Anda di halaman 1dari 40

ANALISIS

WACANA
Teori dan Metode

Alih bahasa oleh:


Wahyono Saputro

Palembang
2016

1
2
Diterjemahkan dari judul aslinya,
Discourse Analysis: As Theory and Method,
karya Marianne Jorgensen dan Louise Phillips
yang diterbitkan pertama kali tahun 2002
oleh penerbit SAGE Publications Ltd
6 Bonhill Street London EC2A 4PU

3
4
Daftar Isi
Pendahuluan

Kata pengantar

1. Bidang Analisis Wacana

2. Teori Wacana Laclau dan Mouffe

3. Analisis Wacana Kritis

4. Psikologi Diskursif

5. Menyelami Pendekatan

6. Penelitian Konstruksionis Sosial Kritis

Rujukan

indeks

5
6
BAB SATU

BIDANG ANALISIS WACANA


 Marianne Jorgensen dan Louise Phillips

Untuk hampir sepuluh tahun kini, wacana telah menjadi suatu istilah yang menarik. Dalam

teks keilmuan dan debat, ia digunakan tanpa pandang bulu, dan sering tidak didefinisikan.

Rumusannya menjadi kabur, atau maknanya hampir tidak ada atau digunakan secara tepat,

namun agak berbeda maknanya dalam konteks yang berbeda pula. Namun dalam banyak

kasus, penekanan kata wacana dalam gagasan umumnya bahwa bahasa dibangun menurut

pola yang berbeda dimana ujaran seseorang mengikuti ketika mereka ambil bagian dalam

ranah kehidupan sosial yang berbeda, contoh yang akrab terdapat dalam wacana kesehatan

dan wacana politik. Analisis wacana dimaksud adalah analisis mengenai pola-pola ini.

Namun, definisi dalam pengertian umum ini tidak banyak membantu dalam

menjernihkan apa sebuah wacana itu, bagaimana fungsinya atau bagaimana menganalisisnya.

Di sini metode dan teori akan dikembangkan lebih jauh mengenai analisis wacana harus

ditunjukkan. Dan dalam penelusuran, seseorang akan akan dapat menemukan dengan cepat

bahwa wacana tidak hanya sebuah pendekatan, namun sebuah rangkaian pendekatan antar

disiplin ilmu yang dapat digunakan untuk mengungkap banyak perbedaan ranah sosial dalam

banyak jenis studi yang berbeda. Dan tidak terdapat kesepakatan yang tegas tentang apa itu

wacana dan bagaimana menganalisisnya. Perspektif yang berbeda menawarkan saran mereka

sendiri dan untuk sejumlah tingkatan tertentu terjadi persaingan untuk menonjolkan istilah

wacana dan analisis wacana menurut definisi yang mereka miliki sendiri. Mari mulai,

7
bagaimanapun, dengan cara menempatkan definisi pendahuluan mengenai wacana sebagai

metode khusus untuk membicarakan dan memahami dunia (atau aspek dunia).

Dalam bab ini, tiga pendekatan yang berbeda untuk analisis wacana kontruksionis

sosial akan diperkenalkan- yaitu teori wacana Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, analisis

wacana kritis dan psikologi diskursif. Dalam tiga bab berikutnya, kita akan menyajikan

pendekatan secara mandiri. Ketiga pendekatan tersebut membagikan titik tolak yaitu bahwa

cara berbicara kita tidak secara netral merefleksikan dunia, identitas dan hubungan sosial kita,

namun lebih merupakan memainkan peran aktif dalam menciptakan dan mengubahnya. Kita

harus memilih ketiga pendekatan ini dari bentang perspektif yang berbeda dalam analisis

wacana dengan landasan bahwa kita berfikir bahwa mereka menyajikan secara khusus metode

dan teori yang bermanfaat untuk penelitian dalam komunikasi, budaya dan sosial. Pendekatan

tersebut dapat diterapkan dalam banyak analisis ranah sosial yang berbeda, termasuk

organisasi dan lembaga dan dalam mengungkap peran bahasa yang digunakan dalam

pengembangan budaya dan kemasyarakatan yang luas seperti globalisasi dan penyebaran

media komunikasi masa.

Izinkan penulis menampilkan contoh kecil penerapan yang mungkin mengenai analisis

wacana. Sebagai contoh, ia dapat digunakan sebagai kerangka pemikiran untuk menganalisis

identitas nasional. Bagaimana kita dapat memahami identitas nasional dan apa konsekuensi

dari pembagian dunia menjadi negara-negara kecil? Banyak bentuk teks dan pembicaraan

yang berbeda dapat dipilih untuk dianalisis. Fokusnya dapat berupa konstruksi diskursif

identitas nasional dalam buku teks tentang sejarah Inggris. Secara alternatif, seseorang dapat

memilih untuk mengungkap signifikansi identitas nasional bagi hubungan antara orang-orang

dalam sebuah konteks keorganisasian sebagai sebuah tempat kerja. Topik penelitian lainnya

dapat menjadi jalan dimana ahli pengetahuan disertakan dalam media masa dan implikasi

untuk pertanyaan mengenai kekuasaan dan demokrasi. Bagaimana caranya meminta nasehat

8
terkait struktur pengetahuan dan bersaing dalam belantara media masa dan bagaimana

penguasaan pengetahuan menuntut agar dikonsumsi oleh para pengguna media pendengar?

Pertarungan antara tuntutan pengetahuan yang berbeda dapat difahami/ diungkap secara

empiris sebagai sebuah pertarungan antara warcana berbeda yang menyajikan cara yang

berbeda mengenai pemahaman aspek dunia dan membangun identitas pembicara yang

berbeda (seperti seorang ahli atau seorang pembohong).

Tiga pendekatan yang telah kita pilih untuk fokus sebagai kerangka kerja bagi analisis

wacana membagi alasan argumentasi kunci tertentu tentang bagaimana sebuah kesatuan lahir

seperti bahasa dan subjek tertentu difahami. Mereka juga secara umum memiliki tujuan untuk

melaksanakan penelitian kritis, karenanya untuk menyelidiki dan menganalisa hubungan

kekuatan dan masyarakat dan merumuskan perspektif normatif darimana sebuah kritik

terhadap hubungan tertentu dapat diciptakan dengan melihat pada kemungkinan bagi

perubahan sosial. Pada saat yang sama, meski setiap perspektif memiliki cakrawala filosofis

yang berbeda dan dalil-dali teoritis, termasuk pemahaman khusus mengenai wacana, praktik

sosial dan kritik yang mengarah pada tujuan khusus, metode dan titik fokus empiris. Tujuan

dari bab pengantar ini adalah untuk menekankan cakupan terhadap pendekatan konstruksionis

sosial terhadap analisis wacana. Kita tertarik pada dua aspek yang merupakan hal umum

terhadap semua pendekatan – dan, secara khusus, terhadap tiga pendekatan penulis – dan

dalam pendekatan-pendekatan tersebut terkait dengan pendekatan-pendekatan yang berbeda.

Pendekatan-pendekatan tersebut serupa satu sama lainnya dalam titik tolak

konstruksionis sosial mereka, dalam pandangan kebahasaan mereka, berakar dari kebahasaan

strukturalis dan pos strukturalis, dan dalam pemahaman mereka tentang individu berdasarkan

versi marsisme strukturalis. Pada bab ini, penulis akan menyajikan sumber dan akar umum

inspirasi teoritis dan selama pandangan kami akan menyentuh rangkaian konsep – sebagai

contoh, kekuasaan dan ideologi – yang seringkali menyertai konsep wacana. Sekalipun

9
penyebaran dalil, kepentingan yang berbeda hadir di antara tiga pendekatan tersebut.

Pertama, terdapat tidak kesepakatan mengenai apa yang termasuk cakupan wacana, apakah

mereka menggantikan masyarakat secara lengkap, atau mereka sendiri sebagiannya

digantikan oleh aspek sosial lain? Kedua, pendekatan juga beragam dengan

mempertimbangkan fokus analisis mereka. Sejumlah analisis wacana milik orang dalam

hubungan sosial keseharian, sedang yang lain menyukai pemetaan yang lebih abstrak terhadap

wacana yang beredar dalam masyarakat. Penulis akan mengelaborasi sekian poin yang

berbeda ini ke akhir bab.

Pembagian bidang cakupan ke dalam tiga pendekatan dimana memiliki baik kesamaan

dan perbedaan yang harus – untuk sejumlah tingkatan dapat difahami sebagai sebuah

konstruksi penulis sendiri. Penulis akan memungut tiga pendekatan yang telah dipilih untuk

diberikan pada sebuah bab untuk masing-masingnya, untuk membandingkan dan

mempertentangkan pendekatan tersebut satu sama lain dalam bab 5, untuk menyediakan

sebuah pengantar yang jelas terhadap bidang analisis wacana. Penyajian ini tidak harus

diambil sebagai deskripsi yang netral atau sebagai refleksi bidang analisis yang terbuka.

Dengan mempertimbangkan pilihan penulis mengenai ketiga pendekatan tersebut, penulis

hanya mencakup tiga pendekatan dalam bidang analisis wacana konstruksionis sosial,

termasuk, sebagai contoh pendekatan aliran Foucault. Dan dalam kaitannya dengan

identifikasi penulis mengenai poin keseragaman dan perbedaan di antara ke tiga pendekatan,

penulis memberitahukan bahwa perbandingan di antara pendekatan bukanlah sebuah latihan

yang gamblang. Ketiga pendekatan tersebut berasal dari disiplin ilmu yang berbeda dan

memiliki kekhususan karakter mereka sendiri. Pada saat yang sama, banyak kerja analisis

wacana menyeberangi batas antar dsiplin ilmu, dan terdapat banyak poin teoritis dan alat

metodologi yang tidak dapat diterapkan secara tepat terhadap sebuah pendekatan tertentu.

10
Paket Lengkap

Walaupun analisis wacana dapat diterapkan pada semua wilayah penelitian, ia tak dapat

digunakan bersamaan dengan semua jenis kerangka kerja teoritis. Lebih penting lagi, ia tidak

dapat digunakan sebagai metode analisis yang dipisahkan dari landasan metodologi dan

teoritisnya. Setiap pendekatan terhadap analisis wacana yang penulis sajikan bukan sekedar

metode yang diperuntukkan bagi analisis data, namun sebuah metodologi dan teoritis secara

keseluruhan – atau katakanlah sebuah paket lengkap. Peket tersebut mengandung, pertama,

dalil-dalil filosofis (ontologi dan epistemologi) dengan mempertimbangkan peran bahasa

dalam sebuah konstruksi sosial tentang dunia, kedua, model teoritis, ketiga, panduan

metodologi bagaimana untuk melakukan pendekatan sebuah ranah penelitian, dan keempat,

teknik khusus untuk melakukan analisis. Dalam analisis wacana, teori dan metode saling

berkelindan dan para peneliti harus menerima dalil-dalil filosofis dasar untuk menggunakan

analisis wacana sebagai metode studi empiris mereka.

Adalah hal yang sangat penting menekankan bahwa, ketika konten paket harus

berbentuk sebuah keseluruhan yang terintegrasi, adalah mungkin menciptakan paket milik

seseorang dengan menggabungkan elemen-elemen dari perspektif analisis wacana yang

berbeda dan jika, sangat diperlukan, perspektif analisis non wacana. Seperti karya perspektif

ganda tidak sekedar dipersilahkan, namun secara positif memberi nilai dalam kebanyakan

bentuk analisis wacana. Pandangan bahwa perspektif yang berbeda menyediakan bentuk

pengetahuan yang beragam mengenai sebuah fenomena, dengan demikian secara bersama,

mereka menghasilkan sebuah pemahaman luas. Kerja yang melibatkan perspektif ganda

dibedakan dari sebuah pemilihan yang didasarkan pada mishmash pendekatan yang tidak

terpisah tanpa dilakukan penilaian yang serius terhadap hubungannya dengan satu sama lain.

Aliran perspektif ganda mensyaratkan bahwa seseorang harus memuat pendekatan-

pendekatan yang saling menopang satu sama lain, mengidentifikasi apa jenis pengetahun

11
masing-masing pendekatan yang dapat mendukung dan memodifikasi pendekatan-pendekatan

dari sudut pandang pertimbangan ini.

Untuk membangun sebuah kerangka kerja yang sesuai, sangat penting memerhatikan

aspek perbedaan filosofis, teoritis dan metodologis dan kesamaan diantara pendekatan. Tak

pelak lagi, persyaratan ini merupakan sebuah tinjauan lapangan. Tujuan penyajian penulis

terhadap tiga pendekatan dalam tiga bab mendatang adalah untuk memberi sumbangan untuk

memberi tambahan pada tinjauan ini dengan cara memperkenalkan fitur kunci dari ketiga

pendekatan analisa wacana penting, juga sebagai tema sentral dalam debat akademis terkait

fitur-fitur ini. Sebagai tambahan, penulis akan menyediakan rujukan yang cukup memadai dan

saran untuk menelaah bacaan lebih khusus.

Dalil-Dalil Kunci

Tiga pendekatan yang telah dipilih untuk menjadi perhatian, seluruhnya didasarkan pada

konstruksi sosial. Aliran konstruksi sosial adalah sebuah istilah yang memayungi cakrawala

teori baru tentang sosial dan budaya. Analisis wacana hanyalah satu di antara sejumlah

pendekatan konstruksionis sosial namun, ia merupakan satu dari pendekatan yang digunakan

secara luas dalam konstruksionisme sosial. Lebih jauh, banyak penggunaan pendekatan yang

memiliki karakteristik yang sama seperti dalam analisis wacana tanpa mendefinisikannya

begitu saja. Penulis pertamakali akan menyediakan sebuah panduan jelas tentang sejumlah

asumsi filosofis umum yang mendukung banyak pendekatan analisa wacana, menguraikan

pendapat-pendapat aliran konstruksionisme sosial yang berikan oleh Vivien Burr (1995) dan

Kenneth Gergen (1985). Kemudian penulis akan fokus secara khusus pada sejumlah asumsi

tentang bahasa dan identitas dimana semua pendekatan analisa wacana dirangkul.

Burr (1995) mengingatkan akan sulitnya memberikan sebuah deskripsi yang berusaha

mencakup semua pendekatan konstruksionis sosial sejak mereka begitu merebak dan tersebar.

12
Ini sekalipun demikian, dalam karya Burr (1995: 2-5) dia mendaftar empat dalil yang disebar

oleh semua pendekatan konstruksionis sosial, yang dibangun oleh Gergen (1985). Dalil-dalil

ini juga di rangkul oleh tiga pendekatan penulis, yaitu sebagai berikut:

- Pendekatan kritis yang menerima pengetahuan apa adanya

Pengetahuan kita tentang dunia tidak harus dianggap sebagai kebenaran objektif.

Realita hanya dapat diakses kepada kita melalui pengelompokan, jadi pengetahuan

kita dan penyajian dunia tidak merefleksikan relitas di luar sana namun merupakan

produk cara kita mengelompokkan dunia, atau, dalam istilah analisa diskursif

dikenal sebagai produk wacana (Burr 1995:3, Gergen 1985: 266-267). Dalil-dalil

ini akan diuraikan lebih jauh di halaman 9-12.

- Kekhususan sosial dan budaya

Keberadaan sejarah dan budaya kita secara mendasar dan pandangan serta

pengetahuan kita tentang dunia merupakan produk sejarah yang berada

dalam situasi saling mengubah di antara orang-orang (Gerhen 1985:267).

Konsekuensinya, cara-cara yang kita gunakan untuk memahami dan menyajikan

dunia merupakan hal yang bersifat khusus secara sosial dan budaya dan

merupakan kesatuan: sudut pandang kita dan identitas kita dapat saja berbeda, dan

dapat saja berubah sewaktu-waktu. Pandangan ini, yaitu bahwa semua

pengetahuan merupakan kesatuan adalah sebuah posisi sikap anti foundationalist

yang tegak dalam posisi melawan pandangan anti foundationalist yang

memandang bahwa pengetahuan dapat menjadi dasar (akar) yang kuat, dasar teori

gabungan yang melebihi kesatuan tindakan manusia. Wacana merupakan sebuah

bentuk tindakan sosial yang memerankan bagian dalam memproduksi dunia sosial

– termasuk pengetahuan, identitas dan hubungan sosial – dan dengan cara

demikian akan memperbaiki pola sosial khusus. Ini merupakan pandangan anti

13
esensial; bahwa dunia sosial tertentu dibangun secara sosial dan secara diskursif

mengimplikasikan bahwa karakternya bukanlah syarat pemberian atau ditentukan

oleh kondisi luar, dan bahwa orang tidak memiliki serangkaian karakteristik yang

otentik dan sempurna atau esensi.

- Hubungan antara pengetahuan dan proses sosial

Cara kita memahami dunia adalah diciptakan dan diperbaiki oleh proses sosial

(Burr 1995: 4, Gergen 1985: 268). Pengetahuan diciptakan melalui interaksi sosial

yang kita bangun bersama kebenaran-kebenaran dan memiliki kompetensi

mengenai benar dan salah.

- Hubungan antara pengetahuan dan aksi sosial

Dalam sebuah sudut pandang khusus, sejumlah bentuk tindakan menjadi alami,

sementara yang lainnya tidak dapat difikirkan. Pemahaman sosial yang berbeda

tentang dunia akan mengarahkan pada tindakan sosial yang berbeda, dan

bagaimanapun konstruksi bangunan sosial dan kebenaran memiliki konsekuensi

sosial (Burr 1995:5, Gergen 1985: 268-269).

Sejumlah kritik konstruksionisme sosial memiliki alasan bahwa bila semua

pengetahuan sosial dan semua identits sosial dianggap sebagai kesatuan, dan bila berikutnya

bahwa segala sesuatu berada dalam keadaan yang terus berubah dan tidak terdapat

keleluasaan dan keteraturan dalam kehidupan sosial. Tentunya, terdapat pakar teori konstruksi

sosial seperti Kenneth Gergen dan Jean Boudrillard, yang mungkin dapat menafsirkan dalam

cara ini. Namun, pada umumnya penulis yakin bahwa ini merupakan sebuah karikatur

konstruksionisme sosial. Kebanyakan konstruksionis sosial, menyertakan pengikut tiga

pendekatan penulis, pandangan bidang sosial sebagai lebih banyak bersifat mengatur dan

membatasi. Meski pengetahuan dan identitas selalu kesatuan dalam prinsipnya, mereka relatif

selalu bersifat kaku dalam situasi khusus. Situasi khusus menempati pengecualian dalam

14
identitas dimana seorang individu dapat menduga dan memberi pernyataan yang dapat

diterima sebagai penuh makna. Penulis akan meringkas diskusi ini dalam bab berikutnya

terkait teori wacana Laclau dan Mouffe.

Tiga Pendekatan

Dalil-dalil kunci konstruksionis sosial memiliki akar dalam teori strukturalis Prancis dan

paham penolakannya terhadap teori totalitas dan universalitas seperti Marsisme dan

psikoanalisis. Namun keduanya baik konstruksionisme sosial maupun pos strukturalisme

merupakan hanya label perselisihan dan tidak terdapat kesepakatan tentang hubungan antara

keduanya. Penulis memahami konstruksionisme sosial merupakan sebuah pengelompokan

luas dimana pos strukturalisme menjadi cabangnya. Semua pendekatan analisis wacana

penulis menjelaskan teori bahasa strukturalis dan pos strukturalis, namun ragam pendekatan

digunakan untuk memperluas hingga mana penerapan label pos strukturalis.

Teori wacana Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, yang penulis sajikan pada bab 2,

merupakan teori pos strukturalis paling asli dalam pilihan penulis. Teori tersebut memiliki

titik tolak pada gagasan pos strukturalis yang mewacanakan konstruksi dunia sosial dalam

pemaknaan, dan bahwa berterimaksih pada sifat labil bahasa secara mendasar, yang bermakna

tidak akan pernah sempurna secara permanen. Tidak ada wacana yang memiliki entitas

tertutup; lebih sekedar menjadi berubah secara tetap melalui kontak dengan wacana lainnya.

Dengan demikian, kata kuncinya adalah pertarungan wacana. Wacana yang berbeda –

masing-masingnya menyajikan cara khusus membicarakan dan memahami tentang dunia

sosial – yang diikutsertakan dalam sebuah pertarungan yang tetap dengan yang lainnya untuk

memeroleh penguasaan, dan itulah alasan untuk terus menyempurnakan makna bahasa dalam

cara mereka sendiri. Penguasaan, kemudian dapat difahami secara sementara sebagai

dominasi sebuah perspektif khusus. Penulis akan mengurainya pada bab 2 ini.

15
Analisis wacana kritis, yang kita diskusikan dalam bab 3 dengan fokus khusus pada

pendekatan Norman Fairclough juga menempati posisi yang luas dalam peran wacana aktif

dalam membangun dunia sosial. Namun sebaliknya dengan Laclau dan Mouffe, Fairclough

bersikeras bahwa wacana hanyalah satu di antara banyak aspek dari praktik sosial. Perbedaan

antara wacana dan non wacana menyajikan sebuah bekas atau sisa dari banyaknya pengaruh

marsisme tradisional dalam teori Fairclough, membuat analisis wacana kritis kurang

bernuansa pos strukturalis dibanding teori Laclau dan Mouffe.

Area pusat minat dalam analisis wacana kritis Fourclough adalah penyelidikan

mengenai perubahan. Penggunaan bahasa kongkrit selalu mengambil struktur diskursif lebih

awal sebagai pemakaian bahasa yang telah memiliki makna yang terpasang. Fokus fourclough

tentang hal ini melalui konsep intertekstualitas – dikarenakan bagaimana sebuah teks individu

mengambil elemen dan wacana teks lainnya. Dengan cara menggabungkan elemen dari

wacana berbeda yang mana penggunaan bahasa kongkrit dapat mengubah wacana seseorang

dan dengan cara demikian, juga berlaku dalam dunia sosial dan budaya. Melalui teks

intertekstualitas, seseorang dapat menyelidiki baik reproduksi wacana dengan jalan mana

tidak ada elemen baru yang diperkenalkan dan perubahan diskursif melalui penggabungan

wacana baru.

Psikologi diskursif, yang merupakan judul dari bab 4, membagikan analisis wacana

empiris kritis yang fokus pada contoh penggunaan bahasa khusus yang digunakan dalam

interaksi sosial. Namun tujuan dari psikologi diskursif adalah tidak terlalu banyak

menganalisa perubahan dalam wacana masyarakat berskala luas, yang menggunakan bahasa

kongkrit dapat menghasilkan cara untuk menyelidiki bagaiamana orang menggunakan wacana

yang tersedia secara lentur dalam menciptakan dan menegosiasikan representasi dunia dan

identitas dalam berbicara mengenai interaksi dan untuk menganalisis konsekuensi sosial dari

hal ini. Meskipun, pilihan label untuk pendekatan ini – psikologi diskursif – fokus utamanya

16
bukanlah aspek internal kondisi psikologis. Psikologi diskursif merupakan sebuah pendekatan

terhadap psikologi sosial yang telah membangun sebuah jenis analisis wacana untuk

mengungkap cara dimana kedirian seseorang, pemikiran dan emosinya dibentuk dan diubah

melalui interaksi sosial dan meningkatkan peran dari proses ini dalam reproduksi sosial,

budaya dan perubahan. Banyak psikologi diskursif ditampilkan secara eksplisit dalam teori

pos strukturalis, namun dengan hasil yang berbeda dari (sebagai contoh) yang ditampilkan

Laclau dan Mouffe. Dalam psikologi diskursif, tekanannya ada pada individu baik sebagai

produk hasil maupun penghasil wacana dalam konteks interaksi yang khusus sementara teori

wacana Laclau dan Mouffe dimaksudkan untuk memandang individu tunggal sebagai subjek

wacana.

Dalam bab 3 dan 4 secara berturut-turut analisis wacana kritis dan psikologi diskursif,

penulis menggunakan landasan teoritis dan panduan metodologis bagi analisis wacana dan

menyajikan sejumlah contoh mengenai analisis wacana dalam masing-masing tradisi. Teori

Laclau dan Mouffe, bagaimanapun ia merupakan sebuah panduan metodologi singkat yang

khusus dan memberikan ilustrasi contoh. Sebagai kompensasi dari hal ini, penulis telah

menggabungkan dari teori mereka wawasan alat analisa yang penulis sajikan dalam bab 2

bersama dengan contoh analisis berdasar pada sejumlah alat analisis ini. Maksud dari panduan

dan contoh dalam tiga bab adalah untuk menyediakan wawasan yang mendalam ke arah

bagaimana menerapkan pendekatan yang berbeda untuk menganalisis wacana dalam kerja

empiris. Pada setiap bab, penulis menggambarkan fitur khusus dari masing-masing perspektif,

saat menunjukkan aspek-aspek yang mereka bagikan dengan satu atau dua dari perspektif

lainnya. Walau demikian penulis tetap menekankan hubungan antara teori dan metode. Pada

bab 5, penulis arahkan kepada persamaan dan perbedaan teoritis dan metode di antara

pendekatan tersebut. Penulis membandingkan pendekatan, menunjukkan kekuatan dan

kelemahannya, dan menunjukkan cara di mana mereka dapat saling melengkapi satu sama

17
lain. Dan akhirnya, penulis mengarahkan sejumlah pertanyaan yang terkait dengan semua

pendekatan. Bagaimana kita membatasi sebuah wacana? Bagaimana kita mulai melakukan

analisis wacana? Bagaimana kita melakukan penelitian yang menyertakan ragam perspektif

dikombinasikan dengan pendekatan analisis yang berbeda dan pendekatan analisis non

wacana yang berbeda juga? Sebagaimana dalam bab lain, penulis menyajikan ilustrasi contoh

cara-cara mengerjakan pertanyaan ini dalam penelitian empiris. Bab terakhir dari buku ini

menyajikan sebuah diskusi mengenai dunia penelitian kritis dalam paradigma

konstruksionisme sosial. Di sini penulis mendiskusikan dan mengevaluasi rentang usaha agar

sesuai dengan problem pelaksanaan penelitian kritis sepanjang alur konstruksionis sosial,

fokus pada pendirian mereka yang berbeda terkait dengan pertanyaan relativisme dan status

dari kebenaran dan pengetahuan.

Dari Sistem Bahasa Menuju Wacana

Sebagai tambahan untuk dalil-dalil konstruksionis sosial umum, semua pendekatan analisa

wacana digabung bersama pertimbangan terhadap pandangan subjek dan bahasa mereka. Agar

menyediakan sebuah landasan umum bagi diskusi pada bab yang akan datang, penulis

sekarang memperkenalkan pandangan bahwa penyebaran pendekatan diikuti oleh poin

beragam yang utama.

Pendekatan analisa wacana mengambil sebagai titik tolak mereka tuntutan terhadap

strukturalis dan filsafat bahasa pos strukturalis, yang merupakan jalan masuk penulis

kepada realitas yang selalu melalui bahasa. Dengan menggunakan bahasa, penulis

menciptakan representasi dari realitas yang tidak pernah merefleksikan sebuah pra kehadiran

realitas belaka namun memberi kontribusi untuk membangun realita. Hal itu tidak berarti

bahwa realita dengan sendirinya tidak ada. Makna (arti) dan representasi adalah hal yang real.

Objek fisik juga ada, namun mereka hanya memeroleh makna (arti) melalui wacana.

18
Mari kita ambil sebuah contoh, sebuah peristiwa banjir yang dikaitkan dengan sebuah

sungai yang melampaui tepian sungainya. Naiknya level tingkat air mengarah pada banjir

merupakan sebuah peristiwa yang berada dalam pemikiran dan pembicaraan orang secara

bebas. Semua orang akan tenggelam bila mereka berada di tempat yang keliru, terlepas dari

apa yang sedang mereka fikir atau katakan. Peningkatan pada level air merupakan fakta

material. Namun secepat usaha orang untuk memberikan makna terhadapnya, hal tersebut

tidak lagi berada di luar wacana. Kebanyakan akan menempatkannya ke dalam kategori

fenomena alami, namun mereka tidak akan mementingkan penggambarannya dalam cara yang

sama. Sejumlah orang mungkin akan mengambil sebuah wacana meteorologis untuk

membantu menjelaskannya, menghubungkan naiknya tingkat ketinggian permukaan air

kepada hujan lebat yang tidak seperti biasanya. Sementara yang lain mungkin memikirkannya

dalam konteks fenomena El Nino, atau melihatnya sebagai satu dari sekian banyaknya

konsekuensi efek rumah kaca secara global. Sementara orang lain masih melihatnya sebagai

hasil dari kekeliruan pengelolaan secara politik, seperti kegagalan pemerintahan nasional

dalam membentuk dewan dan pembiayaan pembanguan proyek bendungan. Dan akhirnya,

sejumlah orang lainnya mungkin melihatnya sebagai sebuah manifestasi dari kehendak

Tuhan, dihubungkan dengan kemarahan Tuhan ke arah gaya hidup masyarakat yang penuh

dosa atau melihatnya sebagai tanda dekatnya akhir zaman. Naiknya tingkat permukaan air,

sebagai sebuah peristiwa terjadi dalam titik waktu yang khusus, akan dapat menjelaskan

makna dalam konteks ragam wacana atau perspektif yang berbeda (yang dapat dikombinasi

dalam cara yang berbeda). Hal yang lebih penting, setiap wacana yang berbeda menunjukan

cara tindakan yang berbeda sebagai hal yang mungkin dan menonjol seperti konstruksi

tentang bendungan di atas, yaitu cara pandang organisasi politik menentang kebijakan

lingkungan global atau cara pandang pemerintah nasional, atau persiapan bagi dekatnya akhir

19
zaman. Dengan demikian memberikan makna dalam kerja wacana untuk mengganti atau

mengubah dunia.

Bahasa, kemudian tidak melulu sebuah saluran yang berisi informasi tentang

penekanan keadaan mental dan perilaku atau fakta tentang dunia yang dikomunikasikan. Dan

sebaliknya, bahasa merupakan sebuah mesin yang memunculkan dan sebagai sebuah ganti

hasil dunia sosial tertentu. Hal ini juga berarti perluasan penggantian identitas sosial dan

hubungan sosial. Itu berarti bahwa perubahan dalam wacana merupakan sebuah arti dunia

sosial dapat diubah. Pergulatan pada tataran diskursif ikut serta dalam proses perubahan, juga

seperti dalam mereproduksi sebuah realitas sosial.

Pemahaman tentang bahasa sebagai sebuah sistem, yang tidak dibatasi oleh realita

yang dirujuknya, berasal dari kebahasaan strukturalis yang diikuti dalam kebangunan gagasan

rintisan Ferdinand de Saussure sekitar awal abad ini. Saussure beralasan bahwa tanda terdiri

atas dua sisi, yaitu form (signifiant) dan konten (signifi) dan bahwa hubungan antara keduanya

memiliki tabiat yang berubah-ubah (Saussure 1960). Arti yang kita selipkan pada kata-kata

tidak menjadi sifat di dalamnya namun sebagai hasil kesepakatan sosial, dengan jalan

demikian kita menyambungkan arti dengan suara tertentu. Suara atau kesan tertulis mengenai

kata-kata dog (anjing), sebagai contoh, tidak memiliki hubungan secara alami terhadap kesan

seekor anjing yang tampak dalam fikiran kita ketika kita mendengar kata tersebut. Bahwa

kita memahami apa yang orang lain maksudkan ketika mereka mengatakan dog disebabkan

karena kesepakatan sosial yang telah memahamkan kita bahwa kata dog merujuk pada hewan

berkaki empat yang menggonggong. Pandangan Saussure adalah bahwa makna tanda individu

ditentukan oleh hubungan mereka dengan tanda lainnya; sebuah tanda memeroleh nilai

khususnya dari kondisi yang berbeda dari tanda lainnya, kata dog berbeda dengan kata cat dan

mouse, dig dan dot. Kata dog akan menjadi bagian dari sebuah jaringan atau struktur dari

20
bentuk kata lainnya yang membedakannya dan hal ini berasal dari segala sesuatu yang bukan

kata-kata dog itu sendiri dimana kata dog tersebut mendapatkan maknanya.

Saussure memandang struktur ini sebagai sebuah lembaga sosial dan meskipun terus

berubah sepanjang waktu. Ini mengimplikasikan bahwa hubungan antara bahasa dan realita

juga berubah-ubah, sebuah pokok pandangan yang dikembangkan dalam teori strukturalisme

dan pos strukturalis belakangan ini. Sebuah kata tidak dengan sendirinya dapat memerintah

kata-kata tertentu yang mana harus dideskripsikan dan sebagai contoh, tanda dog bukanlah

sebuah konsekuensi alami dari sebuah fenomena secara fisik, bentuk dari sebuah tanda akan

berbeda pula dalam bahasa yang berbeda. (sebagai contoh, chien dan Hund), dan isi dari tanda

juga berubah ketika diterapkan dalam sebuah situasi baru (ketika, sebagai contoh, dikatakan

kepada sesorang, “You are such a dog”, – Anda seperti seekor anjing).

Saussure memberikan pembelaan bahwa struktur tanda dijadikan materi bahasa.

Saussure membedakan antar dua tingkatan bahasa, yaitu langue dan parole. Langue adalah

struktur bahasa, jaringan tanda yang memberi makna satu sama lain dan bersifat tetap dan

tidak dapat diubah. Parole di sisi lain, merupakan situasi penggunaan bahasa, tanda

sebenarnya yang digunakan oleh orang dalam situasi yang khusus. Parole harus selalu

menjelaskan langue, untuk peruntukan tersebutlah struktur bahasa akan membuat

kemungkinan pernyataan khusus. Namun dalam tradisi Saussurian parole seringkali

dipandang sebagai sesuatu yang acak dan begitu terlemahkan karena kesalahan orang dan

gabungan gagasan yang dimaksudkan untuk tidak memasukkannya sebagai sebuah objek

penelitian saintifik. Meskipun bersifat tetap, penekanan struktur adalah langue, yang telah

menjadi objek utama bahasa.

Pos strukturalisme titik tolaknya dari teori strukturalis namun mengubahnya dalam

pertimbangan penting. Pos strukturalisme mengambil dari gagasan strukturalisme bahwa,

tanda-tanda mengarahkan makna-maknanya tidak melalui hubungannya terhadap realitas

21
namun melalui hubungan internal dalam jaringan tanda; ia menolak pandangan strukturalisme

mengenai sifat bahasa sebagai hal yang tetap, tidak berubah dan menyatukan struktur dan

tidak menekankan perbedaan yang tajam antara langue dan parole.

Pertama, kita mengarah kepada kritik pos strukturalisme mengenai kestabilan, ketidak

berubahan struktur bahasa. Seperti yang telah disebutkan penulis, dalam teori Saussur tanda

memeroleh maknanya dengan berbedanya mereka dari tanda lain. Dalam tradisi aliran

Saussur, struktur bahasa dapat dipertimbangkan seperti sebuah jala ikan dimana setiap tanda

memiliki tempatnya sebagai satu simpul atau ikatan dalam sebuah jala. Ketika sebuah jala

dibentangkan, simpul atau ikatannya tetap pada tempatnya dikarenakan jaraknya dari simpul

atau ikatan lainnya dalam jala, mirip seperti tanda yang didefinisikan oleh jaraknya dari tanda

yang lainnya. Banyak teori strukturalis berpijak pada dugaan bahwa tanda-tanda terkunci

dalam hubungan khusus satu sama lainnya: setiap tanda memiliki lokasi yang khusus dalam

jala dan maknanya tetap. Pengikut strukturalis dan pos strukturalis belakangan, telah

mengkritik rumusan bahasa ini; mereka tidak percaya bahwa tanda memiliki posisi tetap

tertentu seperti diserupakan dengan jala ikan. Dalam teori pos strukturalis, tanda akan

memeroleh makna mereka dengan menjadi berbeda dari tanda yang lain, namun tanda yang

berbeda secara asal ini dapat berubah sesuai dengan konteks dimana mereka digunakan

(Laclau 1993a: 433). Sebagai contoh, kata work (kerja) dalam situasi tertentu dapat

dipertentangkan dengan Leisure (malas) sementara dalam konteks lainnya, dipertentangkan

dengan arti passivity (sifat pasif) seperti dalam pekerjaan di taman. Hal tersebut tidak berarti

bahwa kata-kata terbuka bagi semua makna arti —hal itu akan membuat bahasa dan

komunikasi menjadi tidak mungkin— namun tidak memiliki konsekuensi bahwa kata-kata

tidak dapat menjadi bersifat tetap dengan satu atau lebih makna tertentu. Perumpamaan jala

ikan, tidak lagi memadai sejak ia tidak dapat menjadi penentu yang utama, dimana dalam

jaringan, tanda harus ditempatkan dalam hubungan satu sama lain. Menyisakan perumpamaan

22
sebuah jala, penulis lebih suka menggunakan internet sebagai model, dengan cara semua

saluran terhubung satu sama lain, namun saluran dapat dipindahkan dan sesuatu yang baru

secara tetap muncul dan menggantikan struktur.

Struktur hadir namun selalu bersifat sementara dan tidak diperlukan keadaan yang

konsisten. Pemahaman ini menyediakan pos strukturalisme dengan sebuah arti pemecahan

sebuah problem tradisional milik strukturalisme, yaitu perubahan. Dengan fokus

strukturalisme yang menekankan dan kestabilan struktur, adalah mustahil memahami

perubahan, bagaimana caranya perubahan akan hadir? Dalam pos strukturalisme, struktur

menjadi mungkin untuk berubah dan makna tanda dapat menempati dalam hubungannya

dengan yang lain.

Namun apa yang membuat makna tanda berubah? Ini membawa kita kepada kritik

utama yang kedua pos strukturalisme terhadap strukturalisme tradisional, terkait dengan

perbedaan tajam terkini antara langue dan parole. Seperti disebut, parole tidak dapat menjadi

sebuah objek studi para penganut strukturalis karena situasi penggunaan bahasa dianggap

terlalu berubah-ubah untuk dapat mengatakan semua tentang struktur, yaitu langue. Kondisi

sebaliknya, pos strukturalis percaya bahwa ia dalam penggunaan bahasa yang lebih kongkrit

bahwa struktur itu diciptakan, direproduksi (diulang) dan berubah. Dalam tindak pembicaraan

khusus (dan tulisan), orang menunjukkan struktur – sebaliknya ucapan tidak akan bermakna –

namun dapat juga menantang struktur dengan memperkenalkan gagasan alternatif untuk

bagaimana membuat stabil makna sebuah tanda.

Tidak semua pendekatan analisis wacana mengikuti secara jelas terhadap pos

strukturalis, namun seluruhnya mungkin akan sepakat mengenai poin-poin utama berikut:

 Bahasa bukanlah sebuah refleksi dari sebuah kehadiran realitas,

 Bahasa dibangun dalam pola-pola atau wacana, tidak hanya terdapat sebuah sistem

makna umum sebagaimana yang dianut oleh aliran strukturalisme Saussurian

23
tetapi serangkaian sistem atau wacana, dengan demikian makna atau arti berubah

dari wacana ke wacana,

 Pola diskursif dikelola dan ditransformasikan dalam tindakan-tindakan diskursif,

 Perbaikan dan transformasi pola-pola, bagaimanapun, akan diangkat melalui

analisis terhadap konteks khusus dimana bahasa adalah dalam konteks tindakan.

Geneologi dan Arkeologi Foucault

Michel Foucault telah memainkan peran utama dalam pengembangan analisis wacana melalui

dua hal, yaitu kerja teoritis dan penelitian empiris. Dalam hampir semua pendekatan analisa

wacana, Foucault menjadi sosok figur yang dijadikan rujukan pengutipan, dikaitkan,

dikomentari, dimodifikasi dan dikritik. Penulis juga tidak hanya untuk berbuat sesuai dengan

aturan permainan secara implisit, namun juga karena semua pendekatan penulis memiliki akar

pada gagasan Foucault, saat menolak sejumlah bagian dari teorinya.

Secara tradisional, karya Foucault dibagi antara tahap arkeologi awal dan tahap

geneologi lanjut, meskipun keduanya saling tumpang tindih, dengan usaha Foucault

melanjutkan penggunaan perangkat dari disiplin arkeologinya dalam karya terakhirnya.

Bagian bentuk teori wacananya adalah bagian dari arkeologinya. Apa yang disukainya dalam

studi arkeologi merupakan aturan yang menentukan, mana pernyataan yang dapat diterima

sebagai penuh makna dan benar dalam sebuah epos sejarah khusus. Foucault mendefinisikan

wacana sebagai beriikut:

Kami akan menyebut wacana sebagai sekelompok pernyataan sepanjang mereka termasuk
formasi diskursif tertentu (...wacana) disusun dari sejumlah pernyataan terbatas untuk
sekelompok kondisi mengenai eksistensi yang akan didefinisikan. Wacana dalam
pemahaman ini bukanlah hal yang ideal, bentuk tanpa waktu (...) ia, dari awal hingga akhir,
terkait dengan sejarah – sebuah bagian dari sejarah (...) menempati batasannya sendiri,
bagiannya, transformasinya, mode temporernya yang khusus. (Foucault 1972: 117).

24
Foucault mengikuti dalil konstruksionis sosial umum, bahwa pengetahuan bukanlah

sekedar refleksi dari realita. Kebenaran merupakan sebuah konstruksi diskursif dan rejim

pengetahuan yang berbeda yang menentukan apa yang benar dan apa yang salah. Tujuan

Foucault adalah untuk menyelidiki struktur rejim pengetahuan yang berbeda – dan karenanya,

aturan-aturan apa yang dapat dan tidak dapat dikatakan dan aturan-aturan apa yang

dipertimbangkan untuk menjadi benar atau salah. Titik tolaknya adalah meskipun kita

memiliki, secara prinsip, merupakan sejumlah cara yang tidak tertentu untuk merumuskan

pernyataan, pernyataan-pernyataan yang diproduksi dalam sebuah ranah yang khusus yang

agak mirip dan berulang. Terdapat banyak pernyataan yang tak terhingga yang tidak pernah

sama sekali dan tidak akan pernah diterima sebagai penuh makna/arti. Aturan kesejarahan dari

wacana khusus tidak membatasi apa yang mungkin untuk dikatakan.

Mayoritas pendekatan analisis wacana kontemporer mengikuti rumusan wacana

Foucault sebagai serangkaian aturan pembatas yang relatif terhadap pernyataan yang

menentukan batasan apa yang dapat memberikan makna. Dan mereka terpasang dalam

gagasannya mengenai kebenaran menjadi sesuatu yang, sekurangnya dapat memperluas

tingkatan penciptaan secara diskursif. Bagaimanapun mereka tersebar dari kecenderungan

Foucault untuk mengidentifikasi hanya satu rejim pengetahuan dalam setiap periode sejarah:

daripada mereka bekerja dengan gambaran yang lebih bersifat konflik dimana wacana

berbeda eksis secara berdampingan atau pertarungan untuk menentukan siapa yang berhak

mendefinisikan kebenaran.

Dalam karya geneologinya, Foucault mengembangkan sebuah teori kekuasaan/

pengetahuan. Daripada memperlakukan agen-agen dan struktur sebagai kategori yang utama,

Foucault fokus pada kekuasaan. Bersamaan dengan wacana, kekuasaan tidak menjadi bagian

dari agen khusus seperti para individu atau negara atau kelompok yang berkeinginan khusus,

kekuasaan tersebar melintasi praktik-praktik sosial yang berbeda. Kekuasaan harus tidak

25
difahami sebagai bersifat tekanan semata-mata namun sebagai sesuatu yang produktif,

kekuasaan menggantikan wacana, pengetahuan, tubuh dan subjektifitas:

Apa yang membuat kekuasaan digunakan secara tepat, apa yang membuatnya dapat
diterima, merupakan fakta sederhana bukan hanya mengangkat kita sebagai kekuatan
yang dapat mengatakan ‘tidak’, namun ia juga melintasi dan memproduksi sesuatu, ia
membawa kenyamanan, ragam pengetahuan, menghasilkan wacana. Hal tersebut perlu
dipertimbangkan sebagai sebuah jaringan yang produktif yang melintasi seluruh tubuh
masyarakat, lebih banyak dari sebuah instansi negatif yang fungsinya adalah menekan.
(Foucault 1980: 119).

Kekuasaan ini menyediakan kondisi yang memungkinkan bagi masyarakat tertentu.

Dalam kekuasaan, dimana dunia sosial kita dihasilkan dan objek-objek terpisah satu sama

lainnya dan dengan demikian akan memeroleh karakteristik individual mereka dan hubungan

dengan satu sama lain. Sebagai contoh, ‘kriminal’ secara bertahap telah diciptakan sebagai

sebuah wilayah yang dilengkapi dengan institusi miliknya sendiri (misalnya penjara), subjek

khusus (pelaku kriminal) dan tindakan khusus (misalnya sosialisasi ulang). Dan kekuasaan

selalu berbatasan dengan pengetahuan – kekuasaan dan pengetahuan mensyaratkan satu sama

lain. Sebagai contoh, adalah sangat sulit membayangkan sebuah sistem penjara modern tanpa

kriminologi (Foucault, 1977).

Kekuasaan bertanggung jawab untuk menciptakan dunia sosial kita dan memunculkan

cara yang khusus dimana dunia dibentuk dan dapat diperbincangkan, menyingkirkan cara-cara

alternatif terhadap tubuh dan pembicaraan. Kekuasaan dengan demikian adalah kekuatan yang

memaksa dan produktif. Rumusan Foucault tentang kekuasaan mengikuti teori wacana Laclau

dan Mouffe dan psikologi diskursif, saat analisis wacana kritis lebih berperasaan yang

bertentangan ke arahnya. Penulis akan mendiskusikan posisi analisis wacana kritis dalam

bab 3.

Dengan mempertimbangkan pengetahuan, penyandingan kekuasaan dan pengetahuan

Foucault memiliki konsekuensi bahwa kekuasaan sangat erat kaitannya dengan wacana.

Wacana utamanya ikut andil dalam memproduksi subjek dan objek yang dapat kita ketahui

26
tentangnya (termasuk diri kita sebagai subjek). Untuk semua pendekatan, mengikuti

pandangan ini akan mengarahkan pada pertanyaan penelitian berikut: bagaimana dunia sosial,

termasuk subjek dan objeknya, tergantikan dalam wacana?

Rumusan Foucault tentang kekuasaan dan pengetahuan juga memiliki konsekuensi

bagi konsep kebenaran miliknya. Foucault menyatakan bahwa tidak mungkin memeroleh

akses kepada kebenaran universal sejak ia mustahil dibicarakan dari posisi di luar wacana,

tidak ada pelarian dari representasi. Dampak kebenaran diciptakan dalam wacana. Dalam

fase arkeologi Foucault, kebenaran difahami sebagai sebuah sistem prosedur untuk produksi,

pengaturan, dan pemisahan pernyataan. Dalam fase geneologinya, ia membuat hubungan

antara kebenaran dan kekuasaan, dengan alasan bahwa kebenaran disisipkan dalam dan

diproduksi oleh sistem kekuasaan. Karena kebenaran tidak dapat dicapai, tidak akan berhasil

menanyakan apakah sesuatu itu benar atau salah, fokus harus lebih diarahkan pada bagaimana

dampak dari kebenaran yang diciptakan dalam wacana. Apa yang akan dianalisa merupakan

proses diskursif yang menyajikan gambaran benar atau salah dari realitas.

Subjek

Dan Foucault juga orang yang menyediakan titik tolak untuk memahami subjek analisis

wacana. Pandangannya, seperti yang telah dicatat, bahwa subjek diciptakan dalam wacana. Ia

beralasan bahwa wacana bukanlah manifestasi tertutup dari subjek pembicaraan, pengetahuan

dan pemikiran yang bersifat agung (Foucault 1972: 55). Atau seperti ungkapan Steinar Kvale

mengenai posisi, “diri tidak lagi menggunakan bahasa untuk mengungkapkan dirinya, bahkan

bahasa berbicara melalui orang”. (Kvale 1992: 36).

Hal ini sangat berbeda dengan standar pemahaman dunia Barat memahami subjek

sebagai sesuatu yang memiliki otonomi dan kesatuan yang berdaulat. Menurut Foucault

subjek adalah decentered. Di sini, Foucault telah dipengaruhi gurunya, Louis Althusser.

27
Pendekatan Marsisme struktural Althusser menghubungkan subjek secara erat

terhadap ideologi; individu menjadi subjek ideologi melalui proses interpelasi dengan cara

mana wacana mengajak kepada individu sebagai subjek. Pertama, penulis akan menekankan

pemahaman ideologi Althusser yang mengikuti pemahamannnya mengenai interpelasi.

Althusser mendefinisikan ideologi sebagai sebuah sistem representasi yang menutupi

hubungan kebenaran kita terhadap satu sama lain dalam masyarakat dengan cara

membangun hubungan hayalan di antara orang dan antara mereka dan bentuk sosial.

(Althusser 1971). Dengan demikian, ideologi merupakan pengakuan yang menyimpang

terhadap hubungan sosial nyata. Menurut Althusser, seluruh aspek sosial dikontrol oleh

ideologi, yang berfungsi melalui aparatur negara yang menekan (mis, polisi) dan aparat

ideologi negara (mis, media masa).

Interpelasi, merupakan proses dimana bahasa membangun sebuah posisi sosial bagi

individu dan dengan cara demikian membuatnya menjadi sebuah subjek yang bersifat

ideologi:

Ideologi bertindak atau berfungsi dalam sebuah cara yang mengambil subjek di antara
individu (ia mengambil semuanya), atau merubah individu ke dalam subjek (ia merubah
semuanya) dengan kerja yang sangat tepat yang aku sebut sebagai interpelasi atau
hailing, yang dapat dibayangkan sepanjang garis polisi setiap hari yang menjadi tempat
yang paling umum (atau yang lainnya) hailing, “hey, kamu yang di sana!”, yang menduga
bahwa layar teoritis yang aku bayangkan terjadi di sebuah jalan, individu yang disapa
akan menoleh – (...) ia telah menjadi subjek (Althusser 1971: 174, kata yang dicetak
miring adalah asli, kutipan diizinkan).

Mari kita ambil sebuah contoh, materi informasi publik zaman modern sekarang yang

menginterpelasi para pembaca sebagai pemakai yang bertanggung jawab pribadi untuk

merawat tubuh mereka melalui sebuah pilihan gaya hidup yang sesuai. Dengan menerima

peran sebagai pengarah teks, kita menyatukan diri kita kepada posisi subjek, yang mana

interpelasi telah diciptakan. Dengan melakukan hal tersebut, kita telah memproduksi ideologi

konsumerisme dan posisi kita sebagai subjek dalam sebuah budaya konsumerisme. Dengan

28
mengambil peran subjek dalam sebuah budaya konsumerisme, kita menerima bahwa

permasalahan tertentu dibangun sebagai permasalahan pribadi yang membawa tanggung

jawab untuk diselesaikan oleh individu tertentu, sebagai pengganti permasalahan umum yang

menghendaki penyelesaian kolektif.

Althusser menduga bahwa kita selalu menerima posisi subjek yang diperuntukkan

bagi kita dan dengan cara demikian akan menjadi objek ideologi; tidak ada kesempatan untuk

melawan:

Pengalaman menunjukkan bahwa telekomunikasi praktis akan hailing (sapaan ‘hai’) yang
sedemikian rupa, orang hampir tidak pernah menanggapi sifat jantan mereka, baik berupa
panggilan verbal dan sekedar suitan, seseorang yang disapa selalu mengerti bahwa hal
tersebut benar-benar ditujukan padanya, orang yang mendapat sapaan (Althusser 1972:
174).

Seperti yang akan kita lihat pada bagian berikut, ini hanya sebuah aspek dari teori

Althusser yang menjadi sasaran kritikan yang berat dengan memasukan banyak saran oleh

mayoritas pendekatan analisa wacana.

Penolakan terhadap Determinisme

Teori Althusser memiliki sebuah pengaruh yang besar dalam pendekatan studi budaya

terhadap studi komunikasi pada tahun 1970 an. Penelitian fokus pada teks (utamanya media

masa cetak), bukan pada produksi teks atau sambutan yang baik sejak para peneliti

mengambil bulat-bulat pekerjaan yang bersifat ideologi dan dampak dari teks. Pemberian

makna telah diperlakukan seolah-oleh mereka sisipan yang tidak bersifat ambigu dalam teks

dan diterima secara pasif oleh penerima. Pada tataran yang lebih luas – studi budaya –

dipengaruhi secara kuat oleh karya Althusser – yang berdasar pada gagasan bahwa ideologi

tunggal (kapitalisme) telah mendominasi dalam masyarakat, meninggalkan garapan yang

tidak nyata bagi perlawanan yang efektif (tesis ideologi dominan).

29
Namun sejak akhir tahun 1970 an, perspektif Althusser telah dikritisi dalam sejumlah

cara. Pertama, telah muncul pertanyaan mengenai kemungkinan kekuatan melawan pesan

ideologi yang menampilkan subjek – pertanyaan mengenai agensi subjek atau kebebasan

berbuat. Kelompok media pada pusat untuk studi budaya kontemporer di Birmingham, yang

dikepalai oleh Stuart Hall, menunjukkan, dalam pertimbangan ini, terhadap rumitnya

sambutan baik dari media. (Hal et. al 1980). Menurut teori encoding/ decoding, para penerima

mampu menafsirkan atau membuka pesan melalui kode lain dari kode yang menjadi pengunci

dalam teks (Hall 1990). Teori tersebut berdasar inter alia dalam teori Gramsci mengenai

hegemoni, yang memberikan sebuah tingkat agensi kepada seluruh kelompok sosial dalam

memproduksi dan menegosiasikan makna (Gramsci 1990). Saat ini telah ada kesepakatan

dalam studi budaya, penelitian komunikasi dan analisis wacana yang menyatakan bahwa tesis

ideologi dominan yang menganggap rendah kapasitas seseorang menawarkan kekuatan untuk

melawan sejumlah ideologi tertentu.

Sejumlah sumbangan untuk studi komunikasi dan budaya mungkin bahkan cenderung

menaksir terlalu tinggi kemampuan seseorang untuk menentang pesan media (lihat, sebagai

contoh, Morley 1992 untuk kritik mengenai maksud ini), namun biasanya analisis wacana

mengingat akan peran fitur tekstual dalam menetapkan batas-batas tentang bagaimana sebuah

teks dapat ditafsirkan oleh penerimanya.

Kedua, ketiga pendekatan analisis wacana dalam buku penulis disajikan untuk

menolak pemahaman mengenai masyarakat haruslah dikelola oleh ideologi yang bersifat total.

Seperti mereka mengganti pandangan monolitik Foucault tentang rejim pengetahuan yang

bermodel lebih pluralis dengan banyak penguasaan wacana, mereka menolak teori Althusser

bahwa sebuah ideologi mengontrol semua wacana. Akibat dari hal ini adalah bahwa subjek

tidak dapat menjadi interpelasi dengan cukup satu posisi subjek, perbedaan wacana

30
menghadirkan subjek yang berbeda pula, dan kemungkinan yang saling bertentangan, posisi-

posisi yang merupakan asal untuk memulai pembicaraan.

Pendekatan yang berbeda telah membangun konsep yang berbeda mengenai subjek

yang akan penulis diskusikan dalam bab berikutnya. Namun pembicaraan pada umumnya ,

dapat dikatakan bahwa semua pendekatan memandang subjek sebagai hasil ciptaan dalam

sebuah wacana – dan bagaimanapun terpinggirkan – penggantian subjek menjadi fokus kunci

dari analisis empiris. Bagaimanapun, pendekatan-pendekatan tersebut berbeda mengenai

tingkat pemberian penekanan kepada perbuatan bebas subjek dalam sebuah wacana –

karenanya, mereka berbeda mengenai posisi mereka dalam debat tentang hubungan antara

struktur dan agen. Teori wacana Laclau dan Mouffe secara umum mengikuti Foucault, yang

memandang individu sebagai ditentukan oleh struktur, sedangkan analisis wacana kritis dan

psikologi diskursif sampai pada tataran yang lebih luas yang sejalan dengan slogan Roland

Barthes bahwa seseorang merupakan ‘majikan dan sekaligus hamba dari bahasa’ (Barthes

1982). Dengan demikian, dua pendekatan terakhir menekankan bahwa orang menggunakan

wacana sebagai sumber yang secara bersamaan mereka menciptakan kumpulan kata – kalimat

baru yang belum pernah ada sama sekali sebelumnya. Dalam pembicaran, pengguna bahasa

memilih elemen dari wacana yang berbeda yang mereka yang mereka ambil dari media masa

dan komunikasi antar pribadi. Hal ini kemungkinan sebuah perpaduan wacana baru.

Meskipun memproduksi wacana baru dalam cara ini, fungsi seseorang adalah sebagai agen

dari perubahan budaya dan diskursif. Sebagai analis wacana kritis, Fairclough

mengungkapkan, ‘individu yang kreatif bertindak secara akumulasi, membuat pengaturan

ulang tata tertib sebuah wacana’ (1989: 172). Bagaimanapun, bahkan dalam sejumlah

pendekatan tersebut dimana agensi subjek tertentu dan peran dalam perubahan sosial akan

membawa ke bagian terdepan yaitu wacana dipandang sebagai kerangka kerja yang

membatasi cakupan subjek untuk melakukan tindakan dan kemungkinan untuk melakukan

31
inovasi. Analisis wacana kritis dan psikologi diskursif masing-masing menyajikan sebuah

landasan teoritis dan metode khusus untuk analisa dinamika praktik-praktik diskursif melalui

penggunaan bahasa yang bertindak sebagai produk diskursif maupun penghasil dalam

memproduksi ulang dan mentransformasikan wacana dan dengan cara demikian pula dalam

perubahan sosial dan budaya.

Ketiga dan poin kontroversial yang terakhir dalam teori Althusser adalah konsep

ideologi itu sendiri. Kebanyakan konsep ideologi, termasuk konsep ideologi Althusser,

menyatakan bahwa jalan untuk mencapai kebenaran mutlak akan dapat diperolah. Ideologi

menyimpangkan hubungan sosial nyata, dan jika kita membebaskan diri kita sendiri dari

ideologi, kita akan memeroleh hubungan dengan mereka dan dengan kebenaran. Seperti yang

kita lihat, ini merupakan pemahaman yang benar-benar ditolak oleh Foucault. Menurut

Foucault, kebenaran, subjek-subjek dan hubungan antara subjek merupakan sesuatu yang

diciptakan dalam wacana, dan tidak terdapat kemungkinan menghasilkan kebenaran yang

paling benar di balik wacana. Sebab itu, Foucault tidak memiliki konsep ideologi. Teori

wacana Laclau dan Mouffe telah mengambil posisi ini, dan konsepnya mengenai ideologi

secara praktis kosong. Sebaliknya, analisis wacana kritis dan psikologi diskursif tidak

menolak tradisi marsisme secara bulat, dalam poin ini: pendekatan-pendekatan yang tertarik

pada dampak praktik diskursif secara ideologi. Ketika mereka mengikuti pandangan Foucault

tentang kekuasaan, mempertimbangkan kesuasaan sebagai sesuatu yang bersifat produktiif

ketimbang hanya sebagai paksaan murni, mereka juga menyertakan nilai penting terhadap

pola-pola dominan, dengan cara demikian sebuah kelompok sosial merupakan bagian cabang

dari yang lainnya. Gagasan juga sesuatu yang tetap dipakai – sekurangnya, dalam analisis

wacana kritis Fairclough – bahwa seseorang dapat membedakan antara wacana yang termasuk

ideologi dan wacana yang bukan termasuk ideologi, dengan demikian memelihara harapan

32
untuk menemukan sebuah ideologi yang luar biasa, sebuah harapan bahwa teori wacana

Laclau dan Mouffe akan menemukan sesuatu yang tidak dibuat-buat.

PERBEDAAN DI ANTARA PENDEKATAN-PENDEKATAN

Keberagaman dalam cara dimana ideologi difahami merupakan sebuah perbedaan di antara

ketiga pendekatan. Pada seksi berikutnya, penulis akan menyoroti perbedaan antara

pendekatan-pendekatan dengan mempertimbangkan, pertama, peran wacana dalam

membangun dunia dan, kedua, fokus analisa. Dalam kedua pertimbangan ini, perbedaan

merupakan perihal tingkatan, dan penulis akan menempatkan pendekatan-pendekatan dalam

hubungannya satu sama lain dalam dua kesatuan yang akan menjadi rujukan penulis melalui

sisa buku ini.

Peran Wacana dalam Mengganti Dunia

Untuk ketiga pendekatan, fungsi wacana – praktik diskursif – merupakan sebuah praktik

sosial yang membentuk dunia sosial. Konsep praktik sosial memandang tindakan-tindakan

dalam konteks dua perspektif kesatuan, di satu sisi, tindakan dianggap kongkrit, bersifat

pribadi dan dibatasi konteks, namun di sisi lain, praktik sosial juga terlembagakan dan

mengakar secara sosial, dan hal ini karena hal ini cenderung ke arah pola keteraturan. Analisis

wacana kritis Fairclough menyediakan konsep wacana untuk sistem teks, pembicaraan dan

sistem semiologi lain (misalnya, gerak tubuh dan pakaian) dan memelihara keistimewaannya

dari dimensi praktik sosial lain. Paraktik diskursif dipandang sebagai sebuah dimensi atau

momen setiap praktik sosial dalam sebuah hubungan dialektik dengan momen praktik sosial

lain. Itu berarti bahwa sejumlah aspek fungsi dunia sosial menurut logika yang berebeda dari

wacana dan harus dipelajari dengan menggunakan perangkat lain dari yang digunakan dalam

analisis wacana. Sebagai contoh, mungkin saja terdapat alasan ekonomis pada permainan atau

33
pelembagaan pola-pola tindakan sosial khusus. Praktik-praktik diskursif memproduksi atau

mengubah dimensi praktik sosial lain seperti dimensi sosial lain membentuk dimensi

diskursif. Secara bersamaan, dimensi diskursif dan dimensi praktik sosial lain menggantikan

dunia kita.

Pendekatan teoritis wacana Laclau dan Mouffe tidak mengkhususkan antara dimensi

diskursif dan non diskursif dari praktik sosial yang dipandang sebagai diskursif semata. Itu

tidak berarti bahwa hal tersebut tidak ada tetapi teks dan pembicaraan tetap ada, namun

sebaliknya bahwa wacana itu sendiri merupakan materi dan bahwa kesatuan lahir seperti

ekonomi, infrastruktur dan lembaga juga merupakan bagian dari wacana. Dengan demikian,

dalam teori wacana Laclau dan Mouffe tidak terdapat interaksi dialektik antara wacana dan

sesuatu yang lain, wacana itu sendiri secara penuh menggantikan dunia kita.

Perbedaan ini dapat dikongkritkan dengan cara menempatkan pendekatan-pendekatan

dalam sebuah satu kesatuan. Penulis telah menempatkan sejumlah posisi lain untuk dijadikan

rujukan dalam buku. Di sisi kiri, wacana dapat dipandang sebagai menggantikan dunia kita

secara penuh, sebaliknya di sisi sebelah kanan wacana yang dipandang sebagai refleksi

mekanisme sosial lain semata.

Sebuah gambar skema seperti ini harus didekati secara hati-hati semenjak kerumitan

teori-teori aktual merupakan batas yang menjadi hilang atau musnah ketika mereka diletakkan

dalam sebuah garis tunggal. Ini jelas, seperti contoh, dalam kasus peletakan psikologi

diskursif. Penulis telah menempatkan psikologi diskursif bagaimanapun di sebelah kiri garis

lurus, namun ini, secara fakta sulit diletakkan, seperti tuntutannya bahwa wacana secara bulat

mengganti dan bahwa hal ini disisipkan dalam praktik sosial dan sejarah yang tidak

sepenuhnya diskursif.

Pendekatan yang berada jauh di kanan garis bukanlah analisis wacana, jika seseorang

menuntut, seperti yang mereka lakukan, bahwa wacana merupakan sekedar reproduksi dari

34
praktik sosial lain yang mekanis – itulah mengapa, wacana sepenuhnya ditentukan oleh

sesuatu yang lain seperti ekonomi, – kemudian di sana tidak terdapat poin dalam melakukan

analisis wacana, sebagai gantinya, usaha harus diinvestasikan dalam hal analisis ekonomi

(sebagai contoh). Kita harus, bagaimanapun juga, menilai posisis marsis yang berbeda yang

berada di sisi sebelah kanan garis lurus yang mengikuti sebuah hal prinsip yang tidak betul-

betul melaksanakan keadilan mereka: tidak dari materialisme sejarah, tidak pula pelaku

marsis budaya seperti Gramsci dan Althusser, yang telah bekerja bersama wacana dan analisis

wacana, jadi pencantuman mereka didasari pada sebuah penafsiran dan pengurangan teori

mereka. Selain itu, baik Gramsci maupun Althusser meninggalkan ruang gerak yang lebih

luas bagi praktik pembuatan makna yang dapat ditafsirkan sebagai sebuah dimensi diskursif.

Namun keduanya memandang ekonomi sebagai penentu dalam hal terakhir, dan itu sebabnya

mengapa mereka harus mengakhiri sedemikian jauh ke arah kanan dari garis lurus.

Wacana menggantikan hubungan dialektis wacana digantikan

Analisis wacana kritis

Teori wacana Laclau psikologi diskursif


dan Mouffe
(Foucault) (Althusser)
(Gramsci) Materialisme Sejarah

Gambar 1.1. Peran wacana dalam mengganti dunia

Fokus Analisa

Sejumlah pendekatan fokus pada fakta bahwa wacana dibuat dan diubah dalam praktik

diskursif keseharian dan bagaimanapun menekankan pada kebutuhan untuk analisis empiris

sistematis terhadap pembicaraan orang dan bahasa penulisan, sebagai contoh, adalah media

masa atau wawancara penelitian. Pendekatan lain berkaitan secara umum, pola-pola yang

tumpang tindih dan tertuju pada pemetaan abstrak yang sebuah wacana tersambung dalam

35
masyarakat pada sebuah momen khusus dalam satu waktu atau berada dalam ranah sosial

yang khusus.

Dalam sebuah garis lurus membentang, perbedaan dapat disajikan sebagai berikut:

Wacana keseharian wacana abstrak

Psikologi diskursif Analisis wacana kritis Teori wacana Laclau


dan Mouffe

Gambar 1.2. Fokus analisis

Pada garis lurus membentang tersebut, fokus ditujukan pada perbedaan dari segi

tingkat daripada perbedaan dari segi kualitas. Meski psikologi diskursus fokus ditujukan pada

praktik atau perbuatan keseharian masyarakat, ia secara tetap mengimplikasikan bangunan

sosial terluas dimana seorang melukiskan, menggambarkan, mengubah dalam praktik

diskursif. Dan meski Laclau dan Mouffe sangat tertarik dalam hal yang lebih abstrak, –

wacana yang bukan bersifat individual atau pribadi – yang merupakan gagasan dimana

wacana ini diciptakan, diperbaiki dan diubah dalam banyak praktik keseharian terdapat secara

implisit dalam teori.

Namun, pada saat yang sama, posisi dari pendekatan yang berbeda pada garis lurus

membentang merefleksikan perbedaan dalam penekanan teoritis: psikologi diskursif lebih

banyak tertarik dalam hal keaktifan orang dan penggunaan secara kreatif terahadap wacana

sebagai sebuah sumber untuk melakukan tindakan sosial dalam konteks hubungan yang

khusus dibanding teori wacana Laclau dan Mouffe, yang gantinya adalah ketertarikan dalam

wacana ‘bagaimana’, yang secara umum membatasi kemungkinan kita untuk melakukan

tindakan.

36
Peran Pelaku Analisis

Bagi pelaku analisis, tujuan penelitian bukanlah untuk mendapatkan sesuatu dibalik wacana,

untuk menemukan apa yang diingini orang ketika mereka berkata ini atau itu, atau untuk

mengungkap kenyataan/ fakta dibalik wacana. Titik tolaknya ialah kenyataan tidak dapat

diperoleh di luar wacana itu sendiri dan dengan demikian wacana itu sendiri menjadi objek

dari analisis. Dalam penelitian analisis wacana, latihan utamanya bukan menekankan pada

pernyataan-pernyataan tentang dunia dalam materi penelitian apakah benar dan salah.

Sebaliknya, pelaku analisis harus bekerja dengan apa yang sebenarnya atau senyatanya

sedang diberitakan atau ditulis, mengeksplorasi pola dan memeriksa pernyataan-pernyataan

dan mengidentifikasi dampak sosial dari penampilan perwujudan realita yang tidak saling

berhubungan yang beragam.

Bekerja dalam dunia wacana mendekatkan pada diri sendiri dimana seorang menjadi

sangat akrab, hal ini secara khusus sulit untuk memperlakukan mereka sebagai wacana,

karenanya sebagai bangunan sistem makna sosial yang dapat berbeda, karena para analis

seringkali menjadi bagian budaya dalam studi, mereka berbagi banyak hal secara apa adanya,

pemahaman-pemahaman pengertian umum yang diungkapkan dalam materi wacana.

Kesulitannya adalah bahwa ketepatan pemahaman pengertian umum yang akan diselidiki:

yaitu fokus analisis tentang bagaimana sejumlah pernyataan diterima sebagai kebenaran atau

mengalami proses naturalisasi, dan sementara yang lainnya tidak demikian. Konsekuensinya,

adalah hal yang bermanfaat melakukan usaha untuk menjauhkan diri sendiri dari material

seseorang, sebagai contoh, membayangkan diri sendiri sebagai seorang antropolog yang

mengeksplorasi dunia makna asing untuk menemukan apa yang membuat pengertian.

Namun saran memerankan pelaku sebagai ahli antropolog ini harus sekedar dipandang

sebagai titik tolak yang berguna daripada menjadikannya sebagai respon penuh terhadap

masalah peran para peneliti. Jika proyek penelitian didasarkan pada perspektif konstruksionis

37
sosial, problem peran peneliti menjadi akan lebih dalam dan perlu ditangani secara lentur. Jika

kita menganggap realita merupakan hasil ciptaan secara sosial, dan bahwa kebenaran

menghasilkan dampak secara diskursif dan bahwa subjek terpinggirkan, lantas apa yang akan

kita perbuat terhadap kebenaran dimana kita berperan sebagai subjek peneliti penghasil

produksi? Permasalahan ini merupakan hal intrinsik bagi seluruh pendekatan konstruksionis

sosial.

Mengenai pendekatan-pendekatan yang penulis sajikan, permasalahan tentang

bagaimana untuk menghadapi kemungkinan kebenaran yang merupakan hal yang paling

berhubungan dengan teori wacana Laclau dan Mouffe juga psikologi diskursif, dan kedua

pendekatan tersebut menyelesaikannya dalam cara yang berbeda. Permasalahan tersebut

secara luas diabaikan oleh Laclau dan Mouffe, teori mereka dan analisis yang disajikan

seolah-olah mereka merupakan paparan objektif tentang dunia beserta mekanismenya.

Sebaliknya, psikologi diskursif mencoba mengambil peran analis melalui bentuk refleksi yang

berbeda (lihat bab 4 dan 6). Dengan perbandingan dengan teori Laclau dan mouffe dan

psikologi diskursif, dilema pada pandangan sekilas pertama tidak terlihat begitu penting

dalam analisis wacana kritis Fairclough karena ia membuat sebuah pengkhususan antara

wacana ideologis dan wacana non ideologis; secara prinsip, peneliti harus mampu untuk

menghasilkan wacana non ideologis. Namun permasalahan memunculkan kembali pertanyaan

how (bagaimana) untuk mengkhususkan antara apa wacana yang termasuk ideologis dan apa

yang bukan, dan pertanyaan who (siapa) cukup bebas dari konstruksi dunia diskursif untuk

menjadikan hal ini berbeda.

Dalam pembicaraan secara filosofis, sebuah problem tampak tidak terpecahkan, jika

kita menerima dalil anti fondasionalis, yaitu tiang fondasi konstruksionisme sosial, yang

merupakan sebuah kondisi dari semua pengetahuan, hal tersebut hanya sebuah perwakilan

dari dunia diantara banyak perwakilan kemungkinan yang lain. Para peneliti selalu

38
mengambil posisi terkait bidang studi, dan posisi tersebut ambil bagian dalam menentukan

apa yang dapat dilihat seseorang dan apa yang dapat disajikan sebagai hasil. Dan selalu

terdapat posisi lain dalam konteks dimana realita akan terlihat berbeda. Namun hal tersebut

bukan berarti bahwa semua hasil penelitian sama baiknya. Dalam bab 4, penulis akan

mendiskusikan bagaiamana, dengan sebuah titik tolak konstruksionis sosial, hasil-hasil

penelitian dapat divalidasi dan dibuat setampak mungkin bagi para pembaca. Secara umum,

konsistensi teoritis menghendaki bahwa para praktis analis wacana mempertimbangkan dan

memperjelas posisi mereka terkait wacana khusus yang berada dalam penyelidikan dan bahwa

mereka menilai konsekuensi yang mungkin timbul dari kontribusi mereka terhadap produk

diskursif dunia kita.

Aliran relativisme sejalan dalam konstruksionisme sosial bukan berarti, salah satunya,

bahwa para praktisi analis tidak dapat dikritisi. Semua pendekatan kami mempertimbangkan

mereka sendiri sebagai hal yang bersifat kritis dan dalam bab 6 penulis akan mendiskusikan

secara luas bagaimana hal tersebut mungkin untuk menerapkan kritisisme sosial tanpa mampu

membuat tuntutan terhadap kebenaran absolut.

Secara gamblang, posisi kita adalah bahwa hal tersebut merupakan aplikasi teori dan

metode yang keras yang memberi legitimasi produksi pengetahuan secara saintifik. Hal

tersebut dilakukan dengan cara memandang dunia melalui sebuah teori khusus yang dapat

menjauhkan diri kita sendiri dari sejumlah pemahaman kita yang apa adanya dan subjek

materi kita kepada pertanyaan lain yang akan dapat kita lakukan dari sebuah perspektif

keseharian. Tiga bab berikutnya dapat dilihat sebagai cara yang berbeda untuk mencapai

men’jauh’kan ini, dan dalam bab 6 kita akan mengkontekstualisasi diskusi mengenai

pengetahuan saintifik, reflektifitas dan kritik dalam bidang konstruksionisme sosial yang luas.

39
---------------------------
Catatan

1. bagaimanapun, bidang ini tidak meliputi semua penggunaan label analisis wacana. Istilah
analisis wacana sebagai contoh digunakan dalam linguistik untuk meyatakan sebuah
analisis hubungan antara kalimat dan pernyataan dalam tingkat mikro (sebagai
contohnya, Brown dan Yule 1983) analisis wacana juga telah dugunakan untuk
menyatakan analisis cara orang menggunakan skema mental untuk memahami narasi
(Van Dijk dan Kintch 1983).

2. Untuk sudut pandang pengikut Foucault bentuk analisis wacananya lihat (untuk contoh)
karya Howart (2000) dan Mils (1997).

3. Lihat Kellner (1995) untuk keperluan ‘studi budaya ragam perspektif. Dan lihat bab 5
dalam buku ini untuk diskusi dan ilustrai analisis wacana ragam perspektif.

4. Apa yang kita sebut konstruksionisme sosial dalam teks ini adalah dalam banyak koneksi
lain yang berlabel kontruksionisme sosial. Kita menggunakan istilah kontruksionisme
sosial untuk menghindari keraguan dengan teori konstruktifis milik Piaget (lihat Burr
1995: 2).
5. Untuk diskusi landasan filosofis kontruksionisme sosial lihat, sebagai contoh, Collin
(1997).

6. Dominansi analisis wacana terwujud dalam pengantar konstruksionisme sosial Burr (Burr
1995) beserta contohnya mengenai penelitian empiris yang secara ekslusif terdiri dari
bentuk-bentuk analisis wacana, meskipun faktanya ia menekankan bahwa konstruksi
sosial juga menggunakan pendekatan lain.

7. Di sini penulis menggambarkan dalam karya Burr (1995) dan Gergen (1985). Sudut
pandang Burr, seperti dicatat di atas, juga berdasar pada karya Gergen.

8. Sebagai pengarang, penulis telah menggabungkan semua bab buku dan telah
mengembangkan secara bersamaan banyak gagasan dan rumusan melalui buku.
Bagaimanapun, tanggung jawab utama dapat disertakan dalam cara berikut: Louis
Phillips untuk bab 3 dan 4, Marianne Jorgensen untuk bab 2 dan 6, saat kedua pengarang
bertanggung jawab bersamaan untuk diskusi bab 1 dan 5.

9. Hasil kerja milik Foucault dari periode arkeologi termasuk memasukkan penyajian
perangkat metodologi dan teorinya yang lebih bersifat abstrak (misalnya, foucault 1972)
dan analisis empiris (misalnya, Faucault 1973, 1977).

40

Anda mungkin juga menyukai