PENDAHULUAN
pengamatan yang cermat oleh para ahli dan dari hasil-hasil penelitian.
kehidupan. Masalah ini muncul beraneka ragam, mulai dari masalah proses
ekstra bagi para pendidik untuk memikirkannya. Salah satunya adalah proses
belajar mengajar Tata Wacana. Istilah wacana dipakai oleh banyak kalangan
mulai dari studi bahasa, psikologi, politik, komunikasi, sastra, dan sebagainya.
2
sekitar tahun 70-an. Sebetulnya apakah wacana itu? Firth (dalam Syamsuddin,
situation. Jadi, pembahasan wacana adalah pembahasan bahasa dan tuturan yang
harus dalam satu rangkaian kesatuan situasi atau dengan kata lain, makna suatu
bahasa berada dalam rangkaian konteks dan situasi. Pemakaian istilah wacana itu
banyak dipakai dalam banyak disiplin ilmu yang lain. Jika istilah wacana dipakai
dalam disiplin ilmu bahasa, perlu diperhatikan hal-hal yang berkaitan atau betul-
betul bermakna bagi pakar bahasa atau keilmuan kebahasaan. Sebagai contoh
adanya istilah wacana politik, sebatas wacana, baru wacana, dan lain-lain. Istilah
tersebut bukan dalam pembahasan ilmu bahasa, tetapi dipakai dalam ilmu politik.
Dilihat dari awal pemunculannya, istilah wacana bukan muncul dari para
ahli ilmu bahasa, melainkan dipopulerkan oleh oleh psikolog, antropolog, dan
lapangan bukan dilihat dari struktur bahasa, melainkan dari konteks pemakaian
bahasa, yaitu wacana. Brown dan Yule (Terjemahan Soetikno, 1996: xi)
Mata kuliah Tata Wacana merupakan salah satu mata kuliah bidang studi
(MKBS), yang diberikan pada semester ganjil (5) dengan bobot 4 SKS di Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI. Adapun bahan perkuliahan
3
Tata Wacana yang diberikan di Strata 1 hanya sampai pada masalah menganalisis
wacana ini sampai kepada analisis wacana kritis (AWK). Dalam silabi dan satuan
disebut AWK) menyatakan bahwa materi yang akan dianalisis oleh AWK adalah
berkaitan dengan wacana politik. Di bawah ini akan dibahas beberapa hasil
penelitian tersebut.
bentuk bahasa yang digunakan dalam wacana politik, khususnya wacana politik
situasi) maupun konteks global (konteks budaya dan ideologi). Disertasi ini
membahas pengantar ke arah bahasa politik dan penggunaan AWK sebagai pisau
dan imperatif), modalitas, (relasional dan ekspresif), strategi kehadiran diri (kita,
saya, kami, dan nomina tertentu), serta struktur teks (konvensi, interaksional, dan
sebuah bentuk bahasa dipilih dan dikedepankan serta mengapa sebuah bentuk
Penggunaan power dalam kelas diduga terkait dengan penggunaan tindak tutur,
5
Hasil temuan yang dikemukakan Jumadi adalah power merupakan bagian integral
tindak direktif, asertif, dan ekspersif, yang merepresentasikan power dengan kadar
media, di antaranya wacana cerpen. Wacana cerpen dapat menjadi wujud fiksasi
sosial, termasuk di dalamnya peran dan posisi laki-laki dan perempuan dalam
pengalaman hidup dan kehidupan manusia. Oleh karena itu, pengarang perlu
tentang gender.
Gender dalam hal ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut
sosial. Karena itu gender merupakan konsep sosial. Lebih eksplisit lagi pernyataan
menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.
gender. Oleh karena itu representasi ideologi gender dalam sastra, termasuk
wacana cerpen relatif menonjol dan kuat. Kajian Newton dan Resenfolt (dalam
Yulianeta, 2002: 54) memperlihatkan bahwa wacana cerpen Eropa Barat dan
Amerika telah menjadi arena penciptaan mitos dan ideologi gender dengan
konteks sosial tertentu. Helbwig (Yulianeta, 2002: 55) dalam kajian berjudul
secara mendalam citra perempuan dalam dua novel populer Indonesia, yaitu
“Karmila” karya Marga T dan “Ku Gapai Cintamu” karya Ashadi Siregar. Secara
khusus ahli sastra Indonesia dari Belanda ini mengkaji masalah pemerkosaan dari
merupakan hal yang paling utama. Apabila keperawanan hilang, jalan keluar satu-
memperkosanya.
berkembangnya stereotip yang tidak adil terhadap perempuan, maka sering terjadi
kekerasan dan beban kerja yang lebih berat terhadap perempuan (Fakih, 1999: 12-
13). Marginalisasi terhadap perempuan bisa dilihat sejak dari lingkungan rumah
tangga dalam bentuk diskriminasi pada anggota keluarga yang laki-laki dan
yang tidak penting. Hal ini terjadi karena pelabelan stereotip kultural yang turun-
Sedangkan beban kerja bisa dilihat dari tuntutan peran ganda terhadap perempuan.
Jika kita melihat kenyataan di masyarakat masih banyak perempuan yang belum
menyadari hal ini. Budi Darma (Lilis, 2003: 5) mengatakan bahwa seringkali
berpenghasilan lebih besar daripada dia, dengan alasan menjaga wibawa suami,
perempuan walaupun dari kalangan berpendidikan yang menerima saja apa yang
dikukuhkan oleh sistem patriarki dan menganggapnya sebagai kodrat yang tak
jenis dan bentuk “konstruksi” ideologi gender yang terepresentasi dan terlembaga
dalam wacana sastra (cerpen). Sedangkan teori AWK bermanfaat untuk melihat
wacana cerpen. Pemanfaatan AWK didasarkan atas asumsi bahwa cerpen dapat
ideologi serta ketidakadilan dijalankan dan dioperasikan melalui teks atau wacana.
Menurut Fairclough (2003: 205) AWK melihat wacana sebagai bentuk dan
tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan, kelas sosial serta kelompok
mayoritas dan minoritas melalui representasi posisi sosial yang ditampilkan. Oleh
9
dengan kelompok yang lain (van Dijk dalam Eriyanto, 2005: 272). AWK melihat
dan sebagainya.
dalam wacana sastra, di antaranya model analisis Sara Mills. Fokus perhatian Sara
ditampilkan dalam teks, baik dalam cerpen, gambar, foto, maupun media. Oleh
karena itu, model analisis ini disebut juga analisis berperspektif feminis. Fokus
perhatian analisis ini adalah menunjukkan bagaimana teks bias gender dalam
yang buruk mengenai perempuan inilah yang menjadi sasaran utama dalam tulisan
Mills.
dimensi, yang mencakup analisis (1) data linguistik, (2) praktik-praktik diskursif,
dan (3) praktik-praktik sosial. Jadi, studi kritis terhadap bahasa menyoroti
dan proses ideologis yang sering tidak disadari oleh masyarakat. Keterkaitan
antara wacana dengan kekuasaan juga ditekankan oleh van Dijk, yang
penerapan kekuasaan sosial, para elit, institusi atau kelompok yang berujung pada
ketidaksetaraan (inequality) sosial, seperti pada ranah praktik, kelas, dan jenis
Belajar AWK adalah suatu hal baru bila dihubungkan dengan ilmu sastra
gender dalam novel Saman. Tulisan ini berupaya mengkaji pengoperasian gender
berdasarkan konsep AWK Sara Mills (1977) yang berperspektif feminis. Dalam
tersubordinasi. Oleh karena itu, perlu ada penelusuran yang lebih mendalam
tentang model AWK dan aplikasinya dalam pengkajian sastra, di antaranya kajian
cerpen yang berideologi gender. Selain itu Nenden Lilis (2002) mengupas
penelitian Yulianeta (2002) yang mengkaji masalah ideologi gender dalam novel
Saman.
dilakukan dalam pembelajaran. Hal inilah yang perlu dilakukan dalam penelitian
ini, dengan judul: “Penerapan Model Analisis Wacana Kritis dalam Kajian Cerpen
Karya sastra terbagi atas beberapa jenis karangan. Ada tiga bentuk karya
sastra, yaitu puisi, prosa dan drama. Dalam penelitian ini sasaran penelitian adalah
karya sastra yang dibatasi dalam bentuk prosa fiksi jenis cerpen. Pengajuan cerpen
tersebut adalah sebagai berikut: (1) cerpen lebih ringkas dibandingkan dengan
novel atau drama dan cerpen bisa selesai dibaca dalam sekali duduk; (2) cerpen
relatif mudah dipahami; (3) cerpen mudah diperoleh, karena tersebar di berbagai
media,baik di surat kabar edisi Minggu, majalah, atau buku-buku antologi; (4)
menikmati cerita. Cerpen yang dibahas adalah cerpen berideologi gender dan
dibatasi hanya cerpen-cerpen pilihan Kompas, yang dimuat dalam antologi cerpen
oleh para kritikus sastra Indonesia sebagai indikator cerpen terbaik di Indonesia.
Bahkan Dewanto (1993 : 10) menyatakan bahwa dalam satu dasawarsa terakhir,
Dari antologi cerpen Kompas tahun 1994-2000 yang tidak ditemukan berideologi
gender adalah antologi cerpen Kompas tahun 1997 dan 1999, sedangkan tahun
Wacana yang akan dianalisis oleh AWK dibatasi hanya pada wacana
1) bagi para teoritis dan praktisi bahasa Indonesia, bahwa efektivitas model
Tata Wacana. Model yang dirancang dalam penelitian ini dapat menambah
1.6 Asumsi
bahwa:
1.7 Hipotesis
mahasiswa sebelum diberi perlakuan model AWK dalam kajian cerpen yang
berideologi gender dengan sesudah diberi perlakuan model AWK dalam kajian
cerpen berideologi gender. Dengan demikian, variabel penelitian ini mengkaji dua
variabel, yaitu:
dependent).
15
1. 9 Definisi Operasional
akan dikaji dalam penelitian ini, maka diperlukan penjelasan beberapa istilah
2) Model yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pola atau cara untuk
gender.
yang kritis, yang berbeda dengan studi bahasa dalam pengertian linguistik
sosial, dan peran sosial. AWK yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
4) Kajian cerpen adalah telaah cerpen dilihat dari unsur eksternal (ekstrinsik)
5) Ideologi gender adalah sistem nilai atau gagasan yang dianut masyarakat
Bagan 1.1.
PARADIGMA PENELITIAN
- STUDI KULTURAL
- FEMINIS
- SASTRA FEMINISME
- CERPEN BERIDEOLOGI GENDER
- BAHASA
- AWK
PROSES PEMBELAJARAN
MODEL AWK IDEOLOGI GENDER
PRATES
PERLAKUAN
PASCATES
BAB IV
perempuan yang telah terpilih sebagai cerpen pilihan Kompas dan telah diterbitkan
oleh Penerbit Kompas dalam bentuk antologi . Dipilihnya penulis perempuan, karena
penulis perempuan akan lebih jelas dan transparan dalam menggambarkan persoalan
ideologi gender dan ketidakadilan gender. Banyak cerpen yang mengupas tentang
kemiskinan. Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan membahas mengenai cerpen-
Analisis ideologi gender ini menggunakan pisau bedah AWK yang sudah
dibuat oleh peneliti. Langkah analisis sudah dibahas pada bab 3 sebagai berikut:
tersebut.
Antalogi : “Lampor”
Ikhtisar
istri bersolek untuk suami dan hal itu dianggap prinsip. Akhirnya Juminten
setiap kali Juminten memakai obat itu selalu merasa mual dan pusing. Jadi, Juminten
alergi terhadap obat itu, namun Juminten selalu memakainya karena ingin
menyenangkan suami (Panuwun menyenangi aroma obat rambut itu). Marni, sahabat
Juminten, menganggap tindakan Juminten itu bodoh, karena menyiksa diri sendiri
cantik, termasuk Nardi (anak majikan orang tua Juminten dan Panuwun). Bahkan
Nardi berani menggoda Juminten. Hal ini diketahui Panuwun, sehingga ia cemburu.
Juminten dilarang keluar rumah kalau tidak ada suami dan boleh keluar jika dengan
suami. Juminten termasuk salah satu anggota tim kasti di desanya dan harus
Alasan Panuwun terjadinya kejadian ini diakibatkan oleh rambut panjang Juminten.
Oleh karena itu, Panuwun meminta Juminten untuk pergi ke salon Mbak Titik untuk
Lagi-lagi Panuwun mengucapkan, “Ten kau kan dandan untukku?” (hal 79).
Akhirnya Juminten luluh dan pergi ke salon Mbak Titik. Tatkala ia melihat
atau sosok identitas gender laki-laki dan perempuan. Profil yang direpresentasikan
dalam cerpen ini adalah Juminten sebagai istri Panuwun. Panuwun (suami Juminten),
Marni, dan Nardi sebagai orang-orang yang tinggal di desa. Profil ini pun
gender lainnya tidak digambarkan secara fisik oleh pengarang. Dari pemerian cerita,
Juminten digambarkan aktivitasnya sebagai ibu rumah tangga, yaitu bekerja di ruang
domestik sebagai istri. Selain itu ada aktivitas lainnya seperti ikut program PKK dan
127
Suatu kali sewaktu nonton film layar tancap di desa bersama suaminya, banyak
orang bilang, “Ten, kok rambutmu sudah sepanjang itu. Tapi kamu memang
cantik dengan rambut sepanjang itu, seperti bintang film.” (hal 80)
di kota dalam arti bekerja di ruang publik. Panuwun adalah seorang suami yang
berkuasa, otoriter, dan kemauannya selalu harus dituruti. Sedangkan profil Juminten
mematuhi apa kata suaminya. Panuwun adalah sosok egois yang tidak mau mengerti
akan keinginan-keinginan istrinya. Prinsipnya istri adalah milik suami. Hal-hal yang
berhubungan dengan istri, suamilah yang menentukan. Profil Panuwun terlihat dalam
bersolek untuk suami, iya kan?” (hal 78). “Pokoknya, saya tidak suka kamu keluar”
(hal 81).
istri adalah sikap yang menyiksa diri. Profil Marni digambarkan sebagai sebagai
bersikap rasional, dalam arti harus bisa menolak keinginan suami bila tidak cocok
dengan kemauannya. Menurut Marni keadaan yang terjadi pada Juminten dalam
hubungannya sebagai istri adalah tindakan represif. Tetapi pendirian Juminten tidak
berpendirian bahwa istri harus menurut pada suami dan menyenangkan suami. Hal ini
dia hidup lumayan, karena orangtuanya punya pabrik, tetapi tidak digambarkan apa
pekerjaan Nardi. Panuwun dan bapak Juminten bekerja di Pabrik ayah Nardi. Profil
Nardi digambarkan sebagai laki-laki yang jatuh cinta pada Juminten karena Juminten
berakibat Juminten tidak boleh keluar rumah, kecuali dengan suami dan pada
Salah satu konsekuensi logis dari integrasi kultural adalah penerimaan peran-
peran gender yang sudah ditentukan secara turun temurun oleh masyarakat. Peran-
peran gender tradisional sangat bergantung pada fungsi biologis perempuan yang
berpusat pada ruang domestik yang tidak jarang diasosiasikan nonproduktif, jadi,
tidak ada ruang publik bagi gender tradisional. Peran-peran modern lebih
terinternalisasi pada fungsi perempuan yang terfokus di masyarakat atau publik yang
129
tidak jarang pula diasosiasikan produktif tanpa harus meninggalkan fungsi biologis
Kate Milles (1972), seorang penulis dari Amerika Serikat dalam bukunya
Analisisnya mencakup analisis tekstual dan kontekstual dari teori politik, sosiologi,
patriarkal, dan relasi laki-laki dan perempuan (Gadis Arivia, 2003: 82).
menerima peran gender tradisional yang sudah tersedia. Pada dasarnya, hidup dan
kehidupan Juminten berada di ruang domestik. Sebagai ibu rumah tangga, Juminten
harus tunduk kepada kemauan suami, sebagai kepala keluarga. Peran gender yang
menganggap sikap Juminten sebagai menyiksa diri. Saran Marni sama sekali tidak
merepresentasikan juga peran gender laki-laki. Peran gender laki-laki ini adalah peran
gender yang telah ada secara kultural. Peran gender laki-laki ini diterima oleh
perempuan sebagai seorang kepala rumah tangga. Panuwun (suami) bekerja sebagai
buruh pabrik, sekaligus sebagai kepala rumah tangga, ia sangat memegang tradisi
130
yang otoriter dan egois dalam menampilkan peran dalam rumah tangganya. Juminten
(istri) harus selalu menurut pada keinginannya. Sebaliknya Panuwun tidak pernah
Peran gender laki-laki lainnya adalah Nardi, yang tidak banyak digambarkan
oleh pengarang, peran Nardi hanya sebagai peran tambahan. Nardi adalah lawan
konflik Panuwun karena Nardi (anak majikan Panuwun dan orang tua Juminten)
seperti Nawang Wulan (putri kahyangan). Karena ketertarikannya itu, Nardi berani
perempuaan seperti diuraikan di atas ditentukan oleh relasi gender. Relasi gender
sebagai kelompok sosial. Relasi gender ini dijalankan melalui peran masing-masing
individu. Pasangan peran dasar dalam berinteraksi tersebut adalah pasangan peran
laki-laki dan perempuan, yang tidak hanya berdasarkan pada jenis kelamin, tetapi
juga pada perkembangan konstruksi sistem sosial budaya masyarakat. Relasi gender
ini bisa tidak imbang atau tidak adil, dan bisa juga imbang atau adil. Perempuan yang
tidaknya atau adil tidaknya relasi gender. Sedangkan perempuan yang menerima
tidaknya dan adil tidaknya relasi gender. Ketidakseimbangan atau ketidakadilan relasi
gender ini ditandai oleh dominasi laki-laki pada perempuan, pelabelan negatif
atau keadilan relasi gender antara lain ditandai oleh kemitrasejajaran laki-laki dan
perempuan.
dan menerima peran gender tradisionalnya sebagai ibu rumah tangga yang bergerak
di ruang domestik, yaitu mengurus rumah tangga. Juminten menerima apa pun yang
menimpanya termasuk menerima nasib peran kultural seorang ibu rumah tangga yang
Peran gender tradisional ditolak oleh Marni sebagai perempuan yang sudah
yang tidak terlalu menurut kepada suami, apabila tidak sesuai dengan keinginannya,
”Bilang pada Kang Panuwun, kau alergi dengan obat penyubur rambut ini. Ten,
saya kira kau tak perlu menyiksa diri, sekalipun agar dicintai suami” (hal 79).
rambut, meskipun dia selalu mual setiap memakai obat itu, dia alergi terhadap obat
praktik ideologi gender atau pencerminan dari ideologi gender tertentu. Dari analisis
hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara laki-laki dan perempuan melalui
representasi posisi dari berbagai faktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa yang
bentuk teks atau wacana yang hadir di tengah pembaca. Posisi-posisi ini dalam arti
siapa yang menjadi “subjek” penceritaan dan siapa yang menjadi “objek” penceritaan,
bagaimana eksplanasi diberlakukan dalam teks atau wacana cerpen itu secara
secara luas dan akan mengungkap bagaimana ideologi dan kepercayaan dominan
sebagai “objek penceritaan” dan bukan “subjek penceritaan” karena itu sebagai objek
dan tidak dapat menampilkan dirinya sendiri, seperti tampak pada cerpen berideologi
133
mengungkap jenis-jenis ideologi gender dalam cerpen tersebut. Jenis ideologi gender
tersebut terdiri atas (1) Ideologi Patriarki; (2) Ideologi Familialisme; (3) Ideologi
Ibuisme; dan (4) Ideologi Umum, serta ketidakadilan gender. Di bawah ini akan
dikupas jenis ideologi mana yang ditampilkan dalam cerpen “Rambutnya Juminten”,
memiliki bukan saja rumah, tanah, ternak, dan budak, tetapi juga istri, perempuan
simpanan, dan anak-anak (the Beauvoir, 2003: 121-123). Dalam masyarakat sekarang
juga masih ada hak kepemilikan laki-laki atas perempuan bahkan dalam masyarakat
menikah menjadi milik suaminya, dan anak perempuan milik ayahnya, istri adalah
milik suami. Hal-hal yang berhubungan dengan istri, termasuk pribadi si istri,
suamilah yang menentukan. Hal ini terlihat pada pemerian dan dialog antara
“Saya tidak akan mengizinkan kamu memotong semodel Marni. Sebagai suami
saya kan tahu model apa yang pantas untuk istriku. Ten kau dandan untukku!”
(hal. 79).
134
Dalam hal ini Panuwun, suami Juminten, digambarkan sebagai seorang laki-
laki yang berwatak otoriter dan egois. Panuwun adalah laki-laki yang tidak mau
Peristiwa yang dialami Juminten sebagai objek penceritaan dalam cerpen ini
Suatu kali sewaktu nonton layar tancap di desa bersama suaminya, banyak orang
bilang, “Ten, kok rambutnya sudah sepanjang itu. Tapi kamu memang cantik
dengan rambut sepanjang itu, seperti bintang film.” (hal. 80)
Pujian terhadap Juminten ternyata merupakan awal dari konflik dalam cerpen
ini. Konflik diawali oleh ketertarikan Nardi (anak majikan Panuwun dan ayah
“Ten ada yang bilang setiap kamu mencuci di pancuran, Nardi pasti
mengajakmu ngomong, iya kan? Jadi, mulai sekarang kamu tidak perlu mencuci
di pancuran. Dan kalau tidak ada saya di rumah jangan keluyuran!”
Juminten sempat membantah suaminya, “Kang, saya bosen kalau di rumah
terus. Apalagi sebentar lagi saya akan latihan kasti.”
“Pokoknya saya tidak suka kamu keluar” (hal.81).
pokoknya sangat menentukan bagi Panuwun dalam hal melarang istrinya supaya
menurut. Di satu pihak Juminten tidak setuju akan tindakan Panuwun, di lain pihak
tampak pada sikap Juminten ketika Marni memprotes tindakan Juminten sebagai
terhadap ucapan Marni. Ketidaksetujuan ini bercampur dengan ketakutan dalam diri
“Marni, saya ingin juga ikut latihan, tapi kalau saya latihan , khawatir Nardi
ikut menonton. Saya takut kalau Kang Panuwun cemburu, dan membunuh
Nardi.”
“Ten, sudah kubilang berulang-ulang padamu. Suami cemburu itu bukan
pertanda cinta, tapi orang yang mau enaknya sendiri. Sudahlah saya tidak bisa
lagi menasehatimu. Mestinya kan tidak terus menerus mengalah, tapi memberi
pengertian pada suami. Kalau aku dibegitukan sama suamiku, sudah lama aku
minta cerai. Kita bukan burung dalam sangkar.”
Juminten merasa omongan Marni itu benar. Tapi Marni sama sekali tidak
mengerti. Dia tak ingin suaminya masuk penjara. (hal.82)
untuk tetap menuruti kehendak suaminya. Juminten menyuruh Marni untuk mencari
“Ni, seandainya Kang Panuwun tidak mengizinkan saya bermain kasti lagi,
tolong carikan penggantiku saja.”
“Bodoh kamu, kata Marni teriak. (hal.82)
Pada hakekatnya manusia itu ingin bebas, begitu pula dengan Juminten,
sebagai manusia pada umumnya dan sebagai perempuan pada khususnya ia pun
136
norma dan konstruksi sistem sosial budaya masyarakat yang melingkarinya, yang
telah ditentukan sejak awal. Jadi, ideologi patriarki menekankan dominasi laki-laki
cenderung menjadikan perempuan inferior. Hal ini tampak dalam relasi laki-laki dan
berperan di dalam rumah tangga sebagai ibu rumah tangga yang baik dan ibu yang
baik. Sebagai istri yang baik perempuan harus dapat mendampingi suami untuk
mencapai cita-cita kehidupannya. Ia harus pandai menjaga diri, baik dalam bersikap
dan bertingkah laku, budaya familialisme ini sudah ditanamkan sejak dini pada
perempuan.
untuk menyenangkan suami, karena itu dia selalu menurut apa kata suami, dan
walaupun dia tidak setuju akan kehendak suami ia tetap mengalah demi
menyenangkan suami. Juminten tokoh utama dalam cerpen ini adalah perempuan
yang mewakili sosok kehidupan masyarakat yang berlaku umum, yaitu berwatak
penurut, mengalah, dan pasif. Juminten adalah wakil dari stereotip perempuan dalam
pepatah “awewe mah dulang tinande” artinya “perempuan itu harus pasrah dan
menerima’’, apa lagi jika hal itu sudah berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan
walaupun dia selalu mual setiap kali memakai obat itu, bahkan dia alergi terhadap
obat itu. Karena Panuwun menyukai aroma obat itu bila sudah melekat pada rambut
Juminten, maka Juminten selalu tidak lupa meminyaki rambutnya dengan obat itu,
Sore ini waktunya Panuwun pulang ke rumah. Sejak tadi, dia sudah memasak
masakan kesukaan Panuwun. Dan meminyaki rambutnya. (hal. 79).
Meminyaki rambut dengan obat penyubur rambut bagi Juminten sama artinya
dengan memasak makanan kesukaan suaminya. Apa pun yang disukai suaminya,
pasti akan dipenuhi dan dilakukan. Bahkan... kalau saja dia tahan dengan bau
obat rambut itu... mungkin seumur-umur hidupnya, dia akan memakai obat
rambut itu. (hal 80).
Pandangan gender terlihat pula pada kepatuhan Juminten untuk tidak keluar
rumah karena dilarang suaminya. Istri yang baik harus mendukung suami dalam
segala hal. Konsep normatif ini merupakan salah satu bentuk ideologi familialisme.
Juminten sering bertanya pada dirinya sendiri, apakah dia istri yang bahagia?
Sebab setiap dua minggu sekali Panuwun yang bekerja sebagai buruh pabrik di kota,
kalau pulang ke rumah tak lupa membawa oleh-oleh kesukaannya. Dan kali ini
Panuwun membawa obat penyubur rambut, yang aromanya kalau sudah melekat di
“Ni, setiap pakai obat penyubur rambut ini, saya kok mual dan pusing,” kata
Juminten.
“Itu berarti kamu alergi. Bilang pada Kang Panuwun, kau alergi dengan obat
penyubur rambut. Ten, saya kira kau tak perlu menyiksa diri, sekalipun agar
dicintai suami.” (hal 79).
dengan Panuwun selalu menimbulkan pertanyaan pada dirinya sendiri. Panuwun baik
dan perhatian terlihat dari pemerian yang menyatakan bahwa Panuwun selalu
obat penyubur rambut. Juminten sebetulnya alergi terhadap obat rambut itu, tapi dia
tidak bisa berbuat apa-apa, karena Panuwun menyukai aroma obat itu. Intinya dia
ingin selalu menyenangkan suami, walaupun dia menyiksa dirinya sendiri. Saran
Marni supaya tidak menyiksa diri, sekalipun agar dicintai suami tidak membuat
Juminten berubah sikap, padahal menurut Marni sikap Juminten yang selalu ingin
menyenangkan Panuwun adalah sikap yang keterlaluan, karena sudah menyiksa diri,
Belanda dan nilai priyayi di Indonesia yang menyetujui tindakan apa pun yang
diambil seorang perempuan dalam keluarga, kelompok, kelas sosial, atau pemisahan
mengemukakan bahwa nilai kecil borjuis Belanda ini merupakan adopsi dari moral
Victorian yang diciptakan untuk mengontrol kualitis bangsawan Inggris pada masa
pemerintahan Ratu Victoria. Moral ini mementingkan pertahanan diri dari nafsu
139
seksual dan larangan terhadap Ratu dengan seorang suami dan anak-anak dinilai
sebagai model keluarga ideal. Nilai ini berkembang sampai ke seluruh Eropa abad ke-
Indonesia. Di Indonesia moral ini bertemu dengan moral priyayi yang dipertahankan
untuk mengatur kehidupan perempuan. Lebih lanjut Mies (1986) dan Jayadiningrat
(1987) menyatakan bahwa selama Orde Baru ideologi ibuisme negara dominan sekali
di Indonesia. Ideologi ibuisme ini mudah menjadi bagian dari realitas budaya
masyarakat sekaligus juga sebagai budaya sesuai negara. Konsep “kodrat” digunakan
konsep perempuan sebagai istri dan ibu dimanipulasi untuk membatasi ruang gerak
perempuan
memasak, mencuci, dan mengurus urusan pekerjaan domestik sebagai ibu rumah
aktivitas Juminten lainnya, yaitu ikut kegiatan PKK di desanya, sebagai anggota tim
kasti. Kegiatan satu-satunya bagi Juminten di sektor publik ini, adalah bias gender,
karena pada umumnya, seperti yang diamati dalam kehidupan masyarakat, kegiatan
Panca Dharma Wanita (5 dasar hak dan kewajiban wanita). Rumusan Panca Dharma
Wanita ini mengadopsi nilai tradisi agama dan nilai kecil borjuis Belanda yang
membatasi peran dan tugas perempuan, yaitu (1) mendampingi suami; (2)
melahirkan, merawat, dan membesarkan anak; (3) mengatur ekonomi rumah tangga;
140
(4) pencari nafkah tambahan; dan (5) sebagai anggota masyarakat, terutama sebagai
demikian, peran dan posisi perempuan yang hanya bergerak di sekitar domestik
perempuan dianggap masalah yang khas, karena itu yang laki-laki tak perlu
Sebagai istri yang baik, perempuan harus mampu menjadi ibu rumah tangga
yang baik pula. Istrilah “ibu rumah tangga” bahkan “ratu rumah tangga” yang
melekat pada istri, yang lebih berkonotasi pengabdian dan pelayanan. Seperti apa
yang dikatakan Panuwun pada Juminten tentang perilaku dandan dan bersolek.
memposisikan laki-laki yang berkuasa atas istri. Adapun keputusan yang diambil
Juminten tampak sangat dipengaruhi oleh perbedaan gender (stereotip) dan peran
yang penurut, mengalah, pasrah, dan akibat dari perannya yang “ibu rumah tangga”
dan “pelayan suami,” yang posisinya “subordinat” dan tidak punya kekuatan,
Juminten tidak berdaya di depan suaminya, yang dikuatkan posisinya oleh kehendak
141
publik dan perempuan di sektor domestik. Pembagian kerja ini sudah disosialisasikan
berkuasanya Panuwun untuk melarang Juminten tidak boleh keluar rumah tanpa
desanya secara luas, yang memunculkan dua kubu pendapat di desanya, dalam arti
ada yang pro dan ada yang kontra, yang pro menilai “tindakan Panuwun benar,
karena suami berhak menyuruh istrinya diam di rumah” sedangkan yang kontra
“Panuwun itu suami yang kejam. Bayangkan di zaman modern seperti ini, di
mana kaum perempuan perlu banyak keluar untuk belajar di PKK, di pengajian,
dan ikut olah raga, bisa-bisanya dia mengurung Juminten.” (hal. 81)
Dalam cerpen ini diceritakan mengenai hal-hal tidak enak yang dirasakan
Juminten dalam memenuhi keinginan suami. Hal-hal tidak enak tersebut ditahan
masyarakat yang dimaksud adalah norma bahwa istri harus mematuhi suami dan
norma bahwa istri adalah pelayan suami. Contoh lain, dalam masalah latihan kasti,
“Ni, seandainya Kang Panuwun tidak mengizinkan saya bermain kasti lagi,
tolong carikan pengganti saja.” (hal. 82)
perempuan dari bidang-bidang tertentu, yaitu dengan konsep pembagian kerja secara
seksual, yaitu ruang publik merupakan dunia laki-laki, dan ruang domestik
gender.
Ikhtisar
Cerpen ini bercerita tentang seorang perempuan bernama Mbok Nah yang
berumur 60 tahun. Ia mempunyai suami bernama Marno yang berumur lebih muda 20
tahun. Pekerjaan sehari-hari Mbok Nah berjualan jamu. Mbok Nah mempunyai
langganan yang banyak. Salah seorang langganannya adalah Meri. Meri adalah
seorang waria, nama sebenarnya Rukman. Meri tinggal di depan rumah Mbok Nah.
Dia indekos di rumah itu, pekerjaannya pagi-pagi mengamen dan malam hari bekerja
sebagai penjaja seks di sebuah taman kota. Mbok Nah dan Meri cukup akrab, karena
kalau Mbok Nah menjual jamu pada Meri, sering tertahan di kamar Meri, karena
Marno sering berangkat menarik becak lebih siang, padahal sudah berdandan sejak
pagi. Setiap Mbok Nah selesai mengantar jamu pada langganannya dan hendak
mengantar jamu ke kamar Meri, Mbok Nah selalu melihat suaminya itu tersenyum
Pada suatu malam Mbok Nah dan suaminya kaget mendengar ketukan pintu,
ternyata Meri. Ia muntah-muntah dan minta tolong Mbok Nah dan Marno untuk
merawatnya. Ternyata sakit Meri tidak seringan yang diduga Mbok Nah dan Marno,
Setelah sembuh Meri tetap tinggal di rumah Mbok Nah. Ia banyak membantu
Mbok Nah, segala keperluan Mbok Nah dibereskan, termasuk jamu-jamu yang akan
dijajakan. Mbok Nah dengan tulus membiarkan Meri tinggal di rumahnya, ia merasa
144
begitu saja menemukan anak yang tak pernah singgah di rahimnya. Mbok Nah tak
bereaksi pada omongan-omongan tetangganya tentang Meri dan Marno, malahan ada
Pada suatu hari, ketika Mbok Nah pulang menjaja jamu, terdengar dari kamar
tak ada apa-apa. Besok malamnya Meri meminta maaf, tapi Mbok Nah tak
menanggapinya dan bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa. Esoknya lagi ketika
Mbok Nah bangun, dia melihat Marno meringkuk di bawah ketiak Meri yang sedang
tidur pulas di kamar belakang. Mbok Nah berkata, “Bocah-bocah turu kabeh.”
Profil yang direpresentasikan dalam cerpen ini adalah Mbok Nah sebagai
tokoh utama. Marno (suami Mbok Nah) merupakan tokoh tambahan. Meri, Jeng Sri,
Zus Marni, Mbakyu Surti, Mbakyu Menuk, dan Nak Wasti adalah para tetangga dan
pelanggan jamu Mbok Nah. Dari pemerian wacana cerpen diketahui bahwa Mbok
Nah yang berumur 60 tahun ini adalah orang yang berwatak tulus, lembut, telaten,
sabar, luwes, dan selalu berprasangka baik terhadap orang lain. Dilihat dari sudut
gender, sifat-sifat seperti ini adalah sifat-sifat perempuan ideal yang dikehendaki
menurut Sebatu (1994: 24) merupakan hasil ciptaan budaya masyarakat. Dengan
kecuali Marno itu seorang yang mempunyai sifat kekanak-kanakan, sifat ini
mengasosiasikan pada sifat-sifat manja, lemah, dan bergantung pada orang lain. Sifat
ini bertolak belakang dengan stereotip gender. Dengan demikian sifat Marno tidak
Profil Meri dalam cerpen ini digambarkan sebagai seorang waria. Meri
berkarakter genit, manja, cerewet, gesit, kuat, terampil, dan rajin. Sifat-sifat Meri
tersebut merupakan perpaduan dari sifat maskulin dan feminin. Ia hadir sebagai sosok
androgini. Istilah ini digunakan oleh ahli psikoanalisis Carl Gustave Jung (Sebatu,
1994: 13) yang menyatakan bahwa androgini ada dalam diri manusia menyatu antara
tersebut baik secara biologis maupun secara psikologis. Di samping itu mitos dan
perdukunan juga meyakini sifat androgenitas, misalnya dalam budaya Cina diyakini
bahwa manusia terdiri dari unsur yin (maskulin) dan yang (feminin). Dalam sejarah
Indonesia zaman lampau pun dikenal simbol lingga (jantan) dan yoni (feminin),
simbol dari dua unsur ini menyatu dalam diri manusia (Sebatu, 1994:18).
androgenitas Meri harus dikaji, karena sifat androgenitas ini memiliki batas-batas
kenormalan. Menurut Sebatu (1994: 116), perempuan pada dasarnya memiliki sifat
maskulin dalam taraf rendah. Orang yang androgen memiliki keseimbangan yang
146
tinggi dari kedua ciri feminin dan maskulin itu. Adapun tokoh Meri yang waria (nama
Sebatu (1994: 116) menyatakan bahwa jika setiap orang menyadari adanya
kedua unsur tersebut, yaitu maskulin dan feminin dalam dirinya, maka mereka akan
tumbuh menjadi pribadi yang seimbang. Sayangnya ideologi gender telah membatasi
adanya perempuan dan laki-laki dengan salah satu unsur saja yaitu feminin dan
maskulin.
Dilihat dari sudut ideologi gender, sifat profil Meri tidak merepresentasikan
ideologi gender (dalam hal ini stereotip gender), karena dia adalah laki-laki yang
gender.
adalah Jeng Sri, Mbakyu Surti, Zus Marni, Nak Wasti dan Mbakyu Menuk (tetangga
Dari pemerian cerpen ini tergambar bahwa peran tokoh utama Mbok Nah
adalah peran ganda. Jadi, selain mengurus rumah tangga dia juga bekerja di ruang
publik, yaitu berjualan jamu. Sebagai perempuan yang memilih integritas kultural
terhadap tradisi, Mbok Nah menerima peran ganda ini dengan tulus. Dia menerima
kondisi ini sebagai tugas seorang perempuan berperan ganda, dia tetap bertugas
melayani suami dengan baik, apalagi mengingat perbedaan umur yang jauh berbeda,
147
yaitu Mbok Nah 60 tahun dan suaminya Marno berumur 20 tahun di bawah Mbok
Nah.
Perwatakan ini muncul bisa saja karena dia mempunyai istri yang lebih tua, jadi, dia
manja, lemah, dan ketergantungan kepada orang lain, yaitu kepada Mbok Nah. Dari
pemerian cerita dalam cerpen “Mbok Nah 60 Tahun” ini, terlihat bahwa peran Marno
peran suami-istri antara Marno dan Mbok Nah. Semua penekanan cerita pada tokoh
utama, yaitu Mbok Nah, yang menyadari tentang kondisi ketuaannya sebagai
perempuan. Dalam tradisi Jawa perempuan harus bisa mengurus diri, cantik, untuk
tetap menarik dalam relasi dengan lawan jenisnya. Walaupun pengarang tidak
menyebut lokasi penceritaan, tetapi dari penggunaan bahasa yang sederhana, struktur
kalimat yang tidak kompleks, kosakata yang digunakan adalah kosakata sehari-hari
kata pokoke, sampean, turu, tentrem tur besuki, dan lain-lain, menunjukkan bahwa
Peran lain yang diceritakan dalam cerpen ini adalah peran Meri (nama asli
Rukman), yaitu seorang waria. Pekerjaan Meri, kalau siang hari mengamen, dan
kalau malam hari menjadi penjaja seks di taman kota. Dia adalah pelanggan baru
Mbok Nah. Anehnya ia selalu memesan jamu-jamu khusus perempuan, yaitu sari
rapet dan galian singset, tetapi dia juga memesan jamu kuat majun. Mbok Nah tidak
148
mempermasalahkan mengapa Meri memesan jamu seperti itu dan Mbok Nah juga
tidak pernah memasalahkan apakah Meri itu perempuan atau laki-laki. Mbok Nah
tidak menaruh curiga, ketika setiap hari mengetuk pintu kamar Meri (Meri kos di
depan rumah Mbok Nah) untuk mengantar jamu, suaminya yang masih duduk-duduk
di amben depan rumah dan belum berangkat menarik becak, selalu tersenyum malu-
malu. Dalam dua minggu ini Mbok Nah bingung memikirkan tingkah laku suaminya
yang selalu menarik becak lebih siang, padahal dia sudah dandan dari sejak pagi.
Mbok Nah selalu menegur suaminya itu dengan lembut, namun suaminya selalu
mengulur waktu. Sikap Mbok Nah yang sabar, lembut, telaten, dan pasrah pada
suaminya menunjukkan bahwa Mbok Nah adalah figur perempuan Jawa dengan
secara terang-terangan. Mbok Nah terluka, namun perasaan itu tidak diungkapkannya
dan tidak ditunjukkannya. Ia bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa dan tak mau
membicarakan persoalan atau kemarahan terbuka. Dari latar belakang cerpen yang
berkultur Jawa bisa diketahui bahwa sikap Mbok Nah di atas dipengaruhi oleh latar
belakang sosial budayanya sebagai seorang Jawa. Dalam kultur Jawa ada stereotip
itu di depan suami, perempuan dituntut selalu bersikap manis, tak peduli sedih atau
gembira yang tengah dirasakannya. Hal ini dilakukan demi menjaga perasaan suami.
149
selalu tampil cantik. Tuntutan tersebut lahir dari bentukan sosial budaya. Dalam hal
ini Mbok Nah tak memiliki jalan lain kecuali menerima perselingkuhan itu, agar ia
Sikap nrimo dijadikan jalan untuk menyelesaikan masalah. Sikap nrimo juga
dipengaruhi oleh kultur Jawa. Kultur Jawa memosisikan perempuan serba nrimo,
tabah, sabar, dan mau menderita, yang luluh dalam hukum-hukum sosial yang
Dalam cerpen “Mbok Nah 60 Tahun” ini akan dibahas mengenai posisi dari
berbagai aktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa. Posisi-posisi ini menentukan
bentuk teks atau wacana yang hadir di tengah pembaca. Posisi-posisi inilah yang
menentukan siapa yang menjadi “subjek” penceritaan dan siapa yang menjadi
dijelaskan bagaimana posisi-posisi itu ditampilkan secara luas dan akan menyingkapi
tersebut. Berdasarkan analisis data yang dilakukan, ideologi gender dalam cerpen
Dalam kajian cerpen ini “Mbok Nah” ditampilkan sebagai objek penceritaan.
penceritaan dan tidak bisa menampilkan bahan penceritaan dan tidak bisa
menampilkan dirinya sendiri. Hal ini tampak pada ideologi gender yang
Mbok Nah adalah figur seorang perempuan yang diketahui berwatak tulus,
lembut, sabar, telaten, tak pernah berprasangka buruk terhadap orang lain, dan tak
suka menilai orang lain. Dilihat dari sudut gender, sifat-sifat seperti ini adalah sifat-
sifat perempuan ideal, sesuai dengan yang dikehendaki oleh masyarakat patriarkis.
tersebut merupakan hasil ciptaan budaya masyarakat. Dengan demikian, tokoh Mbok
Tokoh subjek Marno dalam cerpen ini tidak digambarkan secara jelas. Marno
suami Mbok Nah yang lebih muda 20 tahun dari Mbok Nah tidak digambarkan secara
utuh. Gambaran yang dikemukakan pengarang sebatas figur suami yang seenaknya
dewek, dalam arti sama sekali tidak menaruh perhatian pada istrinya. Sikap kekanak-
kanakan Marno mungkin saja disebabkan karena dia mempunyai istri lebih tua.
Karena itu, Mbok Nah tidak berani menegur atau mengemukakan perasaannya
151
kepada suaminya. Dari pemerian cerita dalam cerpen ini bisa diinterpretasi bahwa
tidak ada komunikasi yang baik antara Mbok Nah dan suaminya. Ketidakpedulian
bahwa Marni berkuasa atas Mbok Nah. Lebih jelasnya Marno berposisi superior dan
Mbok Nah berposisi inferior, padahal sifat Marno itu tidak mempresentasikan
ideologi gender, jadi dia berkuasa secara psikis atas Mbok Nah, bukan secara
biologis. Dalam dua minggu ini Mbok Nah lagi bingung melihat gelagat Mas Marno
suaminya.
Yang bikin bingung, ya ini, Mas Marno, Si Kuku Bimanya. Hati Mbok Nah kebat
kebit. Mas Marno tersayang kini sering berangkat menarik becak lebih siang.
Padahal pagi-pagi dia sudah dandan. Rambutnya sudah lengket berkilat oleh
pomade, celana pendek jins juga sudah dipakainya. Becak pun sudah di pinggir
jalan. Tapi Marno Cuma duduk-duduk di amben depan rumah. Wajahnya jernih
kekanakan menatap ke depan.
“Lho ndak berangkat toh Mas... nanti ndak bisa ngantar anak-anak yang mau
sekolah.” lembut Mbok Nah menyapa. Kopi dan goreng pisang yang
disuguhkannya sudah ludas. “Nanti sebentar lagi Nah.” Dan itu Jawaban Marno
setiap kali, bahkan walau tak ditanya Mbok Nah. Ya sudah, Mbok Nah tak bisa
menunggu sampai Marno pergi. (hal 96-97).
Mbok Nah tak menaruh curiga, ketika setiap kali ia mengetuk pintu kamar Meri
(waria yang kos di depan rumahnya) dan Meri keluar dari kamarnya, Marno,
suaminya selalu tersenyum malu-malu. “Halo Mbok Nah, dagg Mas Marno.”
Begitu setiap pagi dan Mbok Nah tak tahu apa yang terjadi kemudian. Yang pasti
pendapatan Marno dua minggu terakhir ini surut banyak. Mbok Nah harus
ngutang sana-sini untuk makan atau bahan pembuat jamu. (hal. 98).
Dari pemerian dan dialog pendek antara Mbok Nah dan Marno tergambar
bahwa Marno mempunyai niat jelek buat Mbok Nah. Dia kelihatan bahagia apabila
152
Mbok Nah telah memulai pergi menjajakan jamu termasuk kepada Meri yang
Meri, bukan dengan Mbok Nah, walaupun Sebenarnya Mbok Nah sangat kesengsem
oleh senyum malu-malu Marno (hal. 98). Ternyata senyum itu bukan buat Mbok Nah,
Sebagai seorang istri walaupun Mbok Nah lebih tua 20 tahun dari suaminya,
menjajakan jamu, Mbok Nah menyediakaan sarapan pagi buat suaminya, walaupun
hanya berupa kopi dan pisang goreng. Mbok Nah berusaha berbuat taat dan setia pada
suaminya. Kegiatan Mbok Nah sebenarnya berperan ganda, dalam arti dia berfungsi
sebagai ibu rumah tangga, juga sebagai pencari nafkah. Sejak pagi dia sudah mulai
mempunyai langganan baru seorang waria yang kos di depan rumahnya. Waria
namanya Meri dan nama sebenarnya adalah Rukman. Anehnya Meri ini selalu
membeli jamu singset dan sari rapet, selain itu dia juga membeli jamu kuat majun.
Tetapi Mbok Nah tidak pernah mempermasalahkan mengapa Meri membeli kedua
jenis jamu itu, yaitu jamu untuk perempuan dan jamu untuk laki-laki. Meri akrab
dengan Mbok Nah, karena kalau Mbok Nah datang ke kamar Meri untuk
pangalamannya.
153
Suatu malam Meri muntah-muntah dan minta tolong Mbok Nah. Mbok Nah
dan Marno menolong Meri, merawatnya di rumah mereka hingga lebih dari
seminggu, hingga Meri sembuh. Kesembuhan Meri membuat Mbok Nah lega.
Adanya Meri di rumah Mbok Nah membuat kehangatan tersendiri bagi Mbok Nah. Ia
sering melihat Meri dan Marno saling cubit dan bermain kaki di bawah meja. Naluri
keibuannya membuatnya ia sabar, dan tidak peduli akan kelakuan suaminya dan
Meri.
Hal ini membuat Mbok Nah merasa menemukan anak yang tak pernah hadir
di rahimnya, menurut perasaannya anak itu hadir begitu saja di hadapannya. Tingkah
laku Meri dengan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga Mbok Nah adalah
untuk menitipkan dirinya karena ia banyak dibantu oleh Mbok Nah dan Marno.
Pada suatu sore Mbok Nah melihat becak Marno sudah nangkring di bawah
pohon jambu klutuk depan rumah... Dari kamar belakang dia mendengar suara
Marno dan suara Meri. Suara-suara itu mengingatkan Mbok Nah pada malam-
malam kebersamaannya dengan Marno.
Mbok Nah tercenung... Pandangannya jatuh pada tangannya yang keriput dan
legam. Mbok Nah menarik nafas. (hal 100-101).
atas tergambar sebagai seorang suami yang punya kekuasaan untuk menyakiti istrinya
154
dilakukan di rumah Mbok Nah atau di rumahnya sendiri. Kalimat “Suara-suara itu
membuat Mbok Nah tercenung, dia merasa termaginalisasi. Dia menoleh kepada
dirinya yang sudah berumur 60 tahun, tangannya telah keriput dan legam, apalagi
wajahnya. Kalimat Mbok Nah menarik nafas, menunjukkan bahwa dia menyadari
sudah tua, sudah tidak menarik lagi bagi Marno. Kesadaran ini membuat dirinya tidak
sakit hati. Apa artinya sakit hati karena dalam dirinya sejak awal sudah dicekoki
bahwa perempuan Jawa tidak boleh menyatakan perasaannya kepada suami, dalam
arti harus nrimo, pasrah, dan tidak boleh berpretensi apa-apa. Suami adalah panutan.
Ideologi ibuisme ialah ideologi yang menganut perempuan harus menjadi “ibu
yang baik” atau menjadi “ibu rumah tangga yang baik”, akan lebih jelas kalau disebut
“ratu rumah tangga.” Apa pun sebutannya adalah sama saja perempuan harus menjadi
Cerpen “Mbok Nah 60 Tahun” menceritakan tentang tokoh Mbok Nah yang
sudah berumur 60 tahun, penjaja jamu. Kalau dia menjajakan jamu, kalimat-kalimat
yang dilontarkannya masih manjur, buktinya setiap pagi jamunya pasti ditunggu
orang.
Mbok Nah yang masih montok pandai merayu tukang becak dan kuli bangunan:
“Ayo Mas biar badannya kuat dan bojone di rumah puas, pokoke coba dulu,
sampean pasti bangga,” atau “Iya lho Jeng, suami Mbok kan dua puluh tahun
lebih muda, gara-gara sari rapet ini dia tambah hari tambah rapet. Jamu yang
155
ini bikin baan singset ndak bau, laki kan ndak suka. Kalau sudah begitu kan bisa
repot.” (hal. 93).
jamu untuk membuat laki-laki kuat sehingga istrinya merasa puas. Kalau istri merasa
puas tentu saja suami menjadi bangga karena dia bisa menunjukkan kejantanannya.
Sudah sejak awal memang laki-laki dikondisikan secara kultural untuk mempunyai
stereotip yang jantan, kuat, rasional, dan gagah. Dengan demikian dia bisa menjadi
superior dan perempuan menjadi inferior, serta tunduk kepada suami. Karena
penampilan stereotip di atas, perempuan pun merasa bangga kalau mempunyai suami
seperti itu. Inilah yang menimbulkan adanya ideologi patriarki. Lain halnya dengan
“Jamu itu bikin badan singset, rapet, dan tidak bau, laki ndak suka. Kalau
sudah begitu kan bisa repot.” (hal. 95).
Perempuan sejak dini sudah dipola oleh budaya masyarakatnya, yaitu harus bisa
menjaga diri dan merias diri untuk menyenangkan suami serta melayani suami.
Jamu singset dan sari rapet Mbok Nah ini memang manjur terbukti banyak
langganan-langganannya yang bercerita sambil cekikikan pada Mbok Nah
tentang pengalaman dan kepuasan berhubungan dengan suaminya (hal. 95).
Peran jamu ini sangat manjur terutama bagi perempuan Jawa, dengan jamu ini
mereka akan berharap supaya dicintai dan disayang suami. Mbok Nah merasa
ibunya.
“Kamu rupanya yang dikasih wangsit sama moyangmu bikin jamu, Nduk. Kamu
bakal menolong banyak orang.” Dan Mbok Nah percaya sudah banyak
menolong orang, para langganannya tak ada satu pun yang bercerai, punya istri
baru, atau suami lain. Semua langgeng tur besuki. “Syukur,” bisik Mbok Nah
dalam hati. (hal. 96).
156
Hal ini menunjukkan keberhasilan Mbok Nah dalam berperan ganda, yaitu
sebagai ibu rumah tangga yang baik, dalam arti bekerja di ruang domestik, dan
sebagai penjual jamu, dalam arti bekerja di ruang publik. Sebetulnya Mbok Nah
sekarang tidak begitu repot karena pekerjaan domestik di rumah telah dikerjakan oleh
Larut malam ketika kentongan berbunyi dua kali Mbok Nah masih menunggu
Marno. Cuma dengkuran dari kamar sebelah yang didengarnya (hal. 100).
Pemerian ini menggambarkan bahwa Marno tidak masuk ke kamar Mbok Nah, tetapi
memperlihatkan bahwa Marno sudah tidak mempedulikan Mbok Nah. Dia berbuat
terang-terangan berselingkuh, dan dia tidak takut diketahui oleh Mbok Nah.
Kepindahan Meri ke rumah Mbok Nah, rupanya jadi bahan gunjingan baru di
kalangan tetangga;
“Mbok Nah ini pikirannya piye toh. Apa ndak melihat kelakuan Si Meri sama
Mas Marno. Pikun apa Mbok Nah ini... Mas Marno juga wis gendeng apa, punya
gendakan kok banci,” kata Mbakyu Surti yang terkenal ceplas-ceplos (hal. 102).
Mbok Nah menyadari perselingkuhan antara suaminya dengan Meri. Dia tidak
menyalahkan suaminya, malah dia melihat ke dirinya, bahwa suaminya wajar berbuat
selingkuh karena dia sudah tua, sudah tak menarik lagi, dengan cara ini Mbok Nah
Meri tengah memasukkan botol-botol jamunya ke dalam bakul dan rambut Mas
Marno basah. Keduanya tersenyum malu-malu, Mbok Nah tak berkata apa-
apa. Ia menghirup kopi dan pergi (hal. 101).
157
Mbok Nah ”terdiskriminasi.” Melihat gelagat suami dan Meri, Mbok Nah lebih
baik pergi walaupun hatinya teriris. Sepanjang jalan ketika berjualan Mbok Nah tak
enggan pulang. Namun rasa lapar tak bisa ditahannya membuat ia terpaksa pulang.
yang berselingkuh terang-terangan di depan matanya. Dia merasa rendah diri karena
dia merasa lebih tua dari suaminya, dan kenyataannya memang tua sudah berumur 60
tahun dan suaminya baru 40 tahun. Badan Mbok Nah masih tetap montok, tetapi
kulitnya sudah mulai keriput dan legam karena kepanasan ketika menjajakan
jamunya.
Mbok Nah terbangun ketika terdengar ketukan halus pada pintu. Mbok Nah
mengira Mas Marno, ia gelagapan. Tak tahu kira-kira apa yang harus
dikatakannya. Ia tak yakin apakah ia marah dengan peristiwa kemarin sore. Jika
berlagak marah ya salah, tapi jika tidak mengatakan apa-apa juga salah.
Akhirnya Mbok Nah cuma menunggu (hal. 102-103).
bingung apa yang harus dia kemukakan kepada Marno mengenai perselingkuhan
suaminya itu dengan Meri. Ternyata yang masuk ke kamar bukan Marno, tetapi Meri.
“Mbok..., kemarin sore..., Meri tampak gugup dan tersendat “Meri... anu Mbok,
nuwun sewu... Mas Marno, Meri..” (hal. 103).
“Wis Nduk, wis... tidur sana,” kata Mbok Nah setengah mengantuk. Mbok Nah
tidur lagi (hal. 103).
158
dengan Marno. Tetapi karena Mbok Nah sudah merasa kehangatan atas kehadiran
Meri di rumah itu, dan dia merasa kehadiran Meri itu merupakan kehadiran anak
yang tiba-tiba ada tanpa kehadiran dahulu di rahimnya, maka Mbok Nah menganggap
tidak ada persoalan baginya. Mbok Nah memang selalu mengharapkan kehadiran
seorang anak, nyatanya yang muncul Meri yang berselingkuh dengan suaminya.
Pengakuan perasaan ini menjadi sikap Mbok Nah yang tidak mempermasalahkan
perselingkuhan itu.
Meri. Mereka menyayangkan sikap Mbok Nah yang terlalu baik pada Meri dan
mengherankan Marno mempunyai gendakan banci. Mbok Nah sebetulnya tak ingin
secara terbuka untuk menjaga terjadi konflik. Sikap ini mencerminkan perempuan
ideal, yaitu perempuan yang bersifat pasif, menderita tanpa protes, kuat perasaannya,
dan tak pernah menyatakan hal-hal negatif, semuanya dipendam di hati. Mbok Nah
tidak bersikap terbuka dan mendiamkan persoalan. Hal ini membuat Mbok Nah
kembali mendapat represi dari suaminya. Mbok Nah berusaha memaklumi dan
memaafkan perselingkuhan itu dengan cara menganggap Meri dan Marno sebagai
bocah-bocah. Mbok Nah berjalan ke luar. Pintu kamar belakang terkuak sedikit,
159
dilihatnya Meri lelap tidur dengan muka penuh riasan. Di sisi ketiaknya Marno
meringkuk seperti bayi. “Bocah-bocah turu kabeh,” desahnya. Mbok Nah mengikat
Dalam hal ini terlihat sikap penerimaan Mbok Nah terhadap perselingkuhan
Marno atau dalam kultur Jawa disebut nrimo, yang berarti perempuan harus selalu
pasrah dan menerima segala tindakan suami. Konsep ini tercermin dalam ungkapan
“swarga nunut naraka katut”, artinya kebahagiaan dan penderitaan istri ada di tangan
suami (kultur Jawa), dan “awewe mah dulang tinande”, artinya perempuan hanya
menerima (kultur Sunda). Sikap Marno ini merupakan ideologi gender yang
bermacam-macam, salah satunya adalah penindasan secara psikis, dalam hal ini
pihak yang mengalaminya tertekan secara psikologis maupun fisik. Kekerasan ini
cenderung tidak berdaya untuk keluar dari lingkaran itu. Terbukti dari 125 kasus yang
dicatat Rifka Annisa Women’s Crisis Center (1998), 70% perempuan mengalami
Ikhtisar
Cerpen ini bercerita tentang kehidupan di sebuah daerah yang terkena proyek
pembangunan waduk, yang diperkirakan di daerah Jawa Barat. Asalnya daerah ini
daerah pertanian, tentu saja mata pencaharian warganya adalah bertani. Namun ketika
daerah itu dijadikan proyek pembuatan waduk, warganya jadi kehilangan mata
pencaharian. Akibatnya warga merobah profesi jadi pedagang, dan berdirilah warung-
warung di sepanjang jalan di daerah itu, yang oleh pengarang cerpen ini disebut
warung pinggir jalan. Pada perkembangannya warung pinggir jalan ini ternyata
menjadi tempat prostitusi. Di antara warung pinggir jalan tersebut, ada sebuah
warung yang sejak sebelum ada proyek pun sudah berdiri. Warung tersebut adalah
warung milik tokoh Emak, yang menjual satai dan gulai. Emak tinggal dengan
jalan yang bernama Mira. Idah melihat Mira lain dari perempuan-perempuan lainnya
di desa itu. Mira selalu cantik, gembira, dan gaya. Rumahnya pun lebih bagus. Sore
menjelang malam Mira selalu dijemput oleh seorang lelaki dengan menggunakan
sebuah mobil truk mini dan pulang waktu subuh. Idah ingin sekali meniru apa yang
dipakai dan apa yang dilakukan oleh Mira. Ia selalu mengintip Mira dari mulai
Dari percakapan orang-orang, diketahui bahwa Mira itu pelacur, tetapi Mira
kota.
para sopir truk. Di antara supir truk itu, ada seorang yang disukai Idah, yaitu Emet.
Setiap Emet makan di warung Emaknya, Idah memberikan pelayanan yang khusus
(misalnya khusus untuk Emet, ia memberi satai yang lebih besar). Lama-lama sikap
kering, begitu pula sumur-sumur lainnya di sekitar itu. Kegiatan warung Emak Idah
terhambat, sehingga Emak Idah merasa sedih. Idah mengusulkan agar sumur itu
digali lagi, tetapi Emak Idah tidak punya uang. Akhirnya Idah mengusulkan agar
Emak menyuruh Emet menggalinya dan Idah berjanji akan mengatakannya kepada
Emet. Emak sebetulnya tidak begitu setuju, tetapi karena keadaan, akhirnya
menyetujuinya.
Emet. Lewat firasatnya Emak mengetahui kejadian ini, tetapi Emak tidak bicara apa-
apa, ia hanya bisa menangis. Sayangnya Idah tidak peduli, malah ia merasa
terbebaskan dari rasa ingin tahu yang selama ini mempengaruhi perasaannya.
Pengalaman ini membuat Idah merasa bebas dan berhak melakukan apa saja yang ia
inginkan.
162
Sementara itu terjadi perubahan lain di desa itu, pembangunan waduk itu
terhenti. Warung-warung pinggir jalan banyak yang gulung tikar. Warga kampung
banyak yang demo menuntut ganti rugi tanah yang digunakan proyek itu. Dengan
kondisi situasi seperti itu, pengarang menceritakan bahwa Idah akhirnya menjadi
terkena proyek pembangunan waduk. Latar tempat yang diceritakan cerpen ini adalah
di sebuah daerah di Jawa Barat (dilihat dari penyapaan dan nama para tokohnya).
Latar sosial cerpen ini awalnya digambarkan sebagai daerah pertanian, mata
banyak berdiri warung pinggir jalan, yang dibaliknya terjadi praktik prostitusi. Cerita
menggunakan sudut pandang persona ketiga “dia” sebagai pengamat. Dalam sudut
pandang ini pengarang hanya dapat menceritakan tokoh-tokohnya secara terbatas dari
gramatikal. Kosakata diambil dari bahasa sehari-hari yang lugas, yang pada
163
kalimat tunggal.
Profil-profil yang ditampilkan dalam cerpen ini ialah Idah, Emak (ibunya
Idah), Mira, para sopir, dan para tetangga. Yang menjadi tokoh utama dalam cerpen
ini adalah Idah dan profil gender lainnya sebagai profil tambahan. Dari pemerian
cerpen ini digambarkan profil Idah sebagai tokoh utama yang masih berumur belasan
memasak, mencuci piring, dan melayani pembeli. Dalam pemerian cerpen terlihat
bahwa Idah adalah gadis montok, berwatak polos, selalu ingin tahu, mudah
terpengaruh, dan pasif (diam, menunggu, dan jadi objek), menunjukkan profil
stereotip gender.
berkulit kuning. Emak adalah seorang perempuan mandiri, tidak banyak bicara, dan
penuh harga diri, tetapi tingkah lakunya selalu tergesa-gesa. Pekerjaan Emak sehari-
hari berjualan nasi, gulai, satai, dan minuman. Sejak subuh dia sudah memasak dan
membuat tusukan-tusukan satai. Pukul 06.00 mulai membuka warung dan melayani
pembeli.
Profil Emet digambarkan sebagai laki-laki yang tidak pantas disebut tampan.
Perut Emet buncit, bajunya tak pernah bersih dari oli, baru keringat, dan matanya
selalu merah, kalau duduk kakinya selalu diangkat, tetapi dia kuat, tangkas, nakal,
dan agresif. Tingkah lakunya bebas, sama seperti sopir-sopir lainnya selalu tertawa
lebar, berkata-kata terbuka dan keras, serta berperilaku seenaknya. Dia dipanggil
164
dengan panggilan “Si Jalu” oleh perempuan-perempuan warung yang berjualan sehari
penuh, sama seperti mereka menyebut “ayam jantan yang selalu menang.”
rumahnya berseberangan dengan rumah Idah. Dia adalah seorang perempuan pelacur,
tapi tidak melacurkan diri pada setiap laki-laki. Dia melacur hanya pada satu laki-
laki. Dalam cerpen ini Mira digambarkan sebagai perempuan periang, cantik, bersih,
bajunya banyak, sepatunya banyak, selalu harum, dan setiap sore dia dijemput oleh
seorang laki-laki, waktu subuh baru diantar pulang. Jadi, dia diantar jemput dengan
mobil semacam truk, tapi lebih kecil. Kehidupan Mira tak ada bedanya dengan dokter
Profil tetangga Emak Idah disebutkan oleh pengarang dengan istilah “bocor
mulut” dalam arti tetangga-tetangga ini senang bergunjing, suka membuka rahasia
dan aib orang. Bocor mulut yang digambarkan pengarang di sini ialah bocornya cerita
bapaknya Idah yang diusir oleh Emak karena nyeleweng. Padahal bapaknya Idah itu
adalah seorang penganggur. Dia kepergok oleh Emak nyeleweng dengan “perempuan
seberang jalan,” tapi tak disebutkan siapa perempuan seberang jalan itu, dan Idah tak
mau tahu.
Minggu-minggu terakhir ini tidak banyak truk yang parkir di depan warung.
ganti rugi tanah penduduk belum beres. Sebagian sopir diberhentikan sementara.
Keadaan ini berpengaruh pada penduduk desa. Warung-warung tampak sepi, keadaan
kampung jadi sunyi. Banyak warung yang tadinya buka 24 jam jadi tutup, yang
165
tampak masih buka adalah warung Emak dan Ceu Iyam. Dalam situasi warungnya
sepi ini, Ceu Iyam bergumam, kalau tahu keadaan bakal begini, nggak bakalan saya
panggil si Euis ke sini. Yang cantik dan bahenol, sudah nggak ada gunanya lagi,
kalau sopir-sopir itu nggak lagi ke sini (hal. 139). Pemunculan profil Euis sebagai
Cerpen “Warung Pinggir Jalan” ini mengangkat cerita tentang sebuah desa
yang terkena proyek pembangunan waduk. Daerah itu pada mulanya adalah daerah
waduk daerah itu berubah menjadi daerah yang sibuk, daerah itu penuh dengan alat-
alat berat, truk-truk, sopir-sopir, dan tenaga-tenaga kerja yang banyak berdatangan
dari daerah lain. Akibat proyek ini, banyak penduduk kehilangan pekerjaan dan
beralih profesi, yang tadinya bertani, karena lahan pertaniannya dibuat waduk, tak
ada lagi lahan untuk bertani, akhirnya banyak laki-laki yang mencari pekerjaan ke
perempuan desa yang tadinya juga petani beralih pekerjaan dengan mendirikan
Selain berjualan ternyata warung-warung itu membuka praktik prostitusi. Cerpen ini
Dari pemerian cerpen diketahui Emak Idah pekerjaannya dari dahulu sampai
sekarang adalah membuka warung nasi. Walaupun sesudah ada proyek pembangunan
166
waduk ini bermunculan warung-warung pinggir jalan hingga berderet, warung Emak
tidak terganggu, dari dulu sama tidak pernah sepi. Tak ada praktik prostitusi di
warung Emak Idah ini, yang terkena pengaruh keadaan lingkungan adalah Idah anak
Emak. Idah yang polos dan belia mengidolakan perempuan di seberang jalan yang
bernama Mira. Idah ingin sekali berperan seperti Mira, cantik, bersih, harum,
Perempuan itu diantar-jemput oleh seorang laki-laki dengan menggunakan truk mini,
sore dijemput dan subuh diantar pulang. Pekerjaan Mira adalah pelacur. Idah ingin
sekali jadi Mira. Kalau di sekolah dia ditanya guru, cita-citanya mau jadi apa, dia
menjawab ingin menjadi dokter, tetapi dalam hati kecilnya ia ingin menjadi pelacur.
Bagi Idah, Mira tak ada bedanya dengan dokter. Idah yang menjadi tokoh utama
dalam cerpen ini pekerjaannya membantu Emak memasak, mencuci piring, dan
Secara esensial apa yang dilakukan Emak dan Idah adalah mencari nafkah,
karena hidup tanpa suami dan tanpa bapak. Aktivitas mereka merepresentasikan
ideologi gender, karena pekerjaan itu merupakan kepanjangan pekerjaan dari sektor
domestik. Ibrahim dan Susanto (1998: 81) menggambarkan bahwa dalam pekerjaan
perempuan sering kali dicadangkan pada urusan tradisional semata, baik karena
Aktivitas Emet dan para sopir adalah menjadi tenaga kerja pada proyek
gender. Pekerjaan keras dan berat cenderung dilakukan laki-laki, karena secara fisik
Peran tokoh lain adalah peran Mira sebagai pelacur dan para tetangga Idah
serangan atau invasi (assult) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis
seseorang. Kekerasan terhadap salah sau jenis kelamin dapat disebabkan oleh
beberapa hal, yakni disebabkan oleh anggapan gender (stereotip) dan tidak setaranya
kekuatan yang ada dalam masyarakat. Demikian pula dengan pelacuran. Pelacuran
dianggap sebagai sumber dosa dan penggoda pria agar jatuh ke dalam dosa. Hal ini
seperti yang dinyatakan Baidhawy (1997: viii) yang tercermin dalam kisah kejatuhan
Adam dan Hawa (legend of fall) yang diyakini masyarakat. Dalam kisah ini Hawalah
objek laki-laki.
perlakuan tidak adil dari masyarakat. Hal ini terjadi karena relasi gender yang tidak
imbang antara laki-laki dan perempuan. Karena itu perempuan pelacurlah yang sering
mendapat cemoohan dan pandangan rendah dari masyarakat. Namun hidung belang
yang memanfaatkan pelacur bebas dari penilaian masyarakat dan bebas berkeliaran.
168
perubahan sosial di desa tempat proyek pembangunan waduk. Perubahan sosial yang
terjadi akibat pembangunan ini melanda sikap, perilaku, cara pandang, dan cara hidup
masyarakat.
satunya, yaitu tanah pertanian. Ketika sumber kehidupan ini diambil untuk
kepentingan pembangunan, tak ada lagi yang dapat mereka kerjakan, selain miskin,
tidak memberi solusi lain. Uang ganti rugi pun tidak diberikan, atau pun diberikan
yang membuat perubahan cara hidup dan cara pandang masyarakat desa dan
membuat masyarakat menjadi korban. Yang menjadi korban terparah dari akibat
pembangunan ini adalah perempuan, perempuan juga berada pada situasi dan kondisi
posisi dari berbagai aktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa yang diungkap oleh
cerpen “Warung Pinggir Jalan” ini. Selain itu akan dijelaskan mengenai siapa yang
menjadi “subjek” penceritaan dan siapa yang menjadi objek penceritaan, termasuk
menentukan struktur teks, interpretasi makna, dan eksplansi yang diberlakukan dalam
Dalam cerpen “Warung Pinggir Jalan” ini, yang menjadi tokoh utama adalah
didefinisikan oleh pengarang Lea Pamungkas yang feminis, serta bagaimana Lea
cerpen ini.
adalah dalam perwatakan dan aktivitas (pekerjaan tokoh). Watak Idah (sebagai objek
penceritaan) adalah polos dan sikapnya pasif (diam, menunggu), mudah terpengaruh,
dan selalu ingin tahu. Pekerjaan Idah adalah membantu Emak dalam kegiatan di
menggambarkan peristiwa berupa hal-hal yang dipikirkan Idah. Selama ini Idah
selalu mengintip dan memperhatikan tingkah laku seorang perempuan yang bernama
Mira, tapi Emak memberi julukannya dengan perempuan seberang jalan. Idah
mengintip Mira setiap menjelang kepergian yaitu setiap sore, dan setiap subuh pada
menggunakan truk mini. Idah selalu ingin tahu apa yang dilakukan Mira, bagaimana
dengan kelakuan Idah tersebut, tetapi Idah tidak memperdulikannya. Di mata Idah.
Mira lebih bersih dari semua perempuan yang ada di desa itu, lebih cantik, lebih
wangi, pakaiannya banyak, sepatunya banyak, tetapi lebih dari segalanya, Mira
selalu gembira (hal. 138).
170
Dalam pemerian diceritakan bahwa Idah ingin menjadi seperti Mira. Bagi Idah
Mira tak ada bedanya dengan dokter.
Betapa ingin Idah seperti dia. Ia tak peduli setiap kali seseorang membicarakan
Mira, maka mulut orang itu akan maju ke depan paling tidak dua centi.
Mencibir. Hati Idah selalu menjawab, “Ingin jadi Mira,” seorang pelacur (hal.
138).
Kalau kita telaah cerpen “Warung Pinggir Jalan” ini bertema bahwa:
“Dan nanti elusan Emet pada pantatnya, akan terasa sampai Idah duduk di
bangku sekolah siang nanti. Emak pura-pura tidak melihat, mata dan tangannya
segera sibuk mengerjakan sesuatu” (hal. 137).
Dalam pemerian ini kelihatan perlakuan Emet ini sangat tidak menghargai
perempuan apalagi perempuan itu adalah gadis belasan tahun yang polos, yang belum
tahu apa-apa. Sikap Emak tersinggung, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa, karena
seenaknya dan menganggap perempuan sebagai dagangan “Si Idah sudah jadi
perawan montok ya Ceu, saya pesan duluan ya” (hal. 137). Tapi gurauan para sopir
itu tidak menjadikan Idah kesal dan Emak pun pura-pura tak memberikan reaksi.
kesenjangan kedudukan dan kekuasaan sosial, politik, ekonomi, dan budaya di antara
dua kelompok manusia yang dibedakan oleh jenis kelamin, yaitu kesenjangan berupa
bahwa perilaku laki-laki menggoda perempuan itu merupakan sesuatu yang “sehat
dan normal.” Malahan kalau laki-laki yang tak pernah melakukan godaan terhadap
merupakan stereotip, hal ini dapat ditanyakan pada pemerian julukan “Si Jalu” pada
Emet. Julukan tersebut adalah julukan untuk laki-laki dan untuk menegaskan sifat
kelelakian yang diyakini masyarakat, yaitu perkasa, kuat, berani, jago, dan lain-lain.
Dalam cerpen ini diungkap bahwa yang menjadi korban terparah dari
pembangunan adalah perempuan. Dalam hal ini pengarang (Lea Pamungkas) hendak
172
aspek kemanusiaan, juga tidak mengabaikan aspek gender. Pengarang pun melakukan
kritik terhadap masyarakat yang selalu berpegang pada ideologi gender. Idelogi
gender cenderung tidak adil terhadap salah satu jenis kelamin manusia, yaitu
hentikanlah praktik-praktik yang tidak adil tersebut dari perikemanusiaan manusia itu
sendiri.
Tokoh Idah gadis belia yang polos, yang seharusnya duduk di bangku sekolah
bersama harapan-harapan masa depannya harus menjadi korban jadi pelacur dan tidak
menyadari bahwa dia menjadi korban. Lea Pamungkas sebagai pengarang cerpen
berhubungan dengan masalah pembangunan. Pada masa ini, seperti sering diberitakan
media massa banyak permasalahan yang muncul akibat proyek pembangunan yang
sosial.
Akibat pembangunan yang dilakukan pada masa Orde Baru banyak dirasakan
cerpen ini diceritakan bahwa pembuatan waduk itu membuat warga desa kehilangan
tadinya juga bertani tidak bisa bekerja di proyek, akhirnya beralih mendirikan
173
Idah yang muda belia, yang normalnya menyukai teman laki-laki yang sebaya, lebih
menyukai Emet yang lebih pantas jadi bapaknya. Hal ini terjadi karena lingkungan
yang membentuknya demikian. Hanya figur para sopirlah yang menarik Idah, karena
Warung satai-gulei milik Emak harus buka pukul enam pagi. Sebentar lagi
sopir-sopir truk bermata merah burung hantu itu akan berdatangan. “Si Idah
sudah jadi perawan montok ya, Ceu. Saya pesan duluan ya,” gurauan para sopir
itu tidak selamanya mengesalkan Idah. Apalagi kalau Emet yang
mengatakannya. Rosidah akan tersipu-sipu, tak sabar menunggu kopi selesai
diseduh dan mengantarkannya. Dan nanti elusan Emet pada pantatnya akan
terasa sampai Idah duduk di bangku sekolah siang nanti (hal. 138).
Peristiwa keringnya sumur Emak sudah berjalan empat hari. Hal ini membuat
Emak sedih karena warungnya harus tutup dan berdampak tak bisa mencari nafkah.
Idah pun ikut sedih, karena kalau warung Emak tutup, berarti tak akan ada lagi Emet.
Akibat sumur kering inilah yang menentukan jalan hidup tokoh utama Idah. Idah
mengusulkan pada Emak agar meminta Emet untuk menggali sumurnya. Emaknya
setuju. Permintaan Idah disetujui Emet karena Emet mempunyai maksud lain
terhadap Idah.
174
Benar saja. Emet mengajak Idah ke waduk dengan alasan akan mengambil
peralatan dan di waduk itulah terjadi apa yang dikehendaki Emet. Idah hilang
keperawanannya. Ketika pulang sesudah kejadian itu, Emak dengan intuisinya sudah
tahu apa yang terjadi, menatap Idah dalam-dalam. Idah gemetar. Akan tetapi tidak
mengatakan apa-apa. Sekilas sebelum masuk kamar, Idah sempat melihat air mata
mengalir dari mata Emak. Idah tak peduli. Ia lebih suka menikmati pengalaman
barunya (hal. 145). Emak sangat sedih dan dia merasa “termarginalisasi” oleh
Ideologi ibuisme menuntut perempuan menjadi “ibu yang baik”, dalam arti
perempuan harus menjadi orang baik di dunianya, yaitu dunia domestik dan di
masyarakat.
Cerpen “Warung Pinggir Jalan”, memerikan peran tokoh utama Idah sebagai
perempuan yang mencari nafkah dengan ibunya Emak sebagai pedagang satai-gulai
yaitu dunia domestik yang ditentukan melalui ideologi gender. Jadi, dengan
keterampilan peran domestiknya Idah dan Emak mencari nafkah. Dalam cerpen ini
Idah digambarkan sebagai perempuan yang polos, masih belasan tahun, juga masih
bersekolah. Pekerjaan dia sehari-hari mencuci piring, memasak, membuat kopi, dan
Pengarang menceritakan kisah cerita ini dengan sudut pandang gadis belia
Idah (tokoh utama) yaitu segala hal yang diihat, dikhayal, dirasa, dipikirkan, dan
175
desa yang miskin secara material maupun spiritual. Dalam cerpen ini dilukiskan yang
menjadi korban terparah adalah perempuan. Mereka banyak yang menjual diri dengan
cara praktik prostitusi. Tokoh Idah yang polos dan lugu, yang tidak berdosa apa-apa,
masyarakatnya, akhirnya menjadi korban juga. Dia menjadi pelacur. Namun dia tak
menyukai bahwa dirinya adalah korban, baik dari pembangunan, maupun dari
Idah “Ingin jadi Mira” seorang pelacur. Memang dalam pembicaraan, kalau
ditanya guru atau orang yang lebih tua darinya, Idah menjawab persis seperti
teman sebangkunya, “Ingin jadi dokter.” Bagi Idah, Mira tak ada bedanya
dengan dokter atau banyak orang kaya di kampungnya (hal. 138).
di desanya. Mira banyak bajunya, banyak sepatunya, selalu gembira, dan warna
Subuh itu Mira bersepatu putih dan serba putih, kecuali rambut hitam sangat
lurus dan masai ...... Lelaki-lelaki yang mengantarkannya pun tak bakal lama.
Tetapi yang hanya sebentar itu yang ditunggu Idah : dalam ketergesaan mereka
saling berciuman merapatkan diri. Sayangnya tidak setiap subuh Idah punya
waktu menikmati kegugupan dan kejutan-kejutan dirinya (hal. 135).
yang masih polos dan belia, yang akhirnya terjerumus oleh rayuan Emet, sang sopir
Perempuan yang tadinya bekerja bertani, jadi tak punya pekerjaan, sedangkan kaum
laki-laki banyak yang terserap menjadi pekerja proyek pembangunan. Akhirnya para
dari materi. Warga tidak lagi mengindahkan norma-norma kehidupan dan nilai-nilai
spiritual.
Idah dalam peristiwa ini selain merupakan representasi lain dari perempuan
yang menjadi korban pembangunan yang tidak berkeadilan gender juga merupakan
korban dari ideologi gender. Idah tidak melihat pelacuran sebagai bentuk kekerasan
terekspolitasi sebagai objek untuk kepentingan tertentu. Mereka tak menyadari hal itu
warung Emak. Di antara para sopir itu, Idah menyukai Emet, tapi tak pernah
yang ukuran dagingnya lebih besar-besar. Idah pun selalu diam apabila Emet meraba-
raba bagian tubuhnya. Di sini terlihat bahwa Emet merupakan representasi stereotip
177
Adapun Idah merepresentasikan stereotip perempuan, yaitu pasif dan sekedar menjadi
objek.
Sudah empat hari sumur Emak kering. Idah menyarankan Emak agar minta
tolong Emet untuk menggalinya. Keesokan harinya Emet datang dengan senyum di
bibir dan matanya nakal. Emak Idah tak ada di rumah, Idah menyampaikan
Idah. “Neng, jangankan masuk sumur, masuk lubang kubur Mang mau, kalau Neng
yang minta,” Emet tertawa lebar dan tangannya mencubit pipi Idah. Telapak tangan
Idah tiba-tiba berkeringat. Kesempatan ini membuat Emet lebih agresif dan percaya
diri untuk melaksanakan kenginannya, dia melihat kepasrahan Idah yang masih polos
dan belia.
penolakan dari Idah. Justru ini yang dikhayalkan Idah, sebagai korban lingkungan,
terutama fikirannya yang mengidolakan Mira, seorang pelacur. Idah “terepresi” oleh
Emet dan oleh kondisi lingkungan masyarakatnya. Saat Idah diperawani oleh Emet
Ia merasa memperoleh puncak dari sesuatu yang selama ini ingin diketahuinya,
sekaligus terbebaskan dari ketidaktahuan (hal. 145).
178
Idah yakin sekarang dia bisa melakukan apa saja, termasuk pergi sore pulang
pagi seperti yang dilakukan oleh Mira. Idah jadi pelacur, sesuai dengan dambaannya
ingin seperti Mira. Sebetulnya bukan Idah saja yang hidupnya terepresi karena
menjadi bisu.
Ikhtisar
Pengarang dalam cerita ini menempatkan diri sebagai pengamat, tetapi pegarang juga
melibatkan diri dalam penceritaan. Kedua-duanya ibu, yang satu adalah Umi, seorang
janda dengan satu anak laki-laki yang duduk di SMP dan sangat bandel, tidak pernah
menurut pada ibunya dan selalu menyepelekan ibunya. Sementara tetangga yang satu
lagi Teh Nining dan suaminya, Dadang punya anak satu perempuan yang masih
duduk di kelas satu SD. Mereka suka menyetel tape keras-keras. Di tengah suara kaset
yang keras terdengar suara Teh Nining yang mengomel karena suaminya selalu tidur
kaya kebo. Anaknya menangis tidak mau mandi. Kadang-kadang terdengar suara
179
jeritan Teh Nining karena bertengkar dengan tetangganya Umi, atau karena digampar
suaminya.
kota, dan mereka sekeluarga ngontrak di daerah itu karena biayanya relatif murah.
Tokoh aku bercerita bahwa dia mempunyai bayi yang baru berumur empat bulan.
dari hotel tempatnya semula bekerja. Kira-kira jam sepuluh pagi Teh Nining pergi ke
pasar berbelanja bahan adonan gorengan yang akan dijualnya pada sore hari sampai
kira-kira pukul sembilan malam. Kalau pagi-pagi Teh Nining ke pasar seringkali
suaminya masih tidur, karena semalam ia pulang dalam keadaan mabuk. Apabila ia
bangun agak pagi dan menemukan istrinya pergi tanpa menyediakan kopi, ia akan
Suatu pagi terdengar suara piring dan gelas yang dilempar, diikuti rentetan
kata-kata kasar seorang laki-laki, rupanya suara Dadang, suami Teh Nining.
rambut Teh Nining dan membenturkannya, terdengar jeritan Teh Nining, tangis
Siang hari Teh Nining pinjam uang kepada tokoh Aku untuk pergi ke rumah
kakaknya di Cililin bersama anaknya. Suatu hari terlihat seorang perempuan di kamar
Teh Nining, dikira Teh Nining, ternyata pacarnya Dadang, suami Teh Nining, yang
Profil yang direpresentasikan dalam cerpen ini ialah tokoh aku (pengarang),
sebagai pencerita dan pengamat cerita, Teh Nining sebagai tokoh utama, Dadang
(suami Teh Nining), dan Umi sebagai tokoh tambahan. Dari pemerian cerita diketahui
bahwa Teh Nining adalah seorang istri yang menderita karena suaminya galak dan
sering memukulnya. Dilihat dari sudut gender Teh Nining ini adalah perempuan
mandiri dan berperan ganda. Pagi-pagi dia sudah menyediakan kopi buat suaminya,
karena kalau dia lupa pasti suaminya marah-marah, kemudian pergi ke pasar belanja
bahan gorengan yang akan dijualnya pada sore hari sampai kira-kira jam sembilan
malam. Dadang (suami Teh Nining) adalah pengangguran dan pekerjaannya tidur
“kaya kebo”, wataknya kasar dan sering menyiksa istrinya. Profil Dadang ini
diceritakan oleh pengarang sebagai profil manusia jorok dan menjanjikan, tubuhnya
kotor, mulutnya bau, kerjanya lantang-lantung, pulang hanya untuk makan, dan kalau
belum ada makanan, istrinya harus siap menerima dampratan. Profil Dadang
seolah-olah tidak pas, kelihatannya akan lebih cantik kalau dia tidak dandan norak
(polos). Teh Nining ini masih muda, tapi dia bertahan hidup dengan suami yang
selalu memperlakukan buruk dan galak. Dia mempunyai anak perempuan yang baru
duduk di kelas satu SD. Watak Teh Nining merepresentasikan ideologi gender.
181
Profil tokoh aku (pengarang) adalah keluarga muda yang mengontrak paviliun
yang selalu terganggu oleh penghuni dua kamar ruang belakang paviliunnya. Tokoh
aku punya bayi berumur empat bulan yang selalu terganggu pula oleh riuhnya suara
dari ruang belakang. Profil tokoh aku tidak merepresentasikan ideologi gender.
Profil Umi digambarkan oleh pengarang sebagai profil tambahan. Umi adalah
seorang janda dan mempunyai seorang anak laki-laki yang bandel dan masih duduk
di bangku SMP. Profil Umi adalah senang membuat gosip, membual, dan kurang
dapat dipercaya, karena tidak jujur. Umi sering menjelek-jelekan Teh Nining,
kelihatannya mereka tidak akrab. Profil Umi ini tidak merepresentasikan ideologi
gender. Lokasi penceritaan kelihatannya terjadi di daerah Sunda, terlihat dari nama-
Dari pemerian cerpen “Ruang Belakang” ini tergambar bahwa peran tokoh
utama Teh Nining adalah berperan ganda, yakni berperan sebagai ibu rumah tangga,
dalam arti harus mengurus rumah tangga (bekerja di ruang domestik) dan bekerja di
ruang publik sebagai pedagang gorengan. Teh Nining berperan sebagai pencari
mengkondisikan Teh Nining berperan ganda ini sebagai tugas perempuan dalam
ayam, atau main gapleh dengan pemuda-pemuda pengangguran. Kalau pulang hanya
untuk makan. Apabila dia pulang tak ada makanan, dia marah-marah dan istrinya
182
harus siap menerima dampratan. Kebiasaan Dadang pulang malam dalam keadaan
mabuk, sesudah itu tidur kayak kebo. Apabila dia bangun agak pagi dan menemukan
istrinya sudah pergi ke pasar tanpa menyediakan kopi, dia akan marah-marah dan
ada komunikasi atau relasi yang baik antara Dadang dan istrinya.
skripsi dan suaminya wartawan. Kehidupan tokoh tambahan ini harmonis dengan
suami dan anaknya yang masih berumur empat bulan. Suaminya “Tokoh aku” baik,
mau mencuci, mau memandikan bayi, dan tidak banyak tuntutan. Tokoh aku ini tulus
melayani suami dengan bekerja di ruang domestik sambil menyelesaikan studi. Dia
menjadi tempat pengaduan bagi penghuni kamar ruang belakang, terutama Umi tokoh
Peran tokoh tambahan yang lain adalah Umi. Umi adalah seorang janda yang
menghidupi seorang anak laki-laki yang duduk di bangku SMP. Pekerjaan Umi
adalah tukang pijat dan mencuci pakaian sambil berdagang jamu dan kosmetik yang
murahan. Umi berjualan jamu dan kosmetik dari rumah ke rumah sambil membual
dimintai untuk memijat, lumayan pijatannya enak, hanya sambil memijat mulutnya
tak pernah berhenti mengoceh tentang kejelekan dan rahasia orang lain. Paling
Umi itu selain tukang jamu, juga sering mencucikan pakaian-pakaian tetangga,
termasuk pakaian-pakaian tokoh aku. Ternyata beberapa potong pakaian tokoh aku
hilang, Umi menjawab dengan tenang dan bersumpah dengan nama Tuhan segala, dia
tidak mengambilnya, tetapi kemudian diketahui Umi menjajakan kain yang dicucinya
aktor sosial, posisi gagasan, dan peristiwa. Posisi-posisi ini menentukan bentuk
wacana yang hadir di tengah pembaca. Berdasarkan analisis Fairclough dan Sara
Mills akan dijelaskan bagaimana posisi-posisi itu ditampilkan. Posisi-posisi ini akan
menentukan siapa yang menjadi “subjek” penceritaan dan siapa yang menjadi
makna dan memberlakukan eksplanasi dalam wacana cerpen itu secara keseluruhan.
Secara luas cerpen ini akan mengungkap tentang ideologi dan kepercayaan dominasi
beroperasi.
Dadang (suami Teh Nining) sebagai “subjek” penceritaan. Dalam cerpen ini
pengarang Nenden Lilis Aisyah terlibat dalam penceritaan dengan menampilkan diri
(tokoh aku) dalam cerita, dia juga menjadi pengamat jalannya penceritaan. Pengarang
Teh Nining sebagai tokoh utama mempunyai peran ganda dalam rumah
tangganya. Selain dia beperan di ruang domestik, dia juga bekerja di ruang publik
sebagai penjual gorengan. Teh Nining berperan sebagai pencari nafkah, karena
alasannya apa? Dalam cerpen ini Teh Nining selalu didefinisikan, tak pernah dia
perempuan yang memang sudah dikondisikan sejak awal dalam strategi sosial sesuai
ideologi gender. Setelah anaknya pergi sekolah, suamiya sedang tidur (karena pulang
tengah malam dan mabuk) Teh Nining pergi ke pasar belanja bahan-bahan gorengan,
yang akan dijual pada sore hari yang dimulai jam 16.00 sampai jam 21.00 dengan
Apabila suaminya bangun agak pagi, dan menemukan istrinya sudah pergi
tanpa menyediakan kopi, dia akan menyumpah-nyumpah sendiri, lalu pergi dalam
keadaan semrawut setelah menitipkan kunci pada tokoh aku. Tokoh aku (pengarang)
sering merasa takut dan jijik pada suami Teh Nining yang digambarkannya sebagai
berikut:
Tubuhnya seperti orang tidak sehat dan sekotor tikus-tikus yang berloncatan dari
atap gudang. Wajahnya menyerupai kamar sempit penuh sarang laba-laba. Ia
menatap dengan mata orang sakit mata, dan kalau berbicara, kecoa-kecoa busuk
dari got seakan memenuhi perutnya untuk menyebarkan bau melalui mulutnya.
Ia luntang-lantung seharian, ikut menyabung ayam atau main gapleh dengan
pemuda-pemuda pengangguran. Pulang-pulang untuk makan, dan kalau tak ada
makanan, istrinya harus siap-siap menerima dampratan (hal.108).
185
Karena tingkah laku Dadang (suami Teh Nining) menjijikan dan galak, maka
wajarlah kalau Teh Nining selalu memuji-muji suami tokoh aku yang katanya
ganteng, pintar, baik hati. Dalam penceritaan cerpen ini tokoh Dadang sebagai
istrinya dan sering memukul istrinya. Sedangkan suami tokoh Aku lirik digambarkan
memandikan bayi kami yang berumur empat bulan” (hal 108). Gambaran suami
kemitrasejajaran gender. Lain halnya dengan suami Teh Nining yang selalu
“mensubordinasi” istrinya, selalu ingin menang sendiri dan selalu ingin dilayani.
marginalisasi, diskriminasi, dan represi). Sama halnya dengan Umi yang bercerai
Sebagai seorang istri Teh Nining adalah seorang perempuan yang sangat
tidak bekerja, dia yang mengambil alih mencari nafkah dengan berjualan gorengan.
Jadi, dalam cerpen ini digambarkan bahwa Teh Nining berperan ganda. Sayangnya
peran ganda Teh Nining tidak ditunjang oleh suaminya. Suami Teh Nining walaupun
menganggur dan dihidupi oleh istri, sangat dominan, dia galak, istrinya sering sekali
dipukul, sekalipun karena masalah-masalah kecil. Peran ganda Teh Nining sangat
tidak dihargai suaminya. Seandainya Dadang (begitulah nama suami Teh Nining)
186
bangun lebih pagi, karena selalu bangun siang dia akan marah-marah dan
pasar. Teh Nining harus hati-hati sebelum pergi, makanan dan minuman harus
Pola kehidupan keluarga muda Teh Nining dan Dadang ini menunjukkan
representasi ideologi gender. Tentang peran ganda perempuan ini Parson (Darma,
rumah tangga dapat dilihat dengan pendekatan sistem yang disebut AGIL, yaitu
tujuan-tujuan keluarga dan penentuan prioritas. Baik istri maupun suami memiliki
kesempatan yang sama untuk menentukan keputusan apa yang menjadi prioritas
pertentangan, dan ketegangan, karena suami dan istri memiliki harapan-harapan peran
baru, yang sesuai dengan peran perempuan. Baik keseimbangan muncul dalam
Kenyataan konsep AGIL, sama sekali tak terserap oleh keluarga Teh Nining.
Yang ada adalah kesenjangan komunikasi antara Teh Nining dan Dadang. Masing-
masing keduanya mempunyai dasar penilaian menurut pola gender yang telah dibuat
Pada suatu pagi terdengar suara Teh Nining mengomel karena suaminya
selalu tidur kayak kebo, anaknya menangis tidak mau mandi. Selanjutnya terdengar
suara jeritan Teh Nining yang digampar suaminya. Kekasaran Dadang terhadap
Si Nining itu perempuan pembawa apes bagi suami ... usaha Dadang selalu
gagal ... Bagaimana tidak membawa sial, lanjut Umi, waktu menikah dengan
Dadang saja dia sudah tidak perawan ... Eh setelah menikah, dia masih senang
menggoda laki-laki lain ... Bapaknya si Iwang saja yang ketat dikelilingi jampi-
jampi sama Umi, hampir tergoda (hal.110).
berlebihan di depan rumah tokoh aku. Tokoh aku berpretensi bahwa Teh Nining
berbuat begitu karena ia simpati pada cara suamiku memperlakukan tokoh aku yang
Munculnya simbol ibu, kemudian diikuti dengan paham “ibuisme”. Paham ini
membawa arti sempit terhadap perempuan, karena perannya dibatasi pada sektor
domestik.
pendamping suami yang baik, mengurus anak, dan ikut mencari nafkah tambahan.
kehidupan perempuan. Soalnya tak ada tuntutan sebanyak itu bagi laki-laki. Laki-laki
hanya dikondisikan sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah (bekerja di
ruang publik), tidak ada tuntutan untuk membantu pekerjaan perempuan di ruang
domestik. Semua posisi ini dikondisikan oleh sistem nilai masyarakat turun-temurun.
Saat Dadang diomeli Teh Nining karena tidur saja kayak kebo, Dadang marah dan
menggamparnya. Tetapi saat Teh Nining tidak menyediakan kopi untuk suaminya
kalau bangun agak pagi, Teh Nining bisa-bisa digampar lagi. Jadi perempuan tidak
bisa menampilkan dirinya, diskriminasi ini berlangsung selama ada dominasi laki-laki
Tokoh Teh Nining itu adalah tokoh perempuan yang mandiri. Selama ini dia yang
mencari nafkah untuk keluarganya. Selain itu dia tidak pernah mengeluh dan tidak
pernah banyak omong seperti Umi. Tokoh aku heran, kenapa Teh Nining yang masih
muda dan berparas manis mau bertahan punya suami yang memberlakukan dia
seburuk itu. Apa kata Umi mengomentari pertanyaanku ketika Umi memijat tokoh
aku.
189
Tokoh aku heran mengapa Umi mengatakan Dadang ganteng. Pantas dia
selalu menjelek-jelekkan Teh Nining, mungkin dia iri pada Teh Nining, karena
sangat menjijikan, kotor, dan bau. Pekerjaannya hanya luntang-lantung dan marah-
marah. Kalau pulang hanya untuk makan, dan kalau tak ada makanan, bisa-bisa Teh
Umi yang berprofesi pemijat dan pencuci pakaian sambil membawa dagangan
jamu kemasan yang mereknya tak terkenal dan kosmetik murah berceloteh tentang
khasiat jamunya kepada tokoh aku. “Neng, jamu yang ini, Neng, khusus untuk
wanita!” ... Eneng kan baru melahirkan. Nah, ini rahasianya. Supaya rapet dan
nggak becek” (hal. 108-109). Tokoh aku hanya tersenyum, menurut tokoh aku yang
memunculkan kemesraan adalah suasana hati dan kasih sayang yang muncul dari
dalam dan harus muncul dari kedua-duanya, suami dan istri, tidak ada “diskriminasi”.
oleh laki-laki. Hal ini juga terjadi karena adanya hegemoni gender. Dalam cerpen
penceritaan.
“Pagi itu dia dan suaminya terbangun karena jeritan bayinya, yang kaget
karena suara gerombyang gelas dan piring yang dilempar. Jam di dinding baru
190
menunjukkan jam enam lewat sedikit. Terdengar suara laki-laki yang kasar dan
suara benda yang dibenturkan. Tampaknya Dadang menjambak rambut Teh
Nining dan membenturkan kepalanya. Terdengar pula jeritan Teh Nining dan
tangisan anaknya, serta bantingan pintu, kayaknya Dadang pergi. Suamiku
pergi ke belakang ingin melihat apa yang terjadi, tapi dia kembali lagi karena
pintu kamar Teh Nining dikunci (hal 112).”
Siang hari si tokoh aku mengetuk pintu Teh Nining, karena khawatir terjadi
apa-apa pada Teh Nining, tetapi tidak dibuka. Kamar Umi juga sepi, entah ke mana
dia pergi. “Menjelang tengah hari terdengar ketukan di pintu dapur. Ketika pintu
dibuka, tersembul muka bengap dan mata bengkak.” Terjadi dialog antara tokoh aku
meminjam uang untuk ongkos ke Cililin ke rumah kakaknya bersama anaknya. Dia
Dari dialog di atas bisa diketahui bahwa tokoh Teh Nining tidak mau
kejelekan rumah tangganya diketahui orang lain, dia berusaha menutupi apa yang
terjadi sebenarnya. Hal ini juga menunjukkan adanya ideologi gender, yang
terbuka. Perempuan harus bisa menyimpan perasaan, dan harus bisa tetap menutupi
191
panutannya. Teh Nining, yang sudah jelas-jelas mukanya bengap dan matanya
sembab tak mau terbuka menceritakan kepada tokoh aku atas “represi” yang
dilakukan suaminya.
Saat Teh Nining keluar dari rumah tokoh aku dengan sempoyongan,
berpapasan dengan Umi yang baru datang, entah dari mana. Umi dan Teh Nining
sama sekali tidak bertegur sapa. Malah Umi cepat menghampiri tokoh aku dan
mendorong tokoh aku masuk ke dalam dan menutup pintu. Kemudian terjadi dialog
Selanjutnya Umi bercerita bahwa semua uang Teh Nining, termasuk modal
dagangnya diambil suaminya dan dipakai judi. Menurut Umi, Teh Nining pantas
mendapat perlakuan suaminya seperti itu karena Teh Nining main sama tukang ojeg.
Terang saja Dadang marah. “Mana sih ada laki-laki yang mau diperlakukan begitu,”
kata Umi (hal.113). Umi berterus terang bahwa dia yang mengadukan perselingkuhan
“Apa Umi melihat sendiri Teh Nining berselingkuh?” “Ah tak usah dilihat
sendiri. Semua orang sudah tahu,” kata Umi (hal.113).
192
Percaya atau tidak atas cerita Umi, tokoh aku tetap kasihan sama Teh Nining. Tega-
teganya Umi berbuat seperti itu terhadap tetangga dan sesama perempuan, yang
keluarga dengan tak lupa melayani suami. Teh Nining betul-betul berada dalam
Sudah lama Aku tidak melihat Dadang, tetapi kadang-kadang menjelang dini hari
terdengar Dadang pulang dalam keadaan mabuk, meracau, lalu muntah di depan
kamarnya (hal. 114).
Kepulangan Teh Nining dari Cililin tidak dapat ditentukan. Namun pada suatu
hari Tokoh aku melihat seorang perempuan di kamar Teh Nining. Tokoh aku mengira
Teh Nining. Namun Umi memberi tahu “Pacarnya si Dadang, Neng. Udah
menyiksanya secara fisik dan mental. Dalam cerita ini terlihat bahwa dengan sekadar
gosip, laki-laki sudah wenang untuk merepresi istrinya (dalam hal ini perempuan),
tetapi perempuan tidak bisa berbuat seperti apa yang dilakukan laki-laki. Inilah
BAB V
pelaksanaan pembelajaran, dan analisis proses pembelajaran. Selain itu, hasil proses
apakah ada perbedaan yang signifikan antara hasil belajar mahasiswa sebelum diberi
Freire dalam bukunya Pedagogy of The Oppresed, 1970 (Murtafin, Pikiran Rakyat,
relevan untuk digunakan dalam penulisan ini, karena penelitian ini melihat kaum
194
perempuan sebagai kelompok yang tertindas oleh ideologi gender yang dikonstruksi
sistem budaya.
atau sikap berupa kesadaran. Nasution (1994: 48) menyatakan bahwa kesadaran
adalah sikap menerima, menaruh perhatian, dan peka terhadap gejala, kondisi, situasi,
atau masalah tertentu. Dalam pendidikan kesadaran termasuk ranah afektif. Nasution
(1994: 50) menyatakan bahwa ranah afektif berkenaan dengan kesadaran akan
sesuatu, perasaan, dan pemikiran tentang sesuatu, selanjutnya Nasution (1994: 59)
1) aspek pengetahuan, yaitu peristiwa, konsep, prinsip, aturan, informasi, dan lain-
rasa ingin tahu sehingga mengarahkan mahasiswa berpikir dari tahap berpikir
kongkret ke arah tahap berpikir abstrak. Model belajar ini terdiri atas tiga fase, yaitu
mengomunikasikan pada orang lain. Aspek penting dalam fase ini menciptakan
atau daya berpikirnya. Pada fase ini, dosen berperan sebagai katalisator dan
fasilitator.
konsep serta mengembangkan konsep yang mereka dapatkan. Pada fase ini
mahasiswa diarahkan untuk memahami konsep dalam konteks yang bermakna. Dosen
atau prinsip-prinsip dalam konteks kehidupan sehari-hari atau berpikir ilmu yang lain
dan selanjutnya menerapkannya dalam kondisi baru. Tujuan fase ini adalah untuk
situasi baru.
melalui empat tahap, yaitu (1) tahap orientasi; (2) tahap eksplorasi; (3) tahap
pemahaman konsep; dan (4) tahap aplikasi. Pelaksanaan kegiatan dalam menganalisis
1) Tahap Orientasi
pembelajaran model AWKIG. Hal ini bertujuan untuk memberi kesempatan pada
yang hendak dipelajari. Pemahaman wacana ini dapat diperoleh dari pengalaman
pembelajaran.
2) Tahap Ekplorasi
wacana yang akan dianalisis secara kritis. Pelaksanaan menggali ide/gagasan dapat
melalui langkah-langkah sebagai berikut. (1) dosen menentukan tema wacana yang
akan dianalisis; (2) dosen mengadakan tanya jawab dengan mahasiswa untuk
menggali gagasan, pengalaman, minat, atau hobi yang berhubungan dengan tema
a) dosen dan mahasiswa menentukan tema wacana yang akan dianalisis secara
kritis;
model AWKIG.
acuan analisis yang disusun berdasarkan wacana kritis yang akan dianalisis dengan
model AWKIG. Penyusunan gagasan tidak lepas dari tema wacana yang akan
198
dianalisis. Pada tahap ini, dosen mendorong dan membangkitkan minat serta
dengan dosen.
mahasiswa dalam proses belajar model AWKIG adalah strategi pengenalan model
sebagai berikut:
b) dosen memberi arahan dengan pertanyaan yang berkaitan dengan rincian detil
4) Tahap Aplikasi
dan jelas.
Selain itu hasil proses pembelajaran akan dibahas dengan menggunakan statistik
(uji-t) untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang signifikan antara hasil prates dan
hasil pascates.
dalam Kajian Wacana Cerpen berideologi Gender. Model ini menghasilkan dua
analisis, pertama sebagai analisis cerpen secara kualitatif dan analisis kedua hasil uji
coba model AWK dalam pembelajaran yang diberikan kepada mahasiswa Jurusan
200
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Angkatan 2003-2004 FPBS UPI yang
dalam bab 4. Yang dianalisis oleh analisis gender ini, yaitu profil gender dan
identifikasi gender, peran gender dan relasi gender, serta ideologi gender dan
ketidakadilan gender.
Perancangan model ini bertitik tolak bahwa sastra dapat dijadikan media
pendidikan untuk pemahaman dan penyadaran gender seperti apa yang dibahas dalam
wacana kritis (AWK). Dalam hal ini penulis mencoba membuat model, yaitu model
cerpen akan lebih jelas untuk dianalisis, terutama terhadap pemaparan hal-hal yang
Prosedur ini menyangkut tiga tahap, yaitu pertama persiapan, tahap ini
dilakukan oleh seorang dosen yang telah siap dengan bahan-bahan pembelajaran yang
dan dibantu oleh seorang dosen yang bertindak sebagai observer lain. Dalam tahap
ini dosen memberikan pengantar tentang berbagai hal yang menyangkut materi
dilakukan, yaitu memberikan pengantar tentang teks (cerpen) yang akan dianalisis
secara kritis, termasuk di dalamnya isu-isu kehidupan nyata yang mirip dengan apa
yang dibaca dan apa yang akan dianalisis, terutama dalam menentukan deskripsi
yang diungkap dalam wacana cerpen tersebut. Hal-hal yang penting diberi tanda
untuk didiskusikan.
Tahap ketiga diskusi, tahap ini merupakan tahap untuk mendiskusikan cerpen
yang disajikan pada tahap kedua secara lebih mendalam. Diskusi pertama-tama
cerita yang disuguhkan dalam cerpen, baik masalah, gagasan, peristiwa, dan prinsip-
permasalahan gender, meliputi profil dan identifikasi gender, peran dan relasi gender,
202
ideologi gender dan ketidakadilan gender. Pembahasan ini merupakan awal dari
permasalahan gender yang ada di masyarakat, tentu saja pada fakta-fakta dan data-
data nyata yang ada di masyarakat. Dengan cara kegiatan ini mahasiswa diarahkan
sehingga secara tidak langsung mahasiswa sadar gender, yang terjadi secara halus dan
simpatik. Diskusi ini tercipta dalam kondisi yang menyenangkan dan menarik minat
mahasiswa.
masalah-masalah dan konsep-konsep seputar gender yang dilakukan oleh dosen dan
perencanaan penerapan model AWK dalam kajian cerpen yang berideologi gender.
203
Tabel 5.1.
Tahap dan Langkah Kegiatan
Perencanaan Penerapan Model AWKIG
Kegiatan 1 (Pertemuan I)
Kegiatan pertama, mahasiswa diberi prates dalam bentuk tes skala sikap
untuk mengetahui pengetahuan siap mahasiswa mengenai AWK dan ideologi gender.
pengantar mengenai AWK dan ideologi gender terutama dari segi teoritisnya
cara menganalisis, mulai dari pembacaan secara teliti, menguasai cara memberi tanda
memberi tanda hal-hal penting yang berhubungan dengan ideologi gender, hal ini
dilakukan supaya mahasiswa lebih memahami isi cerita dan bisa menentukan wacana
mana yang berideologi gender. Setelah pembacaan cerpen dengan bolak-balik supaya
“Rambutnya Juminten.” Dalam diskusi ini digunakan tanya jawab antara mahasiswa
dengan mahasiswa, mahasiswa dengan dosen, dan dosen dengan mahasiswa. Diskusi
206
didasari oleh teori-teori tentang pemahaman dan pengadaan ideologi gender dengan
tentang kesan umum setelah membaca cerpen dan kemudian dilanjutkan dengan
diskusi mengenai AWKIG dan diakhiri dengan penugasan membuat analisis yang
mahasiswa dengan mahasiswa dan mahasiswa dengan dosen. Selain itu mahasiswa
masyarakat tentang ideologi gender dan memberi penugasan membuat analisis per
kelompok.
207
Kegiatan 5 (Pertemuan V)
membuat analisis per kelompok dan pemberian tes akhir (pascates) dalam bentuk tes
Tatap muka dilakukan dalam lima kali, dengan durasi setiap pertemuan 100
menit. Pertemuan pertama dimulai dengan prates dan pertemuan terakhir (pertemuan
Bagan 5.1.
Skenario Pembelajaran AWKIG
PRATES
Pertemuan 2
Pertemuan I
1. Konsep
1. Konsep
Dosen menjelaskan kembali
Dosen menjelaskan materi
materi AWKIG lalu
AWKIG dan penggunaannya
membagikan cerpen
2. Interpretasi data
“Rambutnya Juminten”
Mahasiswa mencari data yang
2. Interpretasi data
sesuai konsep AWKIG
Mahasiswa mencari dan
melalui pengalaman-
menemukan ide-ide dari cerpen
pengalaman dalam kehidupan
“Rambutnya Juminten”
di masyarakat
3. Aplikasi
3. Aplikasi
Dosen membimbing mahasiswa
Dosen menjelaskan tata cara
untuk menganalisis cerpen
penggunaan AWKIG dalam Pertemuan 3 tersebut dengan menggunakan
cerpen 1. Konsep
Dosen menjelaskan kembali AWKIG.
materi AWKIG lalu
membagikan cerpen “Mbok
Nah 60 Tahun”
2. Interpretasi data
Mahasiswa mencari dan
menemukan ide-ide dari cerpen
“Mbok Nah 60 Tahun”
3. Aplikasi
Dosen membimbing mahasiswa
untuk menganalisis cerpen
tersebut dengan menggunakan
AWKIG.
Pertemuan 4 Pertemuan 5
1. Konsep 1. Konsep
Dosen menjelaskan kembali Dosen menjelaskan kembali
materi AWKIG lalu materi AWKIG lalu
membagikan cerpen “Warung membagikan cerpen “Ruang
Pinggir Jalan” Belakang”
2. Interpretasi data 2. Interpretasi data
Mahasiswa mencari dan Mahasiswa mencari dan
menemukan ide-ide dari cerpen menemukan ide-ide dari cerpen
“Warung Pinggir Jalan” “Ruang Belakang”
3. Aplikasi 3. Aplikasi
Dosen membimbing mahasiswa Dosen membimbing mahasiswa
untuk menganalisis cerpen untuk menganalisis cerpen
tersebut dengan menggunakan tersebut dengan menggunakan
AWKIG. AWKIG.
PASCATES
209
model tersebut.
Tabel 5.2.
Langkah-langkah Pembelajaran AWKIG
pertemuan.
sebelumnya telah dikaji dengan kriteria cerpen yang berideologi gender untuk
dijadikan materi ajar. Ada empat buah cerpen yang telah dijadikan materi ajar yaitu
“Ruang Belakang”.
yang makin lama makin melebar dengan suasana yang demokratis dan simpatik.
Ternyata sebelum membahas materi wacana cerpen, mahasiswa sudah tertarik pada
permasalahan gender.
Pada pertemuan II, III, IV, dan V dosen masih tetap menerangkan AWKIG,
dibagikan dan harus dibaca secara cermat, bolak-balik, dan memberi kode dengan
dibagi dalam sepuluh kelompok dan setiap kelompok harus menganalisis cerpen itu
dengan AWKIG. Kemudian hasilnya dikumpulkan dan jika tidak selesai bisa
212
dikerjakan di rumah dan dikumpulkan pada pertemuan selanjutnya. Hal ini dilakukan
5.4.4 Evaluasi
dijawab oleh mahasiswa, namun bila mahasiswa tidak dapat menjawabnya, maka
mata kuliah tata wacana (kelas A), Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
angkatan 2003-2004 FPBS UPI. Deskripsi ini dibuat berdasarkan hasil observasi.
tabel berikut.
213
Tabel 5.3.
Kegiatan Pembelajaran I
Pertemuan pertama ini dilakukan dengan durasi 100 menit, tetapi karena
materi pembelajaran ini menarik bagi mahasiswa, maka waktu untuk pembelajaran ini
AWKIG. Dalam kegiatan pembelajaran ini, dosen banyak memberi contoh. Penulis
AWKIG merupakan hal yang sangat baru bagi mahasiswa. Mereka sangat tertarik
pada permasalahan ideologi gender. Hal ini terjadi kemungkinan karena mahasiswa
kebanyakan perempuan (24) dan laki-laki (6). Jadi mahasiswa perempuan sangat
menggunakan AWKIG dalam wacana apa saja, apakah ini wacana media atau wacana
sastra.
tentang AWK dan ideologi gender. Pembahasan mengenai masalah gender melebar,
216
dan semua mahasiswa menaruh simpati pada persoalan gender, apalagi ketika dosen
memberi contoh tentang prostitusi sebagai salah satu subordinasi dan represi terhadap
perempuan. Dari hasil tanya jawab terlihat mahasiswa berusaha bertanya hal-hal yang
walaupun ada juga mahasiswa yang diam saja. Selanjutnya dari pertanyaan-
dan umum;
3) ketika ditanya tentang deskripsi bahasa, mereka masih kelihatan ragu-ragu, belum
paham benar;
ragu menjelaskannya.
Kegiatan pembelajaran kedua secara rinci dijelaskan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 5.4.
Kegiatan Pembelajaran II
konsep AWKIG, dalam arti menerangkan bagian tentang teks yang akan dibahas,
makna, dan kemudian mengeksplanasi terutama tentang jenis ideologi gender dan
219
tentang adanya ketidakadilan gender. Indikator pada tahap penentuan subjek dan
penceritaan dan siapakah yang menjadi objek penceritaan pada tahap ini, mahasiswa
mampu menjelaskan siapa yang menjadi subjek dan objek penceritaan serta
“Yang menjadi subjek penceritaan adalah Panuwun dan yang menjadi objek
“Panuwun adalah tipe suami egois, dia tidak mau memperhatikan keinginan-
keinginan istrinya”.
makna dari wacana-wacana yang dibahas. Dosen memberi contoh yang diambil dari
mahasiswa laki-laki yang menjawab sangat setuju, dengan alasan suami adalah kepala
keluarga rumah tangga, jadi wajar melarang istri untuk bertindak dan berperilaku
sesuai aturan suami. Hal ini menunjukkan bahwa budaya patriarki masih sangat
kental bagi kaum laki-laki, walaupun sudah berada dalam situasi, kondisi sekarang
(globalisasi).
adanya ketidakadilan gender dalam cerpen yang dianalisis tersebut. Penjelasan ini
bisa diungkap dari pertanyaan yang dikemukakan dan mengenai eksplanasi yang
diskriminasi dan represi ada dalam wacana cerita tersebut. Contohnya terlihat
dalam ucapan Panuwun “Pokoknya, kamu tidak boleh keluar rumah kalau
(Pipit Fitriani)
“Pesan yang didapatkan dari cerpen ini seolah-olah cerpen ini kena dalam
AWKIG.
kalau dikaitkan dengan budaya turun temurun bahwa istri harus selalu menyenangkan
suami.
kegunaan metafora atau eufimisme. Untuk lebih jelas dosen memberi contoh, yang
akhirnya mahasiswa lancar dalam memilih kata yang dianggap penting dari cerpen
itu, walupun masih ragu-ragu dalam mengemukakan alasan pemilihan kata itu.
Proses pembelajaran III ini dapat dilihat dari tabel berikut di bawah ini.
Tabel 5.5.
Kegiatan Pembelajaran III
membacanya dengan teliti dan cermat, kemudian memberi tanda tentang penentuan
subjek penceritaan dan objek penceritaan. Deskripsi bahasa sangat berguna terutama
eksplanasi, yaitu mengeksplanasi tentang jenis-jenis IG dan KG, indikator pada tahap
224
siapakah yang menjadi subjek dan siapakah yang menjadi objek, serta bagaimana
adalah Marno dan yang menjadi objek penceritaan adalah Mbok Nah.”
(Suryowati)
“Marno itu betul-betul tidak punya perasaan tidur sekamar dengan Meri,
“Marno itu suami yang egois dan tidak berperasaan, melecehkan istri dan
merepresi.” (Ovik)
Dari sekian banyak jawaban, maka jawaban yang lima buah inilah yang
makna dan kemudian mengeksplanasi. Dalam cerpen ini tidak terlihat kekerasan
Marno terhadap istrinya Mbok Nah. Jadi, secara fisik aman-aman saja, dalam cerpen
itu diceritakan sikap partriatikal Marno, bahwa sikap dan tingkah laku Marno sangat
225
“Setiap Mbok Nah sampai di tempat kos Meri, Marno masih duduk
kamar Meri. Mbok Nah selalu kesemsem pada senyum Marno, padahal
kenyataannya senyum Marno bukan buat Mbok Nah, tapi buat Meri.”
(Marfuah)
“Dari kamar belakang dia mendengar suara Marno dan suara Meri, suara-
“Larut malam ketika kentongan berbunyi dua kali, Mbok Nah masih
Jerit burung malam, yang kata orang-orang tua pertanda buruk membuat
dilihatnya Meri lelap dengan muka masih penuh riasan. Di sisi ketiaknya
terhadap Mbok Nah ternyata bukan secara fisik, tetapi secara psikis (moral), halus
tapi lebih menyakitkan. Dosen bertanya; “Apakah Anda menyenangi cerpen ini?”
226
(Pipit Fitriani)
“Saya tidak menyukai cerpen itu, karena menggambarkan sikap Mbok Nah
yang terlalu polos dan lugu, seolah-olah tolol, malah menyalahkan dirinya
mahasiswa sudah mulai memahami AWKIG. Setiap pertanyaan dosen dijawab sesuai
yang diharapkan, tetapi ada juga yang menjawab dengan asal-asalan, tetapi pada
4) mahasiswa bisa melakukan penilaian terhadap isi cerita, yang terlihat dari
tersebut.
Di bawah ini adalah tabel kegiatan pembelajaran keempat yang akan dibahas
secara rinci.
Tabel 5.6.
Kegiatan Pembelajaran IV
pembacaan kritis-kreatif, dalam arti mereka akan paham apa yang dibaca, dengan
mudah mereka bisa memberi tanda atau memberi kode pada bagian-bagian wacana
pada tahap penentuan subjek dan objek penceritaan diawali dengan pertanyaan;
“siapakah yang menjadi subjek penceritaan dan siapakah yang menjadi objek
yang menjadi subjek dan siapa yang menjadi objek. Pertanyaan dilanjutkan dengan;
adalah Emet dan yang menjadi objek penceritaan adalah Idah.” (Vinna)
perikemanusiaan. Idah seorang anak berumur belasan tahun, yang pantas jadi
sangat menjijikan, padahal Idah itu anak yang masih ingusan yang pantas jadi
“Sayang Idah tidak mengerti apa-apa tentang niat buruk Emet, Idah masih
lugu dan ingusan, jadi gampang untuk dirayu Emet yang pantas jadi
bapaknya.” (Suryowati)
Dari sekalian banyak jawaban, Maka keempat jawaban di atas penulis anggap
Idah pun terpengaruh. Idah sangat mengidolakan tokoh Mira, pelacur di seberang
jalan, pakaiannya banyak dan bagus-bagus, begitu pula sepatunya, badannya wangi,
selalu tersenyum dan ceria. Kalau sore ada seorang laki-laki yang menjemputnya
memakai truk mini, dan subuh kembali diantar pulang. Kalau laki-laki yang
mengantarkannya turun dari mobil, mereka berciuman dahulu dengan badan merapat.
Kejadian tersebut selalu menjadi bayangan keingintahuan Idah untuk berbuat seperti
Mira, ibunya tak mengetahui apa yang bergejolak dalam pikiran Idah yang tidak
seberang jalan dan Emak sering menegurnya. Karena itu saat pantatnya dielus-elus
Emet, dia tidak bereaksi apa-apa pada Emet, justru ia merasakan perasaan aneh yang
nanti terbawa ke sekolah pada siang hari. Inilah yang meracau pikiranya, sehingga
dia selalu ingin membuktikan ketidaktahuannya. Emet tahu tentang hal ini dan dia
tahu bahwa Idah menyenanginya. Setali tiga uang, Idah ingin mencoba ketidaktahuan
perasaannya dan Emet hidung belang yang penuh nafsu birahinya ingin
231
yang suka sama suka, prostitusi ini seolah-olah tidak ada yang harus disalahkan,
tetapi kalau melihat kondisi Idah yang masih anak-anak belasan tahun yang pantas
menjadi anak Emet, hal itu bisa dikatakan Emet itu keterlaluan dan tidak manusiawi.
2) apakah kesan Anda terhadap tingkah laku Emet pada Idah yang belasan tahun
umurnya?
3) Idah meminta Emet menggali sumur, Emet sutuju. ‘Neng, jangankan masuk
sumur, masuk liang kubur mang mau, kalau neng yang minta” Emet tertawa
lebar, dan tanganya mencubit pipi Idah. Dari wacana di atas apa yang tersirat
Kebanyakan menjawab setuju dengan alasan Emet itu sudah bapak-bapak masa tega
melecehkan perempuan yang msih kecil yang pantas jadi anaknya. Ada pula yang
menjawab wajar Emet berbuat begitu karena Emet melihat Idah menyenanginya, jadi
merasakan kesempatan emas bagi Emet untuk melaksanakan niat busuknya. Kalimat
“Jangankan masuk sumur, masuk liang kubur mang mau, kalau neng yang minta.”
Menunjukkan bahwa Emet itu seorang laki-laki yang pandai merayu perempuan,
apalagi perempuan kecil yang polos. Emet mau berbuat apa saja demi melampiaskan
nafsu bejadnya.
232
(eksplanasi) ini bisa diungkap dari pertanyaan yang dikemukakan dosen mengenai
diskriminasi, dan represi ada dalam wacana cerpen tersebut. Hal ini terlihat dari
perilaku Emet yang kurang ajar terhadap Idah yang masih belia dan polos. (Ovik);
2) cerpen “Warung Pinggir Jalan” ini sangat bermanfaat bagi penyadaran dan
3) pesan yang didapatkan cerpen ini adalah perlunya penyadaran gender dari sejak
dini. (Pipit).
melaksanakan AWKIG.
mahasiswa memberi contoh tentang kehidupan pelacur (istilah modern PSK) yang
terjadi di Ancol Jakarta dan di daerah Pantai Utara Jawa Barat, banyak sekali anak-
anak perempuan yang masih belia menjadi pelacur, mereka mengetahui dari koran.
Dalam tahap deskripsi bahasa, masih agak kesulitan dalam menentukan diksi
memberi contoh yang membuat mahasiswa paham dalam memilih kata itu.
Akhir pertemuan dosen mengingatkan agar mahasiswa mau melatih diri untuk
dikerjakan di rumah.
Proses pembelajaran V ini dapat dilihat dari tabel berikut di bawah ini.
234
Tabel 5.7.
Kegiatan Pembelajaran V
membacanya secara kritis-kreatif, teliti, dan cermat. Kemudian memberi tanda atau
kode untuk menentukan subjek dan objek penceritaan. Deskripsi bahasa sangat
ideologi ibuisme, dan ideologi umum. Dari uraian interpretasi ini bisa dieksplanasi
penceritaan?.”
236
suami, dan objek penceritaan yaitu Teh Nining yang berperan sebagai istri.
(Witri Diani)
dinafkahi oleh istrinya, tetapi Dadang sangat galak kepada istrinya, Dadang
“Dadang adalah tipe suami yang kejam, sudah dinafkahi istri masih sering
memukul kalau tidak disediakan kopi dan makanan saat dia bangun tidur.”
(Dini Jayanti)
“Dadang adalah tipe suami tidak tahu tanggung jawab, maunya enak sendiri,
Jawaban mahasiswa bervariasi, dari jawaban yang dipilih dosen yang bisa
Dadang yang berperan sebagai seorang suami Teh Nining. Terlihat dari pemakaian
diksi biadab, seolah-olah Dadang itu sama dengan binatang, Dadang adalah model
suami yang tidak mau pusing, ia lebih senang keluyuran, minum-minum, pulang
makan, terus tidur “kayak kebo”, tidak boleh terganggu, kalau terganggu akan marah
makna dan kemudian mengeksplanasi hasil analisis. Cerpen ini lebih banyak
menceritakan tingkah laku Dadang yang patriarki dan represif. Teh Nining sebagai
objek tidak bisa berbuat apa-apa atas kekejaman Dadang, padahal dia sangat sibuk
dengan peran gandanya, yaitu bekerja di ruang publik sebagai tukang gorengan dan di
ruang domestik sebagai ibu rumah tangga. Peran Dadang dalam cerpen ini sangat
ideologis gender. Dari interpretasi makna terlihat jenis ideologi gender semua
terserap oleh tingkah laku Dadang, yaitu patriarki, familialisme, ibuisme, dan
ideologi umum. Keempat jenis ideologi ini menimbulkan ketidakadilan gender, yaitu
1) apakah Anda setuju dengan semua perilaku Dadang terhadap Teh Nining
istrinya?
2) apakah Anda setuju akan sikap Teh Nining yang tetap mempertahankan
3) kalau kejadian rumah tangga Anda terjadi seperti Dadang dan Teh Nining, apa
mereka semua tidak setuju, untuk pertanyaan kedua ada yang menjawab setuju dan
ada yang tidak setuju, masing-masing dengan alasannya. Yang setuju jawaban
mahasiswa laki-laki alasannya perempuan harus banyak sabar dan berdoa kepada
Allah, mungkin ini cobaan untuk kehidupannya dan keimanannya, supaya kelak
238
masuk surga. Ada yang menjawab sekali pukul suami sudah turun talak satu. Diskusi
berjalan menyenangkan. Jawaban untuk nomor tiga semuanya menjawab tidak akan
pertanyaan yang menyangkut cerpen “Ruang Belakang.” Pesan apakah yang tersirat
jawaban Reza Abdillah mahasiswa laki-laki bahwa cerpan “Ruang Belakang” sangat
bermanfaat bagi penyadaran gender dan pemahaman gender. Maka perlu adanya
pascates.
Dadang dan Teh Nining, tetapi mahasiswa tak ada yang mau memberi contoh. Dosen
menjelaskan bahwa model perkawinan dalam cerpen ini penuh dengan kekerasan
diri untuk mencoba terus melakukan AWKIG. Pertemuan V diakhiri dengan pascates.
Sampel yang berpasangan diartikan sebagai sebuah sampel dengan subyek yang sama
namun mengalami perlakuan yang berbeda dalam arti yang satu tidak mendapat
perlakuan dan yang satu lagi mendapat perlakuan, pengukuran juga berbeda yaitu
Tabel 5.8.
Hasil Prates dan Pascates
Responden yang dites adalah 30 orang, dan tes skala sikap berjumlah 30 soal.
Dari hasil tabel terlihat adanya perbedaan skor antara prates dan pascates. Untuk
241
melihat pencapaian skor terendah dan tertinggi dari prates dan pascates dapat dilihat
Tabel 5.9.
Statistik
X
N Valid 30
Missing 0
Mean (rata-rata) 81.67
Median (median) 81.00
Mode (modus) 76(a)
Std. Deviation (standar deviasi) 7.730
Variance (varian) 59.747
Range (rentang) 32
Minimum (minimum) 69
Maximum (maksimum) 101
Sum (jumlah) 2450
A Multiple modes exist. The smallest value is shown
dari skor maksimal 120, sedangkan prates mahasiswa tertinggi adalah 101.
Rata-rata hitungnya adalah 81,67 sedangkan median atau nilai tengahnya jika
data itu diurutkan menurut besarnya adalah 81. Kemudian modusnya atau modenya
yaitu data yang frekuensinya paling banyak adalah 76 yang merupakan multiple
disebut dengan standar deviasi adalah 7,730 dan jangkauan atau range-nya adalah
ini:
Tabel 5.10.
Histogram
Histogram
10
8
Frequency
Mean = 81.67
Std. Dev. = 7.73
0 N = 30
60 70 80 90 100 110
X
Tabel 5.11.
Statistik
N Valid 30 Y
Missing (tidak hadir) 0
Mean (rata-rata) 94.60
Median (median) 94.00
Mode (modus) 94
Std. Deviation (standar deviasi) 11.593
Variance (varian) 134.38
6
Range (rentang) 47
Minimum (minimum) 70
Maximum (maksimum) 117
Sum (jumlah) 2838
243
70 dari skor maksimal 120, sedangkan pascates mahasiswa tertinggi adalah 117.
Rata-rata hitungnya adalah 94,60, sedangkan median atau nilai tengahnya jika
data itu diurutkan menurut besarnya adalah 94. Kemudian modusnya atau modenya
yaitu data yang frekuensinya paling banyak adalah 94, selanjutnya rata-rata
penyimpangannya (deviasi rata-rata) atau yang sering kita sebut dengan standar
deviasi adalah 11,593 dan jangkauan atau rangenya adalah data tertinggi (maksimum)
ini:
Tabel 5.12.
Histogram
Histogram
6
Frequency
Mean = 94.6
Std. Dev. = 11.593
0 N = 30
70 80 90 100 110 120
Y
244
Dengan menggunakan SPSS Versi 12. yaitu program komputer statistik untuk
memproses data statistik secara cepat dan tepat dengan menggunakan uji pasangan tes
sampel diperoleh.
Tabel 5.13.
Statistik Pasangan Sampel
Pada tabel 5.13f terlihat ringkasan statistik dari kedua sampel untuk prates dan
pascates. Rata-rata skor prates adalah 81,67, sedangkan setelah diberi perlakuan rata-
Tabel 5.14.
Korelasi Sampel Berpasangan
N Korelasi Sig.
Pasangan X&
30 .562 .001
Y
Pada tabel 5.14. adalah korelasi antara kedua variabel yang menghasilkan
angka 0,562 dengan nilai probabilitas jauh dibawah 0,05 (lihat nilai signifikansi
0,001). Hal ini menunjukkan bahwa korelasi antara prates dan pascates cukup erat
Tabel 5.15.
Tes Sampel Berpasangan
rendah tinggi
X
pasangan – -12.933 9.667 1.765 -16.543 -9.324 -7.328 29 .000
Y
Uji dilakukan dua sisi karena akan diketahui apakah rata-rata prates sama
dengan rata-rata pascates ataukah tidak. Jadi bisa lebih besar atau lebih kecil,
Berdasarkan tabel 5.15. selisih rata-rata prates dan pascates adalah 12,933.
Selisih tersebut secara statistik apakah berbeda atau tidak? Terlihat dari tabel bahwa
t hitung sama dengan -7,328. Prates dan pascates berbeda sangat signifikan bila
Ternyata | thitung | = | -7,328 | = 7,328 > 2,045. Berarti skor prates dan skor pascates
gender.
246
Gambaran persentase nilai prates dan pascates skala sikap AWKIG dapat
dilihat pada tabel di bawah ini. Nilai persentase tersebut untuk melihat perkembangan
hasil belajar mahasiswa antara sebelum diberi perlakuan (prates) dan sesudah diberi
perlakuan (pascates).
247
248
249
250
251
252
253
254
responden terhadap setiap unsur masalah gender, data mengenai persepsi di atas akan
disajikan dalam bentuk penyekoran berikut persentasenya untuk setiap unsur masalah
Tabel 5.20.
Rekapitulasi Presentase Nilai Prates dan Pascates Skala Sikap AWKIG
Mahasiswa Jurdiksatrasia Angkatan 2003-2004 FPBS UPI
Berdasarkan tabel di atas, kita bisa melihat penskoran prates dan pascates
untuk masalah yang berkenaan dengan peran gender. Pada prates, skor seluruh
17, 25, dan 26) adalah 798. Bila dirata-ratakan, masing-masing responden diperoleh
26,6 dengan persentase 53,2% dengan nilai maksimumnya 50. Pada pascates
rata-rata 30 dan persentase 60%. Jadi peningkatan rata-rata skor adalah 3,4 dan
terhadap peran gender tinggi. Dikatakan tinggi dengan mengacu pada klasifikasi
255
kriteria persentase skala sikap yang dibuat oleh penulis dengan rentang yang sama,
yaitu dua (2). Klasifikasi kriteria persentase skala sikap prates dan pascates (dibuat
Pada tabel 5.20. dapat dilihat skor prates dari seluruh responden yang
berjumlah 30 orang untuk masalah yang berkenaan dengan ideologi gender (pada
nomor angket 3, 6, 11, 12, 13, 14, 19, 20, 21, dan 22) berjumlah 816. Bila dirata-
ratakan diperoleh 16,3 dan persentase 32,2 %. Nilai maksimumnya 50. Pada pascates
mengalami peningkatan, skor pascates seluruh responden berjumlah 996 dengan rata-
rata 19,9 dan persentase 39,8%. Jadi peningkatan rata-rata skor adalah 3,6 dan
Tabel 5.20 untuk masalah stereotip gender ditemukan 2 item soal dari angket,
yaitu nomor 18 dan 30. Tabel tersebut menunjukkan skor prates dari seluruh
responden (30) adalah 165 dengan rata-rata skor 16,5 dan persentase 165 % dengan
nilai maksimum 10. Skor pascates 177 dengan rata-rata 17,7 dan persentase 177. Dari
data itu tampak peningkatan dari prates ke pascates, yaitu rata-rata 1,2 dan persentase
12%. Jadi, peningkatan kesadaran Mahasiswa terhadap stereotip gender adalah sangat
tinggi.
256
nomor 7, 15, 16, 23, 24, 27, 28, dan 29 pada angket. Skor prates dari seluruh
responden adalah 671 dengan rata-rata skor 16,8 dan persentase 42% dengan nilai
maksimum 40. skor pascates 765, jika dirata-ratakan diperoleh 19,2 persentasenya
48%. Hal ini menunjukkan terjadi peningkatan sebesar 2,4 untuk skor rata-rata dan
Abdullah, I . (Ed). 1997. Sangkan Peran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Pusat
Penelitian Kependudukan.
Aisyah, Nenden Lilis. 2003. “Pemilihan Bahan dan Perancangan Model Apresiasi Sastra sebagai
Wahana Penyadaran Gender.” Tesis tidak dipublikasikan pada SPs UPI, Bandung.
Aisyah, Nenden Lilis. 2000. Ruang Belakang dalam Dua Tengkorak Kepala Antologi Cerpen
Kompas 2000 hal 105-114. Jakarta: Kompas.
Alwasilah, Chaedar. 2004. “Sosiolinguistik Sastra: Telaah Wacana Kritis Atas Senja Di
Nusantara.” Jurnal UvUla: Jurnal Sastra, November 2004 vol 2 no 2, hal. 137-146.
Arivia, Gadis. 2003. Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Baidhawy, Zakyuddin. (Ed). 1997. Wacana Teologi Feminis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bertens, K. 1987. Fenomologi Eksistensial, Seri Filsafat Atma Jaya 8. Jakarta: PT Gramedia.
Bertens, K. 1983. Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman, Seri Filsafat Atma Jaya I. Jakarta:
PT Gramedia.
Bhasin, K. 1996. Menggugat Patriarki: Pengantar tentang Persoalan Dominasi terhadap Kaum
Perempuan. Yogyakarta: Bentang dan Kalyanamitra.
Black, James. A dan Champion, D.J. 1999. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Bandung:
Refika Aditama.
Bogdan, R.C., and Biklen, S. 1982. Qualitative Research for Educations: An Introduction to
Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon.
Brown, G. dan Yule, G. 1996. Analisis Wacana; Alih Bahasa Sutikno. Jakarta: Gramedia.
Budianta, Melani. 1998. “Sastra dan Ideologi Gender.” Horison Th. XXXII, No. 4, Hal. 6-13.
Burhan, N. 1995. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Edisi 2. Yogyakarta: BPFE.
263
Butt, D., et all. Using Functional Grammar an Explorer’s Guide. Sydney: Macquary University.
Culler, Jonathan. 1983. On Deconstruction: Theory and Criticism after Structuralism. London
and Henley: Routledge and Kegan Paul (Seri Pustaka Kuntara,4621)
Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Damono, Sapardi Djoko.1999. Politik Ideologi dan Sastra Hibrida. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Darma, Yoce A. 2002. “Peluang Wanita Berperan Ganda dalam Keluarga sebagai Upaya
Mendukung Kemitrasejajaran Pria dan Wanita di Kabupaten Bandung.” P3W, Lembaga
Penelitian UPI.
Darma, Yoce A. 2003. “Persepsi Aparat Pemerintah Kota Bandung terhadap Gender, Kesetaraan
Gender, dan Pengarusutamaan Gender.” Bandung: Lembaga Penelitian UPI.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia.1997. Jakarta:
Balai Pustaka.
Dijk, Teun A. van. 1987. Discourse Analysis in Society. London: Academic Press Inc.
Dilworth, James B. 1992. Operation Management: Design, Planning and Control for
Manufacturing and Sevices. NJ: McGraw-Hill, Inc.
Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Eppen, G.D., F.J. Gould, dan C.P. Schmidt. 1993. Introductory of Management Science (4th Ed.).
Prentice-Hall, Inc.
Eriyanto. 2005. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS, Pelangi
Pelajar.
Fairclough, H. 2003. Analyzing Discourse; Textual Analysis for Social Research. New York and
London: Routledge.
264
Fairclough dan Wodak. 1997. “Critical Discourse Analysis” Dalam Teun A. van Dijk (ed),
Discourse as Social Interaction: Discourse Studies a Multidisciplinary Introduction, Vol
2. London: Sage Publication.
Fakih, M. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Faruk, H.T. 1997. “Selayang Pandang Reproduksi Gender di Indonesia” dalam Humaniora
Nomor VI (Oktober-November). Yogyakarta.
Foucault. 1997. Seks dan Kekuasaan. Terjemahan oleh Rahayu S Hidayat. Jakarta: Gramedia.
Fraenkel, J.R. and Wallen, N.E. 1993. How to Design and Evaluate Research in Education. New
York: Mc Graw-Hil Inc.
Halliday, M.A.K. 1978. Language as Social Semiotics. The Social Interpretation f Language and
Meaning. London: Edward Arnold.
Halliday, M.A.K. dan Hasan, R. 1985. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-aspek Bahasa dalam
Pandangan Semiotik Sosial: Terjemahan Barori T dari Language, Context, and Text.
Aspect of Language in Social Semiotic Perspective. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Hamidy, Zainudin, & Fachrudin, Hs. 1959. Tafsir Al-quran. Jakarta: Widjaya.
Handayani, Trisakti dan Sugiarti. 2002. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: Umm
Press.
Hayat, Edi dan Surur, Miftahus. (ed). Perempuan Multikultural Negosiasi Dan Representasi.
Jakarta: Desantara Utama.
Hellwig, T. 1987. “Rape in Two Indonesian Cerpens: An Analysis of the Female Images.”
Dalam Elsbeth Locher-Scholten dan Anke Niekof (Eds.). Indonesian Women in Focus
(hal. 240-254). Dordrecht: Foris Publications.
Ibrahim, Ratna Indraswari. 1994. Rambutnya Juminten dalam Lampor Antologi Cerpen Kompas
1994 hal. 78-84. Jakarta: Kompas.
Ilyas, Yunahar. 1997. Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Quran Klasik dan Kontemporer.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
265
Inderawati, Rita. 2005. Model Respon Nonverbal dan Verbal dalam Pembelajaran Sastra untuk
mengembangkan Keterampilan Menulis Siswa. Studi Kuasi-Eksperimen di SD Negeri
ASMI I, III, V Kota Bandung Tahun Ajaran 2003/2004. Disertasi tidak dipublikasikan
pada PPs UPI, Bandung.
James, J. and Warling, S. 1999. Language and Politics: Language, Society, and Power: An
Introduction. London: Routledge.
Joice, Marsha and Shower. 1992. Models of Teaching 4th Edition. Massachusetts: Allyn and
Bacon.
Jones, J. et all. 1989. “Systematical-Functional Linguistics and its Application to the TESOL
Curriculum”; dalam Hasan, R dan Martin, J.R. (Ed), Language Development: Learning
Language, Learning Culture: Meaning and Choice in Language, Studies for Michael
Halliday (Hlm. 257-328). Norwood: Ablex Publishing Corporation.
Jumadi. 2005. Representasi Power dalam Wacana Kelas (Kajian Etnografi Komunikasi di SMA
1 Malang). Disertasi Doktor pada PPS Universitas Negeri Malang: tidak diterbitkan.
Mosse, J.C. 1996. Gender dan Pembangunan. Terjemahan Silawati dan Rifka Annisa. Women
Crisis Centre. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Meneg UPW. 1992. Pengantar Teknik Analisis Gender. Jakarta: Kantor Meneg UPW.
Mulyana, Yoyo. 2000. “Keefektifan Model Mengajar Resepsi Pembaca dalam Pengajaran
Pengkajian Puisi (Studi Eksperimen pada Mahasiswa Jurdiksatrasia FPBS IKIP Bandung
Tahun Akademik 1998/1999).” Disertasi tidak dipublikasikan pada PPS UPI Bandung.
Murniati, Nunuk P. 1993. Pengaruh Agama terhadap Ideologi Gender: Dinamika Gerakan
Perempuan di Indonesia. Jogyakarta: Tiara Wacana.
266
Nurgiyantoro, B. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta, Gadjahmada University Press.
Pamungkas, Lea. 1995. Mbok Nah 60 Tahun dalam Laki-laki Kawin dengan Peri Antologi
Cerpen Kompas 1995 hal. 95-103. Jakarta: Kompas.
Pamungkas, Lea. 1996. Warung Pinggir Jalan dalam Pistol Perdamaian Antologi Cerpen
Kompas 1995 hal. 135-146. Jakarta: Kompas.
Rusyana, Y. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: Dipenogoro.
Sanderson, S. 1995. Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Saptari and Holzner. 1997. Perempuan, Kerja, dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi
Perempuan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Santoso, Anang. 2003. Bahasa Politik Pasca-Orde Baru. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Sebatu, Alfons. 1994. Psikologi Jung, Aspek Wanita dalam Kepribadian Manusia. Jakarta:
Gramedia.
Selden, Raman. 1996. Panduan Membaca Teori Sastra Masa Kini. (Terjemahan Rahmat Djoko
Pradopo). Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Soemandoyo, P. 1999. Wacana Gender dan Layar Televisi. Yogyakarta: LP3Y dan Ford
Foundation.
Syamsuddin, A.R. 1992. Studi Wacana Teori Analisis-Pengajaran. Bandung: FPBS Press.
Sugihastuti. 2003. Feminisme dan Sastra. Menguak Citra Perempuan dalam Layar Terkembang.
Bandung: Katarsis.
Sumardjo, Jacob. 1999. Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977. Bandung: Alumni.
Sumardjo, Jacob. & Saini, K.M. 1991. Apresiasi Kesusasteraan. Jakarta: Gramedia.
Sutarno, A. 2003. Bahasa Politik Pascaorde Baru. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
267
Stimpson, Chatarine R. 1981. On Feminist Criticisan dalam Sugihastuti. Feminist dan Sastra.
Bandung: Katarsis.
Tong, Rosemarie Putnam. 1998. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif Kepada
Arus Utama Pemikiran Feminis. (Terjemahan Aquarini Priyatna Prabasmoro). Bandung:
Jalasutra.
Yulianeta. 2002. “Pengoperasian Ideologi Gender dalam Novel Saman.” Tesis tidak
dipublikasikan pada PPs UNM.
Yusuf, S. 2001. Complete and Latest Works on Critical Discourse Analysis. Compiler Teun van
Dijk’s. Bandung: UPI.
Van Nelson, A.G.M. 1985. Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita. Terjemahan oleh K.
Bertens. Jakarta: PT Gramedia.
Wahid, M. H. N. 1996. “Kajian Atas Kajian DR. Fatimah Mernissi Tentang “Hadist Misogini”
(Hadit yang Isinya Membenci Perempuan) hal 3-36.” Surabaya: Rislah Gusti.
268