PENDAHULUAN
Pengembangkan pertanian lahan pasang surut di masa yang akan datang merupakan
pilihan strategis dalam menghadapi tantangan peningkatan produksi pertanian yang
semakin komplek terutama untuk mengimbangi penciutan lahan subur maupun pelestarian
swasembada pangan khususnya padi, jagung dan kedelai.
Indonesia saat ini tidak lagi punya banyak pilihan dalam rangka mewujudkan
ketahanan pangan nasional selain memanfaatkan lahan-lahan marginal yang masih tersedia
dan memungkinkan untuk dikelola sebagai lahan produksi pangan, karena upaya
peningkatan produktivitas sudah semakin sulit secara teknis agronomis dilakukan dan juga
semakin tidak ekonomis untuk diusahakan.
Selain itu, untuk mewujudkan ketahan pangan nasional memerlukan tambahan luas
lahan pertanian sehingga pemerintah melakukan intensifikasi penggunaan lahan-lahan
marginal. Upaya pemberdayaan lahan marginal dipicu kebutuhan nasional untuk
meningkatkan produksi pangan agar dapat berswasembada beras (Sadono 2008).
Kebutuhan peningkatan produksi padi dilakukan karena didorong pertumbuhan
penduduk dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di Indonesia yang merupakan negara
agraris. Program pembangunan pertanian hakekatnya adalah rangkaian upaya untuk
memfasilitasi, melayani, dan mendorong berkembangnya sistem agrobisnis, serta usaha-
usaha agrobisnis berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan, serta desentralistis untuk
meningkatkan ketahanan pangan dan kesejahteraan rakyat (Sukadi 2007).
Pemberdayaan lahan marginal seperti lahan basah untuk pertanian merupakan
bagian dari pembangunan nasional. Pengertian lahan basah berdasarkan konvensi Ramsar
adalah daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan tetap atau sementara dengan
air tergenang atau mengalir baik tawar, payau, atau asin termasuk wilayah perairan laut
dengan kedalaman tidak lebih dari 6 m pada waktu surut (Triana 2012).
Lahan basah memiliki karakter khusus yang identik dengan air. Oleh karena itu,
sistem penataan lahan dan penentuan jenis komoditas di lahan basah sangat bergantung
pada tipe lahan dan kondisi airnya (Najiyati et al. 2005).
Luas lahan basah di Indonesia diperkirakan 20,6 juta ha atau sekitar 10,8 dari luas
daratan Indonesia (Rahmawaty et al. 2014). Pada umumnya lahan basah dikelola menjadi
areal pertanian ataupun perkebunan. Sebagian besar lahan basah dimanfaatkan masyarakat
untuk budi daya tanaman perkebunan seperti kelapa sawit, karet, disusul tanaman pangan
meliputi padi, jagung, selanjutnya tanaman hortikultura buah (Masganti et al. 2014).
Sekitar 9,53 juta lahan basah di Indonesia berpotensi untuk lahan pertanian, dengan
rincian 6 juta ha berpotensi untuk tanaman pangan dan 4,186 juta ha telah direklamasi
untuk berbagai penggunaan terutama transmigrasi (Dakhyar et al. 2012). Luasnya lahan
basah yang telah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dan pemukiman menjadikan lahan
ini dapat mengalami kerusakan jika tidak dikelola dengan tepat dan terpadu.
Penggunaan lahan basah harus direncanakan dan dirancang secara cermat dengan
asas tata guna lahan berperspektif jangka panjang (Hardjoamidjojo & Setiawan 2001).
Lahan basah menjadi sangat peka terhadap perubahan yang dilakukan manusia
karena lahan basah memiliki peran penting bagi kehidupan manusia dan margasatwa lain.
Fungsi lahan basah tidak hanya untuk sumber air minum dan habitat beraneka ragam
makhluk, tapi memiliki fungsi ekologis seperti pengendali banjir, pencegah intrusi air laut,
erosi, pencemaran, dan pengendali iklim global (Hardjoamidjojo & Setiawan 2001).
Peningkatan daya dukung lahan basah untuk pertanian harus menerapkan sistem
usahatani berkelanjutan. Sistem usahatani berkelanjutan merupakan tujuan penerapan
pengelolaan lahan basah terpadu.
Dengan demikian, kehati-hatian dan pengelolaan tepat guna sangat diperlukan
dalam pengelolaan lahan basah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.4 Prospek Pengembangan Penataan Lahan Sistem Surjan Di Lahan Rawa Pasang
Surut
Karakteristik tanah-tanah di lahan pasang surut sangat spesifik terkait dengan sifat
fisik lingkungannya, seperti kondisi hidrotopografinya yang datar atau berupa cekungan
(depresi), curah hujan tinggi, suhu tinggi, kelembaban tinggi, serta pengatusan (drainase)
dan tata airnya yang jelek. Agroekologi lahan pasang surut termasuk lahan basah (wetland)
yaitu selalu basah atau berair karena curah hujan yang tinggi (> 2.000 mm/tahun) atau
pengaruh luapan pasang surut dari laut atau sungai-sungai sekitarnya yang berlangsung
secara berkala.
Berdasarkan macam dan tingkat kendala yang diperkirakan dapat ditimbulkan oleh
faktor fisiko-kimia tanahnya, Widjaja Adhi et al.,. (1992) membagi lahan pasang surut ke
dalam empat tipologi utama, yaitu : lahan potensial, lahan sulfat masam, lahan gambut dan
lahan salin.
Selain dikelompokkan berdasarkan tipologinya, lahan pasang surut juga
dikelompokkan berdasarkan jangkauan air pasang yang dikenal dengan tipe luapan air.
Badan Litbang Pertanian membagi tipe luapan air lahan pasang surut berdasarkan pasang
siklus bulanan menjadi tipe luapan A, B, C dan D ( Ismail, et al, 1993).
Pengelompokan ini penting terutama untuk arahan penataan dan pemanfaatan lahan
maupun penentuan sistem pengelolaan air dan pola tanamnya. Lahan bertipe luapan A
selalu terluapi air pasang, baik pada musim hujan maupun musim kemarau, sedangkan
lahan bertipe luapan B hanya terluapi air pasang pada musim hujan saja. Lahan bertipe
luapan C tidak terluapi air pasang tetapi kedalaman muka air tanahnya kurang dari 50 cm,
sedangkan lahan bertipe luapan D adalah seperti tipe C hanya kedalaman air tanahnya lebih
dari 50 cm.
3.1 Kesimpulan
Lahan pasang surut di Indonesia, karena merupakan lahan marjinal dan rapuh
dengan berbagai masalah dan kendala pengembangan yang kompleks, maka reklamasi dan
pengelolaannya harus benar-benar dilakukan secara terencana, cermat, dan hati-hati melalui
penerapan teknologi reklamasi dan pengelolaan lahan yang tepat sesuai dengan
karakteristik fisiko-kimia lahannya. Agar pemanfaatannya untuk usaha agribisnis dapat
berkelanjutan dan berhasil baik, maka fokus utama pengembangannya adalah optimalisasi
pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya lahan serta pengembangan infrastruktur dan
kelembagaan. Untuk itu, identifikasi dan karakterisasi wilayah mutlak perlu dilakukan
secara rinci, baik menyangkut aspek biofisik lahan dan sistem usahatani yang ada maupun
sosial ekonomi dan persepsi petani serta infrastruktur dan kelembagaan penunjang yang
ada.