Anda di halaman 1dari 19

SAWAH PASANG SURUT

SAWAH PASANG SURUT


SISTEM PENGAIRAN LAHAN PASANG SURUT (Tidal Irrigation)
Lahan Pasang Surut
Lahan pasang surut adalah lahan yang pada musim penghujan (bulan
desember-mei) permukaan air pada sawah akan naik sehingga tidak dapat di tanami
padi. Pada musim kemarau (bulan juli-september) air permukaan akan surut yang
mana pada saat itu tanaman padi sawah baru dapat ditanam (pada lokasi yang berair).
(LIPI Kalimantan, 1994)
Dari luas lahan di Indonesia yang keseluruhannya berjumlah 162.4 juta ha,
sekitar 39.4 juta ha berupa lahan rawa pasang surut (24.2 %) dan sekitar 123 juta ha
adalah lahan kering (75 %).
Dalam keadaan alaminya lahan rawa pasang surut letaknya terpencil dan
tidak ada penduduk yang menggarapnya. Pembukaan lahan rawa pasang surut
dilakukan oleh Pemerintah terutama disepanjang pesisir timur pulau Sumatra dan di
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat serta di bagian selatan Irian Jaya
(sekarang Papua), Potensi sumberdaya lahan rawa di 3pulau utama , dalam 1.000
ha. (Kimpraswil, 2010)
Sumatra

Kalimantan

Papua

Total

Profil melintang

Not

1,380

1,392

2,808

5,599

daedaerah pasang surut

cultivated
Cultivated

2,062

1,460

3,600

Kandungan Tanah

Lahan Pasang Surut. Sifat tanah dan air pada lahan pasang surut ini adalah
a.

tanah sulfat masam dengan senyawa pirit


Pirit adalah zat yang hanya ditemukan di tanah di daerah pasang surut saja.
Zat ini dibentuk pada waktu lahan digenangi oleh air laut yang masuk pada musim
kemarau. pirit dapat berubah bentuk menjadi zat besi dan zat asam belerang yang
dapat meracuni tanaman. Ciri tanah yang telah teracuni pirit adalah :

Tampak gejala keracunan besi pada tanaman

Ada lapisan seperti minyak di permukaan air

Ada lapisan merah di pinggiran saluran.

Tanaman mudah terserang penyakit

Hasil panen rendah

Tanah berbau busuk (seperti telur yang busuk), maka zat asam belerangnya
banyak. Air di tanah tersebut harus dibuang dengan membuat saluran cacing dan
diganti dengan air baru dari air hujan atau saluran.

Bongkah tanah berbecak kuning jerami ditanggul saluran atau jalan, menunjukkan
adanya pirit yang berubah warna menjadi kuning setelah terkena udara.

b.

Tanah gambut

c.

Air pasang besar dan kecil

d.

Kedalaman air tanah

e.

kemasaman air yang menggenangi lahan.


Lahan pasang surut dibagi menjadi beberapa golongan menurut tipe luapan
air pasang, yaitu:

A: Lahan terluapi oleh pasang besar (pada waktu bulan purnama maupun bulan mati),
maupun oleh pasang kecil (pada waktu bulan separuh).
B: Lahan terluapi oleh pasang besar saja.
C: Lahan tidak terluapi oleh air pasang besar maupun pasang kecil, namun permukaan
air tanahnya cukup dangkal, yaitu kurang dari 50 cm.
D: Lahan tidak terluapi oleh air pasang besar maupun pasang kecil, namun permukaan
air tanahnya dalam, lebih dari 50 cm.

Sistem Pengairan Lahan Pasang Surut


Sistem pengairan pada lahan pasang surut dapat dilakukan dengan berbagai
cara :
a.

Sistem irigasi dari bawah ke atas (lowe to upper flow irrigation system)
Sistem ini dilakukan dengan konstruksi bendung, canal dari soil (cement), sistem
irirgasi bawah ke atas dapat mengurangi pengaruh sedimen pada kanal dan sawah,
karena sistem ini dapat menghilangkan stagnasi tinggi pasang surut yang akhirnya
menghilangkan sedimentasi (Morgan, 1986).
Dari keadaan air sungai yang permukaannya di bawah rata-rata permukaan tanah
di tepi sungai maka untuk mendapatkan air dari sungai tani diberika alternatif

pompanisasi, sistem pompanisasi ini membutuhkan pompa lebih dari satu untuk
dipasang secara paralel.
b.

Sistem Aliran Satu Arah


Pelaksanaan sistem ini tergantung kepada kesepakatan pengaturan pintu-pintu air.
Jika salah satu saluran tersier berfungsi sebagai saluran pemasukan (irigasi), maka
saluran tersier disebelahnya dijadikan saluran pengeluaran(drainase).
Saluran pemasukan diberi pintu air yang membukake dalam, sehingga pada waktu
pasang air dapat masuk dan air tidak dapat ke luar jika air surut.
Saluran pengeluaran diberi pintu air yang membuka ke luar, sehingga pada waktu
air surut air dapat keluar dan air tidak dapat masuk jika air sedang pasang.
Saluran kuarter yang merupakan batas pemilikan perlu ditata mengikuti aliran satu
arah. Pada lahan yang bertipe luapan B, pintu flap gate dilengkapi stop log yang
difungsikan pada waktu air pasang kecil.
PEMBAHASAN
Lahan rawa pasang surut di Indonesia mulai memperoleh perhatian, kajian dan
garapan secara serba cukup (comprehensive) sebagai suatu sumber daya pada tahun
1968. Kepedulian ini dibangkitkan oleh persoalan yang sangat mendesak akan
pemenuhan kebutuhan beras yang terus meningkat.

Usaha

penyawahan lahan rawa pasang surut sebetulnya bukanlah hal baru. Orang-orang
bugis sejak puluhan tahun sebelumnya telah menyawahkannya diberbagai tempat di
pantai timur Sumatra dan di pantai selatan Kalimantan dengan beraneka tingkat
keberhasilan. Dengan teknik tradisional sederhana, mereka dapat membuka
persawahan, meskipun dengan hasil panen dan indeks pertanaman rendah menurut
ukuran sekarang.
Kandungan tanah yang biasanya terdapat pada lahan pasang surut adalah
pirit. Pirit adalah Zat ini dibentuk pada waktu lahan digenangi oleh air laut yang
masuk pada musim kemarau. Pada saat kondisi lahan basah atau tergenang, pirit
tidak berbahaya bagi tanaman. Akan tetapi, bila terkena udara (teroksidasi), pirit
berubah bentuk menjadi zat besi dan zat asam belerang yang dapat meracuni
tanaman.

Lahan pasang surut ini dibagi menjadi beberapa

golongan menurut tipe luapan air pasang, yaitu:

A: Lahan terluapi oleh pasang besar (pada waktu bulan purnamamaupun bulan mati),
maupun oleh pasang kecil (pada waktu bulanseparuh)
pasang besar saja

B: Lahan terluapi oleh

C: Lahan tidak terluapi oleh air pasang besar maupun

pasang kecil, namun permukaan air tanahnya cukup dangkal, yaitu kurang dari
50cm
D: Lahan tidak terluapi oleh air pasang besar maupun pasang kecil, namun
permukaan air tanahnya dalam, lebih dari 50 cm.
Sistem pengairan yang dilakukan pada lahan pasang surut yaitu sistem irigasi
dari bawah ke atas dan juga sistem aliran satu arah. Untuk sistem aliran satu arah
Pelaksanaan sistem ini tergantung kepada kesepakatan pengaturan pintu-pintu air.

Pertanian Berkelanjutan di Tanah pasang surut


I.PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Indonesia memiliki sumber daya lahan yang sangat luas untuk peningkatan

produkivitas tanaman pangan khususnya tanaman padi. Beras sebagai salah satu
sumber pangan utama penduduk Indonesia dan kebutuhannya terus meningkat karena
selain penduduk terus bertambah dengan laju peningkatan sekitar 2% per tahun, juga
adanya perubahan pola konsumsi penduduk dari non beras ke beras. Disamping itu
terjadinya penciutan lahan sawah irigasi akibat konversi lahan untuk kepentingan
non pertanian dan munculnya penomena degradasi kesuburan lahan menyebabkan
produktivitas padi sawah irigasi cenderung melandai (Deptan, 2008). Berkaitan
dengan perkiraan terjadinya penurunan produksi tersebut maka perlu diupayakan
penanggulanggannya melalui peningkatan intensitas pertanaman dan produktivitas
lahan sawah yang ada, pencetakan lahan irigasi baru dan pengembangan lahan
potensial lainnya termasuk lahan marginal seperti lahan rawa pasang surut.
Lahan pasang surut mempunyai potensi cukup besar untuk dikembangkan
menjadi lahan pertanian berbasis tanaman pangan dalam menunjang ketahanan

pangan nasional. Lahan pasang surut Indonesia cukup luas sekitar 20,1 juta ha dan
9,3 juta diantaranya mempunyai potensi untuk pengembangan tanaman pangan
(Ismail et al. 1993). Propinsi Jambi diperkirakan memiliki lahan rawa seluas 684.000
ha, berpotensi untuk pengembangan pertanian 246.481 ha terdiri dari lahan pasang
surut 206.832 ha dan lahan non pasang surut (lebak) 40.521 ha (Bappeda, 2000).
Menurut Suwarno et al. (2000) bahwa permintaan bahan pangan khususnya beras
terus meningkat dari tahun ke tahun sehingga mendorong pemerintah untuk
mengembangkan lahan pertanian ke wilayah-wilayah bermasalah diantaranya lahan
rawa pasang surut yang tersedia sangat luas, diperkirakan lahan pasang surut dan
lahan marginal lainnya yang belum dimanfaatkan akan semakin meningkat perannya
dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Pemanfaatan lahan tersebut untuk
pertanian merupakan alternatif yang dapat mengimbangi berkurangnya lahan
produktif terutama di pulau Jawa yang beralih fungsi untuk berbagai keperluan
pembangunan non pertanian. Hasil penelitian Ismail et al. (1993) menunjukkan
bahwa lahan rawa ini cukup potensial untuk usaha pertanian baik untuk tanaman
pangan, perkebunan, hortikultura maupun usaha peternakan. Kedepan lahan rawa ini
menjadi sangat strategis dan penting bagi pengembangan pertanian sekaligus
mendukung ketahanan pangan dan usaha agribisnis (Alihamsyah, 2002).
Usahatani di lahan rawa pasang surut umumnya produktivitasnya masih
rendah, karena tingkat kesuburan lahannya rendah, mengandung senyawa pirit,
masam, terintrusi air laut dan dibeberapa bagian tertutup oleh lapisan gambut.
Pertumbuhan tanaman di lahan pasang surut menghadapi berbagai kendala seperti
kemasaman tanah, keracunan dan defisiensi hara, salinitas serta air yang sering tidak
sesuai dengan kebutuhan tanaman. Komoditas yang banyak diusahakan petani adalah
padi dengan teknik budidaya yang diterapkan masih sederhana dan menggunakan
varietas lokal serta pemupukan tidak lengkap dengan takaran rendah (Suwarno et al,
2000). Untuk mendukung pengembangan pertanian di lahan pasang surut,
pemerintah melalui lembaga penelitian dan perguruan tinggi telah melakukan
kegiatan penelitian di beberapa lokasi pasang surut Kalimantan dan Sumatera selama
sekitar 20 tahun. Badan Litbang Pertanian melalui Balai Penelitian Tanaman Rawa
dan berbagai proyek penelitian juga telah melakukan kegiatan penelitian secara
intensif sejak pertengahan tahun 1980 an. Berbagai komponen teknologi usahatani
sudah dihasilkan dan berbagai paket teknologi usahatani juga sudah direkayasa untuk

mendukung pengembangan usahatani atau agribinis di lahan pasang surut. Litbang


pertanian juga telah menghasilkan berbagai komponen teknologi pengelolaan lahan
dan komoditas serta model usahatani (Ismail et al., 1993 dan Alihamsyah et al.,
2003).
Umumnya petani dilahan pasang surut mengusahakan tanaman padi hanya
satu kali dalam setahun yaitu penanaman padi dilakukan pada musim hujan, dengan
pola tanam padi bera atau padi palawija. Namun pola tanam padi bera lebih
dominan dibandingkan dengan pola tanam padi-palawija. Oleh karena itu, upaya
untuk meningkatkan produksi padi melalui intensifikasi dengan meningkatkan
produktivitas padi musim hujan melalui penerapan inovasi teknologi PTT padi dan
meningkatkan intensitas pertanaman padi di lahan pasang surut. Makalah ini
bertujuan mengoptimalkan potensi sumber daya lahan lahan untuk peningkatan
produksi dan produktivitas padi melalui penerapan inovasi teknologi pertanaman
padi musim hujan dan peningkatan intensitas pertanaman padi (IP Padi 200) di lahan
pasang surut desa Teluk Ketapang Kecamatan Senyerang Kabupaten Tanjung Jabung
Barat Provinsi Jambi.
1.2.

Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui Pertanian

Berkelanjutan yang di lakukan pada Lahan Rawa Pasang Surut.


II.TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Pengertian Lahan Pasang surut


Lahan rawa adalah lahan yang tergenang secara terus menerus akibat drainase

buruk. Lahan rawa di bagi menjadi dua yaitu rawa lebak dan rawa pasang surut.
Lahan rawa pasang surut merupakan lahan yang dipengaruhi oleh pasang surut air
laut.
Lahan pasang surut merupakan suatu lahan yang terletak pada zone/wilayah
sekitar pantai yang ditandai dengan adanya pengaruh langsung limpasan air dari
pasang surutnya air laut atau pun hanya berpengaruh pada muka air tanah. Sebagian
besar jenis tanah pada lahan rawa pasang surut terdiri dari tanah gambut dan tanah
sulfat masam.

Lahan rawa pasang surut jika dikembangkan secara optimal dengan


meningkatkan fungsi dan manfaatnya maka bisa menjadi lahan yang potensial untuk
dijadikan lahan pertanian di masa depan. Untuk mencapai tujuan pengembangan
lahan pasang surut secara optimal, ada beberapa kendala. Kendala tersebut berupa
faktor biofisik, hidrologi yang menyangkut tata air, agronomi, sosial dan ekonomi
Kemudian tanah pasang surut biasanya dimanfaatkan untuk berbagai
kepentingan terutama untuk lahan persawahan. Luas lahan pasang surut yang dapat
dimanfaatkan berfluktuasi antara musim kemarau dan penghujan. Pemanfaatan lahan
pasang surut telah menjadi sumber mata pencaharian penting bagi masyarakat
disekitarnya meskipun belum dapat menggunakannya sepanjang tahun. Rata - rata
lahan pasang surut hanya dapat ditanami sekali dalam setahunnya selebihnya
dibiarkan dalam keadaan bero karena tergenang air. Tergenangnya lahan pasang surut
secara periodik ada kaitannya dengan kepentingan pembangkit tenaga listrik dan
meluapnya air pada musim penghujan. ( Hanggari,2008)
2.1.1

Zona wilayah lahan pasang surut


Wilayah rawa pasang surut air asin/payau merupakan bagian dari wilayah

rawa pasang surut terdepan, yang berhubungan langsung dengan laut lepas.
Biasanya, wilayah rawa ini menempati bagian terdepan dan pinggiran pulau-pulau
delta serta bagian tepi estuari, yang dipengaruhi langsung oleh pasang surut air
laut/salin. Pada zona wilayah rawa, terdapat kenampakan-kenampakan (features)
bentang alam (landscape) spesifik yang mempunyai bentuk dan sifat-sifat yang khas
disebut landform. Sebagian besar wilayah zona I termasuk dalam landform marin.
Pembagian lebih detail dari landform marin, disebut sub-landform, pada zona I rawa
pasang surut air asin/payau dapat dilihat pada irisan vertikal tegak lurus pantai. dan
diilustrasikan pada Gambar :

Bagian terdepan terdapat dataran lumpur, atau mud-flats, yang terbenam


sewaktu pasang dan muncul sebagai daratan lumpur tanpa vegetasi sewaktu air surut.
Di belakang dataran lumpur, pada pantai yang ombaknya kuat dan pantainya
berpasir, dapat terbentuk bukit-bukit rendah (beting) pasir pantai. Tanah yang
terbentuk di sini merupakan tanah berpasir. Di belakangnya terdapat danau-danau

kecil dan sempit yang disebut laguna (lagoons), biasanya ditempati tanah-tanah
basah bertekstur liat. Lebih ke dalam ke arah daratan, dijumpai rawa pasang surut
bergaram (tidal salt marsh) yang sebagian masih selalu digenangi pasang dan
ditumbuhi hutan bakau/ mangove. Sebagian lagi, di wilayah belakangnya terdapat
bagian lahan yang kadang masih dipengaruhi air pasang melalui sungai-sungai kecil
(creeks), namun juga sudah ada pengaruh air tawar (fresh-water) yang kuat dari
wilayah hutan rawa dan gambut air tawar yang menempati depresi/cekungan lebih ke
darat. Bagian lahan yang dipengaruhi air payau ini ditumbuhi banyak spesies, tetapi
yang terutama adalah nipah (Nipa fruticans), panggang (Sonneratia acida), dan
pedada (Araliceae).
2.2.

Luas Lahan dan Penyebarannya


Dengan menggunakan peta satuan lahan skala 1 : 250.000, Nugroho et al.

(1992) memperkirakan luas lahan rawa pasang surut di Indonesia, khususnya


Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya mencapai 20,11 juta ha, yang terdiri
dari 2,07 juta ha lahan potensial, 6,71 juta ha lahan sulfat masam, 10,89 juta ha lahan
gambut dan 0,44 juta ha lahan salin. Sedangkan menurut wilayah dan statusnya,
menunjukkan bahwa potensi lahan pasang surut terluas ada di Sumatera, Kalimantan
dan Irian Jaya . Lahan tersebut tersebar terutama di pantai timur dan barat Sumatera,
pantai selatan Kalimantan, pantai barat Sulawesi serta pantai utara dan selatan Irian
Jaya sedangkan sebaran tipologi lahan berbeda menurut wilayah dalam arti bahwa
tiap wilayah dapat mencakup beberapa tipologi lahan dan tipe luapan air.
Dari luas lahan pasang surut tersebut, sekitar 9,53 juta hektar berpotensi
untuk dijadikan lahan pertanian, sedangkan yang berpotensi untuk areal tanaman
pangan sekitar 6 juta hektar. Areal yang sudah direklamasi sekitar 4,186 juta hektar,
sehingga masih tersedia lahan sekitar 5,344 juta hektar yang dapat dikembangkan
sebagai areal pertanian. Dari lahan yang direklamasi, seluas 3.005.194 ha dilakukan
oleh penduduk lokal dan seluas 1.180.876 ha dilakukan oleh pemerintah yang
utamanya untuk daerah transmigrasi dan perkebunan Pemanfaatan lahan yang
direklamasi oleh pemerintah adalah 688.741 ha sebagai sawah dan 231.044 ha
sebagai tegalan atau kebun, sedangkan 261.091 ha untuk keperluan lainnya.
2.3

Prospek Untuk Prosuksi Tanaman Pangan

Berbagai hasil penelitian dan pengalaman memperlihatkan bahwa lahan


pasang surut memiliki prospek yang besar untuk dikembangkan menjadi areal
produksif tanaman pangan untuk mendukung peningkatan ketahanan pangan dan
bahkan untuk diversifikasi produksi dan pengembangan agroindustri serta
pengembangan agribisinis dan lapangan kerja (Ismail et al., 1993).
2.4

Tipologi dan Tipe lahan pasang surut

2.4.1 Tipologi Lahan Pasang Surut


Berdasarkan tipologinya lahan pasang surut digolongkan ke dalam empat
tipologi utama, yaitu:
(1) lahan potensial
Lahan potensial adalah lahan yang paling kecil kendalanya dengan ciri
lapisan pirit (2 %) berada pada kedalaman lebih dari 30 cm, tekstur tanahnya liat,
kandungan N dan P tersedia rendah, kandungan pasir kurang dari 5 persen,
kandungan debu 20 % dan derajat kemasaman 3,5 hingga 5,5 . (Manwan, I.
dkk.1992). Lahan potensial yaitu lahan pasang surut yang tanahnya termasuk tanah
sulfat masam potensial dengan lapisan pirit berkadar 2% terletak pada kedalaman
lebih dari 50 cm dari permukaan tanah (Jumberi)
(2) lahan sulfat masam
lahan sulfat masam adalah lahan yang lapisan piritnya berada pada
kedalaman kurang dari 30 cm dan berdasarkan tingkat oksidadinya lahan sulfat
masam ini dibagi lagi lahan sulfat masam potensial yaitu lahan sulfat masam yang
belum mengalami oksidasi dan lahan sulfat masam aktual yaitu lahan sulfat masam
yang telah mengalami oksidadi. (Manwan, I. dkk.1992).
Lahan sulfat masam ini dibedakan lagi menjadi : (a) lahan sulfat masam
potensial, yaitu apabila lapisan piritnya belum teroksidasi dan (b) lahan sulfat masam
aktual, yaitu apabila lapisan piritnya sudah teroksidasi yang dicirikan oleh adanya
horizon sulfurik dan pH tanah < 3,5. (Jumberi,)
(3) lahan gambut/bergambut
lahan gambut/bergambut adalah lahan yang mempunyai lapisan gambut dan
berdasarkan ketebalan gambutnya lahan ini dibagi ke dalam empat sub tipologi yaitu
lahan bergambut, gambut dangkal, gambut dalam dan gambut sangat dalam,
umumnya lahan gambut kahat beberapa unsur hara mikro yang ketersediaannya

sangat penting untu pertumbuban dan pekermbangan tanaman(Manwan, I.


dkk.1992).
lahan gambut ini dibagi lagi menjadi : (a) lahan bergambut bila ketebalan
lapisan gambut 20-50 cm, (b) gambut dangkal bila ketebalan lapisan gambut 50-100
cm, (c) gambut sedang bila ketebalan lapisan gambut 100-200 cm, (d) gambut dalam
bila ketebalan lapisan gambut 200-300 cm dan (e) gambut sangat dalam bila
ketebalan lapisan gambut > 300 cm. (Jumberi,)
(4) lahan salin
lahan salin adalah lahan pasang surut yang mendapat intrusi air laut, sehingga
mempunyai daya hantar listrik 4 MS/cm, kandungan Na dalam larutan tanah 8 15
% (Manwan, I. dkk.1992).
Lahan salin adalah lahan pasang surut yang mendapat pengaruh atau intrusi
air garam dengan kandungan Na dalam larutan tanah sebesar > 8% selama lebih dari
3 bulan dalam setahun, sedangkan lahannya dapat berupa lahan potensial, sulfat
masam dan gambut. (Jumberi,?)
Berdasarkan pertimbangan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh dalam
pemanfaatan dan pengelolaan lahan rawa adalah: (a) kedalaman lapisan mengandung
pirit/bahan sulfidik, dan kondisinya masih tereduksi atau sudah mengalami proses
oksidasi, (b) ketebalan dan tingkat dekomposisi gambut serta kandungan hara
gambut, (c) pengaruh luapan pasang dari air salin/payau, (d) lama dan kedalaman
genangan air banjir, dan (e) keadaan lapisan tanah bawah, atau substratum.
Penggolongan tipologi lahan pasng surut di atas sangat umum, sehingga
menyulitkan transfer teknologi dalam satu tipologi lahan, oleh karena itu diusulkan
penggelompokkan lahan yang lebih rinci dengan mempertimbangkan berbagai ciri
dan karakteristik yang lebih spesifik
2.4.2 Tipe Luapan air pasang surut
Berdasarkan tipe luapan air, tipe luapan lahan pasang surut: (1) tipe luapan A
bila lahan selalu terluapi air baik pada waktu pasang besar maupun pasang kecil dan
Lahan bertipe luapan A selalu terluapi air pasang, baik pada musim hujan maupun
musim kemarau,; (2) tipe luapan B bila lahannya hanya terluapi oleh air pasang
besar. lahan bertipe luapan B hanya terluapi air pasang pada musim hujan saja; (3)
lahan tidak terluapi air pasang baik pasang besar maupun pasang kecil, tetapi

permukaan air tanah kurang dari 30 cm dari permukaan tanah. Lahan bertipe luapan
C tidak terluapi air pasang tetapi kedalaman muka air tanahnya kurang dari 50 cm,;
(4) tipe luapan D bila lahannya tidak terluapi oleh air pasang baik pasang besar
maupun pasang kecil, tetapi permukaan air tanahnya berada pada kedalaman lebih
dari 30 cm dari permukaan tanah.
Tipologi lahan dan tipe luapan air merupakan acuan yang seharusnya dipatuhi
dalam penerapan paket teknologi agar usahatani yang dikelola dapat memberikan
hasil yang optimal. Paket teknologi usahatani itu sendiri pada garis besarnya berisi:
(1) teknik pengelolaan lahan dan air yang memuat pengaturan pemasukan dan
pengeluaran air baik pada tingkat makro maupun tingkat mikro, penataan dan
pengeolahan lahan; (2) teknik budidaya yang memuat teknik budidaya tanaman, ikan
dan ternak, di dalamnya meliputi vareitas/jenis yang cocok, pupuk dan pemupukkan,
pencegahan dan pengendalian organisme penganggu tanaman (OPT), dan; (3) teknik
reklamsi lahan. Pengelolaan lahan dan air merupakan salah satu faktor penentu
keberhasilan pengelolaan usahatani di lahan pasang surut dalam kaitannya dengan
optimalisasi pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya lahannya ( Alihamsyah, 2003).
Pengaturan pemasukan dan pengeluaran air baik di tingkat makro maupun
ditingkat mikro sangat tergantung dengan tipe luapan air pada satu kawasan tertantu.
Pada lahan yang bertipe luapan A diatur dengan sistem satu arah, lahan yang bertipe
luapan B selain dengan sistem satu arah juga disertai dengan sistem tabat. Sedangkan
lahan yang bertipe luapan C dan D dimana sumber air utamanya adalah air hujan
digunakan sistem tabat yang dilengkapi dengan pintu stoplog untuk menjaga
permukaan air tanah sesuai dengan kebutuhan tanaman dan yang lebih terpenting
adalah agar permukaan air tanah selalu tetap berada pada lapisan pirit dengan
kandungan lebih dari 2% dengan maksud agar tidak terjadi oksidasi. Pada pengaturan
pemasukan dan pengeluaran air satu arah, saluran pemasukkan dan pengeluaran
dibedakan dimana antara saluran pemasukkan dan pengeluaran dibuatkan pintu
engsel (Flape Gate) yang membuka kedalam pada saluran pemasukkan dan
membuka keluar pada saluran pembuangan (Ismail, I.G. dkk. 1993).

2.5

Penataan Lahan di Pasang surut

Penataan lahan yang dianjurkan selain tergantung dari tipologi lahan dan tipe
luapan air juga tergantung dari sistem usahatani yang akan dikelola, apakah hanya
satu jenis tanaman, lebih dari satu jenis tanaman namun memiliki kebutuhan air
dalam veolume yang sama atau meiliki kebutuhan air yang berbeda. Pada lahan yang
tipe luapan air A pilihannya tidak banyak untuk lahan potensial sulfat masam dan
gambut dangkal, dengan karekaterisitik ini pentaan lahan sebaiknya diarahkan
sebagai sawah dan tanaman yang diusahakan hanya padi yang dapat ditanam 2 kali.
Lahan yang bertipe luapan B-C penataaannya dapat diarahkan sebagai sawah/surjan,
surjan bertahap atau tegalan, sedangkan lahan yang bertipe luapan B untuk lahan
potensial, sulfat masam, dan gambut dangkal diarahkan sebagai tegalan dan untuk
gambut sangat dalam tanaman yang disarankan adalah tanaman perkebunan
(Alihamsyah, 2003). Lebih lanjut dikemukakan, penataan lahan sebagai surjan
memiliki keuntungan: (1) intensitas penggunaan lahan meningkat; (2) beragam
produksi pertanian dapat dihasilkan; (3) resiko kegagalan panen dapat dikurangi, dan
(4) stabilitas produksi dan pendapatan usahatani meningkat.
Menurut Widjaja Adhi (1995) dan Subagyo dan Widjaja Adhi (1998), lahan
pasang surut dapat ditata sebagai sawah, tegalan dan surjan disesuaikan dengan tipe
luapan air dan tipologi lahan serta tujuan pemanfaatannya .Secara umum terlihat
bahwa lahan bertipe luapan A yang karena selalu terluapi air pasang dianjurkan ditata
sebagai sawah, sedangkan lahan bertpe luapan B dapat ditata sebagai sawah atan
surjan. Lahan bertipe luapan B/C dan C karena tidak terluapi air pasang tetapi air
tanahnya dangkal dapat ditata sebagai sawah tadah hujan atau surjan bertahap dan
tegalan, sedangkan untuk yang bertipe luapan D ditata sebagai sawah tadah hujan
atau tegalan dan perkebunan. Lahan lahan sulfat masam akan lebih murah dan aman
bila ditata sebagai sawah karena dalam keadaan anaerob atau tergenang, pirit tidak
berbahaya bagi pertumbuhan tanaman. Bila disawahkan tanaman padi kemungkinan
menderita keracunan besi dan/atau sulfida mungkin juga kahat fosfat. Sebaliknya bila
ditanami palawija atau dimanfaatkan sebagai tegalan, tanaman menderita keracunan
Al dan kemungkinan disertai kahat fosfat.
Pemberian bahan amelioran atau bahan pembenah tanah dan pupuk
merupakan faktor penting untuk memperbaiki kondisi tanah dan meningkatkan
produktivitas lahan. Amelioran tersebut dapat berupa kapur atau dolomit maupun

bahan organik atau abu sekam dan serbuk kayu gergajian. Secara umum pemberian
kapur antara 0,5 ton hingga 3,0 ton per hektar sudah cukup memadai (Sudarsono,
1992 dan Trip Alihamsyah 2003).
Salah satu penciri yang spesifik dari lahan pasang surut adalah tingginya
tingkat keragaman kesuburan lahan sekalipun dalam satu petakan sawah. Untuk itu
kisaran dosis pupuk yang dibutuhkan batas antara kebutuhan minimal dengan
kebutuhan maksimal cukup besar (Tabel 2) sedangkan pada lahan gambut terdapat
dosis tunggal namun pada lahan yang bertipologi lahan ini perlu ditambahkan unsur
hara mikro seperti Cu dan Zn, karena umumnya lahan gambut kahat akan unsur hara
mikro (Suryadilaga, D.A., dkk.1992 dan Sudarsono 1992). Untuk mendapatkan dosis
pupuk yang tepat pada tingkat keragaman yang tinggi merupakan suatu masalah
tersendiri dalam mengelola lahan pasang surut untuk pertanian. Di tingkat petani, ini
adalah hal yang sangat sulit dilakukannya, untuk itu peran petugas lapang
mengarahkan petani dalam penentuan dan pemberian pupuk dengan dosis yang
sesuai dengan kebutuhan tanaman sangat dibutuhkan, di lain sisi petugas lapang itu
sendiri perlu dibekali dengan pengetahuan yang memadai.
Selain varietas unggul spesifik lahan pasang surut di atas, beberapa varietas
padi unggul nasional juga dapat beradaptasi dengan baik di lahan pasang surut
dengan hasil yang cukup tinggi. Variertas-vareitas tersebut antara lain adalah
Cisanggarung, Cisadane, Cisokan, IR 42, dan IR66 (Sastraatmaja, S. dan Dadan
Ridwan Ahmad. 2000).

III. PEMBAHASAN
PENERAPAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI LAHAN RAWA PASANG
SURUT
Kesesuaian Inovasi/Karakteristik Lokasi :
Lahan pasang surut di Propinsi Jambi sebagian besar terdapat di Kabupaten
Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur terletak pada 102o70 sampai
dengan 103o00 Bujur Timur dan 01o00 sampai dengan 01o30 Lintang Selatan. Luas

areal potensial untuk pengembangan komoditas pertanian diperkirakan 200.000 ha


dari luas tersebut potensi untuk tanaman pangan 90.000 ha. Kabupaten Tanjung
Jabung Timur merupakan Kabupaten yang memberikan kontribusi terbesar beras di
Propinsi Jambi (Pemda Tanjabtim). secara geografis terletak antara 01

0620-

01o1333 dan 104o0122-104o0906 BT. Lahan pasang surut terbagi atas 4 tipologi
yaitu lahan potensial, sulfat masam, lahan gambut dan salin serta tipe luapan air A,
B, C dan D. Iklimnya type B berdasarkan klasifikasi iklim Schmit dan Ferguson
dengan bulan basah antara 8-10 bulan dan bulan kering 2-4 bulan. Curah hujan
bulanan tertinggi umumnya terjadi pada bulan Desember/januari dan curah hujan
terendah bulan Agustus.
Keunggulan/Nilai Tambah Inovasi :
Penerapan inovasi teknologi tersebut dapat meningkatkan kualitas dan
produktivitas lahan, dapat meningkatkan intensitas penggunaan lahan dan penerapan
beragam pola tanam serta pendapatan petani. Produksi padi meningkat dari 2,5 3
ton/ha menjadi 4-6 ton/ha. Penerimaan usahatani padi per hektar sebesar Rp.
6.250.000 dan keuntungan usahatani padi per hektar yaitu Rp. 3.303.000.
Uraian Inovasi :
Tabel 1. Inovasi teknologi sistem usahatani padi di lahan pasang surut
No

Komponen Teknologi

Inovasi teknologi

1.

Pola tanam dan penataan lahan

Sesuai dengan tipologi lahan dan tipe luapan air


Padi-Padi
Padi-Palawija/Hortikultura

2.

Pengelolaan tata air


- Makro

Saluran Primer, Sekunder, Pintu air

- Mikro

Saluran kemalir/cacing (20x30 cm)


Saluran kuarter (60x60 cm)
Saluran terier (75x70 cm)

3.

Pengelolaan lahan

Olah tanah dan TOT dengan herbisida

4.

Varietas

Batanghari, IR 42, Indragiri, Margasari, Sei


Punggur, Lambur. Banyuasin.

5.

Pemupukan

dan

Ameliorasi Sesuai dengan tipologi lahan

(kg/ha)

6.

Urea

100-300

SP

120-180

KCl

100-150

Dolomit

1000-3000

CuSO4

ZnSO4

10

Pengendalian hama/penyakit

PHT

Cara Penggunaan Inovasi :


Pola Tanam dan Penataan Lahan
Pola tanam dengan penataan lahan sawah pada tipe luapan A adalah padipadi. Sedangkan pola tanam dengan penataan lahan sawah atau surjan pada tipe
luapan air B adalah padi-padi dan padi- palawija/hortikultura.
Tabel 2. Acuan penataan lahan masing-masing tipologi lahan dan tipe luapan air di lahan
pasang surut.
Tipologi
Lahan
Potensial
Sulfat

Tipe luapan air


A

Sawah

Sawah/surjan

Sawah/surjan/tegalan Sawah/tegalan/

Sawah/surjan

kebun
Sawah/surjan/tegalan Sawah/tegalan/

Sawah

masam
Bergambut

Sawah

Sawah/surjan

Sawah/tegalan

kebun
Sawah/tegalan/

Gambut

Sawah

Sawah/surjan

Sawah/tegalan

kebun
Tegalan/kebun

dangkal
Gambut

Konservasi

Tegalan/perkebunan

Perkebunan

sedang
Gambut

Konservasi

Tegalan/perkebunan

Perkebunan

dalam
Salin

Sawah/tambak

Sawah/tambak

Tata Air
Pengelolaan tata air makro dan mikro merupakan faktor penentu keberhasilan
pengelolaan lahan pasangsurut. Pengoperasian dan perawatan tata air makro
(meliputi jaringan saluran primer, sekunder dan tertier serta pintu air) selama ini
menjadi tanggung jawab Dinas PU sedangkan tata air mikro (jaringan saluran
kuarter, saluran keliling dan cacing) menjadi tanggung jawab petani. Saluran
cacing/kemalir dibuat dengan jarak 9 m dan 12 m. Pada lahan bertipe lupan air A
diatur dalam system aliran satu arah sedangkan pada lahan bertipe luapan air B diatur
dengan system satu arah dan tabat, karena air pasang pada musim kemarau sering
tidak masuk kepetakan lahan. Sistem tata air pada tipe luapan air C dan D ditujukan
untuk menyelamatkan air, karena sumber air hanya berasal dari air hujan. Oleh
karena itu saluran air pada system tata air di lahan bertipe luapan air C dan D perlu
ditabat dengan pintu air stoplog unuk menjaga permukaan air tanah agar sesuai
dengan kebutuhan tanaman serta memungkinkan air hujan tertampung dalam saluran
tersebut.
Varietas
Varietas unggul yang beradaptasi baik di sawah lahan pasang surut dengan
tingkat kemasman dan kadar besinya tidak terlalu tinggi adalah kapuas,
Cisanggarung, Cisadane, Cisokan, IR 42, Batanghari, Indragiri, Punggur. Pada lahan
dengan kemasaman dan kadar besinya tinggi dapat digunakan varietas unggul lokal
seperti Ceko, Siam, Sepulo, Pontianak.
Pengelolaan Lahan
Penyiapan lahan dengan pengolahan tanah di lahan pasang surut diperlukan
selain untuk memperbaiki kondisi lahan menjadi lebih seragam dan rata dengan
adanya penggemburan dan pelumpuran juga untuk mempercepat proses pencucian
bahan beracun dan pencampuran bahan ameliorasi maupun pupuk dengan tanah .
Pengolahan tanah yang memberikan hasil baik dari segi fisik lahan dan hasil tanaman
adalah dengan bajak singkal atau tajak diikuti oleh rotary atau glebeg yang
dikombinasikan dengan herbisida . Bila tanahnya sudah gembur atau berlumpur baik
dan merata yang umumnya dijumpai pada lahan bergambut dengan tipe luapan air A
dan B, pengolahan tanah secara intensif tidak diperlukan tetapi diganti dengan

pengolahan tanah minimum atau tanpa olah tanah (TOT) yang dikombinasikan
dengan penggunaan herbisida. Hal ini menunjukkan bahwa dilahan pasang surut
untuk pengolahan tanahnya tergantung kondisi lahannya. Walaupun pengolahan
tanah diperlukan tapi tidak harus dilakukan setiap musim, karena pengolahan tanah
yang dilakukan selang dua musim tanam tidak menurunkan hasil tanaman.
Ameliorasi dan Pemupukan
Pemberian bahan amelioran atau bahan pembenah tanah dan pupuk
merupakan faktor penting unuk memperbaiki kondisi tanah dan meningkatkan
produktivitas lahan. Bahan tersebut dapat berupa kapur atau dolomit maupun bahan
organik atau abu sekam dan serbuk kayu gergajian. Pemberian kapur sebanyak 1-2
ton/ha mampu meningkatkan hasil padi dan palawija, untuk keperluan praktis secara
umum pemberian kapur sebanyak 0,5 1 ton/ha sudah cukup memadai. Dari
serangkaian kegiatan hasil penelitian pengelolaan hara dan pemupukan dapat
disintesiskan dosis optimum untuk tanaman padi tertera pada tabel 2 . Takaran
pupuk dilahan pasang surutt perlu disesuaikan dengan status hara tanah, hal ini
berdasarkan serangkaian penelitian pemupukan berdasarkan status hara tanah untuk
tanaman padi varietas yang kurang tanggap terhadap pupuk N seperti varietas
Margasari.
Tabel 2. Dosis pupuk dan bahan amelioran untuk tanaman padi di lahan pasang surut
Jenis Pupuk

Lahan potensial

Lahan sulfat masam

(kg/ha)
N atau urea
P2O5 atau SP36
K2O atau KCl
CuSO4 atau terusi
ZnSO4
Kapur atau dolomite

potensial
45-90 =100-200 67,5-135 =150-300
22,5-45= 60-120 45,0-70 =120-180
50=100
45,0-70 = 90-150
1000-3000

Lahan gambut
45=100
60=160
50=100
5
10
1000-2000

Pengendaliaan Hama Terpadu


Penyebab utama tingginya intensitas serangan hama dan penyakit adalah 1)
kedekatan lokasi lahan pasang surut dengan hutan terutama lahan yang baru dibuka

dan 2) sempitnya areal pertanaman varietas unggul sehingga serangan hama dan
penyakit terkosentrasi. Pada dasarnya pengendalian dilakukan mengacu pada strategi
pengelolaan hama terpadu (PHT), yaitu melalui penggunaan varietas tahan dan
musuh alami, teknik budidaya yang baik dan sanitasi lingkngan. Penggunaan
pestisida kimiawi dilakukan sebaagai tindakan terakhir. Startegi dan cara
pengendaliaan terpadu hama tikus di lahan pasang surut disajikan pada tabel 3.
Strategi pengendalian tikus tersebut didasarkan pada kombinasi dan cara
pengendalian berdasarkan stadia tanaman padi dilapangan. Untuk keberhasilan
pengendalian hama dan penyakit diperlukan dukungan petani dan aparat serta sarana
dan prasarana penunjang yang mewadai.
Tabel 3. Strategi dan cara pengendalian hama tikus di lahan pasang surut
Stadia tanaman
padi

Komponen teknologi pengendaliaan


Gropyokan Umpan
Fumigasi

SPP

beracun
*
*

Perangkap
bambu

Bera
*
*
Persemaian
*
*
Anakan aktif
*
*
Bunting
*
*
*
Bermalai
*
*
Panen
*
*
SPP : Sistem pagar perangkap untuk 1 ha dengan 40 buah bagi 20 ha tanaman padi
Informasi Lain Yang Perlu Ditonjolkan :
-

Tata air mikro dapat mengurangi kemasaman tanah dan kandungan besi yang
merupakan kendala utama dilahan pasang surut

Sistem TOT disertai dengan penyemprotan herbisida Glyfosat sebanyak 6 l/ha


pada lahan sulfat masam dan bergambut yang sudah melumpur selain dapat
mengurangi waktu kerja 70-75 % juga meningkatkan hasil padi.

Keseimbangan hara N, P, K dan Ca sangat penting dalam pengelolaaan hara dan


pemupukan dilahan pasang surut. Dengan pemberian hara secara lengkap dapat
meningkatkan hasil padi dari 0,64 ton/ha menjadi 4,24 ton/ha sampai 6,0 ton/ha
2.8 Kelebihan dan Kekurangan dari lahan pasang surut
Kelebihan dari tanah pasang surut:

Memanfaatkan lahan yang diperkirakan lahan yang tidak dapat di gunakan oleh
lahan pertanian

Memaksimalkan lahan yang terdapat disuatu daerah

Mungurangi tingkat penggangguran di daerah yang memiliki lahan pasang surut


kekurangan tanah pasang surut:

Adanya perluasan wilayah pasang surut yang disebabkan karena pendangkalan di


tepian rawa, sehingga wilayah rawa menyempit. Hal ini dapat dipercepat dengan
kebiasaan membuang limbah sisa panen (jerami) ke dalam rawa.

Pencucian unsur hara dan kegiatan pemupukan yang menyebabkan eutrofikasi.


Akibat pemupukan 300 Sittadewi, E. H. 2008 anorganik, menimbulkan adanya
kekhawatiran bahwa pada saat air pasang, unsur unsur terlarut masuk dalam
lingkungan perairan. Hal ini dapat menimbulkan suburnya berbagai species
tumbuhan aquatik maupun semi aquatik seperti eceng gondok, jenis rumput dll. Hal
inilah yang dapat menyebabkan eutrofikasi.

Peningkatan kadar keasaman lahan karena pelapukan bahan organik dan kelarutan
zat tertentu serta pencucian zat kimia dan penyemprotan pestisida, herbisida, zat
pengatur tumbuh yang dipergunakan oleh petani. Jika residu atau senyawa yang ikut
terlarut dalam air irigasi dan masuk dalam lingkungan perairan rawa akan
mempengaruhi kualitas air rawa dan kehidupan di dalamnya termasuk populasi ikan.

Penggarapan lahan pasang surut menjadikan lahan subur bagi berbagai jenis
tumbuhan liar, selain tanaman budidaya. Jika lahan tersebut kemudian dibiarkan
menjadi bero, dengan cepat akan tumbuh berbagai jenis tumbuhan liar. Hadirnya
species tumbuhan terjadi secara bergantian melalui proses adaptasi dan suksesi, dapat
merubah lahan secara perlahan.

Pengolahan lahan, pada dasarnya menyebabkan partikel tanah lepas sehingga


rawan terhadap erosi. Bila hal ini terjadi, erosi tersebut akan mempercepat proses
penambahan sedimen ke dasar perairan rawa.( Hanggari,2008)
http://rahmanfauzii.blogspot.co.id/2013/06/sawah-pasang-surut.html

Anda mungkin juga menyukai