Anda di halaman 1dari 16

Kajian Analisis Wacana Kritis (AWK) sebagai Implikasi

Paradigma Teori Kritis pada Linguistik


(Studi Kasus: Teks Berita Pernikahan Bupati Garut)1
Susi Yuliawati
susi.y@unpad.ac.id

Abstrak
Paradigma teori kritis muncul dilatarbelakangi oleh adanya krisis yang terjadi
pada teori sosial. Selama tahun 1960-an, beragam paradigma teori baru bermunculan
yang secara umum mengkritisi konsep positivisme, empiris, dan kuantitatif yang
selama ini diterapkan dalam teori dan penelitian sosial. Ketidakpuasan teoretis dan
metodologis yang diproduksi oleh paradigma yang ada tersebut, kemudian memotori
pencarian paradigma baru yang dapat dijadikan sebagai alternatif metodologi dan
teori pada ilmu sosial. Paradigma-paradigma baru dalam fenomenologi,
etnometodologi, strukturalisme, Marxisme, feminisme, dan teori kritis lainnya
menawarkan konsepsi baru dengan keyakinan bahwa konsepsi baru tersebut lebih
cocok diterapkan untuk mengkaji isu-isu dalam masyarakat kontemporer. Teori-teori
di atas menjadi perbincangan hangat dalam bidang teori sosial dan memicu
perdebatan tentang konsep dasar, metode, dan tujuan teori sosial kritis 2 . Seiring
berjalannya waktu, minat terhadap teori kritis pun terus menunjukkan peningkatan
yang terbukti dari pesatnya perkembangan literatur sekunder teori sosial (Agger,
2012: 1) dan meluasnya pengaruh teori kritis terhadap berbagai bidang ilmu. Salah
satu bidang ilmu yang mendapat pengaruh dari paradigma teori kritis adalah
linguistik. Ledakan teori kritis dalam bidang linguistik sangat kentara di dalam kajian
Critial Discourse Analysis (CDA) atau analisis wacana kritis (AWK) yang awalnya
berasal dari kajian Critical Linguistics - muncul pada tahun 1970-an. Berdasarkan hal
tersebut, dalam artikel ini saya akan mencoba mendeskripsikan secara singkat
implikasi paradigma teori kritis terhadap linguistik yang terrealisasi dalam kajian
analisis wacana kritis (AWK) dan memberikan contoh penerapan ancangan AWK ini
pada teks berita tentang pernikahan Bupati Garut.

Kata Kunci: Analisis Wacana Kritis, Teori Kritis, Bupati Garut

PengaruhTeori Kritis pada Kajian Analisis Wacana Kritis (AWK)


Tidak dapat dipungkiri bahwa paradigma teori kritis mempengaruhi beragam
disiplin. Salah satunya adalah lingustik. Pada akhir tahun 1970-an muncul critical
linguistics (CL) sebagai implikasi paradigma teori kritis pada linguistik. Prinsip-
prinisp dasar dalam CL ini selanjutnya menjadi cikal bakal Critical Discourse

1
Penelitian Mandiri, 2012
2
Keller, Douglas. Critical Theory and the Crisis of Social Theory
(http://gseis.ucla.edu/faculty/keller.html)

1
Analisis (CDA)/analisis wacana kritis (AWK)3. Kedua terminologi tersebut awalnya
seringkali digunakan secara bergantian, tetapi kini AWK/CDA cenderung lebih sering
digunakan daripada CL. CDA menggunakan pendekatan CL terutama dalam konsep
unit dasar komunikasi yaitu unit teks diskursif yang lebih besar, sehingga
penelitiannya mempertimbangkan wacana-wacana institusional, politik, gender, dan
media (Wodak & Meyer, 2001: 2).
Proyek dan perspektif AWK yang berkaitan dengan isitilah ‘kritis’ yang
digunakan oleh para critical linguists tentunya dapat dilacak dari pengaruh Mahzab
Frankfurt dan salah satu tokohnya Jurgen Habermas4. Dalam perkembanganya AWK
pun tidak lepas dari peran dan kontribusi Teun van Dijk, Norman Fairclough, Gunther
Kress, Theo van Leeuwen, dan Ruth Wodak. Mereka mencoba mengkolaborasikan
teori-teori dan metode-metode analisis wacana, hingga kemudian semakin
memperkuat metode dan teori AWK.
Secara umum paradigma AWK memandang bahasa sebagai praktik sosial
(Faircough & Wodak, 1997) dan menawarkan cara untuk menginvestigasi bahasa
dengan menggunakan konteks sosial. Dengan menentang otonomi bahasa dan
memungkinkan ekplorasi bagaimana teks merepresentasikan dunia melalui cara-cara
yang bergantung pada kepentingan tertentu, AWK membuka peluang untuk
mempertimbangkan relasi antara wacana dan masyarakat, teks dan konteks, serta
bahasa dan kuasa (Fairclough, 2001 dalam Henderson (2005)).
Kajian analisis wacana kritis menentang beberapa konsep dalam pandangan
positivisme dan juga konstruktivisme yang sekaligus menunjukkan adanya peran
paradigma teori kritis yang mempengaruhinya. Implikasi metodologis maupun
substantif dari paradigma teori kritis pada linguistik yang tercermin dalam kajian
AWK adalah sebagai berikut:
1. Implikasi metodologis paradigma teori kritis terhadap AWK tampak pada
pandangan para pengkaji AWK yang menegaskan bahwa kesadaran peran mereka
dalam masyarakat sangat krusial. Mereka menolak kemungkinan ilmu yang bebas
nilai dengan argumentasi bahwa ilmu secara inheren merupakan bagian dan
sekaligus dipengaruhi oleh struktur sosial, serta diproduksi di dalam interkasi

3
Dalam Dijk. Teun A. 18 Critical Discourse Analysis (www.discourses.org)
4
Teori kritis dalam pemahaman Mahzab Franfurt utamanya didasari oleh makalah terkenal yang dibuat
oleh Horkheimer (1937) yang intinya mengemukakan bahwa teori sosial seharusnya berorientasi pada
kegiatan mengkritisi dan mengubah masyaakat secara utuh, yang berlawanan dengan teori tradisional
yang lebih fokus pada kegiatan memahami dan menjelaskan masyarakat (Wodak & Mayer: 2008: 6).

2
sosial 5 . Fairclough (2001 & 2002) pun mempertegas bahwa AWK tidak akan
pernah bisa objektif, tetapi selalu didasari oleh interest tertentu, selalu datang dari
perspektif tertentu, dan menawarkan pemahaman yang selalu parsial, tidak
lengkap, dan bersifat sementara. Dengan kata lain, dalam pendekatan AWK
peneliti harus mengakui dari posisi mana ia memiliki cara pandang, cara
membaca, dan cara menganalisis data. Oleh karena itu, AWK sangat bergantung
pada struktur sosial. Ditegaskan lebih jauh oleh Bourdieu (dalam Wodak dan
Meyer (2008)) bahwa keberadaan peneliti, ilmuwan, dan filsuf tidak di luar hirarki
kuasa dan status dalam masyarakat, tetapi menjadi subjek dalam struktur tersebut.
Bahkan biasanya mereka cenderung menempati posisi superior dalam masyarakat.
Hal ini berarti pula bahwa kebenaran dalam AWK tidak bersifat tunggal,
melainkan plural karena setiap peneliti dalam melihat data yang sama disyahkan
untuk memiliki cara membaca yang beragam sejauh validitasnya dapat
dipertanggungjawabkan.
2. AWK menolak pandangan positivisme yang memisahkan subjek dan objek
bahasa. AWK berpandangan bahwa bahasa bukan semata-mata media untuk
memahami realitas objektif belaka yang dipisahkan dari subjek sebagai
penyampai pernyataan, akan tetapi subjek dianggap sebagai faktor penting dalam
wacana dan relasi-relasi sosial. Selain itu, yang juga tidak kalah pentingnya untuk
dipertimbangkan adalah bahwa setiap wacana secara inheren memuat faktor-
faktor relasi kuasa yang berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu
dan juga perilaku-perilakunya (tidak dipertimbangkan dalam konstruktivisme).
AWK pun tidak difokuskan pada kebenaran atau ketidakbenaran struktur tata
bahasa dan proses penafsiran, tetapi menekankan pada konstelasi kekuatan pada
proses produksi dan reproduksi makna. Individu pun tidak dianggap sebagai
subjek yang netral yang mampu menafsir secara bebas sesuai dengan pikirannya
karena subjek tidak dapat melepaskan diri dari relasi dan pengaruh kekuatan sosial
dalam masyarakatnya. Dalam hal ini, bahasa tidak dianggap sebagai medium yang
netral tetapi sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek, tema,
wacana, maupun strategi-strategi tertentu. Oleh karena itu, AWK digunakan untuk
membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa. Dengan pandangan
semacam ini, wacana dianggap sebagai praktik sosial yang selalu terlibat dalam

5
Dalam Dijk. Teun A. 18 Critical Discourse Analysis (www.discourses.org)

3
hubungan kekuasaan terutama dalam pembentukan subjek dan berbagai tindakan
representasi yang terdapat dalam masyarakat (Eriyanto, 2012: 5-7).
3. AWK menekankan pentingnya kajian interdisipliner untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih tepat tentang bagaimana bahasa membentuk dan
mentransmisikan pengetahuan dalam mengorganisir struktur sosial maupun dalam
mempraktikan kuasa. Hal ini mengindikasikan pula bahwa AWK berorientasi
pada permasalahan (problem-oriented), sehingga kajian inter- atau multidisipliner
menjadi krusial. Artinya juga bahwa para peneliti harus membuka diri pada
berbagai teori dan membuka peluang AWK untuk dapat memediasi dialog
interdisipliner antara teori-teori sosial dan metode (Fairclough, 2000: 163). Dalam
berbagai kasus, para pengkaji AWK harus menyadari betul bahwa apa yang
dikerjakannya dikendalikan oleh motif sosial, ekonomi, dan politik seperti karya-
karya ilmiah lainnya, tetapi bukan berarti mereka dalam posisi yang superior.
Justru dengan mengusung istilah ‘kritis’, para peneliti AWK harus menjunjung
tinggi standard etika – menyatakan secara eksplisit dan setransparan mungkin
intensi mereka memposisikan diri dengan cara tertentu serta kepentingan dan nilai
penelitiannya. Berdasarkan hal di atas, dapat pula dikatakan bahwa AWK tidak
tertarik jika sekedar menginvestigasi unit linguistiknya, tetapi mempelajari
fenomena sosial yang kompleks sehingga membutuhkan pendekatan
multidisipliner dan juga multimetodologis dianggap sangat signifikan (Wodak &
Meyer, 2008: 1-7).
4. AWK memiliki proyek yang ditujukan untuk memproduksi dan menggambarkan
pengetahuan kritis yang memungkinkan manusia membebaskan dirinya sendiri
dari bentuk-bentuk dominasi melalui refleksi diri. Oleh karena itu, teori dalam
AWK bukan hanya diterapkan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan struktur
wacana secara intrinsik, tetapi juga membongkar segala jenis kesadaran palsu
yang melibatkan analisis ekstrinsik wacana6. Artinya, pendekatan AWK sejalan
dengan teori kritis karena ditujukan untuk menciptakan kesadaran para agen akan
kebutuhan dan kepentingannya (Wodak & Meyer, 2008:7). Sejalan dengan
Wodak & Meyer, van Dijk pun berpendapat bahwa AWK adalah pendekatan
terhadap analisis wacana yang intinya mengkaji bagaimana cara penyalahgunaan

6
“...explanatory and practical aims of CDA-studies is the attempt to uncover, reveal or disclose what
is implicit, hidden or otherwise not immediately obvious in relations of discursively enacted dominance
or their underlying ideologies (Dijk, Teun A. Van, 1995).”

4
kuasa sosial (social power abuse), dominasi, dan ketidaksetaraan dipraktikan,
direproduksi, dilegitimasi, dan ditentang melalui struktur wacana dalam konteks
sosial dan politik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa para pengkaji
AWK mengambil posisi eksplisit karena mereka ingin memahami, mengekspos,
dan tentunya menentang ketidaksetaraan sosial.
5. Implikasi substantif teori kritis terhadap linguistik sangat kentara pada kritik
AWK yang ditujukan pada pemikiran aliran strukturalis yang menganggap bahasa
sebagai mekanisme yang otonom, sehingga bahasa dapat dideskripsikan dan
dianalisis tanpa harus bergantung pada konteks penggunaanya (pendekatan
intrinsik). Dengan kata lain, konteks dan proses-proses sosial menjadi topik
marginal dalam kajian linguistik (Graddol (1993) dalam Borsley). Ini bukan
berarti bahwa konteks penggunaan bahasa sama sekali tidak tersentuh, tetapi
variabel konteks dalam paradigma strukturalisme (seperti dalam sosiolinguistik
dan pragmatik) selalu dikaitkan dengan sistem otonom bahasa. Sebagai bentuk
kritik pada pemikiran strukturalis di atas, AWK mengganggap konteks
penggunaan bahasa adalah variabel yang sangat penting dan mencoba
menghindari asumsi relasi deterministik sederhana antara bahasa dan sosial,
bahkan menyerukan ide ‘mediasi’ melalui pendekatan relasi-dialektikal 7. AWK
menekankan pemahaman bahwa wacana disusun oleh dominasi (Wodak & Mayer,
2001: 3). Oleh karena itu, wacana dianggap sebagai praktik sosial yang
mengimplikasikan relasi dialektikal antara perisitiwa diskursif dengan situasi,
institusi, dan struktur sosial yang menjadi kerangkanya.
6. Fairclough (dalam Henderson, 2005) mengemukakan bahwa terdapat keterbatasan
dalam sub-kajian linguistik yang selama ini diterapkan. Sebagai contoh,
menurutnya kajian sosiolinguistik terlalu berkiblat pada aspek postivis (mencari
kaidah penggunaan bahasa dalam struktur sosial masyarakat), kajian pragmatik
terlalu menunjukkan individualisme dalam unit analisisnya (bahasa dilihat secara
spesifik berdasarkan peristiwa tutur tertentu), dan analisis percakapan terlalu
berfokus pada aspek formal percakapan (daripada content-nya). Oleh karena itu,

7
“The dialectical-relational approach draws on Halliday’s multifunctional linguistic theory (Halliday,
1985) and the concept of orders of discourse according to Foucault, while the discourse-historical
approach and the socio-cognitive approach make use of theories of social congnition (e.g. Moscovici,
2000). This reflection on issues of mediation between language and social structure is absent from
many other linguistic approaches, for example conversation analysis (Wodak & Meyer, 2008: 21).”

5
AWK mencoba menggabungkan analisis wacana yang berorientasi pada bahasa
dan pemikiran sosial dan politik yang relevan dengan wacana dan bahasa.
7. Implikasi substantif teori kritis pada AWK tampak pada perluasan definisi unit
analisisnya. Pada awalnya analisis wacana lebih berfokus pada aspek co-text atau
struktur internal yang membangun kepaduan dan keutuhan wacana melalui kohesi
gramatikal – seperti reference (eksopora & endofora), substitusi, dan elipsis – dan
kohesi leksikal – seperti repetisi, sinonimi, superordinate, dan general words.
AWK menawarkan peleburan kajian linguistik dengan teori-teori sosial. Hal ini
tampak dari definisi wacana yang diberikan oleh Fairclough (1989, 1992, dan
2001). Menurutnya wacana merupakan konsep tridimensional karena bahasa
adalah bagian dari masyarakat, dan fenomena bahasa itu merupakan jenis
fenomena sosial tertentu, serta fenomena sosial itu sendiri adalah bagian dari
linguistik. Dalam menggunakan istilah wacana yang mengacu pada keseluruhan
proses interaksi sosial seperti yang disebutkan di atas, Fairclough juga
memberikan konsep bahwa peristiwa diskursif secara simultan merupakan bagian
dari teks, praktik diskursif, dan praktik sosial. Konsep tersebut artinya
mengintegrasikan definisi wacana menurut linguistik dari Halliday dan
pemahaman teori sosial dari Foucault dalam kaitannya dengan wacana, yang
terjalin di dalamya pemahaman teori kritis dan Mahzab Frankfurt, Marxisme, dan
neo-Marxisme (Henderson, 2005: 6).
8. Implikasi substantif lainnya dari teori kritis terhadap AWK terlihat dari beberapa
pendekatan8 yang digunakan dalam menganalisis wacana:
a) Critical Linguitics
CL yang banyak dipengaruhi oleh teori Systemic Functional Grammar dari
Halliday melihat bagaimana gramatika bahasa membawa posisi dan makna
ideologi tertentu. Artinya ideologi dikaji melalui pilihan kata dan struktur tata
bahasa yang digunakan. Ideologi dalam tataran umum menunjukkan
bagaimana satu kelompok berusaha memenangkan dukungan politik dan
memarjinalkan kelompok lain melalui pemakaian bahasa dan struktur tata
bahasa tertentu.
b) French Discourse Analysis

8
Diambil dari Teun A. Van Dijk (ed.). 1997. Discourse as Social Interaction: Discourse Studies A
Multidisciplinary Introduction. Vol 2, London. Sage Publication dalam Eriyanto (2001).

6
Pendekatan FDC didasari oleh pemikiran Pecheux yang banyak dipengaruhi
oleh ideologi Althusser. Menurut pandangannya bahasa dan ideologi bertemu
pada pemakaian bahasa, sehingga bahasa menjadi medan pertarungan yang
dengannya berbagai kelompok dan kelas sosial menanamkan keyakinan dan
pemahaman. Pecheux memusatkan perhatian pada efek ideologi dari formasi
diskursif yang memposisikan seseorang sebagai subjek dalam situasi sosial
tertentu.
c) Socio-Cognitive Approach
Pendekatan kognisi sosial dikembangkan oleh Teun A. Van Dijk yang
memusatkan perhatian pada isu-isu seperti etnis, rasisme, dan pengungsi. Ia
menganggap bahwa faktor kognisi sebagai unsur penting dalam proses
produksi wacana, sehingga wacana dilihat bukan hanya dari strukturnya saja
tetapi juga menyertakan bagaimana wacana diproduksi. Proses produksinya
itulah yang disebut dengan kognisi sosial. Oleh karena itu, melalui pendekatan
ini dapat dikaji wacana-wacana yang memiliki kecenderungan memarjinalkan
kelompok-kelompok tertentu dalam pembicaraan publik.
d) Sociocultural Change Approach
Pendekatan perubahan sosiokultural dikemukakan oleh Fairclough yang
banyak dipengaruhi oleh pemikiran Foucault, Julia Kristeva, dan Bakhtin.
Wacana di sini dipandang sebagai praktik sosial yang memiliki hubungan
dialektis antara praktik diskursif dengan identitas dan relasi sosial. Dengan
pendekatan ini, dapat dijelaskan bagaimana wacana dapat memproduksi,
mereproduksi status quo, dan mentransformasikannya.
e) Discourse Historical Approach
Pendekatan wacana sejarah diperkenalkan oleh Wodak dan koleganya yang
dipengaruhi oleh pemikiran Habermas dari Mahzab Frankfurt. Pendekatannya
ditujukan untuk membongkar bagaiman wacana rasisme, antisemit, dan
rasialisme ditunjukkan dalam media dan fenomena masyarakat kontemporer.
Pendekatannya disebut wacana sejarah karena menyertakan konteks sejarah
bagaimana wacana tentang suatu komunitas digambarkan.
Analisis Kajian Wacana Kritis Vs Analisis Wacana
Untuk memperjelas paparan tentang implikasi paradigma teori kritis terhadap
linguistik, saya akan mencoba memberikan contoh analisis awal dengan
menggunakan AWK terhadap satu teks berita tanggal 24 November 2012 yang

7
berjudul “Bupati Garut Nikah Ekspres Gadis Bawah Umur” dari
www.metrotvnews.com. Melalui contoh analisis ini, diharapkan perbedaan antara
pendekatan analisis wacana dan AWK dapat ditunjukkan.
Jika dikaji berdasarkan analisis wacana atau discourse analysis, yang dapat
diungkap dalam teks berita yang berjudul “Bupati Garut Nikah Ekspres Gadis
Bawah Umur” adalah unsur-unsur intrinsik yang membangun kepaduan/kohesi dan
keutuhan/koherensi wacana secara tekstualitas. Misalnya untuk melihat kepaduannya,
unsur-unsur tekstual dapat dikaji melalui kohesi gramatikal 9 dan kohesi leksikal 10 .
Sebagai contoh, dalam paragraf pertama teks berita tertulis sebagai berikut:
“Bupati Garut Aceng M. Fikri dilaporkan ke Lembaga Perlindungan Anak
setempat. Ia dituduh menikahi gadis di bawah umur yang kemudian
diceraikannya empat hari kemudian. Pelapor adalah keluarga gadis itu.”

Dalam teks di atas tampak adanya kepaduan yang tampak dari relasi gramatikal yang
dibangun oleh referensi personal. Contohnya, terdapat referensi personal ‘ia’ dan ‘-
nya’ pada kalimat kedua. Kedua referensi personal tersebut mengacu pada Bupati
Garut Aceng M. Fikri dalam kalimat sebelumnya (anafora11). Selain itu, terdapat pula
referensi demontrativa ‘itu’ yang melekat pada kata ‘gadis’ dalam kalimat ketiga yang
mengacu pada ‘gadis di bawah umur yang diceraikannya empat hari kemudian’ yang
disebutkan sebelumnya (anafora). Kemudian, jika dilihat berdasarkan kohesi
leksikalnya, maka terdapat hubungan semantis antar unsur pembentuk wacana dalam
wujud leksikal atau kata dalam paragraf tersebut. Misalnya, terdapat relasi antonimi
atau hubungan antar kata yang beroposisi antara kata ‘menikahi’ dan ‘diceraikannya’,
hubungan kolokasi antara kata ‘dituduh’ dan ‘pelapor’, dan repetisi dengan
menyebutkan kata ‘gadis’ sebanyak dua kali (pada kalimat pertama dan kedua).
Keseluruhan unsur-unsur tersebut membangun teks sehingga memiliki makna yang
padu. Contoh analisis tersebut mengungkap unsur-unsur internal wacana. Meskipun,
jika teks tersebut dikaji ke wilayah yang lebih eksternal seperti aspek koherensi, maka
yang bisa dipaparkan masih seputar keberterimaan teks yang disebabkan oleh

9
Kohesi gramatikal adalah relasi semantis antarunsur yang dimarkahi dengan alat-alat gramatikal.
Wujudnya dapat berbentuk referensi, substitusi, elipsis, dan konjungsi (Cutting, 2008:9)
10
Kohesi leksikal adalah relasi semantis antarunsur pwmbwntuk wacana dengan memanfaatkan unsur
leksikal/kata. Wujudnya dapat berupa sinonimi, antonimi, repetisi, hiponimi, dll. (Kushartanti, dkk.
2005:98-99).
11
Referensi yang mengacu pada sesuatu yang disebutkan sebelumnya disebut anafora.

8
kepaduan semantis atau secara spesifik hubungan antar teks dan faktor di luar teks
berdasarkan pengetahuan seseorang (shared-context dan shared-knowledge)12.
Berbeda dengan kajian analisis wacana (Discourse Analysis), AWK yang
salah satunya adalah model van Dijk menganggap bahwa penelitian wacana tidak
cukup hanya didasari dengan analisis atas teks semata (secara intrinsik), seperti yang
dilakukan dalam analisis wacana di atas, karena teks adalah hasil dari suatu praktik
produksi. Artinya perlu diperhatikan juga bagaimana teks diproduksi, sehingga dapat
diperoleh pengetahuan mengapa suatu teks bisa seperti itu. Proses produksi
tersebutlah yang kemudian oleh van Dijk dinamai dengan kognisi sosial. Dengan kata
lain, model AWK van Dijk tidak dikhususkan pada analisis tekstual saja, tetapi
meliputi tiga dimensi: teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Dalam dimensi teks,
yang dianalisis adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai
untuk menegaskan suatu tema tertentu. Dalam dimensi kognisi sosial, proses produksi
teks yang melibatkan kognisi individu penulis diteliti. Sementara itu, melalui dimensi
konteks sosial, bagaimana wacana tentang suatu hal diproduksi dan dikonstruksikan
dalam masyarakat ditelaah (Eriyanto, 2001: 223-224).
Dalam AWK model van Dijk, analisis tekstual tidak berhenti pada analisis
unsur-unsur yang membangun kohesi maupun koherensi, tetapi unsur-unsur tersebut
dipandang sebagai salah satu aspek yang digunakan untuk strategi dalam melegitimasi
suatu topik tertentu. Van Dijk membagi tiga level analisis tekstual yaitu: struktur
makro, superstruktur, dan struktur mikro13. Makna global (struktur makro) suatu teks
didukung oleh kerangka teks (superstruktur) dan juga pilihan bahasa (struktur mikro),
sehingga ketiga level analisis tersebut merupakan kesatuan yang saling berhubungan
dan mendukung. Berdasarkan hal ini, maka dapat ditarik simpulan bahwa kajian
dalam analisis wacana atau discourse analysis hanya termasuk ke dalam bagian dari
struktur mikro teks dalam AWK. Artinya, dapat pula dikatakan bahwa kajian AWK
memiliki unit analisis yang lebih luas dari pada analisis wacana.
Sebagai contoh analisis, kita dapat mengaplikasikan analisis tataran tekstual
model AWK van Dijk pada teks berita “Bupati Garut Nikah Ekspres Gadis Bawah
Umur” (teks berita dari www.metrotvnews.com pada 24 November 2012). Teks
12
Dalam Kushartanti dkk. 2005.‘Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik’
13
Struktur makro adalah makna global dari suatu teks yang dapat dikaji melalui topik/tema yang
dikedepankan dalam suatu berita. Sementara superstruktur adalah struktur wacana yang berhubungan
dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks disusun ke dalam berita secara utuh.
Terakhir, yang disebut dengan struktur mikro adalah wacana bagian kecil dari suatu teks seperti: kata,
frasa, klausa, kalimat, proposisi, dan gambar (Eriyanto, 2001: 226)

9
tersebut memberitakan tindakan yang dilakukan Bupati Garut, Aceng M. Fikri,
terhadap seorang gadis berusia 17 tahun. Bupati itu menikahi gadis tersebut pada 17
Juli 2012 dan diceraikan empat hari kemudian melalui SMS. Teks berita tersebut
adalah salah satu dari sekian banyak pemberitaan mengenai pernikahan singkat
Bupati Garut, Aceng M. Fikri. Dalam teks tersebut, ada kecenderungan bupati
tersebut dimarjinalkan. Teks berita menggambarkan tindakan Bupati Garut yang
menikahi gadis berusia 17 tahun dan dalam empat hari kemudian diceriakannya
melalui SMS sebagai perilaku yang merendahkan martabat pernikahan dan juga
perempuan, bahkan dikategorikan sebagai tindak pelanggaran hukum. Sebaliknya,
informasi mengenai latar belakang korban dan alasan-alasan korban bersedia dinikahi
oleh Bupati Garut tidak dihadirkan dalam teks tersebut.
Terdapat dua tema utama (makna global) wacana yang dikembangkan dalam
teks berita tersebut. Pertama, tindakan Bupati Garut, Aceng M. Fikri, mengarah pada
tindak pelanggaran hukum. Bupati menikahi korban ketika korban berusia 17 tahun
yang artinya korban masih tergolong ke dalam kategori anak-anak. Bahkan menurut
LPA Garut, peristiwa tersebut termasuk ke dalam kasus human trafficking. Tema
kedua adalah mensugestikan kepada khalayak bahwa tindakan Bupati Garut tersebut
tidak benar karena telah menipu korban dengan janji-janjinya, merendahkan martabat
korban dengan menyebar informasi bahwa korban sudah tidak perawan, dan bahkan
membuat korban depresi dengan segala isu dan pemberitaan.
Tema wacana ini pun selanjutnya didukung dengan cara penceritaan
(superstruktur/skematik). Yaitu, bagaimana satu peristiwa dirangkaikan dengan
peristiwa yang lain dalam satu teks. Peristiwa pertama adalah ketidakpuasan Aceng
terhadap korban. Disebutkan dalam teks berita bahwa berdasarkan isu, ketidakpuasan
Aceng disebabkan karena korban sudah tidak perawan. Peristiwa selanjutnya adalah
klarifikasi Aceng berkenaan dengan tindakannya. Disebutkan juga dalam berita
bahwa ia telah memberikan kompensasi terhadap korban dan korban telah
menandatangani surat pernyataan. Artinya, telah terjadi kesepakatan antara bupati dan
korban. Akan tetapi, peristiwa pertama yang disuguhkan kepada khalayak melalui
teks berita tersebut bukan tentang alasan ketidakpuasan Aceng terhadap korban.
Ketidakpuasan Aceng terhadap korban tidak dijadikan sebagai penjelas utama.
Peristiwa pertama yang dihadirkan dalam teks berita justru tentang pelaporan
keluarga korban kepada LPA atas tindakan Aceng yang dituduh telah menikahi gadis
di bawah umur yang diikuti dengan informasi mengenai penderitaan korban atas

10
tindakan Aceng. Bahkan informasi tentang kompensasi dan kesepakatan yang telah
dibuat oleh Aceng bersama korban disimpan di bagian akhir teks.
Bagaimana tindakan Aceng dan implikasinya terhadap korban dapat dilihat
dari struktur mikro berupa elemen detil dan maksud. Implikasi tindakan Aceng
terhadap korban mendapatkan porsi detil yang panjang dan digambarkan secara
eksplisit. Sementara itu, tindakan Aceng yang dilatarbelakangi oleh alasan-alasan
tertentu, kesepakatan dan kompensasi yang sudah diberikan Aceng kepada korban
bukan hanya tidak diuraikan dengan detil yang panjang, tetapi juga diungkapkan
secara implisit. Sebagai contoh, implikasi tindakan Aceng terhadap korban secara
eksplisit dipaparkan dalam paragraf 2, 4, dan 5. Secara panjang lebar dan eksplisit
paragraf-paragraf tersebut menguraikan kondisi korban yang disudutkan, depresi,
tertipu, dan tersakiti akibat tindakan bupati yang tidak memenuhi janji-janjinya,
menceraikannya dalam usia pernikahan yang baru menginjak empat hari melalui
SMS, dan tersebarnya isu tentang ketidakperawanannya. Sebaliknya, paparan tentang
alasan-alasan yang melatarbelakangi tindak menceraikan yang dilakukan oleh Aceng
tidak dikemukakan dengan detil yang panjang dan bahkan secara implisit. Sebagai
contoh, dalam paragraf kedua secara implisit menyebutkan adanya “isu” tentang
ketidakperawanan korban sebagai latarbelakang terjadinya perceraian. Alasan
ketidakperawan itu tidak dikemukakan secara lugas tetapi implisit karena adanya kata
“isu”, sehingga tidak begitu saja dapat dijadikan sebagai fakta. Selain itu, alasan
inipun bukanlah topik utama paragraf dan tidak disertai dengan detil. Alasan ini hanya
sebagai pendukung untuk menegaskan kondisi korban yang semakin terpojok dan
depresi. Lebih jauh lagi, teks inipun tampak mengajak khalayak untuk mengecam
perbuatan Aceng dengan cara tidak menghadirkannya latar argumentasi Aceng akan
tindakannya serta latar kehidupan korban dan alasan-alasan korban atas kesediaanya
dinikahi oleh Aceng. Selain itu, masih dalam tataran struktur mikro, teks berita inipun
tampak diwarnai dengan penggunaan pilihan-pilhan kata tertentu (leksikon) yang
ditujukan untuk menegaskan penderitaan korban sebagai implikasi tindakan Aceng.
Sebagai contoh terdapat beberapa kalimat sebagai berikut:
1. “Meluasnya kabar ini bukan justru membuat gadis ini dan keluarganya
bangga pernah dinikahi bupati. Malah sebaliknya membuat gadis itu makin
terpojok, bahkan depresi”. (paragraf kedua)
2. “Apalagi muncul kabar tidak enak bahwa ia dicerai karena sudah tidak
perawan lagi”. (paragraf kedua)

11
3. “Sebelum menikah, korban diiming-imingi janji untuk melanjutkan
pendidikan, dan menunaikan ibadah umrah”. (paragraf ketiga)
4. “Bukan janji yang menjadi kenyataan, ia justru diceraikan empat hari
kemudian. Lebih menyakitkan lagi, ia dicerai hanya lewat pesan singkat
alias SMS”. (paragraf ketiga)
5. “Sudah begitu, gadis tersebut menjadi bulan-bulanan kabar tak sedap yang
beredar di media massa”. (paragraf ke-empat)
Keseluruhan pilihan kata dalam kalimat-kalimat tersebut memiliki konotasi
negatif yang digunakan sebagai strategi untuk menegaskan penderitaan korban,
sebagai akibat dari perbuatan Aceng, dan sekaligus bentuk kecaman terhadap
tindakan Aceng.
Dua dimensi lainnya dalam kajian AWK, dimensi produksi teks dan konteks
sosial, memang bukan hal yang mudah dilakukan. Perlu penelusuran yang teliti dan
cermat terhadap aspek historis dan konteks sosial yang berkembang di masyarakat.
Misalnya, jika dilihat berdasarkan dimensi produksi teks, pemberitaan tentang
penikahan singkat Bupati Garut (yang bertahan selama empat hari) dengan seorang
gadis berusia 17 tahun dalam teks “Bupati Garut Nikah Ekspres Gadis Bawah
Umur” perlu telaah dari sudut pandang kesadaran mental wartawan yang membuat
teks tersebut. Dalam hal ini, perlu dikaji bagaimana kepercayaan, pengetahuan, dan
prasangka wartawan terhadap seorang pejabat yang melakukan pernikahan singkat
dengan gadis di bawah umur. Hal ini perlu dilakukan seperti yang ditegaskan di atas
oleh van Dijk bahwa analisis wacana tidak dibatasi pada struktur teks sebab struktur
wacana itu sendiri menunjukkan atau menandakan sejumlah makna, pendapat, dan
ideologi. Oleh karena itu, untuk menyingkap makna tersembunyi dari teks dibutuhkan
analisis kognisi dan konteks sosial. Misalnya, jika dalam teks berita pernikahan
Bupati Garut ada kecenderung memarginalkan Bupati Garut, maka berita tersebut
dipandang sebagai representasi mental dari wartawan dalam memandang peristiwa
tersebut. Pendapat dan keyakinan wartawan tentang pernikahan dan perilaku pejabat
negara dapat mempengaruhi teks yang dihasilkannya. Dalam hal ini, wartawan tidak
dianggap sebagai individu yang netral, tetapi sebagai individu yang mempunyai
keyakinan akan nilai-nilai tertentu, pengalaman, dan pengaruh ideologi yang
diperoleh dari kehidupannya. Jika diteliti lebih lanjut maka kognisi sosial dapat
dipetakan berdasarkan skema. Skema menggambarkan bagaimana seseorang
menggunakan informasi yang tersimpan dalam memorinya dan bagaimana itu

12
diintegrasikan dengan informasi baru yang menggambarkan bagaimana peristiwa
dipahami, ditafsirkan, dan dimasukkan sebagai bagian dari pengetahuan individu
tentang suatu realitas14. Berdasarkan skemanya, teks berita tersebut misalnya dapat
dianalisis sebagai berikut:
1. skema persona: skema ini memberikan gambaran bagaimana wartawan
memandang Aceng berdasarkan latarbelakang gender atau agama wartawan
tersebut. Misal berdasarkan gendernya, wartawan perempuan dan laki-laki
tentunya akan memiliki perspektif yang kurang lebih berbeda sehingga ia akan
menulis dengan cara yang berbeda pula. Misalnya, jika wartawan tersebut
berjenis kelamin perempuan yang punya keyakinan bahwa pernikahan adalah
institusi yang bermartabat dan harus dilakukan berdasarkan norma dan aturan
tertentu dan pandangan bahwa perempuan bukanlah komoditas/objek, tetapi
individu yang memiliki peran-peran tertentu dalam institusi pernikahan yang
seharusnya dihargai oleh kaum laki-laki, maka besar kemungkinan hal ini dapat
mempengaruhi keberpihakan yang tercermin dari berita yang ia tulis.
2. Skema peran: skema ini memberikan gambaran tentang prasangka apa atau
bagaimana wartawan memandang peran dan posisi Aceng dalam masyarakat.
Misalnya, si wartawan berpandangan bahwa sebagai bupati, Aceng selayaknya
memberikan contoh baik atau memiliki perilaku sesuai dengan norma-norma yang
berlaku yang dapat dijadikan sebagai anutan bagi masyarakatnya. Hal ini tentunya
juga akan mempengaruhi si wartawan dalam menuliskan beritanya.
3. Skema peritiwa: skema ini menggambarkan bagaimana wartawan memandang
peritistiwa pernikahan bupati dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa lainnya.
Misalnya, peristiwa pernikahan tersebut dikaitkan dengan undang-undang
perlindungan anak, isu gender, atau human trafficking.
Berdasarkan keseluruhan analisis tersebut, AWK diharapkan mampu membongkar
latarbelakang wartawan, berdasarkan kognisi sosialnya, mengapa ia menulis berita
dengan kecenderungan tertentu.
Selanjutnya, berdasarkan dimensi konteks atau analisis sosial, melalui AWK
kita dapat menganalisis bagaimana wacana yang berkembang dalam masyarakat,
proses produksi dan reproduksi seseorang atau peristiwa digambarkan. Misalnya, kita
memiliki perspektif bahwa teks berita “Bupati Garut Nikah Ekspres Gadis Bawah

14
Augoustinos & Walker dalam Eriyanto, 2001: 261

13
Umur” berkaitan dengan isu gender, kekerasan terhadap anak-anak/perempuan, atau
human trafficking, maka melalui studi pustaka atau penelusuran sejarah, perlu diteliti
wacana yang berkenaan dengan isu-isu tersebut yang berkembang dalam masyarakat.
Intinya untuk menunjukkan bagaimana makna yang dihayati bersama dan kekuasaan
sosial diproduksi melalui praktik diskursus dan legitimasi. Menurut van Dijk dalam
level ini ada dua hal penting yaitu kekuasaan dan akses15.
Dari aspek kekuasaan, van Dijk mendefinisikannya sebagai kekuatan yang
dimiliki oleh suatu kelompok yang mengontrol kelompok lain. Sebagai contoh, jika
teks berita “Bupati Garut Nikah Ekspres Gadis Bawah Umur” dikaitkan dengan
isu kekerasan terhadap anak-anak/perempuan, maka analisis atas diksursus sosial
dapat dilakukan dengan meneliti wacana sistem patriarkal yang berkembang di
masyarakat, bagaimana peran laki-laki dan perempuan dalam sistem tersebut.
Berbicara tentang kekuasaan artinya berbicara pula tentang dominasi. Berdasarkan
analisis sosial, misalnya dapat pula ditelusuri secara historis tentang dominasi kaum
laki-laki terhadap perempuan di masyarakat melalui kasus-kasus seperti kekerasan,
ketidaksetaraaan, atau trafficking. Selain itu, dilihat dari pola akses yang
mempengaruhi wacana bisa dikaji tentang bagaimana akses masing-masing kelompok
dalam masyarakat. Kaum yang superodrinat biasanya memiliki akses yang lebih besar
daripada kelompok yang subordinat. Oleh karena itu, mereka memiliki kuasa yang
lebih untuk mempengaruhi kesadaran khalayak.
Contoh analisis kasus pernikahan Bupati Garut berdasarkan ancangan AWK
model van Dijk di atas tentunya baru analisis awal. Artinya tidak keseluruhan
pendekatan model analisis van Dijk sepenuhnya diterapkan. Penjelasan di atas
hanyalah gambaran awal dan di tataran permukaan saja dengan harapan dapat
menunjukkan perbedaan analisis antara pendekatan AWK (yang dipengaruhi oleh
paradigma teori krtitis) dan analisis wacana (discourse anaysis) dalam kajian
linguistik.
Simpulan
Berdasarkan paparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa perkembangan
paradigma teori kritis berimplikasi pada linguistik baik secara metodologis maupun
substantif. Implikasi tersebut sangat kentara terrealisasi dari kehadiran Critical

15
Teun A. Van Dijk, “Structure of Discourse and Structure ”

14
Discourse Analysis (CDA) atau analisis wacana kritis (AWK) dalam kajian linguistik.
Terdapat dua implikasi yang perlu digarisbawahi, yaitu:
a. Secara metodologis: AWK bukanlah kajian paradigm-oriented, melainkan
problem-oriented sehingga kajian inter-, multi-, atau supradisipliner perlu
diterapkan khususnya untuk melihat relasi antara bahasa dan masyarakat
(termasuk kognisi sosial, sejarah, politik, dan budaya).
b. Secara substantif: AWK ditujukan untuk mengungkap apa yang diimplisitkan,
disembunyikan, atau tidak dihadirkan secara jelas dalam kaitannya dengan
dominasi dan ideologi. Dengan kata lain, AWK memusatkan perhatian pada
strategi manipulasi, legitimasi, dan cara-cara diskursif lainnya untuk
mempengaruhi benak manusia (dan tindakannya secara tidak langsung) untuk
praktik kuasa.

Daftar Pustaka
Agger, Ben. 1991. Critical Theory, Poststructuralism, Postmodernism: Their
Sociological Relevance. Annu. Rev. Sociol. 1991. 17:105-31.
Agger, Ben. 2006. Critical Social Theories: An Introduction. USA: Oxford University
Press. (Diterjemahkan oleh Nurhadi. 2012. Teori Sosial Kritis. Kreasi Wacana).
Borsley, Robert D. A Postmodern Critique f Linguistics. Diakses melalui
privatewww.essex.ac.uk/~rborsley/PMC.htm.
Chouliaraki, Lilie & Fairclough, Norman. 1999. Discourse in Late Modernity:
Rethinking Critical Discourse Analysis. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Dijk, Teun A. van. 18 Critical Discourse Analysis. Diakses melalui
www.discourses.org
Dijk, Teun A. van. 1995. Aims of Critical Discouse Analysis. Japanese Discourse vol.
1 (1995), 17-27.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengatar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS.
Fairclough, Norman. 1992. Discourse and Social Change. UK: Polity Press.
Fairclough, Norman. 1992. Discourse and Text: Linguisitcs and Intertextual Analysis
within Discourse Analysis. Discourse and Society, 3(2): 193-217.
Fairclough, Norman. 1995. Critical Discourse Analysis: the Critical Study of
Language. London: Longman.

15
Fairclough, Norman. & Wodak, Ruth. 1997. Critical Discouse Analysis. dalam T.A.
van Dijk (ed.), Discourse Studies: A Multidisciplinary Introduction: Vol 2.
Discouse as Social Interaction. London: Sage Publication.
Fairclough, Norman. 2001. Language and Power. London: Longman.
Fairclough, Norman. 2002. Analysing Discourse: Textual Analysis fro Social
Research. London: Routledge.
Henderson, Robyn. 2005. A Faircloughian Approach to CDA: Principled Eclecticism
or a Method Searching for a Theory. Melbourne Studies in Education, 46 (2),
9-24. ISSN 0076-6275.
Keller, Douglas. Critical Theory and the Crisis of Social Theory. Diakses melalui
http://www.gseis.ucla.edu/faculty/keller/keller.html.
Wodak, Ruth & Meyer, Michael. 2008. Critical Discourse Analaysis: History,
Agenda, Theory, and Methodology. Diakses melalui www.corwin.com/upm-
data/24615_01_Wodak_Ch_01.pdf.
Wodak, Ruth & Meyer, Michael. 2001. Methods of Critical Discouse Analysis.
London: Sage Publications. Ltd.

16

Anda mungkin juga menyukai