WACANA
Teori dan Metode
Palembang
2016
1
2
Diterjemahkan dari judul aslinya,
Discourse Analysis: As Theory and Method,
karya Marianne Jorgensen dan Louise Phillips
yang diterbitkan pertama kali tahun 2002
oleh penerbit SAGE Publications Ltd
6 Bonhill Street London EC2A 4PU
3
4
Daftar Isi
Pendahuluan
Kata pengantar
4. Psikologi Diskursif
5. Menyelami Pendekatan
Rujukan
indeks
5
6
BAB SATU
Untuk hampir sepuluh tahun kini, wacana telah menjadi suatu istilah yang menarik. Dalam
teks keilmuan dan debat, ia digunakan tanpa pandang bulu, dan sering tidak didefinisikan.
Rumusannya menjadi kabur, atau maknanya hampir tidak ada atau digunakan secara tepat,
namun agak berbeda maknanya dalam konteks yang berbeda pula. Namun dalam banyak
kasus, penekanan kata wacana dalam gagasan umumnya bahwa bahasa dibangun menurut
pola yang berbeda dimana ujaran seseorang mengikuti ketika mereka ambil bagian dalam
ranah kehidupan sosial yang berbeda, contoh yang akrab terdapat dalam wacana kesehatan
dan wacana politik. Analisis wacana dimaksud adalah analisis mengenai pola-pola ini.
Namun, definisi dalam pengertian umum ini tidak banyak membantu dalam
menjernihkan apa sebuah wacana itu, bagaimana fungsinya atau bagaimana menganalisisnya.
Di sini metode dan teori akan dikembangkan lebih jauh mengenai analisis wacana harus
ditunjukkan. Dan dalam penelusuran, seseorang akan akan dapat menemukan dengan cepat
bahwa wacana tidak hanya sebuah pendekatan, namun sebuah rangkaian pendekatan antar
disiplin ilmu yang dapat digunakan untuk mengungkap banyak perbedaan ranah sosial dalam
banyak jenis studi yang berbeda. Dan tidak terdapat kesepakatan yang tegas tentang apa itu
wacana dan bagaimana menganalisisnya. Perspektif yang berbeda menawarkan saran mereka
sendiri dan untuk sejumlah tingkatan tertentu terjadi persaingan untuk menonjolkan istilah
wacana dan analisis wacana menurut definisi yang mereka miliki sendiri. Mari mulai,
7
bagaimanapun, dengan cara menempatkan definisi pendahuluan mengenai wacana sebagai
metode khusus untuk membicarakan dan memahami dunia (atau aspek dunia).
Dalam bab ini, tiga pendekatan yang berbeda untuk analisis wacana kontruksionis
sosial akan diperkenalkan- yaitu teori wacana Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, analisis
wacana kritis dan psikologi diskursif. Dalam tiga bab berikutnya, kita akan menyajikan
pendekatan secara mandiri. Ketiga pendekatan tersebut membagikan titik tolak yaitu bahwa
cara berbicara kita tidak secara netral merefleksikan dunia, identitas dan hubungan sosial kita,
namun lebih merupakan memainkan peran aktif dalam menciptakan dan mengubahnya. Kita
harus memilih ketiga pendekatan ini dari bentang perspektif yang berbeda dalam analisis
wacana dengan landasan bahwa kita berfikir bahwa mereka menyajikan secara khusus metode
dan teori yang bermanfaat untuk penelitian dalam komunikasi, budaya dan sosial. Pendekatan
tersebut dapat diterapkan dalam banyak analisis ranah sosial yang berbeda, termasuk
organisasi dan lembaga dan dalam mengungkap peran bahasa yang digunakan dalam
pengembangan budaya dan kemasyarakatan yang luas seperti globalisasi dan penyebaran
Izinkan penulis menampilkan contoh kecil penerapan yang mungkin mengenai analisis
wacana. Sebagai contoh, ia dapat digunakan sebagai kerangka pemikiran untuk menganalisis
identitas nasional. Bagaimana kita dapat memahami identitas nasional dan apa konsekuensi
dari pembagian dunia menjadi negara-negara kecil? Banyak bentuk teks dan pembicaraan
yang berbeda dapat dipilih untuk dianalisis. Fokusnya dapat berupa konstruksi diskursif
identitas nasional dalam buku teks tentang sejarah Inggris. Secara alternatif, seseorang dapat
memilih untuk mengungkap signifikansi identitas nasional bagi hubungan antara orang-orang
dalam sebuah konteks keorganisasian sebagai sebuah tempat kerja. Topik penelitian lainnya
dapat menjadi jalan dimana ahli pengetahuan disertakan dalam media masa dan implikasi
untuk pertanyaan mengenai kekuasaan dan demokrasi. Bagaimana caranya meminta nasehat
8
terkait struktur pengetahuan dan bersaing dalam belantara media masa dan bagaimana
penguasaan pengetahuan menuntut agar dikonsumsi oleh para pengguna media pendengar?
Pertarungan antara tuntutan pengetahuan yang berbeda dapat difahami/ diungkap secara
empiris sebagai sebuah pertarungan antara warcana berbeda yang menyajikan cara yang
berbeda mengenai pemahaman aspek dunia dan membangun identitas pembicara yang
Tiga pendekatan yang telah kita pilih untuk fokus sebagai kerangka kerja bagi analisis
wacana membagi alasan argumentasi kunci tertentu tentang bagaimana sebuah kesatuan lahir
seperti bahasa dan subjek tertentu difahami. Mereka juga secara umum memiliki tujuan untuk
kekuatan dan masyarakat dan merumuskan perspektif normatif darimana sebuah kritik
terhadap hubungan tertentu dapat diciptakan dengan melihat pada kemungkinan bagi
perubahan sosial. Pada saat yang sama, meski setiap perspektif memiliki cakrawala filosofis
yang berbeda dan dalil-dali teoritis, termasuk pemahaman khusus mengenai wacana, praktik
sosial dan kritik yang mengarah pada tujuan khusus, metode dan titik fokus empiris. Tujuan
dari bab pengantar ini adalah untuk menekankan cakupan terhadap pendekatan konstruksionis
sosial terhadap analisis wacana. Kita tertarik pada dua aspek yang merupakan hal umum
terhadap semua pendekatan – dan, secara khusus, terhadap tiga pendekatan penulis – dan
konstruksionis sosial mereka, dalam pandangan kebahasaan mereka, berakar dari kebahasaan
strukturalis dan pos strukturalis, dan dalam pemahaman mereka tentang individu berdasarkan
versi marsisme strukturalis. Pada bab ini, penulis akan menyajikan sumber dan akar umum
inspirasi teoritis dan selama pandangan kami akan menyentuh rangkaian konsep – sebagai
contoh, kekuasaan dan ideologi – yang seringkali menyertai konsep wacana. Sekalipun
9
penyebaran dalil, kepentingan yang berbeda hadir di antara tiga pendekatan tersebut.
Pertama, terdapat tidak kesepakatan mengenai apa yang termasuk cakupan wacana, apakah
digantikan oleh aspek sosial lain? Kedua, pendekatan juga beragam dengan
mempertimbangkan fokus analisis mereka. Sejumlah analisis wacana milik orang dalam
hubungan sosial keseharian, sedang yang lain menyukai pemetaan yang lebih abstrak terhadap
wacana yang beredar dalam masyarakat. Penulis akan mengelaborasi sekian poin yang
Pembagian bidang cakupan ke dalam tiga pendekatan dimana memiliki baik kesamaan
dan perbedaan yang harus – untuk sejumlah tingkatan dapat difahami sebagai sebuah
konstruksi penulis sendiri. Penulis akan memungut tiga pendekatan yang telah dipilih untuk
mempertentangkan pendekatan tersebut satu sama lain dalam bab 5, untuk menyediakan
sebuah pengantar yang jelas terhadap bidang analisis wacana. Penyajian ini tidak harus
diambil sebagai deskripsi yang netral atau sebagai refleksi bidang analisis yang terbuka.
hanya mencakup tiga pendekatan dalam bidang analisis wacana konstruksionis sosial,
termasuk, sebagai contoh pendekatan aliran Foucault. Dan dalam kaitannya dengan
identifikasi penulis mengenai poin keseragaman dan perbedaan di antara ke tiga pendekatan,
yang gamblang. Ketiga pendekatan tersebut berasal dari disiplin ilmu yang berbeda dan
memiliki kekhususan karakter mereka sendiri. Pada saat yang sama, banyak kerja analisis
wacana menyeberangi batas antar dsiplin ilmu, dan terdapat banyak poin teoritis dan alat
metodologi yang tidak dapat diterapkan secara tepat terhadap sebuah pendekatan tertentu.
10
Paket Lengkap
Walaupun analisis wacana dapat diterapkan pada semua wilayah penelitian, ia tak dapat
digunakan bersamaan dengan semua jenis kerangka kerja teoritis. Lebih penting lagi, ia tidak
dapat digunakan sebagai metode analisis yang dipisahkan dari landasan metodologi dan
teoritisnya. Setiap pendekatan terhadap analisis wacana yang penulis sajikan bukan sekedar
metode yang diperuntukkan bagi analisis data, namun sebuah metodologi dan teoritis secara
keseluruhan – atau katakanlah sebuah paket lengkap. Peket tersebut mengandung, pertama,
dalam sebuah konstruksi sosial tentang dunia, kedua, model teoritis, ketiga, panduan
metodologi bagaimana untuk melakukan pendekatan sebuah ranah penelitian, dan keempat,
teknik khusus untuk melakukan analisis. Dalam analisis wacana, teori dan metode saling
berkelindan dan para peneliti harus menerima dalil-dalil filosofis dasar untuk menggunakan
Adalah hal yang sangat penting menekankan bahwa, ketika konten paket harus
berbentuk sebuah keseluruhan yang terintegrasi, adalah mungkin menciptakan paket milik
berbeda dan jika, sangat diperlukan, perspektif analisis non wacana. Seperti karya perspektif
ganda tidak sekedar dipersilahkan, namun secara positif memberi nilai dalam kebanyakan
bentuk analisis wacana. Pandangan bahwa perspektif yang berbeda menyediakan bentuk
pengetahuan yang beragam mengenai sebuah fenomena, dengan demikian secara bersama,
mereka menghasilkan sebuah pemahaman luas. Kerja yang melibatkan perspektif ganda
dibedakan dari sebuah pemilihan yang didasarkan pada mishmash pendekatan yang tidak
terpisah tanpa dilakukan penilaian yang serius terhadap hubungannya dengan satu sama lain.
pendekatan yang saling menopang satu sama lain, mengidentifikasi apa jenis pengetahun
11
masing-masing pendekatan yang dapat mendukung dan memodifikasi pendekatan-pendekatan
Untuk membangun sebuah kerangka kerja yang sesuai, sangat penting memerhatikan
aspek perbedaan filosofis, teoritis dan metodologis dan kesamaan diantara pendekatan. Tak
pelak lagi, persyaratan ini merupakan sebuah tinjauan lapangan. Tujuan penyajian penulis
terhadap tiga pendekatan dalam tiga bab mendatang adalah untuk memberi sumbangan untuk
memberi tambahan pada tinjauan ini dengan cara memperkenalkan fitur kunci dari ketiga
pendekatan analisa wacana penting, juga sebagai tema sentral dalam debat akademis terkait
fitur-fitur ini. Sebagai tambahan, penulis akan menyediakan rujukan yang cukup memadai dan
Dalil-Dalil Kunci
Tiga pendekatan yang telah dipilih untuk menjadi perhatian, seluruhnya didasarkan pada
konstruksi sosial. Aliran konstruksi sosial adalah sebuah istilah yang memayungi cakrawala
teori baru tentang sosial dan budaya. Analisis wacana hanyalah satu di antara sejumlah
pendekatan konstruksionis sosial namun, ia merupakan satu dari pendekatan yang digunakan
secara luas dalam konstruksionisme sosial. Lebih jauh, banyak penggunaan pendekatan yang
memiliki karakteristik yang sama seperti dalam analisis wacana tanpa mendefinisikannya
begitu saja. Penulis pertamakali akan menyediakan sebuah panduan jelas tentang sejumlah
asumsi filosofis umum yang mendukung banyak pendekatan analisa wacana, menguraikan
pendapat-pendapat aliran konstruksionisme sosial yang berikan oleh Vivien Burr (1995) dan
Kenneth Gergen (1985). Kemudian penulis akan fokus secara khusus pada sejumlah asumsi
tentang bahasa dan identitas dimana semua pendekatan analisa wacana dirangkul.
Burr (1995) mengingatkan akan sulitnya memberikan sebuah deskripsi yang berusaha
mencakup semua pendekatan konstruksionis sosial sejak mereka begitu merebak dan tersebar.
12
Ini sekalipun demikian, dalam karya Burr (1995: 2-5) dia mendaftar empat dalil yang disebar
oleh semua pendekatan konstruksionis sosial, yang dibangun oleh Gergen (1985). Dalil-dalil
ini juga di rangkul oleh tiga pendekatan penulis, yaitu sebagai berikut:
Pengetahuan kita tentang dunia tidak harus dianggap sebagai kebenaran objektif.
Realita hanya dapat diakses kepada kita melalui pengelompokan, jadi pengetahuan
kita dan penyajian dunia tidak merefleksikan relitas di luar sana namun merupakan
produk cara kita mengelompokkan dunia, atau, dalam istilah analisa diskursif
dikenal sebagai produk wacana (Burr 1995:3, Gergen 1985: 266-267). Dalil-dalil
Keberadaan sejarah dan budaya kita secara mendasar dan pandangan serta
dunia merupakan hal yang bersifat khusus secara sosial dan budaya dan
merupakan kesatuan: sudut pandang kita dan identitas kita dapat saja berbeda, dan
memandang bahwa pengetahuan dapat menjadi dasar (akar) yang kuat, dasar teori
bentuk tindakan sosial yang memerankan bagian dalam memproduksi dunia sosial
demikian akan memperbaiki pola sosial khusus. Ini merupakan pandangan anti
13
esensial; bahwa dunia sosial tertentu dibangun secara sosial dan secara diskursif
oleh kondisi luar, dan bahwa orang tidak memiliki serangkaian karakteristik yang
Cara kita memahami dunia adalah diciptakan dan diperbaiki oleh proses sosial
(Burr 1995: 4, Gergen 1985: 268). Pengetahuan diciptakan melalui interaksi sosial
Dalam sebuah sudut pandang khusus, sejumlah bentuk tindakan menjadi alami,
sementara yang lainnya tidak dapat difikirkan. Pemahaman sosial yang berbeda
tentang dunia akan mengarahkan pada tindakan sosial yang berbeda, dan
pengetahuan sosial dan semua identits sosial dianggap sebagai kesatuan, dan bila berikutnya
bahwa segala sesuatu berada dalam keadaan yang terus berubah dan tidak terdapat
keleluasaan dan keteraturan dalam kehidupan sosial. Tentunya, terdapat pakar teori konstruksi
sosial seperti Kenneth Gergen dan Jean Boudrillard, yang mungkin dapat menafsirkan dalam
cara ini. Namun, pada umumnya penulis yakin bahwa ini merupakan sebuah karikatur
pendekatan penulis, pandangan bidang sosial sebagai lebih banyak bersifat mengatur dan
membatasi. Meski pengetahuan dan identitas selalu kesatuan dalam prinsipnya, mereka relatif
selalu bersifat kaku dalam situasi khusus. Situasi khusus menempati pengecualian dalam
14
identitas dimana seorang individu dapat menduga dan memberi pernyataan yang dapat
diterima sebagai penuh makna. Penulis akan meringkas diskusi ini dalam bab berikutnya
Tiga Pendekatan
Dalil-dalil kunci konstruksionis sosial memiliki akar dalam teori strukturalis Prancis dan
paham penolakannya terhadap teori totalitas dan universalitas seperti Marsisme dan
merupakan hanya label perselisihan dan tidak terdapat kesepakatan tentang hubungan antara
luas dimana pos strukturalisme menjadi cabangnya. Semua pendekatan analisis wacana
penulis menjelaskan teori bahasa strukturalis dan pos strukturalis, namun ragam pendekatan
Teori wacana Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, yang penulis sajikan pada bab 2,
merupakan teori pos strukturalis paling asli dalam pilihan penulis. Teori tersebut memiliki
titik tolak pada gagasan pos strukturalis yang mewacanakan konstruksi dunia sosial dalam
pemaknaan, dan bahwa berterimaksih pada sifat labil bahasa secara mendasar, yang bermakna
tidak akan pernah sempurna secara permanen. Tidak ada wacana yang memiliki entitas
tertutup; lebih sekedar menjadi berubah secara tetap melalui kontak dengan wacana lainnya.
Dengan demikian, kata kuncinya adalah pertarungan wacana. Wacana yang berbeda –
sosial – yang diikutsertakan dalam sebuah pertarungan yang tetap dengan yang lainnya untuk
memeroleh penguasaan, dan itulah alasan untuk terus menyempurnakan makna bahasa dalam
cara mereka sendiri. Penguasaan, kemudian dapat difahami secara sementara sebagai
dominasi sebuah perspektif khusus. Penulis akan mengurainya pada bab 2 ini.
15
Analisis wacana kritis, yang kita diskusikan dalam bab 3 dengan fokus khusus pada
pendekatan Norman Fairclough juga menempati posisi yang luas dalam peran wacana aktif
dalam membangun dunia sosial. Namun sebaliknya dengan Laclau dan Mouffe, Fairclough
bersikeras bahwa wacana hanyalah satu di antara banyak aspek dari praktik sosial. Perbedaan
antara wacana dan non wacana menyajikan sebuah bekas atau sisa dari banyaknya pengaruh
marsisme tradisional dalam teori Fairclough, membuat analisis wacana kritis kurang
Area pusat minat dalam analisis wacana kritis Fourclough adalah penyelidikan
mengenai perubahan. Penggunaan bahasa kongkrit selalu mengambil struktur diskursif lebih
awal sebagai pemakaian bahasa yang telah memiliki makna yang terpasang. Fokus fourclough
tentang hal ini melalui konsep intertekstualitas – dikarenakan bagaimana sebuah teks individu
mengambil elemen dan wacana teks lainnya. Dengan cara menggabungkan elemen dari
wacana berbeda yang mana penggunaan bahasa kongkrit dapat mengubah wacana seseorang
dan dengan cara demikian, juga berlaku dalam dunia sosial dan budaya. Melalui teks
intertekstualitas, seseorang dapat menyelidiki baik reproduksi wacana dengan jalan mana
tidak ada elemen baru yang diperkenalkan dan perubahan diskursif melalui penggabungan
wacana baru.
Psikologi diskursif, yang merupakan judul dari bab 4, membagikan analisis wacana
empiris kritis yang fokus pada contoh penggunaan bahasa khusus yang digunakan dalam
interaksi sosial. Namun tujuan dari psikologi diskursif adalah tidak terlalu banyak
menganalisa perubahan dalam wacana masyarakat berskala luas, yang menggunakan bahasa
kongkrit dapat menghasilkan cara untuk menyelidiki bagaiamana orang menggunakan wacana
yang tersedia secara lentur dalam menciptakan dan menegosiasikan representasi dunia dan
identitas dalam berbicara mengenai interaksi dan untuk menganalisis konsekuensi sosial dari
hal ini. Meskipun, pilihan label untuk pendekatan ini – psikologi diskursif – fokus utamanya
16
bukanlah aspek internal kondisi psikologis. Psikologi diskursif merupakan sebuah pendekatan
terhadap psikologi sosial yang telah membangun sebuah jenis analisis wacana untuk
mengungkap cara dimana kedirian seseorang, pemikiran dan emosinya dibentuk dan diubah
melalui interaksi sosial dan meningkatkan peran dari proses ini dalam reproduksi sosial,
budaya dan perubahan. Banyak psikologi diskursif ditampilkan secara eksplisit dalam teori
pos strukturalis, namun dengan hasil yang berbeda dari (sebagai contoh) yang ditampilkan
Laclau dan Mouffe. Dalam psikologi diskursif, tekanannya ada pada individu baik sebagai
produk hasil maupun penghasil wacana dalam konteks interaksi yang khusus sementara teori
wacana Laclau dan Mouffe dimaksudkan untuk memandang individu tunggal sebagai subjek
wacana.
Dalam bab 3 dan 4 secara berturut-turut analisis wacana kritis dan psikologi diskursif,
penulis menggunakan landasan teoritis dan panduan metodologis bagi analisis wacana dan
menyajikan sejumlah contoh mengenai analisis wacana dalam masing-masing tradisi. Teori
Laclau dan Mouffe, bagaimanapun ia merupakan sebuah panduan metodologi singkat yang
khusus dan memberikan ilustrasi contoh. Sebagai kompensasi dari hal ini, penulis telah
menggabungkan dari teori mereka wawasan alat analisa yang penulis sajikan dalam bab 2
bersama dengan contoh analisis berdasar pada sejumlah alat analisis ini. Maksud dari panduan
dan contoh dalam tiga bab adalah untuk menyediakan wawasan yang mendalam ke arah
bagaimana menerapkan pendekatan yang berbeda untuk menganalisis wacana dalam kerja
empiris. Pada setiap bab, penulis menggambarkan fitur khusus dari masing-masing perspektif,
saat menunjukkan aspek-aspek yang mereka bagikan dengan satu atau dua dari perspektif
lainnya. Walau demikian penulis tetap menekankan hubungan antara teori dan metode. Pada
bab 5, penulis arahkan kepada persamaan dan perbedaan teoritis dan metode di antara
kelemahannya, dan menunjukkan cara di mana mereka dapat saling melengkapi satu sama
17
lain. Dan akhirnya, penulis mengarahkan sejumlah pertanyaan yang terkait dengan semua
pendekatan. Bagaimana kita membatasi sebuah wacana? Bagaimana kita mulai melakukan
analisis wacana? Bagaimana kita melakukan penelitian yang menyertakan ragam perspektif
dikombinasikan dengan pendekatan analisis yang berbeda dan pendekatan analisis non
wacana yang berbeda juga? Sebagaimana dalam bab lain, penulis menyajikan ilustrasi contoh
cara-cara mengerjakan pertanyaan ini dalam penelitian empiris. Bab terakhir dari buku ini
konstruksionisme sosial. Di sini penulis mendiskusikan dan mengevaluasi rentang usaha agar
sesuai dengan problem pelaksanaan penelitian kritis sepanjang alur konstruksionis sosial,
fokus pada pendirian mereka yang berbeda terkait dengan pertanyaan relativisme dan status
Sebagai tambahan untuk dalil-dalil konstruksionis sosial umum, semua pendekatan analisa
wacana digabung bersama pertimbangan terhadap pandangan subjek dan bahasa mereka. Agar
menyediakan sebuah landasan umum bagi diskusi pada bab yang akan datang, penulis
Pendekatan analisa wacana mengambil sebagai titik tolak mereka tuntutan terhadap
strukturalis dan filsafat bahasa pos strukturalis, yang merupakan jalan masuk penulis
kepada realitas yang selalu melalui bahasa. Dengan menggunakan bahasa, penulis
menciptakan representasi dari realitas yang tidak pernah merefleksikan sebuah pra kehadiran
realitas belaka namun memberi kontribusi untuk membangun realita. Hal itu tidak berarti
bahwa realita dengan sendirinya tidak ada. Makna (arti) dan representasi adalah hal yang real.
Objek fisik juga ada, namun mereka hanya memeroleh makna (arti) melalui wacana.
18
Mari kita ambil sebuah contoh, sebuah peristiwa banjir yang dikaitkan dengan sebuah
sungai yang melampaui tepian sungainya. Naiknya level tingkat air mengarah pada banjir
merupakan sebuah peristiwa yang berada dalam pemikiran dan pembicaraan orang secara
bebas. Semua orang akan tenggelam bila mereka berada di tempat yang keliru, terlepas dari
apa yang sedang mereka fikir atau katakan. Peningkatan pada level air merupakan fakta
material. Namun secepat usaha orang untuk memberikan makna terhadapnya, hal tersebut
tidak lagi berada di luar wacana. Kebanyakan akan menempatkannya ke dalam kategori
fenomena alami, namun mereka tidak akan mementingkan penggambarannya dalam cara yang
sama. Sejumlah orang mungkin akan mengambil sebuah wacana meteorologis untuk
kepada hujan lebat yang tidak seperti biasanya. Sementara yang lain mungkin memikirkannya
dalam konteks fenomena El Nino, atau melihatnya sebagai satu dari sekian banyaknya
konsekuensi efek rumah kaca secara global. Sementara orang lain masih melihatnya sebagai
hasil dari kekeliruan pengelolaan secara politik, seperti kegagalan pemerintahan nasional
dalam membentuk dewan dan pembiayaan pembanguan proyek bendungan. Dan akhirnya,
sejumlah orang lainnya mungkin melihatnya sebagai sebuah manifestasi dari kehendak
Tuhan, dihubungkan dengan kemarahan Tuhan ke arah gaya hidup masyarakat yang penuh
dosa atau melihatnya sebagai tanda dekatnya akhir zaman. Naiknya tingkat permukaan air,
sebagai sebuah peristiwa terjadi dalam titik waktu yang khusus, akan dapat menjelaskan
makna dalam konteks ragam wacana atau perspektif yang berbeda (yang dapat dikombinasi
dalam cara yang berbeda). Hal yang lebih penting, setiap wacana yang berbeda menunjukan
cara tindakan yang berbeda sebagai hal yang mungkin dan menonjol seperti konstruksi
tentang bendungan di atas, yaitu cara pandang organisasi politik menentang kebijakan
lingkungan global atau cara pandang pemerintah nasional, atau persiapan bagi dekatnya akhir
19
zaman. Dengan demikian memberikan makna dalam kerja wacana untuk mengganti atau
mengubah dunia.
Bahasa, kemudian tidak melulu sebuah saluran yang berisi informasi tentang
penekanan keadaan mental dan perilaku atau fakta tentang dunia yang dikomunikasikan. Dan
sebaliknya, bahasa merupakan sebuah mesin yang memunculkan dan sebagai sebuah ganti
hasil dunia sosial tertentu. Hal ini juga berarti perluasan penggantian identitas sosial dan
hubungan sosial. Itu berarti bahwa perubahan dalam wacana merupakan sebuah arti dunia
sosial dapat diubah. Pergulatan pada tataran diskursif ikut serta dalam proses perubahan, juga
Pemahaman tentang bahasa sebagai sebuah sistem, yang tidak dibatasi oleh realita
yang dirujuknya, berasal dari kebahasaan strukturalis yang diikuti dalam kebangunan gagasan
rintisan Ferdinand de Saussure sekitar awal abad ini. Saussure beralasan bahwa tanda terdiri
atas dua sisi, yaitu form (signifiant) dan konten (signifi) dan bahwa hubungan antara keduanya
memiliki tabiat yang berubah-ubah (Saussure 1960). Arti yang kita selipkan pada kata-kata
tidak menjadi sifat di dalamnya namun sebagai hasil kesepakatan sosial, dengan jalan
demikian kita menyambungkan arti dengan suara tertentu. Suara atau kesan tertulis mengenai
kata-kata dog (anjing), sebagai contoh, tidak memiliki hubungan secara alami terhadap kesan
seekor anjing yang tampak dalam fikiran kita ketika kita mendengar kata tersebut. Bahwa
kita memahami apa yang orang lain maksudkan ketika mereka mengatakan dog disebabkan
karena kesepakatan sosial yang telah memahamkan kita bahwa kata dog merujuk pada hewan
berkaki empat yang menggonggong. Pandangan Saussure adalah bahwa makna tanda individu
ditentukan oleh hubungan mereka dengan tanda lainnya; sebuah tanda memeroleh nilai
khususnya dari kondisi yang berbeda dari tanda lainnya, kata dog berbeda dengan kata cat dan
mouse, dig dan dot. Kata dog akan menjadi bagian dari sebuah jaringan atau struktur dari
20
bentuk kata lainnya yang membedakannya dan hal ini berasal dari segala sesuatu yang bukan
kata-kata dog itu sendiri dimana kata dog tersebut mendapatkan maknanya.
Saussure memandang struktur ini sebagai sebuah lembaga sosial dan meskipun terus
berubah sepanjang waktu. Ini mengimplikasikan bahwa hubungan antara bahasa dan realita
juga berubah-ubah, sebuah pokok pandangan yang dikembangkan dalam teori strukturalisme
dan pos strukturalis belakangan ini. Sebuah kata tidak dengan sendirinya dapat memerintah
kata-kata tertentu yang mana harus dideskripsikan dan sebagai contoh, tanda dog bukanlah
sebuah konsekuensi alami dari sebuah fenomena secara fisik, bentuk dari sebuah tanda akan
berbeda pula dalam bahasa yang berbeda. (sebagai contoh, chien dan Hund), dan isi dari tanda
juga berubah ketika diterapkan dalam sebuah situasi baru (ketika, sebagai contoh, dikatakan
kepada sesorang, “You are such a dog”, – Anda seperti seekor anjing).
Saussure membedakan antar dua tingkatan bahasa, yaitu langue dan parole. Langue adalah
struktur bahasa, jaringan tanda yang memberi makna satu sama lain dan bersifat tetap dan
tidak dapat diubah. Parole di sisi lain, merupakan situasi penggunaan bahasa, tanda
sebenarnya yang digunakan oleh orang dalam situasi yang khusus. Parole harus selalu
dipandang sebagai sesuatu yang acak dan begitu terlemahkan karena kesalahan orang dan
gabungan gagasan yang dimaksudkan untuk tidak memasukkannya sebagai sebuah objek
penelitian saintifik. Meskipun bersifat tetap, penekanan struktur adalah langue, yang telah
Pos strukturalisme titik tolaknya dari teori strukturalis namun mengubahnya dalam
21
namun melalui hubungan internal dalam jaringan tanda; ia menolak pandangan strukturalisme
mengenai sifat bahasa sebagai hal yang tetap, tidak berubah dan menyatukan struktur dan
Pertama, kita mengarah kepada kritik pos strukturalisme mengenai kestabilan, ketidak
berubahan struktur bahasa. Seperti yang telah disebutkan penulis, dalam teori Saussur tanda
memeroleh maknanya dengan berbedanya mereka dari tanda lain. Dalam tradisi aliran
Saussur, struktur bahasa dapat dipertimbangkan seperti sebuah jala ikan dimana setiap tanda
memiliki tempatnya sebagai satu simpul atau ikatan dalam sebuah jala. Ketika sebuah jala
dibentangkan, simpul atau ikatannya tetap pada tempatnya dikarenakan jaraknya dari simpul
atau ikatan lainnya dalam jala, mirip seperti tanda yang didefinisikan oleh jaraknya dari tanda
yang lainnya. Banyak teori strukturalis berpijak pada dugaan bahwa tanda-tanda terkunci
dalam hubungan khusus satu sama lainnya: setiap tanda memiliki lokasi yang khusus dalam
jala dan maknanya tetap. Pengikut strukturalis dan pos strukturalis belakangan, telah
mengkritik rumusan bahasa ini; mereka tidak percaya bahwa tanda memiliki posisi tetap
tertentu seperti diserupakan dengan jala ikan. Dalam teori pos strukturalis, tanda akan
memeroleh makna mereka dengan menjadi berbeda dari tanda yang lain, namun tanda yang
berbeda secara asal ini dapat berubah sesuai dengan konteks dimana mereka digunakan
(Laclau 1993a: 433). Sebagai contoh, kata work (kerja) dalam situasi tertentu dapat
dengan arti passivity (sifat pasif) seperti dalam pekerjaan di taman. Hal tersebut tidak berarti
bahwa kata-kata terbuka bagi semua makna arti —hal itu akan membuat bahasa dan
komunikasi menjadi tidak mungkin— namun tidak memiliki konsekuensi bahwa kata-kata
tidak dapat menjadi bersifat tetap dengan satu atau lebih makna tertentu. Perumpamaan jala
ikan, tidak lagi memadai sejak ia tidak dapat menjadi penentu yang utama, dimana dalam
jaringan, tanda harus ditempatkan dalam hubungan satu sama lain. Menyisakan perumpamaan
22
sebuah jala, penulis lebih suka menggunakan internet sebagai model, dengan cara semua
saluran terhubung satu sama lain, namun saluran dapat dipindahkan dan sesuatu yang baru
Struktur hadir namun selalu bersifat sementara dan tidak diperlukan keadaan yang
konsisten. Pemahaman ini menyediakan pos strukturalisme dengan sebuah arti pemecahan
perubahan, bagaimana caranya perubahan akan hadir? Dalam pos strukturalisme, struktur
menjadi mungkin untuk berubah dan makna tanda dapat menempati dalam hubungannya
Namun apa yang membuat makna tanda berubah? Ini membawa kita kepada kritik
utama yang kedua pos strukturalisme terhadap strukturalisme tradisional, terkait dengan
perbedaan tajam terkini antara langue dan parole. Seperti disebut, parole tidak dapat menjadi
sebuah objek studi para penganut strukturalis karena situasi penggunaan bahasa dianggap
terlalu berubah-ubah untuk dapat mengatakan semua tentang struktur, yaitu langue. Kondisi
sebaliknya, pos strukturalis percaya bahwa ia dalam penggunaan bahasa yang lebih kongkrit
bahwa struktur itu diciptakan, direproduksi (diulang) dan berubah. Dalam tindak pembicaraan
khusus (dan tulisan), orang menunjukkan struktur – sebaliknya ucapan tidak akan bermakna –
namun dapat juga menantang struktur dengan memperkenalkan gagasan alternatif untuk
Tidak semua pendekatan analisis wacana mengikuti secara jelas terhadap pos
strukturalis, namun seluruhnya mungkin akan sepakat mengenai poin-poin utama berikut:
Bahasa dibangun dalam pola-pola atau wacana, tidak hanya terdapat sebuah sistem
23
tetapi serangkaian sistem atau wacana, dengan demikian makna atau arti berubah
analisis terhadap konteks khusus dimana bahasa adalah dalam konteks tindakan.
Michel Foucault telah memainkan peran utama dalam pengembangan analisis wacana melalui
dua hal, yaitu kerja teoritis dan penelitian empiris. Dalam hampir semua pendekatan analisa
wacana, Foucault menjadi sosok figur yang dijadikan rujukan pengutipan, dikaitkan,
dikomentari, dimodifikasi dan dikritik. Penulis juga tidak hanya untuk berbuat sesuai dengan
aturan permainan secara implisit, namun juga karena semua pendekatan penulis memiliki akar
Secara tradisional, karya Foucault dibagi antara tahap arkeologi awal dan tahap
geneologi lanjut, meskipun keduanya saling tumpang tindih, dengan usaha Foucault
Bagian bentuk teori wacananya adalah bagian dari arkeologinya. Apa yang disukainya dalam
studi arkeologi merupakan aturan yang menentukan, mana pernyataan yang dapat diterima
sebagai penuh makna dan benar dalam sebuah epos sejarah khusus. Foucault mendefinisikan
Kami akan menyebut wacana sebagai sekelompok pernyataan sepanjang mereka termasuk
formasi diskursif tertentu (...wacana) disusun dari sejumlah pernyataan terbatas untuk
sekelompok kondisi mengenai eksistensi yang akan didefinisikan. Wacana dalam
pemahaman ini bukanlah hal yang ideal, bentuk tanpa waktu (...) ia, dari awal hingga akhir,
terkait dengan sejarah – sebuah bagian dari sejarah (...) menempati batasannya sendiri,
bagiannya, transformasinya, mode temporernya yang khusus. (Foucault 1972: 117).
24
Foucault mengikuti dalil konstruksionis sosial umum, bahwa pengetahuan bukanlah
sekedar refleksi dari realita. Kebenaran merupakan sebuah konstruksi diskursif dan rejim
pengetahuan yang berbeda yang menentukan apa yang benar dan apa yang salah. Tujuan
Foucault adalah untuk menyelidiki struktur rejim pengetahuan yang berbeda – dan karenanya,
aturan-aturan apa yang dapat dan tidak dapat dikatakan dan aturan-aturan apa yang
dipertimbangkan untuk menjadi benar atau salah. Titik tolaknya adalah meskipun kita
memiliki, secara prinsip, merupakan sejumlah cara yang tidak tertentu untuk merumuskan
pernyataan, pernyataan-pernyataan yang diproduksi dalam sebuah ranah yang khusus yang
agak mirip dan berulang. Terdapat banyak pernyataan yang tak terhingga yang tidak pernah
sama sekali dan tidak akan pernah diterima sebagai penuh makna/arti. Aturan kesejarahan dari
Foucault sebagai serangkaian aturan pembatas yang relatif terhadap pernyataan yang
menentukan batasan apa yang dapat memberikan makna. Dan mereka terpasang dalam
Foucault untuk mengidentifikasi hanya satu rejim pengetahuan dalam setiap periode sejarah:
daripada mereka bekerja dengan gambaran yang lebih bersifat konflik dimana wacana
berbeda eksis secara berdampingan atau pertarungan untuk menentukan siapa yang berhak
mendefinisikan kebenaran.
pengetahuan. Daripada memperlakukan agen-agen dan struktur sebagai kategori yang utama,
Foucault fokus pada kekuasaan. Bersamaan dengan wacana, kekuasaan tidak menjadi bagian
dari agen khusus seperti para individu atau negara atau kelompok yang berkeinginan khusus,
kekuasaan tersebar melintasi praktik-praktik sosial yang berbeda. Kekuasaan harus tidak
25
difahami sebagai bersifat tekanan semata-mata namun sebagai sesuatu yang produktif,
Apa yang membuat kekuasaan digunakan secara tepat, apa yang membuatnya dapat
diterima, merupakan fakta sederhana bukan hanya mengangkat kita sebagai kekuatan
yang dapat mengatakan ‘tidak’, namun ia juga melintasi dan memproduksi sesuatu, ia
membawa kenyamanan, ragam pengetahuan, menghasilkan wacana. Hal tersebut perlu
dipertimbangkan sebagai sebuah jaringan yang produktif yang melintasi seluruh tubuh
masyarakat, lebih banyak dari sebuah instansi negatif yang fungsinya adalah menekan.
(Foucault 1980: 119).
Dalam kekuasaan, dimana dunia sosial kita dihasilkan dan objek-objek terpisah satu sama
lainnya dan dengan demikian akan memeroleh karakteristik individual mereka dan hubungan
dengan satu sama lain. Sebagai contoh, ‘kriminal’ secara bertahap telah diciptakan sebagai
sebuah wilayah yang dilengkapi dengan institusi miliknya sendiri (misalnya penjara), subjek
khusus (pelaku kriminal) dan tindakan khusus (misalnya sosialisasi ulang). Dan kekuasaan
selalu berbatasan dengan pengetahuan – kekuasaan dan pengetahuan mensyaratkan satu sama
lain. Sebagai contoh, adalah sangat sulit membayangkan sebuah sistem penjara modern tanpa
Kekuasaan bertanggung jawab untuk menciptakan dunia sosial kita dan memunculkan
cara yang khusus dimana dunia dibentuk dan dapat diperbincangkan, menyingkirkan cara-cara
alternatif terhadap tubuh dan pembicaraan. Kekuasaan dengan demikian adalah kekuatan yang
memaksa dan produktif. Rumusan Foucault tentang kekuasaan mengikuti teori wacana Laclau
dan Mouffe dan psikologi diskursif, saat analisis wacana kritis lebih berperasaan yang
bertentangan ke arahnya. Penulis akan mendiskusikan posisi analisis wacana kritis dalam
bab 3.
Foucault memiliki konsekuensi bahwa kekuasaan sangat erat kaitannya dengan wacana.
Wacana utamanya ikut andil dalam memproduksi subjek dan objek yang dapat kita ketahui
26
tentangnya (termasuk diri kita sebagai subjek). Untuk semua pendekatan, mengikuti
pandangan ini akan mengarahkan pada pertanyaan penelitian berikut: bagaimana dunia sosial,
bagi konsep kebenaran miliknya. Foucault menyatakan bahwa tidak mungkin memeroleh
akses kepada kebenaran universal sejak ia mustahil dibicarakan dari posisi di luar wacana,
tidak ada pelarian dari representasi. Dampak kebenaran diciptakan dalam wacana. Dalam
fase arkeologi Foucault, kebenaran difahami sebagai sebuah sistem prosedur untuk produksi,
antara kebenaran dan kekuasaan, dengan alasan bahwa kebenaran disisipkan dalam dan
diproduksi oleh sistem kekuasaan. Karena kebenaran tidak dapat dicapai, tidak akan berhasil
menanyakan apakah sesuatu itu benar atau salah, fokus harus lebih diarahkan pada bagaimana
dampak dari kebenaran yang diciptakan dalam wacana. Apa yang akan dianalisa merupakan
proses diskursif yang menyajikan gambaran benar atau salah dari realitas.
Subjek
Dan Foucault juga orang yang menyediakan titik tolak untuk memahami subjek analisis
wacana. Pandangannya, seperti yang telah dicatat, bahwa subjek diciptakan dalam wacana. Ia
beralasan bahwa wacana bukanlah manifestasi tertutup dari subjek pembicaraan, pengetahuan
dan pemikiran yang bersifat agung (Foucault 1972: 55). Atau seperti ungkapan Steinar Kvale
mengenai posisi, “diri tidak lagi menggunakan bahasa untuk mengungkapkan dirinya, bahkan
Hal ini sangat berbeda dengan standar pemahaman dunia Barat memahami subjek
sebagai sesuatu yang memiliki otonomi dan kesatuan yang berdaulat. Menurut Foucault
subjek adalah decentered. Di sini, Foucault telah dipengaruhi gurunya, Louis Althusser.
27
Pendekatan Marsisme struktural Althusser menghubungkan subjek secara erat
terhadap ideologi; individu menjadi subjek ideologi melalui proses interpelasi dengan cara
mana wacana mengajak kepada individu sebagai subjek. Pertama, penulis akan menekankan
hubungan kebenaran kita terhadap satu sama lain dalam masyarakat dengan cara
membangun hubungan hayalan di antara orang dan antara mereka dan bentuk sosial.
terhadap hubungan sosial nyata. Menurut Althusser, seluruh aspek sosial dikontrol oleh
ideologi, yang berfungsi melalui aparatur negara yang menekan (mis, polisi) dan aparat
Interpelasi, merupakan proses dimana bahasa membangun sebuah posisi sosial bagi
individu dan dengan cara demikian membuatnya menjadi sebuah subjek yang bersifat
ideologi:
Ideologi bertindak atau berfungsi dalam sebuah cara yang mengambil subjek di antara
individu (ia mengambil semuanya), atau merubah individu ke dalam subjek (ia merubah
semuanya) dengan kerja yang sangat tepat yang aku sebut sebagai interpelasi atau
hailing, yang dapat dibayangkan sepanjang garis polisi setiap hari yang menjadi tempat
yang paling umum (atau yang lainnya) hailing, “hey, kamu yang di sana!”, yang menduga
bahwa layar teoritis yang aku bayangkan terjadi di sebuah jalan, individu yang disapa
akan menoleh – (...) ia telah menjadi subjek (Althusser 1971: 174, kata yang dicetak
miring adalah asli, kutipan diizinkan).
Mari kita ambil sebuah contoh, materi informasi publik zaman modern sekarang yang
menginterpelasi para pembaca sebagai pemakai yang bertanggung jawab pribadi untuk
merawat tubuh mereka melalui sebuah pilihan gaya hidup yang sesuai. Dengan menerima
peran sebagai pengarah teks, kita menyatukan diri kita kepada posisi subjek, yang mana
interpelasi telah diciptakan. Dengan melakukan hal tersebut, kita telah memproduksi ideologi
konsumerisme dan posisi kita sebagai subjek dalam sebuah budaya konsumerisme. Dengan
28
mengambil peran subjek dalam sebuah budaya konsumerisme, kita menerima bahwa
jawab untuk diselesaikan oleh individu tertentu, sebagai pengganti permasalahan umum yang
Althusser menduga bahwa kita selalu menerima posisi subjek yang diperuntukkan
bagi kita dan dengan cara demikian akan menjadi objek ideologi; tidak ada kesempatan untuk
melawan:
Pengalaman menunjukkan bahwa telekomunikasi praktis akan hailing (sapaan ‘hai’) yang
sedemikian rupa, orang hampir tidak pernah menanggapi sifat jantan mereka, baik berupa
panggilan verbal dan sekedar suitan, seseorang yang disapa selalu mengerti bahwa hal
tersebut benar-benar ditujukan padanya, orang yang mendapat sapaan (Althusser 1972:
174).
Seperti yang akan kita lihat pada bagian berikut, ini hanya sebuah aspek dari teori
Althusser yang menjadi sasaran kritikan yang berat dengan memasukan banyak saran oleh
Teori Althusser memiliki sebuah pengaruh yang besar dalam pendekatan studi budaya
terhadap studi komunikasi pada tahun 1970 an. Penelitian fokus pada teks (utamanya media
masa cetak), bukan pada produksi teks atau sambutan yang baik sejak para peneliti
mengambil bulat-bulat pekerjaan yang bersifat ideologi dan dampak dari teks. Pemberian
makna telah diperlakukan seolah-oleh mereka sisipan yang tidak bersifat ambigu dalam teks
dan diterima secara pasif oleh penerima. Pada tataran yang lebih luas – studi budaya –
dipengaruhi secara kuat oleh karya Althusser – yang berdasar pada gagasan bahwa ideologi
29
Namun sejak akhir tahun 1970 an, perspektif Althusser telah dikritisi dalam sejumlah
cara. Pertama, telah muncul pertanyaan mengenai kemungkinan kekuatan melawan pesan
ideologi yang menampilkan subjek – pertanyaan mengenai agensi subjek atau kebebasan
berbuat. Kelompok media pada pusat untuk studi budaya kontemporer di Birmingham, yang
dikepalai oleh Stuart Hall, menunjukkan, dalam pertimbangan ini, terhadap rumitnya
sambutan baik dari media. (Hal et. al 1980). Menurut teori encoding/ decoding, para penerima
mampu menafsirkan atau membuka pesan melalui kode lain dari kode yang menjadi pengunci
dalam teks (Hall 1990). Teori tersebut berdasar inter alia dalam teori Gramsci mengenai
hegemoni, yang memberikan sebuah tingkat agensi kepada seluruh kelompok sosial dalam
memproduksi dan menegosiasikan makna (Gramsci 1990). Saat ini telah ada kesepakatan
dalam studi budaya, penelitian komunikasi dan analisis wacana yang menyatakan bahwa tesis
ideologi dominan yang menganggap rendah kapasitas seseorang menawarkan kekuatan untuk
Sejumlah sumbangan untuk studi komunikasi dan budaya mungkin bahkan cenderung
menaksir terlalu tinggi kemampuan seseorang untuk menentang pesan media (lihat, sebagai
contoh, Morley 1992 untuk kritik mengenai maksud ini), namun biasanya analisis wacana
mengingat akan peran fitur tekstual dalam menetapkan batas-batas tentang bagaimana sebuah
Kedua, ketiga pendekatan analisis wacana dalam buku penulis disajikan untuk
menolak pemahaman mengenai masyarakat haruslah dikelola oleh ideologi yang bersifat total.
Seperti mereka mengganti pandangan monolitik Foucault tentang rejim pengetahuan yang
bermodel lebih pluralis dengan banyak penguasaan wacana, mereka menolak teori Althusser
bahwa sebuah ideologi mengontrol semua wacana. Akibat dari hal ini adalah bahwa subjek
tidak dapat menjadi interpelasi dengan cukup satu posisi subjek, perbedaan wacana
30
menghadirkan subjek yang berbeda pula, dan kemungkinan yang saling bertentangan, posisi-
Pendekatan yang berbeda telah membangun konsep yang berbeda mengenai subjek
yang akan penulis diskusikan dalam bab berikutnya. Namun pembicaraan pada umumnya ,
dapat dikatakan bahwa semua pendekatan memandang subjek sebagai hasil ciptaan dalam
sebuah wacana – dan bagaimanapun terpinggirkan – penggantian subjek menjadi fokus kunci
tingkat pemberian penekanan kepada perbuatan bebas subjek dalam sebuah wacana –
karenanya, mereka berbeda mengenai posisi mereka dalam debat tentang hubungan antara
struktur dan agen. Teori wacana Laclau dan Mouffe secara umum mengikuti Foucault, yang
memandang individu sebagai ditentukan oleh struktur, sedangkan analisis wacana kritis dan
psikologi diskursif sampai pada tataran yang lebih luas yang sejalan dengan slogan Roland
Barthes bahwa seseorang merupakan ‘majikan dan sekaligus hamba dari bahasa’ (Barthes
1982). Dengan demikian, dua pendekatan terakhir menekankan bahwa orang menggunakan
wacana sebagai sumber yang secara bersamaan mereka menciptakan kumpulan kata – kalimat
baru yang belum pernah ada sama sekali sebelumnya. Dalam pembicaran, pengguna bahasa
memilih elemen dari wacana yang berbeda yang mereka yang mereka ambil dari media masa
dan komunikasi antar pribadi. Hal ini kemungkinan sebuah perpaduan wacana baru.
Meskipun memproduksi wacana baru dalam cara ini, fungsi seseorang adalah sebagai agen
dari perubahan budaya dan diskursif. Sebagai analis wacana kritis, Fairclough
ulang tata tertib sebuah wacana’ (1989: 172). Bagaimanapun, bahkan dalam sejumlah
pendekatan tersebut dimana agensi subjek tertentu dan peran dalam perubahan sosial akan
membawa ke bagian terdepan yaitu wacana dipandang sebagai kerangka kerja yang
membatasi cakupan subjek untuk melakukan tindakan dan kemungkinan untuk melakukan
31
inovasi. Analisis wacana kritis dan psikologi diskursif masing-masing menyajikan sebuah
landasan teoritis dan metode khusus untuk analisa dinamika praktik-praktik diskursif melalui
penggunaan bahasa yang bertindak sebagai produk diskursif maupun penghasil dalam
memproduksi ulang dan mentransformasikan wacana dan dengan cara demikian pula dalam
Ketiga dan poin kontroversial yang terakhir dalam teori Althusser adalah konsep
ideologi itu sendiri. Kebanyakan konsep ideologi, termasuk konsep ideologi Althusser,
menyatakan bahwa jalan untuk mencapai kebenaran mutlak akan dapat diperolah. Ideologi
menyimpangkan hubungan sosial nyata, dan jika kita membebaskan diri kita sendiri dari
ideologi, kita akan memeroleh hubungan dengan mereka dan dengan kebenaran. Seperti yang
kita lihat, ini merupakan pemahaman yang benar-benar ditolak oleh Foucault. Menurut
Foucault, kebenaran, subjek-subjek dan hubungan antara subjek merupakan sesuatu yang
diciptakan dalam wacana, dan tidak terdapat kemungkinan menghasilkan kebenaran yang
paling benar di balik wacana. Sebab itu, Foucault tidak memiliki konsep ideologi. Teori
wacana Laclau dan Mouffe telah mengambil posisi ini, dan konsepnya mengenai ideologi
secara praktis kosong. Sebaliknya, analisis wacana kritis dan psikologi diskursif tidak
menolak tradisi marsisme secara bulat, dalam poin ini: pendekatan-pendekatan yang tertarik
pada dampak praktik diskursif secara ideologi. Ketika mereka mengikuti pandangan Foucault
ketimbang hanya sebagai paksaan murni, mereka juga menyertakan nilai penting terhadap
pola-pola dominan, dengan cara demikian sebuah kelompok sosial merupakan bagian cabang
dari yang lainnya. Gagasan juga sesuatu yang tetap dipakai – sekurangnya, dalam analisis
wacana kritis Fairclough – bahwa seseorang dapat membedakan antara wacana yang termasuk
ideologi dan wacana yang bukan termasuk ideologi, dengan demikian memelihara harapan
32
untuk menemukan sebuah ideologi yang luar biasa, sebuah harapan bahwa teori wacana
Keberagaman dalam cara dimana ideologi difahami merupakan sebuah perbedaan di antara
ketiga pendekatan. Pada seksi berikutnya, penulis akan menyoroti perbedaan antara
membangun dunia dan, kedua, fokus analisa. Dalam kedua pertimbangan ini, perbedaan
hubungannya satu sama lain dalam dua kesatuan yang akan menjadi rujukan penulis melalui
Untuk ketiga pendekatan, fungsi wacana – praktik diskursif – merupakan sebuah praktik
sosial yang membentuk dunia sosial. Konsep praktik sosial memandang tindakan-tindakan
dalam konteks dua perspektif kesatuan, di satu sisi, tindakan dianggap kongkrit, bersifat
pribadi dan dibatasi konteks, namun di sisi lain, praktik sosial juga terlembagakan dan
mengakar secara sosial, dan hal ini karena hal ini cenderung ke arah pola keteraturan. Analisis
wacana kritis Fairclough menyediakan konsep wacana untuk sistem teks, pembicaraan dan
sistem semiologi lain (misalnya, gerak tubuh dan pakaian) dan memelihara keistimewaannya
dari dimensi praktik sosial lain. Paraktik diskursif dipandang sebagai sebuah dimensi atau
momen setiap praktik sosial dalam sebuah hubungan dialektik dengan momen praktik sosial
lain. Itu berarti bahwa sejumlah aspek fungsi dunia sosial menurut logika yang berebeda dari
wacana dan harus dipelajari dengan menggunakan perangkat lain dari yang digunakan dalam
analisis wacana. Sebagai contoh, mungkin saja terdapat alasan ekonomis pada permainan atau
33
pelembagaan pola-pola tindakan sosial khusus. Praktik-praktik diskursif memproduksi atau
mengubah dimensi praktik sosial lain seperti dimensi sosial lain membentuk dimensi
diskursif. Secara bersamaan, dimensi diskursif dan dimensi praktik sosial lain menggantikan
dunia kita.
Pendekatan teoritis wacana Laclau dan Mouffe tidak mengkhususkan antara dimensi
diskursif dan non diskursif dari praktik sosial yang dipandang sebagai diskursif semata. Itu
tidak berarti bahwa hal tersebut tidak ada tetapi teks dan pembicaraan tetap ada, namun
sebaliknya bahwa wacana itu sendiri merupakan materi dan bahwa kesatuan lahir seperti
ekonomi, infrastruktur dan lembaga juga merupakan bagian dari wacana. Dengan demikian,
dalam teori wacana Laclau dan Mouffe tidak terdapat interaksi dialektik antara wacana dan
sesuatu yang lain, wacana itu sendiri secara penuh menggantikan dunia kita.
dalam sebuah satu kesatuan. Penulis telah menempatkan sejumlah posisi lain untuk dijadikan
rujukan dalam buku. Di sisi kiri, wacana dapat dipandang sebagai menggantikan dunia kita
secara penuh, sebaliknya di sisi sebelah kanan wacana yang dipandang sebagai refleksi
Sebuah gambar skema seperti ini harus didekati secara hati-hati semenjak kerumitan
teori-teori aktual merupakan batas yang menjadi hilang atau musnah ketika mereka diletakkan
dalam sebuah garis tunggal. Ini jelas, seperti contoh, dalam kasus peletakan psikologi
diskursif. Penulis telah menempatkan psikologi diskursif bagaimanapun di sebelah kiri garis
lurus, namun ini, secara fakta sulit diletakkan, seperti tuntutannya bahwa wacana secara bulat
mengganti dan bahwa hal ini disisipkan dalam praktik sosial dan sejarah yang tidak
sepenuhnya diskursif.
Pendekatan yang berada jauh di kanan garis bukanlah analisis wacana, jika seseorang
menuntut, seperti yang mereka lakukan, bahwa wacana merupakan sekedar reproduksi dari
34
praktik sosial lain yang mekanis – itulah mengapa, wacana sepenuhnya ditentukan oleh
sesuatu yang lain seperti ekonomi, – kemudian di sana tidak terdapat poin dalam melakukan
analisis wacana, sebagai gantinya, usaha harus diinvestasikan dalam hal analisis ekonomi
(sebagai contoh). Kita harus, bagaimanapun juga, menilai posisis marsis yang berbeda yang
berada di sisi sebelah kanan garis lurus yang mengikuti sebuah hal prinsip yang tidak betul-
betul melaksanakan keadilan mereka: tidak dari materialisme sejarah, tidak pula pelaku
marsis budaya seperti Gramsci dan Althusser, yang telah bekerja bersama wacana dan analisis
wacana, jadi pencantuman mereka didasari pada sebuah penafsiran dan pengurangan teori
mereka. Selain itu, baik Gramsci maupun Althusser meninggalkan ruang gerak yang lebih
luas bagi praktik pembuatan makna yang dapat ditafsirkan sebagai sebuah dimensi diskursif.
Namun keduanya memandang ekonomi sebagai penentu dalam hal terakhir, dan itu sebabnya
mengapa mereka harus mengakhiri sedemikian jauh ke arah kanan dari garis lurus.
Fokus Analisa
Sejumlah pendekatan fokus pada fakta bahwa wacana dibuat dan diubah dalam praktik
diskursif keseharian dan bagaimanapun menekankan pada kebutuhan untuk analisis empiris
sistematis terhadap pembicaraan orang dan bahasa penulisan, sebagai contoh, adalah media
masa atau wawancara penelitian. Pendekatan lain berkaitan secara umum, pola-pola yang
tumpang tindih dan tertuju pada pemetaan abstrak yang sebuah wacana tersambung dalam
35
masyarakat pada sebuah momen khusus dalam satu waktu atau berada dalam ranah sosial
yang khusus.
Dalam sebuah garis lurus membentang, perbedaan dapat disajikan sebagai berikut:
Pada garis lurus membentang tersebut, fokus ditujukan pada perbedaan dari segi
tingkat daripada perbedaan dari segi kualitas. Meski psikologi diskursus fokus ditujukan pada
diskursif. Dan meski Laclau dan Mouffe sangat tertarik dalam hal yang lebih abstrak, –
wacana yang bukan bersifat individual atau pribadi – yang merupakan gagasan dimana
wacana ini diciptakan, diperbaiki dan diubah dalam banyak praktik keseharian terdapat secara
Namun, pada saat yang sama, posisi dari pendekatan yang berbeda pada garis lurus
banyak tertarik dalam hal keaktifan orang dan penggunaan secara kreatif terahadap wacana
sebagai sebuah sumber untuk melakukan tindakan sosial dalam konteks hubungan yang
khusus dibanding teori wacana Laclau dan Mouffe, yang gantinya adalah ketertarikan dalam
wacana ‘bagaimana’, yang secara umum membatasi kemungkinan kita untuk melakukan
tindakan.
36
Peran Pelaku Analisis
Bagi pelaku analisis, tujuan penelitian bukanlah untuk mendapatkan sesuatu dibalik wacana,
untuk menemukan apa yang diingini orang ketika mereka berkata ini atau itu, atau untuk
mengungkap kenyataan/ fakta dibalik wacana. Titik tolaknya ialah kenyataan tidak dapat
diperoleh di luar wacana itu sendiri dan dengan demikian wacana itu sendiri menjadi objek
dari analisis. Dalam penelitian analisis wacana, latihan utamanya bukan menekankan pada
pernyataan-pernyataan tentang dunia dalam materi penelitian apakah benar dan salah.
Sebaliknya, pelaku analisis harus bekerja dengan apa yang sebenarnya atau senyatanya
dan mengidentifikasi dampak sosial dari penampilan perwujudan realita yang tidak saling
Bekerja dalam dunia wacana mendekatkan pada diri sendiri dimana seorang menjadi
sangat akrab, hal ini secara khusus sulit untuk memperlakukan mereka sebagai wacana,
karenanya sebagai bangunan sistem makna sosial yang dapat berbeda, karena para analis
seringkali menjadi bagian budaya dalam studi, mereka berbagi banyak hal secara apa adanya,
Kesulitannya adalah bahwa ketepatan pemahaman pengertian umum yang akan diselidiki:
yaitu fokus analisis tentang bagaimana sejumlah pernyataan diterima sebagai kebenaran atau
mengalami proses naturalisasi, dan sementara yang lainnya tidak demikian. Konsekuensinya,
adalah hal yang bermanfaat melakukan usaha untuk menjauhkan diri sendiri dari material
seseorang, sebagai contoh, membayangkan diri sendiri sebagai seorang antropolog yang
mengeksplorasi dunia makna asing untuk menemukan apa yang membuat pengertian.
Namun saran memerankan pelaku sebagai ahli antropolog ini harus sekedar dipandang
sebagai titik tolak yang berguna daripada menjadikannya sebagai respon penuh terhadap
masalah peran para peneliti. Jika proyek penelitian didasarkan pada perspektif konstruksionis
37
sosial, problem peran peneliti menjadi akan lebih dalam dan perlu ditangani secara lentur. Jika
kita menganggap realita merupakan hasil ciptaan secara sosial, dan bahwa kebenaran
menghasilkan dampak secara diskursif dan bahwa subjek terpinggirkan, lantas apa yang akan
kita perbuat terhadap kebenaran dimana kita berperan sebagai subjek peneliti penghasil
produksi? Permasalahan ini merupakan hal intrinsik bagi seluruh pendekatan konstruksionis
sosial.
bagaimana untuk menghadapi kemungkinan kebenaran yang merupakan hal yang paling
berhubungan dengan teori wacana Laclau dan Mouffe juga psikologi diskursif, dan kedua
secara luas diabaikan oleh Laclau dan Mouffe, teori mereka dan analisis yang disajikan
Sebaliknya, psikologi diskursif mencoba mengambil peran analis melalui bentuk refleksi yang
berbeda (lihat bab 4 dan 6). Dengan perbandingan dengan teori Laclau dan mouffe dan
psikologi diskursif, dilema pada pandangan sekilas pertama tidak terlihat begitu penting
dalam analisis wacana kritis Fairclough karena ia membuat sebuah pengkhususan antara
wacana ideologis dan wacana non ideologis; secara prinsip, peneliti harus mampu untuk
how (bagaimana) untuk mengkhususkan antara apa wacana yang termasuk ideologis dan apa
yang bukan, dan pertanyaan who (siapa) cukup bebas dari konstruksi dunia diskursif untuk
Dalam pembicaraan secara filosofis, sebuah problem tampak tidak terpecahkan, jika
kita menerima dalil anti fondasionalis, yaitu tiang fondasi konstruksionisme sosial, yang
merupakan sebuah kondisi dari semua pengetahuan, hal tersebut hanya sebuah perwakilan
dari dunia diantara banyak perwakilan kemungkinan yang lain. Para peneliti selalu
38
mengambil posisi terkait bidang studi, dan posisi tersebut ambil bagian dalam menentukan
apa yang dapat dilihat seseorang dan apa yang dapat disajikan sebagai hasil. Dan selalu
terdapat posisi lain dalam konteks dimana realita akan terlihat berbeda. Namun hal tersebut
bukan berarti bahwa semua hasil penelitian sama baiknya. Dalam bab 4, penulis akan
penelitian dapat divalidasi dan dibuat setampak mungkin bagi para pembaca. Secara umum,
konsistensi teoritis menghendaki bahwa para praktis analis wacana mempertimbangkan dan
memperjelas posisi mereka terkait wacana khusus yang berada dalam penyelidikan dan bahwa
mereka menilai konsekuensi yang mungkin timbul dari kontribusi mereka terhadap produk
Aliran relativisme sejalan dalam konstruksionisme sosial bukan berarti, salah satunya,
bahwa para praktisi analis tidak dapat dikritisi. Semua pendekatan kami mempertimbangkan
mereka sendiri sebagai hal yang bersifat kritis dan dalam bab 6 penulis akan mendiskusikan
secara luas bagaimana hal tersebut mungkin untuk menerapkan kritisisme sosial tanpa mampu
Secara gamblang, posisi kita adalah bahwa hal tersebut merupakan aplikasi teori dan
metode yang keras yang memberi legitimasi produksi pengetahuan secara saintifik. Hal
tersebut dilakukan dengan cara memandang dunia melalui sebuah teori khusus yang dapat
menjauhkan diri kita sendiri dari sejumlah pemahaman kita yang apa adanya dan subjek
materi kita kepada pertanyaan lain yang akan dapat kita lakukan dari sebuah perspektif
keseharian. Tiga bab berikutnya dapat dilihat sebagai cara yang berbeda untuk mencapai
men’jauh’kan ini, dan dalam bab 6 kita akan mengkontekstualisasi diskusi mengenai
pengetahuan saintifik, reflektifitas dan kritik dalam bidang konstruksionisme sosial yang luas.
39
---------------------------
Catatan
1. bagaimanapun, bidang ini tidak meliputi semua penggunaan label analisis wacana. Istilah
analisis wacana sebagai contoh digunakan dalam linguistik untuk meyatakan sebuah
analisis hubungan antara kalimat dan pernyataan dalam tingkat mikro (sebagai
contohnya, Brown dan Yule 1983) analisis wacana juga telah dugunakan untuk
menyatakan analisis cara orang menggunakan skema mental untuk memahami narasi
(Van Dijk dan Kintch 1983).
2. Untuk sudut pandang pengikut Foucault bentuk analisis wacananya lihat (untuk contoh)
karya Howart (2000) dan Mils (1997).
3. Lihat Kellner (1995) untuk keperluan ‘studi budaya ragam perspektif. Dan lihat bab 5
dalam buku ini untuk diskusi dan ilustrai analisis wacana ragam perspektif.
4. Apa yang kita sebut konstruksionisme sosial dalam teks ini adalah dalam banyak koneksi
lain yang berlabel kontruksionisme sosial. Kita menggunakan istilah kontruksionisme
sosial untuk menghindari keraguan dengan teori konstruktifis milik Piaget (lihat Burr
1995: 2).
5. Untuk diskusi landasan filosofis kontruksionisme sosial lihat, sebagai contoh, Collin
(1997).
6. Dominansi analisis wacana terwujud dalam pengantar konstruksionisme sosial Burr (Burr
1995) beserta contohnya mengenai penelitian empiris yang secara ekslusif terdiri dari
bentuk-bentuk analisis wacana, meskipun faktanya ia menekankan bahwa konstruksi
sosial juga menggunakan pendekatan lain.
7. Di sini penulis menggambarkan dalam karya Burr (1995) dan Gergen (1985). Sudut
pandang Burr, seperti dicatat di atas, juga berdasar pada karya Gergen.
8. Sebagai pengarang, penulis telah menggabungkan semua bab buku dan telah
mengembangkan secara bersamaan banyak gagasan dan rumusan melalui buku.
Bagaimanapun, tanggung jawab utama dapat disertakan dalam cara berikut: Louis
Phillips untuk bab 3 dan 4, Marianne Jorgensen untuk bab 2 dan 6, saat kedua pengarang
bertanggung jawab bersamaan untuk diskusi bab 1 dan 5.
9. Hasil kerja milik Foucault dari periode arkeologi termasuk memasukkan penyajian
perangkat metodologi dan teorinya yang lebih bersifat abstrak (misalnya, foucault 1972)
dan analisis empiris (misalnya, Faucault 1973, 1977).
40