Anda di halaman 1dari 10

A.

KOHERENSI
A. Pengertian
Koherensi mengandung makna ‘pertalian’. Dalam konsep kewacanaa, berarti
makna atau isi kalimat (HG Tarigan, 1987:32). Koherensi juga berarti hubungan
timbal balik yang serasi antar unsur dalam kalimat (Gorys Keraf, 1984). Sejalan
dengan itu, HS Wahjudi (1989:6) berpendapat bahwa hubungan koherensi ialah
keterkaitan antara bagian dnegan bagian yang lainnya sehingga satu kalimat memiliki
kesatuan makna yang utuh. Wacana yang koheren memiliki ciri-ciri: susunannya
teratur dan amanatnya terjalin rapi. Sehingga sulit di interpretasikan.
Koherensi menurut Wohl (1987:25 dalam Tarigan, 2009:100) mempunyai arti
yaitu pengaturan secara rapi kenyataan dan gagasan, fakta dan ide menjadi suatu
untaian yang kogis sehingga kita mudah memahami pesan yang dikandungnya.
Koherensi merupakan elemen wacana untuk melihat bagaimana seseorang secara
strategis menggunakan wacana untuk menjelaskan suatu fakta atau peristiwa (Teun A.
Van Dijk dalam Eriyanto, 2001 : 242).
Lebih lanjut Halliday dan Hasan menegaskan bahwa struktur wacana pada
dasarnya bukanlah struktur sintaksis, melain kan struktur semantik, yakni semantik
kalimat didalamnya mengandung proposisi-proposisi. Sebab beberapa kalimat hanya
akan menjadi wacana sepanjang ada hubungan makna (arti) diantara kalimat-kalimat
itu sendiri.
Selain itu, Koherensi merupakan pengaturan secara rapi kenyataan dan
gagasan, fakta, dan ide menjadi suatu untaian yang logis sehingga mudah memahami
pesan yang dihubungkannya.

B. Penanda
Ada beberapa penanda koherensi yang dapat digunakan, diantaranya penambahan
(aditif), rentetan (seri), keseluruhan ke sebagian, kelas ke anggota, penekanan,
perbandingan (komparasi), pertentangan (kontras), hasil (simpulan), contoh (misal),
kesejajaran (paralel), tempat (lokasi), dan waktu (kala).
(1) Penambahan (aditif), penanda koherensi yang bersifat aditif atau berupa
penambahan antara lain: dan, juga, selanjutnya, lagi pula, serta.
Contoh: Laki-laki dan perempuan, tua dan muda, juga para tamu turut bekerja
bergotong royong menumpas hama tikus di sawah-sawa di desa kami.
(2) Rentetan (seri), penanda koherensi yang berupa rentetan atau seria ialah pertama,
kedua, berikut, kemudian, selanjutnya, akhirnya.
Contoh: Pertama-tama kita semua harus mendaftarka diri sebagai anggota
perkumpulan. Kedua, kita membayar uang iuran. Berikutnya kita mengikuti segala
kegiatan, baik berupa latihan maupun kursus-kursus.
(3) Keseluruhan ke sebagian, yaitu pembicaraan atau tulisan yang dimulai dari
keseluruhan, baru kemudian beralih atau memperkenalkan bagian-bagiannya.
Contoh: Saya membeli buku baru. Buku itu terdiri dari tujuh bab. Setiap bab terdiri
pula dari sejumlah pasal. Setiap pasal tersusun dari beberapa paragraf. Seterusnya
setiap  paragraf terdiri dari beberapa kalimat
(4) Kelas ke anggota, yang dimaksud penanda koherensi ini ialah dengan menyebutkan
bagian yang umum menuju ke bagian-bagian lebih khusus.
Contoh: Pemerintah berupaya keras meningkatkan pehubungan darat, laut, dan
udara. Dalam bidang perhubungan darat telah digalakkan pemanfaatan kereta
api dan kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor ini meliputi mobil, sepeda
motor, dan lain-lain.
(5) Penekanan, yang dimaksud penenda koherensi ini ialah kata atau frasa yang
memberikan penekanan terhadap kalimat sebelumnya ataupun kalimat sesudahnya.
Contoh: Bekerja bergotong royong itu bukan pekerjaan sia-sia. Nyatalah kini
hasilnya. jembatan sepanjang tujuh kilometer yang menghubungkan kampung kita
ini dengan kampung di seberang Sungai Lau Biang ini telah sekali kita kerjakan
dengan AMD (Abri Masuk Desa). Jelaslah hubungan antara kedua kampung
berjalan lebih lancar.
(6) Perbandingan (komparasi), penanda koherensi ini ialah sama halnya, hal serupa,
hal yang sama, seperti, tidak seperti, dll.
Contoh : Sama halnya dengan Paman Lukas, kita pun harus segera mendirikan
rumah di atas tanah yang baru kita beli. Sekarang rumah Paman Lukas itu hampir
selesai. Mengapa kita tidak membuat hal yang serupa selekas mungkin?
(7) Pertentangan (kontras), penanda koherensi ini dapat berupa tetapi, tapi, meskipun,
sebaliknya, namun, walaupun, dan namun demikian.
Contoh :Aneh tapi nyata. Ada teman saya seangkatan, namanya Joni. Dia rajin sekali
belajar, tetapi setiap tentamen selalu tidak lulus. Harus mengulang. Namun
demikian, dia tidak pernah putus asa. Dia tenang saja. Tidak pernah mengeluh.
Bahkan sebaliknya, dia semakin belajar. Sampai-sampai larut malam dia membaca.
Tanpa keluhan apa-apa. Akhirnya tentamen semua lulus juga. Dia menganut falsafah
“biar lambat asal selamat.” Kini dia telah menyelesaikan studinya dan diangkat
menjadi guru SMA di Prabumulih.
(8) Hasil (simpulan), yag dimaksud penanda koherensi ini ialah kata atau frasa yang
mengacu pada simpulan.
Contoh:Pepohonan telah menghijau di setiap pekarangan rumah dan ruangan kuliah
di kampus kami. Burung-burung beterbangan dari dahan ke dahan sambil bernyanyi-
nyanyi. Udara sejuk dan nyaman. Jadi, penghijauan di kampus itu telah
berhasil. Demikianlah kini keadaan kampus kami.
(9) Contoh (misal), penanda koherensi ini dapat berupa antara lain: umpamanya,
misalnya, contohnya.
Contoh: Wajah pekarangan atau halaman rumah di desa kami telah berubah menjadi
warung hidup. Di pekarangan itu ditanam kebutuhan dapur sehari-hari; umpamanya:
bayam, tomat, cabai, singkong, dan lain-lain.
(10) Kesejajaran (paralel) Penggunaan kesejajaran atau paralelisme klausa sebagai
saran kekoherensifan wacana.
Contoh : Waktu dia datang, memang saya sedang asyik membaca, saya sedang tekun
mempelajari buku baru mengenai wacana. Karena asyiknya, saya tidak
mengetahui, saya tidak mendengar bahwa dia telah duduk di kursi mengamati saya.
(11) Tempat (lokasi), penanda koherensi ini antara lain: di sini, di situ, di rumah, dan
lain-lain.
Contoh : Kami mengadakan kegiatan belajar mengajar di kelas. Ruangan yang tidak
luas itu menjadi tempat yang nyaman untuk belajar. Di depan kelas terdapat papan
tulis yang luas, disebelahnya terdapat papan informasi data kelas.
(12) Waktu (kala), penanda koherensi ini antara lain: mula-mula, sementara itu, tidak
lama kemudian, ketika itu.
Contoh: Kecelakaan itu terjadi tidak semata-mata kondisi jalanan yang buruk, namun
juga kelalaian pengendara itu sendiri. Mula-mula, disebabkan oleh keinginan untuk
saling mendahului, namun dikarenakan keadaan yang tidak memungkinkan dan
perhitungan yang tidak matang, kecelakaan mungkin akan terjadi.

C. Sarana Koherensi
Sedangkan untuk aneka sarana keutuhan wacana dari segi makna menurut (Harimurti
Kridalaksana (1978) dalam Tarigan, 2009 : 105) antara lain : hubungan sebab-akibat,
hubungan alasan-akibat, hubungan sarana-hasil, hubungan sarana-tujuan, hubungan
latar-kesimpulan, hubungan hasil-kegagalan, hubungan syarat hasil, hubungan
perbandingan, hubungan parafrastis, hubungan amplikatif, hubungan aditif temporal,
hubungan aditif nontemporal, hubungan identifikasi, hubungan generik-spesifik, dan
hubungan ibarat. Berikut penjelasanya.

           Hubungan sebab-akibat untuk menciptakan keutuhan wacana.


Contoh: Pada waktu mengungsi dulu sukar sekali mendapatkan beras di daerah kami.
Masyarakat hanya memakan singkong sehari-hari. Banyak anak yang kekurangan
vitamin dan gizi. Tidak sedikit yang lemah dan sakit.
           Hubungan alasan-akibat.
Contoh: Saya sedang asyik membaca majalah Kartini. Tiba-tiba saya ingin benar
makan colenak dan minum bajigur. Segera saya menyuruh pembantu saya membelinya
ke warung di seberang jalan sana. Saya memakan colenak dan bajigur itu dengan
lahapnya. Nikmat sekali rasanya.
          Hubungan sarana-hasil.
Contoh: Penduduk di sekitar Kampus Bumisiliwangi yang mempunyai rumah atau
kamar yang akan disewakan memang berusaha selalu menyenangkan para penyewa.
Jelas banyak sekali para mahasiswa yang tertolong, lebih-lebih yang berasal dari luar
Bandung dan luar Jawa. Apalagi sewanya memang agak murah dan dekat pula ke
tempat kuliah. Sangat efisien.       
Hubungan sarana-tujuan.
Contoh: Dia belajar dengan tekun. Tiada kenal letih siang malam. Cita-citanya untuk
menggondol gelar sarjana tentu tercapai paling lama dua tahun lagi. Di samping itu
istrinya pun tabah sekali berjualan. Untungnya banyak juga tiap bulan. Keinginannya
untuk membeli gubuk kecil agar mereka tidak menyewa rumah lagi akan tercapai juga
nanti
 Hubungan latar-kesimpulan.
Contoh: Pekarangan rumah Pak Ali selalu hijau. Pekarangan itu merupakan warung
hidup dan apotek hidup yang rapi. Selalu diurus baik-baik. Agaknya Bu Ali pandai
mengatur dan menatanya. Rupanya Bu Ali pun bertangan dingin pula menanam dan
mengurus tanaman.
           Hubungan hasil-kegagalan.
Contoh: Kami tiba di sini agak subuh dan menunggu agak lama. Ada kira-kira dua jam
lamanya. Mereka tidak muncul-muncul. Mereka tidak menepati janji. Kami sangat
kecewa dan pulang kembali dengan rasa dongkol.

Hubungan syarat-hasil.
Contoh: Seharusnyalah penduduk desa kita ini lebih rajin bekerja, rajin menabung di
KUD. Tentu saja desa kita lebih maju dan lebih makmur dewasa ini. Dan seterusnya
pula kita menjaga kebersihan desa ini. Pasti kesehatan masyarakat desa kita lebih
baik.           
Hubungan perbandingan.
Contoh: Sifat para penghuni asrama ini sangat beraneka ragam. Wanitanya rajin belajar.
Prianya lebih malas. Wanitanya mudah diatur. Prianya agak bandel.   
Hubungan parafrastis.
Contoh: Kami tidak menyetujui penurunan uang makan di asrama ini karena dengan
bayaran seperti yang berlaku selama ini pun kuantitas dan kualitas makanan dan
pelayanan tidak bisa ditingkatkan. Sepantasnyalah kita menambahi uang bayaran bulan
kalau kita mau segala sesuatunya bertambah baik. Seharusnyalah kita dapat berpikir
logis.
           Hubungan amplikatif.
Contoh: Perang itu sungguh kejam. Militer, sipil, pria, wanita, tua dan muda menjadi
korban peluru. Peluru tidak dapat membedakan kawan dan lawan. Sama dengan
pembunuh. Biadab, kejam, dan tidak kenal perikemanusiaan. Sungguh ngeri.
 Hubungan aditif temporal.
Contoh: Paman menunggu di ruang depan. Sementara itu saya menyelesaikan pekerjaan
saya. Kini pekerjaan saya sudah selesai. Saya sudah merasa lapar. Segera saya
mengajak Paman makan di kantin. Sekarang saya dan paman dapat berbicara santai
sambil makan.
 Hubungan aditif nontemporal.
Contoh: Orang itu malas bekerja. Duduk melamun saja sepanjang hari. Berpangku
tangan. Bagaimana bisa mendapat rezeki? Bagaimana bisa hidup berkecukupan. Tanpa
menanam, menyiangi, menumbuk, serta menumpas hama, bagaimana bisa memperoleh
panen yang memuaskan, bukan? Agaknya orang itu tidak menyadari hal ini.
Hubungan identifikasi.
Contoh: Kalau orang tuamu miskin, itu tidak berarti bahwa kamu tidak mempunyai
kemungkinan memperoleh gelar sarjana. Lihat itu, Guntur Sibero. Dia anak orang
miskin yang berhasil mencapai gelar doktor, dan kini sudah diangkat menjadi profesor
di salah satu perguruan tinggi di Bandung.
Hubungan generik-spesifik.
Contoh: Abangku memang bersifat sosial dan pemurah. Dia pasti dan rela
menyumbang paling sedikit satu juta rupiah buat pembangunan rumah ibadah itu.
        Hubungan ibarat.
Contoh: Memang suatu ketakaburan bagi pemuda papa dan miskin itu untuk memiliki
mobil dan gedung mewah tanpa bekerja keras memeras otak. Kerjanya hanya melamun
dan berpangku tangan saja setiap hari. Di samping itu dia berkeinginan pula
mempersunting putri Haji Guntur yang bernama Ruminah itu, jelas dia itu ibarat
pungguk merindukan bulan. Maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak
sampai.

Pengertian Wacana
Banyak definisi tentang wacana, namun, dari sekian banyak definisi pada
dasamya menekankan bahwa dan yang berbeda-beda itu, lengkap, sehingga dalam
hierarki gramatikal merupakan satuan wacana adalah satuan bahasa atikal tertinggi atau
terbesar.
Sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka dalam wacana itu terdapat konsep,
gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bahasa yang leayghasp abe n berarti
dinahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar cana lisan), tanpa
keraguan apa pun. Sebagai satuan tikal tertinggi atau terbesar, berarti wacana itu
dibentuk dari mat kalimat atau kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal
dan persyaratan kewacanaan lainnya.
Persyaratan gramatikal dalam wacana dapat dipenuhi kalau dalam ana itu sudah
terbina yang disebut kekohesian, yaitu adanya wac keserasian hubungan antara unsur-
unsur yang ada dalam wacana tersebut. Bila wacana itu kohesif, akan terciptalah
kekoherensian, yaitu isi wacana yang apik dan benar. Perhatikan wacana singkat
berikut!
(213) Dika dan Nita pergi ke toko buku. Dia ingin membeli kamus bahasa Jepang yang
baru.

Wacana itu tidak kohesif, sebab kata ganti dia tidak jelas mengacu kepada siapa,
kepada Dika, kepada Nita, ataukah kepada keduanya. Kalau kepada keduanya tentu
kata ganti yang harus dipakai juga bukan dia, melainkan mereka. . Oleh karena itu
dapat disimpulkan wacana itu tidak koherens. Sekarang perhatikan lagi wacana berikut
(yang sebenamya sudah dipakai sebagai contoh pada subbab 6.5.2.5).
(214) Sekarang di Riau amat sukar mencari terubuk . (1). Jangankan ikannya, telurnya
pun sulit diperoleh (2). Kalau pun bisa bisa diperoleh, harganya melambung selangit
(3). Makanya, ada kecemasan masyarakat nelayan di sana bahwa terubuk yang spesifik
itu akan punah (4).

Wacana tersebut, seperti juga sudah dibicarakan pada subbab 6.5.2.5, adalah kohesif
dan koherens. Kekohesifan itu dicapai dengan pengacuan dengan menggunakan kata
ganti -nya. Mari kita lihat!
Kalimat (I) adalah kalimat bebas, kalimat utama yang berisi nyataan, bahwa sekarang
di Riau amat sukar mencari terubuk, Kalimat (2) adalah kalimat terikat, yang dikaitkan
dengan kalimat (1) d menggunakan kata ganti -nya pada kata ikannya dan telurnya jelas
mengacu pada terubuk pada kalimat (1). Kalimat (3) juga dikaitkan dengan kalimat (1)
dan kalimat (2) dengan menggunakan kata ganti -nya pada kata harganya, yang juga
jelas mengacu pada kata terubuk pada kalimat (I). Lalu, kalimat (4) merupakan
kesimpulan terhadap pemyataan pada kalimat (1), (2), dan (3), yang dikaitkan dengan
bantuan konjungsi antarkalimat makanya.
Pengaitan kalimat satu dengan kalimat lain dalam suatu wacana tidak selalu
harus dilakukan dengan menggunakan kata ganti. Banyak cara lain haeus dulakukan.
perhatikan wacana berikut, yang pengaitan kalimat satu dengan kalimat lainnya
dilakukan melalui “isi” kalimat.
(215) Zaman Jepang melahirkan Chairil Anwar dan Idrus, masing-masing pembaharu
puisi dan prosa (1). Pembaharuan itu tidak berarti sekiranya hanya mengenai bentuk
belaka, tapi dalam hal ini perubahan lahir itu berakar pada perubahan jiwa (2).
Perubahan jiwa yang dimasak ke arah dewasa selama tiga setengah tahun tekanan
mengenai pikiran dan perasaan serta keadaan ekonomi yang menggoncangkan seluruh
watak manusia Indonesia (3).

Kekohesiafan wacana itu dilakukan dengan mengulang kata pembaharu pada kalimat
(1) dengan kata pembaharuan pada kalimat (2); serta mengulang frase perubahan jiwa
pada kalimat (2) perubahan pada kalimat (3). Adanya pengulangan unsur yang sama itu
menyebabkan wacana itu menjadi koherens dan apik. Namun, pengulangan-
pengulangan seperti di atas yang tampak memang kohesif, belum tentu menjamin
terciptanya kekoherensian. Perhatikan contoh berikut yang kohesinya tampak benar,
tetapi temyata tidak koherens. Setiap kalimat kona wacana berikut tampaknya
merupakan kalimat yang membawa isi masing-masing.
(216) Lulusan IKIP dan FKIP dimaksudkan untuk menjadi guru SLP dan SLA di
seluruh Indonesia (1). Indonesia adalah ncgara kepulauan, ada pulau yang besar dan
ada pula pulau yang kecil (2). Setiap pulau dihuni oleh suku bangsa yang berbeda adat
istiadat dan bahasa daerahnya (3). Eksistensi bahasa daerah dijamin dalam Undang-
Undang Dasar '45 (4).

Kalimat (1) berisi tentang lulusan IKIP dan FKIP: kalimat (2) tentang Indonesia
adalah negara kepulauan; kalimat (3) tentang penduduk di tiap pulau; dan kalimat (4)
tentang bahasa daerah. Kita lihat, keempat kalimat itu memiliki isinya masing-masing,
padahal wacana itu kohesif, yang ditandai dengan adanya hubungan kalimat (1) dan
kalimat (2) dengan kata Indonesia; hubungan kalimat (2) darn kalimat (3) dengan kata
pulau; dan hubungan kalimat (3) dan kalimat (4) dengan kata bahasa daerah. Namun,
secara keseluruhan teks pada (216) di atas bukan merupakan wacana yang baik, karena
tidak merupakan satu keutuhan "isi" satu ujaran. Memang memenuhi persyaratan
kekohesifan, tetapi tidak koherens.
Alat Wacana
Sudah disebutkan di atas sebuah wacana disebut baik apabila wacana itu kohesif
dan koherensi. Untuk membuat wacana yang kohesif dan koherensi itu dapat digunakan
pelbagai alat wacana, baik yang berupa aspek gramatikal maupun yang berupa aspek
semantik. Atau gabungan antara kedua aspek itu.
Alat-alat gramatikal yang dapat digunakan untuk membuat sebuah wacana
menjadi kohesif, antara lain, adalah:
Pertama, konjungsi, yakni alat untuk menghubung-hubungkan bagian-bagian
kalimat; atau menghubungkan paragraf dengan paragraf. Dengan penggunaan
konjungsi ini, hubungan itu menjadi lebih eksplisit, dan akan menjadi lebih jelas bila
dibandingkan dengan hubungan yang tanpa konjungsi. Umpamanya wacana berikut
(217) Raja sakit. Permaisuri meninggal.

Pada wacana itu, hubungan antara kalimat pertama dengan kedua tidak jelas: apakah
hubungan penambahan, apakah hubungan sebab dan akibat, atau hubungan kewaktuan.
Hubungan menjadi jelas, kalau misalnya, diberi konjungsi, dan menjadi wacana sebagai
berikut
(218a) Raja sakit dan permaisuri meninggal.
(218b) Raja sakit karena penmaisuri meninggal.
(218c) Raja sakit ketika permaisuri meninggal.
(218d) Raja sakit sebelum permaisuri meninggal.
(218e) Raja sakit. Oleh karena itu, permaisuri meninggal.
(219f) Raja sakit, sedangkan permaisuri meninggal.
Kedua, menggunakan kata ganti dia, mya, mereka, ini, dan itu sebagai rujukan
anaforis. Dengan menggunakan kata ganti sebagai rujukan anaforis, maka bagian
kalimat yang sama tidak perlu diulang melainkan diganti dengan kata ganti itu. Maka
oleh karena itu juga kalimat-kalimat tersebut menjadi saling berhubungan. Perhatikan
contoh berikut!
(219) Rombongan mahasiswa pengunjuk rasa itu mula-mula mendatangi kantor
Menteri Dalam Negeri. Sesudah itu mereka dengan tertib menuju gedung DPR di
Senayan.
(220) Anak itu terpeleset, lalu jatuh ke sungai. Beberapa orang yang lewat mencoba
menolongnya.
(221) Awan tebal bergumpal-gumpal menutupi langit Jakarta. Itu tandanya hujan lebat
akan turun.
Ketiga, menggunakan elipsis, yaitu penghilangan bagian kalimat yang sama yang
terdapat kalimat yang lain. Dengan elipsis, karena tidak diulangnya bagian yang sama,
maka wacana itu tampak menjadi lebih efektif, dan penghilangan itu sendiri menjadi
alat penghubung kalimat di dalam wacana itu. Perhatikan elipsis yang dilakukan
terhadap kalimat dalam wacana berikut!
(222) Teman saya yang duduk di pojok itu namanya Ali; dia berasal dari Yogyakarta.
Yang di ujung sana Ahmad dari Jakarta. Yang di sebelah gadis berbaju merah itu
Nurdin dari Medan.

Tanpa elipsis wacana tersebut pada (222) terasa menjadi tidek efeltif, karena terlalu
banyak menggunakan kata, dan terasa menjadi tidak ada penghubung antara kalimat
yang satu dengan kalimat lainnya. Setiap kalimat menjadi berdiri sendiri-sendiri.
Perhatikan wacana (223) berikut yang berasal dari (222) tanpa diberi elipsis!
(223) Teman saya yang duduk di pojok itu namanya Ali; dia berasal dari Yogyakarta.
Teman saya yang duduk di ujung sana itu namanya Ahmad; dia berasal dari Jakarta.
Teman saya yang duduk di sebelah gadis berbaju merah itu namanya Nurdin; dia
berasal dari Medan.

Selain dengan upaya gramatikal, sebuah wacana yang kohesif koherens dapat
juga dibuat dengan bantuan pelbagai aspek dan semantik. Caranya, antara lain dengan:
Pertama, menggunakan hubungan pertentangan pada kedua kedua bagian
kalimat yang terdapat dalam wacana itu. Misalnya:
(224) Kemarin hujan turun lebat sekali. Hari ini cerahnya bukan main.
(225) Saya datang, anda pergi. Saya hadir, anda absen. Maka, mana mungkin kita
bisa bicara.
Kedua, menggunakan hubungan generik-spesifik; atau sebaliknya spesifik-
generik. Misalnya:
(226) Pemerintah berusaha menyediakan kendaraan umum sebanyak-banyaknya dan
akan berupaya mengurangi mobil-mobil pribadi.
(227) Kuda itu jangan kaupacu terus. Binatang juga perlu beristirahat.
Ketiga, menggunakan hubungan perbandingan antara isi kedua bagian kalimat;
atau isi antara dua buah kalimat dalam satu wacana. Misalnya:
(228) Dengan cepat disambamya tas wanita pejalan kaki itu. Bagai elang menyambar
anak ayam.
(229) Lahap benar makannya. Seperti orang yang sudah satu minggu tidak ketemu nasi.
Keempat, menggunakan hubungan sebab-akibat di antara isi kedua bagian
kalimat; atau isi antara dau buah kalimat dalam satu wacana. Misalnya: 
(230) Dia malas, dan seringkali bolos sekolah. Wajarlah kalau tidak naik kelas.
(231) Pada pagi hari bus selalu penuh sesak. Bernapas pun susah di dalam bus itu.

Kelima, menggunakan hubungan tujuan di dalam isi sebuah wacana.


Umpamanya:
(232) Semua anaknya di sekolahan. Agar kelak tidak seperti dirinya.
(233) Banyak jembatan layang di bangun di Jakarta. Supaya kemacetan lalu lintas
teratasi.
Keenam, menggunakan hubungan rujukan yang sama pada dua bagian kalimat
atau pada dua kalimat dalam satu wacana. Misalnya:
(234) Becak sudah tidak ada lagi di Jakarta. Kendaraan roda tiga itu seting dituduh
memacetkan lalu lintas.
(235) Kebakaran sering melanda Jakarta. Kalau dai datang Si Jago Merah itu tisak
kenal waktu, siang atau pun malam.
 Perbedaan kohesi dan koherensi
Tabel 4.1
Perbedaan kohesi dan koherensi
Kohesi Koherensi
Kepaduan Kerapian
Keutuhan Kesinambungan
Aspek bentuk (form) Aspek makna (meaning)
Aspek lahiriah Aspek batiniah
Aspek formal Aspek ujaran
Organisasi sintatik Organisasi semantis
Unsur internal Unsur eksternal

Anda mungkin juga menyukai