A. PENDAHULUAN
Sebelum mengetahui lebih jauh tentang jenis lahan dan penggunaanya, perlu kita
ketahui definisi lahan dan tanah. Tanah dan lahan memiliki pengertian yang berbeda.
Jawaban masyarakat mengenai tanah dan lahan tergantung berdasarkan sudut pandang
masing-masing. Hal ini karena tanah dan lahan memiliki kegunaan yang sangat luas.
Tanah merupakan komponen lahan, yaitu bangunan alam yang tersusun atas horizon yang
terdiri dari bahan mineral dan organik, tidak padu, dan mempunyai ketebalan yang
beragam. Istilah tanah berasal dari Bahasa Yunani yang artinya lantai. Beberapa ahli
kimia, seperti Liebig, menganggap tanah sebagai gudang cadangan makanan bagi
tumbuhan. Sedangkan para ahli geologi terdahulu menganggap tanah sebagai hasil
lapukan batuan. Kedua konsep ini tidak salah, namun keduanya belum lengkap. Kata
tanah memiliki beberapa definisi dari berbagai literatur baik itu referensi dari google
maupun buku. Namun demikian, secara umum definisi tanah adalah tubuh alam yang
tersusun dari padatan (bahan mineral dan organik), cair dan gas, yang ada di permukaan
bumi. Terdapat istilah lain yang berkaitan dengan tubuh alami di permukaan bumi, yaitu
lahan. Definisi tanah memiliki pengertian terbatas dibanding lahan.
Lahan memiliki definisi sangat luas karena mencakup bentang alam dan isinya
yang ada di muka bumi ini. Para ahli memberikan beberapa definisi mengenai lahan.
Definisi lahan menurut Dent dan Young (1981) adalah bagian daratan dari permukaan
bumi sebagai suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor-faktor
yang mempengaruhi penggunaannya seperti iklim, relief, geologi, dan hidrologi yang
terbentuk secara alami maupun akibat aktivitas manusia. Secara keilmuan, definisi ini
menjadi patokan utama. Menurut Arsyad (1989) Lahan diartikan sebagai lingkungan
fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang diatasnya
sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan, termasuk didalamnya hasil
kegiatan manusia dimasa lalu dan sekarang seperti hasil reklamasi laut, pembersihan
vegetasi dan juga hasil yang merugikan seperti yang tersalinasi. Lahan juga diartikan
sebagai permukaan daratan dengan benda-benda padat, cair bahkan gas (Rafi’l, 1985).
Menurut Purwodido (1983) definisi lahan adalah suatu lingkungan fisik yang mencakup
iklim, relief tanah, hidrologi, dan tumbuhan yang sampai pada batas tertentu akan
mempengaruhi kemampuan penggunaan lahan.
Definisi lain yang hampir mirip dengan sebelumnya yaitu bahwa lahan adalah
suatu daerah dipermukaan bumi dengan sifat-sifat tertentu yang meliputi biosfer,
atmosfer, tanah, lapisan geologi, hidrologi, populasi tanaman dan hewan serta hasil
kegiatan manusia masa lalu dan sekarang, sampai pada tingkat tertentu dengan sifat-sifat
tersebut mempunyai pengaruh yang berarti terhadap fungsi lahan oleh manusia pada
masa sekarang dan masa yang akan datang. (FAO dalam Sitorus, 2004).
Ilmu yang mempelajari tentang lahan disebut geomorfologi. Meskipun sasaran
atau objek yang dikaji geomorfologi itu adalah bentuk muka bumi, tetapi ternyata
penekanan kajiannya menunjukkan perubahan dari waktu ke waktu. Hal tersebut dapat
diketahui dari definisi-definisi yang dikemukakan penulis terhaduhulu seperti dibawah
ini.
1. Geomorfologi adalah studi bentuk lahan (Lobeck, 1939)
2. Geomorfologi adalah ilmu pengetahuan tentang bentuk lahan (Thornbury, 1954)
3. Geomorfologi adalah studi evolusi bentuk lahan, terutama yang dihasilkan oleh erosi
(Small, 1968)
4. Geomorfologi adalah studi bentuk lahan, terutama mengenai watak atau sifat
alaminya, asal mula (genesis), proses perkembangan, dan komposisi materialnya
(Cooke et al., 1974)
5. Geomorfologi adalah studi yang menguraikan bentuk lahan dan proses-proses yang
memengaruhi pembentukannya, dan menyelidiki hubungan antara bentuk lahan dan
proses menurut tatanan keruangannya (Van Zuidam et al., 1979)
Atas dasar definisi diatas, jelas bahwa objek kajian geomorfologi adalah bentuk
lahan.
Gambar 1. Definisi Lahan
Sumber : https://www.slideshare.net/aqyudenganmyu/metode-matching
Sumber daya lahan pertanian merupakan komponen utama dalam produksi bahan
pangan dan tidak dapat digantikan dengan peralatan seperti mekanisasi pertanian. Lahan
yang terkandung didalamnya seperti tanah, air dan tanaman serta aspek hidrologinya
merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang sangat penting bagi manusia dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Meskipun demikian, jika manusia tidak pandai dalam
memanajemen lahan maka lahan tersebut akan mengalami degradasi dan dapat
merugikan manusia itu sendiri khususnya dan merusak lingkungan sekitar pada
umumnya.
Lahan garapan dan lahan tanaman permanen dapat disebut sebagai "lahan budidaya".
Sedangkan lahan usaha tani merujuk pada lahan yang tidak hanya digunakan untuk budi daya
tanaman saja, tetapi juga mencakup struktur fisik seperti gudang pertanian dan kandang serta
memiliki struktur ekonomi yang lebih rumit.
Dalam konteks zonasi lahan, lahan pertanian merujuk kepada lahan yang digunakan untuk
aktivitas pertanian dan tidak bergantung pada jenis dan kualitas lahan. Di beberapa tempat, lahan
pertanian dilindungi hukum sehingga dapat ditanami tanpa terancam pembangunan. Seperti
contoh lahan pertanian yang ada di British Columbia, Kanada
Pada umumnya lahan pertanian terdiri dari dua macam, yaitu lahan basah dan lahan kering.
Kedua jenis lahan tersebut memiliki tujuan yang sama bagi petani yaitu untuk bercocok tanam.
Berikut ini adalah penjelasan dua macam bentuk fisik dan ekosistem lahan pertanian, yaitu :
1. Lahan Basah
Lahan basah atau wetland adalah wilayah-wilayah di mana tanahnya jenuh dengan air, baik
bersifat permanen (menetap) atau musiman. Lahan basah adalah suatu wilayah yang tergenang
air, baik alami maupun buatan, tetap atau sementara, mengalir atau tergenang, tawar asin atau
payau, termasuk di dalamnya wilayah laut yang kedalamannya kurang dari 6 m pada waktu air
surut paling rendah. Wilayah-wilayah itu sebagian atau seluruhnya kadang-kadang tergenangi
oleh lapisan air yang dangkal.
Manfaat Lahan Basah, antara lain:
1) Mencegah banjir
2) Mencegah abrasi pantai
3) Mencegah intrusi air
4) Menghasilkan material alam yang bernilai ekonomis
5) Menyediakan manusia akan air minum, irigasi, mck, dsb.
6) Sebagai sarana transportasi
7) Sebagai sarana pendidikan dan penelitian
Berikut ini adalah jenis-jenis lahan basah, diantaranya :
A. Sawah
Sawah adalah sebidang lahan pertanian yang kondisinya selalu ada dalam kondisi basah
dan kadar air yang dikandungnya selalu di atas kapasitas lapang. Sebidang sawah dicirikan oleh
beberapa indicator, yaitu :
1) Topografi selalu rata
2) Dibatasi oleh pematang
3) Diolah selalu pada kondisi berair
4) Ada sumber air yang kontinyu, kecuali sawah tadah hujan an sawah rawa
5) Kesuburan tanahnya relative stabil meskipun diusahakan secara intensif, dan
6) Tanaman yang utama diusahakan petani padi sawah
Sawah berdasarkan sistem irigasinya / pengairan dibedakan menjadi beberapa macam sebagai
berikut :
1) Sawah pengairan teknis
Sawah pengairan teknis adalah sawah yang bersumber pengairannya berasal dari sungai, artinya
selalu tersedia sepanjang sepanjang tahun, dan air pengairan yang masuk ke saluran primer,
sekunder, dan tersier volume terukur. Oleh karena itu, pola tanam pada sawah teknis ini lebih
fleksibel dibandingkan dengan sawah lainnya. Ciri sawah jenis ini dalam pola tanamnya
sebagian besar selalu padi – padi, meskipun ada pola tanam lain biasanya terbatas di daerah –
daerah yang para petaninya sudah mempunyai orientasi ekonomi yang tinggi, seperti di daerah
kebupaten Kuningan dan kabupaten Garut.
2) Sawah pengairan setengah teknis
Sawah pengairan setengah teknis adalah sawah yang sumber pengairannya dari sungai,
ketersediaan airnya tidak seperti sawah pengairan teknis, biasanya air tidak cukup tersedia
sepanjang tahun. Pola tanam pada sawah ini biasanya padi – palawija atau palawija – padi.
Sawah tipe ini banyak terdapat di daerah kabupaten Garut bagian selatan, kabupaten Cianjur
selatan, dan kabupaten Sukabumi selatan.
3) Sawah pengairan pedesaan
Sawah pengairan pedesaan adalah sawah yang sumber pengairannya berasal dari sumber-
sumber air yang terdapat di lembah-lembah bukit yang ada di sekitar sawah yang bersangkutan.
Prasarana irigasi seperti saluran, bendungan dibuat oleh pemerintah desa dan petani setempat,
serta bendungan irigasi umumnya tidak permanen. Pola tanam pada sawah pengairan pedesaan
ini biasanya padi – padi, dan padi – palawija, atau padi – bera. Petani yang melakukan padi –
padi biasanya terbatas di daerah-daerah yang berdekatan degan sumber air saja, sedangkan yang
jauh biasanya hanya ditanami padi sekali saja pada musim hujan dan pada musim kemarau
dibiarkan bera. Sawah jenis ini hampir di seluruh kabupaten ada namun luasanya terbatas sekali.
4) Sawah tadah hujan
Sawah tadah hujan adalah sawah yang sumber pengairannya bergantung pada ada atau tidaknya
curah hujan. Sawah jenis ini biasanya terdapat di daerah-daerah yang topografinya tinggi dan
berada di lereng-lereng gunung atau bukit yang tidak memungkinkan dibuat saluran irigasi. Oleh
karena itu, pada sawah semacam ini pola tanamnya adalah padi – bera, padi – palawija, dan
palawija – padi.
5) Sawah rawa
Sawah rawa adalah sawah yang sumber airnya tidak dapat diatur. Karena sawah ini kebanyakan
terdapat di daerah lembah dan cekungan atau pantai. Kondisinya selalu tergenang air karena
airnya tidak dapat dikeluarkan atau diatur sesuai dengan kebutuhan. Ciri utama sawah rawa
adalah diolah atau ditanami pada musim kemarau dan dipanen menjelang musim hujan.
Tanaman yang utama adalah padi rawa yang mempunyai sifat tumbuhnya mudah menyesuaikan
dengan permukaan air apabila tergenang melebihi batas permukaan atau dilanda banjir. Sawah
rawa banyak terdapat di kabupaten Kawarang sebelah utara, kabupaten Indramayu, dan di pulau-
pulau luar Jawa, seperti Kalimantan Selatan, Jambi, Sumatera Selatan.
6) Sawah rawa pasang surut
Sawah rawa pasang surut adalah sawah yang system pengairannya dipengaruhi naik dan
turunnya air laut (pasang laut). Ciri khas sawah pasang surut ini adalah bahwa pengolahan tanah
sangat sederhana yaitu hanya pembabatan rumput pada musim kemarau menjelang musim hujan
tiba dan panen pada musim hujan. Sawah rawa pasang surut ini banyak terdapat sepanjang
sungai yang besar – besar seperti di Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, dan Irian Jaya.
7) Sawah Lebak
Sawah lebak adalah sawah yang terdapat dikanan-kiri tebing sungai dan di delta-delta sungai
yang besar. Sawah ini sumber pengairannya dari sungai yang bersangkutan. Pemasukan airnya
dilakukan dengan memakai alat pengeduk seperti timba atau kincir air yang dibuat di sebelah kiri
kanan sawah yang bersangkutan. Sawah jenis ini biasanya ada pada musim kemarau ketika air
sungai yang bersangkutan surut, pengolahan dan penanaman pada musim kemarau dan panen
menjelang musim hujan. Sawah lebak terdapat di Jawa Timur lembah Bengawan Solo, Kali
Berantas, dan Delta Musi di Sumatera Selatan.
B. Rawa
Lahan rawa adalah lahan genangan air secara ilmiah yang terjadi terus-menerus atau musiman
akibat drainase yang terhambat serta mempunyai ciri-ciri khusus secara fisika, kimiawi dan
biologis / semua macam tanah berlumpur yang terbuat secara alami, atau buatan manusia dengan
mencampurkan air tawar dan air laut, secara permanen atau sementara, termasuk daerah laut
yang dalam airnya kurang dari 6 m pada saat air surut yakni rawa dan tanah pasang surut. Rawa-
rawa adalah gudang harta ekologis untuk kehidupan berbagai macam makhluk hidup. Rawa-rawa
juga disebut "pembersih alamiah", karena rawa-rawa itu berfungsi untuk mencegah polusi atau
pencemaran lingkungan alam. Dengan alasan itu, rawa-rawa memiliki nilai tinggi dalam segi
ekonomi, budaya, lingkungan hidup dan lain-lain, sehingga lingkungan rawa harus tetap dijaga
kelestariannya.
C. Hutan mangrove
suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna
dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang
komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusmana et al, 2003). Kata mangrove
merupakan kombinasi antara bahasa Portugis ”Mangue” dan bahasa Inggris ”grove” (Macnae,
1968 dalam Kusmana et al, 2003). Dalam bahasa inggris kata mangrove digunakan baik untuk
komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut maupun untuk individu-
individu jenis tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Hutan mangrove dikenal juga
dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen dan hutan payau (bahasa Indonesia).
Selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang
berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Mangrove tersebar di seluruh lautan tropik
dan subtropik, tumbuh hanya pada pantai yang terlindung dari gerakan gelombang; bila keadaan
pantai sebaliknya, benih tidak mampu tumbuh dengan sempurna dan menjatuhkan akarnya.
Pantai-pantai ini tepat di sepanjang sisi pulau-pulau yang terlindung dari angin, atau serangkaian
pulau atau pada pulau massa daratan di belakang terumbu karang di lepas pantai yang terlindung
(Nybakken, 1998).
D. Terumbu karang
: sekumpulan hewan karang yang bersimbiosis dengan sejenis tumbuhan alga yang disebut
zooxanhellae. Hewan karang bentuknya aneh, menyerupai batu dan mempunyai warna dan
bentuk beraneka rupa. Hewan ini disebut polip, merupakan hewan pembentuk utama terumbu
karang yang menghasilkan zat kapur. Polip-polip ini selama ribuan tahun membentuk terumbu
karang. Zooxanthellae merupakan suatu jenis algae yang bersimbiosis dalam jaringan karang.
Zooxanthellae ini melakukan fotosintesis menghasilkan oksigen yang berguna untuk kehidupan
hewan karang.
E. Padang lamun
Ekosistem khas laut dangkal di perairan hangat dengan dasar pasir dan didominasi tumbuhan
lamun, sekelompok tumbuhan anggota bangsa Alismatales yang beradaptasi di air asin. Padang
lamun hanya dapat terbentuk pada perairan laut dangkal (kurang dari tiga meter) namun dasarnya
tidak pernah terbuka dari perairan (selalu tergenang). Terkadang, vegetasi lamun dijumpai
setelah vegetasi mangrove dan fungsinya dapat berperan sebagai filter lumpur /tanah yang
hanyut bersama air ke pantai setelah mampu lolos tertahan oleh perakaran vegetasi mangrove.
Padang lamun juga dapat dilihat sebagai ekosistem antara ekosistem mangrove dan terumbu
karang. Di Taman Nasional Komodo, lamun adalah sumber pakan utama duyung.
F. Danau
suatu cekungan pada permukaan bumi yang berisi air. Danau dapat memiliki manfaat serta
fungsi seperti untuk irigasi pengairan sawah, ternak serta kebun, sebagai objek pariwisata,
sebagai PLTA atau pembangkit listrik tenaga air, sebagai tempat usaha perikanan darat, sebagai
sumber penyediaan air bagi makhluk hidup sekitar dan juga sebagai pengendali banjir dan erosi.
Berikut ini adalah jenis-jenis danau yang ada di Indonesia :
1. Danau Buatan / Waduk : danau yang secara sengaja dibuat oleh manusia untuk memenuhi
kebutuhan air pertanian, perikanan darat, air minum, dan lain sebagainya. Contoh : Waduk
Jatiluhur di Jawa Barat.
2. Danau Karst : danau yang berada di daerah berkapur di mana yang berukuran kecil disebut
doline dan yang besar dinamakan uvala.
3. Danau Tektonik : danau yang terjadi akibat adanya aktivitas / peristiwa tektonik yang
mengakibatkan permukaan tanah pada lapisan kulit bumi turun ke bawah membentuk cekung
dan akhirnya terisi air. Contoh yakni : Danau Toba di Sumatera Utara.
4. Danau Vulkanik / Danau Kawah : danau yang terbentuk pada bekas kawah gunung berapi.
Contoh yaitu : Danau Batur di Bali.
G. Sungai
Sungai adalah bagian permukaan bumi yang terbentuk secara alami dan letaknya lebih rendah
dari tanah di sekitarnya dan menjadi tempat / saluran mengalirnya air tawar dari darat menuju ke
laut, danau, rawa atau ke sungai yang lain.
Ada bermacam-macam jenis sungai. Berdasarkan sumber airnya sungai dibedakan menjadi tiga
macam yaitu: sungai hujan, sungai gletser, dan sungai campuran.
i. Sungai Hujan : sungai yang airnya berasal dari air hujan atau sumber mataair. Contohnya
adalah sungai-sungai yang ada di pulau Jawa dan Nusa Tenggara.
ii. Sungai Gletser : sungai yang airnya berasal dari pencairan es. Contoh sungaiyang airnya
benar-benar murni berasal dari pencairan es saja (ansich) boleh dikatakan tidak ada, namun pada
bagian hulu sungai Gangga di India (yang berhulu di Peg.Himalaya) dan hulu sungai Phein di
Jerman (yang berhulu di Pegunungan Alpen) dapat dikatakan sebagai contoh jenis sungai ini.
iii. Sungai Campuran : sungai yang airnya berasal dari pencairan es (gletser) ,dari hujan, dan dari
sumber mata air. Contoh sungai jenis ini adalah sungai Diguldan sungai Mamberamo di Papua
(Irian Jaya).
Berdasarkan debit airnya (volume airnya), sungai dibedakan menjadi 4 macam, yaitu sungai
permanen, sungai periodik, sungai episodik, dan sungai ephemeral
i. Sungai Permanen : sungai yang debit airnya sepanjang tahun relatif tetap. Contoh sungai jenis
ini adalah sungai Kapuas, Kahayan, Barito dan Mahakam diKalimantan. Sungai Musi,
Batanghari dan Indragiri di Sumatera.
ii. Sungai Periodik : sungai yang pada waktu musim hujan airnya banyak,sedangkan pada
musim kemarau airnya kecil. Contoh sungai jenis ini banyak terdapatdi pulau Jawa misalnya
sungai Bengawan Solo, dan sungai Opak di Jawa Tengah.Sungai Progo dan sungai Code di
Daerah Istimewa Yogyakarta serta sungai Brantasdi Jawa Timur.
iii. Sungai Episodik : sungai yang pada musim kemarau airnya kering dan padamusim hujan
airnya banyak. Contoh sungai jenis ini adalah sungai Kalada di pulauSumba.
iv. Sungai Ephemeral : sungai yang ada airnya hanya pada saat musim hujan.Pada hakekatnya
sungai jenis ini hampir sama dengan jenis episodik, hanya sajapada musim hujan sungai jenis ini
airnya belum tentu banyak.
2. Lahan Kering
Lahan kering adalah lahan yang digunakan untuk usaha petanian dengan menggunakan air
secara terbatas dan biasanya mengharapkan dari curah hujan. Lahan ini memiliki kondisi agro-
ekosistem yang beragam, umumnya berlereng dengan kondisi kemantapan lahan yang kurang
atau peka terhadap erosi terutama bila pengolahannya tidak memperhatikan kaidah konservasi
tanah.
Lahan usahatani kering menurut keadaan fisiknya dapat dibedakan atas :
1) Ladang
lahan usahatani kering yang bersifat berpindah-pindah. Cara terbentuknya ladang adalah sebagai
berikut, hutan ditebang lalu di bakar, setelah dibakar lalu ditanami pada ladang / huma atau
palawija seperti jagung, kacang-kacangan, dll. Baik yang ditanam secara tersendiri maupun
dengan cara tumpangsari. Setiap lahan ladang ini biasanya hanya untuk empat sampai enam
musim tanam saja, untuk selanjutnya ditinggalkan yang kemudian hari dapat dibuka kembali
setelah subur kembali. Biasanya pada waktu akhir ditanami, ladang tersebut ditanami tanaman
tahunan seperti karet atau kopi sebagai bukti bahwa ladang tersebut telah ada yang
menguasainya, dan berfungsi sebagai batas apabila di kemudian hari akan dibuka kembali.
Dari gambaran di atas, dapat disimpulkan pada lahan ladang ini petani tidak melakukan usaha
pelestarian kesuburan lahan. Peningkatan produktivitas lahan terjadi secara alami saja, karena itu
apabila pengembalian produktivitas tersebut tidak berjalan dengan baik, maka menimbulkan
padang alang-alang secara meluas. Ladang lahan ini banyak terdapat di Sumatera bagian selatan,
Lampung, dan Kalimantan Selatan. Sistem usaha berladang (shift-ing cultivation) ini merupakan
salah satu usaha pemborosan sumber daya alam tanah.
2) Tegalan
Kelanjutan dari system berladang, hal ini terjadi apabila hutan yang mungkin dibuka untuk
kegiatan usaha pertanian tidak memungkinkan lagi. Lahan usahatani tegalan sifatnya sudah
menetap. Pola tanam biasanya campur atau tumpang sari antara padi ladang dan palawija
(jagung, kacang-kacangan, ubikayu, dll). Di lahan tegal biasanya hanya diusahakan pada musim
hujan saja, sedangkan pada musim kemarau diberakan (dibiarkan) tidak ada tanaman. Pada lahan
tegal, usaha pelestarian produktivitas sudah ada dengan cara pemupukan meskipun terbatas pada
saat ditanami saja, sedangkan pelestarian selanjutnya berjalan secara alami, atau dibiarkan
tumbuh tanaman liar, yang selanjutnya dibabat pada saat akan ditanami kembali dengan dengan
tanaman ekonomi. Produktivitas lahan ini umumnya rendah dan tidak stabil karena keadaan
topografinya tidak mendatar dan tidak dibatasi oleh pematang atau sengkedan penahan erosi.
3) Kebun :
lahan pertanian / usahatani yang sudah menetap, yang ditanami tanaman tahunan secara
permanen / tetap, baik sejenis meupun secara campuran. Tanaman yang biasa ditanam di lahan
kebun antara lain kelapa dan jenis buah-buahan, seperti mangga, rambutan, dll.
4) Pekarangan
Sebidang lahan usahatani yang ada di sekitar rumah yang dibatasi oleh pagar tanaman hidup atau
pagar mati. Tanaman yang bisa ditanami di pekarangan adalah buah-buahan, sayur untuk
memelihara ternak unggas atau terbak kecil, seperti kambing dan biri-biri.
5) Kolam
Lahan usaha basah tetapi ada di lingkungan kering. Kolam dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu
kolam air diam dan kolam air deras (running water). Kolam biasa digunakan untuk memelihara
ikan atau katak hijau. Usahatani di kolam biasanya dilakukan secara kontinyu dengan periode
produksi sekitar 3 -6 bulan. Jadi dalam setahun dapat empat atau dua kali panen, ikan yang
dipelihara di kolam biasanya secara campur atau secara tunggal / satu jenis ikan. Usahatani ikan
di kolam ada yang bersifat komersial dan ada juga bersifat hanya untuk keperluan keluarga saja.
6) Tambak :
Tempat usaha pemeliharaan ikan yang airnya payau (campran ai laut dan air tawar). Lokasi
tambak umumnya di daerah pantai. Jenis ikan yang dipelihara di tambak, antara lain bandeng,
udang, nila, baik secara tunggal atau campuran.
C. Tipologi Lahan
Tipologi lahan adalah kelas kesesuaian lahan berdasarkan ketersediaan sumber air untuk
tanaman tersebut, meliputi : irigasi, rawa pasang surut dan/atau lebak dan non irigasi (P.P 25
tahun 2012). Berikut ini akan dijelaskan beberapa tipologi lahan.
1. Lahan pegunungan
Dalam budidaya pertanian di lahan pegunungan yang tidak rawan longsor dan erosi, jenis
tanaman yang akan dikembangkan dipilih sesuai dengan persyaratan tumbuh masing-masing
jenis tanaman. Hal ini penting untuk optimasi pemanfaatan lahan, peningkatan produktivitas,
efisiensi, dan keberlanjutan usahatani. Pengelompokan jenis tanaman pangan, tanaman
hortikultura, dan tanaman perkebunan yang dapat dikembangkan di lahan pegunungan menurut
elevasi karakteristik iklim menurut Djaenuddin, dkk adalah sebagai berikut :
Tabel pengelompokkan tanaman rempah dan obat menurut agroekosistem lahan pegunungan
Daerah beriklim basah memiliki curah hujan >2500 mm/tahun dengan bulan kering (CH
<100 mm/bulan) < 3 bulan atau tipe agroklimat A, B, dan C1, sedangkan daearah beriklim
kering memiliki curah hujan <2500 mm/tahun dengan bulan kering >100 mm/bulan atau dengan
tipe agroklimat C2, C3, D, E ( Oldeman et al. 1979-1982)
2. Lahan gambut
Lahan gambut adalah lahan terbentuk dari bahan organik dengan kandungan C-organik >
12% berat jika kandungan liat 0% atau >18% berat jika kandungan liat 60% atau lebih, dengan
kedalaman > 60 cm. menurut klasifikasi tanah dikelompokkan sebagai tanah organik atau
Histosol atau Organosol (Subagyo et al, 2000).
Lebih lanjut Fahmuddin et al. (2011) menyatakan bahwa tanah gambut mempunyai
kandungan C-organik berkisar antara 18-60%, berat isi 0,03-0,3 g cm-3, sebaran karbon di
seluruh penampang sampai dasar tanah mineral, bersifat mudah terbakar dan tidak balik
(irreversible) apabila sudah di drainase. Reaksi tanah gambut di seluruh lapisan sangat masam
(PH rata-rata 4), kahat hara, sehingga produktivitas rendah dan perlu pengaturan drainase dan
tata air mikro apabila akan di manfaatkan untuk pertanian.
Kawasan budidaya gambut adalah kawasan yang mempunyai fungsi utama untuk dibudidayakan
di luar kubah gambut, lapisan sedimen berpirit, dan lapisan pasir kuarsa sesuai dengan potensi
wilayah. Banyak petani memanfaatkan lahan gambut untuk budidaya perkebunan kelapa sawit.
Lahan gambut yang dapat digunakan untuk budidaya tanaman kelapa sawit yaitu kawasan
gambut yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
Selain dimanfaatkan dalam perkerkebunan kelapa sawit lahan gambut mempunyai fungsi
produksi, penyimpanan air, habitat keragaman hayati, fungsi lindung dan ekonomi. Harmonisasi
antara berbagai fungsi tersebut memerlukan tata kelola yang memanfaatkan teknologi tepat guna
dan ramah lingkungan untuk mempertahankan keberadaan ekosistem lahan gambut sehingga
mampu memenuhi kebutuhan manusia secara lestari. Proses pembentukan lahan gambut di
Indonesia terjadi sejak jama holosin melalui proses transformasi, translokasi dan penimbunan
material dalam kondisi jenuh air. Akibat penimbunan material tumbuhan berlangsung cepat
dibanding dekomposisi oleh mikroorganisme, maka gambut semakin tebal degnan bertambahnya
waktu (Maas, 2012). Material gambut Indonesia utamanya terdiri dari vegetasi berupa
pepohonan sehingga lebih banyak mengandung lignin dibanding gambut di daerah iklim sedang.
Laju pembentukan tanah gambut (Maas, 2012) sangat lambat dan berbeda antara satu tempat
dengan tempat lainnya yang dipengaruhi oleh banyak faktor utamanya lingkungan setempat yang
meliputi:
Karakteristik spesifik tanah gambut yang membedakan dengan tanah mineral umumnya
antara lain :
Gambut yang mengalami kering tak balik berubah sifat menjadi gambut yang tidak lagi
mempunyai kemampuan dalam menyerap air seperti semula dan sifat gambut berubah dari suka
air (hidrofilik) menjadi menolak air (hidrofobik). Misalnya, gambut yang terbakar hanya dapat
menyerap air sekitar 50% dari semula sebelum terbakar karena sebagian berubah menjadi
hidrofobik (Badan Litbang Kementan, 2016)
Oleh karena itu, seluruh lahan gambut dengan kematangan saprik, hemik dan fibrik serta
berbagai kedalaman dimasukkan menjadi lahan sub optimal.
Lahan kering masam adalah lahan kering yang mempunyai reaksi tanah masam dengan PH <5.
Dalam klasifikasi tanah skala 1 : 1.000.000, lahan kering masam ini dijumpai pada ordo tanah
yang telah mengalami perkembangan tanah lanjut atau tanah muda atau baru berkembang tanah
lanjut atau tanah muda atau baru berkembang atau tanah dari bahan induk sedimen dan volkan
tua, dana tau tanah lainnya dengan kejenuhan basa rendah < 50% (dystrik) dan regim
kelembaban tanah udik atau curah hujan > 2.000 mm per tahun. Curah hujan berkorelasi dengan
kemasaman tanah, makin tinggi curah hujan makin tinggi tingkat pelapukan tanah. Tanah yang
terbentuk di daerah iklim tropika basah (humid), proses hancuran iklim (pelapukan) dan
pencucian hara (basa-basa) sangat intensif, akibatnya tanah menjadi masam dengan kejenuhan
basa rendah dan kejenuhan alumunium tinggi (Subagyo et al. 2000). Tanah di lahan kering yang
beriklim basah umumnya terasuk pada tanah Podsolik Merah Kuning (Dudal and
Soepraptohardjo, 1957) atau termasuk Ultisols, Oxisols, dan Inceptisols ( Soil Survey Staff,
1999). Secara umum lahan kering masam ini mempunyai tingkat kesuburan dan produktivitas
lahan rendah. Untuk mencapai produktivitas optimal diperlukan input yang cukup tinggi.
Lahan kering iklim kering adalah lahan kering yang mempunyai regim kelembaban tanah ustik
dan atau termasuk pada iklim kering dengan jumlah curah hujan < 2.000 mm per tahun dan bulan
kering > 7 bulan (<100 mm per bulan) (Baliklimat 2003). Kebalikan dengan di lahan kering
masam, pelapukan dan hancuran batuan induk tanah tidak seinsentif di wilayah beriklim basah,
akibatnya pembentukan tanah terhambat dan solum tanah dangkal, berbatu dan banyak
ditemukan singkapan batuan. Bahan induk yang banyak ditemukan adalah batu kapur, batu
gamping, sedimen dan volkanik. Pencucian basa-basa rendah, sehingga umumnya kejenuhan
basa > 50% (eutrik), pH tanah netral dan cenderung agak alkalis, dan secara umum mempunyai
tingkat kesuburan lebih baik daripada lahan kering masam. Tanah yang umum ditemukan adalah
Alfisols, Mollisols, Entisols, Vertisols (Mulyani et al, 2013). Permasalahan yang umum terjadi
adalah kelangkaan sumberdaya air, karena rendahnya curah hujan, sehingga jenis tanaman dan
indeks pertanaman lebih terbatas.
Lahan rawa pasang surut adalah yang sepanjang tahun atau selama waktu yang panjang
dalam setahun, selalu jenuh air atau tergenang (Subagyo, 2006). Sedangkan lahan rawa
pasang surut adalah lahan rawa yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut, terletak dekat
pantai, sebagian besar berupa tanah mineral dan sebagian lagi berupa gambut. Tingginya air
pasang dibedakan menjadi dua, yaitu pasang besar dan pasang kecil. Pasang kecil, terjadi
secara harian (1 -2 kali sehari).
Berdasarkan pola genangannya (jangkauan air pasangnya), lahan pasang surut dibagi menjadi
empat tipe :
Dari klasifikasi tanah (Soil Survey Staff 1999), lahan rawa pasang surut dicirikan dengan
adanya kondisi aquik (jenuh air) dan mempunyai bahan sulfidic (besi sulfida) yang lebih
dikenal dengan pirit, umumnya bereaksi masam ekstrim (pH < 4) sehingga sering disebut
tanah sulfat masam (Subagyo, 2006). Klasifikasi tanahnya termasuk pada Sulfaquents, Sulfic
Endoaquents, Sulfic Fluvaquents, Sulfic Hydraquents, Sulfaquepts, Sulfic Endoaquepts.
Sedangkan wilayah dekat dengan laut dipengaruhi oleh garam (salinitas) atau dikenal dengan
payau sehingga pH tanah netral atau agak alkaslis (pH 6,5 – 7,5 ), diklasifikasikan sebagai
Halaquents atau Halaquepts. Lahan ini umumnya mempunyai tingkat kesuburan dan
produktivitas rendah sehingga untuk pengembangan pertanian diperlukan input teknologi
seperti varietas yang tahan masam dan genangan, tahan salinitas tinggi, dan diperlukan
drainase dan tata air mikro.
6. Lahan rawa lebak
Lahan rawa lebak adalah lahan rawa yang tidak terpengaruh oleh pasang surut (rawa non pasang
surut), tetapi dipengaruhi oleh sungai yang sangat dominan, yaitu berupa banjir besar yang
secara periodic minimal 3 bulan menggenangi wilayah setinggi 50 cm (Subagyo, 2006). Rawa
lebak umumnya terletak pada kiri kanan sungai dan berada lebih ke dalam dari dataran pantai
kea rah hulu sungai. Selama musim hujan, rawa lebak selalu digenangi air kemudian secara
berangsur-angsur air akan surut sejalan dengan perubahan musim hujan ke musim kemarau.
Lebak dikelompokkan lebih lanjut berdasarkan tinggi genangan dan lama genangan menjadi
lebak dangkal ( tinggi genangan <50 cm, lama genangan < 3 bulan), lebak pertengahan ( tinggi
genangan 50-100 cm, lama genangan 3-6 bulan), dan lebak dalam ( tinggi genangan >100 cm
dan lama genangan >6 bulan) (Subagyo, 2006). Jenis komoditas dan indeks pertanaman di lahan
rawa lebak ini sangat tergantung dari jenis lebak, dengan tingkat kesuburan sedang karena ada
pengkayaan hara dari luapan sungai.
Selain rawa lebak, ada juga rawa lebak peralihan yaitu lahan rawa lebak yang pasang surutnya
air laut masih terasa di saluran primer atau di sungai disebut rawa lebak peralihan. Pada lahan
seperti ini, endapan laut yang dicirikan oleh adanya lapisan pirit, biasanya terdapat pada
kedalaman 80 – 120 cm di bawah permukaan tanah.
Lahan rawa yang tidak memiliki lapisan tanah gambut dan tidak memiliki lapisan tanah gambut
dan tidak memiliki lapisan pirit ( kadarnya <0,75%), atau memiliki lapisan pirit pada kedalaman
lebih dari 50 cm disebut sebagai lahan rawa potensial. Lahan ini merupakan rawa paling subur
dan potensial untuk pertanian. Tanah yang mendominasi lahan rawa tersebut adalah tanah
alluvial hasil pengendapan yang dibawa oleh air hujan, air sungai, atau air laut.
Lahan rawa yang tidak memiliki tanah gambut dan kedalaman lapisan piritnya kurang dari 50 cm
disebut sebagai lahan alluvial bersulfida dangkal atau sering disebut lahan sulfat masam
potensial. Pirit (FeS2) merupakan senyawa yang terbentuk dalam suasana payau. Lapisan tanah
yang mengandung pirit lebih dari 0,75% disebut sebagai lapisan pirit.
Menurut Wijaya Adhi (2000), adanya lapisan pirit pada lahan dapat diketahui dari tanda-tanda
sebagai berikut :
Lahan dipenuhi oleh tumbuhan purun tikus
Di tanggul saluran terdapat bongkah-bongkah tanah berwana kuning jerami (jarosit)
Di saluran drainase, terdapat air yang mengandung karat besi berwarna kuning
kemerahan
Apabila lapisan pirit dikeringkan, akan berubah warna menjadi kuning seperti jerami.
Apabila pirit disiram ddengan larutan hydrogen peroksida (H2O2) 30% akan berbuih
Dalam keadaan tergenang, senyawa pirit tidak berbahaya. Tetapi dalam keadaan kering, senyawa
pirit akan terosidasi. Bila terkena air, pirit yang teroksidasi akan menjadi asam sulfat atau sering
disebut air aki/air keras yang sangat asam. Akibatnya, akar tanaman akan terganggu, unsur hara
sulit diserap oleh tanaman, serta unsur besi dan alumunium akan larut sehingga meracuni
tanaman. Lahan yang lapisan piritnya sudah teroksidasi sering disebut sebagai lahan bersulfat
atau lahan sulfat masam aktual. Lahan seperti ini tidak direkomendasikan untuk budidaya
pertanian.
8. Lahan salin
Sebagian lahan pasang surut sering mendapat pengaruh salinitas air laut terutama pada musim
kemarau. Pengaruh salinitas ini bisa terjadi secara langsung karena air laut mengalir kedaratan,
masuk melalui sungai pada waktu pasang, atau berlangsung karena adanya intrusi (perembesan).
Lahan pasang surut yang salinitas air (kadar garamnya) lebih dari 0,8 disebut sebagai lahan salin
atau pasang surut air asin. Lahan seperti itu, biasanya didominasi oleh tumbuhan bakau. Apabila
kadar garamnya hanya tinggi pada musim kemarau selama kurang dari 2 bulan, disebut sebagai
lahan salin peralihan. Lahan salin peralihan ditandai oleh banyaknya tumbuhan nipah. Tidak
banyak jenis tanaman yang dapat hidup di lahan salin. Lahan seperti ini direkomendasikan untuk
hutan bakau/ mangrove, budidaya tanaman kelapa, dan tambak. Khusus untuk tambak, harus
memenuhi persyaratan adanya pasokan air tawar dalam jumlah yang memadai sebagai pengencer
air asin.
Tabel. Gejala keracunan tanaman pertanian yang umum terjadi di lahan rawa salin
Lahan pertanian mempunyai sifat fisik dan kimia tanah yang mencirikan tingkat
kesesuaiannya bagi jenis tanaman. Tingkat kesesuaian tanah bagi tanaman diberi kode S1 (sangat
sesuai), S2 (cukup sesuai), S3 (sesuai marjinal), dan N (tidak sesuai). Suatu lahan pertanian yang
mempunyai tanah dengan karakteristik sangat sesuai (S1) bagi jenis tanaman tertentu, tapi
tingkat kesesuaiannya sedang (S2) atau marjinal (S3) bagi tanaman yang lain. Pemaksaan
penanaman jenis tanaman di lahan yang tingkat kesesuaiannya sedang atau marjinal bagi jenis
tanaman tersebut dengan memberikan input tinggi agar produktivitasnya setinggi di lahan yang
kesesuaiannya tinggi akan memberikan benefit and cost ratio (B/C) <1,0. Artinya, pemaksaan
demikian justru merugikan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka tujuan pengenalan tingkat kesesuaian lahan dari
lokasi sasaran budidaya tanaman adalah :
1) Menentukan teknik budidaya yang tepat pemupukan, pengelolaan air dan pengendalian
organisme pengganggu tanaman
2) Meningkatkan efisiensi produksi
3) Meningkatkan daya saing produk keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif
4) Melestarikan daya dukung lahan
D. Penggunaan Lahan
Menurut Food and Agriculture (FAO), penggunaan lahan (land use) adalah modifikasi lahan
yang dilakukan oleh manusia terhadap lingkungan hidup menjadi lingkungan terbangun seperti
lapangan, pertanian, dan permukiman. Penggunaan lahan didefinisikan sebagai jumlah dari
pengaturan aktivitas dan input yang dilakukan manusia pada tanah tertentu (FAO, 1997;
FAO/UNEP, 1999). Sementara, menurut Arsyad (1989) penggunaan lahan (land use) adalah
setiap bentuk intervensi campur tangan manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidupnya baik materil maupun spiritual.
Terminology penggunaan lahan (land use) dan penutupan lahan (landcover) kadangkala
digunakan secara bersama-sama, padahal kedua terminologi tersebut berbeda. Lilesand dan
Kiefer pada tulisan mereka tahun 1979 kurang lebih menyebutkan bahwa penutupan lahan
berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi, sedangkan penggunaan lahan
berkaitan dengan kegiatan manusia pada obyek tersebut. Selanjutnya, Townshend dan Justice
pada tahun 1981 menyebutkan tentang penutupan lahan bahwa penutupan lahan adalah
perwujudan secara fisik (visual) dari vegetasi, benda alam, dan unsur-unsur budaya yang ada di
permukaan bumi tanpa memperhatikan kegiatan manusia terhadap obyek tersebut. Sementara itu,
Barret dan Curtis (1982) mengemukakan bahwa, permukaan bumi sebagian terdiri dari
kenampakan alamiah (penutupan lahan) seperti vegetasi dan salju, sedangkan sebagian lagi
berupa kenampakan hasil aktivitas manusia (penggunaan lahan).
Pengetahuan mengenai penutupan dan penggunaan lahan sangat penting, karena erat
kaitannya dengan perencanaan dan pengembangan wilayah terutama daerah pertanian. Ada
perbedaan antara penutupan lahan dan penggunaan lahan. Penggunaan lahan adalah segala
macam campur tangan manusia baik secara permanen maupun siklis terhadap sumberdaya alam
dan sumberdaya buatan untuk memenuhi kebutuhan kebendaan maupun spiritual atau kedua-
duanya, sedangkan penutupan lahan adalah bagian dari lahan atau formasi-formasi alami yang
belum pernah di sentuh atau dijamah oleh tangan manusia , sehingga menunjukkan keadaan
sumberdaya lahan itu sendiri (Ali Kabul Mahi)
Penggunaan lahan perlu ditata dan direncanakan sesuai dengan fungsi dan karakteristik
lahan, sehingga tercipta ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Banyak contoh
kasus kerugian yang disebabkan oleh ketidaksesuaian penggunaan lahan. Salah satu contoh
dampak ketidaksesuaian penggunaan lahan adalah masalah banjir yang timbul sebagai akibat
dari ketidaksesuaian penggunaan lahan. Misalnya, lahan yang seharusnya diperuntukkan bagi
daerah resapan air digunakan bagi pembangunan permukiman. Perencanaan penggunaan lahan
seperti ini dikenal dengan nama perencanaan tata guna lahan yang merupakan salah satu bentuk
perwujudan fisik dari perencanaan tata ruang.
Tidak lepas dari hal diatas, salah satu model perencanaan penggunaan lahan adalah
pengembangan lahan. Pengembangan lahan adalah peningkatan kemanfaatan, mutu dan
penggunaan suatu bidang lahan untuk kepentingan penempatan suatu kegiatan funsional
sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup dan kegiatan usaha secara optimal dari segi ekonomi,
sosial, fisik, dan aspek legalnya ( Sujarto, 1989). Pada dasarnya pengembangan lahan bertujuan
untuk meningkatkan manfaat dan nilai lahan.
Tabel definisi penutupan dan penggunaan lahan (Malingreau dan Christiani, 1982)
Table
Penggunaan lahan untuk pertanian secara umum dapat dibedakan menjadi penggunaan
lahan semusim, tahunan, dan permanen. Penggunaan lahan tanaman semusim diutamakan untuk
tanaman semusim yang dalam polanya dapat dengan rotasi atau tumpang sari dan panen
dilakukan setiap musim dengan periode biasanya kurang dari setahun. Penggunaan lahan
tanaman tahunan merupakan penggunaan tanaman jangka panjang yang pergilirannya dilakukan
setelah hasil tanaman tersebut secara ekonomi tidak produktif lagi, seperti tanaman perkebunan.
Penggunaan lahan permanen diarahkan pada lahan yang tidak diusahakan untuk pertanian seperti
hutan, daerah konservasi, perkotaan, desa dan sarananya, lapangan terbang dan pelabuhan
(Juknis BBSDLP, 2014)
Keadaan lingkungan dan sumber daya lahan pada saat ini sudah memprihatinkan. Lahan-lahan
yang berpotensi untuk pertanian sebagian besar telah digunakan secara instensif sejalan dengan
semakin meningkatnya kebutuhan penduduk setiap tahunnya. Di beberapa kawasan telah mulai
terbatas ketersediaannya dan cenderung menurun terus daya dukungnya serta menjadi
terdegradasi akibat kurangnya usaha-usaha konservasi sumber daya lahan dan pengamanan
lingkungan. Bahkan beberapa tempat penggunaan lahan pertanian telah mulai bergeser ke
kawasan lindung dan konservasi yang berfungsi sebagai kawasan peresapan dan penyangga
ekosistem di lingkungannya (KLH, 2005)
Dalam usaha optimalisasi penggunaan lahan dan meningkatkan produktivitas lahan pertanian
yang berwawasan lingkungan maka berbagai pertimbangan terhadap kemungkinan penggunaan
lahan yang lebih sesuai dan mengungtungkan sangat diperlukan. Pengambilan keputusan tersebut
hanya dapat dilaksanakan apabila melalui proses perencanaan penggunaan lahan yang terarah.
Dalam hal ini pemanfaatan lahan harus disesuaikan dengan daya dukung dan potensi lahannya
(carrying capacity) mempunyai peranan yang cukup penting. Optimalisasi penggunaan lahan
pertanian dan peningkatan produktivitas lahan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan
harus mempertimbangkan :
1) Aspek biofisik dalam suatu kawasan ekologi/ecoregion termasuk daya dukung dan
potensi lahan
2) Aspek sosial-ekonomi
3) Aspek konservasi dan kelestarian lingkungan untuk kelangsungan penggunaan dimasa
yang akan datang (Irawan, 2013).
Dengan meningkatnya permintaan akan lahan, semakin intensifnya penggunaan lahan, maka
pemanfaatan lahan secara optimal tanpa mengganggu lingkungan hanya dapat dilaksanakan
apabila lahan digunakan menurut kesesuaian, dan daya dukungnya (Subagja, 2000).