Anda di halaman 1dari 14

RANGKUMAN MATERI

REKLAMASI RAWA (B)

DOSEN PENGAMPU :
HAIKI MART YUPI, S.T., M.T., PH.D.
NIP. 19780608 200501 1 003

OLEH :
STEPHANIE ANGELINA
NIM. 213030501184

JURUSAN PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2024
Rawa adalah lahan yang karena topografinya rendah/datar (flat) atau cekung sehingga secara
alamiah terjadi genangan air terus menerus atau musiman (berkala) akibat drainase alamiah
yang terhambat serta mempunyai ciri – ciri khusus secara fisik, kimia dan biologi (Nugroho et
al, 1991).
Reklamasi Rawa adalah pemanfaatan daerah rawa untuk keperluan tertentu, misalnya untuk
kawasan pemukiman, jalan, industri, pertanian dan lain – lain.
Berdasarkan definisi tersebut, maka lahan rawa merupakan lahan yang berada pada daerah
rawa, baik berupa tanah mineral atau tanah gambut.
Berdasarkan pengaruh air pasang surut, lahan rawa dibedakan menjadi:
1) Rawa pasang surut, yaitu lahan yang berada pada zona I dan II, merupakan lahan rawa yang
genangannya dipengaruhi oleh pasang surut (air laut, payau dan air tawar).
2) Rawa lebak, yaitu lahan yang berada pada zona III (rawa non pasang surut).

Sketsa (gambar) pembagian zone pada bentang lahan rawa berdasarkan pengaruh daya pasang
dan intrusi air laut, sumber Subagyo (2006):

 Rawa pasang surut yang berada pada zona I, dipengaruhi oleh pasang harian berupa luapan
air payau atau salin. Oleh karena itu, dikenal sebagai rawa pasang surut air payau atau salin.
Lahan ini terdiri dari fisiografi utama gambut dan marin.
 Adapun rawa pasang surut yang berada pada zona-II, dipengaruhi oleh pasang harian air
tawar. Oleh karena itu, lahan ini dikenal sebagai lahan rawa pasang surut air tawar.
Fisiografi utama pada lahan ini adalah aluvial/fluviatil, gambut dan marin.
 Sedangkan lahan rawa, lebak berada pada zona-III, tidak dipengaruhi oleh pasang surut
dengan fisiografi utama yaitu aluvial/fluviatil, dan gambut.

1) Karakteristik lahan rawa pasang surut


1) Tipe pasang air laut dan luapannya
Rotasi bulan di orbit menghasilkan tipe pasang air laut: pasang tunggal, pasang ganda,
dan pasang campuran. Ini mempengaruhi daya jangkau air sungai meluapi lahan. Untuk
pengelolaan air di rawa pasang surut, dibagi menjadi 4 tipe luapan.
Gambar/skematik pembagian rawa pasang surut berdasarkan tipe luapan, sumber,
Widjaja - Adhi (1992):

4 tipe luapan tersebut adalah (bisa dilihat pada gambar):


1) Tipe luapan A , yaitu lahan yang selalu terluapi air pasang baik pada pasang tunggal
maupun ganda,
2) Tipe luapan B, yaitu lahan yang hanya terluapi pasang tunggal saja,
3) Tipe luapan C, yaitu lahan yang tidak terluapi pasang secara langsung, tetapi melalui
rembesan dengan tinggi muka muka air tanah ≤ 50 cm, dan
4) Tipe luapan D, yaitu lahan yang sama seperti tipe luapan C tetapi tinggi muka air
tanahnya > 50 cm
2) Tipologi
Di kawasan rawa, terdapat tanah mineral dan tanah gambut. Tanah mineral umumnya
termasuk kedalam ordo entisol dan inceptisol, sedangkan tanah gambut masuk kedalam
ordo histosol.
Untuk memudahkan pengelolaan tanah, para pakar rawa mengelompokan lahan yang ada
di kawasan rawa menjadi :
 Lahan potensial,
 Lahan sulfat masam,
 Lahan salin dan
 Lahan gambut.

3) Karakrakteristik Tanah
Keragaman kelompok tanah yang ada pada lahan rawa pasang surut mengakibatkan
terjadinya variasi karakteristik tanah.
Karakteristik tanah yang ada sangat berhubungan erat dengan
 sifat fisik,
 sifat kimia maupun
 biologi tanah.

Sifat fisik tanah, Karakteristik fisik tanah yang berhubungan erat dengan pengelolaan lahan
rawa untuk pertanian adalah kematangan tanah, permeabilitas, dan kemampuan menyimpan air.
Kematangan tanah, baik mineral maupun gambut, mempengaruhi kemampuan menyimpan air
tanah. Tingkat kematangan dan permeabilitas tanah mineral di kawasan rawa bervariasi,
sementara sifat dan ciri fisik tanah gambut dipengaruhi oleh tingkat dekomposisi. Semakin
matang bahan gambut, porositas dan subsidensinya rendah, namun Bulk Density (BD) dan daya
pegang air tinggi.

Sifat kimia tanah, Karakteristik kimia tanah sangat bervariasi karena dipengaruhi oleh
beberapa faktor, termasuk tipologi lahan. Lahan salin memiliki kandungan garam yang tinggi
akibat air laut, sedangkan lahan sulfat masam memiliki kandungan senyawa pirit dan tingkat
keasaman tinggi. Lahan gambut memiliki kandungan bahan organik dan asam organik yang
tinggi. Karakteristik ini mempengaruhi sifat kimia tanah lainnya. Secara umum, lahan rawa
pasang surut termasuk lahan yang masam dan memiliki tingkat kesuburan rendah, terutama
pada tanah gambut.
Sifat biologi tanah, Mikroorganisme di tanah rawa memegang peranan penting dalam
mengurai bahan organik, mereduksi sulfat dan besi, serta mengoksidasi besi dan pirit. Mereka
terlibat dalam banyak proses kimia, baik sebagai pendekomposisi bahan organik maupun
mereduksi dan mengoksidasi Fe dan sulfat.

Secara umum, ada 2 jenis tanah yang terbentuk di daerah Rawa:


1. Tanah gambut (peat soils) terbentuk dari bahan organic, berupa sisa vegetasi (tanaman)
yg membusuk (kondisi tidak jenuh) dalam waktu yang sangat panjang (ribuan atau
jutaan tahun).
2. Tanah non gambut (tanah mineral basah/wet mineral soil).
Tanah mineral yang terdapat di wilayah rawa, seluruhnya merupakan endapan bahan halus dan
lumpur yang diendapkan air pasang ditambah bahan alluvium yang dibawa ke muara oleh air
sungai.

Berdasarkan definisi tersebut, maka lahan rawa merupakan lahan yang berada pada daerah
rawa, baik berupa tanah mineral atau tanah gambut.
Berdasarkan pengaruh air pasang surut, lahan rawa dibedakan menjadi:
1) Rawa pasang surut, yaitu lahan yang berada pada zona I dan II, merupakan lahan rawa
yang genangannya dipengaruhi oleh pasang surut (air laut, payau dan air tawar).
2) Rawa lebak, yaitu lahan yang berada pada zona III (rawa non pasang surut).

Rawa terdiri dari: Rawa pasang surut dan rawa lebak.


Klasifkasi secara fisik dan Klasifikasi menurut fungsi adalah:
Karakteristik lahan rawa lebak.
 Rawa lebak berada pada zone III, sehingga fluktuasi tinggi muka air pada daerah
tersebut, dan/atau daerah sekitarnya dipengaruhi oleh curah hujan, dapat juga berupa
banjir kiriman.
 Curah hujan pada kawasan hulu mengalir ke hilir melalui jaringan sungai, mengisi
kawasan rawa lebak, demikian juga curah hujan pada sekitar area kawasan tersebut.
 Lahan rawa lebak umumnya berada pada daerah cekungan, yang terletak jauh dari
pantai, membentuk beragam kedalaman dan lama genangan air.
Catatan : Lahan rawa lebak merupakan lahan yang selalu dijenuhi air, baik yang
berasal dari luapan sungai maupun hujan.

 Untuk memudahkan pengelolaan lahan rawa lebak, dibagi berdasarkan tinggi dan lama
genangan menjadi tiga tipe genangan.

Rawa ditetapkan sebagai rawa lebak apabila memenuhi kriteria:


a. Terletak jauh dari pantai;
b. Kesatuan hidrologi yang merupakan daerah aliran sungai, dan sungai yang bersifat non
pasang surut dengan variasi muka air musiman;
c. Tergenangi air akibat luapan air sungai dan/atau air hujan yang menggenang secara
periodik atau menerus; dan
d. Dasar drainase yang merupakan sungai non pasang surut dengan muka air tertinggi pada
musim hujan.

Untuk memudahkan pengelolaan lahan rawa lebak, dibagi berdasarkan tinggi dan lama
genangan menjadi tiga tipe yaitu :
1. Lebak dangkal atau pematang, yaitu lahan rawa yang tinggi genangannya < 50 cm
dengan lama 1- 3 bulan.
2. Lebak tengahan, yaitu lahan rawa yang mempunyai tinggi genangan 50 - 100 cm dengan
lama 3 - 6 bulan.
3. Lebak dalam, yaitu lahan rawa yang mempunyai tinggi genangan > 100 cm dengan lama
6 – 12 bulan.
Menurut Balitra:
 Lahan rawa lebak adalah rawa yang dipengaruhi oleh adanya genangan dengan waktu
lamanya genangan > 3 bulan dan tinggi genangan > 50 cm.
 Berdasarkan lama dan tingginya genangan daerah rawa lebak di bagi dalam 4 (empat)
tipe, yaitu lebak dangkal, lebak tengahan, lebak dalam dan lebak sangat dalam.
 Dalam satu daerah rawa lebak dapat terdiri atas wilayah lebak dangkal sekitar 40-60%,
lebak tengahan 30-50%, dan lebak dalam 10-30% dan lebak sangat dalam antara 5-10%.

 Hasil pengamatan Anwar dan Mawardi (20I0, 2011, 2012) menunjukkan bahwa
dinamika tinggi muka air rawa lebak sangat ditentukan pola curah hujan kawasan, baik
daerah rawa lebak, maupun kawasan hulu rawa lebak.
 Hal ini menunjukkan bahwa tinggi muka air rawa lebak mengikuti pola curah hujan
kawasan rawa lebak.
 Umumnya dinamika tinggi muka air rawa lebak tengahan dan lebak dalam mempunyai
kesamaan pola bila berada dalam satu Sub DAS, sedangkan rawa lebak dangkal dapat
berbeda.
Kualitas air rawa lebak dipengaruhi oleh sumber air yang masuk ke daerah tersebut.
Adanya erosi pada kawasan hulu akan membawa unsur hara pada air yang mengalir ke lahan
rawa lebak, sehingga memperkaya hara pada daerah yang lebih rendah. Kedaan ini juga
berpengaruh terhadap kualitas air kawasan tersebut.
Luas lahan rawa di Indonesia diperkirakan 33 - 34 juta hektar, terbagi atas :
 lahan pasang surut seluas 20,13 juta hektar, dan
 rawa lebak 13,28 juta ha
yang terbentang luas di sepanjang pantai Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya, Sulawesi
(Widjaja -Adhi et al., 1992).

Secara umum, ada 2 jenis tanah yang terbentuk di daerah Rawa:


1. Tanah gambut (peat soils) terbentuk dari bahan organic, berupa sisa vegetasi (tanaman)
yg membusuk (kondisi tidak jenuh) dalam waktu yang sangat panjang (ribuan atau
jutaan tahun).
2. Tanah non gambut (tanah mineral basah/wet mineral soil).

Pengertian dari :
 Lahan gambut (peatland) adalah hamparan kawasan tanah gambut dengan tata guna
lahan tertentu diatasnya bisa berupa hutan, perkebunan, pertanian, semak belukar dan
lain – lain.
 Lahan gambut ada yang masih bersifat alami (hutan), lahan gambut yang mengalami
degradasi, lahan gambut untuk pertanian dan perkebunan.
 Lahan gambut tropis (tropical peat land) adalah hamparan kawasan tanah gambut yang
terdapat di daerah tropis.
 Hutan rawa gambut (Peat swamp forest) adalah hutan yang terdapat pada kawasan
gambut dengan ekosistem didalamnya (flora, fauna, dan juga kondisi air) termasuk
vegetasi dengan karakteristik khas lahan gambut yang tumbuh diatasnya (tropical peat,
modarate peat, boreal peat).
 Hutan rawa gambut tropis (tropical peat swamp forest) adalah hutan rawa gambut yang
terdapat pada lahan gambut di kawasan tropis dengan karakteristik vegetasi dengan
kerapatan yang tinggi, vegetasi (pohon besar) yang terdiri dari berbagai macam variasi
spesies tanaman.

Dan type atau variasi hutan rawa gambut ditunjukan seperti pada gambar di atas (slide
sebelumnya):
Type 1 adalah Riverine Forest (hutan rawa gambut didaerah sekitar tepian sungai) dengan
ketinggian vegetasi (pohon) 15 m – 40 m.
Type 2 adalah Marginal mixed (hutan rawa gambut dengan kondisi vegetasi sedikit bervariasi)
dan dengan ketinggian vegetasi (pohon) 15 m – 50 m.
Type 3 adalah Mixed peat swamp forest (hutan rawa gambut dengan vegetasi yang bervariasi)
dengan ketinggian vegetasi (pohon) 10 m – 55 m.
Type 4 adalah transition pole (hutan rawa gambut dengan pepohonan yang sudah mengalami
transisi/perubahan). Ketinggian vegetasinya < 40 m.
Note:
Dari gambar yang sudah ditunjukkan, menyatakan bahwa pada hutan rawa gambut (peat swamp
forest) dari tepian sungai sampai menuju kubah gambut (peat dome) kondisi vegetasi (pohon)
semakin mengecil atau dengan kata lain, semakin ketengah pohonnya semakin kecil.
Type 5 dan Type 6 adalah low pole (hutan rawa gambut dengan kondisi vegetasi yang rendah).
Ketinggian vegetasinya adalah < 18 m

Hutan Rawa Gambut Tropis (Tropical Peat Swamp Forest)


 Pada kondisi alami, karakteristik hutan rawa gambut tropis ditandai dengan vegetasi
yang terdiri dari pohon besar dengan kerapatan tinggi dan khususnya terdiri dari jenis
vegetasi khas / endemic (hutan rawa gambut tropis) biasanya mempunyai nilai
komersial tinggi.
 Vegetasi yang terdiri dari pepohonan di hutan rawa gambut tropis, seringkali
mempunyai akar penunjang (dengan kondisi jangkung) yang terdapat di atas permukaan
tanah gambut (membantu proses respirasi tanaman untuk adaptasi dengan kondisi
lingkungan basah ).

Fungsi Hutan Rawa Gambut


 Tropical Peat Swamp Forest (hutan rawa gambut tropis) adalah salah satu ecosystem
yang unik dan juga sebagai tempat tampungan/simpanan karbon (C) dalam jumlah yang
sangat besar, yang mempunyai peran penting dalam mengatur siklus karbon (carbon
cycle) secara global yang berpengaruh terhadap perubahan iklim.
 Hutan rawa gambut tropis juga mempunyai fungsi penting sebagai tampungan air
alami/menampung kelebihan air hujan (natural water reservoir) yang dapat mengatur
(control) perubahan air dalam skala kawasan (watershed) baik pada saat kondisi basah
(musim hujan) ataupun dalam kondisi kering (musim kemarau) ---- hydrology dan
hydraulic control.
 Selain itu hutan rawa gambut tropis dalam kondisi alami juga mempunyai fungsi penting
sebagai filter air alami sehingga kualitas air dalam skala kawasan (watershed) bisa tetap
terjaga baik pada saat kondisi basah (musim hujan) ataupun dalam kondisi kering
(musim kemarau) ------ hydrology dan hydraulic control.
 Fungsi lainnya dari hutan rawa gambut tropis adalah sebagai habitat bagi berbagai jenis
flora (reservoirs of biodiversity / sumber keanekaragaman hayati) dan berbagai jenis
fauna. Dan alur air atau sungai dikawasan gambut merupakan habitat bagi berbagai jenis
ikan.
 Karenanya hutan rawa gambut tropis sering disebut sebagai sumber plasma nutfah –
(sumber bahan obat obatan dll).

Klasifikasi Tanah Gambut


 Klasifikasi tanah gambut secara umum merupakan tanah organosol atau histosol.
 Tanah organosol atau histosol adalah tanah yang memiliki lapisan bahan organik dengan
berat jenis dalam keadaan lembab < 0,1 g/cm3 dengan tebal > 60 cm atau lapisan
organik dengan berat jenis > 0,1 g/cm3 dengan tebal > 40 cm.
 Klasifikasi tanah organik dibedakan menjadi tiga:
1) Tanah gambut, mengandung bahan organik lebih dari 65 %,
2) Tanah bergambut (peat soil), kandungan bahan organiknya antara 65% – 5%, dan
3) Tanah Humus, kandungan tanah organiknya antara 35% – 15% menurut
Darmawijaya (1990)

Lahan gambut dibagi menjadi empat (4) tipe berdasarkan kedalamannya, yaitu:
1) Lahan gambut dangkal, yaitu lahan dengan ketebalan gambut 50 – 100 cm,
2) Lahan gambut sedang, yaitu lahan dengan ketebalan gambut 100 – 200 cm,
3) Lahan gambut dalam, yaitu lahan dengan ketebalan gambut 200 – 300 cm dan
4) Lahan gambut sangat dalam, yaitu lahan dengan ketebalan gambut lebih dari 300 cm
5) Dalam Najiyati et al. (1997)

Berdasarkan tingkat kematangan, tanah gambut dapat dibedakan atas tiga (3) macam, yaitu :
1) Fibrik yaitu tanah gambut dengan bahan organik yang sudah terdekomposisi, yang
memiliki serat sebanyak 2/3 volume.
Porositas tinggi, daya memegang air tinggi,
2) Hemik yaitu tanah gambut dengan bahan organik yang memiliki tingkat kematangan
antara fibrik dan saprik dengan kandungan seratnya 1/3 – 2/3 volume,
3) Saprik yaitu tanah gambut dengan sebagain besar bahan organik telah mengalami
dekomposisi yang memiliki serat kurang dari 1/3 dengan bobot isi yang lebih besar dari
fabrik.
Untuk membedakan ketiga tingkat kematangan gambut tersebut salah satu caranya yaitu dengan
mengamati warna tanah.
 Tanah gambut fabrik berwarna hitam muda,
 Tanah gambut hemik hitam agak gelap, dan
 Tanah gambut saprik berwarna hitam gelap

Berdasarkan tingkat kesuburannya tanah gambut dibedakan menjadi 3, yaitu:


1) Tanah gambut eutrofik,
Tanah gambut eutrofik adalah gambut yang subur akan mineral dan basa – basa serta
unsur hara lainya.
Hal ini dikarenakan gambut eutropfik biasanya menempati cekungan – cekungan kecil
dirawa belakang sungai sehingga mendapat kesuburan dari endapan sungai.
2) Tanah gambut mesotrofik,
Tanah gambut mesotrofik yaitu gambut yang memiliki kandungan mineral dan basa –
basa yang sedang (kurang subur).
3) Tanah gambut oligotrofik.
Sedangkan tanah gambut oligotrofik merupakan gambut yang tidak subur, karena
miskin akan mineral dan basa – basa.
Tanah gambut hemik dan safrik tergolong dalam gambut oligotrofik

Hutan Rawa Gambut Tropis


 Lahan gambut tropis secara global dapat memberikan manfaat dan daya dukung
lingkungan yang sangat penting, termasuk didalamnya adalah sebagai tampungan atau
penyimpan carbon, juga sebagai penyimpan (tampungan) air, sebagai tempat bagi
keanekaragaman hayati, dan juga mempertahankan serta menjaga kondisi kualitas air
(Evans et al.2014; Holden et al.2007).
 Vegetasi pada lahan gambut dapat berubah dan seringkali dipengaruhi oleh berbagai
faktor lingkungan diantaranya termasuk peternakan/penggembalaan, pembersihan
lahan (cutting), pembakaran terbatas, kebakaran hutan dan polusi udara(Holden et
al.2007) .
Salah satu fungsi dari lahan gambut tropis adalah sebagai penyimpan (tampungan) karbon dan
air. Sehingga sangatlah penting mengatur keseimbangan carbon dan air pada lahan gambut
tropis.
Dampak dari ketidakseimbangan air pada lahan gambut adalah genangan (flooding) pada saat
hujan (air berlebih) dan ketika musim kemarau, gambut menjadi kering (mudah terbakar),
kondisi gambut kering akan menimbulkan dekomposisi (perombakan gambut oleh mikro
organisme) yang menyebabkan pelepasan carbon ke atmosfer serta ke badan air meningkat. Hal
ini menimbulkan dampak terhadap pemanasan global dan kehidupan biota air.

Kualitas dan Kuantitas Air di Lahan Gambut Tropis


 Salah satu fungsi ekosistem (layanan) dari lahan gambut tropis adalah sebagai
tampungan carbon (carbon storage) dan tampungan air (water storage).
 Pemanfaatan lahan gambut untuk berbagai kepentingan (industri, pertanian dan
perkebunan, pemukiman dll) biasanya diiringi dengan perubahan yang terjadi pada
lahan gambut tropis tersebut, dari kondisi alaminya.
 Contoh : Drainase pada lahan gambut dapat menyebabkan lahan menjadi kering karena
kehilangan air pada lahan. Dampaknya, lahan gambut mengalami dekomposisi
(perombakan) dan mudah untuk terbakar.
 Lahan gambut tropis adalah lahan yang cukup unik, sehingga didalam pengelolaan dan
pemanfaatannya memerlukan kehati – hatian.

 KUALITAS AIR GAMBUT:


 Kualitas air pada wilayah rawa gambut memiliki karakteristik:
o berwarna kecokelatan hingga hitam pekat,
o memiliki nilai pH yang rendah (keasaman yang tinggi)
o serta mengandung logam berat yang tinggi,
sehingga tidak layak digunakan untuk memenuhi kebutuhan seperti mandi, cuci
kakus dan minum
 Air gambut memiliki keasaman yang tinggi (pH berkisar antara 3 – 4)
 Terhadap tubuh manusia, pengaruh air gambut dengan keasaman tinggi dapat
menimbulkan gangguan kesehatan.
 Terhadap konstruksi, sifat air asam dari gambut dapat mempercepat terjadinya
kerusakan kosntruksi (keropos pada pilar beton yang terendam air gambut, keropos
pada baja dan besi yang terendam air gambut)
 Terhadap tubuh manusia, pengaruh air gambut dengan keasaman tinggi dapat
menimbulkan gangguan kesehatan.
 Secara ilmiah masih belum banyak penelitian yang mengungkapkan dampak air gambut
terhadap kesehatan.
 Dalam Artikel Media Litbangkes, pada lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan
Tengah, penyakit yang banyak ditemui pada lokasi PLG (Pengembangan Lahan
Gambut) adalah penyakit kulit, ini merupakan data yang tercatat dari 4 Puskesmas di
wilayah tersebut.
 Contoh lainnya terkait dengan Kualitas air gambut adalah di daerah Tungkal Ilir,
Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi merupakan salah satu daerah dengan
kualitas air yang buruk.
 Tungkal Ilir merupakan daerah rawa gambut dengan kualitas air berwarna kecokelatan,
bersifat asam, memiliki kandungan Total Suspended Solid (TSS), Total Dissolve Solid
(TDS), Daya Hantar Listrik (DHL), Biological Oxygen Demand (BOD) dan Chemical
Oxygen Demand (COD) yang tinggi sehingga tidak layak digunakan untuk kebutuhan
masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai