Anda di halaman 1dari 155

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan, berbagai gagasan dan

perencanaan merupakan tuntutan yang harus terus berlanjut. Pendidikan harus

selalu mengiringi perkembangan kehidupan manusia yang terus mengalami

perubahan ke arah penyempurnaan. Pendidikanlah yang diandalkan untuk menjadi

pengarah kemajuan. Kebijakan-kebijakan pendidikan baru dalam melakukan

parubahan atau penyempurnaan, sebaiknya selalu didasari oleh hasil-hasil

pengamatan yang cermat oleh para ahli dan dari hasil-hasil penelitian.

Munculnya masalah dalam pendidikan merupakan gejala yang

menunjukkan adanya kesenjangan antara hasil pendidikan dengan tuntutan

kehidupan. Masalah ini muncul beraneka ragam, mulai dari masalah proses

belajar mengajar di kelas yang berhubungan dengan bidang studi, berhubungan

dengan kurikulum, berhubungan dengan salah satu jenjang pendidikan, sampai ke

masalah yang berhubungan dengan kebijakan dan konsep pendidikan.

Berbicara tentang permasalahan proses belajar mengajar dalam

pendidikan adalah sesuatu yang sangat membutuhkan pemikiran dan perhatian

yang serius untuk pengembangan, sehingga diperlukan gagasan-gagasan dan

perencanaan-perencanaan yang betul-betul membutuhkan pikiran dan tenaga

ekstra bagi para pendidik untuk memikirkannya. Salah satunya adalah proses

belajar mengajar Tata Wacana. Istilah wacana dipakai oleh banyak kalangan

mulai dari studi bahasa, psikologi, politik, komunikasi, sastra, dan sebagainya.
2

Dalam pembelajaran, wacana merupakan disiplin ilmu baru. Pemunculannya

sekitar tahun 70-an. Sebetulnya apakah wacana itu? Firth (dalam Syamsuddin,

1992: 2) mengemukakan bahwa language was only maeningful in its context of

situation. Jadi, pembahasan wacana adalah pembahasan bahasa dan tuturan yang

harus dalam satu rangkaian kesatuan situasi atau dengan kata lain, makna suatu

bahasa berada dalam rangkaian konteks dan situasi. Pemakaian istilah wacana itu

banyak dipakai dalam banyak disiplin ilmu yang lain. Jika istilah wacana dipakai

dalam disiplin ilmu bahasa, perlu diperhatikan hal-hal yang berkaitan atau betul-

betul bermakna bagi pakar bahasa atau keilmuan kebahasaan. Sebagai contoh

adanya istilah wacana politik, sebatas wacana, baru wacana, dan lain-lain. Istilah

tersebut bukan dalam pembahasan ilmu bahasa, tetapi dipakai dalam ilmu politik.

Dilihat dari awal pemunculannya, istilah wacana bukan muncul dari para

ahli ilmu bahasa, melainkan dipopulerkan oleh oleh psikolog, antropolog, dan

sosiolog. Mereka beranggapan bahwa kenyataan kegunaan pemakaian bahasa di

lapangan bukan dilihat dari struktur bahasa, melainkan dari konteks pemakaian

bahasa, yaitu wacana. Brown dan Yule (Terjemahan Soetikno, 1996: xi)

mengemukakan bahwa para ahli sosiolinguistik terutama memperhatikan struktur

interaksi sosial yang dinyatakan dalam percakapan dan deskripsi-deskripsi mereka

yang dititikberatkan pada ciri-ciri konteks sosial, terutama dapat dimasukkan ke

dalam klasifikasi sosiologis.

Mata kuliah Tata Wacana merupakan salah satu mata kuliah bidang studi

(MKBS), yang diberikan pada semester ganjil (5) dengan bobot 4 SKS di Jurusan

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI. Adapun bahan perkuliahan
3

Tata Wacana yang diberikan di Strata 1 hanya sampai pada masalah menganalisis

wacana dialog dan monolog.

Diawali dengan adanya kebutuhan pengembangan pembelajaran analisis

wacana inilah, penulis ingin mengembangkan materi pembelajaran analisis

wacana ini sampai kepada analisis wacana kritis (AWK). Dalam silabi dan satuan

acara perkuliahan (SAP) dicantumkah bahwa tujuan pembelajaran Tata Wacana

adalah mahasiswa diharapkan dapat memahami konsep tata wacana bahasa

Indonesia, dapat menganalisis, mencoba mengajarkan, dan dapat

menyelenggarakan seminar kelas tentang hasil pengamatan atau penelitian kecil.

Pengembangan pembelajaran yang menyangkut daya nalar mahasiswa

tentang pembelajaran wacana sangat berhubungan dengan penggunaaan wacana di

masyarakat. Dalam konsepnya, para pakar analisis wacana kritis (selanjutnya

disebut AWK) menyatakan bahwa materi yang akan dianalisis oleh AWK adalah

wacana-wacana yang mengandung gagasan dominasi dan kekuasaan, di antaranya

wacana politik, ras, dan gender.

Penelitian mengenai AWK belum banyak dilakukan. Ada beberapa

penelitian AWK yang pernah dilakukan, di antaranya penelitian-penelitian yang

berkaitan dengan wacana politik. Di bawah ini akan dibahas beberapa hasil

penelitian tersebut.

Ruswan Dallyono (2003) melaporkan hasil penelitin tentang AWK politik

dengan menggunakan wacana yang ada di internet (A Hypertex Base Critical

Discoursse Analysis of Democratic Awareness). Hasil temuannya

menggambarkan tentang wacana-wacana website berkontribusi pada upaya-upaya


4

demokratisasi di Indonesia. Wacana-wacana website ini mengangkat isu-isu

sensitif, seperti kekerasan-kekerasan TNI di Aceh dan konsep-konsep

pemerintahan serta konsep-konsep nasionalisme. Judul penelitiannya adalah “The

Contribution of News Website to Democration in Indonesia.”

Anang Santoso (2003) meneliti AWK politik dalam disertasinya, yaitu

Bahasa Politik Pasca-Orde Baru. Santoso memaparkan karakteristik bentuk-

bentuk bahasa yang digunakan dalam wacana politik, khususnya wacana politik

pasca-Orde Baru beserta konteks penggunaannya, baik konteks lokal (konteks

situasi) maupun konteks global (konteks budaya dan ideologi). Disertasi ini

membahas pengantar ke arah bahasa politik dan penggunaan AWK sebagai pisau

analisis yang relavan untuk membedah fenomena wacana politik Indonesia.

Karakteristik bahasa politik pasca-Orde Baru dipaparkan sebagai pola

klasifikasi, leksikalisasi, relasi makna (antonimi, sinonimi, dan hiponimi),

metafora, ketransitifan bentuk aktif-pasif, modus kalimat, (deklaratif, interogatif,

dan imperatif), modalitas, (relasional dan ekspresif), strategi kehadiran diri (kita,

saya, kami, dan nomina tertentu), serta struktur teks (konvensi, interaksional, dan

penataan teks). Paparan eksplanasi kritis yang dikemukakannya, yaitu mengapa

sebuah bentuk bahasa dipilih dan dikedepankan serta mengapa sebuah bentuk

bahasa ditinggalkan dan dikemudiankan.

Jumadi (2005) dalam disertasinya “Representasi Power dalam Kelas

(Kelas Etnografi Komunikasi di SMA)” mengungkap bahwa power menyebar ke

dalam semua situs kehidupan manusia, termasuk dalam wacana kelas.

Penggunaan power dalam kelas diduga terkait dengan penggunaan tindak tutur,
5

pengendalian topik tuturan, interupsi, dan overleping dalam proses pembelajaran.

Hasil temuan yang dikemukakan Jumadi adalah power merupakan bagian integral

wacana kelas. Penggunaan power dalam wacana kelas meliputi penggunaan

tindak direktif, asertif, dan ekspersif, yang merepresentasikan power dengan kadar

dominasi tertentu. Terkait dengan fungsinya, wacana kelas power difungsikan

untuk tindakan preventif, suportif, dan korektif.

AWK menganalisis wacana-wacana kritis yang terdapat di berbagai

media, di antaranya wacana cerpen. Wacana cerpen dapat menjadi wujud fiksasi

dan stabilisasi juga pelembagaan realitas, peristiwa, dan pengalamn hidup.

Wacana cerpen sesungguhnya merepresentasikan konstruksi sosial atau bangunan

sosial, termasuk di dalamnya peran dan posisi laki-laki dan perempuan dalam

masyarakat atau gender.

Berkaitan dengan uraian di atas, seorang pengarang cerpen dituntut untuk

membuat atau menciptakan konstruksi sosial atas realitas, peristiwa, atau

pengalaman hidup dan kehidupan manusia. Oleh karena itu, pengarang perlu

membangun atau menciptakan dunia kehidupan di dalam karyanya. Dengan

membangun dan menciptakan dunia kehidupan dalam karyanya, pengarang

dengan leluasa dapat mengembangkan berbagai kemungkinan penafsiran realitas,

peristiwa, atau pengalaman hidup yang diwujudkan dalam cerita, di antaranya

tentang gender.

Gender dalam hal ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut

nonbiologis. Gender merupakan konstruksi sosio-kultural atau kategori sosial

(feminitas dan maskulinitas) tercermin dalam perilaku, keyakinan dan organisasi


6

sosial. Karena itu gender merupakan konsep sosial. Lebih eksplisit lagi pernyataan

Meneg UPW (1992: 3) yang menyatakan bahwa gender digunakan untuk

menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.

Saptari dan Holzner (1997: 221-222) menyatakan bahwa karya sastra

terbukti mempunyai pengaruh besar dalam membentuk, melembagakan,

melestarikan, mengarahkan, memasyarakatkan, dan mengoperasikan ideologi

gender. Oleh karena itu representasi ideologi gender dalam sastra, termasuk

wacana cerpen relatif menonjol dan kuat. Kajian Newton dan Resenfolt (dalam

Yulianeta, 2002: 54) memperlihatkan bahwa wacana cerpen Eropa Barat dan

Amerika telah menjadi arena penciptaan mitos dan ideologi gender dengan

konteks sosial tertentu. Helbwig (Yulianeta, 2002: 55) dalam kajian berjudul

“Rape in Two Indonesian Novels : An Analysis of the Female Images” menyoroti

secara mendalam citra perempuan dalam dua novel populer Indonesia, yaitu

“Karmila” karya Marga T dan “Ku Gapai Cintamu” karya Ashadi Siregar. Secara

khusus ahli sastra Indonesia dari Belanda ini mengkaji masalah pemerkosaan dari

perempuan yang ditampilkan dalam wacana novel. Keperawanan perempuan

merupakan hal yang paling utama. Apabila keperawanan hilang, jalan keluar satu-

satunya adalah perkawinan, walaupun kawin dengan laki-laki yang

memperkosanya.

Ideologi gender, yang melahirkan perbedaan gender tidak menjadi

masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun yang menjadi

persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan,

terutama terhadap perempuan. Ketidakadilan akibat perbedaan gender ini terlihat


7

dari peminggiran (marginalisasi) dan subordinasi kaum perempuan. Dengan

berkembangnya stereotip yang tidak adil terhadap perempuan, maka sering terjadi

kekerasan dan beban kerja yang lebih berat terhadap perempuan (Fakih, 1999: 12-

13). Marginalisasi terhadap perempuan bisa dilihat sejak dari lingkungan rumah

tangga dalam bentuk diskriminasi pada anggota keluarga yang laki-laki dan

perempuan, misalnya dengan memprioritaskan anggota keluarga laki-laki harus

lebih didahulukan dalam menuntut pendidikan. Sedangkan subordinasi terhadap

perempuan, misalnya terlihat dari sikap menempatkan perempuan pada posisi

yang tidak penting. Hal ini terjadi karena pelabelan stereotip kultural yang turun-

temurun, yang menganggap perempuan irasional atau emosional, sehingga tidak

layak tampil sebagai pemimpin. Contohnya masih ada anggapan bahwa

perempuan tidak usah sekolah tinggi-tinggi, karena akhirnya akan ke dapur.

Ketidakadilan juga dirasakan perempuan akibat adanya stereotip tentang

perempuan yang merugikan, misalnya penandaan yang berawal dari asumsi

bahwa perempuan bersolek dalam rangka memancing lawan jenisnya, sehingga

banyak kasus pelecehan seksual pada perempuan. Kekerasan terhadap perempuan

terjadi karena adanya ketidaksetaraan kekuatan. Kekerasan banyak terjadi di

masyarakat, misalnya pemerkosaan, pelacuran, pornografi, dan lain-lain.

Sedangkan beban kerja bisa dilihat dari tuntutan peran ganda terhadap perempuan.

Jika kita melihat kenyataan di masyarakat masih banyak perempuan yang belum

menyadari hal ini. Budi Darma (Lilis, 2003: 5) mengatakan bahwa seringkali

perempuan malah menjadi pendukung utama kultur patriarki. Hasil penelitian

Darma (2003) mengungkap tentang persepsi perempuan yang mempunyai jabatan


8

di pemerintahan Kota Bandung terhadap kesetaraan gender dan pengarusutamaan

gender. Mereka lebih menyukai suaminya yang mempunyai jabatan atau

berpenghasilan lebih besar daripada dia, dengan alasan menjaga wibawa suami,

baik di lingkungan keluarga maupun di masyarakat. Jadi, masih banyak

perempuan walaupun dari kalangan berpendidikan yang menerima saja apa yang

dikukuhkan oleh sistem patriarki dan menganggapnya sebagai kodrat yang tak

bisa diganggu gugat. Sesungguhnya keadaan tersebut dapat diubah apabila

mereka, yaitu laki-laki dan perempuan mau mengubahnya sebagai tanggung

jawab pada harkat kemanusiaan.

Kajian perempuan atau analisis gender sangat bermanfaat untuk melihat

jenis dan bentuk “konstruksi” ideologi gender yang terepresentasi dan terlembaga

dalam wacana sastra (cerpen). Sedangkan teori AWK bermanfaat untuk melihat

“pengoperasian” ideologi gender yang terepresentasi dan terlembaga dalam

wacana cerpen. Pemanfaatan AWK didasarkan atas asumsi bahwa cerpen dapat

dipandang sebagai wacana AWK, yaitu mempelajari bagaimana dominasi suatu

ideologi serta ketidakadilan dijalankan dan dioperasikan melalui teks atau wacana.

Menurut Fairclough (2003: 205) AWK melihat wacana sebagai bentuk dan

praktik sosial. Menggambarkan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan

sebuah hubungan dialektis di antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi,

institusi, dan struktur sosial yang membentuknya. Praktik wacana menampilkan

efek ideologi; ia dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang

tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan, kelas sosial serta kelompok

mayoritas dan minoritas melalui representasi posisi sosial yang ditampilkan. Oleh
9

karena itu, ideologi membentuk identitas diri kelompok yang membedakannya

dengan kelompok yang lain (van Dijk dalam Eriyanto, 2005: 272). AWK melihat

konteks terutama bagaimana ideologi kelompok-kelompok yang ada berperan

dalam membentuk wacana. Misalnya dalam wacana cerpen yang memunculkan

pencerminan ideologi seseorang, apakah dia feminis, antifeminis, kapitalis, sosial,

dan sebagainya.

AWK digunakan untuk membongkar pengoperasian ideologi gender

dalam wacana sastra, di antaranya model analisis Sara Mills. Fokus perhatian Sara

Mills (1997: 183) adalah wacana feminisme, yakni bagaimana perempuan

ditampilkan dalam teks, baik dalam cerpen, gambar, foto, maupun media. Oleh

karena itu, model analisis ini disebut juga analisis berperspektif feminis. Fokus

perhatian analisis ini adalah menunjukkan bagaimana teks bias gender dalam

menampilkan perempuan. Perempuan cenderung ditampilkan sebagai pihak yang

salah, marginal dibandingkan dengan laki-laki. Ketidakadilan dan penggambaran

yang buruk mengenai perempuan inilah yang menjadi sasaran utama dalam tulisan

Mills.

Fairclough (Lukmana, 2003: 329) menganalisis wacana dalam tiga

dimensi, yang mencakup analisis (1) data linguistik, (2) praktik-praktik diskursif,

dan (3) praktik-praktik sosial. Jadi, studi kritis terhadap bahasa menyoroti

bagaimana konvensi dan praktik berbahasa terkait dengan hubungan kekuasaan

dan proses ideologis yang sering tidak disadari oleh masyarakat. Keterkaitan

antara wacana dengan kekuasaan juga ditekankan oleh van Dijk, yang

menempatkan AWK sebagai sarana untuk mengkaji peran wacana dalam


10

reproduksi dan resistensi terhadap dominasi. Dominasi didefinisikan sebagai

penerapan kekuasaan sosial, para elit, institusi atau kelompok yang berujung pada

ketidaksetaraan (inequality) sosial, seperti pada ranah praktik, kelas, dan jenis

kelamin (van Dijk, 1993 dalam Lukmana, 2003: 330).

Belajar AWK adalah suatu hal baru bila dihubungkan dengan ilmu sastra

dan ideologi gender. Penelitian Yulianeta (2002) mengupas masalah ideologi

gender dalam novel Saman. Tulisan ini berupaya mengkaji pengoperasian gender

berdasarkan konsep AWK Sara Mills (1977) yang berperspektif feminis. Dalam

novel Saman ideologi dikonstruksi oleh kelompok yang dominan (laki-laki)

dengan tujuan untuk memproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Dari

analisis Yulianeta dapat diketahui bahwa novel Saman mencerminkan ideologi

gender Ayu Utami, sang pengarang, sebagai seorang feminis. Sebagaimana

umumnya wacana feminis, novel Saman menampilkan perempuan sebagai objek

penceritaan bukan subjek penceritaan. Sebagai objek representasi, perempuan

posisinya selalu didefinisikan, dijadikan bahan penceritaan, dan tidak bisa

menampilkan dirinya sendiri, perempuan tetap termarginalisasi dan

tersubordinasi. Oleh karena itu, perlu ada penelusuran yang lebih mendalam

tentang model AWK dan aplikasinya dalam pengkajian sastra, di antaranya kajian

cerpen yang berideologi gender. Selain itu Nenden Lilis (2002) mengupas

pemilihan bahan dan perancangan model apresiasi cerpen sebagai wahana

penyadaran masalah gender di lingkungan unit Dharma Wanita. Berdasarkan

hasil-hasil penelaahan penelitian-penelitian di atas, penulis belum menemukan

penelitian mengenai pembelajaran AWK dalam pengkajian cerpen yang


11

berideologi gender, tetapi penulis menemukan penelitian yang sejenis, yaitu

penelitian Yulianeta (2002) yang mengkaji masalah ideologi gender dalam novel

Saman.

Dari uraian di atas, dipandang perlu adanya penelitian mengenai model

AWK untuk mengkaji wacana-wacana yang berideologi gender dan dapat

dilakukan dalam pembelajaran. Hal inilah yang perlu dilakukan dalam penelitian

ini, dengan judul: “Penerapan Model Analisis Wacana Kritis dalam Kajian Cerpen

Berideologi Gender untuk Mengembangkan Kemampuan Analisis Wacana

Mahasiswa (Studi Kuasi-Eksperimen di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia FPBS UPI Angkatan 2003-2004).”

1.2 Pembatasan Masalah

Karya sastra terbagi atas beberapa jenis karangan. Ada tiga bentuk karya

sastra, yaitu puisi, prosa dan drama. Dalam penelitian ini sasaran penelitian adalah

karya sastra yang dibatasi dalam bentuk prosa fiksi jenis cerpen. Pengajuan cerpen

di sini karena pertimbangan pada nilai-nilai praktis cerpen. Nilai-nilai praktis

tersebut adalah sebagai berikut: (1) cerpen lebih ringkas dibandingkan dengan

novel atau drama dan cerpen bisa selesai dibaca dalam sekali duduk; (2) cerpen

relatif mudah dipahami; (3) cerpen mudah diperoleh, karena tersebar di berbagai

media,baik di surat kabar edisi Minggu, majalah, atau buku-buku antologi; (4)

cerpen cocok dengan minat masyarakat, karena tidak usah berlama-lama

menikmati cerita. Cerpen yang dibahas adalah cerpen berideologi gender dan

dibatasi hanya cerpen-cerpen pilihan Kompas, yang dimuat dalam antologi cerpen

1994-2000. Hal ini memudahkan pencarian bahan pembelajaran, karena


12

kualitasnya sudah terseleksi, di samping itu cerpen-cerpen Kompas telah diakui

oleh para kritikus sastra Indonesia sebagai indikator cerpen terbaik di Indonesia.

Sastrowardoyo (1992 : 1) mengatakan bahwa cerpen yang dimuat dalam Kompas

patut diketengahkan sebagai karya sastra, karena selain mempertimbangkan

temanya untuk pembaca umum, juga mempertimbangkan nilai estetikanya.

Bahkan Dewanto (1993 : 10) menyatakan bahwa dalam satu dasawarsa terakhir,

cerpen-cerpen terbaik di Indonesia muncul di Kompas bukan di majalah sastra.

Dari antologi cerpen Kompas tahun 1994-2000 yang tidak ditemukan berideologi

gender adalah antologi cerpen Kompas tahun 1997 dan 1999, sedangkan tahun

1998 Kompas tidak menerbitkan antologi.

Wacana yang akan dianalisis oleh AWK dibatasi hanya pada wacana

gender yang mengupas masalah adanya ketimpangan-ketimpangan gender,

ketidakadilan gender dan ketidaksetaraan gender.

1.3 Rumusan Masalah Penelitian

Sesuai dengan latar belakang yang dipaparkan sebelumnya, maka

permasalahan penelitian ini bisa dirumuskan sebagai berikut.

“Sejauh mana penerapan model AWK dapat mengembangkan kemampuan

mahasiswa dalam mengkaji cerpen yang berideologi gender.”

Dari rumusan di atas bisa diuraikan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1) apakah model AWK efektif untuk menganalisis cerpen berideologi gender

pada antologi-antologi cerpen pilihan Kompas?

2) apakah proses perencanaan penerapan model AWK dalam pengkajian cerpen

yang berideologi gender baik?


13

3) apakah proses pelaksanaan penerapan model AWK dalam pengkajian cerpen

yang berideologi gender efektif?

4) apakah hasil penerapan model AWK dapat mengembangkan kemampuan

mahasiswa dalam mengkaji cerpen yang berideologi gender?

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka tujuan penelitian

yang ingin dicapai adalah menganalisis dan menjelaskan:

1) keefektifan model AWK dalam menganalisis wacana yang berideologi gender

dalam antologi-antologi cerpen pilihan Kompas;

2) proses perencanaan penerapan model AWK dalam pengkajian cerpen yang

berideologi gender adalah baik;

3) keefektifan proses pelaksanaan penerapan model AWK dalam pengkajian

cerpen berideologi gender;

4) hasil penerapan model AWK untuk mengembangkan kemampuan mahasiswa

dalam mengkaji cerpen berideologi gender.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan ilmiah:

1) bagi para teoritis dan praktisi bahasa Indonesia, bahwa efektivitas model

AWK dapat digunakan sebagai landasan dalam mengembangkan mata kuliah

Tata Wacana. Model yang dirancang dalam penelitian ini dapat menambah

wawasan bagi dosen Tata Wacana untuk mengembangkan program

pembelajaran di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI.;


14

2) bagi mahasiswa, model AWK ini dapat mengembangkan kemampuan dalam

menganalisis cerpen berideologi gender.

1.6 Asumsi

Dengan diberikannya perlakuan model belajar AWK maka diasumsikan

bahwa:

1) kelompok mahasiswa yang diberi perlakuan model belajar AWK

menunjukkan peningkatan dalam menganalisis wacana kritis;

2) kelompok mahasiswa yang diberi perlakuan model belajar AWK

menunjukkan peningkatan dalam memahami wacana gender dalam sastra.

1.7 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

“Terdapat perbedaan yang signifikan antara pengembangan keterampilan

mahasiswa sebelum diberi perlakuan model AWK dalam kajian cerpen yang

berideologi gender dengan sesudah diberi perlakuan model AWK dalam kajian

cerpen berideologi gender.”

1.8 Variabel Penelitian

Penelitian ini mempelajari penerapan model belajar AWK dalam kajian

cerpen berideologi gender. Dengan demikian, variabel penelitian ini mengkaji dua

variabel, yaitu:

1) model belajar AWK sebagai variabel bebas (independent);

2) kemampuan mengkaji cerpen yang berideologi gender sebagai variabel terikat

dependent).
15

1. 9 Definisi Operasional

Untuk menghindari adanya salah pengertian tentang konsep-konsep yang

akan dikaji dalam penelitian ini, maka diperlukan penjelasan beberapa istilah

seperti yang tertuang di bawah ini.

1) Penerapan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perihal

mempraktikkan, dalam arti upaya untuk mempraktikkan model belajar AWK

dalam kajian cerpen berideologi gender.

2) Model yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pola atau cara untuk

mempraktikkan belajar AWK dalam mengkaji cerpen yang berideologi

gender.

3) Analisis Wacana Kritis (AWK) adalah analisis terhadap wacana-wacana

yang kritis, yang berbeda dengan studi bahasa dalam pengertian linguistik

tradisional. Yaitu hanya menggambarkan semata dari aspek kebahasaan tetapi

juga menghubungkan dengan konteks. AWK mengungkap gagasan yang

menonjolkan kekuasaan politik, dominasi, hegemoni, ideologi, kelas

masyarakat, gender, ras, diskriminasi, interes, reproduksi, institusi, struktur

sosial, dan peran sosial. AWK yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

AWK yang menganalisis tentang wacana cerpen berideologi gender, dalam

arti wacana cerpen yang mengungkap adanya ketimpangan gender,

ketidaksetaraan gender (gender inequality), dan dominasi budaya patriarki

yang membuat perempuan dimarginalisasi dan disubordinasi.

4) Kajian cerpen adalah telaah cerpen dilihat dari unsur eksternal (ekstrinsik)

yang berdasarkan sosial budaya kehidupan manusia.


16

5) Ideologi gender adalah sistem nilai atau gagasan yang dianut masyarakat

berikut proses-proses yang membedakan laki-laki dan perempuan berdasarkan

sifat-sifat yang dikonstruksi secara sosial, bukan berdasarkan biologis.

1.10 Paradigma Penelitian

Paradigma penelitian dapat digambarkan seperti diagram di bawah ini:

Bagan 1.1.
PARADIGMA PENELITIAN

- STUDI KULTURAL
- FEMINIS
- SASTRA FEMINISME
- CERPEN BERIDEOLOGI GENDER
- BAHASA
- AWK

MODEL AWK KAJIAN CERPEN


IDEOLOGI GENDER CERPEN BERIDEOLOGI GENDER

PROSES PEMBELAJARAN
MODEL AWK IDEOLOGI GENDER

PROSES PROSES HASIL


PERENCANAAN PELAKSANAAN

PRATES

PERLAKUAN

PASCATES

PENERAPAN MODEL AWK UNTUK


MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN
MAHASISWA DALAM MENGKAJI
CERPEN BERIDEOLOGI GENDER
124

BAB IV

ANALISIS WACANA KRITIS


DALAM KAJIAN CERPEN BERIDEOLOGI GENDER

Bab ini mengkaji ideologi gender pada cerpen-cerpen karya penulis

perempuan yang telah terpilih sebagai cerpen pilihan Kompas dan telah diterbitkan

oleh Penerbit Kompas dalam bentuk antologi . Dipilihnya penulis perempuan, karena

penulis perempuan akan lebih jelas dan transparan dalam menggambarkan persoalan

ideologi gender dan ketidakadilan gender. Banyak cerpen yang mengupas tentang

perempuan, tetapi kebanyakan tentang permasalahan kondisi sosial perempuan dan

kemiskinan. Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan membahas mengenai cerpen-

cerpen yang berideologi gender.

Adapun cerpen-cerpen itu adalah:

1) “Rambutnya Juminten”, 1994, Karya Ratna Indraswari Ibrahim.

2) “Mbok Nah 60 Tahun”, 1995, Karya Lea Pamungkas.

3) “Warung Pinggir Jalan”, 1996, Karya Lea Pamungkas.

4) “Ruang Belakang”, 2000, Karya Nenden Lilis Aisyah.

Analisis ideologi gender ini menggunakan pisau bedah AWK yang sudah

dibuat oleh peneliti. Langkah analisis sudah dibahas pada bab 3 sebagai berikut:

1) menentukan bentuk teks, teks itu mengungkap ideologi gender;

2) menentukan subjek penceritaan;

3) menentukan objek penceritaan;

4) mendeskripsikan bahasa yang digunakan untuk mengungkap makna;


125

5) menginterpretasi makna yang telah dibahas dalam deskripsi bahasa;

6) mengeksplanasi apa yang diungkap oleh cerpen-cerpen yang berideologi gender

tersebut.

Di bawah ini adalah cerpen-cerpen yang akan dianalisis dengan

menggunakan pisau bedah AWK.

4.1 Cerpen “Rambutnya Juminten”

Judul : “Rambutnya Juminten”

Pengarang : Ratna Indraswari Ibrahim

Antalogi : “Lampor”

Penerbit : Kompas, 1994

Ikhtisar

Cerpen ini menceritakan tokoh utama Juminten. Panuwun (suami Juminten)

menginginkan istrinya (Juminten) memanjangkan rambutnya. Padahal Juminten

menginginkan rambutnya dipotong pendek. Panuwun berkali-kali mengatakan bahwa

istri bersolek untuk suami dan hal itu dianggap prinsip. Akhirnya Juminten

memanjangkan rambutnya. Juminten meminta dibelikan obat penyubur rambut, tetapi

setiap kali Juminten memakai obat itu selalu merasa mual dan pusing. Jadi, Juminten

alergi terhadap obat itu, namun Juminten selalu memakainya karena ingin

menyenangkan suami (Panuwun menyenangi aroma obat rambut itu). Marni, sahabat

Juminten, menganggap tindakan Juminten itu bodoh, karena menyiksa diri sendiri

demi menyenangkan suami.


126

Ketika rambut Juminten sudah panjang banyak orang mengatakan Juminten

cantik, termasuk Nardi (anak majikan orang tua Juminten dan Panuwun). Bahkan

Nardi berani menggoda Juminten. Hal ini diketahui Panuwun, sehingga ia cemburu.

Juminten dilarang keluar rumah kalau tidak ada suami dan boleh keluar jika dengan

suami. Juminten termasuk salah satu anggota tim kasti di desanya dan harus

mengikuti latihan, berarti Panuwun tidak bisa mengurung Juminten selamanya.

Alasan Panuwun terjadinya kejadian ini diakibatkan oleh rambut panjang Juminten.

Oleh karena itu, Panuwun meminta Juminten untuk pergi ke salon Mbak Titik untuk

memotong rambutnya. Juminten menolak, ia sudah merasa sayang pada rambutnya.

Lagi-lagi Panuwun mengucapkan, “Ten kau kan dandan untukku?” (hal 79).

Akhirnya Juminten luluh dan pergi ke salon Mbak Titik. Tatkala ia melihat

rambutnya pendek di depan kaca salon dia mencucurkan air mata.

4.1.1 Profil Gender dan Identitas Gender

Wacana cerpen “Rambutnya Juminten” secara nyata merepresentasikan profil

atau sosok identitas gender laki-laki dan perempuan. Profil yang direpresentasikan

dalam cerpen ini adalah Juminten sebagai istri Panuwun. Panuwun (suami Juminten),

Marni, dan Nardi sebagai orang-orang yang tinggal di desa. Profil ini pun

mencerminkan status sosialnya sebagai masyarakat desa biasa.

Profil Juminten adalah perempuan cantik dengan rambut panjang. Profil

gender lainnya tidak digambarkan secara fisik oleh pengarang. Dari pemerian cerita,

Juminten digambarkan aktivitasnya sebagai ibu rumah tangga, yaitu bekerja di ruang

domestik sebagai istri. Selain itu ada aktivitas lainnya seperti ikut program PKK dan
127

kegiatan olahraga kasti di desanya. Penggambaran profil Juminten terlihat dalam

deskripsi bahasa sebagai berikut.

Suatu kali sewaktu nonton film layar tancap di desa bersama suaminya, banyak
orang bilang, “Ten, kok rambutmu sudah sepanjang itu. Tapi kamu memang
cantik dengan rambut sepanjang itu, seperti bintang film.” (hal 80)

Profil Panuwun (suami Juminten) digambarkan sebagai seorang buruh pabrik

di kota dalam arti bekerja di ruang publik. Panuwun adalah seorang suami yang

berkuasa, otoriter, dan kemauannya selalu harus dituruti. Sedangkan profil Juminten

dalam kehidupan sehari-harinya sangat penurut, selalu mengalah, dan selalu

mematuhi apa kata suaminya. Panuwun adalah sosok egois yang tidak mau mengerti

akan keinginan-keinginan istrinya. Prinsipnya istri adalah milik suami. Hal-hal yang

berhubungan dengan istri, suamilah yang menentukan. Profil Panuwun terlihat dalam

ucapannya terhadap Juminten dengan berkali-kali mengatakan bahwa “Kamu

bersolek untuk suami, iya kan?” (hal 78). “Pokoknya, saya tidak suka kamu keluar”

(hal 81).

Profil Marni digambarkan sebagai seorang perempuan yang telah

berpandangan modern. Marni beranggapan semua sikap Juminten sebagai seorang

istri adalah sikap yang menyiksa diri. Profil Marni digambarkan sebagai sebagai

perempuan yang rasional. Marni selalu berusaha menyadarkan Juminten untuk

bersikap rasional, dalam arti harus bisa menolak keinginan suami bila tidak cocok

dengan kemauannya. Menurut Marni keadaan yang terjadi pada Juminten dalam

hubungannya sebagai istri adalah tindakan represif. Tetapi pendirian Juminten tidak

tergoyahkan oleh nasihat-nasihat Marni, walaupun ia terlihat kecewa, Juminten tetap


128

berpendirian bahwa istri harus menurut pada suami dan menyenangkan suami. Hal ini

terlihat dari ucapan Marni pada Juminten.

“Ten, sudah kubilang berulang-ulang padamu. Suami cemburu itu bukan


pertanda cinta, tapi orang yang mau enaknya sendiri. Sudahlah saya tidak bisa
lagi menasehatimu. Mestinya kamu tidak terus menerus mengalah, tapi memberi
pengertian pada suami. Kalau aku dibegitukan sama suamiku, sudah lama aku
minta cerai. Kita bukan burung di dalam sangkar.” (hal 82)

Profil Nardi digambarkan sebagai seorang laki-laki, walaupun tinggal di desa,

dia hidup lumayan, karena orangtuanya punya pabrik, tetapi tidak digambarkan apa

pekerjaan Nardi. Panuwun dan bapak Juminten bekerja di Pabrik ayah Nardi. Profil

Nardi digambarkan sebagai laki-laki yang jatuh cinta pada Juminten karena Juminten

kelihatan cantik sekali dengan rambut panjangnya. Ketertarikan Nardi terhadap

Juminten diketahui Panuwun, sehingga terjadi konflik antara keduanya, yang

berakibat Juminten tidak boleh keluar rumah, kecuali dengan suami dan pada

akhirnya Juminten disuruh memotong rambutnya sependek mungkin, dengan tujuan

bisa menyelesaikan konflik dan kecemburuan terhadap istrinya.

4.1.2 Peran Gender dan Relasi Gender

Salah satu konsekuensi logis dari integrasi kultural adalah penerimaan peran-

peran gender yang sudah ditentukan secara turun temurun oleh masyarakat. Peran-

peran gender tradisional sangat bergantung pada fungsi biologis perempuan yang

berpusat pada ruang domestik yang tidak jarang diasosiasikan nonproduktif, jadi,

tidak ada ruang publik bagi gender tradisional. Peran-peran modern lebih

terinternalisasi pada fungsi perempuan yang terfokus di masyarakat atau publik yang
129

tidak jarang pula diasosiasikan produktif tanpa harus meninggalkan fungsi biologis

perempuan yang berpusat di ruang domestik

Kate Milles (1972), seorang penulis dari Amerika Serikat dalam bukunya

“Sexual Politics” mengungkap perhatiannya yang tertuju pada masalah-masalah

pemikiran-pemikiran tentang perempuan, terutama pertanyaan-pertanyaan mendasar

mengenai masalah ketertindasan perempuan.

Buku ini merupakan turunan dari disertasi doktornya di bidang sastra.

Analisisnya mencakup analisis tekstual dan kontekstual dari teori politik, sosiologi,

psikologi, dan sastra yang dijadikan landasan untuk menganalisis kekuasaan

patriarkal, dan relasi laki-laki dan perempuan (Gadis Arivia, 2003: 82).

Sebagai perempuan yang memilih integrasi kultural terhadap tradisi, Juminten

menerima peran gender tradisional yang sudah tersedia. Pada dasarnya, hidup dan

kehidupan Juminten berada di ruang domestik. Sebagai ibu rumah tangga, Juminten

harus tunduk kepada kemauan suami, sebagai kepala keluarga. Peran gender yang

dilaksanakan oleh Juminten ditentang oleh Marni selaku sahabatnya, yang

menganggap sikap Juminten sebagai menyiksa diri. Saran Marni sama sekali tidak

digubris oleh Juminten, yang penting dia bisa menyenangkan suami.

Selain peran gender perempuan, cerpen “Rambutnya Juminten”

merepresentasikan juga peran gender laki-laki. Peran gender laki-laki ini adalah peran

gender yang telah ada secara kultural. Peran gender laki-laki ini diterima oleh

perempuan sebagai seorang kepala rumah tangga. Panuwun (suami) bekerja sebagai

buruh pabrik, sekaligus sebagai kepala rumah tangga, ia sangat memegang tradisi
130

yang otoriter dan egois dalam menampilkan peran dalam rumah tangganya. Juminten

(istri) harus selalu menurut pada keinginannya. Sebaliknya Panuwun tidak pernah

peduli pada keinginan dan kemauan istrinya.

Peran gender laki-laki lainnya adalah Nardi, yang tidak banyak digambarkan

oleh pengarang, peran Nardi hanya sebagai peran tambahan. Nardi adalah lawan

konflik Panuwun karena Nardi (anak majikan Panuwun dan orang tua Juminten)

menyenangi Juminten dengan rambut panjangnya, yang menurut Nardi, Juminten

seperti Nawang Wulan (putri kahyangan). Karena ketertarikannya itu, Nardi berani

menggoda Juminten, bahkan selalu menghampiri dan mengajaknya mengobrol ketika

Juminten mencuci di pancuran. Keberaniaan Nardi menggoda Juminten menimbulkan

kecemburuan Panuwun, sehingga Panuwun melarang istrinya keluar rumah.

Keberterimaan, kegagalan dan keberhasilan peran gender laki-laki dan

perempuaan seperti diuraikan di atas ditentukan oleh relasi gender. Relasi gender

berhubungan dengan hal-hal yang menyangkut hubungan laki-laki dan perempuan

sebagai kelompok sosial. Relasi gender ini dijalankan melalui peran masing-masing

individu. Pasangan peran dasar dalam berinteraksi tersebut adalah pasangan peran

laki-laki dan perempuan, yang tidak hanya berdasarkan pada jenis kelamin, tetapi

juga pada perkembangan konstruksi sistem sosial budaya masyarakat. Relasi gender

ini bisa tidak imbang atau tidak adil, dan bisa juga imbang atau adil. Perempuan yang

menerima peran gender tradisional pada umumnya tidak mempersoalkan imbang

tidaknya atau adil tidaknya relasi gender. Sedangkan perempuan yang menerima

peran gender modern sangat mempertanyakan dan memperhitungkan imbang


131

tidaknya dan adil tidaknya relasi gender. Ketidakseimbangan atau ketidakadilan relasi

gender ini ditandai oleh dominasi laki-laki pada perempuan, pelabelan negatif

terhadap perempuan, dan kekerasan terhadap perempuan. Sedangkan keseimbangan

atau keadilan relasi gender antara lain ditandai oleh kemitrasejajaran laki-laki dan

perempuan.

Perempuan yang menerima peran gender tradisional seperti Juminten tidak

mempertanyakan dan memperhitungkan relasi gender. Dia pasrah dengan keadaannya

dan menerima peran gender tradisionalnya sebagai ibu rumah tangga yang bergerak

di ruang domestik, yaitu mengurus rumah tangga. Juminten menerima apa pun yang

menimpanya termasuk menerima nasib peran kultural seorang ibu rumah tangga yang

memang harus dijalaninya

Peran gender tradisional ditolak oleh Marni sebagai perempuan yang sudah

berpandangan modern. Marni selalu menasehati Juminten untuk menjadi perempuan

yang tidak terlalu menurut kepada suami, apabila tidak sesuai dengan keinginannya,

karena hal itu merupakan penyiksaan pada dirinya.

”Bilang pada Kang Panuwun, kau alergi dengan obat penyubur rambut ini. Ten,
saya kira kau tak perlu menyiksa diri, sekalipun agar dicintai suami” (hal 79).

Dalam kehidupan sehari-harinya, Juminten sangat penurut dan mengalah pada

keinginan suaminya. Sikap mengalah untuk menyenangkan hati suami yang

dilakukan Juminten tampak dalam kerelaan Juminten memakai obat penyubur

rambut, meskipun dia selalu mual setiap memakai obat itu, dia alergi terhadap obat

itu. Sikap ini menunjukkan kepatuhan terhadap peran gender tradisional.


132

4.1.3 Jenis Ideologi Gender dan Ketidakadilan Gender

Cerpen “Rambutnya Juminten” sebagai wacana sastra adalah bentuk dari

praktik ideologi gender atau pencerminan dari ideologi gender tertentu. Dari analisis

yang dilakukan, diketahui bahwa wacana cerpen “Rambutnya Juminten”

mencerminkan ideologi gender Ratna Indraswari Ibrahim sebagai seorang feminis.

Pengoperasian ideologi gender ini merupakan proses produksi dan reproduksi

hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara laki-laki dan perempuan melalui

representasi posisi dari berbagai faktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa yang

ditampilkan dalam cerpen “Rambutnya Juminten”. Posisi-posisi tersebut menentukan

bentuk teks atau wacana yang hadir di tengah pembaca. Posisi-posisi ini dalam arti

siapa yang menjadi “subjek” penceritaan dan siapa yang menjadi “objek” penceritaan,

dan bagaimana menentukan struktur teks, bagaimana makna diinterpretasikan dan

bagaimana eksplanasi diberlakukan dalam teks atau wacana cerpen itu secara

keseluruhan. Analisis ini akan menjelaskan bagaimana posisi-posisi ini ditampilkan

secara luas dan akan mengungkap bagaimana ideologi dan kepercayaan dominan

beroperasi dalam wacana cerpen tersebut (Fairclough, 1998; Mills, 1997).

Berdasarkan analisis data yang dilakukan, pengoperasian ideologi gender dalam

wacana cerpen “Rambutnya Juminten” adalah sebagai berikut.

Dalam wacana cerpen “Rambutnya Juminten” perempuan ditampilkan

sebagai “objek penceritaan” dan bukan “subjek penceritaan” karena itu sebagai objek

representasi, perempuan posisinya selalu didefinisikan, dijadikan bahan penceritaan,

dan tidak dapat menampilkan dirinya sendiri, seperti tampak pada cerpen berideologi
133

gender yang dikemukakan pengarang “Ratna Indraswari Ibrahim” bagaimana dia

mengungkap jenis-jenis ideologi gender dalam cerpen tersebut. Jenis ideologi gender

tersebut terdiri atas (1) Ideologi Patriarki; (2) Ideologi Familialisme; (3) Ideologi

Ibuisme; dan (4) Ideologi Umum, serta ketidakadilan gender. Di bawah ini akan

dikupas jenis ideologi mana yang ditampilkan dalam cerpen “Rambutnya Juminten”,

termasuk ketidakadilan gender.

4.1.3.1 Ideologi Patriarki

Dalam masyarakat kuno yang menganut paham patriarki, sang ayah

mempunyai hak mutlak atas anggota keluarganya. Sebagai kepala keluarga ia

memiliki bukan saja rumah, tanah, ternak, dan budak, tetapi juga istri, perempuan

simpanan, dan anak-anak (the Beauvoir, 2003: 121-123). Dalam masyarakat sekarang

juga masih ada hak kepemilikan laki-laki atas perempuan bahkan dalam masyarakat

patriarki masih terdapat ideologi yang menganggap bahwa perempuan sesudah

menikah menjadi milik suaminya, dan anak perempuan milik ayahnya, istri adalah

milik suami. Hal-hal yang berhubungan dengan istri, termasuk pribadi si istri,

suamilah yang menentukan. Hal ini terlihat pada pemerian dan dialog antara

Panuwun (suami) dengan Juminten (istri).

Sementara itu semua perempuan di desa ini memotong rambutnya semodel


Marni, Juminten yang tidak tahan terhadap aroma rambut itu ingin memotong
rambutnya semodel Marni (hal. 79).

Tapi apa kata suaminya.

“Saya tidak akan mengizinkan kamu memotong semodel Marni. Sebagai suami
saya kan tahu model apa yang pantas untuk istriku. Ten kau dandan untukku!”
(hal. 79).
134

Dalam hal ini Panuwun, suami Juminten, digambarkan sebagai seorang laki-

laki yang berwatak otoriter dan egois. Panuwun adalah laki-laki yang tidak mau

peduli akan keinginan-keinginan istrinya, istri adalah milik suami!

Peristiwa yang dialami Juminten sebagai objek penceritaan dalam cerpen ini

adalah menerima dan menurut atas keinginan suaminya untuk memanjangkan

rambutnya. Usaha memanjangkan rambut ini tidak sia-sia. Setelah rambutnya

panjang, bukan hanya Panuwun yang memuji dirinya cantik, orang-orang di

kampungnya pun memujinya.

Suatu kali sewaktu nonton layar tancap di desa bersama suaminya, banyak orang
bilang, “Ten, kok rambutnya sudah sepanjang itu. Tapi kamu memang cantik
dengan rambut sepanjang itu, seperti bintang film.” (hal. 80)
Pujian terhadap Juminten ternyata merupakan awal dari konflik dalam cerpen

ini. Konflik diawali oleh ketertarikan Nardi (anak majikan Panuwun dan ayah

Juminten) pada Juminten yang rambutnya panjang. Menurutnya, Juminten cantik

seperti Nawang Wulan. Karena ketertarikannya, Nardi berani menggoda Juminten,

bahkan selalu menghampiri dan mengajaknya mengobrol ketika Juminten sedang

mencuci di pancuran. Keberanian Nardi menggoda Juminten menimbulkan

kecemburuan Panuwun. Akhirnya, Panuwun melarang istrinya keluar rumah.

“Ten ada yang bilang setiap kamu mencuci di pancuran, Nardi pasti
mengajakmu ngomong, iya kan? Jadi, mulai sekarang kamu tidak perlu mencuci
di pancuran. Dan kalau tidak ada saya di rumah jangan keluyuran!”
Juminten sempat membantah suaminya, “Kang, saya bosen kalau di rumah
terus. Apalagi sebentar lagi saya akan latihan kasti.”
“Pokoknya saya tidak suka kamu keluar” (hal.81).

Tindakan Panuwun ini menunjukkan bahwa Juminten itu adalah

kekuasaannya. Juminten menurut walaupun dirinya sangat tertekan. Terlihat di sini


135

bagaimana kokohnya pendirian Panuwun dengan budaya patriarkinya. Kata-kata

pokoknya sangat menentukan bagi Panuwun dalam hal melarang istrinya supaya

menurut. Di satu pihak Juminten tidak setuju akan tindakan Panuwun, di lain pihak

dia takut pada Panuwun. Ketidaksetujuan Juminten terhadap tindakan Panuwun

tampak pada sikap Juminten ketika Marni memprotes tindakan Juminten sebagai

sikap yang keterlaluan karena mengorbankan diri sendiri. Juminten bergeming

terhadap ucapan Marni. Ketidaksetujuan ini bercampur dengan ketakutan dalam diri

Juminten sehingga menimbulkan konflik internal yang tampak ketika Marni

mengajak latihan kasti. Tanggapan Juminten sebagai berikut.

“Marni, saya ingin juga ikut latihan, tapi kalau saya latihan , khawatir Nardi
ikut menonton. Saya takut kalau Kang Panuwun cemburu, dan membunuh
Nardi.”
“Ten, sudah kubilang berulang-ulang padamu. Suami cemburu itu bukan
pertanda cinta, tapi orang yang mau enaknya sendiri. Sudahlah saya tidak bisa
lagi menasehatimu. Mestinya kan tidak terus menerus mengalah, tapi memberi
pengertian pada suami. Kalau aku dibegitukan sama suamiku, sudah lama aku
minta cerai. Kita bukan burung dalam sangkar.”
Juminten merasa omongan Marni itu benar. Tapi Marni sama sekali tidak
mengerti. Dia tak ingin suaminya masuk penjara. (hal.82)

Dalam menyelesaikan konflik dalam dirinya, Juminten mengambil keputusan

untuk tetap menuruti kehendak suaminya. Juminten menyuruh Marni untuk mencari

penggantinya dalam latihan kasti.

“Ni, seandainya Kang Panuwun tidak mengizinkan saya bermain kasti lagi,
tolong carikan penggantiku saja.”
“Bodoh kamu, kata Marni teriak. (hal.82)

Pada hakekatnya manusia itu ingin bebas, begitu pula dengan Juminten,

sebagai manusia pada umumnya dan sebagai perempuan pada khususnya ia pun
136

menginginkan kebebasan. Namun kehendakbebasan ini sering terhalang oleh norma-

norma dan konstruksi sistem sosial budaya masyarakat yang melingkarinya, yang

telah ditentukan sejak awal. Jadi, ideologi patriarki menekankan dominasi laki-laki

cenderung menjadikan perempuan inferior. Hal ini tampak dalam relasi laki-laki dan

perempuan dalam kehidupan keluarga. Perempuan selalu “tersubordinasi.”

4.1.3.2 Ideologi Familialisme (Kekeluargaan)

Ideologi Familialisme adalah ideologi yang mengonstruksi perempuan untuk

berperan di dalam rumah tangga sebagai ibu rumah tangga yang baik dan ibu yang

baik. Sebagai istri yang baik perempuan harus dapat mendampingi suami untuk

mencapai cita-cita kehidupannya. Ia harus pandai menjaga diri, baik dalam bersikap

dan bertingkah laku, budaya familialisme ini sudah ditanamkan sejak dini pada

perempuan.

Sebagai seorang perempuan dan sebagai istri, Juminten selalu berusaha

untuk menyenangkan suami, karena itu dia selalu menurut apa kata suami, dan

walaupun dia tidak setuju akan kehendak suami ia tetap mengalah demi

menyenangkan suami. Juminten tokoh utama dalam cerpen ini adalah perempuan

yang mewakili sosok kehidupan masyarakat yang berlaku umum, yaitu berwatak

penurut, mengalah, dan pasif. Juminten adalah wakil dari stereotip perempuan dalam

masyarakat yang dikehendaki masyarakat patriarkis. Dalam budaya Sunda ada

pepatah “awewe mah dulang tinande” artinya “perempuan itu harus pasrah dan

menerima’’, apa lagi jika hal itu sudah berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan

dengan kepentingan laki-laki. Sikap mengalah untuk menyenangkan suami yang


137

dilakukan Juminten, tampak pada kerelaannya memakai obat penyubur rambut,

walaupun dia selalu mual setiap kali memakai obat itu, bahkan dia alergi terhadap

obat itu. Karena Panuwun menyukai aroma obat itu bila sudah melekat pada rambut

Juminten, maka Juminten selalu tidak lupa meminyaki rambutnya dengan obat itu,

terutama menjelang kepulangan Panuwun dari tempat kerjanya.

Sore ini waktunya Panuwun pulang ke rumah. Sejak tadi, dia sudah memasak
masakan kesukaan Panuwun. Dan meminyaki rambutnya. (hal. 79).

Meminyaki rambut dengan obat penyubur rambut bagi Juminten sama artinya
dengan memasak makanan kesukaan suaminya. Apa pun yang disukai suaminya,
pasti akan dipenuhi dan dilakukan. Bahkan... kalau saja dia tahan dengan bau
obat rambut itu... mungkin seumur-umur hidupnya, dia akan memakai obat
rambut itu. (hal 80).

Pandangan gender terlihat pula pada kepatuhan Juminten untuk tidak keluar

rumah karena dilarang suaminya. Istri yang baik harus mendukung suami dalam

segala hal. Konsep normatif ini merupakan salah satu bentuk ideologi familialisme.

Ideologi familialisme yang digambarkan dalam cerpen ”Rambutnya Juminten”

mengonstruksi perempuan berperan di dalam rumah tangga, menurut, mengalah, dan

selalu harus bisa menyenangkan suami.

Juminten sering bertanya pada dirinya sendiri, apakah dia istri yang bahagia?

Sebab setiap dua minggu sekali Panuwun yang bekerja sebagai buruh pabrik di kota,

kalau pulang ke rumah tak lupa membawa oleh-oleh kesukaannya. Dan kali ini

Panuwun membawa obat penyubur rambut, yang aromanya kalau sudah melekat di

rambutnya disukai Panuwun.

Seusai meminyaki rambutnya, Marni bertandang kerumahnya.


138

“Ni, setiap pakai obat penyubur rambut ini, saya kok mual dan pusing,” kata
Juminten.
“Itu berarti kamu alergi. Bilang pada Kang Panuwun, kau alergi dengan obat
penyubur rambut. Ten, saya kira kau tak perlu menyiksa diri, sekalipun agar
dicintai suami.” (hal 79).

Konflik internal dalam diri Juminten tentang kebahagiaan rumah tangganya

dengan Panuwun selalu menimbulkan pertanyaan pada dirinya sendiri. Panuwun baik

dan perhatian terlihat dari pemerian yang menyatakan bahwa Panuwun selalu

membawa oleh-oleh kue kesenangannya. Suatu saat, Panuwun membawa oleh-oleh

obat penyubur rambut. Juminten sebetulnya alergi terhadap obat rambut itu, tapi dia

tidak bisa berbuat apa-apa, karena Panuwun menyukai aroma obat itu. Intinya dia

ingin selalu menyenangkan suami, walaupun dia menyiksa dirinya sendiri. Saran

Marni supaya tidak menyiksa diri, sekalipun agar dicintai suami tidak membuat

Juminten berubah sikap, padahal menurut Marni sikap Juminten yang selalu ingin

menyenangkan Panuwun adalah sikap yang keterlaluan, karena sudah menyiksa diri,

sikap inilah yang membuat Juminten termarginalisasi.

4.1.3.3 Ideologi Ibuisme

Ideologi ibuisme adalah ideologi yang merupakan kombinasi nilai borjuis

Belanda dan nilai priyayi di Indonesia yang menyetujui tindakan apa pun yang

diambil seorang perempuan dalam keluarga, kelompok, kelas sosial, atau pemisahan

tanpa mengharapkan kekuasaan atau prestise sebagai imbalan. Onghokham (1991)

mengemukakan bahwa nilai kecil borjuis Belanda ini merupakan adopsi dari moral

Victorian yang diciptakan untuk mengontrol kualitis bangsawan Inggris pada masa

pemerintahan Ratu Victoria. Moral ini mementingkan pertahanan diri dari nafsu
139

seksual dan larangan terhadap Ratu dengan seorang suami dan anak-anak dinilai

sebagai model keluarga ideal. Nilai ini berkembang sampai ke seluruh Eropa abad ke-

19 yang kemudian dibawa ke negara-negara jajahan di antaranya sampai ke

Indonesia. Di Indonesia moral ini bertemu dengan moral priyayi yang dipertahankan

untuk mengatur kehidupan perempuan. Lebih lanjut Mies (1986) dan Jayadiningrat

(1987) menyatakan bahwa selama Orde Baru ideologi ibuisme negara dominan sekali

di Indonesia. Ideologi ibuisme ini mudah menjadi bagian dari realitas budaya

masyarakat sekaligus juga sebagai budaya sesuai negara. Konsep “kodrat” digunakan

oleh pemerintah Orde Baru untuk mengonstruksi ideologi “ibuisme”. Sementara

konsep perempuan sebagai istri dan ibu dimanipulasi untuk membatasi ruang gerak

perempuan

Dari pemerian cerita tergambar tokoh Juminten aktivitas sehari-harinya adalah

memasak, mencuci, dan mengurus urusan pekerjaan domestik sebagai ibu rumah

tangga. Selain pemerian tersebut, dari percakapan dialog-monolog tergambar

aktivitas Juminten lainnya, yaitu ikut kegiatan PKK di desanya, sebagai anggota tim

kasti. Kegiatan satu-satunya bagi Juminten di sektor publik ini, adalah bias gender,

karena pada umumnya, seperti yang diamati dalam kehidupan masyarakat, kegiatan

PKK cenderung melanggengkan sistem nilai patriarkis yang termanifestasi dalam

Panca Dharma Wanita (5 dasar hak dan kewajiban wanita). Rumusan Panca Dharma

Wanita ini mengadopsi nilai tradisi agama dan nilai kecil borjuis Belanda yang

membatasi peran dan tugas perempuan, yaitu (1) mendampingi suami; (2)

melahirkan, merawat, dan membesarkan anak; (3) mengatur ekonomi rumah tangga;
140

(4) pencari nafkah tambahan; dan (5) sebagai anggota masyarakat, terutama sebagai

anggota organisasi perempuan yang bergerak dalam badan-badan sosial. Dengan

demikian, peran dan posisi perempuan yang hanya bergerak di sekitar domestik

tersubordinasi di bawah bayang-bayang kekuasaan suami atau laki-laki. Masalah

perempuan dianggap masalah yang khas, karena itu yang laki-laki tak perlu

bertanggung jawab. Padahal sumber penindasan dan ketidakadilan terhadap

perempuan bersumber dari budaya patriarkis.

Sebagai istri yang baik, perempuan harus mampu menjadi ibu rumah tangga

yang baik pula. Istrilah “ibu rumah tangga” bahkan “ratu rumah tangga” yang

melekat pada istri, yang lebih berkonotasi pengabdian dan pelayanan. Seperti apa

yang dikatakan Panuwun pada Juminten tentang perilaku dandan dan bersolek.

Berkali-kali Penuwun mengucapkan,

“Kamu bersolek untuk suami, iya kan?” (hal. 78)


“Ten, saya kira kau bersolek untuk suami!” (hal. 84)

Sikap Panuwun di atas merepresentasikan pandangan gender yang

memposisikan laki-laki yang berkuasa atas istri. Adapun keputusan yang diambil

Juminten tampak sangat dipengaruhi oleh perbedaan gender (stereotip) dan peran

gender yang diembannya seperti yang berlaku di masyarakat. Akibat stereotipnya

yang penurut, mengalah, pasrah, dan akibat dari perannya yang “ibu rumah tangga”

dan “pelayan suami,” yang posisinya “subordinat” dan tidak punya kekuatan,

Juminten tidak berdaya di depan suaminya, yang dikuatkan posisinya oleh kehendak
141

dan nilai-nilai masyarakat. Jadi, jelas cerpen “Rambutnya Juminten,”

merepresentasikan ideologi gender. Juminten terdiskriminasi.

4.1.3.4 Ideologi Umum

Ideologi umum adalah ideologi yang menekankan nilai pingitan (seclusion)

perempuan, pengucilan perempuan dari bidang-bidang tertentu (exclusion), dan

pengutamaan feminitas perempuan. Dikotomi laki-laki dan perempuan yang hierarkis

menyebabkan pembagian kerja secara seksual, yaitu menempatkan laki-laki di sektor

publik dan perempuan di sektor domestik. Pembagian kerja ini sudah disosialisasikan

dan diinternalisasikan dari generasi ke generasi. Hal ini memperkuat kenyataan

bahwa tempat yang ideal bagi perempuan adalah di sektor domestik.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ideologi umum yang

direpresentasikan dalam cerpen “Rambutnya Juminten” menunjukkan betapa

berkuasanya Panuwun untuk melarang Juminten tidak boleh keluar rumah tanpa

seizin suami dan tanpa didampingi suami.

“... Dan kalau tidak ada saya di rumah jangan kluyuran!”


“Kang, saya bosen kalau di rumah terus. Apalagi sebentar lagi saya akan latihan
kasti.”
“Pokoknya saya tidak suka kamu keluar!” (hal. 81)

Tindakan Panuwun mengucilkan istrinya ini didengar oleh masyarakat

desanya secara luas, yang memunculkan dua kubu pendapat di desanya, dalam arti

ada yang pro dan ada yang kontra, yang pro menilai “tindakan Panuwun benar,

karena suami berhak menyuruh istrinya diam di rumah” sedangkan yang kontra

menganggap tindakan Panuwun sebagai tindakan yang kejam.


142

“Panuwun itu suami yang kejam. Bayangkan di zaman modern seperti ini, di
mana kaum perempuan perlu banyak keluar untuk belajar di PKK, di pengajian,
dan ikut olah raga, bisa-bisanya dia mengurung Juminten.” (hal. 81)

Dalam cerpen ini diceritakan mengenai hal-hal tidak enak yang dirasakan

Juminten dalam memenuhi keinginan suami. Hal-hal tidak enak tersebut ditahan

Juminten sebenarnya semata-mata demi memenuhi norma masyarakat. Norma

masyarakat yang dimaksud adalah norma bahwa istri harus mematuhi suami dan

norma bahwa istri adalah pelayan suami. Contoh lain, dalam masalah latihan kasti,

Juminten mengambil keputusan dengan menyuruh Marni mencari pengganti lain.

“Ni, seandainya Kang Panuwun tidak mengizinkan saya bermain kasti lagi,
tolong carikan pengganti saja.” (hal. 82)

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ideologi umum yang

direpresentasikan dalam cerpen “Rambutnya Juminten” menekankan pengucilan

perempuan dari bidang-bidang tertentu, yaitu dengan konsep pembagian kerja secara

seksual, yaitu ruang publik merupakan dunia laki-laki, dan ruang domestik

merupakan dunia perempuan. Juminten “terepresi” yang diakibatkan ketidakadilan

gender.

4.2 Cerpen “Mbok Nah 60 Tahun”

Judul : “Mbok Nah 60 Tahun”

Pengarang : Lea Pamungkas

Antologi : “Laki-laki yang Kawin dengan Peri”

Penerbit : Kompas, 1995


143

Ikhtisar

Cerpen ini bercerita tentang seorang perempuan bernama Mbok Nah yang

berumur 60 tahun. Ia mempunyai suami bernama Marno yang berumur lebih muda 20

tahun. Pekerjaan sehari-hari Mbok Nah berjualan jamu. Mbok Nah mempunyai

langganan yang banyak. Salah seorang langganannya adalah Meri. Meri adalah

seorang waria, nama sebenarnya Rukman. Meri tinggal di depan rumah Mbok Nah.

Dia indekos di rumah itu, pekerjaannya pagi-pagi mengamen dan malam hari bekerja

sebagai penjaja seks di sebuah taman kota. Mbok Nah dan Meri cukup akrab, karena

kalau Mbok Nah menjual jamu pada Meri, sering tertahan di kamar Meri, karena

Meri sering bercerita tentang pengalaman-pengalamannya.

Akhir-akhir ini Mbok Nah menghadapi masalah dari kelakuan suaminya.

Marno sering berangkat menarik becak lebih siang, padahal sudah berdandan sejak

pagi. Setiap Mbok Nah selesai mengantar jamu pada langganannya dan hendak

mengantar jamu ke kamar Meri, Mbok Nah selalu melihat suaminya itu tersenyum

malu-malu ketika Meri keluar dari kamarnya.

Pada suatu malam Mbok Nah dan suaminya kaget mendengar ketukan pintu,

ternyata Meri. Ia muntah-muntah dan minta tolong Mbok Nah dan Marno untuk

merawatnya. Ternyata sakit Meri tidak seringan yang diduga Mbok Nah dan Marno,

sehingga akhirnya Meri tinggal di rumah Mbok Nah.

Setelah sembuh Meri tetap tinggal di rumah Mbok Nah. Ia banyak membantu

Mbok Nah, segala keperluan Mbok Nah dibereskan, termasuk jamu-jamu yang akan

dijajakan. Mbok Nah dengan tulus membiarkan Meri tinggal di rumahnya, ia merasa
144

begitu saja menemukan anak yang tak pernah singgah di rahimnya. Mbok Nah tak

bereaksi pada omongan-omongan tetangganya tentang Meri dan Marno, malahan ada

yang terus terang bahwa Meri adalah gendakannya Marno.

Pada suatu hari, ketika Mbok Nah pulang menjaja jamu, terdengar dari kamar

belakang suara Meri dan Marno yang mengingatkannya pada malam-malam

kebersamaannya dengan Marno. Walaupun marah, Mbok Nah bersikap seolah-olah

tak ada apa-apa. Besok malamnya Meri meminta maaf, tapi Mbok Nah tak

menanggapinya dan bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa. Esoknya lagi ketika

Mbok Nah bangun, dia melihat Marno meringkuk di bawah ketiak Meri yang sedang

tidur pulas di kamar belakang. Mbok Nah berkata, “Bocah-bocah turu kabeh.”

4.2.1 Profil Gender dan Identitas Gender

Profil yang direpresentasikan dalam cerpen ini adalah Mbok Nah sebagai

tokoh utama. Marno (suami Mbok Nah) merupakan tokoh tambahan. Meri, Jeng Sri,

Zus Marni, Mbakyu Surti, Mbakyu Menuk, dan Nak Wasti adalah para tetangga dan

pelanggan jamu Mbok Nah. Dari pemerian wacana cerpen diketahui bahwa Mbok

Nah yang berumur 60 tahun ini adalah orang yang berwatak tulus, lembut, telaten,

sabar, luwes, dan selalu berprasangka baik terhadap orang lain. Dilihat dari sudut

gender, sifat-sifat seperti ini adalah sifat-sifat perempuan ideal yang dikehendaki

budaya patriarkis. Sifat-sifat ini merupakan representasi stereotip gender, yang

menurut Sebatu (1994: 24) merupakan hasil ciptaan budaya masyarakat. Dengan

demikian, watak tokoh utama (Mbok Nah) merepresentasikan ideologi gender.


145

Profil Marno (suami Mbok Nah) tidak digambarkan secara menyeluruh,

kecuali Marno itu seorang yang mempunyai sifat kekanak-kanakan, sifat ini

mengasosiasikan pada sifat-sifat manja, lemah, dan bergantung pada orang lain. Sifat

ini bertolak belakang dengan stereotip gender. Dengan demikian sifat Marno tidak

merepresentasikan ideologi gender.

Profil Meri dalam cerpen ini digambarkan sebagai seorang waria. Meri

berkarakter genit, manja, cerewet, gesit, kuat, terampil, dan rajin. Sifat-sifat Meri

tersebut merupakan perpaduan dari sifat maskulin dan feminin. Ia hadir sebagai sosok

androgini. Istilah ini digunakan oleh ahli psikoanalisis Carl Gustave Jung (Sebatu,

1994: 13) yang menyatakan bahwa androgini ada dalam diri manusia menyatu antara

unsur feminin dan maskulin.

Jung telah membuktikan secara ilmiah tentang sifat androgenitas manusia

tersebut baik secara biologis maupun secara psikologis. Di samping itu mitos dan

perdukunan juga meyakini sifat androgenitas, misalnya dalam budaya Cina diyakini

bahwa manusia terdiri dari unsur yin (maskulin) dan yang (feminin). Dalam sejarah

Indonesia zaman lampau pun dikenal simbol lingga (jantan) dan yoni (feminin),

simbol dari dua unsur ini menyatu dalam diri manusia (Sebatu, 1994:18).

Profil Meri dalam cerpen “Mbok Nah 60 Tahun” ditampilkan pengarang

untuk menyatakan bahwa manusia mempunyai sifat androgini. Kenormalan sifat

androgenitas Meri harus dikaji, karena sifat androgenitas ini memiliki batas-batas

kenormalan. Menurut Sebatu (1994: 116), perempuan pada dasarnya memiliki sifat

maskulin dalam taraf rendah. Orang yang androgen memiliki keseimbangan yang
146

tinggi dari kedua ciri feminin dan maskulin itu. Adapun tokoh Meri yang waria (nama

sebenarnya Rukman) kadar kefemininannya terlalu tinggi, sehingga masyarakat

menganggapnya tidak normal.

Sebatu (1994: 116) menyatakan bahwa jika setiap orang menyadari adanya

kedua unsur tersebut, yaitu maskulin dan feminin dalam dirinya, maka mereka akan

tumbuh menjadi pribadi yang seimbang. Sayangnya ideologi gender telah membatasi

adanya perempuan dan laki-laki dengan salah satu unsur saja yaitu feminin dan

maskulin.

Dilihat dari sudut ideologi gender, sifat profil Meri tidak merepresentasikan

ideologi gender (dalam hal ini stereotip gender), karena dia adalah laki-laki yang

tidak memenuhi kriteria laki-laki yang dituntut masyarakat dengan pandangan

gender.

Adapun profil lain yang digambarkan pengarang dengan tokoh tambahan

adalah Jeng Sri, Mbakyu Surti, Zus Marni, Nak Wasti dan Mbakyu Menuk (tetangga

dan pelanggan jamu Mbok Nah).

4.2.2 Peran Gender dan Relasi Gender

Dari pemerian cerpen ini tergambar bahwa peran tokoh utama Mbok Nah

adalah peran ganda. Jadi, selain mengurus rumah tangga dia juga bekerja di ruang

publik, yaitu berjualan jamu. Sebagai perempuan yang memilih integritas kultural

terhadap tradisi, Mbok Nah menerima peran ganda ini dengan tulus. Dia menerima

kondisi ini sebagai tugas seorang perempuan berperan ganda, dia tetap bertugas

melayani suami dengan baik, apalagi mengingat perbedaan umur yang jauh berbeda,
147

yaitu Mbok Nah 60 tahun dan suaminya Marno berumur 20 tahun di bawah Mbok

Nah.

Pekerjaan Marno adalah menarik becak, perwatakannya tidak banyak

digambarkan oleh pengarang, kecuali penggambaran bahwa dia kekanak-kanakan.

Perwatakan ini muncul bisa saja karena dia mempunyai istri yang lebih tua, jadi, dia

manja, lemah, dan ketergantungan kepada orang lain, yaitu kepada Mbok Nah. Dari

pemerian cerita dalam cerpen “Mbok Nah 60 Tahun” ini, terlihat bahwa peran Marno

tidak menunjukkan peran gender. Pengarang tidak menggambarkan bagaimana relasi

peran suami-istri antara Marno dan Mbok Nah. Semua penekanan cerita pada tokoh

utama, yaitu Mbok Nah, yang menyadari tentang kondisi ketuaannya sebagai

perempuan. Dalam tradisi Jawa perempuan harus bisa mengurus diri, cantik, untuk

tetap menarik dalam relasi dengan lawan jenisnya. Walaupun pengarang tidak

menyebut lokasi penceritaan, tetapi dari penggunaan bahasa yang sederhana, struktur

kalimat yang tidak kompleks, kosakata yang digunakan adalah kosakata sehari-hari

yang bermakna denotatif, termasuk di dalamnya memasukkan kata-kata Jawa, seperti

kata pokoke, sampean, turu, tentrem tur besuki, dan lain-lain, menunjukkan bahwa

latar tempat adalah daerah Jawa.

Peran lain yang diceritakan dalam cerpen ini adalah peran Meri (nama asli

Rukman), yaitu seorang waria. Pekerjaan Meri, kalau siang hari mengamen, dan

kalau malam hari menjadi penjaja seks di taman kota. Dia adalah pelanggan baru

Mbok Nah. Anehnya ia selalu memesan jamu-jamu khusus perempuan, yaitu sari

rapet dan galian singset, tetapi dia juga memesan jamu kuat majun. Mbok Nah tidak
148

mempermasalahkan mengapa Meri memesan jamu seperti itu dan Mbok Nah juga

tidak pernah memasalahkan apakah Meri itu perempuan atau laki-laki. Mbok Nah

tidak mempedulikan gunjingan-gunjingan tetangga tentang Meri, dan Mbok Nah

tidak menaruh curiga, ketika setiap hari mengetuk pintu kamar Meri (Meri kos di

depan rumah Mbok Nah) untuk mengantar jamu, suaminya yang masih duduk-duduk

di amben depan rumah dan belum berangkat menarik becak, selalu tersenyum malu-

malu. Dalam dua minggu ini Mbok Nah bingung memikirkan tingkah laku suaminya

yang selalu menarik becak lebih siang, padahal dia sudah dandan dari sejak pagi.

Mbok Nah selalu menegur suaminya itu dengan lembut, namun suaminya selalu

mengulur waktu. Sikap Mbok Nah yang sabar, lembut, telaten, dan pasrah pada

suaminya menunjukkan bahwa Mbok Nah adalah figur perempuan Jawa dengan

budaya tradisionalnya. Di samping itu dia menyadari dirinya sebagai seorang

perempuan tua yang tidak menarik lagi, keriput dan legam.

Belakangan ini Mbok Nah memergoki perselingkuhan suaminya dengan Meri

secara terang-terangan. Mbok Nah terluka, namun perasaan itu tidak diungkapkannya

dan tidak ditunjukkannya. Ia bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa dan tak mau

membicarakan persoalan atau kemarahan terbuka. Dari latar belakang cerpen yang

berkultur Jawa bisa diketahui bahwa sikap Mbok Nah di atas dipengaruhi oleh latar

belakang sosial budayanya sebagai seorang Jawa. Dalam kultur Jawa ada stereotip

yang menabukan perempuan mengemukakan perasaan secara terang-terangan. Selain

itu di depan suami, perempuan dituntut selalu bersikap manis, tak peduli sedih atau

gembira yang tengah dirasakannya. Hal ini dilakukan demi menjaga perasaan suami.
149

Dalam menyikapi perselingkuhan suaminya, Mbok Nah tidak menyalahkan

suaminya yang jelas-jelas bersalah, malah ia mencari kesalahan pada dirinya. Ia

berkesimpulan bahwa ketuaan dirinyalah yang menyebabkan perselingkuhan

semuanya. Sementara perempuan dituntut untuk selalu menyenangkan suami dengan

selalu tampil cantik. Tuntutan tersebut lahir dari bentukan sosial budaya. Dalam hal

ini Mbok Nah tak memiliki jalan lain kecuali menerima perselingkuhan itu, agar ia

tak berkonflik dengan perasaannya dan dapat memaafkan perselingkuhan tersebut.

Sikap nrimo dijadikan jalan untuk menyelesaikan masalah. Sikap nrimo juga

dipengaruhi oleh kultur Jawa. Kultur Jawa memosisikan perempuan serba nrimo,

tabah, sabar, dan mau menderita, yang luluh dalam hukum-hukum sosial yang

berlaku di masyarakat, yang pada dasarnya tidak adil terhadap perempuan.

4.2.3 Jenis Ideologi Gender dan Ketidakadilan Gender

Dalam cerpen “Mbok Nah 60 Tahun” ini akan dibahas mengenai posisi dari

berbagai aktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa. Posisi-posisi ini menentukan

bentuk teks atau wacana yang hadir di tengah pembaca. Posisi-posisi inilah yang

menentukan siapa yang menjadi “subjek” penceritaan dan siapa yang menjadi

“objek” penceritaan, dan bagaimana menentukan struktur teks, bagaimana makna

diinterpretasikan, dan bagaimana eksplanasi diberlakukan dalam teks atau wacana

cerpen secara keseluruhan. Berdasarkan analisis (Fairclough dan Mills) akan

dijelaskan bagaimana posisi-posisi itu ditampilkan secara luas dan akan menyingkapi

bagaimana ideologi dan kepercayaan dominan beroperasi dalam kajian cerpen


150

tersebut. Berdasarkan analisis data yang dilakukan, ideologi gender dalam cerpen

“Mbok Nah 60 Tahun” digambarkan sebagai tokoh utama.

Dalam kajian cerpen ini “Mbok Nah” ditampilkan sebagai objek penceritaan.

Mbok Nah sebagai perempuan posisinya selalu didefinisikan, dijadikan bahan

penceritaan dan tidak bisa menampilkan bahan penceritaan dan tidak bisa

menampilkan dirinya sendiri. Hal ini tampak pada ideologi gender yang

dikemukakan pengarang Lea Pamungkas yang feminis, bagaimana dia mengungkap

jenis-jenis ideologi gender dan ketidakadilan gender dalam cerpen ini.

4.2.3.1 Ideologi Patriarki

Mbok Nah adalah figur seorang perempuan yang diketahui berwatak tulus,

lembut, sabar, telaten, tak pernah berprasangka buruk terhadap orang lain, dan tak

suka menilai orang lain. Dilihat dari sudut gender, sifat-sifat seperti ini adalah sifat-

sifat perempuan ideal, sesuai dengan yang dikehendaki oleh masyarakat patriarkis.

Sifat-sifat tersebut merupakan representasi dan stereotip perempuan. Stereotip

tersebut merupakan hasil ciptaan budaya masyarakat. Dengan demikian, tokoh Mbok

Nah ini merepresenasikan ideologi gender sebagai objek penceritaan.

Tokoh subjek Marno dalam cerpen ini tidak digambarkan secara jelas. Marno

suami Mbok Nah yang lebih muda 20 tahun dari Mbok Nah tidak digambarkan secara

utuh. Gambaran yang dikemukakan pengarang sebatas figur suami yang seenaknya

dewek, dalam arti sama sekali tidak menaruh perhatian pada istrinya. Sikap kekanak-

kanakan Marno mungkin saja disebabkan karena dia mempunyai istri lebih tua.

Karena itu, Mbok Nah tidak berani menegur atau mengemukakan perasaannya
151

kepada suaminya. Dari pemerian cerita dalam cerpen ini bisa diinterpretasi bahwa

tidak ada komunikasi yang baik antara Mbok Nah dan suaminya. Ketidakpedulian

Marno kepada istrinya (walaupun tidak diungkap oleh pengarang) menunjukkan

bahwa Marni berkuasa atas Mbok Nah. Lebih jelasnya Marno berposisi superior dan

Mbok Nah berposisi inferior, padahal sifat Marno itu tidak mempresentasikan

ideologi gender, jadi dia berkuasa secara psikis atas Mbok Nah, bukan secara

biologis. Dalam dua minggu ini Mbok Nah lagi bingung melihat gelagat Mas Marno

suaminya.

Yang bikin bingung, ya ini, Mas Marno, Si Kuku Bimanya. Hati Mbok Nah kebat
kebit. Mas Marno tersayang kini sering berangkat menarik becak lebih siang.
Padahal pagi-pagi dia sudah dandan. Rambutnya sudah lengket berkilat oleh
pomade, celana pendek jins juga sudah dipakainya. Becak pun sudah di pinggir
jalan. Tapi Marno Cuma duduk-duduk di amben depan rumah. Wajahnya jernih
kekanakan menatap ke depan.
“Lho ndak berangkat toh Mas... nanti ndak bisa ngantar anak-anak yang mau
sekolah.” lembut Mbok Nah menyapa. Kopi dan goreng pisang yang
disuguhkannya sudah ludas. “Nanti sebentar lagi Nah.” Dan itu Jawaban Marno
setiap kali, bahkan walau tak ditanya Mbok Nah. Ya sudah, Mbok Nah tak bisa
menunggu sampai Marno pergi. (hal 96-97).

Kebingungan Mbok Nah akibat sikap suaminya ini memunculkan konflik

dalam cerpen ini.

Mbok Nah tak menaruh curiga, ketika setiap kali ia mengetuk pintu kamar Meri
(waria yang kos di depan rumahnya) dan Meri keluar dari kamarnya, Marno,
suaminya selalu tersenyum malu-malu. “Halo Mbok Nah, dagg Mas Marno.”
Begitu setiap pagi dan Mbok Nah tak tahu apa yang terjadi kemudian. Yang pasti
pendapatan Marno dua minggu terakhir ini surut banyak. Mbok Nah harus
ngutang sana-sini untuk makan atau bahan pembuat jamu. (hal. 98).

Dari pemerian dan dialog pendek antara Mbok Nah dan Marno tergambar

bahwa Marno mempunyai niat jelek buat Mbok Nah. Dia kelihatan bahagia apabila
152

Mbok Nah telah memulai pergi menjajakan jamu termasuk kepada Meri yang

selanjutnya diketahui bahwa Marno berselingkuh dengan Meri. Frase tersenyum

malu-malu menunjukkan bahwa hati Marno berbunga-bunga akan berkencan dengan

Meri, bukan dengan Mbok Nah, walaupun Sebenarnya Mbok Nah sangat kesengsem

oleh senyum malu-malu Marno (hal. 98). Ternyata senyum itu bukan buat Mbok Nah,

tetapi buat Meri. Mbok Nah tersubordinasi.

4.2.3.2 Ideologi Familialisme

Sebagai seorang istri walaupun Mbok Nah lebih tua 20 tahun dari suaminya,

ia berusaha selalu ingin menyenangkan suaminya. Setiap pagi sebelum dia

menjajakan jamu, Mbok Nah menyediakaan sarapan pagi buat suaminya, walaupun

hanya berupa kopi dan pisang goreng. Mbok Nah berusaha berbuat taat dan setia pada

suaminya. Kegiatan Mbok Nah sebenarnya berperan ganda, dalam arti dia berfungsi

sebagai ibu rumah tangga, juga sebagai pencari nafkah. Sejak pagi dia sudah mulai

menjajakan jamu kepada langganan-langganannya. Dalam dua minggu ini ia

mempunyai langganan baru seorang waria yang kos di depan rumahnya. Waria

namanya Meri dan nama sebenarnya adalah Rukman. Anehnya Meri ini selalu

membeli jamu singset dan sari rapet, selain itu dia juga membeli jamu kuat majun.

Tetapi Mbok Nah tidak pernah mempermasalahkan mengapa Meri membeli kedua

jenis jamu itu, yaitu jamu untuk perempuan dan jamu untuk laki-laki. Meri akrab

dengan Mbok Nah, karena kalau Mbok Nah datang ke kamar Meri untuk

mengantarkan jamu pesanan Meri, Meri suka bercerita tentang pengalaman-

pangalamannya.
153

Suatu malam Meri muntah-muntah dan minta tolong Mbok Nah. Mbok Nah

dan Marno menolong Meri, merawatnya di rumah mereka hingga lebih dari

seminggu, hingga Meri sembuh. Kesembuhan Meri membuat Mbok Nah lega.

Adanya Meri di rumah Mbok Nah membuat kehangatan tersendiri bagi Mbok Nah. Ia

seperti mendapatkan anak begitu saja. Ia tidak pernah mempersoalkan sekalipun ia

sering melihat Meri dan Marno saling cubit dan bermain kaki di bawah meja. Naluri

keibuannya membuatnya ia sabar, dan tidak peduli akan kelakuan suaminya dan

Meri.

Sebetulnya kesembuhan Meri membuat pekerjaan Mbok Nah banyak terbantu.


Ternyata Meri itu seorang yang gesit dan kuat; terampil memasak, membelah
kayu bakar, sampai menumbuk dan menggodok racikan jamu Mbok Nah. Pagi
hari secangkir kopi hangat sudah terhidang buat Mbok Nah, saat sore datang:
nasi panas, sambal terasi, dan ikan asin spesial dibikin. (hal 100).

Hal ini membuat Mbok Nah merasa menemukan anak yang tak pernah hadir

di rahimnya, menurut perasaannya anak itu hadir begitu saja di hadapannya. Tingkah

laku Meri dengan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga Mbok Nah adalah

untuk menitipkan dirinya karena ia banyak dibantu oleh Mbok Nah dan Marno.

Cerpen ini memerikan bahwa

Pada suatu sore Mbok Nah melihat becak Marno sudah nangkring di bawah
pohon jambu klutuk depan rumah... Dari kamar belakang dia mendengar suara
Marno dan suara Meri. Suara-suara itu mengingatkan Mbok Nah pada malam-
malam kebersamaannya dengan Marno.
Mbok Nah tercenung... Pandangannya jatuh pada tangannya yang keriput dan
legam. Mbok Nah menarik nafas. (hal 100-101).

Marno yang diceritakan sebagai orang yang kekanakan, dalam pemerian di

atas tergambar sebagai seorang suami yang punya kekuasaan untuk menyakiti istrinya
154

Mbok Nah. Tega-teganya ia berselingkuh dengan waria yang terang-terangan

dilakukan di rumah Mbok Nah atau di rumahnya sendiri. Kalimat “Suara-suara itu

mengingatkan Mbok Nah pada malam-malam kebersamaannya dengan Marno,”

membuat Mbok Nah tercenung, dia merasa termaginalisasi. Dia menoleh kepada

dirinya yang sudah berumur 60 tahun, tangannya telah keriput dan legam, apalagi

wajahnya. Kalimat Mbok Nah menarik nafas, menunjukkan bahwa dia menyadari

sudah tua, sudah tidak menarik lagi bagi Marno. Kesadaran ini membuat dirinya tidak

sakit hati. Apa artinya sakit hati karena dalam dirinya sejak awal sudah dicekoki

bahwa perempuan Jawa tidak boleh menyatakan perasaannya kepada suami, dalam

arti harus nrimo, pasrah, dan tidak boleh berpretensi apa-apa. Suami adalah panutan.

4.2.3.3 Ideologi Ibuisme

Ideologi ibuisme ialah ideologi yang menganut perempuan harus menjadi “ibu

yang baik” atau menjadi “ibu rumah tangga yang baik”, akan lebih jelas kalau disebut

“ratu rumah tangga.” Apa pun sebutannya adalah sama saja perempuan harus menjadi

orang baik di dunia domestik dan masyarakatnya.

Cerpen “Mbok Nah 60 Tahun” menceritakan tentang tokoh Mbok Nah yang

sudah berumur 60 tahun, penjaja jamu. Kalau dia menjajakan jamu, kalimat-kalimat

yang dilontarkannya masih manjur, buktinya setiap pagi jamunya pasti ditunggu

orang.

Mbok Nah yang masih montok pandai merayu tukang becak dan kuli bangunan:
“Ayo Mas biar badannya kuat dan bojone di rumah puas, pokoke coba dulu,
sampean pasti bangga,” atau “Iya lho Jeng, suami Mbok kan dua puluh tahun
lebih muda, gara-gara sari rapet ini dia tambah hari tambah rapet. Jamu yang
155

ini bikin baan singset ndak bau, laki kan ndak suka. Kalau sudah begitu kan bisa
repot.” (hal. 93).

Pemerian dan monolog di atas menggambarkan bahwa betapa pentingnya

jamu untuk membuat laki-laki kuat sehingga istrinya merasa puas. Kalau istri merasa

puas tentu saja suami menjadi bangga karena dia bisa menunjukkan kejantanannya.

Sudah sejak awal memang laki-laki dikondisikan secara kultural untuk mempunyai

stereotip yang jantan, kuat, rasional, dan gagah. Dengan demikian dia bisa menjadi

superior dan perempuan menjadi inferior, serta tunduk kepada suami. Karena

penampilan stereotip di atas, perempuan pun merasa bangga kalau mempunyai suami

seperti itu. Inilah yang menimbulkan adanya ideologi patriarki. Lain halnya dengan

perempuan, seperti yang dikatakan Mbok Nah tadi.

“Jamu itu bikin badan singset, rapet, dan tidak bau, laki ndak suka. Kalau
sudah begitu kan bisa repot.” (hal. 95).

Perempuan sejak dini sudah dipola oleh budaya masyarakatnya, yaitu harus bisa
menjaga diri dan merias diri untuk menyenangkan suami serta melayani suami.
Jamu singset dan sari rapet Mbok Nah ini memang manjur terbukti banyak
langganan-langganannya yang bercerita sambil cekikikan pada Mbok Nah
tentang pengalaman dan kepuasan berhubungan dengan suaminya (hal. 95).

Peran jamu ini sangat manjur terutama bagi perempuan Jawa, dengan jamu ini

mereka akan berharap supaya dicintai dan disayang suami. Mbok Nah merasa

bersyukur saat langganan-langganannya bercerita, dia selalu mengingat kata-kata

ibunya.

“Kamu rupanya yang dikasih wangsit sama moyangmu bikin jamu, Nduk. Kamu
bakal menolong banyak orang.” Dan Mbok Nah percaya sudah banyak
menolong orang, para langganannya tak ada satu pun yang bercerai, punya istri
baru, atau suami lain. Semua langgeng tur besuki. “Syukur,” bisik Mbok Nah
dalam hati. (hal. 96).
156

Hal ini menunjukkan keberhasilan Mbok Nah dalam berperan ganda, yaitu

sebagai ibu rumah tangga yang baik, dalam arti bekerja di ruang domestik, dan

sebagai penjual jamu, dalam arti bekerja di ruang publik. Sebetulnya Mbok Nah

sekarang tidak begitu repot karena pekerjaan domestik di rumah telah dikerjakan oleh

Meri, Mbok Nah merasa terbantu.

Larut malam ketika kentongan berbunyi dua kali Mbok Nah masih menunggu
Marno. Cuma dengkuran dari kamar sebelah yang didengarnya (hal. 100).

Pemerian ini menggambarkan bahwa Marno tidak masuk ke kamar Mbok Nah, tetapi

tidur di kamar sebelah dengan Meri. Frase “masih menunggu Marno,”

memperlihatkan bahwa Marno sudah tidak mempedulikan Mbok Nah. Dia berbuat

terang-terangan berselingkuh, dan dia tidak takut diketahui oleh Mbok Nah.

Kepindahan Meri ke rumah Mbok Nah, rupanya jadi bahan gunjingan baru di

kalangan tetangga;

“Mbok Nah ini pikirannya piye toh. Apa ndak melihat kelakuan Si Meri sama
Mas Marno. Pikun apa Mbok Nah ini... Mas Marno juga wis gendeng apa, punya
gendakan kok banci,” kata Mbakyu Surti yang terkenal ceplas-ceplos (hal. 102).

Mbok Nah menyadari perselingkuhan antara suaminya dengan Meri. Dia tidak

menyalahkan suaminya, malah dia melihat ke dirinya, bahwa suaminya wajar berbuat

selingkuh karena dia sudah tua, sudah tak menarik lagi, dengan cara ini Mbok Nah

menghindari sakit hatinya dan mengobati perasaannya.

Meri tengah memasukkan botol-botol jamunya ke dalam bakul dan rambut Mas
Marno basah. Keduanya tersenyum malu-malu, Mbok Nah tak berkata apa-
apa. Ia menghirup kopi dan pergi (hal. 101).
157

Mbok Nah ”terdiskriminasi.” Melihat gelagat suami dan Meri, Mbok Nah lebih

baik pergi walaupun hatinya teriris. Sepanjang jalan ketika berjualan Mbok Nah tak

bisa melupakan perselingkuhan suaminya dengan Meri. Akibat peristiwa itu ia

enggan pulang. Namun rasa lapar tak bisa ditahannya membuat ia terpaksa pulang.

4.2.3.4 Ideologi Umum

Ideologi umum yang direpresentasikan dalam cerpen “Mbok Nah 60 Tahun”

menunjukkan betapa pedihnya Mbok Nah diperlakukan seenaknya oleh suaminya

yang berselingkuh terang-terangan di depan matanya. Dia merasa rendah diri karena

dia merasa lebih tua dari suaminya, dan kenyataannya memang tua sudah berumur 60

tahun dan suaminya baru 40 tahun. Badan Mbok Nah masih tetap montok, tetapi

kulitnya sudah mulai keriput dan legam karena kepanasan ketika menjajakan

jamunya.

Mbok Nah terbangun ketika terdengar ketukan halus pada pintu. Mbok Nah
mengira Mas Marno, ia gelagapan. Tak tahu kira-kira apa yang harus
dikatakannya. Ia tak yakin apakah ia marah dengan peristiwa kemarin sore. Jika
berlagak marah ya salah, tapi jika tidak mengatakan apa-apa juga salah.
Akhirnya Mbok Nah cuma menunggu (hal. 102-103).

Pemerian di atas menunjukkan kepanikan Mbok Nah. Dalam batinnya ia

mengharapkan Marno datang ke kamarnya. Kata gelagapan menunjukkan bahwa ia

bingung apa yang harus dia kemukakan kepada Marno mengenai perselingkuhan

suaminya itu dengan Meri. Ternyata yang masuk ke kamar bukan Marno, tetapi Meri.

“Mbok..., kemarin sore..., Meri tampak gugup dan tersendat “Meri... anu Mbok,
nuwun sewu... Mas Marno, Meri..” (hal. 103).

“Wis Nduk, wis... tidur sana,” kata Mbok Nah setengah mengantuk. Mbok Nah
tidur lagi (hal. 103).
158

Meri berusaha meminta maaf kepada Mbok Nah atas perselingkuhannya

dengan Marno. Tetapi karena Mbok Nah sudah merasa kehangatan atas kehadiran

Meri di rumah itu, dan dia merasa kehadiran Meri itu merupakan kehadiran anak

yang tiba-tiba ada tanpa kehadiran dahulu di rahimnya, maka Mbok Nah menganggap

tidak ada persoalan baginya. Mbok Nah memang selalu mengharapkan kehadiran

seorang anak, nyatanya yang muncul Meri yang berselingkuh dengan suaminya.

Pengakuan perasaan ini menjadi sikap Mbok Nah yang tidak mempermasalahkan

perselingkuhan itu.

Tetangga-tetangga Mbok Nah mengetahui perselingkuhan Marno dengan

Meri. Mereka menyayangkan sikap Mbok Nah yang terlalu baik pada Meri dan

mengherankan Marno mempunyai gendakan banci. Mbok Nah sebetulnya tak ingin

bertemu tetangga. Tetapi tak bisa, karena semua tetangganya langganannya. Ia

akhirnya menjawab pertanyaan-pertanyaan tetangganya yang memerahkan telinga

dan membuat sakit hati perasaannya. Mbok Nah terepresi.

Mbok Nah berusaha menyimpan perasaannya dan tidak mengungkapkan

secara terbuka untuk menjaga terjadi konflik. Sikap ini mencerminkan perempuan

ideal, yaitu perempuan yang bersifat pasif, menderita tanpa protes, kuat perasaannya,

dan tak pernah menyatakan hal-hal negatif, semuanya dipendam di hati. Mbok Nah

tidak bersikap terbuka dan mendiamkan persoalan. Hal ini membuat Mbok Nah

kembali mendapat represi dari suaminya. Mbok Nah berusaha memaklumi dan

memaafkan perselingkuhan itu dengan cara menganggap Meri dan Marno sebagai

bocah-bocah. Mbok Nah berjalan ke luar. Pintu kamar belakang terkuak sedikit,
159

dilihatnya Meri lelap tidur dengan muka penuh riasan. Di sisi ketiaknya Marno

meringkuk seperti bayi. “Bocah-bocah turu kabeh,” desahnya. Mbok Nah mengikat

gulungannya yang terlepas. (hal. 103).

Dalam hal ini terlihat sikap penerimaan Mbok Nah terhadap perselingkuhan

Marno atau dalam kultur Jawa disebut nrimo, yang berarti perempuan harus selalu

pasrah dan menerima segala tindakan suami. Konsep ini tercermin dalam ungkapan

“swarga nunut naraka katut”, artinya kebahagiaan dan penderitaan istri ada di tangan

suami (kultur Jawa), dan “awewe mah dulang tinande”, artinya perempuan hanya

menerima (kultur Sunda). Sikap Marno ini merupakan ideologi gender yang

cenderung menyebabkan ketidakadilan gender bagi perempuan. Ketidakadilan ini

bermacam-macam, salah satunya adalah penindasan secara psikis, dalam hal ini

perselingkuhan Marno yang dapat dikategorikan “kekerasan dalam rumah tangga”.

Kekerasan tersebut menyerang integritas emosional-psikologis yang menyebabkan

pihak yang mengalaminya tertekan secara psikologis maupun fisik. Kekerasan ini

menurut Adingsih (Pikiran Rakyat, 8 Maret 2002) terjadi karena perempuan

cenderung tidak berdaya untuk keluar dari lingkaran itu. Terbukti dari 125 kasus yang

dicatat Rifka Annisa Women’s Crisis Center (1998), 70% perempuan mengalami

represi dari suaminya, pasrah menjalani perkawinan.

4.3 Cerpen “Warung Pinggir Jalan”

Judul : “Warung Pinggir Jalan”

Pengarang : Lea Pamungkas

Antologi : “Pistol Perdamaian”


160

Penerbit : Kompas, 1996

Ikhtisar

Cerpen ini bercerita tentang kehidupan di sebuah daerah yang terkena proyek

pembangunan waduk, yang diperkirakan di daerah Jawa Barat. Asalnya daerah ini

daerah pertanian, tentu saja mata pencaharian warganya adalah bertani. Namun ketika

daerah itu dijadikan proyek pembuatan waduk, warganya jadi kehilangan mata

pencaharian. Akibatnya warga merobah profesi jadi pedagang, dan berdirilah warung-

warung di sepanjang jalan di daerah itu, yang oleh pengarang cerpen ini disebut

warung pinggir jalan. Pada perkembangannya warung pinggir jalan ini ternyata

menjadi tempat prostitusi. Di antara warung pinggir jalan tersebut, ada sebuah

warung yang sejak sebelum ada proyek pun sudah berdiri. Warung tersebut adalah

warung milik tokoh Emak, yang menjual satai dan gulai. Emak tinggal dengan

anaknya Idah yang masih berusia belasan tahun.

Akhir-akhir ini perhatian Idah tertumpu pada seorang perempuan di seberang

jalan yang bernama Mira. Idah melihat Mira lain dari perempuan-perempuan lainnya

di desa itu. Mira selalu cantik, gembira, dan gaya. Rumahnya pun lebih bagus. Sore

menjelang malam Mira selalu dijemput oleh seorang lelaki dengan menggunakan

sebuah mobil truk mini dan pulang waktu subuh. Idah ingin sekali meniru apa yang

dipakai dan apa yang dilakukan oleh Mira. Ia selalu mengintip Mira dari mulai

kepergian sampai kepulangannya. Idah ingin menjadi seperti Mira.

Dari percakapan orang-orang, diketahui bahwa Mira itu pelacur, tetapi Mira

mempunyai langganan tetap. Perempuan-perempuan lainnya di warung pinggir jalan


161

ini banyak yang menjadi pelacur, bedanya langganan mereka berganti-ganti,

kebanyakan sopir-sopir truk yang mengangkut bahan-bahan bangunan waduk dari

kota.

Selama pembangunan waduk, warung Emak Idah selalu ramai dikunjungi

para sopir truk. Di antara supir truk itu, ada seorang yang disukai Idah, yaitu Emet.

Setiap Emet makan di warung Emaknya, Idah memberikan pelayanan yang khusus

(misalnya khusus untuk Emet, ia memberi satai yang lebih besar). Lama-lama sikap

Idah diketahui oleh Emak, Emet, dan langganan-langganan lainnya.

Berhari-hari sumur Emak Idah yang juga digunakan penduduk lainnya

kering, begitu pula sumur-sumur lainnya di sekitar itu. Kegiatan warung Emak Idah

terhambat, sehingga Emak Idah merasa sedih. Idah mengusulkan agar sumur itu

digali lagi, tetapi Emak Idah tidak punya uang. Akhirnya Idah mengusulkan agar

Emak menyuruh Emet menggalinya dan Idah berjanji akan mengatakannya kepada

Emet. Emak sebetulnya tidak begitu setuju, tetapi karena keadaan, akhirnya

menyetujuinya.

Emet ternyata bersedia karena ia punya maksud lain terhadap Idah.

Kenyatannya benar, di lokasi pembangunan waduk itu, keperawanan Idah direnggut

Emet. Lewat firasatnya Emak mengetahui kejadian ini, tetapi Emak tidak bicara apa-

apa, ia hanya bisa menangis. Sayangnya Idah tidak peduli, malah ia merasa

terbebaskan dari rasa ingin tahu yang selama ini mempengaruhi perasaannya.

Pengalaman ini membuat Idah merasa bebas dan berhak melakukan apa saja yang ia

inginkan.
162

Sementara itu terjadi perubahan lain di desa itu, pembangunan waduk itu

terhenti. Warung-warung pinggir jalan banyak yang gulung tikar. Warga kampung

banyak yang demo menuntut ganti rugi tanah yang digunakan proyek itu. Dengan

kondisi situasi seperti itu, pengarang menceritakan bahwa Idah akhirnya menjadi

pelacur yang berakibat pada Emak menjadi bisu.

4.3.1 Profil Gender dan Identitas Gender

Cerpen “Warung Pinggir Jalan” menceritakan kehidupan sebuah daerah yang

terkena proyek pembangunan waduk. Latar tempat yang diceritakan cerpen ini adalah

di sebuah daerah di Jawa Barat (dilihat dari penyapaan dan nama para tokohnya).

Latar sosial cerpen ini awalnya digambarkan sebagai daerah pertanian, mata

pencaharian penduduknya bertani. Namun setelah daerah itu terkena proyek

pembangunan waduk, penduduknya jadi kehilangan mata pencaharian, karena lahan

pertaniannya dibuat proyek. Selama pembangunan waduk tersebut, di daerah itu

banyak berdiri warung pinggir jalan, yang dibaliknya terjadi praktik prostitusi. Cerita

mengenai kehidupan di daerah tersebut dikemukakan pengarang dengan

menggunakan sudut pandang persona ketiga “dia” sebagai pengamat. Dalam sudut

pandang ini pengarang hanya dapat menceritakan tokoh-tokohnya secara terbatas dari

tindakan-tindakan yang tampak. Hanya tokoh utamalah yang bisa diceritakan

perasaannya, pikirannya, dan tindakannya.

Bahasa yang digunakan sederhana, baik ditinjau dari leksikal maupun

gramatikal. Kosakata diambil dari bahasa sehari-hari yang lugas, yang pada
163

umumnya bermakna denotatif. Struktur kalimat yang digunakan juga kebanyakan

kalimat tunggal.

Profil-profil yang ditampilkan dalam cerpen ini ialah Idah, Emak (ibunya

Idah), Mira, para sopir, dan para tetangga. Yang menjadi tokoh utama dalam cerpen

ini adalah Idah dan profil gender lainnya sebagai profil tambahan. Dari pemerian

cerpen ini digambarkan profil Idah sebagai tokoh utama yang masih berumur belasan

tahun dan masih bersekolah, kegiatan sehari-hari membantu Emak di warung,

memasak, mencuci piring, dan melayani pembeli. Dalam pemerian cerpen terlihat

bahwa Idah adalah gadis montok, berwatak polos, selalu ingin tahu, mudah

terpengaruh, dan pasif (diam, menunggu, dan jadi objek), menunjukkan profil

stereotip gender.

Profil Emak digambarkan sebagai perempuan yang berbibir sumbing dan

berkulit kuning. Emak adalah seorang perempuan mandiri, tidak banyak bicara, dan

penuh harga diri, tetapi tingkah lakunya selalu tergesa-gesa. Pekerjaan Emak sehari-

hari berjualan nasi, gulai, satai, dan minuman. Sejak subuh dia sudah memasak dan

membuat tusukan-tusukan satai. Pukul 06.00 mulai membuka warung dan melayani

pembeli.

Profil Emet digambarkan sebagai laki-laki yang tidak pantas disebut tampan.

Perut Emet buncit, bajunya tak pernah bersih dari oli, baru keringat, dan matanya

selalu merah, kalau duduk kakinya selalu diangkat, tetapi dia kuat, tangkas, nakal,

dan agresif. Tingkah lakunya bebas, sama seperti sopir-sopir lainnya selalu tertawa

lebar, berkata-kata terbuka dan keras, serta berperilaku seenaknya. Dia dipanggil
164

dengan panggilan “Si Jalu” oleh perempuan-perempuan warung yang berjualan sehari

penuh, sama seperti mereka menyebut “ayam jantan yang selalu menang.”

Profil Mira digambarkan sebagai perempuan seberang jalan, yang berarti

rumahnya berseberangan dengan rumah Idah. Dia adalah seorang perempuan pelacur,

tapi tidak melacurkan diri pada setiap laki-laki. Dia melacur hanya pada satu laki-

laki. Dalam cerpen ini Mira digambarkan sebagai perempuan periang, cantik, bersih,

bajunya banyak, sepatunya banyak, selalu harum, dan setiap sore dia dijemput oleh

seorang laki-laki, waktu subuh baru diantar pulang. Jadi, dia diantar jemput dengan

mobil semacam truk, tapi lebih kecil. Kehidupan Mira tak ada bedanya dengan dokter

atau orang kaya di kampung itu.

Profil tetangga Emak Idah disebutkan oleh pengarang dengan istilah “bocor

mulut” dalam arti tetangga-tetangga ini senang bergunjing, suka membuka rahasia

dan aib orang. Bocor mulut yang digambarkan pengarang di sini ialah bocornya cerita

bapaknya Idah yang diusir oleh Emak karena nyeleweng. Padahal bapaknya Idah itu

adalah seorang penganggur. Dia kepergok oleh Emak nyeleweng dengan “perempuan

seberang jalan,” tapi tak disebutkan siapa perempuan seberang jalan itu, dan Idah tak

mau tahu.

Minggu-minggu terakhir ini tidak banyak truk yang parkir di depan warung.

Proyek pembangunan waduk itu dikurangi kegiatannya. Persoalannya karena uang

ganti rugi tanah penduduk belum beres. Sebagian sopir diberhentikan sementara.

Keadaan ini berpengaruh pada penduduk desa. Warung-warung tampak sepi, keadaan

kampung jadi sunyi. Banyak warung yang tadinya buka 24 jam jadi tutup, yang
165

tampak masih buka adalah warung Emak dan Ceu Iyam. Dalam situasi warungnya

sepi ini, Ceu Iyam bergumam, kalau tahu keadaan bakal begini, nggak bakalan saya

panggil si Euis ke sini. Yang cantik dan bahenol, sudah nggak ada gunanya lagi,

kalau sopir-sopir itu nggak lagi ke sini (hal. 139). Pemunculan profil Euis sebagai

profil tambahan menggambarkan bahwa di balik pendirian warung-warung di pinggir

jalan itu ada usaha lain yaitu praktik prostitusi.

4.3.2 Peran Gender dan Relasi Gender

Cerpen “Warung Pinggir Jalan” ini mengangkat cerita tentang sebuah desa

yang terkena proyek pembangunan waduk. Daerah itu pada mulanya adalah daerah

pertanian dan pencaharian penduduknya bertani. Saat ada proyek pembangunan

waduk daerah itu berubah menjadi daerah yang sibuk, daerah itu penuh dengan alat-

alat berat, truk-truk, sopir-sopir, dan tenaga-tenaga kerja yang banyak berdatangan

dari daerah lain. Akibat proyek ini, banyak penduduk kehilangan pekerjaan dan

beralih profesi, yang tadinya bertani, karena lahan pertaniannya dibuat waduk, tak

ada lagi lahan untuk bertani, akhirnya banyak laki-laki yang mencari pekerjaan ke

kota, berdagang, atau bekerja di proyek pembangunan waduk tersebut. Perempuan-

perempuan desa yang tadinya juga petani beralih pekerjaan dengan mendirikan

warung-warung di pinggir jalan, yang kebanyakan berjualan nasi dan minuman.

Selain berjualan ternyata warung-warung itu membuka praktik prostitusi. Cerpen ini

jelas menonjolkan peran gender.

Dari pemerian cerpen diketahui Emak Idah pekerjaannya dari dahulu sampai

sekarang adalah membuka warung nasi. Walaupun sesudah ada proyek pembangunan
166

waduk ini bermunculan warung-warung pinggir jalan hingga berderet, warung Emak

tidak terganggu, dari dulu sama tidak pernah sepi. Tak ada praktik prostitusi di

warung Emak Idah ini, yang terkena pengaruh keadaan lingkungan adalah Idah anak

Emak. Idah yang polos dan belia mengidolakan perempuan di seberang jalan yang

bernama Mira. Idah ingin sekali berperan seperti Mira, cantik, bersih, harum,

sepatunya selalu berganti-ganti, bajunya banyak, lipstiknya, dan selalu gembira.

Perempuan itu diantar-jemput oleh seorang laki-laki dengan menggunakan truk mini,

sore dijemput dan subuh diantar pulang. Pekerjaan Mira adalah pelacur. Idah ingin

sekali jadi Mira. Kalau di sekolah dia ditanya guru, cita-citanya mau jadi apa, dia

menjawab ingin menjadi dokter, tetapi dalam hati kecilnya ia ingin menjadi pelacur.

Bagi Idah, Mira tak ada bedanya dengan dokter. Idah yang menjadi tokoh utama

dalam cerpen ini pekerjaannya membantu Emak memasak, mencuci piring, dan

melayani pembeli, serta bersekolah.

Secara esensial apa yang dilakukan Emak dan Idah adalah mencari nafkah,

karena hidup tanpa suami dan tanpa bapak. Aktivitas mereka merepresentasikan

ideologi gender, karena pekerjaan itu merupakan kepanjangan pekerjaan dari sektor

domestik. Ibrahim dan Susanto (1998: 81) menggambarkan bahwa dalam pekerjaan

perempuan sering kali dicadangkan pada urusan tradisional semata, baik karena

keadaan maupun keterpaksaan. Namun kedua-duanya pada dasarnya karena

dikondisikan oleh ideologi gender.

Aktivitas Emet dan para sopir adalah menjadi tenaga kerja pada proyek

pembangunan waduk sebagai sopir. Aktivitas ini merupakan representasi peran


167

gender. Pekerjaan keras dan berat cenderung dilakukan laki-laki, karena secara fisik

laki-laki dianggap lebih kuat daripada perempuan.

Peran tokoh lain adalah peran Mira sebagai pelacur dan para tetangga Idah

(tokoh utama) yang beraktivitas di warung-warung dan membuka kegiatan prostitusi

atau pelacuran. Fakih (1991: 17-18) menyebutkan bahwa pelacuran (prostitusi)

adalah suatu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan (violence) adalah

serangan atau invasi (assult) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis

seseorang. Kekerasan terhadap salah sau jenis kelamin dapat disebabkan oleh

beberapa hal, yakni disebabkan oleh anggapan gender (stereotip) dan tidak setaranya

kekuatan yang ada dalam masyarakat. Demikian pula dengan pelacuran. Pelacuran

terjadi karena ada stereotip yang merendahkan perempuan. Perempuan cenderung

dianggap sebagai sumber dosa dan penggoda pria agar jatuh ke dalam dosa. Hal ini

seperti yang dinyatakan Baidhawy (1997: viii) yang tercermin dalam kisah kejatuhan

Adam dan Hawa (legend of fall) yang diyakini masyarakat. Dalam kisah ini Hawalah

yang terbujuk setan untuk menggoda Adam melakukan pelanggaran. Stereotip

lainnya merupakan relasi gender yang memosisikan perempuan semata-mata sebagai

objek laki-laki.

Dilihat dari segi pelaksanaan prostitusi, perempuanlah yang selalu mendapat

perlakuan tidak adil dari masyarakat. Hal ini terjadi karena relasi gender yang tidak

imbang antara laki-laki dan perempuan. Karena itu perempuan pelacurlah yang sering

mendapat cemoohan dan pandangan rendah dari masyarakat. Namun hidung belang

yang memanfaatkan pelacur bebas dari penilaian masyarakat dan bebas berkeliaran.
168

4.3.3 Jenis Ideologi Gender dan Ketidakadilan Gender

Dari uraian cerpen “Warung Pinggir Jalan” ini tergambar terjadinya

perubahan sosial di desa tempat proyek pembangunan waduk. Perubahan sosial yang

terjadi akibat pembangunan ini melanda sikap, perilaku, cara pandang, dan cara hidup

masyarakat.

Pembangunan waduk itu telah merampas sumber kehidupan mereka satu-

satunya, yaitu tanah pertanian. Ketika sumber kehidupan ini diambil untuk

kepentingan pembangunan, tak ada lagi yang dapat mereka kerjakan, selain miskin,

mereka tak punya potensi apa-apa. Sementara pelaksana pembangunan (pemerintah)

tidak memberi solusi lain. Uang ganti rugi pun tidak diberikan, atau pun diberikan

juga tidak memadai. Di sini terlihat bahwa pembangunan hanya mengejar

pertumbuhan ekonomi/materi, tanpa mengabaikan sisi-sisi kemanusiaan. Hal inilah

yang membuat perubahan cara hidup dan cara pandang masyarakat desa dan

membuat masyarakat menjadi korban. Yang menjadi korban terparah dari akibat

pembangunan ini adalah perempuan, perempuan juga berada pada situasi dan kondisi

yang merendahkan posisi mereka.

Selanjutnya dalam uraian ideologi gender akan dibahas mengenai representasi

posisi dari berbagai aktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa yang diungkap oleh

cerpen “Warung Pinggir Jalan” ini. Selain itu akan dijelaskan mengenai siapa yang

menjadi “subjek” penceritaan dan siapa yang menjadi objek penceritaan, termasuk

menentukan struktur teks, interpretasi makna, dan eksplansi yang diberlakukan dalam

teks tersebut secara keseluruhan.


169

Dalam cerpen “Warung Pinggir Jalan” ini, yang menjadi tokoh utama adalah

Idah. Peran Idah direpresentasikan sebagai “objek” penceritaan dan yang

didefinisikan oleh pengarang Lea Pamungkas yang feminis, serta bagaimana Lea

Pamungkas mengungkap jenis-jenis ideologi gender dan ketidakadilan gender dalam

cerpen ini.

4.3.3.1 Ideologi Patriarki

Ideologi patriarki yang ditemukan dalam cerpen “Warung Pinggir Jalan”

adalah dalam perwatakan dan aktivitas (pekerjaan tokoh). Watak Idah (sebagai objek

penceritaan) adalah polos dan sikapnya pasif (diam, menunggu), mudah terpengaruh,

dan selalu ingin tahu. Pekerjaan Idah adalah membantu Emak dalam kegiatan di

warung dan bersekolah. Di tengah-tengah aktivitas rutin sehari-hari ini pengarang

menggambarkan peristiwa berupa hal-hal yang dipikirkan Idah. Selama ini Idah

selalu mengintip dan memperhatikan tingkah laku seorang perempuan yang bernama

Mira, tapi Emak memberi julukannya dengan perempuan seberang jalan. Idah

mengintip Mira setiap menjelang kepergian yaitu setiap sore, dan setiap subuh pada

saat kepulangannya. Mira selalu diantar-jemput oleh seorang laki-laki dengan

menggunakan truk mini. Idah selalu ingin tahu apa yang dilakukan Mira, bagaimana

sepatunya, bagaimana bajunya, dan bagaimana lipstiknya. Emak sering jengkel

dengan kelakuan Idah tersebut, tetapi Idah tidak memperdulikannya. Di mata Idah.

Mira itu lain dari perempuan-perempuan di desa itu.

Mira lebih bersih dari semua perempuan yang ada di desa itu, lebih cantik, lebih
wangi, pakaiannya banyak, sepatunya banyak, tetapi lebih dari segalanya, Mira
selalu gembira (hal. 138).
170

Dalam pemerian diceritakan bahwa Idah ingin menjadi seperti Mira. Bagi Idah
Mira tak ada bedanya dengan dokter.
Betapa ingin Idah seperti dia. Ia tak peduli setiap kali seseorang membicarakan
Mira, maka mulut orang itu akan maju ke depan paling tidak dua centi.
Mencibir. Hati Idah selalu menjawab, “Ingin jadi Mira,” seorang pelacur (hal.
138).

Kalau kita telaah cerpen “Warung Pinggir Jalan” ini bertema bahwa:

Pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan aspek-

aspek kemanusiaan dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat dan

menjadikan masyarakat menjadi korban. Yang menjadi korban terparah adalah

perempuan, karena selain mereka menerima dampak pembangunan tersebut, mereka

pun berada dalam situasi masyarakat yang merendahkan posisi mereka.

Dalam cerpen ini proyek pembuatan waduk membuat perempuan-perempuan

terlempar ke sektor-sektor informal yang berupa prostitusi. Dalam cerpen ini

pengarang (Lea Pamungkas) bertindak sebagai pengamat. Dalam cerpen ini

digunakan bahasa-bahasa yang berideologi gender, yaitu pada diksi-diksi yang

digunakan dalam narasi dan monolog. Misalnya dalam narasi.

“Dan nanti elusan Emet pada pantatnya, akan terasa sampai Idah duduk di
bangku sekolah siang nanti. Emak pura-pura tidak melihat, mata dan tangannya
segera sibuk mengerjakan sesuatu” (hal. 137).

Dalam pemerian ini kelihatan perlakuan Emet ini sangat tidak menghargai

perempuan apalagi perempuan itu adalah gadis belasan tahun yang polos, yang belum

tahu apa-apa. Sikap Emak tersinggung, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa, karena

perbuatan Emet dianggap wajar menurut lingkungannya. Di sini jelas kaum


171

perempuan tersubordinasi. Laki-laki senang berbuat apa saja, walaupun tidak

senonoh. Seperti pada penggalan teks berikut.

Perempuan-perempuan warung yang berjualan selama sehari penuh itu


menyebut Emet “Si Jalu.” Sama seperti mereka menyebut ayam-ayam jantan
aduan yang paling sering menang (hal. 137).
Penonjolan budaya patriarki terlihat dari tingkah laku para sopir, yang

seenaknya dan menganggap perempuan sebagai dagangan “Si Idah sudah jadi

perawan montok ya Ceu, saya pesan duluan ya” (hal. 137). Tapi gurauan para sopir

itu tidak menjadikan Idah kesal dan Emak pun pura-pura tak memberikan reaksi.

Kecenderungan laki-laki menggoda perempuan ini merupakan gambaran dari

kesenjangan kedudukan dan kekuasaan sosial, politik, ekonomi, dan budaya di antara

dua kelompok manusia yang dibedakan oleh jenis kelamin, yaitu kesenjangan berupa

subordinasi laki-laki atas perempuan. Akibat kepincangan ini, timbul pandangan

bahwa perilaku laki-laki menggoda perempuan itu merupakan sesuatu yang “sehat

dan normal.” Malahan kalau laki-laki yang tak pernah melakukan godaan terhadap

perempuan akan diejek dan diragukan kenormalannya.

Jika demikian, penormalan terhadap perilaku seksual laki-laki sudah

merupakan stereotip, hal ini dapat ditanyakan pada pemerian julukan “Si Jalu” pada

Emet. Julukan tersebut adalah julukan untuk laki-laki dan untuk menegaskan sifat

kelelakian yang diyakini masyarakat, yaitu perkasa, kuat, berani, jago, dan lain-lain.

4.3.3.2 Ideologi Familialisme

Dalam cerpen ini diungkap bahwa yang menjadi korban terparah dari

pembangunan adalah perempuan. Dalam hal ini pengarang (Lea Pamungkas) hendak
172

memberikan kritik terhadap para pelaksana pembangunan, agar tidak mengabaikan

aspek kemanusiaan, juga tidak mengabaikan aspek gender. Pengarang pun melakukan

kritik terhadap masyarakat yang selalu berpegang pada ideologi gender. Idelogi

gender cenderung tidak adil terhadap salah satu jenis kelamin manusia, yaitu

perempuan. Perempuan selalu banyak menderita kerugian dan kesengsaraan, dan

hentikanlah praktik-praktik yang tidak adil tersebut dari perikemanusiaan manusia itu

sendiri.

Tokoh Idah gadis belia yang polos, yang seharusnya duduk di bangku sekolah

bersama harapan-harapan masa depannya harus menjadi korban jadi pelacur dan tidak

menyadari bahwa dia menjadi korban. Lea Pamungkas sebagai pengarang cerpen

“Warung Pinggir Jalan” ini memotret dan mencerminkan kenyataam sosial

masyarakat Indonesia, khususnya masa pemerintahan Orde Baru, terutama yang

berhubungan dengan masalah pembangunan. Pada masa ini, seperti sering diberitakan

media massa banyak permasalahan yang muncul akibat proyek pembangunan yang

dilakukan pemerintah. Contohnya masalah penggusuran, masalah ganti rugi tanah,

akibat-akibat pembangunan itu sendiri yang banyak menimbulkan permasalahan

sosial.

Akibat pembangunan yang dilakukan pada masa Orde Baru banyak dirasakan

oleh kaum perempuan adalah “pemarginalan” kaum perempuan. Misalnya dalam

cerpen ini diceritakan bahwa pembuatan waduk itu membuat warga desa kehilangan

pekerjaan dari bertani ke pekerjaan-pekerjaan di proyek. Tetapi perempuan yang

tadinya juga bertani tidak bisa bekerja di proyek, akhirnya beralih mendirikan
173

warung-warung pinggir jalan dan menjalankan praktik prostitusi. Ester Boserup

dalam bukunya “Women’s Role in Economic Development” (Utaryo, 1992: 80)

mengemukakan bahwa pengalaman banyak negara di dunia menunjukkan bahwa

pembangunan sering kali menimbulkan dampak negatif terhadap kaum perempuan.

Dampak tersebut di antaranya “marginalisasi.”

Peristiwa yang merupakan kelanjutan dari akibat pembangunan waduk, yaitu

Idah yang muda belia, yang normalnya menyukai teman laki-laki yang sebaya, lebih

menyukai Emet yang lebih pantas jadi bapaknya. Hal ini terjadi karena lingkungan

yang membentuknya demikian. Hanya figur para sopirlah yang menarik Idah, karena

dengan merekalah Idah banyak berhubungan.

Warung satai-gulei milik Emak harus buka pukul enam pagi. Sebentar lagi
sopir-sopir truk bermata merah burung hantu itu akan berdatangan. “Si Idah
sudah jadi perawan montok ya, Ceu. Saya pesan duluan ya,” gurauan para sopir
itu tidak selamanya mengesalkan Idah. Apalagi kalau Emet yang
mengatakannya. Rosidah akan tersipu-sipu, tak sabar menunggu kopi selesai
diseduh dan mengantarkannya. Dan nanti elusan Emet pada pantatnya akan
terasa sampai Idah duduk di bangku sekolah siang nanti (hal. 138).

Peristiwa keringnya sumur Emak sudah berjalan empat hari. Hal ini membuat

Emak sedih karena warungnya harus tutup dan berdampak tak bisa mencari nafkah.

Idah pun ikut sedih, karena kalau warung Emak tutup, berarti tak akan ada lagi Emet.

Akibat sumur kering inilah yang menentukan jalan hidup tokoh utama Idah. Idah

mengusulkan pada Emak agar meminta Emet untuk menggali sumurnya. Emaknya

setuju. Permintaan Idah disetujui Emet karena Emet mempunyai maksud lain

terhadap Idah.
174

Benar saja. Emet mengajak Idah ke waduk dengan alasan akan mengambil

peralatan dan di waduk itulah terjadi apa yang dikehendaki Emet. Idah hilang

keperawanannya. Ketika pulang sesudah kejadian itu, Emak dengan intuisinya sudah

tahu apa yang terjadi, menatap Idah dalam-dalam. Idah gemetar. Akan tetapi tidak

mengatakan apa-apa. Sekilas sebelum masuk kamar, Idah sempat melihat air mata

mengalir dari mata Emak. Idah tak peduli. Ia lebih suka menikmati pengalaman

barunya (hal. 145). Emak sangat sedih dan dia merasa “termarginalisasi” oleh

tingkah laku Emet terhadap Idah.

4.3.3.3 Ideologi Ibuisme

Ideologi ibuisme menuntut perempuan menjadi “ibu yang baik”, dalam arti

perempuan harus menjadi orang baik di dunianya, yaitu dunia domestik dan di

masyarakat.

Cerpen “Warung Pinggir Jalan”, memerikan peran tokoh utama Idah sebagai

perempuan yang mencari nafkah dengan ibunya Emak sebagai pedagang satai-gulai

di warungnya. Pekerjaan ini merupakan kepanjangan tangan dari dunia perempuan

yaitu dunia domestik yang ditentukan melalui ideologi gender. Jadi, dengan

keterampilan peran domestiknya Idah dan Emak mencari nafkah. Dalam cerpen ini

Idah digambarkan sebagai perempuan yang polos, masih belasan tahun, juga masih

bersekolah. Pekerjaan dia sehari-hari mencuci piring, memasak, membuat kopi, dan

melayani langganan yang kebanyakan sopir-sopir yang makan di warungnya.

Pengarang menceritakan kisah cerita ini dengan sudut pandang gadis belia

Idah (tokoh utama) yaitu segala hal yang diihat, dikhayal, dirasa, dipikirkan, dan
175

dilakukan tokoh utama tersebut. Pengarang menggambarkan dampak pembangunan

yang mengabaikan aspek-aspek humanisme dan keadilan gender terhadap masyarakat

desa yang miskin secara material maupun spiritual. Dalam cerpen ini dilukiskan yang

menjadi korban terparah adalah perempuan. Mereka banyak yang menjual diri dengan

cara praktik prostitusi. Tokoh Idah yang polos dan lugu, yang tidak berdosa apa-apa,

yang seharusnya mempunyai harapan untuk masa depannya, karena lingkungan

masyarakatnya, akhirnya menjadi korban juga. Dia menjadi pelacur. Namun dia tak

menyukai bahwa dirinya adalah korban, baik dari pembangunan, maupun dari

lingkungan masyarakatnya yang menerapkan ideologi gender.

Idah “Ingin jadi Mira” seorang pelacur. Memang dalam pembicaraan, kalau
ditanya guru atau orang yang lebih tua darinya, Idah menjawab persis seperti
teman sebangkunya, “Ingin jadi dokter.” Bagi Idah, Mira tak ada bedanya
dengan dokter atau banyak orang kaya di kampungnya (hal. 138).

Idah mengidolakan Mira, karena Mira berbeda dengan perempuan-perempuan

di desanya. Mira banyak bajunya, banyak sepatunya, selalu gembira, dan warna

lipstiknya bermacam-macam, badannya selalu harum, dan menarik.

Subuh itu Mira bersepatu putih dan serba putih, kecuali rambut hitam sangat
lurus dan masai ...... Lelaki-lelaki yang mengantarkannya pun tak bakal lama.
Tetapi yang hanya sebentar itu yang ditunggu Idah : dalam ketergesaan mereka
saling berciuman merapatkan diri. Sayangnya tidak setiap subuh Idah punya
waktu menikmati kegugupan dan kejutan-kejutan dirinya (hal. 135).

Kejadian-kejadian di lingkungan kehidupannya ini sangat mempengaruhi Idah

yang masih polos dan belia, yang akhirnya terjerumus oleh rayuan Emet, sang sopir

yang pantas jadi bapaknya.


176

Pemarginalisasian dan diskriminasi terjadi secara perlahan-lahan terlihat dari

pembangunan di pedesaan yang mengintrodusir mekanisme pembangunan waduk.

Perempuan yang tadinya bekerja bertani, jadi tak punya pekerjaan, sedangkan kaum

laki-laki banyak yang terserap menjadi pekerja proyek pembangunan. Akhirnya para

perempuan desa membuka warung-warung di pinggir jalan, yang secara terselubung

membuka praktik prostitusi. Merebaknya prostitusi sebagai akibat berubahnya cara

pandang masyarakat warga desa yang terpengaruh konsep pembangunan yang

mengejar pertumbuhan ekonomi (materi), yang cenderung mengukur segala sesuatu

dari materi. Warga tidak lagi mengindahkan norma-norma kehidupan dan nilai-nilai

spiritual.

4.3.3.4 Ideologi Umum

Idah dalam peristiwa ini selain merupakan representasi lain dari perempuan

yang menjadi korban pembangunan yang tidak berkeadilan gender juga merupakan

korban dari ideologi gender. Idah tidak melihat pelacuran sebagai bentuk kekerasan

(represi) yang dilakukan masyarakat terhadap perempuan, karena perempuan

terekspolitasi sebagai objek untuk kepentingan tertentu. Mereka tak menyadari hal itu

karena telah termakan “hegemoni gender.”

Peristiwa selanjutnya berhubungan dengan sopir-sopir yang sering makan di

warung Emak. Di antara para sopir itu, Idah menyukai Emet, tapi tak pernah

mengatakannya, ia hanya memperlihatkan lewat pelayanannya, yaitu memberi satai

yang ukuran dagingnya lebih besar-besar. Idah pun selalu diam apabila Emet meraba-

raba bagian tubuhnya. Di sini terlihat bahwa Emet merupakan representasi stereotip
177

laki-laki, yaitu cenderung melakukan tindakan-tindakan secara aktif dan agresif.

Adapun Idah merepresentasikan stereotip perempuan, yaitu pasif dan sekedar menjadi

objek.

Sudah empat hari sumur Emak kering. Idah menyarankan Emak agar minta

tolong Emet untuk menggalinya. Keesokan harinya Emet datang dengan senyum di

bibir dan matanya nakal. Emak Idah tak ada di rumah, Idah menyampaikan

pembicaraan dengan Emak malam kemarin. Emet menyambut gembira permintaan

Idah. “Neng, jangankan masuk sumur, masuk lubang kubur Mang mau, kalau Neng

yang minta,” Emet tertawa lebar dan tangannya mencubit pipi Idah. Telapak tangan

Idah tiba-tiba berkeringat. Kesempatan ini membuat Emet lebih agresif dan percaya

diri untuk melaksanakan kenginannya, dia melihat kepasrahan Idah yang masih polos

dan belia.

“Duduk sini, Neng,” Emet menepuk-nepuk tempat di sampingnya. Idah ragu-


ragu sejenak, tetapi kemudian ia tersenyum dan mendekati Emet. “Supaya cepat,
antar Mang Emet ambil peralatan di waduk. Neng Idah mau kan?” Mata Emet
berbinar, tiba-tiba saja Idah sudah ada di pangkuannya. Pipi Idah diciumnya
sekilas. Idah terperangah, tanpa disadarinya kepalanya langsung mengangguk
(hal. 139).

Kejadian pelecehan Emet terhadap Idah berlangsung lancar, tak ada

penolakan dari Idah. Justru ini yang dikhayalkan Idah, sebagai korban lingkungan,

terutama fikirannya yang mengidolakan Mira, seorang pelacur. Idah “terepresi” oleh

Emet dan oleh kondisi lingkungan masyarakatnya. Saat Idah diperawani oleh Emet

dia tidak merasa menyesal, malah dia gembira.

Ia merasa memperoleh puncak dari sesuatu yang selama ini ingin diketahuinya,
sekaligus terbebaskan dari ketidaktahuan (hal. 145).
178

Idah yakin sekarang dia bisa melakukan apa saja, termasuk pergi sore pulang

pagi seperti yang dilakukan oleh Mira. Idah jadi pelacur, sesuai dengan dambaannya

ingin seperti Mira. Sebetulnya bukan Idah saja yang hidupnya terepresi karena

pembangunan, tetapi berakibat juga terhadap Emak. Emak “terepresi” sampai

menjadi bisu.

4.4 Cerpen “Ruang Belakang”

Judul : “Ruang Belakang”

Pengarang : Nenden Lilis Aisyah

Antologi : “Dua Tengkorak Kepala”

Penerbit : Kompas, 2000

Ikhtisar

Cerpen “Ruang Belakang” bercerita tentang kehidupan dua keluarga yang

mengontrak di ruang belakang paviliun yang dikontrak tokoh aku (pengarang).

Pengarang dalam cerita ini menempatkan diri sebagai pengamat, tetapi pegarang juga

melibatkan diri dalam penceritaan. Kedua-duanya ibu, yang satu adalah Umi, seorang

janda dengan satu anak laki-laki yang duduk di SMP dan sangat bandel, tidak pernah

menurut pada ibunya dan selalu menyepelekan ibunya. Sementara tetangga yang satu

lagi Teh Nining dan suaminya, Dadang punya anak satu perempuan yang masih

duduk di kelas satu SD. Mereka suka menyetel tape keras-keras. Di tengah suara kaset

yang keras terdengar suara Teh Nining yang mengomel karena suaminya selalu tidur

kaya kebo. Anaknya menangis tidak mau mandi. Kadang-kadang terdengar suara
179

jeritan Teh Nining karena bertengkar dengan tetangganya Umi, atau karena digampar

suaminya.

Tokoh aku (pengarang) sudah tiga bulan mengontrak paviliun di perbatasan

kota, dan mereka sekeluarga ngontrak di daerah itu karena biayanya relatif murah.

Tokoh aku bercerita bahwa dia mempunyai bayi yang baru berumur empat bulan.

Teh Nining sering dipukul suaminya. Apalagi setelah suaminya dikeluarkan

dari hotel tempatnya semula bekerja. Kira-kira jam sepuluh pagi Teh Nining pergi ke

pasar berbelanja bahan adonan gorengan yang akan dijualnya pada sore hari sampai

kira-kira pukul sembilan malam. Kalau pagi-pagi Teh Nining ke pasar seringkali

suaminya masih tidur, karena semalam ia pulang dalam keadaan mabuk. Apabila ia

bangun agak pagi dan menemukan istrinya pergi tanpa menyediakan kopi, ia akan

marah-marah dan menyumpah-nyumpah sendiri, lalu pergi dalam keadaan semrawut

setelah menitipkan kunci.

Suatu pagi terdengar suara piring dan gelas yang dilempar, diikuti rentetan

kata-kata kasar seorang laki-laki, rupanya suara Dadang, suami Teh Nining.

Kemudian terdengar suara benda dibenturkan. Tampaknya laki-laki itu menjambak

rambut Teh Nining dan membenturkannya, terdengar jeritan Teh Nining, tangis

anaknya, suara kerompyang, bantingan pintu, dan langkah pergi.

Siang hari Teh Nining pinjam uang kepada tokoh Aku untuk pergi ke rumah

kakaknya di Cililin bersama anaknya. Suatu hari terlihat seorang perempuan di kamar

Teh Nining, dikira Teh Nining, ternyata pacarnya Dadang, suami Teh Nining, yang

menurut Umi perempuan itu sudah bunting.


180

4.4.1 Profil Gender dan Identitas Gender

Profil yang direpresentasikan dalam cerpen ini ialah tokoh aku (pengarang),

sebagai pencerita dan pengamat cerita, Teh Nining sebagai tokoh utama, Dadang

(suami Teh Nining), dan Umi sebagai tokoh tambahan. Dari pemerian cerita diketahui

bahwa Teh Nining adalah seorang istri yang menderita karena suaminya galak dan

sering memukulnya. Dilihat dari sudut gender Teh Nining ini adalah perempuan

mandiri dan berperan ganda. Pagi-pagi dia sudah menyediakan kopi buat suaminya,

karena kalau dia lupa pasti suaminya marah-marah, kemudian pergi ke pasar belanja

bahan gorengan yang akan dijualnya pada sore hari sampai kira-kira jam sembilan

malam. Dadang (suami Teh Nining) adalah pengangguran dan pekerjaannya tidur

“kaya kebo”, wataknya kasar dan sering menyiksa istrinya. Profil Dadang ini

diceritakan oleh pengarang sebagai profil manusia jorok dan menjanjikan, tubuhnya

kotor, mulutnya bau, kerjanya lantang-lantung, pulang hanya untuk makan, dan kalau

belum ada makanan, istrinya harus siap menerima dampratan. Profil Dadang

merepresentasikan ideologi gender.

Profil Teh Nining digambarkan sebagai perempuan yang berwajah manis,

tubuhnya padat, gerakannya lincah, dandanannya dan riasannya selalu mencolok,

seolah-olah tidak pas, kelihatannya akan lebih cantik kalau dia tidak dandan norak

(polos). Teh Nining ini masih muda, tapi dia bertahan hidup dengan suami yang

selalu memperlakukan buruk dan galak. Dia mempunyai anak perempuan yang baru

duduk di kelas satu SD. Watak Teh Nining merepresentasikan ideologi gender.
181

Profil tokoh aku (pengarang) adalah keluarga muda yang mengontrak paviliun

yang selalu terganggu oleh penghuni dua kamar ruang belakang paviliunnya. Tokoh

aku punya bayi berumur empat bulan yang selalu terganggu pula oleh riuhnya suara

dari ruang belakang. Profil tokoh aku tidak merepresentasikan ideologi gender.

Profil Umi digambarkan oleh pengarang sebagai profil tambahan. Umi adalah

seorang janda dan mempunyai seorang anak laki-laki yang bandel dan masih duduk

di bangku SMP. Profil Umi adalah senang membuat gosip, membual, dan kurang

dapat dipercaya, karena tidak jujur. Umi sering menjelek-jelekan Teh Nining,

kelihatannya mereka tidak akrab. Profil Umi ini tidak merepresentasikan ideologi

gender. Lokasi penceritaan kelihatannya terjadi di daerah Sunda, terlihat dari nama-

nama tokoh pemeran cerita dalam cerpen ini.

4.4.2 Peran Gender dan Relasi Gender

Dari pemerian cerpen “Ruang Belakang” ini tergambar bahwa peran tokoh

utama Teh Nining adalah berperan ganda, yakni berperan sebagai ibu rumah tangga,

dalam arti harus mengurus rumah tangga (bekerja di ruang domestik) dan bekerja di

ruang publik sebagai pedagang gorengan. Teh Nining berperan sebagai pencari

nafkah, karena suaminya pengangguran. Dalam pemeriannya pengarang

mengkondisikan Teh Nining berperan ganda ini sebagai tugas perempuan dalam

integritas kultural terhadap tradisi.

Pekerjaan Dadang (suami Teh Nining) luntang-lantung seharian, menyabung

ayam, atau main gapleh dengan pemuda-pemuda pengangguran. Kalau pulang hanya

untuk makan. Apabila dia pulang tak ada makanan, dia marah-marah dan istrinya
182

harus siap menerima dampratan. Kebiasaan Dadang pulang malam dalam keadaan

mabuk, sesudah itu tidur kayak kebo. Apabila dia bangun agak pagi dan menemukan

istrinya sudah pergi ke pasar tanpa menyediakan kopi, dia akan marah-marah dan

menyumpah-nyumpah sendiri, lalu pergi luntang-lantung tak ada pekerjaan. Tidak

ada komunikasi atau relasi yang baik antara Dadang dan istrinya.

Pekerjaan tokoh tambahan Tokoh aku (pengarang) adalah sedang menulis

skripsi dan suaminya wartawan. Kehidupan tokoh tambahan ini harmonis dengan

suami dan anaknya yang masih berumur empat bulan. Suaminya “Tokoh aku” baik,

mau mencuci, mau memandikan bayi, dan tidak banyak tuntutan. Tokoh aku ini tulus

melayani suami dengan bekerja di ruang domestik sambil menyelesaikan studi. Dia

menjadi tempat pengaduan bagi penghuni kamar ruang belakang, terutama Umi tokoh

tambahan lain yang selalu mengganggu dengan ocehan-ocehan dan gosip-gosipnya,

sambil menjajakan dagangannya untuk dibeli.

Peran tokoh tambahan yang lain adalah Umi. Umi adalah seorang janda yang

menghidupi seorang anak laki-laki yang duduk di bangku SMP. Pekerjaan Umi

adalah tukang pijat dan mencuci pakaian sambil berdagang jamu dan kosmetik yang

murahan. Umi berjualan jamu dan kosmetik dari rumah ke rumah sambil membual

tentang cerita-cerita gosip, yang belum tentu kebenarannya. Kadang-kadang dia

dimintai untuk memijat, lumayan pijatannya enak, hanya sambil memijat mulutnya

tak pernah berhenti mengoceh tentang kejelekan dan rahasia orang lain. Paling

senang menjelek-jelekkan Teh Nining, padahal ngontrak kamarnya berdempetan di

ruang belakang paviliun tokoh aku.


183

Umi itu selain tukang jamu, juga sering mencucikan pakaian-pakaian tetangga,

termasuk pakaian-pakaian tokoh aku. Ternyata beberapa potong pakaian tokoh aku

hilang, Umi menjawab dengan tenang dan bersumpah dengan nama Tuhan segala, dia

tidak mengambilnya, tetapi kemudian diketahui Umi menjajakan kain yang dicucinya

kepada orang-orang kampung belakang.

4.4.3 Jenis Ideologi Gender dan Ketidakadilan Gender

Cerpen “Ruang Belakang” ini membahas tentang representasi posisi berbagai

aktor sosial, posisi gagasan, dan peristiwa. Posisi-posisi ini menentukan bentuk

wacana yang hadir di tengah pembaca. Berdasarkan analisis Fairclough dan Sara

Mills akan dijelaskan bagaimana posisi-posisi itu ditampilkan. Posisi-posisi ini akan

menentukan siapa yang menjadi “subjek” penceritaan dan siapa yang menjadi

“objek” penceritaan, bagaimana menentukan struktur teks, menginterpretasikan

makna dan memberlakukan eksplanasi dalam wacana cerpen itu secara keseluruhan.

Secara luas cerpen ini akan mengungkap tentang ideologi dan kepercayaan dominasi

beroperasi.

Berdasarkan analisis data yang dilakukan, representasi ideologi dalam cerpen

“Ruang Belakang” menampilkan Teh Nining sebagai “objek” penceritaan dan

Dadang (suami Teh Nining) sebagai “subjek” penceritaan. Dalam cerpen ini

pengarang Nenden Lilis Aisyah terlibat dalam penceritaan dengan menampilkan diri

(tokoh aku) dalam cerita, dia juga menjadi pengamat jalannya penceritaan. Pengarang

berperan mengungkap jenis-jenis ideologi gender dan ketidakadilan gender.


184

4.4.3.1 Ideologi Patriarki

Teh Nining sebagai tokoh utama mempunyai peran ganda dalam rumah

tangganya. Selain dia beperan di ruang domestik, dia juga bekerja di ruang publik

sebagai penjual gorengan. Teh Nining berperan sebagai pencari nafkah, karena

suaminya sedang menganggur, dikeluarkan dari pekerjaannya di hotel. Entah

alasannya apa? Dalam cerpen ini Teh Nining selalu didefinisikan, tak pernah dia

menampilkan dirinya sendiri. Dia mengerjakan pekerjaan rutin sebagaimana tugas

perempuan yang memang sudah dikondisikan sejak awal dalam strategi sosial sesuai

ideologi gender. Setelah anaknya pergi sekolah, suamiya sedang tidur (karena pulang

tengah malam dan mabuk) Teh Nining pergi ke pasar belanja bahan-bahan gorengan,

yang akan dijual pada sore hari yang dimulai jam 16.00 sampai jam 21.00 dengan

gerobak yang diparkir di pertigaan jalan.

Apabila suaminya bangun agak pagi, dan menemukan istrinya sudah pergi

tanpa menyediakan kopi, dia akan menyumpah-nyumpah sendiri, lalu pergi dalam

keadaan semrawut setelah menitipkan kunci pada tokoh aku. Tokoh aku (pengarang)

sering merasa takut dan jijik pada suami Teh Nining yang digambarkannya sebagai

berikut:

Tubuhnya seperti orang tidak sehat dan sekotor tikus-tikus yang berloncatan dari
atap gudang. Wajahnya menyerupai kamar sempit penuh sarang laba-laba. Ia
menatap dengan mata orang sakit mata, dan kalau berbicara, kecoa-kecoa busuk
dari got seakan memenuhi perutnya untuk menyebarkan bau melalui mulutnya.
Ia luntang-lantung seharian, ikut menyabung ayam atau main gapleh dengan
pemuda-pemuda pengangguran. Pulang-pulang untuk makan, dan kalau tak ada
makanan, istrinya harus siap-siap menerima dampratan (hal.108).
185

Karena tingkah laku Dadang (suami Teh Nining) menjijikan dan galak, maka

wajarlah kalau Teh Nining selalu memuji-muji suami tokoh aku yang katanya

ganteng, pintar, baik hati. Dalam penceritaan cerpen ini tokoh Dadang sebagai

“subjek” penceritaan digambarkan penonjolan ideologi patriarkinya. Dia menguasai

istrinya dan sering memukul istrinya. Sedangkan suami tokoh Aku lirik digambarkan

sebaliknya “...Setiap pagi sebelum berangkat kerja suamiku mencuci dan

memandikan bayi kami yang berumur empat bulan” (hal 108). Gambaran suami

tokoh Aku berlawanan dengan ideologi gender dan benar-benar melaksanakan

kemitrasejajaran gender. Lain halnya dengan suami Teh Nining yang selalu

“mensubordinasi” istrinya, selalu ingin menang sendiri dan selalu ingin dilayani.

Tingkah laku suami Teh Nining menunjukkan ketidakadilan gender (subordinasi,

marginalisasi, diskriminasi, dan represi). Sama halnya dengan Umi yang bercerai

karena katanya suaminya menyeleweng.

4.4.3.2 Ideologi Familialisme

Sebagai seorang istri Teh Nining adalah seorang perempuan yang sangat

bertanggung Jawab terhadap kelangsungan kehidupan keluarga. Karena suaminya

tidak bekerja, dia yang mengambil alih mencari nafkah dengan berjualan gorengan.

Jadi, dalam cerpen ini digambarkan bahwa Teh Nining berperan ganda. Sayangnya

peran ganda Teh Nining tidak ditunjang oleh suaminya. Suami Teh Nining walaupun

menganggur dan dihidupi oleh istri, sangat dominan, dia galak, istrinya sering sekali

dipukul, sekalipun karena masalah-masalah kecil. Peran ganda Teh Nining sangat

tidak dihargai suaminya. Seandainya Dadang (begitulah nama suami Teh Nining)
186

bangun lebih pagi, karena selalu bangun siang dia akan marah-marah dan

menyumpah-nyumpah, apabila tak disediakan kopi oleh istrinya, sebelum pergi ke

pasar. Teh Nining harus hati-hati sebelum pergi, makanan dan minuman harus

disediakan dahulu, supaya suaminya tidak mencak-mencak.

Pola kehidupan keluarga muda Teh Nining dan Dadang ini menunjukkan

representasi ideologi gender. Tentang peran ganda perempuan ini Parson (Darma,

2002: 26) mengemukakan bahwa penyesuaian dan mekanisme hubungan dalam

rumah tangga dapat dilihat dengan pendekatan sistem yang disebut AGIL, yaitu

Adaptation, Goal Attaintment, Integration, dan Lattern Pattern Maintenance.

Pengaruh eksternal dan internal adanya peran ganda perempuan

mempengaruhi keluarga untuk mengadaptasi perubahan-perubahan. Baik istri

maupun suami sebaiknya dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan

kebutuhan dan harapan peran dengan adanya peningkatan peran perempuan

(Adaptation). Selanjutnya perubahan dan penyesuaian harus diselaraskan dengan

tujuan-tujuan keluarga dan penentuan prioritas. Baik istri maupun suami memiliki

kesempatan yang sama untuk menentukan keputusan apa yang menjadi prioritas

(Goal Attainment). Dalam tahap penyesuaian mungkin saja terjadi konflik,

pertentangan, dan ketegangan, karena suami dan istri memiliki harapan-harapan peran

baru, yang sesuai dengan peran perempuan. Baik keseimbangan muncul dalam

menghadapi harapan-harapan peran yang baru, maka integrasi akan tercapai.

Kesesuaian peran yang diharapkan dapat terjadi (Integritas). Akhirnya harapan-

harapan peran baru diterima. Selanjutnya disosialisasikan dan dipelihara dalam


187

keluarga (Lattern Pattern Maintenance). Norma peran ganda perempuan dengan

segala konsekuensinya terhadap kedudukan atau status perempuan dalam rumah

tangga akan diinternalisasikan oleh keluarga.

Kenyataan konsep AGIL, sama sekali tak terserap oleh keluarga Teh Nining.

Yang ada adalah kesenjangan komunikasi antara Teh Nining dan Dadang. Masing-

masing keduanya mempunyai dasar penilaian menurut pola gender yang telah dibuat

turun-temurun oleh masyarakat.

Pada suatu pagi terdengar suara Teh Nining mengomel karena suaminya

selalu tidur kayak kebo, anaknya menangis tidak mau mandi. Selanjutnya terdengar

suara jeritan Teh Nining yang digampar suaminya. Kekasaran Dadang terhadap

istrinya menunjukkan "pemarginalan, penyubordinasian, pendeskriminasian, dan

perepresian” suami terhadap istri. Kadang-kadang posisi perempuan yang

termarginalisasi diperkuat oleh kaum perempuan itu sendiri. Contohnya, bagaimana

tokoh Umi, sang tetangga ikut memarginalkan tokoh Nining.

Si Nining itu perempuan pembawa apes bagi suami ... usaha Dadang selalu
gagal ... Bagaimana tidak membawa sial, lanjut Umi, waktu menikah dengan
Dadang saja dia sudah tidak perawan ... Eh setelah menikah, dia masih senang
menggoda laki-laki lain ... Bapaknya si Iwang saja yang ketat dikelilingi jampi-
jampi sama Umi, hampir tergoda (hal.110).

Umi senang sekali menjelek-jelekkan Teh Nining. Tokoh aku tak

mempercayainya begitu saja, walaupun Teh Nining kadang-kadang bersikap agak

berlebihan di depan rumah tokoh aku. Tokoh aku berpretensi bahwa Teh Nining

berbuat begitu karena ia simpati pada cara suamiku memperlakukan tokoh aku yang

berbeda dengan cara suaminya memperlakukan dia.


188

4.4.3.3 Ideologi Ibuisme

Munculnya simbol ibu, kemudian diikuti dengan paham “ibuisme”. Paham ini

membawa arti sempit terhadap perempuan, karena perannya dibatasi pada sektor

domestik.

Ideologi ibuisme menuntut perempuan berperan sebagai ibu yang baik,

pendamping suami yang baik, mengurus anak, dan ikut mencari nafkah tambahan.

Memosisikan perempuan seperti ini menunjukkan adanya diskriminasi terhadap

kehidupan perempuan. Soalnya tak ada tuntutan sebanyak itu bagi laki-laki. Laki-laki

hanya dikondisikan sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah (bekerja di

ruang publik), tidak ada tuntutan untuk membantu pekerjaan perempuan di ruang

domestik. Semua posisi ini dikondisikan oleh sistem nilai masyarakat turun-temurun.

Saat Dadang diomeli Teh Nining karena tidur saja kayak kebo, Dadang marah dan

menggamparnya. Tetapi saat Teh Nining tidak menyediakan kopi untuk suaminya

kalau bangun agak pagi, Teh Nining bisa-bisa digampar lagi. Jadi perempuan tidak

bisa menampilkan dirinya, diskriminasi ini berlangsung selama ada dominasi laki-laki

terhadap perempuan, perempuan selalu didefinisikan tidak bisa mendefinisikan.

Tokoh Teh Nining itu adalah tokoh perempuan yang mandiri. Selama ini dia yang

mencari nafkah untuk keluarganya. Selain itu dia tidak pernah mengeluh dan tidak

pernah banyak omong seperti Umi. Tokoh aku heran, kenapa Teh Nining yang masih

muda dan berparas manis mau bertahan punya suami yang memberlakukan dia

seburuk itu. Apa kata Umi mengomentari pertanyaanku ketika Umi memijat tokoh

aku.
189

“Sayang barangkali Neng berpisah dengan laki-laki ganteng macam Dadang.


Lagian ... tidak enak Neng jadi janda ...” (hal. 111).

Tokoh aku heran mengapa Umi mengatakan Dadang ganteng. Pantas dia

selalu menjelek-jelekkan Teh Nining, mungkin dia iri pada Teh Nining, karena

mempunyai suami Dadang. Padahal pada kenyataannya penampilan Dadang itu

sangat menjijikan, kotor, dan bau. Pekerjaannya hanya luntang-lantung dan marah-

marah. Kalau pulang hanya untuk makan, dan kalau tak ada makanan, bisa-bisa Teh

Nining digamparnya. Teh Nining selalu terdiskriminasi, tersubordinasi,

termarginalisasi, dan terepresi.

Umi yang berprofesi pemijat dan pencuci pakaian sambil membawa dagangan

jamu kemasan yang mereknya tak terkenal dan kosmetik murah berceloteh tentang

khasiat jamunya kepada tokoh aku. “Neng, jamu yang ini, Neng, khusus untuk

wanita!” ... Eneng kan baru melahirkan. Nah, ini rahasianya. Supaya rapet dan

nggak becek” (hal. 108-109). Tokoh aku hanya tersenyum, menurut tokoh aku yang

memunculkan kemesraan adalah suasana hati dan kasih sayang yang muncul dari

dalam dan harus muncul dari kedua-duanya, suami dan istri, tidak ada “diskriminasi”.

4.4.3.4 Ideologi Umum

Ideologi umum menunjukkan adanya represi bagi perempuan yang dilakukan

oleh laki-laki. Hal ini juga terjadi karena adanya hegemoni gender. Dalam cerpen

“Ruang Belakang” ini pengarang bercerita tentang keterlibatannya dalam

penceritaan.

“Pagi itu dia dan suaminya terbangun karena jeritan bayinya, yang kaget
karena suara gerombyang gelas dan piring yang dilempar. Jam di dinding baru
190

menunjukkan jam enam lewat sedikit. Terdengar suara laki-laki yang kasar dan
suara benda yang dibenturkan. Tampaknya Dadang menjambak rambut Teh
Nining dan membenturkan kepalanya. Terdengar pula jeritan Teh Nining dan
tangisan anaknya, serta bantingan pintu, kayaknya Dadang pergi. Suamiku
pergi ke belakang ingin melihat apa yang terjadi, tapi dia kembali lagi karena
pintu kamar Teh Nining dikunci (hal 112).”

Siang hari si tokoh aku mengetuk pintu Teh Nining, karena khawatir terjadi

apa-apa pada Teh Nining, tetapi tidak dibuka. Kamar Umi juga sepi, entah ke mana

dia pergi. “Menjelang tengah hari terdengar ketukan di pintu dapur. Ketika pintu

dibuka, tersembul muka bengap dan mata bengkak.” Terjadi dialog antara tokoh aku

dan Teh Nining.

“Eh Teh Nining, masuk Teh!”


“Maaf mengganggu nih, Bu...” ucapnya lirih.
“Nggak apa-apa. Justru saya gembira Teh Nining keluar. Tadi pintunya
beberapa kali saya ketuk...”
“Saya ada di dalam. Cuman tadi saya betul-betul nggak bisa bangun. Pusing.
Nggak enak badan.”
“Dahi Teteh memar, kenapa?”
“Ah cuman terbentur, nggak apa-apa kok.”
“Benar nggak apa-apa?” (hal. 112).

Dia menggeleng pelan, lalu cepat-cepat mengatakan maksudnya akan

meminjam uang untuk ongkos ke Cililin ke rumah kakaknya bersama anaknya. Dia

berjanji akan mengembalikan uangnya kalau kembali dari Cililin.

Dari dialog di atas bisa diketahui bahwa tokoh Teh Nining tidak mau

kejelekan rumah tangganya diketahui orang lain, dia berusaha menutupi apa yang

terjadi sebenarnya. Hal ini juga menunjukkan adanya ideologi gender, yang

menyangkut posisi perempuan yang tabu untuk mengemukakan perasaannya secara

terbuka. Perempuan harus bisa menyimpan perasaan, dan harus bisa tetap menutupi
191

kejelekan-kejelekan suaminya, karena suami adalah kepala rumah tangga dan

panutannya. Teh Nining, yang sudah jelas-jelas mukanya bengap dan matanya

sembab tak mau terbuka menceritakan kepada tokoh aku atas “represi” yang

dilakukan suaminya.

Saat Teh Nining keluar dari rumah tokoh aku dengan sempoyongan,

berpapasan dengan Umi yang baru datang, entah dari mana. Umi dan Teh Nining

sama sekali tidak bertegur sapa. Malah Umi cepat menghampiri tokoh aku dan

mendorong tokoh aku masuk ke dalam dan menutup pintu. Kemudian terjadi dialog

antara Umi dan tokoh aku.

“Si Nining, tadi ngapain?”


“Nggak apa-apa.”
“Dia cerita habis disiksa suaminya?”
“Tidak.”
“Lantas?”
“Pinjam uang.” (hal. 113).

Selanjutnya Umi bercerita bahwa semua uang Teh Nining, termasuk modal

dagangnya diambil suaminya dan dipakai judi. Menurut Umi, Teh Nining pantas

mendapat perlakuan suaminya seperti itu karena Teh Nining main sama tukang ojeg.

Terang saja Dadang marah. “Mana sih ada laki-laki yang mau diperlakukan begitu,”

kata Umi (hal.113). Umi berterus terang bahwa dia yang mengadukan perselingkuhan

Nining dengan tukang ojeg kepada Dadang.

“Apa Umi melihat sendiri Teh Nining berselingkuh?” “Ah tak usah dilihat
sendiri. Semua orang sudah tahu,” kata Umi (hal.113).
192

Percaya atau tidak atas cerita Umi, tokoh aku tetap kasihan sama Teh Nining. Tega-

teganya Umi berbuat seperti itu terhadap tetangga dan sesama perempuan, yang

sebetulnya begitu pasrah mau mencari nafkah untuk kelangsungan kehidupan

keluarga dengan tak lupa melayani suami. Teh Nining betul-betul berada dalam

keadaan “terepresi” oleh kelakuan suaminya.

Sudah lama Aku tidak melihat Dadang, tetapi kadang-kadang menjelang dini hari
terdengar Dadang pulang dalam keadaan mabuk, meracau, lalu muntah di depan
kamarnya (hal. 114).

Kepulangan Teh Nining dari Cililin tidak dapat ditentukan. Namun pada suatu

hari Tokoh aku melihat seorang perempuan di kamar Teh Nining. Tokoh aku mengira

Teh Nining. Namun Umi memberi tahu “Pacarnya si Dadang, Neng. Udah

bunting...” Aku terpaku (hal. 114).

Dalam cerpen “Ruang Belakang” ini terlihat pengarang melibatkan diri

sampai selesai penceritaan. Dia mengungkap kekerasan rumah tangga secara

gamblang, tanpa ada perikemanusiaan dengan seenaknya suami Teh Nining

mengambil uang, modal dagangan istrinya untuk menafkahi keluarga dan

menyiksanya secara fisik dan mental. Dalam cerita ini terlihat bahwa dengan sekadar

gosip, laki-laki sudah wenang untuk merepresi istrinya (dalam hal ini perempuan),

tetapi perempuan tidak bisa berbuat seperti apa yang dilakukan laki-laki. Inilah

kenyataannya apa yang terjadi dengan adanya ketidakadilan gender.


193

BAB V

ANALISIS DATA DAN HASIL PENELITIAN

Dalam bab ini akan dibahas deskripsi perencanaan pembelajaran, deskripsi

pelaksanaan pembelajaran, dan analisis proses pembelajaran. Selain itu, hasil proses

pembelajaran akan dibahas dengan menggunakan statistik (uji-t) untuk mengetahui

apakah ada perbedaan yang signifikan antara hasil belajar mahasiswa sebelum diberi

perlakuan dengan hasil belajar mahasiswa sesudah diberi perlakuan.

5.1 Pemilihan Bahan Model AWKIG

Cerpen yang berideologi gender dapat dijadikan bahan Model AWKIG

sebagai wahana penyadaran terhadap masalah gender. Konsep penyadaran memuat

aspek-aspek kriteria ideologi gender, yaitu pengetahuan, pemahaman, dari sikap

menaruh perhatian atau peka.

Istilah penyadaran dalam pendidikan, pertama kali dikemukakan oleh Paulo

Freire dalam bukunya Pedagogy of The Oppresed, 1970 (Murtafin, Pikiran Rakyat,

18-7-2002). Freire menggunakan suatu metode yang disebutnya concientizacao yang

kemudian istilah ini berkembang di Amerika yang dikenal dengan istilah

consciousness raising (menyadarkan, meningkatkan kesadaran). Metode ini

digunakan untuk mengajar kaum tertindas agar memahami kondisinya dan

mengingatkan mereka untuk mengubah kondisi ketertindasan tersebut. Istilah ini

relevan untuk digunakan dalam penulisan ini, karena penelitian ini melihat kaum
194

perempuan sebagai kelompok yang tertindas oleh ideologi gender yang dikonstruksi

sistem budaya.

Konsep penyadaran mengandung proses atau upaya membentuk pandangan

atau sikap berupa kesadaran. Nasution (1994: 48) menyatakan bahwa kesadaran

adalah sikap menerima, menaruh perhatian, dan peka terhadap gejala, kondisi, situasi,

atau masalah tertentu. Dalam pendidikan kesadaran termasuk ranah afektif. Nasution

(1994: 50) menyatakan bahwa ranah afektif berkenaan dengan kesadaran akan

sesuatu, perasaan, dan pemikiran tentang sesuatu, selanjutnya Nasution (1994: 59)

mengemukakan bahwa hasil belajar afektif memerlukan dasar kognitif. Untuk

menguasai bidang afektif diperlukan penguasaan kognitif, yaitu pengetahuan dan

pemahaman. Dengan demikian dalam proses penyadaran diperlukan upaya untuk

memberi pengetahuan dan pemahaman

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa metode penyadaran

dalam AWKIG adalah metode untuk membentuk kesadaran, mengingatkan, memberi

pengetahuan, pemahaman, dan membentuk sikap menaruh perhatian atau peka.

Oleh karena itu, representasi ideologi gender dalam cerpen tersebut

seharusnya mengandung kriteria sebagai berikut:

1) aspek pengetahuan, yaitu peristiwa, konsep, prinsip, aturan, informasi, dan lain-

lain yang dapat dipelajari yang berhubungan dengan masalah gender;

2) aspek pemahaman, yaitu pandangan yang membutuhkan pemahaman pembaca

terhadap masalah gender, dan


195

3) aspek kepekaan/kesadaran, yaitu kritikan atau gugatan terhadap ideologi gender

yang telah terpakai dalam kehidupan masyarakat.

5.2 Prosedur Pembelajaran Model AWKIG

Pembelajaran ini dirancang berdasarkan model AWKIG yang bertujuan untuk

melibatkan mahasiswa dalam mengeksplorasi pemecahan masalah agar menimbulkan

rasa ingin tahu sehingga mengarahkan mahasiswa berpikir dari tahap berpikir

kongkret ke arah tahap berpikir abstrak. Model belajar ini terdiri atas tiga fase, yaitu

eksplorasi, penemuan konsep, dan aplikasi konsep.

Fase eksplorasi, mahasiswa secara langsung diberi kesempatan menggunakan

pengetahuan awalnya mengobservasi, memahami fenomena wacana, dan

mengomunikasikan pada orang lain. Aspek penting dalam fase ini menciptakan

situasi belajar yang menuntut mahasiswa untuk menggali pengetahuan dan

memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang menantang struktur mental mahasiswa

atau daya berpikirnya. Pada fase ini, dosen berperan sebagai katalisator dan

fasilitator.

Fase penemuan konsep, dosen mengontrol langsung pengembangan

penemuan konsep yang dilakukan mahasiswa dan membantu mengidentifikasi

konsep serta mengembangkan konsep yang mereka dapatkan. Pada fase ini

mahasiswa diarahkan untuk memahami konsep dalam konteks yang bermakna. Dosen

tidak perlu membuat kesimpulan untuk mahasiswa, tetapi mahasiswa dilibatkan

dalam pengembangan cara berpikir dan menganalisis wacana kritis.


196

Fase aplikasi konsep, mahasiswa dituntut untuk melakukan penerapan konsep

atau prinsip-prinsip dalam konteks kehidupan sehari-hari atau berpikir ilmu yang lain

dan selanjutnya menerapkannya dalam kondisi baru. Tujuan fase ini adalah untuk

mendorong pengembangan daya pikir mahasiswa. Dosen berperan sebagai mentor,

mendorong, dan menguji kemampuan mahasiswa untuk menerapkan konsep dalam

situasi baru.

Pembelajaran analisis wacana kritis ideologi gender (AWKIG) ini dilakukan

melalui empat tahap, yaitu (1) tahap orientasi; (2) tahap eksplorasi; (3) tahap

pemahaman konsep; dan (4) tahap aplikasi. Pelaksanaan kegiatan dalam menganalisis

sebuah wacana dapat diuraikan satu persatu.

1) Tahap Orientasi

Tahap orientasi adalah suatu tahapan untuk melayani mahasiswa sebelum

pembelajaran model AWKIG. Hal ini bertujuan untuk memberi kesempatan pada

mahasiswa untuk mengembangkan motivasinya dalam mempelajari suatu wacana

yang hendak dipelajari. Pemahaman wacana ini dapat diperoleh dari pengalaman

pembelajaran.

2) Tahap Ekplorasi

Praanalisis memegang peranan yang sangat penting dalam menggali ide-ide

mahasiswa dengan menggunakan model AWKIG. Pengetahuan awal (first

knowledge) mahasiswa digunakan sebagai dasar dalam merancang dan

mengimplementasikan program pembelajaran. Strategi yang dilakukan dosen untuk


197

membantu mengarahkan mahasiswa melakukan praanalisis model AWKIG adalah

mengekplorasikan gagasan mahasiswa.

Untuk membentuk ide pokok permasalahan yang akan dianalisis dapat

dilakukan dengan penggalian ide. Melalui penggalian ide atau mengekplorasi

gagasan, mahasiswa dapat menggali pengetahuan dan pengalaman dalam bentuk

wacana yang akan dianalisis secara kritis. Pelaksanaan menggali ide/gagasan dapat

melalui langkah-langkah sebagai berikut. (1) dosen menentukan tema wacana yang

akan dianalisis; (2) dosen mengadakan tanya jawab dengan mahasiswa untuk

menggali gagasan, pengalaman, minat, atau hobi yang berhubungan dengan tema

secara terkoreksi terhadap jawaban mahasiswa; (3) mengelompokan jawaban yang

relevan dengan tema berdasarkan tanya jawab yang dilakukan.

Hal lain yang bisa mengarahkan mahasiswa melakukan praanalisis adalah

dengan pemetaan gagasan sebelum melakukan AWKIG, seperti:

a) dosen dan mahasiswa menentukan tema wacana yang akan dianalisis secara

kritis;

b) dosen dan mahasiswa secara bersama menjabarkan tema wacana;

c) berdasarkan pengembangan tersebut, dosen dan mahasiswa menyusun kerangka

model AWKIG.

3) Tahap Penemuan Konsep

Pada tahap rekonstruksi gagasan ini, mahasiswa mengembangkan kerangka

acuan analisis yang disusun berdasarkan wacana kritis yang akan dianalisis dengan

model AWKIG. Penyusunan gagasan tidak lepas dari tema wacana yang akan
198

dianalisis. Pada tahap ini, dosen mendorong dan membangkitkan minat serta

keberanian mahasiswa untuk menganalisis wacana secara kritis. Dosen memberi

penjelasan kepada mahasiswa tentang kerangka model AWKIG melalui temu

pendapat mahasiswa secara berpasangan, berkelompok, atau individu dalam diskusi

dengan dosen.

Strategi yang digunakan dosen untuk membantu dan membimbing

mahasiswa dalam proses belajar model AWKIG adalah strategi pengenalan model

AWKIG. Melalui model ini, mahasiswa memperoleh pemahaman tentang kejelasan

objek yang dideskripsikan. Dengan demikian, mahasiswa memiliki pengetahuan

tentang semua aspek yang sesuai dengan kerangka AWKIG. Langkah-langkahnya

sebagai berikut:

a) mahasiswa menceritakan pengalaman atau gagasan-gagasan yang

menyangkut model AWKIG;

b) dosen memberi arahan dengan pertanyaan yang berkaitan dengan rincian detil

AWKIG dalam cerita mahasiswa;

c) mahasiswa menganalisis wacana dengan model AWKIG;

d) tiap-tiap kelompok atau individu-individu melaporkan hasil kerjanya.

4) Tahap Aplikasi

Pada tahap aplikasi, mahasiswa menuangkan gagasan-gagasannya secara rinci

dan jelas.

Pada tahap pembelajaran penganalisisan wacana kritis, peran dosen adalah

membantu dan mengarahkan agar mahasiswa dapat menggunakan model AWKIG


199

dalam wacana cerpen. Tujuan pembelajaran dengan menggunakan model AWKIG

memberikan bimbingan kepada mahasiswa agar dapat mengungkapkan ide-idenya

yang berhubungan dengan wacana yang dibacanya.

a) Mahasiswa dapat menjelaskan wawasan yang berhubungan dengan AWKIG.

b) Mahasiswa dapat mengaplikasi AWKIG setelah berdiskusi dengan teman-

temannya atas bimbingan dosen.

c) Mahasiswa dapat mengevaluasi hasil analisisnya.

d) Mahasiswa dapat meredaksi AWK-nya sendiri atau AWK temannya, dengan

memperhatikan deskripsi bahasa yang digunakan dalam wacana cerpen.

5.2.1 Pembelajaran Model AWK dalam Kajian Cerpen Berideologi Gender

Dalam pembelajaran ini akan dibahas tentang deskripsi perencanaan

pembelajaran, deskripsi pelaksanaan pembelajaran, dan analisis proses pembelajaran.

Selain itu hasil proses pembelajaran akan dibahas dengan menggunakan statistik

(uji-t) untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang signifikan antara hasil prates dan

hasil pascates.

5.3 Deskripsi Perencanaan Pembelajaran

5.3.1 Nama Model

Model pembelajaran ini dinamakan Model Analisis Wacana Kritis (AWK)

dalam Kajian Wacana Cerpen berideologi Gender. Model ini menghasilkan dua

analisis, pertama sebagai analisis cerpen secara kualitatif dan analisis kedua hasil uji

coba model AWK dalam pembelajaran yang diberikan kepada mahasiswa Jurusan
200

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Angkatan 2003-2004 FPBS UPI yang

mengontrak mata kuliah Tata Wacana, sebagai hasil analisis kuantitatif.

Analisis kualitatif menggunakan pola AWKIG yang telah penulis bahas

dalam bab 4. Yang dianalisis oleh analisis gender ini, yaitu profil gender dan

identifikasi gender, peran gender dan relasi gender, serta ideologi gender dan

ketidakadilan gender.

Dalam analisis kuantitatif akan dibahas proses pembelajaran yang diawali

dengan pemberian prates, kemudian pemberian perlakuan, dan diakhiri dengan

pascates, selanjutnya akan dilakukan pengolahan data dengan menggunakan statistik.

5.3.2 Orientasi Model

Perancangan model ini bertitik tolak bahwa sastra dapat dijadikan media

pendidikan untuk pemahaman dan penyadaran gender seperti apa yang dibahas dalam

bab 2. Cerpen-cerpen yang berideologi gender dapat dianalisis dengan analisis

wacana kritis (AWK). Dalam hal ini penulis mencoba membuat model, yaitu model

Analisis Wacana Kritis Ideologi Gender (AWKIG), dengan harapan wacana-wacana

cerpen akan lebih jelas untuk dianalisis, terutama terhadap pemaparan hal-hal yang

kritis mengenai ideologi gender.

5.3.3 Tahap-tahap Model

Prosedur ini menyangkut tiga tahap, yaitu pertama persiapan, tahap ini

mempersiapkan mahasiswa untuk mengikuti pembelajaran AWK. Pembelajaran

dilakukan oleh seorang dosen yang telah siap dengan bahan-bahan pembelajaran yang

akan disampaikan pada mahasiswa, sedangkan peneliti bertindak sebagai observer


201

dan dibantu oleh seorang dosen yang bertindak sebagai observer lain. Dalam tahap

ini dosen memberikan pengantar tentang berbagai hal yang menyangkut materi

pembelajaran AWKIG yang akan dilaksanakan. Langkah-langkah yang akan

dilakukan, yaitu memberikan pengantar tentang teks (cerpen) yang akan dianalisis

secara kritis, termasuk di dalamnya isu-isu kehidupan nyata yang mirip dengan apa

yang diungkap dalam teks mengenai permasalahan gender.

Tahap kedua, penyajian cerpen. Tahap ini memberi kesempatan kepada

mahasiswa untuk berkenalan langsung dengan cerpen-cerpen berideologi gender.

Mahasiswa dianjurkan membacanya secara bolak-balik untuk lebih memahami apa

yang dibaca dan apa yang akan dianalisis, terutama dalam menentukan deskripsi

bahasa untuk menginterpretasikan makna dan kemudian dapat menjelaskan apa-apa

yang diungkap dalam wacana cerpen tersebut. Hal-hal yang penting diberi tanda

untuk didiskusikan.

Tahap ketiga diskusi, tahap ini merupakan tahap untuk mendiskusikan cerpen

yang disajikan pada tahap kedua secara lebih mendalam. Diskusi pertama-tama

diarahkan untuk memperdalam pemahaman dan keterlibatan mahasiswa terhadap

cerita yang disuguhkan dalam cerpen, baik masalah, gagasan, peristiwa, dan prinsip-

prinsip lainnya mengenai ideologi gender.

Selanjutnya setelah mahasiswa paham dan mereka terlibat dengan

pengalaman yang ada dalam cerpen, diskusi diarahkan pada pembahasan

permasalahan gender, meliputi profil dan identifikasi gender, peran dan relasi gender,
202

ideologi gender dan ketidakadilan gender. Pembahasan ini merupakan awal dari

pembahasan permasalahan gender yang ada di masyarakat.

Dari pembahasan data-data atau fakta-fakta tentang permasalahan gender

yang ada dalam cerpen, maka orientasi pembahasan dihubungkan dengan

permasalahan gender yang ada di masyarakat, tentu saja pada fakta-fakta dan data-

data nyata yang ada di masyarakat. Dengan cara kegiatan ini mahasiswa diarahkan

untuk menemukan sendiri permasalahan gender tersebut. Pembahasan seputar

permasalahan gender dilakukan dengan langkah-langkah kongkret dan mendetil

sehingga secara tidak langsung mahasiswa sadar gender, yang terjadi secara halus dan

simpatik. Diskusi ini tercipta dalam kondisi yang menyenangkan dan menarik minat

mahasiswa.

Tahap keempat pemantapan. Tahap ini diarahkan untuk memantapkan kesan

terhadap persoalan-persoalan dan konsep-konsep yang dibahas pada tahap ketiga.

Pemantapan ini dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai

masalah-masalah dan konsep-konsep seputar gender yang dilakukan oleh dosen dan

dijawab oleh mahasiswa.

Di bawah ini akan dikemukakan tabel mengenai langkah-langkah

perencanaan penerapan model AWK dalam kajian cerpen yang berideologi gender.
203

Tabel 5.1.
Tahap dan Langkah Kegiatan
Perencanaan Penerapan Model AWKIG

No Tahap Langkah-langkah Kegiatan

1. Persiapan Menyampaikan informasi tentang:


1. model AWKIG berikut teori-teorinya
2. tujuan AWKIG
3. langkah-langkah AWKIG
4. pengantar tentang teks cerpen yang akan
dianalisis memakai AWKIG

2. Penyajian bahan Menyimak pembacaan cerpen yang dilakukan


dengan teliti dan bolak-balik dan memberi
(cerpen) tanda (kode) pada teks-teks yang akan dibahas,
disesuaikan dengan informasi tahap 1.

3. Diskusi 1. Mengemukakan kesan umum mengenai isi


cerpen dan cara pengarang menyampaikan
pesan.
2. Mengemukakan keterlibatan jiwa terhadap
pengalaman yang disampaikan dalam
cerpen sesuai dengan apa yang diungkap
pengarang secara khayali, baik masalah,
gagasan, peristiwa yang direpresentasikan
dalam cerpen tersebut.
3. Mengemukakan kaitan pengalaman yang
ada dalam cerpen dengan pengalaman
nyata, baik berupa pengalaman pribadi,
maupun pengalaman nyata yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat.
4. Mendiskusikan tentang profil dan identitas
gender, peran dam relasi gender, serta
stereorip gender yang ada dalam cerpen
dikaitkan dengan kecenderungan
kehidupan laki-laki dan perempuan di
masyarakat. Hal ini dilakukan untuk
menemukan perumusan, perbedaan, ciri-
ciri, contoh peran biologis (kodrat), dan
peran yang dikonstruksi budaya (gender).
5. Mendiskusikan jenis ideologi gender yang
204

cenderung ditentukan oleh masyarakat


sebagai budaya turun temurun, yang tidak
terasa lagi sebagai aturan yang perlu
dipermasalahkan, tetapi aturan ini
merupakan budaya turun temurun yang
sulit untuk diubah. Sebagai contoh adanya
budaya patriarki, budaya familialisme,
budaya ibuisme, dan budaya umum.
Budaya ini semua dikonstruksi secara
sosial.
6. Mendiskusikan peristiwa-peristiwa
terjadinya ketidakadilan gender dalam
cerpen, dihubungkan dengan konsep
ketidakadilan gender seperti subordinasi,
marginalisasi, diskriminasi, dan represi
yang ada di masyarakat secara nyata.
Terjadinya ketidakadilan gender ini
sebagai implikasi dari ideologi gender yang
tercermin dalam kehidupan masyarakat.

4. Pemantapan Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang


berhubungan dengan permasalahan gender
baik tentang rumusan, peran, stereotip,
kodrat, jenis ideologi, ketidakadilan gender,
serta persepsi dan penyadaran mahasiswa
terhadap permasalahan gender dengan
menggunakan AWKIG sebagai pisau
bedahnya.

Model penerapan AWKIG di atas, secara operasional dapat dituangkan dalam

format rencana satuan pengajaran AWKIG dalam pelaksanaan pembelajaran.


205

5.4 Deskripsi Pelaksanaan Pembelajaran

Kegiatan 1 (Pertemuan I)

Kegiatan pertama, mahasiswa diberi prates dalam bentuk tes skala sikap

untuk mengetahui pengetahuan siap mahasiswa mengenai AWK dan ideologi gender.

Setelah selesai melakukan prates, dosen melanjutkan dengan memulai

pembelajaran untuk kegiatan dalam pertemuan pertama ini. Dosen memberikan

pengantar mengenai AWK dan ideologi gender terutama dari segi teoritisnya

mengenai AWK dan ideologi gender. Dosen memberikan contoh-contoh bagaimana

cara menganalisis, mulai dari pembacaan secara teliti, menguasai cara memberi tanda

(kode) untuk menentukan representasi ideologi gender. Pertemuan pertama ini

diakhiri dengan tanya jawab.

Kegiatan 2 (Pertemuan II)

Cerpen “Rambutnya Juminten” dibagikan kepada mahasiswa untuk dibaca

dan disimak secara baik. Mahasiswa dianjurkan membacanya bolak-balik, dan

memberi tanda hal-hal penting yang berhubungan dengan ideologi gender, hal ini

dilakukan supaya mahasiswa lebih memahami isi cerita dan bisa menentukan wacana

mana yang berideologi gender. Setelah pembacaan cerpen dengan bolak-balik supaya

paham akan isi ceritanya, pembelajaran dilanjutkan dengan diskusi.

Diskusi dilakukan dalam kegiatan kedua ini. Dosen meminta mahasiswa

menyertakan keterlibatan perasaan, pikiran, dan imajinasinya dalam membaca cerpen

“Rambutnya Juminten.” Dalam diskusi ini digunakan tanya jawab antara mahasiswa

dengan mahasiswa, mahasiswa dengan dosen, dan dosen dengan mahasiswa. Diskusi
206

didasari oleh teori-teori tentang pemahaman dan pengadaan ideologi gender dengan

penggunaan pisau bedah AWKIG, sebagai pertanyaan pengantar, dosen bertanya

tentang kesan umum setelah membaca cerpen dan kemudian dilanjutkan dengan

diskusi mengenai AWKIG dan diakhiri dengan penugasan membuat analisis yang

dilakukan per kelompok.

Kegiatan 3 (Pertemuan III)

Dosen membagikan cerpen “Mbok Nah 60 Tahun”. Mahasiswa dianjurkan

membacanya dengan cermat dan menandai wacana-wacana penting yang

berhubungan dengan AWKIG. Selanjutnya dilanjutkan dengan diskusi antara

mahasiswa dengan mahasiswa dan mahasiswa dengan dosen. Selain itu mahasiswa

dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh dosen, terutama,

kesesuaian ideologi gender dalam cerpen dengan kenyataan di masyarakat.

pembelajaran diakhiri dengan penugasan membuat analisis sebagai tugas kelompok.

Kegiatan 4 (Pertemuan IV)

Dosen membagikan cerpen “Warung Pinggir Jalan”. Seperti pertemuan

sebelumnya, mahasiswa dianjurkan membaca secara teliti dan cermat, supaya

mahasiswa lancar dalam melaksanakan AWKIG. Pembelajaran dilanjutkan dengan

diskusi dan diakhiri dengan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh dosen,

terutama yang berhubungan dengan kondisi, kejadian, dan peristiwa nyata di

masyarakat tentang ideologi gender dan memberi penugasan membuat analisis per

kelompok.
207

Kegiatan 5 (Pertemuan V)

Dosen membagikan cerpen “Ruang Belakang”. Pelaksanaan pembelajaran

sama dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Diskusi dilakukan dengan cukup

menarik, pemahaman mahasiswa mengenai AWKIG makin bertambah. Pertanyaan-

pertanyaan yang dilontarkan dosen mengenai ideologi gender dan kenyataan di

masyarakat cukup dipahami oleh mahasiswa. Pembelajaran diakhiri penugasan

membuat analisis per kelompok dan pemberian tes akhir (pascates) dalam bentuk tes

skala sikap yang sama dengan prates.

Tatap muka dilakukan dalam lima kali, dengan durasi setiap pertemuan 100

menit. Pertemuan pertama dimulai dengan prates dan pertemuan terakhir (pertemuan

kelima) diakhiri dengan pascates. Di lembar berikutnya akan dikemukakan skenario

perencanaan pembelajaran model AWKIG dalam bentuk bagan.


208

Bagan 5.1.
Skenario Pembelajaran AWKIG

PRATES

Pertemuan 2
Pertemuan I
1. Konsep
1. Konsep
Dosen menjelaskan kembali
Dosen menjelaskan materi
materi AWKIG lalu
AWKIG dan penggunaannya
membagikan cerpen
2. Interpretasi data
“Rambutnya Juminten”
Mahasiswa mencari data yang
2. Interpretasi data
sesuai konsep AWKIG
Mahasiswa mencari dan
melalui pengalaman-
menemukan ide-ide dari cerpen
pengalaman dalam kehidupan
“Rambutnya Juminten”
di masyarakat
3. Aplikasi
3. Aplikasi
Dosen membimbing mahasiswa
Dosen menjelaskan tata cara
untuk menganalisis cerpen
penggunaan AWKIG dalam Pertemuan 3 tersebut dengan menggunakan
cerpen 1. Konsep
Dosen menjelaskan kembali AWKIG.
materi AWKIG lalu
membagikan cerpen “Mbok
Nah 60 Tahun”
2. Interpretasi data
Mahasiswa mencari dan
menemukan ide-ide dari cerpen
“Mbok Nah 60 Tahun”
3. Aplikasi
Dosen membimbing mahasiswa
untuk menganalisis cerpen
tersebut dengan menggunakan
AWKIG.

Pertemuan 4 Pertemuan 5
1. Konsep 1. Konsep
Dosen menjelaskan kembali Dosen menjelaskan kembali
materi AWKIG lalu materi AWKIG lalu
membagikan cerpen “Warung membagikan cerpen “Ruang
Pinggir Jalan” Belakang”
2. Interpretasi data 2. Interpretasi data
Mahasiswa mencari dan Mahasiswa mencari dan
menemukan ide-ide dari cerpen menemukan ide-ide dari cerpen
“Warung Pinggir Jalan” “Ruang Belakang”
3. Aplikasi 3. Aplikasi
Dosen membimbing mahasiswa Dosen membimbing mahasiswa
untuk menganalisis cerpen untuk menganalisis cerpen
tersebut dengan menggunakan tersebut dengan menggunakan
AWKIG. AWKIG.

PASCATES
209

5.4.1 Kegiatan Dosen dan Mahasiswa

Berdasarkan hasil observasi, proses pembelajaran AWKIG akan diuraikan

dalam bentuk matrik. Di bawah ini akan dibahas langkah-langkah pembelajaran

model tersebut.

Tabel 5.2.
Langkah-langkah Pembelajaran AWKIG

Strategi Tahap Kegiatan Pembelajaran


Dosen Mahasiswa
Konsep 1 Memaparkan masalah. Menghadapi masalah.
Memberi informasi Menyerap informasi
mengenai AWK dan tentang AWK dan
Ideologi Gender (IG). Ideologi Gender (IG).
Memberi informasi Menyerap informasi
mengenai cerpen yang mengenai cerpen yang
merepresentasikan IG. merepresentasikan IG.
Memberi informasi cara Menyerap informasi
menggunakan AWKIG. menggenai penggunaan
AWKIG.

Interpretasi 2 Membagikan cerpen. Menerima cerpen.


Data Meminta mahasiswa Membaca cerpen secara
membaca cerpen secara kritis-kreatif.
kritis-kreatif.
Membantu mahasiswa Merespon cara
menggunakan AWKIG. penggunaan AWKIG.

3 Meminta mahasiswa Menyatakan pikiran,


menyimak cerpen dengan perasan, dan imajinasi.
menyertakan perasaan,
pikiran, dan imajinasi.

4 Meminta mahasiswa Menerina informasi


merinci informasi tentang subjek dan objek
mengenai subjek penceritaan, deskripsi
penceritaan, objek bahasa untuk
penceritaan, deskripsi menginterpretasi makna,
bahasa untuk interpretasi sehingga bisa
makna, sehingga bisa mengeksplanasi Jenis
mengeksplanasi Jenis Ideologi Gender (JIG)
Ideologi Gender (JIG) dalam cerpen.
dalam cerpen.
210

5 Memberi penjelasan pada Memahami cerita dengan


mahasiswa bagaimana cara memaknai perilaku
memahami cerita. tokoh cerita.

6 Meminta mahasiswa Menerangkan profil dan


menerangkan profil dan identitas gender, peran
identitas gender, peran dan relasi gender, JIG,
dan relasi gender, dan JIG dan KG yang ada dalam
dan ketidakadilan gender cerpen.
(KG) yang ada dalam
cerpen.

7 Meminta mahasiswa Menghubungkan cerita


menghubungkan cerita dengan pengalaman
dengan pengalaman pribadi cerita lain yang
pribadi, cerita lain yang pernah dibaca dan film
pernah dibaca, dan dalam yang pernah ditonton dan
kehidupan nyata di kenyataan dalam
masyarakat. kehidupan di masyarakat.

8 Meminta mahasiswa Menafsirkan data dengan


menafsirkan data dengna menggunaan deskripsi
cara mengungkap bahasa.
deskripsi bahasa seperti
penggunaan kalimat,
pemilihan diksi, metapora,
penggunaan eufimisme
dan lain-lain.

9 Meminta mahasiswa Menilai data yang ada


menemukan data yang ada dalam cerpen.
dalam cerpen.

Aplikasi 10 Memandu mahasiswa Menganalisis cerpen


menganalisis cerpen dengan menggunakan
dengan menggunakan AWKIG.
AWKIG.

Langkah-langkah pembelajaran AWKIG ini dilaksanakan dalam beberapa kali

pertemuan.

5.4.2 Materi Ajar

Pembelajaran model AWKIG ini tujuannya untuk mengembangkan

keterampilan mahasiswa dalam menganalisis dan mengkaji wacana cerpen yang


211

berideologi gender. Jadi, pembelajaran ini menggunakan cerpen-cerpen yang

sebelumnya telah dikaji dengan kriteria cerpen yang berideologi gender untuk

dijadikan materi ajar. Ada empat buah cerpen yang telah dijadikan materi ajar yaitu

“Rambutnya Juminten”, “Mbok Nah 60 Tahun”, “Warung Pinggir Jalan”, dan

“Ruang Belakang”.

5.4.3 Metode Pembelajaran

Pada pertemuan I, dosen menjelaskan teori-teori AWK dan Ideologi Gender

(IG). Dosen menerangkan dengan metode ceramah dan mahasiswa menyimaknya

dengan tertib. Selanjutnya pembelajaran dilanjutkan dengan metode tanya jawab

dengan bimbing oleh dosen. Pembelajaran mengenai IG sangat menarik sehingga

pelaksanaan pembelajaran molor 30 menit. Tanya jawab dilanjutkan dengan diskusi

yang makin lama makin melebar dengan suasana yang demokratis dan simpatik.

Ternyata sebelum membahas materi wacana cerpen, mahasiswa sudah tertarik pada

permasalahan gender.

Pada pertemuan II, III, IV, dan V dosen masih tetap menerangkan AWKIG,

walaupun mahasiswa sudah memahaminya. Cerpen yang berideologi gender

dibagikan dan harus dibaca secara cermat, bolak-balik, dan memberi kode dengan

menggunakan deskripsi bahasa. Wacana mana saja yang menunjukan IG supaya

mudah memaknainya, menginterpretasikannya, dan menjelaskan ada tidaknya IG

dalam cerpen yang dibacanya. Pembelajaran dilanjutkan dengan diskusi. Mahasiswa

dibagi dalam sepuluh kelompok dan setiap kelompok harus menganalisis cerpen itu

dengan AWKIG. Kemudian hasilnya dikumpulkan dan jika tidak selesai bisa
212

dikerjakan di rumah dan dikumpulkan pada pertemuan selanjutnya. Hal ini dilakukan

pada setiap pertemuan II, III, IV, dan V.

5.4.4 Evaluasi

Evaluasi terhadap tingkat keberhasilan belajar dalam proses pembelajaran

AWKIG dilaksanakan dengan tanya jawab. Dosen memberikan pertanyaan yang

dijawab oleh mahasiswa, namun bila mahasiswa tidak dapat menjawabnya, maka

dosen membantunya. Selain itu, evaluasi pembelajaran dilakukan dengan cara

mengoreksi hasil analisis mahasiswa. Evaluasi ini dilakukan setiap akhir

pembelajaran, yaitu pada pembelajaran II, III, IV, dan V.

5.5 Data Pelaksanaan Pembelajaran Model AWKIG

Pelaksanaan pembelajaran (uji coba) diikuti 30 mahasiswa yang mengontrak

mata kuliah tata wacana (kelas A), Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

angkatan 2003-2004 FPBS UPI. Deskripsi ini dibuat berdasarkan hasil observasi.

5.5.1 Deskripsi dan Analisis Pertemuan I

Kegiatan pembelajaran pada pertemuan pertama terinci dengan jelas pada

tabel berikut.
213

Tabel 5.3.
Kegiatan Pembelajaran I

No Jenis Kegiatan Pembelajaran Metode


Kegiatan Dosen Mahasiswa
1 Prates Membagikan lembaran Menjawab soal prates
prates mengenai AWKIG.
AWKIG dalam bentuk
tes skala sikap.

2 Konsep Memberi informasi Menyerap dan Cermah


mengenai teori-teori menyimak informasi
AWK dan IG. menyenai AWKIG.
Memberi informasi Menyimak informasi Cermah
tentang sejarah tentang sejarah dan
munculnya AWK tokoh-tokoh AWK.
berserta tokoh-
tokohnya.

Memberi informasi Menyimak informasi Cermah


mengenai AWK Sara tentang tokoh AWK
Mills dan AWK Sara Mills dan AWK
Norman Fairclough. Norman Fairclough.

Memberi informasi Menyimak informasi


tentang AWK gabungan mengenai AWK Cermah
Sara Mills dan Norman gabungan Sara Mills
Fairclough. dan Norman
Fairclough.
Memberi informasi Menyimak dan
tentang penggunaan menyerap informasi Cermah
AWK gabungan, tentang penggunaan
terutama cara-cara AWKIG.
menggunakan AWKIG
untuk menganalisis
cerpen yang berideologi
gender.

Memberi pengantar Merespon uraian Cermah


tentang teks cerpen pengantar tentang teks
yang berideologi cerpen yang berideologi
gender. gender.
214

3. Interpretasi Memberi contoh-contoh Menyimak contoh Ceramah


Data mengenai aplikasi teori aplikasi teori AWKIG dan
AWKIG dengan hal-hal dengan kenyataan penugasan
nyata di masyarakat dan kehidupan di
meminta mahasiswa masyarakat dan mencari
memberi contoh lain. contoh sendiri
dengan kenyataan
kehidupan di
masyarakat.

Meminta mahasiswa Melaksanakan kegiatan


mencoba menganalisis analisis dengan Penugasan
dengan menggunakan menggunakan model
AWKIG dan bahan teks AWKIG dengan contoh
yang diberikan sebagai teks yang diberikan
contoh. dosen.

4. Aplikasi Membahas kesan umum Menyerap informasi Ceramah


mengenai AWKIG. yang baik dan jelas dan tanya
mengenai AWKIG. jawab
Membahas mengenai Menyerap informasi Ceramah
definisi kodrat dan tentang kodrat dan dan tanya
gender. gender. jawab
Membahas mengenai Menyerap informasi Ceramah
profil dan identitas yang lebih jelas dan tanya
gender, peran dan relasi mengenai profil dan jawab
gender, dan jenis identitas gender, peran
ideologi gender dan dan relasi gender serta
ketidakadilan gender. jenis ideologi gender
dan ketidakadilan
gender.
Bersama-sama mahasiswa
membahas
Aktivitas laki-laki dan Membahas aktivitas Ceramah
perempuan yang laki-laki dan perempuan dan tanya
dikondisi secara yang dikondisi secara jawab
budaya. budaya.
Peran laki-laki dan Membahas peran laki-
perempuan dalam laki dan perempuan
kenyataan kehidupan di dalam kenyataan
masyarakat. kebudayaan di
masyarakat.
Merumuskan Merumuskan
pengertian kodrat dan pengertian kodrat dan
gender. gender.
215

5.5.1.1 Deskripsi Pembelajaran

Pertemuan pertama ini dilakukan dengan durasi 100 menit, tetapi karena

materi pembelajaran ini menarik bagi mahasiswa, maka waktu untuk pembelajaran ini

ditambah 30 menit. Sebelum pembelajaran model AWKIG dimulai, mahasiswa

terlebih dahulu diberi lembaran soal tentang AWKIG (prates).

Prates ini bertujuan untuk mengungkapkan pengetahuan siap mahasiswa

mengenai AWKIG. Selesai mengerjakan prates, mahasiswa memulai mengikuti

pembelajaran mengenai AWKIG. Dosen menerangkan tentang model pembelajaran

AWKIG. Dalam kegiatan pembelajaran ini, dosen banyak memberi contoh. Penulis

terkadang membantu dosen untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan

mahasiswa tentang permasalahan AWKIG. Hal ini dilakukan karena pembelajaran

AWKIG merupakan hal yang sangat baru bagi mahasiswa. Mereka sangat tertarik

pada permasalahan ideologi gender. Hal ini terjadi kemungkinan karena mahasiswa

kebanyakan perempuan (24) dan laki-laki (6). Jadi mahasiswa perempuan sangat

antusias, sedangkan mahasiswa laki-laki kebanyakan diam.

Pertemuan diakhiri dengan penugasan oleh dosen untuk mencoba

menggunakan AWKIG dalam wacana apa saja, apakah ini wacana media atau wacana

sastra.

5.5.1.2 Analisis Pembelajaran

Berdasarkan hasil observasi, dapat disimpulkan bahwa tahap pembelajaran I

ini cukup menarik, sesudah melakukan prates, mahasiswa diberi pembelajaran

tentang AWK dan ideologi gender. Pembahasan mengenai masalah gender melebar,
216

dan semua mahasiswa menaruh simpati pada persoalan gender, apalagi ketika dosen

memberi contoh tentang prostitusi sebagai salah satu subordinasi dan represi terhadap

perempuan. Dari hasil tanya jawab terlihat mahasiswa berusaha bertanya hal-hal yang

berhubungan dengan kenyataan gender yang ada di masyarakat, secara cepat

mahasiswa sudah memahami tentang ideologi gender dan ketidakadilan gender,

walaupun ada juga mahasiswa yang diam saja. Selanjutnya dari pertanyaan-

pertanyaan dan jawaban-jawaban mahasiswa, penulis dapat mengidentifikasi

kemampuan mahasiswa sebagai berikut:

1) mahasiswa sudah mengerti tentang arti budaya patriarki, familialisme, ibuisme,

dan umum;

2) mahasiswa sudah mengerti walaupun belum memahami benar tentang

subordinasi, marginalisasi, diskriminasi, dan represi;

3) ketika ditanya tentang deskripsi bahasa, mereka masih kelihatan ragu-ragu, belum

paham benar;

4) mahasiswa sudah bisa menghubungkan kenyataan teori ketidakadilan gender

dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat, walaupun masih kelihatan ragu-

ragu menjelaskannya.

Pada akhir pertemuan dosen menyuruh mahasiswa untuk mencoba

mengaplikasikan teori gender dengan pengalaman-pengalaman yang ada di

masyarakat dan di lingkungan mereka sendiri.


217

5.5.2 Deskripsi dan Analisis Pertemuan II

Kegiatan pembelajaran kedua secara rinci dijelaskan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 5.4.
Kegiatan Pembelajaran II

Jenis Kegiatan Pembelajaran Metode


No Kegiatan Dosen Mahasiswa
1 Konsep Memaparkan masalah. Menghadapi masalah. Ceramah
Membagikan cerpen Menerima cerpen
“Rambutnya Juminten”. “Rambutnya Juminten”.
Meminta mahasiswa Membaca cerpen Penugasan
membaca cerpen secara “Rambutnya
cermat, kritis-kreatif Juminten”dengan
dengan bolak-balik cermat, dan menandai
kemudian menandai atau bagian-bagian wacana
memberi kode pada yang akan dianalisis.
bagian-bagian wacana
yang akan dianalisis oleh
AWKIG.

Memberi informasi dan Menyerap informasi Ceramah


memandu mahasiswa tentang cara-cara
tentang cara-cara menggunakan AWKIG.
menggunakan AWKIG
untuk menganalisis
cerpen yang berideologi
gender.
218

2. Interpretasi Meminta mahasiswa Mencoba Penugasan


Data menghubungkan cerita menghubungkan cerita
dengan pengalaman yang dibaca dengan
pribadi, dengan cerita lain pengalaman pribadi,
yang pernah dibaca atau dengan cerita yang
ditonton, dan dengan pernah dibaca atau
kehidupan nyata di ditonton dan dengan
masyarakat. kehidupan nyata di
masyarakat.
Meminta mahasiswa Mulai mengalanalisis Penugasan
menganalisis cerpen wacana dengan
“Rambutnya Juminten”, menggunakan AWKIG.
siapa yang menjadi Dengan mudah bisa
subjek, siapa yang menguraikan langsung
menjadi objek, deskripsi karena waktu
bahasa yaitu tentang pembacaan sudah
pilihan diksi, frase, membuat tanda-tanda
kalimat dan lain-lain, lalu dan kode-kode secara
menginterpretasi makna cermat dengan cara
tentang IG dan KG. membaca bolak-balik
kritis-kreatif.

3. Aplikasi Membimbing mahasiswa Menyimak penjelasan Ceramah


menganalisis wacana dosen, bagaimana
yang ada dalam cerpen. mengaplikasikan
AWKIG dalam
menganalisis cerpen.
Memeriksa hasil AWKIG Bila belum faham Penugasan
mahasiswa dan mencoba lagi, mencoba
menjelaskan kembali bila lagi, sampai faham
ada yang belum paham sesuai bimbingan
benar. dosen.

5.5.2.1 Deskripsi Pembelajaran

Pertemuan kedua, mahasiswa mulai dihadapkan pada cerpen yang akan

dianalisis yaitu “Rambutnya Juminten”. Dosen mengulas kembali tentang konsep-

konsep AWKIG, dalam arti menerangkan bagian tentang teks yang akan dibahas,

menentukan subjek dan objek penceritaan, deskripsi bahan untuk menginterpretasi

makna, dan kemudian mengeksplanasi terutama tentang jenis ideologi gender dan
219

tentang adanya ketidakadilan gender. Indikator pada tahap penentuan subjek dan

objek penceritaan diwakili dengan pertanyaan siapakah yang menjadi subjek

penceritaan dan siapakah yang menjadi objek penceritaan pada tahap ini, mahasiswa

mampu menjelaskan siapa yang menjadi subjek dan objek penceritaan serta

bagaimana tindakan subjek terhadap objek penceritaan tersebut?“

“Yang menjadi subjek penceritaan adalah Panuwun dan yang menjadi objek

pencerita adalah Juminten”. (Pipit Fitriani)

“Tindakan Panuwun kejam terhadap istrinya Juminten, karena Juminten tidak

boleh keluar tanpa didampingi suami”. (Septiani)

“Melarang Juminten mempunyai keinginan-keinginan, misalnya Juminten

ingin memotong rambutnya pendek, tetapi oleh suaminya diharuskan

memanjangkan rambutnya”. (Anggita)

“Menurut saya Juminten terlalu menurut, sehingga Panuwun seenaknya

memperlakukan istrinya”. (Santi Listiawati)

“Panuwun adalah tipe suami egois, dia tidak mau memperhatikan keinginan-

keinginan istrinya”.

Tahap berikutnya menentukan deskripsi bahasa untuk menginterpretasi

makna dari wacana-wacana yang dibahas. Dosen memberi contoh yang diambil dari

teks ”Rambutnya Juminten”, misalnya tentang penggunaan majas eufimisme atau

kalimat-kalimat yang menunjukkan sikap kekuasaan dan otoriter, pemilihan diksi

sangat menentukan dalam menginterpretasi makna. Pertanyaan yang berhubungan

dengan hal ini adalah:


220

1) apakah Anda setuju dengan sikap Panuwun terhadap istrinya Juminten?

2) apakah Anda setuju dengan kalimat Panuwun yang diucapkan berulang-ulang,

“Ten, kamu dandan untuk suami, ya kan?”

3) apakah Anda setuju dengan penggunaan kata “pokoknya” yang diucapkan

Panuwun dalam kalimat “pokoknya, saya melarang kamu keluar rumah!”

Jawaban mahasiswa bervariasi, kebanyakan menjawab “tidak setuju”,

kebanyakan jawaban mahasiswa perempuan menjawab tidak setuju, tetapi ada

mahasiswa laki-laki yang menjawab sangat setuju, dengan alasan suami adalah kepala

keluarga rumah tangga, jadi wajar melarang istri untuk bertindak dan berperilaku

sesuai aturan suami. Hal ini menunjukkan bahwa budaya patriarki masih sangat

kental bagi kaum laki-laki, walaupun sudah berada dalam situasi, kondisi sekarang

(globalisasi).

Eksplanasi merupakan tahap akhir dari AWKIG, yaitu untuk menjelaskan

adanya ketidakadilan gender dalam cerpen yang dianalisis tersebut. Penjelasan ini

bisa diungkap dari pertanyaan yang dikemukakan dan mengenai eksplanasi yang

mengungkapkan masalah adanya KG dalam cerpen “Rambutnya Juminten.”

Pertanyaan-pertanyaan berikut antara lain:

1) menurut Anda Apakah ada subordinasi, marginalisasi, diskriminasi, dan represi

dalam teks cerpen “Rambutnya Juminten” ?

2) menurut Anda Apakah cerpen “Rambutnya Juminten” ini bermanfaat?

3) pesan apa yang Anda dapatkan dari cerpen tersebut?


221

Jawaban-jawaban mahasiswa tentang ketiga pertanyaan di atas bervariasi.

Adapun jawaban yang mewakili secara keseluruhan adalah;

“Ya, keempat aspek ketidakadilan gender yaitu subordinasi, marginalisasi,

diskriminasi dan represi ada dalam wacana cerita tersebut. Contohnya terlihat

dalam ucapan Panuwun “Pokoknya, kamu tidak boleh keluar rumah kalau

tidak ada saya!”. (Wati Herawati)

“Ya, sangat bermanfaat untuk penyadaran gender. Perempuan boleh menurut

tetapi jangan munafik, jangan didominasi, tetapi rasional dan manusiawi”.

(Pipit Fitriani)

“Pesan yang didapatkan dari cerpen ini seolah-olah cerpen ini kena dalam

kenyataan kehidupan sehari-hari kaum perempuan.”(Vina)

Di akhir pertemuan, Dosen membimbing mahasiswa dalam melaksanakan

AWKIG.

5.5.2.2 Analisis Pembelajaran

Berdasarkan hasil observasi dapat disimpulkan bahwa tahap “eksplanasi”

dapat dilakukan cukup baik oleh mahasiswa jawaban-jawaban yang dikemukakan

memfasilitasi mahasiswa untuk mengembangkan daya analisisnya, mahasiswa

mencoba mengaitkan isi cerita dengan kenyataan kehidupan di masyarakat, apalagi

kalau dikaitkan dengan budaya turun temurun bahwa istri harus selalu menyenangkan

suami.

Dalam tahap deskripsi bahasa dan interpretasi makna, asalnya mahasiswa

agak bingung, mereka kesulitan mementukan pilihan diksi, termasuk menemukan


222

kegunaan metafora atau eufimisme. Untuk lebih jelas dosen memberi contoh, yang

akhirnya mahasiswa lancar dalam memilih kata yang dianggap penting dari cerpen

itu, walupun masih ragu-ragu dalam mengemukakan alasan pemilihan kata itu.

Akhir pertemuan, dosen mengingatkan agar mahasiswa mau berlatih

melakukan AWKIG terutama dalam melakukan deskripsi bahasa.

5.5.3 Deskripsi dan Analisis Pertemuan III

Proses pembelajaran III ini dapat dilihat dari tabel berikut di bawah ini.

Tabel 5.5.
Kegiatan Pembelajaran III

No Jenis Kegiatan Pembelajaran Metode


Kegiatan Dosen Mahasiswa
1 Formasi Memaparkan Menghadapi Ceramah
permasalahan gender. permasalahan gender.
Membagikan cerpen Menerima cerpen
“Mbok Nah 60 Tahun”. “Mbok Nah 60 Tahun”.
Meminta mahasiswa Membaca cerpen Penugasan
membaca cerpen secara “Mbok Nah 60 Tahun”
cermat dan kritis- dengan cermat
kreatif, bolak-balik menandai bagian-
serta memberi tanda bagian wacana yang
atau kode pada bagian- akan dianalisis.
bagian wacana yang
akan dianalisis dengan
menggunakan AWKIG.
Memandu mahasiswa Menyerap informasi Ceramah
dan memberi informasi tentang cara-cara
mengenai cara-cara menggunakan AWKIG.
menggunakan AWKIG.
223

2 Interpretasi Meminta mahasiswa Mencoba Penugasan


Data menghubungkan cerita menghubungkan cerita
dengan pengalaman dengan pengalaman
pribadi, dengan cerita pribadi, dengan cerita
lain yang pernah lain yang pernah
dibaca, ditonton, dan dibaca, ditonton, dan
dengan kehidupan nyata dengan kehidupan nyata
di masyarakat. di masyarakat.
Meminta mahasiswa Mulai menganalisis Penugasan
menganalisis cerpen wacana dengan
“Mbok Nah 60 Tahun”. menggunakan AWKIG.
Siapa yang menjadi Dengan mudah bisa
subjek dan objek menguraikan langsung
penceritaan, deskripsi waktu pembaca cerpen
bahasa, yaitu tentang sudah membuat tanda-
pemilihan diksi, frase, tanda dan kode-kode
kalimat, dan lain-lain. secara cermat dengan
Lalu menginterpretasi cara membaca bolak-
IG dan KG dan balik, kritis-kreatif.
mengeksplanasi
3 Aplikasi Membimbing Menyimak penjelasan- Ceramah
mahasiswa penjelasan dosen,
menganalisis wacana bagaimana
yang ada dalam cerpen mengaplikasikan
“Mbok Nah 60 Tahun” AWKIG dalam
dengan menggunakan menganlisis cerpen.
AWKIG.
Memeriksa hasil Bila belum paham Penugasan
AWKIG mahasiswa mencoba kembali
dan menjelaskan sampai paham sesuai
kembali bila ada yng dengan bimbingan
belum paham benar. dosen.

5.5.3.1 Deskripsi Pembelajaran

Pertemuan ketiga ini diawali dengan penjelasan ulang mengenai AWKIG.

Selanjutnya dosen membagikan cerpen “Mbok Nah 60 Tahun”. Mahasiswa

membacanya dengan teliti dan cermat, kemudian memberi tanda tentang penentuan

subjek penceritaan dan objek penceritaan. Deskripsi bahasa sangat berguna terutama

untuk menginterpretasi makna. Dari interpretasi makna dilanjutkan dengan

eksplanasi, yaitu mengeksplanasi tentang jenis-jenis IG dan KG, indikator pada tahap
224

penentuan subjek penceritaan dan objek penceritaan diawali dengan pertanyaan;

siapakah yang menjadi subjek dan siapakah yang menjadi objek, serta bagaimana

tindakan subjek terhadap objek penceritaan tersebut?

“Yang menjadi subjek penceritaan dalam cerpen “Mbok Nah 60 Tahun”

adalah Marno dan yang menjadi objek penceritaan adalah Mbok Nah.”

(Suryowati)

“Tindakan Marno sangat menyakiti Mbok Nah dengan melakukan

perselingkuhan dengan Meri benar-benar di depan mata istrinya dan di

rumahnya sendiri.” (Witri Diani)

“Marno itu betul-betul tidak punya perasaan tidur sekamar dengan Meri,

sepertinya Mbok Nah tidak berarti apa-apa”. (Eli Marlina)

“Mbok Nah itu terlalu lugu, sabar, kejadian perselingkuhan suaminya

dianggapnya seperti tak ada apa-apa. Terang saja suaminya

menyepelekannya”. (Pipit Fitriani)

“Marno itu suami yang egois dan tidak berperasaan, melecehkan istri dan

merepresi.” (Ovik)

Dari sekian banyak jawaban, maka jawaban yang lima buah inilah yang

dianggap penulis cukup mewakili pertanyaan yang dikemukakan dosen.

Tahap selanjutnya menentukan deskripsi bahasa untuk menginterpretasi

makna dan kemudian mengeksplanasi. Dalam cerpen ini tidak terlihat kekerasan

Marno terhadap istrinya Mbok Nah. Jadi, secara fisik aman-aman saja, dalam cerpen

itu diceritakan sikap partriatikal Marno, bahwa sikap dan tingkah laku Marno sangat
225

kejam. Dosen memberikan pertanyaan kepada mahasiswa tentang deskripsi bahasa

yang menunjukan kekejaman Marno terhadap istrinya. “Bagian wacana manakah

yang menunjukkan Marno merepresi istrinya.”

“Setiap Mbok Nah sampai di tempat kos Meri, Marno masih duduk

tercenung. Ia akan tersenyum malu-malu jika melihat Mbok Nah mengetuk

kamar Meri. Mbok Nah selalu kesemsem pada senyum Marno, padahal

kenyataannya senyum Marno bukan buat Mbok Nah, tapi buat Meri.”

(Marfuah)

“Dari kamar belakang dia mendengar suara Marno dan suara Meri, suara-

suara yang mengingatkan Mbok Nah pada malam-malam kebersamaannya

dengan Marno.” (Vinna)

“Larut malam ketika kentongan berbunyi dua kali, Mbok Nah masih

menunggu Marno. Cuma dengkuran dari kamar sebelah yang didengarnya.

Jerit burung malam, yang kata orang-orang tua pertanda buruk membuat

Mbok Nah ngeri.” (Heni)

“....Mbok Nah berjalan ke luar. Pintu kamar belakang terkuak sedikit,

dilihatnya Meri lelap dengan muka masih penuh riasan. Di sisi ketiaknya

Marno tidur meringkuk seperti bayi.” (Evi)

Subordinasi, margianalisasi, diskriminasi, dan represi yang dilakukan Marno

terhadap Mbok Nah ternyata bukan secara fisik, tetapi secara psikis (moral), halus

tapi lebih menyakitkan. Dosen bertanya; “Apakah Anda menyenangi cerpen ini?”
226

“Sangat menyenangi sebab kenyataan perselingkuhan seperti cerita itu banyak

terjadi dalam kehidupan masyarakat.” (Vinna)

“Saya tidak menyukai cerpen itu, karena terlalu melecehkan perempuan.”

(Pipit Fitriani)

“Saya tidak menyukai cerpen itu, karena menggambarkan sikap Mbok Nah

yang terlalu polos dan lugu, seolah-olah tolol, malah menyalahkan dirinya

yang tua, keriput dan legam.” (Nisri)

5.5.3.2 Analisis Pembelajaran

Berdasarkan uraian deskripsi pembelajaran di atas dapat disimpulkan bahwa

mahasiswa sudah mulai memahami AWKIG. Setiap pertanyaan dosen dijawab sesuai

yang diharapkan, tetapi ada juga yang menjawab dengan asal-asalan, tetapi pada

dasarnya tujuan pembelajaran sudah tercapai.

Selanjutnya dari jawaban-jawaban mahasiswa penulis dapat mengidentifikasi

kemampuan mahasiswa sebagai berikut:

1) mahasiswa sudah bisa menentukan tokoh yang menjadi subjek penceritaan

dan yang menjadi objek penceritaan;

2) mahasiswa sudah bisa menerangkan tindakan-tindakan yang merujuk KG yang

dilakukan subjek penceritaan kepada objek penceritaan;

3) mahasiswa sudah bisa memilih wacana sebagai deskripsi bahasa untuk

interpretasi makna dan untuk bahan eksplanasi;


227

4) mahasiswa bisa melakukan penilaian terhadap isi cerita, yang terlihat dari

pernyataan-pernyataan yang menyatakan menyukai dan tidak menyukai isi cerita

tersebut.

5.5.4 Deskripsi dan Analisis Pertemuan IV

Di bawah ini adalah tabel kegiatan pembelajaran keempat yang akan dibahas

secara rinci.

Tabel 5.6.
Kegiatan Pembelajaran IV

No Jenis Kegiatan Pembelajaran Metode


Kegiatan Dosen Mahasiswa
1 Formasi Memaparkan Menghadapi Ceramah
permasalahan permasalahan gender.
Membagikan cerpen Menerima cerpen
“Warung Pinggir “Warung Pinggir
Jalan. ” Jalan.”
Meminta mahasiswa Membaca cerpen Penugasan
membaca cerpen secara “Warung Pinggir
cermat, kritis-kreatif, Jalan ” dengar
dan bolak-balik serta ceramah serta
memberi tanda atau menanda dari
kode pada bagian- mengode bagian-
bagian wacana yang bagian wacana yang
akan dianalisis dengan akan dianalisis.
menggunakan AWKIG.
Memandu dan Menyerap informasi Ceramah
memberi informasi tentang cara-cara
mahasiswa mengenai menggunakan
cara-cara menggunakan AWKIG.
AWKIG.
228

2 Interpretasi Meminta mahasiswa Mencoba Penugasan


Data menghubungkan cerita menghubungkan
dengan pengalaman cerita dengan
pribadi, dengan cerita pengalaman pribadi,
lain yang pernah dengan cerita lain
dibaca, ditonton, dan yang pernah dibaca,
dengan kehidupan nyata ditonton, dan dengan
di masyarakat. kehidupan nyata di
masyarakat. Penugasan
Meminta mahasiswa Mulai menganalisis
menganalisis wacana dengan
cerpen“Warung Pinggir menggunakan dengan
Jalan ” lancar bagian-bagian
Siapa yang menjadi wacana yang akan
dan objek penceritaan, dianalisi telah diberi
deskripsi bahasa, yaitu tanda-tanda dan
tentang pemilihan diksi, kode-kode secara
frase, kalimat, dan lain- cermat dengan cara
lain. Lalu membaca bolak-
menginterpretasi dan balik, kritis-kreatif.
mengeksplanasi.

3 Aplikasi Membimbing Menyimak Ceramah


mahasiswa penjelasan-penjelasan
menganalisis wacana dosen, bagaimana
yang ada dalam mengaplikasikan
cerpen“Warung Pinggir AWKIG dalam
Jalan ” dengan menganlisis
menggunakan AWKIG. cerpen“Warung
Pinggir Jalan. ”

Memeriksa hasil Bila belum paham Penugasan


AWKIG mahasiswa mencoba kembali
dan menjelaskan sampai paham sesuai
kembali bila ada yang dengan bimbingan
belum paham benar. dosen.

5.5.4.1 Deskripsi Pembelajaran

Seperti biasanya pada pertemuan-pertemuan sebelumnya pertemuan IV ini

diawali juga dengan penjelasan AWKIG. Selesai memberi penjelasan Dosen

membagikan cerpen “Warung Pinggir Jalan.” Dosen meminta mahasiswa

membacanya dengan bolak-balik, berulang-ulang agar paham betul akan isinya.


229

Dengan membaca bolak-balik ini secara tidak disadari mahasiswa dibawa ke

pembacaan kritis-kreatif, dalam arti mereka akan paham apa yang dibaca, dengan

mudah mereka bisa memberi tanda atau memberi kode pada bagian-bagian wacana

yang akan dianalisis. Deskripsi bahan sangat bermanfaat terutama untuk

menginterpretasikan makna, dari interpretasi makna dilakukan eksplanasi, yaitu

eksplanasi tentang jenis-jenis ideologi gender dan ketidakadilan gender. Indikator

pada tahap penentuan subjek dan objek penceritaan diawali dengan pertanyaan;

“siapakah yang menjadi subjek penceritaan dan siapakah yang menjadi objek

penceritaan?”. Pada tahap ini diperkirakan mahasiswa mampu menjelaskan siapa

yang menjadi subjek dan siapa yang menjadi objek. Pertanyaan dilanjutkan dengan;

“Bagaimanakah tindakan (perlakuan) subjek terhadap objek penceritaan tersebut?”

Jawaban yang muncul sangat bervariasi.

“Yang menjadi subjek penceritaan dalam cerpen “Warung Pinggir Jalan”,

adalah Emet dan yang menjadi objek penceritaan adalah Idah.” (Vinna)

“Emet adalah betul-betul seorang hidung belang yang tidak punya

perikemanusiaan. Idah seorang anak berumur belasan tahun, yang pantas jadi

anaknya diperawani.” (Yuli Nurliati)

“ Pelecehan Emet terhadap Idah dengan cara mengelus-ngelus pantat Idah

sangat menjijikan, padahal Idah itu anak yang masih ingusan yang pantas jadi

anak Emet.” (Nisri Nurhasanah)


230

“Sayang Idah tidak mengerti apa-apa tentang niat buruk Emet, Idah masih

lugu dan ingusan, jadi gampang untuk dirayu Emet yang pantas jadi

bapaknya.” (Suryowati)

Dari sekalian banyak jawaban, Maka keempat jawaban di atas penulis anggap

cukup untuk mewakili jawaban pertanyaan dosen.

Tahap selanjutnya menentukan deskripsi bahasa untuk mengintepretasikan

makna dan kemudian mengekplanasi. Dalam cerpen ini diceritakan bahwa

lingkungan kehidupan Idah banyak pelacur. Tentu saja perkembangan kehidupan

Idah pun terpengaruh. Idah sangat mengidolakan tokoh Mira, pelacur di seberang

jalan, pakaiannya banyak dan bagus-bagus, begitu pula sepatunya, badannya wangi,

selalu tersenyum dan ceria. Kalau sore ada seorang laki-laki yang menjemputnya

memakai truk mini, dan subuh kembali diantar pulang. Kalau laki-laki yang

mengantarkannya turun dari mobil, mereka berciuman dahulu dengan badan merapat.

Kejadian tersebut selalu menjadi bayangan keingintahuan Idah untuk berbuat seperti

Mira, ibunya tak mengetahui apa yang bergejolak dalam pikiran Idah yang tidak

hanya sering memergoki anaknya sedang memperhatikan tingkah laku Mira di

seberang jalan dan Emak sering menegurnya. Karena itu saat pantatnya dielus-elus

Emet, dia tidak bereaksi apa-apa pada Emet, justru ia merasakan perasaan aneh yang

nanti terbawa ke sekolah pada siang hari. Inilah yang meracau pikiranya, sehingga

dia selalu ingin membuktikan ketidaktahuannya. Emet tahu tentang hal ini dan dia

tahu bahwa Idah menyenanginya. Setali tiga uang, Idah ingin mencoba ketidaktahuan

perasaannya dan Emet hidung belang yang penuh nafsu birahinya ingin
231

melampiaskan nafsu binatangnya, terjadilah prostitusi. Kalau dilihat dari keduanya

yang suka sama suka, prostitusi ini seolah-olah tidak ada yang harus disalahkan,

tetapi kalau melihat kondisi Idah yang masih anak-anak belasan tahun yang pantas

menjadi anak Emet, hal itu bisa dikatakan Emet itu keterlaluan dan tidak manusiawi.

Pertanyaan yang diajukan dosen berhubungan dengan uraian di atas adalah:

1) apakah Anda setuju dengan perlakuan Emet terhadap Idah?

2) apakah kesan Anda terhadap tingkah laku Emet pada Idah yang belasan tahun

umurnya?

3) Idah meminta Emet menggali sumur, Emet sutuju. ‘Neng, jangankan masuk

sumur, masuk liang kubur mang mau, kalau neng yang minta” Emet tertawa

lebar, dan tanganya mencubit pipi Idah. Dari wacana di atas apa yang tersirat

pada pikiran Anda?

Jawaban Mahasiswa bervariasi, kebanyakan menjawab tidak setuju.

Kebanyakan menjawab setuju dengan alasan Emet itu sudah bapak-bapak masa tega

melecehkan perempuan yang msih kecil yang pantas jadi anaknya. Ada pula yang

menjawab wajar Emet berbuat begitu karena Emet melihat Idah menyenanginya, jadi

merasakan kesempatan emas bagi Emet untuk melaksanakan niat busuknya. Kalimat

“Jangankan masuk sumur, masuk liang kubur mang mau, kalau neng yang minta.”

Menunjukkan bahwa Emet itu seorang laki-laki yang pandai merayu perempuan,

apalagi perempuan kecil yang polos. Emet mau berbuat apa saja demi melampiaskan

nafsu bejadnya.
232

Eksplanasi merupakan tahap akhir dari AWKIG yaitu untuk menunjukkan

adanya ketidakadilan gender dalam cerpen yang dianalisis tersebut. Penjelasan

(eksplanasi) ini bisa diungkap dari pertanyaan yang dikemukakan dosen mengenai

adaya ketidakadilan gender dalam cerpen “Warung Pinggir Jalan.”

1) Menurut Anda Apakah ada subordinasi, marginalisasi, diskriminasi, dan resepsi

dalam teks cerpen “Warung Pinggir Jalan?”

2) Menurut Anda apakah cerpen “Warung Pinggir Jalan” ini bermanfaat?

3) Pesan apa yang Anda dapatkan dari cerpen tersebut?

Jawaban-jawaban mahasiswa bervariasi tentang ketiga pertanyaan tersebut.

Adapun jawaban yang mewakili secara keseluruhan adalah:

1) keempat aspek ketidakadilan gender yaitu subordinasi, marginalisasi,

diskriminasi, dan represi ada dalam wacana cerpen tersebut. Hal ini terlihat dari

perilaku Emet yang kurang ajar terhadap Idah yang masih belia dan polos. (Ovik);

2) cerpen “Warung Pinggir Jalan” ini sangat bermanfaat bagi penyadaran dan

pemahaman gender. (Suryowati);

3) pesan yang didapatkan cerpen ini adalah perlunya penyadaran gender dari sejak

dini. (Pipit).

Di akhir pertemuan IV ini, dosen tetap membimbing mahasiswa dalam

melaksanakan AWKIG.

5.5.4.2 Analisis Pembelajaran

Berdasarkan hasil observasi dapat disimpulkan bahwa tahap eksplanasi dapat

dilakukan cukup baik oleh mahasiswa. Jawaban-jawaban yang dikemukakan


233

memfasilitasi mahasiswa untuk menyumbangkan daya analisisnya. Mahasiswa

mencoba mengaitkan isi cerita dengan kenyataan kehidupan di masyarakat.

mahasiswa memberi contoh tentang kehidupan pelacur (istilah modern PSK) yang

terjadi di Ancol Jakarta dan di daerah Pantai Utara Jawa Barat, banyak sekali anak-

anak perempuan yang masih belia menjadi pelacur, mereka mengetahui dari koran.

Dalam tahap deskripsi bahasa, masih agak kesulitan dalam menentukan diksi

yang diinterpretasi sebagai kata kunci untuk menginterpretasikan makna. Dosen

memberi contoh yang membuat mahasiswa paham dalam memilih kata itu.

Akhir pertemuan dosen mengingatkan agar mahasiswa mau melatih diri untuk

mencoba berulang-ulang melakukan AWKIG termasuk tugas kelompok yang

dikerjakan di rumah.

5.5.5 Deskripsi dan Analisis Pertemuan V

Proses pembelajaran V ini dapat dilihat dari tabel berikut di bawah ini.
234

Tabel 5.7.
Kegiatan Pembelajaran V

No Jenis Kegiatan Pembelajaran Metode


Kegiatan Dosen Mahasiswa
1 Formasi Memaparkan Menghadapi Ceramah
permasalahan gender. permasalahan gender.
Membagikan cerpen Menerima cerpen
“Ruang Belakang.” Ruang Belakang.”
Meminta mahasiswa Membaca cerpen Penugasan
membaca cerpen “Ruang Belakang”
“Ruang Belakang” dengar ceramah serta
secara cermat, kritis, menanda bagian-bagian
dan kreatif, bolak-balik wacana yang akan
supaya betul-betul dianalisis.
memahami, kemudian
memberi tanda atau
kode pada bagian-
bagian wacana yang
akan dianalisis dengan
menggunakan AWKIG.
Memandu mahasiswa Menyerap informasi Ceramah
dan memberi informasi tentang cara-cara
mengenai cara-cara menggunakan AWKIG.
menggunakan AWKIG.

2 Interpretasi Meminta mahasiswa Mencoba Penugasan


Data menghubungkan cerita menghubungkan cerita
dengan pengalaman dengan pengalaman
pribadi, dengan cerita pribadi, dengan cerita
lain yang pernah lain yang pernah
dibaca, ditonton, dan dibaca, ditonton, dan
dengan kehidupan nyata dengan kehidupan nyata
di masyarakat. di masyarakat.
Meminta mahasiswa Mulai menganalisis Penugasan
menganalisis cerpen wacana dengan
“Ruang Belakang” menggunakan dengan
Siapa yang menjadi lancar bagian-bagian
subjek dan objek wacana yang akan
penceritaan, deskripsi dianalisi telah diberi
bahasa, yaitu tentang tanda-tanda dan kode-
pemilihan diksi, frase, kode secara cermat
kalimat, dan lain-lain. dengan cara membaca
Lalu menginterpretasi bolak-balik, kritis-
dan mengeksplanasi kreatif.
ideologi gender dan
ketidakadilan gender.
235

3 Aplikasi Membimbing Menyimak penjelasan Ceramah


mahasiswa dosen, bagaimana
menganalisis wacana mengaplikasikan
yang ada dalam cerpen AWKIG dalam
dengan menggunakan menganalisis cerpen.
AWKIG.
Memeriksa hasil Bila belum paham Penugasan
AWKIG mahasiswa benar mengenai
dan menjelaskan AWKIG, mencoba
kembali bila ada yang kembali, mencoba
belum paham benar kembali, sampai paham
mengenai AWKIG. sesuai dengan
bimbingan dosen.

5.5.5.1 Deskripsi Pembelajaran

Pada awal pertemuan V ini, dosen memberi penjelasan ulang mengenai

AWKIG. Selanjutnya dosen membagikan cerpen “Ruang Belakang.” Mahasiswa

membacanya secara kritis-kreatif, teliti, dan cermat. Kemudian memberi tanda atau

kode untuk menentukan subjek dan objek penceritaan. Deskripsi bahasa sangat

bermanfaat untuk menginterpretasi makna yang sangat dibutuhkan dalam analisis

adanya jenis-jenis ideologi gender seperti ideologi patriarki, ideologi familialisme,

ideologi ibuisme, dan ideologi umum. Dari uraian interpretasi ini bisa dieksplanasi

mengenai adanya ketidakadilan gender, seperti subordinasi, marginalisasi,

diskriminasi, dan represi.

Indikator tahap penentuan subjek dan objek penceritaan, diawali dengan

pertanyaan: 1) ”Siapakah yang menjadi subjek penceritaan dan siapakah yang

menjadi objek penceritaan?”, dan kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan yang

menanyakan; dan 2) “Bagaimanakah tindakan subjek penceritaan terhadap objek

penceritaan?.”
236

jawaban mahasiswa bervariasi, di bawah ini dikemukakan jawaban mahasiswa yang

dianggap mewakili jawaban-jawaban lainnya.

“Yang menjadi subjek penceritaan adalah Dadang yang berperan sebagai

suami, dan objek penceritaan yaitu Teh Nining yang berperan sebagai istri.

(Witri Diani)

“Dadang itu seorang pengangguran, kerjanya kluyuran, main gapleh dengan

pemuda-pemuda pengangguran, minum-minum, tidur kayak kebo, dan

dinafkahi oleh istrinya, tetapi Dadang sangat galak kepada istrinya, Dadang

seorang manusia yang tak tahu perikemanusiaan.” (Vinna Setialiani)

“Dadang adalah tipe suami yang kejam, sudah dinafkahi istri masih sering

memukul kalau tidak disediakan kopi dan makanan saat dia bangun tidur.”

(Dini Jayanti)

“Dadang adalah tipe suami tidak tahu tanggung jawab, maunya enak sendiri,

inginnya diladeni istri lahirnya maupun batinnya, kerjanya marah-marah dan

menyiksa istrinya, biadab.” (Evi Octrianti)

Jawaban mahasiswa bervariasi, dari jawaban yang dipilih dosen yang bisa

mewakili jawaban keseluruhan, kelihatan mahasiswa menaruh kebencian terhadap

Dadang yang berperan sebagai seorang suami Teh Nining. Terlihat dari pemakaian

diksi biadab, seolah-olah Dadang itu sama dengan binatang, Dadang adalah model

suami yang tidak mau pusing, ia lebih senang keluyuran, minum-minum, pulang

makan, terus tidur “kayak kebo”, tidak boleh terganggu, kalau terganggu akan marah

dan menyiksa istrinya.


237

Tahap selanjutnya menentukan deskripsi bahasa untuk menginterpretasi

makna dan kemudian mengeksplanasi hasil analisis. Cerpen ini lebih banyak

menceritakan tingkah laku Dadang yang patriarki dan represif. Teh Nining sebagai

objek tidak bisa berbuat apa-apa atas kekejaman Dadang, padahal dia sangat sibuk

dengan peran gandanya, yaitu bekerja di ruang publik sebagai tukang gorengan dan di

ruang domestik sebagai ibu rumah tangga. Peran Dadang dalam cerpen ini sangat

ideologis gender. Dari interpretasi makna terlihat jenis ideologi gender semua

terserap oleh tingkah laku Dadang, yaitu patriarki, familialisme, ibuisme, dan

ideologi umum. Keempat jenis ideologi ini menimbulkan ketidakadilan gender, yaitu

subordinasi, marginalisasi, diskriminasi, dan represi.

Pertanyaan diajukan dosen berhubungan dengan uraian di atas adalah:

1) apakah Anda setuju dengan semua perilaku Dadang terhadap Teh Nining

istrinya?

2) apakah Anda setuju akan sikap Teh Nining yang tetap mempertahankan

perkawinannya dengan Dadang?

3) kalau kejadian rumah tangga Anda terjadi seperti Dadang dan Teh Nining, apa

yang akan Anda lakukan?

Jawaban yang dikemukakan mahasiswa bervariasi untuk pertanyaan pertama

mereka semua tidak setuju, untuk pertanyaan kedua ada yang menjawab setuju dan

ada yang tidak setuju, masing-masing dengan alasannya. Yang setuju jawaban

mahasiswa laki-laki alasannya perempuan harus banyak sabar dan berdoa kepada

Allah, mungkin ini cobaan untuk kehidupannya dan keimanannya, supaya kelak
238

masuk surga. Ada yang menjawab sekali pukul suami sudah turun talak satu. Diskusi

berjalan menyenangkan. Jawaban untuk nomor tiga semuanya menjawab tidak akan

terjadi bagi perkawinan mereka, naudzubillahimindalik. Dosen melanjutkan

pertanyaan yang menyangkut cerpen “Ruang Belakang.” Pesan apakah yang tersirat

dalam cerpen “Ruang Belakang.”

Adapun jawaban yang mewakili secara keseluruhan mahasiswa adalah

jawaban Reza Abdillah mahasiswa laki-laki bahwa cerpan “Ruang Belakang” sangat

bermanfaat bagi penyadaran gender dan pemahaman gender. Maka perlu adanya

pembelajaran gender dan pemahaman gender dari sejak dini.

Dari diskusi kelihatan pemahaman mahasiswa tentang AWKIG lebih mantap,

mahasiswa disuruh membuat analisis per kelompok. Pertemuan V diakhiri dengan

pascates.

5.5.5.2 Analisis Pembelajaran

Berdasarkan hasil observasi dapat disimpulkan bahwa tahap eksplanasi cukup

baik dilakukan mahasiswa, karena mahasiswa kelihatan lebih paham tentang

pengertian subordinasi, marginalisasi, diskriminasi, dan represi. Jawaban-jawaban

yang dikemukakan memfasilitasi mahasiswa untuk mengembangkan daya

analisisnya. Mahasiswa mau mencoba mengaitkan cerita dengan kehidupan nyata di

masyarakat. Mahasiswa mengatakan banyak model-model kehidupan perkawinan

Dadang dan Teh Nining, tetapi mahasiswa tak ada yang mau memberi contoh. Dosen

menjelaskan bahwa model perkawinan dalam cerpen ini penuh dengan kekerasan

dalam rumah tangga.


239

Akhir pertemuan dosen masih mengingatkan mahasiswa agar mau melatih

diri untuk mencoba terus melakukan AWKIG. Pertemuan V diakhiri dengan pascates.

5.6 Analisis Data Kuantitatif

5.6.1 Pengujian dengan Menggunakan Paired Sample t-Test

Uji ini dilakukan terhadap dua sampel yang berpasangan (paired-sampel).

Sampel yang berpasangan diartikan sebagai sebuah sampel dengan subyek yang sama

namun mengalami perlakuan yang berbeda dalam arti yang satu tidak mendapat

perlakuan dan yang satu lagi mendapat perlakuan, pengukuran juga berbeda yaitu

prates diberikan sebelum perlakuan (treatment) dan pascates diberikan sesudah

diberi perlakuan (treatment).


240

Tabel 5.8.
Hasil Prates dan Pascates

No. Subyek Skor


Prates Pascates
1 69 85
2 78 101
3 81 94
4 79 84
5 72 80
6 85 94
7 82 93
8 101 106
9 92 115
10 69 70
11 84 102
12 87 117
13 74 111
14 80 78
15 92 100
16 82 82
17 78 80
18 92 93
19 83 101
20 79 107
21 85 94
22 78 98
23 81 90
24 76 99
25 84 85
26 76 94
27 98 112
28 84 98
29 76 91
30 73 84

Skor Total 2450 2838

Responden yang dites adalah 30 orang, dan tes skala sikap berjumlah 30 soal.

Dari hasil tabel terlihat adanya perbedaan skor antara prates dan pascates. Untuk
241

melihat pencapaian skor terendah dan tertinggi dari prates dan pascates dapat dilihat

pada deskripsi statistik skor dan grafik histogram di bawah ini.

1) Deskripsi Statistik Skor Prates

Tabel 5.9.
Statistik
X
N Valid 30
Missing 0
Mean (rata-rata) 81.67
Median (median) 81.00
Mode (modus) 76(a)
Std. Deviation (standar deviasi) 7.730
Variance (varian) 59.747
Range (rentang) 32
Minimum (minimum) 69
Maximum (maksimum) 101
Sum (jumlah) 2450
A Multiple modes exist. The smallest value is shown

Berdasarkan tabel 5.9. pencapaian skor prates mahasiswa terendah adalah 69

dari skor maksimal 120, sedangkan prates mahasiswa tertinggi adalah 101.

Rata-rata hitungnya adalah 81,67 sedangkan median atau nilai tengahnya jika

data itu diurutkan menurut besarnya adalah 81. Kemudian modusnya atau modenya

yaitu data yang frekuensinya paling banyak adalah 76 yang merupakan multiple

mode, selanjutnya rata-rata penyimpangannya (deviasi rata-rata) atau yang sering


242

disebut dengan standar deviasi adalah 7,730 dan jangkauan atau range-nya adalah

data tertinggi (maksimum) dikurangi data minimum diperoleh 32.

Secara grafik dengan menggunakan histogram ditunjukkan pada tabel berikut

ini:

Tabel 5.10.
Histogram

Histogram

10

8
Frequency

Mean = 81.67
Std. Dev. = 7.73
0 N = 30
60 70 80 90 100 110
X

2) Deskripsi Statistik Skor Pascates

Tabel 5.11.
Statistik

N Valid 30 Y
Missing (tidak hadir) 0
Mean (rata-rata) 94.60
Median (median) 94.00
Mode (modus) 94
Std. Deviation (standar deviasi) 11.593
Variance (varian) 134.38
6
Range (rentang) 47
Minimum (minimum) 70
Maximum (maksimum) 117
Sum (jumlah) 2838
243

Berdasarkan tabel 5.11. pencapaian skor pascates mahasiswa terendah adalah

70 dari skor maksimal 120, sedangkan pascates mahasiswa tertinggi adalah 117.

Rata-rata hitungnya adalah 94,60, sedangkan median atau nilai tengahnya jika

data itu diurutkan menurut besarnya adalah 94. Kemudian modusnya atau modenya

yaitu data yang frekuensinya paling banyak adalah 94, selanjutnya rata-rata

penyimpangannya (deviasi rata-rata) atau yang sering kita sebut dengan standar

deviasi adalah 11,593 dan jangkauan atau rangenya adalah data tertinggi (maksimum)

dikurangi data minimum diperoleh 47.

Secara grafik dengan menggunakan histogram ditunjukkan pada tabel berikut

ini:

Tabel 5.12.
Histogram

Histogram

6
Frequency

Mean = 94.6
Std. Dev. = 11.593
0 N = 30
70 80 90 100 110 120
Y
244

3) Uji dengan Menggunakan Pasangan Tes Sampel

Dengan menggunakan SPSS Versi 12. yaitu program komputer statistik untuk

memproses data statistik secara cepat dan tepat dengan menggunakan uji pasangan tes

sampel diperoleh.

Tabel 5.13.
Statistik Pasangan Sampel

Standar Standar eror


(Rata-rata) N Deviasi rata-rata
Pasangan X 81.67 30 7.730 1.411
Y 94.60 30 11.593 2.116

Pada tabel 5.13f terlihat ringkasan statistik dari kedua sampel untuk prates dan

pascates. Rata-rata skor prates adalah 81,67, sedangkan setelah diberi perlakuan rata-

ratanya menjadi 94,60.

Tabel 5.14.
Korelasi Sampel Berpasangan

N Korelasi Sig.
Pasangan X&
30 .562 .001
Y

Pada tabel 5.14. adalah korelasi antara kedua variabel yang menghasilkan

angka 0,562 dengan nilai probabilitas jauh dibawah 0,05 (lihat nilai signifikansi

0,001). Hal ini menunjukkan bahwa korelasi antara prates dan pascates cukup erat

dan benar-benar berhubungan secara nyata.


245

Tabel 5.15.
Tes Sampel Berpasangan

Perbedaan Pasangan T df (sig. 2 sisi)


Std. 95% interval kepercayaan dari
Eror perbedaan
(rata-rata) (Std.deviasi) rerata

rendah tinggi
X
pasangan – -12.933 9.667 1.765 -16.543 -9.324 -7.328 29 .000
Y

Uji dilakukan dua sisi karena akan diketahui apakah rata-rata prates sama

dengan rata-rata pascates ataukah tidak. Jadi bisa lebih besar atau lebih kecil,

karenanya dipakai uji dua sisi (two tailed test).

Berdasarkan tabel 5.15. selisih rata-rata prates dan pascates adalah 12,933.

Selisih tersebut secara statistik apakah berbeda atau tidak? Terlihat dari tabel bahwa

t hitung sama dengan -7,328. Prates dan pascates berbeda sangat signifikan bila

| thitung | > tdaftar dengan tdaftar = 2,045

Ternyata | thitung | = | -7,328 | = 7,328 > 2,045. Berarti skor prates dan skor pascates

berbeda sangat signifikan. Dengan kata lain pembelajaran dengan menggunakan

model AWK dapat meningkatkan pemahaman dan penyadaran terhadap ideologi

gender atau lebih jelasnya penerapan model pembelajaran AWK dapat

mengembangkan kemampuan mahasiswa dalam mengkaji cerpen yang berideologi

gender.
246

5.6.2 Persentase Nilai Prates dan Pascates Skala Sikap AWKIG

Gambaran persentase nilai prates dan pascates skala sikap AWKIG dapat

dilihat pada tabel di bawah ini. Nilai persentase tersebut untuk melihat perkembangan

hasil belajar mahasiswa antara sebelum diberi perlakuan (prates) dan sesudah diberi

perlakuan (pascates).
247
248
249
250
251
252
253
254

Untuk memudahkan penganalisisan mengenai peningkatan kesadaran

responden terhadap setiap unsur masalah gender, data mengenai persepsi di atas akan

disajikan dalam bentuk penyekoran berikut persentasenya untuk setiap unsur masalah

gender seperti terlihat pada tabel berikut.

Tabel 5.20.
Rekapitulasi Presentase Nilai Prates dan Pascates Skala Sikap AWKIG
Mahasiswa Jurdiksatrasia Angkatan 2003-2004 FPBS UPI

Prates Pascates Perbedaan


Jumlah Nilai Rata-rata
No AWKIG Soal Maks Jumlah Rata- % Jumlah Rata- % Skor %
(5) Skor rata Skor rata
1. Peran Gender 10 50 789 26,6 53,2 900 30 60 3,4 6,8
2. Ideologi 10 50 816 16,3 32,2 996 19,9 39,8 3,6 7,6
Gender
3. Stereotip 2 10 165 16,5 165 177 17,7 177 1,2 12
Gender
4. Ketidakadilan 8 40 671 16,8 42 765 19,2 48 2,4 6
Gender
Jumlah 30 150 2450 76,2 292,4 2838 86,8 324,8 10,6 32,4

Berdasarkan tabel di atas, kita bisa melihat penskoran prates dan pascates

untuk masalah yang berkenaan dengan peran gender. Pada prates, skor seluruh

responden yang berjumlah 30 orang (nomor pada angket adalah 1, 2, 4, 5, 8, 9, 10,

17, 25, dan 26) adalah 798. Bila dirata-ratakan, masing-masing responden diperoleh

26,6 dengan persentase 53,2% dengan nilai maksimumnya 50. Pada pascates

mengalami peningkatan. Skor pascates seluruh responden berjumlah 900, dengan

rata-rata 30 dan persentase 60%. Jadi peningkatan rata-rata skor adalah 3,4 dan

peningkatan persentase 6,8%. Dengan demikian, kesadaran mahasiswa Jurdiksatrasia

terhadap peran gender tinggi. Dikatakan tinggi dengan mengacu pada klasifikasi
255

kriteria persentase skala sikap yang dibuat oleh penulis dengan rentang yang sama,

yaitu dua (2). Klasifikasi kriteria persentase skala sikap prates dan pascates (dibuat

oleh penulis) sebagai berikut.

0–2 : sangat rendah


2–4 : rendah
4–6 : sedang
6–8 : tinggi
8– : sangat tinggi

Pada tabel 5.20. dapat dilihat skor prates dari seluruh responden yang

berjumlah 30 orang untuk masalah yang berkenaan dengan ideologi gender (pada

nomor angket 3, 6, 11, 12, 13, 14, 19, 20, 21, dan 22) berjumlah 816. Bila dirata-

ratakan diperoleh 16,3 dan persentase 32,2 %. Nilai maksimumnya 50. Pada pascates

mengalami peningkatan, skor pascates seluruh responden berjumlah 996 dengan rata-

rata 19,9 dan persentase 39,8%. Jadi peningkatan rata-rata skor adalah 3,6 dan

peningkatan persentase 7,6 %. Dengan demikian, peningkatan kesadaran mahasiswa

Jurdiksatrasia Angkatan 2002-2003 FPBS UPI yang berhubungan dengan ideologi

gender adalah tinggi.

Tabel 5.20 untuk masalah stereotip gender ditemukan 2 item soal dari angket,

yaitu nomor 18 dan 30. Tabel tersebut menunjukkan skor prates dari seluruh

responden (30) adalah 165 dengan rata-rata skor 16,5 dan persentase 165 % dengan

nilai maksimum 10. Skor pascates 177 dengan rata-rata 17,7 dan persentase 177. Dari

data itu tampak peningkatan dari prates ke pascates, yaitu rata-rata 1,2 dan persentase

12%. Jadi, peningkatan kesadaran Mahasiswa terhadap stereotip gender adalah sangat

tinggi.
256

Tabel 5.20. untuk masalah ketidakadilan gender ditemukan 8 soal, yaitu

nomor 7, 15, 16, 23, 24, 27, 28, dan 29 pada angket. Skor prates dari seluruh

responden adalah 671 dengan rata-rata skor 16,8 dan persentase 42% dengan nilai

maksimum 40. skor pascates 765, jika dirata-ratakan diperoleh 19,2 persentasenya

48%. Hal ini menunjukkan terjadi peningkatan sebesar 2,4 untuk skor rata-rata dan

6% untuk persentase rata-rata. Dengan demikian, peningkatan kesadaran mahasiswa

akan ketidakadilan gender tergolong tinggi.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, I . (Ed). 1997. Sangkan Peran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Pusat
Penelitian Kependudukan.

Aisyah, Nenden Lilis. 2003. “Pemilihan Bahan dan Perancangan Model Apresiasi Sastra sebagai
Wahana Penyadaran Gender.” Tesis tidak dipublikasikan pada SPs UPI, Bandung.

Aisyah, Nenden Lilis. 2000. Ruang Belakang dalam Dua Tengkorak Kepala Antologi Cerpen
Kompas 2000 hal 105-114. Jakarta: Kompas.

Alisjahbana, St. Takdir. 1999. Layar Terkembang. Jakarta: Balai Pustaka.

Alwasilah, Chaedar. 2004. “Sosiolinguistik Sastra: Telaah Wacana Kritis Atas Senja Di
Nusantara.” Jurnal UvUla: Jurnal Sastra, November 2004 vol 2 no 2, hal. 137-146.

Aminuddin. 2000. “Pembelajaran Sastra sebagai Proses Pemberwacanaan dan Pemahaman


Perubahan Ideologi. Dalam Soediro Satoto dan Zainudin Fananie. (Eds). Sastra: Ideologi,
Politik, dan Kekuasaan” (hal. 45-55). Surakarta: Muhamadyah University Press.

Arivia, Gadis. 2003. Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Aryono, Suyono. 1985. Kamus Antropologi. Jakarta: Akademika Pressindo.

Baidhawy, Zakyuddin. (Ed). 1997. Wacana Teologi Feminis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bertens, K. 1987. Fenomologi Eksistensial, Seri Filsafat Atma Jaya 8. Jakarta: PT Gramedia.

Bertens, K. 1983. Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman, Seri Filsafat Atma Jaya I. Jakarta:
PT Gramedia.

Bhasin, K. 1996. Menggugat Patriarki: Pengantar tentang Persoalan Dominasi terhadap Kaum
Perempuan. Yogyakarta: Bentang dan Kalyanamitra.

Black, James. A dan Champion, D.J. 1999. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Bandung:
Refika Aditama.

Bogdan, R.C., and Biklen, S. 1982. Qualitative Research for Educations: An Introduction to
Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon.

Brown, G. dan Yule, G. 1996. Analisis Wacana; Alih Bahasa Sutikno. Jakarta: Gramedia.

Budianta, Melani. 1998. “Sastra dan Ideologi Gender.” Horison Th. XXXII, No. 4, Hal. 6-13.

Budiman, K. 1994. Wacana Sastra dan Ideologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Burhan, N. 1995. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Edisi 2. Yogyakarta: BPFE.

263
Butt, D., et all. Using Functional Grammar an Explorer’s Guide. Sydney: Macquary University.

Culler, Jonathan. 1983. On Deconstruction: Theory and Criticism after Structuralism. London
and Henley: Routledge and Kegan Paul (Seri Pustaka Kuntara,4621)

Dahlan, M.D. (ed). 1984. Model-model Mengajar. Bandung: Dipenogoro.

Dallyono, Ruswan.2003. The Contribution of News Websites to Democratization in Indonesia:


A Hypertext-based Critical Discourse Analysis of Democratic Awareness. Thesis.
Bandung: Unpad.

Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Damono, Sapardi Djoko.1999. Politik Ideologi dan Sastra Hibrida. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Darma, Yoce A. 2002. “Peluang Wanita Berperan Ganda dalam Keluarga sebagai Upaya
Mendukung Kemitrasejajaran Pria dan Wanita di Kabupaten Bandung.” P3W, Lembaga
Penelitian UPI.

Darma, Yoce A. 2003. “Persepsi Aparat Pemerintah Kota Bandung terhadap Gender, Kesetaraan
Gender, dan Pengarusutamaan Gender.” Bandung: Lembaga Penelitian UPI.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia.1997. Jakarta:
Balai Pustaka.

Dewanto, Nirwan. 1993. Cerpen-Cerpen Terbaik Kompas 1992. Jakarta: Gramedia.

Dijk, Teun A. van. 1987. Discourse Analysis in Society. London: Academic Press Inc.

Dilworth, James B. 1992. Operation Management: Design, Planning and Control for
Manufacturing and Sevices. NJ: McGraw-Hill, Inc.

Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Echols and Shadily. 1987. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.

Eppen, G.D., F.J. Gould, dan C.P. Schmidt. 1993. Introductory of Management Science (4th Ed.).
Prentice-Hall, Inc.

Eriyanto. 2005. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS, Pelangi
Pelajar.

Fairclough, H. 1989. Language and Power. London: Longman.

Fairclough, H. 2003. Analyzing Discourse; Textual Analysis for Social Research. New York and
London: Routledge.

264
Fairclough dan Wodak. 1997. “Critical Discourse Analysis” Dalam Teun A. van Dijk (ed),
Discourse as Social Interaction: Discourse Studies a Multidisciplinary Introduction, Vol
2. London: Sage Publication.

Fakih, M. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Faruk, H.T. 1997. “Selayang Pandang Reproduksi Gender di Indonesia” dalam Humaniora
Nomor VI (Oktober-November). Yogyakarta.

Foucault. 1997. Seks dan Kekuasaan. Terjemahan oleh Rahayu S Hidayat. Jakarta: Gramedia.

Fraenkel, J.R. and Wallen, N.E. 1993. How to Design and Evaluate Research in Education. New
York: Mc Graw-Hil Inc.

Halliday, M.A.K. 1978. Language as Social Semiotics. The Social Interpretation f Language and
Meaning. London: Edward Arnold.

Halliday, M.A.K. 1985. An Introduction to Functional Grammar. London: Edwards Arnold


Publishers Ltd.

Halliday, M.A.K. dan Hasan, R. 1985. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-aspek Bahasa dalam
Pandangan Semiotik Sosial: Terjemahan Barori T dari Language, Context, and Text.
Aspect of Language in Social Semiotic Perspective. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.

Hamidy, Zainudin, & Fachrudin, Hs. 1959. Tafsir Al-quran. Jakarta: Widjaya.

Handayani, Trisakti dan Sugiarti. 2002. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: Umm
Press.

Hayat, Edi dan Surur, Miftahus. (ed). Perempuan Multikultural Negosiasi Dan Representasi.
Jakarta: Desantara Utama.

Hellwig, T. 1987. “Rape in Two Indonesian Cerpens: An Analysis of the Female Images.”
Dalam Elsbeth Locher-Scholten dan Anke Niekof (Eds.). Indonesian Women in Focus
(hal. 240-254). Dordrecht: Foris Publications.

Heroepoetri, Arimbi dan Valentina R. 2004. Percakapan Tentang Feminisme vs Neoliberalisme.


Jakarta: Institut Perempuan.

Humm, Maggie. 2002. Ensiklopedia Feminisme. (Terjemahan Mundi Rahayu). Yogyakarta:


Fajar Pustaka Baru.

Ibrahim, Ratna Indraswari. 1994. Rambutnya Juminten dalam Lampor Antologi Cerpen Kompas
1994 hal. 78-84. Jakarta: Kompas.

Ilyas, Yunahar. 1997. Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Quran Klasik dan Kontemporer.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

265
Inderawati, Rita. 2005. Model Respon Nonverbal dan Verbal dalam Pembelajaran Sastra untuk
mengembangkan Keterampilan Menulis Siswa. Studi Kuasi-Eksperimen di SD Negeri
ASMI I, III, V Kota Bandung Tahun Ajaran 2003/2004. Disertasi tidak dipublikasikan
pada PPs UPI, Bandung.

Iskandarwassid. 2002. Efektivitas Model Mengajar Membaca Interpretatif dalam Meningkatkan


Hasil Belajar Apresiasi Sastra Mahasiswa. Disertasi Doktor pada PPS UPI Bandung: tidak
diterbitkan.

James, J. and Warling, S. 1999. Language and Politics: Language, Society, and Power: An
Introduction. London: Routledge.

Joice, Marsha and Shower. 1992. Models of Teaching 4th Edition. Massachusetts: Allyn and
Bacon.

Jones, J. et all. 1989. “Systematical-Functional Linguistics and its Application to the TESOL
Curriculum”; dalam Hasan, R dan Martin, J.R. (Ed), Language Development: Learning
Language, Learning Culture: Meaning and Choice in Language, Studies for Michael
Halliday (Hlm. 257-328). Norwood: Ablex Publishing Corporation.

Jumadi. 2005. Representasi Power dalam Wacana Kelas (Kajian Etnografi Komunikasi di SMA
1 Malang). Disertasi Doktor pada PPS Universitas Negeri Malang: tidak diterbitkan.

Lukmana, I. 2003. “Critical Discourse Analysis: Rekonstruksi Kritis terhadap Makna.”


Bandung: Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra dan Pengajarannya, FPBS UPI.

Maleong, L. J. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Mananzan, M. J. 1996. “Sosialisasi Penindasan Wanita.” Basis, Tahun ke-45, No.07-08.

Mosse, J.C. 1996. Gender dan Pembangunan. Terjemahan Silawati dan Rifka Annisa. Women
Crisis Centre. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Meneg UPW. 1992. Pengantar Teknik Analisis Gender. Jakarta: Kantor Meneg UPW.

Mills, S. 1997. Language and Gender: Interdisciplinary Perspectives. Longman.

Mills, S. Download in July 20, 2001. “Discourse.” Available on


http://www.shu.ac.uk/sch/staff/mills/fcmhtml.

Mulyana, Yoyo. 2000. “Keefektifan Model Mengajar Resepsi Pembaca dalam Pengajaran
Pengkajian Puisi (Studi Eksperimen pada Mahasiswa Jurdiksatrasia FPBS IKIP Bandung
Tahun Akademik 1998/1999).” Disertasi tidak dipublikasikan pada PPS UPI Bandung.

Murniati, Nunuk P. 1993. Pengaruh Agama terhadap Ideologi Gender: Dinamika Gerakan
Perempuan di Indonesia. Jogyakarta: Tiara Wacana.

Murniati, Nunuk P. 2004. Getar Gender. Magelang: Indonesia Terra.

266
Nurgiyantoro, B. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta, Gadjahmada University Press.

Pamungkas, Lea. 1995. Mbok Nah 60 Tahun dalam Laki-laki Kawin dengan Peri Antologi
Cerpen Kompas 1995 hal. 95-103. Jakarta: Kompas.

Pamungkas, Lea. 1996. Warung Pinggir Jalan dalam Pistol Perdamaian Antologi Cerpen
Kompas 1995 hal. 135-146. Jakarta: Kompas.

Ruseffendi, H. E. T. 2001. Dosen-Dosen Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta


Lainnya. Semarang: IKIP Press.

Roestam, Kardinah. S. 1993. Wanita, Martabat dan Pembangunan. Jakarta: Forum


Pengembangan Keswadayaan.

Rusyana, Y. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: Dipenogoro.

Sanderson, S. 1995. Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.

Saptari and Holzner. 1997. Perempuan, Kerja, dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi
Perempuan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Santoso, Anang. 2003. Bahasa Politik Pasca-Orde Baru. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Sastrowardoyo, S. 1992. Pengantar dan Ideologi Kado Istimewa. Jakarta: Gramedia.

Sebatu, Alfons. 1994. Psikologi Jung, Aspek Wanita dalam Kepribadian Manusia. Jakarta:
Gramedia.

Selden, Raman. 1996. Panduan Membaca Teori Sastra Masa Kini. (Terjemahan Rahmat Djoko
Pradopo). Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Soemandoyo, P. 1999. Wacana Gender dan Layar Televisi. Yogyakarta: LP3Y dan Ford
Foundation.

Syamsuddin, A.R. 1992. Studi Wacana Teori Analisis-Pengajaran. Bandung: FPBS Press.

Sugiharti. 2002. Wanita di Mata Wanita. Bandung: Nuansa.

Sugihastuti. 2003. Feminisme dan Sastra. Menguak Citra Perempuan dalam Layar Terkembang.
Bandung: Katarsis.

Sumardjo, Jacob. 1999. Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977. Bandung: Alumni.

Sumardjo, Jacob. & Saini, K.M. 1991. Apresiasi Kesusasteraan. Jakarta: Gramedia.

Suseno, Magnis F. 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius.

Sutarno, A. 2003. Bahasa Politik Pascaorde Baru. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

267
Stimpson, Chatarine R. 1981. On Feminist Criticisan dalam Sugihastuti. Feminist dan Sastra.
Bandung: Katarsis.

Tarigan, H.G. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa.

Tong, Rosemarie Putnam. 1998. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif Kepada
Arus Utama Pemikiran Feminis. (Terjemahan Aquarini Priyatna Prabasmoro). Bandung:
Jalasutra.

Umar, Nazaruddin. 1999. Argumen Kesetaraan Gender, Perspektif Al-Quran. Jakarta:


Paramadina.

Yulianeta. 2002. “Pengoperasian Ideologi Gender dalam Novel Saman.” Tesis tidak
dipublikasikan pada PPs UNM.

Yusuf, S. 2001. Complete and Latest Works on Critical Discourse Analysis. Compiler Teun van
Dijk’s. Bandung: UPI.

Van Nelson, A.G.M. 1985. Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita. Terjemahan oleh K.
Bertens. Jakarta: PT Gramedia.

Wahid, M. H. N. 1996. “Kajian Atas Kajian DR. Fatimah Mernissi Tentang “Hadist Misogini”
(Hadit yang Isinya Membenci Perempuan) hal 3-36.” Surabaya: Rislah Gusti.

Wolf, Naomi. 1999. Gegar Gender. Yogyakarta: Pustaka Semesta Press.

268

Anda mungkin juga menyukai