Anda di halaman 1dari 8

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Bahasa tidak semudah kedengarannya. Di dalam bahasa terdapat himpunan bahasa yang
saling bersinergi dan tidak dapat dipisahkan dalam pembentukan bahasa itu sendiri.
Sistem kerja ini membuat ucapan lebih mudah dipahami, terutama dalam segala bentuk
komunikasi. Namun, bahasa setiap individu memiliki gaya penyampaian yang berbeda.
Kalaupun ingin mengatakan konsep yang sama, redaksi dan penyampaiannya jelas
berbeda dalam gaya bahasanya.
Bahasa memiliki sistem, demikian stile (gaya) memiliki sistemnya sendiri. Akan tetapi,
karena stile terdapat dalam bagian bahasa, maka sistem gaya juga berarti sistem bahasa,
subsistem stile adalah subsistem bahasa, dan komponen stile adalah komponen bahasa.
Namun pada kenyataannya, sistem stile lebih rumit. Ini lebih dari sekedar sistem bahasa.
Ada komponen gaya yang bahkan tidak termasuk dalam komponen bahasa. Ini tidak
masuk akal. Satu-satunya makna adalah di mana bahasa telah menjadi gaya. Setelah kata
dan struktur linguistik sebenarnya digunakan dalam konteks cerita tertentu. Mereka
memiliki arti yang sama, tetapi arti kata tanpa konteks belum tentu sama dengan arti kata
dalam konteks dan bisa sama sekali berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh konteks
penggunaannya.
Maka dari itu makalah ini dibuat untuk mengetahui unsur yang digunakan dalam konteks
stile diantaranya unsur bunyi, unsur leksikal, unsur gramatikal dan unsur kohesi yang
bisa menjelaskan secara lebih lanjut penggunaannya dalam stilistika

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Apa sajakah unsur-unsur yang terdapat pada stile?
2. Bagaimana penggunaan unsur bunyi, leksikal, gramatikal dan kohesi dalam stile?

C. Tujuan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dapat ditentukan tujuan akhir makalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui unsur-unsur yang terdapat pada stile
2. Untuk mengetahui penggunaan unsur bunyi, leksikal, gramatkal dan kohesi dalam
stile

3. Leksikal

Aspek leksikal adalah aspek bunyi yang senantiasa terkait dengan kata-kata yang ada dalam
kajian stilistika. Ia merupakan aspek terkecil dalam konteks struktus sintaksis dan wacana. Peran
kata di sini memang yang paling menonjol, mengingat kata dapat digunakan untuk mengkaji,
menemukan, dan menjabarkan fungsi keindahan dalam sebuah bahasa. Gorys Keraf menuturkan
bahwa yang dimaksud dengan struktur leksikal adalah berbagai macam relasi semantik yang
terdapat pada tiap kata.

Unsur leksikal mempunyai pengertian yang sama dengan diksi, yaitu yang mengacu pada
penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih oleh pengarang untuk mencapai tujuan
tertentu (Nurgiyantoro,2014: 172). Leksikal digunakan oleh pengarang sebagai kerja pertama
setelah menentukan ide atau pokok bahasan. Pemilihan kata untuk tujuan-tujuan tertentu secara
pasti akan dilakukan oleh pengarang baik dalam bidang sastra maupun non-sastra. Pemilihan
kata tersebut akan berdampak pada kemampuan pembaca memahami jelis bahasa pengarang.

Semisal pengarang menggunakan bahasa ilmiah, maka diksi yang digunakan tidak boleh keluar
dari prasyarat seperti harus menggunakan kata formal, baku, lebih didorong ke makna
referensial, dan lain sebagainya. Berbeda dengan ketika bahasa yang digunakan adalah bahasa
sastra, maka prasyarat yang harus dipenuhi adalah ketepatan diksi dan keindahannya. Aspek
bunyi, bentuk, makna, ekspresivitas, sampai aspek sosial perlu juga diperhatikan lebih
mendalam.

Dalam kajian aspek leksikal, ada beberapa identifikasi yang dapat dilakukan. Misalkan dengan
mengindentifikasi jenis kata yang digunakan oleh seorang pengarang. Kemudian dengan
mengidentifikasi konpleks tidaknya penggunaan kata kerja, abstrak atau konkret kata benda yang
dipakai, termasuk kata sifat jenis apa yang digunakan untuk menjelaskan, serta mengidentifikasi
wujud kata tugas yang digunakan pengarang.

a. Kata dalam Bahasa Ilmiah


Dalam ragam bahasa ilmiah, kata diseleksi berdasarkan ketepatan muatan makna sebagai
pendukung ide, gagasan, pikiran, dan proses berpikir rasional yang menekankan objektivitas,
ketepatan, dan kelancaran komunikasi. Kata-kata diseleksi berdasarkan kepastian makna yang
dikandung, maka penggunaan istilah-istilah khusus yang telah memiliki makna tertentu, istilah-
istilah bidang keilmuan tertentu, menjadi sesuatu yang lazim. Selain itu, kata-kata yang dipakai
harus formal dan tidak menyimpang dari aturan kebakuan khususnya yang menyangkut struktur
morfologi. Makna kata ditekankan pada makna referensial, makna denotatif. Seandainya dipakai
kata bemakna inten- sional, makna konotatif, itu harus terbatas pada ungkapan-ungkapan yang
telah lazim yang justru mempercepat komunikasi. Hal-hal itu merupakan sebagian prasyarat bagi
keindahan bahasa ilmiah.

b. Kata dalam Bahasa Sastra

Keadaan itu berbeda dengan seleksi dalam bahasa sastra karena kriteria dan tuntutan keindahan
berbeda. Misalnya, penggunaan kata-kata kolokial, kata-kata yang secara struktur menyimpang,
campur aduk kata dari bahasa-bahasa lain (misalnya, bahasa daerah), itu semua tidak
dipermasalahkan. Padahal, hal-hal tesebut tidak dibenarkan dipakai pada ragam bahasa ilmiah.
Penggunaan bentuk-bentuk penyimpangan itu dapat ditoleransi asal jelas fungsi dan ketepatan
dalam rangka mencapai efek estetis. Maka, dalam bahasa sastra, selain untuk mendukung makna,
kata-kata sekaligus diseleksi untuk memperoleh efek keindahan sesuai dengan kriteria atau
wawasan keindahan yang diyakini oleh pengarang. Namun, ada perbedaan intensitas seleksi kata
untuk bahasa sastra genre puisi dengan prosa-fiksi.

(1) Kata dalam Puisi


Dalam puisi kata adalah segalanya. Keindahan sebuah puisi pasti berarti ketepatan
kata yang dipilih. Puisi amat bergantung pada kata. Jika kata atau diksi yang dipilih
tidak tepat, puisi yang bersangkutan boleh dibilang gagal mencapai status literer,
gagal sebagai puisi yang bernilai sastra. Ketepatan diksi adalah prasyarat keindahan
dalam karya puisi. Puisi hadir dengan bahasa yang dipadatkan, dikonsentrasikan,
dengan Bahasa yang sesedikit mungkin kata. Karena hanya memiliki sedikit kata,
kata-kata yang dipilih itu mesti sugestif, kata-kata yang mampu menghadirkan makna
asosiatif yang tidak secara langsung dikatakan. Maka, kata-kata yang sedikit itu mesti
diseleksi ketat agar dapat memenuhi syarat ketepatan dari beberapa kriteria untuk
menjadi indah.
Aspek Bunyi. Pertimbangan ketepatan kata dari aspek bunyi atau fonologis berkaitan
dengan pendayaan unsur bunyi sebagaimana diuraikan di atas. Jadi, hal itu tidak perlu
diulangi lagi.
Aspek Bentuk. Pertimbangan ketepatan kata dari aspek bentuk berkaitan dengan
bentuk struktur morfologi kata dan bahkan struktur sintaksis sebagaimana terlihat
pada larik-larik dan bait-bait puisi. Sekali lagi, bahasa puisi itu bahasa yang
dipadatkan, dikonsentrasikan, maka semua bentuk bahasa yang dipakai terkena
“dampak”: harus juga dipadatkan, dipersingkat. Jika sesuatu itu dapat dikatakan
dengan sedikit kata, mengapa harus dibuat dengan banyak kata. Justru dengan sedikit
kata itu makna sugestif, makna asosiatif, dapat dibangkitkan. Maka, kata-kata dan
atau bentuk kata yang dipilih dalam puisi haruslah yang singkat, padat, efisien, dan
kalau perlu membuang imbuhan-imbuhan yang justru “membebaninya”. Dengan cara
seperti itu efek ekspresivitas puisi juga akan terbangkitkan.
Aspek Makna. Pertimbangan seleksi kata dari aspek makna adalah sesuatu yang
mesti dilakukan, tidak bisa tidak. Betapapun “anehnya” sebuah puisi, tetap saja ia
hanya merupakan salah satu cara untuk berekspresi untuk mengomunikasikan sesuatu
kepada orang lain. Artinya, puisi itu mesti mengandung muatan makna baik secara
langsung maupun tidak langsung. Artinya, walau puisi itu lazim lebih menyaran pada
makna intensional, makna konotatif, itu tidak berarti tidak ada puisi yang bermakna
lugas. Puisi yang bermakna lugas juga dapat bermain-main dengan aspek bunyi.
Intinya, tiap kata yang terseleksi dalam puisi mesti juga memiliki makna. Hanya saja,
kadar ketepatan makna sebagaimana yang diinginkan oleh penyair itu tidak sama
pada tiap kata yang memiliki unsur kesinoniman.
Aspek Ekspresivitas. Bukan kebetulan jika bahasa puisi itu padat, penuh
konsentrasi, terwujud dalam larik-larik pendek, bahkan tidak sedikit yang hanya
terdiri atas satu kata. Kata-kata atau larik-larik puisi terlihat seperti lontaran-lontaran
jiwa secara serta merta. Keadaan itu disebabkan penyair ingin memberikan kesan
ekspresif atau meraih efek ekspresivitas. Itulah yang dalam kaitan ini disebut sebagai
gaya ekspresif. Jadi, adanya larik, bait, atau bahkan puisi secara keseluruhan yang
singkat dan pendek itu sengaja diusahakan untuk menghasilkan puisi yang ekspresif.
Aspek Sosial. Bahasa adalah produk sosial masyarakat sesuai dengan kebutuhannya.
Jika dalam kehidupan bermasyarakat terdapat lapis-lapis sosial, strata-strata sosial,
atau tingkat-tingkatan tertentu yang menunjuk pada tinggi rendahnya derajat sosial,
hal itu ternyata juga terdapat di dalam bahasa. Dalam bahasa keadaan itu dikenal
dengan sebutan sopan-santun, unggah-ungguh, yang menunjukkan adanya tingkatan
berbahasa yang antara lain berupa bahasa halus dan kasar. Ada bahasa yang secara
jelas memiliki kata-kata yang mencer-minkan derajat sosial, tetapi ada pula yang
bahasa yang kurang secara jelas dan tegas memilikinya. Contoh yang pertama
misalnya Bahasa Jawa, sedang yang kedua bahasa Indonesia.
(2) Kata dalam Prosa-fiksi
Dunia fiksi memang dibangun, diabstraksikan, dihadirkan, dan ditafsirkan lewat kata-
kata. Apa pun kandungan makna dalam cerita fiksi mesti melewati kata. Namun,
berbeda halnya dengan kata pada puisi, peran kata dalam fiksi tidak terlalu penting.
Tepatnya, peran kata dalam fiksi tidak sepenting dan menentukan sebagaimana dalam
puisi. sebuah karya fiksi yang kurang baik pilihan katanya, hal itu tidak berakibat
“sefatal” dalam karya puisi. Jumlah kata dalam cerita fiksi amat banyak, katakanlah
ribuan. Maka, seandainya ada sejumlah kata yang kurang tepat, kekurangtepatannya
itu dapat tertutupi oleh kelebihan kata yang lain. Selain itu, dan ini yang lebih utama,
fiksi dibangun oleh banyak unsur cerita. Komponen stile yang lain yang dimaksud
antara lain adalah tokoh lengkap dengan karakternya, alur dan berbagai konflik yang
mendukungnya, tema, amanat, latar dan lain-lain. Unsur-unsur fiksi itulah yang
biasanya lebih menarik untuk dibicarakan ketika seseorang berbicara tentang fiksi.
Namun, dalam konteks stilistika, peran komponen stile dalam fiksi, tidak dapat
diabaikan. Bagaimanapun, semua yang hadir dan eksis dalam cerita fiksi mesti lewat
saluran bahasa, kata-kata. Maka, kata-kata tetap saja memiliki peran yang
menentukan. Tidak sedikit fiksi yang hebat juga karena didukung oleh bahasa dan
kata yang tepat.
c. Sampel Kajian Leksikal
Jika bermaksud melakukan pengambilan sampel aspek leksikal yang dikaji, kita harus
menentukan apa dasar pertimbangan pengambilan sampel itu. Pertimbangan itu lazimnya
berkaitan dengan tujuan penelitian atau kajian. Secara umum tujuan kajian stilistika adalah untuk
menjelaskan fungsi-fungsi keindahan teks yang secara konkret didukung oleh berbagai unsur
stile. Tiap unsur stile jumlahnya relatif banyak, maka semuanya juga dapat disampel. Jadi,
penyampelan tidak hanya diterapkan pada aspek leksikal saja, melainkan juga aspek gramatikal,
dan aspek-aspek yang lain yang jumlahnya banyak. Yang kini harus dipikirkan adalah
menentukan dasar pertimbangan penyampelan itu.
Pertama, seperti apa pun panjang sebuah teks dalam satu judul, misalnya satu karya fiksi, stile
yang dipakai biasanya tidak berbeda. Sebenarnya kajian stile yang dilakukan pada suatu bab
dapat dianggap mewakili bab-bab yang lain. Konkretnya, kajian dilakukan hanya dengan
mengambil satu-dua bab, tetapi hasilnya dipandang sudah mewakili stile karya itu secara
keseluruhan. Artinya, kita dapat mengambil sampel teks fiksi dengan hanya mengambil bab-bab
tertentu yang dipandang penting atau dapat mewakili.
Kedua, dari bab-bab tertentu yang dijadikan sampel tersebut kemudian dicermati karakteristik
aspek leksikal yang mana atau yang bagaimana yang terlihat menonjol sehingga mewarnai teks
secara keseluruhan. Misalnya, kata-kata yang menyimpang, kolokial, dari bahasa lain, bentukan
baru, menunjuk pada makna khusus, diulang- ulang banyak kali, dan lain-lain. Dalam konteks
stilistika istilah mewarnai dimaknai sebagai memiliki kualitas keindahan dan memunyai peran
penting dalam mencapai efek keindahan. Jadi, kajian aspek leksikal dapat difokuskan pada kata-
kata tertentu yang tampak dominan mewarnai keindahan stile secara keseluruhan itu.
Ketiga, pertanyaannya adalah karakteristik aspek leksikal yang bagaimana yang dijadikan fokus
kajian? Bagaimana wujud konkret mewarnai itu? Hal ini sebenarnya bersifat relatif. Maka dari
itu Nurgiyantoro (2013), memberikan rambu-rambu kajian dengan mengidentifikasi kata-kata
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
sebagai berikut.
1 Kata yang dipergunakan sederhana atau kompleks?
2 Kata dan ungkapan yang dipergunakan dalam teks itu formal atau kolokial, artinya kata-
kata baku—secara bentuk dan makna ataukah kata-kata seperti dalam percakapan sehari-
hari yang non-formal, termasuk penggunaan dialek?
3 Kata yang menyimpang dari struktur kaidah bahasa baku, misalnya penghilangan afiks,
kata bentukan baru, atau bentuk yang lain.
4 Kata dan ungkapan dalam bahasa karya yang bersangkutan saja atau ada yang dari bahasa
lain, misalnya dalam puisi atau fiksi Indonesia apakah terdapat kata dan ungkapan dari
bahasa lain, misalnya Jawa, bahasa daerah yang lain, atau bahasa asing?
5 Bagaimanakah arah makna kata yang ditunjuk, apakah bersifat referensial ataukah
asosiatif, denotasi ataukah konotasi?

Selain itu, jika dibutuhkan, misalnya karena terlihat dominan dapat dilakukan identifikasi
berdasarkan jenis kata. Identifikasi ini sebenarnya dapat langsung dikaitkan dengan analisis di
atas mengingat bahwa identifikasi sifat umum juga dilakukan untuk tiap jenis kata. Pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan antara lain sebagai berikut.
1 Jenis kata apa yang dipergunakan?, dan kemudian diikuti pertanyaan-pertanyaan
berikutnya yang sesuai dengan jenis kata yang bersangkutan.
2 Kata benda, sederhana ataukah kompleks, abstrak ataukah konkret? Jika abstrak
menyaran pada makna apa, kejadian, persepsi, proses, kualitas moral, atau sosial? Jika
konkret menunjuk pada apa, misalnya benda, makhluk, ataukah manusia?
3 Kata kerja, sederhana ataukah kompleks, transitif ataukah intransitif, makna menyaran
pada pernyataan, tindakan, ataukah peristiwa, atau yang lain?
4 Kata sifat, untuk menjelaskan apa, misalnya sesuatu yang bersifat fisik, psikis, visual
auditif, referensial, emotif, ataukah evaluatif?
5 Kata bilangan, tentu ataukah tidak tentu, dan untuk menjelaskan apa?
6 Kata tugas, apa wujudnya, misalnya: dan, atau, lalu, kemudian, pada tentang, yang sering
dikelompokkan ke dalam konjungsi dan preposisi.

Langkah Kajian Stilistika Unsur Stile Leksikal

1. Tujuan kajian adalah untuk mengapresiasi fiksi atau teks lain.

2. Identifikasi unsur leksikal yang menjadi fokus kajian

3. Deskripsikan hasil telaah


4. Jelaskan dan tafsirkan peran dan fungsi tiap bentuk leksikal.

Kesimpulan

Stile tidak dapat dipisahkan dari apa yang disebut stile. Elemen-elemen ini bekerja sama untuk
meningkatkan makna dan membentuk gaya berbicara seseorang. Unsur-unsur tersebut di
antaranya unsur dari aspek bunyi yang di dalamnya mengkaji persajakan, irama serta nada dan
suasana, aspek leksikal yang didalamnya mengkaji kata dalam bahasa ilmiah dan kata dalam
bahasa sastra, aspek gramatikal, aspek kohesi yang di dalamnya dibahas tentang koherensi dan
kohesi juga macam kohesi, lalu aspek bahasa figuratif, aspek permajasan dan aspek citraan.

Daftar pustaka

Nurgiantoro, Burhan. 2014. Stilistika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Keraf, Gorys. 2009. Diksi dan Gaya bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Anda mungkin juga menyukai