Anda di halaman 1dari 42

KONFIDENSIAL

MARKAS BESAR ANGKATAN DARAT Lampiran II


SEKOLAH STAF DAN KOMANDO Keputusan Komandan Seskoad
Nomor Kep/ / XII / 2019
Tanggal Desember 2019

TEORI-TEORI KONFLIK
BAB I
PENDAHULUAN

1. Umum.

a. Konflik berasal dari kata kerja latin configure yang berarti saling
memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial
antara dua atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau
membuatnya tidak berdaya. Tidak satu masyarakatpun yang tidak pernah
mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat
lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya
masyarakat itu sendiri.

b. Konflik merupakan suatu bentuk interaksi sosial ketika dua individu


mempunyai kepentingan yang berbeda dan kehilangan keharmonisan
diantara mereka. Pada dasarnya konflik merupakan hal yang alamiah dan
sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Konflik manusia mempunyai
derajat kompleksitas dan intensitas yang dapat ditemui dalam individu,
kelompok dan negara-negara seluruh dunia. Konflik sosial biasanya timbul
ketika dua belah pihak atau lebih mencapai tujuan yang tidak kompatibel
dan pada tahap berikutnya keduanya melakukan perjuangan untuk
mencapai tujuan dan saling mengalahkan. Potensi konflik akan meningkat
seiring dengan meningkatnya pertisipasi sosial dan perubahan budaya
yang cepat. Variasi budaya menyebabkan bervariasi tingkatan dan bentuk
konflik.

c. Teori konflik sebagian berkembang sebagai reaksi terhadap


fungsionalisme struktur dan akibat berbagai kritik seperti dalam
pembahasan dibawah ini. Teori konflik ini berasal dari berbagai sumber lain
seperti teori Marxian dan pemikiran konflik sosial dari Simmel.
KONFIDENSIAL
2

Pada 1950-an dan 1960-an, teori konflik menyediakan alternatif terhadap


fungsionalisme struktural, tetapi dalam beberapa tahun terakhir telah
digantikan oleh berbagai macam teori neo-Marxian, salah satu kontribusi
utama teori konflik adalah meletakkan landasan untuk teori-teori yang lebih
memanfaatkan pemikiran Marx. Masalah mendasar dalam teori konflik
adalah teori itu tak pernah berhasil memisahkan dirinya dari akar struktural-
fungsionalnya. Teori ini lebih merupakan sejenis fungsionalisme struktural
yang angkuh ketimbang teori yang benar-benar berpandangan kritis
terhadap masyarakatnya.

2. Maksud dan Tujuan.

a. Maksud. Naskah Departemen ini menjelaskan dan memberikan


gambaran tentang materi teori-teori konflik yang dibagi dalam beberapa sub
pokok bahasan.

b. Tujuan. Sebagai bahan untuk dijadikan pedoman bagi dosen dan


perwira siswa dalam rangka mengikuti pendidikan di lembaga Seskoad.

3. Ruang Lingkup dan Tata Urut. Pokok bahasan dalam pelajaran ini
membahas tentang pengantar teori-teori konflik disusun dengan tata urut sebagai
berikut:

a. Pendahuluan

b. Teori konflik

c. Eksistensi dan Jenis Konflik

d. Faktor, Fase dan Tahapan Terjadinya Konflik.

e. Implementasi Teori Model Manajemen Konflik dan Pendekatan


Hukum

f. Evaluasi Akhir

g. Penutup

4. Pengertian

a. Konflik adalah aspek intrinsic dan tidak mungkin dihindarkan dalam


perubahan sosial.
3

b. Konflik adalah sebuah ekspresi heterogenitas kepentingan nilai, dan


keyakinan yang muncul sebagai formasi baru yang ditimbulkan oleh
perubahan sosial yang muncul bertentangan dengan hambatan yang
diwariskan.

c. Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah.

d. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan ketika seseorang


melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik terhadap
diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.

e. Manusia adalah mahluk yang cinta menyendiri (soliter) dan selalu


bernafsu untuk menaklukan manusia lainnya.
4

BAB II
TEORI KONFLIK

5. Umum

Tokoh utama dalam upaya membangun teori konflik yang sistesis dan
integratif adalah Randall Collins. Conflic sosiologi karya Collins (1975) sangat
integrative karena jauh lebih berorientasi mikro ketimbang teori konflik makro.
Dahrendrf dan yang lainnya, mengenai karya awal ini, Collins mengatakan
“Kontribusi utama untuk teori konflik adalah menambah analisis tingkat mikro
terhadap teori yang bertingkat makro ini. Saya terutama mencoba menunjukkan
bahwa stratifikasi dan organisasi didasarkan atas interaksi kehidupan sehari-hari.
Dari awal Collins (1975) menjelaskan bahwa perhatiannya terhadap konflik tidak
akan bersifat ideologis; yakni, dia tidak mengawali dengan pandangan politis
bahwa konflik adalah baik atau buruk. Dia mengatakan bahwa dia memilih konflik
sebagai fokus berdasarkan landasan yang realistis, yakni bahwa konflik adalah
proses sentral dalam kehidupan sosial.

Berbeda dari teoritis lainnya yang memulai dan tetap menganalisis level
kemasyarakatan, Collins mendekati konflik dari sudut pandang individu karena
akar teoritisnya terletak dalam fenomenologi dan etnometologi. Meski ia lebih
menyukai teori berskala kecil dan bertingkat individual, Collins menyadari bahwa
sosiologi tidak akan berhasil hanya berdasarkan analisis tingkat mikro saja. Teori
konflik tak bisa berbuat apa-apa tanpa analisis tingkat kemasyarakatan. Tetapi,
sementara sebagian besar teoritis konflik percaya bahwa struktur sosial berada di
luar (eksternal), dan memaksa pihak aktor, Collins cenderung melihat struktur
sosial tak dapat dipisahkan dari aktor yang membangunnya, dan yang mana pola
interaksinya adalah esensi struktur sosial. Collins cenderung melihat struktur
sosial lebih sebagai pola interaksi ketimbang sebagai kesatuan eksternal dan
imperative. Selain itu, sementara sebagian besar teoritisi konflik melihat aktor
dipaksa oleh kekuatan eksternal, Collins berpendapat bahwa aktor terus-menerus
menciptakan ulang organisasi sosial.

Teori Stratifikasi Konflik. Dengan latar belakang di atas, Collins kembali ke


pendekatan konflik stratifikasinya sendiri yang lebih banyak kesamaannya dengan
teori fenomenologi dan etnometodologi ketimbang dengan teori Marxian atau
5

Weberian. Collins bertolak dari beberapa asumsi. Orang dipandang mempunyai


sifat sosial, tetapi juga terutama mudah berkonflik dalam hubungan sosial
mereka. Konflik mungkin terjadi dalam hubungan sosial karena penggunaan
kekerasan yang selalu dapat dipakai seseorang atau banyak orang dalam
lingkungan pergaulan. Collins yakin bahwa orang berupaya untuk memaksimalkan
status subyektif mereka dan kemampuan untuk berbuat demikian tergantung pada
sumber daya mereka maupun sumber daya orang lain dengan siapa mereka
berurusan. Ia melihat orang mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, jadi benturan
mungkin terjadi karena kepentingan-kepentingan itu pada dasarnya saling
bertentangan.

6. Teori Konflik.

Teori Konflik Menurut Para Ahli

a. Teori Konflik Ralf Dahrendorf

Teori konflik sebagian berkembang sebagai reaksi terhadap


fungsionalisme struktural dan akibat berbagai kritik, yang berasal dari
sumber lain seperti teori Marxian dan pemikiran konflik sosial dari Simmel.
Salah satu kontribusi utama teori konflik adalah meletakan landasan untuk
teori-teori yang lebih memanfaatkan pemikiran Marx. Masalah mendasar
dalam teori konflik adalah teori itu tidak pernah berhasil memisahkan dirinya
dari akar struktural-fungsionalnya. Teori konflik Ralf Dahrendorf menarik
perhatian para ahli sosiologi Amerika Serikat sejak diterbitkannya buku
“Class and Class Conflict in Industrial Society”, pada tahun 1959.

Asumsi Ralf tentang masyarakat ialah bahwa setiap masyarakat


setiap saat tunduk pada proses perubahan, dan pertikaian serta konflik ada
dalam sistem sosial juga berbagai elemen kemasyarakatan memberikan
kontribusi bagi disintegrasi dan perubahan. Suatu bentuk keteraturan dalam
6

masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka


yang memiliki kekuasaan, sehingga ia menekankan tentang peran
kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat.

Bagi Dahrendorf, masyarakat memiliki dua wajah, yakni konflik dan


konsensus yang dikenal dengan teori konflik dialektika. Dengan demikian
diusulkan agar teori sosiologi dibagi menjadi dua bagian yakni teori konflik
dan teori konsensus. Teori konflik harus menguji konflik kepentingan dan
penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat sedangkan teori
konsensus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat. Bagi Ralf,
masyarakat tidak akan ada tanpa konsensus dan konflik. Masyarakat
disatukan oleh ketidakbebasan yang dipaksakan. Dengan demikian, posisi
tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas
terhadap posisi yang lain.

Dahrendorf mengemukakan teorinya dengan melakukan kritik dan


modifikasi atas pemikiran Karl Marx, yang berasumsi bahwa kapitalisme,
pemilikan dan kontrol atas sarana-sarana produksi berada di tangan
individu-individu yang sama, yang sering disebut kaum borjuis dan kaum
proletariat.

Teori konflik dipahami melalui suatu pemahaman bahwa masyarakat


memiliki dua wajah karena setiap masyarakat kapan saja tunduk pada
perubahan, sehingga asumsinya bahwa perubahan sosial ada dimana-
mana, selanjutnya masyarakat juga bisa memperlihatkan perpecahan dan
konflik pada saat tertentu dan juga memberikan kontribusi bagi disintegrasi
dan perubahan, karena masyarakat didasarkan pada paksaan dari
beberapa anggotanya atas orang lain.

b. Teori Konflik George Huaco

George Huaco (1986) mengaitkan pertumbuhan dan kemerosotan

fungsionalisme struktural dengan posisi masyarakat Amerika dalam tatanan

dunia. Ketika Amerika mencapai dominasi di dunia setelah tahun 1945,

fungsionalisme struktural mencapai hegemoni dalam sosiologi.


7

Fungsionalisme struktural mendukung posisi dominasi Amerika di dunia

melalui dua cara. Pertama, pandangan struktural-fungsional yang

menyatakan bahwa setiap pola mempunyai konsekuensi yang berperan

dalam pelestarian dan bertahannya sistem yang lebih luas tak lebih dari

“sekedar merayakan kemenangan Amerika dan hegemoninya di dunia”

(Huaco, 1986:52). Kedua, teori struktural-fungsional yang menekankan

pada keseimbangan (perubahan terbaik adalah tak adanya perubahan)

berkaitan erat dengan kepentingan Amerika, kemudian berkaitan erat

dengan kepentingan Amerika “kekaisaran terkaya dan terkuat di dunia”.

Kemerosotan dominasi Amerika di dunia pada 1970-an bertepatan benar

dengan hilangnya posisi dominan fungsionalisme struktural di dalam teori

sosiologi.

Serangan terhadap fungsionalisme struktural beraneka ragam,

fungsionalisme struktural dituduh bersifat politik konservatif, tak mampu

menjelaskan perubahan sosial karena perhatiannya tertuju pada struktur

statis dan tak mampu menganalisis konflik sosial. Salah satu hasil dari kritik

tersebut adalah upaya dari sejumlah pemikir sosiologi untuk menanggulangi

masalah fungsionalisme struktural dengan menyatukan perhatian pada


struktur dan pada konflik. Pemikiran inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya

teori konflik sebagai alternatif terhadap teori struktural-fungsional.

Sayangnya, teori konflik sering dilihat sebagai cerminan dari fungsionalisme

struktural dengan sedikit integritas intelektual di dalamnya. Upaya penting

pertama adalah karya Lewis Coser (1956) tentang fungsi konflik sosial

(Jaworski, 1991). Karya ini dengan jelas mencoba menerangkan konflik

sosial di dunia menurut kerangka pandangan struktural-fungsional. Meski

bermanfaat untuk melihat fungsi konflik, namun masih lebih banyak yang

perlu dikaji tentang konflik ketimbang menganalisis fungsi positifnya itu.

Masalah terbesar yang dihadapi oleh kebanyakan teori konflik adalah

kekurangan landasan kuat dalam teori Marxian-teori Marxian berkembang


8

dengan baik di luar sosiologi dan seharusnya dapat dijadikan landasan

untuk mengembangkan teori sosiologi yang lebih baik tentang konflik.

Perkecualian disini adalah karya Ralf Dahrendorf. Akhirnya, teori konflik

harus dilihat sebagai perkembangan transisional dalam sejarah teori

sosiologi, kegagalannya karena tak cukup jauh mengikuti teori Marxian.

Di era 1950-an dan 1960-an, nampaknya masih terlalu dini bagi


pemikir-pemikir sosiologi Amerika untuk menerima pendekatan Marxian
sepenuhnya, tetapi teori konflik telah membantu membuka jalan
penerimaan teori Marxian di penghujung tahun 1960-an. Teori konflik
merupakan model pluralis yang berbeda dengan model dua kelas dari
Marx. Unit analisis Marx menggunakan seluruh masyarakat, manusia dibagi
ke dalam kelompok yang mengendalikan sarana produksi lewat pemilikan
sarana tersebut dan kelompok yang tidak ikut dalam pemilikan.
Pertentangan antara buruh dan manajemen, yang merupakan topik
permasalahan utama bagi Marx, misalnya, akan terlembaga lewat serikat-
serikat buruh. Pada saatnya, serikat buruh tersebut akan terlibat dalam
pertentangan yang mengakibatkan perubahan di bidang hukum serta
ekonomi dan perubahan-perubahan konkret dalam sistem pelaisan
masyarakat. Timbulnya kelas menengah baru sebenarnya merupakan
suatu perubahan struktural yang berasal dari institusionalisasi pertentangan
kelas.

Dalam menggantikan hubungan-hubungan kekayaan dengan


hubungan kekuasaan sebagai inti dari teori kelas, Dahrendorf menyatakan
bahwa model dua kelas ini tidak dapat diterapkan pada masyarakat secara
keseluruhan tetapi hanya pada asosiasi-asosiasi tertentu yang ada dalam
suatu masyarakat. Biasanya dalam masyarakat historis tertentu
pertentangan yang berbeda saling tumpang tindih. Fenomena ini
mengandung makna bahwa figur kekuasaan sebuah institusi (misalnya
gereja) tidak perlu mengambil bagian dalam kekuasaan institusi lain
(misalnya negara). Bilamana pemisahan itu terjadi di sebagian besar
9

institusi, maka intensitas pertentangan akan meningkat. Pengucilan yang


berganda dari struktur kewenangan seperti itu dapat diamati di dalam
sejarah hubungan-hubungan kelompok minoritas, hubungan-hubungan
perburuhan dan hubungan-hubungan antar bangsa.

c. Teori Konflik dalam Perspektif Karl Marx

Teori konflik sosial yang muncul pada abad 18 dan 19 dapat di


mengerti sebagai respon dari lahirnya sebuah revolusi, demokratisasi dan
industrialisasi. Teori sosiologi konflik adalah alternatif dari sebuah
ketidakpuasan terhadap fungsionalisme struktural Talcot Parsons dan
Robert K. Merton, yang menilai masyarakat dengan paham konsensus dan
integralistiknya. Dan perspektif konflik dalam melihat masyarakat ini dapat
dilihat pada tokoh-tokoh klasik seperti Kral Marx, Max Weber, dan George
Simmel.

Teori konflik muncul sebagai bentuk reaksi atas tumbuh suburnya


teori fungsionalisme struktural yang dianggap kurang memperhatikan
fenomena konflik sebagai salah satu gejala di masyarakat yang perlu
mendapatkan perhatian. “Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi
dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx dan pada tahun 1950-
an, teori konflik yang semakin mulai merebak.

Teori ini bertujuan untuk menganalisis asal usulnya suatu kejadian


terjadinya sebuah pelanggaran peraturan atau latar belakang seseorang
yang berperilaku menyimpang. Konflik disini menekankan sifat pluralistik
10

dari masyarakat dan ketidakseimbangan distribusi kekuasaan yang terjadi


diantara berbagai kelompok, karena kekuasaan yang dimiliki kelompok-
kelompok elit maka kelompok-kelompok itu juga memiliki kekuasaan untuk
menciptakan peraturan, khususnya hukum yang bisa melayani
kepentingan-kepentingan mereka. “Konflik berasal dari kata kerja latin
“Configere” yang berarti ”saling memukul”. Secara sosiologis, konflik
diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih yang
mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya”.

Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu


dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya
menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan
dan lain sebagainya. Dengan adanya ciri-ciri individual dalam interaksi
sosial, maka konflik merupakan situasi yang wajar terjadi dalam setiap
bermasyarakat dan tidak ada satupun masyarakat yang tidak pernah
mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat
yang lain, konflik ini hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya
sebuah masyarakat itu sendiri. Perspektif sosiologi yang memandang
masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri dari bagian atau komponen
yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dimana komponen yang
satu berusaha menaklukkan kepentingan yang lain guna memenuhi
kepentingannya atau memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.
“Dalam pandangan ahli sosiologi, masyarakat yang baik ialah masyarakat
yang hidup dalam situasi konfliktual. Konflik sosial dianggap sebagai
kekuatan sosial utama dari perkembangan masyarakat yang ingin maju
ketahap – tahap yang lebih sempurna”.

Teori konflik sosial memandang antar elemen sosial memiliki


kepentingan dan pandangan yang berbeda. Perbedaan kepentingan dan
pandangan tersebut yang memicu terjadinya konflik sosial yang berujung
saling mengalahkan, melenyapkan, memusnahkan di antara elemen
lainnya. Konflik adalah sebuah fenomena sosial dan itu merupakan
kenyataan bagi setiap masyarakat. Dan merupakan gejala sosial yang akan
hadir dalam kehidupan sosial, sehingga konflik bersifat inheren yang artinya
11

konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu, di mana saja
dan kapan saja. Kunci untuk memahami Marx adalah idenya tentang konflik
sosial. Konflik sosial adalah pertentangan antara segmen-segmen
masyarakat untuk merebut aset-aset bernilai.

Bentuk dari konflik sosial itu bisa bermacam-macam, yakni konflik


antara individu, kelompok, atau bangsa. Marx mengatakan bahwa potensi-
potensi konflik terutama terjadi dalam bidang pekonomian, dan iapun
memperlihatkan bahwa perjuangan atau konflik juga terjadi dalam bidang
distribusi prestise/status dan kekuasaan politik. Munculnya sebuah konflik
dikarenakan adanya perbedaan dan keberagaman.

Dari pernyataan tersebut, maka diambil sebuah contoh yang mana


terdapat di negara Indonesia yang semakin lama menunjukkan adanya
konflik dari setiap tindakan-tindakan yang terjadi dan konflik tersebut terbagi
secara horizontal dan vertikal. Konflik horizontal adalah konflik yang
berkembang diantara anggota kelompok, sepertinya konflik yang
berhubungan antara suku, agama, ras, dan antar golongan. Sedangkan
konflik vertikal adalah konflik yang terjadi antara masyarakat dan juga
negara atau pemerintahan. Umumnya konflik tersebut muncul karena
masyarakat tidak puas dengan kinerja pemerintahan, seperti konflik yang
terjadi akhir-akhir ini yang menuntut adanya sebuah kebijakan dari
pemerintahan untuk menaikkan gaji para buruh.

Terdapat banyak konflik yang terjadi di kehidupan masyarakat,


karena dari hal-hal kecilpun bisa menimbulkan sebuah konflik yang berakhir
dengan kerusuhan-kerusuhan yang besar bila tidak ditanggapi dengan
cepat dan serius. Tetapi konflik tersebut bisa membuat kehidupan
masyarakat bersatu apabila golongan-golongan bawah bisa membentuk
sebuah kelompok untuk membereskan permasalahan dengan pikiran
dingin. Dan tak banyak konflik yang bisa mengakibatkan perpecahan yang
merusak kehidupan masyarakat, perpecahan tersebut membuat kehidupan
tak berjalan dengan sangat baik. Konflik tentang buruh misalnya, yang
menginginkan upah minimum yang bisa menghidupi kebutuhan hidup layak
keluarganya. Hal tersebut bisa menjadi merambat menjadi besar dan
membuat kericuhan yang berakibat fatal, apabila pihak perusahaan atau
12

pemerintah tidak bisa memberikan solusi yang terbaik buat permasalahan


tersebut dan memberikan pengertian yang bias dipahami oleh pihak-pihak
buruh dan tidak seenaknya memberikan tanggapan atau keputusan yang
kurang bisa diterima oleh pihak yang bersangkutan.

Karl Marx mengemukakan beberapa pandangannya tentang


kehidupan sosial yaitu :

1) Masyarakat sebagai arena yang didalamnya terdapat


berbagai bentuk pertentangan.

2) Negara dipandang sebagai pihak yang terlibat aktif dalam


pertentangan dengan berpihak kepada kekuatan yang dominan.

3) Paksaan (coercion) dalam wujud hukum dipandang sebagai


faktor utama untuk memelihara lembaga-lembaga sosial, seperti
milik pribadi (property), perbudakan (slavery), kapital yang
menimbulkan ketidaksamaan hak dan kesempatan.

4) Negara dan hukum dilihat sebagai alat penindasan yang


digunakan oleh kelas yang berkuasa (kapitalis) demi keuntungan
mereka.

5) Kelas-kelas dianggap sebagai kelompok-kelompok sosial


yang mempunyai kepentingan sendiri yang bertentangan satu sama
lain, sehingga konflik tak terelakkan lagi. Segi-segi pemikiran Karl
Marx berpusat pada usaha untuk membuka sebuah kedok sistem
masyarakat, pola kepercayaan, dan bentuk kesadaran sebagai
ideologi yang mencerminkan dan memperkuat kepentingan kelas
yang berkuasa. Meski dalam pandangannya, tidak seluruhnya
kepentingan ditentukan oleh struktur kelas ekonomi, tetapi hal
tersebut sangat mempengaruhi dan dipaksa oleh struktur tersebut.

Pentingnya sebuah kondisi materiil yang terdapat dalam


struktur masyarakat, membatasi pengaruh budaya terhadap
kesadaran individu. Beberapa segi kenyataan sosial yang Marx
tekankan, yang tidak dapat diabaikan oleh teori apapun yaitu
13

pengakuan terhadap adanya struktur kelas dalam masyarakat,


kepentingan ekonomi yang saling bertentangan di antara orang-
orang dalam kelas yang berbeda, pengaruh besar yang berdampak
pada kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk
kesadaran dan berbagai konflik kelas yang muncul menimbulkan
perubahan struktur sosial yang mana hal tersebut merupakan
sesuatu yang sangat penting.

Penyebab terjadinya konflik menurut Marx, sejarah kehidupan


masyarakat ditentukan oleh sebuah materi atau benda yang
berbentuk alat produksi, dan alat produksi ini untuk menguasai
kehidupan masyarakat. Alat produksi adalah setiap alat yang
dihasilkan akan menghasilkan komoditas dan komoditas tersebut
diperlukan masyarakat secara sukarela.

Bagi Marx fakta terpenting adalah materi ekonomi karena


konflik ini bisa terjadi ketika faktor ekonomi dijadikan sebagai
penguasaan terhadap alat produksi. Berdasarkan alat produksi Marx
membagi perkembangan masyarakat menjadi 5 tahap :

a) Tahap I : Masyarakat Agraris I Primitif. Dalam


masyarakat agraris alat produksi berupa tanah. Dalam
masyarakat seperti ini penindasan akan terjadi antara pemilik
alat produksi yaitu pemilik tanah dengan penggarap tanah.

b) Tahap II : Masyarakat Budak. Dalam masyarakat


seperti budak sebagai alat produksi tetapi dia tidak memiliki
alat produksi. Penindasan terjadi antara majikan dan budak.

c) Tahap III : Dalam masyarakat feodal ditentukan oleh


kepemilikan tanah.

d) Tahap IV : Masyarakat borjuis. Alat Produksi sebagai


industri. Konfik terjadi antara kelas borjuis dan buruh.
Perjuangan kelas adalah perjuangan kelas borjuis dan kelas
proletar.
14

e) Tahap V : Masyarakat komunis. Dalam masyarakat ini


kelas proletar akan menang.

Definisi Konflik. Konflik merupakan hal yang sering kita jumpai dalam
kehidupan sehari-hari. Istilah konflik sendiri secara etimologis berasal dari
bahasa Latin con yang berarti bersama dan figure yang berarti benturan
atau tabrakan. Adanya benturan atau tabrakan dari setiap keinginan atau
kebutuhan, pendapat, dan keinginan yang melibatkan dua pihak bahkan
lebih. Menurut Degenova (2008) konflik adalah sesuatu yang normal terjadi
pada setiap hubungan, dimana dua orang tidak pernah selalu setuju pada
suatu keputusan yang dibuat. Lewin (dalam Lindzey & Hall, 1985)
menjelaskan bahwa konflik adalah keadaan dimana dorongan-dorongan di
dalam diri seseorang berlawanan arah dan hampir sama kekuatannya.
Menurut Richard E. Crable (1981) “conflict is a disagreement or a lack of
harmony”. Kalimat tersebut dapat diartikan dengan konflik merupakan
ketidaksepahaman atau ketidak cocokan. Weiten (2004) mendefenisikan
konflik sebagai keadaan ketika dua atau lebih motivasi atau dorongan
berperilaku yang tidak sejalan harus diekspresikan secara bersamaan. Hal
ini sejalan dengan defenisi yang diuraikan oleh Plotnik (2005) bahwa konflik
sebagai perasaan yang dialami ketika individu harus memilih antara dua
atau lebih pilihan yang tidak sejalan. Berdasarkan beberapa defenisi di
atas, dapat disimpulkan bahwa konflik merupakan suatu keadaan yang
terjadi karena seseorang berada di bawah tekanan untuk merespon
stimulus-stimulus yang muncul akibat adanya dua motif yang saling
bertentangan dimana antara motif yang satu akan menimbulkan frustasi
pada motif yang lain.

d. Strukturalisme Konflik.

Pemahaman akan konflik pada masyarakat industri menurut Lewis


Coser dan Ralf Dahrendorlf. Penekanan teori konflik ini adalah bahwa
tingkat struktur sosial yang berada di masyarakat, dimana susunan struktur
yang tercipta merupakan suatu hasil persetujuan dan konsensus yang
sekaligus mengarah pada proses konflik sosial (Poloma, 1994:106 – 107).
Pemahaman akan konflik menurut Coser merupakan suatu kesadaran yang
mencerminkan semangat pembaharuan di dalam masyarakat yang mana
15

nantinya mungkin akan dapat dijadikan sebagai suatu alat yang sifatnya
instrumentalis di dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan atas
struktur sosial yang ada. Selain itu konflik juga dapat menetapkan dan
menjaga garis batas antara dua atau beberapa kelompok yang akhirnya
dengan adanya konflik inipun akan membuat kelompok yang lain untuk
memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak
lebur ke dalam dunia sosial di sekelilingnya. Seluruh fungsi positif konflik
(keuntungan dari situasi konflik yang memperkuat struktur) dapat dilihat
dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan out
grup.

Konflik yang tercipta memiliki muatan kepentingan yang sekaligus


merupakan suatu kesepakatan pemegang kekuasaan untuk menciptakan
kerusuhan-kerusuhan, kondisi violence dalam bentuk penjarahan,
pemerkosaan, perampokan dan pembunuhan. Pada dasarnya penekanan
dan penggambaran atas pendekatan konflik yang diajukan oleh Coser
sebagai fungsionalisme konflik (conflict functionalism) yang tanpa
melepaskan konsep-konsep serta asumsi-asumsi fungsionalisme
strukturalnya dengan menambahkan konflik yang dinamis, perspektif
integrasi dan perspektif konflik bukan merupakan skema penjelasan yang
saling bersaing. Melainkan justru dengan adanya konflik, konsensus,
integrasi dan perpecahan merupakan satu kesatuan yang utuh di dalam
menjalankan suatu proses yang fundamental, walaupun porsi setiap bagian
memiliki muatan yang berbeda merupakan bagian kesatuan dari setiap
sistem sosial yang berkorelasi.

Dahrendorf mula-mula melihat teori konflik sebagai teori parsial,


menganggap teori ini merupakan perspektif yang dapat dipakai untuk
menganalisa fenomena sosial. Iapun menganggap masyarakat bersisi
ganda memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama (kemudian posisi ini
disempurnakan menjadi segala sesuatu yang dapat dianalisa dengan
fungsionalisme struktural dan dapat pula dianalisa dengan teori konflik).
Percepatan waktu dan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat
pada abad kesembilan belas yang mana pada masyarakat industri
kecenderungannya mengalami perubahan-perubahan. Perubahan-
16

perubahan itu antara lain: (1) dekomposisi modal, (2) dekomposisi tenaga
kerja (3) timbulnya kelas menengah baru. (Poloma, 1994: 130- 145).

Pemilikan dan kontrol atas sarana-sarana produksi berada di tangan


individu-individu yang sama. Kaum industrialis atau borjuis adalah pemilik
dan pengelola sistem kapitalis, sedangkan para pekerja atau proletar demi
kelangsungan hidupnya tergantung pada sistem ini. Pemisahan antara
pemilikan erta pengendalian sarana-sarana produksi mengakibatkan
adanya korporasi-korporasi dengan saham-saham yang dimiliki oleh
banyak orang dimana tak seorangpun memiliki kontrol yang eksklusif dan
berperan sebagai dekomposisi modal. Penspesialisasian seperti
memungkinkan sekali seseorang atau beberapa orang untuk memiliki
perusahaan tetapi tidak mengendalikannya hal ini dikarenakan tuntutan
zaman yang mengharuskan memiliki keahlian dan tenaga kerja spesialisasi.
Yang akhirnya manajemen perusahaan dapat menyewa pegawai-pegawai
sebagaimana halnya dengan pekerja-pekerja pabrik. Para buruh maupun
pegawai kantor dapat memiliki saham perusahaan yang menjadikan
mereka sebagai pemilik-pemilik bagian.

Menurut Dahrendorf dekomposisi modal ini melahirkan kesulitan


untuk mengidentifikasi kaum borjuis yang memiliki monopoli eksklusif atas
modal maupun pengendali perusahaan, pemilikan dan pengendalian
tersebut mengalami apa yang disebut diversifikasi dan tidak lagi berada
dalam tangan satu individu atau keluarga saja. Kondisi demikian terus
berjalan secara berkesinambungan dan bukan hanya sisi modal saja
melainkan juga dekomposisi tenaga kerja. Kaum proletar tidak lagi sebagai
suatu kelompok homogen yang tunggal, dimana para buruh terampil berada
di jenjang atas sedangkan buruh biasa berada di bawah. Kaum proletar
bukan lagi sebagai massa yang tanpa perbedaan sebagaimana halnya
yang terjadi pada kaum borjuis, tukang kayu, tukang pipa serta pengemudi
truk memperoleh gaji jauh lebih tinggi daripada pelayan, operator dan
sebagainya. Hal seperti ini akan berdampak pada buruh yang mana
nantinya akan menjurus kepada pembekakan jumlah kelas menengah dan
memperkuat terjadinya suatu revolusi kelas (Poloma, 1994: 132 – 133).
17

Dimana pada saat revolusi tiba sebagian besar kelompok kecil ini
akan bergabung bersama kaum proletar untuk melawan kaum borjuis yang
sekaligus terciptanya serikat-serikat buruh yang diikuti oleh mobilitas sosial
yang cukup tinggi dari para pekerja. Mobilitas sosial inilah yang nantinya
akan merintangi gejolak revolusi yang terjadi dalam kapitalis modern. Selain
itu Dahrendorf menyatakan bawasannya ada dasar baru bagi pembentukan
kelas yaitu adanya hubungan-hubungan kekuasaan (authority) yang
menyangkut bawahan dan atasan, adanya pendikotomian antara mereka
yang berkuasa dan yang dikuasai. Dengan kata lain beberapa orang turut
serta dalam stuktur kekuasaan yang ada dalam kelompok. Tetapi pada
dasarnya tetap terdapat dua sistem kelas sosial yaitu : mereka yang
berperan serta dalam struktur kekuasaan melalui penguasaan dan mereka
yang tidak berpartisipasi melalui penundukan. Perjuangan kelas yang
dibahas Dahrendorf lebih berdasarkan pada kekuasaan dari pada pemilikan
sarana-sarana produksi.

Dalam masyarakat industri modern pemilik sarana produksi tidak


sepenting mereka yang melaksanakan pengendalian atas sarana itu.
Secara ringkas penggunaan teori konflik yang dilontarkan oleh Ralf
Dahrendorf adalah perjuangan kelas yang terdapat di dalam masyarakat
industri, yang mana tidak menekankan pada pemilikan atas sarana-sarana
produksi melainkan lebih merupakan pemilikan kekuasaan, yang mencakup
hak absah untuk menguasai orang lain. Perjuangan kelas dalam
masyarakat modern baik dalam perekonomian kapitalis maupun komunis,
dalam pemerintahan bebas dan totaliter, berada di seputar pengendalian
kekuasaan. Pada akhirnya dengan adanya konflik kelas (konflik mengenai
hubungan kekuasaan atau yang muncul di luar hubungan kekuasaan)
menyebabkan adanya perubahan secara structural (Perubahan nilai atau
aturan social pada masyarakat).

Pergesekan-pergesekan seperti ini merembes akibat dari adanya


hubungan kekuasaan. Pada masyarakat buruhpun demikian, dimana hasil
dari kekuatan industri membuat corak pada lingkungan masyarakat identik
dengan kekerasan. Akibat dari adanya kekuatan kekuasaan yang
menimbulkan konflik baik yang vertikal atau horisontal.
18

Teori konflik yang terjadi dalam masyarakat sesungguhnya hal yang


wajar dan lumrah. Konflik dapat diolah menjadi sesuatu yang konstruktif
(membangun) dan destruktif (menghancurkan). Dapat dikatakan bahwa
sejarah manusia adalah sejarah konflik sosial seiring dengan perubahan
yang mengelilinginya. Oleh karena itu, tidak sepatutnya terlalu takut dengan
konflik. Hidup tanpa konflik merupakan sesuatu yang utopis. Hanya
manusia yang tidak realistis yang ingin melarikan dirinya dari hakikat hidup
manusia yang penuh dengan konflik sosial.

Teori konflik yang dikemukakan Ralf Dahrendorf, bahwa dalam suatu


perubahan pada hakikatnya masyarakat memiliki dua sisi; konflik disatu
pihak dan stabilitas, harmoni, serta konsensus dipihak lain. Dalam upaya
menjelaskan pandangannya, Dahrendorf mengusulkan sebuah model
konflik yang dikaitkan dengan kekuasaan. Model ini berguna untuk
kepentingan analisis dan menjelaskan hasil yang diperoleh di lapangan,
pada bagian lain tulisannya, Dahrendorf mengatakan bahwa konflik sosial
tidak kalah kompleks dibandingkan dengan integrasi sosial. Oleh karena itu,
pemahaman mengenai konflik sepatutnya dikaitkan dengan proses-proses
sosial yang sedang berlangsung. Dalam hal ini konflik yang terjadi dapat
disebabkan oleh sistem dalam struktur sosial tertentu. Dengan kata lain,
konflik yang timbul berkaitan erat dengan sejumlah kedudukan sosial dalam
masyarakat.

Teori fungsional tentang perubahan yang dikemukakan Talcott


Parsons (1949) dapat digunakan juga untuk melihat keterkaitan konflik
dengan fungsi kedudukan sosial yang berlaku dalam masyarakat. Talcott
Parsons menginginkan agar keseimbangan selalu terjaga dengan jalan
mengeliminasikan berbagai sumber konflik.

Terjadinya konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan


pendapat antar individu, antar kelompok atau antar organisasi. Mengingat
adanya berbagai macam perkembangan dan perubahan dalam bidang
manajemen, maka rasional apabila menduga akan timbulnya perbedaan-
perbedaan pendapat, keyakinan-keyakinan serta ide-ide. Di samping itu
perlu diingat bahwa apabila orang-orang bekerja sama erat satu sama lain
dan khususnya dalam rangka upaya mengejar sasaran-sasaran umum,
19

maka cukup beralasan untuk mengasumsi bahwa dengan berlangsungnya


waktu yang cukup lama, pasti akan timbul perbedaan-perbedaan pendapat
di antara mereka.

Terjadinya suatu konflik tidak dapat dihindari, maka approach yang


baik untuk diterapkan para manajer adalah dengan cara pendekatan
dengan memanfaatkan suatu konflik sedemikian rupa, sehingga
penyelesaiannya bisa tepat serta efektif untuk mencapai sasaran-sasaran
yang diinginkan.

Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial


tidak hanya terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa
perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan
kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula.

Sejarah Awal, bukan hanya Coser saja yang tidak puas dengan
pengabaian konflik dalam pembentukan teori sosiologi. Setelah penampilan
karya Coser, seorang ahli sosiologi Jerman bernama Ralf Dahrendorf
menyadur teori kelas dan konflik kelasnya ke dalam bahasa Inggris yang
sebelumnya berbahasa Jerman agar lebih mudah dipahami oleh sosiolog
Amerika yang tidak paham bahasa Jerman saat kunjungan singkatnya ke
Amerika Serikat (1957-1958).

Dahrendorf tidak menggunakan teori Simmel melainkan membangun


teorinya dengan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta
memodifikasi teori sosiologi Karl Marx. Seperti halnya Coser, Ralf
Dahrendorf mula-mula melihat teori konflik sebagai teori parsial,
menganggap teori tersebut merupakan perspektif yang dapat dipakai untuk
menganalisis fenomena sosial.

Ralf Dahrendorf menganggap masyarakat bersisi ganda, memiliki


sisi konflik dan sisi kerja sama. Teori konflik muncul sebagai reaksi dari
munculnya teori struktural fungsional. Pemikiran yang paling berpengaruh
atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx. Pada
tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik
menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional.
20

Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang


masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas
secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat,
pada abad ke19 di Eropa, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas
pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu
struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum
proletar dalam proses produksi.

Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis


(false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri,
menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan
antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan
sosial besar, yaitu revolusi.

Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan


eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka. Ada beberapa asumsi dasar
dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural
fungsional, teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan
dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem
sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan
selamanya berada pada keteraturan.

Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami


konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga
melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori
konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas
yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi.
Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan
konflik karena adanya perbedaan kepentingan.

Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu diperlukan agar


terciptanya suatu perubahan sosial. Ketika struktural fungsional
mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi
pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial itu disebabkan
karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu,
masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama karena di
21

dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga


terciptalah suatu konsensus.

Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan adanya


“paksaan”, maksudnya keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya
karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat
hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Terdapat dua tokoh
sosiologi modern yang berorientasi serta menjadi dasar pemikiran pada
teori konflik, yaitu Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf. Selama lebih dari
dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap terikat pada model sosiologi dengan
tertumpu kepada struktur sosial, pada saat yang sama dia menunjukkan
bahwa model tersebut selalu mengabaikan studi tentang konflik sosial.

Oleh karena itu berdasarkan beberapa ahli sosiologi yang


menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda (teori fungsionalis dan
teori konflik), Coser mengungkapkan komitmennya pada kemungkinan
menyatukan kedua pendekatan tersebut. Coser memilih untuk
menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang secara potensial positif
yaitu membentuk serta mempertahankan struktur suatu kelompok tertentu.
Coser mengembangkan perspektif konflik karya ahli sosiologi Jerman
George Simmel. Seperti halnya Simmel, Coser tidak hanya mencoba
menghasilkan teori menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial,
karena ia yakin bahwa setiap usaha untuk menghasilkan suatu teori sosial
secara menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial adalah
premature (sesuatu yang sia-sia). Memang Simmel tidak pernah
menghasilkan risalah sebesar Emile Durkheim, Max Weber atau Karl Marx.
Namun, Simmel mempertahankan pendapatnya bahwa sosiologi bekerja
untuk menyempurnakan dan mengembangkan bentuk-bentuk atau konsep-
konsep sosiologi dimana isi dunia empiris dapat ditempatkan.

Penjelasan tentang teori konflik Simmel sebagai berikut: Simmel


memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam
masyarakat. Struktur sosial dilihatnya sebagai gejala yang mencakup
berbagai proses asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin terpisah-
pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisis. Menurut Simmel konflik
tunduk pada perubahan.
22

Coser mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel


tersebut dalam menggambarkan kondisi-kondisi dimana konflik secara
positif membantu struktur sosial. Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua,
yaitu:

Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan


tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan
kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada objek
yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok
kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan.

Konflik Non Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan


saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan
ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam
masyarakat yang buta huruf pembalasan dendam biasanya melalui ilmu
gaib seperti teluh, santet dll.

g. Teori Konflik Menurut Lewis A. Coser.

Selama lebih dari dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap terikat pada
model sosiologi dengan tertumpu kepada struktur sosial, pada saat yang
sama dia menunjukkan bahwa model tersebut selalu mengabaikan studi
tentang konflik sosial. Berbeda dengan beberapa ahli sosiologi yang
menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda (teori fungsionalis dan
teori konflik), Coser mengungkapkan komitmennya pada kemungkinan
untuk menyatukan kedua pendekatan tersebut.

Akan tetapi para ahli Sosiologi Kontemporer sering mengacuhkan


analisis konflik sosial, mereka melihatnya konflik sebagai penyakit bagi
kelompok sosial. Coser memilih untuk menunjukkan berbagai sumbangan
konflik yang secara potensial positif yaitu membentuk serta
mempertahankan struktur suatu kelompok tertentu. Coser mengembangkan
perspektif konflik karya ahli sosiologi Jerman George Simmel.

Penjelasan tentang teori konflik Simmel sebagai berikut : Simmel


memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam
masyarakat. Struktur sosial dilihatnya sebagai gejala yang mencakup
23

berbagai proses asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin terpisah-


pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisis. Menurut Simmel konflik
tunduk pada perubahan. Coser mengembangkan proposisi dan
memperluas konsep Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi-
kondisi dimana konflik secara positif dapat membantu struktur sosial dan
bila terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka masyarakat.

Konflik merupakan proses yang bersifat instrumental dalam


pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial, konflik dapat
menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok.
Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas
kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial
sekelilingnya.

Fungsi positif konflik dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok


yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Misalnya,
pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang mempertahankan
praktik-praktik ajaran katolik pra Konsili Vatican II) dan gereja Anglo Katolik
(yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan
wanita). Perang yang terjadi bertahun-tahun yang terjadi di Timur Tengah
telah memperkuat identitas kelompok Negara Arab dan Israel.

Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang


meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan-hubungan diantara
pihak-pihak yang bertentangan akan semakin menajam. Katup Penyelamat
(savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai
untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial.

7. Evaluasi

a. Jelaskan Teori Konflik Menurut Ralf Dahrendorf ?

b. Jelaskan Teori Konflik Menurut Lewis Coser dan Ralf Dahrendorlf ?


24

BAB III
EKSISTENSI DAN JENIS KONFLIK

8. Umum

Perubahan sosial di Indonesia saat ini memungkinkan terjadinya konflik


antar agama atau konflik antar umat beragama. Konflik-konflik tersebut telah ada
jauh sebelum era reformasi berembus. Banyak kejadian yang bernuansa
perbedaan. Konflik dan potensi konflik antar kelompok, golongan, dan agama di
Indonesia, perlu dipahami sebagai hal yang dinamis. Perubahan sosial dan politik
yang terjadi di Indonesia dengan begitu cepat, terutama setelah era reformasi,
turut memperkuat polaritas konflik sosial termasuk konflik antar kelompok umat
beragama.

9. Eksistensi Konflik

Dalam upaya menunjukan eksistensinya, manusia dihadapkan dengan


konflik eksistensi. Imajinasi yang terlalu tinggi, tanggapan orang lain tentang diri
kita, kapasitas diri, dan kondisi-kondisi lainnya adalah beberapa hal yang dapat
menimbulkan konflik eksistensi

Konflik eksistensi manusia pertama kali diperkenalkan oleh Jean Paul


Sarte, Filsuf ini banyak dipengaruhi oleh Husserl dan Heidegger, tetapi lebih
condong kepada Heidegger karena lebih realistis. Konsep Heidegger yang diambil
alih dan dimodifikasi adalah tentang ada dalam dunia. Sartre menyatakan bahwa
terdapat ada yang transenden. Sarte menunjukan ada beberapa bentuk.

Eksistensialisme adalah suatu humanisme. Humanisme eksistensialis


merupakan bentuk humanism baru karena pendirian dasarnya yang khas, yaitu
tidak ada universun apapun di luar universun manusia. Sarte kemudian membuat
empat ilustrasi tentang eksistensial yaitu:

a. Imajinasi; banyak kelemahan teori dan memuji keunggulan


pendekatan fenomenologi Hussel tentang gejala yang sama pada idem.

b. Emosi; sebagai jaringan cara-cara yang teratur untuk mencapai


tujuan tertentu.
25

c. Tatapan; ciri utama dari tatapan adalah mempunyai akibat nyata


pada kesadaran, yang mengalami dirinya ditatap orang lain, dan

d. Tubuh; gejala tubuh oleh Sarte dilihat dalam perspektif filsafat sosial
sehingga perhatian Sarte diarahkan pada tubuh sebagai objek penelitian
ilmiah.

10. Jenis Konflik

Para ahli memberikan ragam jenis mengenai konflik. Menurut Polak M,


konflik antara kelompok, konflik intern dalam kelompok, konflik antar individu untuk
mempertahankan hak dan kekayaan; dan konflik intern individu untuk mencapai
tujuan.

a. Menurut Handoko, jenis konflik antara lain konflik dalam diri individu,
konflik antar individu. Keberagaman peristiwa dari wujud konflik sosial
tersebut sesungguhnya dapat diklasifikasikan ke dalam enam kelompok
konflik sosial, yaitu :

1) Konflik Pribadi. Konflik pribadi merupakan pertentangan yang


terjadi secara individu yang melibatkan dua orang yang bertikai.

2) Konflik Kelompok. Konflik ini terjadi karena adanya


pertentangan antara dua kelompok dalam masyarakat.

3) Konflik Antar Kelas Sosial. Konflik antar kelas dapat terjadi


pada status sosial yang berbeda, yang dapat disebabkan oleh
perbedaan kepentingan atau perbedaan pandangan.

4) Konflik Rasial. Ras, yaitu sekelompok manusia yang memiliki


ciri-ciri badaniah yang sama dan berbeda dengan kelompok lainnya.

5) Konflik Politik. Politik merupakan salah satu aspek dalam


sistem sosial yang menyangkut masalah kekuasaan, wewenang, dan
pemerintahan.

6) Konflik Budaya. Konflik budaya adalah pertentangan yang


terjadi dalam masyarakat disebabkan oleh adanya perbedaan
budaya.
26

Dalam kehidupan sehari-hari sulit untuk membedakan antara


bentuk konflik sosial yang satu dan yang lainnya karena konflik
pribadi dapat memicu terjadinya konflik politik, konflik rasial, atau
konflik kelompok.

b. Berdasarkan bentuknya, konflik sosial dapat dikelompokan ke dalam


tiga kategori berdasarkan tingkatannya, yaitu konflik tingkat rendah, konflik
tingkat menengah, dan konflik tingkat tinggi.

1) Konflik Tingkat Rendah. Konflik tingkat rendah merupakan


konflik yang tidak rasional, bertujuan untuk membinasakan lawan
secara langsung dengan menggunakan kekerasan. Konflik ini
bersifat emosional yang dapat terjadi pada setiap individu atau
kelompok. misalnya perkelahian antar pelajar.

2) Konflik Tingkat Menengah. Pada tingkat ini konflik yang terjadi


merupakan pertentangan yang menggunakan strategi dengan tujuan
untuk mengalahkan lawan. Strategi yang digunakan mungkin dengan
cara kekerasan yang menggunakan pihak lain, memaksakan
kehendak atau memberikan pengaruh. Misalnya seorang calon
kepala desa menggunakan money politic untuk mengalahkan
lawannya.

3) Konflik Tingkat Tinggi. Konflik ini merupakan konflik yang


positif karena pertentangan yang terjadi berlangsung secara lebih
rasional berdasarkan pandangan yang berbeda, tetapi memiliki
dasar pemikiran atau argumen yang jelas.

Konflik ini terjadi pada debat pendapat atau dalam rangka mencari
solusi untuk suatu masalah sehingga tujuan utamanya adalah
ditemukannya kesamaan pendapat atau terpecahkannya masalah. Pihak
yang terlibat konflik tidak memperpanjang pertentangannya, baik yang
pendapatnya diterima maupun ditolak. Saat berakhirnya forum maka
berakhirnya pula konflik tersebut.

11. Evaluasi

a. Jelaskan Konflik Eksistensi menurut pandanganJean Paul Sarte ?

b. Jelaskan Pasis Jenis Konflik menurut Handoko ?


27

BAB IV
FAKTOR, FASE DAN TAHAPAN TERJADINYA KONFLIK

12. Umum

Dalam sosiologi, konflik merupakan gambaran tentang terjadinya


perselisihan, ketegangan atau pertentangan sebagai akibat dari perbedaan yang
muncul dalam kehidupan masyarakat, baik perbedaan secara individual maupun
perbedaan kelompok. Perbedaan tersebut dapat berupa perbedaan pendapat,
pandangan, penafsiran, pemahaman, kepentingan atau perbedaan yang lebih luas
dan umum, seperti perbedaan agama, ras, suku bangsa, bahasa, profesi,
golongan politik dan kepercayaan.

13. Faktor Terjadinya Konflik

Perbedaan individu terjadi berdasarkan perbedaan antar anggota


masyarakat secara perseorangan, baik secara fisik dan mental maupun
perbedaan material dan non material.

a. Perbedaan Fisik. Perbedaan fisik lebih menekankan pada keadaan


jasmaniah. Misalnya rupa, atau kecantikan, kesempurnaan indra dan
bentuk tubuh. Perbedaan mental, seperti kecakapan, kemampuan dan
keterampilan, pendirian atau perasaan, Adapun perbedaan material lebih
dicirikan dengan kepemilikan harta benda, misalnya orang kaya atau orang
miskin, dan perbedaan non-material berkenaan dengan status sosial
seseorang. Perbedaan tersebut menimbulkan pertikaian atau bentrokan di
antara anggota masyarakat.

b. Perbedaan Pola Kebudayaan. Perbedaan yang terdapat antar


daerah atau suku bangsa yang memiliki budaya yang berbeda, atau
terdapat dalam satu daerah yang sama karena perbedaan paham, agama,
dan pandangan hidup.

c. Perbedaan Status Sosial. Status sosial adalah kedudukan seseorang


dalam kelompok atau masyarakat, yang utuh mendapatkannya ada yang
bisa diusahakan dan ada pula status yang diperoleh dengan tanpa
28

diusahakan. Status yang diusahakan dapat dicapai melalui pendidikan,


orang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan berada pada status
sosial lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang berpendidikan rendah,
sedangkan status tanpa diusahakan dapat diperoleh melalui keturunan,
seperti kasta dalam agama Hindu atau kebangsawanan.

d. Perbedaan Kepentingan. Dalam memenuhi kebudayaan hidupnya,


manusia memiliki kepentingan dan usaha yang berbeda, baik kebutuhan
dasar maupun kebutuhan sosial, yang dapat menimbulkan pertentangan
antar individu atau kelompok. Pada masyarakat nomaden sering terjadi
pertikaian antar kelompok untuk mendapatkan daerah yang subur,
sedangkan pada masyarakat industri sering terjadi perselisihan untuk
mendapatkan bahan baku atau konsumen dan dalam aspek kehidupan
politik terjadi perselisihan antar kelompok untuk mendapatkan partisipan.

14. Fase Terjadinya Konflik

Konflik dapat terjadi melalui beberapa fase. Fase-fase terjadinya konflik


kekerasan adalah sebagai berikut :

a. Fase pertama, tahap pendahuluan. Pada fase ini faktor struktural


telah menjadi lahan subur yang kondusif untuk meledaknya konflik
kekerasan.

b. Fase kedua, adalah tahap titik didih. Pada tahap ini faktor struktural
penyebab konflik kekerasan telah kondusif bagi meledaknya konfrontasi
terbuka yang saling memendam rasa permusuhan.

c. Fase ketiga, yaitu tahap peredam konflik. Pada tahap ini setiap hal
yang mengarah pada timbulnya konflik baru harus segera ditangkal sedini
mungkin.

Konflik sosial tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi muncul karena


adanya faktor pemicu. Terdapat dua faktor yang menjadi pemicu terjadinya
konflik sosial, yaitu persaingan dan kontravensi.
29

15. Tahapan Terjadinya Konflik.

Konflik biasanya mengikuti suatu pola yang teratur, yang terdiri dari empat
macam tahapan. Adapun tahapan konflik sebagai berikut :

a. Pertama-tama timbul suatu krisis tertentu. Disini terlihat adanya


bahaya potensial tertentu, mereka mengancam pengoperasian secara
harmonis serta eksistensi organisasi yang bersangkutan mulai terlihat
pertentangan paham secara serius.

b. Kedua. Gejala eskalasi ketidak sesuaian paham terjadi. Konflik yang


berlangsung, mulai menarik perhatian pihak manajemen, dirasakan perlu
adanya tindakan-tindakan korektif tertentu walaupun pada tahapan ini hal
tersebut tidak terduga.

c. Ketiga. Konfrontasi menjadi pusat perhatian. Pada tahapan ini


konfrontasi menjadi pusat perhatian, hal tersebut menyebabkan diadakanya
pembicaraan-pembicaraan antara para manajer yang menduduki peringkat
lebih tinggi, pada tahapan ini biasanya disampaikan janji-janji untuk meneliti
keluhan-keluhan yang ada, dan kemudian orang mulai menyusun sebuah
rencana untuk tindakan selanjutnya.

d. Keempat. Krisis selanjutnya dialihkan dalam arti, dilakukannya


penelitian tentang apakah keluhan-keluhan yang disampaikan dapat
dibenarkan atau tidak, dipersoalkan proses prosedur-prosedur yang
diusulkan untuk kemudian diambil keputusan penerimaan atau penolakan.

Menghadapi konflik. Apabila kita mengetahui adanya sesuatu konflik,


maka sebaiknya pertama-tama kita mengetahui eksistensinya, dan kemudian
perlu mengidentifikasi orang-orang yang berhubungan dengannya. Perlu kita
meneliti pikiran orang-orang lain, guna mendapatkan kepastian siapa mereka itu,
dan janganlah kita beranggapan bahwa kita telah mengetahuinya, dalam kondisi
demikian perlu kita menghindari penggunaan nama-nama julukan yang
menyinggung perasaan pribadi.

Lokasi Konflik. Konflik dapat terjadi antar individu, antar kelompok dan
antar organisasi, apabila dua orang individu masing-masing berpegang pada
30

pandangan yang sama sekali bertentangan satu sama lain, dan mereka tidak
pernah berkompromi, dan masing-masing menarik kesimpulan-kesimpulan
berbeda-beda, dan apabila mereka cenderung bersifat tidak toleran, maka dapat
dipastikan akan timbulnya konflik tertentu. Dengan perkataan lain persepsi
memainkan peranan penting dalam pembentukan dan pemeliharaan posisi-posisi
konflik, konflik kelompok bersifat umum, dan hal tersebut mungkin lebih penting
dalam bidang manajemen.

16. Evaluasi

a. Jelaskan faktor – faktor terjadinya konflik ?

b. Sebutkan fase – fase terjadinya konflik ?

c. Jelaskan tahapan – tahapan terjadinya konflik ?


31

BAB V
IMPLEMENTASI TEORI MODEL MANAJEMEN KONFLIK
DAN PENDEKATAN HUKUM

17. Umum.

Bila telah melakukan identifikasi dan klasifikasi konflik yang terjadi serta
efek yang ditimbulkan, maka harus memiliki langkah ataupun strategi untuk
mengatasi konflik tersebut Dengan demikian, langkah yang baik sekali dalam
memanajemen konflik adalah mengklasifikasikan peristiwa dan
mengidentifikasikan apa yang anda lakukan secara pribadi, siapa yang terlibat dan
apakah konflik telah menyebar atau menjadi konflik yang lebih luas melibatkan
banyak orang.

18. Model Manajemen Penyelesaian Konflik

Selanjutnya menentukan strategi, antara lain membahas 5 pendekatan atau


model penyelesaian konflik berdasarkan pendapat Dr. William Hendricks, yang
dapat anda gunakan sesuai dengan kondisi konflik yang terjadi.

a. Model penyelesaian konflik dengan mempersatukan (Integrating)

Individu yang memilih model ini perlu melakukan tukar menukar


informasi. Pada pendekatan ini diperlukan adanya keinginan untuk
mengamati perbedaan dan mencari solusi yang dapat diterima oleh semua
kelompok. Model penyelesaian konflik jenis ini secara tipikal diasosiasikan
dengan pemecahan masalah, efektif bila isu konflik adalah kompleks.

Model integrating mendorong tumbuhnya berpikir kreatif (creative


thinking), sehingga mengembangkan alternatif merupakan kekuatan model
ini. Penyelesaian konflik dengan mempersatukan menekankan diri sendiri
dan orang lain dalam mensintesiskan informasi dari perspektif yang
divergen (berbeda). Sebaliknya, penyelesaian konflik model ini tidak efektif
bila kelompok yang berselisih kurang memiliki komitmen atau kurang
meluangkan waktu, karena model ini membutuhkan waktu yang sangat
panjang. Penyelesaian dengan model ini juga dapat menimbulkan frustasi
32

terutama dalam konflik tingkat tinggi karena penalaran dan pertimbangan


rasional seringkali dikalahkan oleh komitmen emosional untuk suatu posisi.

b. Model penyelesaian konflik dengan kerelaan untuk membantu


(obliging)

Penyelesaian konflik model obliging menempatkan nilai yang tinggi


untuk orang lain sementara dirinya sendiri dinilai rendah. Model ini dapat
anda gunakan sebagai strategi yang sengaja dimunculkan untuk
mengangkat atau menghargai orang lain, agar mereka merasa lebih baik
dan senang terhadap isu konflik. Penggunaan model rela membantu orang
lain dengan menaikkan status pihak lain akan bermanfaat, terutama jika
peran anda dalam suatu ruang (situasi) tidak berada dalam posisi yang
membahayakan.

Strategi rela membantu berperan dalam menyempitkan perbedaan


antar kelompok dan mendorong mereka untuk mencari persamaan yang
mendasar. Perhatian yang lebih terhadap orang lain menyebabkan seorang
individu merasa puas dan merasa keinginannya terpenuhi oleh pihak lain,
kadang-kadang mengorbankan sesuatu yang penting bagi dirinya sendiri.
Model obliging bila digunakan secara efektif, dapat mengawetkan dan
melanggengkan hubungan. Penyelesaian konflik model ini tanpa disadari,
dapat dengan cepat membuat orang untuk rela mengalah, misalnya muncul
ungkapan bernada mengalah "tidak usah menunggu saya".

c. Model penyelesaian konflik dengan mendominasi (dominating).

Model dominating adalah lawan dari model obliging, penekanannya


pada diri sendiri. Dimana kewajiban bisa diabaikan oleh keinginan pribadi,
model mendominasi ini meremehkan kepentingan orang lain. Model ini
adalah strategi yang efektif bila suatu keputusan yang cepat dibutuhkan
atau jika persoalan tersebut kurang penting.

Strategi mendominasi dapat menjadi reaksioner, yang digerakkan


oleh mekanisme mempertahankan diri. Model ini tercermin dalam sebuah
penyerangan untuk menang yang diekspresikan melalui falsafah "Lebih
baik menembak daripada ditembak". Jika isu itu signifikan, model dominasi
33

akan memaksa orang lain untuk menaruh perhatian pada seperangkat


kebutuhan spesifik.

Penyelesaian konflik dengan model dominasi sangat membantu jika


disini kurang pengetahuan atau keahlian mengenai isu yang menjadi
konflik. Ketidakmampuan untuk menyediakan tenaga ahli yang memberikan
nasehat atau yang dengan tegas menyampaikan isu inilah pangkal dari
model mendominasi. Model ini juga paling banyak diasosiasikan dengan
gertakan dan "hardball tactic" dari para pialang kekuasaan.

d. Model penyelesaian konflik dengan menghindar (avoiding)

Para penghindar tidak menempatkan suatu nilai pada diri sendiri


ataupun orang lain. Model ini adalah strategi menghindar dari persoalan.
Penyelesaian konflik model ini memiliki aspek negatif diantaranya
menghindar dari tanggung jawab atau mengelak dari suatu isu. Seorang
pemimpin yang menggunakan strategi ini akan lari dari peristiwa yang
dihadapi, meninggalkan pertarungan untuk mendapatkan hasil.
Bila suatu isu tidak penting, tindakan menangguhkan dibolehkan untuk
mendinginkan konflik yang terjadi - inilah penggunaan model penyelesaian
konflik menghindar yang paling efektif. Namun dilain pihak, model ini dapat
membuat frustasi orang lain karena jawaban penyelesaian konflik demikian
lambat. Rasa kecewa biasanya berpangkal dari model penyelesaian konflik
dengan menghindar, dan konflik cenderung meledak bila gaya ini
digunakan.

e. Model penyelesaian konflik dengan kompromis (compromising)

Dalam model ini perhatian pada diri sendiri maupun orang lain
berada dalam tingkatan yang sedang. Hal ini adalah orientasi jalan tengah.
Dalam model kompromi, setiap orang memiliki sesuatu untuk diberikan dan
siap menerima sesuatu. Kompromi paling efektif sebagai alat bila isu itu
kompleks atau bila ada keseimbangan kekuatan. Kompromi dapat menjadi
pilihan bila model lain gagal dan dua kelompok mencari jalan tengah.
Kompromi bisa menjadi pemecah perbedaan atau pertukaran konsesi.
Kompromi hampir selalu dijadikan sarana oleh semua kelompok yang
34

berselisih untuk memberikan sesuatu, untuk mendapat jalan keluar atau


pemecahan.

Lima model penyelesaian konflik memberikan suatu struktur untuk


bertindak. Pengetahuan tentang model penyelesaian konflik meningkatkan
pemahaman kita terhadap konflik. Jadi, anda harus tahu model manajemen
konflik dan memilih alternatif terbaik untuk situasi tertentu. Ini memerlukan
kemampuan untuk memisahkan emosi anda dari peristiwa dan secara
sadar memilih strategi dengan hati-hati.

Teori penyelesaian konflik dan pendekaan hukum ketika


penyelesaian konflik nasional melalui pendekatan keamanan. Mengingat
masih adanya keragu-raguan tentang implementasi pelibatan TNI kepada
Polri yang seyogyanya dapat dipahami lebih jauh maka bagaimana tentang
landasan hukum pelibatan bantuan TNI kepada Polisi, Undang Undang
Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan aturan pelibatan lainnya yang
berlaku. Dapat dibaca pada Buku Petunjuk Pelaksanaan tentang
Perbantuan TNI kepada Polisi dalam rangka Kamtibmas Nomor
Perpang/71/VIII/ 2011 tanggal 19 Agustus 2011, dan Buku Petunjuk
Pelaksaan tentang Pedoman Perbantuan TNI AD kepada Polisi dalam
tugas Kamtibmas Nomor Perkasad/89/XI/2009 tanggal 30 November 2009,
serta Aturan Pelibatan/Rule of Engagement (RoE) dalam Pengamanan
Pemilu 2019. Guna menghindari keragu-raguan bertindak prajurit di
lapangan harus betul-betul dipahami dan diperjelas dengan praktik dan
penjelas tambahan lain oleh pihak yang menguasi aturan, undang-undang,
peraturan tambahan lain tentang hukum kepada seluruh prajurit.

1) Teori Resolusi Konflik Cara Penyelesaian Konflik Politik.


Konflik merupakan faktor yang turut membangun perkembangan
masyarakat. Konflik akan bisa membangun solidaritas kelompok
dan hubungan antar warga negara maupun antar kelompok. Konflik
tidak bisa dihindari oleh setiap aktor, namun yang paling penting
adalah cara untuk menyelesaikan konflik agar ancaman (threat)
bisa menjadi kesempatan (oppurtunity) dan bahaya timbulnya
konflik terbuka secara meluas dilokalisasi dengan membangun
35

suatu model pencegahan dan penanggulangan dini (Sihbudi dan


Nurhasim, ed., 2001).

2) Suatu kebiasaan khas dalam konflik adalah memberikan


prioritas yang tinggi guna mempertahankan kepentingan pihaknya
sendiri (Hugh Miall dkk, 1999). Jika kepentingan si A bertentangan
dengan kepentingan B, A cenderung mengabaikan kepentingan B,
atau secara aktif menghancurkannya. Menurut Miall (1999), pihak-
pihak yang berkonflik biasanya cenderung melihat kepentingan
mereka sebagai kepentingan yang bertentangan secara diametrikal,
oleh karena itu, Miall (1999), berkesimpulan bahwa hasil yang
diperoleh adalah hasil kalah-menang.

3) Untuk itu, menurut Dahrendorf (1984), perlu diadakan suatu


peraturan pertentangan yang mensyaratkan tiga faktor. Pertama,
kedua kelompok yang terlibat dalam pertentangan harus mengakui
pentingnya dan nyatanya situasi pertentangan dan dalam hal ini,
mengakui keadilan fundamental dari maksud pihak lawan.
Pengakuan adilnya maksud lawan tentu saja bukan berarti bahwa
subtansi kepentingan lawan harus diakui sebagai adil dari awal.
Pengakuan di sini berarti bahwa kedua kelompok yang
bertentangan menerima untuk apa pertentangan itu, yakni
menerimanya sebagai suatu hasil pertumbuhan yang tak
terelakkan.

4) Syarat kedua, adalah organisasi kelompok-kelompok


kepentingan. Selama kekuatan-kekuatan yang bertentangan itu
terpencar-pencar dalam kesatuan yang kecil yang masing-masing
erat ikatannya, peraturan pertentangan tidak akan efektif. Dan
ketiga, adanya keharusan bagi kelompok- kelompok yang
berlawanan dalam pertentangan sosial menyetujui aturan formal
tertentu yang menyediakan kerangka hubungan bagi mereka.

5) Berdasarkan buku panduan pengelolaan konflik yang


dikeluarkan oleh The British Council (2001), bahwa penyelesaian
suatu konflik yang terjadi dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
36

suatu proses untuk memungkinkan pihak-pihak yang berkonflik


untuk mendiskusikan berbagai kemungkinan pilihan dan mencapai
penyelesaian melalui interaksi tatap muka. Mediasi, suatu proses
interaksi yang dibantu oleh pihak ketiga sehingga pihak-pihak yang
berkonflik menemukan penyelesaian yang mereka sepakati sendiri.
Arbitrasi atau perwalian dalam sengketa, tindakan oleh pihak ketiga
yang diberi wewenang untuk memutuskan dan menjalankan suatu
penyelesaian.

6) Secara tradisional, tugas penyelesaian konflik adalah


membantu pihak-pihak yang merasakan situasi yang mereka alami
sebagai sebuah situasi zero-sum (keuntungan diri sendiri adalah
kerugian pihak lain). Agar melihat konflik sebagai keadaan non-
zero-sum (dimana kedua belah pihak dapat memperoleh hasil atau
keduanya sama-sama tidak memperoleh hasil) dan kemudian
membantu pihak- pihak yang berkonflik berpindah ke arah hasil
yang positif (Miall dkk, 1999). Untuk menciptakan hasil non-zero-
sum, Miall (1999) mewajibkan akan adanya pihak yang berfungsi
menyelesaikan konflik.

7) Menurut Nurhasim (Prisma, 1997), pola penyelesaian konflik


mengacu pada pendekatan manajemen konflik politik dan teori
strukturalis semi otonom. Kedua paradigma ini melihat keterlibatan
negara (pemerintah) sebagai penengah munculnya konflik yang
terjadi dalam masyarakat. Negara memainkan peran dalam
mengelola konflik yang terjadi di masyarakat sehingga dapat
ditransformasikan menjadi konsensus.

8) Sementara teori strukturalis semi otonom mempersepsikan


negara sebagai lembaga politik yang lebih otonom. Negara
dianggap lebih berperan sebagai penengah konflik antara berbagai
kelompok kepentingan sehingga pembangunan (kebijakan)
dipandang sebagai upaya untuk menengahi konflik yang terjadi
(Nurhasim, Prisma, 1997).
37

9) Negara dalam kedua terminologi tersebut dipersonifikasikan


baik secara individual maupun lembaga. Nordlinger, seperti yang
dikutip oleh Nurhasim (Prisma, 1997) melihat negara secara
subjektif atau dalam perangkat analisis individual, yaitu individu
yang menduduki posisi yang memiliki kewenangan membuat dan
melaksanakan keputusan yang mengikat semua pihak yang ada di
wilayah tertentu. Termasuk dalam kategori ini adalah presiden,
menteri, dan para kepala daerah. Sementara Kresner dan Scotpol
(Prisma, 1997) melihat negara dalam arti lembaga dan individu,
seperti Mahkamah Agung (MA), militer, kehakiman dan lain- lain.

10) Sementara Miall (1999) membedakan pihak ketiga atas dua,


yaitu: arbitrasi dan mediasi. Arbitrasi merupakan penyelesaian
konflik oleh pihak ketiga yang memiliki sumber kekuasaan, mampu
melakukan tekanan, intervensi terhadap pihak-pihak yang berkonflik
agar dapat selesai (Miall, 1999). Sedangkan mediasi adalah
penyelesaian konflik oleh pihak ketiga yang tidak mempunyai
kekuasaan atau kemampuan untuk menindas pihak-pihak yang
berkonflik agar konflik selesai (Miall, 1999). Menurut Dahrendorf
(1986) kelompok ketiga ini dikenal dengan istilah penengah atau
mediasi, dan arbitrasi atau penghakiman.

Penanganan Konflik Sosial menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7


tahun 2012 adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan
terencana dalam situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun sesudah
terjadi konflik yang mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik, dan
pemulihan pasca konflik.

19. Implementasi UU No. 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.

Menurut Undang-Undang Nomor 7 tahun 2012 , dalam penanganan konflik


harus mencerminkan asas kemanusiaan, hak asasi manusia, kebangsaan,
kekeluargaan, mengacu pada bhineka tunggal ika, keadilan, kesetaraan gender,
ketertiban, dan kepastian hukum. Juga mencerminkan keberlanjutan, kearifan
lokal, tanggung jawab negara, partisipatif, tidak memihak, dan tidak membeda-
bedakan.
38

Tujuan penanganan konflik sosial, menurut Pasal 3 Undang-Undang


ini, adalah menciptakan kehidupan masyarakat yang aman, tenteram, damai dan
sejahtera. Lalu memelihara kondisi damai dan harmonis dalam hubungan sosial
kemasyarakatan. Meningkatkan tenggang rasa dan toleransi, memelihara fungsi
pemerintahan, melindungi jiwa, harta benda, serta sarana dan prasarana umum.
Serta memberikan perlindungan dan pemenuhan hak korban, dan memulihkan
kondisi fisik dan mental masyarakat serta sarana dan prasarana umum.

Dalam mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012


tentang Penanganan Konflik Sosial, Pemerintah telah menerbitkan PP No. 2
Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Peraturan tersebut diharapkan dapat
melindungi dan memberikan rasa aman bagi masyarakat secara optimal serta
penanganan konflik sosial secara komprehensif, terkoordinasi, dan terintegrasi.

Dalam Peraturan Pemerintah tentang peraturan pelaksanaan penanganan


konflik sosial ini mengatur ketentuan mengenai pencegahan konflik, tindakan
darurat penyelamatan dan perlindungan korban, bantuan penggunaan dan
kekuatan TNI, pemulihan pasca konflik, peran serta masyarakat, pendanaan
penanganan konflik, dan monitoring dan evaluasi.

Melalui peraturan ini, pemerintah dan pemerintah daerah diberikan


kewenangan untuk melaksanakan pencegahan konflik melalui penyelenggaraan
kegiatan :

a. Penguatan kerukunan umat beragama;

b. peningkatan forum kerukunan masyarakat;

c. peningkatan kesadaran hukum

d. pendidikan bela negara dan wawasan kebangsaan;

e. sosialisasi peraturan perundang-undangan;

f. pendidikan dan pelatihan perdamaian;

g. pendidikan kewarganegaraan;

h. pendidikan budi pekerti;


39

i. penelitian dan pemetaan wilayah potensi konflik dan/atau daerah


konflik;

j. penguatan kelembagaan dalam rangka sistem peringatan dini;

k. pembinaan kewilayahan;

l. pendidikan agama dan penanaman nilai-nilai integrasi kebangsaan;

m. penguatan/pengembangan kapasitas (capacity building);

n. pengetasan kemiskinan;

o. desa berketahanan sosial;

p. penguatan akses kearifan lokal;

q. penguatan keserasian sosial; dan

r. bentuk kegiatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-


undangan

Selain itu dalam melakukan pencegahan konflik, pemerintah dan


pemerintah daerah harus mengoptimalkan penyelesaian perselisihan secara
damai melalui musyawarah mufakat dengan melibatkan tokoh masyarakat seperti
tokoh agama, tokoh adat dan atau unsur masyarakat lainnya termasuk pranata
adat dan pranata sosial.

Adapun tindakan darurat penyelamatan dan perlindungan korban yang


dilakukan pemerintah dan pemerintah daerah itu di antaranya meliputi sejumlah
tindakan, yakni :

a. Penyelamatan, evakuasi, dan identifikasi korban konflik;

b. Pemenuhan kebutuhan dasar korban konflik;

c. Pemenuhan kebutuhan dasar pengungsi, termasuk kebutuhan


spesifik perempuan, anak-anak, dan kelompok orang yang berkebutuhan
khusus;

d. Perlindungan terhadap kelompok rentan;

e. Sterilisasi tempat yang rawan konflik;


40

f. Penegakan hukum; dan

g. Penyelamatan harta benda korban.

Peraturan Pemerintah ini pun mengatur keterlibatan TNI dalam


penanganan konflik sosial. Bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI
untuk penghentian konflik dilaksanakan setelah adanya penetapan status keadaan
konflik oleh pemerintah daerah atau pemerintah. Bantuan penggunaan dan
pengerahan kekuatan TNI dilakukan untuk menghentikan kekerasan fisik,
melaksanakan pembatasan dan penutupan kawasan konflik untuk sementara
waktu.

20. Evaluasi

a. Sebutkan dan Jelaskan Langkah atau Strategi Dalam Manajemen


Konflik ?

b. Sebutkan dan Jelaskan macam – macam Model Manajemen


Penyelesaian Konflik ?

c. Apa yang dimaksud dengan suatu kebiasaan khas dalam konflik,


Jelaskan ?

d. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Arbitrasi dan Mediasi ?

e. Jelaskan Cara Pencegahan Konflik berdasarkan kewenangan


Pemerintah dan Pemerintah daerah ?

f. Jelaskan tindakan darurat penyelamatan dan perlindungan korban


yang dilakukan pemerintah dan pemerintah daerah jika terjadi konflik sosial
yang luas ?
41

BAB VI

EVALUASI AKHIR

21. Evaluasi.

a. Jelaskan Teori konflik menurut pendapat Ralf Dahrendorf ?

b. Jelaskan Tahapan-tahapan konflik ?

c. Jelaskan Teori Konflik Menurut Lewis A. Coser ?

d. Jelaskan Menurut Handoko tentang jenis-jenis konflik ?

e. Berdasarkan bentuknya, konflik sosial dapat dikelompokan ke dalam


tiga kategori, Jelaskan bentuk konflik tingkat menengah ?

f. Teori konflik yang dikemukakan Ralf Dahrendorf bahwa dalam suatu


perubahan pada hakikatnya masyarakat memiliki dua sisi. Jelaskan kedua
sisi tersebut ?

g. Jelaskan Konflik karena adanya pertentangan antara dua kelompok


dalam masyarakat?

h. Sebutkan dan Jelaskan faktor terjadinya konflik ?

i. Faktor terjadinya konflik terdiri dari beberapa macam diantaranya


Perbedaan Fisik, Jelaskan Perbedaan Fisik tersebut ?

j. Fase-fase terjadinya konflik kekerasan terdiri dari tiga fase. Jelaskan


fase ketiga ?

k. Bagaimana implementasi UU No. 7 Tahun 2012 tentang


Penanganan Konflik Sosial?

l. Jelaskan peran TNI dalam Penanganan Konflik Sosial!


42
KONFIDENSIAL

42

BAB VII

PENUTUP

22. Penutup.

Demikian Naskah Departemen ini disusun sebagai bahan ajaran untuk


pedoman bagi dosen dan perwira siswa dalam proses belajar mengajar Teori-teori
Konflik pada Pendidikan Reguler Seskoad.

a.n. Komandan Seskoad


Kadep Masstra Seskoad,

Asep Ridwan, S.E.,M.Si.


Kolonel Kav NRP 32719

Anda mungkin juga menyukai