Anda di halaman 1dari 2

PENGUTAMAAN BAHASA INDONESIA DI RUANG PUBLIK

Bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa tidak dapat diragukan lagi. Sejarah
membuktikan, lahirnya Republik Indonesia tidak lepas dari adanya bahasa Indonesia. Dalam
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yang digunakan adalah bahasa Indonesia, bukan bahasa
daerah ataupun bahasa asing. Bahasa Indonesia merupakan identitas bangsa Indonesia dan jati
diri bangsa Indonesia yang telah dicetuskan sebagai bahasa persatuan pada peristiwa Sumpah
Pemuda 28 Oktober 1928. Pada era globalisasi saat ini, bahasa Indonesia sedang menghadapi
tantangan dan masalah yang cukup serius khususnya dalam bidang penggunaan di ruang publik.
Menurut UU RI No. 24 Tahun 2009, Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam rambu umum,
penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan
umum.

Dalam Murtiana (2012), bahasa Indonesia mengalami banyak kontak dengan beberapa
bahasa bangsa lain yang terbawa melalui tiga aspek utama, yaitu ekonomi, politik, sosial, dan
budaya. Bangsa Tiongkok dan Arab datang ke Indonesia dengan misi perdagangan. Kemudian
bangsa Belanda, Portugis, dan Jepang datang untuk menjajah bangsa Indonesia. Bangsa Arab
dan India datang dengan misi penyebaran agama. Kontak bahasa ini pun pada akhirnya
memperkaya kekhazanahan bahasa Indonesia.

Masalah kemudian terjadi ketika media massa dan ruang publik kita cenderung menjadi
“etalase” penggunaan istilah asing. Beberapa yang kerap kita temui adalah penggunaan nama
tempat perbelanjaan atau nama hunian dan properti. Bahkan hal tersebut sangat sering kita
jumpai di sekitar kita, seperti : Sun Plaza, Jati Junction, Cambridge City Square, flyover Medan
Amplas, underpass Titi Kuning dan lain sebagainya. Untuk menggantikan penggunaan istilah-
istilah asing tersebut, kita dapat menggunakan jalan lintas atas Medan Amplas untuk
menggantikan kata flyover atau jalan lintas bawah Titi Kuning sebagai pengganti underpass.
Apakah penggunaan dan penyebutan nama-nama (hunian, mal, properti) dengan nama lokal akan
mengurangi tingkat “kekerenan”? Rasanya tidak juga.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahasa Indonesia di ruang


pubik sangat rendah. Bahasa Indonesia semakin terpinggirkan dan bahkan sudah ditinggalkan
karena kesadaran masyarakat sudah sangat rendah dan lebih bangga menggunakan bahasa asing.
Masyarakat lebih suka berbahasa asing karena menilai bahasa asing lebih relevan dengan
perkembangan dunia saat ini. Tanpa mereka sadari, hal tersebut merupakan perbuatan melawan
hukum karena melanggar UU RI No. 24 Tahun 2009 khususnya pasal 26 sampai 40 yang secara
jelas membahas tentang penggunaan wajib bahasa Indonesia.

Apa solusi yang harus dilakukan untuk mengatasi fenomena atau permasalahan tersebut?

Dalam bidang pendidikan, Guru Besar Bahasa Indonesia Universitas Indonesia, Felicia
Nuradi, mengingatkan pentingnya memerhatikan kapasitas pengajar bahasa Indonesia di
sekolah-sekolah. Alasannya karena seringkali kemampuan pemahaman para pengajar belum
setara dengan materi yang harus mereka ajarkan kepada siswa.

Pemerintah juga harus terus mendorong untuk penggunaan istilah berbahasa Indonesia di
ruang publik, dan saat ini sudah ada pencapaian besar dengan ditetapkannya Moda Raya Terpadu
sebagai istilah baku Bahasa Indonesia. Melansir Instagram MRT, Senin (29/10/2018),
pengindonesiaan Moda Raya Terpadu resmi diluncurkan pada Pra Pembukaan Kongres Bahasa
Indonesia XI, Minggu 28 Oktober 2018, di Hotel Grand Sahid Jaya. Hal ini langsung diresmikan
oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pada 28 Oktober 2018, bersamaan
dengan Hari Sumpah Pemuda ke-90.

Namun begitu, bukan berarti kita seakan alergi dengan penggunaan bahasa asing.
Dardjowidjojo (2008) mengatakan, memurnikan bahasa Indonesia dengan mencegah kata asing
bukan hanya bertentangan dengan kodrat, tapi juga menjauhkan kita dari masa depan. Mengapa?
Karena persentuhan dengan bahasa dan kebudayaan asing adalah sesuatu yang diyakini.

Tentu kita tidak boleh gegabah menerima istilah asing begitu saja. Diperlukan
penyesuaian dan penyaringan agar istilah asing yang baru masuk tidak “merusak” tatanan yang
terlebih dahulu ada.

Kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia sebagai tempat publik harus digelorakan


kembali. Ini berpulang lagi pada fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Yaitu
bahwa bahasa sebagai sarana komunikasi antarsuku dan budaya bangsa sehingga perbedaan latar
belakang sosial budaya dan bahasa tidak perlu dikhawatirkan lagi.

Anda mungkin juga menyukai