Kalimantan
Papua
Total
Profil melintang
Not
1,380
1,392
2,808
5,599
cultivated
Cultivated
2,062
1,460
3,600
Kandungan Tanah
Lahan Pasang Surut. Sifat tanah dan air pada lahan pasang surut ini adalah
a.
Tanah berbau busuk (seperti telur yang busuk), maka zat asam belerangnya
banyak. Air di tanah tersebut harus dibuang dengan membuat saluran cacing dan
diganti dengan air baru dari air hujan atau saluran.
Bongkah tanah berbecak kuning jerami ditanggul saluran atau jalan, menunjukkan
adanya pirit yang berubah warna menjadi kuning setelah terkena udara.
b.
Tanah gambut
c.
d.
e.
A: Lahan terluapi oleh pasang besar (pada waktu bulan purnama maupun bulan mati),
maupun oleh pasang kecil (pada waktu bulan separuh).
B: Lahan terluapi oleh pasang besar saja.
C: Lahan tidak terluapi oleh air pasang besar maupun pasang kecil, namun permukaan
air tanahnya cukup dangkal, yaitu kurang dari 50 cm.
D: Lahan tidak terluapi oleh air pasang besar maupun pasang kecil, namun permukaan
air tanahnya dalam, lebih dari 50 cm.
Sistem irigasi dari bawah ke atas (lowe to upper flow irrigation system)
Sistem ini dilakukan dengan konstruksi bendung, canal dari soil (cement), sistem
irirgasi bawah ke atas dapat mengurangi pengaruh sedimen pada kanal dan sawah,
karena sistem ini dapat menghilangkan stagnasi tinggi pasang surut yang akhirnya
menghilangkan sedimentasi (Morgan, 1986).
Dari keadaan air sungai yang permukaannya di bawah rata-rata permukaan tanah
di tepi sungai maka untuk mendapatkan air dari sungai tani diberika alternatif
pompanisasi, sistem pompanisasi ini membutuhkan pompa lebih dari satu untuk
dipasang secara paralel.
b.
Usaha
penyawahan lahan rawa pasang surut sebetulnya bukanlah hal baru. Orang-orang
bugis sejak puluhan tahun sebelumnya telah menyawahkannya diberbagai tempat di
pantai timur Sumatra dan di pantai selatan Kalimantan dengan beraneka tingkat
keberhasilan. Dengan teknik tradisional sederhana, mereka dapat membuka
persawahan, meskipun dengan hasil panen dan indeks pertanaman rendah menurut
ukuran sekarang.
Kandungan tanah yang biasanya terdapat pada lahan pasang surut adalah
pirit. Pirit adalah Zat ini dibentuk pada waktu lahan digenangi oleh air laut yang
masuk pada musim kemarau. Pada saat kondisi lahan basah atau tergenang, pirit
tidak berbahaya bagi tanaman. Akan tetapi, bila terkena udara (teroksidasi), pirit
berubah bentuk menjadi zat besi dan zat asam belerang yang dapat meracuni
tanaman.
A: Lahan terluapi oleh pasang besar (pada waktu bulan purnamamaupun bulan mati),
maupun oleh pasang kecil (pada waktu bulanseparuh)
pasang besar saja
pasang kecil, namun permukaan air tanahnya cukup dangkal, yaitu kurang dari
50cm
D: Lahan tidak terluapi oleh air pasang besar maupun pasang kecil, namun
permukaan air tanahnya dalam, lebih dari 50 cm.
Sistem pengairan yang dilakukan pada lahan pasang surut yaitu sistem irigasi
dari bawah ke atas dan juga sistem aliran satu arah. Untuk sistem aliran satu arah
Pelaksanaan sistem ini tergantung kepada kesepakatan pengaturan pintu-pintu air.
Latar Belakang
Indonesia memiliki sumber daya lahan yang sangat luas untuk peningkatan
produkivitas tanaman pangan khususnya tanaman padi. Beras sebagai salah satu
sumber pangan utama penduduk Indonesia dan kebutuhannya terus meningkat karena
selain penduduk terus bertambah dengan laju peningkatan sekitar 2% per tahun, juga
adanya perubahan pola konsumsi penduduk dari non beras ke beras. Disamping itu
terjadinya penciutan lahan sawah irigasi akibat konversi lahan untuk kepentingan
non pertanian dan munculnya penomena degradasi kesuburan lahan menyebabkan
produktivitas padi sawah irigasi cenderung melandai (Deptan, 2008). Berkaitan
dengan perkiraan terjadinya penurunan produksi tersebut maka perlu diupayakan
penanggulanggannya melalui peningkatan intensitas pertanaman dan produktivitas
lahan sawah yang ada, pencetakan lahan irigasi baru dan pengembangan lahan
potensial lainnya termasuk lahan marginal seperti lahan rawa pasang surut.
Lahan pasang surut mempunyai potensi cukup besar untuk dikembangkan
menjadi lahan pertanian berbasis tanaman pangan dalam menunjang ketahanan
pangan nasional. Lahan pasang surut Indonesia cukup luas sekitar 20,1 juta ha dan
9,3 juta diantaranya mempunyai potensi untuk pengembangan tanaman pangan
(Ismail et al. 1993). Propinsi Jambi diperkirakan memiliki lahan rawa seluas 684.000
ha, berpotensi untuk pengembangan pertanian 246.481 ha terdiri dari lahan pasang
surut 206.832 ha dan lahan non pasang surut (lebak) 40.521 ha (Bappeda, 2000).
Menurut Suwarno et al. (2000) bahwa permintaan bahan pangan khususnya beras
terus meningkat dari tahun ke tahun sehingga mendorong pemerintah untuk
mengembangkan lahan pertanian ke wilayah-wilayah bermasalah diantaranya lahan
rawa pasang surut yang tersedia sangat luas, diperkirakan lahan pasang surut dan
lahan marginal lainnya yang belum dimanfaatkan akan semakin meningkat perannya
dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Pemanfaatan lahan tersebut untuk
pertanian merupakan alternatif yang dapat mengimbangi berkurangnya lahan
produktif terutama di pulau Jawa yang beralih fungsi untuk berbagai keperluan
pembangunan non pertanian. Hasil penelitian Ismail et al. (1993) menunjukkan
bahwa lahan rawa ini cukup potensial untuk usaha pertanian baik untuk tanaman
pangan, perkebunan, hortikultura maupun usaha peternakan. Kedepan lahan rawa ini
menjadi sangat strategis dan penting bagi pengembangan pertanian sekaligus
mendukung ketahanan pangan dan usaha agribisnis (Alihamsyah, 2002).
Usahatani di lahan rawa pasang surut umumnya produktivitasnya masih
rendah, karena tingkat kesuburan lahannya rendah, mengandung senyawa pirit,
masam, terintrusi air laut dan dibeberapa bagian tertutup oleh lapisan gambut.
Pertumbuhan tanaman di lahan pasang surut menghadapi berbagai kendala seperti
kemasaman tanah, keracunan dan defisiensi hara, salinitas serta air yang sering tidak
sesuai dengan kebutuhan tanaman. Komoditas yang banyak diusahakan petani adalah
padi dengan teknik budidaya yang diterapkan masih sederhana dan menggunakan
varietas lokal serta pemupukan tidak lengkap dengan takaran rendah (Suwarno et al,
2000). Untuk mendukung pengembangan pertanian di lahan pasang surut,
pemerintah melalui lembaga penelitian dan perguruan tinggi telah melakukan
kegiatan penelitian di beberapa lokasi pasang surut Kalimantan dan Sumatera selama
sekitar 20 tahun. Badan Litbang Pertanian melalui Balai Penelitian Tanaman Rawa
dan berbagai proyek penelitian juga telah melakukan kegiatan penelitian secara
intensif sejak pertengahan tahun 1980 an. Berbagai komponen teknologi usahatani
sudah dihasilkan dan berbagai paket teknologi usahatani juga sudah direkayasa untuk
Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui Pertanian
buruk. Lahan rawa di bagi menjadi dua yaitu rawa lebak dan rawa pasang surut.
Lahan rawa pasang surut merupakan lahan yang dipengaruhi oleh pasang surut air
laut.
Lahan pasang surut merupakan suatu lahan yang terletak pada zone/wilayah
sekitar pantai yang ditandai dengan adanya pengaruh langsung limpasan air dari
pasang surutnya air laut atau pun hanya berpengaruh pada muka air tanah. Sebagian
besar jenis tanah pada lahan rawa pasang surut terdiri dari tanah gambut dan tanah
sulfat masam.
rawa pasang surut terdepan, yang berhubungan langsung dengan laut lepas.
Biasanya, wilayah rawa ini menempati bagian terdepan dan pinggiran pulau-pulau
delta serta bagian tepi estuari, yang dipengaruhi langsung oleh pasang surut air
laut/salin. Pada zona wilayah rawa, terdapat kenampakan-kenampakan (features)
bentang alam (landscape) spesifik yang mempunyai bentuk dan sifat-sifat yang khas
disebut landform. Sebagian besar wilayah zona I termasuk dalam landform marin.
Pembagian lebih detail dari landform marin, disebut sub-landform, pada zona I rawa
pasang surut air asin/payau dapat dilihat pada irisan vertikal tegak lurus pantai. dan
diilustrasikan pada Gambar :
kecil dan sempit yang disebut laguna (lagoons), biasanya ditempati tanah-tanah
basah bertekstur liat. Lebih ke dalam ke arah daratan, dijumpai rawa pasang surut
bergaram (tidal salt marsh) yang sebagian masih selalu digenangi pasang dan
ditumbuhi hutan bakau/ mangove. Sebagian lagi, di wilayah belakangnya terdapat
bagian lahan yang kadang masih dipengaruhi air pasang melalui sungai-sungai kecil
(creeks), namun juga sudah ada pengaruh air tawar (fresh-water) yang kuat dari
wilayah hutan rawa dan gambut air tawar yang menempati depresi/cekungan lebih ke
darat. Bagian lahan yang dipengaruhi air payau ini ditumbuhi banyak spesies, tetapi
yang terutama adalah nipah (Nipa fruticans), panggang (Sonneratia acida), dan
pedada (Araliceae).
2.2.
permukaan air tanah kurang dari 30 cm dari permukaan tanah. Lahan bertipe luapan
C tidak terluapi air pasang tetapi kedalaman muka air tanahnya kurang dari 50 cm,;
(4) tipe luapan D bila lahannya tidak terluapi oleh air pasang baik pasang besar
maupun pasang kecil, tetapi permukaan air tanahnya berada pada kedalaman lebih
dari 30 cm dari permukaan tanah.
Tipologi lahan dan tipe luapan air merupakan acuan yang seharusnya dipatuhi
dalam penerapan paket teknologi agar usahatani yang dikelola dapat memberikan
hasil yang optimal. Paket teknologi usahatani itu sendiri pada garis besarnya berisi:
(1) teknik pengelolaan lahan dan air yang memuat pengaturan pemasukan dan
pengeluaran air baik pada tingkat makro maupun tingkat mikro, penataan dan
pengeolahan lahan; (2) teknik budidaya yang memuat teknik budidaya tanaman, ikan
dan ternak, di dalamnya meliputi vareitas/jenis yang cocok, pupuk dan pemupukkan,
pencegahan dan pengendalian organisme penganggu tanaman (OPT), dan; (3) teknik
reklamsi lahan. Pengelolaan lahan dan air merupakan salah satu faktor penentu
keberhasilan pengelolaan usahatani di lahan pasang surut dalam kaitannya dengan
optimalisasi pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya lahannya ( Alihamsyah, 2003).
Pengaturan pemasukan dan pengeluaran air baik di tingkat makro maupun
ditingkat mikro sangat tergantung dengan tipe luapan air pada satu kawasan tertantu.
Pada lahan yang bertipe luapan A diatur dengan sistem satu arah, lahan yang bertipe
luapan B selain dengan sistem satu arah juga disertai dengan sistem tabat. Sedangkan
lahan yang bertipe luapan C dan D dimana sumber air utamanya adalah air hujan
digunakan sistem tabat yang dilengkapi dengan pintu stoplog untuk menjaga
permukaan air tanah sesuai dengan kebutuhan tanaman dan yang lebih terpenting
adalah agar permukaan air tanah selalu tetap berada pada lapisan pirit dengan
kandungan lebih dari 2% dengan maksud agar tidak terjadi oksidasi. Pada pengaturan
pemasukan dan pengeluaran air satu arah, saluran pemasukkan dan pengeluaran
dibedakan dimana antara saluran pemasukkan dan pengeluaran dibuatkan pintu
engsel (Flape Gate) yang membuka kedalam pada saluran pemasukkan dan
membuka keluar pada saluran pembuangan (Ismail, I.G. dkk. 1993).
2.5
Penataan lahan yang dianjurkan selain tergantung dari tipologi lahan dan tipe
luapan air juga tergantung dari sistem usahatani yang akan dikelola, apakah hanya
satu jenis tanaman, lebih dari satu jenis tanaman namun memiliki kebutuhan air
dalam veolume yang sama atau meiliki kebutuhan air yang berbeda. Pada lahan yang
tipe luapan air A pilihannya tidak banyak untuk lahan potensial sulfat masam dan
gambut dangkal, dengan karekaterisitik ini pentaan lahan sebaiknya diarahkan
sebagai sawah dan tanaman yang diusahakan hanya padi yang dapat ditanam 2 kali.
Lahan yang bertipe luapan B-C penataaannya dapat diarahkan sebagai sawah/surjan,
surjan bertahap atau tegalan, sedangkan lahan yang bertipe luapan B untuk lahan
potensial, sulfat masam, dan gambut dangkal diarahkan sebagai tegalan dan untuk
gambut sangat dalam tanaman yang disarankan adalah tanaman perkebunan
(Alihamsyah, 2003). Lebih lanjut dikemukakan, penataan lahan sebagai surjan
memiliki keuntungan: (1) intensitas penggunaan lahan meningkat; (2) beragam
produksi pertanian dapat dihasilkan; (3) resiko kegagalan panen dapat dikurangi, dan
(4) stabilitas produksi dan pendapatan usahatani meningkat.
Menurut Widjaja Adhi (1995) dan Subagyo dan Widjaja Adhi (1998), lahan
pasang surut dapat ditata sebagai sawah, tegalan dan surjan disesuaikan dengan tipe
luapan air dan tipologi lahan serta tujuan pemanfaatannya .Secara umum terlihat
bahwa lahan bertipe luapan A yang karena selalu terluapi air pasang dianjurkan ditata
sebagai sawah, sedangkan lahan bertpe luapan B dapat ditata sebagai sawah atan
surjan. Lahan bertipe luapan B/C dan C karena tidak terluapi air pasang tetapi air
tanahnya dangkal dapat ditata sebagai sawah tadah hujan atau surjan bertahap dan
tegalan, sedangkan untuk yang bertipe luapan D ditata sebagai sawah tadah hujan
atau tegalan dan perkebunan. Lahan lahan sulfat masam akan lebih murah dan aman
bila ditata sebagai sawah karena dalam keadaan anaerob atau tergenang, pirit tidak
berbahaya bagi pertumbuhan tanaman. Bila disawahkan tanaman padi kemungkinan
menderita keracunan besi dan/atau sulfida mungkin juga kahat fosfat. Sebaliknya bila
ditanami palawija atau dimanfaatkan sebagai tegalan, tanaman menderita keracunan
Al dan kemungkinan disertai kahat fosfat.
Pemberian bahan amelioran atau bahan pembenah tanah dan pupuk
merupakan faktor penting untuk memperbaiki kondisi tanah dan meningkatkan
produktivitas lahan. Amelioran tersebut dapat berupa kapur atau dolomit maupun
bahan organik atau abu sekam dan serbuk kayu gergajian. Secara umum pemberian
kapur antara 0,5 ton hingga 3,0 ton per hektar sudah cukup memadai (Sudarsono,
1992 dan Trip Alihamsyah 2003).
Salah satu penciri yang spesifik dari lahan pasang surut adalah tingginya
tingkat keragaman kesuburan lahan sekalipun dalam satu petakan sawah. Untuk itu
kisaran dosis pupuk yang dibutuhkan batas antara kebutuhan minimal dengan
kebutuhan maksimal cukup besar (Tabel 2) sedangkan pada lahan gambut terdapat
dosis tunggal namun pada lahan yang bertipologi lahan ini perlu ditambahkan unsur
hara mikro seperti Cu dan Zn, karena umumnya lahan gambut kahat akan unsur hara
mikro (Suryadilaga, D.A., dkk.1992 dan Sudarsono 1992). Untuk mendapatkan dosis
pupuk yang tepat pada tingkat keragaman yang tinggi merupakan suatu masalah
tersendiri dalam mengelola lahan pasang surut untuk pertanian. Di tingkat petani, ini
adalah hal yang sangat sulit dilakukannya, untuk itu peran petugas lapang
mengarahkan petani dalam penentuan dan pemberian pupuk dengan dosis yang
sesuai dengan kebutuhan tanaman sangat dibutuhkan, di lain sisi petugas lapang itu
sendiri perlu dibekali dengan pengetahuan yang memadai.
Selain varietas unggul spesifik lahan pasang surut di atas, beberapa varietas
padi unggul nasional juga dapat beradaptasi dengan baik di lahan pasang surut
dengan hasil yang cukup tinggi. Variertas-vareitas tersebut antara lain adalah
Cisanggarung, Cisadane, Cisokan, IR 42, dan IR66 (Sastraatmaja, S. dan Dadan
Ridwan Ahmad. 2000).
III. PEMBAHASAN
PENERAPAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI LAHAN RAWA PASANG
SURUT
Kesesuaian Inovasi/Karakteristik Lokasi :
Lahan pasang surut di Propinsi Jambi sebagian besar terdapat di Kabupaten
Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur terletak pada 102o70 sampai
dengan 103o00 Bujur Timur dan 01o00 sampai dengan 01o30 Lintang Selatan. Luas
0620-
01o1333 dan 104o0122-104o0906 BT. Lahan pasang surut terbagi atas 4 tipologi
yaitu lahan potensial, sulfat masam, lahan gambut dan salin serta tipe luapan air A,
B, C dan D. Iklimnya type B berdasarkan klasifikasi iklim Schmit dan Ferguson
dengan bulan basah antara 8-10 bulan dan bulan kering 2-4 bulan. Curah hujan
bulanan tertinggi umumnya terjadi pada bulan Desember/januari dan curah hujan
terendah bulan Agustus.
Keunggulan/Nilai Tambah Inovasi :
Penerapan inovasi teknologi tersebut dapat meningkatkan kualitas dan
produktivitas lahan, dapat meningkatkan intensitas penggunaan lahan dan penerapan
beragam pola tanam serta pendapatan petani. Produksi padi meningkat dari 2,5 3
ton/ha menjadi 4-6 ton/ha. Penerimaan usahatani padi per hektar sebesar Rp.
6.250.000 dan keuntungan usahatani padi per hektar yaitu Rp. 3.303.000.
Uraian Inovasi :
Tabel 1. Inovasi teknologi sistem usahatani padi di lahan pasang surut
No
Komponen Teknologi
Inovasi teknologi
1.
2.
- Mikro
3.
Pengelolaan lahan
4.
Varietas
5.
Pemupukan
dan
(kg/ha)
6.
Urea
100-300
SP
120-180
KCl
100-150
Dolomit
1000-3000
CuSO4
ZnSO4
10
Pengendalian hama/penyakit
PHT
Sawah
Sawah/surjan
Sawah/surjan/tegalan Sawah/tegalan/
Sawah/surjan
kebun
Sawah/surjan/tegalan Sawah/tegalan/
Sawah
masam
Bergambut
Sawah
Sawah/surjan
Sawah/tegalan
kebun
Sawah/tegalan/
Gambut
Sawah
Sawah/surjan
Sawah/tegalan
kebun
Tegalan/kebun
dangkal
Gambut
Konservasi
Tegalan/perkebunan
Perkebunan
sedang
Gambut
Konservasi
Tegalan/perkebunan
Perkebunan
dalam
Salin
Sawah/tambak
Sawah/tambak
Tata Air
Pengelolaan tata air makro dan mikro merupakan faktor penentu keberhasilan
pengelolaan lahan pasangsurut. Pengoperasian dan perawatan tata air makro
(meliputi jaringan saluran primer, sekunder dan tertier serta pintu air) selama ini
menjadi tanggung jawab Dinas PU sedangkan tata air mikro (jaringan saluran
kuarter, saluran keliling dan cacing) menjadi tanggung jawab petani. Saluran
cacing/kemalir dibuat dengan jarak 9 m dan 12 m. Pada lahan bertipe lupan air A
diatur dalam system aliran satu arah sedangkan pada lahan bertipe luapan air B diatur
dengan system satu arah dan tabat, karena air pasang pada musim kemarau sering
tidak masuk kepetakan lahan. Sistem tata air pada tipe luapan air C dan D ditujukan
untuk menyelamatkan air, karena sumber air hanya berasal dari air hujan. Oleh
karena itu saluran air pada system tata air di lahan bertipe luapan air C dan D perlu
ditabat dengan pintu air stoplog unuk menjaga permukaan air tanah agar sesuai
dengan kebutuhan tanaman serta memungkinkan air hujan tertampung dalam saluran
tersebut.
Varietas
Varietas unggul yang beradaptasi baik di sawah lahan pasang surut dengan
tingkat kemasman dan kadar besinya tidak terlalu tinggi adalah kapuas,
Cisanggarung, Cisadane, Cisokan, IR 42, Batanghari, Indragiri, Punggur. Pada lahan
dengan kemasaman dan kadar besinya tinggi dapat digunakan varietas unggul lokal
seperti Ceko, Siam, Sepulo, Pontianak.
Pengelolaan Lahan
Penyiapan lahan dengan pengolahan tanah di lahan pasang surut diperlukan
selain untuk memperbaiki kondisi lahan menjadi lebih seragam dan rata dengan
adanya penggemburan dan pelumpuran juga untuk mempercepat proses pencucian
bahan beracun dan pencampuran bahan ameliorasi maupun pupuk dengan tanah .
Pengolahan tanah yang memberikan hasil baik dari segi fisik lahan dan hasil tanaman
adalah dengan bajak singkal atau tajak diikuti oleh rotary atau glebeg yang
dikombinasikan dengan herbisida . Bila tanahnya sudah gembur atau berlumpur baik
dan merata yang umumnya dijumpai pada lahan bergambut dengan tipe luapan air A
dan B, pengolahan tanah secara intensif tidak diperlukan tetapi diganti dengan
pengolahan tanah minimum atau tanpa olah tanah (TOT) yang dikombinasikan
dengan penggunaan herbisida. Hal ini menunjukkan bahwa dilahan pasang surut
untuk pengolahan tanahnya tergantung kondisi lahannya. Walaupun pengolahan
tanah diperlukan tapi tidak harus dilakukan setiap musim, karena pengolahan tanah
yang dilakukan selang dua musim tanam tidak menurunkan hasil tanaman.
Ameliorasi dan Pemupukan
Pemberian bahan amelioran atau bahan pembenah tanah dan pupuk
merupakan faktor penting unuk memperbaiki kondisi tanah dan meningkatkan
produktivitas lahan. Bahan tersebut dapat berupa kapur atau dolomit maupun bahan
organik atau abu sekam dan serbuk kayu gergajian. Pemberian kapur sebanyak 1-2
ton/ha mampu meningkatkan hasil padi dan palawija, untuk keperluan praktis secara
umum pemberian kapur sebanyak 0,5 1 ton/ha sudah cukup memadai. Dari
serangkaian kegiatan hasil penelitian pengelolaan hara dan pemupukan dapat
disintesiskan dosis optimum untuk tanaman padi tertera pada tabel 2 . Takaran
pupuk dilahan pasang surutt perlu disesuaikan dengan status hara tanah, hal ini
berdasarkan serangkaian penelitian pemupukan berdasarkan status hara tanah untuk
tanaman padi varietas yang kurang tanggap terhadap pupuk N seperti varietas
Margasari.
Tabel 2. Dosis pupuk dan bahan amelioran untuk tanaman padi di lahan pasang surut
Jenis Pupuk
Lahan potensial
(kg/ha)
N atau urea
P2O5 atau SP36
K2O atau KCl
CuSO4 atau terusi
ZnSO4
Kapur atau dolomite
potensial
45-90 =100-200 67,5-135 =150-300
22,5-45= 60-120 45,0-70 =120-180
50=100
45,0-70 = 90-150
1000-3000
Lahan gambut
45=100
60=160
50=100
5
10
1000-2000
dan 2) sempitnya areal pertanaman varietas unggul sehingga serangan hama dan
penyakit terkosentrasi. Pada dasarnya pengendalian dilakukan mengacu pada strategi
pengelolaan hama terpadu (PHT), yaitu melalui penggunaan varietas tahan dan
musuh alami, teknik budidaya yang baik dan sanitasi lingkngan. Penggunaan
pestisida kimiawi dilakukan sebaagai tindakan terakhir. Startegi dan cara
pengendaliaan terpadu hama tikus di lahan pasang surut disajikan pada tabel 3.
Strategi pengendalian tikus tersebut didasarkan pada kombinasi dan cara
pengendalian berdasarkan stadia tanaman padi dilapangan. Untuk keberhasilan
pengendalian hama dan penyakit diperlukan dukungan petani dan aparat serta sarana
dan prasarana penunjang yang mewadai.
Tabel 3. Strategi dan cara pengendalian hama tikus di lahan pasang surut
Stadia tanaman
padi
SPP
beracun
*
*
Perangkap
bambu
Bera
*
*
Persemaian
*
*
Anakan aktif
*
*
Bunting
*
*
*
Bermalai
*
*
Panen
*
*
SPP : Sistem pagar perangkap untuk 1 ha dengan 40 buah bagi 20 ha tanaman padi
Informasi Lain Yang Perlu Ditonjolkan :
-
Tata air mikro dapat mengurangi kemasaman tanah dan kandungan besi yang
merupakan kendala utama dilahan pasang surut
Memanfaatkan lahan yang diperkirakan lahan yang tidak dapat di gunakan oleh
lahan pertanian
Peningkatan kadar keasaman lahan karena pelapukan bahan organik dan kelarutan
zat tertentu serta pencucian zat kimia dan penyemprotan pestisida, herbisida, zat
pengatur tumbuh yang dipergunakan oleh petani. Jika residu atau senyawa yang ikut
terlarut dalam air irigasi dan masuk dalam lingkungan perairan rawa akan
mempengaruhi kualitas air rawa dan kehidupan di dalamnya termasuk populasi ikan.
Penggarapan lahan pasang surut menjadikan lahan subur bagi berbagai jenis
tumbuhan liar, selain tanaman budidaya. Jika lahan tersebut kemudian dibiarkan
menjadi bero, dengan cepat akan tumbuh berbagai jenis tumbuhan liar. Hadirnya
species tumbuhan terjadi secara bergantian melalui proses adaptasi dan suksesi, dapat
merubah lahan secara perlahan.