Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia Negara yang luas, terdapat begitu banyak pulau yang
terbentang dengan berbagai macam lahan didalamnya. Peningkatan jumlah
penduduk meningkatkan kebutuhan akan lahan terbangun. Permintaan akan
lahan meningkat (Demand side) sementara ketersediaan lahan tidak berubah
(Supply side). Kondisi sumberdaya lahan yang terbatas sementara
pertumbuhan penduduk yang tinggi ini menyebabkan nilai lahan tumbuh
setiap tahunnya (Musiam and Kumalasari 2021)
Lahan adalah bagian dari sumber daya alam yang makin terbatas
ketersediaannya. Lahan juga dimanfaatkan dalam sektor pertanian terutama di
Indonesia. Sementara itu lahan pertanian pangan di Indonesia semakin
berkurang dikarenakan beralihnya fungsi lahan pertanian menjadi non
pertanian. keadaan alih fungsi lahan ini mengkhawatirkan Pemerintah dan
Pemerintah Daerah karena akan kesulitan dalam hal ini akan di upayakan
terwujudnya kemandirian dan ketahanan, dan kedaulatan pangan (Ansari,
Bachri, and Lahae 2020)
Lahan basah atau wetland adalah daerah rawa, lahan gambut, atau
air, baik yang alami maupun yang buatan, bersifat tetap atau sementara dengan
air ladung atau rnengalir, bersifat tawar, payau, atau asin, terrnasuk daerah air
marin yang dalamnya pada waktu surut tidak lebih dari 6 (enam) meter. Lahan
basah atau wetland adalah wilayahwilayah di mana tanahnya jenuh dengan air,
baik bersifat permanen (menetap) atau musiman (Prasetya and Anisia 2021)
Lahan basah adalah salah satu kekayaan alam Indonesia yang perlu
dijaga dan dilestarikan, sebab mendatangkan banyak manfaat bagi masyarakat.
Kerusakan lahan basah akan mendatangkan kerugian bagipenghuninya, baik
manusia maupun sumberdaya hayati lainnya. Dengan semakin tinggi
keinginan untuk memenuhi kebutuhan, maka semakin banyak mengambil
bahan-bahan dari alam termasuk dari ekosistem lahan basah. Pertumbuhan
penduduk yang sangat tinggi ini berpengaruh terhadap penyediaan pangan,
sandang, papan, sarana kesehatan, pendidikan dan sebagainya (Amin 2016)
Luas lahan basah di Indonesia diperkirakan 20,6 juta ha atau
sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia. Pada umumnya lahan basah
dikelola menjadi areal pertanian ataupun perkebunan. Sebagian besar lahan
basah dimanfaatkan masyarakat untuk budi daya tanaman perkebunan seperti
kelapa sawit, karet, disusul tanaman pangan meliputi padi, jagung, selanjutnya
tanaman hortikultura buah. Sekitar 9,53 juta lahan basah di Indonesia
berpotensi untuk lahan pertanian, dengan rincian 6 juta ha berpotensi untuk
tanaman pangan dan 4,186 juta ha telah direklamasi untuk berbagai
penggunaan terutama transmigrasi (Rahmi, Susanto, and Siswanto 2015)
Upaya peningkatan produksi pangan ke depan diarahkan pada
lahan suboptimal termasuk lahan rawa lebak. Pengembangan lahan rawa lebak
untuk pertanian memerlukan teknologi pengelolaan lahan dan air serta
teknologi budi daya yang sesuai untuk memperoleh hasil yang optimal, selain
kondisi sosial ekonomi masyarakat, kelembagan, dan prasarana yang
memadai. Lahan rawa lebak adalah lahan yang pada periode tertentu (minimal
satu bulan) tergenang air dan rejim airnya dipengaruhi oleh hujan, baik yang
turun setempat maupun di daerah sekitarnya. Selain dari hujan, air juga berasal
dari luapan banjir hulu sungai dan dari bawah tanah(Effendi, Abidin, and
Prastowo 2014)
Luas lahan rawa lebak di Indonesia sekitar 13,28 juta hektare, atau
sekitar sepertiga dari luas total lahan rawa. Secara umum tingkat kesuburan
lahan rawa lebak lebih baik dibandingkan dengan lahan rawa pasang surut,
karena tanah di lahan rawa lebak tersusun dari endapan sungai (fluviatil) yang
tidak mengandung bahan sulfidik atau pirit. Kecuali pada zona peralihan
antara lahan rawa lebak dan lahan rawa pasang surut di lapisan bawah pada
kedalaman lebih dari satu meter umumnya ditemukan lapisan bahan sulfidik
yang merupakan endapan marin(Susilawati and Nazemi 2017)
Gambut sendiri adalah material atau bahan organik yang tertimbun
secara alami dalam keadaan basah berlebihan atau jenuh air, bersifat tidak
mampat dan tidak atau hanya sebagian yang mengalami perombakan. Gambut
adalah sisa tumbuhan di lingkungan berair yang mulai mengarang, tetapi
memiliki kadar lengas yang tinggi sekitar 70%. Gambut adalah tanah yang
sebagian besar tersusun dari bahan organik dengan kadar C-organik lebih dari
12 % jika tidak mengandung clay atau lempung atau memiliki kadar C–
organik lebih dari 18% jika mengandung clay atau lempung 60% atau lebih.
Gambut memiliki kandungan bahan organik lebih dari 85% dan C organik
sebesar 12-18%, jika BD-nya >0,1 g cm3 maka ketebalannya lebih dari 40 cm,
akan tetapi jika BD-nya < 0,1 g cm3 maka ketebalannya >60 cm.
Klasifikasikan gambut berdasarkan dua hal yaitu dari ketebalannya dan dari
kandungan serat (Tampubolon 2020)
1.2. Tujuan
Adapun tujuannya dari prakikum Pengelolaan Lahan Rawa yaitu sebagai
berikut ini:
1. Untuk mengetahui karakteristik dari lahan rawa lebak dan lahan gambut
2. Untuk mengetahui sifat-sifat fisik dan kimia dari lahan rawa lebak dan
gambut
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Lahan Rawa dan Jenis – jenis Lahan Rawa
Lahan Rawa adalah lahan yang dipengaruhi oleh rezim air baik
akibat dari gerakan pasang laut/sungai maupun akibat kiriman banjir dari
bagian atas (hulu) ke wilayah bawah (hilir) sehingga menciptakan genangan.
Lahan rawa adalah lahan genangan air secara alamiah yang terjadi terus
menerus atau musiman akibat drainase yang terhambat serta mempunyai ciri -
ciri khusus secara fisika, kimiawi dan biologis. Lahan rawa merupakan lahan
yang potensial digunakan untuk usaha pertanian, kehutanan, konservasi atau
sumber air (Gazali dan Fathurahhman, 2019). Lahan rawa juga merupakan
salah satu ekosistem lahan basah (wetland) yang terletak antara wilayah
dengan sistem daratan (terrestrial) dengan sistem perairan dalam (aquatic).
Wilayah ini dicirikan oleh adanya genangan muka air dan atau muka air tanah
(ground water level) yang dangkal (Noor, 2015).
Lahan rawa mempunyai beragam jenis tanah yang secara garis
besar dibagi dalam tiga jenis utama yaitu tanah gambut, tanah sulfat masam,
dan tanah non sulfat masam dan tanah salin. Jenis tanah yang umum dijumpai
di lahan rawa lebak ialah tanah mineral dan gambut. Potensi lahan rawa lebak
sangat ditentukan oleh bahan-bahan yang diendapkan dari daerah atasnya,
sedangkan bahan dari air relatif tidak ada, karena air hanya berasal dari curah
hujan. Secara umum lahan rawa lebak lebih subur dibandingkan dengan lahan
pasang surut, karena lahan rawa lebak tidak bermasalah dengan bahan
sulfidik (pirit). Tanah mineral bisa berasal dari endapan sungai atau dari
endapan marin, sedangkan tanah gambut bisa berupa lapisan gambut utuh
atau lapisan gambut berselang-seling dengan lapisan tanah mineral. Tanah
mineral memiliki tekstur liat dengan tingkat kesuburan alami sedang hingga
tinggi, pH 4-5, dan drainase terhambat sampai sedang (Minsyah, Busyra, and
Meylin 2014).
2.2. Faktor Pembatas Lahan Rawa
Faktor pembatas untuk memaksimalkan pemanfaatan lahan rawa
lebak berupa: (1) tingkat ketersediaan air; (2) keterbatasan tenaga kerja;(3)
infrastruktur yang belum tersedia secara memadai; (4) ketersediaan sarana
produksi; (5) memerlukan biaya yang besar, dan; (5) budaya usaha tani dan
masyarakat setempat. Tingkat ketersediaan air yang optimal yang dibutuhkan
dalam proses produksi (usahatani) pertanian di lahan rawa lebak, merupakan
permasalahan utama. Hal ini terkait dengan fluktuasi (datang dan pergi) air
yang sangat dinamis dan sulit diprediksi. Pada musim hujan airnya berlebihan
dan sebaliknya pada musim kemarau terjadi kekurangan air, kondisi ini relatif
sulit untuk dapat dikendalikan dengan. Faktor pembatas dari lahan rawa
gambut adalah (1) Keseburan tanah rendah; (2) Reaksi (pH) masam; (3)
Curah hujan; (4) Tingkat kematangan; (5) Kejenuhan basa; (6) Ketebalan
gambut; (7) Temperatur (Krisnohadi, 2012).
2.3. Karakteristik Tanah di Lahan Rawa
Lahan rawa, secara khusus tidak bisa diartikan bahwa semua lahan
yang basah dapat dikategorikan sebagai lahan rawa, hal ini disebabkan
kriteria lahan rawa membawa pada konsekuensi kondisi tanah yang jenuh air
atau tergenang untuk jangka waktu tertentu. Kondisi tersebut berimplikasi
pada hanya jenis tanaman tertentu yang mampu beradaptasi. Ketika tanah
menjadi basah, pori-pori tanah mulai terisi air sehingga ketersediaan oksigen
menjadi terbatas dan akhirnya tanah menjadi jenuh, sedangkan pada daerah
yang tidak masuk dalam kategori rawa maka air akan cepat di drainase
sehingga tanah tidak jenuh. Kondisi jenuh menyebabkan suasana anaerob,
reaksi keseimbangan dalam tanah menjadi sangat berbeda dibandingkan tanah
yang aerob karena air menjadi faktor utama yang menentukan keseimbanagan
tesebut, baik secara fisik, kimia maupun biologi.
Lahan rawa adalah sebuah kata yang menunjukkan kondisi lahan
yang berhubungan dengan keberadaan air sebagai faktor kuncinya.
Berdasarkan posisinya, maka lahan ini selama sepanjang tahun, atau dalam
waktu yang panjang dalam setahun (beberapa bulan) tergenang dalam,
dangkal, selalu jenuh air, atau mempunyai air tanah dangkal, sehingga secara
langsung atau tidak langsung sangat mempengaruhi sifat lahan tersebut
(Fahmi and Wakhid 2018)
2.4. Karakteristik Tanah Gambut
Tanah gambut memiliki sifat yang sangat beragam antar tempat
maupun lingkungan, seperti perbedaan ketebalan, derajat dekomposisi bahkan
sampai pada tingkat kesuburannya. Perbedaan sifat-sifat tersebut dapat
menjadi dasar kriteria pengelompokkan gambut. Secara fisik, berdasarkan
derajat dekomposisinya maka gambut dapat dikategorikan menjadi tiga
kelompok yaitu gambut saprik, hemik dan fibrik. Secara rinci pengertian dari
setiap kelompok tersebut diuraikan di bawah ini :
1. Saprik adalah gambut dengan derajat dekomposisi paling lanjut,
kandungan seratnya sebanyak < 66 % berdasarkan volume serat yang
berdiameter > 0,15 mm atau kurang dari 1/6 bagian dari volumenya, atau
mengandung serat Biasanya berwarna kelabu sangat gelap sampai hitam.
Sifat-sifatnya secara fisik maupun kimianya relatif stabil.
2. Hemik adalah gambut dengan derajat dekomposisi tengahan, yaitu
kandungan serat antara 33-66 % berdasarkan volume serat yang
berdiameter > 0,15 mm atau tinggal antara 1/6-3/4 bagian volumenya,
atau.
3. Fibrik adalah gambut dengan derajat dekomposisi awal, kandungan serat
masih dapat terlihat sebagian dengan kisaran lebih 66 % berdasarkan
volume serat yang berdiameter > 0,15 mm atau masih lebih dari tiga
perempat bagian dari volumenya (Setiko dan Rafi’, 2019).
2.5. Pengelolaan Lahan Rawa
Perbedaan antara lahan rawa dengan lahan non-rawa adalah dalam
pengelolaan air. Kalau di lahan irigasi, kita dapat mengatur air sesuai dengan
keinginan, maka di lahan rawa sebaliknya, kita diatur oleh air. Keadaan rezim
air sangat dominan berpengaruh di lahan rawa melalui gerakan pasang surut
yang secara berkala dan banjir kiriman yang datang tidak menentu yang
terjadi di lahan rawa pedalamanan (lebak) sehingga pengelolaan rawa lebih
bersifat pada pengelolaan adaptif (adaptive managemet approach). Dalam
usaha tani tanaman pangan, khususnya padi sawah umumnya petani di lahan
rawa memanfaatkan air yang masuk melalui handil ke saluran kuarter untuk
kemudian ditahan dengan pembuatan tabat (dam overflow). Tabat dibuat
difungsikan dari mulai penyiapan lahan sampai tanam. Tabat kemudian
dibuka saat padi memerlukan pengeringan, yaitu saat pemasakan sampai
panen
Pada lahan gambut, tabat mengandung nilai kearifan untuk
menjaga air gambut tidak kering sehingga tidak mudah atau rawan terbakar.
Pada lahan rawa pasang surut sulfat masam, tabatsangat penting untuk
mempertahankan tanah berpirit tetap basah atau tergenang sehingga terhindar
dari pemasaman. Berkenaan dengan sifat tanah rawa, upaya mempertahankan
muka air pada batas di atas lapisan pirit merupakan kunci keberhasilan dalam
pengembangan pertanian di lahan rawa.Pada kondisi pirit teroksidasi akibat
kekeringan, tanahmenjadi sangat masam (pH 2-3) dan kelarutanAl, Mn, dan
Fe meningkat (Rahman, 2015)
Pengelolaan air di lahan gambut bertujuan untuk mengatur
pemanfaatan sumber daya air secara optimal sehingga didapatkan
hasil/produktivitas lahan yang maksimal, serta sekaligus mempertahankan
kelestarian sumber daya lahan tersebut. Salah satu teknik pengelolaan air di
lahan gambut dapat dilakukan dengan membuat parit/saluran dengan tujuan
mengendalikan keberadaan air tanah di lahan gambut sesuai dengan
kebutuhan tanaman yang akan dibudidayakan dan mencuci asam-asam
organik dan anorganik serta senyawa lainnya yang bersifat racun terhadap
tanaman dan memasukan (suplai) air segar untuk memberikan oksigen
(Soewandita, 2019).
BAB III
METODE PRAKTIKUM

3.1 Waktu & Tempat


Adapun waktu praktikum pengelolaan lahan rawa ini pada tanggal 06
Maret 2023 pukul 08.00 di rumah kaca dan Lab Kimia Jurusan Tanah Fakultas
Pertanian Universitas Sriwijaya

3.2 Alat & Bahan


Adapun alat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah : 1) Cangkul;
2) Ember; 3) Alat Tulis; 4) pH Meter; 5) Tabung Film; 6) Penggaris atau Mistar.
Adapun bahan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah : 1. Tanah
Aluvial; 2. Tanah Gambut; dan 3. Aquadest.

3.3 Cara Kerja


3.3.1 Adapun cara kerja pengambilan tanah adalah :
1. Bersihkan lahan dari sersah atau ranting
2. Cangkul tanah dengan kedalaman 30-60 cm
3. Masukkan tanah ke dalam polybag
4. Pastikan tanah yang diambil tidak terdapat ranting ataupun benda lainnya
5. polybag yang berisi tanah dibawa ke rumah kaca untuk dilakukan
penanamn
3.3.2 Adapun cara kerja pengapuran:
1. Ambil sampel tanah dan letakkan dalam ember/polybag yang telah
disediakan
2. Pisahkan tanah dari akar-akar yang besar
3. Remahkan tanah dari gumpalan tanah yang mengering
4. Timbang tanah 3kg/polybag untuk dua kali ulangan
5. Tambahkan kapur pada media tanam dengan dosis yang telah ditentukan
6. Pastikan tanah dalam keadaan kapasitas lapang
3.3.3 Adapun cara penetapan tekstur secara kualitatif yaitu :
1. Ambil tanah secukupnya kemudian letak pada tangan yang sensitif (tangan
yang jarang digunakan).
2. Kemudian tambahkan air secukupnya tidak terlalu becek juga tidak terlalu
kering.
3. Kemudian pilin tanah menggunakan tangan untuk merasakan kasar dan
halusnya.
4. Kemudian tentukan kelas tekstur berdasarkan dari apa yang dirasakan.

3.3.4 Adapun cara penetapan pH tanah di lapangan yaitu :


1. Siapkan tanah dan larutkan dengan aquadest dengan perbandingan aquades
dan tanah yaitu 1 : 3.
2. Kemudian cek pH menggunakan Ph meter
3. Lalu didapatkan hasilnya

3.3.5 Adapun Penetapan Kadar Air Di Laboratorium


1. Timbang 10 gr tanah kering udara dalam pinggan tembaga yang telah di
ketahui bobotnya
2. Lalu keringkan kedalam oven pada suhu 105oc selama 24 jam
3. Kemudian angkat pingan dengan penjepit dan masukkan kedalam
eksikator
4. setellah dingin lalu timbang, lalu bobot yang hilang itu adalah bobot air
5. lalu masukkan dengan rumus yang sudah di tetapkan
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Mohamad. 2016. “Potensi, Eksploitasi Dan Konservasi Lahan Basah Di
Indonesia Berkelanjutan.” Prosiding Seminar Nasional Lahan Basah
1(1):14–22.
Ansari, Muhammad Nur, Syamsul Bachri, and Kahar Lahae. 2020. “Efektivitas
Terhadap Pelaksanaan Pengaturan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.”
Repertorium, Jurnal Ilmiah Hukum Kenotariatan 9(2):135–51
Effendi, Dedi Soleh, Zainal Abidin, and Bambang Prastowo. 2014. “Model
Percepatan Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Lebak Berbasis Inovasi.”
Pengembangan Inovasi Pertanian 7(1):177–86.
Fahmi, Arifin, and Nur Wakhid. 2018. “Karakteristik Lahan Rawa.” Balai
Penelitian Pertanian Lahan Rawa. 2(1) :11-18
Gazali, A., dan Fathurrahman. 2019. Tinjauan Aspek Tanah Dalam Pengelolaan
Daerah Rawa Pasang Surut. SPECTA Journal of Technology, 3(1), 13-24.
Krisnohadi, Ari. 2012. Analisis Pengembangan Lahan Gambut Untuk Tanaman
Kelapa Sawit Kabupaten Kubu Raya.Perkebunan Dan Lahan Tropika 1 (1):
1–7
Minsyah, N.I., Busyra, dan Araz Meylin. 2014. Ketersediaan Teknologi Usaha
tani Lahan Rawa Lebak Dan Kendala Pengembangannya Di Provinsi Jambi.
Seminar Lahan Suboptimal, 685–94
Musiam, Siska, and Eka Kumalasari. 2021. “Pemanfaatan Limbah Sayur Sebagai
Bahan Baku Pupuk Cair Oleh Anak Usia Sekolah Dasar Di Desa Tatah
Layap.” Jurnal Bakti Untuk Negeri 1(1):44–48.
Noor, Muhammad. 2015. Biodiversitas Dan Kearifan Lokal Dalam Budidaya
Tanaman Pangan Mendukung Kedaulatan Pangan: Kasus Di Lahan Rawa
Pasang Surut. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (8): 123-133
Prasetya, Dwi Bayu, and Hediyati Anisia. 2021. “Analisis Kesesuaian Lahan
Kawasan Lahan Basah (Wetland) Untuk Perencanaan Tata Guna Lahan
Berkelanjutan Di Kabupaten Tulang Bawang.” Journal of Science and
Applicative Technology 5(1):58.
Rahman, Aditya. 2015. “Biodiversitas Dan Kearifan Lokal Dalam Budidaya
Tanaman Pangan Mendukung Kedaulatan Pangan: Kasus Di Lahan Rawa
Pasang Surut.” Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1(8):1861–67.
Rahmi, Ombun, Robiyanto Hendro Susanto, and Ari Siswanto. 2015.
“Pengelolaan Lahan Basah Terpadu Di Desa Mulia Sari Kecamatan Tanjung
Lago, Kabupaten Banyuasin.” Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia 20(3):201–7.
Susilawati, and D. Nazemi. 2017. “Perspektif PertanianLahan Rawa Lebak.”
Kementrian Pertanian, Republik Indonesia 1(1):1–26.
Setiko, P. H., dan M, R. M. 2019. Faktor Pembatas dan Kecukupan Silika Dalam
Tanaman Padi Sawah di Tanah Gambut. Jurnal Agrotatanen, 1(2), 37-40.
Soewandita, H. 2018. Kajian Pengelolaan Tata Air dan Produktivitas Sawit di
Lahan Gambut (Studi Kasus : Lahan Gambut Perkebunan Sawit PT Jalin
Vaneo di Kabupaten Kayong Utara, Provinsi Kalimantan Barat). Jurnal Sains
& Teknologi Modifikasi Cuaca, 19(1), 41-50
Tampubolon, Budiman. 2020. “Pemanfaatan Lahan Gambut Menjadi Lahan
Potensial Untuk Menjaga Ketahanan Pangan Di Kalimantan Barat.” Jurnal
Kajian Ilmu Dan Pendidikan Geografi 4(2):182–91.

Anda mungkin juga menyukai