Lahan Basah
Disusun Oleh:
Ade Nabilah Vania Utami
Atikah Suci Vidyasari
Ahmad Roisulwaton
Bella Aprilia Wulansari
Hasanah Suci Indriani
Julianisa
M. Adib Dwitamma Putra
Maharani Natasya
Novita Mayasari
Rini Meissy Putri
R.a Anisa Salsabila
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian atau definisi lahan basah
2. Untuk mengetahui bagaimana lahan basah di Provinsi Sumatera Selatan
3. Untuk mengetahui bagaimana dampak positif lahan basah
4. Untuk mengetahui bagaimana dampak negatif lahan basah
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Lahan basah mencakup suatu rentangan luas habitat pedalaman, pantai, dan marin
yang memiliki sejumlah tampakan sama. Konvensi Ramsar 1971 menakrifkan lahan
basah yang penting secara internasional sebagai berikut (Dugan, 1990). Lahan basah
adalah wilayah rawa, lahan gambut, dan air, baik alami maupun buatan, bersifat tetap
atau sementara, berair ladung (stagnant, static) atau mengalir yang bersifat tawar,
payau, atau asin, mencakup wilayah air marin yang di dalamnya pada waktu surut
tidak lebih daripada enam meter.
Konvensi Ramsar memilahkan lahan basah berdasarkan ciri biologi dan fisik
dasar menjadi 30 kategori lahan basah alami dan 9 kategori lahan basah buatan.
Ketigapuluh kategori lahan basah alami dipilahkan lebih lanjut menjadi 13 kategori
berair asin dan 17 kategori berair tawar. Lahan basah buatan mencakup waduk, lahan
sawah, jejaring irigasi, dan lahan akuakultur (perkolaman tawar dan tambak). Untuk
meringkus tinjauan, penggolongan lahan basah alami boleh dikurangi menjadi 7
satuan bentanglahan (landscape) yang seluruhnya merupakan komponen penting bagi
penetapan kerangka perencanaan konservasi lahan basah. Ketujuh satuan
bentanglahan tersebut adalah estuari, pantai terbuka, dataran banjir, rawa air tawar,
danau, lahan gambut, dan hutan rawa (Dugan, 1990).
Dr. Najib Asmani, mantan staf khusus Gubernur Sumsel bidang perubahan
iklim, menjelaskan akibat kebakaran gambut pada 1997-1998, 2006, 2007, dan 2008,
sekitar satu juta hektar gambut di Sumsel rusak. Tersisa 170 ribu hektar gambut yang
masih baik. Sebelum terbakar, selama puluhan tahun lahan gambut tersebut
mengalami degradasi akibat penebangan kayu, baik legal maupun ilegal, serta
aktivitas pertanian dan perkebunan rakyat.
Pada 2004 sebagian besar lahan gambut yang rusak tersebut diperuntukan
bagi HTI. Perusahaan HTI ini tersebar di Kabupaten OKI, Kabupaten Banyuasin,
Musi Banyuasin [Muba] dan Musirawas. Perusahaan tersebut antara lain PT. Sumber
Hijau Permai [SHP], PT. Tripupa Jaya [TPJ], PT. Rimba Hutani Mas [RHM], PT.
Bumi Persada Permai [BPP] I dan PT. BPP II. Kemudian di Kabupaten OKI: PT.
Sebangun Bumi Andalas [SBA] Wood Industri, PT.Bumi Andalas Permai [BAP], PT.
Bumi Mekar Hijau [BMH], dan PT. Ciptamas Bumi Subur [CBS].
Pada 2015 lalu, kebakaran besar melanda lahan gambut di Sumsel. Baik di
kawasan konservasi, dikelola perusahaan [konsesi], maupun lahan masyarakat.
Pemerintah melalui BRG [Badan Restorasi Gambut] kemudian menargetkan restorasi
gambut di Sumsel seluas 594.230 hektar. Di kawasan lindung 61.247 hektar, kawasan
budidaya 458.430 hektar, serta kawasan budidaya tidak berizin 74.553 hektar.
Berdasarkan hal inilah maka lahan basah merupakan bagian penting dari habitat
flora dan fauna serta memiliki keterkaitannya dengan manusia yang tinggal di sekitar
kawasan tersebut. Khususnya untuk ekosistem lahan basah di daerah Sumatera
Selatan yaitu daerah Ogan Komering Ilir yang telah dilakukan penelitian mengenai
dampak positifnya sebagai penyerap dan penyimpanan karbon. Ekosistem lahan basah
memiliki dampak positif sebagai penyerap dan penyimpanan karbon, baik dari
atmosfir melalui proses fotosintesis yang disimpan dalam bentuk biomassa pohon,
maupun melalui akumulasi sedimentasi dari bagian hulu daerah aliran sungai. Dengan
adanya penyerapan karbon oleh lahan basah ini sehingga dapat mencegah larinya gas
rumah kaca (terutama CO2) ke atmosfer bumi yang dampak berdampak terhadap
perubahan iklim.
C. Dampak Negatif
Permasalahan kesehatan masyarakat dilahan basah di pengaruhi oleh kesehatan
lingkungan yang ada di sekitar yaitu:
1. Air bersih
Yaitu air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari dimana kualitasnya
memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak. Di daerah
lahan basah biasanya masyarakat mendapatkan air bersih dari PDAM, selebihnya
menggunakan sumur atau sumber lain. Bila datang musim kemarau, krisis air
dapat terjadi dan penyakit dapat muncul.
2. Pembuangan kotoran atau tinja
Masyarakat didaerah lahan basah masih dapat dijumpai membuang kotoran atau
tinja di sungai. Hal ini dapat mencemari sungai dan menimbulkan penyakit.
Metode pembuangan tinja yang baik yaitu menggunakan jamban
3. Pembuangan sampah
Pembuangan sampah di indonesia masih memprihatinkan, dimana kita dapat
melihat masih banyak masyarakat yang membuang sampah disungai, masyarakat
masih belum terbiasa membuang sampah pada tempatnya.
4. Penyakit menular
MalariaMalaria merupakan infeksi parasit pada sel merah yang disebabkan oleh
suatu protozoa spesies plasmodium yang di tularkan kemanusia melalui air liur
nyamuk. Orang yang beresiko terinfeksi malaria adalah anak-anak, balita, wanita
hami serta penduduk nonimun yang mengunjungi daerah endemis malaria serta
berpenduduk di daerah lahan basah.
Demam kuning (yellow fever)
Demam kuning atau yellow fever merupakan penyakit infeksi yang di
sebabkan oleh virus. Disebut demam kuning karena penyakit ini ditandai
dengan ikterik (mata kuning). Penularan virus ini terjadi karena gigitan oleh
nyamuk yang terinfeksi virus demam kuning namun penularannya tidak
terjadi antar manusia.
Demam berdarahPenyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
Merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat penting di Indonesia
dan seringmenimbulkan suatu letusan Kejadian Luar Biasa (KLB)
dengankematian yang besar. Penyakit DBD adalah penyakit infeksi oleh
virus Dengue yangditularkan melalui gigitan nyamukAedes, dengan ciri
demam tinggimendadak disertai manifestasi perdarahan dan
bertendensimenimbulkan renjatan (shock) dan kematian. Sampai sekarang
penyakit DBD belum ditemukan obat maupunvaksinnya, sehingga satu-
satunya cara untuk mencegah terjadinyapenyakit ini dengan memutuskan
rantai penularan yaitu dengan pengendalian vector.
Filariasis
Filariasis adalah penyakit infeksi sistemik kronik yang disebabkan oleh nang,
dari genus Wuchereria dan Brugia yang dikenal sebagai filaria yang tinggal
di sistem limfa (mengandung getah bening), yaitu jaringan pembuluh yang
berfungsi untuk menyangga dan menjaga keseimbangan cairan antara darah
dan jaringan otot yang merupakan komponen esensial dari sistem kekebalan
tubuh. Filariasis atau yang lebih dikenal dengan sebutan penyakit “kaki
gajah” ini disebabkan oleh tiga spesies filaria, yaitu Wuchereria brancofti
dimana hampir sebagian besar berada di daerah yang memiliki kelembaban
yang cukup tinggi.
EncephalitiaJapanese encephalitis (JE)
Penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat (SSP) yang ditularkan
melalui nyamuk yang terinfeksi virus JE. Virus JE termasuk dalam famili
flavivirus. Japanese encephalitis adalah infeksi neurologik yang berkaitan
erat dengan St. Louis encephalitis dan West Nile encephalitis. Virus JE
menyebar terutama di daerah pedesaan (rural) di Asia. Virus tersebut
disebarkan oleh nyamuk culicine: nyamuk yang paling sering ditemukan
sebagai vektor ialah Culex tritaeniorhynchus yang dapat menularkan virus
JE baik ke manusia maupun ke hewan peliharaan lainnya. Penyebaran
penyakit ini tergantung musim, terutama pada musim hujan saat populasi
nyamuk Culex meningkat, kecuali di Malaysia, Singapura, dan Indonesia
yaitu sporadik terutama di daerah pertanian seperti di daerah lahan basah.
BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
6. Cassel, D.K. 1997. Foreword. Dalam: M.J. Vepraskas & S.W. Sprecher (eds.),
Aquic Conditions and Hydric Soils: The Problem Soils. SSSA Special
Publication Number 50. h vii.
7. Dugan, P.J. (ed.). 1990. Wetland conservation. TheWorld Conservation Union.
Gland, Switzerland. 96 h.
8. Maltby, E. 1986. Waterlogged wealth. An Earthscan Paperback. London. 198 h.
9. Chandra B. 2005. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: buku kedokteran
EGC.
10. Effendi R, Hana S, Abdul M. 2018 pemahaman tentang lingkungan
berkelanjutan.eJournal Undip 18(2): 75-82.
11. Ikhtiar M. 2017. Pengantar kesehatan lingkungan, Makassar: CV, Social Politic
Genius (SIGn)