Anda di halaman 1dari 8

Transformasi Makna Literasi

Chapter Review 1

Kata literasi tentu sudah tidak asing bagi telinga kita. Kata tersebut
bahkan menjadi kata yang sering terucap. Dahulu kita hanya mengetahui
bahwa pengertian literasi itu hanya sekedar kemampuan membaca dan
menulis (7th Edition Oxford Advanced Learners Dictionary, 2005:898).
Walaupun definisi (lama) literasi adalah kemampuan membaca dan
menulis, namun istilah literasi jarang dipakai dalam konteks pembelajaran
persekolahan di Indonesia. Hal ini dapat terlihat dari tidak adanya lema
literasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Persekolahan di Indonesia
nampaknya lebih senang menggunakan istilah pengajaran bahasa atau
pelajaran bahasa daripada menggunakan istilah literasi. Pada masa itu,
membaca dan menulis mungkin dianggap cukup sebagai pendidikan dasar
bagi manusia guna menghadapi tantangan zaman dan kerasnya kehidupan.
Makna literasi semakin berkembang dari waktu ke waktu.
Perkembangan makna tersebut mengikuti perkembangan zaman yang
bergerak cepat. Perkembangan zaman yang pesat jugalah yang
membukakan tirai penutup literasi. Sekarang kita tahu bahwa literasi tak
melulu baca-tulis. Literasi adalah praktik kultural yang berkaitan dengan
persoalan sosial dan politik. Oleh karenanya para pakar pendidikan dunia
berpaling kepada definisi baru tentang literasi. Selain itu, dewasa ini kata
literasi banyak disandingkan dengan kata-kata lain, misalnya literasi
komputer, literasi virtual, literasi matematika dan sebagainya. Hal tersebut
merupakan transformasi makna literasi karena perkembangan zaman. Oleh
sebab itu, Freebody dan Luke menawarkan model literasi sebagai berikut:

Memahami konteks dalam teks: mengenali dan menggunakan


fitur seperti alfabet, suara, ejaan, konvensi dan pola teks.

Terlibat dalam memaknai teks: memahami dan menyusun teks


tertulis dan teks virtual dan lisan yang berati dari budaya tertentu,
lembaga, keluarga, masyarakat, negara-negara dan lain-lain.
Menggambarkan skema yang ada.

Menggunakan teks secara fungsional.

Melakukan analisis dan mentransformasikan teks secara


kritis: memahami dan bertindak atas pengetahuan bahwa teks-teks tidak
netral. Teks mewakili pandangan tertentu, diam, mempengaruhi ide-ide
orang. Desain teks dan wacana dapat dikritik dan didesain ulang dengan
cara baru dan hibrida.
Keempat peran literasi ini dapat diringkas kedalam lima verba: memahami,
melibati, menggunakan, menganalisis dan mentransformasikan teks
(Rekayasa Literasi : 160).
Pesatnya perkembangan zaman membuat definisi literasi
berevolusi. Makna literasi yang pada awalnya hanya baca-tulis berkembang

menjadi lebih luas dan lebih kompleks. Makna literasi tak melulu soal bacatulis, namun walaupun demikian, literasi masih memiliki kaitan dengan
kebahasaan. Berpikir kritis, dapat menghitung, memecahkan masalah, cara
untuk mencapai tujuan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan potensi
seseorang merupakan definisi baru mengenai literasi. Perubahan yang
sangat signifikan memang. Dari definisi yang hanya sekedar baca-tulis
bertransformasi menjadi definisi yang kompleks. Berikut meruapakan kajian
disiplin yang memiliki tujuh dimensi yang berkaitan:
1.
Dimensi Geografis (lokal, nasional, regional, dan
internasional): Bergantung pada tingkat pendidikan dan jejaring
sosial dan vokasionalnya (kecakapan kejuruan).
2.
Dimensi Bidang (pendidikan, komunikasi, administrasi,
hiburan, militer, dsb): Literasi suatu bangsa tampak dalam dimensi
ini. Pendidikan yang berkualitas tinggi menghasilkan literasi yang
berkualitas tinggi pula. Hal ini karena bidang pendidikan merupakan
ujung tombak kebangkitan suatu bangsa.
3.
Dimensi Keterampilan (membaca, menulis, menghitung,
berbicara): Literasi seseorang tampak atau tercermin dari dimensi ini.
Semua sarjana mampu membaca, akan tetapi tidak semua sarjana
mampu menulis. Oleh sebab itu, keterampilan sangat diperlukan.
Selain itu, tidak cukup dengan mengandalkan literasi saja (dalam hal
ini membaca dan menulis) namun harus juga memiliki kemampuan
numerasi (keterampilan menghitung)
4.
Dimensi Fungsi (memecahkan persoalan, mendapatkan
pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan,
mengembangkan potensi diri): Orang yang literat karena
pendidikannya mampu memecahkan masalah dan mengatasi semua
tentang kehidupan yang menghampirinya.
5.
Dimensi Media (teks, cetak, visual, digital): Menjadi seorang
literat zaman sekarang orang harus mengandalkan kemampuan
membaca dan menulis teks cetak, visual dan digital. Perkembangan
IT sangat penting dan berpengaruh banyak terhadap gaya berliterasi.
6.
Dimensi Jumlah (satu, dua, beberapa): Jumlah dapat merujuk
pada banayak hal, misalnya bahasa, variasi bahasa, peristiwa tutur,
bidang ilmu dan media. Literasi seperti halnya kemampuan
berkomunikasi, bersifat relatif.
7.
Dimensi Bahasa (etnis, lokal, nasional, regional,
internasional): Ada literasi yang singular dan ada yang plural.
Selain tujuh dimensi literasi di atas, ada 10 gagasan kunci tentang literasi
yang menunjukkan perubahan paradigma literasi karena perubahan zaman
dan perkembangan ilmu pengetahuan, yaitu:

Ketertiban lembaga-lembaga sosial: Lembaga-lembaga menjalankan


perannya dengan fasilitas bahasa sehingga muncul bahasa birokrat atau
politik.

Tingkat kefasihan relatif: Setiap literasi memerlukan kefasihan


berbahasa dan literasi yang berbeda, tergantung situasinya.

Pengembangan potensi diri dan pengetahuan: Pada tahap tinggi


literasi membekali mahasiswa kemampuan memproduksi dan memproduksi
ilmu pengetahuan.

Standar dunia

Warga masyarakat demokratis: Media adalah salah satu pilar


demokratis. Pendidikan literasi harus mendukung terciptanya demokratisasi
bangsa.

Keragaman lokal

Hubungan global: Literasi tingkat ini bergantung pada dua hal, yaitu
penguasaaan teknologi informasi dan penguasaan konsep atau
pengetahuan yang tinggi.

Kewarganegaraan yang efektif: Yaitu warga negara yang mampu


mengubah diri, menggali potensi diri, serta berkontribusi bagi keluarga,
lingkungan dan negaranya. Warga negara yang efektif mengetahui hak dan
kewajibannya (citizenship literacy).

Berbahasa Inggris ragam dunia

Kemampuan berpikir kritis: Literasi bukan sekedar mampu membaca


dan menulis, melainkan juga menggunakan bahasa secara fasih, efektif
dan kritis.

Masyarakat semiotik: Budaya adalah sistem tanda, oleh karenanya


memaknai tanda terlebih dahulu harus menguasai literasi semiotik.
Tanpa arah semua menjadi kacau balau dan tak menentu. Di kehidupan
ini kita harus punya petunjuk arah guna menjauhkan kita dari tersesat
dalam peliknya kehidupan. Petunjuk arah dalam kehidupan adalah prinsip.
Sebagai petunjuk arah kita dapat berpegang pada prinsip tersebut. Sama
seperti kehiduapan, pendidikan bahasa berbasis literasi pun mempunyai
prinsip. Berikut adalah tujuh prinspi yang harus diterapkan dalam
pendidikan bahasa berbasis literasi:
1.
Literasi adalah kemsmpusn hidup (life skill).
2.
Literasi mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam
upaya berwacana.
3.
Literasi adalah kemampuan memecahkan masalah.
4.
Literasi adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya.
5.
Literasi adalah kegiatan refleksi (diri).
6.
Literasi adalah kolaborasi.
7.
Literasi adalah kegiatan melakukan interpretasi.
Makna literasi yang semakin berevolusi ternyata berbanding terbalik
dengan kemajuan Indonesia dalam budaya literasi. Indonesia memang
negara yang tertinggal cukup jauh dari beberapa negara. Hal ini
disebabkan karena budaya literasi mayarakatnya masih sangat rendah.
Sejak 15 tahun silam, Indonesia telah ikut dalam proyek penelitan dunia
untuk mengukur literasi membaca, matematika dan ilmu pengetahuan
alam. Dari proyek penelitian dunia tersebut, terbukti memang indonesia
merupakan negara yang kurang daya bacanya dalam literacy purpose.

Kebanyakan orang Indonesia membaca atas dasar information purpose.


Dalam informational purpose indonesia menempati peringkat yang tinggi.
Tingkat pendidikan penduduk indonesia juga merupakan faktor
yang mempengaruhi keterbelakangan bangsa indonesia dalam budaya
literasi. Bagaimana bisa menyusul ketertinggalan dalam literasi jika
penduduknya saja masih mengecam pendidikan yang rendah. Pendidikan
memang menjadi kunci dalam keberhasilan budaya literasi. Dengan kata
lain, pendidikan adalah ujung tombak budaya literasi.
Tingkat literasi siswa indonesia masih jauh tertinggal dari siswa
negara lainnya. Dengan kata lain, dalam skala internasional, siswa
Indonesai belum kompetitif. Siswa merupakan penduduk suatu negara.
Oleh sebab itu, tingkat literasi penduduk berpengaruh pada perkembangan
bangsa.
Hasil proyek penelitian dunia tersebut sangat menggelisahkan,
terlebih lagi bagi kita warga negara Indonesia. Oleh karenanya, diperlukan
usaha khusus demi mengejar ketertinggalan bangsa Indonesia dari negaranegara lain. Salah satunya adalah dengan melakukan rekayasa.
Rekayasa menjadi jalan satu-satunya demi mengejar ketertinggalan
bangsa Indonesia dari bangsa lain. Rekayasa dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia memiliki arti penerapan kaidah-kaidah ilmu dalam pelaksanaan
(seperti perencanaan, pembuatan konstruksi serta pengopreasian
kerangka, peralatan, dan sistem yang ekonomis dan efesien. Rekayasa
yang harus dilakukan adalah rekayasa literasi guna meningkatkan mutu
Indonesia. Rekayasa literasi adalah upaya disengaja dan sistematis untuk
menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa
secara optimal. Penguasaan bahasa adalah portal menuju pendidikan dan
pembudayaan. Perbaikan rekayasa literasi senantiasa menyangkut empat
dimensi, yaitu:
1.
Linguistik atau fokus teks.
2.
Kognitif atau fokus minda.
3.
Sosiokultural atau fokus kelompok.
4.
Perkembangan atau fokus pertumbuhan.
Oleh karenanya, rekayasa literasi berati merekayasa (menerapkan kaidah
ilmu pengajaran membaca dan menulis dalam empat dimensi di atas.
Pengajaran bahasa (language arts) yang baik menghasilkan orang literat
yang mampu menggunakan keempat dimensi di atas secara serempak,
aktif, dan terintegritas. Menggunakan bahasa efektif dan efesien.
Pengajaran literasi tergantung pada pemahaman awal tentang
literasi. Misalnya saja Indonesia berasumsi bahwa literasi hanya sekedar
membca dan menulis. Maka pembelajaran bahasa terfokus pada empat
aspek keterampilan berbahasa, yakni: menyimak, berbicara, membaca dan
menulis. Jarang sekali pembelajaran bahasa disandingkan dengan
pembelajaran sastra dan hanya ada beberapa yang menyandingkannya
dengan budaya. Padahal, literasi tidak sesederhana sekedar menguasai
alfabet atau sekedar mengerti hubungan antara bunyi dengan simbol

tulisannya, tetapi simbol itu difungsikan secara bernalar dalam konteks


sosial. Oleh karenanya, pembelajaran bahasa harus disertai dengan sastra
dan budaya pula. Karya sastra biasanya memuat konteks sosial
masyarakat.
Sementara itu, pengenalan pada berbagai jenis teks juga perlu
dilakukan dalam pembelajaran bahasa. Hal ini bertujuan agar kita menjadi
tahu warna-warni literasi. Jenis-jenis teks yang dapat dikenalkan misalnya
iklan, resep dokter, menu, puisi dan lain-lain. Mengajarkan literasi pada
intinya menjadikan manusia yang secara fungsional mampu berbaca-tulis,
terdidik, cerdas dan menunjukkan apresiasi terhadap sastra.
Meluruskan rekayasa literasi seharusnya diawali dengan pemaham
tentang bagaimana paradigma pengajaran literasi. Ada tiga paradigma
pembelajaran literasi (Kucer: 2000), yakni:
Decoding: siswa membangun literasi dengan diajari terlebih dahulu
tentang literasi, yakni bagaimana memaknai kode bahasa (decoding).
Siswa belajar secara deduktif. Dalam paradigma ini berlaku rumus:
Perkembangan literasi = belajar tentang literasi belajar literasi belajar
melalui literasi
Skill (keterampilan): siswa membangun literasi dengan diajari terlebih
dahulu dalam pengetahuan tentang literasi, yakni cara memaknai bentukbentuk bahasa seperti morfem dan kosa kata. Siswa belajar secara
deduktif. Berlaku rumus:
Perkembangan literasi = belajar tentang literasi belajar literasi belajar
melalui literasi
Whole Language (bahasa secara utuh): siswa pengumpulkan data,
membuat hipotesis, menguji hipotesis dan mengubah hipotesis terus
menerus. Dengan sendirinya keterampilan berbahasa ditemukan. Siswa
belajar secara induktif. Berlaku rumus:
Perkembangan literasi adalah belajar melalui literasi belajar literasi
belajar tentang literasi
Perjalanan yang panjang mengulas tentang literasi yang berevolusi
dan bertrasnformasi maknanya. Sekarang ini, makna literasi menjadi lebih
kompleks dan luas. Selain itu, literasi juga ternyata sangat berpengaruh
pada perkembangan suatu bangsa. Tingginya literasi berbanding lurus
dengan kemajuan negaranya. Tingkat kemampuan literasi kita dapat diukur
dengan tujuh dimensi dalam literasi. Sehingga, kita dapat melihat apakah
kita telah bagus disemua bidangnya. Daya literasi individu berkontribusi
pada daya literasi suatu negara. Maka, setelah kita mengetahui sejauh
mana kemampuan literasi kita, kita dapat berbedah diri demi kemajuan
bangsa ini. Sudah menjadi berita biasa bila Indonesia menempati strats
bawah dalam literasi dunia. Oleh sebab itu, rekayasa literasi perlu
dilakukan di Indonesia. Merekayasa pengajaran literasi menajdi pilihan
yang bijak karena hanya dalam dunia pendidikanlah pengejaran literasi
dapat ditanamkan pada siswa. Pendidikan merupakan ujung tombak
kemajuan literasi.

Rekayasa Literasi: Implementasi Bagi Para Literate Sejati


(By: Enok Siti Jaenah)
Tema melek huruf selalu pekat dalam setiap jejak tinta A. Chaedar Al Wasilah. Ambisi
beliau untuk mengangkat bangsa Indonesia sebagai bangsa berliterasi tampaknya masih terus
berpacu. Dalam buku ter-anyarnya kata Literasi masih terpampang nyata, dan Rekayasa
Literasi adalah salah satu sub bab inti di dalam buku ini. Tak bisa dipungkiri mantra sakti
Rekayasa Literasi ini adalah bentuk implementasi bagi para literate sejati yang sedang
memacu kuda untuk bisa sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang empunya melek aksara.

1.
2.

3.

4.

5.
6.

Rekayasa literasi bercerita tentang makna literasi yang semakin berkembang dari waktu
ke waktu. Perkembangan makna tersebut mengikuti perkembangan zaman yang bergerak
cepat. Perkembangan zaman yang pesat juga membukakan tirai penutup literasi. Sekarang kita
tahu bahwa literasi tak melulu tentang baca-tulis. Literasi adalah praktik kultural yang
berkaitan dengan persoalan sosial dan politik. Oleh karenanya para pakar pendidikan dunia
berpaling kepada definisi baru tentang literasi.
Selain itu, dewasa ini kata literasi banyak disandingkan dengan kata-kata lain, misalnya
literasi komputer, literasi virtual, literasi matematika dan sebagainya. Hal tersebut merupakan
transformasi makna literasi karena perkembangan zaman. Oleh sebab itu, Freebody dan Luke
menawarkan model literasi sebagai berikut: (1) Memahami konteks dalam teks; (2)Terlibat
dalam memaknai teks; (3) Menggunakan teks secara fungsional; (4) Melakukan analisis dan
mentransformasikan teks secara kritis. Keempat peran literasi ini dapat diringkas kedalam lima
verba: memahami, melibati, menggunakan, menganalisis dan mentransformasikan teks. Itulah
hakikat ber-literasi secara kritis dalam masyarakat demokratis.
Meskipun mengalami pergeseran makna, literasi masih berurusan dengan penggunaan
bahasa. Kini literasi menjelma sebagai kajian lintas disiplin yang memiliki tujuh dimensi yang
saling terkait.
Dimensi Geografis (lokal, nasional, regional, dan internasional): Bergantung pada
tingkat pendidikan dan jejaring sosial dan vokasionalnya (kecakapan kejuruan).
Dimensi Bidang (pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan, militer, dsb): Literasi
suatu bangsa tampak dalam dimensi ini. Pendidikan yang berkualitas tinggi menghasilkan
literasi yang berkualitas tinggi pula. Hal ini karena bidang pendidikan merupakan ujung
tombak kebangkitan suatu bangsa.
Dimensi Keterampilan (membaca, menulis, menghitung, berbicara): Literasi seseorang
tampak atau tercermin dari dimensi ini. Semua sarjana mampu membaca, akan tetapi tidak
semua sarjana mampu menulis. Oleh sebab itu, keterampilan sangat diperlukan. Selain itu,
tidak cukup dengan mengandalkan literasi saja (dalam hal ini membaca dan menulis) namun
harus juga memiliki kemampuan numerasi (keterampilan menghitung)
Dimensi Fungsi (memecahkan persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan,
mengembangkan pengetahuan, mengembangkan potensi diri): Orang yang literat karena
pendidikannya mampu memecahkan masalah dan mengatasi semua tentang kehidupan yang
menghampirinya.
Dimensi Media (teks, cetak, visual, digital): Menjadi seorang literat zaman sekarang
orang harus mengandalkan kemampuan membaca dan menulis teks cetak, visual dan digital.
Perkembangan IT sangat penting dan berpengaruh banyak terhadap gaya berliterasi.
Dimensi Jumlah (satu, dua, beberapa): Jumlah dapat merujuk pada banayak hal,
misalnya bahasa, variasi bahasa, peristiwa tutur, bidang ilmu dan media. Literasi seperti halnya
kemampuan berkomunikasi, bersifat relatif.

7.

1.

2.

3.
4.

5.

6.

7.

Dimensi Bahasa (etnis, lokal, nasional, regional, internasional): Ada literasi yang
singular dan ada yang plural.
Pendidikan bahasa yang berbasis literasi seyogianya dilaksanakan dengan mengikuti tujuh
prinsip sebagai berikut:
Literasi adalah kecakapan hidup (life skills) yang memungkinkan manusia berfungsi maksimal
sebagai anggota masyarakat.
Pendidikan bahasa sejak tingkat dasar melatih dan memberdayakan siswa untuk memfungsikan
bahasa sesuai dengan konvensinya dalam kehidupan nyata seperti cara membuat CV, surat
lamaran kerja, membaca jadwal penerbangan, membaca menu, dan lain sebagainya.
Literasi mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana secara tertulis
maupun secara lisan.
Pendidikan bahasa sejak dini membiasakan siswa berekspresi, baik secara lisan maupun secara
tulisan. Di tingkat tinggi, (maha)siswa mampu mereproduksi ilmu pengetahuan berupa karya
ilmiah, fiksi, dan sebagainya. Dengan kata lain, (maha)siswa secara bertahap melakukan
konstruksi dan rekonstruksi, karena bahasa itu sendiri bersifat konstruktif dan generatif.
Literasi adalah kemampuan memecahkan masalah.
Pendidikan bahasa juga melatih siswa untuk dapat berpikir kritis,. Bahasa adalah alat berpikir.
Mengajarkan bahasa seyogianya melatih siswa untuk bisa menggunakan bahasa dengan nalar.
Literasi adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya.
Berbaca-tulis selalu ada dalam sistem budaya (kepercayaan, sikap, cara, dan tujuan budaya).
Pendidikan bahasa seyogianya mengajarkan pengetahuan budaya. Dengan mengetahui selukbeluk budaya dan sejarah suatu negara, kita akan bisa mengenal lebih dalam lagi dengan
negara tersebut.
Literasi adalah kegiatan refleksi (diri).
Penulis dan pembaca senantiasa berpikir tentang bahasa dan mengaitkannya dengan pegalaman
subjektif dan juga dunianya. Pendidikan bahasa seyogianya menanamkan pada diri
(maha)siswa kebiasaan melakukan refleksi atas bahasa sendiri maupun bahasa orang lain. Hal
ini bertujuan untuk mempermudah komunikasi yang berlangsung antara (maha)siswa tersebut
dengan orang lain.
Literasi adalah hasil kolaborasi.
Berbaca-tulis selalu melibatkan kolaborasi antara dua pihak yang saling berkomunikasi.
Penulis (tidak) menuliskan sesuatu berdasarkan pemahamannya ihwal calon pembaca.
Pembaca pun harus mengerahkan segala pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya untuk
memaknai tulisan tersebut. Pendidikan bahasa sejak dini melatih siswa menggunakan bahasa
melalui kegiatan kolaboratif. Segala keterampilan berbahasa sebaiknya dibangun lewat
kegiatan kolaborasi.
Literasi adalah kegiatan melakukan interpretasi.
Penulis memaknai (menginterpretasikan) alam semesta dan pengalaman subjektifnya lewat
kata-kata dan pembaca memaknai interpretasi sang penulis. Pendidikan bahasa sejak dini
seyogianya melatih (maha)siswa melakukan interpretasi (mencari, menebak, dan juga
membangun makna) atas berbagai jenis teks dalam wacana tekstual, visual dan digital di
berbagai ranah kehidupan dan bidang ilmu.
Wacana pengajaran bahasa asing selalu hiruk-pikuk dengan dialog debat tiada henti ihwal
paradigma pengajaran bahasa asing. Table berikut menggambarkan perubahan sudut pandang
tentang pengajaran bahasa.
Tadinya
Kini
Bahasa adalah sistem struktur yang Bahasa adalah fenomena sosial
mandiri
Fokus pengajaran pada kalimat- Fokus pada serpihan-serpihan kalimat

kalimat yang terisolasi.


Berorientasi ke hasil
Fokus pada teks sebagai display
kosakata dan struktur tata bahasa

Mengajarkan
norma-norma
preskriptif dalam berbahasa
Fokus pada penguasaan keterampilan
secara terpisah (discrete)
Menekankan makna denotatif dalam
konteksnya

yang saling terhubung


Berorientasi ke proses
Fokus pada teks sebagai realisasi
tindakan komunikasi
Perhatian pada variasi register dan gaya
ujaran
Fokus pada ekspresi diri
Menekankan nilai komunikasi

Paradigma adalah cara pandang dan pemaknaan terhadap objek pandang (baca: pengajaran
literasi). Perubahan sudut pandang yang terjadi pada perubahan paradigma pengajaran literasi
ini tentunya membawa sejumlah konsekuensi sampai kepada metode dan teknik pengajaran
yang kasat mata dan hasilnya pun dapat kita ukur.
Bisa kita lihat pada tabel diatas bahwa terjadi perubahan-perubahan yang cukup
signifikan pada pengajaran literasi. Seperti misalnya perubahan yang terjadi dari yang tadinya
pengajaran literasi berorientasi ke hasil, kini berorientasi kepada prosesnya. Hal ini bisa berarti
guru bahasa tidak lagi mempermasalahkan tentang apa atau berapa banyak tulisan yang
dihasilkan oleh siswanya, melainkan sang guru lebih fokus tentang bagaimana tulisan tersebut
diproses mulai dari A sampai dengan Z oleh siswa tersebut.
Contoh lain perubahan paradigma pengajaran literasi adalah guru bahasa tidak lagi
menentukan target yang sama bagi semua siswa, misalnya seribu kata dalam esai naratif. Hal
ini dikarenakan pertimbangan bahwa dalam proses menulisnya setiap siswa memiliki hobi dan
gaya masing-masing yang tentunya akan berbeda satu sama lainnya.
Demikian pula dalam perubahan yang terjadi pada fokus yang tadinya teretak pada
penguasaan keterampilan secara terpisah (discrete) menjadi lebih fokus kepada ekspresi diri.
Intinya, yang penting berekspresi tulis. Masalah kesalahan ejaan, tata bahasa dan kosakata
dapat dibenahi seiring berjalannya waktu. Disinilah siswa dituntut untuk berekspresi dan
menunjukkan karakter diri masing-masing yang sesungguhnya.
Akhirnya dengan lahir rekayasa literasi ini, marilah kita singsingkan lengan baju untuk
mengganti tinta merah di atas rapor literasi bangsa Indonesia dengan menyandang gelar literate
sejati. Bangsa yang maju tidak terlihat dari sumber daya alam yang melimpah ruah, namun
terlihat dari berapa banyak jumlah manusia berkualitas yang ada untuk membangun negara
tersebut. Dan salah satu cara paling jitu bin mujarab yang bisa dilakukan untuk
menciptakannya adalah dengan cara menanamkan budaya literasi.
http://craftmastera.blogspot.co.id/2014/02/rekayasa-literasi-implementasi-bagi.html
http://prianganaulia.blogspot.co.id/2014/02/transformasi-makna-literasi.html

Anda mungkin juga menyukai