wetland adalah suatu lahan yang jenuh air dengan kedalaman air tipikal yang kurang
dari 0,6 m yang mendukung pertumbuhan tanaman air emergent misalnya Cattail,
bulrush, umbrella plant dan canna (Metcalf and Eddy, 1991), pengertian lainnya
Constructed wetland merupakan suatu rawa buatan yang di buat untuk mengolah air
limbah domestik, untuk aliran air hujan dan mengolah lindi (leachate) atau sebagai
tempat hidup habitat liar lainnya, selain itu constructed wetland dapat juga
digunakan untuk reklamasi lahan penambangan atau gangguan lingkungan lainnya.
Wetland dapat berupa biofilter yang dapat meremoval sediment dan polutan seperti
logam berat. (wikepedia, 2007)
1. Area yang digenangi air dan mendukung hidupnya aquatic plant jenis
hydrophita
constructed wetland atau lahan basah adalah istilah kolektif tentang ekosistem yang pembentukannya
dikuasai air, dan proses serta cirinya terutama dikendalikan air. Suatu lahan basah adalah suatu tempat yang
cukup basah selama waktu cukup panjang bagi pengembangan vegetasi dan organisme lain yang teradaptasi
khusus (Maltby, 1986). Lahan basah ditakrifkan (define) berdasarkan tiga parameter, yaitu hidrologi, vegetasi
hidrofitik, dan tanah hidrik (Cassel, 1997). Lahan basah merupakan wilayah rawa, lahan gambut, dan air, baik
alami maupun buatan, bersifat tetap atau sementara, berair ladung (stagnant, static) atau mengalir yang bersifat
tawar, payau, atau asin, mencakup wilayah air marin yang di dalamnya pada waktu surut tidak lebih daripada
enam meter.
Tiap lahan basah tersusun atas sejumlah komponen fisik, kimia, dan biologi, seperti tanah, air, spesies
tumbuhan dan hewan, serta zat hara. Proses yang terjadi antar-komponen dan di dalam tiap komponen
membuat lahan basah dapat mengerjakan fungsi-fungsi tertentu, dapat membangkitkan hasilan, dan dapat
Dalam constructed wetland Terdapat dua sistem yang dikembangkan saat ini yaitu:
Free Water Surface System (FWS)
FWS disebut juga rawa buatan dengan aliran di atas permukaan tanah. Sistem ini
berupa kolam atau saluran-saluran yang dilapisi dengan lapisan impermeable di
bawah saluran atau kolam yang berfungsi untuk mencegah merembesnya air keluar
kolam atau saluran. FWS tersebut berisi tanah sebagai tempat hidup tanaman yang
hidup pada air tergenang (emerge plant) dengan kedalaman 0,1-0,6 m (Metcalf &
Eddy, 1993). Pada sistem ini limbah cair melewati permukaan tanah. Pengolahan
limbah terjadi ketika air limbah melewati akar tanaman, kemudian air limbah akan
diserap oleh akar tanaman dengan bantuan bakteri (Crites and Tchobanoglous, 1998
dalam Wijayanti, 2004).
Surface flow wetland - tanah sebagai media Biaya murah - Memerlukan biaya
tanam lahan
- Dangkal - Sebagai sarang
- Open water nyamuk dan tikus
Subsurface flow wetland - Pasir atau gravel sebagai - Dapat digunakan sebagai
media tanam sarang hewan liar Biaya operasional dan
- Subsurface water flow - Lebih dingin konstruksinya lebih
lebih dalam dari surface murah
flow
"...at the interface between truly terrestrial ecosystems and aquatic systems,
making them inherently different from each other, yet highly dependent on both."
Pasal 1.1: lahan basah adalah wilayah payau, rawa, gambut, atau
perairan, baik alami maupun buatan, permanen atau temporer (sementara),
dengan air yang mengalir atau diam, tawar, payau, atau asin, termasuk pula
wilayah dengan air laut yang kedalamannya di saat pasang rendah (surut)
tidak melebihi 6 meter.
Jadi lahan basah dapat dikatakan sebagai suatu wilayah genangan atau wilayah
penyimpanan air yang memiliki karakteristik terresterial dan aquatik. Contoh yang dapat
diambil adalah : rawa-rawa, mangrove, payau, daerah genangan banjir, hutan genangan
serta wilayah sejenis lainnya.
1. Tidal wetland : adalah lahan basah yang berhubungan dengan estuari, dimana air laut
bercampur dengan air tawar dan membentuk lingkungan dengan bermacam-macam kadar salinitas.
Fluktuasi pemasukan air laut yang tergantung pada pasang surut seringkali menciptakan lingkungan
yang sulit bagi vegetasi, salah satu yang dapat beradaptasi disini adalah tumbuuhan mangrove dan
beberapa tanaman yang tahan terhadap salinitas.
Selain itu beberapa manfaat lain dari adanya lahan basah yaitu :
a. Manfaat Ekologis
b. Manfaat Ekonomis
- Produksi energi.
c. Manfaat Pariwisata
- Obyek turisme.
d. Manfaat Ilmiah
Masih banyak manfaat lainnya yang belum disebutkan. Seperti yang disebutkan oleh
Howe yang menyatakan ada sekitar 18 manfaat lahan basah dengan membagi 3 hal
berdasarkan fungsi, penggunaan dan ciri-cirinya (Howe, 1991). Selain itu ada juga yang
membagi 2 hal dalam memanfaatkan lahan basah ini yaitu pemanfaatan konsumtif dan
pemanfaatan non-konsumtif (Pakpahan & Pakpahan., 1994).
Namun pada prinsipnya penggunaan lahan basah untuk kepentingan kegiatan tertentu
harus memiliki batas tertentu, artinya penggunaan lahan ini tentu saja tidak sampai
merusak atau mengubah ekosistem yang ada. Karena itu kawasan lahan basah yang
masih alami dan mempunyai nilai yang tinggi harus merupakan wilayah yang
dimasukkan dalam kawasan konservasi dan perlu dilindungi secara legal. Hal ini
mengingat tekanan terhadap lingkungan lahan basah semakin tinggi karena adanya
tuntutan kebutuhan manusia untuk memperluas penggunaan lahan bagi
kepentingannya.
Perkembangan Global Mengenai lahan Basah.
Dari fungsi dan peran yang berarti dari lahan basah tersebut maka perlu adanya
pengaturan secara global. Keberadaan pengaturan internasional yang berkaitan dengan
lahan basah dimaksudkan agar perlindungan terhadap kawasan ini dapat terjamin secara
hukum. Artinya penghilangan kawasan lahan basah yang telah dilindungi tidak dilakukan
begitu saja tanpa ada pihak yang bertanggungjawab mengingat telah banyak kawasan
lahan basah di dunia ini telah berkurang.
Di Amerika Serikat lebih dari 50 % lahan basah yang ada pada jaman kolonial sekarang
telah hilang. Di negara-negara berkembang telah terjadi perubahan lahan basah akibat
penggunaan waduk dan saluran irigasi (Elsworth, 1990). Mengenai berkurangnya lahan
basah contoh yang sedang terjadi adalah di daerah Pantanal di Brazil mempunyai rawa-
rawa seluas 110.000 km 2, yang mungkin terluas dan paling beragam di Amerika
Selatan. Kawasan tersebut telah diklasifikasikan oleh UNESCO sebagai kawasan penting
internasional. Sayangnya kawasan ini menderita akibat semakin meluasnya pertanian,
pembuatan bendungan dan berbagai bentuk pembangunan lainnya (WCED, 1987).
Adanya pengaturan ini diharapkan beberapa lahan basah yang masih ada di dunia dapat
dilindungi serta pengembalian kembali kawasan yang rusak untuk dikonservasi jika
masih memungkinkan.
Sebenarnya usaha untuk mengatur masalah ini telah mulai dilakukan sekitar 30 tahun
yang lalu. Di tahun 1961 atas inisiatif AQUA Project telah dibentuk suatu Masyarakat
Internasional mengenai masalah Danau (Societas Internationalis Limnologiae). UNESCO
juga menyebutkan bahwa danau dan sungai besar merupakan wilayah konservasi yang
penting. Di tahun 1962 Konferensi MAR yang diadakan oleh International Union for
Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) yang sekarang dikenal dengan
nama the World Conservation Union , the International Waterfowl Research
Bureau (IWRB) dan International Council for Birds Preservation (ICBP) menyatakan untuk
memfokuskan perhatian dan mengkoordinasi tindakan-tindakan mengenai konservasi
lahan basah Palearctic. Hasil kerjasama selanjutnya adalah mengembangkan The
Convention on Wetlands of International Importance Especially as Waterfowl Habitat.
Selanjutnya Konvensi ini diadopsi di Ramsar, Iran tahun 1971 dan berlaku pada bulan
Desember 1975 setelah deposit terakhir dilaksanakan oleh pemerintah Yunani (Dugan,
1987). Konvensi ini berada dalam daftar perjanjian internasional UNESCO yang mewakili
organisasi internasional di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa. Kedudukan Sekretariat
Jenderal Konvensi ini berada di kota Gland, Swiss dan memiliki kantor cabang di kota
Slambridge, Inggris.
Sebagai suatu Konvensi Internasional yang pertama mengenai lahan basah, ternyata
telah mampu menjadi perhatian berbagai pemerintah dan masyarakat internasional
khususnya dalam menangani sumber-sumber alam yang ada pada lahan basah dan
hewan migrasi (migran spesies) yang sangat tergantung pada sumber-sumber makanan
di lahan basah. Hal ini berkaitan dengan adanya peningkatan kerusakan serta polusi
yang terjadi secara lintas batas terhadap lahan basah ini . Sehingga hal ini menuntut
adanya penyelesaian secara internasional dengan perlunya melibatkan kerjasama antar
negara khususnya dalam pengelolaan serta pelestarian flora serta fauna yang termasuk
dalam kategori spesies migran. Tindakan-tindakan untuk melaksanakan konvensi telah
dilakukan antara lain dengan membentuk Ramsar Convention`s Database. Dengan suatu
kerjasama antara World Conservation Monitoring Center (WCMC) dan dengan IWRB telah
dikembangkan suatu konsep data dasar lokasi lahan basah berdasarkan Konvensi
Ramsar. Dengan dukungan pemerintah Swiss dan Inggris proyek ini telah
didemonstrasikan dalam pertemuan keempat para pihak penandatangan Konvensi
Ramsar di kota Montreux , Swiss tahun 1990.
Dengan demikian konvensi ini juga telah memberikan kesadaran lingkungan khususnya
kepeduliannya terhadap lahan basah. Karena itu dalam pertemuan-pertemuan global
selanjutnya, masalah lahan basah merupakan issu yang menarik. Tahun 1990 masalah
lahan basah ini telah dimasukkan dalam World Conservation Strategy. Januari 1992 di
Dublin, Irlandia dalam WMO Conference, IUCN telah membantu mempersiapkan naskah
mengenai peranan penting lahan basah, pengaturannya serta pengelolaannya pada
lahan basah air tawar. Hasil dari Dublin ini merupakan salah satu masukkan dalam KTT
Bumi di Rio De Janerio bulan Juni tahun 1992.
Konvensi ini kemudian baru berlaku pada tanggal 21 Desember 1975 setelah memenuhi
syarat ratifikasi berlakunya konvensi. Tujuan dari terbentuknya Konvensi ini adalah
menghindari hilangnya lahan basah dan menjamin pelestariannya, mengingat
kepentingannya dalam proses ekologi dan kekayaan yang terkandung di dalamnya
seperti spesies flora dan fauna. Karena itu para pihak peserta mempunyai kewajiban-
kewajiban yang harus dilaksanakan setelah menandatangani atau tunduk pada konvensi
ini. Kewajiban umum setiap pihak adalah menjaga pelestarian lahan basah di wilayah
jurisdiksi teritorialnya dan kewajiban khususnya adalah turut serta melindungi lahan
basah yang memiliki kepentingan internasional yang termasuk dalam daftar yang telah
ditentukan konvensi.
Tahun 1985 ada 300 lokasi yang luasnya 200 juta hektar are telah ditetapkan dalam
daftar internasional yang memiliki manfaat ekologi, pertanian, botani, zoologi, limnologi
atau hidrologi (MacKinnon & Kathy, 1990). Sampai tahun 1992 ada 549 kawasan lahan
basah di 65 negara (lebih dari 20 negara adalah negara berkembang sudah dimasukkan
dalam daftar Konvensi (Birnie & Boyle, 1992).
Berdasar hal inilah maka lahan basah merupakan bagian dari habitat penting bagi flora
dan fauna serta memiliki keterkaitannya dengan manusia yang tinggal di sekitar
kawasan tersebut dan karenanya perlindungan harus dilakukan secara global.
Kemudian dalam Pasal 1 ayat (1) definisi dari lahan basah (wetland) adalah :
Dari definisi lahan basah di atas sebenarnya wilayah pantai yang kurang dari kedalaman
6 meter masih dianggap termasuk dalam definisi ini. Namun mengenai sejauhmana
wilayah berlakunya masih perlu diperinci lagi mana yang termasuk daftar dalam
konvensi ini. Karena itu Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa perlunya dibuat pilihan lahan
basah untuk dimasukkan dalam suatu daftar yang didasarkan pentingnya makna
internasional yang terkandung baik dari sudut ekologi, botani, zoologi, limnologi dan
hidrologi. Pasal ini juga diperuntukkan bagi burung unggas dalam musim apapun perlu
dimasukkan sebagai bagian dari lahan basah yang memiliki makna internasional.
Each contracting party shall designate at least one wetland to be included in the list
when signing this Convention or when depositing its instrumen of ratification or
accession, as provided in Article 9.
Dari pasal di atas telah ditetapkan persyaratan setiap anggota untuk memiliki sekurang-
kurangnya sebidang lahan basah yang mempunyai makna internasional pada waktu
negara tersebut menandatangani atau meratifikasi dan tunduk pada konvensi.
Pasal 2 ayat 6 menyatakan bahwa setiap negara anggota dapat dikatakan memiliki
pertanggungjawaban secara langsung dan seketika setelah menandatangani konvensi
ini, maksudnya negara anggota mempunyai kewajiban langsung untuk mengganti
kerugian atas lahan basah yang hilang. Hal ini berkaitan dengan Pasal 4 (2). Pasal 3
menyatakan bahwa negara anggota merumuskan dan melaksanakan perencanaan
sedemikian rupa sehingga mengembangkan konservasi dari lahan basah yang termasuk
dalam daftar. Namun demikian diusahakan pula negara anggota dapat mengembangkan
penggunaan arif (wise use) dari lahan basah yang ada di wilayah negaranya. Pasal
tersebut menyatakan juga bila terjadi perubahan ekologis dari lahan basah yang masuk
dalam daftar konvensi, negara anggota wajib memberitahukan kepada International
Waterfowl Research Bureau (IWRB).
Pasal 6 Konvensi Ramsar 1971 menyatakan bahwa perlunya ditetapkan konperensi yang
teratur dan negara-negara anggota diwajibkan hadir serta diharapkan dapat memberikan
rekomendasi mengenai konservasi, pengelolaan serta pengaturan secara bijaksana lahan
basah beserta flora dan faunanya. Negara anggota menjamin bahwa rekomendasi
tersebut akan memperoleh perhatian. Pasal 8 menyatakan IUCN akan melaksanakan
kelangsungan tugas-tugas biro di bawah konvensi ini. Untuk memperkuat peranan
konvensi ini maka sejak tahun 1988 telah didirikan kantor independen yang dikepalai
oleh seorang Sekretariat Jenderal. (Birnie & Boyle,1992:465). Pasal 9 (2) menyebutkan
mengenai tata cara bagaimana negara-negara dapat tergabung dalam konvensi ini.
Adapun tata cara ini terbagi dalam 3 hal yaitu :
- Tambahan (Accession).
Kemudian para pihak peserta konvensi juga sepakat untuk mengadakan kegiatan-
kegiatan yang berkaitan dengan konvensi. Kegiatan tersebut dilaksanakan dengan
diadakannya pertukaran informasi dan pengalaman di antara negara anggota. Kemudian
pengembangan kebijaksanaan serta peraturan yang berkaitan dengan konvensi.
Diadakan pula tukar menukar tenaga ahli dalam bidang yang kelak akan mampu menjadi
bahan pertimbangan dalam menentukan kebijaksanaan selanjutnya. Para pihak juga
menyetujui didirikannya suatu Sekretariat Jenderal yang terlepas namun tetap dibawah
koordinasi IUCN yang hal ini baru terlaksana setahun kemudian.
Ramsar Sites
Ramsar Sites, yaitu areal konservasi dan pemanfaatan lahan basah. Ditetapkan
berdasarkan kesepakatan 18 negara yang berkumpul di kota Ramsar- Iran tanggal 2
Februari 1971 yang menandatangani naskah kerja sama internasional dalam rangka
konservasi dan pemanfaatan lahan basah secara bijaksana. Perjanjian kerja sama
tersebut kemudian dikenal sebagai Konvensi Ramsar dan tanggal 2 Februari ditetapkan
sebagai Hari Lahan Basah sedunia. Sampai dengan tahun 2000 telah tercatat sebanyak
119 negara yang mengadopsi Konvensi Ramsar tersebut dimana Indonesia mengadopsi
Konvensi Ramsar sejak tahun 1985 (WIP-IP, 2000).
1. - Berbak, Jambi
2. - Danau Sentarum, Kalimanatan Barat
3. - Pulau Rambut, DKI Jakarta
4. - Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, Sulawesi Barat
5. - Taman Nasional Sembilang, Sumatera Selatan
6. - Taman Nasional Tanjung Putting, Kalimantan Tengah
7. - Taman Nasional Wasur, Papua
sumber :
- www.ramsar.org
- www.id.wikipedia.org
Dewasa ini laju pembangunan semakin pesat, terutama di daerah perkotaan. Industri-
industri yang berkembang selain memberikan dampak positif, juga menimbulkan
dampak negatif, di antaranya pencemaran lingkungan dari limbah yang dihasilkan,
baik berupa limbah organik maupun limbah anorganik seperti logam berat, dll.
Sementara daerah resapan air sendiri semakin berkurang, karena banyaknya bangunan
permanen seperti gedung-gedung bertingkat dan perumahan penduduk, sehingga
menghalangi proses siklus alami air di dalam tanah, termasuk di dalamnya proses
pengolahan limbah secara alami.
Dalam bidang pencemaran lingkungan, dikenal istilah Bioremediasi, yakni penggunaan
mikroorganisme (bakteri / jamur) untuk mendekomposisi dan mendegradasi polutan
menjadi unsur yang tidak berbahaya. Dalam bioremediasi terdapat beberapa metode
remediasi, baik yang berbasis fisika kimia maupun berbasis ilmu lain. Dalam dua
dekade terakhir penelitian, pengembangan dan penerapan metode remediasi berbasis
tumbuhan mendapat perhatian luas di Amerika, Australia, dan Eropa. Metode
remediasi yang dikenal sebagai fitoremediasi ini mengandalkan pada peranan
tumbuhan untuk menyerap, mendegradasi, mentransformasi dan mengimobilisasi
bahan pencemar, baik itu logam berat maupun senyawa organik. Mengingat akan
kekayaan hayati tumbuhan Indonesia yang besar serta ditunjang oleh iklim yang hangat
sepanjang tahun, tentunya sumbangan tumbuhan untuk mengendalikan pencemaran
perlu dikaji dan akhirnya diterapkan bila teknologinya ternyata menguntungkan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
Phyto asal kata Yunani/greek phyton yang berarti tumbuhan/tanaman (plant),
remediation asal kata Latin remediare (to remedy) yaitu memperbaiki/menyembuhkan
atau membersihkan sesuatu. Jadi fitoremediasi (phytoremediation) merupakan suatu
sistim dimana tanaman tertentu yang bekerjasama dengan micro-organisme dalam
media (tanah, koral dan air) dapat mengubah zat kontaminan (pencemar/polutan)
menjadi kurang atau tidak berbahaya bahkan menjadi bahan yang berguna secara
ekonomi.
Fitoremediasi ini menggunakan tanaman hijau untuk membersihkan limbah/daerah
yang terkontaminasi bahan yang berbahaya/beracun. Ide penggunaan tanaman
pengakumulasi logam berat ini adalah untuk menghilangkan logam berat dan senyawa-
senyawa lain yang diperkenalkan pertama pada tahun 1983, tetapi konsep ini
sebenarnya telah diimplementasikan 300 tahun yang lalu pada pembuangan air limbah.
2.2. Wetland/ Lahan Basah
Salah satu dari fitoremediasi adalah metode wetland atau penggunaan lahan basah
untuk untuk proses pembersihan logam berat atau senyawa-senyawa berbahaya
menjadi tidak berbahaya. Metode wetland ini secara umum dibagi menjadi dua
kategori,yaitu:
1.)Subsurface Flow Systems
Subsurface flow systems atau sistem aliran bawah tanah . Subsurface flow systems
didesain untuk aliran bawah tanah melalui media permeabel, menjaga air diolah
dibawah permukaan , selain itu menghindari berkembangnya bau dan gangguan
masalah lainnya. Sistem ini juga sebagai root-zone systems, rock-reed-filters, dan
vegetated submergedbed systems. Media yang digunakan bisanya tanah, pasir,gravel,
dan pecahan batu/kerikil.
2.)Free Water Surface Systems
Sistem aliran permukaan dididesain untuk mensimulasikan lahan basah alami, dengan
aliran air melewati permukaan tanah pada genangan yang dangkal. Vegetasi sering
terdiri dari tanaman marsh, seperti cattail dan reeds.
Kedua tipe tersebut biasanya berada di lembah atau terusan baik secara alami
terbentuk atau yang sengaja dibuat.
Wetland memiliki efisiensi penghilangan suspensi padat pada kolom air yang cukup
besar. Materi-materi yang tersuspensi di kolom air dapat terdiri dari banyak macam
kontaminan , seperti nutrien, logam berat, atau ikatan fisika atau kimia.
Salah satu cara yang digunakan adalah fitostabilisasi. Fitostabilisasi adalah
penghentian kontaminan di tanah melalui absorpsi dan akumulasi oleh akar, adsorpsi
ke dalam akar di daerah akar dari tanaman. Selain itu digunakan untuk menjaga
migrasi/perpindahan kontaminan melalui angin,dan erosi air, dan dispersi tanah.
Fitostabilisasi terjadi melalui akumulasi kontaminan pada jaringan tanaman dan di
tanah disekitar akar karena perubahan kimia dari kontaminan, yang menjadi tidak
larut dan berhenti di komponen tanah.bahan kontaminan yang tidak dapat larut
biasanya tidak berbahaya. Fitostabilisasi juga mengacu pada pembangunan/
pengembangan tanaman penutup pada permukaan air dari tanah atau sedimen yang
terkontaminasi
Keuntungan:
1.)Mengurangi pergerasiko dari bahan kontaminan anorganik tanpa menghilangkan
bahan tersebut dari lokasi mereka.
2.)Jika dibandingkan teknik lain seperti Excavation atau penggalian, yang teknik ini
lebih murah
3.)Menambah kesuburan tanah
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
1.Fitoremediasi cukup effektif dan murah untuk menangani pencemaran terhadap
lingkungan oleh logam berat dan B3 sehingga dapat digunakan untuk remediasi TPA
dengan menanam tumbuhan pada lapisan penutup terahir TPA dan menggunakan sistim
wetland bagi kolam leachit.
2.Sistim pengolahan limbah dengan wetland disarankan hanya untuk skala lingkungan
maksimum 2000 orang dan perkantoran atau gedung-gedung sekolah karena kebutuhan
lahannya cukup tinggi antara 1.25 m2/capita s/d 2.5 m2/capita dibanding fakultatif
pond hanya 0.2 s/d 0.5 m2/capita atau hanya 1/5 dari kebutuhan wetland.
3.Biaya investasi pada metode Wetland sangat relatif terhadap ketersedian lahan,
dengan demikian untuk skala kecil sangat ekonomis bila lahan dapat disediakan.
4.Untuk skala rumah tangga sistim metode Wetland ini dapat dianggap pengganti
bidang resapan.
http://alamsty.blogspot.com/2009/07/pemanfaatan-wetland-sebagai-media.html