Nur Fadillah1), Hana Maulidah1), Defina Diah Maharani1), Bulan Annisa Putri1), Mush’ ab2),
Maulid Wahid Yusup2)*
1
Program Studi Sumberdaya Akuatik, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung
2
Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung
Jln. Prof. Dr. Sumantri Brojonegoro No. 1, Bandar Lampung 35145 Indonesia
*Penulis korespondensi: maulid.wahid@fp.unila.ac.id
ABSTRAK
Metode transplantasi lamun yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode TERFs
dan sprig anchor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses transplantasi lamun
menggunakan dua metode jangkar yang berbeda serta mengetahui persentase tingkat
keberhasilan transplantasi lamun di Pulau Kelapa Dua. Penelitian ini dilaksanakan pada 01
– 30 Juli 2022 yang bertempat di Pulau Kelapa Dua, Taman Nasional Kepulauan Seribu,
DKI Jakarta. Pengambilan data primer dilaksanakan pada bulan Juli selama 30 hari. Data
sekunder diperoleh melalui studi literatur, buku, jurnal, dan informasi lainnya. Berdasarkan
hasil yang diperoleh, perbedaan metode TERFs dan sprig anchor terletak pada jenis media
yang digunakan. Persentase tingkat kelangsungan hidup lamun hasil transplantasi
menggunakan dua metode berbeda diketahui ada pada rentang 72,1–100%. Selain itu,
kondisi fisika dan kimia perairan di lokasi transplantasi tergolong optimal untuk
kelangsungan hidup lamun.
ABSTRACT
The seagrass transplant method used in this study is TERFs and sprig anchor. The study
aims to learn the process of seagrass transplants using two different methods of anchor
and to know the success rate percentage of seagrass transplant on Kelapa Dua island. The
study was conducted on 01 – 30 July 2022, which is located on Kelapa Dua island, SPTN
district I Kelapa island, the national park of the Seribu Islands, DKI Jakarta. Primary data
retrieval takes place in July for 30 days. Secondary data are acquired through literature,
books, journals, and other information. Based on results obtained, the difference between
the terfs method and the anchor sprig lies in the type of media used. The percentage of the
longevity rate of transplants using two different methods is known to exist in a range of
72,1–100%. In addition, the physical and chemical conditions of the water at the transplant
site are optimal for long survival.
Keywords: Seagrass Transplant, TERFs, Sprig Anchor, The Success Rate Percentage of
seagrass transplant
2
PENDAHULUAN
METODE PENELITIAN
System) dan metode sprig anchor, pengambilan data tingkat kelangsungan hidup
lamun hasil transplantasi serta pengambilan data parameter fisika dan kimia
perairan. Pengambilan data tingkat kelangsungan hidup lamun yang ditransplantasi
dilakukan setiap minggu selama tiga minggu dan dari tiap-tiap metode dihitung.
Parameter kualitas perairan yang diukur meliputi parameter fisika dan kimia.
Parameter fisika yang diukur meliputi suhu, kedalaman dan kecerahan. Sedangkan,
parameter kimia yang diukur yaitu DO, salinitas dan pH.
Data sekunder diperoleh melalui studi literatur, buku, jurnal, infografis dan
informasi lainnya yang berhubungan dengan topik penelitian.
besar, angin yang cukup kencang, serta air yang menjadi lebih pasang dari minggu
sebelumnya.
Selain itu, lamun yang ditransplantasi menggunakan metode TERFs masih
dapat bertahan dengan baik meskipun mengalami penurunan yang signifikan di
minggu ke-3. Hal tersebut dapat dikarenakan ikatan rafia yang mulai mengendur
karena tekanan lingkungan, seperti kondisi arus yang cukup besar, angin yang
cukup kencang, serta air yang menjadi lebih pasang dari minggu sebelumnya.
Menurut Ganassin dan Gibbs (2008), beberapa faktor yang dilaporkan dapat
berkontribusi pada kegagalan transplantasi lamun adalah erosi, penguburan dengan
pasir, perubahan kondisi perairan yang drastis, kekeruhan, konsentrasi amonia
sedimen yang tinggi, pertumbuhan epifit, akibat kegiatan antropogenik dan jangkar
yang digunakan saat transplantasi. Sedangkan berdasarkan hasil transplantasi
lamun metode TERFs yang sebelumnya sudah ada di sekitar lokasi pelaksanaan,
terlihat bahwa metode ini merupakan salah satu metode transplantasi yang cukup
efektif karena masih banyak tegakan lamun yang bertahan dibandingkan dengan
lamun hasil transplantasi menggunakan metode lainnya.
Gambar 5. Tusuk satai yang akan digunakan sebagai media pada transplantasi
lamun metode sprig anchor
Berdasarkan hasil pengamatan jumlah tegakan yang tertera pada tabel 5, didapatkan
hasil pada minggu pertama yaitu tegakan lamun berjumlah 50 tegakan. Pada
minggu ke-2 pengamatan mulai terjadi penurunan jumlah tegakan sebanyak 6
tegakan, dari 50 tegakan menjadi 44 tegakan. Seperti di minggu ke-2, di minggu
ke-3 pengamatan diketahui jumlah tegakan kembali berkurang, yaitu sebanyak 12
tegakan dari 44 tegakan sehingga tersisa 32 tegakan. Seperti halnya pada
8
120
Lamun Hasil Transplantasi (%)
Tingkat Kelangsungan Hidup
100
80
60 TERFs
Sprig Anchor
40
20
0
1 2
Waktu Pengamatan Minggu Ke- 3
Gambar 6. Persentase Tingkat Kelangsungan Hidup Lamun Hasil Transplantasi
dan kesesuaian prosedur transplantasi secara teori dengan praktiknya. Namun, pada
grafik terlihat bahwa tingkat kelangsungan hidup lamun pada metode transplantasi
sprig anchor masih lebih stabil dibandingkan dengan metode TERFs. Menurut
Febriyantoro dkk. (2013), metode sprig anchor dapat menahan arus dan gelombang
yang besar, sehingga membantu lamun dalam proses adaptasi dengan lingkungan
baru dan menghasilkan pertumbuhan yang stabil. Lebih lanjut, Harnianti dkk.
(2017), menyatakan bahwa transplantasi lamun dengan menggunakan metode sprig
anchor mampu meredam gelombang yang datang sehingga gelombang yang masuk
ke lokasi transplantasi tidak mengganggu pertumbuhan. Hal ini dikarenakan oleh
adanya jangkar yang memiliki kemampuan untuk menahan lamun sehingga lamun
dapat bertahan dan tetap tumbuh.
Berdasarkan jenis lamun yang digunakan sebagai donor, jenis Cymodocea
rotundata dan Halodule uninervis merupakan jenis yang lebih dapat bertahan hidup
dibandingkan dengan jenis Thalassia hemprichii. Hal tersebut sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Riniatsih dan Endrawati (2013), bahwa tingkat
kehidupan transplantasi Cymodocea rotundata sebesar 100% yang menunjukkan
bahwa lamun jenis ini merupakan lamun yang mudah untuk beradaptasi dan dapat
tumbuh pada berbagai kondisi lingkungan.
Faktor lain yang memengaruhi kelangsungan hidup lamun yaitu pada
prosedur penanaman serta alat dan bahan yang digunakan. Pada metode TERFs,
lamun diikat dengan menggunakan rafia dan tidak diikat mati. Sementara, pada
metode sprig anchor, lamun ditahan oleh tusuk satai. Hal tersebut dapat membuat
lamun tidak dapat bertahan pada media tanam dan terbawa oleh arus yang kencang.
diketahui bahwa kedalaman lokasi transplantasi tergolong baik untuk lamun karena
masih mendapat cahaya matahari. Nilai kecerahan yang didapatkan di lokasi
transplantasi lamun yaitu sebesar 100%. Air yang cukup jernih membuat dasar
perairan dapat terlihat dengan jelas sehingga lamun tetap mendapatkan asupan
cahaya matahari yang baik dan dapat tumbuh optimal. Adapun faktor lain yang
dapat mempengaruhi kecerahan air yaitu karena adanya kekeruhan yang berasal
dari substrat berupa pasir.
Kekeruhan hanya terjadi apabila ada kegiatan dari manusia disekitar lokasi
transplantasi. Suhu pada lokasi transplantasi yaitu sebesar 29,6 ˚C. Lamun dapat
mentolerir suhu perairan antara 20–36 ˚C. Tetapi, suhu optimum untuk fotosintesis
lamun berkisar 28–30 ˚C (Phillips dan Menez, 1988). Pada suhu di atas 45 ˚C,
lamun akan mengalami stres dan dapat mengalami kematian (McKenzie, 2008).
Berdasarkan literatur tersebut, dapat diketahui bahwa suhu di lokasi transplantasi
tergolong optimal untuk lamun.
Nilai DO pada lokasi transplantasi sebesar 6,50 mg/l. Kandungan oksigen
terlarut pada lokasi transplantasi memenuhi standar baku mutu air untuk biota laut
yaitu > 5 mg/l, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2021. Kandungan oksigen terlarut yang tinggi merupakan indikasi aktifnya
fotosintesis yang terjadi pada habitat lamun di kedua pulau tersebut. Kandungan
oksigen di suatu perairan tidaklah pernah konstan. Oksigen secara terus menerus
diproduksi oleh alga dan tumbuhan akuatik lainnya serta terdifusi oleh angin dan
gelombang. Jumlah oksigen yang dapat diserap oleh perairan berbeda-beda
tergantung pada suhu, mineral terlarut yang ada di air dan elevasi suatu kawasan.
Salinitas pada lokasi transplantasi yaitu sebesar 24 ppt. Menurut Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2021, baku mutu parameter
salinitas bagi biota laut khususnya tumbuhan lamun berkisar antara 33–34 ppt,
namun nilai yang terukur berada cukup jauh di bawah baku mutu. Ada jenis lamun
yang memiliki toleransi yang besar terhadap perubahan salinitas atau biasa disebut
euryhaline seperti jenis Thalassia hemprichii yang memiliki kisaran optimum untuk
pertumbuhan antara 24–35 ppt, sehingga jenis ini dapat bertahan hidup di lokasi
transplantasi.
Nilai pH pada lokasi transplantasi yaitu 6. Baku mutu Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2021 yaitu pH optimal untuk kisaran air laut
adalah 7–8,5. Dapat diketahui bahwa pH pada lokasi transplantasi berada dibawah
baku mutu dan cenderung asam. Berdasarkan hasil pengukuran parameter fisika dan
kimia perairan, dapat diketahui bahwa kondisi fisika dan kimia perairan cukup
optimal untuk kelangsungan hidup lamun.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil yang diperoleh yaitu metode TERFs
dilakukan dengan mengikatkan bibit lamun menggunakan tali rafia pada media
11
tanam berupa bingkai besi. Sedangkan, metode sprig anchor dilakukan dengan
meletakkan bibit lamun pada media berupa tusuk satai kemudian dibenamkan ke
dalam substrat. Tingkat kelangsungan hidup lamun hasil Transplantasi di Pulau
Kelapa Dua menggunakan metode TERFs selama 3 minggu berturut-turut sebesar
100%, 89,6%, 72,1% sedangkan metode sprig anchor sebesar 100%, 88%, 72,7%.
Kondisi fisika dan kimia perairan di lokasi transplantasi tergolong optimal untuk
kelangsungan hidup lamun.
KONTRIBUSI PENULIS
DAFTAR PUSTAKA