Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PENDIDIKAN MULTILITERASI

“ LITERASI KRITIS ”

Dosen Matakuliah : Dr. Karnadi, M.Si

KELOMPOK V
Anggota kelompok :
1. DINA AULIA (1104618068)
2. GRACE MARLA BERNADES H. (1104618035)
3. KOKO RENALDI (1104618082)
4. HELMIA (1104618067)
5. SINTA RIMA IRANIA (1104618037)

PENDIDIKAN MASYARAKAT A 2018


PENDIDIKAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karunia-Nya kami
dapat menyelesaikan Makalah dengan judul “Literasi Kritis”. Mungkin dalam pembuatan
makalah ini masih banyak memiliki kekurangan baik dari segi penulisan, isi dan lain
sebagainya. Maka kami sangat mengharapkan kritikan dan saran guna perbaikan untuk
pembuatan makalah di hari yang akan datang.

Demikianlah sebagai pengantar kata, dengan iringan serta harapan semoga tulisan
sederhana ini semoga dapat diterima dan bermanfaat bagi semua pembaca.

Atas semua ini kami mengucapkan terimakasih bagi segala pihak yang telah ikut
membantu dalam menyelesaikan makalah ini.

Jakarta, 25 November 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................ i

DAFTAR ISI............................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang......................................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan...................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................... 3
2.1 Pengertian Literasi.................................................................................................... 3
2.2 Literasi Kritis ........................................................................................................... 3
2.3 Memacu Literasi Kritis............................................................................................. 4
BAB III PENUTUP................................................................................................................... 8
3.1 Kesimpulan.............................................................................................................. 8
3.2 Saran......................................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................ 9

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Dewasa ini, literasi bukan hanya sebatas keterampilan membaca dan menulis kosakata.
Memasuki abad 21, literasi berkembang menjadi sebuah keterampilan berpikir dalam
membaca kata dan dunia serta mencari relasi diantara keduanya untuk memecahkan masalah
kehidupan. Penulis mengutip pendapat Alwasilah, beliau mengungkapkan tujuh prinsip dasar
literasi yang berkembang dewasa ini, adapun ketujuh prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1. Literasi adalah kecakapan hidup (life skills) yang memungkinkan manusia berfungsi
maksimal sebagai anggota masyarakat;
2. Literasi mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana secara
tertulis maupun secara lisan;
3. Literasi adalah kemampuan memecahkan masalah;
4. Literasi adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya;
5. Literasi adalah kegiatan refleksi (diri);
6. Literasi adalah hasil kolaborasi;
7. Literasi adalah kegiatan melakukan interprestasi. (Alwasilah, 2012).
Mengacu pada pendapat Alwasilah, dapat dipahami betapa pentingnya keterampilan
literasi bagi perkembangan kehidupan sumber daya manusia, terutama bagi Bangsa Indonesia
yang tengah mempersiapkan diri menuju generasi emas 2045. Penulis menemukan adanya
kesenjangan mengenai paradigma literasi yang berkembang di lingkungan masyarakat
Indonesia. Kuat dugaan paradigm literasi yang berkembang di masayarakt belum sepenuhnya
mengadopsi paradigma literasi sebagai kekuatan budaya dan masih terpaku pada konsep
literasi sebagai kemampuan membaca dan menulis kosakata.
Pada dasarnya paradigm literasi konvensional mengacu pada teori Whole Language
yang menekankan pada konteks pribadi siswa maupun guru, dengan berorientasi pada teks
yang merupakan reproduksi dari aspek sosial budaya masyarakat, dalam hal ini siswa tidak
dilibatkan menjadi anggota masyarakat, dan diperlukan metode yang cocok untuk
memisahkan anggota kelas (siswa), serta digunakan sebagai jalan untuk mengkompensasi
ketidakadilan sosial.
Dalam perspektif baru paradigma pembelajaran literasi, menganut teori literasi kritis.
Teori ini menghendaki pembelajaran melalui penanaman harapan prestasi akademik yang
tinggi pada siswa, serta mengakui dan menghargai kompetensi budaya siswa. Selanjutnya,

1
teori ini juga melakukan pengembangan kesadaran politik sosial guru dan siswa, dengan
memberikan pengalaman kepada siswa, yang berdasarkan pada konsep bahwa mereka
adalah anggota dari kelompok masyarakat, menghubungkan pengetahuan siswa terhadap
kelompok- kelompok masyarakat dengan kritik teks yang berkaitan dengan isu-isu
kekuasaan, hubungan dominasi, dan kelompok. Serta kecenderungan untuk melihat siswa
sebagai bagian dari berbagai kelas sosial budaya sebagai kelompok yang mencerminkan
realitas masyarakat. (Kucer, 2005).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu literasi?
2. Apa itu literasi Kritis?
3. Bagaimana cara memacu budaya kritis?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui dan memahami literasi
2. Mengetahui dan memahami literasi kritis
3. Mengetahui dan memahami cara memacu literasi kritis

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Literasi
Literasi adalah istilah umum yang merujuk kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan
individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada
tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, literasi tidak
bisa dilepaskan dari kemampuan berbahasa.

Pengertian literasi dari beberapa sumber buku :

 Menurut Kern (2000), Literasi adalah penggunaan praktik-praktik situasi sosial, dan
historis, dan situasi kebudayaan untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna
melalui teks.
 Menuerut Romdhoni (2013), literasi merupakan peristiwa sosial yang melibatkan
keterampilan-keterampilan tertentu, yang diperlukan untuk menyampaikan dan
mendapatkan informasi dalam bentuk tulisan.
 Menurut Kemendikbud (2016), literasi adalah kemampuan mengakses, memahami,
dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain
membaca, melihat, menyimak, menulis, dan berbicara.
 Menurut Rahayu (2016), literasi merupakan aktivitas membaca dan menulis yang
terkait dengan pengetahuan membaca dan menulis terkait dengan pengetahuan,
bahasa dan budaya.
2.2 Literasi Kritis

Istilah 'kritis' pada umumnya didefinisikan sebagai sikap bertanya dan skeptisisme
tentang truisme yang diterima secara umum. Dalam wacana pendidikan, istilah 'Kritis'
tertanam dalam tiga konsep; Pedagogik Kritis, Pemikiran Kritis dan Literasi Kritis (Cooper, et
all, 2008). Penulis menambahkan satu konsep lain yaitu kesadaran kritis. Keempat istilah ini
salah satunya diprakarsai oleh Paulo Freire, seorang pakar pendidikan yang menjadi acuan
para ahli pedagogik kritis seperti Henry Giroux, M. Apple, William Smith dll. Profil Paulo
Frerie sudah dipaparkan di bab awal, kaitannya dengan bahasan ini, bahwa munculnya istilah
Literasi Kritis (Critical Literacy) berawal dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Paulo
Freire yang menyimpulkan bahwa pembelajaran literasi harus tertuju pada membaca kata dan
membaca dunia atau membaca teks dan konteks.

Selanjutnya Wisudo (dalam Tilaar, 2011, hlm 200) mengemukakan pandangannya,


bahwa “literasi kritis secara ringkas dapat dipahami sebagai kemampuan membaca teks

3
secara aktif dan reflektif dengan tujuan memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang
kekuasaan, ketidaksamaan atau kesenjangan, dan ketidakadilan dalam relasi manusia”.
Sedangkan menurut Johnson dan Freedman (dalam Priyatni, 2012, hlm 28) mengungkapkan
bahwa “Literasi kritis adalah perpaduan antara keterampilan berpikir kritis dan perhatian
pada konten keadilan sosial, politik, bahasa, dan kekuasaan yang ada di dalam teks”.
Pendidikan literasi kritis membantu siswa mengeksplorasi hubungan bahasa dan kekuatan
dan berfokus pada kebutuhan untuk menciptakan pembicara, pembaca, dan penulis kritis
yang dapat mendekonstruksi teks-teks yang mengelilinginya dan menafsirkannya, baik
sebagai produk dan proses praktik sosial tertentu. Dalam konteks ini, literasi diakui sebagai
sumber pembuatan makna yang didefinisikan secara ideologis (Ioannidou, 2015).
Sedangkan menurut Cooper & White (2008): Literasi Kritis berkaitan denga proses
mengembangkan kapasitas diri (efikasi diri) untuk membaca dibarengi dengan sebuah sikap
pencarian, dan keinginan untuk mempengaruhi perubahan sosial yang positif. Senada
dengan pendapat Lee (2016) yang mendefinisikan literasi kritis sebagai "belajar membaca
dan menulis sebagai bagian dari proses menjadi sadar akan pengalaman seseorang yang
dibangun secara historis dalam hubungan kekuasaan yang spesifik”. Oleh karena itu, tujuan
literasi kritis adalah untuk menantang hubungan kekuatan yang tidak setara ini.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli dan peneliti sebelumnya, dapat disimpulkan
bahwa literasi kritis adalah kemampuan seseorang untuk mengembangkan kemampuan
literasi baik itu membaca atau menulis guna menemukan kesenjangan sosial yang
merepresentasikan penyalahgunaan kekuasaan, penindasan, marjinalisasi, dan segala bentuk
kritis kemanusiaan, proses ini tidak hanya melibatkan kemampuan kognitif, tapi lebih dalam
lagi melibatkan kesadaran dan pengalaman. Tak sebatas itu, literasi kritis juga dapat
mengembangkan hasrat emansipatif untuk senantiasa menginginkan perubahan yang positif
pada situasi sosio-cultural manusia. Hasrat emansipatif itu memicu manusia untuk bangkit
sebagai pengada, agen atau aktor yang melakukan tindakan sosial berdaya transformatif.
(Hendriani dkk 2017).

2.3 Memacu Budaya Literasi Kritis


Tantangan yang dihadapi bangsa ini bukan cuma angka buta aksara yang masih tinggi,
melainkan juga rendahnya minat baca masyarakat di berbagai lapisan. Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik, pada tahun 2004 masih ada 15,4 juta penduduk yang buta aksara
atau 10,2 persen dari jumlah penduduk, sedangkan pada 2010 jumlahnya turun menjadi

4
7,54 juta jiwa atau 5,02 persen dari jumlah penduduk. Pada tahun 2017, jumlah ini turun
lagi menjadi 3,4 juta jiwa atau 2,07 persen dari jumlah penduduk. Selain itu, kemampuan
membaca saja tidaklah cukup, tetapi juga harus disertai dengan kegemaran membaca di
masyarakat. Hasil penelitian Perpustakaan Nasional tahun 2017 menunjukkan, frekuensi
membaca orang Indonesia hanya 3-4 kali per minggu dengan lama waktu membaca per
hari hanya 30-59 menit. Tidak sampai satu jam.
Waktu membaca ini jauh di bawah standar UNESCO, yakni 4-6 jam per hari. Adapun
jumlah buku yang ditamatkan masyarakat Indonesia hanya 5-9 buku per tahun (Harian
Kompas, 2018). Uji tiga tahunan Program Penilaian Siswa Internasional (PISA) untuk
siswa usia 15 tahun atau di bidang sains, membaca, dan matematika menunjukkan, nilai
siswa Indonesia pada 2015 hanya 403, jauh lebih rendah daripada nilai rata-rata global
493. Rendahnya nilai PISA itu menunjukkan mutu siswa Indonesia lemah dalam bernalar
serta berargumentasi lisan dan tulisan. Namun, di era industri 4.0 yang mengedepankan
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendorong inovasi, kemampuan itu
jauh dari memadai (Arika, 2018). Pendidikan abad ini seyogianya mampu membentuk
insan muda yang teliti, kritis, dan etis, mampu mengenali dan menganalisis masalah,
memberikan solusi bagi pemecahan masalah, dan lebih lanjut mampu membuat keputusan
secara tepat (Abidin, 2015).
Pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk transformasi sosial yang
diperlukan untuk menyesuaikan ke revolusi industri 4.0 (4IR). Tetapi pendidikan hari ini
dirancang untuk memenuhi kebutuhan revolusi industri masa lalu dengan produksi massal
yang ditenagai oleh listrik. Sistem-sistem itu tidak cocok untuk ekonomi otomasi. Siswa
hari ini (dari segala usia) dihadapkan dengan tantangan utama dalam demografi, populasi
(baik yang tumbuh dan menyusut), kesehatan global, melek huruf, kemiskinan,
pengangguran dan banyak lagi. Sejauh ini perubahan pendidikan lambat dan tidak
memadai, tapi ada pula yang mencoba beradaptasi. Dalam beberapa dekade terakhir,
pendidikan umumnya mengalami hanya peningkatan bertahap kecil. Seperti penambahan
ruang kelas yang lebih baik, gonta-ganti kurikulum, dan perpustakaan serta infrastruktur
lainnya (Gleason, 2018). Untuk mengembangkan keterampilan, pembelajaran harus
melampaui sekadar transfer informasi.
Pendidikan perlu menekankan pedagogi yang berpusat pada siswa dan kerja tim yang
sangat membantu dalam mengembangkan keterampilan emosional yang diperlukan untuk
kesuksesan abad 21. Melalui penguasaan kompetensi ini pula, siswa akan dapat
menyampaikan berbagai pandangan kritisnya kepada orang lain dan juga mampu

5
mengomunikasikan pengetahuan kepada orang lain sehingga ia akan senantiasa mampu
berguna bagi lingkungannya. Intinya adalah bahwa kreativitas menjadi kunci
memungkinkan siswa untuk menciptakan pengetahuan baru dan mengembangkan
pemahaman yang mendalam tentang bagaimana kita tahu apa yang kita ketahui (Lewis,
2018). Sistem pendidikan yang adaptif bermakna perlunya sinergitas antara rancangan
proses pendidikan dengan perkembangan pengetahuan terkini. Perubahan pendekatan pola
penyelenggaraan pembelajaran dari yang berorientasi pada diseminasi materi mata
pelajaran menjadi pembelajaran dari berbagai perspektif ilmu pengetahuan (Afandi,
Junanto dan Afriani, 2016). Oleh karenanya, paradigma baru pendidikan haruslah
diwujudkan guna mampu menempatkan pendidikan pada tempat yang penting dalam
mengembangkan kompetensi siswa.
Untuk menumbuhkan kemampuan tersebut, sistem pendidikan nasional perlu memiliki
program “literacy education” dalam kurikulum sekolah mulai dari literasi dasar pada
pendidikan dasar sampai dengan literasi yang lebih tinggi tingkatannya pada pendidikan
tinggi dan pendidikan profesional (Suryadi, 2014). Paradigma ini selanjutnya dikenal
dengan istilah paradigma pendidikan literasi. Paradigma literasi kritis menekankan kritik
teks atau informasi yang berkaitan dengan isu-isu kekuasaan, dominasi, dan hubungan
antar kelompok. Dalam praktiknya, pembelajaran literasi harus secara eksplisit
dikembangkan secara bervariasi bergantung pada apa yang harus dipelajari siswa dan
bagaimana konteks proses pembelajarannya. Upaya mengembangkan pembelajaran
literasi kritis hendaknya dilakukan secara integratif. Dilakukan secara terpadu (lintas
disiplin ilmu) dan mempertimbangkan keberagaman siswa serta dijiwai daya kritis
(Abidin, 2015).
Dengan demikian, literasi kritis memberikan potensi alat pemberdayaan bagi siswa
untuk mengembangkan pemikiran kritis. Secara historis, literasi sering dianggap sebagai
kemampuan membaca dan menulis dengan benar. Ini menyiratkan penguasaan
pengetahuan dan keterampilan itu memungkinkan seseorang untuk membaca buku dan
menulis kalimat. Literasi sebagai dasar untuk mendukung keterampilan berpikir kritis
pelajar abad 21 yang hidup dalam masyarakat yang kompleks dan global. Literasi juga
dapat dipahami sebagai proses kritis dan reflektif itu mensyaratkan mengetahui posisi
seseorang di dunia dan realitas. Literasi kritis menawarkan potensi untuk berfungsi sebagai
alat yang memungkinkan siswa untuk menginterpretasikan beragam pesan dan informasi,
membuat keputusan berdasarkan informasi, dan bertindak untuk mengubah masyarakat
dan dunia secara positif yang bermanfaat untuk orang lain (Pohl jr dan Beaudry, 2015).

6
Literasi sangat memengaruhi kualitas hidup masyarakat dan kemajuan suatu bangsa.
Pendidikan menjadi cara yang menentukan mutu dari literasi tersebut.
Pembinaan literasi dengan berpikir kritis ini, siswa diharapkan akan mampu
mengambil keputusan secara cepat dan tepat berdasarkan penggunaan berbagai sudut
pandang dan bukan hanya berdasar pada sudut pandang tertentu. Siswa harus mampu
menyikapi sebuah fenomena tertentu berdasarkan konsep pengetahuan yang terintegrasi
bukan pengetahuan secara fragmentaris. Oleh sebab itu, desain pembelajaran integratif
yang berdiferensiasi menjadi desain pembelajaran yang harus diterapkan sejak anak belajar
formal sebab melalui pembelajaran integratif yang berdiferensiasi ini siswa akan beroleh
sejumlah pemahaman akhir (enduring understanding) yang bersifat interdisiplin ilmu dan
sekaligus beroleh keterampilan kecakapan hidup (life skill).
Pembelajaran integratif biasanya dikembangkan berdasarkan pengalaman, perhatian
dan kehidupan sehari-hari siswa (relevan dan kontekstual). Dalam aplikasinya,
pembelajaran integrasi interdisiplin diwujudkan dalam model pembelajaran berbasis
proyek, model pembelajaran berbasis masalah, dan model pembelajaran berbasis desain.
Melalui pembelajaran ini diharapkan siswa benar-benar memiliki berbagai kecakapan
autentik yang bukan hanya berfungsi di dunia sekolah melainkan berfungsi dalam
kehidupan sehari-hari. Lebih jauh pembelajaran ini diharapkan mampu melahirkan insan
cerdas, komunikatif, dan berkarakter di masa yang akan datang.

7
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Literasi kritis adalah kemampuan seseorang untuk mengembangkan kemampuan literasi
baik itu membaca atau menulis guna menemukan kesenjangan sosial yang
merepresentasikan penyalahgunaan kekuasaan, penindasan, marjinalisasi, dan segala
bentuk kritis kemanusiaan, proses ini tidak hanya melibatkan kemampuan kognitif, tapi
lebih dalam lagi melibatkan kesadaran dan pengalaman.
Sistem pendidikan nasional perlu memiliki program “literacy education” dalam
kurikulum sekolah mulai dari literasi dasar pada pendidikan dasar sampai dengan literasi
yang lebih tinggi tingkatannya pada pendidikan tinggi dan pendidikan profesional (Suryadi,
2014). Paradigma ini selanjutnya dikenal dengan istilah paradigma pendidikan literasi.
Paradigma literasi kritis menekankan kritik teks atau informasi yang berkaitan dengan isu-
isu kekuasaan, dominasi, dan hubungan antar kelompok. Dalam praktiknya, pembelajaran
literasi harus secara eksplisit dikembangkan secara bervariasi bergantung pada apa yang
harus dipelajari siswa dan bagaimana konteks proses pembelajarannya. Upaya
mengembangkan pembelajaran literasi kritis hendaknya dilakukan secara integratif.
Dilakukan secara terpadu (lintas disiplin ilmu) dan mempertimbangkan keberagaman siswa
serta dijiwai daya kritis

3.2 Saran
Penyusun menyadari jika makalah ini jauh dari sempurna. Kesalahan ejaan, penulisan,
pemilihan kata dan cakupan masalah yang masih kurang. Diharapkan makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca dan dapat mengaplikasikannya dengan benar.

8
DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, AC (2012). Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.

https://www.kajianpustaka.com/2019/06/pengertian-jenis-dan-gerakan-literasi.html

https://indonesiadevelopmentforum.com/2018/ideas/11886-memacu-budaya-literasi-kritis

http://ejournal.upi.edu/index.php/pedagogia/article/download/10811/pdf

Anda mungkin juga menyukai