TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rawa
Rawa air tawar adalah ekosistem dengan habitat yang sering digenangi air
tawar yang kaya mineral dengan pH sekitar 6 dengan kondisi permukaan air yang
tidak tetap, adakalanya naik atau adakalanya turun, bahkan suatu ketika dapat pula
mengering.Rawa terbentuk karena proses pendangkalan dari danau, waduk, atau
proses lain seperti gempa yang mengakibatkan suatu daerah turun tetapi tidak
dalam (Susanto, 2010).
Rawa suatu lahan darat yang tergenang air secara periodik atau terus
menerus secara alami dalam waktu lama karena drainase yang terhambat.
Meskipun dalam keadaan tergenang, lahan ini tetap ditumbuhi oleh tumbuhan.
Lahan rawa lebak merupakan salah satu wilayah pengembangan pertanian masa
depan yang perspektif. Agroekosistem rawa lebak mempunyai sifat, ciri dan
watak yang sangat khas dan unik dibandingkan dengan agroekosistem lainnya.
Karakter unik tersebut antara lain adalah sifat genangan dan tanahnya yang
spesifik. Bentang lahan (landscape) wilayah rawa lebak sendiri meliputi wilayah
tanggul sungai, dataran banjir sampai lahan burit (hinterland), termasuk sebagian
wilayah rawa pedalamaan atau rawa belakang back swamp (Suriadikarta, 2007).
Berdasarkan ketinggian genangan (dengan batasan antara 50 cm sampai >
200 cm) dan lamanya genangan (antara 3 sampai > 6 bulan) serta pemanfaatannya
untuk pengembangan pertanian/perikanan, lahan rawa lebak dapat dipilah dalam
tiga topologi, yaitu (1) lebak dangkal, (2) lebak tengahan, (3) lebak dalam. Lahan
rawa lebak juga dapat dibedakan berdasarkan ada atau tidak nya pengaruh sungai
sekitarnya. Lahan rawa lebak yang genangannya dipengaruhi oleh sungai
sekitarnya di sebut lebak sungai, sedang lebak yang bebas atau tidak dipengaruhi
oleh sungai sekitar di sebut dengan lebak terkurung atau setengah terkurung.
Lahan lebak adalah lahan yang rejim airnya dipengaruhi oleh topografi dan hujan,
baik yang turun setempat maupun di daerah sekitarnya dan mempunyai topograpi
yang relatif rendah (cekung). Meskipun rawa lebak sering dipandang sebagai
4
wilayah yang rapuh, tetapi potensi sumber daya lahan danair rawa lebak sebagai
sumber pertumbuhan produksi pertanian, perikanan (Limin, 2006).
Daerah rawa adalah daerah yang secara permanen atau temporal tergenang
air karena tidak adanya sistem drainasi alami atau drainasi yang terhambat
(Nurzakiyah, 2004). Menurut jenisnya lahan rawa dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Rawa Non Pasang Surut (Lebak)
Rawa Lebak merupakan daerah rawa yang tidak dipengaruhi oleh pasang
surut sungai. Daerah rawa ini merupakan lahan tanah berbentuk cekungan dan
dalam musim hujan seluruhnya digenangi air. Tetapi pada musim kemarau air
tersebut berangsurangsur kering bahkan kadang ada yang kering sama sekali
selama masa yang relatif singkat (12 bulan). Untuk daerah yang berada didekat
sungai, air yang menggenangi daerah rawa berasal dari luapan sungai
disekitarnya, dan ada pula daerah rawa yang mudah tenggelam terus menerus
akibat hujan sebelum melimpahkan airnya kedaerah sekitarnya (Syahrizal, 2006).
Rawa lebak dibagi menjadi tiga (Najiyati dan Muslihat, 2011) :
1. Lebak dangkal atau lebak pematang, yaitu rawa lebak dengan genangan air
kurang dari 50 cm. Lahan ini biasanya terletak di sepanjang tanggul sungai
dengan lama genangan kurang dari 3 bulan.
2. Lebak tengahan, yaitu lebak dengan kedalaman genangan 50-100 cm.
Genangan biasanya terjadi selama 3-6 bulan.
3. Lebak dalam, yaitu leak dengan genangan air lebih dari 100 cm. Lahan ini
biasanya terletak di sebelah dalam menjauhi sungai dengan lama genangan lebih
dari 6 bulan.
2. Rawa Pasang Surut
Rawa pasang surut merupakan lahan rawa yang genangannya dipengaruhi
oleh pasang surutnya air laut.Lahan rawa pasang surut yang luasnya mencapai
20,10 juta ha pada awalnya merupakan rawa pantai pasang surut di muara sungai
besar, yang dipengaruhi secara langsung oleh aktivitas laut. Di bagian agak ke
pedalaman, pengaruh sungai besar makin kuat sehingga wilayah ini memiliki
lingkungan air asin (salin) dan air payau. Dengan adanya proses sedimentasi, kini
wilayah tersebut berwujud sebagai daratan yang merupakan bagian dari delta
sungai. Wilayah tersebut terletak relatif agak jauh dari garis pantai sehingga
5
kurang terjangkau secara langsung oleh air laut waktu pasang. Oleh karena itu,
wilayah tersebut saat ini banyak dipengaruhi oleh aktivitas sungai di samping
pasang surut harian dari laut. Di wilayah pasang surut terdapat dua jenis tanah
utama, yaitu tanah mineral (mineral soils) jenuh air dan tanah gambut (peat soils)
(Subagjo, 2006).
Berdasarkan pola genangan nya (jangkauan air pasangnya), lahan pasang
surut dibagi menjadi empat tipe:
1. Tipe A, tergenang pada waktu pasang besar dan pasang kecil
2. Tipe B, tergenang hanya pada pasang besar
3. Tipe C, tidak tergenang tetapi kedalaman air tanah pada waktu pasang kurang
dari 50 cm
4. Tipe D, tidak tergenang pada waktu pasang air tanah lebih dari 50 cm tetapi
pasang surutnya air masih terasa atau tampak pada saluran tersier.
c. Rawa Lebak Peralihan
Lahan rawa lebak yang pasang surutnya air laut masih terasa di saluran
primer atau di sungai disebut rawa lebak peralihan. Pada lahan seperti ini,
endapan laut yang dicirikan oleh adanya lapisan pirit, biasanya terdapat pada
kedalaman 80-120 cm di bawah permukaan tanah (Najiyati dan Muslihat, 2011) .
Macam - Macam Tanah Rawa :
1. Tanah Mineral
Tanah-tanah mineral di wilayah pasang surut terbentuk dari bahan endapan
marin, yang proses pengendapannya di dalam lingkungan laut (marin). Pada
wilayah agak ke pedalaman, pengaruh sungai relatif kuat, sehingga tanah bagian
atas terbentuk dari endapan sungai, sedangkan pada bagian bawah di mana
terdapat bahan sulfidik (pirit), proses pengendapan lumpur bahan tanah
didominasi oleh aktivitas air laut (Suriadikarta, 2007).
2. Tanah Gambut
Tanah gambut (Organosols = Histosols) terbentuk dari lapukan bahan
organik terutama dari tumpukan sisa-sisa jaringan tumbuhan di masa lampau.
Pada tahap awal, proses pengendapan bahaorganikterjadi di daerah depresi atau
cekungan di belakang tanggul sungai. Dengan adanya air tawar dan air payau
yang menggenangi daerah depresi, proses dekomposisi bahan organik menjadi
6
0,2 g.cm-3) yang menyebabkan daya tumpu (bearing capacity) tanah rendah
sehingga mudah mengalami subsiden. Subsiden dan dekomposisi bahan organik
dapat menimbulkan masalah apabila bahan mineral di bawah lapisan gambut
mengandung pirit (FeS2) atau pasir kuarsa. Selain itu, apabila gambut mengalami
kekeringan yang berlebihan akan menyebabkan koloid gambut menjadi rusak
karena partikel – partikel gambut mempunyai lapis luar kaya resin yang
menghambat penyerapan kembali air setelah pengeringan dan akhirnya gambut
tidak mampu lagi menyerap hara dan menahan air. Akibatnya, gambut akan
mengalami kekeringan dan mudah terbakar. Terbakarnya lahan gambut
merupakan penyebab utama degradasi lahan. Dalam kondisi degradasi yang
sangat berat, lahan tidak dapat lagi ditanami, sehingga petani kehilangan mata
pencaharian dari lahan usaha taninya (Nurzakiah, 2004).
Secara kimiawi, tanah gambut umumnya bereaksi masam (pH 3,0-4,5).
Gambut dangkal mempunyai pH lebih tinggi (pH 4,0-5,1) daripada gambut dalam
(pH 3,1-3,9). Kandungan basa (Ca, Mg, K dan Na) dan kejenuhan basa rendah.
Kandungan Al pada tanah gambut umumnya rendah sampai sedang, dan
berkurang dengan menurunnya pH tanah. Kandungan N total termasuk tinggi,
namun umumnya tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N tinggi. Kandungan
unsur mikro, khususnya Cu, Bo dan Zn, sangat rendah, namun kandungan besi
(Fe) cukup tinggi (Susanto, 2010).