Anda di halaman 1dari 23

JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN

FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
Fasies batubara berhubungan dengan tipe genetik batubara yang
diekspresikan melalui komposisi maseral, kandungan mineral, komposisi kimia
dan tekstur (Taylor and Teichmuller, 1993).
Faktor yang mempengaruhi karakteristik fasies batubara :
1. Tipe pengendapan
Autochtonous
Berkembang dari tumbuhan yang ketika tumbang akan membentuk gambut
di tempat dimana tumbuhan itu pernah hidup tanpa adanya proses
transportasi yang berarti.
Allochtonous
Terendapkan secara detrital dimana sisa-sisa tumbuhan hancur
dan tertransportasi kemudian terendapkan Ditempat lain. Lebih banyak
mengandung mineral matter (abu).
2. Rumpun tumbuhan pembentuk
Daerah air terbuka dengan tumbuhan air
Rawa ilalang terbuka
Rawa hutan
Rawa lumut
Gambar 3.1 Urutan tipe rawa gambut (Taylor, 1998)
Menurut Martini dan Glooscenko (1984) dalam Diessel (1992),
rawa gambut dapat dibedakan menjadi 4 jenis
berdasarkan jenis tumbuhan pembentuk, yaitu :
Bog, yaitu sebagai lokasi rawa yang banyak ditumbuhi oleh
tanaman lumut atau tanaman merambat yang miskin
kandungan makanan.
Fen, yaitu lokasi rawa yang kaya akan tumbuhan perdu dan
beberapa jenis pohon lainnya. Umumnya terletak pada
lingkungan yang ombrogenic yaitu transisi antara
daerah yang selalu melimpah kandungan air dengan
daerah yang terkadang kering.
Marsh, yaitu rawa yang didominasi oleh tumbuhan perdu atau
tanaman merambat yang sering terdapat di sekitar pinggir
danau atau laut.
Swamp, yaitu daerah basah pada iklim tropis hingga
dingin yang tumbuh rawa yang didominasi tanaman berkayu.
3. Lingkungan pengendapan
Pembentukan batubara tidak dapat dipisahkan dengan kondisi lingkungan dan geologi
disekitarnya. Distribusi lateral, ketebalan, komposisi dan kualitas batubara banyak
dipengaruhi oleh lingkungan pengendapannya.
Telmatis/Terestrial
Lingkungan yang berada pada daerah pasang surut ini menghasilkan gambut yang tidak
terganggu dan tumbuh insitu (forest peat, reed peat dan high moor moss peat)
Limnik
Lingkungan ini terendapkan di bawah air rawa danau. Batubara yang terendapkan pada
lingkungan telmatis dan limnis sulit dibedakan karena pada forest Swamp biasanya ada bagian
yang berada di bawah air (feed Swamp)
Marine
Batubara yang terendapkan pada lingkungan ini mempunyai ciri khas kaya abu, S dan N
yang mengandung fosil laut. Untuk daerah tropis biasanya terbentuk dari mangrove
(bakau) dan kaya S
Ca-rich
Lingkungan ini menghasilkan batubara yang kaya akan Ca dan mempunyai ciri yang sama
pada endapan payau. Batubara Ca-rich selalu terjadi pada lingkungan bawah air dengan
kondisi oksigen terbatas. Lingkungan pengendapan ini juga banyak mengandung fosil.
Batubara Ca-rich banyak mengasilkan bitumen.
4. Persediaan Bahan Makanan
a. Eutrofik
b. Mesotrofik
c. Oligotrofik
Rawa eutropik, mesotropic dan oligotropik dibedakan dari
banyak sedikitnya bahan makanan yang bisa digunakan. Low
moor biasanya eotropik (kaya nutrisi) karena menerima air dari
air tanah yang banyak mengandung makanan terlarut. High
moor bersifat oligotropik (miskin nutrisi) karena sirkulasi hanya
mengandalkan air hujan. Gambut pada high moor secara
umum mengandung sisa-sisa tumbuhan yang terawetkan
dengan baik. Di bawah kondisi hidrologi yang seragam maka
tumbuhan rawa eutropik banyak speciesnya. Oligotropik di
daerah iklim sedang pada umumnya berupa sphagnum
sedangkan untuk daerah tropis bisa ditumbuhi oleh hutan kayu
tetapi tidak banyak speciesnya karena rawa jenis ini akan asam
3,5 4) dan kandungan mineralnya sangat rendah.
5. PH, Aktivitas Bakteri, dan Sulfur
Keasaman gambut sangat mempengaruhi keberadaan bakteri sehingga
dengan demikian akan sangat mempengaruhi proses dekomposisi struktur
dan kimia dari sisa tumbuhan. Disamping tipe batuan dasar dan air yang
mengalir masuk ke rawa maka keasaman rawa tergantung pada rumpun
tumbuhan yang ada, suplai O2 dan konsentrasi asam humik yang terbentuk.
Bakteri hidup dengan baik pada kondisi netral (pH 7 7,5), jika makin asam
maka bakteri akan makin sedikit dan struktur kayu akan terawetkan dengan
lebih baik. Bakteri sulfur mempunyai peran khusus pada gambut
(lumpur organik) untuk membentuk pirit atau markasit singenetik
dengan adanya sulfat dalam gambut tersebut.
6. Temperatur
Pada iklim yang hangat dan basah membuat bakteri hidup dengan baik
sehingga proses kimia akibat bakteri bisa berjalan baik. Temperatur
permukaan gambut memegang peranan penting pada proses dekomposisi
primer. Pada iklim yang hangat dan basah membuat bakteri hidup dengan
lebih baik sehingga proses- proses kimia dapat berjalan dengan baik.
Temperatur tertinggi untuk bakteri penghancur sellulosa pada gambut
adalah 35 40 C
Lebih lanjut menurut Diessel (1992) menjelaskan karakteristik
lingkungan pengendapan batubara sebagai berikut :
1. Braid Plain
Merupakan dataran aluvial yang terdapat diantara pegunungan,
dimana terendapkan sedimen berukuran kasar (> 2 mm). Batubara yang
terbentuk pada daerah ini merupakan hasil diagenesa gambut
ombrogenik yang mempunyai penyebaran lateral terbatas dengan
ketebalan rata-rata 1,5 m.
Kandungan abu, total sulfur dan vitrinitnya umumnya rendah,
sementara pada daerah tropis kandungan vitrinit umumnya tinggi.
Pada bagian tengah lahan gambut umumnya kaya maseral inertinit
(28%) karena suplai nutrisi yang terbatas. Kandungan inertinit
(khususnya semifusinit) yang sangat besar menyebabkan nilai TPI
relatif tinggi yang sekaligus menunjukan bahwa tumbuhan asalnya
didominasi oleh bahan kayu. Sementara itu nilai GI yang rendah
dan warna batubara yang buram dapat menunjukan bahwa secara
periodik permukaan gambut mengalami kekeringan dan proses oksidasi.
Kandungan abu yang kadang ditemukan cukup tinggi ( 20%),
kemungkinan dapat berasal dari banjir musiman dan keluarnya air dari
tanah kepermukaan.
2. Alluvial Valley dan Upper Delta Plain
Kedua lingkungan ini sulit dibedakan karena adanya kesamaan
litofasies dan sifat batubara yang terbentuk sehingga
pembahasan dapat disatukan. Lingkungan ini merupakan
transisi dari lembah dan dataran aluvial dengan dataran
delta, umumnya melalui sungai berstadium dewasa yang
memiliki banyak meander. Lapisan batubara umumnya memiliki
ketebalan bervariasi dan endapan sedimen terutama terdiri atas
perselingan batupasir dan lanau/lempung.
Gambut dapat terakumulasi pada berbagai morfologi seperti
rawa, dataran dan cekungan banjir, bagian luar saluran sungai
dan lain-lain. Permukaan cenderung selalu basah dan jarang
mengalami periode kemarau sehingga menghasilkan endapan
batubara yang mengkilap dengan nilai TPI dan GI relatif tinggi
serta didominasi oleh maseral telovitrinit/humotelitin dan secara
kualiatas memiliki kandungan abu dan sulfur yang rendah
dibanding batubara pada lingkungan lain
3. Lower Delta Plain
Lingkungan ini dibedakan dengan upper delta plain dari tingkat
pengaruh pasang air laut terhadap sedimentasi, dimana batas antara
keduanya adalah pada daerah batas tertinggi dari air pasang. Endapan
sedimen pada lower delta plain terutama dari batulanau, batulempung
dan serpih yang diselingi oleh batupasir halus.
Pada saat pasang naik air laut akan membawa nutrisi kedalam rawa
gambut sehingga memungkinkan pertumbuhan tanaman yang lebih
baik, namun di sisi lain dengan naiknya batas pasang maka akan
ternendapkan sedimen klasitik halus yang akan menjadi pengotor dalam
batubara.
Disamping itu, pengaruh laut akan meningkatkan kandungan pirit dalam
batubara yang terbentuk dari reduksi sulfat yang terdapat dalam air laut.
Menurut Horne dan Ferm (1978), batubara yang ternendapkan dalam
lingkungan ini memiliki penyebaran luas tetapi ketebalan tipis,
batubaranya memiliki kandungan inertinit yang rendah dengan nilai GI
yang tinggi. Kandungan vitrinit/huminit nya terutama didominasi
oleh detrovitrinit/humotellinit sehingga nulai TPI nya relatif rendah. Hal
ini menunjukan tingginya proporsi tumbuhan dengan jaringan lunak
(soft tissued plant) dan bio degredasi pada kondisi pH yang relatif
tinggi
4. Barrier Beach
Pada lingkungan ini, morfologis garis pantai dikontrol
oleh rasio suplai sedimen dengan daerah pantai, yaitu
gelombang pasang dan arus. Jika nilai rasio tinggi
maka akan terbentuk delta, namun jika nilai rasio
rendah maka sedimentasi akan terdistribusi di
sepanjang pantai.
Rawa gambut pada barrier beach memiliki permukaan
yang relatif lebih rendah terhadap muka air laut
sehingga sering kebanjiran dan ditumbuhi alang-
alang. Gambut yang akan terakumulasi di suatu
tempat jika fluktuasi air pasang tidak tinggi sehingga
timbunan material gambut tidak berpindah tempat.
Dengan demikian rawa gambut pada lingkungan ini
sangat dipengaruhi oleh regresi dan trangresi air laut.
Diesel (1992) mengelompokan berbahai kondisi akumulasi gambut menjadi lima
kategori berdasarkan penelitian terhadap batubara humik bituminous (gambar
3.2).
Kelima kategori tersebut diberdakan berdasarkan faktor kelembaban,
konsentrasi ion hidrogen (pH), suplai makanan dan aktifitas bakteri. Tiga kategori
diantara nya adalah tipe topogenik mires (rawa gambut topogenik) yang terbagi
atas: high watertable dangan kondisi asam, high watertable dengan kondisi
netral serta variabel watertable dan dua lainya adalah rawa gambut
ombrogenik yang dibagi atas: continuusly wet dan intermitenly dry.
Pada kategori high watertable dibedakan menjadi asam dan netral. Perbedaan
utama antara kedua kondisi tersebut adalah terletak pada konsentrasi
ion hidrogennya, dimana pada kolom 1 yang konsentrasi nya rendah
merupakan lingkungan air tawar (flood basin) dan kolom 2 yang konsentrasinya
lebih tinggi merupakan lingkungan payau dan laut. Kategori variable
watertable adalah lingkungan air tawar namun dengan muka air tanah
berubah-ubah, seperti pada dataran banjir yang terkadang kering pada masa
tertentu. Adanya kecenderungan dalam kondisi tergenang pada ketiga
kategori ini menyebabkan suplai makanan tersedia cukup banyak (eutrophy).
Kategori continuosly wet dan intermedietly dry merupakan tipe rawa gambut yang
tumbuh berkembang karena suplai air yang berasal dari curah hujan yang
sangat tinggi (iklim tropis), hanya pada interemidietly dry sering
mengalami perubahan musim, terkandung di dalam musim kering. Gambut yang
terendapkan pada lingkungan bog-ombrotopic terbentuk dalam kondisi asam
dengan suplai makanan yang rendah (oligotropi).
Gambar 3.2. Sketsa lingkungan pengendapan dan kondisi akumulasi
gambut (Diessel, 1992)
Menurut Horne, 1978 dalam Bambang Kuncoro
Prasongko, 1996 bahwa lingkungan pengendapan
berpengaruh terhadap sebaran, ketebalan,
kemenerusan, kondisi roof dan kandungan sulfur
batubara serta peran tektonik dalam pembentukan
lapisan batubara. Berdasarkan karakteristik
lingkungan pengendapan batubara, maka dapat
dibagi atas :
a. Lingkungan Barrier dan Back-barrier
b. Lingkungan lower delta plain
c. Lingkungan trantitional lower delta plain
d. Lingkungan upper delta plain fluvial
Back barrier: tipis, sebaran memanjang sejajar sistem penghalang atau
sejajar jurus perlapisan, bentuk lapisan melembar karena pengaruh tidal
channel setelah pengendapan atau bersamaan dengan proses
pengendapan dan kandungan sulfur tinggi.
Lingkungan barrier mempunyai peranan penting yaitu menutup pengaruh
oksidasi dari air laut dan mendukung pembentukan gambut di bagian
dataran, kriteria utama lingkungan barrier adalah hubungan lateral dan
vertikal dari struktur sedimen dan pengenalan tekstur batupasirnya, ke
arah laut, butirannya menjadi halus dan berselang seling dengan serpih
gampingan merah kecoklatan sampai hijau, batuan karbonat dengan
fauna laut ke arah darat membentuk gradasi menjadi serpih berwarna
abu-abu gelap sampai hijau tua yang mengandung fauna air payau, akibat
pengaruh gelombang dan pasang surut, sehingga batupasir di
lingkungan barrier lebih bersih dan sortasi yang lebih baik daripada
lingkungan sekelilingnya meskipun memiliki sumber yang sama,
penampang lingkungan pengendapan pada bagian Back Barier dapat
dilihat pada ( Gambar 3.1 ).
Batubara yang terbentuk cenderung menunjukkan bentuk memanjang,
berorientasi sejajar dengan arah orientasi dari penghalang dan sering
juga sejajar dengan jurus pengendapan. Bentuk perlapisan batubara yang
dihasilkan mungkin berubah sebagian oleh aktivitas tidal channel pada
post depositional atau bersamaan dengan proses sedimentasi.
Gambar 3.1 Penampang lingkungan
pengendapan pada bagian Back Barier
(Horne,1978)
Lower deltaplain: tipis, sebaran sepanjang channel atau jurus pengendapan,
ditandai hadirnya splitting oleh endapan crevasse splay dan kandungan sulfur
agak tinggi. Litologinya didominasi oleh urutan serpih dan batulanau yang
mengkasar ke arah atas, ketebalannya berkisar antara 15-55 m dengan
pelamparan lateral.
Pada bagian bawah dari teluk tersusun atas lempung-serpih abu-abu gelap
sampai hitam yang merupakan litologi dominan, kadang- kadang
terdapat batugamping dan mudstone siderite yang sebarannya tidak teratur,
pada bagian atas sikuen ini terdapat batupasir berukuran ripples dan
struktur lain yang ada hubungannya dengan arus, hal ini menunjukkan
adanya penambahan energi pada perairan dangkal ketika teluk terisi
endapan.
Umumnya endapan teluk terisi mengandung fosil air laut atau air payau dan
struktur burrow fosil-fosil ini biasanya melimpah pada bagian bawah
serpih lempung, tetapi mungkin juga muncul pada seluruh sikuen.
Endapan Distributary Mouth Bar dicirikan oleh adanya batupasir yang
memiliki dasar yang lebih lebar dan memiliki kontak gradasi pada bagian
bawah dan adanya kontak lateral yang cenderung mengkasar ke atas dan
mengarah pada bagian tengah serta berkembangnya struktur ripples dan flow
rolls, Sekuen Vertikal endapan Lower Delta Plain, Sekuen Mengkasar keatas
dapat dilihat pada ( Gambar 3.2 ).
Endapan Creavasse Splay, karakteristik endapan ini adalah
minidelta yang mengkasar keatas, butirannya semakin
menghalus jika menjauhi tanggul, bergradasi kearah lateral,
tersusun atas batupasir dengan struktur burrowed siderite dan
ripples, endapan ini memiliki ketebalan lebih dari 12 m
dengan pelamparan horizontal berkisar dari 30 m sampai 8 km,
Sekuen Vertikal endapan Lower Delta Plain Sikuen yang sama di
potong oleh Creavasse Splay deposit ( Gambar 3.3 ).
Rawa-rawa di dalam sungai yang mendominasi pada lower delta
plain berkembang di atas tanggul-tanggul (levees) sepanjang
distribusi cahnnel, endapan ini pada umumnya lurus dan
tegak lurus dengan jurus pengendapan.
Lapisan batubara yang di hasilkan relative tipis dan terbelah
membentuk split oleh sejumlah endapan creavvase splay dan
cenderung menerus sepanjang jurus kemiringan pengendapan,
tetapi sering juga tidak menerus sejajar dengan jurus
pengendapan batubara di gantikan oleh material bay fill
Gambar 3.2 Sekuen Vertikal endapan
Gambar 3.3. Sekuen Vertikal endapan Lower
Lower Delta Plain (Horne, 1978) Sekuen Delta Plain (Horne, 1978) Sikuen yang sama
Mengkasar keatas di potong oleh Creavasse Splay deposit.
Transisional Lower Delta Plain: Tebal dapat lebih dari 10 m, sebaran luas
cenderung memanjang sejajar jurus pengendapan, kemenerusan lateral sering
terpotong channel, di tandai splitting akibat adanya Channel kontemporer dan
Washout oleh Channel subsekuen dan kandungan sulfur agak rendah. Zona di
antara lower dan upper delta plain di tandai zona transisi yang mengandung
karakteristik litofasies keduanya.
Sikuen Bay Fill tidaklah sama dengan sikuen litologi yang berbutir halus, lebih
tipis (1,5-7,5 m) dari lower delta plain. Namun sikuen Bay Fill tidaklah sama
dengan sikuen upper delta, zona ini mengandung fauna air payau yang
menunjukkan kenampakan migrasi lateral lapisan point bar accretion menjadi
upper delta plain, channel pada transisi delta plain ini berbutir halus dari upper
delta plain, Penampang lingkungan pengendapan pada bagian Transitional Lower
Delta Plain dapat dilihat pada ( Gambar 3.4 ).
Lapisan batubara pada umumnya tersebar meluas dengan kecenderungan
agak memanjang sejajar dengan jurus pengendapan. Seperti pada batubara
upper delta plain, batubara di transisi ini berkembang split di daerah channel
kontemporer dan oleh washout yang di sebabkan oleh aktivitas channel
subsekuen.
Lapisan batubara pada daerah Transitional Lower Delta Plain terbentuk pada
daerah transisi antara Upper Delta Plain dan Lower Delta Plain dan merupakan
yang paling tebal dan penyebarannya juga paling luas karena perkembangan
rawa yang ekstensif pada pengisian yang hampir lengkap dari teluk yang
interdistribusi.
Gambar 3.4. Penampang lingkungan
pengendapan pada bagian Transitional Lower
Delta Plain (Horne, 1978)
Upper delta plain-fluvial: tebal dapat mencapai lebih dari 10 meter, sebaran luas cenderung
memanjang sejajar jurus pengendapan, kemenerusan lapisan lateral sering terpotong channel,
di tandai splitting akibat channel kontemporer dan washout olehchannel subsekuen dan
kandungan sulfur rendah.
Endapannya didominasi oleh bentuk linier, tubuh pasir lentikuler, pada tubuh pasir dapat
gerusan pada bagian bawahnya, permukaan terpotong tajam, tetapi secara lateral pada
bagian atas bagian batupasir ini melidah dengan serpih abu-abu, batulanau dan lapisan
batubara. Di atas bidang gerusan terdapat kerikil lepas dan hancuran batubara yang
melimpah pada bagian bawah, semakin ke atas butiran semakin menghalus pada
batupasir. Sifat khas tersebut menunjukkan energi yang besar pada channel pada sekitar
rawa kecil dan danau-danau, dari bentuk batupasir dan pertumbuhan lapisan point bar
menunjukkan bahwa hal ini di kontrol oleh meandering.
Sikuen endapan backswap dari atas ke bawah terdiri dari seat earth, batubara, dengan serpih
dengan fosil tanaman yang melimpah dan jarang pelecupoda air tawar, batubara secara lateral
menebal dan akhirnya bergabung dengan tubuh utama batupasir, batupasirnya tipis (1,5-
4,5 m), berbutir halus, mengkasar ke atas, sikuen tipe ini merupakan endapan pada tubuh
air terbuka, mungkin rawa dangkal atau danau, Penampang lingkungan pengendapan bagian
Upper Delta Plain dapat dilihat pada ( Gambar 3.5 ).
Lapisan batubara pada endapan upper delta plain cukup tebal (lebih dari 10m), tetapi
secara lateral tidak menerus, lapisan pembentuk endapan fluvial plain cenderung lebih tipis
dibandingkan dengan endapan upper delta plain, lapisan batubara cenderung sejajar
dengan kemiringan pengendapan, tetapi sedikit yang menerus dibandingkan dengan fasies
lower delta plain, karena bagian yang teratur sedikit jumlahnya yang mengikuti channel
sungai maka lapisan-lapisannya sangat tebal dengan jarak yang relatif pendek dengan
sejumlah split yang berkembang dan dalam hubungannya dengan endapan tanggul yang
kontemporer.
Gambar 3.5. Penampang lingkungan
pengendapan bagian Upper Delta Plain
(Horne,1978)

Anda mungkin juga menyukai