Lahan rawa gambut adalah lahan rawa yang didominasi oleh tanah
gambut. Lahan rawa gambut di Indonesia cukup luas, mencapai 20,6 juta ha atau
10,8% dari luas daratan Indonesia. Lahan ini mempunyai fungsi hidrologi dan
lingkungan bagi kehidupan dan penghidupan manusia serta makhluk hidup
lainnya sehingga harus dilindungi dan dilestarikan. Konservasi dan optimalisasi
pemanfaatan lahan rawa gambut sesuai dengan karakteristiknya memerlukan
informasi mengenai tipe, karakteristik, dan penyebarannya.
Untuk menunjang pembangunan berkelanjutan maka pengembangan
pertanian pada lahan rawa gambut memerlukan perencanaan yang cermat dan
teliti, penerapan teknologi yang sesuai, dan pengelolaan yang tepat. Pemanfaatan
hutan rawa gambut untuk pengembangan pertanian tanaman pangan dan
perkebunan menghadapi kendala yang cukup berat, terutama dalam mengelola
dan mempertahankan produktivitas lahan. Berkurang atau hilangnya kawasan
hutan rawa gambut akan menurunkan kualitas lingkungan, bahkan menyebabkan
banjir pada musim hujan serta kekeringan dan kebakaran pada musim kemarau.
Hal inilah yang mendasari Tim Sintesis Kebijakan dari Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian melakukan usaha pemanfaatan dan
pelestarian lahan gambut yang dituangkan dalam bentuk kajian ilmiah berupa
jurnal yang berjudul “Pemanfaatan dan Konservasi Ekosistem Lahan Rawa
Gambut di Kalimantan” yang dipublikasikan oleh Pengembangan Inovasi
Pertanian 1(2), 2008: 149-156.
Analisis masalah yang dilakukan oleh Tim Sintesis Kebijakan dilakukan
dengan menelaah tinjauan-tinjauan umum yang berkaitan dengan lahan rawa
gambut khususnya yang ada di Kalimantan. Tanah gambut adalah tanah-tanah
yang jenuh air, tersusun dari bahan tanah organik berupa sisa-sisa tanaman dan
jaringan tanaman yang telah melapuk dengan ketebalan lebih dari 50 cm. Tanah
gambut selalu terbentuk pada tempat yang kondisinya jenuh air atau tergenang,
seperti pada cekungan-cekungan daerah pelembahan, rawa bekas danau, atau
daerah depresi/basin pada dataran pantai di antara dua sungai besar, dengan bahan
organic dalam jumlah banyak yang dihasilkan tumbuhan alami yang telah
beradaptasi dengan lingkungan jenuh air. Di Kalimantan, ada beberapa spesies
indikator yang mencirikan suatu hutan rawa gambut, antara lain ramin
(Gonystylus bancanus), suntai (Palaquium burckii), semarum (Palaquium
microphyllum), terentang (Camnosperma auriculata), dan meranti rawa (Shorea
spp.).
Berdasarkan tinjauan yang dilakukan oleh Tim Sintesis Kebijakan,
karakteristik lahan rawa gambut di Kalimantan dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Terletak pada zona lahan rawa air tawar, dan sebagian pada zona lahan
rawa pasang surut.
2. Berdasarkan tingkat kematangan atau dekomposisinya, tanah gambut
dibedakan menjadi tiga, yakni:
a. gambut yang tingkat dekomposisinya baru dimulai atau masih
awal, disebut fibrik.
b. gambut hemik, sekitar separuh bahan (hemi =
separuh/pertengahan) telah mengalami dekomposisi;
c. gambut saprik, sebagian besar gambut telah mengalami
dekomposisi (matang).
3. Hasil inventarisasi dengan menggunakan citra satelit rekaman tahun
2002-2003 menunjukkan, luas lahan rawa gambut di Kalimantan
mencapai 5.769.246 ha, yang terdiri atas
a. lahan gambut sangat dangkal (<50 cm) seluas 189.448 ha;
b. dangkal (50-100cm) 1.740.585 ha;
c. sedang (100-200 cm) 1.390.7887 ha;
d. dalam (200-400 cm) 1.105.096 ha;
e. sangat dalam (400-800 cm) 1.065.636 ha,
f. dalam sekali (800-1200 cm) 277.694 ha.
4. Lapisan tanah mineral bawah gambut berasal dari endapan liat marin,
pasir kuarsa, dan liat bukan marin (endapan sungai).
a. Pada gambut dengan lapisan tanah bawah dari endapan marin
dapat terjadi bahaya keracunan asam sulfat yang berasal dari
oksida senyawa sulfur. Keracunan terjadi bila lapisan gambut
telah menipis, baik karena kesalahan dalam pembukaan
maupun karena terjadinya subsidence, sehingga senyawa pirit
teroksidasi dan menghasilkan asam sulfat dan besi.
b. Adanya lapisan tanah bawah yang berupa pasir kuarsa
menunjukkan bahwa gambut memiliki kesuburan yang rendah,
karena terbentuk dari vegetasi hutan yang miskin unsur hara.
Tanah gambut yang terletak di atas lapisan tanah mineral relatif
lebih subur, karena lapisan tanah mineral berasal dari
lingkungan endapan sungai. Gambut tersebut terdapat di daerah
pedalaman yang jauh dari pantai
5. Gambut memiliki daya menahan air yang besar, yaitu 300-800% dari
bobotnya, sehingga daya lepas airnya juga besar. Dalam kaitan ini,
keberadaan lahan gambut, terutama gambut sangat dalam (lebih dari 4
m), sangat penting untuk dipertahankan sebagai daerah konservasi air,
terlebih bila pada bagian hilirnya terdapat kota-kota pantai seperti
Pontianak, Banjarmasin, Balikpapan, dan Samarinda.
Dijabarkan dari hasil tinjauan Tim Sintesis Kebijakan, sifat fisik dan sifat
kimia lahan rawa gambut ialah:
a. Sifat fisika
Lahan gambut memiliki bobot isi atau kerapatan lindak (bulk density-BD)
gambut berkisar antara 0,05- 0,30 g/cm3.
Tanah gambut dengan kandungan bahan organik lebih dari 65%
mempunyai bulk density untuk gambut fibrik 0,11-0,12 g/cm3, untuk
hemik 0,14-0,16 g/cm3, dan untuk saprik 0,18-0,21 g/cm3.
Bila kandungan bahan organik antara 30-60%, kerapatan lindak untuk
hemik adalah 0,21-0,29 g/cm3 dan saprik 0,30-0,37 g/cm3.
Nilai kerapatan lindak sangat ditentukan oleh tingkat
pelapukan/dekomposisi bahan organik dan kandungan mineral.
b. Sifat kimia
Tanah gambut pada umumnya memiliki sifat asam dengan pH 3,0-4,5.
Gambut dangkal mempunyai pH lebih tinggi (pH4,0-5,1) daripada gambut
dalam (pH 3,1-3,9). Kandungan basa (Ca, Mg, K dan Na) dan kejenuhan
basa rendah.
Kandungan Al pada tanah gambut umumnya rendah sampai sedang, dan
berkurang dengan menu-runnya pH tanah.
Kandungan unsur mikro, khususnya Cu, Bo dan Zn, sangat rendah, namun
kan-dungan besi (Fe) cukup tinggi
Umumnya gambut dangkal (<1 m) yang terdapat di bagian tepi kubah
mempunyai kadar abu sekitar 15%, bagian lereng dengan kedalaman 1-3
m berkadar sekitar 10%, sedangkan di pusat kubah yang lebih dari 3 m
berkadar <10% bahkan <5%. Makin tebal gambut, kandungan abu makin
rendah, kandungan Ca dan Mg menurun dan reaksi tanahnya lebih masam.