sebelumnya telah menyatakan: “... CDA slıoııld denl priıııari/y with ffıe discourse
diıtıeıısioııs of)omer abuse atıd iııJustice and inequality that result fiom it”. Adapun prinsip-
prinsip AWK yang diajukan oleh Van Dijk dapat diringkas sebagai berikut :
1. AWK tidak ditujukan untuk mendukung disiplin, paradigma, dan aliran atau teori
wacana tertentu, tetapi lebih ditujukan kepada isu-isu mengenai tekanarı sosial.
Kalaupun teori tertentu digunakan, hanya teori yang relevan yang dipertimbangkan
untuk mencapai tujuan sosial-politik.
2. Peneliti yang bergerak di bidang AWK hendaknya berpegang pada pandangan sosial-
politik secara eksplisit. Pada dasamya, mereka adalah ilmuwan sosial-politik yang
dapat memberikan pemecahan masalah jangka panjang secara kontekstual.
Menuru t Van Dijk, konteks dapat dimaknai sebagai sejenis lingkungan atau keadaan
bagi berlangsungnya peristiwa, aksi, atau wacana tentang konteks lebih jauh.
a) Pertmna, sebelum analisis dilakukan, klarifikasi perlu dilakukan terhadap asumsi teori
dasar tentang teks, wacana, bahasa, aksi, struktur sosial, institusi, dan masyarakat. Hal ini
merupakan pengembangan alat konseptual untuk menentukan kerangka dan kategori
analisis. Langkah int sangat penting agar sosiologi dan linguistik bersinergi secara
harmonis.
b) Perlu dikembangkan alat konseptual dalam dua arah baik sosiologi maupun
linguistic yang dapat menghubungkan tataran analisis teks atau wacana dengan posisi
institusi, aksi, dan struktur sosial. Dari sini terbangunlah dua sisi analisis yang secara
sosiolinguistik terintegrasi. Keberhasilan dalam melakukan itu semua akan menentukan
apakah masih diperlukan lagi kategori baru selanjutnya.
12.3.3.3 Analisis Wacana Feminis : Robin Lakoff, Deborah Tannen, Sara Mills, Jusith
Baxter, dan Michelle Lazar
Tokoh yang sering dikatakan sebagai perintis yang meletakkan dasar pendekatan feminis
dalam analisis wacana adalah R o b i n Tolmach Lakoff. Dengan
m e n g g u n a k a n i n t u i s i n y a , Lakoff melakukan penelitian terhadap bahasa yang ia
gunakan sendiri dan bahasa yang digunakan oleh orang-orang di sekitarnya, termasuk kolega-
koleganya. Penelitian itu dituangkan kedalam buku yang berjudul Language and woman’s place
(1975). Pada penelitian tersebut,ia memusatkan perhatian kepada bahasa yang digunakan oleh
wanita dan bahasa yang digunakan untuk berbicara tentang wanita. la berpendapat bahwa
terdapat hubungan langsung antara penggunaan bahasa dan ketidak berdayaan wanita. Ia
menyimpulkan bahwa wanita menggunakan bahasa yang lebih sopan dan lebih tertata daripada
pria serta bahwa pria menggunakan bahasa untuk mendominasi wanita meskipun pernyataan
Lakoff itu dikritik sebagai over-generalisasi, simpulan penelitian itu sering diacu oleh peneliti-
peneliti sesudahnya.
Lima belas tahun kemudian, terkait dengan kritik di atäs, Deborah Tannen (murid Lakoff
di the University of California, Berkeley pada tahun 1973) melalui bukunya yang berjudui
you Just don’t understand : Women and men in conversation (1990) meng- ungkapkan bahwa
memang benar bahwa dalam berbahasa pria dan wanita menggunakan gaya yang berbeda karena
mereka berasal dari subkultur yang berbeda, tetapi tidaklah selalu benar bahwa pria
menggunakan bahasa untuk mendominasi wanita atau untuk melakukan persekusi kepada wanita
sehingga wanita menjadi korban. Menurut Tannen perbedaan gaya tersebut menunjukkan dialek
gender. Kadang-kadang baik pria maupun Wanita memiliki gaya yang berbeda untuk mencapai
tujuan yang sama.
Pada dekade yang sama dengan tampilnya Deborah Tannen, Sara Mills menerapkan teori
feminisme pascakolonial dalam AWK. Dalam bukunya yang berjudul Feminist stylistics (1995),
Mills memperkenalkan pendekatan yang juga diberi nama yang sanna dengan judul itu. Stilistika
Feminis (Feminist stylisticss) merupakan pendekatan analisis wacana yang mengidentifikasi
aspek-aspek feminis dengan meng-gunakan analisis linguistik untuk meng- eksplorasi teks.
Pendekatan ini tidak saja menganalisis seksime dalam teks, tetapi juga keterkaitan gender dengan
aspek-aspek seperti sudut pandang, agen, transitivitas, dan metafora. Dengan pendekatan ini,
Mills menganalisis teks (terutama teks sastra dan teks karya penulis wanita dengan
mengkontekstualkan penggunaan teori budaya, teori linguistik kritis, dan teori psikologi kritis.
Selain feminisme pascakolonial, area penelitian Mills meliputi teori feminisme secara umum,
prinsip-prinsip kesantunan, analisis wacana, dan analisis wacana kritis.
selama bertahun-tahun sebelumnya, sampai tahun 2005 nama AWKF belum terkenal dan
publikasi di bidang itu hanya terdapat di sejumlah jurnal atau hanya disebut secara sekilas pada
bab buku tertentu. Lazar mengklaim bahwa buku yang dieditnya itu adalah buku pertama kali
yang memuat tulisan tentang analisis kritis terhadap gambar dan feminisme pada lingkup
internasional. Secara garis besar, menurut Lazar, AWKF memuat prinsip-prinsip:
AWKF merupakan paham analisis feminis dalam penelitian dan pengajaran yang
menyuarakan kesadaran kritis untuk bcraksi; kritik tidak saja merupakan gerakan untuk
melakukan aksi, tetapi juga gerakan sebagai aksi.
AWKF memandang "gender" sebagai struktur dan praktik ideologis dalam proses
interaksi sehari-hari untuk menegakkan identitas sebagai "wanita" dan sebagai "pria."
Gender dan kekuasaan merupakan hubungan yang kompleks: hubungan dominasi
mungkin resisten di satu sisi, tetapi di sisi lain, identitas gender selalu ada dan
bergantung kepada konteks.
Gender dalam kaitannya dengan identitas sosial secara iteratif dan secara tems-menerus
terbentuk melalui wacana yang dapat di(de)konstruksi dari aspek-aspek kebahasaan dan
multimoda yang terkandung di dalam teks dan tuturan.
AWKF memandang bahwa pada saat gender menjadi focus analisis, dengan
sendirinya praktik refleksivitas mendorong pertumbuhan kesadaran dan transformasi
sosial.