Strukturasi
Dualisme atau Dualitas
sebuah upaya sederhana mencabar teori strukturasi
dari anthony giddens. Berisi profil singkatnya, konteks
historis dan sosial lahirnya teori strukturasi, apa yang di
kritik oleh teori strukturasi, hal baru yang ditawarkan
oleh teori strukturasi, kritik terhadap teori strukturasi
Zainal Abidin Achmad, S3 Ilmu Sosial FISIP UA
Nopember 2015
Dua buku pertama yang diterbitkan oleh Giddens, berisikan kritik terhadap
studi sosiologi klasik. Buku tersebut adalah Capitalism and Modern Social Theory
(1971) dan The Class Structure of the Advanced Societies (1973), yang memfokuskan
kritik terhadap karya-karya Durkheim, Marx dan Weber. Hingga akhirnya Giddens
menyatakan posisi teorinya sendiri dengan mengajukan sebuah teori yang dinamainya
Teori Strukturasi dalam sebuah karyanya yang berjudul New Rules of Sociological
Method (1976, second edition 1993). Selanjutnya Giddens mengelaborasi teorinya ke
dalam tiga buah buku yang diterbitkan secara beruntun, yaitu: Central Problems in
Social Theory (1979), A Contemporary Critique of Historical Materialism (1981, second
edition 1994), dan The Constitution of Society (1984).
Karya Giddens pun menumbuhkan perdebatan yang meluas di kalangan
akademisi di berbagai tempat. Dalam semua perdebatan ilmiah tersebut, Giddens pun
hadir dan berpartisipasi. (lihat, Bryant dan Jary 1991a; Clark et al. 1990; Giddens 1983;
Giddens dan Pierson 1998; Held dan Thompson 1989).
Meskipun
Giddens
karyanya
seputar
ini: The Consequencesof Modernity (1990a), Modernity and Self Identity (1991a), dan
The Transformation of Intimacy (1992), banyak mengkaji perubahan karakter
modernisasi di tingkat masyarakat hingga individu. Gagasan-gagasan Giddens di sini
lebih banyak berkaitan dengan globalisasi dan "Risk Society" (Beck 1992), yang lebih
dalam dikupas di sumbangan tulisan pada Reflexive Modernization (Beck et al 1995),
Runaway World (Giddens 1999) dan On the Edge: Living with Global Capitalism
(Hutton and Giddens 2001)
Giddens kemudian meningkatkan keterlibatannya dalam politik praktis, dengan
menjadi penasehat pemerintah Inggris dari tahun 1997. Keterlibatan aktifnya dalam
politik, juga di tuangkan dalam berbagai karya, antara lain: Beyond Left and Right
(1994), The Third Way (1998), The Third Way and its Critics (2000), Where Now for
New Labour? (2002), Europe in the Global Age (2007), and Over to You, Mr Brown
How Labour Can Win Again (2007).
fungsionalisme
Parsons,
bukan
kode
tersembunyi
seperti
dalam
Fungsionalisme adalah mazhab yang sudah cukup tua dan paling sering kita
dengar. Mazhab ini banyak digunakan dalam menganalisis beragam fenomena sosial,
dan laris digunakan oleh para pemikir Indonesia. Fungsionalisme yang digagas Parsons
menyusun perangkat teoritiknya, mula-mula dengan melihat masyarakat dalam
perspektif Thomas Hobbes (Hobbesian), ialah masyarakat di mana individu di
dalamnya merupakan aktor konflik sepanjang masa. Oleh Parsons, konflik tersebut
merupakan kondisi asli di mana akan tumbuh tindakan pendamaian. Dalam proses
pendamaian konflik itulah, kunci yang disodorkan adalah nilai (value) yang dinilai bisa
mengikat kebutuhan atau tindakan para individu untuk membentuk masyarakat agar
bisa tertata. Parsons menyatakan bahwa setiap anggota masyarakat sekedar
merupakan pelaksana dari peran sosial (social role) tertentu. Apa yang menjadi isi
peran sosial individu adalah apa yang dituntut oleh peran tersebut.
Parsons menegaskan setiap tata masyarakat memiliki setidaknya memiliki
empat prasyarat yang harus dipenuhi. Para pengajar sosiologi kerap menyingkat
empat syarat tersebut dengan istilah AGIL, yaitu: (1) Adaptation sebagai prasyarat
adaptasi, (2) Goal sebagai tujuan tertentu yang ingin dicapai, (3) Integration ialah
prasyarat integrasi, dan (4) Latency ialah prasyarat perekat. Ketaatan kita atas peran
sosial yang kita jalani juga dilestarikan melalui mekanisme sanksi dan hukuman.
Intinya, pelaku berada dalam genggaman struktur, ia terkekang oleh struktur sebab
keberadaan struktur memang bersifat mengekang (constrain). Itu adalah cermin dari
dualisme yang seringkali menghasilkan beragam oposisi biner dan berhadap-hadapan.
Mazhab fungsionalme menurut Giddens terjebak pada pandangan naturalistik.
Pandangan naturalistik mereduksi peran aktor dalam struktur, selain itu sejarah
dipandang secara mekanis, dan bukan sebagai suatu produk kontingensi dari aktivitas
agen.
Terhadap teori strukturalisme, Giddens memberikan kritik terhadap pangkal
pemikirannya. Bahwa apa yang utama dalam analisis sosial adalah menemukan kode
tersembunyi yang ada di balik gejala sosial yang kasat mata. Kode tersembunyi itu
yang disebut struktur. Terjadinya tindakan dan kreativitas dalam ruang dan waktu
tertentu hanyalah suatu kebetulan. Misalnya, apabila kita akan memahami gejala
Zainal Abidin Achmad
Program Doktor Ilmu Sosial, FISIP Universitas Airlangga
Nopember 2015
sosial yang muncul dalam masyarakat kapitalis, maka kita harus mengarahkan
perhatian pada logika internal kinerja modal dan bukan pada perilaku modal atau
konsumen.
Kedua perspektif teori tersebut (fungsionalisme dan strukturalisme) terdapat
kesamaan, yaitu merendahkan peran pelaku dan kepasrahan tindakan pelaku pada
totalitas gejala. Keberadaan pelaku, tindakan pelaku, waktu, ruang dan proses
tindakan dianggap sebagai kebetulan. Dalam kritik Giddens, perspektif fungsionalis
dan strukturalis merupakan penolakan yang penuh skandal, terhadap subyek.
Singkatnya, Giddens berpandangan dualisme yang terjadi antara agen-struktur
terjadi karena struktural-fungsional, yang menurutnya terjebak pada pandangan
naturalistik. Pandangan naturalistik mereduksi aktor dalam stuktur, kemudian sejarah
dipandang secara mekanis, dan bukan suatu produk kontingensi dari aktivitas agen.
sedangkan
konstruksionisme-fenomenologis,
disebut
sebagai
berakhir
pada
kajian ilmu sosial, bukan struktur atau pelaku secara terpisah. Dari pengertian seperti
inilah teori stukturasi dibangun. Teori strukturasi sendiri mengandaikan sebuah proses
yang terjadi dan memungkinkan terjadinya perulangan untuk membentuk perilaku
sosial.
Dualitas yang dimaksud terletak pada struktur yang menuntun pelaku sebagai
sarana (medium dan resources) dan menjadi pedoman praktik sosial di berbagai
tempat. Sesuatu yang mirip pedoman atau prinsip-prinsip aturan itu merupakan
sarana dalam melakukan proses perulangan tindakan sosial masyarakat. Giddens
menyebut hal itu sebagai struktur. Sifat struktur adalah mengatasi waktu dan ruang
(timeless and spaceless) serta maya (virtual), sehingga bisa diterapkan pada berbagai
situasi dan kondisi.
Kedua, Giddens dengan cermat melihat bahwa sentralitas waktu dan ruang,
sebagai poros yang menggerakkan teori strukturasi dimana sentralitas waktu dan
ruang menjadi kritik atas: statis melawan dinamis, maupun stabilitas melawan
perubahan. Waktu dan ruang merupakan unsur konstitutif tindakan dan
pengorganisasian masyarakat. Hubungan waktu dan ruang bersifat kodrati dan
menyangkut makna serta hakikat tindakan itu sendiri. Jadi tindakan yang disengaja
(dengan tujuan tertentu sering mengakibatkan akibat yang tak diharapkan). Dualitas
Struktur dan sentralitas waktu dan ruang menjadi poros terbentuknya teori strukturasi
dan berperan dalam menafsirkan kembali fenomena-fenomena modern, seperti
negara-negara, globalisasi, ideologi, dan identitas.
penyebutan
dan
wacana. Kedua,
struktur
dominasi/penguasaan
Dualitas antara struktur dan pelaku berlangsung sebagai berikut, kita letakkan
pengertian struktur sebagai sarana praktik sosial. Dalam kehidupan sebuah perguruan
tinggi misalnya, tindakan tidak mencontek saat ujian, menjaga kampus bebas dari
asap rokok, kewajiban menyelesaikan studi dalam kurun waktu tertentu
mengandaikan struktur penandaan (signifikansi) tertentu. Misalnya juga norma yang
ada di perguruan tinggi tersebut yang menjadi praktik tindakan saling menghormati
antar mahasasiswa tersebut. Demikian pula penguasaan dan penggunaan aset
keuangan (ekonomi) atau pengontrolan kebijakan akademis oleh rektorat atas para
mahasiswa (politik) mengandaikan skemata dominasi. Pola yang sama juga berlaku
ketika manajemen kampus memberi hukuman bagi mahasiswa yang melakukan
kesalahan, pemberian sanksi ini merupakan struktur legitimasi.
Satu hal yang patut dicatat, bahwa struktur tidak serta merta menjadi struktur
tanpa adanya perulangan praktik sosial, misalnya di perguruan tinggi, pembakuan
peraturan akademik sebagai struktur signifikansi hanya dapat terbentuk melalui
perulangan berbagai informasi mengenai wacana peraturan akademik tersebut.
Zainal Abidin Achmad
Program Doktor Ilmu Sosial, FISIP Universitas Airlangga
Nopember 2015
Peraturan akademik sebagai struktur dominasi, hanya dapat terbentuk menjadi baku
apabila terjadi perulangan berbagai praktik penguasaan yang terjadi dalam beberapa
bagian tertentu, misalnya adanya bagian akademis dan bagian kemahasiswaan yang
bertugas memantau penerapan peraturan akademis. Demikian juga ada bagian
keuangan dan bagian umum yang bertugas mengatur pemanfaatan keuangan dan
asset lembaga perguruan tinggi. Dan struktur legitimasi peraturan akademis menjadi
semakin kokoh, misalnya melalui keterulangan penerapan sanksi terhadap para
mahasiswa yang melanggar aturan akademis.
Namun seperti yang ditunjukkan dalam skema di atas, dualitas antara struktur
dan tindakan selalu melibatkan sarana-antara. Sebagaimana dicontohkan pada
paragraf sebelumnya, peraturan akademis mengandaikan bingkai-interpretasi
mengenai peraturan akademis, yaitu peraturan perguruan tinggi yang merupakan tata
aturan dari perguruan tinggi yang harus dipatuhi oleh seluruh mahasiswa. Dalam
dualitas antara struktur dominasi dan praktik penguasaan, yaitu bagian akademik
memiliki legitimasi untuk memanggil mahasiswa yang diduga melakukan pelanggaran
terhadap peraturan akademis. Mengenai dualitas legitimasi dan sanksi, peraturan
akademis bisa menjadi dasar untuk memberi peringatan ringan hingga peringatan
keras terhadap mahasiswa yang telah menyalahi peraturan tersebut. Reproduksi sosial
berlangsung melalui dualitas dan praktik sosial seperti itu.
Giddens memberikan definisi mengenai struktur sebagai property-properti
yang berstruktur [aturan dan sumber daya] property yang memungkinkan praktik
social berupa yang dapat dijelaskan untuk eksis di sepanjang ruang dan waktu yang
membuatnya menjadi bentuk sistemik. Struktur dapat terwujud jika terdapat aturan
dan sumber daya. Sehingga konsep strukturasi menyatakan bahwa struktur hanya
ada di dalam dan melalui aktivitas agen manusia. Disini, terlihatlah perbedaan
definisi struktur antara Giddens dengan Durkeim. Durkheim menetapkan bahwa
struktur sebagai sesuatu yang berada di luar actor dan mementukan arah actor secara
mutlak. Selayaknya wayang di tangan dalang dan wayang hanya melakoni peran-peran
yang sudah ditentukan.
10
11
12
kesadaran
diskursif
menyangkut
kemampuan
pelaku
untuk
merefleksikan
tindakannya.
Sebagai contoh, kita tak lagi mempertanyakan mengapa setiap menjelang
pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah (pilkada), partai politik dan calon
anggota legislative (caleg) memasang poster, baliho, spanduk hingga big banner yang
bertebaran di seluruh penjuru kota. Bendera dan spanduk parpol seolah berlomba
dalam hal jumlah (semakin banyak semakin baik) dan ukuran (semakin besar semakin
baik). Berebut memilih lokasi terbaik yang dapat dilihat oleh sebanyak mungkin orang.
Poster dan banner yang memasang foto para caleg pun berlomba dalam hal ukuran,
jumlah dan lokasi pemasangan. Ada motto, slogan dan program unggulan, dan
seterusnya.
Selanjutnya aspek dinamika dari tindakan sosial tersebut dapat berkembang
sebagai berikut, bila dulu pemasangan bendera dilakukan ditempat-tempat dimana
bendera aman dari jangkauan lalu lalang orang, sekarang pemasangan bendera kecil
justru disebar di pinggir-pinggir jalan dan di ikat sekedarnya. Dengan tujuan agar
bendera itu dapat diambil oleh para simpatisan atau masyarakat yang ingin memiliki.
Bahkan sudah ada partai yang memanfaatkan menyewa baliho besar yang biasanya
dipakai untuk promosi produk di perempatan jalan-jalan besar. Yang tentu
membutuhkan biaya besar.
Pun demikian dengan banner, poster dan baliho para caleg berkembang
menjadi ajang kontes keindahan fisik. Para caleg berlomba memasang foto setampan
dan secantik mungkin dengan melalui proses editing di studio foto. Dengan harapan
jika fotonya tampan, cantik, bersih, akan menarik perhatian masyarakat dan para
pemilih. Keperluan pemasangan spanduk, banner, baliho dari parpol dan anggota
parlemen (caleg yang sudah terpilih) berkembang bukan hanya pada masa kampanye
pemilu atau pilkada saja. Waktu pemasanganpun semakin meluas, sesuai tema atau
peringatan hari-hari besar nasional atau agama. Ada yang memanfaatkan momen hari
raya Idul Fitri, hari Ibu, Hari Kemerdekaan RI, hari Kartini, Hari Sumpah Pemuda, Hari
Pahlawan dan sebagainya. Selain bermanfaat untuk media peringatan, kegiatan
13
demikian juga diandaikan bermanfaat untuk pencitraan yang baik bagi para wakil,
sehingga terlihat peduli pada konstituennya.
Reproduksi atas struktur sosial yang ada, bukanlah tanpa disertai adanya
perubahan. Perubahan menjadi hal yang selalu mengikuti reproduksi sosial betapapun
kecilnya perubahannya. Munculnya gagasan intropeksi dan mawas diri (reflexive
monitoring of conduct) dari Giddens menyatakan pelaku dapat memonitor
tindakannya dimana terbentuk daya refleksifitas dalam diri pelaku untuk mencari
makna/nilai dari tindakannya tersebut kemudian agen mengambil jarak dari struktur
akhirnya meluas hingga berlangsung de-rutinisasi. Derutinisasi adalah gejala dimana
schemata yang selama ini menjadi aturan dan sumberdaya tindakan serta praktik
social dianggap tidak lagi dapat untuk dipakai sebagai prinsip pemaknaan dan
pengorganisasian praktik social sehingga terjadi tindakan yang menyimpang dari
rutinitas.
Akhirnya muncul keusangan struktur dikarenakan semakin banyaknya agen
yang mengadopsi kesadran diskursif dan mengambil jarak dengan struktur, maka
dibutuhkan perubahan struktur agar lebih sesuai dengan praktik sosial yang terus
berkembang secara baru.
14
tentu berbeda berbeda dengan di India, apalagi dengan di Indonesia. Begitu pula,
perayaan kelulusan bagi orang dengan status sosial di ruang dan waktu yang berbeda
akan menghasilkan perilaku sosial yang berbeda pula. Mungkin saja perayaan lulus di
kota dilakukan dengan pesta, pergi ke mall, dan makan-makan di restoran. Sedangkan
yang berada di desa merayakannya dengan cukup dengan syukuran sederhana. Kedua
perilaku sosial yang terjadi itu dipengaruhi oleh ruang dan waktu.
Orang yang membagi amplop berisi uang saat hari raya Idul Fitri adalah bagian
daripada tradisi dan dilakukan dengan keikhlasan dan penuh sukacita. Dimaknai
sebagai bagian dari berbagi kebahagiaan. Sementara bagi orang yang membagikan
amplop menjelang pemilihan kepala daerah, bukan disebut sebagai pembagian
amplop khas Idul Fitri. Giddens sungguh-sungguh menekankan bahwa ruang dan
waktu bukan sekedar panggung tindakan sosial terjadi, tapi ruang dan waktu adalah
unsur konstitutif dan integral dalam proses pembentukan perilaku sosial itu sendiri.
Dengan kata lain, ruang-waktu, di samping menentukan makna tindakan kita di satu
sisi dan menjelaskan perbedaan jenis tindakan kita di sisi lain.
Menurut Giddens, Koordinasi ruang-waktu merupakan faktor utama dalam
kehidupan masyarakat. Bahwa semua perilaku berjalan dalam, bukan melalui, ruang
dan waktu. Dalam pandangan Giddens, ruang-waktu bisa digunakan untuk membaca
fenomena globalisasi, membedakan praktik sosial maupun menentukan perbedaan
antara masyarakat modern dan tradisional. Itulah mengapa saat pemasangan poster
atau baliho dengan foto seseorang bukan hanya terjadi saat pemilu atau pilkada.
Setiap saat anggota dewan atau kepala daerah bisa memasang foto dirinya di baliho
atau di media outdoor secara tematik mengikuti moment-moment perayaan hari-hari
besar, dilakukan untuk maksud pencitraan. Hal yang sama tidak akan kita jumpai
tahun 1970 atau tahun 1980an.
Begitulah ruang dan waktu mempengaruhi tindakan yang sama yang dilakukan
pelaku dan menghasilkan praktik sosial yang berbeda. Di zaman internet ini, kini
waktu dan ruang semakin lebur sebagai batas alami yang sulit ditembus. Ruang-waktu
menjadi sesuatu yang bisa diatur.
15
Sekadar untuk menekankan saja bahwa teori strukturasi terpusat pada cara
agen memproduksi dan mereproduksi struktur sosial melalui tindakan mereka sendiri.
Aktivitas-aktivitas manusia yang teratur tidak diwujudkan oleh aktor-aktor individual,
melainkan terus-menerus diciptakan dan diulang oleh mereka melalui cara mereka
mengekspresikan diri sebagai aktor. Jadi, di dalam dan melalui aktivitas, agen
mereproduksi sejumlah kondisi yang memungkinkan aktivitas-aktivitas semacam itu.
16
mengarahkan hubungan antar manusia beserta efeknya. Di sini sekali lagi, kurangnya
referensi budaya dalam analisis tersebut berlaku.
Akibatnya, kritik dari penolakan yang kuat dari fungsionalisme muncul. Bahkan,
seperti fungsionalisme dan positivisme menyajikan individu sebagai "korban penipuan
budaya", Giddens menghilangkan sama sekali dimensi budaya dan menyajikan
individu sebagai "tidak sadar menipu". Oleh karena itu, kontradiksi antara penekanan
pada kekuasaan dan penekanan pada kesadaran praktis lebih banyak disorot.
Memang, catatan yang sama dapat dibuat ke arah kontradiksi antara konseptualisasi
identitas diri dan keamanan ontologis. Giddens (1991) menyatakan " Sebuah identitas
diri harus dibuat. Dan kurang lebih harus diatur kembali secara terus menerus, dengan
pegeseran latar belakang pengalaman, dari kehidupan sehari-hari, dan kecenderungan
fragmenting dari lembaga-lembaga modern". Dengan cara ini, identitas diri tidak bisa
stabil selama berada di dimensi ruang-waktu. Hal ini mengacu pada fakta bahwa di
dunia modern diri dipandang sebagai proyek refleksif yang terus menerus dan terusmenerus direvisi. Kebutuhan rutin sebagai prasyarat keamanan ontologis tidak cocok
dengan evolusi diri yang berkelanjutan.
Perlu dicatat bahwa sebagian besar kritik terkait dengan lembaga (hak
istimewa yang diberikan kepada kesadaran praktis, kontradiksi antara identitas diri
dan keamanan ontologis). Penekanan diletakkan pada agen bukan pada struktur
memiliki pengamat bahkan kritik. Meskipun demikian, beberapa peneliti berkomentar
pada struktur konseptualisasi. Dalam lapisan ini, karya Thompson (1989) akan
disebutkan berikut ini. Dia menyatakan bahwa konseptualisasi struktur sebagai
seperangkat
aturan
dan
sumber
daya
menonjolkan
masalah
daripada
17
tentang aturan karena dia tidak menentukan apa yang harus aturan yang relevan dan
tidak memberikan kriteria yang jelas. Singkatnya, analisis seperti aturan telah
menyebabkan generalisasi dari konsep struktur tanpa menggenggam fitur khusus dari
sistem sosial (Thompson, 1989).
Selain itu, tidak ada aturan standar untuk semua struktur. Interpretasi aturan
tidak tergantung hanya pada konsekuensi dari tindakan, sebagai proses refleksivitas;
sementara, aturan beroperasi secara berbeda sesuai dengan individu dan jenis
struktur. Ini adalah apa Thompson (1989) menyebut "diferensiasi struktural" (p.65).
Dalam kata, Thompson (1989) menyatakan bahwa kebutuhan untuk ilmu-ilmu sosial
bukanlah definisi yang tepat dari struktur dan terutama aturan, melainkan penjelasan
tentang proses yang mengarah ke sistem reproduksi sosial dan fitur khusus.
Mari kita lihat ke titik ini, kita melihat bahwa Giddens telah mengambil sanksi
hanya sebagai modalitas untuk aturan berkomunikasi, maka sebagai memiliki dimensi
kendala. Meskipun demikian, sanksi dapat menjadi sumber daya. Bahkan, tindakan
lembaga dapat negatif sanksi jika tidak sesuai dengan aturan dan sanksi positif jika
tidak sesuai dengan mereka. Kita bisa ambil contoh asuransi mobil. Jika pengemudi
mobil tidak menghormati peraturan lalu lintas, kecelakaan dapat terjadi; dalam hal ini
asuransi akan meningkatkan biaya polis untuk tahun berikutnya. Demikian pula, ketika
sopir mobil menghormati aturan lalu lintas; kecelakaan dihindari; asuransi akan
menurunkan harga untuk tahun depan. Teknik ini dikenal; itu disebut "wortel dan
tongkat". Ketika driver ingin mengurangi harga asuransi mereka dapat berhati-hati
untuk tidak melakukan kecelakaan, sehingga mereka mengambil keuntungan dari
bonus. Oleh karena itu, sanksi menjadi modalitas yang melibatkan sumber daya. Ini
adalah aspek yang hilang dalam analisis Giddens.
Singkatnya, penekanan pada agen dan kurangnya penjelasan struktur
menegakkan dualisme yang ingin dihindari Giddens. Dalam banyak cara yang sama,
peneliti mencatat kontradiksi lain. Giddens mengklaim memecahkan dualisme yang
mencirikan analisis makro dan analisis mikro. Daripada itu, ia telah membuat analisis
modernitas di tingkat makro tanpa mengacu kepada agen, dan analisis agen di tingkat
mikro tanpa mengacu pada struktur kelembagaan (Nizet, 2007). Ada kesenjangan
Zainal Abidin Achmad
Program Doktor Ilmu Sosial, FISIP Universitas Airlangga
Nopember 2015
18
antara dua tingkat. Misalnya di Konstitusi Masyarakat analisis berfokus pada agen
bukan pada struktur. Dalam Konsekuensi dari Modernitas, Giddens (1990) berbicara
tentang modernitas dan memberikan penjelasan tentang fitur modernitas. Dia tidak
membuat hubungan antara dimensi institusional modernitas dan monitoring refleksif
tindakan. Dengan cara yang sama, di Modernitas dan identitas diri (1991), ia berbicara
tentang konsep identitas diri tanpa membangun hubungan dengan tindakan. Jika
tidak, ia tidak mematahkan dikotomi; dia tidak mengusulkan analisis terus menerus.
Referensi:
Archer, M. 1990. Human Agency and Social Structure: A Critique of Giddens, in
Anthony Giddens: Consensus and Controversy, J. Clark, C. Modgil, and J. Modgil
(eds.), Brighton, UK: Falmer Press, pp. 73-84.
Banks, S. P., and Riley, P. 1993. Structuration Theory as an Ontology for
Communication Research, Communication Yearbook (16), pp. 167-196.
Barbalet, J. M. 1987. Power, Structural Resources and Agency,Current Perspectives
in Social Theory (8), pp. 1-24.
Beck, U. 1992. The Risk Society: Towards a New Modernity, London: Sage Publications.
Beck, U., Giddens, A., and Lash, S. 1995. Reflexive Modernization:Politics, Tradition and
Aesthetics in the Modern Social Order, Cambridge, UK: Polity Press.
Bhaskar, R. 1979. The Possibility of Naturalism, Brighton, UK: Harvester.
Bourdieu, P. 1977. Outline of a Theory of Practice, Cambridge, UK: Cambridge
University Press.
Brooks, L. 1997. Structuration Theory and New Technology: Analyzing
Organizationally Situated Computer-Aided Design (CAD), Information Systems
Journal (7:2), pp. 133-151.
Bryant, C. G. A., and Jary, D. 1991a. Introduction: Coming to Terms with Anthony
Giddens, in Giddens Theory of Structuration: A Critical Appreciation, C. G. A.
Bryant and D. Jary (eds.), London: Routledge, pp. 1-31.
Bryant, C. G. A., and Jary, D. 1991b. Giddens Theory of Structuration: A Critical
Appreciation, London: Routledge.
Bryant, C. G. A., and Jary, D. 1997. Anthony Giddens: Critical Assessments, London:
Routledge.
Bryant, C. G. A., and Jary, D. 2001. The Contemporary Giddens: Social Theory in a
Globalizing Age, Basingstoke, UK: Palgrave.
Giddens, A. 1971. Capitalism and Modern Social Theory, Cambridge, UK: Cambridge
University Press.
Giddens, A. 1979. Central Problems in Social Theory, Basingstoke, UK: Macmillan.
Giddens, A. 1983. Comments on the Theory of Structuration, Journal for the Theory
of Social Behaviour (13:1), pp. 75-80.
Giddens, A. 1984. The Constitution of Society, Cambridge, UK: Polity Press.
Giddens, A. 1990a. The Consequences of Modernity, Cambridge, UK: Polity Press.
Zainal Abidin Achmad
Program Doktor Ilmu Sosial, FISIP Universitas Airlangga
Nopember 2015
19