Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

LITERASI DAN LITERASI KRITIS

Iin Parlina
X3C
202121500068
Dosen Pengampu Mata Kuliah
Nur Irwansyah, M.Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI
SEMESTER GASAL
2022

1
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur atas kehadirat Allah SWT kami ucapkan. Berkat rahmat
serta hidayahnya berupa iman dan kesehatan kepada penulis sehingga makalah
yang berjudul “LITERASI DAN LITERASI KRITIS” dapat selesai tepat pada
waktunya.
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Membaca dari Bapak Dosen Nur Irwansyah, M.Pd. Pada bidang studi Membaca.
Kemudian, dengan penulisan makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan
kepada pembaca tentang literasi dan literasi kritis.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada diri sendiri karena telah
bertanggung jawab atas tugas yang diberikan oleh Dosen. Kemudian ucapan
terima kasih kepada Bapak Nur Irwansyah, M.Pd. selaku Dosen mata kuliah
Membaca. Berkat tugas yang beliau berikan ini dapat menambah pengetahuan
penulis berkaitan dengan tema yang diberikan. Dan ucapan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan makalah ini masih
banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis meminta maaf yang
sebesar-besarnya atas banyaknya kesalahan dan kekeliruan yang pembaca
temukan. Dan semoga apa yang penulis sampaikan dalam makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca.

Bekasi, 08 November 2022

Iin Parlina

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Literasi bukan hanya sebatas keterampilan membaca dan menulis
kosakata. Memasuki abad 21, literasi berkembang menjadi sebuah keterampilan
berpikir dalam membaca kata dan dunia serta mencari relasi diantara keduanya
untuk memecahkan masalah kehidupan. Penulis mengutip pendapat Alwasilah,
beliau mengungkapkan tujuh prinsip dasar literasi yang berkembang dewasa ini,
adapun ketujuh prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1. Literasi adalah kecakapan hidup (life skills) yang memungkinkan manusia
berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat;
2. Literasi mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana
secara tertulis maupun secara lisan;
3. Literasi adalah kemampuan memecahkan masalah;
4. Literasi adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya;
5. Literasi adalah kegiatan refleksi (diri);
6. Literasi adalah hasil kolaborasi;
7. Literasi adalah kegiatan melakukan interprestasi. (Alwasilah, 2012).
Mengacu pada pendapat Alwasilah, dapat dipahami betapa
pentingnya keterampilan literasi bagi perkembangan kehidupan sumber daya
manusia, terutama bagi Bangsa Indonesia yang tengah mempersiapkan diri
menuju generasi emas 2045. Penulis menemukan adanya kesenjangan mengenai
paradigma literasi yang berkembang di lingkungan masyarakat Indonesia. Kuat
dugaan paradigm literasi yang berkembang di masayarakt belum sepenuhnya
mengadopsi paradigma literasi sebagai kekuatan budaya dan masih terpaku pada
konsep literasi sebagai kemampuan membaca dan menulis kosakata.
Pada dasarnya paradigm literasi konvensional mengacu pada teori
Whole Language yang menekankan pada konteks pribadi siswa maupun guru,
dengan berorientasi pada teks yang merupakan reproduksi dari aspek sosial
budaya masyarakat, dalam hal ini siswa tidak dilibatkan menjadi anggota
masyarakat, dan diperlukan metode yang cocok untuk memisahkan anggota
kelas (siswa), serta digunakan sebagai jalan untuk mengkompensasi
ketidakadilan sosial. Dalam perspektif baru paradigma pembelajaran literasi,
menganut teoriliterasi kritis. Teori ini menghendaki pembelajaran melalui
penanaman harapan prestasi akademik yang tinggi pada siswa, serta mengakui
dan menghargai kompetensi budaya siswa. Selanjutnya, teori ini juga melakukan
pengembangan kesadaran politik sosial guru dan siswa, dengan memberikan
pengalaman kepada siswa, yang berdasarkan pada konsep bahwa mereka adalah
anggota dari kelompok masyarakat, menghubungkan pengetahuan siswa
terhadap kelompok- kelompok masyarakat dengan kritik teks yang berkaitan
dengan isu-isu kekuasaan, hubungan dominasi, dan kelompok. Serta
kecenderungan untuk melihat siswa sebagai bagian dari berbagai kelas sosial

3
budaya sebagai kelompok yang mencerminkan realitas masyarakat. (Kucer,
2005).
Umunya setiap orang akan berfikir bahwa literasi berhubungan
dengan buku saja, namun sebenarnya hal ini memiliki makna yang sangat luas.
Menurut KBBI literasi adalah kemampuan individu dalam mengolah informasi
dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Mudahnya literasi tak hanya membaca
dan menulis, namun berbicara, menghitung, mendengarkan, dan memecahkan
masalah.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu literasi?
2. Apa itu literasi kritis?
3. Apa itu literasi membaca sebagai proses sosial?
4. Bagaiamana konsep literasi kritis?
5. Bagaimana fokus kajian literasi kritis?
6. Bagaimana literasi kritis: Mengungkap praktik sosial dalam teks sastra?
7. Mengapa Sastra Sebagai Wahana Menumbuhkan Kesadaran Kritis Siswa
Terhadap Praktik-Praktik Sosial?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui dan memahami literasi
2. Mengetahui dan memahami literasi kritis
3. Mengetahui dan memahami literasi membaca sebagai proses sosial
4. Mengetahui dan memahami konsep literasi kritis
5. Mengetahui dan memahami fokus kajian literasi kritis
6. Mengetahui dan memahami literasi kritis: Mengungkap praktik sosial
dalam teks sastra
7. Memahami dan mengetahui Sastra Sebagai Wahana Menumbuhkan
Kesadaran Kritis Siswa Terhadap Praktik-Praktik Sosial

4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Literasi
Makna dan fokus literasi terus berproses dan berkembang. Literasi pada awal
kemunculannya dimaknai sebagai keberaksaraan atau melek aksara yang fokus
utamanya pada kemampuan membaca dan menulis, dua keterampilan yang menjadi
dasar untuk melek dalam berbagai hal (Kalantzis, 2015). Pada perkembangan
berikutnya, literasi dimaknai sebagai melek membaca, menulis, dan mimerik, tiga
keterampilan dasar untuk kecakapan hidup (Kalantzis, 2015).
Alwasilah (2008) menggunakan istilah literasi dengan literasi kritis karena
memfokuskan keterampilan kritis dan analitis yang diperlukan untuk memahami dan
menginterpretasikan teks, baik teks lisan maupun tulis, yang dapat digunakan untuk
memecahkan permasalahan kehidupan di masyarakat baik akademis maupun sosial.
Selaras dengan Alwasilah (2008), Puskur (2007) juga memaknai literasi sebagai
kemampuan menyelesaikan masalah dengan menggunakan teks sebagai alat
utamanya.Penggunaan teks sebagai alat utamanya inilah yang menyebabkan literasi
sering juga dimaknai sebagai kemahirwacanaan yang fokus utamanya adalah pada
kemampuan berpikir/bernalar kritis.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa literasi berurusan dengan
pemaknaan teks dan konteksnya dengan menggunakan keterampilan berpikir tingkat
tinggi untuk dimanfaatkan dalam memahami kehidupan dan berbagai aspeknya. Perlu
diperhatikan bahwa istilah "teks" dalam literasi dapat berwujud teks tulis, lisan (audio),
visual, auditori, audiovisual, spasial, nonverbal (kinestesik, dsb.). Wujud teks bisa
digital atau nondigital (Warnick, 2008; Laksono, 2017). Mengapa pemaknaan terhadap
teks begitu penting dalam kegiatan literasi? Ya, karena pemaknaan seseorang akan
membentuk sistem nilai dan sistem nilai akan menentukan tindakan seseorang dalam
memahami kehidupan beserta aspeknya (Confido, 2015). Confido (2015) memberikan
contoh pemaknaan seseorang terhadap fenomena apel jatuh. A memaknai apel jatuh
sebagai 'kesempatan makan apel gratis', B memaknai apel jani sebagai 'saat yang tepat
untuk panen', sedangkan C memaknai apel jatuh sebagai 'teori gravitasi". Dari
pemaknaan tersebut dapat disimpulkan bahwa A memiliki pemaknaan sempit sehingga
ia hanya beruntung saat itu, B memiliki pemaknaan luas sehingga ia memiliki
keuntungan besar, C memiliki pemaknaan luar biasa (spektakuler), ia adalah seorang
Isaac Newton yang dapat mengubah sejarah dunia (Confido, (2015).
Pemaknaan yang berbeda memiliki dampak/konsekuensi yang berbeda Sebagai contoh,
siswa A dan B mendapatkan nilai rendah (50) untuk mate pelajaran Bahasa Indonesia.
Siswa A memaknai nilai rendah sebagai bentuk kebencian guru kepadanya sehingga ia
patah arang, tidak mau memperbaiki nilai rendahnya tersebut. Siswa B merasa nilai
rendah pantas untuknya karena ia merasa kurang belajar secara sungguh-sunggu, nilai
rendah ia jadikan cambuk untuk mengerjakan yang lebih baik lagi. Contoh di atas
membuktikan bahwa pemaknaan berbeda akan memberikan dampak atau konsekuensi
berbeda dalam kehidupan. Pemaknaan sempit akan membuat seseorang terpuruk,

5
sedangkan pemaknaan yang luas akan membuat seseorang menjadi lebih bijak dalam
menghadapi berbagai fenomena kehidupan sehingga ia akan lebih tabah dan kuat dalam
menghadapi berbagai masalah. Selain pemaknaan, inti kemampuan literasi adalah
kemampuan komunikasi dan representasi (Kalantzis, 2015).
Kemampuan komunikasi adalah kemampuan menyampaikan ide kepada orang
lain sedangkan kemampuan representasi adalah kemampuan memformulasikan ide agar
ide ide yang disampaikan bermakna bagi orang lain melalui beragam moda, misalnya
melalui narasi, diagram, peta konsep, visualisasi melalui gerak tubuh, mimik, atau
ekspresi yang sesuai dengan konteks. Kemampuan komunikasi dan representasi ini
membutuhkan kemampuan berpikir dan bernalar tingkat tinggi agar ide yang kita
sampaikan bermakna dengan memperhatikan konteksnya Sebagai contoh, seorang
dokter akan menyampaikan hasil tes laboratorium kepada pasien dan kepada keluarga
pasien, tentu formulasi atau representasi pengomunikasiannya akan berbeda kalau
tujuannya berbeda. Untuk pasien, dokter akan menggunakan kata-kata persuasif yang
menghibur agar si pasien tetap memiliki semangat hidup. Berbeda dengan keluarga
pasien, dokter harus menjelaskan kondisi sebenarnya kepada keluarga agar apabila
terjadi sesuatu dalam penanganan pasien, keluarga memahami pokok persoalannya.
Kemampuan literasi yang melibatkan kemampuan komunikasi, representasi, dan
kemampuan berpikir dan bernalar tingkat tinggi ini telah menjadi pusat perhatian
bahkan telah menjadi isu krusial karena kemampuan literasi berkaitan dengan
perkembangan sumber daya manusia ke depan (PIRLS, 2007, PIRLS, 2012). Hal ini
karena kemampuan literasi adalah kunci sukses di sekolah dan kunci sukses untuk
berpartisipasi aktif di dunia kerja, masyarakat, dan politik (Braunger dan Lewis,
2005:7).
2.2 Literasi kritis
Istilah 'kritis' pada umumnya didefinisikan sebagai sikap bertanya dan
skeptisisme tentang truisme yang diterima secara umum. Dalam wacana pendidikan,
istilah 'Kritis' tertanam dalam tiga konsep; Pedagogik Kritis, Pemikiran Kritis dan
Literasi Kritis (Cooper, et all, 2008). Penulis menambahkan satu konsep lain yaitu
kesadaran kritis. Keempat istilah ini salah satunya diprakarsai oleh Paulo Freire,
seorang pakar pendidikan yang menjadi acuan para ahli pedagogikkritis seperti Henry
Giroux, M. Apple, William Smith dll. Profil Paulo Frerie sudah dipaparkan di bab
awal,kaitannya dengan bahasan ini, bahwa munculnya istilah Literasi Kritis (Critical
Literacy) berawal dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Paulo Freire yang
menyimpulkan bahwa pembelajaran literasi harus tertuju pada membaca kata dan
membaca dunia atau membaca teks dan konteks.
Selanjutnya Wisudo (dalam Tilaar, 2011, hlm 200) mengemukakan
pandangannya, bahwa “literasi kritis secara ringkas dapat dipahami sebagai
kemampuan membaca teks secara aktif dan reflektif dengan tujuan memperoleh
pemahaman yang lebih baik tentang kekuasaan, ketidaksamaan atau
kesenjangan, dan ketidakadilan dalam relasi manusia”. Sedangkan menurut
Johnson dan Freedman (dalam Priyatni, 2012, hlm 28) mengungkapkan bahwa

6
“Literasi kritis adalah perpaduan antara keterampilan berpikir kritis dan
perhatian pada konten keadilan sosial, politik, bahasa, dan kekuasaan yang ada
di dalam teks”. Pendidikan literasi kritis membantu siswa mengeksplorasi
hubungan bahasa dan kekuatan dan berfokus pada kebutuhan untuk menciptakan
pembicara, pembaca, dan penulis kritis yang dapat mendekonstruksi teks-teks
yang mengelilinginya dan menafsirkannya, baik sebagai produk dan proses
praktik sosial tertentu.Dalam konteks ini, literasi diakui sebagai sumber
pembuatan makna yang didefinisikan secara ideologis (Ioannidou, 2015).
Sedangkan menurut Cooper & White (2008): Literasi Kritis berkaitan denga
proses mengembangkan kapasitas diri (efikasi diri) untuk membaca dibarengi
dengan sebuahsikap pencarian, dan keinginan untuk mempengaruhi perubahan
sosial yang positif. Senada dengan pendapat Lee (2016) yang mendefinisikan
literasi kritis sebagai "belajar membaca dan menulis sebagai bagian dari proses
menjadi sadar akan pengalaman seseorang yang dibangun secara historis dalam
hubungan kekuasaan yang spesifik”. Oleh karena itu, tujuan literasi kritis adalah
untuk menantang hubungan kekuatan yang tidak setara ini.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli dan peneliti
sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa literasi kritis adalah kemampuan
seseorang untuk mengembangkan kemampuan literasi baik itu membaca atau
menulis guna menemukan kesenjangan sosial yang merepresentasikan
penyalahgunaan kekuasaan, penindasan, marjinalisasi, dan segala bentuk kritis
kemanusiaan, proses ini tidak hanya melibatkan kemampuan kognitif, tapi lebih
dalam lagi melibatkan kesadaran dan pengalaman. Tak sebatas itu, literasi kritis
juga dapat mengembangkan hasrat emansipatif untuk senantiasa menginginkan
perubahan yang positif pada situasi sosio-cultural manusia. Hasrat emansipatif
itu memicu manusia untuk bangkit sebagai pengada, agen atau aktor yang
melakukan tindakan sosial berdaya transformatif. (Hendriani dkk 2017).
2.3 Literasi membaca sebagai proses sosial
Pendekatan literasi modern memandang aktivitas membaca sebagai proses sosial
(Hudson, 2007). Ini selaras dengan hakikat teks sebagai perwujudan kegiatan sosial dan
memiliki tujuan sosial. Teks hadir karena tuntutan kegiat sosial, oleh karena itu
membaca teks tidak dapat dipisahkan dari konteks sosialnya. Dampaknya, interpretasi
pembaca terhadap isi teks dipengan oleh pengalaman sosial dan konteks sosial tempat
pembaca berada (Wallace 1992 & 2003).
Paradigma membaca sebagai proses sosial merupakan reaksi krits
terhadap pandangan yang menyatakan membaca sebagai proses interaks antara
pembaca dengan teks yang terpisah dari konteks sosialnya (Hudson 2007).
Membaca sebagai proses sosial mempersyaratkan adanya pengen pengkajian,
dan interaksi penulis-pembaca dan sekaligus hubungan si yang tercipta antara
pihak yang terlibat dalam proses membaca (Blooms 1993).
Dalam perspektif membaca sebagai proses sosial, membaca tidak dipandang sebagai
aktivitas yang bersifat netral (Hudson, 2007). Setiap ujaran yang disampaikan oleh

7
penulis, ilustrator, atau pelaku sosial yang lain, disadari atau tidak, merupakan wacana
yang tidak hanya berasal dari ide-ide yang ada di benak pelaku-pelaku sosial itu, tetapi
berasal dari praktik sosial yang berakar kuat dan berorientasi pada struktur sosial
material yang riil (Fairlough, 1989). Untuk itu, sikap kritis selalu diperlukan untuk
mempertanyakan apa yang ada di balik kata-kata dan dari siapa kata-kata itu berasal
(Ibrahim, 2008). Bahasa sebagai praktik sosial menuntut pembaca untuk bersikap kritis,
tidak begitu saja menerima pendapat, konsep, kumpulan ide-ide yang dianggap mapan.
Asumsi utamanya adalah tidak ada kata-kata yang murni atau polos.
Pada setiap aktivitas membaca selalu terkandung konstruksi ideologi dan kekuasaan.
Hubungan sosial itu berkaitan dengan cara mengungkap makna teks melalui keterlibatan
pihak-pihak dalam aktivitas membaca, seperti menghubungkan satu peristiwa dengan
peristiwa lainnya (Bloome, 1993).
Aktivitas membaca dalam perspektif proses sosial bertujuan untuk
menumbuhkan kesadaran kritis pembaca terhadap praktik-praktik sosial dalam
teks (Johnson, 2005). Kesadaran kritis diartikan sebagai kemampuan untuk
mengenali kondisi-kondisi yang menyebabkan adanya pihak-pihak yang
memiliki hak istimewa dan mendominasi pihak-pihak lain. Memiliki kesadaran
kritis berarti sadar terhadap sejarah, sosial, budaya, atau ideologi yang berterima
dan tidak berterima pada suatu masyarakat tertentu (Freirre, 2002). Ini tidak
dapat dipungkiri karena dalam praktik kehidupan sehari-hari kita hidup dengan
ide tentang mana yang berterima dan tidak berterima, mana yang benar dan tidak
benar, atau netral. Keyakinan-keyakinan tentang yang benar, tidak benar,
berterima tidak berterima, atau netral ini tidaklah selalu sama antarindividu dan
di setiap konteks masyarakat.
Siswa sekolah menengah, pada umumnya belum memiliki kesadaran kritis terhadap
praktik-praktik sosial yang terjadi di lingkungannya karena pada umumnya mereka
masih asyik dengan dirinya dan dunianya sendiri (Johnson, 2005). Mereka perlu
ditumbuhkan kesadaran kritisnya terhadap apa yang terjadi di rumahnya, apa yang boleh
dan tidak boleh dilakukan, apa yang disukai dan tidak disukai oleh orang tuanya, nilai-
nilai apa yang harus diterapkan di lingkungannya (Johnson, 2005). Kesadaran kritis ini
perlu ditumbuhkan pada siswa sekolah menengah agar para generasi muda tidak
terasing dari masyarakatnya dan memiliki kepedulian/kepekaan terhadap masalah-
masalah yang dihadapi masayarakat/bangsanya, sekalig mampu memberikan solusi
terhadap berbagai permasalahan yang dihuk masyarakat/bangsanya.
2.4 Konsep literasi kritis
Konsep literasi kritis diadaptasi dari teori wacana kritis yang dikemukakan oleh
Norman Fairlough (1995). Fairclough (1995) menyatakan bahwa tidak ada teks yang
netral, setiap teks memiliki tendensi tertentu, ada ideolog tertentu yang ingin
disuarakan, ada dominasi, dan ada hegemoni di bali paparan teks. Teks dipandang
sebagai bentuk praktik sosial yang menyusun dunia sosial dan disusun oleh praktik-
praktik sosial yang lain.

8
Dalam pandangan wacana kritis, setiap ujaran yang disampaikan oleh penulis, ilustrator,
atau pelaku sosial yang lain, disadari atau tidak, merupakan wacana yang tidak hanya
berasal dari ide-ide yang ada di benak pelako pelaku sosial itu, tetapi berasal dari
praktik sosial yang berakar kuat dalam dan berorientasi pada struktur sosial material
yang riil (Fairlough, 1995) Wacana dipahami sebagai suatu tindakan (action), artinya
wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, membujuk, mengganggu, beraksi.
Adi maksud-maksud tertentu dibalik teks/wacana yang dikemukakan. Untuk itu sikap
kritis selalu diperlukan untuk mempertanyakan apa yang ada di balik kata-kata dan dari
siapa kata-kata itu berasal (Ibrahim, 2008). Bahasa sebagai praktik sosial menuntut kita
untuk bersikap kritis, tidak begitu saja menerima pendapat, konsep, kumpulan ide-ide
yang dianggap mapan. Asumsi utamanya adalah tidak ada kata-kata yang murni atau
polos.
Literasi kritis adalah perpaduan antara keterampilan berpikir kritis dan perhatian pada
keadilan sosial, politik, bahasa, dan kekuasaan dalam teks (Johnson dan Freedman,
2005). Konsep literasi kritis diadopsi dari analisis wacana kritis yang dikemukakan oleh
Norman Faiclough (1995). Analisis wacana kritis menyediakan teori dan metode yang
dapat digunakan untuk melakukan kajian emperis tentang hubungan antara wacana dan
perkembangan sosial dan kultural dalam domain sosial yang berbeda.
Membaca sastra dengan ancangan literasi kritis ini akan membangun
kesadaran kritis pembelajar bahwa materi dan pesan-pesan dalam teks sastra
yang dibaca mengandung bias yang mencerminkan adanya hubungan antara
kekuasaan pada suatu kelompok dan penindasan pada kelompok yang lain.
Membaca sastra dengan ancangan literasi kritis bertujuan untuk menguraikan
hubungan antara bahasa dengan kekuasaan. Membaca sastra dengan ancangan
literasi kritis ini tidak hanya mewariskan ilmu pengetahuan sastra kepada
pembelajar tetapi juga mewariskan fakta-fakta sosial, kesadaran tentang hak-hak
politik sebagai warga negara. Dalam kajian ini, politik bukan sebagai barang
angker yang ditakuti atau dibuat menakutkan. Hak-hak politik seperti perlakuan
adil oleh sesama mahasiswa, dosen, kampus, dan sistem perkuliahan, dihadirkan
di dalam kelas, melalui pembelajaran membaca sastra (Priyati, 2010).
2.5 Fokus kajian literasi kritis
Ada lima karakteristik dari analisis literasi kritis yang diadopsi dari teori wacana
kritis, yaitu (1) setiap teks dikategorikan sebagai tindakan dan ada tujuan tertentu di
balik tindakan tersebut, (2) konteks (latar, situasi, peristiwa, dan kondisi) menjadi alat
utama dalam memaknai teks. (3) aspek historis menjadi pertimbangan dalam memaknai
teks, (4) setiap teks dipandang sebagai bentuk pertarungan kekuasaan (tidak ada teks
yang netral, wajar, tanpa tendensi),dan (5) ada ideologi tertentu di balik teks (dalam
Darma, 2009).
Berdasarkan karakteristik analisis literasi kritis tersebut, maka kajian
sastra dengan ancangan literasi kritis ini akan membangun kesadaran kritis
pembelajar bahwa materi dan pesan-pesan dalam teks sastra yang dibaca
mengandung bias yang mencerminkan adanya hubungan antara kekuasaan pada

9
suatu kelompok dan penindasan pada kelompok yang lain. Membaca sastra
dengan ancangan literasi kritis ini menguraikan hubungan antara bahasa dengan
kekuasaan. Kekuasaan adalah isu yang sangat kompleks. Kekuasaan sering
dimaknai secara sederhana sebagai suatu dominasi yang dilakukan oleh orang
yang lebih kuat secara fisik dan mental kepada orang yang lebih lemah
dilakukan oleh orang terkenal atau orang yang memunyai posisi sosial lebih
tinggi kepada mereka yang memiliki posisi sosial lebih rendah. Atau yang
dalam kenyataannya, kekuasaan adalah suatu tingkatan yang dimilik seseorang
karena popularitas, kekuatan fisik, atau manipulasi legal (Johnson dan
Freedman, 2005). Seringkali ketika berbicara tentang kekuasaan berkaitan
dengan perlakuan yang tidak seimbang yang diterima oleh orang-orang tertentu
karena ia berada pada suatu budaya atau masyarakat tetentu. Kekuasaan bisa
bersifat legal atau ilegal, atau berupa kekerasan atau perlakukan yang tidak
seharusnya (Johnson dan Freedman, 2005) Representasi kekuasaan ini dapat
berupa isu pender, ras, marginalisasi sosial, eksploitasi, dan ketidakberday
(powerlessness).
Berdasarkan fokus kajian tersebut, maka kajian sastra dengan ancangan literasi kritis
dilakukan dengan cara berikut: (1) memahami teks sastra secara intens, (2) menemukan
praktik sosial yang tersembunyi di balik teks, yaitu menemukan pola-pola bahasa yang
menyuarakan ide-ide khusus tentang kekuasaan, penindasan, didasarkan pada ras, klas
sosial, gender, atau kombinas dari ketiganya, (3) melakukan kajian kritis dengan
mempertanyakan dan sekaligus menemukan ideologi yang dominan yang dengan intens
disuarakan oleh pengarang,serta jenis karakter dan pesan dominan yang sebenarnya
ingin diungkapkan dalam teks sastra tersebut.
Cervetti, dkk. (2001) memaparkan fokus kajian literasi kritis seperti disajikan
dalam tabel 1 berikut.
Fokus kajian literasi kritis
ASPEK ESENSIAL DESKRIPSI
Jenis kajian Kritik (Critique)
Tipe-tipe pertanyaan yang Asumsi-asumsi apa yang ada di balik pernyataan-
diajukan pernyataan penulis?
Apa pikiran-pikiran yang dipahami penulis terkait
dengan realitas yang dijadikan pokok
persoalan/bahan sastra?
Apa yang melatari pemahamannya terhadap realitas
tersebut?
Apa yang hendak disuarakan?
Apa impikasi pernyataan-pernyataannya terhadap
lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat?
Adakah kontradiksi antara realitas dengan perspektif
penulis?

10
Fokus Asumsi, produksi pengetahuan, kekuasaan,
representasi dan implikasinya.
Aspek Bahasa yang diamati Ideologi dan kontruksi realitas
Realitas yang diamati Hanya terbatas pada realitas yang tercermin
dalam teks.

Literasi kritis mengungkap dan menumbuhkan kesadaran kritis terhadap praktik-praktik


sosial menyimpang dalam teks. Bagaimana situasi pembelajaran yang menerapkan
pendekatan literasi kritis? Berikut ini disajikan contoh praktik pembelajaran yang
menerapkan pendekatan literasi kritis.
Seorang guru memulai inti pembelajaran dengan membacakan cerita fiksi
tentang dua orang yang bersahabat baik, yaitu Wulan dan Indah. Suatu hari, Wulan
memutuskan untuk tidak lagi berteman dengan Indah. Rupanya ada seseorang yang
telah mengatakan kepada Wulan bahwa Indah telah mengatakan hal-hal buruk
tentangnya, itu yang membuat Wulan marah dan tanpa mengonfirmasi kebenarannya
kepada Indah, ia langsung mengucilkan Indah. Semua teman Wulan diminta untuk
mengabaikan Indah, mengeluarkan indah dari grup WA, facebook, twiter, dll. Jika
Indah mendekat, teman-temannya hanya berbisik-bisik, tertawa tawa, kemudian
menjauh dari Indah.
Setelah itu, guru meminta siswa untuk melakukan refleksi, apakah
pernah melihat atau mengalami kejadian tersebut dalam kehidupan nyata,
kemudian bagaimana jika ia yang mengalami nasib seperti Indah, dikucilkan
oleh teman-temannya. Setelah menyimak refleksi dari beberapa siswa, kemudian
guru mengajak siswanya menonton video tentang tindak kekerasan (bullying).
khususnya kekerasan verbal dan perilaku, yaitu dikucilkan, diiancam, ditakut-
takuti (diintimidasi).
Guru membagi kelas menjadi beberapa kelompok. Tiap kelompok
diminta bermain peran untuk membuat skenario bertema bullying di sekolah.
Skenario harus dilengkapi dengan pesan-pesan moral untuk tidak melakukan
tindakan bullying dan memperlihatkan dampak bullying bagi korban. Tiap
kelompok memerankan skenario yang dibuat. Pada kegiatan berikutnya, guru
memperdengarkan lagu terkesa yang syairnya memuat pesan untuk
salingmenyayangi tanpa adanya diskriminasi, kekerasan, intimidasi, atau yang
lainnya. Guru mengajak siswa menyimak pidato atau parade pembacaan puisi y
menyuarakan Stop Intimidasi, diskriminasi, dan kekerasan. juga yang
menyuarakan stop Intimidasi, diskriminasi, dan kekerasan.
Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok, tiap kelompok
mendapatkan tugas untuk membuat lagu, puisi, atau pidato persuasif yang
menyuarakan hidup damai tanpa kekerasan, intimidasi, atau diskriminasi Siswa
memublikasikan hasil karyanya di media sosial.

11
Dari uraian di atas, di manakah letak literasi kritis dalam pembelajaran
tersebut? Dilihat dari isi materi pembelajarannya, pembelajaran difokuska pada
teks fiksi yang menyuarakan praktik sosial berupa tindak keke (bullying),
khususnya kekerasan verbal. Keterampilan yang dikembangka adalah
kemampuan berkomunikasi dan kemampuan merepresentasikan bentuk-bentuk
komunikasi sosial yang beragam konteks, mulai dari dari teks drama (membuat
skenrio dan memeragakannya), teks lagu, puisi, dan pidato. Teks
dikomunikasikan dalam beragam media (multimoda), yaitu eks tulis, lisan/oral,
dan dipublikasikan dalam teknologi digital. Kapasitas yang dituntut adalah
keterampilan berpikir kritis dan kreatif. Keterampilan berpikir kritis yang terlibat
adalah keterampilan menginterpretasi, mengeksplanasi, merefleksi dan
mengevaluasi. Keterampilan berpikir kreatif yang terlibat adalah menghasilkan
produk kreatif yang multimoda dan multikonteks berupa teks drama (membuat
skenario dan memeragakannya), teks lagu, puis dan pidato, serta siswa dituntut
untuk melek teknologi. Melalui pembelajaran tersebut secara tidak langsung
ditumbuhkan kesadaran kritis siswa terhadap praktik-praktik sosial dalam teks
dan mengaitkannya dengan kehidupan nyata supaya siswa menjadi warga negara
yang aktif yang ikut berkontribusi untuk kesejahteraan bangsanya.
2.6 Literasi kritis: Mengungkap praktik sosial dalam teks sastra
Dalam khazanah sastra, praktik-praktik kekuasaan ini sering digunakan sebagai
salah satu bahan dasar sastra. Sebagai contoh dalam puisi Taufik mail yang berjudul
Pelajaran Tatabahasa dan Mengarang tampak praktik kekuasaan dalam kelas yang
dilakukan para guru, khususnya guru mata pelajaran bahasa Indonesia. Di balik deretan
kata-kata indah yang tersusun dalam puisi tersebut tersembunyi sebuah keprihatinan
yang sangat mendalam terhadap praktik pembelajaran, khususnya pembelajaran bahasa
Indonesia di sekolah yang hanya menghasilkan murid-murid yang pandai menghafal
miskin kosa kata dan tidak mampu mengembangkan daya nalar dan kreativitasnya.
Dominasi guru dalam praktik pembelajaran di kelas dan guru yang tidak
memfasiltasi siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, adalah representasi dari
pembelajaran yang berpusat pada guru, pembelajaran yang bersifat mekanik, yang
membatasi siswa untuk berkreasi adalah wujud praktik-praktik sosial yang berkembang
di masyarakat, yang dijadikan bahan dasar penulisan puisi Taufik Ismail. Literasi kritis
mengungkap praktik sosial dalam teks sastra ini untuk menumbuhkan kesadaran kritis
pembelajar terhadap fakta fakta sosial tersebut.
Praktik-praktik kekuasaan dalam khazanah sastra, khususnya sastri Indonesia ini tidak
hanya terjadi antarindividu tetapi juga antara individu dengan masyarakat. Hal ini dapat
kita lihat dalam novel yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari
berikut.
Aku mengira upacara permandian di pekuburan itu adalah syarat terakhir sebelum
seorang gadis sah menjadi ronggeng. Ternyata aku salah. Orang-orang Dukuh Paruk
mengatakan bahwa Srintil masih harus menyelesaikan satu syarat lagi. Sebelum hal
itu terlaksana, Srintil tak mungkin naik pentas dengan memungut bayaran.

12
Dari orang-orang Dukuh Paruk pula aku tahu syarat terakhir yang harus dipenuhi
oleh Srintil bernama bukak-klambu. Berdiri bulu kudukku setelah mengetahui
macam apa persyaratan itu. Bukak-klambu adalah semacam sayembara, terbuka bagi
laki-laki mana pun. Yang disayembarakan adalah keperawanan calon ronggeng.
Laki-laki yang dapat menyerahkan sejumlah uang yang ditentukan oleh dukun
ronggeng, berhak menikmati virginitas itu. (Tohari, 1982).
Dari kutipan di atas terlihat jelas bagaimana seorang ronggeng yang harus mengikuti
semua perintah pengasuhnya dan kekuasaan pengasuh (dukun) yang sedemikian besar
itu dilegitimasi oleh seluruh masyarakat Dukuh Paruk. bukan hanya oleh individu per
individu.
Dominasi laki-laki yang membatasi ruang gerak perempuan, yang
menempatkan perempuan sebagai objek bukan subjek tercermin dalam karya
karya Bali Pustaka. Siti Nurbaya dalam Roman Siti Nurbaya karya Marah Rusli,
harus pasrah menerima pinangan Datuk Maringgih yang tua renta karena
ayahnya berhutang pada Datuk Maringgih. Demikian juga dengan nasib Rafiah
yang harus pasrah menerima caci maki dan perlakuan tidak adil dari Hanafi
dalam dalam novel Salah Asuhan karya Abdul Muis. Perjuangan menuntut
persamaan hak, mulai tampak pada karya-karya angkatan Pujangga Baru.
Bahkan tuntutan persamaan seks seperti yang digagas dalam teori feminisme
radikal juga telah disuarakan dengan lantang dalam novel yang berjudul Garis
Tepi Seorang Lesbian karya Herlinatiens (2003). Dalam novel tersebut tersurat
dengan jelas tuntutan agar masyarakat mau menerima pasangan lesbian
sebagaimana pasangan heteroseksual.
Dalam novel fenomenal yang berjudul Amba karya Laksmi Pamuntjak
(2012) tampak sekali ideologi emansipasi tercermin dalam sikap dan pemyataan-
pernyataan yang disuarakan oleh tokoh Amba. Secara tegas penulis Novel Amba
ini memang sengaja ingin menentang penghargaan yang rendah kepada
perempuan. Tokoh Amba adalah wujud penolakan penulis terhadap
penggambaran profil perempuan dalam kisah Mahabharata.yang sangat
bergantung pada laki-laki, perempuan yang tidak memiliki hak untuk
menentukan jalan hidup dan siapa pasangan hidupnya. Tokoh Amba dalam
novel Amba digambarkan sebagai profil perempuan yang berani bersikap dan
menentukan tujuan, berani memperjuangkan kebebasan diri dalam mendapatkan
pendidikan dan kebebasan diri dalam menentukan pasangan hidup
(Fitrahayunitisna, 2014). Tokoh Amba dalam novel Amba ga merupakan
penolakan terhadap budaya menerima pasangan hidup yang ditentukan oleh
orang tua atau orang yang berkuasa. Tokoh Amba memilih Bhima pemuda yang
dicintainya daripada Salwani, pemuda pilihan orang Tuanya.
menyuarakan emansipasi, yaitu perjuangan untuk menutu persamaan bidang
pendidikan, akses untuk bekerja, menentukan pasangan hidup, dan kebebasan dalam
bersikap (Priyatni, 2016).

13
2.7 Sastra Sebagai Wahana Menumbuhkan Kesadaran Kritis Siswa Terhadap
Praktik-Praktik Sosial
Sastra adalah wahana yang sangat baik untuk menumbuhkan kesadaran kritis
siswa sekolah menengah terhadap praktik-praktik sosil budaya dalam teks dengan
mengaitkannya dengan fakta-fakta kehidupan siswa. Ini karena sastra berpotensi
memberikan informasi atau mengedukasi melalui representasi imajinatiftentang
pengalaman-pengalaman manusia (Harrisondan Salinger, 2002). Sastra juga melibatkan
penggunaan bahasa, imajinasi untuk merealisasikan, mengungkapkan kembali,
membentuk dan mengeksler pengalaman manusia (Harrison dan Salinger, 2002). Di
samping itu, sastra adalah abstraksi kehidupan dan kehidupan adalah kenyataan sosial
(Sutejo d Kasnadi 2014). Sastra adalah potret dan produk sosial karena sastrawan adalah
anggota masyarakat dan menciptakan karya untuk dinikmati, diapresiasi, dan oleh
masyarakat. sarana katarsis Dalam kutipan cerpen yang berjudul Cerita Kedasih karya
R.Giryadi (Giryadi, 2016) berikut dapat kita lihat potret kehidupan 'pembantu rumah
angga yang diperlakukan semena-mena oleh majikannya. Potret kehidupan seperti ini
tidak hanya menimpa para pembantu rumah tangga di dalam negeri tetapi juga
pembantu rumah tangga yang bekerja di luar negeri. Pokok persoalan yang diangkat
pada cerpen ini adalah suatu bentuk eksploitasi. Eksploitasi adalah menggunakan posisi
yang dimiliki untuk menindas atau melakukan perbuatan tidak adil. Bentuk eksploitasi
dalam teks sastra dapat dilihat pada kutipan berikut.

Cerita Kedasih
Karya R. Giryadi
"Itu burung apa, Mak?" tanya Mimin pada Kedasih, emaknya, ketika
sore memerah jingga. Kedasih pun bercerita tentang burung-burung yang sering
nangkring di pohon tak jauh dari rumah Tuannya. Itulah hiburan yang bisa
menambal sedih anaknya karena saban hari harus dikurung dalam kamar
emaknya.
Kamar yang berukuran 3 X 4 itu, bekas gudang Tuannya, Gudang butut
itu, hanya terdiri dari satu dipan dan almari yang sudah pecah kacanya. Sebuah
televisi yang separuh gambarnya hilang, tanpa remote. Di satu sisi tembok
kamar ada jendela menghadap ke jalan, sehingga Mimin bisa melihat pokok
pohon trembesi yang tumbuh berjajar-jajar sepanjang jalan depan rumah
Tuannya.
Lewat jendela itulah, Mimin melihat, betapa di luar sana, anak-anak
sebayanya asyik bermain. Sementara ia harus bekerja membanting tulang.
bersama emaknya. Ia hanya bisa melihat dari balik jendela dengan tatapan mata
berbinar.
Terkadang ia memberanikan diri memainkan mainan milik anak
Tuannya. Tetapi, jika ketahuan emaknya, ia pasti dimarahi. Karena, bila
ketahuan menyentuh mainan, tak ayal lagi, Mimin akan mendapat damprat
Tuannya.

14
(Giryadi, 2016)

Dengan penggunaan pilihan kata yang estetis dan khas, memerah jingga,
mangkring, menambal sedih, penulis memotret persoalan eksploitasi dan
kekerasan dalam rumah tangga sebagai bahan dasar utama cerpennya. Fakta
fakta sosial yang diangkat dan disuarakan oleh pengarang dalam cerpen di atas
bersumber dari realitas yang sedang marak terjadi di masyarakat. Peristiwa
kekerasan dalam rumah tangga, baik kekerasan fisik, verbal, maupun perilaku,
setiap hari terjadi dan mengisi berita baik di media cetak maupun media
elektronik.
Para siswa sekolah menengah perlu ditumbuhkan kesadaran kritisnya
terhadap fakta-fakta sosial yang telah dibumbui imajinasi penulis tersebut,
kemudian siswa diminta membandingkan atau mengaitkannya dengan fakta
konkrit dalam kehidupan sehari-hari, setelah itu siswa melakukan refleksi.
Tujuan utamanya adalah agar siswa mengenali, peka, peduli terhadap masalah
masalah sosial yang ada di lingkungannya dan memberikan kontribusi untuk
memberikan solusi terbaik terhadap fenomena tersebut. Hasil dari penumbuhan
kesadaran kritis ini adalah untuk memberikan kontribusi kepada perubahan
sosial di sepanjang garis hubungan kekuasaan dalam proses komunikasi dan
masyarakat secara umum (Priyatni, 2010).
Keterampilan serial, keterampilan berinteraksi dengan orang lain secara
langsung dan mendalam untuk memahami apa yang dirasakan dan memberikan
respon dan solusi terhadap masalah-masalah yang dihadapi oleh sesama adalah
keterampilan penting yang harus ditumbuhkan pada generasi muda era digital
dan generasi Z. Ini karena para generasi muda era digital/z cenderung kurang
memiliki keterampilan sosial dan bentang perhatiannya rendah terhadap
masalah-masalah sosial (Logan, 2008). Oleh karena itu, guru perlu memiliki
perhatian sungguh-sungguh terhadap permasalahan ini dan merancang kegiatan
yang mampu menumbuhkan kesadaran kritis terhadap praktik-praktik sosial
yang ada di sekelilingnya.
Memiliki kesadaran kritis berarti memiliki kesadaran tentang praktik praktik sosial yang
terdapat pada konteks masyarakat tertentu. Dalam kutipan cerpen yang berjudul 'Meja
Makan yang Menggigil karya Mashdar Zainal (Zainal, 2014) berikut, penulis
mengangkat praktik bias gender akibat tradisi pada masyarakat tertentu yang
memberikan kedudukan 'istimewa' pada kaum laki-laki.
Dalam masyarakat tertentu, salah satunya masyarakat Jawa, ada tradisi
yang memberikan hak istimewa kepada laki-laki, laki-laki memiliki kedudukan
yang lebih tinggi daripada wanita. Ada subordinasi atau penomorduaan terhadap
kaum perempuan yang menyebabkan kaum laki-laki memiliki hak istimewa
yang harus dinomorsatukan. Perempuan adalah warga kelas dua. sehingga untuk

15
makan pun harus menunggu suami sebagai kepala keluarga. Laki-laki dilarang
mengerjakan pekerjaan yang termasuk kategori pekerjaan perempuan, yaitu
memasak, mencuci, menyapu, atau mengepel.
Dalam cerpen yang berjudul "Meja Makan yang Menggigil, penulis mengangkat salah
satu bentuk ketidakadilan gender, yaitu masalah subordinasi Dalam cerpen tersebut
'Ayah" diposisikan memiliki kedudukan tinggi daripada Ibu. Untuk makan malam,
semua anggota keluarga harus lebih yang menunggu kehadiran ayah, meskipun sang
ayah pulang larut malam. Sang ayah pun tidak peduli dengan penderitaan yang dialami
anak istrinya yang karena harus menunggu kehadirannya. Dominasi ayah ditampakkan
dengan jelas, ayah adalah sosok yang tidak boleh dibantah, ucapannya adalah kelaparan
sabda yang harus ditaati, melanggarnya akan mendapatkan hukuman.
Gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara laki
laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial bukan bawaan
bukan kodrat dari yang maha pencipta (Buttler, 1990). Dari sisi kodrati, antara
laki-laki dan perempuan itu hanya ada tiga, yaitu laki-laki tidak bisa hamil,
melahirkan, dan menyusui. Namun, akibat konstruksi sosial perbedaan dan
budaya, laki-laki dan perempuan dibedakan dari beragam aspek yang akhimya
menimbulkan ketidakadilan atau bias gender. Masyarakat budaya tertentu
membedakan domain pekerjaan laki-laki dan perempuan, perempuan domain
pekerjaannya di dapur (memasak) di 'sumur' (mencuci), dan di tempat tidur
(melayani suami) sedangkan laki-laki pekerjaannya di ranah publik.
Dampaknya, masyarakat membatasi akses untuk mendapatkan pekerjaan bagi
kaum perempuan. Masyarakat budaya tertentu juga memberi hak istimewa
kepada kaum laki-laki, sehingga ada anggapan memiliki anak laki-laki jauh
lebih mulia daripada anak perempuan.
Konstruksi sosial budaya yang awalnya hanya bertujuan untuk
menjelaskan perbedaan antara laki-laki dan perempuan ini akhirnya berubah ke
bias/ketidakdilan gender. Ketidakadilan gender ini sering terjadi dalam keluarga
dan masyarakat, bahkan dalam dunia pekerjaan. Bentuk-bentuk bias gender itu
adalah sebagai berikut: (1) stereotip, yaitu pelabelan negatif terhadap salah satu
jenis kelamin yang menyebabkan perempuan lebih pantas dengan pekerjaan
yang menutut kelembutan dan kecermatan, misalnya sebagai guru atau sebagai
sekretaris; (2) subordinasi/penomorduaan, yaitu adanya anggapan bahwa salah
satu jenis kelamin dianggap lebih rendah posisinya dndingkan dengan jenis
kelamin lainnya, sehingga pekerjaan domestik lebih cocok untuk perempuan, (3)
marginalisasi/peminggiran, yaitu proses peminggiran terhadap salah satu jenis
kelamin dari arus/pekerjaan utama yang berakibat kemiskinan; (4) beban ganda,
yaitu adanya perlakuan terhadap salah satu jenis kelamin yang harus bekerja
jauh lebih banyak dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya, (5) kekerasan,
yaitu suatu serangan terhadap fisik maupun psikologis kepada salah satu jenis
kelamin.
Selain masalah bias gender, kesadaran terhadap praktik-praktik s seperti
perbedaan kelas, ras, status sosial juga perlu ditumbuhkan pada siswa sosial

16
sekolah menengah agar mereka mengetahui siapa dirinya dan dapat menjalin
komunikasi yang aman dan nyaman dengan beragam komunitas. Sisa sekolah
menengah juga perlu memahami fakta bahwa ada kelompok a individu yang
memiliki hak istimewa' dibandingkan dengan yang lain.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Literasi berurusan dengan pemaknaan teks dan konteksnya dengan
menggunakan keterampilan berpikir tingkat tinggi untuk dimanfaatkan dalam
memahami kehidupan dan berbagai aspeknya. Perlu diperhatikan bahwa istilah "teks"
dalam literasi dapat berwujud teks tulis, lisan (audio), visual, auditori, audiovisual,
spasial, nonverbal (kinestesik, dsb.). Wujud teks bisa digital atau nondigital (Warnick,
2008; Laksono, 2017). Pemaknaan seseorang akan membentuk sistem nilai dan sistem
nilai akan menentukan tindakan seseorang dalam memahami kehidupan beserta
aspeknya (Confido, 2015). Confido (2015) memberikan contoh pemaknaan seseorang
terhadap fenomena apel jatuh. A memaknai apel jatuh sebagai 'kesempatan makan apel
gratis', B memaknai apel jani sebagai 'saat yang tepat untuk panen', sedangkan C
memaknai apel jatuh sebagai 'teori gravitasi". Dari pemaknaan tersebut dapat
disimpulkan bahwa A memiliki pemaknaan sempit sehingga ia hanya beruntung saat itu,
B memiliki pemaknaan luas sehingga ia memiliki keuntungan besar, C memiliki

17
pemaknaan luar biasa (spektakuler), ia adalah seorang Isaac Newton yang dapat
mengubah sejarah dunia (Confido, (2015).
Ada lima karakteristik dari analisis literasi kritis yang diadopsi dari teori wacana
kritis, yaitu (1) setiap teks dikategorikan sebagai tindakan dan ada tujuan tertentu di
balik tindakan tersebut, (2) konteks (latar, situasi, peristiwa, dan kondisi) menjadi alat
utama dalam memaknai teks. (3) aspek historis menjadi pertimbangan dalam memaknai
teks, (4) setiap teks dipandang sebagai bentuk pertarungan kekuasaan (tidak ada teks
yang netral, wajar, tanpa tendensi),dan (5) ada ideologi tertentu di balik teks (dalam
Darma, 2009).
Berdasarkan karakteristik analisis literasi kritis tersebut, maka kajian
sastra dengan ancangan literasi kritis ini akan membangun kesadaran kritis
pembelajar bahwa materi dan pesan-pesan dalam teks sastra yang dibaca
mengandung bias yang mencerminkan adanya hubungan antara kekuasaan pada
suatu kelompok dan penindasan pada kelompok yang lain. Membaca sastra
dengan ancangan literasi kritis ini menguraikan hubungan antara bahasa dengan
kekuasaan. Kekuasaan adalah isu yang sangat kompleks. Kekuasaan sering
dimaknai secara sederhana sebagai suatu dominasi yang dilakukan oleh orang
yang lebih kuat secara fisik dan mental kepada orang yang lebih lemah
dilakukan oleh orang terkenal atau orang yang memunyai posisi sosial lebih
tinggi kepada mereka yang memiliki posisi sosial lebih rendah.
3.2 Saran
Dengan ini, penulis menyadari makalah yang telah dibuat jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu semoga pembaca tidak merasa puas dengan isi makalah
yang telah dibaca dan penulis sarankan untuk mencari pengetahuan lain dari makalah
lainnya, sehingga wawasan pembaca bertambah.

MIND MAP

18
DAFTAR PUSTAKA

Priyatni, E. T. (2017). Membaca Kritis dan Literasi Kritis. Tangerang: transmart.

19
LATIHAN SOAL
Soal Pilihan Ganda Sesi 1
1. Pada awal kemunculannya literasi dimaknai sebagai keberaksaraan atau melek
aksara yang fokus utamanya pada…
a) Membaca dan menulis
b) Menulis dan mendengarkan
c) Membaca dan mendengarkan
d) Mendengarkan dan mimerik
2. Puskur (2007) memaknai literasi sebagai kemampuan…
a) Menyelesaikan masalah dengan cara bermusyawarah
b) Menyelesaikan masalah dengan cara menangis
c) Menyelesaikan masalah dengan menggunakan teks sebagai alat utamanya
d) Menyelesaikan masalah dengan cara mendengarkan music
3. Kemampuan komunikasi dan representasi ini membutuhkan kemampuan…

20
a) Berbicara dan menulis
b) Berpikir dan bernalar tingkat tinggi
c) Menulis dan mendengarkan
d) Membaca dan menulis
4. Memiliki kesadaran kritis berarti…
a) Sadar terhadap sejarah, sosial, budaya, atau ideologi
b) Sadar terhadap lingkungan
c) Sadar terhadap kemampuan berfikir setiap manusia
d) Sadar terhadap pendapat orang lain
5. Mengapa kesadaran kritis perlu ditumbuhkan pada siswa sekolah menengah?
a) Agar generasi muda merasa hebat
b) Agar para generasi muda percaya terhadap kemampuan diri
c) Agar para generasi muda dapat berkembang
d) Agar generasi muda tidak terasingi dari masyarakatnya dan memiliki
kepedulian/kepekaan terhadap masalah-masalah yang dihadapi
masayarakat/bangsanya
6. Konsep literasi kritis diadaptasi dari teori wacana kritis yang dikemukakan oleh..
a) (Fairlough, 1989)
b) (Freirre, 2002)
c) Fairlough (1995)
d) (Johnson, 2005)
7. Membaca sastra dengan ancangan literasi kritis bertujuan untuk…
a) Menguraikan hubungan antara bahasa dengan kekuasaan
b) Mengurangi beban teman
c) Mempermudah mengerjakan tugas
d) Menambah pikiran positif
8. Kekuasaan adalah..
a) Keegoisan
b) Keserakahan
c) Kesejahteraan
d) isu yang sangat kompleks

9. Salah satu cara kajian sastra dengan ancangan literasi kritis adalah…
a) memahami teks sastra secara intens,
b) enemukan praktik sosial yang tersembunyi di balik teks,
c) melakukan kajian kritis dengan mempertanyakan dan sekaligus menemukan
ideologi yang dominan yang dengan intens disuarakan oleh pengarang
d) semua jawaban benar
10. Membatasi siswa untuk berkreasi adalah…
a) Orang tua
b) Tetangga
c) Wujud praktik-praktik sosial yang berkembang di masyarakat
d) Lingkungan

21
1) Literasi pada awal kemunculannya dimaknai sebagai?
2) Jelaskan mengapa pemaknaan terhadap teks begitu penting dalam kegiatan literasi,
sertakan contohnya!
3) Jelaskan kemampuan komunikasi dan kemampuan representasi!
4) Memiliki kesadaran kritis berarti sadar terhadap?
5) Mengapa kesadaran kritis ini perlu ditumbuhkan pada siswa sekolah menengah?

JAWABAN
1. A
2. C
3. B
4. A
5. D
6. C
7. A
8. D
9. D
10. C

1) keberaksaraan atau melek aksara yang fokus utamanya pada kemampuan membaca
dan menulis, dua keterampilan yang menjadi dasar untuk melek dalam berbagai hal
(Kalantzis, 2015).
2) Karena pemaknaan seseorang akan membentuk sistem nilai dan sistem nilai akan
menentukan tindakan seseorang dalam memahami kehidupan beserta aspeknya
(Confido, 2015). Confido (2015) memberikan contoh pemaknaan seseorang
terhadap fenomena apel jatuh. A memaknai apel jatuh sebagai 'kesempatan makan
apel gratis', B memaknai apel jani sebagai 'saat yang tepat untuk panen', sedangkan
C memaknai apel jatuh sebagai 'teori gravitasi". Dari pemaknaan tersebut dapat
disimpulkan bahwa A memiliki pemaknaan sempit sehingga ia hanya beruntung
saat itu, B memiliki pemaknaan luas sehingga ia memiliki keuntungan besar, C
memiliki pemaknaan luar biasa (spektakuler), ia adalah seorang Isaac Newton yang
dapat mengubah sejarah dunia (Confido, (2015).
3) Kemampuan komunikasi adalah kemampuan menyampaikan ide kepada orang
lain sedangkan kemampuan representasi adalah kemampuan memformulasikan ide
agar ide ide yang disampaikan bermakna bagi orang lain melalui beragam moda,
misalnya melalui narasi, diagram, peta konsep, visualisasi melalui gerak tubuh,
mimik, atau ekspresi yang sesuai dengan konteks.
4) Terhadap sejarah, sosial, budaya, atau ideologi yang berterima dan tidak berterima
pada suatu masyarakat tertentu (Freirre, 2002).

22
5) Agar para generasi muda tidak terasingi dari masyarakatnya dan memiliki
kepedulian/kepekaan terhadap masalah-masalah yang dihadapi
masayarakat/bangsanya, sekalig mampu memberikan solusi terhadap berbagai
permasalahan yang dihuk masyarakat/bangsanya.

23

Anda mungkin juga menyukai