Anda di halaman 1dari 19

I.

PENDAHULUAN
Jumlah penduduk Indonesia terus meningkat, sehingga kebutuhan pangan terus
bertambah. Sebaliknya luas lahan produktif relatif tetap atau bahkan menyusut. Lahan-lahan
yang bagus di Jawa dialihfungsikan menjadi pemukiman atau kawasan industri. Peningkatan
produksi dapat dilakukan melalui intensifikasi untuk meningkatkan produktivitas atau
ekstensifikasi untuk mendapatkan lahan baru. Kunci utama dari kedua hal tersebut adalah
bagaimana memelihara atau meningkatkan status kesuburan tanahnya (Yuwono, 2007).
Kesuburan tanah adalah mutu tanah untuk bercocok tanam, yang ditentukan oleh
interaksi sejumlah sifat fisika, kimia dan biologi bagian tanah yang menjadi habitat akar-akar
aktif tanaman. Ada akar yang berfungsi menyerap air dan larutan hara, dan ada yang berfungsi
sebagai penjangkar tanaman. Kesuburan habitat akar dapat bersifat hakiki dari bagian tubuh
tanah yang bersangkutan, dan/atau diimbas (induced) oleh keadaan bagian lain tubuh
tanahdan/atau diciptakan oleh pengaruh anasir lain dari lahan, yaitu bentuk muka lahan, iklim
dan musim. Karena bukan sifat melainkan mutu maka kesuburan tanah tidak dapat diukur atau
diamati, akan tetapi hanya dapat ditaksir (assessed). Penaksirannya dapat didasarkan atas sifat-
sifat dan kelakuan fisik, kimia dan biologi tanah yang terukur, yang terkorelasikan dengan
peragaan (performance) tanaman menurut pengalaman atau hasil penelitian sebelumnya.
Kesuburan tanah juga dapat ditaksir secara langsung berdasarkan keadaan tanaman yang teramati
(bioessay). Hanya dengan cara penaksiran yang pertama dapat diketahui sebab-sebab yang
menentukan kesuburan tanah. Dengan cara penaksiran kedua hanya dapat diungkapkan
tanggapan tanaman terhadap keadaan tanah yang dihadapinya (Notohadiprawiro dkk, 2006).
Lahan Sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang
(galengan), saluran untuk menahan / menyalurkan air, yang biasanya ditanami padi sawah tanpa
memandang dari mana diperolehnya atau status lahan tersebut. Termasuk disini lahan yang
terdaftar di Pajak Hasil Bumi, Iuran Pembangunan Daerah, lahan bengkok, lahan serobotan,
lahan rawa yang ditanami padi dan lahan-lahan bukaan baru. Lahan sawah mencakup pengairan,
tadah hujan, sawah pasang surut, rembesan, lebah dan lain sebagainya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Ada dua pengertian kesuburan tanah yang harus dibedakan jelas, yang satu ialah
kesuburan tanah aktual, yaitu kesuburan tanah hakiki (aseli, alamiah). Lainnya ialah kesuburan
tanah potensial yaitu kesuburan tanah yang dapat dicapai dengan intervensi tekhnologi yang
mengoptimumkan semua faktor. Seberapa banyak intervensi tekhnologi yang layak diterapkan
tergantung pada (1) imbangan antara tambahan hasil panen atau nilai tambah mta dagangan
(komoditi) yang diharapkan akan dapat dihasilkan, dan tambahan biaya produksi yang harus
dikeluarkan, (2) kemampuan masyarakat membiayai intervensi itu, dan (3) keterampilan teknik
masyarakat menerapkan intervensi tersebut secara sinambung. Ketiga faktor pertimbangan itu
saling pengaruh mempengaruhi. Meskipun menurut pertimbangan pertama intervensi yang
direncanakan dapat diterima, namun rencana itu menjadi tidak layak kalau masyarakat tidak
mampu membiayainya atau tidak berketerampilan teknik untuk melaksanakannya
(Notohadiprawiro dkk, 2006).
Kesuburan tanah merupakan kemampuan tanah menghasilkan bahan tanaman yang
dipanen. Maka disebut pula daya menghasilkan bahan panen atau produktivitas. Ungkapan akhir
kesuburan tanah ialah hasil panen, yang diukur dengan bobot bahan kering yang dipungut per
satuan luas (biasanya hektar) dan per satuan waktu. Dengan menggunakan tahunh sebagai satuan
waktu untuk perhitungan hasil panen, dapat dicakup akibat variasi keadaan habitat akar tanaman
karena musim (Schroeder, 1984).
III. PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN DAN KLASIFIKASI TANAH SAWAH
Tanah berasal dari hasil pelapukan batuan bercampur dengan sisa bahan organik dari
organisme (vegetasi atau hewan) yang hidup di atasnya atau di dalamnya. Tanah sawah adalah
tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah, baik terus-menerus sepanjang tahun maupun
bergiliran dengan tanaman palawija. Istilah tanah sawah bukan merupakan istilah taksonomi,
tetapi merupakan istilah umum seperti halnya tanah hutan, tanah perkebunan dan
sebagainya.Tanah sawah dapat berasal dari tanah kering yang diairi kemudian disawahkan, atau
dari tanah rawa-rawa yang ”dikeringkan” dengan membuat saluran-saluran drainase
(Hardjowigeno et al, 2004).
1. Tanah sawah berasal dari lahan kering
Tanah sawah yang berasal dari lahan kering terdapat di daerah datar hingga berbukit,
bahkan kadang-kadang bergunung yang kemudian diteraskan dan diairi melalui air irigasi. Tanah
sawah jenis ini ditemukan di daerah dataran rendah dan punggung, lereng, atau kaki vulkan serta
daerah nonvulkanik yang cukup air sebagai sumber irigasi.
Tanah sawah berasal dari tanah rawa
Tanah sawah dari tanah rawa dapat juga berasal dari lahan rawa-rawa daerah
pelembahan dan rawa-rawa lebak, atau lahan rawa-rawa pasang surut.
- Rawa pelembahan dan lebak
- Rawa pasang-surut
Sawah adalah sebidang lahan pertanian yang kondisinya selalu ada dalam kondisi basah
dan kadar air yang dikandungnya selalu di atas kapasitas lapang. Sebidang sawah dicirikan oleh
beberapa indikator, yaitu:
• Topografi selalu rata
• Dibatasi oleh pematang
• Diolah selalu pada kondisi berair
• Ada sumber air yang kontinyu, kecuali sawah tadah hujan an sawah rawa
• Kesuburan tanahnya relative stabil meskipun diusahakan secara intensif, dan
• Tanaman yang utama diusahakan petani padi sawah
Sawah berdasarkan system irigasinya / pengairan dibedakan menjadi beberapa macam
sebagai berikut:
1. Sawah pengairan teknis: sawah yang bersumber pengairannya berasal dari sungai, artinya
selalu tersedia sepanjang sepanjang tahun, dan air pengairan yang masuk ke saluran primer,
sekunder, dan tersier volume terukur.
2. Sawah pengairan setengah teknis: sawah yang sumber pengairannya dari sungai,
ketersediaan airnya tidak seperti sawah pengairan teknis, biasanya air tidak cukup tersedia
sepanjang tahun.
3. Sawah pengairan pedesaan: sawah yang sumber pengairannya berasal dari sumber-sumber
air yang terdapat di lembah-lembah bukit yang ada di sekitar sawah yang bersangkutan. Prasarana
irigasi seperti saluran, bendungan dibuat oleh pemerintah desa dan petani setempat, serta
bendungan irigasi umumnya tidak permanen.
4. Sawah tadah hujan: sawah yang sumber pengairannya bergantung pada ada atau tidaknya
curah hujan. Sawah jenis ini biasanya terdapat di daerah-daerah yang topografinya tinggi dan
berada di lereng-lereng gunung atau bukit yang tidak memungkinkan dibuat saluran irigasi. Oleh
karena itu, pada sawah semacam ini pola tanamnya adalah padi – bera, padi – palawija, dan
palawija – padi.
5. Sawah rawa: sawah yang sumber airnya tidak dapat diatur. Karena sawah ini kebanyakan
terdapat di daerah lembah dan cekungan atau pantai. Kondisinya selalu tergenang air karena
airnya tidak dapat dikeluarkan atau diatur sesuai dengan kebutuhan.
6. Sawah rawa pasang surut: sawah yang system pengairannya dipengaruhi naik dan
turunnya air laut (pasang laut
7. Sawah Lebak: sawah yang terdapat dikanan-kiri tebing sungai dan di delta-delta
sungai yang besar. Sawah ini sumber pengairannya dari sungai yang bersangkutan.
B. MORFOLOGI DAN PERKEMBANGAN PROFIL TANAH SAWAH
Tanah sawah merupakan tanah yang memiliki ciri khas yang membedakan dengan tanah
tergenang lainnya yakni lapisan oksidasi di bawah permukaan air akibat difusi O2 setebal 0,8-1,0
cm, dan lapisan reduksi setebal 25-30 cm diikuti oleh lapisan tapak bajak yang kedap air. Selain
itu selama pertumbuhan tanaman padi akan terjadi sekresi O2 oleh akar tanaman padi yang
menimbulkan kenampakan yang khas pada tanah sawah (Lahuddin dan Mukhlis, 2006).
a. Perubahan sementara
Perubahan sementara adalah perubahan-perubahan sifat fisik, morfologi, dan kimia
tanah sebagai akibat penggenangan tanah musiman baik pada waktu pengolahan tanah maupun
selama pertumbuhan padi sawah.
1. Perubahan sifat fisik tanah
Terdapat beberapa proses pengolahan tanah yang menyebabkan perubahan fisik tanah, yaitu:
a) Pelumpuran
Perubahan sifat fisik tanah yang mula-mula terjadi pada tanah sawah merupakan akibat
pelumpuran (puddling).
Proses reduksi terjadi setelah pelumpuran karena tidak adanya udara. Tanah sawah yang
dilumpurkan tetap dalam keadaan tereduksi, tidak peduli apakah tanah tersebut digenangi
ataupun tidak, sampai mulai terjadi retakan-retakan. Saat tanah digenangi,
Selama pertumbuhan tanaman
Setelah pengolahan tanah dengan cara pelumpuran selesai, maka dimulailah penanaman
padi. Akibat yang terjadi pada tanah karena makin tergenang oleh air, antara lain adalah: a)
partikel-partikel tanah mulai mengendap, b) terdapat lapisan tipis diatas lapisan pasir, karena
pengendapan lapisan pasir yang diikuti oleh debu dan liat, c) kadar air tanah berkurang akibat
dari pengendapan partikel tanah dan makin berkurang akibat penyerapan air oleh akar tanaman.
d) daya kohesi partikel-partikel tanah meningkat, sehingga tanah menjadi padat.
b) Setelah penggenangan selesai
Setelah penggenangan selesai, maka mulai terjadi proses pengeringan tanah yang
berjalan lambat. Perlakuan pelumpuran dapat mempertahankan tanah dalam keadaan reduksi
lebih lama. Bila pengeringan berlanjut, maka tanah akan berubah menjadi pasta yang kemudian
tanah akan retak-retak dan akibatnya adalah tanah mengami aregasi kembali.
2. Perubahan sifat fisika kimia tanah
Perubahan sementara sifat fisika kimia tanah dapat terjadi di permukaan tanah yang
mengalami penggenangan secara berkala akibat tanah disawahkan. Perubah sementara tersebut
dianggap penting untuk mempelajari perubahan sifat kimia jangka panjang. Jika tanah digenangi,
maka difusi gas ke dalam massa tanah terputus sehingga organisme aerobik akan menghabiskan
oksigen yang ada di permukaan tanah dengan cepat
Oksigen dapat habis dalam waktu sehari penggenangan. Setelah itu nitrat akan hilang
karena reduksi menjadi gas N2 dan NO2 (denitrifikasi).
Setelah nitrat habis, maka konsentrasi Mn2+ dan Fe2+ dalam larutan tanah meningkat
sampai ketitik puncak tertentu dalam minggu-minggu pertama penggenangan yang kemudian
menurun ke suatu nilai yang kurang lebih konstan
Perubahan sifat morfologi tanah
Perubah sifat fisika kimia tanah yang terus berlangsung tersebut dicerminkan juga oleh
perubahan sifat morfologi tanah, terutama lapisan permukaan. Dalam keadaan tergenang tanah
menjadi berwarna abu-abu akibat reduksi besi menjadi besi ferro. Akan tetapi warna reduksi
tersebut tidak terjadi pada tanah pasir atau tanah lain dengan permeabilitas tinggi, kecuali pada
penggenangan yang sangat lama. Apabila tanah dikeringkan, akan terjadi oksidasi lagi terhadap
besi ferro menjadi ferri sehingga terbentuk karatan cokelat pada retakan-retakan, bekas akar atau
tempat lain dimana udara dapat masuk.
b. Perubahan permanen
Perubahan permanen terjadi akibat efek kumulatif perubahan sementara karena
penggenangan tanah musiman atau praktik pengelolaan tanah sawah seperti pembuatan teras,
perataan tanah, pembuatan pematang, dan lain-lain. Perubahan permanen pada tanah sawah yang
disawahkan dapat dilihat pada sifat morfologi profil tanahnya yang seringkali menjadi berbeda
dengan profil tanah asalnya yang tidak disawahkan
C. PENGELOLAAN KESUBURAN TANAH SAWAH
Kondisi fisik, kimia dan biologi tanah dapat dijadikan sebagai indikator untuk
menentukan kualitas tanah. Kualitas tanah adalah kemampuan suatu tanah untuk berfungsi dalam
berbagai batas ekosistem untuk mendukung produktivitas biologi, mempertahankan kualitas
lingkungan dan meningkatkan kesehatan tanaman, hewan dan manusia.
Pengukuran kualitas tanah merupakan dasar untuk penilaian keberlanjutan pengelolaan
tanah yang dapat diandalkan untuk masa-masa yang akan dating, karena dapat dipakai sebagai
alat untuki menilai pengaruh pengelolaan lahan
a. Pemupukan yang Tepat
Lahan sawah bukaan baru umumnya bersifat masam, kadar hara N, P, K, Ca, dan Mg
rendah, serta Fe tinggi. Pemupukan dilakukan bersamaan dengan menekan ketersediaan Fe tanah.
Untuk mengurangi ketersediaan kadar Fe dalam tanah dapat dilakukan dengan penambahan
bahan organik dan pengairan secara berselang antara digenangi dan dikeringkan.
b. Ameliorasi Lahan Sawah Bukaan Baru
Penambahan bahan organik ke dalam lahan sawah bukaan baru dapat menurunkan kadar
Fe dan meningkatkan hasil gabah kering 22,5%. Pemberian 1t kapur/ha dan 5t pupuk kandang/ha
serta pemupukan NPK dapat meningkatkan hasil padi 1-2 t/ha. Pemberian bahan organik pada
lahan sawah bukaan baru dapat memperbaiki kesuburan tanah, meningkatkan ketersediaan hara
dan membantu menetralisir keracunan Fe. Pengapuran diberikan pada lahan sawah pada pH awal
<4. Pengapuran dapat meningkatkan pH tanah, mempercepat pencucian besi terlarut. Jerami padi
sisa hasil panen setiap musim tanam dikembalikan sebagai sumber bahan organik.
c. Drainase dan Pencucian
Pengairan berselang antara penggenangan dan pengeringan dapat menanggulangi
keracunan besi pada lahan sawah bukaan baru. Pengeringan selama 6 dan 9 hari setelah tanam
dapat meningkatkan hasil gabah sebesar 3 kali lipat.
d. Rekomendasi Pemupukan
Pupuk P dan K diberikan sesuai dengan status hara yang dapat diukur dengan
menggunakan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS). Sedangkan pemupukan N diberikan
berdasarkan Bagan Warna Daun (BWD). Pemberian dolomit sebagai sumber hara Ca dan Mg.
e. Pengelolaan Tanaman
Pemilihan varietas tanaman padi yang tahan terhadap keracunan Fe perlu dilakukan.
Penanaman padi dengan menghindarkan tanaman dari cekaman Fe yang tinggi. Pengeringan
dilakukan sampai tanaman berumur 6-9 hari.
1. Lahan Kering menjadi Lahan Sawah
Penggenangan lahan kering menjadi lahan sawah mengakibatkan perubahan
karakteristik kimia tanah yang dominan diantaranya adalah (1) penurunan kadar oksigen, (2)
perubahan potensial redoks (Eh), (3) perubahan pH tanah, (4) reduksi Ferri (Fe3+) menjadi Ferro
(Fe2+), (5) perubahan mangani (Mn4+) menjadi mangano (Mn2+), (6) terjadinya denitrifikasi, (7)
reduksi sulfat (SO42-) menjadi sulfit (S2-), (8) peningkatan ketersediaan Zn dan Cu, (9) terjadinya
pelepasan CO2, CH4, H2S dan asam organik (Damanik, dkk, 2010). Sifat kimia tanah ini dicirikan
dengan terbentuknya H2S yang menghambat penyerapan hara tanaman dan memperbesar
perkembangan akar, meningginya pH dan pelarutan silika. Sifat fisik tanah akibat pembentukan
padas akan menghambat drainase dan dalamnya akar tanaman, tetapi tidak menghambat
perkembangan akar ke samping.
D. PERMASALAHAN LAHAN TANAH SAWAH
1. Alih Fungsi Lahan Tanah Sawah
Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi
lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula
(seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah)
terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri.
Alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari akibat kecenderungan tersebut. Beberapa
kasus menunjukkan jika di suatu lokasi terjadi alih fungsi lahan, maka dalam waktu yang tidak
lama lahan di sekitarnya juga beralih fungsi secara progresif.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Widjanarko, dkk (2006) secara nasional, luas
lahan sawah kurang lebih 7,8 juta Ha, dimana 4,2 juta Ha berupa sawah irigasi dan sisanya 3,6
juta Ha berupa sawah nonirigasi. Selama Pelita VI tidak kurang dari 61.000 Ha lahan sawah
telah berubah menjadi penggunaan lahan nonpertanian. Luas lahan sawah tersebut telah beralih
fungsi menjadi perumahan (30%), industri (65%), dan sisanya (5%) beralih fungsi penggunaan
tanah lain. Penelitian yang dilakukan Irawan (2005) menunjukkan bahwa laju alih fungsi lahan
di luar Jawa (132 ribu Ha per tahun) ternyata jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Pulau
Jawa (56 ribu ha per tahun).
Dampak alih fungsi lahan
Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian dapat berdampak terhadap
turunnya produksi pertanian, serta akan berdampak pada dimensi yang lebih luas dimana
berkaitan dengan aspek-aspek perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik
masyarakat. Alih fungsi lahan sawah juga menyebabkan hilangnya kesempatan petani
memperoleh pendapatan dari usahataninya. Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan
turunnya produksi padi, yang mengganggu tercapainya swasembada pangan dan timbulnya
kerawanan pangan serta mengakibatkan bergesernya lapangan kerja dari sektor pertanian ke
nonpertanian. Apabila tenaga kerja tidak terserap seluruhnya akan meningkatkan angka
pengangguran. Berkurangnya ekosistem sawah terutama di jalur pantai utara Pulau Jawa
sedangkan pencetakan sawah baru yang sangat besar biayanya di luar Pulau Jawa seperti di
Kalimantan Tengah, tidak menunjukkan dampak positif.
Konversi lahan pertanian pada umumnya berdampak sangat besar pada bidang sosial dan
ekonomi. Hal tersebut dapat terlihat salah satunya dari berubahnya fungsi lahan. Menurut Somaji
(1994), konversi lahan juga berdampak pada menurunnya porsi dan pendapatan sektor pertanian
petani pelaku konversi dan menaikkan pendapatan dari sektor non-pertanian. Sihaloho (2004)
menjelaskan bahwa konversi lahan berimplikasi atau berdampak pada perubahan struktur agraria.
Adapun perubahan yang terjadi, yaitu:
1) Perubahan pola penguasaan lahan. Pola penguasaan tanah dapat diketahui dari pemilikan
tanah dan bagaimana tanah tersebut diakses oleh orang lain.
2) Perubahan pola penggunaan tanah. Pola penggunaan tanah dapat dari bagaimana
masyarakat dan pihak-pihak lain memanfaatkan sumber daya agraria tersebut.
3) Perubahan pola hubungan agraria. Tanah yang makin terbatas menyebabkan memudarnya
sistem bagi hasil tanah “maro” menjadi “mertelu”. Demikian juga dengan munculnya sistem
tanah baru yaitu sistem sewa dan sistem jual gadai.
4) Perubahan pola nafkah agraria. Pola nafkah dikaji berdasarkan sistem mata pencaharian
masyarakat dari hasil-hasil produksi pertanian dibandingkan dengan hasil non pertanian.
Keterbatasan lahan dan keterdesakan ekonomi rumah tangga menyebabkan pergeseran
sumber mata pencaharian dari sektor pertanian ke sektor non pertanian.
5) Perubahan sosial dan komunitas. Konversi lahan menyebabkan kemunduran kemampuan
ekonomi (pendapatan yang makin menurun).

2. Sistem Budidaya Di Lahan Tanah Sawah


Sektor pertanian memiliki peranan penting untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi
masyarakat yang jumlahnya sekarang sudah mendekati angka 250 juta jiwa. Untuk dapat
memenuhi target tersebut para petani dituntut agar dapat bekerja keras untuk menghasilkan
produk secara maksimal. Namun, keterbatasan akan pengetahuan soal pertanian yang efektif dan
efisien merupakan salah satu dari banyak kendala dalam mengkuti pola tanam.
E. SOLUSI PERMASALAHAN LAHAN TANAH SAWAH
1. Alih Fungsi Lahan Tanah Sawah
Solusi dari permasalahan alih fungsi lahan adalah yaitu (1) perlu memperkuat regulasi
(rule in use) tentang pengendalian konversi lahan sawah karena regulasi yang ada sekarang
belum menjabarkan aplikasinya di level kabupaten dan kota, serta sanksi mendetil untuk pihak-
pihak yang melanggar aturan tersebut. (2) pemberian insetif ekonomi untuk mendorong
masyarakat petani mempertahankan sawahnya harus dalam bentuk yang tepat dan jumlah yang
memadai. Insentif yang diberikan selama ini bersifat umum, mudah diselewengkan dan tidak
menjamin harga jual yang lebih baik. (3) peningkatan kesadaran masyarakat tentang nilai sosial
sawah (padi) harus dilakukan dengan terus menerus. Petani harus menerima penghargaan atas
ekternalitas positif dari produk (beras) yang dihasilkannya berupa peningkatan infrastruktur
seperti irigasi dan akses ke saprodi, selain penghargaan lain berupa keringanan pajak, status
kehormatan di masyarakat dan sebagainya yang dapat meningkatkan citra positif profesi sebagai
petani. (4) peningkatan fungsi kelembagaan petani, dengan menggali nilai-nilai positif yang ada
di kelompok tersebut sehingga hal-hal yang dapat menghambat produksi sawah dapat dicegah
oleh mereka melalui modal sosial yang mereka miliki, sekaligus mencegah hambatan itu
berkembang menjadi masalah yang lebih besar. (5) pemerintah harus melakukan pendekatan
pembangunan ekoregion untuk mencegah pembangunan di suatu wilayah berakses negatif
terhadap wilayah lain, misalnya pembangunan yang menyebabkan kelangkaan air di suatu
kawasan pertanian.

2. Sistem Budidaya Di Lahan Tanah Sawah


Dalam bercocok tanam petani dapat menghasilkan keuntungan jika sejumlah faktor
penghambat dapat dilalui dengan tanpa mengeluarkan biaya ekstra. Sekarang ini petani tidak lagi
dapat menghasilkan panen secara maksimal. Jika dalam kondisi normal setiap hektar lahan
sawah dapat menghasilkan padi hingga 9 ton, namun sekarang ini rata-rata panen setiap
hektarnya hanya menghasilkan sekitar 5 ton. Jauh dari harapan maksimal.
Untuk mengembalikan tingkat kesuburan sawah milik petani, seharusnya petani dapat
menerapkan pola tanam dengan penggunaan pupuk berimbang 5-3-2. Penggunaan pola pupuk
berimbang 5-3-2 merupakan pola yang paling pas untuk mendapatan hasil panen yang maksimal.
Dengan pola 5-3-2 artinya setiap penggunaan 500 kg pupuk organik, harus diimbangi dengan
penggunaan 300 kg pupuk Ponska dan 200 kg pupuk Urea. Dari hasil penelitian yang dilakukan
kerjasama PT Petrokimia dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jatim,
penerapan pola pupuk berimbang 5-3-2 tersebut mampu menghasilkan panen padi hingga 8 ton
untuk setiap hektar sawah (Boediono, 2014).
Untuk membantu petani agar bersedia menerapkan sistem tanam dengan pola
berimbang, dibutuhkan peranan pemerintah untuk memberikan pemahaman kepada petani.
Petani yang saat ini sudah merasa tergantung kepada pupuk kimia, harus diberi pemahaman
bahwa hal tersebut sangat tidak menguntungkan dan cenderung merusak lahan karena semakin
kehilangan unsur haranya.
Pemerintah harus mampu meyakinkan petani untuk menggunakan pupuk berimbang
jika ingin mendapatkan hasil yang lebih baik, dan mengembalikan kondisi lahan pada tingkat
kesuburan ideal yang ideal, karena dengan pola tanam berimbang, lambat laun ketergangtungan
kepada pupuk kimia akan semakin berkurang dan petani akan kembali kepada penggunaan
pupuk organik.
Sebenarnya pupuk kimia tetap dibutuhkan untuk dapat menghasilkan panen yang
maksimal, karena peranan pupuk kimia ibarat nutrisi bagi tanaman yang mampu mempercepat
proses pertumbuhan. Namun jika penggunaannya berlebihan akan berdampak kepada rusaknya
lahan pertanian. Solusinya petani harus menerapkan pola tanam dengan sistem berimbang agar
lahan tidak mudah jenuh dan tingkat kesuburan juga tetap terjaga (Boediono, 2014).
Dalam bercocok tanam, terdapat beberapa pola tanam agar efisien dan memudahkan
kita dalam penggunaan lahan, dan untuk menata ulang kalender penanaman. Pola tanam sendiri
ada tiga macam, yaitu: monokultur, polikultur (tumpangsari), dan rotasi tanaman. Ketiga pola
tanam tersebut memiliki nilai tambah dan kurangnya tersendiri.
Pola tanam memiliki arti penting dalam sistem produksi tanaman. Dengan pola tanam
ini berarti memanfaatkan dan memadukan berbagai komponen yang tersedia (agroklimat, tanah,
tanaman, hama dan penyakit, keteknikan dan sosial ekonomi). Pola tanam di daerah tropis seperti
di Indonesia, biasanya disusun selama 1 tahun dengan memperhatikan curah hujan (terutama
pada daerah/lahan yang sepenuhnya tergantung dari hujan. Maka pemilihan jenis/varietas yang
ditanampun perlu disesuaikan dengan keadaan air yang tersedia ataupun curah hujan.
Tumpangsari merupakan suatu usaha menanam beberapa jenis tanaman pada lahan
dalam waktu yang sama, yang diatur sedemikian rupa dalam barisan-barisan tanaman.
Penanaman dengan cara ini dapat dilakukan pada dua atau lebih jenis tanaman yang relatif
seumur, misalnya jagung dan kacang tanah atau dapat juga pada beberapa jenis tanaman yang
umurnya berbeda-beda. Untuk dapat melaksanakan pola tanam tumpangsari secara baik perlu
diperhatikan beberapa faktor lingkungan yang mempunyai pengaruh diantaranya ketersediaan
air, kesuburan tanah, sinar matahari dan hama penyakit. Penentuan jenis tanaman yang akan
ditumpangsarikan dan saat penanaman sebaiknya disesuaikan dengan ketersediaan air yang ada
selama pertumbuhan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari persaingan (penyerapan hara dan
air) pada suatu petak lahan antar tanaman. Pada pola tanam tumpangsari sebaiknya dipilih dan
dikombinasikan antara tanaman yang mempunyai perakaran yang relatif dalam dan tanaman
yang mempunyai perakaran relatif dangkal.
Pada lahan tadah hujan, palawija dapat ditanam secara monokultur atau tumpangsari.
Ada dua alternatif untuk pelaksanaannya. Alternatif pertama, pada awal musim hujan sampai
pertengahan musim huajn, lahan ditanami padi sebanyak satu kali. Pada akhir atau pertengahan
musim hujan, lahan ditanami palawija secara monokultur sebanyak satu kali. Sedangkan
alternatif kedua pada awal musim hujan, lahan ditanami padi sebanyak satu kali. Pada akhir atau
pertengahan musim hujan sampai musim kemarau lahan dapat ditanami palawija secara
tumpangsari. Tumpangsari dapat dilakukan dengan dua cara
Pada lahan sawah, palawija umumnya ditanami secara monokultur dengan pola tanam
sebagai berikut. Pada awal musim hujan sampai akhir musim hujan, lahan ditanami padi
sebanyak dua kali tanam. Pada musim kemarau, lahan dapat ditanami palawija berumur pendek
sebanyak satu kali. Kerugian pola lahan sawah beririgasi tanam ini adalah pola pergiliran
tanaman pada setiap daerah berbeda sebab masing masing daerah mempunyai kondisi iklim,
tanah dan kecocokan tanaman untuk pergiliran yang berbeda pula sehingga tidak dapat di
samaratakan.
Pada lahan rawa pasang surut, sebelum ditanam palawija, lahan rawa harus diolah
dengan sistem sarjan. Pada sistem ini, sebagian lahan ditinggikan untuk ditanami palawija atau
tanaman lain yang tidak tahan genangan air. Bagian yang lebih tinggi ini disebut guludan. Bagian
yang lain, dibuat lebih rendah untuk ditanami padi. Bagian yang rendah ini disebut tabukan.
Perbandingan luas tabukan dan guludan pasang tertinggi. Bagian guludan tidak boleh dilampaui
air. Sementara itu, permukaan tanah tidak lebih rendah dari lapisan pirit. Lapisan ini merupakan
akumulasi bahan-bahan beracun, sehingga bila terangkat ke permukaan akan sangat mengganggu
pertumbuhan tanaman.
Di lahan rawa, palawija juga ditanami secara monokultur atau tumpang sari. Aturannya
sebagai berikut. Di lahan di bagian tabukan, ditanami padi dua kali setahun. Sedangkan di bagian
guludan pada awal dan akhir musim hujan ditanami palawija berumur pendek (jagung dan
kacang-kacangan). Atau, pada awal musim hujan ditanami palawija berumur pendek dan akhir
musim hujan ditanami singkong.
Penetapan awal musim ditentukan jika curah hujan dalam satu dekade dan tiap dekade
berikutnya lebih besar dari 50 mm untuk musim hujan sedangkan untuk musim kemarau kurang
dari 50 mm. Lebih mudahnya dalam tiga dekade harus lebih besar dari 150 mm untuk musim
hujan dan kurang dari 150 mm untuk musim kemarau
Contoh pola tanam dapat disusun sesuai kebutuhan petani. Pemilihan jenis tanaman
budidaya umumnya disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Diketahuinya ketersediaan air disuatu
daerah dengan adanya neraca air maka penentuan pola tanam dalam satu tahun dapat diatur
sehingga lahan dapat dimanfaatkan secara maksimal. Penentuan pola tanam sangat dipengaruhi
ketersediaan air. Maka dari itu, ketika waktu defisit air penentuan pola tanam akan berbeda jika
air dapat ditambahkan ataupun tidak dapat diberikan penambahan air. Berikut akan diberikan
lima contoh model pola tanam:
1. Padi – Padi – Padi
Jika air saat terjadi defisit dapat disediakan maka dapat dilakukan penanaman padi
sepanjang tahun. Namun jika air sulit tersedia ketika defisit air maka masih memungkinkan
dilakukan penanaman padi sepanjang tahun namun dengan beberapa kriteria. Jika dalam satu
tahun akan ditanam padi sebanyak tiga kali maka varietas padi yang digunakan adalah varietas
genjah agar umurnya lebih pendek sehingga saat surplus air dapat dimanfaatkan penanaman
hingga panen. Awal bulan nopember merupakan awal musim hujan namun pada dekade pertama
masih terjadi defisit air. Maka penanaman padi kesatu dapat mulai. Jika persiapan hingga panen
memerlukan waktu empat bulan maka saat penanaman padi kedua yaitu pada bulan maret masih
terdapat air namun bulan april hingga juni terjadi defisit air. Maka varietas padi yang ditanam
mengunakan padi lahan kering. Penanaman padi ketiga pada bulan juli jika tetap tidak dapat
diusahakan pengairan maka padi yang ditanam menggunakan varietas lahan kering.
2. Padi – Padi – Palawija
Penanaman dengan pola tanam padi-padi-palawija dapat dimulai dengan penanaman
padi pertama saat awal musim yaitu awal nopember. Persiapan dimulai bulan oktober sehingga
pada awal musim penanaman telah siap. Pada bulan pebruari penanaman padi kedua dapat
dilaksanakan sehingga pada waktu defisit air yaitu pada bulan juni hingga oktober dapat
digunakan untuk penanaman palawija dan pengolahan tanah.
3. Padi – Padi – Bero
Untuk memperbaiki keadaan tanah maka disamping dilakukan penanaman dapat juga
dilakukan pemberoan. Jika padi ditanam dua kali seperti pola tanam padi-padi-palawija maka
waktu penanaman palawija dapat digunakan untuk pemberoan dan pengolahan tanah. Waktu
penanaman padi dapat disamakan dengan pola tersebut.
4. Padi – Palawija – Bero
Menurut rekomendasi Oldeman, pola tanam yang sesuai untuk tipe iklim ini yaitu hanya
mungkin satu kali padi atau satu kali palawija setahun tergantung pada adanya persediaan air
irigasi. Pola tanam ini sesuai dengan rekomendasi Oldeman maka penanaman padi dapat
dilakukan saat terjadi surplus air yaitu pada bulan nopember hingga maret.
Padi – Padi
Jika penanaman padi akan dilaksanakan dua kali dalam satu tahun tanpa kegiatan lagi.
Maka penanaman padi pertama dilakuka saat surplus air yaitu bulan nopember hingga maret.
Sedangkan penanaman padi kedua dapat digunakan padi lahan kering yang ditanam setelah padi
kedua. Varietas padi dapat menggunakan varietas berumur panjang karena dalam satu tahun
hanya dilakukan dua kali penanaman.
Pola tanam di lahan persawahan memang benar dapat mengendalikan hama dan
penyakit terutama penyakit yang menjadi momok bagi petani padi sawah yaitu penyakit tungrow
dan hama wereng coklat serta OPT lainnya. Untuk Pola tanam pada lahan sawah adalah dengan
padi-palawija-padi atau padi-padi-palawija.
Pelaksanaan Pola tanam padi-palawija-padi yang benar adalah sebagai berikut:
- Padi sawah ditanam pada bulaan akhir Desember sampai awal Februari , dan panen pada
bulan april sampai awal Juni. dengan menerapkan konsep PTT serta tanam benih langsung (
Tabela jajar Legowo 2:1 ) atau sistem tanam SRI jajar legowo 2:1 atau 4:1.Pemupukan dan
perawatan menarapakan konsep PTT Padi sawah. Panen pada pertengahan Bulan Maret hingga
pertengahan April dengan mengunakan power treser.
- Tanam Kedele pada awal April hingga awal Mei dengan menerapkan konsep TOT (
tanpa Olah Tanah ) yaitu dengan cara memotong / memaras sisa tanaman padi dengan
mengunakan arit atau mesin pemotong rumput. Kemudian dilanjutkan penyemprotan herbisida
sistemik.Pembuatan saluran drainage atau caren mutlak harus dilaksanakan agar air hujan tidak
tergenang. 1-2 hari kemudian dilaksanakan penanaman .Pada saat menanam kedele air irigasi
harus tidak mengalir tiap hari. Untuk Perawatan terutama pengendalian gulma adalah dengan
menggunakan herbisida kontak. Pengendalian OPT dengan insektisida sistemik atau kontak.
Panen dilaksanakan dengan cara memotong pohon dengan menggunakan arit atau parang .
Penjemuran dilaksanakan dengan memberikan alas kedele yang dijemur. Perontokan dengan
Power treser yang dilanjutkan dengan pengemasan dengan karung plastik/goni.
- Penaman padi setelah tanaman kedele di tanam pada bulan september dengan cara seperti
diatas.
IV. PENUTUP
Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah, baik terus-
menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija. Tanah sawah dapat
mengalami beberapa perubahan yang berupa sementara dan permanen. Pengolahan tanah yang
sering digunakan ada tiga macam yaitu pengolahan lahan sempurna, olah lahan minimum, dan
tanpa olah tanah. Pengolahan tanah sawah secara alamiah adalah dengan mengembalikan
sebagian besar sisa tanaman setiap panen pada permukan lahan di tambah pengaturan irigasi
yang baik. Pada tanah sawah, nitrogen dibutuhkan dalam jumlah yang banyak.
DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. ITB, Bandung.


Boediono. 2014. Pola Tanam Berimbang, Solusi Bagi Petani.
<http://krjogja.com/read/231340/pola-tanam-berimbang-solusi-bagi-petani.kr>. Diakses
pada tanggal 6 Desember 2014.
Hardjowigeno Sarwono dkk. 2008. Morfologi dan Klasifikasi Tanah. <http://balittanah.litbang.
deptan.go.id/.../buku/tanahsawah/tanahsawah1>. Diakses 29 November 2014.
Hardjowigeno dan M. Luthfi. 2005. Tanah Sawah. Bayumedia Publishing, Malang
Kartasapoetra, A.G.1987. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Rineka Cipta, Jakarta.
Kartasapoetra, A.G. 1989. Kerusakan Tanah Pertanian dan Usaha Untuk Merehabilitasinya. Bina
Aksara, Jakarta.
Kyuma, K. 2004. Paddy Soil Science, 280pp. Kyoto University Press. Trans Pacific Press.
Mitsuchi, M. 1975. Permebility Series of Lowland Paddy Soil in Japan. Jpn. Agric. Sci. B.
Notohadiprawiro,T., Soekardarmodjo, S., dam Sukana, E. 2006 Pengelolaan Kesuburan Tanah
dan Penignkatan Efisiensi Pemupukan. Jurnal Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta
Prasetyo Bambang. H, dkk. 2009. Mineralogi, Kimia, Fisika, dan Biologi Tanah Sawah.
<http://balittanah.litbang.deptan.go.id/...berita-terbaru&Itemid=58>. Diakses 25
November 2014.
Sanchez. P. A. 1993. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. ITB, Bandung.
Schoeder, D. 1984. Soils, facts and concepts. Int. Potash Inst. Bern. 140 h.
Sihaloho M. 2004. Konversi lahan pertanian dan perubahan struktur agraria. [Tesis]. Sekolah
Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Soepraptohardjo, M. and H. Suhardjo. 1978. Rice Soil in Indonesia. In : Soil and Rice, p. 99-114.
Los Banos, Laguna, Philipines : The International Rice Research Institute.
Somaji RP. 2004. Perubahan tata guna lahan dan dampaknya terhadap masyarakat petani di Jawa
Timur. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Suswojo. 1977. Pengelolaan Tanah I. Fakultas Pertanian UNSOED, purwokerto.
Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Penerbit Gava Media.
Yogyakarta.
Wirosoedarmo, R. 1985. Dasar-Dasar Irigasi Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.
Yuwono, N. 2007. Kesuburan dan Produktivitas Tanah Sawah. Materi Pembekalan Petugas
Lapangan Untuk Pengambilan Sampel Tanah Kegiatan Fasilitasi Reklamasi Lahan Dalam
Mendukung Peningkatan Produksi Padi. Yogyakarta.
MAKALAH
KESUBURAN, PEMUPUKAN DAN KESEHATAN TANAHPENGELOLAAN
KESUBURAN TANAH SAWAH

KESUBURAN TANAH DAN PEMUPUKAN ( AET5 )


Di susun oleh :
FAQRUL SHIDDIQ
( 210310142 )

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
2022

Anda mungkin juga menyukai