Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang
setengah membusuk oleh sebab itu, kandungan bahan organiknya tinggi. Tanah yang
terutama terbentuk di lahan-lahan basah ini disebut dalam bahasa Inggris sebagai peat;
dan lahan-lahan bergambut di berbagai belahan dunia dikenal dengan aneka nama
seperti bog, moor, muskeg, pocosin, mire, dan lain-lain. Istilah gambut sendiri diserap
dari bahasa daerah Banjar. Sebagai bahan organik, gambut dapat dimanfaatkan sebagai
sumber energi. Tanah gambut disebut juga tanah Histosol (tanah organic) asal bahasa
Yunani histories artinya jaringan. Histosol sama halnya dengan tanah rawa, tanah organik
dan gambut.Histosol mempunyai kadar bahan organik sangat tinggi sampai kedalaman 80
cm (32 inches) kebanyakan adalah gambut (peat) yang tersusun atas sisa tanaman yang
sedikit banyak terdekomposisi dan menyimpan air. Jenis tanah Histosol merupakan tanah
yang sangat kaya bahan organik keadaan kedalaman lebih dari 40 cm dari permukaan
tanah. Umumnya tanah ini tergenang air dalam waktu lama sedangkan didaerah yang ada
drainase atau dikeringkan ketebalan bahan organik akan mengalami penurunan
(subsidence). Bahan organik didalam tanah dibagi 3 macam berdasarkan tingkat
kematangan yaitu fibrik, hemik dan saprik.

1.2 Rumusan masalah


a. Bagaimana proses terbentuknya lahan gambut.
b. Kapan mulainya terbentuk gambut
c. Bagaimana sifat fisik, kimia, dan biologi tanah gambut

1.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
a. Agar megetahui pola persebaran tanah gambut di Indonesia.
b. memberikan pengetahuan lebih tentang lahan Gambut
c. Agra mahasiswa memahami karakteristik fisik, kimia, dan biologi tanah gambut,

BAB II
DASAR TEORI
Tanah gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang
setengah membusuk, oleh sebab itu kandungan bahan organiknya tinggi. Banyak terdap[at di

1
rawa Sumatra, rawa Kalimantan, dan rawa Papua. Tanah ini tidak cocok untuk pertanian
maupun perkebunan karena derajat keasamannya tinggi.
Menurut Andriesse, gambut adalah tanah organik (organik soils), tetapi tidak berarti
bahwa tanah organik adalah tanah gambut. Sebagian petani menyebut tanah gambut dengan
istilah tanah hitam, karena warnanya hitam dan berbeda dengan jenis tanah lainnya. Tanah
gambut yang telah mengalami perombakan secara sempurna sehingga bagian tumbuhan
asilnya tidak dikenali lagi dan kandungan mineralnya tinggi disebut tanah bergambut (muck,
peaty muck, mucky).
Widjaya Adhi et al. (1992) dan Subagyo (1997) mendefinisikan lahan rawa sebagai lahan
yang menempati posisi peralihan di antara daratan dan sistem perairan. Lahan ini sepanjang
tahun atau selama waktu yang panjang dalam setahun selalu jenuh air (waterlogged) atau
tergenang.
Menurut PP No. 27 tahun 1991, lahan rawa adalah lahan yang tergenang air secara
alamiah yang terjadi terus-menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang terhambat
dan mempunyai cici-ciri khusus baik fisik, kimiawi, maupun biologis
Keputusan Menteri PU No. 64/PRT/1993 menerangkan, bahwa lahan rawa dibedakan
menjadi (a) rawa pasang surut/rawa pantai dan (b) rawa non-pasang surut/rawa pedalaman.
Lahan rawa tersebut terdiri ataslahan rawa tanah mineral,dan lahan rawa gambut.
Hardjowigeno dan Abdullah (1987) mendefinisikan gambut sebagai tanah yang terbentuk dari
timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus
bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya
yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai.
Tjahyono (2006) menyatakan, bahwa sejarah pembentukan gambut di Indonesia dimulai
ketika pada zaman es yaitu terjadi proses penurunan permukaan air laut (regresi) yang
menyebabkan erosi kuat di hulu-hulu sungai.Akibatnya endapan batuan kasar seperti gravel
dan kerikil yang disebut old alluvium, yang diendapkan di atas sedimen tersier yang menjadi
dasar cekungan gambut. Proses deposisi bahan organik sebagai bahan pembentuk gambut
dimulai setelah akhir periode Pleistosen sampai awal periode Holosen (10.000 5.000 tahun
yang lalu), sejalan dengan meningkatnya permukaan air laut (transgresi) secara perlahan
sampai sekarang.
Subagyo (2002) menyatakan bahwa gambut yang terbentuk di wilayah rawa pantai
Indonesia diperkirakan dimulai sekitar 5.000-4.000 tahun yang lalu, dan diperkirakan hampir
bersamaan waktunya dengan dimulainya proses akreasi yang membentuk wilayah pulau-
pulau delta di rawa pasang surut yang ada sekarang ini.
Pada awalnya diakhir zaman Pleistosin sampai awal zaman Holosin dimana terjadi
kenaikan muka air laut sekitar 100-135 m (Davis et al., 1976; Holmes, 1978).
Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya pendangkalan danau yang secara
perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah (Noor, 2001).

BAB III
PEMBAHASAN

2
A. Karakteristik fisik

Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk pertanian meliputi
kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan beban (bearing capacity), subsiden
(penurunan permukaan), dan mengering tidak balik (irriversible drying). Kadar air tanah
gambut berkisar antara 100 1.300% dari berat keringnya (Mutalib et al., 1991). Artinya
bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali bobotnya. Dengan demikian, sampai
batas tertentu, kubah gambut mampu mengalirkan air ke areal sekelilingnya (Gambar 3).
Kadar air yang tinggi menyebabkan BD menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya
menahan bebannya rendah (Nugroho, et al, 1997; Widjaja-Adhi, 1997). BD tanah gambut
lapisan atas bervariasi antara 0,1 sampai 0,2 g cm-3 tergantung pada tingkat dekomposisinya.
Gambut fibrik yang umumnya berada di lapisan bawah memiliki BD lebih rendah dari 0,1
g/cm3, tapi gambut pantai dan gambut di jalur aliran sungai bisa memiliki BD > 0,2 g cm-3
(Tie and Lim, 1991) karena adanya pengaruh tanah mineral. Volume gambut akan menyusut
bila lahan gambut didrainase, sehingga terjadi penurunan permukaan tanah (subsiden). Selain
karena penyusutan volume, subsiden juga terjadi karena adanya proses dekomposisi dan
erosi. Dalam 2 tahun pertama setelah lahan gambut didrainase, laju subsiden bisa mencapai
50 cm. Pada tahun berikutnya laju subsiden sekitar 2 6 cm tahun-1 tergantung kematangan
gambut dan kedalaman saluran drainase. Adanya subsiden bisa dilihat dari akar tanaman yang
menggantung (Gambar 4).

Sifat fisik tanah gambut lainnya adalah sifat mengering tidak balik. Gambut yang telah
mengering, dengan kadar air <100% (berdasarkan berat), tidak bisa menyerap air lagi kalau
dibasahi. Gambut yang mengering ini sifatnya sama dengan kayu kering yang mudah hanyut
dibawa aliran air dan mudah terbakar dalam keadaan kering (Widjaja-Adhi, 1988). Gambut
yang terbakar menghasilkan energi panas yang lebih besar dari kayu/arang terbakar. Gambut
yang terbakar juga sulit dipadamkan dan apinya bisa merambat di bawah permukaan
sehingga kebakaran lahan bisa meluas tidak terkendali.

3
Gambar 3. Air mengalir dari kubah gambut melalui saluran drainase.

Gambar 4. Akar yang menggantung pada tanaman yang tumbuh di lahan gambut
menandakan sudah terjadinya subsiden (penurunan permukaan).

4
Gambar 5. Tanaman kelapa sawit yang doyong disebabkan karena rendahnya daya
menahan beban tanah gambut.

B. Karakteristik kimia

Karakteristik kimia lahan gambut di Indonesia sangat ditentukan oleh kandungan


mineral, ketebalan, jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), dan tingkat dekomposisi
gambut. Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya
adalah bahan organik. Fraksi organik terdiri dari senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga
20% dan sebagian besar lainnya adalah senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin,
resin, suberin, protein, dan senyawa lainnya. Lahan gambut umumnya mempunyai tingkat
kemasaman yang relatif tinggi dengan kisaran pH 3 5. Gambut oligotropik yang
memiliki substratum pasir kuarsa di Berengbengkel, Kalimantan Tengah memiliki kisaran pH
3,25 3,75 (Halim, 1987; Salampak, 1999). Sementara itu gambut di sekitar Air Sugihan
Kiri, Sumatera Selatan memiliki kisaran pH yang lebih tinggi yaitu antara 4,1 sampai 4,3
(Hartatik et al., 2004). Gambut oligotropik, seperti banyak ditemukan di Kalimantan,
mempunyai kandungan kation basa seperti Ca, Mg, K, dan Na sangat rendah terutama pada
gambut tebal. Semakin tebal gambut, basa-basa yang dikandungnya semakin rendah dan
reaksi tanah menjadi semakin masam (Driessen dan Suhardjo, 1976). Di sisi lain kapasitas

5
tukar kation (KTK) gambut tergolong tinggi, sehingga kejenuhan basa (KB) menjadi sangat
rendah. Tim Institut Pertanian Bogor (1974) melaporkan bahwa tanah gambut pedalaman di
Kalampangan, Kalimantan Tengah mempunyai nilai KB kurang dari 10%, demikian juga
gambut di pantai Timur Riau (Suhardjo dan Widjaja-Adhi, 1976). Muatan negatif (yang
menentukan KTK) pada tanah gambut seluruhnya adalah muatan tergantung pH
(pH dependent charge), dimana KTK akan naik bila pH gambut ditingkatkan. Muatan negatif
yang terbentuk adalah hasil dissosiasi hidroksil pada gugus karboksilat atau fenol. Oleh
karenanya penetapan KTK menggunakan pengekstrak amonium acetat pH 7 akan
menghasilkan nilai KTK yang tinggi, sedangkan penetapan KTK dengan pengekstrak
amonium klorida (pada Ph aktual) akan menghasilkan nilai yang lebih rendah. KTK tinggi
menunjukkan kapasitas jerapan (sorption capacity) gambut tinggi, namun kekuatan jerapan
(sorption power) lemah, sehingga kation-kation K, Ca, Mg dan Na yang tidak membentuk
ikatan koordinasi akan mudah tercuci. Secara alamiah lahan gambut memiliki tingkat
kesuburan rendah karena kandungan unsur haranya rendah dan mengandung beragam asam-
asam organik yang sebagian bersifat racun bagi tanaman. Namun demikian asam-asam
tersebut merupakan bagian aktif dari tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk
menahan unsur hara. Karakteristik dari asam-asam organik ini akan menentukan sifat kimia
gambut.

Untuk mengurangi pengaruh buruk asam-asam organik yang beracun dapat dilakukan
dengan menambahkan bahan-bahan yang banyak mengandung kation polivalen seperti Fe,
Al, Cu dan Zn. Kation-kation tersebut membentuk ikatan koordinasi dengan ligan organik
membentuk senyawa komplek/khelat. Oleh karenanya bahan-bahan yang mengandung kation
polivalen tersebut bisa dimanfaatkan sebagai bahan amelioran gambut (Sabiham et al., 1997;
Saragih,,1996). Tanah gambut juga mengandung unsur mikro yang sangat rendah dan diikat
cukup kuat (khelat) oleh bahan organik sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Selain itu
adanya kondisi reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro direduksi ke bentuk yang tidak
dapat diserap tanaman. Kandungan unsur mikro pada tanah gambut
dapat ditingkatkan dengan menambahkan tanah mineral atau menambahkan pupuk mikro.
Gambut di Indonesia (dan di daerah tropis lainnya) mempunyai kandungan lignin yang lebih
tinggi dibandingkan dengan gambut yang berada di daerah beriklim sedang, karena terbentuk
dari pohon-pohohan (Driessen dan Suhardjo, 1976). Lignin yang mengalami proses degradasi

6
dalam keadaan anaerob akan terurai menjadi senyawa humat dan asam-asam fenolat
(Kononova, 1968). Asam-asam fenolat dan derivatnya bersifat fitotoksik (meracuni tanaman)
dan menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat (Driessen, 1978; Stevenson, 1994;
Rachim, 1995). Asam fenolat merusak sel akar tanaman, sehingga asam-asam amino dan
bahan lain mengalir keluar dari sel, menghambat pertumbuhan akar dan serapan hara
sehingga pertumbuhan tanaman menjadi kerdil, daun mengalami klorosis (menguning) dan
pada akhirnya tanaman akan mati. Turunan asam fenolat yang bersifat fitotoksik antara lain
adalah asam ferulat, siringat , p-hidroksibenzoat, vanilat, p-kumarat, sinapat, suksinat,
propionat, butirat, dan tartrat.

C. Karakteristik biologi

Menurut Waksman dalam Andriesse (1988) perombakan bahan organik saat


pembentukan gambut dilakukan oleh mikroorganisme anaerob dalam perombakan ini

7
dihasilkan gas methane dan sulfida. Setelah gambut didrainase untuk tujuan pertanian maka
kondisi gambut bagian permukaan tanah menjadi aerob, sehingga memungkinkan fungi dan
bakteri berkembang untuk merombak senyawa sellulosa, hemisellulosa, dan protein. Gambut
tropika umumnya tersusun dari bahan kayu sehingga banyak mengandung lignin, bakteri
yang banyak ditemukan pada gambut tropika adalah Pseudomonas selain fungi white mold
dan Penecilium (Suryanto, 1991). Pseudomonas merupakan bakteri yang mampu merombak
lignin(Alexander, 1977). Penelitian tentang dekomposisi gambut di Palangkaraya
menunjukkan bahwa dekomposisi permukaan gambut terutama disebabkan oleh dekomposisi
aerob yang dilaksanakan oleh fungi (Moore and Shearer, 1997). Pada berapa penelitian di
lahan gambut Jawai (Kab Sambas) dan Jangkang (Kab Pontianak) dapat diisolasi
bakteri Bradyrhizobium japonicum yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan hasil
kedelai di lahan gambut. Kedelai adalah tanaman yang sangat banyak memerlukan nitrogen,
40 80 persen kebutuhan nitrogen kedelai dapat disuplai melalui simbiosis kedelai dan
bakteri bintil akar (B. japonicum ). Gambut memiliki ketersediaan N yang rendah.
Inokulasi B japonicum asal Jawai dan Jangkang yang efektif dapat meningkatkan kandungan
N dan hasil tanaman kedelai (Sagiman dan Anas. 2005). Dan Bahan organik merupakan
sumber energi bagi makro dan mikro-fauna tanah. Penambahan bahan organik dalam tanah
akan menyebabkan aktivitas dan populasi mikrobiologi dalam tanah meningkat, terutama
yang berkaitan dengan aktivitas dekomposisi dan mineralisasi bahan organik. Beberapa
mikroorganisme yang beperan dalam dekomposisi bahan organik adalah fungi, bakteri dan
aktinomisetes. Di samping mikroorganisme tanah, fauna tanah juga berperan dalam
dekomposi bahan organik antara lain yang tergolong dalam protozoa, nematoda,Collembola,
dan cacing tanah. Fauna tanah ini berperan dalam proses humifikasi dan mineralisasi atau
pelepasan hara, bahkan ikut bertanggung jawab terhadap pemeliharaan struktur tanah (Tian,
G. 1997). Mikro flora dan fauna tanah ini saling berinteraksi dengan kebutuhannya akan
bahan organik, kerena bahan organik menyediakan energi untuk tumbuh dan bahan organik
memberikan karbon sebagai sumber energi.

Pengaruh positip yang lain dari penambahan bahan organik adalah pengaruhnya pada
pertumbuhan tanaman. Terdapat senyawa yang mempunyai pengaruh terhadap aktivitas
biologis yang ditemukan di dalam tanah adalah senyawa perangsang tumbuh (auxin), dan
vitamin (Stevenson, 1982). Senyawa-senyawa ini di dalam tanah berasal dari eksudat
tanaman, pupuk kandang, kompos, sisa tanaman dan juga berasal dari hasil aktivitas mikrobia

8
dalam tanah. Di samping itu, diindikasikan asam organik dengan berat molekul rendah,
terutama bikarbonat (sepertisuksinat, ciannamat, fumarat) hasil dekomposisi bahan organik,
dalam konsentrasi rendah dapat mempunyai sifat seperti senyawa perangsang tumbuh,
sehingga berpengaruh positip terhadap pertumbuhan tanaman. Sejumlah unsur hara seperti N,
P, S, Mo, Cu, Zn, dan B mungkin terkandung dalam bahan organik tanah. Sebagai akibatnya,
ketersediaannya tergantung pada proses dekomposisi bahan organik.
Tanah dikatakan subur bila mempunyai kandungan dan keragaman biologi yang tinggi.
Berikut merupakan tabel jumlah maksimum biomassa dari organisme tanah pada tanah subur
yang berada pada padang rumput :

Abundance Biomass
Kind of organism
(no/m2) (g/m2)
Bacteria 3 x 1014 300
Fungi 400
Protozoa 5 x 108 38
Nematodes 107 12
Earthworms and related forms 105 132
Mites 2 x 105 3
Springtails 5 x 104 5
Other invertebrates (snails, 2 x 103 36
millipedes, etc)
From: B.N. Richards (1974) Introduction to the Soil Ecosystem

Peran Organisme (mikroorganisme) tanah penting dalam kesuburan tanah karena :


a. berperan dalam siklus energi
b. berperan dalam siklus hara
c. berperan dalam pembentukan agregat tanah
d. menentukan kesehatan tanah (suppressive /conducive terhadap munculnya penyakit terutama
penyakit tular tanah-soil borne pathogen)

KESIMPULAN

9
Gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang setengah
membusuk oleh sebab itu, kandungan bahan organiknya tinggi. Tanah yang terutama terbentuk
di lahan-lahan basah ini disebut dalam bahasa Inggris sebagai peat; dan lahan-lahan bergambut
di berbagai belahan dunia dikenal dengan aneka nama seperti bog, moor, muskeg, pocosin, mire,
dan lain-lain. Istilah gambut sendiri diserap dari bahasa daerah Banjar. Sebagai bahan organik,
Subagyo (2002) menyatakan bahwa gambut yang terbentuk di wilayah rawa pantai Indonesia
diperkirakan dimulai sekitar 5.000-4.000 tahun yang lalu, dan diperkirakan hampir bersamaan
waktunya dengan dimulainya proses akreasi yang membentuk wilayah pulau-pulau delta di rawa
pasang surut yang ada sekarang ini. Karakteristik fisik gambut yang penting dalam
pemanfaatannya untuk pertanian meliputi kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan
beban (bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak balik
(irriversible drying). Kadar air tanah gambut berkisar antara 100 1.300% dari berat keringnya
(Mutalib et al., 1991). Artinya bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali bobotnya.
Dengan demikian, sampai batas tertentu, kubah gambut mampu mengalirkan air ke areal
sekelilingnya. Karakteristik kimia lahan gambut di Indonesia sangat ditentukan oleh kandungan
mineral, ketebalan, jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), dan tingkat dekomposisi
gambut. Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya adalah
bahan organik. Fraksi organik terdiri dari senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga 20% dan
sebagian besar lainnya adalah senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin,
suberin, protein, dan senyawa lainnya. Menurut Waksman dalam Andriesse (1988) perombakan
bahan organik saat pembentukan gambut dilakukan oleh mikroorganisme anaerob dalam
perombakan ini dihasilkan gas methane dan sulfida. Setelah gambut didrainase untuk tujuan
pertanian maka kondisi gambut bagian permukaan tanah menjadi aerob, sehingga
memungkinkan fungi dan bakteri berkembang untuk merombak senyawa sellulosa,
hemisellulosa, dan protein. Gambut tropika umumnya tersusun dari bahan kayu sehingga banyak
mengandung lignin, bakteri yang banyak ditemukan pada gambut tropika adalah Pseudomonas
selain fungi white mold dan Penecilium (Suryanto, 1991).

DAFTAR PUSTAKA

10
- Ratmini. 2012. Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Gambut Untuk Pengembangan
Pertanian. BPTP. Sumatera Selatan.

- Sinar tani. 2011. Permasalahan Lahan Gambut Diakses pada tanggal 1 Juni 2013.

- Agus, Fahmuddin & I.G. Made Subiksa. 2008. Lahan Gambut : Potensi Untuk
Pertanian dan Aspek Lingkungan. Bogor : Balai Penelitian Tanah, Badan Penelitian
dan Perngembangan Pertanian.

- https://id.wikipedia.org/wiki/Gambut
- https://nasih.files.wordpress.com/2010/12/bab-5-klasifikasi.pdf

- www.pengertianahli.com/2014/.../pengertian-gambut-apa-itu-gambut.html

- Prof.Dr.Ir.Soemarno,M.S. 2007. Pengelolaan Kesuburan


Tanah. Fakultas PertanianUniversitas Brawijaya.
- Sutejo.M.M, 2002. Pupuk dan Cara Pemupukan. Jakarta: Rineka Cipta.

- Tejoyuwono, Notohadiprawiro, dkk. 2006. Pengelolaan Kesuburan Tanah dan


Peningkatan Efisiensi Pemupukan. Yogyakarta: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada.

- Kartasapoetra, A.G. 1991. Pengantar Ilmu Tanah. Rineka Cipta. Jakarta.

- Ida Nursanti dan Abdul Madjid Rohim. 2009. Makalah Pengelolaan Kesuburan
Tanah. Program Studi Ilmu Tanaman. Universitas Sriwijaya.

- Dwi Priyo Ariyanto. 2010. Pupuk Dan Pemupukan. Soil Science Department Faculty
of Agriculture Sebelas Maret University.
- Hardjowigeno. 1995. IlmuTanah. Diperoleh,dari http://acehpedia.org/Mengevaluasi_S
tatus_Kesuburan_Tanah pada hari Jumat, 4 Maret 2011
- Foth, H. D., 1994. Dasar Ilmu Tanah. Terjemahan: Adisoemarto. Jakarta: Erlangga.

11
12

Anda mungkin juga menyukai