Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH KELOMPOK KESEHATAN LINGKUNGAN

Lahan Basah

Disusun Oleh:
Ade Nabilah Vania Utami
Atikah Suci Vidyasari
Ahmad Roisulwaton
Bella Aprilia Wulansari
Hasanah Suci Indriani
Julianisa
M. Adib Dwitamma Putra
Maharani Natasya
Novita Mayasari
Rini Meissy Putri
R.a Anisa Salsabila

Dosen Pembimbing : Dr. Rer. Med. Hamzah Hasyim, S.KM, M.KM

PROGRAM MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS KADER BANGSA
PALEMBANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia secara harfiah, frasa lahan basah
berasal dari dua kata yaitu lahan yang bermakna ‘tanah terbuka’. Kemudian basah
bermakna mengandung air atau cair, belum kering, dan banyak mendatangkan
keuntungan. Maka dapat diketahui bahwa lahan basah merupakan lokasi suatu daerah
yang dapat mendatangkan banyak keuntungan.
Sementara Konvensi Ramsar (1971) mendefinisikan lahan basah sebagai
wilayah daerah paya, arwa, gambut, atau perairan, baik alami maupun buatan,
permanen atau temporer (sementara), dengan air yang mengalir atau diam, tawar,
payau, atau asin, termasuk pula wilayah dengan air laut yang kedalamannya di saat
pasang rendah (surut) tidak melebihi 6 meter. Konvensi Ramsar merupakan konvensi
internasional yang secara spesifik mengatur tentang konservasi dan pemanfaatan
lahan basah secara bijak (Anggara AS, 2018).
Pengertian lingkungan dapat diartikan sebagai elemen biologis dan abiotik
yang mengelilingi organisme individual atau spesies, termasuk banyak yang
berkontribusi pada kesejahteraannya. Lingkungan juga dapat didefinisikan sebagai
semua komponen alami bumi (udara, air, tanah, vegetasi, hewan, dll.) beserta semua
proses yang terjadi di dalam dan di antara komponen tersebut (Effendy dkk, 2018).
Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan
sumber daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan fauna yang
tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi
ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut.
(Effendi dkk, 2018).
Lingkungan lahan basah merupakan kondisi alam (lingkungan) yang benar-
benar terjadi di suatu daerah. Oleh sebab itu pemahaman mengenai isu-isu yang ada di
lingkungan lahan basah menjadi kebutuhan bagi seorang pencari pekerjaan sebab
lokasi wilayah yang strategis tentunya akan menguntungkan banyak orang dan
masyarakat. Maka pengelolaan potensi dan peluang lingkungan lahan basah sangat
dibutuhkan sebagai pemanfaatan wilayah yang produktif dalam mendukung
kehidupan manusia (Effendi R dkk, 2018). Istilah “Lahan Basah”, sebagai terjemahan
“wetland” baru dikenal di Indonesia sekitar tahun 1990. Sebelumnya masyarakat
Indonesia menyebut kawasan lahan basah berdasarkan bentuk/nama fisik
masingmasing tipe seperti: rawa, danau, sawah, tambak, dan sebagainya.
Lahan basah adalah istilah kolektif tentang ekosistem yang
pembentukannya dikuasai air, dan proses serta cirinya terutama dikendalikan air.
Suatu lahan basah adalah suatu tempat yang cukup basah selama waktu cukup
panjang bagi pengembangan vegetasi dan organisme lain yang teradaptasi khusus
(Maltby, 1986). Lahan basah ditakrifkan (define) berdasarkan tiga parameter,
yaitu hidrologi, vegetasi hidrofitik, dan tanah hidrik (Cassel, 1997). Lahan basah
mencakup suatu rentangan luas habitat pedalaman, pantai, dan marin yang
memiliki sejumlah tampakan sama. Konvensi Ramsar 1971 menakrifkan lahan
basah yang penting secara internasional sebagai berikut (Dugan, 1990).
Lahan basah adalah wilayah rawa, lahan gambut, dan air, baik alami
maupun buatan, bersifat tetap atau sementara, berair ladung (stagnant, static) atau
mengalir yang bersifat tawar, payau, atau asin, mencakup wilayah air marin yang
di dalamnya pada waktu surut tidak lebih daripada enam meter.
Sesungguhnya, lahan basah merupakan komponen penting beraneka
ekosistem karena berfungsi menyimpan air banjir, memperbaiki mutu air, dan
menyediakan habitat bagi margasatwa (Cassel, 1997). Dalam kenyataan lahan
basah dapat menyediakan sederetan barang dan jasa penting bagi manusia dalam
penggunaan langsung dan tidak langsung, kesejahteraan margasatwa, dan
pemeliharaan mutu lingkungan. Proses biofisik yang menjadi gantungan
penyediaan barang dan jasa, juga menopang fungsi dan struktur ekosistem.
Pengembangan pertanian paling banyak menghilangkan lahan basah. Sebagai
contoh, di Amerika Serikat pada kurun waktu antara 1950an dan 1970an, 87%
lahan basah yang hilang disebabkan oleh pengembangan pertanian, 8% oleh
pengembangan kota, dan 5% oleh pengembangan lain (Maltby, 1986).
Tiap lahan basah tersusun atas sejumlah komponen fisik, kimia, dan
biologi, seperti tanah, air, spesies tumbuhan dan hewan, serta zat hara. Proses
yang terjadi antar-komponen dan di dalam tiap komponen membuat lahan basah
dapat mengerjakan fungsi-fungsi tertentu, dapat membangkitkan hasilan, dan
dapat memiliki tanda pengenal khas pada skala ekosistem.
Fungsi khusus terpenting lahan basah mencakup pengimbuhan (recharge)
dan pelepasan (discharge) air bumi (ground water), penqendalian banjir,
melindungi garis pantai terhadap abrasi laut, penambatan sedimen, toksikan, dan
hara, serta pemendaman (sequestering) karbon khususnya di lahan gambut.
Hasilan yang dapat dibangkitkan ialah sumberdaya hutan, sumberdaya pertanian,
perikanan, dan pasokan air. Tanda pengenal berharga pada skala ekosistem ialah
keanekaan hayati, keunikan warisan alami (geologi, tanah, margasatwa, ikan,
edafon, vegetasi), dan bahan untuk penelitian ilmiah. Lahan basah, khususnya
lahan gambut, merupakan gudang penyimpan informasi, sangat berguna tentang
lingkungan purba (paleoenvironment) berkenaan dengan ragam vegetasi, keadaan
iklim, lingkungan pengendapan, dan pembentukan gambut sendiri (dimodifikasi
dari Dugan, 1990; dan Page, 1995).
Kendala utama dalam mengembangkan sumberdaya pertanian di lahan
basah ialah ketercapaian (accessibility) dan keterlintasan (trafficability) yang
buruk. Kendala lain ialah keanekaan jarak pendek faktor-faktor penentu
hasilpanen, termasuk tebal dan tingkat dekomposisi gambut, hidrologi, tanah, dan
kemasaman tanah serta air, yang menyebabkan hasilpanen dalam petakan tidak
seragam. Kendala berikut ialah amblesan (subsidence) dan pembentukan
kemasaman sulfat. Kendala penting khusus di lahan gambut mencakup percepatan
dekomposisi gambut, terjadinya hidrofobisitas bahan gambut yang takterbalikkan,
kenaikan kapiler air lambat yang dapat membatasi imbuhan air ke mintakat
perakaran (rooting zone) tanaman semusim, dan volum efektif perakaran kecil
karena kerapatan lindak gambut sangat rendah. Imbuhan air lambat ke mintakat
perakaran berakibat pertanaman menghadapi risiko kekeringan selama cuaca
kering (Notohadiprawiro, 1996).
Untuk menghilangkan kendala yang begitu banyak, khususnya di lahan
gambut, pengembangan sumberdaya pertanian di lahan basah sangat bergantung
pada upaya konversi besar-besaran. Konversi lengkap jelas mendatangkan
dampak berat sekali atas fungsi dan struktur ekosistem lahan basah. Kenyataan ini
tidak berarti lahan basah tidak boleh sama sekali dimanfaatkan untuk produksi
pertanian. Bagaimanapun juga, lahan basah Indonesia yang dapat diperkirakan
mencapai luas 27 juta ha merupakan kimah (asset) nasional penting sekali dan
karena itu perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya. termasuk untuk mengembangkan
pertanian. Yang perlu difikirkan ialah agar pengembangan hasilan dan jasa
ekonomi jangan sampai mengorbankan fungsi lingkungan, warisan kekayaan
alam dan wahana penelitian ilmiah.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian atau definisi lahan basah
2. Bagaimana lahan basah di Provinsi Sumatera Selatan
3. Bagaimana dampak positif lahan basah
4. Bagaimana dampak negatif lahan basah

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian atau definisi lahan basah
2. Untuk mengetahui bagaimana lahan basah di Provinsi Sumatera Selatan
3. Untuk mengetahui bagaimana dampak positif lahan basah
4. Untuk mengetahui bagaimana dampak negatif lahan basah
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi lahan basah menurut para ahli

Lahan basah adalah istilah kolektif tentang ekosistem yang pembentukannya


dikuasai air, dan proses serta cirinya terutama dikendalikan air. Suatu lahan basah
adalah suatu tempat yang cukup basah selama waktu cukup panjang bagi
pengembangan vegetasi dan organisme lain yang teradaptasi khusus (Maltby, 1986).
Lahan basah ditakrifkan (define) berdasarkan tiga parameter, yaitu hidrologi, vegetasi
hidrofitik, dan tanah hidrik (Cassel, 1997).

Lahan basah mencakup suatu rentangan luas habitat pedalaman, pantai, dan marin
yang memiliki sejumlah tampakan sama. Konvensi Ramsar 1971 menakrifkan lahan
basah yang penting secara internasional sebagai berikut (Dugan, 1990). Lahan basah
adalah wilayah rawa, lahan gambut, dan air, baik alami maupun buatan, bersifat tetap
atau sementara, berair ladung (stagnant, static) atau mengalir yang bersifat tawar,
payau, atau asin, mencakup wilayah air marin yang di dalamnya pada waktu surut
tidak lebih daripada enam meter.

Konvensi Ramsar memilahkan lahan basah berdasarkan ciri biologi dan fisik
dasar menjadi 30 kategori lahan basah alami dan 9 kategori lahan basah buatan.
Ketigapuluh kategori lahan basah alami dipilahkan lebih lanjut menjadi 13 kategori
berair asin dan 17 kategori berair tawar. Lahan basah buatan mencakup waduk, lahan
sawah, jejaring irigasi, dan lahan akuakultur (perkolaman tawar dan tambak). Untuk
meringkus tinjauan, penggolongan lahan basah alami boleh dikurangi menjadi 7
satuan bentanglahan (landscape) yang seluruhnya merupakan komponen penting bagi
penetapan kerangka perencanaan konservasi lahan basah. Ketujuh satuan
bentanglahan tersebut adalah estuari, pantai terbuka, dataran banjir, rawa air tawar,
danau, lahan gambut, dan hutan rawa (Dugan, 1990).

B. Lahan Basah di Sumatera Selatan

Salah satu persoalan lingkungan yang terus berlangsung di Sumatera Selatan


adalah penataan lahan gambut yang luasnya mencapai 1,2 juta hektar. Meskipun
Pemerintah Provinsi Sumsel telah mempunyai Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2018
Tentang Perlindungan Ekosistem Gambut, serta Tim Restorasi Gambut Daerah
[TRGD] yang melakukan berbagai upaya pengelolaan dan perlindungan ekosistem
gambut di tujuh kabupaten, tapi kebakaran tetap saja terjadi setiap kali musim
kemarau.

Tidak ada data pasti mengenai luasan gambut di Sumsel. Berdasarkan data


CIFOR, luasan gambut di Sumsel mencapai 1,73 juta hektar dari luasan lahan basah
sekitar 3 juta hektar, sementaran luas daratan Sumsel sekitar 8,7 juta hektar.
Sementara data yang dimiliki Pemerintah Sumsel, lahan gambut terluas di Sumsel
berada di Kabupaten OKI, sekitar 769 ribu hektar.

Dr. Najib Asmani, mantan staf khusus Gubernur Sumsel bidang perubahan
iklim, menjelaskan akibat kebakaran gambut pada 1997-1998, 2006, 2007, dan 2008,
sekitar satu juta hektar gambut di Sumsel rusak. Tersisa 170 ribu hektar gambut yang
masih baik. Sebelum terbakar, selama puluhan tahun lahan gambut tersebut
mengalami degradasi akibat penebangan kayu, baik legal maupun ilegal, serta
aktivitas pertanian dan perkebunan rakyat.

Pada 2004 sebagian besar lahan gambut yang rusak tersebut diperuntukan
bagi HTI. Perusahaan HTI ini tersebar di Kabupaten OKI, Kabupaten Banyuasin,
Musi Banyuasin [Muba] dan Musirawas. Perusahaan tersebut antara lain PT. Sumber
Hijau Permai [SHP], PT. Tripupa Jaya [TPJ], PT. Rimba Hutani Mas [RHM], PT.
Bumi Persada Permai [BPP] I dan PT. BPP II. Kemudian di Kabupaten OKI: PT.
Sebangun Bumi Andalas [SBA] Wood Industri, PT.Bumi Andalas Permai [BAP], PT.
Bumi Mekar Hijau [BMH], dan PT. Ciptamas Bumi Subur [CBS].

Di Kabupaten OKI terdapat empat perusahaan HTI pemasok bahan baku


pabrik kertas PT. OKI Pulp & Paper Mills. Luasan HTI-nya sekitar 586.975 hektar.
Keempat perusahaan tersebut adalah PT. Sebangun Bumi Andalas [SBA] Wood
Industri, PT. Bumi Andalas Permai [BAP], PT. Bumi Mekar Hijau [BMH], dan PT.
Ciptamas Bumi Subur [CBS]. Sisa rawa gambut lainnya digunakan perkebunan sawit,
pertambakan udang dan ikan, serta persawahan.
Gambar 1. Peta persebaran lahan gambut di Sumatera Selatan

Pada 2015 lalu, kebakaran besar melanda lahan gambut di Sumsel. Baik di
kawasan konservasi, dikelola perusahaan [konsesi], maupun lahan masyarakat.
Pemerintah melalui BRG [Badan Restorasi Gambut] kemudian menargetkan restorasi
gambut di Sumsel seluas 594.230 hektar. Di kawasan lindung 61.247 hektar, kawasan
budidaya 458.430 hektar, serta kawasan budidaya tidak berizin 74.553 hektar.

Selama upaya restorasi tersebut atau lima tahun terakhir [2015-2019], Sumatera


Selatan mengalami karhutla terluas di Indonesia, mencapai 1.011.733,97 hektar.
Luasannya ini di atas enam provinsi lain yang setiap tahun mengalami hal serupa,
yakni Kalimantan Tengah [956.907,25 hektar], Papua [761.081,12 hektar],
Kalimantan Selatan [443.655,03 hektar], Kalimantan Barat [329.998,35 hektar], Riau
[250.369,76 hektar] dan Jambi [182.195,51] hektar.

Setelah 2015, Sumsel sempat menunjukan perkembangan signifikan dalam upaya


pencegahan kebakaran. Pada 2018, hutan dan lahan gambut hanya terbakar sekitar
16.226, 60 hektar. Namun pada 2019 melesat hingga 336.778 hektar. Kabupaten OKI
tetap menjadi paling luas mengalami kebakaran lahan gambut.
B. Dampak Positif Lahan Basah
Keberadaan ekosistem lahan basah memiliki peran dan fungsi penting dalam
proses keseimbangan alam khususnya di bumi. Fungsi ekologis serta fungsi-fungsi
lainnya menunjukkan adanya hubungan ketergantungan antara manusia dengan
lingkungannya.
Menurut Pramudianto (2011), manfaat lahan basah dapat terbagi menjadi 4 hal
berdasarkan fungsinya, yakni sebagai berikut :
a) Manfaat Lahan Basah dalam Segi Ekologis
1. Membantu menyerap unsur-unsur hara yang penting serta bahan makanan
yang berguna bagi mahluk hidup sekitarnya.
2. Menyediakan air sepanjang tahun khususnya ke akuifer (pengisian kembali
air tanah) dan lahan basah lain.
3. Mengendalikan terjadinya luapan air pada musim penghujan.
4. Menjernihkan air buangan serta dapat menyerap bahan-bahan polutan
dengan kapasitas tertentu.
5. Mencegah intrusi air asin.
6. Membantu melindungi daerah pantai dari aktivitas gelombang dan badai.
7. Mengendalikan erosi serta mampu menahan lumpur
8. Kontribusi pada kelangsungan proses dan sistem alami yang ada; proses dan
sistem ekologi, penyerapan karbon, mengontrol kadar garam tanah dan
pengembangan tanah asamsulfat.

b) Manfaat Lahan Basah dalam Segi Ekonomis


1. Sumber produk alami dalam dan di luar lahan.
2. Sebagai habitat yang banyak memberikan spesies flora dan fauna yang dapat
dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional penduduk.
3. Sebagai sumber makanan.
4. Produksi energi.

c) Manfaat Lahan Basah dalam Segi Pariwisata


1. Kesempatan untuk memberikan rekreasi.
2. Obyek turisme.
3. Dapat dijadikan suaka alam dan kawasan perlindungan.
d) Manfaat Lahan Basah dalam Segi Ilmiah
1. Penelitian ekosistem lahan basah.
2. Observasi spesies flora dan fauna

Berdasarkan hal inilah maka lahan basah merupakan bagian penting dari habitat
flora dan fauna serta memiliki keterkaitannya dengan manusia yang tinggal di sekitar
kawasan tersebut. Khususnya untuk ekosistem lahan basah di daerah Sumatera
Selatan yaitu daerah Ogan Komering Ilir yang telah dilakukan penelitian mengenai
dampak positifnya sebagai penyerap dan penyimpanan karbon. Ekosistem lahan basah
memiliki dampak positif sebagai penyerap dan penyimpanan karbon, baik dari
atmosfir melalui proses fotosintesis yang disimpan dalam bentuk biomassa pohon,
maupun melalui akumulasi sedimentasi dari bagian hulu daerah aliran sungai. Dengan
adanya penyerapan karbon oleh lahan basah ini sehingga dapat mencegah larinya gas
rumah kaca (terutama CO2) ke atmosfer bumi yang dampak berdampak terhadap
perubahan iklim.

C. Dampak Negatif
Permasalahan kesehatan masyarakat dilahan basah di pengaruhi oleh kesehatan
lingkungan yang ada di sekitar yaitu:

1. Air bersih
Yaitu air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari dimana kualitasnya
memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak. Di daerah
lahan basah biasanya masyarakat mendapatkan air bersih dari PDAM, selebihnya
menggunakan sumur atau sumber lain. Bila datang musim kemarau, krisis air
dapat terjadi dan penyakit dapat muncul.
2. Pembuangan kotoran atau tinja
Masyarakat didaerah lahan basah masih dapat dijumpai membuang kotoran atau
tinja di sungai. Hal ini dapat mencemari sungai dan menimbulkan penyakit.
Metode pembuangan tinja yang baik yaitu menggunakan jamban
3. Pembuangan sampah
Pembuangan sampah di indonesia masih memprihatinkan, dimana kita dapat
melihat masih banyak masyarakat yang membuang sampah disungai, masyarakat
masih belum terbiasa membuang sampah pada tempatnya.
4. Penyakit menular
MalariaMalaria merupakan infeksi parasit pada sel merah yang disebabkan oleh
suatu protozoa spesies plasmodium yang di tularkan kemanusia melalui air liur
nyamuk. Orang yang beresiko terinfeksi malaria adalah anak-anak, balita, wanita
hami serta penduduk nonimun yang mengunjungi daerah endemis malaria serta
berpenduduk di daerah lahan basah.
 Demam kuning (yellow fever)
Demam kuning atau yellow fever merupakan penyakit infeksi yang di
sebabkan oleh virus. Disebut demam kuning karena penyakit ini ditandai
dengan ikterik (mata kuning). Penularan virus ini terjadi karena gigitan oleh
nyamuk yang terinfeksi virus demam kuning namun penularannya tidak
terjadi antar manusia.
 Demam berdarahPenyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
Merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat penting di Indonesia
dan seringmenimbulkan suatu letusan Kejadian Luar Biasa (KLB)
dengankematian yang besar. Penyakit DBD adalah penyakit infeksi oleh
virus Dengue yangditularkan melalui gigitan nyamukAedes, dengan ciri
demam tinggimendadak disertai manifestasi perdarahan dan
bertendensimenimbulkan renjatan (shock) dan kematian. Sampai sekarang
penyakit DBD belum ditemukan obat maupunvaksinnya, sehingga satu-
satunya cara untuk mencegah terjadinyapenyakit ini dengan memutuskan
rantai penularan yaitu dengan pengendalian vector.
 Filariasis
Filariasis adalah penyakit infeksi sistemik kronik yang disebabkan oleh nang,
dari genus Wuchereria dan Brugia yang dikenal sebagai filaria yang tinggal
di sistem limfa (mengandung getah bening), yaitu jaringan pembuluh yang
berfungsi untuk menyangga dan menjaga keseimbangan cairan antara darah
dan jaringan otot yang merupakan komponen esensial dari sistem kekebalan
tubuh. Filariasis atau yang lebih dikenal dengan sebutan penyakit “kaki
gajah” ini disebabkan oleh tiga spesies filaria, yaitu Wuchereria brancofti
dimana hampir sebagian besar berada di daerah yang memiliki kelembaban
yang cukup tinggi.
 EncephalitiaJapanese encephalitis (JE)
Penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat (SSP) yang ditularkan
melalui nyamuk yang terinfeksi virus JE. Virus JE termasuk dalam famili
flavivirus. Japanese encephalitis adalah infeksi neurologik yang berkaitan
erat dengan St. Louis encephalitis dan West Nile encephalitis. Virus JE
menyebar terutama di daerah pedesaan (rural) di Asia. Virus tersebut
disebarkan oleh nyamuk culicine: nyamuk yang paling sering ditemukan
sebagai vektor ialah Culex tritaeniorhynchus yang dapat menularkan virus
JE baik ke manusia maupun ke hewan peliharaan lainnya. Penyebaran
penyakit ini tergantung musim, terutama pada musim hujan saat populasi
nyamuk Culex meningkat, kecuali di Malaysia, Singapura, dan Indonesia
yaitu sporadik terutama di daerah pertanian seperti di daerah lahan basah.

BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

1. Harianto Sugeng, Dewi Bainah Sari. Biodiversitas fauna di kawasan budidaya


lahan basah. Universitas Lampung. 2017.
2. Siahaan Hengki, Sumadi Agus. Serapan karbon hutan tanaman Krasikarpa pada
lahan basah di Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan. Jurnal
Penelitian Kehutanan Sumatrana. 2017: 1(1); 33-41
3. Agus Fahmudin, Noor Muhammad, Boediono Rachmat. Potensi penyerapan
karbon pertanian di lahan gambut. 2018. Diakses di
www.pojokiklim.menlhk.go.id
4. https://www.mongabay.co.id/2020/10/06/penanganan-gambut-di-sumatera-
selatan-butuh-komitmen-para-pihak/#:~:text=Tidak%20ada%20data%20pasti
%20mengenai,sekitar%208%2C7%20juta%20hektar.

5. Panghiyangani , Roselina. Dkk. Kesehatan Masyarakat Di Lingkungan Lahan


Basah CV IRDH.

6. Cassel, D.K. 1997. Foreword. Dalam: M.J. Vepraskas & S.W. Sprecher (eds.),
Aquic Conditions and Hydric Soils: The Problem Soils. SSSA Special
Publication Number 50. h vii.
7. Dugan, P.J. (ed.). 1990. Wetland conservation. TheWorld Conservation Union.
Gland, Switzerland. 96 h.
8. Maltby, E. 1986. Waterlogged wealth. An Earthscan Paperback. London. 198 h.
9. Chandra B. 2005. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: buku kedokteran
EGC.
10. Effendi R, Hana S, Abdul M. 2018 pemahaman tentang lingkungan
berkelanjutan.eJournal Undip 18(2): 75-82.
11. Ikhtiar M. 2017. Pengantar kesehatan lingkungan, Makassar: CV, Social Politic
Genius (SIGn)

Anda mungkin juga menyukai