Anda di halaman 1dari 51

BAB II

STUDI PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum


Pengertian Tanah secara umum yaitu material yang terdiri dari
agregrat (butiran) mineral - mineral padat yang tidak tersedimentasi
(terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan - bahan organik yang
telah melapuk disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang
kosong diantara partikel-partikel padat tersebut. Salah satu kegunaan tanah
yaitu sebagai pendukung struktur bangunan atas sehingga tanah harus tetap
stabil dan tidak mengalami penurunan yang mengakibatkan kerusakan
konstruksi, istilah penurunan menunjukkan tenggelamnya suatu bangunan
akibat kompresi dan deformasi lapisan tanah di bawah bangunan. Karena
rumitnya sifat-sifat mekanik tanah maka penurunan struktur hanya dapat
diperkirakan dengan hasil analisis tanah tersebut, sehingga perlu diketahui
sifat - sifat dasar tanah seperti komposisi tanah, permeabilitas tanah, dan
daya dukung tanah serta penyebab lainnya.

2.2 Tanah Gambut


2.2.1. Deskripsi Tanah Gambut

Tanah terdiri dari butiran-butiran material hasil pelapukan massa batuan


massive, dimana ukuran butirannya bias sebesar bongkahan, berangkal, kerikil,
pasir, lanau, lempung, dan kontak butirnya tidak tersementasi termasuk bahan
organic menurut K. Terzaghi. Tanah gambut mengalami pengerutan saat
kekeringan karena konsistensi tanah yang lepas dan mengalami pengembangan
saat terkena air. Tanah dapat dikategorikan sebagai tanah gambut berdasarkan
kandungan C-Organik dan kandungan liatnya.

4
Secara umum tanah Gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari
akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang setengah membusuk. Oleh sebab itu,
kandungan bahan organiknya tinggi. Tanah yang terutama terbentuk di lahan-
lahan basah ini disebut dalam bahasa Inggris sebagai peat; dan lahan-lahan
bergambut di berbagai belahan dunia dikenal dengan aneka nama seperti bog,
moor, muskeg, pocosin, mire, dan lain-lain. Istilah gambut sendiri diserap
dari bahasa daerah Banjar.

Definisi dan Pengertian Gambut (Bod Peat) adalah jenis tanah yang
sebagian besar terdiri dari pasir silikat dan sebagian lagi terdiri atas bahan-
bahan organik asal tumbuhan yang sedang dan atau sudah melalui proses
dekomposisi. Jenis tanah ini sebagian besar terdiri atas bahan organik yang
tidak dirombak atau dirombak sedikit, terkumpul dalam keadaan air
berlebihan (melimpah ruah).

Gambut terjadi pada hutan-hutan yang pohonnya tumbang dan


tenggelam dalam lumpur yang hanya mengandung sedikit oksigen, sehingga
jasad renik tanah sebagai pelaku pembusukan tidak mampu melakukan
tugasnya secara baik. Akhirnya bahan-bahan organik dari pepohonan yang
telah mati dan tumbang tertumpuk dan lambat laun berubah menjadi gambut
yang tebalnya bisa mencapai 20 m.

Lahan gambut merupakan lahan yang didominasi oleh tanah gambut.


Gambut mengikat karbon dalam jumlah yang relatif besar yang terbentuk
dalam prose waktu yang lama dan dalam kondisi jenuh air. kondisi jenuh air
menyebabkan proses pelapukan bahan organik menjadi tidak sempurna,
sehingga ditemukan sisa-sisa bahan organik seperti seresah, akar, dan
sejenisnya. Istilah gambut berasal dari bahasa Banjar (Kalimantan).
Diberbagai belahan dunia, gambut memilki banyak nama seperti bog, moor,
muskeg, pocosin, mire, dan lain-lain. Berdasarkan kadar gambut, nama atau
istilah gambut juga bervariasi. Misalnya istilah muck, ditujukan bagi tanah
gambut dengan kadar bahan organik 35 – 65 %

5
2.2.2. Karakteristik Tanah Gambut
Karakteristik tanah gambut dibedakan atas 2 jenis karakteristik yaitu secara
fisik dan secara kimia.
A. Karakteristik Tanah Gambut secara fisik
Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya
untuk pertanian meliputi kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya
menahan beban (bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan
mengering tidak balik (irriversible drying). Kadar air tanah gambut berkisar
antara 100 – 1.300% dari berat keringnya (Mutalib et al., 1991). Artinya
bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali
bobotnya. Dengan demikian, sampai batas tertentu, kubah gambut mampu
mengalirkan air ke areal sekelilingnya (Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Kubah Gambut


Kadar air yang tinggi menyebabkan BD menjadi rendah, gambut
menjadi lembek dan daya menahan bebannya rendah (Nugroho, et al, 1997;
Widjaja-Adhi, 1997).
BD tanah gambut lapisan atas bervariasi antara 0,1 sampai 0,2 g cm-
3 tergantung pada tingkat dekomposisinya. Gambut fibrik yang umumnya
berada di lapisan bawah memiliki BD lebih rendah dari 0,1 g/cm3, tapi
gambut pantai dan gambut di jalur aliran sungai bisa memiliki BD > 0,2 g
cm-3 (Tie and Lim, 1991) karena adanya pengaruh tanah mineral. Volume
gambut akan menyusut bila lahan gambut didrainase, sehingga terjadi
penurunan permukaan tanah (subsiden). Selain karena penyusutan volume,

6
subsiden juga terjadi karena adanya proses dekomposisi dan erosi. Dalam 2
tahun pertama setelah lahan gambut didrainase, laju subsiden bisa mencapai
50 cm. Pada tahun berikutnya laju subsiden sekitar 2 – 6 cm tahun-1
tergantung kematangan gambut dan kedalaman saluran drainase. Adanya
subsiden bisa dilihat dari akar tanaman yang menggantung (Gambar 2.2).

Gambar 2.2 subsiden terhadap tanah gambut

Rendahnya BD gambut menyebabkan daya menahan atau


menyangga beban (bearing capacity) menjadi sangat rendah. Hal ini
menyulitkan beroperasinya peralatan mekanisasi karena tanahnya yang
empuk. Gambut juga tidak bisa menahan pokok tanaman tahunan untuk
berdiri tegak. Tanaman perkebunan seperti karet, kelapa sawit atau kelapa
seringkali doyong atau bahkan roboh. Pertumbuhan seperti ini dianggap
menguntungkan karena memudahkan bagi petani untuk memanen sawit.Sifat
fisik tanah gambut lainnya adalah sifat mengering tidak balik. Gambut yang
telah mengering, dengan kadar air <100% (berdasarkan berat), tidak bisa
menyerap air lagi kalau dibasahi. Gambut yang mengering ini sifatnya sama
dengan kayu kering yang mudah hanyut dibawa aliran air dan mudah
terbakar dalam keadaan kering (Widjaja-Adhi, 1988). Gambut yang terbakar
menghasilkan energipanas yang lebih besar dari kayu/arang terbakar.
Gambut yang terbakar juga sulit dipadamkan dan apinya bisa merambat di
bawah permukaan sehingga kebakaran lahan bisa meluas tidak terkendali.

7
B. Karakteristik Tanah Gambut secara Kimia
Karakteristik kimia lahan gambut di Indonesia sangat ditentukan
oleh kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral pada substratum (di
dasar gambut), dan tingkat dekomposisi gambut. Kandungan mineral
gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya adalah bahan
organik. Fraksi organik terdiri dari senyawa-senyawa humat sekitar 10
hingga 20% dan sebagian besar lainnya adalah senyawa lignin, selulosa,
hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, protein, dan senyawa lainnya.
Lahan gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif
tinggi dengan kisaran pH 3 – 5.
Gambut oligotropik yang memiliki substratum pasir kuarsa di
Berengbengkel, Kalimantan Tengah memiliki kisaran pH 3,25 – 3,75
(Salampak, 1999). Sementara itu gambut di sekitar Air Sugihan Kiri,
Sumatera Selatan memiliki kisaran pH yang lebih tinggi yaitu antara 4,1
sampai 4,3 (Hartatik etal., 2004). Gambut oligotropik, seperti banyak
ditemukan di Kalimantan, mempunyai kandungan kation basa seperti Ca,
Mg, K, dan Na sangat rendah terutama pada gambut tebal. Semakin tebal
gambut, basa-basa yang dikandungnya semakin rendah dan reaksi tanah
menjadi semakin masam. Di sisi lain kapasitas tukar kation (KTK)
gambut tergolong tinggi, sehingga kejenuhan basa (KB) menjadi sangat
rendah. Tim Institut Pertanian Bogor melaporkan bahwa tanah gambut
pedalaman di Kalampangan, Kalimantan Tengah mempunyai nilai KB
kurang dari 10%, demikian juga gambut di pantai Timur Riau. Muatan
negatif (yang menentukan KTK) pada tanah gambut seluruhnya adalah
muatan tergantung pH (pH dependent charge), dimana KTK akan naik
bila pH gambut ditingkatkan. Muatan negatif yang terbentuk adalah hasil
dissosiasi hidroksil pada gugus karboksilat atau fenol. Oleh karenanya
penetapan KTK menggunakan pengekstrak amonium acetat pH 7 akan
menghasilkan nilai KTK yang tinggi, sedangkan penetapan KTK dengan
pengekstrak amonium klorida (pada pH aktual) akan menghasilkan nilai
yang lebih rendah.
KTK tinggi menunjukkan kapasitas jerapan (sorption capacity)
gambut tinggi, namun kekuatan jerapa (sorption power) lemah, sehingga
kation-kation K, Ca, Mg dan Na yang tidak membentuk ikatan koordinasi
akan mudah tercuci. Secara alamiah lahan gambut memiliki tingkat

8
kesuburan rendah karena kandungan unsur haranya rendah dan
mengandung beragam asam-asam organik yang sebagian bersifat racun
bagi tanaman. Namun demikian asam-asam tersebut merupakan bagian
aktif dari tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk menahan
unsur hara. Karakteristik dari asam-asam organik ini akan menentukan
sifat kimia gambut. Untuk mengurangi pengaruh buruk asam-asam
organik yang beracun dapat dilakukan dengan menambahkan bahan-
bahan yang banyak mengandung kation polivalen seperti Fe, Al, Cu dan
Zn. Kation-kation tersebut membentuk ikatan koordinasi dengan ligan
organik membentuk senyawa komplek/khelat.
Oleh karenanya bahan-bahan yang mengandung kation polivalen
tersebut bisa dimanfaatkan sebagai bahan amelioran gambut (Sabiham et
al., 1997; Saragih, 1996). Tanah gambut juga mengandung unsur mikro
yang sangat rendah dan diikat cukup kuat (khelat) oleh bahan organik
sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Selain itu adanya kondisi reduksi
yang kuat menyebabkan unsur mikro direduksi ke bentuk yang tidak
dapat diserap tanaman. Kandungan unsur mikro pada tanah gambut dapat
ditingkatkan dengan menambahkan tanah mineral atau menambahkan
pupuk mikro.
Gambut di Indonesia (terutama di daerah tropis lainnya)
mempunyai kandungan zat kayu yang lebih tinggi dibandingkan dengan
gambut yang berada di daerah beriklim sedang, hal ini terbentuk dari
pohon-pohohan. Zat kayu atau Lignin yang mengalami proses degradasi
dalam keadaan anaerob akan terurai menjadi senyawa humat dan asam-
asam fenolat. Asam-asam fenolat dan derivatnya bersifat fitotoksik
(meracuni tanaman) dan menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat
(Stevenson, 1994; Rachim, 1995). Asam fenolat merusak sel akar
tanaman, sehingga asam-asam amino dan bahan lain mengalir keluar dari
sel, menghambat pertumbuhan akar dan serapan hara sehingga
pertumbuhan tanaman menjadi kerdil, daun mengalami klorosis
(menguning) dan pada akhirnya tanaman akan mati.
Turunan asam fenolat yang bersifat fitotoksik antara lain adalah asam
ferulat, siringat , p-hidroksibenzoat, vanilat, p-kumarat, sinapat, suksinat,
propionat, butirat, dan tartrat.

9
2.2.3. Masalah yang Timbul pada Tanah Gambut
Pada umumnya, tanah gambut memiliki kadar air yang sangat tinggi,
dan kompresibilitas/ kemampumampatan yang tinggi sehingga daya dukung
tanahnya sangat rendah. Kandungan air pada tanah gambut bervariasi dan
cukup ekstrim, mulai dari ratusan % (kering) sampai lebih dari 2000 %
(jenuh air), karena derajat dekomposisi dan tipe lapisan gambut sangat
mempengaruhi kandungan air. Semakin tinggi derajat dekomposisi nya maka
semakin mengecil ruang di dalam partikel serat (void ratio) dan antar partikel
serat serta struktur serat gambut akan rusak menjadi bentuk amorf. Semakin
lambat derajat dekomposisi, kemungkinan proses ini akan terus berlangsung
sehingga akan sulit mendapatkan hasil akhir proses dekomposisi. Proses
dekomposisi pada tanah gambur ini memang masih terus dalam kajian dan
penelitian sehingga penemuan terbaru masih sangat diharapkan. Jika mikroba
yang aktif dalam proses dekomposisi ini dapat diketahui maka
perkembangbiakannya dapat dihambat atau bahkan dihentikan sehingga
bermanfaat untuk melakukan perbaikan mutu tanah selanjutnya.

Metode lain yang dapat dilakukan biasanya dengan melakukan


stabilisasi tanah, dimana tanah dicampur dengan bahan stabilisasi seperti
pasir dan semen, lalu dipadatkan semaksimal mungkin. Tapi kenyataannya
dilapangan sangat sulit memadatkan lapisan gambut yang memiliki kadar air
tinggi dan sangat lembek. Oleh sebab itu, alternatif lain yang dapat dilakukan
yaitu dengan pre-loading dimana material tanah yang bagus (pasir)
dimasukkan ke dalam lapisan endapan gambut sehingga membentuk kolom-
kolom pasir. Pembuatan kolom-kolom pasir dilakukan dengan cara
meletakkan lapisan pasir di muka tanah yang akan diperbaiki setebal 1 meter
kemudian palu penumbuk seberat 15 ton dijatuhkan dari ketinggian 15 meter,
kolom-kolom pasir tersebut dibuat pada jarak sekitar 8 meter.

Perbaikan tanah gambut bisa juga melakukan kombinasi diantara


alternatif yang ada dengan cara mempercepat proses dekomposisi terlebih
dahulu menggunakan serbuk atau cairan penumbuh dan penyubur mikroba
(bioagent) seperti yang banyak dijual dipasaran seperti biostater dengan
demikian proses konsolidasi telah berakhir yang diharapkan mengendap
menjadi lapisan yang memiliki sifat geoteknik mendekati material lempung.

10
Setelah proses dekomposisi berakhir baru dilanjutkan dengan pembuatan
kolom-kolom pasir atau melakukan preloading.

2.2.4. Penyelidikan Tanah Gambut


Tanah gambut (peat soil) merupakan tanah yang mengandung
bahan organik dalam jumlah yang besar sehingga mempengaruhi sifat
rekayasa tanah tersebut. Dengan demikian sistem klasifikasi tanah
berbeda dengan tanah lempung.
Sistem klasifikasi yang umum berlaku (USCBR, USCS yang
kemudian digunakan oleh ASTM, dan AASHTO tidak menyebutkan
klasifikasi tanah gambut.
Beberapa jenis pada tanah gambut yaitu Fibrous Peat
(berserat) bersifat nonplastis dan konsolidasi sekunder dominan (teori
terzaghi tidak berlaku), Amorphous Peat (Tak berserat, Lempung
organik) bersifat plastis, dan perilaku pemampatan seperti pada tanah
lempung lunak (Metode terzaghi berlaku)
Parameter penting pada tanah gambut yaitu specific gravity
(Gs), kadar air (o), kandungan abu, kandungan organik, kandungan
serat, parameter konsolidasi (tergantung jenis), klasifikasi, koefisien
tekanan tanah lateral (Ko).
Permasalahan pada tanah gambut yaitu muka air tanah tinggi,
daya dukung sangat rendah, kompresibiltas tinggi, konsolidasi
sekunder berlangsung sangat lama, proses dekomposisis berlangsung
lama, kestabilan dalam arah lateral, overall sliding.
Beberapa langkah penanganan masalah untuk menangani tanah
bersifat gambut yaitu tentukan jenis tanah berdasarkan serat, tentukan
metode prediksi pemampatan dilapangan, tentukan metode stabilisasi.
Sedangkan metode untuk stablisasi tanah gambut adalah penggunaan
material ringan, timbunan dengan perkuatan geotekstil, preloading,
preloading+geotekstil, sand drain (bukan PVD), pemasangan cerucuk,
dolken, minipile.

11
Hal-hal yang dihindari berkaitan dengan stabilitas tanah
gambut adalah
 Hindari metode stabilisasi secara kimiawi (kapur, semen, dll)
o Gambut tidak mengandung “water insoluble gel” dari Ca
Co3 yang berfungsi mengikat partikel.
o Bahan organik masih mengalami proses dekomposisi.
o Stabilisasi hanya dipermukaan tidak feasible untuk tanah
gambut.
 Hindari penggunaan PVD untuk vertical drain karena
pemampatan konsolidasi terjadi dalam waktu yang singkat dan
organik content dapet memblok aliran.

Hati-hati dengan pemakaian beton sebagai pondasi karena sifat


gambut yang korosif. Untuk dapat melakukan analisis Geoteknik
(Mekanika Tanah dan Teknik Pondasi) yang benar dan baik, sangat
diperlukan data-data tanah (soil test) bawah permukaan yang lengkap
dan akurat. Data-data ada yang diperolehlangsung dari survey
geoteknik lapangan dan ada yang diperoleh langsung dari uji
laboratorium terhadap contoh tanah yang diambil dari bawah
permukaan melalui boring.

Penyelidikan tanah dilapangan dapat berupa penggunan dan


interpretasi foto udara dan remote sensing, metode geofisik, metode
geolistrik, sumur uji (test pit) pemboran (boring) (dangkal sampai
dalam), uji penetrometer (uji sondir, Cone Penetration Test = CPT), uji
Vane Shear Test, Pocket Penetometer Test, California Bearing Test
(CBR) dan lain lain.

Pemboran tanah/boring dan sondir (CPT) adalah pekerjaan


yang paling umum dan akurat untuk tanah berlempung dalam survey
geoteknik lapangan. Yang dimaksud dengan pemboran tanah adalah
membuat lubang kedalam tanah dengan menggunakan alat bor manual
maupun alat bor mesin dengan tujuan:

12
 Mengidentifikasi jenis tanah sepanjang kedalaman lubang bor.
 Untuk mengambil contoh tanah asli maupun tidak asli pada
kedalamanyang dikehendaki.
 Untuk memasukkan alat uji penetrasi baku (Standart Penetration Test,
SPT) pada kedalaman yang dikehendaki.
 Untuk memasukkan alat uji lainnya kedalam tanah yang dikehendaki,
misalnya: uji rembesan lapangan, uji vane shear, uji presuremeter,
pengukuran tekanan air pori dan lain-lain.

Para peneliti geoteknik telah banyak membuat studi tentang


hasil SPT untuk membuat korelasi dengan hasil uji lapangan yang lain,
dengan berbagai sifat tanah, seperti jenis-jenis tanah dan
konsistensinya, dengan kekuatan geser tanah, parameter konsolidasi,
relatif density, daya dukung pondasi dangkal, daya dukung pondasi
dalam, tiang bor dan lain-lain.

Pekerjaan sondir (Dutch Cone Penetration Test = CPT)


merupakan alat penyelidikan tanah yang sangat sederhana dan populer
di Indonesia. Dari alat sondir, memberikan tekanan konus (qc) dan
hambatan pelekat (fs) yang dapat dikorelasikan terhadap parameter
tanah yang lain seperti: undrained shear strength (Cu),
kompressibilitas (Cc), elastisitas tanah (Es) dan dapat memperkirakan
jenis lapisan tanah dan parameter tanah lainnya.

Sampai sekarang ini, hasil uji sondir untuk tujuan-tujuan seperti:

 Evaluasi kondisi tanah bawah permukaan di lapangan, stratigrafi


(menduga struktur lapisan tanah), klasifikasi lapisan tanah, kekuatan
lapisan tanah dan kedalaman lapisan tanah keras.
 Menentukan lapisan tanah yang harus dibuang dan diganti dengan
tanah yang lebih baik dan dipadatkan dan kontrol kepadatan tanah
timbunan.
 Perencanaan pondasi dan perhitungan settlement.
 Perencanaan stabilitas lereng galian atau timbunan dan lain-lain.

13
Penyelidikan tanah di laboratorium yang umum dilakukan
adalah: sifat fisik tanah (w, γ, e, n, Gs, Sr), sifat plastisitas tanah (LL,
PL, PI, SL, SI, Ac,LI), sifat consolidasi tanah (mv, Cc, Cr, Cs, Ca, Cv,
Pc), sifat kuat kuat geser tanah (c, ϕ , c’ , ϕ’ , Su, qu, St, Es), sifat
copaction tanah timbunan ( γ mak., OMC,CBR, Rd).

Hasil survei lapangan dan uji laboratorium tersebut


dimaksudkan untuk dipakai sebagai input disain pondasi, timbunan
tanah dan rekayasa bangunan sipil bagian bawah, untuk lebih mudah
dan praktisnya kegunaan data tanah terhadap perencanaan pondasi
dapat dibuat diagram secara singkat sebagai berikut:

Gambar 2.3. Detail desain dan spesifikasi teknik

14
2.3 Konsolidasi Tanah
2.3.1 Pengertian Konsolidasi
Bila lapisan tanah jenuh berpermeabilitas rendah dibebani,
maka tekanan air pori di dalam lapisan tersebut segera bertambah.
Perbedaan tekanan air pori pada lapisan tanah, berakibat air mengalir
ke lapisan tanah dengan tekanan air pori yang lebih rendah, yang
diikuti penurunan tanahnya. Karena permeabilitas yang rendah ini
butuh waktu.
Konsolidasi tanah adalah suatu proses pengecilan volume
secara perlahan-lahan pada tanah jenuh sempurna dengan
permeabilitas rendah akibat pengaliran sebagian air pori. Proses
tersebut berlangsung terus sampai kelebihan tegangan air pori yang
disebabkan oleh kenaikan tegangan total telah benar-benar hilang.
(Craig,1994:213). Dengan kata lain, pengertian konsolidasi adalah
proses terperasnya air tanah akibat bekerjanya beban, yang terjadi
sebagai fungsi waktu karena kecilnya permeabilitas tanah.
Proses ini berlangsung terus sampai kelebihan tekanan air pori
yang disebabkan oleh kenaikan tegangan total telah benar-benar
hilang. Kasus yang paling sederhana adalah konsolidasi satu dimensi,
di mana kondisi regangan lateral nol mutlak ada. Proses konsolidasi
dapat diamati dengan pemasangan piezometer, untuk mencatat
perubahan tekanan air pori dengan waktunya. Besarnya penurunan
dapat diukur dengan berpedoman pada titik referensi ketinggian pada
tempat tertentu.

2.3.2 Analogi Konsolidasi Satu Dimensi


Mekanisme proses konsolidasi satu dimensi dapat digambarkan
dengan cara analisis seperti Gambar 2.2. Silinder dengan piston yang
berlubang dihubungkan dengan pegas, diisi air sampai memenuhi
volume silinder. Pegas dianggap terbebas dari tegangan - tegangan dan
tidak ada gesekan antara dinding silinder dengan tepi pistonnya. Pegas
mengambarkan keadaan tanah yang mudah mampat, sedangkan air

15
mengambarkan air pori dan lubang pada piston mengambarkan
(permeabilitas).

Gambar 2.4. Analogi Piston Dengan Pegas

Gambar 2.2. a, mengambarkan kondisi di mana sistem dalam


keseimbangan. Kondisi ini identik dengan lapisan tanah yang dalam
keseimbangan dengan tekanan overburden. Alat pengukur tekanan
yang dihubungkan dengan silinder memperlihatkan tekanan hidrostatis
sebesar uo, pada lokasi tertentu di dalam tanah.
Bila tekanan sebesar p dikerjakan di atas piston dengan posisi
katup V tertutup ( Gambar 2.2. b ), maka akibat tekanan ini piston
tetap tidak akan bergerak. Hal ini disebabkan karena air tidak mudah
mampat. Pada kondisi ini , tekanan pada piston tidak dipindahkan pada
pegas, tapi sepenuhnya didukung oleh air. Pengukur tekanan air dalam
silinder menunjukkan kenaikan tekanan sebesar u = p , atau
pembacaan tekanan sebesar : u0 + p. Kenaikan tekanan air pori u
disebut dengan kelebihan tekanan air pori (excess pore water
pressure). Kondisi pada kedudukan katup V tertutup mengambarkan
kondisi tanpa drainasi (undrained) di dalam tanah. Jika kemudian
katup V dibuka, air akan lewat lubang dengan kecepatan yang
dipengaruhi oleh luas lubangnya.
Hal ini akan menyebabkan piston bergerak ke bawah, sehingga
pegas secara berangsur - angsur mendukung beban akibat p (Gambar
2.2.c). Pada setiap kenaikan tekanan yang didukung oleh pegas,
kelebihan tekanan air pori u di dalam silinder berkurang. Akhirnya
pada suatu saat, tekanan air pori nol dan seluruh tekanan didukung

16
oleh pegasnya dan kemudian piston diam (Gambar 2.4.d). Kedudukan
ini mengambarkan kondisi drainasi (drained).
Tekanan yang terjadi pada pegas identik dengan kondisi
tegangan efektif di dalam tanah. Sedang tegangan air pori di dalam
silinder identik dengan tekanan air pori. Kenaikan tekanan p akibat
beban yang diterapkan identik dengan tambahan tegangan normal yang
bekerja. Gerakan piston menggambarkan perubahan volume tanah,
dimana gerakan ini dipengaruhi oleh kompresibilitas pegasnya, yang
ekivalen dengan kompresibilitas tanahnya. Walaupun model piston dan
pegas ini agak kasar, tetapi cukup menggambarkan apa yang terjadi
bila tanah kohesif jenuh dibebani di laboratorium maupun di lapangan.
Sebagai contoh nyata dapat dilihat pada Gambar 2.5. Di sini
diperlihatkan suatu pondasi yang dibangun di atas tanah lempung yang
diapit oleh lapisan tanah pasir dengan tinggi muka air tanah dibatas
lapisan lempung sebelah atas. Segera sesudah pembebanan, lapisan
lempung mengalami kenaikan tegangan sebesar p. Air pori di dalam
lapisan lempung mengalami kenaikan tegangan sebesar p. Air pori di
dalam lapisan lempung dianggap dapat mengalir dengan baik ke
lapisan pasirnya dan pengaliran air hanya ke atas dan ke bawah saja.
Dianggap pula bahwa besarnya tambahan tegangan p sama di
sembarang kedalaman lapisan lempungmya.
Jalan proses konsolidasi diamati lewat pipa - pipa piezometer
yang dipasang di sepanjang kedalamannnya (Gambar 2.3.2.b),
sedemikian rupa sehingga tinggi air dalam pipa piezometer
menyatakan besarnya kelebihan tekanan air pori (excess pore pressure)
di kedalaman pipanya.

17
Gambar 2.5. Reaksi tekanan air pori terhadap beban pondasi
a). Pondasi pada tanah jenuh
b). Diagram perubahan tekanan air pori dengan
waktunya
( Sumber : Christiady. H, 1992 )

Akibat tambahan tekanan p, yaitu segera setelah beban


pondasi bekerja, tinggi air dalam pipa piezometer naik setinggi
h=p/gw, atau menurut garis DE. Garis DE ini menyatakan distribusi
kelebihan tekanan air pori awal. Dalam waktu tertentu, tekanan air pori
pada lapisan lebih dekat dengan lapisan pasir akan berkurang,
sedangkan tekanan air pori lapisan lempung bagian tengah masih tetap.
Kedudukan dalam pipa ditunjukkan dalam kurva k 1 . Dalam tahapan
waktu sesudahnya, ketinggian air di dalam pipa ditunjukkan dalam
kurva k2. Setelah waktu yang lama, tinggi air dalam pipa piezometer
mencapai kedudukan yang sama dengan kedudukan muka air tanah
(garis AC). Kedudukan garis AC ini menunjukkan proses konsolidasi
telah selesai, yaitu kelebihan tekanan air pori telah nol.
Pada mulanya, tiap tekanan beban akan didukung sepenuhnya
oleh tekanan air pori, dalam hal ini berupa kelebihan tekanan air pori

18
(u) yang besarnya sama dengan p. Dalam kondisi demikian tidak ada
perubahan tegangan efektif di dalam tanah. Setelah air pori sedikit
demi sedikit terperas keluar, secara berangsur - angsur tanah mampat,
beban perlahan - lahan ditransfer ke butiran tanah, dan tegangan efektif
bertambah. Akhirnya, kelebihan tekanan air pori menjadi nol. Pada
kondisi ini, tekanan air pori sama dengan tekanan hidrostatis yang
diakibatkan oleh air tanah.

2.3.3 Pengujian Konsolidasi


Pengujian konsolidasi satu dimensi biasanya dilakukan di
laboratorium dengan alat oedometer (Gambar 2.4.). Sampel tanah yang
mewakili elemen tanah, dimasukkan ke dalam cincin besi. Bagian atas
dan bawah dari benda uji dibatasi oleh batu tembus air (porous stone).
Beban P diterapkan pada benda uji tersebut dan penurunan diukur
dengan dial gauge. Tiap beban diterapkan dalam periode 24 jam,
dengan benda uji tetap terendam dalam air. Penambahan beban secara
periodik diterapkan pada sampel tanahnya. Penelitian oleh Leonard
(1962) menunjukkan bahwa hasil terbaik diperoleh jika penambahan
beban adalah dua kali beban sebelumnya, dengan urutan beban
0.25;0.5;1;2;4;8;16 kg/cm2. Untuk setiap beban, deformasi dan
waktunya dicatat, kemudian diplot pada grafik penurunan DH vs
logaritma waktu (log t) (lihat Gambar 2.6.).

Gambar 2.6. Skema Alat Pengujian Konsolidasi


(Sumber : Christiady. H, 1992)

19
Setiap penambahan beban, tegangan yang terjadi adalah tegangan
efektif. Bila berat jenis tanah (specific gravity), dimensi awal dan
penurunan pada tiap pembebanan dicatat, maka nilai angka pori (e)
diplot pada grafik semi logaritmis. (Gambar 2.7.)

Kedudukan 1 (Komprasi awal)

Kedudukan 2 (Konsolidasi primer)

Kedudukan 3 (Konsolidasi sekunder)

Gambar 2.7. Sifat Khusus Grafik Hubungan DH Terhadap log t

Gambar 2.8. Grafik Hubungan e- t


(Sumber : Christiady. H, 1992)

20
2.3.4 Koefisien Pemampatan (Coefficient of Compression av) dan
Koefisien Perubahan Volume (Coefficient of Volume Change , mv)
Koefisien pemampatan (av) adalah koefisien yang menyatakan
kemiringan kurva e-p’. Jika tanah dengan volume V1 mampat
sehingga volumenya menjadi V2, dan mampatnya tanah dianggap
hanya sebagai akibat pengurangan rongga pori, maka perubahan
volume hanya dalam arah vertikal dapat dinyatakan:

( ) ( )

Dimana:
e1 = angka pori pada tegangan p1’
e2 = angka pori pada tegangan p2’
V1 = volume ada tegangan p1’
V2 = volume ada tegangan p2’
2.3.5 Compression Index (Cc)
Indeks Pemampatan Cc adalah kemiringan dari bagian lurus
grafik e - log p’. Untuk dua titik yang terletak pada bagian lurus dari
grafik dalam Gambar 2.7. nilai Cc dapat dinyatakan dalam rumus:

Cc = (

Untuk tanah normally consolidated, Terzaghi dan Peck (1967)


memberikan hubungan angka kompresi Cc sebagai berikut:
Cc = 0.009 (LL - 10)
Dengan LL adalah batas cair (liqiud limit)
Untuk tanah lempung dibentuk kembali (remolded)
Cc = 0.007 (LL - 10)

21
Gambar 2.9. Indeks pemampatan Cc

2.3.6 Tekanan Prakonsolidasi ( Preconsolidation Pressure, pc’)


Salah satu cara untuk menentukan nilai tekanan prakonsolidasi
(pc’) adalah cara Casgrande (1963), yaitu dengan menggunakan
gambar grafik hubungan e-log p (Gambar 2.8.).

Gambar 2.10. Menentukan pc’ Dengan Metode Casagrande


(1936 )
(Sumber : M.Das, 1995)

22
2.3.7 Penurunan Konsolidasi
Ditinjau lapisan tanah lempung jenuh dengan tebal H. Akibat
adanya beban yang bekerja, lapisan tanah menerima tambahan
tegangan sebesar p. Dianggap regangan arah lateral nol. Pada akhir
konsolidasi, terdapat tembahan tegangan efektif vertikal sebesar (p).
Sebagai akibat penambahan tegangan dari p 0’ ke p1’, terjadi
pengurangan angka pori dari e0 ke e1. Karena regangan lateral nol,
pengurangan volume per satuan volume sama dengan pengurangan
tebal per satuan tebalnya, yaitu penurunan per satuan ketinggian atau
panjangnya.
Jika mv dan p dinggap sama pada sembarang kedalaman
tanahnya, maka:
Sc = mv. Dp.dh

Bila akan menghitung besarnya penurunan konsolidasi dengan


menggunakan nilai mv dan p, maka pada sembarang kedalaman
lapisan yang ditinjau nilai keduanya dihitung, dan penurunan
ditentukan dari penambahan secara aljabar dari penurunan tiap
lapisannya. Nilai tambahan tegangan p dapat ditentukan dengan
memperhatikan penyebaran beban pada tiap lapisan yang ditinjau.
Penurunan total adalah jumlah dari penurunan tiap lapisannya, yaitu
dari jumlah (mv. p.dh). Untuk tanah yang terkonsolidasi normal
(normally consolidated), besarnya penurunan dihitung dengan
persamaan:
Sc = Cc

H adalah tebal lapisan mampat yang ditinjau, p 1’ dan p2’ adalah


tegangan yang terjadi pada lapisan tanah di mana, p 2’ > p1’.
Penurunan untuk lempung normally consolidated dengan tambahan
tegangan efektif sebesar p1’ = p0’ + p, dinyatakan oleh persamaan:

23
Sc = Cc

Dimana:
Sc = Penurunan konsoilidasi
Cr = Indeks pemampatan kembali
Cc = Indeks pemampatan
H = Tebal lapisan tanah (m)
P0’ = Tekanan overburden efektif mula – mula (t/m2)
p = Tambahan tegangan (t/m2)
e0 = Angka pori awal

2.3.8 Koefisien Konsolidasi Arah Vertikal (C v)


Kecepatan penurunan dihitung dengan menggunakan koefisien
konsolidasi. Kecepatan penurunan perlu diperhitungkan bila penurunan
konsolidasi yang terjadi pada suatu struktur diperkirakan sangat besar.
Derajat konsolidasi pada sembarang waktunya, dapat ditentukan
dengan menggambarkan grafik penurunan vs waktu untuk satu beban
tertentu yang diterapan pada alat oedometer. Dengan mengukur
penurunan total pada akhir fase konsolidasi.
Kemudian dari data penurunan dan waktunya, sembarang
waktu yang dihubungkan dengan derajat konsolidasi rata – rata tertentu
(misalnya U = 50 %) ditentukan. Walaupun fase konsolidasi telah
berakhir, yaitu ketika tekanan air porinya telah nol, benda uji di dalam
alat oedometer masih terus mengalami penurunan akibat konsolidasi
sekunder. Karena itu, tekanan air pori mungkin perlu diukur selama
proses pembebanannya atau suatu interprestasi data penurunan dan
waktu harus dibuat untuk menentukan kapan konsolidasi telah selesai.
Jika sejumlah kecil udara terhisap masuk dalam air pori akibat
penurunan tekanan pori dari lokasi aslinya di lapangan, kemungkinan
terdapat juga penurunan yang berlangsung cepat, yang bukan bagian
dari proses konsolidasi. Karena itu, tinggi awal atau kondisi sebelum

24
adanya penurunan saat permulaan proses konsolidasi juga harus
diinterprestasikan.
Koefisien konsolidasi vertikal (Cv) menentukan kecepatan
pengaliran air pada arah vertikal dalam tanah. Karena pada umumnya
konsolidasi berlangsung satu arah saja, yaitu arah vertikal, maka
koefisien konsolidasi sangat berpengaruh terhadap kecepatan
konsolidasi yang akan terjadi. Harga Cv dapat dicari mempergunakan
persamaan berikut ini:

Cv =

Dimana:
Cv = koefisien konsolidasi ( cm2/dtk )
Tv = faktor waktu tergantung dari derajat konsolidasi
T = waktu yang dibutuhkan untuk mencapai derajat
konsolidasi U% (dtk)
H = tebal tanah (cm)

2.3.9 Derajat Konsolidasi


Derajat konsolidasi tanah (U) adalah perbandingan penurunan
tanah pada waktu tertentu dengan penurunan tanah total. Untuk U 
60% maka:

( )

Untuk U > 60 maka:

Tv = 1,781 – 0,933 lg ( 100 – U % )

2.3.10 Preloading
Tinggi timbunan kritis beban preloading ini dihitung
berdasarkan daya dukung tanah lempung mula-mula. Kekuatan geser
tanah lempung, dalam hal ini kohesi tanah akan mempengaruhi tinggi

25
timbunan yang akan pergunakan. Daya dukung tanah lempung dalam
perencanaan beban preloading dihitung sebagai berikut:
qu = 2. cu
qu = timb. Hcr
maka:

dimana :
cu = kohesi tanah dasar (t/m2)
timb = berat volume tanah timbunan (t/m3)
Hcr = tinggi timbunan kritis (m)

2.3.11 Beban Preloading Bertahap


Besarnya beban preloading yang akan diberikan dapat
ditentukan terlebih dahulu, kemudian dibandingkan dengan tinggi
timbunan atau beban yang mampu diterima oleh tanah dasar yaitu H
kritis (Hcr). Apabila ternyata tinggi timbunan sebagai beban
preloading yang akan diberikan lebih besar daripada Hcr, maka
timbunan tersebut harus diletakkan secara bertahap (stepped
preloading).
Langkah-langkah pemberian beban preloading secara bertahap
(stepped preloading) adalah sebagai berikut:
1. Menghitung pemampatan yang akan terjadi akibat timbunan
setinggi Hcr (beban tahap I).
2. Menghitung besar pemampatan untuk
U rata-rata = 90 % dan waktu yang diperlukannya yaitu St1 dan
t 1.
3. Menghitung peningkatan daya dukung tanah akibat pemampatan
sebesar St1, dengan menggunakan persamaan:

26
dimana:

Dcu = peningkatan kuat geser akibat pemampatan (t/m2)


Po’= Tegangan overburden efektif setelah pemampatan (t/m2)
PI = Plasticity Index (%)
cu = kuat geser mula-mula (t/m2)
cu’ = kuat geser setelah pemampatan (t/m2)
4. Menghitung penambahan tinggi timbunan (beban tahap II)
berdasarkan daya dukung tanah yang telah meningkat yang
dihitung pada langkah no. 3.
5. Menghitung besar pemampatan akibat beban tahap II untuk U
rata-rata = 90% dan waktu yang diperlukannya, St2 dan t2.
6. Menghitung peningkatan daya dukung setelah pemampatan
akibat beban tahap II terjadi.
7. Menentukan beban tahap III seperti langkah sebelumnya
sehingga sampai total pemampatan yang harus dihilangkan
tercapai. Pada akhir tahap pemberian beban, dapat diketahui
tinggi akhir dari timbunan harus sama dengan tinggi timbunan
rencana.

2.3.12 Pre-fabrication Vertical Drain


Persamaan derajat konsolidasi pada tanah yang distabilisai
dengan menggunakan sistem PVD menurut Carrillo dalam Soedarmo
G. D., dan S. J. Edy Purnomo, 1997 adalah sebagai berikut:
Uc = 1 - (1-Uh) (1-Uv)
dimana :
Uc = derajat konsolidasi tanah akibat aliran vertikal dan radial.
Uh = derajat konsolidasi radial
Uv = derajat konsolidasi vertikal

27
Besarnya waktu konsolidasi akibat pemakaian PVD dicari
menggunakan persamaan:

( ) ( ) ( )

dimana :
T = Waktu yang diperlukan untuk mencapai Uh (dtk)

D = Diameter equivalen lingkaran (cm)


= 1,13 x S untuk pola susunan bujursangkar
1,05 x S untuk pola susunan segitiga

Ch = Koefisien konsolidasi aliran horisontal (cm2/dtk)

F(n) = Faktor hambatan disebabkan karena jarak antara PVD


Uh =Derajat konsolidasi tanah arah horisontal (%)

2.4 PVD (Prefabricated Vertical Drain)


2.4.1 PVD (Prefabricated Vertical Drain)
Secara umum prefabricated vertical drain merupakan bahan
sistetis cetakan untuk drainase. Bahan tersebut dibagi atas dua
komponen, yaitu geotextile filter fabric atau serat penyaring geotekstil
yang akan mempermudah aliran air masuk ke dalam rongga-rongga
tanah dan juga plastic drain core atau plastik inti drainase yang
berlaku sebagai pengumpul dan penyalur air.
Prefabricated vertical drain umumnya terbuat dari
polypropylene, polystyrene, dan polyester yang digunakan untuk
ketahanan dari bahan-bahan penyusun tanah agar tetap stabil atau
normal. Membrane drain adalah sebuah bahan drainase vertikal yang
dikembangkan oleh Cofra untuk mempercepat proses konsolidasi pada
tanah lunak. Inti yang fleksibel terbuat dari bahan polypropylene
bermutu tinggi, dimana kedua sisinya memiliki bentuk beralur

28
sepanjang bahan ini, sehingga air dapat mengalir melalui inti tanpa
terhalang. Inti ini terbungkus oleh bahan filter yang kuat dan tahan
lama yang terbuat dari bahan polypropylene (non – woven), yang
dikombinasikan permeabilitas tinggi dengan karakteristik filtrasi yang
besar.

2.4.2 Vertical Drain


Vertikal drain adalah suatu cara untuk mempercepat proses
keluarnya air pori dari dalam tanah. Proses kerja dari vertikal drain
adalah dengan pembuatan lubang-lubang pada tanah dengan jarak
tertentu dan kedalaman tertentu. Adapun penggunaan media
pengisi lubang-lubang tersebut yaitu dengan penggunaan media
karung goni ataupun PVD (Prefabricated Vertical Drain). Media-
media tersebut berfungsi sebagai alat untuk menyerap air pori yang
terkandung dalam tanah agar dapat naik ke permukaan tanah
sehingga proses penurunan tanah yang tidak merata dapat teratasi.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa tanah lempung
lunak memiliki permeabilitas yang rendah, sehingga membutuhkan
waktu yang lama untuk menyelesaikan konsolidasi. Untuk
mempersingkat waktu konsolidasi tersebut, drainase vertikal (vertical
drains) dikombinasikan dengan teknik preloading. Vertical drain
sebenarnya merupakan jalur drainase buatan yang dimasukkan kedalam
lapisan lempung. Dengan kombinasi preloading, air pori diperas keluar
selama konsolidasi dan mengalir lebih cepat pada arah horizontal dari
pada arah vertikal. Selanjutnya, air pori tersebut mengalir sepanjang jalur
drainase vertikal yang telah diinstalasi. Oleh karena itu, vertical drain
berfungsi untuk memperpendek jalur drainase dan sekaligus
mempercepat proses konsolidasi.
Preloading dan vertical drain pada dasarnya bertujuan
untuk meningkatkan kekuatan geser pada tanah, mengurangi
kompresibilitas/kemampumampatan tanah, dan mencegah
penurunan (settlement) yang besar serta kemungkinan kerusakan
pada struktur bangunan. Preloading dan vertical drain umumnya

29
digunakan pada tanah dengan daya dukung yang rendah seperti
pada tanah lempung lunak dan tanah organik. Jenis tanah tersebut
biasanya memiliki ciri seperti berikut: kadar air yang ekstrim,
kompresibilitas yang besar, dan koefisien permeabilitas yang kecil.
Pada prinsipnya teknik preloading menggunakan vertical
drain merupakan metode perkuatan tanah dengan cara mengurangi
kadar air dalam tanah (dewatering). Biasanya waktu konsolidasi
yang dibutuhkan untuk jenis tanah seperti ini memakan waktu yang
lama meski dengan menggunakan beban tambahan yang besar,
sehingga teknik preloading mungkin kurang cocok untuk jadwal
kontruksi yang mepet.
Jika beban sementara melebihi beban akhir konstruksi
maka kelebihan beban tersebut mengacu kepada beban tambahan
(surcharge), dimana dengan menggunakan beban tambahan
sementara (surcharge) yang melebihi beban kerja, tanah akan
berada pada kondisi overconsolidated dan secondary compression
untuk tanah overconsolidated akan jauh lebih kecil daripada tanah
dengan normally consolidated. Hal ini akan menguntungkan
perencanaan tanah selanjutnya (Chu et all., 2004).
Selain dengan menggunakan teknik preloading dan
menggunakan beban tambahan sementara (surcharge), peningkatan
mutu tanah dapat juga dilakukan dengan menggunakan vertical
drain, selain itu waktu konsolidasi pun juga semakin singkat sebab
aliran drainase yang terjadi bukan hanya ke arah vertikal tapi juga
ke arah horizontal.
Perkembangan vertical drain sendiri sudah dimulai
sejak tahun 1925, dimana D.J.Moran seorang insinyur
berkebangsaan Amerika memperkenalkan pemakaian drainase dari
kolom-kolom pasir untuk stabilitas tanah pada kedalaman yang
besar. Kemudian untuk pertama kalinya instalasi drainase ini
digunakan di California dan seiring dengan berjalannya waktu, tipe
drainase ini dikenal dengan istilah drainase vertikal (vertical drain).

30
Pada tahun 1936, diperkenalkan sistem drainase menggunakan
bahan sintetis oleh Kjellman di Swedia. Setelah di tes di beberapa
tempat pada tahun 1937 dengan bahan cardboard, lantas mendapat
sambutan yang hangat oleh para ilmuwan. Sejak saat itu,
pengembangan vertical drain dilanjutkan dengan berbagai macam
bahan.

Dengan digunakannya prefabricated vertical drain, waktu


yang dibutuhkan untuk konsolidasi melalui teknik preloading pun
menjadi semakin singkat dan penurunan (settlement) yang terjadi
juga dapat direduksi. Bahkan proses installasinya pun saat ini sudah
semakin berkembang dimana prefabricated vertical drain dapat
mencapai kedalaman 60 m dengan laju 1 m/dt.

2.5 Perilaku Tanah Tidak Jenuh (Unsaturated Soil)


2.5.1 Tiga Fase pada Tanah Tidak Jenuh
Tanah tidak jenuh umumnya diklasifikasi dalam tiga fase yang
terdiri dari butiran padat, air, dan udara. Distribusi relatif dari tiga
komponen ini sangat penting untuk dapat memahami sifat-sifat tanah.
Sebuah elemen dari tanah tidak jenuh diidealkan dalam Gambar 2.1.
Butiran tanah atau fase padat, terdiri dari partikel tanah seperti pasir,
lanau, dan lempung. Tanah ditempati oleh rongga udara, yang
mungkin sepenuhnya atau sebagian diisi dengan air. Air yang
menempati rongga udara ini adalah fase air. Rongga udara yang terisi
merupakan fase udara dari sistem tanah tiga fase tersebut.

31
Gambar 2.11. Elemen Tanah Tak Jenuh

Gambar 2.12. Pembagian Zona Pada Tanah Tak Jenuh

Tanah dianggap jenuh ketika semua ruang kosong telah diisi


oleh air. Tanah jenuh adalah kasus khusus dari sistem tiga fase karena
semua ruang kosong diisi dengan air dan tidak ada udara yang hadir.
Sistem ini mengubah menjadi bentuk yang lebih umum, yang hanya
terdiri dari padatan dan air. Karena tidak ada udara yang hadir, tanah
jenuh dapat dipandang sebagai sistem dua fase.

32
2.5.2 Kondisi Tegangan pada Tanah Tidak jenuh
Kondisi tegangan yang terjadi digunakan untuk
menggambarkan perilaku fisik tanah tidak jenuh adalah variabel
tegangan efektif. Variabel tegangan efektif berlaku untuk pasir, lanau,
lempung dan lain lain. Variabel tegangan efektif mengontrol proses
perubahan volume dan kekuatan geser tanah jenuh. Tegangan efektif
dinyatakan dalam bentuk persamaan:

σ' = σ - Uw.......................................................................... 2.19

Dimana:
σ' = Tegangan efektif
σ = Tegangan total
Uw = Tekanan air pori

Kondisi tanah jenuh dalam keadaan seimbang dapat


digambarkan dalam koodinat cartesius 3 dimensi pada suatu titik
dalam suatu media yang terjadi secara terus menerus . Terzaghi (1936)
mendefinisikan tegangan efektif dalam bentuk matrik 3 x 3 dari tanah
jenuh:

  x  ua   yx  zx 
σ' =  
  xy  y  ua   zy 
  xz  yz  z  ua 

Dimana:
σ' = Tegangan efektif
σ , σ , σ = Tegangan total arah x, y dan z

Variabel tegangan efektif menentukan kondisi tanah dan


mengatur semua perilaku mekanik. Perubahan pada tegangan efektif
akibat perubahan total tegangan normal atau perubahan tekanan air

33
pori mengubah keadaan seimbang dari tingkat kejenuhan tanah, dan
menyebabkan perubahan volume. Untuk alasan ini, tegangan efektif
memenuhi syarat sebagai variabel kondisi tegangan untuk tanah jenuh.
Persamaan tengangan efektif untuk tanah jenuh tidak dapat digunakan
dengan tanah tak jenuh karena fakta bahwa tanah tidak 100% jenuh
dan adanya dalam rongga.
Pada tahun 1977, Fredlund dan Morgenstern menggunakan
konsep kontinum multi fase mekanik untuk menulis persamaan
kesetimbangan pada tanah tak jenuh. Fredlund dan Analisis
Morgenstern menyimpulkan bahwa setiap dua dari tiga variabel
kondisi tegangan yang mungkin dapat digunakan untuk menentukan
kondisi tegangan pada tanah tak jenuh (Fredlund, Fredlund, &
Rahardjo, 2012). Tiga kemungkinan kombinasi variabel keadaan
tegangan tanah tidak jenuh adalah:
1. σ - dan -
2. σ - dan -
3. σ - dan σ -

Kombinasi variabel tegangan yang lebih dapat diterima dalam


merumuskan masalah mekanika tanah tak jenuh adalah tegangan
normal (σ - ) dan matrik suction ( - ).
Kombinasi ini dipilih untuk menjadi variabel yang terbaik yang
sesuai kondisi tegangan karena sebagai berikut:
1. Kondisi tegangan dapat dibuktikan melalui eksperimen di
laboratorium.
2. Kondisi tegangan yang dapat secara teoritis dibenarkan dipandang
dari sisi keseimbangan.
3. Kondisi tegangan dimana komponen tegangan dapat diukur dalam
praktek rekayasa.
4. Kondisi tegangan yang memenuhi definisi variabel dalam
mekanika kontinum.

34
Untuk tanah tak jenuh, efek total tekanan eksternal dan tekanan
air pori internal yang harus dipertimbangkan. Untuk mengevaluasi
keadaan tegangan tanah tak jenuh, diperlukan dua variabel tegangan.
Variabel kondisi tegangan untuk tanah tak jenuh mengambil dua
bentuk tensor tegangan dengan mempertimbangkan keadaan tegangan
pada titik dalam tiga dimensi. Kedua tensor tegangan untuk tanah tak
jenuh tersebut adalah sebagai berikut (Fredlund, D., 1997b):
Konsidi seimbang pada struktur tanah:
  x  ua   yx  zx 
 
  xy  y  ua   zy 
   yz  z  ua 
 xz

Inter fase antara udara dan air :

 ua  uw  0 0 
 
 0 ua  uw  0 
 ua  uw 
 0 0

Persamaan yang diusulkan oleh Bishop pada tahun 1959 adalah


persamaan tegangan efektif yang menjadi acuan untuk tanah tak jenuh.

σ'= (σ - )+X( - ) .................................................... 2.20

Keterangan:
(σ - ) = Tegangan normal bersih

( - ) = Matrik suction (tekanan air pori negatif)

X = Parameter tanah yang berkaitan dengan derajat


kejenuhan, bernilai antara 0 sampai

2.5.3 Tegangan Permukaan dan Suction


Suction ini umumnya terkait dengan fenomena kapiler yang
timbul dari tegangan permukaan air (Fredlund et al., 2012). Rongga
dalam tanah tak jenuh dapat dianggap sama dengan tabung kapiler
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.3. Air di tabung naik karena
tegangan permukaan yang terjadi pada permukaan air, kaca dan udara.

35
Untuk tanah, tegangan permukaan terjadi antara permukaan air,
butiran-butiran tanah dan udara. Hasil tegangan permukaan dari gaya
antarmolekul bertindak dalam antarmuka udara-air sehingga
menyebabkan permukaan air di pipa kapiler melengkung. Antarmuka
disebut “meniskus” dan antarmuka udara-air disebut dengan tekanan
udara pori (Ua), yang lebih besar dari tekanan air pori (Uw). Selisih
antara tekanan udara pori udara dan tekanan air pori disebut suction.

s  ua  u w ........................................................................ 2.21

Keterangan:
S = Suction
Ua = Tekanan udara pori
Uw = Tekanan air pori

Gambar 2.13. Kenaikan Daya Kapilaritas Pada Tabung Berisi


Air
Hubungan antara suction dan jari-jari kelegkungan
meniscus di gambarkan oleh persamaaan Kelvin:

( ua  u w ) = .................................................................... 2.22

36
Dimana:
Ts = Tegangan permukaan
Rs = Jari-jari kelengkungan dari meniskus
Ua-Uw = Tekanan hisap

Jari-jari kelengkungan berbanding terbalik dengan suction.


Semakin kecil pipa kapiler, semakin kecil jari-jari kelengkungan,
dan semakin tinggi kenaikan kapiler sebagaimana ditunjukkan pada
Gambar 2.3. Dengan analogi, semakin kecil ukuran pori, semakin
kecil radius kelengkungan, maka tinggi suction akan semakin
besar. Tanah granular seperti pasir memiliki pori-pori yang lebih
besar dari pada lempung, olehnya itu lempung akan
mempertahankan suction yang lebih besar dari pada tanah granular
dengan kadar air yang sama. Pada saat tanah kering, air dalam pori-
pori dan jari-jari kelengkungan berkurang menyebabkan suction
meningkat. Jumlah air relatif terhadap jumlah udara dalam ruang
pori tanah, karena hal itu terkait dengan jari-jari kelengkungan.
Sehingga saat kadar air menurun, jari-jari kelengkungan berkurang,
maka suction meningkat. Hal ini penting untuk memahami
hubungan antara ukuran pori-pori tanah, kadar air, dan suction. Hal
yang harus dipahami bahwa ada perbedaan dalam nilai-nilai
suction pada kadar air yang berbeda, dan hubungan antara suction
dan kadar air akan berbeda untuk jenis tanah yang berbeda karena
perbedaan ukuran pori.

2.5.4 Kurva Karakateristik Tanah-Air (Soil-Water Characteristic


Curve /SWCC)
Hubungan antara ukuran kadar air dan suction dari tanah
tak jenuh disebut kurva karakateristik tanah-air (SWCC). SWCC
juga disebut sebagai kurva air retensi, karena merupakan jumlah air
yang ditahan oleh tanah pada suction. SWCC ditunjukkan pada

37
Gambar 2.4. Ukuran kadar air yang ditunjukkan dalam gambar ini
adalah kadar air volumetrik, yang ditentukan melalui persamaan:

= x 100 % ................................................................ 2.23

Keterangan:
= Volume air
= Volume tanah

Pengukuran lain pada kadar air yang dapat digunakan untuk


membuat SWCC adalah derajat kejenuhan (S) dan kadar air
gravimetri (w) seperti yang ditunjukkan oleh persamaan (2.24) dan
(2.25) sebagai berikut:

= x 100 % ................................................................. 2.24

Keterangan:
= Volume rongga

= x 100 % ................................................................. 2.24

Keterangan:
= Masaa air
= Massa tanah

38
Gambar 2.14. Kurva Karakateristik Tanah-Air
(Sumber : Fredlund, 1993)

2.5.5 Tipe SWCC untuk Jenis Tanah yang Berbeda


Bentuk SWCC tergantung pada jenis tanah. Jumlah
kegranularan dan indeks plastisitas tanah yang mempengaruhi
SWCC tersebut. Gambar 2.5 menunjukkan SWCC untuk berbeda
jenis tanah seperti pasir, lanau, dan lempung. Perhatikan bahwa
pada nilai suction yang sama, tanah plastik memiliki kadar air yang
tinggi dibandingkan tanah non-kohesif. Lempung cenderung
menahan lebih banyak kelembapan pada suction tertentu dari pada
pasir. Dalam memperkenalkan SWCC, harus diingat bahwa
semakin kecil ukuran pori tanah (ukuran partikel), dan semakin
banyak air maka tanah akan mempertahankan pada suction
tertentu. Itulah sebabnya Gambar 2.5 menunjukkan bahwa
lempung yang mempertahankan lebih banyak air dari pada lanau
dan lanau mempertahankan lebih banyak air dari pada pasir yang
dapat mempengaruhi nilai suction.

39
Gambar 2.15. SWCC untuk Pasir, Lempung dan Lanau
(Sumber : Fredlund, 1993)

2.5.6 Estimasi Kuat Geser untuk Tanah Tak Jenuh


Salah satu penggunaan SWCC adalah dalam estimasi
kekuatan geser untuk tanah tak jenuh. Ada beberapa persamaan
kuat geser yang menggabungkan karakteristik SWCC untuk
estimasi kekuatan geser tanah tak jenuh. Vanapalli et al. (1996)
menyarankan persamaan kekuatan geser melibatkan normalisasi
SWCC antara kondisi jenuh dan kondisi kadar air volumetrik sisa
(Fredlund et al., 2012). Vanapalli et al. (1996b) mengusulkan
persamaan umum untuk kekuatan geser tanah tidak jenuh dan
didefinisikan sebagai berikut:

𝜏 = c’ + (σ – Ua) tan Ø’ + (Ua- Uw) tan ............ 2.25

Keterangan: :
c’ = Kohesi tanah
(σ – Ua) = Tegangan normal bersih
= Kadar air volumetrik
= Kadar air volumetrik pada tingkat kejenuhan 100 %
= Kadar air volumetrik pada suction sisa

40
Ø’ = Sudut geser yang terkait dengan variabel keadaan
tegangan normal bersih
Sudut yang menunjukkan tingkat kenaikan kuat
geser sehubungan dengan perubahan tekanan hisap

Fredlund et al. (1996) juga mengembangkan persamaan


kekuatan geser menggabungkan SWCC dalam hal kadar air
berdimensi, Θk. Persamaan kekuatan geser ini tidak linier.
Fredlund et al. (1996) kekuatan geser persamaan didefinisikan
sebagai:

𝜏 = c’ + (σ – Ua) tan + (Ua- Uw)[Θk] tan ............... 2.26

Θk = Kadar air volumetrik normalisasi didefinisikan sebagai

yang juga setara dengan derajat kejenuhan

2.5.7 Estimasi Konduktivitas Hidrolik Tanah Tak Jenuh


Penggunaan lain dari SWCC adalah estimasi konduktivitas
hidrolik tanah tak jenuh. Van Genuchten (1980) mengusulkan
fungsi konduktivitas hidrolik untuk tanah jenuh berdasarkan
parameter yang terkait dengan SWCC dan dinyatakan sebagai:

............................................. 2.27

Dimana:
= Konduktivitas hidrolik pada tanah tak jenuh
= Konduktivitas hidrolik jenuh
Ψ = Suction ( ua  uw )

m, n, dan 𝛼 = Parameter SWCC

41
2.5.8 Estimasi Deformasi Tanah Tak Jenuh
Variabel keadaan deformasi menggambarkan perubahan
volume tanah tak jenuh.Tanah tak jenuh adalah sistem tiga fase
akibatnya, variabel deformasi yang diperlukan untuk
menggambarkan perubahan di setiap tahap dalam suatu elemen
yang berasal dari persyaratan kontinuitas untuk kontinum multi-
fase (Fredlund 1973a, 1974). Perubahan total volume elemen tanah
harus sama dengan jumlah dari perubahan volume yang terkait
dengan setiap fase. Total perubahan volume juga dapat disebut
regangan volumetrik. Regangan volumetrik adalah perubahan
volume rongga dengan volume keseluruhan awal elemen tanah.
Total perubahan volume untuk tanah jenuh dinyatakan dengan
asumsi partikel tanah yang mampat:

= = ............................................................. 2.28

Keterangan:
= Regangan volumetrik
= Volume keseluruhan awal elemen tanah jenuh
= Volume rongga tanah
= Volume air di dalam tanah
= Volume udara di dalam tanah

Regangan volumetrik adalah jumlah komponen regangan


normal pada arah x, y, dan z dalam sistem koordinat Cartesian.
Persamaan (2.28) menggambarkan perubahan volume elemen
tanah keseluruhan. Perubahan dalam volume elemen tanah
umumnya disebabkan oleh ditambahkan tegangan normal, yang
berhubungan dengan kompresi tanah. Perubahan volume angka
pori dengan volume padatan tanah, menjelaskan deformasi
volumetrik untuk tanah jenuh dan diberikan dalam persamaan
konstitutif berikut:

42
= ( ) ................................................................ 2.29

Dimana:
= Koefisien kompresibel

Rasio rongga juga dapat digunakan untuk menggambarkan


keadaan deformasi untuk tanah tak jenuh. Menggunakan mekanika
tanah perubahan angka pori dari tanah jenuh dengan analisis tiga-
dimensi dapat ditulis sebagai (Fredlund & Rahardjo, 2012):

= ( ) ( ) ................................. 2.30

Dimana:
De = Perubahan rasio rongga
= Koefisien kompresibilitas sehubungan dengan perubahan
tegangan normal
= Koefisien kompresibilitas sehubungan dengan perubahan
suction

2.6 Perbaikan Tanah Menggunakan Metode Konsolidasi Vakum


Tanah Gambut memerlukam perhatian khusus, terutama pada
konstruksi yang membutuhkan kualitas tanah yang baik (daya dukung
yang memadai dan kompresibilitas rendah). Tambahan preloading dengan
drainase vertikal prefabrikasi (PVD) adalah salah satu teknik yang paling
populer untuk perbaikan tanah yang melibatkan tanah gambut (Beales dan
O'Kelly, 2008; Indraratna et al, 2010a.). Pengaplikasian PVD ke dalam
tanah dapat mengurangi panjang lintasan drainase, sehingga mempercepat
proses konsolidasi (Bo et al, 2003;.. Saowapakpiboon et al, 2010) .
Namun, tambahan beban yang besar untuk melakukan konsolidasi
tersebut menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan faktor
keamanan terhadap ketidakstabilan lereng atau berpotensi terjadi

43
kegagalan geser. Dalam hal ini, penggunaan teknik konsolidasi vakum
dalam hubungannya dengan tambahan preloading dan PVD dapat
meningkatkan efisiensi perbaikan tanah (Chu et al, 2000;. Indraratna,
2010; Mesri dan Khan, 2012). Teknik prapembebanan vakum, awalnya
diusulkan oleh Kjellman (1952), lebih dari tiga dekade terakhir
berkembang menjadi solusi efektif dalam hal biaya untuk proyek-proyek
perbaikan tanah di seluruh dunia.
Konsolidasi vakum menerapkan tekanan vakum yang dimasukan
ke dalam tanah melalui PVD dan dianggap tidak terjadi kehilangan
tekanan pada permukaan karena penyegelan membran. Pompa vakum
menghasilkan tekanan negatif (terhadap atmosfer tekanan). Tekanan
vakum sebesari 90 kPa dapat dicapai dalam prakteknya untuk tanah
lempung lunak, meskipun nilai 80 kPa biasanya dipertimbangkan untuk
desain (Chu et al., 2008).
Karakteristik prapembebanan vakum dibandingkan dengan
prapembebanan konvensional adalah sebagai berikut (Qian et al, 1992.):
(a) Tegangan efektif dan suction meningkat secara bersamaan, dan
pergerakan lateral yang sesuai dapat ditekan. Akibatnya, resiko
kegagalan geser dapat diminimalkan.
(b) Tekanan vakum dapat didistribusikan lebih dalam pada lapisan tanah
dengan menggunakan Sistem PVD.
(c) Tambahan preloading dapat dikurangi untuk mencapai derajat
konsolidasi yang sama, tergantung pada efisiensi sistem vakum
(tidak terjadi kebocoran udara).
(d) Karena tambahan preloading lebih kecil dibanding metode
konvensional, maka tekanan air pori dapat lebih kecil dibandingkan
prapembebanan konvensional.

Yan dan Chu (2003) menyatakan bahwa biaya perbaikan tanah


dengan prapembebanan vakum mengurangi sekitar 30% dari pada metode
konsolidasi konvensional. Efektivitas sistem ini tergantung pada: (a)
Integritas (kedap udara) membran, (b) efektivitas segel antara tepi
membran dan permukaan tanah, dan (c) kondisi tanah dan lokasi muka air

44
tanah (Cognon et al., 1994). Indraratna et al. (2004) menunjukkan dengan
pengukuran laboratorium bahwa pola distribusi tekanan vakum sepanjang
PVD dapat mempengaruhi kinerja keseluruhan sistem prapembebanan
vakum

Gambar 2.16. Proses konsolidasi (a) Pembebanan konvensional


(b) Vakum preloading dengan asumsi tidak ada kehialangan
tekanan (Sumber : Indraratna, 2005)

Pada prinsipnya, sistem konsolidasi vakum terdiri dari


sistem drainase vertikal yang dipasang dari permukaan tanah

45
sampai kedalaman yang ditentukan, permukaan sistem drainase
termasuk media granular (lapisan pasir) dan saluran horisontal,
serta pipa kolektor yang mengarah ke sistem pompa vakum untuk
transmisi vakum pada tanah yang bertujuan untuk penghisapan air
dan udara keluar dari massa tanah. Vakum menjadikan massa tanah
terisolasi dari permukaan dengan menggunakan membran kedap
udara.

1) Saluran vertikal
Dalam sistem konsolidasi vakum, jumlah saluran atau
drainase yang dipasang vertikal dari permukaan tanah
membentuk pola jaringan segitiga atau persegi pada jarak yang
dipilih untuk kedalaman tanah yang telah ditentukan. PVD
adalah jenis yang paling populer digunakan untuk saluran
vertikal dalam konsolidasi vakum saat ini.
Saluran draianase adalah salah satu hal yang paling
penting dalam sistem konsolidasi vakum dalam hal teknis dan
efektifitas biaya, pengembangan bahan drainase ini terus
dilanjutkan. Jepang memperkenalkan bahan terbaru PVD yang
sangat permeabel. Selain itu, mengingat dampak lingkungan,
beberapa jenis saluran tersebut dapat terurai seperti saluran
bambu (Singapura) dan saluran plastik (Jepang) yang
diperkenalkan tapi masih tidak populer digunakan dalam
konsolidasi vakum.

2) Drainase permukaan
Biasanya terdiri dari lapisan granular (umumnya lapisan
pasir) dan sistem pipa kolektor berlubang dengan / tanpa saluran
horisontal yang saling berhubungan. Saluran horizontal
menghubungkan puncak vertical drain ke pipa vakum utama.
Jenis dan tata letak sistem drainase permukaan dapat
dimodifikasi dalam berbagai sistem. Lapisan pasir umumnya

46
memiliki ketebalam 0.3-0.8m (tergantung pada permeabilitas
pasir, jarak yang dipilih drainase vertikal dan mobilitas
permukaan), meskipun kadang-kadang lebih tebal yang
digunakan sebagai platform kerja. Kadang-kadang, lapisan pasir
dihilangkan dan diganti dengan lapisan drainase geotekstil.
Saluran horisontal memiliki beberapa jenis (pipa PVC
bergelombang dan fleksibel atau saluran papan PVD), serta
dalam hal pengaturan.

3) Teknik pengisolasian tekanan vakum untuk pengendalian massa


tanah
Udara yang tersisolasi dengan baik dari sistem sangat
mempengaruhi tekanan vakum dicapai dan efisiensi sistem.
Dalam praktek umum digunakan membran PVC kedap udara (2-
3 lapis) untuk menutupi seluruh area pengelolaan udara dan
dilakukan pengelasan pada saluran di lapangan. Cina
mengembangkan membran tunggal kedap udara lebih dari
100,000 m2. Lapisan geotekstil dapat diletakkan di permukaan
tanah sebelum diliputi oleh membran untuk menghindari
kerusakan. Untuk menyelesaikan penyegelan tersebut, tepi
membran yang dimasukan dalam perifer parit yang digali
dengan kedalaman minimal 0.5 m di bawah permukaan air tanah
dan diisi dengan lapisan kedap lumpur.
Selain itu, terdapat sistem lain yang digunakan untuk
pengisolasian. Diantaranya teknik pemadatan lempung di atas
parit untuk mempertahankan air/mengisi dibagian atas
membran. Penempatan air ini berguna tidak hanya pada
peningkatan pengisolasian sistem, tetapi juga dalam mencegah
penuaan membran dan meminimalkan kerusakan, yang
mempengaruhi adanya biaya tambahan.

47
4) Sistem pompa vakum
Umumnya, efisiensi sistem pompa vakum dilengkapi
dengan pompa pembuangan yang digunakan untuk menyediakan
suction untuk tanah dan pembuangan udara-air keluar melalui
sistem pipa dan saluran air. Di Cina, pompa vakum umum telah
diganti oleh pompa jet φ 48mm (7,5 kW) dengan 3HA-9 pompa
air sentrifugal, yang dapat menghasilkan tekanan vakum yang
lebih besar dari 90 kPa.

5) Instrumentasi
Dalam setiap sistem konsolidasi vakum, berbagai
instrumentasi yang diperlukan untuk mengontrol sistem operasi
serta untuk memantau kinerja pengelolaan termasuk tekanan
vakum, tekanan air pori yang optimal, volume air yang dibuang,
penurunan dan perpindahan lateral, yang berguna dalam
memperhitungkan waktu dalam menghentikan pompa vakum,
dan mengendalikan stabilitas konstruksi.

Gambar 2.17. Skema Sistem Konsolidasi Vakum (Masse et al.,


2001)

48
2.7 Perpindahan lateral
Perpindahan lateral elemen tanah pada pengaplikasian vakum
konsolidasi tergantung pada tingkat kedalaman relatif di bawah permukaan
tanah dan jarak antar saluran vertikal. Di daerah pengelolaan massa tanah
(area saluran vertikal), masing-masing saluran menyedot hanya
mempengaruhi tanah terdekat dengan saluran tersebut (tidak ada
perpindahan lateral yang terjadi) dan berlaku metode sel satuan (Masse
etal., 2001). Namun, pengaruh dari saluran vertikal di sekelilingnya
terhadap tanah sangat signifikan. Di wilayah ini, beban tambahan
menginduksi tekanan geser di dalam tanah, yang dapat menyebabkan
perpindahan lateral ke luar (Gambar 2.16. (a)), yang berpotensi
menyebabkan kegagalan geser.
Sebaliknya, konsolidasi vakum saja menginduksi perpindahan
lateral ke dalam (Gambar 2.16. (b)) karena digunakan isotropik tekanan
konsolidasi pada massa tanah. Oleh karena itu, dengan vakum konsolidasi,
retak pada tegangan permukaan dapat terjadi di sekitar area pembatas
tanah yang sedang mendapat pengaruh vakum, tapi tanpa terjadi potensi
resiko kegagalan geser . Oleh karena itu, gabungan antara vakum-
tambahan prapembebanan, dimaksudkan agar perpindahan lateral dapat
dikurangi (Indrar-Atna et al., 2011) dan dalam teori untuk lempung,
kombinasi dari 60% vakum dan 40% tambahan tekanan beban dapat
mempertahankan pergerakan lateral mendekati nol (Indraratna dan
Rujikiatkamjorn, 2008).

49
Gambar 2.18. Deformasi Lateral Tanah (a) Tambahan beban
dan (b) Konsolidasi vakum
(Sumber : Indraratna, 2005)

Berdasarkan tes menggunakan konsolidasi hidrolik modifikasi,


Robinson et al. (2012) menunjukkan bahwa deformasi elemen tanah
menggunakan konsolidasi vakum adalah isotropik, sehingga deformasi
vertikal adalah secara signifikan dapat diminimalkan dibandingkan
hanya menggunakan tekanan vertikal saja. Chai et al. (2005),

50
menemukan bahwa jika tekanan yang diterapkan pada tanah lunak
lebih besar dari pada tekanan pra-konsolidasinya, penurunan yang
terjadi lebih kecil untuk konsolidasi vakum dibandingkan
menggunakan pembebanan konvensional. Sebuah metode empiris
untuk memperkirakan perpindahan lateral terhadap kedalaman, pada
dasarnya adanya hubungan antara perpindahan lateral pada kedalaman
tertentu dan penurunan permukaan, telah diusulkan oleh Mesri dan
Khan (2012). Ini kesimpulan dari Ong dan Chai (2011) bahwa jumlah
perpindahan lateral tergantung pada kompresibilitas penambahan
beban.

2.8 Pemodelan Numerik


2.8.1 Model pengambilan air tanah oleh akar tanaman
Untuk mengukur disipasi tekanan air pori dan penyebab
suction, Indraratna et al. (2006) memperkenalkan model matematika
yang sesuai, dengan memperhatikan suction tanah, kepadatan akar dan
potensi transpirasi (Gbr. 2.19).

Gambar 2.19. (a) Transpirasi; (b) Interaksi tanah-tanaman-


atmosfer (Indraratna et al., 2006).

Parameter penting untuk memperkirakan tingkat transpirasi


adalah tingkat penyerapan air akar, yang dapat ditentukan dari

51
hisap tanah, distribusi akar dan laju transpirasi potensial.
Perumusan parameter ini dijelaskan di bawah (Indraratna et al.
2006).
Suction tanah mengurangi pergerakan air, dan membuatnya
menuju ke akar serta mempengaruhi tingkat transpirasi.
Penyerapan air oleh akar ( S(x,y,z,t) ) dapat ditentukan dengan
menggabungakan fungsi dari nilai maksimal penyerapan air oleh
akar, S max, dan suction , Ψ .

S(x,y,z,t) = S maks (x,y,z,t) f (Ψ) ........................................... 2.31

Dimana:
S(x,y,z,t) = Penyerapan air oleh akar pada point (x,y,z) dalam
kurun waktu tertentu, t.
f (Ψ) = Faktor suction

Dalam pengembangan model, ditentukan geometrik lereng


dari zona akar berdasarkan observasi lapangan dari tipe
penampang akar. Intensitas dan distribusi transpirasi sampai ke
zona akar bervariasi sesuai kerapatan akar, maka:

β(x,y,z,t) = f (Ψ)G(β)F( ) ................................................... 2.32

Di mana:
G(β) = Fungsi dari distribusi kerapatan akar
F( ) = Fungsi potensi distribusi transpirasi
β(x,y,z,t) = Kerapatan akar

Potensi transpirasi adalah penguapan air dari sel tumbuhan


terhadap lingkungan. Dengan asumsi bahwa kadar air tanah tidak
terbatas, potensi transpirasi dapat ditentukan oleh:

52
................................................................... 2.33

Dimana:
= Transpirasi keseluruhan
= Potensi evapo-transpirasi (baik pohon dan tanah)
= Potensi penguapan dari permukaan tanah

Harus diakui bahwa potensi transpirasi tidak terdistribusi


secara merata dalam zona akar karena resistensi akar, dan menurut
Indraratna et al. (2006), distribusi yang lebih tepat adalah distribusi
linear sesuai kedalaman potensi transpirasi.
Untuk memodelkan, program elemen terbatas digunakan
untuk mensimulasi distribusi suction tanah yang dihasilkan oleh
transpirasi. Persamaan (2.31) - (2.33) dimasukkan sebagai bagian
dari program elemen terbatas tersebut, untuk mendukung
persamaan berbasis tekanan efektif. Dalam bagian berikutnya,
mekanisme konsolidasi vakum digambarkan dengan penyamaan
kondisi plane strain .

2.8.2 Pemodelan konsolidasi vakum


Untuk simulasi multi-saluran, metode elemen terbatas
dengan tipe analisa plan strain mampu menyesuaikan dengan
kebanyakan situasi lapangan. Namun demikian, prediksi lapangan
realistis memerlukan sifat axisymmetrik yang akan dikonversi ke
dalam kondisi setara plane strain 2D, khususnya yang berkaitan
dengan koefisien permeabilitas dan geometri saluran (Indraratna et
al. 2005). Analisis plane strain juga dapat mengakomodasi
pemodelan vakum preloading yang berhubungan dengan saluran
vertikal. Indraratna et al. (2005) mengusulkan pendekatan plane
strain untuk simulasi tekanan vakum pada sistem drainase vertikal.

53
Gambar 2.18. Konversi Dari Analisa Unit Sel Axisymmetric ke
Analisa Plane Strain (Indraratna et al. 2005)

Prinsip penyerapan air oleh akar pohon/tanaman dalam


peningkatan perilaku tanah diaplikasikan dalam metode
konsolidasi vakum dengan penerapan drainase vertikal dilengkapi
dengan suction vakum. Program analisis elemen terbatas
memodelkan multi-saluran untuk melihat konsolidasi tanah
menggunanakan teknik tersebut, dan menunjukkan bahwa suction
yang dihasilkan oleh kedua teknik tersebut (pangaplikasian tekanan
vakum melalui drainase vertikal dan tambahan preloading) dapat
mengurangi penurunan tanah yang signifikan.

54

Anda mungkin juga menyukai