Anda di halaman 1dari 10

1.

Metode Penghitungan Biomassa

Dalam menghitung biomassa terdapat 4 cara utama yaitu:

1. Sampling dengan pemanenan (Destructive sampling) secara in situ;


2. Sampling tanpa pemanenan (Non-destructive sampling) dengan data pendataan
hutan secara in situ;
3. Pendugaan melalui penginderaan jauh;
4. Pembuatan model. Untuk masing masing metode di atas, persamaan allometrik
digunakan untuk mengekstrapolasi cuplikan data ke area yang lebih luas.

Sampling dengan pemanenan (Destructive sampling) secara in situ.

Metode ini dilaksanakan dengan memanen selurh bagian tumbuhan termasuk akarnya,
mengeringkannya dan menimbang berat biomassanya. Pengukuran dengan metode ini
untuk mengukur biomassa hutan dapat dilakukan dengan mengulang beberapa area
cuplikan atau melakukan ekstrapolasi untuk area yang lebih luas dengan menggunakan
persamaan alometrik. Meskipun metode ini terhitung akurat untuk menghitung biomass pada
cakupan area kecil, metode ini terhitung mahal dan sangat memakan waktu.

Sampling tanpa pemanenan

Metode ini merupakan cara sampling dengan melakukan pengkukuran tanpa melakukan
pemanenan. Metode ini antara lain dilakukan dengan mengukur tinggi atau diameter pohon
dan menggunakan persamaan alometrik untuk mengekstrapolasi biomassa.

Pendugaan melalui penginderaan jauh.

Penggunaan teknologi penginderaan jauh umumnya tidak dianjurkan terutama untuk


proyek-proyek dengan skala kecil. Kendala yang umumnya adalah karena teknologi ini
relatif mahal dan secara teknis membutuhkan keahlian tertentu yang mungkin tidak dimiliki
oleh pelaksana proyek. Metode ini juga kurang efektif pada daearah aliran sungai, pedesaan
atau wanatani (agroforestry) yang berupa mosaic dari berbagai penggunaan lahan dengan
persil berukuran kecil (beberapa ha saja). Hasil pengideraan jauh dengan resolusi sedang
mungkin sangat bermanfaat untuk membagi area proyek menjadi kelas-kelas vegetasi yang
relative homogen. Hasil pembagian kelas ini menjadi panduan untuk proses survey dan
pengambilan data lapangan. Untuk mendapatkan estimasi biomassa dengan tingkat
keakuratan yang baik memerlukan hasil pengideraan jauh dengan resolusi yang tinggi,
tetapi hal ini akan menjadi metode alternatif dengan biaya yang besar.
Pembuatan model

Model digunakan untuk menghitung estimasi biomassa dengan frekuensi dan intensitas
pengamtan insitu atau penginderaan jauh yang terbatas. Umumnya, model empiris ini
didasarkan pada jaringan dari sample plot yang diukur berulang, yang mempunyai estimasi
biomassa yang sudah menyatu atau melalui persamaan allometrik yang mengkonversi
volume menjadi biomassa . (Australian Greenhouse Office, 1999).

2. Jenis-jenis Produktivitas
Produktivitas dalam ekosistem biasanya didefinisikan sebagai laju produksi per
satuan waktu. Produktivitas dapat dibagi menjadi dua macam yaitu produktivitas primer dan
produktivitas sekunder. Produktivitas primer dilakukan oleh produsen (autotrof) yaitu
menghasilkan energi atau biomassa per satuan luas per satuan waktu. Produktivitas
sekunder yaitu biomassa yang diperoleh oleh organisme heterotrofik, melalui proses makan
dan penyerapan yang diukur dalam satuan massa atau energi per satuan luas per satuan
waktu. Produktivitas primer adalah konversi energi surya sedangkan produktivitas sekunder
melibatkan makan atau penyerapan. Produktivitas primer tergantung pada jumlah sinar
matahari, kemampuan produsen untuk menggunakan energi untuk mensintesis senyawa
organik, dan ketersediaan faktor-faktor lain yang dibutuhkan untuk pertumbuhan (misalnya
mineral dan nutrisi) (Gambar 1). Produktivitas sekunder tergantung pada jumlah makanan
yang tersedia dan efisiensi konsumen mengubahnya menjadi biomassa baru (Nagle, 2010).

Perbandingan bioma dalam hal produksi primer / 103 kJ/m2 /tahun (Nagle, 2010).

Produksi primer tertinggi terjadi apabila kondisi untuk pertumbuhan optimal, dimana
ada tingkat insolasi yang tinggi, air yang cukup, suhu hangat, dan tingkat gizi yang tinggi.
Misalnya, hutan hujan tropis memiliki curah hujan tinggi dan hangat sepanjang tahun
sehingga mereka memiliki musim tanam konstan dan produktivitas yang tinggi. Gurun
memiliki curah hujan yang rendah sehingga akan membatasi pertumbuhan tanaman.
Estuaria menerima sedimen yang mengandung nutrisi dari sungai, karena dangkal, ringan
dan hangat sehingga memiliki produktivitas yang tinggi. Lautan gelap di bawah permukaan
akan membatasi produktivitas tanaman karena kurangnya faktor cahaya dan suhu yang
kurang optimal (Nagle, 2010).

2.1.1 Produktivitas Primer


Setiap ekosistem atau komunitas atau bagian-bagian lain dalam organisasi makhluk
hidup memiliki produktivitas. Kecepatan energi radiasi matahari yang diubah oleh tumbuhan
hijau menjadi energi kimia dikenal sebagai produktivitas primer (Vickery, 1984).
Produktivitas primer merupakan kecepatan energi radiasi matahari yang disimpan melalui
aktivitas fotosintesis dan kemosintesis oleh organisme produsen dalam bentuk bahan
organik yang dapat digunakan sebagai bahan pangan. Produktivitas primer digolongkan
menjadi dua macam yaitu produktivitas primer kotor dan produktivitas primer bersih.
a. Poduktivitas primer kotor, yaitu kecepatan total fotosintesis yang mencakup bahan
organik yang digunakan dalam respirasi atau pernapasan selama periode pengukuran
atau dapat diartikan sebagai fotosintesis total.
b. Produktivitas primer bersih, yaitu kecepatan penyimpanan bahan organik dalam jaringan
tumbuhan sebagai kelebihan bahan organik yang sebagian telah dipakai untuk respirasi
tumbuhan selama proses pengukuran atau disebut juga fotosintesis bersih
(Resosoedarmo, dkk., 1986).
Aliran energi melalui komunitas yang dimulai dari fiksasi cahaya matahari oleh
tumbuhan hijau yaitu proses pengiriman energi. Tumbuhan mengandalkan makanan
simpanan yang berupa energi dalam biji sampai musim berproduksi. Energi yang
diakumulasi oleh tumbuhan hijau disebut produksi atau disebut juga produksi primer.
Kecepatan penyimpanan yang diwujudkan oleh aktivitas fotosintesis disebut produktivitas
primer. Seperti halnya organisme lain, tumbuhan membutuhkan energi untuk berproduksi
dan pemeliharaan kehidupannya. Energi yang tinggal sesudah proses respirasi disimpan
sebagai bahan organik disebut produksi primer bersih atau pertumbuhan tumbuhan
(Sudarmadji, 2014).
Produksi primer total dalam suatu ekositem dikenal sebagai produksi primer kotor
(PPK-gross primary production, GPP) ekositem tersebut, jumlah energi cahaya yang
dikonversi menjadi energi kimiawi melalui fotosintesis per satuan waktu. Tidak semua
produksi ini disimpan sebagai material organik di dalam produsen-produsen primer karena
mereka menggunakan beberapa molekul sebagai bahan bakar pada respirasi selulernya
sendiri. Produksi primer bersih (PPB-net primary production, NPP) sebanding dengan
produksi primer kotor dikurangi dengan energi yang digugnakan oleh produsen primer untuk
respirasi (R) :
PPB = PPK – R

Produktivitas primer (Nagle, 2010).

Pada banyak ekosistem, PPB adalah sekitar separuh PPK. Produksi primer bersih
merupakan besaran kunci karena mempresentasikan penyimpanan energi kimia yang akan
tersedia bagi konsumen dalam ekosistem. PPB dapat dinyatakan sebagai energi persatuan
luas per satuan waktu (J/m2/tahun) atau sebagai biomassa yang ditambahkan ke ekosistem
per satuan luas per satuan waktu (g/ m2/tahun) (Campbell, et al., 2008).
Produksi primer bersih mengumpul sepanjang waktu sebagai biomassa tumbuhan.
Bagian dari akumulasi tersebut mengalami proses pembalikan melalui dekomosisi,
sedangkan yang tetap sepanjang waktu dikenal sebagai materi hidup. Akumulasi bahan
organik hidup yang terdapat pada suatu area dan suatu saat tertentu dikenal sebagai
biomassa saat itu (standing crop biomassa). Biomassa biasanya dikatakan sebagai gram
berat kering bahan organik per satuan luas (contoh gram per m 2 atau kg per ha, atau kalori
per m2). Jadi biomassa organiknya disusun dari fotosintesis, sedangkan biomassa ada pada
suatu saat tertentu adalah tidak sama dengan produksi dan tidak berarti bahwa biomassa
yang tinggi berpengaruh pada produksi tinggi (Sudarmadji, 2014).

2.1.2 Produktivitas Sekunder


Produktivitas sekunder dapat diartikan sebagai kecepatan menyimpan energi
potensial ke dalam tingkatan trofik konsumen atau makhluk pengurai. Produktivitas
sekunder dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu produktivitas sekunder kotor dan
produktivitas sekunder bersih. Dengan demikian, semakin jauh kedudukannya dalam rantai
makanan, maka jumlah energinya adalah semakin kecil. Jumlah energi total yang terdapat
pada tingkat heterotrofik yang analog dengan produktivitas kotor pada tingkat autotrofik
sebaiknya disebut asimilasi dan bukan produksi, karena pada tingkat ini memang organisme
tidak melakukan produksi melainkan hanya mengassimilasi saja (Resosoedarmo, dkk.,
1985).
Hewan tidak menggunakan semua biomassa yang mereka konsumsi. Beberapa lolos
keluar melalui feses dan ekskresi. Produksi kotor pada hewan ( GSP) adalah jumlah energi
atau biomassa yang berasimilasi dikurangi energi atau biomassa dari kotoran. Beberapa
energi diasimilasi oleh hewan digunakan dalam respirasi, untuk mendukung proses
kehidupan, dan sisanya tersedia untuk membentuk biomassa baru (NSP). Biomassa baru
inilah yang kemudian tersedia ke tingkat trofik berikutnya. Bila dirangkum maka :
NSP = GSP – R
Keterangan :
GSP = makanan yang dimakan – ekskresi melalui feses
R = respirasi
(Nagle, 2010)

Gambar 3. Produktivitas sekunder (Nagle, 2010).

2.2.3 Piramida Ekologi


Jumlah energi kimiawi dalam makanan konsumen yang dikonversi menjadi biomassa
baru selama periode waktu tertentu disebut produksi sekunder ekosistem. Selama produsen
menyiapkan anggaran energi total dalam ekosistem, energi terus melewati setiap tahapan
pada jaring-jaring makanan. Pada saat melewati jaring-jaring makanan, energi akan
ditransfer dari tingkat trofik terendah hingga tingkat trofik tertinggi. Tetapi sebagian besar
energi yang diterima akan hilang dan tidak membentuk biomassa (Nagle, 2010).
Pada sebagian besar ekosistem, herbivor hanya memakan sebagian kecil materi
tumbuhan yang dihasilkan. Contohnya saja produksi sekunder pada ulat bulu. Ketika ulat
bulu memakan daun tumbuhan, hanya sekitar 33 J dari 200 J atau seperenam energi di
dalam daun yang digunakan untuk produksi sekunder atau pertumbuhan. Ulat bulu
menggunakan beberapa dari energi yang tertinggal untuk respirasi selular dan membuang
sisanya dalam feses. Energi yang terkandung dalam feses bertahan di ekosistem untuk
sementara, namun sebagian besar hilang sebagai panas setelah dikonsumsi oleh detritivor.
Energi yang terkandung dalam respirasi selular ulat bulu juga hilang dari ekosistem sebagai
panas. Inilah alasannya energi dikatakan mengalir melalui bukan di daur di dalam
ekosistem. Hanya energi kimiawi yang disimpan oleh herbivor sebagai biomassa (melalui
pertumbuhan atau produksi keturunan) tersedia sebagi makanan untuk konsumen sekunder
(Nagle, 2010).
Untuk menggambarkan informasi tentang energi, biomassa, dan jumlah organisme di
tingkat trofik yang berbeda, ekologi menggunakan tiga jenis diagram yaitu piramida energi,
piramida biomassa, dan piramida jumlah. Dalam setiap kasus, dasar piramida adalah tingkat
produsen. Konsumen primer membentuk blok di atasnya, dan seterusnya (http://mtchs.org,
2015).
a. Piramida energi
Piramida energi disebut juga piramida makanan, piramida ini menggambarkan energi
yang hilang dari tingkat trofi di bawah ke tingkat trofi di atasnya. Secara umum, rata-rata
hanya 10 persen dari energi yang tersedia pada tingkat trofik diubah menjadi biomassa di
tingkat trofik berikutnya yang lebih tinggi. Sisa energi sekitar 90 persen hilang dari ekosistem
sebagai panas. Jumlah energi yang tersedia untuk konsumen tingkat atas lebih kecil
dibandingkan dengan yang tersedia bagi konsumen primer. Untuk alasan ini, dibutuhkan
banyak vegetasi untuk mendukung tingkat trofik yang lebih tinggi. Hal ini menjelaskan
mengapa kebanyakan rantai makanan terbatas tiga atau empat tingkat. Karena tidak ada
cukup energi di bagian atas piramida energi untuk mendukung tingkat trofik lain. Misalnya,
singa dan paus tidak memiliki predator alami, sehingga energi yang tersimpan dalam
populasi konsumen tingkat atas ini tidak cukup untuk memberi makan lagi tingkat trofik lain
Piramida energi (Nagle, 2010).

b. Piramida biomassa
Piramida biomassa merupakan biomassa yang sebenarnya (massa kering dari semua
organisme) di setiap tingkat trofik dalam suatu ekosistem. Sebagian biomassa piramida
menyempit tajam dari tingkat produsen di dasar kepada konsumen tingkat atas di puncak ,
hal tersebut dikarenakan transfer energi diantara tingkat-tingkat trofik sangat tidak efisien.
Tetapi, dalam ekosistem perairan tertentu, zooplankton (konsumen primer) mengkonsumsi
fitoplankton (produsen) sangat cepat. Akibatnya, zooplankton memiliki massa yang lebih
besar pada waktu tertentu dibandingkan fitoplankton. Fitoplankton tumbuh dan berkembang
biak pada tingkat yang cepat yang mereka dapat mendukung populasi konsumen yang
memiliki biomassa yang lebih besar. Piramida biomassa untuk ekosistem ini akan muncul
sebagai piramida terbalik

Piramida biomassa (Nagle, 2010)


c. Piramida jumlah
Piramida jumlah menggambarkan jumlah organisme individu dalam setiap tingkat trofik
suatu ekosistem. Piramida ini juga berbentuk seperti piramida energi, dengan produsen
yang ditemukan di dasar dan tingkat tropik yang lebih tinggi pada tingkatan di atasnya.
Piramida ini disusun berdasarkan jumlah organismenya tanpa memperhatikan ukuran
tubuhnya sehingga dalam beberapa kasus jumlah produsen tercatat lebih sedikit jumlahnya
dibandingkan dengan konsumen, tetapi meskipun jumlahnya seidkit mampu memenuhi
kebutuhan energi konsumen sehingga terkadang menyebabkan bagian dasar piramida
berukuran kecil (http://mtchs.org, 2015).

Piramida jumlah (Nagle, 2010)

2.3 Metode Perhitungan Produktivitas Primer


Produktivitas dapat diukur selama beberapa periode waktu tertentu. Beberapa
metode yang sesungguhnya dapat digunakan untuk mengukur produktivitas dapat diringkas
sebagai berikut :
a. Metode Panen
Metode panen merupakan cara mengukur produktivitas dengan memanen seluruh organ
vegetasi secara periodik menurut periode waktu yang dipilih. Hasil panen kemudian dioven
pada suhu 80oC sampai pada suatu saat bobotnya konstan dan bobot ini dinyatakan
sebagai bobot kering oven (g/m3/tahun)
b. Mengukur Oksigen
Metode pengukuran oksigen sering digunakan untuk menentukan produktivitas pada
vegetasi peairan. Metode ini menggunakan teknik botol terang dan gelap, jadi ada dua botol
yang satu tembus pandang yang satu lagi gelap. Kedua botol tersebut diisi air dari danau
pada kedalaman tertentu, kemudian ditutup dan dipertahankan pada kedalaman selama
waktu tertentu. Setelah itu dibawa ke laboratorium untuk penentuan kadar O 2 yang terdapat
pada air tersebut. Penurunan O2 pada botol yang gelap disebabkan oleh kegiatan respirasi,
sedangkan peningkatan O2 pada botol yang terang disebabkan oleh kegiatan fotosintesis.
Jumlah dari peningkatan O2 dalam botol terang dengan penurunan O2 dalam botol gelap
menyatakan produktivitas kotor, sehingga selisih antara O2 dalam botol terang dengan O2
dalam botol gelap merupakan produktivitas bersih
c. Metode Karbon Dioksida
Metode karbon dioksida dilakukan dengan memanfaatkan gas selama fotosintesis atau
pembebasannya selama respirasi yang diukur dengan analisis gas inframerah atau dengan
memasukkan gas melalui air Ba(OH)2 dan mentitrasikannya. Dengan melakukan
eksperimen di dalam kamar terang dan gelap kemudian dapat dikeluarkan produksi bersih
dan kotor. Di dalam suatu kamar yang diterangi, fotosintesis dan respirasi berlagsung
bersamaan dan CO2 yang muncul dari kamar adalah gas atmosfer yang tidak terpakai
ditambah gas yang berasal dari respirasi bagian-bagian tumbuhan. Di dalam kamar gelap,
semua gas CO2 disebabkan oleh respirasi. Dengan demikian, produktivitas bersih sama
dengan produktivitas kotor dikurangi respirasi
d. Metode Klorofil
Hubungan antara klorofil total terhadap laju fotosintesis dikenal sebagi rasio asimilasi atau
laju produksi per gram klorofil. Jadi, rasio asimilasi merupakan perbandingan antara bobot
O2 yang dihasilkan per jam (g/jam) dibagi dengan bobot klorofil (g). Pada ekosistem hutan
besarnya rasio asimilasi adalah 0,4-4,0 (Odum, 1993).

Nagle, G. 2010. Environmental System and Societies. NYC : Pearson Education Limited.
Odum, E. P. 1993. Fundamentals of Ecology. Philadelphia : W. B. Saunders Company.
Australian Greenhouse Office. 1999. National Carbon Accounting System, Methods for Estimating
Woody Biomass. Technical Report No. 3, Commonwealth of Aust

Anda mungkin juga menyukai