STUDI PUSTAKA
4
Secara umum tanah Gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari
akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang setengah membusuk. Oleh sebab itu,
kandungan bahan organiknya tinggi. Tanah yang terutama terbentuk di lahan-
lahan basah ini disebut dalam bahasa Inggris sebagai peat; dan lahan-lahan
bergambut di berbagai belahan dunia dikenal dengan aneka nama seperti bog,
moor, muskeg, pocosin, mire, dan lain-lain. Istilah gambut sendiri diserap
dari bahasa daerah Banjar.
Definisi dan Pengertian Gambut (Bod Peat) adalah jenis tanah yang
sebagian besar terdiri dari pasir silikat dan sebagian lagi terdiri atas bahan-
bahan organik asal tumbuhan yang sedang dan atau sudah melalui proses
dekomposisi. Jenis tanah ini sebagian besar terdiri atas bahan organik yang
tidak dirombak atau dirombak sedikit, terkumpul dalam keadaan air
berlebihan (melimpah ruah).
5
2.2.2. Karakteristik Tanah Gambut
Karakteristik tanah gambut dibedakan atas 2 jenis karakteristik yaitu secara
fisik dan secara kimia.
A. Karakteristik Tanah Gambut secara fisik
Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya
untuk pertanian meliputi kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya
menahan beban (bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan
mengering tidak balik (irriversible drying). Kadar air tanah gambut berkisar
antara 100 – 1.300% dari berat keringnya (Mutalib et al., 1991). Artinya
bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali
bobotnya. Dengan demikian, sampai batas tertentu, kubah gambut mampu
mengalirkan air ke areal sekelilingnya (Gambar 2.1).
6
subsiden juga terjadi karena adanya proses dekomposisi dan erosi. Dalam 2
tahun pertama setelah lahan gambut didrainase, laju subsiden bisa mencapai
50 cm. Pada tahun berikutnya laju subsiden sekitar 2 – 6 cm tahun-1
tergantung kematangan gambut dan kedalaman saluran drainase. Adanya
subsiden bisa dilihat dari akar tanaman yang menggantung (Gambar 2.2).
7
B. Karakteristik Tanah Gambut secara Kimia
Karakteristik kimia lahan gambut di Indonesia sangat ditentukan
oleh kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral pada substratum (di
dasar gambut), dan tingkat dekomposisi gambut. Kandungan mineral
gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya adalah bahan
organik. Fraksi organik terdiri dari senyawa-senyawa humat sekitar 10
hingga 20% dan sebagian besar lainnya adalah senyawa lignin, selulosa,
hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, protein, dan senyawa lainnya.
Lahan gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif
tinggi dengan kisaran pH 3 – 5.
Gambut oligotropik yang memiliki substratum pasir kuarsa di
Berengbengkel, Kalimantan Tengah memiliki kisaran pH 3,25 – 3,75
(Salampak, 1999). Sementara itu gambut di sekitar Air Sugihan Kiri,
Sumatera Selatan memiliki kisaran pH yang lebih tinggi yaitu antara 4,1
sampai 4,3 (Hartatik etal., 2004). Gambut oligotropik, seperti banyak
ditemukan di Kalimantan, mempunyai kandungan kation basa seperti Ca,
Mg, K, dan Na sangat rendah terutama pada gambut tebal. Semakin tebal
gambut, basa-basa yang dikandungnya semakin rendah dan reaksi tanah
menjadi semakin masam. Di sisi lain kapasitas tukar kation (KTK)
gambut tergolong tinggi, sehingga kejenuhan basa (KB) menjadi sangat
rendah. Tim Institut Pertanian Bogor melaporkan bahwa tanah gambut
pedalaman di Kalampangan, Kalimantan Tengah mempunyai nilai KB
kurang dari 10%, demikian juga gambut di pantai Timur Riau. Muatan
negatif (yang menentukan KTK) pada tanah gambut seluruhnya adalah
muatan tergantung pH (pH dependent charge), dimana KTK akan naik
bila pH gambut ditingkatkan. Muatan negatif yang terbentuk adalah hasil
dissosiasi hidroksil pada gugus karboksilat atau fenol. Oleh karenanya
penetapan KTK menggunakan pengekstrak amonium acetat pH 7 akan
menghasilkan nilai KTK yang tinggi, sedangkan penetapan KTK dengan
pengekstrak amonium klorida (pada pH aktual) akan menghasilkan nilai
yang lebih rendah.
KTK tinggi menunjukkan kapasitas jerapan (sorption capacity)
gambut tinggi, namun kekuatan jerapa (sorption power) lemah, sehingga
kation-kation K, Ca, Mg dan Na yang tidak membentuk ikatan koordinasi
akan mudah tercuci. Secara alamiah lahan gambut memiliki tingkat
8
kesuburan rendah karena kandungan unsur haranya rendah dan
mengandung beragam asam-asam organik yang sebagian bersifat racun
bagi tanaman. Namun demikian asam-asam tersebut merupakan bagian
aktif dari tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk menahan
unsur hara. Karakteristik dari asam-asam organik ini akan menentukan
sifat kimia gambut. Untuk mengurangi pengaruh buruk asam-asam
organik yang beracun dapat dilakukan dengan menambahkan bahan-
bahan yang banyak mengandung kation polivalen seperti Fe, Al, Cu dan
Zn. Kation-kation tersebut membentuk ikatan koordinasi dengan ligan
organik membentuk senyawa komplek/khelat.
Oleh karenanya bahan-bahan yang mengandung kation polivalen
tersebut bisa dimanfaatkan sebagai bahan amelioran gambut (Sabiham et
al., 1997; Saragih, 1996). Tanah gambut juga mengandung unsur mikro
yang sangat rendah dan diikat cukup kuat (khelat) oleh bahan organik
sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Selain itu adanya kondisi reduksi
yang kuat menyebabkan unsur mikro direduksi ke bentuk yang tidak
dapat diserap tanaman. Kandungan unsur mikro pada tanah gambut dapat
ditingkatkan dengan menambahkan tanah mineral atau menambahkan
pupuk mikro.
Gambut di Indonesia (terutama di daerah tropis lainnya)
mempunyai kandungan zat kayu yang lebih tinggi dibandingkan dengan
gambut yang berada di daerah beriklim sedang, hal ini terbentuk dari
pohon-pohohan. Zat kayu atau Lignin yang mengalami proses degradasi
dalam keadaan anaerob akan terurai menjadi senyawa humat dan asam-
asam fenolat. Asam-asam fenolat dan derivatnya bersifat fitotoksik
(meracuni tanaman) dan menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat
(Stevenson, 1994; Rachim, 1995). Asam fenolat merusak sel akar
tanaman, sehingga asam-asam amino dan bahan lain mengalir keluar dari
sel, menghambat pertumbuhan akar dan serapan hara sehingga
pertumbuhan tanaman menjadi kerdil, daun mengalami klorosis
(menguning) dan pada akhirnya tanaman akan mati.
Turunan asam fenolat yang bersifat fitotoksik antara lain adalah asam
ferulat, siringat , p-hidroksibenzoat, vanilat, p-kumarat, sinapat, suksinat,
propionat, butirat, dan tartrat.
9
2.2.3. Masalah yang Timbul pada Tanah Gambut
Pada umumnya, tanah gambut memiliki kadar air yang sangat tinggi,
dan kompresibilitas/ kemampumampatan yang tinggi sehingga daya dukung
tanahnya sangat rendah. Kandungan air pada tanah gambut bervariasi dan
cukup ekstrim, mulai dari ratusan % (kering) sampai lebih dari 2000 %
(jenuh air), karena derajat dekomposisi dan tipe lapisan gambut sangat
mempengaruhi kandungan air. Semakin tinggi derajat dekomposisi nya maka
semakin mengecil ruang di dalam partikel serat (void ratio) dan antar partikel
serat serta struktur serat gambut akan rusak menjadi bentuk amorf. Semakin
lambat derajat dekomposisi, kemungkinan proses ini akan terus berlangsung
sehingga akan sulit mendapatkan hasil akhir proses dekomposisi. Proses
dekomposisi pada tanah gambur ini memang masih terus dalam kajian dan
penelitian sehingga penemuan terbaru masih sangat diharapkan. Jika mikroba
yang aktif dalam proses dekomposisi ini dapat diketahui maka
perkembangbiakannya dapat dihambat atau bahkan dihentikan sehingga
bermanfaat untuk melakukan perbaikan mutu tanah selanjutnya.
10
Setelah proses dekomposisi berakhir baru dilanjutkan dengan pembuatan
kolom-kolom pasir atau melakukan preloading.
11
Hal-hal yang dihindari berkaitan dengan stabilitas tanah
gambut adalah
Hindari metode stabilisasi secara kimiawi (kapur, semen, dll)
o Gambut tidak mengandung “water insoluble gel” dari Ca
Co3 yang berfungsi mengikat partikel.
o Bahan organik masih mengalami proses dekomposisi.
o Stabilisasi hanya dipermukaan tidak feasible untuk tanah
gambut.
Hindari penggunaan PVD untuk vertical drain karena
pemampatan konsolidasi terjadi dalam waktu yang singkat dan
organik content dapet memblok aliran.
12
Mengidentifikasi jenis tanah sepanjang kedalaman lubang bor.
Untuk mengambil contoh tanah asli maupun tidak asli pada
kedalamanyang dikehendaki.
Untuk memasukkan alat uji penetrasi baku (Standart Penetration Test,
SPT) pada kedalaman yang dikehendaki.
Untuk memasukkan alat uji lainnya kedalam tanah yang dikehendaki,
misalnya: uji rembesan lapangan, uji vane shear, uji presuremeter,
pengukuran tekanan air pori dan lain-lain.
13
Penyelidikan tanah di laboratorium yang umum dilakukan
adalah: sifat fisik tanah (w, γ, e, n, Gs, Sr), sifat plastisitas tanah (LL,
PL, PI, SL, SI, Ac,LI), sifat consolidasi tanah (mv, Cc, Cr, Cs, Ca, Cv,
Pc), sifat kuat kuat geser tanah (c, ϕ , c’ , ϕ’ , Su, qu, St, Es), sifat
copaction tanah timbunan ( γ mak., OMC,CBR, Rd).
14
2.3 Konsolidasi Tanah
2.3.1 Pengertian Konsolidasi
Bila lapisan tanah jenuh berpermeabilitas rendah dibebani,
maka tekanan air pori di dalam lapisan tersebut segera bertambah.
Perbedaan tekanan air pori pada lapisan tanah, berakibat air mengalir
ke lapisan tanah dengan tekanan air pori yang lebih rendah, yang
diikuti penurunan tanahnya. Karena permeabilitas yang rendah ini
butuh waktu.
Konsolidasi tanah adalah suatu proses pengecilan volume
secara perlahan-lahan pada tanah jenuh sempurna dengan
permeabilitas rendah akibat pengaliran sebagian air pori. Proses
tersebut berlangsung terus sampai kelebihan tegangan air pori yang
disebabkan oleh kenaikan tegangan total telah benar-benar hilang.
(Craig,1994:213). Dengan kata lain, pengertian konsolidasi adalah
proses terperasnya air tanah akibat bekerjanya beban, yang terjadi
sebagai fungsi waktu karena kecilnya permeabilitas tanah.
Proses ini berlangsung terus sampai kelebihan tekanan air pori
yang disebabkan oleh kenaikan tegangan total telah benar-benar
hilang. Kasus yang paling sederhana adalah konsolidasi satu dimensi,
di mana kondisi regangan lateral nol mutlak ada. Proses konsolidasi
dapat diamati dengan pemasangan piezometer, untuk mencatat
perubahan tekanan air pori dengan waktunya. Besarnya penurunan
dapat diukur dengan berpedoman pada titik referensi ketinggian pada
tempat tertentu.
15
mengambarkan air pori dan lubang pada piston mengambarkan
(permeabilitas).
16
oleh pegasnya dan kemudian piston diam (Gambar 2.4.d). Kedudukan
ini mengambarkan kondisi drainasi (drained).
Tekanan yang terjadi pada pegas identik dengan kondisi
tegangan efektif di dalam tanah. Sedang tegangan air pori di dalam
silinder identik dengan tekanan air pori. Kenaikan tekanan p akibat
beban yang diterapkan identik dengan tambahan tegangan normal yang
bekerja. Gerakan piston menggambarkan perubahan volume tanah,
dimana gerakan ini dipengaruhi oleh kompresibilitas pegasnya, yang
ekivalen dengan kompresibilitas tanahnya. Walaupun model piston dan
pegas ini agak kasar, tetapi cukup menggambarkan apa yang terjadi
bila tanah kohesif jenuh dibebani di laboratorium maupun di lapangan.
Sebagai contoh nyata dapat dilihat pada Gambar 2.5. Di sini
diperlihatkan suatu pondasi yang dibangun di atas tanah lempung yang
diapit oleh lapisan tanah pasir dengan tinggi muka air tanah dibatas
lapisan lempung sebelah atas. Segera sesudah pembebanan, lapisan
lempung mengalami kenaikan tegangan sebesar p. Air pori di dalam
lapisan lempung mengalami kenaikan tegangan sebesar p. Air pori di
dalam lapisan lempung dianggap dapat mengalir dengan baik ke
lapisan pasirnya dan pengaliran air hanya ke atas dan ke bawah saja.
Dianggap pula bahwa besarnya tambahan tegangan p sama di
sembarang kedalaman lapisan lempungmya.
Jalan proses konsolidasi diamati lewat pipa - pipa piezometer
yang dipasang di sepanjang kedalamannnya (Gambar 2.3.2.b),
sedemikian rupa sehingga tinggi air dalam pipa piezometer
menyatakan besarnya kelebihan tekanan air pori (excess pore pressure)
di kedalaman pipanya.
17
Gambar 2.5. Reaksi tekanan air pori terhadap beban pondasi
a). Pondasi pada tanah jenuh
b). Diagram perubahan tekanan air pori dengan
waktunya
( Sumber : Christiady. H, 1992 )
18
(u) yang besarnya sama dengan p. Dalam kondisi demikian tidak ada
perubahan tegangan efektif di dalam tanah. Setelah air pori sedikit
demi sedikit terperas keluar, secara berangsur - angsur tanah mampat,
beban perlahan - lahan ditransfer ke butiran tanah, dan tegangan efektif
bertambah. Akhirnya, kelebihan tekanan air pori menjadi nol. Pada
kondisi ini, tekanan air pori sama dengan tekanan hidrostatis yang
diakibatkan oleh air tanah.
19
Setiap penambahan beban, tegangan yang terjadi adalah tegangan
efektif. Bila berat jenis tanah (specific gravity), dimensi awal dan
penurunan pada tiap pembebanan dicatat, maka nilai angka pori (e)
diplot pada grafik semi logaritmis. (Gambar 2.7.)
20
2.3.4 Koefisien Pemampatan (Coefficient of Compression av) dan
Koefisien Perubahan Volume (Coefficient of Volume Change , mv)
Koefisien pemampatan (av) adalah koefisien yang menyatakan
kemiringan kurva e-p’. Jika tanah dengan volume V1 mampat
sehingga volumenya menjadi V2, dan mampatnya tanah dianggap
hanya sebagai akibat pengurangan rongga pori, maka perubahan
volume hanya dalam arah vertikal dapat dinyatakan:
( ) ( )
Dimana:
e1 = angka pori pada tegangan p1’
e2 = angka pori pada tegangan p2’
V1 = volume ada tegangan p1’
V2 = volume ada tegangan p2’
2.3.5 Compression Index (Cc)
Indeks Pemampatan Cc adalah kemiringan dari bagian lurus
grafik e - log p’. Untuk dua titik yang terletak pada bagian lurus dari
grafik dalam Gambar 2.7. nilai Cc dapat dinyatakan dalam rumus:
Cc = (
21
Gambar 2.9. Indeks pemampatan Cc
22
2.3.7 Penurunan Konsolidasi
Ditinjau lapisan tanah lempung jenuh dengan tebal H. Akibat
adanya beban yang bekerja, lapisan tanah menerima tambahan
tegangan sebesar p. Dianggap regangan arah lateral nol. Pada akhir
konsolidasi, terdapat tembahan tegangan efektif vertikal sebesar (p).
Sebagai akibat penambahan tegangan dari p 0’ ke p1’, terjadi
pengurangan angka pori dari e0 ke e1. Karena regangan lateral nol,
pengurangan volume per satuan volume sama dengan pengurangan
tebal per satuan tebalnya, yaitu penurunan per satuan ketinggian atau
panjangnya.
Jika mv dan p dinggap sama pada sembarang kedalaman
tanahnya, maka:
Sc = mv. Dp.dh
23
Sc = Cc
Dimana:
Sc = Penurunan konsoilidasi
Cr = Indeks pemampatan kembali
Cc = Indeks pemampatan
H = Tebal lapisan tanah (m)
P0’ = Tekanan overburden efektif mula – mula (t/m2)
p = Tambahan tegangan (t/m2)
e0 = Angka pori awal
24
adanya penurunan saat permulaan proses konsolidasi juga harus
diinterprestasikan.
Koefisien konsolidasi vertikal (Cv) menentukan kecepatan
pengaliran air pada arah vertikal dalam tanah. Karena pada umumnya
konsolidasi berlangsung satu arah saja, yaitu arah vertikal, maka
koefisien konsolidasi sangat berpengaruh terhadap kecepatan
konsolidasi yang akan terjadi. Harga Cv dapat dicari mempergunakan
persamaan berikut ini:
Cv =
Dimana:
Cv = koefisien konsolidasi ( cm2/dtk )
Tv = faktor waktu tergantung dari derajat konsolidasi
T = waktu yang dibutuhkan untuk mencapai derajat
konsolidasi U% (dtk)
H = tebal tanah (cm)
( )
2.3.10 Preloading
Tinggi timbunan kritis beban preloading ini dihitung
berdasarkan daya dukung tanah lempung mula-mula. Kekuatan geser
tanah lempung, dalam hal ini kohesi tanah akan mempengaruhi tinggi
25
timbunan yang akan pergunakan. Daya dukung tanah lempung dalam
perencanaan beban preloading dihitung sebagai berikut:
qu = 2. cu
qu = timb. Hcr
maka:
dimana :
cu = kohesi tanah dasar (t/m2)
timb = berat volume tanah timbunan (t/m3)
Hcr = tinggi timbunan kritis (m)
26
dimana:
27
Besarnya waktu konsolidasi akibat pemakaian PVD dicari
menggunakan persamaan:
( ) ( ) ( )
dimana :
T = Waktu yang diperlukan untuk mencapai Uh (dtk)
28
sepanjang bahan ini, sehingga air dapat mengalir melalui inti tanpa
terhalang. Inti ini terbungkus oleh bahan filter yang kuat dan tahan
lama yang terbuat dari bahan polypropylene (non – woven), yang
dikombinasikan permeabilitas tinggi dengan karakteristik filtrasi yang
besar.
29
digunakan pada tanah dengan daya dukung yang rendah seperti
pada tanah lempung lunak dan tanah organik. Jenis tanah tersebut
biasanya memiliki ciri seperti berikut: kadar air yang ekstrim,
kompresibilitas yang besar, dan koefisien permeabilitas yang kecil.
Pada prinsipnya teknik preloading menggunakan vertical
drain merupakan metode perkuatan tanah dengan cara mengurangi
kadar air dalam tanah (dewatering). Biasanya waktu konsolidasi
yang dibutuhkan untuk jenis tanah seperti ini memakan waktu yang
lama meski dengan menggunakan beban tambahan yang besar,
sehingga teknik preloading mungkin kurang cocok untuk jadwal
kontruksi yang mepet.
Jika beban sementara melebihi beban akhir konstruksi
maka kelebihan beban tersebut mengacu kepada beban tambahan
(surcharge), dimana dengan menggunakan beban tambahan
sementara (surcharge) yang melebihi beban kerja, tanah akan
berada pada kondisi overconsolidated dan secondary compression
untuk tanah overconsolidated akan jauh lebih kecil daripada tanah
dengan normally consolidated. Hal ini akan menguntungkan
perencanaan tanah selanjutnya (Chu et all., 2004).
Selain dengan menggunakan teknik preloading dan
menggunakan beban tambahan sementara (surcharge), peningkatan
mutu tanah dapat juga dilakukan dengan menggunakan vertical
drain, selain itu waktu konsolidasi pun juga semakin singkat sebab
aliran drainase yang terjadi bukan hanya ke arah vertikal tapi juga
ke arah horizontal.
Perkembangan vertical drain sendiri sudah dimulai
sejak tahun 1925, dimana D.J.Moran seorang insinyur
berkebangsaan Amerika memperkenalkan pemakaian drainase dari
kolom-kolom pasir untuk stabilitas tanah pada kedalaman yang
besar. Kemudian untuk pertama kalinya instalasi drainase ini
digunakan di California dan seiring dengan berjalannya waktu, tipe
drainase ini dikenal dengan istilah drainase vertikal (vertical drain).
30
Pada tahun 1936, diperkenalkan sistem drainase menggunakan
bahan sintetis oleh Kjellman di Swedia. Setelah di tes di beberapa
tempat pada tahun 1937 dengan bahan cardboard, lantas mendapat
sambutan yang hangat oleh para ilmuwan. Sejak saat itu,
pengembangan vertical drain dilanjutkan dengan berbagai macam
bahan.
31
Gambar 2.11. Elemen Tanah Tak Jenuh
32
2.5.2 Kondisi Tegangan pada Tanah Tidak jenuh
Kondisi tegangan yang terjadi digunakan untuk
menggambarkan perilaku fisik tanah tidak jenuh adalah variabel
tegangan efektif. Variabel tegangan efektif berlaku untuk pasir, lanau,
lempung dan lain lain. Variabel tegangan efektif mengontrol proses
perubahan volume dan kekuatan geser tanah jenuh. Tegangan efektif
dinyatakan dalam bentuk persamaan:
Dimana:
σ' = Tegangan efektif
σ = Tegangan total
Uw = Tekanan air pori
x ua yx zx
σ' =
xy y ua zy
xz yz z ua
Dimana:
σ' = Tegangan efektif
σ , σ , σ = Tegangan total arah x, y dan z
33
pori mengubah keadaan seimbang dari tingkat kejenuhan tanah, dan
menyebabkan perubahan volume. Untuk alasan ini, tegangan efektif
memenuhi syarat sebagai variabel kondisi tegangan untuk tanah jenuh.
Persamaan tengangan efektif untuk tanah jenuh tidak dapat digunakan
dengan tanah tak jenuh karena fakta bahwa tanah tidak 100% jenuh
dan adanya dalam rongga.
Pada tahun 1977, Fredlund dan Morgenstern menggunakan
konsep kontinum multi fase mekanik untuk menulis persamaan
kesetimbangan pada tanah tak jenuh. Fredlund dan Analisis
Morgenstern menyimpulkan bahwa setiap dua dari tiga variabel
kondisi tegangan yang mungkin dapat digunakan untuk menentukan
kondisi tegangan pada tanah tak jenuh (Fredlund, Fredlund, &
Rahardjo, 2012). Tiga kemungkinan kombinasi variabel keadaan
tegangan tanah tidak jenuh adalah:
1. σ - dan -
2. σ - dan -
3. σ - dan σ -
34
Untuk tanah tak jenuh, efek total tekanan eksternal dan tekanan
air pori internal yang harus dipertimbangkan. Untuk mengevaluasi
keadaan tegangan tanah tak jenuh, diperlukan dua variabel tegangan.
Variabel kondisi tegangan untuk tanah tak jenuh mengambil dua
bentuk tensor tegangan dengan mempertimbangkan keadaan tegangan
pada titik dalam tiga dimensi. Kedua tensor tegangan untuk tanah tak
jenuh tersebut adalah sebagai berikut (Fredlund, D., 1997b):
Konsidi seimbang pada struktur tanah:
x ua yx zx
xy y ua zy
yz z ua
xz
ua uw 0 0
0 ua uw 0
ua uw
0 0
Keterangan:
(σ - ) = Tegangan normal bersih
35
Untuk tanah, tegangan permukaan terjadi antara permukaan air,
butiran-butiran tanah dan udara. Hasil tegangan permukaan dari gaya
antarmolekul bertindak dalam antarmuka udara-air sehingga
menyebabkan permukaan air di pipa kapiler melengkung. Antarmuka
disebut “meniskus” dan antarmuka udara-air disebut dengan tekanan
udara pori (Ua), yang lebih besar dari tekanan air pori (Uw). Selisih
antara tekanan udara pori udara dan tekanan air pori disebut suction.
s ua u w ........................................................................ 2.21
Keterangan:
S = Suction
Ua = Tekanan udara pori
Uw = Tekanan air pori
( ua u w ) = .................................................................... 2.22
36
Dimana:
Ts = Tegangan permukaan
Rs = Jari-jari kelengkungan dari meniskus
Ua-Uw = Tekanan hisap
37
Gambar 2.4. Ukuran kadar air yang ditunjukkan dalam gambar ini
adalah kadar air volumetrik, yang ditentukan melalui persamaan:
Keterangan:
= Volume air
= Volume tanah
Keterangan:
= Volume rongga
Keterangan:
= Masaa air
= Massa tanah
38
Gambar 2.14. Kurva Karakateristik Tanah-Air
(Sumber : Fredlund, 1993)
39
Gambar 2.15. SWCC untuk Pasir, Lempung dan Lanau
(Sumber : Fredlund, 1993)
Keterangan: :
c’ = Kohesi tanah
(σ – Ua) = Tegangan normal bersih
= Kadar air volumetrik
= Kadar air volumetrik pada tingkat kejenuhan 100 %
= Kadar air volumetrik pada suction sisa
40
Ø’ = Sudut geser yang terkait dengan variabel keadaan
tegangan normal bersih
Sudut yang menunjukkan tingkat kenaikan kuat
geser sehubungan dengan perubahan tekanan hisap
............................................. 2.27
Dimana:
= Konduktivitas hidrolik pada tanah tak jenuh
= Konduktivitas hidrolik jenuh
Ψ = Suction ( ua uw )
41
2.5.8 Estimasi Deformasi Tanah Tak Jenuh
Variabel keadaan deformasi menggambarkan perubahan
volume tanah tak jenuh.Tanah tak jenuh adalah sistem tiga fase
akibatnya, variabel deformasi yang diperlukan untuk
menggambarkan perubahan di setiap tahap dalam suatu elemen
yang berasal dari persyaratan kontinuitas untuk kontinum multi-
fase (Fredlund 1973a, 1974). Perubahan total volume elemen tanah
harus sama dengan jumlah dari perubahan volume yang terkait
dengan setiap fase. Total perubahan volume juga dapat disebut
regangan volumetrik. Regangan volumetrik adalah perubahan
volume rongga dengan volume keseluruhan awal elemen tanah.
Total perubahan volume untuk tanah jenuh dinyatakan dengan
asumsi partikel tanah yang mampat:
= = ............................................................. 2.28
Keterangan:
= Regangan volumetrik
= Volume keseluruhan awal elemen tanah jenuh
= Volume rongga tanah
= Volume air di dalam tanah
= Volume udara di dalam tanah
42
= ( ) ................................................................ 2.29
Dimana:
= Koefisien kompresibel
= ( ) ( ) ................................. 2.30
Dimana:
De = Perubahan rasio rongga
= Koefisien kompresibilitas sehubungan dengan perubahan
tegangan normal
= Koefisien kompresibilitas sehubungan dengan perubahan
suction
43
kegagalan geser. Dalam hal ini, penggunaan teknik konsolidasi vakum
dalam hubungannya dengan tambahan preloading dan PVD dapat
meningkatkan efisiensi perbaikan tanah (Chu et al, 2000;. Indraratna,
2010; Mesri dan Khan, 2012). Teknik prapembebanan vakum, awalnya
diusulkan oleh Kjellman (1952), lebih dari tiga dekade terakhir
berkembang menjadi solusi efektif dalam hal biaya untuk proyek-proyek
perbaikan tanah di seluruh dunia.
Konsolidasi vakum menerapkan tekanan vakum yang dimasukan
ke dalam tanah melalui PVD dan dianggap tidak terjadi kehilangan
tekanan pada permukaan karena penyegelan membran. Pompa vakum
menghasilkan tekanan negatif (terhadap atmosfer tekanan). Tekanan
vakum sebesari 90 kPa dapat dicapai dalam prakteknya untuk tanah
lempung lunak, meskipun nilai 80 kPa biasanya dipertimbangkan untuk
desain (Chu et al., 2008).
Karakteristik prapembebanan vakum dibandingkan dengan
prapembebanan konvensional adalah sebagai berikut (Qian et al, 1992.):
(a) Tegangan efektif dan suction meningkat secara bersamaan, dan
pergerakan lateral yang sesuai dapat ditekan. Akibatnya, resiko
kegagalan geser dapat diminimalkan.
(b) Tekanan vakum dapat didistribusikan lebih dalam pada lapisan tanah
dengan menggunakan Sistem PVD.
(c) Tambahan preloading dapat dikurangi untuk mencapai derajat
konsolidasi yang sama, tergantung pada efisiensi sistem vakum
(tidak terjadi kebocoran udara).
(d) Karena tambahan preloading lebih kecil dibanding metode
konvensional, maka tekanan air pori dapat lebih kecil dibandingkan
prapembebanan konvensional.
44
tanah (Cognon et al., 1994). Indraratna et al. (2004) menunjukkan dengan
pengukuran laboratorium bahwa pola distribusi tekanan vakum sepanjang
PVD dapat mempengaruhi kinerja keseluruhan sistem prapembebanan
vakum
45
sampai kedalaman yang ditentukan, permukaan sistem drainase
termasuk media granular (lapisan pasir) dan saluran horisontal,
serta pipa kolektor yang mengarah ke sistem pompa vakum untuk
transmisi vakum pada tanah yang bertujuan untuk penghisapan air
dan udara keluar dari massa tanah. Vakum menjadikan massa tanah
terisolasi dari permukaan dengan menggunakan membran kedap
udara.
1) Saluran vertikal
Dalam sistem konsolidasi vakum, jumlah saluran atau
drainase yang dipasang vertikal dari permukaan tanah
membentuk pola jaringan segitiga atau persegi pada jarak yang
dipilih untuk kedalaman tanah yang telah ditentukan. PVD
adalah jenis yang paling populer digunakan untuk saluran
vertikal dalam konsolidasi vakum saat ini.
Saluran draianase adalah salah satu hal yang paling
penting dalam sistem konsolidasi vakum dalam hal teknis dan
efektifitas biaya, pengembangan bahan drainase ini terus
dilanjutkan. Jepang memperkenalkan bahan terbaru PVD yang
sangat permeabel. Selain itu, mengingat dampak lingkungan,
beberapa jenis saluran tersebut dapat terurai seperti saluran
bambu (Singapura) dan saluran plastik (Jepang) yang
diperkenalkan tapi masih tidak populer digunakan dalam
konsolidasi vakum.
2) Drainase permukaan
Biasanya terdiri dari lapisan granular (umumnya lapisan
pasir) dan sistem pipa kolektor berlubang dengan / tanpa saluran
horisontal yang saling berhubungan. Saluran horizontal
menghubungkan puncak vertical drain ke pipa vakum utama.
Jenis dan tata letak sistem drainase permukaan dapat
dimodifikasi dalam berbagai sistem. Lapisan pasir umumnya
46
memiliki ketebalam 0.3-0.8m (tergantung pada permeabilitas
pasir, jarak yang dipilih drainase vertikal dan mobilitas
permukaan), meskipun kadang-kadang lebih tebal yang
digunakan sebagai platform kerja. Kadang-kadang, lapisan pasir
dihilangkan dan diganti dengan lapisan drainase geotekstil.
Saluran horisontal memiliki beberapa jenis (pipa PVC
bergelombang dan fleksibel atau saluran papan PVD), serta
dalam hal pengaturan.
47
4) Sistem pompa vakum
Umumnya, efisiensi sistem pompa vakum dilengkapi
dengan pompa pembuangan yang digunakan untuk menyediakan
suction untuk tanah dan pembuangan udara-air keluar melalui
sistem pipa dan saluran air. Di Cina, pompa vakum umum telah
diganti oleh pompa jet φ 48mm (7,5 kW) dengan 3HA-9 pompa
air sentrifugal, yang dapat menghasilkan tekanan vakum yang
lebih besar dari 90 kPa.
5) Instrumentasi
Dalam setiap sistem konsolidasi vakum, berbagai
instrumentasi yang diperlukan untuk mengontrol sistem operasi
serta untuk memantau kinerja pengelolaan termasuk tekanan
vakum, tekanan air pori yang optimal, volume air yang dibuang,
penurunan dan perpindahan lateral, yang berguna dalam
memperhitungkan waktu dalam menghentikan pompa vakum,
dan mengendalikan stabilitas konstruksi.
48
2.7 Perpindahan lateral
Perpindahan lateral elemen tanah pada pengaplikasian vakum
konsolidasi tergantung pada tingkat kedalaman relatif di bawah permukaan
tanah dan jarak antar saluran vertikal. Di daerah pengelolaan massa tanah
(area saluran vertikal), masing-masing saluran menyedot hanya
mempengaruhi tanah terdekat dengan saluran tersebut (tidak ada
perpindahan lateral yang terjadi) dan berlaku metode sel satuan (Masse
etal., 2001). Namun, pengaruh dari saluran vertikal di sekelilingnya
terhadap tanah sangat signifikan. Di wilayah ini, beban tambahan
menginduksi tekanan geser di dalam tanah, yang dapat menyebabkan
perpindahan lateral ke luar (Gambar 2.16. (a)), yang berpotensi
menyebabkan kegagalan geser.
Sebaliknya, konsolidasi vakum saja menginduksi perpindahan
lateral ke dalam (Gambar 2.16. (b)) karena digunakan isotropik tekanan
konsolidasi pada massa tanah. Oleh karena itu, dengan vakum konsolidasi,
retak pada tegangan permukaan dapat terjadi di sekitar area pembatas
tanah yang sedang mendapat pengaruh vakum, tapi tanpa terjadi potensi
resiko kegagalan geser . Oleh karena itu, gabungan antara vakum-
tambahan prapembebanan, dimaksudkan agar perpindahan lateral dapat
dikurangi (Indrar-Atna et al., 2011) dan dalam teori untuk lempung,
kombinasi dari 60% vakum dan 40% tambahan tekanan beban dapat
mempertahankan pergerakan lateral mendekati nol (Indraratna dan
Rujikiatkamjorn, 2008).
49
Gambar 2.18. Deformasi Lateral Tanah (a) Tambahan beban
dan (b) Konsolidasi vakum
(Sumber : Indraratna, 2005)
50
menemukan bahwa jika tekanan yang diterapkan pada tanah lunak
lebih besar dari pada tekanan pra-konsolidasinya, penurunan yang
terjadi lebih kecil untuk konsolidasi vakum dibandingkan
menggunakan pembebanan konvensional. Sebuah metode empiris
untuk memperkirakan perpindahan lateral terhadap kedalaman, pada
dasarnya adanya hubungan antara perpindahan lateral pada kedalaman
tertentu dan penurunan permukaan, telah diusulkan oleh Mesri dan
Khan (2012). Ini kesimpulan dari Ong dan Chai (2011) bahwa jumlah
perpindahan lateral tergantung pada kompresibilitas penambahan
beban.
51
hisap tanah, distribusi akar dan laju transpirasi potensial.
Perumusan parameter ini dijelaskan di bawah (Indraratna et al.
2006).
Suction tanah mengurangi pergerakan air, dan membuatnya
menuju ke akar serta mempengaruhi tingkat transpirasi.
Penyerapan air oleh akar ( S(x,y,z,t) ) dapat ditentukan dengan
menggabungakan fungsi dari nilai maksimal penyerapan air oleh
akar, S max, dan suction , Ψ .
Dimana:
S(x,y,z,t) = Penyerapan air oleh akar pada point (x,y,z) dalam
kurun waktu tertentu, t.
f (Ψ) = Faktor suction
Di mana:
G(β) = Fungsi dari distribusi kerapatan akar
F( ) = Fungsi potensi distribusi transpirasi
β(x,y,z,t) = Kerapatan akar
52
................................................................... 2.33
Dimana:
= Transpirasi keseluruhan
= Potensi evapo-transpirasi (baik pohon dan tanah)
= Potensi penguapan dari permukaan tanah
53
Gambar 2.18. Konversi Dari Analisa Unit Sel Axisymmetric ke
Analisa Plane Strain (Indraratna et al. 2005)
54