PENDAHULUAN
Jumlah penduduk Indonesia terus meningkat, sehingga kebutuhan pangan terus
bertambah. Sebaliknya luas lahan produktif relatif tetap atau bahkan menyusut. Lahan-lahan
yang bagus di Jawa dialihfungsikan menjadi pemukiman atau kawasan industri. Peningkatan
produksi dapat dilakukan melalui intensifikasi untuk meningkatkan produktivitas atau
ekstensifikasi untuk mendapatkan lahan baru. Kunci utama dari kedua hal tersebut adalah
bagaimana memelihara atau meningkatkan status kesuburan tanahnya (Yuwono, 2007).
Kesuburan tanah adalah mutu tanah untuk bercocok tanam, yang ditentukan oleh
interaksi sejumlah sifat fisika, kimia dan biologi bagian tanah yang menjadi habitat akar-akar
aktif tanaman. Ada akar yang berfungsi menyerap air dan larutan hara, dan ada yang berfungsi
sebagai penjangkar tanaman. Kesuburan habitat akar dapat bersifat hakiki dari bagian tubuh
tanah yang bersangkutan, dan/atau diimbas (induced) oleh keadaan bagian lain tubuh
tanahdan/atau diciptakan oleh pengaruh anasir lain dari lahan, yaitu bentuk muka lahan, iklim
dan musim. Karena bukan sifat melainkan mutu maka kesuburan tanah tidak dapat diukur atau
diamati, akan tetapi hanya dapat ditaksir (assessed). Penaksirannya dapat didasarkan atas sifat-
sifat dan kelakuan fisik, kimia dan biologi tanah yang terukur, yang terkorelasikan dengan
peragaan (performance) tanaman menurut pengalaman atau hasil penelitian sebelumnya.
Kesuburan tanah juga dapat ditaksir secara langsung berdasarkan keadaan tanaman yang teramati
(bioessay). Hanya dengan cara penaksiran yang pertama dapat diketahui sebab-sebab yang
menentukan kesuburan tanah. Dengan cara penaksiran kedua hanya dapat diungkapkan
tanggapan tanaman terhadap keadaan tanah yang dihadapinya (Notohadiprawiro dkk, 2006).
Lahan Sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang
(galengan), saluran untuk menahan / menyalurkan air, yang biasanya ditanami padi sawah tanpa
memandang dari mana diperolehnya atau status lahan tersebut. Termasuk disini lahan yang
terdaftar di Pajak Hasil Bumi, Iuran Pembangunan Daerah, lahan bengkok, lahan serobotan,
lahan rawa yang ditanami padi dan lahan-lahan bukaan baru. Lahan sawah mencakup pengairan,
tadah hujan, sawah pasang surut, rembesan, lebah dan lain sebagainya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Ada dua pengertian kesuburan tanah yang harus dibedakan jelas, yang satu ialah
kesuburan tanah aktual, yaitu kesuburan tanah hakiki (aseli, alamiah). Lainnya ialah kesuburan
tanah potensial yaitu kesuburan tanah yang dapat dicapai dengan intervensi tekhnologi yang
mengoptimumkan semua faktor. Seberapa banyak intervensi tekhnologi yang layak diterapkan
tergantung pada (1) imbangan antara tambahan hasil panen atau nilai tambah mta dagangan
(komoditi) yang diharapkan akan dapat dihasilkan, dan tambahan biaya produksi yang harus
dikeluarkan, (2) kemampuan masyarakat membiayai intervensi itu, dan (3) keterampilan teknik
masyarakat menerapkan intervensi tersebut secara sinambung. Ketiga faktor pertimbangan itu
saling pengaruh mempengaruhi. Meskipun menurut pertimbangan pertama intervensi yang
direncanakan dapat diterima, namun rencana itu menjadi tidak layak kalau masyarakat tidak
mampu membiayainya atau tidak berketerampilan teknik untuk melaksanakannya
(Notohadiprawiro dkk, 2006).
Kesuburan tanah merupakan kemampuan tanah menghasilkan bahan tanaman yang
dipanen. Maka disebut pula daya menghasilkan bahan panen atau produktivitas. Ungkapan akhir
kesuburan tanah ialah hasil panen, yang diukur dengan bobot bahan kering yang dipungut per
satuan luas (biasanya hektar) dan per satuan waktu. Dengan menggunakan tahunh sebagai satuan
waktu untuk perhitungan hasil panen, dapat dicakup akibat variasi keadaan habitat akar tanaman
karena musim (Schroeder, 1984).
III. PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN DAN KLASIFIKASI TANAH SAWAH
Tanah berasal dari hasil pelapukan batuan bercampur dengan sisa bahan organik dari
organisme (vegetasi atau hewan) yang hidup di atasnya atau di dalamnya. Tanah sawah adalah
tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah, baik terus-menerus sepanjang tahun maupun
bergiliran dengan tanaman palawija. Istilah tanah sawah bukan merupakan istilah taksonomi,
tetapi merupakan istilah umum seperti halnya tanah hutan, tanah perkebunan dan
sebagainya.Tanah sawah dapat berasal dari tanah kering yang diairi kemudian disawahkan, atau
dari tanah rawa-rawa yang ”dikeringkan” dengan membuat saluran-saluran drainase
(Hardjowigeno et al, 2004).
1. Tanah sawah berasal dari lahan kering
Tanah sawah yang berasal dari lahan kering terdapat di daerah datar hingga berbukit,
bahkan kadang-kadang bergunung yang kemudian diteraskan dan diairi melalui air irigasi. Tanah
sawah jenis ini ditemukan di daerah dataran rendah dan punggung, lereng, atau kaki vulkan serta
daerah nonvulkanik yang cukup air sebagai sumber irigasi.
Tanah sawah berasal dari tanah rawa
Tanah sawah dari tanah rawa dapat juga berasal dari lahan rawa-rawa daerah
pelembahan dan rawa-rawa lebak, atau lahan rawa-rawa pasang surut.
- Rawa pelembahan dan lebak
- Rawa pasang-surut
Sawah adalah sebidang lahan pertanian yang kondisinya selalu ada dalam kondisi basah
dan kadar air yang dikandungnya selalu di atas kapasitas lapang. Sebidang sawah dicirikan oleh
beberapa indikator, yaitu:
• Topografi selalu rata
• Dibatasi oleh pematang
• Diolah selalu pada kondisi berair
• Ada sumber air yang kontinyu, kecuali sawah tadah hujan an sawah rawa
• Kesuburan tanahnya relative stabil meskipun diusahakan secara intensif, dan
• Tanaman yang utama diusahakan petani padi sawah
Sawah berdasarkan system irigasinya / pengairan dibedakan menjadi beberapa macam
sebagai berikut:
1. Sawah pengairan teknis: sawah yang bersumber pengairannya berasal dari sungai, artinya
selalu tersedia sepanjang sepanjang tahun, dan air pengairan yang masuk ke saluran primer,
sekunder, dan tersier volume terukur.
2. Sawah pengairan setengah teknis: sawah yang sumber pengairannya dari sungai,
ketersediaan airnya tidak seperti sawah pengairan teknis, biasanya air tidak cukup tersedia
sepanjang tahun.
3. Sawah pengairan pedesaan: sawah yang sumber pengairannya berasal dari sumber-sumber
air yang terdapat di lembah-lembah bukit yang ada di sekitar sawah yang bersangkutan. Prasarana
irigasi seperti saluran, bendungan dibuat oleh pemerintah desa dan petani setempat, serta
bendungan irigasi umumnya tidak permanen.
4. Sawah tadah hujan: sawah yang sumber pengairannya bergantung pada ada atau tidaknya
curah hujan. Sawah jenis ini biasanya terdapat di daerah-daerah yang topografinya tinggi dan
berada di lereng-lereng gunung atau bukit yang tidak memungkinkan dibuat saluran irigasi. Oleh
karena itu, pada sawah semacam ini pola tanamnya adalah padi – bera, padi – palawija, dan
palawija – padi.
5. Sawah rawa: sawah yang sumber airnya tidak dapat diatur. Karena sawah ini kebanyakan
terdapat di daerah lembah dan cekungan atau pantai. Kondisinya selalu tergenang air karena
airnya tidak dapat dikeluarkan atau diatur sesuai dengan kebutuhan.
6. Sawah rawa pasang surut: sawah yang system pengairannya dipengaruhi naik dan
turunnya air laut (pasang laut
7. Sawah Lebak: sawah yang terdapat dikanan-kiri tebing sungai dan di delta-delta
sungai yang besar. Sawah ini sumber pengairannya dari sungai yang bersangkutan.
B. MORFOLOGI DAN PERKEMBANGAN PROFIL TANAH SAWAH
Tanah sawah merupakan tanah yang memiliki ciri khas yang membedakan dengan tanah
tergenang lainnya yakni lapisan oksidasi di bawah permukaan air akibat difusi O2 setebal 0,8-1,0
cm, dan lapisan reduksi setebal 25-30 cm diikuti oleh lapisan tapak bajak yang kedap air. Selain
itu selama pertumbuhan tanaman padi akan terjadi sekresi O2 oleh akar tanaman padi yang
menimbulkan kenampakan yang khas pada tanah sawah (Lahuddin dan Mukhlis, 2006).
a. Perubahan sementara
Perubahan sementara adalah perubahan-perubahan sifat fisik, morfologi, dan kimia
tanah sebagai akibat penggenangan tanah musiman baik pada waktu pengolahan tanah maupun
selama pertumbuhan padi sawah.
1. Perubahan sifat fisik tanah
Terdapat beberapa proses pengolahan tanah yang menyebabkan perubahan fisik tanah, yaitu:
a) Pelumpuran
Perubahan sifat fisik tanah yang mula-mula terjadi pada tanah sawah merupakan akibat
pelumpuran (puddling).
Proses reduksi terjadi setelah pelumpuran karena tidak adanya udara. Tanah sawah yang
dilumpurkan tetap dalam keadaan tereduksi, tidak peduli apakah tanah tersebut digenangi
ataupun tidak, sampai mulai terjadi retakan-retakan. Saat tanah digenangi,
Selama pertumbuhan tanaman
Setelah pengolahan tanah dengan cara pelumpuran selesai, maka dimulailah penanaman
padi. Akibat yang terjadi pada tanah karena makin tergenang oleh air, antara lain adalah: a)
partikel-partikel tanah mulai mengendap, b) terdapat lapisan tipis diatas lapisan pasir, karena
pengendapan lapisan pasir yang diikuti oleh debu dan liat, c) kadar air tanah berkurang akibat
dari pengendapan partikel tanah dan makin berkurang akibat penyerapan air oleh akar tanaman.
d) daya kohesi partikel-partikel tanah meningkat, sehingga tanah menjadi padat.
b) Setelah penggenangan selesai
Setelah penggenangan selesai, maka mulai terjadi proses pengeringan tanah yang
berjalan lambat. Perlakuan pelumpuran dapat mempertahankan tanah dalam keadaan reduksi
lebih lama. Bila pengeringan berlanjut, maka tanah akan berubah menjadi pasta yang kemudian
tanah akan retak-retak dan akibatnya adalah tanah mengami aregasi kembali.
2. Perubahan sifat fisika kimia tanah
Perubahan sementara sifat fisika kimia tanah dapat terjadi di permukaan tanah yang
mengalami penggenangan secara berkala akibat tanah disawahkan. Perubah sementara tersebut
dianggap penting untuk mempelajari perubahan sifat kimia jangka panjang. Jika tanah digenangi,
maka difusi gas ke dalam massa tanah terputus sehingga organisme aerobik akan menghabiskan
oksigen yang ada di permukaan tanah dengan cepat
Oksigen dapat habis dalam waktu sehari penggenangan. Setelah itu nitrat akan hilang
karena reduksi menjadi gas N2 dan NO2 (denitrifikasi).
Setelah nitrat habis, maka konsentrasi Mn2+ dan Fe2+ dalam larutan tanah meningkat
sampai ketitik puncak tertentu dalam minggu-minggu pertama penggenangan yang kemudian
menurun ke suatu nilai yang kurang lebih konstan
Perubahan sifat morfologi tanah
Perubah sifat fisika kimia tanah yang terus berlangsung tersebut dicerminkan juga oleh
perubahan sifat morfologi tanah, terutama lapisan permukaan. Dalam keadaan tergenang tanah
menjadi berwarna abu-abu akibat reduksi besi menjadi besi ferro. Akan tetapi warna reduksi
tersebut tidak terjadi pada tanah pasir atau tanah lain dengan permeabilitas tinggi, kecuali pada
penggenangan yang sangat lama. Apabila tanah dikeringkan, akan terjadi oksidasi lagi terhadap
besi ferro menjadi ferri sehingga terbentuk karatan cokelat pada retakan-retakan, bekas akar atau
tempat lain dimana udara dapat masuk.
b. Perubahan permanen
Perubahan permanen terjadi akibat efek kumulatif perubahan sementara karena
penggenangan tanah musiman atau praktik pengelolaan tanah sawah seperti pembuatan teras,
perataan tanah, pembuatan pematang, dan lain-lain. Perubahan permanen pada tanah sawah yang
disawahkan dapat dilihat pada sifat morfologi profil tanahnya yang seringkali menjadi berbeda
dengan profil tanah asalnya yang tidak disawahkan
C. PENGELOLAAN KESUBURAN TANAH SAWAH
Kondisi fisik, kimia dan biologi tanah dapat dijadikan sebagai indikator untuk
menentukan kualitas tanah. Kualitas tanah adalah kemampuan suatu tanah untuk berfungsi dalam
berbagai batas ekosistem untuk mendukung produktivitas biologi, mempertahankan kualitas
lingkungan dan meningkatkan kesehatan tanaman, hewan dan manusia.
Pengukuran kualitas tanah merupakan dasar untuk penilaian keberlanjutan pengelolaan
tanah yang dapat diandalkan untuk masa-masa yang akan dating, karena dapat dipakai sebagai
alat untuki menilai pengaruh pengelolaan lahan
a. Pemupukan yang Tepat
Lahan sawah bukaan baru umumnya bersifat masam, kadar hara N, P, K, Ca, dan Mg
rendah, serta Fe tinggi. Pemupukan dilakukan bersamaan dengan menekan ketersediaan Fe tanah.
Untuk mengurangi ketersediaan kadar Fe dalam tanah dapat dilakukan dengan penambahan
bahan organik dan pengairan secara berselang antara digenangi dan dikeringkan.
b. Ameliorasi Lahan Sawah Bukaan Baru
Penambahan bahan organik ke dalam lahan sawah bukaan baru dapat menurunkan kadar
Fe dan meningkatkan hasil gabah kering 22,5%. Pemberian 1t kapur/ha dan 5t pupuk kandang/ha
serta pemupukan NPK dapat meningkatkan hasil padi 1-2 t/ha. Pemberian bahan organik pada
lahan sawah bukaan baru dapat memperbaiki kesuburan tanah, meningkatkan ketersediaan hara
dan membantu menetralisir keracunan Fe. Pengapuran diberikan pada lahan sawah pada pH awal
<4. Pengapuran dapat meningkatkan pH tanah, mempercepat pencucian besi terlarut. Jerami padi
sisa hasil panen setiap musim tanam dikembalikan sebagai sumber bahan organik.
c. Drainase dan Pencucian
Pengairan berselang antara penggenangan dan pengeringan dapat menanggulangi
keracunan besi pada lahan sawah bukaan baru. Pengeringan selama 6 dan 9 hari setelah tanam
dapat meningkatkan hasil gabah sebesar 3 kali lipat.
d. Rekomendasi Pemupukan
Pupuk P dan K diberikan sesuai dengan status hara yang dapat diukur dengan
menggunakan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS). Sedangkan pemupukan N diberikan
berdasarkan Bagan Warna Daun (BWD). Pemberian dolomit sebagai sumber hara Ca dan Mg.
e. Pengelolaan Tanaman
Pemilihan varietas tanaman padi yang tahan terhadap keracunan Fe perlu dilakukan.
Penanaman padi dengan menghindarkan tanaman dari cekaman Fe yang tinggi. Pengeringan
dilakukan sampai tanaman berumur 6-9 hari.
1. Lahan Kering menjadi Lahan Sawah
Penggenangan lahan kering menjadi lahan sawah mengakibatkan perubahan
karakteristik kimia tanah yang dominan diantaranya adalah (1) penurunan kadar oksigen, (2)
perubahan potensial redoks (Eh), (3) perubahan pH tanah, (4) reduksi Ferri (Fe3+) menjadi Ferro
(Fe2+), (5) perubahan mangani (Mn4+) menjadi mangano (Mn2+), (6) terjadinya denitrifikasi, (7)
reduksi sulfat (SO42-) menjadi sulfit (S2-), (8) peningkatan ketersediaan Zn dan Cu, (9) terjadinya
pelepasan CO2, CH4, H2S dan asam organik (Damanik, dkk, 2010). Sifat kimia tanah ini dicirikan
dengan terbentuknya H2S yang menghambat penyerapan hara tanaman dan memperbesar
perkembangan akar, meningginya pH dan pelarutan silika. Sifat fisik tanah akibat pembentukan
padas akan menghambat drainase dan dalamnya akar tanaman, tetapi tidak menghambat
perkembangan akar ke samping.
D. PERMASALAHAN LAHAN TANAH SAWAH
1. Alih Fungsi Lahan Tanah Sawah
Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi
lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula
(seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah)
terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri.
Alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari akibat kecenderungan tersebut. Beberapa
kasus menunjukkan jika di suatu lokasi terjadi alih fungsi lahan, maka dalam waktu yang tidak
lama lahan di sekitarnya juga beralih fungsi secara progresif.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Widjanarko, dkk (2006) secara nasional, luas
lahan sawah kurang lebih 7,8 juta Ha, dimana 4,2 juta Ha berupa sawah irigasi dan sisanya 3,6
juta Ha berupa sawah nonirigasi. Selama Pelita VI tidak kurang dari 61.000 Ha lahan sawah
telah berubah menjadi penggunaan lahan nonpertanian. Luas lahan sawah tersebut telah beralih
fungsi menjadi perumahan (30%), industri (65%), dan sisanya (5%) beralih fungsi penggunaan
tanah lain. Penelitian yang dilakukan Irawan (2005) menunjukkan bahwa laju alih fungsi lahan
di luar Jawa (132 ribu Ha per tahun) ternyata jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Pulau
Jawa (56 ribu ha per tahun).
Dampak alih fungsi lahan
Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian dapat berdampak terhadap
turunnya produksi pertanian, serta akan berdampak pada dimensi yang lebih luas dimana
berkaitan dengan aspek-aspek perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik
masyarakat. Alih fungsi lahan sawah juga menyebabkan hilangnya kesempatan petani
memperoleh pendapatan dari usahataninya. Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan
turunnya produksi padi, yang mengganggu tercapainya swasembada pangan dan timbulnya
kerawanan pangan serta mengakibatkan bergesernya lapangan kerja dari sektor pertanian ke
nonpertanian. Apabila tenaga kerja tidak terserap seluruhnya akan meningkatkan angka
pengangguran. Berkurangnya ekosistem sawah terutama di jalur pantai utara Pulau Jawa
sedangkan pencetakan sawah baru yang sangat besar biayanya di luar Pulau Jawa seperti di
Kalimantan Tengah, tidak menunjukkan dampak positif.
Konversi lahan pertanian pada umumnya berdampak sangat besar pada bidang sosial dan
ekonomi. Hal tersebut dapat terlihat salah satunya dari berubahnya fungsi lahan. Menurut Somaji
(1994), konversi lahan juga berdampak pada menurunnya porsi dan pendapatan sektor pertanian
petani pelaku konversi dan menaikkan pendapatan dari sektor non-pertanian. Sihaloho (2004)
menjelaskan bahwa konversi lahan berimplikasi atau berdampak pada perubahan struktur agraria.
Adapun perubahan yang terjadi, yaitu:
1) Perubahan pola penguasaan lahan. Pola penguasaan tanah dapat diketahui dari pemilikan
tanah dan bagaimana tanah tersebut diakses oleh orang lain.
2) Perubahan pola penggunaan tanah. Pola penggunaan tanah dapat dari bagaimana
masyarakat dan pihak-pihak lain memanfaatkan sumber daya agraria tersebut.
3) Perubahan pola hubungan agraria. Tanah yang makin terbatas menyebabkan memudarnya
sistem bagi hasil tanah “maro” menjadi “mertelu”. Demikian juga dengan munculnya sistem
tanah baru yaitu sistem sewa dan sistem jual gadai.
4) Perubahan pola nafkah agraria. Pola nafkah dikaji berdasarkan sistem mata pencaharian
masyarakat dari hasil-hasil produksi pertanian dibandingkan dengan hasil non pertanian.
Keterbatasan lahan dan keterdesakan ekonomi rumah tangga menyebabkan pergeseran
sumber mata pencaharian dari sektor pertanian ke sektor non pertanian.
5) Perubahan sosial dan komunitas. Konversi lahan menyebabkan kemunduran kemampuan
ekonomi (pendapatan yang makin menurun).
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
2022