Anda di halaman 1dari 6

RAGAM BAHASA SASTRA

Bahasa sastra merupakan salah satu fenomena bahasa dalam


sosiolinguistik. Bahasa sastra memiliki karakteristik yang berbeda, ada unsur
permainan bahasa, bahasa disiasati, dimanipulasi, didiberdayagunakan
sedemikian rupa untuk mencapai tujuan dan efek tertentu; efek estetis. Ada
kalanya bahasa bukan sekedar sarana tetapi tujuan untuk mencapai keindahan,
atau bahkan keindahan itu sendiri.
Unsur emotif dalam sastra cenderung lebih dominan. Berbeda dengan
ragam bahasa ilmiah, dalam bahasa sastra pemilihan kosakata maupun susunan
tatabahasanya disesuaikan dengan suasana yang akan dibangun atau dengan
kata lain mempermainkan bahasa sedemikian rupa agar muatan emosi yang
terkandung dalam karya sastra dapat tersampaikan pada penikmat sastra.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) arti kata sastra adalah
“karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai
ciri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan
ungkapannya”. Karya sastra berarti karangan yang mengandung nilai-nilai
kebaikan yang ditulis dengan Bahasa yang indah. Sastra memberikan
wawasan yang umum tentang masalah manusiawi, social, maupun
intelektual, dengan caranya yang khas. Pembaca sastra dimungkinkan untuk
menginterprestasikan teks sastra sesuai dengan wawasannya sendiri.
Sastra bukanlah seni Bahasa belaka, melainkan suatu kecakapan dalam
menggunakan Bahasa yang berbentuk dan bernilai sastra. Jelasnya faktor
yang menentukan adalah kenyataan bahwa sastra menggunakan Bahasa segi
medianya. Berkaitan dengan maksud tersebut sastra selalu bersinggungan
dengan pengalaman manusia yang lebih luas dari pada yang bersifat estetik
saja. Sastra selalu melibatkan pikiran pada kehidupan sosial, moral,
psikologi, dan agama. Berbagai segi kehidupan dapat diungkapkan dalam
karya sastra.

Sastra dapat memberikan kesenangan dan kenikmatan kepada


pembacanya. Seringkali dengan membaca sastra muncul ketegangan-
ketegangan (suspense). Dalam ketegangan itulah diperoleh kenikmatan
ekstetis yang aktif. Adakalanya dengan membaca sastra kita terlibat secara
total dengan apa yang dikisahkan. Dalam keterlibatan itulah kemungkinan
besar muncul kenikatan estetis. Menurut Luxemburg dkk (1989) sastra juga
bermanfaat secara rohaniah. Dengan membaca sastra kita memperoleh
wawasan yang dalam tentang masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual
dengan cara khusus.
Berdasarkan uraian diatas, kita dapat menympulkan bahwa sastra
adalah hasil ciptaan manusia dengan menggunakan media Bahasa tertulis
maupun lisan. Bersifat imajinatif, disampaikan secara khas, dan mengandung
pesan yang bersifat relatif.
Ragam Bahasa sastra adalah ragam Bahasa yang banyak menggunakan
kalimat yang tidak efektif. Penggambaran yang sejelas-jelasnya melalui
rangkaian kata bermakna konotasi sering dipakai dalam ragam Bahasa sastra.
Ciri-ciri ragam Bahasa sastra antara lain :
1. Menggunakan kalimat yang tidak efektif
2. Menggunakan kata-kata yang tidak baku
3. Adanya rangkaian kata yang bermakna konotasi.

Pradopo (1997: 38) menyatakan adanya ragam bahasa sastra pastilah


disebabkan oleh sifat sastra sendiri yang mempergunakan bahasa sebagai
medium pengucapannya. Sifat bahasa sastra antara lain konotatif, bahasa
bergaya, dan ketaklangsungan ekspresi.
Bahasa sastra sangat konotatif. Dikemukakan bahwa bahasa sastra
bersifat emosional dan bahasa ilmiah bersifat pemikiran. Namun, pada
kenyataannya bahasa sastra juga bukan semata-mata emosional, berisi pikiran
juga. Idealnya bahasa ilmiah itu murni denotatif, bertujuan pada korespondensi
satu lawan satu antara tanda dan referensinya, serta memiliki semacam bahasa
universal sebagai characteristic universalis. Dibandingkan dengan bahasa
ilmiah, bahasa sastra menunjukkan beberapa perbedaan. Bahasa sastra
mengandung ambiguitas yang luas, yaitu homonim, manasuka, atau kategori-
kategori tak rasional misalnya gender gramatikal, bahasa sastra diresapi
peristiwa sejarah, kenangan, dan asosiasi-asosiasi. Jadi bahasa sastra itu sangat
konotatif, mengandung banyak arti tambahan. Bahasa sastra tidak sekadar
bersifat referensial, tetapi juga memiliki segi ekspresifnya. Bahasa sastra itu
membawa nada dan sikap penulisnya. Bahasa sastra tidak hanya menyatakan
dan mengungkapkan apa yang dikatakan, juga ingin mempengaruhi sikap
pembaca. Perbedaan lainnya, tanda bahasa sastra sendiri terdapat penekanan
simbolisme bunyi.
Bahasa sastra itu bahasa gaya. Untuk menunjukkan ciri atau sifat
bahasa sastra, dapat ditinjau dari segi gaya bahasa. Gaya bahasa adalah
penggunaan bahasa secara khusus yang menimbulkan efek tertentu, khususnya
efek estetis. Gaya bahasa ini terdapat juga dalam penggunaan bahasa sehari-
hari dan bahasa ilmiah. Akan tetapi, dalam kedua ragam bahasa itu, gaya tidak
disengaja untuk mendapatkan nilai estetis, di samping juga seringkali bersifat
klise berdasarkan kebiasaan berbicara. Dalam bahasa sastra, gaya bahasa
dieksploitasi secara sistematis. Bahasa sastra menekankan kreativitas dan
keaslian. Itulah sebabnya, pengarang selalu berusaha membentuk gaya bahasa
yang asli dan baru.
Pada umumnya gaya bahasa itu merupakan penyimpangan dari bahasa
normatif dan merupakan defamiliarisasi atau deotomatisasi. Mengenai konsep
gaya ini, lebih lanjut dikemukakan oleh Enkvist (via Pradopo, 1997: 40)
sebagai berikut.
1. Bungkus yang membungkus inti pemikiran atau pernyataan yang telah ada
sebelumnya.
2. Pemilihan antara berbagai pernyataan yang mungkin.
3. Sekumpulan ciri-ciri pribadi.
4. Penyimpangan dari norma atau kaidah.
5. Sekumpulan ciri-ciri kolektif.
6. Hubungan antara satuan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas
daripada kalimat.

Ketaklangsungan ekspresi. Menurut Riffaterre (via Pradopo, 1997: 43)


ketidaklangsungan ekspresi itu disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti
(displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan
penciptaan arti (creating of meaning). Penggantian arti disebabkan oleh
penggunaan metafora dan metonimi. Penyimpangan arti disebabkan oleh
pemakaian ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense. Sementara penciptaan arti
meliputi pengorganisasian ruang teks yang berupa enjambemen (perlompatan
baris), sajak (rima), tipografi (tata huruf), dan homologue(persejajaran baris).
Sejalan dengan pendapat Pradopo di atas, Nurgiyantoro (2014: 133-142)
merinci karakteristik bahasa sastra menjadi lima macam, yaitu dominasi unsur
emosi, makna konotatif, bahasa kreatif, penyimpangan pengucapan, dan
penekanan.
Pertama, bahasa sastra sering dicirikan oleh dominannya unsur emosi
‘perasaan’ dan subjektif daripada unsur rasio ‘pikiran’ dan objektif seperti
dalam bahasa ilmiah. Akan tetapi, kemunculan unsur emosi dan rasio dalam
teks-teks itu bersifat gradasi. Unsur rasio dominan dalam bahasa ilmiah,
sedangkan unsur emosi dominan dalam bahasa sastra. Unsur emosi dalam
bahasa sastra ini bukan dalam pengertian emosional. Sastra hadir antara lain
untuk mengekspresikan perasaan yang kuat dan dalam setelah pengarang
mengalami, menyikapi, merenungi, dan menghayati secara intensif berbagai
pengalaman hidup. Setiap pengarang memiliki pengalaman dan kepribadian
yang berbeda, maka berbeda pula cara menyikapi dan mengekspresikan
pengalamannya itu. Itulah sebabnya sastra dan bahasa sastra menjadi bersifat
subjektif: kehadiran, isi, dan bentuk tergantung ke-aku-an seorang pengarang.
Kedua, bahasa sastra sering dikaitkan dengan bahasa yang lebih
menunjuk makna konotatif daripada makna denotatif atau makna referensial
dalam bahasa ilmiah. Sebenarnya baik pada bahasa sastra maupun bahasa
ilmiah sama-sama dapat memakai ungkapan konotatif. Bahasa sastra
menekankan keaslian pengucapan, menekankan menggunakan bentuk-bentuk
yang asli-baru sebagai hasil kreativitas. Karena bentuk-bentuk baru, pembaca
belum pernah melihat atau membacanya. Itulah pemahaman ungkapan
konotatif dalam bahasa sastra. Efek yang ditimbulkan adalah asing,
keterasingan, atau mengasingkan, sehingga tidak jarang memperlambat
pemahaman. Sebaliknya, penggunaan berbagai ungkapan konotatif dalam
bahasa ilmiah, juga ragam-ragam bahasa nonsastra lainnya, biasanya berupa
bentuk-bentuk yang telah lazim dipakai. Bentuk dan makna itu telah diketahui
penulis (pembicara) maupun pembaca (lawan bicara) sehingga justru
mempercepat pemahaman. Misalnya penggunaan ungkapan patah hati, pasti
langsung dipahami oleh pembaca daripada dituturkan dengan kata-kata lain
yang bermakna denotatif.
Ketiga, karya sastra disebut karya kreatif, maka bahasa sastra juga
bahasa kreatif, hasil penciptaan lewat kerja imajinatif. Kreativitas adalah suatu
hal yang esensial dalam karya sastra. Seorang penyair misalnya, tidak bisa
mengulang bentuk yang telah ada walaupun bentuk itu amat bagus. Karena
menekankan unsur kreativitas dalam penciptaan, bahasa sastra menjadi
bersifat dinamis. Tidak ada bentuk yang langgeng dalam bahasa sastra. Selain
itu, unsur kreativitas juga dimanfaatkan dalam bahasa ilmiah. Seorang penulis
yang baik mampu menuliskan sesuatu yang abstrak dan kompleks dengan
bahasa sederhana sehingga mudah dipahami pembaca. Di sini, diperlukan
kreativitas yang baik untuk memilih dan mungkin juga ‘menciptakan’ stile
yang baik, segar, menarik, dan komunikatif.
Keempat, bahasa sastra ditandai oleh adanya penyimpangan dari cara-
cara penuturan yang bersifat otomatis, rutin, biasa, dan wajar yang disebut
deotomatisasi atau defamiliarisasi. Adanya berbagai bentuk penyimpangan
(deviasi) dalam bahasa sastra merupakan efek dan konsekuensi logis terhadap
adanya tuntutan kreativitas dan kebaruan pengucapan yang sangat menentukan
nilai keindahan sebuah karya sastra. Penyimpangan dalam bahasa sastra dapat
dilihat secara sinkronik, yang berupa penyimpangan dari bahasa sehari-hari
dan secara diakronik, yang berupa penyimpangan dari karya sebelumnya.
Namun, harus dipahami bahwa penyimpangan secara ekstrem terhadap bahasa
yang bersangkutan akan berakibat tidak dipahaminya karya yang bersangkutan
terhadap sesuatu yang akan dikomunikasikan. Fungsi komunikatif bahasa
hanya akan efektif jika sebuah penuturan masih tunduk dan memanfaatkan
konvens bahasa itu seberapapun kadarnya.
Kelima, bahasa sastra ditandai oleh adanya unsur-unsur tertentu yang
mendapat penekanan lebih (foregrounding). Tujuan pemberian penekanan
adalah untuk mencapai efek keindahan. Ketiga istilah (deotomatisasi, deviasi,
dan foregrounding) sering dibicarakan dalam satu rangkaian. Bahasa sastra
harus memenuhi tuntutan kreativitas, keaslian, dan kebaruan maka bahasa
sastra harus menunjukkan adanya deotomatisasi. Untuk mencapai keadaan
tersebut, pengarang menggunakandeviasi. Tujuan penuturan secara
deotomatisasi lewat bentuk-bentuk deviatif adalah untuk memperoleh
perhatian yang lebih karena bentuk-bentuk itu sengaja ditekankan
pentingnya, foregrounding. Bentuk-bentuk yang demikian adalah bentuk-
bentuk ungkapan yang mampu mencapai efek keindahan. Ketiga sifat bahasa
sastra secara teoretis lebih ditujukan untuk karakter bahasa puisi walau dapat
ditemukan dalam genre fiksi. Akan tetapi, intensitas kehadirannya berbeda dan
lebih intensif pada bahasa puisi. Berikut disajikan contoh dalam puisi Sajak
Putih karya Chairil Anwar.

SAJAK PUTIH

Bersandar pada tari warna pelangi


Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba


Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka


Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah...

Puisi di atas berbicara tentang suasana hati yang bahagia, penuh harap
dan cinta. Namun, suasana jiwa yang demikian bersifat abstrak, tidak mudah
diimajinasikan, maka Chairil Anwar mengekspresikannya melalui bentuk-
bentuk ungkapan personifikasi agar dapat dibayangkan. Kata-kata yang
dipakai dalam puisi itu sebenarnya kata-kata yang biasa didengar dan dipakai.
Namun, dalam puisi itu disusun, didayakan dan dibentuk agar memiliki makna
baru, makna yang belum biasa didengar dan dipakai.
Itulah manifestasi adanya unsur kreativitas, penciptaan, keaslian,
kebaruan dalam bahasa sastra. Dalam puisi tersebut juga
terdapat deotomatisasi yang terlihat pada struktur sintaksis larik-larik puisi
yang tidak umum dan melanggar tata bahasa (bentuk deviasi). Penyair
membuat inversi, yaitu membalik susunan ‘Subjek-Predikat’ menjadi
‘Predikat-Subjek’ pada larik 3-6. Selain itu, Chairil Anwar juga membuat
kalimat tidak biasa baik karena penghilangan kata penghubung ataupun
pembalikan susunan seperti pada larik berikut.
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah...

Susunan yang biasa seperti berikut.


Hidup dari hidupku (akan sebagai) pintu terbuka
Selama matamu menengadah bagiku
Selama darahmu mengalir dari luka
Antara kita tidak membelah (sampai) kematian datang

Demikian juga dalam pemberian makna, misalnya “sepi menyanyi”.


Selain itu, repetisi dan paralellisme juga menambah intensitas makna.
Demikian, artinya terdapat usaha untuk membuat bahasa itu memiliki
efek foregrounding baik secara bahasa yang membentuk keindahan stile
maupun muatan makna yang ingin disampaikan.

Anda mungkin juga menyukai