Anda di halaman 1dari 25

1

TRANSPLANTASI LAMUN MULTISPESIES MENGGUNAKAN


METODE TERFs DAN SPRIG ANCHOR DI PULAU KELAPA DUA,
TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU

Nur Fadillah1), Hana Maulidah1), Defina Diah Maharani1), Bulan Annisa Putri1), Mush’ ab2),
Maulid Wahid Yusup2)*
1
Program Studi Sumberdaya Akuatik, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung
2
Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung
Jln. Prof. Dr. Sumantri Brojonegoro No. 1, Bandar Lampung 35145 Indonesia
*Penulis korespondensi: maulid.wahid@fp.unila.ac.id

ABSTRAK
Metode transplantasi lamun yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode TERFs
dan sprig anchor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses transplantasi lamun
menggunakan dua metode jangkar yang berbeda serta mengetahui persentase tingkat
keberhasilan transplantasi lamun di Pulau Kelapa Dua. Penelitian ini dilaksanakan pada 01
– 30 Juli 2022 yang bertempat di Pulau Kelapa Dua, Taman Nasional Kepulauan Seribu,
DKI Jakarta. Pengambilan data primer dilaksanakan pada bulan Juli selama 30 hari. Data
sekunder diperoleh melalui studi literatur, buku, jurnal, dan informasi lainnya. Berdasarkan
hasil yang diperoleh, perbedaan metode TERFs dan sprig anchor terletak pada jenis media
yang digunakan. Persentase tingkat kelangsungan hidup lamun hasil transplantasi
menggunakan dua metode berbeda diketahui ada pada rentang 72,1–100%. Selain itu,
kondisi fisika dan kimia perairan di lokasi transplantasi tergolong optimal untuk
kelangsungan hidup lamun.

Kata-kata kunci: Transplantasi Lamun, TERFs, Sprig Anchor, Persentase Tingkat


Kelangsungan Hidup

ABSTRACT
The seagrass transplant method used in this study is TERFs and sprig anchor. The study
aims to learn the process of seagrass transplants using two different methods of anchor
and to know the success rate percentage of seagrass transplant on Kelapa Dua island. The
study was conducted on 01 – 30 July 2022, which is located on Kelapa Dua island, SPTN
district I Kelapa island, the national park of the Seribu Islands, DKI Jakarta. Primary data
retrieval takes place in July for 30 days. Secondary data are acquired through literature,
books, journals, and other information. Based on results obtained, the difference between
the terfs method and the anchor sprig lies in the type of media used. The percentage of the
longevity rate of transplants using two different methods is known to exist in a range of
72,1–100%. In addition, the physical and chemical conditions of the water at the transplant
site are optimal for long survival.

Keywords: Seagrass Transplant, TERFs, Sprig Anchor, The Success Rate Percentage of
seagrass transplant
2

PENDAHULUAN

Ekosistem lamun merupakan ekosistem yang paling produktif di perairan laut


dangkal. Ekosistem lamun menjadi sumber kehidupan bagi biota laut yang
berasosiasi di dalamnya. Keberadaan ekosistem padang lamun memiliki peranan
yang penting untuk menjaga keanekaragaman dan kelestarian sumber daya biota
pada ekosistem pesisir. Ekosistem lamun berperan bagi suatu perairan diantaranya
sebagai produsen primer pada rantai makanan perairan dangkal, sebagai habitat
yang baik bagi beberapa biota laut (daerah pemijahan, pembesaran dan mencari
makan), penjebak sedimen serta zat hara dan pendaur zat hara. Semakin tinggi
kepadatan lamun di suatu perairan, maka semakin tinggi pula kelimpahan
organisme yang berada di dalamnya. Adanya keterkaitan antara ekosistem padang
lamun dengan biota laut lainnya yang menghasilkan interaksi dan terjadi hubungan
timbal balik dengan lingkungannya, dapat disebut dengan bioekologi lamun
(Parawansa dkk., 2020).
Padang lamun dapat ditemukan di sebagian besar perairan pulau dalam
kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, seperti: Pulau Pramuka, Pulau
Panggang, Pulau Kelapa dan Pulau Harapan. Beberapa faktor utama yang
mengganggu dan mempengaruhi perubahan padang lamun di kawasan Taman
Nasional Kepulauan Seribu antara lain adalah pencemaran, kegiatan pembangunan,
aktivitas keseharian di pulau-pulau pemukiman, kegiatan reklamasi dan
pengerukan pantai. Ekosistem padang lamun sangat rentan terhadap kerusakan
yang ditimbulkan akibat kegiatan pemanfaatan wilayah pesisir baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Mengingat pentingnya peran ekosistem lamun, maka perlu adanya usaha
untuk merehabilitasi ekosistem lamun yang rusak. Salah satu usaha yang dapat
dilakukan yaitu transplantasi lamun. Transplantasi merupakan salah satu solusi
untuk memperbaiki atau mengembalikan habitat lamun yang telah mengalami
kerusakan atau menciptakan padang lamun baru di lokasi yang belum ditumbuhi
lamun (Syawal dkk., 2019). Secara garis besar metode transplantasi lamun di
Indonesia dibagi menjadi dua, yaitu transplantasi lamun tanpa jangkar dan
transplantasi lamun dengan menggunakan jangkar. Metode tanpa jangkar yaitu
menanam tanaman yang lengkap dengan substratnya dan tanaman yang telah
dibersihkan dari substratnya. Beberapa metode penanaman lamun tanpa jangkar
yaitu turfs, plugs dan semai biji (seeds). Sedangkan, metode jangkar merupakan
metode transplantasi dengan cara mengambil bibit tanaman tanpa substrat dengan
menggunakan pisau yang kemudian ditransplantasikan di lokasi baru (Azkab,
1999). Metode transplantasi dengan jangkar mempergunakan alat seperti staples,
rods, ring dan frames (Riniatsih dan Endrawati, 2013). Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui proses transplantasi lamun menggunakan dua metode jangkar
yang berbeda serta mengetahui tingkat keberhasilan transplantasi lamun di Pulau
Kelapa Dua, Taman Nasional Kepulauan Seribu.
3

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada 01 Juli – 30 Juli 2022 yang bertempat di
Pulau Kelapa Dua, SPTN Wilayah I Pulau Kelapa, Taman Nasional Kepulauan
Seribu, DKI Jakarta. Lokasi pengambilan data berada di daerah penanaman lamun
dengan tingkat kepadatan lamun yang rendah. Jenis lamun donor yang digunakan
yaitu Cymodocea rotundata, Halodule uninervis, dan Thalassia hemprichii.

Gambar 1. Pulau Kelapa Dua, SPTN Wilayah I Pulau Kelapa

Alat dan Bahan


Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu bingkai besi ukuran 50 cm x 50
cm, tali rafia, batu, tusuk satai, patok besi, cool box dan alat-alat untuk mengukur
parameter fisika dan parameter kimia perairan. Sedangkan bahan yang digunakan
yaitu bibit lamun jenis Cymodocea rotundata, Halodule uninervis, dan Thalassia
hemprichii.

Metode Pengumpulan Data


Penelitian ini dilakukan di Pulau Kelapa Dua, SPTN Wilayah I Pulau Kelapa,
Taman Nasional Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Bibit lamun yang digunakan
merupakan jenis Cymodocea rotundata, Halodule uninervis, dan Thalassia
hemprichii yang didapat dari lokasi sekitar penanaman yang memiliki kepadatan
tinggi.
Pengambilan data primer dilaksanakan pada bulan juli dengan selang waktu
selama 30 hari. Pengambilan bibit lamun dilakukan dengan cara mencabut
menggunakan tangan. Pencabutan dilakukan dengan hati-hati agar akar dari bibit
lamun tidak patah atau terputus. Kegiatan yang dilakukan yaitu transplantasi lamun
menggunakan metode TERFs (Transplanting Eelgrass Remotely with Frame
4

System) dan metode sprig anchor, pengambilan data tingkat kelangsungan hidup
lamun hasil transplantasi serta pengambilan data parameter fisika dan kimia
perairan. Pengambilan data tingkat kelangsungan hidup lamun yang ditransplantasi
dilakukan setiap minggu selama tiga minggu dan dari tiap-tiap metode dihitung.
Parameter kualitas perairan yang diukur meliputi parameter fisika dan kimia.
Parameter fisika yang diukur meliputi suhu, kedalaman dan kecerahan. Sedangkan,
parameter kimia yang diukur yaitu DO, salinitas dan pH.
Data sekunder diperoleh melalui studi literatur, buku, jurnal, infografis dan
informasi lainnya yang berhubungan dengan topik penelitian.

Metode Analisis Data


Untuk menghitung tingkat kelangsungan hidup yang ditransplantasi,
digunakan rumus yang dikemukakan oleh Royce (1972), yaitu:
𝑁
SR = 𝑁 𝑡 × 100%
0
Keterangan :
SR = tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt = jumlah tegakan lamun utama yang masih hidup pada akhir penelitian
N0 = jumlah tegakan lamun utama yang ditransplantasi pada awal penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

Transplantasi Lamun Menggunakan Metode TERFs (Transplanting Eelgrass


Remotely with Frame System)

Gambar 2. Transplantasi lamun multispesies menggunakan metode TERFs

Transplantasi lamun metode TERFs dilakukan dengan cara mengikatkan bibit


lamun donor pada dasar bingkai menggunakan tali rafia. Kemudian, bingkai besi di
taruh dengan posisi dasar bingkai tempat diikatkannya lamun sedikit dibenamkan
ke substrat. Tiap bingkai berisi 16 tegakan dan total seluruh tegakan yang
digunakan sebanyak 48 tegakan Setelah dilaksanakannya kegiatan transplantasi,
tahap selanjutnya yaitu kegiatan monitoring tegakan lamun di tiap minggu selama
5

tiga minggu. Kegiatan monitoring ini dilakukan dengan menghitung jumlah


tegakan lamun yang masih bertahan. Perhitungan jumlah tegakan lamun dilakukan
secara visual dengan bantuan tangan. Adapun hasil pengamatan jumlah tegakan
lamun yang ditransplantasi menggunakan metode TERFs yaitu sebagai berikut:

Tabel 1. Hasil Pengamatan Jumlah Tegakan pada Transplantasi Lamun


Menggunakan Metode TERFs
Minggu Ke- Bingkai Jumlah Awal Jumlah Akhir
1 16 16
1 2 16 16
3 16 16
1 16 13
2 2 16 15
3 16 15
1 13 8
3 2 15 10
3 15 13

Berdasarkan hasil pengamatan jumlah tegakan yang tertera pada tabel 5,


didapatkan hasil pada minggu ke-1 jumlah tegakan tiap bingkai yaitu sebanyak 16
tegakan dan total keseluruhan tegakan ketiga bingkai yaitu 48 tegakan. Di minggu
ke-2, jumlah tegakan tiap bingkai secara berurutan yaitu sebanyak 13, 15, dan 15
tegakan sehingga total keseluruhan tegakan ketiga bingkai yaitu sebanyak 43
tegakan. Di minggu ke-3, jumlah tegakan tiap bingkai secara berurutan yaitu
sebanyak 8, 10, dan 13 tegakan, sehingga total keseluruhan tegakan ketiga bingkai
yaitu sebanyak 31 tegakan.
Transplantasi lamun merupakan salah satu cara untuk memperbaiki dan
merehabilitasi habitat padang lamun yang rusak sehingga bisa menciptakan padang
lamun yang baru. Salah satu adalah dengan menggunakan metode TERFs
(tranplanting seelgrass remotely with frame system) dan metode sprig anchor
(Rosmawati dkk., 2020). Pada metode TERFs, material lamun (transplant)
dilakukan dengan tangan dan ditransplantasi tanpa substratnya. Bingkai beserta
material lamun kemudian diturunkan ke dasar perairan. Bingkai berguna sebagai
pelindung awal dari gangguan hewan pengganggu bagi lamun yang ditransplantasi.
Penggunaan metode TERFs dengan mengikat tunas tunggal dengan karet pada
sepotong kawat atau besi, kemudian dibawa ke lokasi penanaman, menggali lubang
dan setelah itu ditanam dan ditutupi sedimen. Pada pelaksanaannya, lamun diikat
menggunakan rafia. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan stok bahan/alat yang ada
di lokasi praktik umum. Selain itu, lamun yang ditransplantasi menggunakan
metode TERFs masih dapat bertahan dengan baik meskipun mengalami penurunan
yang signifikan di minggu ke-3. Hal tersebut dapat dikarenakan ikatan rafia yang
mulai mengendur karena tekanan lingkungan, seperti kondisi arus yang cukup
6

besar, angin yang cukup kencang, serta air yang menjadi lebih pasang dari minggu
sebelumnya.
Selain itu, lamun yang ditransplantasi menggunakan metode TERFs masih
dapat bertahan dengan baik meskipun mengalami penurunan yang signifikan di
minggu ke-3. Hal tersebut dapat dikarenakan ikatan rafia yang mulai mengendur
karena tekanan lingkungan, seperti kondisi arus yang cukup besar, angin yang
cukup kencang, serta air yang menjadi lebih pasang dari minggu sebelumnya.
Menurut Ganassin dan Gibbs (2008), beberapa faktor yang dilaporkan dapat
berkontribusi pada kegagalan transplantasi lamun adalah erosi, penguburan dengan
pasir, perubahan kondisi perairan yang drastis, kekeruhan, konsentrasi amonia
sedimen yang tinggi, pertumbuhan epifit, akibat kegiatan antropogenik dan jangkar
yang digunakan saat transplantasi. Sedangkan berdasarkan hasil transplantasi
lamun metode TERFs yang sebelumnya sudah ada di sekitar lokasi pelaksanaan,
terlihat bahwa metode ini merupakan salah satu metode transplantasi yang cukup
efektif karena masih banyak tegakan lamun yang bertahan dibandingkan dengan
lamun hasil transplantasi menggunakan metode lainnya.

Transplantasi Lamun Menggunakan Metode Sprig Anchor

Gambar 3. Transplantasi lamun multispesies menggunakan metode sprig anchor

Tahap pertama transplantasi lamun menggunakan metode sprig anchor yaitu


membuat petak berbentuk persegi berukuran 1 m x 1 m menggunakan patok besi
dan tali rafia lalu dibuat seperti pada gambar 4. Pada transplantasi lamun metode
sprig anchor, lamun yang digunakan merupakan multispesies yang terdiri dari
Cymodocea rotundata, Halodule uninervis dan Thalassia hemprichii. Sebelum
melakukan penanaman, disiapkan terlebih dahulu tusuk satai yang ditekuk sehingga
berbentuk huruf “V” terbalik seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.
7

Gambar 5. Tusuk satai yang akan digunakan sebagai media pada transplantasi
lamun metode sprig anchor

Metode transplantasi sprig anchor atau metode dengan jangkar dilakukan


dengan cara mengambil bibit tanaman tanpa substrat dengan menggunakan pisau
yang kemudian ditransplantasikan di lokasi baru (Azkab, 1999). Bibit tanaman
dikaitkan pada jangkar, kemudian jangkar dimasukkan ke dalam substrat yang telah
digali sebelumnya. Berikut jangkar dan akar lamun ditimbun kembali dengan
sebstrat dasar yang sama. Pada pelaksanaannya, media yang digunakan berupa
tusuk satai yang ditekuk sehingga mempunyai dua sisi yang berguna untuk
menahan bibit lamun saat bibit sudah ditancapkan ke substrat. Transplantasi lamun
yang dilakukan dengan metode sprig anchor menggunakan bahan-bahan sederhana
yang tersedia di lokasi praktik umum.
Setelah dilaksanakannya kegiatan transplantasi, tahap selanjutnya yaitu
kegiatan monitoring tegakan lamun minggu di setiap selama tiga minggu. Kegiatan
monitoring ini dilakukan dengan menghitung jumlah tegakan lamun yang masih
bertahan. Perhitungan jumlah tegakan lamun dilakukan secara visual dengan
bantuan tangan. Adapun hasil pengamatan jumlah tegakan lamun yang
ditransplantasi menggunakan metode sprig anchor yaitu sebagai berikut:

Tabel 2. Hasil Pengamatan Jumlah Tegakan pada Transplantasi Lamun dengan


Sprig Anchor
Minggu Ke- Jumlah Awal Jumlah Akhir
1 50 50
2 50 44
3 44 32

Berdasarkan hasil pengamatan jumlah tegakan yang tertera pada tabel 5, didapatkan
hasil pada minggu pertama yaitu tegakan lamun berjumlah 50 tegakan. Pada
minggu ke-2 pengamatan mulai terjadi penurunan jumlah tegakan sebanyak 6
tegakan, dari 50 tegakan menjadi 44 tegakan. Seperti di minggu ke-2, di minggu
ke-3 pengamatan diketahui jumlah tegakan kembali berkurang, yaitu sebanyak 12
tegakan dari 44 tegakan sehingga tersisa 32 tegakan. Seperti halnya pada
8

transplantasi metode TERFs, penurunan jumlah tegakan pada transplantasi metode


sprig anchor yang cukup signifikan terjadi diminggu ke-3 pengamatan dikarenakan
kondisi arus perairan yang cukup deras. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Churchill (1978), bahwa tingkat kelangsungan hidup transplantasi
lamun yang dilakukan di Teluk Great South, New York lebih didominasi oleh
kecepatan arus sebesar 1.5 km/jam dapat menghanyutkan semua unit transplantasi
dengan metode sprig anchor pada lamun jenis Zostera marina dalam waktu tiga
bulan.

Tingkat Kelangsungan Hidup Lamun Hasil Transplantasi


Tingkat kelangsungan hidup lamun hasil transplantasi adalah kemampuan lamun
untuk bertahan hidup tanpa mengalami kematian selamat waktu penelitian yang
dinyatakan dengan satuan persen (%). Tingkat kelangsungan hidup diukur mulai
dari jumlah unit transplantasi lamun saat penanaman awal sampai dengan akhir
pengamatan dalam interval waktu selama tiga minggu. Hasil tingkat kelangsungan
hidup lamun dapat dilihat pada grafik.

120
Lamun Hasil Transplantasi (%)
Tingkat Kelangsungan Hidup

100

80

60 TERFs
Sprig Anchor
40

20

0
1 2
Waktu Pengamatan Minggu Ke- 3
Gambar 6. Persentase Tingkat Kelangsungan Hidup Lamun Hasil Transplantasi

Berdasarkan grafik di atas, terlihat bahwa pada pengamatan minggu ke-1


tingkat kelangsungan hidup lamun mencapai 100% di kedua metode transplantasi.
Pada minggu ke-2, tingkat kelangsungan hidup lamun hasil transplantasi metode
TERFs sebesar 89,6%, sedangkan tingkat kelangsungan hidup lamun hasil
transplantasi metode sprig anchor sebesar 88%. Pada minggu ke-3, tingkat
kelangsungan hidup lamun hasil transplantasi metode TERFs sebesar 72,1%,
sedangkan tingkat kelangsungan hidup lamun hasil transplantasi metode sprig
anchor sebesar 72,7% grafik di atas menunjukkan bahwa terjadi penurunan
persentase tingkat kelangsungan hidup lamun hasil transplantasi pada minggu ke-2
pengamatan. Penurunan persentase tingkat kelangsungan hidup lamun hasil
transplantasi yang lebih signifikan terjadi pada minggu ke-3. Penurunan yang
terjadi dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah kondisi perairan
9

dan kesesuaian prosedur transplantasi secara teori dengan praktiknya. Namun, pada
grafik terlihat bahwa tingkat kelangsungan hidup lamun pada metode transplantasi
sprig anchor masih lebih stabil dibandingkan dengan metode TERFs. Menurut
Febriyantoro dkk. (2013), metode sprig anchor dapat menahan arus dan gelombang
yang besar, sehingga membantu lamun dalam proses adaptasi dengan lingkungan
baru dan menghasilkan pertumbuhan yang stabil. Lebih lanjut, Harnianti dkk.
(2017), menyatakan bahwa transplantasi lamun dengan menggunakan metode sprig
anchor mampu meredam gelombang yang datang sehingga gelombang yang masuk
ke lokasi transplantasi tidak mengganggu pertumbuhan. Hal ini dikarenakan oleh
adanya jangkar yang memiliki kemampuan untuk menahan lamun sehingga lamun
dapat bertahan dan tetap tumbuh.
Berdasarkan jenis lamun yang digunakan sebagai donor, jenis Cymodocea
rotundata dan Halodule uninervis merupakan jenis yang lebih dapat bertahan hidup
dibandingkan dengan jenis Thalassia hemprichii. Hal tersebut sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Riniatsih dan Endrawati (2013), bahwa tingkat
kehidupan transplantasi Cymodocea rotundata sebesar 100% yang menunjukkan
bahwa lamun jenis ini merupakan lamun yang mudah untuk beradaptasi dan dapat
tumbuh pada berbagai kondisi lingkungan.
Faktor lain yang memengaruhi kelangsungan hidup lamun yaitu pada
prosedur penanaman serta alat dan bahan yang digunakan. Pada metode TERFs,
lamun diikat dengan menggunakan rafia dan tidak diikat mati. Sementara, pada
metode sprig anchor, lamun ditahan oleh tusuk satai. Hal tersebut dapat membuat
lamun tidak dapat bertahan pada media tanam dan terbawa oleh arus yang kencang.

Hasil Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Perairan


Adapun hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan yaitu sebagai berikut:

Tabel 3. Hasil Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Perairan


No. Parameter Fisika dan Kimia Hasil
1. Kedalaman 50 cm
2. Kecerahan 100%
3. Suhu 29,6 ˚C
4. DO 6,50 mg/l
5. Salinitas 24 ppt
6. Ph 6

Setelah dilakukan pengukuran parameter fisika dan kimia perairan didapatkan


hasil kedalaman perairan yaitu 50 cm. Nilai tersebut merupakan kondisi saat surut,
sedangkan saat kondisi pasang, kedalaman perairan di lokasi transplantasi dapat
mencapai 1 meter atau lebih. Lamun hidup pada daerah perairan dangkal yang
masih dapat dijumpai sampai kedalaman 40 meter dengan penetrasi cahaya yang
masih baik (Hemminga dan Duarte, 2000). Berdasarkan hal tersebut, dapat
10

diketahui bahwa kedalaman lokasi transplantasi tergolong baik untuk lamun karena
masih mendapat cahaya matahari. Nilai kecerahan yang didapatkan di lokasi
transplantasi lamun yaitu sebesar 100%. Air yang cukup jernih membuat dasar
perairan dapat terlihat dengan jelas sehingga lamun tetap mendapatkan asupan
cahaya matahari yang baik dan dapat tumbuh optimal. Adapun faktor lain yang
dapat mempengaruhi kecerahan air yaitu karena adanya kekeruhan yang berasal
dari substrat berupa pasir.
Kekeruhan hanya terjadi apabila ada kegiatan dari manusia disekitar lokasi
transplantasi. Suhu pada lokasi transplantasi yaitu sebesar 29,6 ˚C. Lamun dapat
mentolerir suhu perairan antara 20–36 ˚C. Tetapi, suhu optimum untuk fotosintesis
lamun berkisar 28–30 ˚C (Phillips dan Menez, 1988). Pada suhu di atas 45 ˚C,
lamun akan mengalami stres dan dapat mengalami kematian (McKenzie, 2008).
Berdasarkan literatur tersebut, dapat diketahui bahwa suhu di lokasi transplantasi
tergolong optimal untuk lamun.
Nilai DO pada lokasi transplantasi sebesar 6,50 mg/l. Kandungan oksigen
terlarut pada lokasi transplantasi memenuhi standar baku mutu air untuk biota laut
yaitu > 5 mg/l, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2021. Kandungan oksigen terlarut yang tinggi merupakan indikasi aktifnya
fotosintesis yang terjadi pada habitat lamun di kedua pulau tersebut. Kandungan
oksigen di suatu perairan tidaklah pernah konstan. Oksigen secara terus menerus
diproduksi oleh alga dan tumbuhan akuatik lainnya serta terdifusi oleh angin dan
gelombang. Jumlah oksigen yang dapat diserap oleh perairan berbeda-beda
tergantung pada suhu, mineral terlarut yang ada di air dan elevasi suatu kawasan.
Salinitas pada lokasi transplantasi yaitu sebesar 24 ppt. Menurut Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2021, baku mutu parameter
salinitas bagi biota laut khususnya tumbuhan lamun berkisar antara 33–34 ppt,
namun nilai yang terukur berada cukup jauh di bawah baku mutu. Ada jenis lamun
yang memiliki toleransi yang besar terhadap perubahan salinitas atau biasa disebut
euryhaline seperti jenis Thalassia hemprichii yang memiliki kisaran optimum untuk
pertumbuhan antara 24–35 ppt, sehingga jenis ini dapat bertahan hidup di lokasi
transplantasi.
Nilai pH pada lokasi transplantasi yaitu 6. Baku mutu Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2021 yaitu pH optimal untuk kisaran air laut
adalah 7–8,5. Dapat diketahui bahwa pH pada lokasi transplantasi berada dibawah
baku mutu dan cenderung asam. Berdasarkan hasil pengukuran parameter fisika dan
kimia perairan, dapat diketahui bahwa kondisi fisika dan kimia perairan cukup
optimal untuk kelangsungan hidup lamun.

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil yang diperoleh yaitu metode TERFs
dilakukan dengan mengikatkan bibit lamun menggunakan tali rafia pada media
11

tanam berupa bingkai besi. Sedangkan, metode sprig anchor dilakukan dengan
meletakkan bibit lamun pada media berupa tusuk satai kemudian dibenamkan ke
dalam substrat. Tingkat kelangsungan hidup lamun hasil Transplantasi di Pulau
Kelapa Dua menggunakan metode TERFs selama 3 minggu berturut-turut sebesar
100%, 89,6%, 72,1% sedangkan metode sprig anchor sebesar 100%, 88%, 72,7%.
Kondisi fisika dan kimia perairan di lokasi transplantasi tergolong optimal untuk
kelangsungan hidup lamun.

UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan segenap rasa bangga, Kami sebagai penulis menyampaikan terima


kasih kepada banyak pihak, baik dosen pembimbing maupun rekan-rekan yang
telah memberikan semangat sehingga penelitian dapat diselesaikan tanpa adanya
kendala berarti. Semoga hasil penelitian dapat bermanfaat bagi para pembaca.

KONTRIBUSI PENULIS

Penelitian dilakukan dengan kerjasama tim yang baik. Pembagian tugas


dilakukan berdasarkan latar belakang keahlian para penulis. Penulis satu
bertanggung jawab untuk mengatur jalannya penelitian, mengambil data di
lapangan dan membuat artikel. Penulis dua bertugas melakukan pengumpulan data
pustaka. Penulis tiga bertugas melakukan analisis data. Penulis empat bertugas
untuk menganalisis data dan mengolah data serta membuat artikel. Penulis lima
bertugas melakukan pembuatan daftar pustaka. Penulis korespondensi bertugas
sebagai pengarah dan desain kegiatan serta penyelaras akhir manuskrip. Disamping
tugas-tugas yang telah ditentukan, masing-masing penulis memiliki tanggung
jawab agar penelitian dapat berjalan dengan baik dan sesuai rencana. Oleh karena
itu, budaya bekerja sama juga diterapkan agar dapat memperoleh hasil yang
maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

Annisa, Ayu. 2014. Tingkat Kelangsungan Hidup Lamun yang Ditransplantasi


Secara Multispesies di Pulau Barranglompo. Skripsi. Universitas
Hasanuddin. Makassar.
Azkab, M. Husni. 1999. Pedoman Inventarisasi Lamun. Majalah Ilmiah Semi
Populer Osena. 24(1), 1–16.
Febriyantoro, Ita Riniatsih, dan Hadi Endrawati. 2013. Rekayasa teknologi
transplantasi lamun (Enhalus acoroides) di kawasan Padang Lamun, Perairan
Prawean Bandengan, Jepara. Buletin Oseanografi Marina, 2(1):17–23.
Ganassin, Carla dan Philip J. Gibbs. 2008. A Review of Seagrass Planting as a
Means of Habitat Compensation Following Loss of Seagrass Meadow. NSW
12

Department of Primary Industries. Australia. 41 hlm


Harnianti, Netty, Ita Karlina, dan Henky Irawan. 2017. Laju Pertumbuhan Jenis
Lamun Enhalus acoroides dengan Teknik Transplantasi Polybag dan Sprig
Anchor pada Jumlah Tunas yang Berbeda dalam Rimpang di Perairan Bintan.
Jurnal Intek Akuakultur, 1(1), 15–26.
Hemminga, Marten A., dan Carlos M. Duarte. 2000. Seagrass ecology. Cambridge
University Press. Cambridge. 298 hlm
McKenzie, Len. 2008. Seagrass Watch. Proceeding of Workshop for Mapping
Seagrass Habitats in North East Arnhem Land, Northern Territory. 18 – 20
Oktober. Cairns, Australia. Hal: 9–16.
Phillip, Ronald C. dan Emani G. Menez. 1988. Seagrasses. Washington D.C:
Smithsonian Institution Press. 104 hlm
Rahmawati, Irawan A., Azkab, dan Supriyadi. 2014. Panduan Monitoring Padang
Lamun. Bogor: Sarana Komunikasi Utama. 45 hlm
Riniatsih, Ita dan Hadi Endrawati. 2013. Pertumbuhan Lamun Hasil Tranplantasi
Jenis Cymodocea rotundata di Padang Lamun Teluk Awur Jepara. Buletin
Oseanografi Marina. (2), 34–40.
Riniatsih, Ita. 2016. Struktur Komunitas Larva Ikan pada Ekosistem Padang
lamun di Perairan Jepara. Jurnal Kelautan Tropis, 19(1), 21–28.
Royce, William F. 1972. Introduction to the Fishery Sciences. New-York:
Academic Press, Inc. 344 hlm.
Supriadi. 2003. Produktivitas Lamun E. acoroides (Linn. F) Royle dan Thalassia
hemprichii (Enrenb) Ascherson di Pulau Barranglompo Makassar. Tesis.
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Wulandari, Dwi, Ita Riniatsih, Ervia Yudiati. 2013. Transplantasi Lamun Thalassia
Hemprichii dengan Metode Jangkar Di Perairan Teluk Awur Dan Bandengan,
Jepara. Journal Of Marine Research, 2(2), 30–38

Anda mungkin juga menyukai