyelesaikan kasusnya. Selain itu,
penggunaan kata-kata tersebut mampu memperkaya nilai estetis yang ada
dalam cerpen Peradilan Rakyat karya Putu Wijaya tersebut.

2. Aspek Gramatikal
a. Kalimat Langsung dan Tidak Langsung
Penggunaan kalimat langsung dan tidak langsung dapat dipastikan
hadir di setiap teks. Di dalam cerpen Peradilan Rakyat, Putu Wijaya
dominan menyajikan kalimat langsung melalui percakapan tokoh-
tokohnya. Hal ini dapat terjadi, karena terdapat banyak dialog antartokoh
yang ingin ditekankan untuk mengutarakan pemikiran tokoh tanpa
mengubahnya menjadi kalimat langsung melalui pengarang. Selain kalimat
langsung, kalimat tidak langsung juga dihadirkan dalam cerpen tersebut.
Terdapat 63 kalimat tidak langsung dalam cerpen Peradilan Rakyat
tersebut.Kalimat tidak langsung pertama yang ditemukan adalah sebagai
berikut.
Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang
pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.
(Peradilan Rakyat, 2006: 1)

19
Kalimat tersebut tidak mendeskripsikan pemikiran tokoh, tetapi
mengahadirkan pengatar cerita. Pada kalimat tersebut,
terdapat gambaran mengenai awal cerita yang dimulai dengan datangnya
seorang tokoh yakni pengacara muda kepada ayahnya. Dalam kalimat
tersebut, penggunaan kalimat tidak langsung dinilai cocok. Pada bagian
ini, kalimat tidak langsung berperan untuk menggambarkan aktivitas
tokoh dalam cerpen. Dari kalimat tersebut, akan diketahui bahwa
pengacara muda mendatangi ayahnya, yakni pengacara senior.
Adapun kalimat yang mendominasi adalah kalimat langsung.
Jenis kalimat tersebut muncul sebanyak 151 kalimat langsung. Dominasi
kalimat langsung dalam cerpen ini dapat digambarkan melalui beberapa
contoh berikut.
Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik
korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
(Peradilan Rakyat, 2006: 1)
"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau
berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."
(Peradilan Rakyat, 2006: 2)
"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang
profesional."
"Tapi..."
(Peradilan Rakyat, 2006: 7)
b. Kalimat Berdasarkan Tujuan: Deklaratif, Imperatif, Interogatif
Jenis kalimat berdasarkan tujuan didominasi oleh kalimat deklaratif
atau kalimat berita yang berjumlah 175 kalimat. Sebagaimana
dikemukakan Suhardi (2013: 95), kalimat berita berfungsi untuk
memberitahukan sesuatu kepada pihak lain hingga diperoleh tanggapan

20
yang berupa perhatian atau pemahaman. Di dalam cerpen Peradilan
Rakyat, kalimat berita atau deklaratif yang muncul juga memiliki fungsi
yang sama, yakni untuk memberitahukan sesuatu kepada pihak lain.
Adapun contoh kalimat deklaratif dalam cerpen tersebut sebagai berikut.
Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata
yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia
memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya.
Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan
sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.
(Peradilan Rakyat, 2006: 7)
Kemudian, jenis kalimat paling sedikit ditemukan adalah kalimat
imperatif atau kalimat perintah. Penulis hanya menyajikan tiga belas
kalimat perintah. Dengan minimnya jumlah tersebut, kalimat ini kurang
menambah warna bagi keseluruhan teks cerpen. Kalimat tersebut
contohnya sebagai berikut.
“Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan
menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah
sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat
diperlukan oleh bangsamu ini."
(Peradilan Rakyat, 2006: 2)
Hal yang berbeda justru ditemui dari kalimat interogatif.
Kemunculan kalimat ini mencapai 26 kali. Meskipun tidak sebanyak
kalimat deklaratif, kalimat interogatif mampu memberikan berbagai
variasi pada isi teks cerpen tersebut. Kalimat-kalimat interogatif yang
muncul diutarakan antartokoh untuk membangun emosi. Beberapa kali
kalimat interogatif tersebut diucapkan seorang tokoh pengacara muda
kepada pengacara tua. Kalimat-kalimat interogatif ini justru
menimbulkan konflik-konflik yang mewarnai isi cerita, seperti yang ada
dalam kutipan berikut.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena
takut, bukan?"
"Bukan! Kenapa mesti takut?!"

21
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah
sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"
"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan
membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
(Peradilan Rakyat, 2006: 5-6)
Pemunculan masalah tersebut menggunakan kalimat tanya
seakan-akan membuat pembaca turut berada dalam situasi percakapan
dalam kalimat interogatif tersebut. Maka dapat disimpulkan, kalimat
tanya tersebut sengaja dihadirkan sebagai pemicu pembaca untuk
memaknai teks cerpen tersebut. Artinya, melalui kalimat-kalimat
interogatif, akan jelas apa yang dipikirkan tokoh dari permasalahan yang
dialami.

3. Kohesi
Hasil kajian stilistika pada aspek kohesi dalam cerpen Peradilan
Rakyat menunjukkan adanya penggunaan kohesi rujuk silang dan sambung.
Adanya pendayaan kohesi pada cerpen tersebut membuat efek keindahan teks
di dalamnya dapat tercapai. Jenis kohesi rujuk silang yang digunakan dalam
cerpen Peradilan Rakyat ialah kohesi jenis pengacuan, substitusi, elipsis, dan
pengulangan formal. Masing-masing pendayagunaan tersebut memiliki
kegunaan dan maksud tertentu.
a. Kohesi Pengacuan
Aspek kohesi rujuk silang jenis pengacuan ditemukan paling
banyak dalam teks. Pendayagunaan kohesi pengacuan di antaranya
ditandai dengan adanya penggunaan kata ganti orang, kata tunjuk, dan kata

22
penunjuk tempat dan waktu. Selain itu, kohesi jenis pengacuan ini adalah
jenis kohesi yang paling dominan ditemukan dalam teks, yaitu sebesar dua
ratus dua buah. Hal tersebut dapat dibuktikan dari beberapa contoh berikut.
Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya,
seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.
"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku
datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan
keadilan di negeri yang sedang kacau ini." Pengacara tua yang bercambang
dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi
rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung. "Apa yang
ingin kamu tentang, anak muda?" Pengacara muda tertegun. "Ayahanda
bertanya kepadaku?" "Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi
kamu sebagai ujung tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang
dicabik-cabik korupsi ini."
(Peradilan Rakyat, 2006: 1)
Kata ganti orang pertama, aku, menjelaskan bahwa penutur, yaitu
tokoh ayah, memiliki status sosial yang setara dengan lawan tutur, yaitu
tokoh anaknya. Bentuk tersebut dipergunakan untuk mengungkapkan
keakraban atau keeratan antar tokoh.
Selain itu, penggunaan bentuk lain kata ganti orang ketiga yang
terdapat dalam cerpen Peradilan Rakyat adalah mereka, dia dan –nya yang
masing-masing merujuk atau mengacu pada sesuatu yang terkait.
Penggolongan kata ganti orang ketiga dalam teks dibagi atas dua jenis,
yaitu kata ganti orang ketiga tunggal (dia dan –nya) dan kata ganti orang
ketiga jamak (kami dan mereka).
Kohesi pengacuan bentuk lain, yaitu kata tunjuk dan kata penunjuk
tempat juga digunakan dalam cerpen Peradilan Rakyat. Berikut contoh
yang disajikan.
Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya
membacakan beritaberita keganasan yang merebak di seluruh wilayah
negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara
besar itu.
(Peradilan Rakyat, 2006: 8)

23
Kata tunjuk itu dalam contoh percakapan pertama di atas merujuk pada
makna pengacara tua.
b. Kohesi Substitusi
Aspek kohesi rujuk silang jenis substitusi ditemukan dalam teks
sebanyak tiga buah. Pendayagunaan kohesi substitusi di antaranya ditandai
dengan penggantian suatu bentuk leksikal atau struktur dengan bentuk lain
yang mengacu pada referen yang sama. Hal tersebut dapat dibuktikan dari
contoh berikut.
Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan
yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat.
(Peradilan Rakyat, 2006: 1)
Contoh di atas menyatakan adanya penggunaan aspek kohesi
substitusi, yaitu pada kalimat yang dicetak tebal. Kalimat “pencuri-
pencuri keadilan” adalah penggantian suatu bentuk leksikal dengan
bentuk yang yang mengacu pada referen yang sama, yaitu pejabat yang
berkorupsi. Penggantian tersebut digunakan sebagai variasi penuturan
dengan cara lain untuk mencapai efek keindahan dan keefektifan. Selain
itu, penggantian tersebut dimaksudkan untuk memperkuat latar suasana
yang terjadi.
c. Kohesi Elipsis
Aspek kohesi rujuk silang jenis elipsis ditemukan dalam teks
sebanyak sepuluh buah. Pendayagunaan kohesi elipsis di antaranya
ditandai dengan pengurangan atau penyingkatan satuan struktur tertentu
yang sudah disebutkan sebelumnya dengan hanya menyebut sebagian
kata atau satuan yang lain. Hal tersebut dapat dibuktikan dari contoh
berikut.
Itu pujian atau peringatan?
(Peradilan Rakyat, 2006: 5)
Kata yang dicetak tebal di atas merupakan wujud efisiensi
berbahasa, karena menghindari pengulangan suatu bentuk yang sama,
sehingga menjadi lebih efektif. Kata itu digunakan untuk melesapkan

24
kalimat sebelumnya atau mengacu pada makna kalimat sebelumnya. Hal
tersebut digunakan agar penuturannya lebih efektif dan menghindari
pengulangan suatu bentuk yang sama, sehingga menghindari kebosanan
pembaca.
d. Kohesi Pengulangan Formal
Aspek kohesi rujuk silang jenis pengulangan formal ditemukan
dalam teks sebanyak dua buah. Pendayagunaan kohesi pengulangan
formal di antaranya ditandai dengan penuturan yang seolah-olah terlontar
secara secara serta merta, menekankan makna, dan memperkuat
paralelisme kalimat. Hal tersebut dapat dibuktikan dari contoh berikut.
Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh
berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari
pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya
akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus
mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang
profesional.
(Peradilan Rakyat, 2006: 5)
Contoh di atas menggambarkan pendayagunaan kohesi
penggunaan formal. Kata kamu atau –mu diulang-ulang dalam awal
kalimat, tengah kalimat, dan akhir kalimat untuk memperkuat sifat
paralelistis kalimat. Selain itum penekanan makna dan kesan ekspresif
dapat ditunjukkan pada contoh di atas, jika tokoh aku merupakan tokoh
yang mendominasi cerita atau sebagai penggambaran dari kehidupan
tokoh utama.
e. Kohesi Sambungan
Aspek kohesi bentuk lain yang ditemukan dalam teks adalah
kohesi sambungan yang ditemukan sebanyak seratus sembilan puluh
buah. Pendayagunaan kohesi sambungan di antaranya ditandai dengan
penggunaan kata-kata sambung untuk menghubungkan bagian-bagian
antar kalimat dan antar kalimat dalam sebuah teks. Hal tersebut dapat
dibuktikan dari contoh berikut.

25
Aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin
menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini. (hlm 1)
(Peradilan Rakyat, 2006: 8)
Contoh di atas menunjukkan adanya pendayagunaan kohesi
sambungan yang terlihat pada kata yang, akan, dan, dan dengan. Kata
penghubung yang pada contoh di atas digunakan sebagai penanda
hubungan makna penerang, karena klausa bawahan menerangkan salah
satu unsur yang terdapat pada klausa inti. Kata penghubung dengan pada
contoh di atas memiliki hubungan makna cara, yaitu klausa bawahan
menyatakan bagaiman perbuatan yang disebutkan dalam klausan inti itu
dilakukan atau bagaimana peristiwa yang disebutkan dalam klausa inti itu
terjadi. Kata tugas dan sebagai penambahan antarunsur dan makna yang
dikemukakan. Oleh karena itu, kohesi sambungan berfungsi sebagai
pengait dan penghubung antar bagian-bagian kalimat atau antar kalimat
dalam teks di atas, sehingga dapat memberikan efek keindahan tertentu.

4. Pemajasan
Kajian cerpen berjudul Peradilan Rakyat karya Putu Wijaya ditemukan
bahwa pengarang menggunakan unsur pemajasan dalam menyajikan cerita. Majas
yang digunakan dalam cerpen Peradilan Rakyat karya Putu Wijaya mencakup
beberapa majas perbandingan seperti majas personifikasi, metafora, dan simile.
Selain itu, ditemukan pula majas perumpamaan. Penggunaan majas ditujukan
untuk mencapai efek keindahan teks yang bersangkutan. Adanya unsur kekhasan,
ketepatan, penyimpangan, dan kebaruan pemilihan bentuk-bentuk pengungkapan
yang kesemuanya itu ditentukan oleh kemampuan imajinasi dan kreativitas
pengarang dalam menyiasati gagasan dan bahasa, yang akan menentukan
keefektifan wacana yang dihasilkan.
a. Simile
Majas perandingan jenis simile dalam Cerpen Peradilan Rakyat karya
Putu Wijaya ditandai dengan adanya bentuk perbandingan yang bersifat
eksplisit, yang ditandai oleh pemakaian unsur konstruksional semacam kata

26
seperti, sebagai, bagai, bagaikan. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam contoh
berikut.
"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan,"
sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati
juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan
diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku,
mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu
sangat diperlukan oleh bangsamu ini."
Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba
memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun
sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.
(Peradilan Rakyat, 2006: 2-5).
Majas perandingan jenis simile pada contoh di atas yang terlihat dalam
ungkapan hanya bagaikan mata air, bagai suara alam, seperti macan ompong ,
merupakan sebuah penggambaran dengan cara menunjukkan bentuk
perbandingan langsung atau eksplisit dengan tujuan lebih dibangkitkan daya
tanggap pembaca. Selain itu, penggunaan simile pada contoh, bertujuan agar
asosiasi pembaca menjadi bekerja untuk mencapai makna yang tersirat dibalik
ungkapan tersebut.
b. Metafora
Majas perandingan jenis metafora dalam Cerpen Peradilan Rakyat
karya Putu Wijaya ditandai dengan adanya bentuk perbandingan yang bersifat
implisit, yakni tersembunyi di balik ungkapan harfiahnya. Hal tersebut dapat
dibuktikan dalam contoh berikut.
Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan
gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan
kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan
kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke
mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan
mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster
raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru.
Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi

27
mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak
menggulingkan pemerintahan yang sah.
(Peradilan Rakyat, 2006: 7).
Majas perandingan jenis metafora pada contoh di atas yang terlihat
dalam ungkapan hanya raja penjahat, merupakan sebuah penggambaran dengan
cara menunjukkan bentuk perbandingan secara imlisit atau tersirat dengan
tujuan menghadapkan pembaca pada suasana dalam cerita. Selain itu,
penggunaan metafora pada contoh, bertujuan sesuatu yang semula bersifat
abstrak dan suli ditangkap, menjadi konkret dan mudah dipahami karena
seperti tampak terlihat, terdenganr, atau terasakan dan terbayangkan.
c. Personifikasi
Majas pemanusiaan atau personifikasi dalam Cerpen Peradilan Rakyat
karya Putu Wijaya ditandai dengan adanya pemberian sifat-sifat manusia pada
suatu hal. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam contoh berikut.
Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang
merebak diseluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata
menetes di pipi pengacara besar itu.
(Peradilan Rakyat, 2006: 8).
Majas personifikasi pada contoh di atas yang terlihat dalam ungkapan
hanya suaranya yang empuk, merupakan sebuah penggambaran dengan cara
pemberian sifat-sifat atau ciri-ciri manusia kepada benda-benda mati,
binatang atau gagasan dengan tujuan membangkitkan daya saran puisi
sehingga gagasan yang dikomusikasikan mengedepan. Selain itu, penggunaan
personifikasi pada contoh, bertujuan membuat keseluruhan puisi menjadi
sangat hidup dan dramatik.
d. Depersonifikasi
Majas pemanusiaan jenis depersonifikasi dalam Cerpen Peradilan
Rakyat karya Putu Wijaya ditandai dengan mengandaikan manusia atau segala
hal yang hidup, bernyawa, sebagai benda-benda mati yang kaku dan beku. Hal
tersebut dapat dibuktikan dalam contoh berikut.

28
Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan
gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan
kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan
kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke
mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar
dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-
poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru.
Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi
mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak
menggulingkan pemerintahan yang sah.
(Peradilan Rakyat, 2006: 7).
Majas pemanusiaan jenis depersonifikasi pada contoh di atas yang
terlihat dalam ungkapan mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ,
merupakan sebuah penggambaran dengan cara menunjukkan manusia yang
merupakan benda hidup diberi sifat mati, kaku, dan beku dengan tujuan
menghadapkan pembaca pada suasana dalam cerita tampak terlihat, terdengar,
atau terasakan dan terbayangkan.
e. Perumpamaan
Majas perumpamaan dalam Cerpen Peradilan Rakyat karya Putu
Wijaya ditandai dengan adanya bentuk pengandaian sifat manusia dengan
sebuah simbol binatang. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam contoh berikut.
"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu
kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan
perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang
kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang
cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji
ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran
yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu
masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di
sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku
memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang
di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah

29
membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari
buku itu."
( Peradilan Rakyat, 2006: 1).
Majas perumpamaan pada contoh di atas yang terlihat dalam
ungkapan singa lapar, merupakan sebuah penggambaran dengan cara
menunjukkan pemberian pengandaian dengan sifat suatu binatang dengan
tujuan menimbulkan reaksi emoisonal dan intelektual pembaca. Selain itu,
penggunaan perumpamaan pada contoh, bertujuan menunjukkan masing-
masing karakter tokoh yang terkait erat dengan latar belakang sosial
budayanya.

5. Penyiasatan Struktur
Penyiasatan struktur yang muncul pada cerpen Peradilan Rakyat karya
Putu Wijaya adalah repetisi, dan pengontrasan. Aspek penyiasatan jenis
repetisi yang muncul dalam cerpen Peradilan Rakyat sebanyak 24 kali dan
jenis paralelisme yang muncul sebanyak tujuh kali. Selain itu, jenis
pengontrasan, yaitu hiperbola muncul sebanyak lima belas kali dan jenis ironi
dan sarkasme muncul sebanyak satu kali. Setiap pemunculan dari masing-
masing jenis penyiasatan struktur digunakan untuk memeroleh efek keindahan.
a. Repetisi
Penyiasatan struktur jenis repetisi dalam cerpen Peradilan Rakyat
karya Putu Wijaya mengandung unsur pengulangan dengan kata-kata atau
frase untuk menekankan dan menegaskan pentingnya sesuatu yang
dituturkan. Hal tersebut dapat dibuktikan dari contoh berikut.
Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya,
seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.
"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu,
"aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin
menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."
Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak
terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan
suara yang tenang dan agung.

30
"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?" Pengacara muda
tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?" "Ya, kepada kamu, bukan sebagai
putraku, tetapi kamu sebagai ujung tombak pencarian keadilan di negeri
yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum. "Baik, kalau begitu, Anda mengerti
maksudku."
( Peradilan Rakyat, 2006: 1-3).
Contoh di atas menunjukkan penggunaan kata pengacara muda
yang diulang sebagai bentuk repetisi untuk menekankan dan menegaskan
pentingnya kehadiran tokoh tersebut sebagai tokoh utama. Intensifnya
pengulanagn kata pengacara muda di atas dilakukan agar pembaca lebih
mendalami cerita penulis yang menggambarkan mengenai katakter atau
perwatakan dari tokoh utama tersebut. Selain itu, pengulangan kata
pengacara muda juga dimaksudkan unuk memperjelas gambaran
karakteristik suasana dan konflik yang dialami tokoh utama.
b. Paralelisme
Penyiasatan struktur jenis paralelisme dalam dalam cerpen
Peradilan Rakyat karya Putu Wijaya muncul dan ditandai dengan adanya
penekanan kesejajaran bentuk kata, sehingga menghasilkan bentuk-bentuk
pengungkapan yang bertujuan untuk mempermudah pemahaman pembaca.
Hal tersebut dapat dibuktikan dalam contoh berikut.
"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani,
kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan
kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti
para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti
para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan,
namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk
menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya.
Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu
sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah
kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku
memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang

31
bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat.
Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini.
Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."
(Peradilan Rakyat, 2006: 1).
Ketepatan penggunaan bentuk paralelisme pada contoh di atas
ditunjukkan dengan adanya penekanan kesejajaran bentuk kata yang
ditandai dengan kata bercetak tebal. Penggunaan kata muda, berani,
kurang ajar, buas dan keji, menginjak-injak, memburu, dan Singa lapar
merupakan bentuk paralelisme kata kerja aktif sebagai penanda
keaktifannya dan membuat kesejajaran antar kalimat di atas. Penggunaan
kata kerja aktif di atas menginformasikan aktivitas yang sejajar dan
memperkuat karakter tokoh utama.
c. Hiperbola
Penyiasatan struktur jenis hiperbola dalam Cerpen Peradilan
Rakyat karya Putu Wijaya ditandai dengan adanya sesuatu makna dalam
kata atau kalimat yang dilebih-lebihkan, sehingga tidak mengandung
makna yang lugas dan bernilai estetis. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam
contoh berikut.
Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak
boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang
kalau perlu dingin dan beku. Tapi negara terus juga mendesak dengan
berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak
mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang
mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah
memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan
dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara
tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman
tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka
negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu
pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi
jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan
itulah yang aku tentang.

32
(Peradilan Rakyat, 2006: 3).
Penyiasatan struktur jenis hiperbola pada contoh di atas yang
terlihat dalam ungkapan hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin
dan beku, merupakan sebuah penggambaran dengan cara dilebih-lebihkan
dengan tujuan imajinasi pembaca dapat dibangkitkan. Selain itu,
penggunaan hiperbola pada contoh, bertujuan untuk memeroleh efek yang
berbeda dari cara penuturan yang telah menjadi biasa dan terlihat sebagai
hal yang tidak masuk akal.
d. Ironi dan Sarkasme
Penyiasatan struktur jenis ironi dan sarkasme dalam Cerpen
Peradilan Rakyat karya Putu Wijaya ditandai dengan adanya penampilan
ungkapan yang maksudnya harus dicari dalam makna kontrasnya dengan
apa yang dituturkan. Gaya tersebut biasanya digunakan untuk
menampilkan sesuatu yang bersifat ironis, misalnya yang dimaksudkan
untuk menyindir, mengritik, mengecam, dan sebagainya. Hal tersebut
dapat dibuktikan dalam contoh berikut.
"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani,
kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan
kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti
para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak
seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar
kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh
kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu
diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu
masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini
ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa
Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri
keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung
bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di
negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."
(Peradilan Rakyat, 2006: 1).

33
Contoh tuturan di atas merupakan bentuk majas ironi dan sarkasme
yang bermaksud saat ini banyak pengacara yang bekerja dengan tidak
profesional. Menjual kejujuran demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Cerpen Peradilan Rakyat karya Putu Wijaya adalah cerpen yang berani
menceritakan betapa ironisnya peradilan yang ada di negeri ini. Putu
wijaya dalam cerpen ini juga mengkritik soal banyaknya mafia – mafia
kasus (markus) yang telah membudadaya dalam negeri ini. Keadaan
Negara yang sedang carut maruk membuat para pelaku mafia kasus bisa
menghindari jeratan hukum apabila mereka bisa menyewa pengacara
terkenal dan menyuap aparat negara.

6. Aspek Citraan
Aspek citraan yang paling dominan dalam cerpen Peradilan Rakyat
karya Putu Wijaya adalah aspek citraan yang berhubungan dengan indera
penglihatan yang disebut citra visual. Aspek citraan jenis penglihatan yang
muncul dalam cerpen Peradilan Rakyat sebanyak 31 kali, jenis pendengaran
yang muncul sebanyak enam belas kali, dan jenis gerak yang muncul sebanyak
sembilan belas kali. Setiap pemunculan dari masing-masing jenis citraan
digunakan untuk mendukung proses penghayatan objek yang dikomunikasikan,
atau suasana yang dibangun dalam cerpen, secara cermat dan hidup.
a. Citraan Penglihatan
Aspek citraan penglihatan dalam cerpen Peradilan Rakyat karya
Putu Wijaya mengandung unsur rangsangan kepada indera penglihatan,
hingga hal-hal tidak terlihat seolah-olah menjadi terlihat. Hal tersebut dapat
dibuktikan dari contoh berikut.
Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia
menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang
tenang dan agung.
"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?" Pengacara muda tertegun.
"Ayahanda bertanya kepadaku?" "Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku,

34
tetapi kamu sebagai ujung tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang
dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum. "Baik, kalau begitu, Anda mengerti
maksudku."
(Peradilan Rakyat, 2006: 1).
Contoh di atas menunjukkan penggunaan kata bercambang dan
jenggot putih sebagai bentuk citraan penglihatan untuk memberikan
gambaran dan pengalaman indera pembaca seolah-olah menjadi melihat
keadaan yang ada dalam cerpen, agar pembaca lebih mendalami cerita penulis
yang menggambarkan mengenai katakter atau perwatakan dari tokoh utama
tersebut, dan memperjelas gambaran karakteristik suasana dan konflik yang
dialami tokoh utama.
b. Citraan Pendengaran
Aspek Citraan pendengaran dalam cerpen Peradilan Rakyat karya
Putu Wijaya mengandung unsur rangsangan kepada indera pendengaran,
terkait usaha pengonkretan bunyi-bunyi tertentu. Bunyi-bunyi tersebut dapat
dideskripsikan secara verbal maupun ditirukan, sehingga pembaca seolah-
olah dapat mendengar bunyi tersebut. Hal tersebut dapat dibuktikan dari
contoh berikut.
Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia
menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang
dan agung.
(Peradilan Rakyat, 2006: 1).
Contoh di atas menunjukkan penggunaan menjawab dengan suara yang
tenang dan agung sebagai bentuk citraan pendengaran untuk memberikan
gambaran dan pengalaman indera pembaca seolah-olah menjadi mendengar
suara tokoh yang ada dalam cerpen, agar pembaca lebih mendalami cerita
penulis yang menggambarkan mengenai katakter atau perwatakan dari tokoh
utama tersebut, dan memperjelas gambaran karakteristik suasana dan konflik
yang dialami tokoh utama.
c. Citraan Gerak

35
Aspek Citraan pendengaran dalam cerpen Peradilan Rakyat karya
Putu Wijaya mengandung unsur (movement imagery) menggambarkan
sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak, tetapi dilukiskan dapat bergerak,
atau gambaran gerak pada umumnya. Citraan ini membuat hidup dan
gambaran menjadi lebih dinamis. Citraan gerak dapat berupa aktivitas
maupun gerak motorik. Hal tersebut dapat dibuktikan dari contoh berikut.
Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke
tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan
kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa
kamu."
(Peradilan Rakyat, 2006: 3).
Contoh di atas menunjukkan penggunaan mengelus jenggotnya dan
mengangkat matanya sebagai bentuk citraan kinestetik untuk memberikan
gambaran dan pengalaman indera pembaca keadaan yang diam dilukiskan
seolah-olah bergerak agar pembaca lebih mendalami cerita penulis yang
menggambarkan mengenai katakter atau perwatakan dari tokoh utama
tersebut, dan memperjelas gambaran karakteristik suasana dan konflik yang
dialami tokoh utama.

36
BAB IV
KESIMPULAN

Pada pengkajian dan pembahasan cerpen Peradilan Rakyat karya Putu


Wijaya, dapat disimpulkan bahwa cerpen tersebut mengandung penggunaan
berbagai bentuk kebahasaan yang mendukung capaian efek keindahan. Selain itu,
ketepatan penggunaan berbagai bentuk kebahasaan tersebut turut mendukung
kelancaran dalam berkomunikasi. Dalam kajian cerpen Peradilan Rakyat karya
Putu Wijaya,terdapat beberapa aspek bahasa yang ditemukan, selain terdapat pula
aspek bahasa yang mendominasi tercapainya capaian estetis teks.
Pengkajian terhadap erpen Peradilan Rakyat karya Putu Wijaya,
ditemukan beberapa penggunaan bentuk-bentuk bahasa antara lain aspek leksikal
yang mencakup penggunaan kata bahasa lain (daerah) dan penggunaan kata yang
menunjuk makna khusus; aspek gramatikal yang mencakup penggunaan kalimat
langsung, tidak langsung, deklaratif, interogatif, dan imperatif; aspek kohesi yang
mencakup bentuk kohesi rujuk silang (pengacuan, elipsis, pengulangan formal,
substitusi, dan variasi elegan) dan bentuk kohesi sambungan; aspek pemajasan
yang mencakup penggunaan majas simile, metefora, personifikasi, dan metonimi;
aspek penyiasatan struktur yang mencakup repetisi, paralelisme, hiperbola, dan
ironi dan sarkasme; dan aspek citraan yang mencakup citraan penglihatan, citraan
pendengaran, citraan gerak, dan citraan penciuman.
Penggunaan aspek-aspek bahasa di atas, dilakukan dengan seleksi ketat
oleh pengarang. Melalui pemilihan bentuk bahasa tertentu, pengarang mencoba
menghadirkan makna yang ingin disampaikan kepada pembaca. Penggunaan
bentuk-bentuk bahasa di atas saling mendukung tercapainya fungsi estetis sebuah
karya sastra. Fungsi estetis tersebut, membuat pembaca merasa dipuaskan dan
seolah-olah berada dalam cerita yang dihadirkan pengarang.

37
DAFTAR PUSTAKA

Nurgiyantoro, Burhan. 2017. Stilistika. Yogyakarta: Gadjah Mada University


Press.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2012. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

Ramlan, M. 2005. Sintaksis. Yogyakarta: CV. Karyono.

Sayuti, Suminto A. 2010. Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media.

Suhardi. 2013. Sintaksis. Yogyakarta: UNY Press.

Wijaya, Putu. 2006. Peradilan Rakyat. Jakarta: Kompas.

38
Lampiran Hasil Kajian Stilistika
dalam Cerpen Peradilan Rakyat Karya Putu Wijaya

1. Lampiran Pemunculan Aspek Leksikal pada cerpen Peradilan Rakyat karya


Putu Wijaya
No. Aspek Leksikal Kata Keterangan
1 Kata yang berupa istilah 1) Ompong 2) Tidak bergigi karena giginya
dari bahasa daerah sudah ada yang tunggal/
dicabut
2 Kata yang menunjuk 1) ujung tombak 1) bagian kepala tombak yang
makna khusus 2) dicabik-cabik runcing
3) berdagang 2) koyak-koyak, robek-robek,
4) menginjak-injak sobek-sobek
5) diberhalakan 3) berjual beli
6) singa lapar 4) meletakkan kaki pada;
7) beku memijak
8) teater 5) patung dewa atau sesuatu
9) diobral yang didewakan untuk
10) menembak disembah
11) raja 6) sebuah perumpamaan/ sebutan
12) terbakar untuk seseorang
13) mengalir 7) padat atau keras
14) empuk 8) pementasan drama sebagai
suatu seni
9) menjual barang secara besar-
besaran dengan harga murah
10) melepaskan peluru dan
sebagainya dari senjata api
11) penguasa tertinggi pada suatu
kerajaan
12) habis dihanguskan api
13) bergerak maju
14) lunak; tidak keras

2. Lampiran Pemunculan Aspek Gramatikal

Kalimat Langsung
“Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu.
(hlm. 1)
"Aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri
yang sedang kacau ini."
(hlm. 1)
"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
(hlm. 1)
"Ayahanda bertanya kepadaku?"
(hlm. 1)
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."

39
(hlm. 1)
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."
(hlm. 1)
"Tentu saja.”
(hlm. 1)
“Aku juga pernah muda seperti kamu.”
(hlm. 1)
“Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar.”
(hlm. 1)
“Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan
keadilan.”
(hlm. 1)
“Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang.”
(hlm. 1)
“Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan,
namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak
keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya.”
(hlm. 1)
“Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda.”
(hlm. 1)
“Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar
negeri bukan?”
(hlm. 1)
“Mereka menyebutku Singa Lapar.”
(hlm. 1)
“Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di
lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat.”
(hlm. 1)
“Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini.”
(hlm. 1)
“Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."
(hlm. 1)
"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda.”
(hlm. 2)
“Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan.”
(hlm. 2)
“Meskipun bukan bebas dari kritik.”
“Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan.”
(hlm. 2)
“Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu.
(hlm. 2)
“Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi.”
(hlm. 2)
“Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna,
tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."
(hlm. 2)
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-
sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
(hlm. 2)
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
(hlm. 2)
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
(hlm. 2)
“Tidak apa.”
(hlm. 2)
“Jangan surut.”
(hlm. 2)

40
“ Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari
mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri.
(hlm. 2)
“Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-
doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu
sangat diperlukan oleh bangsamu ini."
(hlm. 2)
"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu.”
(hlm. 2)
“Aku mau berdialog."
(hlm. 2)
"Baik.”
(hlm. 2)
“Mulailah.”
(hlm. 2)
“Berbicaralah sebebas-bebasnya."
(hlm. 2)
"Terima kasih.”
(hlm. 2)
“Begini.”
(hlm. 2)
“Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang
sepantasnya mendapat hukuman mati.”
(hlm. 2)
“Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya,
bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk
mereka.”
(hlm. 2)
“Tetapi aku tolak mentah-mentah.”
(hlm. 2)
“Kenapa?”
(hlm. 2)
“Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya.”
(hlm. 2)
“Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat
tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru.”
(hlm. 2)
“Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson,
itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk
semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.
(hlm. 2)
“Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah
teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin dan beku.”
(hlm. 3)
“Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima.”
(hlm. 3)
“Di situ aku mulai berpikir.”
“(hlm. 3)
“Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan
kutemukan faktanya.”
(hlm. 3)
“Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara.”
(hlm. 3)
“Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun,
tetap kejahatan.”
(hlm. 3)

41
“Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak
mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan
kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena
aku yang menjadi jaminannya.”
(hlm. 3)
“Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang.”
(hlm. 3)
“Dan itulah yang aku tentang.”
(hlm. 3)
“Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang
bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."
(hlm. 3)
"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak
itu tepat atau tidak.”
(hlm. 3)
“Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang
ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."
(hlm. 3)
Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
(hlm. 3)
"Bagaimana Anda tahu?"
(hlm. 3)
Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."
(hlm. 3)
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional.”
(hlm. 4)
“Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku
melaksanakan kewajibanku sebagai pembela.”
(hlm. 4)
“Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu
pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."
(hlm. 4)
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
(hlm. 4)
"Antara lain."
(hlm. 4)
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
(hlm. 4)
"Jadi langkahku sudah benar?"
(hlm. 4)
"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran.”
(hlm. 4)
“Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional.”
(hlm. 4)
“Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada
kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli
hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik.”
(hlm. 4)
“Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu
orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang
minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk
menemukan keadilan yang paling tepat.”
(hlm. 4)
“Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang!”
(hlm. 4)
“Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
(hlm. 4)

42
"Tidak! Sama sekali tidak!"
(hlm. 4)
"Bukan juga karena uang?!"
(hlm. 4)
"Bukan!"
(hlm. 4)
"Lalu karena apa?"
(hlm. 4)
"Karena aku akan membelanya."
(hlm. 4)
"Supaya dia menang?"
(hlm. 4)
"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan.”
(hlm. 4)
“Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar.”
(hlm. 4)
“Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan
pernah tercapai.”
(hlm. 4)
“Kalah-menang bukan masalah lagi.”
(hlm. 4)
“Upaya untuk mengejar itu yang paling penting.”
(hlm. 4)
“Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
(hlm. 4)
"Apa jawabanku salah?"
(hlm. 5)
"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan.”
(hlm. 5)
“Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai
pemenang."
(hlm. 5)
"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan.”
(hlm. 5)
“Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai
pemenang."
(hlm. 5)
"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara.”
(hlm. 5)
“Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."
(hlm. 5)
"Tapi kamu akan menang."
(hlm. 5)
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."
(hlm. 5)
"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara.”
(hlm. 5)
“Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai.”
(hlm. 5)
“Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan.”
(hlm. 5)
“Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."
(hlm. 5)
"Itu pujian atau peringatan?"
(hlm. 5)
"Pujian."
(hlm. 5)
"Asal Anda jujur saja."

43
(hlm. 5)
"Aku jujur."
(hlm. 5)
"Betul?"
(hlm. 5)
"Betul!"
(hlm. 5)
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"
(hlm. 5)
"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
(hlm. 5)
"Mereka tidak mengancam kamu?"
(hlm. 5)
"Mengacam bagaimana?"
(hlm. 5)
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. “
(hlm. 6)
“Dia tidak memberikan angka-angka?"
(hlm. 5)
"Tidak."
(hlm. 6)
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
(hlm. 6)
"Tidak."
(hlm. 6)
"Wah! Itu tidak profesional!"
(hlm. 6)
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
(hlm. 6)
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
(hlm. 6)
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
(hlm. 6)
"Negara akan mendapat pelajaran penting. “
(hlm. 6)
“Jangan main-main dengan kejahatan!"
(hlm. 6)
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
(hlm. 6)
"Berarti ya!"
(hlm. 6)
"Ya. “
(hlm. 6)
“Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"
(hlm. 6)
"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu
disogok."
(hlm. 6)
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. “
(hlm. 6)
“Aku tidak takut."
(hlm. 6)
"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak
kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang
penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"
(hlm. 6)
"Betul."
(hlm. 6)

44
"Kalau begitu, pulanglah anak muda.”
(hlm. 6)
“Tak perlu kamu bimbang.”
(hlm. 6)
“Keputusanmu sudah tepat. “
(hlm. 6)
“Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki
pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. “
(hlm. 6)
“Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu
terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."
(hlm. 6)
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi.
(hlm. 7)
“Sudah jelas.”
(hlm. 7)
“Lebih baik kamu pulang sekarang.”
(hlm. 7)
“Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."
(hlm. 7)
"Pulanglah sekarang”
(hlm. 7)
”Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
(hlm. 7)
"Tapi..."
(hlm. 7)
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat
malam."
(hlm. 7)
"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu
sedikit dan lemah.
(hlm. 7)
“Peradilan ini terlalu tergesa-gesa.”
(hlm. 7)
“Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti
dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara.”
(hlm. 7)
“Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. “
(hlm. 7)
“Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."
(hlm. 7)
"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara
sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih,
(hlm. 8)
"Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra.
(hlm. 8)
Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku.”
(hlm. 8)
“Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari
ayahmu.”
(hlm. 8)
“Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan
sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat
seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?"
(hlm. 8)

Kalimat Tidak Langsung

45
Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang
sangat dihormati oleh para penegak hukum.
(hlm. 1)
Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut.
(hlm. 1)
Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.
(hlm. 1)
Pengacara muda tertegun.
(hlm. 1)
Pengacara muda itu tersenyum.
(hlm. 1)
Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong
itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.
(hlm. 1)
Pengacara tua itu meringis.
(hlm. 2)
Pengacara tua itu tertawa.
(hlm. 2)
Pengacara muda terkejut.
(hlm. 2)
Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.
(hlm. 2)
Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri.
(hlm. 2)
Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.
(hlm. 2)
Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak.
(hlm. 3)
Kemudian ia melanjutkan.
(hlm. 3)
Pengacara muda itu terkejut.
(hlm. 3)
Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
(hlm. 3)
Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh.
(hlm. 3)
Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer.
(hlm. 3)
Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
(hlm. 3)
Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
(hlm. 4)
Pengacara muda tertegun.
(hlm. 4)
Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
(hlm. 4)
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.
(hlm. 4)
Pengacara muda itu tersenyum.
(hlm. 4)
Pengacara tua termenung.
(hlm. 5)
Orang tua itu menggeleng.
(hlm. 5)
Pengacara muda itu tertawa kecil.
(hlm. 5)
Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut.
(hlm. 5)

46
Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
(hlm. 5)
Pengacara tua itu terkejut.
(hlm. 6)
Pengacara muda itu tertawa.
(hlm. 6)
Pengacara muda itu terdiam.
(hlm. 6)
Pengacara muda itu tak menjawab.
(hlm. 6)
Orang tua itu terkejut.
(hlm. 6)
Ia merebahkan tubuhnya bersandar.
(hlm. 6)
Kedua tangannya mengurut dada.
(hlm. 6)
Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.
(hlm. 6)
Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
(hlm. 7)
Pengacara muda itu jadi amat terharu.
(hlm. 7)
Ia berdiri hendak memeluk ayahnya.
(hlm. 7)
Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak.
(hlm. 7)
Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.
(hlm. 7)
Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi.
(hlm. 7)
Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya.
(hlm. 7)
Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
(hlm. 7)
Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu,
pengacara muda itu tak mampu lagi menolak.
(hlm. 7)
Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya.
(hlm. 7)
Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan
orang tua itu dan berbisik.
(hlm. 7)
Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan.
(hlm. 7)
Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali
raja penjahat itu.
(hlm. 7)
Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh.
(hlm. 7)
Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke
mancanegara, tak mungkin dijamah lagi.
(hlm. 7)
Rakyat pun marah.
(hlm. 7)
Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-
poster raksasa.
(hlm. 7)
Gedung pengadilan diserbu dan dibakar.

47
(hlm. 7)
Hakimnya diburu-buru.
(hlm. 7)
Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat.
(hlm. 7)
Tetapi itu pun belum cukup.
(hlm. 7)
Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.
(hlm. 7)
Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya.
(hlm. 8)
Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh
wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.
(hlm. 8)

Kalimat Deklaratif
Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang
sangat dihormati oleh para penegak hukum.
(hlm. 1)
Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut.
(hlm. 1)
Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.
(hlm. 1)
Pengacara muda tertegun.
(hlm. 1)
Pengacara muda itu tersenyum.
(hlm. 1)
Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong
itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.
(hlm. 1)
“Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu.
(hlm. 1)
"Aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri
yang sedang kacau ini."
(hlm. 1)
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
(hlm. 1)
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."
(hlm. 1)
"Tentu saja.”
(hlm. 1)
“Aku juga pernah muda seperti kamu.”
(hlm. 1)
“Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar.”
(hlm. 1)
“Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan
keadilan.”
(hlm. 1)
“Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang.”
(hlm. 1)
“Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan,
namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak
keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya.”
(hlm. 1)
“Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda.”

48
(hlm. 1)
“Mereka menyebutku Singa Lapar.”
(hlm. 1)
“Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di
lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat.”
(hlm. 1)
“Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini.”
(hlm. 1)
“Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."
(hlm. 1)
Pengacara tua itu meringis.
(hlm. 2)
Pengacara tua itu tertawa.
(hlm. 2)
Pengacara muda terkejut.
(hlm. 2)
Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.
(hlm. 2)
Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri.
(hlm. 2)
Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.
(hlm. 2)
Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak.
(hlm. 3)
"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda.”
(hlm. 2)
“Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan.”
(hlm. 2)
“Meskipun bukan bebas dari kritik.”
“Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan.”
(hlm. 2)
“Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu.
(hlm. 2)
“Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi.”
(hlm. 2)
“Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna,
tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."
(hlm. 2)
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-
sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
(hlm. 2)
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
(hlm. 2)
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
(hlm. 2)
“Tidak apa.”
(hlm. 2)
“ Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari
mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri.
(hlm. 2)
"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu.”
(hlm. 2)
“Aku mau berdialog."
(hlm. 2)
"Baik.”
(hlm. 2)
"Terima kasih.”
(hlm. 2)

49
“Begini.”
(hlm. 2)
“Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang
sepantasnya mendapat hukuman mati.”
(hlm. 2)
“Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya,
bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk
mereka.”
(hlm. 2)
“Tetapi aku tolak mentah-mentah.”
(hlm. 2)
“Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya.”
(hlm. 2)
“Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat
tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru.”
(hlm. 2)
“Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson,
itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk
semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.
(hlm. 2)
Kemudian ia melanjutkan.
(hlm. 3)
Pengacara muda itu terkejut.
(hlm. 3)
Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
(hlm. 3)
Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh.
(hlm. 3)
Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer.
(hlm. 3)
Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
(hlm. 3)
Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
(hlm. 4)
“Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah
teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin dan beku.”
(hlm. 3)
“Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima.”
(hlm. 3)
“Di situ aku mulai berpikir.”
“(hlm. 3)
“Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan
kutemukan faktanya.”
(hlm. 3)
“Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara.”
(hlm. 3)
“Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun,
tetap kejahatan.”
(hlm. 3)
“Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak
mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan
kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena
aku yang menjadi jaminannya.”
(hlm. 3)
“Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang.”
(hlm. 3)
“Dan itulah yang aku tentang.”

50
(hlm. 3)
“Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang
bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."
(hlm. 3)
"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak
itu tepat atau tidak.”
(hlm. 3)
“Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang
ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."
(hlm. 3)
Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."
(hlm. 3)
Pengacara muda tertegun.
(hlm. 4)
Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
(hlm. 4)
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.
(hlm. 4)
Pengacara muda itu tersenyum.
(hlm. 4)
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional.”
(hlm. 4)
“Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku
melaksanakan kewajibanku sebagai pembela.”
(hlm. 4)
“Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu
pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."
(hlm. 4)
"Antara lain."
(hlm. 4)
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
(hlm. 4)
"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran.”
(hlm. 4)
“Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional.”
(hlm. 4)
“Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada
kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli
hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik.”
(hlm. 4)
“Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu
orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang
minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk
menemukan keadilan yang paling tepat.”
(hlm. 4)
“Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang!”
(hlm. 4)
"Tidak! Sama sekali tidak!"
(hlm. 4)
"Bukan!"
(hlm. 4)
"Karena aku akan membelanya."
(hlm. 4)
"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan.”
(hlm. 4)
“Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar.”
(hlm. 4)

51
“Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan
pernah tercapai.”
(hlm. 4)
“Kalah-menang bukan masalah lagi.”
(hlm. 4)
“Upaya untuk mengejar itu yang paling penting.”
(hlm. 4)
“Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
(hlm. 4)
Pengacara tua termenung.
(hlm. 5)
Orang tua itu menggeleng.
(hlm. 5)
Pengacara muda itu tertawa kecil.
(hlm. 5)
Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut.
(hlm. 5)
Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
(hlm. 5)
"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan.”
(hlm. 5)
“Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai
pemenang."
(hlm. 5)
"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan.”
(hlm. 5)
“Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai
pemenang."
(hlm. 5)
“Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."
(hlm. 5)
"Tapi kamu akan menang."
(hlm. 5)
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."
(hlm. 5)
"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara.”
(hlm. 5)
“Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai.”
(hlm. 5)
“Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan.”
(hlm. 5)
“Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."
(hlm. 5)
"Pujian."
(hlm. 5)
"Asal Anda jujur saja."
(hlm. 5)
"Aku jujur."
(hlm. 5)
"Betul!"
(hlm. 5)
Pengacara tua itu terkejut.
(hlm. 6)
Pengacara muda itu tertawa.
(hlm. 6)
Pengacara muda itu terdiam.
(hlm. 6)
Pengacara muda itu tak menjawab.

52
(hlm. 6)
Orang tua itu terkejut.
(hlm. 6)
Ia merebahkan tubuhnya bersandar.
(hlm. 6)
Kedua tangannya mengurut dada.
(hlm. 6)
Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.
(hlm. 6)
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. “
(hlm. 6)
"Tidak."
(hlm. 6)
"Tidak."
(hlm. 6)
"Wah! Itu tidak profesional!"
(hlm. 6)
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
(hlm. 6)
"Negara akan mendapat pelajaran penting. “
(hlm. 6)
“Jangan main-main dengan kejahatan!"
(hlm. 6)
"Berarti ya!"
(hlm. 6)
"Ya. “
(hlm. 6)
“Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"
(hlm. 6)
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. “
(hlm. 6)
“Aku tidak takut."
(hlm. 6)
"Betul."
(hlm. 6)
“Keputusanmu sudah tepat. “
(hlm. 6)
“Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki
pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. “
(hlm. 6)
“Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu
terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."
(hlm. 6)
Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
(hlm. 7)
Pengacara muda itu jadi amat terharu.
(hlm. 7)
Ia berdiri hendak memeluk ayahnya.
(hlm. 7)
Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak.
(hlm. 7)
Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.
(hlm. 7)
Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi.
(hlm. 7)
Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya.
(hlm. 7)
Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.

53
(hlm. 7)
Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu,
pengacara muda itu tak mampu lagi menolak.
(hlm. 7)
Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya.
(hlm. 7)
Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan
orang tua itu dan berbisik.
(hlm. 7)
Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan.
(hlm. 7)
Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali
raja penjahat itu.
(hlm. 7)
Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh.
(hlm. 7)
Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke
mancanegara, tak mungkin dijamah lagi.
(hlm. 7)
Rakyat pun marah.
(hlm. 7)
Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-
poster raksasa.
(hlm. 7)
Gedung pengadilan diserbu dan dibakar.
(hlm. 7)
Hakimnya diburu-buru.
(hlm. 7)
Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat.
(hlm. 7)
Tetapi itu pun belum cukup.
(hlm. 7)
Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.
(hlm. 7)
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi.
(hlm. 7)
“Sudah jelas.”
(hlm. 7)
"Tapi..."
(hlm. 7)
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat
malam."
(hlm. 7)
“Peradilan ini terlalu tergesa-gesa.”
(hlm. 7)
“Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti
dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara.”
(hlm. 7)
“Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. “
(hlm. 7)
“Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."
(hlm. 7)
Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya.
(hlm. 8)
Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh
wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.
(hlm. 8)

54
"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara
sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih,
(hlm. 8)
"Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra.
(hlm. 8)
Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku.”
(hlm. 8)
“Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari
ayahmu.”
(hlm. 8)
Kalimat Interogatif
"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
(hlm. 1)
"Ayahanda bertanya kepadaku?"
(hlm. 1)
“Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar
negeri bukan?”
(hlm. 1)
“Kenapa?”
(hlm. 2)
Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
(hlm. 3)
"Bagaimana Anda tahu?"
(hlm. 3)
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
(hlm. 4)
"Jadi langkahku sudah benar?"
(hlm. 4)
“Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
(hlm. 4)
"Bukan juga karena uang?!"
(hlm. 4)
"Lalu karena apa?"
(hlm. 4)
"Supaya dia menang?"
(hlm. 4)
"Apa jawabanku salah?"
(hlm. 5)
"Itu pujian atau peringatan?"
(hlm. 5)
"Betul?"
(hlm. 5)
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"
(hlm. 5)
"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
(hlm. 5)
"Mereka tidak mengancam kamu?"
(hlm. 5)
"Mengacam bagaimana?"
(hlm. 5)
“Dia tidak memberikan angka-angka?"
(hlm. 5)
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
(hlm. 6)
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
(hlm. 6)
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"

55
(hlm. 6)
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
(hlm. 6)
"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak
kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang
penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"
(hlm. 6)
“Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan
sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat
seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?"
(hlm. 8)

Kalimat Imperatif
“Jangan surut.”
(hlm. 2)
“Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-
doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu
sangat diperlukan oleh bangsamu ini."
(hlm. 2)
“Mulailah.”
(hlm. 2)
“Berbicaralah sebebas-bebasnya."
(hlm. 2)
"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara.”
(hlm. 5)
"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu
disogok."
(hlm. 6)
"Kalau begitu, pulanglah anak muda.”
(hlm. 6)
“Tak perlu kamu bimbang.
(hlm. 6)
“Lebih baik kamu pulang sekarang.”
(hlm. 7)
“Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."
(hlm. 7)
"Pulanglah sekarang”
(hlm. 7)
”Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
(hlm. 7)
"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu
sedikit dan lemah.
(hlm. 7)

3. Lampiran Pemunculan Aspek Kohesi


a. Pengacuan
Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior
yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.
"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari
sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang
kacau ini."
Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap
putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.

56
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini
ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? mereka menyebutku Singa Lapar.
Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak
belajar dari buku itu."
Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang
keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih
terasa.
Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan
sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."
Pengacara tua itu meringis.
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara
sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
Pengacara tua itu tertawa.
Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.
Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam
doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam,
karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."
Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.
"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang
penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati.
Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike
Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran
untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang
aku tangani.
Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah
teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin dan beku. Tapi negara
terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima.
Tak mungkin semua itu tanpa alasan.
Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman
tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan
mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak
dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai
pecundang. Dan itulah yang aku tentang. Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk
memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.
"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk
menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik
penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat
supaya aku bersedia untuk membelanya."

"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba. Pengacara muda itu terkejut. Ia
menatap pengacara tua itu dengan heran.
Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh.
Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela
napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."
Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar
aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada
mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses
peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
Pengacara muda tertegun. ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati
orang tua itu. 
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.

57
Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada
kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli
hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari
seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak
mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu
membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang
paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau
tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"
Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak
akan pernah tercapai. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan
proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.
Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."

Pengacara muda itu tertawa kecil.


"Itu pujian atau peringatan?"
Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan
mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"
Dia tidak memberikan angka-angka?"
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Wah! itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
Orang tua itu terkejut. ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut
dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.
"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena
kamu disogok."
"Betul. ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."
Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu
mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."

Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang.
Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."
Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua
itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah
lelah dan kesakitan.
Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi.
Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh
kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat.
Selamat malam."
Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu,
pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan

58
segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar
suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.

"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu
sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan
itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di
negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan
membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi
bangsa yang lalai."
Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang
dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat
itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. ia merayakan kemenangannya dengan pesta
kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi.
Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan
poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru.
Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat.
Tetapi itu pun belum cukup.

Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan
berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang
empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.

"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku
berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih. “Tak inginkah kau
mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah
perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat
seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?"
b. Subtitusi
1) Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar
kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk
menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. (hlm 1)
2) Mereka menyebutku Singa Lapar (hlm 1)
3) Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang
di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. (hlm 1)
c. Elipsis
1) aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di
negeri yang sedang kacau ini (hlm 1)
2) Kamu bisa banyak belajar dari buku itu (hlm 1)
3) Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun! (hlm 2)
4) Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di
situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. (hlm 2)
5) Jadi itu yang ingin kamu tanyakan? (hlm 4)
6) Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak
membelanya karena ketakutan, bukan?" (hlm 4)
7) Itu pujian atau peringatan? (hlm 5)
8) Wah! Itu tidak profesional! (hlm 6)
9) Jadi kamu akan memenangkan perkara itu? (hlm 6)
10) Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat.
Tetapi itu pun belum cukup. (hlm 7)
d. Pengulangan Formal
1) Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan,
seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan
kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak,

59
kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum
yang profesional. (hlm 8)
2) "Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah
Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku
punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan
aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda
sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak
keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah
keadilan itu sendiri. (hlm 2)

e. Sambungan
Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior
yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.

"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari
sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang
kacau ini."

Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap
putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.

"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"


Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."

"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang
ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan
penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang.
Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar
kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk
menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak
terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang
belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa
Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang
bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah
membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."

Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang


keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih
terasa.

"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda
memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya
sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu
kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak
memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang
bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."

Pengacara tua itu meringis.

60
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara
sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.

"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung
pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan
membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan
menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata
air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."

Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya
dengan lebih tenang.

"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."


"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."

"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang
penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang
dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya
negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku
tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku
untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa
di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang
paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan
istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua
sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.

Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah
teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin dan beku. Tapi negara
terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai
berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang
mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan
sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh
siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik
terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku,
maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah
kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak
menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang. Negara harusnya percaya
bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana
yang sudah Anda lakukan selama ini."

Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu
menyimak. Kemudian ia melanjutkan.

"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk
menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik
penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan
hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."

"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba. Pengacara muda itu terkejut. Ia
menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"

61
Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh.
Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela
napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."

Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.


"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak
bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku
sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan
keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai
keputusan yang seadil-adilnya."

Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.


"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk
hati orang tua itu.
 
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.

"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai
profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha
pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam
profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran
yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang
pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta
tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan
keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan
uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"

"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk
mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar
mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah
lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku
menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.
"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada
kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."

"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang
sangat tangguh akan diturunkan."

"Tapi kamu akan menang."


"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."

62
"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun
sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan.
Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."

Pengacara muda itu tertawa kecil.


"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"

Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan
mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"

"Bukan! Kenapa mesti takut?!"


"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak
memberikan angka-angka?"

"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"

Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada.
Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.

"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena
kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."
"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik
kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-
bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu,
bukan?"

"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.

Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan,
seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran.

63
Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu
mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."

Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang.
Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."

Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua
itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah
lelah dan kesakitan.

"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."


"Tapi..."

Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi.


Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh
kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat.
Selamat malam."

Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu,
pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu
dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu,
agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.

"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu
sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini
dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di
negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan
membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi
bangsa yang lalai."

Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang
dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja
penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan
pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah
lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan,
menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan
dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru
dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan
hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.

Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan
berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang
empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.

"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku
berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka
pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah
aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang
profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata
seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang
penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang
melanda negeri kita sekarang ini?"

64
4. Lampiran Pemunculan Aspek Pemajasan pada cerpen Peradilan Rakyat

No. Majas Bukti


1. Majas Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba
Perbandinga memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu,
n meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa. (Hlm. 1)
a. Simile
Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang
perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku,... (Hlm. 2)

Jangan membunuh diri dengan deskripsi-deskripsi yang menjebak


kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya
bagaikan mata air, bagai suara alam. (Hlm. 2)

Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan
bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini
untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. (Hlm. 7)

b. Metafora Dengan gemilang dan mudah ia mempencundangi negara dipengadilan


dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. (Hlm. 7)

c. Personifi Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan


kasi yang merebak diseluruh wilayah negara dengan suaranya yang
empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu. (Hlm. 8)

d. Deperson Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas
ikfikasi ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. (Hlm.
7)

2. Perumpamaa Mereka menyebutku Singa Lapar. (Hlm. 1)


n
   
Keadilan tak boleh menjadi sebuah taeter, tetapi mutlak hanya
pencari keadilan yang kalau perlu dingin dan beku. (Hlm. 3)

5. Lampiran Pemunculan Aspek Penyiasatan Struktur

Aspek Penyiasatan
No. Bukti
Struktur

1. Repetisi a.Repetisi Pengacara Muda


Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi
ayahnya,... (Hlm. 1)
"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara
muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara
muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang
sedang kacau ini." (Hlm. 1)
....
"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?" Pengacara
muda tertegun. (Hlm. 1)
....
Pengacara muda itu tersenyum. "Baik, kalau begitu,
Anda mengerti maksudku." (Hlm. 1)
....

65
Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya,
(Hlm. 1)
....
. Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya
lalu minta maaf. (Hlm. 2)
....
Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan
diri. (Hlm. 2)
....
Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan
waktu pengacara senior itu menyimak. (Hlm. 3)
....
"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. (Hlm. 3)
....
Pengacara muda sekarang menarik napas panjang. (Hlm.
3)
....
Pengacara muda tertegun. (Hlm. 4)
....
Pengacara muda itu tersenyum. (Hlm. 4)
....
Pengacara muda itu tertawa kecil. (Hlm. 5)
....
Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut.
(Hlm. 5)
....
Pengacara muda itu tertawa. (Hlm. 6)
....
Pengacara muda itu terdiam. (Hlm. 6)
....
Pengacara muda itu tak menjawab. (Hlm. 6)
....
Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua
tidak memberikan kesempatan. (Hlm. 7)
....
Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak
memeluk ayahnya. (Hlm. 7)
....
Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
(Hlm. 7)
....
Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang
memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu
tak mampu lagi menolak. (Hlm. 7)
....
Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian
menjadi kenyataan. (Hlm. 7)
....
Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru
dikembalikan sesudah jadi mayat. (Hlm. 7)
....
"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda
yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai
profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih,...

66
(Hlm. 8)

Profesional
Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai
profesional, Pemburu Keadilan. (Hlm. 2)

"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional.


(Hlm. 4)

Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional.


(Hlm. 4)

....karena sebagai profesional kau tak bisa menolak


mereka yang minta tolong agar kamu membelanya....
(Hlm. 4)

....kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati


nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."
(Hlm. 7)

"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai


seorang profesional." (Hlm. 8)

"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang


gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional,
anakku," rintihnya dengan amat sedih,... (Hlm. 8)

Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang


profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. (Hlm.
8)

b. Paralelisme "Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku
juga berani, kalau perlu kurang ajar. (Hlm. 1)

..., namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh


kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan
kebenaran yang dulu diberhalakannya. (Hlm. 1)

Mereka menyebutku Singa Lapar. (Hlm. 1)

Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-


pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga
tinggi dan gedung-gedung bertingkat. (Hlm. 1)
2. Pengont a. Hiperbola Tetapi kamu sebagai ujung tombak pencarian keadilan di
rasan negeri yang sedang, dicabik-cabik korupsi ini. (Hlm. 1)

Namun yang lebih buas dan keji ketika memperoleh


kesempatan menginjak-injak keadilan dan kebenaran
yang dulu diberhalakannya. (Hlm. 1)

Jangan membunuh diri dengan deskripsi-deskripsi yang


menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir
sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam.
(Hlm. 2)

67
Tapi aku tolak mentah-mentah. (Hlm. 2)

Keadilan tak boleh menjadi sebuah taeter, tetapi mutlak


hanya pencari keadilan yang kalau perlu dingin dan
beku. (Hlm. 3)

Yang tua memicingkan mata dan mulai menembak lagi.


(Hlm. 5)

Juga bukan ingin memburu publikasi dan bintang-bintang


penghargaan dari organisasi kemanusian di mancanegara
yang benci negaramu, bukan? (Hlm. 6)

Entah luluh oleh senyum dibibir wanita yang memiliki


mata yang sangat indah itu. (Hlm. 7)

Membebaskan bajingan yang ditakuti oleh seluruh rakyat


dinegeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung
diudara. (Hlm. 7)

Ia merayakan kemenangan dengan pesta kembang


semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak
mungkin dijamah lagi. (Hlm. 7)

Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan


pemerintahan yang sah. (Hlm. 8)

Penjahat besar yang akan terbebaskan akan menyulut


peradilan rakyat. (Hlm. 8)
b. Ironi dan Tidak seperti pengacara sekarang yang kebanyakan
Sarkasme berdagang. (Hlm. 1)

6. Lampiran Pemunculan Aspek Citraan


No. Citraan Bukti
1. Pendengara ....lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung. (Hlm. 1)
n
Pengacara tua itu tertawa. (Hlm. 2)

"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.


(Hlm. 2)

"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu
katakan," sambung pengacara tua menenangkan,... (Hlm. 2)

Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang. (Hlm. 2)

Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu


pengacara senior itu menyimak. (Hlm. 3)
Kemudian ia melanjutkan. (Hlm. 3)

"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba. (Hlm. 3)

Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa

68
kamu." (Hlm. 3)

Pengacara muda itu tertawa kecil. (Hlm. 5)

"Wah! Itu tidak profesional!" Pengacara muda itu tertawa. (Hlm. 6)

Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan


suara yang serak. (Hlm. 7)

...agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan


berbisik. (Hlm. 7)

Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan


yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang
empuk,... (Hlm. 8)

.... rintihnya dengan amat sedih,... (Hlm. 8)


2. Penglihatan Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu,... (Hlm. 1)

Ia menatap putranya dari kursi rodanya,... (Hlm. 1)

Pengacara muda itu tersenyum. (Hlm. 1) (2x)

....mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan


ompong itu,... (Hlm. 1)

Pengacara tua itu meringis. (Hlm. 2)

Pengacara muda terkejut. (Hlm. 2)

Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. (Hlm.


2)

Pengacara muda itu terkejut. (Hlm. 3)

Ia menatap pengacara tua itu dengan heran. "Bagaimana Anda tahu?"


(Hlm. 3)

Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa


kamu." (Hlm. 3)

Pengacara muda sekarang menarik napas panjang. (Hlm. 3)

Pengacara muda itu tersenyum. (Hlm. 4)

Pengacara muda tertegun. (Hlm. 4)

Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati


orang tua itu. (Hlm. 4)

Pengacara tua termenung. (Hlm. 5)

Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. (Hlm. 5)

Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi. (Hlm. 5)

69
Pengacara tua itu terkejut. (Hlm. 6)

"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?" Pengacara muda itu


terdiam. (Hlm. 6)

Pengacara muda itu tak menjawab. (Hlm. 6)

Orang tua itu terkejut. (Hlm. 6)

Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak


memberikan kesempatan. (Hlm. 7)

Pengacara muda itu jadi amat terharu. (Hlm. 7)

Nampaknya sudah lelah dan kesakitan. (Hlm. 7)

Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata
yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak.
(Hlm. 7)

Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan
cintanya. (Hlm. 7)

Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. (Hlm. 8)

3. Gerak Ia mengangkat dagunya,... (Hlm. 2)

.... sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat


tangan,... (Hlm. 2)

Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya


melihat ke tempat yang jauh. (Hlm. 3)

Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.


(Hlm. 4)

Orang tua itu kembali mengelus janggutnya. (Hlm. 4)

Orang tua itu menggeleng. (Hlm. 5)

Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. (Hlm. 5)

Ia merebahkan tubuhnya bersandar. (Hlm. 6)

Kedua tangannya mengurut dada. (Hlm. 6)

Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.


(Hlm. 6)

Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. (Hlm. 7)

Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan


dengan suara yang serak. (Hlm. 7)

70
Pengacara tua itu menutupkan matanya, (Hlm. 7)

lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. (Hlm. 7)

Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. (Hlm. 7)

Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda. (Hlm. 7)

Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu,... (Hlm. 7)

air mata menetes di pipi pengacara besar itu. (Hlm. 8)

71

Anda mungkin juga menyukai