Anda di halaman 1dari 20

Mencabar Teori

Strukturasi
Dualisme atau Dualitas
sebuah upaya sederhana mencabar teori strukturasi
dari anthony giddens. Berisi profil singkatnya, konteks
historis dan sosial lahirnya teori strukturasi, apa yang di
kritik oleh teori strukturasi, hal baru yang ditawarkan
oleh teori strukturasi, kritik terhadap teori strukturasi
Zainal Abidin Achmad, S3 Ilmu Sosial FISIP UA
Nopember 2015

Profil Singkat Anthony Giddens

Anthony Giddens ditunjuk sebagai direktur di London


School of Economics and Political Science (LSE) pada tahun
1997. Sekaligus menjadi seorang Fellow dan Profesor
Sosiologi di King College, Cambridge.
Dia aktif menulis buku sejak awal 1970-an dan
menghasilkan 34 buku sosiologis yang substantif, yang telah
diterbitkan dalam 35 bahasa, dan ratusan tulisan dalam
bentuk artikel dan review. Sebagian besar bukunya ditulisnya
sendiri sebagai kerja intelektual yang berkelanjutan (Bryant
and Jary, 2001).
Pada tahun 1985, ia menjadi salah satu pendiri
penerbitan akademis yang bernama Polity Press.
Dia juga diangkat menjadi penasehat Perdana Menteri
Inggris Tony Blair ketika berkuasa. Giddens-lah yang
membantu mempopulerkan gagasan politik kiri-tengah yang
dikenal sebagai "Jalan Ketiga." (The Globalis, 2004).

Dua buku pertama yang diterbitkan oleh Giddens, berisikan kritik terhadap
studi sosiologi klasik. Buku tersebut adalah Capitalism and Modern Social Theory
(1971) dan The Class Structure of the Advanced Societies (1973), yang memfokuskan
kritik terhadap karya-karya Durkheim, Marx dan Weber. Hingga akhirnya Giddens
menyatakan posisi teorinya sendiri dengan mengajukan sebuah teori yang dinamainya
Teori Strukturasi dalam sebuah karyanya yang berjudul New Rules of Sociological
Method (1976, second edition 1993). Selanjutnya Giddens mengelaborasi teorinya ke
dalam tiga buah buku yang diterbitkan secara beruntun, yaitu: Central Problems in
Social Theory (1979), A Contemporary Critique of Historical Materialism (1981, second
edition 1994), dan The Constitution of Society (1984).
Karya Giddens pun menumbuhkan perdebatan yang meluas di kalangan
akademisi di berbagai tempat. Dalam semua perdebatan ilmiah tersebut, Giddens pun
hadir dan berpartisipasi. (lihat, Bryant dan Jary 1991a; Clark et al. 1990; Giddens 1983;
Giddens dan Pierson 1998; Held dan Thompson 1989).
Meskipun

Giddens

mengklaim tentang konsistensi

karyanya

seputar

strukturasi, namun pada sebagian besar tulisan-tulisan berikutnya, Ia telah


mengalihkan fokusnya dari diskusi seputar teori strukturasi. Pada karya-karya berikut
Zainal Abidin Achmad
Program Doktor Ilmu Sosial, FISIP Universitas Airlangga
Nopember 2015

ini: The Consequencesof Modernity (1990a), Modernity and Self Identity (1991a), dan
The Transformation of Intimacy (1992), banyak mengkaji perubahan karakter
modernisasi di tingkat masyarakat hingga individu. Gagasan-gagasan Giddens di sini
lebih banyak berkaitan dengan globalisasi dan "Risk Society" (Beck 1992), yang lebih
dalam dikupas di sumbangan tulisan pada Reflexive Modernization (Beck et al 1995),
Runaway World (Giddens 1999) dan On the Edge: Living with Global Capitalism
(Hutton and Giddens 2001)
Giddens kemudian meningkatkan keterlibatannya dalam politik praktis, dengan
menjadi penasehat pemerintah Inggris dari tahun 1997. Keterlibatan aktifnya dalam
politik, juga di tuangkan dalam berbagai karya, antara lain: Beyond Left and Right
(1994), The Third Way (1998), The Third Way and its Critics (2000), Where Now for
New Labour? (2002), Europe in the Global Age (2007), and Over to You, Mr Brown
How Labour Can Win Again (2007).

Bagaimana Teori Strukturasi Muncul?


Kemunculan teori strukturasi Giddens adalah sebagai upaya untuk mengkritik
dualisme dalam berbagai teori ilmu-ilmu sosial. Pemikiran Giddens tentang strukturasi
secara langsung melakukan kritik terhadap pemikiran-pemikiran sosial yang dominan
dan sudah mapan. Beberapa teori-teori sosial yang Giddens hadapi sekaligus,
diantaranya adalah: teori fungsionalisme Talcott Parsons, Teori interaksionismesimbolis Erving Goffman, dan teori strukturalisme Ferdinand de Saussure. Teori
strukturasi adalah kritikan terhadap dua arus besar teori sosial: fungsionalisme dan
strukturalisme.
Teori strukturasi ini muncul, menurut Giddens, dari ketiadaan teori tindakan
dalam ilmu sosial. Ini bukan berarti bahwa para teoritisi tidak mempunyai teori
tentang tindakan. Erving Goffman, misalnya, menggagas teori pelaku dan tindakan
dimana manusia di ibaratkan sebagai para pemain drama yang sedang menampilkan
aksi panggung yang spontan tanpa naskah. Sebaliknya, Talcott Parsons melihat pelaku
dan tindakan manusia selayaknya prajurit tentara yang bertindak sesuai perintah
komandan. Pandangan Goffman cenderung menafikan peran struktur. Sedangkan
Zainal Abidin Achmad
Program Doktor Ilmu Sosial, FISIP Universitas Airlangga
Nopember 2015

pandangan Parson mengabaikan kapasitas bebas pelaku. Menurut Giddens, pada


teori-teori sosial yang dominan sebelumnya, selalu terjadi ketegangan yang
menimbulkan dualisme yang saling bertentangan, yaitu: subyektivisme versus
obyektivisme dan voluntarisme versus determinisme. Dualisme yang menggejala ini
yang menguasai dunia ilmu sosial ketika Giddens membangun teorinya.
Akar dualisme tersebut terletak dalam kerancuan kita melihat objek kajian
ilmu sosial. Menurut Giddens, objek utama ilmu sosial bukanlah peran sosial seperti
dalam

fungsionalisme

Parsons,

bukan

kode

tersembunyi

seperti

dalam

strukturalisme Levi-Strauss, bukan pula keunikan-situasional seperti dalam


interaksionisme Goffman. Giddens secara terang benderang menyatakan bahwa
obyek ilmu sosial bukan keseluruhan, bukan bagian, bukan struktur, dan bukan
pelaku-perorangan, melainkan titik temu keduanya, yaitu praktik sosial yang
berulang serta terpola dalam lintas ruang dan waktu.

Kritik Teori Strukturasi Terhadap Teori Sosial Sebelumnya


Terhadap teori Fungsionalisme, Giddens memberikan 3 (tiga) macam kritikan.
Pertama, fungsionalisme mengaburkan dan menghilangkan fakta bahwa kita
(manusia) sebagai anggota masyarakat bukanlah orang-orang yang bodoh. Kita
(manusia) mengetahui dan mengerti apa saja yang terjadi disekitar kita. Manusia
bukanlah robot yang melakukan tindakan hanya berdasarkan naskah (peran) yang
sudah ditentukan. Kedua, fungsionalisme merupakan cara berpikir yang mengklaim
bahwa sistem sosial punya kebutuhan yang harus dipenuhi. Agar terjadi tertib sosial,
maka butuh saling ketergantungan antar unsur. Jika ada salah satu unsur yang tidak
berfungsi, maka system akan membutuhkan unsur lain sebagai pengganti fungsi yang
hilang, sehingga tercipta keseimbangan sistem sosial. Padahal menurut Giddens,
sistem sosial tidak memiliki kebutuhan apa pun. Justru yang mempunyai kebutuhan
adalah manusia sebagai para pelaku. Ketiga, fungsionalisme mengabaikan dimensi
waktu (time) dan ruang (space) dalam menjelaskan gejala sosial.

Zainal Abidin Achmad


Program Doktor Ilmu Sosial, FISIP Universitas Airlangga
Nopember 2015

Fungsionalisme adalah mazhab yang sudah cukup tua dan paling sering kita
dengar. Mazhab ini banyak digunakan dalam menganalisis beragam fenomena sosial,
dan laris digunakan oleh para pemikir Indonesia. Fungsionalisme yang digagas Parsons
menyusun perangkat teoritiknya, mula-mula dengan melihat masyarakat dalam
perspektif Thomas Hobbes (Hobbesian), ialah masyarakat di mana individu di
dalamnya merupakan aktor konflik sepanjang masa. Oleh Parsons, konflik tersebut
merupakan kondisi asli di mana akan tumbuh tindakan pendamaian. Dalam proses
pendamaian konflik itulah, kunci yang disodorkan adalah nilai (value) yang dinilai bisa
mengikat kebutuhan atau tindakan para individu untuk membentuk masyarakat agar
bisa tertata. Parsons menyatakan bahwa setiap anggota masyarakat sekedar
merupakan pelaksana dari peran sosial (social role) tertentu. Apa yang menjadi isi
peran sosial individu adalah apa yang dituntut oleh peran tersebut.
Parsons menegaskan setiap tata masyarakat memiliki setidaknya memiliki
empat prasyarat yang harus dipenuhi. Para pengajar sosiologi kerap menyingkat
empat syarat tersebut dengan istilah AGIL, yaitu: (1) Adaptation sebagai prasyarat
adaptasi, (2) Goal sebagai tujuan tertentu yang ingin dicapai, (3) Integration ialah
prasyarat integrasi, dan (4) Latency ialah prasyarat perekat. Ketaatan kita atas peran
sosial yang kita jalani juga dilestarikan melalui mekanisme sanksi dan hukuman.
Intinya, pelaku berada dalam genggaman struktur, ia terkekang oleh struktur sebab
keberadaan struktur memang bersifat mengekang (constrain). Itu adalah cermin dari
dualisme yang seringkali menghasilkan beragam oposisi biner dan berhadap-hadapan.
Mazhab fungsionalme menurut Giddens terjebak pada pandangan naturalistik.
Pandangan naturalistik mereduksi peran aktor dalam struktur, selain itu sejarah
dipandang secara mekanis, dan bukan sebagai suatu produk kontingensi dari aktivitas
agen.
Terhadap teori strukturalisme, Giddens memberikan kritik terhadap pangkal
pemikirannya. Bahwa apa yang utama dalam analisis sosial adalah menemukan kode
tersembunyi yang ada di balik gejala sosial yang kasat mata. Kode tersembunyi itu
yang disebut struktur. Terjadinya tindakan dan kreativitas dalam ruang dan waktu
tertentu hanyalah suatu kebetulan. Misalnya, apabila kita akan memahami gejala
Zainal Abidin Achmad
Program Doktor Ilmu Sosial, FISIP Universitas Airlangga
Nopember 2015

sosial yang muncul dalam masyarakat kapitalis, maka kita harus mengarahkan
perhatian pada logika internal kinerja modal dan bukan pada perilaku modal atau
konsumen.
Kedua perspektif teori tersebut (fungsionalisme dan strukturalisme) terdapat
kesamaan, yaitu merendahkan peran pelaku dan kepasrahan tindakan pelaku pada
totalitas gejala. Keberadaan pelaku, tindakan pelaku, waktu, ruang dan proses
tindakan dianggap sebagai kebetulan. Dalam kritik Giddens, perspektif fungsionalis
dan strukturalis merupakan penolakan yang penuh skandal, terhadap subyek.
Singkatnya, Giddens berpandangan dualisme yang terjadi antara agen-struktur
terjadi karena struktural-fungsional, yang menurutnya terjebak pada pandangan
naturalistik. Pandangan naturalistik mereduksi aktor dalam stuktur, kemudian sejarah
dipandang secara mekanis, dan bukan suatu produk kontingensi dari aktivitas agen.
sedangkan

konstruksionisme-fenomenologis,

disebut

sebagai

berakhir

pada

imperialisme subjek. Oleh karenanya Giddens ingin mengakiri klaim-klaim keduanya


dengan cara mempertemukan kedua mazhab tersebut.
Kritikan Giddens yang paing keras, terutama terkait gagasan tentang hubungan
pelaku (agent) dengan struktur (structur), dimana keduanya yang selalu dilekati
dengan dualisme sebagai pokok analisis sosiologi dalam berbagai teori. Seharusnya,
analisis sosial menekankan pada aspek dualitas keduanya, bukan dualisme. Antara
keduanya memang memiliki hubungan, dan hal itu tidak dapat disangkal. Tapi
bagaimana keduanya berkaitan dalam berbagai perilaku sosial, itulah yang harus
dipersoalkan. Terutama bagaimana kedua hal tersebut berhubungan. Apakah bentuk
hubungan antara pelaku dan struktur mengedepankan perbedaan (tegangan atau
pertentangan) ataukah berupa hubungan dualitas (timbal balik)? Selama ini ilmu
sosial, menurut Giddens, dikuasai pandangan dualisme yang saling berhadapan satu
sama lain (vis a vis). Giddens menolak itu dan mengenalkan hubungan keduanya
dalam gagasan dualitas. Pelaku dan struktur berhubungan timbal balik atau saling
mengandaikan.

Apa yang Ditawarkan Giddens dengan Teori Strukturasinya?


Zainal Abidin Achmad
Program Doktor Ilmu Sosial, FISIP Universitas Airlangga
Nopember 2015

Teori strukturasi mengawinkan dua pendekatan yang berseberangan itu


dengan melihat hubungan dualitas antara agen dan struktur dan sentralitas ruang dan
waktu. Dimulai dualitas (hubungan saling mengandaikan) yang terjadi antara agen dan
struktur di dalam praktik sosial (social practices) yang berulang dan terpola dalam
ruang dan waktu, praktik social social yang berulang-ulang (repetisi) dari agen-agen
individu yang mereproduksi struktur tersebut.
Bila Durkheim memandang struktur bersifat mengekang (constraining),
Giddens justru menyatakan struktur bersifat memberdayakan (enabling), dengan
unsur timbal balik (dualitas) nya dengan pelaku, di dalam struktur itu memungkinkan
terjadinya berbagai praktik sosial (sosial practices). Obyektivitas struktur yang
terdapat dalam teori strukturasi dapat diandaikan sebagai melekat dalam tindakan
atau praktik sosial itu sendiri.
Untuk memahami strukturasi Giddens adalah dengan menggarisbawahi
keberadaan kritik kerasnya terhadap gejala dualisme yang melekat dalam dua teori di
atas (fungsionalisme dan strukturalisme). Giddens tidak setuju dengan dualisme
struktur dan pelaku, namun lebih menekankan apa yang ia sebut dengan dualitas.
Dualisme adalah ketika struktur dan pelaku keberadaannya terpisah, saling
menegasikan, atau bertentangan. Sementara dualitas, meletakkan struktur dan pelaku
sebagai saling mengandaikan.
Untuk memahami pemikiran Giddens tentang strukturasi, akan lebih mudah
apabila berangkat dari dua pokok pembicaraan.
Pertama, ialah pelaku (agent) dan struktur (structur), kedua ialah ruang (space)
dan waktu (time). Pelaku (agen) dalam strukturasi adalah orang-orang yang konkret
dalam arus kontinu tindakan dan peristiwa di dunia. Sedangkan struktur dalam
pengertian Giddens bukanlah totalitas gejala, bukan kode tersembunyi khas
strukturalisme, bukan cara produksi marxis, bukan sebagian dari totalitas gejala khas
fungsionalisme. Struktur oleh Giddens didefinisikan sebagai aturan (rules) dan
sumber daya (resources) yang terbentuk dari (dan membentuk) perulangan praktik
sosial. Dualitas struktur dan pelaku merupakan hasil sekaligus sarana suatu praktik
sosial (Priyono, 2002). Perilaku sosial inilah yang semestinya menjadi obyek utama
Zainal Abidin Achmad
Program Doktor Ilmu Sosial, FISIP Universitas Airlangga
Nopember 2015

kajian ilmu sosial, bukan struktur atau pelaku secara terpisah. Dari pengertian seperti
inilah teori stukturasi dibangun. Teori strukturasi sendiri mengandaikan sebuah proses
yang terjadi dan memungkinkan terjadinya perulangan untuk membentuk perilaku
sosial.
Dualitas yang dimaksud terletak pada struktur yang menuntun pelaku sebagai
sarana (medium dan resources) dan menjadi pedoman praktik sosial di berbagai
tempat. Sesuatu yang mirip pedoman atau prinsip-prinsip aturan itu merupakan
sarana dalam melakukan proses perulangan tindakan sosial masyarakat. Giddens
menyebut hal itu sebagai struktur. Sifat struktur adalah mengatasi waktu dan ruang
(timeless and spaceless) serta maya (virtual), sehingga bisa diterapkan pada berbagai
situasi dan kondisi.
Kedua, Giddens dengan cermat melihat bahwa sentralitas waktu dan ruang,
sebagai poros yang menggerakkan teori strukturasi dimana sentralitas waktu dan
ruang menjadi kritik atas: statis melawan dinamis, maupun stabilitas melawan
perubahan. Waktu dan ruang merupakan unsur konstitutif tindakan dan
pengorganisasian masyarakat. Hubungan waktu dan ruang bersifat kodrati dan
menyangkut makna serta hakikat tindakan itu sendiri. Jadi tindakan yang disengaja
(dengan tujuan tertentu sering mengakibatkan akibat yang tak diharapkan). Dualitas
Struktur dan sentralitas waktu dan ruang menjadi poros terbentuknya teori strukturasi
dan berperan dalam menafsirkan kembali fenomena-fenomena modern, seperti
negara-negara, globalisasi, ideologi, dan identitas.

Pelaku dan Struktur Menurut Giddens


Teori strukturasi menunjukkan bahwa agen manusia secara kontinyu
mereproduksi struktur sosial. Artinya individu dapat melakukan perubahan atas
struktur sosial. Giddens berpandangan perubahan itu dapat terjadi bila agen dapat
mengetahui gugus mana dari struktur yang bisa ia masuki dan dirubah, gugus tersebut
antara lain gugus signifikansi, dominasi, dan legitimasi.
Ada tiga pokok yang biasanya terdapat dalam struktur sebagaimana
dinyatakan dalam teori strukturasi Giddens (Priyono, 2002). Pertama, struktur
Zainal Abidin Achmad
Program Doktor Ilmu Sosial, FISIP Universitas Airlangga
Nopember 2015

penandaan atau signifikasi (signification -S) yang menyangkut skemata simbolik,


pemaknaan,

penyebutan

dan

wacana. Kedua,

struktur

dominasi/penguasaan

(domination -D) yang menyangkut penguasaan dalam konteks politik maupun


ekonomi. Ketiga, struktur pembenaran atau legitimasi (legitimation -L) yang berkaitan
dengan peraturan normatif dalam tata hukum.

Dualitas antara struktur dan pelaku berlangsung sebagai berikut, kita letakkan
pengertian struktur sebagai sarana praktik sosial. Dalam kehidupan sebuah perguruan
tinggi misalnya, tindakan tidak mencontek saat ujian, menjaga kampus bebas dari
asap rokok, kewajiban menyelesaikan studi dalam kurun waktu tertentu
mengandaikan struktur penandaan (signifikansi) tertentu. Misalnya juga norma yang
ada di perguruan tinggi tersebut yang menjadi praktik tindakan saling menghormati
antar mahasasiswa tersebut. Demikian pula penguasaan dan penggunaan aset
keuangan (ekonomi) atau pengontrolan kebijakan akademis oleh rektorat atas para
mahasiswa (politik) mengandaikan skemata dominasi. Pola yang sama juga berlaku
ketika manajemen kampus memberi hukuman bagi mahasiswa yang melakukan
kesalahan, pemberian sanksi ini merupakan struktur legitimasi.
Satu hal yang patut dicatat, bahwa struktur tidak serta merta menjadi struktur
tanpa adanya perulangan praktik sosial, misalnya di perguruan tinggi, pembakuan
peraturan akademik sebagai struktur signifikansi hanya dapat terbentuk melalui
perulangan berbagai informasi mengenai wacana peraturan akademik tersebut.
Zainal Abidin Achmad
Program Doktor Ilmu Sosial, FISIP Universitas Airlangga
Nopember 2015

Peraturan akademik sebagai struktur dominasi, hanya dapat terbentuk menjadi baku
apabila terjadi perulangan berbagai praktik penguasaan yang terjadi dalam beberapa
bagian tertentu, misalnya adanya bagian akademis dan bagian kemahasiswaan yang
bertugas memantau penerapan peraturan akademis. Demikian juga ada bagian
keuangan dan bagian umum yang bertugas mengatur pemanfaatan keuangan dan
asset lembaga perguruan tinggi. Dan struktur legitimasi peraturan akademis menjadi
semakin kokoh, misalnya melalui keterulangan penerapan sanksi terhadap para
mahasiswa yang melanggar aturan akademis.
Namun seperti yang ditunjukkan dalam skema di atas, dualitas antara struktur
dan tindakan selalu melibatkan sarana-antara. Sebagaimana dicontohkan pada
paragraf sebelumnya, peraturan akademis mengandaikan bingkai-interpretasi
mengenai peraturan akademis, yaitu peraturan perguruan tinggi yang merupakan tata
aturan dari perguruan tinggi yang harus dipatuhi oleh seluruh mahasiswa. Dalam
dualitas antara struktur dominasi dan praktik penguasaan, yaitu bagian akademik
memiliki legitimasi untuk memanggil mahasiswa yang diduga melakukan pelanggaran
terhadap peraturan akademis. Mengenai dualitas legitimasi dan sanksi, peraturan
akademis bisa menjadi dasar untuk memberi peringatan ringan hingga peringatan
keras terhadap mahasiswa yang telah menyalahi peraturan tersebut. Reproduksi sosial
berlangsung melalui dualitas dan praktik sosial seperti itu.
Giddens memberikan definisi mengenai struktur sebagai property-properti
yang berstruktur [aturan dan sumber daya] property yang memungkinkan praktik
social berupa yang dapat dijelaskan untuk eksis di sepanjang ruang dan waktu yang
membuatnya menjadi bentuk sistemik. Struktur dapat terwujud jika terdapat aturan
dan sumber daya. Sehingga konsep strukturasi menyatakan bahwa struktur hanya
ada di dalam dan melalui aktivitas agen manusia. Disini, terlihatlah perbedaan
definisi struktur antara Giddens dengan Durkeim. Durkheim menetapkan bahwa
struktur sebagai sesuatu yang berada di luar actor dan mementukan arah actor secara
mutlak. Selayaknya wayang di tangan dalang dan wayang hanya melakoni peran-peran
yang sudah ditentukan.

Zainal Abidin Achmad


Program Doktor Ilmu Sosial, FISIP Universitas Airlangga
Nopember 2015

10

Giddens tidak sepakat bahwa struktur berada diluar dan eksternal


terhadap aktivitas individu. Secara tegas Giddens mengungkapkan, menurut saya,
struktur adalah apa yang membentuk dan menentukan terhadap kehidupan sosial,
tetapi bukan struktur itu sendiri yang membentuk dan menentukan kehidupan sosial
itu. Sehingga dalam permasalahan ini menganggap adanya dualitas struktur yang
menunjukkan bahwa agen manusia secara kontinyu mereproduksi struktur sosial.
Artinya individu dapat melakukan perubahan atas struktur sosial.
Struktur lebih mudah dimengerti seperti ekspektasi hubungan, kelompok
peran dan norma-norma, jaringan komunikasi dan institusi sosial baik pengaruh dan
mempengaruhi oleh aksi masyarakat. Struktur-struktur di sini memfasilitasi para
individu dengan aturan-aturan yang memandu aksi mereka, tetapi aksi mereka
menciptakan aturan-aturan baru dan mereproduksi yang lama.
Manusia melakukan tindakan secara sengaja untuk menyelesaikan tujuantujuan mereka, pada saat yang sama, tindakan manusia memiliki unintended
consequences (konsekuensi yang tidak disengaja) dari penetapan struktur yang
berdampak pada tindakan manusia selanjutnya. Manusia menurut teori ini yaitu agen
pelaku bertujuan yang memiliki alasan-alasan atas aktivitas-aktivitasnya dan mampu
menguraikan alasan itu secara berulang-ulang. Tindakan manusia diibaratkan sebagai
suatu arus perilaku yang terus menerus seperti kognisi, mendukung atau bahkan
mematahkan selama akal masih dianugerahkan padanya (Giddens, 2011:4).

Giddens mengategorikan tindakan agen dalam tiga dimensi. Dimensi pertama


adalah motivasi tak sadar (unconscious motives) yaitu aturan dan sumberdaya atau
kumpulan dari transformasi relasi, pengelolaan sebagai kepantasan dari sistem sosial.
Kedua, adalah kesadaran praktis (practical consciousness) yang didefinisikan sebagai
hasil relasi diantara pelaku atau kolektivitas, pengelola sebagai pelaku tetap sosial
praktis. Selanjutnya, dimensi terakhir adalah kesadaran diskursif (discursive
consciousness) yang merupakan kondisi pemerintahan atau transmutasi dari struktur,
dan reproduksi dari sosial sistem.

Zainal Abidin Achmad


Program Doktor Ilmu Sosial, FISIP Universitas Airlangga
Nopember 2015

11

Motivasi tak sadar menyangkut keinginan atau kebutuhan yang berpotensi


mengarahkan tindakan, tetapi bukan tindakan itu sendiri, misalnya tindakan kita
pergi ke bioskop, jarang digerakkan untuk mendapatkan pengakuan atas kemapanan
hidup, kecuali pergi ke bioskop bersama teman-teman atau kolega dengan membayari
semua tiket masuknya. Beda dengan kesadaran diskursif, yang mengacu pada
kapasitas kita merefleksikan dan memberikan penjelasan rinci serta eksplisit atas
tindakan kita, misalnya mengapa mahasiswa mencoba tidak terlambat dalam
menyelesaikan tugas dari dosennya karena mahasiswa menghindari kehilangan nilai.
Sedangkan kesadaran praktis menunjuk pada gugus pengetahuan praktis yang tidak
selalu bisa diurai. Misalnya mahasiswa ketika akan mengikuti perkuliahan wajib
datang sesuai jadwal kuliah, tanpa dipertanyakan lagi. Artinya kita melaksanakan
kehidupan sehari-hari tanpa harus terus-menerus menanyakan apa yang harus
dilakukan. Rutinitas hidup personal maupun social terbentuk melalui dimensi
kesadaran praktis.
Dengan kesadaran praktis inilah, kita memiliki kunci untuk memahami proses
tindakan dan praktik sosial pelaku yang lambat-laun menjadi struktur dan bagaimana
struktur itu mengekang serta memampukan (contsrain dan enabling) tindakan praktik
sosial kita. Reproduksi struktur sosial berlangsung lewat keterulangan praktik sosial
yang jarang kita pertanyakan lagi, rutinitas menghadiri undangan resepsi pernikahan
menggunakan baju bagus, formal dan bersepatu, pada gilirannya membentuk skemata
menghargai undangan pernikahan sebagai saat bertemu dengan orang-orang
terpandang dan para tamu. Proses strukturasi ini terjadi pada tingkat kesadaran
praktis dan pada tingkat ini pula struktur dibangun dan dilanggengkan dalam rutinisasi
dan direproduksi.
Berikut ini adalah contoh bagaimana memahami Kesadaran praktis dan
kesadaran diskursif. Kesadaran praktis menyangkut pada kemampuan untuk
melakukan tindakan yang dilengkapi dengan pengetahuan (knowledge). Melalui
pengetahuan itu seterusnya pelaku melakukan tindakan sehari-hari tanpa harus
mempertanyakan kembali apa yang harus dilakukan/diperankan. Sedangkan

Zainal Abidin Achmad


Program Doktor Ilmu Sosial, FISIP Universitas Airlangga
Nopember 2015

12

kesadaran

diskursif

menyangkut

kemampuan

pelaku

untuk

merefleksikan

tindakannya.
Sebagai contoh, kita tak lagi mempertanyakan mengapa setiap menjelang
pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah (pilkada), partai politik dan calon
anggota legislative (caleg) memasang poster, baliho, spanduk hingga big banner yang
bertebaran di seluruh penjuru kota. Bendera dan spanduk parpol seolah berlomba
dalam hal jumlah (semakin banyak semakin baik) dan ukuran (semakin besar semakin
baik). Berebut memilih lokasi terbaik yang dapat dilihat oleh sebanyak mungkin orang.
Poster dan banner yang memasang foto para caleg pun berlomba dalam hal ukuran,
jumlah dan lokasi pemasangan. Ada motto, slogan dan program unggulan, dan
seterusnya.
Selanjutnya aspek dinamika dari tindakan sosial tersebut dapat berkembang
sebagai berikut, bila dulu pemasangan bendera dilakukan ditempat-tempat dimana
bendera aman dari jangkauan lalu lalang orang, sekarang pemasangan bendera kecil
justru disebar di pinggir-pinggir jalan dan di ikat sekedarnya. Dengan tujuan agar
bendera itu dapat diambil oleh para simpatisan atau masyarakat yang ingin memiliki.
Bahkan sudah ada partai yang memanfaatkan menyewa baliho besar yang biasanya
dipakai untuk promosi produk di perempatan jalan-jalan besar. Yang tentu
membutuhkan biaya besar.
Pun demikian dengan banner, poster dan baliho para caleg berkembang
menjadi ajang kontes keindahan fisik. Para caleg berlomba memasang foto setampan
dan secantik mungkin dengan melalui proses editing di studio foto. Dengan harapan
jika fotonya tampan, cantik, bersih, akan menarik perhatian masyarakat dan para
pemilih. Keperluan pemasangan spanduk, banner, baliho dari parpol dan anggota
parlemen (caleg yang sudah terpilih) berkembang bukan hanya pada masa kampanye
pemilu atau pilkada saja. Waktu pemasanganpun semakin meluas, sesuai tema atau
peringatan hari-hari besar nasional atau agama. Ada yang memanfaatkan momen hari
raya Idul Fitri, hari Ibu, Hari Kemerdekaan RI, hari Kartini, Hari Sumpah Pemuda, Hari
Pahlawan dan sebagainya. Selain bermanfaat untuk media peringatan, kegiatan

Zainal Abidin Achmad


Program Doktor Ilmu Sosial, FISIP Universitas Airlangga
Nopember 2015

13

demikian juga diandaikan bermanfaat untuk pencitraan yang baik bagi para wakil,
sehingga terlihat peduli pada konstituennya.
Reproduksi atas struktur sosial yang ada, bukanlah tanpa disertai adanya
perubahan. Perubahan menjadi hal yang selalu mengikuti reproduksi sosial betapapun
kecilnya perubahannya. Munculnya gagasan intropeksi dan mawas diri (reflexive
monitoring of conduct) dari Giddens menyatakan pelaku dapat memonitor
tindakannya dimana terbentuk daya refleksifitas dalam diri pelaku untuk mencari
makna/nilai dari tindakannya tersebut kemudian agen mengambil jarak dari struktur
akhirnya meluas hingga berlangsung de-rutinisasi. Derutinisasi adalah gejala dimana
schemata yang selama ini menjadi aturan dan sumberdaya tindakan serta praktik
social dianggap tidak lagi dapat untuk dipakai sebagai prinsip pemaknaan dan
pengorganisasian praktik social sehingga terjadi tindakan yang menyimpang dari
rutinitas.
Akhirnya muncul keusangan struktur dikarenakan semakin banyaknya agen
yang mengadopsi kesadran diskursif dan mengambil jarak dengan struktur, maka
dibutuhkan perubahan struktur agar lebih sesuai dengan praktik sosial yang terus
berkembang secara baru.

Ruang dan Waktu


Ruang dan waktu adalah pokok lain dalam teori strukturasi. Penjelasannya
begini, bahwa tidak ada tindakan perilaku sosial tanpa ruang dan waktu. Ruang dan
waktulah yang menentukan bagaimana suatu perilaku sosial terjadi. Ruang dan waktu
bukan semata-mata arena atau panggung dari suatu tindakan yang terjadi,
sebagaimana dipahami dalam teori-teori sosial sebelumnya. Ruang dan waktu adalah
unsur konstitutif dalam proses tindakan itu sendiri. Giddens menegaskan bahwa ruang
dan waktu semestinya menjadi bagian integral dalam ilmu sosial.
Unsur ruang dan waktu ini sedemikian sentralnya dalam gagasan strukturasi
Giddens sehingga ia menamakan teorinya sebagai strukturasi. Tambahan asi di
dalamnya bermakna sebagai kelangsungan proses. Ada proses menjadi yang
dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Misalnya, perayaan kelulusan sekolah di China,
Zainal Abidin Achmad
Program Doktor Ilmu Sosial, FISIP Universitas Airlangga
Nopember 2015

14

tentu berbeda berbeda dengan di India, apalagi dengan di Indonesia. Begitu pula,
perayaan kelulusan bagi orang dengan status sosial di ruang dan waktu yang berbeda
akan menghasilkan perilaku sosial yang berbeda pula. Mungkin saja perayaan lulus di
kota dilakukan dengan pesta, pergi ke mall, dan makan-makan di restoran. Sedangkan
yang berada di desa merayakannya dengan cukup dengan syukuran sederhana. Kedua
perilaku sosial yang terjadi itu dipengaruhi oleh ruang dan waktu.
Orang yang membagi amplop berisi uang saat hari raya Idul Fitri adalah bagian
daripada tradisi dan dilakukan dengan keikhlasan dan penuh sukacita. Dimaknai
sebagai bagian dari berbagi kebahagiaan. Sementara bagi orang yang membagikan
amplop menjelang pemilihan kepala daerah, bukan disebut sebagai pembagian
amplop khas Idul Fitri. Giddens sungguh-sungguh menekankan bahwa ruang dan
waktu bukan sekedar panggung tindakan sosial terjadi, tapi ruang dan waktu adalah
unsur konstitutif dan integral dalam proses pembentukan perilaku sosial itu sendiri.
Dengan kata lain, ruang-waktu, di samping menentukan makna tindakan kita di satu
sisi dan menjelaskan perbedaan jenis tindakan kita di sisi lain.
Menurut Giddens, Koordinasi ruang-waktu merupakan faktor utama dalam
kehidupan masyarakat. Bahwa semua perilaku berjalan dalam, bukan melalui, ruang
dan waktu. Dalam pandangan Giddens, ruang-waktu bisa digunakan untuk membaca
fenomena globalisasi, membedakan praktik sosial maupun menentukan perbedaan
antara masyarakat modern dan tradisional. Itulah mengapa saat pemasangan poster
atau baliho dengan foto seseorang bukan hanya terjadi saat pemilu atau pilkada.
Setiap saat anggota dewan atau kepala daerah bisa memasang foto dirinya di baliho
atau di media outdoor secara tematik mengikuti moment-moment perayaan hari-hari
besar, dilakukan untuk maksud pencitraan. Hal yang sama tidak akan kita jumpai
tahun 1970 atau tahun 1980an.
Begitulah ruang dan waktu mempengaruhi tindakan yang sama yang dilakukan
pelaku dan menghasilkan praktik sosial yang berbeda. Di zaman internet ini, kini
waktu dan ruang semakin lebur sebagai batas alami yang sulit ditembus. Ruang-waktu
menjadi sesuatu yang bisa diatur.

Zainal Abidin Achmad


Program Doktor Ilmu Sosial, FISIP Universitas Airlangga
Nopember 2015

15

Sekadar untuk menekankan saja bahwa teori strukturasi terpusat pada cara
agen memproduksi dan mereproduksi struktur sosial melalui tindakan mereka sendiri.
Aktivitas-aktivitas manusia yang teratur tidak diwujudkan oleh aktor-aktor individual,
melainkan terus-menerus diciptakan dan diulang oleh mereka melalui cara mereka
mengekspresikan diri sebagai aktor. Jadi, di dalam dan melalui aktivitas, agen
mereproduksi sejumlah kondisi yang memungkinkan aktivitas-aktivitas semacam itu.

Beberapa Kritik Terhadap Teori Strukturasi


Pertama, sebuah kontradiksi yang penting dibuat dalam konseptualisasi
struktur. Giddens lebih berfokus pada pengetahuan praktis daripada pengetahuan
diskursif. Ini menumbuhkan kontradiksi karena ia menempatkan penekanan pada
refleksivitas agen dan kekuasaan mereka. Memang, hubungan antara dimensi
struktural dan struktur ini tidak sepenuhnya dikembangkan. Hal ini disebabkan fakta
bahwa Giddens menempatkan lebih banyak penekanan pada lembaga bukan pada
struktur. Sesuai dengan ini, Loyal (2003) menyatakan bahwa Giddens berkonsentrasi
pada pengembangan struktur individu sendiri, bukannya menjelaskan bagaimana
struktur sosial hidup melalui jiwa, melalui emosi dan berbagai identifikasi budaya. Dia
bahkan lebih membandingkan antara konseptualisasi tentang kesadaran dan
ketidaksadaran dengan Freud dan Erikson. Dia menunjukkan bahwa tingkat kesadaran
yang berbeda (kesadaran diskursif, kesadaran praktis, dan tidak sadar) menggantikan
triad tradisional psikoanalisis: ego, superego dan id.
Kedua, analisis Giddens lebih difokuskan pada ketidaksadaran bukan pada
kesadaran, dan menyerahkan secara relative kepada keamanan ontologis. Keamanan
ontologis ini dijelaskan dengan cara yang individualistis, yang dipengaruhi oleh
rutinitas kehidupan sehari-hari. Lebih ke titik ini, Loyal (2003) menjelaskan konsep ini
memandang sistem keamanan dasar sebagai diproses secara sosial dan tanpa sejarah.
Craib (1992) menambahkan bahwa teori strukturasi menyajikan individu sebagai sadar
tergantung pada rutinitas dan kurang adanya reaksi emosional. Sesuai dengan ini,
Saunders (1989) mendalilkan bahwa Giddens menyajikan orang selaras dengan satu
sama lain dan dengan alam. Ini melemahkan manipulasi kepentingan yang sanggup
Zainal Abidin Achmad
Program Doktor Ilmu Sosial, FISIP Universitas Airlangga
Nopember 2015

16

mengarahkan hubungan antar manusia beserta efeknya. Di sini sekali lagi, kurangnya
referensi budaya dalam analisis tersebut berlaku.
Akibatnya, kritik dari penolakan yang kuat dari fungsionalisme muncul. Bahkan,
seperti fungsionalisme dan positivisme menyajikan individu sebagai "korban penipuan
budaya", Giddens menghilangkan sama sekali dimensi budaya dan menyajikan
individu sebagai "tidak sadar menipu". Oleh karena itu, kontradiksi antara penekanan
pada kekuasaan dan penekanan pada kesadaran praktis lebih banyak disorot.
Memang, catatan yang sama dapat dibuat ke arah kontradiksi antara konseptualisasi
identitas diri dan keamanan ontologis. Giddens (1991) menyatakan " Sebuah identitas
diri harus dibuat. Dan kurang lebih harus diatur kembali secara terus menerus, dengan
pegeseran latar belakang pengalaman, dari kehidupan sehari-hari, dan kecenderungan
fragmenting dari lembaga-lembaga modern". Dengan cara ini, identitas diri tidak bisa
stabil selama berada di dimensi ruang-waktu. Hal ini mengacu pada fakta bahwa di
dunia modern diri dipandang sebagai proyek refleksif yang terus menerus dan terusmenerus direvisi. Kebutuhan rutin sebagai prasyarat keamanan ontologis tidak cocok
dengan evolusi diri yang berkelanjutan.
Perlu dicatat bahwa sebagian besar kritik terkait dengan lembaga (hak
istimewa yang diberikan kepada kesadaran praktis, kontradiksi antara identitas diri
dan keamanan ontologis). Penekanan diletakkan pada agen bukan pada struktur
memiliki pengamat bahkan kritik. Meskipun demikian, beberapa peneliti berkomentar
pada struktur konseptualisasi. Dalam lapisan ini, karya Thompson (1989) akan
disebutkan berikut ini. Dia menyatakan bahwa konseptualisasi struktur sebagai
seperangkat

aturan

dan

sumber

daya

menonjolkan

masalah

daripada

mengabaikannya itu. Bahkan, Giddens memberikan definisi aturan yang ambigu.


Sesuai dengan ini, tampaknya Giddens berusaha untuk perfeksionis ketika ia
meminjam kategorisasi aturan dari Wittgenstein. Ada intensive, tacit, informal,
shallow, discursive and formalized rules (intensif, diam-diam, informal, dangkal,
diskursif dan aturan formal). Giddens (1984) menggali lebih dalam ketika ia
mengusulkan persamaan matematika dari ekspresi atau struktur sosial dalam hal
aturan sebagai "= n2 + n - 1". Oleh karena itu, Giddens tidak menawarkan penjelasan
Zainal Abidin Achmad
Program Doktor Ilmu Sosial, FISIP Universitas Airlangga
Nopember 2015

17

tentang aturan karena dia tidak menentukan apa yang harus aturan yang relevan dan
tidak memberikan kriteria yang jelas. Singkatnya, analisis seperti aturan telah
menyebabkan generalisasi dari konsep struktur tanpa menggenggam fitur khusus dari
sistem sosial (Thompson, 1989).
Selain itu, tidak ada aturan standar untuk semua struktur. Interpretasi aturan
tidak tergantung hanya pada konsekuensi dari tindakan, sebagai proses refleksivitas;
sementara, aturan beroperasi secara berbeda sesuai dengan individu dan jenis
struktur. Ini adalah apa Thompson (1989) menyebut "diferensiasi struktural" (p.65).
Dalam kata, Thompson (1989) menyatakan bahwa kebutuhan untuk ilmu-ilmu sosial
bukanlah definisi yang tepat dari struktur dan terutama aturan, melainkan penjelasan
tentang proses yang mengarah ke sistem reproduksi sosial dan fitur khusus.
Mari kita lihat ke titik ini, kita melihat bahwa Giddens telah mengambil sanksi
hanya sebagai modalitas untuk aturan berkomunikasi, maka sebagai memiliki dimensi
kendala. Meskipun demikian, sanksi dapat menjadi sumber daya. Bahkan, tindakan
lembaga dapat negatif sanksi jika tidak sesuai dengan aturan dan sanksi positif jika
tidak sesuai dengan mereka. Kita bisa ambil contoh asuransi mobil. Jika pengemudi
mobil tidak menghormati peraturan lalu lintas, kecelakaan dapat terjadi; dalam hal ini
asuransi akan meningkatkan biaya polis untuk tahun berikutnya. Demikian pula, ketika
sopir mobil menghormati aturan lalu lintas; kecelakaan dihindari; asuransi akan
menurunkan harga untuk tahun depan. Teknik ini dikenal; itu disebut "wortel dan
tongkat". Ketika driver ingin mengurangi harga asuransi mereka dapat berhati-hati
untuk tidak melakukan kecelakaan, sehingga mereka mengambil keuntungan dari
bonus. Oleh karena itu, sanksi menjadi modalitas yang melibatkan sumber daya. Ini
adalah aspek yang hilang dalam analisis Giddens.
Singkatnya, penekanan pada agen dan kurangnya penjelasan struktur
menegakkan dualisme yang ingin dihindari Giddens. Dalam banyak cara yang sama,
peneliti mencatat kontradiksi lain. Giddens mengklaim memecahkan dualisme yang
mencirikan analisis makro dan analisis mikro. Daripada itu, ia telah membuat analisis
modernitas di tingkat makro tanpa mengacu kepada agen, dan analisis agen di tingkat
mikro tanpa mengacu pada struktur kelembagaan (Nizet, 2007). Ada kesenjangan
Zainal Abidin Achmad
Program Doktor Ilmu Sosial, FISIP Universitas Airlangga
Nopember 2015

18

antara dua tingkat. Misalnya di Konstitusi Masyarakat analisis berfokus pada agen
bukan pada struktur. Dalam Konsekuensi dari Modernitas, Giddens (1990) berbicara
tentang modernitas dan memberikan penjelasan tentang fitur modernitas. Dia tidak
membuat hubungan antara dimensi institusional modernitas dan monitoring refleksif
tindakan. Dengan cara yang sama, di Modernitas dan identitas diri (1991), ia berbicara
tentang konsep identitas diri tanpa membangun hubungan dengan tindakan. Jika
tidak, ia tidak mematahkan dikotomi; dia tidak mengusulkan analisis terus menerus.

Referensi:
Archer, M. 1990. Human Agency and Social Structure: A Critique of Giddens, in
Anthony Giddens: Consensus and Controversy, J. Clark, C. Modgil, and J. Modgil
(eds.), Brighton, UK: Falmer Press, pp. 73-84.
Banks, S. P., and Riley, P. 1993. Structuration Theory as an Ontology for
Communication Research, Communication Yearbook (16), pp. 167-196.
Barbalet, J. M. 1987. Power, Structural Resources and Agency,Current Perspectives
in Social Theory (8), pp. 1-24.
Beck, U. 1992. The Risk Society: Towards a New Modernity, London: Sage Publications.
Beck, U., Giddens, A., and Lash, S. 1995. Reflexive Modernization:Politics, Tradition and
Aesthetics in the Modern Social Order, Cambridge, UK: Polity Press.
Bhaskar, R. 1979. The Possibility of Naturalism, Brighton, UK: Harvester.
Bourdieu, P. 1977. Outline of a Theory of Practice, Cambridge, UK: Cambridge
University Press.
Brooks, L. 1997. Structuration Theory and New Technology: Analyzing
Organizationally Situated Computer-Aided Design (CAD), Information Systems
Journal (7:2), pp. 133-151.
Bryant, C. G. A., and Jary, D. 1991a. Introduction: Coming to Terms with Anthony
Giddens, in Giddens Theory of Structuration: A Critical Appreciation, C. G. A.
Bryant and D. Jary (eds.), London: Routledge, pp. 1-31.
Bryant, C. G. A., and Jary, D. 1991b. Giddens Theory of Structuration: A Critical
Appreciation, London: Routledge.
Bryant, C. G. A., and Jary, D. 1997. Anthony Giddens: Critical Assessments, London:
Routledge.
Bryant, C. G. A., and Jary, D. 2001. The Contemporary Giddens: Social Theory in a
Globalizing Age, Basingstoke, UK: Palgrave.
Giddens, A. 1971. Capitalism and Modern Social Theory, Cambridge, UK: Cambridge
University Press.
Giddens, A. 1979. Central Problems in Social Theory, Basingstoke, UK: Macmillan.
Giddens, A. 1983. Comments on the Theory of Structuration, Journal for the Theory
of Social Behaviour (13:1), pp. 75-80.
Giddens, A. 1984. The Constitution of Society, Cambridge, UK: Polity Press.
Giddens, A. 1990a. The Consequences of Modernity, Cambridge, UK: Polity Press.
Zainal Abidin Achmad
Program Doktor Ilmu Sosial, FISIP Universitas Airlangga
Nopember 2015

19

Giddens, A. 1990b. Structuration Theory and Sociological Analysis, in Anthony


Giddens: Consensus and Controversy, J. Clark, C. Modgil, and J. Modgil (eds.),
Brighton, UK: Falmer Press, pp. 297-315.
Giddens, A. 1991a. Modernity and Self-Identity, Cambridge, UK: Polity Press.
Giddens, A. 1991b. Structuration Theory: Past, Present and Future, in Giddens
Theory of Structuration: A Critical Appreciation, C. G. A. Bryant and D. Jary (eds.),
London: Routledge, pp. 201-221.
Giddens, A. 1992. The Transformation of Intimacy, Palo Alto, CA: Stanford University
Press.
Giddens, A. 1993. New Rules of Sociological Method (2nd ed.), Cambridge, UK: Polity
Press.
Giddens, A. 1994. Beyond Left and Right, Cambridge, UK: Polity Press.
Giddens, A. 1998. The Third Way, Cambridge, UK: Polity Press.
Priyono, Herry B. 2003. ANTHONY GIDDENS SUATU PENGANTAR. Yogyakarta.

Zainal Abidin Achmad


Program Doktor Ilmu Sosial, FISIP Universitas Airlangga
Nopember 2015

Anda mungkin juga menyukai