Anda di halaman 1dari 6

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ultisol merupakan ordo tanah yang terjadi akibat penimbunan liat di horison
bawah (horison argilik), bersifat masam, kejenuhan basa (jumlah kation) pada
kedalaman 180 cm dari permukaan tanah kurang dari 35%. Tanah ini dulu disebut
padzolik merah kuning yang terdapat di Indonesia (Hardjowigeno, 2010). Luas
Ultisol sendiri mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan yang
ada di Indonesia. Sebaran Ultisol terluas terdapat di wilayah Kalimantan yaitu seluas
21.938.000 ha, diikuti wilayah Sumatera dengan luas 9.469.000 ha, kemudian
wilayah Maluku dan Papua seluas 8.859.000 ha (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
Menurut Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jambi (2010) Ultisol di Indonesia
memiliki luas mencapai 107,4 juta ha dan luas Ultisol di Provinsi Jambi mencapai
2.272.725 ha atau 42,53% dari luas Provinsi Jambi.
Prasetyo et al. (2005) menyatakan bahwa tingkat reaksi tanah (pH) pada Ultisol
berkisar dari sangat masam sampai agak masam (3,8-5,7), hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain bahan induk tanah, reaksi oksidasi terhadap mineral
tertentu, bahan organik dan pencucian basa-basa. Penyebab utama tanah masam pada
Ultisol yakni akibat dari pencucian basa-basa. Kandungan bahan organik dalam
bentuk C-Organik sendiri dimulai dari sedang hingga sangat rendah (2,51%-0,23%).
Kandungan P-tersedia rendah (5 ppm) namun retensi P tinggi (77%), hal ini juga
sama dengan kandungan Ca-dd 3,93 cmol/kg, Mg-dd 2,57 cmol/kg dan Na-dd 0,26
cmol/kg yang rendah. Nilai KTK pada Ultisol tergolong rendah yaitu 38,57 cmol/kg,
namun jika hubungan antara KTK tanah dengan kandungan C-Organik cenderung
positif maka penambahan bahan organik dapat meningkatkan nilai KTK tanah.
Menurut hasil penelitian Ermadani et al. (2011) hasil analisis Ultisol di Jambi
khususnya lahan percobaan Fakultas Pertanian Universitas Jambi sebelum adanya
perlakuan berdasarkan kriteria staf PPT 1983 yaitu pH 4,93 yang dikategorikan
masam, C-Organik 1,28 %, N-total 0,14% dan KB 25,31% yang dikategorikan
rendah, serta P-tersedia 3,08 ppm dan K-dd 0,18 mg/100 yang tergolong sangat
rendah dan juga kandungan Al-dd 1,48 mg+/100. Hal ini menunjukan bahwa Ultisol
termasuk tanah yang membutuhkan adanya penambahan bahan organik tanah, dengan
tujuan untuk meningkatkan kandungan hara pada tanah. Muzaiyanah dan Subandi
(2016) menyatakan bahwa bahan organik tanah mampu memperbaiki tingkat
kesuburan tanah terutama sifat kimia tanah dan juga sebagai sumber hara esensial
makro dan mikro yang tersedia bagi tanaman. Semakin tinggi kandungan bahan
organik pada tanah maka kandungan Al terlarut akan semakin menurun sehingga nilai
pH tanah akan semakin meningkat.
Pupuk kompos merupakan pupuk yang berasal dari sisa tanaman yang telah
terdekomposisi secara sempurna. Fungsi kompos adalah sebagai penyedia hara
namun dalam jumlah kecil, dimana yang dimanfaatkan dari kompos adalah bahan
organiknya (Melati et al., 2008). Menurut Sahwan (2012) pupuk kompos mampu
memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah secara bersamaan. Oleh karena itu
pupuk kompos juga disebut pembenah tanah. Sifat dan kemampuan yang dimiliki
pupuk kompos tersebut, serta penggunaan secara tepat dan seimbang dapat
meningkatkan kualitas dan produktivitas sumber daya lahan pertanian.
Sampah kota adalah sampah yang berasal dari bahan organik sisa-sisa
tumbuhan dan hewan. Sumber sampah kota sendiri dapat berasal dari rumah makan,
rumah tangga atau pun dari rumah industri. Pemanfaatan sampah kota sebagai pupuk
kompos dapat membantu mengurangi pencemaran lingkungan, yang diakibatkan
produksi dan pengolahan sampah yang tidak seimbang. Jumlah sampah semakin hari
semakin bertambah sedangkan kemampuan pengolahan sampah masih sangat rendah
(Samekto, 2006). Menurut Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (2018)
jumlah timbunan sampah di Provinsi Jambi periode 2017-2018 sebesar 279,84
ton/hari dan timbunan sampah yang tidak terkelola sebesar 171,74 ton/hari baik
berupa sampah rumah tangga, sampah kantor, sampah pasar tradisional, sampah
perniagaan dan sampah lainnya.
Hasil penelitian Muslih (2016) berdasarkan PP No. 6 Tahun 1986 kota Jambi
memiliki luas wilayah 20.538 ha atau 205,38 km2 dengan jumlah penduduk 681.862
jiwa, sehingga dalam satu hari jumlah sampah yang dihasilkan adalah 1,6 ton/hari,
dengan demikian setiap penduduk dalam satu hari menghasilkan sampah 2,34 kg/hari.
Kandungan unsur hara kompos sampah kota menurut hasil penelitian Sahwan (2013)
di daerah Serpong yaitu N-total 1,08%, P 0,12%,K 0,65%, C-Organik 11,62%, C/N
11, kadar air 63,1 dan pH 5,8. Oleh karena itu dengan jumlah sampah 1,6 ton/ha dan
hasil anlisis kompos jika diperhitungkan maka jumlah N, P, K dan C-Organik yang
dihasilkan dalam sehari yaitu 17,28 kg, 19,44, 104 kg, dan 1.859,2 kg. Jika dilihat
dari komposisinya maka kompos sampah kota sangat baik untuk membantu
memenuhi kebutuhan pupuk yang ada di Provinsi Jambi, sehingga penggunaan pupuk
anorganik dan pupuk kandang dapat dikurangi. Penelitian lain mengenai analisis
sampah kota yang dilakukan oleh Burhanuddin et al. (2016) memperoleh hasil yaitu
N 1,05%, P 0,09%, K 2,11%, C-Organik 16,32%, C/N 15,54 dan pH 9,43.
Menurut hasil penelitian Syahputra et al. (2014) pemberian kompos mampu
meningkatkan kandungan unsur hara pada tanah yaitu C-Organik 1,38%-1,66 %, N-
total 0,14%-0,18%, P-tersedia 3,48-3,77 ppm, KTK 15,05-18,78 cmol+/kg dan KB
tanah 23,11-31,56%, semakin tinggi dosis kompos yang diberikan yaitu 5 ton/ha, 10
ton/ha dan 15 ton/ha maka kandungan unsur hara tanah juga semakin meningkat. Hal
ini juga sejalan dengan peningkatan hasil produksi kedelai pada pemberian kompos
15 ton/ha yaitu 2,11 ton/ha lebih tinggi dibanding perlakuan tanpa pemberian pupuk
kompos, pemberian kompos 5 ton/ha dan 10 ton/ha secara berurutan hasil produksi
kedelai yaitu 0,96 ton/ha, 1,49 ton/ha dan 1,81 ton/ha.
Rahman dan Sampa (2012) dalam penelitiannya memperoleh hasil serapan N
tanaman kedelai semakin meningkat dengan pemberian kompos 5 ton/ha yaitu 424,3
kg/ha lebih tinggi dibanding tanpa pemberian kompos yang hanya 148,5 kg/ha.
Penelitian Rahma dan Sampa juga didukung oleh penelitian Singer (2008) hasil
penelitiannya yaitu pemberian kompos mampu meningkatkan berat berangkas kedelai
sebesar 18% serta meningkatkan serapan N, P dan K tanaman kedelai dibandingkan
tanpa pemberian pupuk pupuk kompos. Hal ini berarati peningkatan serapan N, P,
dan K pada tanaman kedelai sejalan dengan peningkatan hasil tanaman kedelai.
Menurut Gautam dan Pathak (2014) pemberian pupuk kandang dapat bertindak
langsung sebagai sumber nutrisi bagi tanaman dan bertindak tidak langsung bagi sifat
fisik dan kimia tanah. Salah satu pupuk kandang yang sering digunakan adalah pupuk
kandang ayam. Pupuk kandang ayam mampu memperbaiki sifat kimia, fisika dan
biologi tanah. Hal ini pun didukung hasil penelitian Falodun et al. (2015) dimana
hasil penelitiannya menyatakan bahwa pemberian 10 ton pupuk kandang ayam
mampu menghasilkan berat biji kedelai sebanyak 3,9 ton/ha lebih tinggi dibanding
pemberian pupuk anorganik NPK yang hanya 3,2 ton/ha.
Hasil penelitian Melati dan Widiyastuti (2005) mengatakan bahwa perlakuan
pupuk kandang berpengaruh terhadap produksi kedelai. Dimana pada pemberian 10
ton/ha pupuk kandang ayam meningkatkan hasil dari produksi bobot basah dan bobot
kering polong isi sebesar 2,04 g/tanaman dan 1,31 g/tanaman serta berbeda nyata
terhadap perlakuan tanpa pemberian pupuk kandang. Sedangkan menurut hasil
penelitian Zainal et al. (2014) dengan pemberian 15 ton/ha pupuk kandang ayam
mampu menghasilkan biji kering sebanyak 2,17 ton/ha lebih tinggi dibanding
pemberian pupuk kandang 7,5 ton/ha.
Latuamury (2015) dalam penelitianya memperoleh hasil pemberian pupuk
kandang ayam 13,5 ton/ha meningkatkan hasil produksi kacang hijau lebih tinggi
dibanding hasil produksi kacang hijau yang diberi pupuk kandang sapi dan pupuk
kandang kambing dengan dosis yang sama yaitu sebesar 21% dan 32 % (1,64 ton/ha).
Selanjutnya Irfan et al. (2017) dalam penelitiannya memperoleh hasil analisis hara
pupuk kandang ayam yaitu 1,0% N, 0,8% P, dan 0,4 K lebih tinggi dibanding pupuk
kandang sapi dan pupuk kandang kambing yaitu 0,4% dan 0,6% N, 0,2% dan 0,3% P,
0,1% dan 0,17% K. Kandungan hara yang lebih tinggi pada pupuk kandang ayam
akan menyediakan hara yang lebih baik dibanding pupuk kandang sapi dan kambing
yang kandungan haranya rendah.
Pupuk kandang merupakan pupuk yang memiliki potensi besar sebagai pupuk
untuk tanaman pangan. Namun dalam pemanfaatannya mengalami beberapa kendala
seperti diperlukannya penyimpanan dan transportasi yang cukup mahal, lokasi
peternakan yang terpisah-pisah, pengaruh terhadap tanaman bervariasi sehingga
kandungan unsur hara kurang seimbang, dan biasanya pupuk kandang mengandung
biji gulma dan patogen serta logam berat (Hartatik dan Widiowati, 2006).
Menurut penelitian Otieno et al. (2018) serapan N tanaman kedelai akibat
pemberian pupuk kandang ayam 10 ton/ha adalah 2,11 % lebih tinggi dibanding
serapan N pada perlakuan tanpa pupuk kandang ayam dan pupuk NPK yang hanya
1,81% dan 1,98%. Taufiq dan Kristiono (2015) menyatakan bahwa serapan hara
terhadap tanaman dapat dilihat dari pertumbuhan tanaman dan hasil tanaman, hal ini
karena tanaman menyerap unsur hara yang tersedia didalam tanah.Semakin baik
pertumbuhan tanaman dan hasil tanaman berarti tingkat kesuburan tanah semakin
baik, hal ini karena tingkat pertumbuhan tanaman dan hasil tanaman mencerminkan
tingkat kesuburan tanah. Pendapat Taufiq juga didukung oleh Salvagiotti et al. (2008)
yang menyatakan hubungan antara serapan N dan hasil biji kedelai, dimana semakin
meningkat serapan N tanaman maka akan menunjukkan peningkatan terhadap hasil
biji kedelai.
Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan penghasil protein nabati, yang
sangat baik untuk peningkatan gizi masyarakat, hal ini karena kedelai selain aman
untuk tubuh juga memiliki harga yang relatif murah jika dibandingkan protein
hewani. Sebagai suatu sumber protein kedelai umumnya dapat dikonsumsi dalam
berbagai bentuk olahan seperti tahu, tempe, kecap, tauco, susu kedelai, dan berbagai
makanan ringan lainnya (Sudaryanto dan Suwastika, 2007).
Menurut Krisdiana (2011) kebutuhan kedelai domestik sekitar 2,3 juta ton per
tahun, sedangkan produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi 30-40% dari
kebutuhan nasional, sehingga kekurangannya dipenuhi dari impor. Produksi kedelai
sendiri menurut Badan Pusat Statistika (2015) untuk produksi kedelai Nasional pada
tahun 2015 yaitu sebesar 963.183 ton dengan luas wilayah panen 641.095 ha.
Sedangkan untuk produksi kedelai di Provinsi Jambi pada tahun 2015 yaitu sebesar
6.732 ton dengan luas wilayah panen 4.906 ha dengan produktivitas 1,37 ton/ha
(Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi, 2018).
Berdasarkan uraian diatas penulis berharap hasil produksi kedelai dapat
ditingkatkan. Oleh karena itu penulis tertarik melakukan penelitian mengenai
“Pengaruh Pemberian Pupuk Organik terhadap N-total Tanah, Serapan N dan
Hasil Tanaman Kedelai (Glycine max L. Merrill) pada Ultisol”.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian pupuk organik
terhadap perbaikan N-total Ultisol dan serapan N serta hasil tanaman kedelai di
Ultisol.

1.3 Manfaat Penelitian


Penelitian ini memberikan informasi tentang manfaat pemberian pupuk organik
terhadap perbaikan N-total Ultisol dan serapan N serta hasil tanaman kedelai di
Ultisol.

1.4 Hipotesis
1. Penambahan pupuk organik mampu memperbaiki N-total pada Ultisol dan
serapan N serta meningkatkan hasil kedelai.
2. Dosis pemberian pupuk organik 15 ton/ha memberikan pengaruh terbaik
terhadap N-Total Ultisol dan serapan N serta meningkatkan hasil kedelai.

Anda mungkin juga menyukai