1. Umum. Provinsi Papua Barat memiliki potensi yang sangat luar biasa baik itu
pertanian, pertambangan, hasil hutan maupun pariwisata. Mutiara dan rumput laut banyak
dihasilkan dari Kepulauan Raja Ampat. Sedangkan satu-satunya industri tradisional tenun ikat
yang juga disebut Kain Timor dihasilkan dari provinsi ini tepatnya dari Kabupaten Sorong
Selatan. Sementara sirup pala harum dapat diperoleh di Kabupaten Fak-Fak serta beragam
potensi lainnya. Selain itu, pariwisata juga menjadi salah satu andalan Provinsi Papua Barat
seperti Taman Nasional Teluk Cendrawasih yang berada di Kabupaten Teluk Wondana,
Taman Nasional Lorenz, Keindahan Kepulauan Raja Ampat dan banyak lagi yang lainnya.
pertambangan besar gas bumi Liquid Natural Gas (LNG) yang dilakukan oleh
BP Tangguh. Penggalian selama ini belum memberikan hasil yang cukup
signifikan bagi perekonomian Provinsi Papua Barat, meski demikian memiliki
kecenderungan untuk terus meningkat. Tambang LNG ini diperkirakan memiliki
kandungan gas alam cair yang besar dan termasuk tiga produsen LNG terbesar
di Indonesia. Besarnya PDRB atas dasar harga berlaku sektor pertambangan
dan penggalian Papua Barat Tahun 2016 mencapai 2.895,69 miliar Rupiah. Nilai
tersebut setara dengan 5,69 % dari total PDRB Papua Barat yang mencapai
50.908,7 miliar Rupiah. Kontribusi sektor ini adalah yang terbesar keenam di
Papua Barat setelah sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (6,90%) dan
sektor Jasa-jasa (6,72%). Selain itu, juga terdapat beberapa daerah yang
memiliki potensi galian logam namun belum dilakukan eksplorasi lebih lanjut.
Batubara sebagai salah satu barang galian juga cukup potensial di Provinsi
Papua Barat.
Sumberdaya mineral non logam yang tersebar di sejumlah daerah di
Provinsi Papua Barat mencapai juta-an Ton dan bisa menjadi sumber
pendapatan yang potensial untuk menjalankan pembangunan di wilayah
tersebut. Adapun mineral non logam yang layak digarap secara ekonom
meliputi : batugamping, kaolin dan kuarsit atau marmer yang termasuk
lkelompok mineral industri. Selain itu, terdapat pula bahan galian yang tergolong
bahan bangunan yaitu andesit, granit, pasir dan batu (sirtu). Sedangkan dari
kelompok bahan keramik ditemukan lempung dalam jumlah yang cukup
melimpah dan layak ditambang. Bahan-bahan galian tersebut tersebar di
Kota/Kabupaten Sorong, Sorong Selatan, Manokwari, Teluk Bintuni dan Teluk
Wondama. Adapun total sumberdaya batugamping sebesar 2.238,8 juta ton dan
dapat ditemukan di Bukit Tuwanwowoi-Maruni, kecamatan Manokwari,
Kabupaten Manokwari. Selain itu, batugamping jga ditemukan di daerah Ransiki
(Kabupaten Manokwari), daerah klademak (kabupaten sorong), daerah Skendi
(Kabupaten Maybrat) dan Kampung Nanimori (Kabupaten Teluk Wondama).
Sementara itu, sumberdaya bahan galian andesit berjumlah 13 juta ton, granit
5,8 juta ton, kaolin 20 ribu ton, marmer mencapai 1 juta ton dan lempung
3.172,52 juta ton. Andesit dapat ditemukan di daerah Bukit Cenderawasih,
Kabupaten Sorong. Sedangkan granit bisa dijumpai di daerah Sungai Remu,
Kabupaten Sorong. Untuk bahan galian sirtu, total sumberdayanya mencapai
658,8 juta ton dan tersebar di beberapa daerah di KabupatenManokwari,
Kabupaten Sorong dan Kabupaten Teluk Bintuni.
8
Tabel 3.1 Luas Sawah Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Pengairan (ha),
2015
Jenis Sawah
No. Kabupaten Irigasi Non Irigasi Jumlah
1. Fakfak 300 960 1,260
2. Kaimana - 4,057 4,057
3. Teluk Wondama 120 542 662
4. Teluk Bintuni 475 77 552
5. Manokwari 3,348 1,525 4,873
6. Sorong Selatan - 125 125
7. Sorong 1,903 4,234 6,137
8. Raja Ampat 375 580 955
9. Tambrauw - - -
10. Maybrat - - -
11. Kota Sorong 980 60 1,040
12. Manokwari Selatan - - -
13. Pegunungan Arfak - - -
Jumlah 7.501 12.160 19.661
10
Selain sawah, Provinsi Papua Barat juga memiliki lahan tegal dengan
luasan keseluruhan sebesar 6.523 ha yang tersebar di 6 kabupaten/kota.
Wilayah dengan luasan lahan tegal terbesar adalah Kabupaten Sorong (4.707
ha), diikuti Kabupaten Manokwari Selatan seluas 1.112 ha, dan Kabupaten
Teluk Wondama seluas 351 ha. Ladang di Provinsi Papua Barat pada tahun
2015 adalah seluas 662.818 ha yang tersebar di seluruh wilayah
kabupaten/kota. Luasan ladang tertinggi di Provinsi Papua Barat berada di
Kabupaten Pegunungan Arfak yaitu seluas 415.678 ha, diikuti Kabupaten
Fakfak seluas 70.114 ha, dan Kabupaten Sorong seluas 68.387 ha, sedangkan
luasan ladang terkecil berada di Kabupaten Teluk Wondama dengan luas
hanya sebesar 538 ha. Sesungguhnya Provinsi Papua Barat masih memiliki
lahan yang luas untuk pengembangan berbagai jenis tanaman pangan.
Luasan lahan yang tidak diusahakan (temporarily unused) di Provinsi Papua
Barat pada tahun 2015 adalah seluas 2.087.099 ha dengan luasan tertinggi
berada di Kabupaten Sorong Selatan (1.147.949 ha). Wilayah lain yang
memiliki lahan yang luas (lebih dari 100.000 ha) untuk pengembangan
beerbagai komoditas pertanian diantaranya adalah Kabupaten Sorong
(359.773 ha), Kabupaten Sorong (359.773 ha), Kabupaten Fakfak (226.582
ha), Kabupaten Raja Ampat (213.906 ha), dan Kabupaten Maybrat (113.065
ha).
Luas panen padi sawah di Provinsi Papua Barat selama periode 2011-
2015 cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 2011, luas panen padi
sawah adalah seluas 6.898 ha, kemudian menurun menjadi 6.592 ha pada
tahun 2012, selanjutnya pada tahun 2013 terjadi peningkatan luas panen
menjadi 6.794 ha, dan pada tahun 2015 meningkat kembali menjadi 6.800 ha.
Berbeda dengan luas panen yang cenderung menurun, produksi padi sawah
di Provinsi Papua Barat selama periode 2011-2015 justru mengalami
peningkatan. Produksi padi sawah pada tahun 2011 adalah sebesar 25.599
ton yang terus meningkat hingga tahun 2013 menjadi sebesar 27.995 ton,
selanjutnya pada tahun 2014 produksi mengalami penurunan menjadi
sebesar 26.104 ton, dan pada tahun 2015 mencapai produksi tertinggi
menjadi sebesar 29.243 ton.
Dengan luas panen yang mengalami penurunan namun diimbangi
dengan peningkatan produksi, maka produktivitas lahan padi sawah di Provinsi
Papua Barat dapat dikatakan mengalami peningkatan selama periode 2011-
2015. Pada tahun 2011, produktivitas lahan padi sawah adalah sebesar 3,71
11
ton/ha kemudian meningkat setiap tahun menjadi sebesar 4,30 ton/ha pada
tahun 2015. Jika dibandingkan dengan produktivitas padi nasional yang
mencapai 5,34 ton per ha, maka produktivitas lahan padi sawah di Provinsi
Papua Barat belum dapat dikatakan optimal karena masih ada selisih sebesar
1 ton per ha. Walaupun produktivitas padi mengalami peningkatan setiap
tahun, namun masih ada potensi untuk peningkatan produktivitas melalui
pembangunan sarana prasarana pendukung usaha pertanian seperti saluran
irigasi, pengembangan bibit unggul, teknologi produksi lahan, dan tentunya
peningkatan kapasitas sumber daya manusia pertanian.
Tabel 3.2 Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi Sawah Provinsi
Papua Barat Menurut Kabupaten/Kota, 2015
Padi Sawah
No. Kabupaten
Luas Panen Produksi Produktivitas
(ha) (ton) (ton/ha)
1. Fakfak 580.00 2,281.00 3.93
2. Kaimana - - -
3. Teluk Wondama 9.00 36.00 4.00
4. Teluk Bintuni 305.00 1,255.00 4.11
5. Manokwari 3,723.00 16,090.00 4.32
6. Sorong Selatan - - -
7. Sorong 937.00 4,057.00 4.33
8. Raja Ampat 213.00 861.00 4.04
9. Tambrauw - - -
10. Maybrat - - -
11 Kota Sorong - - -
.
12. Manokwari Selatan 1,033.00 4,663.00 4.51
13. Pegunungan Arfak - - -
Jumlah 6.800,00 29.243,00 4,30
Dari data produksi dan luas lahan padi sawah di atas, dapat disimpulkan
bahwa dalam rangka pengembangan padi sawah ke depan, wilayah
potensialyang dapat dikembangan sebagai sentra produksi padi sawah di
provinsi Papua Barat adalah Kabupaten Manokwari dan Manokwari Selatan.
Selain padi yang dibudidayakan di sawah, produksi padi di Provinsi
Papua Barat juga berasal dari padi yang dibudidayakan di ladang. Sama
seperti padi sawah. Luas panen padi ladang di Provinsi Papua Barat selama
periode 2012-2015 juga mengalami penurunan. Pada tahun 2012, luas panen
padi ladang adalah seluas 1.158 ha kemudian menurun setiap tahun hingga
hanya menjadi seluas 374 ha pada tahun 2015. Jika padi yang dibudidayakan
di sawah produktivitasnya mengalami peningkatan, padi ladang justru
menunjukkan hasil yang berkebalikan dimana produktivitasnya mengalami
penurunan dari sebesar 2,72 ton/ha pada tahun 2012 menjadi sebesar 2,61
ton/ha pada tahun 2015. Dengan adanya penurunan luas panen dan
penurunan produktivitas, maka produksi padi ladang di Provinsi Papua Barat
mengalami penurunan dari sebesar 3.150 ton pada tahun 2012 menjadi hanya
sebesar 976 ton pada tahun 2015.
Tidak hanya menjadi produsen padi sawah terbesar, Kabupaten
Manokwari juga merupakan produsen padi ladang terbesar di Provinsi Papua
Barat. Pada tahun 2015, produksi padi ladang di Kabupaten Manokwari adalah
sebesar 274 ton. Wilayah lain yang memiliki produksi padi lading cukup tinggi
dengan produksi di atas 100 ton diantaranya adalah Kabupaten Teluk
Wondama yaitu sebesar 257 ton (26,33%), Kabupaten Sorong Selatan
sebesar 154 ton (15,78%), dan Kabupaten Kaimana sebesar 140 ton
(14,34%). Sementara itu, wilayah yang tidak memproduksi padi ladang adalah
Kabupaten Fakfak, Sorong, Raja Ampat, Maybrat, Pegunungan Arfak, dan
Kota Sorong.
Tabel 3.3 Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Jagung Provinsi Papua
Barat Menurut Kabupaten/Kota, 2015
Jagung
No. Kabupaten Luas Panen Produksi Produktivitas
(ha) (ton) (ton/ha)
1. Fakfak 4.00 7.00 1.75
2. Kaimana 7.00 12.00 1.71
3. Teluk Wondama 22.00 38.00 1.73
4. Teluk Bintuni 72.00 124.00 1.72
5. Manokwari 411.00 711.00 1.73
6. Sorong Selatan - - -
7. Sorong 293.00 507.00 1.73
8. Raja Ampat 255.00 443.00 1.74
9. Tambrauw 22.00 38.00 1.73
10. Maybrat 15.00 26.00 1.73
11. Kota Sorong 29.00 51.00 1.76
12. Manokwari Selatan 137.00 237.00 1.73
13. Pegunungan Arfak 40.00 70.00 1.75
jagung, produktivitas lahan kedelai di Provinsi Papua Barat juga lebih rendah
dibandingkan dengan rata-rata nasional yang telah mencapai 1,60 ton/ha. Jika
dirinci menurut wilayah, produsen terbesar kedelai di Provinsi Papua Barat
adalah Kabupaten Manokwari yaitu sebesar 769 ton (53,44%). Tingginya
produksi kedelai di Kabupaten Manokwari disebabkan wilayah tersebut
memiliki luas lahan terbesar dibanding wilayah lainnya yaitu sebesar 734 ha
(53,89%). Produsen terbesar kedua komoditi kedelai adalah Kabupaten
Fakfak yaitu sebesar 442 ton. Data tersebut menunjukkan bahwa kedua
wilayah tersebut merupakan sentra produksi kedelai dengan persentase
produksi mencapai 84,16%.
Selama periode 2011-2015, luas panen kacang tanah di Provinsi Papua
Barat cenderung fluktuatif. Pada tahun 2011, luas panen kacang tanah adalah
seluas 596 ha, kemudian mengalami penurunan menjadi 445 ha pada tahun
2012. Selanjutnya pada tahun 2013, terjadi peningkatan luas panen kacang
tanah menjadi seluas 600 ha, namun dalam kurun wakfu 2014-2015, terjadi
penurunan luas panen kacang tanah menjadi seluas 594 ha. Dari sisi produksi,
justru terjadi peningkatan produksi selama periode tersebut dari sebesar 625
ton menjadi sebesar 653 ton. Peningkatan produksi tersebut tentunya didorong
dengan semakin meningkatnya produktivitas lahan dari 1,05 ton per ha
menjadi sebesar 1,10 ton/ha. Seperti pada komoditas lain yang disebutkan di
atas, produktivitas lahan untuk kacang tanah di Provinsi Papua Barat lebih
rendah jika dibandingkan rata-rata nasional yaitu sebesar 1,33 ton per ha.
Produksi kacang tanah pada tahun 2015 berasal dari 10 kabupaten dimana
wilayah yang tidak memiliki produksi kacang tanah adalah Kabupaten Fakfak,
Kabupaten Pegunungan Arfak, dan Kota Sorong. Posisi pertama produsen
kacang tanah terbesar di Provinsi Papua Barat pada tahun 2015 ditempati oleh
Kabupaten Maybrat yaitu sebesar 169 ton. Wilayah lain yang memiliki produksi
kacang tanah tinggi adalah Kabupaten Manokwari yaitu sebesar 168 ton dan
Kabupaten Raja Ampat sebesar 136 ton. Dilihat dari sisi produktivitas, wilayah
yang memiliki produktivitas lahan kacang tanah tertinggi adalah Kabupaten
Tambrauw yaitu sebesar 1,20 ton per ha.
Pada komoditi kacang hijau, terjadi penurunan luas panen selama
periode 2011-2015 dari seluas 257 ha pada tahun 2011 menjadi seluas 112
ha pada tahun 2015. Dengan adanya penurunan luas panen, produksi kacang
hijau juga mengalami penurunan dari sebesar 264 ton (2011) menjadi 116 ton
(2015). Walaupun secara umum mengalami peningkatan, produktivitas kacang
15
hijau cenderung fluktuatif. Pada tahun 2011, produktivitas kacang hijau adalah
sebesar 1,03 ton per ha, kemudian meningkat hingga level tertinggi yaitu
sebesar 1,11 ton per ha, namun dalam periode 2013-2015, produktivitas
kacang hijau mengalami penurunan setiap tahun menjadi sebesar 1,04 ton/ha
pada tahun 2015. Wilayah yang memiliki produksi kacang hijau tertinggi adalah
Kabupaten Maybrat dengan produksi sebesar 33 ton, diikuti Kabupaten
Sorong sebesar 23 ton, dan Kabupaten Manokwari Selatan sebesar 20 ton.
Sementara itu, wilayah yang tidak memiliki lahan kacang hijau pada tahun
2015 adalah Kabupaten Fakfak, Raja Ampat, Pegunungan Arfak, dan Kota
Sorong.
Ubi kayu merupakan salah satu tanaman pangan utama di Provinsi
Papua Barat jika dilihat dari sisi produksi. Luas panen ubi kayu di Provinsi
Papua Barat selama periode 2011-2015 mengalami penurunan dari seluas
1.744 ha pada tahun 2011 menjadi seluas 987 ha pada tahun 2015. Dalam
periode tersebut terjadi penurunan lahann hampir 80%. Dengan adanya
penurunan luas lahan ubi kayu, produksi ubi kayu Provinsi Papua Barat selama
periode tersebut juga mengalami penurunan dari sebesar 20.440 ton pada
tahun 2011 menjadi sebesar 11.181 ton pada tahun 2015. Produksi ubi kayu
di Provinsi Papua Barat mengikuti pola peningkatan atau penurunan luas
panen, jika luas panen meningkat maka produksi juga akan meningkat, begitu
juga sebaliknya. Dari sisi produktivitas, terjadi juga penurunan dari sebesar
11,72 ton/ha (2011) menjadi sebesar 11,33 ton/ha (2015). Jika dibandingkan
dengan rata-rata produktivitas nasional pada tahun 2015, produktivitas lahan
ubi kayu Provinsi Papua Barat hanya setengah dari rata-rata nasional yang
telah mencapai 22,96 ton/ha.
Produksi ubi kayu pada tahun 2015 berasal dari 11 kabupaten/kota
dimana 2 wilayah yang tidak memiliki produksi ubi kayu adalah Kabupaten
Tambrauw dan Pegunungan Arfak. Luas panen ubi kayu terbesar berada di
tiga wilayah yaitu Kabupaten Sorong seluas 246 ha, diikuti Raja Ampat seluas
173 ha, dan Kota Sorong seluas 108 ha. Dengan tingginya luas panen pada
ketiga wilayah tersebut, maka produksi ubi kayu terbesar di Provinsi Papua
Barat juga berasal dari tiga wilayah yaitu Kabupaten Sorong sebesar 2.799 ton
(25,03%), disusul Kabupaten Raja Ampat sebesar 1.942 ton (17,37%), dan
Kota Sorong sebesar 1.240 ton (11,09%). Dari sisi produktivitas, Kabupaten
Teluk Wondama menempati urutan tertinggi yaitu sebesar 11,75 ton/ha, diikuti
Kabupaten Sorong Selatan sebesar 11,56 ton/ha, dan Kabupaten Teluk
16
Produksi (kg)
No. Jenis Buah
2011 2012 2013 2014
1 2 3 4 5 6
1 Alpukat 157 506 158 1,290
2 Belimbing 93 205 70 448
3 Duku 694 1,705 308 1,944
4 Durian 861 2,846 1,172 12,585
5 Jambu Biji 185 350 536 536
6 Jambu Air 119 309 109 109
7 Jeruk Siam 206 381 234 796
8 Jeruk Besar 159 186 65 453
9 Mangga 476 1,181 382 2,673
10 Nangka 435 1,175 502 2,437
11 Nanas 111 164 56 499
1 2 3 4 5 6
12 Pepaya 398 1,376 387 4,107
13 Pisang 2,609 5,452 1,884 16,142
14 Rambutan 433 945 1,047 3,405
18
Produksi
No. Jenis
2011 2012 2013 2014
1 Jahe 12,282 22,017 56,860 29,065
2 Laos 16,164 29,549 58,599 23,163
3 Kencur 4,889 3,239 18,044 9,520
4 Kunyit 20,018 23,576 49,231 22,542
5 Lempuyang 1,265 2,837 180 31
6 Temulawak 8,413 275 57 30
7 Temuireng 1,322 166 50 32
19
skala rumah tangga dan belum sepenuhnya komersial. Jenis ternak yang
dibudidayakan penduduk di Provinsi Papua Barat meliputi jenis ternak besar
seperti sapi dan kerbau, ternak kecil seperti kambing dan babi, serta ternak
unggas yang terdiri dari ayamb buras, ayam ras pedaging, ayam ras petelur,
dan itik.
Perkembangan populasi sapi potong di Provinsi Papua Barat selama
periode 2011-2014 menunjukkan terjadinya pertambahan populasi. Populasi
sapi potong pada tahun 2011 adalah sebanyak 41.462 ekor, kemudian
meningkat menjadi sebanyak 52.046 ekor pada tahun 2012, selanjutnya pada
tahun 2013 terjadi penurunan populasi menjadi sebanyak 48.159 ekor, dan
pada tahun 2014 meningkat kembali menjadi sebanyak 61.436 ekor. Populasi
sapi potong pada tahun 2014 tersebut di seluruh wilayah kabupaten/kota
dengan populasi sapi potong terbesar berada di Kabupaten Sorong yaitu
sebanyak 21.942 ekor. Kabupaten Manokwari menempati urutan kedua
dengan populasi sebanyak 21.287 ekor, disusul Kabupaten Fakfak sebanyak
4.557 ekor, Kabupaten Manokwari Selatan sebanyak 2.706 ekor, dan
Kabupaten Tambrauw sebanyak 2.380 ekor.
Sama dengan populasi sapi potong, populasi kambing selama periode
2011-2014 menunjukkan perkembangan positif dengan populasi mengalami
pertambahan setiap tahun. Populasi kambing pada tahun 2011 adalah
sebanyak 16.810 ekor, kemudian meningkat setiap tahun hingga menjadi
sebanyak 24.258 ekor pada tahun 2014. Populasi babi selama periode 2011-
2014 juga menunjukkan perkembangan yang positif walaupun pada tahun
2014 mengalami penurunan populasi. Populasi babi pada tahun 2011 adalah
sebanyak 76.420 ekor, kemudian mengalami peningkatan setiap tahun hingga
tahun 2013 menjadi sebanyak 97.583 ekor, dan pada tahun 2014 menurun
menjadi sebanyak 91.936 ekor. Populasi kambing dan babi di Provinsi Papua
Barat pada tahun 2014 tersebar di seluruh wilayah kabupaten/kota. Wilayah
yang memiliki populasi kambing tertinggi adalah Kabupaten Manokwari yaitu
sebanyak 6.440 ekor, diikuti Kabupaten Sorong sebanyak 5.201 ekor, dan
Kabupaten Raja Ampat sebanyak 2.604 ekor. Sementara untuk babi, wilayah
dengan populasi babi terbanyak adalah Kabupaten Manokwari yaitu sebanyak
34.994 ekor, diikuti Kota Sorong sebanyak 19.244 ekor, dan Kabupaten
Manokwari sebanyak 15.718 ekor.
Jenis ternak unggas utama yang dikembangkan oleh masyarakat di
Provinsi Papua Barat adalah: ayam kampung, ayam pedaging, ayam petelur,
24
dan itik. Populasi ayam kampung di Provinsi Papua Barat selama periode
2011-2014 mengalami peningkatan setaiap tahun. Pada tahun 2011, jumlah
populasi ayam kampung adalah sebanyak 1.021.581 ekor, kemudian
meningkat cukup signifikan hingga tahun 2014 menjadi sebanyak
1.607.660 ekor. Populasi ayam kampong di Provinsi Papua Barat tersebar di
seluruh kabupaten/kota dengan populasi ayam kampung terbesar berada di
Kabupaten Manokwari yaitu sebanyak 481.937 ekor, disusul Kabupaten
Sorong sebanyak 356.475 ekor, dan Kota Sorong sebanyak 213.643 ekor.
Berbeda dengan ayam kampung yang populasinya meningkat, populasi ayam
petelur di Provinsi Papua Barat justru mengalami penurunan. Pada tahun
2011, populasi ayam petelur adalah sebanyak 64.238 ekor, kemudian
menuruna menjadi sebanyak 50.583 ekor pada tahun 2012, dan pada tahun
2013-2014, populasi meningkat setiap tahunnya hingg menjadi sebanyak
62.117 ekor pada tahun 2014. Populasi ayam petelur di Provinsi Papua Barat
hanya berada di 5 wilayah yaitu Kabupaten Sorong (42.678 ekor), Kabupaten
Manokwari (8.881 ekor), Kota Sorong (5.641 ekor), Kabupaten Fakfak (2.917
ekor), dan Kabupaten Manokwari Selatan (2.000 ekor).
Populasi ayam pedaging di Provinsi Papua Barat selama periode 2011-
2014 mengalami peningkatan yang signifikan dimana pada tahun 2011,
populasi ayam pedaging di Provinsi Papua Barat adalah sebanyak 581.089
ekor dan meningkat menjadi sebanyak 1.260.053 ekor pada tahun 2014.
Populasi ayam pedaging hanya berada di 5 wilayah yaitu Kabupaten
Manokwari (665.800 ekor), Kabupaten Sorong (340.267 ekor), Kota Sorong
(248.225 ekor), Kabupaten Fakfak (4.206 ekor), dan Kabupaten Teluk Bintuni
(1.555 ekor). Populasi itik di Provinsi Papua Barat juga mengalami peningkatan
selama periode 2011-2014. Pada tahun 2011, populasi itik berjumlah 19.693
ekor, kemudian menurun menjadi sebanyak 16.190 ekor pada tahun 2012, dan
pada tahun 2014 meningkat kembali menjadi sebanyak Produksi pangan yang
berasal dari kegiatan peternakan adalah daging dan telur. Produksi daging
yang berasal dari ternak besar dan kecil di Provinsi Papua Barat selama
periode 2011-2014 menunjukkan peningkatan. Produksi daging sapi pada
tahun 2011 adalah sebesar 2.316.136 kg dan meningkat menjadi sebesar
3.658.046 kg pada tahun 2014, produksi daging kambing meningkat dari
39.834 kg (2011) menjadi 155.781 kg (2014), dan produksi daging babi
meningkat dari 334.950 (2011) menjadi 1.701.434 kg (2014). Wilayah yang
menjadi produsen utama daging ternak besar dan ternak kecil pada tahun
25
penurunan menjadi sebesar 654.512 kg, dan pada tahun 2014 meningkat
kembali menjadi 1.699.467 kg. Jika dirinci menurut jenis ternak, untuk produksi
telur ayam kampung, produksinya mengalami kenaikan setiap tahun dari
330.834 kg (2011) menjadi sebanyak 553.121 kg pada tahun 2014. Seperti
pada produksi daging, wilayah yang memiliki produksi telur ayam kampung
tertinggi pada tahun adalah Kabupaten Manokwari (165.812 kg), disusul
Kabupaten Sorong sebesar (122.646 kg), dan Kota Sorong (73.504 kg).
Produksi ayam ras petelur juga meningkat dari sebesar 349.166 kg pada tahun
2011 menjadi sebesar 865.308 kg pada tahun 2014. Produksi telur ayam
petelur pada tahun 2014 hanya berasal dari 5 kabupaten/kota dengan
produksi terbesar berada di Kabupaten Sorong (594.516 kg), disusul
Kabupaten Manokwari (123.715 kg), Kota Sorong (78.581 kg), Kabupaten
Fakfak (40.635 kg), dan Kabupaten Manokwari Selatan (27.861 kg).
Produksi telur itik pada tahun 2011 adalah sebesar 106.165 kg dan
pada tahun 2014 meningkat menjadi sebesar 281.038 kg. Produsen utama
telur itik di Provinsi Papua Barat pada tahun 2014 adalah Kabupaten
Manokwari yaitu sebesar 145.353 kg dan Kabupaten Sorong sebesar 114.472
kg. Mendasarkan pada data yang diterbitkan BPS Provinsi Papua Barat, 3
wilayah utama penghasil produk ternak baik daging maupun telur adalah
Kabupaten Manokwari, Kabupaten Sorong, dan Kota Sorong. Tingginya
produksi daging dan telur pada 3 wilayah tersebut dimungkinkan karena
kebutuhan masyarakat akan protein hewani yang semakin meningkat setiap
tahun dan adanya peningkatan daya beli masyarakat. Berdasarkan data-data
yang telah diurakan, menunjukkan bahwa produksi ternak Provinsi Papua
Barat terus meningkat, namun demikian melihat masih banyaknya ternak yang
didatangkan semakin meningkat setiap tahun, mengindikasikan bahwa usaha
peternakan masih memiliki peluang yang menjanjikan untuk dikembangkan.
maka akan dapat mempengaruhi keseluruhan sistem yang ada baik dalam
kesatuan struktur fungsional maupun dalam keseimbangannya. Di dalam
suatu ekosistem pesisir terjadi transformasi energi yang berlangsung diantara
kedua komponen dalam sistem tersebut maupun dengan komponen-
komponen dari sistem lainnya. Kelangsungan fungsi ekosistem sangat
menentukan kelestarian sumberdaya alam sebagai komponen yang terlibat
dalam sistem tersebut. Karena itu untuk menjamin kelestarian sumberdaya
alam, perlu diperhatikan hubungan ekologis yang berlangsung di antara
komponen-komponen sumberdaya alam yang menyusun suatu sistem.
Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa Provinsi Papua
Barat memiliki potensi sumberdaya kelautan khususnya perikanan yang tinggi.
Untuk kegiatan perikanan laut, potensi perikanan tangkap Provinsi Papua
Barat meliputi tiga wilayah perairan, yaitu di WPPNRI 715 (Teluk Tomini-Laut
Seram), WPPNRI 717 (Samudera Pasifik), dan WPPNRI 718 (Laut Arafura-
Laut Timor). Mendasarkan pada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
No. 47 Tahun 2016 Tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang
Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, potensi sumberdaya ikan
di WPPNRI 715 adalah sebesar 631.703 ton, WPPNRI 717 sebesar 603.688
ton, dan WPPNRI 718 sebesar 1.992.730 ton. Di WPPNRI 715, potensi SDI
tersebut meliputi ikan pelagis kecil yaitu sebesar 378.734 ton, ikan pelagis
besar sebsar 51.394 ton, ikan demersal sebesar 114.005 ton, ikan karang
sebesar 69.975 ton, udang penaeid sebesar 6.089 ton, lobster sebesar 710
ton, kepiting sebesar 490 ton, rajungan sebesar 643 ton, dan cumi-cumi
sebesar 9.664 ton. Pada WPPNRI 717, potensi SDI pelagis kecil adalah
sebesar 312.901 ton, ikan pelagis besar sebesar 56.067 ton, ikan demersal
sebesar 111.619 ton, ikan karang sebesar 32.376 ton, udang penaeid sebesar
8.669 ton, lobster sebesar 1.065 ton, kepiting sebesar 620 ton, rajungan
sebesar 22 ton, dan cumi-cumi sebesar 2.124 ton. Sementara itu, potensi SDI
di WPPNRI 718 meliputi ikan pelagis kecil sebesar 823.328 ton, 489.795 ton,
ikan demersal sebesar 586.277 ton, ikan karang sebesar 30.555 ton, udang
penaeid sebesar 53.502 ton, lobster sebesar 386 ton, kepiting sebesar 1.507
ton, rajungan sebesar 1.911 ton, dan cumi- cumi sebesar 5.470 ton.
Secara keseluruhan, potensi SDI di perairan Provinsi Papua Barat
adalah sebesar 3.228.123 ton, jika diasumsikan bahwa untuk Provinsi Papua
Barat potensinya adalah sebesar 10% dari total potensi tersebut di atas, maka
29
potensi perikanan tangkap laut adalah sebesar 322.812 ton. Dalam kurun
waktu 2011-2015, volume produksi perikanan tangkap laut Provinsi Papua
Barat mengalami peningkatan dari 116.593 ton ton pada tahun 2011 menjadi
sebanyak 136.393 ton pada tahun 2015. Walaupun sempat mengalami
penurunan produksi pada tahun 2014 sebesar 1,47%, produksi perikanan di
Provinsi Papua Barat selama periode tersebut tumbuh sebesar 3,32% per
tahun dengan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2015 yaitu sebesar
13,68%. Melihat jumlah produksi eksisting tersebut, terlihat bahwa produksi
perikanan tangkap laut di Provinsi Papua Barat belum optimal. Hal tersebut
salah satunya disebabkan armada tangkap yang digunakan nelayan di
beberapa wilayah masih tradisional sehingga jangkauan wilayah
penangkapannya masih terbatas pada zona 0-4 mil laut, serta fasilitas
pelabuhan perikanan yang belum memadai untuk bersandarnya kapal motor
besar.
Dengan potensi sumberdaya perikanan yang tinggi, pemanfaatan
sumberdaya perikanan tangkap laut di Provinsi Papua Barat dapat dikatakan
masih rendah. Hal tersebut berbeda dengan provinsi lain di sekitarnya seperti
Provinsi Maluku dan Papua yang telah menjadi lumbung ikan laut Indonesia.
Dalam bidang perikanan tangkap laut, produksi ikan tangkap laut Provinsi
Papua Barat pada tahun 2015 menempati urutan ke-20 dimana produksi
tersebut tertinggal jauh dari Provinsi Papua yang menempati urutan 10 dengan
produksi sebesar 221.340 ton dan Provinsi Maluku yang menjadi produsen
ikan tangkap laut terbesar di Indonesia pada tahun 2015 dengan produksi
mencapai 617.985 ton. Dengan WPPNRI yang sama, seyogyanya produksi
perikanan tangkap laut Provinsi Papua Barat dapat meningkat seperti provinsi
tetangga di masa mendatang melalui peningkatan kapasitas teknologi armada
penangkapan, sumberdaya manusia, dan fasilitas pendukung kegiatan
perikanan tangkap laut seperti pelabuhan, listrik, es, dan lainnya.
Terkait dengan produksi perikanan tangkap laut, terdapat 10 komoditas
utama yang menjadi tangkapan nelayan di Provinsi Papua Barat. Pada tahun
2013, komoditas ikan yang menjadi tangkapan terbesar nelayan adalah
cakalang yaitu sebesar 13.018 ton, diikuti madidihang (7.963 ton), tenggiri
(7.216 ton), teri (4.016 ton), kembung (3.931 ton), kakap putih (2.739 ton ton),
udang windu (2.681 ton), tongkol komo (2.515 ton), manyung (2.406 ton), dan
kakap merah (2.312 ton). Hanya 10 komoditas tersebut yang memiliki produksi
lebih dari 2.000 ton dan secara keseluruhan menyumbang 40,07% produksi
30
perikanan tangkap laut Provinsi Papua Barat. Namun jika dilihat dari nilai
produksi per jenis ikan pada tahun 2013, komoditas ikan yang memiliki nilai
produksi terbesar adalah udang windu yaitu sebesar Rp 156,92 miliar, diikuti
tenggiri (Rp 114,17 miliar), udang putih (Rp 106,41 miliar), udang dogol (Rp
95,52 miliar), udang barong (Rp 84,20 miliar), cakalang (Rp 70,14 miliar), teri
(Rp 58,60 miliar), kakap merah (Rp 52,06 miliar), madidihang (Rp 43,72 miliar),
dan kakap putih (Rp 40,25 miliar). Data tersebut menunjukkan bahwa
komoditas penting perikanan tangkap laut di Provinsi Papua Barat adalah
kelompok pelagis besar dan udang-udangan.
Selain perikanan tangkap laut, Provinsi Papua Barat juga memiliki
potensi perikanan tangkap di perairan umum mengingat banyaknya sungai
dan danau besar yang ada di beberapa wilayah kabupaten. Selama periode
2011-2015, prouksi perikanan tangkap di perairan umum cenderung fluktuatif.
Pada tahun 2011, produksinya adalah sebesar 246 ton, kemudian meningkat
menjadi 328 ton pada tahun 2012, dalam dua tahun berturut- turut, produksi
mengalami penurunan menjadi sebesar 219 ton pada tahun 2014, selanjutnya
pada tahun 2015, produksi kembali mengalami peningkatan menjadi sebesar
276 ton. Armada tangkap yang digunakan oleh nelayan dalam kegiatan
operasi penangkapan adalah jenis perahu tanpa motor seperti jukung dan
perahu motor tempel. Jumlah perahu tanpa motor pada tahun 2015 adalah
sebanyak 397 unit, sedangkan perahu motor tempel berjumlah 136 unit.
Selain dari perikanan tangkap, produksi perikanan Provinsi Papua Barat
juga berasal dari perikanan budidaya. Secara umum, kegiatan perikanan
budidaya di Provinsi Papua Barat dapat dikatakan belum berkembang karena
pemanfaatan lahan yang masih rendah. Pada tahun 2015 terjadi kenaikan luas
area budidaya dari seluas 1.780 Ha pada tahun 2014 menjadi seluas 44.143
Ha, akan tetatpi kenaikan luas lahan tersebut tidak berbanding lurus dengan
produksi. Selama periode 2011-2015, produksi perikanan budidaya di Provinsi
Papua Barat mengalami kenaikan dari 21.737 ton menjadi 40.079 ton. Namun,
dalam kurun waktu 2012, produksi perikanan budidaya terus mengalami
penurunan setiap tahun dari produksi tertingginya sebesar 63.893 ton.
sebesar 193.812,34 m3, kemudian pada tahun 2011 naik menjadi 211.839,74
m3, kemudian turun menjadi sebesar 194.414,00 m 3, dan pada tahun 2013
turun kembali hingga produksi terendah menjadi sebesar 150.537,50 m 3. Jika
dilihat dari wilayah, produksi kayu olahan Provinsi Papua Barat sebagain besar
berasal dari Kabupaten Teluk Bintuni dan Kabupaten Sorong. Sebagai contoh
adalah pada tahun 2013, dari total produksi 4 wilayah sebesar 150.537,50 m 3,
produksi kayu olahan yang berasal dari Kabupaten Sorong dan Kabupaten
Teluk Bintuni adalah sebesar 148.057,79 m 3 (98,35%) dimana produksi kayu
olahan Kabupaten Teluk Bintuni sebesar 61.497,59 m 3 dan Kabupaten Sorong
sebesar 86.560,2 m3.
c. Aspek Lingkungan.
1) Pengaruh SKA terhadap aspek gatra alamiah lainnya (keadaan
kemampuan penduduk dan kondisi geografis).
Papua Barat memiliki potensi Sumber Kekayaan Alam yang melimpah
berupa potensi pertanian, potensi pertambangan, potensi kelautan, potensi
peternakan, potensi kehutanan dan potensi pariwisata. Namun kenyataan di
lapangan, potensi-potensi tersebut belum dapat dikelola dan dieksplorasi
dengan baik oleh masyarakat lokal, dan justru sebagian besar dikelola oleh pihak
asing. Selain itu, hal yang paling mengganggu adalah pengurasan sumber daya
Papua Barat yang berdampak sangat merusak kekayaan hutan Papua Barat
yang kaya, penuh keanekaragaman hayati dan unik. Dan ketika hutan rusak,
mata pencaharian masyarakat yang tergantung pada sumber daya itu menjadi
berkurang atau bahkan hilang sama sekali dan tentunya akan meningkatkan
tingkat pengangguran.
Kondisi geografis wilayah yang sulit telah mengakibatkan cukup tingginya
indeks kemahalan konstruksi di wilayah Provinsi Papua Barat yang berakibat
pada tingginya biaya pembangunan infrastruktur fisik daerah. Hal ini terlihat
dalam persentase wilayah kabupaten/kota yang terhubung dengan jaringan jalan
di Provinsi Papua Barat masih kurang yaitu hanya sebesar 42,15%. Kondisi ini
menyebabkan belum memadainya kuantitas dan kualitas jalan di wilayah
Provinsi Papua Barat terutama ke daerah-daerah yang memiliki potensi besar
baik di bidang pertanian dan perkebunan, pariwisata, kelautan dan perikanan
seperti akses jalan dari Kabupaten Pegunungan Arfak menuju Kabupaten
Manokwari sehingga berdampak terhadap proses eksploitasi Sumber kekayaan
alam di Papua Barat secara optimal.
Potensi sumberdaya ikan di sekitar wilayah Papua Barat mencapai 3,66
juta ton (36,8% potensi sumberdaya ikan nasional) namun belum dikelola secara
optimal seluruhnya. Rata-rata produksi ikan Provinsi Papua Barat di atas
100.000 ton dengan pertumbuhan produksi rata-rata di atas 4% per tahun.
Produksi ikan tahun 2015 baru mencapai 136 ribu ton (2,2% produksi nasional).
Usaha pengolahan ikan memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan
sebagai untuk sumber PAD, penyerap tenaga kerja yang banyak. Oleh karena
itu pengembangan industri pengolahan perlu dilakukan secara terpadu dalam
satu klaster yang saling terkait (sistem minabisnis). Namun kenyataan saat ini,
pemanfaatan dan pengolahan hasil produksi perikanan, baik perikanan tangkap
36
ekosistem khas di beberapa taman nasional dan kawasan hutan lainnya yang
potensial, pengembangan dan penerapan teknologi baru dalam pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan hidup yang ramah lingkungan, penelitian dan
pengembangan energi baru dan terbarukan, serta peningkatan kesadaran
konservasi dan rehabilitasi bagi para pemangku kepentingan (stakeholders).
Untuk mengurangi dampak yang berlebihan dalam pengelolaan sumber daya
hutan telah dilakukan upaya penyelesaian terhadap lima masalah pokok di
bidang kehutanan yaitu pencegahan penebangan hutan secara ilegal,
penanggulangan kebakaran hutan, restrukturisasi industri kehutanan,
rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan, serta desentralisasi kewenangan
pengelolaan kehutanan. Upaya-upaya tersebut sampai saat ini masih terus
dijalankan dan lebih diintensifkan, dengan hasil kemajuan yang bervariasi.
Misalnya dalam menangani penebangan liar telah dilakukan penggalangan
berbagai pihak baik melalui kampanye anti illegal logging maupun operasi-
operasi penegakan hukum di lapangan. Kemudian untuk mengatasi masalah
kebakaran hutan telah dibuat dan disebarkan peta identifikasi kawasan hutan
yang rawan terbakar serta pemberdayaan masyarakat sekitar hutan untuk
mengendalikan kebakaran hutan. Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi
telah dilakukan pengalihan kewenangan dan urusan kehutanan secara bertahap
kepada pemerintah daerah sehingga pengawasan oleh masyarakat luas dapat
lebih efektif. Hal ini juga didukung dengan penerapan pengelolaan hutan
berbasis masyarakat baik dalam bentuk pengelolaan hutan kemasyarakatan
maupun hutan rakyat. Disamping itu, beberapa kabupaten telah menerbitkan
peraturan daerah tentang pengelolaan hutan berbasis masyarakat sebagai
perwujudan pengelolaan sumber daya alam yang partisipatif.
Dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan, telah
dilaksanakan identifikasi potensi sumber daya wilayah pesisir, laut, dan pulau-
pulau kecil, identifikasi kawasan konservasi laut, pembudidayaan mangrove
fisheries dan penataan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Untuk
mengurangi kerugian negara akibat kegiatan pencurian ikan (illegal fishing) telah
dilakukan berbagai upaya antara lain dengan pembenahan administrasi perijinan
penangkapan ikan, pemantauan dan pengontrolan kapal-kapal besar
penangkap ikan baik yang beroperasi di perairan Indonesia maupun di kawasan
ZEE melalui sistem vessel monitoring system (VMS) yang merupakan bagian
dari penerapan sistem monitoring, controlling and surveillance (MCS).
38
untuk ekspor, sedangkan kebutuhan energi ke depan akan semakin meningkat disertai
dengan menipisnya cadangan migas di Wilayah Papua Barat. Dan bila pemerintah tidak
segera mengeluarkan kebijakan untuk memperbaiki energi terbaharukan dan
konservasi energi serta mendorong pengembangan sumber energi lain, maka Provinsi
Papua Barat tidak akan lagi dikenal sebagai Provinsi yang kaya akan SDA-nya.
c. Pemanfaatan sumber daya Alam Papua Barat yang dieksplorasi berlebihan
akibat rendahnya pemahaman akan pentingnya pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup secara berkesinambungan dan dibarengi pula dengan lemahnya
penegakan hukum sehingga menyebabkan tekanan yang berlebihan terhadap fungsi
lingkungan hidup, akan berdampak serius pada rusaknya kekayaan dan potensi Papua
Barat yang kaya, penuh keanekaragaman hayati dan keunikan baik potensi di daratan
maupun di lautan. Dan ketika hutan/lingkungan rusak, mata pencaharian masyarakat
yang tergantung pada sumber daya itu menjadi berkurang atau bahkan hilang sama
sekali dan tentunya kondisi ini akan mendorong meningkatnya tingkat pengangguran
di Papua Barat.
4. Penutup.
a. Kesimpulan.
1) Provinsi Papua Barat memiliki sumber kekayaan alam yang melimpah
dengan potensi yang sangat luar biasa baik itu pertanian, pertambangan,
kelautan, hasil hutan maupun pariwisata termasuk potensi energi dan sumber
daya mineral yang besar namun potensi-potensi tersebut belum ditangani
secara optimal oleh masyarakat lokal dan justru potensi-potensi tersebut banyak
yang dijual atau dikontrak oleh asing untuk diolah.
2) Adanya Pemanfaatan sumber daya Alam Papua Barat yang dieksplorasi
berlebihan sehingga menyebabkan dampak serius pada rusaknya kekayaan dan
potensi Papua Barat yang kaya.
b. Saran.
1) Kebutuhan energi yang semakin meningkat dan disertai dengan
menipisnya cadangan migas di Wilayah Papua Barat, maka diperlukan
pengembangan sumber energi lain di Provinsi Papua Barat untuk memenuhi
kebutuhan energi di provinsi ini dengan menetapkan kebijakan energi
terbaharukan dan konservasi energi.
2) Agar Pemanfaatan sumber daya Alam Papua Barat dapat diilaksanakan
dengan tepat dan baik maka perlu adanya upaya pemerintah untuk memberikan
41