Ultisol merupakan ordo tanah di Indonesia penyebarannya di beberapa pulau besar dengan luas sekitar 45.794.000 ha atau 25% dari luas wilayah daratan Indonesia. Tanah ini berkembang pada berbagai topografi, mulai dari bergelombang hingga bergunung dengan curah hujan yang tinggi (Subagyo et al., 2004). Ultisol tergolong lahan marginal dengan tingkat produktivitas rendah, kandungan unsur hara rendah karena pencucian basa secara intensif, kandungan bahan organik rendah karena proses dekomposisi berjalan cepat. Ultisol memiliki permeabilitas lambat hingga sedang, dan kemantapan agregat rendah sehingga sebagian besar tanah ini mempunyai daya memegang air yang rendah dan peka terhadap erosi (Prasetyo et al, 2007). Agregat tanah merupakan karakteristik tanah yang sensitif terhadap dari pengolahan tanah. Kualitas dan kuantitas agregat tanah dipengaruhi oleh bahan organik pada tanah dan bagaimana tanah tersebut diolah. Retakan tanah yang terjadi dan dimantapkan oleh pengikat (sementasi), baik yang terjadi secara kimia, maupun biologis akan membentuk agregat yang baik. Agregat tanah dapat terbentuk jika diantara partikel-partikel tanah menyatu membentuk suatu unit-unit yang lebih besar. Mustoyo et al.,(2013) Kemantapan agregat tanah dipengaruhi dengan meningkatnya kandungan Corganik tanah, KTK, serta semakin tinggi kandungan liat dalam tanah biasanya tanah akan memiliki stabilitas agregat yang mantap. Tanah juga akan memiliki ruang pori yang tinggi serta mempunyai daya menyimpan air yang tinggi. Agregat yang kurang stabil dan bahan organik rendah menyebabkan tanah mudah hancur, sehingga dapat menurunkan jumlah pori-pori tanah yang berpengaruh terhadap ketersediaan air bagi tanaman. Upaya yang dilakukan untuk memperbaiki sifat Ultisol adalah dengan cara pengapuran untuk menaikkan pH tanah, penambahan bahan organik untuk memperbaiki sifat fisika. kimia, dan biologi tanah, serta pemupukan untuk penyediaan unsur hara makro seperti fosfor. Pemberian bokashi dari kotoran ternak sering dilakukan sebagai upaya memperbaiki kandungan bahan organik dan agregat tanah. Bokashi berperan sebagai soil conditioner dalam pembentukan agregat tanah atau berperan sebagai granulator (pembentukan struktur tanah berbentuk granular) yang menyebabkan struktur tanah menjadi gembur, mudah diolah dan mempunyai pori-pori yang cukup untuk kandungan air dan udara tanah. Bokashi juga dapat menyediakan air dan udara untuk kebutuhan tanaman dan berbagai makluk hidup lainnya di dalam tanah. (Alibasyah., 2016) Bokashi dihasilkan dari fermentasi bahan organik dengan teknologi EM (Effective Microorganism), yang merupakan kultur campuran berbagai organisme yang bermanfaat sebagai pengurai bahan organik. Penggunaan Effective Microorganism dalam pembuatan bokashi selain memperbaiki kualitas tanah juga dapat meningkatkan produksi tanaman (Nasir. 2007). Bokashi biasa dibuat dengan bahan dasar kotoran sapi yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan organik dengan teknologi Effective Microorganism 4 (EM4). Bokashi kotoran sapi merupakan salah satu alternatif dalam penerapan teknologi pertanain organik yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Kotoran sapi merupakan bahan organik yang mempunyai prospek yang baik untuk dijadikan pupuk organik, karena mempunyai kandungan unsur hara yang cukup tinggi yaitu C organik 18,76 %, N 1,06 %, P 0,52 %, K 0,95 %, Ca 1,06 %, Mg 0,86 %, Na 0,17 %, Fe 5726 ppm, Cr 6 ppm, C/N 17,69 %, Kadar air 24,21 % (Yuliprianto, 2006). Menurut Maizar, (2015) mengatakan bahwa potensi dari perkebunan kelapa sawit yang bisa digunakan sebagai bahan pembuat kompos adalah hasil kastrasi berupa pelepah kelapa sawit. Bahan ini biasanya hanya ditempatkan di lahan sawit yang penguraiannya secara fisik dan biologi memakan waktu yang lama. Setiap bulannya satu pohon kelapa sawit menghasilkan sekitar 20 kg daun, atau sekitar 2,2 ton per hektar. Sehingga pada penelitian ini digunakan campuran bokashi antara kotoran sapi dan pelepah kelapa sawit. Provinsi Jambi merupakan salah satu daerah penghasil kelapa sawit di Indonesia. Kelapa sawit menjadi salah satu komoditas unggulan perkebunan di provinsi Jambi. Pengembangan kelapa sawit di Jambi berdampak positif dalam perekonomian dan berperan dalam penyerapan tenaga kerja. Hal ini mendorong pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan pembangunan untuk mendorong pengembangan kelapa sawit secara baik (BPS Provinsi Jambi. 2019). Pelepah kelapa sawit berpotensi sebagai bahan kompos berdasarkan komponen penyusun bahan kimia pelepah kelapa sawit, potensi pelepah kelapa sawit dan kandungan unsur hara yang terdapat di dalamnya. Pemanfaatan pelapah kelapa sawit dihadapkan pada kendala proses dekomposisi yang cukup lama, untuk mempercepat proses pengomposan yaitu dengan cara penambahan EM-4. Sunarti et al, (2017) mengemukakan bahwa kendala yang dihadapi pada tanaman kelapa sawit adalah pelepah sawit yang keras sehingga petani kesulitan menghancurkannya. Menggunakan mesin pencacah atau chopper kendala ini bisa teratasi. Chopper akan mencacah pelepah sawit dengan ukuran yang bisa disesuaikan. Menurut Pahan (2008) pelepah sawit mengandung 2,4-2,8% nitrogen, 0,15-0,18 phosphor, 0,90-1,20% kalium dan 0,25-0,4% unsur Magnesium serta unsur hara lainnya. Kandungan haranya yang lengkap akan menghasilkan pupuk organik yang bermutu untuk mensuplai kebutuhan tanaman. Tanaman yang dibudidayakan untuk melihat pengaruh pemberian campuran bokashi kotoran sapi dan pelepah kelapa sawit berupa tanaman cabai. Tanaman cabai merupakan salah satu jenis tanaman holtikultura yang dibudidayakan secara komersial, hal ini disebabkan karena cabai memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap juga memiliki nilai ekonomis tinggi yang banyak digunakan baik untuk konsumsi rumah tangga maupun untuk keperluan industri (Nurlenawati et at.,2010). Menurut catatan dari BPS Provinsi Jambi (2017) luas lahan cabai di Provinsi Jambi 7.776 Ha dan hasil produksi ± 399.241 ton, untuk memenuhi kebutuhan bulanan masyarakat perkotaan diperlukan luas area panen cabai sekitar 11.000 ha/bulan, sedangkan pada musim tertentu luas area panen cabai yang harus tersedia berkisar antara 12.100-13.300 ha/bulan. Kebutuhan cabai untuk masyarakat pedesaan atau kota-kota kecil serta untuk bahan baku olahan. Untuk memenuhi seluruh kebutuhan cabai tersebut perlu tersedia pasokan cabai yang mencukupi. Sehingga dari catatan BPS Provinsi Jambi tersebut menunjukkan kurangnya produksi cabai sedangkan permintaan meningkat maka akan terjadi kenaikan harga. Sebaliknya apabila pasokan cabai melebihi kebutuhan maka harga akan turun oleh karena itu untuk memenuhi permintaan pasar maka diperlukan tindakan yang efektif dalam budidaya tanaman cabai yaitu dengan cara mencari kombinasi yang tepat dari kebutuhan pupuk organik dan anorganik. Membudidayakan cabai membutuhkan kondisi tanah yang gembur, kandungan bahan organik yang tinggi, struktur tanah yang baik dan ketersediaan air yang cukup. Berdasarkan uraian permasalahan tersebut, memanfaatkan Ultisol untuk mingkatkan produksi cabai dengan memperbaiki kemantapan agregat, yaitu dengan pemberian pupuk campuran bokashi kotoran sapi dan pelepah kelapa sawit yang merupakan salah satu alternatif dalam penerapan teknologi pertanian organik yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Oleh karena itu di perlukan penelitian tentang “Pengaruh Pemberian Campuran Bokashi Kotoran Sapi dan Bokashi Pelepah Kelapa Sawit Terhadap Kemantapan Agregat Ultisol dan Hasil Cabai Merah ” 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian campuran bokashi kotoran sapi dan bokashi pelepah kelapa sawit terhadap kemantapan agregat Ultisol dan hasil cabai merah. 1.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini merupakan salah satu syarat bagi penulis dalam menyelesaikan studi tingkat sarjana (S1) di Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pemberian campuran bokashi kotoran sapi dan bokashi pelepah kelapa sawit terhadap kemantapan agregat Ultisol dan hasil cabai. 1.4 Hipotesis Campuran bokashi kotoran sapi dan bokashi pelepah kelapa sawit dapat memperbaiki kemantapan agregat Ultisol dan hasil cabai merah