Anda di halaman 1dari 4

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lahan rawa lebak adalah lahan rawa pedalaman yang memiliki kondisi
topografi relatif cekung dan air tidak dapat mengalir ke luar. Setiap tahun lahan
ini mengalami genangan minimal selama tiga bulan dengan tinggi genangan
minimal 50 cm. Lahan ini akan tergenang pada saat musim hujan dan akan surut
saat memasuki musim kemarau. Oleh sebab itu, rawa lebak merupakan wilayah
depresi dengan sumber air utama berasal dari curah hujan, dan surutnya air hanya
mengandalkan proses perkolasi serta penguapan pada musim kemarau (Alwi,
2017).
Lahan rawa lebak sangat berperan penting dalam peningkatan sektor
pertanian dan perkebunan. Indonesia memiliki lahan rawa lebak yang luasnya
mencapai 15,03 juta ha. Sedangkan lahan rawa lebak yang memiliki potensi dan
dapat digunakan untuk pertanian luasnya mencapai 8,9 juta ha. Berdasarkan hasil
kajian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementan tahun 2015,
lahan rawa lebak yang sudah dimanfaatkan oleh pemerintah untuk pertanian
yakni seluas 341.526 ha.
Lahan rawa lebak memiliki potensi yang sangat ditentukan oleh bahan-
bahan yang diendapkan dari daerah atasnya, sedangkan bahan yang berasal dari
air relatif tidak ada, karena air yang terdapat pada lahan rawa lebak hanya berasal
dari curah hujan. Umumnya lahan rawa lebak lebih subur jika dibandingkan
dengan lahan pasang surut, karena lahan rawa lebak tidak bermasalah dengan
bahan sulfidik (pirit). Air menjadi faktor yang memegang peranan penting dalam
penentuan potensi lahan rawa lebak, sehingga pembagian lahan secara lebih rinci
tergantung keberadaan air. Keberadaan air pada lahan rawa lebak tergantung pada
musim, saat musim hujan seluruh lahan rawa lebak tergenang, sedangkan saat
musim kemarau secara berangsur angsur lahan mulai surut airnya. Dengan
demikian, potensi lahan rawa lebak dipengaruhi dan tergantung pada kondisi air
(Alwi, 2017).
Lahan rawa lebak merupakan agroekosistem yang cukup potensial untuk
pertanian. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan beras sebagai bahan pangan

1
pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia membuat budi daya tanaman
pangan, khususnya padi masih menjadi tanaman utama di lahan rawa lebak.
Berdasarkan data dari Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten
Muaro Jambi (2018) bahwa luas lahan sawah di Kabupaten Muaro Jambi Tahun
2014 seluas 24.898 ha dengan luas panen 10.150 ha dan produksi yang dihasilkan
sebesar 47.510 ton dengan produktivitas sebesar 4,68 ton/ha. Sedangkan pada
tahun 2015 luas lahan sawah di Kabupaten Muaro Jambi mengalami penurunan
menjadi 22.941 ha dengan luas panen 6.368 ha dan produksi yang dihasilkan
sebesar 26.614 ton dengan produktivitas sebesar 4,18 ton/ha. Produktivitas padi
sawah di Kabupaten Muaro Jambi pada tahun 2015 menurun 10,68% jika
dibandingkan tahun 2014.
Penurunan hasil produktivitas pada kegiatan budidaya tanaman padi sawah
dapat terjadi disebabkan oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut diantaranya :
sistem pengelolaan tanaman, kesuburan tanah, ketersediaan air, varietas tanaman,
hama dan penyakit tumbuhan, dan iklim yang selalu berubah (Prihatman, 2000).
Menurut Sakti et al (2011) ketersediaan unsur hara memegang peranan
dalam tingkat produktivitas tanah sawah, khususnya unsur hara makro primer,
yaitu N, P, dan K. Ketersediaan unsur hara ini ditentukan oleh dua faktor, yaitu
faktor bawaan dan faktor dinamik. Faktor bawaan adalah bahan induk tanah, yang
berpengaruh terhadap ordo tanah. Faktor dinamik merupakan faktor yang
berubah-ubah, antara lain pengolahan tanah, pengairan, pemupukan, dan
pengembalian seresah tanaman.
Menurut Kuncoro (2008), optimalisasi produktivitas padi di lahan sawah
merupakan salah satu peluang peningkatan produksi gabah nasional. Hal ini
sangat dimungkinkan bila dikaitkan dengan hasil padi pada agroekosistem ini
masih beragam antar lokasi dan belum optimal. Rata-rata hasil 4,7 ton/ha
sedangkan potensinya dapat mencapai 6-7 ton/ha. Belum optimalnya
produktivitas padi di lahan sawah ini salah satunya disebabkan oleh rendahnya
efisiensi pemupukan.
Kadar N dalam tanah pada umumnya rendah, sehingga harus selalu
ditambahkan dalam bentuk pupuk atau sumber lainnya pada setiap awal tanam.
Pada umumnya respon tanaman padi terhadap pemberian pupuk N cukup tinggi.

2
Dengan demikian petani cenderung menggunakan N secara berlebihan. Di
beberapa wilayah penggunaan pupuk Urea mencapai 148 persen dari yang
direkomendasikan dan sebaliknya penggunaan pupuk P dan K relatif lebih rendah
dan menurun sehingga sering tidak seimbang dengan N (Sofyan et al., 2000).
Ketersediaan P di dalam tanah jarang yang melebihi 0,01% dari total P
karena P terikat oleh Fe, Al dan Ca di dalam tanah sehingga tidak tersedia bagi
tanaman. Pada tanah sawah/tergenang ketersediaan P lebih tinggi jika
dibandingkan pada kondisi aerob/kering, hal ini disebabkan pada kondisi anaerob
terjadi pelarutan Fe (besi feri menjadi fero) sehingga P terlepas. Walaupun tanah
sawah pada umumnya telah jenuh fosfor akibat dari proses pemupukan, namun
petani tetap melakukan pemupukan P untuk meningkatkan ketersediaan P
sehingga dapat dimanfaatkan tanaman secara optimal (Saraswati et al., 2006).
Kadar K di dalam tanah dipengaruhi oleh bahan induk tanah, pada tanah
sawah umumnya kandungan K berkisar sedang-tinggi. K dalam tanah mempunyai
sifat yang mudah bergerak (mobile) sehingga mudah hilang melalui proses
pencucian atau terbawa arus pergerakan air. Karena itu efisiensi pupuk K biasanya
rendah. Hasil survei kesuburan tanah sawah menunjukkan bahwa sebaran status K
tanah cenderung sama dengan status P tanah. Dari luas total lahan sawah 7,5 juta
ha, sekitar 3,8 juta ha (51%) lahan sawah intensifikasi mempunyai status hara K
tinggi (K2O terekstrak HCl 25% > 20 mg/100g); 2,8 juta ha (37%) mempunyai
status K sedang (konsentrasi K2O 10-20 mg/100g), dan hanya 0,88 juta ha (12%)
mempunyai status K rendah (konsentrasi K2O<10 m/100g) (Sofyan et al., 2000).
Kondisi ini terjadi akibat akumulasi dari pemupukan yang intensif dalam kurun
20-30 tahun terakhir.
Desa Senaung merupakan salah satu desa yang berada di dalam Kecamatan
Jambi Luar Kota, Kabupaten Muaro Jambi. Di desa ini terdapat areal persawahan
seluas 214,84 Ha. Produktivitas tanaman padi di Desa Senaung pada tahun 2017
sebesar 3,9 ton/ha (Balai Penyuluh Pertanian Kecamatan Jambi Luar Kota, 2018)
dan jumlah tersebut masih jauh di bawah standar nasional, yakni 6 ton/ha.
Varietas padi yang digunakan oleh petani yang berada di Desa Senaung, yakni
Padi Inpara 3 yang memiliki potensi hasil 5,6 ton/ha dan rata-rata produksi
sebanyak 4,6 ton/ha. Rendahnya produksi kemungkinan dapat disebabkan oleh

3
beberapa faktor, seperti kandungan unsur hara yang terdapat pada tanah sawah.
Sebagian petani di Desa Senaung dalam pengolahan lahannya masih belum
menggunakan pupuk kimia untuk sumber unsur hara makro, seperti nitrogen (N),
fosfor (P), kalium (K). Berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh
Kementerian Pertanian Badan Litbang Pertanian tahun 2015, untuk menghasilkan
gabah rata-rata 6 ton/ha pada tanaman padi varietas unggul baru (VUB), tanaman
padi membutuhkan hara 165 kg N, 19 kg P, dan 112 Kg K/ha atau setara dengan
350 kg urea, 120 kg SP36, dan 225 kg KCL/ha.
Berdasarkan uraian tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian
tentang “Survey Kandungan Hara N, P, dan K di Rawa Lebak Desa Senaung
Kecamatan Jambi Luar Kota Kabupaten Muaro Jambi”.

1.2 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran kandungan unsur hara N,
P, dan K di sawah rawa lebak Desa Senaung Kecamatan Jambi Luar Kota
Kabupaten Muaro Jambi.

1.3 Manfaat Penelitian


Penelitian ini merupakan salah satu syarat menyelesaikan pendidikan
tingkat sarjana pada Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran serta informasi ilmiah bagi
Masyarakat di Desa Senaung dan pemerintah dalam upaya peningkatan produksi.

Anda mungkin juga menyukai