Disusun oleh :
Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT. Karena atas
karunia Nya kita semua bisa menyelesaikan makalah kami ini. Makalah ini
merupakan syarat untuk melengkapi nilai tugas mata kuliah “Sejarah dan teori sastra”.
Keberhasilan makalah ini tidak lain disertai relefansi-relefansi dan bantuan dari pihak
yang bersangkutan. Makalah ini juga memiliki kekurangan dan kesalahan, baik dalam
penyampaian materi atau dalam penyusunan makalah ini.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFRTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
RUMUSAN MASALAH
TUJUAN MASALAH
BAB II : PEMBAHASAN
PENDEKATAN INTERTEKSTUAL
PENDEKATAN FEMINIS
BABIII : PENUTUP
KESIMPULAN
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
MasalahPendekatan pembelajaran karya sastra mempunyai peranan penting dalam proses
belajar mengajar. Di samping dapat menarik perhatian siswa, pendekatan karya sastra dapat
membantu pembelajaran juga dapat menyampaikan pesan yang ingin disampaikan dalam
setiap karya sastra. Penerapan pendekatan karya sastra dalam pembelajaran di sekolah, guru
dapat menciptakansuasana belajar yang menarik perhatian dengan memanfaatkan pendekatan
karya sastra pembelajaran yang kreatif, inovatif dan variatif sehingga pembelajaran
dapatberlangsung dengan mengoptimalkan dan berorientasi pada prestasi
belajar.Pembelajaran karya sastra pada intinya merupakan proses belajar sastra, Jadi, dalam
pembelajaran pendekatan karya sastra yang aktif adalah siswa sebagai pembelajar sastra .
Dalamrangka mewujudkan pemerataan hasil pendidikan yang bermutu, diperlukan kurikulum
dengan kompetensi lulusan yang memiliki keunggulan bertaraf lokal,nasional dan
global.Untuk itu diperlukan pembelajaran yang handal. Pembelajaran di sekolah dewasa ini,
tidak sesuai dengan yang diharapkan, apabila jika dikaitkan dengan pemahaman siswa
terhadap materi pelajaran. Banyak siswa yang mempunyai kemampuan menghapal materi
yang diterima dengan baik, tetapi mereka tidak memahami secara mendalam apa yang
mereka hafalkan.
1.4 FUNGSI
1. memahami dan mengetahui serta dapat menambah wawasan mengenai arti dari pendekatan
intertekstual,feminis, dan respon membaca dalam karya sastra
BAB II
PEMBAHASAN
Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih
penuh terhadap karya sastra. Penulisan dan pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya
dengan unsur kesejarahannya sehingga memberi makna secara lebih lengkap jika dikaitkan
dengan unsur kesejarahan (Teeuw dalam Nurgiyantoro, 1995:50).
Masalah ada tidaknya hubungan antarteks ada kaitannya dengan niatan pengarang dan
tafsiran pembaca. Dalam kaitan ini, Luxemburg (dalam Nurgiyantoro, 1995:50), mengartikan
intertekstualitas sebagai : “kita menulis dan membaca dalam suatu ‘interteks’ suatu tradisi
budaya, sosial dan sastra yang tertuang dalam teks-teks. Setiap teks bertumpu pada konvensi
sastra dan bahasa dan dipengaruhi oleh teks-teks sebelumnya”.
Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya tak mungkin lahir
dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan tradisi di
masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesastraan yang ditulis
sebelumnya. Dalam hal ini dapat diambil contoh, misalnya sebelum para penyair Pujangga
Baru menulis puisi-puisi modernnya, di masyarakat telah ada berbagai bentuk puisi lama,
seperti pantun dan syair, mereka juga berkenalan dengan puisi-puisi angkatan 80-an di negeri
Belanda yang juga telah mentradisi. Prinsip intertektualitas yang utama adalah prinsip
memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Karya itu diprediksikan
sebagai reaksi, penyerapan, atau tranformasi dari karya-karya yang lain. Masalah
intertekstual lebih dari sekadar pengaruh, ambilan, atau jiplakan, melainkan bagaimana kita
memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya dengan karya yang lain
yang menjadi hipogramnya, baik berupa teks fiksi maupun puisi. Teeuw (1983:66-69)
Pendekatan feminisme dalam kajian sastra sering dikenal dengan kritik sastra feminisme.
Feminis menurut Nyoman Kutha Ratna (2005: 226) berasal dari kata femme yang berarti
perempuan. Sugihastuti (2002:18) berpendapat bahwa feminisme adalah gerakan persamaan
antara laki-laki dan perempuan di segala bidang baik politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan
kegiatan terorganisasi yang mempertahankan hak-hak serta kepentingan perempuan.
Feminisme juga menurut Sugihastuti merupakan kesadaran akan penindasan dan pemerasan
terhadap perempuan dalam masyarakat, baik di tempat kerja dan rumah tangga. Feminisme
berbeda dengan emansipasi, Sofia dan Sugihastuti (dalam Sugihastuti dan Itsna Hadi
Saptiawan, 2007: 95) menjelaskan bahwa emansipasi lebih menekankan pada partisipasi
perempuan dalam pembangunan tanpa mempersoalkan hak serta kepentingan mereka yang
dinilai tidak adil, sedangkan feminisme memandang perempuan memiliki aktivitas dan
inisiatif sendiri untuk mempergukan hak dan kepentingan tersebut dalam berbagai gerakan.
Sholwalter (dalam Sugihastuti dan Suharto, 2005: 18) menyatakan bahwa dalam ilmu
sastra, feminisme ini berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang
mengarahkan fokus analisisnya pada perempuan. Jika selama ini dianggap dengan sendirinya
bahwa yang mewakili pembaca dan pencipta dalam sastra Barat ialah laki-laki, kritik sastra
feminis menunjukkan bahwa perempuan membawa persepsi dan harapan ke dalam
pengalaman sastranya. Feminisme merupakan kajian sosial yang melibatkan kelompok-
kelompok perempuan yang tertindas, utamanya tertindas oleh budaya partiarkhi. Feminisme
berupa gerakan kaum perempuan untuk memperoleh otonomi atau kebebasan untuk
menentukan dirinya sendiri. Berupa gerakan emansipasi peTempuan, yaitu proses pelepasan
diri dan kedudukan sosial ekonomi yang rendah, yang mengekang untuk maju. Feminisme
bukan merupakan upaya pemberontakan terhadap laki-laki, bukan upaya melawan pranata
sosial, budaya seperti perkawinan, rumah tangga, maupun bidang publik. Kaum perempuan
pada intinya tidak mau dinomorduakan, tidak mau dimarginalkan.
Sasaran penting dalam analisis feminis menurut Suwardi Endaswara (2008: 146) adalah
sedapat mungkin berhubungan dengan: (1) mengungkap karyakarya penulis wanita masa lalu
dan masa kini; (2) mengungkap berbagai tekanan pada tokoh wanita dalam karya sastra yang
ditulis oleh pengarang pria; (3) mengungkap ideologi pengarang wanita dan pria, bagaimana
mereka memandang diri sendiri dalam kehidupan nyata; (4) mengkaji aspek ginokritik,
memahami proses kreatif kaum feminis; dan (5) mengungkap aspek psikoanalisa feminis,
mengapa wanita lebih suka hal yang halus, emosional, penuh kasih dan lain sebagainya.
Selanjutnya muncullah istilah reading as a woman, membaca sebagai perempuan, yang
dicetuskan oleh Culler, maksudnya adalah membaca dengan kesadaran membungkar praduga
dan ideologi kekuasaan laki-laki yang patriarkhat (Sugihastuti dan Suharto, 2605: 19).
Membaca sebagai perempuan berhubungan dengan faktor sosial budaya pembacanya. Dalam
hal ini sikap baca menjadi faktor penting. Peran pembaca dengan sendirinya tidak dapat
dilepaskan dari sikap bacanya. Citra perempuan dalam karya itu mendapat
makna/terkonkretkan sesuai dengan keseluruhan sistem komunikfsi ‘sastra, yaitu pengarang,
teks, dan pembaca.
Reading as women menurut Suwardi Endaswara (2008: 147) adalah membaca sebagai
perempuan. Peneliti dalam memahami karya sastra harus menggunakan kesadaran khusus,
yaitu kesadaran bahwa jenis kelamin banyak berhubungan dengan masalah kenyakinan,
ideologi, dan wawasan hidup. Kesadaran khusus membaca sebagai perempuan merupakan hal
yang penting dalam kritik sastra feminisme.
a. Feminisme Liberal.
Menurut Mansour Fakih (2007: 81) asumsi dasar feminisme liberal berakar pada
pandangan bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality), berakar pada rasionalitas
dan pemisahan antara dunia privat dan publik.
b. Feminisme Radikal
Menurut Bhasin (dalam Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, 2007: 97) feminisme
radikal menganggap bahwa perbedaan gender bisa dijelaskan melalui perbedaan biologis atau
psikologis antara laki-laki dan perempuan. Menurut aliran ini kekuasaan laki-laid atas
perempuan, yang didasarkan pada pemilikan dan kontrol kaum laki-laki atas kapasitas
reproduksi perempuan telah menyebabkan penindasan pada perempuan. Hal ini
mengakibatkan ketergantungan perempuan secara fisik dan psikologis kepada laki-laki.
c. Feminisme Marxis
d. Feminisme Sosialis
Pendekatan respon membaca merupakan sebuah teori yang di kembangkan oleh berbagai
macam ahli dan kritikus sastra. Teori ini mempunyai berbagai macam makna tergantung pada
orang yang mengembangkannya. Meskipun demikian secara umum teori ini menawarkan
sebuah teori tentang bagaimana mendapatkan makna dari sebuah text oleh pembaca, serta
bagaimana pembaca menginterpretasikan text tersebut.
Dalam teori ini hubungan antara pembaca dengan teks sangat penting – karena teks tanpa
pembaca akan tidak berarti atau dalam kata lain text tidak ada tanpa pembaca.
Sebuah text tidak akan hidup tanpa pembaca. Banyak yang miss interpretasi mengena
reader response. Banyak yang mengatakan bahwa teori ini memberikan jalan bagi berbagai
macam (semua) interpretasi akan text. Meskipun interpretasi dalam teori ini sangat dibuka
lebar dibandingkan pada teori formalis dan strukturalis, bukan berarti setiap interpretasi itu
valid. Akan tetapi, Adi (2011) membedakan istilah pendekatan reader response dengan
pendekatan resepsi. Pendekatan reader response menitikberatkan pada pembentuka
estetika dalam sebuah teks, sedangkan pendekatan resepsi lebih berfokus pada dampak yang
timbul, senang tidaknya pembaca, dan latar belakang penilaian pembaca. Dengan kata lain,
resepsi merupakan reader judgment.
PENUTUP
3.1 KESIMPILAN
3.2 SARAN
Saran dari makalah ini yaitu dapat mengetahui dan memberikan pembelajaran dari
media manapun baik itu berupa website atau link dan dari beberapa para ahli mengenai
artikel tentang pendekatan intertekstual, feminis, dan respon membaca terhadap suatu karya
sastra.
DAFTAR PUSTAKA
http://ssgpelajarbahasa.blogspot.com/2011/11/pendekatan-intertekstual.html?m=1
https://pusatbahasaalazhar.com/pesona-puisi/kritik-sastra-feminisme/
https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-teori-reader-response-criticism/115734/2