Disusun Oleh:
GILANG SUKMA PUTRA
A151140041
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
2
PENDAHULUAN
Latar Belakang
meningkatkan hasil panen padi sudah dirasa perlu untuk diterapkan sehingga
produksi padi dan kesejahteraan petani semakin membaik.
Tujuan
Gambar 2. Tipologi lahan rawa pasang surut berdasarkan pengaruh luapan pasang
Disebut lahan potensial karena mempunyai kendala lebih ringan
dibandingkan dengan lahan sulfat masam atau lahan gambut, antara lain
kemasaman tanah sedang (pH tanah > 4,0-4,5), lapisan pirit ada pada kedalaman
> 100 cm, kadar aluminium, dan besi rendah. Disebut lahan sulfat masam karena
mempunyai kendala lebih berat karena pirit berada pada kedalaman antara 50-
100 cm dan sebagian pada kedalaman > 100 cm, pH tanah 4.0-4.5 yang apabila
teroksidasi menurunkan pH menjadi < 3.5. Selain itu, tipologi lahan sulfat
masam ini juga mempunyai kadar Al dan Fe yang cukup tinggi. Berdasarkan
kedalaman pirit dan tingkat intensitas oksidasi yang terjadi, lahan sulfat masam
dibagi dalam 2 (dua) tipologi yaitu (1) lahan sulfat masam potensial dan (2)
lahan sulfat masam aktual.
Disebut lahan gambut karena adanya lapisan gambut pada lapisan atas
setebal > 50 cm dengan kadar bahan organik > 20%. Berdasarkan ketebalannya,
lahan gambut dibagi dalam 4 (empat) tipologi lahan, yaitu gambut dangkal
5
(apabila tebal gambut > 50 - 100 cm), gambut sedang (tebal gambut 101 - 200
cm), gambut dalam (tebal gambut 201 - 300 cm), dan gambut sangat dalam
(tebal gambut > 300 cm). Lahan gambut mempunyai sifat tersendiri berbeda
dengan tipologi lainnya antara lain adanya lapisan gambut dengan kerapatan
lindak (bulk density) < 0.1 g/cm3 sehingga daya dukung lahan terhadap beban
sangat rendah. Selain itu, sifat khas lainnya yaitu kahat (defisiensi) hara mikro,
terutama Cu dan Zn. Adapun disebut lahan salin karena mempunyai kendala
berupa salinitas akibat pengaruh intrusi air laut dan umumnya tekstur kasar
(berpasir) karena berada pada dataran pantai (coastal plain).
Berdasarkan jenis tanahnya menurut USDA Soil Taxonomy, tanah-tanah
di lahan rawa dapat dimasukan ke dalam kelompok besar (Great group) (1)
tanah alluvial marin (Sulfaquent, Sulfaquept Hydraquent, Fluvaquent), (2) tanah
alluvial sungai (Endoaquent, Endoaquept), (3) tanah gambut
(Haplofibrist/Haplohemist, Sulfohemist/Sulfosaprist, Sulfohemist/Sulfosaprist).
Dari ketiga kelompok besar tanah tersebut, kelompok tanah alluvial marin
banyak ditemukan pada tipologi rawa pasang surut dan rawa pantai, kelompok
tanah alluvial sungai banyak ditemukan di rawa lebak, sedang kelompok tanah
gambut banyak ditemukan baik di rawa pasang surut maupun rawa lebak, dan
sedikit di tipologi rawa pantai (Nursyamsi dan Noor, 2012).
Berdasarkan sifat dan karakteristik tipe lahan yang ada pada lahan rawa
pasang surut, Maka dapat diketahui kendala dan masalah yang umum dihadapi
petani di dalam usahatani padi lahan rawa pasang surut adalah sebagai berikut;
a. Lahan potensial
Masalah kesuburan tanah yang rendah
Jumlah ion Fe (besi) dan Al (alumunium) yang cukup tinggi pada tanah
pH rendah
Kahat hara N, P, K, dan Si
Kahat hara mikro (Cu dan Zn)
d. Lahan salin
Konsentrasi garam (NaCl) pada tanah tinggi, terutama pada musim kemarau
Pemecahan Masalah
Pengaturan tata air mikro, dengan memasang pintu air (flapgate) searah,
b. Lahan sulfat masam
Pintu air perlu diatur untuk dapat ditutup pada saat kemarau sehingga
air surut. Dengan demikian, lambat laun pH tanah naik mendekati netral
Perlu juga diberikan hara mikro CuSO4 (terusi besi ) dan ZnSO4 dengan
Parit drainase dan pintu air harus dangkal, untuk mencegah gambut
cara disemprot lewat daun
Pintu air perlu diatur dan ditutup pada saat musim kemarau sehingga
tidak mengering dan menjadi pseuodosand
Berbeda dengan lahan sawah irigasi, kendala usahatani padi pada lahan
pasang surut lebih beragam, sehingga penyiapan lahan untuk budidaya
memerlukan teknologi yang relatif berbeda. Menurut Simatupang dan Nurita
(2013) sistem pengelolaan tanah konservasi dapat diaplikasikan pada lahan
pasang surut dengan tiga cara yaitu, (1) penyiapan lahan dengan “tajak” (cara
tradisional), (2) tanpa pengolahan (zero tillage), dan (3) full tillage with
regulations (FTR). Cara pertama dan kedua merupakan inovasi teknologi yang
dapat dikembangkan di lahan rawa pasang surut dimana mampu meningkatkan
produksi tanaman.
Pada cara pengolahan tanah secara tradisional dengan “tajak”, petani
menebas dan membenamkan gulma pada kedalaman 3 -5 cm saja agar pirit tidak
7
terpapar. Biasanya dilakukan pada saat tanah digenangi air sedalam 5 – 10 cm.
Namun demikian, cara ini menjadi kurang efisien karena untuk mempersiapkan
lahan sampai siap tanam membutuhkan kira-kira 45 – 50 orang/hari/ha.
Ditambah lagi, biaya ongkos tenaga kerja dan alat menjadi sangat mahal dan
tidak cocok untuk petani daerah pasang surut yang rata-rata memiliki
pendapatan rendah dan terbatas (Ramli et al. 1992).
Penyiapan lahan dengan teknologi Tanpa Olah Tanah (TOT) atau zero
tillage dapat diaplikasikan untuk penyiapan lahan sawah pada lahan pasang
surut. Penyiapan lahan dapat dilakukan dengan cara tebas atau penyemprotan
herbisida;
Gulma atau rumput ditebas dengan tajak besar di saat lahan berair
Tebas
Penyemprotan dilakukan lebih awal agar waktu tanam padi tidak tertunda
atau Paraquat
hewan liar
Penerapan teknik budidaya dan varietas tanaman yang secara khusus
disesuaikan dengan kondisi lingkungan lahan rawa tersebut.
Sistem orang Banjar merupakan sistem pertanian tradisional lahan rawa
yang akrab dan selaras dengan alam, yang disesuaikan dengan situasi ekologis
lokal seperti tipologi lahan dan keadaan musim yang erat kaitannya dengan
keadaan topografi, kedalaman genangan, dan ketersediaan air. MacKinnon et al.
(1996) menilai sistem ini sebagai sistem multicropping berkelanjutan yang
berhasil pada suatu lahan marjinal, sistem pertanian yang produktif dan self
sustaining dalam jangka waktu lama. Hal ini terlihat dari penerapan sistem
surjan Banjar dan pola suksesi dari pertanaman padi menjadi kelapa–pohon,
buah-buahan–ikan yang diterapkan petani Banjar (Haris, 2001).
Gambar 3. Sistem Surjan yang merupakan produk kearifan lokal masyarakat Banjar
sampai saat ini masih terus diterapkan dalam usaha budidaya tanaman terpadu di lahan
pasang surut
Sumber: http://image.google.com
Warna Daun (BWD) bisa rancu karena gejala keracunan besi dan
defisiensi hara N sukar dibedakan
6. Pemberian pupuk P dan K didasarkan pada status hara tanah. Pemakaian
Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS) atau menggunakan petak omisi di
lahan pasang surut masih perlu penelitian yang lebih mendalam.
7. Ameliorasi lahan dengan mengaplikasi 1 - 2 ton/ha kapur pertanian
8. Pengendalian gulma secara terpadu
9. Pengendalian hama dan penyakit tanaman secara terpadu (PHT)
10. Panen beregu dan pemrosesan pascapanen menggunakan alat perontok.
Berdasarkan sifatnya, komponen-komponen teknologi ini dapat dipilah
menjadi dua bagian. Pertama, teknologi untuk pemecahan masalah setempat
atau spesifik lokasi. Kedua, teknologi untuk perbaikan cara budidaya yang lebih
efisien dan efektif. Dalam pelaksanaanya, tidak semua komponen teknologi
diterapkan sekaligus, terutama di lokasi yang memiliki masalah spesifik. Namun
ada enam komponen teknologi yang dapat diterapkan bersamaan (compulsory
technology) sebagai penciri pendekatan melalui PTT, yaitu:
Sebagai contoh pada lahan rawa pasang surut tipe A dan B yang
didominasi sebagian besar oleh tanah salin dan sulfat masam, maka petani dapat
menggunakan varietas padi toleran terhadapat salinitas tinggi seperti Mendawak
dan sei Lahan pada petakan yang lebih dekat dari sumber air pasang surut,
sedangkan pada lahan sulfat masam petani dapat menanam padi dengan varietas
yang toleran terhadap keracunan Fe dan Al seperti Banyuasin, Indragiri, atau
Siak Raya. Pada daerah peralihan dimana lahan sawah sulfat masam yang
dipengaruhi oleh pasang surut intensif sehingga memiliki salinitas tinggi, maka
dipilih padi varietas Lambur yang tahan/toleran terhadap kondisi cekaman
keracunan Fe dan Al serta salinitas tinggi.
lubang tanam. Jarak tanam yang digunakan dengan sistem tanam tegel 20 cm x
20 cm (25 rumpun/m2), 25 cm x 25 cm (16 rumpun/m2) atau dengan sistem
legowo 2:1, 4:1, atau tanam dengan sistem tabela (untuk efisiensi tenaga kerja).
Rumpun yang hilang karena tanaman mati, terlewati ditanam, atau rusak karena
hama segera ditanami ulang tidak lebih dari 14 hari setelah tanam. Bibit yang
ditanam berasal dari persemaian yang sama.
Keuntungan Cara Tanam Jajar Legowo (Bobihoe, 2011)
Pada cara tanam Jajar Legowo 2:1, semua tanaman seolah-olah berada
pada barisan pinggir pematang, sedangkan pada cara tanam Jajar Legowo
4:1, separuh tanaman berada pada bagian pinggir (mendapat manfaat
border effect).
Jumlah rumpun padi meningkat sampai 33%/ha
Meningkatkan produktivitas padi 12-22%
Memudahkan pemeliharaan tanaman
Masa pemeliharaan ikan dapat lebih lama, yaitu 70-75 hari dibanding cara
tandur jajar biasa yang hanya 45 hari. Hasil ikan yang diperoleh dapat
menutupi sebagian biaya usaha tani (Sistem Pertanian Terpadu Minapadi)
Dapat meningkatkan pendapatan usahatani antara 30-50%.
Benih tidak tumbuh bila jatuh di permukaan tanah yang tergenang air
kendala, antara lain:
Tanam sebar langsung membutuhkan kondisi tanah yang rata dan sempurna,
input yang lebih rendah dari sistem tanam pindah namun sistem tabela masih
lebih kurang menguntungkan dibanding sistem tanam pindah. Hal Ini
dikarenakan menurut Pane (2003) hingga kini Indonesia belum mempunyai
varietas padi yang sesuai khusus untuk tabela. Karakterisiik benih yang cocok
untuk tabela adalah mampu berkecambah dalam kondisi aerobik, perakaran
dalam dan tidak terlalu tinggi sehingga tidak mudah rebah, jumlah anakan
sedikit tetapi mempunyai malai yang panjang dengan jumlah gabah bernas
tinggi, kemampuan bertunas kurang, umur lebih panjang, daun bendera lebih
luas, malai besar dengan kapasitas sink lebih tinggi, gabah tidak mudah rontok
sehingga kehilangan hasil rendah.
Tabel 3. Kebutuhan pupuk Cu tanaman padi pada lahan gambut/bergambut, dan salin
Nilai uji Cu Tanah (ekstraksi 1 N HCl)
pH Tanah
< 1 ppm > 1 ppm
2.0 kg CuSO4 diberikan sebagai pupuk Pemberian Zn melalui daun (foliar
dasar, dilarutkan dalam 250 liter air/ha application), yaitu 2.0 kg ZnSO4
lalu disemprotkan ke tanah sewaktu dilarutkan dalam 250 liter air/ha lalu
> 6.5
perataan tanah atau dicampur rata disemprotkan ke tanaman padi pada
dengan pupuk SP 36 yang juga fase vegetatif akhir
diberikan sebagai pupuk dasar
Parit dibuat dari pinggir sungai yang mengarah tegak lurus ke arah daratan
a. Ketentuan umum
Pekerjaan ini dimulai dari tepi sungai tegak lurus ke arah pedalaman.
dan menebang pohon-pohon besar
Di bagian tepi sungai dibuat pematang, karena sudah ada tanggul sungai
pedalaman, atau sampai ke ketebalan gambut maksimum 1 meter.
yang terbentuk secara alami, sehingga bila sungai pasang atau banjir,
luapan air akan tertahan dan genangan pada lahan usaha yang ditimbulkan
dipasang tabat untuk mencegah keluarnya air sewaktu surut, tetapi sewaktu
Untuk mencegah agar parit tidak tersumbat oleh endapan lumpur, maka
pasang, air dapat leluasa masuk dalam petakan.
Lebar parit berukuran 5 meter dan semakin menyempit ke arah hulu parit.
Pada kanan dan kiri parit dibuat pematang/tanggul untuk ditanami tanaman
penguat (pohon buah-buahan) agar tanggul tidak longsor. Di atas
Pada setiap 500 meter dibuat parit cacing yang berfungsi untuk
pematang ini juga dapat dibuat ponsok.
Universitas Gajah Mada (UGM) pada lahan pasang surut, yaitu lahan-
lahan yang terletak di dataran pantai atau dataran dekat sungai; baik
Untuk mengatur air pasang surut, maka dibuat pintu-pintu air yang dikenal
terpengaruh langsung maupun tidak langsung oleh pasang surut
dengan flapgate yaitu pintu otomatis yang ketika air pasang, air akan
mendorong pintu sehingga air dapat masuk ke dalam parit-parit petakan
lahan. Sewaktu air surut, air akan tertahan di dalam parit-parit petakan
drainase (outlet). Kedua saluran tersier ini harus dilengkapi dengan pintu air
otomatis (flapgate) yang dapat membuka dan menutup dengan tenaga arus air.
Saluran irigasi akan membuka ketika air pasang, dan akan menutup ketika air
surut. Kondisi demikian diciptakan dengan meletakkan posisi pintu yang
berlawanan arah (Gambar 10). Tinggi rendahnya permukaan air dalam saluran
diatur dengan mengatur pintu outlet (drainase). Keuntungan sistem ini adalah
terjadinya pergantian air segar di dalam saluran secara lebih lancar, potensi
endapan lumpur di dalam saluran kuarter lebih kecil karena tercuci lebih mudah,
serta penumpukan senyawa beracun dan air masam akan dapat dihindari.
Simpulan
Saran
Penerapan konsep PTT pada lahan sawah pasang surut perlu dukungan
penuh dari berbagai pihak terutama pemerintah. Input teknologi PTT menjadi
lebih kompleks jika diterapkan pada lahan sawah pasang surut. Perlu sosialisasi,
praktek, dan tenaga kerja yang membutuhkan investasi. Oleh karena itu
pemerintah sebagai pemilik kewenangan harus berperan aktif dalam memberikan
dukungan modal baik dana maupun penyediaan lahan. Selain itu, perlu adanya
sosialisasi yang intensif kepada masyarakat petani akan keutamaan dan
keuntungan sistem PTT padi pasang surut. Terakhir adalah dalam keseluruhan
proses implementasi sistem PTT perlu adanya pemantauan bersama dari
berbagai pihak dan evaluasi berkala agar sistem ini dapat terus berlanjut,
meningkatkan hasil produksi, meningkatkan kesejahteraan petani, dan tidak
menyebabkan penurunan kualitas lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Pane H. 2003. Kendala dan peluang pengembangan teknologi padi tanam benih
langsung dalam Jurnal penelitian dan Pengembangan pertanian Vol 22 No 44.
Sukamandi: Balai Penelitian Tanaman Padi. Hlm. 172 – 178.
Ramli, R., I. Ar-Riza., dan R. S. Simatupang. 1992.Teknologi sistem usahatani
lahan sulfat masam di Kalimantan Selatan. Dalam Pengembangan Terpadu
pertanian Lahan Pasang surut dan Lebak. Risalah Pertemuan Nasional
Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak,
Puslitbangtan, Badan Litbang, Deptan, Cisarua. Hlm. 185-194.
Simatupang, R. S. 2007. Teknologi olah tanah konservasi mengendalikan
keracunan besi pada padi sawah pasang surut di lahan sulfat masam. Dalam
prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan dan Lingkungan Pertanian.
BB Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor: Badan Litbang Pertanian,
Departemen Pertanian. Hlm.53-64.
Simatupang, R. Smith dan Nurita. 2013. Conservation soil tillage at rice culture
in acid sulphat soil in Proceedings of International Workshop on Sustainable
Management of Lowland for Rice Production. 2012. Husen et al (ed). Jakarta:
Indonesia Agency for Agriculture Research and Development, Ministry of
Agriculture. Page 287 – 298.
Tim Penyusun Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007. Petunjuk
Teknis Lapang: Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Lahan Rawa
Pasang Surut. Jakarta: Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. 37
pp.
Tim Penyusun Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Kep. Riau. 2012. Petunjuk
Teknis Lapang: Pengelolaan Tanam dan Sumberdaya Terpadu Padi Sawah.
Misbah et al (Ed). Tanjung Pinang: Loka Pengkajian Teknologi Pertanian,
Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. 36 pp.