Anda di halaman 1dari 9

2.1.

Tanah Gambut
Tanah gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa
tumbuhan setengah membusuk yang tertimbun dalam masa ratusan hingga ribuan
tahun yang terbentuk dalam kondisi asam, dan kondisi anaerobik lahan basah
dengan komposisi lebih dari 50% karbon, pasir silikat, lumut sphagnum, batang,
dan akar rumput-rumputan dan sisa-sisa hewan. Tanah gambut dikelompokkan ke
dalam ordo histosol (histos = jaringan) atau sebelumnya dinamakan organosol
yang mempunyai ciri dan sifat yang berbeda dengan jenis tanah mineral
umumnya. Tanah gambut mempunyai sifat beragam karena perbedaan bahan asal,
proses pembentukan, dan lingkungannya (Noor, 2010). Tanah gambut mempunyai
ciri yang khas yaitu mengandung serat-serat organik tinggi, berwarna coklat
sampai hitam. Tanah gambut merupakan tanah dengan karakteristik yang sangat
berbeda, jika dibandingkan dengan tanah lempung. Perbedaan terletak pada sifat
fisik dan sifat teknisnya. Secara fisik tanah gambut dikenal sebagai tanah yang
mempunyai kandungan bahan organik dan kadar air yang sangat tinggi, angka
pori yang besar, dan adanya serat-serat, sedangkan secara teknis tanah gambut
memiliki pemampatan yang tinggi. Berikut definisi dan pengertian tanah gambut
dari beberapa sumber buku: 1). Menurut Noor (2010), tanah gambut adalah
hamparan daratan morfologi dan sifat-sifatnya sangat dipengaruhi oleh keadaan
bahan organik yang dikandungnya. Gambut berasal dari onggokan sisa tanaman
yang tertimbun dalam masa dari ratusan sampai bahkan ribuan tahun; 2). Menurut
Dion dan Nautiyal (2008), tanah gambut adalah bahan berwarna hitam kecoklatan
yang terbentuk dalam kondisi asam, dan kondisi anaerobik lahan basah. Gambut
terdiri dari bahan organik yang sebagian terurai secara bebas dengan komposisi
lebih dari 50% karbon; 3). Menurut Rochayati (2005), tanah gambut adalah jenis
tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang setengah membusuk
oleh karena itu kandungan organiknya tinggi. Gambut sebagian besar terdiri dari
pasir silikat dan sebagian lagi terdiri atas bahan-bahan organik yang berasal dari
tumbuhan yang belum terdekomposisi secara sempurna.
Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang
sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses
dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya
yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai.
Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah
yang disebabkan oleh proses deposisi dan transportasi, berbeda dengan proses
pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik.
Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya danau dangkal yang secara
perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah. Tanaman yang
mati dan melapuk secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi
lapisan transisi antara lapisan gambut dengan lapisan di bawahnya berupa tanah
mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari danau
dangkal ini dan secara membentuk lapisan-lapisan gambut sehingga danau
tersebut menjadi penuh. Bagian gambut yang tumbuh mengisi danau dangkal
tersebut disebut dengan gambut topogen karena proses pembentukannya
disebabkan oleh topografi daerah cekungan. Gambut topogen biasanya relatif
subur (eutrofik) karena adanya pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu
tertentu, misalnya jika ada banjir besar, terjadi pengkayaan mineral yang
menambah kesuburan gambut tersebut. Tanaman tertentu masih dapat tumbuh
subur di atas gambut topogen. Hasil pelapukannya membentuk lapisan gambut
baru yang lama kelamaan membentuk kubah (dome) gambut yang permukaannya
cembung. Sedangkan gambut yang tumbuh di atas gambut topogen dikenal
dengan gambut ombrogen, yang pembentukannya ditentukan oleh air hujan.
Gambut ombrogen lebih rendah kesuburannya dibandingkan dengan gambut
topogen karena hampir tidak ada pengkayaan mineral.

2.1.1. Klasifikasi Tanah Gambut


Menurut Agus dan Subiksa (2008), berdasarkan lingkungan tumbuh dan
pengendapan yang terjadi, gambut dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
1. Gambut Ombrogen. Gambut yang terbentuk pada lingkungan yang hanya
dipengaruhi oleh air hujan;
2. Gambut Topogen. Gambut yang terbentuk di lingkungan yang mendapat
pengayaan air pasang. Dengan demikian gambut topogen akan lebih kaya
mineral dan lebih subur dibandingkan dengan gambut ombrogen.
Menurut Wiratama (2012), berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dapat
dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Gambut saprik (matang), adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan
bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila
diremas kandungan seratnya < 15%;
2. Gambut hemik (setengah matang), adalah gambut setengah lapuk,
sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarma coklat, dan bila
diremas bahan seratnya 15 - 75%.
3. Gambut fibrik (mentah), adalah gambut yang belum melapuk, bahan
asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas >75%
seratnya masih tersisa.
Berdasarkan bahan asal atau penyusunnya, gambut dibagi menjadi tiga jenis,
yaitu:
1. Gambut lumutan (sedimentairy/sedge peat), adalah gambut yang terdiri
atas campuran tanaman air (Famili Liliceae) termasuk plankton dan
sejenisnya.
2. Gambut seratan (fibrous/sedge peat), adalah gambut yang terdiri atas
campuran tanaman sphagnum dan rumputan.
3. Gambut kayuan (woody peat), adalah gambut yang berasal dari jenis
pohon-pohonan (hutan tiang) beserta tanaman semak (paku-pakuan) di
bawahnya.
Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Gambut Eutrofik, adalah gambut yang subur yang kaya akan bahan
mineral dan basa-basa serta unsur hara lainnya. Gambut yang relatif subur
biasanya adalah gambut yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen sungai
atau laut.
2. Gambut Mesotrofik, adalah gambut yang agak subur karena memiliki
kandungan mineral dan basa-basa sedang.
3. Gambut Oligotrofik, adalah gambut yang tidak subur karena miskin
mineral dan basa-basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh
dari pengaruh lumpur sungai biasanya tergolong gambut oligotrofik.
Sedangkan berdasarkan tingkat kedalamannya, gambut dapat dibedakan menjadi
beberapa jenis, yaitu:
1. Gambut dangkal (50 – 100 cm).
2. Gambut sedang (100 – 200 cm).
3. Gambut dalam (200 – 300 cm).
4. Gambut sangat dalam (> 300 cm).

2.1.2. Karakteristik Fisika Tanah Gambut


Tanah gambut umumnya berwarna coklat muda hingga coklat tua sampai
gelap kehitaman, sangat lunak, mudah ditusuk, mengotori tangan, bila diperas
mengeluarkan cairan gelap dan meninggalkan ampas sisa tumbuhan yang didapat
dari permukaan bumi hingga beberapa meter tebalnya. Endapan gambut di
permukaan dapat ditumbuhi berbagai spesies tumbuhan mulai dari spesies lumut,
semak hingga pepohonan besar. Gambut yang berwarna lebih gelap biasanya
menunjukkan tingkat pembusukan lebih cepat. Secara makroskopis gambut tropis
umumnya terdiri atas sisa-sisa akar, batang dan daun dalam jumlah yang
berlimpah.
Sifat fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk pertanian
meliputi kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan beban (bearing
capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak balik
(irriversible drying). Kadar air tanah gambut berkisar antara 100 – 1.300% dari
berat keringnya. Artinya bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali
bobotnya. Kadar air yang tinggi menyebabkan BD menjadi rendah, gambut
menjadi lembek dan daya menahan bebannya rendah. BD tanah gambut lapisan
atas bervariasi antara 0,1 sampai 0,2 g cm3 tergantung pada tingkat
dekomposisinya. Gambut fibrik yang umumnya berada di lapisan bawah memiliki
BD lebih rendah dari 0,1 g/cm3 tapi gambut pantai dan gambut di jalur aliran
sungai bisa memiliki BD > 0,2 g cm3. Apabila gambut mengalami pengeringan
yang berlebihan maka koloid gambut akan rusak. Bila terjadi kemarau panjang
lahan gambut akan kering selamanya (irreversible drying) dan gambut berubah
sifat seperti arang sehingga tidak mampu lagi menyerap hara dan menahan air.
Gambut akan kehilangan air tersedia setelah 4-5 minggu pengeringan dan ini
mengakibatkan gambut mudah terbakar dan sulit dipadamkan (Ratmini, 2012).

2.1.2. Karakteristik Kimia Tanah


Sifat kimia lahan gambut di Indonesia sangat ditentukan oleh kandungan
mineral, ketebalan, jenis mineral pada sub stratum (di dasar gambut), dan tingkat
dekomposisi gambut. Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang
dari 5% dan sisanya adalah bahan organik. Fraksi organik terdiri dari senyawa-
senyawa humat sekitar 10 hingga 20 persen dan sebagian besar lainnya adalah
senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, protein, dan
senyawa lainnya.
Secara umum keasaman tanah gambut berkisar antara 3 - 5 dan semakin tebal
bahan organik maka keasaman gambut meningkat. Gambut pantai memiliki
keasaman lebih rendah dari gambut pedalaman. Kondisi tanah gambut yang
sangat asam menyebabkan kahat hara N, P, K, Ca, Mg, B, dan Mo. Keasaman
tanah gambut disebabkan oleh kandungan asam amino organik yang terdapat pada
koloid gambut. Dekomposisi bahan organik pada kondisi anaerob menyebabkan
terbentuknya senyawa fenolat dan karboksilat yang mengakibatkan keasaman
gambut meningkat. Selain itu terbentuknya senyawa fenolat dan karboksilat dapat
meracuni tanaman pertanian. Jika tanah lapisan bawah mengandung pirit,
pembuatan parit drainase dengan kedalaman mencapai lapisan pirit akan
menyebabkan pirit teroksidasi dan menyebabkan meningkatnya keasaman gambut
(Ratmini, 2012).

2.1.3. Karakteristik Biologi Tanah


Selain masalah sifat fisik dan kimia tanah gambut, juga terdapat masalahbiologi
yaitu terjadinya kehilangan unsur C dan N akibat mineralisasi C dan N-organik.
Pada lingkungan gambut yang reduktif, laju dekomposisi gambut sangat. lambat
dan banyak dihasilkan asam organik beracun, kadar CH 4, dan CO2. CH4, dan CO2
merupakan gas utama yang menetukan efek rumah kaca atau pemanasan global,
ole sebab itu lahan gambut yang merupakan tempat akumulasi karbon harus
dikelola dengan baik agar tidak menjadi penyebab pemanasan global yang
akhirnya berpengaruh buruk pada kehidupan makhluk hidup (Suriadikarta, 2012).
Terdapat tiga golongan mikroba di dalam tanah gambut, yaitu: 1). Golongan
autochthonous, golongan mikroba yang selalu tetap didapatkan di dalam tanah
dan tidak tergantung kepada pengaruh-pengaruh lingkungan luar; 2). Golongan
zimogenik, golongan mikroba yang kehadirannya di dalam tanah diakibatkan oleh
adanya pengaruh-pengaruh luar yang baru, dan; 3). Golongan transien, golongan
mikroba yang kehadirannya bersamaan dengan adanyapenambahan secara buatan.
Kelompok mikroba tersebut memiliki peran di tanah terutama dalam daur unsur
organik yang penting untuk kehidupan seperti daur nitrogen dan daur fosfor.
Bakteri yang terlibat dalam daur nitrogen adalah bakteri penambat nitrogen
sedangkan bakteri yang terlibar dalam daur fosfor adalah bakteri pelarut fosfat.
Bakteri penambat nitrogen merüpakan bakteri yang berperan dalam penyediaan
nitrogen pada tanah karena bakteri tipe ini mampu menambat nitrat dengan
mengoksidasi ion ammonium pada tanah sehingga dapat. terikat dengan kuat pada
komponen-komponen humus yang menyebabkan nitrat tidak mudah terbilas
keluar tanah (Wirosoedarmo, 2013.).
Bakteri pelarut fosfat merupakan bakteri yang berperan dalam penyuburan
tanah karena bakteri tipe ini mampu melakukan mekanisme pelarutan fosfat
dengan mengekskresikan sejumlah asam organik berbobot molekul rendah seperti
oksalat, suksinat, fumarat, dan malat. Asam organik ini akan bereaksi dengan
bahan pengikat fosfat seperti Al3+, Fe3+, Ca2+, atau Mg2 +
membentuk khelat
organik yang stabil sehingga mampu membehaskan ion fosfat terikat dan dapat
diserap oleh tanaman (Suriadikarta, 2012).
DAFTAR PUSTAKA

Noor, M. 2010. Lahan Gambut. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.


Dion, P., dan Nautiyal, C.S. 2008. Microbiology of Extreme Soils. Soil Biology
13. Berlin: Springer-Verlag Heidelberg.
Ratmini, Sri. 2012. Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Gambut untuk
Pengembangan Pertanian. Palembang: Jurnal Lahan Suboptimal, Vol. 1
No. 2.
Wiratama, Ade. 2012. Eksplorasi Bakteri Potensial Sebagai Pupuk Hayati pada
Lahan Gambut Bekas Terbakar dan Lahan Gambut Tidak Terbakar dari
Suriadikarta,D.A. 2012. Teknologi Lahan Gambut Berkelanjutan. Dalam Edi
Husen, Markus Anda, M. Noor, Mamat HS., Maswar, Arifin Fahmi dan
Yiyi Sulaiman (Eds). Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan
Gambut Berkelanjutan. Bogor 4 Mei 2012. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Hal. 197-212.Riau.
Bogor: Jurnal Kimia Lingkungan, Vol.1, No.1.
Rosyidah, E dan R. Wirosoedarmo. 2013. Pengaruh Sifat Fisik Tanah pada
Konduktivitas Hidrolik Jenuh di 5 Penggunaan Lahan. Jumal Agritech.
Malang: Universitas Brawijaya.
LAMPIRAN

Gambar 1. Proses Pengambilan Sampel Gambar 2. Proses Pengambilan Sampel


Tanah Gambut Tanah Mineral
Dok. Pribadi Dok. Pribadi

Gambar 3. pH Gambut (Pengukuran 1) Gambar 4. pH Gambut (Pengukuran 2)


Dok. Pribadi Dok. Pribadi
Gambar 5. pH Mineral (Pengukuran 1) Gambar 6. pH Mineral (Pengukuran 2)
Dok. Pribadi Dok. Pribadi

Gambar 7. Tanah Gambut Gambar 8. Tanah Mineral


Dok. Pribadi Dok. Pribadi

Gambar 9. Tanah Gambut Gambar 10. Tanah Mineral


Dok. Pribadi Dok. Pribadi

Gambar 11.
Dok. Pribadi

Anda mungkin juga menyukai