Anda di halaman 1dari 1004

SUMBER DAYA ALAM

Oleh : Drs. Jupri, MT

I. PENDAHULUAN
1. Pengertian Sumber Daya Alam
Sumber daya adalah suatu nilai potensi yang dimiliki oleh suatu materi atau
unsur tertentu dalam kehidupan. Sumber daya tidak selalu bersifat fisik, tetapi
juga non fisik.
Sumberdaya ada yang dapat berubah (berubah ke bentuk yang lain, baik
menjadi semakin besar maupun hilang maupun ada pula sumberdaya yang kekal
(selalu tetap). Sumberdaya hayati adalah salah satu sumberdaya dapat pulih
(renewable resources) yang terdiri atas flora dan fauna. Sumberdaya hayati secara
harfiah dapat diartikan sebagai sumberdaya yang mempunyai kehidupan dan dapat
mengalami kematian. Jenis-jenis sumber daya hayati diantaranya adalah flora dan
fauna. Sumberdaya non hayati secara harfiah dapat diartikan sebagai sumberdaya
yang tidak mempunyai kehidupan dan tidak dapat mengalami kematian. Jenis-
jenis sumberdaya non hayati diantaranya adalah bahan mineral, air dan udara.
2. Macam-macam Sumber Daya Alam
Sumber daya alam dapat dibedakan berdasarkan sifat, potensi, dan jenisnya.
a. Berdasarkan sifat
Menurut sifatnya, sumber daya alam dapat dibagi 3, yaitu sebagai berikut :
1. Sumber daya alam yang terbarukan (renewable), misalnya: hewan, tumbuhan,
mikroba, air, dan tanah. Disebut ter barukan karena dapat melakukan
reproduksi dan memiliki daya regenerasi (pulih kembali).
2. Sumber daya alam yang tidak terbarukan (nonrenewable), misalnya: minyak
tanah, gas bumf, batu tiara, dan bahan tambang lainnya
3. Sumber daya alam yang tidak habis, misalnya, udara, matahari,
energi pasang surut, dan energi laut.
b. Berdasarkan potensi
Menurut potensi penggunaannya, sumber daya alam dibagi beberapa macam,
antara lain sebagai berikut.
1. Sumber daya alam materi; merupakan sumber daya alam yang dimanfaatkan
1
dalam bentuk fisiknya. Misalnya, batu, besi, emas, kayu, serat kapas, rosela,
dan sebagainya.
2. Sumber daya alam energi; merupakan sumber daya alam yang dimanfaatkan
energinya. Misalnya batu bara, minyak bumi, gas bumi,air terjun, sinar
matahari, energi pasang surut laut, kincir angin, dan lain-lain.
3. Sumber daya alam ruang; merupakan sumber daya alam yang beruparuang
atau tempat hidup, misalnya area tanah (daratan) dan angkasa.

c. Berdasarkan jenis
Menurut jenisnya, sumber daya alam dibagi dua sebagai berikut :
1) Sumber daya alam nonhayati (abiotik); disebut juga sumber daya alam fisik,
yaitu sumber daya alam yang berupa benda-benda mati. Misalnya : bahan
tambang, tanah, air, dan kincir angin.
2) Sumber daya alam hayati (biotik); merupakan sumber daya alam yang
berupa makhluk hidup. Misalnya: hewan, tumbuhan, mikroba, dan manusia.
Uraian di sini hanya akan ditekankan pada sumber daya alam hayati,
termasuk di dalamnya sumber daya manusia (SDM).

II. Sumber Daya Lahan

A. Pengertian Lahan

1. Konsep Lahan

Lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dalam menunjang

kehidupan manusia, karena di atas lahan inilah segala aktivitas manusia

berlangsung dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan kelangsungan hidupnya.

Batas lahan yang dikemukakan oleh Sitorus (1986:132) adalah sebagai berikut:

Lahan merupakan suatu daerah di pennukaan bumi dengan sifat-sifat


tertentu yang meliputi biosfer, atmosfer, lapisan geologi, hidrologi, populasi
tanaman dan hewan serta aktifitas manusia masa lalu dan masa sekarang
sampai tingkat tertentu yang mempunyai pengaruh berarti terhadap
2
penggunaan lahan oleh manusia pada masa sekarang dan masa yang akan
datang.
Adapun pengertian lahan menurut Arsyad (1989) adalali sebagai berikut:
Lahan merupakan lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan
vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap
penggunaan lahan. Termasuk di dalamnya juga hasil kegiatan manusia dimasa
lampau dan sekarang seperti hasil reklamasi laut, pembersihan vegetasi dan juga
hasil merugikan seperti tanah yang tersalinitas. Dalam hal ini lalian juga
mengandung pengertian ruang atau tempat.

Pengertian lahan tersebut di atas sama dengan yang dikemukakan oleh FAO
(1994) yang menyatakan baliwa "lalian merupakan lingkungan fisik yang terdiri
atas iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya
sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lalian. Termasuk di dalamnya
juga hasil kegiatan manusia di masa lalu dan sekarang". Sedangkan Rafi'i
(1994:9) mengemukakan bahwa lahan merupakan permukaan daratan dengan
kekayaan benda-benda padat, cair dan bahkan benda-benda gas. Sedangkan
menurut Mardjuki (1994:6) mengemukakan bahwa lahan adalah suatu hamparan
dari tanah, sedangkan tanah adalah produk dari pelapukan batuan bercampur
dengan produk dari dekomposisi bahan organik dan merupakan media tumbuh
bagi tanaman. Hal ini berarti tanah hanya merupakan salali saru unsur lahan.
Dari beberapa pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa lahan
merupakan suatu wilayah di permukaan bumi yang mempunyai karakteristik
tersendiri yang dipengaruhi oleh kondisi iklim, geologi, tanah, hidrologi,
geomorfologi, vegetasi dan aktifitas manusia. Dan dalam penggunaannya lahan
juga beragam disesuaikan dengan kondisi lahan itu sendiri.

2. Unsur-Unsur Lahan

Lahan tidak berdiri sendiri namun di dalamnya terdapat berbagai unsur yang

satu sama lain saling mempengaruhi dan memiliki sifat-sifat yang merupakan

atribut atau keadaan unsur-unsur lahan yang dapat diukur atau diperkirakan

3
seperti tekstur tanah, struktur tanah, kedalam tanah, jumlah curah hujan, distribusi

hujan, temperatur, drainase tanah, jenis vegetasi dan sebagainya. Sifat-sifat lahan

itu belum menunjukan bagaimana kemungkinan penampilan lahan kalau

dipergunakan untuk suatu penggunaan, jadi belum dapat menentukan kelas

kemampuan lahan. Sifat-sifat lahan menentukan atau mempengaruhi perilaku

lahan yaitu bagaimana ketersediaan air, peredaran udara, perkembangan akar,

kepekaan erosi, ketersediaan unsur hara, dan lain sebagainya. Unsur-unsur lahan

tersebut meliputi :

a. Iklim

Menurut Kartasapoetra (1986) iklim adalah rata-rata keadaan cuaca dalam

jangka waktu yang cukup lama, minimal 30 tahun yang sifatnya tetap. Iklim dapat

dipandang sebagai kebiasaan-kebiasaan alam yang berlaku dan digerakan oleh

gabungan dari berbagai unsur iklim. Iklim beserta unsur-unsurnya penting sekali

diperhatikan karena pengaruhnya sering menimbulkan masalah yang berat bagi

manusia beserta makhluk bidup lainnya. Masalah-masalah tersebut merupakan

tanrangan bagi manusia dimana manusia haras berikhtiar untuk mengatasinya

yaitu dengan berasaha menghindari atau memperkecil pengaruh-pengaruh yang

tidak menguntungkan bagi kehidupan manusia melalui penyelidikan-penyelidikan

untuk mengetaliui apa yang dikehendakinya, sehingga penyesuaian-penyesuaian

atau pendekatan-pendekatan dapat dilakukan. Unsur-unsur iklim terdiri dari:

1). Temperatur

Temperatur menyatakan derajat panas atau dingin yang diukur berdasarkan

skala tertentu dengan menggunakan termometer. Satuan yang sering digunakan

4
adalah derajat celcius. Temperatur sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan

makhluk bidup di permukaan bumi. Temperatur juga berpengaruh terhadap tanah

karena dapat mendorong pemecahan zat-zat atau bahan-bahan organis dan

meningkatkan pelarutan mineral dan zat-zat yang mengandung nitrogen.

Sedangkan bagi tanaman temperatur dapat mendorong pertumbuhan dan

perkembangan serta memperkecil hilangnya air dan cenderung mengeringkan.

2). Kelembaban

Kelembaban adalah banyak sedikitnya uap air yang terkandung di dalam

udara. Kelembaban udara terbagi menjadi tiga macam yang meliputi kelembaban

mutlak yang menyatakan massa uap air yang berada dalam satu satuan udara

dalam gram, kelembaban spesifik merupakan perbandingan massa uap air di udara

dengan satuan massa udara yang dinyatakan dalam gram/kilogram dan

kelembaban relatif yang merupakan perbandingan jumlah uap air di udara dengan

jumlah maximum uap air yang dapat ditampung oleh udara tersebut pada suhu

tertentu yang dinyatakan dalam persen. Besarnya kelembaban suatu daerah

merapakan salah satu faktor yang menstimulasi curah hujan.

Pengaruh kelembaban terhadap tanah yaitu dapat memperlambat proses

pengeringan, mendorong pemecahan bahan-bahan organis, mendorong

mikroorganisme dan mendorong pelarutan-pelarutan. Sedangkan bagi tanaman

kelembaban dapat mendorong pertumbuhan, membatasi hilangnya air untuk

pertumbuhan dan memungkinkan mudah timbulnya penyakit.

3). Hujan

5
Hujan merupakan salah satu bentuk presipitasi uap air yang berasal dari

awan yang terdapat di atmosfer dalam mm/inchi. Hujan, baik jatuhnya maupun

jumlahnya, merupakan hasil akhir dari interaksi berbagai faktor, yaitu kelembaban

udara, topografi, arah dan kecepatan angin, serta temperatur. Curah hujan meliputi

intensitas hujan yang menyatakan besarnya curah hujan yang jatuh dalam suatu

waktu yang singkat, besarnya hujan yaitu volume air yang jatuh pada suatu area

tertentu yang dinyatakan dalam m3/satuan luas serta tenaga kinetik hujan yang

dapat memberikan erfek terjadinya kerusakan tanah.

Air hujan yang jatuh ke bumi akan merembes ke dalam tanah dengan proses

infiltrasi, dan ketika tanah tersebut telah mengalami jenuh air maka airnya akan

mengahr di permukaan sebagai air Umpasan (run off). Pada saat air mengalir di

atas permukaan tanah tersebut, air akan membawa material-material tanah yang

ada pada lapisan tanah atas.

Sehingga dengan demikian tanali akan mengalami proses pengikisan dan

pencucian sehingga lapisan tanah yang paling atas (top soil) dan unsur hara tanali

berkurang, dan selain itu juga hujan dapat mendorong pengumpulan tanah h'at.

Sedangkan bagi tanaman hujan dapat menyediakan air bagi tanaman dan

menimbulkan kerusakan pada tanaman secara fisik bila terjadi hujan yang sangat

besar.

4). Angin

Angin merupakan gerakan atau perpindahan suatu massa udara dari suatu

tempat ke tempat lain secara horizontal. Gerakan angin berasal dari daerah yang

6
bertekanan maksimum menuju ke daerah yang bertekanan minimum. Angin

dalam gerakannya memiliki arah dan kecepatan.

Angin berpengaruh pada tanah dimana angin dapat mendorong terkikisnya

tanah yang terbuka dan mendorong terjadinya pengeringan. Sedangkan

pengaruhnya bagi tanaman dapat mempercepat hilangnya air dan cendemng

mengkeringkannya sehingga tanaman menjadi layu karena tanaman itu tidak dapat

mengimbangi jumlah air yang hilang dengan pengambilan air dari dalam tanah,

membantu pembuahan, membantu penyebaran beberapa tanaman serta dapat

mengatur proses fotosintesis.

5). Sinarmatahari

Matahari merupakan sumber energi bagi kehidupan makhluk hidup. Energi

matahari yang merupakan penyebab pokok dari perubahan-perubahan dan

pergerakan-pergerakan dalam atmosfer, sehingga dapat dianggap sebagai

pengendali iklim dan cuaca yang besar. Matahari berpengaruh terhadap tanah

yaitu dapat menaikan suhu pennukaan dan mendorong terjadinya penguapan-

penguapan. Sedangkan bagi tanaman dapat membantu dalam proses fotosintesis

dan mendorong terjadinya penguapan.

6). Keawanan

Awan merupakan kumpulan dari titik air yang demikian banyak jumlahnya

dan terletak pada titik kondensasi serta melayang-layang tinggi di udara. Awan

terjadi apabila pengembunan tidak dekat dengan permukaan tanah. Keawanan

merupakan langit yang ditutupi oleh awan dan dinyatakan dalam istilah luas total

angin yang tertutup awan dalam keseluruhan atau persen.

7
b. Geomorfologi

Menurut Van Zuidam (1993;37) geomorfologi merupakan ilmu yang

mempelajari dan menjelaskan land form. Land form yaitu gambaran yang nyata

dari permukaan lahan berupa pegunungan, bukit, lembah, dataran dan yang sejenis

dengan itu. Land form atau biasa juga disebut bentuk lahan mempunyai pengaruh

terhadap kemampuan lahan karena land form ini berhubungan dengan topografi

dan mempengaruhi faktor fisis setempat terutama terhadap kualitas tanah, yang

selanjutnya berpengaruh terhadap pengolahan lahan.

Sitorus (1995:28), menyatakan bahwa :

Faktor-faktor topografi dapat berpengaruh tidak langsung terhadap kualitas


tanah. Faktor ini berpengaruh terhadap kemungkinan bahaya erosi atau
mudah tidaknya diusahakan. Demikian pula didalam program mekanisasi
pertanian.

Selain itu juga topografi mempunyai pengaruh kuat terhadap keadaan sifat

iklim dan jenis tanaman. Semakin tinggi tempat maka suhu semakin rendah

sehingga jenis tanamannya akan semakin terbatas.

c. Batuan

Batuan merupakan material dasar pembentuk tanah yang dihasilkan melalui

proses pelapukan. Berdasarkan genetiknya batuan dapat di klasifikasikan menjadi

3 jenis yaitu: (1) bahan baku yang berasal dari batuan yang terbentuk atau berasal

dari proses magma yang membeku, ciri batuan ini biasanya mempunyai lapisan

yang tidak selaras dengan lapisan yang ada dibawahnya. Permeabilitas dan

porositas umumnya tinggi, drainasenya eksternal dengan kerapatan alur rendah

dengan pola aliran dendritik; (2) Batuan sedimen merupakan batuan yang

8
terbentuk dari butiran-butiran batuan lain akibat dari proses erosi, ciri batuan ini

mempunyai permeabilitas yang rendah, drainase sebagian eksternal, sebagian di

bawah permukaan tanah dengan kerapatan alur padat, mempunyai pola aliran

dendritik dan trellis dan; (3) Batuan metamorf merupakan batuan hasil perubahan

baik dari batuan beku maupun batuan sedimen, ciri umumnya mempunyai

permeabilitas rendah, drainasenya menengah hingga tinggi, mempunyai pola

aliran dendritik, trellis dan paralel.

Jenis batuan berpengaruh terhadap tingkat kemampuan batuan itu sendiri

dalam meloloskan air, dalam hal ini adalah kekompakannya sehingga jika

kemampuan batuan dalam meloloskan air rendah maka tingkat infiltrasi kurang

dan aliran permukaan (surface run off) besar, demikian sebaliknya. d. Tanah

Tanah merupakan media tempat tumbuhnya tanaman. Tanah antara satu tempat

dengan tempat lainnya berbeda-beda baik jenis, warna, kandungan kimia, maupun

sifatnya sehingga memiliki tingkat kesuburan, kapabilitas dan jenis tanaman yang

berbeda pula. Darmawijaya I.M (1990:9) mengemukakan bahwa:

Tanah adalah akumulasi tubuh alam yang bebas yang menempati atau
menduduki sebagian besar permukaan bumi yang mampu menumbuhkan
tanaman, yang memiliki sifat-sifat sebagai akibat pengaruh iklim dan jasad
hidup yang bertindak terhadap batuan (bahan induk) dalam keadaan relatif
tertentu dan dalam waktu tertentu pula.

Tingkat kesuburan tanah akan berpengaruh terhadap produktivitas suatu

jenis tanaman. Tanah yang subur memiliki peluang terhadap tanaman untuk

tumbuh dan berkembang secara optimal, sebaliknya jika tanah kurang subur maka

produktivitas tanamanpun rendah. Tanah yang paling subur dan sesuai sebagai

media tanam adalah tanah lapisan atas (top soil), karena pada tanah ini tersedia
9
unsur hara yang tinggi yang diperlukan tanaman sehingga keberadaan tanah

lapisan ini perlu dipelihara supaya tetap lestari.

e. Hidrologi

Air tanah merupakan salah satu bagian penyusun tanah yang hampir

selurhnya berasal dari udara atau atmosfer yang jatuh ke bumi melalui presipitasi,

sebagian air merembes ke dalam tanah dengan proses infiltrasi dan sebagian

mengalir di permukaan sebagai run off.

Ketersediaan air di dalam tanah dipengaruhi oleh dua faktor, pertama sifat

tanah yang meliputi daya hisap tanah, tekstur, straktur, dan bahan organik

semakin halus hat tanah maka semakin besar air yang dapat diikat oleh tanah liat,

tanah liat lebih halus permukaannya daripada tanah pasir sehingga makin besar

ukurannya makin sedikit air yang diikat pada satu satuan yang sama. Straktur

makin bundar (granular) makin banyak air yang dapat diikat, yang bundar lebih

banyak mengjkat air daripada yang lempeng. Faktor kedua yang berpengaruh

terhadap ketersediaan air adalah iklim yang meliputi temperatur, kelerubaban dan

kecepatan angin.

Ketersediaan air akan berpengaruh juga terhadap pertumbuhan dan

perkembangan tanaman. Hanya sebagian kecil air tanah yang setiap saat

berdekatan dengan adsorptif tumbuhan, disamping air dihisap oleh tanaman juga

dikurangi oleh penguapan langsung dari permukaan tanah. Jika tidak ada

10
penambahan air oleh hujan maka kadar air efektif akan dikurangi sehingga

penyerapan air oleh akar tanaman menjadi sulit.

f. Vegetasi

Vegetasi merupakan salah satu bagian dari sistem lahan yang memberi

manfaat bagi kelangsungan hidup makhluk khususnya manusia.

Keberadaan vegetasi beragam di setiap tempat, karena dipengaruhi oleh

keadaan lahan yang berbeda pula. Vegetasi memegang peranan penting dalam

menjaga kelestarian tanah karena dapat menghambat aliran permukaan dan erosi

yang meliputi : (1) intersepsi hujan oleh tajuk tanaman; (2) mengurangi kecepatan

aliran permukaan dan kekuatan perusak air; (3) pengaruh akar dan kegiatan-

kegiatan biologi yang berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif dan

pengaruhnya terhadap stabilitas struktur dan porositas tanah dan; (4) transmirasi

yang mengakibatkan kandungan air tanah berkurang. Vegetasi penutup tanah yang

tebal seperti rumput atau rimba akan menghilangkan pengaruh hujan dan

topografi terhadap erosi.

3. Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan (land use) menurut Arsyad (1989:207) dapat diatrikan

sebagai setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam

rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materi maupun spiritual, sedangkan

pengertian penggunaan lahan yang dikutif Sitorus dalam Vink (1986:176) sebagai

berikut:

Penggunaan lahan merupakan setiap bentuk campur tangan manusia

terhadap sumberdaya lahan baik yang sifatnya tetap atau permanen atau pun

11
merupakan daur (cyclic) yang bertujuan memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan

metarial maupun kebutuhan spiritual atau keduanya.

Dari kedua pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan

lahan merupakan suatu bentuk campur tangan manusia terhadap sumberdaya

lahan yang membentuk suatu siklus yang tidak terputus yang bertujuan untuk

memenuhi kebutuhan hidup manusia.

Penggunaan lahan merupakan suatu proses yang sifatnya dinamis. Oleh

karenanya informasi tentang penggunaan lahan relatif cepat menjadi kadaluarsa

(out dates) apabila dibandingkan dengan informasi tentang geologi, geomorfologi

atau tanah. Penggunaan lahan dapat dikelompokan kedalam dua golongan besar

yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian.

Penggunaan lahan untuk pertanian dapat dibedakan berdasarkan atas

penyediaan air dan komoditi yang diusahakan atau yang terdapat di atas tanah.

Secara kasar pengelompokan penggunaan lahan untuk pertanian yang kita kenal

seperti; tegalan, sawah, kebun kopi, kebun karet, padang rumput dan sebagainya.

Pengelompokan ini belum mempertimbangkan berbagai aspek penggunaan lahan

yang lain seperti luas tanah yang diusahakan, intensitas penggunaan input,

penggunaan tenaga kerja, orientasi pasar dan sebagainya. Jika faktor-faktor

tersebut dimasukan maka akan didapat tipe penggunaan lahan yang memberikan

gambaran lebih terperinci mengenai penggunaan lahan.

B. Evaluasi Lahan

Evaluasi lahan adalah proses penampilan atau keragaman lahan jika

dipergunakan untuk tujuan tertentu, meliputi pelaksanaan dan interpretasi survei

12
dan studi bentuk lahan, tanah, vegetasi, iklim dan aspek lahan lainnya agar dapat

mengidentifikasi dan membuat perbandingan berbagai penggunaan lahan yang

mungkui di kembangkan (FAO, 1976 yang dikutif Jamulya,1991). Evaluasi

sumberdaya lahan merupakan istilah evaluasi lahan yang digunakan

(Sitorus, 1995:2).

Yaitu merupakan proses untuk menduga potensi sumberdaya lahan untuk


berbagai penggunaannya. Adapun kerangka dasar dari evaluasi sumberdaya
lahan adalah membandingkan persyaratan yang diperlukan untuk suatu
penggunaan tertentu dengan sifat sumberdaya yang ada pada lahan tersebut.
Dari pengertian tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa evaluasi

lahan merupakan suatu proses untuk menilai potensi lahan yang ada pada suatu

tempat tertentu, agar dapat mengidentifikasi dan membuat perbandingan berbagai

penggunaan lahan yang mungkin dikembangkan.

C. Kemampuan Lahan

1. Pengertian Kemampuan Lahan

Evaluasi kemampuan lahan pada dasarnya merupakan evaluasi potensi lahan

bagi penggunaan berbagai sistem pertanian secara luas dan tidak membicarakan

peruntukan jenis tanaman tertentu atau pun tindakan-tindakan pengelolaannya,

oleh karena itu sifatnya lebih umum.

Kemampuan lahan menyatakan daya dukung lahan untuk berbagai aktivitas

kehidupan manusia secara optimal tanpa menimbulkan kerusakan lahan dalarn

jangka waktu yang relatif panjang. Evaluasi kemampuan lahan berhubungan

dengan pembatas-pembatas yang dapat menghalangi beberapa atau sebagian

penggunaan lahan yang sedang diperrimbangkan (Sitorus, 1995). Lahan dengan

13
kemampuan yang tinggi diharapkan berpotensi yang tinggi dalam penggunaan

yang intensif untuk berbagai macam kegiatan.

Pertanian akan menghasilkan produksi yang optimal tergantung pada

perencanaan penggunaan lahan yang sesuai dengan kelas kemampuannya.

Komponen kemampuan lahan merupakan hasil interaksi unsur-unsur fisik,

curah hujan, tata air, sifat fisik tanah, kemiringan lereng, dan tingkat erosi.

Pengelompokan di dalam satuan kemampuan adalah pengelompokan tanah-tanali

yang mempunyai keragaan dan persyaratan yang sama terhadap sistem

pengelolaan yang sama bagi usaha tani tanaman pertanian umumnya atau tanaman

rumput untuk makanan ternak atau yang lainnya. "Tanah-tanah di dalam satu

satuan kemampuan sesuai bagi penggunaan usaha tanaman yang sama dan

memberikan keragaan yang sama terhadap berbagai alternatif pengelolaan bagi

tanaman tersebut" (Benett, yang dikutip Kartasapoetra, 1989).

2. Metode Evaluasi Kemampuan Lahan

Terdapat tiga metode evaluasi kemampuan lahan (Jamulya, 1991:1) yaitu :

a. Metode deskripsi (description) : metode ini dilakukan dengan menguraikan

kelas-kelas kemampuan lahan dalam bentuk kalimat.

b. Metode penilaian (scoring) : metode penilaian merupakan suatu cara menilai

potensi lahan dengan jalan memberikan harkat pada setiap parameter lahan,

sehmgga dapat dihitung nilainya dan dapat ditentukan harkamya. Terdapat

dua teknik pengharkatan dalam evaluasi lahan yaitu : teknik penjumlahan

atau pengurangan dan teknik perkalian atau sistem indeks.

14
c. Metode perbandingan (matching) : merupakan suatu cara menilai potensi lahan

dengan membandingkan antara karakteristik lahan terhadap kriteria kelas

kemampuan yang telah ditetapkan.

Dalam evaluasi kemampuan lahan terdapat dua teknik pengharkatan yaitu :

a. Teknik penjumlahan/pengurangan

Teknik penjumlahan/pengurangan dilakukan dengan menjumlahkan atau

mengurangi harkat setiap parameter lahan yang pada akhimya diperoleh suatu

nilai indeks tertentu yang menunjukan kelas kemampuan lahan (Soepraptohardjo,

1062).

b. Teknik perkalian (sistem indeks)

Teknik perkalian dilakukan dengan mengalikan/membagi harkat setiap

parameter lahan. Sehingga akhirnya melalui teknik ini juga diperoleh suatu nilai

indeks tertentu yang menunjukan kelas kemampuan lahan.

Metode evaluasi kemampuan lahan yang digunakan dalam hal ini adalah

metode pengharkatan dengan teknik penjumlahan dan pengurangan.

Penetapan kemampuan wilayah memerlukan peninjauan beberapa sifat tanah

dan faktor sekeliling. Sifat-sifat itu meliputi faktor menguntungkan dan faktor

merugikan.

 Faktor yang menguntungkan meliputi:

a. PN = kandungan unsur hara

1) Kandungan N

2) Kandungan PaOs

3) Kandungan K2O

15
b. PSM = hubungan kelembaban tanah terhadap tanaman

1) Takstur tanah

2) Struktur tanah

3) Kandungan bahan organik

c. FHC = kapasitas penyerapan hara

1) KamasamanpH

2) Fraksi lempung

3) Bahan organik

d. ED = kedalaman tanah efektif

e. P = permeabilitas

f. ES = kepekaan tanah terhadap erosi

1) Kandimgan debu

2) Bentuk struktur

3) Tarafperkembangan struktur

 Faktor merugikan dapat dibedakan menjadi dua faktor, yaitu : a. Faktor

penghambat

1) R = batuan/singkapan batuan,

2) St = kebatuan,

3) Cn = konkresi,

4) GW = muka air tanah,

5) MR = mikrorelief,

6) Re = makrorelief, dan

7) Sl = lereng

16
b. Faktor bahaya

1) D = kekeringan,

2) Sa = kegaraman/salinitas,

3) 0 = banjir, dan

4) E = erosi

Semua faktor tersebut di atas dinilai dan dibandingkan secara relatif. Sifat-

sifat tanah merupakan faktor menguntungkan, sehingga dinilai (diharkat) positif.

Faktor sekeliling merupakan faktor merugikan, sehingga diharkat negatif. Luas

faktor sekeliling ini dibatasi oleh satuan peta tanah atau satuan lahan yang

bersangkutan. Jumlah nilai baik positif maupun negatif menentukan nilai

kemampuan lahan.

Kriteria untuk menentukan harkat masing-masing faktor sebagai berikut :

 Faktor menguntungkan

a. PN = Kandungan unsur hara

1) Kandungan N ( % )

< 0,1 = amat rendah diharkat : 1


0,1 – 0,2 = rendah diharkat : 2
0,2 – 0,3 = sedang diharkat : 3
0,3 – 0,5 = tinggi diharkat : 4
> 0.75 = amat tinggi diharkat : 5

2) Kandungan P2O5 (%)


< 0,021 = amat rendah diharkat : 1
0,021 – 0,040 = rendah diharkat : 2
0,040 – 0,080 = sedang diharkat : 3
0,080 – 0,100 = tinggi diharkat : 4
> 0,100 = amat tinggi diharkat : 5

17
3) Kandungan K2O (%)
< 0,021 = amat rendah diharkat : 1
0,021 – 0,040 = rendah diharkat : 2
0,040 – 0,080 = sedang diharkat : 3
0,080 – 0,100 = tinggi diharkat : 4
> 0,100 = amat tinggi diharkat : 5

Harkat PN merupakan jumlah dari ketiga harkat berikut :

Tabel 2.7
Kriteria Harkat PN

Jumlah Harkat
Harkat PN
(N + P2O5 + K2O)
<4 1
3–7 2
8 – 11 3
12 – 15 4
> 15 5
Sumber : Jamulya 1991

b. PSM = Hubungan antara kelembaban tanah dan tanaman

1) Tekstur tanah
Kasar diharkat : 1
Agar kasar diharkat : 2
Sedang diharkat : 3
Agak halus diharkat : 4
Halus diharkat : 5

2) Struktur tanah
Butir tunggal diharkat : 1
Gumpal/pejal/kubus/prisma diharkat : 2
Remah diharkat : 3

18
3) Kandungan bahan organik

<2 = rendah diharkat : 1


2–6 = sedang diharkat : 2
6 – 10 = agak tinggi diharkat : 3
10 – 3 0 = tinggi diharkat : 4
> 30 = sangat tinggi diharkat : 5

Tabel 2.8
Kriteria Harkat PSM

Jumlah harkat
Tekstur + Struktur + Kandungan Bahan Harkat PSM
Organik
<4 1
4–6 2
7–9 3
10 – 11 4
> 12 5
Sumber : Jamulya, 1991

c. FHC = Kapasitas penyerapan unsur hara

1) Kemasaman Tanah (pH)


< 4,4 = sangat masam diharkat : 1
4,5 – 5,5 = masam diharkat : 2
5,5 – 6,5 = agak masam diharkat : 3
6,5 – 7,5 = netral diharkat : 4
7,5 – 8,5 = agak alkalis diharkat : 3
8,5 – 9,0 = alkalis diharkat : 2
> 0,9 = sangat alkalis diharkat : 1
2) Fraksi Lempung

< 20 = rendah diharkat : 1


20 – 40 = sedang diharkat : 2
40 – 60 = agak tinggi diharkat : 3
> 60 = tinggi diharkat : 4

19
3) Bahan Organik

(a). Perbandingan C/N :


<7 = rendah diharkat : 1
7 – 10 = sedang diharkat : 2
10 – 14 = agak tinggi diharkat : 3
14 – 20 = tinggi diharkat : 4
> 20 = sangat tinggi diharkat : 5

(b). Kandungan bahan organik :


<2 = rendah diharkat : 1
2–6 = sedang diharkat : 2
6 – 10 = agak tinggi diharkat : 3
10 – 30 = tinggi diharkat : 4
> 30 = sangat tinggi diharkat : 5

Harkat bahan organik adalah jumlah harkat antara perbandingan C/N dan

kandungan bahan organik dibagi dua

Tabel 2.9
Kriteria Harkat FHC

Jumlah Harkat
(pH + Fraksi Lempung + bahan Harkat PN
organik)
<5 1
5–6 2
7–8 3
9–8 4
> 10 5
Sumber : Jamulya 1991

d. ED = Kedalaman tanah efektif

< 25 = dangkal diharkat : 1


25 – 50 = sedang diharkat : 2
> 50 = dalam diharkat : 3

20
c. P = Permeabilitas (scm/jam)
< 12,5 = cepat/amat cepat diharkat : 1
6,25 – 12,50 = agak cepat diharkat : 2
2,00 – 6,25 = sedang diharkat : 3
0,50 – 2,00 = agak lambat diharkat : 4
> 0,50 = lambat/amat lambat diharkat : 1

c. P = Permeabilitas (scm/jam)
1) Kandungan debu (%)

< 50 = tinggi diharkat : 1


50 – 30 = agak tinggi diharkat : 2
30 – 15 = sedang diharkat : 3
> 15 = sangat alkalis diharkat : 4

2) Bentuk struktur tanah


Lempeng/prisma/tiang/gumpal diharkat : 1
Butir tunggal /granular diharkat : 2
Remah diharkat : 3
Kubus diharkat : 4

3) Taraf perkembangan struktur tanah


Tanpa struktur diharkat : 1
Lemah diharkat : 2
Sedang diharkat : 3
Kuat diharkat : 4

21
Tabel 2.10
Kriteria Harkat FHC

Jumlah Harkat
(Kandungan debu + bentuk + Harkat PN
perkemb. struktur)
<5 1
5–6 2
7–8 3
9 – 10 4
> 10 5
Sumber : Jamulya 1991

 Faktor merugikan :
a. Faktor penghambat

1) R = batu besar / singkapan bantuan (%)


0 = tanpa batu kecil diharkat : 0
1 – 10 = sedikit diharkat : -1
10 – 25 = sedang diharkat : -2
> 25 = banyak diharkat : -3

2) S = batu kecil/kebatuan (%)


0 = tanpa batu kecil diharkat : 0
1–3 = sedikit diharkat : -1
3 – 15 = sedang diharkat : -2
> 15 = banyak diharkat : -3

3) Cn = Konkresi (khusus untuk dataran, dalam)


0 = tanpa batu kecil diharkat : 0
1–3 = sedikit diharkat : -1
3 – 50 = sedang diharkat : -2
> 50 = banyak diharkat : -3

4) GW = muka air tanah (khusus untuk dataran, dalam cm)


0 = tanpa gley diharkat : 0
> 100 = dalam diharkat : -1
50 – 100 = agak dalam diharkat : -2
> 50 = dangkal diharkat : -3
22
5) MR = Mikrorelief (khusus untuk dataran)
0 = tanpa batu kecil diharkat : 0
1 – 10 = sedikit diharkat : -1
50 – 100 = sedang diharkat : -2
> 50 = banyak diharkat : -3

6) Re = Makrorelief (khusus perbukitan / pegunungan)


Datar diharkat : 0
Berombak diharkat : -1
Bergelombangan diharkat : -3

7) SI = Lereng (khusus perbukitan/pegunungan, dalam %)


>3 = datar diharkat : 0
3–8 = Landai diharkat : -1
8 – 15 = miring diharkat : -2
> 50 = curam diharkat : -3
b. Faktor bahaya

1) D = kekeringan (indicator, pasir kedalaman < 100 cm)


< 40 % = sedikit pasir diharkat : 0
40 – 60 % = cukup pasir diharkat : -1
60 – 80,5 % = agak banyak pasir diharkat : -2
> 80 % = banyak diharkat : -3

2) Sa = salinitas
a). Kadar garam (%)
< 0,15 = tanpa diharkat : 0
0,15 – 0,35 = sedikit diharkat : -1
0,35 – 0,65 = sedang diharkat : -2
> 80 = banyak diharkat : -3

b). Rata-rata luas wilayah (%)


0 = tanpa diharkat : 0
1–5 = sedikit diharkat : -1
5 – 35 = sedang diharkat : -2
> 35 = banyak diharkat : -3

23
Tabel 2.11
Kriteria Harkat Sa

Jumlah Harkat
(Kadar garam + Rata-rata luas Harkat Sa
wilayah)
0 0
1–2 -1
3–4 -2
5–6 -3
Sumber : Jamulya 1991

3) O = Banjir (bulan/tahun)
0 = tanpa diharkat : 0
<2 = jarang diharkat : -1
2–6 = sering diharkat : -2
>6 = selalu diharkat : -3

4) E = Erosi
e1 = tanpa diharkat : 0
e2 = ringan diharkat : -1
e3 = sedang diharkat : -2
e4 = berat diharkat : -3

Kriteria Pengharkatan Kemampuan Wilayah :

Rumus yang digunakan untuk pengharkatan kemampuan wilayah sebagai

berikut:

Kemampuan wilayah

= faktor menguntungkan - faktor merugikan

= faktor menguntungkan - faktor (penghambat + baliaya)

= PN + PSM + FHC + ED + P + ES-R-S-Cn-GW-MR-Re-Sl-D-Sa-O-E

24
Tabel 2.12
Kriteria Pengharkatan Kemampuan Wilayah

Jumlah H Kelas Arti Kelas Kemampuan


Tanah
harkat Kemampuan Wilayah
>20 I Wilayah baik sekali, hampir Aluvial (bahan vulkanik),
tidak ada penghambat, dapat Regosol (abu vulkanik) di kaki
digunakan untuk segala gunung api.
macam pertanian.
16-19 II Wilayah baik, ada Aluvial (bahan tersier), latosol
sedikit penghambat, dan (agak kurus), andosol
digunakan untuk berbagai (dilembah), kurang air.
usaha pertanian dengan
sedikit intensifikasi.
12-15 III Wilayah agak baik, Latosol (vulkanik
beberapa penghambat bergelombang)
memerlukan investasi untuk
usaha pertanian.
8-11 IV Wilayah sedang, Mediteran pada gunungapi
beberapa penghambat perlu dan grumosol di dataran
diatasi untuk suatu usaha (agak jelek, kurang air).
pertanian.
4-7 V Wilayah agak jelek, Latosol pada breksi (kurus
beberapa penghambat banyak tonjolan batu, berbukit)
memerlukan usaha
intensifikasi lebih banyak,
usaha pertanian mekanis
tidak mungkin.

25
0-3 VI Wilayah jelek, berbagai Regosol dan andosol di
penghambat alam kerucut vulkanik, rensina dan
membatasi penggunaan lahan grumosol di bukit (berbatu,
untuk pertanian biasa, baik dangkal, peka erosi), podsolik
untuk tanaman tahunan, merah kuning di dataran
hutan produksi, dan (kurus, masam, jelek,
peternakan. konkresi), organosoleutrof (air
tanah, mudah terbakar,
-3-0 VII Wilayah jelek sekali, Podsolik merah kuning di bukit
ineversible).
pertumbuhan dan lateritik di dataran (jelek,
tanaman/penggunaan lahan peka erosi,
sangat
terbatas oleh faktor-faktor konkresi, dangkal, curam),
alam, agak baik untuk organosol oligot-rof (kurus,
tanaman tahunaa hutan air (anah, mudah terbakar,
produksi. peka erosi , irrevesible).
<-4 VIII Wilayah amat jelek, faktor- Podsolik (kurus sekali, masam,
faktor alam tidak jelek, air tanah, peka erosi,
memungkinkan untuk suatu konkresi).
usaha pertanian, hanya baik
untuk hutan lindung atau
margasatwa.
Sumber: Jamulya, 1991

5. Klasifikasi Kemampuan Lahan

Untuk menerapkan dan mempergunakan sistem kelasifikasi secara benar

beberapa asumsi perlu dimengerti. Adapun asumsi-asumsi tersebut sebagai

berikut:

a. Klasifikasi kemampuan lahan adalah klasifikasi interpretasi yang didasarkan

pada pengaruh yang sama antara berbagai unsur lahan seperti iklim dan sifat-

sifat yang permanen seperti ancaman kerusakan tanah, faktor pembatas

penggunaan, kemampuan produksi dan syarat-syarat pengelolaan tanah,


26
lereng, tekstur tanah, tingkat erosi tanah yang telah terjadi, permeabilitas

tanah, kapasitas menahan air dan sebagainya yang sifatnya permanen.

b. Tanah-tanah di dalam satu kelas kemampuan adalah sama hanya dalam hal

derajat (besarnya) pembatas atau ancaman kerusakan jika dipergunakan untuk

pertanian. Di dalam suatu kelas kemampuan terdapat beberapa jenis, rnacam,

atau tipe tanah, dan banyak dari tanah tersebut memerlukan perlakuan dan

pengelolaan yang berbeda. Oleh karenanya pada kategori kelas tidak dapat

dibuat generalisasi yang sahih dalam kesesuaian bagi jenis-jenis tanaman atau

kebutuhan pengelolaan.

c. Suatu nisbah keluaran terhadap masukan yang layak atau dapat diterima secara

umum (berdasarkan kecenderungan ekonomi jangka panjang rata-rata usaha

tani dan petani menggunakan tingkat pengelolaan yang agak tinggi) adalah

salah satu kriteria yang dipergunakan untuk menempatkan setiap tanah dalam

suatu kelas yang sesuai untuk dipergunakan bagi usaha penanaman tanaman

semusim, rumput, atau hutan. Klasifikasi kemampuan lahan bukan penilaian

produktivitas tanah untuk suatu tanaman tertentu.

d. Tingkat pengelolaan yang dipergunakan dalam klasifikasi kemampuan adalah

tingkat pengelolaan yang agak tinggi, artinya suatu tingkat pengelolaan yang

dapat menjamin kelestarian sumberdaya alam dan memberikan hasil yang

cukup tinggi bagi pengusahanya. Akan tetapi klasifikasi kemampuan lahan

bukanlah pengelompokan tanah berdasarkan penggunaan lahan yang paling

menguntungkan.

27
e. Kelas kemampuan I sampai IV dibedakan satu sama lain oleh jumlah derajat

(intensitas) hambatan atau ancaman kerusakan tanah yang mempengaruhi

persyaratan atau kebutuhan pengelolaan bagi penggunaan penanaman

tanaman pertanian secara lestari.

f. Adanaya air yang lebih di permukaan atau di dalam tanah, kekurangan air bagi

tanaman, adanaya batuan, adanya garam laut, atau natrium dapat ditukar atau

kedua-duanya, atau ancaman banjir tidak dianggap pembatas permanen jika

usaha untuk mengliilangkan pembatas tersebut layak dilakukan.

g. Suatu tanah yang dianggap layak untuk diperbaiki dengan perbaikan drainase,

irigasi, pembuangan batuan, pembuangan garam-garam atau natrium atau

dengan penyelamatan dari ancman banjir di klasifikasikan berdasarkan atau

sesuai dengan pembatas atau ancaman atau keduanya yang tetap ada setelah

perbaikan itu dilakukan. Perbedaan dalam biaya perbaikan atau

pembangunan fasilitas pada sebidang lahan tidak mempengaruhi

klasifikasi.

h. Tanah-tanah yang telah diperbaiki dengan drainase atau irigasi

dikelompokan menurut hambatan-hambatan dan ancaman-ancaman

kerusakan yang berkelanjutan.

i. Kelas kemampuan lahan pada suatu areal dapat berubah jika proyek

reklamasi besar dilakukan yang secara permanen merabah pembatas atau

mengurangi ancaman kerusakan atau resiko kerusakan tanah atau tanaman

dalam jangka waktu panjang.

28
j. Pengelompokan kemampuan dapat berubah jika didapatkan atau tersedia

informasi baru tentang perilaku dan keragaman lahan.

k. Jarak pasar, kelas jalan, ukuran dan bentuk areal, letak di lapangan,

keterampilan atau sumberdaya penggarap lahan atau sifat-sifat lain

penguasaan lahan tidak merupakan kriteria klasifikasi.

l. Lahan dengan hambatan fisik yang mengakibatkan tanaman hanya dapat

ditanam, dipelihara dan dipanen dengan tangan tidak dapat dimasukan

kedalam kelas I,II,III dan IV.

m. Lahan yang sesuai untuk dipergunakan bagi tanaman semusim (tanaman-

tanaman yang memerlukan pengelolaan tanah) juga sesuai bagi penggunaan

lain.

n. Data hasil penelitian, catatan pengamatan dan pengalaman dipergunakan

sebagai dasar untuk menempatkan lahan dalam satuan kemampuan, sub kelas

dan kelas.

Menurut Jamulya (1991: 3) terdapat tiga kategori klasifikasi kemampuan

lahan yaitu kelas, sub kelas, dan unit.

a. Kategori kelas

Kategori kelas yaitu kelompok lahan yang mempunyai faktor-faktor pembatas

permanen yang sama. Dalam kategori kelas, lahan dikelompokan menjadi delapan

kelas kemampuan lahan.

Kelas I

Tanah pada lahan kelas I ini sesuai untuk segala jenis penggunaan tanpa

memerlukan tindakan pengawetan tanah yang khusus yang dicirikan oleh:

29
1. Lereng yang datar 6. Dapat menahan air dengan baik

2. Bahaya erosi sangat kecil 7. Responsif terhadap pemupukan

3. Solum dalam 8. Tidak terancam banjir

4. Drainasebaik 9. Iklim setempat sesuai untuk

5. Mudahdiolah pertumbuhan tanaman

Kelas II

Tanah pada lahan kelas II sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian

dengan sedikit hambatan dan ancaman kerusakan. Kelas II ini dicirikan oleh:

1. Lerenglandai

2. Kepekaan erosi sedang

3. Bertekstur halus sampai agak kasar

4. Solum agak dalam

5. Salinitas ringan sampai sedang

6. Kadang terlanda banjir

7. Drainase sedang

8. Struktur tanah dan daya oleh agak kurang baik

9. Iklim agak kurang sesuai untuk tanaman kelas III

Tanah pada lahan kelas III ini sesuai untuk segala jenis usaha pertanian

dengan hambatan dan ancaman kerusakan yang lebih besar dari lahan kelas II

sehingga memerlukan konservasi khusus. Kelas III ini dicirikan oleh:

30
1. Lereng agak miring atau bergelombang

2. Drainase buruk

3. Solum sedang

4. Permeabilitas tanah bawah lambat

5. Peka terhadap erosi atau telali tererosi agak berat

6. Kapasitas menahan air rendah

7. Kesuburannya rendah dan tidak mudah diperbaiki

8. Seringkali mengalami banjir

9. Lapisan padas dangkal

10. Salinitas sedang

11. Hambatan iklim agak besar

Jika lahan kelas ini diusahakan perlu usalia pengawetan tanah. Kelas IV

Lahan pada kelas IV ini mempunyai faktor penghambat yang lebih besar daripada

kelas III, faktor penghambat itu antara lain :

1. Kepekaan erosi besar 5. Lereng miring atau berbukit

2. Solum dangkal 6. Drainasejelek

3. Kapasitas menahan air rendah 7. Salinitas tinggi

4. Sering tergenang 8. Iklim kurang menguntungkan

Jika lahan ini dipergunakan untuk tanaman semusim diperlukan pembuatan

teras atau saluran drainase atau pergiliran tanaman dengan penutup tanah. Kelas

V Tanah pada lahan kelas V tidak sesuai untuk tanaman semusim.

Ciri-ciri tanah kelas V ini adalah :

31
1. Lereng datar atau cekung 4. Berbatu-batu

2. Seringkali terlanda banjir 5. Pada perakaran dijumpai catclay

3. Seringkali tergenang 6. Berawa-rawa

Tanah pada kelas ini sesuai untuk hutan produksi.

Kelas VI

Tanah pada lahan kelas VI tidak sesuai untuk pertanian, penggunaannya

terbatas hanya untuk padang penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung, atau

cagar alam. Lahan kelas VI dicirikan dengan:

1. Lereng agak curam 4. Solusi tanah agak dangkal

2. Ancaman erosi berat 5. Berbatu-batu

3. Telah tererosi berat 6. Iklim tidak sesuai

Kelas VII

Lahan kelas VII tidak sesuai untuk pertanian. Jika untuk tanaman pertanian

harus dibuat teras bangku yang ditunjang dengan cara-cara vegetatif untuk

konservasi. Ciri-ciri lahan kelas ini adalah :

1. Lereng curam

2. Tererosi berat

3. Solum sangat dangkal

4. Berbatu-batu Kelas VIII

Lahan kelas VIII tidak sesuai untuk pertanian dan harus didiamkan secara

alami. Lahan kelas ini berguna untuk hutan lindung, cagar alam, atau tempat

rekreasi. Faktor pembatas lahan kelas ini adalah :

32
1. Lereng yang sangat curam >55%

2. Berbatu-batu

3. Kapasitas menahan air sangat rendah

4. Solum sangat dangkal

5. Seringkali dijumpai singkapan batuan atau padang pasir

b. KategoriSub kelas

Sub kelas merupakan lahan yang mempunyai jenis faktor pembatas yang

sama. Faktor pembatas ini dilambangkan dengan hurup kecil dibelakang

simbol kelas yang berlambangkan huruf romawi kapital. Ada beberapa jenis

faktor pembatas dalam kategori sub kelas yaitu :

e = ancaman erosi yang diperoleh dari kecuraman lereng dan kepekaan erosi

tanah

w = kebasahan atau kelebihan air akibat drainase jelek atau ancaman

banjir/penggenangan yang merusak tanaman

s = tanah mempunyai hambatan pada perakaran yang berupa:

1. Kedalaman tanah

2. Kedalaman lapisan keras penghambat tumbuh akar

3. Adanya batu-batu diperakaran

4. Kapasitas menahan air rendah

5. Sifat-sifat kimia tanah yang sulit diperbaiki

c = iklim (suhu dan curah hujan) menjadi pembatas penggunaan lahan.

33
c. Kategori Unit

Unit adalah kelompok lahan yang mempunyai potensi, faktor pembatas, dan

satuan pengelolaan yang sama. Lahan yang terdapat pada unit yang sama dapat

dipergunakan untuk budidaya tanaman yang sama, memerlukan pengelolaan dan

konservasi yang sama, serta potensi produksi sebanding. Unit dilambangkan

dengan angka Arab yang terletak dibelakang lambang sub kelas.

III. DEGRADASI SUMBER DAYA LAHAN

A. Degradasi Lahan

Sumberdaya alam utama, yaitu tanah dan air, pada dasarnya merupakan

sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, namun mudah mengalami kerusakan

atau degradasi. Degradasi lahan adalal lahan yang tanahnya telah mengalami

proses degradasi atau penurunan tingkat ptoduktivitas tanah ( Sarief,1986 ).

Kerusakan tanah dapat terjadi oleh :

a. Kehilangan unsur hara dan zat organik didaerah perakaran

b. Terkumpulnya garam didaerah perakaran ( salinisasi)

c. Terkumpulnya atau terungkapnya unsur atau senyawa yang merupakan racun

bagi tanaman

d. Penjenuhan tanah oleh air ( waterlogging )

e. Erosi

Kerusakan air berupa hilangnya atau mengeringnya sumber air dan

menurunya kualitas air. Hilangnya atau mengeringnya sumber air berkaitan

dengan peristiwa erosi. Menurunya kualitas air dapat disebabkan oleh kandungan

34
sedimen yang bersumber dari erosi ata kandungan bahan-bahan senyawa dari

limbah industri atau limbah pertanian. Sedangkan kerusakan lahan dapat terjadi

secara alami atau aktivitas manusia. Secara alami sebagian besar disebabkan

bencana alam sedangkan akibat oleh aktivitas manusia adalah pembukaan laan

hutan menjadi pemukiman atau lahan tegalan tanpa mengindahkan kaidah-kaidah

konservasi, dan penebangan liar, penambangan liar dan peladangan berpindah ini

akan menyebabkan berkurangnya kamampuan tanah untuk mendukung

pertumbuhan.

B. LahanKritis

Lahan kritis adalah suatu keadaan lahan yang terbuka atau tertutupi semak

belukar, sebagai akibat dari solum tanah yang tipis dengan batuan bermunculan

dipermukaan tanah akibat tererosi berat dan produktivitasnya rendah

(Poerwowidodo, 1990).

Selanjutnya dijelaskan pula bahwa lahan kritis adalah lahan yang telah

mengalami atau dalam proses kerusakan fisik, kimia, atau biologi yang akhirnya

dapat membahayakan fungsi hidrologi, orologi, produksi pertanian,

pemukiman,dan kehidupan sosial ekonomi dari daerah lingkungan pengaruhnya

(Kuswanto, dalam Kartini 2003 )

Lahan kritis merupakan tanah yang sudah tidak berfungsi lagi sebagai media

pengatur tata air dan unsur produksi pertanian yang baik. Tanah kritis merupakan

tanah yang sudah tidak produktif ditinjau dari segi pertanian, karena pengelolaan

dan penggunaan lahan yang tidak atau kurang memperhatikan syarat-syarat

pengelolaan maupun konservasi tanah.

35
Dari pengertian tersebut, keadaan tanah kritis ini dapat berupa tanah pertanian

dengan tanaman yang sudah tidak produktif, bervegetasi alang-alang/semak, atau

tanah pertanian terlantar yang ditinggalkan penggarap.

Kerusakan lahan ini bisa fisik, kimia atau biologi. Kerusakan ini terjadi pada

tanah secara bersamaan saling terkait atau satu jenis saja. Terancamnya fungsi

biologi dapat berakibat fatal misalnya terjadi tanah longsor yang mengakibatkan

fungsi produksi tanaman terancam.

Pertumbuhan penduduk yang pesat telah mendorong peningkatan kebutuhan

lahan untuk pemukiman, pertanian dan kebutuhan lainnya. Hal ini menyebabkan

penggunaan lahan kurang memperhatikan kelestariannya. Demikian juga

ketidaktahuan dan kurangnya kesadaran masyarakat dalam pengolahan lahan telah

menimbulkan lahan-lahan ktitis yang baru.

Masalah lahan kritis, erosi, dan banjir merupakan masalah demografi yang

luas, dilihat dari sudut ekologi dan pertambahan penduduk yang melampaui daya

dukung lingkungan ( Soemarwoto, dalam Kartini 2003 ). Pendapat tersebut

menggambarkan bahwa jumlah penduduk dengan segala karakteristiknya sangat

berbengaruh terhadap kualitas lingkungan setempat. Walaupun lahan yang ada

memberi kemungkinan besar untuk intensifikasi dan menyerap jumlah penduduk,

tetapi pada akhirnya luas lahan yang tersedia semakin menyurut dan tidak lagi

cukup bagi kebutuhan manusia yang kian bertambah.

C. Parameter Lahan kritis

Timbulnya lahan kritis disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah

topografi, faktor tanah, tingkatan erosi, dan vegetasi penutup lahan:

36
1. Topografi

Unsur-unsur topografi yang paling berpengaruh terhadap timbulnya lahan

kritis adalah kemiringan lereng, panjang lereng, bentuk dan arah lereng.

Kemringan lereng merupakam sala satu faktor yang mempengaruhi dan

mengendalikan proses-proses pembentyukan tanah. Kemiringan lereng juga

merupakan salah satu gejala perkembangan tanah akibat pengaruh lingkungan

fisik dan hayati. Selain itu, kemiringan lereng dapat mencirikan bentuk dan sifat

tubuh tanahnya, sehingga kemringan lereng selalu digunakan untuk rnenyatakan

kemampuan tanah (Notohadiprawiro,1977).

Kemiringan lereng dinyatakan dalam derajat atau persen. Kemiringan lereng

ini sangat memepengaruhi terhadap kecepatan aliran permukaan yang berakibat

pada besar kecilnya energi angkut air. Makin besar kemiringan lerengnya,

semakin banyak jumlah butir-butir tanah yang terpercik kebawah oleh tumbukan

air hujan.

Panjang lereng dihitung mulai dari titik pangkal aliran permukaan sampai

pada suatu titik dimana air masuk kedalam saluran atau sungai, atau kemiringan

lereng yang berkurang sedemikian rupa sehingga kecepatan aliran air berubah".

Semakin panjang lereng, maka jumlah erosi total akan makin banyak (Arsyad,

1989)

Bentuk lereng ini dilihat dari permukaan tanahnya dapat berbentuk cembung

dan dapat bebentuk cekung. Berdasarkan pengamatan menunjukkan bahwa erosi

lembar lebih hebat pada permukaan cembung daripada pada permukaan cekung.

37
Pada permukaan cekung lebih cenderung membentuk erosi alur atau parit.

( Suripin, 2002 )

2. Tanah

Tanah adalah suatu benda alamiyang terdapat di permukaan kulit bumi, yang

tersusun dari bahan-bahan mineral sebagai hasil pelapukan batuan dan bahan

organik sebagai hasil pelapukan sisa tumbuhan dan hewan yang merupakan

medium pertumbuhan tanaman dengan sifat-sifat tertentu yang terjadi akibat

gabungan dari faktor-faktor iklim, bahan induk, jasad hidup, bentuk wilayah dan

lamanya waktu pembentukan. (Sarief, 1986 )

Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa pada dasarnya tanah raerupakan tubuh

alam tempat dimana segala aktivitas kehidupan sangat tergantung pada tubuh alam

tersebut.

Dalam pertanian, tanah diartikan lebih khusus yaitu sebagai media tumbuhnya

tanaman darat. Tanah berasal dari pelapukan batuan bercampur dengan sisa-sisa bahan

organik dari organisme ( vegetasi atau hewan ) yang hidup diatasnya atau didalamnya.

Selain itu di dalam tanah terdapat udara dan air ( Rafi'i, 1995 ). Air dalam tanah berasal

dari air hujan yang ditahan oleh tanah sehingga tidak meresap ketempat lain. Disamping

percampuran bahan mineral dengan bahan organik, maka dalam pembentukan tanah

terbentuk pula lapisan-lapisan tanah atau horison-horison. Oleh karena itu dalam

pengertian ilmiahnya tanah adalah kumpulan dari benda alam dipermukaan bumi yang

tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air

dan udara, dan merupakan media untuk tumbuhnya tanaman ( Rafi'i, 1995).

Tanah sebagai suatu sistem ruang dan waktu berbeda dengan air, tanah merupakan

sistem yang beraneka pada skala lokal dan memiliki sumber daya yang heterogen baik

dari segi fisik, kimia dan hayati ( Notohadiprawiro, 1999 ). Jadi tempat yang berdekatan
38
jika dilhat dari profil tanahnya akan sangat berbeda dalam banyak hal seperti tekstur,

struktur, permeabilitas, kedalaman efektif tanah, dan bahan organik.

Tekstur merupakan perbandingan relatif fraksi penyusun tanah didalam

suatu masa tanah. Tekstur tanah menunjukkan kasar halusnya tanah. Berdasar atas

perbandingan banyaknya butir-butir pasir , debu dan liat maka tanah

dikelompokan dalam beberapa kelas tekstur.

Tanah yang bertekstur pasir mempunyai luas permukaan yang kecil

sehingga sulit menyerap ( menahan ) air dan unsur hara. Tanah bertekstur kasar

atau berpasir tinggi cenderung untuk mudah lepas dan pengolahannya mudah.

Tanah-tanah bertekstur liat mempunyai luas permukaan yang besar sehingga

kemampuan menahan air dan menyediakan unsur hara tinggi.

Tekstur tanah mempengaruhi tutupan batuan pada permukaan tanah. Tanah

bertekstur pasir memiliki tutupan lahan batuan yang lebih besar daripada tekstur

lempung atau liat, yaitu lebih dari 25 %. Tingginya tutupan batuan mengakibatkan

meningkatnya kesulitan pengolahan tanah, mengganggu pertumbuhan akar

tanaman, dan merusak daya simpan kelembaban tanah.

Struktur tanah merupakan gumpalan kecil dari butir-butir tanah. Gumpalan

struktur ini terjadi karena butir-butir pasir, debu dan liat terikat satu sam lain oleh

suatu perekat seperti bahan organik, oksida-oksida besi dan lain-lain. Gumpalan-

gumpalan kecil ini mempunyai bentuk, ukuran dan kemantapan yang berbeda-

beda.

Struktur tanah merupakan sifat fisik tanah yang juga mempengaruhi

besarnya erosi ( Arsyad, 1989 ). Ada tiga macam struktur tanah, yaitu;

39
a. Struktur remah, dapat dilihat dengan jelas tampak bercerai berai, mudah

didorong ketempat lain, sangat peka terhadap erosi.

b. Struktur sedang, tampak agak bergumpal atau ada pula yang berporus, agak

peka terhadap erosi.

c. Struktur lekat, sangat kompak bila dalam bentuk gumpalan , sangat berat bila

digali, keras bila diolah, retak-retak bila kering dan lengket bila basah

Struktur lekat ini tidak peka terhadap erosi.

Struktur tanah adalah susunan zarah-zarah tanah yang membentuk pola

keruangan, ( Jamulya, 1993 ). Struktur tanah ini berarti pula sebagai sifat fisik

tanah, namun sifat fisik tersebut tidak terlepas dari proses kimiawi dan bilogis.

Struktur tanah sangat berkaitan dengan istilah agregat tanah ( ped ) yaitu' individu'

dari susunan partikel-partikel. Agregat ini dihasilkan dari peristiwa agregasi yaitu

peristiwa penggabungan jonjot-jonjot tanah menjadi gumpalan. Berbagai macam

jasad mikro tanah seperti bakteri, jamur, aktinomicetes, ragi, dan ganggang

mampu mengikat butiran tunggal tanah menjadi agregat, tetapi kemampuan

agregasi pada masing-masing jasad makro tersebut berbeda-beda.

Permeabilitas tanah merupakan cepat/lambatnya air merembes kedalam tanah

baik melalui pori-pori makro maupun melalui pori-pori mikro, baik kearah

horizontal ataupun vertikal ( Jamulya, 1993 ).

Pengertian sempit dari permeabilitas tanah ini adalah cepat lambatnya tanah

meloloskan air dalam keadaan jenuh.

Semakin kasar tekstur tanah (kandungan pasir banyak), maka

permeabilitasnya semakin cepat, dan sebaliknya semakin halus tekstur tanah

40
( kandungan Hat banyak ) semakin lambatnya permeabilitasnya (Jamulya, 1993 ).

Jadi permeabilitas air dalam tanah ini tergantung pada tekstur dan struktur

tanahnya.

Kedalaman efektif tanah merupakan lapisan tanah yang masih dapat ditembus

oleh perakaran tanaman, sehingga ketebalannya akan mempengaruhi perakaran

tanaman. Selanjutnya dijelaskan bahwa :

Kedalaman efektif minimal yang dibutuhkan oleh tanaman budidaya adalah 30


cm. Bila kedalaman efektif tersebut kurang dari 30 cm, perakaran tanaman
menjadi teganggu dan tanaman sukar tumbuh. Kedalaman efektif yang dangkal
dapat terjadi akibat proses pencucian ( leaching) yang merusak morfogenesa
tanah. Leaching terjadi akibat aliran suspensi yang diendapkan oleh suatu
penghalang atau pemadatan pada kedalaman tertentu ( Ruchijat, 1980 ).

Bahan organik merupakan fraksi organik tanah yang berasal dari biomassa

tanah dan biomassa luar tanah ( Purwowidodo, 1982 ). Biomassa tanah adalah

massa total flora dan fauna yang hidup, serta bagian vegetasi yang hidup dalam

tanah ( akar ). Biomassa luar tanah adalah massa bagian vegetasi yang hidup

diluar tanah ( daun, batang, cabang, ranting, bunga, buah, dan biji). Seluruh

biomassa tanah merupakan bahan dasar dalam pembentukkan bahan organik

tanah. Dan produktsi bahan organik disuatu daerah sangat dipengaruhi oleh

ketersediaan unsur hara, udara, dan air, serta ciri pertumbuhan vegetasi.

Faktor manusia yang mempengaruhi terhadap lahan kritis ini berkaitan

dengan penggunaan lahan yaitu bentuk-bentuk intervensi ( campur tangan )

manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil

maupun spirituil ( Arsyad, 1989 ). Yang menjadi faktor penyebab dalam hal ini

tidak hanya dari segi penggunaan lahan tetapi juga dari segi pengolahan lahan,

41
seperti pembukaan hutan untuk pertanian, pengolahan lahan yang salah, serta

penggunaan lahan tanpa diimbangi dengan pemeliharaan dan perbaikan. Jadi

proses hidup dan kegiatan kehidupan manusia sangat mempengaruhi terhadap

kualitas lingkungan.

3. Erosi

Erosi adalah peristiwa penyingkiran dan penganggkutan bahan dalam bentuk

larutan atau suspensi dari tapak semula oleh air mengalir ( aliran limpas ), es

bergerak, atau angin. Erosi merupakan hilangnya atau terkikisnya tanah atau

bagian-bagian tanah disuatu tempat yang diangkut oleh air atau angin ketempat

lain ( Arsyad, 1989 ).

Tanah memiliki tingkat erosi yang besar pada kemiringan lereng lebih dari 40

%. Pengolahan tanah untuk pertanian tanpa disertai dengan terasering, pada

kemiringan lereng lebih dari 40 % akan memperbesar terjadi erosi

(acceleratederosion).

Untuk daerah tropis seperti Indonesia, pelaku erosi yang dominan adalah air.

Sifat air selalu mengarah dari tempat yang lebih tinggi ketempat yang lebih

rendah, demikian pula dengan erosi air.

Dlihat dari bentukan permukaannya erosi dapat dipilahkan menjadi:

a. Erosi percikan ( splash erosion ) adalah terlepas dan terlemparnya partikel-

partikel tanah dari massa tanah akibat pukulan butiran air hujan secara

langsung ( Suripin, 2000). Erosi percikan maksimum akan terjadi segera

setelah tanah menjadi basah, dan kemudian akan menurun terhadap waktu

42
sejalan dengan makin meningkatnya ketebalan air diatas permukaan tanah (

Arsyad, 1989 ).

b. Erosi alur ( rill erosion ), pengikisannya lebih mendalam daripada melebar,

menoreh permukaan tubuh bahan secara beralur-alur. Alur-alur biasanya

terjadi pada lahan yang ditanami dengan pola berbaris menurut arah

kemiringan lereng, atau akibat pengolahan tanah menurut lereng atau bekas

tempat menarik balok-balok kayu ( Arsyad, 1989 ). Alur-alur ini masih

dangkal dan dapat disembuhkan dengan pengolahan tanah yang biasa.

c. Erosi parit/ selokan ( gully erosion ), merupakan erosi alur berskala besar

dengan alur-alur jauh lebih lebar dan ajuh lebih mendalam. Erosi alur dan

parit ini biasanya terjadi pada jalur-jalur aliran.

Proses pembentukan parit dimulai dengan pembentukan depresi pada lereng


sebagai akibat adanya bagian lahan yang gundul atau tanaman penutupnya jarang
akibat pembakaran atau rerumputan. Air permukaan terkonsentrasi pada bagian
ini sehingga depresi semakin membesar dan beberapa depresi menyatu dan
membentuk saluran baru ( Suripin, 2002 ).

d. Erosi tebing sungai ( stream bank erosion ), adalah erosi yang terjadi akibat

pengikisan oleh air yang mengalir dari bagian atas tebing atau oleh terjangan

arus air sungai yang kuat pada tikungan-tikungan ( Suripin, 2002 ). Erosi ini

lebih kuat apabila tumbuhan penutup tebing telah rusak atau pengolahan

lahan terlalu dekat dengan tebing.

e. Erosi internal ( internal or subsurface erosion ), adalah proses terangkutnya

partikel-partikel ke bawah masuk ke celah-celah atau pori-pori akibat adanya

aliran bawah permukaan ( Suripin, 2002 ). Akibat erosi ini tanah menjadi

43
kedap air dan udara, sehingga menurunkan kapasitas infiltrasi dan

meningkatnya aliran permukaan atau erosi alur.

f. Tanah longsor ( land slide ), merupakan bentuk erosi dimana pengangkutan

atau gerakan masa tanah terjadi pada suatu saat dalam volume yang relatif

besar.

Besarnya erosi menyebabkan terjadinya parit-parit erosi yang rapat dan

dalam. Terjadi erosi akan menyingkap tanah lapisan bawah. Sedangkan lapisan

bawah memiliki tingkat kesuburan yang lebih rendah daripada lapisan atasnya.

Tanah lapisan atas yang subur di bawa dan diendapkan pada sejumlah aliran-

aliran deras. Proses ini menyebabkan berkurangnya luas tanah yang subur.

Pada dasarnya setiap peristiwa erosi tersebut akan membawa material-

material tanah dan bisa membuat solum tanah menipis. Walaupun demikian erosi

tidak sealu berdampak merusak. Selama erosi dengan laju pembentukan tanah

masih seimbang ( erosi normal ), erosi ini perlu ada karena berperan penting

dalam meremajakan tanah.

44
Dampak erosi yang dapat dirasakan secara langsung maupun secara tidak

langsung, baik ditempat terjadinya erosi ataupun ditempat lain yang akan

diuraikan pada tabel berikut:

Tabel 2.1
Dampak Erosi Tanah

Bentuk Dampak di Tempat Kejadian Dampat diluar


Dampak Erosi tempat kejadian
Langsung 1. Kehilangan lapisan tanah yang 1. Pelumpuran dan
baik berjangkarnya akar tanaman perdangkalan sungai,
waduk, dan saluran
irigrasi serta badan air
lainnya

2. Kehilangan unsur hara dan 2. Tertimbunya lahan


struktur tanah pertanian, jalan dan
bangunan lain

3. Peningkatan penggunaan 3. Menghilangkan massa


energy/input untuk proses air dan kualitas air
produksi menurun

4. Kemerosohan produktivitas tanah 4. Kerusakan ekosistem


perairan
5. Berkurangnya alternative
penggunaan lahan

6. Timbulnya tekanan untuk


membuka lahan baru

7. Timbulnya keperluan akan


perbaikan yang rusak
Tidak 1. Berkurangnya alternative 1. Kerugian oleh
langsung penggunaan tanah memendeknya umur
waduk.

2. Timbulnya tekanan untuk 2. Meningkatnya


membuka lahan baru frekuensi dan
45
besarnya banjir

3. Timbulnya keperluan akan


perbaikan lahan yang rusak
Sumber : Arsyad (1989)

4. Vegetasi

Vegetasi sangat berkaitan erat dengan penutupan tajuk terhadap lahan di

bawahnya yang berfungsi sebagai mulsa dan kondisi perakaran yang

mempengaruhi kapasitas infiltrasi. Suatu vegetasi penutup tanah baik seperti

rumput yang tebal ataupun rimba yang lebat akan menghilangkan pengaruh hujan

dan topografi terhadap erosi. Namun jika diperhatikan situasi sekarang, banyak

hutan yang semakin gundul sehingga bencana banjir sering terjadi ketika musim

hujan tiba. Kebutuhan manusia akan sandang, pangan, dan pemukman menuntut

manusia untuk mengkonversi lahan, misalnya, lahan hutan diubah menjadi lahan

pertanian. Namun demikian dalam usaha menjaga vegetasi penutup lahan, usaha

pertanian yang sesuai dengan kaidah koservasi sangat memainkan peranan penting

dalam pencegahan erosi dan degradasi lahan.

Agar tidak terjadi degradasi lingkungan yang semakin parah, maka perlu

usaha untuk pelestarian alam lingkungan. Pelestarian alam lingkungan manusia ini

pada hakekatnya adalah menjalin hubungan yang selaras antara kebutuhan hidup

manusia dengan sumber daya alam yang tersedia.

Melestarikan alam tidak berarti alam dibiarkan tidak terusik, dimana manusia
tidak menarik manfaat apapun. Melestarikan alam lingkungan hidup ahrus
diartyikan dengan memanfaatkan terus menerus dengan senantiasa
raemperhatikan dinamika dan polusi serta produktivitas sumber daya alam
tersebut (Dzaldjoeni, 1982 ).

46
Alam dapat kita manfaatkan secara maksimal dengan tetap mempertahankan

wujud aslinya. Misalnya, hutan dapat kita manfaatkan dengan diambil hasilnya

berupa kayu, getah, dan berbagai hasil hutan lainnya, tetapi wujud daripada hutan

itu harus tetap dipertahankan yaitu wujud hutan yang berfungsi sebagai tmpat

berlindungnya flora dan fauna yang hidup didalamnya.

D. Klasifikasi Lahan Kritis

Lahan kritis merupakan lahan yang tidak produktif dengan kondisi yang

tidak memungkinkan untuk dijadikan lahan pertanian tanpa usaha atau input yang

tinggi, yang dicirikan bahwa proses pengikisan terjadi sangat cepat, sehingga

lapisan tanah semakin lama semakin tipis serta lapisan lahan tersebut mengalami

penurunan fungsi hidrologis, orologis, produksi pertanian, peraukiman dan

kondisi sosial ekonomi.

1. Lahan Berdasarkan Tingkat Kekritisan

a. Lahan Kritis

Lahan kritis adalah lahan yang tidak produktif yang tidak memungkinkan untuk

dijadikan lahan pertanian tanpa merehabilitasi terlebih dahulu. Ciri lahan kritis

daintaranya adalah :

1) Telah terjadi erosi kuat, sebagian sampai pada " gully erosion "

2) Lapisan tanah tererosi habis

3) Kemiringan lereng > 30 %

4) Tutupan lahan sangat kecil ( < 25 % ) kadang gundul

5) Tingkat kesuburan tanah sangat rendah b. Lahan Semi Kritis

47
Lahan semi kritis adalah lahan yang kurang produktif dan masih digunakan

untuk usaha tani dengan produksi yang rendah. Ciri lahan semi kritis diantaranya :

1) Telah mengalami erosi permukaan sampai erosi alur

2) Mempunyai kedalaman efektif yang dnagkal ( < 5 cm)

3) Kemringan lereng > 10 %

4) Prosentase penutupan lahan 50 - 75 %

5) Kesuburan tanah rendah

c. Lahan Potensial Kritis

Lahan potensial kritis adalah lahan yang masih produktif untuk pertanian

tanaman pangan tetapi apabila pengolahannnya tidak berdasarkan konservasi

tanah, maka akan cenderung rusak dan menjadi semi kritis/lahan kritis. Ciri lahan

potensial kritis adalah :

1) Pada lahan belum terjadi erosi, namun karena keadaan topografi dan

pengolahan yang kurang tepat maka erosi dapat terjadi bila tidak dilakukan

pencegahan

2) Tanah mempunyai kedalaman efektif yang cukup dalam (>20 cm )

3) Prosentase tutupan lahan masih tinggi ( > 70%)

4) Kesuburan tanah mulai dari rendah sampai tinggi

2. Lahan Kritis berdasarkan Faktor Penghambatnya

a. Lahan Kritis Fisik

Termasuk lahan kritis fisik dalam kriteria lahan kritis merupakan kondisi

lahan yang secara fisik mengalami kerasakan, sehingga dalam mengusahakan

tanah diperlukan investasi yang cukup besar. Ciri-cirinya:

48
1) Tanah memiliki kedalaman efektif dangkal atau pada kedalaman tanah

tersebut sebagai lapisan penghambat pertumbuhan tanaman. lapisan kerikil,

lapisan batu, lapisan cadas, lapisan batuan, akumulasi penghambat

lainnya.

2) Pada bagian tertentu atau keseluruhan dapat terlihat adanya lapisan cadas

yang sudah kelihatan dipermukaan.

3) Adanya batuan atau pasir atau abu yang melapisi tanah ataupun material lain

sebagi akibat letusan gunung, banjir bandang ataupun bencana alam lainnya.

b. Lahan Kritis Kimiawi

Ciri menonjol dari lahan kristis kimia adalah bila tanah bila ditinjau dari

tingkat kesuburan, salinitas dan toksinitasnya tidak lagi memberikan dukungan

positif apabila lahan tersebut diusahakan seabagai tanah pertanian. Ciri-ciri lahan

kritis kimiawi:

1) Tanah menunjukkan penurunan produktivitas atau memberikan produksi yang

rendah.

2) Adanya gejala-gejala keracunan pada tanaman sebagi akibat akumulasi

racun dan garam-garam dalam tanah.

3) Adanya gejala-gejala defesiensi tanaman akan unsur hara. c. Lahan Kritis

Sosial Ekonomi

Lahan kritis sosial ekonomi terjadi pada tanah / lahan terlantar akibat adanya

salah satu atau beberapa faktor sosial ekonomi sabagai kendala dalam usaha-usaha

pendayagunaan tanah tersebut.Termasuk dalam pengertian lahan kritis sosial

ekonomi adalah tanah tersebut masih dapat digunakan untuk usaha pertanian dan

49
tingkat kesuburannya masih relatif ada. Karena tingkat sosial ekonomi penduduk

rendah, maka lahan tersebut ditinggalkan oleh penggarapnya dan akan tumbuh

alang-alang menjadi padang alang-alang, semak-semak atau bentuk lain sehingga

lahan tersebut terlantar. d. Lahan Kritis Hidro-orologis

Lahan kritis hidroorologis menunjukkan keadaan sedemikian rupa dimana

lahan tersebut tidak mampu lagi mempertahankan fungsinya sebagi pengatur tata

air. Hal ini disebabkan terganggunya daya penahan, penghisap dan penyimpan air.

Kritis hidroorologis dapat dilihat dilapangan menurut banyak sedikitnya vegetasi

yang tumbuh diatasnya ( di permukaan lahan ). Sebagian besar jenis vegetasi tidak

mampu lagi tumbuh dan berkembang baik pada keadaan kritis hidroorologis ini.

Kritis hidroorologis dilapangan dapat juga dilihat sebagai lahan tanpa penutup,

dengan vegetasi penutup dalam jumlah yang sedikit, dan adanya keterbatasan

jumlah jenis vegetasi yang dapat tumbuh diatasnya.

Berdasarkan sebab-sebabnya tanah kritis atau tanah rusak digolongkan

menjadi 3 bagian, yaitu:

1. Tanah rusak golongan A, terdapat didaerah-daerah berpenduduk terlalu padat


pengusaha taninya. Para petani terpaksa, karena kekurangan mencari tanah
yang ada, yang seharusnya tidak boleh ditanami tanaman semusim. Letak
tanah marjinal demikian itu bisa ditep pantai atau lereng gunung. Tanah
dipantai diperoleh dengan mengeringkan rawa-rawa yang tadinya ada.
Akibatnya kadar garam tanah itu dari tanah-tanah sawah yang tadinya bagus
menjadi terlalu tinggi, sehingga tidak bisa lagi mengahsilkan tanaman
pangan. Untuk memeperbaiki tanah yang terlalu asin ini tidak ada jalan
lainselain meredam kembali sebagian dari pesisir dengan air tawar, sehingga
garamnya hanyut. Sedangkan tanah-tanah dilereng gunung yang lerengnya
terjal, akan cepat terkikis apabila ditanami tanaman semusim. Tanah rusak
yang terdapat diatas ketinggian 900 M dpi, memperlihatkan tanda-tanda
pengikisan yang berat sekali, sehingga mengakibatkan lapisan keras yang ada
dibawahnya sudah nampak dipermukaan. Memperbaiki tanah demikian tiada
50
jalan lain dengan sengkedan dan menanaminya dengan pohon-pohon yang
dapat melindungi tanah, yaitu pohon-pohon tahunan.
2. Tanah rusak golongan B, terdapt didaerah-daerah yang penduduknya jarang.
Tinggi dari muka air laut rata-rata 50 meter. Kesuburan kurang, akanfisik
tanah, kedalaman efektifnya, teksturnya, lazimnya bagus. Jarang nampak
terkikis secar serius. Lazimnya tanah demikian itu ditumbuhi ilalang atau
ilalang bercampur belukar. Biasanya tanah-tanah ini mudah manghasilkan
lagi, asal ada dirasakan kebutuhannya, pupuk, dan pengairan.
3. Tanah rusak golongan C, terdapat didaerah pertambangan. Tanah ini dirusak
dengan sengaja untuk keuntungan yang lebih tinggi. Akan tetapi meskipun
demikian, tanah-tanah rusak stelah beberap tahun, sering sekalu bisa
dimanfaatkan lagi. Satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah tanah rusak
sebagai akibat dari pembuatan arang kayu. Tanah-tanah bekas pembakaran
arang kayu, kehilangan daya serap airnya, sehingga sumber-sumber air dari
tanah menjadi mati. ( Sandy dalam Kartini2003 ).

E. Usaha-Usaha Penanggulangan Lahan Kritis

Supaya lahan kritis ini menjadi produktif kembali khususnya bagi

pengusahaan pertanian, maka diperlukan upaya-upaya penanggulangan yang baik.

Beberapa usaha mengendalikan lahan kritis atau mengembalikan fungsi lahan

pada keadaan semula diantaranya:

1. Penghijauan dan Penghutanan Kembali ( Reboisasi )

Penghiajuan adalah usaha pembentukan tanaman diatas tanah-tanah gundul

dan kritis diluar kawasan hutan , guna menahan air dan mencegah erosi.

Penghiajuan juga bisa diartikan sebagai kegiatan tanam-tanaman dalam kawasan

diluar hutan baik tanah negara maupun petani dan sebagainya. Kegiatan ini

bertujuan untuk membangun kembali atau meperbaiki daya guna pemanfaatan

sumber kekayaan tanah dan air didalam maupun diluar kawasan hutan. Apabila

dilakukan dengan baik, usaha penghijauan dan penghutanan kembali ini cukup

efektif untuk mengurangi kerusakan pada tanah.

51
2. Konservasi Tanah

Konservasi mengandung pengertian adanya unsur pelestarian, pengawetan

sesuatu yang masih ada. Salah satu upaya konservasi adalah dengan melakukan

pengolahan tanah yang baik. Upaya penanggulangan lahan kritis merupakan suatu

kesatuan antara faktor fisis dan faktor sosial. Pengolahan tanah yang akan

merusak tanah, intensitas kerusakan ini tergantung sistem pengolahan lahan, alat

yang dipakai, dan intensitas pengolahan tanah ( Purwowidodo, 1982 ). Dalam

hubungan dengan erosi, maka pengolahan tanah akan merusak agregasi tanah

akibat daya rusak mekanis dari alat-alat pengelohan tanah atau karena terjadi

penurunan kandungan bahan organik tanah, yang besar peranannya dalam

memelihara agregasi tanah. Penurunan agregasi tanah ini, akan mempengaruhi

produktivitas lahan.

Kita menyadari bahwa sulit untuk mengendalikan dan menanggulangi

kerusakan tanah yang pada akhirnya menimbulkan lahan kritis. Apabila tanah

kritis ini diupayakan, bisa ditanggulangi dengan cara konservaso tanah (

Purwowidodo, 1982 ). Prinsip konservasi yang dikemukakan diatas adalah

mengatur hubungan antara intensitas hujan, kapasitas infiltrasi tanah, dan aliran

permukaan tanah. Berdasarkan hal diatas maka ada tiga cara pendekatan dalam

menanggulangi tanah kritis, yaitu:

a. Memperbaiki dan menjaga keadaan tanah agar tahan terhadap

penghancuran agregat tanah dan pengangkutan serta meningkatkan daya

serap air dipermukaan tanah

52
b. Menutup permukaan tanah, baik dengan tumbuhan atau sisatumbuhan agar

terlindung dari daya perusak butir hujan yang jatuh.

c. Menagtur aliran permukaan sehingga dapat mengalir dengan kekuatan yang

tidak merusak. (Purwowidodo, 1982)

F. Bencana Longsor
1. Pengertian Bencana Longsor
Tanah longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa
batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran tersebut, bergerak ke
bawah atau keluar lereng. Proses terjadinya tanah longsor dapat diterangkan
sebagai berikut: air yang meresap ke dalam tanah akan menambah bobot
tanah. Jika air tersebut menembus sampai tanah kedap air yang berperan
sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan di
atasnya akan bergerak mengikuti lereng dan keluar lereng.

2. Gejala umum terjadinya longsor


Munculnya retakan-retakan di lereng yang sejajar dengan arah tebing.
Biasanya terjadi setelah hujan.
Munculnya mata air baru secara tiba-tiba.
Tebing rapuh dan kerikil mulai berjatuhan.

3. Faktor-faktor Penyebab Tanah Longsor


Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada
lereng lebih besar daripada gaya penahan. Gaya penahan umumnya
dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Sedangkan gaya
pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, air, beban serta berat
jenis tanah batuan.

53
a. Hujan
Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada bulan Nopember
karena meningkatnya intensitas curah hujan. Musim kering yang panjang
akan menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam
jumlah besar. Hal itu mengakibatkan munculnya pori-pori atau rongga
tanah hingga terjadi retakan dan merekahnya tanah permukaan
Ketika hujan, air akan menyusup ke bagian yang retak sehingga
tanah dengan cepat mengembang kembali. Pada awal musim hujan,
intensitas hujan yang tinggi biasanya sering terjadi, sehingga kandungan air
pada tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat.
Hujan lebat pada awal musim dapat menimbulkan longsor, karena
melalui tanah yang merekah air akan masuk dan terakumulasi di bagian
dasar lereng, sehingga menimbulkan gerakan lateral. Bila ada pepohonan di
permukaannya, tanah longsor dapat dicegah karena air akan diserap oleh
tumbuhan. Akar tumbuhan juga akan berfungsi mengikat tanah.

b. Lereng terjal
Akan memperbesar gaya pendorong. Lereng yang terjal terbentuk
karena pengikisan air sungai, mata air, air laut, dan angin. Kebanyakan
sudut lereng yang menyebabkan longsor adalah 1800 apabila ujung
lerengnya terjal dan bidang longsorannya mendatar.

c. Tanah yang kurang padat dan tebal

Tebing yang bertanah tebal dan kurang padat.

54
Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah lempung atau tanah liat
dengan ketebalan lebih dari 2,5 m dan sudut lereng lebih dari 220. Tanah
jenis ini memiliki potensi untuk terjadinya tanah longsor terutama bila
terjadi hujan. Selain itu tanah ini sangat rentan terhadap pergerakan tanah
karena menjadi lembek terkena air dan pecah ketika hawa terlalu panas.

d. Batuan yang kurang kuat

Batuan yang kuat strukturnya.

Batuan endapan gunung api dan batuan sedimen berukuran pasir


dan campuran antara kerikil, pasir, dan lempung umumnya kurang kuat.
Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah bila mengalami proses
pelapukan dan umumnya rentan terhadap tanah longsor bila terdapat pada
lereng yang terjal

e. Jenis tata lahan

Terasering lahan pesawahan.


55
Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan persawahan,
perladangan, dan adanya genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan
persawahan akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah dan membuat
tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air sehingga mudah terjadi
longsor. Sedangkan untuk daerah perladangan penyebabnya adalah karena
akar pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan
umumnya terjadi di daerah longsoran lama.

f. Getaran

Longsor yang diakibatkan oleh gempa bumi.

Getaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh gempabumi,


ledakan, getaran mesin, dan getaran lalulintas kendaraan. Akibat yang
ditimbulkannya adalah tanah, badan jalan, lantai, dan dinding rumah
menjadi retak.

g. Susut muka air danau atau bendungan


Akibat susutnya muka air yang cepat di danau maka gaya penahan
lereng menjadi hilang, dengan sudut kemiringan waduk 2200 mudah terjadi
longsoran dan penurunan tanah yang biasanya diikuti oleh retakan.

56
h. Adanya beban tambahan

Jalan di daerah lereng.

Adanya beban tambahan seperti beban bangunan pada lereng, dan


kendaraan akan memperbesar gaya pendorong terjadinya longsor, terutama
di sekitar tikungan jalan pada daerah lembah. Akibatnya adalah sering
terjadinya penurunan tanah dan retakan yang arahnya ke arah lembah.

i. Pengikisan atau erosi

Pengikisan oleh air sungai.

Pengikisan banyak dilakukan oleh air sungai ke arah tebing. Selain


itu akibat penggundulan hutan di sekitar tikungan sungai, tebing akan
menjadi terjal.

57
j. Adanya material timbunan pada tebing-tebing

Longsor akibat adanya tanah timbunan


Untuk mengembangkan dan memperluas lahan pemukiman
umumnya dilakukan pemotongan tebing dan penimbunan lembah. Tanah
timbunan pada lembah tersebut belum terpadatkan sempurna seperti tanah
asli yang berada di bawahnya. Sehingga apabila hujan akan terjadi
penurunan tanah yang kemudian diikuti dengan retakan tanah.

k. Adanya bekas longsoran lama


Longsoran lama umumnya terjadi selama dan setelah terjadi
pengendapan material gunung api pada lereng yang relatif terjal atau pada
saat atau sesudah terjadi patahan kulit bumi. Bekas longsoran lama memilki
ciri:
Adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuk tapal
kuda.
Umumnya dijumpai mata air, pepohonan yang relatif tebal karena
tanahnya gembur dan subur.
Daerah badan longsor bagian atas umumnya relatif landai.
Dijumpai longsoran kecil terutama pada tebing lembah.
Dijumpai tebing-tebing relatif terjal yang merupakan bekas
longsoran kecil pada longsoran lama.
Dijumpai alur lembah dan pada tebingnya dijumpai retakan dan
longsoran kecil.

58
Longsoran lama ini cukup luas.

l. Adanya bidang diskontinuitas (bidang tidak sinambung)


Bidang tidak sinambung ini memiliki ciri:
Bidang perlapisan batuan
Bidang kontak antara tanah penutup dengan batuan dasar
Bidang kontak antara batuan yang retak-retak dengan batuan yang
kuat.
Bidang kontak antara batuan yang dapat melewatkan air dengan
batuan yang tidak melewatkan air (kedap air).
Bidang kontak antara tanah yang lembek dengan tanah yang padat.
Bidang-bidang tersebut merupakan bidang lemah dan dapat berfungsi
sebagai bidang luncuran tanah longsor.

m. Penggundulan hutan

Gundulnya hutan menjadi salah satu penyebab longsor.

Tanah longsor umumnya banyak terjadi di daerah yang relatif


gundul dimana pengikatan air tanah sangat kurang.

n. Daerah pembuangan sampah

59
Longsor di TPA Leuwigajah.

Penggunaan lapisan tanah yang rendah untuk pembuangan sampah


dalam jumlah banyak dapat mengakibatkan tanah longsor apalagi
ditambah dengan guyuran hujan, seperti yang terjadi di Tempat
Pembuangan Akhir Sampah Leuwigajah di Cimahi. Bencana ini
menyebabkan sekitar 120 orang lebih meninggal.

4. Jenis-jenis Bencana Longsor

a.Longsoran Translasi

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa


tanah dan batuan pada bidang gelincir
berbentuk rata atau menggelombang landai.

b.Longsoran Rotasi

Longsoran rotasi adalah bergerak-nya massa


tanah dan batuan pada bidang gelincir
berbentuk cekung.

c.Pergerakan Blok

60
Pergerakan blok adalah perpindahan batuan
yang bergerak pada bidang gelincir berbentuk
rata. Longsoran ini disebut juga longsoran
translasi blok batu.

d.Runtuhan Batu

Runtuhan batu terjadi ketika sejumlah besar


batuan atau material lain bergerak ke bawah
dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada
lereng yang terjal hingga menggantung
terutama di daerah pantai. Batu-batu besar yang
jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang
parah.

e.Rayapan Tanah

Rayapan Tanah adalah jenis tanah longsor yang


bergerak lambat. Jenis tanahnya berupa butiran
kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini hampir
tidak dapat dikenali. Setelah waktu yang cukup
lama longsor jenis rayapan ini bisa
menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau

61
rumah miring ke bawah.

f.Aliran Bahan Rombakan

Jenis tanah longsor ini terjadi ketika massa


tanah bergerak didorong oleh air. Kecepatan
aliran tergantung pada kemiringan lereng,
volume dan tekanan air, dan jenis materialnya.
Gerakannya terjadi di sepanjang lembah dan
mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Di
beberapa tempat bisa sampai ribuan meter
seperti di daerah aliran sungai di sekitar
gunungapi. Aliran tanah ini dapat menelan
korban cukup banyak.

62
IV. SUMBER DAYA KELAUTAN

I. PENDAHULUAN

Pengalaman empiris di seluruh dunia telah membuktikan, bahwa kemajuan,

kemandirian dan kesejahteraan suatu bangsa sangat ditentukan oleh penguasaan

IPTEK (Ilmu dan Teknologi) bangsa yang bersangkutan. Negara-negara yang saat

ini dikenal sebagai negara maju, seperti yang tergabung dalam G7 (Amerika

Serikat, Jepang, Jerman, Perancis, Kanada, Inggris, dan Italia); negara-negara

Skandinavia, Australia, Korea Selatan, dan Singapura, adalah mereka yang unggul

dalam penguasaan dan penerapan IPTEK pada hampir seluruh bidang kehidupan.

Bukti empiris semacam ini juga berlaku dalam kemampuan eksplorasi dan

eksploitasi sumberdaya kelautan misalnya sumberdaya perikanan, seperti yang

dialami oleh bangsa Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Thailand, negara-negara

Skandinavia, Kanada, dan Spanyol.

Sebaliknya, meskipun suatu negara memiliki sumberdaya kelautan yang

berlimpah, tetapi jika bangsa tersebut mengabaikan IPTEK dalam memanfaatkan

dan mengelola sumberdaya tersebut, tidak ada artinya. Karena kontribusi

sumberdaya tersebut terhadap pembangunan bangsa dan masyarakat relatif kecil.

Pembangunan sektor kelautan dan perikanan di Indonesia masih banyak

menghadapi berbagai kendala dan permasalahan. Kinerja pembangunan kelautan

selama ini belum banyak memberikan kontribusi terhadap GDP (Gross Domestic

Product) dan masih menyisakan masyarakat termiskin di negara yang memiliki

potensi kelautan yang besar. Salah satu penyebab dari permasalahan ini adalah

63
ketidak mampuan masyarakat dan bangsa Indonesia memanfaatkan sumberdaya

yang dimiliki, dan bila ditelusuri lebih lanjut karena penguasaan IPTEK dan

informasi kelautan masih sangat lemah.

Oleh karena itu, sangat tepat dan strategis jika pemerintah mulai sekarang

memantapkan strategi pengembangan riset dan teknologi sumberdaya kelautan.

Hai ini mengingat Eksistensi Indonesia sebagai negara Maritim dan kepulauan

(Archipelagic state) terbesar di dunia dengan luas laut 5,8 juta km2 dan jumlah

pulau sekitar 17.508 pulau yang dikelilingi oleh garis pantai sepanjang 81.000 km,

pada dasarnya menjanjikan potensi pembangunan ekonomi dari sektor kelautan

yang luar biasa. Pada tanggal 11 Oktober 2003 lalu, Presiden Megawati

mencanangkan Gerakan Nasional yang disebut Gerakan Pembangunan Mina

Bahari, gerakan ini merupakan pemikiran yang ingin menjadikan laut sebagai

sumber perekonomian bangsa dan negara yang berkesinambungan.

II. POTENSI DAN PELUANG PEMBANGUNAN KELAUTAN.

Indonesia merupakan salah satu negara bahari terbesar di dunia, karakteristik

geografis Indonesia serta struktur dan tipologi ekosistemnya yang didominasi oleh

lautan telah menjadikan Indonesia sebagai Mega-Biodiversity terbesar di dunia.

Sumberdaya kelautan merupakan kekayaan alam yang memiliki peluang amat

potensial dimanfaatkan sebagai sumberdaya yang efektif dalam pembangunan

bangsa Indonesia.

64
65
65
Sumberdaya kelautan dapat dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu

(1) sumberdaya dapat pulih, (2) sumberdaya tidak dapat pulih, (3) sumber energi,

dan (4) jasa-jasa lingkungan kelautan.

1) Sumberdaya Dapat Pulih

Potensi sumberdaya dapat pulih terdiri dari sumberdaya perikanan tangkap,

perikanan budidaya, dan bioteknologi kelautan. Dengan luas laut 5,8 juta km2,

perairan Indonesia diperkirakan memiliki potensi lestari ikan laut sebesar 6,4 juta

ton pertahun. Potensi tersebut terdiri dari ikan pelagis besar 1,65 juta ton, ikan

pelagis kecil 3,6 juta ton, ikan demersal 1,36 juta ton, ikan karang 145 ribu ton,

udang peneid 94,8 ribu ton, lobster 4,8 ribu ton, dan cumi-cumi 28,25 ribu ton

(Dahuri, 2003).

Selain potensi perikanan tangkap, Indonesia memiliki potensi perikanan

budidaya yang cukup besar. Berdasarkan hitungan sekitar 5 km dari garis pantai

ke arah laut, potensi lahan kegiatan budidaya laut diperkirakan sekitar 24,53 juta

ha yang terbentang dari ujung bagian barat Indonesia sampai ke ujung wilayah

timur Indonesia. Komoditas-komoditas yang dapat dibudidayakan pada areal

tersebut antara lain: ikan kakap, kerapu, tiram, kerang darah, teripang, kerang

mutiara, abalone, dan rumput laut. Pada tahun 2000, kegiatan budidaya laut

(marikultur) mencapai produksi sebesar 994,962 ton dengan nilai sebesar Rp 1,36

triliun berdasarkan nilai pada tingkat produsen (Statistik Budidaya Perikanan,

2001).

66
Indonesia juga memiliki potensi pengembangan budidaya tambak yang

cukup besar. Lahan utama yang potensial bagi pengembangan budidaya tambak

terletak di daerah hutan bakau. Ditjen Perikanan (1999) memperkirakan potensi

lahan pengembangan tambak di Indonesia mencapai 913.000 ha, sedangkan

tingkat pemanfaatannya baru mencapai 344.759 ha atau sekitar 40 persen dari

total potensinya. Komoditas-komoditas potensial yang dapat dibudidayakan

adalah: udang windu, udang putih, udang api-api, udang cendana, ikan bandeng,

baronang, belanak, dan ikan nila. Pada tahun 2000, kegiatan budidaya tambak

baru mencapai produksi sebesar 430.017 ton atau sekitar 24 persen dari potensi

lahan yang tersedia, apabila setiap 1 ha lahan menghasilkan produksi 2 ton dengan

nilai produksi sebesar Rp 7,46 triliun (Statistik Budidaya Perikanan, 2001).

Bioteknologi kelautan dapat memberikan kontribusi ekonomi yang besar

bagi pembangunan bangsa Indonesia. Berbagai bahan bioaktif yang terkandung

dalam biota perairan laut seperti Omega-3, hormon, protein dan vitamin memiliki

potensi yang sangat besar bagi penyediaan bahan baku industri farmasi dan

kosmetik. Diperkirakan lebih dari 35.000 spesies biota laut memiliki potensi

sebagai penghasil bahan obat¬obatan, sementara yang dimanfaatkan baru 5.000

spesies. Beberapa jenis obat atau vitamin yang diekstrak dari laut misalnya,

minyak dari hati ikan sebagai sumber vitamin A dan D, insulin diekstrak dari ikan

paus dan tuna, sedangkan obat cacing dapat dihasilkan dari alga merah.

2) Sumberdaya Tidak Dapat Pulih.

Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi seluruh mineral dan geologi.

Indonesia sebagai negara maritim memiliki kandungan minyak dan gas bumi yang

67
besar, berdasarkan data geologi, diketahui bahwa Indonesia memiliki 60 cekungan

potensi yang mengandung minyak dan gas bumi. Dari 60 cekungan tersebut, 40

cekungan terdapat di lepas pantai, 14 cekungan berada di daerah transisi daratan

dan lautan (pesisir) dan hanya 6 cekungan yang berada di daratan. Dan 60

cekungan tersebut diperkirakan dapat menghasilkan 84,48 milyar berel minyak,

namun baru 9,8 milyar barel yang diketahui dengan pasti, sedangkan sisanya

sebesar 74,68 milyar barel berupa kekayaan yang belum dimanfaatkan.

Meskipun cadangan minyak dan gas bumi Indonesia cukup besar, namun

cadangan ini tersebar pada lokasi yang cukup jauh dari pusat konsumen dan

jaringan pipa gas. Pada tahun 2005 diperkirakan Indonesia menjadi "net importer"

untuk minyak bumi. Oleh karena itu intensifikasi kegiatan-kegiatan eksplorasi dan

eksploitasi ladang-ladang minyak, penambangan sumber minyak, serta

penguasaan teknologi penambangan di lepas pantai perlu segera ditingkatkan.

3) Energi Kelautan

Energi Kelautan merupakan energi non-konvensional dan termasuk

surnberdaya kelautan non-hayati yang dapat diperbaharui yang memiliki potensi

untuk dikembangkan di kawasan pesisir dan lautan Indonesia. Keberadaan

sumberdaya ini dimasa yang akan datang semakin signifikan manakala energi

yang bersumber dari BBM (bahan bakar minyak) semakin menipis. Jenis energi

kelautan yang berpeluang dikembangkan adalah ocean thermal energy conversion

(OTEC), energi kinetik dari gelombang, pasang surut dan arus, konversi energi

dari perbedaan salinitas.

68
Perairan Indonesia merupakan suatu wilayah perairan yang sangat ideal

untuk mengembangkan sumber energi OTEC. Hal ini dimungkinkan karena

OTEC didasari pada perbedaan suhu air laut permukaan dengan suhu air pada

kedalaman 1 km minimal 20°C. Hal ini terlihat dari banyak laut, teluk serta selat

yang cukup dalam di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar bagi

pengembangan OTEC. Salah satu pilot plant OTEC dikembangkan di pantai utara

Pulau Bali.

Sumber energi kelautan lainnya, antara lain energi yang berasal dari

perbedaan pasang surut, dan energi yang berasal dari gelombang. Kedua macam

energi tersebut juga memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan di

Indonesia. Kajian terhadap sumber energi ini seperti yang dilakukan oleh BPPT

bekerjasama dengan Norwegia di Pantai Baron, D. I Yogyakarta. Hasil dari

kegiatan ini merupakan masukan yang penting dan pengalaman yang berguna

dalam upaya Indonesia mempersiapkan sumberdaya manusia dalam

memanfaatkan energi non konvensional. Sementara itu, potensi pengembangan

sumber energi pasang surut di Indonesia paling tidak terdapat di dua lokasi, yaitu

Bagan Siapi-Api dan Merauke, karena di kedua lokasi ini kisaran pasang surutnya

mencapai 6 meter.

4) Jasa Kelautan

Pemanfaatan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan juga dapat

dilakukan terhadap jasa-jasa lingkungan, terutama untuk pengembangan

pariwisata dan pelayaran. Dewasa ini pariwisata berbasis kelautan (wisata bahari)

telah menjadi salah satu produk pariwisata yang menarik dunia internasional.

69
Pembangunan kepariwisataan bahari pada hakekatnya adalah upaya untuk

mengembangkan dan memanfaatkan objek dan daya tarik wisata bahari yang

terdapat di seluruh pesisir dan lautan Indonesia, yang terwujud dalam bentuk

kekayaan alam yang indah (pantai), keragaman flora dan fauna seperti terumbu

karang dan berbagai jenis ikan hias yang diperkirakan sekitar 263 jenis.

Pada tahun 2002 pariwisata bahari menyumbang US$ 4,5 milyar atau

menurun 16,5 persen dari tahun 2001 yang mencapai US$ 5,428 milyar (Media

Indonesia, 2002). Penurunan ini disebabkan oleh kondisi stabilitas nasional

Indonesia terutama setelah ledakan bom di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002

yang lalu. Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan bagi perkembangan dunia

pariwisata pada khususnya, perekonomian Indonesia pada umumnya. Untuk

membangkitkan kembali dunia pariwisata, perlu upaya serius dari setiap elemen

masyarakat Indonesia untuk menciptakan suasana yang kondusif sehingga

memberikan kenyamanan dan ketenangan di seluruh kawasan Indonesia. Selain

itu perlu memperhatikan kekhasan, nilai jual dan peningkatan mutu komoditi

pariwisata, sehingga dapat menarik masyarakat internasional untuk berkunjung ke

Indonesia.

Potensi jasa lingkungan kelautan lainnya yang masih memerlukan sentuhan

pendayagunaan secara profesional agar potensi ini dapat dimanfaatkan secara

optimal adalah jasa transportasi laut (perhubungan laut). Betapa tidak, sebagai

negara bahari ternyata pangsa pasar angkutan laut baik antar pulau maupun antar

negara masih dikuasai oleh armada niaga berbendera asing. Berdasarkan data

70
yang ada, hampir 80 persen proses perpindahan barang dan jasa antar pulau

menggunakan jasa perhubungan laut.

Jenis-jenis riset (Penelitian) bidang kelautan terdiri :

A. Penelitian yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya alam pesisir

dan lautan secara optimal dan lestari

 Jenis, kuantitas (potensi) cadangan, distribusi, dan tingkat pemanfaatan

sumberdaya tak dapat pulih (non-renewable resources).

 Jenis, potensi lestari, distribusi, dan tingkat pemanfaatan menurut waktu

(musiman) sumberdaya dapat pulih (renewable resources)

 Aplikasi teknologi penginderaan jauh, Sistem Informasi Geografis (SIG),

akustik, dan lainnya guna merubah pola teknik penangkapan ikan dari

bersifat "pemburuan" (tidak ada kepastian) menjadi bersifat "pemanenan"

(ada kepastian).

 Simulasi dan pemodelan tentang respons stok ikan (khususnya yang

bernilai ekologis dan/atau ekonomis penting) terhadap upaya

penangkapan, gangguan lingkungan dan fluktuasi alamiah.

 Jenis, luas dan distribusi ekosistem pesisir (seperti mangrove, padang

lamun, terumbu karang, dan estuaria).

 Pemetaan daerah pemijahan, daerah asuhan, dan alur ruaya biota perairan

yang secara ekonomis dan/atau ekologis penting.

 Aplikasi bioteknologi untuk budidaya perikanan, baik di perairan payau

maupun laut, yang meliputi:

71
 Perbaikan kualitas air untuk media budidaya dengan menggunakan

“biotreatment” dan “phytoremediation” dengan menggunakan

mikroba, tumbuhan (alga), dan hewan.

 Penanggulangan stres dan peningkatan daya kekebalan organisme

budidaya melalui rekayasa genetik.

 Perbaikan kualitas induk organisme budidaya, sehingga bebas hama

dan penyakit serta tahan terhadap serangan hama/penyakit, seperti

dengan teknologi “antisene/ribozyme”.

 Manipulasi siklus reproduksi organisme budidaya, melalui

pengendalian hormon dari sistem reproduksi hewan budidaya

(khususnya udang penaidae).

 Aplikasi bioteknologi untuk ekstraksi produk alamiah (natural products

atau bioactive substances) dari biota laut, khususnya macroalgae,

microalgae, invertebrata, dan mikrorganisme, untuk industri pangan,

farmasi (obat-obatan), dan kosmetika.

B. Penelitian yang berkaitan dengan tata ruang, rancang-bangun dan

konstruksi wilayah pesisir dan lautan.

 Karakteristik fisik dan kimiawi lahan pesisir.

 Penutupan vegetasi lahan pesisir.

 Topografi dan batimetri.

 Aspek geomorfologi dan geologi.

 Aliran air tawar, aliran sedimen, dan pola erosi dan sedimentasi.

72
 Aspek hidro-oseanografi: pasang-surut, arus, gelombang, paras laut, suhu,

salinitas, dan karakteristik biologi-kimiawi perairan laut.

 Aspek iklim dan pengaruhnya terhadap ekosistem pesisir serta organisme

yang hidup di dalamnya.

 Pemetaan daerah-daerah yang mengandung karakteristik lingkungan unik

dan jasa-jasa pendukung kehidupan (life-support systems), sehingga perlu

dilindungi (preservation zone).

 Analisis tentang persyaratan biofisik atau ekologis (biophysical or

ecological requirements) dari setiap kegiatan pembangunan (tambak,

industri, pertanian tanaman pangan, pertambangan, pemukiman,

pariwisata, dan lain-lain); dan kegiatan rekayasa serta konstruksi (coastal

and ocean engineering).

 Simulasi dan pemodelan tentang respons ekosistem pesisir terhadap

kegiatan yang merubah bentang alam (landscape) wilayah pesisir dan

kegiatan konstruksi, seperti reklamasi, pembuatan darmaga (jetty), dan

pemecah gelombang.

 Aplikasi teknologi penginderaan jauh, SIG dan sistem informasi lainnya

dalam penyusunan tata ruang wilayah pesisir dan lautan.

C. Penelitian yang berkaitan dengan pengendalian pencemaran perairan

pesisir dan lautan.

 Identifikasi dan penghitungan beban pencemaran dari setiap jenis limbah

yang masuk ke dalam ekosistem pesisir dan laut.

73
 Kapasitas asimilasi ekosistem perairan pesisir dalam menerima limbah.

 Distribusi dan nasib limbah yang telah masuk ke dalam ekosistem pesisir

dan lautan.

 Dampak pencemaran terhadap spesies, populasi dan ekosistem pesisir dan

lautan.

 Aplikasi SIG dan simulasi komputer untuk membuat perkiraan pergerakan

dan nasib bahan pencemar di perairan pesisir dan laut, khususnya

tumpahan minyak.

 Aplikasi bioteknologi untuk pembersihan pencemaran pesisir dan lautan

(bioremediasi).

D. Penelitian yang berhubungan dengan penentuan daya dukung

lingkungan bagi kegiatan pembangunan: tambak udang, pariwisata,

pemukiman, kawasan industri, kawasan budidaya pertanian, dan

sebagainya.

 Analisis kelayakan suatu kawasan pesisir bagi peruntukkan pembangunan.

 Kajian analisis kesesuaian lahan pesisir untuk kawasan pembangunan

secara intensif untuk berbagai kegiatan pembangunan.

 Analisis keterkaitan dampak antara setiap kegiatan pembangunan yang

dilakukan pada suatu kawasan pesisir dan lautan.

 Analisis komparatif setiap kegiatan pembangunan yang akan dilakukan di

kawasan pesisir dan lautan.

74
E. Penelitian yang berkaitan dengan penentuan komposisi dan laju (tingkat)

kegiatan pembangunan yang optimal secara ekologis dan sosial-ekonomis

di suatu wilayah pesisir.

 Identifikasi dan analisis model-model pembangunan dan pengelolaan

sumberdaya pesisir secara berkelanjutan.

 Identifikasi dan analisis kemampuan kawasan pesisir dalam menyerap

limbah yang masih dapat diasimilasi oleh perairan.

 Analisis kemampauan suatu kawasan pesisir dalam menyediakan lahan

untuk kegiatan pembangunan.

 Penentuan luas lahan bagi setiap pembangunan yang layak dan harmonis

pada suatu kawasan pesisir dan lautan.

 Analisis total dampak dari seturuh kegiatan pembangunan di kawasan

pesisir.

F. Penelitian yang berkaitan dengan kondisi sosial-ekonomis-budaya di

suatu wilayah pesisir.

 Identifikasi dan analisis dampak kegiatan pembangunan terhadap kondisi

sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pesisir.

 Identifikasi dan analisis stakeholder yang berperan dalam pengelolaan

sumberdaya pesisir dan lautan.

 Identifikasi dan analisis jenis dan fungsi-fungsi kelembagaan yang ada di

suatu kawasan pesisir.

 Indentifikasi potensi-potensi konflik antara pemanfaatan sumberdaya

pesisir dan lautan dengan masyarakat.

75
76
77
SUMBERDAYA ALAM

Lingkungan menyediakan berbagai jenis sumberdaya alam, baik


sumberdaya alam hayati maupun non hayati, yang dapat diperbaharui
maupun yang tidak dapat diperbaharui. Sumberdaya alam tersebut telah
memberikan manfaat bagi manusia. Namun, dalam pemanfaatannya
seringkali tidak memperhatikan kelestariannya, sehingga terjadi berbagai
kerusakan sumberdaya alam di berbagai tempat.
Akibat dari kerusakan sumberdaya alam tersebut berdampak pada
manusia dan lingkungan secara keseluruhan. Karena itu, dalam
pemanfaatannya diperlukan prinsip-prinsip pemanfaatan sumberdaya alam,
sehingga kelestariannya tetap terjaga. Dalam hal ini pemerintah bertanggung
jawab untuk membuat dan menerapkan kebijakan pelestarian sumberdaya
alam, sehingga sumberdaya alam juga dapat dinikmati oleh generasi yang
akan datang.

A. Pengertian sumberdaya alam

Sumberdaya alam terdiri atas dua suku kata yaitu sumberdaya dan
alam. Sumberdaya itu sendiri diartikan sebagai sumber persediaan, baik
cadangan maupun yang baru. Secara ekonomi, sumberdaya adalah suatu
input (masukan) dalam suatu proses produksi. Adapula yang mengartikan
bahwa sumberdaya merupakan suatu penilaian manusia terhadap unsur-
unsur lingkungan yang dibutuhkannya.
Chapman membedakan beberapa pengertian yang berkaitan dengan
sumberdaya, yaitu:
1. persediaan total (total stock), yaitu jumlah semua unsur lingkungan yang
mungkin merupakan sumberdaya seandainya dapat diperoleh.
2. sumberdaya (resources), yaitu suatu bagian dari persediaan total yang
dapat diperoleh manusia.
~ 31 ~
3. cadangan (reserve), yaitu bagian dari sumberdaya yang diketahui dengan
pasti dapat diperoleh.
Berdasarkan hal tersebut, maka secara sederhana sumberdaya alam
diartikan sebagai semua bahan yang ditemukan manusia di alam yang dapat
dipakai untuk kepentingan hidupnya. Sementara itu, Katili (1983)
mengemukakan bahwa sumberdaya alam adalah semua unsur tata
lingkungan biofisik yang dengan nyata atau potensial dapat memenuhi
kebutuhan manusia.
Beberapa ahli lainnya menyebutkan pula bahwa sumberdaya alam
adalah keadaan lingkungan alam (natural envinronment) yang mempunyai
nilai untuk memenuhi kebutuhan manusia. Adapula yang mengartikan
sumberdaya alam sebagai keadaan lingkungan dan bahan-bahan mentah
yang digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhannya dan memperbaiki
kesejahteraannya. Selanjutnya, sumberdaya alam dapat pula diartikan
sebagai unsur-unsur lingkungan alam, baik fisik maupun hayati, yang
diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya dan meningkatkan
kesejahteraannya.

B. Jenis-jenis sumberdaya alam

Di lingkungan kita terdapat beraneka macam sumberdaya alam.


Semuanya dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang
semakin lama semakin banyak dan beragam. Para ahli mengelompokkan
jenis-jenis sumberdaya alam tersebut dengan sudut pandang yang berbeda-
beda. Misalnya ada yang mengelompokkan sumberdaya alam berdasarkan
materinya menjadi:
1. Sumberdaya alam organik (hayati) yang materinya atau bahannya berupa
jasad hidup berupa tumbuhan dan hewan. Kegiatan yang berhubungan
dengan sumberdaya organik terdiri atas kehutanan, pertanian,
peternakan, dan perikanan.

~ 32 ~
2. sumberdaya alam anorganik (non hayati) yang materinya berupa benda
mati seperti benda padat, cair dan gas. Kegiatan yang berhubungan
dengan sumberdaya anorganik diantaranya pertambangan mineral, tanah,
batuan, minyak dan gas alam, energi dan lain-lain.

Gambar 2.1. Contoh sumberdaya organik dan sumberdaya anorganik


Sumber:
http://hdmessa.files.wordpress.com
http://wb3.itrademarket.com/

Para ahli lainnya membedakan sumberdaya alam berdasarkan macam


habitatnya. Sumberdaya alam berdasarkan macam habitatnya dapat
dibedakan menjadi:
1. sumberdaya terestris (daratan),yang berhubungan dengan tanah sebagai
lahan untuk berbagai aktivitas penduduk dan sebagai bahan industri
(keramik, genteng, dan lain-lain) dan segala sumberdaya yang berasal
dari darat.
2. sumberdaya alam akuatik (perairan), yang berhubungan dengan laut,
sungai, danau, airtanah, air hujan dan lain-lain.

~ 33 ~
Gambar 2.2. Contoh sumberdaya alam terestris (daratan) dan
akuatik (perairan)
Sumber:
http://harrysimbolon.files.wordpress.com/2007/11/danau-tobaku.jpg
http://obortani.com/

Pengelompokan lainnya dapat pula dilakukan menurut kemungkinan


pemulihannya yaitu :
1. sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources), seperti
tanah, air, hutan, padang rumput, dan populasi ikan;
2. sumberdaya alam yang tak dapat diperbaharui (non renewable resources),
seperti minyak dan gas bumi, batu bara, bijih logam, batu mulia, batu,
pasir, dan sebagainya;
3. sumberdaya alam yang tak akan habis (continous resources), seperti
energi matahari, energi pasang surut, udara, dan lain-lain.

~ 34 ~
(a) (b)

(c)

Gambar 2.3. Contoh sumberdaya alam: (a) yang dapat diperbarui, (b)
tidak dapat diperbarui (b), dan sumberdaya alam yang tak akan habis
Sumber:
http://cahayalautdua.files.wordpress.com, http://doddys.files.wordpress.com,
http://media.photobucket.com

C. Manfaat sumberdaya alam

Sumberdaya alam memiliki fungsi atau manfaat yang sangat besar


bagi manusia. Tanpa sumberdaya alam tentunya manusia tidak dapat
memenuhi berbagai kebutuhan dan aktivitasnya. Sumberdaya alam tersebut
memiliki fungsi masing-masing dalam mendukung kehidupan manusia.
Gambaran tentang fungsi dari masing-masing sumberdaya alam tersebut
adalah:

~ 35 ~
1. Sumberdaya hutan
Hutan memiliki beragam fungsi. Selain sebagai sumber kayu, hutan
juga memiliki berbagai fungsi lainnya, yaitu:
1. sumber pangan dan obat-obatan pada saat ini dan pada masa yang
akan datang.
2. melindungi tanah dari erosi, sehingga tanah terlindungi dari kerusakan.
3. habitat atau tempat hidup berbagai jenis satwa
4. sebagai pengatur tata air, sehingga air hujan tidak semuanya mengalir
sebagai air limpasan tetapi sebagian masuk ke dalam tanah untuk
memasok kebutuhan air di musim kemarau.
5. sebagai pengatur keadaan iklim, misalnya menetralisir bahan-bahan
pencemar udara, sumber oksigen, dan penghisap karbondioksida.
6. fungsi ilmiah dan edukatif, yang merupakan sarana tempat penelitian
dan pendidikan.
7. fungsi rekreatif, dalam hal ini wisata alam.

Gambar 2.4. Sumberdaya hutan yang memiliki beragam fungsi


Sumber:
http://fithraw.files.wordpress.com

~ 36 ~
2. Sumberdaya air
Air memiliki manfaat yang besar dalam kehidupan manusia maupun
makhluk hidup lainnya. Manfaat langsung air adalah sebagai air minum,
mandi dan mencuci, sedangkan manfaat lainnya adalah:
1. sebagai sumber energi untuk menggerakkan turbin yang akhirnya bisa
menghasilkan listrik.
2. tempat hidup bagi berbagai jenis biota air, baik tumbuhan maupun
hewan.
3. sebagai prasarana transportasi seperti transportasi sungai dan laut.
4. salah satu komponen yang mengontrol suhu udara. Air mampu
menyerap radiasi matahari, sehingga suhu udara di wilayah yang
banyak lingkungan perairannya akan lebih sejuk.
5. sebagai bahan pendingin mesin, baik pada kendaraan bermotor
maupun mesin-mesin pabrik.

Gambar 2.5. Air tidak hanya bermanfaat untuk minum, tetapi juga sebagai
sumber energi dan tempat hidup biota air
Sumber:
http://azizarsha.files.wordpress.com

~ 37 ~
3. Sumberdaya tanah
Di sekitar kita terdapat tanah dengan berbagai jenis dan
karakteristiknya. Benda yang setiap hari kita lihat dan kita injak tersebut
memiliki manfaat yang beragam, yaitu:
1. sebagai tempat permukiman, terutama tanah-tanah yang berada di daerah
yang datar atau dataran rendah.
2. sebagai tempat untuk lahan pertanian dan kehutanan.
3. sebagai tempat untuk kegiatan industri dan berbagai sarana dan prasarana
sosial seperti sekolah, rumah sakit dan lain-lain.
4. sebagai bahan mentah industri, misalnya industri bahan bangunan berupa
genteng, keramik, bata dan lain-lain.
5. sebagai sumber energi alternatif, khususnya tanah gambut energi seperti
yang dikembangkan di Finlandia, Belanda dan beberapa negara lainnya.

(a) (b)

Gambar 2.6. Sumberdaya tanah: (a) butiran-butiran tanah (b) horizon atau
lapisan-lapisan pada tanah
Sumber:
http://i.ehow.com dan mbojo.wordpress.com

~ 38 ~
4. Sumberdaya laut

Laut merupakan sumberdaya yang dimiliki secara luas di


Indonesia. Sayangnya, di Indonesia pemanfaatan sumberdaya tersebut
masih terbatas, padahal sumberdaya laut memiliki manfaat sebagai
berikut:

1. sebagai tempat hidup bagi berbagai jenis tumbuhan dan hewan laut.
2. sebagai sumber mineral, khususnya garam yang sangat dibutuhkan
manusia.
3. sebagai sarana transportasi antar pulau atau antar benua.
4. sebagai sumber energi, misalnya sumber energi gelombang dan arus
laut.
5. sebagai tempat rekreasi, misalnya tempat penyelaman, olah raga,
wisata pantai dan lain-lain
6. sebagai tempat pendidikan dan penelitian, mengingat laut masih
menyimpan banyak informasi yang belum terungkap.

Gambar 2.7. Sumberdaya laut


Sumber:
http://media.photobucket.com

~ 39 ~
5. Sumberdaya mineral
Sejak lama sumberdaya mineral menjadi tumpuan pendapatan atau
devisa negara kita. Hal ini dimungkinkan karena jumlah cadangan mineral
yang kita miliki cukup besar dan jenisnya juga beragam. Sumberdaya
mineral memiliki manfaat sebagai berikut:
1. sumber energi atau bahan bakar, misalnya gas dan minyak bumi serta
batu bara
2. bahan berbagai jenis industri, seperti industri pesawat, kendaraan
bermotor, persenjataan dan lain-lain
3. bahan konstruksi, seperti rumah, jalan, jembatan, dan lain-lain.
4. bahan pembuatan perhiasan, seperti emas, intan dan lain-lain.

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 2.8. Sumberdaya Mineral: (a) batubara (b) tembaga
(c) bijih besi (d) nikel
Sumber:
http://wb9.itrademarket.com , http://www.abc.net.au ,
http://www.abc.net.au , http://pilabeanku.files.wordpress.com

~ 40 ~
D. Prinsip pemanfaatan sumberdaya alam
Sumberdaya alam merupakan milik bersama seluruh rakyat Indonesia
dan dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Karena itu, pemanfaatan sumberdaya alam harus memperhatikan prinsip-
prinsip berikut:
1. Prinsip ekoefisiensi

Prinsip ekoefisiensi berarti melakukan proses produksi secara tepat


atau hemat (efisien), sehingga menguntungkan secara ekonomi maupun
lingkungan. Proses produksi yang efisien tentunya membutuhkan energi yang
efisien juga. Demikian pula materi dan limbah yang terbuang harus lebih
sedikit, sehingga kebutuhan akan bahan baku pun berkurang. Menurunnya
biaya produksi, tentunya akan meningkatkan keuntungan industri tersebut.
Keuntungan tidak saja diperoleh oleh suatu perusahan tersebut, tetapi juga
mengurangi dampak dari akibat limbah yang terbuang terhadap lingkungan.
Dengan demikian, ekoefisiensi adalah manajemen bisnis atau pengelolaan
usaha yang memadukan efisiensi secara ekonomi dan efisiensi secara
lingkungan.

2. Prinsip pemanfaatan berkelanjutan

Pemanfaatan berkelanjutan dimaksudkan agar pemanfaatan dan


pengelolaan sumberdaya alam tersebut dilakukan sedemikian rupa sehingga
menjamin kelestarian sumberdaya yang terkendali, lestari dan berkelanjutan.
Dengan cara demikian, pemanfaatan sumberdaya tidak hanya untuk
memenuhi kebutuhan generasi saat ini tetapi menjamin terpenuhinya
kebutuhan generasi yang akan datang.

3. Prinsip kemakmuran, keadilan dan pemerataan

Pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya hayati dititikberatkan


untuk kemakmuran rakyat berdasarkan atas keadilan dan pemerataan.
Pemanfaatan sumberdaya alam tidak boleh hanya menguntungkan seseorang

~ 41 ~
atau sekelompok orang saja tetapi secara adil juga dirasakan manfaatnya
oleh seluruh rakyat Indonesia.

4. Prinsip rasionalisasi

Prinsip rasionalisasi adalah suatu pemanfaatan sumberdaya alam


yang rasional sesuai dengan daya dukung sumberdaya dan kemungkinan
penggunaan sumberdaya pengganti (substitusi). Pemanfaatan yang
berlebihan atau boros akan mengurangi kemungkinan generasi yang akan
datang dapat menikmati sumberdaya alam yang sama. Karena itu, dalam
pemanfatan sumberdaya alam diperlukan perencanaan yang disesuaikan
dengan kebutuhan secara wajar. Selain itu, diupayakan pula untuk mencari
sumberdaya alam pengganti atau sumberdaya alam alternatif, sehingga tidak
hanya tergantung pada sumberdaya alam tertentu. Sebagai contoh bahan
bakar minyak dapat dikurangi pemanfaatannya dengan mengembangkan
sumberdaya energi dari radiasi matahari, tanaman (bioenergi), dan lain-lain.

5. Prinsip penggunaan tata ruang yang benar

Setiap wilayah memiliki kondisi yang berbeda-beda, termasuk sumber


daya alamnya. Tata ruang yang benar adalah tata ruang yang memperhatikan
kondisi sumberdaya alam yang berbeda-beda tersebut. Dengan cara
demikian, maka sumberdaya alam dapat dimanfaatkan secara optimal karena
didasarkan pada keadaan sumberdaya alamnya masing-masing. Sebagai
contoh lahan-lahan yang subur sebaiknya diutamakan pemanfaatannya untuk
pertanian bukan permukiman atau industri. Pertimbangannya Lahan yang
subur tentu akan memberikan hasil yang lebih baik.

6. Prinsip keseimbangan daya dukung Lingkungan

Sumberdaya alam mempunyai keterbatasan, baik sumberdaya yang


dapat diperbaharui (Renewable Resources) maupun sumberdaya yang tidak
dapat diperbarui (Unrenewable Resources), dalam mendukung segala
aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Karena itu, dalam

~ 42 ~
pemanfaatan sumberdaya alam tersebut harus memperhatikan keserasian
dan kelestarian daya dukung lingkungan. Daya dukung lingkungan hidup
adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan
manusia dan makhluk hidup lain.

E. Pemanfaatan sumberdaya alam dan dampaknya


Sumberdaya alam Indonesia terkenal sangat berlimpah, baik
sumberdaya alam yang terbarui maupun yang tidak terbarui. Pemanfaatan
sumberdaya alam tersebut tidak hanya memberi dampak positif bagi
kesejahteraan manusia Indonesia, tetapi juga menimbulkan berbagai dampak
negatif terhadap lingkungan, termasuk manusia di dalamnya.
1. Pemanfaatan sumberdaya alam hutan dan dampaknya
Indonesia merupakan negara dengan luas hutan mencapai 120,35 juta
hektare atau ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire. Hutan tersebut
mempunyai fungsi utama sebagai paru-paru dunia serta penyeimbang iklim
global. Selain luas, ternyata hutan Indonesia menyimpan kekayaan lain, yaitu
keanekaragaman hayati.
Sumberdaya hutan sebenarnya telah cukup lama dimanfaatkan oleh
penduduk. Dari hutan, penduduk mengambil kayu, tumbuhan-tumbuhan untuk
obat dan makanan, buah-buahan dan berbagai jenis binatang sebagai sumber
makanan dan hewan peliharaan.

Gambar 2.9. Salah satu manfaat hutan sebagai sumber kayu


Sumber: http://media.photobucket.com

~ 43 ~
Hasil kayu dari hutan dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan
furniture, kayu bakar, arang, dan berbagai produk kerajinan. Karena itu,
sumberdaya hutan telah memberikan dampak positif bagi penduduk, baik
penduduk sekitar hutan maupun yang jauh dari hutan. Secara umum dampak
positif pemanfaatan hutan adalah:
1. terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan hasil hutan seperti kayu,
sumber pangan dari hewan dan tumbuhan hutan, sumber obat-obatan
dan sebagainya.
2. bertambahnya pendapatan atau devisa negara dari hasil penjualan kayu
dan produk-produk berbahan dasar kayu, misalnya furniture, bahan
bangunan, dan lain-lain.
3. menyerap lapangan kerja yang bergerak dalam sektor kehutanan.
4. mendorong pengembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi nasional
dengan berkembangnya industri berbahan baku kayu dan hasil hutan
lainnya.

Gambar 2.10. Industri pengolahan kayu sebagai salah satu dampak positif
pemanfaatan hutan

Sumber: http://www.wapoga.com

~ 44 ~
Pemanfaatan sumberdaya hutan pada akhirnya cenderung berlebihan.
Hal ini terjadi adanya peningkatan kebutuhan manusia yang juga cenderung
terus meningkat. Akibatnya pemanfaatan hutan berdampak negatif berupa:

1. bertambahnya lahan kritis akibat dibiarkannnya hutan yang telah ditebang


kayunya.
2. sejumlah spesies terancam punah, bahkan telah mengalami kepunahan
akibat rusaknya habitat atau tempat hidup mereka.
3. berkurangnya fungsi hutan sebagai pengatur tata air, konservasi tanah,
fungsi klimatologi, dan fungsi-fungsi lainnya.
4. meningkatnya peristiwa banjir, kekeringan, dan longsor.

Gambar 2.11. Berkembangnya lahan kritis sebagai salah satu


dampak negatif pemanfaatan hutan
Sumber:
http://www.kabarindonesia.com

~ 45 ~
2. Pemanfaatan sumberdaya laut dan dampaknya
Sebagaimana halnya hutan, sumberdaya laut Indonesia juga sangat
berlimpah. Berbagai jenis sumberdaya terdapat di laut, seperti berbagai jenis
ikan, terumbu karang, mangrove, rumput laut, mineral, energi dari gelombang
dan arus laut, minyak bumi dan juga berbagai jenis bahan tambang.
Kekayaan sumberdaya laut tercermin dari potensi lestari ikan yang
mencapai 6,4 juta ton/tahun. Ini berarti jika ikan di laut diambil kurang dari
angka tersebut, maka kelestarian ikan akan tetap terjaga. Selain itu, perairan
laut dangkal Indonesia yang berjumlah kurang lebih 24 juta hektare sangat
cocok dikembangkan untuk usaha budidaya laut seperti ikan kerapu, kakap,
baronang, kerang mutiara dan lain-lain. Lahan pesisirnya juga dapat
dikembangkan untuk tambak udang, bandeng, kerapu, kepiting dan lain-lain.

Gambar 2.12.Laut sebagai sumber penghasil ikan


Sumber:
moldychum.typepad.com, http://www.fisheries.gov.pg

Aktivitas pemanfaatan sumberdaya laut juga membawa dampak positif


dan negatif. Sebagaimana hutan, laut juga memberikan dampak positif berupa
sumbangan pendapatan bagi negara, menyediakan lapangan kerja dan
mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Namun pemanfaatan tersebut
membawa dampak negatif berupa:
1. Rusaknya ekosistem terumbu karang akibat penangkapan ikan
menggunakan bahan peledak.

~ 46 ~
2. Rusaknya ekosistem mangrove sebagai pelindung pantai akibat usaha
pertambakan.
3. Terjadinya pencemaran laut akibat tumpahnya minyak dari kapal tanker.

Gambar 2.13. Kerusakan terumbu karang sebagai salah satu dampak negatif
pemanfaatan sumberdaya laut
Sumber:
moldychum.typepad.com, http://www.fisheries.gov.pg

3. Pemanfaaan sumberdaya mineral dan dampaknya


Indonesia telah cukup lama memanfaatkan sumberdaya mineralnya.
Pada jaman kolonial, para penjajah ikut menikmati kekayaan sumberdaya
tersebut. Kini perusahaan-perusahaan asing juga masih menikmati kekayaan
sumberdaya mineral di Indonesia.
Walaupun berlimpah, pemanfaatan sebagian sumberdaya mineral di
Indonesia masih tergolong rendah. Sebagai contoh, produksi batu-bara
Indonesia baru mencapai 149 juta ton pada tahun 2005 atau hanya 2,1% dari
cadangan sebesar 6,98 miliar ton. Produksi tembaga tahun 2005 hanya
mencapai 1,041 juta ton atau 2,5% dari cadangan yang 41,5 juta ton, produksi
emas 130,6 ton atau 4,1% dari cadangan emas primer sebesar 3.156 ton, dan
perak 320,59 ton atau 2,8% dari cadangan 11.417 ton.

~ 47 ~
Walaupun masih rendah, sektor pertambangan masih menjadi sumber
pendapatan utama negara. Nilai ekspor hasil tambang di tahun 2005
mencapai US$ 9,3 miliar atau meningkat US$2 miliar (sekitar 27%)
dibandingkan tahun 2004 yang mencapai US$7,3 miliar. Karena itu, juga
menyerap lapangan kerja dalam jumlah yang cukup besar. Namun demikian,
dampak negatif dari usaha tersebut juga cukup besar, yaitu:
1. kerusakan lingkungan pada lahan bekas galian memberikan dampak
berupa tingginya laju erosi.
2. lokasi pertambangan kadang berada di tengah hutan, sehingga merusak
ekosistem hutan.
3. munculnya konflik sosial dalam penguasaan lahan pertambangan.
4. tercemarnya sungai dan wilayah perairan lainnya oleh bahan-bahan kimia
berbahaya dan beracun dari proses pengolahan hasil tambang.

Gambar 2.14. Kerusakan lingkungan akibat penambangan


berupa lahan bekas galian
Sumber:
http://www.kabarindonesia.com

4. Pemanfaatan sumberdaya pertanian dan dampaknya


Negara kita merupakan negara agraris yang sebagian besar
penduduknya bekerja dalam bidang pertanian. Karena itu, sumberdaya

~ 48 ~
pertanian telah lama dikembangkan di Indonesia dan berdampak positif dalam
menyediakan sumber pangan dan lapangan kerja bagi penduduk.
Dalam perkembangannya, jumlah penduduk terus bertambah dan
kebutuhan akan pangan juga bertambah. Karena itu, dilakukan intensifikasi
pertanian dan ekstensifikasi pertanian. Intensifikasi pertanian berupaya
meningkatkan produktivitas lahan pertanian dengan menggunakan pupuk,
sedangkan ekstensifikasi pertanian berupaya meningkatkan hasil pertanian
dengan memperluas lahan pertanian.
Upaya tersebut pada satu sisi membuahkan hasil berupa peningkatan
hasil pertanian. Namun demikian, terdapat pula dampak negatifnya, yaitu:
1. berkurangnya luas hutan akibat alih fungsi hutan menjadi lahan
pertanian.
2. meningkatnya laju erosi akibat pembukaan lahan hutan untuk pertanian
dan praktek pertanian pada lahan-lahan dengan kemiringan lereng
yang besar.
3. semakin menurunnya kesuburan tanah akibat pemanfaatan yang
intensif atau terus menerus.
4. terjadinya pencemaran lingkungan akibat kegiatan pemupukan dan
pemberantasan hama dengan menggunakan pestisida dan insektisida
yang berlebihan.

~ 49 ~
Gambar 2.15. Pemanfaatan sumberdaya pertanian

Sumber: http://upload.wikimedia.org

F. Bentuk-bentuk kerusakan sumberdaya alam


Pemanfaatan sumberdaya alam terus dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Pemanfaatan tersebut cenderung terus meningkat
mengingat jumlah manusia yang semakin banyak dan semakin beragam jenis
kebutuhannya. Akibatnya, sumberdaya alam mengalami berbagai kerusakan.
Bentuk-bentuk kerusakan sumberdaya alam tersebut adalah:
1. Kerusakan sumberdaya hutan
Hutan telah banyak yang dialihfungsikan untuk kegiatan pertanian dan
permukiman. Akibatnya luas hutan terus menurun dengan cepat. Menurut
Hatta (2009) laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1,1 juta hektar per
tahun. Ini berarti tiap satu hari terjadi kerusakan sebesar 3.056 hektare atau
2,1 hektare per menit.
Laju kerusakan hutan selama 12 tahun (periode 1985-1987) untuk
Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi mencapai rata-rata sebesar 2,83
juta hektare per tahun. Kerusakan ini termasuk kerusakan hutan akibat
kebakaran hutan pada tahun 1997-1998 seluas 9,7 juta hektare.

~ 50 ~
Gambar 2.16. Kerusakan hutan
Sumber:
http://mandiangin.xtgem.com

Rusaknya hutan mengakibatkan sejumlah flora dan fauna terancam


punah. Bahkan, sebagian diantaranya telah mengalami kepunahan.
Beberapa spesies yang terancam punah diantaranya orang utan dan harimau
sumatera, sedangkan harimau jawa dan bali sudah dinyatakan punah.
Beberapa spesies yang juga menghadapi ancaman kepunahan diantaranya
104 jenis burung, 57 jenis mamalia, 21 jenis reptil, 65 jenis ikan tawar, dan
281 jenis tumbuhan.

~ 51 ~
(a) (b)

Gambar 2.17. Hewan yang telah punah di Indonesia: (a) Harimau Jawa dan
(b) Harimau Bali
Sumber:
http://www.savethetigerfund.org
forum.detik.com
2. Kerusakan sumberdaya pertanian
Alih fungsi lahan pertanian untuk kegiatan industri dan permukiman
mengakibatkan lahan pertanian semakin berkurang. Bahkan, alih fungsi
tersebut terjadi pada lahan pertanian yang justru subur. Akibatnya, produksi
pangan terganggu karena banyak lahan subur yang berubah menjadi
permukiman dan industri.

Gambar 2.18. Permukiman yang dibangun pada lahan yang subur

~ 52 ~
Sumber: http://1.bp.blogspot.com

Kerusakan lahan pertanian juga terjadi karena masih banyaknya lahan


pertanian yang tidak memperhatikan konservasi. Akibatnya, terjadi erosi yang
terus menerus, sehingga mengurangi kesuburan tanah. Sebagian lahan
tersebut telah berkembang menjadi lahan kritis.

Gambar 2.19. Aktivitas pertanian pada lereng mengakibatkan tingginya erosi

http://kfk.kompas.com

Pemakaian insektisida secara berlebihan juga mengakibatkan matinya


binatang pemangsa hama. Sebagai contoh, akibat penggunaan pestisida dan
insektisida yang berlebihan, hewan pemangsa tikus seperti ular banyak yang
mati. Akibatnya, tikus bertambah dalam jumlah yang banyak dan merusak
lahan pertanian petani.
3. Kerusakan sumberdaya perikanan
Perikanan dapat dibedakan menjadi perikanan darat dan laut.
Perikanan darat saat ini sedang menghadapi masalah dengan adanya
berbagai bahan pencemar yang masuk ke dalam kolam, danau, dan sungai
dari limbah industri maupun pertanian. Akibatnya, banyak ikan yang mati atau
pertumbuhannya terganggu.

~ 53 ~
Selain perikanan darat, kerusakan juga terjadi pada perikanan laut.
Penggunaan pukat harimau dan bahan peledak membuat ikan yang
tertangkap tidak hanya ikan besar tapi juga ikan-ikan kecil. Selain itu,
pencemaran laut dari tumpahan kapal tanker juga membuat banyak ikan
menjadi mati.

Gambar 2.20. Kerusakan sumberdaya perikanan akibat pencemaran


Sumber: http://gdb.rferl.org

4. Kerusakan sumberdaya tanah

Seiring dengan meningkatnya pemanfaatan tanah, maka tanah


mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut dapat terjadi akibat pencemaran
tanah, praktek pertanian yang tidak memperhatikan konservasi tanah, dan
aktivitas penambangan.
Pencemaran tanah dapat terjadi oleh limbah domestik, limbah industri,
dan limbah pertanian. Limbah yang dihasilkan dari berbagai sumber tersebut
dapat merusak tanah, dengan cara:

~ 54 ~
a. timbunan sampah yang berasal dari limbah domestik dapat menutupi
permukaan tanah, sehingga tanah tidak bisa dimanfaatkan.
b. adanya zat mercury, chrom dan arsen pada timbunan sampah bisa
menimbulkan gangguan terhadap organisme yang ada dalam tanah,
merusak struktur dan tekstur tanah. Limbah lainnya adalah oksida
logam, baik yang terlarut maupun yang tidak terlarut, dapat menjadi
racun di permukaan tanah.
c. sampah anorganik menyebabkan lapisan tanah tidak dapat ditembus
oleh akar tanaman dan tidak tembus air. Akibatnya, peresapan air dan
mineral yang dapat menyuburkan tanah menjadi hilang dan jumlah
mikroorganisme di dalam tanahpun akan berkurang. Karena itu
tanaman sulit tumbuh dan bahkan mati sebab tidak mendapatkan
makanan untuk berkembang.
d. tinja, deterjen, oli bekas, cat, jika meresap ke dalam tanah akan dapat
membunuh mikro-organisme di dalam tanah.
e. bahan padatan dan lumpur yang berasal dari proses pengolahan
industri dapat menutupi tanah, sehingga tidak bisa ditanami.
f. peresapan ke dalam tanah dari sisa hasil industri pelapisan logam yang
mengandung zat-zat seperti tembaga, timbal, perak,khrom, arsen dan
boron akan mengakibatkan kematian bagi mikroorganisme yang
memiliki fungsi sangat penting terhadap kesuburan tanah.
g. pupuk yang digunakan secara terus menerus dalam pertanian akan
merusak struktur tanah. Akibatnya, kesuburan tanah berkurang dan
tidak dapat ditanami jenis tanaman tertentu karena hara tanah semakin
berkurang.
h. pestisida yang digunakan bukan saja mematikan hama tanaman,
tetapi juga mikroorganisme yang berguna di dalam tanah.

~ 55 ~
Gambar 2.21. Pencemaran tanah dari limbah domestik
Sumber:
http://gambang.files.wordpress.com/2008/02/sampah.jpg

Selain pencemaran tanah, kerusakan tanah juga terjadi karena


aktivitas pertanian dan pertambangan. Praktek pertanian pada lahan miring
yang tidak menggunakan teknik konservasi seperti terasering, guludan dan
lain-lain dapat memperbesar laju erosi yang membawa partikel-partikel tanah
yang subur. Praktek pertambangan juga mengupas lapisan tanah subur di
atasnya dan membiarkannya terbuka tanpa ada upaya perbaikan.
Tingkat pengikisan tanah semakin tinggi dengan terbukanya tanah dari
air hujan yang jatuh di atasnya. Apalagi di daerah yang memiliki kemiringan
lereng yang tinggi. Kerusakan hutan dan praktek pertanian yang tidak
menggunakan konservasi membuat tanah semakin menurun kesuburannya.
Kerusakan tanah juga diakibatkan oleh aktivitas pertambangan.
Kegiatan penambangan biasanya menyisakan lahan yang tanahnya telah
rusak dan memerlukan waktu yang cukup lama untuk memulihkannya.
Kerusakan sumberdaya tanah lainnya terjadi akibat pencemaran oleh
limbah industri maupun rumah tangga. Akibatnya tanah juga menurun
kesuburannya.

~ 56 ~
5. Kerusakan sumberdaya laut

Laut menjadi tempat dimana bahan-bahan pencemar yang berbahaya


bagi manusia dibuang. Limbah nuklir biasanya dibuang ke laut agar jauh dari
manusia. Sumberdaya laut juga mengalami kerusakan akibat tumpahnya
minyak ke laut.
Kerusakan laut lainnya terjadi karena aktivitas penangkapan ikan
dengan menggunakan bahan peledak. Akibatnya, terumbu karang mengalami
kerusakan dan berbagai jenis ikan juga mati.

Gambar 2.22. Aktivitas penangkapan ikan dengan bahan peledak


Sumber:
http://4.bp.blogspot.com

6. Kerusakan sumberdaya alam mineral


Sumberdaya mineral yang digali dan ditambang terus menerus
mengakibatkan cadangannya berkurang. Akibatnya, pasokan sumberdaya
alam mineral juga berkurang dan harganya semakin mahal.
Aktivitas penggalian untuk mengambil sumberdaya alam
mengakibatkan kerusakan pada lahan. Lahan-lahan bekas galian seringkali
dibiarkan tanpa dilakukan perbaikan. Limbah dari aktivitas pertambangan juga
tidak kalah berbahaya mengingat adanya bahan-bahan tertentu yang
digunakan dalam aktivitas tersebut. Bahan-bahan tersebut bersifat racun yang
jika mengalir ke sungai akan berdampak buruk bagi biota sungai.
~ 57 ~
Gambar 2.23. Kerusakan akibat aktivitas penambangan

G. Norma-norma pelestarian sumberdaya alam


Sumberdaya alam yang terjaga kelestariannya akan memungkinkan
generasi yang datang ikut menikmati sumberdaya alam. Karena itu, setiap
anggota masyarakat harus mematuhi norma-norma dalam pelestarian
sumberdaya alam tersebut agar manfaatnya dapat dinikmati dalam jangka
waktu yang lama. Norma-norma tersebut diantaranya adalah:
1. menghemat pemakaian sumberdaya alam, terutama sumberdaya alam
yang tak terbarukan seperti minyak bumi dan gas, mineral logam dan
lain-lain.
2. menggunakan energi alternatif yang terbarukan seperti angin, sinar
matahari dan lain-lain.
3. tidak melakukan tindakan yang merusak kelestarian fungsi
sumberdaya alam seperti penggunaan bahan peledak atau racun untuk
menangkap ikan, penebangan kayu pada hutan lindung dan lain-lain.
4. tidak melakukan perburuan dan perdagangan hewan yang dilindungi.

~ 58 ~
5. tidak melakukan tindakan yang dapat mencemari sumberdaya alam,
misalnya membuang limbah ke sungai atau laut tanpa diolah terlebih
dahulu.
6. ikut serta menjaga kelestarian hutan dari upaya pencurian atau
penebangan illegal.
7. tidak memanfaatkan lahan untuk kegiatan permukiman dan industri
pada wilayah konservasi.

H. Kebijakan pemerintah dalam pelestarian sumberdaya alam


Menyadari akan pentingnya pelestarian sumberdaya alam, pemerintah
berupaya untuk membuat sejumlah peraturan atau kebijakan guna melindungi
dan melestarikan fungsi sumberdaya alam. Beberapa kebijakan tersebut
adalah:
1. Kebijakan dalam pelestarian hutan
a. Menetapkan sejumlah kawasan sebagai kawasan hutan lindung, hutan
konservasi dan hutan produksi.
b. Penerapan prinsip pengelolaan hutan lestari antara lain dengan
membangun minimal satu unit pengelolaan hutan di setiap provinsi.
c. Melakukan reboisasi pada wilayah-wilayah yang hutannya telah
mengalami kerusakan.
d. Memberantas praktek penebangan liar (illegal logging) dan memberikan
sanksi yang tegas bagi para pelakunya.
e. Memberantas praktek perdagangan kayu illegal atau hasil curian.
f. Melakukan pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan, sehingga tidak
menggangu atau merusak hutan.
g. Pengukuhan kawasan hutan minimal 30% dari luas kawasan hutan yang
ada.
h. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menjaga hutan mengingat
keterbatasan aparat yang bertugas menjaga hutan.

~ 59 ~
i. Meningkatkan pengetahuan dan apresiasi atau penghargaan
masyarakat terhadap keberadaan dan fungsi hutan.
2. Kebijakan dalam pelestarian sumberdaya laut
a. Menetapkan kawasan-kawasan konservasi atau yang dilindungi seperti
Taman Laut Banda (jenis satwa air), Bunaken (penyu, ikan hias, burung
laut), Pulau Pombo Maluku (terumbu karang) dan lain-lain.
b. Menindak para pelaku pencurian ikan (illegal fishing) dari negara-negara
lain.
c. Melarang cara penangkapan ikan yang bersifat merusak kelestarian
sumberdaya laut seperti penggunaan pukat harimau dan bahan peledak.
d. Melakukan konservasi dan mengembangbiakan spesies laut yang
terancam punah.
e. Meningkatkan pengetahuan dan apresiasi masyarakat terhadap laut.
3. Kebijakan dalam pelestarian sumberdaya tanah
a. Menetapkan kawasan pada ketinggian tertentu untuk dihutankan,
sehingga tidak ada pemanfaatan untuk permukiman maupun pertanian.
b. Melakukan reboisasi dan penghijauan untuk melindungi tanah dari
erosi.
c. Menyusun tata ruang yang mengatur tentang zonasi pemanfaatan
lahan yang sesuai dengan kemampuan tanah.
d. Mengurangi pemanfaatan tanah pada lahan-lahan yang subur untuk
pertanian.
e. Menempatkan industri pada tanah-tanah yang kurang subur untuk
pertanian.
f. Mewajibkan para pengusaha tambah untuk mereklamasi lahan bekas
galian.
4. Kebijakan dalam pelestarian sumberdaya pertanian
a. Menetapkan kawasan pertanian yang tidak dapat dialihfungsikan untuk
industri dan permukiman.
b. Melakukan kemampuan dan kesesuaian lahan pertanian.
~ 60 ~
c. Mendorong penggunaan pupuk organik untuk mengurangi kerusakan
tanah akibat penggunaan pupuk buatan.
d. Membuat saluran-saluran irigasi untuk memasok kebutuhan air bagi
pertanian.
5. Kebijakan dalam pelestarian sumberdaya mineral
a. Menyebarluaskan budaya hemat energi dan sumberdaya kepada
masyarakat luas.
b. Mensosialisasikan upaya penggunaan ulang (reuse), pengurangan
konsumsi (reduce) dan daur ulang (recycle) terhadap barang-barang
yang berasal dari mineral.
c. Melakukan penelitian dan pengembangan energi alternatif seperti
biogas, biofuel, angin, sinar matahari, ombak, arus laut dan lain-lain.
d. Mendorong pemanfaatan energi alternatif secara luas di masyarakat.

RANGKUMAN
1. Sumberdaya alam diartikan sebagai semua bahan yang ditemukan
manusia di alam yang dapat dipakai untuk kepentingan hidupnya.
2. Berdasarkan materinya menjadi sumberdaya alam organik (hayati) dan
sumberdaya alam anorganik (non hayati).
3. Pengelompokan lainnya dapat pula dilakukan menurut kemungkinan
pemulihannya yaitu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui
(renewable resources), sumberdaya alam yang tak dapat diperbaharui
(non renewable resources), sumberdaya alam yang tak akan habis
(continous resources).
4. Sumberdaya alam memiliki manfaat yang sangat besar bagi manusia.
Tanpa sumberdaya alam tentunya manusia tidak dapat
melangsungkan berbagai aktivitasnya.
5. Pemanfaatan sumberdaya alam harus memperhatikan prinsip-prinsip,
yaitu prinsip ekoefisiensi, prinsip pemanfaatan berkelanjutan, prinsip

~ 61 ~
kemakmuran, prinsip rasionalisasi, prinsip penggunaan tata ruang yang
benar, prinsip keseimbangan daya dukung Lingkungan.
6. Pemanfaatan sumberdaya alam tersebut tidak hanya memberi dampak
positif bagi kesejahteraan manusia Indonesia, tetapi juga menimbulkan
berbagai dampak negatif terhadap lingkungan, termasuk manusia di
dalamnya.
7. Akibat dari pemanfaatan yang terus menerus dalam jumlah yang besar,
sumberdaya alam mengalami kerusakan.
8. Menyadari akan pentingnya pelestarian sumberdaya alam, pemerintah
berupaya untuk membuat sejumlah kebijakan guna melindungi dan
melestarikan fungsi sumberdaya alam.

TUGAS
Perhatikanlah sumberdaya alam yang ada di lingkungan sekitar kalian.
Tulislah nama-nama sumberdaya alam beserta kondisinya.

No Nama sumberdaya Jenis SDA Kondisi saat Upaya


alam berdasarkan ini pemerintah dan
kemungkinan (rusak atau masyarakat
pemulihannya terjaga untuk menjaga
kelestariannya SDA

LATIHAN

1. Apa yang dimaksud dengan sumberdaya alam?


2. Sebutkankanlah salah satu pengelompokkan sumbedaya alam!
3. Mengapa sumberdaya alam terus mengalami kerusakan?

~ 62 ~
4. Prinsip-prinsip apa saja yang dipegang dalam pemanfaatan sumberdaya
alam?
5. Kebijakan apa saja yang dibuat pemerintah dalam melindungi
sumberdaya alam?

~ 63 ~
Lampiran 1

MATERI POTENSI DAN SEBARAN SUMBER DAYA ALAM


INDONESIA

LEMBAR 1
Pengertian Sumber Daya Alam (SDA) : Segala sesuatu yang ada di dalam alam
dan dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan serta kesejahteraan manusia.
Contoh SDA: sumber daya hutan, sumber daya lahan, sumber daya air, sumber
daya tambang dan mineral.
“Bersyukurlah, karena Tuhan menciptakan alam untuk memenuhi kebutuhan
manusia.”

LEMBAR 2
Pengelompokkan SDA berdasarkan kemungkinan pemulihannya, yaitu SDA yang
dapat diperbarui, SDA yang tidak dapat diperbarui, dan SDA yang tidak terbatas.
Pengertian SDA yang dapat diperbarui (renewable resources) : SDA yang dapat
tersedia kembali dalam waktu yang cepat sehingga tidak dapat habis. Contohnya :
hewan dan tumbuhan. “Apakah hewan dan tumbuhan tidak bisa habis ?”. “Hewan
dan tumbuhan dapat habis dan terancam punah karena ulah manusia. Lindungilah
hewan dan tumbuhan dari perburuan liar.”
Pengertian SDA yang tidak dapat diperbarui (unrenewable resources) : SDA yang
pembentukannya berlangsung sangat lambat dalam waktu jutaan atau ratusan juta
tahun. Misalnya : minyak bumi, gas alam, batu bara. “Bagaimana caranya agar
SDA yang ada tidak cepat habis ?”. “Hemat listrik dan bahan bakar minyak dapat
menjaga agar SDA tidak cepat habis.”
Sumber daya alam yang tidak terbatas jumlahnya (unlimited) : sumber daya alam
yang tidak akan pernah habis meskipun dipakai dalam jumlah yang banyak.
Contoh: sinar matahari, arus air laut, dan udara.
LEMBAR 3
Pengelompokkan SDA berdasarkan materi atau jenisnya, yaitu organik (hayati)
dan anorganik (nonhayati).
Pengertian SDA organik (hayati) : SDA yang bahannya berupa jasad hidup.
Contoh : tumbuhan dan hewan. Kegiatan yang berhubungan dengan SDA organik
(hayati) meliputi kehutanan, peternakan, perikanan, pertanian.
Pengertian SDA anorganik (nonhayati) : SDA yang bahannya berupa benda mati,
dapat berupa benda padat, cair, dan gas. Kegiatan yang berhubungan dengan SDA
anorganik (nonhayati) adalah pertambangan.

LEMBAR 4
Pengelompokkan SDA berdasarkan habitat, yaitu terestris (daratan) dan akuatis
(perairan).
Pengertian SDA terestris (daratan) : SDA yang berhubungan dengan tanah sebagai
lahan untuk berbagai aktivitas penduduk (segala sumber daya yang berasal dari
darat).
Pengertian SDA akuatis (perairan) : SDA yang berhubungan dengan laut, sungai,
danau, air tanah, air hujan, dan lain-lain.

LEMBAR 5
Pengelompokkan SDA berdasarkan kegunaan atau penggunaannya, yaitu SDA
penghasil bahan baku; SDA penghasil energi; serta sumber daya buatan dan benda
cagar budaya.
Pengertian SDA penghasil bahan baku : sumber daya alam yang dapat digunakan
untuk menghasilkan benda atau barang lain sehingga nilai gunanya menjadi lebih
tinggi. Contoh: hasil hutan sebagai bahan baku pembuatan meubeler (meja-kursi).
Pengertian SDA energi : sumber daya alam yang dapat menghasilkan atau
memproduksi energi untuk kepentingan umat manusia di muka bumi. Contoh:
gelombang laut, panas bumi, arus air sungai, sinar matahari, minyak bumi, dan
gas bumi.
Sumber daya buatan adalah hasil pengembangan dari sumber daya alam hayati
atau non hayati yang karena intervensi manusia telah berubah menjadi sumber
daya buatan. Contoh: Waduk.
Benda cagar budaya (BCB) adalah benda buatan manusia yang dianggap
mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Contoh Candi Borobudur dan Candi Prambanan.

LEMBAR 6
Sumber Daya Alam di Indonesia meliputi : air, tanah, hutan, udara, laut, tambang.
Faktor yang menyebabkan SDA di Indonesia melimpah :
a. Letak geologis : pertemuan lempeng sehingga memiliki banyak gunung berapi
dan tambang mineral.
b. Letak astronomis : daerahnya tropis, sehingga curah hujan dan temperatur
udara tinggi, air melimpah dan tanah subur.
c. Luas wilayah : 1/3 berupa daratan, 2/3 berupa lautan, sehingga kekayaan laut
dan darat melimpah.
Aktivitas manusia dalam memanfaatkan SDA pada masa pra-aksara, Hindu-
Budha, dan Islam.
Lahan digunakan untuk berburu meramu – bercocok tanam – tempat berdirinya
kerajaan Hindu-Budha – tempat berdirinya kerajaan Islam – hingga saat ini lahan
banyak digunakan sebagai lahan pertanian, industri, perumahan, dan lain-lain.

LEMBAR 7
SDA Udara
Lapisan udara yang menyelubungi bumi ini disebut dengan atmosfer. “Unsur-
unsur gas yang menyusun atmosfer terutama adalah unsur nitrogen dan oksigen.
Apakah fungsi gas nitrogen dan oksigen?”
Manfaat udara : bernafas, fotosintesis, dan pelindung dari sinar ultraviolet.
Ruang udara : unsur pembentuk wilayah suatu negara selain daratan. Kita tidak
boleh melewati ruang udara negara lain tanpa ijin.
“Cara menjaga kejernihan udara”. “Mengurangi asap kendaraan bermotor, asap
rokok, asap pabrik, dan sebagainya.”
Jangan cemari udara kita !

LEMBAR 8
SDA Tanah
Tanah merupakan tempat melakukan berbagai aktivitas seperti bercocok tanam,
membangun rumah, membangun jalan, dan lain-lain.
Tanah terbentuk dari bahan induk atau bahan asal, dapat berupa batuan atau sisa-
sisa bahan organik. Gambarlah proses terbentuknya tanah!
Tanah yang terbentuk dari bahan induk batuan disebut dengan tanah anorganik
(tanah mineral). Sedangkan tanah yang terbentuk dari bahan induk berupa sisa-
sisa bahan organik disebut dengan tanah organik (tanah humus). “Diskusikan
dengan teman! Bagaimana kehidupan masyarakat di daerah yang memiliki tanah
anorganik dan organik?”
Berdasar sifat bahan induknya, tanah di Indonesia meliputi : tanah dengan bahan
induknya vulkanik, tanah dengan bahan induknya bukan vulkanik (tanah tertier),
dan tanah organik (humus). Terdapat peta persebaran tanah. “Berdasarkan peta
persebaran tersebut, tulislah lokasi persebaran tanah tersebut!”
Tanah vulkanik terbentuk dari material vulkanik yang dikeluarkan saat gunung
berapi meletus.
Tanah tertier adalah tanah yang bahan induknya bukan hasil aktivitas atau letusan
gunung berapi.
Tanah organik (humus) adalah tanah yang terbentuk dari tumpukan sisa-sisa
tumbuhan. Jenis tanah organik banyak ditemukan di rawa-rawa yang luas.
Bersyukurlah kalian hidup di Indonesia yang tanahnya sangat subur !

LEMBAR 9
SDA Air
Air merupakan unsur yang dibutuhkan oleh tumbuh-tumbuhan, hewan dan
manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Berdasarkan tempatnya air dapat dibedakan menjadi air di daratan, air di lautan
dan air di atmosfer. “Carilah penjelasan mengenai macam-macam air tersebut!”
Air tidak dapat habis karena mengalami proses hidrologi, yaitu perubahan wujud
air menjadi uap kemudian berubah menjadi air kembali. “Gambarlah siklus
hidrologi!”
Air di Indonesia tersedia dalam berbagai bentuk, yaitu air hujan, air danau, air
sungai, dan air tanah.
Sungai adalah bagian dari muka bumi yang lebih rendah, tempat mengalirnya air
dari daerah sekitarnya. “Lima sungai terbesar yang ada di Indonesia adalah Sungai
Kapuas, Sungai Barito, Sungai Memberano, Sungai Digul, dan Sungai Musi.
Tunjukkan di peta letak kelima sungai tersebut!”
Danau adalah wilayah cekungan daratan yang terisi air. Jenis-jenis danau di
Indonesia meliputi:
1. Danau vulkanik
2. Danau tektonik
3. Danau vulcano-tectonic
4. Danau pelarutan (solusional)
5. Danau ladam atau tapal kuda (oxbow lake)
6. Bendungan atau waduk
“Carilah penjelasan pada masing-masing jenis danau tersebut!”
“Indonesia memiliki banyak air tanah. Apakah perbadaan air tanah yang ada di
daerah dataran rendah atau daerah pantai dengan air tanah yang ada di daerah
pegunungan terutama pegunungan karst (kapur) ?”
“Apakah kalian tahu bahwa gelombang laut dapat digunakan untuk pembangkit
tenaga listrik?”
Hemat air biar mujur!
LEMBAR 10
SDA Hutan
Terdapat peta persebaran hasil hutan.
“Berdasarkan peta persebaran tersebut, tulislah lokasi persebaran hasil hutan
tersebut!”
Jenis-jenis hutan
1. Berdasar letak geografisnya
a. hutan tropika
b. hutan temperate
c. hutan boreal
2. Berdasar fungsinya
a. Hutan lindung
b. Hutan usaka alam
c. Hutan wisata
d. Hutan produksi
3. Berdasar jenis pohonnya
a. Hutan homogen
b. Hutan heterogen
“Carilah penjelasan yang berkaitan dengan berbagai jenis hutan tersebut!”
Fungsi hutan
1. Tempat menyimpan air hujan sehingga pada musim kemarau tidak mengalami
kekeringan.
2. Tempat hidup bagi flora dan fauna.
3. Mencegah terjadinya erosi atau pengikisan.
4. Menghasilkan oksigen dan menyerap karbondioksida sehingga suhu bumi
terkendali.
5. Sumber kehidupan bagi masyarakat, khususnya masyarakat sekitar hutan dari
produk yang dihasilkannya.
Kata motivasi : Jika kamu menjaga paru-paru dunia, kamu juga sudah menjaga
paru-parumu!
LEMBAR 11
SDA Tambang
Terdapat peta persebaran hasil tambang.
“Berdasarkan peta persebaran tersebut, tulislah lokasi persebaran hasil tambang
tersebut!”
Minyak bumi, gas, dan batu bara merupakan sumber daya alam yang tidak dapat
diperbarui. “Apa yang sudah kamu lakukan agar sumber daya tersebut tidak cepat
habis?”
Pilih dengan menggunakan tanda centang (v) dari kegiatan-kegiatan berikut ini
yang dapat membantu mengurangi penggunaan sumber daya tersebut!
o Mematikan lampu segera setelah keluar dari kamar mandi
o Mematikan komputer segera setelah selesai digunakan
o Mematikan televisi segera setelah selesai nonton
o Menggunakan lampu yang rendah voltasenya ketika tidur
o Menggunakan kendaraan umum ketika pergi ke sekolah
o Membiasakan diri berjalan kaki atau naik sepeda ketika bepergian ke tempat
yang dekat jaraknya

LEMBAR 12
SDA Laut
Terdapat peta persebaran hasil laut.
“Berdasarkan peta persebaran tersebut, tulislah lokasi persebaran hasil laut
tersebut!”
Potensi kekayaan laut tidak hanya berupa ikan, kekayaan lain dari sumber daya
laut adalah sumber daya alam berupa mangrove, terumbu karang, dan lain-lain.
Hutan mangrove atau hutan bakau merupakan tipe hutan yang terletak di daerah
pasang surut air laut. Pada saat pasang, hutan mangrove tergenang air laut, pada
saat surut, hutan mangrove tidak tergenangi air laut.
Hutan mangrove tersebar di pesisir barat Pulau Sumatra, beberapa bagian dari
pantai utara Pulau Jawa, sepanjang pesisir Kalimantan, Pesisir Pulau Sulawesi,
Pesisir Selatan Papua, dan sejumlah pulau kecil lainnya.
“Apa saja manfaat hutan mangrove tersebut?”
Terumbu karang merupakan terumbu yang terbentuk dari kapur yang sebagian
besar dihasilkan dari koral. Terumbu itu sendiri berarti batuan sedimen kapur di
laut. Koral adalah binatang yang menghasilkan kapur untuk kerangka tubuhnya.
Jika ribuan koral membentuk koloni, mereka akan membentuk karang.
Terumbu karang banyak ditemukan di bagian tengah Indonesia seperti di
Sulawesi, Bali, Lombok, Papua. Konsentrasi terumbu karang juga ditemukan di
Kepulauan Riau dan pantai barat dan ujung barat Sumatra.
Jangan rusak ekosistem laut hanya untuk mencari untung diri sendiri!

LEMBAR 13
Usaha produksi di Indonesia berdasar potensi SDA : ekstraktif, agraris, pedagang,
industri, jasa.
1. Bidang usaha ekstraktif, yaitu bidang usaha yang menggali sumber daya alam
secara langsung. Yang termasuk dalam bidang usaha ini antara lain perikanan laut
dan pertambangan.
2. Bidang usaha agraris, yaitu bidang usaha yang memanfaatkan potensi tanah.
Bidang usaha ini dapat mengembangkan pertanian, peternakan, perkebunan, dan
perikanan darat.
3. Bidang usaha perdagangan, yaitu bidang usaha yang berhubungan dengan
pembeliandan penjualan barang. Potensi sumber daya yang kita miliki dapat
mengembangkan bidang usaha ini dengan baik.
4. Bidang usaha industri, yaitu bidang usaha yang mengolah bahan mentah dan
bahan baku menjadi barang jadi. Industri yang dapat dikembangkan berdasarkan
potensi yang kita miliki antara lain industri makanan, industri pariwisata, dan
industri lainnya.
5. Bidang usaha jasa, yaitu bidang usaha yang bergerak dalam pelayanan.
Termasuk dalam bidang usaha ini antara lain: transportasi, pengiriman barang,
perbankan, dan pelayanan kesehatan.
SDA jangan dieksploitasi agar tidak terjadi kerusakan ekosistem!
LEMBAR 14
Pelestarian SDA
Pelestarian SDA merupakan usaha yang dilakukan manusia untuk mengawetkan
atau melestarikan sumber daya alam agar tetap lestari keberadaannya.
Dalam pemanfaatan sumber daya alam, manusia perlu mendasarkan pada prinsip
ekoefisiensi. Prinsip ini artinya tidak merusak ekosistem karena pengambilannya
secara efisien dan memikirkan keberlanjutan sumber daya manusia.
Teknik pengelolaan sumber daya alam sangat tergantung dari jenis sumber daya
alamnya. Beberapa teknik konservasi sumber daya alam antara lain konservasi
SDA hayati dan nonhayati.
“Rancanglah kegiatan dengan tema “konservasi SDA hayati dan nonhayati”.
Lampiran 2

Revisi yang dilakukan oleh ahli materi dapat dilihat pada gambar

berikut ini:

Gambar 8. Tampilan Materi SDA Air Sebelum Direvisi

Gambar 9. Tampilan Materi SDA Air Setelah Direvisi


Gambar 10. Tampilan Materi SDA Anorganik Sebelum Direvisi

Gambar 11. Tampilan Materi SDA Anorganik Setelah Direvisi

Gambar 12. Tampilan Materi SDA Tambang Sebelum Direvisi


Gambar 13. Tampilan Materi SDA Tambang Setelah Direvisi

Gambar 14. Tampilan Materi SDA Udara Sebelum Direvisi

Gambar 15. Tampilan Materi SDA Udara Setelah Direvisi


Gambar 16. Tampilan SDA Organik dan Anorganik Sebelum Direvisi

Gambar 17. Tampilan SDA Organik dan Anorganik Setelah Direvisi


Lampiran 3

Revisi yang dilakukan oleh ahli media dapat dilihat pada gambar di

bawah ini:

Gambar 18. Tampilan Petunjuk untuk Guru Sebelum Direvisi

Gambar 19. Tampilan Petunjuk untuk Guru Setelah Direvisi


Gambar 20. Tampilan Cover Sebelum Direvisi

Gambar 21. Tampilan Cover Setelah Direvisi

Gambar 22. Tampilan SDA Organik Sebelum Direvisi


Gambar 23. Tampilan SDA Organik Setelah Direvisi

Gambar 24. Tampilan Materi SDA Tanah Sebelum Direvisi

Gambar 25. Tampilan Materi SDA Tanah Setelah Direvisi


Gambar 26. Tampilan Media Setelah Penambahan Glosarium

Gambar 27. Tampilan Media Setelah Penambahan Rangkuman

Gambar 28. Tampilan Media Setelah Penambahan Profil Penulis


Gambar 29. Tampilan Media Setelah Penambahan Halaman
LEMBAR VALIDASI UNTUK AHLI MATERI

Judul Penelitian : Pengembangan Media Visual Kirigami Pop Up dengan


Materi Potensi dan Sebaran Sumber Daya Alam
Indonesia untuk Pembelajaran IPS di SMP Kelas VII
Sasaran Program : Siswa SMP Kelas VII
Peneliti : Vladina Nur Widalatika
Validator :

Petunjuk:
1. Lembar ini diisi oleh validator.
2. Lembar ini dimaksudkan untuk validasi instrumen pengumpulan data,
serta mengungkapkan komentar atau saran dari validator jika ada.
3. Pemberian penilaian dengan memberikan tanda check list () pada kolom
yang sesuai.
4. Apabila ada komentar atau saran, mohon dituliskan pada lembar yang
telah tersedia.
5. Pedoman penilaian sebagai berikut:
Sangat Baik (SB)
Baik (B)
Cukup (C)
Kurang (K)
Sangat Kurang (SK)

Instrumen Pengumpulan Data

No. Aspek yang dinilai SB B C K SK


1. Kebenaran konsep dalam menjelaskan materi
2. Kebenaran istilah dalam menjelaskan materi
3. Kebenaran contoh dalam menjelaskan materi
4. Penyusunan materi sesuai dengan
perkembangan zaman
5. Penyusunan materi sesuai dengan
perkembangan keilmuan
6. Materi disusun secara sistematis
7. Materi disusun secara logis
8. Relevansi materi pengajaran dengan
Kompetensi Inti
9. Relevansi materi pengajaran dengan
Kompetensi Dasar
10. Materi yang disajikan dapat meningkatkan
kemampuan pemahaman siswa
11. Materi yang disajikan dapat merangsang
kemampuan siswa untuk berpikir lebih runtut
12. Kontribusi materi dalam meningkatkan sikap
siswa
13. Materi yang disajikan dapat meningkatkan
keterampilan berpikir kritis siswa
14. Materi yang disajikan dapat meningkatkan
kepekaan sosial siswa
15. Materi yang disajikan sesuai dengan taraf
berpikir siswa
16. Penyusunan materi sesuai dengan
karakteristik psikologis siswa
17. Materi yang disajikan dapat menimbulkan
keingintahuan siswa lebih lanjut
18. Materi yang disajikan menimbulkan dorongan
lebih tinggi untuk belajar aktif
19. Kontribusi materi dalam memberikan
motivasi belajar bagi siswa
20. Kontribusi materi dalam pembelajaran yang
menyenangkan

Tabel Kesalahan dan Saran Perbaikan

Apabila terjadi kesalahan pada aspek yang dinilai, mohon ditulis pada kolom yang
telah disediakan.
No Jenis Kesalahan Saran Perbaikan

Komentar/ Saran:
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
Kesimpulan:
1. Layak untuk uji coba lapangan tanpa revisi
2. Layak untuk uji coba lapangan dengan revisi sesuai saran
(Mohon dilingkari nomor yang sesuai dengan kesimpulan bapak/ibu)

Yogyakarta, Mei 2014


Ahli Materi

Sugiharyanto, M. Si
NIP. 19590319 19860 1 1001
LEMBAR VALIDASI UNTUK AHLI MEDIA

Judul Penelitian : Pengembangan Media Visual Kirigami Pop Up dengan


Materi Potensi dan Sebaran Sumber Daya Alam
Indonesia untuk Pembelajaran IPS di SMP Kelas VII
Sasaran Program : Siswa SMP Kelas VII
Peneliti : Vladina Nur Widalatika
Validator :

Petunjuk:
1. Lembar ini diisi oleh validator.
2. Lembar ini dimaksudkan untuk validasi instrumen pengumpulan data,
serta mengungkapkan komentar atau saran dari validator jika ada.
3. Pemberian penilaian dengan memberikan tanda check list () pada kolom
yang sesuai.
4. Apabila ada komentar atau saran, mohon dituliskan pada lembar yang
telah tersedia.
5. Pedoman penilaian sebagai berikut:
Sangat Baik (SB)
Baik (B)
Cukup (C)
Kurang (K)
Sangat Kurang (SK)

Instrumen Pengumpulan Data

No. Aspek yang dinilai SB B C K SK


1. Kesederhanaan tata letak dengan
menonjolkan unsur tertentu
2. Penempatan penjelasan diposisikan secara
sederhana
3. Penulisan materi menggunakan kalimat yang
ringkas
4. Ketepatan penggunaan istilah sehingga
mudah dipahami
5. Kesederhanaan pemilihan kata
6. Terdapat hubungan erat antara berbagai unsur
visual secara keseluruhan
7. Pemilihan gambar mendukung materi yang
disampaikan
8. Desain keseluruhan sesuai dengan tema
9. Sampul mencerminkan isi buku
10. Judul mencerminkan isi materi
11. Terdapat penekanan pada materi yang
disampaikan
12. Kontribusi media dalam menarik perhatian
siswa
13. Kontribusi media dalam mendorong minat
siswa
14. Keseimbangan antara gambar dengan teks
15. Harmonisasi penataan komposisi unsur-unsur
visual
16. Garis mampu membantu siswa mengetahui
batasan-batasan tiap gambar maupun teks
17. Garis luar pada desain mampu mengarahkan
siswa untuk mempelajari materi dalam
urutan-urutan khusus
18. Bentuk gambar dapat divisualisasikan
menyerupai realita dalam kehidupan
19. Bentuk gambar dapat divisualisasikan secara
jelas
20. Terdapat ruang yang membatasi gambar
dengan teks sehingga tidak terkesan berdesak-
desakan
21. Tidak ada ruang kosong yang berlebihan
sehingga terkesan mubadzir
22. Kelayakan gambar pop up yang digerakkan
23. Kelayakan rangkaian konstruksi gambar pop
up
24. Kualitas ilustrasi warna mendukung desain
25. Ketepatan pemilihan warna dalam teks

Tabel Kesalahan dan Saran Perbaikan

Apabila terjadi kesalahan pada aspek yang dinilai, mohon ditulis pada kolom yang
telah disediakan.

No Jenis Kesalahan Saran Perbaikan


Komentar/ Saran:
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................

Kesimpulan:
1. Layak untuk uji coba lapangan tanpa revisi
2. Layak untuk uji coba lapangan dengan revisi sesuai saran
(Mohon dilingkari nomor yang sesuai dengan kesimpulan bapak/ibu)

Yogyakarta, April 2014


Ahli Media

Satriyo Wibowo, S. Pd
NIP. 19741219 200812 1 001
LEMBAR PENGGUNAAN MEDIA OLEH GURU

Judul Penelitian : Pengembangan Media Visual Kirigami Pop Up dengan


Materi Potensi dan Sebaran Sumber Daya Alam
Indonesia untuk Pembelajaran IPS di SMP Kelas VII
Sasaran Program : Siswa SMP Kelas VII
Peneliti : Vladina Nur Widalatika
Nama Guru :
Petunjuk:
1. Lembar ini diisi oleh siswa.
2. Lembar ini dimaksudkan untuk mengetahui hasil uji coba penggunaan
media.
3. Pemberian penilaian dengan memberikan tanda check list () pada kolom
yang sesuai.
4. Apabila ada komentar atau saran, mohon dituliskan pada lembar yang
telah tersedia.
5. Pedoman penilaian sebagai berikut:
Sangat Baik (SB)
Baik (B)
Cukup (C)
Kurang (K)
Sangat Kurang (SK)

Instrumen Pengumpulan Data


No. Aspek yang dinilai SB B C K SK
Kebenaran konsep dalam menjelaskan
1.
materi
2. Kebenaran contoh dalam menjelaskan
materi
3. Materi disusun secara sistematis
4. Relevansi materi pengajaran dengan
Kompetensi Inti
5. Relevansi materi pengajaran dengan
Kompetensi Dasar
6. Materi yang disajikan dapat meningkatkan
kemampuan pemahaman siswa
7. Materi yang disajikan dapat merangsang
siswa berpikir runtut
8. Materi yang disajikan dapat meningkatkan
keterampilan berpikir kritis siswa
9. Materi yang disajikan dapat meningkatkan
kepekaan sosial siswa
10. Materi yang disajikan sesuai dengan taraf
berpikir siswa
11. Kemudahan dalam penggunaan media
12. Materi yang disajikan dapat menimbulkan
keingintahuan siswa lebih lanjut
13. Materi yang disajikan menimbulkan
dorongan lebih tinggi untuk belajar aktif
14. Kontribusi materi dalam memberikan
motivasi belajar bagi siswa
15. Kontribusi materi dalam pembelajaran yang
menyenangkan
16. Kesederhanaan tata letak dalam desain
17. Penempatan penjelasan diposisikan secara
sederhana
18. Penulisan materi menggunakan kalimat
yang ringkas
19. Pemilihan gambar mendukung materi yang
disampaikan
20. Desain keseluruhan sesuai dengan tema
21. Sampul buku mencerminkan keseluruhan isi
buku
22. Judul mencerminkan isi materi setiap bab
23. Kontribusi media dalam menarik perhatian
siswa
24. Kontribusi media dalam mendorong minat
belajar siswa
25. Keseimbangan antara gambar dengan teks
26. Kejelasan urutan materi yang akan dipelajari
27. Bentuk gambar dapat divisualisasikan
menyerupai realita dalam kehidupan
28. Terdapat ruang yang membatasi gambar
dengan teks sehingga tidak terkesan
berdesak-desakan
29. Kelayakan gambar pop up yang digerakkan
30. Ketepatan pemilihan warna dalam desain
maupun teks
Komentar/ Saran:
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................

Yogyakarta,....................
Guru

........................................
LEMBAR PENGGUNAAN MEDIA OLEH SISWA

Judul Penelitian : Pengembangan Media Visual Kirigami Pop Up dengan


Materi Potensi dan Sebaran Sumber Daya Alam
Indonesia untuk Pembelajaran IPS di SMP Kelas VII
Sasaran Program : Siswa SMP Kelas VII
Peneliti : Vladina Nur Widalatika
Nama Siswa :
Petunjuk:
1. Lembar ini diisi oleh siswa.
2. Lembar ini dimaksudkan untuk mengetahui hasil uji coba penggunaan
media.
3. Pemberian penilaian dengan memberikan tanda check list () pada kolom
yang sesuai.
4. Apabila ada komentar atau saran, mohon dituliskan pada lembar yang
telah tersedia.
5. Pedoman penilaian sebagai berikut:
Sangat Baik (SB)
Baik (B)
Cukup (C)
Kurang (K)
Sangat Kurang (SK)

Instrumen Pengumpulan Data


No. Aspek yang dinilai SB B C K SK
1. Kesesuaian materi dengan Kompetensi Inti
2. Kesesuaian materi dengan Kompetensi
Dasar
3. Materi yang disajikan dapat meningkatkan
pemahaman siswa
4. Materi merangsang siswa berpikir lebih
runtut
5. Materi yang disajikan dapat meningkatkan
keterampilan berpikir kritis siswa
6. Materi yang disajikan dapat meningkatkan
kepekaan sosial siswa
7. Kemudahan dalam mempelajari materi
8. Materi yang disajikan dapat menimbulkan
keingintahuan siswa lebih lanjut
9. Materi yang disajikan menimbulkan
dorongan lebih tinggi untuk belajar aktif
10. Kontribusi materi dalam memberikan
motivasi belajar bagi siswa
11. Kontribusi materi dalam pembelajaran yang
menyenangkan
12. Kesederhanaan tata letak dalam desain
13. Kalimat yang digunakan mudah dipahami
14. Gambar yang dipilih mendukung materi
yang disampaikan
15. Desain keseluruhan sesuai dengan tema
16. Sampul buku mencerminkan keseluruhan isi
buku
17. Judul mencerminkan isi materi setiap bab
18. Media dapat menarik perhatian siswa
19. Media dapat mendorong minat belajar siswa
20. Keseimbangan antara gambar dengan teks
21. Kejelasan urutan materi yang akan dipelajari
22. Bentuk gambar menyerupai keadaan
sebenarnya
23. Terdapat ruang yang membatasi gambar
dengan teks sehingga tidak terkesan
berdesak-desakan
24. Kelayakan gambar pop up yang digerakkan
25. Ketepatan pemilihan warna dalam desain
maupun teks

Komentar/ Saran:
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................

Yogyakarta,....................
Siswa

........................................
Lampiran 13

KONVERSI SKOR UNTUK AHLI MATERI

a. Jumlah sub indikator = 20


Skor tertinggi =5
Skor terendah =1
b. Skor maksimal ideal = jumlah sub indikator X skor tertinggi
= 20 X 5
= 100
c. Skor minimal ideal = jumlah sub indikator X skor terendah
= 20 X 1
= 20
d. Rerata skor ideal ( ) = (skor maksimal ideal + skor minimal ideal)
= (100 +20)
= (120)
= 60
e. Simpangan baku ideal (sbi) = (skor maksimal ideal – skor minimal ideal)
= (100 – 20)
= (80)
= 13,3

Tabel 18. Konversi Data Kuantitatif ke Data Kualitatif


No. Rentang Skor Rata-rata Skor Kategori
1. X > + 1,8 (sbi) > 4,2 Sangat Baik
X > 60 + 1,8 (13,3)
X > 60 + 23,94
X > 83,94
2. + 0,6 (sbi) < X ≤ + 1,8 (sbi) > 3,4 – 4,2 Baik
60 + 0,6 (13,3) < X ≤ 60 + 1,8 (13,3)
60 + 7,98 < X ≤ 60 + 23,94
67,98 < X ≤ 83,94
3. – 0,6 (sbi) < X ≤ + 0,6 (sbi) > 2,6 – 3,4 Cukup
60 – 0,6 (13,3) < X ≤ 60 + 0,6 (13,3)
60 – 7,98 < X ≤ 60 + 7,98
52,02 < X ≤ 67,98
4. – 1,8 (sbi) < X ≤ – 0,6 (sbi) > 1,8 – 2,6 Kurang
60 – 1,8 (13,3) < X ≤ 60 – 0,6 (13,3)
60 – 23,94 < X ≤ 60 – 7,98
36,06 < X ≤ 52,02
5. X ≤ – 1,8 (sbi) ≤ 1,8 Sangat Kurang
X ≤ 60 – 1,8 (13,3)
X ≤ 60 – 23,94
X ≤ 36,06
Lampiran 14

KONVERSI SKOR UNTUK AHLI MEDIA

a. Jumlah sub indikator = 25


Skor tertinggi =5
Skor terendah =1
b. Skor maksimal ideal = jumlah sub indikator X skor tertinggi
= 25 X 5
= 125
c. Skor minimal ideal = jumlah sub indikator X skor terendah
= 25 X 1
= 25
d. Rerata skor ideal ( ) = (skor maksimal ideal + skor minimal ideal)
= (125 + 25)
= (150)
= 75
e. Simpangan baku ideal (sbi) = (skor maksimal ideal – skor minimal ideal)
= (125 – 25)
= (100)
= 16,67

Tabel 19. Konversi Data Kuantitatif ke Data Kualitatif


No. Rentang Skor Rata-rta Skor Kategori
1. X > + 1,8 (sbi) > 4,2 Sangat Baik
X > 75 + 1,8 (16,67)
X > 75 + 30,006
X > 105,006
2. + 0,6 (sbi) < X ≤ + 1,8 (sbi) > 3,4 – 4,2 Baik
75 + 0,6 (16,67) < X ≤ 75 + 1,8 (16,67)
75 + 10,002 < X ≤ 75 + 30,006
85,002 < X ≤ 105,006
3. – 0,6 (sbi) < X ≤ + 0,6 (sbi) > 2,6 – 3,4 Cukup
75 – 0,6 (16,67) < X ≤ 75 + 0,6 (16,67)
75 – 10,002 < X ≤ 75 + 10,002
64,998 < X ≤ 85,002
4. – 1,8 (sbi) < X ≤ – 0,6 (sbi) > 1,8 – 2,6 Kurang
75 – 1,8 (16,67) < X ≤ 75 – 0,6 (16,67)
75 – 30,006 < X ≤ 75 – 10,002
44,994 < X ≤ 64,998
5. X ≤ – 1,8 (sbi) ≤ 1,8 Sangat Kurang
X ≤ 75 – 1,8 (16,67)
X ≤ 75 – 30,006
X ≤ 44,994
Lampiran 15

KONVERSI SKOR UNTUK GURU

a. Jumlah sub indikator = 30


Skor tertinggi =5
Skor terendah =1
b. Skor maksimal ideal = jumlah sub indikator X skor tertinggi
= 30 X 5
= 150
c. Skor minimal ideal = jumlah sub indikator X skor terendah
= 30 X 1
= 30
d. Rerata skor ideal ( ) = (skor maksimal ideal + skor minimal ideal)
= (150 + 30)
= (180)
= 90
e. Simpangan baku ideal (sbi) = (skor maksimal ideal – skor minimal ideal)
= (150 – 30)
= (120)
= 20

Tabel 20. Konversi Data Kuantitatif ke Data Kualitatif


No. Rentang Skor Rata-rata Skor Kategori
1. X > + 1,8 (sbi) > 4,2 Sangat Baik
X > 90 + 1,8 (20)
X > 90 + 36
X > 126
2. + 0,6 (sbi) < X ≤ + 1,8 (sbi) > 3,4 – 4,2 Baik
90 + 0,6 (20) < X ≤ 90 + 1,8 (20)
90 + 12 < X ≤ 90 + 36
102 < X ≤ 126
3. – 0,6 (sbi) < X ≤ + 0,6 (sbi) > 2,6 – 3,4 Cukup
90 – 0,6 (20) < X ≤ 90 + 0,6 (20)
90 – 12 < X ≤ 90 + 12
78 < X ≤ 102
4. – 1,8 (sbi) < X ≤ – 0,6 (sbi) > 1,8 – 2,6 Kurang
90 – 1,8 (20) < X ≤ 90 – 0,6 (20)
90 – 36 < X ≤ 90 – 12
54 < X ≤ 78
5. X ≤ – 1,8 (sbi) ≤ 1,8 Sangat Kurang
X ≤ 90 – 1,8 (20)
X ≤ 90 – 36
X ≤ 54
Lampiran 16

KONVERSI SKOR UNTUK SISWA

a. Jumlah sub indikator = 25


Skor tertinggi =5
Skor terendah =1
b. Skor maksimal ideal = jumlah sub indikator X skor tertinggi
= 25 X 5
= 125
c. Skor minimal ideal = jumlah sub indikator X skor terendah
= 25 X 1
= 25
d. Rerata skor ideal ( ) = (skor maksimal ideal + skor minimal ideal)
= (125 + 25)
= (150)
= 75
e. Simpangan baku ideal (sbi) = (skor maksimal ideal – skor minimal ideal)
= (125 – 25)
= (100)
= 16,67

Tabel 21. Konversi Data Kuantitatif ke Data Kualitatif


No. Rentang Skor Rata-rata Skor Kategori
1. X > + 1,8 (sbi) > 4,2 Sangat Baik
X > 75 + 1,8 (16,67)
X > 75 + 30,006
X > 105,006
2. + 0,6 (sbi) < X ≤ + 1,8 (sbi) > 3,4 – 4,2 Baik
75 + 0,6 (16,67) < X ≤ 75 + 1,8 (16,67)
75 + 10,002 < X ≤ 75 + 30,006
85,002 < X ≤ 105,006
3. – 0,6 (sbi) < X ≤ + 0,6 (sbi) > 2,6 – 3,4 Cukup
75 – 0,6 (16,67) < X ≤ 75 + 0,6 (16,67)
75 – 10,002 < X ≤ 75 + 10,002
64,998 < X ≤ 85,002
4. – 1,8 (sbi) < X ≤ – 0,6 (sbi) > 1,8 – 2,6 Kurang
75 – 1,8 (16,67) < X ≤ 75 – 0,6 (16,67)
75 – 30,006 < X ≤ 75 – 10,002
44,994 < X ≤ 64,998
5. X ≤ – 1,8 (sbi) ≤ 1,8 Sangat Kurang
X ≤ 75 – 1,8 (16,67)
X ≤ 75 – 30,006
X ≤ 44,994
Lampiran 17

PEMBELAJARAN SAAT UJI PENGGUNAAN MEDIA


DALAM UJI COBA TERBATAS

Gambar 30. Siswa Mengamati Materi

Gambar 31. Guru Menjelaskan Materi Menggunakan Media


Gambar 32. Siswa Mendiskusikan Materi Bersama Temannya
Lampiran 18

PEMBELAJARAN SAAT UJI PENGGUNAAN MEDIA

DALAM UJI COBA PEMAKAIAN

Gambar 33. Siswa Mengamati dan Mendiskusikan Materi

Gambar 34. Tanya Jawab Saat Kegiatan Pembelajaran


Gambar 35. Guru Menggunakan Media
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Sumber Daya Alam


Sumber daya adalah sesuatu yang memiliki nilai guna. Sumber Daya Alam
(SDA) adalah keseluruhan faktor fisik, kimia, biologi dan sosial yang membentuk
lingkungan sekitar kita. Hunker dkk menyatakan bahwa sumber daya alam adalah
semua yang berasal dari bumi, biosfer, dan atmosfer, yang keberadaannya tergantung
pada aktivitas manusia. Semua bagian lingkungan alam kita (biji-bijian, pepohonan,
tanah, air, udara, matahari, sungai) adalah sumber daya alam.
SDA adalah unsur-unsur yang terdiri dari SDA nabati (tumbuhan) dan SDA
hewani (satwa) dengan unsur non hayati disekitarnya yang secara keseluruhan
membentuk ekosistem. SDA memiliki peranan dalam pemenuhan kebutuhan manusia.
Secara yuridis, pengertian SDA termuat dalam Pasal 1 ayat 9 UU No. 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ialah SDA adalah unsur
lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan non hayati yang secara
keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem. [3]
Terdapat beberapa pendapat mengenai pembagian sumberdaya alam. antara lain
ditinjau dari sifat umum ekosistemnya dibagi menjadi dua golongan besar yaitu SDA
terestris (daratan) dan SDA akuatik (perairan). Meskipun demikian, dalam pengelolaan
SDA umumnya dikenal tiga macam sumberdaya alam didasarkan pada sifatnya, yaitu:
1. Sumber daya alam yang dapat dipulihkan (renewable resources), dimana aliran
sumberdaya tergantung kepada manajemennya, dengan beberapa kemungkinan
persediaannya dapat menurun, lestari atau meningkat. Contoh tanah, hutan dan
margasatwa.
2. Sumber daya alam yang tidak dapat dipulihkan (non renewable atau deposit
resources), dimana persediaan tetap dan sumberdaya alam ini terdiri dari:
a) Secara fisik persediaan akan habis seluruhnya. Contoh: batu bara,
minyak bumi, gas alam.

8
b) Persediaan menurun, tetapi dapat digunakan kembali (daur ulang).
Contoh: kelompok logam dan karet
3. Sumber daya alam yang tak akan habis (continuous atau flow resources),
dimana tersedia secara berkelanjutan terdiri dari:
a) Persediaannya tidak terbatas dan tidak terpengaruh oleh tindakan
manusia. Contoh: energi matahari, energi pasang surut.
b) Persediaannya tidak terbatas, tetapi terpengaruh oleh tindakan
manusia. Contoh: bentang alam, keindahan alam, ruang angkasa dan
udara.
Sumber daya alam (SDA) merupakan rahmat karunia Tuhan YME yang harus
dikelola secara baik dan benar agar dapat memberikan manfaat kepada rnanusia secara
maksimal dan lestari. Pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
manusia dengan mengembangkan dan memanfaatkan SDA yang ada. Dalam
pemanfaatan SDA melalui pembangunan senantiasa terjadi perubahan ekosistem yang
pada akhirnya memberi dampak positif (manfaat) ataupun dampak negatif (resiko)
terhadap manusia kembali. Semakin besar manfaat yang akan diupayakan, semakin
besar pula resiko yang ada ataupun muncul resiko baru. [3]
Pengelolaan SDA (natural resource management) dimaksud untuk
mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan yang tinggi, aman dan
manusiawi terjamin. Hanya dalam kondisi kualitas lingkungan yang tinggi, manusia
lebih banyak memperoleh manfaat dari pada resiko lingkungan. Secara lebih spesifik
pengertian pengelolaan SDA meliputi dua hal sebagai berikut:
1. Usaha manusia dalam mengubah ekosistem SDA agar dapat diperoleh manfaat
yang maksimal dan berkesinambungan.
2. Proses pengalokasian SDA dalam ruang dan waktu untuk memenuhi kebutuhan
manusia dengan senantiasa mengupayakan
a) Pertimbangan antara populasi manusia dan sumberdaya.
b) Pencegahan kerusakan sumberdaya alam (dan lingkungan).

9
Oleh karenanya ruang lingkup SDA adalah inventarisasi perencanaan,
pelaksanaan/pemanfaatan dan pengendalian/pengawasan. Pada dasarnya hanya SDA
yang dapat dipulihkan/diperbaharui (renewable) yang benar-benar dikelola.
Sedangkan SDA yang tidak dapat dipulihkan (non-renewable) hanya mengalami
eksploitasi tidak dapat dibina kembai. SDA berdasarkan sifatnya dapat digolongkan
menjadi SDA yang dapat diperbaharui dan SDA yang tidak dapat diperharui. SDA
yang dapat diperbaharui ialah kekayaan alam yang dapat terus ada selama
penggunaannya tidak diekploitasi berlebihan.
SDA yang tidak dapat diperbaharui yaitu SDA yang jumlahnya terbatas karena
penggunaannya lebih cepat daripada proses pembentukannya dan apabila digunakan
secara terus menerus akan habis seperti contoh tumbuhan, hewan, mikro organisme,
sinar matahari, angin, dan air. Kebutuhan SDA meningkat dikarenakan pertambahan
penduduk serta kemajuan pembangunan. SDA yang terbatas bahkan menurun.
Tanpa upaya pelestarian atau konservasi maka terjadi krisis SDA, kualitas
menurun, persediaan langka, keanekaragaman berkurang, dll. Pemanfaatan SDA
dibagi berdasarkan sifatnya, yaitu SDA Hayati dan Non Hayati. Pasal 12 ayat 1 UU
No.32 tahun 2009 menyatakan pemanfaatan SDA dilakukan berdasarkan Rencana
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH). Pada dasarnya semua
SDA termasuk SDA hayati harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat dan
umat manusia sesuai dengan kemampuan dan fungsinya. Pemanfaatannya harus
sedemikian rupa sesuai dengan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi SDA Hayati
dan Ekosistemnya, sehingga dapat berlangsung secara lestari untuk masa kini dan masa
depan. Pemanfaatan dan pelestarian tersebut seperti tersebut di atas harus dilaksanakan
secara serasi dan seimbang sebagai perwujudan dari asas konservasi SDA hayati dan
ekosistemnya. [3]

2.2 Maluku
Kepulauan Maluku adalah sekelompok pulau di Indonesia yang merupakan
bagian dari Nusantara. Kepulauan Maluku terletak di lempeng Australia. Ia berbatasan
dengan Pulau Sulawesi di sebelah barat, Nugini di timur, dan Timor di sebelah selatan,

10
Palau di timur laut. Pada zaman dahulu, bangsa Eropa menamakannya “Kepulauan
rempah-rempah” — istilah ini juga merujuk kepada Kepulauan Zanzibar.
Sejak 1950 – 1999, Kepulauan Maluku secara administratif merupakan bagian
dari Provinsi Maluku. Kabupaten Maluku Utara kemudian ditetapkan sebagai Provinsi
Maluku Utara.
Kepulauan Maluku sering diuraikan dalam literatur pariwisata memiliki 999
pula; 90% dari wilayah tersebut adalah laut dengan 77.990 km2 daratan, dan 776.500
km2 lautan [2]
Maluku atau yang dikenal secara internasional sebagai Moluccas adalah salah
satu provinsi tertua di Indonesia. Ibukotanya adalah Ambon. Pada tahun 1999, sebagian
wilayah Provinsi Maluku dimekarkan menjadi Provinsi Maluku Utara, dengan ibukota
di Sofifi. Provinsi Maluku terdiri atas gugusan kepulauan yang dikenal dengan
Kepulauan Maluku [2]
Adapun pulau yang terdapat di Provinsi Maluku adalah, Pulau Ambon, Pulau
Saparua, Kepulauan Aru, Kepulauan Babar, Kepulauan Banda, Buru, Kepulauan Kai,
Kisar, Kepulauan Leti, Seram, Kepulauan Tanimbar, Wetar.

2.3 Potensi sumber daya alam di Maluku


Secara makro ekonomi, kondisi perekonomian Maluku cenderung membaik
setiap tahun. Salah satu indikatornya antara lain, adanya peningkatan nilai PDRB. Pada
tahun 2003 PDRB Provinsi Maluku mencapai 3,7 triliun rupiah kemudian meningkat
menjadi 4,05 triliun tahun 2004. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2004 mencapai
4,05 persen dan meningkat menjadi 5,06 persen pada 2005 [2]
Kondisi geografis Provinsi Maluku bila dilihat dari sisi strategis peluang
investasi bisnis dapat diprediksi bahwa sumber daya alam di sektor perikanan dan
kelautan dapat dijadikan primadona bisnis di Maluku, selain sektor lainnya seperti
pertanian subsektor peternakan dan perkebunan, sektor perdagangan dan sektor
pariwisata serta sektor jasa yang seluruhnya memiliki nilai jual dan potensi bisnis yang
cukup tinggi.

11
2.3.1 Sumber Daya Hutan
Luas sumber daya darat di Maluku adalah sebesar 54.185 km2, dengan potensi
sumber daya hutan:
a. Hutan Konversi: 475.433 Ha
b. Hutan Lindung: 774.618 Ha
c. Hutan Produksi Terbatas: 865.947 Ha
d. Hutan Produksi Tetap: 908.702 Ha
e. Hutan yang dapat dikonversi: 1.633.646 Ha

2.3.2 Potensi Tambang dan Mineral


Adapun daerah penghasil tambang dan Mineral di Provinsi Maluku adalah:
a. Emas: Pulau Buru, Wetar, Ambon, Haruku, dan Pulau Romang
b. Mercuri: Pulau Damar
c. Perak: Pulau Romang
d. Logam Dasar: Pulau Haruku dan Nusalaut
e. Kuarsa: Pulau Buru
f. Minyak Bumi: Bula (Pulau Seram), Laut Banda, Kepulauan Aru dan cadangan
minyak di Maluku Barat Daya.
g. Mangaan: Laut Banda

2.3.3 Perikanan
Provinsi Maluku ditetapkan oleh Menteri KKP (Fadel Mohammad) sebagai
Lumbung Ikan Nasional 2030 sejak digelarnya Sail Banda 2010. Maluku yang
merupakan kepulauan bahari terbesar di wilayah Nusantara memang layak dijadikan
lumbung ikan nasional karena potensi perikanan yang luar biasa banyaknya disertai
laut yang kaya dan masih terjaga dari campur tangan manusia. Daerah dengan potensi
ikan di wilayah Maluku yaitu, Kepulauan Banda, Kepulauan Kei, Kepulauan Aru,
Maluku Tenggara Barat, Maluku Barat Daya.

12
2.3.4 Potensi Perikanan dan Sumber Daya Air Maluku
Sumber daya perairan 658.294,69 km2, dengan potensi sebagai berikut: - Laut
Banda: 277.890 ton/tahun - Laut Arafura : 771.500 ton/tahun - Laut Seram : 590.640
ton/tahun
Berbagai jenis ikan yang dapat ditangkap dan terdapat di Maluku antara lain:
ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil, ikan demersal, ikan karang, udang, lobster, cumi.
Sementara untuk potensi budidaya laut yang penyebarannya terdapat pada Laut
Seram, Manipa, Buru, Kep. Kei, Kep. Aru, Yamdena, pulau pulau terselatan dan wetar
adalah kakap putih, kerapu, rumput laut, tiram mutiara, teripang, lobster, dan kerang-
kerangan. Untuk potensi budidaya payau adalah bandeng dan udang windu. [2]

2.3.5 Energi
Kepulauan Indonesia bagian timur umumnya serta Maluku secara khususnya
mengalami dampak benturan lempeng Pasifik, lempeng India-Australia dan lempeng
Eurasia relatif lebih intensif yang menyebabkan wilayah ini menjadi salah satu yang
sangat dinamis dengan berbagai jenis bahan tambang dan energi. Cadangan gas
terbesar di Indonesia tercatat berada di blok Pulau Masela di MTB (Maluku Tenggara
Barat).

2.4 Google Maps


Menurut istilah Google Help, pengertian Google Maps adalah layanan gratis peta
dan pemetaan digital yang bisa dimanfaatkan untuk mengamati peta dunia melalui
browser web. Google Maps memanfaatkan teknologi digital imaging., seperti foto
satelit sehingga bisa digunakan untuk melihat bagaimana landscape planet bumi
apabila dilihat dari luar angkasa. Layanan gratis ini dapat ditemukan di
http://maps.google.com [4]

2.5 Google Maps API


Goolge Maps adalah layanan aplikasi dan teknologi pemetaan berbasis web yang
disediakan oleh Google. Web ini dapat digunakan secara gratis untuk pemakaian non-

13
komersil. Google Maps API merupakan perkembangan dari Google Maps. Dengan
menggunakan Google Maps API ini, dimungkinkan untuk dapat menggunakan Google
Maps di dalam website. Meski awalnya hanya JavaScript API, Maps API diperluas
untuk menyertakan sebuah API untuk aplikasi Adobe Flash. Keberhasilan Google
Maps API telah melahirkan sejumlah pesaing antara lain Yahoo! Maps API, Bing Maps
Platforn, MapQuest Development Platform dan OpenLayers. [4]
Pada Google Maps API terdapat 4 jenis pilihan model peta yang disediakan oleh
Google, diantaranya adalah
1. ROADMAP, untuk menampilkan peta biasa 2 dimensi.
2. SATELLITE, untuk menampilkan foto satelit.
3. TERRAIN, untuk menunjukkan relief fisik permukaan bumi dan
menunjukan seberapa tingginya suatu lokasi, contoh: gunung dan sungai.
4. HYBRID, akan menunjukkan foto satelit yang diatasnya terdapat pula apa
yang tampil pada ROADMAP. [5]

2.6 Marker dan infowindow


Marker merupakan pemberian tanda suatu lokasi misalnya toko, hotel, dan
sebagainya dengan icon yang berbentuk default balon merah kecil pada map.
Sedangkan infowindow adalah berisi informasi nama tempat dan alamat yang diberi
tanda marker. Marker dan info window dibuat dengan cara menuliskan coding/script
pada project program aplikasi map.

2.7 Alat Pengembangan


2.7.1 MySQL
Menurut Abdul Kadir MySQL adalah salah satu jenis database server yang
sangat populer. Kepopuleran ini disebabkan karena MySQL menggunakan SQL
sebagai bahasa dasar dalam mengakses databasenya. Selain itu MySQL bersifat free
pada berbagai platform. MySQL termasuk jenis RDBMS (Relational Database
ManagementSystem), oleh karena itu istilah seperti tabel, baris dan kolom digunakan

14
dalam MySQL. Pada MySQL database mengandung satu atau sejumlah tabel. Tabel
terdiri dari sejumlah baris dan setiap baris mengandung satu atau beberapa kolom [6]

2.7.2 PHP
Menurut Abdul Kadir (2003,p1) yang diambil dari dokumen resmi PHP, PHP
merupakan singkatan dari PHP Hypertext Preprocesor. PHP merupakan bahasa yang
berbentuk script yang ditempatkan dalam server dan diproses di server. Hasilnyalah
yang dikirimkan kepada klien, tempat pemakai menggunakan browser. Secara khusus
PHP dirancang untuk membentuk web dinamis. Artinya, ia dapat membentuk suatu
tampilan berdasarkan permintaan terkini. Misalnya, kemampuan untuk bisa
menampilkan isi database ke halaman web. Pada prinsipnya PHP mempunyai fungsi
yang sama dengan script-script seperti ASP (Active Server Page), Cold Fusion,
ataupun Perl.[6]

2.7.3 Database
Menurut Fred R. McFadden dan Jeffrey A. Hoffer (1994,p8), database adalah
sekumpulan data logikal yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan informasi
dari berbagai pengguna dan sebuah organisasi. Data dalam database disimpan dalam
satu dari 3 tipe struktur data yaitu file, tabel, dan objek.
Keunggulan dari database adalah:
1. Database dapat menyediakan manipulasi data yang baik.
2. Database dapat mengurangi redundansi data.
3. Database menjaga independensi data.
4. Database meningkatkan keamanan data.
5. Database menjaga konsistensi data.
6. Database meningkatkan integritas data.
7. Dengan database data menjadi lebih mudah untuk diakses dan
digunakan.
8. Database dapat meningkatkan produktivitas.
9. Database meningkatkan pelayanan backup dan recovery.

15
10. Database memiliki suatu standar.
11. Database memudahkan dalam data sharing.
Pengguna dari sistem database akan mendapatkan fasilitas untuk melakukan
berbagai aksi pada filetermasuk:
1. Menambah file baru yang kosong ke database
2. Menyisipkan data baru ke file yang sudah ada.
3. Memperoleh kembali data dari file yangada.
4. Mengupdate data di file yang sudah ada.
5. Menghapus data dari file yang sudah ada.
6. Memindahkan file yang ada dari database.
Untuk menganalisa sistem informasi yang dibutuhkan oleh suatu perusahaan atau
organisasi, maka diperlukan normalisasi yang bertujuan untuk mengidentifikasi relasi
antar entity ataupun atribut pada database. Entity merupakan objek nyata yang
berhubungan dengan sistem basis datayang akan dibuat. Atribut merupakan keterangan
dari entity. Relasi adalah hubungan atau asosiasi antara entity.

2.7.4 Model dan Struktur Data Relasional


Menurut Candace C. Fleming dan Barbara von Halle (2000,p32), model
relasional pertama kali diperkenalkan oleh E.F. Codd, dimana konsep dasarnya
berdasarkan konsep matematika, yaitu konsep relasi yang ditampilkan dalam bentuk
tabel.Struktur dari data relasional dapat dibagi menjadi beberapa bagian, sebagai
berikut :
1. Atribut merupakan keterangan yang menjelaskan beberapa hal dari suatu obyek
dan kemudian menampilkannya dalam bentuk kolom.
2. Cardinality merupakan banyaknya record yang terdapat dalamsebuah tabel.
3. Degree merupakan banyaknya atribut yang dimiliki sebuah relasiatau tabel.
4. Domain merupakan kumpulan nilai yang diperbolehkan untuk satuatau lebih
atribut.
5. Normalisasi merupakan proses dekomposisi struktur data kompleks menjadi
bentuk yang normal berdasarkan aturan mengenai ketergantungan data (Hoffer,

16
et.al, 1994, p209).
6. Relasi merupakan tabel yang berisikan kolom dan baris.

2.7.5 Objek-Objek Database Relasional


1. Tabel
Tabel adalah sekelompok data homogen yang ditampilkan dalam bentuk
baris serta kolom. Tabel dapat diartikan sebagai sebuah File.Berikut adalah
penjelasan struktur dari tabel:
Heading dan Body. Bagianheading biasanya terdiri atas nama field ataudapat juga
berupa himpunan attribute. Body berfungsi sebagai tempatkumpulan record,
dengan setiap record-nya merupakan pasangan dariattribute beserta nilainya.
Baris merupakan suatu data dalam tabel yang mempunyai nilai. Kolommerupakan
penejelasan dari data unik dalam baris tersebut atau kumpulandata yang memiliki
kesamaan tipe.
2. Diagram Hubungan (Relationships)
Relasi menghubungkan semua tabel-tabel dalam database relasional. Yang
menentukkan relasi dari data adalah nilai dari data tersebut. Ada 3 macam jenis
relasi yaitu:
a) One To One
Adalah relasi dimana satu key hanya mempunyai hubungan dengan satukey
pada tabel lain.

Lurah Kelurahan

Contoh: satu lurah hanya mempunyai satu kelurahan, satu kelas hanyamempunyai
satu orang ketua kelas.
b) One to Many
Adalah jelasi dimana satu key dapat mempunyai hubungan lebih dari satupada
key dari tabel lain.

Mahasiswa Matakuliah

17
Contoh: Satu mahasiswa dapat memilih beberapa mata kuliah
c) Many to Many
Adalah relasi dimana banyak key dapat mempunyai hubungan lebih darisatu
degan key pada tabel lain.

Guru Murid

Contoh: Satu guru dapat mengajar banyak murid dan banyak murid dapatmempunyai
banyak guru.
1) SQL language
Merupakan bahasa pemrograman dari berbagai sistem database. Dengan adanya
SQL, dapat dibuat suatu database relasional dan juga dengan SQL dapat dilakukan
inquiry, yaitu proses permintaan informasi pada database.SQL mempunyai dua fungsi
utama dalam database relasional, yaitu:
a) Fungsi DDL
DDL (Data Definition Language) merupakan sebuah bahasa yang dapat
menerangkan suatu skema eksternal, internal dan konseptual ke dalam bentuk yang
sesuai.
Contoh DDL:
1. Alter Table
2. Create Table
3. Drop Table
b) Fungsi DML
DML (Data Manipulation Language) merupakan sebuah bahasa yang
digunakan dalam memanipulasi data pada database.
Contoh DML:
1. Delete
2. Insert
3. Update

18
2.7.6 Relational Keys
Duplikasi record tidak boleh terjadi dalam sebuah relasi. Untuk mengantisipasi
adanya duplikasi record dalam sebuah relasi, maka dibutuhkan suatu key yang unik,
yang dinamakan primary key. Foreign key merupakan satu atau lebih atribut di dalam
sebuah relasi yang juga merupakan primary key pada relasi atau tabel lain, sehingga
dapat digunakan untuk menghubungkan satu relasi dengan relasi lain.

19
BBM 4

SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

Dra. Yuyu Hendawati, M.Pd.

PENDAHULUAN
Kehidupan manusia di bumi ditunjang oleh tersedianya sumber daya
alam. Alam pada dasarnya telah menyediakan kebutuhan umat manusia baik
yang bersifat biotik (hayati) maupun abiotik (non-hayati). Sumber kekayaan
bumi baik biotik maupun abiotik yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhan dan kesejahteraan manusia merupakan Sumber Daya Alam (SDA).
Manusia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan.
Kehidupan manusia tergantung pada kelestarian lingkungan, sebaliknya
kelestarian lingkungan tergantung pada kegiatan manusia. Dalam kondisi alami
lingkungan dengan segala keragaman interaksi yang ada mampu untuk
menyeimbangkan keadaannya. Namun kondisi tersebut dapat berubah dengan
berbagai aktivitas yang dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup
yang terkadang dapat melampaui batas. Oleh sebab itu, dalam pemanfaatan
SDA harus disertai dengan pemeliharaan dan pelestariannya.
Untuk memperluas pengetahuan Anda tentang SDA dan Lingkungan
Hidup, maka pada BBM ini Anda akan mempelajari SDA mengenai Klasifikasi
SDA, Aneka SDA dan Pemanfaatan SDA. Serta Lingkungan Hidup mengenai
Keseimbangan Lingkungan, Perubahan Lingkungan, Pencemaran Lingkungan,
dan Parameter Pencemaran. Pentingnya mempelajari BBM ini, Anda
diharapkan memiliki pengertian dan kesadaran dalam pemanfaatan SDA juga
disertai dengan pemeliharaan dan pelestariannya.
Setelah mempelajari BBM ini, secara khusus Anda diharapkan dapat :
1. Menyebutkan dengan kata-kata sendiri pengertian sumber daya alam.
2. Menyebutkan tiga dasar klasifikasi sumber daya alam.

4.1
3. Menyebutkan lima macam sumber daya alam.
4. Menyebutkan dua manfaat dari sumber daya alam.
5. Menjelaskan sumber daya alam yang tidak habis.
6. Menjelaskan arti dari pemanfaatan sumber daya alam secara
berkesinambungan.
7. Menjelaskan tentang sumber daya alam dan manfaatnya bagi manusia.
8. Menjelaskan tentang pengaruh sumber daya alam terhadap lingkungan
dihubungkan dengan eksploitasi sumber daya alam.
9. Menjelaskan tiga macam pencemaran lingkungan.
10. Menjelaskan parameter pencemaran.
Untuk membantu Anda mencapai tujuan tersebut, bahan belajar mandiri
ini diorganisasikan menjadi 2 (dua) kegiatan belajar (KB) sebagai berikut:
KB : 1 Sumber Daya Alam
KB : 2 Lingkungan Hidup
Sebelum mempelajari BBM ini diharapkan Anda memahami terlebih
dahulu tentang Atmosfir pada BBM sebelumnya, dengan tujuan untuk
mempermudah Anda dalam mempelajari SDA dan Lingkungan Hidup.
Untuk membantu Anda dalam mempelajari BBM 4 ini ada baiknya
diperhatikan beberapa petunjuk belajar berikut ini
1. Bacalah dengan cermat bagian pendahuluan ini sampai Anda memahami
secara tuntas tentang apa, untuk apa, dan bagaimana mempelajari bahan
belajar ini.
2. Baca sepintas bagian demi bagian dan temukan kata-kata kunci dari kata-
kata yang dianggap baru. Carilah dan baca pengertian kata-kata kunci
tersebut dalam kamus yang Anda miliki.
3. Tangkaplah pengertian demi pengertian melalui pemahaman sendiri dan
tukar pikiran dengan mahasiswa lain atau dengan tutor Anda.
4. untuk memperluas wawasan, baca dan pelajari sumber-sumber lain yang
relevan. Anda dapat menemukan bacaan dari berbagai sumber, termasuk
dari internet.

4.2
5. Mantapkan pemahaman Anda dengan mengerjakan latihan dan melalui
kegiatan diskusi dalam kegiatan tutorial dengan mahasiswa lainnya atau
teman sejawat.
6. Jangan dilewatkan untuk mencoba menjawab soal-soal yang dituliskan pada
setiap akhir kegiatan belajar. Hal ini berguna untuk mengetahui apakah
Anda sudah memahami dengan benar kandungan bahan belajar Kegiatan
Belajar

Selamat Belajar!

4.3
KEGIATAN BELAJAR-1
SUMBER DAYA ALAM
Dra. Yuyu Hendawati, M.Pd.

PENGANTAR
Apa yang Anda temukan jika Anda pergi ke hutan, laut, atau
pegunungan? Anda pasti akan menjawab, baik di hutan, laut atau pegunungan
akan menemukan kekayaan hutan berupa jenis – jenis tumbuhan dan jenis –
jenis hewan, serta kekayaan lautan berupa jenis – jenis ikan, rumput laut dan
sebagainya. Disamping itu kita akan menemukan kekayaan barang tambang
seperti berbagai macam mineral dan minyak bumi. Semua kekayaan tersebut
merupakan sumber kekayaan bumi baik biotik maupun abiotik.
Anda tentu sudah mengetahui bahwa sumber daya alam merupakan
kekayaan yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dan
kesejahteraan manusia. Karena semua kekayaan bumi baik biotik maupun
abiotik dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan
manusia yang disebut sumber daya alam (SDA). Kehidupan manusia di bumi
ditunjang oleh tersedianya sumber daya alam. Dalam perkembangan ilmu dan
teknologi yang paling canggih sekalipun, manusia tetap akan tergantung pada
SDA.
Pemanfaatan SDA harus diikuti oleh pemeliharaan dan pelestariannya,
karena SDA bersifat terbatas. Maka untuk kelangsungan hidup manusia perlu
diadakan tindakan yang bijaksana dan disertai dengan kesadaran yang tinggi
dalam pengelolaan SDA agar keseimbangan ekosistem tetap terjaga.

4.4
A. Klasifikasi Sumber Daya Alam
Dibawah ini Anda akan membahas tentang klasifikasi SDA, sebelum
membahas tentang klasifikasi SDA sebaiknya Anda mengatahui definisi dari
SDA terlebih dahulu. Menurut Slamet Riyadi (Darmodjo, 1991/1992)
mendefinisikan Sumber Daya Alam sebagai segala isi yang terkandung dalam
biosfer, sebagai sumber energi yang potensial, baik yang tersembunyi di dalam
litosfer (tanah), hidrosfer (air) maupun atmosfer (udara) yang dapat
dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan manusia secara langsung maupun
tidak langsung. Herman Haeruman Js (Kaligis, 1986) menyatakan bahwa:
Sumber Daya Alam adalah sumber daya yang terbentuk karena kekuatan alami
misalnya tanah, air dan perairan, biodata, udara dan ruang, mineral, bentang
alam (landscape), panas bumi dan gas bumi, angin, pasang surut dan arus laut.
Jadi sumber daya alam adalah segala sesuatu yang ada di sekeliling manusia
yang bukan dibuat manusia, dan yang terdapat di permukaan bumi, baik itu
berada di dalam tanah, laut ataupun air dan di udara, yang dapat dimanfaatkan
untuk pemenuhan kebutuhan manusia maupun organisme lain secara langsung
maupun tidak langsung.
Cara apa yang Anda lakukan untuk mengklasifikasikan SDA? Ada
banyak cara untuk mengklasifikasikan SDA tergantung kepada tujuan
klasifikasinya. Mengapa banyak cara untuk mengklasifikasikannya? Sebab
antarapakar sendiri sering terjadi perbedaan – perbedaan dalam
mengklasifikasikan.
SDA dapat digolongkan menjadi beberapa macam. Berikut ini akan
disajikan beberapa penggolongan SDA berdasarkan pada sifat, potensi dan
jenisnya (Pratiwi dkk, 2000).
1. Berdasarkan Sifat
Menurut sifatnya, sumber daya alam dapat dibagi 3, yaitu sebagai berikut :
a. Sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable), misalnya :
Hewan, tumbuhan, mikroba, air dan tanah. Disebut terbarukan karena

4.5
dapat melakukan reproduksi dan memiliki daya regenerasi (pulih
kembali).
b. Sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable),
misalnya: minyak bumi, gas bumi, batu bara, dan bahan tambang
lainnya.
c. Sumber daya alam yang tidak habis, misalnya udara, matahari, energi
pasang surut, energi laut dan air dalam siklus hidrologi.

2. Berdasarkan Potensi
Menurut potensi penggunaannya, sumber daya alam dibagi beberapa
macam, antara lain sebagai berikut.
a. Sumber daya alam materi; merupakan sumber daya alam yang
dimanfaatkan dalam bentuk fisiknya. Misalnya, batu, besi, emas, kayu,
serat kapas, kaca, dan rosela.
b. Sumber daya alam energi; merupakan sumber daya alam yang
dimanfaatkan sebagai sumber energi. Misalnya batu bara, minyak bumi,
gas bumi, air terjun, sinar matahari, energi pasang surut air laut, dan
kincir angin. Contoh SDA yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber
enegri (air terjun ) dapa Anda lihat pada Gambar 4.1.
c. Sumber daya alam ruang; merupakan sumber daya alam yang berupa
ruang atau tempat hidup, misalnya area tanah (daratan) dan angkasa.
SDA ruang dapat Anda lihat pada Gambar 4.2.

4.6
Gambar 4.1. Gambar 4.2.
Air Terjun merupakan sumber daya energi Hamparan tanah merupakan sumber daya
yang potensial untuk pembangkit listrik ruang

3. Berdasarkan Jenis
Menurut jenisnya, sumber daya alam dibagi dua sebagai berikut :
a. Sumber daya alam nonhayati (abiotik); disebut juga sumber daya alam
fisik, yaitu sumber daya alam yang berupa benda-benda mati. Misalnya :
bahan tambang, tanah, air, dan kincir angin.
b. Sumber daya alam hayati (biotik); disebut juga sumber daya alam yang
berupa mahkluk hidup. Misalnya : hewan, tumbuhan, mikroba, dan
manusia.

B. Aneka Ragam Sumber Daya Alam dan Pemanfaatannya


Setelah Anda mempelajari klasifikasi SDA, Anda akan mengenal
adanya aneka ragam SDA yang dapat dimanfaatkan. Pada uraian dibawah ini
akan dibicarakan sebagian dari pemanfaatan sumber daya alam.
Contoh SDA yang dapat dimanfaatkan antara lain (Kaligis, 1986) :
1. Sumber Makanan dan Obat-obatan
Banyak SDA yang sudah Anda ketahui yang dapat dimanfaatkan oleh
manusia, baik yang berasal dari SDA hayati maupun nabati. Misalnya SDA
hayati dan nabati yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan, contoh
untuk sumber makanan antara lain hewan – hewan ternak, berbagai umbi –

4.7
umbian, berbagai jenis biji – bijian dan sebagainya. Sedangkan untuk sumber
obat – obatan antara lain jahe, lempuyang, pasak bumi, laos, dan sebagainya.
Coba Anda cari contoh lainnya untuk SDA yang dapat dimanfaatkan oleh
manusia sebagai sumber makanan dan obat-obatan!

2. Sumber Energi
Energi dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari misalnya
untuk memasak, menjemur pakaian, penerangan dan sebagainya. Energi
yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari berasal dari sumber energi.
Sumber energi merupakan SDA yang dapat dimanfaatkan energinya, antara
lain:
a. Yang berasal dari tanah contohnya minyak bumi, gas bumi, batu bara;
b. Yang berasal dari udara contohnya matahari, angin;
c. Air dapat dipakai sebagai pembangkit tenaga listrik;
d. Yang berasal dari biomas misalnya kayu, ranting, zat-zat pati, gula dan
getah-getahan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan;
e. Dan lain-lain. Coba carilah oleh Anda contoh sumber energi yang
lainnya!

3. Sumber Devisa Negara


Seyogyanya Anda banyak mengetahui pemanfaatan SDA yang dapat
dijadikan sebagai sumber devisa Negara. Coba anda amati hasil – hasil
SDA! Apa yang dapat dihasilkan dari SDA untuk sumber devisa negara?
Tidak sedikit devisa negara dapat diperoleh dari pemanfaatan sumber daya
alam. Misalnya yang berasal dari :
a. Sumber daya alam biotik seperti hasil-hasil perkebunan (teh, karet dan
lain-lain), kehutanan (kayu, rotan, damar dan lain-lain);
b. Sumber daya alam tanah seperti minyak bumi, gas bumi, batu bara, besi
dan mineral lainnya, dan
c. Sumber daya alam laut (air) misanya udang, beraneka ragam ikan,
rumput laut dan lain-lain.

4.8
4. Sebagai Sumber Plasma Nutfah
Anda pasti mengetahui ada beberapa tumbuhan atau hewan yang
dahulu tidak dimanfaatkan, tetapi sekarang dapat dimanfaatkan atau
dibudidayakan, salah satunya buah pace (mengkudu). Dihutan atau
dilingkungan kita masih terdapat tumbuhan dan hewan yang belum
dibudidayakan. Nilai biologis yang penting adalah hutan sebagai gudang
plasma nutfah. Plasma nutfah adalah sifat - sifat unggul yang diwariskan
secara turun temurun. Dahulu ada beberapa tanaman yang masih belum
memiliki peranan yang sangat penting, tapi pada saat ini diketahui memiliki
manfaat yang bisa digunakan oleh manusia, contohnya buah pace
(mengkudu) yang semula tidak dimanfaatkan sekarang memiliki khasiat
meningkatkan kebugaran tubuh, mencegah dan mengobati penyakit tekanan
darah tinggi, tanaman mamba (Azadirakhta indica) dahulu tanaman ini hanya
merupakan tanaman pagar tetapi saat ini diketahui mengandung zat
azadirakhtin yang memiliki peranan sebagai anti hama dan anti bakteri.
Adapula jenis gangga yang memiliki kandungan protein tinggi, yang
digunakan sebagai sumber makanan masa depan misalnya Chlorella.
(Syamsuri, 2002)

Sumber daya alam merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu


ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik
makhluk hidup dan faktor-faktor alam, antara makhluk hidup satu dengan yang
lain dan antara faktor alam satu dengan yang lain. Oleh karena itu, pemanfaatan
sumber daya alam pada haikikatnya berarti melakukan perubahan-perubahan di
dalam ekosistem alami yang telah atau belum diubah oleh tindakan manusia. Di
dalam kesatuan ekosistem kedudukan manusia adalah sebagai bagian dari
unsur-unsur lain yang tak mungkin terpisahkan. Oleh karena itu seperti halnya
dengan organisme lainnya, kelangsungan hidup manusia tergantung pula pada
kelestarian ekosistemnya. Untuk menjaga terjaminnya kelestarian ekositem,
faktor manusia adalah sangat dominan. manusia harus dapat menjaga keserasian

4.9
hubungan timbal balik antara manusai dengan lingkungannya, sehingga
keseimbangan ekosistem tidak terganggu. Pengaruh manusia terhadap
pemanfaatan sumber daya alam dapat mengakibatkan tiga kemungkinan kualitas
sumber daya alam, yaitu merusak, tetap lestari, dan memperbaiki (Kaligis,
1986).

Demikianlah pengklasifikasian SDA berdasarkan pada berbagai


kepentingan. Apabila anda membaca dimedia masa mungkin anda menemukan
cara pengklasifikasian yang lain. Berikut ini akan dibahas tentang SDA yang
tak dapat diperbaharui, SDA yang dapat diperbaharui dan SDA yang tidak akan
habis.

1. SDA yang Tak Dapat Diperbaharui


SDA yang tak dapat diperbaharui di bumi ini jumlahnya terbatas; logam,
mineral, minyak bumi dan batu bara merupakan contoh Sumber Daya Alam
yang tak dapat diperbaharui atau tak terpulihkan. Jika diambil terus menerus
sumber daya alam tersebut akan habis. Apa yang terjadi jika semua minyak
bumi di sedot habis, sementara sumber energi lain belum mencukupi?
Bagaimana dengan generasi yang akan datang, yang juga berhak atas
tersedianya sumber energi tadi?
Agar generasi yang akan datang tidak kehilangan haknya, kita perlu
melakukan konservasi SDA. Konservasi artinya memelihara dan mengelola.
Misalnya dengan melakukan penghematan bahan, pendaurulangan (recycle),
penggunaulangan (reuse), dan perawatan (repair).
a. Pendaurulangan (recycle)
Pendaurulangan yaitu dimana sampah yang dapat diuraikan dapat
dimanfaatkan kembali setelah melalui daur ulang (recycle). Contoh: Sampah
dan daun-daun dapat dijadikan kompos untuk pupuk tanaman. Coba carilah
oleh Anda contoh yang lainnya yang dapat didaur ulang!
b. Penggunaulangan (reuse)

4.10
Penggunaulangan yaitu sampah yang tidak dapat diuraikan akan tetap
sebagai sampah jika dibiarkan di lingkungan. Kita dapat menggunakan
kembali sampah tersebut melalui penggunaulangan. Misalnya: kaleng bekas
kue dapat digunakan lagi untuk wadah makanan atau botol bekas dapat
digunakan lagi untuk menyimpan minum dan sebagainya. Pemanfaatan ulang
mempunyai keuntungan sebagi berikut:
1. Mengurangi sampah agar tidak semakin mengotori lingkungan
2. Menghemat SDA
3. Menghemat pengeluaran
4. Menumbuhkan kesadaran dan kepedulian lingkungan.
c. Perawatan (repair)
Perawatan yang biasa kita lakukan agar barang dapat bertahan lama,
contohnya adalah:
1) Membersihkan sumbu kompor secara berkala.
2) Merawat mesin jahit, komputer dan peralatan lain.
d. Penghematan (reduce)
Penghematan menggunakan barang-barang yang sudah ada/barang bekas
misalnya botol bekas selai dapat digunakan lagi untuk menyimpan gula dan
sebagainya. Jadi tidak perlu membeli wadah baru.
Alasannya:
a) Dapat menghemat SDA, terutama SDA tak terpulihkan.
b) Mengurangi sampah, sehingga mencegah pencemaran.
Coba pikirkan bagaimana Anda merawat sepeda motor yang Anda
pergunakan agar tidak boros bensin, mesinnya tetap bagus, tidak mudah
karat? Pembuatan kompos tergolong pendaurulangan (recycle). Pernahkan
Anda menggunakan kertas bekas untuk ditulisi di sebaliknya yang masih
kosong? Kegiatan ini tergolong penggunaulangan (reuse). Menggunakan
benda-benda bekas untuk menghemat bahan dan mengurangi sampah
merupakan perbuatan yang beretika lingkungan tinggi. (Syamsuri; 2002)

4.11
Anda pasti telah mengetahui SDA yang tak dapat diperbaharui misalnya:
minyak bumi, gas dan batu bara. Dalam uraian di bawah ini Anda akan
mempelajari terbentuknya minyak bumi, gas dan batu bara. Baik minyak bumi
maupun batu bara di kenal sebagai bahan bakar fosil, karena berasal dari
perombakan/ penguraian sisa-sisa makhluk hidup. Terjadinya dapat bersama-
sama dan dapat pula secara terpisah dalam batuan endapan. Bahan bakar fosil
adalah batuan endapan, bahan bakar fosil adalah sumber energi yang penting
karena menghasilkan cahaya dan panas.

a. Terbentuknya Minyak Bumi dan Pengolahannya


Apakah anda mengetahui istilah lain dari minyak bumi? Minyak
bumi disebut juga bahan bakar fosil sebab terbentuk dari fosil hewan maupun
tumbuhan laut. Dalam bahasa Inggris minya bumi di sebut Petroleum (Petro
= batu dan oleum = minyak), jadi maksudnya adalah minyak batuan.
Minyak bumi, terbentuk sebagai hasil akhir dari perombakan bahan-
bahan organik (sel-sel dan jaringan hewan/tumbuhan laut) yang tertimbun
selama berjuta-juta tahun di dalam tanah, baik di daerah daratan ataupun di
daerah lepas pantai.
Pada seri gambar berikut ini Anda dapat mengamati dan mempelajari
proses pembentukan minyak bumi.
Proses pembentukan minyak bumi ini berlangsung dalam jangka
waktu jutaan tahun.
Baik hewan maupun tumbuhan laut yang pada waktu itu tumbuh dan
berkembang di dasar laut, zat organiknya tertutup oleh lapisan-lapisan
rombakan batuan lain/endapan tanah yang berasal dari erosi di daratan atau
pegunungan dapat dilihat pada gambar 4.3a. Sel-sel jaringan
hewan/tumbuhan laut yang mengendap di dasar laut dapat dilihat pada
gambar 4.3b.

4.12
Gambar 4.3a: lapisan endapan fosil tertimbun lapisan
endapan tanah yang berasal dari erosi

Gambar 4.3b: Sel-sel jaringan hewan/tumbuhan laut


yang mengendap di dasar laut
Agus (1984: 199)

Lapisan penutup ini menghalangi terjadinya oksidasi dan penguraian


sempurna zat-zat tersebut, sedangkan naiknya suhu dan tekanan
menyebabkan terjadinya penyulingan bertingkat dari zat organik yang
sebagiannya telah terurai itu, maka terpisahlah minyak bumi dan gas alam.
Teori ini di dukung oleh fakta bahwa minyak bumi umumnya terdapat pada
batuan endapan yang berpori (gambar 4.4)

4.13
Gambar 4.4 : Lapisan minyak bumi yang terperangkap
didalam lapisan yang berpori
Agus (1984: 200)

Minyak dan gas terbentuk dalam jumlah yang relatif sedikit dan
terpancar di daerah batuan endapan, yang kemudian mengumpul dalam
tempat-tempat penyimpanan berabad-abad yang lalu. Tempat-tempat
penyimpanan itu biasanya mengandung batu kapur atau batu pasir yang
kedap, sedemikian sehingga gas dan minyak terperangkap di dalamnya.
Biasanya batu kapur dan batu pasir tersebut pada bagian dalamnya cukup
berpori, sehingga dapat dilalui cairan minyak untu kemudian mengumpul
membentuk sumur-sumur pada bagian yang kedap cairan. Pori-pori ini
umumnya mengandung 3% batu kapur dan 35% batu pasir. Pada tempat-
tempat penyimpanan minyak batuan tersebut, biasanya pada bagian atas
terdapat gas, bagian tengah minyak bumi dan bagian bawah larutan garam,
sesuai dengan perbedaan massa jenisnya.
Sumber utama produksi minyak yang terperangkap ini biasanya jauh
di bawah permukaan tanah, dan ada tiga bentuk utama jebakan minyak ini,
yaitu :
1) Jebakan Antiklin, berupa lengkungan yang terbentuk oleh dorongan
gerakan lapisan batuan ke atas.
2) Jebakan Patahan, disebabkan oleh pergeseran dua lapisan batuan yang
bergerak kedua arah yang berlawanan, yang satu bergerak ke atas yang
lain bergerak ke bawah.

4.14
3) Jebakan Ketidakselarasan (Straigrafik), terjadi karena batuan yang
berpori terjepit oleh lapisan batuan yang tak berpori.
Ada pula jebakan yang terbentuk di sekeliling endapan abtuan garam,
di bawah permukaan laut. Tinggi endapan garam itu dapat mencapai 8 km
dan bergaris tengah 0,8 km, maka di sekeliling bukit garam tersebut akan
terkumpul minyak bumi.
Macam-macam jebakan minyak dapat dilihat pada gambar 4.5.
Lebih dari setengah bagian dari jumlah minyak bumi di dunia berasal
dari Era Cenozoicum (kira-kira 70 juta tahun yang lalu), pada Periode
Tertier. Selanjutnya minyak bumi ada pula yang berasal dari Era
Paleozoicum dengan jumlah yang paling sedikit, sedangkan jumlah yang
paling kecil terjadi di Era Mesozoicum. Minyak bumi yang terdapat di
Indonesia paling banyak terbentuk pada masa Periode Tertier tersebut, yang
terbanyak ditemukan di daerah Sumatera, Kalimantan dan Jawa.
Pengolahan Minyak Bumi.
Bahan utama yang terkandung di dalam minyak bumi adalah
Hidrokarbon (Alifatik dan Siklik), yang sebagaian besar adalah alkana dan
siklo alkana. Campuran ini dapat dipisahkan menjadi komponen-
komponennya secara penyulingan/destilasi bertingkat yang dilakukan
berdasarkan adanya perbedaan titik didih setiap komponen-komponen
campuran tersebut. Sesuai dengan banyaknya atom karbon (C) dari alkana
yang bersangkutan. Makin besar jumlah atom karbon pada alkana tersebut,
makin tinggi titik didihnya.

4.15
Gambar 4.5: Jebakan Minyak Bumi
Liliasari (Dahar; 1990)

Destilasi Minyak Bumi.


Proses penyulingan minyak bumi sampai jadi komponen minyak
yang siap dipakai untuk bahan bakar dan lain sebagainya meliputi tahapan
proses sebagai berikut:
1) Penguapan
Minyak bumi dialirkan melalui pipa ke dalam dapur pemanas
dan berubah menjadi uap.
2) Pemisahan Komponen Minyak
Uap minyak bumi dialirkan ke dalam menara fraksinasi. Menara
fraksinasi ini tersusun dari puluhan tingkat bak pengembun uap. Uap
naik ke atas tiap tingkat menara melalui tutup gelembung.
Uap dari komponen minyak bumi yang titik didihnya leibh tinggi
akan mengembun pada bak pengembunan yang lebih rendah. Minyak
bumi yang titik didihnya lebih rendah. Sedangkan uap dari komponen-
komponen minyak bumi yang titik didihnya lebih rendah mengembun
pada bak pengembunan yang lebih tinggi dari menara.

4.16
Dari pemisahan di menara fraksinasi ini diperoleh beberapa
komponen. Pada umumnya komponen-komponen yang dihasilkan
minyak bumi dari satu tempat ke tempat lainnya tidak banyak berbeda.
Yang berbeda biasanya hanya perbandingan komponen-komponen yang
dihasilkan. Fraksi-fraksi minyak bumi dapat Anda lihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Fraksi-fraksi Minyak Bumi

Fraksi Jumlah Rantai Atom Titik Didih


C dalam Molekul
Gas Minyak C1 sd C5 -164 sd 300C
Bumi
Ligroin C5 sd C7 30 sd 900C
(petroleum eter)
Bensin C5 sd C12 30 sd 2000C
Kerosin C12 sd C16 175 sd 2750C
(Minyak Tanah)
Solar dan C15 sd C18 250 sd 4000C
Diesel
Pelumas C16 lebih 3500C lebih
Paraffin C20 lebih Titik lebur 52 sd
570C
Residu C25 lebih Cairan sangat
kental
Sumber: Mengerti Kimia Kelas I SMA (Agus, A; 1984: 201)

Kolom penyulingan bertingkat minyak bumi yang dikenal


dengan nama kolom fraksinasi, merupakan suatu silinder baja yang
tingginya kira-kira 37 m dan di dalamnya mempunyai bilik-bilik dengan
katup-katup baja pula sebagai tempat pemisahan fraksi-fraksi minyak
bumi tersebut. (Liliasari dalam Dahar, RW, 1990: 393)
Bagan kolom fraksinasi dan zat-zat yang terpisah di dalamnya
serta kegunaan tiap fraksi dapat Anda lihat pada Gambar 4.6.

4.17
Gambar 4.6. Hasil-hasil sulingan bertingkat dari Minyak Bumi
Sumber: Mengerti Kimia Kelas I SMA (Agus, A. 1984: 203)

b. Terbentuknya Batu Bara dan Pengolahannya


Anda perlu mengetahui proses terbentunya batu bara dan
pengolahannya. Apa itu batu bara? Batu bara adalah mineral hitam yang
terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan purba. Pada periode karbon (300 juta tahun
yang lalu) dan pada periode Creta (100 juta tahun yang lalu), iklim bumi dan
komposisi atmosfer sangat cocok utnuk melimpahruahnya pertumbuhan
tanaman. Di daratan yang sangat luas, di daratan yang berpaya-paya ataupun
di air dangkal tumbuh-tumbuhan pada saat itu tumbuh dengan suburnya.
Ketika tumbuhan mati, tumbuhan tersebut terbenam ke dalam rawa.
Tidak adanya oksigen di dalam rawa menyebabkan tumbuhan tersebut tidak

4.18
membusuk, melainkan berubah menjadi bahan serata yang di sebut gambut.
Ketika lapisan gambut yang saling bertumpuk mendapat tekanan yang sangat
besar dari permukaan, maka lapisan itu brubah menjadi batu bara lunak
(lignit), tekanan yang lebih besar mengubah batu bara lignit menjadi batu
bara muda (bituminus) yang kadang-kadang berubah menjadi batu bara yang
keras dan mengkilap (antrasit). Kedua jenis batu bara tersebut di tambang
untuk dimanfaatkan.
Berlangsungnya proses perubahan ini disebabkan oleh kurangnya
konsentrasi oksigen dalam rawa-rawa, sehingga dengan bantuan panas yang
timbul oleh tekanan batuan di atas gambut keluarlah gas-gas nitrogen,
hydrogen dan oksigen dari senyawa karbon kompleks yang merupakan sisa-
sisa tumbuhan tadi, yang akhirnya akan menyebabkan kadar karbon pada zat-
zat sisa tersebut makin tinggi. Zat-zat lain yang dibebaskan pula selama
proses pembentukan batu bara ini diantaranya CO2, H2O, dan CH4.
Proses pembentukan batu bara di kenal sebagai proses karbonisasi,
karena makin tua umur batu bara, makin tinggi kadar karbonnya. Apabila
diurutkan, maka pembentukan batubara dimulai dengan tahap pembentukan
gambut, kemudian batu bara muda atau lignit, selanjutnya baru terbentuk
batu bara. Batu bara itu dapat mengalami perubahan lebih lanjut karena
pertambahan tekanan serta naiknya suhu menjadi antrasit, yang kadar
karbonnya tertinggi.
Terjadinya batu bara ini dilakukan secara singkat pada gambar 4.7.
Macam-macam zat yang terjadi selama pembentukan batu bara
menunjukkan perbedaan kadar karbon yang dikandungnya. Makin tinggi
kadar karbon tersebut, makin tinggi pula kualitas batu bara tersebut, yang
ditunjukkan pula oleh nilai kalori yang dihasilkannya pada pembakaran.
Hasil analisis dari bermacam-macam batu bara dapat dirangkum seperti
terdapat pada Tabel 4.2

4.19
Gambar 4.6: Terbentuknya Batubara
(nomor menyatakan urutan kejadian)
Liliasari (Dahar; 1990: 390)

Cara lain untuk menunjukkan jenis-jenis batubara adalah dengan cara


melihat lapisan-lapisan batu bara yang tampak secara langsung, tanpa
menggunakan mikroskop, seperti yang diusulkan oleh Marie Stopes dan di
kenal sebagai sistem Stopes; yaitu Vitrain yang sifatnya hitam mengkilat
seperti kaca; Fusain yang disebut juga mineral batu bara yang bersifat mudah
pecah dan berdebu; Durain yang bersifat keras dan seringkali berbentuk;
Clarain yang bersifat lapisan-lapisan yang berkilauan (Liliasari dalam Dahar,
RW,1990).

4.20
Tabel 4.2 Hasil Analisis Berbagai Batubara

Persentase / Kadar
Jenis
%C %O %H %N %S

Lignit 72,4 20,5 5,3 1,1 0,7

Sub-bituminus B 77,7 15,0 5,2 1,6 0,5

Bituminus C 79,2 10,5 5,9 1,5 2,9

Bituminus B 82,4 8,8 5,7 1,5 1,6

Bituminus A 85,0 6,9 5,7 1,6 0,8

Bituminus 89,5 3,5 4,9 1,7 0,4


(penguapan rendah)

Bituminus 91,4 2,1 4,6 1,2 0,7

Antrasit 94,9 1,8 1,8 0,7 0,8

Sumber : Liliasari (Dahar,R W,1990)

Pengolahan Batu Bara


Batu bara hasil penambangan. Sebelum dipergunakan perlu
pengolahan terlebih dahulu, seperti harus dilakukan pemurnian batu bara dari
zat pencemaran dan pemotongan menjadi bentuk-bentuk dan ukuran yang
sesuai dengan permintaan konsumen.
Banyak produk kimia diturunkan dari batu bara. Dari batu bara dapat
diperoleh Kokas yang selanjutnya akan di dapat berbagai macam zat, seperti:
Ter, yaitu hasil penguraian yang mudah menguap terdiri atas zat cair dan
mengembun langsung, gas (CH4 dan H2) untuk bahan bakar dan minyak-
minyak ringan (Zat cair yang mudah menguap). Bila minyak-minyak ringan
ini dimurnikan melalui destilasi bertingkat akan terpisah menjadi Benzena
(C6H6), Toluena (C7H8), dan campuran dari tiga macam Silena (C8H10). Zat-

4.21
zat ini bermanfaat sebagai pelarut dan pereaksi untuk membuat zat-zat kimia
yang lain.
Ter didestilasi untuk menghilangkan bagian yang mendidih antara
3500 – 4000C, menghasilkan residu ter yang digunakan sebagai bahan bakar.
Senyawa-senyawa penting yang dapat diisolasi dari hasil destilsi dengan
metode ekstraksi diantaranya: Naftalen (C10H8), Antrasen (C14H10), Fenol
atau disebut juga Karbol (C6H5OH), dan Piridin (C5H5N).
Dalam kehidupan sekarang ini banyak bahan yang dibuat melalui
industri kimia berasal dari batu bara diantaranya obat-obatan, cat, bahan
peledak, pestisida dan plastik.
Sebagai contoh dapat diubah menjadi asam salisilat, yang
dipergunakan sebagai bahan dasar aspirin ataupun minyak gandapura sebagai
obat.

2. Sumber Daya Alam yang Dapat Diperbaharui


Anda tentu mengetahui alasan mengapa tumbuhan, hewan, dan
mikroorganisme merupakan SDA yang dapat diperbarui. Karena tumbuhan,
hewan dan mikroorganisme dapat berkembang biak. Kita dapat menanam
tumbuhan atau memelihara hewan kemudian mengembangbiakkannya. SDA
tersebut dapat dipanen, dimanfaatkan dan diperbaharui.
Sebenarnya air termasuk SDA terpulihkan, meskipun yang
memulihkannya adalah alam melalui daur hidrologi. Alam menyediakan energi
untuk menguapkan air laut, menghembus awan hingga jatuh menjadi air hujan,
meresap ke tanah, dan muncul lagi sebagai mata air. Agar proses pemulihannya
berlangsung baik, maka semua lintasan daur air tersebut harus kita jaga
kelestariannya. Misalnya hutan harus ada. Pencemaran sungai dikurangi dan
penggunaan air harus dihemat.
Meskipun tumbuhan, hewan dan mikroorganisme (SDA Hayati =
SDAH) dapat diperbaharui, tetapi dalam pemanfaatannya harus diikuti dengan
pemeliharaan dan pelestariaannya. Apabila tumbuhan di panen atau

4.22
dimanfaatkan terus menerus tetapi tidak dirawat maka SDAH tersebut juga akan
terancam kelestariannya, bahkan kemungkinan akhirnya akan punah.
(Syamsuri; 2002)
Air yang merupakan SDA terpulihkan juga harus digunakan secara
bijaksana.
a. Air
Air adalah suatu zat kimia yang penting bagi semua bentuk
kehidupan di muka bumi. Hampir 71% permukaan bumi tertutupi oleh air.
Terdapat 1,4 tiriliun kilometre kubik (330 juta mil3) tersedia di bumi.
Air sebagian besar terdapat di laut (air asin) dan pada lapisan-lapisan
es (di kutub dan puncak-puncak gunung), akan tetapi juga dapat hadir
sebagai awan, hujan, sungai, air tawar, danau, uap air, dan lautan es. Air
dalam obyek-obyek tersebut bergerak mengikuti suatu siklus air, yaitu:
melalui penguapan, hujan, dan aliran air di atas permukaan tanah (runoff,
meliputi mata air, sungai, muara) menuju laut. Air bersih penting bagi
kehidupan manusia.
Air dapat berwujud padat (es), cair (air) dan gas (uap air). Air
merupakan satu-satunya zat yang secara alami terdapat di permukaan bumi
dalam ketiga wujudnya tersebut.
Air (H2O) dalam keadaan murni merupakan benda alami yang cair,
tidak berwarna, tembus cahaya, tidak ada rasanya, bisa membeku pada suhu
00C dan mendidih/menguap pada suhu 1000C, bentuknya selalu berubah
sesuai bentuk tempat ia berada, dapat melarutkan dan melapukkan benda-
benda keras tertentu dan dapat melepaskan kembali zat yang larut di
dalamnya.
Air terus mengalir melalui sistem distribusi alam di dalam suatu
siklus, yang disebut siklus air (daur hidrologi).

4.23
Siklus Air
Siklus air ini digerakkan oleh energi cahaya matahari, yang
menguapkan air dari permukaan laut dan tanah yang di sebut evaporasi.
Uap air bergerak naik, di atmosfer, suhu udara lebih rendah, sehingga
uap air berubah kembali menjadi titik-titik air. Hal itu di sebut kondensasi.
Air yang terkondensasi membentuk awan. Air jatuh dari awan sebagai hujan
ke bumi dan melengkapi siklus air. Jumlah air di permukaan bumi tetap sama
sebab air mengalami siklus terus jadi dapat dikatakan bahwa air merupakan
sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Siklus air dapat Anda lihat pada
Gambar 4.7.

Gambar 4.7 : Siklus Air


(Malam; 2005: 84)

Air Sebagai Pelarut


Air di alam tidak pernah terdapat dalam keadaan murni, karena ketika
mengalir di dalam siklus air melarutkan kembali gas, mineral, kotoran,
mikroba dan lain sebagainya.
Air mempunyai kemampuan melarutkan berbagai zat sehingga
disebut pelarut universal. Air hujan yang dapat kita anggap murni ternyata
tidak sepenuhnya murni karena masih melarutkan gas-gas dari udara sewaktu
bersinggungan dengan udara.

4.24
Air laut mengapung semua mineral yang dibawa air sungai, sehingga
air laut mengandung kadar sampai 3,5 % (terutama terdiri dari garam NaCl).
Air Sadah
Tahukah Anda, apa yang dimaksud dengan air sadah? Air sadah ialah
air yang banyak mengandung garam-garam terlarut didalamnya. air apa
sajakah yang termasuk air sadah? Air sungai, Air sumber (mata air), dan Air
laut yang banyak mengandung garam-garam, seperti: Ca(HCO3)2,
Mg(HCO3)2, CaCl2, CaSO4, MgSO4, MgCl2, dan lain sebagainya.
Berdasarkan sifat dari garam yang terlarut dari air sadah, anda dapat
membedakan air sadah atas:
a. Air sadah sementara/ kesadahan sementara.
Air sadah sementara banyak mengandung garam-garam asam seperti:
Ca(HCO3)2 dan Mg(HCO3)2. Bila air sadah sementara ini dipanaskan
maka garam-garam asam ini berubah menjadi garam normalnya yang
sukar larut. Hal ini dapat Anda lihat pada dasar panci tempat memasak air
terbentuk kerak yang tebal.
b. Air sadah tetap/ kesadahan tetap.
Air sadah tetap ialah air sadah yang mengandung garam-garam
CaCl2, CaSO4, MgSO4, MgCl2. Air yang mengandung banyak garam-
garam kalsium dan magnesium ini di sebut air sadah tetap. Air sadah tetap
jika dipanaskan tetap sadah. Karena garam-garam yang terlarut pada
pemanasan tidak berubah.
Air sadah kurang baik digunakan untuk mencuci dengan sabun,
karena sabun sukar membuih di dalamnya, yang disebabkan oleh reaksi ion
Ca2+ dan Mg2+ dengan sabun. (Surakiti; 1989).

Anomali Air
Apabila air panas didinginkan, volumenya berkurang dengan teratur
sampai 40C. Jika terus didinginkan, volumenya tidak terus berkurang bahkan
bertambah besar lagi sampai 00C, kemudian air membeku. Pada pembekuan

4.25
ini volumenya bertambah besar. Oleh karena itu, kepadatan (massa jenis) air
pada temperatur di bawah 40C lebih kecil dibandingkan dengan kepadatan
pada temperatur di atas 40C. karena kepadatannya berkurang maka es akan
mengapung. Karena es mempunyai massa jenis 0,92 sedangkan massa jenis
air adalah 1.
Karena air pada 40C mempunyai volume yang kecil, maka massa
jenis ditentukan pada 40C, yaitu = 1 sehingga massa 1 cm3 air pada 40C = 1
gram.
Anomali air sangat penting bagi kehidupan ikan dan binatang lain
yang hidup di dalam air. Pada musim dingin permukaan sungai tertutup
dengan lapisan es, tetapi di dasar sungai, masih terdapat air dari 40C,
sehingga ikan-ikan masih dapat tetap hidup di bawah lapisan es itu.

b. Sumber Daya Tumbuhan, Hewan dan Mikroba


1) Sumber Daya Tumbuhan
Sumber daya hayati Indonesia, baik yang berupa tumbuhan maupun
hewan sangat beraneka ragam. Dalam membicarakan sumber daya alam
tumbuhan maupun hewan kita tidak dapat menyebutkan jenis tumbuhan
maupun jenis hewan, melainkan kegunaannya. Misalnya untuk tumbuhan
berguna untuk pangan, sandang, papan, dan rekreasi, akan tetapi untuk
bunga-bunga tertentu, seperti melati, anggrek bulan, dan Rafflesia arnoldi
merupakan pengecualian karena ketiga tanaman bunga tersebut sejak tanggal
9 Januari 1993 telah ditetapkan dalam Kepres No. 4 tahun 1993 sebagai
bunga nasional dengan gelar masing-masing sebagai berikut:
a) Melati sebagai bunga bangsa
b) Anggrek bulan sebagai bunga pesona
c) Rafflesia arnoldi sebagai bunga langka
Tumbuhan memiliki kemampuan untuk menghasilkan oksigen dan
karbohidrat melaui proses fotosintesis. Oleh karean itu, tumbuhan
merupakan produsen atau penyusun dasar rantai makanan.

4.26
Eksploitasi memiliki kemampuan untuk menghasilkan oksigen dan
karbohidrat melalui proses fotosintesis. Oleh karena itu, tumbuhan
merupakan produsen atau penyusun dasar rantai makanan.
Eksploitasi tumbuhan yang berlebihan dapat mengakibatkna
kerusakan dan kepunahan, dan hal ini akan berkaitan dengan rusaknya rantai
makanan.

2) Sumber Daya Hewan


Anda tentu sudah mengetahui bahwa Sumber Daya hewan dapat
berupa hewan liar maupun hewan yang sudah dibudidayakan. Seperti pada
ketiga macam bunga nasional, pada tanggal 9 Januari 1993 ditetapkan pula
tiga satwa nasional.
Tiga satwa nasional adalah sebagai berikut:
a) Komodo (Varanus Kodoensis) sebagai satwa nasional darat.
b) Ikan Solera Merah sebagai satwa nasional air.
c) Elang Jawa sebagai satwa nasional.
Selain ketiga satwa nasional di atas, masih banyak satwa Indonesia
yang langka dan hampir punah. Misalnya Cendrawasih, Maleo, dan badak
bercula satu.
Untuk mencegah kepunahan satwa langka, diusahakan pelestarian
secara in situ dan ex situ. Pelestarian In Situ adalah pelestarian yang
dilakukan di habitat asalnya, sedangkan pelestarian ex situ adalah pelestarian
satwa langka dengan memindahkan satwa langka dari habitatnya ke tempat
lain.

3) Sumber Daya Mikroba


Di samping sumber daya alam hewan dan tumbuhan terdapat sumber
daya alam hayati yang bersifat mikroskopis yaitu mikroba. Selain berperan
sebagai dekomposer (pengurai) di dalam ekosistem, mikroba sangat penting
artinya dalam beberapa hal seperti berikut ini:

4.27
a) Sebagai bahan pangan atau menguah bahan pangan menjadi bentuk lain
seperti tape, sake, tempe, dan oncom.
b) Penghasil obat-obatan (Antibiotik), misalnya penisilin.
c) Membantu penyelesaian masalah pencemaran, misalnya pembuatan
biogas dan daur ulang sampah.
d) Membantu membasmi hama tanaman, misalnya Bacillus Thuringiensis.
e) Untuk rekayasa genetika, misalnya pencangkokan gen virus dengan gen
sel hewan untuk menghasilkan interferon yang dapat melawan penyakit
karena virus.
Rekayasa genetika dimulai tahun 1970 oleh Paul Berg (Pratiwi;
2000). Rekayasa Genetika adalah penganekaragaman genetic dengan
memanfaatkan fungsi genetik dari suatu organisme.
Cara-cara rekayasa genetika tersebut antara lain: kultur jaringan,
mutasi buatan, persilangan, dan pencangkokan gen. rekayasa genetika dapat
dimanfaatkan untuk tujuan sebagai berikut ini:
1) Mendapatkan produk pertanian baru, seperti “potato”, merupakan
persilangan dari potato (kentang) dan tomato (tomat).
2) Mendapatkan ternak yang berkadar protein tinggi.
3) Mendapatkan ternak atau tanaman yang tahan hama.
4) Mendapatkan tanaman yang mampu menghasilkan insektisida sendiri.

3. Sumber Daya Alam yang Tidak Habis


a. Tak dapat Diubah
Yaitu sumber daya alam yang tidak akan habis, tetapi tidak dapat
banyak di ubah oleh kegiatan manusia, misalnya: Tenaga Atom, tenaga
angin, tenaga pasang surut.

4.28
b. Bisa salah guna
Yaitu SDA yang tak akan habis, tetapi jika salah cara
pemanfaatannya, maka kualits dari SDA akan menurun bahkan rusak.
Misalnya; udara, air dan pemandangan alam.

Udara sebagai Sumber Daya Alam


Bumi dikelilingi oleh lapisan udara yang tebal. Lapisan udara ini di
sebut atmosfer. Atmosfer sangat penting bagi kehidupan di bumi karena
tanpa atmosfer, maka manusia, hewan dan tumbuhan tidak dapat hidup.
Atmosfer juga bertindak sebagai pelindung kehidupan di bumi dan radiasi
matahari yang kuat pada siang hari dan mencegah hilangnya panas ke ruang
angkasa pada malam hari.
Atmosfer dapat menyebabkan hambatan bagi benda yang bergerak
melaluinya, sehingga sebagian meteor yang melalui atmosfer akan menjadi
panas dan hancur sebelum mencapai permukaan bumi. Atmosfer bersifat
dapat dimanfaatkan sehingga lapisan atmosfer bawah lebih rapat
dibandingkan lapisan di atasnya, akibatnya tekanan udara berkurang sesuai
ketinggian.
Atmosfer bumi sangat unik dan hanya terdapat di bumi, maka
kehidupan di bumi dapat berlangsung. Lapisan atmosfer merupakan
campuran dari gas yang tidak tampak dan tidak berwarna, yaitu gas nitrogen
(N2), oksigen (O2), Argon (Ar) dan Karbondioksida (CO2) meliputi hampir
seratus persen dari volume udara kering. Lihat Tabel 4.10. Gas lain yang
stabil adalah neon (Ne) helium (He), krypton (Kr), hydrogen (H) dan xeon
(Xe). Sedangkan ozon (O3) dan radon (Rd) terdapat di atmosfer dalam
jumlah sangat kecil dan kurang stabil.
Ozon (O3) adalah gas yang sangat aktif dan merupakan bentuk lain
dari oksigen. Gas ini terdapat terutama pada ketinggian antara 20 – 30 km
yaitu merupakan ketinggian dari lapisan atmosfer.

4.29
Pada lapisan stratosfer ini terjadi suatu reaksi fotokimia (reaksi yang
berlangsung dengan bantuan sinar). pada reaksi fotokimia ini, oksigen di
ubah menjadi ozon (O3) dengan bantuan sinar ultraviolet dari sinar matahari
(panjang gelombang sekitar 1800 A0).
. v . 1800 Α
3O2 u  → 2O3
0

Adanya lapisan ozon di Stratosfer menahan radiasi ultraviolet,


sehingga makhluk hidup terlindung dari bahaya radiasi ultraviolet (uv) ini,
karena sinar UV bisa merusak sel-sel tubuh dan dapat menimbulkan kanker.
Selain udara kering, lapisan atmosfer mengandung air dalam ketiga
fasanya dan aerosol atmosfer. Oleh karena itu, udara kering yang murni di
alam tidak pernah dijumpai karena; 1) adanya uap air yang jumlahnya
berubah-ubah dan 2) ada injeksi zat ke dalam udara, seperti asap dan partikel
debu. Udara ini disebut udara alam.
Uap air yang jumlahnya relatif sedikit, terdapat pada lapisan bawah
atmosfer, berasal dari penguapan perairan di bumi dan transpirasi tanaman.
Gas utama dalam udara kering dapat Anda lihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3
Gas Utama dalam Udara Kering

MACAM GAS VOLUME % MASSA %

Nitrogen (N2) 78,088 75,527


Oksigen (O2) 20,949 23,143

Argon (Ar) 0,930 1,282


Karbon dioksida (CO2) 0,030 0,045
Jumlah 99,997 99,997
Sumber: Tjasyono; 2006

4.30
LATIHAN
Untuk memperoleh pemahaman Anda mengenai materi diatas, silahkan
kerjakan latihan berikut ini.
1. Jelaskan dengan contoh apa yang dimaksud dengan SDA yang tidak dapat
diperbaharui itu.
2. Jelaskan dengan contoh:
a. Pendaurulangan (recycle)
b. Penggunaulangan (reuse)
c. Perawatan (repair)
d. Penghematan (reduce)
Apa alasannya sehingga kita perlu melakukan itu semua?
3. Apa sebabnya SDAH semakin langka dan keanekaragaman semakin
menurun? Jelaskan dengan contoh-contoh!
4. Langkah Kerja
a. Kumpulkan sampah rumah tangga dari rumah masing-masing
b. Sebutkan mana sampah dan buatlah daftarnya. Gunakan batang runcing
bambu atau logam untuk memilah dan membalik sampah.
c. Tentukan masa sampah organik dan anorganik.
d. Tentukan masa SDA terpulihkan dan tak terpulihkan
e. Tentukan mana sampah yang dapat diurai dan mana yang tidak dapat
diurai.
f. Buatlah tabel sebagai berikut:
Sampah dari daerah
No Nama Organic Anorganik Pulih Tidak Terurai Tak
Sampah pulih terurai
1.
2.
3.
4
dst
g. Sampah nomor berapa yang dapat didaur ulang?
h. Sampah nomor berapa saja yang dapat dimanfaatkan tanpa proses daur
ulang?

4.31
Petunjuk Jawaban Latihan
Untuk dapat menjawab latihan secara lengkap. Carilah buku-buku dan
bahan bacaan lain yang memuat tentang sumber daya alam, dan Anda dapat
mengacu pada rambu-rambu pengerjaan latihan berikut:
1. SDA yang tak terpulihkan atau tak dapat diperbaharui adalah SDA yang
tidak dapat diproduksi seperti bijih logam, gas bumi, batu bara, dan minyak
bumi.

2. Dalam pemanfaatan SDA beserta sisa-sisanya dapat menjadi sampah dan


mencemari lingkungan, sampah ada yang dapat diuraikan dan ada yang
tidak dapat diuraikan, maka:
a) Pendaurulangan (recycle)
Yaitu dimana sampah yang dapat diuraikan dapat dimanfaatkan kembali
setelah melalui daur ulang (recycle). Contoh: Daun-daun yang
dibusukkan dapat dijadikan kompos untuk pupuk tanaman. Coba carilah
oleh Anda contoh yang lainnya yang dapat didaur ulang!
b) Penggunaulangan (reuse)
Yaitu sampah yang tidak dapat diuraikan akan tetap sebagai sampah jika
dibiarkan di lingkungan. Kita dapat menggunakan kembali sampah
tersebut melalui pengunaulangan. Misalnya: kaleng bekas kue dapat
digunakan lagi untuk wadah makanan atau botol bekas dapat digunakan
lagi untuk menyimpan minum dan sebagainya.
c) Perawatan (repair)
Contoh:
a. Membersihkan sumbu kompor secara berkala.
b. Merawat mesin jahit, komputer dan peralatan lain.
d) Penghematan (reduce)
Menggunakan barang-barang yang sudah ada/barang bekas misalnya
botol bekas selai dapat digunakan lagi untuk menyimpan gula dan
sebagainya. Jadi tidak perlu membeli wadah baru.

4.32
Alasannya:
1) Dapat menghemat SDA, terutama SDA tak terpulihkan.
2) Mengurangi sampah, sehingga mencegah pencemaran.

3. SDAH semakin langka dan keanekaragaman semakin menurun, karena:


Akibat pembudidayaan, kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Dalam pembudidayaan baik hewan maupun tumbuhan, manusia
menyeleksi sifat-sifat yang baik dan sesuai dengan kebutuhannya. Hewan
dan tumbuhan yang tidak sesuai akan dibiarkan bahkan dimusnahkan, maka
makhluk hidup yang diabaikan menjadi langkah.
Menurunnya keanekaragaman SDAH juga disebabkan oleh
perusakan lingkungan, perburuan, kebakaran hutan/penebangan hutan dan
lain sebagainya.

4. g dan h
Anda dapat menyelesaikannya dengan cara Anda sudah mengisi tabel yang
sudah disediakan coba pelajari/baca kembali oleh Anda pada petunjuk
jawaban latihan nomor 2.

4.33
RANGKUMAN
SUMBER DAYA ALAM

Semua kekayaan bumi baik biotik maupun abiotik yang dapat


dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan manusia
merupakan sumber daya alam (SDA).
Kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan semua
makhluk hidup disebut daya dukung lingkungan. Karena keterbatasan sumber
daya alam, maka pemanfaatannya harus berkesinambungan dan disertai
tindakan lingkungan.
Berdasarkan sifatnya, sumber daya alam dapat dibagi 3, yaitu sebagai
berikut: Sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable), Sumber daya
alam yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable), dan Sumber daya alam
yang tidak habis. Menurut potensi penggunaannya sumber daya alam (SDA)
dibagi menjadi SDA materi, SDA energi, dan SDA ruang. Menurut jenisnya,
sumber daya alam dibagi menjadi SDA nonhayati, dan hayati.
Termasuk ke dalam SDA hayati adalah hewan, tumbuhan, mikroba, dan
manusia. Sumber daya tumbuhan mempunyai potensi khusus, yaitu mampu
berfotosintesis.
Mikroba sebagai salah satu SDA berfungsi dalam menghasilkan pangan,
obat-obatan, dan rekayasa genetika.
Eksploitasi SDA yang melampaui batas akan menyebabkan kerusakan.
Kerusakan yang terjadi dapat berupa kepunahan dari suatu jenis organisme,
kerusakan alam, dan bencana alam. Pemanfaatan SDA cenderung meningkat
terus karena pertambahan penduduk dan perkembangan teknologi.
Siklus Air
Matahari memanaskan air di permukaan laut dan mengubahnya menjadi
gas kasat mata yang disebut uap air. Perubahan itu disebut evaporasi. Uap air
bergerak naik. Di atmosfer, suhu udara lebih rendah, sehingga uap air berubah
kembali menjadi titik-titik air. Hal itu di sebut Kondensasi. Air jatuh dari awan
sebagai hujan ke bumi dan melengkapi siklus air. Jumlah air di permukaan bumi

4.34
tetap sama sebab air mengalami siklus terus-menerus.
Udara merupakan suatu campuran gas. Gas terbanyak di dalam udara
adalah nitrogen sebanyak 78% dan oksigen 21%. Gas lainnya seperti
karbondioksida, argon, uap air dan lain sebaginya di berikan dalam daftar
dibawah.
Pada umumnya komposisi udara konstan dari satu tempat ke tempat lain.
Yang bervariasi hanyalah kandungan uap air dan debu/gas pencemar lainnya.
Kandungan uap air didaerah tropis dan daerah kepulauan/samudra jauh lebih
tinggi dibanding daerah subtropis. Demikian pula di daerah yang banyak
industri udara banyak mengandung debu/asap dan gas pencemar (CO, NO, dan
SO2) yang berasal dari gas buang pabrik/mesin.
Terbentuknya Minyak bumi dan Gas
Minyak bumi dan gas terbentuk jutaan tahun yang lalu di dasar laut.
Ketika organisme laut yang kecil dan mati. Organisme tersebut tenggelam ke
dasar laut dan tertutupi endapan yang akhirnya mengeras menjadi batu. Di
bawah tekanan yan sangat besar, bahan-bahan yang setengah membusuk
tersebut berubah menjadi minyak dan gas. Minyak dan gas bergerak perlahan ke
permukaan dan berkumpul dalam sebuah rongga di antara lapisan batuan.
Rongga-rongga itulah yang dibor untuk mendapatkan minyak dan gas.
Pembentukan Batubara
Batu bara adalah mineral hitam yang terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan
purba. Ketika tumbuhan mati, tumbuhan tersebut terbenam ke dalam rawa.
Tidak adanya oksigen di dalam rawa menyebabkan tumbuhan tersebut tidak
membusuk, melainkan berubah menjadi bahan serata yang di sebut gambut.
Ketika lapisan gambut yang saling bertumpuk mendapat tekanan yang sangat
besar dari permukaan, maka lapisan itu berubah menjadi batu bara lunak
(lignit). Tekanan yang lebih besar mengubah batu bara lignit menjadi batu bara
muda (bituminus) yang kadang-kadang berubah menjadi batu bara yang keras
dan mengkilap (antrasit). Kedua jenis batu bara tersebut di tambang untuk
dimanfaatkan.

4.35
FORMATIF I

Petunjuk: Pilihlah salah satu jawaban yang dianggap paling tepat.

1. Manakah yang bukan merupakan pengertian SDA adalah…..


A. Semua kekayaan bumi baik biotik maupun abiotik yang dapat
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan manusia.
B. Sebagai segala isi yang terkandung dalam biosfer sebagai energi kinetik.
C. Segala sesuatu yang ada di sekelilling manusia yang bukan dibuat
manusia yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dan
kesejahteraan manusia.
D. Sumber daya terbentuk karena kekuatan alam.
E. Sebagai segala isi yang terkandung dalam biosfer, sebagai energi yang
potensial yang dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan
manusia.

2. Manakah diantara SDA berikut yang merupakan SDA kekal dan tak akan
habis dipakai?
A. Cahaya matahari, energi laut, dan udara.
B. Suhu, kelembaban, dan air.
C. Tumbuhan, ganggang, dan jamur.
D. Hewan, tumbuhan, dan protozoa
E. Logam, batu bara, dan mineral

3. Manakah yang tergolong SDA terpulihkan?


A. Besi, baja, logam mulia.
B. Minyak bumi
C. Tumbuhan, hewan, mikroorganisme.
D. Fosil hewan dan tumbuhan
E. Bahan sintetik

4.36
4. Manakah yang tergolong pendaurulangan (Recycle)?
A. Pemanfaatan sampah sebagai barang berguna
B. Memanfaatkan sampah sebagai pupuk kompos.
C. Pembakaran sampah
D. Kaleng susu untuk wadah gula
E. Membuat kerajinan dari plastik bekas.

5. Pemanfaatan ulang mempunyai tujuan mulia untuk pelestarian lingkungan,


kecuali…
A. Menghemat penggunaan SDA
B. Mencegah pencemaran lingkungan
C. Mengurangi sampah
D. Mengurangi belanja
E. Mengurangi kerusakan lingkungan.

6. Hasil pengolahan batu bara diantaranya…


A. Ligroin D. Parafin
B. Bensin E. Benzena
C. Kerosin

7. Pernyataan yang tidak sesuai untuk minyak bumi adalah:


A. Berasal dari tumbuhan yang tertimbun berjuta tahun.
B. Berasal dari hewan laut yang tertimbun berjuta tahun.
C. Terjadi karena penguraian tak sempurna hewan laut selama berjuta
tahun.
D. Terjadi pada batuan endapan berjuta tahun yang lampau.
E. Dikenal sebagai bahan bakar fosil.

4.37
8. Energi melimpah yang penggunaannya tidak menimbulkan pencemaran
lingkungan dan tidak mempengaruhi sumber energi itu adalah ….
A. Energi matahari D. Energi minyak bumi
B. Energi gas bumi E. Energi batu bara
C. Energi nuklir

9. Temperatur di bawah ini, yang menunjukkan volume air berkurang jika air
panas didinginkan adalah …
A. 00 C D. 60 C
B. 20 C E. 100 C
C. 40 C

10. Oksigen (O2) ada di udara dengan persen volume sebesar 20,95%. Gas ini
berada di udara sebagai hasil…
A. Proses oksidasi D. Proses radiasi matahari
B. Proses fotosintesis E. Proses penguraian
C. Proses pembakaran

11. Gas di bawah ini merupakan gas yang sangat aktif, dapat menahan radiasi
ultraviolet sehingga makhluk hidup terlindung dari bahaya radiasi
ultraviolet, gas tersebut adalah ….
A. Oksigen (O2) D. Hidrogen (H2)
B. Karbon dioksida (CO2) E. Nitrogen (N2)
C. Ozon (O3)

4.38
BALIKAN DAN TINDAK LANJUT
Cocokanlah hasil jawaban Anda dengan kunci jawaban Tes formatif I
yang ada pada bagian belakang modul ini. Hitunglah jawaban Anda yang benar,
kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi kegiatan belajar 1.
Rumus :
Jumlah jawaban Anda yang benar
Tingkat Penguasaan = x 100%
10

Arti Tingkat Penguasaan :


90% - 100% = Baik Sekali
80% - 89% = Baik
70% - 79% = Cukup
< 69% = Kurang
Kalau Anda mencapai tingkat penguasaan 80% ke atas, Anda dapat
meneruskan dengan kegiatan belajar 2, Bagus! Akan tetapi apabila tingkat
penguasaan Anda masih di bawah 80%, Anda harus mengulang Kegiatan
Belajar 1, terutama bagian yang belum anda kuasai.

4.39
KEGIATAN BELAJAR-2
LINGKUNGAN HIDUP
Dra. Yuyu Hendawati, M.Pd.

PENGANTAR
Kita telah menyadari bahwa manusia bagian yang tak terpisahkan dari
lingkungan. Coba amati lingkungan disekitar Anda! Disekitar lingkungan
terdapat faktor abiotik (tanah , air, udara, suhu) dan faktor biotik (tumbuhan dan
hewan termasuk manusia). Komponen biotik maupun abiotik dalam lingkungan
dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh manusia. Definisi lingkungan hidup
adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya keadaan, dan makhluk hidup,
termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya.
Untuk dapat memahami pengertian “Lingkungan Hidup”, maka
pikirkanlah segala sesuatu yang ada di sekitar kita dan mempunyai pengaruh
terhadap kelangsungan hidup suatu organisme. Ternyata lingkungan hidup
terdiri dari lingkungan biotik (makhluk-makhluk hidup) dan lingkungan abiotik
(benda-benda bersifat mati).
Dalam kondisi alam, lingkungan dengan segala keragaman interaksi yang
ada mampu untuk menyeimbangkan keadaannya namun keseimbangan dapat
terganggu atau berubah karena pengaruh aktivitas manusia terhadap lingkungan
seperti peningkatan eksploitasi sumber daya alam akan meningkatkan tekanan
terhadap lingkungan, yaitu timbulnya zat-zat sampah yang mengakibatkan
terjadinya pencemaran atau polusi terhadap lingkungan.

A. Keseimbangan Lingkungan
Apakah masih ada lingkungan yang asri dan alami di sekitar Anda? Jika
masih ada tentunya lingkungan tersebut memiliki komponen lingkungan yang
seimbang. Keseimbangan lingkungan secara alami dapat berlangsung, karena
dalam suatu ekosistem senantiasa terjadi berbagai dinamika kehidupan seperti
rantai makanan, jaring makanan, daur materi, aliran energi, piramida makanan

4.40
dan lain-lain. Semua dinamika tersebut memungkinkan proses kehidupan terus
berlangsung dan berkesinambungan. Dinamika dapat menunjukkan bahwa
antara komponen ekosistem selalu terjadi interaksi. Pada hakikatnya komponen-
komponen yang ada terlibat dalam aksi reaksi dan berperan sesuai
keseimbangan pemindahan energi (aliran energi) dan siklus biogeokimia dapat
berlangsung dalam ekosistem yang terpadu. (Pratiwi; 2000).
Akibat adanya interaksi yang saling membutuhkan maka tidak akan ada
satupun komponen biotik yang populasinya bertambah terlalu cepat, sedangkan
yang lainnya berkurang. Hal ini sangat memungkinkan karena pada hakikatnya
setiap komponen akan menjadi pendukung, sekaligus pengontrol pertumbuhan
populasi komponen biotik maupun abiotik lainnya.
Lingkungan yang seimbang memiliki daya lenting dan daya dukung yang
tinggi. Keseimbangan lingkungan ditentukan oleh seimbangnya yang masuk
dan energi yang digunakan, seimbangnya antara bahan makanan yang terbentuk
dengan yang digunakan, seimbangnya antara factor-faktor abiotik dan biotik.
Daya lenting yaitu daya untuk pulih kembali ke keadaan seimbang.
Sedangkan daya dukung yaitu kemampuan lingkungan untuk dapat memenuhi
kebutuhan sejumlah makhluk hidup agar dapat tumbuh dan berkembang secara
wajar didalamnya.
Keseimbangan lingkungan merupakan keseimbangan yang dinamis, yaitu
keseimbangan yang dapat mengalami perubahan. Keseimbangan lingkungan
berubah karena perubahan-perubahan lingkungan. (Yekti; 2000)

B. Perubahan Lingkungan
Perubahan lingkungan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan.
Perubahan yang terjadi pada lingkungan hidup manusia menyebabkan adanya
gangguan terhadap keseimbangan karena sebagain dari komponen lingkungan
menjadi berkurang fungsinya. Perubahan lingkungan dapat terjadi karena
campur tangan manusia dan dapat pula karena faktor alami. Dampak dari

4.41
perubahannya belum tentu sama, namun akhirnya manusia juga yang harus
menanggung serta mengatasinya.

1. Perubahan Lingkungan karena Campur Tangan Manusia


Perubahan lingkungan karena campur tangan manusia contohnya
penebangan hutan, pembangunan pemukiman, penerapan intensifikasi
pertanian dan teknologi.
Penebangan hutan yang liar mengurangi fungsi hutan sebagai penahan
air. Akibatnya, daya dukung hutan menjadi berkurang. Selain itu,
penggundulan hutan dapat menyebabkan terjadinya banjir dan erosi. Akibat
lain adalah munculnya harimau, babi hutan, dan ular di tengah pemukiman
manusia karena semakin sempitnya habitat hewan-hewan tersebut.
Penebangan hutan secara liar dapat Anda lihat pada Gambar 4.8.

Gambar 4.8. Penebangan hutan yang semena-mena


(Pratiwi; 2000)

4.42
Pembangunan pemukiman pada daerah-daerah yang subur merupakan
salah satu tuntutan kebutuhan akan papan. Semakin padat populasi manusia,
lahan yang semula produktif menjadi tidak atau kurang produktif.
Pembangunan jalan kampung dan desa dengan cara betonisasi
mengakibatkan air sulit meresap ke dalam tanah. Sebagai akibatnya, bila
hujan lebat memudahakan terjadinya banjir. Selain itu, tumbuhan
disekitarnya menjadi kekurangan air sehingga tumbuhan tidak efektif
melakukan fotosintesis. Akibat lebih lanjut, kita merasakan panas akaibat
tumbuhan tidak secara optimal memanfaatkan CO2, peran tumbuhan sebagai
produsen terhambat.
Penerapan intensifikasi pertanian dengan cara panca usaha tani, di satu
sisi meningkatkan produksi, sedangkan di sisi lain bersifat merugikan.
Misalnya, penggunaan pupuk dan pestisida dapat menyebabkan pencemaran.
Contoh lain pemilihan bibit unggul sehingga dalam satu kawasan lahan
hanya ditanami satu macam tanaman, disebut pertaniai tipe monokultur,
dapat mengurangi keanekaragaman sehingga keseimbangan ekosistem sulit
untuk diperoleh. Ekosistem dalam keadaan tidak stabil. Dampak yang lain
akibat penerapan tipe ini adalah terjadinya ledakan hama.
Teknologi dan keseimbangan lingkungan, dengan berkembangnya ilmu
dan teknologi (IPTEK), kemampuan manusia untuk mengeksploitasi
lingkungannya semakin mudah. Dengan bantuan ilmu dan teknologi,
manusia dapat menciptakan alat dan bahan yang dapat mempermudah
kerjanya. Contohnya pembabatan hutan, pengolahan lahan pertanian,
pemberantasan hama, penggunaan pupuk buatan dan lain-lain yang
semuanya bertujuan untuk meningkatkan produktivitas ekosistem dapat
dicapai dengan mudah.
Di sisi lain, ternyata kemudahan dan kesejahteraan itu dapat mengubah
pola hidup manusia menjadi lebih konsumtif. Maka dengan demikian
peningkatan populasi manusia, peningkatan kebutuhan hidup, kemudahan
mengeksploitasi lingkungan, serta perubahan pola tingkah laku manusia akan

4.43
meningkatkan tekanan terhadap daya dukung lingkungan. Hal inilah yang
akan menyebabkan krisis lingkungan. Maka, jelaslah bahwa peranan
manusia dalam pengubahan lingkungan sangat dominan.

2. Perubahan Lingkungan karena Faktor Alam


Tentu Anda masih ingat beberapa bencana alam yang terjadi di
Indonesia. Bencana alam yang terjadi di Indonesia diantaranya adalah
Tsunami yang terjadi di Aceh dan Pangandaran. Coba sebutkan oleh Anda
contoh bencana alam lainnya yang mengakibatkan perubahan lingkungan di
Indonesia?
Perubahan lingkungan secara alami disebabkan oleh bencana alam.
Bencana alam seperti kebakaran hutan di musim kemarau menyebabkan
kerusakan dan matinya organisme di hutan tersebut. Selain itu, terjadinya
letusan gunung menjadikan kawasan di sekitarnya rusak.

C. Pencemaran Lingkungan
Tahukah Anda apakah timbulnya pencemaran? Penyebab timbulnya
pencemaran terhadap lingkungan adalah pertumbuhan penduduk dunia yang
pesat dan perkembangan teknologi. Sejalan dengan peningkatan kebutuhan
hidup serta perubahan tingkah laku manusia, maka peningkatan eksploitasi
terhadap SDA meningkatkan tekanan terhadap lingkungan. Peningkatan tekanan
terhadap lingkungan antara lain:
1. Makin meningkatnya kerusakan makin menjurus ke arah rusaknya
keseimbangan ekosistem.
2. Timbulnya zat-zat sampah dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran atau
polusi terhadap lingkungan.
Zat atau bahan yang dapat mengakibatkan pencemaran disebut pulutan.
Syarat-syarat suatu zat tersebut polutan bila keberadaannya dapat menyebabkan
kerugian terhadap makhluk hidup. Contohnya, karbon dioksida dengan kadar

4.44
0,033% di udara berfaedah bagi tumbuhan, tetapi bila lebih tinggi dari 0,033%
dapat memberikan efek merusak.
Apa yang Anda ketahui tentang polutan? Polutan adalah bahan atau zat
yang dapat menimbulkan pencemaran. Suatu zat dapat disebut polutan apabila:
a. Kadarnya melebihi batas normal
b. Berada pada waktu yang tidak tepat
c. Berada pada batas yang tidak semestinya
d. Kadarnya melebihi batas normal.
Bagaimana sifat-sifat dari polutan? Polutan mempunyai sifat yaitu:
a. Merusak untuk sementara, tetapi bila telah bereaksi dengan zat lingkungan
tidak merusak lagi.
b. Merusak dalam jangka waktu lama. Contohnya Pb tidak merusak bila
konsentrasinya rendah. Akan tetapi dalam jangka waktu yang lama, Pb dapat
terakumulasi dalam tubuh sampai tingkat yang merusak.
Berdasarkan apakah Anda dapat membedakan pencemaran lingkungan?
Pencemaran lingkungan dapat dibedakan berdasarkan tempat terjadinya, macam
bahan pencemarnya dan tingkat pencemaran.
Menurut tempat terjadinya, pencemaran dapat digolongkan menjadi tiga,
yaitu pencemaran air, pencemaran udara dan pencemaran tanah.

1. Pencemaran Air
Pencemaran air dapat berasal dari berbagai sumber pencemaran, antara
lain berasal dari industri, limbah rumah tangga, limbah pertanian, dan
sebagainya.
a. Industri:
Pabrik industri mengeluarkan limbah yang dapat mencemari
ekosistem air, pembuangan limbah industri ke sungai-sungai dapat
menyebabkan merubahnya susunan kimia, bakteriologi serta fisik air.
Polutan yang dihasilkan oleh pabrik dapat berupa:
1) Logam berat : timbal, merkuri, tembaga, seng dan lain-lain.
2) Panas : air yang tinggi temperaturnya sulit menyerap

4.45
Oksigen yang pada akhirnya akan mematikan biota air.
Pembuangan limbah industri, sisa insektisida dan pembuangan
sampah domestik, misalnya sisa detergen mencemari air. Buangan
industri seperti Pb, Hg, Zn, dan CO, dapat terakumulasi dan bersifat
racun.
b. Limbah Rumah Tangga
Dari rumah tangga dapat dihasilkan berbagai macam zat organik
dan anorganik yang dialirkan melalui selokan-selokan dan akhirnya
bermuara di sungai-sungai. Selain dalam bentuk zat organik dan
anorganik dari limbah rumah tangga bisa terbawa bibit-bibit penyakit
yang dapat menular pada hewan dan manusia sehingga menimbulkan
epidemi yang luas di masyarakat.
Sampah organik yang dibusukkan oleh bakteri menyebabkan O2 di
air berkurang sehingga mengganggu aktivitas kehidupan organisme air.

c. Limbah Pertanian
Penggunaan pupuk di daerah pertanian akan mencemari air yang
keluar dari pertanian, air ini mengandung bahan makanan bagi ganggang,
sehingga mengalami pertumbuhan dengan cepat, ganggang yang
menutupi permukaan air akan berpengaruh jelek terhadap ikan-ikan dan
komponen biotik air ekosistem dari air tersebut.
Dari daerah pertanian terlarut pula sisa-sisa pestisida yang terbawa
ke sungai atau bendungan, pestisida yang bersifat toksit akan mematikan
hewan-hewan air, burung dan bahkan manusia.
Fosfat hasil pembusukan bernama NO dan pupuk pertanian
terakumulasi dan menyebabkan eutrofikasi, yaitu penimbunan mineral
yang menyebabkan pertumbuhan yang cepat pada alga (blooming alga).
Akibatnya, tanaman di dalam air tidak dapat berfotosintesis karena sinar
matahari terhalang.

4.46
Pencemaran air oleh minyak sangat merugikan karena dapat
menimbulkan hal-hal sebagai berikut:
a. Adanya minyak menyebabkan penetrasi sinar ke dalam air berkurang.
b. Konsentrasi oksigen terlarut menurun dengan adanya minyak karena
lapisan film minyak menghambat pengambilan oksigen oleh air.
c. Adanya lapisan minyak pada permukaan air akan mengganggu
kehidupan burung air, karena burung-burung yang berenang dan
menyelam bulu-bulunya akan ditutupi oleh minyak sehingga menjadi
lengket satu sama lain.
d. Penetrasi sinar dan oksigen yang menurun dengan adanya minyak
dapat mengganggu kehidupan tanaman-tanaman laut.
Benda-benda yang dapat menyebabkan turun atau rusaknya kualitas
air berasal dari benda-benda yang berbentuk gas adalah sebagai berikut:
a. Gas Oksigen (O2) atau zat asam; diperlukan untuk makhluk hidup yang
berada di udara, daratan maupun di dalam air.

b. Gas lain dalam air (CO2, CO, H2S)


Gas CO terbentuk karena proses pembakaran bahan-bahan minyak,
batu bara dan lain-lain kurang sempurna, gas CO yang berada di udara
dalam jumlah besar dapat menyebabkan kematian, air tidak terdapat
CO, H2S terjadi pada proses pembusukan zat-zat organik, penyebab
bau busuk.
Air sering digunakan sebagai medium pendingin dalam berbagai
proses industri, air pendingin tersebut setelah digunakan akan
mendapatkan panas dari bahan yang didinginkan, kemudian dikembalikan
ke tempat asalnya yaitu sungai atau sumber air lainnya.
Air buangan tersebut mungkin mempunyai suhu lebih tinggi
daripada air asalnya, kenaikan suhu air akan menimbulkan beberapa
akibat sebagai berikut:
sejumlah oksigen terlarut di dalam air menurun

4.47
a) kecepatan reaksi kimia meningkat
b) kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu
c) jika batas suhu yang mematikan terlampaui, ikan dan hewan air lainnya
mungkin akan mati.

2. Pencemaran Udara
Pencemaran udara akan terjadi jika ke dalam udara itu masuk sejumlah
bahan pencemar seperti asap, gas, debu dan sebagainya, dalam jumlah dan
bentuk tertentu yang dapat menimbulkan gangguan terhadap kehidupan.
Udara yang tercemar pada mulanya akan mengganggu saluran pernapasan,
namun ada pula yang dapat menyebabkan kematian.
Bahan penting yang mencemari udara antara lain: senyawa yang
mengandung sulfur (SO2, SO3, H2S) yang berasal dari pembangkit tenaga
listrik, industri, pembakaran kayu, batu bara dan produk-produk minyak
bumi, nitrogen oksida (NO2) yang berasal dari kendaraan bermotor dan
industri, kaborn monoksida (CO) terutama yang dikeluarkan kendaraan
bermotor.
Pencemaran udara dapat berupa gas dan partikel. Contohnya sebagai
berikut:
a. Gas H2S. Gas ini bersifat racun, terdapat di kawasan gunung berapi, bias
juga dihasilkan dari pembakaran minyak bumi dan batu bara.
b. Gas CO dan CO2. Karbon monoksida (CO) tidak berwarna dan tidak
berbau, bersifat racun, merupakan hasil pembakaran yang tidak sempurna
dari bahan buangan mobil dan mesin letup. Gas CI2 dalam udara murni
berjumlah 0,03%. Bila melebihi toleransi dapat mengganggu pernafasan.
Selain itu, gas CO2 yang terlalu berlebihan di bumi dapat mengikat panas
matahari sehingga suhu bumi panas. Pemanasan global di bumi akibat
CO2 disebut juga sebagai efek rumah kaca. Efek rumah kaca dapat tilihat
pada gambar 4.9

4.48
Gambar 4.9 Efek rumah kaca.
Syamsuri (2002: 152)

Panas matahari yang masuk ke bumi biasanya dipantulkan lagi ke luar


angkasa.Tetapi karena atmosfer Bumi diselubungi CO2, panas tersebut
dipantulkan lagi ke Bumi dan Bumi makin panas.
c. Partikel SO2 dan NO2. Kedua partikel ini bersama dengan partikel cair
membentuk awan dekat tanah yang dapat mengganggu pernapasan.
Partikel pada, misalnya bakteri, jamur, virus, bulu dan tepung sari juga
dapat mengganggu kesehatan.
d. Batu bara yang mengandung sulphur melalui pembakaran akan
menghasilkna sulphur dioksida (SO2). Sulphur Dioksida bersama dengan
udara serta oksigen dan sinar matahari dapat menghasilkan asam sulphur.
Asam ini membentuk kabut dan suatu saat akan jatuh sebagai hujan yang
disebut hujan asam. Hujan asam dapat menyebabkan gangguan pada

4.49
manusia, hewan, maupun tumbuhan. Misalnya gangguan pernapasan,
perubahan morfologi pada daun, batang, dan benih.
e. Gas Chlorofluoro Carbon (CFC). CFC adalah zat kimia yang terdiri 3
jenis unsure yaitu Chlor (Cl), Fluor (F), dan Carbon (C). gas CFC
mempunyai sifat tidak beracun, tidak berbau, tidak terbakar, dan sangan
stabil karena tidak beraksi. CFC digunakan sebagai gas pengembang
karena tidak bereaksi. Contoh mengembangkan busa (busa kursi), untuk
AC (Freon), lemari es, dan hairspray.
Gas CFC yang membubung tinggi dapat mencapai stratosfer. Di stratosfer
terdapat lapisan gas ozon (O3), jika gas CFC mencapai lapisan ozon akan
terjadi reaksi antara CFC dan ozon mengakibatkan lapisan ozon berlubang
yan disebut dengan “lubang ozon”. Bagaimana kalau tidak ada lapisan
ozon? Kalau tidak ada lapisan ozon, radiasi cahaya UV mencapai
permukaan bumi dan menyebabkan kematian organisme, tumbuhan
menjadi kerdil, ganggang dilautan mati, terjadi mutasi genetik dan
menyebabkan kangker kulit atau kangker retina mata.
Tentu Anda mengetahui fungsi dari lapisan ozon. Lapisan ozon dapat
menahan atau menyerap gelombang pendek dari radiasi matahari
(terutama UV) yang berenergi tinggi.

Sumber polusi udara lain dapat berasal dari radiasi bahan radioaktif,
misalnya nuklir. Setelah peledakan nuklir, materi radioaktif masuk ke dalam
atmosfer dan jatuh di bumi.
Materi radioaktif ini akan terakumulusi di tanah, air, hewan, tumbuhan
dan juga pada manusia. Efek pencemaran nuklir terhadap makhluk hidup,
dalam taraf tertentu dapat menyebabkan mutasi, berbagai penyakit akibat
kelainan gen, dan bahkan kematian.
Pencemaran udara dinyatakan dengan ppm (part per million) yang
artinya jumlah cm3 polutan per m3 udara.

4.50
Udara yang masih bersih merupakan campuran berbagai gas,
susunannya dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4.
Komposisi Udara Bersih dan Kering

MACAM GAS PERSENTASE (%) VOLUME


Nitrogen (N2) 78,084
Oksigen (O2) 20,946
Argon (Ar) 0,934
Karbondioksida (CO2) 0,03252
Neon (Ne) 0,00182
Helium (He) 0,000524
Methane (CH4) 0,00015
Krypton (Kr) 0,000114
Hydrogen (H2) 0,00005
Karbonmonoksida (CO) sedikit sekali
Sufurdioksida (SO2) sedikit sekali
Nitrogendioksida (NO2) sedikit sekali
Ozon (O3) 0,01 – 0,04 ppm
Sumber: Daryanto (2004: 24)

Secara umum sumber pencemaran udara dapat terjadi karena faktor


alamiah, yaitu peristiwa yang terkena alam sehingga mneimbulkan
pencemaran yang dapat mengganggu manusia, hewan, dan tumbuhan
(Letusan gunung, dan peristiwa di desa Bekucuk), atau terjadi karena buatan
manusia (limbah industri, pemukanan, dan lain-lain). Hidrokarbon
merupakan bentuk gas yang memberikan reaksi bersifat inert, yaitu agak
lambat jalannya dan dapat menyebabkan asphyxiant (sesak nafas ringan).
Gas ini secara langsung tidak menimbulkan efek yang merugikan kesehatan
manusia dan dapat toleransi oleh tubuh melalui pernapasan serta tidak
memberikan efek sistemik.
Bahayanya, apabila polutan ini mengadakan reaksi di bawah sinar
matahari, akan membentuk photochemical oxidant (Sekunder pulutan yang
terbentuk oleh sebab pengaruh sinar matahari pada oksidasi nitrogen dan
hidrokarbon di udara), yang terhadap tanaman berpengaruh necrosis,
chlorosis, dan gangguan pertumbuhan. Pada manusia menyebabkan asphexia

4.51
(gangguan pernafasan) berat dan bersifat anaesthetic terhadap susunan
syaraf, serta membuat mata terus berair karena iritasi.
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pencemaran udara antara
lain:
1) Kecepatan Angin: semakin cepat angin semakin cepat pula perluasan
derajat pencemaran; meski di sisi lain diharapkan terjadi penepisan derajat
konsentrasi yang lebih cepat pula.
2) Kemampuan Atmosfer untuk meningkatkan atau menekan gerakan udara
secara vertikal (stabilitas udara) dapat memperluas atau mempertipis
volume pencemaran.
3) Inversi dan turunnya hujan dapat pula menipiskan pencemaran udara.
Namun dampak negatif yang mungkin ditimbulkan adalah terbawanya
polutan oleh hujan yang dapat menimbulkna pencemaran air atau tanah.
Jenis, Sumber, dan Akibat bahan pencemaran udara dapat Anda lihat
pada tabel 4.5
Tabel 4.5
Jenis, Sumber dan Akibat Bahan Pencemara Udara

No Gas Sumbernya Akibatnya


1. Karbonmonoksi Kendaraan Pusing, pandangan kabur,
da (CO) bermotor kehilangan daya pikir,
penurunan koordinasi
syaraf, akhirnya kematian
2. Belerangoksida Pembakaran arang Iritasi mata, saluran perna
(SO2) batu, minyak bumi, fasan, pandangan kabur,
pengilangan gejala penyakit jantung.
Minyak Tanah.
Industri logam.
3. Asam Belerang Proses Industri Pusing, sakit kepala,
(H2S) a) Pabrik kertas conjuctivitas, sakit mata,
b) Pabrik gula bau.
c) Waste disposal
d) Pengilangan
minyak gas H2S
dari protein
4. Nitrogen Proses pembakaran Bronchitis, bisul berair,
Oksida (NOx) suhu tinggi, proses kanker paru-paru,
kimia. emphysema.

4.52
5. Hidrokarbon Industri. Iritasi pada selaput lendir,
(HC) iritasi mata dan saluran
pernapasan.
Partikel Kegiatan Mengganggu saluran
pembangunan pernapasan, mengotori ba
industri logam, ngunan dan bahan
penambangan, makanan.
pengilangan.
Smoq (asap) Merusak tanaman,
tembakau dan karet.
Clrofluorocarbon Aerosol, Hairspray Racun terhadap manusia.
(CFC) AC, Kulkas.

Sumber : Daryanto (2004: 30-31)

3. Pencemaran Tanah
Pencemaran tanah karena tingkah laku manusia yang dikaitkan dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama ialah karena mulai
bervariasinya macam sampah yang ditemukan dalam kehidupan, serta
dipergunakannya berbagai macam zat kimia untuk pupuk atau keperluan
industri lainnya.
Bahan pencemar tanah berasal dari limbah pabrik, limbah rumah tangga,
rongsokan kendaraan, dan sampah-sampah buangan organisme yang hidup di
atas seperti bahan pencemar yang mencemari air, bahan pencemar juga
memiliki beberapa sifat, ada yang pembusukannya memerlukan banyak
oksigen dan ada yang sulit dihancurkan oleh mikroba tanah.
Pencemaran tanah disebabkan oleh beberapa jenis pencemaran berikut
ini:
a. Sampah-sampah plastik yang sukar hancur, botol, karet sintesis, pecahan
kaca dan kaleng.
b. Detergen yang bersifat nonbio degradable (secara alami sulit diuraikan).
c. Zat kimia dari buangan pertanian, misalnya insektisida.
Contoh pencemaran tanah karena sampah misalnya oleh pabrik, botol
bekas, kaleng bekas, dan sebagainya. Untuk Negara-negara yang sudah maju
hal ini menjadi problema yang cukup besar, karena pengelolaannya

4.53
memerlukan suatu teknik atau cara tersendiri. Misalnya plastik tidak dapat
hancur sendiri, jadi jika plastik dibuang sembarangan, maka tanah yang
mengandung plastik tersebut, tidak dapat menyerap air dan akan menjadi
gersang. Pencemaran tanah karena penggunaan zat kimia akan terjadi karena
sisa-sisanya dapat mencemari air tanah dan bahkan dalam konsentrasi yang
rendah ditemukan pada tanaman.
Pencemaran karena tinja, pembuangan sampah yang tradisional dari
rumah tangga adalah juga merupakan masalah kesehatan lingkungan yang
pelik. Telah diketahui bahwa banyak tanah yang mempunyai kandungan
unsur yang rendah sehingga untuk memperoleh hasil yang diharapkan
diperlukan penambahan-penambahan unsur yang dimaksud perlu dilakukan
pemupukan, selama jadi pupuk atau dosis pupuk itu sesuai dengan yang
diminta, maka tindakan pemupukan tersebut merupakan hal yang baik dan
merupakan tindakan pencemar, namun jika jumlah atau dosis pupuk itu
melampaui dosis yang diperlukan, maka hal ini telah merupakan
pencemaran.
Kelebihan pupuk yang diberikan tidak hanya mempengaruhi
ketersediaan unsur yang diberikan itu sendiri, tetapi juga unsur-unsur lain
dalam tanah yang semula dalam keadaan jumlah dan ketersediaan yang baik,
sebagai akibat yang lebih jauh lagi dari kelebihan dosis tersebut adalah
kemungkinan perubahan sifat fisik tanah yang bersangkutan, sebagaimana
akibat kelebihan dalam pemberian urea, tanah yang semula bersifat gembur
berubah menjadi tandus.
Pembuangan sampah ke dalam lubang-lubang sampah dapat juga
mengakibatkan pencemaran, selama sampah tadi hanya terdiri dari benda-
benda yang berasal dari tumbuh-tumbuhan atau yang mudah dihancurkan,
selama itu kecil sekali peluang akan mengandung banyak benda-benda
plastik, kaleng atau benda-benda yang sukar sekali dihancurkan, maka telah
berlangsung pencemaran tanah.

4.54
Tanah yang tercemar akan mengalami perubahan baik struktur maupun
teksturnya, organisme yang menggunakan tanah dan sebagai medium
hidupnya banyak yang mati, dan akan muncul spesies lain yang memakai
bahan-bahan organik yang tersedia di tanah, jika bahan pencemar tidak
mengandung bahan organik, biota tanah banyak yang mati, bahan-bahan
pencemaran yang beracun seperti H2SO4 akan mematikan tanaman dan
produktivitas ekosistem menurun.
Terhadap manusia, pencemaran tanah memberikan dampak yang tidak
langsung, polutan beracun atau polutan biologis bakteri virus akan meresap
ke dalam tanah, mengikuti aliran air tanah sehingga mencapai mata air. Air
sumur penduduk di sekitar aliran sungai banyak yang tercemar, yang berasal
dari pencemaran tanah di sekitar sungai dan berbagai macam limbah. Minum
air tercemar dapat memperberat/ merusak tugas hati dan ginjal.

D. Pengukuran (Parameter) Pencemaran


Dengan mengetahui beberapa parameter yang ada pada daerah/ kawasan
penelitian akan dapat diketahui tingkat pencemaran atau apakah lingkungan itu
sudah terkena pencemaran atau belum. Parameter-parameter yang merupakan
indikator terjadinya pencemaran adalah sebagai berikut.
1. Parameter Kimia
Parameter kimia meliputi CO2, pH, alkalinitas, fosfor, dan logam-logam
berat.

2. Parameter Biokimia
Parameter biokimia meliputi BOD (Biological Oxygen Demand), yaitu
jumlah oksigen dalam air. Cara pengukurannya adalah dengan menyimpan
sampel air yang telah diketahui kandungan oksigennya selama 5 hari pada
suhu 200C. Kemudian kadar oksigennya diukur lagi. BOD digunakan untuk
mengukur banyaknya pencemar organik.

4.55
Menurut menteri kesehatan, kandungan oksigen dalam air minum atau
BOD tidak boleh kurang dari 3 ppm.

3. Parameter Fisik
Parameter fisik meliputi temperatur, warna, rasa, bau, kekeruhan, dan
radioaktivitas.

4. Parameter Biologi
Parameter biologi meliputi ada atau tidaknya mikroorganisme, misalnya
bakteri coli, virus, bentos dan plankton.

4.56
LATIHAN
Untuk memperoleh pemahaman Anda mengenai materi di atas, silahkan
kerjakan latihan berikut ini:
1. Coba Jelaskan oleh Anda, untuk menjaga agar selalu terjadi keseimbangan
lingkungan atau suatu ekosistem dikatakan seimbang apabila….
2. Tuliskan benda-benda yang dapat menyebabkan turun atau rusaknya
kualitas air berasal dari benda-benda yang berbentuk gas.

Petunjuk Jawaban Latihan


Setelah Anda menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Anda dapat
mencocokkan hasil jawaban Anda dengan pedoman di bawah ini:
1. Suatu Ekosistem dikatakan seimbang apabila semua komponen dalam
ekosistem tersebut berperan sesuai dengan fungsi masing-masing.
Lingkungan seimbang di dalamnya terdapat rantai makanan, jaring-jaring
makanan dan piramida makanan. Untuk menjaga agar terjadi keseimbangan
lingkungan, maka penurunan atau kenaikan populasi tiap-tiap jenis hewan
atau tumbuhan harus dalam batas-batas tertentu.

2. Benda-benda yang dapat menyebabkan turunnya kualitas air berasal dari


benda-benda yang berbentuk gas adalah :
a. Gas Oksigen (O2) atau zat asam diperlukan untuk makhluk hidup.
b. Gas lain dalam air (CO2, CO, H2S)

4.57
RANGKUMAN
LINGKUNGAN HIDUP
Lingkungan hidup merupakan kesatuan ruang dengan semua benda,
daya keadaan, dan makhluk hidup. Komponen lingkungan terdiri dari faktor
biotik (tumbuhan, hewan, manusia, mikroorganisme) dan faktor biotik (tanah,
air, udara, cuaca, suhu). Dalam lingkungan, tumbuhan berperan sebagai
produsen, hewan dan manusia berperan sebagai konsumen, dan mikroorganisme
sebagai pengurai.
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar kita yang terdiri
dari komponen biotik dan abiotik, serta dipengaruhi oleh budaya manusia.
Lingkungan hidup merupakan sumber daya alam, karena mansia
mendapatkan unsur-unsur yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup
dari lingkungan. Makin baik mutu lingkungan, makin baik pula hidup manusia.
Keseimbangan Lingkungan
Suatu ekosistem dikatakan seimbang apabila semua komponen dalam
ekosistem tersebut berperan sesuai dengan fungsi masing-masing. Lingkungan
yang seimbang di dalamnya terdapat rantai makanan, jarring-jaring makanan,
dan piramida makanan. Untuk menjaga agar selalu terjadi keseimbangan
lingkungan, maka penurunan dan kenaikan populasi pada tiap jenis hewan atau
tumbuhan harus dalam batas-batas tertentu.
Keseimbangan lingkungan merupakan keseimbangan yang dinamis,
yaitu keseimbangan yang dapat mengalami perubahan. Keseimbangan
lingkungan berubah karena perubahan-perubahan pada lingkungan.
Karena hal tersebut, maka dalam merubah lingkungan diusahakan agar
keseimbangan lingkungan yang baru tetap mendukung mutu hidup. Perubahan-
perubahan lingkungan dapat terjadi karena hal berikut.
1. Faktor alami, contohnya gempa bumi, gunung meletus, angin dan banjir.
2. Perbuatan manusia, contohnya penebangan hutan untuk pertanian,
pemukiman, pabrik dan pembuatan bendungan.
Kepadatan penduduk sangat berkaitan erat dengan daya dukung lingkungan.

4.58
Makin tinggi kepadatan penduduk, makin banyak pula kebutuhannya, sehingga
dapat menyebabkan turunnya daya dukung lingkungan.
Pencemaran lingkungan atau pulusi disebabkan oleh bahan pencemar
(polutan) yang berasal dari berbagai sumber. Menurut sumbernya, polutan
berasal dari buangan limbah industri, sampah organik, limbah rumah tangga,
limbah pertanian, dan limbah reaktor nuklir.
Suatu zat disebut pulutan jika memenuhi syarat sebagai berikut.
1. Jumlahnya melebihi batas normal.
2. Berapa pada tempat yang tidak semestinya.
3. Berada pada waktu yang tidak tepat.
Berbagai macam sifat polutan adalah sebagai berikut.
1. Merusak untuk sementara, tetapi segera dapat dinetralkan oleh lingkungan
sehingga tidak merusak lagi.
2. Merusak setelah jangka waktu lama.
Menurut tempatnya, pulusi dapat digolongkan menjadi polusi udara,
tanah, dan air. Polusi udara disebabkan oleh asap pabrik, asap kendaraan
bermotor, letusan gunung berapi, reaktor nuklir, dan pembakaran. Polusi tanah
disebabkan oleh sampah sintetik (plastik, kaleng), detergen non biodegradable,
dan zat kimia buangan pertanian. Polusi air disebabkan oleh limbah industri,
sampah organik, dan minyak bumi yang tumpah dari kapal tanker.
Menurut jenisnya bahan pencemar dibedakan menjadi polutan kimia,
polutan biologi dan polutan fisik. Dalam mengukur tingkat pencemaran
diperlukan parameter-parameter, yaitu parameter kimia, biokimia, fisik dan
biologi. Parameter kimia meliputi pH, alkalinitas, dan kandungan zat. Parameter
biokimia meliputi BOD dan COD. Parameter fisik meliputi suhu, warna, rasa,
bau kekeruhan, dan radioaktivitas. Parameter biologi meliputi ada atau tidaknya
mikroorganisme, misalnya bakteri coli, virus bentos dan plankton.
Selain polutan, perubahan lingkungan juga disebabkan oleh
penggundulan hutan, penerapan intensifikasi pertanian, dan pembangunan
infrastruktur seperti pemukiman dan jalan.

4.59
TES FORMATIF 2

Petunjuk: Pilihlah salah satu jawaban yang dianggap paling tepat.

1. Berikut ini yang bukan merupakan ciri ekosistem yang seimbang adalah …
a. Keberadaan setiap komponen biotik merupakan penyedia materi
komponen biotik lain.
b. Tidak terjadi penekanan suatu komponen biotik terhadap komponen
biotik lainnya.
c. Interaksi antarkomponen biotik penyusunnya.
d. Perubaan suatu komponen berfungsi untuk menghilangkan komponen
lain.
e. Perubahan suatu komponen berfungsi untuk mengontrol komponen lain.

2. Diantara kegiatan manusia berikut ini yang sangat berpengaruh terhadap


perubahan keseimbangan lingkungan adalah …
a. Melakukan perburuan hewan pada musim berburu.
b. Mengubah hutan untuk daerah industri.
c. Membuat terasering pada lahan kritis
d. Bercocok tanam dengan sistem tumpang sari.
e. Pemberantasan hama secara biologis.

3. Dampak negatif yang ditimbulkan akibat kemajuan teknologi adalah ….


a. Penurunan aliran darah dengan radioisotop
b. Penyembuhan dengan radiasi.
c. Meningkatnya pencemaran lingkungan
d. Diagnosis penyakit dengan radioaktif
e. Ditemukannya bibit unggul.

4. Berikut merupakan faktor penyebab perubahan lingkungan.


(1) Memberantas hama secara biologis.
(2) Pembangunan perumahan.
(3) Angin rebut.
(4) Penebangan hutan.
(5) Pengeringan rawa.
(6) Banjir.
Perubahan lingkungan akibat perbuatan manusia ditunjukan oleh nomor….
a. (1), (2), dan (3) d. (2), (4), dan (6)
b. (1), (2), dan (6) e. (3), (5), dan (6)
c. (2), (3) dan (5)

5. Dampak apakah yang timbul jika kita menggunakan gas CFC pada kulkas,
hair sprai, dan AC . . .
a. Pencemaran udara didalam rumah
b. Pencemaran rumah disekitar perumahan

4.60
c. Muculnya ozon distratosfer
d. Efek rumah kaca
e. Terjadi hujan asam

6. Polusi udara dapat menyebabkan terjadinya hujan asam yang


mengakibatkan …
a. Semua hama mati.
b. Pertumbuhan yang sehat pada tanaman.
c. Menurunkan porositas tanah.
d. Peningkatan mineral dalam tanah.
e. Kerusakan pada tumbuhan.

7. Hal-hal berikut yang bukan penyebab pencemaran lingkungan adalah …


a. Jumlah kendaraan bermotor.
b. Banyaknya pabrik di suatu tempat.
c. Sisa air cucian detergen.
d. Pembuatan kompos.
e. Penggunaan pestisida.

8. Perhatikan pernyataan berikut ini!


(1) CO2 di udara meningkat.
(2) Terbentuknya awan.
(3) Panas dipantulkan kembali.
(4) Suhu atmosfer meningkat
(5) Pembakaran.
Urutan terjadinya efek rumah kaca adalah …
a. (5) – (4) – (2) – (3) – (1) d. (5) – (1) – (3) – (4) – (2)
b. (5) – (1) – (2) – (3) – (4) e. (5) – (1) – (4) – (3) – (2)
c. (5) – (1) – (3) – (2) – (4)

9. Bahan pencemar yang mengakibatkan rusaknya lapisan ozon adalah …


a. CFC d. NO
b. CO e. NO2
c. CO2

10. Hasil pembakaran tidak sempurna kendaraan bermotor yang dapat


mengganggu kegiatan fisiologis karena bereaksi cepat dengan Hb adalah …
a. O d. SO2
b. CO2 e. CO
c. SO

11. Organisme yang dapat digunakan seabagai parameter pencemaran air


adalah …
f. Amoeba c. Paramaecium e. Planaria
g. Bakteri Coli d. Euglena

4.61
BALIKAN DAN TINDAK LANJUT
Cocokanlah hasil jawaban Anda dengan kunci jawaban Tes formatif I
yang ada pada bagian belakang modul ini. Hitunglah jawaban Anda yang benar,
kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi kegiatan belajar 1.
Rumus :
Jumlah jawaban Anda yang benar
Tingkat Penguasaan = x 100%
10

Arti Tingkat Penguasaan :


90% - 100% = Baik Sekali
80% - 89% = Baik
70% - 79% = Cukup
- 69% = Kurang
Kalau Anda mencapai tingkat penguasaan 80% ke atas, Anda dapat
meneruskan dengan kegiatan belajar 2, Bagus! Akan tetapi apabila tingkat
penguasaan Anda masih di bawah 80%, Anda harus mengulang kegiatan belajar
1, terutama bagian yang belum anda kuasai.

4.62
KUNCI JAWABAN TES FORMATIF

TES FORMATIF -1

1. B (Salah, karena pengertian SDA yang benar adalah pada jawaban A,C,D,
dan E)
2. A (Cahaya matahari, energi laut, dan udara merupakan SDA yang kekal dan
tidak habis dipakai)
3. C (Tumbuhan, hewan dan mikroorganisme dapat terpulihkan karena dapat
berproduksi)
4. B (Sampah yang dapat diuraikan dapat dimanfaatkan setelah didaur ulang)
5. D (Tidak tepat, karena tujuan penggunaulangan (Reuse) yaitu untuk
pelestarian lingkungan)
6. E (Benzena merupakan produk kimia hasil dari pengolahan batu bara)
7. C (Tidak tepat, karena minyak bumi disebut bahan baker fosil, terbentuk
dari Fosil hewan atau tumbuhan yang tertimbun berjuta-juta tahun)
8. A (Penggunaannya tidak menyebabkan pencemaran lingkungan dan tidak
mempengaruhi sumber energi)
9. C (Air panas didinginkan volumenya berkurang dengan teratur sampai 4ºC
(Anomali Air))
10. B (Proses fotosintesis menghasilkan oksigen)
11. C (Ozon dilapisan stratosfere dapat menahan radiasi U. V sehingga mahkluk
hidup terhindar dari bahaya radiasi U. V)

4.63
TES FORMATIF – 2
1. D (Tidak tepat, ciri ekosistem yang seimbang merupakan jawaban dari
option A, B, C, dan E)
2. B (Mengubah hutan untuk daerah industri berpengaruh terhadap perubahan
keseimbangan lingkungan)
3. C (Dampak negatif meningkatnya pencemaran lingkungan)
4. D (Penyebab perubahan lingkungan akibat perbuatan manusia antara lain
pembangunan perumahan, penebangan hutan dan banjir)
5. C (Jika gas CFC mencapai lapisan ozon, akan terjadi reaksi CFC dan ozon
sehingga lapisan ozon berlubang yang disebut lubang ozon)
6. E (Hujan asam mengakibatkan kerusakan pada tumbuhan)
7. D (Sudah jelas karena pada pembuatan kompos tidak menyebabkan
pencemaran lingkungan)
8. E (Sudah jelas)
9. A (Karena CFC dapat mengakibatkan rusaknya lapisan ozon)
10. E (Karena CO dapat bereaksi cepat dengan HB)
11. B (Planaria dapat dijadikan indikator biologis tingkat pencemaran air)

4.64
GLOSARIUM
Alkalinitas : Sifat kebasaan
BOD : Ukuran jumlah polusi organik di air yang
(Biological Oxygen Demand) diukur sebagai jumlah oksigen pada sampel
air yang disimpan selama 5 hari dengan suhu
200 C.
Dekomposer : Organisme pengurai bahan organik menjadi
anorganik.
Daur Hidrologi : Peredaran gerakan air dari atmosfer ke bumi
dan kembali ke atmosfer melalui berbagai
tingkat atau proses.
Daur Karbon : Rangkaian tranformasi di mana
karbondioksida ditetapkan sebagai karbon
atau senyawa karbon dalam organisme-
organisme hidup melalui fotosintesis yang
dibebaskan melalui penguraian organisme
pengikat dan akhirnya dikembalikan kepada
keadaan aslinya untuk digunakan kembali.
Efek Rumah Kaca : Absorpsi energi gelombang cahaya oleh
permukaan bumi dan pelepasannya sebagai
panas ke udara.
Effluent : Sampah-sampah padat, cair atau gas yang
memasuki lingkungan sebagai suatu produk
sampingan dari proses-proses oleh manusia.
Ekslosif : Bahan yang mudah meledak.
Evaporasi : Penguapan. Proses yang melalinya suatu
cairan berubah menjadi suatu uap atau gas.
Evapotranspirasi : Kehilangan air gabungan dari daerah tertentu
dan selama kurun waktu tertentu. Melalui
penguapan dari permukaan tanah dan melalui

4.65
transpirasi dari tumbuhan.
Hidrokarbon : Senyawa-senyawa yang mengndun hydrogen
dan karbon yang dibagi-bagikan berdasarkan
pada aktivitas kimia dan struktur atomnya.
Intensifikasi Pertanian : Peningkatan produksi pertanian dengan
melaksanakan panca usaha tani.
Paraffin : Campuran hidrokarbon yang digunakan untuk
membuat lilin penerang dan sebagai pelapis
yang kedap air.
Parameter : Tanda-tanda untuk mengetahui sesuatu yang
terjadi.
Pertanian Monokultur : Penanaman lahan dengan satu jenis tanaman
saja.
Pestisida : Bahan kimia pembunuh kuman.
pH : Suatu ukuran numerik mengenai keasaman
atau aktivitas ion hidrogen.
Plasma Nutfah : Kisaran keanekaragaman genetik yang
menyangkut individu liar sampai bibit unggul.
Hutan merupakan gudang plasma nutfah.
Polusi : Pencemaran lingkungan
Polutan : Bahan yang menimbulkan pencemaran
Inversi : Keadaan atmosfer yang di dalamnya suatu
lapisan udara dingin terjebak di dekat
permukaan bumi oleh suatu lapisan penutup
dari udara panas, dapat menyebabkan masalah
polusi udara yang serius.

4.66
DAFTAR PUSTAKA

Agus, A. (1984). Mengerti Kimia, Edisi Kurikulum Inti SMA, Kelas I SMA,
Bandung:: Bumi Siliwangi Mengabdi.
Cartono. (2005). Biologi Umum untuk Perguruan Tinggi LPTK. Bandung:
Penerbit Prisma Press.
Dahar, RW. (1990). Pendidikan IPA-I, Buku II Modul 6-9. Depdikbud. Jakarta:
Proyek Penataran Guru SD Setara DII.
Darmodjo, H. (1991/1992). Pendidikan IPA I. Depdikbud Dirjen Pendidikan
Tinggi. Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan.
Daryanto. (2004). Masalah Pencemaran. Bandung: Tarsito.
Kaligis, J. (1986). Biologi I. PIPA 2233. Modul 6-9. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Malam, J. (2005). Intisari Ilmu Planet Bumi. Jakarta: Erlangga.
Pratiwi, D.A. dkk. (2000). Biologi untuk SMU Kelas I, Jilid I. Jakarta: Erlangga.
Soeriaatmadja, R.E. (1997). Ilmu Lingkungan. Bandung: ITB.
Surakitti. (1989). Kimia I Program Inti Kleas 1 SMA. Jakarta: PT. Intan
Pariwara
Syamsuri,I. dkk. (2002). Biologi SMU Kelas I Semester 2. Jakarta: Erlangga.
Tjasyono,B, HK. (2006). Ilmu Kebumian dan Antariksa. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Yekti, S. (2000) Biologi. LKS dan Evaluasi untuk SMU Kelas I Semester 2 Vol.
34. Surakarta: Pabelan.

4.67
i
Daftar Isi

Cover Modul i
Daftar Isi ii

Pendahuluan
Petunjuk Belajar 1
Capaian pembelajaran 2
Sub-capaian pembelajaran 2
Materi Pokok 2
Uraian Materi
I. Pengertian dan Peranan Sumberdaya Alam 2
II. Penggolongan Sumberdaya Alam 3
III.Pemanfaatan Sumberdaya Alam (SDA) di Indonesia 9
IV. Pengelolaan Sumberdaya Alam (SDA) yang Berwawasan Lingkungan 23
Berkelanjutan
V. Pengelolaan Sumberdaya Alam Berdasarkan Prinsip Mengurangi 27
VI. Pengelolaan Sumberdaya Alam Berdasarkan Prinsip Daur Ulang 28
Rangkuman 30
Daftar Pustaka 31

ii
BIDANG KAJIAN :
HIDROSFER DAN PERSEBARAN SUMBERDAYA ALAM

MODUL 20 : PERSEBARAN SUMBERDAYA ALAM

PENDAHULUAN
Modul pembelajaran Geografi ini bertujuan untuk memberikan informasi dan
pengetahuan tentang sumberdaya alam, klasifikasi, pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya alam secara berkelanjutan yang dapat mempengaruhi kehidupan di berbagai
ekosistem maupun manusia dalam kehidupan sehari-hari. Klasifikasi sumberdaya alam
terdiri pembagian bentuk yang bisa dimanfaatkan, proses pembentukan, cara terbentuknya
bahan galian, nilai ekonomisnya. Pemanfatan sumberdaya alam di Indonesia berupa air,
angin, tanah, geothermal, aneka hasil tambang yang ada diu Indonesia. Dalam modul ini
diberikan wawasan tentang bagaimana cara pengelolaan sumberdaya alam secara
berkelanjutan memalui upaya prinsip pengurangan (penghematan) dan prinsip daur ulang.
Wawasan tentang karakteristik sumberdaya alam, beserta pemanfatan dan pengelolaannya
ini sangat membantu dalam mempelajari persebaran dan pelestarian sumberdaya alam
secara komprehensif.
Agar semua tujuan tersebut dapat tercapai, diharapkan modul ini dapat dipelajari dan
mencoba untuk mengaitkan antara bagian satu dengan bagian yang lain dalam modul ini,
serta dengan seksama mengerjakan setiap latihan dan kegiatan yang ada.

PETUNJUK BELAJAR
1. Bacalah modul ini sebaik-baiknya dengan cermat
2. Jika diperlukan saudara boleh mencari informasi tambahan sesuai dengan materi
dalam modul ini
3. Setelah membaca kerjakan latihan soal pada bagian akhir modul ini. Saudara harus
mendapatkan skor minimal 70. (minimal 7 soal harus dijawab dengan benar)
4. Jika Saudara mendapatkan skor kurang dari 70 maka saudara dinyatakan belum tuntas.
5. Jika belum tuntas dalam belajar modul ini, jangan beralih ke modul berikutnya.

1
Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan
Dalam substansi keilmuan, setiap guru Geografi wajib menguasai pengetahuan Geografi
yang setara dengan pengetahuan Geografi yang dikuasai oleh Sarjana Geografi.

Sub Capaian Pembelajaran


Peserta menguasai pengetahuan geografi pada persebaran sumberdaya alam yang terdiri
dari penggolongan sumberdaya alam, pemanfaatan sumberdaya alam, pengelolaan
sumberdaya alam berwawasan lingkungan, pengelolaan sumber daya alam berdasarkan
prinsip mengurangi, dan pengelolaan sumber daya alam berdasarkan prinsip daur ulang.

URAIAN MATERI

I. PENGERTIAN DAN PERANAN SUMBERDAYA ALAM


Sumberdaya alam adalah bahan baku didapatkan dari bumi yang mencakup dalam
lingkungan fisik yang digunakan untuk perumahan, pakaian, pemanasan, pendinginan,
transportasi dan untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan manusia lainnya. Misalnya,
pohon digunakan untuk berteduh, hewan untuk makanan dan pakaian, tanaman untuk obat-
obatan, mineral dan bahan bakar fosil untuk listrik, transportasi, pemanasan dan
pendinginan. Sumberdaya ini meliputi tanah, udara, air, sinar matahari, hutan, margasatwa,
ikan, bahan bakar fosil, logam dan mineral yang dihasilkan oleh proses alami bumi.
Menggunakan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia
memiliki dampak pada lingkungan global. Setiap kali bahan mentah digunakan untuk
memproduksi barang, ada dampak ekologi, sosial, dan ekonomi. Mengelola sumberdaya
alam selalu menggunakan teknik konservasi diperlukan untuk membantu masyarakat
memenuhi kebutuhan saat ini dan masa depan. Nilai ekonomi utama dari sumber daya
yang matang berasal dari layanan yang disediakan manusia. Dapat disimpulkan,
Sumberdaya alam pada hakekatnya segala kekayaan di bumi baik berupa benda mati
maupun benda hidup dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Sumberdaya alam memiliki peranan sangat penting terhadap kehidupan manusia.
Lingkungan disekitar manusia menyediakan berbagai kemampuan yang diperlukan untuk
mencukupi kebutuhan hidup manusia sehari-hari. Sumberdaya alam termasuk didalamnya,
udara, air, tanah, mineral, bersama dengan iklim dan energi matahari, yang membentuk
bagian alam yang tidak hidup atau 'abiotik' dan bagian 'biotik' atau bagian alam yang hidup

2
terdiri dari tumbuhan dan hewan, termasuk mikroba. Tumbuhan dan hewan hanya dapat
bertahan hidup sebagai komunitas organisme yang semuanya terkait erat dengan masing-
masing di habitat mereka sendiri, dan membutuhkan kondisi lingkungan abiotik tertentu.
Lingkungan hutan, padang rumput, gurun, gunung, sungai, danau dan lingkungan laut
semuanya membentuk habitat untuk komunitas khusus bagi tumbuhan dan hewan untuk
ditinggali. Interaksi antara aspek abiotik alam dan organisme hidup tertentu bersama
membentuk ekosistem dengan berbagai tipe. Banyak dari organisme hidup ini digunakan
sebagai sumber makanan manusia, antara lain terkait dengan makanan mansuia secara
langsung, seperti penyerbuk dan penyebar tanaman, hewan tanah seperti cacing, yang
mendaur ulang nutrisi untuk pertumbuhan tanaman, jamur dan rayap yang memecah bahan
tanaman yang mati sehingga mikroorganisme dapat bertindak pada pengurai untuk
membentuk kembali nutrisi tanah.
Selama 100 tahun terakhir, perbaikan perawatan kesehatan dan peningkatan
status gizi mansuia telah menyebabkan pertumbuhan penduduk yang cepat, terutama di
negara-negara berkembang. Peningkatan jumlah manusia yang fenomenal ini
menempatkan tuntutan besar pada sumberdaya alam bumi. Lahan yang luas seperti hutan,
padang rumput dan lahan basah telah diubah menjadi pertanian intensif, pemukiman,
pertambangan dan perindudtrian. Tanah telah diambil untuk industri dan sektor perkotaan.
Perubahan-perubahan ini telah membawa perubahan dramatis dalam pola
penggunaan lahan dan hilangnya secara cepat ekosistem alam yang berharga. Kebutuhan
akan lebih banyak air, lebih banyak makanan, lebih banyak energi, lebih banyak barang-
barang konsumsi, bukan hanya hasil dari populasi yang lebih besar, tetapi juga hasil dari
pemanfaatan sumber daya secara berlebihan yang pada akhirnya akan merusak lingkungan
dan mengncam kehidupan manusia itu sendiri (Demirel, 2016).

II. Penggolongan Sumber Daya Alam


Teradapat keanakaragaman persebaran sumberdaya alam yang bisa digunakan oleh
manusia melalui berbagai pemanfaatan. Sumberdaya alam dapat diklasifikasikan menurut
berbagai kriteria.
Berdasarkan bentuk yang bisa dimanfaatkan, sumberdaya alam di bumi dapat
digolongkan sebagai berikut.
1. sumberdaya alam materi, yakni apabila yang dimanfaatkan oleh manusia berupa
materi sumberdaya alam itu. Misalnya keanekaragaman jenis tambang mineral

3
magnetik, bauksit, timah, hematit, kapur, kwarsa, pasir, siderit, limonit mampu
dilebur menjadi bijihbesi ataupun baja. Sektor mineral Indonesia merupakan
penyumbang potensial bagi perekonomian nasional. Sektor ini terdiri dari banyak
komoditas, seperti mineral logam, banyak mineral industri dan batuan. Di antara
berbagai mineral, timah, nikel, tembaga, emas, dan batubara, telah dihasilkan dari
deposit berkelas dunia dan mereka membentuk komoditas nasional yang penting, baik
untuk ekspor ataupun di pasar domestik. Saat ini, proyek pertambangan di Indonesia
menggunakan kurang dari 0,1% dari daratan Indonesia, berbeda dengan 33% lahan
yang dimiliki oleh konsesi industri kayu. Ada banyak area lain yang belum
dieksplorasi secara menyeluruh baik di darat maupun di dasar laut. Sebagian besar
wilayah laut belum ditargetkan untuk eksplorasi mineralnya. Berdasarkan keadaan
geologis, tidak terlalu optimis untuk berspekulasi bahwa lebih banyak penemuan akan
terjadi di masa depan.
2. Sumberdaya alam hayati, merupakan sumberdaya alam dalam wujud makhluk hidup,
baik berupa hewan maupun tumbuhan. sumberdaya alam tumbuhan dinamakan
sumberdaya alam nabati dan hewan dinamakan sumberdaya alam hewani.

 Tumbuhan
Sumberdaya alam hayati berupa tumbuhan merupakan sumberdaya alam yang
banyak jumlahnya dan sangat beragam keberadaannya, terutama di wilayah Indonesia
aneka ragam tumbuhani ini memiliki manfaat dengan memproduksi banyak oksigen
dalam aktivitas fotosintesis, dengan demikian sumberdaya hayati merupakan
penghasil dan pendukung utama rantai makanan.
Eksploitasi tumbuhan secara berlebihan dapat mengakibatkan kerusakan bahkan
kepunahan plasma nutfah ini. Dampaknya dapat sampai mengganggu hancurnya
rantai makanan. Pemanfaatan sumberdaya alam hayati antara lain dapat digunakan
sebagai bahan bakar, bahan kertas, bahan makanan, obat-obatan, bahan pakaian,
bahan bangunan, pupuk organik, dan sebagainya. Seiring dengan pesatnya
pertumbuhan populasi manusia maka kebutuhan akan lahan pemukiman, industri, dan
infrastruktur semakin besar pula. Dampaknya terjadi alih fungsi lahan secara besar-
besaran, sehingga lahan untuk hidup tumbuhan terus-menerus terdesak
keberadaannya.

4
Gambar 1. peta persabaran hasil bumi pertanian di Indoensia.
(sumber: ringkasanbukugeografi.blogspot.com)

 Pertanian dan Perkebunan


Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang bercorak agraris. Sebagian
besar penduduk Indonesia bermata pencaharian sebagai petani. Sekitar 45%
penduduk Indonesia hidup dari sektor pertanian ini. Pada kenyataannya negara
Indonesia memiliki 31.000.000 juta hektar lahan pertanian yang sudah dibudidayakan
aneka ragam tanaman.
Pertanian di negara Indonesia mampu menghasilkan beraneka jenis komoditas
tumbuhan unggulan berpangsa ekspor antara lain berupa padi, kopra, kacang tanah,
kedelai, jagung, sayur-mayur, umbi, pohong/singkong, bawang merah dan cabai.
Negara Indonesia juga dikenal dengan produksi perkebunannya yang besar, antara
lain: perkebunan teh, karet, kelapa sawit, tebu, kapas, lada, kopi, dan sebagainya.

 Hewan, Peternakan dan Perikanan


Sumberdaya alam hewani mempunyai manfaat yang sangaty besar terhadap
kehidupan manusia, sebab sumberdaya alam hewani secara tradisional
pemanfaatannya digunakan untuk membantu pekerjaan manusia yang berat, misalnya,
binatang Sapi, Kerbau dan Kuda dapat dimanfaatkan untuk membantu membajak
diareal persawahan. Sumberdaya hewani merupakan sumber protein yang sangat besar
dan bermanfaat bagi kehidupan manusia seperti unggas, Udang, Domba, Sapi,
Kambing, perikanan darat dan sebagainya dapat menjadi sumber makanan hewani
bagi manusia.

5
Gambar 2. Peta Potensi perikanan budidaya di Indonesia.
Sumber: www.djpb.kkp.go.id/index.php/arsip/c/423/PETA-POTENSI-PERIKANAN-BUDIDAYA-INDONESIA

3. Sumberdaya alam energi, yakni apabila materi tersebut digunakan oleh manusia untuk
tenaga penggerak alat , mesin, listrik atau sejenisnya, yang terkandung dalam
sumberdaya alam tersebut. Pertumbuhan populasi selalu dan akan tetap menjadi salah
satu pendorong utama permintaan energi, seiring dengan perkembangan ekonomi dan
sosial. Sementara populasi global telah meningkat secara berlebihan 1,5 miliar selama
dua dekade terakhir. Ini berarti bahwa permintaan energi dapat tumbuh secara
signifikan lebih cepat dari yang diharapkan, dan jika dikelola dengan benar, sumber
daya energi dan teknologi harus tersedia untuk memenuhi permintaan ini. satu-
satunya sumber daya energi terbarukan di mana proyeksi dibuat pada tahun 1993
adalah pembangkit listrik tenaga air dan biomassa. Kontribusi energi terbarukan tidak
terlalu signifikan bila dibandingkan dengan energi yang berasal dari fosil. Laporan
dari World Energy Council mengungkapkan bahwa 76% energy dunia masih ditopang
dari energy fosil.

6
Gambar 3. penggunaan jenis-jenis energi dunia dalam dua decade
(Sumber: World Energy Council,2013)

4. Sumberdaya alam ruang, merupakan lahan atau tempat yang dibutuhkan manusia
untuk hidup. Manusia membutuhkan ruang untuk membangun rumah, mengolah
makanan, memelihara padang rumput untuk hewan peliharaan, mengembangkan
industri untuk menyediakan barang, dan mendukung industri dengan menciptakan
desa dan kota. Sama pentingnya, manusia perlu melindungi kawasan hutan belantara,
padang rumput, lahan basah, gunung, pantai, dan lain sebagainya sebagai upaya
melindungi keanekaragaman hayati yang sangat berharga.

Gambar 4 perubahan penggunaan lahan (Sumber: World Energy Council,2013)

7
5. sumberdaya alam Waktu, sebagai sumber daya alam, waktu tidak berdiri sendiri
melainkan terikat dengan pemanfaatan sumber daya alam lainnya.

Berdasarkan proses pembentukan, sumberdaya alam dapat diklasifikasikan sebagai


berikut.
1. sumberdaya alam yang dapat diperbarui.
Disebut demikian, karena alam mampu mengadakan pembentukan baru dalam waktu
relatif cepat, secara reproduksi atau siklus.
1) Perbaruan dengan reproduksi. Hal ini terjadi pada sumber daya alam Hayati,
karena hewan dan tumbuhan dapat berkembang biak sehingga jumlahnya selalu
bertambah.
2) Perbaruan dengan adanya siklus. beberapa sumberdaya alam ,misalnya air dan
udara terjadi dalam proses yang melingkar membentuk siklus.
2. sumberdaya alam yang tidak dapat diperbarui.
sumberdaya alam ini terdapat dalam jumlah relatif statis karena tidak ada penambahan
atau waktu pembentukan yang lama. Contoh : bahan mineral, batu bara dll.
berdasarkan daya pakai dan nilai konsumtifnya, sumberdaya alam ini dibagi menjadi
dua golongan, yaitu:
1) Sumberdaya alam yang tidak cepat habis. Karena nilai konsumtifnya kecil.
2) Sumberdaya alam yang cepat habis. karena nilai konsumtif barang tersebut relatif
tinggi.

Menurut cara terbentuknya bahan galian, sumberdaya alam dapat diklasifikasikan


sebagai berikut.
1. Bahan galian magmatik. Bahan galian yang terbentuk dari pendinginan magma di
dalam bumi.
2. Bahan galian pegmatik. Bahan galian yang terbentuk dari dalam diaterma dan bentuk-
bentuk intrusi lain, contohnya tambang timah putih di Banka-Belituing
3. Bahan galian hasil sedimentasi, yaitu bahan galian yang terkonsentrasi karena
terendapkan di sekitar sungai atau dasar genangan air yang diawali dari proses
pelapukan batuan.
4. Bahan galian hasil pengayaan sekunder. Bahan galian yang terbentuk dan terakumulasi
akibat proses pelapukan dan pelarutan yang intensif.

8
5. Bahan galian hasil metamorfosis kontak. Bahan galian yang berada disekitar magma.
Karena bersentuhan dengi.an magma, maka berubah menjadi mineral yang memiliki
nilai ekonomi lebih ting
6. Bahan galian hydrothermal, yaitu bahan galian yang terbentuk melalui resapan magma
cair yang membeku terakhir melalui celah-celah struktur lapisan bumi. Misalnya bijih
perak dan emas yang terbentuk di dekat permukaan bumi sebagai akibat terbawa oleh
cairan magma melewati celah-celah, setelah cairan magma menguap, bijih perak dan
emas tertinggal di dalam gang.

Berdasarkan nilai ekonomisnya atau nilai kegunaannya, sumberdaya alam dapat


diklasifikasikan sebagai berikut.
1. Sumber daya alam ekonomis tinggi yaitu sumber daya alam yang cara
mendapatkannya memerlukan biaya besar. Contohnya mineral logam mulia, seperti
emas dan perak.
2. Sumber daya alam ekonomis rendah, yaitu sumber daya alam yang cara
mendapatkannya dengan biaya murah dan tersedia dalam jumlah yang cukup banyak.
Contohnya pasir, batu, dan gamping.
3. Sumber daya alam nonekonomis, adalah sumber daya alam yang cara
mendapatkannya tanpamengeluarkan biaya atau tanpa pengorbanan dan tersedia
dalam jumlah tidak terbatas. Contohnya sinar matahari, udara, termperatur, dan angin.

III. Pemanfaatan Sumberdaya Alam (SDA) di Indonesia


 Air
Keberadaan sumberdaya air tidak merata di seluruh dunia. Semakin banyak
penduduk dunia tinggal di daerah yang langka air dan kering secara alami, semakin
banyak populasi manusia dituntut untuk mengurangi kebutuhan air per-kapita
(berhemat air). Seiring meningkatnya populasi manusia, kebutuhan sumberdaya air
untuk berbagi keperluan seperti keperluan rumah tangga, industri maupun energi juga
semakin naik. Laporan World Energy Council (2013) mengungkapkan, sekitar sepertiga
dari penduduk dunia tidak memiliki akses terhadap layanan sanitasi yang lebih baik
dan tidak memiliki persediaan air minum yang memadai. Air juga digunakan untuk
pengairan, bahan dasar industri minuman, penambangan, dan aset rekreasi. pada bidang
energi sumbersaya air dapat dijadikan sebagai energy pembangkit listrik. Saat ini energi

9
dunia sangat bersumber dari pembakaran fosil sebagai bahan bakar, aktivitas ini terus
memicu tingkat gas rumah kaca yang berbahaya. sementara Generator listrik termal,
termasuk bahan bakar fosil dan pembangkit listrik tenaga nuklir, membutuhkan air
dalam jumlah besar untuk menghasilkan uap dan untuk menggerakkan turbin. Untuk
mengurangi perubahan iklim dan meningkatkan kemandirian energi, perlu perhatian
besar pada sumber energi yang rendah karbon dan terbarukan. Banyak generator energi
terbarukan, salah satunya yang paling potensial adalah memanfaatkan sumberdaya air
dalam jumlah besar.
Laporan Kementerian ESDM (Ministry of Energy and Mineral Resources
Republic of Indonesia. 2017), di Indoensia Pemanfaatan Air sebagai energy listrik
dinamakan PLTA.PLTA singkatan dari Pembangkit Listrik Tenaga Air. Ada banyak
pembangkit listrik di Indonesia. Antara lain PLTA Sigura-gura = Sumatera Utara,
Maninjau = Sumatera Barat, Jatiluhur = Jawa Barat, Tuntang = Jawa Tengah, Garung =
Jawa Tengah, Sempor = Jawa Tengah, Wonogiri = Jawa Tengah, Lodaya = Jawa
Timur, Sengguruh = Jawa Timur, Wlingi Raya = Jawa Timur, Karangkates = Jawa
Timur, Tes = Bengkulu, Tonsen = Sulawesi Utara, Sadang = Sulawesi Utara, Riam
Kanan = Kalimantan Selatan.
 Angin
Pada era ini, penggunaan minyak bumi, batu bara, dan berbagai jenis bahan bakar
hasil tambang mulai digantikan dengan penggunaan energi yang dihasilkan oleh
angin. Angin mampu menghasilkan energi dengan menggunakan turbin yang pada
umumnya diletakkan dengan ketinggian lebih dari 30 meter di daerah dataran tinggi.
Selain sumbernya yang terbaharukan dan selalu ada, energi yang dihasilkan angin
jauh lebih bersih dari residu yang dihasilkan oleh bahan bakar lain pada umumnya.
Beberapa negara yang telah mengaplikasikan turbin angin sebagai sumber energi
alternatif adalah Belanda dan Inggris. Implementasi potensi angin di Indonesia yang
dapat dijadikan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) ada di Samas Yogjakarta.
 Geothermal
Dalam hal sumber daya panas bumi, Indonesia dikenal memiliki kejadian besar,
dengan sumber daya total tidak kurang dari 20.000 MW, yang mewakili 40% dari total
sumber daya global. Sekali lagi, itu dapat berkontribusi secara signifikan terhadap
keamanan pasokan energi untuk jangka waktu yang panjang (Tadjoeddin, 2000). Dari
sumber daya yang diketahui dan potensial yang dapat dikembangkan, dapat diantisipasi

10
bahwa pasokan domestik sumber energi dapat memberikan fondasi yang kuat bagi masa
depan ekonomi Indonesia dalam jangka panjang.

Gambar 5. Peta Geotherma Indonesia. (Sumber: ibnudwibandono.files.wordpress.com)

 Tanah
Tanah (Soil) terbentuk dari campuran hasil pelapukan batuan, bahan organik,
bahan anorganik, air, dan udara. Tanah termasuk salah satu sumber daya alam
nonhayati yang penting untuk menunjang pertumbuhan penduduk dan sebagai
sumber makanan bagi berbagai jenis makhluk hidup. Pertumbuhan tanaman
pertanian dan perkebunan secara langsung terkait dengan tingkat kesuburan dan
kualitas tanah. Lapisan Tanah Atas (Top Soil) tersusun atas:Horizon O (Humus)
Tersusun dari Serasah atau sisa-sisa tanaman (Oi) dan Bahan Organik Tanah
(BOT) hasil Dekomposisi serasah (Oa). Horizon A Tersusun dari bahan mineral
dengan kandungan bahan organik tinggi sehingga berwarna agak gelap.

11
Gambar 6. Prfofil Tanah (sumber: Hidayat, 2011))

Pengelolaan sumber daya nonhayati ini menjadi sangat penting mengingat


pesatnya pertambahan penduduk dunia dan kondisi cemaran lingkungan
lingkungan yang ada
sekarang ini.
Beberapa persebaran tanah di Indonesia anatara lain:
 Tanah Podzolit;
Podzolit Berasal dari pelapukan batuan yang mengandung kuarsa.
Persebarannya : Sumatera, Kalimantan dan Papua.
Papua
 Tanah Aluvial; Berasal dari endapan lumpur sungai. Persebarannya :
Sumatera
atera bagian timur, Jawa bagian utara dan Kalimantan bagian selatan
selatan.
 Tanah Organosol; Berasal dari bahan induk organik seperti gambut dan
rumput rawa. Persebarannya : Pasang surut timur sumatera dan pantai
Kalimantan Barat
 Tanah Kapur; Berasal dari batuan
batua kapur. Persebarannya : Pegunungan
Kendung, Blora dan Pegunungan Sewu.
 Tanah Vulkanis (Andosol); Terbentuk dari pelapukan batuan
batuan-batuan
vulkanis. Persebarannya : Sumatera, Jawa, Bali dan wilayah yang memiliki
gunung api.
 Tanah Pasir Terbentuk dari batu pasir
pasir yang telah lapuk. Persebarannya :
antai barat Sumatera Barat, JawaTimur, Sulawesi dan Yogyakarta
Yogyakarta.
 Tanah Humus, Terbentuk dari tumbuh-tumbuhan
tumbuh tumbuhan yang telah membusuk.
Persebarannya : Meliputi kawasan hutan Indonesia

12
 Tanah Laterit, Terbentuk dari tanah yang banyak mengandung zat besi dan
aluminium. Persebarannya : Jakarta, Banten, Kalimantan Barat dan Pacitan.

 Hasil tambang
Secara geologis, Indonesia merupakan wilayah potensial untuk pembentukan
berbagai sumber daya energi dan mineral. Kegiatan eksplorasi yang telah dilakukan
sejak 1800 hingga saat ini, telah berhasil mengungkap sumber daya ini di berbagai
bidang. Di antara berbagai sumber daya ini, minyak, gas, batu bara, batu bara, timah,
nikel,tembaga, dan emas sejauh ini telah memberikan kontribusi penting bagi
Indonesia ekonomi. Mayoritas wilayah Indonesia belum dieksplorasi secara
menyeluruh, dan oleh karena itu kesempatan untuk menemukan energi baru dan
deposit mineral sangat memungkinkan.
Pada sektor energi, minyak adalah sumber energi utama sejak 30 tahun terakhir
tahun, dan ini dapat menyebabkan penipisan cepat sumber daya ini dalam waktu
dekat. Langkah-langkah diambil untuk mempertahankan manfaat dari sumber daya
ini, dengan mengintensifkan eksplorasi untuk mendapatkan lebih banyak cadangan
minyak, disertai dengan diversifikasi penggunaan berbagai jenis energi, dan
menerapkan kebijakan konservasi. Gas alam adalah sumber energi paling penting
kedua, dan itu akan memainkan peran penting dalam mengurangi berbagi minyak
dalam waktu dekat. Sumber daya batubara dan geothermal dapat menjadi sumber
energi penting lainnya, mengingat kejadiannya yang tersebar luas. Selain itu, ada
juga sejumlah sumber energi potensial terbarukan yang bisa dikembangkan di masa
depan. Ketersediaan sumber daya energi penyelam di Indonesia dapat menjamin
keamanan pasokan energi nasional untuk jangka waktu yang lama.
Kontribusi industri pertambangan untuk ekonomi nasional diperlukan
sekarang, lebih dari sebelumnya, untuk membantu mendorong pemulihan ekonomi
dari krisis, dan dalam jangka panjang, untuk memainkan peran kunci dalam
pembangunan ekonomi nasional yang berkelanjutan. Sementara memenuhi
permintaan untuk meningkatkan peran sektor energi dan mineral untuk mendukung
ekonomi nasional, pemerintah juga akan tetap berkomitmen untuk melindungi
lingkungan melalui pengesahan dan penerapan hukum dan peraturan yang tepat.

13
Menurut Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 1980 tentang penggolongan
bahan-bahan galian atau tambang. Pada pasal 1, bahan-bahan galian terdiri atas tiga
golongan, yaiyu:
 Bahan galian golongan A, merupakan bahan galian yang mempengaruhi
perekonomian negara dan strategis bag pertahanan dan keamanan negara.
Golongan bahan galian strategis seprti; bahan galian radio aktif, radium,
thorium, uranium, kobalt, timah, nikel, batubara muda, aspal, gas alam,
minyak bumi bitumen cair, lilin bumi,bitumen padat, antrasit.
 Bahan galian golongan B, merupakan nahan galian vital yang dapat
menjamin hajat hidup orang banyak. Golongan bahan galian B berupa besi,
cerium,rhutenium, ytrium, belerang, , kristal kwarsa, mangan, molibden,
Zircon, kriolit, fluaospar, barit, yodium,khrom, wolfram, vanadium, air
raksa, titan, bauksit, tembaga, timbal, seng, dan logam-logam langka lainnya.
 Bahan galian golongan C, merupakan bahan galian indsutri. Bahan galian
glongan C mencakup fofat-fosfat, garam batu, nitrat-nitrat, grafit, asbes, talk,
tawas, leusit, magnesit, flespar, batu apung, gips, tras, pasir kwarsa,
obsidian, perlit, tanah diatome, kalsit, granit, dolomit, dan pasir sepanjang
tidak mengandung unsur mineral golongan A mapun B dalam jumlah yang
berarti dari sisi ekonomi pertambangan.

Beberapa contoh bahan tambang dan pemanfaatannya:


1. Minyak Bumi. Di alam minyak adalah cairan yang mengisi ruang kosong,
celah-celah dan gua-gua dalam batuan, membentuk deposit di antiklinal lipatan
di batas lempeng dan kaki bukit. Minyak juga dapat ditemukan di pori-pori atau
pada butiran batu. Minyak semacam itu dapat membentuk batupasir jenuh
minyak dan batu kapur, atau lapisan kerak plastik dan keras, yang paling sering
disebut aspal alam atau serpih minyak. Dalam minyak cair Bumi biasanya
terkubur hingga kedalaman 0,3–5 km; ketika lebih dalam, itu dapat ditemukan
hanya sebagai campuran dalam deposit gas alam.

14
Gambar 7. Cadangan minyak dunia dalam milyar barrel, 65 % cadangan
ada di wilayah Timur Tengah (sumber: World Energy Council)

Berbagai penggunaan miyak sebagai sumber energi, menurut laporan


World Energy Council 40-45% digunakan untuk bahan bakar kendaraan
bermotor. Selain bensin minyak jenis Solar dimenfaatkan untuk mesin diesel;
minyak tanah sebagai bahan bakar lampu minyak; Liquid Natural Gas (LNG)
digunakan menghidupkan kompor gas; Parafin sebagai material pembuat lilin;
Aspal curah sebagai dasar bahan jalan raya, Avtur digunakan energi pesawat
terbang; Oli dijadikan pelumas mesin; dan Vaselin merupakan bahan obat salep.

Gambar 8. Energi 40% digunakan untuk bahan bakar motor


(sumber: World Energy Council)

15
Minyak bumi sering dinamakan kastobiolit seperti halnya batubara juga,
artinya sember energi pembakaran, yang berasal dari makhluk hidup (fosil).
Karena bentuknya cair, minyak bumi disebut sebagai kastobiolit cair,
sedangkan batubara disebut sebagai kastobiolit padat.
Wilayah yang menjadi ladang minyak bumi di Indonesia adalah: Sumatera
di Peurelak dan Langkat, Rokan, Lirik, Rumbai (pekan Baru), Nagro Aceh
Darussalam, Jambi, Muara Enim(Palembang), Pada Jawa terdapat di blok Cepu,
Jatibarang, lepas pantai kepulauan seribu, Pada pulau Kalimantan terdapat di
daerah Kutai, Mahakam, Tarakan. Pada Papua terdapat di Sorong, Bobo,
Klamono.
2. Batubara. Selain minyak dan gas, Indonesia juga memiliki sumber daya geo-
energi lainnya, terutama batu bara dan panas bumi. Sumber daya batubara juga
relatif kecil dibandingkan dengan cadangan global, dan banyak dari ini termasuk
dalam kategori peringkat rendah. Namun demikian, dengan total sumber daya
sekitar 39 miliar ton, itu akan sangat signifikan untuk pasokan energi nasional
selama beberapa ratus tahun mendatang. Hingga saat ini sumber daya batubara
berkualitas lebih tinggi yang telah berhasil dikembangkan yang telah
memungkinkan industri ekspor baru yang signifikan untuk dikembangkan bagi
Indonesia, menghasilkan devisa berharga bagi negara tersebut.

Gambar 9. Peta persebaran cekungan Batubara. (sumber: Pradipta Blog: Batubara)

16
Wilayah penambangan bartubara di Indonesia banyak tersebar di
Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu, Nusa Tenggara Barat,
Kalimantan Tengah, Kalimantas Selatan, Kalimantan Timur.
Dalam usaha penambangan batubara dikenal empat cara penambangan
yaitu:
 Penambangan dalam (Shaft mine). Penambangan dilakukan dengan
membuat terowongan yang tegak sampai ke lapisan batubara, kemudian
membuat terowingan mendatar.
 Penambangan jauh (slope mine). Batubara terletak jauh di bawah bukit,
sehingga cara menambangnya membuat terowongan miring sampai
mencapai batubara.
 Penambangan di atas permukaan (drift mine). Batubara terletak di bawah
bukit tetapi jika diukur dari permukaan justru terletak di atas.
 Penambangan terbuka (surface mine). Batubara terletak dipermukaan bumi
sehingga tinggal mengambil saja.

Pasca pertambangan batubara beroperasi akan dilakukan Revegetasi dan


Reklamasi yaitu upaya untuk pemulihan lahan eks-tambang dan lahan terbuka,
yang pengelolaannya sesudah selesainya penambangan. Reklamasi dan
Revegetasi bertujuan memperbaiki lahan bekas tambang untuk pelestarian
lingkungan dan penanggulangan resiko akibat dampak dari pertambangan. Jadi
Revegetasi dan Reklamasi adalah bagian integral dari rencana keseluruhan
operasional pertambangan secara terpadu dimulai perencanaan, eksplorasi,
eksploitasi hingga pemulihan lahan untuk penngunaan baru setalah kegiatan
penambangan selesai. Tujuan akhir dari rencana reklamasi adalah untuk
menyakinkan bahwa lahan bekas tambang dikembalikan pada penggunaan yang
produktif.

17
Gambar Proses kegiatan penambangan barubara
(sumber: https://ahmad-tarmizi.blogspot.co.id/2014/02/penambangan-batubara-di-indonesia.html)

3. Biji Besi adalah bahan baku dasar untuk memproduksi baja, logam yang penting
bagi ekonomi semua negara industri. Bijih besi kadar rendah terkonsentrasi
mencapai rata-rata 62% kandungan besi (Fe) diperlukan secara global untuk
produksi baja. Konsentrat kemudian dapat diaglomerasi menggunakan pengikat
untuk membuat lempengan bijih besi untuk peleburan lebih efisien dalam tungku
pembakaran.
4. Tembaga. Tembaga dapat terjadi dalam bentuk logam di alam (yaitu, tembaga
asli), dan merupakan salah satu dari tujuh logam yang dikenal di jaman dahulu.
Jenis mineral tembaga adalah kalporit, kalkosit, kuprit, dan Malakit.
Tembaga umumnya memiliki warna kekuningan, mudah direntangkan,
dibentuk, tahan untuk korosi, dan menghantar panas dan listrik secara efisien.
Sebagai dampaknya, tembaga penting bagi manusia purba dan terus berlanjut
menjadi bahan pilihan untuk berbagai macam keperluan rumah tangga, industri,
dan aplikasi teknologi tinggi saat ini.
Bijih tembaga dapat terbentuk secra magmatis, melalui metamorfosis
kontak, ataupun hidrothermal. Penambangan tembaga dilakukan oleh PT Freeport
di Papua. Di beberapa wilayah Indonesia penambangan tembaga tersebar di
Sumatera ( Aceh, Tapanuli, Jambi, Palembang, Bengkulu), Jawa (Tirtomoyo,

18
Cikotok, Cirotan), Kalimantan (Sampit, Kalimantan Tengah dan Kalimantan
Barat), Sulawesi (Sulawesi Utara dan Latimojong).
5. Bauksit. Bijih bauksit adalah unsur melimpah yang banyak ditemukan di kerak
bumi, meskipun kata bauksit yang mengandung lebih dari 32 persen alumina
sebagai bahan dasar pembentuk aluminium. Bauksit banyak ditemukan di daerah
Kijang dan sekitarnya (Pulau Bintan), Propinsi Kepulauan Riau dengan cara
pertambangan terbuka. Sebagian besar hasil prosuksi Bauksit Indonesia diekspor.
6. Gas Alam. Gas alam adalah sumber bahan bakar fosil lain yang akan terus
memberikan kontribusi yang signifikan ke ekonomi energi dunia. Terbersih dari
semua bahan bakar berbasis fosil, gas alam berlimpah dan fleksibel. Gas Alam
semakin digunakan dalam teknologi pembangkit listrik yang paling efisien.
Gabungan Cycle Gas Turbine (CCGT) memiliki efisiensi konversi sekitar 60%.
cadangan gas alam konvensional telah tumbuh sebesar 36% selama dua dekade
terakhir dan produksinya sebesar 61%. Dibandingkan dengan survei 2010,
cadangan gas alam terbukti telah tumbuh sebesar 3% dan produksi sebesar 15%.
7. Emas dan Perak. Banyak dimanfaatkan sebagai perhiasan. Kedua logam mulia
ini sering ditemukan bersama di alam. Emas banyak ditemukan dibatuan gang,
yang berasal dari cairan hidrothermal. Emas biasanya juga bersamaan ditemukan
dengan kwarsa lainnya seperti klorit maupun kalsit. Sementara perak sebagian
besar terdapat dalam sulfida yang disebut galena.
Suatu tambang tertentu secara umum diklasifikasikan sebagai tambang
emas atau perak berdasarkan logam yang diperoleh kembali menghasilkan nilai
ekonomi terbesar bagi operator tambang. Penambangan emas dan perak di
Indonesia dilakukan oleh PT Aneka Tambang, PT Freeport, PT Newmont dan
beberapa perusahaan kontrak karya. Penambangan emas tersebar di beberapa
propinsi, seperti Papua, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah,
Jawa Barat, Lampung.
8. Marmer. Kata Marmer berasal dari kata Yunani Mamaros yang berarti batu
bersinar. Marmer adalah batu metamorfik granular non-foliated, yang dibentuk
oleh Metamorfosa dari batu kapur dan Dolostone. Kandungan kimiawi marmer
adalah kalsium Karbonat (CaCO3). Istilah marmer juga diterapkan pada batuan
serpentine yang bisa dipoles hingga berkilau tinggi. Marmer adalah batu karbonat
yang berarti memiliki (CO3) dalam susuna kimia inti dan banyak digunakan

19
untuk patung, perhaisan dan bahan bangunan. Lihat gambar 10 berbagai
pemnafatan marmer .

Gambar 10. berbagai pemanfaatan marmer untuk tiang, lantai dan patung
9. Belerang. Belerang sangat penting untuk kehidupan; kaerna menjadi unsur
utama di semua tanaman, dan kebutuhan mdalam jumlah sedikit dari hampir
semua bagian tubuh manusia, termasuk lemak, cairan tubuh dan mineral sel. Zat
belerang digunakan dalam perlindungan sel, fungsi hati dan proses pencernaan,
dan merupakan bagian penting dari vitamin B1 dan insulin. Belerang ditemukan
di endapan vulkanik telaga Bodas Garut, Dataran tinggi Dieng Jawa Tengah,
Gunung Sorik Merapi Sumatera, Gunung Mahawu Sulawesi Utara.
10. Yodium. Yodium adalah salah satu unsure bukan logam yang terberat yang
didapat pada tumbuh tumbuhan laut dan air sumber garam yang berasal dari air
laut kerapkalai di ketemukan bersama sama dengan minyak yodium sering di
ketemukan bersama sama dengan bromiumUntuk obat dan peramu garam dapur
beryodium. Hasil hasil yodium yang diperoleh diatas tadi dipakai untuk industry
kimia dan obat obatan untuk photographic emulsion ,film,kertas, untuk
laboratorium dipakai sebagai reagen , menjaga penyakit gondok , penggunaan
yodium dapat hanya satu kali saja. Persebaran penambangan Yodium dapat
dilihat pada table 1.

20
Tabel 1. Lokasi penambangan Yodium
Tempat Keadaan Cadangan Diselidiki oleh/
No
endapan ton Literatur
1 Jawa Barat - - Vers, & Medede
Seusepuan lingen No. 14
Jawa Tengah - - -
1 Kroja - - -
2 Selokaton
Jawa Timur - - Tushadi
1 Mindi Tuban - 110 juta ton Madiadipoera
2 Watukadon (1990)

11. Nikel. Digunakan untuk bahan pelapis besi agar tidak mudah berkarat. Nikel
merupakan salah satu jenis unsur kimia yang berbentuk metal dan biasanya
ditambang di daerah – daerah tertentu. nikel sendiri memiliki nomor atom 28
yaang saat ini dalam tabel periodic unsur dilambangkan dengan Ni. Walaupun
merupakan salah satu unsur metal, namun nikel asli yang baru ditambang
memiliki sifat lembek dan dapat dibentuk. Biasanya nikel diolah dengan cara
dipadukan dan dicampurkan dengan logam lain, seperti besi dan krom. Nikel
memiliki wana putih keperakan dan dapat ditempa.
Manfaat nikel bagi manusia dalam menunjang kehidupan sehari harinya
sangat banyak. Nikel sendiri merupakan salah satu elemen yang membentuk inti
bumi. Diketahui sebanyak 10% inti bumi terbbentuk dari nikel. Karena
merupakan salah satu unsur pembentuk inti bumi, maka nikel cukup sulit
ditemui dan ditambang. Biasanya nikel yang ditambang berasal dari larutan
nikel yang berada di laut, dengan kisaran jumlah sekitar 8 juta ton.
Penambangan nikel terbesar dilaksanakan PT Aneka Tambang yang melakukan
kegiatan penambangan di Pomala dan Pulau Gede, PT INCO di Soroako
Sulawesi Selatan, PT GAG Nikel di Sorong Papua Barat.
12. Mangan. Mangan dan bijih besi terdapat bersamaan, di saerah aktif vulkanik.
Akibat erosi air, mangan dan oksida besi larut. Dalam pengendapannya, besi dan
mangan terpisah. Mangan terendap pada air yang pH nya tinggi, sedangkan besi
ber PH rendah. Di Indonesia Mangan banyak ditemukan di Karangnunggal
Tasikmalaya, Jawa Barat, Pegunungan Karanbolong, Pegunungan Menoreh,
dan Kliripan Yojakarta, di Pulau Ternate Maluku, Nusa Tenggara Timur dan
21
Kalimantan Selatan. Mangan digunakan Untuk pembuatan pembuatan besi baja,
terutama untuk memperkeras baja.
13. Timah. Timah berasal dari magma yang mendingin, biasanya terdapat dalam
batuan granit dalambentuk kasiretit (SnO2). Menurut asal terjadinya timah dapat
dibedakan menjadi timah primer dan timah sekunder.
 Timah primer, yakni timah yang mengendap pertama kali pada batuan granit,
sering disebut sebagai timah diluvial (diluvium), karena terbentuk pada
jaman diluvium (pleistosen). Contohnya timah yang ada di daerah belitung.
 Timah Sekunder (alluvial), merupakan endapan timah yang sudah berpindah
dari tempat asalnya sebagai akibat proses pelapukan dan erosi. Misalnya bijih
timah yang terdapat di pantai Singkep dan Bangka. Perpindahan tempat ini
ada yang mencapai dasar laut.
14. Aluminium. Aluminium terbentuk dari beberapa jenis mineral, salah satunya
adalah bauksi (Al2O3H2o). Hampir semua batuan mengandung aluminium,
kecuali batuan gamping dan kuarsit. Aluminium terdapat pada tanah liat yang
merupakan hasil pelapukan batuan oleh pengerjaan iklim. Tanah liat
mengandung 50% Al2O3. Penambangan Aluminium terdapat di pulau Bintan
dan Kuala Tanjung (Riau).Aluminium mempunyai sifat yang menguntungkan
bagi indsutri yaitu ringan, mudah dibuat berbagai bentuk dan tidak mudah
berkarat, mudah dicampur dengan logam lain, penghantar listrik yang baik.
Banyak permintaan untuk bahan otomotif, elektonik, dan perkakas rumah tangga
seperti pring, sendok, panci, dan sebaginya.
15. Fosfat. Fosfat merupakan mineral penting dalam industri pertanian sebagai
bahan utama pembuatan pupuk kimia. Fosfat juga berperan dalam arti ekonomis
untuk campuran indsutri baja, industri korek api, isian amunisi, industri obat-
obatan, industri semen, fotographi, kembang api, dan sebagainya. Fosfat
terdapat di goa-goa kapur. Mineral ini didapatkan di gunung Kromong
Cirebon, Karang Bolong, Gunung Ijo Gembong, Jepara, Rembang Jawa Tengah,
Jawa Timur, Papua dan pulau Selayar.
16. Kaolin. Banyak digunakan untuk indsutri keramik, genting, semen, dan
sebagainya. Endapan kaolin banyak ditemukan di Jawa, Sumatera, Bangka,
Belitung, Kalimantanb dan Sulawesi.

22
IV. Pengelolaan Sumberdaya Alam (SDA) yang Berwawasan lingkungan
berkelanjutan
Sejumlah masalah lingkungan perlu dikelola secara serius, dan ini termasuk praktik
penambangan yang baik, penggunaan lahan pasca tambang, dan pengembangan daerah dan
masyarakat. Program pengembangan masyarakat khususnya, harus ditentukan dengan jelas
oleh masing-masing perusahaan operasi bekerjasama dengan pemerintah pusat dan daerah
serta penduduk setempat. Ini akan memainkan peran penting dalam mendukung program
pengentasan kemiskinan hingga kini masih menjadi bagian dari agenda strategis nasional
pemerintah (Suryantoro & Manaf, 2002). Pengelolaan sumber daya alam harus hati-hati.
Prinsipnya, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan agar tetap terjaga kelestariannya.
Sumber daya alam perlu dilestaikan supaya dapat mendukung kehidupan makhluk hidup.
Bila sumber daya alam rusak atau musnah, kehidupan bisa terganngu. Beberapa hal yang
dapat diusahakan untuk menjaga kelestarian sumberdaya alam adalah sebagai berikut.
1. Penghijauan dan reboisasi
Usaha penghijauan dan reboisasi hutan dapat mencegah rusaknya lingkungan yang
terkait dengan kelestarian air, tanah, dan udara. Keuntungan pelaksanaan penghijauan
antara lain sbagai berikut :
 Tumbuh-tumbuhan dapat menyaring dan mengatur air, mencegah banjir, dan
menimbulkan mata air.
 Tumbuh-tumbuhan menjadi factor penyubur tanah. Dedaunan berguguran, semakin
lama mengalami penuraian dan pembusukan sehingga menjadi lapisan humus.
Akar tanaman dapat mencegah erosi dan bahaya longsor.
 Tumbuh-tumbuhan menghasilkan udara yang segar, sebab tumbuhan mengambil
CO2 dan melepaskan O2 yang diperlukan manusia untuk bernafas. Hal ini terjadi
pada proses fotosintesis.
2. Sengkedan
Untuk mencegah erosi dan menjaga kesuburan tanah daerah perbukitan ataupun
tanah miring dibuatkan sengkedan atau terasering. Cara ini bertujuan untuk
mengantisipasi pada waktu terjadinya hujan, air banyak yang meresap ke dalam tanah.
3. Pengembangan daerah aliran sungai
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan daerah peka terhadap kerusakan dan
pencemaran, karena seringnya terjadi pengikisan lapisan tanah oleh arus sungai.

23
Untuk itu perlu pengendalian khusus bagi daerah ini. Cara pengendalian DAS, antara
lain sebagai berikut :
 Tindakan tegas terhadap perusak lingkungan
 Mengadakan penghijauan dan reboisasi hutan di sekitar DAS. Tujuannya ,
mengatur, menyimpan air, dan mencegah pendangkalan sungai.
 Membuat bendungan-bendungan dan saluran irigasinyang teratur.
4. Pengelolaan air limbah
Sumber air limbah dapat berasal dari rumah tangga, industri, dan pabrik. Air
limbah yang dibuang ke tanah dapat meresap, masuk ke tanah dan bercampur dengan
air tanah. Hal itu berarti bukan tanah saja yang tercemar, tetapi juga air bawah
permukaan tanah. Air limbah berbahaya bagi manusia. Beberapa gangguan yang bisa
ditimbulkan anatra lain adalah sebagai berikut :
 Kesehatan. Bibit penyakit yang bisa ditularkan melalui air limbah
contohnya : kolera, disentri dan tipes.
 Keindahan. Selain berbau ampas limbah tiak enak juga mengganggu
keindahan lingkungan sekitarnya.
 Kehidupan biotik. Air limbah menganggu perkemangan kehiduan karena
beracun sehingga dapat mematikan makhluk hidup.
 Karat atau aus, air limbah yang mengandung gas karbon dioksida akan
mempercepat karat atau aus benda-benda yng terbuat dari besi.

Usaha-usaha untuk mengatasi air limbah adalah sebagai berikut :


 Pengaturan lokasi industri agar jauh dari permukaan penduduk.
 Indstri yang menimbulkan air limbah, diwajibkan memasang peralatan
pengendali pencemaran air.
 Daerah industri dijauhkan dari peredaran air yang berhubungan langsung
dengan sumber air minum penduduk.
 Menemukan sumber bahan beracun dan segera melakukan netralisasi secara
kimia.Mencegah agar saluran air limbah jangan sampai bocor.
 Unsur-unsur yang tidak dapat dinetralisasi harus dibuang dengan dipendam
di dalam tanah yang jauh dari air, atau dibuang ke laut dengan menggunakan
drum-drum.

24
5. Penghentian Penambangan liar
Kegiatan yang berpotensi merusak lingkungan adalah penambangan liar karena
kegiatan seperti itu mengabaikan prosedur praktik penambangan yang baik. Untuk
mengatasi ini masalah, pemerintah sekarang mengambil langkah serius untuk
memperbaiki hukum dan untuk menghentikan aktivitas ilegal ini.
6. Penertiban pembuangan sampah
Permasalahan sampah , seperti sarang penyakit, menimbulkan bau busuk, dan
menganngu pandangan mata. Oleh sebab itu buanglah sampah pada tempat yang telah
ditentukan. Jangan membuang sampah di sembarang tempat. Tempat penimbunan
sampah yang terakhir jangan sampai menganggu lingkungan kehidupan. Di samping
itu, erlu dipikirkan pula cara pemusnahan sampahnya.
Cara-cara atau sistem pemusnahan sampah, antara lain sebagai berikut :
 Dibakar. Cara ini hanya dapat dilakukan pada sampah yang dapat dibakar.
Usahakan agar asapnya jangan sampai menganggu lingkungan.
 Untuk makanan ternak (babi). Sisa sampah berupa sayuran, sisa masakan, dan
sisa buah-buahan bisa dijadikan untuk makan ternak.
 Untuk biogas. Gas dapat digunakan untuk memasak dan penerangan
 Untuk bahan pupuk. Sampah yang membusuk akan menjadi bahan organik dan
dapat digunakan sebagai pupuk.
7. Konservasi pada Lahan Terdegradasi
Menurut Wahyudi (2014), Pada lahan yang tidak berhutan atau lahan kritis,
metode konservasi tanah menggunakan cara mekanis dan teknik vegetatif. Cara
mekanis dilakukan dengan pembuatan teras sering, bangunan penahan, bangunan
drainase, penutupan dan lain- lain. Sedangkan mekanik- vegetatif dilakukan dengan
menggunakan tumbuhan atau tanaman.
 Pola tanam yang digunakan dapat berbentuk penanaman dalam strip (strip
cropping).
 Buffering, penutupan lahan curam dengn tanaman keras/pohon.
 pola tanam ganda atau majemuk (multiple cropping).
 sistem pertanian hutan (agroforestry).
 pemanfaatan sisa tanaman (residual management)
 Contour Farming, menanam secara sejajar garis kontur/lereng (horisontal).

25
 penanaman pada saluran pembuangan (grassed water ways).
 Wind Breaks, penanaman tumbuhan untuk melindungi tanah dari tiupan angin.
 Contour Strip Cropping, membagi bidang tanah searah garis kontur dengan pola
tanaman campursari/tumpang sari dan berselang-seling.
 Inter cropping (tumpang sari), sistem penanaman dengan menggunakan dua atau
lebih tanaman yang ditanam secara serentak dalam sebidang lahan.

Teknik konservasi juga dapat dilakukan dengan kombinasi mekanik dan cara
vegetatif. Pada lahan sangat kritis yang berada di daerah kelerengan curam, cara
mekanik didahulukan sebelum penanaman dilakukan.
Beberapa cara mekanik untuk menangani lahan kritis antara lain (Wahyudi
2014):
 Contour Tillage, pengolahan lahan sejajar garis kontur.
 Contour Polwing, membajak tanah sejajar garis kontur.
Terasering/Sengkedan, penterasan lahan pada lereng yang curam.
 Gulundan, pembuatan pematang/batas/kuburan.
 Irigasi, saluran air untuk pengairan lahan.
 Cekdam / Balong / Waduk / Embung, membendung aliran air.
8. Konservasi Lahan Kritis
Pada daerah yang mempunyai kelerengan, konservasi vegetatif, yaitu dengan
melakukan penanaman jenis cepat tumbuh (fast growing species), tanaman penutup
(cover cropt) baik jenis asli (native species) maupun luar (exotic species),dan atau
pemelihara pertumbuhan alam (natural regeneration). Perpaduan kedua teknik
tersebut sangat tepat diterapkan untuk merehabilitasi lahan kritis.
9. Konservasi secara Kimiawi
Memberikan masukan bahan untuk memperbaiki sifat tanah, biasanya dengan bahan
kimia (krilium, PVA, kapur dan sebaginya).
 Bitumen = memperbaiki struktur tanah.
 Soil Conditioner = memperkuat agregat tanah
 Pupuk Kimia = menyuburkan tanah.
 Belerang = menetralkan tanah yang basa.

26
Gambar 11. Wind Break Contour Farming Contour Strip Cropping
(sumber Wahyudi, 2014)

V. Pengelolaan Sumber Daya Alam Berdasarkan Prinsip Mengurangi


Keberadaan sumberdaya alam tidak selamanya abadi. Beberapa sumberdaya alam
sangat terbatas keberadaannya. Dalam pembentukannya bias mencapai jutaan tahun
lamanya, tidak dapat ditunggu sampai 7 atau puluhan generasi lamanya, sehingga
pemanfaaatannya peril efisiensi bila perlu dikurangi dan digantikan dengan sumberdaya
yang mudah terbarukan dan lebih ramah lingkungan (Demirel 2016)
Pengelolaan sumberdaya alam seperti halnya penambangan telah diakui memiliki
berbagai dampak seperti degradasi lingkungan, penurunan kualitas air, ancaman habitat
flora dan fauna, erosi dan sedimentasi, perubahan topografi, drainase tambang asam, dan
peningkatan fitur dampak sosial. Beberapa masalah industri pertambangan Indonesia saat
ini dalam kaitannya dengan aspek lingkungan termasuk penggunaan lahan pasca tambang,
pengembangan situs tambang yang ditinggalkan, dan penambangan ilegal. Setelah
penambangan sumberdaya tambang habis massa eksploitasinya, Penggunaan lahan pasca
penambangan harus lebih baik didefinisikan terlebih dahulu untuk memungkinkan
persiapan yang tepat dari lahan untuk dikonversi menjadi penggunaan lahan yang
diinginkan.
Pengurangan penggunaan sumberdaya yang tidak terbarukan dan tidak merata, serta
pengaruh pertumbuhan populasi yang sangat tinggi, sangat penting diperhatikan untuk
keberlangsungan hidup bangsa Indonesia. Lingkungan alam memberi kemampuan yang
diperlukan untuk kehidupan sehari-hari manusia, tetapi tanah, air, iklim dan energi
matahari yang membentuk dukungan 'abiotik' yang diperoleh dari alam, tidak tersebar
secara merata ke berbagai tempat dan keberadaannya semakin terbatas. Untuk itu perlu

27
pengurangan dan penghematan penggunaan sumberdaya tidak terbarukan, dengan memilih
alternative pemanfaatan sumberdaya terbarukan melalui perubahan gaya hidup dan
penciptaan teknlogi modern yang lebih ramah lingkungan.
Untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia, manusia membutuhkan aneka
sumberdaya alam. Sumberdaya alam dari petambangan, mineral energi, maupun hayati
sangat diperlukan. Upaya mengeksploitasi sumberdaya alam oleh manusia hendaknya
menghindari untuk menghabiskan secara keseluruhan, tetapi hendaknya memegang
prinsip pengurangan. Masaki (1995), mengemukakan bahwa eksploitasi dengan
menghabiskan tanpa tersisa akan merusak lingkungan dan menganggu kesetimbangan
lingkungan. Sumberdaya alam memunyai sifat ketergantungan dengan lainnya. Dengan
demikian, suatu tindakan terhadap suatu sumberdaya alam, dampaknya akan terasa pada
sumberdaya alam lainnya. Kerusakan ekosistem kehutanan akan berdampak pada
lingkungan sekitarnya, sehingga mengakibatkan terpicunya longsoran, banjir, kekeringan
dan lainnya.

VI. Pengelolaan Sumber Daya Alam Berdasarkan Prinsip Daur Ulang


Dengan teknologi maju, manusia dapat memanfaatkan sampah untuk dijadikan
kertas ataupun pupuk organis. Sampah-sampah yang berasal dari organik dapat berproses
menjadi pupuk organik dan digunakan untuk memupuk tanah. Tanah sebagai sumber daya
alam kemudian ditanami tanaman produksi. Setelah tanaman mati, daun-daunnya dapat
diolah kembali menjadi pupuk setelah melalui proses daur ulang.
Proses daur ulang adalah pengolahan kembali suatu massa atau bahan-bahan bekas
dalam bentuk sampah kering yang tidak mempunyai nlai ekonomi menjadi suatu barang
yang berharga dan berguna bagi kehidupan manusia. Bahan-bahan bekas tersebut, antara
lain, plastik, kertas, karton, kardus, seng, besi, logam, aluminium, kaleng, serbuk, gergaji,
potongan kain, kaca dan kulit. Bahan baku daur ulang, yang berupa sampah, pada
umumnya dianggap tidak berguna dan tidak mempunyai nilai ekonmi. Sampah tersebut
biasanya dgolongkan sebagai sampah anorganik yang tidak dapat diproses secara alamiah.
Sampah tersebut harus diolah harus diolah melalui suatu proses, menjadi barang yang
bermanfaat dan memiliki nilai ekonomi. Bahkan, dapat digunakan kembali sebagaimana
layaknya semula. Sampah yang berasal dari bahan organik berupa sayuran, sisa makanan,
pertanian, perkebunan, dan peternakan digolongkan sebagai samah basah (sampah

28
organik) yang dapat diproses secara alamiah. Misalnya dijadikan bahan baku untuk
pembuatan kompos.
Dalam usaha mengurangi sampah melaui teknik daur ulang, tidak sama
perlakuannya unuk semua jenis sampah. Daur ulang dapat dilakukan secara individu atau
kelompok, misalnya industri daur ulang kaleng, plastik, kertas, kaca, logam, aluminium
dan lain-lain. Hal ini harus dilakukan dengan skala industri, karena investasinya cukup
besar. Pengelolaan yang dapat dilakukan secara individu atau kelompok kecil dan
investasinya relatif murah adalah mendaur ulang besi. Bahan bakunya berlimpah,
ekonomis, dan cara pembuatannya sederhana.
Proses daur ulang sebenarnya juga merupakan salah satu cara menghemat sumber
daya alam. Sebagai contoh, pada daur ulang kertas. Jika daur ulang kertas, maka berarti
kita telah menghemat dan mengurangi terjadinya penebangan hutan. Selain menghemat
dan menyelamatkan hutan, dengan mendaur ulang kertas, juga berarti mengurangi
penumpukan sampah.

29
RANGKUMAN

 Sumberdaya alam adalah bahan baku didapatkan dari bumi yang mencakup dalam
lingkungan fisik yang digunakan untuk perumahan, pakaian, pemanasan, pendinginan,
transportasi dan untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan manusia lainnya.
 Klasifikasi sumberdaya alam terdiri pembagian bentuk yang bisa dimanfaatkan,
proses pembentukan, cara terbentuknya bahan galian, nilai ekonomisnya.
 Pemanfatan sumberdaya alam di Indonesia berupa air, angin, tanah, geothermal, aneka
hasil tambang yang ada diu Indonesia.
 Menurut cara terbentuknya bahan galian, sumberdaya alam dapat diklasifikasikan
sebagai bahan galian magmatic, bahan galian pegmatite, bahan galian hasil
pengendapan, bahan galian hasil pengayaan sekunder, bahan galian hasil
metamorfosis kontak, bahan galian termal.
 Konservasi lahan kritis dapat dilakukan secara mekanik, vegetative dan kimiawi.
 Pengelolaan sumberdaya alam harus dilaksankan dengan memperhatikan kelestarian
lingkungan secara berkelanjutan memalui upaya prinsip pengurangan (penghematan)
dan prinsip daur ulang.

30
DAFTAR PUSTAKA

Demirel Y. 2016. Energy, Green Energy and Technology. Springer International


Publishing Switzerland.

Hidayat. 2011. Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kelembagaan Lokal. Jurnal
Sejarah CITRA LEKHA, XV (1). 19-32.

Masaki, I. 1995.The Watershed Management Technology Development Project,Technical


Manual Soil Conservation and Forest Road. Japan International Cooperation
Agency

Ministry Of Energy and Mineral Resources Republic of Indonesia. 2017. Handbook of


Energy & economic Statistics Of Indonesia.

Suryantoro S. and Manaf M.H. 2002. The Indonesian Energy and Mineral Resources
Development and its Environmental Management to Support Sutainable National
Economic Development. CCNM Global Forum On International Investment
Conference on Foreign Direct Investment and the Environment. OECD
Headquarters, 2 rue André Pascal, 75775 CEDEX 16, Paris, France.

Tadjoeddin M. Z. 2007. A future resource curse in Indonesia: The Political Economy of


Natural Resources, Conflict and Development. Department of International
Development, University of Oxford

Wahyudi. 2014. Teknik Konservasi Tanah serta Implementasinya pada Lahan


Terdegradasi dalam Kawasan Hutan. Jurnal Sains dan Teknologi. 6 (2).71-85.

World Energy Council. 2013. World Energy Resources In survey 2013.


www.worldenergy.org.

31
BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Sumber Daya Manusia

2.1.1 Pengertian Sumber Daya Manusia

Menurut Sayuti Hasibuan (2000, p3), sumber daya manusia adalah semua

manusia yang terlibat di dalam suatu organisasi dalam mengupayakan terwujudnya

tujuan organisasi tersebut.

Nawawi (2003, p37) membagi pengertian SDM menjadi dua, yaitu pengertian

secara makro dan mikro. Pengertian SDM secara makro adalah semua manusia sebagai

penduduk atau warga negara suatu negara atau dalam batas wilayah tertentu yang sudah

memasuki usia angkatan kerja, baik yang sudah maupun belum memperoleh pekerjaan

(lapangan kerja). Pengertian SDM dalam arti mikro secara sederhana adalah manusia

atau orang yang bekerja atau menjadi anggota suatu organisasi yang disebut personil,

pegawai, karyawan, pekerja, tenaga kerja, dll.

Jadi, sumber daya manusia (SDM) adalah semua orang yang terlibat yang

bekerja untuk mencapai tujuan perusahaan.

2.1.2 Komponen Sumber Daya Manusia

Hasibuan (2002, p12) membagi komponen SDM menjadi

1. Pengusaha, ialah setiap orang yang menginvestasikan modalnya untuk memperoleh

pendapatan dan besarnya pendapatan itu tidak menentu tergantung pada laba yang

dicapai perusahaan tersebut.


9

2. Karyawan, ialah penjual jasa (pikiran dan tenaganya) untuk mengerjakan pekerjaan

yang diberikan dan berhak memperoleh kompensasi yang besarnya telah ditetapkan

terlebih dahulu (sesuai perjanjian). Posisi karyawan dalam suatu perusahaan

dibedakan menjadi :

a. Karyawan Operasional, ialah setiap orang yang secara langsung harus

mengerjakan sendiri pekerjaannya sesuai dengan perintah atasan.

b. Karyawan Manajerial, ialah setiap orang yang berhak memerintah bawahannya

untuk mengerjakan sebagian pekerjaannya dan dikerjakan sesuai dengan

perintah.

3. Pemimpin, ialah seseorang yang mempergunakan wewenang dan kepemimpinannya

untuk mengarahkan orang lain serta bertanggung jawab atas pekerjaan orang tersebut

dalam mencapai suatu tujuan.

2.2 Pengelolaan Sumber Daya Manusia

Menurut Sayuti Hasibuan (2000, p1), pengelolaan sumber daya manusia berarti

penyiapan dan pelaksanaan suatu rencana yang terkoordinasi untuk menjamin bahwa

sumber daya manusia yang ada dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk

mencapai tujuan organisasi tersebut.

2.2.1 Analisa Pekerjaan

Menurut Hasibuan (2002, p29), analisis pekerjaan atau job analysis adalah

informasi tertulis mengenai pekerjaan apa saja yang harus dikerjakan dalam suatu

perusahaan agar tujuan tercapai. Aktivitas dalam analisa pekerjaan adalah menganalisis

dan mendesain pekerjaan apa saja yang harus dikerjakan, bagaimana mengerjakannya,
10

dan mengapa pekerjaan itu harus dikerjakan. Analisa pekerjaan menghasilkan uraian

pekerjaan (job description) dan spesifikasi pekerjaan (job specification) yang berguna

untuk aktivitas pengelolaan SDM selanjutnya.

Uraian pekerjaan (Hasibuan, 2002, p33) adalah informasi tertulis yang

menguraikan tugas dan tanggung jawab, kondisi pekerjaan, hubungan pekerjaan, dan

aspek-aspek pekerjaan pada suatu jabatan tertentu dalam organisasi.

Sedangkan spesifikasi pekerjaan (Hasibuan, 2002, p34) adalah uraian

persyaratan kualitas minimum orang yang bisa diterima agar dapat menjalankan satu

jabatan dengan baik dan kompeten.

2.2.2 Perencanaan Sumber Daya Manusia

Menurut Hasibuan (2002, p250), perencanaan SDM adalah merencanakan tenaga

kerja agar sesuai dengan kebutuhan perusahaan serta efektif dan efisien dalam

membantu terwujudnya tujuan.

Definisi perencanaan SDM menurut Nawawi (2003, p43) adalah rangkaian

kegiatan peramalan kebutuhan atau permintaan tenaga kerja di masa depan pada sebuah

organisasi/perusahaan, yang mencakup pendayagunaan SDM yang sudah ada dan

pengadaan tenaga kerja baru yang dibutuhkan.

Jadi, perencanaan sumber daya manusia adalah proses menetapkan estimasi atau

perkiraan untuk memperoleh sumber daya manusia agar sesuai dengan kebutuhan

organisasi sekarang dan pengembangannya di masa depan.


11

2.2.3 Perekrutan Karyawan

Menurut Hasibuan (2002, p40), perekrutan atau penarikan adalah usaha mencari

dan mempengaruhi tenaga kerja, agar mau melamar lowongan pekerjaan yang ada dalam

suatu perusahaan.

Edwin B. Flippo (Hasibuan, 2002, p40) mendefinisikan penarikan sebagai proses

pencarian dan pemikatan para calon pegawai yang mampu bekerja di dalam organisasi.

Jadi, perekrutan karyawan adalah usaha mencari dan menarik tenaga kerja agar

melamar lowongan kerja yang ada pada suatu perusahaan.

2.2.4 Penyeleksian Karyawan

Menurut Hasibuan (2002, p47), seleksi adalah suatu kegiatan pemilihan dan

penentuan pelamar yang diterima atau ditolak untuk menjadi karyawan perusahaan.

Menurut Dale Yoder (Hasibuan, 2002, p47), seleksi adalah suatu proses ketika

calon karyawan dibagi dua bagian, yaitu yang akan diterima dan yang ditolak.

Jadi, penyeleksian karyawan adalah proses menilai dan memilih karyawan yang

qualified di antara calon-calon karyawan yang melamar.

2.2.4.1 Kualifikasi Seleksi

Kualifikasi seleksi (Hasibuan, 2002, p54) meliputi

1. Umur

Umur harus mendapat perhatian karena mempengaruhi kondisi fisik, mental,

kemampuan kerja dan tanggung jawab seseorang.


12

2. Keahlian

Keahlian akan menentukan mampu tidaknya seseorang menyelesaikan pekerjaan

yang ditugaskan kepadanya.

3. Kesehatan fisik

Kesehatan fisik sangat penting untuk dapat menduduki suatu jabatan. Tidak mungkin

seseorang dapat menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik jika sering sakit.

4. Pendidikan

Pendidikan merupakan suatu indikator yang mencerminkan kemampuan seseorang

untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan.

5. Jenis kelamin

Jenis kelamin harus diperhatikan berdasarkan sifat pekerjaan, waktu mengerjakan

dan peraturan perburuhan.

6. Tampang

Tampang adalah keseluruhan penampilan dan kerapian diri seseorang yang tampak

di luar.

7. Bakat

Bakat perlu mendapat perhatian, karena orang yang berbakat lebih cepat berkembang

dan mudah menangkap pengarahan yang diberikan.

8. Temperamen

Temperamen adalah pembawaan seseorang yang sulit dipengaruhi oleh lingkungan

dan melekat pada dirinya.

9. Karakter

Karakter merupakan sifat pembawaan seseorang yang dapat diubah dengan

lingkungan atau pendidikan.


13

10. Pengalaman kerja

Orang yang berpengalaman merupakan calon karyawan yang telah siap pakai.

11. Kerja sama

Kerja sama harus diperhatikan dalam proses seleksi, karena kesediaan kerja sama,

baik vertikal maupun horizontal merupakan kunci keberhasilan perusahaan, asalkan

kerja sama itu sifatnya positif serta berasaskan kemampuan.

12. Kejujuran

Kejujuran merupakan kunci untuk mendelegasikan tugas kepada seseorang.

13. Kedisiplinan

Kedisiplinan perlu diperhatikan dalam proses seleksi, karena untuk dapat

menyelesaikan tugas dengan baik, seseorang harus disiplin, baik pada dirinya sendiri

maupun pada peraturan perusahaan.

14. Inisiatif dan kreatif

Inisiatif dan kreativitas dapat membuat seseorang mandiri dalam menyelesaikan

pekerjaannya.

2.2.5 Penempatan, Orientasi dan Induksi Karyawan

Menurut Hasibuan (2002, p63), penempatan karyawan adalah tindak lanjut dari

seleksi, yaitu menempatkan calon karyawan yang lulus seleksi pada jabatan yang

membutuhkannya dan mendelegasikan authority kepada orang tersebut.

Sedangkan Hasibuan (2002, p64) mengemukakan bahwa orientasi atau

perkenalan bagi setiap karyawan baru harus dilaksanakan untuk menyatakan bahwa

mereka betul-betul diterima dengan tangan terbuka menjadi karyawan yang akan bekerja

sama dengan karyawan lain pada perusahaan itu.


14

Induksi (Hasibuan, 2002, p64) adalah kagiatan untuk mengubah perilaku

karyawan baru supaya menyesuaikan diri dengan tata tertib perusahaan.

2.2.6 Pelatihan Karyawan

Menurut Edwin B. Flippo (Hasibuan, 2002, p70), pelatihan merupakan suatu

usaha peningkatan pengetahuan dan keahlian seorang karyawan untuk mengerjakan

suatu pekerjaan tertentu.

Menurut William J. Mc. Larny dan William M. Berliner (Tunggal, 1995, p6),

pelatihan adalah suatu sistem yang berkesinambungan atas pengembangan semua

pegawai dalam suatu organisasi.

Jadi, pelatihan karyawan adalah usaha untuk menambah kemampuan dan

pengetahuan karyawan agar dapat meningkatkan kinerja karyawan tersebut.

2.2.7 Penilaian Prestasi atau Kinerja Karyawan

Menurut Andrew F. Sikula (Hasibuan, 2002, p87), penilaian prestasi kerja adalah

evaluasi yang sistematis terhadap pekerjaan yang telah dilakukan oleh karyawan dan

ditujukan untuk pengembangan.

Hasibuan (2002, p87) berpendapat bahwa penilaian prestasi kerja adalah menilai

rasio hasil kerja nyata dengan standar kualitas maupun kuantitas yang dihasilkan setiap

karyawan.

Jadi, penilaian prestasi atau kinerja karyawan adalah evaluasi terhadap prestasi

kerja karyawan dengan membandingkan realisasi nyata dengan standar yang dicapai

karyawan.
15

2.2.7.1 Tindak Lanjut dari Penilaian Prestasi Karyawan

Tindak lanjut dari penilaian prestasi karyawan adalah kegiatan mutasi. Menurut

Hasibuan (2002, p102), mutasi adalah suatu perubahan posisi/jabatan/tempat/pekerjaan

yang dilakukan baik secara horisontal maupun vertikal di dalam suatu organisasi. Prinsip

mutasi adalah memutasikan karyawan kepada posisi yang tepat dan pekerjaan yang

sesuai, agar semangat dan produktivitas kerjanya meningkat.

2.2.7.1.1 Ruang Lingkup Mutasi

Ruang lingkup mutasi (Hasibuan, 2002, p104) mencakup mutasi secara

horisontal dan vertikal

1. mutasi horisontal (job rotation/transfer) artinya perubahan tempat atau jabatan

karyawan tetapi masih pada ranking yang sama di dalam organisasi.

a. mutasi tempat (tour of area) adalah perubahan tempat kerja, tetapi tanpa

perubahan jabatan/posisi/golongannya.

b. Mutasi jabatan (tour of duty) adalah perubahan jabatan atau penempatan pada

posisi semula.

2. mutasi vertikal adalah perubahan posisi/jabatan/pekerjaan, promosi atau demosi,

sehingga kewajiban dan kekuasaannya juga berubah.

a. Promosi menurut Edwin B. Flipo (Hasibuan, 2002, p108) adalah perpindahan

dari suatu jabatan ke jabatan lain yang mempunyai status dan tanggung jawab

yang lebih tinggi. Syarat-syarat promosi pada umumnya meliputi hal-hal berikut

(Hasibuan, 2002, p111)


16

• Kejujuran

Karyawan harus jujur terutama pada dirinya sendiri, bawahannya, perjanjian-

perjanjian dalam menjalankan atau mengelola jabatan tersebut, harus sesuai

kata dengan perbuatannya.

• Disiplin

Disiplin karyawan sangat penting karena hanya dengan kedisiplinan

memungkinkan perusahaan dapat mencapai hasil yang optimal.

• Prestasi kerja

Karyawan itu mampu mencapai hasil kerja yang dapat

dipertanggungjawabkan kualitas maupun kuantitas dan bekerja secara efektif

dan efisien.

• Kerja sama

Karyawan dapat bekerja sama secara harmonis dengan sesama karyawan baik

horizontal maupun vertikal dalam mencapai sasaran perusahaan.

• Kecakapan

Karyawan itu cakap, kreatif dan inovatif dalam menyelesaikan tugas-tugas

pada jabatan tersebut dengan baik.

• Loyalitas

Karyawan itu harus loyal dalam membela perusahaan atau korps dari

tindakan yang merugikan perusahaan atau korpsnya.

• Kepemimpinan

Dia harus mampu membina dan memotivasi bawahannya untuk bekerja sama

dan bekerja secara efektif dalam mencapai sasaran perusahaan.


17

• Komunikatif

Karyawan itu dapat berkomunikasi secara efektif dan mampu menerima atau

mempersepsi informasi dari atasan maupun dari bawahannya dengan baik,

sehingga tidak terjadi miskomunikasi.

• Pendidikan

Karyawan hatus telah memiliki ijazah dari pendidikan formal sesuai dengan

spesifikasi jabatan.

b. Demosi menurut Andrew F. Sikula (Hasibuan, 2002, p115) adalah suatu

perpindahan dalam suatu organisasi dari satu posisi ke posisi lainnya yang

melibatkan penurunan gaji/bayaran maupun status.

2.2.8 Pemutusan Hubungan Kerja

Menurut Hasibuan (2002, p209), pemberhentian adalah pemutusan hubungan

kerja seorang karyawan dengan suatu organisasi perusahaan.

Alasan-alasan pemberhentian antara lain (Hasibuan, 2002, p210)

1. Undang-undang

Undang-undang dapat menyebabkan seorang karyawan harus diberhentikan dari

suatu perusahaan, misalnya karyawan anak-anak, karyawan WNA atau karyawan

yang terlibat organisasi terlarang.

2. Keinginan perusahaan

Keinginan perusahaan memberhentikan karyawan disebabkan hal-hal berikut

a. Karyawan tidak mampu menyelesaikan pekerjaannya

b. Perilaku dan disiplin kurang baik


18

c. Melanggar peraturan-peraturan dan tata tertib perusahaan

d. Tidak dapat bekerja sama dan terjadi konflik dengan karyawan lain

e. Melakukan tindakan amoral dalam perusahaan

3. Keinginan karyawan

Alasan-alasan pengunduran, antara lain

a. Pindah ke tempat lain untuk mengurus orang tua

b. Kesehatan yang kurang baik

c. Untuk melanjutkan pendidikan

d. berwiraswasta

4. Pensiun, adalah pemberhentian karyawan atas keinginan perusahaan, undang-undang

ataupun keinginan karyawan sendiri. Keinginan perusahaan mempensiunkan

karyawan karena produktivitas kerjanya rendah sebagai akibat usia lanjut, cacat

fisik, kecelakaan dalam melaksanakan pekerjaan, dan sebagainya. Undang-undang

mempensiunkan seseorang karena telah mencapai batas usia dan masa kerja tertentu.

Misalnya usia 55 tahun dan minimum masa kerja 15 tahun.

5. Kontrak kerja berakhir

Karyawan akan dilepas atau diberhentikan apabila kontrak kerjanya berakhir.

6. Kesehatan karyawan

Kesehatan karyawan dapat menjadi alasan untuk pemberhentian karyawan.

7. Meninggal dunia

Karyawan yang meninggal dunia secara otomatis putus hubungan kerjanya dengan

perusahaan.

8. Perusahaan dilikuidasi.

Karyawan akan dilepas jika perusahaan dilikuidasi atau ditutup karena bangkrut.
19

2.3 Siklus Personalia

2.3.1 Pengertian Siklus Personalia

Menurut Cushing dan Romney (1994, p930), siklus personalia adalah suatu

urutan dari aktivitas bisnis dan operasi pemrosesan data yang terkait yang berhubungan

dengan pemeliharaan karyawan. Aktivitas bisnis yang dimaksud meliputi perekrutan,

pelatihan, kompensasi, evaluasi dan pemberhentian karyawan.

2.3.2 Fungsi Manajemen Personalia

Beberapa pihak yang terkait dalam aktivitas personalia (Cushing dan Romney,

1994, p932) , antara lain

1. Eksekutif personalia tingkat atas.

Ekssekutif personalia tingkat atas dalam suatu perusahaan adalah pucuk pimpinan.

Eksekutif personalia tingkat atas ini berpartisipasi dalam perencanaan alokasi

sumber daya perusahaan dan bertanggung jawab untuk mengawasi berbagai fungsi

staf personalia.

2. Fungsi staf personalia

Fungsi staf personalia meliputi pimpinan dan tenaga spesialis yang ada pada unit

pengelola sumber daya manusia. Fungsi staf personalia bertanggung jawab atas

pengadaan karyawan, pendidikan dan pelatihan, keamanan dan kesejahteraan

karyawan, hubungan tenaga kerja dan administrasi personalia.

3. Pengawas departemental

Pengawas departemental yang dimaksud adalah pimpinan unit-unit operasi.


20

2.3.3 Sumber Informasi Personalia

Sumber informasi personalia ini menyangkut berbagai dokumen dan atau

formulir yang berhubungan dengan aktivitas sumber daya manusia.

1. Uraian Pekerjaan (Job Description)

2. Spesifikasi Pekerjaan (Job Specification)

3. Formulir lamaran

4. Data hasil tes seleksi

5. Kartu absensi

6. Kartu gaji

7. Hasil pelatihan

8. Hasil Audit SDM

9. Hasil Penilaian Kinerja (Job Performance Appraisal)

10. Peraturan-peraturan, seperti Surat Menteri Tenaga Kerja, Undang-Undang

Ketenagakerjaan, peraturan perusahaan.

2.3.4 Prosedur

Prosedur (Mulyadi, 2001, p5) adalah suatu urutan kegiatan klerikal, biasanya

melibatkan beberapa orang dalam suatu departemen atau lebih, yang dibuat untuk

menjamin penanganan secara seragam transaksi perusahaan yang terjadi berulang-ulang.

2.3.4.1 Perencanaan Sumber Daya Manusia

Prosedur perencanaan SDM (Hasibuan, 2002, p254) adalah

1. Menetapkan secara jelas kualitas dan kuantitas SDM yang dibutuhkan.

2. Mengumpulkan data dan informasi tentang SDM.


21

3. Mengelompokkan data dan informasi serta menganalisisnya.

4. Menetapkan beberapa alternatif.

5. Memilih yang terbaik dari alternatif yang ada menjadi rencana.

6. Menginformasikan rencana kepada karyawan untuk direalisasikan.

2.3.4.2 Perekrutan Karyawan

Proses penarikan karyawan (Hasibuan, 2002, p41) adalah sebagai berikut

1. Penentuan dasar penarikan.

Dasar penarikan harus berpedoman kepada spesifikasi pekerjaan yang telah

ditentukan untuk menduduki jabatan tertentu.

2. Penentuan sumber-sumber penarikan.

Sumber-sumber perekrutan atau penarikan calon karyawan bisa berasal dari internal

dan eksternal perusahaan.

a. Sumber internal, adalah karyawan yang akan mengisi lowongan kerja yang

lowong diambil dari dalam perusahaan tersebut, yakni dengan cara memutasikan

atau memindahkan karyawan yang memenuhi spesifikasi pekerjaan jabatan itu.

b. Sumber eksternal, adalah karyawan yang akan mengisi jabatan yang lowong

dilakukan penarikan atau perekrutan dari sumber-sumber tenaga kerja di luar

perusahaan, antara lain berasal dari kantor penempatan tenaga kerja, lembaga-

lembaga pendidikan, referensi karyawan atau rekanan, serikat-serikat buruh,

pencangkokan dari perusahaan lain, nepotisme dan leasing, pasar tenaga kerja

dengan memasang iklan pada media massa dan sumber-sumber lainnya

3. Metode-metode penarikan.

Metode- metode penarikan calon karyawan baru antara lain


22

a. Metode tertutup, adalah ketika penarikan hanya diinformasikan kepada para

karyawan atau orang-orang tertentu saja.

b. Metode terbuka, adalah ketika penarikan diinformasikan secara luas dengan

memasang iklan pada media cetak maupun elektronik.

4. Kendala-kendala penarikan

Agar proses penarikan berhasil, perusahaan perlu menyadari berbagai kendala yang

bersumber dari organisasi, pelaksana penarikan dan lingkungan eksternal.

2.3.4.3 Penyeleksian Karyawan

Langkah-langkah seleksi (Hasibuan, 2002, p57) meliputi hal-hal sebagai berikut

1. Seleksi surat-surat lamaran.

2. Pengisian blanko lamaran.

3. Pemeriksaan referensi.

4. Wawancara pendahuluan.

5. Tes penerimaan.

6. Tes psikologi.

7. Tes kesehatan.

8. Wawancara akhir atasan langsung.

9. Memutuskan diterima atau ditolak.

2.3.4.4 Penempatan, Orientasi dan Induksi Karyawan

Menurut Hasibuan (2002, p63-64), penempatan harus didasarkan job description

dan job specification yang telah ditentukan serta berpedoman kepada prinsip
23

“Penempatan orang-orang yang tepat pada tempat yang tepat dan penempatan orang

yang tepat untuk jabatan yang tepat”.

Orientasi dapat dilakukan oleh manajer personalia atau atasan langsung

karyawan yang bersangkutan. Hal-hal yang akan diperkenalkan adalah sejarah

perusahaan, bidang usaha perusahaan, struktur organisasi perusahaan, kesejahteraan

karyawan, peraturan-peraturan dalam perusahaan, hak dan kewajiban karyawan,

peraturan promosi, dan karyawan lama beserta kedudukannya dalam perusahaan.

Induksi pada dasarnya merupakan tugas dari atasan langsung karyawan

bersangkutan sehingga karyawan baru menyadari bahwa dia harus mentaati peraturan-

peraturan perusahaan dan mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik.

2.3.4.5 Pelatihan Karyawan

Proses atau langkah-langkah pelatihan (Siagian, 1997, p185) sebagai berikut

1. Penentuan kebutuhan

2. Penentuan sasaran

3. Penetapan isi program

4. Identifikasi prinsip-prinsip belajar

5. Pelaksanaan program

6. Identifikasi manfaat

7. Penilaian pelaksanaan program

2.3.4.6 Penilaian Prestasi atau Kinerja Karyawan

Penilaian prestasi dilaksanakan oleh manajer terhadap bawahannya dan dicakup

dalam what, why, where, when, who, dan how (Hasibuan, 2002, p88).
24

2.3.4.7 Pemutusan Hubungan Kerja

Pemberhentian karyawan hendaknya berdasarkan peraturan dan perundang-

undangan yang ada agar tidak menimbulkan masalah. Prosedur pemutusan hubungan

kerja (Hasibuan, 2002, p213-214) sebagai berikut

1. Musyawarah karyawan dengan pimpinan perusahaan.

2. Musyawarah pimpinan serikat buruh dengan pimpinan perusahaan.

3. Musyawarah pimpinan serikat buruh, pimpinan perusahaan dan P4D.

4. Musyawarah pimpinan serikat buruh, pimpinan perusahaan dan P4P.

5. Pemutusan berdasarkan Keputusan Pengadilan Negeri.

Prosedur tersebut tidak perlu dilakukan semuanya, jika pada tahap tertentu telah

dapat diselesaikan dengan baik.

2.3.5 Manajemen Data

Data yang berhubungan dengan siklus personalia yang disimpan dalam database

meliputi (McLeod, 2001, p527)

1. Elemen data personil

Elemen ini diciptakan oleh SDM pada waktu penerimaan dan diperbaharui selama

karyawan bekerja pada perusahaan. Contohnya adalah data pribadi yang mencakup

nama karyawan, jenis kelamin, tanggal lahir, pendidikan dan jumlah tanggungan.

Selain data pribadi, data-data lain yang juga biasanya tersimpan dalam database

(Cushing dan Romney, 1994, p939) antara lain

o Educational and employment background

o Current job grade, title,department and supervisor


25

o Training program completed

o Job history within the organization

o Time and attendance

o Output, productivity and performance measures

o Special skills and abilities

o Performance appraisals

2. Elemen data akuntansi

Elemen ini bersifat keuangan dan cenderung lebih dinamis dibandingkan data

personil. Contohnya adalah upah per jam, gaji bulanan, pendapatan kotor saat ini dan

pajak penghasilan tahun berjalan.

2.3.6 Pengendalian Internal

Menurut Cushing dan Romney (1994, p490), konsep pengendalian yang

bervariasi – meliputi pengendalian internal, pengendalian manajemen, pengendalian

umpan balik, dan pengendalian preventif – dapat digunakan untuk menjelaskan prinsip

dari pengendalian dalam organisasi bisnis. Para akuntan sering menggunakan

terminologi “pengendalian internal” sebagai suatu sinonim untuk pengendalian dalam

organisasi bisnis. Terminologi ini diperkenalkan pada tahun 1949 oleh American

Institute of Accountants (sekarang American Institute of Certified Public Accountants

atau AICPA) sebagai berikut “Internal control comprises the plan of organization and

all of the coordinate methods and measures adopted within a business to safeguard its

assets, check the accuracy and reliability of its accounting data, promote operational

efficiency, and encourage adherence to prescribed managerial policies”. Terminologi

ini bila diartikan dalam bahasa Indonesia akan sama seperti yang didefinisikan oleh
26

Mulyadi (2001, p163), yaitu sistem pengendalian intern meliputi struktur organisasi,

metode dan ukuran-ukuran yang dikoordinasikan untuk menjaga kekayaan organisasi,

mengecek ketelitian dan keandalan data akuntansi, mendorong efisiensi dan mendorong

dipenuhinya kebijakan manajemen.

Pengendalian internal dibedakan menjadi dua (Cushing dan Romney, 1994,

p491), yaitu

1. Pengendalian akuntansi, yang mempunyai tujuan utama mengamankan aset dan

menjamin kebenaran serta ketepatan data akuntansi.

2. Pengendalian administratif, yang mempunyai tujuan utama meningkatkan efisiensi

operasi kegiatan dan mendorong ditaatinya kebijakan manajemen.

Unsur sistem pengendalian intern (Mulyadi, 2001, p164) adalah

1. Struktur organisasi yang memisahkan tanggung jawab fungsional secara tegas.

2. Sistem wewenang dan prosedur pencatatan yang menberikan perlindungan yang

cukup terhadap kekayaan, utang, pendapatan dan biaya.

3. Praktik yang sehat dalam melaksanakan tugas dan fungsi setiap unit organisasi.

4. Karyawan yang mutunya sesuai dengan tanggung jawabnya.

2.3.7 Laporan

Laporan merupakan hasil akhir suatu proses yang dapat berbentuk hasil cetak

komputer dan tayangan pada layar monitor komputer. Laporan berisi informasi yang

merupakan keluaran dari sistem.


27

2.4 Sistem Pendukung Keputusan

2.4.1 Pengambilan Keputusan

Menurut Turban (2001, p33), pengambilan keputusan adalah suatu proses

pemilihan alternatif tindakan untuk mencapai tujuan.

Gorry dan Scott Morton (Mallach, 2000, p42) membagi jenis keputusan ke dalam

tiga kategori, yaitu

1. Keputusan Terstruktur

Sebuah keputusan terstruktur dapat merupakan keputusan yang dihasilkan oleh

program komputer. Keputusan terstruktur diambil untuk memecahkan masalah yang

pernah terjadi sebelumnya.

2. Keputusan Tidak Terstruktur

Keputusan tidak terstruktur adalah keputusan yang diambil untuk memecahkan

masalah baru atau sangat jarang terjadi, sehingga perlu dipelajari secara hati-hati.

Komputer tetap dapat membantu pembuat keputusan, tetapi hanya memberikan

sedikit dukungan.

3. Keputusan Semi Terstruktur

Keputusan semi terstruktur merupakan keputusan di antara keputusan terstruktur dan

tidak terstruktur.
28

2.4.2 Proses Pengambilan Keputusan

Simplifikasi
Reality
asumsi
Tahap Intelligence
Tujuan organisasi
Mencari dan meninjau prosedur-prosedur
Pengumpulan data
Identifikasi masalah
Kepemilikan masalah
Pengelompokan masalah
Pernyataan masalah
Pernyataan masalah
Validasi
model
Tahap Design

Merumuskan sebuah model


Mengumpulkan kriteria untuk pemilihan
Mencari akternatif
Memprediksi dan mengukur hasil
Sukses
Verifikasi tes Alternatif
solusi yang
ditawarkan
Tahap Choice
Solusi model
Analisis sensitivitas
Seleksi alternatif terbaik
Rancang implementasi

Solusi
Implementasi solusi

Gagal

Gambar 2.1 Proses Pengambilan Keputusan


(Turban, 2001, p42)

Tahap proses pengambilan keputusan menurut Herbert A. Simon (Turban, 2001,

p41) adalah

1. Tahap intelijen : melakukan penelitian lingkungan untuk menentukan kondisi

keputusan, mengidentifikasikan situasi masalah yang diperlukan oleh tahapan


29

merancang dan memilih. Tahapan ini sangat penting karena dalam tahapan ini sangat

menentukan tingkat keputusan yang diambil sebelum suatu tindakan diambil.

2. Tahap merancang : melakukan penemuan, pengembangan dan analisis kemungkinan

pengambilan tindakan pelaksanaan proses untuk memahami masalah menentukan

solusi dan mencoba kemungkinan solusi.

3. Tahap memilih : memilih alternatif solusi yang diperkirakan paling sesuai dan

seperangkat tindakan yang telah tersedia.

4. Tahap implementasi : merupakan kegiatan akhir dari proses pembuatan keputusan.

Pada tahap ini perlu disusun serangkaian tindakan yang terencana. Dari sini akan

diimplementasikan dan dilihat apakah hasilnya sukses atau gagal.

2.4.3 Pengertian Sistem Pendukung Keputusan

Menurut Turban (2001, p96), sistem pendukung keputusan (SPK) maksudnya

untuk menjadikan sebuah keputusan bagi pembuat keputusan untuk memperluas

kemampuan mereka tetapi bukan untuk menggantikan mereka.

Little (Turban, 2001, p96) mendefinisikan sistem pendukung keputusan sebagai

sebuah model yang disusun dengan prosedur-prosedur untuk memproses data dan

penilaian untuk membantu manajer dalam membuat keputusan.

Menurut McLeod (2001, p348), sistem pendukung keputusan merupakan suatu

sistem yang mendukung seseorang atau sekelompok kecil manajer yang bekerja sebagai

tim pemecah masalah, dalam mencari solusi dari permasalahan semi terstruktur, dengan

menyediakan informasi atau nasehat yang berkaitan dengan keputusan-keputusan yang

spesifik.
30

Jadi, sistem pendukung keputusan ialah sistem informasi berbasis komputer yang

memiliki fungsi utama untuk membantu manajer dalam pengambilan keputusan yang

efektif.

2.4.4 Tujuan Sistem Pendukung Keputusan

Menurut Peter G. W. Keen dan Scott Morton (McLeod, 2001, p351) ada tiga

tujuan yang harus dicapai oleh sistem pendukung keputusan, yaitu

1. membantu manajer membuat keputusan untuk memecahkan masalah semi terstruktur

2. mendukung penilaian manajer bukan mencoba menggantikannya

3. meningkatkan efektivitas pengambilan keputusan manajer daripada efisiensinya

2.4.5 Karakteristik dan Kemampuan Sistem Pendukung Keputusan

akses
model dan data integrasi dan
analisis koneksi web
mudah dibangun program semi
oleh pemakai terstruktur
pengendalianmanusia untuk berbagai
terhadap mesin tingkat manajer
efektivitas dan SPK kelompok
bukan efisiensi dan individu
mudah ketergantungandan
digunakan keputusan berturut turut
mampu beradapatasi mendukung semua tahap proses
dan fleksibel pengambilan keputusan
mendukung berbagai gaya proses
pengambilan keputusan

Gambar 2.2 Karakteristik dan Kemampuan Sistem Pendukung Keputusan


(Turban, 2001, p99)
31

2.4.6 Komponen Sistem Pendukung Keputusan

Menurut Turban (2001, p100-101), sistem pendukung keputusan terbentuk dari

beberapa komponen atau subsistem

1. Subsistem manajemen data, berisi data-data yang relevan terhadap situasi dan

dikelola oleh software yang disebut Data Base Management System (DBMS).

2. Subsistem manajemen model, yang didalamnya terdapat sistem yang dapat

digunakan untuk melakukan analisis dan manajemen. Perangkat lunak yang sering

digunakan adalah Model Base Management System (MBMS).

3. Subsistem manajemen pengetahuan, merupakan subsistem pilihan yang dapat

mendukung subsistem lainnya.

4. Subsistem dialog atau antarmuka pemakai, merupakan perantara agar komputer dan

pemakai dapat saling berkomunikasi.

5. Pemakai, yaitu manajer atau pengambil keputusan.

Data : external Other computer-based internet,intranets,


and internal systems extranets

Data Management Model Management External models

Knowledge-based
subsystems

User Interface

Organizational KB Manager (User)

Gambar 2.3 Komponen Sistem Pendukung Keputusan


(Turban, 2001, p100)
32

2.4.6.1 Subsistem Manajemen Data

Subsistem ini dibagi atas :

1. Basisdata SPK (DSS Database), yaitu kumpulan dari data yang terorganisasi dan

saling berinteraksi untuk mencapai tujuan dan struktur dari suatu organisasi dan

dapat digunakan oleh lebih dari satu orang dan untuk lebih dari satu aplikasi.

2. Sistem Manajemen Basisdata (Database Management System), digunakan untuk

memanipulasi data yang terdapat di dalam basisdata.

3. Data direktori, yaitu suatu katalog dari semua data dalam database yang berisi

definisi data dan fungsi utama data tersebut untuk menjawab pertanyaan tentang

ketersediaan item data, sumber dan artinya.

4. Fasilitas Query (Query facility), digunakan untuk mengakses dan memanipulasi data

yang terdapat dalam basisdata.

2.4.6.2 Subsistem Manajemen Model

Subsistem ini dibagi atas :

1. Basis model (Model Base), berisikan berbagai rutin dan fasilitas-fasilitas yang dapat

digunakan untuk melakukan analisis di dalam SPK.

2. Sistem Manajemen Basis Model (Model Base Management System), digunakan

untuk mengembangkan model dengan bantuan subrutin dan model-model lainnya.

Sistem manajemen basis model ini digunakan untuk menggabungkan model-model

dengan menggunakan hubungan yang benar dalam sebuah basisdata.

3. Modeling language, untuk meng-customize model.

4. Model directory, yaitu suatu katalog dari semua model dan software lain dalam

model base.
33

5. Model execution, integration dan comman processor.

Model execution adalah proses yang mengontrol model yang sedang berjalan. Model

integration meliputi penggabungan operasi dari beberapa model ketika dibutuhkan

atau mengitegrasikan SPK dengan aplikasi lain. Comman processor untuk menerima

dan mengintepretasikan instruksi model dari user interface.

2.4.6.3 Subsistem Manajemen Pengetahuan

Sistem pendukung keputusan berhubungan dengan permasalahan yang semi

dan tidak terstruktur. Komponen ini menyediakan keahlian yang dibutuhkan untuk

pemecahan masalah. Knowledge component terdiri dari satu atau lebih sistem

intelegensi.

2.4.6.4 Subsistem Antarmuka Pemakai

Subsistem ini digunakan untuk mengatur seluruh aspek komunikasi antar user

dengan sistem. Subsistem ini seharusnya bersifat mudah digunakan serta dapat diakses

secara cepat. Subsistem ini terdiri atas dua bagian, yaitu :

1. Manajemen subsistem antarmuka pemakai

Subsistem diatur dengan menggunakan perangkat lunak yang disebut sistem

manajemen antarmuka pemakai.

2. Proses antarmuka pemakai

Proses ini diawali dengan interaksi user dengan komputer. Interaksi ini sebaiknya

menggunakan sistem Graphical User Interface sehingga lebih bersifat user friendly.
34

2.4.7 Metode Sistem Pendukung Keputusan - Metode Analytical Hierarchy

Process

Analytical Hierarchy Process (AHP) diperkenalkan oleh Thomas L. Saaty pada

periode 1971-1975 ketika di Wharton School. Dalam perkembangannya, AHP tidak saja

digunakan untuk menentukan prioritas pilihan-pilihan dengan banyak kriteria, tetapi

penerapannya telah meluas sebagai metode alternatif untuk menyelesaikan bermacam-

macam masalah. Hal ini dimungkinkan karena AHP cukup mengandalkan intuisi sebagai

input utamanya, namun intuisi harus datang dari pengambil keputusan yang cukup

informasi dan memahami masalah keputusan yang dihadapi.

2.4.7.1 Prinsip Dasar Analytical Hierarchy Process

Dalam menyelesaikan persoalan dengan AHP ada beberapa prinsip yang harus

dipahami (Mulyono, 1996, p109), yaitu

1. Decomposition. Setelah persoalan didefinisikan, maka perlu dilakukan

decomposition yaitu memecah persoalan yang utuh menjadi unsur-unsurnya. Jika

ingin mendapatkan hasil yang akurat, pemecahan juga dilakukan terhadap unsur-

unsurnya sampai tidak mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut, sehingga

didapatkan beberapa tingkatan dari persoalan tadi. Karena alasan ini, maka proses

analisis ini dinamakan hirarki (hierarchy).

2. Comperative Judgement. Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan

relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat di

atasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP, karena ia akan berpengaruh pada

prioritas elemen-elemen. Hasil dari penilaian ini akan tampak lebih enak bila

disajikan dalam bentuk matriks yang dinamakan matriks pairwise comparison.


35

3. Synthesis of Priority. Dari setiap matriks pairwise comparison kemudian dicari

eigenvectornya untuk mendapatkan local priority. Karena matriks pairwise

comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk mendapatkan global priority

harus dilakukan sintesa di antara local priority. Prosedur melakukan sintesa berbeda

menurut bentuk hirarki. Pengurutan elemen-elemen menurut kepentingan relatif

melalui prosedur sintesa dinamakan priority setting.

4. Logical Consistency. Konsistensi memiliki dua makna. Pertama adalah bahwa objek-

objek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi.

Arti yang kedua adalah menyangkut tingkat hubungan antara objek-objek yang

didasarkan pada kriteria tertentu.

2.4.7.2 Struktur Analytical Hierarchy Process

Level 1 Goal

Level 2 C1 ..... Cn

Level 3 D1 ..... Di E1 ..... Ej

Level 4 A1 A2 ..... Ak

Gambar 2.4 Struktur Analytical Hierarchy Process


(http://digilib.petra.ac.id/ads-cgi/viewer.pl/jiunkpe/s1/tmi/2001/jiunkpe-ns-s1-2001-
25495005-63-geometrical-chapter2.pdf)
36

2.4.7.3 Perhitungan Bobot Elemen Analytical Hierarchy Process

AHP digunakan untuk menurunkan skala rasio dari beberapa perbandingan

berpasangan. Penggunaan AHP dimulai dengan membuat struktur hirarki atau jaringan

dari permasalahan yang ingin diteliti. Di dalam hirarki terdapat tujuan utama, kriteria-

kriteria, sub kriteria-sub kriteria dan alternatif-alternatif yang akan dibahas. Sebagai

contoh dapat dilihat pada gambar 2.5 di bawah. Level 1 merupakan tujuan dari

penelitian yakni memilih alternatif moda yang tertera pada level 3. Faktor-faktor pada

level 2 diukur dengan perbandingan berpasangan berarah ke level 1. Mengingat faktor-

faktor tersebut diukur secara relatif antara satu dengan yang lain, skala pengukuran

relatif 1 hingga 9, seperti yang tertera dalam tabel 2.1, diusulkan untuk dipakai oleh

Saaty.

Contoh struktur hirarki

Level 1 Tujuan

Level 2 Aman Nyaman Biaya Waktu

Mobil Sepeda Angkutan Angkutan Jalan dari


Level 3 pribadi
Carpool
motor kampus umum pondokan

Gambar 2.5 Contoh Struktur Hirarki

Sumber : Dimensi Teknik Sipil Vol 1, No 1 Maret 1999, p32


37

Tabel 2.1 Skala Fundamental


Intensitas dari
kepentingan pada Definisi Penjelasan
skala absolut
kedua aktivitas menyumbangkan
1 sama pentingnya
sama pada tujuan
pengalaman dan keputusan
agak lebih penting yang
3 menunjukkan kesukaan atas satu
satu atas lainnya
aktivitas lebih dari yang lain
pengalaman dan keputusan
5 cukup penting menunjukkan kesukaan atas satu
aktivitas lebih dari yang lain
pengalaman dan keputusan
menunjukkan kesukaan yang kuat
7 sangat penting
atas satu aktivitas lebih dari yang
lain
bukti menyukai satu aktivitas atas
9 kepentingan yang ekstrim
yang lain sangat kuat
nilai tengah di antara dua
2, 4, 6, 8 nilai keputusan yang bila kompromi dibutuhkan
berdekatan
jika aktivitas i mempunyai
nilai yang lebih tinggi dari
aktivitas j maka j
berkebalikan
mempunyai nilai
berkebalikan ketika
dibandingkan dengan i
rasio yang didapat
rasio
langsung dari pengukuran
Sumber : Dimensi Teknik Sipil Vol 1, No 1 Maret 1999, p33

Perbandingan berpasangan dipergunakan untuk membentuk hubungan di dalam

struktur. Hasil dari perbandingan berpasangan ini akan membentuk matriks dimana skala

rasio diturunkan dalam bentuk eigenvektor utama. Matriks tersebut berciri positif dan

berkebalikan, yakni aij = 1/aji.

Sebagai contoh perhitungan, perbandingan berpasangan matriks pada level 2

yang didapatkan dari hasil survei adalah skala nilai perbandingan berpasangan

berdasarkan goal diperlihatkan pada tabel 2.2.


38

Tabel 2.2 Contoh Matriks Perbandingan Berpasangan

Goal Aman Nyaman Biaya Waktu


Aman 1 5 1/3 ¼
Nyaman 1/5 1 1/7 1/8
Biaya 3 7 1 1/2
Waktu 4 8 2 1
Jumlah 8.2 21 3.476 1.875
Sumber : Dimensi Teknik Sipil Vol 1, No 1 Maret 1999, p33

Kepentingan relatif dari tiap faktor dari setiap baris dari matriks dapat

dinyatakan sebagai bobot relatif yang dinormalkan (normalized relative weight). Bobot

relatif yang dinormalkan ini merupakan suatu bobot nilai relatif untuk masing-masing

faktor pada setiap kolom, dengan membandingkan masing-masing nilai skala dengan

jumlah kolomnya. Eigenvektor utama yang dinormalkan (normalized principal

eigenvector) adalah identik dengan menormalkan kolom-kolom dalam matriks

perbandingan berpasangan. Ia merupakan bobot nilai rata-rata secara keseluruhan, yang

diperoleh dari rata-rata bobot relatif yang dinormalkan masing-masing faktor pada setiap

barisnya. Eigenvektor utama merupakan bobot rasio dari masing-masing faktor.

Sebagai contoh, bobot relatif yang dinormalkan dari faktor keamanan terhadap

kenyamanan dalam tabel 2.2 adalah 5 / 21 = 0.23810. Tabel 2.3 merupakan hasil

perhitungan bobot relatif yang dinormalkan dari contoh di tabel 2.2. Eigenvektor utama

yang tertera pada kolom terakhir tabel 2.3 didapat dengan merata-rata bobot relatif yang

dinormalkan pada setiap baris.


39

Tabel 2.3 Contoh Bobot Relatif dan Eigenvektor dari level 2


Eigenvektor
Goal Aman Nyaman Biaya Waktu
utama
Aman 0.12195 0.23810 0.09589 0.13333 0.14732
Nyaman 0.02439 0.04762 0.04110 0.06667 0.04494
Biaya 0.36585 0.33333 0.28767 0.26667 0.31338
Waktu 0.48780 0.38095 0.57534 0.53333 0.49436
Jumlah 1 1 1 1 1
Sumber : Dimensi Teknik Sipil Vol 1, No 1 Maret 1999, p34

2.4.7.4 Konsistensi Analytical Hierarchy Process

Jika aij mewakili derajat kepentingan faktor i terhadap faktor j dan ajk

menyatakan kepentingan dari faktor j terhadap faktor k, maka agar keputusan menjadi

konsisten, kepentingan dari faktor i terhadap faktor k harus sama dengan aij.ajk atau aij.ajk

= aik untuk semua i, j, k maka matriks tersebut konsisten.

Saaty telah membuktikan bahwa indeks konsistensi dari matriks berordo n

dapat diperoleh dengan rumus

dimana :

C.I = Indeks konsistensi

λmaksimum = Nilai eigen terbesar dari matriks berordo n

Nilai eigen terbesar didapat dengan menjumlahkan hasil perkalian jumlah

kolom dengan eigenvektor utama. Sebagai contoh, menggunakan tabel 2.2 dan tabel 2.3,

nilai eigen terbesar yang diperoleh :


40

λmaksimum = 8.2 x 0.14732 + 21 x 0.04494 + 3.47619 x 0.31338 + 1.875 x 0.49436

= 4.16810

Karena matriks berordo 4 (yakni terdiri dari 4 faktor), nilai indek konsistensi

yang diperoleh :

Apabila C.I. bernilai nol, berarti matrik konsisten. Batas ketidakkonsistensi

yang ditetapkan Saaty, diukur dengan menggunakan Rasio Konsistensi (CR), yakni

perbandingan indek konsistensi dengan nilai pembangkit random (RI) yang ditabelkan

dalam tabel 2.4. Nilai ini bergantung pada ordo matriks n. Dengan demikian rasio

konsistensi dapat dirumuskan:

C.I
C.R. =
R.I

Tabel 2.4 Nilai Pembangkit Random (R.I.)


n 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
R.I 0 0 0.58 0.9 1.12 1.24 1.32 1.41 1.45 1.49
Sumber : Dimensi Teknik Sipil Vol 1, No 1 Maret 1999, p34

Sebagai contoh, melanjutkan nilai-nilai yang tertera dalam tabel 2.2, nilai CR

nya adalah

0.05603
C.R = = 0.06226
0.90
41

Bila matriks C.R lebih kecil dari 10%, ketidakkonsistenan pendapat masih

dapat diterima. Perhitungan di atas dilanjutkan untuk level 3, sehingga diperoleh nilai

eigenvektor utama dan C.R pada setiap level dapat diperoleh.

2.5 Alat Bantu Perancangan Sistem

2.5.1 Flowchart

Menurut Mulyadi (2001, p66), flowchart atau bagan alir dokumen adalah bagan

yang menggambarkan aliran dokumen dalam suatu sistem informasi.

2.5.2 Entity Relationship Model

Entity-Relationship (ER) model (Connolly, 2002, p330) adalah suatu pendekatan

desain basis data yang dimulai dengan mengidentifikasikan data penting yang disebut

entiti dan relasi antara data yang harus direpresentasikan dalam model. ER model dapat

digambarkan dengan lebih sistematis dengan menggunakan ER diagram atau diagram

hubungan entitas. Beberapa komponen penting dalam ER Model :

• Entity merupakan sebuah grup atau kelompok ‘objek’ yang ada dalam ‘dunia nyata’

dengan properti yang sama.

• Attributes adalah deskripsi karakteristik dari entitas.

• Relationship merupakan asosiasi atau hubungan unik yang dapat diidentifikasikan

antar entitas.

• Cardinality menunjukkan jumlah maksimum entitas yang dapat berelasi dengan

entitas lain. Kardinatitas ini dapat berupa relasi one to one (satu ke satu), one to

many (satu ke banyak), many to one (banyak ke satu) dan many to many (banyak ke
42

banyak). Kardinalitas relasi satu ke banyak dan banyak ke satu dapat dianggap sama,

karena tinjauan kardinalitas relasi selalu dilihat dari dua sisi (Fathansyah, 2002,

p79).

• Multiplicity yaitu angka yang menunjukkan kemungkinan hubungan yang boleh

terjadi antar entitas.

Tabel 2.5 Batasan Multiplicity


Multiplicity Keterangan
0..1 Berhubungan dengan 0 atau 1 entitas
1..1 (atau 1) tepat berhubungan dengan 1 entitas
0..* (atau *) Berhubungan dengan 0 hingga banyak entitas
1..* berhubungan dengan 1 hingga banyak entitas
5..10 berhubungan dengan minimum 5 hingga maksimum 10 entitas
0, 3, 6-8 berhubungan dengan 0 atau 3 atau 6, 7 atau 8 entitas
Sumber : Database Systems. A Practical Approach to Design, Implementation, and
Management (Connolly, 2002, p350)

2.5.3 State Transition Diagram (STD)

Menurut Whitten, Bentley dan Dittman, State Transition Diagram (2004, p673)

adalah suatu alat yang digunakan untuk menggambarkan urutan dan variasi dari layar-

layar yang dapat terjadi selama pemakai menggunakan sistem. Sedangkan menurut

Pressman (1997, p301), State Ttransition Diagram mengindikasikan bagaimana sistem

berperilaku sebagai suatu konsekuensi dari kejadian pihak luar.

Jadi, diagram transisi kondisi adalah suatu alat yang merepresentasikan urutan

layar suatu sistem yang digunakan oleh pemakai sistem.


Pengelolaan Sumber Daya Manusia
(Tinjauan Aspek Rekrutmen
dan Seleksi)
Nanang Nuryanta1

Abstrak
Pengelolaan sumber daya manusia adalah merupakan aspek yang sangat
penting dalam proses pendidikan secara umum. Oleh karena itu fungsi-fungsi dalam
pengelolaan sumber daya manusia harus dilaksanakan secara optimal sehingga
kebutuhan yang menyangkut tujuan individu, perusahaan, organisasi ataupun
kelembagaan dapat tercapai. Disamping itu dengan prosedur pengelolaan sumber
daya manusia yang baik diharapkan kekurangan dan problem yang dihadapi
oleh bangsa Indonesia, yaitu yang terkait dengan kemampuan daya saing dapat
teratasi.
Suatu bukti bahwa bangsa Indonesia masih belum siap untuk bersaing dalam
dunia global dapat dilihat dari kemampuan daya saing sumber daya manusianya.
Tenaga ahli kita belum cukup memadai untuk bersaing di tingkat global. Dilihat
dari pendidikannya, angkatan kerja kita saat ini sungguh memprihatinkan. Sebagian
EHVDUDQJNDWDQNHUMD  WLGDNEHUSHQGLGLNDQ
Mereka yang berpendidikan dasar sebanyak 34%, berpendidikan menengah
GDQ\DQJEHUSHQGLGLNDQWLQJJL XQLYHUVLWDV KDQ\D3DGDKDOWXQWXWDQGDUL
dunia kerja pada akhir pembangunan pada jangka panjang II nanti mengharuskan
angkatan kerja kita berpendidikan. Dari angkatan kerja yang ada hanya 11% saja
yang tidak berpendidikan; 52% berpendidikan dasar; 32% berpendidikan menengah;
dan 5% dari angkatan kerja harus telah berpendidikan universitas.
Kata kunci: Sumber Daya Manusia, Pendidikan.

1
Dosen Tetap Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta.

NO. 1. VOL. I. 2008 55


NO. 1. VOL. I. 2008

A. Pendahuluan
Era globalisasi adalah era yang sedang dihadapi oleh setiap
bangsa pada saat ini dan merupakan era di mana dunia menjadi
terbuka dan ini menuntut kesiapan sumber daya manusia untuk
semakin sadar akan adanya keterbukaan juga menuntut kesadaran
akan hak dan kewajibannya sebagai insan berbudaya. Pengaruh
budaya global tersebut secara disadari maupun tidak, pada suatu
saat akan sampai kepada setiap bangsa di dunia, tidak terkecuali
bangsa Indonesia. Oleh karenanya, apapun unsur yang terkandung
di dalam era global tersebut menuntut kesiapan suatu bangsa dalam
menghadapinya, khususnya kesiapan sumber daya manusianya.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang
merupakan ciri era globalisasi secara eksponensial akan mengubah
dengan sangat cepat cara dan gaya hidup manusia, yaitu dari
masyarakat prehistoris kepada suatu masyarakat postindustri.
Kondisi semacam itu secara jelas menuntut suatu bangsa
untuk mempersiapkan sumber daya manusianya, khususnya
melalui bidang pendidikan. Melihat fenomena pendidikan yang
diselenggarakan oleh pemerintah Indonesia saat ini, perlu kiranya
dilakukan reformasi pendidikan, yaitu mempersiapkan pendidikan
yang mampu menghasilkan sumber daya manusia Indonesia untuk
dapat berkompetisi dalam abad 21 atau abad milenium ketiga yang
ditandai oleh adanya persaingan global yang sangat ketat. Jikalau
SHPHULQWDK,QGRQHVLDWLGDNVHJHUDGDSDWEHUÀNLUNHGHSDQEDKZD
salah satu upaya untuk mempersiapkan sumber daya manusia
yang unggul ini adalah ditempuh melalui pendidikan, maka sudah
barang tentu bangsa Indonesia akan selalu tertinggal dengan
bangsa lain di dunia. Jadi fenomena bahwa pemerintah Indonesia
masih memandang pendidikan dengan sebelah mata harus mulai
direformasi. Pemerintah seyogyanya mulai memiliki polical will untuk
memprioritaskan pendidikan dalam pembangunan yang sedang
digalakkan saat ini, sebagai wahana untuk mempersiapkan sumber
daya manusia.
Suatu bukti bahwa bangsa Indonesia masih belum siap untuk
bersaing dalam dunia global dapat dilihat dari kemampuan daya saing
sumber daya manusianya, sebagaimana dikemukakan oleh Boediono
(1997:82) dalam Suyanto dan Hisyam (2000:3) yang menyatakan
bahwa berbicara kemampuan sebagai bangsa, tampaknya kita
belum siap benar menghadapi persaingan pada milenium ketiga.
Tenaga ahli kita belum cukup memadai untuk bersaing di tingkat

56
Pengelolaan Sumber Daya Manusia ... (Nanang Nuryanta)

global. Dilihat dari pendidikannya, angkatan kerja kita saat ini


sungguh memprihatinkan. Sebagian besar angkatan kerja (53%)
tidak berpendidikan. Mereka yang berpendidikan dasar sebanyak
34%, berpendidikan menengah 11%, dan yang berpendidikan tinggi
(universitas) hanya 2%. Padahal tuntutan dari dunia kerja pada
akhir pembangunan pada jangka panjang II nanti mengharuskan
angkatan kerja kita berpendidikan. Dari angkatan kerja yang ada
hanya 11% saja yang tidak berpendidikan; 52% berpendidikan dasar;
32% berpendidikan menengah; dan 5% dari angkatan kerja harus
telah berpendidikan universitas.
Bahkan lebih khusus, Suyanto dan Hisyam (2000) menyatakan
bahwa kualitas sumber daya manusia (SDM) kita masih rendah. Oleh
karena itu, sebenarnya kita patut khawatir terhadap kemampuan
bersaing SDM kita dalam era globalisasi dalam milenium ketiga nanti.
Menurut data yang dipublikasikan oleh United Nation Development
Report Programme (UNDP) yang diberi judul Human Development
Report 1996, kualitas SDM kita berada pada posisi memprihatinkan.
Laporan UNDP itu memuat angka indeks kualitas SDM (Human
'HYHORSPHQW,QGH[+', dari 174 negara di dunia. Hasil laporan itu
sangat mengejutkan dan memprihatinkan, yaitu Indonesia berada
pada peringkat 102. Dapat dibayangkan betapa rendahnya daya
saing Indonesia untuk memperoleh posisi kerja yang baik dalam era
global. Pada tahun 1999, daya saing bangsa Indonesia tentu lebih
jelek lagi. Hal ini terjadi sebagai akibat adanya krisis ekonomi dan
politik yang sampai saat ini kita tidak pernah tahu kapan krisis itu
akan berakhir.
Kondisi di atas, memberikan informasi kepada kita bahwa
secara tegas pendidikan yang sedang dilaksanakan oleh bangsa
Indonesia perlu dioptimalkan, khususnya yang menyangkut
pengelolaan sumber daya manusianya. Pengelolaan sumber daya
manusia ini merupakan aspek yang sangat penting untuk menunjang
keberlangsungan suatu bangsa dalam dataran makro dan organisasi
atau lembaga dalam dataran mikro.
Dalam setting organisasi atau perusahaan, suatu pengelolaan
sumber daya manusia perlu diarahkan pada suatu model yang
dapat menarik seluruh potensi sumber daya manusia tersebut
bagi kepentingan organisasi atau dengan kata lain pengelolaan
sumber daya manusia harus dapat diarahkan pada upaya yang
mampu menggali potensi SDM agar dapat memberikan kontribusi
yang positif bagi perusahaan atau organisasi. Pada kenyataannya

57
NO. 1. VOL. I. 2008

pula pengelolaan ditingkat mikro, khususnya yang dilakukan oleh


lembaga pemerintah (negeri) seringkali terjadi perbedaan dengan
yang dilakukan oleh pihak swasta. Ini memberikan indikasi bahwa
dalam pengelolaan sumber daya manusia di Indonesia secara ideal
belum mempunyai standar yang jelas.
%HUGDVDUNDQODWDUEHODNDQJGLDWDVGDSDWODKGLLGHQWLÀNDVLNDQ
bahwa untuk mengelola sumber daya manusia, khususnya yang
dapat diarahkan untuk dapat memberikan kontribusi positif bagi
lembaga atau perusahaan, maka perlu dilakukan standarisasi
yang jelas. Standarisasi pengelolaan sumber daya manusia inilah
yang nampaknya menjadi permasalahan yang dihadapi oleh setiap
lembaga, organisasi atau perusahaan saat ini. Disamping itu masalah
etika dalam mengelola sumber daya manusia ini perlu dikedepankan
agar tidak menimbulkan efek negatif bagi masyarakat.
Namun demikian, karena aspek yang ada dalam pengelolaan
sumber daya manusia ini cukup banyak, yaitu mencakup proses
perencanaan, rekrutmen, seleksi, induksi, penilaian, pengembangan,
kompensasi, bargaining, keamanan, kontinuitas dan informasi
maka penulis mencoba membatasinya pembahasan masalah pada
aspek rekrutmen dan seleksi saja. Dalam hal rekrutmen, masalah
yang sangat mendasar yang dihadapi oleh banyak organisasi,
lembaga atau perusahaan adalah bagaimana menarik para pelamar
atau peminat pekerjaan agar dapat bekerja secara optimal dalam
perusahaan, bahkan lebih dari itu para pekerja nantinya dapat
menopang keberlangsungan organisasi, lembaga atau perusahaan
dimana mereka bekerja bahkan setelah mereka bekerja. Karena
kenyataannya rekrutmen yang banyak dilakukan oleh lembaga,
perusahaan dan organisasi tertentu cenderung hanya pada taraf
pendaftaran atau registration VDMD 6HKLQJD NXDOLÀNDVL SHNHUMD
yang diharapkan tidak berhasil didapatkan. Belum lagi proses
rekrutmen dan seleksi yang dilakukan perusahaan kadangkala
justru mengabaikan aspek etika dalam melakukan rekrutmen dan
seleksi. Suatu bukti yang menarik dan aktual di era reformasi pada
bangsa Indonesia, adalah kecenderungan pada setiap rekrutmen
dan seleksi pegawai, baik pada instansi pemerintah maupun swasta,
yang masih mengunakan prinsip kolusi, korupsi, dan nepotisme
(KKN). Bahkan prinsip utama rekrutmen dan seleksi, yang menuntut
NXDOLÀNDVL FDORQ SHODPDU \DQJ PHPHQXKL V\DUDW XQWXN EHNHUMD
seringkali harus rela dan “digagalkan” untuk bekerja karena tidak
berani membayar dengan mahal. Ini berarti bahwa uang cukup
memainkan peran yang tinggi dalam proses rekrutmen dan seleksi

58
Pengelolaan Sumber Daya Manusia ... (Nanang Nuryanta)

pada segmen organisasi, perusahaan atau lembaga apapun di


Indonesia. Kalau pun ada perusahaan, lembaga atau organisasi yang
bersih dari praktek KKN dan “main uang” di Indonesia saat ini tentu
persentasenya sangat kecil, bahkan hampir tidak ada. Hal ini sangat
“naif” sekali bila dikembalikan pada semangat reformasi yang akan
berupaya menghapus KKN, tetapi pada kenyataannya justru praktek
tersebut masih berjalan dengan subur. Sebagai akibatnya kualitas
kinerja perusahaan juga rendah dan tidak mempunyai kemampuan
daya saing dengan perusahaan lainnya, apalagi dengan perusahaan
yang sudah ERQDÀW, demikian pula dalam scope pengelolaan sumber
daya manusia secara makro. Ini menunjukkan bahwa pendidikan
yang dilakukan di Indonesia belum mampu memberikan landasan
yang kuat bagi proses penanaman nilai-nilai luhur bagi sumber daya
manusia Indonesia.
Namun demikian dalam makalah ini penulis tidak akan
mengarahkan pembahasan paper ini pada suatu kondisi obyektif,
misalnya perusahaan atau lembaga pendidikan tertentu, dengan
alasan agar paper ini dapat menjadi “term paper” yang applicable
untuk organisasi, perusahaan, atau lembaga manapun yang
memerlukannya. Untuk itulah dalam makalah singkat ini penulis
hanya akan mencoba membahas mengenai pengelolaan sumber daya
manusia secara umum, tinjauan mengenai rekrutmen dan seleksi
dan diakhiri dengan kesimpulan.

B. Tinjauan Mengenai Pengelolaan Sumber Daya


Manusia
1. Konsep Pengelolaan Sumber Daya Manusia
Pengelolaan sumber daya manusia dalam istilah lain sering
disebut: “personal management”; ´SHUVRQDODGPLQLVWUDWLRQµ´KXPDQ
resources administration”. (Umi Sukamti, 1989:4). Beberapa istilah
tersebut dalam bidang pendidikan merupakan salah satu substansi
dari manajemen pendidikan.
Untuk memperjelas konsep pengelolaan sumber daya manusia,
perlu kiranya penulis menampilkan beberapa pandangan dari para
pakar sebagai berikut.
Edwin B. Flippo (1984) menyatakan bahwa pengelolaan sumber
daya manusia merupakan proses perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan dan pengendalian dari pengadaan tenaga kerja,

59
NO. 1. VOL. I. 2008

pengembangan, kompensasi, integrasi, pemeliharaan dan pemutusan


hubungan kerja dengan maksud untuk mencapai tujuan atau
sasaran perorangan, organisasi, dan masyarakat.
Menurut Haneman (1989:2) menyatakan bahwa:“ Personal or
KXPDQUHVRXUFHVPDQDJHPHQWLVDVHWRIRUJDQL]DWLRQZLGHIXQFWLRQRU
DFWLYLWLHVWKDWDUHGHVLJQHGWRLQÁXHQFHWKHDFWLYLWLHYQHVVLIHPSOR\HHV
LQWKHRUJDQL]DWLRQµ Sedangkan menurut Wayne dan Elias (1981:3)
“human resources management is the attraction, selection, retention,
GHYHORSPHQWDQGXWLOL]DWLRQRIKXPDQUHVRXUFHVLQRUGHUWRDFKLHYH
ERWKLQGLYLGXDODQGRUJDQL]DWLRQREMHFWLYHVµ

2. Fungsi Pengelolaan Sumber Daya Manusia.


Pengelolaan sumber daya manusia pada dasarnya merupakan
deskripsi dari administrasi atau manajemen pendidikan dengan
PHQJLGHQWLÀNDVL IXQJVLIXQJVLQ\D VHEDJDL VXDWX setting proses
administrasi atau manajemen pendidikan yang didesain untuk
saling berkaitan antara tujuan individu maupun organisasi. Menurut
Castetter (1981:3) proses administrasi atau manajemen tersebut
meliputi planning, recruitment, selection, induction, appraisal,
development, compensation, bargaining, security, continuity, and
information. Sedangkan Randall (1987:29) PHQJLQGHQWLÀNDVLNDQ
fungsi-fungsi tersebut ke dalam proses sumber daya manusia
yang meliputi ´SODQQLQJ VWDIÀQJ DSSUDLVLQJ FRPSHQVDWLRQ DQG
training”.
'DUL EHEHUDSD GHÀQLVL GDQ NRQVHS SHQJHORODDQ VXPEHU GD\D
manusia di atas dapat dipahami bahwa suatu pengelolaan sumber
daya manusia merupakan suatu proses yang berhubungan dengan
implementasi indikator fungsi-fungsi pengelolaan atau manajemen
yang berperan penting dan efektif dalam menunjang tercapainya
tujuan individu, lembaga, maupun organisasi atau perusahaan.
Bagi suatu organisasi, pengelolaan sumber daya manusia
menyangkut keseluruhan urusan organisasi dan tujuan yang telah
ditetapkan. Untuk itu seluruh komponen atau unsur yang ada di
GDODPQ\D\DLWXSDUDSHQJHORODGHQJDQEHUEDJDLDNWLÀWDVQ\DKDUXV
memfokuskan pada perencanaan yang menyangkut penyusunan
staff, penetapan program latihan jabatan dan lain sebagainya. Hal ini
perlu dilakukan untuk mengantisipasi perkembangan jangka pendek
dan jangka panjang dari suatu organisasi tersebut, khususnya yang
menyangkut kesiapan sumber daya manusianya. Alasan lainnya

60
Pengelolaan Sumber Daya Manusia ... (Nanang Nuryanta)

adalah bahwa suatu pengelolaan sumber daya manusia dalam


suatu organisasi tidak dapat terlepas dari lingkungan internal
maupun eksternal, yang pada suatu saat akan dapat mempengaruhi
keberadaan organisasi tersebut.

C. Rekrutmen dan Seleksi Sumber Daya Manusia


Diantara beberapa unsur dari pengelolaan sumber daya manusia
yang sangat terkait dengan keberadaan organisasi atau perusahaan
adalah unsur rekrutmen dan seleksi SDM. Untuk lebih memperjelas
mengenai beberapa konsep tentang rekrutmen dan seleksi, berikut
ini akan dipaparkan mengenai kedua hal tersebut.

1. Rekrutmen
Menurut Randall S. Schuler dan Susan E. Jackson (1997:227)
rekrutmen antara lain meliputi upaya pencarian sejumlah calon
karyawan yang memenuhi syarat dalam jumlah tertentu sehingga
dari mereka perusahaan dapat menyeleksi orang-orang yang paling
tepat untuk mengisi lowongan pekerjaan yang ada. Sebagai akibatnya
rekrutmen tidak hanya menarik simpati atau minat seseorang untuk
bekerja pada perusahaan tersebut, melainkan juga memperbesar
kemungkinan untuk mempertahankan mereka setelah bekerja.
Jadi intinya rekrutmen merupakan usaha yang dilakukan untuk
memperoleh sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam mengisi
jabatan-jabatan terntu yang masih kosong. Selain itu rekrutmen
merupakan usaha-usaha mengatur komposisi sumber daya manusia
secara seimbang sesuai dengan tuntutan melalui penyeleksian yang
dilakukan.
Melalui rekrutmen organisasi dapat melakukan komunikasi
dengan pihak-pihak tertentu untuk memperoleh sumber daya manusia
yang potensial, sehingga akan banyak pencari kerja dapat mengenal
dan mengetahui organisasi yang pada akhirnya akan memutuskan
kepastian atau tidaknya dalam bekerja. Dengan rekrutmen
diharapkan pencari kerja yang berkualitas tinggi akan mengetahui
adanya kesempatan kerja. Selain itu perlu juga diusahakan
adanya kesan dan image yang positif mengenai organisasi dengan
memberikan informasi yang cukup mengenai pekerjaan sehingga
SHQFDULNHUMDGDSDWPHPSHUWLPEDQJNDQPLQDWGDQNXDOLÀNDVLQ\D
Menurut Umi Sukamti (1989), dalam proses rekrutmen terdiri dari

61
NO. 1. VOL. I. 2008

dua fase, yaitu: (a) untuk memonitor perubahan lingkungan dan


organisasi yang menimbulkan kebutuhan sumber daya manusia
baru, dan menetapkan pekerjaan-pekerjaan yang harus diisi dan
tipe-tipe pelamar yang diperlukan; (b) untuk menyebarluaskan
kepada pelamar yang potensial bahwa ada lowongan pekerjaan,
sehingga menarik pelamar yang bersangkutan dan menyisihkan
SHODPDU\DQJNXUDQJPHPHQXKLNXDOLÀNDVL\DQJGLSHUOXNDQ
Lebih lanjut Randall S. Schuler dan Susan E. Jackson (1997:227)
menjelaskan bahwa kegiatan kunci yang merupakan bagian dari
rekrutmen adalah (1) menentukan kebutuhan jangka pendek dan
jangka panjang perusahaan dalam hal jenis pekerjaan (job title)
dan levelnya dalam perusahaan; (2) terus berupaya mendapatkan
informasi mengenai perkembangan kondisi pasar tenaga kerja; (3)
menyusun bahan-bahan rekrutmen yang efektif; (4) menyusun
program rekrutmen yang sistematis dan terpadu yang berhubungan
dengan kegiatan sumber daya manusia lain dan dengan kerja sama
antara manajer lini dan karyawan; (5) mendapatkan pool calon
karyawan yang berbobot atau memenuhi syarat; (6) mencatat kualitas
dan jumlah pelamar dari berbagai sumber dan masing-masing
metode rekrutmennya; dan (7) melakukan tindak lanjut terhadap
para calon karyawan baik yang diterima maupun yang ditolak, guna
mengevaluasi efektif tidaknya rekrutmen yang dilakukan. Dan yang
paling penting semua kegiatan ini harus dilakukan sesuai konteks
hukum yang berlaku.
$GDSXQKDVLONHJLDWDQUHNUXWPHQDGDODKLGHQWLÀNDVLWHUKDGDS
suatu pool yang berisikan para calon karyawan yang memenuhi
syarat yang kemungkinan besar akan terpilih dan ditempatkan.
Meskipun demikian, ternyata dalam kenyataannya rekrutmen belum
tentu berhasil dengan baik, hal ini sangat terkait dengan berbagai
kendala yang dihadapi. Menurut Sondang P. Siagaan (1999) berbagai
kendala yang dihadapi menurut berbagai penelitian dan pengalaman
banyak orang dalam hal rekrutmen menunjukkan bahwa kendala
yang biasa dihadapi itu dapat mengambil tiga bentuk, yaitu kendala
yang bersumber dari organisasi yang bersangkutan sendiri, kebiasaan
SHQFDUL WHQDJD NHUMD VHQGLUL GDQ IDNWRUIDNWRU HNVWHUQDO \DQJ
bersumber dari lingkungan di mana organisasi bergerak.
Lebih jelasnya, ketiga faktor tersebut dapat digambarkan pada
tabel di bawah ini:

62
Pengelolaan Sumber Daya Manusia ... (Nanang Nuryanta)

Faktor Kebiasaan Pencari Kondisi Eksternal


Organisasional Tenaga Kerja (Lingkungan)
1. Kebijaksanaan Pada satuan kerja yang 1. Tingkat pengangguran.
Promosi dari mengelola sumber daya 2. Kedudukan organisasi
dalam. manusia biasanya ada pencari tenaga kerja
2. Kebijaksanaan tenaga spesialis yang terdiri terhadap organisasi/
tentang imbalan, dari sekelompok orang yang perusahaan lain yang
yang tergantung tugasnya adalah melakukan bergerak pada bidang yang
pada: rekrutmen. Tenaga spesialis sama dan menghasilkan
3. Kepentingan para ini mempunyai dua segi: produk sejenis.
anggota organisasi. 1. Segi Positifnya, yaitu 3. Langka tidaknya keahlian
4. Kemampuan proses rekrutmen dapat atau ketrampilan tertentu.
organisasi yang berlangsung dengan cepat 4. Proyeksi angkatan kerja
bersangkutan. karena pengetahuan dan pada umumnya.
5. Keharusan pengalamannya mengenai 5. Peraturan perundang-
mentaati berbagai NXDOLÀNDVLWHQDJDNHUMD undangan di bidang
peraturan yang dibutuhkan. ketenagakerjaan.
perundangan. 2. Segi negatipnya, yaitu 6. Praktek rekrutmen oleh
6. Pertimbangan kecenderungan untuk organisasi lain.
lokasi. berbuat kesalahan dalam 7. Tuntutan tugas yang kelak
7. Kebijaksanaan merekrut pegawai bila akan dikerjakan oleh para
tentang status tidak berpengaruh pada pekerja baru itu, yang
kepegawaian. organisasi dan juga sikap menyangkut: persyaratan
8. Rencana sumber yang sering menganggap khusus, pengalaman kerja
daya manusia. enteng terhadap usaha sebelumnya, tenaga, waktu
rekrutmen, khususnya dan biaya yang besar,
berkaitan dengan persepsi terhadap imbalan,
persyaratan kuantitas dan juga tenaga kerja yang
pelamar. telah terekrut ternyata
WLGDNPHPHQXKLNXDOLÀNDVL
yang ditetapkan.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa rekrutmen


dimaksudkan untuk mendapatkan calon karyawan yang memenuhi
syarat. Oleh karena itu proses rekrutmen hendaknya perlu
memperhatikan sumber-sumber yang dapat dijadikan wahananya,
yaitu meliputi sumber internal dan sumber eksternal. Menurut
Randall S. Schuler dan Susan E. Jackson (1997) sumber-sumber
dan metode tersebut adalah:
a. Sumber internal. Sumber-sumber internal meliputi karyawan
yang ada sekarang yang dapat dicalonkan untuk dipromosikan,
dipindahtugaskan atau dirotasi tugasnya, serta mantan karyawan
yang bisa dikaryakan dan dipanggil kembali. Adapun metode yang
dapat digunakan adalah dengan menempelkan pemberitahuan
pada papan pengumuman, pengumuman lisan, penelitian riwayat
kerja karyawan (personnel records), penelitian daftar promosi
berdasarkan kinerja, melakukan pemeringkatan dari kegiatan
penilaian, melakukan pengecekan daftar senioritas, dan melihat
daftar yang dibuat menurut ketrampilan pada Sistem Informasi
Sumber Daya Manusia perusahaan. Itu semua dapat dilakukan

63
NO. 1. VOL. I. 2008

dengan membuat job posting dan daftar ketrampilan (skill


inventories).
b. Sumber eksternal, adalah sumber untuk mendapatkan karyawan
GDUL OXDU SHUXVDKDDQ \DQJ PHPLOLNL ERERW DWDX NXDOLÀNDVL
tertentu. sumber yang dapat dilakukan adalah dengan program
referal karyawan, yaitu iklan secara lisan; ZDONLQDSOOLFDQW, di
mana sejumlah pelamar mencalonkan diri dengan mendatangi
langsung bagian rekrutmen di perusahaan tersebut; melalui
ELURELUR WHQDJD NHUMD; melalui perusahaan lain; melaui ELUR
biro bantuan sementara; melalui asosiasi dan serikat dagang;
sekolah, WNA (warga negara asing). Adapun metode yang dapat
digunakan adalah melalui iklan radio dan televisi, iklan di koran
dan jurnal perdagangan, &RPSXWHUL]HG Service Listings, akuisisi
dan merger, open house, rekrutmen berdasarkan kontrak (contract
recruiting), Contingent Workforce Recruiting (perekrutan tenaga
kerja sementara).
Selain melalui metode yang telah disebutkan oleh Randall S.
Schuler dan Susan E. Jacson tersebut, Sondang P. Siagian (1999) juga
menambahkan berbagai sumber metode yaitu melalui perusahaan
pencari tenaga kerja profesional, organisasi profesi, dan balai latihan
kerja milik pemerintah.
Untuk mendukung suatu rekrutmen agar dapat berjalan
dengan baik maka perlu adanya legalisasi hukum. Hal ini untuk
memberikan jaminan perlindungan bagi perusahaan atau organisasi
yang melakukan rekrutmen maupun bagi calon pelamar, khususnya
berkaitan dengan asas keadilan. Oleh karena itu di Indonesia pun,
masalah undang-undang ketenagakerjaan ini telah dibuat sebagai
upaya untuk melindungi hak-hak dan kewajiban pekerja.
Untuk lebih memperjelas hubungan pada aspek rekrutmen
dalam pengelolaan sumber daya manusia dapat dilihat pada gambar
di bawah ini:

64
Pengelolaan Sumber Daya Manusia ... (Nanang Nuryanta)

Gambar 1:
Sumber: dari Randall S. Schuler dan Susan E. Jackson (1997). Manajemen
6XPEHU'D\D0QXVLD0HQJKDGDSL$EDG.H-DNDUWD3HQHUELW
Erlangga, hal. 231
Berdasarkan gambaran di atas dan penjelasan sebelumnya, ada
beberapa aspek penting yang merupakan bagian dari rekrutmen,
antara lain berupa penetapan kebutuhan sumber daya manusia baik
dalam jangka pendek maupun jangka panjang dan aspek lainnya
EHUXSD SHQJHPEDQJDQ HIHNWLÀWDV UHNUXWPHQ XSD\D PHPSHUROHK
NXDOLÀNDVLSHODPDUGDQODLQVHEDJDLQ\D0HQXUXWRandall (1987:125)
esensi dari efektivitas rekrutmen adalah membantu lembaga dalam
memperoleh tujuan umum yang meliputi produktivitas kerja, kualitas
kehidupan kerja, dan kepatuhan kerja.

2. Seleksi
Proses seleksi merupakan salah satu bagian yang terpenting
dalam keseluruhan proses manajemen sumber daya manusia.
Pernyataan ini didasarkan pada suatu alasan bahwa suatu organisasi
ataupun perusahaan akan mendapatkan sejumlah pegawai yang
PHPHQXKLNXDOLÀNDVL\DQJGLSHUV\DUDWNDQDWDXWLGDNDGDODKVDQJDW
tergantung pada cermat tidaknya proses seleksi ini dilakukan. Dan
proses seleksi ini merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan
dengan rekrutmen.

65
NO. 1. VOL. I. 2008

Menurut Umi Sukamti (1989:153)PHQGHÀQLVLNDQVHOHNVLVHEDJDL


suatu proses penetapan pelamar yang mana diantara mereka direkrut
dengan melalui pertimbangan persyaratan-persyaratan untuk dapat
diterima dalam melakukan pekerjaan dengan baik.
Sedangkan menurut Randall S. Schuler dan Susan E. Jackson
(1997), yang mengaitkan seleksi dan penempatan menyebutkan
bahwa seleksi adalah proses mendapatkan dan mempergunakan
informasi mengenai pelamar kerja untuk menentukan siapa yang
seharusnya diterima menduduki posisi jangka pendek dan jangka
panjang. Penempatan (placement) berkaitan dengan pencocokan
seseorang dengan jabatan yang akan dipegangnya, berdasarkan pada
kebutuhan jabatan dan pengetahuan, ketrampilan, kemampuan,
preferensi, dan kepribadian karyawan tersebut.
%HUGDVDUNDQGHÀQLVLWHUVHEXWGDSDWGLSDKDPLEDKZDVHOHNVL
merupakan salah satu cara yang dilakukan organisasi atau
perusahaan untuk melihat kesesuaian atau tidaknya antara
individu, pekerjaan, organisasi, dan lingkungan. Oleh karena itu,
prosedur seleksi yang cermat dan penempatan yang sesuai adalah
merupakan esensi dari pengelolaan sumber daya manusia dalam
suatu perusahaan atau organisasi. Jikalau dilakukan dengan baik,
niscaya prosedur ini akan menjamin bahwa sebuah perusahaan
atau organisasi mempunyai karyawan yang dapat menjalankan
tugasnya dengan baik dan menghasilkan produktivitas yang tinggi.
Namun demikian, dalam proses seleksi menurut Sondang P. Siagian
(1999:133) ada empat macam tantangan yang perlu diperhatikan
dan dihadapi oleh para petugas seleksi dalam menentukan jenis
dan langkah-langkah dalam proses seleksi, yaitu: penawaran tenaga
kerja, tantangan etis, tantangan organisasional, dan kesamaan
kesempatan memperoleh pekerjaan.
Lebih lanjut (Sondang P. Siagian, 1999:133) menjelaskan bahwa
langkah-langkah dalam proses seleksi minimal ada delapan langkah,
yaitu:
a. penerimaan surat lamaran,
b. penyelenggaraan ujian,
c. wawancara seleksi,
d. p e n g e c e k a n l a t a r b e l a k a n g p e l a m a r d a n s u r a t - s u r a t
referensinya,
e. evaluasi kesehatan,
f. w a w a n c a r a o l e h m a n a j e r y a n g a k a n m e n j a d i a t a s a n
langsungnya,
g. pengenalan pekerjaan, dan

66
Pengelolaan Sumber Daya Manusia ... (Nanang Nuryanta)

h. keputusan atas lamaran.


Sedangkan tentang isi langkah-langkah seleksi, menurut
5DQGDOO 6 6FKXOHU GDQ  6XVDQ ( -DFNVRQ  , yang
didasarkan pada hasil riset tentang reaksi pelamar dalam prosedur
seleksi menunjukkan bahwa pelamar lebih menyukai proses yang
melibatkan mereka dalam kegiatan yang benar-benar berkaitan
dengan lowongan pekerjaan. Bagi pelamar, simulasi dan contoh kerja
biasanya dianggap lebih relevan daripada tes kognitif tertulis dan
analisis tulisan tangan misalnya, dan mungkin karena alasan ini,
pelamar menganggap cara seperti itu lebih adil. Pelamar mungkin
bereaksi negatif terhadap wawancara yang dilakukan secara buruk.
Pertanyaan diskriminatif atau menyerang jelas menimbulkan kesan
negatif. Demikian juga pertanyaan dangkal dan tak berkaitan dengan
masalahnya.
Untuk itulah dalam upaya mendapatkan berbagai informasi
untuk meramalkan performasi, organisasi seharusnya mengupayakan
berbagai alat seleksi dari yang biasa dipakai dan yang tidak biasa
dipakai. Dalam hal ini menurut Umi Sukamti (1989:164) ada empat
standar yang dapat digunakan organisasi dalam proses seleksi, yaitu:
(a) relevansi, yaitu sejauhmana alat seleksi dapat mencerminkan
sampel yang representatif dari pekerjaan; (b) reliabilitas, yaitu
sejauhmana suatu alat seleksi memberikan hasil yang sama apabila
dipakai dalam waktu yang tidak sama atau oleh orang yang berbeda;
(c) validitas, yaitu hubungan statis antara skor-skor pada alat seleksi
dengan kriteria atau ukuran performasi pekerjaan; dan (d) faktor
keadilan, yaitu setiap alat seleksi harus dinilai standar keadilannya
yang mana kecenderungan alat ini memperlakukan dan memberi
kesempatan sama kepada semua pelamar untuk mendapatkan
pekerjaan.
Dari berbagai penjelasan dan konsep mengenai seleksi tersebut,
apabila dilakukan dengan prosedur yang benar dan didukung dengan
DODWVHOHNVL\DQJWHSDWGDQDNXUDWVXGDKEDUDQJWHQWXNXDOLÀNDVL
sumber daya manusia yang dibutuhkan oleh setiap organisasi akan
dapat terpenuhi. Karena prosedur yang benar dalam melakukan
seleksi ini akan mempunyai dampak positif bukan saja bagi
perusahaan tetapi juga bagi para pelamar pekerjaan yang diseleksi.
Bagi perusahaan keuntungan yang dapat diperoleh adalah mudah
XQWXNPHQHQWXNDQNXDOLÀNDVLSHODPDU\DQJGLQ\DWDNDQORORVVHOHNVL
Sedangkan keuntungan bagi para pelamar adalah dapat merasa
puas dan tidak menimbulkan kecurigaan-kecurigaan dalam proses
seleksi. Pelamar akan merasakan adanya sikap dan tindakan yang

67
NO. 1. VOL. I. 2008

fair dari perusahaan atau organisasi penyelenggara seleksi, sehingga


apabila pelamar mengalami kegagalan dalam seleksi, mereka akan
dapat merasakan “kepuasan” atau paling tidak dapat mengadakan
introspeksi diri bahwa mereka belum dapat memenuhi standar yang
ditentukan oleh perusahaan atau organisasi untuk bekerja.
Seangkan bagi para pelamar yang dapat lolos dalam seleksi,
tentunya mereka diharapkan dapat bekerja sesuai dengan
MRE VSHVLÀNDVLQ\D PDVLQJPDVLQJ \DQJ SDGD DNKLUQ\D GDSDW
menampilkan seluruh potensi yang dimilikinya, baik itu berupa
pengetahuan, kemampuan, ketrampilan, minat, kesukaan, dan
kepribadiannya bagi kepentingan dan tujuan perusahaan atau
organisasi tempat mereka bekerja.

D. Kesimpulan
Setelah mencermati latar belakang permasalahan dan
pembahasan mengenai pengelolaan sumber daya manusia,
khususnya yang berkenaan dengan aspek rekrutmen dan seleksi,
maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan:
1. Pengelolaan sumber daya manusia adalah merupakan aspek
yang sangat penting dalam proses pendidikan secara umum.
Oleh karena itu fungsi-fungsi dalam pengelolaan sumber
daya manusia harus dilaksanakan secara optimal sehingga
kebutuhan yang menyangkut tujuan individu, perusahaan,
organisasi ataupun kelembagaan dapat tercapai. Disamping itu
dengan prosedur pengelolaan sumber daya manusia yang baik
diharapkan kekurangan dan problem yang dihadapi oleh bangsa
Indonesia, yaitu yang terkait dengan kemampuan daya saing
dapat teratasi.
2. Rekrutmen yang merupakan upaya untuk menghasilkan suatu
pool pelamar kerja untuk ditempatkan pada posisi pekerjaan
yang lowong diperoleh melalui sumber eksternal maupun internal.
Rekrutmen harus diupayakan untuk dapat memenuhi kebutuhan
perusahaan, individu pelamar dan masyarakat. Kebutuhan
individu dalam rekrutmen ini mempunyai dua aspek, yaitu
menarik calon pelamar dan mempertahankan karyawan yang
diinginkan. Untuk melakukan rekrutmen hendaknya perusahaan
benar-benar mempertimbangkan pelamar yang benar-benar
memiliki potensi yang unggul dan memenuhi persyaratan serta
harus disesuaikan dengan jumlah yang diperlukan sehingga orang
yang terpilih benar-benar sesuai dengan pekerjaanya.

68
Pengelolaan Sumber Daya Manusia ... (Nanang Nuryanta)

3. Seleksi yang dilakukan oleh perusahaan, organisasi ataupun


lembaga tertentu harus dapat dipastikan bahwa sumber daya
manusia yang terseleksi tersebut adalah orang yang mampu
memenuhi kebutuhan kerja dan dapat bekerja di perusahaan. Oleh
karena itu, perusahaan ingin menyesuaikan antara kebutuhan
pelamar dan imbalan yang ditawarkan menurut kualitas kerja
dan konteks perusahaan. Untuk menyesuaikan pengetahuan,
ketrampilan, dan kemampuan seseorang terhadap kebutuhan
kerja dan untuk menyesuaikan kepribadian, minat, dan kesukaan
seseorang dengan kerja dan karakteristik perusahaan maka
perusahaan harus mampu mengumpulkan informasi tentang para
pelamar. Dengan informasi yang jelas tersebut perusahaan dapat
melakukan penempatan pelamar sesuai dengan kemampuan,
pengetahuan dan ketrampilannya atau dapat dikatakan bahwa
perusahaan akan dapat menentukan pelamar sesuai dengan job
VSHVLÀNDVLQ\D\DQJSDGDDNDKLUQ\DDNDQPDPSXPHPEHULNDQ
kontribusi positif bagi produktivitas perusahaan.

DAFTAR PUSTAKA
Cascio K. Wayne dan Awad A. Yulk. (1981). Human Resources
Management: An Information System Approach. Virginia: Reston
Publishing Company. Inc.
Castetter, W.B. (1982). The Personnel Function in Education
Administration. New York: Mac Millan Publishing Co. Inc.
Flippo B. Edwin. (1984). The Personnel Management. Mc Graw Hill
Book Company.
Haneman H.G. (1981). Managing Personnel and Human Resources:
Strategies and Programs. Illinois: Richard D. Irwin Inc.
Randall S. Schuler. (1987). Personnel and Human Resources
Management. New York University: Kelogg Borkvard.
Randall S. Schuler dan Susan E. Jackson. (1997). Manajemen Sumber
'D\D0DQXVLD0HQJKDGDSL$EDG.H-LOLG. Edisi Keenam.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Siagian, Sondang P. (1999). Manajemen Sumber Daya Manusia.
Jakarta: Bumi Aksara.
Suyanto dan Hisyam, Djihad. (2000). 5HÁHNVL 'DQ 5HIRUPDVL
Pendidikan Di Indonesia Memasuki Milenium III, Yogyakarta:
Adicita Karya Nusa.
Sukamti, Umi. (1989). Management Personalia/Sumber Daya
Manusia. Jakarta: P2LPTK Dikti Depdikbud.

69
“KELANGKAAN SUMBER DAYA MANUSIA”

Penyebab utama terjadinya kelangkaan yaitu terjadi akibat ulah manusia itu sendiri
yang bersikap serakah mengeksploitasi Sumber Daya Alam secara berlebihan, jika sumber
daya alam terus menerus dikeruk maka lama kelamaan akan habis bukan saja langka.
Pendidikan pun akan terbengkalai dan mengakibatkan Sumber Daya Manusia akan berkurang
atau langka. Sumber Daya Manusia merupakan modal dasar pembangunan nasional, oleh
karena itu maka kualitas Sumber Daya Manusia senantiasa harus dikembangkan dan
diarahkan agar bisa mencapai tujuan yang diharapkan.

KELANGKAAN SUMBER DAYA


Adalah kondisi di mana kita tidak mempunyai cukup sumber daya untuk memenuhi
kebutuhan kita. Dengan kata lain kelangkaan terjadi karena jumlah kebutuhan lebih banyak
dari jumlah barang dan jasa yang tersedia. Kelangkaan bukan berarti segalanya sulit dicari
atau ditemukan.

FAKTOR PENYEBAB :
1. Keterbatasan Sumber Daya
Lingkungan alam menyediakan sumber daya melimpah bagi pemenuhan kebutuhan manusia.
Akan tetapi, jumlah sumber daya semakin berkurang akibat sifat manusia yang serakah.
2. Rendahnya Kemampuan Produksi
Kemampuan produksi yang terbatas akan mengakibatkan rendahnya kapasitas produksi. Hal
ini dapat menimpulkan ketidakterpenuhinya kebutuhan manusia.
3. Lambatnya Perkembangan Teknologi
Produsen butuh waktu untuk menerapkan teknologi produksi yang baru, sementara kebutuhan
hidup manusia terus berkembang. Lambatnya perkembangan dan penerapan teknologi
menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan manusia.
SOLUSI KELANGKAAN SUMBER DAYA MANUSIA

1. Menghemat sumber daya


Penghematan SDA dan SDM penting karena suatu saat nanti kita akan mewariskan bumi ini
pada anak, cucu, cicit kita. Jika kita tidak menghemat dan menghabiskannya sekarang, maka
anak cucu kita akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

2. Ketahanan Pangan dan Teknologi


Setiap individu harus siap sedia menyediakan makanan dan pangan yang bergizi. Pangan
tidak hanya dihasilkan oleh pertanian,, perikanan, perkebunan dan kehutanan, tetapi juga oleh
industri pengolahan pangan.

3. Peningkatan Mutu Pendidikan


Solusi agar tidak terjadi kelangkaan akibat rendahnya pendidikan adalah Peningkatan mutu
pendidikan, yaitu setiap individu haruslah menyelesaikan pendidikannya,

Ariwibowo Yoga. 2007. Geografi SMA. Jakarta: Ganeca Exact.

Fauzi Akhmad. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.

(http://id.wikipedia.org/wiki/Sumber_daya_manusia)
BAB II

TINJAUAN UMUM

KONSEP MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA, KINERJA

KARYAWAN DAN LEMBAGA KEUANGAN ISLAM

A. Manajemen Sumber Daya Manusia

1. Pengertian

Dalam suatu organisasi atau perusahaan peranan manajemen sumber

daya manusia sangatlah penting. Hal ini dapat kita mengerti karena tanpa

sumber daya manusia, suatu organisasi tidak mungkin berjalan. Manusia

merupakan penggerak dan pengelola faktor-faktor produksi lainnya seperti

modal, bahan mentah, peralatan, dan lain-lain untuk mencapai tujuan

organisasi.

Dengan semakin berkembangnya suatu organisasi maka makin sulit

pula perencanaan dan pengendalian pegawainya. Oleh karena itu, maka

sangatlah dibutuhkan manajemen personalia yang mengatur dan mengatasi

masalah-masalah yang berhubungan dengan kepegawaian, baik dalam hal

administrasi, pembagian tugas maupun pada kegiatan personalia lainnya.

Berikut ini pengertian manajemen sumber daya manusia menurut

Handoko adalah penarikan, seleksi, pengembangan, pemeliharaan, dan

1|UIN WALISONGO SEMARANG


penggunaan sumber daya manusia untuk mencapai baik tujuan-tujuan individu

maupun organisasi1.

Pada dasarnya tujuan manajemen sumber daya manuisia adalah

menyediakan tenaga kerja yang efektif bagi organisasi untuk mencapai tujuan

yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam proses pencapaian tujuan ini, maka

manajemen personalia mempelajari bagaimana memperoleh, mengembangkan,

memanfaatkan, mengevaluasikan dan mempertahankan tenaga kerja dalam baik

jumlah dan tipe yang tepat. Manajemen personalia dapat berhasil bila mampu

menyediakan tenaga kerja yang berkompeten untuk melaksanakan pekerjaan

yang harus dilakukan.

Islam sebagai suatu sistem hidup yang sempurna tentu saja memiliki

konsep pemikiran tentang manajemen. Kesalahan kebanyakan dari kaum

muslimin dalam memahami konsep manajemen dari sudut pandang Islam

adalah karena masih mencampuradukan antara ilmu manajemen yang bersifat

teknis (uslub) dengan manajemen sebagai aktivitas. Kerancuan ini akan

mengakibatkan kaum muslimin susah membedakan mana yang boleh diambil

dari perkembangan ilmu manajemen saat ini dan mana yang tidak2.

Menurut Didin dan Hendri dalam buku mereka Manajemen Syariah

dalam Praktik, Manajemen bisa dikatakan telah memenuhi syariah apabila:

1
Handoko, T. H., Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: BPFE,
2003, hlm. 4
2
www.4sidis.blogspot.com, Konsep Manajemen Syari’ah, didownload tanggal: 1 januari 2015,
hlm. 1
2|UIN WALISONGO SEMARANG
a. Manajemen ini mementingkan perilaku yang terkait denga nilai-nilai

keimanan dan ketauhidan.

b. Manajemen syariah perlu adanya struktur organisasi.

c. Manajemen syariah membahas soal sistem. Sistem ini disusun agar perilaku

pelaku di dalamnya berjalan dengan baik. Sistem pemerintahan Umar bin

Abdul Aziz, misalnya, adalah salah satu yang terbaik. Sistem ini berkaitan

dengan perencanaan, organisasi dan kontrol, Islam pun telah mengajarkan

jauh sebelum adanya konsep itu lahir, yang dipelajari sebagai manajemen

Barat3.

Peran syariah Islam dalam ilmu manajemen adalah pada cara pandang

dalam implementasi manajemen tersebut. Di mana standar yang diambil dalam

setiap fungsi manajemen terikat dengan hukum-hukum syara’ (syariat Islam).

Fungsi manajemen sebagaimana kita ketahui ada empat yang utama, yaitu

perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan

(actuating) dan pengontrolan (controlling)4.

2. Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia

Dalam menjalankan pekerjaan seharusnya organisasi memperhatikan

fungsi-fungsi manajemen dan fungsi operasional seperti yang dikemukakan

3
www.4sidis.blogspot.com, Konsep Manajemen Syari’ah, didownload tanggal: 1 januari 2015,
hlm. 1
4
www.4sidis.blogspot.com, Konsep Manajemen Syari’ah, didownload tanggal: 1 januari
2015, hlm. 2
3|UIN WALISONGO SEMARANG
oleh Flippo. Menurutnya, fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia ada

dua yaitu sebagai fungsi manajemen dan fungsi operasional5.

a. Fungsi manajemen

Fungsi manajemen terdiri dari:

1) Perencanaan (planning)

a) Pengertian perencanaan (planning)

Planning (perencanaan) ialah penetapan pekerjaan yang harus

dilaksanakan oleh kelompok untuk mencapai tujuan yang digariskan.

Planning mencakup kegiatan pengambilan keputusan, karena termasuk

dalam pemilihan alternatif-alternatif keputusan.

Diperlukan kemampuan untuk mengadakan visualisasi dan

melihat ke depan guna merumuskan suatu pola dari himpunan tindakan

untuk masa mendatang.

b) Proses Perencanaan

Proses perencanaan berisi langkah-langkah:

(1) Menentukan tujuan perencanaan;

(2) Menentukan tindakan untuk mencapai tujuan;

(3) Mengembangkan dasar pemikiran kondisi mendatang;

(4) Mengidentifikasi cara untuk mencapai tujuan; dan

(5) Mengimplementasi rencana tindakan dan mengevaluasi hasilnya.

5
Edwin B. Flippo, Personel Management (Manajemen Personalia), Edisi VII Jilid II,
Terjemahan Alponso S, (Erlangga, Jakarta. 2002), hlm. 5-7
4|UIN WALISONGO SEMARANG
c) Elemen Perencanaan

Perencanaan terdiri atas dua elemen penting, yaitu sasaran

(goals) dan rencana (plan).

(1) Sasaran yaitu hal yang ingin dicapai oleh individu, kelompok, atau

seluruh organisasi. Sasaran sering pula disebut tujuan. Sasaran

memandu manajemen membuat keputusan dan membuat kriteria

untuk mengukur suatu pekerjaan.

(2) Rencana adalah dokumen yang digunakan sebagai skema untuk

mencapai tujuan. Rencana biasanya mencakup alokasi sumber

daya, jadwal, dan tindakan-tindakan penting lainnya. Rencana

dibagi berdasarkan cakupan, jangka waktu, kekhususan, dan

frekuensi penggunaanya.

d) Unsur-unsur Perencanaan

Suatu perencanaan yang baik harus menjawab enam pertanyaan

yang tercakup dalam unsur-unsur perencanaan yaitu:

(1) Tindakan apa yang harus dikerjakan, yaitu mengidentifikasi segala

sesuatu yang akan dilakukan;

(2) Apa sebabnya tindakan tersebut harus dilakukan, yaitu

merumuskan faktor-faktor penyebab dalam melakukan tindakan;

(3) Tindakan tersebut dilakukan, yaitu menentukan tempat atau

lokasi;

5|UIN WALISONGO SEMARANG


(4) Kapan tindakan tersebut dilakukan, yaitu menentukan waktu

pelaksanaan tindakan;

(5) Siapa yang akan melakukan tindakan tersebut, yaitu menentukan

pelaku yang akan melakukan tindakan; dan

(6) Bagaimana cara melaksanakan tindakan tersebut, yaitu

menentukan metode pelaksanaan tindakan.

e) Klasifikasi Perencanaan

Rencana-rencana dapat diklasifikasikan menjadi:

(1) Rencana pengembangan. Rencana-rencana tersebut menunjukkan

arah (secara grafis) tujuan dari lembaga atau perusahaan;

(2) Rencana laba. Jenis rencana ini biasanya difokuskan kepada laba

per produk atau sekelompok produk yang diarahkan oleh manajer.

Maka seluruh rencana berusaha menekan pengeluaran supaya

dapat mencapai laba secara maksimal;

(3) Rencana pemakai. Rencana tersebut dapat menjawab pertanyaan

sekitar cara memasarkan suatu produk tertentu atau memasuki

pasaran dengan cara yang lebih baik; dan

(4) Rencana anggota-anggota manajemen. Rencana yang dirumuskan

untuk menarik, mengembangkan, dan mempertahankan anggota-

anggota manajemen menjadi lebih unggul6.

6
Ibid, hlm. 60
6|UIN WALISONGO SEMARANG
f) Tipe-tipe Perencanaan

Tipe-tipe perencanaan terinci sebagai berikut:

(1) Perencanaan jangka panjang (Short Range Plans), jangka waktu 5

tahun atau lebih;

(2) Perencanaan jangka pendek (Long Range Plans), jangka waktu 1

sampai dengan 2 tahun;

(3) Perencanaan strategi, yaitu kebutuhan jangka panjang dan

menentukan komprehensif yang telah diarahkan;

(4) Perencanaan operasional, kebutuhan apa saja yang harus

dilakukan untuk mengimplementasikan perencanaan strategi untuk

mencapai tujuan strategi tersebut;

(5) Perencanaan tetap, digunakan untuk kegiatan yang terjadi

berulang kali (terus-menerus); dan

(6) Perencanaan sekali pakai, digunakan hanya sekali untuk situasi

yang unik.

g) Dasar-dasar Perencanaan yang Baik

Dasar-dasar perencanaan yang baik meliputi:

(1) Forecasting, proses pembuatan asumsi-asumsi tentang apa yang

akan terjadi pada masa yang akan datang;

7|UIN WALISONGO SEMARANG


(2) Penggunaan skenario, meliputi penentuan beberapa alternatif

skenario masa yang akan datang atau peristiwa yang mungkin

terjadi;

(3) Benchmarking, perbandingan eksternal untuk mengevaluasi secara

lebih baik suatu arus kinerja dan menentukan kemungkinan

tindakan yang dilakukan untuk masa yang akan datang;

(4) Partisipan dan keterlibatan, perencanaan semua orang yang

mungkin akan mempengaruhi hasil dari perencanaan dan atau

akan membantu mengimplementasikan perencanaan-perencanaan

tersebut; dan

(5) Penggunaan staf perencana, bertanggung jawab dalam

mengarahkan dan mengkoordinasi sistem perencanaan untuk

organisasi secara keseluruhan atau untuk salah satu komponen

perencanaan yang utama.

h) Tujuan Perencanaan

(1) Untuk memberikan pengarahan baik untuk manajer maupun

karyawan non-manajerial;

(2) Untuk mengurangi ketidakpastian;

(3) Untuk meminimalisasi pemborosan; dan

(4) Untuk menetapkan tujuan dan standar yang digunakan dalam

fungsi selanjutnya.

8|UIN WALISONGO SEMARANG


i) Sifat Rencana yang Baik

Rencana dikatakan baik jika memiliki sifat sifat-sifat sebagai

berikut:

(1) Pemakaian kata-kata yang sederhana dan jelas;

(2) Fleksibel, suatu rencana harus dapat menyesuaikan dengan

keadaan yang sebenarnya;

(3) Stabilitas, setiap rencana tidak setiap kali mengalami perubahan,

sehingga harus dijaga stabilitasnya;

(4) Ada dalam pertimbangan; dan

(5) Meliputi seluruh tindakan yang dibutuhkan, meliputi fungsi-fungsi

yang ada dalam organisasi.

2) Pengorganisasian (organizing)

a) Pengertian Pengorganisasian

Organizing berasal dari kata organon dalam bahasa Yunani

yang berarti alat, yaitu proses pengelompokan kegiatan-kegiatan untuk

mencapai tujuan-tujuan dan penugasan setiap kelompok kepada

seorang manajer7.

Pengorganisasian dilakukan untuk menghimpun dan mengatur

semua sumber-sumber yang diperlukan, termasuk manusia, sehingga

pekerjaan yang dikehendaki dapat dilaksanakan dengan berhasil.

7
Ibid, hlm. 82
9|UIN WALISONGO SEMARANG
b) Ciri-ciri Organisasi

Ciri-ciri organisasi adalah sebagai berikut:

(1) Mempunyai tujuan dan sasaran;

(2) Mempunyai keterikatan format dan tata tertib yang harus ditaati;

(3) Adanya kerjasama dari sekelompok orang; dan

(4) Mempunyai koordinasi tugas dan wewenang.

c) Komponen-komponen Organisasi

Ada empat komponen dari organisasi yang dapat diingat

dengan kata “WERE” (Work, Employees, Relationship dan

Environment).

(1) Work (pekerjaan) adalah fungsi yang harus dilaksanakan berasal

dari sasaran-sasaran yang telah ditetapkan.

(2) Employees (pegawai-pegawai) adalah setiap orang yang

ditugaskan untuk melaksanakan bagian tertentu dari seluruh

pekerjaan.

(3) Relationship (hubungan) merupakan hal penting di dalam

organisasi. Hubungan antara pegawai dengan pekerjaannya,

interaksi antara satu pegawai dengan pegawai lainnya dan unit

kerja lainnya dan unit kerja pegawai dengan unit kerja lainnya

merupakan hal-hal yang peka.

10 | U I N WALISONGO SEMARANG
(4) Environment (lingkungan) adalah komponen terakhir yang

mencakup sarana fisik dan sasaran umum di dalam lingkungan

dimana para pegawai melaksanakan tugas-tugas mereka, lokasi,

mesin, alat tulis kantor, dan sikap mental yang merupakan faktor-

faktor yang membentuk lingkungan.

d) Tujuan organisasi

Tujuan organisasi merupakan pernyataan tentang keadaan atau

situasi yang tidak terdapat sekarang, tetapi dimaksudkan untuk dicapai

pada waktu yang akan dating melalui kegiatan-kegiatan organisasi8.

e) Prinsip-prinsip organisasi

Williams mengemukakan pendapat bahwa prinsipprinsip

organisasi meliputi:

(1) Prinsip bahwa organisasi harus mempunyai tujuan yang jelas;

(2) Prinsip skala hirarki;

(3) Prinsip kesatuan perintah;

(4) Prinsip pendelegasian wewenang;

(5) Prinsip pertanggungjawaban;

(6) Prinsip pembagian pekerjaan;

8
Hani Handoko, Manajemen. Yogyakarta: BPFE, 1995, hlm. 109
11 | U I N WALISONGO SEMARANG
(7) Prinsip rentang pengendalian;

(8) Prinsip fungsional;

(9) Prinsip pemisahan;

(10) Prinsip keseimbangan;

(11) Prinsip fleksibilitas; dan

(12) Prinsip kepemimpinan9.

f) Manfaat pengorganisasian

Pengorganisasian bermanfaat sebagai berikut:

(1) Dapat lebih mempertegas hubungan antara anggota satu dengan

yang lain;

(2) Setiap anggota dapat mengetahui kepada siapa ia harus

bertanggung jawab;

(3) Setiap anggota organisasi dapat mengetahui apa yang menjadi

tugas dan tanggung jawab masing-masing sesuai dengan posisinya

dalam struktur organisasi;

(4) Dapat dilaksanakan pendelegasian wewenang dalam organisasi

secara tegas, sehingga setiap anggota mempunyai kesempatan

yang sama untuk berkembang; dan

9
William G. Cochran, Sampling Techniques, Charles E. Tuttle Company Inc Japan, 1965, hlm.
85
12 | U I N WALISONGO SEMARANG
(5) Akan tercipta pola hubungan yang baik antar anggota organisasi,

sehingga memungkinkan tercapainya tujuan dengan mudah.

3) Pengarahan (directing)

Pengarahan terdiri dari fungsi staffing dan leading. Fungsi staffing

adalah menempatkan orang-orang dalam struktur organisasi, sedangkan

fungsi leading dilakukan pengarahan sumber daya manusia agar

karyawan bekerja sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.

Manajemen dalam Islam, agar isi pengarahan yang diberikan

kepada orang yang diberi pengarahan dapat dilaksanakan dengan baik

maka seorang pengarah setidaknya harus memperhatikan beberapa

prinsip berikut, yaitu Keteladanan, konsistensi, keterbukaan, kelembutan,

dan kebijakan. Isi pengarahan baik yang berupa perintah, larangan,

maupun bimbingan hendaknya tidak memberatkan dan di luar

kemampuan penerima arahan, sebab jika hal itu terjadi maka jangan

berharap isi pengarahan itu dapat dilaksanakan dengan baik oleh

penerima pengarahan10.

Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa fungsi pengarahan

dalam manajemen pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah proses

bimbingan yang didasari prinsip-prinsip religius kepada rekan kerja,

sehingga orang tersebut mau melaksanakan tugasnya dengan

10
Ibid, hlm. 9.
13 | U I N WALISONGO SEMARANG
sungguhsungguh dan bersemangat disertai keikhlasan yang sangat

mendalam.

4) Pengawasan (controlling)

a) Pengertian Controlling

Controlling atau pengawasan adalah penemuan dan penerapan

cara dan alat utk menjamin bahwa rencana telah dilaksanakan sesuai

dengan rencana yang telah ditetapkan.

b) Tahap-tahap Pengawasan

Tahap-tahap pengawasan terdiri atas:

(1) Penentuan standar;

(2) Penentuan pengukuran pelaksanaan kegiatan;

(3) Pengukuran pelaksanaan kegiatan;

(4) Pembanding pelaksanaan dengan standar dan analisa

penyimpangan; dan

(5) Pengambilan tindakan koreksi bila diperlukan.

c) Tipe-tipe Pengawasan

(1) Feedforward Control dirancang untuk mengantisipasi masalah-

masalah dan penyimpangan dari standar tujuan dan

memungkinkan koreksi sebelum suatu kegiatan tertentu

diselesaikan.

14 | U I N WALISONGO SEMARANG
(2) Concurrent Control merupakan proses dalam aspek tertentu dari

suatu prosedur harus disetujui dulu sebelum suatu kegiatan

dilanjutkan atau untuk menjamin ketepatan pelaksanaan suatu

kegiatan.

(3) Feedback Control mengukur hasil-hasil dari suatu kegiatan yang

telah dilaksanakan.

b. Fungsi operasional

Fungsi operasional terdiri dari:

1. Pengadaan (procurement)

Usaha untuk memperoleh sejumlah tenaga kerja yang dibutuhkan

perusahaan, terutama yang berhubungan dengan penentuan kebutuhan

tenaga kerja, penarikan, seleksi, orientasi dan penempatan.

2. Pengembangan (development)

Usaha untuk meningkatkan keahlian karyawan melalui program

pendidikan dan latihan yang tepat agar karyawan atau pegawai dapat

melakukan tugasnya dengan baik. Aktivitas ini penting dan akan terus

berkembang karena adanya perubahan teknologi, penyesuaian dan

meningkatnya kesulitan tugas manajer.

3. Kompensasi (compensation)

15 | U I N WALISONGO SEMARANG
Fungsi kompensasi diartikan sebagai usaha untuk memberikan

balas jasa atau imbalan yang memadai kepada pegawai sesuai dengan

kontribusi yang telah disumbangkan kepada perusahaan atau organisasi.

4. Integrasi (integration)

Merupakan usaha untuk menyelaraskan kepentingan individu,

organisasi, perusahaan, maupun masyarakat. Oleh sebab itu harus

dipahami sikap prinsip-prinsip pegawai.

5. Pemeliharaan (maintenance)

Setelah keempat fungsi dijalankan dengan baik, maka diharapkan

organisasi atau perusahaan mendapat pegawai yang baik. Maka fungsi

pemeliharaan adalah dengan memelihara sikap-sikap pegawai yang

menguntungkan perusahaan.

6. Pemutusan Hubungan Kerja (separation)

Usaha terakhir dari fungsi operasional ini adalah tanggung jawab

perusahaan untuk mengembalikan pegawainya ke lingkungan masyarakat

dalam keadaan sebaik mungkin, bila organisasi atau perusahaan

mengadakan pemutusan hubungan kerja.

Jadi fungsi sumber daya manusia menurut uraian di atas terdiri

dari fungsi manajemen dan fungsi operasi yang masing-masing terdiri

dari mengatur, merencanakan, pengorganisasian, memimpin serta

mengendalikan manusia yang merupakan asset penting bagi perusahaan.

16 | U I N WALISONGO SEMARANG
Sedangkan sebagai fungsi operasional karyawan termasuk pengadaan,

pengembangan, kompensasi, integrasi, pemeliharaan dan pemutusan

hubungan kerja.

B. Kinerja

1. Pengertian kinerja

Kinerja karyawan adalah hasil kerja karyawan dalam menjalankan

tugas sesuai dengan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Kinerja

merupakan perilaku hasil nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai

prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam

perusahaan11. Menurut Rivai kinerja seseoarang merupakan kombinasi dari

kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya12.

Sulistiyani menyatakan bahwa kinerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai

seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya

yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta

11
Intanghina, “Pengaruh Budayaya Perusahaan dan Lingkungan Kerja terhadap Kinerja
Karyawan (serial online, 2008)”, 28 Januari 2014. Availabel from: URL:
http://intaqnghina.wordpress.com/2008/04/28/pengaruh-budayaperusahaan-dan-lingkungan-kerja-
terhadap-kinerja -karyawan.
12
V. Rivai 2006. Kinerja-Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. Available from:
http://id.wikipedia.org/wiki/Kinerja, akses tanggal 5 Januari 2014 Pukul 14.00 WIB.
17 | U I N WALISONGO SEMARANG
waktu13. Kinerja adalah menilai bagaimana seseorang telah bekerja

dibandingkan dengan target yang telah ditentukan sebelumnya14.

Kinerja dapat dikatan baik apabila mempunyai keahlian yang tinggi,

kesediaan untuk bekerja, adanya imbalan atau upah yang layak dan

mempunyai harapan masa depan. Secara teoritis ada beberapa hal yang

mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu, yaitu faktor

kepemimpinan, faktor sumber daya, faktor komitmen kerja, faktor kepribadian

(locus of control), dan faktor kepuasan kerja15.

2. Penilaian kinerja

Handoko mengemukakan bahwa penilaian kinerja adalah suatu

proses, melalui mana organisasi mengevaluasi atau menilai kinerja

karyawan.16 Kegiatan ini dapat memperbaiki keputusan-keputusan personalia

dan memberikan umpan balik kepada karyawan tentang pelaksanaan kerja

mereka. Rigio berpendapat bahwa penilaian kinerja adalah mengukur dan

menilai kinerja karyawan dengan standar yang telah ditentukan

organisasi17. Penilaian kinerja tersebut difokuskan pada tanggung jawab dan

13
A. T. Sulistiyani, Kinerja-Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. Available from:
http://id.wikipedia.org/wiki/Kinerja, 2003, akses tanggal 5 Januari 2014 Pukul 14.00 WIB.
14
B. Cushway, Kinerja-Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, 2004, Available
from: http://id.wikipedia.org/wiki/Kinerja, akses tanggal 5 Januari 2014 Pukul 14.00 WIB.
15
Cokroaminoto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Individu, 2007, Available from:
http://cokroaminoto.blogetery.com/2007/06/12/faktorfaktor- yang-mempengaruhi-kinerja-individu-
respon-untuk-zaenal/, akses tanggal 5 Januari 2014 pukul 14.00 WIB
16
T. H. Handoko, Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, Yogyakarta : BPFE,
2003, hlm 33
17
Rigio, Penilaian Kinerja, 2003, Available from: http://wangmuba.com/ 2014/05 /
01/penilaian-kinerja, akses tanggal 5 Januari 2014 Pukul 14.00 WIB.
18 | U I N WALISONGO SEMARANG
perilaku-perilaku yang berkaitan dengan tugas formal yang telah dirancang

oleh organisasi, sehingga penilaian kinerja tersebut benar-benar sesuai dengan

pekerjaan yang sedang dilakukan, dan dapat memberikan informasi mengenai

kemajuan karyawan dalam pelaksanaan tugasnya. Soeprihanto

mengemukakan, penilaian kinerja adalah suatu sistem yang digunakan untuk

menilai dan mengetahui apakah seorang karyawan telah melaksanakan

pekerjaan masing-masing secara keseluruhan18.

Dari beberapa pengertian tersebut, dapat dinyatakan bahwa

penilaian kinerja adalah suatu proses penilaian kinerja yang dilakukan oleh

pimpinan atau yang diserahi wewenang dalam satu perusahaan terhadap

setiap individu atau kelompok yang ada di dalamnya, dan dilakukan

selama satu periode tertentu secara terus menerus, untuk mengetahui

kekuatan dan kelemahan serta potensi yang dimiliki setiap individu,

sehingga dapat dikembangkan lebih lanjut demi kepentingan karyawan itu

sendiri dan perusahaan.

Penilaian terhadap kinerja dapat dilakukan dengan menilai dari

kualitas pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa yang diterima oleh

pelanggan. Jika kinerja karyawan yang memberikan pelayanan

meningkat maka kualitas pelayanan yang diberikan akan ikut meningkat

juga. Penilaian terhadap kualitas pelayanan tersebut dapat dilakukan dengan

18
J. Soeprihanto, Penilaian Kinerja dan Pengembangan Karyawan, Edisi I. Yogyakarta:
Penerbit BPFE, 2003, hlm. 33
19 | U I N WALISONGO SEMARANG
menggunakan skala servqual (service quality). Servqual merupakan skala yang

dibangun atas adanya perbandingan dua faktor utama yaitu persepsi

pelanggan atas layanan nyata yang mereka terima (perceived service)

dengan layanan yang sesungguhnya yang diharapkan diinginkan

(expected service). Dimana dalam skala tersebut diadakan penilaian dengan

lima komponen kualitas pelayanan yaitu assurance (jaminan), empathy,

reliability (keandalan), responsiveness (ketanggapan), dan tangibles (bukti

nyata)19.

Kinerja karyawan mempunyai peranan yang penting dalam

memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kinerja dapat diukur dengan

melihat dari kualitas pelayanan yang dihasilkan. Kualitas layanan adalah

sesuatu yang sulit dipahami dan memerlukan konstruk abstrak untuk

mengukur serta membutuhkan upaya ekstra untuk menetapkan ukuran yang

valid. Untuk keberhasilan organisasi, pengukuran yang akurat mengenai

kualitas layanan sama pentingnya dengan memahami sifat sistem pemberi

pelayanan. Tanpa pengukuran yang valid, akan sulit untuk membangun dan

menerapkan taktik atau strategi yang tepat untuk manajemen kualitas

layanan. Skala yang paling banyak dikenal dan dibahas untuk mengukur

kualitas layanan adalah servqual.

19
A. Parasuraman, dkk, 1990, A Conceptual Model of Service Quality and its Implication for
Future Research, (Journal Of Marketting, Vol. 49, 2009), hlm. 44
20 | U I N WALISONGO SEMARANG
Skala tersebut telah dikembangkan oleh beberapa peneliti di bidang

yang berbeda seperti sebagai broker sekuritas, bank, perusahaan-perusahaan

utilitas, toko retail, dan perbaikan serta pemeliharaan toko. Skala tersebut

juga telah diterapkan pada bidang layanan kesehatan. Parasuraman

mengatakan bahwa kualitas pelayanan adalah konsep eksklusif dan

abstrak karena "hal tersebut tidak dapat diraba" juga sebagai "sesuatu

yang tidak dapat dipisahkan dari produksi dan konsumsi".20 Untuk menilai

kinerja maka indikator yang dipergunakan untuk menilai sejauh mana

pencapaian kinerja seorang adalah dengan mengacu pada pelaksanaan

pekerjaan yang sudah diatur dalam perusahaan.

3. Metode-metode penilaian kinerja

Aspek penting dari suatu sistem penilaian kinerja adalah standar

yang jelas. Sasaran utama dari adanya standar tersebut ialah teridentifikasinya

unsur-unsur kritikal suatu pekerjaan. Standar itulah yang merupakan

tolok ukur seseorang melaksanakan pekerjaannya. Standar yang telah

ditetapkan tersebut harus mempunyai nilai komparatif yang dalam

penerapannya harus dapat berfungsi sebagai alat pembanding antara prestasi

kerja seorang karyawan dengan karyawan lain yang melakukan pekerjaan

sejenis.

20
A. Parasuraman, dkk, 1990, A Conceptual Model of Service Quality and its Implication for
Future Research, (Journal of Marketting, Vol. 49, 2009), hlm. 44
21 | U I N WALISONGO SEMARANG
Metode penilaian prestasi kerja pada umumnya dikelompokkan menjadi

3 macam, yakni: (1) result-based performance evaluation, (2) behavior-

based performance evaluation, (3) judment-based performance

evaluation.21.

a. Penilaian performance bersdasarkan hasil (result-based performance

evaluation). Tipe kriteria performansi ini merumuskan performansi

pekerjaan berdasarkan pencapaian tujuan organisasi, atau mengukur

hasil-hasil akhir (end resuts). Sasaran performansi bisa ditetapkan oleh

manajemen atau oleh kelompok kerja, tetapi jika menginginkan agar para

pekerja meningkatkan produktivitas mereka, maka penetapan sasaran

secara partisipatif, dengan melibatkan para pekerja, akan jauh

berdampak positif terhadap peningkatan produktivitas organisasi.

Praktek penetapan tujuan secara partisipatif, yang biasanya dikenal

dengan istilah Management By Objective (MBO), dianggap sebagai

sasaran motivasi yang sangat strategis karena para pekerja langsung

terlibat dalam keputusan-keputusan perihal tujuan yang telah

ditetapkan sebelumnya. Para pekerja akan cendrung menerima tujuan-

tujuan itu sebagai tujuan mereka sendiri, dan merasa lebih bertanggung

jawab untuk dan selama pelaksanaan pencapaian tujuan-tujuan itu.

b. Penilaian performansi berdasarkan perilaku (behavior-based performance

21
S. P. Robbins, Perilaku Organisasi Edisi Indonesia PT Indeks, Jakarta: Kelompok
Gramedia, 2006, hlm. 78
22 | U I N WALISONGO SEMARANG
evaluation). Tipe kriteria performansi ini mengukur sarana (means)

pencapaian sasaran (goals) dan bukannya hasil akhir (end result).

Dalam praktek, kebanyakan pekerjaan tidak memungkinkan

diberlakukannya ukuran-ukuran performansi yang berdasarkan pada

obyektivitas, karena melibatkan aspek-aspek kualitatif. Jenis kriteria ini

biasanya dikenal dengan BARS (behaviorally anchored rating scale)

dibuat dari critical incidents yang terkait dengan berbagai dimensi

performansi. BARS menganggap bahwa para pekerja bisa memberikan

uraian yang tepat mengenai perilaku atau performansi yang efektif

dan yang tidak efektif. Standar-standar dimunculkan dari diskusi-diskusi

kelompok mengenai kejadian-kejadian kritis di tempat kerja. Sesudah

serangkaian session diskusi, skala dibangun bagi setiap dimensi pekerjaan.

Jika tercapai tingkat persetujuan yang tinggi diantara para penilai maka

BARS dihaarapkan mampu mengukur secara tepat mengenai apa yang

akan diukur. BARS merupakan instrumen yang paling bagus untuk

pelatihan dan produksi dari berbagai departemen. Sifat kolaborasi memakan

waktu yang banyak dan bisa pada jenis pekerjaan tertentu, adalah job

specific, tidak dapat ditransferkan dari satu organisasi ke organisasi lain.

c. Penilaian performansi berdasarkan judgment (judgment-based

performance evaluation). Tipe criteria performansi yang menilai

dan/atau mengevaluasi performansi kerja pekerja berdasarkan

23 | U I N WALISONGO SEMARANG
deskripsi perilaku yang spesifik, quantity of work, quality of work, job

knowledge, cooperation initiative, dependability, personal qualities dan

yang sejenis lainnya. Dimensi-dimensi ini biasanya menjadi perhatian

dari tipe criteria yang satu ini.

1) Quantity of work, jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode

waktu yang ditentukan.

2) Quality of work, kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syarat-syarat

kesesuaian dan kesiapan.

3) Job knowledge, luasnya pengetahuan mengenai

pekerjaan dan keterampilannya.

4) Cooperation, kesediaan untuk bekerja sama dengan orang lain (sesama

anggota organisasi).

5) Initiative, semangat untuk melaksanakan tugas-tugas baru dalam

memperbesar tanggung jawabnya.

6) Personal qualities, menyangkut kepribadian, kepemimpinan, keramah-

tamahan dan integritas pribadi.

4. Indikator Kinerja

Indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif atau kualitatif yang

menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah

ditetapkan22. Sementara menurut Lohman indikator kinerja adalah suatu variable

22
Muhammad Mahsum, Pengukuran Kinerja Sektor Publik: BPFE, 2006, hlm. 71
24 | U I N WALISONGO SEMARANG
yang digunakan untuk mengekspresikan secara kuantitatif efektifitas dan

efisiensi proses dengan pedoman pada target-target dan tujuan organisasi23.

Berdasarkan beberapa definisi diatas, indikator kinerja adalah kriteria

yang digunakan untuk menilai keberhasilan pencapaian tujuan organisasi yang

diwujudkan dalam ukuran-ukuran tertentu. Untuk menilai kinerja organisasi ini

tentu saja diperlukan indikator-indikator atau kriteria-kriteria untuk

mengukurnya secara jelas, tanpa indikator yang jelas tidak akan ada arah yang

dapat digunakan untuk menentukan mana yang relatif lebih efektif diantara

alternatif alokasi sumber daya yang berbeda, alternatif desain-desain organisasi

yang berbeda, dan diantara pilihan-pilihan pendistribusian tugas dan wewenang

yang berbeda.

Dalam organisasi publik, sulit untuk ditemukan alat ukur kinerja yang

sesuai. Bila dikaji dari tujuan dan misi utama dari suatu organisasi publik adalah

untuk memenuhi kebutuhan dan melindungi kepentingan publik. Ukuran kinerja

organisasi publik terlihat sederhana, namun tidaklah demikian kenyataannya,

karena hingga kini belum ditemukan kesepakatan tentang ukuran kinerja

organisasi publik.

Berkaitan dengan kesulitan yang terjadi dalam pengukuran kinerja

organisasi publik ini dikemukakan oleh Agus Dwiyanto bahwa kesulitan dalam

pengukuran kinerja organisasi pelayanan publik sebagian muncul karena tujuan

23
Muhammad Mahsum, Pengukuran Kinerja Sektor Publik: BPFE, 2006, hlm. 71
25 | U I N WALISONGO SEMARANG
dan misi organisasi publik seringkali bukan hanya kabur akan tetapi juga

bersifat multidimensional. Organisasi publik memiliki stakeholders yang jauh

lebih banyak dan kompleks ketimbang organisasi swasta. Stakeholders dari

organisasi publik seringkali memiliki kepentingan yang berbenturan satu dengan

yang lainnya, akibatnya ukuran kinerja organisasi publik dimata para

stakeholders juga menjadi berbeda-beda24.

Berdasarkan pendapat diatas bahwa untuk mengukur kinerja organisasi

publik cukuplah sulit karena bersifat multidimensional karena steakholder

memiliki kepentingan yang berbeda-beda sesuai kebutuhan mereka

masingmasing.

Beberapa indikator yang biasanya digunakan untuk mengukur kinerja

birokrasi publik menurut Agus Dwiyanto dalam bukunya Reformasi kebijakan

Publik indikator-indikator atau kriteria-kriteria kinerja organisasi publik adalah

produktivitas, kualitas layanan, responsivitas, responsibilitas, akuntabilitas.

Indikator-indikator atau kriteria-kriteria tersebut akan dijelaskan sebagai

berikut:

a. Produktivitas

Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi

juga efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai

rasio antara input dengan output.

24
Agus Dwiyanto, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Yogyakarta: BPFE, 2008, hlm.
49.
26 | U I N WALISONGO SEMARANG
Secara mekanis produktivitas merupakan rasio antara keluaran yang

efektif terhadap keseluruhan input yang terdiri dari:

1) Modal

2) Tenaga kerja

3) Bahan baku

4) energi

Simamora (2004: 612) faktor-faktor yang digunakan dalam

pengukuran produktivitas kerja meliputi:

1) Kuantitas kerja

Kuantitas kerja yang dimaksud ialah seberapa banyak yang

dihasilkan dari kinerja karyawan

2) Kualitas kerja

Kualitas kerja mengacu pada kulitas hasil, tidak pada kuantitas

hasil.

3) Ketepatan waktu.

Ketepatan waktu adalah karyawan dalam bekerja sesuai dengan

waktu yang telah ditentukan

b. Kualitas Layanan

Kualitas layanan cenderung menjadi semakin penting dalam

menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Kepuasan masyarakat bisa

menjadi parameter untuk menilai kinerja organisasi publik.

27 | U I N WALISONGO SEMARANG
Keuntungan utama menggunakan kepuasan masyarakat sebagai

indikator kinerja adalah informasi mengenai kepuasan masyarakat sering kali

tersedia secara mudah dan murah yang dapat diperoleh dari media massa dan

diskusi publik.

Jusi dalam Moeljono (2003), beberapa indikator kinerja yang

berdasarkan pelayanan nasabah adalah berupa:

1) Etos kerja

2) Keselarasan nasabah

3) Kemampuan penanganan masalah yang dihadapi nasabah

4) Kepuasan nasabah

5) Perhatian organisasi terhadap karyawan yang cakap/mampu dan dapat

diberdayakan (empowered)

6) Upaya peningkatan mutu

7) Proses yang dilakukan oleh organisasi.

c. Responsivitas

Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali

kebutuhan masyarakat menyusun agenda dan prioritas pelayanan dan

mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan

kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas dimasukan sebagai salah

satu indikator kinerja organisasi publik karena responsivitas secara langsung

menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam menjalankan misi dan

28 | U I N WALISONGO SEMARANG
tujuannya, terutama dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.

Responsivitas sangat diperlukan dalam pelayanan publik karena hal

tersebut merupakan bukti kemampuan organisasi untuk:

1) Mengenali kebutuhan masyarakat

2) Menyusun agenda kerja

3) Memprioritas pelayanan serta mengembangkan program-program kerja

sesuai dengan kebutuhan nasabah

d. Responsibilitas

Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi

publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar

atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit.

Resposibilitas kerja diatranya:

1) Penyelesaiaan kerja

2) Loyalitas kerja

3) Kepatuhan kepada peraturan yang berlaku

e. Akuntabilitas

Akuntabilitas publik menunjukan pada seberapa besar kebijakan dan

kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh

rakyat, asumsinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut karena dipilih

oleh rakyat, dengan sendirinya akan selalu merepresentasikan kepentingan

29 | U I N WALISONGO SEMARANG
rakyat25. Di atara indikator akuntabelitas adalah:

1) Menjalin hubungan dengan masyarakat

2) Pemasaran

3) Mengadakan kegiatan bakti sosial

Berdasarkan pengertian diatas maka untuk mengukur kinerja terdiri dari

produktifitas, kualitas layanan, responsivitas, responsibilitas dan akuntabilitas.

Produktivitas dari suatu organisasi dapat dilihat dari rasio input dan output,

kualitas layanan dapat dilihat dari sumber daya manusia dan kepuasan

masyarakat, responsivitas dapat dilihat dari prosedur dan keinginan masyarakat,

responsibilitas dapat dilihat dari tanggung jawab dan administrasi pelayanan

sedangkan akuntabilitas dapat dilihat dari ukuran target yang dicapai.

Menurut Kumorotomo menggunakan beberapa kriteria dalam menilai

kinerja organisasi pelayanan publik, antara lain adalah berikut ini:

a. Efisiensi

Efisiensi menyangkut pertimbangan tentang keberhasilan organisasi

pelayanan publik mendapatkan laba, memanfaatkan faktor-faktor produksi

serta pertimbangan yang berasal dari rasionalitas ekonomis.

b. Efektivitas

Apakah tujuan dari didirikannya organisasi pelayanan publik tersebut

25
Ibid, hlm. 50-51
30 | U I N WALISONGO SEMARANG
tercapai? Hal tersebut erat kaitannya organisasi rasionalitas teknis, nilai,

misi, tujuan organisasi serta fungsi agen pembangunan. Salah satu faktor

yang berkaitan dengan keberhasilan suatu organisasi adalah kemampuannya

untuk mengukur seberapa baik semua komponen organisasi bekerja dan

menggunakan informasi, guna memastikan bahwa pelaksanaannya

memenuhi standar sekarang dan meningkat sepanjang waktu.

Pada dasarnya pengertian efektifitas yang umum menunjukkan pada

taraf tercapainya hasil, sering atau senantiasa dikaitkan dengan pengertian

efisien, meskipun sebenarnya ada perbedaan diantara keduanya. Efektifitas

menekankan pada hasil yang dicapai, sedangkan efisiensi lebih melihat pada

bagaimana cara mencapai hasil yang dicapai itu dengan membandingkan

antara input dan outputnya.

c. Keadilan

Keadilan mempertanyakan distribusi dan alokasi layanan yang

diselenggarakan oleh organisasi pelayanan publik.

d. Daya Tanggap

Berlainan dengan bisnis yang dilaksanakan oleh perusahaan swasta,

organisasi pelayanan publik merupakan bagian dari daya tanggap negara atau

pemerintah akan kebutuhan vital masyarakat. Oleh sebab itu, kriteria

organisasi tersebut secara keseluruhan harus dapat dipertanggungjawabkan

31 | U I N WALISONGO SEMARANG
secara transparan demi memenuhi kriteria daya tanggap ini26.

Berdasarkan pendapat diatas maka selain pendapat dari teori Agus

Dwiyanto, untuk mengukur kinerja organisasi publik dapat di ukur dari

efisiensi, efektifitas, keadilan dan daya tangkap. Keempat ukuran ini saling

berhubungan satu dengan yang lainnya, dari mulai pertimbangan dari suatu

manfaat yang didapat yang sesuai dengan visi dan misi yang ditentukan

sehingga keadilan akan dirasakan yang kemudian daya tangkap kepada

masyarakat akan lebih optimal.

Sedangkan menurut Mahsun dalam bukunya Pengukuran Kinerja Sektor

Publik terdapat beberapa indikator dalam kinerja organisasi ialah sebagai

berikut:

a. Masukan (input) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan

kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran. Indikator ini

mengukur jumlah sumber daya seperti dana, SDM dan sumber daya yang

dimiliki.

b. Proses, dalam inidikator proses, organisasi merumuskan ukuran kegiatan,

baik dari segi kecepatan, ketetapan, maupun tingkat akurasi pelaksanaan

kegiatan tersebut. Rambu yang paling dominan dalam proses adalah tingkat

efisiensi dan ekonomis pelaksanaan kegiatan organisasi. Efisiensi berati

besarnya hasil yang diperoleh dengan pemanfaatan sejumlah masukan.

26
Ibid, hlm. 52-53
32 | U I N WALISONGO SEMARANG
Sedangkan ekonomis adalah bahwa suatu kegiatan dilaksanakan lebih murah

dibandingkan dengan standar biaya dan waktu yang telah ditentukan untuk

itu.

c. Keluaran (output) adalah sesuatu yang diharapkan langsung dapat dicapai

dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik atau nonfisik. Tolok ukur

keluaran digunakan untuk mengukur keluaran yang dihasilkan dari suatu

kegiatan.

d. Hasil (Outcomes) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya

keluaran kegiatan pada jangka menengah (efek langsung). Indikator keluaran

lebih utama dari sekedar keluaran. Outcomes menggambarkan tingkat

pencapaian atas hasil yang lebih tinggi yang mungkin mencangkup

kepentingan banyak pihak.

e. Manfaat (Benefit) adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari

pelaksanaan kegiatan. Indikator manfaat menggambarkan manfaat yang

diperoleh dari indikator hasil. Manfaat tersebut akan dirasakan setelah

beberapa waktu kemudian, khususnya dalam jangka menengah dan panjang.

f. Dampak (Impact) adalah pengaruh yang ditimbulkan baik positif ataupun

negatif27.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas bahwa kinerja organisasi

sebenarnya dapat dilihat melalui berbagai dimensi seperti dimensi dari mulai

27
Mahsun, Op. Cit, hlm. 77-78
33 | U I N WALISONGO SEMARANG
produktifitas, kualitas layanan, akuntabilitas, efisiensi, efektivitas, responsivitas,

responsibilitas, keadilan, daya tangkap, masukan, proses, keluaran, hasil,

manfaat bahkan dampak dari suatu kebijakan atau program tersebut, setiap

dimensi saling berkesinambungan satu dengan yang lainnya.

Produktifitas, tidak hanya mengukur efisiensi seperti menyangkut

tentang keberhasilan organisasi pelayanan publik mendapatkan laba,

memanfaatkan faktor-faktor produksi serta pertimbangan yang berasal dari

rasionalitas ekonomis tetapi juga efektifitas di dalam suatu organisasi apakah

tujuan dari didirikannya organisasi pelayanan publik tersebut tercapai ataukah

belum sehingga dapat mengukur kemampuan suatu organisasi atau instansi

untuk seberapa baik semua komponen organisasi bekerja dan menggunakan

informasi, guna memastikan bahwa pelaksanaannya memenuhi standar sekarang

dan meningkat sepanjang waktu.

Apabila efektivitas sudah tercapai sesuai harapan didapat suatu rasio

antara input dan output dari suatu kegiatan atau program disuatu organisasi atau

instansi, sehingga dihasilkan suatu kualitas layanan yang baik yang diharapkan

sesuai tujuan yang telah ditetapkan dan dapat meningkatkan kinerja disuatu

organisasi sehingga masyarakat mendapatkan pelayanan yang maksimal.

Adanya kualitas layanan yang baik maka kinerja organisasi akan sangat respon

terhadap kebutuhan masyarakat.

Responsivitas sangat diperlukan karena merupakan bukti

34 | U I N WALISONGO SEMARANG
kemampuanvorganisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun

agenda, dan mengembangan program-program pelayanan publik. Adanya

responsivitas ini maka keadilan dalam suatu organisasi dapat dirasakan.

Responsivitas dapat berpengaruh ke dalam responsibilitas karena responsibilitas

dapat menggambarkan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu

dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai

dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit, sehingga

akuntabilitas di dalam suatu organisasi akan lebih pro rakyat dan kebijakan-

kebijakan yang dihasilkan di dalam program-program kerja suatu organisasi

dapat mensejahterakan rakyatnya agar manfaat dari kebijakan tersebut akan

terasa oleh semua pihak, baik masyarakat ataupun instansi atau organisasi yang

mengelola kebijakan tersebut.

Kebijakan tersebut akan bermanfaat dan tidak percuma dengan adanya

kebijakan yang telah dibuat agar dampak yang dihasilkan dari setiap kebijakan

yang dikeluarkan akan lebih mementingkan kebutuhan masyarakat, sehingga

masyarakat akan patuh dan tunduk terhadap kebijakan yang telah dibuat.

Dimensi-dimensi didalam mengukur indikator kinerja organisasi pada

dasarnya memiliki kesamaan substansial yakni untuk melihat seberapa jauh

tingkat pencapaian hasil yang telah dilakukan oleh birokrasi pelayanan atau

instansi tersebut apakah sesuai atau tidak dengan tujuan yang telah ditetapkan

sebelumnya. Kinerja organisasi merupakan suatu konsep yang disusun dari

35 | U I N WALISONGO SEMARANG
berbagai indikator yang sangat bervariasi sesuai dengan fokus dan konteks

penggunaannya untuk mencapai tujuan yang telah atau ingin dicapai oleh suatu

organisasi atau instansi.

C. Konsep Strategi

Strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan dan dalam

perkembangannya konsep mengenai strategi terus berkembang. Hal ini dapat

ditujukkan oleh adanya perbedaan konsep mengenai strategi selama 30 tahun

terakhir. Menurut Porter strategi adalah suatu alat yang sangat penting untuk

mencapai keunggulan bersaing28. Senada dengan itu, Hamel dan Pharalad juga

mengatakan strategi merupakan tindakan yang bersifat incremental (senantiasa

meningkat) dan terusmenerus, dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa

yang diharapkan oleh pelanggan di masa depan29.

Perencanaan strategis hampir selalu dimulai dari apa yang dapat terjadi,

bukan dimulai dari apa yang terjadi. Terjadinya kecepatan inovasi pasar baru dan

perubahan pola konsumen memerlukan inti (core competencies). Perusahaan

perlu mencari kompetisi inti dalam bisnis yang dilakukan.

Pemahaman yang baik mengenai konsep strategis dan konsep-konsep

lain yang berkaitan, sangat menentukan suksesnya strategi yang disusun. Konsep-

konsep tersebut yaitu:

28
Freddy Rangkuti, The Power of Brand, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004, hlm. 4
29
Ibid
36 | U I N WALISONGO SEMARANG
1. Distinctive Competence yaitu tindakan yang dilakukan oleh perusahaan agar

dapat melakukan kegiatan lebih baik dibandingkan dengan pesaingnya.

2. Competitive Advantage yaitu kegiatan spesifik yang dikembangkan oleh

perusahaan agar lebih unggul dibandingkan dengan pesaingnya.

Menurut pendapat Rangkuti strategi dapat dikelompokkan berdasarkan 3

(tiga) tipe strategi30, yaitu:

1. Strategi Manajemen

Strategi manajemen meliputi strategi yang dapat dilakukan oleh

manajemen dengan orientasi pengembangan strategi secara makro misalnya,

strategi pengembangan produk, strategi penerapan harga, strategi

pengembangan produk, strategi akuisi, strategi pengembangan pasar, strategi

mengenai keuangan dan sebagainya.

2. Strategi Investasi

Strategi investasi merupakan kegiatan yang berorientasi pada investasi,

misalnya, apakah perusahaan ini melakukan strategi pertumbuhan yang agresif

atau berusaha mengadakan penetrasi pasar, strategi bertahan, strategi

pembangunan kembali suatu divisi baru atau strategi diiventasi, dan

sebagainya.

3. Strategi Bisnis

Strategi bisnis ini juga disebut strategi bisnis secara fungsional karena

30
Ibid, hlm. 6
37 | U I N WALISONGO SEMARANG
bisnis ini berorientasi kepada fungsi-fungsi kegiatan manajemen, misalnya

strategi pemasaran, strategi produksi atau operasional, strategi distribusi,

strategi organisasi, dan strategi-strategi yang berhubungan dengan keuangan.

D. Lembaga Keuangan Islam (LKI)

1. Sejarah dan Macam-macam Lembaga Keuangan Syari’ah

Lembaga keuangan Syari’ah dibentuk sebagai perwujudan dari adanya

kesadaran masyarakat terhadap aplikasi ajaran Islam dengan menggunakan

system ekonomi Islam, yakni sistem ekonomi yang dilaksanakan dalam praktek

(penerapan ilmu ekonomi) sehari-hari bagi individu, keluarga, kelompok

masyarakat maupun pemerintah atau penguasa dalam rangka mengorganisasi

factor produksi, distribusi dan pemanfaatan barang dan jasa yang dihasilkan

tunduk dalam peraturan atau perundang-undangan Islam31. Sehingga lembaga

keuangan syari’ah merupakan lembaga keuangan yang menggunakan prinsip-

prinsip Islam (syari’ah) sebagai landasan opresionalnya. Dengan demikian

semua transaksi yang dioperasionalkan tidak lepas dari aturan syari’at dan

tidak bertentangan dengannya.

Keberadaan lembaga keuangan syari’ah pada awalnya dirintis dari

adanya sidang menteri luar negri OKI di Benghazi, Libya, Maret 1973.

kemudian pada bulan Juli 1973, komite ahli yang mewakili negara-negara

31
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 14
38 | U I N WALISONGO SEMARANG
Islam penghasil minyak, bertemu di Jeddah untuk membicarakan berdirinya

bank syari’ah. Rancangan pendirian bank tersebut berupa anggaran dasar dan

anggaran rumah tangga, dibahas pada pertemuan kedua, Mei 1974. Sidang

menteri keuangan OKI di Jeddah 1975, menyetujui rancangan pendirian bank

pembangunan Islami atau Islamic Development Bank (IDB) dengan modal

awal 2 Milyar dinar Islam32.

Dengan berdirinya IDB telah memotivasi banyak negara Islam untuk

lembaga keuangan syari’ah. Untuk itu, komite ahli IDB pun bekerja keras

menyiapkan panduan tentang pendirian, peraturan, dan pengawasan bank

syari’ah. Kerja keras ini membuahkan hasil sehingga pada akhir tahun 1970-an

dan awal dekade 80-an, bank-bank syari’ah bermunculan di Mesir, Sudan,

negaranegara Teluk, Pakistan, Iran, Malasyia, Bangladesh serta Turki. Secara

garis besar lembaga-lembaga tersebut dapat dimasukkan ke dalam dua

kategori. Pertama, bank Islam (Islamic Comersial Bank), kedua, lembaga

investasi dalam bentuk international holding companies33.

Bank-bank yang masuk dalam kategori pertama di antaranya:

a. Faisal Islamic Bank

b. Kuwait Finance House

c. Dubai Islamic Bank

32
Muhammad Syafi’i Antonio, Perbankan Syari’ah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema
Insani Press, 2000, hlm. 20
33
Muhammad Syafi’i Antonio, Perbankan Syari’ah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema
Insani Press, 2000, hlm. 21
39 | U I N WALISONGO SEMARANG
d. Jordan Islamic Bank for Finance and Investment

e. Bahrain Islamic Bank

f. Islamic International Bank for Investment and Development

Adapun yang masuk dalam kategori kedua adalah:

a. Dar al-Mal al-Islami

b. Islamic Investment Company of the Gulf

c. Bahrain Islamic Investment Bank

d. Islamic Investment House

Pada perkembangan berikutnya, perkembangan lembaga keuangan

syari’ah begitu pesat di berbagai negara muslim, termasuk Indonesia. Pada

awal periode 1980-an, diskusi mengenai bank syari’ah sebagai pilar ekonomi

Islam di Indonesia mulai dilakukan. Para tokoh yang terlibat dalam kajian

tersebut adalah Karnaen A. Perwaatmaja, M. Dawam Raharjo, A.M. saefuddin,

M. Amin Aziz dan lain-lain. Beberapa uji coba dalam skala yang relatif

terbatas telah diwujudkan. Di antaranya adalah baitul al-Tamwil Salman,

Bandung yang tumbuh mengesankan. Di Jakarta juga dibentuk lembaga serupa

dalam bentuk koperasi, yakni koperasi ridlo Gusti. Akan tetapi prakarsa lebih

khusus untuk mendirikan bank Islam di Indonesia baru dilakukan pada tahun

1990. Majlis Ulama Indonesia pada tanggal 18-20 Agustus 1990 mengadakan

lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua Bogor. Hasil lokakarya

tersebut, dibahas secara lebih mendalam pada musyawarah nasional IV MUI

40 | U I N WALISONGO SEMARANG
yang berlangsung di hotel Syahid Jakarta pada tanggal 22-25 Agustus 1990.

Berdasarkan amanat Munas tersebut dibentuk kelompok kerja untuk

mendirikan bank Islam Indonesia34. Akhirnya tanggal 1 November 1991

dilakukan penandatanganan akta pendirian Bank Muamalat Indonesia oleh 200

orang pendiri dengan total modal dasar Rp. 500 miliar35.

Perkembangan bank Syari’ah begitu pesat saat era reformasi tiba yakni

dengan disetujuinya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. dalam undang-

undang tersebut diatur secara rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang

dapat diopreasionalkan dan diimplementasikan oleh bank syari’ah. Undang-

undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk

membuka cabang syari’ah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi

bank syari’ah.

Peluang tersebut ternyata disambut antusias oleh masyarakat

perbankan. Sejumlah bank mulai memberikan pelatihan dalam bidang

perbankan syari’ah bagi para stafnya. Sebagian bank tersebut ingin menjajaki

untuk membuka devisi atau cabang syari’ah dalam institusinya. Bahkan ada

ingin melakukan mengkonversi secara total. Bank-bank tersebut di antaranya

adalah Bank Syari’ah Mandiri (BSM) yang merupakan bank pemerintah yang

melandaskan opresionalnya pada prinsip syari’ah. Secara struktural, BSM

berasal dari bank Susila Bakti sebagai salah satu anak perusahaan dari Bank

34
Muhammad Syafi’i Antonio, “Perbankan Syari’ah dari Teori ke Praktek”, Jakarta: Gema
Insani Press, 2000, hlm. 25
35
Suhrawardi K. Lubis, “Hukum Ekonomi Islam”, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 58
41 | U I N WALISONGO SEMARANG
Mandiri.

Perkembangan lainnya adalah diperkenankannya konversi cabang bank

umum konvensional menjadi cabang syari’ah. Beberapa bank ini adalah:

a. Bank IFI

b. Bank Niaga

c. Bank BTN

d. Bank Mega

e. Bank BRI

f. Bank Bukopin

g. BPD JABAR

h. BPD Aceh

Lembaga keuangan syari’ah di samping berbentuk bank sebagaimana di

atas, terdapat juga Badan Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS). Selain itu

terdapat pula lembaga keuangan non bank yang dikenal dengan baitul mal wat-

tamwil (BMT).

2. Produk dan Kinerja Lembaga Keuangan Syari’ah

Produk dan kinerja lembaga keuangan syari’ah tentu tidak lepas dari

landasan syari’ah. Dengan demikian, lembaga keuangan syari’ah selalu

mengacu pada konsep fiqih muamalah maaliyah.

Lembaga keuangan syari’ah secara konsepsional dilaksanakan dengan

maksud menghindarkan riba dengan segala praktik dan inovasinya, yang

42 | U I N WALISONGO SEMARANG
memiliki dua sifat utama yakni bunga berlipat dan aniaya. Selain itu, juga

untuk membangun budaya baru dalam pengelolaan perbankan yang mendapat

titipan dana dari masyarakat, dengan menghindari penentuan prosentase bunga

yang pasti untung, sebelum dilakukan36. Karena dalam pengeluaran produk dan

operasionalisasi mengacu pada fiqih muamalah, maka akad-akad yang telah

ada dalam fiqih muamalah digunakan dengan menkontekstualisasikan dalam

era kekinian. Produk-produk tersebut adalah:

a. Al-Wadi’ah (titipan, yang merupakan amanat di tangan penerima titipan)37.

Pemilik modal menitipkan atau menyimpan uangnya di BMT (bank), dan

pengusaha menjalankan usahanya dengan meminjam uang dari BMT

(bank)38. Ini merupakan prinsip dasar yang mengacu pada konsep fiqih

muamalah yang dikembangkan menjadi al-wadi’ah yad al-dhamanah yang

dalam aplikasi perbankannya untuk tujuan current account (giro) dan saving

account (tabungan berjangka). Sebagai konsekuensi yad ad-dhamanah

semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik

bank. Sebagai imbalan, orang yang menyimpan mendapat jaminan

keamanan terhadap hartanya, demikian juga fasilitas-fasilitas giro lainnya39.

36
Ahmad Rofiq, “Fiqih Kontekstual”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 23
37
Abi Abdillah Muhammad Bin Qasim, “Tausyiyah Ala Ibnu Qasim”, Jeddah: Al-Haramaian,
tt, hlm. 181
38
Ahmad Rofiq, “Fiqih Aktual”, Semarang: Mediatama Press, 2004, hlm. 201-202
39
Muhammad Syafi’i Antonio, “Perbankan Syari’ah dari Teori ke Praktek”, Jakarta: Gema
Insani Press, 2000, hlm. 87
43 | U I N WALISONGO SEMARANG
b. Al-Musyarakah (project financing participation) yang terdiri dari syirkah

al-‘inan, muwafadhah, a’mal, wujuh dan syirkah mudharabah. Dalam

aplikasi perbankannya dipakai untuk: pertama, untuk pembiayaan proyek di

mana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai

proyek tersebut. Setelah proyek selesai nasabah mengembalikan dana

tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati bank. Kedua, modal

ventura yakni melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan40.

c. Al-Mudharabah (Trust Vinancing, Trust Investment), yang terdiri dari

mudharabah mutlaqah, dan mudharabah muqayyadah. Aplikasi

perbankannya dalam bentuk tabungan berjangka, deposito spesial,

pembiayaan modal kerja dan investasi khusus41.

d. Al-Muzara’ah (Harvest-Yield Shoft Sharing) yakni kerjasama pengolahan

pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, di mana pemilik lahan

memberikan lahan pertanian kepada sipenggarap untuk ditanami dan

pemelihara mendapat prosentase dari hasil panen. Dalam hal ini lembaga

keuangan syari’ah dapat memberikan modal bagi nasabah yang bergerak

dalam bidang planatation atas dasar prinsip bagi hasil dari panen42.

40
Muhammad Syafi’i Antonio, “Perbankan Syari’ah dari Teori ke Praktek”, Jakarta: Gema
Insani Press, 2000, hlm. 93
41
Muhammad Syafi’i Antonio, “Perbankan Syari’ah dari Teori ke Praktek”, Jakarta: Gema
Insani Press, 2000, hlm. 97
42
Muhammad Syafi’i Antonio, “Perbankan Syari’ah dari Teori ke Praktek”, Jakarta: Gema
Insani Press, 2000, hlm. 99
44 | U I N WALISONGO SEMARANG
e. Al-Musaqah (Plantation Management Fee Based) yakni bentuk yang lebih

sederhana dari muzara’ah di mana si penggarap hanya bertanggung jawab

atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan si penggarap mendapat

nisbah tertentu dari hasil panen43.

f. Bai’ al-Murabahah (defered payment sale) yakni jual beli barang pada

harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Aplikasi dalam

perbankan diterapkan pada produk pembiayaan untuk pembelian barang-

barang investasi, baik domestik maupun luar negri seperti melalui letter of

credit44.

g. Bai As-salam (in front payment sale), yang dalam aplikasi perbankannya

pembiayaan bagi petani dengan jangkan waktu yang relatif pendek yaitu 2-6

bulan. Di samping itu juga untuk industri misalnya produk garmen yang

ukuran barang tersebut sudah dikenal umum45.

Dengan berbagai produk dan aplikasinya dalam perbankan, maka dapat

diketahui bahwa kinerja lembaga keuangan syari’ah mengacu pada prinsip non

bunga yang diterapkan pada lembaga keuangan konvensional. Letak perbedaan

ini sangat penting, karena yang dilarang dalam Islam adalah adanya unsur riba

dalam transaksi. Walaupun bunga masih menyimpan kontroversi apakah

43
Muhammad Syafi’i Antonio, “Perbankan Syari’ah dari Teori ke Praktek”, Jakarta: Gema
Insani Press, 2000, hlm. 100
44
Muhammad Syafi’i Antonio, “Perbankan Syari’ah dari Teori ke Praktek”, Jakarta: Gema
Insani Press, 2000, hlm. 101
45
Muhammad Syafi’i Antonio, “Perbankan Syari’ah dari Teori ke Praktek”, Jakarta: Gema
Insani Press, 2000, hlm. 108
45 | U I N WALISONGO SEMARANG
termasuk riba atau bukan, tetapi lembaga keuangan syariah mampu

menghindari unsur bunga yang kontroversial.

46 | U I N WALISONGO SEMARANG
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sumber daya alam hayati Indonesia yang meliputi tumbuhan dan satwa

serta ekosistemnya mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi

kehidupan. Oleh karena itu perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari,

selaras, serasi, dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat.

Undang-Undang Republik Indonesia No.5 Tahun 1990 menjelaskan bahwa

tumbuhan adalah semua jenis sumber daya alam nabati, baik yang hidup di

darat maupun di air, sedangkan satwa adalah semua jenis sumber daya

alam hewani yang hidup di darat, di air atau di udara. Sumber daya alam

hayati ada yang dikategorikan sebagai tumbuhan liar dan satwa liar.

Tumbuhan liar adalah tumbuhan yang hidup di alam bebas, yang masih

mempunyai kemurnian jenisnya, sedangkan satwa liar adalah semua

binatang yang hidup di darat, di air atau di udara yang masih mempunyai

sifat-sifat liar (Undang-Undang Republik Indonesia No.5 Tahun 1990).

Salah satu satwa liar yang dilindungi oleh Undang-Undang Republik

Indonesia No.5 Tahun 1990 adalah gajah sumatera (Elephas maximus

sumatranus). Spesies ini juga terdaftar dalam red list book IUCN

(International Union for the Conservation of Nature and Natural


2

Resources/ The World Conservation Union) dengan status terancam

punah, sementara itu CITES (Convention On International Trade In

Endangered Spesies Of Wild Fauna and Flora) atau Konvensi tentang

Perdagangan International Satwa dan Tumbuhan mengkategorikan status

gajah sumatera dalam kelompok Appendix I, tidak boleh diperdagangkan

secara internasional.

Gajah sumatera merupakan subspesies dari gajah asia, spesies ini hanya

ditemukan di Sumatera. Gajah membutuhkan habitat yang memiliki daya

dukung yang baik untuk mendukung kelestarian hidupnya. Habitat yang

sesuai untuk kelangsungan hidup gajah adalah hutan sekunder dengan

sumber air yang cukup (Saleh dan Adriani, 2005). Jenis tumbuhan pakan

gajah yang banyak terdapat pada hutan sekunder adalah jenis tumbuhan

dari suku Dipterocarpaceae diantaranya adalah Shorea leprosula, dan

Hopea sp. (Hamid, 2001). Salah satu habitat gajah sumatera yaitu di

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Tipe ekosistem

penyusun TNBBS diantaranya terdiri dari hutan pantai, hutan hujan

dataran rendah, dan hutan hujan pegunungan rendah. Tipe ini cukup

sesuai dengan tipe habitat yang dibutuhkan oleh gajah. Kawasan Bukit

Barisan Selatan ditetapkan sebagai taman nasional melalui Surat

Pernyataan Menteri Pertanian No.736/Mentan/X/1982 tanggal 14 Oktober

1982 seluas 356.800 Ha (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan

Pelestarian Alam, 2012).


3

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan memiliki daerah pembagian

wilayah yang terdiri dari 17 resort dan 4 seksi. Salah satu resort yang

menjadi wilayah TNBBS adalah Resort Pemerihan. Resort Pemerihan

termasuk dalam wilayah Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN)

Wilayah II Bengkunat. Luas wilayah Resort Pemerihan mencapai 17.902

ha. Wilayah Pemerihan merupakan daerah yang memiliki intensitas yang

tinggi untuk terjadinya konflik antara manusia dan gajah, hal ini terjadi

karena wilayah ini merupakan daerah jelajah gajah sumatera (Sukmara dan

Dewi, 2012).

Daya dukung lingkungan keberadaan kawasan TNBBS untuk

kelangsungan hidup gajah sangat diperlukan, oleh karenanya sangat

dibutuhkan informasi dasar tentang ketersedian pakan gajah berdasarkan

keragaman ekosistemnya.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah melakukan inventarisasi jenis pakan gajah

sumatera berdasarkan tipe habitat dan intensitas penggunaan tipe habitat

oleh gajah, dan mempelajari distribusi tumbuhan pakan gajah.

C. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar mengenai

jenis dan distribusi pakan gajah untuk mendukung upaya pelestarian gajah

sumatera.
4

D. Kerangka Pemikiran

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan merupakan taman nasional ketiga

terluas, dari 10 taman nasional yang ada di Pulau Sumatera (World Wide

Fund for Nature, 2013). Taman nasional ini merupakan habitat alami bagi

berbagai satwa yang dilindungi, salah satu di antaranya adalah gajah

sumatera. Agar dapat melangsungkan hidupnya, gajah membutuhkan

habitat yang memenuhi persyaratan di antaranya ketersediaan pakan dan

kesesuaian tempat untuk melangsungkan aktivitas hariannya. Aktivitas

harian gajah yang paling tinggi adalah aktivitas makan.

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan merupakan salah satu habitat gajah

sumatera. Beberapa kawasan di TNBBS telah terjadi alih fungsi. Tutupan

lahan secara umum terdiri dari perkebunan kopi, coklat serta belukar yang

terdiri dari rerumputan serta perdu dan pohon (Jonotoro dkk., 2008).

Namun, pada areal tertentu masih terdapat ekosistem alami dengan kondisi

yang masih baik yaitu di Resort Pemerihan.

Upaya mempertahankan keberadaan dan pelestarian gajah terus dilakukan.

Penelitian untuk mengetahui keragaman jenis pakan gajah berdasarkan

beberapa tipe habitat dan intensitas penggunaan tipe habitat oleh gajah

telah dilakukan. Dengan telah dilakukannya penelitian mengenai

keragaman jenis pakan gajah, diharapkan juga dapat mengetahui distribusi

tumbuhan pakan gajah di Resort Pemerihan.


Edisi Khusus Masalah Cendana NTT
Berita Biologi, Volume 5, NomorS, Agustus 2001

POTENSISUMBER DAYA HAYATI SEBAGAI PENUNJANG


PEMBANGUNAN DAERAH YANG BERKELANJUTAN

Aca Sugandhy

Pemerhati masalah pengelolaan keanekaragaman hayati dan pembangunan daerah


berbasis keanekaragaman hayati setempat, pakar tata ruang
dan pakar pengelolaan lingkungan hidup

ABSTRAK
Konsep perabangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia selatna ini belum diimplementasikan sebagaimana mestinya.
Pembangunan yang dijalankan selama ini masih menitikberatkan pada aspek ekonomi dan meninggalkan aspek konservasi jauh di belakang.
Akibatnya adalah menurunnya kualitas lingkungan hidup yang terjadi di mana-mana, termasuk degradasi lahan, penurunan fiingsi dan
produktivitas lahan serta meningkatnya berbagai bentuk bencana alam. Untuk itu kebutuhan manusia dan kegiatannya haras diselaraskan
dengan pemeliharaan keanekaragaman hayati. Pendekatan keterpaduan ini dijabarkan dalam pengelolaan bioregional yang mewadahi dan
menitikberatkan konservasi keanekaragaman hayati dan peran serta masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam.

Kata kunci: Pembangunan berkelanjutan, degradasi lahan, kualitas lingkungan, sumberdaya alam, konservasi, keanekaragaman hayati.

PENDAHULUAN sampai pegunungan tinggi mendukung adanya


Disepakatinya agenda otonomi daerah kehidupan flora, fauna yang beraneka macam.
sebagai bagian dari desentralisasi pembangunan Masing-masing wilayah Indonesia memiliki
memiliki implikasi penataan kelembagaan baik di potensi sumberdaya hayati yang berbeda-beda
tingkat nasional, propinsi, maupun kabupaten dan karena perbedaan kondisi lingkungan pada masing-
kota. Beberapa pertanyaan mengenai kesiapan masing wilayah. Perbedaan tersebut memunculkan
daerah dalam melaksanakan otonomi daerah sudah adanya keanekaragaman hayati setempat
bukan lagi menjadi isu yang penting diperdebatkan, (biodiversity regional), di mana masing-masing
akan lebih penting memperdebatkan bagaimana wilayah berdasarkan batasan geografi dari
kelembagaan yang ada ditransformasikan menjadi komunitas masyarakat dan sistem ekologi akan
lembaga yang sesuai dengan amanat maupun memiliki kekayaan hayati yang spesifik.
semangat dari otonomi daerah. Demikian juga dalam kaitannya dengan
Dengan berlakunya Undang-Undang No. 22 upaya pemenuhan kebutuhan daerah secara mandiri
Tahun 1999 mengenai Pemerintahan di Daerah dan dalam rangka otonomi daerah. Kekhasan atau
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang keunikan kekayaan keanekaragaman hayati daerah
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, maka pada dasarnya dapat digali potensinya untuk
diperlukan kesiapan di daerah untuk otonomi yang mendukung pemenuhan kebutuhan daerah akan
luas, yang mencakup pula tinjauan potensi sumber- pangan, sandang, obat-obatan dan papan secara
sumber daya pembangunan dan pengelolaan mandiri. Terlebih lagi, potensi keanekaragaman
berkelanjutan dari sumber daya tersebut. Berbagai hayati mempunyai sifat dapat mereproduksi diri
upaya harus digalang untuk menggali potensi- secara alami ataupun dengan bantuan budidaya atau
potensi sumber daya alam suatu daerah (propinsi agroteknologi. Propinsi Nusa Tenggara Timur
atau kabupaten/kota) bagi peningkatan pendapatan perlu segera mengantisipasi otonomi daerah
asli daerah sebagai sumber pembangunan dengan mengeksplorasi potensi sumberdaya alam
daerahnya. yang dimiliki untuk dikelola lebih lanjut dengan
Wilayah Indonesia yang luas dengan azas kelestarian sumber daya maupun kelestarian
beraneka macam kondisi mulai dari dataran rendah usaha. NTT sesungguhnya memiliki potensi besar

461
Sugandhy- SDA sebagai Penunjang Pembangunan Daerah

untuk mengembangkan sumber daya hayati seperti Ketergantungan terhadap bahan baku maupun
petemakan, pertanian/perkebunan lontar, gewang, bahan penunjang produksi dari luar tersebut
jeruk dan cendana. menyebabkan petani tidak menjadi orang bebas,
Peningkatan upaya budidaya pada oleh karena itu untuk kembali memberdayakan
keanekaragaman hayati unggulan daerah yang petani maka kebebasan mereka atas sumber-sumber
dibarengi dengan pengembangan agroindustri dan produksi hayati harus dikembalikan kepada
pengkajian pasar secara terpadu akan mampu mereka. Mereka diberikan peluang untuk
menumbuhkan pola pengelolaan keanekaragaman membudidayakan bibit-bibit lokal yang sudah ada.
hayati yang berkelanjutan dan mendukung Bila hal ini dilakukan maka ketergantungan petani
perekonomian daerah yang mempunyai daya saing, dari jaringan internasional industri bibit akan
daya banding dan berwawasan lingkungan. hilang serta akan memunculkan kekuatan lokal.
Krisis ekonomi yang menyebabkan naiknya
LATAR BELAKANG PERMASALAHAN harga kebutuhan pokok telah menimbulkan
Kekayaan keanekaragaman hayati yang kita berbagai kerusuhan. Kerusuhan ini bahkan telah
miliki hingga saat ini belum dimanfaatkan secara menembus sampai kawasan pedesaan atau kawasan
optimal. Seharusnya dengan kekayaan hayati pinggiran kota, hal ini disebabkan desa telah
tersebut penyediaan bahan kebutuhan, khususnya kehilangan daya tahan menghadapi krisis. Kultur
yang berdasar sumber daya hayati dapat kita penuhi agraris yang menjadi basis pertahanan ekonomi
sendiri. Swasembada bahan pokok seharusnya desa telah hilang ataupun ditinggalkan, diganti
dapat kita lakukan. Swasembada pangan yang kita dengan pola modern yang tergantung pada industri.
lakukan masih mengalami hambatan, sebab Sementara industri yang diharapkan mampu
meskipun negara kita hidup dalam pola agraris menopang sektor pertanian, kondisinya sangat
akan tetapi ketergantungan terhadap input unsur rentan dan keropos karena ketergantungan pada
produksi dari luar guna pengembangan agro- bahan baku impor. Kebijakan tegas untuk
industri baik hulunya maupun hilirnya tidak dapat meninggalkan kultur agraris karena ada pandangan
dilepaskan. Sebagai contoh, dalam hal pengadaan bahwa pola pertanian yang ada selama ini tidak
beras, melalui panca usaha tani pemerintah memberikan nilai tambah sangatlah naif. Nilai
mengharuskan petani menggunakan varietas benih tambah yang dimaksud dalam konteks tersebut
unggul padi yang awalnya hanya dimaksudkan adalah yang bisa memberikan kontribusi devisa,
untuk memenuhi kebutuhan baku beras (kg- bukan dalam pengertian mampu memberikan daya
perkapita-pertahun). Padahal seperti kita ketahui hidup pada komunitas desa. Bahkan
padi tersebut tidak dapat tumbuh tanpa dipupuk dan kecenderungannya adalah merubah kawasan
diberi pestisida. Hal tersebut mengakibatkan petani pedesaan yang mampu mandiri berbasis pertanian
sangat tergantung pada industri pupuk dan keanekaragaman hayati sebagai ajang konservasi
pestisida, padahal tidak ada satupun industri menjadi kawasan industri dan kawasan pemukiman
tersebut yang bahan bakunya tidak tergantung perkotaan (lihat kasus kawasan pedesaan sekitar
impor, sehingga begitu dolar AS naik maka Jabotabek).
harganyapun ikut naik dan dampaknya sampai Ketahanan kita akan kebutuhan bahan pokok
kepada sektor pertanian. Yang menjadi kunci sangatlah kurang, karena investasi yang ada selama
permasalahan adalah mengapa pasokan hulu dan ini sebagian besar bukan untuk pembangunan
hilir tidak dikembangkan secara mandiri di tingkat industri yang berbasis sumber daya alam hayati
lokal dan nasional. (agroindustri). Tempe yang merupakan makanan

462
Edisi Khusus Masalah Cendana NTT
Berita Biologi, Volume 5, Nomor 5, Agustus 2001

Indonesia sejak dahulu kala, ternyata hingga kini Kebutuhan manusia dan kegiatannya harus
kita belum mampu menjadi produsen bahan baku diselaraskan dengan pemeliharaan keanekaragaman
kedelainya. Kedelai yang telah lama kita kenal hayati dan kawasan konservasi harus dipadukan
hingga kini masih hams diimpor. Kesemuanya itu dengan lingkungan alam dan lingkungan buatan
disebabkan karena kita belum pernah mengadakan sekitarnya. Perencanaan kebun, hutan, areal
penelitian bio-teknologi yang dapat mendukung peternakan, perikanan dan pemukiman harus
pola agraris yang kita miliki agar efisien. Penelitian segaris dengan proyek restorasi lahan, rehabilitasi
yang ada selama ini bukan membumi tetapi menuju dan perlindungan kawasan, serta upaya konservasi
ke langit. Untuk itu dalam rangka peningkatan lainnya.
ketahanan akan kebutuhan bahan pokok diperlukan Skala upaya-upaya tersebut harus disesuaikan
upaya pembangunan daerah yang berbasis dengan proses-proses ekologis dan kebutuhan serta
keanekaragaman hayati setempat. persepsi masyarakat setempat. Pendekatan
keterpaduan ini disebut dengan pengelolaan
PENGELOLAAN KEANEKARAGAMAN bioregional.
HAYATI DALAM KESERASIAN
Konsep dan Pengertian Bioregional
LINGKUNGAN
Kawasan bioregional adalah kawasan daratan
Pengertian pembanguan semesta pada
dan perairan yang batas-batasnya tidak ditentukan
beberapa dekade yang lalu tidak menganut azas
oleh batas-batas politik/administratif melainkan
keseimbangan. Pembangunan lebih menitik oleh batas geografis sistem ekologis tertentu
beratkan pada aspek ekonomi, di mana eksplorasi beserta masyarakat yang menghuninya. Kawasan
sumber daya alam tidak diimbangi dengan ini harus cukup besar luasannya untuk menjaga
rehabilitasi dan upaya pengawetan. Dengan adanya integritas komunitas hayati, dan mencakup
kesadaran akan dampak kerusakan yang kelengkapan alami habitat dan ekosistem untuk
ditimbulkan dari kegiatan pemanfaatan yang tidak dapat mendukung proses-proses ekologis yang
berwawasan lingkungan, pemahaman kedudukan vital, seperti siklus nutrisi dan penguraian limbah,
manusia pada keseluruhan biosfer telah mengalami migrasi alami dan aliran air dan energi, untuk
pergeseran. Manusia bukan lagi menganggap memenuhi kebutuhan habitat spesies-spesies kunci
dirinya di luar ekosistem, melainkan merupakan dan indikator, dan untuk mewadahi masyarakat
bagian dari ekosistem tersebut. Pengertian yang terlibat dalam pengelolaan, pemanfaatan dan
keanekaragaman hayati menjadi lebih luas lagi pemahaman sumber daya hayati.
dengan melibatkan komponen manusia dengan Luasan kawasan bioregional juga dibatasi
segala kebudayaan dan sistem sosial ekonominya. oleh masyarakat setempat. Kawasan ini harus
Bahkan jika seluruh ekosistem alam yang memiliki identitas kultural yang unik di mana
tersisa dapat dilindungi dari pengaruh pem- masyarakat setempat mampu memanfaatkannya
bangunan, ekosistem yang tersisa ini tidak cukup secara subsisten berdasarkan ulayat. Hak ulayat ini
untuk memelihara keanekaragaman hayati. bukan berarti hak yang absolut melainkan lebih
Keaslian yang tersisa tidak cukup besar untuk berarti bahwa kebutuhan hidup, hak-hak dan
memenuhi kebutuhan habitat bagi seluruh spesies kepentingan masyarakat lokal seyogyanya menjadi
atau untuk memenuhi fiingsi ekologis yang penting. titik permulaan dan kriteria untuk pembangunan
Mas bahwa keberhasilan konservasi keanekara- dan konservasi regional, serta dalam kerangka
gaman hayati akan tergantung pada kemampuan kegiatan di mana kepentingan baik negara, dunia
pengelolaan seluruh lansekap untuk meminimalkan usaha swasta dan peminat lainnya dapat
kepunahan keanekaragaman hayati. diakomodasi.

463
Sugandhy - SDA sebagai Penunjang Pembangunan Daerah

Di dalam suatu bioregion terdapat mosaik Programme) pada tahun 1979, merupakan model
pemanfaatan lahan dan perairan. Setiap petak pertama yang dapat digunakan sebagai titik awal
penyusun mosaik tersebut menyediakan habitat pengelolaan bioregional. Dalam model kawasan
dimana berbagai jenis mampu mempertahankan suaka ini, suatu area kawasan lindung sebagai pusat
diri dan berkembang biak, serta setiap petak biosphere dikelilingi oleh zona penyangga dan
tersebut juga mempunyai hubungan tertentu dengan kemudian kawasan peralihan. Pemanfaatan yang
suatu wilayah pemukiman manusia. Semua diperkenankan dalam zona penyangga dibatasi
komponen mosaik tersebut interaktif, seperti pada kegiatan yang sesuai dengan fungsi
halnya pengelolaan suatu DAS akan mempengaruhi perlindungan kawasan inti, seperti penelitian,
habitat sistem sungai, perkebunan/pertanian, pendidikan, rekreasi dan kepariwisataan, sedangkan
kegiatan perikanan, kondisi muara sungai dan kegiatan konservasi ex-situ, pembangunan
terumbu karang. Komponen-komponen tersebut pertanian dan kehutanan diperkenankan di
juga harus bersifat dinamis dimana perubahan dari zona/kawasan peralihan. Dalam zona peralihan ini
waktu ke waktu seperti perubahan aliran sungai, pemukiman dan kegiatan budidaya secara
regenerasi masa bero dan tanam lahan pertanian, tradisional diperkenankan. Namun usaha pertanian
dan sebagainya telah diantisipasi dalam dalam skala yang besar hanya diperkenankan
pengelolaannya. Sifat kedinamisan ini memberi dilaksanakan di daerah budidaya, yaitu di luar zona
kemampuan bioregional yang dikelola dengan baik, peralihan. Bebarapa negara telah mulai
suatu ketahanan dan fleksibilitas untuk beradaptasi menjembatani konsep biosfer ini dengan
pada evolusi dan pengaruh kegiatan manusia (baik penerapannya melalui beberapa peraturan
terhadap perubahan iklim maupun perubahan perundangan. Indonesia sebagai contoh, dalam
pasar/komoditas). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 mengenai
Di dalam kerangka ekologis dan sosial, Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
pemerintahan, masyarakat serta pihak swasta Ekosistemnya, menetapkan bahwa suaka biosfer ini
berbagi tanggung jawab untuk mengkoordinasikan adalah salah satu kategori kawasan konservasi yang
penataan pemanfaatan lahan baik untuk lahan diakui secara legal.
ulayat dan lahan milik serta untuk menentukan dan
melaksanakan pilihan-pilihan pembangunan yang Unsur-unsur Dinamika Pembangunan Daerah
mampu menjamin pemenuhan kebutuhan manusia Berbasis Keanekaragaman Hayati Setempat
secara berkelanjutan. Adanya saling membutuhkan (Pendekatan Pembanguan Bioregional)
ini membentuk keterpaduan kelembagaan dan
kerjasama sosial. Dialog di antara berbagai Sebagai penjelasan dari pendekataan konsep
kepentingan, perencanaan partisipatif dan pembangunan bioregional dapat digambarkan
kelembagaan yang cukup fieksibel sangat dalam unsur-unsur dan dinamika bioregion sebagai
menentukan keberhasilan pengelolaan bioregion. berikut:
Perangkat dan teknologi konservasi dalam Bioregional development plan berpusat pada
jangkauan yang cukup luas harus juga diperhatikan, kawasan-kawasan lindung dan/atau kawasan
diantaranya pengelolaan kawasan yang dilindungi, konservasi yang sudah ada sebagai inti bioregion,
teknologi konservasi ex-situ, rehabilitasi lansekap, di mana fungsi-ekologis dan pengawetan plasma
serta pengelolaan secara berkelanjutan sumber daya nutfah dilaksanakan dengan ketat; kawasan ini
kehutanan, pertanian dan perikanan. dikelilingi oleh suatu zona penyangga yang
Konsep suaka biosfer seperti yang telah berfungsi untuk penelitian, pendidikan,
dimunculkan oleh MAB {Man and Biosphere perlindungan dan kegiatan ekstraksi secara sangat

464
berbaaai nilai nem
Sugandhy- SDA sebagai Penunjang Pembangunan Daerah

membutuhkan penyelarasan faktor sosial yang PENUTUP


cukup besar. Masyarakat diharapkan dapat Seperti anggota komunitas makhluk hidup
memulai pengembangan jati diri dalam pencapaian lainnya, manusia terganrung pada lingkungannya.
tujuan dan sasaran pembangunan berdasar Dengan kelengkapan akal budinya yang jauh lebih
keunggulan lokal yang dimilikinya; keunggulan unggul dari makhluk hidup lain, manusia tidak
tersebut adalah kearifan setempat dalam hanya beradaptasi dan berevolusi secara pasif,
pengelolaan lingkungan, komponen namun mampu mengubah lingkungannya agar
keanekaragaman hayati yang khas dan mempunyai lebih menguntungkan dan sesuai dengan kebutuhan
potensi pasar, dan berbagai kondisi yang hidupnya. Sesuai dengan perkembangan
menguntungkan dalam bioregionalnya. kebudayaannya, sejarah interaksi manusia dimulai
Tiga masalah utama dalam pengembangan dari tahap/fase pengumpul atau pemburu, fase
perekonomian berdasar jatidiri daerah adalah: pertanian, fase pembentukan kawasan pemukiman,
a). Pendekatan bioregional membutuhkan kemauan hingga fase moderen dengan konsumsi energi dan
politik daerah dan pusat untuk desentralisasi, sumber daya alam tinggi.
membuka peluang lebih besar untuk akses dan Pada setiap fase interaksi ini, bentuk
kesetaraan penanganan atau tindakan hubungan pengaruh mempengaruhi berubah sesuai
kelembagaan bagi sebagian besar sektor dengan teknologi dan kapasitas yang
pembangunan. Pada saat ini, perencanaan dan dikembangkannya. Manusia tidak lagi tergantung
pengelolaan sumber daya masih dirasa terlalu dengan ketersediaan sumber daya yang ada di alam,
tersentralisasi, pembagian dan spesialisasi namun dengan kelebihan inovasinya mulai mampu
sektoral masih terlalu besar, dan sebagian besar membudidayakan, meningkatkan produktivitas
peraturan perundangan dan struktur komponen keanekaragaman hayati dan menekan
administratif belum dapat mendukung konsep faktor-faktor yang tidak menguntungkan produksi.
ini. Peluang dengan diundangkannya UU Dengan semakin meningkatnya populasi dan
Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 kebutuhan hidupnya, serta dengan perkembangan
Tahun 1999 perlu ditelaah dengan memasukkan industrialisasi, dampak kegiatan manusian pada
unsur pengelolaan keanekaragaman hayati kondisi dan dinamika keanekaragaman hayati
setempat untuk mendukung penerapan kedua semakin besar. Kebutuhan yang meningkat
undang-undang tersebut; seringkali menyebabkan kurang diindahkannya
b). Berbagai pihak yang berkepentingan dalam pertimbangan lingkungan; pemanenan hasil alam
pengelolaan pembangunan berbasis bioregion berupa hasil hutan dan perikanan seringkali hanya
mempunyai kekuasaan, akses dan pemilikan mempertimbangkan pemenuhan bahan baku
informal yang tidak setara, sehingga masing- industri dan kebutuhan masyarakat dalam jangka
masing aktor ini tidak dapat berpartisipasi pendek. Pertanian tradisional yang lebih
secara efektif dan merata; dan; mempertahankan keanekaragaman hayati
c). Pemerintah daerah dan sektor terkait belum digantikan dengan pertanian berinput tinggi,
mengembangkan studi mengenai potensi dengan keanekaragaman hayati rendah dan intensif.
komponen keanekaragaman hayati unggulan Pertanian intensif seringkali tidak memperhatikan
yang dapat merupakan jati diri daerah dalam arti penggalian bibit lokal demi untuk memenuhi pasar
mampu dikembangkan sebagai komoditi global.
unggulan bagi perekonomian daerah yang Akibat yang segera tampak adalah degradasi
mampu dikembangkan budidayanya untuk lahan, terutama penurunan produktivitas lahan,
memperoleh nilai ekonomi. penggundulan hutan dan meningkatnya kasus-

466
Edisi Khusus Masalah Cendana NTT
Berita Biologi, Volume 5, Nomor 5, Agustus 2001

kasus bencana alam. Dalam jangka panjang, hayati setempat dan meningkatkan efisiensi
dampak yang akan muncul adalah kejenuhan pemeliharaan, karena sangat sedikit membutuhkan
lingkungan, akibat tertekannya daya dukung input kapital dalam proses produksi (pupuk,
lingkungan dan meningkatnya kerusakan lahan dan pestisida dll).
fungsi ekologis keanekaragaman hayati. Bila hal ini
terus berlanjut maka ketiga fungsi keanekaragaman
DAFTAR PUSTAKA
hayati akan rusak dan manusia sendiri yang harus
menerima akibatnya. Anonymus, 1992. Global Biodiversity Strategy:
Guidelines for Action to Save, Study and Use
Esensi dari pendekatan bioregional adalah Earth's Biotic Wealth Sustainably and
untuk mewadahi dan melibatkan konservasi Equitably. WRI-IUCN-UNEP.
keanekaragaman hayati dan peranserta masyarakat Anonymus, 1995. Our Living Resources, A Report
dalam pemanfaatan sumber daya lahan dan sumber on the Abundance, and Health of US Plants,
Animals, and Ecosystems. USDI-National
daya alam lainnya, termasuk yang utamanya
Biological Service.
ditujukan untuk produksi ekonomi. Dengan CNPPA Economic Taskforce, 1995. Economic
demikian, pendekatan bioregional development Assesment of Protected Area: Guidelines for
plan adalah upaya memadukan tujuan konservasi Their Assesment IUCN.
BAPPENAS, 1993. Biodiversity Action Plan for
keanekaragaman hayati dalam pengelolaan hutan,
Indonesia.
pertanian, peternakan, perikanan dan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup,
pengembangan kawasan pemukiman/perkotaan, 1993. Indonesian Country Study on
serta dalam pembangunan di lahan basah dan Biological Diversity.
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup,
semua lansekap. Teknik dan strategi konservasi
1993. Strategi Nasional Pengelolaan
keanekaragaman hayati pad berbagai bentukan Keanekaragaman Hayati.
lansekap tersebut di atas sebenarnya sudah ada, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan
namun perlu ditingkatkan lagi dan dilaksanakan KONPHALINDO, 1995. An Atlas of
secara lebih terpadu dan luas. Biodiversity in Indonesia.
Watson RT and Heywood VH, 1995. Global
Pemanfaatan keanekaragaman hayati Biodiversity Assessment. UNEP, Cambridge
unggulan daerah dalam konsep bioregonal ini University.
sebenarnya menguntungkan secara ekonomi dan Mike Kenton R, 1996, Balancing the Scales.
Guidelines for Increasing Biodiversity
ekologis. Pemanfaatan jenis-jenis asli/setempat Changes Through bioregional Management.
akan membantu pemeliharaan keanekaragaman WRI.

467
Pengertian Sumber Daya Alam

Sumber daya alam adalah semua kekayaan berupa benda mati


maupun benda hidup yang berada di bumi dan dapat dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia (Abdullah, 2007:3). Pengertian
sumber daya alam juga ditentukan oleh nilai kemanfaatannya bagi
manusia.
Jenis-jenis Sumber Daya Alam
Di lingkungan kita terdapat beraneka macam sumber daya alam.
Semuanya dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang
semakin lama semakin banyak dan beragam. Para ahli mengelompokkan
jenis-jenis sumber daya alam tersebut dengan sudut pandang yang
berbeda-beda. Misalnya mengelompokkan sumber daya alam berdasarkan
materinya terbagi 2 :
1. Sumber Daya Alam Organik (Hayati)
Sumber daya alam organik materi atau bahanya berupa jasad hidup,
tumbuhan dan hewan. Kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya
organik terdiri atas kehutanan, pertanian, peternakan dan perikanan.
2. Sumber Daya Alam Anorganik (Nonhayati)
Sumber daya alam anorganik materi atau bahannya berupa benda mati
seperti benda padat, cair dan gas. Kegiatan yang berhubungan dengan
sumber daya alam anorganik diantarannya pertambangan mineral, tanah,
batuan, minyak dan gas alam, energi dan lain-lain.
2.3 Manfaat Bahan-bahan Alam anorganik
Bahan alam atau sumber daya alam memiliki fungsi atau manfaat
yang sangat besdar bagi manusia. Tanpa sumber daya alam tentunya
manusia tidak dapat memenuhi berbagai kebutuhan atau aktifitasnya.
Sumber daya alam tersebut memiliki fungsi masing-masing dalam
mendukung kehidupan manusia. Gambaran tentang fungsi dari
masing-masing sumber daya alam anorganik diantaranya :
1. Pemanfaatan Sumber Daya Tanah
Disekitar kita terdapat tanah dengan berbagai jenis dan karekteristiknya.
Benda yang setiap hari kita lihat dan kita injak tersebut memilki manfaat
yang beragam yaitu :
Ø Sebagai tempat pemukiman, terutama tanah-tanah yang berada di daerah
yang datar/dataran rendah.
Ø Sebagai tempat untuk lahan pertanian dan kehutanan.
Ø Sebagai bahan mentah industri, misalnya bahan bangunan berupa genteng,
keramik, batubata dan lain-lain.
Ø Sebagai tempat untuk kegiatan industri dan sebagai sarana dan prasarana
social seperti sekolah, rumah sakit dan lain-lain.
Ø Sebagai sumber energi alternatif, khususnya tanah gambut energy seperti
yang dikembangkan di Finlandia Belanda dan beberapa Negara-negara
lain.
2. Pemanfaatan Bahan Tambang
Bahan tambang banyak sekali manfaat bagi manusia diantaranya :
Minyak dan gas bumi digunakan untuk bahan bakar kendaraan bermotor,
menggerakkan mesin pabrik, dan bahan bakar rumah tangga serta
industry.
Batu bara digunakan untuk bahan bakar, bahan mentah cat, bahan peledak,
obat-obatan dan wewangian atau parfum.
Alumunium digunakan untuk industry kapal terbang, mobil, mesin-mesin
dan alat-alat rumah tangga.
Timah sebagai bahan untuk membuat pipa ledeng, logam patri, kabel telepon.
Nikel untuk campuran industry besi baja agar kuat dan tahan karat.
Pasir kuarsa untuk membuat kaca.
Koalin sebagai bahan pembuat porselin.
Marmer untuk lantai dan hiasan dinding.
Tanah liat untuk membuat gerabah dan bata.
Pasir besi untuk bahan besi tuang.
Tembaga untuk bahan kabel dan industri barang-barang perunggu serta
kuningan.
2.4 Prinsip Pemanfaatan Bahan-Bahan Alam
Bahan atau sumber daya alam merupakan milik bersama seluruh
rakyat Indonesia dan dikuasi Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Karena itu, pemanfaatan sumber daya alam harus memperhatikan
prinsip-prinsip berikut :
1. Prinsip ekoefisiensi
Prinsip ekoefisiensi berarti melakukan proses produksi secara
tepat atau hemat (efisien), sehingga menguntungkan secara ekonomi
maupun lingkungan. Proses produksi yang efisien tentunya memerlukan
energy yang efisien juga. Demikian pula materi dan limbah yang terbuang
harus lebih sedikit, sehingga kebutuhan akan bahan bakupun berkurang.
Menurunya biaya produksi, tentunya akan meningkatkan keuntungan
industrii tersebut. Keuntungan bukan hanya diperoleh oleh suatu
perusahaan tetapi juga mengurangi dampak dari akibat limbah yang
terbuang terhadap lingkungan. Dengan demikian, ekoefisiensi adalah
menejemen bisnis atau pengelolaan usaha yang memadukan efisinsi secara
ekonomi dan efisiensi secara lingkungan.
2. Prinsip Pemanfaatan Berkelanjutan
Pemanfaatan berkelanjutan dimaksudkan agar pemanfaatan dan
pengelolaan bahan alam tersebut dilakukan sedemikian rupa sehingga
menjamin kelestarian bahan alam yang terkendali, lestari dan
berkelanjutan. Dengan cara demikian, pemanfaatan bahan alam tidak
hanya untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini tetapi menjamin
terpenuhinya kebutuhan generasi yang akan datang.
3. Prinsip Kemakmuran, Keadilan dan Pemerataan
Pemanfaatan bahan alam organik dan bahan alam anorganik
dititikberatkan untuk kemakmuran rakyat berdasarkan atas keadilan dan
pemerataan. Pemanfaatan bahan alam tidak hanya boleh menguntungkan
seseorang atau sekelompok orang saja tetapi secara adil juga dirasakan
manfaatnya oleh seluruh rakyat Indonesia.
4. Prinsip Rasionalisasi
Prinsip Rasionalisasi adalah suatu pemanfaatan bahan alam yang
rasional sesuai daya dukung bahan alam dan kemungkinan penggunaan
bahan alam pengganti (subsitusi) pemanfaatan yang berlebihan atau boros
akan mengurangi kemungkinan generasi yang akan dating dapat
menikmati bahan alam yang sama. Karena itu dalam pemanfaatan bahan
alam diperlukan perencanaan yang disesuaikan dengan kebutuhan secara
wajar. Selain itu diupayakan untuk mencari bahan alam pengganti (bahan
alam alternatif), sehingga tidak hanya tergantung pada bahan alam
tertentu. Sebagai contoh bahan bakar minyak dapat dikurangi
pemanfaatannya dengan mengembangkan bahan alam energy dari radiasi
matahari, tanama (bioenergi) dan lain-lain.
5. Prinsip Penggunaan Tata Ruang Yang Benar.
Setiap wilayah memiliki kondisi yang berbeda-beda, termasuk
bahan alamnya. Tata ruang yang benar adalah tata ruang yang
memperhatikan kondisi bahan alam yang berbeda-beda tersebut. Dengan
cara demikian, maka bahan alam dapat dimanfaatkan secara optimal
karena didasarkan pada keadaaan bahan alamnya masing-masing. Sebagai
contoh lahan-lahan yang subur sebaiknya diutamakan pemanfaatannya
untuk pertanian bukan pemukiman atau industri. Pertimbangannya lahan
yang subur tentu akan memberikan hasil yang lebih baik.
6. Prinsip Keseimbangan Daya Dukung Lingkungan
Bahan alam mempunyai keterbatasan, baik bahan alam yang
dapat diperbaharui maupun bahan alam yang tidak dapat diperbaharui,
dalam mendukung aktifitas manusia untuk memenuhi kebutuhannya.
Karena itu, dalam pemanfaatan bahan alam tersebut harus memperhatikan
keserasian dan kelestarian daya dukung lingkungan. Daya dukung
lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung
perikehidupan manusia dan mahkluk hidup lain.
2.5 Hambatan-hambatan dalam Proses Pemanfaatan Bahan Alam
Dikarenakan Indonesia masih merupakan Negara berkembang,
Indonesia masih mengalami berbagai macam hambatan-hambatan dalam
proses pengelolaan dan pemanfaatan bahan alam Indonesia yang masih
kurang. Berikut ini hambatan-hambatan umum yang dihadapi Indonesia
dalam pengelolaan dan pemanfaatan bahan alam yaitu :
1. Kurangnya tenaga ahli dalam bidang sumber daya alam.
2. Mahalnya sarana dan prasarana untuk pengelolaan sumber daya alam.
3. Kerjasama dengan perusahaan asing yang merugikan.
4. Transportasi ke daerah sumber daya alam terbatas mengingat Indonesia
merupakan kepulauan.
5. Sumber daya manusia yang belum memenuhi klasifikasi.
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berdasarkan Prinsip Berwawasan
Lingkungan dan Berkelanjutan
Sumber daya alam perlu dilestarikan untuk mendukung kelangsungan
hidup makhluk hidup, usaha-usaha untuk menjaga sumber daya alam
sebagi berikut:
1. Penghijauan dan Reboisasi
Usaha penghijauan dan reboisasi hutan dapat mencegah rusaknya
lingkungan yang berhubungan dengan air, tanah dan udara. Keuntungan
pelaksanaan penghijauan antara lain sebagai berikut:
a. Tumbuh-tumbuhan dapat menyaring dan mengatur air, mencegah banjir,
dan menimbulkan mata air.
b. Tumbuh-tumbuhan dapat menyuburkan tanah karena daun yang gugur
dan membusuk akan membentuk humus dan akar tanaman dapat
mencegah erosi serta tanah longsor.
c. Tumbuh-tumbuhan menimbulkan usara segar karena tumbuhan
menghirup CO2 dan melepaskan O2 untuk keperluan manusia dalam
bernafas.

2. Sengkedan atau terasering


Sengkedan dibuat untuk mencegah erosi dan berfungsi untuk menjaga
kesuburan tanah daerah miring dan berbukit-bukit.
3. Pembangunan daerah aliran sungai (DAS)
Daerah aliran sungai merupakan daerah yang sering terjadi pengikisan
lapisan tanah oleh arus sungai. Usaha pengendalian daerah aliran air
sungai antara lain:
a. Mengadakan reboisasi
b. Membuat bendungan dan saluran irigasi yang teratur.
c. Tindakan tegas terhadap perusak lingkungan yang diatur dalam UU No. 4
tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
4. Pengelolaan air limbah
Air limbah berasal dari rumah tangga, industri dan pabrik air limbah
yang dibuang ke tanah dapat merembes, masuk ke tanah dan bercampur
dengan air tanah. Akibatnya, dapat membahayakan manusia. Beberapa
gangguan yang ditimbulkan antara lain:
a. Kesehatan, bibit penyakit yang bisa ditularkan melalui air limbah contoh:
kolera, disentri, dan tipus.
b. Keindahan, limbah menyebabkan bau tidak sedap dan juga mengganggu
keindahan lingkungan sekitarnya.
c. Karat atau aus, air limbah yang mengandung gas CO2 mempercepat
karat atau aus benda-benda yang terbuat dari besi.
d. Kehidupan biotik, air limbah mengganggu perkembangan kehidupan
karena beracun sehingga dapat mematikan makhluk hidup.

Usaha-usaha untuk mengatasi air limbah adalah sebagai berikut:


a. Lokasi industri harus jauh dari permukiman penduduk,
b. Diwajibkan memasang peralatan pengendali air (​water treatment​) untuk
pabrik yang menimbulkan air limbah.
c. Lokasi industri harus dijauhkan dari peredaran yang berhubungan
dengan sumber air minum penduduk.
d. Mencegah saluran air limbah jangan sampai bocor,
e. Menemukan sumber bahan racun dan melakukan netralisasi secara
kimia.
f. Unsur yang tidak dapat dinetralisasi harus dibuang dengan jalan ditanam
atau dipendam dalam tanah yang jauh dari air.

5. Penertiban pembuanagan sampah


Sampah dapat menimbulkan permasalahan seperti sarang penyakit,
menimbulkan bau busuk, dan mengganggu pandnagan mata. Oleh karena
itu, sampah harus dibuang ditempat yang ditentukan dan jangan sampai
mengganggu lingkungan kehidupan. Usaha-usaha untuk pemusnahan
sampah antara lain:
a. Dibakar
b. Untuk makanan ternak (sisa makanan, sayuran dan buah-buahan)
c. Untuk biologis
d. Untuk bahan pupuk.

E. Pemanfaatan Sumber Daya Alam Berdasarkan Prinsip Ekoefisiensi


Sumberdaya alam merupakan salah satu modal dasar pembangunan.
Sebagai modal dasar, sumber daya alam harus dimanfaatkan sepenuhnya
dengan cara yang tidak merusak.
Oleh karena itu, pemanfaatan Sumberdaya Alam harus dilakukan
secara ekoefisiensi, artinya tidak merusak ekosistem, pengambilan secara
efisiensi dan emmikirkan kelangsungan dan kelanjutan Sumberdaya Alam
tersebut. Pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk mewujudkan
kelestarian Sumberdaya Alam sehingga mendukung kesejahteraan
manusia.
Dikarenakan Indonesia masih merupakan Negara berkembang,
Indonesia masih mengalami berbagai macam hambatan-hambatan dalam
proses pengelolaan dan pemanfaatan Sumberdaya Alam Indonesia yang
masih kurang. Berikut ini hambatan-hambatan umum yang dihadapi
Indonesia dalam pengelolaan dan pemanfaatan Sumberdaya Alam
Manajemen Sumber Daya Manusia

Sumber Daya Manusia (SDM) dalam konteks bisnis, adalah orang yang
bekerja dalam suatu organisasi yang sering pula disebut karyawan.
Sumber Daya Manusia merupakan aset yang paling berharga dalam
perusahaan, tanpa manusia maka sumber daya perusahaan tidak
akan dapat mengahasilkan laba atau menambah nilainya sendiri.

Manajemen Sumber Daya Manusia didasari pada suatu konsep bahwa


setiap karyawan adalah manusia, bukan mesin, dan bukan semata
menjadi sumber daya bisnis.

Manajemen Sumber Daya Manusia berkaitan dengan kebijakan dan


praktek-praktek yang perlu dilaksanakan oleh manajer, mengenai
aspek-aspek Sumber Daya Manusia dari Manajemen Kerja.

Tidak ada definisi yang sama tentang Manajemen Sumber Daya Manusia,
3 (tiga) definisi sebagai perbandingan dapat dikemukakan sebagai
berikut:
Bagaimana orang-orang dapat dikelola dengan cara yang terbaik dalam
kepentingan
organisasi, Amstrong (1994).
Suatu metode memaksimalkan hasil dari sumber daya
tenaga kerja dengan mengintergrasikan MSDM kedalam strategi
bisnis, Kenooy (1990).
Pendekatan yang khas, terhadap manajemen tenaga kerja yang berusaha
mencapai
keunggulan kompetitif, melalui pengembangan strategi dari tenaga kerja
yang mampu dan memiliki komitmen tinggi dengan menggunakan
tatanan kultur yang integrated, struktural dan teknik-teknik
personel, Storey (1995).

Dari ke-3 definisi diatas dapat disimpulkan bahwa, Manajemen


Sumber Daya Manusia berkaitan dengan cara pengelolaan sumber daya
insani, dalam organisasi dan lingkungan yang mempengaruhinya, agar
mampu memberikan kontribusi secara optimal bagi pencapaian
organisasi.

Manajemen Sumber Daya Manusia menurut Bambang


Wahyudi (2002:1):

‘”Ilmu dan seni atau proses memperoleh, memajukan atau


mengembangkan dan memelihara sumber daya manusia yang kompeten
sedemikian rupa, sehingga tujuan organisasi dapat tercapai dengan
efisien dan ada kepuasan pada diri pribadi-pribadi yang bersangkutan.”
Definisi lain menurut Edwin B.Flippo dalam buku Bambang Wajhudi
Manajemen Sumber Daya
Manusia
(2002:9):

“ Personnel Management is the planning, organizing, directing and


controlling of the procurement, development, competition,
intergration, maintenance, and separation of human resources
to the end that individual, organizational, and societal
objectives are accomplished.”
Selanjutnya Menurut Malayu S.P. Hasibuan (2002:10)
“Manajemen Sumber Daya Manusia adalah ilmu dan seni mengatur
hubungan
dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien membantu
terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan, dan
masyarakat.”
Fungsi MSDM
Manajemen Sumberdaya Manusia terdiri dari dua fungsi, yaitu fungsi
manajemen dan fungsi operasional

Fungsi Manajemen (FM) terdiri Fungsi Operasional (FO) terdiri


atas: atas:
1. Fungsi Perencanaan 1. Fungsi Pengadaan
2. Fungsi Pengorganisasian 2. Fungsi Pengembangan
3. Fungsi Pengarahan 3. Fungsi Pemberi Kompensasi
4. Fungsi Pengkoordinasian 4. Fungsi Integrasi
5. Fungsi 5. Fungsi Pemeliharaan
Pengontrolan/Pengawasan
Fungsi Manajemen
1. Fungsi Perencanaan
Menentukan terlebih dulu program yang akan membantu mencapai tujuan
perusahaan yang telah ditetapkan
2. Fungsi Pengorganisasian\Organize
Merancang susunan dari berbagai hubungan antara jabatan, personalia,
dan faktor-faktor fisik
3. Fungsi Pengarahan
Melaksanakan pekerjaan, mengusahakan agar karyawan mau bekerjasama
secara efektif
4. Fungsi Pengkoordinaasian

5. Fungsi Pengontrolan/pengawasan
Mengamati dan membandingkan pelaksanaan dengan rencana dan
mengoreksinya apabila terjadi penyimpangan, atau kalau perlu
menyesuaikan kembali rencana yang telah dibuat.
Keadaan pasar tenaga kerja/Jenis-jenis karyawan yang
diinginkan dan bagaimana yang tersedia
Jumlah tenaga kerja yang akan ditarik

Fungsi Operasional (FO)

1. Fungsi Pengadaan
Penentuan jenis/mutu karyawan dan jumlah (menentukan keberhasilan
rekruitmen melalui prosedur yang tepat). Sewaktu menarik karyawan
baru, manajemen haruslah mempertimbangkan
Keadaan pasar tenaga kerja/Jenis-jenis karyawan yang
diinginkan dan bagaimana yang tersedia
Jumlah tenaga kerja yang akan ditarik
Analisa jabatan merupakan suatu proses untuk mempelajari dan
mengumpulkan berbagai informasi yang berhubungan dengan
berbagai operasi dan kewajiban suatu
jabatan, terdiri dari
:
1. Deskripsi jabatan dan
2. Spesifikasi jabatan

DESKRIPSI JABATAN ​merupakan suatu statement yang teratur,


dari berbagai tugas dan kewajiban suatu jabatan tertentu.
Indentifikasi jabatan,
Ringkasan jabatan,
Tugas yang dilaksanakan,
Pengawasan yang diberikan dan yang diterima,
Kondisi kerja,
Penjelasan istilah-istilah yang tidak lazim,
Komentar tambahan untuk melengkapi penjelasan di atas.
SPESIFIKASI
JABATAN
Pada umumnya isi suatu spesifikasi jabatan
terdiri dari:

Identifikasi
jabatan :
o Nama :
o Kode :
o Bagian :
Persyaratan kerja
:
o Pendidikan (SD, SLTP, SLTA,
ataukah PT?). o Tingkat kecerdasan
minimal yang diperlukan, o
Pengalaman yang diperlukan,
o Pengetahuan dan
ketrampilan,
o Persyaratan
fisik,
o Status
perkawinan,
o Jenis kelamin,
o Usia,
o Kewarganegaraan
(Penduduk)

2. Fungsi
Pengembangan
Untuk perbaikan efektivitas kerja dengan cara memperbaiki
pengetahuan, ketrampilan maupun sikap karyawan.

Metode Pelatihan
Operasional
1. On-the job training . memberikan tugas kepada atasan langsung
yang baru dilatih, untuk melatih mereka.
2. Vestibule school . merupakan bentuk latihan dimana pelatihnya
bukanlah atasan langsung, tetapi pelatih-pelatih khusus ( Staff
specialist ).
3. Apprenticeship (magang). Metode ini biasa dipergunakan untuk
pekerjaan-pekerjaan
yang membutuhkan keterampilan yang relatif lebih tinggi.
4. Kursus Khusus. Merupakan bentuk pengembangan yang lebih
mirip pendidikan dari pada latihan. Kursus ini biasanya
diadakan untuk memenuhi minat dari para
karyawan dalam bidang-bidang pengetahuan tertentu (diluar bidang
pekerjaannya)
seperti kursus bahasa asing, komputer dan lain sebagainya.

3. Fungsi Pemberi Kompensasi


Balas jasa, berwujud uang atau yang lainnya sesuai
pengorbanan/kontribusi karyawan.
Upah adalah bagian dari kompensasi, dapat pula berbentuk
fasilitas-fasilitas yang dapat dinilai dengan uang.
Perlu memperhatikan faktor-faktor
berikut ini:
1. Memenuhi kebutuhan
minimal
2. Dapat
mengikat
3. Dapat menimbulakan semangat dan
kegairahan kerja
4. Adil
5. Tidak boleh bersifat
statis

4. Fungsi Integrasi
Tercapainya sinergi antara karyawan dan perusahaan untuk tujuan
masing-masing yang berbeda. (Teori kebutuhan Maslow dan motivasi
XY Mc Gregor dan Mc Lelland)

5. fungsi pemeliharaan
Perusahaan memelihara kemampuan dan sikap karyawan melalui
program keselamatan, kesehatan dan pelayanan. Setiap program
keselamatan dapat terdiri dari salah satu atau lebih elemen-elemen
berikut ini:
1. Didukung oleh manajemen puncak (top management)
2. Menunjukkan seorang direktur keselamatan
3. Pembuatan pabrik dan operasi yang bertindak secara aman
4. Mendidik para karyawan untuk bertindak dengan aman
5. Menganalisa kecelakaan
6. Menyelenggarakan perlombaan atau keselamatan kerja
7. Menjalankan peraturan-peraturan untuk keselamatan kerja

Pengertian Sistem Informasi Sumber Daya Manusia

Setiap organisasi khususnya perusahaan memerlukan data yang


bersifat riil dari setiap tingkatan manajemennya. Data tersebut disusun
dan dikelola dalam sebuah sistem informasi. Salah satu sistem informasi
terpenting pada perusahaan adalah mengenai Sistem Informasi Sumber
Daya Manusia/Human Resourches Information System (SISDM/HRIS).

• Suatu proses menangani berbagai masalah pada ruang lingkup


karyawan, pegawai, buruh, manajer dan tenaga kerja lainnya untuk
dapat menunjang aktifitas organisasi atau perusahaan demi mencapai
tujuan yang telah ditentukan.
• Bagian atau unit yang biasanya mengurusi sdm adalah departemen
sumber daya manusia atau dalam bahasa inggris disebut HRD atau
human resource department.
• Menurut A.F. Stoner manajemen sumber daya manusia adalah
suatu prosedur yang
berkelanjutan yang bertujuan untuk memasok suatu organisasi atau
perusahaan dengan orang-orang yang tepat untuk ditempatkan pada
posisi dan jabatan yang tepat pada saat organisasi memerlukannya.

Human Resources Information System (HRIS) adalah program aplikasi


komputer yang mengorganisir tatakelola dan tatalaksana
manajemen SDM di perusahaan guna mendukung proses
pengambilan keputusan atau biasa disebut dengan Decision Support
System dengan menyediakan berbagai informasi yang diperlukan

Karakteristik informasi yang dipersiapkan dalam Sistem Informasi


Sumberdaya Manusia adalah:
1. Timely (tepat
waktu)
2. Accurate
(akurat)
3. Concise
(ringkas)
4. Relevant
(relevan)
5. Complete
(lengkap)

Struktur organisasi sebagian besar perusahaan memasukan satu unit yang


bertanggung jawab atas banyak kegiatan yang berhubungan dengan
sumber daya manusia
Kegiatan Utama
SDM
Perekrutan dan
Penerimaan
Pendidikan dan
Pelatihan
Manajemen
Data
Penghentian dan Administrasi
Tunjangan

Pendidikan dan Pelatihan


Selama periode kepegawaian seseorang, SDM dapat mengatur
berbagai program pendidikan dan pelatihan yang diperlukan untuk
meningkatkan pengetahuan dan keahlian kerja pegawai.
Contohnya, anggota staf SDM dapat membantu analisis sistem dalam
melatih pemakai selama tahap penerapan dari siklus hidup sistem.

Manajemen Data
SDM menyimpan database yang berhubungan dengan pegawai
dan memproses data tersebut untuk memenuhi kebutuhan informasi
pemakai.

Penghentian dan Administrasi Tunjangan


Selama seseorang diperkerjakan oleh perusahaan mereka
menerima paket tunjangan seperti, rumah sakit, asuransi dokter gigi,
dll. Ketika pegawai berhenti bekerja, SDM memproses kertas kerja
yang diberlukan dan kadang melakukan wawancara keluar, tujuannya
untuk belajar bagaimana perusahaan dapat memberikan pelayanan
yang lebih baik bagi pegawainya dimasa mendatang. Setelah
penghentian, SDM mengurus program pensiun perusahaan bagi
mantan pegawai yang berhak.

Fungsi SDM memudahkan Arus Sumber Daya Personil

Pemanfaatan Internet Sistem


Informasi SDM
Rekruitmen melalui
website
contoh : ​ ​www.jobsdb.com​; ​www.Karir.com​, ​ ​www.binuskarir.com
Layanan rekruitmen
komersial
Akses ke database
pelamar
Pengumuman melalui newsgroup,
mailing list
Komunikasi melalui email
dengan pelamar
Pemanfaatan
Intranet
Layanan pegawai
24 jam
Dissiminasi informasi
lebih efektif
Pengumpulan input dari
pegawai
Partisipasi langsung pegawai dalam entri data
manajemen SDM
Pegawai dapat mengakses berbagai
informasi individual
Sebagai tempat
pelatihan

Tempat HRIS dalam


perusahaan
Sekitar 10% perusahaan HRSP (​Human Resources System
Profesionals​) melaporkan bahwa mereka tidak memiliki HRIS
formal. Tapi bagi yang memilikinya, unit ini berada pada berbagai
tempat. Kebanyakan unit (73,5%) berada di SDM, tapi sebagian
(8,4%) merupakan bagian jasa informasi, sebagian (1,8%) berada
dibagian gaji dari departemen akuntansi, dan sebagian (4,9%)
ditempatkan diluar perusahaan seperti di organisasi jasa dan
outsourcers.

Evolusi
HRIS
Sistem personalia awal menempatkan data pegawai dalam map yang
ditempatkan pada departemen personalia. Saat perusahaan memperoleh
mesin punched-card, file dipindahkan ke departemen pengolahan data
dan dikonversikan ke bentuk punched-card. Saat komputer
menggantikan mesin punched-card, data pegawai dikonversikan ke pita
dan piringan magnetik.

Kegunaan Sistem Informasi SDM

Memeriksa kapabilitas karyawan saat ini untuk mengisi lowongan yg


diproyeksikan
Menyoroti posisi pemegang jabatan yang akan dipromosikan, akan
pensiun atau akan diberhentikan
Menggambarkan pekerjaan yang spesifik atau jenis pekerjaan yang
mempunyai tingkat
perputaran, pemecatan, ketidakhadiran, kinerja dan masalah yang tinggi
yang melebihi kadarnormal
Mempelajari komposisi usia, suku, jenis kelamin, pendidikan, dll
Mengantisipasi kebutuhan rekrutmen, seleksi,pelatihan dan
pengembangan
Perencanaan SDM untuk mengantisipasi pergantian dan promosi
Laporan kompensasi untuk memperoleh informasi ttg pembayaran
pada karyawan
Riset SDM
Penilaian kebutuhan pelatihan

Keterkaitan SI-SDM dengan Aktivitas SDM

Diagram Arus Sistem Informasi SDM


Komponen Dasar Sistem Informasi SDM

Komponen Fungsional Utama :


- Fungsi Masukan (Input)
- Fungsi Pemeliharaan Data (proses)
- Fungsi Keluaran (Output)

Subsistem Informasi SDM

- Informasi Akuntansi Komunitas/Masyarakat


Penggajian keuangan
- Informasi Riset SDM Serikat Pekerja
- Riset tentang Suksesi Pemasok SDM
- Analisis dan evaluasi jabatan Pemerintah
- Informasi Intelejen SDM
- Informasi Perencanaan Tenaga
kerja

- Informasi Penerimaan Pegawai

- Informasi Kompensasi

- Laporan Lingkungan Kriteria Sistem Informasi SDM


- Pelatihan para pemakai
- Mengkaitkan strategi dan
keputusan

Model merancang Sistem


Informasi SDM

Pengamanan Sistem Informasi


SDM
- Menggunakan password (untuk
membatasi akses)
- Menggunakan kata sandi untuk
bagian yang berbeda
- Memberikan akses informasi
karyawan hanya kepentingan
tertentu

Metode-metode Perancangan
Sistem Informasi Manajemen
(SDM)
1. Sistem Development Live
Cycle (SDLC)
2. Metode Prototyping
3. Paket Software Pertimbangan-pertimbangan
4. Outsorcing penggunaan metodologi

Sistem Informasi SDM dianggap


berhasil
bila

Metode Prototyping memenuhi harapan :


Paket Software - Biaya harus sejalan dengan
ukuran dan kondisi financial
- Sistem ditetapkan dengan
waktu yang baik
- Harus mampu dimodifikasi dan
diperluas
- Penekanan pada aktivitas
perencanaan harus terbukti
- Umpan balik harus
berkelanjutan
- Arsip terintegrasi pada berbagai
departemen
- Data kritis harus tersedia saat
dibutuhkan
- Informasi kritis mencakup
karyawan kunci, keahlian dll
Sumber Daya Manusia (SDM) ialah segala potensi dan kemampuan yang
ada pada diri manusia yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan dan
kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Dengan segala potensi dan
kemampuan yang dimilikinya itu, manusia memegang peranan yang
penting dalam mengelola alam suatu daerah ditentukan oleh faktor
manusia dan faktor alam. Jadi, interaksi antara alam dengan manusia, di
samping ditentukan oleh faktor alam, juga ditentukan oleh faktor
manusianya, yang di dalamnya mencakup kuantitas dan kualitasnya.

Pengertian Antroposfer
Antroposfer terdiri atas dua kata yaitu “​antrop​” (manusia) dan “​sphere”​
(lapisan). Jadi, ​antroposfer ​ialah kajian tentang manusia dan
pengaruhnya terhadap ruang. Aspek yang dikaji dalam bahasan ini ialah
penyebaran, perbandingan jenis kelamin penduduk dari suatu wilayah,
serta hubungan imbal balik antar-manusia dan lingkungannya.
Antroposfer cabang geografi objek kajiannya adalah keruangan manusia.
Aspek-aspek yang dikaji dalam hal ini adalah penyebaran, densitas,
perbandingan jenis kelamin penduduk dari suatu wilayah, serta
hubungan imbal balik antarmanusia dan lingkungannya.

Sumber daya Manusia

Sumber Daya Manusia


Sumber Daya Manusia (SDM) ialah segala potensi dan kemampuan yang
ada pada diri manusia yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan dan
kelangsungan hidup manusia itu sendiri. ​Dengan segala potensi dan
kemampuan yang dimilikinya itu, manusia memegang peranan yang
penting dalam mengelola suatu daerah. Hal ini karena bukan saja faktor
alam yang menguntungkan manusia dalam mengolah lahan, melainkan
juga faktor manusianya sendiri. Jadi, interaksi antara alam dengan
manusia, di samping ditentukan oleh faktor alam, juga ditentukan oleh
faktor manusianya, yang di dalamnya mencakup kuantitas beserta
kualitasnya.

Kuantitas Sumber Daya Manusia


Indikator untuk mengukur kuantitas sumber daya manusia adalah jumlah
penduduk, pertumbuhan, penyebaran, dan kepadatan serta komposisi.

1. Jumlah Penduduk
Keadaan atau banyaknya orang yang mendiami suatu tempat disebut
jumlah penduduk. Banyaknya penduduk di suatu tempat dapat diketahui
dengan cara:

● sensus​, yaitu perhitungan jumlah penduduk yang dilakukan secara


berkala;
● registrasi​, yaitu pencatatan jumlah penduduk melalui data-data
tertulis yang telah ada; dan
● survei​, yaitu perhitungan jumlah penduduk suatu tempat atau
wilayah dengan mengambil sampel. Di dalam sebuah survei, hal-hal
yang dicatat hanyalah daerah-daerah tertentu yang dianggap
mewakili seluruh daerah tersebut.

2. Pertumbuhan penduduk
Paul R. Ehrilch (1968) mengatakan bahwa bencana kemanusiaan terjadi
akibat terlalu banyaknya penduduk dan ledakan penduduk. Pernyataan
tersebut menggunakan argumen yang sama seperti yang dikemukakan
Thomas Malthus ​(1998), bahwa pertumbuhan manusia lebih cepat
daripada pertambahan bahan pangan. Manusia berkembang menurut
deret ukur, sedangkan bahan makanan beserta isinya tumbuh mengikuti
deret hitung.

Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat disebabkan oleh beberapa


faktor, yaitu:

● perbaikan pemeliharaan kesehatan sehingga mengurangi angka


kematian bayi dan anak; dan
● pertambahan jumlah penduduk yang disebabkan oleh kelahiran
lebih besar daripada jumlah kematian, serta orang-orang yang
datang lebih banyak daripada orang-orang yang pergi.

Pertumbuhan penduduk dapat dihitung dengan menggunakan rumus​:


T = (L – M) + (I – E)
T = pertumbuhan penduduk
I = jumlah imigrasi
L = jumlah kelahiran
E = jumlah emigrasi
M = jumlah kematian

Pertumbuhan penduduk dapat dibagi ke dalam beberapa periode, yaitu


sebagai berikut.

● Periode pertama atau ​periode statik​, yaitu pertumbuhan penduduk


yang berjalan dengan perlahan-lahan. Ini ditandai oleh tingkat
kelahiran yang tinggi juga tingkat kematian yang tinggi pula.
● Tingkat kematian mulai turun, karena perbaikan gizi dan kesehatan,
sedangkan angka kelahiran tetap tinggi. Periode ini disebut periode
pertumbuhan yang cepat.
● Periode pertumbuhan ​mulai turun, tingkat kematian stabil hampir
mendekati titik terendah. Seiring dengan itu, tingkat kelahiran pun
menurun.
● Periode keempat adalah ​periode stasioner​, yaitu tingkat kematian
stabil seimbang dengan tingkat angka kelahiran.

Prediksi Laju Pertumbuhan Penduduk Menurut Provinsi 2000-2025


Sekian pembahasan materi ​Pengertian Sumber Daya Manusia (SDM) dan
juga tabel prediksi laju pertumbuhan penduduk serta pengertian
antroposfer dan juga rumus cara menghitung laju pertumbuhan
penduduk, selamat belajar!

Sumber daya manusia (SDM) adalah salah satu faktor yang sangat
penting bahkan tidak dapat dilepaskan dari sebuah organisasi, baik
institusi maupun perusahaan. SDM juga merupakan kunci yang
menentukan perkembangan perusahaan. Pada hakikatnya, SDM berupa
manusia yang dipekerjakan di sebuah organisasi sebagai penggerak,
pemikir dan perencana untuk mencapai tujuan organisasi itu.
Dewasa ini, perkembangan terbaru memandang karyawan bukan sebagai
sumber daya belaka, melainkan lebih berupa modal atau aset bagi institusi
atau organisasi. Karena itu kemudian muncullah istilah baru di luar H.R.
(Human Resources), yaitu H.C. atau Human Capital. Di sini SDM dilihat
bukan sekadar sebagai aset utama, tetapi aset yang bernilai dan dapat
dilipatgandakan, dikembangkan (bandingkan dengan portfolio investasi)
dan juga bukan sebaliknya sebagai liability (beban,cost). Di sini perspektif
SDM sebagai investasi bagi institusi atau organisasi lebih mengemuka.​[1]
Pengertian SDM dapat dibagi menjadi dua, yaitu pengertian mikro dan
makro. Pengertian SDM secara mikro adalah individu yang bekerja dan
menjadi anggota suatu perusahaan atau institusi dan biasa disebut sebagai
pegawai, buruh, karyawan, pekerja, tenaga kerja dan lain sebagainya.
Sedangkang pengertian SDM secara makro adalah penduduk suatu negara
yang sudah memasuki usia angkatan kerja, baik yang belum bekerja
maupun yang sudah bekerja.
Secara garis besar, pengertian Sumber Daya Manusia adalah individu
yang bekerja sebagai penggerak suatu organisasi, baik institusi maupun
perusahaan dan berfungsi sebagai aset yang harus dilatih dan
dikembangkan kemampuannya.
6 Potensi Sumber Daya Manusia di Indonesia
Bumi adalah salah satu planet di tata surya (Baca: ​Planet di Tata Surya
dan Penjelasannya​). Saat ini, hanya bumilah yang diketahui memiliki
makhluk hidup yang tinggal di dalamnya. makhluk hidup di bumi terdiri
dari tumbuhan, hewan dan manusia. Terdapat sumber daya yang
berpengaruh di bumi, yaitu sumber daya alam dan manusia. Tumbuhan
dan hewan dianggap sebagai sumber daya alam. Sumber daya alam
tersebar di berbagai ekosistem di bumi. Ekosistem di bumi terbagi menjadi
dua, yaitu ekosistem darat dan ekosistem air (Baca: ​Jenis-jenis Ekosistem
Darat dan Air​). Setiap ekosistem memiliki berbagai macam jenis.
Ekosistem darat terdiri dari ​hutan hujan​, ​hutan musim​, ​ekosistem gurun​,
hutan taiga​, ​ekosistem tundra​, ​ekosistem padang rumput​, dan ​hutan
sabana​. Sedangkan ekosistem air terbagi menjadi dua, yaitu ekosistem air
tawar dan ekosistem air laut. Ekosistem air tawar adalah ekosistem yang
berada di perairan air tawar. Ekosistem ini terdiri dari: ​ekosistem sungai​,
ekosistem danau​, dan ​rawa- rawa​. Sedangkan ekosistem air laut adalah
ekosistem yang habitatnya berada di laut. Ekosistem ini antara lain
ekosistem pantai​, ​terumbu karang​, dan ekosistem laut dalam.
Selain sumber daya alam, di bumi terdapat sumber daya yang lain. Sumber
daya ini berasal dari manusia. Sumber daya ini di sebut sebagai sumber
daya manusia.
Kekuatan Tenaga Manusia di Indonesia
Salah satu Sumber daya di Indonesia adalah sumber daya manusia.
Sumber daya manusia adalah sumber daya yang berasal dari manusia.
Atau dapat dikatakan sumber manusia berupa fisik maupun kemampuan
atau skill. Indonesia adalah salah satu negara di benua asia. Indonesia
adalah negara dengan keanekaragaman flora dan fauna yang melimpah
(Baca: ​Keanekaragaman Hayati di Indonesia Flora dan Fauna​). Hal ini
juga di dukung oleh sumber daya manusia yang ada. Memanfaatkan
potensi yang ada di sumber daya manusia, akan mampu membangun
Indonesia lebih baik. Berikut ini 6 potensi sumber daya manusia di
Indonesia:
1. Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk adalah salah satu potensi bagi sumber daya manusia.
Indonesia dapat dikatakan memiliki jumlah penduduk yang sangat banyak.
Jumlah penduduk rata- rata di indonesia mencapai 255 juta penduduk.
Dengan persebaran penduduk terbanyak terjadi di pulau jawa. Agar
persebaran penduduk merata, pemerintah mencanangkan program
transmigrasi, bagi penduduk jawa yang ingin bekerja di luar jawa.
Keuntungan dari transmigrasi adalah disediakan berbagai fasilitas, mulai
dari rumah hingga alat- alat pertanian untuk mendukung kehidupan para
transmigrasi.
Jumlah penduduk adalah salah satu potensi sumber daya alam. Karena
dengan banyaknya penduduk, tidak perlu mengimpor tenaga kerja asing,
yang memiliki harga jauh lebih mahal dari pada tenaga kerja di dalam
negeri.

2. Jumlah Tenaga Kerja


Pada poin kedua, sangat berhubungan dengan poin yang nomer satu.
Jumlah penduduk di indonesia yang besar, memungkinkan banyaknya
jumlah tenaga kerja di indonesia. Sumber daya manusia di indonesia, jika
di ambil langsung dari indonesia, akan memberikan keuntungan kepada
negara. Hal ini karena sumber daya yang berasal dari lokal, memiliki
harga yang lebih murah, dari pada langsung mengimpor dari luar negeri.
Selain itu, dengan memakai sumber daya manusia lokal, maka negara
telah membantu dalam program pensejahteraan masyarakat. Masyarakat
yang sejahtera, adalah salah satu ciri kesuksesan sebuah negara.
Potensi sumber daya manusia dilihat melalui jumlah tenaga kerjanya
adalah, dengan semakin banyak jumlah tenaga kerja yang diserap, maka
pembangunan sebuah negara akan semakin pesat.
3. Kualitas Sumber Daya Manusia
Jumlah penduduk yang banyak, serta jumlah tenaga kerja yang banyak,
akan tetapi jika tidak didukung oleh kemampuan skill, akan
mempengaruhi kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Jumlah sarjana
yang lulus di indonesia mencapai rata- rata hingga 250.000 per tahun. Itu
berarti setiap tahun, indonesia mampu mencetak tenaga kerja intelektual
sebanyak 250.000 orang. Akan tetapi, tidak semuak pekerja intelektual,
memdapatkan pekerjaan. Bahkan banyak lulusan universitas yang
menganggur. Rata- rata jumlah penganguran intelektual di indonesia bisa
mencapai 40% dari total sarjana.
Indonesia yang mampu mencetak sarjana sebanyak 250.000 orang,
sebenarnya memiliki kualitas sumber daya baik. Akan tetapi, lowongan
yang tidak sebanding dengan jumlah tenaga kerja, membuat tenaga kerja
inlektual di indonesia terbuang percuma. Dengan memaksimalkan potensi
pekerja inteletual, maka indonesia akan semakin cepat berkembang.

4. Banyak Kebudayaan
Salah satu hasil dari sumber daya manusia adalah kebudayaan. Indonesia
adalah negara dengan kebudayaan yang majemuk. Kebudayaan yang
majemuk adalah salah satu dari potensi sumber daya manusia di indonesia.
Karena dengan banyaknya kebudayaan, maka menarik wisatawan ke
indonesia akan semakin mudah. Masyarakat dengan kebudayaan yang
masih terjaga, juga diharapkan mampu menjaga keseimbangan alam
(Baca: ​Upaya Menjaga Keseimbangan Lingkungan Hidup​).
Kebudayaan adalah salah satu daya tarik pariwisata. Dengan
memanfaatkan kebudayaan indonesia yang majemuk, maka indonesia
akan mendapatka pendapatan dari sektor wisata. Saat ini indonesia sedang
gencar dalam melakukan upaya promosi wisata indonesia melalui proyek
Wonderful Indonesia​.
5. Banyak Orang Intelek
Orang intelek adalah salah satu potensi sumber daya manusia yang
dibutuhkan oleh indonesia. Oreang intelek di indonesia, tidak harus lulus
universitas. Lulusan SMK juga dianggap memiliki nilai intelektualitas
yang tinggi. Saat ini rata- rata lulusan universitas di indonesia setiap tahun
adalah 250.000 orang. Sedangkan lulusan SMK setiap tahun mencapai
1.087.098. dengan banyaknya jumlah inteletual yang lulus, maka potensi
sumber daya manusia di indonesia juga cukup besar. Akan tetapi, jumlah
tenaga yang terserap masih sangat sedikit. Untuk lulusan SMK, sekitar 70
persen berhasil terserap ke dunia kerja, dengan rata- rata 10 persen
meneruskan ke jenjang universitas. Akan tetapi, untuk lulusan sarjana,
hanya sekitar 60 persen yang berhasil masuk ke dunia kerja.
Sumber daya manusia di indonesia yang memiliki intelektual sangat
tinggi. Hanya saja, minimnya lapangan pekerjaan, serta minimnya skill,
dianggap sebagai penyebab masih banyak intelektual yang tidak terserap.
Beberapa sarjana, ada yang memilih bekerja di luar negeri, karena harga
yang ditawarkan lebih besar dari pada di dalam negeri.

6. Sinkronisasi Antara SDA dan SDM


Kerjasama antar SDM dan SDA sangar penting. Karena hanya manusia
yang dapat menjaga keseimbangan lingkungan (Baca: ​Peran Manusia
Dalam Menjaga Keseimbangan Lingkungan Hidup​). Menjaga serta
memanfaatkan sumber daya alam sangat diperlukan demi kemajuan
sebuah negara. Indonesia adalah negara dengan potensi keanekaragaman
hayati. Akan tetapi, jika pemakaian sumber daya alam tidak bekerja sama
dengan sumber daya manusia yang mumpuni, maka keseimbangan alam
akan terganggu. Salah satu potensi sumber daya manusia adalah dengan
cara menjaga keseimbangan ekosistem. Sehingga ekosistem di indonesia
tidak mengalami kerusakan yang parah (Baca: ​Kepentingan Menjaga
Keseimbangan Alam Sekitar​).
Potensi sumber daya manusia di Indonesia samgat melimpah. Akan tetapi
minimnya lowongan pekerkaan, di tambah dengan jumlah tenaga kerja
yang terus bertambah setiap tahun, menyebabkan jumlah pengangguran di
Indonesia terbilang tinggi.
Baca Juga:

● Potensi Sumber Daya Alam Hutan di Indonesia


● Potensi Sumber Daya Udara di Indonesia
● Potensi Sumber Daya Alam Indonesia
● Sumber Daya Manusia (SDM)​ adalah individu produktif
yang bekerja sebagai penggerak suatu organisasi, baik itu di dalam
institusi maupun perusahaan yang memiliki fungsi sebagai aset
sehingga harus dilatih dan dikembangkan
kemampuannya. Pengertian sumber daya manusia makro secara
umum terdiri dari dua yaitu SDM makro yaitu jumlah penduduk
dalam usia produktif yang ada di sebuah wilayah, dan SDM mikro
dalam arti sempit yaitu individu yang bekerja pada sebuah institusi
atau perusahaan.
● Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan suatu hal yang sangat
penting dan harus dimiliki dalam upaya mencapai tujuan organisasi
atau perusahaan. Sumber daya manusia merupakan elemen utama
organisasi dibandingkan dengan elemen sumber daya yang lain
seperti modal, teknologi, karena manusia itu sendiri yang
mengendalikan faktor yang lain.

Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor yang sangat


penting sehingga harus dikelola dengan baik untuk meningkatkan
efektivitas dan efisiensi organisasi atau perusahaan. Oleh karena
itu, Manajemen sumber daya manusia merupakan program aktivitas untuk
mendapatkan sumber daya manusia, mengembangkan, memelihara dan
mendayagunakan untuk mendukung organisasi mencapai tujuannya.

Beberapa referensi mengemukakan bahwa manajemen memiliki peran


penting untuk sumber daya manusia.

● Manajemen adalah aktivitas perencanaan pengorganisasian,


pengarahan dan pengkoordinasian dengan mempergunakan sumber
daya manusia dan sumber daya lainnya.​ Mulia Nasution (1996 : 1)
● Manajemen sumber daya manusia adalah segala potensi yang ada
pada manusia baik berupa akal pikiran, tenaga, keterampilan, emosi,
dan sebagainya yang dapat di gunakan baik untuk dirinya sendiri
maupun untuk organisasi atau perusahaan. ​Tohardi (2002 : 12)
● Manajemen personalia adalah perencanaan, pengorganisasian
pengarahan dan pengawasan kegiatan-kegiatan pengadaan,
pengembangan, pemberian kompensasi, pengintegrasian,
pemeliharaan dan pelepasan sumberdaya manusia agar tercapai
berbagai tujuan individu, organisasi dan masyarakat. ​Flippo (1996 :
5)

Sumber daya manusia saat ini memiliki pengaruh besar pada sebuah
perusahaan dimana sekarang berada pada perubahan lingkungan bisnis
yang sulit untuk diprediksi dan tidak lagi berada pada lingkungan bisnis
yang stabil. Perusahaan harus fleksibel tidak lagi bersikap kaku (
organizational rigidity). Kegiatan bisnis tidak lagi di jalankan berdasarkan
aturan saja, melainkan juga dikendalikan oleh visi dan nilai. Oleh karena
itu, memerlukan kemampuan sumber daya manusia yang dapat
diandalkan, yang memiliki wawasan, kreatifitas, pengetahuan, dan visi
yang sama dengan visi perusahaan.

Pengembangan kemampuan sumber daya manusia (SDM)


dapat disesuaikan dengan skenario strategi bisnis Perusahaan, dan rencana
induk untuk kepemimpinan (Human Capital). Peningkatan kompetensi
dari human capital dapat melalui sejumlah program pendidikan dan
pelatihan, seperti yang fokus kepada:

● Pengembangan kepemimpinan;
● Tujuan strategis Perusahaan sesuai dengan skenario dan rencana
kerja seluruh unit bisnis Perusahaan;
● Menutup kesenjangan kompetensi antara karyawan.

Sektor pariwisata merupakan salah satu sektor andalan pemerintah


Indonesia untuk menghasilkan devisa negara, oleh karena itu
pemanfaatan, pengembangan, pengelolaan dan pembiayaan kawasan
wisata harus mendapat perhatian yang serius dari pemerintah dengan
melibatkan peran lembaga-lembaga pemerintah, stakeholder yang terkait
serta partisipasi seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai kebijakan dan
program yang akan diambil. Dalam makalah ini pembahasan mengenai
kawasan wisata lebih difokuskan pada penguraian konsep dan praktik
good governance, proses dan prosedur kelembagaan, pembiayaan
pembangunan untuk pengembangan sektor pariwisata yang dikaitkan
dengan pendidikan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia
(SDM) di bidang kepariwisataan. Kajian terhadap pengembangan kawasan
wisata di Indonesia berdasarkan pada kajian pustaka yang berkaitan
dengan permasalahan-permasalahan yang timbul dari pengembangan
kawasan wisata merupakan materi yang akan dibahas dalam makalah ini.
Kajian Karakteristik dan
Dampak Lingkungan Kegiatan Petani sekitar
Hutan

Yunita Ismail Masjud

Southeast Asia Policy Research Working Paper, No. 10


Acknowledgement

This report is part of the ASB Project in Indonesia. The Asian Development Bank, under
RETA 5711, financially supported this specific work.
© Copyright ICRAF Southeast Asia

Further information please contact:

ICRAF SE-Asia
Southeast Asian Regional Research Programme
PO Box 161
Bogor 16001
Indonesia
Tel: 62 251 625415, fax: 62 251 625416
Email: icraf-indonesia@cgiar.org
ICRAF Southeast Asia website: http://www.icraf.cgiar.org/sea

Cover design: Dwiati N. Rini


Illustration design: Wiyono

Declaimer

This text is a ‘working paper’ reflecting research results obtained in the framework of ICRAF Southeast Asia
project. Full responsibility for the contents remains with the authors.
KAJIAN KARAKTERISTIK DAN DAMPAK LINGKUNGAN
KEGIATAN PETANI SEKITAR HUTAN

Yunita Ismail Masjud

PROGRAM STUDI
PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2000
KATA PENGANTAR

Kajian terhadap pemanfaatan sumberdaya alam

senantiasa aktual sepanjang masa. Demikian halnya dengan

kajian terhadap eksploitasi berlebihan terhadap hutan

alam, seperti pada kasus perambahan hutan alam untuk

dikonversi menjadi kebun kopi di DAS Way Besai, Lampung

Barat. Meskipun telah banyak studi terhadap DAS Way Besai

ini, namun diyakini bahwa Kajian Karakteristik dan Dampak

Lingkungan Kegiatan Petani Sekitar Hutan ini, dapat

memberikan kontribusi untuk memperoleh gambaran yang

lebih lengkap tentang DAS Way Besai.

Studi ini tidak dapat terlaksana tanpa bantuan

teknis dan finansial dari ICRAF (International Centre for

Research in Agroforestry). Kepada Mr. Chip Fay (ICRAF),

penulis mengucapkan penghargaan dan terima kasih.

Penghargaan dan terima kasih juga disampaikan kepada yang

terhormat Prof Dr Ir Naik Sinukaban (Ketua Komisi

Pembimbing), Dr Ir Bunasor Sanim (Anggota Komisi

Pembimbing), serta Dr Ir A. Ngaloken Gintings (Anggota

Komisi Pembimbing).

Bogor, Desember 2000

Penulis
DAFTAR ISI

halaman
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
EXECUTIVE SUMMARY

PENDAHULUAN ……………………………………………………………………………………………………………. 1
Latar Belakang ……………………………………………………………………………………………. 1
Rumusan Masalah …………………………………………………………………………………………. 3
Kerangka Pemikiran …………………………………………………………………………………. 3
Tujuan …………………………………………………………………………………………………………………. 5

METODOLOGI ………………………………………………………………………………………………………………. 6
Lokasi dan Waktu Penelitian …………………………………………………………. 6
Metode Pengumpulan Data ……………………………………………………………………. 7
Penelitian Sosial Ekonomi ………………………………………………………. 7
Penelitian Fisik Lingkungan …………………………………………………. 8
Macam dan Jenis Data ……………………………………………………………………………. 9
Analisis Data ………………………………………………………………………………………………. 9

TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………………………………………………………. 14


Hutan dan Fungsinya ………………………………………………………………………………. 14
Erosi dan Dampaknya ……………………………………………………………………………. 17
Penyelamatan Hutan …………………………………………………………………………………. 19

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ………………………………………………………. 21


DAS Way Besai ………………………………………………………………………………………………. 21
Dari Kolonisasi Sampai Transmigrasi Lokal ……………………. 22

HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………………………………………………………. 29


Masyarakat Das Way Besai …………………………………………………………………. 29
Karakteristik Sosial ……………………………………………………………………. 29
Karaktaristik Ekonomi ……………………………………………………………….. 39
Karakteristik Kemasyarakatan…………………………………………………. 51
Model Pemberdayaan Masyarakakat ……………………………………………. 54

KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………………………………………………. 57


Kesimpulan ………………………………………………………………………………………………………. 57
Saran …………………………………………………………………………………………………………………. 58
DAFTAR TABEL

Teks halaman

1. Reit Perkembangan Jumlah Penduduk dan


Luas Kawasan Hutan di Wilayah Desa ………………………………. 28

2. Rata-rata Lamanya Pengalaman Bertani Responden…. 30

3. Rata-rata Biaya Produksi per ha Kebun Kopi


Bermur satu Tahun Berdasrakan etnis
Asal Responden (Rp/ha) ………………………………………………………………. 47

4. Rata-rata Produksi, Harga Jual dan


Pendapatan Responden Berdasarkan Asal Etnis ………. 48

5. Total Pengeluaran Rutin Selama Setahun


Terakhir Responden Berdasarkan Asal
Etnis (Rupiah) ……………………………………………………………………………………. 49

6. Status Pembuatan Teras pada Kebun Kopi


Berdasarkan Asal Etnis Responden ……………………………………. 50

7. Rata-rata Persen Aliran Permukaan


dan Total Erosi pada Masing-masing
Tipe Penggunaan Lahan ………………………………………………………………….

8. Rata-rata Aliran Permukaan pada Kebun Kopi


Dengan Pohon Penaung dan Tidak (%) …………………………….

9. Rata-rata Aliran Permukaan pada Kebun Kopi


Dengan Kondisi Bersih dari Rumput dan serasah
Dengan Tidak Bersih (%) ………………………………………………………….

10. Rata-rata aliran permukaan pada Kebun Kopi


Dengan Guludan dan Tidak Berguludan ………………………….

11. Total Erosi pada Kebun Kopi dengan


Pohon Penaung dan Tidak (ton/ha) ………………………………….

12. Total Erosi pada Kebun Kopi yang


Bersih dan Tidak Bersih (ton/ha) ………………………………….

13. Total Erosi pada Kebun Kopi yang


Berguludan dan yang Tidak (ton/ha) …………………………….
DAFTAR GAMBAR

Teks halaman

1. Kerangka Pemikiran yang Digunakan


Dalam Penelitian Kajian Karakteristik
Dan Dampak Lingkungan Kegiatan
Perambah Hutan ……………………………………………………………………………………. 4

2. Lokasi Penelitian Kajian Karakteristik dan


Dampak Lingkungan Petani Sekitar Hutan ……………………. 7

3. Metode Pengumpulan Data Karakteristik


Sosial Ekonomi Petani Sekitar Hutan …………………………. 9

4. Perkembangan Jumlah Penduduk Kecamatan


Sumberjaya 1993 dan 1998 ………………………………………………………….

5. Luas Kawasan Hutan di Desa dan Perkembangan


Jumlah Penduduk Desa Penelitian (11 Desa) …………….

6. Distribusi Curah Hujan Bulanan


Di DAS Way Besai ……………………………………………………………………………….

7. Distribusi Hujan Menjadi Aliran Permukaan


(Quick Flow and Base Flow) DAS Way Besai ……………….

8. Distribusi Responden Berdasarkan Golongan


Umur ………………………………………………………………………………………………………………. 29

9. Perbandingan antara Distribusi Umur dengan


Distribusi Lama Pengalaman Bertani (TH)
Responden …………………………………………………………………………………………………. 31
10. Berbagai Cara Mendapatkan Kebun Kopi dari
Etnis Semendo, Jawa dan Sunda ……………………………………………. 36

11. Distribusi Responden Berdasarkan Sumber Bibit


Yang Ditanam ……………………………………………………………………………………………. 43

12. distribusi Responden Berdasarkan Luas Kebun


Kopi yang Dikuasai dan Dimiliki …………………………………………. 45

13. Rata-rata Luas Lahan yang dikuasai dan Dimiliki


Responden dari Penelitian-penelitian ……………………………. 45
EXECUTIVE SUMMARY

Pemanfaatan sumberdaya hutan perlu dilakukan dengan


memperhatikan prinsip kelestarian. Pemanfaatan hutan
dengan mengkonversinya menjadi kebun kopi akan
menyebabkan fungsi hutan sebagai pencegah erosi
menjadi berkurang. Apalagi jika konversi kawasan
hutan ini dilakukan pada daerah hulu DAS, yang
merupakan daerah dengan kemiringan lereng lebih dari
15%.

DAS Way Besai adalah salah satu DAS yang mengalami


tekanan akibat kepadatan penduduk. DAS Way Besai
mulai dibuka pada jaman kolonial Belanda yaitu pada
tahun 1905, dan terus berlanjut baik melalui program
transmigrasi umum maupun transmigrasi lokal. Akibat
kedatangan penduduk secara bergelombang ini,
pembukaan kawasan hutan dalam wilayah DAS Way Besai
semakin meluas.

Etnis utama yang mendiami kawasan DAS Way Besai


adalah Jawa, Sunda dan Semendo, yang ketiganya hidup
berdampingan akan tetapi letak rumah masing-masing
etnis berkumpul dan berdekatan antara sesama etnis.
Proses interaksi antar etnis berlangsung lama dan
memerlukan bantuan pihak ketiga untuk
mempercepatnya. Etnis Jawa dan Sunda pada umumnya
memelihara kebun kopinya sendiri, sedangkan entis
Semendo menggunakan tenaga upahan (bujangan) untuk
menjaga dan memelihara kebun kopinya.

Tipe kebun kopi yang diusahakan dibedakan atas: (1)


kebun kopi dengan pohon penaung, tanah di bawah
tanaman kopi bersih dari rumput dan serasah, dan ada
guludan (PPBrG); (2) kebun kopi dengan pohon
penaung, tanah di bawah tanaman kopi tidak bersih
dari rumput dan serasah, dan ada guludan (PPtBrG);
(3) kebun kopi dengan pohon penaung, tanah di bawah
tanaman kopi bersih dari rumput dan serasah, dan
tidak ada guludan (PPBrtG); (4) kebun kopi dengan
pohon penaung, tanah di bawah tanaman kopi tidak
bersih dari rumput dan serasah, dan tidak ada
guludan (PPtBrtG); (5) kebun kopi tidak ada pohon
penaung, tanah di bawah tanaman kopi bersih dari
rumput dan serasah, dan ada guludan (tPPBrG); (6)
kebun kopi tidak ada pohon penaung, tanah di bawah
tanaman kopi tidak bersih dari rumput dan serasah,
dan ada guludan (tPPtBrG); (7) kebun kopi tidak ada
pohon penaung, tanah di bawah tanaman kopi bersih
dari rumput dan serasah, dan tidak ada guludan
(tPPBrtG); (8) kebun kopi tidak ada pohon penaung,
tanah di bawah tanaman kopi tidak bersih dari rumput
dan serasah, dan tidak ada guludan (tPPtBrtG).

Tipe kebun kopi dengan pohon penaung, bersih dari


serasah dan rumput serta berguludan mengakibatkan
persen aliran permukaan dan total erosi yang paling
kecil.
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemanfaatan sumberdaya secara maksimal untuk kesejahteraan seluruh rakyat

merupakan tujuan yang luhur dan patut untuk didukung pencapaiannya. Indonesia

memiliki sumberdaya yang berlimpah, akan tetapi kekeliruan pemanfaatannya dimasa

lampau membuat negara ini harus menerima kerusakannya. Pemanfaatan dengan tetap

memperhatikan prinsip kelestarian merupakan batasan yang harus benar-benar kita

patuhi. Dengan memperhatikan prinsip kelestarian, generasi mendatang tetap dapat

mengambil manfaat dari sumberdaya tersebut.

Prinsip kelestarian dari segi ekonomi, bahwa kegiatan pembangunan tersebut

dapat mendukung kebutuhan ekonomi dari pelakunya. Lestari dari segi lingkungan,

bahwa kegiatan pembangunan tersebut tidak menimbulkan kerusakan lingkungan,

misalnya menyebabkan erosi yang tinggi, aliran permukaan yang tinggi sehingga

menimbulkan banjir, dan sebagainya. Dan lestari dari segi sosial bahwa kegiatan

pembangunan tersebut dapat diterima masyarakat, tidak bertentangan dengan agama,

kepercayaan dan nilai budaya masyarakat.

Salah satu sumberdaya yang telah dieksploitir dengan tanpa memperhatikan

kelestariannya adalah sumberdaya hutan. Sumberdaya hutan telah memberikan

sumbangan yang besar terhadap pembangunan. Tetapi akibatnya hutan menjadi rusak

bahkan berubah menjadi padang ilalang atau padang pasir.

Sampai saat ini pembukaan hutan masih tetap terjadi. Sebagai contoh yang

terjadi di Propinsi Lampung. Insentif harga kopi yang tinggi membuat masyarakat

terus merambah dan membuka hutan untuk ditanam kopi. Pembuatan kebun kopi di

dalam kawasan hutan terus terjadi. Menurut Syam Mishide et al. 1997 pada periode

1978 sampai 1990 kebun kopi monokultur meningkat dari 21 persen menjadi 41

1
persen dari seluruh penggunaan lahan, sedangkan kebun kopi campuran meningkat

dari 1 persen menjadi 19 persen. Berbagai usaha telah dilakukan pemerintah untuk

menghentikan kegiatan pembukaan hutan ini, seperti dengan memindahkan

masyarakat yang ada di kawasan hutan seperti dengan program transmigrasi lokal

(translok), mengerahkan jagawana untuk menjaga hutan, melakukan razia mendadak

terhadap penebang liar dan sebagainya. Akan tetapi usaha ini belum menunjukkan

hasil yang diinginkan. Kawasan hutan yang telah dikosongkan kembali diusahakan

oleh masyarakat.

Kegiatan pembukaan hutan ini menyebabkan rusaknya fungsi hutan, seperti

fungsi sumber keanekaragaman hayati, fungsi menjaga tata air, fungsi pembersih

udara dan lain-lain. Saat ini telah diusahakan untuk memperbaiki fungsi hutan ini,

walaupun mungkin tidak dapat berfungsi sebaik pada saat hutan masih alami, tetapi

paling tidak sebagian fungsi tersebut masih ada.

Dalam kasus dibukanya hutan untuk dijadikan kebun kopi, secara sederhana

dapat diduga bahwa fungsi hutan menjaga tata air dan sebagai pembersih udara masih

dapat diperoleh. Hal tersebut karena tanaman kopi merupakan juga tanaman berkayu

dan mempunyai tajuk yang cukup lebar untuk melindungi tanah. Masalahnya apakah

benar kebun kopi tidak mengakibatkan dampak lingkungan yang buruk dan

sebenarnya sistem pengelolaan kebun kopi yang bagaimana yang dapat

mempertahankan fungsi hutan dengan juga dapat memberikan manfaat ekonomi.

Sebenarnya bagaimana karakteristik masyarakat di sekitar hutan yang berpotensi

besar untuk merambah hutan. Jika ada program pemerintah untuk menyelamatkan

hutan, pendekatan yang bagaimana sebaiknya dilakukan agar masyarakat juga

berperan dalam penyelamatan tersebut. Hal-hal ini yang mendorong penulis untuk

melakukan penelitian ini.

2
Rumusan Masalah

1. Bagaimana karakteristik petani sekitar hutan?;

2. Bagaimana tingkat erosi dan aliran permukaan yang ditimbulkan pada berbagai

penggunaan lahan yang ada di DAS Way Besai?;

3. Bagaimana pola pemberdayaan masyarakat yang dapat dibuat sehingga

kelestarian hutan dapat terjaga dengan tetap memberikan manfaat ekonomi bagi

masyarakat?.

Kerangka Pemikiran

Dalam penelitian ini dicoba untuk mencari titik temu antara pemanfaatan

kawasan hutan dengan perlindungan terhadap kawasan hutan lindung. Secara

skematik disajikan dalam Gambar 1.

Karakteristik petani sekitar hutan diperoleh dengan memperhatikan kegiatan

ekonomi, sosial dan kemasyarakatannya. Kegiatan ekonomi menyangkut kegiatan

usahatani yang dilakukan petani sekitar hutan di dalam kawasan hutan. Kegiatan

sosial termasuk umur, pengalaman bertani, jumlah anggota keluarga, etnis asal, dan

kondisi rumah. Kegiatan kemasyarakatan termasuk pola gerak penduduk, pola

adaptasi, pola kepemimpinan dan berbagai kelembagaan lainnya.

Dari survey seluruh wilayah DAS diperoleh tipe-tipe penggunaan lahan. Pada

masing-masing tipe penggunaan lahan diduga dan diukur tingkat erosi dan aliran

permukaan yang terjadi di usahataninya. Dengan demikian akan diperoleh dampak

lingkungan berupa tingkat erosi dan aliran permukaan dari masing-masing tipe

penggunaan lahan di DAS Way Besai.

3
KARAKTERISTIK KARAKTERISTIK KARAKTERISTIK
SOSIAL EKONOMI KEMASYARAKATAN
(X1,X2,X3,X4) X5,X6,X7,X8,X9, (X14,X15)
X10,X11,X12,X13)

KARAKTERISTIK TINGKAT EROSI


PETANI SEKITAR DAN
HUTAN ALIRAN PERMUKAAN

PEMANFAATAN HUTAN

EKONOMIS EKOLOGIS

FUNGSI HUTAN

: mempengaruhi : terdiri dari

Gambar 1. Kerangka pemikiran yang digunakan pada penelitian Kajian


Karakteristik dan Dampak Lingkungan Kegiatan Petani Sekitar Hutan

Tujuan

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui karakteristik petani sekitar hutan secara lengkap, sehingga

dapat dibuat suatu pendekatan dari bawah dalam pengelolaan kebun kopi yang

menerapkan prinsip-prinsip kelestarian;

4
2. Agar mengetahui dampak lingkungan berupa tingkat erosi dan aliran

permukaan yang diakibatkan oleh kegiatan pengelolaan kebun kopi oleh

masyarakat;

3. Untuk memperoleh pola pemberdayaan masyarakat yang dapat diterapkan

dalam pengelolaan kebun kopi dengan tetap memperoleh manfaat ekonomi

tanpa merusak lingkungan.

5
METODOLOGI

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di DAS Way Besai, yang secara administrasi

pemerintahan termasuk Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat Propinsi

Lampung. DAS Way Besai merupakan bagian dari DAS Tulang Bawang, yang

terletak antara 4°15’ sampai 5°15’ LS dan 104°15’ sampai 104°30’ BT.

DAS Way Besai secara keseluruhan luasnya 44.549,14 ha dimulai dari

perbatasan Kecamatan Sumberjaya dengan Kecamatan Sekincau

sampai dengan bendungan pembangkit listrik yang terletak di desa Sukajaya. Dari

keseluruhan wilayah DAS tersebut terdapat wilayah yang termasuk kawasan hutan

lindung (12.912 ha atau 29 persen) dan wilayah taman nasional (7.896,86 ha atau 18

persen). Jadi kira-kira 47 persen dari wilayah DAS ini merupakan kawasan hutan

lindung dan taman nasional dan sebagai bagian hulu DAS. Kawasan hutan lindung

yang termasuk wilayah DAS ini adalah Register 44B (Tenong Kenali) dan Register

45B (Bukit Rigis). Sedangkan wilayah yang termasuk taman nasional yaitu Register

46B (Bukit Sekincau) yang merupakan bagian dari Taman Nasional Bukit Barisan.

Penelitian dimulai pada bulan April 1999 sampai dengan bulan Maret 2000.

Pada bulan April 1999 dilakukan survey untuk mengidentifikasi kawasan hutan yang

dirambah untuk mendapatkan tipe-tipe penggunaan lahan yang ada sekitar kawasan

hutan tersebut. Identifikasi penggunaan lahan ini hanya dilakukan pada lahan yang

kemiringannya melebihi atau sama dengan 40 persen. Hal ini dengan pertimbangan

bahwa kemiringan tersebut paling banyak ditemukan di wilayah DAS ini. Selain itu

dari survey ini juga diperoleh desa-desa yang dipilih sebagai desa penelitian yang

mewakili desa-desa di keseluruhan DAS.

6
Metode Pengumpulan Data

Penelitian terdiri dari dua jenis kegiatan penelitian, yaitu penelitian sosial

ekonomi dan penelitian fisik lingkungan.

Penelitian Sosial Ekonomi

Dari hasil survey awal telah dipilih secara sengaja desa-desa yang mewakili

desa di keseluruhan DAS, terutama desa yang berada di sekitar kawasan hutan Bukit

Tenong Kenali (Register 44B), Bukit Rigis (Register 45B) dan Gunung Sekincau

(Register 46B). Pertimbangan yang digunakan adalah bahwa desa-desa tersebut

menyebar secara merata di seluruh DAS Way Besai. Di sekitar kawasan hutan Bukit

Rigis diperoleh desa Pura Jaya, Gedung Serian, Sumber Alam, dan Muara Jaya. Di

sekitar kawasan hutan Bukit Tenong Kenali dipilih desa Suka Pura, Sindang Pagar,

Suka Jaya, Suka Nanti, dan Tanjung Raya. Sedangkan di sekitar kawasan Gunung

Sekincau diwakili desa Tambak Jaya dan Tri Mulyo.

7
Survei Pendahuluan

Bukit Bukit Rigis Gunung

Purposive Sampling : Desa-


desa yang terpilih di
seluruh DAS

Gambar 3. Metode Pengumpulan Data Karakteristik Sosial Ekonomi Petani


Sekitar Hutan

Pada desa-desa terpilih disebar kuesioner lengkap yang berisikan keterangan

mengenai kondisi keluarga dan usahatani petani. Hasil penyebaran kuesioner ini

digunakan untuk melihat kondisi keluarga, kehidupan kemasyarakatan dan pola

usahatani yang dilakukan petani. Kemudian dilakukan wawancara mendalam dengan

tokoh masyarakat untuk mendapatkan keterangan yang lebih lengkap mengenai

keadaan masyarakat.

Penelitian Fisik Lingkungan

Dari survey awal diperoleh tipe-tipe penggunaan lahan di keseluruhan DAS.

Pada setiap tipe penggunaan lahan dipasang plot pengukuran erosi dan aliran

permukaan. Plot erosi ini berukuran (1x4) m, dan dipasang dua plot (2 kali ulangan)

pada setiap tipe penggunaan lahan.

Air yang tertampung pada bak penampung pada setiap kejadian hujan dicatat

tinggi airnya, baik di bak 1 maupun di bak 2. Setelah itu air pada bak 1 diaduk dan

diambil sampelnya, kemudian kedua bak tersebut dibersihkan kembali. Sampel air

yang diperoleh dikeringkan di oven dan ditimbang berat sedimannya.

8
Kemiringan lereng pada setiap plot diukur dengan menggunakan klinometer.

Pada setiap lokasi plot diambil contoh tanah terganggu dan contoh tanah tidak

terganggu untuk diperiksa di laboratorium. Contoh tanah ini digunakan untuk

pendugaan erosi yang dilakukan dengan menggunakan metode USLE.

Macam dan Jenis Data

Pada penelitian sosial ekonomi, jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data

primer dan sekunder. Data primer yang dikumpulkan adalah: data keragaan usahatani

petani, data penerimaan dan pengeluaran keluarga petani, data identitas petani, dan

data kegiatan kemasyarakatan petani. Data sekunder yang dikumpulkan adalah: data

demografi desa dan pendapatan daerah.

Pada penelitian fisik lingkungan dikumpulkan data untuk menduga erosi dan

aliran permukaan, data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan

meliputi:

1. Besarnya erosi pada setiap kejadian hujan pada usahatani setiap tipe penggunaan

lahan;

2. Data sifat fisik tanah, seperti tekstur, struktur, berat jenis, permeabilitas dan

kandungan bahan organik;

3. Data sifat kimia, seperti kandungan Nitrogen, Fosfat dan Kalium.

Data sekunder yang dikumpulkan adalah :

1. Data curah hujan, yang meliputi data jumlah curah hujan, jumlah hari hujan dan

curah hujan maksimum;

2. Peta topografi dan kelas lereng.

Analisis Data

Data dari penelitian fisik lingkungan digunakan untuk pendugaan erosi dengan

metode yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978) yang disebut

9
Universal Soil Loss Equation (USLE). Persamaan USLE yang digunakan adalah

sebagai berikut :

A = R K L SC P

dimana :

A : Banyaknya tanah tererosi dalam ton per hektar per tahun

R : Faktor curah hujan dan aliran permukaan, persamaan EI30 yang digunakan adalah

yang dikembangkan Bols (1978), yaitu :

EI30 = 6,119 (RAIN)1,21 (DAYS)-0,47 (MAXP)0,53 (3.1)

yang bermakna :

EI30 : indeks erosi hujan bulanan

RAIN : curah hujan rata-rata bulanan dalam sentimeter

DAYS : jumlah hari hujan rata-rata per bulan

MAXP : curah hujan maksimum selama 24 jam dalam bulan

bersangkutan.

K : Faktor erodibilitas tanah, perhitungan faktor ini dengan menggunakan

persamaan berikut :

100 K = 1,292 [2,1 M1,14 (10-4)(12 - a)+ 3,25 (b - 2) + 2,5 (c - 3) (3.2)

yang bermakna :

K : faktor erodibilitas tanah

M : persentase pasir sangat halus dan debu yang diperoleh dari perhitungan

(% debu + % pasir sangat halus) x (100 - % liat)

Debu (0,05 - 0,002 mm)

pasir sangat halus (0,10 - 0,05 mm)

liat ( < 0,002 mm)

a : persentase bahan organik

10
b : kode struktur tanah yang dipergunakan dalam klasifikasi

tanah (Lampiran 1)

c : kelas permeabilitas profil tanah (Lampiran 2)

LS : Faktor lereng. Nilai LS untuk suatu tanah dapat dihitung dengan persamaan

berikut :

LS = √ X (0,0138 + 0,00965 s + 0,00138 s2 (3.3)

yang bermakna :

LS : faktor panjang dan kemiringan lereng

X : panjang lereng dalam meter

s : kecuraman lereng dalam persen

C : Faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman. Faktor C disajikan

pada Lampiran 3.

P : Faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah. Nilai P disajikan Lampiran 4.

Selain dilakukan pendugaan erosi, juga dihitung erosi potensial dan erosi yang

masih dapat diperkenankan, atau disebut sebagai nilai T. Erosi potensial dihitung

dengan rumus :

EP = R K L S (3.4)

dimana : EP : Erosi potensial tahunan (ton/ha/tahun)

R : Faktor erosivitas hujan

K : Faktor erodibilitas tanah

LS : Faktor topografi

Nilai T dihitung dengan rumus :

kedalaman ekivalen (mm)


T = ---------------------------------- (3.5)
umur guna (tahun)

11
Kedalaman ekivalen adalah kedalaman tanah yang setelah mengalami erosi

produktivitasnya berkurang dengan 60 persen dari produktivitas tanah yang tidak

tererosi (Arsyad, 1989). Kedalaman ekivalen diperoleh dari perkalian antara nilai

faktor kedalaman tanah dengan kedalaman efektif tanah. Kedalaman efektif tanah

adalah kedalaman tanah sampai suatu lapisan (horison) yang menghambat

pertumbuhan akan tanaman. Nilai faktor kedalaman tanah dari berbagai jenis tanah

disajikan Lampiran 5.

Data erosi dan aliran permukaan hasil pengukuran dan data erosi hasil

pendugaan ini digunakan untuk mengklasifikasikan usahatani kopi di kawasan hutan

berdasarkan dampak lingkungan yang diakibatkannya.

Data karakteristik perambah hutan terdiri dari peubah sebagai berikut:

X1 : Umur perambah (tahun)

X2 : Pengalaman bertani (tahun)

X3 : Jumlah anggota keluarga (orang)

X4 : Etnis asal

X5 : Jenis pupuk yang digunakan

X6 : Jenis benih yang digunakan

X7 : Jenis pestisida yang digunakan

X8 : Luas lahan yang diusahakan

X9 : Biaya usahatani kopi

X10 : Produksi usahatani kopi

X11 : Pendapatan rumah tangga

X12 : Pengeluaran rumah tangga

X13 : Teknik konservasi yang dilaksanakan

X14 : Pengetahuan mengenai fungsi hutan lindung

12
X15 : Keikutsertaan dalam organisasi desa

Semua data di atas diterangkan secara deskriptif, sehingga akan diperoleh

karakteristik dari perambah hutan secara lengkap.

Untuk melihat interaksi antar keadaan kebun kopi dan pengaruhnya terhadap

tingkat erosi dan aliran permukaan yang terjadi pada delapan tipe penggunaan lahan

yang bervariasi pada ada tidak pohon penaung, kondisi di bawah kebun kopi bersih

atau tidak dan ada tidaknya guludan dilakukan perhitungan dengan menggunakan

rancangan faktorial dengan 3 faktor dan 2 kali ulangan.

13
TINJAUAN PUSTAKA

Hutan dan Fungsinya

Sumberdaya hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbarui

(renewable). Akan tetapi pembaharuannya ini membutuhkan waktu yang sangat panjang. Hal

ini berhubungan dengan daur hidup pohon yang membentuk hutan, yang membutuhkan

puluhan tahun untuk dapat siap dipanen. Jadi kegiatan pembaharuan sumberdaya ini

melibatkan lebih dari satu generasi manusia. Dengan demikian kegiatan perbaikan dan

pemanfaatan sumberdaya hutan membentuk rentang waktu perencanaan yang sangat panjang.

Selain hasil hutan kayu dan non kayu yang dapat digunakan untuk memenuhi

kebutuhan manusia (manfaat ekonomisnya), hutan juga mempunyai fungsi ekologis. Fungsi

ekologis hutan seperti sebagai pengatur aliran air, mencegah atau mengurangi bahaya erosi,

memelihara sumber-sumber genetis dan sebagai objek wisata (Steinlin, 1988). Bahkan ada

yang mensinyalir hutan dapat mempengaruhi iklim dalam hal ini suhu dan curah hujan.

Walaupun masih banyak perbedaan pendapat tentang fungsi hutan sebagai regulator tetapi

anggapan ini telah banyak memacu kegiatan-kegiatan konservasi. Hutan sebagai regulator

maksudnya hutan dapat menyimpan air selama musim hujan dan melepaskannya pada musim

kemarau. Hujan yang jatuh di atas hutan sebagian besar ditangkap oleh tajuk hutan dan dahan

pepohonan tanpa menyentuh tanah. Air menguap dengan cepat dan kembali ke daur

hidrologisnya. Sebagian lagi dikembalikan ke atmosfir melalui transpirasi oleh tumbuhan.

Tenaga curah hujan yang mencapai tanah sudah sangat berkurang. Lapisan serasah dan

permukaan tanah yang renggang segera menyerap air yang menembusnya sehingga sedikit

saja limpasan yang ada di permukaan. Air tersebut akan mengalir melalui aliran bawah tanah

secara perlahan-lahan ke sungai. Sehingga suplai air dapat terkendali tidak berlimpah pada

musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau.

14
Secara umum, kenaikan aliran air disebabkan oleh penurunan penguapan air oleh

vegetasi (transpirasi), dengan demikian aliran air permukaan dan air tanah menjadi lebih

besar (Asdak, 1995). Hasil penelitian Bosch and Hewlett, 1982; Hamilton and King, 1984;

Bruijnzeel, 1990; Malmer, 1992 semuanya dalam Asdak, 1995, yang dilakukan secara

intensif tentang pengaruh pengaturan jumlah dan komposisi vegetasi terhadap perilaku aliran

air menunjukkan bahwa aliran air tahunan meningkat apabila vegetasi dihilangkan atau

dikurangi dalam jumlah besar.

Menurut Hibbert, 1983 dan Bosch and Hewlett, 1983 dalam Asdak, 1995, bahwa

jumlah aliran air meningkat apabila :

1. Hutan ditebang atau dikurangi dalam jumlah cukup besar;

2. Jenis vegetasi diubah dari tanaman yang berakar dalam menjadi tanaman berakar

dangkal;

3. Vegetasi penutup tanah diganti dari tanaman dengan kapasitas intersepsi tinggi ke

tanaman dengan tingkat intersepsi yang rendah.

Jadi jumlah aliran air lebih dipengaruhi oleh jumlah dan jenis vegetasi yang ada. Faktor lain

yang juga mempengaruhi jumlah aliran air adalah iklim, jenis tanah dan persentasi luas DAS

(Asdak, 1995).

Pengaruh hutan terhadap iklim dalam hal ini suhu yaitu pemanasan global, dianggap

terlalu berlebihan, tetapi pengaruhnya terhadap curah hujan lebih diyakini kebenarannya

walaupun masih ada perbedaan pendapat. Hilangnya hutan menyebabkan evapotranspirasi

menjadi berkurang, padahal evapotranspirasi merupakan sumber utama uap air. Jadi

perubahan vegetasi penutup tanah dari hutan menjadi bentuk vegetasi penutup tanah lainnya

(bukan hutan) menyebabkan penurunan kuantitas hujan lokal (Asdak, 1995). Penurunan

curah hujan ini sebagian besar disebabkan oleh perubahan kekasaran permukaan tajuk hutan

dan perubahan albedo. Penurunan kekasaran permukaan tajuk hutan menurunkan besarnya

15
evapotranspirasi (dan meningkatkan suhu udara), sedangkan meningkatnya albedo

merupakan penyebab utama berkurangnya aliran kelembaban udara (dihitung dari beda antara

presipitasi dan evapotranspirasi). Kombinasi dari kedua faktor tersebut menyebabkan

penurunan curah hujan di daerah tersebut (Lean dan Warrilow, 1989 dalam Asdak,1995).

Fungsi hutan yang lain adalah sebagai pencegah erosi. Dengan hutan dibuka berarti

air hujan langsung jatuh ke tanah. Energi curah hujan tersebut akan besar sekali dalam

menghancurkan tanah. Setelah butir-butir tanah hancur akan mudah dibawa aliran air.

Lapisan tanah terbuka tidak banyak lagi menyerap air sehingga aliran permukaan akan

meningkat. Dengan makin meningkatnya jumlah aliran air permukaan bararti butir-butir

tanah yang mampu dibawa juga makin banyak. Lapisan tanah bagian atas yang subur akan

terbawa aliran air masuk ke sungai dan dapat menyebabkan penyuburan perairan yang akan

menyebabkan booming alga.

Lapisan tanah yang subur di tanah hutan sebenarnya tipis (Lubis, 1988). Jadi jika

hutan dibuka maka lapisan tanah yang subur ini segera akan hanyut oleh aliran air dan

tinggallah tanah yang kurang subur. Dengan demikian pendapat bahwa tanah di hutan adalah

tanah subur tidak tepat benar. Tumbuhan hutan dapat tumbuh subur karena siklus biomassa

yang dihasilkan langsung digunakan oleh tumbuhan yang bersangkutan. Pada hutan yang

sudah dewasa terjadi keseimbangan antara produksi dan kehilangan biomassa (Steinlin,

1988). Pengikatan bersih karbon dan produksi bersih oksigen hanya terjadi di hutan yang

dalam tahapan pembentukan (memproduksi biomassa terus menerus).

Fungsi hutan sebagai penghasil kayu seringkali menyebabkan hutan tidak dapat

memberikan fungsinya yang lain. Pengalaman Indonesia dalam memanfaatkan sumberdaya

hutan dapat menjadi pelajaran yang baik. Pada awal Pelita I pemerintah memutuskan untuk

memanfaatkan sumberdaya hutan untuk membiayai pembangunan. Sumberdaya hutan

dianggap sebagai sumberdaya yang tersedia berlimpah dan dapat langsung dimanfaatkan.

16
Pada saat itu banyak pengusaha yang bukan pegusaha kehutanan ikut serta dalam

mengaksploitasi hutan. Akibatnya hutan dieksploitasi tanpa memperhatikan sifat-sifat khas

dari sumberdaya hutan itu sendiri dan dengan cara-cara yang tidak memperhatikan kaidah-

kaidah kelestarian. Hasil dari kebijakan pada saat itu, sekarang dapat dinikmati hasil

pembangunan tetapi sumberdaya hutan sebagian besar menjadi hancur.

Perusakan hutan selain karena keserakahan segelintir kaum bermodal juga karena

adanya tuntutan kebutuhan lahan bagi penduduk yang terus bertambah. Populasi yang

berlebih merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan, termasuk hutan. Menurut

Chiras, 1985 faktor-faktor lain yang menyebabkan kerusakan lingkungan adalah konsumsi

per kapita, politik dan kebijaksanaan publik. Masing-masing faktor, sendiri-sendiri atau

bersama-sama, menyebabkan berbagai masalah terhadap lingkungan sehingga mengakibatkan

kerusakan lingkungan.

Menurut Soemarwoto, 1994, kerusakan lingkungan merupakan tanda-tanda telah

terlampauinya daya dukung lingkungan. Lingkungan telah dieksploitasi melebihi

kemampuannya dalam mendukung kehidupan. Konsep daya dukung berhubungan dengan

jumlah penduduk yang dapat didukung sumberdaya di suatu tempat yang akan mendukung

kehidupan penduduk tersebut. Menurut Odum, 1971, pengertian daya dukung (carrying

capacity) adalah jumlah populasi manusia yang optimal, yang dalam jangka panjang dapat

dipenuhi kebutuhannya oleh suatu satuan ;ingkungan atau sumberdaya alam. Dengan

demikian pertambahan jumlah penduduk akan sangat mempengaruhi pemanfaatan

lingkungan.

Erosi dan Dampaknya


Erosi sebenarnya adalah proses berpindahnya atau terangkutnya tanah atau sebagian

tanah di permukaan dari suatu tempat ke tempat lain oleh air atau angin (Sinukaban, 1989

Arsyad, 1989). Sebenarnya tanpa campur tangan manusia erosi tetap terjadi, tetapi laju erosi

17
yang terjadi sama dengan laju pembentukan tanah, sehingga erosi ini tidak menyebabkan

kerusakan tanah. Erosi seperti ini disebut erosi geologi.

Akan tetapi dengan makin intensifnya pemanfaatan lahan, makin besarnya tekanan

penduduk terhadap lahan dan lahan-lahan yang berlereng curam dibudidayakan, maka erosi

dipercepat mulai terjadi. Erosi dipercepat menyebabkan kerusakan tanah dna dapat merubah

tanah menjadi tanah kritis dan marjinal.

Proses erosi terdiri dari dua sub proses, yaitu 1. Penghancuran struktur tanah menjadi

butir-butir primer oleh energi tumbuk butir-butir hujan dan perendaman oleh air yang

tergenang dan pemindahan butir-butir tanah oleh percikan hujan, dan 2. Penghancuran

struktur tanah diikuti pengangkutan butir-butir tanah tersebut oleh aliran permukaan (Arsyad,

1989; Goldman et al., 1986). Jadi terinci proses erosi terdiri dari empat fase, yaitu

pemecahan, pengangkatan, pengangkutan dan pengendapan butir-butir tanah dalam

pergerakannya mengikuti saluran air (Stalling, 1957; Bubenzer, 1980 dalam Sinukaban,

19889).

Erosi dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak dapat dirubah oleh manusia, seperti

iklim dalam hal ini curah hujan, tipe tanah dan kecuraman lereng, dan faktor-faktor yang

dapat dirubah oleh manusia seperti sifat-sifat tahan seperti kesuburan tanah, ketahanan

agregat, kapasitas infiltrasi dan satu unsur topografi yaitu kelerengan (Arsyad, 1989).

Dampak yg ditimbulkan erosi dan sedimentasi dapat berupa dampak lingkungan

maupun dampak ekonomi. Dampak lingkungan seperti penyebab terjadinya ledakan alga

yang akan mengurangi kejernihan air, mengurangi ketersediaan oksigen di air dan

mengakibatkan kematian ikan, gerakan sedimen di air akan mengganggu kegiatan fotosintesis

tumbuhan air. Dampak ekonominya seperti berkurangnya umur pakai waduk karena terjadin

pendangkalan dan berkurangnya kemampuan tanah mendukung pertumbuhan tanaman

sehingga produksi menurun.

18
Dampak erosi dapat langsung atau tidak langsun (Arsyad, 1989). Dampak langsung

di tempat terjadinya erosi, seperti kehilangan lapisan tanah yang subur, kerusakan struktur

tanah dan penurunan produksi pertanian. Dampak langsung di luar tempat terjadinya erosi

seperti pelumpuran dan pendangkalan badan air, menurunnya kualitas air dan terjadinya

banjir. Sedangkan dampak tidak langsung di tempat terjadinya erosi, seperti sulit untuk

memanfaatkan tanah dan di luar tempat terjadinya erosi seperti makin singkatnya umur badan

air.

Penyelamatan Hutan

Pemanfaatan hutan seharusnya tidak menyebabkan manusia

tidak dapat lagi menikmati hasil hutan, karena sumberdaya

hutan adalah sumberdaya yang dapat diperbarui. Hutan tetap

dapat dimanfaatkan dengan cara-cara yang dapat meminimumkan

kerusakan yang terjadi. Jadi yang dimaksud dengan pengelolaan

hutan adalah kegiatan manusia secara keseluruhan yang

bertujuan untuk mengarahkan sistem ekologi hutan atau

memelihara sistem tersebut dalam keadaan yang memungkinkan

sistem ini untuk memenuhi kebutuhan manusia akan produksi

dan/atau jasa pelayanan dalam jangka panjang (Steinlin, 1988).

Pemanfaatan hutan dengan memperhatikan kaidah-kaidah

kelestarian sangat diperlukan. Dalam pengelolaan sumberdaya

alam benang merah yang utama adalah mencegah timbulnya

pengaruh negatif terhadap lingkungan dan mengusahakan

kelestarian sumber alam agar bisa digunakan terus menerus

untuk generasi yang akan datang (Salim, 1991).

19
Sehubungan dengan fungsi hutan sebagai regulator aliran air, maka pengelolaan hutan

ada baiknya didekati dengan pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai). DAS didefinisikan

sebagai daerah atau wilayah yang dibatasi secara topografi dimana air yang jatuh ke dalam

DAS tersebut akan mengalir ke titik keluaran (outlet) tertentu. Jadi pembatasannya

berdasarkan keluar-masuknya air di daerah tersebut.

Suatu DAS terdiri dari daerah hulu, tengah dan hilir. Daerah hulu DAS dicirikan oleh

hal-hal sebagai berikut: merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih

tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng besar (lebih dari 15%), bukan

merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase.

Sedangkan daerah hilir dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: merupakan daerah

pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil, merupakan daerah dengan kemiringan lereng

kecil sampai sangat kecil (kurang dari 8%), pada beberapa tempat merupakan daerah banjir

(genangan), pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi. Daerah tengah

merupakan daerah transisi antara dua daerah tersebut (Asdak, 1995).

Daerah hulu DAS merupakan daerah yang penting karena memberikan fungsi

perlindungan terhadap seluruh bagian DAS. Oleh karena itu dalam perencanaan pengelolaan

DAS, seringkali difokuskan pada perencanaan pengelolaan daerah hulu DAS dan untuk

menjaga fungsi lindung ini daerah hulu sering ditetapkan sebagai kawasan lindung.

Pada saat ini daerah hulu dari kebanyakan DAS di Indonesia telah banyak yang

mengalami kerusakan. Upaya merehabilitasinya tidak hanya tanggung jawab pemerintah

tetapi tanggung jawab seluruh masyarakat. Upaya pemerintah mengosongkan kawasan hutan

lindung melalui program transmigrasi lokal misalnya bertujuan untuk mengembalikan fungsi

lindung dari kawasan lindung tersebut. Akan tetapi usaha ini belum kelihatan berhasil, karena

ternyata masih banyak penduduk yang bermukim dalam kawasan hutan lindung ini.

20
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

DAS Way Besai

Salah satu DAS yang mengalami tekanan akibat kepadatan penduduk adalah DAS

Way Besai yang merupakan bagian dari DAS Tulang Bawang. DAS Way Besai terletak

antara 4°15’ sampai 5°15’ LS dan 104°15’ sampai 104°30’ BT dan termasuk wilayah

Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat Propinsi Lampung, Indonesia. Topografi

DAS ini bergunung-gunung dan banyak terdapat anak sungai kecil. Sebagai titik keluaran

(outlet) DAS, ditetapkan pada bendungan pembangkit listrik yang terletak di desa Sukajaya.

DAS Way Besai secara keseluruhan luasnya 44.549,14 ha. Dari keseluruhan wilayah

DAS tersebut terdapat wilayah yang termasuk kawasan hutan lindung (12.912 ha atau 29

persen) dan wilayah taman nasional (7.896,86 ha atau 18 persen). Jadi kira-kira 47 persen

dari wilayah DAS ini merupakan kawasan hutan lindung dan taman nasional, sebagai bagian

hulu DAS. Kawasan hutan lindung yang termasuk wilayah DAS ini adalah Register 44B

(Tenong Kenali) dan Register 45B (Bukit Rigis). Sedangkan wilayah yang termasuk taman

nasional yaitu Register 46B (Bukit Sekincau) yang merupakan bagian dari Taman Nasional

Bukit Barisan.

Kondisi iklim di wilayah DAS ini relatif terjadi hujan sepanjang tahun. Data curah

hujan yang berhasil dikumpulkan berasal dari stasiun klimatologi Air Hitam, Pajar Bulan dan

Sumberjaya. Dengan metode Thiessen diperoleh data curah hujan tahunan dari tahun 1975 –

1998, dengan rata-rata adalah 2589 mm dan koefisien variasinya 0,17. Nilai koefisien variasi

yang kecil ini menunjukkan bahwa pada periode waktu tersebut variasi curah hujan kecil

sekali. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada periode tersebut tidak terjadi perubahan

iklim yang berarti di wilayah DAS ini. Distribusi curah hujan bulanan rata-rata pada periode

1975 – 1998 disajikan dalam Gambar 3.

21
ml
350
300
250
200
150
100
50
0
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des

Gambar 3. Distribusi Curah Hujan Bulanan Di DAS Way Besai

Dari Kolonisasi Sampai Transmigrasi Lokal

Tekanan penduduk terhadap DAS Way Besai berawal dari sejarah panjang

transmigrasi di daerah Lampung. Transmigrasi ke Lampung sudah dimulai sejak tahun 1905,

yaitu pada saat kolonisasi Hindia Belanda di Gedongtataan. Orang-orang Jawa dipindahkan

ke daerah tersebut dengan membawa semua tata nilai Jawa dan sistem pemerintah desa Jawa

(Utomo, 1957). Setelah marga di Lampung diakui (tahun 1928) barulah desa-desa Jawa

tersebut diletakkan di bawah marga-marga setempat.

Setelah kolonisasi di Gedongtataan tersebut, pada tahun 1939 terjadi kolonisasi kaum

intelek Indonesia. Pemuda-pemuda yang berpendidikan dari Jawa pindah ke Lampung

sebagai perintis di daerah baru. Akan tetapi pada jaman Jepang kebun tanaman ekspor yang

telah diusahakan dimusnahkan dan dilarang untuk diusahakan oleh pemerintahan Jepang.

Pada tahun 1950 terjadi demobilisasi CTN (Corps Tjadangan Nasional) dari Jawa

Timur ke Sukoharjo, Lampung. Kemudian pada tahun 1952 datang juga transmigrasi bekas

pejuang yang ditransmigrasikan oleh BRN (Biro Rekonstruksi Nasional). Baik transmigrasi

CTN maupun BRN banyak yang kembali lagi ke kota, karena merasa tidak cocok dengan

pekerjaan bertani. Akan tetapi bagi transmigran yang tetap bertahan di desa, umumnya dapat

memperluas tanahnya baik dengan membeli atau dengan membuka hutan baru. Dalam

22
pengurusan tanahnya yang luas ini, para kolonis CTN atau BRN dapat menyewakan atau

menyakapkan tanahnya dengan para pendatang (transmigran lokal atau transmigran spontan).

Transmigran lokal adalah penduduk yang berasal dari dalam Propinsi Lampung

pindah ke daerah lain di dalam porpinsi Lampung juga. Transmigran lokal di Propinsi

Lampung umumnya berasal dari desa-desa kolonisasi lama. Desa kolonisasi lama sudah padat

dan penduduknya sudah merasa cukup mempunyai modal uantuk membuka lahan baru.

Transmigran lokal ini sebagian besar orang Jawa, walaupun ada juga orang Lampung

(Utomo, 1957).

Pengertian transmigran spontan adalah orang Jawa yang transmigrasi ke Lampung

dengan biaya dan kemauan sendiri. Pada umumnya transmigran spontan ini diajak oleh

saudara, tetangga atau kenalannya yang telah lebih dahulu pindah ke Lampung. Jadi

transmigran spontan ini adalah orang-orang yang tertarik untuk pindah setelah mendengar

cerita keberhasilan saudara, tetangga atau kenalannya di Lampung. Adanya rangsangan untuk

bertransmigrasi dengan mudah dan murah memberikan harapan keberhasilan yang tinggi,

membuat arus transmigrasi spontan ini deras dan cepat sekali. Daerah penerima dalam hal ini

Propinsi Lampung tidak siap menerima transmigran spontan ini, tidak ada areal khusus yang

diperuntukkan bagi mereka. Akibatnya seringkali transmigran spontan ini tidak mengetahui

status tanah yang diusahakannya, tidak sedikit dari mereka berusahatani dan bermukim di

kawasan hutan. Hal ini dapat menjadi awal dimulainya perambahan hutan.

Pembukaan daerah Lampung Barat secara besar-besaran dimulai saat transmigrasi

BRN (1952). Transmigrasi BRN diharapkan dapat menjadi perintis pembukaan daerah ini

yang pada saat itu masih hutan. Transmigran BRN ditempatkan diantara marga setempat. Jika

kemudian masyarakat baru tersebut berhasrat berdiri sendiri, masyarakat itu sendiri yang

akan membentuknya.

23
Pada transmigrasi BRN ini penempatan transmigrasi direncanakan pada 3 lokasi,

salah satunya di daerah Way Rarem di tepi jalan Kotabumi – Bukit Kemuning seluas 3000 ha

untuk 800 keluarga (Utomo, 1957). Pembukaan daerah Lampung Barat ini diikuti dengan

pembuatan jalan dan jembatan untuk menghubungkan daerah-daerah yang telah ramai dengan

daerah ini. Pembuatan jalan dan jembatan ini makin mempermudah hubungan dengan daerah

lain dan membuat makin banyak transmigran lokal dan spontan yang datang.

Seperti telah diungkapkan di atas, transmigran BRN ini banyak yang meninggalkan

desa, tapi ada yang masih bertahan terutama yang dapat memanfaatkan lahannya dengan

baik. Sampai sekarang keturunan mereka masih tinggal di desa yang mereka rintis tersebut.

Seperti desa Pura Laksana, penduduk desa ini adalah keturunan transmigran BRN yang

berasal dari Jawa Barat, tepatnya daerah Cikarang, Bekasi.

Setelah penempatan transmigrasi BRN, transmigrasi ke Lampung terus berlangsung

baik yang dibiayai oleh pemerintah maupun yang spontan. Hingga akhirnya kepadatan

penduduk di tempat-tempat tertentu di Lampung sudah terlalu tinggi sehingga Propinsi

Lampung tidak menerima lagi transmigran dari luar propinsi. Pada tahun 1979/1980

dimulailah progrm resetlement dan program transmigrasi lokal (translok). Program

resetlement penduduk Lampung adalah program penataan ulang penduduk yang bermukim

dan berusahatani di daerah kawasan hutan, daerah kritis, daerah terkena proyek strategis dan

daerah berpenduduk padat (Pemerintah Daerah Tingkat I Lampung, 1983). Penduduk tersebut

akan ditempat di daerah di luar daerah yang termasuk kriteria di atas terutama di wilayah

Lampung Utara yang relatif masih jarang penduduknya (pada saat iu Lampung Barat belum

terpisah dari Lampung Utara).

Pada program resetlement ini penduduk dipindahkan tidak untuk membuka desa baru

seperti pada program transmigrasi. Akan tetapi pada program resetlement ini penduduk

ditempatkan di desa-desa lama dan menjadi penduduk desa tersebut. Dengan demikian

24
diharapkan penduduk yang dipindahkan tersebut dapat berbaur dengan penduduk setempat

dan desa- desa yang terisolir karena penduduknya jarang dapat lebih terbuka dan terjangkau.

Program resetlement ini dilaksanakan mulai tahun 1979/1980 sampai dengan bulan

April 1981. Pada periode tersebut penduduk yang berhasl dipindahkan sebanyak 5.017 KK

(termasuk sisipan) yang bersal dari kawasan hutan Register 22 (Way Waja) dan Register 39

(Kota Agung Utara).

Program resetlement ini diteruskan dengan program translok. Ada beberapa

kekhawatiran yang muncul dalam pelaksanaan program resetlement (Pemerintah Daerah

Tingkat I Lampung, 1983). Kekhawatiran tersebut adalah penduduk yang sudah dipindahkan

dapat kembali lagi ke tempatnya semula karena jaraknya dekat dan terjangkau. Penduduk

tersebut dapat tidak kerasan akibat fasilitas terbatas dan adanya keharusan berswadaya

sedangkan modal mereka sudah habis dan penduduk tersebut dapat saja mencari nafkah

tambahan di luar proyek, sehingga akan memperlambat proses pembukaan tanah.

Berdasarkan kekhawatiran tersebut maka program translok dilaksanakan sesuai

dengan norma transmigrasi umum yang dikelola oleh Satuan Pembinaan Transmigrasi

(Satbintrans). Program translok diarahkan pada pengembangan wilayah dalam hubungannya

dengan pembukaan daerah terisolir. Jadi penduduk ini diharapkan dapat membangkitkan roda

perekonomian daerah terisolir tersebut dengan dibangunkan juga fasilitas umum yang

dibutuhkan.

Adapun penduduk yang diharuskan ikut dalam program ini adalah penduduk yang

hidup di dalam atau di sekitar hutan dan memanfaatkan hasil hutan. Untuk periode 1 Agustus

1981 sampai akhir Maret 1983 telah dipindahkan sebanyak 26.001 KK dan yang berasal dari

bagian DAS Way Besai (Register 46B dan 32) sebanyak 490 KK. Akan tetapi tidak

ditemukan informasi mengenai kehidupan penduduk ini setelah dipindahkan, karena ternyata

penduduk yang tinggal di dalam kawasan hutan makin hari semakin bertambah banyak.

25
Pelaksanaan program translok ini seringkali menimbulkan perselisihan dengan

penduduk. Penduduk yang merasa telah tinggal di hutan dengan ijin resmi, kemudian harus

dipindahkan. Sebagai contoh transmigran yang dulunya menempati kawasan hutan dengan

ijin, baik ijin dari pemerintah pada saat itu maupun dari marga setempat. Bahkan ada

penduduk yang telah memiliki sertifikat hak milik atas tanahnya. Konflik-konflik seperti ini

menyebabkan program translok tidak berhasil.

Oleh karena itu dari tahun ke tahun Pemerintah Daerah Lampung terus berusaha

menata pemukiman bagi perambah hutan ini. Diperoleh data dari Kantor Wilayah

Departemen Kehutanan Propinsi Lampung, sejak tahun 1989 sampai 1998 telah dipindahkan

sebanyak 74.590 jiwa dari 1.159.680 jiwa perambah hutan pada awal tahun 1989. Akan

tetapi sejauh ini pendekatan yang dilakukan adalah memindahkan perambah hutan tersebut.

Dari kenyataan di lapang pendekatan ini tampaknya tidak memberikan hasil yang baik.

Setelah suatu kawasan dikosongkan dari penghuninya diperlukan penjagaan yang ekstra ketat

agar kawasan itu tidak diusahakan kembali.

Berdasarkan informasi yang berhasil dikumpulkan di desa Purajaya pada tahun 1994,

pernah dilakukan “pengusiran” perambah hutan yang ada di kawasan Bukit Rigis (Register

45B). Akan tetapi pada saat itu pemindahan perambah ini tampaknya tidak direncanakan

dengan baik. Para perambah ini hanya dilarang untuk mengusahakan kebun kopinya yang ada

di kawasan hutan tanpa diberikan alternatif mata pencaharian penggantinya. Aparat desa

kemudian mengusulkan 997 KK perambah ini untuk diikut-sertakan dalam program translok,

tetapi hanya 180 KK yang dipindahkan (pada tahun 1995 – 1997). Berdasarkan pengamatan,

perambah hutan tersebut sekarang sudah kembali mengusahakan kebunnya. Para perambah

ini minta ijin kepada aparat desa untuk kembali mengusahakan kebunnya dan aparat

mengijinkan dengan syarat tidak membuka hutan baru.

26
Kegiatan mengusahakan kembali kebun kopi yang dulu ditinggalkan diakui

kebenarannya oleh beberapa Kepala Desa (seperti Kades Pura Laksana, Purajaya, Sukajaya

dan lain-lain). Akan tetapi kegiatan pembukaan hutan diakui hanya dilakukan oleh para

pendatang, kalaupun ada warga setempat yang diduga membuka hutan tidak dilakukannya di

desanya, tetapi di desa lain.

Untuk kasus di DAS Way Besai khususnya Kecamatan Sumberjaya, pertambahan

jumlah penduduk yang pesat menyebabkan perubahan peruntukkan tanah hutan menjadi

lahan pertanian (kebun kopi) berlangsung pesat pula. Perkembangan jumlah penduduk

Kecamatan Sumberjaya dari tahun 1994 sampai 1998 disajikan Tabel 1.

Jumlah penduduk tersebut dapat lebih banyak dari yang tercatat, akibat kesulitan

dalam mendata dengan pasti jumlah perambah hutan yang ada karena mobilitas mereka yang

tinggi dan cenderung tidak ingin diketahui keberadaannya. Melihat reit perkembangan

penduduknya, pada tahun 1995 – 1996 terjadi pertambahan penduduk yang cukup pesat. Hal

ini dikarenakan oleh makin maraknya pembuatan kebun kopi oleh masyarakat. Masyarakat

pada saat itu baru mengetahui bahwa kopi arabika yang sangat cocok untuk daerah yang

tinggi, sedangkan kopi robusta kurang baik di daerah tinggi. Dengan demikian daerah tinggi

yang masih tersisa dapat ditanami kopi arabika ini. Hal ini didukung oleh perkembangan luas

tanaman kopi arabika meningkat cukup berarti dari 8266 ha pada tahun 1995 menjadi 8578,5

ha pada tahun 1996 (Lampung Barat Dalam Angka 1996).

27
Tabel 1. Jumlah Penduduk Kecamatan Sumberjaya dan Kabupaten Lampung Barat Propinsi
Lampung Tahun 1994 – 1998

No Tahun Kecamatan Reit Kabupaten Lampung


Sumberjaya Perkembangan Barat (jiwa)
(jiwa)1 penduduk (%)
1 1994 76.836 336.1862
2 1995 77.203 0.5 341.5843
3 1996 78.490 0.7 361.8473
4 1997 78.908 0.5 355.8174
5 1998 79.651 0.9 355.4005
1
Sumber : Kecamatan Sumberjaya Dalam Angka 1998
2
Lampung Barat Dalam Angka 1995
3
Lampung Barat Dalam Angka 1996
4
Lampung Barat Dalam Angka 1997
5
Proyeksi Penduduk Indonesia per

Kabupaten/Kotamadya 1990-2000

28
HASIL DAN PEMBAHASAN

Masyarakat DAS Way Besai

Karakteristik Sosial

1. Umur

Dari semua responden yang diwawancarai (197 orang) rata-rata umurnya adalah 42

tahun. Data umur responden berdasarkan penggolongan umur disajikan Gambar 7 berikut.

Gambar 8. Distribusi Responden Berdasarkan Golongan Umur

70
Jumlah Responden

60
50
40
30
20
10
0
> 20 21-30 31-40 41-50 51-60 61-70 > 70
G o lo n g a n U m u r

Dari gambar di atas, sebagian besar responden (95 persen) termasuk golongan umur

produktif (20-60 tahun), dengan golongan umur terbanyak adalah golongan umur 31-40 tahun

(30.96 persen). Pada golongan umur seperti ini, manusia mencapai kematangan dalam

berusaha di suatu bidang tertentu jika telah ditekuni sejak usia muda. Kalau seorang petani

mulai berusahatani sejak umur 18 tahun berarti pengalaman berusahataninya telah mencapai

12 tahun. Pada golongan umur ini petani sudah mempunyai cukup banyak pengalaman tetapi

keinginan untuk mencoba hal-hal baru yang diyakininya dapat memberikan penghasilan yang

lebih baik, masih besar. Kesempatan untuk memperbaiki nasib masih sangat besar, sehingga

minat pada hal-hal baru besar.

29
2. Pengalaman Bertani

Dalam berusahatani, umumnya petani tidak memiliki pendidikan khusus, apalagi

pendidikan formal. Pengalaman merupakan guru yang sangat berharga bagi mereka. Dengan

mengusahakan kebun kopi secara langsung akan diperoleh pengetahuan yang dibutuhkan.

Rata-rata lama petani sudah melaksanakan usahatani disajikan Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Rata-rata Lamanya Pengalaman Bertani Responden

No Desa Rata-rata Pengalaman (th)


1 Gedung Surian 16.0
2 Muara Jaya I 19.0
3 Purajaya 20.8
4 Sindang Pagar 14.4
5 Sukajaya 17.5
6 Sukananti 22.7
7 Sukapura 25.5
8 Sumber Alam 13.7
9 Tambak Jaya 17.1
10 Tanjung Raya 18.4
11 Tri Mulyo 19.0
Sumber : Data Primer
Pengalaman bertani ini sangat berpengaruh terhadap sikap petani menghadapi hal-hal baru,

terutama teknologi baru. Bukti nyata tidak hanya ilustrasi dapat membuat petani percaya akan

manfaat suatu teknologi baru.

30
Gambar 9. Perbandingan antara Distribusi Umur dengan Distribusi Lama Pengalaman
Bertani (th) Responden

70

60
Jumlah Responden

50

40

30

20

10

0
> 20 21-30 31-40 41-50 51-60 61-70 > 70
Golongan Umur
90
80
Jumlah Responden

70
60
50
40
30
20
10
0
< 10 11-20 21-30 31-40 41-50 > 50
Golongan Pengalaman

Dari Gambar 8 di atas terlihat bahwa responden rata-rata telah memulai bekerja di

usahatani sejak umur yang sangat muda, bahkan masih kanak-kanak. Hal ini menunjukkan

bahwa responden rata-rata berasal dari keluarga petani, dan sudah sejak kecil ikut membantu

bekerja di usahatani.

Diantara responden yang diwawancarai, jika dilihat mengenai pengetahuan

pembuatan teras, tampaknya petani sudah mengenal teknologi ini. Jadi pembuatan teras

bukan teknologi baru, tetapi merupakan teknologi konservasi yang sudah diketahui fungsi

dan tujuan pembuatannya. Akan tetapi karena hasil dari adanya teras itu tidak langsung

diterima petani sehingga petani tidak merasa suatu keharusan untuk melaksanakannya. Petani

31
yang belum membuat teras lebih dikarenakan petani tidak menganggap teras merupakan hal

yang harus diprioritaskan untuk dikerjakan. Jika pekerjaan yang lain di kebun telah dapat

dilaksanakan petani, atau petani merasa mempunyai waktu luang, baru petani mau membuat

teras.

Pengetahuan mengenai fungsi rumput sebagai penahan erosi tampaknya tidak dimiliki

petani. Pengetahuan yang dimiliki petani bahwa jika kebun kopinya bersih dari segala rumput

dan tanaman lainnya, berarti pohon kopinya tidak akan mendapat saingan dalam

memanfaatkan unsur hara dan pohon kopi akan terjaga dari kemungkinan tertular penyakit

yang dibawa oleh tanaman lainnya. Oleh karena itu petani selalu berusaha menjaga agar

kebun kopinya terbebas dari rumput, rumput dipandang sebagai gulma bagi pohon kopi.

Selain itu adanya tata nilai diantara petani bahwa jika di kebun kopinya banyak terdapat

rumput berarti petani tersebut termasuk petani yang malas. Sanksi pemberian predikat malas

ini sangat ampuh untuk membuat petani selalu membersihkan kebunnya dari rumput.

Pengetahuan mengenai perlunya tanaman penaung bagi kopi tampaknya telah

mengalami perubahan. Dahulu petani menanam tanaman penaung dengan baik, hal ini

terlihat pada kebun-kebun tua, terutama kebun milik etnis Semendo. Akan tetapi pada kebun

kopi muda jarang sekali terdapat tanaman penaung. Tanaman penaung ditanam jika pohon

kopi sudah besar, bahkan untuk kebun kopi yang sudah rapat tidak ditanam lagi pohon

penaungnya.

3. Jumlah Tanggungan

Secara keseluruhan responden rata-rata mempunyai tanggungan sebanyak 5 orang,

jumlah tanggungan yang cukup banyak bagi sebuah keluarga petani. Akan tetapi kalau dilihat

luas rata-rata lahan yang dikuasai dan dimiliki petani (rata-rata 2 ha) maka tanggungan petani

tersebut dapat tercukupi kebutuhannya. Seperti juga keluarga petani di Indonesia pada

32
umumnya, tanggungan keluarga ini dapat menjadi tenaga kerja keluarga yang seringkali tidak

diperhitungkan upahnya. Di kebun kopi menurut Budidarsono et al. (2000) dibutuhkan 59

sampai 211 HOK per hektar per tahun. Pemenuhan tenaga kerja ini, terutama pada kegiatan

pemeliharaan, dan pekerjaan ini seringkali dikerjakan oleh tenaga kerja keluarga. Angka di

atas jika dijadikan jam kerja berkisar antara 422 sampai 1688 jam kerja. Jika anak-anak dari

keluarga tani hanya bisa bekerja selama 4 jam sehari (pada saat setelah pulang sekolah),

berarti anak petani mengalokasikan 118 sampai 422 hari untuk bekerja di kebun kopi

keluarganya. Jika tanggungan petani sebanyak 4 orang termasuk istrinya, berarti masing-

masing anak bekerja selama antara 30 sampai 106 hari dalam setahun. Dengan asumsi tingkat

upah yang berlaku Rp 10.000,- per hari, berarti anak petani telah membantu menghemat

biaya bagi usahatani keluarga sebanyak Rp 300.000,- sampai Rp 1.060.000,- setahun. Begitu

juga dengan istri atau ibu tani, bahkan ibu tani waktu kerjanya dapat lebih lama dan jenis

pekerjaan yang dapat dilakukan lebih beragam.

4. Etnis Asal

Dari data survei dan wawancara langsung dengan responden diperoleh bahwa

masyarakat di DAS Way Besai didominasi oleh 3 etnis, yaitu Semendo, Jawa dan Sunda.

Golongan etnis minoritas yang lain adalah Lampung, Padang, Batak dan Betawi. Seluruh

etnis ini merupakan masyarakat pendatang di DAS Way Besai. Melihat kenyataan di atas,

dapat dikatakan bahwa wilayah DAS ini pertama kali dibuka oleh pendatang. Pada saat para

pendatang merintis wilayah ini, medan yang dihadapi benar-benar belum dibuka dan masih

berupa hutan alam.

Ketiga etnis utama ini hidup berdampingan, akan tetapi dapat dilihat bahwa letak

rumah masing-masing etnis berkumpul dan berdekatan sesama etnis. Misalnya di Desa

Sukananti, etnis Semendo berkumpul di pusat desa, dengan kepala desa etnis Semendo. Etnis

33
Jawa terkonsentrasi di salah satu dusun, yaitu Sidomakmur, sedangkan etnis Sunda di dusun

yang lain.

Pada desa-desa hasil pemekaran, etnis Semendo umumnya tinggal di desa lama (desa

sebelum pemekaran). Misalnya desa Sukaraja, Tambak Jaya dan Padang Tambak,

sebelumnya adalah desa Sukaraja. Setelah pemekaran etnis Semendo kebanyakan tinggal di

desa Sukajaya dengan lahan atau kebun kopi di wilayah desa lain, sedangkan etnis Jawa

kebanyakan di desa pemekaran yaitu desa Padang Tambak dan Tambak Jaya. Hal yang sama

terjadi juga pada desa Purajaya, Purawiwitan dan Pura Mekar yang merupakan pemekaran

desa Purajaya.

Melihat penyebaran letak rumah di atas dapat dikatakan bahwa etnis Semendo lebih

dulu membuka wilayah DAS ini, baru kemudian disusul oleh etnis-etnis yang lain. Etnis

Semendo yang memang lahir di wilayah DAS ini rata-rata merupakan generasi ketiga atau

keempat. Etnis Sunda kebanyakan keturunan transmigran BRN (transmigrasi umum yang

pertama membuka wilayah ini) rata-rata merupakan generasi kedua dan ketiga, sedangkan

etnis Jawa bervariasi antara generasi pertama dan kedua.

Etnis Semendo kebanyakan memperoleh kebun kopi dari orangtuanya (warisan). Ada

juga dari etnis ini yang memiliki kebun kopi dengan membeli, tapi merupakan persil kedua

atau ketiga bukan persil pertama. Berbeda dengan etnis Jawa dan Sunda, etnis ini

memperoleh kebun kopi dari membeli atau dari kerja di kebun orang lain setelah beberapa

tahun mendapat upah berupa sebagian dari kebun tersebut. Perbedaan cara memperoleh

kebun ini menimbulkan pola bersikap dalam hal ini pola berpikir yang berbeda pula.

Etnis Semendo terkesan tidak memerlukan usaha yang terlalu keras untuk

mendapatkan kebun kopi. Dari responden etnis Semendo, sebanyak 31% yang memperoleh

lahan dari warisan, dibandingkan etnis Jawa hanya 3% dan etnis sunda 19% (lihat Tabel 2).

Tambahan lagi pada etnis Semendo kebun kopi biasanya diurus oleh bujangan (seorang

34
suruhan yang diupah untuk mengurus kebun kopi). Dengan demikian tidak seluruh anggota

keluarga langsung bekerja atau mengelola kebun kopi. Untuk etnis Semendo yang memiliki

lahan luas dan belum semuanya menjadi kebun kopi, seringkali membiarkan saja lahan

tersebut sampai ada yang menjadikannya kebun kopi sebagai tumpangan. Tumpangan adalah

pemilik tanah membolehkan seseorang memanfaatkan tanahnya, dengan syarat orang tersebut

harus menanam dan memelihara kopi di tanah tersebut. Setelah kopi besar dan lahan di antara

tanaman kopi sudah ternaungi oleh kopi, orang tersebut harus meninggalkan lahan tersebut.

Kondisi yang berbeda pada etnis Jawa atau Sunda, yang harus berusaha keras untuk

memiliki kebun kopi. Jika mereka mempunyai modal cukup, mereka dapat membeli kebun

kopi, tetapi kalau tidak cukup modal, harus dengan bekerja upahan mengumpulkan modal

agar dapat membeli kebun kopi atau dengan membuka hutan sendiri. Akibatnya, etnis Jawa

atau Sunda akan benar-benar mengusahakan kebunnya dengan sebaik mungkin. Apalagi

ditunjang oleh sikap yang sangat menghargai lahan garapan, karena di daerah asal, lahan

garapan merupakan sesuatu yang tinggi nilainya.

Selain itu, terdapat sistem tata nilai budaya petani yang dapat dijadikan pemicu untuk

meningkatkan taraf hidup mereka yaitu dalam kegiatan bekerja, masyarakat desa telah

terbiasa bekerja keras dan yang berhasil tanpa bantuan orang lain dinilai tinggi dalam

masyarakat (Sayogyo dan Pudjiwati, 1995). Tata nilai ini terdapat pada desa-desa yang padat

penduduknya dan tidak pada desa-desa di pulau yang penduduknya masih jarang. Etnis Jawa

dan Sunda yang berasal dari daerah padat penduduk memiliki tata nilai ini.

35
Gambar 10. Berbagai Cara Mendapatkan Kebun Kopi dari Etnis Semendo, Jawa dan
Sunda.

60
60

50

40
31
30 27
24

20
13
9 9 8
10 5 4
2 3
0 0 0
0
M em beli M em buka Lah an W arisan sew a dan lain -
sen diri tran sm igrasi lain

Etnis Jawa Etnis Sunda Etnis Semendo

Optimalisasi dalam memanfaatkan lahan ini tidak mengubah nilai budaya pulang

kampung pada etnis Jawa dan Sunda. Sudah menjadi kebiasaan etnis Jawa dan Sunda untuk

pulang ke daerah asalnya, terutama pada hari-hari besar seperti hari raya lebaran. Walaupun

kedua etnis ini telah bermukim dan beranak pinak di wilayah DAS ini tapi prinsip bahwa

leluhur mereka, kampung halaman mereka adalah daerah asalnya. Nilai budaya ini tidak

terlalu kental ditemukan pada etnis Semendo. Etnis ini bahkan telah dapat memproklamirkan

diri sebagai orang Sumberjaya.

Dalam perkembangan pembentukan kebun kopi, terdapat perubahan teknik dalam

budidaya tanaman kopi. Pada kebun-kebun yang sudah tua, pohon penaung cukup banyak

pada suatu bidang kebun. Melihat tata letak penanamannya, tampaknya pohon penaung ini

memang sengaja ditanam untuk menaungi tanaman kopi. Akan tetapi pada pembuatan kebun

kopi yang baru, pohon penaung ditanam sangat jarang, bahkan sering kali tidak ditanam, dan

kalaupun ditanam waktu penanamannya setelah kopi besar, bukan sebelum kopi ditanam.

36
Fenomena di atas menunjukkan adanya perubahan pola bersikap dalam hal ini pola

berpikir mengenai pembentukan kebun kopi. Pola berpikir bahwa tanaman kopi akan tumbuh

baik jika dinaungi dari sinar matahari, berubah menjadi bahwa pohon penaung akan menjadi

pesaing tanaman kopi, baik dalam memperoleh unsur hara maupun dalam mendapatkan ruang

tumbuh.

Sehubungan dengan pohon penaung tanaman kopi ini, menurut Tim Peneliti

DEPHUTBUN (1999), terdapat 3 alternatif budidaya tanaman kopi, yaitu:

1. Tanpa pohon penaung. Alternatif ini memberikan produksi tinggi, tetapi harus diimbangi

dengan masukan yang tinggi pula (high input high technology), umur ekonomis tanaman

pendek (<25 tahun) dan resiko kegagalan tinggi;

2. Menggunakan pohon penaung. Alternatif ini menghasilkan produksi yang tidak terlalu

tinggi, tetapi sarana dan biaya operasional rendah (low input technology), umur

ekonomis tanaman panjang, dan resiko kegagalan rendah;

3. Menggunakan penaung dengan pemangkasan atau pengurangan naungan pada musim

hujan. Dengan cara ini sarana dan biaya operasional tidak tinggi, umur ekonomis

tanaman menjadi panjang, dan produksinya juga tinggi.

Kalau dilihat dari 3 alternatif ini, pola berpikir yang lama mengikut alternatif yang

kedua, sedangkan pola berpikir yang baru mengikuti alternatif yang pertama. Perubahan pola

berpikir ini dapat disebabkan oleh perubahan tingkat produksi yang dihasilkan. Selain itu,

dapat juga karena pembuatan kebun kopi tersebut dengan cara tumpangan. Orang yang

menumpang tentu saja merasa akan mengurangi lahan yang dapat dimanfaatkan jika ada

pohon penaung, di samping pemeliharaan pohon penaung itu sendiri merupakan tambahan

pekerjaan baginya.

Dari ketiga alternatif di atas, terlihat bahwa alternatif ketiga yang paling bagus dan

menguntungkan. Akan tetapi masyarakat belum mengetahui hal ini. Pembuktian empiris

37
sangat dibutuhkan untuk meyakinkan masyarakat di wilayah ini. Pada saat dilaksanakan

survei awal penelitian ini, terlihat bahwa masyarakat di wilayah ini memiliki perilaku curiga

terhadap orang asing yang agak berlebihan. Perilaku untuk tidak cepat mempercayai orang

asing ini seringkali dimiliki oleh para pendatang atau migran dari tempat lain sebagai

tindakan berjaga-jaga.

Pemenuhan kebutuhan bagi seluruh anggota keluarga akan sangat dipengaruhi oleh

tingkat produksi kebun kopi yang diusahakan. Penerapan teknologi budidaya kopi yang tepat

tentu akan berpengaruh positif terhadap hasil kopi. Salah satu usaha untuk meningkatkan

produksi kopi adalah dengan melakukan penyetekan. Penyetekan ini telah lama dikenal oleh

masyarakat etnis Jawa dan Sunda. Akan tetapi bagi etnis Semendo, cara penyetekan ini baru

dilakukan kira-kira 2 tahun terakhir ini. Kebun kopi etnis Semendo yang sudah tua,

produksinya mulai rendah sehingga pemilik kebun mulai merugi. Pada saat itulah cara-cara

penyetekan ini mulai diminati oleh masyarakat etnis Semendo. Sebagai contoh di desa

Sukajaya, kebun kopi di desa ini kebanyakan merupakan kebun kopi tua. Pada kira-kira 2

tahun lalu kepala desa memutuskan untuk memotong pohon kopinya sampai hanya batang

utamanya yang tersisa, kemudian melakukan penyetekan. Pada saat itu banyak saudara dan

kenalan kepala desa yang menganggap kepala desa tersebut telah melakukan kekeliruan.

Tetapi setelah pohon kopi yang distek tersebut mulai tumbuh dan berbuah lagi, masyarakat

mulai mengikuti jejak kepala desa tersebut. Jadi dapat dilihat bahwa pola sarana benda-benda

berupa teknologi penyetekan di kebun kopi baru diterima etnis Semendo setelah hidup

berdampingan sekian lama dengan etnis Jawa dan Sunda. Proses adopsi teknologi antar etnis

ini membutuhkan waktu dan juga proses meyakini keunggulan dari teknologi tersebut.

Sebenarnya jika ada pihak ketiga yang dapat merengkuh semua etnis, proses ini dapat

dipercepat.

38
Jika dilihat dari pendekatan ekologi kebudayaan, teknologi penyetekan ini dapat

dipandang sebagai salah satu bentuk teknologi yang diterima etnis Semendo sebagai hasil

adaptasinya dengan etnis Jawa dan Sunda yang ada di lingkungannya. Pendekatan ekologi

kebudayaan adalah studi mengenai bagaimana masyarakat beradaptasi dengan lingkungannya

baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Teknologi yang lain yang diterima

masyarakat adalah penggunaan chinsaw dalam pembukaan hutan.

Karakteristik Ekonomi

Tipe-tipe Penggunaan Lahan. Setelah melakukan survei di seluruh wilayah DAS

Way Besai, diperoleh beberapa tipe penggunaan lahan. Penggunaan lahan yang diperhatikan

hanya pada tempat-tempat dengan kemiringan lereng yang curam sampai sangat curam (40-

70%). Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa suatu kawasan dikategorikan sebagai

kawasan lindung jika terdapat pada kemiringan lebih dari 45%. Jadi yang dilihat hanya

penggunaan lahan pada kawasan lindung saja.

Tipe penggunaan lahan yang ditemukan adalah kebun kopi (dengan 9 kondisi),

kaliandra, kaliandra dan rumput, pohon tematung, lahan bukaan baru (2 kondisi) dan hutan

sekunder. Kebun kopi yang ditemukan dengan 9 kondisi yang berbeda, yaitu:

1. Kebun kopi diselingi jeruk;

2. Kebun kopi dengan pohon penaung, tanah di bawah tanaman kopi bersih dari rumput dan

serasah, dan ada guludan (PPBrG);

3. Kebun kopi dengan pohon penaung, tanah di bawah tanaman kopi tidak bersih, dan ada

guludan (PPtBrG);

4. Kebun kopi dengan pohon penaung, tanah di bawah tanaman kopi bersih dari rumput dan

serasah, dan tidak ada guludan (PPBrtG);

39
5. Kebun kopi dengan pohon penaung, tanah di bawah tanaman kopi tidak bersih, dan tidak

ada guludan (PPtBrtG);

6. Kebun kopi tidak ada pohon penaung, tanah di bawah tanaman kopi bersih dari rumput

dan serasah, dan ada guludan (tPPBrG);

7. Kebun kopi tidak ada pohon penaung, tanah di bawah tanaman kopi tidak bersih, dan ada

guludan (tPPtBrG);

8. Kebun kopi tidak ada pohon penaung, tanah di bawah tanaman kopi bersih dari rumput

dan serasah, dan tidak ada guludan (tPPBrtG);

9. Kebun kopi tidak ada pohon penaung, tanah di bawah tanaman kopi tidak bersih, dan

tidak ada guludan (tPPtBrtG);

Hal-hal yang membedakan kondisi kebun kopi yang dilihat adalah ada tidaknya

pohon penaung, bersih tidaknya kondisi tanah di bawah tanaman kopi dan ada tidaknya

guludan. Seperti telah diuraikan terdahulu, pohon penaung berfungsi untuk menaungi

tanaman kopi dari sinar matahari. Akan tetapi masyarakat cenderung mengabaikan fungsi ini.

Keberadaan rumput sehubungan dengan fungsi rumput sebagai vegetasi yang menghambat

erosi dan aliran permukaan. Dan guludan juga merupakan salah satu teknologi untuk

menghambat erosi dan aliran permukaan.

Terdapat 89% responden (177 orang) yang kebun kopinya ditanam bersamaan dengan

tanaman selain kopi. Jenis tanaman lain ini sangat bervariasi dan tidak semuanya berfungsi

menaungi, seperti singkong atau pisang.

Bagi responden yang di dalam kebun kopinya tidak ada tanaman lain, menganggap

bahwa tidak cukup waktu untuk menanamnya, atau tanaman lain tersebut dianggap dapat

mendatangkan hama dan merupakan pesaing bagi tanaman kopi. Jadi tanaman lain di kebun

kopi bukan untuk penaung tapi lebih untuk memanfaatkan lahan yang masih tersisa yang jika

masih ada tersisa waktu akan dimanfaatkan.

40
Dari semua responden yang diwawancarai seluruhnya berpendapat bahwa tanah di

bawah tanaman kopi harus bersih dari rumput dan serasah. Alasannya adalah jika di kebun

kopi banyak rumput, maka tanaman kopi dan rumput akan bersaing dalam menggunakan

pupuk. Jika tidak ada rumput, maka tanaman kopi akan memanfaatkan seluruh pupuk yang

ada sehingga akan tumbuh dengan baik dan berbuah lebat.

Untuk pembuatan guludan di kebun kopi, tidak diperoleh alasan yang jelas mengapa

ada yang membuat dan ada yang tidak membuat guludan. Pembuatan guludan umumnya

dilakukan untuk menanam palawija di antara tanaman kopi. Setelah tanaman kopi besar,

guludan ini tidak diperbaiki lagi, sehingga akan semakin hilang. Bentuk guludan yang dibuat

adalah guludan berbaris sejajar kontur, terletak diantara tanaman kopi.

Pada lahan bukaan baru ditemukan 2 kondisi, yaitu bukaan baru yang ditanam kopi

berguludan dan bukaan baru yang ditanam kopi tidak berguludan.

Pada penggunaan lahan untuk kaliandra dan pohon tematung, keduanya merupakan

bekas reboisasi yang pernah dilaksanakan di wilayah DAS Way Besai ini. Selama penelitian

berlangsung, areal kaliandra dan tematung ini terus dibuka masyarakat. Penggunaan lahan

untuk kaliandra dan rumput terbentuk karena kaliandra sudah pernah ditebang, tapi kemudian

tidak diteruskan lagi sehingga rumput mulai tumbuh.

Usahatani Kopi. Usahatani kopi (selanjutnya disebut kebun kopi) adalah bentuk

penggunaan lahan yang paling banyak ditemukan di daerah-daerah dengan kemiringan lereng

curam. Kopi memang tanaman utama yang menjadi andalan masyarakat DAS Way Besai dan

merupakan sumber pendapatan utama. Masyarakat di wilayah ini telah lama

membudidayakan kopi. Kondisi iklim dan tanah sangat baik bagi pertumbuhan dan produksi

tanaman kopi. Selain kesesuaian iklim dan kondisi tanah, harga jual kopi yang tinggi,

kemudahan pemasaran juga merupakan insentif yang baik bagi masyarakat untuk terus

memperluas kebun kopinya.

41
Dalam manajemen kebun kopi, terdapat perbedaan antara etnis Jawa, Semendo dan

Sunda. Etnis Jawa walaupun sudah mempunyai bujangan (pria berusia remaja yang

dipekerjakan di kebun kopi), tetapi masih langsung mengawasi pemeliharaan kebun kopinya.

Demikian juga pada etnis Sunda. Hal yang berbeda dilakukan oleh etnis Semendo, pemilik

tanah yang telah mempekerjakan bujangan, cenderung menyerahkan pengelolaan kebun kopi

sepenuhnya kepada bujangan tersebut. Oleh karena itu, seringkali agak terlambat menangani

permasalahan di kebun kopinya, apalagi jika pemilik tanah tinggal jauh dari kebun kopinya.

Jadi tidak mengherankan jika etnis Semendo ini banyak yang tidak mengerti budidaya

tanaman kopi, terutama bagi mereka yang mempunyai mata pencaharian lain di luar

usahatani.

1. Pupuk yang Digunakan

Jenis pupuk yang umun digunakan adalah Urea, TSP/Sp-36 dan KCl, dan yang paling

banyak digunakan responden adalah Urea. Dari seluruh responden, 35 persen yang

menggunakan ketiga pupuk ini. Akan tetapi yang paling banyak (53%) hanya menggunakan

dua jenis pupuk, yaitu Urea dan TSP. Bagi responden yang tidak menggunakan pupuk sama

sekali (22 %) alasan yang dikemukakan umumnya karena kekurangan dana untuk membeli

pupuk. Harga pupuk dari hari ke hari dirasa makin berat bagi petani untuk membelinya.

2. Bibit yang Digunakan

Sumber bibit yang paling banyak adalah dari kebun sendiri. Selain murah, petani juga

merasa yakin dengan tanaman yang telah diusahakannya sendiri. Benih kopi yang akan

ditanam dibuat anakan sendiri dan setelah cukup umur baru dipindahkan. Kalau membeli,

petani membeli dalam bentuk bibit, jadi bisa langsung ditanam. Gambar 11 berikut

memberikan gambaran distribusi responden berdasarkan sumber bibit yang digunakan di

kebun kopinya. Untuk bibit yang dibeli biasanya petani membeli dari tempat-tempat yang

42
dianggap mempunyai bibit yang bagus, seperti dari PPL, petani berhasil, atau dari balai

penelitian.

Gambar 11. Distribusi Responden Bardasarkan Sumber Bibit yang Ditanam

2%
15%

Sendiri
Beli
Warisan

83%

Adapun varietas kopi yang diusahakan umumnya Robusta (90.4 persen) hanya sedikit

yang mengusahakan Arabica (4 persen) dan ada juga yang mengusahakan keduanya (5.1

persen). Kalau dilihat syarat tumbuh dari kedua varietas kopi ini, kopi arabica akan lebih baik

tumbuhnya pada lahan dengan ketinggian di atas 400 m dari permukaan laut, robusta

sebaliknya. Dengan demikian pada kebun yang dibangun di lahan yang tinggi (karena lahan

di bawahnya sudah tidak tersedia lagi) sudah banyak yang ditanam arabica. Hal ini ditunjang

dengan makin luasnya pertanaman kopi arabica di Kecamatan Sumberjaya pada tahun 95/96

hanya 191 ha, tahun 97/98 seluas 9875 ha. (Lampung Barat Dalam Angka 1995 dan 1997).

Dalam menanam kopi, petani tidak mempunyai jarak tanam yang baku. Umumnya

jarak tanam yang digunakan adalah (2x3) m. Akan tetapi dari seluruh responden yang

menanam dengan jarak tanam (1x1) m sehingga jumlah pohon kopi per ha mencapai 10.000

batang. Dan yang paling jarang menggunakan jarak tanam (2x5) m dengan jumlah pohon

kopi per ha sebanyak 1000 batang. Lahan diantara pohon kopi digunakan untuk tanaman

palawija.

43
3. Pestisida yang Digunakan

Jenis obat-obatan pemberantas hama dan penyakit yang digunakan petani sangat

beragam, tapi ada juga petani yang tidak menggunakan obat-obatan sama sekali. Harga obat-

obatan yang mahal membuat petani merasa berat untuk membeli obat tersebut. Obat-obatan

yang paling banyak digunakan petani adalah fastac, spark dan roundap.

Pemberantasan hama dan penyakit pohon kopi hanya dilakukan bila serangan

dianggap sudah sangat membahayakan. Kalau kondisi serangan belum terlalu merusak tidak

dilakukan penyemprotan, tapi dilakukan pembuangan bagian pohon yang sakit. Selain

menghemat obat-obatan, cara ini dilihat cukup efektif dalam memberantas hama dan

penyakit.

4. Luas Kebun Kopi

Rata-rata luas kebun kopi yang dkuasai dan dimiliki responden pada semua desa yang

diteliti ditampilkan Gambar 12 berikut.

44
Gambar 12. Distribusi Responden Berdasarkan Luas Kebun Kopi yang Dikuasai dan
Dimiliki

90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
< 1.5 ha 1.5 - 2.5 ha > 2.5 ha

Berdasarkan lahan yang dikuasai Berdasarkan lahan yang dimiliki

Dari Gambar 12 di atas terlihat bahwa responden paling banyak menguasai atau

memiliki kebun kopi dengan luas antara 1.5 sampai 2.5 ha. Secara rata-rata luas kebun kopi

yang dikuasai responden adalah 2,07 ha untuk semua responden. Untuk rata-rata luas kebun

kopi yang dikuasai atau dimiliki responden di masing-masing desa disajikan Gambar 13.

Gambar 13. Rata-rata Luas Lahan yang Dikuasai atau Dimiliki Responden pada Desa-desa
Penelitian

3.00

2.50

2.00

1.50

1.00

0.50

0.00
yo
a
i

ya
an

ya

ya

ra

am
nt
ga

ay
ya

pu

ul
Ja
ja

ja
ri

na

Al
Pa

R
Ja
Se

ra

ka

iM
ka
ka

g
r
Pu

Su

ba

un
ra

be
g

Su

Tr
an

Su
un

ua

m
m

nj
nd
ed

Su

Ta

Ta
M

Si
G

Lahan dikuasai Lahan dimiliki

45
Kedua gambar di atas menunjukkan bahwa responden yang memiliki kebun kopi luas

(> 2.5 ha) dan sempit (< 1.5 ha) lebih sedikit yang memperluas lahan yang dimilikinya

dibandingkan responden dengan luas kebun antara 1.5 – 2.5 ha. Hal ini menunjukkan bahwa

luas petani dengan luas kebun antara 1.5 – 2.5 ha tersebut merasa belum maksimal dalam

mengusahakan kopi dengan kebun yang dimilikinya. Sumberdaya yang dimiliki petani masih

memungkinkan untuk peningkatan produksi. Oleh karena itu perluasan kebun kopi melalui

sewa atau sakap (bagi hasil) merupakan alternatif yang mungkin untuk dipilih. Dengan luas

kebun antara 1.5 – 2.5 ha petani merasa sudah mempunyai cukup modal jika harus

menanggung resiko kegagalan dalam pengusahaan kebun kopi tersebut.

Bagi petani dengan kebun kopi yang sempit (< 1.5 ha) resiko yang harus ditanggung

jika terjadi kegagalan masih terlalu besar jika dibandingkan potensi hasil yang akan

diperolehnya. Oleh karena itu petani ini tidak melakukan perluasan kebun yang dikuasainya.

Berbeda pada petani dengan kebun luas (> 2.5 ha), petani ini sudah merasa cukup hasil yang

akan diperoleh dari kebun kopi miliknya. Dengan demikian petani ini tidak merasa perlu

memperluas kebun yang dikuasainya.

Akan tetapi jika dilihat pada masing-masing desa penelitian, terlihat bahwa hanya di

desa Sukajaya rata-rata luas kebun kopi yang dikuasai lebih luas dibandingkan rata-rata

kebun kopi yang dimiliki. Hal ini mengindikasikan bahwa di desa penelitian umumnya petani

tidak melakukan perluasan kebun yang diusahakan tetapi lebih banyak mengusahakan kebun

yang dimilikinya saja.

5. Biaya Usahatani Kopi

Untuk melaksanakan proses produksi kebun kopi dibutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Dari hasil survei diperoleh bahwa masyarakat di DAS Way Besai menggunakan modal

46
sendiri dalam mengusahakan kebun kopinya. Oleh karena itu, masalah kekurangan modal

sering diutarakan sebagai kendala dalam budidaya tanaman kopi ini.

Rata-rata biaya produksi per hektar yang dikeluarkan untuk seluruh responden adalah

Rp. 1.457.929,- sampai tanaman berumur satu tahun. Biaya produksi ini hanya mencakup

biaya bibit, pupuk dan obat-obatan. Variasi biaya rata-rata responden di masing-masing desa

penelitian tidak terlalu jauh, sehingga untuk besarnya biaya produksi rata-rata dicoba

diperbandingkan biaya antar etnis utama yang ada. Data biaya produksi rata-rata per hektar

disajikan dalam Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Rata-rata Biaya Produksi per Hektar Kebun Kopi Berumur Satu Tahun
Berdasarkan Etnis Asal Responden (Rupiah/Ha)

Jenis Biaya Asal Etnis


Jawa Semen Sunda
do
Bibit 3,326 5,399 4,616
Pupuk 673,685 647,52 800,65
3 8
Obat-obatan 869,270 950,20 132,37
1 0
Total 1,546,28 1,603, 937,64
1 123 6
Sumber: Data Primer

Dari tabel di atas terlihat bahwa biaya bibit sangat rendah dibandingkan biaya yang lain. Hal

ini dikarenakan masyarakat rata-rata menggunakan bibit dari kebun sendiri.

Diantara ketiga etnis, etnis Sunda yang paling rendah biayanya, terutama pada biaya

obat-obatan. Hal ini karena pada umumnya etnis Sunda jarang yang menggunakan obat-

oabtan. Mereka lebih suka menebang pohon kopi yang terkena hama atau penyakit tersebut.

6. Produksi Usahatani Kopi

Produksi kopi sangat dipengaruhi oleh umur tanaman kopi itu senidiri. Kopi yang

berumur kira-kira 2 tahun baru ‘belajar’ berbuah produksinya belum maksimal. Kemudian

dengan makin tuanya pohon kopi buahnya akan semakin meningkat, sampai kemudian

produksinya menurun kembali pada umur kopi yang berbeda-beda tergantung pemeliharaan

47
kebun kopinya. Rata-rata produksi responden yang dibedakan berdasarkan etnis asal

disajikan Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Rata-rata Produksi, Harga Jual dan Pendapatan Responden Berdasarkan Asal
Etnis

No Uraian Asal Etnis


Jawa Semendo Sunda
1 Produksi (kg/ha)
a. Tahun 1999 1 913 3 706 1 067
b. Tahun 2000 1 040 1 989 752
2 Harga (Rp/kg)
a. Tahun 1999 13 534 11 917 12 125
b. Tahun 2000 6 442 5 679 5 698
3 Pendapatan (Rp/ha)
a. Tahun 1999 17 813 130 59 934 669 14 647 934
b. Tahun 2000 7 237 425 14 647 666 3 679 251
Sumber: Data Primer

Dari tabel di atas terlihat bahwa seolah-olah kopi yang dimiliki etnis Semendo

menghasilkan kopi yang lebih banyak. Hal ini dikarenkan kebun kopi etnis Semendo

umumnya merupakan kebun kopi lama yang sudah berumur puluhan tahun sehingga

produksinya tinggi. Berbeda dengan kebun kopi milik etnis Jawa dan Sunda yang umumnya

merupakan kebun baru yang tentu saja pohon kopinya masih muda.

Perbedaan produksi antara tahun 1999 dan 2000, dikarenakan pengaruh musim

kemarau yang panjang di tahun 2000. Kopi menjadi kurang baik pertumbuhannya, sehingga

produksinya menurun. Selain itu hal ini dapat juga dikarenakan pada tahun 1999 harga kopi

tinggi sehingga petani memanen kopinya lebih cepat agar dapat menikmati harga yang tinggi

tersebut. Hal ini berpengaruh terhadap perkembangan pohon kopi tersebut yang terlihat pada

tingkat produksinya.

7. Pendapatan Usahatani Kopi

Pendapatan yang diterima masyarakat sangat ditentukan oleh harga jual kopi yang

sangat berfluktuatif. Sebagai contoh harga jual kopi rata-rata pada tahun 1999 adalah Rp.

12.855,- per kg, sedangkan pada tahun 2000 hanya mencapai Rp. 6.080,- per kg. Produksi

48
rata-rata, harga jual dan pendapatan responden berdasarkan etnis asal disajikan dalam Tabel

4.

Pada saat harga jual kopi tinggi, masyarakat seringkali memanfaatkan pendapatan

yang diperoleh dengan kurang bijaksana. Pada tahun 1999 misalnya, ketika pendapatan yang

diterima sangat tinggi karena harga jual yang tinggi, masyarakat banyak yang menggunakan

pendapatannya untuk pengeluaran yang bersifat konsumtif, seperti untuk pembelian peralatan

elektronik yang tidak terlalu dibutuhkan. Pembelian barang-barang ini pada umumnya

ditujukan untuk meningkatkan harga diri atau gengsi semata.

8. Pengeluaran Rumahtangga

Tabel 5 menyajikan jenis pengeluaran rutin rumahtangga responden selama setahun

terakhir.

Tabel 5. Total Pengeluaran Rutin Selama Setahun Terakhir Responden Berdasarkan


Asal Etnis (Rupiah)

Uraian Asal Etnis


Jawa Semendo Sunda
Konsumsi
a. Beras 2 302 573 2 573 344 1 568 013
b. Lauk pauk 2 592 623 2 553 302 2 626 140
c. Sekolah 957 049 924 083 1 074 214
d. Pakaian 655 294 687 542 534 632
e. Selamatan 518 775 960 417 464 044
f. Perbaikan rumah 1 319 505 37 708 326 529
Sub total konsumsi 8 224 493 7 736 396 6 593 572
Iuran
a. IPEDA 26 102 122 913 22 486
b. Sumbangan 110 544 144 917 84 478
Sub total iuran 136 646 267 830 106 964

8 361 139 8 004 226 6 700 536


Sumber: Data Primer

Pengeluaran keluarga responden yang paling tinggi terdapat pada rumahtangga etnis

Jawa. Jenis pengeluaran yang paling tinggi dilakukan oleh etnis Jawa adalah perbaikan

rumah, yaitu dari semula dinding rumah berupa kayu diubah menjadi tembok. Hal ini terkait

49
dengan kebiasaan etnis Jawa dalam membuat rumah. Etnis ini sudah terbiasa dengan rumah

yang terbuat dari bata (dinding tembok) dibandingkan dari papan. Oleh karena itu keinginan

untuk memiliki rumah yang berdindingkan tembok sangat besar.

10. Teknik Konservasi

Hal lain yang menjadi perhatian dalam melihat keragaan kebun kopi masyarakat

adalah kegiatan konservasi yang telah dilakukan. Kegiatan konservasi ini sangat berkaitan

dengan keberlanjutan dari kebun kopi yang diusahakannya. Dari seluruh responden, 45% (89

responden) menyatakan pernah membuat teras di kebun kopinya. Tetapi pada saat dilakukan

pengecekan fisik di lapangan, hanya ditemukan bekas pembuatan teras yang tidak terawat

dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Responden yang lain menyatakan belum atau

baru sebagian membuat teras. Pada umumnya respoden beralasan tidak atau belum membuat

teras karena lokasi lahan rata, kekurangan biaya, tidak memiliki cukup waktu, serta kondisi

lahan yang berbatu. Tabel 6 menyajikan status pembuatan teras pada masing-masing

responden berdasarkan etnis asal.

Tabel 6. Status Pembuatan Teras pada Kebun Kopi Berdasarkan Asal Etnis Responden

Pembuatan Teras Asal Etnis


Jawa Semendo Sunda
Sudah dibuat 53 (51%) 11 (42%) 25
(36%)
Sebagian dibuat 10 (10%) 2 (8%) 7
(10%)
Belum dibuat 39 (39%) 13 (50%) 36
(52%)
Tidak dibuat 1 (1%) 0 (0%) 1
(2%)
Total 100 (100%) 26 (100%) 69
(100%)
Sumber: Data Primer

Dari tabel di atas terlihat bahwa etnis Jawa yang paling banyak (51%) telah membuat

teras, kondisi sebaliknya pada etnis Sunda (36%). Etnis Jawa umumnya telah memahami

fungsi pembuatan teras tersebut, terutama penterasan sawah. Dengan demikian pembuatan

50
teras di lahan miring hampir merupakan keharusan bagi mereka. Bagi etnis Sunda,

masyarakatnya umunya berasal dari daerah penghasil sayur di Jawa Barat yang umumnya

tidak melakukan penterasan.

Karakteristik Kemasyarakatan

1. Pengetahuan tentang Fungsi Hutan

Masyarakat di DAS Way Besai terdiri dari berbagai etnis (multi etnis). Dalam

mengkaji hubungan antar etnis atau golongan, perlu diperhatikan sumber-sumber konflik dan

potensi kerjasama antar etnis tersebut. Salah satu sumber konflik dalam hubungan antar etnis

di DAS Way Besai adalah persaingan untuk mendapatkan lahan usaha. Sumber konflik antar

etnis ini terlihat pada kasus hutan kalpataru.

Hutan kalpataru adalah hutan yang terletak di desa Padang Tambak dan Tambak Jaya.

Pada saat kedua desa ini belum berdiri sendiri, hutan ini termasuk wilayah desa Sukaraja.

Menurut Kepada Desa Sukaraja, para pendiri desa ini telah mengalokasikan hutan seluas ±

360 ha, untuk tidak dibuka dan sebagai sumber air bagi daerah di bawahnya. Hutan ini terus

dipertahankan dan pada tahun 1987 Kepala Desa memperoleh penghargaan kalpataru dari

Presiden RI. Sejak saat itu hutan ini disebut hutan kalpataru.

Setelah kedua desa di atas berdiri sendiri, masyarakat kedua desa ini merasa tidak

harus menjaga hutan tersebut. Aparat desa Tambak Jaya telah mengajukan permohonan

pembukaan hutan ini ke DPRD Tingkat I Lampung. Apalagi menurut masyarakat desa

Tambak Jaya dan Padang Tambak, desa Sukaraja sebenarnya mempunyai hutan di wilayah

desanya tetapi dibuka dan dijadikan kebun kopi, berarti mereka setuju dengan pembukaan

hutan. Menurut Kepala Desa Sukaraja, hutan di wilayah desa Sukaraja itu dulunya

diperuntukan bagi padang penggembalaan, sekarang karena ternak sudah tidak banyak lagi,

wilayah itu dijadikan tanah bengkok. Pemanfaatannya diserahkan kepada aparat desa. Oleh

Kepala desa tanah tersebut dibagikan kepada aparat untuk diusahakan. Aparat desa dan

51
masyarakat desa Sukaraja sangat menentang pembukaan hutan kalpataru yang diajukan oleh

masyarakat desa Tambak Jaya dan Padang Tambak. Tetapi masyarakat desa Sukaraja sendiri

mengajukan permohonan kepada Pemerintah Daerah Tingkat I Lampung untuk menanam

lada di hutan ini. Menurut mereka, penanaman lada tidak merusak hutan, bahkan hutan akan

memberikan manfaat ekonomi yang lebih banyak. Jadi pada dasarnya masyarakat di ketiga

desa ini setuju untuk memanfaatkan hutan ini. Dalam kasus ini terlihat konflik

memperebutkan lahan hutan dan sampai sekarang belum terselesaikan.

Dari kasus hutan kalpataru di atas, terlihat bahwa persepsi masyarakat mengenai

hutan sangat beragam. Ada yang berpendapat bahwa hutan harus terus dijaga dengan tanpa

diusahakan sama sekali. Hutan harus dijaga sebagaimana adanya, agar fungsi hutan dapat

dijaga terus. Ada juga yang berpendapat bahwa hutan dapat dimanfaatkan selama tidak

menebang pohon yang ada, sehingga tanah tidak terbuka. Pendapat yang lain, hutan

sebaiknya dimanfaatkan untuk sumber kehidupan masyarakat, sehingga lahan hutan akan

lebih bermanfaat.

2. Keikut-sertaan Dalam Organisasi Desa

Karakteristik kemasyarakatan yang lain adalah pola bertindak dan kelakukan dalam

bentuk organisasi sosial di dalam masyarakat. Dari wawancara dengan responden diketahui

bahwa terdapat beberapa organisasi sosial masyarakat, seperti LKMD, LMD dan Lembaga

Swadaya Masyarakat lainnya (termasuk pengajian atau kegiatan keagamaan). Akan tetapi

hanya 21% dari responden yang aktif dalam organisasi sosial tersebut.

Selain organisasi sosial, terdapat pula organisasi ekonomi dalam masyarakat yaitu

KUD dan Kelompok Tani. Terdapat 48% (95 orang) responden yang mengikuti kelompok

tani dan 21% (41 orang) responden sebagai anggota KUD.

52
Menurut pendekatan ekologi kebudayaan, organisasi dalam masyarakat terutama yang

berkaitan dengan ekonomi dapat menjadi inti dari kebudayaan, yang akan berperan dalam

proses adaptasi masyarakat dengan lingkungannya. Di DAS Way Besai, masyarakat

mayoritas (79% dari seluruh responden) tidak mengikuti organisasi baik sosial ataupun KUD.

53
Model Pemberdayaan Masyarakat

Setelah melihat kedaaan kebun kopi di wilayah DAS Way Besai, bentuk usahatani

agroforestry merupakan pilihan yang baik untuk dipilih. Agroforestry adalah suatu sistem

usahatani atau penggunaan tanah yang mengintegrasikan secara spasial dan atau temporal

tanaman pohon-pohonan di dalam sistem produksi tanaman rendah, dan atau ikan, pada

sebidang tanah yang sama (Arsyad, 1989). Di kebun kopi masyarakat, dapat diusahakan juga

tanaman-tanaman rendah yang tidak memerlukan sinar matahari terlalu banyak, tetapi dapat

berfungsi sebagai tanaman penutup tanah.

Jika melihat rata-rata pengalaman bertani masyarakat yang mencapai dua puluh tahun,

dapat menjadi modal untuk mengintrodusir cara-cara baru dalam berusahatani. Hal yang

perlu diperhatikan dalam mengintrodusir cara-cara baru ini adalah teknik atau metode

penyuluhan.

Sistem penyuluhan yang terkesan menggurui dengan menempatkan penyuluh sebagai

pihak yang serba tahu tidak akan efektif. Pendekatan persuasif dengan menempatkan

penyuluh sebagai fasilitator untuk mewujudkan keinginan masyarakat akan lebih berhasil.

Untuk itu yang diperlukan

adalah memotivasi masyarakat bahwa mereka mempunyai potensi

untuk meningkatkan pendapatan dari lahan mereka.

Jumlah tanggungan keluarga yang relatif sedikit (4 orang) membuat responden lebih

leluasa dalam menentukan strategi usaha kebun kopinya. Dengan demikian resiko kegagalan

tidak terlalu memberatkan karena jumlah tanggungan yang relatif kecil.

Sikap selalu mengoptimalkan pemanfaatan lahan pada etnis Jawa dapat menjadi

contoh yang baik bagi etnis lain. Diperlukan pihak ketiga untuk menularkan kebiasaan baik

etnis Jawa ini kepada etnis lain. Jasa pihak ketiga ini dapat dilakukan oleh penyuluh

pertanian, aparat desa maupun pemuka masyarakat yang lain.

54
Seperti telah dikemukakan dalam bagian terdahulu, harga kopi merupakan insentif

yang baik bagi masyarakat untu terus meningkatkan produksi kopinya. Dengan demikian

kelestarian kebun kopi masyarakat merupakan hal yang semakin lama semakin diperlukan.

Lestari dari segi sosial sudah tercapai karena masyarakat memang telah sangat menerima

tanamana kopi. Dari segi ekonomi kebun kopi telah memberikan pendapatan yang memadai

bagi masyarakat. Lestari dari segi lingkungan yang masih dipertanyakan.

Kalau dilihat kegiatan pembersihan kebun kopi, yang terdapat di tempat-tempat

miring, dari rumput dan gulma seringkali dilakukan dengan cara membawa rumput tersebut

dari atas ke arah bawah lereng. Sehingga banyak sekali tanah dari bagian atas terbawa ke

bawah. Belum lagi tanah yang terbawa oleh air (erosi) akibat tidak adanya usaha konservasi

yang dilakukan. Dengan demikian tidak hanya kesuburan tanah yang akan cepat hilang,

bahkan pupuk yang telah diberikan juga akan terbawa ke bawah lereng. Jadi lestari dari segi

lingkungan dari kebun kopi masih belum tercapai. Masyarakat masih harus disadarkan untuk

menjaga kelestarian lingkungan dari kebun kopinya.

Akan tetapi dalam melaksanakan usaha-usaha konservasi diperlukan biaya yang

kadang-kadang terasa berat bagi masyarakat. Biaya yang besar ini makin terasa berat untuk

dikeluarkan oleh masyarakat yang kebun kopinya berada di kawasan hutan. Ketidak-pastian

dalam pemanfaatan lahan merupakan penyebab keengganan mereka investasi dalam bentuk

usaha konservasi ini.

Dari persepsi masyrakat tentang hutan dapat diperoleh bahwa masyarakat tahu

kawasan hutan tidak boleh dibuka, tetapi jika ada bimbingan pemerintah untuk

memanfaatkannya mereka mendukung. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sebenarnya

tidak terlalu mengerti fungsi hutan dan dampaknya jika hutan dibuka. Jadi persepsi bahwa

hutan tidak boleh dibuka karena pemerintah tidak membolehkan untuk membukanya lebih

dipahami masyarakat dibandingkan karena untuk menjaga fungsi hutan.

55
Jika masyarakat sudah benar-benar menyadari fungsi hutan yang sebenarnya kekuatan

masyarakat untuk menjaga hutan akan sangat kuat dan efektif dibandingkan penjagaan yang

dilakukan aparat pemerintah. Kesadaran ini harusnya muncul dalam masyarakat sendiri,

sehingga akan muncul rasa memiliki hutan.

Pemberian pengertian mengenai fungsi hutan bukanlah hal yang mudah. Apalagi

masyarakat di wilayah DAS way Besai adalah pendatang yang pindah ke wilayah ini karena

ingin memiliki lahan pertanian sendiri. Penyampaian pengetahuan mengani film, gambar-

gambar dan ajakan yang tidak memaksa akan sangat diperlukan.

Dalam penjagaan hutan masyarakat harus ditempatkan sebagai pihak yang memiliki

hutan. Dengan demikian masyarakat akan menjaga sesuatu yang mereka miliki dengan baik.

Konsekuensinya masyarakat haruslah menjadi pihak yang pertama mendapatkan manfaat dari

segala bentuk pemanfaatan hutan itu sendiri.

Dalam penentuan bentuk pemanfaatan hutan, masyarakat juga harus diikut-sertakan,

sehingga masyarakat akan merasa betapa besar peranannya dalam menentukan keberadaan

hutan tersebut.

56
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Masyarakat di DAS Way Besai sebagian besar adalah etnis Jawa, Sunda dan Semendo;

2. Ketiga etnis ini hidup berdampingan, walaupun tetap bertempat tinggal di kampung

yang berbeda;

3. Proses interaksi antar etnis berlangsung lama, dan untuk itu diperlukan pihak ketiga

untuk mempercepat proses ini;

4. Dalam mengelola kebun kopi, etnis Jawa dan Sunda langsung memelihara sendiri

kebunnya, sedangkan etnis Semendo menerapkan sistem bujangan;

5. Penerapan teknologi stek dalam pemeliharaan kopi sudah dikenal etnis Jawa dan Sunda

sejak lama, tapi etnis Semendo baru (lebih kurang 2 tahun) mengenalnya;

6. Tanaman kopi merupakan tanaman utama, walaupun ada jenis tanaman lain yang

diusahakan, tapi kopi masih yang utama;

7. Kesadaran akan pentingnya menjaga hutan, dipahami selama tidak menyangkut

masalah pemenuhan kebutuhan pangan;

8. Dari 8 tipe kebun kopi yang diteliti, persen aliran permukaan dan total erosi yang

ditimbulkan masih tinggi;

9. Pada tipe kebun kopi dengan pohon penaung, bersih dari serasah dan rumput serta

berguludan mengakibatkan persen aliran permukaan dan total erosi paling kecil;

10. Usaha konservasi belum dilaksanakan dengan baik dan sempurna, sehingga belum

berfungsi dalam menekan aliran permukaan dan erosi;

11. Upaya pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan mengikut-sertakan masyarakat

dalam pengelolaan hutan.

57
Saran

1. Perlu adanya program terpadu yang melibatkan masyarakat yang difasilitasi oleh

pemerintah untuk mengelola kawasan lindung;

2. Perlu adanya pengkajian mengenai karakteristik petani sekitar hutan di daerah yang lain

untuk dapat mengelola hutan dengan lestari.

58
WORLD AGROFORESTRY CENTRE (ICRAF)
SOUTHEAST ASIA REGIONAL OFFICE WORKING PAPERS

Funded by the
Asian Development Bank
RETA 5711
Belajar Dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam
di Era Desentralisasi

Editor
Hasantoha Adnan, Djuhendi Tadjudin, E. Linda Yuliani,
Heru Komarudin, Dicky Lopulalan, Yuliana L. Siagian
dan Dani Wahyu Munggoro

Sambutan
Bupati Bungo H. Zulfikar Achmad
Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Editor
Hasantoha Adnan, Djuhendi Tadjudin, E. Linda Yuliani,
Heru Komarudin, Dicky Lopulalan, Yuliana L. Siagian
dan Dani Wahyu Munggoro

Sambutan
Bupati Bungo H. Zulfikar Achmad
Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Foto sampul oleh:


Eddy Harfia Surma, Effi Permatasari, Hasantoha Adnan, Ismal Dobesto,
H. de Foresta dan ACM-Jambi

Desain grafis dan tata letak oleh:


Rifky dan Andhika Vega Praputra

ISBN 978-979-1412-47-6

© CIFOR 2008
Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang

Diterbitkan oleh
Center for International Forestry Research (CIFOR)
Alamat pos: P.O. Box 0113 BOCBD, Bogor 16000, Indonesia
Alamat kantor: Jalan CIFOR, Situ Gede
Bogor Barat 16115, Indonesia
Telp: +62 (0251) 622-622
Fax: +62 (0251) 622-100
e-mail: cifor@cgiar.org
website: http://www.cifor.cgiar.org/
DAFTAR ISI

UCAPAN TERIMA KASIH vii


SAMBUTAN BUPATI ix
PROFIL PENULIS xi
DAFTAR SINGKATAN xxi

PEMBUKA: DARI KRISIS KE PERUBAHAN 1


Hasantoha Adnan

BAGIAN 1
POTRET SUMBERDAYA KABUPATEN BUNGO 25

Bagian 1-1
Kelimpahan Sumberdaya Hutan di Sekitar Desa Baru Pelepat 27
Novasyurahati dan Endah Sulistyawati
Bagian 1-2
Potret Perubahan Tutupan Hutan di Kabupaten Bungo 1990–2002 37
Kurniadi Suherman dan Mahendra Taher
Bagian 1-3
Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi 53
Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent
iv Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

BAGIAN 2
KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM 63

Bagian 2-1
Hutan Adat Batu Kerbau: Sisa-sisa Kearifan Lokal 65
Riya Dharma Datuk Rangkayo Endah
Bagian 2-2
Sistem Sisipan: Pengetahuan Lokal dalam Wanatani Karet 83
Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati, Susilawati dan
Elok Mulyoutami
Bagian 2-3
Mengatur Diri Sendiri melalui Pengelolaan Lubuk Larang 101
Eddy Harfia Surma, Rodiah dan Hasantoha Adnan
Bagian 2-4
Mereka Bisa Berubah 121
Effi Permatasari
Bagian 2-5
Rio: Modal Sosial Sistem Pemerintah Desa 135
Umar Hasan, Deddy Irawan dan Heru Komarudin

BAGIAN 3
POTENSI EKONOMI BERBASIS LINGKUNGAN 157

Bagian 3-1
Hasil Hutan Non Kayu dan Ekonomi Masyarakat 159
Rodiah
Bagian 3-2
Kekayaan Hutan Bukit Siketan 174
Elizabeth Linda Yuliani, Anggana dan Novasyurahati
Bagian 3-3
Potensi Pengembangan Rotan Manau di Kabupaten Bungo 195
Iman Budisetiawan
Bagian 3-4
Meningkatkan Produktivitas Karet Rakyat melalui Sistem Wanatani 206
Ratna Akiefnawati, Gede Wibawa, Laxman Joshi dan
Meine van Noordwijk
Belajar dari Bungo v
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Bagian 3-5
Pengayaan Jenis Wanatani Karet dengan Meranti 222
Hesti Tata, Meine van Noordwijk, Saida Rasnovi dan Laxman Joshi
Bagian 3-6
Keragaman Jenis Anakan Tumbuhan Berkayu pada
Wanatani Karet: Pengaruh Umur dan Intensitas Manajemen 239
Saida Rasnovi, Grégoire Vincent, Cecep Kusmana dan
Soekisman Tjitrosemito
Bagian 3-7
Keanekaragaman Hayati: Jasa Lingkungan Wanatani Karet 257
Endri Martini
Bagian 3-8
Potensi Pengembangan Mekanisme Imbal Jasa Lingkungan
Wanatani Karet di Desa Lubuk Beringin 271
Damsir Chaniago

BAGIAN 4
DARI KONFLIK KE AKSI KOLEKTIF DALAM PENGELOLAAN
Sumberdaya Alam 285

Bagian 4-1
Peningkatan Konflik dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 287
Yurdi Yasmi
Bagian 4-2
Kolaborasi untuk Kelestarian Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat 299
Trikurnianti Kusumanto
Bagian 4-3
Adaptasi Kelembagaan dan Aksi Kolektif Masyarakat terhadap
Program Transmigrasi 321
Hasantoha Adnan dan Yentirizal
Bagian 4-4
Aksi Kolektif Penguatan Hak Masyarakat atas Lahan 348
Yuliana Siagian dan Neldysavrino
Bagian 4-5
Kebijakan Kehutanan, Aksi Kolektif dan Hak Properti:
Sebuah Pelajaran dari Bungo 365
Mustafal Hadi, Heru Komarudin dan Monico Schagen
vi Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Bagian 4-6
Penataan Ruang untuk Memperkuat Hak Properti Masyarakat 388
Deddy Irawan, Umar Hasan dan Heru Komarudin
Bagian 4-7
Jalan Menikung: Proses Multipihak dalam Pengakuan Hutan Adat 404
Pariyanto
Bagian 4-8
Jalan Panjang Partisipasi: Proses dan Pembelajaran dalam
Penyusunan Peraturan Desa secara Partisipatif 419
Ismal Dobesto
Bagian 4-9
Menata Ruang Desa: Jalan menuju Komunikasi dan Kolaborasi 444
Marzoni

Penutup: Sebuah Ulasan 461


Erna Rosdiana
Ucapan Terima Kasih

Kendati setiap penulis telah memberikan ucapan terima kasih secara khusus
di penghujung artikelnya, namun kami merasa perlu untuk menyampaikan hal
serupa mengingat kehadiran buku ini adalah berkat peran dari banyak pihak.
Ucapan terima kasih layak diberikan kepada Multistakeholder Forestry Programme
(MFP) – Program kerjasama kehutanan antara Departemen Kehutanan Republik
Indonesia dan Department for International Development (DfID) Kerajaan Inggris.
MFP-DfID mendanai seluruh kegiatan lokatulis melalui Proyek Adaptive
Collaborative Management di Jambi. Juga kepada Uni Eropa dan Department for
International Development (DfID) Kerajaan Inggris yang telah mendanai percetakan
buku ini. Seluruh kontributor dan editor juga berterima kasih kepada lembaga-
lembaga tempat kami masing-masing bekerja, atas dukungannya berupa saran dan
panduan dalam analisis maupun penulisan, serta dukungan operasional. Seluruh
tulisan dalam buku ini adalah pandangan individu penulis, dan tidak mewakili
pandangan ataupun kebijakan donor serta lembaga-lembaga yang terlibat.

Secara khusus kami berterima kasih kepada Carol J. Pierce Colfer, Ravi Prabhu,
Doris Capistrano, Moira Moeliono, Rahayu Koesnadi, Charlotte Soeria, Dina
Hubudin, Mohammad Agus Salim, Bagus Utomo, Novasyurahati, Melling
Situmorang, Yuneti Tarigan, Gideon Suharyanto, Eko Prianto, Henty Astuty,
Hari Sukmara, Suci Eka Ningsih dan (Alm.) Kusuma Hendriani (yang tak sempat
menyaksikan lahirnya buku ini) dari CIFOR, serta Tri Nugroho, Rachmat Hidayat,
Robert Aritonang dan Rudi Syaf dari MFP-DfID, juga kawan-kawan dari PILI:
viii Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Rifky, Andhika Vega Praputra dan Agus Prijono yang telah membantu proses
penerbitan buku ini, mulai dari lokatulis hingga percetakan buku ini.

Dukungan dan bantuan sangat berarti juga kami terima dari Agus Mulyana dan
Yayan Indriatmoko dari CIFOR, Meine van Noordwijk dan Laxman Joshi dari
ICRAF, Firkan Maulana dari GTZ, Prof. M. Agung Sarjono dari Center for Social
Forestry Universitas Mulawarman, Erna Rosdiana dari Departemen Kehutanan,
dan Myrna Safitri. Mereka telah meluangkan waktu untuk mengkaji isi tulisan,
serta memberikan umpan balik kepada penulis, baik untuk perbaikan tulisan
maupun untuk pemahaman lebih mendalam mengenai tulisannya.

Kami menyadari masih banyak kekurangan, baik dalam analisis maupun teknik
penulisan. Karenanya, komentar dan saran layak kami terima dengan senang hati
untuk perbaikan penulisan berikutnya.

Tim Editor
Sambutan Bupati Bungo

Kita bersyukur dengan terbitnya buku yang bercerita tentang banyak hal yang
terjadi di Kabupaten Bungo. Saya mengapresiasi publikasi ini sebagai salah satu
bentuk perhatian dan interest berbagai stakeholder terhadap proses pembangunan
daerah di Bumi Langkah Serentak Limbai Seayun. Buku ini sekaligus akan menjadi
media yang efektif dalam rangka memperkenalkan lebih dekat kondisi dan potensi
wilayah Kabupaten Bungo.

Kabupaten Bungo memiliki kekayaan hayati dan keanekaragaman ekosistem


yang merupakan sumberdaya yang patut disyukuri, dilindungi dan dikelola untuk
mewujudkan tujuan pembangunan daerah. Potensi yang dimiliki tersebut yang
menjadi motor penggerak (engine of growth) pembangunan daerah.

Namun demikian, sumberdaya alam juga memiliki keterbatasan, sehingga


diperlukan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan, dengan tetap memberi
kemungkinan kepada kelangsungan hidup dengan jalan meningkatkan dan
melestarikan fungsi ekosistem yang mendukungnya. Ini berarti pemanfaatan
sumberdaya alam haruslah dilakukan secara terencana, rasional, optimal,
bertanggung jawab serta memperhatikan kelestarian lingkungan untuk
mendukung perikehidupan yang beraneka ragam, baik masa kini maupun di masa
mendatang.
x Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Kita tentu saja tidak ingin mengulang kesalahan di masa lampau. Jika selama
ini hutan hanya dianggap sebagai kumpulan pohon-pohon yang memiliki nilai
ekonomis sebagai komoditas, maka di masa depan kita harus memberlakukan
hutan sebagai sumberdaya alam dengan lebih mengedepankan aspek pelestarian
dan keanekaragaman nilai budaya. Untuk itu pengusahaan dan pemanfaatannya
pun harus dengan pola-pola yang merakyat, dengan memperhatikan serta
melindungi nilai-nilai tradisional dan adat yang ada dalam masyarakat. Di tengah-
tengah berbagai permasalahan dan tekanan yang terjadi terhadap keberadaan
sumberdaya alam, maka upaya antisipasi menjaga kelestarian sumberdaya alam
dan hutan menjadi sangat mendesak.

Memang diperlukan kesamaan visi dan persepsi untuk menyelaraskan upaya


peningkatan derajat kesejahteraan masyarakat dengan tetap mengedepankan
dimensi kelestarian lingkungan. Dalam rangka itu pula keberadaan ini menjadi
sangat bermakna dan memberikan pemahaman yang komprehensif tentang
keberadaan sumberdaya alam di Kabupaten Bungo disertai dengan pernak-pernik
permasalahannya.

Akhirnya, saya atas nama Pemerintah Kabupaten Bungo menyampaikan


penghargaan dan ucapan terima kasih kepada CIFOR, ICRAF, ACM dan pihak-
pihak lain yang telah berpartisipasi dan memberikan kontribusi serta berkarya
dalam dinamika perjalanan pembangunan daerah di Kabupaten Bungo.

Muara Bungo, November 2007

BUPATI BUNGO,

H. ZULFIKAR ACHMAD
Profil Penulis

Andree Ekadinata
Lahir pada 7 Juni 1979 di Padang, Sumatera Barat. Pendidikan terakhir diraihnya
di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor pada 2002. Penulis bergabung
dengan World Agroforestry Centre (ICRAF) South East Asia sejak 2001. Banyak
terlibat dalam melakukan analisis spasial di berbagai lokasi penelitian ICRAF.
Alamat tinggal saat ini adalah Puri Matahari Persada Blok D No. 90, Laladon,
Bogor, Jawa Barat. Email: aekadinata@cgiar.org

Anggana
Lahir pada 7 Juli 1946 di Bogor. Pendidikan terakhir SLTA dan sejak 1970-
2000 berdinas di Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kehutanan
sebagai Teknisi Kelompok Botani dan Ekologi. Selepas pensiun, sesekali masih
diperbantukan di Badan Litbang Kehutanan atau menjadi peneliti lepas di berbagai
lembaga penelitian. Salah satunya terlibat dalam penelitian analisa vegetasi di
proyek ACM CIFOR di Jambi.

Cecep Kusmana
Penulis adalah guru besar bidang ekologi mangrove di Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor. Alamat tinggal adalah kompleks Laladon Permai blok F No. 17
Bogor.
xii Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Damsir Chaniago
Lahir pada 5 Mei 1971 di Bukittinggi. Menyelesaikan pendidikan dasar dan
menengah di Bukittinggi. Pendidikan terakhir diraih di Fakultas Pertanian,
Universitas Andalas Padang pada 1996. Sejak 1991 tergabung dalam Kelompok
Mahasiswa Mencintai Alam Fakultas Pertanian, Universitas Andalas (KOMMA
FP-UA), Padang. Mulai bergabung dengan KKI-WARSI sejak 1996 dalam program
ICDP-TNKS (1996-2002), Rehabilitasi DAS Batang Lunto Kota Sawahlunto
(2002-2005) dan sebagai fasilitator pada program RUPES (2005-2007). Alamat
Desa Lubuk Beringin Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo.

Deddy Irawan
Lahir pada 28 November 1968 di Jambi. Terlibat dalam penelitian kerjasama
antara Pemerintah Kabupaten Bungo dengan berbagai pihak. Khususnya dengan
CIFOR, penulis terlibat dalam penelitian Adaptive Collaborative Management
(ACM) dan Collective Action and Property Rights (CAPRi). Ketika penelitian
CAPRi berlangsung dan tulisan dalam buku ini disusun, penulis menjabat sebagai
Kepala Sub Bidang Penelitian dan Pengembangan, Bappeda Kabupaten Bungo.

Eddy Harfia Surma


Lahir pada 11 Oktober 1969 di Bangko, Jambi. Sekolah formal, SD, SMP, SMA
sampai ke perguruan tinggi diselesaikan di Propinsi Jambi. Sejak 1992, penulis
bergabung dengan Gita Buana Club. Sejak 2003-2006 terlibat sebagai koordinator
lapangan untuk program ACM-Jambi. Saat ini, penulis menjadi koordinator
kabupaten untuk program FLEGT di Jambi.

Effi Permatasari
Lahir pada 19 Januari 1976 di Padang. Penulis menyelesaikan kuliah di Fakultas
Pertanian, Universitas Jambi pada 2000. Kiprah di dunia LSM dimulai sejak 2001
di Yayasan Gita Buana, Jambi. Sejak 2001-2006 terlibat aktif sebagai pendamping
masyarakat pada program ACM-Jambi. Saat ini menjadi pendamping desa untuk
program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang didanai World
Bank.

Elizabeth Linda Yuliani


Bekerja di CIFOR sejak awal 2000 untuk penelitian Adaptive Collaborative
Management. Lulus dari Jurusan Biologi ITB pada 1994 dalam bidang Ekologi
Perairan, dan sempat bekerja di Sea World Indonesia sebagai Senior Education Staff
hingga 1998. Melanjutkan studi S2 di University of York, Inggris, dalam bidang
Belajar dari Bungo xiii
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Ecology and Environmental Management. Memiliki latar belakang ekologi yang


sangat kuat dan terbiasa berinteraksi dengan plankton, ikan dan pohon, namun
kini juga tertarik dengan dunia fasilitasi yang banyak dipelajarinya dari Inspirit.

Elok Mulyoutami
Lahir pada 6 Oktober 1975 di Bandung, Jawa Barat. Memperoleh gelar Sarjana
Sosial di Jurusan Antropologi, Universitas Padjadjaran, Bandung pada 2000. Sering
terlibat dalam kegiatan penelitian sosial bersama Pusat Analisis Sosial AKATIGA
Bandung dan sejumlah kegiatan penelitian lepas lainnya dengan isu gender, usaha
kecil, masyarakat marginal dll. Sejak awal 2003 bergabung dengan ICRAF sebagai
peneliti dengan fokus isu mengenai pengetahuan lokal dan karakterisasi sistem
pertanian. Penulis sekarang menetap di Bogor.

Endah Sulistyawati
Adalah staf pengajar dan menjabat sebagai Koordinator Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Hayati dan Lingkungan Hidup Tropika (PSDH dan LH Tropika),
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH), Institut Teknologi Bandung.

Endri Martini
Lahir pada 13 Maret 1978 di Bogor, Jawa Barat. Menyelesaikan pendidikan
dasar, menengah dan atas di Bogor. Pada 2001, penulis memperoleh gelar Sarjana
Kehutanan dari Institut Pertanian Bogor dengan spesialisasi Budi Daya Hutan.
Bergabung dengan ICRAF sejak 2000 sebagai student researcher. Sejak 2002 sampai
2005 terlibat sebagai field researcher dalam beberapa penelitian biodiversity yang
dilakukan ICRAF dan IRD di sekitar Muara Bungo, Jambi. Email: endri_m_g@
yahoo.com, emartini@cgiar.org.

Gede Wibawa
Lahir pada 13 Juli 1961 di Singaraja, Bali. Penulis menyelesaikan Sarjana Agronomi
di Institut Pertanian Bogor pada 1983 dan melanjutkan studi untuk meraih gelar
Master (DEA) dan Doctor (PhD) di bidang Agriculture Production Systems di
Institut National Agronomique, Paris-Grignon (INA-PG), Perancis antara 1988
-1992. Saat ini menduduki jabatan sebagai Kepala Biro Riset, Lembaga Riset
Perkebunan Indonesia (LRPI) yang berkedudukan di Jl. Salak 1A, Bogor, Jawa
Barat, Indonesia, serta aktif dalam kegiatan penelitian dan pengembangan bidang
usahatani dan Agroforestry berbasis karet di Pusat Penelitian Karet dan ICRAF.
xiv Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Gerhard Manurung
Lahir pada 11 Agustus 1970. Meraih gelar sarjana dari Ilmu Tanah, Fakultas
Pertanian, Universitas Sriwijaya, Palembang pada 1995. Penulis melanjutkan
studi di Paska Sarjana Institut Pertanian Bogor dalam program studi Pengelolaan
Sumber Daya Alam (2000 – 2004) dan meraih gelar MSc. Pengalaman penelitian
di ICRAF sejak 1996 sebagai asisten peneliti lapangan untuk proyek Sistem
Wanatani Karet Rakyat (Smallholder Rubber Agroforestry) yang berbasis di Muara
Bungo. Sejak awal 1999, terlibat dalam berbagai proyek penelitian dan menjadi
Associate Research Officer, dan sejak Februari 2002 sebagai Agroforestry Tree
Specialist. Hingga kini, masih tetap aktif dan memiliki tanggung jawab untuk
mengembangkan pilihan-pilihan pengelolaan kebun yang lebih baik.

Gregoire Vincent
Ahli pemodelan ekologi. Bekerja di L’Institut de Recherche pour le Développement
(IRD), Unité Mixte de Recherche AMAP, Campus Agronomique – BP 701 (CIRAD),
97387 Kourou cedex, French Guyana. Email: gregoire.vincent@ird.fr

Hasantoha Adnan
Adalah putra Betawi kelahiran 23 Januari 1974. Penulis menuntaskan studi
Antropologi di Universitas Indonesia pada 2000. Sejak 2002 bekerja pada Center
for International Forestry Research (CIFOR) untuk proyek Adaptive Collaborative
Management dan melakukan riset aksi partisipatif di Kabupaten Paser, Kalimantan
Timur (2002-2003) dan Kabupaten Bungo, Jambi (2003-2006). Saat ini
mengembangkan metode fasilitasi berbasis hati melalui lembaga Matahari
Matahati (mataharimatahati.wordpress.com).

Heru Komarudin
Lahir pada 16 Februari 1968 di Sukabumi. Pada 1992, penulis menuntaskan studi
nya di Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada Kehutanan. Setelah bekerja
beberapa tahun di perusahaan konsultan kehutanan dan sebuah proyek kerjasama
kehutanan Uni Eropa-Indonesia, penulis mulai bekerja sebagai asisten peneliti
pada Program Forests and Governance, CIFOR, Bogor sejak 2003. Minat risetnya
adalah pada tema aksi kolektif, hak-hak properti, hubungan pemerintahan pusat
dan daerah dan kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan.
Belajar dari Bungo xv
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Iman Budisetiawan
Lahir pada 15 Desember 1976 di Bogor, Jawa Barat. Menyelesaikan pendidikan
dasar dan menengah di Bogor, yaitu di SD Negeri Pengadilan II, SMP Negeri 3
dan SMA Negeri 1. Pendidikan terakhir diraihnya di Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor pada 1999. Bekerja pada Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah,
Departemen Kehutanan di Muara Bungo pada 2000. Setelah otonomi daerah,
yakni sejak 2002, penulis bekerja pada Seksi Rehabilitasi Lahan dan Konservasi,
Dishutbun Kabupaten Bungo. Alamat tinggal di Jalan M. Saidi No. 595 RT.01/01
Komp. Jengki Kelurahan Bungo Barat, Muara Bungo Jambi.

Ismal Dobesto
Lahir pada 21 Maret 1976 di Padang Panjang, Sumatera Barat. Menyelesaikan
pendidikan dasar dan menengah di Padang Panjang, yaitu di SD Negeri 3, MTsN
Padang Panjang, MAN Koto Baru. Pendidikan terakhir diraihnya di Fakultas
Hukum, Universitas Andalas Padang pada 2002. Bergabung dengan PSHK-ODA
Jambi sejak 2002 dan terlibat dalam penelitian-pendampingan bersama ACM
Jambi sejak 2003. Saat ini menjadi Sekretaris Desa Baru Pelepat, Kabupaten
Bungo.

Kurniadi Suherman
Lahir pada 1 Juni 1979 di Bandung, Jawa Barat. Pendidikan dasar diselesaikan
di SD Babakan Tarogong dan pendidikan menengah di Bandung yaitu di SMP
10 dan SMA 22 Bandung. Pendidikan terakhir ditempuh di Jurusan Konservasi
Sumber Daya Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gajah Mada. Bergabung
di KKI-WARSI pada 2004-2006 sebagai spesialis kehutanan. Alamat: Jl. Kopo Gg.
Panyileukan 25 Bandung. Email: kurniadi.suherman@gmail.com.

Laxman Joshi
Lahir pada 5 Juli 1963 di Kathmandu, Nepal. Mendapatkan gelar Sarjana Science
di Tribhuwan University, Nepal pada 1985 serta gelar Master of Science (MSc/ DIC
Applied Entomology) di University of London pada 1987-1988. Menyelesaikan PhD
di bidang Agroforestry dengan judul disertasi “Incorporation of farmers’ ecological
knowledge in the planning of interdisciplinary research and extension programmes” di
University of Wales, Bangor, Inggris (1995-1998). Karirnya bermula di Pakhribas
Agriculture Centre (PAC), Dhankuta, Nepal sebagai Forestry/Agroforestry Officer,
dan dilanjutkan di Divisi Riset Kehutanan (Pemerintah Nepal) sebagai Forest
Entomologist. Sejak 1998 bergabung dengan World Agroforestry Centre – ICRAF
Southeast Asia di Bogor, Indonesia sebagai Research Officer (Ethno-ecologist)
xvi Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

yang merupakan kerjasama antara ICRAF dengan University of Wales. Hingga


sekarang masih terlibat aktif dalam kegiatan ICRAF Indonesia sebagai Scientist
(Integrated Natural Resource Management).

Mahendra Taher
Lahir pada 5 Desember 1970 di Dharmasraya, Sumatera Barat. Pendidikan
dasar diselesaikan di SDN 26 Kota Solok dan pendidikan menengah pertama
di selesaikan di SMPN 3 Kota Baru. Pendidikan menengah lanjutan di tempuh
di SMAN 3 Padang dan menyelesaikan pendidikan S-1 di Fakultas Pertanian,
Universitas Andalas Padang pada 1995. Mulai bergabung dengan KKI-Warsi
pada 1996 dan sejak 2006 ditunjuk sebagai Deputi Direktur Eksekutif. Bapak
tiga anak ini banyak terlibat dalam program-program yang berhubungan dengan
fasilitasi masyarakat desa pinggir hutan, pengelolaan daerah aliran sungai dan
pengembangan kewirausahaan berbasis sumberdaya hutan lestari. Alamat rumah
Jl. H. Yulius Usman No.43, RT 23, Kelurahan Pematang Sulur, Telanai Pura,
Jambi. Email: bokto97@yahoo.com.

Marzoni
Lahir pada Maret 1973 di Jambi. Tinggal di Kota Muara Bungo. Staf Yayasan
Gita Buana (YGB)-Jambi ini, sejak 2001 terlibat dalam penelitian aksi partisipatif
Adaptive Collaborative Management (ACM–PAR). Kegiatan ini merupakan
kolaborasi antara YGB, CIFOR dan PSHK-ODA. Menikahi Ratni, SP., kawan
kuliahnya di Fakultas Pertanian, Universitas Jambi dan saat ini dianugerahi dua
orang putra (Hani dan Harizt).

Meine van Noordwijk


Adalah peneliti senior dan koordinator Regional World Agroforestry Centre (WAC/
ICRAF) untuk wilayah Asia Tenggara.

Monico Schagen
Terlibat dalam penelitian CAPRi dari September 2005 sampai Januari 2006 sebagai
mahasiswi magang dari Wageningen University, Belanda.
Belajar dari Bungo xvii
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Mustafal Hadi
Lahir pada 8 Januari 1958 di Jambi. Terlibat dalam penelitian kerjasama antara
Pemerintah Kabupaten Bungo dengan berbagai pihak. Khususnya dengan
CIFOR, penulis terlibat dalam penelitian Adaptive Collaborative Management
(ACM) dan Collective Action and Property Rights (CAPRi). Ketika penelitian
CAPRi berlangsung penulis menjabat sebagai Kepala Bidang Perlindungan Hutan
dan Rehabilitasi Lahan, Dishutbun Kabupaten Bungo. Saat ini penulis adalah
staf pada Kasubdin Pengembangan Sumberdaya dan Kelembagaan Usaha, Dinas
Perkebunan Provinsi Jambi.

Neldysavrino
Lahir pada 4 Oktober 1970 di Jambi dari pasangan H. Erman Imran dan Rosna
Erman. Penulis menamatkan seluruh jenjang pendidikan di Kota Jambi dan
memperoleh gelar Sarjana Pertanian dari Universitas Jambi. Kiprahnya di dunia
LSM dimulai sejak 1999 bersama KKI-WARSI untuk proyek Integrated Conservation
and Development Project (ICDP-TNKS) hingga 2001. Selanjutnya penulis terlibat
dalam proyek-proyek jangka pendek dari Yayasan Gita Buana, Jambi, Birdlife
Indonesia dan Program Collective Action and Property Right (CAPRi)-CIFOR.

Novasyurahati Sukamto
Lahir pada 3 November 1982 di Jakarta. Menamatkan studinya di Program Studi
Biologi, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH), Institut Teknologi Bandung
pada 2006. Bergabung dengan CIFOR sejak 2005 sebagai mahasiswa magang
untuk penelitian tugas akhirnya. Kemudian menjadi asisten peneliti untuk proyek
Adaptive Collaborative Management (ACM) di Jambi dan Conservation that benefit to
the local people di Danau Sentarum, Kalimantan Barat. Saat ini bergabung dengan
Inspirit Innovation Circle, yang mengembangkan gagasan vibrant training, vibrant
facilitating, vibrant presenting, vibrant leadership dan vibrant writing.

Pariyanto
Lahir pada 7 Januari 1980 di Jambi. Menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah
di Jambi, yaitu di SD Negeri 91/IV Telanaipura Jambi, MTs Nurul Falah Paal III
Sipin dan SMK Negeri 1, Kota Jambi. Pendidikan terakhir diraihnya di Fakultas
Hukum, Universitas Jambi pada 2004. Bergabung dengan PSHK-ODA sejak Maret
2004 dan langsung terlibat dalam penelitian dan pendampingan bersama ACM.
Alamat tinggal di Jalan Gladial No. 79 RT. 09 Kelurahan Beliung, Kecamatan
Kotabaru, Kota Jambi.
xviii Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Ratna Akiefnawati
Lahir pada 12 Oktober 1968 di Kota Madiun, Jawa Timur. Pendidikan terakhir
Magister Pertanian spesialis Ekologi Tanaman diselesaikannya pada 1995
dari Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang. Bekerja di World
Agroforestry Centre, ICRAF sebagai Associate Researcher Officer sejak 1996 hingga
sekarang. Terlibat di berbagai penelitian seperti Alternative Slash and Burn (ASB)
di Jambi, Belowground Biodiversity Project (BGBP) di Jambi, Rewarding Up-land
Poor for Environmental Services (RUPES) di Kabupaten Bungo, Jambi, Sumatera,
Smallholder Rubber Agroforestry System (SRAS) di Jambi dan Pasaman, Sumatera
Barat, penggalian pengetahuan lokal masyarakat Jambi dan beberapa survey
penggunaan lahan. Email: rakiefnawati@yahoo.com.sg atau icrafmbo@cgiar.org.

Riya Dharma Dt. Rangkayo Endah


Lahir pada 20 September 1969 di Desa Malalo, di tepi Danau Singkarak. Dari
1998 aktif sebagai fasilitator di KKI-WARSI dan terlibat dalam program-program
pendampingan Sistem Hutan Kemasyarakatan/SHK (1998-2000), koordinator
wilayah Jambi untuk program Community Based Forest Management/CBFM (2000-
2004), dan Rewarding Upland Poor for Environmental Services/RUPES (2004-
2006) bekerja sama dengan ICRAF dan saat ini tengah terlibat dalam program
Community Found Sumatra Sustainable Support (SSS).

Rodiah
Lahir pada 25 Maret 1985 di Desa Baru Pelepat, Jambi. Lulusan D2 PGSD
(Pendidikan Guru SD), Universitas Jambi 2005 dan sekarang melanjutkan studi
S-1 di Jurusan PGSD, Universitas Terbuka Jambi. Sehari-hari menjadi guru honorer
di SD N 171/2 Desa Baru Pelepat, Bungo, Jambi. Selain aktif sebagai penggerak
kelompok perempuan, penulis juga membuka program kesetaraan Paket A dan B
untuk mengurangi buta aksara di desanya.

Saida Rasnovi
Menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas MIPA Universitas Syiah Kuala
Banda Aceh, pendidikan strata 2 dan strata 3 diselesaikan di Institut Pertanian
Bogor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
dan Program Studi Ilmu Kehutanan. Menjadi staf pengajar Jurusan Biologi FMIPA
Universitas Syiah Kuala sejak 1997 hingga sekarang. Alamat tinggal di Kompleks
perumahan dosen FMIPA Lambitra No. 18 Darussalam Banda Aceh.
Belajar dari Bungo xix
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Soekisman Tjitrosemito
Staf pengajar pada Fakultas Biologi, Institut Pertanian Bogor dan salah satu tenaga
ahli biologi di SEAMEO BIOTROP, Bogor.

Susilawati
Lahir pada 2 Maret 1974. Meraih gelar Sarjana Ekonomi pada Studi Ekonomi dan
Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Nomennsen, Medan, Sumatera
Utara. Sejak 2000-2003 bergabung bersama ICRAF sebagai asisten peneliti
lapangan yang berbasis di Muara Bungo dan menekuni isu sosial-ekonomi,
organisasi petani, pengetahuan ekologi lokal dan sistem wanatani karet. Pada
Desember 2004 membantu kegiatan survei sosial-ekonomi yang dilakukan oleh
CIFOR untuk daerah Jambi. Sejak 2005 hingga sekarang, menetap di Meulaboh,
Aceh dan bekerja di Mercy Corps Meulaboh, Aceh sebagai Community Development
Advisor.

Umar Hasan
Lahir pada 15 November 1961 di Muara Bungo. Terlibat dalam penelitian kerjasama
antara Pemerintah Kabupaten Bungo dengan berbagai pihak. Khususnya dengan
CIFOR, penulis terlibat dalam penelitian Adaptive Collaborative Management
(ACM) dan Collective Action and Property Rights (CAPRi). Sejak Juni 2004-20
Maret 2007, penulis menjabat sebagai Kepala Bagian Fisik Bappeda Kabupaten
Bungo. Saat ini penulis menjabat sebagai Kepala Bagian Hukum dan Organisasi,
Sekretariat Daerah Kabupaten Bungo.

Trikurnianti (Yanti) Kusumanto


Seorang peneliti ilmu sosial yang lahir di Bandung (1960) dan memegang gelar S2
dari Wageningen University, Belanda. Mulai 1989 berkecimpung dalam bidang
konservasi hutan dalam rangka kerjasama antara Universitas Gadjah Mada dan
Wageningen University untuk kemudian aktif di lingkungan LSM internasional
dalam bidang sumberdaya alam, permasalahan perempuan dan partisipasi
masyarakat di Yogyakarta, NTB, dan NTT. Sejak 1997 bergabung berturut-turut
dengan ICRAF dan CIFOR untuk menekuni permasalahan sumberdaya alam,
institusi, pembelajaran sosial dan kolaborasi multipihak di wilayah Asia Tenggara
dan wilayah Sumatera.
xx Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Yentirizal
Lahir di Siulak Gedang, Kerinci-Jambi. Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas
Pertanian, Universitas Ekasakti Padang pada 1995. Berpengalaman sebagai
fasilitator dan pernah terlibat dalam Program Sarjana Penggerak Pembangunan
di Pedesaan (SP-3) Kabupaten Batang Hari, Jambi, WWF-IP untuk Proyek
Integrated Conservation and Development Project (ICDP-TNKS), Program Collective
Action and Property Right (CAPRi)-CIFOR di Kabupaten Bungo, Jambi. Penulis
kini tinggal di Siulak Gedang RT. IV Kecamatan Gunung Kerinci, Kerinci- Jambi.
Email: yent_rizal@yahoo.com.

Yuliana L. Siagian
Adalah seorang sarjana kehutanan dan praktisi sosial-ekonomi. Penulis
menyelesaikan studinya dan memperoleh gelar kesarjanaannya di Universitas
Winaya Mukti, Bandung, Indonesia. Saat ini penulis melakukan penelitian tentang
aksi kolektif, hak-hak properti dan analisis gender dalam pengelolaan hutan di era
desentralisasi di Indonesia. Fokus utama yang menjadi minat penulis ini adalah
metodologi dan pendekatan riset, serta perubahan institusional di Indonesia.
Penulis bekerja pada Program Forest and Governance di CIFOR yang berkantor
pusat di Bogor, Indonesia. E-mail: Yuliana Siagian (y.siagian@cgiar.org).

Yurdi Yasmi
Lahir pada 11 Juli 1974 di Payakumbuh, Sumatera Barat. Pendidikan dasar dan
menengah diselesaikan di Sumatera Barat. Dari 1993 sampai 1997 kuliah di
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Setamat dari IPB langsung
bekerja di CIFOR. Program Master dan Doktor diselesaikannya di Universitas
Wageningen di Belanda. Saat ini penulis bekerja di RECOFTC, di Bangkok,
Thailand.
DAFTAR SINGKATAN

Akronim/Singkatan Keterangan

ACM Adaptive Collaborative Management


APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APL Areal Penggunaan Lain
APRI Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia
ASMINDO Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia
Bappeda Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
BLK Balai Latihan Kerja
BPD Badan Permusyawaratan Desa
BPEN Badan Pengembangan Ekspor Nasional
BPKH Balai Pemantapan Kawasan Hutan
BPN Badan Pertanahan Nasional
BPS Badan Pusat Statistik
BUMD Badan Usaha Milik Daerah
BUMN Badan Usaha Milik Negara
BUP Bantuan Usaha Produktif
xxii Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Bokor Badan olahan karet rakyat


CAPRI Collective Action and Property Rights
CFC Common Fund for Commodities
CIFOR Center for International Forestry Research
CIRAD the Centre de cooperation internationale en recherche
agronomique pour le développement
cm centimeter
DAK DR Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi
DAS Daerah Aliran Sungai
DfID Department for International Development
Dishut Dinas Kehutanan
Dishutbun Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Disnakertrans Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Disperindagkop Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi
Ditjen Direktorat Jenderal
dpl di atas permukaan laut
DPR Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
FWI Forest Watch Indonesia
GAPKINDO Gabungan Perusahaan Karet Indonesia
GERHAN Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan
GFW Global Forest Watch
GPS Global Positioning System
ha hektar
HL Hutan Lindung
HKm Hutan Kemasyarakatan
HP Hutan Produksi
HPK Hutan Produksi yang dapat dikonversi
HPH Hak Pengusahaan Hutan
ICDP Integrated Conservation Development Project
ICRAF/WAC International Centre for Research in Agroforestry/World
Agroforestry Centre
IFAD International Fund for Agricultural Development
Belajar dari Bungo xxiii
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

IFS International Foundation for Science


INP Indeks Nilai Penting
Inpres Instruksi Presiden
IPHH Ijin Pemungutan Hasil Hutan
IPK Ijin Pemanfaatan Kayu
IPKR Ijin Pengusahaan Kayu Rakyat
IPPK Ijin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu
IRD Institut de Recherche pour le Developpement
ITTO International Timber Trade Organization
KAD Kerapatan Adat Desa/Dusun
Kades Kepala Desa
Kaltim Kalimantan Timur
KBNK Kawasan Budidaya Non-Kehutanan
Kehati Keanekaragaman Hayati
KK Kepala Keluarga
KKD Kesepakatan Konservasi Desa
KKI-WARSI Komunitas Konservasi Indonesia – Warung Informasi
Konservasi
KKPA Kredit Koperasi Primer Anggota
KODIM Komando Distrik Militer
KUPT Kepala Unit Permukiman Transmigrasi
Litbang Penelitian dan pengembangan
LKD Lembaga Kemasyarakatan Desa/Dusun
LKMD Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa
LPMD Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
LU Lahan Usaha
MAD Musyawarah Adat Desa/Dusun
Menakertrans Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
MFP Multistakeholder Forestry Programme
NKRI Negara Kesatuan Republik Indonesia
Musrenbang Musyawarah Perencanaan Pembangunan
PAD Pendapatan Asli Daerah/Desa
xxiv Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

PAR Participatory Action Research


PBS Perkebunan Besar Swasta
PBSN Perkebunan Besar Swasta Nasional
PILI Pusat Informasi Lingkungan Indonesia
PIR Perkebunan Inti Rakyat
Pemda Pemerintah Daerah
Perda Peraturan Daerah
Perdes Peraturan Desa
PKK Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga
PLTA Pembangkit Listrik Tenaga Air
P2WK Pembangunan Perkebunan Wilayah Khusus
P3H&KA Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Kon-
servasi Alam
P4HDR Pelaksanaan Program Pemukiman Perambah Hutan
melalui Dana Reboisasi
PPL Penyuluh Pertanian Lapangan
PRONA Proyek Operasi Nasional Agraria
PSHK-ODA Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Otonomi Daerah
PT Perseroan Terbatas
RAF Rubber Agro-Forestry
RAS Rubber Agroforestry System
RHL Rehabilitasi Hutan dan Lahan
RKI Rimba Karya Indah (PT)
RLPS Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial
RTRWK Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
RTRWP Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
RTSF Rencana Teknis Social Forestry
RUPES Rewarding Upland Poor for Environmental Services
RUTR Rencana Umum Tata Ruang
SAL Sari Aditya Loka (PT)
SDN Sekolah Dasar Negeri
SK Surat Keputusan
SLTP Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
Belajar dari Bungo xxv
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

SMA Sekolah Menengah Atas


SMP Sekolah Menengah Pertama
SPORADIK Surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah
SRAP Smallholder Rubber Agroforestry Project
SRAS Smallholder Rubber Agroforestry System
TCT Tanaman Cepat Tumbuh
TGHK Tata Guna Hutan Kesepakatan
TN Taman Nasional
TNBD Taman Nasional Bukit Duabelas
TNBT Taman Nasional Bukit Tigapuluh
TNKS Taman Nasional Kerinci Seblat
TRD Tata Ruang Desa
UNJ Universitas Negeri Jakarta
UPT Unit Permukiman Transmigrasi
USAID United States Agency for International Development
YGB Yayasan Gita Buana
Pembuka:
DARI KRISIS KE PERUBAHAN

Hasantoha Adnan
2 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Perubahan tengah bergerak kencang


di Indonesia dan berlangsung dalam
hitungan jam. Pada masa Soeharto
hampir semua bentuk pengelolaan
sumberdaya alam terpusat pada
negara melalui aturan-aturan formal
yang ternyata hanya menguntungkan
konco-konconya saja (cronyism).
Korupsi, kolusi dan nepotisme
begitu membudaya sehingga
menghambat pengembangan
ekonomi dan pemerintahan yang
adil dan transparan. Kondisi ini
menjadikan Indonesia terpuruk
© Hasantoha Adnan

dalam krisis moneter yang tak


terbayangkan sebelumnya diikuti
dengan pengangguran di perkotaan
yang meningkat tajam1. Kekeringan,
kegagalan pangan, dan kebakaran hutan makin memperparah kondisi kehidupan
masyarakat.

Ketidakpuasan rakyat semakin meningkat dan memuncak dengan lahirnya


gerakan reformasi yang dimotori mahasiswa dan pada 21 Mei 1998 berhasil
memaksa Soeharto untuk menyerahkan kekuasaan kepada Wakil Presiden BJ.
Habibie yang penuh kontroversi dan tidak populer. Beberapa bulan berikutnya
perubahan dramatis terjadi di Indonesia.

Perubahan kian berderap kencang. Selain pergantian tampuk kepemimpinan juga


model pengelolaan pemerintahan. Desentralisasi menjadi jawaban dan harapan
bagi keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara bagi lebih 220 juta penduduk
yang tersebar di lebih dari 15.000 pulau dan beraneka sukubangsa.

Kenyataannya, implementasi dari desentralisasi tidak seperti yang dibayangkan


sebelumnya. Otonomi daerah dalam pelaksanaannya justru menghadapi persoalan
baru. Begitu keran otonomi daerah dibuka dengan diberlakukannya UU No.
22/1999, lahirlah puluhan daerah baru2. Alasan utamanya bahwa pemekaran

1 “Macan Ekonomi” Asia terpuruk, dimana Indonesia mengalami dampak yang paling buruk. Nilai Tukar Rupiah turun dari Rp 2.500 per dollar AS di
bulan Juli 1997 menjadi Rp 17.000 pada bulan April 1998. ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat) dan CIEL (Center for International
Environmental Law) memperkirakan 8 juta orang kehilangan pekerjaan akibat krisis ini.
2 Menurut catatan Departemen Dalam Negeri, sepanjang 1999-2004 sudah 148 daerah dimekarkan dengan perincian 8 propinsi, 114 kabupaten dan 27
kota. Diakses dari http://Kompas.com/kompas-cetak/0703/10/Fokus/3372818.htm.
PEMBUKA - Hasantoha Adnan 3

akan memberikan jaminan bagi kesejahteraan masyarakat. Desentralisasi justru


memunculkan berbagai permasalahan, mulai dari konflik antar warga yang
menolak pemekaran hingga konflik antara pemerintah daerah pemekaran dengan
daerah induknya, hingga antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

Pun dalam pengelolaan sumberdaya alam, khususnya hutan. Sebagaimana terlihat


dalam pengembangan kawasan konservasi, misalnya, yang terjadi justru tumpang
tindih kewenangan antara pusat dan daerah (Angi, 2005). Bahkan menurut
kajian media yang dilakukan CIFOR dan FWI, sejak bergulirnya era reformasi
frekuensi konflik kehutanan meningkat secara drastis bahkan disertai kekerasan
(Wulan et al., 2004)3. Proses desentralisasi yang terlalu cepat menimbulkan
banyak ketidakjelasan sehingga memicu munculnya konflik laten dan merangsang
terjadinya konflik baru. Studi tersebut mencatat lima faktor penyebab konflik
kehutanan, yaitu karena masalah tata batas, pencurian kayu, perambahan hutan,
kerusakan lingkungan dan peralihan fungsi kawasan. Dari kelima kategori ini
pada umumnya konflik-konflik terjadi di sekitar kawasan hutan disebabkan
adanya tumpang tindih sebagian areal konsesi atau kawasan lindung dengan lahan
garapan masyarakat dan karena terbatasnya akses masyarakat untuk memperoleh
manfaat dari keberadaan hutan, baik hasil hutan maupun sebagai tempat tinggal.
Selain konflik-konflik yang terjadi di antara masyarakat lokal dengan pemegang
hak pengelola kawasan hutan, konflik terjadi juga di tingkat pembuat kebijakan.
Dalam era desentralisasi, kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah seringkali
bertentangan dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat.

Tak mengherankan bila dalam sepuluh tahun terakhir, kondisi kehutanan di


Indonesia memperlihatkan angka deforestasi yang dramatis yang belum pernah
terjadi sebelumnya. FAO bahkan tahun lalu menyebutkan angka penyusutan
sudah mencapai 1,87 juta ha pertahun dan menempatkan Indonesia sebagai negara
kedua tercepat dalam deforestasi setelah Brazil yang mencapai 3 juta ha pertahun
(Suara Pembaruan, 2007). Hutan tropis Indonesia yang kaya dan telah menopang
kehidupan puluhan jutaan penduduk sekitar hutan dengan menyediakan berbagai
keuntungan, kini tinggal cerita akibat salah urus pengelolaannya. Tingginya
konflik, alih fungsi hutan, kebakaran hingga pembalakan liar telah menyebabkan
kekeringan mata air, banjir, tanah longsor, kabut asap, telah menyengsarakan

3 Untuk memahami hubungan konflik dan bagaimana perubahannya di era reformasi, CIFOR dan FWI membuat profil konflik kehutanan sejak 1997
sampai dengan 2003. Profil ini dibuat berdasarkan survey artikel koran dari enam media massa nasional (Kompas, Tempo, Business Indonesia, Media
Indonesia, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia atau APHI dan Antara), dan satu media massa propinsi (Kaltim Post). Dari 359 peristiwa konflik yang
tercatat pada tingkat nasional, 39% diantaranya terjadi di areal HTI, 27% di areal HPH dan 34% di kawasan konservasi. Kecenderungan ini antara
lain disebabkan dampak reformasi terhadap perilaku masyarakat lokal. Reformasi telah membuat masyarakat sadar akan haknya, dan akhirnya berani
menuntut untuk mendapatkan porsi manfaat yang wajar dari keberadaan hutan di wilayah mereka. Akibat tuntutan mereka kurang ditanggapi dengan
baik dan ketidakpastian dalam penegakan hukum, keberanian masyarakat lokal akhirnya diekspresikan dalam bentuk perlawanan terbuka terhadap
para pengelola hutan. Salah satu contohnya adalah aksi penjarahan besar-besaran terhadap kawasan hutan Perhutani di Randublatung yang dilakukan
masyarakat desa di sekitar hutan. Lihat Wulan et al., 2004.
4 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

kehidupan masyarakat dan menciptakan kerugian hingga Rp. 30 triliun dengan


total kayu tercuri 70 juta meter kubik pertahun (Suara Pembaruan, 2005).

Di tengah muramnya dunia kehutanan Indonesia, berbagai pihak terus berupaya


membangun sistem kehutanan yang lebih baik. Salah satunya adalah apa
yang dilakukan oleh banyak pihak di Kabupaten Bungo, Jambi. Diantaranya
adalah pengalaman dalam mengembangkan pendekatan Adaptive Collaborative
Management (ACM) yang bergulir sejak 2001 dengan menekankan pada sistem
kehutanan multipihak. Pendekatan ini dianggap mengedepankan pemerataan
dan keadilan dalam pengaturan dan pengurusan serta distribusi manfaat-resiko.
Selain itu pendekatan ini juga mendasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi
dan partisipasi (Fahmi dan Zakaria, 2003). Kendati sejumlah pertanyaan layak
diajukan berkaitan dengan pendekatan ini, namun pendekatan ini dianggap
mampu mempertemukan dan menyeimbangkan berbagai kepentingan terhadap
pengelolaan hutan.

Hal ini penting, mengingat salah satu faktor utama akar permasalahan yang
menyebabkan konflik dan kerusakan hutan sekarang ini adalah banyaknya pihak
kepentingan pada kawasan hutan yang sama. Kenyataan ini telah membawa
hutan pada situasi tumpang tindih dengan kepentingan dan sistem pengelolaan
yang berbeda-beda. Faktor utama kedua adalah berkaitan dengan karakteristik
sistem pengelolaan yang diterapkan oleh berbagai pihak kepentingan. Selama
ini, pemerintah Indonesia telah menerapkan sistem pengelolaan top down dan
berdampak buruk secara sosial dan lingkungan. Di sisi lain, sistem pengelolaan oleh
masyarakat lokal dan kelembagaannya (yang secara tradisional sangat responsif
terhadap kondisi lokal) telah terkikis oleh perubahan sosial dan politik yang
sangat cepat. Di samping itu, baik sistem pemerintah maupun sistem masyarakat
dihadapkan pada kondisi perubahan yang cepat, juga tantangan-tantangan dan
pilihan-pilihan, tetapi mekanisme dan proses-proses yang diperlukan untuk
menghadapi perubahan ini dengan sukses dirasakan sangat kurang. Sistem
tersebut kurang mampu untuk memadukan informasi baru tentang kondisi sosial,
ekonomi, kebijakan, atau kondisi hutan untuk dapat menyesuaikan pengelolaan
secara tepat dan segera apabila diperlukan. Kondisi ini mengganggu kedua sistem
tersebut, baik jika keduanya dilihat sebagai sistem yang berdiri sendiri dan bahkan
jika dipahami sebagai sistem yang saling berhubungan.

Buku ini adalah upaya untuk menggambarkan secara utuh bagaimana sebuah
kabupaten menerapkan kebijakan desentralisasi serta dampaknya terhadap
pengelolaan sumberdaya alam. Seperti banyak daerah di Indonesia, Bungo adalah
kabupaten hasil pemekaran pada 1999. Di awal proses reformasi digulirkan, berbagai
PEMBUKA - Hasantoha Adnan 5

permasalahan juga ditemui dalam perjalanan kabupaten baru ini, diantaranya


konflik batas dengan kabupaten tetangga (yaitu Tebo) hingga tumpang tindih
kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya alam antara pemerintah pusat,
propinsi maupun Kabupaten Bungo sendiri.

Kendati demikian, Bungo menarik untuk dijadikan bahan belajar mengingat


cukup banyaknya pihak yang terlibat dalam perjalanan kabupaten tersebut.
Berbagai program dan proyek yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam
sudah dilaksanakan sejak 1990an oleh berbagai pihak, seperti LSM, lembaga riset
internasional, maupun kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah sendiri
menjadi pengalaman penting dalam memberi makna desentralisasi di Indonesia.

Buku ini menjadi penting, khususnya dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam
di Indonesia, mengingat masih minimnya buku-buku yang menggambarkan secara
utuh bagaimana desentralisasi berjalan dalam kehidupan sehari-hari di tingkat
kabupaten. Harapannya dapat dipetik pelajaran dari pengalaman-pengalaman
tersebut.

Buku ini diharapkan dapat menjadi bahan pembelajaran dan refleksi bagi para
pemegang kebijakan di tingkat nasional dan daerah, maupun pimpinan dan staff
lembaga-lembaga pendamping masyarakat, LSM, perguruan tinggi dan/atau
lembaga-lembaga penelitian, mahasiswa, guru dan khalayak. Kepada merekalah
buku ini dipersembahkan.
6 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Peta administratif Kabupaten Bungo. Sumber ICRAF

KABUPATEN BUNGO: Selayang Pandang

Kabupaten Bungo adalah Indonesia kecil. Kabupaten ini resmi berdiri pada 1999
setelah sebelumnya menjadi bagian dari Kabupaten Bungo Tebo. Pembentukan
kabupaten ini adalah bentuk implementasi otonomi daerah dan menambah
panjang sejarah wilayah ini.

Sejarah mencatat, bahwa pada mulanya, setelah kemerdekaan Indonesia, Bungo


menjadi bagian dari KabupatenMerangin dan bersama Kabupaten Batanghari
berada di bawah Karesidenan Jambi. Berdasarkan UU No.10/1948, Karesidenan
Jambi termasuk ke dalam propinsi Sumatera Tengah4. Selanjutnya berdasarkan
UU No.12/1956, ibukota Kabupaten Merangin yang semula berkedudukan di
Bangko dipindahkan ke Muara Bungo. Berdasarkan UU No.81/1958, Propinsi
Jambi dimekarkan menjadi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Merangin, Kerinci
dan Batanghari.

Pemekaran ini mendorong DPRD Peralihan dan DPR-GR Kabupaten Merangin


untuk mendesak Pemerintah Pusat cq. Menteri Dalam Negeri untuk memekarkan

4 Berdasarkan UU No.10/1948, Sumatera dipecah menjadi tiga propinsi, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan.
PEMBUKA - Hasantoha Adnan 7

Kabupaten Merangin menjadi dua kabupaten. Diusulkan Kewedanaan Muara


Bungo dan Kewedanaan Tebo menjadi Kabupaten Muara Bungo Tebo, dengan
Muara Bungo sebagai ibukotanya. Sedangkan kewedanaan Sarolangun dan
Kewedanaan Bangko menjadi Kabupaten Bangko dengan kedudukan ibukota di
Bangko.

Setelah mengirimkan delegasi ke Jakarta hingga beberapa kali, maka pada 12


September 1965 dilaksanakan pelantikan M. Saidi (alm) sebagai Pejabat Bupati
Kepala Daerah Tingkat II Muara Bungo Tebo berdasarkan UU No.7/1965. Pada 19
Oktober 1965, tanpa mengurangi makna keputusan tersebut, DPR-GR Kabupaten
Daerah Tingkat II Muara Bungo Tebo, menetapkannya menjadi Kabupaten Bungo
Tebo dengan julukan ”Bumi Sepucuk Bulat Seurat Tunggang’ serta menjadikan 19
Oktober 1965 sebagai hari jadi kabupaten.

Perubahan terus berlanjut, reformasi bergema dimana-mana. Berdasarkan UU


No.54/1999, Kabupaten Bungo Tebo dimekarkan menjadi Kabupaten Bungo dan
Kabupaten Tebo. Peresmiannya dilaksanakan di Jakarta pada 12 Oktober 1999
oleh Menteri Dalam Negeri. Sejak saat itulah berdiri Kabupaten Bungo dengan
ibukota di Muara Bungo dan mendapat julukan “Langkah Serentak Limbai
Seayun.”

Ibukota Muara Bungo berada sekitar 256 km dari kota Jambi sebagai ibukota
Propinsi Jambi. Secara geografis kabupaten ini berada pada posisi antara 01o08’
sampai – 01o55’ Lintang Selatan dan antara 101o27’ sampai 102o30’ Bujur Timur
(BPS Bungo, 2005). Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Tebo dan
Kabupaten Dharmasraya (Sumbar), sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten
Merangin, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Dharmasraya (Sumbar)
dan Kabupaten Kerinci, serta sebelah timur dengan Kabupaten Tebo.

Posisi demikian menempatkan Bungo sebagai daerah perlintasan dari propinsi


Jambi ke Sumatera Barat juga sebagai penghubung antara kabupaten-kabupaten
di wilayah Jambi bagian timur (Kota Jambi, Tanjung Jabung Timur, Tanjung
Jabung Barat, Muara Jambi dan Batanghari) dengan bagian barat (Tebo, Bungo,
Sarolangun, Merangin dan Kerinci).

Kabupaten ini dihuni sekitar ± 242.355 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk
1,47%, dan tersebar di 10 kecamatan dengan 118 desa dan 7 kelurahan5. Sebagian
besar penduduk berasal dari suku Melayu Jambi, Minangkabau, Palembang,

5 Kecamatan Pelepat (13 desa), Pelepat Ilir (16 desa), Rantau Pandan (14 desa), Muko-muko Bathin VII (7 desa), Tanah Sepenggal (17 desa), Tanah
Tumbuh (12 desa dan 1 kelurahan), Limbur Lumbuk Mengkuang (13 desa), Jujuhan (13 desa), Muara Bungo (9 desa dan 6 kelurahan), dan Kecama-
tan Bathin II Bebeko (4 desa).
8 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

maupun pendatang, yang datang karena program transmigrasi ataupun untuk


mencari penghidupan di Bungo.

Selain itu, di beberapa kawasan


belantara kabupaten ini berdiam
Suku Anak Dalam (SAD)
atau Orang Rimba. Secara
antropologis, suku ini berasal
dari induk bangsa Wedoida dan
mempunyai kearifan tersendiri

© Dok. ACM-Jambi
dalam mendiami, menjaga, dan
sekaligus melestarikan hutan.
Suku nomaden ini hidup dengan
mengandalkan hasil hutan seperti
madu lebah hutan, mencari rotan,
menyadap damar, atau menyadap karet liar untuk ditukarkan dengan kebutuhan
sehari-hari yang tidak dapat mereka temukan di hutan. Akhir-akhir ini, Orang
Rimbo - demikian mereka lebih senang disebut - yang menurut survei KKI-
WARSI pada 1998 berjumlah 794 jiwa ini semakin sering berpindah. Perpindahan
mereka bukan hanya untuk melangun (perpindahan karena ada keluarga yang
meninggal), tetapi juga akibat perluasan lahan perkebunan karet, kelapa sawit
atau areal pertanian.

Sebagian besar penduduk menggantungkan hidup pada sektor pertanian,


khususnya perkebunan. Saat ini masih terdapat sekitar 54.616 jiwa (12.851
KK) keluarga prasejahtera yang tinggal di desa-desa. Tidak mengherankan bila
angka tidak sekolah masih sangat tinggi (36%) dari jumlah penduduk. Sedangkan
tamatan SD/Sederajat 29,3%, tamatan SLTP/Sederajat 15%, SLTA/Sederajat
9,9%, Diploma 11% dan D4/S1/S2/S3 adalah 0,5%. Salah satu penyebab adalah
sulitnya akses jalan dari desa menuju kota. Beberapa wilayah bahkan kondisi jalan
sangat buruk, yang bila hujan datang bisa terputus sama sekali.

Luas wilayah kabupaten ini adalah 716.000 ha6 dengan kontur berbukit-bukit dan
ketinggian kurang dari 99m dpl (39,72%) dan 100-499m dpl (47,98%). Daerah
beriklim tropis dengan curah hujan 2.577 mm/tahun (138hari/tahun) dengan jenis
tanah yang mendominasi adalah latosol, podzolik, komplek latosol & andosol.
Dengan kondisi seperti tak mengherankan kalau perkebunan menjadi unggulan
daerah ini. Hal ini juga tampak dari pemanfaatan lahannya sebagai berikut:

6 Luasan ini merujuk pada Bungo Dalam Angka 2004, kendati hasil penghitungan melalui citra satelit yang dilakukan oleh ICRAF menunjukkan angka
yang berbeda, yaitu sekitar 450.000 ha (lihat Ekadinata dan Vincent dalam buku ini).
PEMBUKA - Hasantoha Adnan 9

Tabel 1. Jenis penggunaan tanah wilayah Kabupaten Bungo

No. Jenis Penggunaan Tanah Jumlah (ha) %


1 TNKS 71.700,00 10,01
2 Hutan negara/hutan belukar 241.654,00 33,75
3 Perkebunan 284.873,25 39,79
4 Pemukiman 18. 890,75 2,64
5 Sawah 10.710,00 1,50
6 Tegal/huma/ladang/kebun 68.375,50 9,55
7 Padang/semak belukar/alang alang 6.284,15 0,88
8 Kolam/empang 276,85 0,04
9 Sungai/danau/rawa 6.463,75 0,90
10 Lainnya 6.771,75 0,95
Jumlah 716.000,00 100
Sumber : Dishutbun Kabupaten Bungo (2006)

Kabupaten Bungo juga kaya dengan potensi pertambangan. Misalnya, batubara


di Kecamatan Rantau Pandan terdapat cadangan 40 juta ton, Kecamatan Jujuhan
150 juta ton, dan Kecamatan Muko – muko Bathin VII 9,75 juta ton, emas terdapat
di Muaro Bungo, Muko-muko Bathin VII, Rantau Pandan, Pelepat dan Pelepat
Ilir. Disamping itu ada juga potensi pasir, kerikil, pasir kuarsa, granit dll. Beberapa
Potensi sektor pertambangan/penggalian yang telah dikelola di Kabupaten Bungo
adalah batu bara di Rantau Pandan (1.943 ha), Tanah Tumbuh (998 ha), Pelepat
(2.573 ha), Jujuhan (100 ha) dan Emas di Muara Bungo (400 ha).

Wanatani Karet: Fondasi Ekonomi Bungo


Sebagaimana umumnya desa-desa di Jambi, penduduk Bungo menggantungkan
hidupnya dari kebun karet yang memang sudah dikenal sejak lama7. Pada awal
abad ke-20, bibit karet masuk ke Sumatera melalui para pekerja pendatang di
perkebunan, pedagang, maupun para jamaah haji8. Berdasarkan laporan seorang
staf penyuluh pertanian pada 1918, bahwa kebun karet rakyat pertama kali
dibudidayakan di Jambi pada 1904 dengan sistem tebas bakar sehabis menanam
padi ladang. Karet yang mereka tanam ada yang dipelihara, tetapi banyak juga yang
7 Berdasarkan studi ICRAF diketahui bahwa perkebunan karet pertama kali dibangun di Jambi sekitar 1890-an (Joshi et al., 2001). Perkebunan ini lebih
banyak menggunakan spesies lokal Ficus elastica, ketimbang Hevea brasiliensis (dari Brazil) yang juga sudah dikenal. F.elastica dipilih karena pada saat
itu dianggap lebih banyak menghasilkan getah karet. Namun dengan diperkenalkannya teknik penyadapan yang baru H. brasiliensis kemudian lebih
banyak digunakan karena menghasilkan lebih banyak lagi getah karet.
8 Untuk menghindari pajak dan bea tenaga kerja yang dikenakan oleh pemerintah kolonial, serta tertarik oleh tingginya upah pekerja, banyak petani
lokal dari Sumatera Tengah yang bekerja di perkebunan karet baru di Malaysia. Ketika pulang mereka membawa benih, anakan pohon karet (seedling)
serta pengetahuan dasar dan keahlian untuk menanam dan menyadap karet.
10 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

tidak, sehingga tampak seperti tanaman ”liar” yang tumbuh diantara tumbuhan
hutan lainnya9.

Sistem ini masih berlangsung hingga saat ini dan dikenal dengan sistem wanatani
karet. Selain menjadi sumber pendapatan utama dan sebagai cash income bagi
petani (Wibawa et al., 2005), wanatani karet juga menjaga keragaman jenis flora
yang hidup di dalamnya (Gouyon et al., 1993)10. Saat ini terdapat sekitar 87.887
ha kebun karet yang dikelola secara tradisional dan tersebar di 10 kecamatan11 dan
disadap oleh sekitar 45.228 petani dengan rata-rata kepemilikan 2 ha lahan. Tak
mengherankan bila karet menjadi penyumbang terbesar dan diikuti oleh kelapa
sawit, kopi, dan Cassiavera (kayu manis), karet masih yang terbanyak dan menjadi
komoditas ekspor terbesar Kabupaten Bungo.

Walaupun menjadi mata pencarian pokok masyarakat, perkebunan karet di Bungo


dari tahun ke tahun belum memberikan nilai lebih bagi kesejahteraan petani.
Pasalnya, perkebunan karet rakyat kebanyakan adalah perkebunan warisan yang
usia dan besar tanamannya berbeda-beda12. Selain itu, dengan sistem wanatani
kompleks, kebun karet lebih terlihat sebagai hutan ketimbang kebun yang jarak
tanam antar pohonnya tidak teratur. Hal ini menyebabkan produktivitas karet
tidak maksimal.

Tabel 2. Jenis, luasan dan produksi tanaman tahun 2004

Jenis Tanaman Luas Tanaman (Ha) Produksi (Ton)


Karet 87.827,00 25.912,00
Kelapa sawit 7.105,00 73.567,00
Kelapa 672,75 429,00
Kopi 651,40 70,50
Pinang 76,31 22,32
Kayu manis 52,00 13,10
Sumber : Bungo dalam Angka 2005

9 Menurut ICRAF, pola semacam ini adalah salah satu bentuk adaptasi ekologis yang dikembangkan oleh petani setempat. Karet yang pada mulanya
adalah untuk perkebunan monokultur, karena berkat ketekunan petani, mereka mampu mengadaptasi tanaman tersebut ke sistem perladangan
berpindah yang telah ada. Dengan pola tanam tersebut, pada tahun-tahun awal setelah menanam karet, petani masih dapat melakukan tumpangsari
karet dengan padi gogo dan tanaman semusim lainnya (jagung, ubi, singkong).
10 Sistem ini memungkinkan karet sebagai tanaman pokok sedangkan pohon-pohon lainnya dibiarkan tumbuh secara alami sehingga membentuk
komposisi jenis multistrata dan keragaman jenis yang tinggi. Pada sistem ini, karet lokal ditanam dengan sistem sisipan, yaitu menanam bibit stump
karet lokal di celah-celah (gap) kebun. Pemeliharaan kebun dilakukan secara ekstensif sehingga memungkinkan jenis-jenis tumbuhan lainnya tetap
terpelihara (Joshi et al., 2001).
11 Pelepat (9.584 ha / 3.543 petani)), Rantau Pandan (9.262 ha / 4652), Tanah Sepenggal (11.319 ha / 6.965), Tanah Tumbuh (10.444 ha / 5.222),
Jujuhan (16.068 ha / 5.655), Muara Bungo ( 8.146 ha / 3.193), Limbur Lb. Mengkuang (6.348 ha / 3.150), Pelepat Ilir (4.192 ha / 1976), Muko-muko
Bathin VII (3.767 ha / 2.115), dan Bathin II Bebeko (8.757 ha / 3.649).
12 Dari 87.887 ha kebun karet, terdapat 19.818 ha (22,5%) masih berupa tanaman muda yang belum menghasilkan, sedangkan 40.258 ha (45,8%)
tanaman produktif, dan sisanya 27.811 (31,6 %) dalam kondisi tua/rusak.
PEMBUKA - Hasantoha Adnan 11

Penyebab lain adalah panjangnya rantai distribusi/pemasaran karet. Petani biasa


menjual bahan olah karet rakyat (bokar) kepada pedagang pengumpul di desa.
Dari sini bokar kemudian diserahkan ke pedagang besar pemasok pabrik kilang
karet (crumb rubber). Sampai saat ini Bungo hanya memiliki satu kilang karet yaitu
PT. Jambi Waras di Kecamatan Jujuhan, perbatasan dengan Propinsi Sumatera
Barat.

Selain kualitas dan kuantitas bokar, tata niaga yang masih panjang juga
mempengaruhi harga bokar. Apalagi dengan harga karet yang fluktuatif dan
cenderung tidak menguntungkan, petani banyak yang tidak mampu meremajakan
tanamannya. Persoalan lain adalah masih lemahnya kualitas sumber daya
petani dalam penanaman, pemeliharaan, dan pascapanen yang masih perlu
ditingkatkan.

Beberapa solusi coba ditawarkan, diantaranya melalui program peremajaan karet,


baik yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Bungo maupun Pemerintah
Propinsi Jambi. Sayangnya program ini seringkali terkendala oleh faktor non-
teknis, seperti bibit yang kurang baik, waktu pemberian bibit yang tidak sesuai
dengan kalender musim tanam petani, hingga tidak adanya pendampingan bagi
petani. Tak jarang beberapa kegiatan bahkan terindikasi korupsi.

Solusi lain yang ditawarkan oleh kegiatan ICRAF, yaitu dengan memberikan
pelatihan dan pendampingan kepada petani mengenai teknologi karet okulasi.
Teknologi ini mengawinkan jenis karet yang kaya getah dengan karet lokal
yang tahan hama. Sehingga produksinya dapat meningkat. Selain itu setiap
kelompok petani diberikan tanaman induk, sehingga petani dapat secara mandiri
menghasilkan bibit baru untuk ditanam. Saat ini terdapat beberapa kelompok
percontohan di Rantau Pandan maupun di Pelepat.

Solusi lain adalah melalui program kemitraan antara petani dengan perusahaan
pengolah kayu untuk mengatasi tersendatnya peremajaan. Kayu karet tua dijadikan
bahan baku dengan imbalan bibit, pupuk dan obat-obatan. Sebuah program yang
cukup menjanjikan bagi petani. Hanya sayangnya, sampai kini solusi itu masih
sebatas wacana.

Selain perkebunan karet, pertanian juga memberikan kontribusi yang besar bagi
perekonomian Bungo. Sektor pertanian, khususnya tanaman pangan (padi dan
palawija) masih bersifat subsisten, khususnya untuk daerah-daerah di hulu sungai
yang berbatasan dengan TNKS. Petani menanam di ladang untuk memenuhi
kebutuhan makan tiap hari dan merupakan pekerjaan sambilan selain bekerja
12 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

di perkebunan. Di daerah seperti di desa-desa Kecamatan Rantau Pandan atau


Tanah Sepenggal, malahan ada pantangan untuk menjual padi. Kalau dahulu,
sehabis panen padi disimpan di lumbung yang dibangun di pekarangan rumah,
sekarang disimpan di dalam rumah atau gudang.

Sementara pertanian komersial kebanyakan terdapat di desa permukiman


transmigran seperti di Kuamang Kuning, Kecamatan Pelepat atau di Desa Jujuhan.
Mereka umumnya adalah para transmigran bedol desa dari proyek Waduk Kedung
Ombo, Jawa Tengah di awal 1980-an. Desa-desa inilah yang menjadi penghasil
utama padi dan palawija untuk dipasarkan ke Propinsi Sumatera Barat. Perputaran
ekonomi dari tanaman pangan ini juga didukung oleh tanaman sayuran, seperti
ubi jalar, mentimun, terong, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, kacang panjang,
cabe, maupun buah-buahan, seperti durian, cempedak, duku, manggis, sukun,
alpukat, belimbing, jeruk, nenas dan mangga.

Melihat potensi agrobisnis hortikultura yang cukup besar, sejak 1997 dilaksanakan
proyek pengembangan kebun durian dan melinjo seluas 1.000 ha yang melibatkan
1.326 petani di Pelepat. Tanaman melinjo sekarang ini sebagian sudah mulai
berbuah dan mulai dilakukan pembinaan pengolahan emping melinjo untuk
diekspor ke Malaysia.

Hutan, Masyarakat dan Kearifan Lokal

Secara geografis, di Kabupaten Bungo tampak bahwa daerah yang tutupan


hutannya masih banyak adalah daerah yang berbatasan dengan Taman Nasional
Kerinci Seblat. Selain itu di daerah ini juga terdapat Hutan Lindung Rantau Bayur
dan menjadi hulu bagi 3 sungai besar di Bungo: Batang Tebo, Batang Bungo dan
Batang Pelepat. Keberadaan kawasan ini menjadi penting untuk menjaga dan
memenuhi keberadaan air, kawasan resapan air, kawasan pengamanan sumber air
permukaan serta kawasan pengamanan mata air.

Mengingat pentingnya kawasan ini, maka menarik untuk mengamati upaya-


upaya untuk tetap mempertahankan luasan yang tersisa yang dilakukan oleh
masyarakat. Karena menurut Deutsch dan Busby (2000), kurang dari angka 30 %,
maka suatu wilayah akan menjadi labil terhadap ancaman dan bahaya lingkungan.
Selain sebagai daerah resapan, di beberapa bagian di kawasan hulu ini terdapat
sistem wanatani karet yang cukup dominan. Wanatani merupakan perpaduan
antara sistem-sistem dan teknologi pemanfaatan lahan dimana tanaman berumur
panjang (termasuk semak, palem, bambu dan kayu, dll) dan tanaman pangan serta
PEMBUKA - Hasantoha Adnan 13

pakan ternak berumur pendek diusahakan dalam satu petak. Dengan sistem ini
terjadi interaksi antara ekologi dan ekonomi serta unsur-unsur lainnya, terutama
dengan sosial-budaya masyarakat.

Bagi masyarakat Bungo wanatani bukanlah sesuatu yang baru, bahkan sudah
dikenal sejak zaman Belanda dahulu melalui wanatani karet. Secara ekologis
kebun karet akan melindungi sistem tata air dan konservasi sumberdaya alam.
Selain itu, kebun karet tua khususnya, juga memiliki tingkat keanekaragaman
hayati yang cukup tinggi yang tak kalah dengan hutan alam, karena dalam kebun
karet tua juga terdapat tanaman kayu lainnya, semak dan lainnya sehingga tidak
monokultur. Selain itu kawasan wanatani karet dapat menjadi habitat bagi berbagai
jenis keragaman hayati dan cukup berpotensi sebagai kawasan penampung bagi
jenis tumbuhan hutan, bahkan terdapat beberapa jenis tumbuhan yang dilindungi
oleh Perundang-undangan Indonesia dan jenis yang termasuk kriteria kritis dan
genting menurut IUCN/SSC.

Selain itu, secara ekonomis, kebun karet akan menjadi sumber pendapatan
rumah tangga. Sedangkan secara sosiokultural, kebun karet juga berperan dalam
mempertahankan budaya lokal sebagai bentuk kearifan lokal. Bahkan di beberapa
daerah di Rantau Pandan, praktek kebun karet ini dijadikan sebagai kebun lindung
oleh masyarakat.

Di beberapa tempat di kawasan ini juga terdapat berbagai inisiatif pengelolaan


hutan dan sumberdaya alam yang berbasiskan masyarakat, seperti hutan adat
di Batu Kerbau (luas 2.357 ha) dan Baru Pelepat (luas 820 ha). Hutan adat ini
memiliki fungsi lindung dan konservasi serta fungsi adat yang pengelolaannya
untuk kebutuhan adat dan desa. Untuk Hutan Adat Batu Kerbau saat ini telah
mendapat pengakuan dari kabupaten melalui SK Bupati, bahkan menerima
penghargaan Kalpataru dari Presiden RI. Sedangkan untuk Hutan Adat Baru
Pelepat masih dalam proses pengukuhan. Bentuk lainnya adalah lubuk larang yang
banyak dijumpai di desa-desa sepanjang hulu Batang Pelepat dan Batang Bungo.
Lubuk larang adalah salah satu bentuk kearifan lokal dari masyarakat dalam
menjaga kualitas dan kuantitas jenis ikan melalui pengelolaan sungai.

Di sini tutupan hutan menjadi sangat penting peranannya dalam melindungi tata air
di daerah sub-DAS Batang Tebo pada umumnya dan Kabupaten Bungo khususnya.
Sebagaimana daerah hulu pada umumnya, wilayah ini pun ditandai dengan curah
hujan tinggi dan topografi berbukit, sehingga apabila terjadi perubahan fungsi lahan
di kawasan ini akan mempengaruhi di daerah hilir. Ketiadaan tutupan hutan di
daerah hulu, akibat penebangan (legal maupun illegal) maupun perubahan fungsi
14 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

lahan (transmigrasi, perkebunan besar, pertambangan, dll) akan menjadi ancaman


bagi daerah hilir, karena air hujan akan yang turun akan menjadi air permukaan
dan mengalir ke sungai, tidak ada yang diresapkan karena hutan sebagai daerah
resapan sudah tidak ada lagi. Ancaman banjir adalah hal yang takkan terelakkan.
Selain itu, kawasan hulu juga berperan sebagai pemelihara keseimbangan ekologis
dengan hilir. Hulu menjadi penyimpan dan distributor air ke hilir untuk keperluan
pertanian, industri dan pemukiman. Mengingat terbatasnya pemanfaatan lahan
hulu, maka kesalahan dalam perencanaan pemanfaatan di kawasan ini akan
sangat berdampak negatif.

Hutan di Bungo dalam Tekanan Kebijakan

Dalam Pola Pembangunan Jangka Panjang Propinsi Jambi di bagi menjadi 3


kawasan pembangunan, yaitu a) kawasan barat berfungsi sebagai lindung yang
terdiri dari TNKS dan daerah penyangganya; b) kawasan tengah berfungsi sebagai
wilayah pengembangan yang merupakan DAS Batanghari; serta c) daerah timur
berfungsi sebagai daerah penampungan aliran barang dan jasa dengan outlet
pelabuhan samudra Muara Sabak di Pantai Timur.

Dengan pola seperti ini, Bungo menjadi kabupaten penghubung antara kawasan
pelindung dan penyangga TNKS dengan kawasan pengembangan. Kondisi ini
menyebabkan Bungo berada dalam posisi yang unik, satu sisi berupaya menjaga
kelestarian sumberdaya alam yang dimilikinya, namun pada sisi lain tekanan
pembangunan yang cenderung memberi dampak pada kerusakan lingkungan.

Hal ini dapat dilihat dengan keberadaan dua perusahaan pemegang izin HPH
yang pernah aktif di Bungo, yaitu PT. Rimba Karya Indah (PT. RKI)13 dan PT.
Mugitriman Intercontinental yang kemudian diambil alih oleh PT. Inhutani V
SPH Pelepat Ule. Sayangnya, berdasarkan laporan ICDP-TNKS Komponen C1
menunjukkan bahwa kegiatan pembalakan kayu yang dilakukan kedua perusahaan
ini tidak memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian. Bahkan penebangan kayu
dilakukan juga di wilayah dengan kondisi tanah yang sangat miskin sehingga
mustahil memicu regenerasi.

Sejak 1995, PT. RKI berkonflik dengan masyarakat setempat yang berdampak
pada berhenti beroperasinya perusahaan tersebut pada 1997. Meskipun aturan
13 PT. Rimba Karya Indah mengelola areal seluas 87.000 ha berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 13/ Kpts-IV/1987 tertanggal 12 januari 1987.
Kemudian izin tersebut diadendum mengenai luas kawasan HPH dengan SK Menteri Kehutanan no. 119/Kpts-IV/1988 tanggal 29-02-1988. Izin
operasi hingga 20 tahun sampai dengan 29-02-2008 dan masih aktif sampai 2001(Statistik Dinas Kehutanan Propinsi Jambi, 2002). Lokasi arealnya
terletak di kecamatan Rantau Pandan. Selama 10 tahun pertama produksi sampai dengan RKL II – 1996/1997 telah mencakup wilayah seluas 13.470
ha dengan produksi sebesar 431.501 m3 kayu. Produksi kayu komersial yang dipanen meliputi jenis dipterocarp 241.256 m3, non dipterocarp komersil
sebanyak 119.375 m3 dan jenis kayu komersial lainnya sebanyak 70.870 m3 .
PEMBUKA - Hasantoha Adnan 15

menyatakan bahwa perusahaan


HPH sudah tidak aktif beroperasi
mereka tetap bertanggung
jawab untuk mengamankan
kawasannya, sayangnya
hal tersebut tidak pernah
dilakukannya. Hal ini mendorong

© Hasantoha Adnan
terjadinya pembalakan liar oleh
masyarakat, khususnya di daerah
Tanah Tumbuh dan Rantau
Pandan.

Tak jauh berbeda adalah PT. Inhutani V SPH Pelepat Ule dengan SK No. 334/
Kpts-II/1998 seluas 49.450 ha yang diberikan izin sampai dengan 27-02-2018. PT
Inhutani V SPH Pelepat ule ini mengambil alih konsesi dari HPH PT. Mugitriman
interkontinental. Peruntukan awal diambil alih oleh PT. Inhutani V adalah untuk
HPHTI tapi kemudian PT. Inhutani tidak mampu mengelolanya sehingga aktif
hanya sampai pada 2001. Terletak pada empat lokasi di kecamatan Tanah Tumbuh,
Pelepat dan Rantau Pandan. Lokasi ini pun dibiarkan tanpa pengamanan.

Berhentinya kedua perusahaan tersebut seolah memberi angin segar bagi


pembalakan liar di Bungo, hal ini tampak dari maraknya usaha sawmill liar di
kecamatan yang berbatasan dengan TNKS dan bekas HPH. Selain itu, kondisi
ini didukung dengan kebijakan desentralisasi kehutanan dimana ada kewenangan
yang lebih besar diberikan kepada pemerintah daerah untuk mengelola hutan,
seperti dalam bentuk pengeluaran ijin-ijin pemanfaatan skala kecil seperti IPHH
dan IPKR.

Yang menarik untuk dicatat adalah bahwa berbeda dengan pemerintah kabupaten
lainnya di Propinsi Jambi14 maupun kabupaten lain di Indonesia pada umumnya,
Pemerintah Kabupaten Bungo tidak mengeluarkan IPK di wilayahnya. Hasil studi
CAPRI memperlihatkan bahwa hal ini dikarenakan terbatasnya areal kawasan
non-kehutanan atau KBNK di kabupaten ini15, lemahnya data dan informasi
mengenai areal yang layak untuk dijadikan areal IPK, juga karena pihak yang
berwenang lebih mengambil sikap hati-hati untuk mengeluarkan izin sampai ada
kejelasan posisi dan lokasi areal (lihat Hadi et al.. dalam buku ini).

14 Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Barat, misalnya, mengeluarkan beberapa IPK di berbagai kecamatan.
15 Belakangan sebagian areal hutan sedang diusulkan oleh Pemda Kabupaten Bungo kepada Menteri Kehutanan untuk dilepaskan.
16 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Kendati demikian, hasil studi KKI-WARSI memperlihatkan bahwa pada periode


1990-2002 tutupan hutan di Bungo mengalami penurunan hingga 12% hutan
alam mengalami deforestasi pada kurun waktu 1990-2002. Manajemen hutan yang
tidak lestari oleh perusahaan HPH dan diikuti dengan pembalakan liar menjadi
faktor utama deforestasi di Bungo. Selain HPH, pelepasan kawasan hutan oleh
departemen kehutanan menjadi peruntukan lain seperti perkebunan sawit dalam
skala yang besar juga turut menyumbang kehilangan tutupan hutan ini. Kondisi ini
terjadi terutama pada masa akhir 1980-an dan awal 1990-an ketika demam kelapa
sawit mulai melanda pulau Sumatera termasuk Jambi. Tekanan terhadap hutan
juga datang dari proyek transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah pusat,
bahkan telah dilakukan sejak 1983. Penempatan transmigrasi ini pun tidak lepas
dari pembukaan kawasan hutan untuk dijadikan lahan pertanian, perkebunan dan
tentunya pemukiman. Di beberapa tempat dikombinasikan dengan perkebunan
besar menjadi perkebunan trans.

Untuk menanggulangi hal tersebut beberapa upaya dilakukan oleh Pemerintah


Kabupaten Bungo, diantaranya melalui penyusunan tata ruang partisipatif, dimana
daerah-daerah yang berbatasan dengan TNKS dijadikan daerah pengembangan
berbasis konservasi, memberi pengakuan kepada masyarakat setempat dalam
berpartisipasi menjaga kelestarian hutan melalui Perda Masyarakat Hukum Adat
Datuk Sinaro Putih, dan kebijakan yang mendorong efektivitas aksi kolektif
dan memperkuat hak properti masyarakat, seperti rekonstruksi tata batas hutan
lindung, bantuan usaha produktif dan rehabilitasi hutan dan lahan.

ORGANISASI BUKU

Penulisan buku ini mempunyai tiga tujuan utama: pertama, mendokumentasikan


apa yang sedang terjadi pada masyarakat dan hutan yang sedang dilakukan baik
oleh peneliti, pemerintah daerah maupun oleh masyarakat sendiri. Buku ini berisi
pengalaman, hasil riset maupun pendampingan yang dilakukan oleh berbagai
kalangan. Keragaman latar belakang dari para penulis maupun tulisan yang
ditampilkan menjadikan buku ini tidak hanya kaya akan data dan pengalaman
lapangan, tetapi juga perspektif.

Kedua, para penulis memberikan pemahaman dan wawasan bagi para pembuat
kebijakan, peneliti, penggiat lingkungan maupun masyarakat luas yang berminat
pada pengelolaan sumberdaya alam yang mendukung pada kelestarian dan
kesejahteraan.
PEMBUKA - Hasantoha Adnan 17

Ketiga, apa yang terjadi di Bungo sesungguhnya merepresentasikan apa yang terjadi
di Indonesia. Bungo adalah Indonesia kecil dalam makna yang sesungguhnya.
Pelajaran-pelajaran yang terjadi boleh jadi menjadi bahan pembelajaran penting
bagi kabupaten lain di Indonesia juga bagi dunia.

Pada bagian awal buku ini akan dipaparkan mengenai potret sumberdaya alam yang
ada di Kabupaten Bungo. Tulisan pertama adalah hasil penelitian Novasyurahati
dan Sulistyawati (pada bagian 1.1.) yang mencermati menurunnya kelimpahan
sumberdaya hutan di sekitar permukiman Desa Baru Pelepat dan pemanfaatannya
oleh masyarakat. Kendati bicara secara spesifik desa, namun gambaran tersebut
mewakili dinamika hubungan antara masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya
hutan di Bungo, khususnya, maupun Indonesia pada umumnya. Pada bagian
ini pula, tulisan dari Suherman dan Taher (pada bagian 1.2.) memperlihatkan
bagaimana dinamika tutupan lahan di Kabupaten Bungo. Melalui studi berdasarkan
citra satelit diperlihatkan bahwa tutupan hutan di Bungo mengalami penurunan
yang dramatis dikarenakan perubahan fungsi lahan, praktek pembalakan liar,
transmigrasi, maupun kebakaran hutan. Bagian ini memperlihatkan bahwa sebagian
besar perubahan tutupan lahan adalah akibat tangan manusia yang gagal dalam
mengurusnya. Melengkapi data-data yang sudah dipaparkan pada bagian 1.2.,
Ekadinata dan Vincent (di bagian 1.3.) memaparkan lebih jauh bahwa deforestasi
dalam jumlah besar telah terjadi sepanjang tahun sejak 1973 sampai 2002. Studi
ini membagi 4 periode deforestasi, dimana periode awal (1973-1988) adalah
periode dengan laju deforestasi tertinggi mencapai 6600 ha/tahun dan cenderung
menurun di periode terakhir (1999-2002). Meskipun menurun, periode akhir juga
mencatat perubahan lokasi deforestasi yang sudah merambah ke daerah dataran
tinggi sebelah selatan Kabupaten Bungo. Deforestasi ditandai dengan perubahan
lahan dari hutan menjadi kebun karet rakyat, areal HPH, perkebunan sawit dan
transmigrasi. Kendati demikian, wanatani karet terbukti selama kurun 1973-2002
relatif bertahan secara luasan maupun praktek. Kenyataan ini memperlihatkan
bahwa wanatani karet yang dikelola masyarakat memiliki peran penting dalam
usaha menjaga kelestarian lingkungan.

Bagian kedua berisi tentang kearifan lokal dan konservasi. Bagian ini dibuka dengan
tulisan Riya Dharma (di bagian 2.1.), seorang fasilitator yang telah banyak makan
asam garam dalam pemberdayaan masyarakat, tentang upaya sebuah masyarakat
dalam menjaga kelestarian hutannya melalui pranata adat hingga mendapatkan
pengakuan oleh pemerintah daerah melalui SK Bupati. Proses pendampingan
memegang peranan penting dalam memperkuat upaya tersebut. Selain itu, adanya
pengakuan hak mengelola masyarakat atas hutan oleh pemerintah daerah akan
mempertebal komitmen masyarakat dalam menjaga hutan. Tulisan berikutnya
18 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

disampaikan oleh Joshi et al., dalam bagian 2.2., yang banyak melakukan penelitian
tentang wanatani karet. Disini penghargaan terhadap pengetahuan lokal perlu
mendapatkan tempat dalam sistem perkebunan di Indonesia. Studi tersebut
menunjukkan pengetahuan lokal penting dalam melihat dan mengkaji bagaimana
masyarakat lokal mengelola sumberdaya alamnya. Berbeda dengan pengetahuan
sains yang terbentuk melalui interpretasi data berdasarkan metodologi tertentu,
pengetahuan lokal justru sangat melekat erat pada nilai budaya dan spiritual. Selain
itu pengetahuan lokal terbentuk sebagai hasil interaksi antara masyarakat dengan
ekosistem di sekelilingnya. Tak mengherankan bila pengetahuan lokal mampu
memberi kontribusi pada inovasi teknologi, upaya konservasi keanekaragaman
hayati dan ekosistem, perlindungan spesies dan area, serta untuk pemanfaatan
sumberdaya alam yang berkelanjutan. Adanya praktek ‘sisipan’ yang banyak
diterapkan di areal wilayah Bungo untuk memperpanjang umur hutan karet
tersebut agar dapat lebih lama berproduksi, merupakan sebuah alternatif dalam
meningkatkan produksi karet tanpa mengabaikan upaya konservasi keragaman
hayati dan fungsi lingkungannya.

Hal senada juga diperlihatkan dalam tulisan Surma et al.(di bagian 2.3.) yang
mendeskripsikan tentang pengelolaan lubuk larang di sepanjang Sungai Pelepat
oleh berbagai kelompok masyarakat adat. Melalui lubuk larang, masyarakat bukan
hanya melestarikan jenis ikan dan mengelola sungai secara arif, namun juga
mampu memberikan nilai ekonomi dan sosial. Secara ekonomi, hasil lubuk larang
menjadi pemasukan bagi kas desa maupun kelompok pengelolanya. Sedangkan
secara sosial, lubuk larang menunjukkan kemampuan masyarakat mengelola
secara komunal dan menghindarkan dari eksploitasi berlebihan. Selain itu dengan
mengelola lubuk larang masyarakat desa mampu menanam dan mengembangkan
investasi modal sosial (social capital) dalam pengelolaan sumberdaya ‘milik
bersama’.

Tulisan lainnya diutarakan oleh Permatasari (di bagian 2.4.), seorang fasilitator yang
banyak mendampingi masyarakat tentang gender dan pengelolaan sumberdaya
alam. Bab ini ditutup dengan tulisan dari Hasan et al. (di bagian 2.5.), yang
menyoroti rencana pemerintah Kabupaten Bungo untuk kembali mengaktifkan
pemerintahan pada tingkat desa secara tradisional. Rencana ini sebagai bentuk
interpretasi dari pemberlakuan UU No. 32/2004 tentang otonomi daerah, selain
untuk membuka peluang bagi daerah untuk membentuk struktur pemerintahan
desa yang lebih menghormati keragaman budaya dan sosial di masing-masing
daerah.
PEMBUKA - Hasantoha Adnan 19

Bagian ketiga berbicara tentang potensi ekonomi dan sumberdaya di Kabupaten


Bungo. Rodiah (di bagian 3.1.), seorang guru di desanya, memperlihatkan kepada
kita bagaimana perempuan desanya memanfaatkan hasil hutan non-kayu untuk
menambah penghasilan rumah tangganya. Lebih lanjut Yuliani et al. (di bagian
3.2.) melalui risetnya menunjukkan bahwa hutan di Bukit Siketan memiliki
berbagai jenis tumbuhan yang berpotensi menjadi sumber pendapatan alternatif
jangka panjang yang cukup besar, bila dikelola secara kreatif dan cermat. Tak
hanya berpotensi sebagai sumber pendapatan alternatif, hutan Bukit Siketan juga
memiliki fungsi ekosistem yang penting untuk penghidupan manusia.

Tulisan lain berasal dari Budisetiawan (bagian 3.3.), seorang staf Dishutbun
Bungo, melalui program yang dipimpinnya, ia memperlihatkan kepada kita
bagaimana rotan dapat menjadi potensi masa depan pengembangan hasil hutan
bukan kayu di Bungo. Mengingat pasar rotan yang teramat terbuka dan potensi
rotan alam yang semakin menipis, maka pengembangan budidaya rotan di lahan
perkebunan merupakan salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan. Selain hasil
hutan bukan kayu dan rotan, penting juga untuk memperhatikan praktek-praktek
wanatani yang berhasil direkam oleh berbagai peneliti dari ICRAF. Studi mereka
meyakinkan kita bahwa wanatani berbasis karet yang selama ini diterapkan oleh
masyarakat lokal di Jambi, telah berfungsi sebagai kebun lindung bagi keragaman
hayati dan tata air di lingkungannya, serta menyediakan produk non-kayu (non
timber forest products) serta memberikan keseimbangan alam.

Kendati demikian, Akiefnawati et al., dari ICRAF (pada bagian 3.4.), melihat
perlunya peningkatan produktivitas karet rakyat melalui wanatani karet. Melalui
sistem ini, kebun karet dikelola secara mini dan diperlakukan seolah-olah ”hutan
mini”. Dengan sistem ini pengelolaan kebun menjadikan kebun karet lebih ragam
tumbuhnya bermacam-macam tumbuhan. Kondisi ini menguntungkan untuk
konservasi fauna dan flora. Dan menguntungkan bagi petani untuk menambah
income keluarga dari hasil buah-buahan atau pohon penghasil kayu. Serta
lingkungan wanatani karet menjadikan rumah tinggal alternatif bagi kehidupan
fauna yang mulai terancam karena punahnya habitat mereka di lingkungan aslinya
di hutan.

Untuk memperkaya hasil kebun karet campur, Tata et al., (bagian 3.5.) menyarankan
pengayaan dengan meranti. Karena meranti dapat ditanam di kebun karet dengan
sistem wanatani, dengan memperhatikan aspek budidayanya. Lebih jauh, secara
ekologis dan konservasi, hasil studi Rasnovi et al., (bagian 3.6.) memperlihatkan
bahwa wanatani karet memiliki struktur mirip dengan hutan alam serta menjadi
habitat bagi berbagai jenis keragaman hayati, dianggap cukup berpotensi sebagai
20 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

kawasan penampung bagi jenis tumbuhan hutan, bahkan terdapat beberapa jenis
tumbuhan yang dilindungi oleh perundang-undangan Indonesia dan jenis yang
termasuk kriteria kritis dan genting menurut IUCN/SSC. Selain itu wanatani
karet juga memberikan dampak ekonomi, studi Tata et al. memperlihatkan bahwa
pengayaan jenis di kebun karet dengan meranti, yang dikenal sebagai kayu bahan
bangunan, dapat menjadi alternatif bagi restorasi bentang alam di Kabupaten Bungo
dan juga sebagai sumber kayu bahan bangunan di masa datang. Martini (bagian
3.7.) melalui tulisannya mengingatkan kita bahwa hutan dan kebun karet campur
mempunyai fungsi-fungsi ekologis yang penting bagi keseimbangan alam. Untuk itu
keanekaragaman hayati menjadi indikator penting yang digunakan untuk melihat
keseimbangan fungsi ekologis di suatu ekosistem. Untuk mewujudkan itu, perlu
dipikirkan mekanisme kegiatan konservasi jasa lingkungan keanekaragaman hayati
yang melibatkan banyak pihak untuk membantu peningkatan kesadaran terhadap
lingkungan sekitarnya. Bagian ini ditutup dengan perlunya mempertimbangkan
program konservasi lingkungan yang memberi manfaat bagi masyarakat lokal,
sebagaimana terungkap dari tulisan Chaniago (bagian 3.8.), seorang aktivis LSM
dan juga ketua BPD di kampungnya.

Bagian keempat banyak berbicara tentang pola interaksi antar pihak dalam
pengelolaan sumberdaya alam. Bab ini dibuka dengan tulisan Yasmi (bagian 4.1.),
mahasiswa program doktor Universitas Wageningen yang melihat pentingnya
kajian tentang proses peningkatan konflik dalam pengelolaan sumberdaya
hutan. Dengan memahami proses peningkatan konflik akan membawa kepada
pemahaman yang utuh tentang konflik itu sendiri. Bagaimana konflik itu muncul,
siapa saja yang terlibat, isu apa saja yang menjadi sumber konflik serta bagaimana
proses peningkatannya akan sangat membantu dalam mengelola konflik dan
mencari resolusinya.

Tulisan berikutnya dipaparkan oleh Kusumanto (bagian 4.2.), juga mahasiswa


program doktor Universitas Wageningen, Belanda, yang lebih memusatkan pada
kolaborasi antar-pihak dalam pengelolaan hutan. Tulisan ini memperlihatkan
bagaimana membangun kolaborasi kendati situasi tidak mendukung. Fasilitasi
yang berorientasi pada proses dan pengalaman mampu membangun kepercayaan
antarpihak, membentuk norma dan pola interaksi baru, serta memaknai sebuah
realita kolektif. Keseluruhan proses dituntun melalui pengalaman sebagai
instrumen kolaborasi. Tulisan berikutnya menegaskan pentingnya penguatan
hak-hak masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam dan hutan. Sebagaimana
tercermin dalam tulisan Adnan dan Yentirizal (bagian 4.3.) yang memperlihatkan
bagaimana masyarakat senantiasa mencari berbagai jalan untuk mempertahankan
akses mereka terhadap sumberdaya alam/hutan manakala berhadapan dengan
PEMBUKA - Hasantoha Adnan 21

proyek besar yang diadakan di desa. Tulisan Siagian dan Neldysavrino (bagian
4.4.) pun menegaskan hal serupa melalui kajian di kabupaten yang berbeda.
Mereka melihat pentingnya peran aksi kolektif dalam memperkuat hak properti
masyarakat yang mendorong pada suatu bentuk kepastian hidup (securing
livelihood). Hak properti dalam hal ini dilihat dalam dua bentuk, hak kepemilikan
dan hak pengelolaan. Selain itu, aksi kolektif juga memperkecil peluang dominasi
elit.

Berbeda dari dua tulisan sebelumnya yang menempatkan aksi kolektif pada
tingkat masyarakat, tulisan Hadi et al. (bagian 4.5.) justru menunjuk pada peran
pemerintah dalam mendorong aksi kolektif dan memperkuat hak properti. Dalam
kurun waktu dua tahun terakhir, Pemerintah Kabupaten Bungo, khususnya
Dishutbun menyusun suatu kebijakan atau program yang dipandang dapat
mendorong efektivitas aksi kolektif di tingkat masyarakat dan mendorong
penguatan hak properti lahan. Tulisan ini menggambarkan pelaksanaan dan
pembelajaran dari program-program tersebut dan menawarkan satu solusi alternatif
untuk menyelesaikan persoalan tumpang tindih kawasan hutan melalui strategi
perhutanan sosial. Selain aksi kolektif, proses-proses partisipatif dan kolaboratif
juga memainkan peran penting untuk memastikan keterlibatan masyarakat
maupun multipihak dalam penyusunan sebuah peraturan. Dalam tulisan Irawan
et al. (Bab 4.6), misalnya, diperlihatkan bagaimana komitmen pemerintah
Kabupaten Bungo untuk melibatkan masyarakat dalam penyusunan Rencana
Tata Ruang Kabupaten. Hasilnya adalah adanya pengakuan atas wilayah-wilayah
kelola masyarakat ke dalam penataan ruang kabupaten.

Gambaran lain diperlihatkan oleh Pariyanto (bagian 4.7.) saat merekam


proses penyusunan peraturan daerah mengenai masyarakat hukum adat yang
melibatkan masyarakat juga pemerintah daerah. Adanya tarik-ulur antar pihak
justru memperkuat hubungan antar pihak tersebut. Catatan menarik juga
disampaikan oleh Dobesto pada bagian 4.8., kendati dalam perspektif desa,
kajiannya memperlihatkan bagaimana sebuah proses penyusunan peraturan desa
dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat. dampak utamanya adalah besarnya
kepemilikan masyarakat terhadap peraturan tersebut dan kuatnya komitmen
masyarakat untuk mematuhinya. Catatan penutup pada bagian ini disampaikan
oleh Marzoni (bagian 4.9.) yang memusatkan tulisannya pada proses penyusunan
tata ruang desa sebagai jalan menuju komunikasi dan kolaborasi antar pihak.
22 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

BAHAN BACAAN

Adnan, H. 2005. Pendekatan Hulu dan Hilir: Model Pembangunan Bungo Masa
Depan. Bungo Pos, Muara Bungo, Indonesia.
Angi, A.M. 2005. Kebijakan Pemerintah Pusat di Bidang Konservasi dari
Perspektif Daerah dan Masyarakat: Studi Kasus Kabupaten Kutai Barat,
Kalimantan Timur. CIFOR, Bogor, Indonesia.
Awang, S.A. 2004. Dekonstruksi Sosial Forestri: Reposisi Masyarakat dan Keadilan
Lingkungan. BIGRAF Publishing, Yogyakarta, Indonesia.
BPS Bungo. 2005. Bungo dalam Angka 2004. Kerjasama Bappeda Kabupaten
Bungo dengan Badan Pusat Statistik Kabupaten Bungo. Muara Bungo,
Indonesia.
BPS Bungo. 2006. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bungo tahun
2001-2005. Kerjasama Bappeda Kabupaten Bungo dengan Badan Pusat
Statistik Kabupaten Bungo. Muara Bungo, Indonesia.
Colfer, C.J.P dan Capistrano, D. (ed.) 2006. Politik Desentralisasi: Hutan,
Kekuasaan dan Rakyat. CIFOR, Bogor, Indonesia.
Dishutbun Kabupaten Bungo. 2006. Selayang Pandang Dinas Kehutanan Bungo.
Muara Bungo, Indonesia.
Deutsch, G.W. dan Busby, L.A. 2000. Community-Based Water Quality
Monitoring: from Data Collection to Sustainable Management of Water
Resources. Land and Water Development Division, FAO, Roma, Itali.
Fahmi, E. dan Zakaria, Y.R. 2005. Good Governance dan Multi-stakeholder Processes:
Minus Malum dalam Wacana NeoLiberalisme. Dalam: WACANA no.
XX. INSIST, Yogyakarta, Indonesia.
Gouyon, A., de Foresta, H. dan Levang, P. 1993. Does ‘Junggle Rubber’ Deserve
its Name? An analysis of Rubber Agroforestry System in Southeast Asia.
Agroforestry System 22:181-206
Joshi, L., Wibawa, G., Vincent, G., Boutin, D., Akiefnawati, R., Manurung, G. dan
van Noordwijk, M. 2001. Wanatani Kompleks Berbasis Karet: Tantangan
untuk Pengembangan. ICRAF, Bogor, Indonesia.
KKI-WARSI, ACM-Jambi dan ICRAF. 2005. Usulan Untuk Revisi RTRW-K
Bungo: Penentuan WP I dan WP II Kabupaten Bungo berdasarkan
Gabungan Pendekatan DAS dan Growth Pole, diusulkan dalam
penyusunan RTRW-K Bungo. Muara Bungo, Indonesia.
Kompas. 2001. Kabupaten Bungo. http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0105/29/NASIONAL/kabu08.htm
Kompas. 2007. Akal-akalan Pemekaran. http://www.Kompas.com/kompas-
cetak/0703/10/Fokus/3372818.htm.
PEMBUKA - Hasantoha Adnan 23

Kusumanto, T., Yuliani, E.L., Macoun, P., Indriatmoko, Y. dan Adnan, H. 2006.
Belajar Beradaptasi: Bersama-sama Mengelola Hutan di Indonesia.
CIFOR, Bogor, Indonesia.
Mubyarto. 1992. Desa dan Perhutanan Sosial: Kajian Sosial-Antropologis di
Propinsi Jambi. P3PK–UGM dan Aditya Media, Yogyakarta, Indonesia.
Muntasyarah, A.S. 2006. Agroforest Karet di Jambi: Dapatkah Bertahan di
Era Desentralisasi? Governance Brief No. 31/Juni. CIFOR, Bogor,
Indonesia.
Pemerintah Propinsi Jambi. 2006. Basis Data Lingkungan Hidup Daerah Propinsi
Jambi tahun 2005. Bapedalda Propinsi Jambi, Jambi, Indonesia
Resosudarmo, I.A.P. dan Colfer, C.J.P. (ed.) 2003. Ke Mana Harus Melangkah:
Masyarakat, Hutan dan Perumusan Kebijakan di Indonesia. Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta, Indonesia.
Ruf, F. dan Lancon, F. 2005. Dari Sistem Tebas dan Bakar ke Peremajaan Kembali:
Revolusi Hijau di Dataran Tinggi Indonesia. Salemba Empat dan the
World Bank, Jakarta, Indonesia.
Simangunsong, B. 2003. Nilai Ekonomi dari Hutan Produksi Indonesia. Indonesian
Working Group on Forest Finance (IWGFF), Jakarta, Indonesia.
Suara Pembaruan. 2005. Alam Dikomersialkan, Lingkungan Tambah Rusak.
http://www.suarapembaruan.com/News/2005/10/22.
Suara Pembaruan. 2007. Indonesia Penghancur Hutan Tercepat di Dunia. http://
www.suarapembaruan.com/News/2007/05/04/Kesra/kes.01.htm
Wibawa, G., Hendratno, S. dan van Noordwijk, M. 2005. Permanent Smallholder
Rubber Agroforestry Systems in Sumatra, Indonesia. Dalam: Palm,
C.A., Vosti, S.A., Sanchez, P.A. dan Ericksen, P.J. (ed). Slash and Burn
Agriculture, The Search for Alternatives. Columbia University Press,
New York: 222 – 232.
Wulan, Y.C., Yasmi, Y., Purba, C., dan Wollenberg, E. 2004. Analisa Konflik Sektor
Kehutanan di Indonesia 1997-2003. CIFOR, Bogor.
BAGIAN 1
POTRET SUMBERDAYA KABUPATEN BUNGO
BAGIAN 1-1
Kelimpahan Sumberdaya Hutan di Sekitar
Desa Baru Pelepat

Novasyurahati dan Endah Sulistyawati


28 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Bujang, warga Dusun Lubuk Beringin, membutuhkan waktu seminggu untuk


membalak kayu di hutan sekitar Desa Baru Pelepat. Dua tahun lalu, ia hanya
menghabiskan empat hari. Selisih tiga hari terjadi karena ia harus berjalan lebih
jauh ke dalam hutan. Kuris, Kepala Dusun Lubuk Pekan, mengaku kesulitan
menemukan tumbuhan obat. Begitu pula ibu-ibu mengeluh sulit mendapatkan
buah-buahan musiman.

Itu menggambarkan kelimpahan kekayaan alam di Baru Pelepat memang menurun.


Padahal masyarakat Desa Baru Pelepat masih bergantung pada sumberdaya
hutan.

Kampung ini semula memiliki lebih dari 500 jenis tanaman, dan 300-an diantaranya
dimanfaatkan untuk pangan, obat-obatan, dan bahan bangunan. Sebagian besar
masyarakat di Dusun Lubuk Pekan mengenali sekitar 312 jenis tumbuhan dan
manfaatnya. Dari jumlah itu, 115 jenis sebagai sumber makanan, 118 jenis obat-
obatan dan 79 jenis bahan bangunan. Namun hanya 44 jenis dari jumlah tersebut
yang ditemukan di lahan sekitar permukiman (Kotak 1).

Ketersediaan Tumbuhan Sumberdaya


Sebagai masyarakat tradisional yang masih menjalankan sistem pertanian ladang
berpindah, masyarakat Desa Baru Pelepat mengenal empat jenis lahan yang
terdapat di hutan sekitar mereka, yaitu: ladang, sesap muda, sesap tua dan hutan.
Ladang sengaja dibuat oleh masyarakat dengan membuka hutan. Sementara itu,
sesap muda, sesap tua dan hutan terbentuk karena proses suksesi setelah ladang
ditinggalkan (diberakan).

Tumbuhan yang dibutuhkan masyarakat (selanjutnya digunakan istilah “tumbuhan


sumberdaya”) tersedia di keempat jenis lahan tersebut, terutama tumbuhan obat
dan bahan bangunan. Tumbuhan yang terdapat di ladang umumnya sengaja
ditanam. Sementara tumbuhan yang diambil dan digunakan dari sesap muda, sesap
tua dan hutan tumbuh secara alami melalui proses suksesi, dan menimbulkan
keragaman vegetasi di lahan-lahan tersebut.

Ladang merupakan tempat pengambilan tumbuhan pangan utama bagi masyarakat.


Selain ditanami padi, ladang juga ditanami sayur, buah-buahan, rempah-rempah,
dan karet. Dalam ladang juga terdapat tumbuhan obat dan anakan tumbuhan
kayu yang tidak sengaja ditanam, namun bermanfaat bagi masyarakat, seperti
BAGIAN 1-1 • Novasyurahati dan Endah Sulistyawati 29

kumpai (Paspalum conjugatum Berg.), tubo seluang (Ludwigia parvifolia Ridl.) dan
capo (Blumea lacera Bl.).

Kotak 1. Jumlah jenis sumberdaya yang dibutuhkan, dibandingkan dengan


jumlah yang ditemukan

Wawancara dengan 12 responden penduduk dari Dusun Lubuk Pekan mencatat


312 jenis tumbuhan yang digunakan sebagai makanan, obat-obatan atau bahan
bangunan. Dari jumlah tersebut hanya 44 jenis yang ditemukan di lahan sekitar
permukiman (beberapa jenis di antaranya memiliki kegunaan lebih dari satu).
Gambaran mengenai perbandingan jumlah jenis tumbuhan yang digunakan dan
yang ditemukan di lahan dapat dilihat pada Gambar 1.

140
120
Jumlah Spesies

100
80 115 117
79
60
40
20 25
14 13
0
Makanan Obat Bahan bangunan
Kategori Kegunaan

Digunakan, namun tidak ditemukan di sekitar permukiman


Digunakan dan ditemukan di sekitar permukiman

Gambar 1. Perbandingan jumlah jenis tumbuhan yang digunakan dan yang ditemukan
di sekitar permukiman

Sebagian besar hasil panen dari ladang, seperti padi dan sayuran, digunakan
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sebagian lainnya,
terutama buah-buahan dan bumbu dapur, dijual di warung maupun di pasar.

Secara sepintas, sesap muda atau lahan belukar yang terbentuk setelah ladang
diberakan selama 1 hingga 3 tahun tampak seperti lahan yang tidak berguna.
Namun sesungguhnya menawarkan manfaat yang besar bagi masyarakat.
Meskipun jenis tumbuhan yang terdapat di lahan ini paling sedikit, persentase
jenis tumbuhan obat yang terdapat di sesap muda, paling banyak dibandingkan
30 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

di lahan lain. Selain itu, di sesap muda juga terdapat banyak anakan pohon yang
penting untuk regenerasi tumbuhan kayu di masa mendatang.

Berbeda dengan sesap muda, dalam sesap tua atau belukar yang terbentuk setelah
ladang diberakan lebih dari 3 tahun ini terdapat lebih banyak variasi jenis
tumbuhan. Masyarakat kerap menggunakan sesap tua sebagai tempat pengambilan
buah-buahan hasil pohon dan juga kayu untuk bahan bangunan. Dalam sesap tua
juga terdapat jenis-jenis tumbuhan obat yang berbeda dengan sesap muda.

Masyarakat menilai sesap tua sebagai lahan yang cukup penting. Di lahan ini
pohon karet yang ditanam umumnya telah berusia 5 hingga 6 tahun usia yang
baik untuk mulai menyadap getah karet.

Hutan memiliki jenis tumbuhan penghasil kayu terbanyak dibanding lahan-lahan


lain di Baru Pelepat (Novasyurahati, 2006). Sebagian di antaranya merupakan
jenis yang bernilai ekonomi tinggi, seperti meranti merah (Shorea parvifolia Dyer.),
medang senduk (Endospermum didenum A. Shaw.), mersawa (Anisoptera marginata
Korth.), atau kawang kunyit (Shorea mulitiflora Sym.). Jenis-jenis tersebut adalah
kayu komersil umum yang bernilai tinggi (Kochummen et al., 1994, America et al.,
1994 dan Johns et al., 1994).

Masyarakat menilai, selain sebagai penghasil kayu, hutan juga merupakan habitat
satwa dan pengatur fungsi hidrologis. Bujang pun, yang dulunya seorang pembalak,
mengaku hasil kegiatan membalak sesungguhnya tidak sebanding dengan usaha
yang dikeluarkan dan dampak buruk yang menimpa desa apabila hutan habis.
Menurutnya, satwa dalam hutan yang kehilangan tempat tinggal dan sumber
makanan, akan menyerang ladang. Saat hujan turun deras, air Sungai Batang
Pelepat meluap dan dapat menimbulkan banjir.

Selain di keempat jenis lahan tersebut, masyarakat juga memanfaatkan lahan


yang ada di pekarangan rumah mereka untuk ditanami tumbuhan-tumbuhan
yang bermanfaat. Karena itu, halaman rumah memegang peranan yang cukup
penting untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Sebagai contoh, Abdullah warga Dusun Lubuk Pekan, seringkali terlihat melewati
jalan utama desa dengan motornya yang bermuatan penuh buah-buahan hasil
kebunnya di halaman rumah. Di lahan seluas 25 x 35 m2 itu Abdullah menanam
pisang lidi, salak, kopi, durian, duku, karet, dan beberapa jenis tumbuhan obat.
Tak jauh dari rumah Abdullah, tinggal Pak Tamim yang dikenal sebagai dukun
obat tertua di desa. Halaman rumah Pak Tamim tidak seluas halaman Abdullah,
BAGIAN 1-1 • Novasyurahati dan Endah Sulistyawati 31

namun lahan itu dikenal sebagai apotik hidup bagi masyarakat. Siapa pun yang
butuh tumbuhan obat, bisa berkunjung ke rumah Pak Tamim. Anak dan cucu-
cucunya akan dengan senang hati menunjukkan jenis-jenis tumbuhan obat di
halaman, dan Pak Tamim akan menerangkan cara menggunakan tumbuhan
tersebut. Sedangkan Hamdan, Kepala Desa Baru Pelepat, memilih untuk menanam
benih tumbuhan kayu. Jati, meranti dan karet tumbuh subur dan rapi di halaman
rumahnya.

Kotak 2. Gambaran tumbuhan sumberdaya di beberapa tipe lahan

Empat jenis lahan di sekitar masyarakat (ladang, sesap muda, sesap tua dan hutan)
memiliki variasi jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Karena itu,
masyarakat memiliki ketergantungan yang berbeda pada tiap jenis lahan, sesuai
dengan kebutuhannya (Gambar 2).
Prosentase Jumlah Jenis

Tipe Lahan

Makanan Obat Bahan bangunan

Gambar 2. Gambaran ketersediaan tumbuhan sumberdaya di empat tipe lahan


sekitar permukiman

Penurunan Sumberdaya

Sesungguhnya, keragaman tumbuhan di lahan sekitar permukiman Desa Baru


Pelepat cukup tinggi (lihat Kotak 3). Proses suksesi lahan bekas ladang menjadi
32 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

hutan kembali juga berlangsung normal. Namun masyarakat mengeluh kesulitan


mendapatkan tumbuhan yang mereka perlukan. Sebabnya adalah, pertama,
kelimpahan tumbuhan sumberdaya memang menurun sebagai akibat dari
pengambilan yang terus dilakukan melampaui kemampuannya untuk tumbuh
secara alami maupun ditanam. Kedua, jenis tumbuhan yang beragam yang
terdapat di lahan-lahan tersebut bukan merupakan jenis-jenis yang dibutuhkan
oleh masyarakat. Ketiga, belum tumbuh budaya menanam di kalangan masyarakat.
Masyarakat belum tergerak untuk membudidayakan jenis tumbuhan, meski mereka
menyadari bahwa intensitas penggunaan tumbuhan tersebut sangat tinggi.

Kotak 3 Keanekaragaman jenis di berbagai tingkat suksesi

Analisis vegetasi yang dilakukan di lahan sekitar permukiman Dusun Lubuk Pekan
menunjukkan pola hubungan peningkatan keanekaragaman jenis tumbuhan pada
lahan yang semakin lama diberakan. Keanekaragaman jenis di sesap muda lebih
rendah dari sesap tua. Begitu pun keanekaragaman jenis di sesap tua lebih rendah
dari hutan (Gambar 3).

60 3,50
3,00

Nilai keanekaragaman
50
2,50
Jumlah jenis

40
2,00
30
1,50
20
1,00
10 0,50
0 0,00
Pohon Perdu Herba Pohon Perdu Herba Pohon Perdu Herba

Sesap Muda Sesap Tua Hutan


Bentuk hidup dalam tiap tipe lahan

Jenis Keanekaragaman

Gambar 3. Hasil analisis vegetasi di sesap muda, sesap tua dan hutan

Proses suksesi terjadi di lahan-lahan itu, sesuai dengan penjelasan Odum (1969) mengenai
kecenderungan umum yang terjadi pada lahan-lahan pasca gangguan yang mengalami
suksesi sekunder. Odum menerangkan bahwa secara umum keanekaragaman jenis di
lahan suksesi cenderung meningkat.
BAGIAN 1-1 • Novasyurahati dan Endah Sulistyawati 33

Jenis dan intensitas penggunaan tumbuhan oleh masyarakat memang sangat


beragam. Intensitas pengambilan dan penggunaan tumbuhan dalam skala rumah
tangga untuk kebutuhan sehari-hari relatif rendah. Dalam kategori tumbuhan
pangan, 63% di antaranya digunakan dalam intensitas penggunaan yang kecil
yaitu 0-200 kg/tahun atau 0-200 ikat/tahun. Begitu pun dengan tumbuhan obat,
80% digunakan dalam intensitas 0-20 kg/tahun atau 0-20 ikat/tahun. Tumbuhan
untuk bahan bangunan juga demikian, 55% digunakan hanya sebanyak 0-4 m3/
tahun.

Intensitas pengambilan dan penggunaan yang sangat besar terjadi pada jenis-jenis
tumbuhan komersil. Jenis tanaman pangan yang paling banyak diambil (lebih
dari 1000 kg/tahun) adalah kemiri, belulu, kepayang, dan coklat. Jenis tanaman
obat yang paling banyak digunakan (lebih dari 100 kg/tahun atau 100 ikat/tahun)
adalah daun pepaya, daun kemumu dan mengkudu. Sementara, jenis tumbuhan
kayu sebagai bahan bangunan yang paling banyak diambil (16-20 m3/tahun)
adalah medang senduk, meranti merah dan pulai.

Ironisnya, kemiri, belulu, kepayang, pepaya, kemumu, mengkudu, dan pulai tidak
ditemukan di lahan sekitar permukiman (radius 100 m hingga 1 km). Kalaupun
ada, hanya terdapat di halaman rumah dan jumlahnya sedikit sekali. Sementara,
medang senduk dan meranti merah ditemukan di lahan sekitar permukiman
dengan jumlah yang sangat terbatas.

Menurut Bujang, meskipun kegiatan pembalakan masih berlangsung hingga saat


penelitian ini dilakukan, jenis kayu yang didapat bukan yang bernilai tinggi, yaitu
hanya jenis kayu yang digunakan untuk membuat kayu lapis. Kayu yang bernilai
tinggi hanya dapat ditemukan di hutan yang kemiringannya sangat curam.

Gambaran mengenai potensi kerusakan hutan dan kelangkaan tumbuhan kayu


sebagai bahan bangunan dapat dilihat di Kotak 4. Jumlah anakan (pohon dengan
diameter batang setinggi dada lebih kecil dari 1 cm) dan tiang (pohon dengan
diameter setinggi dada 1-5 cm) yang tersedia di lahan sekitar permukiman sangat
sedikit. Padahal, untuk tumbuh menjadi sebuah pohon yang kayunya dapat
digunakan dan bernilai tinggi, jenis-jenis tersebut membutuhkan waktu rata-rata
12-40 tahun (Kochummen et al., 1994, America et al., 1994 dan Johns et al., 1994).
Dengan demikian, apabila pengambilan kayu masih dipertahankan dalam jumlah
seperti yang terjadi saat ini, sementara usaha penanaman kembali atau konservasi
anakan tidak dilakukan, maka dapat dipastikan kegiatan pemanfaatan kayu oleh
masyarakat Desa Baru Pelepat dapat menyebabkan kelangkaan sumberdaya di
sekitar permukiman.
34 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Sebagian besar kebutuhan masyarakat terhadap tumbuhan kayu tidak dapat


tercukupi lagi oleh ketersediaan kayu di lahan-lahan yang tersedia, karena
pemanfaatan volume kayu per tahun lebih besar dari jumlah volume kayu yang
tersedia. Terdapat tiga jenis tumbuhan yang pemanfaatannya sangat tinggi (di atas
200 m3 per tahun) namun volume kayu yang tersedia di lahan sekitar permukiman
sangat sedikit (0,3 hingga 5 m3), yaitu meranti merah (Shorea parvifolia Dyer.),
medang senduk (Endospermum diadenum A. Shaw.), dan mersawa (Anisoptera
marginata Korth.), yang merupakan tumbuhan penghasil kayu komersil umum
yang bernilai tinggi (Kochummen et al., 1994, America et al., 1994 dan Johns et
al., 1994).

Terdapat dua jenis tumbuhan yang ketersediaan kayunya di lahan dapat mencukupi
kebutuhan masyarakat. yaitu meranti kuning (Shorea multiflora Sym.) dan tago
(Artocarpus elasticus Reinw. ex Blume). Menurut keterangan masyarakat, dua
jenis kayu ini tidak bernilai tinggi dan hanya digunakan untuk kebutuhan rumah
tangga.

Kotak 4. Potensi kerusakan hutan dan kelangkaan tumbuhan kayu

Tabel 3. Pengambilan tumbuhan penghasil kayu dan ketersediaannya di lahan sekitar


permukiman

dbh ≥ 10 dbh 5 - 10 cm dbh 1-5 cm dbh < 1 cm


Total
Total Total Total
No Jenis Tumbuhan Penghasil Kayu Pemanfaatan Kerapatan Kerapatan Kerapatan Kerapatan
3 volume volume volume
Per Tahun (m ) (32 ha) 3 (32 ha) 3 (32 ha) 3 (32 ha)
kayu (m ) kayu (m ) kayu (m )
1 Shorea parvifolia Dyer. 216 80 3.73 40 0.29 80
2 Endospermum diadenum A. Shaw. 210 40 0.33
3 Shorea multiflora Sym. 132 40 203.93 120
4 Anisoptera marginata Korth. 126 40 4.59
5 Durio carimatus Mast. 120 440 29.76
6 Palaquium obovatum Engl. 105 640 43.58 40
7 Swintonia schwenkii T. & B. 90 120 68.89 120 0.48 320
8 Shorea bracteolata Dyer. 77 40 1.35
9 Ardisia sp. 45 80 0.95 40
10 Parashorea stellata Kurz. 41 40 34.70
11 Knema conferta Warb. 36 160 4.01
12 Zyzygium napiformis K. ef. V. 34 40 0.39 40
13 Ochanostachys amentacea Mast. 24 80 4.53 40 0.01 120
14 Macaranga pruinosa Muell. Arg. 24 520 6.28 280 1.27 40 0.06 120
15 Artocarpus elasticus Reinw. ex Blume 12 40 15.42
16 Garcinia sp. 12 40
17 Santiria laevigata Bl. 12 40 0.01 40
18 Diospyros maritima Blume 6 40 1.56 40 0.20
19 Baccaurea sumatrana J.J.S. 6 80 3.28 40 0.03
20 Styrax benzoind Dryand. 6 120 4.23 40
21 Polyalthia lateriflora King. 6 160 4.57

dbh = diameter breast high; diameter batang setinggi dada

Nilai volume pemanfaatan kayu per tahun dikonversi ke jumlah pemanfaatan


seluruh penduduk Dusun Lubuk Pekan dengan asumsi setiap pengambilan
dilakukan dalam jumlah yang sama dan pengambilan dilakukan dalam kelompok
per 4 kepala keluarga (jumlah seluruh kepala keluarga Dusun Lubuk Pekan adalah
46 KK). Jumlah ketersediaan volume kayu dikonversi ke lahan seluas 32 ha dengan
asumsi tumbuhan kayu hanya tersedia di hutan (20 ha) dan sesap tua (12 ha).
BAGIAN 1-1 • Novasyurahati dan Endah Sulistyawati 35

PENUTUP

Ketersediaan sumberdaya tumbuhan Desa Baru Pelepat kini semakin menurun.


Untuk memenuhi kebutuhan, masyarakat dapat melakukan budidaya terutama
jenis-jenis tumbuhan yang paling banyak dibutuhkan seperti kemiri, belulu,
kepayang, pepaya, kemumu, mengkudu, meranti merah, pulai dan medang
senduk. Selain itu, jenis-jenis yang melimpah namun lebih jarang digunakan,
dapat dijadikan alternatif pemenuhan kebutuhan.

Meski memiliki hutan dengan keanekaragaman jenis1 yang sangat tinggi, belum
banyak yang memahami arti tingginya keragaman jenis tersebut bagi perekonomian.
Berbagai hasil penelitian mengenai potensi sumberdaya alam, teknik pemanfaatan
lahan secara lestari misalnya wanatani, dan hubungan sumberdaya alam dengan
aspek sosial disajikan di bab empat dalam buku ini. Tulisan-tulisan tersebut
diharapkan dapat menjadi masukan baik bagi masyarakat maupun pemerintah
terkait, dalam mengelola sumberdaya alam.

UCAPAN TERIMA KASIH

Saya sampaikan terimakasih sedalam-dalamnya kepada Ayah dan Bunda serta


keluarga tercinta, untuk segala kasih dan doa yang mengiringi tiap langkah hidup
saya. Terimakasih juga saya sampaikan kepada warga Desa Baru Pelepat, terutama
Pak Kuris dan keluarga untuk keramahan dan segala informasi yang disampaikan,
tim ACM Jambi atas dukungan dan masukan selama di lapangan, Carol Colfer
dan Linda Yuliani, atas masukan dan waktu yang diluangkan untuk berdiskusi,
serta seluruh staf pengajar dan teman-teman mahasiswa SITH ITB.

BAHAN BACAAN

America, W. M., Alonzo, D.S., Ilic, J., Ba, N. dan Hung, N.D. 1994. Endospermum
Benth. Dalam: Soerianegara, I. dan R. H. M. J. Lemmens (ed.) Plant
Resources of South-East Asia 5(1):193-200. PROSEA, Bogor,
Indonesia.

1 Indeks keanekaragaman hutan di Desa Baru Pelepat(3,26) hampir dua kali lebih tinggi dibanding hutan yang dikelola secara adat di Baduy (1,65)
(Fawnia, 2004).
36 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Fawnia, S. 2004. Keadaan Ekologis Hutan dan Lahan Bekas Ladang (reuma)
di Kawasan Adat Baduy. Skripsi Sarjana. Departemen Biologi ITB,
Bandung, Indonesia.
Johns, R. J., Wong, W.C., Ilic, J. dan Hoffman, M.H.A. 1994. Anisoptera Korth.
Dalam: Soerianegara, I. dan R. H. M. J. Lemmens. eds. Plant Resources
of South-East Asia 5(1):94-102. PROSEA, Bogor, Indonesia.
Kochummen, K. M., W. C. Wong, J. M. Fundter dan M. S. M. Sosef. 1994. Shorea
Roxb. Gaertner. f. (red meranti). Dalam: Soerianegara, I. dan R. H. M.
J. Lemmens. (ed.) Plant Resources of South-East Asia 5(1):384-404.
PROSEA, Bogor, Indonesia.
Novasyurahati, 2006. Penggunaan Sumber Daya Hutan di Desa Baru Pelepat,
Kabupaten Bungo, Propinsi Jambi dan Ketersediaan Sumber Daya di
Lahan Sekitar Permukiman. Skripsi Sarjana Biologi. Institut Teknologi
Bandung. Bandung.
Odum, 1969. The Strategy of Ecosystem Development. Science Vol. 164:262-
270
BAGIAN 1-2
Potret Perubahan Tutupan Hutan
di Kabupaten Bungo 1990–2002

Kurniadi Suherman dan Mahendra Taher


38 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

PENDAHULUAN

Laju deforestasi di Indonesia sangat dahsyat. Jika 100 tahun yang lalu Indonesia
masih memiliki tutupan hutan total sekitar 170 juta ha, maka pada 2000 hanya
tersisa sekitar 98 juta ha, yang tersebar dari Sumatera hingga Papua. Di Sumatera,
luas penyusutan tutupan hutan antara 1985-1997 saja tidak kurang dari 67.000
km2 (FWI/GFW, 2001). Penyebab degradasi tutupan hutan ini secara umum
adalah pembalakan liar skala besar untuk pasokan industri perkayuan, perluasan
areal pertanian, pembukaan lahan untuk perkebunan besar swasta, dan bencana
kebakaran hutan.

Propinsi Jambi memiliki hutan dari beragam tipe ekosistem. Propinsi ini memiliki
hutan pegunungan dataran tinggi (tipe hutan sub-alpin) di daerah-daerah yang
membentang sepanjang Bukit Barisan, hutan dataran rendah di wilayah-wilayah
menuju pantai timur yang landai serta hutan rawa. Berbagai tipe ekosistem hutan
ini ditemukan di taman nasional berikut:
• Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang kawasannya berada di empat
propinsi (Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu dan Sumatera Selatan), memiliki
tujuh tipe ekosistem yaitu hutan dataran rendah, hutan perbukitan, hutan
sub-montana, hutan sub-montana rendah, hutan sub-montana tengah,
hutan montana atas dan belukar sub-alpin.
• Taman Nasional Berbak (TNB): ekosistem dataran rendah rawa.
• Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT): ekosistem hutan dataran rendah
dan berbatasan dengan Propinsi Riau.
• Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD): ekosistem hutan dataran rendah
yang terletak di tengah-tengah Propinsi Jambi dan juga berfungsi sebagai
kawasan hidup dan penghidupan Orang Rimba1.

Keempat taman nasional tersebut menyimpan keanekaragaman hayati yang


cukup besar. Salah satu spesies kunci yang masih bertahan di TNKS adalah
harimau Sumatera (Panthera tigris sumatraensis). Menurut laporan ICDP-TNKS
Komponen D (2002), mamalia besar ini merupakan salah satu spesies indikator
keanekaragaman hayati yang telah disepakati untuk dimonitor di TNKS, karena
jumlah populasinya yang jauh menurun akibat maraknya Perdagangan bagian
tubuhnya. Selain itu, juga terdapat gajah (Elephas maximus) yang ditemukan tidak
hanya di TNKS tetapi juga di TNBT.

1 TNBD sebagai kawasan hidup dan penghidupan Orang Rimba disebutkan dalam Surat Keputusan Menhutbun RI No. 258/Kpts-II/2000 yang menjadi
dasar pembentukan TNBD.
BAGIAN 1-2 • Kurniadi Suherman dan Mahendra Taher 39

Kelestarian keanekaragaman hayati di Propinsi Jambi terus menghadapi ancaman,


baik langsung maupun tidak langsung. Ancaman tersebut diantaranya pembukaan
hutan untuk lahan pertanian, penebangan liar, perburuan satwa, pengambilan
hasil hutan bukan kayu, serta penambangan emas dan mineral lainnya di
dalam kawasan hutan (ICDP-TNKS Komponen D, 2002). Selain itu, kekayaan
keanekaragaman hayati dapat dilihat secara sederhana dari luas tutupan hutan.
Menurut Departemen Kehutanan (2005)2, Propinsi Jambi pada 2002 memiliki
tutupan hutan 1.379.600 ha atau 27.05% dari luas propinsi. Jumlah tersebut sangat
jauh berkurang dibandingkan luas tutupan hutan pada 1990, yaitu 2.434.556 ha
atau 49,97% dari luas propinsi (KKI-WARSI/BirdLife, 2004).

Sektor kehutanan memiliki nilai yang sangat strategis bagi Propinsi Jambi, baik
dari segi ekonomi, ekologi, sosial, dan budaya. Karena itu, pada 2004 KKI-WARSI
bekerjasama dengan BirdLife Indonesia dan berbagai pihak telah berupaya
menyusun sebuah dokumen yang informatif mengenai perubahan tutupan hutan
Jambi antara 1990-2000. Namun informasi dalam dokumen tersebut bersifat umum
dan ruang lingkupnya adalah propinsi, sehingga belum bisa memberi informasi yang
memadai untuk digunakan oleh pemerintah kabupaten, baik dalam perencanaan
maupun pengambilan keputusan pembangunan daerah. Untuk itu, pada 2005 KKI-
WARSI melakukan analisa khusus untuk Kabupaten Bungo. Analisa ini terutama
ditujukan untuk penyusunan bahan masukan kepada pemerintah Kabupaten
Bungo dalam revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRW/K) dan
sebagai data dasar bagi pihak lain yang membutuhkannya.

GAMBARAN UMUM KABUPATEN BUNGO

Kabupaten Bungo memiliki luas wilayah 716.000 ha (Bappeda dan BPS Bungo,
2003)3. Wilayah ini terletak antara 01o08’-01o55’ LS dan 101o27’-102o30’ BT.
Sebagian besar wilayah kabupaten masuk ke dalam Daerah Aliran Sungai (DAS)
Batang Tebo, yang menjadi sub-DAS dari DAS Batanghari. Secara administrasi,
Kabupaten Bungo berbatasan dengan:
• Sebelah utara: Kabupaten Dharmasraya dan Tebo
• Sebelah selatan: Kabupaten Merangin
• Sebelah barat: Kabupaten Dharmasraya dan Kerinci
• Sebelah timur: Kabupaten Tebo

2 http://www.dephut.go.id/INFORMASI/BUKU2/Rekalkukasi05/Lamp2_prov.pdf, Tabel Luas Lahan Provinsi Jambi di Dalam dan di Luar Kawasan
hutan (Ribu ha), diakses 21/05/2006.
3 Menurut hasil padu serasi Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), luas Kabupaten Bungo
adalah 683.400 ha.
40 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Wilayah Kabupaten Bungo memiliki ketinggian antara 100 hingga lebih dari
1.000 m dpl, dengan topografi datar hingga sangat curam (kemiringan lereng 0 -
> 40%). Tipe penggunaan lahan di kabupaten ini disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Penggunaan lahan di Kabupaten Bungo

No Penggunaan Lahan Luas (Ha) Luas (%)


1 Hutan (TNKS) 4
71.700,00 10,01
2 Hutan negara/hutan belukar 241.654,00 33,75
3 Perkebunan 284.873,75 39,79
4 Pemukiman 18.890,75 2,64
5 Sawah 10.710 1,50
6 Tegal/huma/ladang/kebun 68.375,50 9,55
7 Padang/semak belukar/alang-alang 6.284,15 0,88
8 Kolam/empang 276,40 0,04
9 Sungai/danau/rawa 6.463,60 0,95
10 Lainnya 6.771,60 0,95
Sumber : Bappeda Bungo (2002)4

Jenis tanah yang mendominasi Kabupaten Bungo adalah latosol, podzolik, dan
komplek latosol-andosol. Wilayah Kabupaten Bungo memiliki kondisi geologis yang
kaya bahan tambang, misalnya batubara di Kecamatan Rantau Pandan (cadangan
40 juta ton), Kecamatan Jujuhan (150 juta ton) dan Kecamatan Muko-Muko
Bathin VII (9,75 juta ton). Deposit emas terdapat di Muara Bungo, Muko-Muko
Bathin VII, Rantau Pandan, Pelepat dan Pelepat Ilir. Selain itu ada juga potensi
pasir, kerikil, pasir kuarsa, granit, dan lain-lain. Pertambangan/pengalian yang
telah dikelola di Kabupaten Bungo adalah batubara di Rantau Pandan (1.943 ha),
Tanah Tumbuh (998 ha), Pelepat (2.573 ha), dan Jujuhan (100 ha) serta emas di
Muara Bungo (400 ha).

PERUBAHAN TUTUPAN HUTAN BUNGO

Ekonomi Kabupaten Bungo sangat bergantung pada sektor perkebunan (kelapa


sawit dan karet), kehutanan dan pertambangan. Tingginya ketergantungan
terhadap ketiga sektor tersebut dapat menyebabkan tingginya ancaman terhadap
kelestarian sumberdaya alam. Hal ini juga tercermin pada beberapa produk
4 Luas taman nasional yang ada di Kabupaten Bungo menurut Departemen kehutanan adalah 38.800 ha. Sumber: Luas Kawasan Hutan Bungo
Berdasarkan Fungsi (http://www.Dephut.go.id/INFORMASI/INFPROP/Jambi/Biphut_Jambi.pdf, diakses 21/05/2006)
BAGIAN 1-2 • Kurniadi Suherman dan Mahendra Taher 41

kebijakan seperti peraturan daerah (Perda), Surat Keputusan (SK) Bupati dan
lain-lain (Tabel-5).

Tabel 5. Produk kebijakan pemerintahan tentang pengelolaan sumberdaya alam

No. Nomor Perda Tentang


1. 18/2003 Pembentukan Organisasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan
2. 4/2002 Tata cara/Teknik Penyusunan Produk Hukum Daerah
3. 5/2002 Perubahan atas Perda No.10/2000 tentang Hasil Bumi
4. 6/2002 Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dan Ijin Pemungutan Hasil
Hutan
5. 7 /2002 Retribusi Hasil Hutan
6. 8/2002 Ijin usaha Hutan Tanaman
7. 10/2002 Penyelenggaraan Tugas Pemerintah Daerah di Bidang
Pertambangan dan Energi
8. 16/2002 Ijin Usaha Pertambangan Umum
9. 17/2002 Retribusi ijin usaha Pertambangan, Energi dan Lingkungan
Hidup
10. 22/2002 Rencana Umum Tata Ruang Kota Muaro Bungo Tahun 2001-
2011
11. 5/2000 Pengelolaan IPKR dan Pemungutan Retribusi Kayu asal Hutan
Rakyat/ Kebun Rakyat di Kabupaten Bungo (dicabut dan diganti
dengan Perda No.6/2002).
12. 6/2000 Pertambangan rakyat bahan galian emas (Golongan B) Kabupaten
Bungo (dicabut dan diganti dengan Perda No.5 Tahun 2001)
13. 5/2001 Pencabutan Perda Kabupaten Bungo No. 6 Tahun 2000 tentang
Pertambangan Rakyat bahan galian emas (Golongan B)
14. 10/2000 Retribusi Pangkalan Hasil Bumi dalam Kabupaten Bungo
16. 32/2000 Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Bungo tahun 2001
– 2005
17. 48/2000 Retribusi Sertifikat Tanah
Sumber : Bagian Hukum Setda Kabupaten Bungo (2005)

Tingginya eksploitasi terhadap potensi sumberdaya alam yang belum diiringi


skenario pembangunan berkelanjutan telah menyusutkan sumberdaya hutan
di Kabupaten Bungo. Hal itu tampak nyata pada hasil time-series analysis citra
Landsat 7 etm+ dari 1990, 2000 dan 2002. Hampir semua tutupan lahan yang
ada masuk ke dalam jenis hutan dataran rendah yang kondisinya sudah sangat
memprihatinkan.
42 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Gambar 4. Peta Citra Landsat 7 ETM+ Kabupaten Bungo tahun1990, 2000, 2002

Pada 1990 tutupan lahan berupa hutan di Kabupaten Bungo sebesar 195.386 ha
atau 42,78% dari luas kabupaten. Pada 2000 menjadi 27,71% dan pada 2002
menjadi 30,63% (Tabel-6). Terjadinya ’kenaikan’ tutupan hutan pada 2002
dibandingkan 2000 diduga karena adanya areal yang ’tidak teranalisa’ pada 2000
dan masuk kategori tidak ada data. Artinya jika pada 2000 bagian tutupan lahan
yang masuk kategori tidak ada data tersebut dapat dianalisa, sebenarnya tutupan
hutan masih di atas 30,63% tapi tetap lebih kecil dari kondisi 1990 sebesar 42,78%.
Secara keseluruhan di Kabupaten Bungo telah terjadi pengurangan tutupan lahan
berupa hutan antara 1990 sampai 2002 sebesar 55.420 ha atau sekitar 12,15% .

Tabel 6. Luas tutupan lahan hutan Kabupaten Bungo

Tahun 1990 Tahun 2000 Tahun 2002


Tutupan Lahan
Luas (Ha) Luas (%) Luas (Ha) Luas (%) Luas (Ha) Luas (%)
Hutan 195.386 42,78 126.589 27,71 139.896 30,63
Bukan Hutan 137.803 30,17 216.210 47,33 316.145 69,21
Tidak Ada Data 123.586 27,06 113.975 24,95 733 0,16
Total 456.774 100,00 456.774 100.00 456.774 100.00
Sumber: Pengolahan citra Landsat tahun 1990, 2000 dan 2002 oleh Laboratorium GIS WARSI

Dari hasil analisa diketahui tutupan hutan pada 2002 adalah sebesar 139.896 ha
atau 30,63% sementara tutupan lahan berupa bukan hutan 69,21% dan tidak
ada data sebesar 0,16 %. Melihat persentase ‘tidak ada data’ yang sangat kecil,
maka hasil analisa citra satelit 2002 merupakan informasi aktual yang sangat bisa
dipercaya yang memperlihatkan kondisi tutupan hutan yang ada di Kabupaten
Bungo pada 2002. Dari data citra satelit diketahui penyebaran hutan ada di bagian
barat daya Kabupaten Bungo, mencakup beberapa lokasi seperti Tanah Tumbuh,
Rantau Pandan dan Pelepat. Selain itu, tutupan hutan itu juga merupakan bagian
kawasan hutan TNKS.
BAGIAN 1-2 • Kurniadi Suherman dan Mahendra Taher 43

Tahun 2002 30,63% 69,21%


0,16%

Tahun 2000 27,71% 47,33% 24,95%

Tahun 1990 42,78% 30,17% 27,06%

0,00% 20,00% 40,00% 60,00% 80,00% 100,00%

Hutan Bukan Hutan Tidak ada data

Gambar 5. Perubahan tutupan lahan di Kabupaten Bungo 1990-2002

KEMANAKAH HILANGNYA HUTAN BUNGO?

Selama kurun 1990-2002, lebih dari 12% hutan alam telah ditebang. Laju
musnahnya hutan di kabupaten ini setara dengan 12 kali lapangan sepak bola
per hari. Hilangnya tutupan hutan terutama akibat dari pemberian ijin konsesi
HPH, konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, pembukaan permukiman
transmigrasi, dan pemberian IPK (Ijin Pemanfaatan Kayu) pada masa awal
desentralisasi.

Pemberian Konsesi HPH


Terdapat beberapa perusahaan pemegang ijin HPH yang pernah aktif di Kabupaten
Bungo antara 1990-2002. Pada masa itu, Kabupaten Bungo masih menyatu dengan
Kabupaten Tebo. Perusahaan-perusahaan HPH itu antara lain adalah PT. Rimba
Karya Indah (PT. RKI) dan PT. Mugitriman Intercontinental yang kemudian
diambil alih oleh PT. Inhutani V SPH Pelepat Ule.

PT. RKI mengantongi ijin operasi seluas 87.000 ha5, dengan ijin operasi selama 20
tahun hingga 29 Februari 2008 (Dinas Kehutanan Propinsi Jambi, 2002). Lokasi
areal operasinya terletak di Kecamatan Rantau Pandan.

Berdasarkan laporan Dinas Kehutanan Propinsi Jambi, selama 10 tahun pertama


produksi sampai dengan RKL II-1996/1997 telah mencakup wilayah seluas

5 Perijinan diberikan dengan dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan No. 13/ Kpts-IV/1987 tertanggal 12 Januari 1987. Kemudian ijin tersebut
diadendum mengenai luas kawasan HPH dengan SK Menteri Kehutanan No. 119/Kpts-IV/1988 tertanggal 29-02-1988
44 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

13.470 ha dengan produksi sebesar 431.501 m3 kayu. Produksi kayu komersial


yang dipanen meliputi jenis dipterokarpus 241.256 m3, non-dipterokarpus
komersial sebanyak 119.375 m3 dan jenis kayu komersial lainnya sebanyak 70.870
m3. Jumlah angka-angka ini hanya yang tertulis di laporan saja, sementara jumlah
produksi yang sebenarnya tidak diketahui pasti. Laporan ICDP-TNKS Komponen
C1 (2001) menunjukkan kegiatan pembalakan kayu yang dilakukan perusahaan ini
tidak memenuhi kaidah kelestarian, misalnya penebangan kayu tetap dilakukan di
wilayah yang tanahnya sangat miskin hara, sehingga mustahil terjadi regenerasi.

Pada 1997 perusahaan ini meninggalkan kawasan HPH-nya akibat konflik dengan
masyarakat setempat. Konflik ini sebenarnya telah dimulai sejak 1995 dan semakin
membesar pada akhir 1997 seiring dengan mulai berhembusnya angin reformasi.
Sebagian besar konflik dengan masyarakat ini berakar dari penetapan sepihak areal
konsesi oleh pemerintah tanpa melibatkan masyarakat. Padahal sebagian besar
wilayah yang ditetapkan sebagai areal konsesi tersebut merupakan wilayah adat.
Kondisi tersebut diperparah dengan pendekatan ‘keamanan’ yang diterapkan oleh
perusahaan dalam kegiatannya, yaitu menggunakan tenaga aparat militer untuk
meredam berbagai persoalan yang muncul dengan masyarakat.

Menurut aturan, walaupun perusahaan HPH sudah tidak aktif beroperasi, mereka
masih bertanggung jawab untuk mengamankan kawasannya. Kenyataannya,
berdasarkan audit HPH yang dilakukan ICDP-TNKS Komponen C2 (2001)
dilaporkan bahwa perusahaan tidak melakukan tindakan penjagaan atas kawasan
ini. Menurut Sarbi dalam Laporan Teknis No.4 ICDP-TNKS Komponen C1
(2001), keadaan tersebut memicu maraknya pembalakan liar di dalam kawasan
HPH PT. RKI. Pembalakan liar dapat ditemukan hampir di setiap sudut kawasan
konsesi, terutama di blok timur laut yang masuk ke dalam wilayah kecamatan
Tanah Tumbuh dan blok barat laut di Kecamatan Rantau Pandan.

HPH lainnya adalah PT. Inhutani V SPH Pelepat Ule6, sebuah perusahaan milik
pemerintah, yang memegang ijin hingga 27 Februari 2018 dengan luas kawasan
konsesi 49.450 ha. PT. Inhutani V ini mengambil alih konsesi dari HPH PT.
Mugitriman Intercontinental7. Awalnya, kawasan konsesi ini oleh PT. Inhutani
V diperuntukkan bagi HPHTI tapi kemudian tidak mampu mengelolanya. PT
Inhutani V hanya mampu aktif hingga 2001 (Dinas Kehutanan Propinsi Jambi,
2002). Kawasan HPH ini terletak di empat lokasi di Kecamatan Tanah Tumbuh,
Pelepat dan Rantau Pandan.

6 Ijin konsesi HPH melalui SK Menteri Kehutanan No. 334/Kpts-II/1998


7 PT. Mugitriman Intercontinental beroperasi sejak 1975 kemudian dilimpahkan kepada PT. Inhutani V berdasarkan SK No. 1061/Kpts-II/1992
tertanggal 16-11-1992 dan berakhir tanggal 9 – 10 – 1996.
BAGIAN 1-2 • Kurniadi Suherman dan Mahendra Taher 45

Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan


Perkebunan kelapa sawit mulai menjamur dan menjadi primadona di Jambi
(termasuk Kabupaten Bungo) pada awal 1990-an. Sampai pada 2000 luas
perkebunan sawit mencapai 32.843 ha dengan produksi sebesar 157.973 ton per
tahun (Bappeda Bungo, 2002). Terdapat beberapa pola pengembangan perkebunan
kelapa sawit yang dilakukan, mulai dari pola PBS (Perkebunan Besar Swasta), PIR
Trans (Pola Inti Rakyat Transmigrasi), Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA)
dan perkebunan rakyat.

Pola pengembangan PBS atau lebih akrab disebut dengan pola PBSN (Perkebunan
Besar Swasta Nasional) dapat berkembang karena adanya pelepasan kawasan
hutan oleh Departemen Kehutanan dan Perkebunan pada 1998. Demikian juga
pola perkebunan PIR Trans mulai dikenal dengan masuknya perusahaan besar PT.
Jamika Raya8. Bahkan jauh sebelumnya, pada 1993/1994 pemerintah juga telah
mengeluarkan ijin pelepasan kawasan hutan untuk perusahaan ini sehingga total
pelepasan kawasan hutan untuk PT. Jamika Raya mencapai 20.603 ha.

Selanjutnya pada 1991 PT. Sari Aditya Loka9 (SAL) masuk ke Jambi dengan luas
perkebunan inti sebesar 5.000 ha dan plasma 27.000 ha. Awalnya perusahaan
ini hanya beroperasi di Kabupaten Sarolangun Bangko10 tapi kemudian diperluas
hingga Kabupaten Bungo, yaitu di Kuamang Kuning. Lokasi perkebunan kelapa
sawit PT. SAL sendiri berada di tiga lokasi yaitu di Kebun Hitam Ulu, Kuamang
Kuning dan Tanah Garo. Di Kuamang Kuning saja sampai 2000/2001 realisasi
tanam total untuk kebun plasma dan inti mencapai 33.151 ha.

Berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, dalam hal ini Departemen


Kehutanan melalui pelepasan kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit,
telah menjadi salah satu sebab utama berkurangnya tutupan hutan di Kabupaten
Bungo antara 1990 - 2000.

Transmigrasi
Pembukaan lahan hutan untuk transmigrasi turut berperan mempercepat laju
kehilangan hutan. Menurut data Bappeda dan BPS Bungo (2003), program

8 PT. Jamika Raya mengantongi ijin dengan surat keputusan pelepasan kawasan hutan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 720/KPTS-II/ 1989
pada 24 November 1989.
9 PT. SAL mengantongi SKPT Gubernur No. 23 th 1992 tertanggal 23 Januari 1992 dan ijin BPN No. 332 th 1991 tertanggal 8 Agustus 1991. Sumber:
Kawasan Hutan yang telah Mendapat SK Pelepasan dari Menhutbun di Provinsi Jambi. http://www.dephut.go.id/INFORMASI/INFPROP/Jambi/
Pelepasan.htm, diakses pada 21/05/2006.
10 Sejak 2000 Kabupaten Sarolangun Bangko telah menjadi 2 kabupaten yaitu Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin.
46 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

transmigrasi dimulai pada 1983 dengan jumlah penduduk transmigran sebanyak


9.669 jiwa yang tersebar di daerah Kuamang Kuning I sampai Kuamang Kuning V.
Hingga 1990 jumlah transmigran bertambah menjadi 31.305 jiwa dan tersebar di
Kuamang Kuning I-X dan Kuamang Kuning XIV-XIX, daerah Dusun Danau, Desa
Datar dan Jujuhan I. Pada 2002 jumlahnya bertambah lagi menjadi 39.754 jiwa
dan penyebarannya pun meluas ke Jujuhan II-V, Baru Pelepat dan Rantau Pandan.
Sedangkan berdasarkan jumlah kepala keluarga (KK) transmigran sampai 2002
berjumlah 9.172 KK.

Apabila setiap KK transmigran memerlukan 4 ha lahan11, maka luas bukaan


hutan yang diperlukan untuk 9.172 KK tersebut sekitar 36.688 ha. Jadi, program
transmigrasi ini telah turut menyumbang pengurangan tutupan hutan yang ada di
Kabupaten Bungo. Selain itu, bertambahnya jumlah penduduk secara drastis juga
meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya alam lainnya.

Perambahan Hutan dan Pembalakan Liar


Perambahan hutan juga merupakan salah satu penyebab utama penyusutan
tutupan lahan hutan yang ada di Kabupaten Bungo. Perambahan lahan biasanya
dilakukan untuk mengubah lahan bekas tebangan para pembalak liar menjadi
ladang. Awalnya, perambahan terjadi di kawasan-kawasan bekas konsesi yang
ditinggalkan oleh pemegang ijin HPH seperti kawasan PT. RKI. Hal ini terjadi
karena para perambah lahan memanfaatkan kemudahan infrastruktur yang
dibuat untuk perusahaan, misalnya akses jalan dan lainnya. Kemudian kegiatan
perambahan hutan dan lahan ini meluas ke tempat-tempat lain di luar kawasan
bekas konsesi HPH. Meskipun belum ada data pasti mengenai luas total perubahan
hutan akibat perambahan hutan menjadi ladang dan penggunaan lahan lainnya,
tetapi pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa kegiatan perambahan hutan
ini turut menyebabkan pengurangan tutupan hutan yang ada di Kabupaten
Bungo.

Sedangkan kegiatan pembalakan liar menjadi marak sejak para pemegang ijin
HPH meninggalkan begitu saja areal konsesinya di kabupaten ini, terutama sejak
masa reformasi yang kemudian diikuti dengan penerapan otonomi daerah pada
2000. Masa kejayaan HPH sudah lewat tapi permintaan terhadap bahan baku
kayu tetap tinggi. Gabungan dari berbagai kondisi inilah yang akhirnya membuat
tempat-tempat penggergajian atau sawmill banyak bermunculan, dan kegiatan
pembalakan liar pun semakin menjamur.

11 Setiap KK mendapat jatah lahan berupa lahan pekarangan (LP) seluas 0,25 Ha, Lahan Usaha I (LU I) seluas 1 ha, LU II seluas 0,75 ha dan kebun
plasma seluas 2 ha.
BAGIAN 1-2 • Kurniadi Suherman dan Mahendra Taher 47

140000
120000 79307,14
100000
80000 45563,59
60000
40000 4003,8 48029,05
31894,54
20000
1700,13
0
2000 2001 2002

Kayu olahan Kayu bulat

Gambar 6. Produksi kayu olahan dan kayu bulat (m3) tahun 2000-2002.
Sumber: Bappeda dan BPS Bungo (2003)

Menurut data Bappeda dan BPS Bungo (2003), pada 2002 produksi kayu
olahan dan kayu bulat di kabupaten ini masing-masing sebesar 48.029,05 m3 dan
79.307,14 m3 (Gambar 6). Pada rentang waktu 2000-2002 terjadi peningkatan
produksi yang luar biasa. Pada 2000 produksi baik kayu olahan maupun kayu bulat
hanya 5.703,93 m3, meningkat sangat tajam menjadi 74.458,13 m3 pada 2001 dan
menjadi 127.339,19 m3 pada 2002. Laju peningkatan itu dipasok dari kegiatan
pembalakan liar, karena pada masa itu sudah tidak ada lagi HPH.

Pemberian Ijin Eksploitasi Hutan oleh PEMDA


Otonomi daerah telah mendorong pelimpahan wewenang pengelolaan
sumberdaya alam dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Hal ini
mendorong banyaknya ijin-ijin pemanfaatan kayu (IPK) yang dikeluarkan oleh
pihak kabupaten, seperti IPHH dan IPKR.

Pada beberapa kasus, dengan berkedok IPKR dan IPHH serta alasan peningkatan
pendapatan anggaran daerah, sumberdaya hutan kembali mengalami tekanan.
Tidak jarang IPKR hanya dijadikan alat oleh para pembalak liar untuk ”melegalkan”
kayu ilegal; misalnya IPHH yang diberikan pada CV. Beringin Hijau, yang berlokasi
di Desa Batu Kerbau. Berdasarkan hasil investigasi KKI-WARSI, perusahaan ini
mengantongi lima ijin kegiatan. Ini berarti 500 ha hutan kembali dieksploitasi.
Belum lagi perilaku buruk para pemegang IPHH yang melakukan penyimpangan
dalam kegiatannya di lapangan. Pemegang ijin IPHH kerap menggunakan alat
berat, meski hal itu dilarang. Dengan adanya alat berat ini perusahaan beroperasi
48 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

sampai di luar wilayahnya dan menyebabkan kerusakan lingkungan yang lebih


parah. Pelibatan koperasi, sebagai cerminan kerjasama dengan masyarakat, tidak
diindahkan, dan kadang hanya melibatkan koperasi fiktif. CV. Beringin Hijau itu
telah melakukan penjarahan hutan adat masyarakat pada 2003.

Pemegang IPHH Jarah Hutan Adat


JAMBI, KOMPAS — Meskipun terbukti dan mengaku menjarah hutan adat dan hutan
desa di Desa Batang Kibul, Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin, pihak manajemen CV
Beringin Hijau hingga kini belum membayar denda adat.

Padahal, sebelumnya pihak pengusaha yang memegang ijin pemanfaatan hasil hutan
(IPHH) di Desa Batu Kerbau, Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo, yang bertetangga
dengan Desa Batang Kibul itu sepakat membayar denda pada 5 November 2003.

Pemimpin CV Beringin Hijau, Daud, kepada Kompas, Selasa (10/2) petang, menyangkal
bahwa pihaknya telah setuju membayar denda. “Pada waktu itu saya tidak menerima
untuk membayar denda, tetapi masih pikir-pikir” ujarnya.

Menurut Daud, dia menyatakan masih harus pikir-pikir dulu karena masalah kayu tidak
ada hubungannya dengan masyarakat. Kewajiban terhadap negara akan dibayar kalau
urusan dengan Dinas Kehutanan Jambi sudah selesai,” kata Daud.

Lokasi hutan di Desa Batang Kidul terletak sekitar 275 kilometer sebelah barat Kota
Jambi. Adapun denda adat yang harus dibayar perusahaan itu Rp 10 juta. Deputi Direktur
LSM Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) WARSI Jambi, Rakhmat Hidayat, menyatakan,
tokoh masyarakat Desa Batang Kibul, Datuk Tiang Panjang, telah melaporkan masalah
tersebut kepada Gubernur Jambi melalui surat yang dikirimkan pada 23 Januari 2004.

“Dalam suratnya, Datuk Tiang Panjang mohon kepada gubernur membantu menyelesaikan
masalah ini karena jika berlarut-larut, dikhawatirkan masyarakat mengambil tindakan
sendiri,” ujar Rakhmat.

Meskipun telah ada kesepakatan antara masyarakat dan CV Beringin Hijau, Dinas
Kehutanan Jambi bersama Dinas Kehutanan Kabupaten Merangin pada 7 November
2003 melakukan penyitaan 650 batang kayu dan sebuah buldoser. “Kayu dari jenis
meranti dan tembalum yang disita dijarah dan hutan adat dan hutan Desa Batang Kibul.
Sedangkan buldoser disita di lokasi,” ungkap Rakhmat.

LSM KKI-Warsi saat ini sedang memfasilitasi masyarakat Desa Batang Kibul guna
memproses permohonan pengukuhan hutan adat setempat yang diberi nama Imbo
Pusako dan Imbo Parobokalo seluas 800 ha.

Hutan adat Desa Batang Kibul merupakan sumber air bagi masyarakat setempat untuk
kegiatan pertanian, mengairi sawah, kolam ikan, dan air minum. Kawasan hutan ini
kaya akan hasil hutan nonkayu, misal rotan, manau, jernang, damar. (NAT- Kompas,
11/2/2004).
BAGIAN 1-2 • Kurniadi Suherman dan Mahendra Taher 49

PENUTUP

Luas tutupan hutan Kabupaten Bungo 2002 sebesar 30,63% telah mendekati
ambang batas yang ditetapkan dalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan
sebesar minimal 30% dari luas DAS atau pulau atau wilayah dengan sebaran yang
proporsional. Luas hutan minimal 30% dengan sebaran proporsional tersebut
merupakan angka normatif, yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan bahwa
Indonesia merupakan negara tropis yang sebagian besar wilayahnya mempunyai
curah hujan dengan intensitas yang tinggi, serta konfigurasi daratan yang
bergelombang, berbukit dan bergunung yang peka akan gangguan keseimbangan
tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi serta kekurangan air. Untuk penerapan
UU No. 41/1999 di lapangan, diharapkan setiap propinsi dan kabupaten/kota
menetapkan kawasan hutan yang harus dilindungi berdasarkan kondisi biofisik,
iklim, penduduk dan keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat, untuk menjaga
keseimbangan daya-dukung wilayah dan kelestarian fungsi ekosistem.

Menurut Sugandhy (1999), dalam tata ruang suatu wilayah, untuk menjaga
sumber air, kawasan resapan air, kawasan pengamanan sumber air permukaan, dan
kawasan pengamanan mata air, minimal 30% dari luas wilayah harus diupayakan
adanya tutupan tegakan pohon. Bentuknya dapat bermacam-macam, misalnya
hutan lindung, hutan produksi atau tanaman keras, hutan wisata, dan lain-lain.
Sedangkan hasil penelitian Deutsch dan Busby (2000), menunjukkan sedimentasi
dapat meningkat secara drastis apabila suatu sub daerah aliran sungai mengalami
penurunan penutupan hutan dibawah 30% dan apabila terjadi pembukaan lahan
pertanian lebih dari 50%.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, propinsi dan kabupaten atau kota yang


mempunyai luas hutan yang lebih dari 30% tidak boleh secara bebas mengurangi
luas tutupan hutannya dari luas yang ditetapkan. Oleh karena itu luas minimal
juga tidak boleh dijadikan dalih untuk terus mengeksploitasi hutan yang ada.
Apalagi dikonversi atau diubah tutupan lahannya untuk penggunaan lain,
misalnya perkebunan, pertanian, permukiman dan sebagainya. Luas minimal ini
selayaknya dilihat sebagai peringatan kewaspadaan akan pentingnya hutan bagi
kualitas hidup masyarakat. Apalagi jika mengingat bahwa sebenarnya dari tutupan
hutan yang tersisa, sebagian besar yaitu sekitar 71.700 ha merupakan bagian dari
kawasan TNKS yang memang secara hukum tidak boleh dieksploitasi atau diubah
penggunaan lahannya.

Sebaliknya, wilayah yang memiliki luas tutupan hutan kurang dari 30% harus
menambah luas hutannya. Batas minimal kondisi hutan di Kabupaten Bungo
50 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

harus menjadi pertimbangan penting dalam penyusunan kembali tata ruang yang
ada di kabupaten. Upaya penambahan tutupan hutan bisa pula dikombinasikan
dengan berbagai macam cara. Pengembangan sistem wanatani dengan berbagai
pola bisa diterapkan di berbagai wilayah kabupaten, disesuaikan dengan kondisi
sosial budaya ekonomi masyarakat. Selain itu implementasi penambahan tutupan
hutan bisa pula melalui pembangunan hutan wisata, hutan pendidikan, hutan
adat, atau mendorong terbentuknya hutan desa. Pelaksanaannya bisa melalui
program dinas-dinas terkait ataupun dengan menggalang kerjasama dengan
berbagai pihak.

Semangat memacu pembangunan daerah demi kesejahteraan rakyat memang


harus menjadi agenda pemerintah dan semua pihak. Akan tetapi pembangunan
yang terlalu bertumpu pada eksploitasi sumberdaya alam dan hasil jangka pendek
tanpa pertimbangan keberlanjutan dan kelestarian telah mengakibatkan bencana
banjir, longsor dan menurunnya pasokan air bersih seperti yang terjadi baru-baru
ini di beberapa wilayah Indonesia. Selain itu, meluasnya lahan rusak dan hilangnya
berbagai plasma nutfah justru tidak ternilai dan tidak bisa dibandingkan dengan
pertumbuhan pembangunan yang telah dicapai. Apa yang telah terjadi dengan
hutan di Bungo harus menjadi bahan renungan bagi semua pihak yang terkait.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua anggota tim penyusun ”Potret


Hutan Jambi” baik dari KKI-WARSI maupun dari Birdlife Indonesia atas
kesediaannya mengizinkan data dan informasi dalam dokumen tersebut dijadikan
bahan dasar tulisan ini. Terimakasih juga kepada anggota Forum Diskusi
Multipihak Kabupaten Bungo yang telah mendukung lahirnya ”bahan masukan
terhadap revisi RTRW/K Bungo” yang merupakan versi awal tulisan ini, serta
CIFOR, Inspirit dan pihak-pihak lainnya yang telah memungkinkan tulisan ini
tersaji kehadapan pembaca sekalian yang budiman.
BAGIAN 1-2 • Kurniadi Suherman dan Mahendra Taher 51

BAHAN BACAAN

Anonim. 1999. Undang Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan. Jakarta, Indonesia.
Bappeda Bungo. 2002. Rencana Strategi Pembangunan Kabupaten Bungo tahun
2001-2005. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten
Bungo, Muara Bungo, Indonesia.
Bappeda dan BPS Bungo. 2002. Penggunaan Lahan Kabupaten Bungo tahun 2002
(Pendekatan Penghitungan Dinas/Instansi Terkait). Kerjasama Badan
Perencanaan dan Pembangun Daerah Kabupaten Bungo dan Badan
Pusat Statistik Kabupaten Bungo. Muara Bungo, Indonesia.
Bappeda dan BPS Bungo. 2003. Bungo dalam Angka tahun 2002. Kerjasama
Badan Perencanaan dan Pembangun Daerah Kabupaten Bungo dan
Badan Pusat Statistik Kabupaten Bungo. Muara Bungo, Indonesia.
Bagian Hukum Setda Kabupaten Bungo, 2005. Bundel Lembar Kebijakan Daerah
Kabupaten Bungo sampai tahun 2004. Pemerintah Daerah Kabupaten
Bungo, Muara Bungo, Indonesia.
Departemen Kehutanan. 2005. Tabel Luas Lahan Provinsi Jambi di Dalam dan
di Luar Kawasan Hutan (Ribu ha). http://dephut.go.id/INFORMASI/
BUKU2/ Rekalkulasi05/ Lamp2_prov.pdf, diakses 21/05/2006.
Departemen Kehutanan. 2003. Luas Kawasan Hutan Kabupaten Bungo
Berdasarkan Fungsi. http://dephut.go.id/INFORMASI/INFOPROP/
Jambi/Biphut Jambi.pdf diakses 21/05/2006.
Departemen Kehutanan. 2003. Kawasan Hutan yang Telah Mendapat SK
Pelepasan dari Menhutbun di Prov. Jambi, Data s/d Desember 2002.
http://dephut.go.id/INFORMASI/INFOPROP/Jambi/Pelepasan.htm,
diakses 21/05/2006.
Deutsch, G.W. dan Busby, L.A. 2000. Community-Based Water Quality
Monitoring: from Data Collection to Sustainable Management of Water
Resources. Land and Water Development Division, FAO, Roma, Itali.
Dinas Kehutanan Propinsi Jambi. 2002. Statistik Kehutanan 2002 Propinsi Jambi.
Dinas Kehutanan Propinsi Jambi, Jambi, Indonesia.
FWI/GFW. 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Forest Watch Indonesia,
Bogor, Indonesia.
KKI-WARSI/BirdLife. 2004. Potret Hutan Jambi. KKI-Warsi Jambi dan BirdLife
Indonesia, Bogor, Indonesia
52 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Kompas. 2004. Pemegang IPHH Jarah Hutan Adat. Edisi 11 Februari 2004. http://
kompas.com/kompas-cetak0402/11/daerah.
Masnang, A. 2003. Konversi Penggunaan Lahan Kawasan Hulu dan Dampaknya
terhadap Kualitas Sumberdaya Air di Kawasan Hilir. http://tumotou.
net/6-sem2-023/grp-indv6.htm-52K.
Sugandhy, A. 1999. Penataan Ruang dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Indonesia.
ICDP-TNKS Komponen C1. 2001. Laporan Teknis No. 4 Kawasan Penting Bagi
Keanekaragaman Hayati dalam Ekosistem Kerinci Seblat, Kawasan
Hutan RKI Finger, ICDP-TNKS Komponen C1.
ICDP-TNKS Komponen-C2. 2001. Laporan Hasil Audit HPH di Sekitar TNKS.
ICDP-TNKS Komponen C2.
ICDP-TNKS Komponen D. 2002. Laporan Akhir Monitoring dan Evaluasi PPWK.
ICDP-TNKS Komponen D.
BAGIAN 1-3
Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo,
Jambi

Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent


54 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

PENDAHULUAN

Kabupaten Bungo mencakup area seluas 4.500 km2 di bagian barat Propinsi Jambi,
70% di antaranya terletak pada ketinggian 100-750 m dpl dengan kemiringan
kurang dari 40%. Kabupaten ini berbatasan langsung dengan Taman Nasional
Kerinci Seblat (TNKS), yang merupakan taman nasional terbesar di Pulau
Sumatera dengan luasan 13.750 km2. Sekitar 30 tahun yang lalu, berdasarkan
citra satelit Landsat MSS, kawasan hutan dataran rendah di kabupaten ini sempat
menghubungkan TNKS dengan dua taman nasional lainnya, yaitu Taman Nasional
Bukit Tiga Puluh di sebelah utara dan Taman Nasional Bukit Dua Belas sebelah
timur (Gambar 7). Berdasarkan hal ini dapat diperkirakan bahwa Kabupaten
Bungo pernah memiliki tingkat ke anekaragaman hayati yang cukup tinggi. Bahkan
saat ini, dengan kondisi tutupan hutan yang semakin menipis dan digantikan oleh
ratusan ribu hektar perkebunan karet dan kelapa sawit, Kabupaten Bungo tetap
memegang peranan penting sebagai koridor yang menghubungkan ketiga taman
nasional di Pulau Sumatera tersebut.

Gambar 7. Citra satelit Landsat MSS tahun 1973 memperlihatkan kawasan hutan di Kabupaten
Bungo yang menghubungkan 3 kawasan taman nasional di Propinsi Jambi
BAGIAN 1-3 • Andree Ekadinata and Grégoire Vincent 55

World Agroforestry Center (ICRAF) melakukan kegiatan penelitian sejak 1997


dengan fokus keanekaragaman hayati di kebun karet campur milik masyarakat di
Kabupaten Bungo. Penelitian ini berkaitan erat dengan penelitian mengenai jasa
lingkungan yang diberikan masyarakat dalam menjaga keanekaragaman hayati di
daerah yang luas hutannya tak lagi memadai. Kebun karet campur adalah bentuk
wanatani (agroforestry) yang memadukan karet dengan tanaman keras lainnya.
Di Kabupaten Bungo, yang paling umum dijumpai adalah paduan antara karet
dengan buah-buahan. Tipe tutupan lahan ini seringkali disebut hutan karet
karena struktur vegetasinya yang amat mirip dengan hutan.

Aplikasi penginderaan jauh digunakan untuk melihat sejarah dan dinamika


bentang lahan dalam usaha mempelajari karakteristik kebun karet campur
(wanatani karet) dan tutupan lahan lainnya di Kabupaten Bungo. Hasilnya cukup
mengejutkan: luasan wanatani karet cenderung stabil sedangkan di sisi lain lebih
dari setengah lahan berhutan di Kabupaten Bungo (210.000 ha) berubah menjadi
bukan hutan dalam kurun waktu 30 tahun sejak 1970. Fakta yang menyedihkan
mengingat Kabupaten Bungo dan Propinsi Jambi adalah salah satu daerah di
Sumatera yang dulu kaya akan hutan dataran rendah, yang menjadi habitat bagi
berbagai jenis flora dan fauna. Tentunya hal ini harus disikapi secara bijaksana oleh
para pihak dengan perencanaan lahan yang lebih matang berdasarkan keadaan
saat ini. Tulisan ini akan memaparkan secara singkat bagaimana sejarah bentang
lahan Kabupaten Bungo berdasarkan analisa spasial dan aplikasi penginderaan
jauh.

TUTUPAN LAHAN KABUPATEN BUNGO


1970-2002

Aplikasi penginderaan jauh yang paling populer adalah pembuatan peta historis
tutupan lahan suatu area. Untuk Kabupaten Bungo, lima citra satelit Landsat
digunakan untuk menganalisa dinamika tutupan lahan Kabupaten Bungo sejak
1970-2002. Kelima citra satelit tersebut masing-masing direkam pada: 1973, 1988,
1993, 1999, dan 2002. Resolusi spasial yang digunakan adalah 30 m atau setara
dengan peta berskala 1:100.000.

Untuk dapat melakukan pemetaan tutupan lahan secara akurat, dilakukan


pengumpulan data lapangan yang juga berfungsi untuk menguji tingkat akurasi
peta tutupan lahan yang dihasilkan. Tingkat akurasi untuk peta 2002 adalah
87%, atau dengan kata lain terdapat kemungkinan kesalahan interpretasi sebesar
56 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

13% dalam peta tutupan lahan tersebut. Tingkat akurasi tersebut sudah cukup
memadai untuk analisa lebih lanjut.

Gambar 8 memperlihatkan peta historis tutupan lahan yang dihasilkan melalui


proses interpretasi citra satelit Landsat. Secara jelas dapat dilihat pengurangan
tutupan hutan secara drastis dan ekspansi perkebunan karet dan kelapa sawit
dalam luasan yang cukup besar. Dapat dilihat juga luasan area agroforestry yang
cukup stabil, di sepanjang aliran sungai.

Gambar 8. Peta tutupan lahan Kabupaten Bungo tahun 1970-2002. Dikompilasi dari hasil
interpretasi citra Landsat pada 1973, 1988, 1993, 1999, dan 2002

Gambar 9 menunjukkan dinamika tutupan lahan Kabupaten Bungo pada 1970-


2002 secara keseluruhan. Tutupan hutan turun dari hampir 350.000 ha (76%)
pada 1973 menjadi hanya 130.000 ha (29%) pada 2002. Tutupan hutan yang
tersisa pada 2002 hampir seluruhnya berlokasi di daerah dengan ketinggian di atas
750 m dpl dan kemiringan mendekati 40%, sementara areal hutan di daerah datar
(peneplain) dapat dikatakan telah hilang seluruhnya. Perkebunan karet meningkat
secara bertahap dari 10.000 ha (2,3%) pada 1973 menjadi 130.000 ha (28,5%)
di 2002. Perkebunan kelapa sawit juga mengalami peningkatan yang signifikan,
dimulai dari 6.000 ha (1,4%) menjadi 58.000 ha (12,9%). Wanatani karet dapat
BAGIAN 1-3 • Andree Ekadinata and Grégoire Vincent 57

dikatakan cenderung stabil dengan luasan sekitar 68.000 ha (15%) pada 1973
menjadi 54.000 ha (12%) pada 2002. Secara keseluruhan, jenis tutupan lahan
yang paling dominan di Kabupaten Bungo adalah perkebunan monokultur (karet
dan kelapa sawit) yang mencapai 41,4% dari total luasan Kabupaten Bungo.

400000

350000

300000

250000

200000

150000

100000

50000

0
Hutan Wanatani karet Perkebunan Kelapa sawit Sawah Semak Pemukiman
karet

1973 ha 1988 ha 1993ha 1999 ha 2002 ha

Gambar 9. Perubahan tutupan lahan Kabupaten Bungo 1973-2002

Deforestasi dan Ekspansi Perkebunan Karet dan


Kelapa Sawit
Dari data tutupan lahan di atas bisa disimpulkan bahwa deforestasi dalam
jumlah besar telah terjadi sepanjang tahun sejak 1973 sampai 2002. Gambar 10
menunjukkan lokasi deforestasi dari empat periode yang berbeda. Laju deforestasi
dari keempat periode tersebut tidak sama, bahkan cenderung menurun pada
periode terakhir. Antara 1973-1988, lebih dari 100.000 ha hutan terdeforestasi
dengan laju deforestasi (annual deforestation rate) sebesar 6.600 ha/tahun (Tabel
7). Jumlah ini cenderung menurun di periode-periode berikutnya (Tabel 8), pada
periode terakhir (1999-2002), laju penurunan kawasan hutan adalah sebesar
1.150 ha/tahun. Walaupun laju deforestasi cenderung menurun, beberapa hal
perlu diwaspadai. Salah satunya adalah lokasi deforestasi baru di periode 1999-
2002 yang mulai merambah ke daerah dataran tinggi di sebelah selatan Kabupaten
Bungo.
58 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Berubah menjadi apakah tutupan hutan Kabupaten Bungo setelah terdeforestasi?


Jawaban atas pertanyaan ini sama pentingnya dengan analisa tentang laju
deforestasi. Kelima peta tutupan lahan yang telah dibuat memberikan jawaban
yang cukup jelas mengenai hal ini. Pada periode 1973-1988, 53% luasan hutan
yang terdeforestasi berubah menjadi perkebunan karet, 23% menjadi wanatani
karet dan hanya sekitar 3% yang berubah menjadi perkebunan kelapa sawit (Tabel
8). Pembalakan (logging) yang dalam hal ini ditandai dengan perubahan hutan
menjadi semak belukar, terjadi sebesar 17% (16.790 ha) dari total deforestasi di
periode 1973-1988.

Tabel 7. Deforestasi & konversi lahan di Kabupaten Bungo tahun 1973-2002

Periode Total (ha) Persentase Laju Laju


Deforestasi dari luasan deforestasi deforestasi
hutan per-tahun (ha) per-tahun (%)
sebelumnya
Tahun 1973-1988 100159,0 28,9% 6677,3 1,9%
Tahun 1988-1993 51043,3 21,2% 3402,9 1,4%
Tahun 1993-1999 28033,5 14,8% 1868,9 1,0%
Tahun 1999-2002 17391,4 11,8% 1159,4 0,8%

Gambar 10. Peta deforestasi Kabupaten Bungo 1973-2002


BAGIAN 1-3 • Andree Ekadinata and Grégoire Vincent 59

Tabel 8 juga memperlihatkan bahwa konversi lahan hutan menjadi kelapa sawit
cenderung meningkat dari periode ke periode, dari hanya sekitar 3% di periode
1973-1988 menjadi 44% (123,26 ha) di periode 1993-1999 walaupun kemudian
menurun menjadi 28% (860,7 ha) di periode 1999-2002. Konversi hutan menjadi
perkebunan karet cenderung menurun dari 53% di periode 1973-1988 menjadi
32% (5.644 ha) di periode 1999-2002.

Tabel 8. Deforestasi di Kabupaten Bungo tahun 1973-2002

Tutupan Deforestasi tahun Deforestasi Deforestasi Deforestasi


lahan yang 1973-1988 tahun tahun tahun
menggantikan 1988-1993 1993-1999 1999-2002
hutan Ha % Ha % Ha % Ha %
Kelapa sawit 3436,5 3,0% 7672,2 15,0% 12326,7 44,0% 4860,7 27,9%
Wanatani karet 22734,0 23,0% 9074,0 17,8% 4090,6 14,6% 3072,2 17,7%
Perkebunan 53071,9 53,0% 25396,0 49,8% 7323,2 26,1% 5644,0 32.5%
karet
Pemukiman 3647,2 4,0% 600,0 1,2% 533,3 1,9% 613,0 3,5%
Semak 16790,0 17,0% 7156,9 14,0% 3352,9 12,0% 2183,9 12,6%
Lain-lain 480,0 0,5% 1144,2 2,2% 406,8 1,5% 1017,5 5,9%
Total 100.159,6 100% 51043,3 100% 28033,5 100% 17391,3 100%

Jika tipe tutupan lahan di Kabupaten Bungo digolongkan menjadi tiga kelompok
besar: hutan, perkebunan (karet dan kelapa sawit) dan wanatani karet,
kemudian luas tiap kelompok dibandingkan selama periode1973-2002, maka
akan didapatkan gambaran seperti Gambar 11. Gambar tersebut menunjukkan
bahwa saat ini tutupan hutan di Kabupaten Bungo tidak lagi lebih luas daripada
perkebunan monokultur, dan bahkan memiliki kecenderungan untuk terus turun.
Sebaliknya luas perkebunan sejak 1999 telah melampaui luas hutan dan memiliki
kecenderungan untuk terus berkembang. Di sisi lain, wanatani karet yang dikelola
oleh masyarakat terlihat stabil walaupun juga cenderung terus berkurang. Hal ini
harus dipahami secara mendalam oleh para pemangku kebijakan di Kabupaten
Bungo, bahwa jika hal ini tidak ditanggapi dengan perencanaan yang matang,
maka suatu saat mungkin saja Kabupaten Bungo tidak lagi memiliki hutan sama
sekali.

Kenyataan bahwa luasan wanatani karet yang dikelola masyarakat cenderung


bertahan dan tidak mengalami perubahan berarti selama 30 tahun adalah bukti
bahwa masyarakat, dalam hal ini petani karet, memiliki peran penting dalam usaha
menjaga kelestarian lingkungan. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, hampir
60 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

tidak ada lagi tutupan hutan di area dataran rendah (peneplain) Kabupaten Bungo,
saat ini sistem tata guna lahan yang berpotensi untuk menggantikan paling tidak
sedikit fungsi hutan (keanekeragaman hayati, fungsi tata air dll) adalah wanatani
karet yang dikelola masyarakat.

400000

350000

300000

250000
Hektar

200000

150000

100000

50000

0
1973 1988 1993 1999 2002 2005
Tahun

Hutan Wanatani karet Perkebunan

Gambar 11. Grafik penurunan kawasan berhutan dibandingkan dengan perkebunan dan
areal wanatani karet

© dok. Andree Ekadinata

Ini bukan hutan, melainkan wanatani karet di Kabupaten Bungo. Bandingkan


struktur vegetasinya dengan perkebunan karet monokultur (kanan bawah)
BAGIAN 1-3 • Andree Ekadinata and Grégoire Vincent 61

100 %
Pemukiman
9 0%
Kelapa sawit
80 %
Perkebunan karet
70 %

60 %
Wanatani karet
50 %

40 %
Hutan
30 %

20 %

10 %

0%
1973 ha 1988 ha 1993 ha 1999 ha 2002 ha
Pemukiman 13313,6 21540 26994,3 33435,9 44494,8
Kelapa sawit 6211,6 14729,5 55793,6 58777,2
Perkebunan karet 10454,1 84047,9 119552,7 124023,2 119682,6
Wanatani karet 68324,9 68422,6 66185,1 61281 54830,8
Hutan 346010,2 240535,9 189492,6 147401,9 130010,5

Gambar 12. Persentase tutupan lahan Kabupaten Bungo tahun 1973-2002

KESIMPULAN DAN SARAN

Pemanfaatan lahan melalui konversi hutan sepertinya bukan lagi pilihan yang
tepat untuk Kabupaten Bungo. Total luas hutan yang tersisa saat ini sangat ke-
cil. Itupun terletak di daerah yang tidak semestinya lagi dikonversi menjadi jenis
penggunaan lahan selain hutan. Pemerintah Daerah Kabupaten Bungo harus me-
mikirkan perencanaan tata guna lahan yang lebih matang dengan menitikberat-
kan pada pemanfaatan lahan secara lestari.

Sistem wanatani karet sudah selayaknya mendapatkan perhatian lebih dari


Pemerintah Kabupaten Bungo melihat struktur vegetasinya yang mirip dengan
hutan dan kenyataan bahwa sistem ini cenderung stabil di tengah konversi lahan
yang cukup cepat di daerah ini.
62 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

UCAPAN TERIMA KASIH


Penelitian ini didukung oleh World Agroforestry Centre (ICRAF) dan Institut de
recherche pour le Développement (IRD). Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Bruno Verbist, Sonya Dewi dan teman-teman di kantor ICRAF Muara Bungo atas
segala bantuan dalam pengumpulan data di lapangan dan penulisan artikel ini.
BAGIAN 2
KEARIFAN LOKAL DALAM
PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM
BAGIAN 2-1
Hutan Adat Batu Kerbau: Sisa-sisa Kearifan Lokal

Riya Dharma Datuk Rangkayo Endah


66 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

© Marzoni
Upacara adat turun bataun dan doa memberi makan tanah nan bainduk dilakukan untuk
merayakan panen dan memulai masa tanam padi ladang. Upacara adat tidak sekedar seremonial,
tetapi merupakan bukti keberadaan masyarakat adat.

Desa Batu Kerbau merupakan desa tua yang terletak di hulu Sungai Pelepat.
Sejarah Desa Batu Kerbau dimulai dengan kedatangan Datuk Sinaro Nan Putih
dan rombongan dari kerajaan Pagaruyung Minangkabau. Perjalanan rombongan
tersebut dilakukan untuk menelusuri jejak Cindur Mato1, mulai dari Pagaruyung
melalui alam Kerinci, mengilir ke Air Liki, serta masuk ke Batang Napat di sekitar
Gunung Rantau Bayur. Rombongan tersebut kemudian memutuskan menetap di
hulu Sungai Samak yang kemudian disebut Sungai Pelepat. Nama Batu Kerbau
diambil dari batu yang menyerupai kerbau. Menurut cerita tetua kampung batu
tersebut berasal dari salah satu kerbau Datuk Sinaro yang disumpah atau dikutuk
oleh si Pahit Lidah2 yang kebetulan lewat di hulu Batang pelepat

Secara adat, wilayah kekuasaan Datuk Sinaro Nan Putih berbatasan dengan
Kerinci (Batu Kijang Alam Kerinci) di sebelah barat (hulu). Wilayah berbatasan
dengan Rantel (Rio Maliko Lubuk Tekalak) di sebelah timur (hilir). Di sebelah

1 Tokoh legenda Kerajaan Pagaruyung, Sumatera Barat.


2 Tokoh legenda masyarakat di Sumatera bagian Selatan.
BAGIAN 2-1 • Riya Dharma Datuk Rangkayo Endah 67

utara, wilayaha berbatasan dengan Senamat (Rantau Pandan) yang di dalam adat
disebutkan dengan Batu Bertanduk. Sedangkan di sebelah selatan berbatasan
dengan Batang Tabir yang di dalam adat disebutkan Bukit Kemulau.

Beberapa ciri peninggalan Minangkabau masih terlihat dalam struktur sosial


masyarakat Batu Kerbau. Umpamanya, masyarakat Batu Kerbau masih mewarisi
suku-suku seperti yang ada di Minangkabau, seperti suku Jambak, Melayu dan
Caniago. Untuk menentukan garis keturunan sampat saat ini masih menurut
garis ibu (matrilinial). Penyelesaian berbagai persoalan yang timbul di tengah
masyarakat masih berpegang kepada adat dan budaya Minangkabau.

Berlakunya UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa menyebabkan wilayah


kekuasaan Datuk Sinaro Nan Putih terbagi menjadi dua wilayah desa, yaitu Desa
Batu Kerbau di hulu dan Desa Baru Pelepat di hilir. Masyarakat yang sebelumnya
secara turun temurun dipimpin oleh seorang datuk dan memiliki wilayah adat
harus tunduk pada UU yang mengharuskan mereka berpisah dan diperintah oleh
seorang kepala desa. Secara perlahan sistem ini mengurangi peran dan fungsi
Datuk Sinaro sebagai pemimpin masyarakat.

Pada awal pemerintahan desa, wilayah Batu Kerbau terbagi menjadi tiga desa:
Desa Belukar Panjang, Lubuk Tebat dan Batu Kerbau. Tetapi kemudian ketiga desa
tersebut dilebur menjadi satu, yang diberi nama Desa Batu Kerbau. Sedangkan dua
desa yang lain turun statusnya menjadi dusun. Akibat pesatnya perkembangan
penduduk pada 2001 diresmikan pula berdirinya Dusun Simpang Raya.

Menurut data monografi desa 2002, penduduk Batu Kerbau berjumlah 236 KK
(1.265 jiwa) yang terdiri dari 716 jiwa perempuan dan 549 laki-laki. Luas wilayah
Desa Batu Kerbau sekitar 35.000 ha. Pembagian wilayah terdiri dari pemukiman
penduduk 75 ha, kebun karet 600 ha, kebun kulit manis 125 ha, ladang 610 ha,
kebun buah terutama durian dan salak alam 30 ha. Hutan adat tersebar di Dusun
Batu Kerbau (388 ha), Dusun Lubuk Tebat (360 ha), Dusun Belukar Panjang
(472 ha), sedangkan Hutan Lindung tersebar di Dusun Batu Kerbau (776 ha)
dan Dusun Belukar Panjang seluas (361 ha). Sisanya terdiri dari Hutan Produksi
belukar dan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).

Secara administrasi, Desa Batu Kerbau masuk dalam Kecamatan Pelepat,


Kabupaten Bungo. Desa ini memiliki empat dusun yang letaknya cukup berjauhan.
Jarak desa dari ibukota Kecamatan Rantau Keloyang sekitar 50 km. Sedangkan
jarak dari ibukota kabupaten sekitar 80 km. Akses ke desa di musim kemarau
cukup lancar, tetapi pada musim hujan sangat berat untuk dilalui, karena jalan
68 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

yang dibangun sejak 1999 oleh pemerintah Kabupaten Bungo baru sampai pada
tahap pengerasan dengan memakai batu kerikil. Sebelumnya, akses masyarakat
untuk ke ibukota kecamatan harus memakai rakit atau memanfaatkan jalan yang
dibangun perusahan HPH.

MASYARAKAT DAN HUTAN


Rombongan Datuk Sinaro Nan Putih sudah bercocok tanam padi dan beternak
sejak kedatangannya di hulu Pelepat. Pola pertaniannya masih sangat tradisional.
Lahan yang telah dibuka ditanami padi dengan sistem tungal. Setelah dilakukan
penanaman beberapa kali, lahan pertanian tersebut ditinggalkan sampai batas
waktu tertentu. Sistem pertanian seperti itu sampai saat ini masih dipraktekkan
meskipun sudah mengalami berbagai perubahan. Selain menanam padi, masyarakat
juga menanam karet, kulit manis, kopi dan buah-buahan. Hasil lainnya adalah
aren, petai, jengkol dan salak alam, yang ditanam untuk memenuhi kebutuhan
sendiri.

Untuk memulai pembukaan lahan dan bercocok tanam, masyarakat Batu Kerbau
terlebih dahulu melakukan upacara adat doa turun bataun. Upacara adat ini
ditandai dengan memotong seekor kerbau. Pada acara tersebut seluruh pemuka
adat duduk bersama untuk membicarakan berbagai persoalan yang tengah
dihadapi masyarakat. Salah satu keputusan penting pada doa turun bataun adalah
membuat kesepakatan untuk memulai usaha tani secara serentak, setumpak dan
kompak.

Sebelum kedatangan perusahaan HPH, hasil hutan non kayu seperti rotan,
manau, jernang, damar dan buah-buahan merupakan penghasilan tambahan bagi
masyarakat, terutama di saat kritis dan hasil panen yang kurang memadai. Untuk
memenuhi kebutuhan protein hewani, masyarakat berburu kijang, rusa dan kancil
serta menangkap ikan di sungai yang dapat dilakukan dengan mudah. Namun
kondisi ini hanya bisa bertahan sampai 1970-an. Sejak beroperasinya perusahaan
HPH PT. Alas Kusuma, PT. Mugitriman, sampai terakhir PT. Rimba Karya Indah
pada 1998, akses masyarakat ke hutan sangat sulit, karena hampir semua lahan
dan hutan diberikan negara kepada perusahaan. Masyarakat dilarang untuk
memasuki kawasan hutan baik untuk mencari hasil hutan non kayu maupun untuk
membuka lahan. Masa tersebut adalah saat tersulit dalam kehidupan masyarakat
Batu Kerbau. Pada saat yang bersamaan krisis ekonomi merambat sampai ke desa,
harga barang melambung tinggi. Tidak hanya itu, kemarau panjang yang melanda
BAGIAN 2-1 • Riya Dharma Datuk Rangkayo Endah 69

desa pada saat yang bersamaan makin memperburuk keadaan, karena hasil panen
padi sebagai salah satu sumber makanan tidak lagi mencukupi.

Bergulirnya reformasi yang dibarengi dengan angkat kakinya perusahaan HPH


dari Desa Batu Kerbau pada akhir 1998, seakan membuka lembaran baru bagi
kehidupan masyarakat. Kawasan hutan yang telah ditinggal perusahaan HPH
menjadi daerah tidak bertuan. Jalan yang dibuat dan ditinggal perusahaan
mempermudah akses bagi penebang liar memasuki wilayah hutan jauh sampai
ke hulu sungai dan mendekati TNKS. Sementara itu pemerintah pusat dan
pemerintah daerah disibukkan dengan tarik ulur kepentingan dan wewenang
dalam pengurusan hutan. Hal ini diperparah dengan lemahnya penegakan hukum.
Dalam waktu yang sangat singkat, puluhan sawmill liar bermunculan di sekitar
desa-desa hutan sampai ke pinggiran ibukota kabupaten. Hasil tebangan haram
dengan mudah ditampung di sawmill liar. Momen inilah yang dimanfaatkan oleh
para cukong kayu untuk menawarkan jasa dan modal kepada masyarakat Desa Batu
Kerbau. Di tengah keraguan masyarakat untuk menerima atau menolak tawaran
tersebut, puluhan chainsaw yang dibawa para pebalok3 dari luar desa berdatangan
dan beroperasi di hutan sekitar desa. Nyanyian burung berganti raungan suara
chainsaw. Aturan adat tentang pemanfaatan hutan secara arif sudah tumpul.
Generasi muda kurang memahami hukum adat, sementara para tokoh adat
kehilangan taring akibat mereka hanya sebagai pemimpin ”pinggiran”, karena
sebagian besar peran dan wewenang mereka sudah diambil alih oleh pemerintahan
desa. Akibatnya hukum adat tidak mampu lagi untuk membendung penebangan
liar, apalagi hukum adat hanya bisa mengatur komunitasnya. Tidak tahu siapa
yang lebih dahulu memulai dan seakan tidak mau menjadi penonton untuk kedua
kalinya, dalam waktu singkat hampir semua tenaga kerja produktif Desa Batu
Kerbau bekerja menjadi pebalok. Desa menjadi lengang. Lahan pertanian yang
hasilnya tidak mencukupi hanya dikerjakan oleh perempuan dan orang tua yang
tidak sanggup bebalok. Semua biaya hidup tergantung dari penghasilan bebalok.
Kata-kata ”tidak bebalok tidak makan” menjadi sarapan pagi di desa.

Ketergantungan ekonomi terhadap hasil hutan kayu akhirnya berubah drastis sejak
2004. Menipisnya ketersediaan kayu di hutan menjadi salah satu penyebabnya.
Cukong kayu pun mulai merasa tidak untung, yang enggan menghamburkan
modal kepada masyarakat. Menipisnya pasokan kayu akhirnya mematikan puluhan
sawmill liar di Kecamatan Pelepat dan Kabupaten Bungo. Inpres No. 4/2005
tentang pelarangan pengambilan kayu dan peredarannya di seluruh wilayah RI
makin mempersulit kehidupan yang tergantung dari kayu.

3 Sebutan masyarakat di Bungo untuk pekerja penebang kayu di hutan.


70 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Untuk memenuhi kebutuhan hidup, kebun karet tua yang lama ditinggal menjadi
target. Tidak peduli hujan, batang-batang yang telah berlumut kembali ditoreh
para pebalok. Huma dan sesap tua kembali dibuka. Desa menjadi hidup dan ramai.
Tidak ada masyarakat yang mati karena tidak bebalok. Justru, selama bebalok segala
kreativitas masyarakatlah yang mati.

HUTAN ADAT:
ALTERNATIF PENYELAMATAN HUTAN
Penyerahan pengelolaan hutan kepada pengusaha terbukti telah menghancurkan
ekosistem hutan dan tatanan kehidupan masyarakat yang ada di sekitar dan di
dalam hutan. Padahal praktek pengelolaan hutan secara bijak pernah dijalankan
oleh masyarakat adat di hampir semua tempat di Indonesia, yang diatur dengan
hukum adat.

UU No. 41/1999 tentang Kehutanan menyatakan hutan negara dapat berupa hutan
adat yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat adat yang bersangkutan
sesuai dengan fungsinya baik lindung, konservasi dan produksi. Hal tersebut dapat
dimaknai sebagai wujud nyata jaminan negara terhadap hak-hak masyarakat adat
dalam mengelola sumberdaya hutan. Tetapi didalam pelaksanaannya, jaminan
tersebut seringkali dikesampingkan. Hal tersebutlah yang akhirnya membuat
masyarakat adat lebih memilih dan percaya dengan hukum adat yang mereka
miliki.

Ketentuan Adat tentang Hutan


Aturan adat mengenai pengelolaan hutan di dalam prakteknya jauh lebih
efektif daripada aturan resmi pemerintah. Karena aturan adat itu lahir, tumbuh,
dan berkembang berdasarkan kebutuhan dan kondisi lokal. Pemantauan dan
penegakan aturan adat dapat dilakukan masyarakat secara mandiri.

Tetapi ketika negara, yang memiliki kekuatan dahsyat, melakukan intervensi


pengelolaan sumberdaya alam, maka secara perlahan hukum adat dan sumberdaya
alam yang diwarisi masyarakat terlindas dan hancur. Untuk merakit kembali
keping-keping yang berantakan tersebut dibutuhkan energi, keseriusan, ketulusan,
dan sumberdaya dari masyarakat dan pihak lain yang peduli.
BAGIAN 2-1 • Riya Dharma Datuk Rangkayo Endah 71

Bagi masyarakat adat Batu Kerbau, hutan itu merupakan karunia Tuhan kepada
semua makhluk di jagat raya ini. Pemanfaatan hutan dan sumberdaya alam lainnya
bertujuan untuk menopang kelangsungan hidup dan penghidupan anak cucu
dan generasi mendatang. Undang-undang adat dan falsafah adat telah mengatur
pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Salah satu falsafah adat yang mengatur
tentang pemanfaatan hutan berbunyi ”ke darat berbunga kayu, ke air berbungo
pasir”. Artinya, apabila anak negeri menebang kayu, mengambil rotan, damar
dan jelutung di hutan serta mengambil pasir atau batu, membuat biduk (perahu)
dengan tujuan untuk dijual, harus membayar pancung alas (retribusi) kepada adat,
sedangkan kalau digunakan untuk keperluan sendiri bebas pancung alas (tidak
dikenai retribusi dan cukup mendapat persetujuan pemimpin adat).

Ketentuan mempertahankan sempadan sungai, larangan menebang pohon sialang


tempat bersarangnya lebah penghasil madu, menebang pohon yang sedang
berbunga dan berbuah, menebang pohon yang tumbuh di daerah lereng atau
curam dan menetapkan beberapa kawasan menjadi hutan larangan, merupakan
beberapa bentuk aturan pengelolaan hutan yang diwarisi dari nenek moyang
masyarakat Batu Kerbau. Namun setelah terjadinya perubahan pemerintahan
dari pasirah menjadi desa dan eksploitasi oleh perusahaan HPH dan Illegal logging;
maka secara perlahan nilai-nilai adat tersebut meluntur dan nyaris terkikis.

Pendokumentasian Aturan Adat


Semua aturan dan ketentuan adat tentang pemanfaatan sumberdaya alam Batu
Kerbau tidak tertulis. Aturan dan ketentuan adat itu sebagian besar hanya
diketahui dan dipahami oleh beberapa tokoh saja. Malah ada tokoh, yang secara
garis keturunan merupakan pewaris gelar adat, sama-sekali tidak memiliki
pengetahuan yang cukup tentang adat. Sebaliknya, ada anggota masyarakat
biasa yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang adat dan aturan tentang
pengelolaan sumberdaya alam, tetapi di dalam pengambilan keputusan saat sidang
adat, suara mereka kurang diperhitungkan.

Penerapan keputusan adat kadang-kadang tidak memenuhi rasa keadilan di


masyarakat. Seringkali keputusan adat hanya memuaskan pihak yang lebih kuat
atau yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan tokoh adat. Pepatah adat
“tibo di mato dipiciangkan tibo di paruik dikampihkan” (dimata dipejamkan di perut
dikempiskan). Artinya, tidak dipandang di dalam mengambil keputusan, hanya
menjadi bumbu pemanis dan kata-kata kosong tanpa makna di dalam setiap
72 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

rapat adat. Karena itu, masyarakat tidak memiliki pegangan yang kongkrit untuk
menggugat atau mempertanyakan keputusan itu.

Tidak ada waktu atau ruang khusus bagi masyarakat untuk mempelajari atau
mengetahui ketentuan adat. Praktek dan seluk-beluk adat hanya diketahui
oleh masyarakat apabila ada upacara adat ataupun sidang adat. Penyebaran dan
pencerdasan tentang nilai-nilai adat dari para tokoh adat kepada masyarakat
sangat kurang. Masyarakat awam tidak punya waktu untuk mengetahui adat.

Minat orang muda untuk mempelajari adat sangat rendah. Bagi orang muda,
adat istiadat itu urusan orang tua. Orang muda cenderung memilih berbagai
informasi dan budaya dari dunia luar daripada nilai-nilai yang telah dimiliki.
Tersedia berbagai sarana dan media bagi orang muda Batu Kerbau, misalnya
media elektronik televisi menggunakan antena parabola lebih diminati. Warung
dan rumah yang memutar televisi ramai pada malam hari.

Pendatang dari luar desa mulai leluasa memasuki desa. Bahkan sampai di
pedalaman hutan di sekitar desa, raungan chainsaw memanggil orang muda Batu
Kerbau untuk ikut serta. Aturan adat tidak mampu untuk menindak itu. Setiap
kali penetapan sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan di dalam hutan adat,
pelaku dari luar desa lolos. Di dalam sidang adat, pelaku selalu menanyakan mana
aturannya dan siapa yang menetapkan itu.

Pengalaman dan kenyataan di atas telah menggugah masyarakat Batu Kerbau


untuk menyimpulkan: Harus ada satu media atau dokumen tertulis tentang aturan
pengelolaan hutan adat dan lubuk larangan untuk menjadi landasan hukum setiap
pengambilan keputusan tentang hutan adat.

Piagam Kesepakatan Sebagai Aturan Pengelolaan


Untuk mencapai sebuah kesepakatan kolektif, telah dilakukan pertemuan-
pertemuan untuk menggali berbagai pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan
hutan. Pertemuan dimulai pada tingkat dusun. Hasil pertemuan dituliskan untuk
didiskusikan kembali bersama masyarakat. Setelah mengalami beberapa kali
perubahan, disepakatilah sebuah konsep aturan pengelolaan hutan di setiap
dusun.

Setelah melalui proses yang cukup panjang dan mengalami beberapa kali
perubahan, akhirnya tiga dusun di Batu Kerbau berhasil merampungkan
BAGIAN 2-1 • Riya Dharma Datuk Rangkayo Endah 73

kesepakatan dusun tentang pengelolaan hutan, baik hutan adat yang berfungsi
lebih untuk memenuhi kebutuhan bahan bangunan, maupun hutan lindung yang
lebih difokuskan sebagai sumber perlindungan berbagai macam sumberdaya hayati
dan keindahan alam.

Walaupun perumusan bentuk pengelolaan dilakukan di setiap dusun berbeda,


tetapi masyarakat ternyata berhasil menyusun substansi kesepakatan yang sama.
Hal ini karena masyarakat Desa Batu Kerbau yang tersebar di setiap dusun berasal
dari keturunan yang sama, memiliki kekerabatan yang dekat serta terus-menerus
melakukan interaksi. Beberapa tokoh dari dusun lain sering diundang pada
pertemuan dusun, sehingga gagasan tentang aturan mewarnai dusun lainnya.

Keikutsertaan tokoh-tokoh dari dusun lain pada pertemuan dusun mendorong


lahirnya gagasan untuk menyusun bentuk pengelolaan di tingkat desa. Gagasan
tersebut disepakati oleh semua dusun yang memiliki hutan adat. Pertemuan desa
dihadiri oleh perwakilan masyarakat dari setiap dusun. Perwakilan masyarakat
itu kemudian menyampaikan hasil pertemuan desa kepada masyarakat yang
diwakilinya. Setelah beberapa kali pertemuan desa, masyarakat menyepakati
Piagam Kesepakatan Masyarakat Adat Batu Kerbau untuk Pengelolaan Sumber
Daya Alam. Piagam tersebut berfungsi sebagai landasan atau pedoman dalam
setiap pengambilan keputusan tentang pengelolaan hutan dan sumberdaya alam
lainnya di Batu Kerbau.

Untuk mendapat pengakuan dari seluruh masyarakat desa, dilakukanlah


musyawarah besar masyarakat Desa Batu Kerbau pada 24 April 2001 bertempat
di Dusun Batu Kerbau. Musyawarah desa menyepakati agar piagam juga
mencantumkan letak kawasan, luasan, serta batas-batas alam yang dikenali oleh
masyarakat. Lubuk larangan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pengelolaan
sumberdaya alam Batu Kerbau, juga dicantumkan di dalam piagam.

Musyawarah desa juga menyepakati komposisi perwakilan masyarakat dari setiap


dusun yang akan menandatangani piagam kesepakatan itu. Dusun diwakili oleh
tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda, bundo kandung dan kepala dusun.
Sedangkan desa diwakili oleh kepala desa, ketua LKMD dan Parabokalo Adat
(pewaris adat di Desa Batu Kerbau).

Memiliki Wilayah Kelola yang Jelas


Jauh sebelum kedatangan perusahaan HPH ke Desa Batu Kerbau, masyarakat telah
menunjuk dan menyepakati beberapa kawasan menjadi hutan adat dan hutan
74 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

lindung. Penunjukan beberapa kawasan tersebut melalui beberapa pertimbangan.


Misalnya, untuk kawasan hutan adat yang berfungsi sebagai penyedia kebutuhan
bahan bangunan, tanaman obat, rotan dan buah-buahan, dipilih hutan yang
berdekatan dengan pemukiman. Sedangkan untuk hutan lindung, yang lebih
ditekankan pada fungsi lindung dan cadangan yang akan di warisi ke generasi
selanjutnya, dipilih lokasi di hulu-hulu sungai kecil dan memiliki lebih beragam
jenis tumbuhan dan satwa. Untuk batas-batas kawasan dipergunakan tanda alam
seperti sungai, bukit dan beberapa tempat dan pohon tertentu yang mudah diingat
oleh masyarakat.

Memasuki era 1970-an ketika negara menyerahkan hutan Batu Kerbau kepada
HPH, kesepakatan masyarakat tersebut sesungguhnya disampaikan kepada
perusahaan, tetapi tidak pernah dihargai perusahaan. Malah beberapa tokoh yang
gigih memperjuangkan kawasan tersebut justru mengalami intimidasi dan ancaman.
Sejak saat itu akses dan kontrol masyarakat Batu Kerbau terhadap hutannya telah
dikebiri oleh kekuasaan negara. Tetapi semangat untuk mempertahankan kawasan
hutan dari kehancuran tetap terpelihara di beberapa tokoh.

Kepergian HPH dari Desa Batu Kerbau yang berbarengan dengan bergulirnya
reformasi, mengobarkan semangat dan tekad masyarakat untuk kembali
mempertahankan beberapa kawasan hutan menjadi hutan adat dan hutan lindung.
Persoalan muncul, batas-batas alam yang pernah disepakati oleh masyarakat di
lapangan sulit ditemukan. Beberapa sungai kecil yang sebelumnya merupakan
batas kawasan sudah lenyap dan ditimbun untuk pembuatan jalan oleh HPH.
Demikian juga dengan punggung-punggung bukit dan beberapa tanda alam
lainnya sudah berubah menjadi jalan ataupun hilang tergusur oleh alat berat
perusahaan. Fakta seperti ini mendorong masyarakat Batu kerbau untuk kembali
mempertegas batas kawasan kelola dengan pemetaan partisipatif.

Pemetaan Partisipatif Sebagai Penegasan Hak Kelola


Peran masyarakat dalam pemetaan ini sangat dibutuhkan. Karena masyarakat desa
yang paham tentang potensi, batas wilayah, dan informasi lain tentang hutan adat
dan sumberdaya yang mereka miliki. Pengetahuan dan semangat masyarakat telah
memberikan sumbangan yang berharga dalam pelaksanaan pemetaan partisipatif.
Tidak kurang dari 100 orang masyarakat terlibat dalam proses pemetaan. Dengan
bekal seadanya, masyarakat di Dusun Batu Kerbau rela bermalam berhari-hari
di dalam hutan untuk melakukan pemetaan. Demikian juga dengan masyarakat
di Dusun Belukar Panjang dan Dusun Lubuk Tebat, walaupun tidak sampai
BAGIAN 2-1 • Riya Dharma Datuk Rangkayo Endah 75

bermalam di hutan, telah ikut menarik tali, membidik kompas dan mencatat hal-
hal yang penting untuk memperkaya hasil pemetaan.

Setelah proses pengukuran dan pengambilan data selesai, dilakukan proses


penuangan dan penggambaran hasil pengukuran ke atas kertas milimeter.
Masyarakat juga melakukan penggambaran di desa. Kemudian beberapa perwakilan
masyarakat bersama fasilitator dan staf GIS KKI-WARSI mendigitasi peta. Hasil
digitasi didiskusikan kembali dengan masyarakat di desa. Setelah melalui perbaikan,
hasil akhir disepakati melalui pertemuan di dusun dan kemudian dilanjutkan desa.
Melalui kesepakatan hasil pemetaan tersebut, akhirnya ditandatangani bersama
sebagai bentuk persetujuan dan pengakuan hasil pemetaan peta kawasan hutan
adat dan hutan lindung. Penandatanganan dilakukan oleh perwakilan masyarakat
di semua dusun. Kemudian dilanjutkan oleh aparat desa dan parabokalo adat.

Peta hasil kesepakatan masyarakat yang telah ditandatangani bersama kemudian


disosialisasikan kepada desa tetangga dan Pemerintah Kabupaten. Tidak ada
protes dari desa tetangga. Kawasan hutan adat dan kawasan lindung desa terletak
di dalam wilayah desa. Hasil pemetaan masyarakat berhasil memastikan wilayah
kelola dan digunakan sebagai alat negosiasi dan diskusi dengan pihak lain.

Pemerintah Kabupaten Bungo menanggapi positif hasil pemetaan masyarakat. Atas


permintaan Sekretaris Daerah Bungo dilakukanlah pertemuan dan diskusi tentang
hasil pemetaan partisipatif Hutan Adat Batu Kerbau. Kegiatan ini dilakukan di
kantor Bupati Bungo Februari 2002. Sekretaris Daerah Bungo langsung bertindak
sebagai fasilitator pertemuan. Sekretariat Daerah mengundang BPN, Dishutbun,
Bagian Hukum, Bagian Pemerintahan, Ketua Lembaga Adat Kabupaten, pers,
KKI-WARSI dan perwakilan masyarakat. Masyarakat menjelaskan bagaimana
proses dan tujuan pemetaan. Di akhir pertemuan direkomendasikan agar dibentuk
tim pengecekan dan peninjauan Hutan Adat Batu Kerbau melalui SK Bupati
Bungo. Tim yang dibentuk terdiri dari BPN Bungo, Bagian Pemerintahan, Bagian
Hukum, Dishutbun, KKI-WARSI, serta Camat Pelepat.

Pada 26 Maret 2002 tim yang dibentuk melakukan pengecekan lapangan. Hasil
kunjungan lapangan tim dituangkan dalam berita acara pengecekan tata batas
hutan adat. Poin penting yang dimuat berita acara tersebut, tim menemukan
kesesuaian patok-patok yang ditemukan di lapangan dengan peta yang dibuat.
Dari dialog dan pengamatan langsung kondisi hutan adat dan hutan lindung desa,
tim berkeyakinan bahwa masyarakat memiliki komitmen untuk mengelola hutan
secara lestari. Hasil kunjungan lapangan tersebut merekomendasikan kepada
Bupati Bungo untuk memperkuat dan mendukung komitmen masyarakat.
76 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

LEMBAGA PENGELOLA HUTAN ADAT

Kelompok Pengelola Hutan Adat Sebagai Lembaga


Perwalian
Kesepakatan dan aturan yang dibuat bersama oleh masyarakat Batu Kerbau
memerlukan sebuah organisasi pelaksana. Kehadiran organisasi ini diperlukan untuk
menghindari terjadinya pengambilan keputusan sepihak atau dominasi aturan
oleh pihak tertentu. Prinsip keterwakilan disepakati sebagai azas pembentukan
kelompok pengelola. Dengan demikian anggota kelompok pengelola hutan adat
Batu Kerbau terdiri dari berbagai komponen masyarakat. Unsur adat, agama,
pemuda, perempuan dan kaum intelektual desa merupakan unsur penting yang
ditunjuk masyarakat sebagai perpanjangan tangan untuk melaksanakan aturan
yang ditetapkan bersama.

Setiap dusun memiliki kelompok pengelola sendiri. Letak dan jarak antar dusun
yang berjauhan jadi alasannya. Alasan yang lebih mendasar karena setiap dusun
memiliki hutan adat yang sudah ditunjuk jauh sebelumnya. Kelompok pengelola
hutan adat di dusun bertanggung jawab penuh terhadap pelaksanaan aturan
adat yang berada di dusunnya. Setiap kegiatan yang berhubungan dengan hutan
adat, baik pengambilan untuk kebutuhan sendiri, kasus di hutan adat dan lubuk
larangan maupun kegiatan dan persoalan lainnya adalah tugas dan wewenang
kelompok dusun untuk mengaturnya.

Pada tingkat desa dibentuk kelompok pengelola Sumber Daya Alam Batu Kerbau.
Pengurus hutan adat di dusun otomatis tergabung di dalam kelompok pengelola
desa. Peranannya lebih pada urusan koordinasi. Urusan komunikasi dan negosiasi
dengan pihak luar dilakukan oleh kelompok pengelola desa setelah berdiskusi
dengan kelompok di dusun. Tidak ada intervensi dan tekanan yang diberikan
kelompok desa kepada kelompok dusun. Walaupun demikian pengurus hutan adat
di desa bisa saja memberikan masukan dan pendapat kepada kelompok dusun.

Kelompok Pengelola Sumber Daya Alam Desa Batu Kerbau diangkat dan
dikukuhkan melalui surat keputusan bersama kepala desa, ketua LKMD dan
Parabokalo Adat. Lama masa jabatan lima tahun dan setiap tahun kelompok
ini memberikan laporan tentang perkembangan kegiatan kelompok kepada
masyarakat desa. Setelah Hutan Adat Batu Kerbau dikukuhkan melalui SK Bupati
Bungo, kelompok pengelola juga diwajibkan memberikan laporannya kepada
Bupati sekali setahun.
BAGIAN 2-1 • Riya Dharma Datuk Rangkayo Endah 77

Penguatan Kelompok Pengelola


Kelompok pengelola bukan hanya mengurusi hutan adat. Kelompok ini juga
diharapkan menjadi titik masuk pembangunan kehutanan yang lebih baik di dusun
maupun desa. Namun para pengurus belum memiliki kapasitas yang memadai
untuk mengemban amanat itu.

Masyarakat menyadari, bahwa persoalan hutan adat dan pengelolaan sumberdaya


alam ke depan tidak hanya terbatas pada persoalan pelanggaran penebangan
dan pencurian oleh segelintir masyarakat desa, atau orang luar desa yang tidak
lagi memiliki hutan untuk memenuhi kebutuhan lahan dan bahan bangunan.
Tantangan lebih besar akan muncul dari dominasi negara dan produk hukum yang
tidak berpihak kepada rakyat. Kelicikan pengusaha dan kepentingan ekonomi
jelas akan merongrong dan menguji kemampuan dan pengetahuan masyarakat
terutama kelompok pengelola. Semua itu membutuhkan tambahan kecerdasan
dan pengetahuan yang diadopsi dari luar. Tidak cukup hanya berdasarkan
pengalaman dan pengetahuan lokal saja.

Masyarakat didorong untuk melakukan berbagai diskusi yang membahas beragam


tantangan dan ancaman. Diskusi kritis lebih ditekankan pada fakta dan persoalan
yang dihadapi oleh hampir semua masyarakat sekitar hutan yang akhirnya
terpinggirkan karena pembangunan transmigrasi, perkebunan, pertambangan
dan eksploitasi hutan. Tujuan diskusi ini untuk memberikan gambaran tentang
pengaruh proyek-proyek tersebut, baik yang positif maupun negatif. Hasil diskusi
kritis tersebut diharapkan menjadi modal bagi masyarakat ketika bernegosiasi
dengan pihak mana pun ketika akan menerima atau menolak suatu tawaran.

Proses penguatan dilakukan juga melalui pelatihan dan peningkatan kapasitas


anggota dan pengurus kelompok juga diberikan oleh berbagai pihak, terutama
KKI-WARSI. Pelatihan itu antara lain adalah pelatihan dinamika kelompok,
pelatihan pengorganisasian, pelatihan manajemen, pelatihan paralegal, pelatihan
pemetaan partisipatif, pelatihan penyusunan produk hukum lokal ataupun
peraturan desa. Sedangkan untuk meningkatkan pengetahuan tentang aspek
teknis dan peningkatan ekonomi dilakukan pelatihan dan studi banding budidaya
karet, budidaya rotan, dan pertanian organik. Pengurus juga disertakan dalam
berbagai lokakarya, dan dalam beberapa kesempatan malah bertindak sebagai
pembicara.
78 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

DUKUNGAN PARA-PIHAK

Masyarakat Sekitar
Apapun yang dilakukan oleh masyarakat Batu Kerbau tidak akan berhasil maksimal
tanpa dukungan dari pihak lain. Desa-desa tetangga sebagai masyarakat yang
sering berinteraksi dengan Batu Kerbau berperan sangat besar dalam perjuangan
penegasan hak atas hutan adatnya. Desa Baru Pelepat misalnya, sebagai desa yang
menurut adat masih satu keturunan dan sama-sama di bawah pengaruh Datuk
Sinaro nan Putih, berperan besar dalam mendorong proses terwujudnya Hutan
Adat Batu Kerbau. Beberapa tokoh Adat Baru Pelepat beberapa kali terlibat dalam
diskusi dan pertemuan untuk legalisasi Hutan Adat Batu Kerbau oleh Pemerintah
Kabupaten Bungo. Tokoh adat di Desa Baru Pelepat juga memberikan penyadaran
kepada warga desa agar menghargai dan menghormati Hutan Adat Batu Kerbau.

Masyarakat Desa Batang Kibul yang terletak di Kabupaten Merangin, berperan


besar pada penyelesaian kasus penebangan hutan adat Batu kerbau yang dilakukan
oleh perusahaan pemegang ijin IPHH dari Bungo. Mereka menggalang kekuatan
bersama untuk melakukan “perlawanan” dengan menghancurkan jembatan
perusahaan dan membuat surat pengaduan bersama kepada dinas kehutanan
propinsi Jambi.

Dukungan nyata dan perasaan senasib dan seketurunan yang diberikan desa
tetangga telah memperkuat keyakinan masyarakat Batu Kerbau untuk terus
mempertahankan keberadaan Hutan Adat di Desa Batu kerbau. Dampak positif
dari pengelolaan hutan adat yang dilakukan Desa Batu kerbau diikuti oleh Desa
Batang Kibul dan Baru Pelepat. Pada awal 2006 Hutan Adat Desa Batang Kibul
mendapat pengakuan dari Bupati Kabupaten Merangin dengan keluarnya SK
Penetapan Imbo Pasoko dan Imbo parabokalo Desa Batang Kibul sebagai hutan
adat. Kemudian saat ini masyarakat Desa Baru Pelepat tengah memperjuangkan
pengakuan dari pemerintah.

“Seandainya semua desa di Bungo memiliki hutan adat seperti Batu Kerbau, sudah
berapa luasan hutan yang terselamatkan?” kata H. Machmud, ketua lembaga
Adat Bungo, pada pertemuan pengelolaan hutan di Bungo September 2001.
Ucapan ketua lembaga adat tersebut memperkuat keyakinan masyarakat untuk
terus mengelola hutan adat secara arif dan lestari.
BAGIAN 2-1 • Riya Dharma Datuk Rangkayo Endah 79

Pemerintah dan Pihak Lain


Pemerintah daerah berperan besar dalam proses pengakuan hutan adat. Jalan
yang dilaluinya panjang dan berliku. Puluhan kali diskusi, dialog, workshop dan
pertemuan informal telah dilakukan selama hampir dua tahun. Hasil dari berbagai
pertemuan tersebut mendorong masyarakat Batu Kerbau untuk memperoleh
pengakuan dari pemerintah.

Pengakuan Hutan Adat Batu Kerbau oleh pemerintah diperlukan bukan karena
masyarakat Batu Kerbau tidak percaya pada kekuatan hukum adat. Dengan adanya
pengakuan dari pemerintah itu, masyarakat merasa upaya penyelamatan hutan
yang mereka lakukan itu dihargai. Selain itu, pengakuan dari pemerintah akan
mendekatkan kembali atau memperbaiki kembali hubungan antara masyarakat
desa dengan pemerintah yang sebelumnya tidak harmonis akibat perlakuan tidak
adil yang diterima masyarakat. Pengakuan dari pemerintah itu merupakan suatu
‘jaminan’ terhadap kelangsungan keberadaan Hutan Adat Batu Kerbau.

Pengakuan pemerintah itu dikukuhkan dalam bentuk Surat Keputusan Bupati


Nomor 1249 tertanggal 16 Juli 2002 tentang Pengukuhan Hutan Adat Batu
Kerbau. Pilihan bentuk SK Bupati sebagai bukti pengakuan, diambil setelah melalui
berbagai pertimbangan. SK Bupati dinilai lebih efektif dan tidak membutuhkan
proses yang berbelit. Ide untuk membuat aturan dalam bentuk peraturan daerah
(Perda) kabupaten sempat didiskusikan dengan berbagai pihak di kabupaten.
Tetapi mengingat sangat diperlukannya proteksi hutan adat dan hutan lindung
desa dari penjarahan dengan segera, maka pilihan SK Bupati dinilai oleh semua
pihak sebagai pilihan yang paling tepat saat itu.

Upacara peresmian hutan adat digelar di halaman Kantor Lembaga Adat Kabupaten
Bungo pada 19 Oktober 2002 sebagai simbol penghargaan pemerintah terhadap
peran adat. Upacara tersebut dilakukan dalam menyambut hari jadi Kabupaten
Bungo, dihadiri oleh para perwakilan masyarakat desa seluruh Kabupaten Bungo
dan para pejabat kabupaten. Bupati Bungo menandatangani peta hutan adat dan
menyerahkan SK Hutan Adat secara simbolik kepada tokoh adat Batu Kerbau.
Gubernur Jambi turut serta menanda-tangani Prasasti Hutan Adat Batu Kerbau.
Untuk mendukung upaya yang dilakukan masyarakat, Pemerintah Kabupaten
Bungo, melalui proyek reboisasi 2003, telah melakukan penanaman jati di hutan
adat seluas 50 ha. Kemudian pada 2005, Dishutbun Bungo melakukan proyek
Hutan Rakyat seluas 30 ha dengan tanaman gaharu dan karet di kawasan hutan
adat. Terakhir, pada 2006 hutan adat diperkaya dengan 40 ha rotan. Proyek dan
bantuan tersebut mungkin tak akan ada kalau saja masyarakat Batu Kerbau tidak
80 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

dapat membuktikan bahwa mereka telah berhasil mengelola hutan dengan arif,
adil dan lestari.

Tidak hanya perhatian dari kabupaten yang diperoleh dari upaya penyelamatan
hutan yang dilakukan di Batu Kerbau. Pada 2004, Desa Batu Kerbau memperoleh
penghargaan Kalpataru sebagai Desa Penyelamat Lingkungan. Penghargaan
tersebut diterima langsung oleh Kepala Desa Batu Kerbau pada peringatan Hari
Lingkungan Hidup di Istana Negara pada 5 Juni dari Presiden Megawati.

PRAKTEK PENGELOLAAN HUTAN ADAT


Setelah dikukuhkannya Piagam Kesepakatan Masyarakat Adat Batu Kerbau untuk
mengelola sumberdaya alam, terjadi beberapa kali ujian. Beberapa pelanggaran
yang dilakukan oleh oknum masyarakat desa tetap belum mampu diselesaikan
dengan hanya berpedoman pada piagam tersebut. Dari beberapa kali pelanggaran
yang dilakukan, penerapan saksinya tidak sesuai dengan yang diharapkan
masyarakat. Walaupun ada kasus pelanggaran hutan adat yang dapat diselesaikan
dengan penerapan sanksi adat, tetapi penyelesaiannya tidak dapat memuaskan
warga. Hal inilah yang perlu dikawal dengan baik, agar keberadaan hutan adat
dan hutan lindung desa tetap terjaga.

Piagam Kesepakatan Adat tentang Pengelolaan Hutan Adat lahir di tengah


maraknya ilegal logging. Setelah kepergian HPH dari Desa Batu Kerbau pada1999,
kawasan hutan yang ditinggal menjadi rebutan para pelaku penebangan liar.
Untunglah kawasan yang telah disepakati menjadi hutan adat tidak dijarah atau
dibabat oleh pelaku ilegal logging. Tetapi praktek pembalakan liar saat ini kian
mendekati lokasi hutan adat.

Sebagai desa yang masih memiliki lahan yang begitu luas, ekspansi lahan dan
tawaran pembukaan perkebunan sawit skala besar di Batu Kerbau juga menjadi
salah satu ancaman yang tengah dihadapi hutan adat. Selama kurun waktu 2002-
2004 sudah empat perusahaan besar menawarkan diri membuka perkebunan
kelapa sawit dan HTI akasia kepada masyarakat desa. Malah pada 2003 sebuah
koperasi fiktif hampir saja menjerat dan menipu masyarakat desa. Melalui
dokumen yang diperoleh dari salah seorang perangkat desa, diketahui bahwa
sudah ada surat penyerahan lahan dan persetujuan masyarakat untuk membuka
perkebunan kelapa sawit di desa. Tetapi setelah dikonfirmasi dan dicari alamat
koperasi tersebut ternyata semua informasi dan keberadaan koperasi tersebut
fiktif dan jelas-jelas membodohi dan menipu masyarakat.
BAGIAN 2-1 • Riya Dharma Datuk Rangkayo Endah 81

Keluarnya SK Bupati juga tidak otomatis menyelesaikan segala persoalan hutan


adat. Rayuan dan tawaran dari investor berdatangan. Atas kepentingan pendapatan
asli daerah (PAD), Pemerintah Kabupaten Bungo malah mengeluarkan ijin
IPHH kepada CV. Beringin Hijau untuk melakukan pengambilan kayu di sekitar
hutan adat. Keluarnya ijin ini tentu saja setelah melalui siasat pengusaha yang
menawarkan janji muluk kepada masyarakat, terutama kepada kepala desa.

Untuk pengangkutan hasil tebangan, perusahaan membuat jalan di sekitar hutan


adat. Beberapa batang kayu di hutan adat ditebangi perusahaan. Perlawanan
dan penolakan dilakukan oleh masyarakat. Beberapa kali hampir terjadi bentrok
antara petugas perusahaan dengan warga desa. Perempuan desa tidak tinggal
diam. Bersama puluhan tokoh masyarakat dan pemuda, mereka membakar
jembatan yang dipakai oleh perusahaan untuk mengangkut kayu hasil tebangan.
Masyarakat menuntut perusahaan untuk membayar denda adat, tetapi perusahaan
terus mengulur-ulur waktu dan menebar janji palsu.

Protes masyarakat juga ditujukan kepada Dishutbun Bungo dan Dishut Propinsi
Jambi. Masyarakat desa bersama pemerintahan desa beberapa kali menemui
Kepala Dishutbun Bungo. Tetapi setiap kali mereka ke kantor Dishutbun selalu
mendapatkan jawaban yang tidak memuaskan.

Pada waktu yang bersamaan perusahaan tersebut juga menebangi Hutan Adat
Desa Batang Kibul. Oleh karena itu, bersama masyarakat desa tetangga, Batang
Kibul, Kabupaten Merangin, masyarakat Batu Kerbau kemudian menggalang
kekuatan bersama. Pada pertemuan bersama di tengah hutan saat memutus
jembatan, dibuat kesepakatan untuk menulis surat kepada Dishut Merangin,
Dishutbun Bungo dan Dishut Propinsi Jambi.

Surat pengaduan masyarakat Batang Kibul dan Batu Kerbau ditanggapi oleh
Dishut Merangin. Tidak lebih dari seminggu tim dari Dishut Merangin melakukan
operasi ke lapangan. Hasil operasi memastikan telah terjadi penebangan di
wilayah Kabupaten Merangin oleh perusahaan yang memiliki ijin di wilayah
Kabupaten Bungo. Atas kejadian itu Dishut Merangin meminta Dishutbun Bungo
untuk meninjau kembali Ijin Perusahaan tersebut. Kemudian Dishut Merangin
melanjutkan laporan kepada pemerintah propinsi. Dalam waktu singkat tim
gabungan dari Dishut Propinsi dan Merangin melakukan operasi bersama di
lapangan. Hasilnya, operasi tim memerintahkan perusahaan untuk berhenti
beroperasi dan menyita puluhan batang kayu dan dua alat berat sebagai barang
bukti. Tidak beberapa lama dari kejadian tersebut CV. Beringin Hijau tidak
beroperasi lagi.
82 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Persoalan lain yang dihadapi adalah masih rendahnya tingkat kehidupan


masyarakat. Hutan Adat Batu Kerbau memang tidak menawarkan jasa ekonomi
yang menarik, karena hutan adat disepakati masyarakat bukan untuk tujuan
komersil tetapi lebih kepada pencadangan untuk kebutuhan sendiri. Dengan
kondisi ekonomi yang masih rendah, maka tegakan pohon dan potensi lainnya
tetap saja menggoda banyak pihak untuk menguangkannya. Untuk itu dibutuhkan
program-program penguatan masyarakat yang berdimensi ekonomi. Program itu,
tentu saja harus dirancang dan disusun sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
masyarakat, agar bantuan tersebut benar-benar dapat memberikan sumbangan
bagi peningkatan ekonomi masyarakat.

Hutan Adat Batu Kerbau merupakan salah satu bukti bahwa masyarakat adat
memiliki kearifan untuk mengelola hutan. Di tengah keterpurukan ekonomi,
maraknya penebangan ilegal dan lemahnya penegakan hukum serta melunturnya
nilai adat, tekad dan semangat untuk mewariskan hutan kepada generasi
mendatang dirajut menjadi nyata, sehingga memperoleh pengakuan dari berbagai
pihak.

UCAPAN TERIMA KASIH


Artikel ini dapat penulis selesaikan berkat peran dari berbagai pihak, diantaranya
seluruh masyarakat Desa Batu Kerbau Kecamatan Pelepat, Bungo, Jambi yang
telah membuka pintu untuk saling belajar selama proyek CBFM (2002-2005)
berlangsung. Juga kepada konsorsium RUPES (ICRAF-YGB dan KKI-WARSI)
dan ACM (PSHK-ODA, YGB dan CIFOR ) yang saling berbagi suka dan duka
selama di Bungo serta kawan-kawan di KKI-WARSI Jambi yang telah menjadi
tempat berkiprah penulis selama ini. Dan pihak-pihak lain yang tak sempat kami
ucapkan satu per satu. Kepada merekalah terima kasih penulis sampaikan.
BAGIAN 2-2
Sistem Sisipan
Sisipan:
Pengetahuan Lokal dalam Wanatani Karet

Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati, Susilawati dan


Elok Mulyoutami
84 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

PENDAHULUAN
Pengetahuan berasal dari pemahaman dan interpretasi hasil pengamatan,
pengalaman, dan pendidikan formal maupun informal seseorang. Pengetahuan
bukanlah suatu kebenaran mutlak karena dapat berkembang sesuai dengan
perkembangan pengamatan, pengalaman atau pengenalan inovasi baru. Meski
tidak secara tegas, namun sebagian orang melihat sistem pengetahuan ini sebagai
dua kelompok yang berbeda baik sifat, bidang, proses pembentukan, manfaat
dan penyebarannya (Walker, 1994). Sistem pengetahuan yang pertama adalah
sistem pengetahuan lokal, yang melekat sangat erat pada nilai-nilai budaya dan
spiritual. Kedua, pengetahuan sains, yang umumnya terbentuk dari interpretasi
data yang terhimpun secara metodologis. Meski hampir di setiap daerah terdapat
pengetahuan yang sama mengenai sesuatu, namun pengetahuan lokal lebih
diwarnai kekhasan dari domain pembentuk pengetahuan tersebut. Sementara itu
pengetahuan sains bersifat lebih general karena merupakan kajian kumulatif dari
beberapa domain.

Pengetahuan ekologi lokal merupakan pengetahuan suatu komunitas lokal


mengenai suatu ekosistem dan hubungan timbal balik antar komponen dalam
ekosistem tersebut. Ekosistem itu terwujud dalam lingkungan di sekitar mereka,
baik itu lingkungan pertanian, kehutanan, kelautan atau yang berkaitan dengan
sumberdaya alam lainnya. Pengetahuan ekologi lokal dapat berkontribusi dalam
pengembangan inovasi teknologi (Mulyoutami et al., 2004; Joshi et al., 2005),
upaya konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem, perlindungan spesies
dan area, serta untuk pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan (Berkes
et al., 2000). Istilah lokal dalam terminologi ini digunakan untuk menunjukkan
pengetahuan masyarakat dalam konteks lokal yang bersifat dinamis dan terbentuk
secara evolutif. Dalam proses pembentukan pengetahuan seringkali nilai-nilai non
tradisional ikut membentuk. Sebaliknya, dalam proses pembentukan pengetahuan
terkadang nilai-nilai tradisional atau indigenous yang biasanya diturunkan dari
generasi ke generasi ada yang tidak terbawa (Joshi et al., 2003; Joshi et al., 2004).

Sistem wanatani karet adalah suatu sistem vegetasi multistrata kompleks yang
banyak ditemukan di Indonesia (Gouyon et al., 2000). Sistem pengelolaan
sumberdaya alam ini, yang selain memiliki nilai produksi juga memiliki nilai
konservasi, cukup mendapat perhatian dari para ahli. Nilai konservasi lingkungan
terwujud dalam keragaman hayati yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan
kebun karet monokultur meskipun belum setinggi hutan alami (Williams et al.,
2001a; Joshi et al., 2003).
BAGIAN 2-2 • Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati 85
Susilawati, Elok Mulyoutami

Ada dua metode peremajaan dalam sistem wanatani karet tradisional di Jambi,
yaitu sistem tebas bakar dan sistem sisipan (Wibawa et al., 2005). Metode yang
pertama adalah menggunakan sistem rotasi pendek: Pohon karet ditanam setiap
30-40 tahun setelah terlebih dahulu dilakukan aktivitas tebas dan bakar. Pada
sistem permanen, penanaman anakan pohon karet baru dilakukan di antara celah
pohon karet yang telah lebih dulu ada. Sistem ini lebih dikenal dengan sistem
sisipan. Secara teoritis pada sistem sisipan ini umur kebun tidak terbatas karena
umur pohon karet berbeda-beda.

Sebagai suatu alternatif dalam pola pengelolaan wanatani karet, sistem sisipan
memiliki beberapa keunggulan. Sistem ini memiliki peran dalam konservasi
lingkungan, terutama dalam aspek keragaman hayati. Dari segi ekonomi, sistem
sisipan adalah suatu strategi untuk menjaga kelangsungan pendapatan petani
yang hidupnya sangat bergantung dari hasil karet (Wibawa et al., 2005). Selain
itu, petani dapat melakukan peremajaan wanatani karet tanpa memerlukan biaya
yang tinggi sebagaimana dalam sistem tebas bakar (Joshi et al., 2001).

Praktek peremajaan karet melalui penumbuhan anakan karet pada celah pohon
karet yang sudah ada menyimpan banyak potensi. Namun demikian, perhatian
dan pemahaman para peneliti dan pakar sains mengenai sistem sisipan ini
masih kurang. Petani, berdasarkan pengamatan dan percobaan mereka, telah
mempelajari banyak mengenai sisipan dan faktor-faktor yang mempengaruhi
sistem ini. Dalam hal ini, petani yang memiliki pengalaman menerapkan sistem
sisipan diharapkan dapat membantu memberikan pemahaman mengenai sistem
ini sebagai suatu kesatuan dalam pemahaman mengenai ekologi hutan karet
secara umum. Pengenalan mengenai sistem sisipan ini bermanfaat dalam upaya
peningkatan produksi dan pelestarian lingkungan.

PENGETAHUAN EKOLOGI LOKAL MENGENAI


SISTEM SISIPAN
Pengetahuan petani mengenai sistem sisipan meliputi berbagai komponen
penting yang tercakup di dalamnya, serta pemahaman hubungan interaksi
antara komponen tersebut. Hal ini nampak dalam berbagai uraian petani yang
menyajikan keterkaitan antara faktor cahaya, vegetasi bawah dengan pertumbuhan
karet. Selain itu, beberapa klasifikasi lokal diungkapkan oleh petani berdasarkan
pengamatan fisik dan pengalaman mereka.
86 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Kotak 1. Metodologi penggalian pengetahuan ekologi lokal

Pada studi ini, sejumlah desa yang diketahui memiliki banyak petani yang
mempraktekkan sisipan dipilih, yaitu desa Rantau Pandan, Muara Buat,
Sepunggur, Lubuk dan Muara Kuamang. Studi ini dilakukan dengan menggunakan
pendekatan sistem berbasis pengetahuan (SBP) yang telah dikembangkan dan
diimplementasikan dalam beragam ekosistem untuk menggali pengetahuan
ekologi lokal (Sinclair dan Walker, 1998). Dalam pendekatan ini dilakukan diskusi
secara mendalam untuk topik tertentu dengan informan yang dianggap paling
berpengetahuan (knowledgeable) dalam suatu komunitas tertentu.

Informan kunci dipilih secara purposif berdasarkan rekomendasi dari orang-orang


yang ditemui. Proses diskusi dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan terbuka yang
memungkinkan informan untuk menjelaskan apa yang diketahuinya secara terbuka
dan direkam menggunakan alat perekam. Pernyataan pengetahuan disarikan dari
rekaman tersebut dan kemudian diuraikan menjadi unit pengetahuan terkecil,
untuk kemudian disajikan dengan menggunakan perangkat lunak buatan yaitu
Agroecological Knowledge Toolkit atau AKT dalam bentuk basis pengetahuan (Dixon
et al., 2001; Sunaryo dan Joshi, 2003). Uji keterwakilan atau pemerataan sebaran
basis pengetahuan dilakukan pada seperangkat contoh pernyataan yang diambil
dari basis pengetahuan secara acak. Sampel meliputi petani yang mempraktekkan
dan tidak mempraktekkan sisipan untuk membandingkan sebaran pengetahuan di
antara kedua kelompok tersebut.

Dalam sistem sisipan, jenis bibit yang dapat disisipkan umumnya adalah anakan
karet liar (bibit lokal). Para petani mengetahui bahwa jenis karet unggul atau klon
tidak dapat ditanam dalam sistem sisipan. Jenis bibit ini umumnya hanya dapat
tumbuh dengan baik dengan perlakuan yang intensif dan penggunaan input yang
tinggi. Hal ini didukung dengan beberapa uji coba yang menunjukkan bahwa karet
klon yang ditanam dalam sistem wanatani karet hampir tidak dapat tumbuh. Besar
kemungkinan hal ini disebabkan karena lingkungan yang tidak kondusif dimana
cahaya berkurang dan tingginya kompetisi dalam sistem ini (Gregoire Vincent,
komunikasi pribadi).

Bibit yang digunakan dalam sistem sisipan dapat berupa bibit cabutan atau bibit
yang ditanam di dalam polibek. Petani menyatakan bahwa penggunaan bibit
cabutan lebih rentan jika dibandingkan dengan bibit yang sudah ditanam dalam
polibek. Pencabutan bibit yang kurang hati-hati seringkali mengakibatkan sistem
perakaran bibit cabutan tersebut ikut terpotong dan hal ini dapat menimbulkan
stres. Intensitas stress anakan karet cabutan tergantung pada keutuhan akar dan
BAGIAN 2-2 • Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati 87
Susilawati, Elok Mulyoutami

ukuran anakan tersebut. Semakin besar ukuran lilit batang anakan, makin tinggi
stress yang dialami dan peluang hidupnya menjadi semakin kecil.

Celah adalah konsep yang dipahami oleh petani sebagai ruang yang cukup untuk
pertumbuhan anakan pohon karet dalam teknik sisipan. Celah dapat terbentuk
karena kematian pohon karet secara alami atau dengan sengaja membunuh
pohon karet atau vegetasi lain di dalam wanatani karet. Pembuatan celah dengan
sengaja dilakukan petani dengan mematikan pohon yang tidak diinginkan atau
tidak produktif. Upaya mematikan ini dilakukan dengan cara pengelupasan kulit
kayu secara melingkar.

Dalam teknik sisipan, anakan karet baru ditanam dengan sengaja di antara
celah tersebut. Petani juga dapat menanam anakan karet baru pada lokasi yang
berdekatan dengan pohon karet tua yang sakit, yang tidak lagi produktif atau yang
hasil lateksnya sedikit. Anakan karet ini dimaksudkan untuk menggantikan pohon
yang sudah tidak produktif tersebut. Sisipan secara alami dapat terjadi bilamana
anakan karet liar dibiarkan tumbuh begitu saja di antara celah tersebut.

Petani sisipan menyatakan bahwa celah dalam sistem wanatani perlu dikelola
dengan penuh seksama. Besar kecilnya celah berhubungan dekat dengan tingkat
pencahayaan ke dalam kebun. Jika celah terlalu besar, sinar matahari dapat
meningkatkan pertumbuhan gulma di samping juga dapat menjadi ruang bagi gulma
untuk tumbuh. Namun jika terlalu sempit, pertumbuhan anakan karet menjadi
lambat dan percabangannya sedikit karena kurang mendapatkan cahaya matahari
dan tingkat kompetisi yang tinggi dengan tanaman yang telah ada sebelumnya.
Selain lebar celah, lokasi celah adalah faktor penting yang juga diperhatikan oleh
petani. Tingkat tajuk pepohonan di sekitar lokasi celah perlu diperhatikan guna
memperkirakan sinar matahari yang masuk. Di samping itu kondisi tanah dimana
celah tersebut berada perlu diperhatikan terutama berkaitan dengan kelembaban
dan kandungan unsur haranya untuk mendapatkan pertumbuhan karet yang
bagus.

Perkecambahan biji karet, baik yang beregenerasi alami maupun ditanam ulang
oleh petani di dalam celah kebun karet, dapat berlangsung dengan baik bilamana
cukup mendapatkan cahaya matahari (Gambar 13). Kecukupan cahaya matahari
yang masuk ke dalam kebun ditentukan oleh kerapatan tajuk, ketinggian pohon,
dan bentuk tajuk. Pada awal karet mulai ditanam, kebutuhan cahaya masih
cukup rendah, sehingga adanya naungan dari tajuk pohon yang telah ada dapat
memberikan manfaat bagi tanaman karet muda. Walau demikian pembukaan
88 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

tajuk kanopi secara bertahap diperlukan sejalan dengan pertumbuhan anakan


tersebut. Semakin besar karet, semakin besar pula kebutuhan cahayanya.

Kerapatan Tinggi pohon


tajuk

Banyaknya
infiltrasi cahaya

Bukaan kanopi

Ketersediaan
Jumlah cabang
cahaya

Bentuk anakan
Laju pertumbuhan karet
gulma

Ketahanan hidup
Produktifitas Anakan karet
karet

Laju pertumbuhan
Laju pertumbuhan anakan karet
pohon karet

Gambar 13. Pengetahuan lokal mengenai tajuk dan cahaya serta implikasinya pada sistem
sisipan (tanda panah menunjukkan hubungan mempengaruhi dari kotak asal ke kotak target)

Konsep penutupan gulma dan kompetisi karet dengan tumbuhan di sekitarnya


untuk mendapatkan unsur hara dan air (kelembaban) dalam tanah dipahami
dengan baik oleh petani. Para petani menyatakan bahwa kerapatan dan
ketinggian tanaman bawah di sekitar tanaman karet dapat mempengaruhi
kemampuan tanaman bawah atau gulma untuk mendominasi tanaman lain. Hal
ini menyebabkan pada lokasi di mana tumbuhan bawah sangat rapat, teknik
sisipan tidak dapat diterapkan. Karena itu, penyiangan ringan di sekitar anakan
karet secara reguler diperlukan untuk mengurangi tingkat kompetisi tersebut.
BAGIAN 2-2 • Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati 89
Susilawati, Elok Mulyoutami

Dengan berkurangnya kompetisi, maka anakan karet mendapatkan unsur hara


dan kelembaban yang cukup sehingga dapat mempercepat pertumbuhannya.

Petani mencoba membandingkan dengan anakan karet baru yang ditanam pada
plot sisipan dan pada plot tebas bakar. Di area plot tebas bakar tidak terdapat
naungan maupun tumbuhan bawah. Karena itu tingkat kompetisi anakan karet
dengan tanaman lain untuk mendapatkan unsur hara dalam tanah cukup rendah.
Selain itu cahaya yang masuk ke dalam wanatani karet sangat mencukupi tanpa
adanya naungan. Selain itu, pembakaran vegetasi pada areal tebas bakar dapat
meningkatkan kesuburan tanah. Hal ini sangat menguntungkan bagi anakan karet
yang ditanam pada areal tebas bakar. Meskipun demikian, petani menyatakan
dengan pengelolaan yang dilakukan dengan seksama dan pertimbangan yang
tepat akan kecukupan sinar matahari dan kompetisi tanaman karet, maka teknik
sisipan tetap merupakan alternatif yang layak dilakukan dalam wanatani karet.

Intensitas
Tebas dan bakar penggalian Penyiangan
oleh babi

Penutupan lahan
oleh gulma

Kelemababan
Kenampakan tanah
anakan karet
Kesuburan tanah
Kemudahan
menjangkau
Ketahanan pohon karet Laju pertumbuhan
hidup
pohon
anakan karet
Kompetisi gulma
Ketersediaan
Laju pertumbuhan
cahaya
anakan karet

Laju pertumbuhan
gulma

Gambar 14. Pengetahuan lokal mengenai gulma atau tumbuhan bawah dan pertumbuhan
anakan karet dalam sistem sisipan
90 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Pada sistem sisipan, petani juga dapat melakukan okulasi jika tidak ada proses
regenerasi alami yang terjadi pada saat diperlukan, atau dengan tujuan untuk
mendapatkan sifat yang lebih unggul (misalnya diokulasi dengan bahan tanam
dari jenis klon). Jenis karet unggul (klon) tidak dapat ditanam dalam sistem
sisipan. Sebagaimana telah diketahui oleh para petani, jenis karet unggul hanya
dapat tumbuh dalam sistem yang intensif dengan input dan pengelolaan yang
tinggi. Hal ini dibuktikan dengan uji coba yang dilakukan di Jambi: Karet klon
yang ditanam di dalam hutan karet campur hampir tidak dapat tumbuh.

SISTEM SISIPAN SEBAGAI BAGIAN DARI SISTEM


WANATANI KARET
Pemahaman petani mengenai sistem sisipan berkaitan erat dengan pengetahuan
petani dalam konteks sistem wanatani secara keseluruhan. Sebagaimana telah
dikemukakan, sistem adalah suatu metode yang dikembangkan oleh petani untuk
melanggengkan produktivitas sistem wanatani karet. Karena itu, pemahaman
sistem sisipan akan lebih kaya bila ditempatkan dalam konteks sistem wanatani.
Beberapa uraian berikut menggambarkan rincian pengetahuan petani mengenai
pengklasifikasian lokal komponen-komponen yang terdapat dalam sistem wanatani
dan beberapa aspek yang berpengaruh baik positif maupun negatif terhadap sistem
wanatani karet secara keseluruhan.

Klasifikasi lokal

Jenis Tanah

Petani membedakan dua jenis tanah yang terdapat di dalam hutan karet
tradisional menjadi tanah panas dan tanah dingin. Klasifikasi ini dibuat berdasarkan
pengamatan petani dalam melihat seberapa cepat tanah memanas di bawah terik
matahari serta beberapa penjelasan lainnya yang disajikan dalam Tabel 9. Konsep
tanah dingin disini mengacu pada konsep tanah hitam dengan kandungan unsur
hara yang tinggi sehingga memiliki kesuburan yang tinggi. Sedangkan tanah panas
merujuk pada tanah yang unsur haranya kurang dan cepat bereaksi terhadap sinar
matahari. Tanah panas umumnya berwarna lebih pucat dari tanah dingin.
BAGIAN 2-2 • Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati 91
Susilawati, Elok Mulyoutami

Tabel 9. Pengetahuan petani mengenai jenis tanah di dalam wanatani karet

Atribut (perbandingan) Tanah dingin Tanah panas


Kecepatan memanas karena pengaruh Lambat Cepat
sinar matahari
Kandungan pasir Rendah Tinggi
Ukuran pasir (partikel) Kecil Besar
Kandungan hara Tinggi Rendah
Warna Gelap Terang
Porositas Rendah Tinggi
Kemampuan menahan air Tinggi Rendah
Kesuburan Tinggi Rendah
Lokasi (umumnya) Hutan dan kaki bukit Lereng bukit
Kemampuan erosi (karena air hujan) Rendah Tinggi

Variasi Jenis Karet Alam


Di Indonesia, tidak banyak informasi dari para ahli mengenai variasi jenis pohon
karet untuk spesies Hevea brasiliensis dalam sistem wanatani karet. Namun
demikian, petani melihat ada dua jenis pohon karet alam yang jika dilihat dari
morfologi daun, kulit dan produktivitas lateksnya cukup berbeda satu sama lain
(Tabel 10). Pembedaan kedua jenis pohon ini cukup dipahami secara konsisten
oleh sebagian petani, meski beberapa petani lain juga menyebutkan adanya jenis
lain selain kedua jenis tersebut.

Tabel 10.Variasi jenis karet alam dalam sistem wanatani karet di Jambi

Atribut (perbandingan) Karet merah Karet kuning


Bentuk daun Melingkar Menyempit
Ukuran daun Kecil Besar
Warna daun Hijau gelap Hijau terang
Ketebalan kulit Tebal Tipis
Warna kulit Gelap Terang
Ukuran biji Kecil Besar
Percabangan Banyak Sedikit
Laju pertumbuhan Cepat Lambat
Kepekatan latex (ketebalan) Tebal Mengandung air
92 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Meski variasi dalam spesies karet cukup dikenal oleh petani, namun tidak ada
upaya nyata dari para petani untuk melakukan seleksi dalam memilih jenis karet
mana yang lebih baik. Petani menyatakan bahwa pada tahap pencarian bibit,
cukup sulit membedakan manakah bibit yang merupakan jenis karet merah atau
jenis karet kuning. Lagipula, perbedaan produksi lateks dari kedua jenis ini tidak
terlalu signifikan terutama bilamana dibandingkan dengan kesulitan melakukan
penyeleksian bibit karet.

Jenis-jenis Pohon Non-karet dalam Wanatani Karet


Pengetahuan petani mengenai jenis-jenis pohon non-karet yang biasa tumbuh
dalam wanatani karet dikumpulkan dan dikaji. Hal ini bertujuan bukan hanya
untuk mengetahui keragaman hayati secara komprehensif saja, melainkan juga
ingin melihat kedalaman pengetahuan petani mengenai jenis-jenis non-karet
yang biasa ditemui di dalam sistem wanatani karet. Ada sekitar 30 jenis pohon
yang termasuk pohon kayu-kayuan dan pohon buah-buahan disebutkan oleh
petani. Beberapa spesies yang tumbuh cepat setelah tebas bakar dan spesies lain
yang membutuhkan waktu lebih lama untuk beregenerasi, dan jenis-jenis yang
melakukan regenerasi melalui trubusan setelah dilakukan pemangkasan bawah
(coppicing) dapat diidentifikasi dan dijelaskan oleh petani. Beberapa jenis pohon
non-karet dan karakteristiknya disajikan dalam Tabel 11.

Hutan wanatani karet memiliki keragaman jenis yang tinggi yang meliputi
lebih dari 200 jenis tumbuhan dari berbagai jenis plot. Hampir semua jenis ini
hanya memiliki sifat toleransi terhadap pertumbuhan karet bukan mendukung
pertumbuhan karet. Beberapa spesies yang dapat mengancam pertumbuhan karet
dan produksi karet harus dihilangkan dari kebun. Jenis seperti mahang (Macaranga
triloba), menarung (Trema tomentosa) dan medang (Sterculia rubiginosa) yang dapat
tumbuh cepat setelah tebas bakar juga perlu dihilangkan karena dikenal sangat
agresif dan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan karet, lagipula jenis ini
tidak memiliki nilai ekonomi. Jenis tanaman berkayu seperti kelat (Syzygium
polyanthum) dan tanaman buah seperti durian (Durio zibethinus) yang memiliki
nilai ekonomi tinggi tetap dipertahankan meski sebetulnya mereka memiliki
pengaruh negatif terhadap pertumbuhan karet. Namun demikian, umumnya
pohon buah-buahan baik yang berpengaruh negatif maupun tidak terhadap pohon
karet umumnya tetap dipertahankan asalkan memiliki nilai ekonomis.
Tabel 11. Jenis pohon yang umum terdapat dalam sistem wanatani karet (hutan karet) (dikutip dari basis pengetahuan)

Nama lokal Nama latin Waktu Agen Kecepatan Toleransi Kemampuan Atribut lain
tumbuh penebar tumbuh terhadap tumbuh
setelah benih naungan kembali
tebas atau biji setelah
bakar pemangkasan
(coppicing)
Pulai Alstonia spp 1-3 tahun Burung Cepat Toleran Ya Kayu lunak
Balam Ganua spp 1-3 tahun Kayu ringan
(Palaquium or
Payena spp)
Kelat Syzygium Angin Ya Memiliki kompetisi yang tinggi
polyanthum terhadap karet dan tanaman lain
Balik angin Macaranga co- 2 minggu Angin Cepat Tidak Kayu baru, akar dangkal,
nifera kemampuan kompetisi rendah,
tidak berbahaya untuk karet, umur
pendek – sekitar 15 tahun
Durian Durio zibethinus Mungkin Pohon tinggi dengan tajuk tebal,
umur panjang – 50 tahun, akar rapat
dan kemampuan kompetisi tinggi,
buah bernilai guna tinggi
Petay Parkia speciosa Tupai Toleran Tajuk renggang dengan daung
kecil yang dapat dengan cepat
berdekomposisi dan memiliki
tingkat kesuburan tinggi, sangat
kompetitif, dan buahnya bernilai
guna tinggi
Susilawati, Elok Mulyoutami
BAGIAN 2-2 • Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati

Manggis Garcinia man- Tajuk renggang, pohon pendek


gostana
Cempeda Artocarpus integer Lambat Toleran Mungkin Buah bermanfaat, mudah terbakar
93

Nangka Artocarpus Toleran Buah bermanfaat


heterophyllus
94

Nama lokal Nama latin Waktu Agen Kecepatan Toleransi Kemampuan Atribut lain
tumbuh penebar tumbuh terhadap tumbuh
setelah benih naungan kembali
tebas atau biji setelah
bakar pemangkasan
(coppicing)
Rambutan Nephenium Toleran Buah bermanfaat
lappaceum
Jengkol Archindendron Burung, Toleran Buah bermanfaat
jiringa tupai
Belajar dari Bungo

Kulim Hydnocarpus 1-3 tahun Lambat Kurang Ya Kayu keras, nilai kayu tinggi,
woodii semakin jarang, anakannya disukai
oleh babi
Petaling/ Ochanostachys 1-3 tahun Burung, Lambat Kurang Ya Tajuknya renggang, kayu keras,
Tenggris amentacea tupai mudah terbakar
Tembesu Fagraea fragrans Lambat Ya Mulai langka
Sekubung Macaranga gi- 2 minggu Burung Cepat Tidak Ya Kayu baru, tajuk rapat, berumur
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

gantea pendek
Mahang Macaranga triloba 2 minggu Burung, Cepat Tidak Lemah Kayu baru, umur pendek,
angin memperlambat pertumbuhan karet,
nilai ekonomis rendah
Medang Sterculia rubigi- 1-3 tahun Angin Cepat Ya Tajuk renggang, kayu lunak,
nosa memperlambat pertumbuhan karet
Meranti Shorea parvifolia 1 tahun Angin Lambat Nilai kayu tinggi, ukuran biji kecil –
dapat tersebar jauh
Menarung/ Trema tomentosa Sangat Angin Tidak Kayu baru, berakar dangkal, ke-
Angrung cepat mampuan kompetisi lemah, nilai
ekonomis rendah
BAGIAN 2-2 • Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati 95
Susilawati, Elok Mulyoutami

Hama di dalam Sistem Wanatani Karet


Selain berbagai penyakit yang mungkin timbul pada pohon karet, ancaman lain
yang perlu diperhatikan dalam budidaya karet adalah hama. Hama dari golongan
mamalia yang banyak mengganggu tanaman karet adalah babi hutan, rusa, dan
simpay. Hama babi hutan (Sus scrofa) adalah hama yang paling mengganggu
dalam wanatani karet, termasuk yang menerapkan teknik sisipan (Williams et al.,
2001b). Menurut petani, babi sering menginjak tanaman karet yang masih muda
jika sedang mencari biji karet dan serangga yang banyak terdapat pada wanatani
karet. Selain itu, babi juga menyukai getah manis yang dihasilkan dari akar
anakan karet. Jika dulu babi hanya menyukai karet dari jenis anakan liar, sekarang
babi juga mulai menyukai karet dari jenis klon atau unggul. Sedangkan rusa dan
simpay, meskipun merupakan hama yang cukup berbahaya namun umumnya
hanya menyerang wanatani karet yang lokasinya berdekatan dengan hutan.

Dari beberapa jenis hama yang telah disebutkan, petani merasakan intensitas
perusakan karet baru oleh babi lebih tinggi jika dibandingkan dengan hama
mamalia lain. Di Jambi, karena mayoritas penduduknya muslim dan tidak
mengkonsumsi babi, maka babi tidak banyak diburu oleh manusia. Namun
sebaliknya, masyarakat di Jambi memburu rusa selain untuk memakan dagingnya
juga untuk mendapatkan tanduknya. Karena itu rusa jarang ditemui di dekat area
pemukiman manusia. Hal ini dapat menjadi konfirmasi mengapa wanatani karet
yang letaknya dekat dengan areal pemukiman cenderung aman dari gangguan
rusa.

Menurut sebagian petani, populasi babi yang merusak wanatani karet meningkat
berkaitan erat dengan menipisnya lapisan hutan alami. Dengan berkurangnya
kerapatan hutan, populasi harimau sebagai predator babi juga semakin berkurang.
Petani juga beranggapan bahwa perluasan perkebunan kelapa sawit monokultur
menjadi penyebab meningkatnya serangan babi pada sistem wanatani karet.
Dengan sistem wanatani, babi dapat dengan mudah bersembunyi di sela pepohonan
dan semak jika dibandingkan pada sistem monokultur. Aktivitas penebangan dan
suara chainsaw yang bergema di areal sekitar hutan membuat babi di dalam hutan
tersebut takut dan pergi ke area wanatani karet yang terdekat untuk bersembunyi
dan mencari makan.

Untuk mengatasi masalah hama babi ini petani memiliki beberapa strategi. Salah
satu upaya untuk mengurangi kerusakan anakan karet adalah dengan membuat
pagar yang dapat menghalangi babi masuk ke area kebun. Pemagaran dapat
dilakukan di sepanjang area kebun atau melalui pemagaran secara individu di
96 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

setiap anakan karet. Namun sejumlah petani menyatakan bahwa pemagaran di


sekeliling area kebun memiliki efektivitas dan efisiensi yang lebih jika dibandingkan
dengan pemagaran individu.

Populasi
Perburuan babi Area hutan Peracunan babi
harimau

Populasi babi
hutan
Intensitas
Kerusakan anakan
penggalian
karet oleh babi
oleh babi

Kemudahan Laju pertumbuhan


Penutupan lahan anakan karet
menjangkau
oleh gulma
pohon karet

Laju pertumbuhan
Pohon karet
Penyiangan
Ketersediaan
cahaya
Tebas bakar

Penutupan Laju pertumbuhan


serasah gulma

Gambar 15. Pengetahuan ekologi lokal mengenai gulma dan hama babi

Petani memahami hubungan antara penyiangan kebun dengan intensitas


pengrusakan anakan karet oleh babi hutan. Anakan karet pada plot yang disiangi
secara bersih sangat mudah dilihat dan dijangkau sehingga akan mudah dirusak
oleh babi hutan. Di lain pihak, vegetasi yang tumbuh di lantai kebun secara alami
ini menjadi tempat yang bagus sebagai tempat babi bersembunyi dan membuat
sarang. Karena itu, satu upaya lagi yang dilakukan guna mengurangi serangan
babi adalah menyiangi sekeliling anakan karet tetapi membiarkan serasah gulma
di lorong kebun. Hal ini dimaksudkan agar babi sulit menjangkau tanaman
karet tersebut karena terhalang oleh serasah. Di samping itu, serasah gulma di
sekeliling pohon karet dapat menjadi sumber hara dan pengatur kelembaban bagi
tanaman.
BAGIAN 2-2 • Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati 97
Susilawati, Elok Mulyoutami

Upaya lain yang dilakukan petani untuk mengurangi kerusakan karet karena babi
adalah dengan menggunakan anakan karet yang berukuran besar (diameternya
lebih dari lima sentimeter). Batang anakan karet yang besar lebih tahan dari
serangan babi namun sebaliknya cara ini memiliki beberapa kelemahan. Anakan
karet berdiameter besar cenderung lebih rentan dan mudah stres jika dibandingkan
dengan yang ukurannya lebih kecil. Kerusakan yang banyak dialami oleh anakan
karet cabutan dengan diameter besar terutama pada saat pencabutan anakan
atau bibit karet itu dari lokasi lama sebelum dipindahkan ke lokasi yang baru.
Jika pencabutan tidak dilakukan dengan hati-hati anakan karet cabutan tersebut
dapat mengalami stres dan kemampuan bertahan hidupnya menjadi kurang.

PENUTUP
Sistem wanatani karet merupakan suatu sistem yang diterapkan oleh petani
dalam upaya memperpanjang siklus tradisional mulai dari tanaman karet yang
ditumpangsarikan dengan palawija, sampai akhirnya kebun muda ini berkembang
menjadi hutan karet kembali (Gouyon et al., 2000; Joshi et al., 2003). Sumber
penghidupan yang utama bagi sebagian besar petani di Jambi adalah wanatani
karet. Namun demikian, perkembangan sistem wanatani mengalami tantangan.
Sekarang ini harga karet mengalami peningkatan sehingga karet sedang menjadi
primadona. Kondisi ini membuat petani berlomba-lomba untuk membuka kebun
karet dan lebih berorientasi pada produk lateksnya. Perkebunan monokultur dan
penggunaan karet unggul lebih mendapatkan perhatian karena dapat memberikan
keuntungan yang lebih cepat dan memiliki produktivitas yang lebih tinggi daripada
hutan karet tradisional. Penggunaan bibit unggul dengan cara tanam monokultur
yang intensif menjadi pilihan utama para petani terutama yang bermodal besar.
Dari uraian tersebut, nampak jika motivasi ekonomi berpengaruh terhadap
pengambilan keputusan strategis petani dalam menentukan tipe penggunaan
lahan.

Sistem sisipan sebagai suatu bagian dari sistem wanatani karet merupakan suatu
metode untuk memperpanjang umur hutan karet tersebut agar dapat lebih lama
berproduksi. Penerapan sistem sisipan dalam sistem wanatani karet terutama
didorong adanya keterbatasan sumberdaya petani. Banyak petani yang hidupnya,
terutama untuk pemenuhan kebutuhan uang tunai harian, bergantung pada
produktivitas lateks. Sistem sisipan memungkinkan petani dapat terus menyadap
kebunnya dalam kurun waktu yang lebih lama. Selain itu, tidak perlu ada modal
yang besar untuk membuka lahan (Wibawa et al., 2005), karena penanaman
karet muda dilakukan dalam kebun karet yang sudah lebih dulu ada. Kebutuhan
98 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

sumberdaya manusia dalam sistem sisipan rendah, pengelolaan kebun dilakukan


secara ekstensif dan sederhana. Secara taktis, teknik sisipan dalam sistem wanatani
karet memang dapat memenuhi kebutuhan petani yang memiliki sumberdaya
terbatas. Lagi pula nilai keragaman sistem sisipan dalam wanatani karet cukup
tinggi sehingga memungkinkan terjadinya diversifikasi produk yang tidak hanya
lateks, melainkan juga buah-buahan dan kayu-kayuan.

Dalam studi ini terlihat bahwa pengetahuan ekologi petani tentang pertumbuhan
karet, produksi lateks, dan jenis-jenis vegetasi non-karet memiliki peran dalam
penentuan keputusan petani mengenai bagaimana mereka mengelola sumberdaya
mereka secara rutin. Pengetahuan dalam pengelolaan kebun dan pertumbuhan
karet dalam konteks sisipan dan pengetahuan untuk mengurangi kompetisi dari
beberapa spesies pohon agresif dimiliki dan dipahami secara baik oleh beberapa
petani di Jambi. Pengetahuan ini sangat mempengaruhi sejumlah keputusan taktis
petani dalam mengelola lahannya.

Pengetahuan petani mengenai teknik sisipan menunjukkan eksistensi pengetahuan


lokal dalam memberikan alternatif dalam pengelolaan sistem wanatani karet.
Sistem sisipan merupakan suatu solusi bagi petani untuk melanggengkan kebunnya,
baik kebun monokultur maupun wanatani karet, untuk tetap berproduksi tanpa
memerlukan banyak biaya dan cenderung lebih permanen. Selain itu, keragaman
hayati kebun karet dalam sistem sisipan lebih terjaga, termasuk juga jenis herba,
tanaman bawah dan berbagai pohon lain yang memiliki nilai ekonomi. Jika pada
plot tebas bakar petani perlu melakukan upaya pengayaan keragaman hayati di
plotnya, pada sistem sisipan keragaman hayati bersifat lebih alami dan memiliki
tingkatan umur yang berbeda.

Pemahaman petani mengenai sistem sisipan melengkapi wacana mengenai sistem


wanatani karet yang tidak hanya sarat dengan nilai sosial dan lingkungan, tetapi
juga menunjukkan adanya sumberdaya manusia yang mendukung dan mampu
mengelola lingkungannya secara mandiri. Beberapa waktu yang lalu, sejumlah
ahli melakukan uji coba bersama-sama dengan petani untuk menerapkan
bibit klonal yang memiliki produktivitas tinggi di dalam sistem sisipan. Hal ini
menunjukkan bahwa selain pengetahuan masyarakat memiliki kontribusi dalam
pengembangan inovasi dan teknologi, namun juga pemilik pengetahuan lokal
tersebut dilibatkan dalam upaya pengembangan teknologi tersebut (Joshi et al.,
2004). Selain itu, upaya pengayaan jenis tanaman dalam sistem wanatani karet
dapat dicoba dilakukan dengan sistem sisipan. Dengan pemahaman yang telah
dimiliki petani mengenai teknik sisipan dan jenis tanaman yang toleransi dengan
karet memungkinkan ujicoba penerapan sisipan untuk tanaman non-karet dapat
BAGIAN 2-2 • Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati 99
Susilawati, Elok Mulyoutami

dilakukan secara mandiri. Namun demikian berbagai kajian ilmiah mengenai


jenis-jenis tanaman yang tepat masih perlu dikembangkan.

Sebagai kesimpulan, terlihat bahwa sistem sisipan memiliki peran yang penting
dalam kebutuhan taktis petani. Sekalipun dengan produksi yang tidak terlalu
tinggi, sistem sisipan dalam wanatani karet menjadi alternatif cara pengelolaan
kebun yang cukup memadai bagi para petani. Tentu saja diperlukan riset
pendukung terhadap berbagai pilihan untuk mencari keseimbangan yang tepat
antara keuntungan dan fungsi lingkungan praktek sisipan dalam sistem wanatani
ini. Perlu adanya diskusi yang lebih mendalam dalam perencanaan mengenai
sistem pendukung atau mekanisme alternatif dalam jasa lingkungan, perubahan
kebijakan untuk mendorong peningkatan harga karet dan pengembangan sistem
hutan karet dan diversifikasi horisontal dari produk yang dihasilkan dalam sistem
ini.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih diberikan kepada tim ICRAF Bungo yang telah memfasilitasi kegiatan
penelitian ini. Terima kasih tak terhingga kepada masyarakat Bungo yang telah
memberikan kontribusi besar terhadap tulisan ini serta atas kesabarannya selama
terlibat dalam kegiatan penelitian ini.

BAHAN BACAAN
Berkes, F., Colding, J. dan Folke, C. 2000. Rediscovery of Traditional Ecological
Knowledge as Adaptive Management. Ecological Applications 10(5):
1251-1262
Dixon, H.J., Doores, J.W., Joshi, L. dan Sinclair, F.L. 2001. Agroecological
Knowledge Toolkit for Windows: Methodological Guidelines, Computer
Software and Manual for AKT5. School of Agricultural and Forest
Sciences, University of Wales, Bangor, Inggris: 171 pp.
Gouyon, A., de Foresta, H., dan Levang, P. 2000. Kebun Karet Campuran di Jambi
dan Sumatera Selatan. Dalam: de Foresta, H., Kusworo, A., Michon,
G. dan Djatmiko, W.A. (ed.) Ketika Kebun Berupa Hutan: Agroforest
Khas Indonesia. ICRAF. Bogor, Indonesia: 65- 83.
Joshi L, Wibawa G, Vincent G, Boutin D, Akiefnawati R, Gerhard Manurung
G dan van Noordwijk M. 2001. Wanatani Kompleks Berbasis Karet:
Tantangan untuk Pengembangan. International Centre for Research in
100 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Agroforestry, SEA Regional Research Programme. Bogor, Indonesia: 38


pp.
Joshi, L., Wibawa, G., Beukema, H., Williams, S. dan van-Noordwijk, M. 2003.
Technological Change and Biodiversity in the Rubber Agroecosystem
of Sumatra. Dalam: Vandermeer, J. (ed) Tropical Agroecosystems. CRC
Press, FL, USA: 133-157 pp.
Joshi, L., Shrestha, P.K., Moss, C. dan Sinclair, F.L. 2004. Locally Derived
Knowledge of Soil Fertility and Its Emerging Role in Integrated Natural
Resource Management. Dalam: van Noordwijk, M., Cadisch, G. dan
Ong, C.K. (ed). Belowground Interactions in Tropical Agroecosystems:
Concepts and Models with Multiple Plant Components. Chapter 2.
CABI International. Wallingford, Inggris: 17-39.
Joshi, L., van Noordwijk, M., dan Sinclair, F.L. 2005. Bringing Local Knowledge
in Perspective: A Case of Sustainable Technology Development in
Jungle Rubber Agroforests in Jambi, Indonesia. Dalam: Neef, A. (ed.)
Participatory Approaches for Sustainable Land Use in Southeast Asia.
White Lotus Press. Bangkok, Thailand: 277-289.
Mulyoutami, E., Stefanus, E., Schalenbourg, W., Rahayu, S. dan Joshi, L. 2004.
Pengetahuan Lokal Petani dan Inovasi Ekologi dalam Konservasi
dan Pengelolaan Tanah pada Pertanian Berbasis Kopi di Sumberjaya,
Lampung Barat. Agrivita 26:98 – 107.
Sinclair, F.L. dan Walker, D. 1998. Acquiring Qualitative Knowledge about
Complex Agroecosystems. Part 1: Representation as Natural Language.
Agricultural Systems, 56(3):341-363.
Sunaryo dan Joshi, L. 2003. Peranan Pengetahuan Ekologi Lokal dalam Sistem
Agroforestri. Bahan Ajaran Agroforestry 7. World Agroforestry Centre.
Bogor, Indonesia: 28 pp.
Walker, D.H. 1994. A Knowledge based Systems Approach to Agroforestry
Research and Extension. PhD Thesis. University of Wales, Bangor,
Inggris.
Wibawa, G., Hendratno, S. dan van Noordwijk, M. 2005. Permanent Smallholder
in Sumatra, Indonesia. Dalam: Palm, C.A., Vosti, S.A., Sanchez, P.A.
dan Ericksen, P.J. (ed). Slash and Burn Agriculture, The Search for
Alternatives. Columbia University Press, New York:222-232.
Williams, S.E., Gillison, A. dan van Noordwijk, M. 2001a. Biodiversity: Issues
relevant to Integrated Natural Resource Management in the Humid
Tropics. Alternative to Slash and Burn. ICRAF. Lecture Note 5: 35 pp.
Williams, S.E., van Noordwijk, M., Penot, E., Healey, J.R., Sinclair, F.L. dan
Wibawa, G. 2001b. On-farm Evaluation of the Establishment of Clonal
Rubber in Multistrata Agroforests in Jambi, Indonesia. Agroforestry
Systems 53:227-237.
BAGIAN 2-3
Mengatur Diri Sendiri melalui
Pengelolaan Lubuk Larang

Eddy Harfia Surma, Rodiah dan Hasantoha Adnan


102 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

© Trikurnianti Kusumanto
Beramai-ramai membuka lubuk larang

Papan-papan pengumuman penanda kawasan lubuk larang banyak dijumpai di


kiri-kanan pinggir Sungai Batang Pelepat sepanjang Desa Rantau Keloyang hingga
ke Batu Kerbau, Kecamatan Pelepat. Malah ada yang menerangkan berbagai
aturan pengelolaan dan sanksi bagi para pelanggarnya. Tapi, apa sebenarnya yang
dimaksudkan dengan lubuk larang?

Secara etimologi, lubuk larang terdiri dari kata ”lubuk” dan kata ”larang”. Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata ”lubuk” diartikan ”tempat yang dalam di
sungai, telaga, atau laut”1, sedangkan kata ”larang” diartikan ”perintah dilarang
melakukan suatu perbuatan”. Jika kata ini ditambah dengan akhiran -an akan
menjadi kata ”larangan”2. Aturan lubuk larang atau lubuk larangan mengartikan
sebuah lubuk, bagian sungai yang berceruk dan menjadi tempat ikan bertelur,
dilarang dan dibatasi pengambilan ikannya selama kurun waktu tertentu, atas
dasar kesepakatan bersama masyarakat. Secara sederhana orang akan cepat
mengartikannya sebagai suatu kawasan tertentu di sungai yang dilindungi dalam
masa tertentu.

Aturan juga menyebutkan, peralatan yang digunakan dalam mengambil ikan


dibatasi pada alat tangkap yang dapat menjamin kelestarian ikan. Sanksi juga
berlaku untuk pengambilan yang menggunakan racun, putas, setrum, dan

1 Kamus Umum Bahasa Indonesia, (1990) halaman 610


2 Masyarakat sekitar sering menyebutnya dengan kata Lubuk Larangan
BAGIAN 2-3 • Eddy Harfia Surma, Rodiah dan Hasantoha Adnan 103

bahan peledak. Bagi masyarakat, bukan hanya denda adat dan sanksi sosial yang
membuat mereka tidak mau mengambil ikan di lubuk larang, tetapi berkaitan
dengan kepercayaan adanya bahaya bagi mereka yang mengambilnya. Melalui
kesepakatan bersama sebuah lubuk larang lalu dibuka, dipanen dan hasilnya
digunakan untuk keperluan masyarakat tertentu.

Gambaran ini memperlihatkan bahwa lubuk larang merupakan tradisi turun


temurun masyarakat di sekitar sungai dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Selain memberi nilai ekonomi, ternyata lubuk larang juga menyimpan kearifan
lokal. Melalui lubuk larang komunitas setempat mengembangkan konsep
pengelolaan sumberdaya alam secara komunal. Konsep ini cenderung mengurangi
eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya alam, khususnya sungai. Dengan
mengelola lubuk larang masyarakat desa mampu menanam dan mengembangkan
investasi modal sosial (social capital) di antara mereka dalam format pengelolaan
sumberdaya “milik bersama”.

Itu juga menggambarkan peran masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya


alam secara arif dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan dan
kesejahteraan. Hal ini menjadi penanda pentingnya keterlibatan masyarakat
dalam pengelolaan sumberdaya alam.

Peran ini semakin penting seiring dengan semakin tingginya tingkat kerusakan alam
akibat salah urus pengelolaan sumberdaya alam, seperti yang ditunjukkan oleh
hasil temuan tim kolaboratif KKI-WARSI3, BirdLife Indonesia4, Dinas Kehutanan
Propinsi dan kabupaten-kabupaten di Propinsi Jambi, serta dukungan INFORM5.
Sejak awal 2004, tim melakukan penyusunan dokumen potret kondisi hutan Jambi
antara 1990-2000. Kendati tidak secara spesifik menyoroti kondisi hutan di Taman
Nasional Kerinci Seblat (TNKS), namun analisa citra Landsat memperlihatkan
dalam kurun waktu 10 tahun, luasan tutupan hutan di Jambi berkurang sekitar satu
juta ha6. Kerusakan hutan ini disebabkan oleh konversi untuk perkebunan kelapa
sawit, Hutan Tanaman Industri (HTI) atau Hak Pengusahaan Hutan Tanaman
Industri (HPHTI), Hak Pengusahaan Hutan (HPH), penebangan liar, kebakaran
3 Sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dalam pengelolaan lingkungan dengan motto “Konservasi Bersama Masyarakat”, berkantor
di Kota Jambi dengan wilayah kegiatan saat ini di seluruh Sumatera. Untuk lebih jelas silahkan lihat di http://www.warsi.or.id
4 Perhimpunan Pelestari Burung Indonesia merupakan organisasi konservasi nasional yang berbasiskan keanggotaan, dan bekerja pada upaya-upaya
konservasi burung, penelitian dan pengelolaan informasi, jaringan kerja, komunikasi dan advokasi, serta pengembangan keanggotaan. Bisnis utamanya
adalah menyediakan kesempatan dan memberikan pelayanan bagi publik untuk berperan serta pada upaya pelestarian burung dan habitatnya di
Indonesia. Menjadi organisasi mandiri berarti membuka kesempatan untuk mengembangkan arah dan kepemimpinan lokal, serta mengembangkan
konstituen nasional, berkantor di Bogor. Untuk lebih jelas silahkan lihat http://www.birdlife.org/worldwide/national/indonesia/
5 Indonesia Forest dan Media Campaign (INFORM), merupakan kerjasama beberapa lembaga swadaya masyarakat di Indonesia yang fokus utamanya
pada kampanye pengelolaan hutan di Indonesia
6 Dari analisa citra Landsat (tanpa melakukan verifikasi lapangan) diketahui, Jambi pada 1990 masih memiliki tutupan lahan (vegetasi) berupa hutan
yang masih dominan yaitu 2,4 juta ha atau sekitar 49,97% dari seluruh luas propinsi. Hutan seluas itu terdiri dari berbagai tipe baik hutan dataran
rendah, hutan sub alpin (pegunungan) ataupun hutan rawa. Tetapi pada 2000 tutupan lahan hutan hanya tinggal sebesar 1,4 juta ha atau sekitar 29,66
% dari luas Jambi. Berdasarkan angka ini dalam kurun waktu 10 tahun, terjadi pengurangan luas tutupan lahan hutan hampir 1 juta ha, tepatnya
sebesar 989.466 ha atau sekitar 20,31 % tutupan lahan hutan di Jambi hilang dalam jangka waktu 10 tahun. Untuk jelasnya silahkan lihat Taher,
(2005).
104 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

dan pembakaran hutan. Selain itu, pertambahan luas kebun karet masyarakat
yang menurut data BPS mencapai ± 87,674 ha, penambahan areal pertanian dan
perkebunan untuk transmigrasi seluas 246,133 ha, serta pertambahan penduduk
yang mencapai ±1.84%.

Temuan lain diperlihatkan dalam Studi Sosial Ekonomi yang dilakukan Yayasan
Gita Buana bersama Uni Eropa melalui program Forest Inventory Monitoring Project
(FIMP) pada September 1998. Studi ini memperlihatkan desa-desa di sekitar
bufferzone (kawasan penyangga) TNKS di Propinsi Jambi yang sedang dalam
tekanan. Desa-desa yang sebagian besar berada di hulu sungai, kini menjadi sasaran
konversi lahan untuk perkebunan (HTI, karet dan sawit) maupun transmigrasi.
Malangnya, tak jarang konversi itu dilakukan di lahan-lahan produksi masyarakat
(seperti kebun karet tua) dan dilakukan secara paksa dengan ganti rugi yang
sangat murah.

Beranjak dari pemikiran di atas, kiranya penting untuk menangkap secara utuh
pesan pengelolaan lubuk larang oleh masyarakat itu. Pada dasarnya, itu merupakan
cerminan masyarakat yang mampu mengatur diri-sendiri dalam memenuhi
kebutuhan dan mengatasi permasalahan secara bersama. Sikap inilah yang
sesungguhnya menjadi dasar bagi otonomi desa. Dengan sikap ini mereka mampu
menanam dan mengembangkan investasi modal sosial dalam sistem pengelolaan
lubuk larang.

Selain itu, keberadaan Batang Pelepat sebagai daerah penyangga TNKS semakin
menambah penting peran masyarakat untuk turut mempertahankan kelestarian
sumberdaya alam. Pengelolaan lubuk larang juga akan berkait dengan ekosistem di
sekitarnya dan bukan hanya sungai. Keberadaan lubuk larang akan tetap terjaga
jika hutan di wilayah ini juga terjaga, tanahnya tidak terganggu, sumber air masih
baik, dan pengelolaan yang berkelanjutan oleh orang-orang yang ada di sekitar
daerah tersebut. Pergeseran dari semua keadaan di atas akan menyebabkan lubuk
larang tinggal menunggu masa kehancurannya.

PENGELOLAAN LUBUK LARANG

Diawali dengan Yasinan


Hari itu, Jum’at 17 Juni 2005. Matahari menerpa bantaran yang menjorok ke
sungai. Beberapa anggota masyarakat Dusun Pedukuh, Desa Baru Pelepat mulai
BAGIAN 2-3 • Eddy Harfia Surma, Rodiah dan Hasantoha Adnan 105

berkumpul. Mereka berkopiah dan


mengapit kitab kecil yang memuat
Surat Yasin. Ada yang segera mengambil
posisi duduk khidmat beralaskan batu-
batu sungai, ada yang menuju sungai

© Hasantoha Adnan
untuk berwudhu. Kepala Desa Baru
Pelepat, Ketua BPD, para tokoh adat,
ninik mamak, alim ulama dan anggota
masyarakat lainnya tampak mengambil
Masyarakat Dukun Pendukuh sedang bagian, duduk khidmat dalam
berkumpul untuk Yasinan lingkaran. Sementara beberapa ibu-ibu
menyiapkan penganan pagi itu.

Kegiatan diawali dengan penjelasan dari ninik mamak Dusun Pedukuh, Bapak Abu
Nazar. Beliau menegaskan, duduk masalah dilaksanakannya kegiatan pembacaan
Yasinan kali ini untuk membentuk Lubuk Larang Batu Sawan. Pembuatan lubuk ini
bukan hanya untuk guru, tetapi juga untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan
murid dan Sekolah Dasar Negeri (SDN) 171 yang sudah berdiri sejak lama di
Dusun Pedukuh. Hal ini diperlukan karena kendati sudah ada dana bantuan dari
pemerintah namun masih dirasakan kurang mencukupi. Pembuatan lubuk ini hasil
kesepakatan antara masyarakat, selaku orangtua murid, guru, dan pemerintah
desa. Ketika lubuk larang ini dibuka kelak, diharapkan hasilnya dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan sekolah. Menegaskan pernyataan tersebut, Pak Sudar, Kepala
SDN 171 yang sejak 1987 mengajar di Desa Baru Pelepat, menyatakan, “Hasil dari
lubuk larang ini akan dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk peserta didik.”

Hamdan, Kepala Desa Baru Pelepat, dalam sambutannya, merasa bangga dan
menyambut baik inisiatif untuk membuat lubuk larang sebagai upaya membantu
pemenuhan keperluan dan kebutuhan sekolah. Sepengetahuan Hamdan yang
telah menjadi kepala desa selama empat tahun, ini baru pertama kali di Pelepat
Ulu, masyarakat bersama para pengajar bergotong-royong membentuk lubuk
larang untuk keperluan sekolah. Hamdan berharap, semoga hal ini dapat menjadi
contoh bagi dusun lain di Baru Pelepat maupun desa lainnya. Lebih jauh Hamdan
mengemukakan rasa bangganya, karena lubuk ini menjadi wujud kepedulian
masyarakat terhadap pendidikan. “Rasa kepedulian ini sangat penting demi kemajuan
dan perubahan ke arah yang lebih baik,” kata Hamdan.

Usai membaca Surat Yasin, acara dilanjutkan dengan pembacaan doa, memohon
keselamatan dan kesejahteraan kepada Sang Khalik. Memohon ampun, diberikan
kekuatan dan dijauhkan dari rintangan dalam menjalankan tugas di muka bumi
106 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

ini. Acara pun dilanjutkan dengan ramah tamah dan diskusi kecil tentang
mekanisme mengelola lubuk larang ini, kapan rencananya akan dibuka dan
bagaimana pemanfaatan hasilnya.

Membentuk Lubuk Larang

Berakhirnya pembacaan Yasin dan doa menandakan dimulainya pengelolaan Lubuk


Larang Batu Sawan. Pengelolaan lubuk ini diawali dengan musyawarah untuk
mencapai kesepakatan para pihak di desa atau dusun atau kelompok tertentu
dengan melibatkan ninik mamak di desa untuk menutup sebuah lubuk. Pada saat
itu ditentukan lubuk yang akan ditutup dengan pertimbangan bahwa potensi ikan
lubuk itu besar dan lokasinya dekat dengan desa.

Lubuk Larang Batu Sawan bukanlah satu-satunya lubuk di Desa Baru Pelepat.
Berdasarkan identifikasi awal tercatat sekurang-kurangnya 20 buah lubuk larang
di sepanjang hulu Batang Pelepat yang tersebar di lima desa, yaitu Batu Kerbau,
Baru Pelepat, Rantel, Balai Jaya, dan Rantau Keloyang (Tabel 12).

Umumnya lubuk larang ini berada di dekat pemukiman penduduk yang bisa
dimanfaatkan sebagai tepian (tempat mandi dan mencuci) serta dapat diawasi
setiap saat dari gangguan para pihak, baik dari dalam desa maupun luar desa.
Panjang kawasan yang dijadikan lubuk larang ini antara 50-500 m, dengan lebar
20-80 m, tingkat kedalaman sungai di sekitar lubuk tersebut berkisar antara 50
cm sampai enam meter. Bentuknya ada yang lurus memanjang atau berkelok
tergantung kondisi lubuk yang ada di sungai tersebut.

Tabel 12. Penyebaran lubuk larang di hulu Sungai Batang Pelepat

No Desa Jumlah Lubuk Larang Pembentukan (Tahun)


1 Batu Kerbau 7 1997
2 Baru Pelepat 6 1997
3 Rantel 3 2001
4 Balai Jaya 1 2003
5 Rantau Keloyang 3 2001
20

Pengelolaan lubuk larang untuk wilayah Desa Rantel, Balai Jaya, dan Rantau
Keloyang baru dilakukan sekitar dua hingga tiga tahun belakangan ini. Sementara,
BAGIAN 2-3 • Eddy Harfia Surma, Rodiah dan Hasantoha Adnan 107

pengelolaan lubuk larang dalam waktu lama (sejak 1980-an) telah dilakukan
di Desa Batu Kerbau dan Baru Pelepat. Jumlah lubuk larang di setiap desa juga
beragam, dan pada umumnya disesuaikan dengan jumlah dusun yang ada pada
desa tersebut.

Keberadaan lubuk larang ini di beberapa tempat ditandai dengan tali, bendera
atau umbul-umbul di sepanjang lubuk yang dijadikan kawasan. Bisa juga dengan
pemberitahuan melalui upacara tertentu, baik secara ritual adat maupun keagamaan
di kawasan tersebut pada saat penutupan atau pembukaan (pengambilan hasil),
sesuai dengan hasil kesepakatan masyarakat di wilayah tersebut. Dengan cara
begitu, seluruh masyarakat di desa tersebut sudah mengetahui keberadaan dan
letak lubuk larang tersebut. Akan tetapi, untuk para pendatang yang baru masuk
dan tidak mengetahui adanya kawasan tersebut, bentuk pemberitahuan semacam
itu biasanya tidak efektif. Karena itu, perlu ditambah dengan pemasangan papan
pengumuman yang dipancangkan di sekitar kawasan lubuk larang.

Tujuan penetapan sebuah lubuk larang adalah: pertama, penegasan bahwa lubuk
larang itu dikelola oleh desa atau dusun. Menurut Tafrizal, Kepala Desa Batu
Kerbau, biasanya hasil dari lubuk larang ini akan dijadikan kas desa atau dusun dan
digunakan untuk pembiayaan pembangunan desa, baik fisik maupun non fisik,
seperti masjid, madrasah, rumah sekolah, membiayai rapat-rapat desa, perayaan
kemerdekaan ataupun untuk penyediaan lauk-pauk untuk menyambut tamu-
tamu istimewa seperti pejabat dari kabupaten atau propinsi serta pihak lain yang
datang berkunjung ke desa ini7. Terkadang lokasi lubuk larang dijadikan lokasi
pemancingan dan biasanya dikenai tarif tertentu.

Kedua, lubuk larang dikelola dengan tujuan khusus oleh kelompok tertentu, seperti
Lubuk Larang Batu Sawan yang dikelola untuk keperluan sekolah. Menurut Pak
Sudar, hasil dari lubuk larang tersebut nantinya untuk memenuhi keperluan
sekolah, seperti penyediaan alat ajar, membayar guru honorer, maupun untuk
membantu murid sekolah yang tidak mampu dan tidak memperoleh bantuan
untuk keperluan sekolahnya dari komite sekolah maupun dari pemerintah8. ”Ini
wujud kepedulian kami atas pengembangan pendidikan di desa. Kalau hanya
menunggu bantuan dari pemerintah, entah kapan turunnya?” katanya memberi
alasan pentingnya keberadaan lubuk larang ini.

7 Hal ini diberlakukan mengingat letak desa yang cukup jauh dari kota kabupaten serta kondisi jalan yang buruk, sehingga kedatangan tamu-tamu dari
luar desa cukup mendapat perhatian. Dan menjadi kewajiban perangkat desa untuk menjamu tamu-tamu tersebut. Bagi desa, kehadiran tamu-tamu
dari luar menjadi sumber informasi bagi desa. Khusus bagi tamu-tamu dari pemerintah (baik kabupaten, propinsi maupun nasional) kehadiran mereka
membuktikan bahwa desa mereka diperhatikan, selain itu biasanya kedatangan mereka berkaitan dengan program pembangunan desa. Wawancara
pada 20 Oktober 2005.
8 Wawancara 21 Oktober 2005
108 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Ketiga, lubuk larang yang dikelola oleh kelompok yasinan ibu-ibu9, seperti di Desa
Baru Pelepat dan Batu Kerbau. Mereka secara khusus mengelola lubuk larang yang
hasilnya akan menjadi kas kelompok dan digunakan untuk keperluan kelompok,
seperti penyediaan pakaian adat dan perlengkapan perkawinan, modal untuk
membuat kerajinan, ataupun sebagai dana untuk upacara atau ritual kelahiran,
sunatan maupun kematian10.

Aturan dan Sanksi


Suatu lubuk dilarang untuk dipanen dalam jangka waktu tertentu, biasanya 6-24
bulan. Aturan itu juga menyebutkan peralatan yang digunakan dalam pengambilan
ikan dibatasi pada alat-alat yang dapat menjamin kelestarian ikan. Ada berbagai
jenis alat yang diperbolehkan, seperti lukah (bubu), jala, pancing dan alat bantu
ilau (anyaman yang terbuat dari daun enau yang digunakan untuk memburu ikan
ke arah lukah). Sanksi akan dikenakan untuk penggunaan racun, putas, setrum,
dan bahan peledak. Agar diketahui khalayak, lubuk ini ditandai dengan rentangan
kawat, dan papan peringatan bertuliskan “Lubuk Larang “, misalnya, ”Di sini lokasi
Lubuk Larang Dusun Pedukuh”.

Bagi siapa saja yang melanggar ketentuan ini akan dikenakan sanksi secara adat yang
telah disepakati oleh ninik mamak dan seluruh masyarakat desa. Sanksi biasanya
diberikan secara bertahap dengan besaran denda tergantung kadar kesalahannya.
Orang mencuri ikan di lubuk larang biasanya diberi teguran pertama, oleh kepala
desa atau dusun atau kelompok. Teguran ini diikuti dengan denda adat berupa
”ayam satu ekor, beras satu gantang11, serta kain putih sebanyak dua kayu”12.

Pelanggaran lebih berat (misal, ikan yang dicuri dalam jumlah besar) dikenakan
denda adat yang lebih berat lagi. Biasanya berupa ”satu ekor kambing, beras 20
gantang, seasam segaram (beserta bumbu masaknya) serta uang Rp 500.000, ditambah
kain dua hingga empat kayu”. Bagi pelanggaran dengan menggunakan alat setrum
atau racun akan langsung dikenakan sanksi adat dengan denda yang berat, tanpa
melalui tahapan pemberian teguran lagi. Jika perlu, langsung diserahkan kepada
pihak yang berwajib.

9 Kelompok yasinan ibu-ibu sesungguhnya berupa pengajian rutin mingguan yang dilakukan oleh ibu-ibu dalam satu dusun pada hari Jum’at. Biasanya
dilakukan pagi hari hingga menjelang waktu sholat Jum’t. Materi dalam pengajian itu biasanya adalah pembacaan Surat Yasin secara bersama-sama
maupun pembahasan tentang materi agama. Biasanya seusai pengajian, mereka melanjutkan dengan melaksanakan arisan. Selain arisan, kelompok ini
juga menyediakan peralatan pernikahan (pakaian adat, piring, hiasan, dan lainnya) juga sitem simpan pinjam. Dana kelompok dihimpun, selain dari
iuran anggota juga dari hasil lubuk larangan.
10 Wawancara dengan Ibu Evi Yulianti, ketua PKK Desa Baru Pelepat pada 18 Oktober 2005
11 1 gantang beras setara dengan 2,5 kilogram.
12 1 kayu kain setara dengan 2,5 meter
BAGIAN 2-3 • Eddy Harfia Surma, Rodiah dan Hasantoha Adnan 109

Meski begitu, masyarakat tidak melihat


denda adat dan sanksi sosial itu sebagai
alasan mereka tidak mau mengambil
ikan di lubuk larang. Mereka lebih
percaya terhadap adanya potensi
bahaya bagi pelaku pelanggaran.
“Masyarakat di sini masih percaya,
orang yang berani mengambil ikan di
lubuk larang akan sakit dan celaka.
Perut akan terasa mulas jika memakan
ikan hasil curian. Sakit baru berhenti
kalau sudah dibacakan Surat Yasin
sebanyak 40 kali dan meminum air
© Hasantoha Adnan

yang telah didoakan pemuka agama,


selanjutnya dimandikan,” kata Mirul,
seorang tokoh masyarakat.
Tanda batas lubuk larangan
Banyak juga mitos-mitos yang menyertai
kepercayaan atas keangkeran lubuk ini,
di antaranya sejak sebuah lubuk dinyatakan terlarang, ikan-ikan menjadi lebih
banyak dan tak jarang lebih sering berdiam di tempat tersebut. Bahkan pernah
ada seorang penduduk yang mencoba mancing di lubuk yang bersebelahan dengan
lubuk larang, ia melihat ikan-ikan seolah mengejek dan tidak mau memakan
umpannya seraya pergi melenggang ke arah lubuk larang.

Aturan adat ini begitu kuat. Tak heran bila acap kali ikan-ikan dalam satu lubuk
berlebih, melampaui kemampuan lubuk untuk menampungnya. Seperti, Lubuk
Busuk yang juga berada di Desa Baru Pelepat. Nama ini diberikan karena pada satu
saat lubuk tersebut kebanjiran ikan, namun masyarakat tidak berani mengambilnya
karena belum waktunya dibuka. Akhirnya, lubuk itu tak mampu lagi menampung
ikan yang ada dan menyebabkan banyak ikan mati. Bau busuk yang ditimbulkan
pada peristiwa itu membuat lubuk itu dinamai Lubuk Busuk.

Membuka Lubuk Larang


Setelah lebih satu tahun atau jika dianggap hasil ikannya sudah cukup banyak,
para tokoh adat, ninik mamak dan masyarakat kemudian membuat kesepakatan
110 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

untuk membuka lubuk larang13. Pembukaan lubuk larang biasanya dilakukan pada
saat musim kemarau, yaitu saat air sungai surut dan ikan lebih banyak berkumpul
di lubuk.

Ada beberapa cara pembukaan lubuk larang ini, cara yang paling umum dilakukan
secara bersama-sama oleh seluruh masyarakat desa (dusun, anggota) kelompok.
Pembukaan lubuk dilakukan melalui musyawarah pembentukan panitia, serta
menentukan waktu dan peralatan yang perlu disiapkan. Panitia kemudian akan
menentukan siapa saja yang bertugas mengambil bahan untuk menangkap ikan
seperti rotan, bambu, daun aren, kayu, dan lain-lain. Pengerjaannya dilakukan
secara bergotong-royong, dengan rata-rata pelaksanaan selama dua hari penuh.

Adakalanya pembukaan sebuah lubuk dilakukan secara borongan kepada pihak


lain. Pemborong biasanya anggota masyarakat atau pihak dari luar desa dan tak
jarang pejabat yang tengah berkunjung ke desa. Untuk sistem borongan seperti
ini, biasanya pemborong diberi waktu tertentu, yaitu 2-7 hari sejak lubuk tersebut
dibuka. Tak jarang pemborong menggunakan jasa penduduk setempat dalam
melakukan pemanenan, namun tidak jarang pula sudah mempunyai tim sendiri
yang khusus didatangkan dari luar desa dengan peralatan yang lebih baik jika
dibanding dengan peralatan yang ada di desa.

Peralatan yang digunakan untuk


menangkap ikan ditentukan oleh
kelompok atau desa, dengan
tujuan tidak merusak atau
membunuh seluruh ikan yang
ada di tempat tersebut. Alat yang
© Trikurnianti Kusumanto

digunakan pada umumnya berupa


peralatan sederhana dan dapat
dibuat sendiri oleh masyarakat
setempat seperti jala, jaring atau
Membuka lubuk larangan adakalanya dihadiri oleh
pukat, panah ikan dengan cara
pejabat daerah, seperti saat Wakil Bupati Bungo, menyelam, lukah, atau ilau. Tidak
Bapak H. Abdul Malik HM, SE membuka lubuk diperbolehkan menangkap ikan
larang di Desa Baru Pelepat pada 6-7 Agustus 2005. dengan menggunakan alat setrum,
Kunjungan ini juga untuk melihat berbagai program
pembangunan yang telah berjalan di desa bahan peledak apalagi dengan cara
meracun atau tuba dengan bahan
dari tanaman atau potasium yang

13 Namun tak jarang pula sebuah lubuk larang tidak dibuka hingga lebih dari 2-3 tahun. Hal ini bisa terjadi bila dianggap ikan di lubuk masih sedikit,
atau tidak adanya tamu istimewa yang datang, musim penghujan yang pendek, ataupun masyarakat belum membutuhkan dana.
BAGIAN 2-3 • Eddy Harfia Surma, Rodiah dan Hasantoha Adnan 111

dapat merusak serta membinasakan seluruh ikan yang ada di lubuk tersebut sampai
ke wilayah lain di sekitarnya. Alat transportasi yang digunakan berupa perahu dan
rakit yang ada di sekitar desa.

Seringkali pembukaan lubuk larang dibarengi dengan kegiatan tertentu, misalnya


dengan menampilkan tari-tarian setempat dan lagu-lagu daerah. Boleh dibilang,
kegiatan ini juga dapat menjadi sebuah pesta atau festival seni yang meriah bagi
penduduk desa.

Sistem Bagi Hasil


Jenis ikan yang lazim diperoleh dari pemanenan sebuah lubuk antara lain adalah
ikan Semah, Barau, Tilan, Baung, Seluang dan jenis lainnya14. Pembagian hasil
penangkapan ikan tersebut dilakukan melalui dua sistem. Pertama, dijual secara
keseluruhan (borongan) kepada pihak tertentu sehingga desa atau kelompok
hanya mendapatkan uang sesuai dengan jumlah yang disepakati dan ikan yang
berhasil ditangkap menjadi milik si pembeli. Keuntungan dari sistem ini, desa
atau kelompok tidak perlu lagi bekerja untuk melakukan panen ikan tapi sudah
langsung memperoleh dana tunai. Namun sistem ini juga ada kerugiannya, berupa
kemungkinan ikan yang diperoleh jika dipanen sendiri nilainya akan melebihi
jumlah jika dijual langsung kepada pihak lain tersebut. Selain itu, masyarakat
juga tidak mendapat kesempatan mengambil ikan untuk memenuhi kebutuhan
hariannya. Hal ini tentunya berbeda bila mereka membuka lubuk larang tersebut
secara bersama-sama.

Sementara di pihak pemborong juga akan mempunyai kemungkinan untung


atau malah rugi, jika jumlah ikan yang dapat dipanen banyak maka dia akan
memperoleh keuntungan dari hasil penjualan ikannya dan jika hasil tangkapannya
sedikit maka dia akan mengalami kerugian. Kisaran harga borongan untuk satu
lubuk larangan di wilayah ini antara 1-5 juta rupiah.

Untuk borongan atau pembelian yang dilakukan oleh pejabat dari kabupaten
atau propinsi serta pengusaha umumnya lebih bernuansa politis untuk menarik
simpati masyarakat di wilayah tersebut, atau dijadikan sebagai ajang untuk
mengumpulkan masyarakat guna mensosialisasikan program yang diembannya.
Yang lebih sering lagi, dimaksudkan sebagai sarana hiburan bagi pejabat atau

14 Beberapa jenis ikan yang di kenal didaerah ini seperti ikan semah (Labeobarbus douronensis atau Tordourounensis), barau (Hampala macrolepidota),
baung (Mystus spp.), lele (Clarias batrachus), tilan (Mastacembalus sp. atau Macrognanthus sp.), seluang (Rasbora spp.), balung, bajubang, mentili, malis,
semancung, kelari, tampang durian, buntal (Tetraodon sp.), inggi, belut (Monopterus albus), dalun, udang, bujuk atau gabus (Channa striatus), lidi, galah,
jua, lampam (Puntius gonionotus), sangkak/kepiting (Scylla serrata), salak, silokok, salimang (Crossochilus oblongus)
112 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

pengusaha tersebut bersama keluarganya untuk melepaskan kejenuhan hidup di


kota selama ini. Terkadang panen yang dilakukan hanya dilakukan sekedarnya
saja, ikan yang dipanen tidak perlu diambil sebanyak mungkin tapi cukup hanya
untuk disantap bersama-sama di tempat tersebut dan ditambah sedikit oleh-oleh
untuk dibawa pulang ke rumah. Pemanenannya juga lebih banyak melibatkan
anggota masyarakat yang bersedia membantu dengan sistem upah uang atau bagi
hasil. Dengan sistem ini, umumnya jumlah ikan hasil tangkapan lebih sedikit
jika dibandingkan dengan penjualan kepada pihak lain yang benar-benar ingin
memperoleh keuntungan dari hasil panen. Sehingga jumlah ikan yang masih
tersisa di tersebut juga masih banyak untuk dilakukan pemanenan di masa yang
akan datang.

Kedua, pemanenan dilakukan secara serentak bersama-sama pada waktu yang


telah disepakati. Seluruh anggota masyarakat dapat berpartisipasi dalam kegiatan
ini dengan mengikuti aturan yang dibuat, seperti alat yang diperbolehkan untuk
digunakan, batasan waktu pemanenan serta persentase hasil yang dibagikan.
Biasanya kegiatan ini dikoordinasikan oleh panitia yang ditunjuk sebelumnya.
Adapun bentuk pembagian hasilnya berbeda-beda untuk setiap wilayah. Secara
umum dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Bagi empat, maksudnya tiga bagian hasil ikan yang di peroleh, dijual untuk kas
desa atau kelompok dan satu bagian untuk masyarakat yang menangkapnya
2. Ada juga yang menerapkan berdasarkan alat tangkapnya, seperti:
a. Bila menggunakan jala, pukat atau jaring, hasilnya dibagi tiga, dua bagian
untuk kas desa atau kelompok dan sisanya untuk penangkap ikan.
b. Menggunakan panah atau alat tembak15, pembagian hasilnya dibagi dua,
yaitu satu bagian untuk kas desa atau kelompok dan sisanya untuk si
penembak.

Saat membuka lubuk larang ini, selain untuk memperoleh hasil berupa ikan yang
akan dijual untuk mencari dana bagi pembangunan desa (dusun, kelompok),
kegiatan ini juga dijadikan sarana hiburan bagi masyarakat setempat ataupun pihak
lain yang memang sengaja diundang. Serta bagian dari upaya lebih mengeratkan
silaturahmi diantara mereka setelah sekian lama tidak bertemu karena kesibukan
masing-masing.

15 Alat yang sering digunakan di desa adalah senapan tembak, yaitu alat yang cara kerjanya seperti senapan dengan besi panah, namun dibuat sedemikian
rupa menyerupai pistol. Ada karet pengait yang berfungsi sebagai pelontar busur dan mata tembaknya, yaitu batangan besi kecil yang ujungnya
diruncingkan. Alat ini dipergunakan sambil menyelam di dalam lubuk. Bila kegiatannya dilakukan malam hari, diperlukan lampu senter sebagai alat
penerangannya.
BAGIAN 2-3 • Eddy Harfia Surma, Rodiah dan Hasantoha Adnan 113

Pengawasan
Karena lubuk larang dibentuk berdasarkan keinginan bersama dan juga
kepemilikannya bersama serta pengerjaannya dilakukan secara bergotong-royong
baik laki-laki maupun perempuan, maka pengawasannya juga dilakukan oleh
semua warga. Tidak ada orang khusus untuk menjaganya, namun semua orang
dapat bertindak sebagai pengawas dan melaporkan setiap pelanggaran yang terjadi
kepada pemerintah desa (dusun) atau kelompok pengelolanya.

Di tempat tertentu sudah ada kelompok pengelola khusus untuk lubuk larang
ini. Salah satu tugasnya adalah melakukan pengawasan lebih aktif dibandingkan
anggota masyarakat biasa. Pengawas juga akan menjadi pihak yang sangat
berkepentingan untuk menjalankan sanksi jika terjadi pelanggaran, bahkan
sampai kepada proses pengaduan kepada pihak yang berwajib jika dibutuhkan.

Pengawasan lubuk larang juga dikaitkan dengan hal-hal magis dari kegiatan
spiritual yang mereka lakukan saat membentuk atau menutup lubuk larang ini.
Ada keyakinan, pembacaan Surat Yasin sebanyak 40 kali, tahlil dan doa akan
membuat takut orang yang akan melanggar karena akan memperoleh petaka
dalam hidupnya, baik secara materi maupun dalam bentuk lainnya.

Pengawasan bukan hanya dilakukan terhadap pihak yang bermaksud mencuri


ikan dari lubuk tersebut, tetapi juga dilakukan pada saat pelaksanaan pemanenan
ikan. Hal ini berkaitan dengan peralatan yang akan dipakai untuk penangkapan
agar tidak merusak dan membinasakan seluruh sumberdaya ikan yang ada
di dalamnya. Ini sebagai proses seleksi terhadap ikan yang akan diambil tanpa
mengganggu perkembangbiakan ikan di tempat tersebut. Selanjutnya, kelompok
ini juga mengawasi waktu yang diberikan untuk pemanenan agar tidak melewati
batas yang sudah ditentukan. Pada umumnya, waktu pemanenan dibatasi selama
24 jam. Setelah itu, lubuk akan ditutup kembali.

Dampak Keberadaan Lubuk Larang


Keberadaan lubuk larang di sepanjang Sungai Batang Pelepat memberikan dampak
beragam bagi masyarakat di sekitarnya. Secara sosial, hasil dari pengelolaan lubuk
larang dapat dipergunakan untuk:
• Membantu pihak yang membutuhkan, terutama bagi yang tidak mampu
seperti anak yatim piatu dan orang lanjut usia yang dalam hal ini berkaitan
dengan penyediaan dana
114 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

• Mempererat tali silaturahmi, baik antara masyarakat dalam desa (dusun) itu
sendiri atau dengan pihak luar yang diundang terlibat dalam kegiatan ini
• Melatih kedisiplinan bagi masyarakat dalam mentaati aturan yang sudah
disepakati guna menjaga sumberdaya alam yang ada di wilayahnya
• Sarana hiburan
• Sarana untuk berkumpul dan bertukar pendapat tentang pembangunan
desa
• Tabungan atau warisan untuk generasi yang akan datang

Kotak 1. Lubuk Larang di Daerah Lain


Tujuan pengelolaan lubuk larang di daerah lain hampir sama. Di Kecamatan Rantau
Pandan, Kabupaten Bungo juga banyak ditemui lubuk larang. Sedikit perbedaannya,
dalam hal pemungutan hasil. Mereka juga panen pada musim kemarau. Panen selalu
dilakukan oleh seluruh anggota masyarakat secara bersama-sama, yang disebut
dengan istilah bekaroang.

Hasil tangkapan dari setiap orang akan dikumpulkan terlebih dahulu, kemudian dibagi
berdasarkan persentase yang sudah ditetapkan untuk si penangkap dan untuk desa.
Khusus untuk tokoh adat akan diberi keistimewaan, dengan pembagian hasil yang
lebih banyak dan lebih baik dari segi kualitas atau jenis ikan yang akan diterimanya.

Di daerah Tabir (Muara Kibul), Kabupaten Merangin banyak dikembangkan lubuk


larang dengan tujuan sebagai sarana hiburan memancing, terutama bagi orang luar
desa yang diundang dan berminat dengan kegiatan tersebut. Sistem pemungutan
hasil yang dilakukan dengan memungut bayaran dalam jumlah tertentu untuk waktu
yang sudah ditetapkan.

Hal serupa juga dapat ditemui di Desa Pancakarya, Kecamatan Limun, Kabupaten
Sarolangun, Propinsi Jambi; dan wilayah sekitar Kabupaten Mandailing Natal,
Propinsi Sumatera Utara. Kesemuanya mempunyai kesamaan tujuan pembentukan
lubuk larang, yaitu penegakan kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam
di wilayahnya. Namun, apa pun tujuan antaranya, pengelolaan lubuk larang selalu
bertujuan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat.

Gambaran di atas menunjukkan di daerah lain juga sudah ada pengembangan


lubuk larang, hanya sistem pengelolaannya kadang agak berbeda dengan yang
ada di sekitar kawasan Batang Pelepat. Secara umum inisiatif ini sudah ada sejak
dahulu di daerah-daerah sekitar hulu DAS Batanghari yang masuk dalam kawasan
penyangga TNKS. Inisiatif ini merupakan kearifan lokal yang masih ada dan bertahan
sampai saat ini. Tampaknya, semua pihak perlu mempertahankannya, bahkan lebih
mengembangkannya, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Pada masa yang
akan datang diharapkan muncul semakin banyak inisiatif seperti itu, yang dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
BAGIAN 2-3 • Eddy Harfia Surma, Rodiah dan Hasantoha Adnan 115

Sedangkan secara ekonomi, keberadaan lubuk larang bermanfaat untuk:


• Menambah sumber ekonomi masyarakat
• Menambah perbendaharaan kelompok (desa, dusun), seperti perkakas dapur
dan barang pecah belah untuk kegiatan masak-memasak secara bersama.
• Menambah biaya pembangunan mesjid dan bangunan umum lainnya
• Dana cadangan jika ada kebutuhan mendadak di masyarakat

Selain itu juga penting melihat keberadaan lubuk larang yang memberi dampak
pada lingkungan, yaitu:
• Melindungi ikan dari kepunahan dan sebagai sarana pembibitan ikan
• Mencegah kerusakan dan pengambilan ikan secara liar
• Mencegah pencemaran sungai

MENGATUR DIRI SENDIRI MELALUI


LUBUK LARANG
LUBUK LA
Cerita di atas menegaskan bahwa lubuk larang merupakan tradisi masyarakat
di sekitar sungai dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain memberi nilai
ekonomi, lubuk larang juga menyimpan kearifan lokal. Setidaknya terdapat dua
nilai penting yang terkait dengannya. Pertama, kemampuan komunitas setempat
untuk mengembangkan konsep penguasaan sumberdaya alam (sungai): semula
dipahami sebagai sumberdaya yang bisa diakses secara bebas oleh siapapun (open
access) menjadi sumberdaya yang dimiliki secara komunal (communally owned
resources). Dengan perubahan konsep tersebut, maka kecenderungan eksploitasi
berlebihan terhadap sumberdaya alam akan berkurang, sehingga gejala ‘tragedi
milik bersama’ (tragedy of the common) dalam pengelolaan sumberdaya yang bersifat
akses terbuka tidak terjadi, khususnya dalam konteks pengelolaan sumberdaya
yang ada di sungai.

Kedua, dengan mengelola lubuk larang masyarakat desa mampu menanam


dan mengembangkan investasi modal sosial (social capital) dalam pengelolaan
sumberdaya ‘milik bersama’. Kemampuan masyarakat dalam menanam dan
mengembangkan modal sosial, sesungguhnya sudah ada sejak lama. Namun,
pemerintahan Orde Baru yang bersifat sentralistik, hegemonik dan otoritarian,
telah mengabaikan dan bahkan mematikan potensi-potensi modal sosial yang
tumbuh dari bawah (grass roots). Masyarakat desa di sepanjang Batang Pelepat
sampai batas-batas tertentu mampu menyiasati kondisi yang tidak sehat itu.
116 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Tampak dari tetap kukuhnya mereka membangun sistem pengelolaan lubuk larang
yang relatif terbebas dari ‘campur tangan penguasa’.

Hasilnya cukup mengagetkan. Setiap tahun pemerintah menyalurkan dana


pembangunan desa (Bangdes) ke desa-desa melalui jalur formal, dan hasilnya
sama sekali tidak efektif. Sementara itu, pengelolaan lubuk larang yang dibangun
dengan mengandalkan modal sosial (bukan modal material atau finansial) mampu
menghasilkan banyak manfaat di desa, seperti berdirinya gedung madrasah dan
mesjid, tersedianya gaji untuk guru SD dan perangkat desa, serta banyak lagi
contoh lainnya. Ketika dana Bangdes dan dana-dana pembangunan lainnya masuk
ke desa, sering terjadi sikut-sikutan antar elit desa (bahkan konflik terbuka).
Sementara, dalam sistem pengelolaan dan pemanfaatan hasil lubuk larang hal itu
tidak ditemukan.

Diperkuat dengan pendapat Eleanor Ostrom (dalam Mulyana et al., 2005), agar
‘sumberdaya terbuka’ dan ‘penumpang gelap’ dapat dicegah dan sumberdaya dapat
dikelola secara berkelanjutan, ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi dalam
tata kelola bersama. Prasyarat tersebut antara lain: (1) sumberdaya alam dan
komunitas pengelolanya diketahui dengan jelas, (2) komunitas dapat mencegah
pemanfaatan yang berlebihan oleh ‘pihak yang tidak berhak’, (3) ada aturan
pengelolaan sumber daya alam yang terarah pada keberlanjutan, (4) adanya
kelembagaan dan kepemimpinan yang kuat dan demokratis, (5) unit pengelolaan
yang memadai, (6) unit pengelolaan yang lebih kecil yang merupakan bagian dari
unit pengelolaan yang lebih besar; (7) adanya mekanisme penyelesaian sengketa
antar anggotanya.

Lubuk larang memenuhi prasyarat di atas. Sungai sebagai sumberdaya alam


yang dikelola dan masyarakat desa sepanjang Batang Pelepat sebagai komunitas
pengelolanya. Masyarakat di wilayah ini sudah terbukti mampu mencegah
pelanggaran terhadap aturan yang mereka buat, dalam hal ini terhadap aksi
pencurian ikan oleh siapapun sebelum waktunya tiba. Diperkuat lagi dengan sudah
adanya aturan pengelolaan lubuk larang yang diangkat dari norma–norma adat
setempat yang masih relevan dengan kondisi saat ini. Harapannya terus begitu
sampai masa yang akan datang, sebagai upaya keberlanjutan pengelolaannya.
Secara kelembagaan, umumnya masyarakat di wilayah ini mempunyai kebersamaan
yang kuat untuk melakukan pengelolaan lubuk larang, terutama dalam hal
pengawasan. Mekanisme penyelesaian sengketa antar anggotanya sudah diatur
berdasarkan norma-norma adat yang ada. Walaupun pada umumnya tidak tertulis,
namun diketahui oleh seluruh masyarakatnya dan dipatuhi. Bentuk penyelesaian
sengketa terakhir bila sudah tidak dapat diselesaikan pada tingkatan desa, dengan
BAGIAN 2-3 • Eddy Harfia Surma, Rodiah dan Hasantoha Adnan 117

menyerahkannya kepada hukum formal yang dalam hal ini melibatkan pihak
penegak hukum.

Pengelolaan lubuk larang pada dasarnya menunjukkan sikap masyarakat yang


mampu mengurus dirinya sendiri dalam memenuhi kebutuhan dan mengatasi
permasalahan secara bersama. Sikap inilah yang sesungguhnya menjadi dasar bagi
otonomi desa. Dengan hal ini mereka mampu menanam dan mengembangkan
investasi modal sosial dalam sistem pengelolaan lubuk larang.

Dalam Lubis (1999) diuraikan bahwa Coleman (1988) mengartikan modal sosial
sebagai struktur hubungan antar individu-individu yang memungkinkan mereka
menciptakan nilai-nilai baru. Bagi Ostrom (1999) dalam mengkaji proyek-proyek
pembangunan di dunia ketiga, modal sosial merupakan prasyarat bagi keberhasilan
suatu proyek pembangunan. Lebih lanjut dikatakannya bahwa eksistensi modal
sosial terlihat dari kemampuan suatu komunitas merajut pranata yang menjadi
acuan dalam bertindak. Pranata (institution) adalah seperangkat aturan yang
berlaku serta digunakan dan dijadikan sebagai acuan untuk bertindak.

Putnam (1993) dalam Lubis (2005) menyatakan, bahwa komponen modal sosial
terdiri dari kepercayaan (trust), aturan-aturan (norms) dan jaringan-jaringan kerja
(networks) yang dapat memperbaiki efisiensi dalam suatu masyarakat melalui
fasilitasi tindakan-tindakan yang terkoordinasi. Lebih lanjut Putnam mengatakan
bahwa kerjasama lebih mudah terjadi di dalam suatu komunitas yang telah
mewarisi sejumlah modal sosial dalam bentuk aturan-aturan, pertukaran timbal
balik dan jaringan-jaringan kesepakatan antar warga.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya semua


kelompok masyarakat memiliki sejumlah modal sosial yang tercipta dari dinamika
budaya masing-masing. Modal sosial sangat penting dalam proses pembangunan,
karena mendorong masyarakat untuk mampu berpartisipasi dan menciptakan
nilai dan aturan baru. Aspek-aspek kunci dari modal sosial itu adalah :
• kemampuan merajut atau membangun pranata dan norma-norma (crafting
institutions);
• kemampuan mengembangkan partisipasi yang setara dan adil (equal
participation); dan
• kemampuan mengembangkan sikap saling percaya di antara warga suatu
kelompok sosial (trust).

Ketika suatu komunitas desa hendak menetapkan bahwa sebagian aliran sungai
yang melintasi wilayah desa mereka akan dijadikan lubuk larang, maka proses
118 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

pengambilan keputusan yang dilalui hendaknya demokratis. Semua warga desa


berhak menyampaikan aspirasi, gagasan dan pandangannya, baik melalui forum
informal (seperti pembahasan di warung-warung kopi) maupun forum formal
(musyawarah desa), sehingga proses pengambilan keputusan dilakukan secara
partisipatif. Pelibatan partisipasi dari bawah ini juga berlaku untuk tahapan-tahapan
berikutnya, yakni pelaksanaan, pengawasan, evaluasi dan pemanfaatan hasil,
sehingga warga masyarakat merasa menemukan keadilan di dalam pengelolaan
lubuk larang.

Agar proses itu berjalan dengan ajeg dan keadilan tetap terpelihara, maka
komunitas desa yang sudah menetapkan lubuk larang kemudian merajut institusi,
norma-norma dan aturan-aturan yang menjadi acuan perilaku kolektif warga desa,
bahkan berlaku bagi siapapun yang berinteraksi dengan lubuk larang tersebut. Ada
sejumlah sanksi (denda, sanksi sosial, sanksi magis dan sanksi religius, sampai batas-
batas tertentu bisa berupa sanksi hukum negara) yang ditetapkan, disosialisasikan,
dan ditegakkan untuk menjamin pengelolaan lubuk larang berjalan di atas rel yang
sudah disepakati bersama.

PENUTUP DAN TAWARAN KE DEPAN


Masyarakat berharap untuk bisa mengembangkan lebih banyak lubuk larang di
wilayahnya untuk memenuhi tujuan khusus, seperti untuk guru dan sekolah, dan
kebutuhan kelompok-kelompok lain yang ada di desa. Lubuk larang yang berfungsi
sebagai tempat pemijahan ikan tidak akan dibuka atau diambil ikannya selama-
lamanya.

Pada masa yang akan datang, intensitas pelanggaran boleh jadi akan meningkat.
Pelanggaran bukan hanya datang dari dalam desa, namun tidak menutup
kemungkinan dari pihak luar dengan alasan ketidaktahuan mereka atau memang
ada unsur kesengajaan. Karenanya, perlu dipikirkan untuk lebih memperkuat
aturan lubuk larang tersebut bukan hanya sebatas aturan adat yang umumnya tidak
tertulis. Aturan itu bisa ditingkatkan menjadi aturan tertulis, seperti peraturan
desa atau surat keputusan kepala desa. Isinya tetap bersumber dari aturan adat,
namun mempunyai kekuatan formal yang lebih kuat untuk mengikat semua orang
di wilayah tersebut mematuhinya.

Tawaran lainnya adalah dengan membangun jaringan antarkelompok atau


desa yang memiliki lubuk larang. Dengan demikian, kebersamaan antar desa
semakin kuat dalam melindungi dan menjaga sumberdaya alam, khususnya lubuk
larang, terutama dari gangguan atau pelanggaran yang datang dari luar, seperti
BAGIAN 2-3 • Eddy Harfia Surma, Rodiah dan Hasantoha Adnan 119

kekhawatiran di atas. Harapannya, jaringan ini akan dapat dimanfaatkan secara


maksimal oleh semua pihak untuk pengelolaan lubuk larang yang ada di wilayah
mereka secara bersama dan berkelanjutan.

Berikutnya, dengan membentuk ‘kebijakan payung’ di tingkat kabupaten dalam


bentuk peraturan daerah ataupun keputusan bupati dengan menjadikan lubuk
larang sebagai salah satu bentuk pengelolaan daerah aliran sungai di Kabupaten
Bungo16.

Semua tawaran itu bermuara pada harapan peningkatan kesejahteraan


rakyat melalui keberadaan lubuk larang. Ini adalah harapan masyarakat, yang
dikumandangkan dalam doa-doa tatkala Yasinan dalam rangka penutupan lubuk.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan terutama kepada masyarakat
desa sepanjang Batang Pelepat, Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo, Propinsi
Jambi yang telah menjadi inspirasi utama tulisan ini. Ucapan terima kasih
terutama disampaikan kepada Hamdan, Mirul, Abu Nazar, Sudar, Datuk Gani,
Datuk Arif, Evi Yulianti, Tarmizi, Kuris, Sidin A, Sayuti, Koimah, Imam Juri, Mbok
Sus, Kamariyah, Ita Rodiah, Siswanto, Jailani, Nana dan Lismawati. Selanjutnya,
tak lupa kepada Datuk Rasyid, Tafrizal, M. Zen, sebagai tokoh Desa Batu Kerbau
bersama masyarakatnya yang telah turut mendukung penulisan ini. Terima kasih
juga penulis sampaikan kepada teman-teman tim ACM Jambi: Marzoni, Effi,
Best, Par, Muri dan Enno yang telah banyak terlibat dalam penggalian data untuk
tulisan ini di lapangan. Tak lupa, kepada Pak Mustafal Hadi, Iman Budi Setiawan,
Mbak Ike Rachmawaty dari Dishutbun Bungo yang bersedia memberikan data
kondisi hutan Bungo serta istilah-istilah kehutanan yang dibutuhkan. Serta Kang
Toto Tohiruddin dari DPELH yang menjadi kawan diskusi hangat tentang lubuk
larang.

BAHAN BACAAN
Adnan, H. 2005. Masyarakat Mengurus Diri Sendiri Melalui Lubuk Larang.
Harian Bungo Post, 27-30 Juni. Muara Bungo, Indonesia.

16 Tawaran ini semakin diperlukan mengingat penataan ruang kabupaten 2005-2010 mendasarkan pada keberadaan DAS sebagai upaya menjaga
kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Untuk lebih jelasnya lihat Rencana Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten
Bungo, Pemkab Bungo 2005.
120 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Bappeda Kabupaten Bungo. 2005. Rencana Revisi RTRW Kabupaten Bungo.


Pemerintah Kabupaten Bungo, Muara Bungo, Indonesia
Coleman, J. 1988. Social Capital in the Creation of Human Capital. The American
Journal of Sociology, Vol. 94, Supplement: Organizations and Institutions:
Sociological and Economic Approaches to the Analysis of Social
Structure, pp. S95-S120. The University of Chicago Press, Chicago.
Ermina, M. 1997. Sistem Pelaksanaan Bagi Hasil Penangkapan Ikan Lubuk
Larangan dilihat dari Aspek Hukum Perjanjian Adat di Desa Kecamatan
Rantau Pandan Kabupaten Bungo-Tebo. Skripsi Sarjana Fakultas Hukum,
Universitas Batanghari, Jambi. Tidak dipublikasikan.
Jambi Ekspress. 2004. Potret Desa Batu Kerbau, Penerima Kalpataru Tahun 2004:
Terisolir, Namun mengandung Kekayaan Alam Yang Tinggi. Edisi 20 Juni,
hal.5
Lubis, Z.B. 1999. Pembangunan Investasi Modal Sosial dalam Pembangunan. Jurnal
Antropologi Indonesia 23(59):53-65. Depok, Indonesia.
Lubis, Z.B. 2005. Menumbuhkan (kembali) Kearifan Lokal dalam Pengelolaan
Sumberdaya Alam di Tapanuli Selatan. Jurnal Antropologi Indonesia
23(59):239-254. Depok, Indonesia.
Mulyana, A., Susanti, N.N. dan Suardika, P. 2005. Melangkah di Atas Batu Karang:
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat di Nusa Tenggara.
KOPPESDA, World Neighbors, KPMNT dan Ford Foundation.
Ostrom, E. 1999. Social Capital: A Fad or Fundamental Concept?. Dalam: Dasgupta,
P. dan Seregeldin, I. (ed.). Social Capital: a Multifaceted Perspective,
pp.172-214. World Bank, Washington DC.
Purwanto, S.A., Haryono, Yusfi, F. dan Titiwening, F. 2003. Mencari Alternatif
Ekonomi Lokal: Kasus Masyarakat Desa Sekitar Taman Nasional Tanjung
Puting, Kalimantan Tengah. Seri Laporan Penelitian No.3. Laboratorium
Antropologi-UI dan Conservation International.
Putnam, R.D. 1993. Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy.
Princeton University Press, Princeton, NJ, AS.
Ritchie, B., McDougall, C., Haggith, M. dan de Oliveira, N.B. 2001. Kriteria dan
Indikator Kelestarian Hutan yang Dikelola oleh Masyarakat. CIFOR,
Bogor, Indonesia.
Soemarwoto, O. 2001. Atur-Diri-Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, Indonesia.
Tadjudin, Dj. 2000. Manajemen Kolaborasi. Pustaka LATIN, Bogor, Indonesia.
Taher, M. 2005. Potret Perubahan Kondisi Hutan Jambi 1990-2000: Dasawarsa
Hilangnya Sejuta Hektar Hutan. Warta WARSI, Januari. Jambi,
Indonesia.
Tim WARSI. 2000. Ketika Rakyat Mengelola Hutan: Pengalaman dari Jambi.
KPSHK, Bogor, Indonesia.
BAGIAN 2-4
Mereka Bisa Berubah

Effi Permatasari
122 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

© Effi Permata Sari


Perempuan kini terlibat aktif dalam pengambilan keputusan di tingkat desa

”Kalau sikap masyarakat masih terus-menerus seperti ini, saya yakin desa ini tidak
akan berkembang. Tidak ada yang hasil bumi yang dihasilkan di desa sehingga
pemerintah menilai lebih baik mengembangkan pembangunan di desa lain,” kata
Malek, Sekretaris Desa Baru Pelepat menanggapi perilaku masyarakat desa dalam
menangani sumberdaya hutan.

Kayu pernah menjadi primadona, karena kayu mudah didapat dan dijual. Karena
itu, kayu dikenal sebagai ‘emas hijau’. Kegiatan pembalakan kayu menyerap banyak
tenaga kerja. Selain itu, kegiatan ini juga cepat menghasilkan uang tunai. Karena
itu, masyarakat pernah amat terlena menggelutinya.

Eksploitasi besar-besaran telah mengakibatkan kerusakan lingkungan. “Dusun


tenggelam, cuma karena hujan yang datang semalam saja. Ini sering terjadi...,” ujar
Mirul, seorang warga Desa Baru Pelepat. “...lebih baik dusun dipindahkan saja ke
tempat yang lebih tinggi,” katanya. Memang, dusun sudah dua kali dipindahkan
akibat banjir bandang. Banyak kerugian yang diderita seperti hancurnya lahan usaha
BAGIAN 2-4 • Effi Permata Sari 123

tani, ternak hanyut, dan rumah hancur. Jembatan gantung yang menghubungkan
dua dusun pun rusak berat.

Pembalakan kayu tanpa usaha penanaman kembali dan perawatan yang memadai,
membuat kayu semakin susah didapat. Ekonomi masyarakat semakin terancam.
Sementara itu, karena terlena dengan kayu, ladang ditinggalkan. Padahal mereka
hanya mengetahui cara bercocok tanam secara tradisional dan pembalakan kayu.
Mereka tidak siap untuk mencari sumber mata-pencaharian alternatif setelah
kayu habis.

Kini masyarakat semakin terhimpit. Kebun karet sudah dibabat habis untuk areal
transmigrasi. Kayu semakin susah dicari, karena itu pendapatan pun tidak sesuai
lagi dengan biaya produksi yang dikeluarkan. Kebijakan pemerintah yang melarang
penebangan kayu dan peredarannya (Inpres No. 4/2005) semakin memperburuk
keadaan masyarakat yang bergantung pada hutan.

Tulisan ini mencoba menceritakan pengalaman masyarakat Desa Baru Pelepat


mengelola hutan dengan dampingan tim ACM. Tim ACM sudah melakukan
dampingan selama lima tahun. Usaha yang dilakukannya adalah merubah pola
pikir masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Selain mendorong
proses kolaborasi masyarakat dengan pihak-pihak luar, tim juga melakukan
proses penguatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam, penguatan
kelembagaan lokal, dan pemberdayaan ekonomi. Secara perlahan tim ACM
meninggalkan desa, dan desa diharapkan sudah bisa mengelola dirinya secara
mandiri.

DESA BARU PELEPAT


Desa ini terbelah Sungai Pelepat. Permukiman penduduk terletak di sebelah
selatan. Empat dusunnya terletak di sepanjang aliran sungai. Sebelum datangnya
transmigrasi, Sungai Pelepat menjadi transportasi utama.

Desa ini termasuk dalam Kecamatan Pelepat. Sebelah utara berbatasan dengan
Desa Sungai Beringin, sebelah timur dengan Desa Rantel, sebelah barat dengan
Desa Batu Kerbau dan sebelah selatan dengan Kabupaten Merangin. Jarak dari
Ibukota Kabupaten, Muara Bungo, adalah 64 km. Dibutuhkan waktu 2-5 jam
untuk sampai ke Muara Bungo, tergantung cuaca, karena banyak tanjakan yang
tinggi dan jalan yang liat berlumpur. Topografi desa berbukit-bukit.
124 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Desa ini merupakan gabungan dari dua desa sebagai dampak diberlakukannya
UU No. 5/1979. Penggabungan kedua desa ini, yaitu Baru Tuo dan Pedukuh
(selanjutnya disebut dusun), disebabkan jumlah penduduk yang sedikit. Untuk
menambah jumlah penduduk, desa kemudian membuat permohonan untuk
penambahan penduduk melalui program transmigrasi. Daerah permukiman
transmigrasi ini kemudian menjadi dusun baru, yaitu Lubuk Pekan dan Lubuk
Beringin. Jumlah penduduk yang terdata sebanyak 594 jiwa (144 KK) dan
mayoritas penduduk beragama Islam.

Mata pencaharian masyarakat secara turun temurun adalah bercocok-tanam.


Usaha tani yang dijalankan selama ini adalah ladang berpindah. Dari sisi ekologis,
pola perladangan berpindah itu menguntungkan karena bisa mengistirahatkan
lahan pada periode tertentu, kemudian digarap kembali tatkala kesuburan
tanahnya telah pulih. Dari sisi ekonomis, pembukaan ladang ini menjadi argumen
perubahan status kepemilikan lahan. Hutan yang telah dibuka menjadi ladang
telah berubah statusnya dari milik umum menjadi milik pribadi. Dalam suatu
diskusi, Susilawati penduduk setempat, mengutarakan, “kami melakukan ladang
berpindah sebagai ajang mencari tanah yang dekat ke permukiman agar tidak habis
dikuasai orang lain.”

Masyarakat desa ini masih memegang teguh adat. Masalah sosial, keagamaan, dan
pertanian masih diatur dalam adat. Ada seloka adat yang mengatur pertanian:
”Sompak, kompak, setumpak”, yang artinya dalam bercocok tanam harus serempak,
kompak dan satu hamparan. Aturan ini berguna untuk memudahkan pengawasan
terhadap serangan hama serta meminimalkan kegagalan panen.

Sebagian besar masyarakat menempuh pendidikan dasar, namun tidak jarang yang
masih buta huruf. Kelompok buta huruf ini terutama ditemukan pada kelompok
umur 40 tahun ke atas, dan proporsi terbesar terdiri atas perempuan. Ada dua
buah bangunan SD dan dua buah madrasah ibtidaiyah (setara SD) yang terletak
di Dusun Baru Tuo dan Dusun Pedukuh. Pada 2004 sudah berdiri SMP Negeri 10
Pelepat. Pada 2005 sebanyak 44 orang anak melanjutkan sekolah di SLTP, 2 orang
di SLTA, dan seorang yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi.

Terdapat sebuah bangunan Puskesmas Pembantu. Tenaga medis yang ditempatkan


adalah seorang perawat. Untuk pengobatan, biasanya masyarakat menggunakan
jasa dukun. Bila dukun sudah tidak sanggup lagi barulah tenaga medis dipanggil;
dan kebanyakan sudah dalam keadaan terlambat.
BAGIAN 2-4 • Effi Permata Sari 125

DINAMIKA EKONOMI MASYARAKAT

Transmigrasi
Pembukaan areal transmigrasi pada 1997 telah menghancurkan kebun karet
masyarakat. Sebab prasarana permukiman itu dibangun dengan cara mengkonversi
areal kebun karet masyarakat. Akibatnya, masyarakat putar haluan masuk hutan,
mencari sumber mata-pencaharian baru. Menebang kayu pun menjadi kegiatan
sehari-hari masyarakat.

Program transmigrasi ini sedianya diperuntukkan bagi warga desa tetangga (Desa
Sungai Beringin dan Rantau Keloyang) yang tergusur kegiatan tambang batubara.
Selain itu untuk menampung para perambah hutan agar tidak lagi merambah
hutan. Karena terjadi konflik lahan dengan masyarakat, maka setiap penduduk
asli yang telah menyerahkan lahannya untuk transmigrasi, diberi jatah satu kapling
areal transmigrasi.

Untuk tahun pertama, transmigran diberi bantuan berupa sembilan bahan pokok
serta biaya untuk membersihkan ladang, alat-alat pertanian, ternak, pupuk dan
obat-obatan. Maksud dari bantuan tersebut agar warga membuat kebun dan
berusaha tani. Ternyata bantuan itu justru membuat mereka menjadi manja
dan semakin merusak hutan. Bantuan yang datang tetap diambil tetapi tidak
dipergunakan dengan baik. Mereka tidak segera menerapkan pola usaha tani
menetap. Usaha tani butuh waktu panjang, agaknya menjadi alasan mereka. Mulai
tanam sampai panen memerlukan waktu yang panjang. Kebun karet, misalnya,
baru bisa berproduksi lima tahun setelah tanam.

Dalam sebuah diskusi, Suraji, Kepala Unit Permukiman Transmigrasi (KUPT)


menyatakan bahwa UPT Baru Pelepat adalah program transmigrasi yang gagal
di Kabupaten Bungo. Ini disebabkan sikap masyarakat yang manja dan terlena
dengan pembalakan kayu. Masyarakat tidak menyadari kalau kayu akan habis.
Dan menurut beliau masyarakat hanya akan berubah sikap bila kayu sudah tidak
ada lagi.

Pembalakan Kayu
Masyarakat memilih membalak kayu daripada menjalankan usaha tani. Banyak
dijumpai bibit karet dan buah-buahan, yang merupakan kelengkapan program
126 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

transmigrasi, dibiarkan terbengkalai dan tumbuh di dekat sumur. Ternak pun


tidak dipelihara dengan baik, sehingga menjadi hama bagi kebun masyarakat.

Pembalakan kayu yang tiada henti, mengakibatkan kayu makin susah dicari. Kini
hasil kayu tidak sesuai dengan biaya produksinya. ”Bulan kemarin saya benar-benar
rugi. Satu bulan di hutan mengambil kayu, dihitung-hitung hanya terima pendapatan
bersih Rp 5.000 saja. Tidak sesuai dengan jerih dan peluh yang dikeluarkan,” kata
Ayon, seorang warga. Hal yang senada juga diungkapkan oleh Abenhur: “Tempat
mencari kayu sudah sangat jauh dari dusun, dan itu hanya sekedar mengisi waktu luang
daripada tidak bekerja sama sekali (nganggur).”

Dalam jangka panjang, pembalakan kayu ternyata tidak membuat masyarakat


sejahtera. Mereka cenderung menjadi lebih konsumtif. Ketika banyak uang mereka
berhura-hura. Terkadang sampai melupakan anak istri di rumah.

Kegiatan pembalakan kayu ini harus ditebus mahal oleh masyarakat. Mereka
melupakan ladangnya. Ladang yang sudah dibuka tidak lagi terawat, walaupun
sudah dibantu oleh kaum perempuan. Letak ladang yang jauh dari permukiman
dan cenderung mendekati hutan, membuat perempuan takut bila sendirian di
ladang.

Ada beberapa warga yang membuat kebun. Namun karena lokasinya yang
berpencar, hasilnya tidak begitu baik. Lahan yang kurang terawat menjadi sarang
hama, yang malah menghancurkan kebun.

Kembali ke Ladang
Kayu sudah habis. Pada saat yang sama keluar Inpres No. 4/2005 yang melarang
penebangan kayu dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia. Itu
semakin memukul ekonomi masyarakat. Kini kayu hasil pembalakan tidak bisa
dijual. Ita seorang warga menyatakan: “Bencana telah datang, kiamat sudah tiba.
Bila kondisi ini terus berlangsung, maka kami akan mati kelaparan.”

Di tengah kepanikannya, masyarakat berpikir harus ada mata-pencaharian


pengganti yang bisa menopang kehidupan keluarga. Usaha pertama yang mulai
mereka lakukan adalah kembali ke ladang masing-masing. Mereka tidak punya
keahlian lain selain bercocok-tanam. Ladang yang semula terlantar mulai
diperhatikan dan dirawat kembali. Laki-laki dan perempuan aktif bekerja di
ladang.
BAGIAN 2-4 • Effi Permata Sari 127

Awalnya masyarakat menanam padi sawah. Beras memang dibutuhkan, seiring


dengan pertambahan jumlah penduduk. Namun sawah hanya bisa dikembangkan
pada lahan tertentu saja, yaitu rawa-rawa atau tanah datar yang masih bisa
diairi. Inilah salah satu penyebab kenapa sawah tidak dikembangkan masyarakat.
Perluasan sawah hanya mungkin dilakukan dengan cara membeli sawah dari orang
lain. Tapi itu tidak membuat luas agregat sawah meningkat.

Kemudian masyarakat membuka hutan untuk dijadikan ladang. Mereka menanam


padi dan karet. Menurut mereka, berladang itu lebih menguntungkan, sebab:
Pertama, selain menanam padi, masyarakat bisa menanam sayuran hal yang tidak
bisa dilakukan pada lahan sawah. Kedua, hutan yang telah dibuka akan menjadi
ladang milik pribadi. Karena itu, masyarakat berlomba-lomba untuk membuka
lahan untuk membangun ladang; dan ladang pun semakin meluas setiap tahun.

Pola berladang yang diterapkan masyarakat adalah ladang berpindah. Ladang


berpindah dilakukan karena mereka tidak mengenal pemupukan tanah. Untuk
itu setelah satu periode tanam mereka langsung membuka lahan baru. Tingkat
kesuburan tanah garapan relatif rendah, sehingga memerlukan tambahan waktu
untuk mengembalikan kesuburannya. Namun, pemupukan tanah tidak mampu
dilakukan karena butuh biaya yang besar (Barber et al., 1997).

Pembagian Peran
Adat mengatur pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam usaha
tani, mulai dari penyiapan lahan (nebas, numbang dan bakar) sampai penanaman,
perawatan dan panen. Nebas adalah membersihkan lahan dari semak belukar
dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Numbang atau memotong pohon
dilakukan oleh laki-laki karena membutuhkan tenaga yang sangat kuat. Ketika
membakar ada pembagian tugas, laki-laki membakar lahan sementara itu
perempuan menyiapkan bubur untuk disantap bersama-sama setelah membakar
ladang.

Menurut adat, perempuan sangat bertanggung-jawab untuk merawat ladang.


Namun kini, laki-laki banyak turun ke ladang, membuat ladang menjadi tanggung
jawab bersama antara laki-laki dan perempuan. Mereka bahu-membahu mereka
merawat ladang.

Ladang ditanami padi dan karet. Padi ditanam dengan cara ditugal, dan benih
ditaburkan ke dalam lubang-tugalan. Jumlah penabur benih lazimnya lebih
128 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

banyak, karena itu kegiatan menugal harus dilakukan dengan amat cepat. Karena
itu, penugal itu lebih banyak dilakukan laki-laki.

Usaha Lain
Masyarakat hanya tahu soal menanam karet dengan menggunakan bibit cabutan
yang berbiaya murah. Namun untuk sampai pada masa panen dibutuhkan waktu
tunggu selama tujuh sampai delapan tahun. Sementara itu kondisi ekonomi kian
menghimpit. Itu telah memaksa masyarakat untuk menemukan kegiatan ekonomi
alternatif.

Pemerintah desa mulai berusaha mencari alternatif kegiatan ekonomi yang


bisa dikembangkan di desa. Mereka datangi instansi pemerintah dan juga
mengembangkan hubungan dengan LSM lokal dan lembaga penelitian. Kemudian
bermunculan program-program pengembangan ekonomi seperti pengembangan
jagung dan padi gogo dari Dinas Pertanian Bungo; pengembangan manau dan
bantuan usaha produktif (BUP) dari Dishutbun Bungo; CFC dari ICRAF Bungo;
dan pelatihan mebel bambu oleh Disnakertrans Bungo.

Masyarakat menanggapi program itu secara serius, karena program tersebut dinilai
dapat membantu perekonomian mereka. Mereka bermusyawarah agar bantuan
tersebut terbagi merata kepada masyarakat. Mereka susun aturan main. Bantuan
program ditetapkan disalurkan kepada kelompok, dan bukan kepada perseorangan.
Perencanaan, implementasi, dan monitoring disusun bersama.

PENINGKATAN MUTU SUMBERDAYA MANUSIA


Menurut Kristianto (2003), ekonomi rumah tangga itu terdiri dari tiga komponen:
Pertama, sumberdaya manusia, fisik dan keuangan rumah tangga. Kedua, kegiatan
produksi, konsumsi dan investasi rumah tangga. Dan ketiga adalah hasil aliran
kegiatan dan sumberdaya. Dengan demikian, peningkatan mutu sumberdaya
manusia akan sangat mendorong usaha-usaha perbaikan ekonomi keluarga.

Anak-anak Harus Sekolah


Masyarakat mulai menyadari perlunya peningkatan sumberdaya manusia. Orangtua
berperan besar untuk mendorong putera-puterinya agar bisa bersekolah. Mereka
menyadari bahwa sekolah itu penting. Pengalaman mereka menyatakan, orang
BAGIAN 2-4 • Effi Permata Sari 129

yang tidak bisa membaca dan menulis amat mudah dibodohi orang-orang pintar.
Keadaan seperti itu tidak boleh dialami lagi oleh para putera-puteri mereka.

Awalnya, di desa hanya tersedia fasilitas pendidikan tingkat SD. Untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang lebih tinggi harus dilakukan ke luar daerah. Itu amat mahal
dan menyusahkan. Berkat perjuangan masyarakat, 2004 telah dibangun SMP.
Masyarakat antusias menyekolahkan anaknya. “Tidak ada perbedaan anak laki-laki
dan perempuan untuk bersekolah, yang penting dia mau sekolah. Cukuplah kami (orang
tua) saja yang bodoh. Dan biarlah kami banting tulang asal anak-anak menjadi pintar,”
ujar Ibu Bani dalam perjalanan ke ladang sambil membawa ambung (keranjang
rotan yang talinya ditumpukan di kepala). Kemajuan yang sangat berarti disini
adalah semakin terbukanya peluang perempuan untuk bersekolah. Laki-laki dan
perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk bersekolah, hanya bergantung
pada keinginan dan kemauan anak untuk sekolah. Sekarang sudah ada seorang
warga yang berhasil menamatkan pendidikan di perguruan tinggi dan ia seorang
perempuan.

Tingkatkan Kualitas Kesehatan Masyarakat


Kesehatan sangat mendukung produktivitas. Tubuh yang sakit membuat
produktivitas tidak optimal. Kita tidak bisa ke ladang atau usaha yang lain
kalau tubuh sakit atau ada anggota keluarga yang sakit. Kesehatan yang optimal
mendukung pertumbuhan dan perkembangan otak. Profesor Anita Ghulam Ali
seorang direktur pelaksana Yayasan Pendidikan Sindh, Pakistan dalam suatu
wawancara menyatakan: ”Ekonomi dan perkembangan suatu negara tergantung pada
kesehatan yang baik. Kesehatan dan pendidikan harus selaras. Karena semakin dalam
kita masuk ke masyarakat, semakin dijumpai masalah-masalah kesehatan”.

Kesadaran masyarakat tentang hidup sehat masih minim. Kesehatan lingkungan


dan keluarga masih perlu diperbaiki. Pada 2004, dari bulan Januari sampai bulan
April, terdapat 4 kematian ibu melahirkan dan seorang bayi meninggal. Tingginya
angka kematian pada ibu melahirkan ini membuat perempuan takut untuk hamil
dan melahirkan.

Masyarakat lebih banyak menggunakan jasa dukun daripada tenaga medis jika
ada anggota keluarganya yang sakit. Bila berobat dengan dukun, terdapat banyak
pantangan makanan yang tidak boleh dimakan. Namun makanan pantangan
tersebut ternyata adalah bahan makanan yang banyak mengandung sumber gizi
yang tinggi.
130 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Di tengah situasi itu, masyarakat didorong untuk berobat kepada tenaga medis
dan mulai belajar untuk hidup sehat. Mereka tidak lagi meminum air mentah,
rajin berkonsultasi kesehatan dengan tenaga medis yang ada, dan menghidupkan
kembali Posyandu. Posyandu melayani pengukuran pertumbuhan dan
perkembangan bayi dan balita serta kesehatan ibu hamil dan lanjut usia. Kegiatan
Posyandu ini dilakukan oleh ibu-ibu bekerjasama dengan Puskesmas.

Kesadaran tentang kesehatan juga dipengaruhi oleh interaksi masyarakat setempat


dengan masyarakat pendatang. Masyarakat pendatang memiliki pengetahuan
tentang kesehatan lebih baik dari penduduk asli. Mereka tidak mengenal
pantangan makanan bagi ibu hamil, melahirkan, bayi dan anak-anak. Dan ini
ternyata membuat ibu dan anak-anak mereka menjadi lebih sehat karena cukup
gizi.

PENINGKATAN KAPASITAS

Peningkatan Peran Perempuan


Perempuan selama ini terpinggirkan. Mereka selalu diidentikkan sebagai “orang
dapur”. Kini perlahan-lahan mereka bangkit. Mereka sadar memiliki peran yang
jauh lebih besar dalam pembangunan desa. Kini perwakilan perempuan selalu
hadir dalam setiap pertemuan desa. Dan mereka memang aktif mengeluarkan
pendapat.

Masyarakatpun menilai, sekarang


peran perempuan dalam pembuatan
keputusan tingkat desa sudah
lebih baik dibanding dengan
sebelumnya. Orang-orang adat
yang selama ini selalu melecehkan
© Effi Permata Sari

peran perempuan, kini mulai bisa


menerima keberadaan perempuan.
Bahkan mereka membuka peluang
bagi perempuan untuk menjadi
ninik mamak. Syarat untuk menjadi Peran perempuan semakin diakui oleh
multipihak desa, khususnya kaum lelaki, dalam
seorang ninik mamak adalah selalu
pengambilan keputusan tingkat desa
berkata benar dan berjalan lurus.
BAGIAN 2-4 • Effi Permata Sari 131

Aksi Kolektif
Desa Baru Pelepat punya rencana strategis pembangunan. Itu dirumuskan dalam
sebuah pertemuan desa yang dilakukan selama tiga hari. Pertemuan itu dihadiri
oleh pemerintahan desa, tokoh masyarakat, tokoh agama, pemuda, lembaga adat,
dan perempuan.

Rencana strategis itu memuat arah pembangunan desa, yang dinyatakan dalam
visi praktis. Penghalang dari masing-masing visi tersebut diuraikan. Masyarakat
memperoleh proses pembelajaran yang baik. Mereka tidak lagi melihat modal
sebagai sebuah penghalang. Mereka justru menetapkan unsur sikap sebagai
penghalang. Penghalang-penghalang itu kemudian dipositifkan untuk menemukan
arah strategi pembangunan.

Rencana pembangunan desa itu kemudian dijadikan bahan acuan desa untuk
menggiring program pembangunan masuk ke desa untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Rencana strategis pembangunan desa yang berfungsi
untuk landasan pembangunan desa itu memuat prioritas pembangunan desa,
yaitu kesehatan, ekonomi, ekowisata di hutan adat Datuk Rangkayo Mulio,
kelembagaan desa, sumberdaya manusia dan transportasi.

Agenda itu selalu dibawa dalam rapat-rapat di tingkat yang lebih tinggi, seperti di
Kecamatan dan Kabupaten. Dengan kata lain, rencana strategis itu telah menjadi
bahan untuk melakukan aksi kolektif sesuai dengan kesepakatan masyarakat.

Kembali ke Nilai-nilai Lokal


Sumberdaya alam melimpah ruah di desa ini. Potensi yang besar adalah sungai,
hutan, dan keindahan alamnya yang eksotik. Penebangan hutan yang banyak
dilakukan terutama di daerah hulu, membuat kualitas sungai dan hutan
berkurang. Sungai menjadi dangkal dan sudah terjadi pengurangan populasi ikan.
Hasil hutan non-kayu seperti madu, buah-buahan, hewan buruan, dan tanaman
obat semakin berkurang ditemukan karena kelestarian hutan yang terganggu. Ini
mengisyaratkan pentingnya untuk kembali menghormati nilai-nilai lokal.
132 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Sompak, Kompak, Setumpak


Ini adalah seloka adat berkaitan dengan kegiatan berladang. Artinya, masyarakat
harus serempak membuka ladangnya, kompak melibatkan semua pihak, dan
dilakukan di areal yang sehamparan. Itu akan memudahkan dalam pemeliharaan
dan pengawasan terhadap serangan hama.

Seloka itu diintegrasikan dengan kearifan lokal lainnya. Misalnya adat telah
mengatur pola budidaya tanaman sesuai dengan kondisi lahannya. Tanah datar
dapat ditanami dengan berbagai jenis tanaman. Tanah yang agak miring ditanami
dengan tanaman yang mempunyai akar yang banyak sehingga dapat mengikat
tanah dan tidak runtuh. Tanah rawa digunakan untuk menanam padi sawah.

Masyarakat lebih cenderung menanam karet. Selain teknik budidayanya sudah


dipahami, karet dinilai lebih ramah terhadap tanaman yang berada di sekitarnya.
Dengan menanam karet, masyarakat masih bisa menanam tanaman yang lain
seperti buah-buahan. Akar karet dapat menahan tanah di desa itu yang berbukit-
bukit agar tidak terjadi longsor.

Lubuk Larang
Untuk menjaga populasi ikan, masyarakat bersama-sama menetapkan lubuk
larang. Ini merupakan kebiasaan lama yang sempat terlupakan. Keberadaan lubuk
larang dibangkitkan kembali pada 2002, dengan menetapkan empat lubuk larang.
Lubuk itu adalah bagian sungai yang mengandung ceruk yang dalam. Daerah ini
diyakini sebagai tempat ikan berkembang-biak.

Selain tempat budidaya ikan, lubuk larang ini juga berfungsi sebagai sumber
pendapatan masyarakat. Dalam periode tertentu ikannya dipanen. Dan hasil
penjualannya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat dan desa dengan
proporsi bagi hasil sesuai dengan kesepakatan bersama.

Kelompok perempuan mengelola hasil lubuk larang. Dari sana mereka dapat
menginvestasikan dalam bentuk tiga set pakaian pengantin (yang disewakan
kepada masyarakat jika mereka melakukan pesta perkawinan), mesin diesel
generator listrik untuk mesjid, dan sebagainya.
BAGIAN 2-4 • Effi Permata Sari 133

Lubuk larang hanya boleh dipanen pada waktu-waktu yang telah disepakati. Bila
ada tamu atau pejabat berkunjung ke desa, ikan yang berada di dalam lubuk larang
boleh diambil. Tetapi ini tidak berlaku bagi masyarakat.

Tidak ada aturan hukum positif yang mengatur lubuk larang. Tetapi masyarakat
meyakini, bahwa mengambil ikan di lubuk larang secara tidak sah akan membuat
hidupnya sengsara. Karena ikan yang di lubuk itu sudah dibacakan Surat Yasin
(bagian dari Al Qur’an) sebanyak 40 kali.

Pembuatan Hutan Adat


Kelestarian hutan kian terancam akibat kegiatan pembalakan liar. Padahal
sumberdaya hutan amat diperlukan sebagai bahan cadangan untuk anak-
cucu. Hutan juga memegang peran penting untuk menjaga tata air. Untuk itu
diperlukan bentuk pengelolaan yang sesuai dengan kondisi lingkungan sekitar,
yaitu membentuk sistem pengelolaan hutan adat.

Hutan adat itu bernama Hutan Adat Datuk Rangkayo Mulio, yang dimaksudkan
untuk menegakkan kembali aturan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Mereka ingin kembali menegakkan nilai lokal ka aek babungo pasia ka darek babungo
kayu (ke air berbunga pasir dan ke darat berbunga kayu). Artinya ada pembagian
hasil dari pemanfaatan sumberdaya alam baik di sungai maupun di darat.

Setiap pelanggaran terhadap pengambilan kayu di hutan adat dikenakan sanksi


adat. Sanksi ini semakin dikuatkan ketika dilembagakan dalam bentuk peraturan
desa. Peraturan ini digali langsung dari masyarakat. Pernah terjadi pelanggaran
pengambilan kayu di hutan adat. Reaksi yang diberikan masyarakat sangat besar.
Tanpa mengenal adanya kekerabatan (masyarakat Baru Pelepat dalam satu rumpun
keluarga) mereka berusaha menegakkan aturan yang telah dibuat bersama. Dan
ini menjadi pelajaran bagi yang lain.

Sekarang masyarakat berusaha untuk mengembangkan ekowisata berlokasi di


hutan adat. Terdapat banyak potensi ekowisata di dalamnya seperti air terjun,
keanekaragaman hayati, dan pemandangannya. Mereka terinspirasi ketika
mendatangi daerah lain, dan ternyata potensi wisata desa mereka lebih baik dan
bisa mendatangkan pendapatan bagi masyarakat.
134 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

BAHAN BACAAN
Barber, C.V, Afif, S. dan Purnomo, A. 1997. Meluruskan Arah Pelestarian
Keanekaragaman Hayati dan Pembangunan di Indonesia. Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, Indonesia.
BPS Kabupaten Bungo. 2003. Bungo dalam Angka 2002. Kerjasama Bappeda
Kabupaten Bungo dan BPS Kabupaten Bungo. Muara Bungo,
Indonesia
EENET Asia Newsletter. 2005. Ekonomi dan Perkembangan Suatu Negara
Tergantung pada Kesehatan yang Baik. Wawancara dengan Prof. Anita
Ghulam Ali, Direktur Pelaksana, Yayasan Pendidikan Sindh, Pakistan.
http://www.idp-europe.org/eenet/newsletter1-Indonesia/page24.php
Kristianto. 2003. Evaluasi Pelayanan Keuangan Mikro. News Permodalan Nasional
Madani. http://www.pnm.co.id/news.asp?id=519-19k, diakses 17 Mei
2006.
Pemerintah Kabupaten Bungo. 2000. Rencana Strategis Pembangunan Kabupaten
Bungo 2001-2005. Muara Bungo, Indonesia.
BAGIAN 2-5
Rio Modal Sosial Sistem Pemerintah Desa
Rio:

Umar Hasan, Deddy Irawan dan Heru Komarudin


136 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

LATAR BELAKANG

Arus globalisasi dan modernisasi


telah membawa dampak positif
maupun negatif terhadap berbagai
lapisan masyarakat. Dampak negatif
yang diakibatkan oleh pengaruh
masuknya budaya luar yang tidak
sesuai dengan budaya setempat
terbukti telah mengancam pola-
pola kehidupan tradisional yang
kaya dengan nilai-nilai luhur.
Masyarakat cenderung tidak
© dokumentasi CAPRI

mentaati tatakrama dan norma adat.


Kasus-kasus dalam sengketa lahan
dan warisan, misalnya, seringkali
Keterbukaan terhadap dunia luar mendorong tidak dapat diselesaikan oleh aparat
masuknya nilai-nilai yang tidak selalu sesuai desa sekalipun mereka mempunyai
dengan kondisi setempat, sehingga menjadi wewenang menjaga ketertiban
tantangan dalam mempertahankan modal dan keamanan masyarakat serta
sosial masyarakat mendapat insentif reguler dari
pemerintah. Sebagian masalah justru
hanya dapat diselesaikan oleh tetua adat dan ninik mamak. Itu semua ditengarai
terkait dengan semakin lunturnya modal sosial ikatan kekerabatan, norma-norma
serta kepercayaan masyarakat.

UU No. 5/19791 yang menyeragamkan pemerintahan desa juga telah memasung


otonomi dan kreativitas masyarakat desa. Pendekatan struktur dan kekuasaan
telah melunturkan identitas masyarakat adat dan modal sosial seperti norma
kekerabatan yang telah terbentuk dalam masyarakat2. Dengan penyeragaman
tersebut, memang pemerintah dapat dengan mudah dan efektif mengontrol dan
melakukan pembinaan komunitas masyarakat sampai tingkat yang paling rendah.
Tapi, ini merupakan hal yang dipaksakan dan mengingkari kenyataan keragaman
dalam masyarakat.

Berlakunya UU No. 32/20043 telah membuka peluang bagi daerah untuk


membentuk struktur pemerintahan desa yang lebih menghormati keragaman
1 Tentang Pemerintahan Desa (diundangkan 1 Desember 1979).
2 Lihat misalnya Saad (2001).
3 Tentang Pemerintahan Daerah (diundangkan pada 15 Oktober 2004). Ayat (1) Pasal 200 UU 32/2004 menyebutkan adanya peluang pembentukan
pemerintahan desa dan, seperti yang ditegaskan dalam ayat (2) pasal yang sama, pembentukan dan penggabungan didasarkan atas usul dan prakarsa
masyarakat.
BAGIAN 2-5 • Umar Hasan, Deddy Irawan dan Heru Komarudin 137

budaya dan sosial di masing-masing daerah. Kekhawatiran terhadap dampak negatif


yang ditimbulkan, berupa semakin menipisnya nilai-nilai adat, telah mendorong
berbagai pihak di Kabupaten Bungo4 untuk melihat kemungkinan berlakunya
kembali pemerintahan tradisional pada tingkat paling bawah setara dengan
pemerintahan desa, yang pada masa lalu dikenal dengan istilah Rio. Dukungan
juga diperoleh dari pihak pemerintah propinsi dan kabupaten untuk menjadikan
Bungo sebagai kabupaten contoh dihidupkannya kembali sistem pemerintahan
desa adat di Propinsi Jambi.

Tulisan ini menguraikan hasil analisis awal terhadap peraturan perundangan yang
berlaku, bagaimana pandangan para pihak terhadap usulan kembali ke sistem
pemerintahan Rio dan bagaimana usulan struktur kelembagaannya. Tujuan
dari penelitian yang hasilnya dituangkan dalam tulisan ini antara lain adalah
memperkuat kelembagaan lokal melalui peran aksi kolektif dan mendorong proses
terbuka dan partisipatif dalam pengambilan kebijakan, khususnya dalam menyusun
dasar hukum berupa peraturan daerah atau sejenisnya terkait pemberlakuan
kembali ke sistem Rio.

MODAL SOSIAL
Ada tiga definisi modal sosial yang umum dipakai di berbagai literatur. Pertama,
menurut Robert Putnam yang mendefinisikan modal sosial sebagai ciri-ciri
kehidupan sosial jaringan, norma dan kepercayaan- yang mendorong orang
untuk bertindak bersama secara lebih efektif guna mencapai tujuan bersama.
Kedua, modal sosial dipahami sebagai ”...institusi, hubungan dan norma-norma
yang membentuk kualitas dan kuantitas sebuah interaksi sosial (World Bank,
2000). Ketiga, modal sosial merujuk pada ”aturan dan norma, kewajiban, saling
menghormati dan berbagi, serta kepercayaan yang melekat pada hubungan
sosial, struktur sosial dan tatanan kelembagaan sosial yang membantu anggota
masyarakat mencapai tujuan individu dan kelompoknya” (Narayan, 1997).

Ada dua modal sosial, yakni struktural dan kognitif. Modal sosial struktural
terwujud dalam berbagai bentuk organisasi sosial, dan meliputi peranan, aturan,
pola dan prosedur serta jaringan yang mendorong terjadinya kerjasama. Modal
sosial kognitif mencakup norma-norma, nilai, sikap dan kepercayaan. Kedua

4 Salah satunya seperti yang disampaikan Bupati Bungo, Bapak H. Zulfikar Achmad, sewaktu melakukan Safari Jum’at di Desa Teluk Kecimbung pada
tanggal 17 Juni 2003. Beliau menyampaikan bahwa “Globalisasi adalah sebuah keniscayaan dan tidak bisa dihindarkan, tetapi harus dibarengi dengan
nilai-nilai adat yang sakral dan berlaku di tengah masyarakat”. Dalam kesempatan lain beliau menyampaikan keinginan untuk mengkaji secara lebih
mendalam kemungkinan kembali ke struktur pemerintahan tradisional Rio. Hal ini pula yang menjadi dasar penelitian yang sebagian hasil temuannya
dituangkan dalam tulisan ini..
138 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

model tersebut bersifat saling melengkapi: dengan modal sosial struktural, norma
dan kepercayaan mendorong masyarakat untuk berperilaku lebih terkoordinasi
dan berorientasi tujuan (Uphoff, 1999).

Uraian tersebut menjelaskan proses perubahan dari sistem pemerintahan


desa yang berlaku sekarang ke sistem pemerintahan Rio, bukan hanya terkait
persoalan struktur organisasi pemerintahan desa, tetapi yang lebih penting adalah
bagaimana norma dan nilai adat setempat dengan nilai-nilai luhurnya ditaati dan
dijalankan serta bagaimana hubungan atau interaksi antar komponen masyarakat
yang tentu saja berbeda kondisinya dengan zaman dulu dapat mendorong ke
arah pencapaian tujuan bersama secara efektif. Semakin luntur kepercayaan
suatu kelompok masyarakat kepada kepala desa, semakin lemah pula semangat
kekeluargaan dan gotong-royong di kalangan masyarakat, yang ditandai dengan
kecenderungan rendahnya frekuensi masyarakat hadir dalam pertemuan desa.
Semuanya sangat terkait erat dengan modal sosial. Dengan demikian, konsep
modal sosial menjadi penting dalam proses transformasi ini dan pengalaman di
berbagai negara menunjukkan adanya hubungan antara modal sosial dan potensi
terbangunnya masyarakat yang mandiri dan kuat (Anonim, 2001).

DASAR HUKUM
Mungkinkah sebuah sistem pemerintahan desa diubah? Siapa yang berwenang
mengubahnya? Jika kita kaji peraturan perundangan yang ada, pemikiran untuk
kembali ke pemerintahan tradisional sebenarnya sejalan dengan UU No. 32/20045.
Menurut pasal 1 (12), desa atau yang disebut nama lain adalah kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bunyi pasal tersebut memberi indikasi
bahwa setiap daerah diberi wewenang tidak hanya untuk mengganti istilah desa
dengan nama lain, tetapi juga sistem pemerintahan berdasarkan adat istiadat.

Ada sinyal positif bagi pemerintah daerah untuk mengatur kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Otonomi hakekatnya
merupakan pemberdayaan daerah termasuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Pemerintah
daerah diberi wewenang seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri

5 Tentang Pemerintahan Daerah, yang menggantikan UU 22/1999 sebelumnya.


BAGIAN 2-5 • Umar Hasan, Deddy Irawan dan Heru Komarudin 139

urusan pemerintahan berdasarkan azas otonomi dan tugas pembantuan, kecuali


lima bidang.6

DESA MENURUT PERATURAN


PERUNDANGAN-UNDANGAN
Sebelum UU No. 5/1979 berlaku, pemerintahan desa berjalan sesuai dengan
kondisi sosial budaya masyarakat desa yang bersangkutan. Sebagai contoh, di
Propinsi Sumatera Barat dikenal istilah ’Nagari‘, di Jambi khususnya di Kabupaten
Bungo dikenal dengan istilah ’Rio‘ untuk sebutan Kepala Dusun.

Sistem pemerintahan desa berlaku setelah diterbitkannya UU No. 5/1979. Dalam


konsiderannya, UU tersebut menyebutkan perlunya menyeragamkan kedudukan
pemerintahan desa di seluruh wilayah dengan tetap mengindahkan keragaman
desa dan adat istiadat yang masih berlaku. Sekalipun secara normatif ditekankan
juga soal pentingnya memperhatikan keragaman budaya masyarakat, dalam
prakteknya pelaksanaan undang-undang tersebut lebih bersifat sentralistik dan
menonjolkan prinsip keseragaman. Eko (2003a) menyebutkan bahwa kebijakan
tersebut bertujuan menata ulang kelembagaan pemerintahan desa, membuat
desa tradisional menjadi desa modern, dan mengintegrasikan desa secara seragam
dalam struktur negara modern. Hubungan hierarki yang cukup kuat antara
desa, kecamatan dan kabupaten atau kotamadya telah mendorong terjadinya
kontrol dan instruksi yang kuat oleh pemerintahan atasan dengan bawahannya.
Kemandirian dan otonomi desa menjadi terhambat.

Dalam perkembangannya, filosofi dan paradigma tersebut tidak dapat


dipertahankan karena tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. UU No. 5/1979
diganti dengan UU No. 22/1999 yang kemudian direvisi dengan UU No.
32/2004. Dasar filosofi peraturan perundangan yang menggantikannya menganut
keanekaragaman dalam kesatuan yaitu mengembalikan nama, bentuk, unsur dan
kedudukan desa kepada keadaan semula dengan paradigma kedaulatan rakyat,
demokratisasi, pemberdayaan masyarakat dan pemerataan keadilan.

Sistem pemerintahan desa, menurut UU No. 32/2004 yang dijabarkan lebih


lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 72/2005 tentang desa, tidak lagi bersifat
sentralistik seperti halnya dalam UU No. 5/1979. Desa telah mempunyai otonomi
dan diberi wewenang untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Seperti yang

6 Pasal 10 ayat 1 dan 2 UU 32/2004.


140 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

dinyatakan dalam pasal 206, desa mempunyai urusan pemerintahan yang tidak
terbatas hanya pada kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa,
tetapi juga pada kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya
kepada desa/dusun, dan tugas perbantuan dari pemerintah, pemerintah propinsi
dan pemerintahan kabupaten/kota.

SEJARAH PEMERINTAHANRIO 7
Istilah pemerintahan Rio mengacu pada pemerintahan suatu wilayah yang disebut
dusun atau setara dengan wilayah desa pada saat ini. Pimpinan dusun disebut
dengan Rio, dan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, dibantu oleh
sekretaris Rio dan stafnya.

Sebelum Pemerintahan Belanda berkuasa penuh pada 1906, daerah Muara Bungo
yang sekarang disebut Kabupaten Bungo diperintah oleh seorang Pangeran yang
bergelar ’Pangeran Anom‘ yang berkedudukan di Balai Panjang Tanah Periuk.
Pangeran Anom tersebut disamakan dengan Wakil Rajo atas Surat Perintah
(ketetapan) dari Sultan Jambi. Karena kedudukannya, Pangeran Anom diberi
sebutan sebagai ’Lantak Nan Tak Goyah‘.

Kekuasaan Pangeran Anom membawahi beberapa negeri yang disebut Bathin,


seperti Bathin Batang Bungo, Bathin Jujuhan, Bathin Batang Tebo dan Bathin
Batang Pelepat. Daerah Bathin membawahi beberapa dusun yang kepala
pemerintahannya disebut Rio8 (Tabel 13). Di daerah Senamat dan Pelepat,
penguasa kampung disebut juga dengan istilah Rio, kecuali di Dusun Candi
penguasa kampung disebut dengan Temenggung Kitik dan Seri Tenuah.

Dari sejarah tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa istilah Rio lebih banyak
digunakan oleh dusun pada waktu itu. Pada 1926, setelah Kesultanan Jambi
dikuasai sepenuhnya oleh Belanda, wilayah yang ada di Muara Bungo dibagi lagi
ke dalam wilayah-wilayah yang disebut dengan Marga. Marga ini membawahi
beberapa Dusun. Jika dilihat dari struktur kekuasaannya, marga hampir sama
dengan sistem pemerintahan Nagari di Sumatera Barat yang membawahi beberapa
Jorong (Dusun). Pemerintahan Marga ini dikepalai oleh seorang yang disebut
Pasirah (Tabel 14).

7 Berdasarkan wawancara dengan Ketua Lembaga Adat Kabupaten Bungo, Datuk Mahmud
8 Kecuali untuk Bathin Tanah Tumbuh, kepala dusunnya bergelar Patih
BAGIAN 2-5 • Umar Hasan, Deddy Irawan dan Heru Komarudin 141

Tabel 13. Dusun-dusun yang bergelar Rio

Rio Dusun
Rio Pamuncak Rantau Ikil
Rio Setio Buat
Rio Anom Tanah Periuk
Rio Igo dan Debalang Lubuk Mengkuang
Rio Suko Lamo Teluk Kecimbung
Rio Muko muko Tanjung Agung
Rio Kunci Dusun Rambah
Rio Ali Pedukun
Rio Songgam Tanjung
Rio Suko Brajo Sikarak
Rio Pasak Kancing Rantau Pandan
Rio Pusat Jalo Baru
Rio Indra Cayo atau Rajo Penghulu Empelu
Rio Mudo Lubuk Landai
Rio Peniti Ulu Bungo Kampung Baru

Tabel 14. Pasirah di wilayah Adat Bungo dengan masing-masing ibu negerinya

Marga Ibu Negeri


Jujuhan Rantau Ikil
Bilangan V dan VII Tanah Tumbuh
Tanah Sepenggal Lubuk Landai
Bathin III Ilir Muara Bungo
Bathin II Babeko
Bathin VII Rantau Pandan
Bathin III Ulu Muara Buat
Pelepat Rantau Keloyang

Walaupun wilayah Adat Bungo terdiri dari beberapa marga, namun pemerintahan
Rio masih tetap dipertahankan, karena struktur Rio berada di bawah Marga. Dusun
terdiri dari kampung-kampung yang dikepalai oleh seorang kepala kampung.
Pembagian wilayah menjadi kampung didasarkan pertimbangan jumlah penduduk
142 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

dan kesepakatan. Dalam menjalankan tugasnya, Rio dibantu oleh seorang Wakil
Rio yang disebut ’Mangku‘ seperti di Dusun Teluk Pandak, namun ada juga yang
menyebutnya Patih.

SUSUNAN PEMERINTAHAN RIO :


SEBUAH USULAN
Jika dibandingkan dengan sistem pemerintahan desa yang ada saat ini, sistem
pemerintahan Rio9 mempunyai nilai lebih (Tabel 15). Dalam konteks pemerintahan
Rio yang diusulkan, istilah ‘desa’ yang sekarang berlaku diusulkan diubah menjadi
‘dusun’.

Sekalipun pemerintahan Rio tampak terlihat memiliki nilai-nilai lebih


dibandingkan dengan pemerintahan desa, tetapi tentu saja tidak menjamin
bahwa dengan kembali pada sistem pemerintahan adat akan mendorong
pemerintahan lebih baik dan efektif. Apalagi jika kita lihat kondisi masyarakat
desa saat ini yang sudah sangat berbeda dengan masa lalu. Dalam beberapa faktor,
pemerintahan Rio juga mempunyai kelemahan. Dengan kondisi masyarakat saat
ini, maka seorang pemimpin tidak cukup hanya mengandalkan segi karismatik
saja, tetapi juga harus punya kemampuan teknis dan kompetensi yang diperoleh
melalui pendidikan (baik formal maupun non formal). Generasi muda yang saat
ini menjadi komponen masyarakat yang cukup dominan di hampir setiap desa
hanya mempunyai pengetahuan yang minim tentang adat dan pemerintahan
Rio. Mereka hanya mengetahui sejarah adat berdasarkan cerita saja. Muncul
pertanyaan ”Sejauh mana pemerintahan tradisional dapat kembali berjalan sesuai
dengan yang diharapkan jika tidak seluruh komponen masyarakat mempunyai
pemahaman yang cukup?”. Selain itu, tanpa disertai mekanisme check dan balance,
masa jabatan Rio yang tanpa batas dan tergantung pada keinginan masyarakat
berpotensi melanggengkan kekuasaan yang cenderung otoriter.

Dengan memahami sepenuhnya bahwa globalisasi dan modernisasi adalah sebuah


keniscayaan dan arus perubahan menjadi suatu yang tidak bisa dibendung,
pemberlakuan kembali sistem pemerintahan Rio dianggap berperan di dalam
menyaring pengaruh-pengaruh yang negatif terhadap adat dan budaya setempat.
Seiring dengan keinginan masyarakat yang menginginkan kembali berlakunya
sistem Rio, pemerintah daerah perlu menyediakan payung hukum dan wadah
kelembagaan yang akan mendorong berjalannya pemerintahan.

9 Berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai pihak terkait, misalnya dengan Ketua Lembaga Adat Kabupaten Bungo, Datuk H. Mahmud dan
beberapa tokoh-tokoh masyarakat seperti alim ulama, cerdik pandai di Kabupaten Bungo.
BAGIAN 2-5 • Umar Hasan, Deddy Irawan dan Heru Komarudin 143

Tabel 15. Perbandingan antara sistem pemerintahan desa dengan Rio

Sistem Pemerintahan Desa Sistem Pemerintahan Rio


Kepala Desa dipilih berdasarkan konspirasi Rio dipilih atas dasar musyawarah dan
politik kelompok tertentu (cenderung mufakat masyarakat banyak
dilakukan secara voting)
Terikat pada pendidikan formal (minimal Tidak terikat pada pendidikan formal
SMP)
Tidak mutlak melihat asal usul keturunan Mutlak melihat asal usul keturunan dan
serta perilaku dalam masyarakat perilaku dalam masyarakat (mutlak dari
keturunan baik-baik dan terhormat)
Waktunya terbatas (maksimal 2 kali jabatan Waktunya tidak terbatas (sepanjang
dalam periode 10 tahun) masyarakat menghendaki)
Berbagai kasus menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem pemerintah desa saat
ini, terkait dengan sejauh mana tanggung jawab, sistem dan aparatnya memberikan
pengayoman kepada masyarakat. Sistem pemerintahan Rio cenderung lebih disegani
dan dihormati. Keamanan dan ketertiban masyarakat juga lebih terjamin di bawah
sistem pemerintahan Rio.

Dengan berpedoman pada peraturan perundangan10, struktur organisasi


Pemerintahan Rio di Kabupaten Bungo yang diusulkan terdiri dari (1) Pemimpin
dengan sebutan Rio, Sekretaris Rio atau nama lain serta beberapa Kepala
Urusan (Kaur) yang terdiri dari Kaur Pemerintahan, Kaur Pembangunan dan
Kaur Umum (Gambar 16). Dari struktur tersebut tampak bahwa sekretaris Rio
mempunyai kewenangan cukup besar membawahi beberapa kepala urusan secara
langsung dibandingkan Rio. Berdasarkan sejarahnya, yang memegang posisi Rio
adalah seseorang yang dihormati dan dipilih lebih karena alasan karismatik.
Sementara fungsi pengendali berada pada Sekretaris (atau disebut juga Mangku)
yang mempunyai kemampuan teknis dan relatif berpendidikan. Dengan usulan
struktur seperti ini, diharapkan secara bertahap akan ada keterpaduan antara Rio
dan sekretaris Rio dalam hal kemampuan dan kedudukannya.

Untuk membantu Pemerintahan Rio, perlu dibentuk lembaga kemasyarakatan


sesuai dengan yang dimaksud dalam pasal 21111. Lembaga tersebut berperan
sebagai mitra dalam memberdayakan masyarakat desa dan bisa berbentuk Badan
Permusyawaratan Dusun (BPD) dan lembaga-lembaga lainnya.

10 Pasal 202 UU No.32/2004 yang menyatakan bahwa Pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa (sekretaris desa dan perangkat
desa lainnya). Sekretaris desa diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan. Selain pasal tersebut, juga diacu pasal 4 Peraturan Daerah
Kabupaten Bungo No.19/2000 tentang Organisasi Pemerintahan Desa.
11 Pasal 211 UU No.32/2004 menyatakan bahwa di desa dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan yang bertugas membantu pemerintah desa dan
merupakan mitra dalam memberdayakan masyarakat desa.
144 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Waktu kerja kantor juga diusulkan disesuaikan dengan kantor pemerintahan


lainnya, yakni dari Senin sampai Kamis dengan jam buka dari pukul 07.15 sampai
14.00, Hari Jumat dari pukul 07.15 sampai 11.00 dan Hari Sabtu dari 07.15 sampai
13.00. Sesuai dengan yang diatur dalam pasal 202, Sekretaris Rio diangkat dari
pegawai negeri dengan tujuan agar pelayanan terhadap masyarakat bisa dilakukan
setiap hari kerja. Sejalan dengan arahan Menteri Dalam Negeri tentang perlunya
pemberdayaan masyarakat12, sekretaris desa/dusun diangkat secara bertahap
sebagai pegawai negeri. Pengalaman dari Sumatera Barat menunjukkan bahwa
Sekretaris Wali Nagari yang diangkat dari pegawai negeri terbukti cukup efektif. Di
Kabupaten Tanah Datar, bahkan terdapat 3 orang staf Wali Nagari yang berstatus
sebagai pegawai negeri.

Rio

Sekretaris Rio
atau nama lain

Kaur Kaur
Pemba- Kaur
Pemerin- Kaur….
ngunan Umum
tahan

Kepala Kampung

Gambar 16. Usulan struktur organisasi Pemerintahan Rio

Syarat-syarat Pengangkatan Rio


Mengacu pada pasal 203 UU No. 32/2004, Rio sebaiknya dipilih secara langsung
oleh warga dusun yang memenuhi syarat. Pemilihan langsung seperti ini sebenarnya
sudah diterapkan pada Pemerintahan Rio dahulu. Bahkan rakyat setempat selalu
bermusyawarah dan bermufakat menentukan pemimpin mereka (Rio) tanpa ada

12 Surat Menteri Dalam Negeri No.410/2917/SJ tanggal 29 Oktober 2004 kepada Gubernur, Bupati/Walikota serta pimpinan DPRD Propinsi, Kabupaten
dan Kota. Surat tersebut menyatakan bahwa masyarakat dan desa/dusun harus diberdayakan.
BAGIAN 2-5 • Umar Hasan, Deddy Irawan dan Heru Komarudin 145

pemungutan suara. Diharapkan pola pemilihan secara adat diterapkan dalam


pemilihan Rio di masa mendatang dengan tetap berpedoman pada peraturan yang
berlaku.

Selain syarat dipilih langsung, calon kepala dusun harus penduduk asli dari
dusun yang bersangkutan. Hal ini terkait dengan tanggung jawab moral seorang
kepala dusun atas seluruh aspek kehidupan masyarakat yang dipimpinnya. Jika
posisi kepala dusun ditempati orang yang bukan berasal dari dusun bersangkutan
dikhawatirkan akan terjadi kecemburuan sosial dan kurangnya tanggung jawab
moral terhadap masyarakat setempat. Ketentuan tentang keharusan penduduk
asli untuk menjadi pimpinan (Wali Nagari) juga cukup efektif penerapannya di
dalam Sistem Pemerintahan Nagari di Sumatera Barat.

Untuk daerah-daerah transmigrasi, seperti di Kuamang Kuning, kepala Dusun


atau Rio dibolehkan berasal dari para transmigran itu sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakatnya, namun tetap menganut Sistem Pemerintahan Rio. Hal ini sesuai
dengan pepatah Adat Jambi yang mengatakan “Di mano bumi dipijak di situ langit
dijunjung, di mano ranting patah di situ ayek disauk, di mano tembilang dicacak di situ
tanaman tumbuh”.

Syarat-syarat seseorang untuk diangkat menjadi Rio dapat mengacu pada


persyaratan untuk seorang calon kepala desa seperti diatur dalam Pasal PP No.
72/2005. Selain aspek moralitas dan kesehatan, aspek lain cukup penting bagi
seorang pada posisi Rio adalah dia harus mengenal daerah yang akan menjadi
wilayahnya, dikenal, dihormati dan mempunyai wibawa di depan masyarakat
dusun bersangkutan dan memenuhi syarat lain yang ditetapkan aturan adat.

Peraturan Pemerintah tersebut menyatakan bahwa syarat pendidikan untuk


calon seorang kepala desa sekurang-kurangnya SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama) atau yang sederajat. Dalam pemilihan Rio, prasyarat pendidikan
lebih bersifat fakultatif dan bukan sebuah keharusan, yang terpenting adalah
bahwa Rio berasal dari keturunan orang baik-baik, terhormat dan disegani oleh
masyarakatnya. Rio lebih merupakan simbol kehormatan dan kewibawaan. Syarat
administratif dan pendidikan harus dimiliki oleh sekretaris atau wakilnya yang
berperan mengendalikan administrasi pemerintahan. Bahkan posisi sekretaris atau
wakilnya sebaiknya ditempati seseorang yang berpendidikan sekurang-kurangnya
Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat. Jika memang ada figur Rio yang
berpendidikan SMP ke atas, dihormati dan punya wibawa, maka itu akan lebih
baik.
146 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Tugas dan Wewenang Pemerintahan Rio


Untuk mengisi kekosongan hukum dan sambil menunggu pengaturan kelembagaan
yang lebih rinci, tugas dan kewajiban Rio untuk sementara dapat mengikuti
ketentuan yang berlaku untuk kepala desa, seperti yang diatur pada pasal 14
PP No. 72/2005 dan Peraturan Daerah Kabupaten Bungo No. 19/2000 tentang
Organisasi Pemerintahan Desa. Pasal 3 ayat 1 Perda tersebut menyebutkan
bahwa pemerintahan desa mempunyai tugas menyelenggarakan dan bertanggung
jawab untuk urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan serta
mengembangkan jiwa gotong-royong masyarakat sebagai sendi utama pelaksanaan
pemerintahan Rio. Ayat 2 menyatakan bahwa tugas pemerintahan desa adalah
melaksanakan pembinaan kemasyarakatan, pembinaan perekonomian, keamanan,
ketertiban, musyawarah untuk menyelesaikan perselisihan antar warga masyarakat,
menyusun dan mengajukan Rancangan Peraturan Desa kepada BPD atau nama
lainnya serta menetapkan peraturan desa bersama lembaga mitranya (BPD atau
nama lainnya). Berdasarkan ketentuan ini, pemerintahan Rio mencakup tugas dan
kewajiban yang ditetapkan untuk pemerintahan desa dalam hal pembangunan,
pembinaan masyarakat dan menyusun peraturan Rio.

Agar rancangan peraturan desa, keputusan-keputusan pemerintahan Rio tentang


rencana pembangunan dusun dapat sesuai dengan kehendak masyarakat, maka
pendekatan-pendekatan partisipatif yang juga tercermin dalam bentuk musyawarah
dan mufakat di jaman dulu, perlu dilembagakan. Hal ini untuk menjamin adanya
keterlibatan seluruh komponen masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan
kaum perempuan.

Hal yang sama juga berlaku bagi urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
pemerintahan Rio. Cakupan urusannya, seperti disebutkan pasal 206 UU No.
32/2004, mencakup urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-
usul dusun, urusan pemerintahan kabupaten/kota yang diserahkan ke dusun, tugas
pembantuan yang diserahkan oleh pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten
atau kota dan urusan lainnya yang sesuai dengan peraturan perundangan.

Masa Jabatan Rio


Pada zaman dulu, jabatan Rio di tidak ada batas waktunya. Selama masyarakat
masih menginginkan dan sepanjang yang bersangkutan masih bersedia, maka
selama itu pula seseorang memegang kedudukan sebagai Rio. Namun demikian,
dengan kondisi sosial budaya masyarakat saat ini yang sangat berbeda dengan
BAGIAN 2-5 • Umar Hasan, Deddy Irawan dan Heru Komarudin 147

masa lalu, maka perlu dipikirkan pembatasan masa jabatan Rio. Kekhawatiran
akan munculnya kekuasaan langgeng yang cenderung otoriter dan tidak adanya
pengkaderan figur karena tidak diketahuinya batas jabatan seorang Rio menjadi
alasan-alasan perlunya memadukan sifat karistimatik pemimpin dengan soal
batasan waktu menjabat. Sekalipun ada kebebasan dalam menentukan masa
jabatan Rio, tetapi diusulkan agar masa jabatan Rio disesuaikan dengan ketentuan
UU No. 32/2004 untuk seorang kepala desa. Pasal 204 membatasi jabatan seorang
kepala desa selama enam tahun dan dapat dipilih kembali satu kali masa jabatan,
atau paling lama 12 tahun. Namun demikian, jika yang bersangkutan tidak lagi
disukai masyarakat, maka seseorang yang menduduki posisi Rio dapat berakhir
sebelum masa jabatannya selesai. Dalam hal ini perlu dipikirkan aturan-aturan
tertentu yang tertuang dalam Peraturan daerah yang mengatur mekanisme
turunnya seseorang dari jabatan Rio.

Sumber Keuangan Dusun


Dalam menjalankan hak dan kewajibannya, Pemerintahan Rio memperoleh dana
dari berbagai sumber. Pengaturan soal sumber keuangan dapat mengacu pada
pasal 212 ayat (1) dan (2) UU No. 32/2004 tentang Keuangan Desa13. Sumber
pendapatan desa dapat berupa Pendapatan Asli Desa (PAD), bagi hasil pajak
daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, bagian dari dana perimbangan
keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota, bantuan dari
pemerintah propinsi, kabupaten/kota dan hibah serta sumbangan dari pihak
ketiga14.

Selain itu, pendapatan (keuangan) desa juga dapat diperoleh dari Badan Usaha
Milik Desa/Dusun (BUMD), jika desa/dusun tersebut memiliki badan usaha.
Sumber-sumber pendapatan desa tersebut dapat dikelola melalui Anggaran

Pendapatan dan Belanja Dusun. Sesuai pasal 3, Perda Kabupaten Bungo No.
29/200015, maka kekayaan dusun dapat berupa tanah kas dusun, pasar dusun,
badan usaha milik dusun, lumbung dusun, pemandian umum dan objek wisata
yang dikelola oleh dusun, bangunan milik dusun, hutan dusun, tempat pemandian
di sungai, jalan dan lainnya yang menjadi kekayaan dusun.

13 Semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
desa yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban dimaksud menimbulkan pendapatan, belanja dan pengelolaan
keuangan desa.
14 Pendapatan yang berasal dari sumbangan pihak ketiga yaitu sumbangan dari dermawan dan sumbangan lain yang tidak mengikat. Sedangkan
pendapatan yang berasal dari pinjaman desa meliputi pinjaman dari Bank Pemerintah, Bank Swasta, dan pinjaman lainnya.
15 Tentang Sumber Pendapatan dan Kekayaan Desa.
148 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Sumber pendapatan dan kekayaan dusun dikelola oleh Pemerintah Rio dan di
manfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan penyelenggaraan Pemerintahan Rio
dan pembangunan kemasyarakatan. Agar akuntabilitas dapat terjamin, Badan
Permusyawaratan Dusun (BPD) dilibatkan dalam mengawasi penggunaan
sumber dana tersebut. Hal ini sesuai dengan pasal 7 Perda Kabupaten Bungo No.
29/2000.

Lembaga-lembaga dalam Sistem Pemerintahan Rio


Agar pemerintahan Rio dapat berjalan dengan baik maka perlu mitra kerja dalam
menjalankan pemerintahan sehari-hari. Mitra kerja tersebut berupa lembaga
yang sudah diatur dalam UU maupun lembaga lain yang dibentuk sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Lembaga-lembaga tersebut antara lain:
• Badan Permusyawaratan Desa, yang disingkat dengan BPD. Lembaga ini
telah diatur sesuai peraturan perundangan-undangan16. Oleh karena nama
desa telah diganti dengan nama dusun, istilah BPD dipakai untuk istilah
”Badan Permusyawaratan Dusun” yang berfungsi sebagai penampung dan
penyalur aspirasi rakyat serta menetapkan Peraturan Dusun (Perdus).
• Musyawarah Adat Dusun (MAD) atau Kerapatan Adat Dusun (KAD) atau
Lembaga Adat Dusun (LAD). Lembaga ini dibentuk berdasarkan kebutuhan
masyarakat untuk menghidupkan nilai-nilai adat dalam masyarakat. Lembaga
ini berfungsi sebagai Peradilan Adat Dusun17.
• Lembaga Kemasyarakatan Dusun (LKD) yang dalam Perda Kabupaten Bungo
No. 23/2000, disebut Lembaga Kemasyarakatan Desa. Lembaga ini berfungsi
sebagai lembaga pelaksana dan penyeleksi pembangunan secara terpadu18.

Badan Permusyawaratan Dusun (BPD)


Berdasarkan pasal 8 Perda Kabupaten Bungo No. 20/2000, jumlah anggota BPD
ditentukan berdasarkan jumlah penduduk dusun yang bersangkutan. Jika jumlah
penduduk kurang dari 2.500 jiwa, maka anggota BPD berjumlah sembilan orang.
Jika jumlah penduduknya antara 2.501 sampai 3.000 jiwa, anggotanya sebanyak
sebelas orang. Anggota BPD menjadi 13 orang jika jumlah penduduknya di atas
3.000. Unsur-unsur yang duduk dalam BPD terdiri dari ketua dan sekretaris
serta wakil-wakil dari ninik mamak/tokoh adat, alim ulama, cerdik pandai, induk-
induk (kaum hawa) dan unsur pemuda (Gambar 17). Jumlahnya harus ganjil agar
kesepakatan dapat lebih mudah dicapai, jika terjadi pemungutan suara (voting).
16 Pasal 209 UU No. 32/2004, jo Perda Kabupaten Bungo No. 20/2000.
17 Pembentukan lembaga ini sesuai dengan ketentuan pasal 211 UU No. 32/2004.
18 Pembentukan LKD ini dimungkinkan menurut Pasal 211 UU 32/2004.
BAGIAN 2-5 • Umar Hasan, Deddy Irawan dan Heru Komarudin 149

Ketua BPD

Sekretaris

Ninik Mamak/ Alim


Tokoh Adat Ulama Induk-Induk Cerdik Pandai Pemuda
(Kaum Hawa)

Gambar 17. Susunan atau struktur organisasi BPD

Musyawarah Adat Dusun (MAD), Kabupaten Adat Dusun


(KAD), Lembaga Adat Dusun (LAD)
Lembaga atau kerapatan ini mengurusi masalah adat dalam Pemerintahan Rio yang
unsur-unsurnya terdiri dari ninik mamak dan atau pemangku adat. Pembentukan
lembaga ini juga dimungkinkan oleh Pasal 211 UU No. 32/2004. Lembaga
ditetapkan melalui Peraturan Dusun. Orang-orang yang akan mengisi lembaga ini
harus memiliki pengetahuan tentang adat-istiadat dan aturan-aturan agama serta
bermoral baik. Mereka dapat berasal dari berbagai golongan masyarakat asalkan
memenuhi syarat, misalnya alim ulama, cerdik pandai dan tuo tengganai. Struktur
MAD/KAD/LAD terdiri dari seorang ketua, seorang wakil ketua dan seorang
sekretaris. Lembaga adat ini terdiri dari beberapa kepala bidang.

Lembaga Kemasyarakatan Dusun (LKD)


Lembaga Kemasyarakatan Dusun (LKD) sebagaimana diatur dalam Perda
Kabupaten Bungo No. 32/2000 adalah lembaga pelaksana dalam menyelesaikan
pembangunan dusun secara terpadu. Lembaga ini diharapkan dapat memberi
masukan kepada Pemerintahan Rio, baik diminta atau tidak. Susunan Organisasi
lembaga ini berdasarkan Pasal 3 Perda Kabupaten Bungo No. 23/2000 terdiri dari
seorang ketua, seorang sekretaris, seorang bendahara dan beberapa ketua seksi.
Pengurus lembaga terdiri dari unsur-unsur pemuka masyarakat seperti pemuka
adat, pemuka agama, pendidik/cendekiawan, pemuda/wanita. Jumlahnya juga
harus ganjil seperti halnya jumlah personil dalam lembaga MAD/KAD/LAD.
150 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Insentif Pengurus Lembaga


Agar lembaga dapat bekerja secara efektif, perlu ada insentif atau honor yang
diberikan kepada setiap pengurusnya, termasuk untuk uang sidang. Besarnya
insentif dan uang sidang tentu disesuaikan dengan kemampuan keuangan dusun
dan jika perlu diatur dalam Perda atau Peraturan Dusun (Perdus) agar punya
kekuatan hukum.

Untuk jabatan Rio harus berasal dari penduduk asli dusun yang bersangkutan
agar hubungan yang erat dengan masyarakat tempat dimana dia lahir mendorong
munculnya tanggung jawab dan moral yang baik. Daerah transmigrasi merupakan
pengecualian. Jabatan Rio untuk daerah transmigrasi tidak harus berasal dari
penduduk asli, tetapi boleh juga dari pendatang. Anggota Pengurus BPD, MAD/
KAD/LAD dan LKD tidak harus penduduk asli, tetapi terbuka bagi setiap warga
yang tinggal di daerah tersebut sepanjang mengetahui permasalahan lembaga
yang didudukinya.

PERSEPSI PARA PIHAK TERHADAP PERUBAHAN


Hasil wawancara dengan berbagai unsur masyarakat menunjukkan bahwa mereka
umumnya mempunyai aspirasi yang sama dan setuju terhadap usulan untuk
kembali ke pemerintahan Rio. Alasan mereka adalah untuk menghidupkan kembali
nilai-nilai adat setempat, yang saat ini sudah mulai terkikis. Nilai-nilai dimaksud
menyangkut semua aspek kehidupan dalam masyarakat, termasuk sejauh mana
norma, sikap saling percaya dan hubungan antar anggota masyarakat mendorong
aksi kolektif pemanfaatan sumberdaya alam.

Dalam sebuah Seminar Sehari tentang Pemerintahan Rio19, berbagai pihak
menyampaikan dukungannya terhadap perubahan dari pemerintahan desa ke
pemerintahan Rio. Namun, ada beberapa isu yang muncul misalnya terkait batas-
batas administrasi, penerapan sistem Rio di wilayah transmigrasi dan pembentukan
dasar hukum bagi proses perubahan pemerintahan yang diusulkan.

Ada kekhawatiran penerapan sistem pemerintahan Rio di daerah transmigran


akan menimbulkan konflik dan ketidakjelasan mengingat sebagian besar
masyarakatnya berasal dari luar wilayah bersangkutan atau bahkan dari luar Jambi.
Berdasarkan wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat di daerah transmigrasi

19 Diselenggarakan pada tanggal 12 Desember 2005 di Kantor Bappeda Kabupaten Bungo. Seminar dihadiri oleh para pihak seperti anggota DPRD,
kepala desa, tokoh masyarakat, tokoh adat, LSM, lembaga penelitian, perguruan tinggi dan unsur pemerintah
BAGIAN 2-5 • Umar Hasan, Deddy Irawan dan Heru Komarudin 151

seperti di Kuamang Kuning, Kecamatan Pelepat Ilir, dan di Bukit Sari dan Sari
Mulya di Kecamatan Jujuhan, ada indikasi bahwa mereka tampaknya memang
belum menanggapi usulan ini secara jelas. Kurangnya pemahaman masyarakat
tentang adat istiadat setempat dan dasar filosofi sistem pemerintahan Rio serta
adanya keraguan terhadap dampak yang akan mereka terima ketika sistem adat
diberlakukan tampaknya menjadi alasannya.

Tampaknya masih diperlukan waktu dan proses sampai masyarakat transmigran


memahami dan dapat menerima sistem pemerintahan Rio. Sejalan dengan pepatah
adat Bungo “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung” yang berarti “di mana
kita berdomisili, maka kita harus mengikuti ketentuan adat istiadat setempat”,
diharapkan secara bertahap masyarakat transmigran akan menerima aturan yang
berlaku dan menerima sistem pemerintahan Rio. Nilai-nilai adat yang mereka bawa
dari kampung halamannya tetap harus dihormati (Statuta Personalia) sepanjang hal
tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Berdasarkan pengamatan
terhadap kehidupan mereka secara bertahun-tahun, di satu sisi masyarakat Bungo
dapat beradaptasi dengan kehidupan sosial masyarakat Jawa dan Bali, demikian
juga masyarakat Jawa dan Bali dapat beradaptasi dengan masyarakat setempat.

Terkait dengan batas-batas administratif yang sudah ada, sistem pemerintahan Rio
sebaiknya mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku sesuai peraturan-perundangan
nasional. Menurut Peraturan Pemerintah No. 72/2005 tentang Desa, jumlah
minimal penduduk untuk terbentuknya suatu desa adalah 1.500 jiwa atau 300
KK untuk di wilayah Jawa dan Bali, 1.000 jiwa atau 200 KK untuk Sumatera
dan Sulawesi dan 750 jiwa atau 75 KK untuk wilayah Kalimantan, NTB, NTT,
Maluku dan Papua. Jika jumlah penduduk sudah mencukupi untuk terbentuknya
suatu desa atau dusun, maka pemerintahan Rio dapat dibentuk berdasarkan
aspirasi masyarakat.

Wilayah pemerintahan Rio adalah wilayah desa yang bersangkutan. Hal ini
mungkin sedikit berbeda dengan yang terjadi di Sumatera Barat. Sebuah wilayah
Nagari meliputi beberapa dusun atau desa yang disebut dengan jorong. Wilayah
Pemerintahan Rio terdiri dari kampung-kampung yang di dalamnya terdapat RT
dan RW. Pada zaman dahulu, wilayah Pemerintahan Rio atau Bathin itu luas
sekali, karena jumlah masyarakatnya sedikit.

Penerapan sistem pemerintahan Rio seharusnya bersifat adaptif terhadap perubahan


sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku dan
dengan nilai-nilai adat. Dalam hal demokrasi, fakta sejarah membuktikan bahwa
pemilihan Rio sangat demokratis, yaitu dipilih melalui demokrasi langsung oleh
152 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

semua unsur masyarakat. Soal keterbukaan, sistem pemerintahan Rio tetap


terbuka terhadap berbagai perubahan sepanjang tidak bertentangan dengan nilai
yang berlaku. Sistem ini terbuka terhadap kemajuan ilmu dan pengetahuan seperti
televisi, parabola dan lainnya. Untuk soal partisipasi masyarakat, semangat gotong-
royong yang dimiliki dalam sistem pemerintahan Rio mendorong terjadinya aksi
kolektif dan keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan tanpa pamrih, seperti
gotong-royong membuat jalan umum, tempat ibadah dan tempat pendidikan.

Kotak 1. Pemerintahan Nagari Bayua: pelajaran dari sebuah studi banding

Nagari merupakan unit pemerintahan lokal terkecil di Sumatera Barat. Pemerintah


Nagari terdiri dari seorang wali terpilih, sebuah badan legislatif terpilih dan sebuah
badan yang terdiri dari wakil-wakil empat kelompok atau lebih yakni pemimpin
adat, ulama, cerdik pandai dan wanita. Dalam Nagari Bayua, yang merupakan salah
satu Nagari dari delapan Nagari di Kecamatan Tanjung Raya, terdapat beberapa
lembaga sebagai mitra kerja dari wali Nagari:
1. Kerapatan Adat Nagari (KAN) dengan tugas utama mengurus masalah
adat Nagari yang bersendikan syarak, syarak yang bersendikan kitabullah,
memperkuat nilai-nilai tradisional, menjaga kesatuan penduduk nagari,
mengelola kekayaan nagari dan menyelesaikan perselisihan masalah-masalah
adat.
2. Majelis Ulama Nagari (MUNA) yang bertugas mengurus agama dan adat;
3. Badan Perwakilan Rakyat Nagari (BPRN) yang merupakan lembaga kontrol
terhadap pekerjaan Wali Nagari. Lembaga ini disebut sebagai legislatif
Nagari.
4. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Nagri (LPMN) yang bertugas menyusun
Perencanaan Pembangunan Nagari.

Dengan adanya sistem pemerintahan Nagari ini, tugas Camat menjadi semakin
ringan karena banyak bidang pekerjaan yang diambil alih Wali Nagari. Camat lebih
berperan di dalam mengkoordinir pekerjaan Wali Nagari, baik yang berasal dari
kearifan lokal maupun petunjuk dari pemerintah kabupaten dan propinsi. Urusan
administrasi Kartu Tanda Penduduk (KTP), misalnya, menjadi wewenang Wali
Nagari sekalipun yang menandatangani adalah Camat. Tentu saja tidak hanya itu,
sekalipun berbeda dari Nagari dulu yang sangat otonom dan tidak masuk dalam
struktur negara, saat ini terlihat tatanan sosial budaya masyarakat dan efektivitas
pemerintahan teritorial mendorong terwujudnya kepentingan pelestarian nilai-
nilai luhur adat disertai dengan penghormatan terhadap keragaman. Suasana
demokratis dan egaliter selalu mewarnai hubungan pemimpin dengan masyarakat,
baik di dalam menyelenggarakan pemerintahan maupun dalam urusan hukum
adat, seperti yang digambarkan Eko (2003b).
BAGIAN 2-5 • Umar Hasan, Deddy Irawan dan Heru Komarudin 153

PEMERINTAHAN RIO , HAK PROPERTI DAN


AKSES TERHADAP SUMBERDAYA ALAM
Pada zaman dulu, dalam sistem pemerintahan Rio ditetapkan aturan-aturan adat
yang tidak tertulis. Dalam pengelolaan sumberdaya alam, misalnya, masyarakat
diberi kebebasan membuka hutan untuk perkebunan dan pertanian. Hutan yang
dibuka untuk perkebunan disebut Halkah, sedangkan hutan yang dibuka untuk
pertanian disebut Fatlah (Machmud, 2005).

Setiap hutan yang telah dibuka oleh masyarakat, baik dalam bentuk Halkah
maupun Fatlah dicatat dalam buku kecil dan diumumkan. Pencatatan yang bersifat
permanen tersebut berfungsi sebagai bentuk pengakuan hak milik terhadap pihak
yang membuka lahan dalam wilayah pemerintahan Rio. Sisa hutan yang belum
dibuka menjadi tanah komunal dan menjadi milik Bathin. Di lahan yang menjadi
public domain tersebut, masyarakat diperkenankan memanfaatkan hasil hutan,
berburu dan menangkap ikan, tetapi kepemilikan berada di tangan Bathin.

Pada masa pemerintahan Rio diterapkan, aturan-aturan adat tentang pengelolaan


sumberdaya alam umumnya tidak tertulis tetapi berdasarkan kebiasaan
masyarakat saja. Walaupun tidak tertulis aturan-aturan tersebut sangat ditaati
oleh masyarakat. Contohnya, masyarakat hanya boleh mengambil kayu di hutan
dalam wilayah pemerintahan Rio jika kayu tersebut berdiameter minimal 50 cm.
Selain karena kayunya lebih berkualitas, aturan tersebut dimaksudkan untuk
melestarikan lingkungan melalui sistem tebang pilih. Apabila ketentuan tersebut
dilanggar, sanksi akan diberikan sesuai dengan bentuk kesalahannya dan biasanya
berupa denda yang disidangkan dalam peradilan adat. Menangkap ikan di sungai
juga hanya boleh dilakukan dengan cara memancing atau membuat perangkap
dan tidak boleh dengan cara meracun atau cara lainnya yang dapat menyebabkan
punahnya anak ikan. Aturan yang sama juga berlaku untuk binatang buruan.

Saat ini, aturan-aturan adat sudah mulai melemah dan tidak lagi ditaati
sepenuhnya oleh masyarakat. Di sebagian tempat bahkan aturan-aturan tersebut
sudah hampir punah, seperti di Kecamatan Tanah Tumbuh, Tanah Sepenggal dan
Bathin II Babeko. Melemahnya nilai-nilai adat tersebut selain disebabkan oleh
arus globalisasi, modernisasi dan pola keseragaman yang diterapkan oleh sistem
pemerintahan desa saat itu, juga disebabkan oleh masyarakat yang jumlah, ragam
dan tuntutannya semakin besar. Sedangkan sumberdaya alam semakin terbatas.

Di beberapa wilayah lain di Kabupaten Bungo, aturan-aturan adat yang mengatur


pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari masih berlaku. Misalnya, adanya
154 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

lubuk larangan di Desa Batu Kerbau, Kecamatan Pelepat dan Kecamatan Rantau
Pandan, hutan lindung di Kecamatan Rantau Pandan, hutan adat terdapat di
Desa Batu Kerbau dan Desa Baru Pelepat, Kecamatan Pelepat. Aturan-aturan
hutan adat di kedua desa terakhir bahkan sudah diupayakan untuk diperkuat
dengan Peraturan Daerah.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Keinginan untuk kembali menerapkan sistem pemerintahan Rio sejalan dengan
tuntutan berbagai pihak dalam upaya mengembalikan nilai-nilai adat yang sudah
mulai terkikis. Perubahan sistem pemerintahan ini berada dalam koridor hukum
dan terakomodasikan di dalam peraturan perundangan yang berlaku. UU No.
32/2004 memberikan peluang bagi daerah untuk mengatur masyarakat sesuai
dengan aspirasinya.

Diberlakukannya kembali sistem pemerintahan Rio diyakini mampu memperkuat


kembali modal sosial, memperkuat institusi lokal, merekatkan kembali sistem
sosial yang selama bertahun-tahun telah terkikis dan yang cenderung tidak
mendorong terbentuknya kemandirian desa dan terjaganya keluhuran nilai-nilai
adat. Secara bertahap, dalam jangka panjang perubahan sistem pemerintahan
diharapkan akan lebih mampu mengatasi berbagai persoalan masyarakat secara
mandiri dan memberikan kontribusi pada pencapaian pembangunan daerah
yang dicita-citakan. Munculnya pemimpin karismatik pemerintahan Rio yang
dihormati dan disegani masyarakatnya, perpaduan antara sifat karismatik dengan
kemampuan teknis sekretaris Rio dan adanya mekanisme check and balance dalam
menjalankan urusan pemerintahan menjadi kekuatan-kekuatan penerapan sistem
pemerintahan Rio.

Selanjutnya direkomendasikan:
• Pemerintah Daerah menyusun sebuah Peraturan Daerah terkait dengan
pengaturan sistem pemerintahan Rio, dan memfasilitasi proses penyusunannya
melalui mekanisme partisipatif dengan melibatkan berbagai komponen
masyarakat. Perda tersebut kemudian dikonsultasikan dengan pihak legislatif,
Pemerintah Propinsi Jambi dan Departemen Dalam Negeri c.q. Dirjen
Pemberdayaan Masyarakat Desa.
• Pemerintah Daerah terus mendorong proses dialog, diskusi dan
konsultasi publik tentang perubahan sistem pemerintahan desa ini, dan
mengakomodasikan masukan-masukan dari berbagai pihak, sehingga menjadi
BAGIAN 2-5 • Umar Hasan, Deddy Irawan dan Heru Komarudin 155

masukan yang berharga dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan


terkait. Perlu dilakukan studi banding yang lebih komprehensif tentang
sistem pemerintahan Nagari ke Provinsi Sumatera Barat untuk mempelajari
kelebihan dan kelemahan pelaksanaan sistem tersebut.
• Pemerintah dan berbagai pihak terkait terus mendorong penguatan modal
sosial. Proses perubahan dari sistem pemerintahan desa ke pemerintahan
Rio bukan hanya proses perubahan struktur tetapi juga proses interaksi dan
belajar di antara masyarakat. Kepercayaan antar masyarakat cukup mudah
luluh, tetapi juga bisa dipulihkan melalui proses akumulasi modal sosial.
Peran pemerintah dan para pihak lain sangat penting dalam menjaga proses
tersebut agar berjalan ke arah positif.
• Secara paralel, berbagai pihak termasuk Pemerintah Daerah terus mendorong
dilakukannya penelitian lebih mendalam tentang aspek-aspek yang belum
tercakup dalam hasil penelitian ini dan membahasnya dengan pihak-
pihak terkait. Topik menarik yang perlu dikaji lebih lanjut adalah: dengan
modal sosial masyarakat yang ada saat ini, sejauh mana penerapan sistem
pemerintahan ini mendorong aksi kolektif dan kerjasama antar kelompok-
kelompok masyarakat dalam mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat,
baik dari sisi ekonomi, sosial maupun politik.
• Semua lapisan masyarakat, terutama anggota DPRD, para alim ulama,
cerdik pandai, tuo tengganai, LSM dan organisasi sosial lainnya di Kabupaten
Bungo terus terlibat di dalam mendorong terwujudnya pemerintahan Rio
yang bersendi syarak’, syarak’ bersendi kitabullah di “Bumi Langkah Serentak
Limbai Seayun“ Kabupaten Bungo.

UCAPAN TERIMA KASIH

Tulisan ini merupakan hasil dari penelitian “Collective Action to Secure Property
Rights for the Poor: Avoiding Elite Capture of Natural Resource Benefits and
Governance Systems” kerjasama antara CIFOR dan Pemda Kabupaten Bungo.
Penelitian didanai oleh BMZ, the Federal Ministry for Economic Cooperation and
Development, Germany, yang disalurkan melalui CGIAR System-wide Program on
Collective Action and Properti Rights (CAPRi). Penulis mengucapkan terima kasih
kepada pihak donor dan semua pihak yang telah memberikan kontribusinya pada
penelitian ini.
156 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

BAHAN BACAAN

Anonim. 2001. Social Capital: A Review of the Literature. Social Analysis and
Reporting Division Office for National Statistics, Inggris. http://www.
statistics.gov.uk/socialcapital/downloads/soccaplitreview.pdf.
Eko, S. 2003a. Desentralisasi dan Demokrasi Desa. Makalah disampaikan dalam
Konsultasi Publik Revisi UU No. 22/1999, 19 November. Deli Serdang,
Sumatera Utara. Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM)
Jakarta, Bitra Indonesia Medan dan Pusaka Indonesia. http://www.
ireyogya.org/sutoro/makalah_desentralisasi_dan_demokrasi_desa.pdf.
Eko, S. 2003b. Kembali ke Nagari dalam Konteks Desentralisasi dan Demokrasi
Lokal di Sumatera Barat. Makalah disampaikan dalam Lokakarya
Wawasan Pembangunan Nasional, 17-19 September. Yayasan Bina
Masyarakat Mandiri (YBM2), Bogor. http://www.ireyogya.org/adat/
flamma_adat_vol1_sorot1.htm.
Machmud, A.S. 2005. Pedoman Adat Kabupaten Bungo. Pemerintah Daerah
Kabupaten Bungo, Muara Bungo. Indonesia.
Narayan, 1997. Voices of the Poor: Poverty and Social Capital in Tanzania. World
Bank, Washington D.C., USA.
Saad, Z.M.B. 2001. Pemberdayaan Ekonomi Pedesaan Sumatera Barat Melalui
Revitalisasi Nagari. Makalah disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya
Nasional Demokrasi Masyarakat Desa, 19-23 Juni. FPPM, Tenggarong,
Indonesia.
Uphoff, N. 1999. Understanding Social Capital: Learning from the Analysis and
Experiences of Participation. Dalam: Dasgupta, P. dan Seregeldin, I. (ed.)
Social Capital: A Multifaceted Perspective, World Bank, Washington
DC, USA.
World Bank. 2000. What is Social Capital? http://www.worldbank.org/poverty.
BAGIAN 3
POTENSI EKONOMI BERBASIS LINGKUNGAN
BAGIAN 3-1
Hasil Hutan Non-Kayu dan Ekonomi Masyarakat

Rodiah
160 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

© Effi Permata Sari


PENDAHULUAN
Perempuan Desa Baru Pelepat sangat berperan dalam bidang ekonomi, baik melalui
pekerjaan pertanian yang diupah maupun melalui pekerjaan pertanian lainnya
yang bermanfaat dalam rumah tangga. Namun kebanyakan kaum perempuan
secara sistematis terasing dari akses ke berbagai sumberdaya, pelayanan penting
dan pengambilan keputusan.

Tulisan ini mencoba memperlihatkan bagaimana kegiatan yang dilakukan


perempuan mampu menguatkan peran dan posisi perempuan dalam mengelola
desa dan sumberdaya alam. Kaum perempuan juga mampu merancang rencana
kerja dan melaksanakannya menjadi sebuah aksi.

Pemanfaatan hasil hutan non kayu masih perlu ditingkatkan. Sesungguhnya ia bisa
menjadi sumber pendapatan utama, karena hasil hutan non kayu tersedia secara
berlimpah dan belum sepenuhnya digunakan untuk kebutuhan masyarakat, baik
masyarakat setempat maupun masyarakat luar yang akan mendatangkan hasil
bagi masyarakat Desa Baru Pelepat.

Kerajinan bambu merupakan kerajinan padat karya yang akan mengurangi


pengangguran. Jika itu bisa dikembangkan akan menjadi suatu unit usaha yang
BAGIAN 3-1 • Rodiah 161

menyerap banyak karyawan. Selain untuk menambah pendapatan, anyaman


bambu juga membentuk suatu sikap kemandirian.

Jika pendayagunaan hasil hutan non kayu dapat dioptimalkan, akan banyak
manfaat yang bisa diperoleh masyarakat. Misalnya mencegah penggundulan hutan
oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab, serta melindungi satwa-satwa
yang hidup di hutan agar tidak punah.

Kerusakan hutan yang terjadi selama ini akibat mata pencaharian utama
masyarakat adalah bebalok. Mereka terpengaruh oleh rayuan pihak luar yang akan
menanamkan modal di lingkungan masyarakat dengan tidak memikirkan dampak-
dampak yang akan terjadi selanjutnya. Masyarakat tidak memikirkan malapetaka
yang mungkin terjadi pada masyarakat, misalnya terjadi kebakaran, tanah longsor,
tanah menjadi gersang, kebanjiran berulang-ulang, hewan-hewan hutan punah,
serta udara yang tidak bagus lagi untuk dihirup.

HASIL HUTAN NON KAYU TERSEDIA


DI SEKITAR DESA
Desa Baru Pelepat adalah sebuah desa yang terletak di daerah penyangga Taman
Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di Propinsi Jambi, terletak di sepanjang Sungai
Batang Pelepat. Desa ini terdiri dari empat dusun dengan etnik yang beragam:
Melayu Jambi, Minangkabau, Palembang, dan Jawa (transmigran).

Mata pencarian masyarakat Desa Baru Pelepat sejak era 1980-an adalah bebalok.
Namun hal itu tidak bisa bertahan untuk selamanya. Masyarakat yang mendapatkan
kayu dengan cara mudah di masa awal itu, ternyata hanya untuk sementara. Waktu
demi waktu berlalu, bebalok semakin sulit dan kayu pun susah untuk didapatkan.
Padahal, keluarga perlu makan untuk mempertahankan hidup.

Dengan habisnya kayu membuat masyarakat menjadi kehilangan pekerjaan.


Di samping itu, banyak efek yang lain seperti binatang semakin punah, tanah
menjadi tandus, sering terjadi kebanjiran, tanah longsor, kebakaran hutan dan
lain-lain. Boleh dikatakan, tidak ada lagi hutan asli di Desa Baru Pelepat yang
belum pernah dijamah tangan manusia. Banyaknya pengaruh negatif yang timbul,
membuat masyarakat ‘terbangun’: Selama ini mereka mengambil kekayaan alam
dengan bebas tanpa memikirkan bencana yang akan timbul.
162 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Sesungguhnya, hutan menyediakan banyak hasil hutan non kayu, seperti


rotan, manau, bambu, pandan dan lain-lainnya, yang memang tidak digunakan
masyarakat untuk diperjualbelikan. Dari beberapa lembaga yang masuk ke desa
timbul pemikiran untuk memanfaatkan potensi yang ada dengan cara mengadakan
musyawarah dalam desa serta meminta pendapat masing-masing penduduk
tentang hasil hutan non kayu, mengadakan pelatihan dengan mendatangkan
pemberi materi dari instansi pemerintah, seperti Disperindagkop, Balai Latihan
Kerja (BLK) serta pembentukan kelompok yang melibatkan dusun dalam desa.

Sejak 2001, proses pendampingan masyarakat mulai berlangsung melalui proyek


ACM, sebuah kegiatan kerjasama CIFOR, YGB dan PSHK-ODA. Tujuannya
antara lain untuk memanfaatkan hasil hutan non kayu untuk menambah
pendapatan ekonomi masyarakat, menggali pengetahuan dalam memproduksi
hasil hutan yang tersedia, serta menutup keinginan masyarakat untuk kembali
bebalok. Pada mulanya masyarakat tidak menyetujui rencana tersebut karena
tidak ada waktu dan kegiatan mereka sudah sangat padat. Padahal ajakan tersebut
bukan berarti membuat masyarakat sibuk dan membebankan, tetapi mengajak
mereka untuk beraktivitas serta membantu perekonomian di dalam keluarga,
mengembangkan serta memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia.

Dengan diberikan pengetahuan tentang bagaimana cara memanfaatkan hasil


hutan non kayu kita akan mempunyai rancangan dan cadangan apabila kita
tidak mau bergerak kita akan tertinggal serta kita tidak akan percaya diri untuk
mengembangkan kekayaan alam atau kita hanya menunggu uluran tangan dari
pemerintah. Pada saat masyarakat kehilangan pekerjaan utama yaitu bebalok
timbul pemikiran bahwa masih ada kekayaan alam yang tersedia bahkan
banyak ditemukan di daerah di sekitar lingkungan masyarakat tinggal. Adanya
pendamping dari berbagai lembaga, seperti ACM, membuat masyarakat berpikir
memanfaatkan sumberdaya alam yang ada untuk dikembangkan, baik di tingkat
dusun maupun desa.

Dalam proyek ini perempuan menjadi salah satu menjadi fokus pendampingan
dengan berbagai pertimbangan. Pertama, secara kuantitas jumlah perempuan
separuh dari jumlah penduduk di desa. Kedua, perempuan memegang peranan
utama dalam berladang, maupun dalam memenuhi kebutuhan ekonomi lainnya.
Ketiga, kendati memiliki peran terbatas, kelompok perempuan memiliki modal
sosial yang cukup tinggi dibandingkan kelompok lainnya di desa. Modal itu didapat
melalui kelompok pengajian Yasinan tingkat dusun dan desa. Melalui kelompok
pengajian ini, perempuan mengembangkan sistem arisan dan simpan pinjam yang
sangat dibutuhkan pada saat penting seperti kematian, pernikahan, kelahiran bayi
BAGIAN 3-1 • Rodiah 163

dan lain sebagainya. Yang menarik, untuk menambah modal kelompok, tak jarang
kaum perempuan mengelola ‘lubuk larangan’. Melalui kelompok pengajian, mereka
saling membangun solidaritas dan kepercayaan serta pengembangan ekonomi
alternatif, antara lain pengembangan kerajinan bambu.

Kerajinan anyaman bambu dipilih setelah melalui penggalian bersama dalam


lokakarya desa. Potensi bambu berlimpah di desa. Perempuan di desa juga sudah
terbiasa membuat anyaman bambu untuk kebutuhan rumah tangga, seperti
bakul, keranjang beras (kiding) dan tikar. Untuk meningkatkan keterampilannya,
kaum perempuan lalu menyepakati untuk menyusun rencana bersama melalui
kunjungan banding ke sentra kerajinan di Kerinci. Selain itu, mengadakan
pelatihan anyaman bambu dengan pelatih dari Kerinci, yang dilanjutkan dengan
pembentukan kelompok pengrajin serta usaha pemasaran. Dari kunjungan
banding, kaum perempuan belajar bagaimana mengolah bahan bambu menjadi
sebuah produk bernilai jual tinggi, seperti wadah tisu, kotak kue, lampu tidur,
petromak dan bingkai foto. Kunjungan banding juga menjadi pemicu kaum
perempuan untuk giat mengembangkan usaha kerajinan. Hingga saat ini, kendati
belum berproduksi secara rutin, namun sudah mampu dijual ke desa-desa tetangga
maupun diperlihatkan di pameran pembangunan Kabupaten Bungo.

Dengan berlangsungnya berbagai kegiatan, ada perubahan kesadaran bahwa


kerajinan anyaman bukan lagi sekedar pengisi waktu luang, tetapi juga dapat
menjadi sumber pendapatan rumah tangga. Selain itu, dengan pembentukan
kelompok kerajinan terjadi situasi saling belajar dan membangun solidaritas
antarkaum perempuan, baik antargenerasi (tua-muda) maupun antara penduduk
asli dengan pendatang. Pembelajaran lain, melalui kelompok kerajinan ini, kaum
perempuan mampu membangun jaringan konsultasi dan pemasaran hingga ke
tingkat kecamatan dan kabupaten. Akhirnya, dengan keberhasilan yang diraihnya,
kaum perempuan kini memiliki posisi tawar yang cukup tinggi sejajar dengan
kaum lelaki, khususnya dalam pengambilan keputusan di tingkat desa.

HASIL HUTAN NON-KAYU BERNILAI EKONOMI

Rotan
Rotan merupakan hasil hutan non kayu yang berbentuk sulur. Rotan biasanya
digunakan masyarakat Desa Baru Pelepat untuk membuat ambung dan tempat
beras (kiding). Rotan memiliki batang yang jauh lebih kecil dibanding dengan
164 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

manau. Rotan biasanya diperoleh pada musim berladang; pada saat ini ibu-ibu
berlomba-lomba untuk mencari rotan. Selain untuk memenuhi kebutuhan
keluarga, rotan juga dapat dijual dengan harga yang tinggi.

Manau
Manau merupakan tumbuhan yang sama dengan rotan, namun ukurannya lebih
besar. Manau dipergunakan masyarakat untuk membuat kursi dan ayunan. Cara
pengolahan manau lebih susah di bandingkan dengan rotan, bambu dan pandan.
Selama ini masyarakat menjual manau ke kota kabupaten.

Bambu
Bambu termasuk jenis tanaman rumput-rumputan, bambu tumbuh menyerupai
pohon berkayu dan berongga. Bambu merupakan tanaman yang berumpun yang
mudah berkembangbiak. Bambu banyak manfaatnya bagi masyarakat khususnya
pedesaan, karena bambu merupakan bahan yang lebih mudah didapat. Bambu
lazim digunakan untuk bahan anyaman, mebel bambu, bahan bangunan rumah,
dan kandang ternak. Selain itu, rebung (bambu muda) dapat dimanfaatkan untuk
bahan sayuran.

Pandan
Pandan adalah tanaman yang berdaun panjang dan mempunyai duri di tepi daun.
Pandan memiliki dua jenis: pandan yang tumbuh di rawa-rawa memiliki bentuk
berumpun dan berumbi serta pandan yang tumbuh di darat memiliki batang dan
berdaun lebar. Pandan ini lebih keras dibandingkan pandan yang berada di daerah
payau dan cara pengolahannya pun berbeda.

Pandan yang berada di rawa lebih sering digunakan masyarakat karena tempatnya
berada di sekitar lingkungan masyarakat tinggal. Cara pengambilan pandan
rawa lebih mudah, sehingga bisa mengumpulkan bahan dalam waktu singkat.
Sedangkan pengambilan pandan yang tumbuh di darat (sering ditemukan di
dalam hutan) harus dilakukan dengan cara penebangan. Tanpa penebangan
akan sulit memperoleh daunnya. Apabila tidak dilakukan penanaman kembali,
pemanfaatan pandan darat akan mengancam kelestarian pandan itu sendiri.
BAGIAN 3-1 • Rodiah 165

KETERAMPILAN MASYARAKAT MENGOLAH


HASIL HUTAN NON-KAYU

Menganyam
Sebelum ada kegiatan pendampingan, masyarakat sudah memiliki keterampilan
menganyam. Namun mereka belum mempunyai kemahiran mengolah bahan yang
ada di sekitar lingkungan mereka tinggal. Ibu-ibu hanya bisa membuat beberapa
model saja dan belum berani untuk melanjutkan ke model-model yang lebih
diharapkan, karena mereka belum mencobanya, sedangkan permintaan pasar
mengharapkan model-model yang unik dan bermutu.

Sekarang masyarakat telah mengikuti pelatihan dan studi banding. Masyarakat


mulai berpikir tentang pentingnya mengembangkan potensi alam yang tersedia,
serta membentuk pertemuan-pertemuan guna mencari model-model yang mana
perlu diperbanyak dan dikembangkan.

Prinsip Menganyam
Anyaman sasak. Anyaman sasak adalah anyaman yang dilakukan “tupang satu
impit dua”. Anyaman ini yang sering digunakan oleh masyarakat, karena mudah
dan butuh waktu sedikit. Keterampilan menganyam sasak merupakan dilestarikan
secara turun temurun. Seni menganyam sasak dianggap sebagai keterampilan
dasar menganyam. Tekniknya mudah dipelajari oleh anggota masyarakat yang
belum biasa menganyam. Biasanya anyaman ini digunakan untuk membuat nyiru
(tampah), bakul, tempat tisu, dan sebagainya.

Anyaman kepang. Anyaman kepang adalah anyaman yang dilakukan “tupang


dua impit dua”. Motif anyaman ini lebih indah. Masyarakat Desa Baru Pelepat
sudah menggunakan anyaman kepang untuk membuat berbagai jenis produk dari
pandan dan bambu.

Anyaman pinggir. Anyaman pinggir adalah anyaman untuk mengakhiri proses


menganyam. Ada tiga corak anyaman pinggir: pita tiga, pita empat dan pita
susuk.

Anyaman pinggir akan membawa keindahan tersendiri pada suatu anyaman


dengan menggunakan berbagai kreasi dan corak yang disukai. Biasanya anyaman
166 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

pinggir berbeda dengan anyaman biasa, karena pembuatan anyaman pinggir


daun pandan yang semula digunakan harus diperkecil menjadi beberapa bagian,
gunanya untuk memperindah bentuk anyaman. Masyarakat Desa Baru Pelepat
juga lazim menggunakan kain yang bermacam-macam warna untuk dijadikan
pita serta diselipkan pada saat menganyam pinggir.

Produk Anyaman
Tikar. Tikar merupakan alas tempat duduk, tempat tidur, dan sembahyang.
Tikar mempunyai ukuran tertentu sesuai dengan yang kita inginkan. Anyaman
ini terbuat dari pandan yang terdapat di lingkungan masyarakat dan tumbuh di
dataran rendah seperti rawa dan genangan air lainnya.

Cara pembuatan tikar: pengambilan pandan di tempat asalnya, pemilihan


pandan kasar dipisahkan dengan yang halus, mengukur pandan sesuai dengan
anyaman yang akan dibuat, pembuangan duri, penjemuran di bawah terik
matahari, memperlunak pandan dengan bambu yang sudah tua, serta melakukan
penganyaman.

Anyaman bambu. Anyaman ini amat beragam, mulai dari alat rumah tangga (nyiru,
tempat kue, dan ambung), perlengkapan ke ladang (topi), maupun perlengkapan
lainnya (tempat tisu, kipas, tempat pena, tas, tempat sampah, dompet, dan tempat
telepon genggam).

Pemilihan Bambu
Bambu yang digunakan sebagai bahan baku anyaman harus dipilih dan disesuaikan
dengan sifat anyaman.

Jenis bambu. Jenis bambu untuk bahan kerajinan anyaman merupakan jenis
bambu yang memiliki ruas panjang minimal 40 cm, berserat padat dan kuat.
Sesungguhnya hampir semua jenis bambu bisa digunakan untuk bahan anyaman.
Namun masyarakat di Baru Pelepat sering menggunakan bambu hitam, karena
pertimbangan estetika.

Umur bambu. Bambu yang dipilih adalah bambu berumur sedang (7-24 bulan),
yang dapat dilihat dari warna ujung bambu dan pertumbuhan batang sampai
cabang.
BAGIAN 3-1 • Rodiah 167

Waktu tebang. Bambu terbaik untuk anyaman adalah yang dipanen pada musim
kemarau, karena anyaman lebih kuat serta tidak terserang bubuk dan tidak keropos.
Pengambilan bambu pada musim hujan akan mempersulit proses pengolahannya.
Bambu banyak terbuang, karena bambu basah akan sulit diirat (anit). Selain itu,
hasil anyaman pun akan lebih mudah rusak karena lebih mudah diserang rayap
dan keropos.

Pengolahan Bahan

Pemotongan Bambu untuk Bahan Anyaman

Alat yang digunakan untuk memotong bambu adalah gergaji dan parang.
Pemotongan perlu dilakukan secara hati-hati agar bambu tidak rusak dan sia-sia.
Bambu dipotong sesuai dengan ukuran yang dikehendaki.

Pengulitan

Bambu yang akan dipakai untuk kerajinan harus dikuliti terlebih dahulu. Kulit
yang paling luar di buang. Kemudian lakukan pembelahan secara hati-hati. Apabila
salah belahannya, untuk mengolah selanjutnya akan lebih sulit dan mungkin
malah sia-sia. Kulit yang paling luar di kumpulkan untuk pembuatan nyiru.

Pembuatan Iratan

Iratan adalah belahan bambu tipis dan lentur. Iratan bambu dapat di bedakan
menjadi dua:
Iratan kasar. Iratan kasar adalah iratan dari potongan bambu yang sudah diukur
kemudian dibelah menjadi beberapa bagian. Iratan ini digunakan pada pembuatan
nyiru.

Iratan halus. Iratan halus adalah iratan yang tipis dari potongan bambu yang sudah
diukur. Iratan halus sering digunakan masyarakat dalam pembuatan anyaman.
Iratan halus akan membuat proses menganyam terasa lebih nyaman dan hasil
anyaman tampak lebih indah.

Pengawetan bambu

Tanaman bambu mudah rusak oleh hama. Penyebab lain kerusakan bambu adalah
cuaca, kelembaban, dan air hujan. Pengawetan ada dua macam:
168 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Pengawetan alami. Bambu yang sudah diirat (dihilangkan kulit terluarnya)


selanjutnya dianit (disobek tipis-tipis seperti pita). Pengawetan alami ada dua
macam. Pertama adalah perendaman, yang dilakukan di tempat perendaman
di rumah atau di sungai selama dua hari. Setelah perendaman, anitan diambil
dan dijemur. Kegunaan perendaman adalah untuk menghilangkan getah bambu
dan membuat anitan lebih putih serta awet. Kedua adalah perebusan. Perebusan
dilakukan setelah perendaman dan penjemuran. Perebusan menggunakan wajan
atau kuali yang besar selama satu jam. Jumlah air yang digunakan dalam perebusan
anitan bambu sesuai dengan jumlah anitan yang direbus. Masyarakat Desa
Baru Pelepat melakukan perebusan di luar rumah atau di samping pekarangan,
maksud dari masyarakat adalah untuk menghindari kesulitan dalam melakukan
perebusan.

Pengawetan kimiawi. Pengawetan kimiawi dilakukan dengan bantuan prusi, soda


api (NaOH), atau soda abu. Pengawetan kimiawi biasanya digunakan masyarakat
yang tinggal di sekitar perkotaan karena lebih mudah dan lebih ringkas.

Pewarnaan

Iratan dan anitan diwarnai setelah dilakukan pengawetan. Pewarnaan dilakukan


dalam wajan yang telah diberi larutan pewarna. Pewarnaan alami menggunakan
bahan akar-akaran, dedaunan, maupun kulit kayu yang bisa diperoleh di
dalam hutan. Bahan ditumbuk halus dan dicampur air. Kemudian dilakukan
pengendapan. Hasil pewarna siap dioleskan pada iratan dan anitan. Sedangkan
pewarnaan kimiawi adalah menggunakan zat pewarna yang banyak tersedia di
pasar. Bahan kimiawi dicampur air dan langsung siap dioleskan pada iratan atau
anitan.

PERSOALAN UMUM

Industri Strategis
Industri kerajinan bambu merupakan kegiatan padat karya. Industri ini mampu
menyerap banyak tenaga kerja. Menurut Dinas Perindustrian dan Perdagangan,
industri kerajinan bambu mampu menyerap tenaga kerja 13.899 orang yang
tergabung dalam 1.562 unit usaha. Karena itu, industri ini tergolong strategis,
dan dengan demikian sudah pada tempatnya apabila memperoleh perhatian lebih
intensif dari pemerintah.
BAGIAN 3-1 • Rodiah 169

Pelestarian Bahan
Berbeda untuk tanaman bambu, perhatian masyarakat terhadap ketersediaan
tumbuhan pandan relatif terbatas. Adalah benar, saat ini pandan (pandan rawa
maupun pandan darat) relatif berlimpah. Namun karena penggunaannya yang
intensif, maka lambat-laun akan terjadi penurunan kelimpahan. Karena itu,
masyarakat perlu didorong untuk melakukan pemulihan ketersediaan pandan.

Pemasaran
Masyarakat perlu didorong untuk lebih berorientasi pasar. Masyarakat perlu
memperoleh informasi yang cukup tentang mutu dan jenis produk yang diinginkan
pasar.

Sekitar 20% produk kerajinan bambu adalah untuk pemenuhan permintaan. Jenis
kerajinan bambu yang diminati oleh konsumen antara lain adalah produk fungsional
yang unik seperti tempat buah, kue, tempat sampah, tisu, tas dan lain-lain.

Pemasaran saat ini masih mengandalkan pada pesanan pelanggan. Pesanan ini
datang dari masyarakat desa setempat, masyarakat yang berada di luar desa (desa
tetangga), dan bahkan sudah sampai ke tingkat kecamatan. Pesanan bisa dilakukan
pada individu maupun kelompok pengrajin.

Pelatihan
Pelatihan dan studi banding dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas pengrajin,
terutama berkaitan dengan peningkatan mutu produk dan teknik-teknik pembuatan
model produk baru.

Studi banding ke Kerinci. Dengan didampingi fasilitator ACM, ibu-ibu Desa Baru
Pelepat melihat hasil anyaman yang dibuat oleh kelompok pengrajin yang ada di
Kerinci. Mereka belajar tentang anyaman, mulai dari cara pengambilan bambu,
pengolahan dan bahkan sampai pada pembuatan anyaman. Kerajinan anyaman
Kerinci merupakan salah satu kerajinan yang terkenal di Propinsi Jambi dan
bahkan sudah di kenal di daerah Sumatera. Pekerjaan menganyam di Kerinci sudah
dapat diandalkan sebagai penopang pendapatan keluarga. Dengan kunjungan ini,
masyarakat Desa Baru Pelepat merasa telah memperoleh tambahan pengetahuan
yang siap dikembangkan di desanya.
170 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Berbagi ilmu kepada masyarakat Sungai Telang. Perwakilan ibu-ibu di Desa Baru
Pelepat mencoba menyalurkan pengalaman mereka kepada masyarakat Sungai
Telang, Kecamatan Rantau Pandan, Kabupaten Bungo. Di sana ibu-ibu dari
Desa Baru Pelepat mencoba memberikan ilmu yang mereka miliki yang di
dapat dari berbagai pelatihan yang pernah mereka ikuti. Ibu-ibu Sungai Telang
menanggapinya dengan baik dan bahkan mereka ingin belajar lebih serius lagi
dan akan mendatangi Desa Baru Pelepat untuk menggali berbagai ilmu tentang
anyaman.

Pelatihan mebel bambu. Pelatihan meubel bambu dilaksanakan di Desa Baru Pelepat
pada Juni 2005. Tempat pelatihan adalah Balai Desa di Dusun Lubuk Beringin.
Pesertanya adalah perwakilan setiap dusun, berjumlah 15 orang. Pelatihan
ini merupakan inisiatif masyarakat sendiri, yang mengajukan permohonan
pelatihan kepada Balai Latihan Kerja (BLK) Bungo. BLK memberikan sambutan
positif dengan memberikan pelatihan selama 2 minggu. Pelatihan ini berhasil
meningkatkan keterampilan, pengetahuan, dan juga motivasi bahwa bahan baku
bambu itu bisa diolah menjadi produk-produk meubel yang memiliki nilai jual
yang tinggi. Saat ini masyarakat Desa Baru Pelepat sudah berani membuat produk
mebel bambu, meski pemasarannya baru terbatas di dalam dan sekitar desa saja.

Penguatan Kelompok
Untuk menunjang pengelolaan hasil hutan non kayu, masyarakat Desa Baru
Pelepat membentuk suatu kelompok yang melibatkan semua dusun dalam desa.
Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan peran ekonomi alternatif. Bila dikembangkan secara tepat, kerajinan
anyaman ini tidak kalah pentingnya dengan jenis usaha yang lain.

Nama dan bentuk. Kelompok pengrajin anyaman Desa Baru Pelepat dibentuk pada
5 Februari 2005 yang diberi nama “Kembang Pelepat”. Kelompok ini berbentuk
sebuah Kelompok Swadaya Masyarakat, kumpulan orang-orang yang menyatukan
diri dalam usaha bersama, untuk mensejahterakan anggota dan masyarakat.

Tujuan Kelompok. Tujuan pembentukan kelompok ini adalah: (i) Meningkatkan


tarap hidup dan kesejahteraan anggota; (ii) Membantu anggota dalam mengatasi
masalah permodalan secara swadaya; dan (iii) Sebagai wadah terbentuknya usaha
bersama yang merupakan usaha sampingan bagi anggota.
BAGIAN 3-1 • Rodiah 171

Anggota. Keanggotaan kelompok dilakukan secara sukarela. Pengrajin boleh


menjadi anggota kapan saja mereka mau. Keanggotaan melibatkan semua dusun
di dalam Desa Baru Pelepat, yaitu: Dusun Baru Tuo, Dusun Lubuk Beringin,
Dusun Lubuk Pekan, dan Dusun Pedukuh.

Pengurus. Pengurus kelompok dipilih dan diberhentikan langsung oleh anggota


kelompok berdasarkan kesepakatan pada rapat anggota. Pengurus terdiri dari:
ketua, sekretaris, dan bendahara.

Pengurus bertugas melaksanakan pertemuan anggota, mengatur administrasi dan


keuangan kelompok, memberikan laporan tentang perkembangan dan keuangan
kelompok, mengatur pelaksanaan kerja kelompok, serta melaksanakan rapat
anggota tahunan.

Modal kelompok. Modal kelompok dapat berupa simpanan pokok dan simpanan
wajib. Simpanan pokok dikumpulkan hanya satu kali dan berjumlah Rp. 5.000.
Simpanan wajib di kumpulkan setiap hari Sabtu senilai Rp. 1.000/minggu.
Simpanan wajib dikumpulkan setelah rapat pembentukan pengurus. Setiap
anggota juga dapat melakukan simpanan sukarela, yang dapat diambil kapan saja
oleh anggota yang bersangkutan.

Pinjaman anggota. Modal kelompok belum akan dipinjamkan kepada anggota


sampai keadaan keuangan memungkinkan. Jumlah pinjaman setiap anggota untuk
tahap pertama maksimal Rp. 100.000. Jumlah anggota yang dapat meminjam akan
disesuaikan dengan kondisi permodalan kelompok, dengan tetap menyisakan saldo
di Bank sebagai cadangan modal kelompok. Setiap pinjaman dikenakan bunga
sebesar 10% dan di tambah dengan biaya administrasi, dan uang yang dipinjam
harus dikembalikan dalam waktu tiga bulan.

Sanksi-sanksi. Bagi anggota yang tidak membayar simpanan wajib selama dua
tahun berturut-turut, maka anggota tersebut akan diberikan peringatan dan bagi
anggota yang belum melunasi pinjaman selama sebulan sejak jatuh tempo, maka
akan diberikan peringatan, apabila selama dua bulan belum juga dilunasi maka
anggota tersebut dihadapkan pada rapat anggota.

Rapat anggota. Rapat anggota dilaksanakan setahun sekali dan selanjutnya di


sebut rapat anggota tahunan. Pada pertemuan kelompok akan membicarakan
laporan keuangan, evaluasi simpanan dan pinjaman anggota, serta membicarakan
perencanaan dan pelaksanaan.
172 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Aturan. Anggota yang dikeluarkan dari kelompok, hanya akan menerima kembali
simpanan wajib. Jika ada yang ingin menjadi anggota baru maka yang bersangkutan
harus membayar simpanan pokok dan simpanan wajib. Sebenarnya aturan tersebut
bukan untuk mempersulit masyarakat. Dengan hal itu diharapkan bisa merubah
pola berpikir masyarakat agar lebih kreatif dan produktif.

PENUTUP:
Perubahan, Tantangan dan Kendala

Untuk mengubah suatu tatanan masyarakat, salah satunya adalah dengan


meningkatkan peran perempuan dalam memanfaatkan hasil hutan non-kayu.
Karenanya, kerja keras kelompok perempuan dalam mengelola hasil hutan non-
kayu juga perlu diakui oleh kaum laki-laki. Hikmahnya, laki-laki yang tadinya
merasa memiliki wewenang tunggal karena perannya sebagai pencari nafkah dan
hanya mengingat peran perempuan di ladang, kini melihat perempuan sebagai
mitra dalam pengambilan keputusan di rumah tangga. Kerajinan anyaman
menjadi salah satu kegiatan yang telah membantu peningkatan ekonomi dalam
rumah tangga. Hasil hutan non-kayu tidak lagi menjadi pekerjaan sampingan bagi
masyarakat melainkan salah satu ekonomi alternatif selain berkebun.

Walaupun sudah tampak ada perubahan peran perempuan dalam mengelola hasil
hutan non-kayu, seperti kerajinan anyaman, namun sistem (pekerjaan) yang ada
di masyarakat masih menghambat perempuan untuk meningkatkan ketrampilan
yang dimilikinya. Tak jarang dalam suatu pertemuan kelompok perempuan ada
yang mengeluhkan kurangnya kesadaran untuk bekerjasama di kalangan kaum
perempuan dan lebih suka melakukannya di rumah masing-masing. Kondisi ini
tentunya akan merugikan bagi kelompok perempuan sendiri yang masih.

Kendala lain, tak jarang kaum laki-laki tidak memperhitungkan tempat dan waktu
pertemuan yang dilakukan malam hari, sehingga memperkecil keterlibatan kaum
perempuan dalam pengambilan keputusan desa.
BAGIAN 3-1 • Rodiah 173

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulisan ini didukung oleh CIFOR, YGB dan PSHKODA. Penulis mengucapkan
terima kasih kepada Bang Eddy Harfia Surma, Hasantoha Adnan, Abu Nazar,
Mirul, Hamdan, Ibu Koimah, Ibu Partinah, Ibu Ita Radiah, yang telah memberikan
informasi bermanfaat bagi penulis.
BAGIAN 3-2
Kekayaan Hutan Bukit Siketan

Elizabeth Linda Yuliani, Anggana dan Novasyurahati


BAGIAN 3-2 • Elizabeth Linda Yuliani, Anggana, Novasyurahati 175

“Kami tak bisa lagi berharap penghasilan dari kerja kayu. Kerja kayu dua minggu,
hasilnya cuma delapan ribu rupiah....”, tutur seorang anggota masyarakat Baru
Pelepat di awal 2004. Sejak pertengahan 1980an hingga 2000an, mata pencaharian
utama masyarakat Desa Baru Pelepat adalah bebalok1. Namun kayu semakin sulit
didapat. Kalau pun ada, jaraknya jauh dan pengangkutannya sulit, sehingga
menambah biaya operasional.

Kini setelah kayu semakin sulit, masyarakat mulai mencari sumber pendapatan
alternatif, misalnya karet dan berkebun beberapa jenis sayuran. Tulisan ini akan
menguraikan kekayaan hutan Bukit Siketan dan manfaatnya bagi masyarakat,
berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 20042.

BUKIT SIKETAN

Gambar 18. Peta Bukit Siketan

1 Bebalok adalah istilah lokal yang berarti bekerja dalam bisnis kayu, baik sebagai pemodal, penebang, mau pun pengangkut.
2 Metode penelitian digambarkan secara ringkas di Lampiran 1 tulisan ini.
176 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Bukit Siketan meliputi area seluas 820 ha pada ketinggian 115-634 m dpl, terdiri
dari hutan primer dan sekunder. Jaraknya ke permukiman terdekat (Pedukuh)
sekitar 1,8 km. Hutan di Bukit Siketan ditetapkan sebagai Hutan Adat Desa Baru
Pelepat, berdasarkan kesepakatan masyarakat pada 2004, setelah mereka menyadari
pentingnya melindungi hutan yang tersisa untuk generasi mendatang3.

POTENSI HASIL HUTAN NON-KAYU


Banyak pihak yang selama ini hanya melihat kayu sebagai satu-satunya sumber
pendapatan yang utama dari hutan. Padahal banyak jenis tumbuhan non-kayu
yang hidup di hutan yang memiliki nilai ekonomi tinggi, baik di pasar lokal mau
pun ekspor. Namun demikian, seluruh jenis yang berpotensi ekonomi itu akan habis
bila diambil secara berlebihan. Untuk menjaga ketersediaan secara berkelanjutan,
seluruh jenis bernilai ekonomi tinggi sebaiknya hanya diambil anakannya, dan
dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Anakan ini kemudian dibudidayakan di
pembibitan (nursery) desa. Jenis-jenis tertentu juga bisa diperbanyak dengan cara
vegetatif, misalnya cangkok dan okulasi. Sedangkan tumbuhan dewasa sebaiknya
tetap dibiarkan hidup di habitat alaminya untuk berkembang-biak. Upaya ini
bisa juga didukung oleh peraturan adat. Sebagai contoh, masyarakat Kampung
Pelaik di Taman Nasional Danau Sentarum (Kalimantan Barat) melindungi induk
anggrek alam di habitat alaminya dengan aturan adat yang disepakati bersama.

Bahan Anyaman, Kerajinan dan Furnitur


Berbagai jenis tumbuhan yang
dikenal sebagai bahan furnitur,
© Brian Belcher, Leon Budi Prasetyo dan Tim ACM Jambi

kerajinan dan anyaman cukup


banyak ditemukan di kawasan
hutan Bukit Siketan, misalnya
rotan (Calamus spp. dan
Daemonorops spp.), rumbai-
rumbai (Pandanus spp.) dan

Hasil kerajinan anyaman bambu


dan bamban dapat menjadi sumber
pendapatan tambahan

3 Proses pembentukan hutan adat bisa dilihat pada tulisan Dobesto (2008)
BAGIAN 3-2 • Elizabeth Linda Yuliani, Anggana, Novasyurahati 177

bamban (Donax canniformis). Calamus dan Daemonorops adalah dua jenis rotan
yang bernilai paling tinggi (Silitonga, 2000).

Beberapa anggota masyarakat desa, terutama kelompok perempuan sudah memiliki


keterampilan membuat anyaman, kerajinan dan furnitur dari bambu, bamban dan
rotan4. Hasilnya dijual di pasaran lokal, dan telah menjadi sumber pendapatan
alternatif yang cukup tinggi bagi beberapa keluarga. Bila pembuatan kerajinan
ini dikembangkan lebih serius dengan desain dan kualitas yang memenuhi selera
pasar, sangat mungkin hal itu bisa menjadi sumber pendapatan yang utama.
Data dari Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (ASMINDO)
menyebutkan, nilai ekspor furnitur rotan pada 1986 mencapai USD 115,14 juta,
dan pada 1999 sudah mencapai USD 1,147 milyar (Silitonga, 2000).

Menjual hasil kerajinan juga akan jauh lebih menguntungkan dan berkelanjutan,
daripada menjual dan mengekspor bahan baku mentah. Alasan itulah yang
menyebabkan Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia (APRI) dan ASMINDO
menyepakati pelarangan ekspor rotan mentah (Kompas, 2005). Memang
membutuhkan waktu lebih lama untuk mengolah bahan baku menjadi barang
jadi, namun keuntungan yang diperoleh jauh lebih tinggi dan persediaan bahan
mentah pun terjaga. Sebaliknya, menjual bahan baku mentah akan mendatangkan
uang dalam waktu cepat namun hanya sedikit, dan akan menghabiskan persediaan
sumberdaya dalam waktu singkat. Pesaing pun bisa memanfaatkan bahan mentah
ini.

Satu contoh dari Kalimantan, sebuah keranjang yang dalam bahasa lokal
disebut belanyat laku terjual seharga Rp. 30.000-40.000 pada 1998. Satu belanyat
membutuhkan rotan 45-40 batang, kurang lebih sama dengan 4 kg. Harga rotan
mentah saat itu di pasaran lokal berkisar antara Rp. 2.000-4.000 rupiah. Jadi jika
4 kg rotan dijual mentah, hanya menghasilkan Rp. 8.000-16.000; dengan dibuat
keranjang menjadi Rp. 30.000-40.000 (Uluk et. al., 2001).

Sumber Tanaman Hias


“Per daun harganya 25 ribu rupiah. Ini ada 6 daun, jadi harganya 150 ribu,” kata
seorang penjual tanaman hias di salah satu sudut kota Bogor sambil menunjuk
satu pot tanaman kecil berdaun merah. Di kalangan penggemar tanaman hias,
tanaman ini dikenal sebagai Aglaonema Pride of Sumatra, yang merupakan hasil
silangan. Salah satu induknya yang bernama Aglaonema rotundum ternyata berasal

4 Lihat tulisan Rodiah (2008)


178 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

dari Sumatera, yang juga banyak


ditemukan di daerah Kerinci.
Bukan tak mungkin, hutan di
Baru Pelepat juga menyimpan
sumber plasma nutfah yang
berharga ini. Hasil silangan yang
bisa menjadi bibit, berharga

©Leon Budi Prasetyo


sekitar enam hingga dua belas
jutaan. Jenis lain yang dikenal
sebagai Aglaonema Widuri
bahkan harganya Rp. 3,5 juta
Anggrek kantong (Papiophedilum spp), kekayaan per daun!
hutan Jambi yang telah merambah pasar
internasional
Uraian di atas hanya sekelumit
contoh bahwa bisnis tanaman
hias bukan lagi sekedar bisnis “pinggir jalan”, dan juga contoh bahwa hutan menjadi
sumber plasma nutfah bagi orang-orang yang kreatif. Sayangnya, masyarakat
kurang menyadari kekayaan yang mereka miliki. Omzet pedagang tanaman hias
“pinggir jalan” untuk pasar lokal saja bisa mencapai jutaan rupiah per hari. Secara
keseluruhan, nilai ekspor tanaman hias Indonesia pada 2002 mencapai USD 5,1
juta (BPEN, 2004), dan nilai ekspor anggrek mencapai USD 5 juta (RRI, 2006).
Anggrek kantung semar (Paphiopedilum sp.) yang di Jawa harganya berkisar antara
Rp. 10.000 - Rp. 75.000, berasal dari hutan-hutan di Jambi.

Bukit Siketan ternyata menjadi tempat hidup berbagai jenis tanaman hias bernilai
ekonomi tinggi dan telah menjadi komoditas ekspor bagi perusahaan Indonesia dan
banyak negara lain. Penelitian yang dilakukan Yuliani et al. (2004) menemukan
38 jenis tumbuhan non-kayu, yang 17 di antaranya merupakan jenis tanaman
hias yang banyak diniagakan di dalam negeri maupun manca negara, misalnya
langkap (Arenga obtusifolia), rotan sikoi (Daemonorops sp.), palem (Oncosperma
horridum), soka (Ixora sp.), sejenis lirik beras (Phrynium capitatum), dan puding
rimbo (Pleomele sp.). Ini belum termasuk jenis-jenis yang mungkin berpotensi
sebagai induk untuk penyilangan, dan anggrek alam yang juga banyak ditemukan
di kawasan Baru Pelepat (Prasetyo dan Yuliani, akan terbit).
BAGIAN 3-2 • Elizabeth Linda Yuliani, Anggana, Novasyurahati 179

Sumber Tanaman Obat


Duabelas jenis tumbuhan non-kayu di Bukit Siketan digunakan sebagai bahan
obat tradisional bagi masyarakat, dan dua di antaranya ternyata juga digunakan
secara luas di banyak negara. Kedua jenis tersebut adalah pasak bumi (Eurycoma
longifolia) yang juga dikenal di Malaysia dan Vietnam (Hadiah, tanpa tahun), serta
akar kait (Uncaria spp.) yang digunakan di banyak negara di Amerika Latin dan
Asia (Tropical Plant Database, http://www.rain-tree.com/catclaw.htm). Kedua
jenis ini juga telah menjadi bahan penting bagi industri farmasi, baik di dalam
mau pun di luar negeri.

Jernang (Daemonorops draco)


Getah buah jernang bernilai tinggi. Harga getah buah jernang di Muara Bungo
pada 1998 berkisar antara Rp. 28.000-45.000 per kg (Aliadi dan Djatmiko, 1998),
dan konon mencapai Rp. 700.000 pada 2005 (WARSI, 2005). Dilaporkan adanya
permintaan yang tinggi dari luar negeri, namun Indonesia kekurangan pasokan.
Inilah yang menyebabkan kenaikan harga (Bisnis Indonesia, 2005).

Tingginya permintaan jernang mestinya bisa menjadi peluang bagus bagi


masyarakat untuk membudidayakannya di kebun. Di beberapa lokasi di Bukit
Siketan, dan juga di lokasi lainnya dalam kawasan Desa Baru Pelepat, jernang
masih ditemukan namun tak banyak. Meski tak banyak, tetap berpotensi sebagai
bibit. Masyarakat bisa mengambil anakan-anakannya yang banyak ditemukan di
sekitar pohon induk, untuk dibudidayakan di kebun. Memang membutuhkan
waktu yang panjang hingga mendatangkan hasil seperti juga hasil pertanian dan
perkebunan lainnya, tapi setelah mencapai usia produksi, hasilnya bisa dinikmati
secara terus menerus.

Gaharu (Aquilaria spp.)


Seperti juga jernang, gaharu merupakan komoditas ekspor. Harga gaharu bervariasi,
mulai Rp 200.000 per kg sampai Rp 10 juta per kg, bergantung pada kualitas5 dan
perkembangan harga pasaran di luar negeri, seperti Singapura, China, dan Korea

5 Standar kualitas gaharu dapat dilihat di Standar Nasional Indonesia, SNI 01-5009.1-1999 (http://www.dephut.go.id/INFORMASI/SNI/gaharu.
HTM).
180 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

(Kompas, 2004). Gaharu ditemukan di Bukit Siketan, namun tak terlalu banyak
sehingga pengambilan anakannya pun lebih terbatas.

Buah-buahan
Sedikitnya ada 21 jenis tumbuhan di Bukit Siketan yang buahnya dapat dimakan,
antara lain mangga rimbo (Swintonia schwenkii), rambutan rimbo (Nephelium
lappaceum), durian rimbo (Durio carimatus) dan cempedak (Artocarpus integer).
Di banyak tempat, masyarakat sering kurang tertarik menjual buah-buahan
hasil hutan terutama karena harganya yang murah, ditambah lagi dengan biaya
pengangkutan yang mahal. Kita sebenarnya bisa belajar dari kemajuan yang dicapai
Thailand yang kini menjadi negara terdepan di Asia sebagai pusat agribisnis.
Mereka cerdik dalam strategi pemasaran, termasuk menciptakan peluang dan
image suatu produk tertentu. Pemerintahannya pun menjadikan agribisnis sebagai
sumberdaya utama negara mereka.

Buah-buahan hasil hutan atau kebun di Desa Baru Pelepat atau di Kabupaten
Bungo secara umum, bisa saja menjadi komoditas unggulan bila pihak-pihak yang
berkepentingan kreatif menciptakan pasar dan meningkatkan nilai jualnya. Telah
sering terjadi, harga suatu produk pertanian tiba-tiba melonjak hanya karena
image yang sengaja diciptakan pelaku bisnis. Beberapa pengalaman menunjukkan,
harga bisa disiasati misalnya dengan membuat produk olahan yang kemudian
diperkenalkan secara luas sebagai makanan khas daerah tersebut, misalnya kripik
atau dodol cempedak. Sebagai perbandingan, kripik nangka harganya antara Rp.
40.000-50.000 per kg tergantung kualitasnya.

Bisnis berbasis tanaman sangat menjanjikan, namun memerlukan perhitungan


dan pengelolaan keuangan secara cermat. Kunci sukses bisnis ini antara lain
cermat mengelola keuangan, kreatif menciptakan peluang, dan mulai bisnis ini
tidak sebagai sumber pendapatan utama namun mulailah sebagai sampingan atau
hobi.

POTENSI TUMBUHAN BERKAYU: SUMBER BIBIT


“...Sebelum ini, kami tidak tahu bibit meranti itu seperti apa. Kini kami tahu dan akan
membawa bibit-bibit ini untuk ditanam di kebun kami...,” demikian diungkapkan
Pak Abu Nazar, yang juga diikuti oleh anggota masyarakat lainnya saat turut
dalam penelitian potensi hutan Bukit Siketan. Hutan di Bukit Siketan kaya akan
BAGIAN 3-2 • Elizabeth Linda Yuliani, Anggana, Novasyurahati 181

anakan dan pancang. Akan


lebih menguntungkan dalam
jangka panjang bila hutan di
Bukit Siketan dimanfaatkan
sebagai “bank bibit”, daripada
diambil kayunya. Karena
jumlah pohon induk di hutan

© Tim ACM-Jambi
ini sudah sangat sedikit, dan
produksi bijinya tidak teratur.
Bila diambil, tak akan ada
Bukit Siketan kaya akan bibit meranti lagi produksi biji, sementara
keuntungannya hanya akan
dinikmati sekelompok orang
dalam waktu sesaat. Itu pun tidak seberapa karena lereng yang miring dan lokasi
yang jauh membuat pengangkutan kayu menjadi lama dan mahal. Selain itu,
hutan akan rusak sehingga fungsi-fungsi lainnya (sebagai sumber tanaman hias,
obat dan kerajinan) ikut hancur.

Di seluruh kawasan hutan Bukit Siketan, ditemukan 149 jenis pohon berkayu.
Jenis-jenis bernilai ekonomi tinggi yang anakannya bisa diambil untuk ditanam di
kebun antara lain kelat (Zyzygium spp.), medang pauh (Swintonia schwenkii) dan
berbagai jenis meranti (Shorea spp. dan Parashorea spp.).

JASA LINGKUNGAN

Menjaga Fungsi Hidrologis


Hutan Adat Baru Pelepat di Bukit Siketan dan Hutan Adat Batu Kerbau merupakan
wilayah terakhir yang ditutupi dengan hutan primer dan sekunder yang tersisa di
sepanjang DAS Batang Pelepat di luar kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat.
Dari pengukuran kemiringan yang dilakukan di setiap plot, kemiringan lereng
Bukit Siketan rata-rata 25,27%. Bahkan di beberapa tempat banyak terdapat
jurang dengan kemiringan sekitar 50% (Yuliani et al., 2004). Dengan topografi
yang curam, kawasan ini akan mudah longsor bila tidak ada pohon besar. Dalam
hal ini fungsi pohon besar adalah:
• Menampung dan menahan curah hujan. Desa Baru Pelepat memiliki curah
hujan yang cukup tinggi, sekitar 3.000 mm per tahun (http://kotabungo.
182 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

tripod.com/info_wilayah.html). Air hujan yang jatuh sebagian akan


tertampung di kanopi, dan sebagian akan turun ke lantai hutan dengan
kecepatan dan pukulan yang jauh lebih rendah sehingga tidak menyebabkan
tercungkilnya tanah yang merupakan proses awal terjadinya erosi. Air yang
jatuh akan sempat diserap oleh tanah (proses infiltrasi). Air yang tertahan
oleh kanopi akan turun secara bertahap.

Tanpa pohon besar, hujan akan langsung jatuh ke lantai hutan dengan tenaga
cukup tinggi (lihat Gambar 19) dan menyebabkan erosi. Volume air yang
turun jauh lebih tinggi dibanding proses infiltrasi sehingga volume run off
pun meningkat.
• Akar-akar pohon menyebabkan terbentuknya pori-pori tanah dan menjaga
tanah tetap gembur, sehingga memudahkan proses infiltrasi (penyerapan air ke
dalam tanah). Infiltrasi merupakan proses penting untuk menjaga ketersediaan
air tanah dan mencegah run-off berlebihan yang dapat mengakibatkan banjir.
Akar-akar pohon juga berfungsi “mengikat” tanah sehingga lebih stabil dan
tidak mudah longsor. Penelitian yang dilakukan Widianto et. al. (2002)
menunjukkan perbandingan laju infiltrasi di hutan sebesar 11 cm/jam, jauh
lebih tinggi dibandingkan kebun kopi yang berkisar antara 1,4 (usia kebun
3 tahun) hingga 8,8 cm/jam di kebun yang berusia 10 tahun. Laju erosi di
hutan sebesar 24,00 gr/
m2, di kebun campuran
berkisar antara 84,10-
342,25, dan di kebun
monokultur 359,70 gr/
m 2. Meski bervariasi
dan tergantung pada
berbagai faktor misalnya
© Tim ACM-Jambi

tipe tanah, kemiringan,


tipe vegetasi dan cara
pengolahan tanah kebun,
laju infiltrasi di hutan Hutan berfungsi menyimpan cadangan air
primer tetap lebih tinggi
dibandingkan kebun.

Di kawasan Bukit Siketan ditemukan beberapa mata air dan anak sungai yang
mengalir ke sungai-sungai besar di sekitarnya yaitu Batang Pelepat dan Batang
Sagu, sehingga bisa dikatakan bahwa kawasan ini merupakan salah satu daerah
resapan yang penting.
BAGIAN 3-2 • Elizabeth Linda Yuliani, Anggana, Novasyurahati 183

Kotak 1. Erosi6

Erosi adalah berpindahnya tanah melalui proses alam karena air atau angin. Erosi
telah muncul sejak 450 juta tahun yang lalu, namun yang telah menimbulkan
masalah yang serius adalah erosi yang dipercepat (accelerated erosion). Erosi yang
dipercepat ini disebabkan oleh tindakan manusia yang sewenang-wenang, misalnya
penebangan hutan (vegetation removal) secara besar-besaran, dan meninggalkan
tanah pada kondisi yang rentan di bawah curah hujan tinggi dan/atau badai angin.
Erosi yang dipercepat menimbulkan dampak negatif terhadap pertanian dan
lingkungan, termasuk manusia, on-site dan off-site, dan telah menjadi salah satu
masalah serius di seluruh dunia.

Pada umumnya ada lima tipe/proses terjadinya erosi yang saling berkaitan satu sama
lain, dan bisa terjadi secara bertahap maupun sekaligus (bersamaan):
• splash erosion: terlepasnya butiran tanah akibat pukulan air hujan, sehingga
struktur tanah menjadi tidak stabil dan mudah terbawa air
• sheet erosion: terbawanya lapisan tanah dari permukaan oleh aliran permukaan
(run-off)
• rill erosion: proses erosi yang menyebabkan terbentuknya “selokan” kecil dengan
kedalaman beberapa inci, dan banyak terjadi di kawasan yang baru dibuka
• gullies erosion: proses yang terjadi karena adanya aliran air dengan debit dan
kecepatan cukup tinggi, melalui selokan sempit pada saat atau segera setelah
hujan lebat. Proses ini menyebabkan terbentuknya “selokan” yang cukup dalam
(antara 0,3 - 33m).
• river bank erosion: erosi di bantaran sungai akibat tergerus air. Hal ini terjadi bila sisi
sungai langsung kontak dengan debit dan arus sungai yang tinggi.

Di kawasan yang terbuka (tanpa tutupan vegetasi), air hujan akan langsung turun ke tanah
dengan tenaga cukup besar dan menyebabkan lepasnya butiran tanah (splash erosion).
Butiran-butiran tanah ini akan terbawa run-off. Selain itu, lapisan tanah juga akan terbawa
aliran air melalui proses sheet erosion. Adanya perbedaan kontur tanah serta terbawanya
butiran batu atau sisa pohon akan “menggerus” tanah dan membentuk selokan-selokan
kecil dan dangkal (rill erosion), dan selokan besar dan dalam (gullies erosion).

Kawasan Baru Pelepat termasuk Bukit Siketan memiliki curah hujan yang tinggi. Seperti
telah diuraikan sebelumnya, dengan topografi yang cukup curam, Bukit Siketan akan
mudah erosi dan bukan tidak mungkin terjadi longsor dan banjir bandang bila hutannya
dibuka.

Resiko atau kerugian tidak hanya terjadi saat hujan lebat. Bila hutan dibuka, erosi yang
disebabkan oleh hujan kecil akan membawa tanah ke perairan atau dataran rendah, dan
menyebabkan pendangkalan dan/atau pelumpuran. Kawasan yang tererosi pun akan
kehilangan kesuburannya karena lapisan tanah atas (top-soil) telah hilang.

6 Diadaptasi dari http://muextension.missouri.edu/, http://www.il.nrcs.usda.gov/, dan http://soilerosion.net/


184 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

© http://soilerosion.net/

© Elizabeth Linda Yuliani


© Elizabeth Linda Yuliani

Beberapa contoh tipe erosi. Kiri atas: butiran tanah yang terlepas akibat
tenaga pukulan air hujan, menunjukkan splash erosion. Kiri bawah: rill
erosion. Kanan: gully erosion

Fungsi Habitat
Menurut de Groot et al. (2000), fungsi habitat merupakan salah satu fungsi
ekosistem. Hutan Bukit Siketan memiliki nilai keanekaragaman hayati yang
sangat tinggi, dan menjadi habitat bagi ratusan jenis tumbuhan dan serangga,
serta puluhan jenis hewan. Dalam setiap hektar, ditemukan sekitar 44-48 jenis
tumbuhan. Indeks keanekaragamannya pun mencapai 4,33 untuk tumbuhan
berkayu, dan 2,58 untuk tumbuhan tak berkayu (Yuliani et al., 2004). Jauh lebih
tinggi dibandingkan indeks keanekaragaman di beberapa taman nasional di Pulau
Jawa, yang hanya berkisar antara 1,90 hingga 2,87 (Sulistyawati et al., 2005).

Berbagai hewan langka dan dilindungi ditemukan di sini, termasuk jenis-jenis yang
menjadi “kesayangan” dunia internasional antara lain harimau sumatera (Panthera
tigris sumatraensis), orang utan sumatera (Pongo abelii), elang (Accipitridae) dan
enggang/rangkong (Bucerotidae)7. Harimau dan orang utan sumatera termasuk
7 Inventarisasi hewan baru dilakukan secara kualitatif, berdasarkan informasi dari masyarakat. Diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui jenis-
jenis hewan hingga tingkat spesies dan kelimpahannya di kawasan ini.
BAGIAN 3-2 • Elizabeth Linda Yuliani, Anggana, Novasyurahati 185

hewan-hewan yang menjadi “kesayangan” masyarakat dunia, dan hanya ditemukan


di Indonesia. Sayangnya, masyarakat Indonesia sendiri kurang memiliki apresiasi
terhadap kekayaannya yang tak dimiliki negara lain. Berdasarkan kajian yang
dilakukan tahun 2004, Wich et al. (akan terbit) melaporkan bahwa populasi orang
utan Sumatera hanya tersisa 6.667 ekor, jauh di bawah populasi orang utan Borneo
yaitu 54.567 ekor. Ancaman utama yang dihadapi orang utan adalah konversi
hutan untuk perkebunan skala besar, penebangan, kebakaran dan perburuan/
perdagangan liar (Soehartono et al., 2007).

Nilai ekonomi konservasi bagi masyarakat lokal adalah salah satu hal yang paling
sering dipertanyakan. Memang tak mudah menghitungnya. Tapi kita bisa melihat
dari berbagai segi. Misalnya, keberadaan hewan-hewan endemik di negara
lain telah menjadi modal penting industri pariwisata. Di Australia, pada 1996
wisatawan yang datang untuk melihat koala telah mendatangkan devisa sebanyak
1,1 miliar dolar Australia, dan menciptakan lapangan pekerjaan bagi 9.000 orang
(Hundloe dan Hamilton, 1997).

Masyarakat dan pemerintah


setempat sebenarnya bisa Kotak 2. Seberapa penting nilai konservasi?
bangga atas tingginya
keanekaragaman di Bukit Untuk lebih membantu masyarakat memahami
Siketan. Terlebih lagi, pentingnya nilai konservasi, secara sederhana
kawasan ini telah ditetapkan juga bisa diajukan pertanyaan seperti:
• Jika air Batang Pelepat sangat keruh dan
sebagai daerah penyangga
tak bisa diminum, berapa uang yang harus
Taman Nasional Kerinci Anda keluarkan untuk membeli air bersih
Seblat dan memiliki nilai (atau air kemasan) setiap hari?
konservasi tinggi di mata • Jika terjadi banjir bandang di desa,
dunia internasional. Dan di akibat penebangan hutan dan longsor di
Desa Baru Pelepat, hanya daerah tangkapan air, berapa biaya untuk
hutan di Bukit Siketan inilah memperbaiki rumah dan mengganti
barang-barang yang rusak? Dan berapa
yang tersisa dan berfungsi kerugian yang diderita, jika ladang dan
sebagai habitat terakhir bagi kebun ikut hancur diterjang banjir? (dengan
berbagai jenis tumbuhan asumsi tidak ada korban jiwa).
dan hewan yang memiliki
nilai konservasi tinggi.
186 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

PENUTUP
Ada keterkaitan yang erat antara fungsi ekologi termasuk keanekaragaman hayati,
dengan fungsi ekonomi dan sistem sosial. Penting disadari bahwa manfaat dari
konservasi sering bersifat jangka panjang dan sebagian bukan dalam bentuk materi
secara langsung, dan keragaman isi hutan dapat memberikan manfaat nyata
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat8. Untuk itu dibutuhkan
perhitungan usaha yang cermat, kreatif, paham selera pasar, cerdik melihat atau
menciptakan peluang, diversifikasi produk, sabar hingga mencapai hasilnya,
serta memulainya sebagai kegiatan sampingan hingga akhirnya berkembang
menjadi bisnis utama. Itulah kunci kesuksesan bisnis hasil hutan non-kayu dan
pertanian.

Kekayaan hutan yang diuraikan dalam tulisan ini, sangat mungkin juga dimiliki
oleh hutan di desa-desa lain. Maka penulis menutup tulisan ini, sambil bermimpi
desa-desa di Kabupaten Bungo menjadi pusat produksi hasil hutan bukan kayu.
Masyarakat memiliki greenhouse sederhana tempat membudidayakan tanaman
hias, dan menanami kebun mereka dengan meranti, kelat, gaharu, jernang, buah-
buahan dan berbagai jenis lainnya. Di sisi lain, hutan pun dirawat dan dijaga
oleh masyarakat karena secara nyata menjadi sumber penghidupan. Tak mustahil
impian ini dapat terwujud, bila seluruh pihak kreatif dan sabar menanti buah hasil
usahanya. Muara Bungo, seperti namanya, menjadi muara produk agribisnis dari
seluruh kecamatan, dan menjadi tempat ideal bagi para pembeli mencari produk
andalan.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penelitian ini dapat terlaksana karena adanya aspirasi dan keinginan kuat dari
seluruh masyarakat Desa Baru Pelepat untuk memperoleh pengakuan atas Hutan
Adat Desa dan adanya dukungan dari Pemerintah Kabupaten Bungo atas keinginan
tersebut. Kepada mereka ucapan terima kasih tak terhingga kami sematkan. Juga
kepada seluruh tim penelitian di lapangan, yang dengan penuh dedikasi dan
kerja keras melakukan pengumpulan data di medan yang sulit: Bapak Abunazar,
Bapak Agus K., Agus Widodo, Bapak Arifin, Eddy Harfia Surma, Bapak Kuris,
Marzoni, Ngateno, Bapak Rasmanalis dan Bapak Suhaili. Juga kepada pihak yang
telah membagi pengalaman mengenai metode analisis vegetasi, khususnya Saida

8 Kesejahteraan memiliki arti luas, dan tidak hanya dilihat dari segi ekonomi, tapi juga kesehatan, kebersihan, kesempatan memperoleh
pendidikan dan layanan kesehatan, dll.
BAGIAN 3-2 • Elizabeth Linda Yuliani, Anggana, Novasyurahati 187

Rasnovi (ICRAF), Godwin Limberg dan Herlina Hartanto (CIFOR), serta Riya
Dharma (Erry Malalo) dari KKI-WARSI. Juga kepada Dr. Endah Sulistyawati
(Departemen Biologi ITB) dan Dr. Carol Colfer (ITB) atas perhatian dan saran-
saran penting dalam hal metode, analisa data dan penulisan laporan. Bantuan
penting juga kami peroleh dari Effi Permatasari (Tim ACM Jambi); dari Ibu-ibu di
Desa Baru Pelepat yang menyiapkan bahan makanan untuk perjalanan di hutan;
serta Ibu Rahayu Koesnadi (CIFOR) yang menyiapkan kebutuhan logistik dan
administrasi. Juga kepada MFP-DfID yang memberi dukungan pendanaan untuk
proyek ACM Jambi. Kepada merekalah ucapan terima kasih tak terhingga layak
kami sematkan, juga kepada seluruh pihak yang telah membantu baik secara
langsung maupun tak langsung, yang tak dapat kami sebutkan satu persatu.Akhir
kata, kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
baik secara langsung maupun tak langsung, yang tak dapat kami sebutkan satu
persatu.

BAHAN BACAAN
Aliadi, A. dan Djatmiko, W.A. 1998. Hasil Hutan Non-Kayu Ekstraktif di Desa
Sungai Telang, Rantau Pandan, Jambi. Southeast Asia Policy Research
Working Paper, No. 5. ICRAF, Bogor, Indonesia.
Anonim. Tanpa tahun. Database file for Cat’s Claw (Uncaria spp.). Dalam:
Tropical Plant Database. http://www.rain-tree.com/catclaw.htm
Anonim. Tanpa tahun. Info Wilayah Kabupaten Bungo. http://kotabungo.tripod.
com/info_wilayah.html
BPEN. 2004. Promosi Ekspor Produk Florikultura di Belanda. Badan Pengembangan
Ekspor Nasional (BPEN), Departemen Perdagangan Republik Indonesia.
http://www.nafed.go.id/indo/berita/index.php?artc=2445
Bisnis Indonesia. 2005. China Butuhkan 400 Ton Biji Rotan. Edisi 14 Januari
2005. http://www.mma.ipb.ac.id/today/artikelview.html?topic=kliping_
agribisnis&size_num=2843725241&page=china_butuhkan_400_ton_
biji_rotan.html
de Groot, R.S., Wilson, M.A., Boumans, R.M.J. 2002. A typology for the
classification, description and valuation of ecosystem functions, goods
and services. SPECIAL ISSUE: The Dynamics and Value of Ecosystem
Services: Integrating Economic and Ecological Perspectives. Ecological
Economics 41:393–408.
Dobesto, I. 2008. Jalan Panjang Partisipasi: Proses dan Pembelajaran dalam
Penyusunan Peraturan Desa secara Partisipatif. Dalam: Adnan, H.,
Tadjudin, Dj., Yuliani, E.L., Komarudin, H., Lopulalan, D., Siagian, Y.L.
188 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

dan Munggoro, D.W. (ed.) Belajar dari Bungo: Mengelola Sumberdaya


Alam di Era Desentralisasi. CIFOR, Bogor, Indonesia.
Hadiah, J.T. Tanpa tahun. Eurycoma longifolia Jack. (Pasak Bumi). Dalam:
Eksplorasi 2(4):6. Indonesian Network for Plant Conservation. http://
www.bogor.indo.net.id/kri/eurycoma.htm
Hartanto, H., Paiman, A., Boestami, M., Anggana, Suryamin dan Yuliani, L. 2001.
Context Study Report: Biophysical Assessment. Laporan Penelitian
Proyek ACM. CIFOR, Bogor, Indonesia. Tidak dipublikasikan.
Hundloe, T. dan Hamilton, C. 1997. Koalas and Tourism: an Economic Evaluation.
Discussion Paper no. 13. The Australia Institute, Manuka, Australia.
http://www.tai.org.au/documents/dp_fulltext/DP13.pdf
Kompas. 2004. Gaharu, Potensi Hutan yang Belum Dikelola secara Profesional.
Edisi 9 Juni 2004. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0406/09/
otonomi/1028685.htm
Kompas. 2005. APRI dan Asmindo Sepakat Ekspor Rotan Mentah Dilarang.
Edisi 18 Maret. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/18/
ekonomi/1628065.htm
Krebs, C. J. 1989. Ecological Methodology. Harper and Row Publishers. New York.
USA.
MacKinnon, J., Phillipps, K. dan Van Balen, B. 1992. Burung-burung di Sumatera,
Jawa, Bali dan Kalimantan (termasuk Sabah, Sarawak dan Brunei
Darussalam). Seri Panduan Lapangan. Puslitbang Biologi, LIPI, Bogor,
Indonesia.
Mueller-Dombois, D. dan Ellenberg, H. 1974. Aims and Methods of Vegetation
Ecology. Wiley & Sons. New York. USA.
Prasetyo, B. dan Yuliani, E.L. Akan terbit. Keragaman Jenis Anggrek Alam di
Baru Pelepat.
Rodiah. 2008. Hasil Hutan Non-Kayu dan Ekonomi Masyarakat. Dalam:
Adnan, H., Tadjudin, Dj., Yuliani, E.L., Komarudin, H., Lopulalan, D.,
Siagian, Y.L. dan Munggoro, D.W. (ed.) Belajar dari Bungo: Mengelola
Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi. CIFOR, Bogor, Indonesia.
RRI. 2006. Bantuan Modal Rp. 500 juta untuk Petani Kembangkan Anggrek.
Siaran RRI, Senin 8 Mei 2006. http://www.rri-online.com/modules.
php?name=Artikel&sid=21700).
Sheil, D., Puri, R.K., Basuki, I., Van Heist, M., Syaefuddin, Rukmiyati, Sardjono,
M.A., Samsoedin, I., Sidiyasa, K., Chrisandini, Permana, E., Angi, E.M.,
Gatzweiler, F., Johnson, B. dan Wijaya, A. 2002. Exploring Biological
Diversity, Environment and Local People’s Perspectives in Forest
Landscapes - Methods for a Multidisciplinary Landscapes Assessment.
CIFOR, Bogor, Indonesia.
BAGIAN 3-2 • Elizabeth Linda Yuliani, Anggana, Novasyurahati 189

Silitonga, T. 2000. Degraded Tropical Forest and Its Potential Role for Rattan
Development: An Indonesian Perspective. Dalam: Rattan: Current
Issues and Prospects for Conservation and Sustainable Development.
FAO, SIDA, INBAR. http://www.fao.org/documents/show_cdr.asp?url_
file=//docrep/003/y2783e/y2783e13.htm
Soil Erosion Net. http://soilerosion.net/
Soehartono, T., Susilo, H.Dj, Andayani, N., Atmoko, S.S.U., Sihite, J., Saleh, C.
dan Sutrisno, A. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orang
Utan Indonesia 2007-2017. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan
dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan, Indonesia.
Sulistyawati, E., Sungkar, R.M., Maryani, E., Rosleine, D. dan Aribowo, M. 2005.
Biodiversity of Mt. Papandayan and its Threats. Report of Research
Funded by Rufford Small Grant. Departemen Biologi ITB, Bandung,
Indonesia.
Uluk, A., Sudana, M. dan Wollenberg, E. 2001. Ketergantungan Masyarakat
Dayak terhadap Hutan di Sekitar Taman Nasional Kayan Mentarang.
CIFOR, Bogor, Indonesia.
University of Missouri Extension. http://muextension.missouri.edu/explore/
agguides/agengin/g01509.htm.
WARSI. 2005. Bupati Tebo Inginkan Pengelolaan Hutan Secara Bersama.
(Terbit dalam Posmetro Jambi, dengan judul Polhut Tebo Kewalahan
Antisipasi Penjarahan Hutan). Jambi, Indonesia. http://www.warsi.
or.id/News/2005/News_200507_BupatiTebo.htm.
Wich, S.A., Meijaard, E., Marshall, A.J., Husson, S., Ancrenaz, M., Lacy, R.C.,
van Schaik, C.P., Sugardjito, J., Simorangkir, T., Traylor-Holzer, K.,
Galdikas, B.M.F., Doughty, M., Supriatna, J., Dennis, R., Gumal, M., dan
Singleton, I. Akan terbit. The Status of the Orangutan: An Overview of
this Current Distribution. Oryx.
Widianto, Suprayogo, D., Widodo, R.H., Purnomosidhi P., dan van Noordwijk,
M.N. 2002. Konversi Hutan Menjadi Lahan Pertanian: Apakah Fungsi
Hidrologis Hutan Dapat Digantikan oleh Agroforestri Berbasis Kopi?
Seminar Nasional HITI, 27 –29 Mei 2002, Mataram, Indonesia.
Yuliani, E.L., Adnan, H., Surma, E.H., Marzoni, Novasyurahati dan Anggana.
2004. Studi Potensi Kawasan Hutan Bukit Siketan, Desa Baru Pelepat,
Kabupaten Bungo, Jambi. Laporan untuk BAPPEDA Kabupaten Bungo
sebagai syarat untuk memperoleh pengakuan formal atas Hutan Adat
Desa Baru Pelepat. CIFOR, Bogor, Indonesia.
190 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Lampiran 1. Metode Penelitian

PENGUMPULAN DATA LAPANGAN

Potensi sumber daya tumbuhan


Potensi sumber daya tumbuhan diteliti secara kuantitatif dengan melakukan
analisa vegetasi, dan secara kualitatif dengan menggunakan metode Semi Structured
Interview.

Analisa vegetasi yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
tingkat keragaman spesies, struktur populasi serta fungsi ekologis. Analisa vegetasi
dilakukan dengan menggunakan metode yang merupakan kombinasi transek
dan Modified Whittaker Plot. Transek dilakukan dengan membuat tiga jalur yang
melintasi Bukit Siketan dari selatan ke utara (Gambar 19).

Arti sebenarnya dari metode transek adalah pengambilan data sepanjang garis
lurus, namun dalam beberapa kondisi misalnya jurang, lembah, sungai dan lain-
lain, ketentuan ini tidak berlaku secara kaku dan pengambilan data bisa berbelok
menghindari kendala-kendala tersebut.

Jalur 2
Jalur 1

Jalur 3

Jalur Jumlah
plot
1 12
2 10
3 4
Total 26

Gambar 19. Sketsa jalur pengambilan data


BAGIAN 3-2 • Elizabeth Linda Yuliani, Anggana, Novasyurahati 191

Di setiap jalur transek, dibuat plot berdasarkan metode Modified Whittaker


berukuran 50 x 20 m. Plot pertama berjarak 150 m dengan plot berikutnya (kecuali
tiga plot pertama yang berjarak 200 m satu sama lain). Jarak 150 m dianggap
lebih efektif untuk kondisi hutan primer yang vegetasinya sangat beragam dan
rapat, sehingga diharapkan seluruh jenis tumbuhan dapat tercatat. Dengan jarak
tersebut, di jalur I didapatkan 12 plot, jalur II didapatkan 10 plot, dan jalur III
didapatkan 4 plot.

Gambar 20. Plot Modified Whittaker

Di dalam setiap plot berukuran 50 x 20 m tersebut (= plot D), terdapat sub-plot


dengan ukuran, jumlah dan kegunaan sebagai berikut:

• Sub-plot A
o Jumlah: 4
o Ukuran: 0.5 x 2 m
o Yang dicatat: nama, jumlah individu dan % tutupan tumbuhan herba
(non-kayu), perdu, rumput, liana, palma dan anakan dengan tinggi
kurang dari 50 cm

• Sub-plot B
o Jumlah: 2
o Ukuran: 5 x 2 m
o Yang dicatat: nama, jumlah individu, diameter batang dan tinggi semua
tumbuhan berkayu dengan diameter ≥ 1 cm
192 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

• Sub-plot C
o Jumlah: 1
o Ukuran: 20 x 5 m
o Yang dicatat: nama, jumlah individu, diameter batang dan tinggi semua
tumbuhan berkayu dengan diameter ≥ 5 cm

• Plot D:
o Jumlah: 1
o Ukuran: 50 x 20 m
o Yang dicatat: nama, jumlah individu, diameter batang dan tinggi semua
tumbuhan berkayu dengan diameter ≥ 10 cm yang berada di luar sub-
plot A, B, C

Penting diingat bahwa pengamatan dan pencatatan data hanya dilakukan


bila lokasi A, B, dan C telah ditandai/diberi batas dengan tali plastik sehingga
tumbuhan yang ada di dalamnya tidak terinjak/terganggu.

Secara kualitatif, inventarisasi potensi sumber daya dilakukan dengan kombinasi


metode jelajah (cruising) dan Semi-Structured Interview, yaitu dengan mengajak
beberapa orang wakil masyarakat yang memiliki keahlian sebagai “dukun” dan
mengetahui berbagai kegunaan tumbuh-tumbuhan untuk mengobati penyakit,
pada saat melakukan analisa vegetasi seperti diuraikan di atas. Dengan metode
jelajah, diharapkan para informan dapat menceritakan kegunaan berbagai
tumbuhan yang ditemukan di sepanjang perjalanan di Bukit Siketan, dan nilainya
bagi masyarakat baik nilai ekonomis maupun budaya atau adat. Data dicatat pada
tabel klasifikasi sumber daya yang formatnya merupakan modifikasi dari Sheil et
al. (2002).

Potensi sumber daya hewan


Pengumpulan data potensi sumber daya fauna dilakukan dengan cara wawancara
dengan beberapa anggota masyarakat Desa Baru Pelepat. Untuk kelompok burung,
nama ilmiah dicari dari MacKinnon et al. (1992) berdasarkan nama lokal dan
deskripsi yang diuraikan oleh informan. Karena keterbatasan waktu dan tenaga,
pengumpulan informasi baru dilakukan secara kualitatif.
BAGIAN 3-2 • Elizabeth Linda Yuliani, Anggana, Novasyurahati 193

Faktor Fisik
Di setiap plot, dilakukan pengukuran faktor fisik berikut ini:
Faktor Alat pengukur/metode
Koordinat GPS Garmin CX
Ketinggian GPS Garmin CX
Kemiringan Kompas Brunton
Intensitas cahaya* Lux-meter Extech
Kelembaban udara* Sling psychrometer Bachrach
Suhu tanah dan udara* Termometer air raksa skala 0-100
Struktur tanah Pengenalan secara visual
Kandungan air tanah** (berat kering - berat basah)/berat basah
Kandungan organik tanah** (berat kering - berat abu)/berat abu
Kandungan mineral tanah** berat abu/berat kering
* pengukuran dilakukan di dua tempat (dalam setiap plot) yaitu di tempat ternaung dan terbuka. Nilai
yang dicatat adalah nilai rata-rata
** sampel tanah diambil dari kedalaman 15cm

ANALISA DATA

Kekayaan spesies
Kekayaan spesies tumbuhan di Bukit Siketan dihitung dengan menggunakan
fasilitas Pivot Table “Count” pada program Microsoft Excel.

Species-area relationships
Dengan mengambil data di berbagai ukuran sub-plot, perkiraan jumlah spesies
pada luas tertentu dapat diprediksi dengan menggunakan formula sebagai berikut
(Hartanto et.al., 2001):

y = a + bx

y = jumlah spesies
a = koefisien intersepsi antara log luas area dengan rata-rata jumlah spesies dari
semua plot
194 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

b = gradien
x = log luas area

Struktur populasi

Untuk mengetahui tingkat regenerasi komunitas pohon di Bukit Siketan, data


dikelompokkan berdasarkan distribusi kelas ukuran (size class distribution) menurut
Hartanto et.al. (2001) sebagai berikut:
• Anakan : DBH ≤ 1 cm
• Tiang 1 : DBH 1 - 4.9 cm
• Tiang 2 : DBH 5 - 9.9 cm
• Pancang : DBH 10 - 29.9cm
• Pohon 1 : DBH 30 - 49.9 cm
• Pohon 2 : DBH ≥ 50 cm

Indeks keragaman

Indeks keragaman komunitas pohon dan tumbuhan non-kayu dihitung dengan


menggunakan indeks Shannon-Wiener (Krebs, 1989; Mueller-Dombois and
Ellenberg, 1974):

s
H’ = -∑ (Pi) (Ln Pi)
i=1

H’ = indeks keragaman Shannon-Wiener


s = jumlah spesies
Pi = nilai penting spesies i

Pi = (kerapatan relatif + dominansi relatif + frekuensi relatif) / 300

Kerapatan relatif = kelimpahan spesies i di seluruh plot/kelimpahan total


seluruh spesies x 100%
Dominansi relatif = jumlah basal area spesies i di seluruh plot/basal area total
x 100%
Frekuensi relatif = frekuensi keberadaan spesies i di seluruh plot/frekuensi
total x 100%
BAGIAN 3-3
Potensi Pengembangan Rotan Manau
di Kabupaten Bungo

Iman Budisetiawan
196 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Tanaman rotan tersebar hampir di seluruh Indonesia, tetapi sebagian besar


terdapat di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Di Indonesia diperkirakan
terdapat 300-350 jenis tanaman rotan; yang teridentifikasi sebanyak 130 jenis1.
Penyebaran yang merata dengan wilayah yang luas menjadikan Indonesia sebagai
negara penghasil rotan terbesar di dunia.

Rotan menjadi primadona bagi devisa negara karena kontribusinya sebesar 80-
90% dari nilai ekspor hasil hutan bukan kayu secara keseluruhan. Kegiatan
pemungutan dan pengolahan rotan menjadi barang jadi mampu menghidupi
sekitar 1,7 juta orang di Indonesia. Rata-rata dihasilkan devisa ekspor sekitar
USD 204,4-374,5 juta/tahun. Hal tersebut menempatkan rotan pada posisi ke-12
dari 27 jenis komoditas utama non-migas Indonesia (Januminro, 2000).

Rotan telah memberi sumbangan bagi peningkatan pendapatan masyarakat sekitar


hutan, pembentukan budaya dan daya kreasi, perekonomian dan aspek sosial.
Rotan menjadi sumber mata pencaharian masyarakat dan mampu menyerap
tenaga kerja mulai dari kegiatan pemungutan sampai dengan pengolahan menjadi
barang jadi.

Seiring dengan berjalannya program desentralisasi, semakin dirasakan penting


untuk melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Hasil kajian KKI-WARSI
dan Birdlife Indonesia memperlihatkan bahwa dalam kurun 10 tahun (1990-
2000), tutupan hutan di Propinsi Jambi mengalami penyusutan hingga satu juta
ha. Penyusutan ini disebabkan oleh maraknya penebangan liar, konversi lahan
untuk tambang, transmigrasi maupun perkebunan skala besar.

Berdasarkan hasil inventarisasi dan survei potensi rotan yang dilaksanakan oleh
Departemen Kehutanan pada 1983, potensi produksi rotan di Jambi sebesar 6.900
ton/tahun. Sedangkan luasan areal budidaya rotan di Jambi belum terkuantifikasi.
Produksi rotan di Kabupaten Bungo pada 2002 dan 2003 masing-masing sebesar
235 dan 300 ton. Hingga saat ini Kabupaten Bungo merupakan penghasil rotan
terbesar untuk wilayah Propinsi Jambi dengan tingkat kontinuitas yang cukup
stabil2.

Produksi rotan yang berasal dari hutan alam cenderung menurun sejalan dengan
berkurangnya hutan alam. Oleh karena itu, pengembangan budidaya rotan

1 Heyne (1950) dalam Anonim (2003) mencatat jenis rotan yang ada di Indonesia terdiri dari marga Calamus (70 jenis), Daemonorops (27 jenis),
Korthalsia (13 jenis), Ceratolobus (tiga jenis), Plectocomia (tiga jenis), Myrialepis (dua jenis) dan Plectocomopsis (dua jenis).
2 BPS (2003)
BAGIAN 3-3 • Iman Budisetiawan 197

merupakan hal yang sangat


mendesak untuk segera
dilaksanakan, misalnya di
kebun karet milik masyarakat.

“Mudah sekali mencari rotan


di Bungo. Di kebun sekeliling
rumah pun banyak,” ujar

© Dok. ACM-Jambi
H. Marzuki (47 tahun),
pengumpul rotan yang tinggal
di Dusun Baru Pusat Jalo
Kecamatan Muko-Muko
Kerajinan dari rotan Bathin VII. Ketika industri
rotan berkembang di Muara
Bungo, ditandai dengan maraknya ijin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang
dimiliki oleh pengusaha, maka H. Marzuki pun ikut terlibat dalam pengumpulan
rotan. Dalam sehari ia bisa mendapatkan berbagai jenis rotan untuk dipasarkan
kembali.

Tidak ada kepemilikan pribadi terhadap rotan. Rotan tersedia bagi mereka yang
membutuhkan dan mengumpulkannya, rotan menjadi barang bebas karena tumbuh
secara alami atau liar. Rotan yang dijual kepada industri masih dalam bentuk
bahan mentah, tanpa diolah. Meski berhasil mengumpulkan begitu banyak rotan,
belum ada keinginan untuk menanam kembali dengan alasan tanpa ditanam pun
rotan masih banyak tersedia.

Rotan digunakan masyarakat untuk membuat barang kebutuhan sehari-hari seperti


ambung (keranjang) dan untuk mengikat kayu pagar. Pemilihan penggunaan rotan
didasarkan alasan ketersediaan bahan dan juga daya tahannya. Bila dibandingkan
dengan tali plastik maka daya tahan rotan jauh lebih lama, sedangkan bila
dibandingkan dengan kawat besi maka harga rotan jauh lebih murah. Mereka
belum membuat barang-barang yang dapat dijual di pasar seperti furnitur karena
terkait dengan keterampilan yang mereka miliki. Kalaupun ada, harus melalui
proses pemesanan yang membutuhkan waktu lama.

POTENSI PENGEMBANGKAN ROTAN MANAU


Kabupaten Bungo, dengan luas wilayah 465.900 ha, merupakan wilayah dengan
potensi pengembangan rotan yang cukup menjanjikan. Jika rotan manau dapat
198 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

dibudidayakan pada areal perkebunan dan hutan, maka tersedia areal lebih dari
420.000 ha lahan (Tabel 16). Namun jika rotan manau hanya dibudidayakan di
kebun karet saja, maka tersedia areal seluas 75.158 ha (Tabel 17). Areal hutan,
yang potensial untuk dijadikan lokasi budidaya rotan, mencapai luas 160.873
ha.3

Tabel 16. Jenis penggunaan tanah wilayah Kabupaten Bungo

No Jenis Penggunaan Tanah Jumlah (ha) % Ket


1 Sawah 11.383,75 2,44
2 Permukiman 18.890,75 4,05
3 Perkebunan 260.784,00 55,97
4 Hutan 160.873,00 34,53
5 Sungai/danau/rawa 3.480,00 0,75
6 Lain-lain 10.488,50 2,25
Jumlah 465.900,00 100
Sumber : Dishutbun Kabupaten Bungo (2004)

Tabel 17. Jenis dan luas perkebunan unggulan di Kabupaten Bungo

No Jenis Perkebunan Luas (ha) Komoditas Keterangan


1 Perkebunan rakyat 75.158 Karet ±3.000 ha swadaya,
15.060 Kelapa sawit selebihnya
2 Perkebunan swasta 20.049 7 perusahaan inti
3 Lainnya 7.300 Kelapa sawit perkebunan
dan lain-lain
Jumlah 117.567
Sumber : Dishutbun Kabupaten Bungo (2004)

MEMBUDIDAYAKAN ROTAN MANAU:


PENGALAMAN DARI LAPANGAN
Pengambilan rotan yang dilakukan secara terus menerus tanpa penanaman
kembali dan semakin terbatasnya kawasan tempat tumbuh rotan, karena konversi
hutan menjadi perkebunan baik sawit maupun karet mengakibatkan berkurangnya

3 Terdiri dari Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) 71.154 ha, Hutan Lindung 12.000 ha, Hutan Produksi 75.719 ha, Hutan Adat Desa Batu Kerbau
1.220 ha dan Hutan Adat Desa Baru Pelepat 780 ha.
BAGIAN 3-3 • Iman Budisetiawan 199

ketersediaan rotan di alam. Jarak yang harus ditempuh oleh masyarakat untuk
mengambil rotan semakin jauh, dan akibatnya biaya dan tenaga juga meningkat.

Pengembangan rotan di kebun karet rakyat perlu segera dilakukan untuk


mengantisipasi kebutuhan rotan di masa yang akan datang. Rotan manau menjadi
prioritas ketiga bagi Pemerintah Kabupaten Bungo setelah tanaman karet dan
sawit.

Kesesuaian lahan dan pola hidup masyarakat yang terbiasa berkebun karet
dijadikan target untuk pengembangan manau sebagai tanaman tumpangsari.
Penanaman manau akan menguntungkan petani karet itu sendiri, karena akan
mendapatkan getah hasil sadapan setiap hari, serta ‘tabungan’ manau pada saat
peremajaan kebun karetnya. Menurut Rachman (1990), manau matang setelah
20 tahun.

Peremajaan kebun karet dilakukan ketika sudah dianggap tidak ekonomis. Uang
yang didapat dari hasil penjualan getah lebih sedikit dari biaya kebutuhan hidup.
Pada kebun monokultur,
tanaman karet mampu bertahan
Kotak 1. Deskripsi Rotan Manau
hingga 25 tahun. Sedangkan
pada sistem penanaman Rotan manau (Calamus manan) tersebar luas di
tradisional peremajaan karet daratan Asia Tenggara. Rotan ini tumbuh subur
dapat dilakukan pada waktu di hutan dipterokarpus di lereng-lereng bukit
yang lebih lama. Penyisipan pada ketinggian 600-1000 m di Perak, Selangor,
dan penebangan tanaman yang Kelantan, Pahang, Terengganu, dan Negeri
Sembilan (Malaysia), Sumatera (Indonesia)
mengganggu atau tidak bernilai
dan Thailand selatan. Namun, eksploitasi tak
ekonomis memperpanjang daya terkendali mengakibatkan terbatasnya jenis ini
tahan sistem tradisional. di hutan. Calamus manan adalah jenis tumbuhan
soliter dengan panjang batang bisa mencapai
Berkaitan dengan hal tersebut 180 m. Rotan ini berduri jarang, tajam, kasar,
di atas, pemanenan manau keras dan panjang. Ukuran lingkar batangnya
dapat dilakukan tergantung bisa mencapai 18 mm. Dengan lingkar sebesar ini
tak mengherankan rotan ini menjadi komoditas
kebutuhan. Pada sistem kebun
non-kayu yang berharga untuk perabotan rumah.
monokultur panen manau Dibandingkan buah rotan pada umumnya, buah
dilakukan bersamaan dengan rotan manau relatif berukuran besar dengan
peremajaan. Tetapi pada kebun diameter mencapai 2-3 cm.
tradisional panen dilakukan
tergantung pada kebutuhan (Sumber: http://pkukmweb.ukm.my/~choong/
petani, sejalan dengan masa Rattan/rattan01.html)
penanaman sisipan.
200 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Untuk mendukung gagasan tersebut, telah dilakukan ujicoba budidaya rotan.


Jenis bibit rotan yang dibudidayakan adalah rotan manau. Pada awalnya akan
dikembangkan beberapa jenis, seperti rotan cacing, saga dan lainnya. Namun,
sulit melakukan pengadaan bibit untuk beberapa jenis rotan. Sifat rotan manau
yang soliter dan tidak mengganggu pengelolaan tanaman karet juga menjadi
alasan. Dengan hanya ada satu jenis rotan akan lebih mudah untuk dilihat
perkembangannya di masing-masing lokasi kegiatan.

Pengeluaran yang dibutuhkan untuk menanam rotan manau hanyalah biaya


pembelian bibit manau. Harga bibit manau dalam polybag saat ini di Kabupaten
Bungo Rp. 3.500,-/batang. Dengan mengikuti perbandingan 1:2 antara manau
dengan tanaman karet dan populasi karet sebanyak 400 batang/ha, maka
kebutuhan biaya pembelian manau sebesar Rp. 700.000,-/ha. Biaya penanaman
dan pemeliharaan rotan manau dapat kita abaikan dengan pertimbangan bahwa
kegiatan tersebut dilakukan oleh pemilik kebun.

Keuntungan penanaman dapat dirasakan pada saat meremajakan kebun karet.


Pada kebun karet yang dikelola secara monokultur bila dirasa hasilnya tidak
ekonomis akan diganti tanaman baru melalui metode tebang habis, pada saat itu
pula manau dipanen. Pada saat pemanenan rotan dapat mencapai 25-30 meter.
Dari panjang tersebut dapat dijual rata-rata sembilan potong ukuran tiga meter.
Harga satu potong saat ini di pengumpul4 pertama adalah Rp.7.000,- sehingga
akan didapat Rp. 12.600.000,-/ha-nya. Keuntungan bersih yang diterima petani
adalah Rp. 11.900.000,-/ha.

Dishutbun Kabupaten Bungo pada 2004 menganggarkan dana sebesar Rp.


48.455.000,- untuk pengembangan budidaya rotan di lima desa dalam lima
kecamatan yang berbeda. Masing-masing desa melakukan kegiatan pada areal
seluas tiga hektar. Lokasi tersebut terletak di Desa Tanjung Menanti, Kecamatan
Bathin II Babeko; Desa Perenti Luweh, Kecamatan Tanah Tumbuh; Desa Baru
Pusat Jalo, Kecamatan Muko-Muko Bathin VII; Desa Muara Buat, Kecamatan
Rantau Pandan; Desa Baru Pelepat, Kecamatan Pelepat.

“Kami idak mau menanam bilo belum melihat hasilnyo. Kami pernah melihat makonyo
kami mau (kami tidak mau menanam bila belum melihat hasilnya. Karena pernah
melihat makanya kami mau),” kata H. Thaher, 84 tahun, salah seorang petani
karet penerima kegiatan pengembangan budidaya rotan. Dengan alasan itu pula
maka lokasi penanaman yang merupakan lokasi percontohan dipilih berada di

4 Pengumpul pertama merupakan pengumpul yang langsung berhubungan dengan petani. Biasanya berada di tingkat desa.
BAGIAN 3-3 • Iman Budisetiawan 201

pinggir jalan. Hal ini memudahkan masyarakat melihat dan memancing minat
untuk mengikuti penanaman secara swadaya.

Kotak 2. Perhitungan Kasar Keuntungan Menanam Rotan Manau pada Kebun


Monokultur

Secara kasar kita dapat menghitung keuntungan budidaya rotan di kebun karet per
hektar sebagai berikut :

A. Pengeluaran
No Uraian Volume Harga Satuan Total
A. Pengeluaran
1 Bibit Rotan 200 btg Rp 3.500 Rp 700.000
Jumlah A Rp 700.000
B. Pendapatan
1 Rotan 1800 ptg Rp7.000 Rp 12.600.000
Jumlah B Rp 12.600.000

Keuntungan
Jumlah B - Jumlah A : Rp 11.900.000
(sebelas juta sembilan ratus ribu rupiah)

Asumsi :
- Harga bibit rotan Rp. 3.500,-/polybag
- Biaya pemeliharaan rotan (pemupukan, penyiangan gulma, dll) dilakukan oleh
petani pemilik lahan dan mengikuti kegiatan pemeliharaan karet sehingga
tidak timbul biaya tambahan
- Panjang rotan ketika panen sebanyak sembilan potong (satu potong = tiga
meter) per batang dengan jumlah batang per ha sebanyak 200 batang/ha
- Harga rotan Rp. 7.000,-/potong

Saat ini, setelah dua tahun penanaman, tanaman rotan manau yang dibudidayakan
di kebun karet tua telah tumbuh dengan subur. Ini menunjukkan kecocokan jenis
tanaman dengan lokasi penanaman. Berdasarkan hasil pengamatan visual ujung
daun tertinggi, rata-rata tinggi rotan 140 cm dibandingkan tinggi rata-rata awal
30 cm.

“Idak payah ngurus manau, dak perlu dirawat dan dipupuk. Manau jugo dak ganggu
parah dan tahan babi (tidak susah mengurus manau, tidak perlu dirawat dan
202 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

dipupuk. Manau juga tidak mengganggu tanaman karet dan juga tahan serangan
hama babi hutan),” kata Mirul, 28 tahun, petani Desa Baru Pelepat. Babi hutan
biasanya menjadi hama yang paling banyak merusak tanaman di ladang/kebun,
namun tidak terjadi pada rotan. Kurang dari 10 tanaman per ha yang diganggu
babi, itu pun bukan untuk memakan rotan melainkan karena tertarik pada tanah
galian baru yang banyak terdapat cacing.

Kotak 3. Pola Penanaman Rotan di Kebun Karet

Keterangan:

= tanaman karet

= rotan
Pola penanaman rotan di kebun karet

Penanaman dilakukan dengan menggunakan sistem jalur dimana pohon-pohon


sekitarnya tetap dipertahankan/dipelihara sebagai pohon penopang (supporting
tree).

Mengacu pada keberhasilan 2004 dan


tingginya minat masyarakat terhadap
pengembangan, maka pada 2006
pemerintah telah menyediakan dana sebesar
Rp. 344.800.000,- untuk pengembangan
budidaya manau seluas 105 ha. Lokasi
yang dipilih kali ini adalah desa-desa yang
berbatasan dan/atau dekat dengan kawasan
hutan, yaitu Desa Senamat Ulu, Desa Laman
Panjang, Desa Lubuk Beringin (ketiganya
di Kecamatan Bathin III Ulu), Desa Baru
Pelepat dan Desa Batu Kerbau (Keduanya
© Iman Budisetiawan

di Kecamatan Pelepat). Pemilihan desa


tersebut bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sekitar hutan
sekaligus mengalihkan kegiatan bebalok
(mengambil kayu) dari dalam kawasan Rotan manau berumur dua tahun
hutan. tanam
BAGIAN 3-3 • Iman Budisetiawan 203

Selain penanaman, dilakukan juga pembibitan tanaman rotan dengan dana APBD.
Kendala sulitnya mendapatkan bibit rotan ternyata menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi minat masyarakat untuk menanam. Tawi, 33 tahun, mengatakan
“Macam mano nak nanam rotan bilo bibitnyo bae susah dapatnyo (Bagaimana mau
menanam rotan bila bibitnya sulit didapat).” Pengalaman Tawi menanam rotan
dimulai dari biji yang diberi KKI-WARSI5 pada 2002. Pengetahuan yang minim
untuk membudidayakan rotan mulai dari biji menyebabkan tingkat keberhasilan
tumbuh yang sangat rendah. Kegagalan ini tidak menyurutkan minat Tawi
untuk menanam, “Asal ado anak manau lah jadi, apolagi dalam polybag, maulah
awak nanamnyo (asal ada anakan manau yang telah jadi apalagi bila dalam
polybag maka mau saya menanamnya),” kata Tawi lebih lanjut. Bibit rotan dalam
polybag diyakini oleh Tawi lebih tinggi keberhasilan tumbuhnya. Untuk 2006 ini
Dishutbun Kabupaten Bungo mencoba untuk membibitkan 100 kg biji manau.

KETERLIBATAN BERBAGAI PIHAK


Untuk menunjang keberhasilan pengembangan manau perlu keterlibatan berbagai
pihak, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan di lapangan. Kebiasaan
merencanakan dan melaksanakan kegiatan secara parsial mulai dicoba untuk
ditinggalkan melalui pembentukan Forum Diskusi Multipihak6. Dalam diskusi-
diskusi yang telah dilaksanakan disepakati bahwa keterlibatan berbagai pihak
dapat menunjang keberhasilan kegiatan di lapangan.

Dahulu perencanaan dianggap sebagai kekuasaan mutlak pemerintah; kini


telah melibatkan pihak lain, terutama masyarakat dan lembaga yang melakukan
pendampingan di masyarakat. Keinginan masyarakat diterjemahkan ke dalam
rencana kegiatan pemerintah. Musyawarah rencana pengembangan (Musrenbang)
yang dimulai dari tingkat kecamatan hingga tingkat propinsi merupakan sarana
untuk menyampaikan gagasan, keinginan dan harapan masyarakat. Contohnya
adalah Surat Camat Rantau Pandan No. 525/145/Pemb tertanggal 25 Maret 2004
perihal “Usulan Penanaman Rotan” menyatakan bahwa masyarakat mengakui
akibat penebangan kayu serta pengambilan rotan secara terus menerus tanpa
adanya proses penanaman di hutan mengakibatkan kelangkaan rotan. Meskipun
demikian, kearifan masyarakat terhadap pengelolaan rotan juga dapat dilihat dari
kemauan mereka untuk tidak memanen rotan yang masih muda.
5 KKI-WARSI, dalam program peningkatan pengetahuan masyarakat tentang hasil hutan non-kayu serta perubahan cara pandang masyarakat terhadap
rotan.
6 Forum Diskusi Multipihak adalah forum informal yang digagas oleh Dishutbun Kabupaten Bungo bersama Dinas Pertambangan Energi dan
Lingkungan Hidup, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), proyek Adaptive Collaborative Management (ACM) Jambi (CIFOR, PSHK-
ODA, Yayasan Gita Buana), KKI-WARSI dan World Agroforestry Center (ICRAF). Forum ini bertujuan sebagai wadah untuk, membangun wacana
tentang tema-tema berkaitan dengan pembangunan kehutanan di Bungo
204 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Pemilihan lokasi kegiatan pengembangan budidaya rotan 2006 disesuaikan dengan


lokasi pendampingan yang dilakukan oleh berbagai lembaga. ACM-Jambi di Desa
Baru Pelepat, KKI-WARSI di Desa Batu Kerbau serta ICRAF di Desa Laman
Panjang dan Lubuk Beringin. Pendamping berperan dalam bentuk fasilitasi
penentuan lokasi, pengaturan kelompok, implementasi di lapangan. Pendamping
dapat juga disebut sebagai ‘jembatan’7 karena menghubungkan antara kepentingan
pemerintah dengan keinginan masyarakat.

Pengelola hutan adat pun dapat dijadikan potensi pengembang selain masyarakat
pekebun. Pelibatan pengelola hutan adat akan meningkatkan semangat mereka
dalam menjaga hutan adatnya sekaligus sebagai bentuk pengakuan eksistensi
mereka.

Dishutbun Kabupaten Bungo juga telah mencoba menjalin kerjasama dengan


instansi lainnya di luar kabupaten. Misal dengan International Timber Trade
Organization (ITTO) melalui Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan untuk mendapatkan bantuan berupa
pengembangan rotan di Kabupaten Bungo.

MENGAPA TIDAK DIMULAI DARI SEKARANG?


Rotan manau yang dapat tumbuh dengan baik di kebun karet merupakan
salah satu alternatif pengayaan kebun karet. Sifat yang mudah tumbuh tanpa
memerlukan perawatan intensif dan tahan serangan babi merupakan keuntungan
pengembangannya. Menanam rotan manau sama dengan menabung karena
tanpa terasa rotan manau itu akan semakin besar hingga saatnya dipanen dan
memberikan keuntungan.

Dishutbun Kabupaten Bungo saat ini mempunyai program pengembangan


budidaya manau melalui penanaman dan pembibitan tanaman. Setelah
program ini berhasil akan dilanjutkan dengan program pembinaan petani untuk
perawatan tanaman serta pembinaan pengrajin rotan. Jangan sampai rotan yang
diperdagangkan hanya sebatas rotan mentah melainkan harus ditingkatkan
dengan penguatan pengrajin dan industrinya.

Pasar rotan baik lokal maupun dunia masih terbuka, sedangkan cadangan rotan
alam semakin menipis. Pengembangan budidaya rotan di kebun karet merupakan
7 Lamanya waktu berinteraksi dengan masyarakat merupakan kelemahan dari aparat pemerintah dan justru merupakan kekuatan dari para pendamping
untuk memahami keinginan masyarakat serta mengetahui kendala yang terjadi. Selain itu, masyarakat juga lebih nyaman untuk menceritakan
permasalahan kepada para pendamping dibandingkan secara langsung ke aparat pemerintah.
BAGIAN 3-3 • Iman Budisetiawan 205

salah satu solusi yang layak untuk dipertimbangkan. Hal-hal yang telah dilakukan
oleh Dishutbun Kabupaten Bungo hanyalah untuk memancing minat masyarakat
agar mau secara mandiri mengembangkan manau di lahan miliknya.

Mengapa harus menunggu esok, kalau langkah itu bisa dikerjakan hari ini?

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada CIFOR dan ICRAF yang telah
memfasilitasi penulisan ini, serta para petani yang bekerja sama dalam penyelesaian
pekerjaan kegiatan pengembangan budidaya rotan di Kabupaten Bungo.

BAHAN BACAAN
Anonim. 2003. Proposal Pengembangan Tanaman Rotan di Kabupaten Bungo,
Propinsi Jambi. PT. Kerasan Huta Nauli, Jakarta.
BPS. 2003. Bungo dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bungo, Muara
Bungo, Indonesia
Dishutbun Kabupaten Bungo. 2004. Laporan Hasil Kegiatan Pengembangan
Budidaya Rotan. Muara Bungo, Indonesia.
_______. 2004. Selayang Pandang. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Bungo. Muara Bungo, Indonesia.
Hidayat, A., Henti, H.R., Dodi, F. dan Sunarto. 2005. Pola Kontribusi Pemungutan
Rotan Terhadap Peningkatan Pendapatan Masyarakat Lokal di
Jambi (Laporan Akhir Penelitian). Loka Litbang Hasil Hutan Bukan
Kayu. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen
Kehutanan, Indonesia.
Januminro, C.F.M. 2000. Rotan Indonesia. Kanisius, Yogyakarta, Indonesia.
Rachman, O. 1990. Teknologi Pengelolaan Rotan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan, Indonesia.
BAGIAN 3-4
Meningkatkan Produktivitas Karet Rakyat melalui
Sistem Wanatani

Ratna Akiefnawati, Gede Wibawa, Laxman Joshi dan


Meine van Noordwijk
BAGIAN 3-4 • Ratna Akiefnawati, Gede Wibawa, Laxman Joshi dan 207
Meine van Noordwijk

Peran sub-sektor perkebunan sangat besar bagi perekonomian Kabupaten Bungo


maupun Propinsi Jambi. Karet adalah salah satu komoditas perkebunan andalan
bagi kabupaten ini, serta berperan besar sebagai sumber pendapatan daerah dan
juga sumber mata pencaharian bagi sebagian besar penduduknya. Perkebunan
karet rakyat sangat dominan dengan luas 73.121 ha dan jumlah produksi 2.214 ton/
tahun (BPS Bungo, 2003). Karena itu pemerintah Kabupaten telah memberikan
perhatian sangat besar terhadap pembangunan karet rakyat.

Perkebunan karet rakyat di Kabupaten Bungo umumnya masih menyerupai ’hutan


karet’, dengan produktivitas di bawah 600 kg/ha/tahun. Meski menjadi komoditas
unggulan, produktivitas karet rakyat ini masih tergolong rendah. Penyebabnya
adalah mutu bibit tanaman yang rendah. Sumber bibit biasanya berupa bibit
cabutan atau biji sapuan dengan tingkat pemeliharaan yang sangat minim. Secara
tradisi, pembangunan kebun karet rakyat didasari dengan pola tebang-tebas-bakar
yang dilanjutkan dengan pemanfaatan lahan untuk peladangan selama dua-tiga
tahun pertama (penanaman tumpangsari tanaman pangan dengan tanaman karet).
Penurunan produktivitas tanaman pangan menyebabkan petani meninggalkan
kebun karet mudanya tanpa pemeliharaan dan kembali lagi pada saat karet siap
sadap.

Sistem di atas, tidak dapat memberikan pendapatan yang optimal bagi petani.
Namun demikian, para ahli ekologi menemukan berbagai aspek positif dari
wanatani karet rakyat itu, terutama berkaitan dengan tingginya tingkat keragaman
hayati yang mendekati kondisi hutan sekunder. Di hutan karet rakyat di Kecamatan
Rantau Pandan ditemukan 92 spesies pohon, 97 liana, dan 28 epifit, sedangkan
di hutan primer masing-masing 171, 89, dan 63 spesies (Michon dan de Foresta,
1995).

Sistem wanatani karet di Bungo itu sangat unik. Meski produktivitas getahnya
rendah, namun sistem tersebut justru melindungi banyak flora dan fauna. Itu
sebabnya sistem wanatani dipandang sebagai sebuah pilihan yang paling cocok
bagi petani, karena sistem bercocok tanam karet yang telah turun-temurun
menjadi budaya dapat dipertahankan.

Sejalan dengan itu, apa yang akan terjadi jika bahan tanam karet, yang menjadi
faktor penentu produktivitas, menggunakan jenis karet klonal. ICRAF melalui
Smallholder Rubber Agroforestry Project (SRAP) melakukan penelitian on-farm
dengan membangun demplot berbagai sistem Rubber Agroforestry System (RAS).
Tujuannya, lokasi demplot tersebut dapat menjadi contoh dan tempat belajar
budidaya karet pada sistem wanatani bagi petani, PPL dan proyek pengembangan
karet.
208 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

KENDALA PETANI KARET TRADISIONAL


Kendala yang dihadapi oleh sebagian besar petani adalah:
1. Produktivitas karet rendah
• Umur karet rata-rata sudah tua dengan produktivitas rendah.
• Kualitas bahan tanam karet yang dipakai maupun yang tersedia di tingkat
petani relatif tidak memenuhi kriteria untuk dapat menghasilkan kebun
karet dengan produktivitas yang baik (di atas 1.500 kg/ha/tahun).

2. Sistem kelembagaan dan alih teknologi:


• Teknologi budidaya tidak tersedia untuk kebanyakan petani di Kabupaten
Bungo. Kalaupun teknologi tersedia, masih belum diterapkan oleh
petani karena kurang sesuai terhadap kebutuhan dan keterbatasan
petani.
• Struktur kelembagaan petani (seperti kelompok tani) tidak atau belum
tersedia di tingkat lokal sehingga pembangunan perkebunan rakyat
berjalan lebih banyak atas inisiatif petani secara individu.
• Minimnya akses petani terhadap modal finansial, yang sangat dibutuhkan
untuk peremajaan kebunnya.

KEBUN KARET DALAM BUDAYA MASYARAKAT


MELAYU JAMBI
Mayoritas masyarakat di Kabupaten Bungo berasal dari suku Melayu Jambi,
dan pendatang dari Minangkabau, Jawa, dan Batak. Masyarakat Melayu Jambi
menetap dan kemudian membangun rumah di dalam kelompoknya di sepanjang
aliran sungai. Sungai menjadi salah satu sarana transportasi yang menghubungkan
mereka dengan desa tetangga, membawa hasil bumi mereka untuk dijual, dan
membeli sarana untuk kehidupan keluarga.

Wanatani karet atau lebih dikenal dengan sebutan “para rimbo” oleh masyarakat
Jambi adalah kebun karet rakyat menyerupai hutan yang didominasi oleh tanaman
karet. Penanamannya tidak memperhatikan jarak tanam sehingga tumbuh spesies
kayu-kayuan, buah-buahan, dan belukar. Pengelolaan kebunnya secara ekstensif,
tradisional, dan turun-temurun. Para petani karet lebih senang menyebutnya
sebagai kebun karet rakyat dan bukan hutan karet. Kata “hutan” memberikan arti
penguasaan lahan oleh pemerintah.
BAGIAN 3-4 • Ratna Akiefnawati, Gede Wibawa, Laxman Joshi dan 209
Meine van Noordwijk

Karet sumber penghasilan utama bagi kelangsungan kehidupan petani. Setiap


keluarga minimum memiliki kebun karet sekitar satu hektar. Setiap pagi, suami
dan istri pergi ke kebun untuk menyadap. Sistemnya, tidak beraturan (bentuk “V”)
dengan ketebalan sayatan rata-rata 5 mm. Getah karet yang mengalir pada bidang
sadap dikumpulkan dalam tempurung kelapa atau wadah lainnya yang kemudian
dikenal dengan “kudun” (lump). Dalam musim kering mereka menyadap lima
sampai enam hari dalam setiap minggunya. Kemudian lump tersebut dikumpulkan
menjadi satu dalam kotak penampung (para petani menyebutnya dengan sebutan
“membangkit”). Dalam satu kotak, karet basah yang dapat ditampung kira-kira 50-
100 kg. Asam cuka ditambahkan untuk menggumpalkan karet.

Sebagian petani menjual produksi


karet berdasarkan “berat karet”,
dan bukan “mutu karet”. Petani
yang menjual karet hanya
berdasarkan beratnya akan
melakukan perendaman karet
dalam air, seperti di sungai, rawa,
dan lain-lain. Biasanya petani
© Ratna Akiefnawati

seperti tersebut akan menjual


produksi karetnya pada “toke”
(tengkulak) di kampung dengan
tingkat harga yang rendah. Tetapi
Sistem perendaman produksi karet rakyat yang
menyebabkan rendahnya mutu karet sejak bergulirnya peraturan dari

Gabungan Perusahaan Karet


Indonesia (GAPKINDO) Propinsi
Jambi untuk membuat getah
bersih yang tidak tercampur oleh
“tatal” (bekas kulit sayatan batang
karet) pada 1999, mulailah petani
membuat getah bersih dan kering
© Ratna Akiefnawati

(tanpa perendaman dalam air) dan


menjualnya ke pasar lelang karet.

Sistem penyadapan dan pengelolaan kebun


karet tradisional
210 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

SUMBANGAN WANATANI KARET TERHADAP


PELESTARIAN LINGKUNGAN

Melindungi Fungsi Hidrologi


Wanatani karet (berbentuk mirip hutan sekunder) dinilai sangat positif dari
segi pelestarian lingkungan. Wanatani karet menjalankan fungsi hidrologi yang
baik dan mampu mencegah erosi. Kebun karet rakyat dapat menjadi pelindung
pada daerah hulu karena dapat berfungsi sebagai penyangga lapisan serasah
di permukaan tanah melalui daun-daun karet dan pohon lain yang gugur dan
mencegah terbentuknya parit-parit akibat erosi.

Perlindungan terhadap Keragaman Hayati


Sistem wanatani karet mampu mempertahankan keragaman hayati, sehingga
sangat mendukung gerakan “hijau” yang akhir-akhir ini mendapat perhatian
besar dari negara-negara industri sebagai konsumen terbesar karet alam (Wibawa
et al.,1999). Wanatani karet rakyat berpotensi sebagai sumber plasma nutfah
keragaman hayati dan dapat melindungi sekitar 50% dari keragaman hayati yang
dijumpai di hutan alam.

Sebagai contoh, penelitian ICRAF pada kebun karet rakyat berumur 35 tahun
(masih produktif) di Muara Kuamang berhasil menemukan 116 jenis pohon dalam
satu plot seluas satu hektar. Pohon yang ditemukan antara lain jenis pohon pulai,
medang, meranti, balam merah, kempas, kulim, dan anakan jelutung, yang untuk
saat ini menjadi incaran penebang kayu untuk dijual. Dibandingkan hutan alam,
luas bidang dasar kebun karet lebih rendah karena tidak ada pohon besar. Selain
itu, kebun karet rakyat menyediakan habitat yang nyaman bagi satwa seperti
burung enggang raja (Buceros vigil) (Joshi et al.,2002). Dari hasil studi pengamatan
langsung, tim RUPES-Bungo menemukan 167 jenis burung yang hidup di dalam
wanatani karet, dua di antaranya burung yang sudah hampir punah, yaitu sempidan
biru (Lophura ignita) dan raja udang kalung biru (Alcedo euryzona).

Hasil penelitian lain pada jenis pohon dan analisa struktur vegetasi pada sistem
wanatani karet di daerah dataran rendah Sumatera (de Foresta dan Michon
1994) dan beberapa studi lainnya menunjukkan keragaman hayati di wanatani
karet relatif lebih tinggi dibandingkan pada kondisi pertanaman intensif dan
perkebunan monokultur. Sedang vegetasi, seperti dilaporkan Michon dan de
BAGIAN 3-4 • Ratna Akiefnawati, Gede Wibawa, Laxman Joshi dan 211
Meine van Noordwijk

Foresta (1995), keragaman di wanatani karet dapat melindungi sekitar 50%


jauh lebih besar dibandingkan angka 0,5% di perkebunan monokultur. Tingkat
keragaman fauna tidak terdapat perbedaan antara hutan dan wanatani karet.
Untuk keragaman burung, wanatani karet dapat melindungi sekitar 60% dari
hutan alam (Gambar 21). Ini disebabkan oleh adanya beberapa jenis burung yang
menghendaki tutupan tajuk lebih terbuka dan ketersediaan bermacam-macam
bunga yang menjadi sumber makanan. Binatang menyusui (mamalia) dijumpai
juga di dalam wanatani karet, kecuali gajah belum ditemukan (van Noordwijk et
al., 2002). Studi terakhir yang dilakukan mahasiswa Universitas Negeri Jakarta
(belum dipublikasikan) dalam proyek Rewarding Up-land Poor for Environmental
Services (RUPES) di Bungo pada hamparan wanatani karet Lubuk Beringin
menemukan 10 jenis kelelawar (delapan jenis kelelawar pemakan buah dan dua
jenis pemakan serangga).

Gambar 21. Perbandingan dalam plot-keragaman jenis tumbuhan antara hutan alami, hutan,
dan perkebunan monokultur berdasarkan tumbuhan-tumbuhan tertinggi (de Foresta dan
Michon, 1994)

400 Pohon
350
Jenis tanaman/ transek

Epiphytes
300
250 Lianas
200
Pohon kecil
150
100 Herba
50
0
Hutan Alami Hutan Perkebunan
212 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Cadangan Karbon
Laporan penelitian Tomich et al. (2002) di beberapa penggunaan lahan yang
berbeda di Kabupaten Bungo, memperlihatkan cadangan karbon di dalam hutan
alam sejumlah 250 ton C/ha, di hutan yang masih aktif ditebang kayunya sekitar
150 ton C/ha, di lahan untuk penanaman ubi kemudian diberakan sehingga
tumbuh alang-alang, relatif lebih rendah yaitu 100-120 ton C/ha, sedangkan
di lahan wanatani karet dengan teknik sisipan 120-140 ton C/ha, sementara di
kebun kelapa sawit hanya 90 ton C/ha.

Tingkat penyerapan karbon tergantung pada tipe dan kondisi ekosistem


(komposisi jenis tumbuhan, struktur dan umur distribusi tanah, gangguan alam,
dan pengelolaan). Di hutan alam di Indonesia, penyerapan karbon rata-rata
306 ton C/ha, di hutan karet (sistem menetap) 89 ton C/ha dan di hutan bekas
tebangan 93 ton C/ha. Penyerapan karbon di ekosistem-ekosistem tersebut jauh
lebih tinggi dibandingkanperkebunan monokultur, padang rumput, dan tanaman
semusim (lihat Tabel 18).

Tabel 18. Rata-rata penyerapan karbon pada masing-masing kondisi penggunaan lahan

Sistem penggunaan lahan ton C ha-1


Hutan alam 306
Hutan bekas tebangan kayu 93
Wanatani karet (menetap) 89
Kebun karet (bergilir) 46
Kebun kelapa sawit 54
Perkebunan HTI 37
Tanaman semusim/alang-alang 2
Sumber data: Hairiah et al. (2001)

SUMBANGAN WANATANI KARET TERHADAP


PRODUKSI KAYU DAN PEMBANGUNAN DESA
Bisnis kayu secara besar-besaran di masa reformasi menyebabkan semakin
berkurangnya ketersediaan kayu dari hutan alam. Di Kabupaten Bungo, pada
2003 - 2004 permintaan kayu keras misalnya kulim, keranji, dan kempas (K3)
untuk diekspor ke Taiwan meningkat tajam. Jenis-jenis kayu tersebut banyak
dijumpai di dalam lahan wanatani karet. Kondisi ini memberi peluang bagi petani
BAGIAN 3-4 • Ratna Akiefnawati, Gede Wibawa, Laxman Joshi dan 213
Meine van Noordwijk

karet untuk mengembangkan jenis kayu tersebut dan menjadi sumber penyedia
kayu untuk kebutuhan ekspor.

Manfaat lain dari wanatani karet


rakyat adalah tumbuhnya petai
dan durian, yang hasilnya dijual
oleh anak-anak untuk menambah
pendapatan keluarga dan bahkan
biaya sekolah mereka. Kebiasaan
adat dalam masyarakat pedesaan
memang memperbolehkan anak-
© Laxman Joshi
anak mengambil buah-buahan,
asalkan pemilik kebun tidak
sedang menunggu kebun. Aturan
Usaha sampingan selain karet. Ibu-ibu dan
adat lainnya, durian tidak boleh
anak-anak bertugas menunggu durian yang
jatuh untuk dijual dipanen dengan cara memanjat.
Melainkan, menunggu hingga
buah durian tersebut jatuh ke tanah dengan sendirinya.

Wanatani karet mempunyai fungsi ekonomi penting bagi masyarakat pedesaan


dan dapat memberikan pemasukan pembangunan desa melalui produksi langsung
maupun tidak langsung yang berhubungan dengan pengumpulan, pemrosesan
dan pemasaran produksi karet.

DUKUNGAN BAGI PENINGKATAN


PRODUKTIFITAS KARET RAKYAT
ICRAF bersama mitra1 mencoba berbagai sistem wanatani karet yang
memperhatikan kebutuhan petani dan kendala yang dihadapinya, terutama dalam
aspek finansial (biaya pembangunan dan pengelolaan) dan keragaman hayati.
Sistem tersebut adalah:

• RAS 1: Prinsipnya setara dengan pola pengelolaan wanatani karet yang


sangat ekstensif dan biaya rendah, namun bahan tanam karet klon unggul.
• RAS 2: Sistem wanatani intensif, tumpangsari karet dengan tanaman
pangan, tanaman buah-buahan, dan pohon penghasil kayu. Tanaman pangan
diusahakan pada dua-tiga tahun pertama dengan cara intensif.
1 Mitra ICRAF dalam proyek SRAP adalah CIRAD Perancis, GAPKINDO, BPS – Palembang.
214 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

• RAS 3: Setara dengan RAS 2 namun pola ini didesain untuk daerah marjinal
dengan vegetasi utama alang-alang. Tanaman sela yang dipilih adalah jenis
yang cepat tumbuh, menutup tanah dengan baik, sehingga menghambat
tumbuhnya alang-alang.

ICRAF bekerjasama dengan Pusat Penelitian Karet Balai Penelitian Sembawa


Palembang menyelenggarakan pelatihan bagi petani karet di beberapa desa di
Kabupaten Bungo. Materi pelatihan adalah dinamika kelompok yang bertujuan
membangun dan membentuk kerjasama anggota dalam kelompok tani karet, agar
dapat saling menghargai serta menguatkan rasa kebersamaan untuk memiliki
dan memelihara wanatani karet. Selain itu, forum itu juga digunakan untuk
memperkenalkan berbagai klon karet yang berpotensi menghasilkan getah dan
kayu, teknik memperbanyak bibit karet dan cara memelihara kebun pembibitan.
Itu masih ditambah dengan memberikan pengetahuan teknis cara mengendalikan
penyakit yang sering merusak tanaman karet dan teknik penyadapan karet yang
benar. Juga diperkenalkan sistem wanatani karet sebagai salah satu cara lain
bertanam karet selain monokultur.

PRODUKTIVITAS WANATANI KARET


Selama 10 tahun, ICRAF bersama mitra dalam proyek Smallholder Rubber
Agroforestry System (SRAS) mencoba sistem wanatani karet di Kabupaten Bungo
dan Tebo, Propinsi Jambi. Pengelolaan sistem ini seperti kebun karet rakyat,
tetapi menggunakan bahan tanam karet yang dipilih dari klon karet produktivitas
tinggi.

RAS Tipe 1
Prinsipnya mirip dengan pola pengelolaan hutan karet yang sangat ekstensif.
Namun bahan tanam karet berupa klon unggul yang mempunyai produksi tinggi.
Diharapkan di masa mendatang (setelah lima tahun penanaman) akan tumbuh
vegetasi alami yang mempunyai nilai ekonomi di antara barisan karet.

Ternyata, minimnya pemeliharaan kebun, seperti penyiangan hanya pada barisan


karet saja (jarak tanam karet normal 6 m x 3 m) serta pemupukan urea selama tiga
tahun pertama 200 g/pohon/tahun dan SP36 115 g/pohon/tahun, dapat membuat
karet klonal tumbuh optimal pada kondisi wanatani (Gambar 22). Klon PB260
dan RRIC100 dapat tumbuh dengan baik dan mempunyai tingkat produksi yang
BAGIAN 3-4 • Ratna Akiefnawati, Gede Wibawa, Laxman Joshi dan 215
Meine van Noordwijk

tinggi daripada klon karet lain yang dicoba di kebun-kebun karet milik petani (on-
farm), ada empat klon: RRIC100, PB260, RRIM600, BPM1 yang dibandingkan
dengan karet cabutan (karet seedling Gambar 23).

Lilit batang karet klonal tersebut rata-rata membesar lebih cepat dibanding
karet lokal. Sehingga umur penyadapannya lebih cepat (standar bukaan sadapan
pertama bila lilit batang karet >45 cm pada ketinggian 100 cm dari “kaki gajah”).
Sedang lokal lebih lambat memasuki usia sadap. Karet klon yang menggunakan
sistem RAS dapat disadap pada umur lima tahun setelah penanaman. Sedangkan
sistem karet monokultur dengan pemeliharaan intensif dapat disadap setelah
berusia empat tahun.

JAMBI

KALBAR

Jenis pupuk
Urea + SP 36
Urea + RP saat tanam
Urea saat tanam saja
Urea + SP 36 + KCL

Umur (bulan)

Gambar 22. Pengaruh pemberian pupuk terhadap pertumbuhan karet klon

KALBAR JAMBI
60 60
KALBAR
50 50

40 40

30 30
Klon Klon
20 BPM1 20 BPM1
PB260 PB260
10 RRIC100 10 RRIC100
RRIM600 RRIM600
Seedling Seedling
0 0
10 20 30 40 50 60 70 10 20 30 40 50 60 70
Umur (bulan) Umur (bulan)

Gambar 23. Grafik pertumbuhan tanaman karet


216 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Penyiangan satu meter kiri-kanan barisan pohon karet (semak atau perdu di antara
barisan karet yang berjarak empat meter tidak disiangi) minimal dua sampai tiga
bulan sekali pada dua tahun pertama dan setiap empat bulan sekali setelah itu.
Ini dapat mengurangi biaya pemeliharaan kebun. Penyiangan tumbuhan selektif
masih diperlukan untuk menghindari persaingan. Dianjurkan tingginya tidak
lebih dari dua meter dari tanaman karet.

Kotak 1. Pengalaman pembangunan kebun karet di Lubuk Beringin

Pada awalnya petani karet di Desa Lubuk Beringin, Kecamatan Batin III Ulu Bungo
tidak percaya pada bibit karet klonal. Pikir mereka, karet klonal membutuhkan
banyak pupuk. Apalagi, beberapa kebun karet klonal yang ada di desa itu memiliki
tingkat produksi sangat rendah. Bahkan, lebih rendah daripada produksi karet lokal.
Sehingga, banyak petani tidak bersedia menanam karet klonal.

Ada beberapa petani karet yang ingin memperbaiki produktivitas karet. Mereka
berminat melihat kebun demplot yang sudah dibangun oleh ICRAF di desa tetangga
(Rantau Pandan). Mereka juga berencana belajar membudidayakan karet klonal
dan menghitung biaya produksinya. Setelah mereka mendapatkan informasi yang
cukup dan tahu nilai produksi, para petani tersebut membentuk kelompok tani
untuk membangun pembibitan karet klonal. Tujuannya, menyediakan bibit karet
klonal yang berkualitas di desa dan sekitarnya dengan harga yang bisa dijangkau
oleh petani.

Keberadaan kelompok tani dan kebun pembibitan karet di desa menumbuhkan


keinginan masyarakat untuk meningkatkan produktivitas karet di kebun dengan
memperbaiki bahan tanam karet. Sebagian dari mereka mengusahakan bibit karet
dari biji untuk batang bawah dan bahan klonal untuk batang atas. Proses okulasi
mereka lakukan sendiri, sebelum bibit ditanam di kebun. Jika kita berkunjung ke
Desa Lubuk Beringin akan dengan mudah ditemukan hamparan anakan karet di
setiap pekarangan rumah penduduk.

RAS Tipe 2
Tipe ini adalah sistem wanatani dengan pola tumpangsari karet, tanaman pangan,
dan tanaman buah-buahan atau pohon penghasil kayu. Pengelolaan kebun RAS
tipe 2 ini sangat intensif karena kepadatan tanaman dalam kebun sangat tinggi.
Pertumbuhan karet akan lambat di kebun dengan kepadatan tanaman yang sangat
tinggi, seperti diperlihatkan dalam Gambar 24, di plot petani bernama Saer yang
keragaman tanamannya tinggi. Bila pengelolaan kebun sangat rendah, maka karet
BAGIAN 3-4 • Ratna Akiefnawati, Gede Wibawa, Laxman Joshi dan 217
Meine van Noordwijk

akan lambat tumbuh karena terganggu oleh tumbuhan pengganggu atau gulma.
Tanaman karet yang dikelola dalam kebun intensif dapat disadap mulai umur
lima tahun, lebih cepat setahun dibandingkan pada kebun yang jarang dikelola.
Naungan karet yang lebat juga membuat tanaman buah-buahan seperti rambutan,
nangka, dan duku tidak atau sulit berbuah.

50
45

40
35
30

25

20 Petani
M. Yani
M
P
B
1

15 0
6
2
B
P

Alias

© Ratna Akiefnawati
10 0
1
IC
R

Sabran
5
0
6
IM
R

Saer
Sapri
0
12 15 16 21 26 30 36 42 52 57

Umur (bulan)

Gambar 24. Grafik pertumbuhan lilit batang karet pada kondisi pemeliharaan kebun yang
berbeda (kiri); kepadatan vegetasi dalam kebun wanatani karet (kanan)

RAS Tipe 3
Tipe ini serupa dengan RAS 2, bedanya pola ini didesain untuk daerah marginal
dengan vegetasi utama alang-alang (Imperata cylindrica). Tanaman sela yang dipilih
adalah jenis yang cepat tumbuh dan menutup tanah dengan baik.

Dari percobaan ICRAF di Kalimantan Barat, pertumbuhan alang-alang dan


kirinyuh (Chromolaena sp.) dapat menghambat pertumbuhan karet. Maka untuk
mengontrol pertumbuhan alang-alang dapat ditanam kacang-kacangan seperti
kacang ruji (Pueraria sp.) dan koro benguk (Mucuna sp.) sehingga karet dapat
tumbuh dengan baik (Gambar 25). Sedangkan tanaman pagar seperti orok-
orok (Crotalaria sp.) dan hahapan (Flemingia sp.) dapat menjadi alternatif untuk
mengontrol alang-alang.

Yang perlu mendapat perhatian, tanaman cepat tumbuh (TCT) dapat menyaingi
pertumbuhan karet sehingga memperlambat waktu sadap karet, menjadi tiga
tahun lebih lama dibandingkan bila karet tumbuh pada plot kacang-kacangan
(Gambar 26).
218 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Puerari
Crotalaria+Gude
Mucuna+Gude
Flemingia+ Gamal
Chromolaena
Imperata

10 20 30 40 50 60 70 80

Umur (bulan)

Gambar 25. Grafik pertumbuhan karet pada masing-masing plot

Mucuna
Pueraia
Tanaman Cepat Tumbuh
Chromolaena
Imperata

10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Umur (bulan)

Gambar 26. Grafik pertumbuhan karet pada masing-masing plot


BAGIAN 3-4 • Ratna Akiefnawati, Gede Wibawa, Laxman Joshi dan 219
Meine van Noordwijk

Kotak 2. Produksi karet klonal tiga kali lebih tinggi daripada karet lokal

Produksi karet klonal tiga kali lebih besar dari produksi karet lokal. Matang sadap
karet klonal lebih cepat daripada karet lokal. Karet klonal dengan sistem wanatani
dalam lima tahun sudah memasuki masa sadap, sedangkan karet lokal bisa lebih
dari tujuh tahun. Dengan menanam karet klonal, petani karet dapat lebih cepat
mendapatkan penghasilan dari kebun karetnya.

30

25
KLON
20
BPM 1
15

© Ratna Akiefnawati
PB 260
10
RRIC 100
5
RRIM 600

0 Seedling
03

03

03

03
03
03
i 02

02

04

04
02

02

04
Agu

Des
Okt
Peb

Ju n

J un
A pr

Peb
Agu

D es

Apr
Okt
Ju n

Umur (bulan)

Gambar 27. Grafik produksi karet klonal tiga kali lebih besar dari produksi karet
lokal

KESIMPULAN
Karet klonal dapat tumbuh optimal pada kondisi wanatani karet. Klon PB260 dan
RRIC100 dapat menjadi pilihan untuk ditanam pada kebun karet rakyat. Selain
itu produksi karet klonal tiga kali lebih besar dari produksi karet lokal.

Pemilihan pola tanam RAS disesuaikan dengan modal dan tenaga kerja petani.
Bila petani mempunyai modal yang pas-pasan dapat mencoba pola RAS 1. Tapi,
jika petani mempunyai modal yang cukup atau bahkan berlebih dapat mencoba
pola RAS 2. Sedangkan untuk mereklamasi lahan yang bermasalah dengan alang-
alang dapat mencoba pola RAS 3.

Sistem wanatani karet dengan pengelolaan kebun minimalis menjadikan kebun


karet menjadi tempat tumbuhnya beragam tumbuhan. Kondisi ini menguntungkan
bagi konservasi fauna dan flora. Juga, menguntungkan bagi petani karena bisa
mendapatkan penghasilan tambahan dari hasil buah-buahan atau pohon kayu.
Lingkungan wanatani karet juga menjadi rumah tinggal alternatif bagi fauna yang
mulai terancam punah karena kehancuran hutan, habitat hidup mereka.
220 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Keberadaan demplot dan kegiatan kunjungan lapangan petani yang didukung


ICRAF berdampak positif bagi petani karet Kabupaten Bungo. Pengetahuan petani
karet semakin bertambah dan tidak ragu lagi untuk bercocok tanam karet dengan
sistem wanatani karet. Aspek positif lainnya untuk meningkatkan produktivitas
karet rakyat, Gubernur Jambi melalui program kerjanya periode 2006-2010
mencanangkan peremajaan karet tua yang sudah tidak produktif seluas 310.000
ha se-Propinsi Jambi dengan menanam karet dari bahan tanam karet klonal yang
memiliki produktivitas tinggi.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penelitian ini berlangsung sejak 1995 hingga sekarang didanai oleh USAID
(melalui Smallholder Rubber Agroforestry Project (SRAP) periode 1996-1998);
DfID (periode 1998-2001). Kemudian dilanjutkan oleh proyek Smallholder Rubber
Agroforestry Systems (SRAS) yang didanai oleh Common Fund for Commodities
(CFC), periode 2004-2007. Penulis menyampaikan terima kasih kepada seluruh
staf lapangan ICRAF Jambi yang bekerja keras memfasilitasi petani karet, rekan-
rekan peneliti yang bekerja di CIRAD, Balai Penelitian Sembawa-Palembang
atas saran-sarannya dan bantuan teknisnya, serta terima kasih yang mendalam
kepada seluruh petani yang tergabung dalam percobaan ini atas kesediaannya dan
ketaatannya mengikuti penelitian ini.

BAHAN BACAAN
Akiefnawati, R. 2003. Prospect of Smallholder Rubber Agroforestry System Project
in Jambi. Initiation Report on SRAP Project. ICRAF, Bogor, Indonesia.
BPS. 2003. Bungo dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bungo. Muara
Bungo. Indonesia
de Foresta, H. dan Michon, G. 1994. Orstom-Biotrop Cooperation Final Report
(September 1989 - June 1994). Orstom, Bogor, Indonesia.
Hairiah, K., Sitompul, S.M., van Noordwijk, M. dan Palm, C.A. 2001. Carbon
Stocks of Tropical Land Use Systems as Part of the Global C Balance:
Effects of Forest Conversion and Options for ‘Clean Development’
Activities. Dalam: van Noordwijk, M., Williams, S.E. dan Verbist,
B. (ed.) Towards Integrated Natural Resource Management in Forest
Margins of the Humid Tropics: Local Action and Global Concerns.
ASB-Lecture Notes 1 – 12. ICRAF, Bogor, Indonesia.
BAGIAN 3-4 • Ratna Akiefnawati, Gede Wibawa, Laxman Joshi dan 221
Meine van Noordwijk

ICRAF. 2005. Improving the Productivity of Rubber Smallholding through Rubber


Agroforestry Systems. Work plan for second reporting period January
– December 2005. World Agroforestry Centre (ICRAF), Indonesian
Rubber Research Institute, Prince of Songkla University (Thailand),
University of Helsinki, Kasetsart University (Thailand) dan CIRAD
(Perancis).
Joshi, L., Wibawa G., Vincent G., Boutin D., Akiefnawati R., Manurung G. dan
van Noordwijk M. 2002. Complex Rubber Agroforestry: Challenge for
Development. Booklet TFRI Extension Series No. 139.
Joshi, L. 2005. RUPES-Bungo Project Progress Report. Laporan Proyek RUPES,
tidak dipublikasikan.
Michon, G. dan de Foresta, H. 1995. The Indonesian Agroforest Model. Forest
Resource Management and Biodiversity Conservation. Dalam: Halladay,
P. dan Gilmour, D.A. (ed) Conserving Biodiversity Outside Protected
Areas: The Role of Traditional Agro-ecosystems. IUCN, Gland, Swiss
dan Cambridge, Inggris.
Tomich, T.P., de Foresta, H., Dennis, R., Ketterings, Q.M., Murdiyarso, D., Palm,
C.A., Stolle F., Suyanto, S. dan van Noordwijk, M. 2002. Carbon Offsets
for Conservation and Development in Indonesia. American Journal of
Alternative Agriculture 17:125-137.
van Noordwijk, M., Boutin, D., Wibawa, G. dan Joshi, L. 2002. Options
for Smallholder Rubber Producers to Increase Productivity while
Maintaining ‘Forest Functions’. Asia Rubber Markets Conference, 28-
29 October 2002, Kuala Lumpur, Malaysia.
Wibawa, G., Boutin, D. dan Budiman, A.F.S. 1999. Alternatif Pengembangan
Perkebunan Karet Rakyat dengan Pola Wanatani. Dalam: Drajat, B.,
Supriyadi, M., Gunawan, A., Fadjar, U. dan Nancy, C. (ed.) Prosiding
Lokakarya dan Ekspose Teknologi Perkebunan, 26-28 Oktober 1999,
Palembang. Pusat Penelitian Karet, Balai Penelitian Sembawa dan
Asosiasi Penelitian Perkebunan, Sembawa, Indonesia.
Wibawa, G. 2005. Meningkatkan Produktivitas Karet Rakyat melalui Sistem
Wanatani Berbasis Karet. Makalah disampaikan pada Forum Diskusi
Multipihak Pengelolaan Sumberdaya Alam Kabupaten Bungo. Bappeda
Bungo, Muara Bungo, Indonesia.
BAGIAN 3-5
Pengayaan Jenis Wanatani Karet
dengan Meranti

Hesti Tata, Meine van Noordwijk, Saida Rasnovi dan Laxman Joshi
BAGIAN 3-5 • Hesti Tata, Meine van Noordwijk, Saida Rasnovi dan 223
Laxman Joshi

Laju deforestasi1 di Indonesia sangat memprihatinkan dan menjadi perhatian


dunia internasional. Konversi kawasan hutan untuk tujuan pembangunan sektor
lain seperti perkebunan dan transmigrasi, penebangan liar, dan perambahan
hutan, serta kebakaran hutan telah menjadi penyebab deforestasi. Akibatnya, luas
hutan di Kabupaten Bungo berkurang hingga 47% selama 3 dasawarsa terakhir.
Berdasarkan penafsiran citra Landsat ETM 2002, hutan yang tersisa seluas 28,6%
dari total luas Kabupaten Bungo; sedangkan lahan kebun karet (monokultur)
seluas 26,3%, kebun karet campur 12%, dan perkebunan kelapa sawit 12,9%
(Ekadinata, pers. comm.). Pada Gambar 28 disajikan peta pemanfaatan kebun
karet campur dan hutan di Kabupaten Bungo berdasarkan penafsiran citra Landsat
ETM pada 2002.

Gambar 28. Peta pemanfaatan lahan kebun karet campur di Kabupaten Bungo tahun 2002

Kabupaten Bungo terletak pada posisi geografis 1o08’-1o55’ LS dan 101o27’-102o30’


BT. Topografi Kabupaten Bungo bervariasi, yaitu berbukit di sebelah barat daya,
daerah kaki Gunung Kerinci, hingga sebagian besar dataran rendah dengan
ketinggian kurang dari 499 meter dpl (BPS Bungo, 2003).

1 Deforestasi adalah perubahan penggunaan lahan hutan menjadi bukan hutan, seperti lahan pertanian, pemukiman, logged area (bekas tebangan) dan
lahan terlantar (Sucof, 2003).
224 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Dataran rendah dan sepanjang aliran Sungai Batang Bungo dan Batang Tebo,
merupakan kawasan kebun karet yang telah ditanam oleh masyarakat Bungo
sejak awal abad 20-an. Karet menjadi sumber pendapatan utama bagi petani di
Kabupaten Bungo (Wibawa et al., 2005). Kebun karet campur merupakan sistem
wanatani kompleks, yaitu karet sebagai tanaman pokok hidup berdampingan
dengan pohon-pohon lain yang dibiarkan tumbuh secara alami sehingga
membentuk komposisi jenis multistrata dan keragaman jenis yang tinggi. Wanatani
karet juga menjaga keragaman jenis flora yang hidup di dalamnya (Gouyon et al.,
1993). Pada sistem ini, karet lokal ditanam dengan sistem sisipan, yaitu menanam
bibit stump karet lokal di celah-celah kebun. Pemeliharaan kebun dilakukan secara
ekstensif sehingga memungkinkan jenis-jenis tumbuhan lainnya tetap terpelihara
(Joshi et al., 2002).

Menilik luasan hutan alam yang semakin menurun dari tahun ke tahun, sementara
luasan kebun karet relatif stabil, maka kebun karet campur dengan pola penanaman
dan pengelolaan tradisional, dinilai dapat menjadi alternatif pelestarian lingkungan.
Wanatani karet memiliki komposisi jenis seperti hutan sekunder, sifat hidro-
orologi2 yang baik, mampu mencegah erosi serta mempertahankan keragaman
hayati (de Foresta dan Michon, 1994; Joshi et al., 2002).

Pengelolaan wanatani karet yang dilakukan secara lestari diharapkan memberikan


prospek yang baik untuk pengembangan hutan di masa depan. Untuk memperoleh
keuntungan ganda, baik kayu di masa datang dan hasil getah karet sebagai
pendapatan utama, menanam pohon penghasil kayu di kebun karet dengan cara
tumpangsari menjadi alternatif dalam pembangunan wanatani karet.

Makalah ini merupakan hasil percobaan pengayaan jenis di kebun karet dengan
meranti (Shorea spp.) di Kabupaten Bungo dan Tebo. Ini adalah bagian dari upaya
kecil dalam pembangunan usaha kayu rakyat (timber smallholder), dan bertujuan
untuk memaparkan peluang menanam meranti di kebun karet.

KEBERADAAN JENIS DIPTEROKARPA DI


WANATANI KARET
Kegiatan pengayaan jenis di kebun karet dengan meranti diawali dengan
penyediaan bibit meranti secara berkesinambungan. Bibit meranti dapat diperoleh
di hutan alam yang memiliki pohon induk meranti. Penelitian yang dilakukan di

2 Hidro-orologi adalah kemampuan lahan menangkap dan menahan air hujan (Soemarwoto, 1992).
BAGIAN 3-5 • Hesti Tata, Meine van Noordwijk, Saida Rasnovi dan 225
Laxman Joshi

tujuh lokasi di Kabupaten Bungo dan Tebo, Provinsi Jambi mendapatkan 24 jenis
anakan Dipterokarpa (tinggi ≥1 m dengan diameter ≤3 cm) beregenerasi di hutan
yang lokasinya berdekatan dengan wanatani karet. Berdasarkan kelimpahan jenis,
anakan Dipterokarpa termasuk urutan keempat paling melimpah dari 68 famili
lainnya. Pada tingkat marga, anakan Shorea adalah urutan kelima paling melimpah.
Sedangkan pada tingkat jenis, anakan merawan (Hopea nigra) dan meranti kalip
(Shorea parvifolia) adalah urutan kesembilan dan ke-13 paling melimpah yang
terdapat di hutan.

Di dalam wanatani karet ditemukan sebanyak 10 jenis anakan Dipterokarpa.


Kelimpahannya tidak sebanyak di hutan, yaitu hanya urutan ke-41 di antara 72
famili lainnya dengan jumlah individu sebanyak 68 jenis. Dua jenis di antaranya,
Tebalun (Parashorea aptera dan P. lucida), termasuk dalam kategori kritis menurut
kriteria IUCN/SSC sedangkan satu jenis yaitu mersawa (Anisoptera laevis)
termasuk kategori genting (Rasnovi, 2006).

Adapun pohon induk Dipterokarpa (diameter setinggi dada >20cm) di Kabupaten


Bungo hanya dijumpai pada plot hutan, tetapi tidak pada plot wanatani karet. Pada
plot hutan dengan luas total 0,32 ha dijumpai tiga jenis Shorea, yaitu meranti kalip
(S. parvifolia), meranti batu (S. leprosula) dan S. ovalis. Jenis-jenis Dipterokarpa
tingkat sapihan (tinggi >1.5 m, diameter setinggi dada <10 cm), hanya dijumpai
di kebun karet campur (luas total 0,08 ha) yaitu jenis Mersawa (A. costata) dan
Meranti batu (S. leprosula). Dari informasi ini diketahui bahwa keberadaan jenis
Dipterokarpa yang tumbuh alami di hutan maupun di kebun karet campur di
Kabupaten Bungo, relatif rendah. Selain itu, informasi fenologi (masa berbunga
dan berbuah) jenis-jenis Dipterokarpa sangat terbatas, sehingga menjadi tantangan
bagi pengembangan perbanyakan meranti di Kabupaten Bungo.

MOTIVASI PETANI KARET MENANAM KAYU DI


WANATANI KARET
Petani karet pada umumnya memahami bahwa ketersediaan kayu di masa depan
semakin terbatas. Dari hasil wawancara, semua responden (petani karet) setuju
menanam kayu harus dilakukan sejak dini untuk kebutuhan di masa datang.
Apalagi kayu meranti telah dikenal memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi.

Jumlah petani karet di Kabupaten Bungo yang memiliki pengalaman menanam


kayu di kebun karet masih sangat rendah. Hanya 12,5% responden yang sudah
menanam pohon kayu yaitu jati (Tectona grandis) di kebun karetnya dan tumbuh
226 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

dengan baik. Sebagian besar petani belum pernah menanam jenis-jenis pohon
kayu. Beberapa alasan tidak menanam jenis pohon kayu adalah disebabkan karena
biaya bibit yang relatif mahal dan minimnya informasi teknis (62,5%), masih dapat
dengan mudah menjumpai pohon kayu karena dekat dengan hutan (12,5%) serta
alasan pohon kayu akan mengganggu pertumbuhan karet dan produksi getah
(12,5%). Informasi teknis itu mencakup informasi mengenai jenis-jenis pohon
kayu serta aspek budidaya jenis-jenis pohon kayu, serta informasi penangkar bibit
jenis-jenis pohon kayu. Hal senada juga dikemukakan oleh Rossi (2004), petani
yang berkeinginan untuk menanam kayu namun terhambat oleh kelangkaan
informasi dan plot demonstrasi yang menjadi contoh bagi petani.

Kotak 1. Dipterocarpaceae

Dipterocarpaceae (Di = dua; ptero = sayap) atau Dipterokarpa adalah marga


(mengacu kepada family) pohon tingkat tinggi yang memiliki buah bersayap
dua sampai lima helai. Beberapa genera (mengacu kepada genus) yang termasuk
Dipterocarpaceae adalah Shorea, Dipterocarpus, Dryobalanops, Anisoptera, Vatica,
Parashorea, Hopea dan Cotylelobium merupakan genera penghasil kayu komersial
(Ashton, 1982) yang dikenal dalam nama lokal secara berturut-turut sebagai meranti
dan balau, kruing, kapur, mersawa, merawan, tebalun dan resak. Jenis Dipterokarpa
merupakan jenis yang mendominasi kanopi hutan tropika basah dengan tinggi
batang yang menjulang. Pada saat anakan, jenis-jenis Dipterokarpa adalah jenis
yang butuh naungan, namun ketika terbentuk celah, anakan Dipterokarpa akan
tumbuh dengan cepat. Saat mencapai usia dewasa, jenis-jenis Dipterokarpa
memiliki masa berbunga dan berbuah yang bervariasi antara satu hingga enam
tahun. Beberapa jenis Shorea, dan Hopea odorata di Bogor dilaporkan berbunga
setiap tahun, namun jenis S. leprosula berbunga setiap empat tahun bahkan lebih.
Biji Dipterokarpa merupakan benih rekalsitran, yaitu benih yang cepat kehilangan
viabilitasnya, atau daya kecambahnya menurun dengan cepat. Perbanyakan jenis-
jenis Dipterokarpa umumnya dilakukan dari bijinya dan dari anakan alam. Karena
keterbatasan musim berbuah, perbanyakan secara vegetatif atau stek pucuk dapat
menjadi alternatif dalam penyediaan bibit Dipterokarpa.

Semua responden yang terlibat dalam kegiatan percobaan pengayaan jenis


termotivasi karena meranti merupakan jenis kayu bernilai ekonomi tinggi serta
bibit meranti yang disediakan secara cuma-cuma. Dengan berkolaborasi dalam
percobaan ini, petani berharap untuk memperoleh tambahan pendapatan dan
tabungan di masa depan untuk keperluan anak cucu. Selain itu ada petani (25%)
yang berharap menjadi percontohan bagi petani lain karena meranti masih jarang
ditanam di kebun karet.
BAGIAN 3-5 • Hesti Tata, Meine van Noordwijk, Saida Rasnovi dan 227
Laxman Joshi

Pada sistem wanatani, karet yang menghasilkan getah berfungsi sebagai sumber
pendapatan utama, sedangkan pohon-pohon penghasil kayu berperan sebagai
tabungan untuk dimanfaatkan di masa depan. Kayu yang dihasilkan dari kebun
wanatani pada umumnya kurang berperan penting sebagai sumber pendapatan
masyarakat, meskipun keuntungan tak langsung dari pohon-pohon, yang berupa
jasa lingkungan, dapat mendorong peningkatan produksi kebun (Pasiecznik,
2006).

Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan lebih tertarik terhadap jenis-jenis


penghasil bukan kayu, seperti getah, damar, kemenyan dan rotan karena ekstraksi
atau pemanenan hasil jenis-jenis penghasil bukan kayu bersifat ramah lingkungan
dan tidak merusak pohon (Michon, 2005). Sebaliknya untuk hasil hutan kayu,
pohon harus ditebang dalam pemanenan. Selain itu, praktek pengelolaan,
peraturan dan kebijakan serta pemasaran jenis-jenis penghasil kayu berbeda dengan
penghasil bukan kayu. Kayu yang dipanen dari hutan yang dikelola oleh petani
pada umumnya digunakan untuk keperluan keluarga. Kayu yang dijual ke sawmill
atau depot kayu lokal dikenakan harga yang lebih rendah dari harga nasional,
namun demikian pemasaran kayu diakui dapat meningkatkan pendapatan petani
(Michon, 2005).

PERSIAPAN LAHAN WANATANI KARET


Petani melakukan seleksi pohon yang tumbuh di areal yang akan dibuka, sejak
awal pembangunan kebun karet. Pada saat membuka lahan (baik dari hutan,
wanatani karet tua, maupun sesap) dengan cara tebas bakar, pada umumnya
petani membakar pohon-pohon berdiameter besar yang tidak dapat diangkut
keluar, walaupun kayu tersebut bernilai ekonomi, karena alasan biaya ekstraksi
atau pemanenan yang tinggi (meliputi ongkos angkut, upah tenaga kerja, dan
sewa gergaji rantai). Petani hanya mengambil kayu yang mereka butuhkan untuk
keperluan sendiri untuk membangun rumah.

Dari hasil observasi di dua lokasi, jenis-jenis pohon kayu yang dimanfaatkan antara
lain kayu petaling (Ochanotachys amentacea), kulim (Scorodocarpus borneensis),
kayu kelat (Syzygium sp.), medang (Litsea spp.) dan meranti (Shorea spp.).
Namun tidak sedikit jenis-jenis bernilai yang tetap ditinggal dan dibakar pada saat
membuka lahan. Ketterings et al.. (1999) mengemukakan, sebagian besar petani
tidak lagi menjual kayu hasil pembukaan lahan karena alasan tingginya biaya
investasi. Walaupun dengan hanya menjual kayu karet, petani dapat menutup
seluruh biaya pembukaan lahan dan penanaman.
228 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Setelah membuka ladang dan menanam padi gogo, secara sengaja maupun
tidak sengaja petani menanam pohon-pohon buah, seperti petai dan jengkol.
Melimpahnya jenis yang tumbuh di kebun karet, diduga disebarkan oleh binatang
(babi hutan, simpai, burung, kelelawar, dan lain-lain) serta angin. Pohon yang
tumbuh ini selanjutnya dibiarkan tumbuh di kebunnya. Pengelolaan kebun karet
tradisional dengan intensitas penyiangan yang rendah menyebabkan berbagai
jenis pohon dapat tumbuh secara alami. Jenis-jenis pohon penghasil bukan
kayu umumnya lebih disukai petani dibandingkan jenis penghasil kayu, karena
produknya dapat dipanen setiap saat serta proses pemanenan yang lebih mudah
dibandingkan dengan memanen kayu. Jenis-jenis pohon bernilai ekonomi yang
ditanam maupun dibiarkan tumbuh alami di kebun karet, disajikan pada Tabel
19.

Tabel 19. Jenis-jenis komersial bukan karet yang ditanam dan tumbuh alami di kebun karet

Umur kebun Jumlah Jenis yang Jenis yang Jenis kayu yang
karet (tahun) responden ditanam tumbuh alami ingin ditanam
1-2 3 cempedak (2), petai (1), kulim mahoni (1), Jati (1)
jengkol (2), (1), petaling
nangka (1), (1), kabau (1),
durian (1) medang kuning
(1)
5 4 jengkol (3), pulai (1), medang sengon (2),
kopi (1), petai labu (1) mahoni (2), jati (1)
(1), kulit manis
(1)
>10 1 cempedak, petaling, jati, mahoni
durian medang labu,
pulai, jelutung
Keterangan: angka didalam tanda kurung (.) menunjukkan jumlah responden yang memberikan
keterangan

Pada Tabel 19 terlihat petani sangat berminat menanam jenis mahoni, jati dan
sengon, karena ketiga jenis tersebut cepat tumbuh dan harga kayu baik di pasaran.
Dengan menanam kayu yang cepat tumbuh, petani berharap untuk dapat meraih
keuntungan dari kayu yang ditanamnya dengan cepat. Tidak satupun responden
menyatakan berminat menanam meranti, walaupun meranti merupakan jenis
lokal di Kabupaten Bungo. Rossi (2004) mengemukakan meranti kurang diminati
karena menurut sebagian besar responden bibit meranti masih dapat mereka
jumpai di kebun karet tua, sehingga tidak perlu membeli.
BAGIAN 3-5 • Hesti Tata, Meine van Noordwijk, Saida Rasnovi dan 229
Laxman Joshi

PENANAMAN MERANTI DI WANATANI KARET

Lokasi Penanaman
Percobaan pengayaan jenis di kebun karet dengan meranti melibatkan delapan
orang petani, yang lahannya terpilih berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan
sebelumnya, yaitu serangkaian umur kebun karet yang dibuka dari hutan dan kebun
karet tua. Survei awal dilakukan ke calon lokasi kegiatan dengan merekam posisi
geografis menggunakan GPS, selanjutnya dilakukan pengecekan silang terhadap
peta pemanfaatan lahan Kabupaten Bungo dan Kabupaten Tebo berdasarkan hasil
penafsiran citra Landsat ETM yang tersedia di ICRAF-SEA.

Kebun karet terpilih terletak di enam desa yang tersebar di dua Kabupaten, yaitu
di Desa Sungai Alai, Kecamatan Tebo Tengah, Kabupaten Tebo Tengah (empat
petani), dan di Kabupaten Bungo, yaitu Desa Sepunggur, Kecamatan Bathin
II Babeko (satu petani), serta Desa Muara Kuamang, Desa Danau, dan Desa
Kotojayo, Kecamatan Pelepat Ilir (tiga petani). Plot hutan berlokasi di hutan
pendidikan Wanagama, Kabupaten Tebo.

Persiapan Bibit dan Tanam


Persiapan penanaman dilakukan pada akhir 2004, bukan saat musim raya
berbuah (mass fruiting) bagi jenis-jenis Dipterokarpa yang tumbuh di daerah
Bungo dan Tebo, walaupun teramati ada dua jenis Dipterokarpa yang sedang
berbuah di Bungo dan Tebo. Oleh karena itu, benih yang digunakan berasal dari
Arboretum Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam (P3H&KA) Bogor, meliputi
dua jenis meranti merah dan meranti putih (berturut-turut untuk S. selanica dan
S. lamellata). Benih disemai pada media tabur yang telah disterilkan. Bibit yang
telah berkecambah disapih ke dalam polybag dan diinokulasi jamur ektomikoriza
(lihat Kotak 2). Jamur ektomikoriza diinokulasi dengan cara memberikan spora
atau bagian tubuh buah jamur ke dalam media sapih dalam polybag, dekat dengan
akar tanaman. Sebagai perbandingan, sebagian bibit tidak diinokulasi dengan
ektomikoriza. Bibit dipelihara di persemaian di Desa Babeko hingga berumur tiga
bulan.

Pembersihan jalur tanam dilakukan dengan cara tebas jalur. Meranti ditanam
dengan sistem jalur yang menyisip di antara jalur tanam karet, dengan jarak tanam
dalam jalur tiga meter dan jarak antar meranti adalah lima hingga enam meter.
230 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Sampai dengan satu bulan setelah tanam, dilakukan penyulaman terhadap bibit
yang mati. Pada saat pengamatan pertumbuhan dilakukan pula penyiangan gulma
dengan sistem piringan.

Kotak 2. Mikoriza

Istilah mikoriza (mycorrhiza) dikemukakan pertama kali oleh A.B. Frank pada tahun
1885. Mikoriza adalah asosiasi antara jamur (mykes = miko = jamur), dengan akar
(rhiza = riza = akar) pohon tingkat tinggi. Hubungan antara jamur dan akar pohon
tersebut bersifat saling menguntungkan (mutualisme), yaitu jamur membantu
penyerapan unsur hara (terutama fosfor) dan air dari dalam tanah, sebaliknya pohon
inang menyediakan sumber karbon hasil fotosintesa untuk jamur (Harley, 1972).
Ektomikoriza merupakan bentuk khas hubungan jamur dari kelas Basidiomycetes
dan Ascomycetes, dengan pohon dari marga Dipterocarpaceae, Pinaceae (pinus),
Fagaceae (mempening), Casuarinaceae (cemara laut), dan beberapa jenis Myrtaceae
(ekaliptus) (Brundrett et al., 1996). Ektomikoriza dapat dikenali dengan mudah dari
akar pohon inang yang terinokulasi jamur, yaitu terbentuknya mantel jamur yang
menyelubungi akar, berwarna putih, kuning, coklat atau hitam.

Pertumbuhan Awal Meranti di Kebun Karet


Pertumbuhan awal dua jenis meranti, S. lamellata (L) dan S. selanica (S),
menunjukkan keduanya dapat tumbuh baik di kebun karet (Gambar 29).
Persentase tumbuh kedua jenis Shorea paling tinggi di kebun karet umur >10
tahun, sedangkan persentase terendah di kebun karet umur satu tahun yang
dibuka dari hutan. Kedua jenis Shorea yang ditanam di kebun karet umur satu
tahun (asal dari hutan) memiliki persentase hidup terendah (Gambar 30).

Sebaliknya, pada kebun karet umur satu tahun yang dibuka dari kebun wanatani
karet memberikan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan kedua jenis
Shorea. Di lokasi ini, padi yang ditanam setelah pembukaan lahan masih tetap
dibiarkan tumbuh menjadi semak hingga lebih satu tahun. Hal ini diduga
menyebabkan serangan hama babi sangat rendah. Pemberian pupuk pada pohon
meranti, dapat mempengaruhi pertumbuhan meranti. Sementara di lokasi lain,
pemupukan bukan perlakuan yang diberikan kepada pohon meranti.

Bibit meranti yang mati di kebun karet disebabkan karena serangan hama babi.
Walaupun babi tidak memakan bibit meranti, namun babi tetap menggali tanah
di sekitar bibit meranti. Ini perilaku alami babi dalam upaya mencari makanan
BAGIAN 3-5 • Hesti Tata, Meine van Noordwijk, Saida Rasnovi dan 231
Laxman Joshi

(Sibuea dan Tular, 2000). Dari


hasil pengamatan kerusakan
bibit banyak disebabkan karena
aktivitas drawning (mencabut
tanaman) dan digging (menggali
tanah), sehingga bibit tercabut
dari tanah dan patah. Serangan
babi banyak terjadi di kebun
karet yang terbuka, dan jalur
tanam bersih. Sebaliknya di
jalur tanam yang rimbun oleh
semak, serangan hama babi
kurang, bahkan di plot hutan
sama sekali tidak ada serangan
babi hutan. Namun di lain sisi,
© Hesti Tata

kebun karet yang rapat dengan


liana dan jenis-jenis pemanjat
(contohnya kirinyuh atau
Meranti di kebun karet umur 1 tahun yang dibuka Mikania) dapat mengganggu
dari kebun karet tua, Desa Koto Jayo, Kecamatan
Pelepat Ilir, pada kondisi plot 1 tahun setelah
pertumbuhan meranti. Pada
penanaman meranti kebun karet muda (umur
satu hingga dua tahun),
kerapatan semak relatif lebih
tinggi dibandingkan dengan kondisi semak di kebun karet umur lima dan >10
tahun. Lantai kebun karet muda menerima cahaya matahari yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kebun yang lebih tua, karena tajuk yang terbuka, sehingga
memicu pertumbuhan liana dan pemanjat yang bersifat mencari cahaya (light
demanding).

Perlakuan inokulasi tablet spora mikoriza berpengaruh terhadap pertumbuhan


tinggi bibit kedua jenis Shorea. Pertumbuhan terbaik pada meranti yang ditanam
di kebun karet umur satu tahun yang berasal dari RAF (Gambar 29). Sebaliknya,
kedua jenis Shorea yang ditanam di hutan, baik diinokulasi maupun tidak
diinokulasi mikoriza, memiliki pertumbuhan yang paling lambat. Hal ini diduga
disebabkan oleh tajuk hutan yang sangat rapat, sehingga intensitas cahaya matahari
yang masuk ke lantai hutan sangat rendah. Walaupun Shorea merupakan jenis
yang tahan naungan, namun tetap memerlukan intensitas cahaya matahari yang
cukup untuk pertumbuhannya. Pada kebun karet umur >10 tahun, pertumbuhan
tinggi tanaman S. selanica dan S. lamellata lebih rendah dibandingkan dengan di
kebun karet umur satu dan lima tahun. Intensitas penutupan tajuk di kebun karet
232 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

>10 tahun, lebih rapat dibandingkan dengan kebun muda (umur satu dan lima
tahun).

120.00

100.00
Persentase hidup (%)

80.00

60.00

40.00

20.00

0.00
RAF_1 RAF_5 Hutan_1 Hutan_5 Hutan_>10 Hutan

Asal kebun karet

LO L1 S0 S1

Gambar 29. Persentase hidup S. lamellata (L) dan S. selanica (S) umur satu tahun setelah
tanam yang diinokulasi mikoriza (1) dan tidak dinokulasi (0) di kebun karet umur 1, 5 dan >10
tahun yang dibuka dari hutan dan kebun karet campur (Rubber Agroforest atau RAF)

90.00

80.00

70.00
Tinggi tanaman (cm)

60.00

50.00

40.00

30.00

20.00

10.00

0.00
RAF_1 RAF_5 Hutan_1 Hutan_5 Hutan_>10 Hutan

Asal kebun karet

LO L1 S0 S1

Gambar 30. Pertumbuhan tinggi S. lamellata (L) dan S. selanica (L) umur satu tahun setelah
tanam yang diinokulasi mikoriza (1) dan tidak dinokulasi (0) di kebun karet umur 1, 5 dan >10
tahun yang dibuka dari hutan (H) dan wanatani karet (RAF)
BAGIAN 3-5 • Hesti Tata, Meine van Noordwijk, Saida Rasnovi dan 233
Laxman Joshi

Pada semua plot, pertumbuhan tinggi S. lamellata yang diinokulasi mikoriza


memiliki pertumbuhan yang lebih baik daripada S. lamellata yang tidak diinokulasi
mikoriza. Demikian pula dengan S. selanica, kecuali pada plot kebun karet campur
(RAF) 5, S. selanica yang tidak diinokulasi mikoriza pertumbuhan tingginya lebih
baik daripada yang diinokulasi. Ini mendukung berbagai studi pengaruh inokulasi
cendawan mikoriza kepada jenis-jenis meranti pada umumnya memberikan
pengaruh positif terhadap pertumbuhan awal meranti, baik di persemaian maupun
setelah ditanam di lapangan (Supriyanto et al., 1993; Smits, 1994; Aggangan et
al., 1998; Turjaman et al., 2005). Tetapi beberapa laporan mengemukakan bahwa
inokulasi ektomikoriza menghambat pertumbuhan tanaman (Colpaert et al., 1992;
Eltrop dan Marschner, 1996). Oleh karena itu perlu diperhatikan, pertumbuhan
tanaman tidak hanya dipengaruhi oleh faktor luar (berupa pemberian pupuk atau
inokulasi mikoriza), tetapi juga memperhatikan tahap perkembangan pohon itu
sendiri, baik umur maupun status nutrisinya (Corrêa et al., 2006).

TANTANGAN PENGAYAAN JENIS WANATANI


KARET DENGAN MERANTI
Ada dua tantangan pengayaan jenis wanatani karet dengan meranti: tantangan
teknis dan non teknis. Faktor teknis meliputi terbatasnya ketersediaan bibit
meranti dan serangan hama babi, serta terbatasnya informasi pengenalan jenis,
budidaya meranti di kebun karet (meliputi teknik penanaman dan pemeliharaan)
dan pemanenan kayu. Faktor non-teknis meliputi kebijakan pemerintah dan
perundang-undangan dalam pengelolaan dan pemanfaatan kayu dari kebun
campuran milik rakyat.

Meranti dapat ditanam di kebun karet dengan sistem wanatani yang ditanam di
antara pohon karet dengan memperhatikan aspek budidaya meranti dan karet.
Persaingan dalam penyerapan hara dan cahaya matahari antara tanaman pokok
karet dengan meranti dapat diatasi dengan mengetahui informasi teknis budidaya
kedua jenis. Pohon meranti memiliki model tajuk seperti mahkota (crown canopy),
sehingga tajuknya tidak akan menaungi pohon karet. Jika dibandingkan dengan
pohon mahoni yang memiliki model tajuk seperti payung, jenis mahoni dan karet
akan bersaing dalam mencari cahaya matahari. Persaingan penyerapan hara antara
meranti dengan karet dapat diatasi dengan mengatur jarak tanam yang sesuai.

Dalam budidaya meranti, jarak tanam awal yang umum diterapkan dengan jarak
3 x 3 m atau 2 x 3 m, yang bertujuan untuk membentuk batang pohon yang lurus.
Selanjutnya pada tahun kelima, dilakukan penjarangan pohon untuk mengurangi
234 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

persaingan penyerapan hara, sehingga pohon meranti terpacu untuk meningkatkan


pertumbuhan diameter batang. Pada kebun karet campur dengan meranti, jarak
tanam meranti dapat diatur sejak awal penanaman meranti, sehingga penjarangan
pada tahun kelima tidak perlu dilakukan. Dengan laju pertumbuhan diameter
meranti sebesar 1,8-2 cm/tahun, diharapkan kayu meranti dapat dipanen pada
umur 20-25 tahun.

Penyediaan bibit meranti merupakan tantangan sekaligus peluang bagi petani


untuk mengembangkan usaha perbanyakan bibit meranti secara vegetatif. Sumber
anakan meranti yang dijumpai di alam dapat diperbanyak melalui teknik stek
pucuk. Dengan bekerja sama dengan perguruan tinggi6 dan lembaga penelitian,
teknik perbanyakan tersebut dapat dipelajari dan diterapkan secara luas.

Berbagai faktor perlu dipertimbangkan oleh masyarakat dalam membangun


kebun wanatani berbasis karet dengan jenis-jenis penghasil kayu sebagai alternatif
penyedia kayu di masa depan. Berdasarkan aspek-aspek yang telah dijabarkan di
muka, mata rantai yang berkaitan dalam pembangunan wanatani karet dan jenis-
jenis penghasil kayu yaitu:
(i) Aspek budidaya pohon jenis-jenis penghasil kayu (dalam hal ini meranti)
yang meliputi: ketersediaan anakan yang tumbuh alami di kebun karet atau
kemudahan memperoleh bibit siap tanam, serta teknik penanaman dan
pemeliharaan pohon.
(ii) Perlindungan pohon terhadap serangan hama (ulat, serangga, simpai dan
babi) dan gangguan gulma (berupa liana dan pemanjat).
(iii) Manajemen kebun karet campur, yaitu meliputi sistem pengelolaan pohon
kayu di wanatani karet agar pohon kayu dapat tumbuh optimal hingga masak
tebang. Teknik pemanenan di kebun karet campur perlu diperhatikan untuk
meminimalkan dampak kerusakan akibat penebangan.
(iv) Kebijaksanaan pemerintah (tingkat pusat maupun daerah) dalam perundang-
undangan dan peraturan mengenai hak pemanfaatan kayu, pemanenan dan
Perdagangan kayu dari hasil pengayaan jenis di kebun milik petani.

Keterbatasan informasi yang disajikan dalam makalah ini adalah karena aspek yang
diteliti hanya satu bagian dari beberapa faktor yang terkait dalam pembangunan
usaha kayu rakyat. Untuk meningkatkan usaha kayu rakyat, diharapkan peran
lembaga penelitian (misalnya ICRAF-SEA dan P3H&KA) untuk menyediakan
informasi yang relevan guna mendukung praktek wanatani serta memberikan
teladan ilmiah bagi masyarakat petani, dengan mengkonversi hasil-hasil penelitian
ke arah pengembangan yang dapat diterapkan masyarakat luas.
BAGIAN 3-5 • Hesti Tata, Meine van Noordwijk, Saida Rasnovi dan 235
Laxman Joshi

Penyebarluasan informasi maupun alih teknologi dari lembaga penelitian kepada


masyarakat diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam
menanam kayu, terutama meranti di kebun karet, dalam rangka membangun
usaha kayu rakyat.

KESIMPULAN
Pengalaman menanam meranti di kebun dapat menjadi pembelajaran bagi petani
karet dalam memperkaya jenis di areal kebun karetnya. Meranti dapat ditanam di
kebun karet dengan sistem wanatani, dengan memperhatikan aspek budidayanya.
Kematian meranti disebabkan oleh serangan hama babi. Pertumbuhan meranti
tercepat dijumpai pada umur kebun karet satu tahun. Inokulasi mikroba simbion
ektomikoriza memberikan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan tinggi
S. selanica dan S. lamellata umur satu tahun, tetapi tidak berkorelasi dengan
persentase hidup.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penelitian ini didukung oleh NUFFIC-NFP Ph.D. scholarship dan ICRAF-SEA.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ratna Akiefnawati atas fasilitasi
penelitian dan Yatni atas bantuan dalam pengumpulan data di lapangan, serta
para petani yang bekerja sama dalam penelitian ini.

BAHAN BACAAN
Aggangan N.S., Pollisco M.A.T., Iringan, D.S., Gilbero, D.M., Gilbero, J.S. dan
Bruzon, J.B.. 1998. Field Performance of Shorea contorta vid. Inoculated
with Eucalypt Ectomycorrhizal Fungi in Logged-over Dipterocarp Forest
in Surigao, Philippines. Mycorrhiza 7: 63-81.
Ashton, M.S. 1998. Seedling Ecology of the Mixed-Dipterocarp Forest. Dalam:
Appanah, S. dan Turnbull, J.M. (ed) A Review of Dipterocarps:
Taxonomy, Ecology and Silviculture. CIFOR and FRIM. CIFOR, Bogor,
Indonesia.
Ashton, P.S. 1982. Dipterocarpaceae. Flora Malesiana 1(9):237-552.
BPS Bungo. 2003. Bungo dalam Angka. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Kabupaten Bungo, kerjasama dengan Badan Pusat Statistik Kabupaten
Bungo. Muara Bungo, Indonesia.
236 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Brundrett, M., Bougher, N., Dell, B., Grove, dan N. Malajczuk. 1996. Working
with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. Australian Centre for
International Agricultural Research. Canberra, 374 hlm.
Colpaert, J.V., van Assche, J.A. dan Luijtens, K. 1992. The Growth of the
Extramatrical Mycelium of Ectomycorrhizal Fungi and the Growth
Response of Pinus sylvestris L. New Phytologist 120:127-135.
Corrêa, A., Strasser, R.J. dan Martins-Laução, M.A. 2006. Are Mycorrhiza Always
Beneficial? Plant and Soil 279:65-73.
de Foresta, H. dan Michon, G. 1994. Orstom-Biotrop Cooperation Final Report
(September 1989 - June 1994). Orstom, Bogor, Indonesia.
Eltrop, L. dan Marschner, H. 1996. Growth and Mineral Nutrition of Non-
mycorrhizal and Mycorrhizal Norway Spruce (Picea abies) Seedlings
Grown in Semi-hidroponic Sand Culture. I. Growth and Mineral
Nutrient Uptake in Plant Supplied with Different Forms of Nitrogen.
New Phytologist 133:469-478.
FWI. 2006. Statistik Kehutanan: Permintaan Kayu Provinsi. http://fwi.or.id/index.
php?lang=ina&link=statistik [diakses 10/04/2006]
FWI. 2006. Statistik Kehutanan: Produksi Kayu Propinsi 1995-2001. http://fwi.
or.id/index.php?lang=ina&link=statistik [diakses 10/04/2006].
Gouyon, A., de Foresta, H. dan Levang, P. 1993. Does ‘Junggle Rubber’ Deserve
its Name? An analysis of Rubber Agroforestry System in Southeast Asia.
Agroforestry System 22:181-206
Harley, J.L. 1972. The Biology of Mycorrhiza. Edisi ke-2. Leonard Hill-Books,
London, Inggris.
Joshi, L., Wibawa, G., Vincent, G., Boutin, D., Akiefnawati, R., Manurung, G.,
van Noordwijk, M. dan Williams, S. 2002. Jungle Rubber: a Traditional
Agroforestry System Under Pressure. ICRAF – the World Agroforestry
Centre, Bogor, Indonesia.
Ketterings, Q.M., Wibowo, T.T., van Noordwijk, M. dan Penot, E. 1999. Farmer’s
Perspectives on Slash-and-Burn as a Land Clearing Methods for Small-
Scale Rubber Producers in Sepunggur, Jambi Province, Sumatera,
Indonesia. Forest Ecology and Management 120:15-169.
Kompas. 2006. Hutan Jambi Tinggal 500.000 ha. Edisi Selasa, 24/01/2006.
Kuncoro, S.A., van Noordwijk, M., Martini, E., Saipothong, P., Areskoug, V.,
Putra, A.E. dan O’Connor, T. 2005. Rapid Agrobiodiversity Appraisal
(RABA) in the Context of Environmental Services Rewards: Protocols
for Data Collection and Case Studies in Rubber Agroforests in Bungo
District, Jambi, Indonesia and Fragmented Forest in Northern Thailand
(draft final). The World Agroforestry Centre, Bogor, Indonesia.
BAGIAN 3-5 • Hesti Tata, Meine van Noordwijk, Saida Rasnovi dan 237
Laxman Joshi

Lee, S.S. 1998. Root Symbiosis and Nutrition. Dalam: Appanah, S. dan Turnbull ,
J.M. (ed). A Review of Dipterocarps: Taxonomy, Ecology and Silviculture:
99-114. CIFOR and FRIM. CIFOR, Bogor, Indonesia.
Michon, G. 2005. Domesticating Forests: How Farmers Manage Forest Resources.
CIFOR-ICRAF, Bogor, Indonesia.
Rasnovi, S., 2006. Regenerasi Anakan Tumbuhan Berkayu pada Agroforest
Karet. Disertasi Program Studi Kehutanan. Sekolah Pascasarjana IPB,
Bogor, Indonesia.
Rossi, X. 2004. Intensification of Timber Production in Traditional Rubber
Agroforest Systems. Preliminary Report. Mastère de Foresterie Rurale et
Tropicale. (tidak dipublikasikan).
Sibuea, T.T.H dan Tular, B.B. 2000. Ekologi Babi Hutan dan Hubungannya dengan
Sistem Agroforest Karet Tradisional di Propinsi Jambi, Sumatera. ICRAF-
SEA, Bogor dan University of Wales, Bangor. (tidak dipublikasikan).
Smits, W.T.M. 1994. Dipterocarpaceae: Mycorrhiza and Regeneration. Tropenbos
Series 9. Tropenbos Foundation. Den Haag.
Soemarwoto, O. 1992. Peranan Hutan Tropik dalam Hidro-orologi, Pemanasan
Global dan Keanekaan Hayati. Dalam: Lubis, M. (ed.) Melestarikan
Hutan Tropika. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Sucoff, E. 2003. Deforestation. Dalam: Environmental Encyclopedia. Gale,
Detroit.
Supriyanto, Setiawan, I. dan Omon, R.M. 1993. Effect of Scleroderma sp. on the
Growth of Shorea mecistopteryx Ridl. Seedlings. Dalam: Proceedings of
Yogyakarta Workshop, September 20-23, 1993. Yogyakarta:186-188.
Tompsett, P.B. 1998. Seed Physiology. Dalam: Appanah, S. dan Turnbull, J.M.
(ed). A Review of Dipterocarps: Taxonomy, Ecology and Silviculture:
57-72. CIFOR and FRIM. CIFOR, Bogor, Indonesia.
Turjaman, M., Tamai, Y., Segah, H., Limin, S.H., Cha, J.Y., Osaki, M. dan Tawaraya,
K. 2005. Inoculation with the Ectomycorrhizal Fungi Pisolithus arhizus
and Scleroderma sp. Improves Early Growth of Shorea pinanga Nursery
Seedlings. New Forest 1:67-73.
WARSI. 2003. Kemampuan Bahan Baku dan Industri Kayu Tak Mungkin
Dipertahankan. Siaran pers WARSI, 4 Oktober 2003. http://www.warsi.
or.id/News/2003/News_200310_TemuNGO.htm [diakses 10/04/2006].
Whitmore, T.C. dan Tantra, I.G.M. 1986. Tree Flora of Indonesia Check List for
Sumatera. Forest Research and Development Centre, Bogor, Indonesia
Wibawa, G., Boutin, D. dan Budiman, A.F.S. 1999. Alternatif pengembangan
perkebunan karet rakyat dengan pola wanatani. Dalam: Drajat, B.,
Supriyadi, M., Gunawan, A., Fadjar, U. dan Nancy, C. (ed). Prosiding
Lokakarya dan Ekspose Teknologi Perkebunan. Palembang, 26-28
238 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Oktober 1999. Pusat Penelitian Karet, Balai Penelitian Sembawa dan


Asosiasi Penelitian Perkebunan, Sembawa, Indonesia.
Wibawa, G., Hendratno, S. dan van Noordwijk, M. 2005. Permanent Smallholder
Rubber Agroforestry Systems in Sumatera, Indonesia. Dalam: Palm, C.A.,
Vosti, S.A., Sanchez, P.A. dan Ericksen, P.J. (ed). Slash and Burn: The
Search for Alternatives. Columbia University Press, New York (USA):
222-232.
Pasiecznik, N. 2006. The Potential of Chainsaw Milling outside Forests. The
Overstory. 171. http:// www.agroforestry.net/pubs [diakses 28/04/2006].
BAGIAN 3-6
Keragaman Jenis Anakan Tumbuhan Berkayu
pada Wanatani Karet: Pengaruh Umur dan
Intensitas Manajemen

Saida Rasnovi, Grégoire Vincent, Cecep Kusmana dan


Soekisman Tjitrosemito
240 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Indonesia, satu dari tujuh negara megadiversitas di dunia, memiliki tingkat


keragaman hayati yang tinggi: 11% jenis tumbuhan berbunga, 10% jenis mamalia,
16% jenis burung, 26% reptilia dan amfibia serta 25% jenis ikan laut dan air
tawar dari seluruh jenis yang ada di dunia (Kophalindo, 1995). Khusus untuk
Pulau Sumatera, terdapat 17 marga tumbuhan endemik (Whitten et al., 1987)
dan ribuan jenis yang non endemik. Di antara jenis tersebut terdapat 86 famili
yang terdiri dari 364 marga yang memiliki sekurang-kurangnya satu jenis pohon
yang berukuran besar dengan diameter ≥35 cm atau tinggi ≥20 m (Whitmore
dan Tantra, 1986). Kekayaan alam tersebut saat ini sedang menghadapi ancaman
kepunahan dengan berbagai sebab, baik pada tingkat lokal, regional maupun
global (Primack et al., 1998).

Salah satu faktor paling utama yang menyebabkan menyusutnya keragaman


hayati adalah karena hilangnya hutan tropis. Walaupun luas kawasan berhutan di
Indonesia pada 2005 adalah 93,92 juta ha yaitu nomor tiga terluas di dunia setelah
Brazil dan Zaire, namun laju pengurangannya saat ini sudah mencapai tingkat
yang mengkhawatirkan. Mulai sejak 1996 FWI/GFW (2002) memperkirakan laju
deforestasi di Indonesia mencapai 2 juta ha/tahun. Wanatani karet adalah salah
satu bentuk agroekosistem berbasis karet. Beberapa hasil penelitian menunjukkan
bahwa agroekosistem ini memiliki keragaman jenis liar baik tumbuhan maupun
hewan (Gouyon, et.al.,1993; Philippe, 2000; Beukema dan van Noordwijk, 2004;
Hendirman, 2005; Prasetyo, 2005). Vegetasi sistem ini cukup kompleks dan
biasanya disusun oleh tegakan pohon karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) sebagai
komponen utama dan berbagai jenis liana, herba dan pohon, baik yang tidak
disengaja dipelihara maupun yang sengaja dipelihara untuk maksud tertentu sebagai
penghasil buah, kayu bakar
maupun papan. Manajemen
wanatani karet umumnya
tidak intensif dan memiliki
struktur serta formasi
tegakan yang mirip dengan
hutan alam. Agroekosistem
yang mampu memadukan
fungsi ekonomi dengan
konservasi secara harmonis
seperti wanatani karet, bagi
© Saida Rasnovi

negara berkembang seperti


Indonesia, di mana upaya
konservasi sering berhadapan
Kebun wanatani karet dengan masalah sosial dan
BAGIAN 3-6 • Saida Rasnovi, Grégoire Vincent, Cecep Kusmana, 241
Soekisman Tjitrosemito

ekonomi, dapat menjadi salah satu alternatif untuk membantu menahan dan
menekan efek negatif hilangnya habitat akibat deforestasi yang disebabkan oleh
berbagai faktor dan aktor.

Tulisan ini merupakan ringkasan dari sebagian hasil penelitian yang bertujuan
untuk mengkaji potensi wanatani karet sebagai kawasan penampung dan
penyangga (buffer area) bagi jenis tumbuhan hutan. Penelitian ini dilakukan di
Kabupaten Bungo dan Tebo, Propinsi Jambi, Sumatera, di tujuh lokasi dalam tujuh
kecamatan yang berbeda. Ketujuh lokasi itu, Desa Muara Kuamang di Kecamatan
Pelepat, Desa Semambu di Kecamatan Sumay, Desa Rambah di Kecamatan Tanah
Tumbuh, Desa Rantau Pandan di Kecamatan Rantau Pandan, Desa Pulau Batu
di Kecamatan Jujuhan, Desa Sepunggur di Kecamatan Muara Bungo dan plot
permanen hutan BIOTROP di Pasir Mayang, Kecamatan VII Koto. Pada tulisan
ini pembahasan difokuskan pada kekayaan, keragaman, komposisi dan kesamaan
jenis anakan tumbuhan berkayu yang beregenerasi di wanatani karet dan hutan.
Selain itu juga dibahas pengaruh umur dan intensitas manajemen kebun terhadap
kekayaan, keragaman dan kesamaan jenis anakan tumbuhan berkayu yang
terdapat di wanatani karet dan hutan.

METODE PENGUMPULAN DATA

Survei Jenis Anakan


Survei jenis anakan dilakukan di wanatani karet dan hutan yang ada di sekitar
kebun wanatani karet. Untuk mengumpulkan data digunakan metode transek
yang dikombinasikan dengan sub-unit contoh berbentuk lingkaran. Besarnya
diameter sub-unit contoh adalah enam meter dan diletakkan di sepanjang garis
transek yang panjangnya 60 m. Anakan tumbuhan berkayu yang diambil sebagai
data adalah yang memiliki tinggi ≥1 m dan diameternya ≤3 cm, tidak termasuk
jenis liana. Jumlah minimal individu anakan selain karet untuk seluruh sub-
unit contoh pada satu transek yang sama adalah 200 anakan. Oleh karena itu,
jika dalam 10 sub-unit contoh tersebut belum mencapai jumlah minimal yang
ditetapkan, sub-unit contoh akan ditambahkan di sebelah kiri dan atau kanan
garis transek dengan jarak 10 m. Data yang didapatkan dari survei ini adalah jenis,
kelimpahan jenis serta indeks kekayaan dan keragaman jenis.
242 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Umur dan Intensitas Manajemen Kebun


Informasi umur kebun didapat dari hasil wawancara dengan petani pemilik dan
penyadap yang diperiksa silang dengan data dari citra satelit Landsat ETM dan
SPOT4 seri waktu 1973, 1988, 1993, 1999 dan 2000. Posisi geografi setiap plot
contoh direkam dengan GPS. Umur kebun dibagi menjadi empat kelas yaitu I
(<20 tahun), II (20-40 tahun), III (40-60 tahun) dan IV (>60 tahun).

Untuk manajemen kebun, intensitas pembersihan kebun (weeding) tidak


dimasukkan sebagai salah satu faktor dalam menentukan tingkat intensitas
manajemen. Hal ini karena umumnya petani menerapkan sistem tebas lorong1
untuk membersihkan wanatani karetnya. Kalaupun dilakukan penyiangan kebun
secara total, penyiangan tersebut dilakukan secara tidak teratur dan dalam selang
waktu yang lama sehingga petani tidak dapat memberikan jawaban yang pasti
saat diwawancarai. Oleh karena itu intensitas manajemen kebun ditentukan
hanya berdasarkan status sadapan dan kerapatan pohon karet/ha. Status sadapan
menggambarkan tingkat intensitas interaksi manusia dengan wanatani karet,
sedangkan proporsi pohon karet menggambarkan intensitas penggunaan lahan.
Ada tiga tingkat intensitas manajemen kebun, yaitu intensitas manajemen
tinggi (kebun disadap dan memiliki proporsi pohon karet >60%), manajemen
rendah (kebun disadap dan memiliki proporsi pohon karet ≤60%) dan tidak ada
manajemen (kebun sudah ditinggalkan dan tidak disadap lagi).

Komposisi, Kekayaan dan Keragaman Jenis Anakan


Tumbuhan Berkayu
Sebanyak 1.404 contoh spesimen anakan dikumpulkan dari 31 plot hutan dengan
luas total 0,88 ha. Dari spesimen tersebut diperoleh 646 jenis yang terdiri dari
68 famili dan 230 marga. Sedangkan di wanatani karet, sebanyak 2.108 contoh
spesimen anakan dikumpulkan dari 77 plot dengan luas total 2,35 ha dan
didapatkan 689 jenis anakan yang terdiri dari 72 famili dan 243 marga.

Tidak semua spesimen anakan tumbuhan berhasil diidentifikasi hingga ke tingkat


jenis. Hal ini terutama disebabkan spesimen anakan merupakan spesimen steril
yang hanya memiliki daun dan ranting saja, tidak ada organ bunga dan buah.
Padahal daun yang berasal dari anakan, terutama untuk famili tertentu, memiliki
ciri morfologi yang sangat berbeda dengan daun yang berasal dari tumbuhan

1 Kebun hanya dibersihkan di sekitar dan antar pohon karet untuk kemudahan menyadap, tidak dibersihkan seluruh kebun
BAGIAN 3-6 • Saida Rasnovi, Grégoire Vincent, Cecep Kusmana, 243
Soekisman Tjitrosemito

dewasa pada jenis yang sama. Dibutuhkan usaha yang cukup besar untuk
mengidentifikasikan semua anakan yang dihasilkan dari survei ini hingga nama
jenis untuk setiap anakan dapat ditentukan dengan benar. Tabel 20 memperlihatkan
jumlah anakan yang berhasil diidentifikasi pada berbagai tingkatan taksonomi.

Tabel 21 menyajikan beberapa indeks kekayaan dan keragaman jenis anakan pada
wanatani karet dan hutan. Sesuai dengan yang telah diperkirakan, plot di hutan
memiliki rata-rata kekayaan jenis dan indeks keragaman jenis anakan tumbuhan
berkayu yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanatani karet.

Tabel 20. Jumlah jenis anakan yang beregenerasi di hutan dan wanatani karet

Uraian Hutan Wanatani Karet


Jenis teridentifikasi lengkap 508 542
Jenis bertanda cf* 47 59
Jenis teridentifikasi level genus 86 81
Jenis teridentifikasi level famili 2 2
Morfo-spesies 3 5
Total jenis 646 689
* singkatan dari bahasa Latin confer = bandingkan (compare) yang berarti bahwa kata penunjuk jenis
masih perlu diperiksa lebih lanjut.

Tabel 21. Nilai minimum, maksimum dan rata-rata jumlah jenis, indeks kekayaan dan
keragaman jenis anakan per plot di hutan dan wanatani karet

Wanatani karet Hutan


Min Maks Rata-rata Min Maks Rata-rata
Jumlah jenis 35 129 65±18 a
44 148 90±28b
Rarefaction 20 81 53±13a 40 98 68±18b
Coleman
Indeks 1,18 4,23 3,19±0,52a 2,65 4,53 3,66±0,54b
Shannon (H’)
N1 Hill 3,2 66,8 26,7±12,1a 13,9 89,9 43±21,3b
Probabilitas 0,42 0,976 0,897±0,084a 0,839 0,982 0,935±0,043ab
Simpson
N2 Hill 1,72 41,8 14,33±8,18a 6,9 56,8 22,96±14,04b
(Resiprokal
Simpson)
Indeks Fisher 10,9 54,5 26,05±9,75a 16 79,5 41±19,12b
Angka yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% Tukey HSD
244 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Rarefaction Coleman adalah indeks untuk menduga kekayaan jenis pada suatu
tempat jika ukuran contohnya diseragamkan. Hal ini dimaksudkan untuk
menghilangkan kesalahan (bias) yang berasal dari ukuran contoh yang tidak sama.
Pada penelitian ini ukuran contoh diseragamkan berdasarkan jumlah individu,
yaitu per 200 individu anakan. Indeks Shannon (H’) hanya memberikan informasi
keragaman jenis anakan. Semakin besar nilainya, berarti semakin beragam jenis
anakan yang ada di tempat tersebut. Indeks N1 Hill menggambarkan jumlah
jenis paling dominan yang menentukan besarnya nilai H’. Jadi pada penelitian
ini, jumlah anakan yang paling dominan yang menentukan tingkat keragaman
H’ di hutan adalah sekitar 43 jenis dari total 646 jenis yang ada, sedangkan di
wanatani karet sekitar 27 jenis dari total 689 jenis yang ada. Nilai probabilitas
Simpson adalah peluang jika dua individu yang diambil secara acak dari satu
populasi merupakan spesies yang berbeda. Semakin tinggi nilainya semakin tinggi
keragaman jenis yang ada pada tempat tersebut. Sama halnya dengan N1 Hill,
N2 Hill atau resiprokal Simpson menggambarkan jumlah jenis paling dominan
yang menentukan besarnya nilai D (indeks Simpson). Sedangkan indeks Fisher
menggambarkan hubungan antara jumlah jenis dengan jumlah individunya.

Sebagai perbandingan, berikut dikutip hasil penelitian yang telah dilakukan pada
beberapa tempat di hutan tropika di kawasan Malaysia. Pada Hutan Penelitian
Pasoh Malaysia, indeks Fisher untuk pohon yang berdiameter 1-10 cm adalah
antara 105,1 hingga 127,2 (Davies et al., 2003). Di Barito Ulu Kalimantan Tengah,
indeks Shannon untuk pohon yang berdiameter ≥10 cm adalah 3.4 untuk hutan
sekunder tua dan 4,17 untuk hutan primer (Brearley et al., 2004). Sedangkan
di hutan pegunungan bawah yang belum terganggu di TN Gunung Pangrango,
anakan pohon pada tingkat semai (kecambah hingga tinggi ≤1,5 m) dan pancang
(diameter ≤10 cm dan tinggi >1,5 m) nilai H’ masing-masing adalah 2,8 dan 3,3,
sedangkan untuk hutan yang terganggu nilai H’ masing-masing adalah 2,7 dan 2,8
(Utomo, 2006).

Untuk mengetahui jenis anakan yang mendominasi di wanatani karet dan hutan
sekitarnya, dihitung indeks nilai penting (INP) yang didasarkan pada frekuensi
kehadiran dan kelimpahan jenis anakan (Tabel 22). Dari tabel tersebut terlihat
vegetasi anakan di wanatani karet tetap didominasi oleh anakan karet (H.
brasiliensis). Selain itu, jenis anakan yang mendominasi di wanatani karet adalah
jenis pohon kecil yang memiliki tinggi maksimum di bawah 10 m, yaitu jirak hutan
(Psychotria viridiflora), ribu-ribu (Anisophyllea disticha), sebekal (Fordia nivea),
pelangeh (Aporusa octandra), balek angin (Mallotus moritzianus), manis mato
(Leptonychia heteroclita) dan hidung anjing (Helicia robusta). Hanya kelat salam
BAGIAN 3-6 • Saida Rasnovi, Grégoire Vincent, Cecep Kusmana, 245
Soekisman Tjitrosemito

(Syzygium polyanthum) dan kedondong (Canarium patentinervium) yang termasuk


jenis pohon yang berbatang besar yang dominan di wanatani karet. Kedua jenis ini
sering dipakai untuk keperluan kayu bangunan dan pertukangan.

Keterangan: Garis vertikal pada kurva menggambarkan nilai standar deviasi

Gambar 31. Kurva akumulasi jenis anakan rata-rata di hutan (forest) dan kebun wanatani
karet (raf) berdasarkan penambahan plot contoh (a) dan individu anakan (b)

Sedangkan di hutan, selain didominasi oleh lima jenis pohon kecil seperti tapus
(Agrostitachys sp1), bantun (Koilodepas longifolium), tarak (M. moritzianus), arang-
arang (Diospyros wallichii) dan sebekal (F. nivea), juga terdapat lima jenis anakan
dominan lainnya yang merupakan pohon berukuran medium hingga besar,
yaitu kedondong (Santiria rubiginosa), bintangur (Calophyllum cf. pulcherrimum),
tampang (Artocarpus sp2), merawan (Hopea nigra) dan muara kepayang (Scaphium
macropodum). Kelima jenis tersebut termasuk jenis penghasil kayu perdagangan
penting bagi sektor kehutanan.

Pada tingkat marga, vegetasi anakan di hutan juga masih tetap dicirikan oleh jenis-
jenis dari marga yang umumnya memiliki batang yang berukuran besar seperti
meranti (Shorea), kedondong (Santiria), bintangur (Calophyllum), arang-arang/
kayu hitam (Diospyros), tampang (Artocarpus) dan kelat (Syzygium). Sedangkan di
wanatani karet, selain marga Hevea, marga lain yang mendominasi jenis anakan
umumnya adalah dari jenis pionir yang memiliki ukuran kecil hingga medium.
Tabel 22 berikut adalah 10 marga paling melimpah di hutan dan wanatani karet.
246 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Tabel 22. Sepuluh jenis anakan yang paling melimpah dan sering ditemui berdasarkan nilai
indeks penting di wanatani karet dan hutan

Urutan Wanatani Karet Hutan


jenis Jenis INP Jenis INP
1 Hevea brasiliensis (Euph.) 9,05 Agrostistachys sp1 (Euph.) 10,02
2 Psychotria viridiflora (Rub.) 6,56 Diospyros wallichii (Eben.) 7,77
4 Fordia nivea (Fab.) 4,07 Santiria rubiginosa (Burs.) 2,93
5 Aporusa octandra (Euph.) 3,86 Koilodepas longifolium (Euph.) 2,82
6 Leptonychia heteroclita (Sterc.) 3,73 Calophyllum cf pulcherrimum 2,52
(Clus.)
7 Mallotus moritzianus (Euph.) 3,19 Artocarpus sp2 (Mor.) 2,17
8 Syzygium polyanthum (Myrt.) 2,67 Mallotus moritzianus (Euph.) 2,03
10 Canarium patentinervium 2,61 Scaphium macropodum 1,73
(Burs.) (Sterc.)
Keterangan: Tulisan dalam kurung adalah singkatan nama famili (Burs. = Burseraceae, Clus. =
Clusiaceae, Dipt. = Dipterocarpaceae, Eben. = Ebenaceae, Euph. = Euphorbiaceae, Fab. = Fabaceae,
Mor. = Moraceae, Myrt. = Myrtaceae, Proteac. = Proteaceae, Rhiz. = Rhizophoraceae, Rub. = Rubiaceae,
Sterc.= Sterculiaceae).

Tabel 23. Sepuluh marga anakan yang paling melimpah dan sering ditemui berdasarkan nilai
indeks penting di wanatani karet dan hutan

Urutan Wanatani Karet Hutan


jenis Marga Kelimpahan Marga Kelimpahan
1 Hevea (Euph.) 1845 Agrostistachys (Euph.) 1024
2 Psychotria (Rub.) 1337 Diospyros (Eben.) 999
3 Syzygium (Myrt.) 1184 Syzygium (Myrt.) 495
4 Fordia (Fab.) 1033 Fordia (Fab.) 367
5 Anisophyllea (Rhiz.) 910 Shorea (Dipt.) 366
6 Aporusa (Euph.) 818 Santiria (Burs.) 336
7 Mallotus (Euph.) 793 Calophyllum (Clus.) 252
8 Macaranga (Euph.) 784 Koilodepas (Euph.) 225
9 Leptonichia (Sterc.) 705 Artocarpus (Mor.) 217
10 Archodendron (Fab.) 627 Mallotus (Euph.) 200
Keterangan: Tulisan dalam kurung adalah singkatan nama famili (Burs. = Burseraceae, Clus. = Clusiaceae,
Dipt. = Dipterocarpaceae, Eben. = Ebenaceae, Euph. = Euphorbiaceae, Fab. = Fabaceae, Mor. = Moraceae,
Myrt. = Myrtaceae, Rhiz. = Rhizophoraceae, Rub. = Rubiaceae, Sterc.= Sterculiaceae)
BAGIAN 3-6 • Saida Rasnovi, Grégoire Vincent, Cecep Kusmana, 247
Soekisman Tjitrosemito

Untuk tingkat famili, anakan meranti-merantian (Dipterocarpaceae) adalah urutan


keempat yang mendominasi vegetasi anakan di hutan. Berikut ini berturut-turut
adalah 10 famili paling melimpah di hutan, yaitu jarak-jarakan (Euphorbiaceae),
eboni-ebonian (Ebenaceae), kacang-kacangan (Fabaceae), meranti-merantian
(Dipterocarpaceae), jambu-jambuan (Myrtaceae), kenari-kenarian (Burseraceae),
manggis-manggisan (Clusiaceae/Guttiferae), medang-medangan (Lauraceae),
kopi-kopian (Rubiaceae) dan kenanga-kenangaan (Annonaceae). Sedangkan di
wanatani karet, vegetasi anakan didominasi oleh jenis dari famili jarak-jarakan
(Euphorbiaceae), kopi-kopian (Rubiaceae), kacang-kacangan (Fabaceae), jambu-
jambuan (Myrtaceae), bakau-bakauan (Rhizophoraceae), beringin-beringinan
(Moraceae), kelumpang-kelumpangan (Sterculiaceae), kenanga-kenangaan
(Annonaceae), kenari-kenarian (Burseraceae) dan Proteaceae.

DISTRIBUSI FREKUENSI JENIS ANAKAN


TUMBUHAN BERKAYU
Hutan tropis bercirikan melimpahnya jenis tumbuhan yang berfrekuensi jarang
dengan individu kurang dari sepuluh (Whitten et al., 1987; Hubbell, 2001; Turner,
2001). Pola ini juga ditemukan di hutan dan di wanatani karet seperti yang terlihat
pada Gambar 32.

Gambar 32. Distribusi jenis anakan berdasarkan frekuensi kehadiran dan kelimpahan di
hutan (a) dan kebun wanatani karet (b)

Kurva kelimpahan jenis di hutan dan wanatani karet membentuk kurva log normal
seperti yang terlihat pada Gambar 33.

Bentuk kurva log normal seperti ini mengindikasikan bahwa baik hutan maupun
wanatani karet merupakan kawasan yang luas, seimbang secara ekologis (mature)
dan menyediakan sumberdaya yang cukup bervariasi untuk mendukung tingginya
248 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

keragaman jenis yang terdapat di dalamnya. Hutan terlihat memiliki kekayaan


dan keragaman jenis sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan wanatani karet.

0,1000
Kelimpahan relatif

0,01000

0,00100
Tipe vegetasi
Hutan
0,00010
AFK
0 100 200 300 400 500 600 700
Urutan spesies berdasarkan kelimpahan

Gambar 33. Kurva distribusi kelimpahan relatif jenis anakan berdasarkan urutan kelimpahan
jenis pada hutan dan kebun wanatani karet (AFK)

Selama ini ada anggapan bahwa hutan tropis yang masih tersisa secara terpisah
membentuk “pulau-pulau kecil” yang terisolasi, sehingga akan mengakibatkan
laju kepunahan jenis menjadi semakin tinggi sesuai dengan teori biogeografi pulau
(Whittaker, 1998). Namun berdasarkan kurva kelimpahan jenis pada Gambar 33,
dapat dikatakan bahwa wanatani karet adalah sebuah kawasan yang berhubungan
dengan dan dipengaruhi oleh kawasan hutan yang ada di dekatnya melalui migrasi
(Hubbell, 2001). Oleh karena itu wanatani karet dapat berfungsi sebagai jembatan
atau koridor untuk menghubungkan antara satu kawasan hutan dengan kawasan
hutan lain pada suatu bentang alam yang kondisi hutannya sudah terfragmen
menjadi “pulau-pulau” sehingga efek negatif akibat fragmentasi hutan pada suatu
kawasan dapat dikurangi.

KEMIRIPAN JENIS ANAKAN TUMBUHAN


BERKAYU
Dari total 646 jenis anakan tumbuhan berkayu yang ditemukan beregenerasi
di hutan, sebanyak 405 jenis (62,69%) di antaranya ditemukan beregenerasi di
wanatani karet. Pada tingkat marga, dari total 230 marga yang ditemukan di
BAGIAN 3-6 • Saida Rasnovi, Grégoire Vincent, Cecep Kusmana, 249
Soekisman Tjitrosemito

hutan, 191 marga (83,04%) di antaranya terdapat di wanatani karet. Sedangkan


pada tingkat famili (keluarga), dari total 68 famili yang ditemukan di hutan, 64
famili (94,12%) di antaranya juga terdapat di wanatani karet. Akan tetapi jika
diasumsikan jenis anakan tumbuhan berkayu selain karet semuanya berasal dari
hutan, maka dapat dikatakan bahwa dalam wanatani karet dapat ditemukan
sekitar (688/929) x 100 = 74,06% jenis anakan tumbuhan berkayu hutan dalam
luasan 2,35 ha.

Kemiripan jenis anakan yang ada di hutan dengan di wanatani karet dapat dike-
tahui dengan mencari indeks kemiripan jenis. Pada tulisan ini indeks kemiripan
jenis yang dipakai adalah indeks kemiripan Jaccard yang didasarkan pada ada
tidaknya jenis. Dari Tabel 24 terlihat besarnya nilai indeks kemiripan jenis antara
wanatani karet dengan hutan adalah 0,44. Sedangkan untuk marga dan famili,
indeks kemiripannya berturut-turut adalah 0,68 dan 0,84.

Tabel 24. Indeks kemiripan jenis (IS Jaccard) antara hutan dengan wanatani karet

Uraian Jenis marga Famili


Jumlah jenis yang hanya ada di hutan 241 39 4
Jumlah jenis yang ada di hutan dan wanatani karet 405 191 64
Jumlah jenis yang hanya ada di wanatani karet 284 52 8
Total jenis 930 282 76
IS Jaccard antara hutan dengan wanatani karet 0,44 0,68 0,84

Gambar 34 membandingkan keberadaan dan kelimpahan jenis anakan tumbuhan


berkayu antara hutan dengan wanatani karet untuk 15 jenis anakan paling me-
limpah di hutan. Tidak ada satupun individu ditemukan di wanatani karet untuk
jenis tapus (Agrostistachys sp.1), kedondong (C. cf. pulcherrimum), merawan (H.
nigra), kayu minyak (Kokoona littoralis), kelat (Syzygium attenuata), meranti (Sho-
rea parviflora) dan kelat (Syzygium antisepticum) yang merupakan jenis dominan di
hutan pada urutan pertama, ketujuh, kesembilan, ke-10, ke-13, ke-14 dan ke-15.
Ketujuh jenis ini umumnya adalah pohon berukuran besar penghasil kayu Perda-
gangan, kecuali Agrostistachys sp. Sedangkan jenis sebekal (F. nivea), tarak (M.
moritzianus) dan kabau (Archidendron bubalinum) jumlahnya jauh lebih banyak
ditemukan di wanatani karet. Ketiga jenis ini merupakan pohon kecil dengan ket-
inggian tidak lebih dari 10 m.

Ada empat famili yang hanya ada di hutan tetapi tidak ditemukan di wanatani karet,
yaitu famili damar-damaran (Araucariaceae), jamuju-jamujuan (Podocarpaceae),
cendana-cendanaan (Santalaceae) dan gigil-gigilan (Saxifragaceae). Keempat
250 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

famili ini masing-masing hanya memiliki satu jenis yaitu damar (Agathis damara -
Araucariaceae), Podocarpus neriifolius (Podocarpaceae), Scleropyrum wallichianum
(Santalaceae) dan Polyosma integrifolia (Saxifragaceae). Semua jenis tersebut
memiliki ukuran batang yang besar dan merupakan penghasil kayu komersial
yang cukup penting. Sedangkan yang hanya ditemukan beregenerasi di wanatani
karet tetapi tidak ditemukan di hutan ada delapan famili, yaitu famili mangkok-
mangkokan (Araliaceae), Daphniphyllaceae, Dichapetalaceae, Gesneriaceae,
mali-malian (Leeaceae), sirih-sirihan (Piperaceae), Staphyllaceae dan jelatang-
jelatangan (Urticaceae). Umumnya anggota dari famili tersebut adalah jenis
tumbuhan berkayu yang berukuran kecil dan sering ditemui tumbuh di tempat
yang terbuka.

1200
Hutan
1000
AFK
800

600

400

200

um
a

2
i
1

um
hi

ve

tic
ra

a
a

um
s

sp
m

lis

at
sp

os

nu

lia
m
lic

ig
ni

ep
liu

rim

ra

nu
lin
in

us

du

ifo
an
al
ys

ia
ia

tis
o
fo
ig
sw

tz

rp

te
be
ch

er

rv
itt
rd

po
pe
gi

an
ub

at
ca
or

lch

pa
bu
al
ta

Fo
ro

ro
on

Ho
ar

to

um
um
sm
tis

on
py

ac
pu

ea
n
sl

Ar
iri
s

ro
ko

m
os

gi

gi
or
ro

tu
pa

cf
nt

nd

zy

zy
Sh
Ag

Ko
Di

lo

um
de
Sa

um

Sy

Sy
al

de
ilo

hi
M

yll

ie
ap
Ko

ch
ph

Sc

Ar
llo
Ca

Gambar 34. Lima belas jenis anakan paling melimpah di hutan dibandingkan dengan wanatani
karet

JENIS-JENIS ANAKAN TUMBUHAN BERKAYU


YANG DILINDUNGI DAN LANGKA
Beberapa jenis anakan yang beregenerasi di wanatani karet dan hutan ternyata
tergolong jenis yang dilindungi oleh perundang-undangan Indonesia. Jenis-jenis
tersebut adalah durian (Durio zibethinus), kulim (Scorodocarpus borneensis), balam
merah (Palaquium gutta) dan kemenyan (Styrax benzoin) yang ditemukan di hutan
dan juga wanatani karet, jelutung (Dyera costulata) dan bulian (Eusideroxylon
BAGIAN 3-6 • Saida Rasnovi, Grégoire Vincent, Cecep Kusmana, 251
Soekisman Tjitrosemito

zwageri) yang hanya ditemukan di hutan dan tembesu (Fagraea fragrans) yang
hanya ditemukan di wanatani karet. Semua jenis tersebut di atas ditetapkan sebagai
jenis yang dilindungi oleh SK Menteri Pertanian No. 54/Kpts/Um/2/1972.

Dalam usaha menarik perhatian dunia terhadap konservasi jenis yang terancam
punah, IUCN/SSC (World Conservation Union/Species Survival Commission)
menetapkan beberapa kategori keterancaman jenis. Berdasarkan kriteria yang
dibuat pada 1994, kategori keterancaman jenis tersebut adalah punah (extinct),
punah di alam (extinct in the wild), kritis (critically endangered), genting (endangered),
rentan (vulnerable), dan risiko relatif rendah (lower risk). Tabel 25 adalah jenis
anakan yang termasuk kategori terancam menurut kriteria IUCN yang terdapat
di hutan dan kebun wanatani karet.

Tabel 25. Jenis anakan dan nilai INP masing-masing jenis di hutan dan wanatani karet yang
termasuk kritis (critically endangered), genting (endangered) dan rentan (vulnerable) menurut
IUCN/SSC

Jenis Nama lokal Kategori INP INP


IUCN di hutan di wanatani karet
Dipterocarpus gracilis (Dipt.) Keruing Kritis 0,663 0,000
Dipterocarpus grandiflorus Keruing Kritis 0,109 0,000
(Dipt.)
Hopea nigra (Dipt.) Merawan Kritis 1,730 0,000
Parashorea aptera (Dipt.) Tebalun Kritis 0,644 0,024
Parashorea lucida (Dipt.) Tebalun Kritis 0,218 0,102
Shorea johorensis (Dipt.) Meranti Kritis 0,045 0,000
Anisoptera costata (Dipt.) Mersawa Genting 0,099 0,000
Anisoptera laevis (Dipt.) Mersawa Genting 0,625 0,024
Shorea bracteolata (Dipt.) Meranti Genting 0,045 0,000
Shorea leprosula (Dipt.) Meranti Genting 0,073 0,037
Vatica lowii (Dipt.) Resak Genting 0,064 0,000
Vatica stapfiana (Dipt.) Resak Genting 0,607 0,000
Agathis dammara (Arauc.) Damar Rentan 0,090 0,000
Eusideroxylon zwageri (Laur.) Bulian Rentan 0,520 0,000
Aglaia angustifolia (Meliac.) Langsat kero Rentan 0,136 0,000
Aquilaria malaccensis (Thym.) Gaharu Rentan 0,045 1,086
Gonystylus macrophyllus Ramin Rentan 0,000 0,190
(Thym.)
Keterangan: Tulisan dalam kurung adalah singkatan nama famili (Dipt. = Dipterocarpaceae, Arauc. =
Araucariaceae, Laur.= Lauraceae, Meliac. = Meliaceae, Thym. = Thymelaeaceae)
252 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Jenis keranji putih batang (Sindora sumatrana) dan ramin (Gonystylus acuminatus)
termasuk jenis endemik Sumatera yang terancam kelestariannya (UNEP-WCMC,
2006; Whitmore dan Tantra, 1986). Kedua jenis ini ditemukan di hutan sedangkan
di wanatani karet hanya ditemukan jenis keranji putih batang.

PENGARUH UMUR DAN INTENSITAS


MANAJEMEN KEBUN TERHADAP INDEKS
KEKAYAAN DAN KEMIRIPAN JENIS ANAKAN

Umur Kebun Wanatani karet


Nilai indeks kekayaan jenis rarefaction Coleman tidak meningkat secara konsisten
dengan meningkatnya umur kebun, yaitu 47, 49, 60, 52 dan 68 untuk kelas umur
I, II, III, IV dan hutan. Kurva akumulasi jenis berdasarkan kelas umur juga tidak
memperlihatkan pemisahan yang jelas (Gambar 35).

Keterangan: garis vertikal pada kurva menggambarkan nilai standar deviasi


Gambar 35. Kurva akumulasi jenis anakan pada hutan dan kebun wanatani karet berdasarkan
kelas umur (a) dan tingkat intensitas manajemen (b)

Sama halnya dengan indeks kekayaan jenis, nilai indeks kemiripan jenis antara
kelas umur dengan hutan juga tidak meningkat secara konsisten dengan semakin
BAGIAN 3-6 • Saida Rasnovi, Grégoire Vincent, Cecep Kusmana, 253
Soekisman Tjitrosemito

tuanya umur kebun, yaitu 0,183, 0,384, 0,361 dan 0,332 untuk kelas umur I, II,
III dan IV.

Hasil yang diperoleh ini berbeda dengan asumsi awal yang memperkirakan faktor
umur akan mempengaruhi dan berkorelasi positif dengan kekayaan jenis dan
kemiripan jenis dengan hutan sehingga dapat dipakai untuk memperkirakan
tingkat kekayaan jenis dan kemiripan jenis yang ada di dalamnya. Namun hal
ini dapat dimengerti karena wanatani karet tidaklah sama seperti halnya vegetasi
alami. Bagaimanapun pada wanatani karet, faktor manusia sebagai pengelola
sistem ini memegang peranan penting dalam pengaturan komponen maupun
proses yang terjadi di dalamnya.

Intensitas Manajemen Wanatani Karet


Dari Tabel 26 terlihat tingkat intensitas manajemen wanatani berbanding terbalik
dengan nilai indeks kekayaan jenis, yaitu semakin rendah tingkat intensitas
manajemen, indeks kekayaan jenis semakin meningkat. Kurva akumulasi jenis
berdasarkan tingkat intensitas manajemen memperlihatkan pola pemisahan yang
jelas, yaitu setelah kurva plot hutan terletak kurva untuk plot wanatani karet yang
sudah ditinggalkan dan tidak disadap lagi, setelah itu kurva plot wanatani karet
dengan intensitas manajemen rendah dan yang paling bawah adalah kurva untuk
plot wanatani karet dengan tingkat intensitas manajemen tinggi (Gambar 35b).
Akan tetapi dari hasil analisa ANOVA tidak terdapat korelasi yang nyata antara
intensitas manajemen dengan nilai indeks kekayaan jenis (p>0.05).

Sama halnya dengan nilai kekayaan jenis, pada Tabel 26 juga terlihat nilai indeks
kemiripan jenis antara hutan dengan tingkat intensitas manajemen kebun juga
meningkat dengan turunnya intensitas manajemen kebun.

Intensitas manajemen wanatani karet biasanya berkorelasi positif dengan tingkat


produktivitas getah karet yang merupakan sumber pendapatan langsung bagi
petani. Sementara keragaman hayati akan meningkat dengan turunnya intensitas
manajemen. Namun untuk kasus wanatani karet, produktivitas lahan tidak hanya
bersumber dari karet saja seperti halnya pada kebun monokultur. Gouyon et al.,
(1993) memasukkan komponen pendapatan yang berasal dari tanaman padi dan
tanaman semusim lainnya pada tiga tahun pertama, pohon buah, kayu bakar dan
kayu non karet selain pendapatan yang berasal dari getah karet dan pohon karet
untuk menghitung pendapatan petani wanatani karet.
254 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Tabel 26. Rata-rata nilai indeks kekayaan jenis, jumlah anakan yang dimiliki bersama dan nilai
indeks kemiripan jenis dengan hutan berdasarkan tingkat intensitas manajemen pada wanatani
karet (AFK)

Hutan dan tingkat intensitas Rata-rata Jumlah jenis Indeks kemiripan


manajemen kebun indeks yang dimiliki jenis dengan
kekayaan bersama hutan
jenis dengan hutan
Hutan 68 b - -
Tidak ada manajemen (AFK) 56 a 328 0,395
Manajemen rendah (AFK) 53 a 317 0,382
Manajemen tinggi (AFK) 48 a 221 0,298
Angka yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% Tukey HSD

Komunitas global secara tidak langsung juga mendapatkan manfaat dari wanatani
karet berupa jasa lingkungan. Sewajarnya manfaat yang diberikan tersebut juga
perlu dihargai dan dibayar dengan pantas kepada petani yang mempraktekkan
wanatani melalui sistem insentif (reward). Kesadaran untuk memperlakukan jasa
lingkungan sebagai barang publik yang tidak gratis (free) dapat membantu petani
wanatani karet mendapatkan haknya dengan adil.

Keanekaragaman hayati dalam agroekosistem bukanlah suatu hal yang mustahil


untuk dipadukan secara serasi dalam satu kawasan yang sama, sebagaimana yang
telah dibuktikan oleh para petani wanatani karet selama ini. Hanya saja diperlukan
suatu upaya perbaikan pada sistem ini guna meningkatkan fungsi ekonomi dan
ekologi sehingga fungsi tersebut dapat berjalan dengan optimal dan seimbang.
Dengan demikian praktek wanatani akan menjadi salah satu pilihan manajemen
lahan pertanian yang menguntungkan bagi semua pihak.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan
(1) Wanatani karet menampung sebanyak 405 jenis anakan tumbuhan berkayu
atau 62,69% dari total 646 jenis anakan yang terdapat di hutan dengan nilai
indeks kemiripan jenis Jaccard sebesar 0,44.
(2) Beberapa jenis anakan yang dilindungi oleh perundang-undangan Indonesia
dan jenis yang termasuk kelompok kritis, genting dan rentan menurut kriteria
BAGIAN 3-6 • Saida Rasnovi, Grégoire Vincent, Cecep Kusmana, 255
Soekisman Tjitrosemito

IUCN/SSC ditemukan beregenerasi di hutan dan beberapa di antaranya juga


ditemukan di wanatani karet.
(3) Kebun wanatani karet merupakan kawasan yang mature dan memiliki
sumberdaya yang beragam seperti halnya hutan alam sehingga mampu
mendukung keragaman jenis tumbuhan berkayu yang tinggi di dalamnya.
(4) Kekayaan jenis dan kemiripan jenis antara hutan dengan kebun wanatani
karet tidak dipengaruhi oleh umur kebun.
(5) Kekayaan jenis dan kemiripan jenis antara hutan dengan kebun wanatani
karet meningkat dengan turunnya tingkat intensitas manajemen kebun.

Rekomendasi
Untuk memaksimalkan peran wanatani karet sebagai kawasan penampung bagi
jenis tumbuhan berkayu hutan, peran manajemen oleh manusia sebagai pengelola
agroekosistem tersebut dapat ditingkatkan, misalnya melalui pengayaan jenis di
wanatani karet dengan jenis lokal yang berasal dari hutan sekitar yang memiliki
nilai tambah ekonomi dan juga konservasi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini didukung oleh Institut de Recherche pour le Développement (IRD)


dan World Agroferestry Centre (ICRAF) SEA. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Ratna Akiefnawati atas fasilitasi di lapangan. Juga kepada Endri Martini,
Jasnari, Suyitno dan Yatni atas bantuan dalam pengumpulan data, serta seluruh
petani yang bekerja sama dalam penelitian ini. Terima kasih juga penulis ucapkan
kepada Hubert de Foresta dan Meine van Noordwijk untuk saran yang diberikan
serta kepada semua pihak yang telah membantu.

BAHAN BACAAN
Beukema, R. dan van Noordwijk, M. 2004. Terrestrial Pteridophytes as Indicators
of a Forest-like Environment in Rubber Production Systems in the
Lowlands of jambi, Sumatera. Journal of Agriculture, Ecosystems and
Environtment 104:63-73.
Brearley, F.Q., Prajadinata, S., Kidd, P.S., Proctor J. dan Suriantata. 2004. Structure
and Floristics of an Old secondary Rain Forest in Central Kalimantan,
256 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Indonesia, and a Comparison with Adjacent Primary Forest. Forest


Ecology and Management 195:385-397.
Davies, S.J., Noor, N.S.M., la Frankie, J.V. dan Ashton, P.S. 2003. The Trees of
Pasoh Forest:Stand Structure and Floristic Composition of the 50-ha
Forest Research Plot. Dalam: Okuda, T, Manokaran, N., Matsumo, Y.,
Niiyama, K., Thomas, S.C., dan Ashton, P.S. (ed). Pasoh Ecology of a
Lowland Rain Forest in Southeast Asia. Springer, Tokyo, Jepang.
FWI/GFW. 2002. The State of The Forest: Indonesia. Forest Watch Indonesia dan
Global Forest Watch. Bogor, Indonesia dan Washington DC.
Gouyon, A., de Foresta, H. dan Levang, P. 1993. Does ‘Junggle Rubber’ Deserve
its Name? An Analysis of Rubber Agroforestry System in Southeast Asia.
Agroforestry System 22:181-206.
Hendirman, H. 2005. Studi Populasi Primata pada Beberapa Tipe Habitat di
Sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat. Skripsi (in prep).
Hubbell, S.P. 2001. The Unified Neutral theory of Biodiversity and Biogeography.
Princeton University Press. New Jersey.
Kophalindo. 1995. Atlas Keanekaragaman Hayati di Indonesia. Kantor Menteri
Negara Lingkungan Hidup RI dan KOPHALINDO. Jakarta, Indonesia.
Philippe, L. 2000. Assesment of Potential of Agroforest to Conserve Valuable
Timber Species. Internal Report. ICRAF. Unpublished.
Prasetyo, P.N. 2005. Keanekaragaman Jenis Kelelawar pada Agroekosistem Karet
di Sekitar Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat. Skripsi (in prep).
Primack, R.B., Supriatna, J., Indrawan, M. dan Kramadibrata, P. 1998. Biologi
Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Turner, I.M. 2001. The Ecology of Trees in the Tropical Rain Forest. Cambridge
University Press. UK.
UNEP-WCMC. 2006. Preliminary List of Threatened Trees of Sumatera. UNEP-
WCMC. http://www.unep-wcmc.org/index.html?http://sea.unep-wcmc.
org/latenews/emergency/fire_1997/tree3.htm~main.
Utomo, B. 2006. Peran Seed Bank Terhadap Regenerasi Hutan Kaitannya dengan
Invasi Tumbuhan Eksotik di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.
Whitmore, T.C. dan Tantra, I.G.M. 1986. Tree Flora of Indonesia: Check List for
Sumatera. Forest Research and Development Centre, Bogor, Indonesia.
Whittaker, R.J. 1998. Island Biogeography Ecology, Evolution and Conservation.
Oxford University Press.
Whitten, A.J., Damanik, S.J., Anwar, J. dan Hisyam, N. 1987. The Ecology of
Sumatera. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
BAGIAN 3-7
Keanekaragaman Hayati:
Jasa Lingkungan Wanatani Karet

Endri Martini
258 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Pendongeng dari negara mana pun akan menuturkan hutan sebagai hamparan
hijau dengan beragam pohon berukuran raksasa yang membawa suasana dingin
gelap mencekam di malam hari dan hijau indah menyegarkan di pagi hari,
ketika matahari menyeruak masuk ke lantainya. Diceritakan pula suara beragam
jenis binatang dari yang menakutkan sampai yang menakjubkan terlantun
dari dalam hutan tersebut. Sehingga hutan pada dasarnya akan digambarkan
dengan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya dan berinteraksi saling
menyeimbangkan satu dengan lainnya dalam sistem yang unik dan bermanfaat
bagi banyak pihak. Sistem yang ada di dalam hutan tersebut akan berjalan
beriring dengan sistem-sistem lain yang ada di bumi, sehingga akan tercipta
atmosfer yang menyehatkan jika keseimbangan sistem-sistem tersebut tetap
terpelihara.

Menjaga agar keanekaragaman hayati itu tetap pada takarannya, sehingga


keseimbangan sistem hutan khususnya dan bumi umumnya tetap terpelihara,
bukanlah perkara mudah. Ketika populasi manusia semakin bertambah,
keseimbangan alam pun bergeser. Eksploitasi hutan dan konversi lahan hutan
secara besar-besaran pun terjadi dengan dalih untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Deforestasi terjadi di mana-mana, terutama di hutan hujan tropis yang
memiliki keanekaragaman hayati bernilai ekonomis tinggi. Program-program
konservasi pun dilancarkan sebagai usaha memulihkan keseimbangan alam yang
terganggu dengan hilangnya atau berkurangnya populasi beberapa makhluk
yang ada di hutan dengan semakin menyempitnya habitat tersebut.

Deforestasi juga terjadi di hutan hujan dataran rendah Kabupaten Bungo,


Propinsi Jambi, Indonesia. Berdasarkan data citra Landsat 2002 yang dianalisa
oleh tim ICRAF dan IRD, 72,70% dari total luas Kabupaten Bungo tertutup oleh
hamparan hijau yang terdiri atas 28,40% hutan, 13,60% kebun karet campur,
dan 30,70% kebun karet monokultur (Tabel 27).

Studi dinamika penggunaan lahan dari 1973-2002 menunjukkan bahwa konversi


hutan ke bentuk tutupan lainnya di Bungo disebabkan oleh faktor eksternal
yang tidak terkontrol, terpengaruhi atau terkelola dalam skala analisa kabupaten
(pertumbuhan populasi, migrasi, peraturan pemerintah dan harga komoditas di
pasar internasional), maupun faktor internal yang terkontrol, terpengaruhi dan
terkelola dalam skala kabupaten (kepemilikan lahan, pembangunan infrastruktur
dan konsesi hutan) (Ekadinata dan Vincent, 2004; ibid, 2008).

Laju deforestasi yang cepat itu masih dapat sedikit terjaga oleh adanya sistem
kebun karet campur. Keunikan potensi sistem kebun karet campur dalam
BAGIAN 3-7 • Endri Martini 259

konservasi keanekaragaman hayati, mendorong tim ICRAF-IRD serta lembaga


lainnya melakukan beberapa studi dari 1994-2006.

Tabel 27. Persentase luas tutupan lahan di Kabupaten Bungo 1973-2002

Tipe Tutupan Lahan Proporsi dari Luas Lahan Total (%)


1973 1988 1993 1999 2002 2012*
Hutan 70,40 51,10 38,10 31,30 28,40 13,40
Kebun karet campur 15,70 16,60 19,40 18,80 13,60 10,60
Kebun karet monokultur 00,00 18,60 28,20 26,00 30,70 41,60
Lainnya (termasuk 13,90 13,70 14,30 23,90 27,30 34,40
permukiman)
Keterangan: * prediksi dari rata-rata perubahan yang terjadi per tahun pada tahun-tahun sebelumnya

Sumber: Hasil analisa Landsat Image 1973-2002 dengan menggunakan metode Object Based Classification
(Ekadinata dan Vincent, 2004)

KEBUN KARET CAMPUR


Kebun karet campur (rubber agroforest) merupakan salah satu bentuk sistem
polikultur yang sudah membudaya di masyarakat sejak ratusan tahun yang lalu.
Sistem tersebut, dikenal baik sebagai area hasil campur tangan manusia yang
menjadi tempat pengungsian dari banyak jenis tumbuhan dan hewan, terutama
dari hutan di sekitarnya yang terdegradasi akibat deforestasi.

Kebun karet campur itu umumnya dibentuk dari hutan, belukar ataupun sesap.
Metode tebas-tebang-bakar dilakukan untuk membuka lahan yang akan ditanami
padi, sayuran dan tanaman berumur pendek lainnya (selama 3 tahun pertama) yang
dikombinasikan dengan tanaman karet sebagai tanaman pokok (sekitar 700-1000
batang/ha) dan juga tanaman buah-buahan. Penebasan kebun (weeding) dengan
frekuensi minimal (setahun sekali atau lebih jarang lagi, hanya jika diperlukan)
menyebabkan dalam waktu 10-15 tahun cukup banyak jenis-jenis tumbuhan
lain beregenerasi secara alami dari bank benih yang ada di lantai kebun sebagai
warisan dari vegetasi awalnya, ataupun yang disebarkan oleh masing-masing agen
penyebarnya. Pada saat sadap pertama dan setelahnya, kebun dibersihkan untuk
membuat lorong sadap, anakan jenis-jenis pohon yang dianggap berguna oleh
petani dibiarkan hidup sedangkan yang dapat menganggu pertumbuhan karet
akan ditebas. Pemilihan jenis ini sangat dipengaruhi oleh pengetahuan botani
petani. Dengan frekuensi penebasan yang minimum, dalam waktu kurang lebih 30
260 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

tahun terbentuklah tegakan yang disebut dengan kebun karet campur, yang selain
berkontribusi sebagai sumber penghidupan masyarakat juga mengaktualisasikan
beberapa fungsi ekologis hutan.

KEANEKARAGAMAN HAYATI HUTAN DAN


KEBUN KARET CAMPUR
Kabupaten Bungo cukup beruntung memiliki hutan hujan tropis dataran rendah
(dengan ketinggian 100-400 m dpl) yang dimasukkan dalam hotspots keanekaragaman
hayati Sundaland oleh Lembaga Conservation International (CI) (Conservation
International, 2001). Sebagai salah satu hotspot, tingkat keanekaragaman hayati
yang dikandungnya sangat tinggi. Namun, keanekaragaman hayati hutan hujan
tropis dataran rendah itu pada umumnya memiliki nilai ekonomis yang cukup
tinggi, sehingga amat rentan terhadap kegiatan eksploitasi.

Kabupaten Bungo terletak di antara tiga taman nasional (TNKS di selatan,


TNBT di utara dan TNBD di timur) yang memungkinkan hutan dan kebun karet
campur di Bungo berfungsi sebagai koridor loncatan satwa liar dari dan menuju
ketiga taman nasional tersebut, dan juga sebagai bufferzone (daerah penyangga)
ketiga taman nasional (Gambar 36). Taman-taman nasional yang terkelola dengan
baik, akan mampu berkontribusi terhadap tingkat keanekaragaman hayati hutan
dan kebun karet campur di Bungo. Pada saat yang sama, juga akan berkontribusi
terhadap keseimbangan sistem tata air di sekitarnya termasuk untuk Bungo.

Tingkat keanekaragaman hayati kebun karet campur relatif tinggi, karena lokasinya
yang berdekatan dengan hutan. Di Kabupaten Bungo, kebun karet campur dan
hutan berlokasi dalam satu hamparan penutupan vegetasi yang biasanya dibatasi
oleh lajur kebun karet muda pada arah menuju hutan (Gambar 36). Umumnya
kebun karet campur berlokasi sekitar 100-1000 m dari permukiman pemiliknya,
berada dekat dengan sungai, dan dengan umur bervariasi dalam satu hamparan.
Sekilas, orang yang pertama kali masuk ke kebun karet campur akan menyangka
sedang berada di bawah naungan hutan sekunder yang sedang bersuksesi menjadi
hutan primer, karena di dalamnya terdapat jenis-jenis tumbuhan non-karet yang
membentuk struktur vegetasi unik yang mampu berkontribusi secara ekologis dan
ekonomis bagi masyarakat sekitarnya.
BAGIAN 3-7 • Endri Martini 261

Keterangan gambar: warna hijau untuk kebun karet agroforest dan warna ungu untuk hutan

Gambar 36. Kabupaten Bungo (Bungo district) yang terletak di antara tiga taman nasional di
Propinsi Jambi dengan tutupan lahan hutan yang berwarna ungu dan kebun karet campur yang
berwarna hijau muda yang diklasifikasikan dengan metode object based classification dengan
citra Landsat 2002

Tingginya tingkat keanekaragaman hayati kebun karet campur, mendorong


beberapa pihak untuk melakukan studi detail yang mengarah pada perwujudan
fungsinya sebagai ‘kawasan lindung’ hidupan hutan. Studi telah dilakukan
ICRAF-IRD sejak 2001 yang diawali dengan studi keanekaragaman tumbuhan
untuk menganalisa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi komposisi jenis
pepohonan di kebun karet campur (oleh Rasnovi dan tim pada 2001-2004
(Rasnovi, 2007), dan kemudian dilanjutkan dengan studi keanekaragaman fauna
yang ada di dalamnya. Pengambilan data pada setiap studi dilakukan di kebun
karet campur dan di hutan sebagai pembanding, dengan menggunakan metode
standar pada setiap fokus studinya.
262 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Flora
Berdasarkan hasil penghitungan, jumlah anakan jenis pohon (diameter <3
cm, tinggi >1 m) yang terdapat dalam 60 m transect variable area, yang diambil
dengan menggunakan plot circular (radius = 3 m) di sepanjang 60 m transek
menunjukkan bahwa hutan di Bungo masih memiliki keragaman jenis (species
diversity) per hektar yang lebih tinggi dibandingkan kebun karet campur (Gambar
37). Jika dibandingkan dengan hutan, Luas Bidang Dasar (LBDS)1 kebun karet
campur secara nyata lebih kecil dari hutan, sehingga dari tingkat keanekaragaman
hayati hutan masih lebih unggul dibanding dengan kebun karet campur.

Walaupun struktur vegetasi kebun karet campur berbeda dengan hutan, tetapi
bila dilihat dari kesamaan jenis yang ada di dalamnya, dari 971 total jenis pohon
pada tingkat anakan yang ditemukan selama studi dilakukan, 376 jenis merupakan
jenis yang ditemukan di hutan dan juga di kebun karet campur, yang biasa
disebut dengan share species. Jenis-jenis share species terutama didominasi oleh
famili Euphorbiaceae, Lauraceae dan Myrtaceae. Sebanyak 8 jenis dari familyi
Dipterocarpaceae (merupakan famili tumbuhan ciri khas hutan hujan dataran
rendah) juga ditemukan tumbuh secara alami di kebun karet campur (Anisoptera
laevis, Parashorea aptera, Parashorea lucida, Shorea acuminata, S. assamica, S.
leprosula, S. ovalis, S. macroptera).

Penyebaran biji 75% pohon share species, yang ditemukan berdasarkan data
sekunder, diperkirakan dilakukan oleh hewan, yaitu burung, primata dan kelelawar
sebagai penyebar primer dan kumbang tinja (dung beetles) yang berfungsi sebagai
penyebar sekunder atau tersier. Hal ini menunjukkan pentingnya keberadaan
hutan di sekitar kebun karet campur terutama untuk menjaga ketersediaan biji
jenis-jenis hutan yang bernilai penting dan dapat tumbuh secara alami di kebun
karet campur.

Jenis-jenis tumbuhan lainnya yang juga dapat ditemukan di kebun karet campur
antara lain adalah bunga bangkai (Amorphophallus titanum), gaharu (Aquillaria
malaccensis), jenis-jenis tumbuhan bernilai ekonomis tinggi untuk kayunya seperti
kempas (Koompassia malaccensis), keranji (Dialium indum), kulim (Scorodocarpus
borneensis), serta jenis-jenis tumbuhan obat seperti pasak bumi (Eurycoma
longifolia).

Tingkat keanekaragaman hayati di kebun karet campur tersebut antara lain


dipengaruhi oleh umur kebun dan juga vegetasi awal pada saat kebun dibuka.

1 Luas Bidang Dasar (LBDS) atau Basal Area, adalah rasio total luas penampang batang pohon pada ukuran 1,3 m dari pangkal pohon per 1 ha lahan
(m2/ha).
BAGIAN 3-7 • Endri Martini 263

Beberapa tipe pengelolaan kebun juga sangat berpengaruh seperti metode


penebasan atau pemeliharaan kebun dan peremajaan kebun. Peremajaan kebun
dengan menggunakan metode sisipan memiliki keuntungan ekologi yang cukup
besar, yaitu menjaga keragaman tumbuhan yang ada di kebun karet.

45

40

35
Batotal
30 Diversity

25

20

15

10
RAF Forest
Tipe Penutupan Lahan

Keterangan gambar: RAF=kebun karet campur; Forest=Hutan; BAtotal=Luas Bidang Dasar Total;
Diversity=Indeks Keanekaragaman Simpson

Gambar 37. Perbedaan tutupan vegetasi hutan dan kebun karet campur dilihat dari Luas
Bidang Dasar (BA total) dan keragaman jenisnya (Diversity) berdasarkan data yang dikumpulkan
dari 77 plot kebun karet campur dan 29 plot hutan di Kabupaten Bungo

Fauna
Hasil inventarisasi vegetasi yang dilakukan pada 2001-2004 di kebun karet campur
dan hutan di sekitar Kabupaten Bungo menunjukkan bahwa struktur vegetasi
kebun karet campur dapat membantu menyediakan tempat tinggal bagi sebagian
besar makhluk hidup yang dulunya hidup di dalam hutan. Kebun karet campur
bervegetasi lebat, sehingga dapat berfungsi sebagai daerah penyangga dan/atau
koridor loncatan (stepping stone corridor) satwa liar dari dan ke tipe vegetasi hutan
dan non-hutan. Untuk membuktikan hal tersebut telah dilakukan sejumlah studi
inventarisasi dan identifikasi jenis hewan di kebun karet campur sejak 2004-
2006.

Hasil wawancara dengan petani-petani yang memiliki pengetahuan lebih


tentang binatang mamalia, dipadukan dengan observasi langsung di lapangan,
264 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

menunjukkan bahwa kebun karet campur dapat menampung 31 jenis mamalia


yang menjadikan kebun karet campur sebagai (Calestreme, 2004):
1. Penyedia sarang dan makanan: untuk beruk (Macaca nemestrina), ciga
(Macaca fascicularis), babi (Sus scrofa) dan ungko (Hylobates agilis),
2. Area migrasi: nangoi (Sus barbatus), tupai jenjang (Callosciurus notatus dan
Callosciurus prevostii), kelelawar (Pteropus vampyrus),
3. Tempat hidup hewan langka karena perburuan: rusa (Cervus unicolor dan
Mutiacus muntjak), kancil (Tragulus javanicus), napu (Tragulus napu), landak/
bunjo (Hystrix brachyura), trenggiling (Manis javanicus),
4. Tempat hidup hewan langka karena perilakunya: kukang (Nyctecibus
coucang), lemur (Cynocephalus variegatus), beruang (Ursus malayanus),
5. Tempat hewan-hewan hutan mencari makan: tapir (Tapirus indicus), anjing
hutan (Cuon alpinus).

Fungsi kebun karet campur sebagai habitat hidup jenis-jenis mamalia tersebut
akan terpenuhi bila luas dan struktur vegetasi kebun karet campur sesuai
dengan karakteristik mamalia tersebut, dan masyarakat menerapkan praktek
pengelolaan kebun yang mengarah pada terciptanya penutupan vegetasi yang
hampir menyerupai hutan. Studi yang dilakukan oleh Calestreme pada 2004
untuk mamalia ditindaklanjuti dengan studi yang lebih detail tentang kelelawar
oleh Prasetyo pada 2005, primata oleh Hendarto pada 2005, kumbang tinja oleh
Hariyanto pada 2005 dan burung oleh Iqbal pada 2006.

Studi tentang kelelawar oleh Prasetyo (2007) berfokus pada famili Pteropodidae
(kelelawar pemakan buah), dengan tujuan untuk mengeksplorasi potensinya
sebagai agen penyebar biji dan sebagai penyerbuk beberapa jenis pohon hutan
yang penting dan hidup di kebun karet campur dan di hutan. Berdasarkan hasil
pengamatan di hamparan kebun karet campur, ditemukan 12 jenis kelelawar yang
terdiri dari 10 jenis pemakan buah (Megachiroptera) dan 2 jenis pemakan serangga
(Microchiroptera). Sedangkan di hutan hanya ditemukan 6 jenis kelelawar yang
terdiri dari 4 spesies Megachiroptera dan 2 spesies Microchiroptera.

Kelelawar jenis Balionycteris maculata, Megaeops ecaudatus, dan M. wetmorei


yang ditemukan di wanatani karet merupakan indikator bahwa vegetasi tersebut
mempunyai habitat yang hampir sama dengan hutan. Jenis Eonycteris spealea yang
ditemukan di kebun karet campur, umumnya dapat dijadikan sebagai indikator
akan dimulainya musim buah atau bunga. Kelelawar famili Hipposideridae yang
ditemukan pada kebun karet muda dan Rhinollophidae yang ditemukan di hutan,
merupakan pengendali kumbang Epilachna spp (Coccinelidae) yang merupakan
hama bagi tanaman padi.
BAGIAN 3-7 • Endri Martini 265

Sementara studi primata yang dilakukan Hendarto (2007) difokuskan pada 7 jenis
primata yang diharapkan dapat ditemukan di kebun karet campur berdasarkan
studi sebelumnya: ungko (Hylobates agilis), siamang (Hylobates syndactylus), kukang
(Nyctecibus coucang), simpai (Presbytis melalophos), beruk (Macaca nemestrina),
ciga (M. fascicularis) dan cingko (Trachypithecus cristatus). Hasil penelitian
menunjukkan hanya enam jenis primata yang dijumpai, sementara kukang tidak
dapat ditemukan pada saat pengamatan yang dilakukan pada pagi-sore hari.

Keenam primata tersebut berpotensi menjadi hama, namun juga dapat digunakan
sebagai indikator lingkungan yang menyerupai hutan. Simpai, ciga, beruk dan
lutung adalah primata yang berpotensi menjadi hama karena memiliki daya
adaptasi perubahan diet (menu makanan) yang cukup tinggi, selain itu kecepatan
berkembang biaknya lebih tinggi dibandingkan dua jenis primata lainnya.

Sedangkan keberadaan siamang dan ungko di suatu ekosistem dapat dijadikan


sebagai indikator lingkungan yang menyerupai hutan karena keduanya hanya
dapat ditemui pada tipe vegetasi dengan ukuran pohon yang besar (tinggi 18-30
m) dan kerapatan pohon yang mendukung pergerakannya. Lapisan tajuk yang
lebat digunakan siamang dan ungko untuk berlindung dan bersembunyi dari
gangguan predator. Siamang tidak ditemukan di kebun karet campur Bungo,
sedangkan ungko dapat dijumpai karena sumber makanannya yaitu buah dapat
ditemui di kebun karet campur dan karena ukuran tubuhnya yang lebih kecil dari
siamang, memudahkan untuk bergerak dan beradaptasi dengan kondisi struktur
vegetasi kebun karet campur.

Studi tentang kumbang tinja oleh Hariyanto (2007) dilakukan untuk melihat
potensinya sebagai indikator lingkungan, seperti yang juga telah dilakukan oleh
Harvey et al. (2006) di Costa Rica. Kumbang tinja sangat bergantung pada mamalia
besar, dan beberapa jenis kumbang tinja hanya memakan kotoran jenis-jenis
hewan tertentu saja serta sensitif pada perubahan lingkungan. Dengan penelitian
ini, diharapkan dapat diketahui keberadaan hewan-hewan langka yang biasanya
sulit ditemukan secara langsung. Dengan melihat keanekaragaman dan tingkat
keseragaman kumbang tinja, akan dapat diketahui kualitas lingkungan di lokasi
pengambilan, juga tingkat keanekaragaman hewannya. sebab meski demikian,
cukup sulit untuk menentukan jenis kumbang yang sensitif, sebab setiap daerah
memiliki variasi penyusun jenis yang berbeda dengan tingkat endemisitas yang
tinggi.

Pada studi kumbang tinja di hamparan kebun karet campur Kabupaten Bungo
terkumpul sampel kumbang sebanyak 6.486 individu, terdiri atas 3 famili
266 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

(Scarabaeidae, Trogidae dan Aphodiidae) dan 13 marga yaitu Paragymnopleurus


(8,26%), Sisyphus (42,86%), Phacosoma (0,45%), Panelus (0,17%), Catharsius
(5,91%), Copris (2,87%), Microcopris (2,37%), Oniticellus (0,05%), Yvescambefortius
(0,28%), Coccobius (4,32%), Onthophagus (29,68%), Aphodius (0,03%) dan
Trox (2,76%). Diperkirakan ada 46 jenis (morphospecies) kumbang tinja, 26 di
antaranya dari marga Onthophagus, 4 dari Copris dan Trox, 2 dari Microcopris dan
Oniticellus dan masing-masing 1 jenis untuk marga yang lain. Dari keseluruhan
kumbang tinja yang didapat, jenis yang hanya ditemui di hutan dapat digunakan
sebagai indikator perubahan habitat, yaitu Copris sp.AH, Onthophagus sp.AE,
dan Onthophagus sp.AL. Selain itu jenis Trox sp.AG, Copris sp.Q dan Copris sp.U
dapat digunakan karena cenderung ada pada tipe vegetasi menyerupai hutan.
Jenis Onthophagus sp.X dan Microcopris sp.E sama seperti Sisyphus lebih adaptif di
kebun karet dibandingkan hutan. Dominasi jenis Sisyphus spp. di suatu bentuk
penggunaan lahan menunjukkan bahwa pada ekosistem tersebut telah terganggu.
(Hariyanto, 2007).

Studi burung pun dilakukan untuk mengidentifikasi jenis-jenis burung yang


perlu dilindungi berdasarkan daftar burung langka di dunia, selain itu juga untuk
mengeksplorasi potensi burung sebagai penyebar biji jenis pohon hutan ke kebun
karet dan mungkin sebaliknya. Sebuah survei selama 12 hari (24 Januari - 4 Februari
2006) dilakukan di blok-blok kebun karet campur dusun Sungai Letung dan dusun
Sangi. Secara mengejutkan, terdapat lebih dari 100 jenis burung di kawasan ini
(walaupun tidak seluruh jenis tersebut benar-benar ditemukan di kebun karet
campur). Beberapa jenis burung yang dilindungi oleh Undang-Undang Republik
Indonesia terdapat dalam kawasan ini, tetapi yang paling mengejutkan adalah
ditemukannya sempidan biru (Lophura ignita) dan raja udang kalung biru (Alcedo
euryzona) yang menggunakan kebun karet campur ini sebagai tempat bertahan
hidup (survive). Kedua jenis burung ini termasuk spesies terancam punah di
seluruh dunia (globally threatened species) berdasarkan IUCN Redlist.

Fungsi Ekologis Kebun Karet Campur


Inventarisasi fauna dan flora menunjukkan bahwa keanekaragaman hayati yang
ada di kebun karet campur telah membentuk struktur yang mendukung beberapa
fungsi ekologis yang mirip dengan hutan. Fungsi ekologis hutan yang difungsikan
oleh kebun karet campur antara lain adalah pemelihara keseimbangan tata air,
oksigen dan persediaan karbon; serta pemelihara keseimbangan populasi hewan
yang berpotensi menjadi hama. Pohon, mamalia, kelelawar, primata, kumbang
tinja dan burung adalah aktor-aktor keanekaragaman hayati dengan fungsinya
masing-masing seperti yang tertera pada Tabel 28.
BAGIAN 3-7 • Endri Martini 267

Tabel 28. Ringkasan fungsi ekologis kehati kebun karet campur berdasarkan hasil studi detail
keanekaragaman hayati flora dan fauna dari 2001-2006 di Kabupaten Bungo

Taxa Fungsi ekologis keanekaragaman hayati kebun karet Kebun Potensi


hidupan campur karet menjadi
yang sebagai hama jika
diamati area keseim-
preservasi bangan
jenis hutan populasinya
terganggu
Penyebar biji Penyerbuk Penyubur Pemelihara
tumbuhan bunga tanah keseimbangan
dari hutan ke tata air,
kebun karet oksigen dan
campur persediaan
carbon (carbon
stock)
Pohon - - Tidak Ya Ya -
langsung
Kelelawar Ya Ya Tidak Tidak langsung Ya Belum
langsung
Primata Ya - Tidak Tidak langsung Ya Ada (misalnya
langsung simpai)
Kumbang Ya - Ya Tidak langsung Ya Belum
Tinja
Burung Ya Ya Tidak Tidak langsung Ya Belum
langsung

Berdasarkan hasil analisis sederhana dari studi keanekaragaman hayati, diketahui


bahwa kebun karet campur berpotensi untuk memberikan sumbangan yang sangat
nyata terhadap konservasi keanekaragaman hayati. Agar fungsi ekologis hutan
dapat terpenuhi, maka hipotesis indikatornya adalah:
• Memiliki Luas Bidang Dasar (LBDS) total >20m2/ha dengan proporsi LBDS
karet 1/3 dari proporsi total LBDS. Ini diambil dari rata-rata besar LBDS
kebun karet campur di Kabupaten Bungo yang berkorelasi cukup baik dengan
tingkat keanekaragaman hayati anakan jenis pohon yang ada di bawahnya.
• Memiliki pohon buah-buahan dengan tinggi >25m, sebagai syarat tempat
hidupan dan sumber makanan mamalia (khususnya primata) dan burung.
• Memiliki Indeks Keanekaragaman Simpson >15 untuk tumbuhan
bawahnya.
• Jumlah pohon karet (diameter >31,4 cm ) yang ada di kebun tersebut adalah
sekitar 50-150 batang/ha, untuk menjaga keseimbangan antara penghidupan
dan jasa lingkungan.
268 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Indikator-indikator tersebut masih berupa hipotesis yang perlu diuji melalui studi
yang lebih rinci, terutama dalam kaitannya dengan pengembangan kriteria dan
indikator potensi kebun karet campur dalam konservasi keanekaragaman hayati.

POTENSI KEBUN KARET CAMPUR BAGI


KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI
Hasil penelitian mengenai keanekaragaman hayati di kebun karet campur dari
segi biologis (baik flora maupun fauna) seperti dipaparkan di atas, menunjukkan
bahwa kebun karet campur di Kabupaten Bungo juga patut mendapatkan
perhatian dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati hutan hujan dataran
rendah. Perbandingan antara kelimpahan pohon di hutan dan kebun karet campur
menjadi indikator nilai konservasi kebun karet campur. Untuk alasan itu, ada tiga
nilai konservasi utama yang perlu ditinjau dari sistem kebun karet campur pada
konteks keanekaragaman hayati, antara lain:
1. Nilai Sosial Ekonomi: keanekaragaman hayati di kebun karet campur sebagai
sumber jenis-jenis hasil hutan bukan kayu (Non Timber Forest Products) yang
memiliki nilai guna langsung bagi penghidupan masyarakat.
2. Nilai Ekologis: nilai yang berasal dari beragam fungsi ekosistem. Hal ini bisa
membawa implikasi positif bagi kegiatan pertanian (penyerbukan bunga,
kontrol hama pengganggu, dsb) dan penciptaan lingkungan yang sehat di
sekitarnya antara lain melalui beberapa fungsi:
• Fungsi hidrologis: dengan porositas tanah, struktur vegetasi dan
tutupan lahan, (walaupun akan cukup sulit membedakan antara fungsi
hidrologi hutan dan kebun karet campur),
• Fungsi penyimpan karbon (carbon stock),
• Potensi sebagai area penyangga untuk kawasan konservasi
3. Nilai Estetika: nilai keindahan yang berasal dari etika, norma dan nilai budaya/
spiritual dari keanekaragaman hayati yang dapat mendukung pengembangan
ekowisata.

Hutan dan kebun karet campur menjalankan fungsi-fungsi ekologis yang penting
bagi keseimbangan alam. Keanekaragaman hayati merupakan indikator yang
digunakan untuk melihat keseimbangan fungsi ekologis di suatu ekosistem.
Menjaga keberadaan tingkat keanekaragaman hayati agar berada pada proporsi
yang berimbang di masing-masing ekosistem, akan membantu agar fungsi-fungsi
ekologis berjalan secara berkesinambungan. Ketika keseimbangan alam tercipta,
atmosfer menyehatkan akan terwujud sebagai jaminan bagi kelangsungan hidup
BAGIAN 3-7 • Endri Martini 269

seluruh bentuk hidupan (termasuk manusia) di bumi ini. Untuk mewujudkan itu,
perlu dipikirkan mekanisme kegiatan konservasi jasa lingkungan keanekaragaman
hayati yang melibatkan banyak pihak untuk membantu peningkatan kesadaran
terhadap lingkungan sekitarnya.

UCAPAN TERIMA KASIH


Artikel ini merupakan kompilasi beberapa hasil penelitian keanekaragaman hayati
yang dilakukan sejak 2002 sampai 2005 di Muara Bungo oleh tim ICRAF Muara
Bungo, mahasiswa S3 dari IPB (Saida Rasnovi), mahasiswa S2 dari IRD/Institut de
Recherche pour le Developpement (Marie Calestreme), mahasiswa S1 dari Universitas
Negeri Jakarta (Nur Hariyanto, Pandam Nugroho, Hendra Hendarto), staf GIS
ICRAF (Andree Ekadinnata) dan staf Yayasan Gita Buana yang membantu
program RUPES (Iqbal). Penelitian-penelitian keanekaragaman hayati tersebut
didanai oleh IFAD (International Fund for Agricultural Development) melalui
program RUPES (Rewarding Uplad Poor for the Environmental Services they provide),
IFS (International Foundation for Science) dan IRD. Peneliti mengucapkan terima
kasih pada masing-masing pihak yang tersebut di atas ataupun pihak lain yang
tidak dapat disebutkan satu per satu pada kesempatan ini, untuk dukungannya
dalam penyusunan artikel ini.

BAHAN BACAAN
Calestreme, M. 2004. A Rapid Assessment of Faunal Biodiversity in Rubber
Agroforest through Local Knowledge in Muara Bungo District, Jambi,
Sumatera Island. Master of Rural and Tropical Forestry ENGREF
Montpellier. Montpellier, Perancis.
Conservation International. 2001. Critical Ecosystem Partnership Fund: Sumatera
Forest Ecosystems of the Sundaland Biodiversity Hotspot. Ecosystem
Profile, Indonesia.
Ekadinata, A dan Vincent, G. 2004. Working Report: Landcover Change
Detection in Bungo District Jambi Using Object Based Classification.
Laporan internal World Agroforestry Centre/ICRAF. ICRAF, Bogor,
Indonesia.
Ekadinata, A dan Vincent, G. 2008. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo,
Jambi. Dalam: Adnan, H., Tadjudin, D.J., Yuliani, E.L., Komarudin, H.,
Lopulalan, D., Siagian, Y.L., Munggoro, D.W. (ed.) Belajar dari Bungo:
270 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi. CIFOR, Bogor,


Indonesia.
Hariyanto, N. 2007. Keanekaragaman Jenis Kumbang Tinja (dung beetles) pada
Beberapa Tipe Habitat di Sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat.
Skripsi Mahasiswa S1 Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Universitas Negeri Jakarta, Jakarta, Indonesia.
Harvey, CA, Jorge Gonzalez and Eduardo Somaribba. 2006. Dung Beetle and
Terrestrial Mammal Diversity in Forests, Indigenous Agroforestry
Systems and Plantain Monocultures in Talamanca, Costa Rica.
Biodiversity and Conservation 15:555–585. Springer.
Hendarto, H. 2007. Populasi Beberapa Jenis Primata pada Agrosistem Karet di
Sekitar Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat. Laporan Kegiatan
Lapang Mahasiswa S1 Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Universitas Negeri Jakarta, Jakarta, Indonesia.
Iqbal, 2006. Laporan Sementara Survey Burung di Hamparan Kebun Karet
Campur Lubuk Beringin dan Rantau Pandan Kabupaten Bungo. RUPES
Bungo, Bungo, Indonesia.
Martini, E., Ekadinata, A., Chaniago, D., Dasrul, Jasnari, Kuncoro, S.A. 2004.
Laporan Kegiatan Identifikasi Lokasi RUPES Bungo tahap I. RUPES
Bungo, Bungo, Indonesia.
Martini, E. 2005. Laporan Tahun Pertama Konsorsium RUPES Bungo: Studi
Kehati di Kebun Karet Campur Kabupaten Bungo. ICRAF, Muara
Bungo, Indonesia.
Prasetyo, P N. 2007. Keanekaragaman Jenis Kelelawar pada Agrosistem Karet di
Sekitar Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat. Skripsi Mahasiswa
S1 Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Negeri Jakarta, Jakarta, Indonesia.
Rasnovi, S. 2007. Keragaman Jenis Anakan Tumbuhan Berkayu di Kebun Karet
Campur: Pengaruh umur dan Intensitas Manajemen. Disertasi. Institut
Pertanian Bogor, Bogor, Indonesia.
Tim RUPES Bungo. 2005. Ringkasan Hasil Pertemuan Technical Advisory Group,
26-27 Juli 2005, Hotel Semagi, Muara Bungo. RUPES Bungo, Bungo,
Indonesia.
BAGIAN 3-8
Potensi Pengembangan Mekanisme Imbal Jasa
Lingkungan Wanatani Karet di Desa Lubuk
Beringin

Damsir Chaniago
272 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

KORBAN PEMBANGUNAN
Kata pengorbanan selalu dipakai dalam setiap praktek pembangunan, terutama yang
berhubungan langsung dengan kawasan publik. Maka penggusuran, pengusiran
paksa, intimidasi, ataupun ganti-rugi selalu menjadi sepupu pembangunan.
Dampak lingkungan tidak menjadi perhatian praktek pembangunan. Proses
pembangunan telah mengabaikan dampak sosial budaya dan lingkungan fisik.
Keberhasilan pembangunan hanya dilihat dari seberapa besar bangunan fisik dapat
didirikan, atau seberapa banyak laba bersih yang dapat dihasilkan, dan seberapa
banyak penyerapan tenaga kerja. Tetapi tidak pernah menghitung berapa polusi
dan dampaknya terhadap lingkungan, seberapa jauh pergeseran nilai-nilai sosial
budaya, atau seberapa besar kerugian yang harus ditanggung akibat terganggunya
keseimbangan lingkungan dan ekologi seperti banjir, longsor, pencemaran air, dan
sebagainya.

Pemahaman bahwa kesejahteraan masyarakat hanya dapat dicapai melalui


percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi seperti itu, merupakan
awal malapetaka lingkungan. Sementara praktek pembangunan yang telah
dilakukan masyarakat sering dianggap sebagai sistem yang sudah ketinggalan
jaman, tradisional, tidak efisien, dan lain-lain dengan konotasi terbelakang dan
harus diubah.

Masyarakat yang hidup menyatu dengan lingkungan, mampu mengelola


sumberdaya alam yang memperhatikan aspek konservasi dan keberlanjutan,
tidak memperoleh penghargaan yang sepadan. Padahal masyarakat memiliki
kecakapan untuk menjalankan pembangunan lestari, yang gagal diperankan oleh
pemerintah. Lubuk larangan, hutan adat, parak, repong, dan lain-lain merupakan
bukti kecakapan masyarakat itu. Malahan masyarakat sudah menggunakan
pendekatan manajemen DAS berkelanjutan.

DESA LUBUK BERINGIN


Desa Lubuk Beringin1 awalnya memiliki aturan dan norma adat yang khas. Namun
dengan penyeragaman bentuk pemerintahan menjadi desa, peran–peran adat
dalam kehidupan sehari-hari makin memudar dan nyaris hilang. Peranan lembaga
adat dan tokoh adat juga memudar. Berbagai lembaga formal seperti pemerintah

1 Dari cerita tokoh-tokoh masyarakat Lubuk Beringin disebutkan bahwa masyarakat Desa Lubuk Beringin berasal dari Desa Buat dan merupakan
wilayah Rio Setih Setio. Desa ini diperkirakan mulai terbentuk sekitar 1800-an.
BAGIAN 3-8 • Damsir Chaniago 273

desa, BPD, LPM, PKK, Karang Taruna dan lembaga-lembaga formal lainnya hanya
diciptakan sebagai formalitas saja dan tidak lebih dari sekedar untuk memenuhi
selera dan syarat keberadaan desa. Lembaga-lembaga “bikinan” tersebut
sesungguhnya tidak dapat memberikan kontribusi yang nyata seperti diharapkan
masyarakat, antara lain akibat kurangnya sosialisasi dan pemberdayaan terhadap
tugas dan fungsi masing-masing lembaga. Malah saat ini kepercayaan masyarakat
kepada lembaga (maupun perangkatnya) tersebut sangat kurang. Sementara itu
keberadaan tokoh adat dan lembaga adat hanya sebagai pelengkap di dalam setiap
pengambilan keputusan di desa, dan itupun sering terjadi rangkap jabatan dan
kesalahan dalam memilih kepengurusan yang hanya mempertimbangkan status
dan tidak mempertimbangkan kemampuan.

Pada saat lembaga-lembaga mengalami kemandekan fungsi, peranan lembaga-


lembaga informal semakin terlihat dan sangat berpengaruh dalam masyarakat,
seperti kelompok wirid yasinan, kelompok simpan pinjam, dan kelompok tani
serta kelompok pengelola PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro), yang
secara nyata mulai menarik hati masyarakat.

Kelompok wirid yasinan merupakan kelompok informal keagamaan yang sudah


berlangsung cukup lama. Kelompok ini dipelopori tokoh-tokoh agama dan
masyarakat berusia lanjut. Kelompok wirid yasin yang aktif di Lubuk Beringin
adalah wirid yasin Koperasi Simpan Pinjam Perempuan Dahlia, Pemerintah Desa
dan BPD, dan wirid yasin Remaja Mesjid.

Kelompok Simpan Pinjam Perempuan Dahlia di Desa Lubuk Beringin telah


berkembang menjadi penopang ekonomi desa sejak 2000. Kini kelompok ini telah
memiliki modal hampir Rp. 30 juta yang terus digulirkan. Proses terbentuknya
kelompok ini dimulai dengan simpanan-pokok Rp 5.000 dan iuran bulanan Rp
1.000/anggota. Melalui proyek ICDP-TNKS terjadi penambahan modal usaha
sebesar Rp. 15 juta pada 2002, yang digunakan sebagai tambahan modal dan
penyewaan peralatan pengantin. Salah satu penopang keberhasilan kelompok
ini adalah kemauan dan kemampuan kelompok perempuan dalam membuat
dan menjalankan kesepakatan dan aturan tanpa campur-tangan pihak lain (laki-
laki).

Desa Lubuk Beringin dengan penduduk 80 KK (400 jiwa), rata–rata memiliki


wanatani karet 5 ha. Jadi, hampir seluruh masyarakat adalah penyedia jasa
lingkungan keragaman hayati di dalam wanatani karet.
274 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

KABUPATEN BUNGO DAN WANATANI KARET


Kabupaten Bungo, seperti umumnya Sumatera Bagian Selatan, memiliki sistem
penggunaan lahan yang dikenal dengan wanatani karet. Sistem ini merupakan
kearifan lokal masyarakat yang bertahan secara turun-temurun. Ia memiliki
struktur, profil vegetasi dan fungsi yang hampir menyerupai hutan sekunder.
Malahan sistem ini mampu untuk menjadi habitat alternatif bagi sebagian besar
satwa liar serta mampu menjalankan fungsi hidrologis DAS Batang Hari.

Tanaman karet (Hevea brasiliensis) mulai diperkenalkan kepada masyarakat


Sumatera Bagian Selatan (Propinsi Jambi) pada 1905, yang lebih dikenal juga
dengan nama Para(h). Dalam perkembangannya sampai sekarang, tanaman karet
tidak dapat dipisahkan dengan pola pertanian masyarakat. Pembangunan wanatani
karet dimulai dari behumo (membuka kawasan hutan sebagai areal peladangan),
dilanjutkan dengan menanami tanaman semusim (padi, cabe, jagung, dan lain-
lain) yang ditumpangsarikan dengan tanaman karet dan tanaman buah (durian,
nangka, duku, dan lain-lain).

Kabupaten Bungo, baik secara geografis maupun biofisik, berperan sangat penting
sebagai kawasan konservasi keanekaragaman hayati dan daerah tangkapan air DAS
Batang Hari dengan konsep koridor loncatan (Gambar 38). Kabupaten Bungo
diapit oleh Taman Nasional Kerinci Seblat, Bukit Duabelas, dan Bukit Tigapuluh.
Meski kawasan hutan terus berkurang, karena dikonversi menjadi perkebunan
monokultur, namun keberadaan wanatani karet di Bungo cenderung stabil.

Dinamika perubahan lahan yang terekam oleh analisa citra Landsat menunjukkan,
meskipun pengurangan kawasan hutan dan perkebunan monokultur bertambah
dengan cepat tetapi kebun karet campur cenderung stabil keberadaannya,
membuat lokasi ini menjadi objek penelitian yang sangat menarik. Dengan
kondisi pasar yang ada hingga saat ini, produktivitas dan profitabilitas kebun karet
campur dapat dikatakan marjinal. Hal ini menyiratkan bahwa sangat mungkin
sekali faktor ekonomi bukan menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan sistem
kebun karet campur.
BAGIAN 3-8 • Damsir Chaniago 275

Gambar 38. Konsep koridor loncatan. Sumber: ICRAF

Tujuan Konservasi dan Ekonomi Wanatani Karet


Pertentangan antara tujuan ekonomi dengan tujuan konservasi juga ditemukan
pada sistem wanatani karet di Kabupaten Bungo. Kebutuhan ekonomi
terkadang mendorong masyarakat untuk mengubah wanatani karet yang lebih
menguntungkan secara ekologis, menjadi kebun karet monokultur yang lebih
menguntungkan secara ekonomis jangka pendek. Keuntungan ekologis, seperti
jasa lingkungan, cenderung tidak atau kurang diperhatikan oleh banyak pihak.

Program RUPES (Rewarding Upland Poor for Environmental Service) Bungo


bersama-sama masyarakat dan pihak terkait lainnya berusaha mencari alternatif
sistem yang dapat mengurangi dilema konservasi dan kebutuhan ekonomi dengan
berfokus pada wanatani karet. Dengan mengkonservasi keanekaragaman hayati,
diharapkan keseimbangan alam terjaga dan kebutuhan ekonomi masyarakat pun
terpenuhi. Desa Lubuk Beringin, Laman Panjang, dan Desa Buat Kecamatan
Batin III Hulu terpilih sebagai lokasi proyeknya.
276 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Hamparan kebun karet rakyat di Lubuk Beringin, berluas sekitar 3.500 ha, pada
umumnya berbentuk wanatani. Selain tanaman karet, di dalamnya tumbuh
berbagai jenis tanaman hutan seperti kayu-kayuan, rotan, manau, bambu dan
bermacam tanaman buah. Hasil penelitian ICRAF sejak 1990 menunjukkan
bahwa wanatani karet memiliki nilai ekonomis dan sekaligus berfungsi sebagai
kawasan konservasi. Meski produktivitas lahan masih sangat rendah namun
kawasan wanatani karet ternyata memiliki fungsi dan keragaman yang sangat
tinggi. Kondisi ini berkembang di bawah sistem adat, serta budaya dan kebiasaan
masyarakat yang mengandung aspek keberlanjutan dan berwawasan lingkungan
seperti:
1) Kebun karet mempunyai nilai sosial, ekonomi, budaya, dan agama.
2) Nilai-nilai kearifan tradisional masih tetap dipertahankan.
3) Peremajaan kebun karet dengan sistem sisipan dan ada upaya pengkayaan
kebun dengan tanaman ekonomis.
4) Adaptif terhadap inovasi baru dalam pengembangan sistem pertanian.
5) Nilai-nilai sosial masyarakat masih kuat.

Bagi masyarakat, wanatani karet tidak hanya berfungsi secara ekonomis tetapi
juga mempunyai fungsi sosial budaya seperti:
1) Pelindung dan penjaga ketersediaan air (ini berdasarkan pengalaman dampak
dari perubahan debit air sungai dihubungkan dengan pembukaan lahan).
2) Nilai sosial (rebung, bambu, rotan, dan pagar).
3) Tempat hewan buruan (rusa, kancil, burung-burungan, kijang, dan lain-
lain).
4) Makanan dan sayuran seperti rebung.
5) Buah-buahan seperti petai, duren, nangka, cempedak, bedaro (lengkeng
lokal), duku, langsat, embacang, dan lain-lain.
6) Tanaman obat-obatan seperti pohon kasai, bedaro putih (pasak bumi), dan
lain-lain.
7) Kayu bahan pagar, bangunan, dan bahan bakar seperti meranti, medang,
balam, sungkai, bambu, pelangas, rotan, dan lain-lain.
8) Habitat tanaman langka (Raflesia).
9) Areal penggembalaan hewan ternak (terutama pada musim bersawah).

Sebagai kawasan konservasi, keberadaan wanatani karet di hamparan Lubuk


Beringin ini memiliki peran penting, antara lain:
1) Merupakan Daerah Tangkapan Air DAS Batanghari (Sub DAS Batang
Bungo).
BAGIAN 3-8 • Damsir Chaniago 277

2) Bufferzone Hutan Lindung Rantau Bayur.


3) Kawasan koridor satwa antara TN Kerinci Seblat, TN Bukit Duabelas dan
TN Bukit Tigapuluh.
4) Habitat dan sumber plasma-nutfah

Wanatani karet menjadi habitat alternatif bagi lebih dari 60% tumbuhan yang
dijumpai dalam hutan. Dari perspektif masyarakat, kebun karet campur bukan
semata memiliki nilai ekonomi, tetapi juga berkontribusi besar terhadap sumber
air sawah, penghasil berbagai bentuk tanaman yang bernilai sosial dan dapat
dimanfaatkan secara bersama oleh masyarakat. Sistem tanam ’sisipan’ wanatani
karet campur serta pembersihan lorong merupakan kearifan yang dimiliki oleh
masyarakat untuk menjaga keberlanjutan keanekaragaman hayati di dalam kebun
karet campur.

Wanatani karet selain sebagai habitat satwa, juga menjadi tempat mencari makan
bagi beberapa jenis satwa. Jenis hewan yang dilindungi oleh pemerintah seperti
harimau, tapir dan beruang madu bahkan sempat terlihat berkeliaran dalam
kawasan ini beberapa waktu yang lalu.

Dilema Keragaman Hayati Wanatani Karet


Keragaman hayati wanatani karet terkait dengan sistem budidaya kebun yang
dijalankan masyarakat. Untuk membangun wanatani, masyarakat harus membuka
hutan dan menggunakannya untuk berhumo. Mereka membudidayakan tanaman
semusim, yang di tumpangsarikan dengan tanaman karet dan tanaman buah.
Sampai dengan karet siap sadap, dibutuhkan waktu 10-15 tahun. Dalam kurun
waktu itu, lahan akan ditinggalkan (pembersihan lahan hanya dilakukan pada
tanaman karet muda dan pada saat akan mulai penyadapan). Waktu tunggu itu
memberikan peluang kepada tanaman lain untuk tumbuh dan berkembang serta
menjadi habitat dari beberapa jenis binatang. Setelah kebun karet disadap pun,
hanya diterapkan perlakuan penebasan lorong dan penyisipan pada tanaman
karet yang mati. Proses penyisipan ini dapat berlangsung terus menerus dan dapat
terlihat dari tingkat keragaman umur tanaman karet, memulai dari tanaman muda
(baru disisipkan) sampai umur lebih dari 30 tahun. Kebun karet seperti itulah
yang disebut dengan wanatani karet. Proses-proses terbentuknya wanatani karet
dapat diilustrasikan pada Tabel 29.
278 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Tabel 29. Tahapan perkembangan kebun karet campur. Sumber: ICRAF

Periode Tahapan Pembentukan Kebun Karet Campur


0 tahun hutan/belukar/sesap tebas tebang bakar
1-3 tahun tanam padi + sayuran dan tanaman berukuran pendek lainnya
(misalnya cabe) + karet (sekitar 700-1000 batang/ha) + buah (durian,
jengkol)
3-10 tahun Kebun karet dibiarkan dan hanya dilihat maksimum setahun sekali
10-15 tahun Sadap pertama pembersihan kebun dilakukan untuk membuat
lorong sadap
10-13 tahun Pemeliharaan dengan anakan jenis-jenis pohon berguna yang
sistem tebas lorong + tumbuh sendiri (terutama pohon buah)
dibiarkan tumbuh menjadi pohon

>30 tahun Kebun karet campur tradisional/agroforest (jumlah pohon karet:


pohon non-karet berkisar 50:50)
Ketika produksi getah karet pada kebun karet campur sudah mulai
menurun, peremajaan kebun dilakukan dengan metode SISIPAN
menggunakan bibit karet stump besar di rung-ruang terbuka

Pemberdayaan Petani Karet


Selama kegiatan dampingan Program RUPES, telah terbentuk dua kelompok tani
di Desa Lubuk Beringin, yaitu kelompok tani Beringin Sakti dan Beringin Jaya.
Kelompok itu ditumbuhkan dari kelompok yang telah ada, baik formal maupun
informal, yang prosesnya dilakukan melalui kegiatan diskusi kelompok, pelatihan,
studi banding, dan pengumpulan informasi.

Kelompok tani Beringin Sakti, melalui bantuan ICRAF, telah membangun kebun
pembibitan batang bawah sebanyak 20.000 batang dan kebun entres klon PB 260
dan RRIC 100. Kelompok tani Beringin Jaya bersama masyarakat membangun
kebun pembibitan batang bawah sebanyak 24.000 batang karet (bantuan dari
dana DPD/K pada 2005, masing-masing KK mendapat 2.000 biji).

Penguatan kelembagaan masyarakat (terutama kelompok simpan-pinjam


dan kelompok tani) dilakukan secara sistematik dan terus menerus. Untuk
meningkatkan kemampuan berorganisasi, dilakukan Pelatihan Dinamika
Kelompok, Pelatihan Manajemen Organisasi, dan Pelatihan Pembukuan Kelompok.
BAGIAN 3-8 • Damsir Chaniago 279

Bekerjasama dengan inisiatif lain yang sedang dilaksanakan oleh ICRAF (proyek
CFC), kelompok tani karet juga telah mendapatkan pelatihan teknik budidaya
karet. Sedangkan untuk meningkatkan kapasitas anggota, beberapa anggota
kelompok dan pengurusnya diikutkan pada studi banding, lokakarya dan berbagai
pertemuan di kabupaten maupun nasional. Kunjungan-silang antar petani karet
di Muara Bungo juga terus dilakukan.

FASILITASI IMBAL JASA LINGKUNGAN


Sosialisasi RUPES kepada masyarakat, terutama tentang imbal jasa lingkungan,
dilakukan dengan sangat hati-hati. Ketika bicara tentang imbal jasa, harapan
masyarakat pun tumbuh: bagaimana mereka dapat memperolehnya dan seberapa
besar yang mereka peroleh. Masyarakat sudah terbiasa dengan program (proyek)
yang selalu berkaitan dengan uang tunai atau pembangunan fisik. Harus dijelaskan
secara hati-hati bahwa imbal jasa tersebut tidak hanya berbentuk uang tunai
atau bangunan fisik, melainkan bisa berupa peningkatan sumberdaya manusia
seperti pelatihan, studi banding, pendampingan dan lainnya. Proses peningkatan
kesadaran masyarakat dan pemerintah daerah akan pentingnya pelestarian
lingkungan dilakukan secara intensif pada setiap kesempatan. Juga dilakukan
pembuatan leaflet, kalender dan video tentang wanatani karet, dan pendampingan
di tingkat desa-desa sehamparan dan diskusi kebijakan dan penyusunan RUTRW
Kabupaten.

Meskipun belum ditemukan pihak ketiga pembeli jasa lingkungan, Tim RUPES
Bungo tetap berusaha mencari mekanisme dan bentuk imbal jasa yang bisa
diberikan kepada masyarakat, baik dari internal masyarakat ataupun dari
pemerintah daerah. Bentuk imbal jasa yang dapat coba dikembangkan antara lain
melalui:
1) Pemerintah daerah (BAPPEDA, Dishutbun, Dinas Pertanian, KSPM dan
Dinas Pertambangan) dalam melaksanakan program-programnya.
2) Institusi non-pemerintah (Universitas Jambi, ICRAF, CIFOR, KKI-WARSI,
Yayasan Gita Buana).
3) Penggalian bentuk imbalan dari dalam masyarakat sendiri.

Upaya dalam pengembangan mekanisme imbal jasa lingkungan di tingkat


kabupaten telah didorong melalui dinas dan instansi terkait untuk mengarahkan
program-program (khususnya program pemberdayaan masyarakat) di desa-desa
RUPES Bungo. Proyek-proyek tersebut dapat dianggap sebagai imbalan jasa
280 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

yang diberikan oleh pemerintah terhadap konservasi keragaman hayati di dalam


wanatani karet. Selain itu, telah dilakukan pula penelusuran potensi pembeli
imbal jasa dari pihak swasta.

Perlindungan Kawasan
Sebelum ditemukannya pembeli yang tertarik memberikan imbal jasa atas
keanekaragaman hayati wanatani, keberadaan wanatani karet perlu tetap
dipertahankan. Lokasi wanatani karet dijaga agar tidak dikonversi menjadi
peruntukan lain seperti pertambangan, perkebunan sawit, maupun transmigrasi.
Kepastian dan jaminan hukum tentang lokasi tersebut perlu diakomodasikan
dalam Revisi Tata Ruang Kabupaten. Tetapi hal itu akan mendapat tantangan
yang besar, karena beberapa kawasan wanatani karet itu mengandung deposit
batu bara atau emas yang amat potensial. Eksploitasi daerah tersebut justru akan
memperoleh dukungan pemerintah yang berharap akan mendapat sumber PAD
Kabupaten Bungo.

Sampai saat ini dukungan kebijakan pemerintah masih sangat kecil. Dukungan
baru terbatas pada Revisi Tata Ruang yang menjamin keberlangsungan keberadaan
wanatani karet di lokasi RUPES. Selain itu, sedang diusulkan untuk memberikan
prioritas penempatan proyek pada lokasi-lokasi RUPES, sebagai bentuk imbal
jasa lingkungan. Usulan itu diajukan kepada Bappeda, Dishutbun, Dinas KSPM,
maupun Dinas Disperindagkop.

Pengembangan Mekanisme Imbal Jasa Lingkungan


Pengembangan skema dan mekanisme imbalan dilakukan dengan pendekatan
partisipatif. Skema imbal jasa lingkungan secara fisik tidak dijumpai di Desa Lubuk
Beringin; karena desa ini telah mendapat dana kompensasi BBM sebesar Rp. 250
juta dari pemerintah yang dialokasikan untuk pembangunan infra-struktur desa.
Desa ini juga sedang mengelola prasarana listrik dan mesin pertanian bantuan
proyek ICDP-TNKS. Dengan demikian, bentuk imbalan yang muncul di Lubuk
Beringin adalah pengembangan komoditi unggul (durian, petai), pengayaan
kebun karet campur dengan jenis yang bernilai ekonomi (rotan manau, gaharu),
pengembangan industri rumah tangga (kerajinan dan anyaman), bantuan
pemasaran dan tata niaga hasil wanatani karet, pelatihan manajemen rumah
tangga, bantuan ekonomi bergulir, studi banding, seminar dan pengembangan
sumberdaya manusia lainnya. Skema di dua desa lainnya juga relatif sama.
BAGIAN 3-8 • Damsir Chaniago 281

Secara umum model imbal jasa lingkungan yang akan dikembangkan pada kawasan
hamparan Lubuk Beringin dalam bentuk tiga model yaitu:
1) Imbal jasa lingkungan untuk pemilik kebun karet campur.
Terdapat dilema dalam pemberian imbal jasa lingkungan kepada pemilik.
RUPES amat peduli dengan masalah pengentasan kemiskinan, dan dengan
demikian amat berkepentingan dengan pemilik kebun skala kecil. Namun
secara obyektif, pemilik kebun skala luas pun sungguh memberikan jasa
lingkungan, seperti halnya pemilik kebun skala kecil. Meski demikian,
untuk menjaga kepentingan pemberdayaan masyarakat miskin, harus ada
pembatasan terhadap luasan kebun karet yang akan diberi imbal jasa disertai
dengan aturan-aturan yang harus dipatuhi semua pemilik kebun karet.
2) Imbal jasa lingkungan untuk buruh sadap.
Meski tidak mempunyai kontrol yang besar pada kebun, buruh sadap
merupakan pihak yang mempunyai akses yang tinggi terhadap kebun karet.
Mereka juga termasuk kelompok miskin yang pada saat yang sama sangat
memahami aspek spasial kebun karet.
3) Imbal jasa lingkungan untuk tingkat desa.
Imbal jasa lingkungan untuk tingkat komunitas atau desa juga sangat perlu
diperhatikan. Proses penyusunan perencanaan, kesepakatan, serta monitoring
dan evaluasi partisipatif, selalu melibatkan peranan desa.

Mekanisme imbal jasa lingkungan secara detail terus dibahas dan dikembangkan
selama proses dampingan. Namun masih dijumpai kendala yang nyata, yaitu
belum adanya kriteria dan indikator untuk menilai kelayakan kebun karet untuk
menerima imbal jasa lingkungan.

Penegasan Kawasan Kelola


Untuk mempertegas kawasan kelola masyarakat, RUPES bersama masyarakat
melakukan kegiatan mengenal kawasan melalui sketsa dan peta, yang dilanjutkan
dengan pemetaan partisipatif di lapangan. Secara sederhana pemetaan partisipatif
diartikan sebagai kegiatan mengenal, menggambarkan, dan memetakan tipe
penggunaan kawasan kelola secara bersama-sama dengan masyarakat berdasarkan
pengetahuan dan pengalaman masyarakat, yang didukung dengan peta dasar,
sehingga diperoleh gambaran dan data-data yang lebih jelas. Ini adalah sebuah
pembelajaran bersama masyarakat untuk dapat lebih mengetahui dan memahami
kondisi dan potensi yang terdapat di dalam kawasan kelola masyarakat.
282 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Dalam pemetaan partisipatif telah diidentifikasi potensi-potensi yang ada, seperti


tipe penggunaan lahan, lokasi air terjun, jenis-jenis flora dan fauna tertentu yang
terdapat di dalam kawasan kelola masyarakat, nama-nama sungai dan informasi
pendukung lainnya. Masyarakat dapat belajar bersama tentang potensi aktual
wilayahnya, dan menggunakan informasi itu untuk penyusunan rencana tata
ruang wilayah.

Hasil pemetaan partisipatif akan menjadi dasar yang kuat untuk mengembangkan
kriteria dan indikator dalam pemantauan partisipatif. Juga dapat melihat seberapa
jauh masyarakat tertarik dalam melaksanakan kegiatan konservasi, dan apa
motivasi masyarakat melakukan wanatani karet.

Hasil pemetaan partisipatif menemukan bahwa konservasi jenis tumbuhan


dirasakan lebih penting dibanding dengan konservasi hewan. Selanjutnya,
hubungan antara jenis tutupan lahan dengan konservasi air juga telah dimengerti
oleh masyarakat. Dua kenyataan itu menguatkan tesis bahwa hutan dan wanatani
karet penting untuk menjaga keseimbangan alam dan kestabilan aliran sungai,
dan dapat digunakan sebagai bahan utama advokasi dalam mempertahankan
keberadaan sistem kebun karet campur.

Penutup: TANTANGAN MEMPERTAHANKAN


KEBERADAAN WANATANI KARET
Laju kerusakan hutan konservasi makin tidak terkendali. Karena itu, wanatani
karet merupakan salah satu alternatif untuk mempertahankan ‘tutupan hutan’,
meski wanatani karet tidak bisa menggantikan fungsi hutan secara persis.
Namun peran positif itu akan menghadapi tantangan-tantangan sebagai berikut
Pertama, meningkatnya harga getah akan mendorong petani untuk melakukan
proses pembersihan lorong secara lebih intensif. Beberapa jenis anakan dan tiang
kayu yang dianggapnya ‘mengganggu’ akan ditebangnya. Pada saat yang sama,
meningkatnya kebutuhan kayu, akan mendorong masyarakat untuk memanen
kayu-kayuan dalam wanatani karet secara lebih intensif pula. Dua hal itu akan
menurunkan sifat wanatani yang mirip dengan hutan.

Kedua, terdapat pelemahan kelembagaan konservasi keanekaragaman hayati


dalam sistem wanatani karet. Kebijakan pemerintah yang tidak jelas, advokasi
konversi lahan oleh swasta, kurangnya informasi yang utuh dan benar yang
diterima masyarakat, semakin memperlemah kelembagaan masyarakat di tingkat
desa yang sesungguhnya sudah lemah. Semua itu akan bermuara pada konversi
BAGIAN 3-8 • Damsir Chaniago 283

lahan, perburuan liar, penambangan liar dalam kawasan konservasi dan lain
sebagainya.

Ketiga, pemerintah menerapkan kebijakan pembangunan yang secara langsung


akan mengancam kelestarian wanatani karet. Pemerintah, demi PAD, meloloskan
usulan-usulan untuk mengkonversi lahan wanatani karet menjadi perkebunan
monokultur kelapa sawit, pertambangan batubara, maupun permukiman
transmigrasi. Usulan-usulan itu selalu diarahkan ke daerah hulu sub-DAS
Batanghari (Batang Pelepat, Senamat, Bungo Tebo dan Jujuhan) yang justru
merupakan kawasan wanatani karet.

Keempat, terdapat pergeseran pandangan dalam masyarakat yang menyatakan


bahwa hutan merupakan sumberdaya terbuka yang bisa diakses oleh siapa saja.
”Siapa dulu, siapa dapat”. Secara adat, hak milik atas tanah sesungguhnya telah
diatur oleh suku. Suku inilah yang mengatur setiap warga yang akan membuka
lahan baru, baik untuk kepentingan sawah dan ladang ataupun pemukiman.
“Rimbo, Tali Air, Batang Air dimiliki oleh Batin. Batin inilah yang memberi ijin untuk
pembukaan lahan baru”.

Belum ada aturan (masyarakat) yang tegas tentang pemanfaatan hasil hutan dan
pengelolaan lahan, yang dapat menjaga kelestarian pasokan air sungai. Karena itu,
pergeseran paham masyarakat itu belum diimbangi dengan aturan masyarakat,
dan dengan demikian masyarakat memiliki daya yang lemah untuk memantau
praktek pembukaan lahan hutan dan konversi lahan wanatani oleh masyarakat.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulisan artikel ini tak lepas dari peran banyak pihak. Untuk itu penulis
menyampaikan terima kasih kepada seluruh masyarakat Desa Lubuk Beringin,
Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo, yang sudah bahu membahu selama
berlangsungnya proses fasilitasi di sana. Juga kepada kawan-kawan konsorsium
RUPES (ICRAF-YGB dan KKI WARSI), ACM Jambi (PSHK-ODA, YGB dan
CIFOR) yang telah selalu berbagi suka dan duka selama di Bungo serta kawan-
kawan di KKI-WARSI Jambi yang telah banyak memberikan dukungan kepada
penulis dalam berbagai hal. Tak lupa kepada kawan-kawan ICRAF dan CIFOR
di Bogor yang telah banyak memberi gagasan dan masukan dalam penulisan ini.
Terakhir, terima kasih secara khusus untuk istri dan anak-anakku (Amirul dan
Anissa) yang selalu ditinggal pergi di Desa Lubuk Beringin.
BAGIAN 4
DARI KONFLIK KE AKSI KOLEKTIF DALAM
PENGELOLAAN Sumberdaya Alam
BAGIAN 4-1
Peningkatan Konflik dalam Pengelolaan
Sumberdaya Hutan

Yurdi Yasmi
288 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

PENDAHULUAN
Pengelolaan sumberdaya hutan melibatkan para-pihak seperti pemerintah,
masyarakat lokal, perusahaan swasta dan dunia internasional; sehingga sering
diwarnai dengan berbagai konflik. Kadangkala konflik yang mulanya hanya berupa
perdebatan kecil bisa tiba-tiba berubah menjadi pertikaian serius, perkelahian
massal, bahkan pembunuhan (Hotte, 2001; Wenban-Smithm, 2001; Wulan et
al., 2004; de Jong et al., 2006; Ho, 2006). Sementara itu ada pula peningkatan
konflik yang berlangsung cukup lama. Rentannya pengelolaan sumberdaya hutan
terhadap konflik telah menyita banyak perhatian berbagai kalangan. Banyak kajian
yang telah dilakukan tentang penyebab konflik, pihak-pihak yang terlibat dan
dinamika konflik itu sendiri (Martinez-Alier, 2001; Hilson, 2002a; Hilson, 2002b;
Yasmi, 2003). Kajian-kajian tersebut cenderung menyimpulkan bahwa konflik
sumberdaya hutan sangat umum terjadi dan cenderung meningkat terutama kalau
tidak ditangani dengan baik.

Sejauh ini studi-studi tentang konflik di sektor kehutanan ataupun sumberdaya


alam lainnya kurang memberikan perhatian pada proses peningkatan konflik.
Bagaimana konflik berubah dari pertikaian kecil menjadi suatu kerusuhan atau
kekerasan belum banyak didiskusikan atau diteliti. Kebanyakan penelitian hanya
menyinggung bagian-bagian tertentu dari tahapan peningkatan konflik seperti
bagaimana awalnya konflik muncul atau tahap-tahap tertentu seperti kekerasan
(Bavinck, 1998; Bennet et al., 2001; Kerr et al., 2006). Karena itu pengetahuan
kita tentang peningkatan konflik cenderung parsial dan tidak sempurna. Hanya
beberapa tahun terakhir studi tentang peningkatan konflik dalam konteks
pengelolaan sumberdaya alam termasuk sektor kehutanan dikaji secara menyeluruh
(Yasmi et al., 2006a). Namun demikian kajian-kajian empirik berdasarkan kasus
nyata di lapangan masih sangat jarang.

Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk memperbaiki pemahaman kita tentang
seluk beluk peningkatan konflik khususnya dalam bidang kehutanan berdasarkan
penelitian di Desa Baru Pelepat, Jambi. Studi empirik tersebut ditujukan untuk
tiga hal utama. Pertama untuk memahami penyebab timbulnya konflik dan pihak-
pihak yang terlibat. Kedua, memahami bagaimana konflik tersebut meningkat. Dan
ketiga untuk mengambil pelajaran guna perbaikan pengelolaan hutan khususnya
di Jambi dan di tempat-tempat lain pada umumnya.
BAGIAN 4-1 • Yurdi Yasmi 289

PENGELOLAAN HUTAN DI ERA TRANSISI


Penelitian ini dilakukan pada pertengahan 2004, suatu masa yang sebagian besar
pakar mengatakan sektor kehutanan dan juga sektor-sektor lainnya berada
dalam masa transisi (McCarthy, 2004). Di sini yang dimaksud transisi adalah
perubahan sistem dan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dari yang dulunya
serba terpusat ke arah desentralisasi. Perubahan ini ditandai dengan jatuhnya
Rezim Orde Baru dibawah komando Soeharto pada 1998. Setelah lebih dari tiga
dekade rezim yang otoriter itu dipaksa mundur oleh akumulasi pergerakan yang
menginginkan perubahan dalam semua bidang kehidupan di Indonesia, termasuk
dalam hal pengelolaan sumberdaya hutan. Perubahan pertama ditandai dengan
dikeluarkannya UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.
25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah1. Selanjutnya, UU
Pokok Kehutanan No. 5/1967 juga diganti dengan UU No. 41/1999.

Pada awalnya para-pihak menyambut baik ketiga Undang-Undang yang baru


ditetapkan ini. Seolah-olah harapan baru untuk ikut berpartisipasi dalam
pengelolaan sumberdaya hutan terbuka lebar, terutama bagi para-pihak di daerah
yang selama ini hanya sebagai penonton saja. Di sektor kehutanan, pemerintah
kabupaten dimungkinkan untuk mengeluarkan ijin pemungutan dan pemanfaatan
kayu (IPPK). Sehingga di seluruh Indonesia Bupati mengeluarkan IPPK dengan
luasan per unitnya 100 ha baik kepada koperasi maupun perusahaan swasta di
daerah masing-masing. Hanya saja, pedoman pelaksanaan IPPK tidak ditetapkan
dengan baik sehingga pelaksanaan di lapangan banyak menimbulkan kerusakan
hutan dan bahkan meningkatkan konflik sosial antara para-pihak (Resosudarmo,
2004; Yasmi et al., 2006b). Dalam situasi serba tidak menentu ini dan ditambah
lagi tingginya minat untuk mendapatkan keuntungan ekonomi jangka pendek,
terjadi berbagai benturan. Misalnya antara IPPK yang satu dengan yang lainnya
berkaitan dengan masalah batas atau antara berbagai kelompok masyarakat yang
merasa pembagian keuntungan yang kurang adil. Dalam situasi inilah penelitian
ini dilakukan.

LOKASI PENELITIAN DAN PARA-PIHAK


Penelitian berlokasi di Desa Baru Pelepat, Kabupaten Bungo, Jambi (Gambar
39). Desa ini berpenduduk sekitar 600 orang dengan areal desa mencapai lebih
dari 7.000 ha (Kusumanto et al., 2005). Penduduk desa ini sebagian besar hidup

1 Kedua perundang-undangan ini sudah mengalami penyempurnaan dikemudian hari. Namun demikian lahirnya kedua undang-undang ini dianggap
sebagai perwujudan bermulanya semangat desentralisasi di tanah air.
290 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

dari pertanian. Mereka masih menerapkan pola perladangan berpindah dengan


komoditas utama padi. Hasil dari ladang padi ini pada umumnya digunakan
untuk keperluan mereka sendiri. Selain itu masyarakat desa ini juga memiliki
perkebunan karet. Sumber utama keuangan keluarga adalah dari hasil penjualan
karet ini ditambah dengan hasil penjualan kayu dari hutan di sekitar desa tersebut.
Pengambilan kayu dari hutan biasanya dilakukan apabila mereka memerlukan
uang untuk memenuhi keperluan sehari-hari. Biasanya mereka pergi berkelompok
tiga atau empat orang untuk beberapa hari ke dalam hutan sampai mendapatkan
kayu dalam jumlah yang mereka inginkan. Praktek seperti ini telah berlangsung
lama.

Gambar 39. Lokasi penelitian

Selain penduduk setempat, para-pihak yang lain adalah Departemen Kehutanan,


pemerintah daerah, kalangan peneliti dan universitas, dan perusahaan pemegang
ijin IPPK. Dalam penelitian ini perusahaan pemegang ijin IPPK bernama MKS
mendapatkan perhatian khusus karena mereka berkonflik dengan masyarakat
lokal terutama dalam hal batas-batas kawasan hutan. Perusahaan IPPK ini
mendapatkan ijin dari Bupati Bungo untuk beroperasi di wilayah hutan di sekitar
Baru Pelepat.
BAGIAN 4-1 • Yurdi Yasmi 291

METODA DAN PENDEKATAN PENELITIAN


Untuk mendapatkan informasi tentang konflik dan proses peningkatannya
diterapkan tiga metode pengumpulan data, yang umum dipakai dalam penelitian-
penelitian sosial. Pertama, wawancara semi terstruktur terhadap 28 responden
yang dipilih dari masyarakat lokal, pemegang IPPK MKS, Dishutbun, dan peneliti-
peneliti yang aktif di Baru Pelepat. Wawancara didesain agar memungkinkan
untuk menguak isu-isu utama dalam konflik dan proses peningkatan konflik.
Wawancara umumnya berlangsung 45-120 menit.

Kedua, diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion) sebanyak dua kali.
Dalam diskusi kelompok ini lebih jauh digali tentang seluk beluk konflik yang
sedang diamati dan bagaimana persepsi para pihak terhadap konflik tersebut.
Ketiga, melakukan konfirmasi hasil-hasil temuan melalui wawancara dan diskusi
kelompok terfokus dengan peneliti-peneliti berpengalaman di daerah tersebut
untuk mengurangi bias dan memastikan keakuratan hasil yang diperoleh.

HASIL PENELITIAN

Isu Utama dalam Konflik


Hasil penelitian menunjukkan bahwa isu utama dalam konflik yang melibatkan
masyarakat Desa Baru Pelepat dengan MKS adalah batas-batas hutan. Masyarakat
mengatakan bahwa wilayah operasi MKS adalah bagian dari wilayah hutan adat
mereka. Pada kawasan tersebut masyarakat juga mengambil kayu guna mendapatkan
uang. Sehingga kegiatan MKS menebang kayu di kawasan itu dirasakan cukup
merugikan kepentingan masyarakat Desa Baru Pelepat. Masyarakat menilai MKS
tidak peduli terhadap hak-hak masyarakat setempat. Menurut masyarakat MKS
telah melanggar batas dan memasuki kawasan hutan mereka secara lancang
tanpa ijin. Oleh karena itu masyarakat meminta MKS memberikan kompensasi
uang dan juga bantuan-bantuan lain untuk perbaikan sarana dan prasarana desa
(seperti balai adat dan mesjid).

Di lain pihak, MKS berpegang teguh pada posisinya yang mengatakan bahwa
semua kawasan hutan adalah hutan negara. Oleh sebab itu hanya negaralah yang
berhak mengelola hutan termasuk dalam kawasan di mana MKS mendapatkan
ijin IPPK. MKS mempunyai ijin resmi dari Bupati dan telah memenuhi semua
persyaratan untuk mendapatkan IPPK dan juga telah membayar semua
292 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

kewajibannya kepada pemerintah. MKS juga memiliki peta lokasi yang disahkan
oleh Bupati melalui Dishutbun Kabupaten Bungo2. Pihak MKS malah menantang
supaya masyarakat juga bisa menunjukkan peta lokasi desa dan hutan mereka.
Tentu saja, masyarakat tidak mempunyai peta-peta tersebut. Dalam padangan
MKS apabila masyarakat keberatan dengan kegiatan mereka maka masyarakat
seharusnya menyampaikannya ke pemerintah yang telah memberikan ijin resmi.
MKS merasa tidak ada urusan dengan masyarakat setempat, sehingga mereka
tidak mau memenuhi tuntutan yang diajukan oleh masyarakat Baru Pelepat.
MKS merasa tuntutan itu dibuat-buat oleh masyarakat dan membahayakan bisnis
mereka.

Kedua belah pihak mempunyai penafsiran yang berbeda terhadap kawasan hutan
yang sama. Masyarakat Desa Baru Pelepat merasa bahwa MKS beroperasi di
wilayah hutan adat desa mereka. Sedangkan MKS sendiri menyatakan operasi
mereka adalah di hutan negara di bawah wewenang pemerintah. Masalah batas-
batas hutan seperti ini seringkali terjadi dalam pelaksanaan IPPK terutama karena
tidak adanya kejelasan mana wilayah hutan desa (adat) dan mana wilayah hutan
negara. Oleh sebab itu, tidak mengherankan kalau permasalahan batas hutan Baru
Pelepat ini mencuat di saat maraknya IPPK. Pihak pemerintah sendiri (Dishutbun
Kabupaten Bungo) mengakui bahwa memang kawasan hutan sebagian besar
belum jelas batas-batasnya. Peta-peta yang ada sekarang ini dibuat di Jakarta dan
cek lapangan tidak pernah dilakukan sehingga apakah wilayah itu tumpang tindih
dengan wilayah masyarakat tidak pernah diketahui sebelumnya. Hanya baru-baru
ini, sejak otonomi daerah, permasalahan batas ini muncul ke permukaan.

Proses Peningkatan Konflik


Kalau di atas digambarkan mengenai isu utama yang menyebabkan munculnya
konflik antara masyarakat lokal dan MKS, di bagian ini akan dijelaskan secara
singkat bagaimana konflik tersebut meningkat dari waktu ke waktu. Gambar 40
memberikan sketsa kira-kira proses muncul dan peningkatan konflik ini. Pada
gambar tersebut diberikan rentang waktu dari Maret sampai dengan Desember,
disertai peristiwa-peristiwa yang terjadi, yang menggambarkan dinamika konflik
tersebut. Gambar itu juga menjelaskan tahapan peningkatan yang dilalui, mulai
dari rasa kecemasan masyarakat terhadap kegiatan MKS sampai pada tahap
tertinggi yaitu intimidasi. Pada gambar tersebut dijelaskan pula beberapa faktor
penting yang menyebabkan konflik meningkat ke tahap berikutnya. Setiap tahap
peningkatan ini akan disinggung secara singkat.

2 Peta lokasi ini tidak boleh digandakan oleh pihak MKS, oleh sebab itu dalam tulisan ini tidak bisa ditampilkan. Dalam peta itu ditunjukkan wilayah-
wilayah hutan negara dan wilayah desa. Dengan peta itu pihak MKS bisa beroperasi dan melegitimasi kegiatan mereka.
BAGIAN 4-1 • Yurdi Yasmi 293

Intimidasi
• MKS tidak
memenuhi
permintaan
Protes masyarakat
• Penebangan
• MKS tidak berlanjut
merespon
permintaan
lobbi masyarakat

• Tidak ada
kompensasi

Debat

• Penolakan hak
masyarakat
• Ketakutan
peristiwa
Kecemasan
masa lalu
• Penebangan
di hutan
masyarakat

Maret-Mei Juni-Agustus September November Desember


2004

Gambar 40. Proses peningkatan konflik yang melibatkan masyarakat dan MKS

Konflik ini bermula dari “kecemasan” masyarakat desa ketika mereka mengetahui
adanya kegiatan penebangan kayu oleh MKS di hutan milik masyarakat. Hal
ini terjadi sekitar Maret dan Mei 2004. Masyarakat merasa sangat terganggu
dengan adanya kegiatan tersebut. Mulai saat itu berbagai wacana dalam
masyarakat bermunculan. Omongan dari mulut ke mulut tentang kegiatan MKS
menjadi semakin sering terdengar. Ada dua alasan utama yang menyebabkan
rasa kecemasan dari masyarakat berkembang menjadi “perdebatan” yang tak
terelakkan antara mereka dengan MKS. Pertama, masyarakat menilai MKS tidak
mengakui atau menolak hak-hak masyarakat. Alasan kedua adalah masyarakat
masih merasa ketakutan atas peristiwa serupa pada masa lalu yang mereka alami
dengan perusahaan kayu. Dan saat itu mereka selalu dibohongi dengan janji-janji
kepada masyarakat yang tidak pernah ditepati. Karena kedua hal inilah masyarakat
294 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

memilih untuk memperjuangkan hak-hak mereka dalam proses perdebatan yang


alot dengan pihak MKS. Perdebatan tersebut berlangsung antara bulan Juni dan
Agustus. Dalam kurun waktu ini, masyarakat mempertanyakan kegiatan MKS
secara langsung dan mempermasalahkan batas-batas wilayah hutan mereka.
Mereka berpendirian bahwa MKS telah memasuki wilayah hutan mereka tanpa
sepengetahuan mereka. Karena itu masyarakat mengajukan permintaan supaya
MKS membayar imbal-jasa untuk setiap meter kubik yang telah dan akan
ditebang.

Namun demikian, perdebatan yang berlangsung itu harus meningkat ke tingkat


berikutnya, yaitu lobi. Hal ini disebabkan tidak adanya respon positif dari pihak
MKS terhadap tuntutan-tuntutan masyarakat. Oleh sebab itu, masyarakat secara
lebih terstruktur melobi MKS melalui beberapa pertemuan dengan staf MKS.
Dalam lobi-lobi itu pihak masyarakat menyampaikan kembali tuntutan-tuntutan
mereka. Di samping itu, mereka juga melobi pihak-pihak lain dalam membantu
menyelesaikan kasus ini seperti Bupati dan Dishutbun. Masyarakat secara tertulis
menyampaikan keluhan mereka kepada kedua lembaga pemerintahan ini dan
meminta mereka memberikan perhatian terhadap aspirasi masyarakat. Dalam
lobinya dengan perusahaan, masyarakat bahkan meminta kompensasi yang lebih
rendah dari tuntutan semula.

Kegiatan lobi ternyata tidak membuahkan hasil. Pihak MKS tetap tidak mau
memenuhi tuntutan masyarakat walaupun permintaan imbal-jasa sudah
diturunkan dari jumlah semula. Akhirnya masyarakat melanjutkan usaha mereka
dengan melakukan “protes” terbuka ke pihak MKS. Beberapa pemimpin desa dan
adat mengunjungi lokasi operasi MKS di dalam hutan. Dalam kesempatan itu,
masyarakat secara tegas mempermasalahkan kegiatan MKS. Malah sebagian dari
masyarakat membawa senjata seperti pisau untuk menggertak pihak MKS. Mereka
menuntut agar kegiatan penebangan dihentikan sementara sampai permasalahan
selesai. Akibatnya pekerja di lapangan terpaksa memenuhi tuntutan tersebut.
Beberapa hari kemudian masyarakat mengetahui bahwa MKS telah mulai
beroperasi kembali. Hal ini menimbulkan amarah masyarakat, padahal mereka
belum menerima kompensasi apa-apa. Karena itu masyarakat meminta manajer
logging untuk segera memberikan kompensasi kalau tidak mereka akan membakar
camp MKS dan mengancam semua karyawannya. Karena tidak ada solusi juga,
maka kegiatan MKS dihentikan kembali karena banyak dari karyawan MKS
yang merasa terancam. Sesudah terjadinya peristiwa ini, tidak banyak informasi
tambahan yang berhasil didapat3.

3 Beberapa informasi menyebutkan bahwa konflik itu pada akhirnya dapat diselesaikan karena MKS bersedia membayar sejumlah fees kepada masyarakat.
Namun demikian, proses bagaimana penyelesaian konflik tersebut berlangsung tidak diketahui dengan pasti.
BAGIAN 4-1 • Yurdi Yasmi 295

PELAJARAN DARI KONFLIK


Hasil penelitian ini menggambarkan betapa permasalahan pengelolaan sumberdaya
hutan itu rentan konflik. Apalagi dalam masa-masa transisi seperti yang dijelaskan
di atas, berbagai pihak cenderung tunduk pada motivasi ekonomi sesaat. Oleh
sebab itu benturan-benturan kepentingan sulit dihindari. Ketika landasan hukum
masih samar-samar dan wewenang para pihak pun serba tidak jelas, maka konflik
menjadi suatu konsekuensi logis.

Ada beberapa pelajaran penting yang bisa diambil dari pengalaman di Jambi
ini. Pertama, terlihat jelas bahwa permasalahan batas-batas wilayah hutan
merupakan penyebab utama dalam konflik. Ketidakjelasan batas hutan negara
dan masyarakat memicu terjadinya konflik pada masa transisi. Barangkali pada
masa orde baru ketidakjelasan batas wilayah hutan ini tidak menimbulkan
konflik terbuka seperti dalam kasus di Jambi karena sistem pemerintahan
yang represif. Sehingga pihak lemah (seperti masyarakat lokal) tidak berani
menyampaikan aspirasi mereka secara terang-terangan. Akibatnya, aspirasi yang
tersumbat selama ini telah meledak seketika dan memunculkan konflik seperti
yang digambarkan di atas.

Kedua, ketidakjelasan aturan desentralisasi dan pembagian wewenang para-


pihak juga merupakan faktor penting penyebab konflik. Aturan-aturan tentang
desentralisasi di sektor kehutanan diterjemahkan secara “oportunistik” oleh berbagai
pihak. Sehingga terlihat dengan jelas bagaimana mereka memanfaatkan proses
desentralisasi guna kepentingan mereka masing-masing.

Ketiga, konflik bisa meningkat ke tingkat yang mengerikan apabila tidak ditanggapi
secara memadai. Kasus yang disajikan dalam tulisan ini menunjukkan dalam
waktu singkat (kurang dari satu tahun) konflik telah meningkat tajam sampai
taraf intimidasi dan protes. Jelaslah di sini bahwa pihak-pihak yang terlibat konflik
belum bisa menangani konflik dengan baik. Selain itu, pihak pemerintah dalam hal
ini Dinas Kehutanan dan Perkebunan juga tidak berhasil melakukan intervensi.
Peran mereka dalam konflik ini hampir tidak ada.

Dengan maraknya konflik di sektor kehutanan, hikmah apa yang bisa kita petik?
Peristiwa-peristiwa konflik menyadarkan kita akan perlunya pembenahan di sektor
kehutanan. Pembenahan ini mencakup berbagai aspek, termasuk aspek yuridis.
Sebenarnya konflik tidak melulu negatif selama ia dimanfaatkan dengan baik.
Konflik bisa dijadikan sebagai titik awal dalam rangka membangun komunikasi
antar pihak. Hanya dengan komunikasi yang baik dan terbuka konflik bisa
296 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

diselesaikan. Misalnya saja, kasus di Baru Pelepat ini mengisyaratkan bahwa tidak
ada komunikasi yang baik antara masyarakat lokal dan pihak MKS. Di satu pihak,
masyarakat terus pada pendirian mereka untuk meminta kompensasi dan di lain
pihak MKS tetap tidak mau mengakui kawasan hutan masyarakat. Akibatnya,
peningkatan konflik tidak dapat dielakkan.

KESIMPULAN DAN SARAN


Penelitian ini menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Proses transisi pengelolaan sumberdaya hutan ke arah desentralisasi tidak
selalu mulus. Proses transisi ini diwarnai berbagai konflik, misalnya, karena
ketidakjelasan batas wilayah hutan, kaburnya wewenang berbagai pihak dan
hukum yang tidak jelas/rinci.
2. Konflik sumberdaya hutan apabila tidak dikelola dengan baik akan meningkat.
Biasanya peningkatan itu melalui tahap-tahapan tertentu sebelum mencapai
puncaknya.
3. Pemahaman akan isu apa yang menjadi sumber konflik dan bagaimana proses
peningkatannya bisa menjadi informasi strategis untuk mengelola konflik.

Berdasarkan pengalaman di Baru Pelepat disarankan hal-hal sebagai berikut:


1. Perlu diadakan pemetaan ulang kawasan hutan sehingga tumpang tindih
bisa dihindari.
2. Perlunya kejelasan aturan-aturan pengelolaan hutan pada era desentralisasi.
3. Perlu kerjasama antar para-pihak dalam mewujudkan pengelolaan hutan
lestari dalam masa desentralisasi, termasuk pelibatan masyarakat lokal.
4. Karena berbagai konflik yang timbul, diperlukan pula pembekalan dan
peningkatan kapasitas para-pihak dalam hal penanganan konflik.
5. Kegiatan-kegiatan penelitian seputar konflik pengelolaan sumberdaya
hutan perlu ditindaklanjuti untuk memperbaiki pemahaman kita terhadap
permasalahan yang semakin hari semakin mencuat.

Ucapan terima kasih


Penulis berterima kasih kepada berbagai pihak yang sudah mendukung penelitian
ini. Teman-teman ACM membantu sangat banyak dalam hal ini, mereka adalah
Marzoni, Anto, Linda, Yayan, Lini, Carol, Doris, Eddy, Eno dan Yanti. Carol
dan Heiner memberikan arahan dalam penelitian ini, mereka juga memastikan
BAGIAN 4-1 • Yurdi Yasmi 297

relevansi penelitian ini. Banyak pihak lain di Jambi yang membantu seperti Dinas
Kehutanan dan Perkebunan dan Pemda Bungo.

BAHAN BACAAN
Bavinck, M. 1998. A Matter of Maintaining Peace, State Accommodation to
Subordinate Legal Systems: the Case of Fisheries along the Coromandel
Coast of Tamil Nadu, India. Journal of Legal Pluralism 40:151-170.
Bennet, E., Neiland, A., Anang, E., Bannerman, P., Rahman, A.A., Hug, Saleemul.,
Bhuiya, S., Day, M., Fulford-Gardiner, M., dan Clerveaux, W. 2001.
Towards a Better Understanding of Conflict Management in Tropical
Fisheries: Evidence from Ghana, Bangladesh and the Caribbean. Marine
Policy 25:365-376.
de Jong, W., Ruiz, S., dan Becker, M., 2006. Conflict and Communal Forest
Management in Northern Bolivia. Forest Policy and Economics 8(4):
447-457.
Hilson, G. 2002a. An Overview of Land Use Conflict in Mining Communities.
Land Use Policy 19(1): 65-73.
Hilson, G. 2002b. Land Use Competition between Small- and Large-scale Miners:
a Case Study of Ghana. Land Use Policy 19(2):149-156.
Ho, P. 2006. Credibility of Institutions: Forestry, Social Conflict and Titling in
China. Land Use Policy 23(4):588-603.
Hotte, L. 2001. Conflict over Property Rights and Natural-Resource Exploitation
at the Frontier. Journal of Development Economics 66:1-21.
Kerr, S., Johnson, K., Side, J., Baine, M., Davos, C., dan Hanley, J. 2006. Resolving
Conflicts in Selecting a Program of Fisheries Science Investigation.
Fishery Research 79:313-324.
Kusumanto, T., Yuliani, L., Macoun, P., Indriatmoko, Y., dan Adnan, H. 2005.
Learning to Adapt: Managing Forest Together in Indonesia. CIFOR,
Bogor, 191 pp.
Martinez-Alier, J. 2001. Mining Conflicts, Environmental Justice and Valuation.
Journal of Hazardous Material 86(1-3):152-170.
McCarthy, J. 2004. Changing to Gray: Decentralization and the Emergence of
Volatile Socio-legal Configuration in Central Kalimantan, Indonesia.
World Development 32(7):1199-1223.
Resosudarmo I.A.P. 2004. Closer to People and Trees: Will Decentralization
Work for the People and the Forests of Indonesia? European Journal of
Development Research 16(1):110–132.
298 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Wenban-Smith, J. 2001. Forests of Fear: The Abuse of Human Rights in Forest


Conflicts. FERN, Brussels, 48 pp.
Wulan, Y.C., Yasmi, Y., Purba, C., dan Wollenberg, E. 2004. Analisa Konflik Sektor
Kehutanan di Indonesia 1997-2003. CIFOR, Bogor, 79 pp.
Yasmi, Y. 2003. Understanding Conflict in the Co-management of Forests: the
Case of Bulungan Research Forest. International Forestry Reviews 5 (1):
38-44.
Yasmi, Y., Schanz, H., dan Salim, A. 2006a. Manifestation of Conflict Escalation
in Natural Resource Management. Environmental Science & Policy
9(6):538-546.
Yasmi, Y., Anshari, G.Z., Komarudin, H., dan Alqadri, S. 2006b. Stakeholder
Conflicts and Forest Decentralization Policies in West Kalimantan:
Their Dynamics and Implications for Future Forest Management.
Forests, Trees and Livelihoods 16(2):167-180.
BAGIAN 4-2
Kolaborasi untuk Kelestarian Hutan dan
Kesejahteraan Masyarakat

Trikurnianti Kusumanto
300 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

MENYANGGAH TRAGEDI HUTAN?


‘The tragedy of the commons’1 (1968) karya Garret Hardin merupakan salah
satu tulisan abad ke-20 yang mempengaruhi cara pandang dan cara bertindak
banyak orang mengenai hutan. Hardin meramalkan, kekayaan sumberdaya
alam bumi ini akan musnah dengan pasti karena sifat egois manusia mendorong
banyak orang untuk secara berlomba memanfaatkan sumberdaya alam tanpa
menghiraukan akibat dari perbuatannya terhadap orang lain atau terhadap alam.
Pendapat umum yang berkembang kemudian memicu munculnya kebijakan
dan program kehutanan berbagai pemerintah, penyandang dana, serta lembaga
swadaya masyarakat yang menganggap lazim bila hutan harus dilindungi dari
‘perbuatan destruktif’ manusia. Misalnya, kawasan konservasi alam di berbagai
negara termasuk Indonesia, ditetapkan untuk melindunginya terhadap ‘perambah
hutan.’

Menariknya, ramalan Hardin


itu mengundang banyak kritik.
Sederet ilmuwan -baik ekonom,
ilmuwan sosial lainnya, maupun
ekolog, di antaranya Eleanor
Ostrom (1990) dan Mat Ridley
(1996) menolak visi suram
itu. Dengan sudut-pandang

© Hasantoha Adnan
yang berbeda-beda dan bukti
lapangan yang meyakinkan,
mereka menawarkan alternatif
yang lebih cerah, lebih optimis. Kerusakan hutan di Indonesia:
Menurut pandangan alternatif menjadi nyatakah ramalan Hardin?
itu kelestarian sumberdaya alam
sangat mungkin, karena pada
dasarnya manusia memiliki sifat kooperatif, bukannya destruktif, dan bisa bekerja
sama satu sama lain dalam memanfaatkan dan melestarikan hutan. Pendapat
mana yang berlaku di sini? Visi Hardin, atau dapatkah kita merapat dengan para
ilmuwan itu dengan membawa bukti dari bumi Nusantara yang dapat menyanggah
visi tersebut?

Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan di atas dengan melihat sejauh mana
para-pihak dapat berkolaborasi dalam mengelola sumberdaya hutan di negeri ini;

1 Bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia: ‘Tragedi Kepemilikan Umum’


BAGIAN 4-2 • Trikurnianti Kusumanto 301

dan bila tidak ada kolaborasi, kenapa demikian dan apakah kita dapat mendorong
terjadinya kolaborasi? Guna menjawab itu, dilakukan sebuah penelitian di
Kabupaten Bungo, Propinsi Jambi, antara 2000 sampai 20062. Penelitian tersebut
berjalan seiring dengan penelitian aksi yang dilakukan masyarakat Desa Baru
Pelepat di Kabupaten Bungo difasilitasi oleh Yayasan Gita Buana (YGB), Pusat
Studi Hukum dan Kebijakan Otonomi Daerah (PSHK-ODA)3 dan Center for
International Forestry Research (CIFOR)4, selanjutnya disebut Tim. Penelitian
aksi masyarakat itu ditujukan untuk menangani berbagai masalah sekitar hutan,
di antaranya menyusutnya sumberdaya hutan sebagai sumber penghidupan
masyarakat, adanya benih konflik antara warga mengenai sumberdaya desa, dan
pengabaian pemerintah terhadap pola pengaturan dan pengelolaan hutan yang
dimiliki masyarakat. Penelitian aksi tersebut sekaligus penerapan suatu pendekatan
pengelolaan hutan yang disebut Adaptive Collaborative Management (ACM)5.
Dalam tulisan ini kolaborasi diartikan sebagai: sebuah proses yang melibatkan paling
sedikit dua pihak orang ataupun organisasi yang secara bersama menangani masalah
yang tidak tertangani pihak itu secara terpisah6. Dalam tulisan ini pengamatan
diarahkan pada kolaborasi horisontal antar masyarakat dan kolaborasi vertikal di
antara masyarakat dengan pemerintah.

BERANGKAT DARI SEJARAH


Sekitar satu abad yang lalu, sewaktu nenek moyang masyarakat Desa Baru Pelepat
membuka permukiman di pinggir Sungai Batang Pelepat bagian hulu, sumberdaya
hutan dapat menopang penghidupan masyarakat desa secara melimpah. Saat itu
masyarakat Baru Pelepat, yang berasal dari Pagaruyung di Sumatera bagian barat,
hanya terdiri dari Suku Minangkabau. Jumlah warga sedikit dan pengaturan
pemanfaatan hutan dilakukan secara adat dengan efektif. Batas wilayah milik
masyarakat -walaupun tidak selalu jelas secara geografis- diakui secara sosial oleh
masyarakat sekitar. Oleh karena sumberdaya alam yang tersedia di wilayah tersebut
melebihi kebutuhan, masyarakat nyaris tidak terdorong untuk berhubungan
dengan pihak luar dalam mencari penghidupan mereka.

Perubahan datang pada pertengahan 1970-an. Selama tiga dasawarsa empat


perusahaan HPH beroperasi silih-berganti di wilayah desa tanpa memperhatikan

2 Penelitian tersebut didukung oleh Bank Pembangunan Asia (ADB) tahun 2000-2002 dan Program Kehutanan Multipihak (MFP)-DfID, tahun 2003-
2006.
3 Keduanya berkedudukan di Jambi.
4 Lembaga penelitian kehutanan internasional berpusat di Bogor.
5 Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi: pengelolaan bersama secara adaptif (PBA). Penelitian aksi ACM itu diprakarsai CIFOR dan
dilaksanakan di 11 negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Bagaimana ACM diterapkan di Indonesia, lihat Kusumanto et al. (2006).
6 Disesuaikan dari Gray (1985) dan Carter dan Gronow (2005).
302 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

hak dan kesejahteraan masyarakat maupun kondisi hutan. Alhasil, wilayah adat
masyarakat Baru Pelepat terabaikan; masyarakat makin miskin dan hutan makin
kurus terkuras pihak luar. Dewasa ini, hanya lereng-lereng terjal dan bagian tinggi
saja yang layak disebut hutan; sedangkan selebihnya, wilayah yang secara resmi
dan di atas peta disebut hutan produksi itu, menunjukkan banyak tempat hampa
dengan gerombolan pepohonan berdiameter kecil di sana-sini diselingi semak
belukar.

Selain pembukaan hutan secara besar-besaran oleh HPH, pembentukan desa


secara seragam di seluruh Indonesia awal 1980-an dan proyek transmigrasi di
Baru Pelepat yang dimulai pada 1997 telah menimbulkan dampak yang besar7.
Tatanan sosial runtuh sampai ke akar-akarnya. Lembaga adat, yang selama itu
mengatur kehidupan warga, harus merelakan otoritasnya kepada oleh lembaga
pemerintah desa yang baru dan direstui pemerintah. Norma adat menjadi luntur
untuk kemudian disisihkan atau melebur dengan norma sosial yang ditentukan
negara. Walaupun dalam kenyataan tokoh-tokoh adat tetap berperan dalam
pemerintahan desa yang baru, mengatur kehidupan warga tidak dapat dilakukan
lagi secara otonom seperti sebelumnya.

Pemberian tanah adat oleh proyek transmigrasi kepada pendatang, yang berasal
dari Jambi dan Jawa itu, menimbulkan kecemburuan sosial penduduk asli
terhadap pendatang dan menaburkan benih konflik di antara kedua kelompok
yang harus hidup berdampingan. Keadaan terkadang bahkan lebih memilukan;
ketika masyarakat memerlukan pengayoman dan rasa aman, sering para pejabat
dan tetua desa justru tergoda berbagai janji menggiurkan pihak luar dan akhirnya
mementingkan diri sendiri ketimbang orang banyak.

Namun, kenapa bicara tentang tatanan sosial yang rapuh ketika membahas
kolaborasi dalam menangani hutan? Ada dua alasan untuk itu. Pertama, situasi
seperti itu pada intinya kurang memungkinkan terjadinya kolaborasi. Kedua,
keadaan itu pada saat yang sama menciptakan peluang untuk mendorong
kolaborasi. Secara berturut-turut bagian di bawah ini dan yang berikutnya
menyimak kenapa kolaborasi horisontal tidak mudah terjadi di lokasi penelitian
dan bagaimana dalam kondisi seperti itu kolaborasi dapat dibangun.

7 Meskipun kebijakan pembentukan desa (UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa) sudah dicabut ketika kebijakan otonomi diberlakukan pada
awal 2001, dampaknya terlanjur sangat jauh.
BAGIAN 4-2 • Trikurnianti Kusumanto 303

KENAPA KOLABORASI HORISONTAL


SULIT TERJADI?
Pada saat masyarakat Desa Baru Pelepat mulai menerapkan ACM; tatanan sosial
desa itu berada pada kondisi rapuh, yang dicirikan hal-hal berikut (Gambar 41):
i. Kehampaan kepercayaan satu sama lain dan hubungan timbal balik antar
warga.
ii. Kehampaan norma bersama.
iii. Kehampaan organisasi bersama tempat para pihak seharusnya bisa saling
berhubungan secara konstruktif.

Hampa kepercayaan satu


sama lain

Tatanan sosial

Hampa norma Hampa organisasi


bersama bersama

Gambar 41. Tiga macam kehampaan dalam tatanan sosial yang rapuh

Kehampaan ketiga aspek ini telah menghambat terjadinya kolaborasi di antara


berbagai pihak masyarakat8.

Jika seseorang percaya kepada orang lain, ia meyakini jerih payah yang ia
sumbangkan untuk kepentingan bersama tidak sia-sia: kepercayaan itu menjadi
modal yang diinvestasikan dan dengan pasti akan dikembalikan. Ada semacam
timbal balik di antara dua orang yang saling percaya.

Pada saat pertama kali memasuki Baru Pelepat, kehampaan kepercayaan


antarwarga amat terasa. Bukan hanya antara penduduk asli dan pendatang
karena saling bersaing mengenai fasilitas dan sumberdaya desa, tetapi juga di
antara warga lainnya. Berbagai kegiatan pembangunan Baru Pelepat di masa
lalu diakui gagal oleh warga dikarenakan kecurigaan satu sama lain, yang pada

8 Banyak pustaka menggunakan istilah modal sosial jika suatu tatanan sosial memiliki hal-hal disebut di atas. Lihat misalnya Putnam (1993) dan Pretty
(2003).
304 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

gilirannya, menghambat proses pembangunan. Warga desa seolah mencemaskan,


orang lain akan mengambil tindakan yang hanya menguntungkan dirinya sendiri
tanpa menghiraukan akibatnya untuk orang lain. Pada gilirannya, warga seolah
bertanya: “Kenapa harus memikirkan orang lain, jika ia hanya mementingkan
dirinya sendiri?” Sikap seperti ini sering mendasari hasrat dan tindakan warga
desa. Menyadari hal ini, kita diingatkan pada visi Hardin: tampaknya visi itu
berlaku juga di Baru Pelepat!

Andaikata dua orang hidup bersama dan harus berbagi sumber penghidupan
di antara mereka, mereka memerlukan norma yang menjadi acuan tentang
bagaimana sumber penghidupan itu harus dirawat dan dikelola serta bagaimana
hasilnya harus dibagi di antara mereka. Norma itulah yang memungkinkan mereka
hidup bersama. Pada umumnya, norma yang dipakai oleh sekelompok orang atau
suatu masyarakat dapat dilihat dari peraturan yang diberlakukan kelompok atau
masyarakat itu, baik peraturan tertulis (seperti undang-undang pemerintah)
ataupun tidak tertulis (seperti peraturan adat). Kolaborasi antarpihak sebenarnya
semacam hidup bersama dan dapat berjalan dengan efektif jika ada norma bersama
yang disepakati oleh para pihak yang berkolaborasi itu. Bagaimanakah keadaan di
Baru Pelepat?

Kebanyakan norma hidup bermasyarakat di Baru Pelepat berdasarkan adat atau ada
unsur adatnya. Biasanya para pemimpin dan tetua adatlah yang berwenang untuk
mengawasi penerapan norma adat oleh warga, dan untuk menyesuaikannya bila
perlu. Pada umumnya norma adat dipatuhi warga tanpa terlalu mempersoalkannya,
dan warga meyakini adat itu untuk kepentingan bersama. Dengan kata lain
masyarakat berpandangan, norma adat merupakan norma bersama. Hanya saja,
pada awal penelitian, banyak warga mengakui mereka nyaris tidak dilibatkan
dalam musyawarah adat ketika para pemimpin dan tetua adat menentukan
berbagai hal berkaitan dengan kehidupan adat masyarakat. Bagi kebanyakan
warga, musyawarah adat bagaikan sebuah ‘kotak hitam’, yang meskipun penting
bagi semua karena keputusannya menyangkut orang banyak, jarang melibatkan
warga. Hal ini menunjukkan, norma adat sebenarnya tidak bersifat ‘bersama’
karena tidak ditentukan secara bersama. Warga meyakini aturan adat diturunkan
dari generasi ke generasi dan karenanya teruji sesuai dengan keadaan masyarakat
di Baru Pelepat. Akan tetapi pada saat yang sama, warga mengalami banyak aturan
adat tidak lagi cocok dengan keadaan sekarang, bahkan dapat disalahgunakan oleh
mereka yang berkesempatan melakukan hal itu. “Norma adat perlu direformasi,
sudah ketinggalan jaman”, begitulah keinginan banyak warga.
BAGIAN 4-2 • Trikurnianti Kusumanto 305

© Trikurnianti Kusumanto
©T. Kusumanto

Penduduk asli dan pendatang hidup bersama di satu desa, mereka harus berbagi sumberdaya
alam yang tersedia. Kiri: penduduk asli; kanan: pendatang,

Selain itu sejak proyek transmigrasi, adat terbukti kurang mampu mengakomodir
kebutuhan berbagai pihak dalam masyarakat. Contohnya, pendatang mengakui
mereka jarang diminta pendapatnya dan diperlakukan berbeda dari penduduk asli;
perempuan hampir tidak pernah dilibatkan dalam musyawarah adat walaupun
keputusan yang diambil penting bagi mereka. Juga dalam hal ini dapat dikatakan,
norma adat yang terkandung dalam aturan desa bukanlah norma bersama.

Bagaimana halnya dengan norma negara yang diintroduksi pemerintah, termasuk


Baru Pelepat, ketika Indonesia memperoleh kemerdekaannya? Norma bersamakah
itu? Sama halnya dengan norma adat, norma negara itu sifatnya tidak bersama
karena tidak ditetapkan secara bersama oleh seluruh warga bangsa. Contoh norma
negara dari Baru Pelepat, misalnya, norma yang dijadikan dasar pembangunan
desa pada 1980-1990-an. Norma negara itu ditetapkan untuk membangun
infrastruktur dan perekonomian desa maupun menopang pembangunan ekonomi
nasional dan diberlakukan secara seragam di seluruh Nusantara.

Kehampaan organisasi bersama, jenis kehampaan yang ketiga dalam diskusi kita,
juga mempersulit terjadinya kolaborasi horisontal di Baru Pelepat. Organisasi bersama
diperlukan untuk menampung kepentingan warga yang berbeda-beda melalui
penyelenggaraan kegiatan untuk kepentingan bersama. Hal yang pokok dalam
organisasi seperti itu, setiap keputusan para pihak di dalam organisasi diambil secara
306 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

bersama. Memang, berbagai organisasi di Baru Pelepat telah berkiprah beberapa


lama dalam menyelenggarakan berbagai kegiatan warga. Misalnya kelompok
Yasinan perempuan yang sekaligus mengadakan kegiatan simpan pinjam, kelompok
tani yang menyelenggarakan kegiatan di ladang dan hutan, atau lembaga adat yang
mengadakan kegiatan adat. Namun, berbagai organisasi masyarakat itu diarahkan
untuk keperluan organisasi atau kelompok yang bersangkutan saja, bukannya
guna menyelenggarakan kegiatan untuk kepentingan bersama. Bahkan berbagai
organisasi itu jarang berhubungan satu sama lain. Selain itu, kadang organisasi
desa didirikan ketika suatu program pemerintah masuk desa dan memerlukan
sebuah wadah guna mengorganisasi warga dalam rangka pelaksanaan program,
misalnya koperasi desa. Setelah program berhenti, sering berhenti pulalah fungsi
organisasi itu. Jelas, berbagai organisasi masyarakat di Baru Pelepat tidak dapat
disebut sebagai ‘organisasi bersama’.

Dikaitkan dengan visi Hardin, keadaan sosial di Baru Pelepat yang hampa
kepercayaan satu sama lain itu— mirip kondisi yang menurutnya berakibat
buruk terhadap kelestarian sumberdaya alam karena para pihak hanya bertujuan
untuk meraup keuntungan pribadi belaka. Di Baru Pelepat ternyata bukan
hanya kehampaan kepercayaan satu sama lain saja yang menghambat kolaborasi.
Kehampaan norma bersama dan organisasi bersama juga telah mempersulit
kolaborasi. Hardin melihat manusia sebagai mahluk rasional yang dalam segala
tindakannya hanya mementingkan dirinya saja. Mungkin saja ia terpengaruh
definisi Seneca9 yang berbahasa Latin itu: rasionale animal est homo (manusia adalah
binatang rasional). Hal yang dilupakan Hardin, manusia juga mahluk emosional
dan spiritual (religius). Dalam bertindak, manusia tidak hanya terdorong
pertimbangan rasional, tetapi bertindak juga karena dorongan emosional dan
spiritual, terutama ketika hidup dalam suatu tatanan sosial dengan orang lain.
Seseorang, meskipun memang mahluk rasional, dapat berkolaborasi asalkan selain
memiliki rasa percaya kepada pihak lain dan memperoleh kepercayaan dari pihak
itu, harus ada norma bersama yang dapat dijadikan acuan dalam bertindak dan
organisasi bersama yang dapat digunakan untuk menyelenggarakan kegiatan untuk
kepentingan bersama.

Sekarang kita mengetahui visi Hardin kurang berlaku di Baru Pelepat. Bergunakah
pengetahuan ini untuk praktek lapangan? Hal yang mungkin lebih penting daripada
ikut berdebat tentang teori Hardin, bagaimana kita mempraktekkan kolaborasi.
Dengan kata lain, jika tiga faktor di atas (kepercayaan satu sama lain, norma
bersama, dan organisasi bersama) merupakan hal utama untuk sebuah kolaborasi,
bagaimana ketiga hal ini dapat dibangun secara nyata.

9 Filsuf dan penyair Romawi yang hidup pada abad pertama, pada jaman Kaisar Kaligula dan Nero.
BAGIAN 4-2 • Trikurnianti Kusumanto 307

MEMBANGUN KOLABORASI HORISONTAL


Dari pengalaman masyarakat Baru Pelepat menerapkan ACM, dapat dipetik
beberapa pelajaran praktek kolaborasi. Selama sekitar lima tahun para-pihak di
sana berupaya untuk menangani berbagai masalah sekitar hutan secara bersama,
yang difasilitasi oleh Tim.

Sewaktu para pihak desa berupaya bersama misalnya pada saat negosiasi batas
desa dengan desa tetangga atau ketika membuat peraturan hutan adat, tampak
adanya kondisi yang mampu mendorong berkembangnya kepercayaan antarpihak.
Kondisi seperti itu meningkatkan kesadaran tentang:
i. ketergantungan satu sama lain dalam memanfaatkan sumberdaya alam, yang
pada gilirannya merangsang mereka untuk saling menghargai
ii. kekuatan masing-masing pihak berkaitan dengan pengelolaan alam yang
tidak dimiliki pihak lain, seperti pengetahuan, informasi, atau keterampilan.

Untuk mendorong terbangunnya kepercayaan satu sama lain, fasilitator dari Tim
mengajak para pihak untuk mengenal ketergantungan mereka satu sama lain.
Misalnya, ia meminta masing-masing pihak mengidentifikasi hal-hal yang mereka
lakukan dalam mencari penghidupan mereka yang bergantung pada tindakan
pihak lain dan yang berdampak pada pihak lain. Fasilitator juga mengarahkan
kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang kemampuan masing-
masing pihak.

Kemudian, bagaimana norma bersama dapat dibangun? Jawabnya, kita belajar


dari pengalaman masyarakat Baru Pelepat ketika mereka memilih wakil untuk
menjadi anggota badan perwakilan desa (BPD)10. Difasilitasi para pendamping,
selama sekitar 3 bulan (Agustus-November 2001) masyarakat belajar bersama
bagaimana mempersiapkan dan melakukan pemilihan anggota BPD. Menariknya,
ketika masyarakat memilih para wakil mereka, mekanisme pemilihan yang
dikembangkan ternyata mampu menciptakan kondisi yang dapat mendorong
masyarakat membangun norma bersama berkenaan dengan pemilihan.

Mekanisme pemilihan tersebut terdiri dari tiga bagian:


i. sebuah panitia pemilihan dengan anggota yang dipilih dari setiap dusun;
panitia itu diberi mandat oleh masyarakat untuk menyiapkan dan
menyelenggarakan pemilihan.

10 Dari Kusumanto (2007).


308 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

ii. serangkaian musyawarah desa


yang diadakan panitia guna
melaporkan proses pemilihan
kepada para pihak desa.
iii. suatu ‘jaringan informasi’ yang
mencakup seluruh desa dan
berkembang secara spontan di
luar fasilitasi.

Tiga bagian dari mekanisme ini saling


melengkapi dan seolah menjadi
sebuah forum sosial yang menawarkan
wadah interaksi sosial yang digunakan
para-pihak desa sebagai ruang
negosiasi norma. Sebagai contoh,
proses pemilihan telah menghasilkan

© Trikurnianti Kusumanto
terbentuknya suatu norma bersama
tentang kepemimpinan desa yang
demokratis dan yang secara adil
mewakili kepentingan seluruh warga.
Kondisi transparan yang menciptakan Mekanisme pemilihan ternyata mampu
forum sosial itu telah merangsang menciptakan kondisi para-pihak yang
terjadinya negosiasi norma dan transparan
pembelajaran bersama di antara para-
pihak desa.

Dalam kesemuanya ini, tugas fasilitator para-pihak sangat penting dan berdasar
pengamatan lapangan ada tiga macam:
• menjaga agar forum sosial yang berkembang tetap transparan dengan cara
melibatkan semua pihak yang ada secara tepat waktu dan tepat cara.
• membantu mereka dalam mengkomunikasikan pandangan mereka satu sama
lain.
• mendampingi para-pihak memaknai proses-proses politik yang muncul
sepanjang pemilihan, misalnya adu kekuatan antara calon anggota BPD
untuk memperoleh suara dari warga.

Kini masih tersisa, bagaimana organisasi bersama dapat dibangun. Berbagai organisasi
desa yang ada di Desa Baru Pelepat bertujuan untuk kepentingan kelompok
atau organisasi tertentu, bukannya untuk kepentingan bersama. Nampaknya,
organisasi bersama harus diciptakan. Dan lembaga pendamping sebagai pihak luar
BAGIAN 4-2 • Trikurnianti Kusumanto 309

telah mengambil inisiatif. Mereka menyelenggarakan berbagai kegiatan dan aksi


multipihak yang mewakili kepentingan semua pihak. Dengan cara ini berbagai
kegiatan tersebut berfungsi sebagai organisasi bersama. Panitia pemilihan atau
serangkaian musyawarah desa, merupakan contoh organisasi bersama semacam
itu. Namun demikian, sebuah organisasi bersama tidak selalu akan berarti suatu
organisasi harus diciptakan baru, harus diprakarsai pihak luar, ataupun harus
bersifat resmi (dengan keputusan kepala desa atau pemerintah). Hal yang menjadi
pokok, sebuah organisasi bersama harus memiliki ciri-ciri berikut:
i. mewakili semua pihak kepentingan,
ii. kegiatan diselenggarakan berangkat dari keputusan-keputusan, termasuk
tentang tujuan organisasi, yang diambil secara bersama,
iii. segala upaya mengutamakan hubungan antarpihak yang konstruktif.

Tugas utama fasilitator di sini mendorong para-pihak belajar:


• mengorganisasikan kegiatan agar para-pihak dapat berhubungan dan
berkomunikasi satu sama lain,
• menyelenggarakan kegiatan berangkat dari serangkaian keputusan bersama
yang diambil sepanjang proses.

Setelah tergambar bagaimana kolaborasi horisontal antarpihak desa dapat dibangun,


hal berikutnya yang perlu dicermati adalah peran pemerintah. Pasalnya, sebagai
‘pengayom masyarakat,’ pemerintah diharapkan dapat berperan dalam menggalang
kolaborasi horisontal masyarakat. Peran apa yang harus dimainkan pemerintah?

KOLABORASI DAN PERAN PEMERINTAH


Dalam tatanan sosial yang rapuh seperti halnya di Baru Pelepat, perlu kondisi yang
kondusif agar kepercayaan satu sama lain, norma bersama, dan organisasi bersama
dapat dibangun. Kehampaan akan ketiga hal ini menghalangi perkembangan
kolaborasi pada masa lalu. Dalam keadaan itu, apa pun yang diprogramkan
pemerintah tidak menghasilkan apa yang diharapkan. Mungkin tanpa disadari,
pemerintah telah terbawa visi Hardin dan melihat dirinya sebagai pengaman
hutan terhadap ‘perusakan’ yang dilakukan masyarakat lokal terhadap hutan.
Sumberdaya hutan, begitu pandangan pemerintah, harus diamankan dari para
‘perusak’ hutan. Dengan demikian, kondisi sosial pihak-pihak kepentingan sering
terabaikan. Proyek transmigrasi lokal (Proyek Pelaksanaan Program Pemukiman
Perambah Hutan melalui Dana Reboisasi P4HDR), yang antara lain bertujuan
menetapkan ‘perambah hutan’ di Desa Pelepat pada 1997-2003 itu, merupakan
310 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

contoh nyata. Ironisnya, dalam ‘melindungi’ hutan, pemerintah seolah-olah pilih


kasih: pemanfaatan hutan skala besar oleh perusahaan negara maupun swasta
bukan hanya diperbolehkan, tetapi bahkan didukung melalui perijinan.

Peran yang selama ini dimainkan pemerintah tidak cocok lagi dan perlu disesuaikan.
Peran itu harus bergeser dari ‘pelindung hutan’ menjadi fasilitator para-pihak yang
mendorong kolaborasi. Ini berarti, hutan tidak dapat dilihat lagi sebagai luasan
tanah dengan tegakan pohon di atasnya yang pemanfaatannya perlu diawasi dan
kelestariannya dijaga ketat, tetapi sebagai suatu ekosistem yang pengelolaan dan
pengaturannya ada di tangan para-pihak yang memiliki kepentingan atas ekosistem
itu. Hal itu juga berarti, pemerintah harus lebih memperhatikan keadaan sosial
pihak-pihak kepentingan lokal yang -bila berbicara tentang keadaan seperti di Baru
Pelepat- tatanan sosialnya lemah dengan peluang nyata untuk terjadinya sengketa
antarpihak. Di desa itu, para-pihak lokal perlu difasilitasi untuk mencari cara-cara
baru dalam berhubungan satu sama lain, membentuk organisasi baru, maupun
membangun norma bersama. Pada masa lalu, program pemerintah dan insentif
ekonomi berhasil mengintroduksi praktek baru, namun gagal merubah perilaku
para-pihak. Kegagalan itu terutama karena norma sosial tidak dikembangkan
secara bersama, tetapi ditentukan secara top-down oleh pemerintah melalui
program atau kebijakan insentifnya. Ketika program berhenti dan insentif hilang,
praktek baru pun turut hanyut.

Dewasa ini, peran yang perlu dimainkan pemerintah lebih pada penciptaan kondisi
yang mendorong perkembangan kolaborasi antarpihak. Untuk itu, tidak akan
berguna banyak untuk mengatur kolaborasi secara berlebihan melalui kebijakan
atau program karena sebagai sebuah proses, kolaborasi hanya dapat diarahkan dan
difasilitasi. Daripada mengatur secara ketat, akan lebih efektif jika pemerintah
menciptakan kondisi yang konstruktif agar berbagai forum multipihak dapat
mengembangkan ruang negosiasi norma dan wadah penyelenggaraan kegiatan
bersama. Memainkan peran baru itu jelas tidak sederhana, terutama karena untuk
melakukannya, pemerintah perlu membangun hubungan yang konstruktif dengan
para-pihak lokal.

ALASAN MASYARAKAT DAN PEMERINTAH


UNTUK BERKOLABORASI
Pengertian kolaborasi dalam kosa kata kehutanan pemerintah bermuara pada era
reformasi yang menggelombang pada akhir 1990-an. Saat itu, berbagai kalangan
BAGIAN 4-2 • Trikurnianti Kusumanto 311

dan di berbagai tempat masyarakat Indonesia menuntut perbaikan pengelolaan


hutan kepada pemerintah. Memang benar, selama itu pengelolaan hutan, yang
sentralistik itu, dilakukan secara tidak berkelanjutan dan tidak berkeadilan.
Tutupan hutan berkurang dengan pesat, hutan terdegradasi, dan konflik antarpihak
atas tanah dan sumberdaya hutan bermunculan di mana-mana. Sering hanya
pihak yang berkuasa sajalah -seperti pemerintah dan perusahaan komersial- yang
memperoleh keuntungan dari usaha kehutanan, sedangkan masyarakat lokal hanya
jadi penonton. Kemudian, sejak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah pada
2001, pemerintah daerah diberi keleluasaan untuk secara lebih aktif dan mandiri
membangun daerahnya. Selain itu, berbagai pihak -masyarakat, LSM, penyandang
dana, dan dunia internasional- menuntut pemerintahan yang demokratis dan
memberikan wewenang pengambilan keputusan kepada masyarakat lokal.

Dalam keadaan inilah pemerintah mau tidak mau terdorong untuk mengulurkan
tangannya dan berkolaborasi dengan pihak lain, termasuk dengan masyarakat lokal.
Pada dasarnya, ada suatu alasan utama kenapa pemerintah hendak berkolaborasi
dengan pihak lain. Pemerintah menyadari bahwa dalam kondisi hutan yang
kritis itu dan dengan berbagai tuntutan tersebut di atas, mereka kurang mampu
mengelola hutan secara lestari dan berkeadilan. “Uang maupun sumberdaya
manusia tidak memadai”, begitulah yang sering dikeluhkan pemerintah. Selain
itu, pemerintah sering tidak tahu harus berbuat apa ketika dihadapkan dengan
sengketa antarpihak mengenai hutan. Pemerintah beralasan, melalui kolaborasi
masalah kehutanan dapat tertangani secara lebih efektif dan tujuan kebijakannya
tercapai secara lebih efisien.

Masyarakat lokal seperti masyarakat Baru Pelepat, di sisi lain, memiliki beberapa
alasan lain kenapa ingin berkolaborasi dengan pemerintah. Terdorong arus
demokratisasi di berbagai penjuru tanah air, masyarakat mengharapkan pendapat
mereka akan lebih didengar pemerintah dan kepentingan mereka diakomodasikan.
Masyarakat mendambakan pengakuan pemerintah atas hutan adat mereka
maupun pengaturan pengelolaan hutan secara adat. Selain itu, melalui kolaborasi
dengan pemerintah, mereka dapat memperoleh dukungan pemerintah dalam
meningkatkan perekonomian desanya.

Meskipun dengan alasan yang berbeda, pemerintah dan masyarakat lokal butuh
kolaborasi. Akan tetapi, sebenarnya ada suatu alasan lain kenapa kolaborasi
di antara mereka sangat relevan, yakni peran baru pemerintah dalam konteks
multipihak. Untuk memainkan peran baru itu pemerintah harus berhubungan
dengan masyarakat lokal secara lebih konstruktif sehingga kolaborasi di antara
mereka dapat berkembang.
312 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Suatu strategi untuk membangun kolaborasi vertikal dikembangkan dan dipaparkan


di bawah. Tawaran strategi tersebut berangkat dari pengamatan terhadap upaya
masyarakat untuk memperoleh pengakuan dari pemerintah kabupaten atas hutan
adat mereka, yang difasilitasi YGB, PSHK-ODA dan CIFOR11. Strategi kolaborasi
vertikal ini selanjutnya disebut ‘strategi ACM’ karena konsepnya diilhami oleh
proses multipihak yang mengemuka ketika ACM diterapkan di Bungo.

MEMBANGUN KOLABORASI VERTIKAL


Jika sebuah strategi multipihak dapat mendorong hubungan vertikal antara
masyarakat lokal dan pemerintah, ada suatu tantangan yang perlu ditangani
secara efektif. Dalam kebanyakan tindakannya, pemerintah berpegang kuat pada
sudut pandang formalnya. Sebuah situasi hanya akan bermakna bagi pemerintah
jika sesuai dengan perspektif resmi itu. Di luar pandangan resminya, tidak ada
realita bagi pemerintah: hal-hal yang tidak terlihat, tidak nyata dan dengan
demikian tidak bermakna. Pemerintah hanya dapat melihat sesuatu sebagai
masalah, kalau masalah itu dapat dipecahkan dengan cara pemecahan yang
sudah dikenalinya atau dimilikinya. Untuk mengilustrasikan ini diberikan contoh
yang dapat dijumpai di berbagai tempat di Indonesia. Sebagai contoh, sengketa
tanah antarkelompok masyarakat, sering diselesaikan pemerintah dengan
mengintroduksi program perhutanan sosial (social forestry; SF). Anggapannya,
masalah ini disebabkan degradasi hutan dan, berkaitan dengan itu, berkurangnya
pendapatan masyarakat.

Oleh karena itu, begitulah pandangan pemerintah, masalah ini harus diselesaikan
dengan cara penanaman tanaman hutan dengan partisipasi masyarakat. Padahal
masalah sebenarnya, tumpang tindih hukum negara dengan hukum masyarakat
lokal yang tidak dapat dipecahkan dengan penanaman hutan dan partisipasi
masyarakat. Dalam contoh ini kita melihat bahwa SF-lah yang menentukan akar
masalah yang ada, yakni degradasi hutan. Dengan kata lain, masalah dirumuskan
dalam rangka cara pemecahan yang sudah dikenali pemerintah. Seharusnya,
pemecahan masalah sebaliknya: pemecahan dicari dan dirumuskan guna
menyelesaikan sebuah masalah. Identifikasi masalah harus dilakukan terlepas dari
instrumen untuk pemecahannya. Jelas, kita dihadapkan di sini dengan sebuah
lingkaran setan. Lingkaran setan inilah yang sebenarnya dimaksud para kritikus
ketika menilai kekakuan sistem pemerintahan sehingga kurang dapat menghadapi
berbagai perubahan secara tepat. Gambar 42 mencoba menggambarkan keadaan

11 Disesuaikan dari Kusumanto (2006).


BAGIAN 4-2 • Trikurnianti Kusumanto 313

ini: sistem pemerintahan tidak dapat menangkap sesuatu sebagai sinyal (informasi)
jika hal itu tidak terlihat dan, dengan demikian, tidak bermakna dari sudut
pandang formal pemerintah. Kekakuan inilah yang harus dapat dicairkan oleh
strategi kolaborasi vertikal. Kekakuan di sini sinonim dengan ‘tidak dapat melihat
di luar sistem’.

Bagian yang
terlihat
Sudut
pandang

Mata

Gambar 42. Sudut pandang menentukan apa yang terlihat atau menjadi realita — dan yang
tidak

Gambar ini, yang mengilustrasikan kekakuan sistem pemerintahan, sekaligus


menawarkan jalan keluarnya, yakni ‘memperluas sudut pandang’ pemerintah
sehingga hal-hal yang tadinya tidak terlihat (bukan realita) menjadi nampak
(nyata). Tapi bagaimana melakukannya? Pengalaman masyarakat Baru Pelepat
dan Pemerintah Kabupaten Bungo ketika mengupayakan pengakuan resmi atas
hutan adat masyarakat, memberi beberapa pemikiran tentang bagaimana caranya.
Dari pengamatan, baik tentang hal-hal yang efektif dan yang tidak, dua aspek
penting mengemuka, sebagaimana dipaparkan di bawah. Dua aspek ini merupakan
instrumen utama dari strategi ACM yang ditawarkan itu.

Mengembangkan Pengalaman Dalam Konteks Formal


Secara umum, mengembangkan pengalaman dilihat sebagai suatu cara yang efektif
untuk mengembangkan pengetahuan seseorang, sekelompok orang, atau suatu
314 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

organisasi12. Mengingat peribahasa ‘pengalaman adalah guru terbaik’, pandangan


tersebut juga umum di negeri ini. Namun, apakah hal ini berlaku juga untuk
konteks formal pemerintahan? Apakah kekakuan sistem pemerintahan tersebut,
berarti pengalaman yang dimiliki pemerintah — terhimpun dalam bentuk data,
laporan, dokumen, dsb. di arsip kantor-kantor pemerintah — tidak dimanfaatkan
atau tidak efektif? Ada baiknya kita cari tahu apakah keadaan di Bungo dapat
memberi jawaban.

Dalam lingkup pemerintah Bungo, seperti kemungkinan besar juga di banyak


tempat lain, dilakukan berbagai upaya pencarian informasi dalam rangka
pengambilan keputusan atau pengembangan program pemerintah. Ternyata,
kebanyakan pengumpulan data dan pengkajian dilakukan guna menambahkan
pengetahuan, bukannya untuk mengembangkan pengetahuan. Dengan kata
lain, berbagai upaya itu diarahkan untuk melengkapi atau menyempurnakan
pengetahuan yang, begitulah anggapan umum, belum sempurna atau belum
lengkap. Pernah seorang petugas kehutanan mengutarakan, data luasan
hutan yang rusak di wilayah kerjanya kurang lengkap. Oleh karena itu, begitu
dikemukakannya, jumlah personil yang harus dikerahkan untuk patroli hutan
sulit ditetapkan. Menurutnya, tindakan yang harus diambil adalah penambahan
data luasan hutan rusak. Tidak terpikir olehnya untuk mencari tahu lebih jauh
penyebab kerusakan hutan, yang mungkin saja tidak dapat diselesaikan dengan
cara meningkatkan patroli hutan.

Dengan perubahan kondisi hutan yang pesat dan sulit diprediksi secara ekologis,
sosial, dan ekonomis yang kita temukan dewasa ini, hal yang sebenarnya kita
perlukan adalah pengetahuan baru, bukannya penyempurnaan pengetahuan
lama; konsep baru, bukannya tambal-sulam konsep lama. Konsekuensinya, hal
yang juga pasti dibutuhkan, cara-cara baru untuk mengembangkan pengetahuan.

Juga ditemukan dalam lingkup pemerintah, berbagai pengumpulan informasi


dilakukan sebagai aktivitas rutin guna menghasilkan masukan untuk pelaporan.
Sering kita lihat, para pegawai kurang memperhatikan atau tidak ada waktu
dan minat untuk hal-hal di luar rutinitas. Kalaupun misalnya ada sesuatu yang
sebenarnya layak dicermati, hal tersebut tidak diprioritaskan kalau bukan rutin.
Contoh aktivitas rutin adalah kegiatan dalam rangka pertanggungjawaban atau
pelaporan kepada atasan. Sayangnya, lingkup kerja yang kegiatannya terdiri dari
aktivitas rutin belaka, pada umumnya meluangkan sedikit kesempatan bagi para
karyawannya untuk berkreasi dan berpikir inovatif. Padahal, justru hal-hal inilah
yang dibutuhkan dalam kondisi hutan yang kritis sekarang ini.

12 Cara pengembangan pengetahuan seperti ini disebut oleh Kolb (1984) experiential learning (belajar dari pengalaman).
BAGIAN 4-2 • Trikurnianti Kusumanto 315

Dapat disimpulkan, permasalahan hutan saat ini menuntut penciptaan pengalaman


baru yang hanya dapat dibangun dalam kondisi yang memungkinkan kreasi dan
pemikiran inovatif. Bagaimana hal ini dapat dilakukan, dapat kita cari hikmah
dari upaya bersama Pemerintah Kabupaten Bungo dan masyarakat Baru Pelepat
berkenaan dengan pengakuan hutan adat masyarakat.

Di antara serangkaian aktivitas upaya bersama itu, kita cermati lebih dalam kegiatan
penyusunan bersama sebuah “naskah akademis”13 difasilitasi lembaga mitra dan
dilakukan sekitar Juni-Agustus 2005. Pada kegiatan itu, Pemerintah Kabupaten
Bungo diwakili pejabat dari Dishutbun, Bappeda, dan Biro Hukum, sementara
wakil masyarakat terdiri dari pimpinan adat, pejabat pemerintah desa maupun
para wakil berbagai pihak desa. Melalui urun rembug, pertukaran informasi dan
pendapat, kajian bersama, dan sebagainya dilalui sebuah proses belajar bersama
dalam menyusun naskah akademis hutan adat itu.

Tampak dengan jelas, tahap demi tahap pengalaman baru terbangun secara kolektif
seiring dengan sebuah proses pemaknaan bersama terhadap berbagai hal sepanjang
proses. Misalnya, kedua pihak memberi makna bersama pada pengertian peran
peraturan daerah dalam rangka penyelesaian masalah hutan adat di tingkat
masyarakat. Ternyata proses pemaknaan yang dilakukan secara bersama terhadap
sesuatu sangat penting dalam membangun pengalaman kolektif. Pentingnya proses
pemaknaan bersama digarisbawahi dengan penemuan lapangan yang menunjukkan,
informasi yang diperoleh di lapangan sering terdistorsi ketika kebijakan dibuat pada
tingkat pemerintah14. Hampir tidak mungkin, sebuah informasi bersifat netral dan
tidak terdistorsi oleh berbagai faktor pengaruh. Karena itu, pemaknaan informasi
secara bersama sangat penting dalam membangun pengalaman kolektif.

Melihat Realita di Luar Sistem Formal: Konstruksi Bypass15


Proses pemaknaan yang dilakukan bersama oleh berbagai pihak terhadap sesuatu
sangat penting dalam membangun pengalaman kolektif. Namun, ketika tidak
ada dasar pijakan sama sekali untuk memulai proses itu, tentu akan sulit untuk
membangun pengalaman bersama. Keadaan seperti ini biasanya mengemuka
ketika pandangan berbagai pihak terlalu berseberangan sehingga sulit dijembatani.
Dalam situasi ini, pihak yang perspektifnya mendominasi akan, per definisi,

13 Suatu naskah akademis adalah dokumen resmi sebagai dokumen pendukung dari sebuah peraturan pemerintah. Naskah itu menjelaskan latar belakang peraturan
tersebut, yakni, kenapa peraturan dibuat dan dengan tujuan dan konsekuensi legal formal semacam apa.
14 Kusumanto dan Permata Sari (2001).
15 Disesuaikan dari Wagemans (2002).
316 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

diuntungkan jika sistem dipertahankan. Dalam kebanyakan situasi di berbagai


tempat, perspektif resmilah yang mendominasi16.

Hal itu dilematis apabila sistem yang bersangkutan adalah sistem pemerintahan,
karena tidak bisa dihilangkan atau diganti begitu saja. Namun pada saat yang sama,
seperti kita lihat sebelumnya, sistem pemerintahan tidak dapat menghasilkan
inovasi selama memakai konsep dan cara lama dalam mengidentitifkasi masalah
dan mencari pemecahannya. Satu-satunya jalan keluar dari dilema ini, mendorong
para-pihak sistem pemerintahan melihat realita di luar sistem dengan syarat
tidak beresiko dijatuhi sanksi karena menyalahi sistem. Syarat ini penting, karena
hanya dalam kondisi bebas resiko, para aktor sistem dapat berkreasi dan berpikir
independen.

Sistem formal

Konsep
kebijakan/
keputusan Bypass

Kebijakan/
keputusan

Gambar 43.17 Konstruksi bypass memungkinkan para-pihak sistem mengenali dan mengalami
berbagai hal di luar sistem

Konstruksi bypass (jalan pintas) merupakan instrumen yang memungkinkan para


aktor sistem melihat realita di luar sistem tanpa ‘terganggu’ sistem yang mereka
tanggalkan sementara. Intinya, instrumen ini memungkinkan para aktor sistem
untuk mengenali dan mengalami berbagai hal di luar sistem melalui, misalnya, uji
coba atau dialog dengan pihak lain. Temuan dan, lebih penting, pengalaman yang
diperolehnya di luar sistem kemudian diaplikasikan di dalam sistem. Misalnya, para
pembuat kebijakan dapat mengkaji dampak dari suatu konsep kebijakan ketika
diterapkan pada masyarakat dan melihat konsekuensi dari hasil kajian untuk
kebijakan yang dibuat. Kembali dalam sistem, para pengambil kebijakan itu dapat

16 Ibid.
17 Ibid.
BAGIAN 4-2 • Trikurnianti Kusumanto 317

mempertimbangkan temuan
dan pengalamannya ketika
berada di bypass (Gambar
43).

Banyak alat bantu yang dapat


dipakai dalam konstruksi

© Trikurnianti Kusumanto
bypass, misalnya kajian
kritis, dialog kebijakan,
forum nonresmi, dan
sebagainya. Alat bantu apa
pun yang dipakai, konstruksi
bypass harus diarahkan Hubungan informal antarpihak seperti terlihat
untuk mendorong: (i) rasa pada foto ini menciptakan rasa nyaman dan, pada
gilirannya, mendorong kreativitas
nyaman untuk merangsang
kreativitas; (ii) komunikasi
untuk memicu keterbukaan antarpihak; dan (iii) kesetaraan yang menempatkan
semua perspektif sama pentingnya.

Dalam memakai strategi ACM sebagai strategi kolaborasi vertikal, terdapat tiga
tugas utama fasilitator multipihak: (i) merangsang proses pemaknaan bersama;
(ii) menciptakan kondisi multipihak yang nyaman dan bebas resiko; dan (iii)
mendorong para-pihak memonitor pengalaman yang dibangun bersama sehingga
pengembangan pengalaman dapat diarahkan, sementara konsep lama dan
kebiasaan lama ditanggalkan. Pengalaman Tim Fasilitator ACM-Jambi di Bungo
menunjukkan keadaan informal (nonresmi) sangat membantu mendorong para-
pihak untuk berpikir kreatif. Namun demikian, merupakan sebuah tantangan
besar bagi Tim kami untuk tidak terjebak dalam kekakuan formalitas dan untuk
menciptakan atmosfir yang mendorong kreativitas pada pihak masyarakat serta
pihak lain maupun pada Tim kami sendiri.

CATATAN PENUTUP:
KEBERANIAN MENYANGGAH TRAGEDI HUTAN
Banyak kritikus telah merasa tertantang oleh pandangan pesimis Hardin tentang
masa depan sumberdaya alam bumi ini. Tulisan ini menunjukkan, benar memang
apa yang dikemukakan para pengkritik Hardin itu: kolaborasi antarpihak bukan
sesuatu yang mustahil dan dalam hal itu tidak ada hal baru yang ditawarkan di
sini. Namun demikian, tulisan ini telah juga mencoba mencari tahu bagaimana
318 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

dalam keadaan yang tidak kondusif seperti halnya di Desa Baru Pelepat, kolaborasi
bagaimanapun dapat dirangsang dan difasilitasi. Selain itu, pembaca telah juga
diajak menyimak peran baru pemerintah dalam mendorong kolaborasi, maupun hal
yang perlu dilakukan agar pemerintah dapat memainkan peran baru itu.

Kolaborasi dalam pengelolaan hutan menawarkan pemecahan yang sifatnya


pragmatis untuk permasalahan kehutanan masa kini18. Di berbagai belahan
dunia, telah dikembangkan bermacam bentuk kolaborasi untuk menangani
masalah kehutanan yang mengemuka secara khas di setiap tempat. Keunikan
kondisi setiap kasus menuntut sifat pragmatis dari upaya kolaborasi. Dengan
kata lain, upaya kolaborasi harus cocok dengan keadaan setempat. Pertanyaan
siapa, apa dan bagaimananya harus dapat dijawab dan ditanganinya secara efektif.
Karena tuntutan itulah, program kolaborasi multipihak selayaknya menggunakan
pendekatan partisipatif dan aksi nyata yang melibatkan pihak-pihak kepentingan
dari tahap identifikasi masalah sampai evaluasi pelaksanaan19. Sebuah program
intervensi yang berciri command and control (komando dan kontrol), dengan
kemasan program dan teknologi secanggih apa pun, lambat laun akan menemui
kesulitan dalam menggalang kolaborasi karena kurang melibatkan para-pihak
lokal.

Penerapan ACM di Desa Baru Pelepat membuktikan pendekatan tersebut.


mampu secara cocok mengaitkan keadaan dan kebutuhan setempat dengan
bentuk kolaborasi yang dibangun. Kemampuan ACM ini dimungkinkan dua
instrumen utama: proses dan pengalaman. Proses (atau pembelajaran) diperlukan
untuk membangun kepercayaan antarpihak, membentuk norma baru yang dapat
diterima semua pihak, mencari cara baru dalam saling berhubungan, berorganisasi
untuk kepentingan bersama, dan memaknai sebuah fenomena secara kolektif.
Pengalaman sebagai instrumen kolaborasi, diperlukan untuk mengarahkan proses
(baca pembelajaran). Sering kondisi multipihak itu rumit, sementara kita tidak
mempunyai instrumen yang memadai untuk memprediksi perubahan. Dalam
keadaan seperti ini, membangun pengalaman untuk melangkah ke depan adalah
pilihan yang paling efektif.

Tulisan ini menggarisbawahi, bukanlah pengalaman lama yang dibuat dengan cara-
cara lama yang diperlukan, melainkan pengalaman baru yang dibangun secara
kolektif dengan cara-cara yang inovatif. Hal yang juga penting untuk membangun
pengalaman baru semacam itu adalah mengajak para-pihak memperluas cara
pandang mereka dan melihat realita di luar kebiasaan lama. Mungkin saja, hanya

18 Lihat misalnya, Anderson et al. (1999) dan Carter dengan Gronow (2005).
19 Ricardo (1999), Buck et al. (2005), Carter dengan Gronow (2005).
BAGIAN 4-2 • Trikurnianti Kusumanto 319

dengan keberanian untuk menanggalkan cara-cara usang, cara pandang lama,


dan kebiasaan-kebiasaan lama, ramalan Hardin yang suram itu dapat disanggah.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis menyampaikan penghargaan kepada Bank Pembangunan Asia (ADB) dan
MFP-DfID. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada Pemerintah Kabupaten
Bungo khusunya kepada BAPPEDA, Pemda dan Dishutbun atas dukungannya
selama pelaksanaan penelitian. Selanjutnya, rasa terima kasih yang mendalam
disampaikan kepada masyarakat Baru Pelepat atas waktu, keramahan dan tempat
berteduh yang telah disediakan selama penelitian. Ucapan terima kasih tidak
tertinggal untuk para rekan peneliti dan fasilitator dari YGB, PSHK-ODA dan
CIFOR. Juga kepada Carol Colfer dari CIFOR yang telah membimbing penulis.

BAHAN BACAAN
Anderson, J., Clément, J., dan Crowder, V. 1999. Pluralism in Sustainable Forestry
and Rural Development: An Overview of Concepts, Approaches
and Future Steps. Dalam: Pluralism and Sustainable Forestry and
Rural Development. Conference Proceedings. Food and Agricultural
Organization (FAO), Roma, Itali.
Buck, L., Wollenberg, E. dan Edmunds, D. 2005. Pembelajaran Sosial dalam
Pengelolaan Kolaboratif Hutan Komunitas. Dalam: Wollenberg, E.,
Edmunds, D., Buck, L., Fox, J. dan Brodt, S. (ed.). Pembelajaran Sosial
dalam Pengelolaan Hutan Komunitas. Pustaka Latin dan CIFOR, Bogor,
Indonesia.
Carter, J. dan Gronow, J. 2005. Recent Experience in Collaborative Forest
Management. CIFOR Occasional Paper No. 43. CIFOR, Bogor,
Indonesia.
Gray, B. 1985. Conditions Facilitating Interorganizational Collaboration. Dalam:
Human Relations 38(10):911-936.
Hardin, G. 1968. The Tragedy of the Commons. Dalam: Science 162:1243-1248.
Kolb, D.A. 1984. Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and
Development. Prentice-Hall, Englewood Cliffs, NJ, AS.
Kusumanto, T. 2006. Social Learning, Policymaking, and Customary Forests:
Lessons from Jambi (Central Sumatera), Indonesia. Research report.
CIFOR, Bogor, Indonesia. Dokumen internal CIFOR, YGB & PSHK-
ODA. Tidak dipublikasikan.
320 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Kusumanto, T. 2007. Learning to Monitor Political Processes for Fairness in Jambi,


Indonesia. Dalam: Guijt, I. (ed.) Negotiated Learning: Collaborative
Monitoring in Forest Resource Management. RFF, Washington, DC,
and CIFOR, Bogor.
Kusumanto, T. dan Permatasari, E. 2001. Up-and-down the Ladder: A Jambi Case
Study of Policy-related Information Flows. Report. Dokumen internal
CIFOR. Tidak dipublikasikan.
Kusumanto, T., Yuliani, E.L., Macoun, P., Indriatmoko, Y dan Adnan, H. 2006.
Belajar Beradaptasi: Bersama-sama Mengelola Hutan di Indonesia.
CIFOR, YGB & PSHK-ODA, Bogor, Indonesia.
Ostrom, E. 1990. Governing the Commons. Cambridge University Press, NY,
AS.
Pretty, J. 2003. Social Capital and the Collective Management of Resources.
Dalam: Science 302:1912-1914.
Putnam, R.D. 1993. Making Democracy Work. Princeton University Press,
Princeton, NJ, AS.
Ramirez, R. 1999. Participatory Learning and Communication Approaches for
Managing Pluralism. Dalam: Pluralism and Sustainable Forestry and
Rural Development. Conference proceedings. Food and Agricultural
Organization (FAO), Roma, Itali.
Ridley, M. 1996. The Origins of Virtue. Penguin, London, UK.
Wagemans, M. 2002. Institutional Conditions for Transformations. A Plea for
Policy Making from the Perspective of Constructivism. Dalam: Leeuwis,
C. dan Rhiannon, P. (ed.) Wheelbarrows Full of Frogs: Social Learning
in Rural Resource Management. Koninklijke van Gorcum, Nederland.
BAGIAN 4-3
Adaptasi Kelembagaan dan Aksi Kolektif
Masyarakat terhadap Program Transmigrasi

Hasantoha Adnan dan Yentirizal

“Bagi kami, transmigrasi bisa menjadi harapan. Kami nak ingin maju jugo. Tapi kalau
tak diurus dengan baik, kami tak ingin seperti transmigrasi yang lamo, yang dijual beli
orang dan lahannya tak terurus,“ Datuk Rasyid, Pemuka Adat Dusun Pedukuh.
322 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

© Hasantoha Adnan
LATAR BELAKANG

Program transmigrasi membuka peluang perubahan bagi masyarakat lokal


dan masyarakat sekitarnya serta memberikan manfaat ekonomi bagi negara.
Transmigrasi dipandang sebagai pendekatan untuk mencapai tujuan kesejahteraan,
pemerataan pembangunan daerah, serta perekat persatuan dan kesatuan bangsa.
Namun pada sisi lain juga memberikan dampak berkurangnya kepemilikan lahan,
konflik antar penduduk lokal dengan pendatang warga trans, hingga semakin
parahnya hutan akibat pembukaan lahan secara besar-besaran1. Kegagalan
program transmigrasi semakin nyata dengan kurangnya dukungan sarana dan
prasarana, kelembagaan, program pertanian (sebagai pendorong peningkatan
ekonomi), perencanaan yang tak matang, hingga korupsi baik di tingkat pemerintah
kabupaten maupun oleh tokoh-tokoh desa.

Menakertrans Fahmi Idris, mengakui bahwa setelah 54 tahun transmigrasi


diselenggarakan pemerintah, selain keberhasilan dan kisah sukses, masih banyak
persoalan yang timbul sebagai akibat lemahnya penyelenggaraan transmigrasi.
Menurutnya, berbagai kegagalan itu mencakup tiga hal: Pertama, lokasi yang tidak

1 Hasil temuan tim (KKI-WARSI, BirdLife Indonesia, Dinas Kehutanan Propinsi dan Kabupaten-Kabupaten di Propinsi Jambi, serta dukungan
INFORM), berdasarkan analisa citra landsat (tanpa verifikasi lapangan) diketahui bahwa dalam kurun waktu 10 tahun (1990-2000) telah terjadi
pengurangan luas tutupan lahan hutan sebesar 989.466 ha (20,3% dari luas Jambi). Mereka menengarai penyebabnya adalah konversi untuk
perkebunan kelapa sawit, HTI/HPHTI, HPH, pembalakan liar, kebakaran dan pembakaran hutan. Selain itu, data BPS Jambi menunjukkan bahwa
pertambahan luas kebun karet masyarakat mencapai luas ±87.674 ha, penambahan areal pertanian dan perkebunan untuk transmigrasi seluas
246.133 ha, serta pertambahan penduduk yang mencapai ±1,84 % juga menjadi faktor pendorong berkurangnya kawasan hutan Jambi. Untuk jelasnya
silahkan lihat Taher (2005).
BAGIAN 4-3 • Hasantoha Adnan dan Yentirizal 323

memenuhi unsur 2C (Clear dan Clean) serta 4L (Layak huni, Layak usaha, Layak
berkembang dan Layak lingkungan). Kedua, transmigran yang tidak kompeten.
Ketiga, upaya pemberdayaan yang tidak optimal2. Kajian lain menyimpulkan
bahwa penyebab munculnya dampak negatif transmigrasi adalah manajemen
pembangunan transmigrasi yang kurang memperhatikan aspirasi masyarakat
setempat3. Sebagian pihak melihat sudah sangat mendesak dilaksanakan
pembaharuan dalam kebijakan penyelenggaraan transmigrasi4.

Persoalan lahan dan sumberdaya yang menyertainya jarang diungkap. Dari


temuan di dua desa lokasi studi memperlihatkan bagaimana keberadaan program
transmigrasi berperan dalam merubah sistem pengelolaan dan kepemilikan lahan,
khususnya bagi masyarakat setempat. Bagi masyarakat setempat, tanah dan
sumberdaya alam bukan hanya sekedar aset, tetapi juga merupakan basis bagi
diperolehnya kuasa-kuasa ekonomi, sosial dan politik5. Ketimpangan dalam hal akses
terhadap tanah akan sangat menentukan corak masyarakat dan mencerminkan
dinamika hubungan antar lapisan masyarakat. Beberapa persoalan lahan yang
mengemuka antara lain adalah:
1. Semakin terkonsentrasinya penguasaan dan pemanfaatan tanah dan
sumberdaya alam yang menjadi hajat hidup orang banyak.
2. Semakin tidak terjaminnya kepastian hak penguasaan rakyat setempat
terhadap tanah dan sumberdaya alam lainnya, yang terdapat di wilayah
kehutanan, pertambangan, perikanan, perkebunan, pertanian, dan pesisir.
3. Semakin tidak terjaminnya keberlangsungan dan kemajuan sistem produksi
rakyat setempat yang menjadi sumber penghidupan mereka.

Gambaran di atas tampak pula pada studi kasus yang dilaksanakan di Desa Baru
Pelepat Kecamatan Pelepat dan Desa Sungai Telang Kecamatan Bathin Tiga Ulu,
Kabupaten Bungo. Kedua desa terletak di hulu sungai Batang Pelepat dan Batang
Bungo, serta berbatasan langsung dengan Hutan Produksi, Hutan Lindung dan
menjadi bagian daerah penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat. Pada 1998
dan 2004 dilaksanakan program transmigrasi di kedua desa yang meliputi lebih
dari 1.500 ha. Pertengahan 2005 ditandatangani kerjasama antara pemerintah
Kabupaten Bungo dengan pemerintah DKI Jakarta untuk melaksanakan program

2 Pemerintah Propinsi DIY (2006)


3 Ibid.
4 Lebih jauh Anharudin, et.al. (tanpa tahun) menyatakan bahwa kebijakan penyelenggaraan transmigrasi perlu diperbaharui dan disesuaikan dengan
kecenderungan (trend) perubahan yang terjadi akhir-akhir ini, terutama perubahan pada tata pemerintahan. Pada kurun waktu 2004-2009,
penyelenggaraan transmigrasi diarahkan sebagai pendekatan untuk mendukung pembangunan daerah, melalui pembangunan pusat-pusat produksi,
perluasan kesempatan kerja, serta penyediaan kebutuhan tenaga kerja terampil baik dengan peranan pemerintah maupun secara swadana melalui
kebijakan langsung (direct policy) maupun tidak langsung (indirect policy). Diharapkan dengan diberlakukannya UU No. 22/1999 tentang otonomi
daerah, maka tata cara penyelenggaraan transmigrasi dan pendekatan yang dilakukan harus disesuaikan terhadap tuntutan perkembangan keadaan
saat ini. Pelaksanaannya harus memegang prinsip demokrasi, mendorong peran serta masyarakat, mengupayakan keseimbangan dan keadilan, serta
memperhatikan potensi dan karakteristik daerah.
5 Lihat tulisan Fauzie dan Zakaria (2000).
324 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

transmigrasi plus, yang bertujuan memindahkan warga miskin Jakarta ke lokasi-


lokasi transmigrasi tersebut.

KERANGKA TEORI
Studi ini menggambarkan dinamika perubahan keberadaan lahan akibat
masuknya program transmigrasi. Ini penting untuk melihat bagaimana masyarakat
mengembangkan persepsi dan pembelajaran sosial untuk kemudian meningkatkan
kemampuan adaptasinya melalui kelembagaan lokal yang mereka bentuk untuk
mempertahankan akses mereka terhadap lahan. Selain itu, di kedua desa terdapat
sistem tenurial yang beragam (negara, adat, formal, dan lain-lain). Adaptasi
kelembagaan juga memperlihatkan bagaimana masyarakat desa menyelesaikan
konflik-konflik lahan yang terjadi.

Ridell (1987) memaknai sistem tenurial sebagai sekumpulan atau serangkaian


hak-hak (tenure system is a bundle of rights). Pada setiap sistem tenurial, masing-
masing hak sekurang-kurangnya mengandung tiga komponen, yaitu subyek hak,
obyek hak, dan jenis haknya. Selain itu, dalam sistem tenurial juga penting untuk
mengetahui siapa yang memiliki hak (de jure) atas sumberdaya dan siapa yang
dalam kenyataannya (de facto) menggunakan sumberdaya. Konsep yang juga dekat
dengan hal di atas adalah property rights, yang menurut Fedel dan Feeny (1991):
...“property as a social institution implies a system of relations between individual …it
involve rights, duties, powers, privilages, forbearance, etc., of certain kinds”.

Dalam pandangan Bromley dan Cornea (1989), pada hakekatnya terdapat empat
jenis property rights atas sumberdaya yang sangat berbeda satu dengan yang lain,
yaitu: milik pribadi (private property), milik umum atau bersama (common property),
milik negara (state property), dan tidak bertuan (open access). Dalam pandangan
teori ekonomi, khususnya setelah dikemukakan konsep ‘tragedy of the commons’
oleh Hardin (1968) yang menilai sumberdaya alam milik bersama akan cepat rusak,
maka sumberdaya hutan sebagai sumberdaya publik yang biasanya berada dalam
rezim hak common property, state property dan open access harus segera ditentukan
siapa yang mempunyai hak atas sumberdaya tersebut, agar para penunggang gratis
(free rider) yang bersifat oportunis dapat dihindari6.

6 Demi efisiensi alokasi sumberdaya, yang dioperasikan pada perekonomian pasar (market economy), maka privatisasi sumberdaya publik tampaknya
menjadi satu-satunya pilihan jalan keluar yang diusulkan teori ekonomi sampai saat ini. Oleh sebab itu, private land adalah property rights yang dianggap
paling efisien karena mempunyai sifat-sifat hak yang mendekati sempurna (perfect rights), yaitu ; (a) completeness, dimana hak-hak didefinisikan secara
lengkap; (b) exclusivity, dimana semua manfaat dan biaya yang timbul menjadi tanggungan secara eksklusif pemegang hak; (c) transferable, dimana hak
dapat dialihkan kepada pihak lain baik secara penuh (jual-beli) maupun secara parsial (sewa, gadai); dan (d) enforceability, dimana hak-hak tersebut
dapat ditegakkan (Taylor, 1988).
BAGIAN 4-3 • Hasantoha Adnan dan Yentirizal 325

Pemberian property rights kepada seseorang akan memberikan insentif baginya


untuk menggunakan lahan secara efisien, melakukan investasi bagi konservasi
lahan dan peningkatan kualitas lahan. Dalam perkembangannya, banyak common
property, seperti communal land cenderung menjadi private land akibat adanya
tekanan pertambahan penduduk dan komersialisasi lahan (Ichwandi, 2003).

Hal yang terpenting dari masalah property rights adalah bagaimana penegakannya
dapat dilakukan. Penegakan property rights dapat dilakukan melalui sistem hukum
formal (formal procedur) dan penegakan aturan yang ada dalam masyarakat (social
customs) (Taylor, 1988). Jika hal tersebut tidak dapat dilakukan, misalnya karena
biaya enforcement atau exclusion terlalu mahal dibandingkan dengan manfaat yang
diperoleh maka sumberdaya akan menuju ke open access.

METODOLOGI
Kajian ini mengambil kasus di dua desa yang terletak di bagian hulu Sungai Batang
Pelepat (Desa Baru Pelepat di Kecamatan Pelepat) dan Batang Bungo (Desa
Sungai Telang7 di Kecamatan Bathin III Ulu), Kabupaten Bungo, Jambi. Dengan
keberadaannya itu, kedua desa menjadi bagian dari daerah penyangga Taman
Nasional Kerinci Seblat. Pengumpulan data menggunakan beberapa metode dan
teknik investigasi, seperti wawancara tak berstruktur dengan informan kunci
di kedua desa, wawancara semi-berstruktur melalui diskusi kelompok terfokus
(FGD) kepada kelompok Kalbu dan Tani di kedua desa, maupun melalui
pengamatan langsung di lokasi. Dengan kata lain, penelitian kualitatif 8 berupaya
merangkaikan data menjadi sebuah deskripsi dan analisis mendalam. Proses
pengumpulan data akan sangat dipengaruhi oleh interpretasi informan mengenai
topik yang dibicarakan. Sedangkan proses analisis akan sangat dipengaruhi oleh
interpretasi penulis terhadap data.

Dengan menjadikan desa sebagai unit analisis, ada tiga aspek yang akan dilihat,
yaitu: pertama, individu-individu sebagai bagian dari masyarakat desa, yang terlibat
secara langsung dalam pengelolaan lahan di wilayahnya. Kedua, masyarakat
desa sebagai suatu komunitas yang mendiami wilayah yang sama. Di sini akan
dilihat bagaimana respon secara kolektif yang diberikan oleh masyarakat dalam

7 Sejak 2005 di desa ini dilaksanakan penelitian Collective Action and Property Rights dengan menggunakan pendekatan Participatory Action Research.
Penelitian ini merupakan penelitian aksi kolaboratif yang bertujuan untuk mengidentifikasi, menguji dan menyebarluaskan pelajaran-pelajaran
tentang mekanisme dan proses tata pemerintahan di era otonomi daerah yang paling sesuai untuk mengakomodir kepentingan masyarakat di dalam
proses pengambilan keputusan terkait dengan perencanaan tata guna lahan dan distribusi manfaat. penelitian ini dengan titik berat pada penguatan
kemampuan masyarakat miskin dan terpinggirkan untuk menyuarakan aspirasinya dengan penekanan untuk belajar secara bersama melalui aksi
kolektif.
8 Pendekatan kualitatif memiliki sifat interpretatif, non-linear, dan menggunakan logic in practice dalam proses kegiatan penelitian. Lebih jauh lagi,
pendekatan ini memiliki karakteristik, yaitu pentingnya suatu konteks, pentingnya suatu studi kasus, kesahihan dan reliabilitas tergantung pada
integritas peneliti dalam menjalankan kegiatan penelitian, serta menggunakan prosedur interpretasi (thick description) dalam menganalisis.
326 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

menghadapi berbagai perubahan, khususnya berkaitan dengan pengelolaan lahan.


Ketiga, desa sebagai bagian dari wilayah yang lebih luas. Di sini akan diperhatikan
relasi antar desa sekitar dan dengan pemerintahan di atasnya (kecamatan,
kabupaten, pemerintah pusat).

GAMBARAN UMUM

Desa Baru Pelepat: Desa Tua yang Rentan


Desa Baru Pelepat, Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo, berjarak sekitar 256 km
dari ibukota propinsi Jambi. Penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) ini
berbatasan dengan Desa Sungai Beringin (utara), Kabupaten Merangin (selatan),
Desa Rantel (timur) serta Desa Batu Kerbau (barat). Dengan luas sekitar 7.265
ha, desa ini dihuni oleh sekitar 624 jiwa (226 KK)9 dan tersebar di empat dusun:
Baru Tuo, Lubuk Beringin, Lubuk Pekan, dan Pedukuh.

Desa Baru Pelepat terbentuk pada 1989 melalui penggabungan dua buah desa,
yaitu Baru Tuo dan Pedukuh10. Penggabungan ini dilatarbelakangi oleh UU No.
5/1979 tentang tata pemerintahan desa. Pada 1997/1998, di desa ini dilaksanakan
program transmigrasi dengan membangun 150 unit rumah. Melalui program ini,
selain penduduk desa bertambah, kemajemukan etnisnya juga meningkat.

Sebagian besar penduduk asli berasal dari keturunan Minangkabau yang


menerapkan sistem matrilineal dan beragama Islam. Sebelumnya, penduduk
Minang asli memenuhi kebutuhan pangannya dengan bertanam padi dan
menggunakan sistem irigasi tradisional, menyadap dan menjual getah karet alam,
dan menjual hasil hutan non-kayu seperti rotan (Daemonorops spp. dan Calamus
spp.), manau (Calamus manan), jernang (Daemonorops draco), dan madu. Banjir
bandang pada akhir 1970-an telah menghancurkan irigasi sawah, dan mereka
pun beralih ke pola perladangan berpindah. Lahan bekas ladang mereka tanami
dengan karet ataupun buah-buahan.

Awal 1990-an, usaha karet mengalami kemunduran, seiring dengan semakin


menurunnya harga karet di pasaran dunia. Kebun karet yang ada mereka biarkan
tak terawat dan habis diserang hama babi dan simpai. Sejak saat itulah mereka
mulai mengusahakan pembalakan kayu sebagai sumber utama pendapatan rumah

9 Data berdasarkan Sensus Pertanian Tahun 2004


10 Kedua desa tersebut sebelumnya sudah terbentuk pada 1980
BAGIAN 4-3 • Hasantoha Adnan dan Yentirizal 327

tangga. Kalau sebelumnya kayu hanya dipergunakan untuk membangun rumah


atau fasilitas di desa, kini mereka menjualnya ke sawmill ataupun industri kayu
lainnya.

Sedangkan pendatang, terdiri dari dua bagian, yaitu pendatang dari program
transmigrasi yang berasal dari desa sekitar (transmigrasi lokal), seperti Sungai
Beringin dan Rantau Keloyang. Mereka pindah karena desa mereka terkena
proyek tambang batu bara. Sama seperti penduduk asli, mereka juga terbiasa
mengembangkan usaha pertanian perladangan dan menanam karet. Pendatang
juga ada yang berasal dari Pulau Jawa (bersuku Sunda dan Jawa), bahkan ada
pula di antara mereka yang merupakan generasi kedua atau ketiga dari program
transmigrasi terdahulu, seperti dari Margoyoso, Kuamang Kuning dan Rimbo
Bujang (Kabupaten Tebo). Sebagaimana program transmigrasi pada umumnya,
mereka mendapatkan rumah dan pekarangan seluas 0,25 ha, 0,75 ha untuk lahan
usaha tanaman semusim dan 1 ha untuk lahan usaha tanaman tahunan.

Desa Baru Pelepat merupakan daerah perlintasan suku nomadik Orang Rimba.
Ada beberapa kelompok Orang Rimba (lebih dikenal dengan sebutan Suku Anak
Dalam/SAD) yang mendiami kantung-kantung pedalaman hutan wilayah desa.
Selain memiliki ladang dan kebun karet, mereka mengenal juga pemanfaatan
sumberdaya hutan. Hasil hutan non-kayu berupa rotan, damar, dan jernang,
dijual melalui perantara (jenang), yang juga menjadi warga desa. Kadang mereka
langsung menjual ke kota kecamatan atau kabupaten. Walaupun seorang jenang
dapat juga berperan sebagai induk semang yang ’mengayomi’ kehidupan sosial
Orang Rimba, namun interaksi patron-client antara keduanya lebih bersifat
ekonomi yang kadang eksploitatif terhadap Orang Rimba. Karena tidak menetap,
mereka tidak dianggap sebagai bagian dari warga desa oleh masyarakat, sehingga
tidak memiliki akses terhadap pembangunan desa.

Saat ini, kegiatan utama masyarakat adalah perladangan dan pertanian11 serta
pemanfaatan hasil hutan, berupa kayu dan non-kayu. Pembalakan kayu, maupun
pengusahaan rotan, manau, gaharu, hingga hewan buruan menjadi sumber
ekonomi masyarakat. Hal ini menunjukkan tingginya tingkat ketergantungan
masyarakat terhadap hutan. Selain bernilai ekonomi, hutan juga menyediakan
berbagai jenis tanaman obat-obatan dan juga untuk sebagai bahan makanan.
Sebagian besar hutan adalah hutan sekunder, karena sebagian wilayah desa masuk

11 Sistem perladangan berpindah dilakukan oleh masyarakat desa dengan membuka hutan atau sesap. Penentuan hutan atau wilayah akan dibuka
dilakukan pada saat upacara adat Turun Betaun yang mengatur pembukaan menurut prinsip adat, yaitu kompak (bersama-sama), sompak (dalam satu
waktu) dan setumpak (satu hamparan). Selain menanam padi, ladang biasanya juga ditanami cabai-cabaian, ubi kayu-jalar, kacang-kacangan, jagung
dan tanaman semusim lainnya. Tak jarang dalam satu masa tanam masyarakat mendapat keuntungan jangka pendek menengah dan panjang yang
dilihat dari produksi usaha tani yang dilakukan. Berhubungan dengan kesuburan tanah, bertambahnya tanah hak milik, mudahnya mengatasi gulma
menjadi daya tarik pembukaan hutan untuk lahan pertanian.
328 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

ke dalam kawasan hutan produksi dan pernah menjadi lokasi dari perusahaan
pemegang HPH12.

Berdasarkan data pemetaan desa yang dihimpun melalui proyek Pembangunan


dan Konservasi Terpadu (ICDP-TNKS) tergambar bahwa pemanfaatan lahan
terbesar adalah sebagai hutan seluas 5.970 ha, sedangkan sisanya digunakan
untuk belukar sesap (sekitar 562 ha), kebun karet rakyat (sekitar 465 ha), kebun
campuran (88 ha), budidaya kulit manis (14 ha), areal tebangan (21 ha), ladang
padi (78 ha), pekuburan (2 ha), dan permukiman seluas 65 ha (Tim ICDP-TNKS,
2000). Saat ini, masyarakat desa sedang mengajukan proposal pengakuan Hutan
Adat Desa seluas 820 ha dan tengah menyusun rancangan peraturan desa tentang
hutan tersebut. Inisiatif itu juga digulirkan di tingkat kabupaten dalam bentuk
penyusunan rancangan peraturan daerah.

Studi Indriatmoko (2003), memperlihatkan bahwa di Desa Baru Pelepat berlaku


sistem tenurial yang berbeda, terkadang saling bersandingan, dan tak jarang
tumpang tindih. Secara tradisional, masyarakat desa mengenal sistem pengelolaan
lahan dan hutan sebagai berikut:
1. Rimbo adalah hutan primer yang masih murni dan belum pernah mendapatkan
perlakuan-perlakuan tertentu. Setiap anggota masyarakat dapat mengakses
hutan ini. Sebelum berlakunya otonomi daerah dan pada saat masih
beroperasinya HPH, sebagian besar rimbo berada di wilayah Hutan Produksi
dan berada di bawah kekuasaan negara (state property). Namun dengan
berlakunya otonomi daerah, dan berhentinya perusahaan HPH, masyarakat
semakin mudah untuk mengakses rimbo. Selain itu beberapa peraturan
daerah yang mengatur hak pemanfaatan hasil hutan yang berada di tanah
rakyat, semakin memudahkan masyarakat untuk memanfaatkannya baik
secara mandiri, melalui koperasi ataupun bekerjasama dengan pihak swasta.
Dengan demikian rimbo dapat dikatakan sebagai sumberdaya yang bersifat
state property, private property, dan kadang open access.
2. Sesap atau belukar adalah hutan yang telah dibuka untuk berladang dan
telah dibiarkan untuk jangka waktu tertentu. Sesap dimiliki secara pribadi
(private property) dan menjadi bagian dari harta yang diwariskan.
3. Belukar Cacau adalah sesap yang telah dibuka dan dibiarkan sangat lama,
sehingga tidak jelas lagi kepemilikannya dan akhirnya menjadi milik desa
(common property). Setiap anggota masyarakat boleh menggunakan lahan
ini dengan syarat tidak menanam tanaman keras, ada kewajiban membayar

12 Sebelum tahun 2000 di wilayah ini terdapat beberapa perusahaan yang memiliki Hak Pengusahaan Hutan (HPH), yaitu Rimba Kartika Indah (RKI),
Gajah Mada, PT. Alas dan terakhir INHUTANI V yang berhenti seiring dengan proses desentralisasi kehutanan. Setelah itu bentuk pemanfaatan
lahan oleh perusahaan juga dilakukan oleh perusahaan yang memegang izin. Terakhir ada bentuk pemanfaatan kayu IPHH (Izin Pemanfaatan Hasil
Hutan) oleh PT. MKS di wilayah Hutan Produksi di sekitar Desa Baru Pelepat meski belum menyentuh wilayah desa secara langsung.
BAGIAN 4-3 • Hasantoha Adnan dan Yentirizal 329

zakat dan tidak dibatasi waktu penggunaanya. Selain karena ketidakjelasan


kepemilikan, belukar cacau juga biasanya lahan yang sangat subur karena
letaknya di sekitar sungai. Sebagian besar pemanfaatan lahan oleh masyarakat
adalah untuk menaman padi ladang.

Perubahan datang pertengahan 1970-an seiring dengan masuknya perusahaan


hak pengelolaan hutan (HPH). Beberapa perusahaan beroperasi silih-berganti
di wilayah desa tanpa pernah melibatkan masyarakat sekitar. Abdurrachman (40
tahun) sempat mengenang bahwa pada saat itu tak jarang masyarakat lari dikejar-
kejar tentara karena ketahuan mengambil rotan atau madu di kawasan hutan
produksi.

Selain pembukaan hutan besar-besaran oleh HPH, perkembangan yang membawa


dampak sangat jauh bagi masyarakat Baru Pelepat adalah penyeragaman bentuk
desa sesuai UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa. Hal ini menyebabkan
semakin terpangkasnya aturan-aturan adat dan diakuinya aturan formal dalam
mengatur kehidupan desa. Kehidupan desa tak lagi menjadi otonom sebagaimana
sebelumnya, begitu juga dengan tokoh-tokoh adatnya yang cenderung berada di
bawah pengaruh negara, dan kurang mempedulikan masyarakatnya13.

Perubahan berikutnya adalah dengan dibukanya proyek transmigrasi di Baru Pelepat


1997-1998. Peserta transmigrasi terdiri dari penduduk lokal yang membebaskan
lahannya untuk areal transmigrasi, juga penduduk desa sekitar yang terkena
proyek tambang batu bara, dan pendatang Jawa. Pada saat ini pula diperkenalkan
sistem sertifikasi tanah yang diberikan oleh BPN melalui Diskertrans atas lahan-
lahan yang dimiliki oleh peserta transmigrasi.

Gambaran ini memperlihatkan dinamika sistem tenurial di desa. Menurut BPN, di


Desa Baru Pelepat terdapat dua jenis penggunaan lahan, yaitu Hutan Produksi (HP)
yang dikonsesikan kepada perusahaan pemegang HPH, dan Areal Pemanfaatan
Lain (APL), yang biasanya dimanfaatkan untuk berladang dan pemukiman. Batas
antara kedua batas ini sayangnya tidak diketahui secara pasti oleh masyarakat
dan pemangku kepentingan lainnya. Meskipun demikian, sejauh ini persoalan
batas tidak menjadi perhatian penting, selama kawasan berladang mereka tidak
tumpang tindih dengan hutan produksi. Pemerintah, khususnya pemerintah
lokal maupun dinas kehutanan setempat tidak pernah mensosialisasikan kedua
bentuk pemanfaatan lahan ini. Ini adalah gambaran umum yang terjadi di seluruh

13 Seorang mantan kepala desa bahkan pernah bercerita bahwa dirinya diangkat menjadi kepala desa tanpa pernah mengetahui alasannya. Saat itu, ia
sebagai satu-satunya orang berpendidikan sekolah menengah, ditunjuk oleh ninik mamak dan tetua adat desa untuk memimpin desa. Penunjukan itu,
menurutnya, sudah dikonsultasikan dengan pihak kecamatan.
330 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Indonesia. Sehingga menimbulkan sengketa antara masyarakat lokal dengan


pemerintah maupun dengan pemegang konsesi. Seluruh pemangku kepentingan
di wilayah ini dapat dikategorikan ke dalam tingkat komunitas lokal dan di luar
komunitas (pemerintah dan pemegang konsesi).

Desa Sungai Telang: Benteng Terakhir Penyangga TNKS


Desa Sungai Telang14 termasuk wilayah Kecamatan Bathin III Ulu15. Pada mulanya
desa ini berada dalam kekuasaan Marga Bathin Tiga Ulu, yang dipimpin oleh tiga
orang Rio dan membawahi tiga wilayah yaitu Rio Peniti yang berkedudukan di
Sungai Telang, Rio Suko Berajo di Karak dan Rio Setio di Buat, sementara Marigeh
termasuk dalam Rio Suku Barajo.

Diberlakukannya UU No. 5/1979 menyebabkan bentuk marga diubah menjadi


desa sebagai unit administrasi pemerintahan terkecil16. Hal ini menimbulkan
perubahan yang mendasar terhadap keberadaan marga yang selama ini berperan
sebagai lembaga pemerintahan terendah di bawah kecamatan.

Sungai Telang definitif menjadi desa pada 1982 dengan luas 12.089,75 ha yang
terdiri dari tiga dusun: Marigeh, Kampung Baru, dan Sungai Telang sebagai
pusat pemerintahan. Sebelum 1995, masyarakat memanfaatkan Sungai Batang
Bungo untuk sarana transportasi dengan menggunakan biduk atau rakit yang
dipakai sampai ke Muara Buat membawa hasil bumi. Sejak masuknya program
transmigrasi pada 2004, kini desa ini memiliki 2 areal transmigrasi. Desa Sungai
Telang berbatasan dengan Sungai Batang Uleh (utara), Gunung Panjang (selatan),
Gunung Gedang (barat), anak Sungai Pauh dan Sungai Lubuk Pauh (timur)17.
Pemanfaatan lahan digunakan untuk sawah 104 ha, pemukiman 69 ha, tegal/
huma/ladang 239 ha, perkebunan 2.620 ha, hutan produksi 7.001,5 ha, hutan
lindung 1.697 ha, TNKS 316 ha, padang rumput 25 ha, kolam 0,25 ha, sungai 7
ha dan jalan 11 ha18.

Berdasarkan pendataan oleh Pemdes pada 2005, diketahui bahwa desa ini
dihuni oleh 1.551 jiwa (414 KK) yang terdiri dari penduduk asli dan pendatang.

14 Nama ini berasal dari nama sungai yang membelah desa yang menjadi anak Sungai Batang Bungo. Dahulu di sepanjang sungai ini banyak terdapat
Telang, sejenis bambu yang konon menurut cerita dijadikan tempat untuk menyembunyikan butiran emas hasil mendulang di sungai. Hingga pada
suatu hari, salah seorang tetua desa meninggal dan anak keturunannya kemudian mencari Telang yang berisi emas tersebut, namun tidak ketemu.
Sejak itulah daerah itu dikenal dengan sebutan Sungai Telang
15 Kecamatan Bathin III Ulu adalah kecamatan pemekaran. Semula menjadi bagian dari Kecamatan Rantau Pandan. Sejak Januari 2006, Desa Sungai
Telang, Sungai Letung, Lubuk Beringin dimekarkan menjadi kecamatan tersendiri.
16 UU No. 5/1979 menggantikan UU Marga I.G.O.B tahun 1938 Stat Blad No.490. Untuk Propinsi Jambi implementasi kebijakan ini ditindaklanjuti
dengan dikeluarkannya Perda No. 8/1981 oleh Pemerintah Propinsi Jambi
17 Berdasarkan informasi dari Pemerintahan Desa Sungai Telang, 2005.
18 Data yang berasal dari Dishutbun Kabupaten Bungo, 2004.
BAGIAN 4-3 • Hasantoha Adnan dan Yentirizal 331

Penduduk asli berdiam di dusun, sedangkan pendatang di kawasan transmigrasi.


Mata pencaharian utama penduduk desa bertani dengan tanaman utama padi
(sawah/ladang) dan karet, selain itu juga membudidayakan tanaman hortikultura,
sedangkan untuk kebun ditanami tanaman buah-buahan.

Kehidupan bergotong-royong sangat mewarnai kehidupan masyarakat Sungai


Telang, khususnya dalam mengerjakan sawah, kebun milik dukun beranak dan
guru agama tanpa imbalan dan tanpa harus diminta oleh pemiliknya. Kegiatan
pembangunan rumah juga dikerjakan secara bergotong-royong; ada rasa malu bila
tidak datang.

Pola kepemilikan lahan oleh masyarakat Desa Sungai Telang dibagi dalam dua
bentuk yaitu secara komunal dan secara pribadi. Pemilikan komunal menyangkut
lahan hutan tua (tanah ulayat/tanah bathin): semua anggota masyarakat bebas
untuk memanfaatkan lahan tersebut asalkan terlebih dahulu mendapat ijin
dari para tetua adat/desa. Sedangkan kepemilikan lahan secara pribadi adalah
penguasaan atas lahan yang digarapnya baik sawah, ladang maupun kebun.

Cara masyarakat mendapatkan lahan tersebut bermacam-macam: dengan cara


membuka lahan hutan sekunder tua maupun hutan primer (sesap tua dan hutan
yang masih utuh), membeli, warisan dan pemberian dari sanak keluarganya. Dalam
sistem warisan dikenal dengan dua macam harta pusaka yaitu harta berat berupa
lahan basah (tanah sawah), bangunan beserta isinya untuk anak perempuan dan
harta ringan berupa lahan kering (kebun, sesap, belukar) dan ternak untuk anak
laki-laki.

AWAL PETAKA

Transmigrasi Lokal Pelepat: Impian Hampa


Sebelum muncul rencana pembangunan tambang batu bara di Desa Sungai
Beringin pada 1997, sesungguhnya masyarakat Desa Baru Pelepat telah beberapa
kali mengajukan permintaan kepada pemerintah Kabupaten Bungo, agar desanya
menjadi tujuan program transmigrasi. Menurut Abdurrahman (40 tahun),
mantan kepala desa pada waktu itu, keinginan ini dipicu oleh kondisi kemiskinan
yang mereka alami serta terpencilnya desa ini dari ibukota kabupaten19. Mereka

19 Saat itu masyarakat masih terbiasa menggunakan Sungai Batang Pelepat dengan rakit untuk ke kota kecamatan ataupun berjalan kaki selama 1 hari
penuh. Jalan utama desa baru dibuka pada saat pembukaan transmigrasi I, pada 1997.
332 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

melihat bahwa program transmigrasi dapat menjadi pemicu untuk meningkatkan


taraf hidup mereka.

Sayangnya usulan ini ditolak, dan baru pada usulan ketiga, yaitu di akhir 1993
ada tanggapan dari Bupati Bungo-Tebo, yang menunjuk tim untuk melakukan
studi kelayakan atas lokasi tersebut. Realisasi dari hasil studi kelayakan itu baru
dilaksanakan pada 1997, bersamaan dengan rencana pembangunan tambang batu
bara di Desa Sungai Beringin, tetangga Desa Baru Pelepat.

Program ini disebut transmigrasi lokal, karena pesertanya terdiri dari masyarakat
desa setempat yang memberikan lahan, sebagian masyarakat Desa Sungai Beringin
yang tergusur akibat pembangunan tambang. Ini menjadi bagian dari program
transmigrasi di Jambi yang dimulai sejak 1980, sebagai upaya untuk mendorong
pembangunan di tingkat lokal melalui program pertanian tanaman semusim
seperti jagung, ketela, dan lain-lain dan perkebunan (karet ataupun sawit). Selain
tujuan tersebut, mengingat program ini didanai melalui Pelaksanaan Program
Pemukiman Perambah Hutan melalui Dana Reboisasi (P4HDR), maka program
ini juga dimaksudkan untuk mengurangi perambahan hutan oleh masyarakat lokal
berkaitan dengan kegiatan ladang berpindah mereka. Apalagi mengingat desa ini
menjadi daerah penyangga dari Baru Pelepat.

Tujuan mulia ini tidak terealisasi sebagaimana mestinya. Berbagai macam


permasalahan justru muncul akibat dari program ini. Beberapa kasus bahkan tidak
terselesaikan hingga kini20. Menurut Datuk Gani, pangkal persoalan program
transmigrasi di Desa Baru Pelepat adalah tidak terealisasinya Lahan Usaha I dan II
sebagai penopang mata pencaharian masyarakat. Memang pada saat itu ada upaya
dari Disnakertrans dengan memberikan bibit karet, namun karena tidak didukung
dengan penyuluhan yang mantap, lokasi yang cukup jauh dari desa sehingga
menyulitkan masyarakat untuk merawatnya, bibit yang kurang berkualitas karena
tidak jelas asal-usulnya, serta serangan hama babi, menyebabkan pengembangan
Lahan Usaha ini terbengkalai.

Padahal, dengan masuknya transmigrasi, masyarakat mengenal satu bentuk baru


kepemilikan lahan yang bersertifikat dan diakui oleh negara. Setiap kepala keluarga
transmigran mendapatkan 0,25 ha lahan untuk rumah dan pekarangan, 0,75 ha
menjadi Lahan Usaha (LU) I untuk ditanam padi dan tanaman semusim lainnya,
dan 1 ha untuk LU II untuk tanaman keras berupa karet ataupun sawit. Kendati
memiliki hak untuk memiliki dan mengelola 2 ha lahan, namun hingga saat ini
yang baru dimanfaatkan secara penuh adalah lahan untuk rumah dan pekarangan.

20 Beberapa masalah itu diantaranya, belum direalisasikannya LU I dan II, hingga sertifikat lahan yang tak kunjung diberikan oleh Disnakertrans.
BAGIAN 4-3 • Hasantoha Adnan dan Yentirizal 333

Beberapa kendala yang dijumpai dalam pelaksanaan proyek ini adalah:


1. Letak LU I dan LU II yang tidak dekat dari pemukiman dan harus menyeberangi
sungai menjadi kendala bagi kemudahan akses para transmigran.
2. Belum jelas dan tuntasnya persoalan lahan. Sebagaimana diungkapkan
di atas, bahwa sebagian lahan sesap merupakan lahan milik pribadi yang
diakui secara adat. Sebagian besar LU I dan LU II adalah lahan sesap milik
masyarakat dan sempat menimbulkan konflik kepemilikan lahan yang cukup
tajam antara masyarakat dengan pemerintah daerah dalam hal ini melalui
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Bentuk penyelesaiannya adalah bahwa
separuh 150 rumah yang telah disediakan, diberikan kepada masyarakat asli
yang tanahnya dipakai untuk LU I dan LU II.

Dampak dari kegagalan proyek ini adalah sebagian transmigran ada yang menjual
rumah dan lahannya ataupun meninggalkan begitu saja, terutama setelah jaminan
hidup yang diberikan oleh Disnakertrans selesai diberikan. Sementara mereka
yang tetap bertahan, sebagian besar dari Jawa, berusaha memanfaatkan lahan
pekarangan dengan maksimal untuk ditanam tanaman semusim maupun tanaman
keras, ataupun dengan bekerja menggarap kebun karet milik warga asli.

Bagi mereka yang mampu dapat membeli lahan dari masyarakat asli untuk dijadikan
ladang. Namun dibutuhkan kehati-hatian, mengingat sistem kepemilikan lahan
cukup rumit di desa ini, bahkan tak jarang setelah dibeli, ternyata tanah tersebut
masih bermasalah karena pemiliknya bukan hanya satu orang, tapi berdasarkan
kewarisan tertentu. Karenanya, setiap pembelian tanah biasanya diketahui oleh
ninik mamak desa.

Bagi mereka yang tidak mampu, bisa membuka ladang dengan meminjam lahan
dari masyarakat asli. Biasanya, sebelum meminjam mereka memang sudah ada
hubungan yang lebih akrab dan khusus dengan orang asli tersebut. Tak jarang
mereka kemudian menikah dengan penduduk asli agar memudahkan akses untuk
memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di desa.

Cara lainnya adalah dengan membuka rimbo menjadi ladang21 yang pada
gilirannya akan menjadi milik si pembuka. Namun karena rimbo yang dekat desa
semakin sedikit, maka mereka membuka hingga cukup jauh dari pemukiman.

21 Masyarakat transmigran baru boleh membuka ladang dan rimbo yaitu setelah interaksi antara mereka dengan penduduk asli terjalin semakin akrab.
Di tahun-tahun awal proyek transmigrasi, banyak terjadi pertentangan antara kedua belah pihak, namun pertentangan ini semakin mereda khususnya
setelah pembentukan Badan Perwakilan Desa. Dalam pembentukan BPD, terdapat seorang wakil dari kelompok pendatang dan juga seorang
perempuan (sehingga mewakili kelompok perempuan desa). Dengan jabatan ini, posisi masyarakat pendatang, kian diterima oleh masyarakat asli.
334 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Seorang warga trans keturunan Jawa bercerita bahwa setelah 3 tahun ia menjadi
transmigran, kebun yang diharapkannya malah tidak terurus. Ia kemudian
mengajukan permohonan kepada ninik mamak setempat untuk membuka rimbo
yang kemudian disetujui. Ia pun membuka rimbo sesuai dengan aturan adat yang
ada.

Sejauh ini, pengaturan lahan di Desa Baru Pelepat didasarkan pada aturan adat
dalam membuka ladang, melalui sistem kewarisan, pemberian, ataupun jual beli.
Sayangnya aturan ini tidak memberi batasan dalam kepemilikan lahan. Dalam
sebuah wawancara, seorang warga mengakui memiliki lahan lebih dari 50 ha yang
dia dapatkan dari warisan maupun dari membuka hutan. Kecenderungan untuk
membuka lebih luas lagi lahan semakin dimungkinkan karena adat mengenal
aturan penghulu atau muko humo, yaitu bahwa pembuka rimbo mempunyai hak
untuk membuka lagi hutan di depan lahan (ladang) yang dibukanya. Dan hak ini
akan terus bertahan, kendati lahan tersebut telah menjadi sesap.

Selain keberadaan transmigrasi menyebabkan ketersediaan lahan semakin sedikit,


berbagai praktek yang berkembang saat ini adalah jual beli lahan transmigrasi. Pak
Andra, mantan Sekdes, bahkan mensinyalir adanya lahan transmigrasi yang sudah
diperjualbelikan hingga 3 kali pindah kepemilikan. Praktek jual beli ini, bukan
hanya dilakukan oleh warga transmigrasi dari luar desa, namun juga dari dalam
desa. Kendati hal ini terlarang, namun praktek tersebut terus berjalan. Kondisi ini
semakin mendorong kepada ketidakpastian masyarakat dalam mengakses lahan.
Lahan tersedia semakin terbatas.

Transmigrasi Sungai Telang I: Masalah Tak Berujung


Program transmigrasi Sungai Telang dimulai pada 2004. Masyarakat desa
bersepakat melepaskan areal yang dimilikinya setelah tertarik dengan kesuksesan
beberapa program transmigrasi di daerah lain di Bungo yang maju dengan
perkebunan kelapa sawitnya. Saat itu, mereka melepaskan lahan seluas 1.041 ha
untuk pemukiman, Lahan Usaha I dan II. Lahan seluas itu akan menampung 275
kepala keluarga (penduduk asli sebanyak 138 KK dan pendatang dari Jawa 137
KK).

Untuk kelancaran proses pelaksanaan program dan penghubung antara masyarakat


dengan pemerintah, maka dibentuk tim di tingkat desa yang ditunjuk langsung
oleh kepala desa. Tim yang disebut ‘Tim Kecil’ ini beranggotakan 3 orang terdiri
BAGIAN 4-3 • Hasantoha Adnan dan Yentirizal 335

dari ketua, bendahara dan sekretaris; sementara kepala desa sebagai pelindung.
Tim Kecil bertugas mengatur semua kelengkapan administrasi, pendataan pemilik
lahan (penentuan peserta) dan pembebasan lahan di tingkat desa.

Setelah melalui musyawarah desa, ditetapkan bahwa lahan untuk wilayah


transmigrasi Sungai Telang I berasal dari lahan milik masyarakat berupa sesap,
hutan karet maupun semak belukar. Lahan yang diserahkan masyarakat tidak
akan mendapat ganti rugi, karena nantinya masyarakat akan mendapatkan
pengganti berupa kebun sawit. Dari hasil pendataan Tim Kecil, terdapat 118 KK
yang lahannya termasuk dalam lokasi transmigrasi. Lahan-lahan itu kemudian
diserahkan masyarakat dengan luasan yang beragam, yaitu berkisar 2-6 ha/ KK.

Sayangnya kenyataan tak seindah janji yang sudah ditebarkan. Dari 138 KK peserta
yang semestinya penduduk setempat, kenyataannya hanya 118 KK. Menurut
Abusan (56 tahun), seorang pemuka masyarakat, 20 KK berasal dari masyarakat
luar Desa Sungai Telang. Ia menuding terjadi jual beli di bawah tangan antara
peserta tersebut dengan Tim Kecil ataupun Pemdes. Ironisnya, justru terdapat
beberapa anggota masyarakat setempat yang sudah membayar uang pendaftaran,
tapi tidak menjadi peserta transmigrasi, bahkan kehilangan hak atas lahan yang
dimilikinya. Sayangnya, mereka tak mampu menyuarakan ketidakadilan tersebut
karena di tingkat desa mereka dianggap lemah, baik dari segi ekonomi maupun
pengaruh.

Berbagai persoalan muncul seiring dengan dimulainya pembangunan sarana dan


fasilitas pemukiman. Ketiadaan perjanjian tertulis antara masyarakat setempat
dengan pemerintah, tidak transparannya Tim Kecil dan komunikasi yang buruk
antar pihak-pihak terkait semakin memperumit keadaan. Mulai dari proses
pembebasan lahan yang dilakukan hingga penempatan lokasi pemukiman hingga
lahan usaha hampir semuanya penuh dengan masalah22. Bahkan terjadi tumpang
tindih lahan dan saling klaim antar masyarakat.

Persoalan terus bertambah setelah dimulainya pemanfaatan LU I dan II. Beberapa


warga trans yang kurang berhasil dalam pengusahaan LU I dan II mulai menjual
lahannya ke pihak lain. Jual beli biasanya terjadi setelah pemberian jaminan
hidup yang diberikan oleh Disnakertrans sudah dihentikan, yaitu untuk waktu
1 tahun. Bahkan dijumpai warga trans yang ternyata pernah menjadi peserta
transmigrasi di daerah lain. Sedangkan bagi warga trans yang berhasil mulai

22 Seorang anggota masyarakat mengakui bahwa pada saat itu ada musyawarah untuk pembebasan lahan dan ada penandatanganan kesepakatan dari
anggota masyarakat desa yang akan melepaskan lahan. Namun tidak diikuti dengan peninjauan lapangan. Baginya saat itu hanyalah sekedar tanda-
tangan-tanda-tanganan tanpa adanya kesepakatan.
336 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

memperluas kepemilikan lahannya dengan membeli lahan, baik dari warga trans
maupun dari penduduk setempat. Fakta ini memperlihatkan bahwa keberadaan
program transmigrasi mendorong terjadinya pengalihan kepemilikan lahan secara
besar-besaran dan yang paling dirugikan adalah penduduk setempat yang ketika
membebaskan lahannya tidak menerima imbalan apa pun.

Pada sisi lain, mekanisme jual beli lahan yang berlangsung tak mampu diantisipasi
oleh aturan adat. Hak-hak adat dan norma–norma sosial telah sedemikian rupa
menyatu mengatur suatu pola kepemilikan dan pengelolaan atas lahan. Karena
tanah sangat erat hubungan dengan kehidupan manusia sehari-hari. Selama ini
aturan adat memandang lahan tidak hanya untuk milik pribadi tetapi juga publik.
Beberapa areal yang sebelumnya tanah bathin (milik publik), berubah menjadi
milik pribadi.

Pepatah adat mengatakan “Nenek samo di imbo (Hutan), puyang samo di seru”.
Artinya: siapapun warga masyarakat Desa Sungai Telang berhak menggarap tanah
bathin/ulayat untuk ditanami padi ladang (bahumo), namun tidak boleh ditanami
tanaman keras dan tidak boleh menjadi hak milik. Di lahan inilah biasanya,
secara bersama-sama selama 7 tahun, masyarakat menanam padi ladang, sebelum
kemudian membuka lahan lain, sedangkan lahan yang lama diberakan.

Dari gambaran di atas, keberadaan program transmigrasi selain mengurangi akses


terhadap lahan juga mengancam lahan-lahan ulayat/bathin yang justru dimiliki
secara publik. Masyarakat Sungai Telang menyadari, bahwa hak-hak mereka
terhadap tanah menjadi berkurang.

Penyerahan lahan ini menyebabkan terjadinya perubahan penguasaan lahan


dan pemilikan tanah. Seperti apa yang dikatakan Marjohan (50 tahun), “Kami
menyadari sekarang, tanah yang kami serahkan untuk transmigrasi sudah menjadi milik
orang lain, lahan semakin sempit dan anak cucu kami bertambah, kemana lagi kami
mencari lahan?” Pernyataannya itu mengingatkan kita, bahwa lahan berkurang
sementara penduduk bertambah.

Selain ancaman terhadap tanah ulayat/bathin, ancaman juga muncul terhadap


kawasan Hutan Lindung Rantau Bayur yang berbatasan dengan desa. Bahkan
beberapa warga desa sudah mulai membuka kawasan tersebut kendati mengetahui
bahwa kawasan tersebut terlarang untuk usaha produksi.
BAGIAN 4-3 • Hasantoha Adnan dan Yentirizal 337

Pembangunan transmigrasi Sungai Telang I cenderung menekankan aspek


ketersediaan fasilitas permukiman, namun melupakan pembinaan usaha produksi
pertanian. Selain pembinaan bersifat teknis pertanian juga memerlukan perubahan
mental bertani, khususnya bagi masyarakat setempat. Karena pertanian intensif
tentunya memerlukan perubahan sikap mental masyarakat setempat yang terbiasa
dengan pertanian ekstensif. Hal ini pula yang menyebabkan usaha produksi
pertanian yang dikembangkan kurang berjalan dengan baik, khususnya di kalangan
masyarakat setempat. Padahal hal tersebut menjadi kunci utama keberhasilan
sebuah program transmigrasi.

Rendahnya hasil produksi pertanian, memaksa mereka untuk kembali ke pola


lama yaitu ladang berpindah. Sementara ketersediaan lahan tidak lagi mencukupi.
Kalau pun ada yang tersedia hanyalah lahan pada tanah ulayat/bathin yang lebih
terbatas penggunaannya. Kondisi ini memunculkan adanya ketidakpastian usaha
di kalangan masyarakat.

MEMPERKUAT POSISI TAWAR MELALUI


PENGUATAN KELOMPOK

Desa Baru Pelepat: Penguatan Kelompok Kalbu


Menurut Abunazar, tokoh adat dusun Pedukuh Desa Baru Pelepat, program
transmigrasi II sesungguhnya sudah digulirkan sejak 1999, pada saat ia masih
menjabat sebagai Pejabat Sementara Kepala Desa Baru Pelepat. Saat itu usulan
diajukan oleh masyarakat Dusun Pedukuh untuk menambah areal transmigrasi
sebagai perluasan program transmigrasi I yang sudah dibangun pada 1998. Surat
usulan tersebut, kemudian ditembuskan kepada Camat, Bupati dan Gubernur.
Kala itu Camat menolak menandatangani proposal yang menjadi lampiran dari
surat tersebut, sehingga kemudian proses ini terhenti.

Pada September 2002, setelah pemilihan kepala desa baru, masyarakat kembali
mengusulkan perluasan lahan transmigrasi seluas 500 ha untuk 200 kepala keluarga.
Surat ini kembali diajukan kepada dinas transmigrasi dan ditembuskan kepada
Bupati. ‘’...kita tidak menembuskan ke kecamatan karena dengan diberlakukannya
otonomi daerah, peran desa menjadi lebih besar, sehingga kami tidak perlu kecamatan‘’
jelas Abunazar menanggapi pertanyaan mengapa tidak memberikan tembusan ke
kecamatan.
338 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Pada Desember 2002, datang tim dari Depnakertrans untuk melakukan


pengukuran di lokasi Dusun Pedukuh. Hasil pengukuran saat itu memperlihatkan
bahwa ternyata areal yang diajukan, yakni di seberang sungai di muka Dusun
Pedukuh masih kurang. Tim kemudian mengusulkan agar kebun karet tua yang
ada di sekitar dusun digunakan untuk memenuhi kekurangan lahan tadi. Abunazar
menyatakan keberatan dengan usulan tersebut, dan berjanji akan membicarakan
hal ini dengan masyarakat Pedukuh pada umumnya.

Beberapa hari setelah pengukuran oleh tim, untuk pertama kalinya dilaksanakan
musyawarah seluruh masyarakat Dusun Pedukuh. Pada saat itu, para pemilik
kebun karet tua menyatakan keberatan bila lahannya dijadikan areal transmigrasi.
Pertimbangannya mereka tak ingin seperti dusun Baru Tuo, dimana setelah kebun
karet menjadi wilayah transmigrasi mereka tidak punya lagi sumber penghasilan.
Mereka kemudian memberikan usulan-usulan lokasi dan beberapa persyaratan
agar kondisi yang terjadi pada transmigrasi I tidak mereka alami.

Pada saat itu pulalah ditentukan mekanisme kelompok berdasarkan ‘kalbu’.


Kelompok Kalbu sesungguhnya adalah kelompok yang mendasarkan pada garis
keturunan yang ada di dusun Pedukuh. Dipilihnya kelompok ini mengingat
sebagian besar lahan yang ada di sekitar dusun Pedukuh adalah tanah yang
diwariskan. Sehingga dengan sistem ini mereka lebih meyakini kepemilikannya
terhadap lahan.

Mereka kemudian menunjuk Abunazar sebagai juru bicara kelompok. Abunazar


juga yang berperan untuk menghimpun masyarakat untuk mendiskusikan hal-
hal yang terkait dengan transmigrasi. Artinya, setiap keputusan yang diambil
adalah berdasarkan musyawarah kelompok Kalbu. Pada saat itu pula disampaikan
keberatan mereka kepada Disnakertrans.

Pada pertengahan 2004, Kades Baru Pelepat mendapat informasi bahwa akan
dilaksanakan rencana pembangunan transmigrasi II Pelepat, untuk sejumlah
200 KK. Lahan untuk pemukiman akan dibangun di sekitar dusun, sedangkan
lahan usaha akan ditempatkan di seberang Sungai Batang Pelepat di muka dusun
Pedukuh. Menanggapi hal tersebut, lalu Kelompok Kalbu mengadakan pertemuan
untuk membicarakan hal ini, yang hasilnya adalah sebagai berikut:
1. Adanya kesepakatan mengenai lokasi untuk pemukiman yaitu di sekitar
dusun dan akan ada pengaturan untuk kesediaan pelepasan lahan oleh
masyarakat. Beberapa pertimbangan yang diajukan adalah mereka yang
boleh melepaskan lahan terbuka bagi siapa saja, namun lebih diutamakan
yang belum mendapatkan kesempatan pada pembukaan transmigrasi I.
BAGIAN 4-3 • Hasantoha Adnan dan Yentirizal 339

Orang tersebut memang memiliki tanah di lokasi yang akan dijadikan lokasi
transmigrasi.
2. Menolak kebun karet tua dijadikan bagian dari lokasi transmigrasi.
3. Untuk lokasi LU I dan II akan diatur kemudian.

Hasil musyawarah inilah yang kemudian disampaikan oleh Abunazar melalui


Kepala Desa Baru Pelepat ke Disnakertrans Bungo. Tanggapannya adalah pada
Januari 2005 ada kunjungan dari Disnakertrans Bungo ke desa untuk memastikan
lokasi dan mengadakan musyawarah dengan Kelompok Kalbu. Dalam musyawarah
tersebut dikemukakan kembali mengenai rencana pembangunan transmigrasi di
dusun Pedukuh dan apakah ada keberatan dari masyarakat. Jawaban masyarakat
melalui Abunazar saat itu adalah bahwa sudah ada kesepakatan mengenai lokasi.
Mereka pun sekali lagi menegaskan syarat atas kesediaan mereka yaitu:
1. Tidak menjadikan lahan kebun karet tua sebagai lokasi transmigrasi.
2. Ada kesepakatan antara pemuka masyarakat Dusun Pedukuh, pemerintah
desa dan Disnkaertrans bahwa lahan tidak akan diperjualbelikan di kemudian
hari. Apabila dalam waktu 3 bulan setelah trans menerima peserta, namun
tidak ada penghuninya atau dibiarkan kosong; maka lahan tersebut kembali
kepada dusun dan desa
3. Perlunya seleksi yang ketat terhadap peserta transmigrasi.

Ketiga tuntutan ini kemudian disampaikan kepada Disnakertaran sebagai lampiran


dari surat pernyataan kesediaan masyarakat Dusun Pedukuh untuk menerima
program transmigrasi. Melalui kesepakatan inilah transmigrasi II mulai bergulir
di dusun Pedukuh.

Desa Sungai Telang: Penguatan Kelompok Tani


Pola kepemilikan lahan oleh masyarakat Desa Sungai Telang di bagi dalam dua
bentuk yaitu secara komunal dan secara pribadi. Secara komunal adalah lahan
hutan tua (tanah ulayat/tanah bathin), semua anggota masyarakat bebas untuk
memanfaatkannya asalkan terlebih dahulu mendapat ijin dari para tetua adat/
desa. Sedangkan kepemilikan lahan secara pribadi adalah penguasaan atas lahan
yang digarapnya, baik berupa lahan sawah, ladang maupun kebun.

Cara masyarakat mendapatkan lahan tersebut bermacam-macam: dengan cara


membuka lahan hutan sekunder tua maupun hutan primer yang ada, membeli,
warisan orang tua dan pemberian dari sanak keluarganya. Dalam sistem warisan
dikenal dengan dua macam harta pusaka yaitu harta berat berupa lahan basah
340 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

(tanah sawah), bangunan beserta isinya diperuntukkan untuk pewaris perempuan


dan harta ringan berupa lahan kering (kebun, sesap, belukar) dan ternak untuk
pewaris laki-laki.

Aksi kolektif masyarakat dalam mempertahankan akses terhadap lahan tergambar


dalam gerakan sebuah kelompok tani Sinar Tani. Melalui aksi kolektif, kelompok
melihat dan memahami persoalan yang dihadapi serta kemampuan untuk
menganalisis masalah, melakukan proses pembelajaran sosial, dan mencari solusi
untuk keluar dari persoalan. Melalui aksi kolektif ini juga, terjadi sebuah proses
peningkatan kapasitas yang optimal yang akan mendorong masyarakat mampu
memanfaatkan sumberdaya alam dan memperoleh manfaat dari lahan tradisional
mereka. Adanya akses terhadap manfaat lahan, merupakan inisiatif yang sangat
kuat bagi terciptanya pengelolaan sumberdaya alam yang lestari yang pada
gilirannya akan mampu menyediakan berbagai manfaat lingkungan.

Kelompok ini merupakan kumpulan dari orang-orang yang memiliki lahan dalam
satu hamparan sawah. Keanggotaan kelompok berasal dari berbagai elemen
masyarakat seperti anggota pemdes, BPD, tokoh masyarakat, dan masyarakat
itu sendiri. Pada awalnya, melalui proses penggalian permasalahan, kelompok
melihat adanya persoalan dalam pembagian harta warisan dan proses jual beli.
Pembagian warisan dilakukan secara lisan oleh para ninik mamak (suku) yang
disaksikan oleh tokoh masyarakat tanpa adanya bukti otentik berupa surat
warisan yang memuat lokasi, luas, dan batas lahan yang jelas. Proses jual beli
lahan juga tidak diperkuat dengan surat jual beli; si penjual dan si pembeli cukup
hanya berjabatan tangan.

Beranjak dari permasalahan tersebut, timbul rencana kolektif (keinginan


kelompok) untuk mendapatkan pengakuan dan bukti otentik terhadap lahan
mereka. Keinginan itu diperkuat setelah kelompok mendapat penyuluhan dari
Badan Pertanahan Nasional (BPN). Masyarakat menyadari betapa pentingnya
pengakuan akan status lahan secara hukum. Pada saat itu disepakati untuk
mendapatkan pengakuan melalui sertifikasi lahan. BPN pun menyatakan,
harapan itu bisa saja diajukan melalui program sertifikasi yang dilakukan secara
nasional. Namun program tersebut belum dapat direalisasikan saat itu juga karena
keterbatasan biaya.

Kendati demikian, secara mandiri masyarakat tetap melakukan proses pengusulan


melalui prosedur Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (SPORADIK).
Surat itu berisi informasi mengenai kepemilikan sebuah lahan yang dinyatakan
oleh si pemilik. Untuk mendukung bukti kepemilikan tersebut, di dalam surat
BAGIAN 4-3 • Hasantoha Adnan dan Yentirizal 341

itu juga digambarkan peta lokasi, cara mendapatkan (melalui membeli, warisan
atau hasil membuka rimba), saksi-saksi (yaitu pihak yang mengetahui sejarah
kepemilikan tanah di luar si pemilik, pihak-pihak yang berbatasan) dan disahkan
oleh kepala desa. Meskipun kekuatan hukumnya tidak sebesar sertifikat tanah
yang dikeluarkan oleh BPN, namun masyarakat cukup puas dengan mekanisme
itu. Setidaknya ada sebuah pengakuan di tingkat masyarakat.

Mekanisme itu mudah dan murah, dan masyarakat terlibat langsung dalam proses
pembuatannya. Ada kesadaran baru bahwa masyarakat dapat menyelesaikan
masalah mereka secara bersama-sama. Kesadaran ini juga menumbuhkan
komunikasi antar mereka dan membangun hubungan antar pihak.

Adalah menarik mencermati bagaimana kelompok ini berinteraksi dengan pihak


di luar desa berkaitan dengan tuntutan mereka atas lahan. Setelah program
transmigrasi II dilaksanakan, kemudian diketahui bahwa terdapat sekitar 300 ha
areal transmigrasi, yang sesungguhnya termasuk dalam kawasan hutan produksi.
Pada saat itu, dinas berwenang segera mengeluarkan surat peringatan kepada
pihak transmigrasi agar menghentikan pengembangannya, sampai diketahui
kepastian kawasannya. Pada saat yang sama, masyarakat melalui perwakilannya,
mendesak kedua pihak untuk segera menyelesaikan sengketa tersebut, karena hal
itu merugikan masyarakat yang tertunda usaha produksinya.

Kendati hingga saat ini belum ada penyelesaian yang pasti, namun jalan tengah
sedang ditempuh, yaitu masyarakat tetap dapat mengusahakan lahan tersebut,
namun untuk menanam tanaman semusim, seperti jagung, ketela, dan sayur
mayur. Kendati tidak memberi kepastian dalam jangka panjang, namun upaya
ini dianggap cukup memberikan jalan keluar. Selain itu, dalam beberapa kali
pertemuan, Dinhutbun menjanjikan semacam insentif bagi masyarakat, bila
mampu menjaga lahan tersebut.

AKSI KOLEKTIF MEMPERTAHANKAN AKSES


TERHADAP LAHAN
Untuk mempertahankan akses terhadap lahan, masyarakat mengembangkan
kemampuan kelembagaan mereka untuk memperkuat posisi tawar dalam
bernegosiasi dengan pihak pemerintah. Dalam kedua kasus di atas, menarik untuk
dicermati adalah bagaimana masyarakat di kedua desa memperkuat kelembagaan
mereka dalam rangka mengembangkan modal sosial (social capital) di antara
342 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

mereka dalam pengelolaan lahan. Kendati disadari bahwa lahan-lahan tersebut


sesungguhnya adalah milik pribadi.

Dalam Lubis (1999) diuraikan bahwa Coleman (1988) mengartikan modal sosial
sebagai struktur hubungan antar individu-individu yang memungkinkan mereka
menciptakan nilai-nilai baru. Bagi Ostrom (1999) dalam mengkaji proyek-proyek
pembangunan di dunia ketiga, modal sosial merupakan prasyarat bagi keberhasilan
suatu proyek pembangunan. Lebih lanjut dikatakannya bahwa eksistensi modal
sosial terlihat dari kemampuan suatu komunitas merajut pranata yang menjadi
acuan dalam bertindak. Pranata (institution) adalah seperangkat aturan yang
berlaku serta digunakan dan dijadikan sebagai acuan untuk bertindak.

Kedua desa mengembangkan modal sosial melalui cara yang berbeda. Desa
Baru Pelepat mengembangkan modal sosial dengan cara mengaktifkan kembali
kelembagaan tradisional mereka berdasarkan garis keturunan. Hal ini terkait
dengan sistem pewarisan dan kepemilikan lahan oleh keluarga. Pilihan ini ternyata
cukup strategis, mengingat penduduk di dusun Pedukuh sesungguhnya kurang
dari 45 KK, dengan menggunakan kelompok berbasis keturunan (kalbu), mereka
bisa mengikat anggota keluarganya yang tidak menjadi warga Pedukuh untuk ikut
dalam program ini. ”Lebih baik tanah kita diambil oleh saudara sendiri, daripada
oleh orang lain,” begitu alasan yang umumnya dikemukakan oleh masyarakat.

Penguatan kelompok Desa Sungai Telang dilakukan dengan membentuk


kelompok baru berdasarkan pola pemanfaatan lahan (kelompok tani). Kelompok
tani terbentuk dari himpunan petani yang bekerja dalam satu hamparan
lahan, meskipun mereka tidak berasal dari satu keturunan. Bekerja dalam satu
hamparan adalah kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat dalam melaksanakan
perladangan. Hal ini untuk keamanan, baik bagi petani maupun bagi lahan yang
mereka tanami dari serangan hama, seperti babi, monyet, maupun rusa.

Putnam (1993) dalam Lubis (1999) menyatakan, bahwa komponen modal sosial
terdiri dari kepercayaan (trust), aturan-aturan (norms) dan jaringan-jaringan kerja
(networks) yang dapat memperbaiki efisiensi dalam suatu masyarakat melalui
fasilitasi tindakan-tindakan yang terkoordinasi. Lebih lanjut Putnam mengatakan
bahwa kerjasama lebih mudah terjadi di dalam suatu komunitas yang telah
mewarisi sejumlah modal sosial dalam bentuk aturan-aturan, pertukaran timbal
balik dan jaringan-jaringan kesepakatan antar warga.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya semua


kelompok masyarakat memiliki sejumlah modal sosial karena modal sosial tercipta
BAGIAN 4-3 • Hasantoha Adnan dan Yentirizal 343

dari dinamika budaya masing-masing. Dengan demikian, proses pembangunan


berbasis masyarakat itu menjadi sangat penting. Selain mendorong partisipasi,
proses itu juga mampu menciptakan nilai dan aturan-aturan baru dalam rangka
pemenuhan berbagai aspek kebutuhan pendukungnya.

Aspek-aspek kunci dari modal sosial itu adalah:


1. Kemampuan merajut atau membangun pranata dan norma-norma (crafting
institutions);
2. Kemampuan mengembangkan partisipasi yang setara dan adil (equal
participation); dan
3. Kemampuan mengembangkan sikap saling percaya di antara warga suatu
kelompok sosial (trust).

Tingginya modal sosial inilah yang mendorong terjadinya aksi kolektif. Karena
aksi kolektif (collective action) adalah gerakan bersama dalam masyarakat untuk
mencapai tujuan bersama secara positif dan kreatif. Konsolidasi Kelompok Kalbu
dan kelompok tani adalah upaya untuk mempertahankan akses terhadap lahan
sebagai tujuan bersama. Aksi kolektif dapat berbentuk kelompok-kelompok
masyarakat yang terbentuk secara sukarela ataupun dorongan dari luar (misalnya,
oleh pemerintah, maupun pihak lain), baik yang sifatnya informal ataupun formal
(dalam bentuk organisasi berbadan hukum, misalnya). Dalam hal ini, transmigrasi
sebagai faktor pendorong dari luar berperan besar untuk memunculkan aksi
kolektif, meskipun aksi kolektif tersebut didasarkan pada ikatan kekerabatan (pada
kasus Kelompok Kalbu di Baru Pelepat) maupun ekonomi (kasus kelompok tani di
Sungai Telang). Yang menarik, kedua desa menerapkan mekanisme kelembagaan
yang informal, namun jelas dalam pembagian tugas dan peran masing-masing
anggotanya.

Melalui aksi kolektif, kedua kelompok masyarakat mengidentifikasi, menguji dan


menyebarluaskan pembelajaran tentang mekanisme dan proses mempertahankan
akses lahan, baik di tingkat desa maupun tingkat kabupaten. Aksi kolektif juga
mendukung mereka dalam proses pengambilan keputusan dan bernegosiasi
dengan pihak-pihak di luar desa.

Dengan aksi bersama, kelompok melihat dan memahami persoalan yang dihadapi
serta mempunyai kemampuan untuk menganalisis persoalan dan sekaligus
merupakan suatu proses pembelajaran sosial dan dapat mencari solusi untuk
keluar dari persoalan. Melihat kasus ini, kelompok mencoba mengakomodasikan
kepentingan masyarakat dalam proses negosiasi dengan pihak pemerintah, terkait
dengan kasus tumpang tindih lahan transmigrasi dengan hutan produksi.
344 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

PENUTUP
Gambaran di atas memperlihatkan pentingnya kepastian akses masyarakat
terhadap lahan. Bagi masyarakat, adanya kepastian akses akan memberikan
dampak pada terjaminnya peluang ekonomi dan pengurangan kemiskinan melalui
investasi atas lahan. Selain itu, kepastian akses terhadap lahan juga berdampak
penting pada stabilitas sosial dan politik. Hilangnya maupun ketidakadilan
terhadap akses lahan akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan seperti
yang sudah dikemukakan di atas.

Berkaca dari proses-proses yang telah diuraikan di atas, kendati masih terlalu dini
untuk melihat keberhasilan langkah-langkah masyarakat dalam mempertahankan
akses terhadap lahan, namun dapat dipetik beberapa hikmah dan diambil
pembelajaran berikut:
1. Proses belajar sosial berperan sangat penting dalam aksi kolektif untuk
mempertahankan akses masyarakat terhadap lahan. Masyarakat mengambil
hikmah yang mendalam atas kegagalan dan kerugian dari program transmigrasi
sebelumnya. Selain menyadarkan tentang pentingnya tanah, hal itu juga
telah meningkatkan kesadaran perlunya mempertahankan akses masyarakat
terhadap tanah.
2. Melalui belajar sosial pula, masyarakat menyadari perlunya membangun
konsolidasi kelompok dengan cara saling berbagai informasi dan pengetahuan,
membangun jaringan hingga mengorganisasi kelompok, serta menentukan
strategi dan mekanisme untuk mempertahankan akses mereka terhadap
lahan.
3. Kehadiran pemimpin lokal yang dipercaya dan diakui oleh anggota kelompok
semakin memperkuat aksi kolektif. Di kedua desa, masyarakat juga belajar
bagaimana kesalahan menentukan pemimpin pada kasus-kasus sebelumnya
telah menyebabkan kehilangan lahan dan telah mendorong munculnya
korupsi.
4. Kelompok yang kuat ternyata mampu memperteguh aksi kolektif masyarakat
dan meningkatkan posisi tawar dalam bernegosiasi dengan pihak pemerintah
daerah.
BAGIAN 4-3 • Hasantoha Adnan dan Yentirizal 345

UCAPAN TERIMA KASIH


Kedua penulis mengucapkan terima kasih kepada masyarakat di Desa Baru Pelepat
dan Desa Sungai Telang yang telah menginspirasi lahirnya tulisan ini. Juga kepada
kawan-kawan di ACM-Jambi dan CAPRi yang senantiasa membantu berupa data,
diskusi dan juga perhatian.

BAHAN BACAAN
Anharudin, Dewi, R.N., dan Anggraini, R. Tanpa tahun. Membidik Arah
Kebijakan Transmigrasi Pasca Reformasi. Laporan Hasil Penelitian.
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Indonesia. http://www.
nakertrans.go.id/hasil_penelitiantrans/membidik_arah_kebijakan.php,
diakses 18/05/2006.
Bromley, D.W. dan Cornea, M.M., 1989, Management of Common Property
Natural Resources: Some Conceptual and Operational Fallacies.
Discussion Paper 57. World Bank.
Coleman, J. 1988. Social Capital in the Creation of Human Capital. The
American Journal of Sociology, Vol. 94, Supplement: Organizations and
Institutions: Sociological and Economic Approaches to the Analysis
of Social Structure, pp. S95-S120. The University of Chicago Press:
Chicago.
Fauzie, N. dan Zakaria, R.Y. 2000. Mensiasati Otonomi Daerah. Konsorsium
Pembaruan Agraria dan INSIST Press, Yogyakarta, Indonesia.
Fedel, G. dan Feeny, D. 1991. Land Tenure and Property Rights: Theory and
Implications for Development Policy. The World Bank Economic Review
Vol. 5.
Hardin, G. 1968. The Tragedy of the Commons. Dalam: Science 162:1243-1248.
Hidrianto, A. 2004. Kondisi tata ruang Desa Baru Pelepat: Manfaat dan Berbagai
Hal yang Mempengaruhinya. Makalah disampaikan dalam Lokakarya
Peluang Tata Ruang Desa dalam Menunjang Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Otonomi Desa, Aula Kecamatan Pelepat, 22 April 2004.
ACM-Jambi, Muara Bungo. Indonesia.
Ichwandi, I. 2003. Kegagalan Sistem Tenurial dan Konflik Sumberdaya Hutan:
Tantangan dan Kebijakan Kehutanan Masa Depan. Makalah Falsafah
Sains (PPS 702), Program Pasca Sarjana/S3. Institut Pertanian Bogor,
Bogor, Indonesia.
346 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Indriatmoko, Y. 2003. Local Tenure System and Their Dynamics: Case Study
of Baru Pelepat Village, Muara Bungo, Jambi. Tidak dipublikasikan.
CIFOR, Bogor, Indonesia.
Kantor Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bungo. 2001. Data
Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian Kabupaten Bungo Tahun
2001. Dalam: Buku Himpunan Data Disnakertrans Bungo. Bungo,
Indonesia.
Kusumanto, Y. dan Permatasari, E. 2002. Up-and-Down the Ladder: A Jambi
Case Study of Policy-related Information Flows. Tidak dipublikasikan.
CIFOR, Bogor, Indonesia.
Levang, P. 2003. Ayo ke Tanah Sabrang: Transmigrasi di Indonesia. KPG, IRD,
Forum Jakarta Paris, Jakarta, Indonesia.
Lounela, A. dan Zakaria, Y. 2002. Berebut Tanah: Beberapa Kajian Berperspektif
Kampus dan Kampung. Insist Press, Yogyakarta. Indonesia.
Lubis, Z.B. 1999. Pengembangan Investasi Modal Sosial dalam Pembangunan,
Jurnal Antropologi Indonesia 23(59):53-65. Universitas Indonesia,
Depok, Indonesia.
Lubis, Z.B. 2005. Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal dalam Pengelolaan
Sumberdaya Alam di Tapanuli Selatan. Jurnal Antropologi Indonesia
29(3):239-254. Universitas Indonesia, Depok, Indonesia.
Mubyarto. 1992. Desa dan Perhutanan Sosial: Kajian Sosial-Antropologis di Prop.
Jambi. Aditya Media (untuk P3PK-UGM), Yogyakarta, Indonesia.
Mulyana, A., Susanti, N.N., Suardika, P. 2005. Melangkah di Atas Batu Karang:
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat di Nusa Tenggara.
KOPPESDA, Sumba Timur, Indonesia.
Ostrom, E. 1999. Social Capital: A Fad or Fundamental Concept?. Dalam:
Dasgupta, P. dan Seregeldin, I. (ed.). Social Capital: a Multifaceted
Perspective, pp.172-214. World Bank, Washington DC.
Pemerintah Propinsi DIY. 2006. Perjanjian Kerjasama Pengiriman Transmigrasi
antar Daerah Ditandatangani. http://pemda-diy.go.id/berita, diakses
18/05/2006.
Permatasari, E., Adnan, H. dan Colfer, C.J.P. 2004. Perempuan dan Lahan: Studi
Kasus pada Desa Baru Pelepat, Bungo, Jambi. Makalah disampaikan
dalam Konferensi Internasional “Penguasaan Tanah dan Kekayaan
Alam di Indonesia yang Sedang Berubah”. Jakarta, Indonesia.
Putnam, R.D. 1993. Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy.
Princeton University Press, Princeton, NJ, AS.
BAGIAN 4-3 • Hasantoha Adnan dan Yentirizal 347

Ridell, J.C. 1987. Land Tenure and Agroforestry: A Regional Overview. Dalam:
Raintree, J.B. (ed.) Land, Trees and Tenure. Proceedings of an
International Workshop on Tenure Issue in Agroforestry. ICRAF dan
Land Tenure Centre.
Salim, A. (ed.) 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Tiara Wacana,
Yogyakarta. Indonesia.
Santoso, B., Haris, A., Prasetyo, I. 2001. Paradigma Baru Pengelolaan Pertanahan
pada Era Otonomi. Karsa Resource Center, Yogyakarta. Indonesia.
Sitorus, F. 2004. Kerangka dan Metode Kajian Agraria dalam Pembaruan Agraria:
Antara Negara dan Pasar. Jurnal Analisis Sosial 9(1), April 2004.
Akatiga, Bandung.
Taher, M. 2005. Potret Perubahan Kondisi Hutan Jambi 1990 – 2000: Dasawarsa
Hilangnya Sejuta Hektar Hutan. Warta Warsi Januari 2005, Jambi,
Indonesia.
Taylor, J. 1988. The Ethical Foundation of the Market. Dalam: Ostrom, V.,
Feeny, D. dan Picht, H. (ed.) Rethingking Institutional Analysis
and Development: Issue, Alternative, and Choices. Institute for
Contemporary Studies Press, San Francisco, California.
Tim ICDP-TNKS. 2000. Laporan Kegiatan Pemetaan dan Pemanfaatan Lahan di
Desa Baru Pelepat. ICDP-TNKS, Jambi, Indonesia.
BAGIAN 4-4
Aksi Kolektif Penguatan Hak Masyarakat
atas Lahan

Yuliana Siagian dan Neldysavrino


BAGIAN 4-4 • Yuliana Siagian dan Neldysavrino 349

PENDAHULUAN
Hampir 30 tahun lamanya kontrol pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia
dipegang oleh pemerintah pusat. Pendekatan yang sentralistik dan rendahnya
keterlibatan para pihak, termasuk masyarakat sekitar hutan, di dalam perencanaan,
pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya alam telah mendorong
terjadinya eksploitasi sumberdaya hutan besar-besaran, memusatnya keuntungan
dan manfaat pada segelintir kelompok kepentingan dan semakin terpinggirnya
masyarakat sekitar hutan. Terbatasnya akses masyarakat terhadap sumberdaya
alam telah menyebabkan munculnya konflik hak-hak kepemilikan atas lahan.
Kasus tumpang tindih klaim atas kawasan hutan banyak ditemukan di berbagai
wilayah.

Hak properti atas lahan dan sumberdaya alam yang merupakan hak, pengakuan
atau klaim serta aturan-aturan yang mengatur kontrol sumberdaya alam masih
tidak jelas. Berbagai upaya penyelesaian konflik antara masyarakat dengan
pemerintah maupun pihak perusahaan belum banyak membuahkan hasil.
Kebijakan desentralisasi yang diharapkan lebih memberikan kejelasan kerangka
hukum bagi penguatan hak properti, juga tidak berjalan seperti yang diharapkan.
Banyak peraturan perundangan yang samar, tidak jelas dan tumpang tindih. Dalam
kondisi tersebut, sebagian masyarakat terdorong untuk bersama-sama melakukan
perubahan, dalam bentuk aksi kolektif.

Tulisan ini disusun berdasarkan hasil penelitian aksi di dua desa sekitar hutan,
Lubuk Kambing di Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Sungai Telang di
Kabupaten Bungo, Propinsi Jambi. Melalui aksi kolektif, kelompok masyarakat
berupaya memperoleh hak atas lahan dan bantuan program pemerintah dalam
rangka memastikan penghidupan dan meningkatkan kesejahteraan mereka.

AKSI KOLEKTIF DAN HAK-HAK PROPERTI


Aksi kolektif diartikan sebagai suatu aksi yang dilakukan oleh sekelompok
individu, baik secara langsung atau melalui suatu organisasi, untuk mencapai
tujuan bersama. Kelompok tersebut dapat terbentuk sendiri secara sukarela,
informal maupun formal dibangun oleh pihak luar (Marshall, 1998). Aksi kolektif
akan timbul bila lebih dari satu individu dibutuhkan untuk berkontribusi guna
mencapai satu tujuan (Ostrom, 2004). Dalam tulisan ini, aksi kolektif diartikan
sebagai suatu aksi bersama kelompok masyarakat untuk mencapai kepentingan dan
tujuan kelompok dalam penguatan hak properti dan program pembangunan. Aksi
350 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

kolektif memberikan kesempatan bagi seseorang untuk mengatasi keterbatasannya


atas sumberdaya, kekuasaan dan hak suara.

Bagi kebanyakan pembuat kebijakan dan masyarakat pada umumnya, hak


properti seringkali diartikan sebagai kepemilikan, baik hak milik negara atau
pribadi. Walau terdapat berbagai perbedaan pendapat mengenai konsep dasar
hak properti, namun perlu dipahami suatu pengertian hak properti secara luas.
Bromley (1991 dalam Meinzen-Dick et al., 2001) mendefinisikan hak properti
sebagai kemampuan untuk memperoleh suatu pengakuan terhadap suatu klaim
atas suatu aliran manfaat tertentu. Oleh sebab itu, suatu hak tidak hanya terbatas
pada suatu bentuk fisik, akan tetapi atas suatu kepastian untuk memperoleh atau
menerima manfaat dari kesepakatan hukum suatu kelompok sosial baik kecil
maupun besar.

Hak properti tidak dipandang terbatas pada hak untuk secara eksklusif memiliki
kontrol atas sumberdaya hutan, tetapi juga hak untuk memanfaatkan atau
mengelola yang diberikan dalam bentuk izin-izin pemanfaatan dan pengelolaan
seperti yang tertuang dalam PP No. 6/2007. Selain itu juga dikenal berbagai
bentuk hak negara atas sumberdaya hutan, misalnya: (1) hak negara atas lahan
hutan: Hutan Lindung (HL), Taman Nasional (TN), Hutan Produksi (HP), dan
Hutan Produksi Terbatas (HPT), serta (2) areal penggunaan lain yang digunakan
untuk kepentingan non kehutanan. Seperti disebutkan dalam UU Kehutanan
No. 41/1999, kawasan hutan yang merupakan suatu kawasan yang ditetapkan
oleh pemerintah untuk dipertahankan sebagai hutan tetap, dikuasai oleh Negara.
UU tersebut juga memberikan kewenangan kepada pemerintah, dalam hal ini
Departemen Kehutanan untuk mengatur, mengurus dan menetapkan status
kawasan hutan.

LAHAN, KEPASTIAN HUKUM ATAS LAHAN DAN


MAKNANYA BAGI MASYARAKAT
Lahan merupakan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui. Bertahun-tahun
masyarakat hidup dengan aturan sosial yang membentuknya, dan lahan merupakan
bagian di dalamnya. Selain fungsi sosial, lahan pun punya fungsi ekonomi yang
banyak pihak sangat bergantung padanya. Di Indonesia, budaya juga mengatur
pengelolaan sumberdaya dan bagaimana mendistribusikannya. Mewariskan lahan
kepada keturunan merupakan tradisi budaya turun temurun. Namun apa yang
akan terjadi bila sumberdaya yang tidak bisa diperbaharui ini harus menyokong
populasi yang terus bertambah?
BAGIAN 4-4 • Yuliana Siagian dan Neldysavrino 351

Pertambahan jumlah penduduk, baik angka kelahiran atau masuknya pendatang di


suatu daerah, juga menjadi salah satu faktor pendorong meningkatnya kebutuhan
atas lahan sebagai sumber penghidupan. Ketika lahan tidak lagi cukup untuk
dibagi dan tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar hidup, maka seorang petani akan
mencari lahan lain untuk memenuhi kekurangan tersebut. Akibatnya, muncul
okupasi-okupasi lahan yang bertujuan memperluas lahan pertanian. Okupasi tidak
hanya terjadi di sekitar wilayah desa, akan tetapi meluas hingga kawasan hutan di
sekitarnya. Ringkasnya, selain karena semakin banyaknya populasi dan ancaman
dari pihak lain, masyarakat memandang perlunya kepastian hukum bagi mereka
dalam memanfaatkan lahan, misalnya bagaimana aturan mereka mengakses lahan
mereka dan berapa lama mereka mempunyai hak untuk memanfaatkan lahan
bersangkutan dll.

Kebutuhan akan kepastian atas lahan, baik status hukum kepemilikan maupun
hak pengelolaannya, merupakan salah satu permasalahan penting yang timbul
di kedua desa yang difasilitasi. Pada umumnya kepemilikan lahan di desa berada
diluar kawasan hutan dan belum disertai dengan surat bukti kepemilikan. Walau
telah banyak penjelasan tentang fakta beragamnya model hak kepemilikan
terhadap lahan dan sumberdaya di kawasan hutan, namun penjelasan tentang
elemen-elemen apa sebenarnya harus ada untuk memberikan kepastian hukum
atas lahan bagi masyarakat di lingkungan sekitar hutan kerap dinanti-nanti.
Masyarakat yang memiliki lahan dari hasil jual beli maupun warisan, menjadi
khawatir ketika dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan kritis mengenai
bagaimana status kepemilikan mereka dan kekuatan hukum lahan yang mereka
miliki? Apa resiko yang harus dihadapi bila kekuatan hukum atas lahan tersebut
tidak diperjuangkan?

PENDEKATAN PENELITIAN
Penelitian yang menjadi bahan tulisan ini dilakukan dengan pendekatan
Participatory Action Research (PAR) atau penelitian aksi partisipatif yang diarahkan
untuk membangun proses belajar bersama di dalam kelompok dan antar anggota
kelompok masyarakat. Melalui pendekatan ini, secara partisipatif kelompok
masyarakat belajar bersama-sama menyusun rencana, melaksanakan aksi dari
rencana yang telah disusun, melakukan monitoring atas aksi yang dilakukan, dan
refleksi terhadap proses-proses yang telah dilalui, yang dilakukan terus menerus
dan berulang.
352 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Pendekatan ini berusaha mempertemukan aksi dan refleksi, teori dan praktis
dalam bentuk partisipasi dan kolaborasi antar pihak, dalam mencari solusi praktis
terhadap permasalahan-permasalahan yang kritis bagi masyarakat. Beberapa
pustaka tentang PAR menjadi bahan acuan dalam penelitian ini. Lebih lanjut
dapat dilihat pada Reason dan Bradbury (2001, dalam Brydon-Miller, Greenwood
et al., 2003), Sriskandarajah dan Fisher (1992), Anonim (1998), Kemmis dan
McTaggart (1988); dan Freire (1982). Pendekatan PAR umumnya divisualisasikan
dalam bentuk gambar berikut:

Gambar 44. Siklus PAR

Dalam studi tentang kelompok perdagangan dan pergerakan perempuan di Inggris,


dilakukan kombinasi pendekatan-pendekatan kualitatif dan kuantitatif (Kelly dan
Breinlinger, 1996). Walaupun studi ini memiliki konteks yang berbeda, akan tetapi
studi tersebut mengingatkan kita pada beberapa isu penting seperti kepemimpinan,
partisipasi dan sikap pasif. Beberapa faktor penting yang mereka temui adalah
identifikasi kelompok, orientasi kolektif, identitas diri sebagai seorang aktivis,
keinginan untuk melakukan aksi secara bersama-sama dan terkadang relativitas
rasa kehilangan (relative deprivation), motivasi kuat untuk suatu tujuan dan suatu
kepercayaan terhadap keajaiban politik.

Hal penting yang juga diperhatikan dalam studi ini adalah sejauh mana aspek
gender berperan dalam beraksi kolektif. Beberapa pustaka menjelaskan perbedaan
antara pendekatan laki-laki dan perempuan terhadap aksi kolektif. Analisis Stall
dan Stoecker (1998) mengatakan bahwa seseorang akan tertarik untuk ikut serta
dalam suatu aksi kolektif apabila dilakukan untuk kepentingan ekonominya, yang
pada umumnya didominasi oleh laki-laki dan di dalamnya terdapat kompetisi.
Para perempuan lebih fokus pada proses membangun hubungan dan etika dalam
memberikan perhatian antar sesama dan kerjasama. Kedua pendekatan tersebut
sesuai untuk masingmasing kelompok, dan kombinasi dari keduanya akan
membentuk kelompok yang lebih kuat.
BAGIAN 4-4 • Yuliana Siagian dan Neldysavrino 353

Pemilihan Kelompok

Pemilihan dua kelompok, Kelompok Sinar Tani di Desa Sungai Telang dan
Kelompok Tunas Harapan di Desa Lubuk Kambing (lihat karakteristiknya
di Tabel 30) – yang menjadi fokus dalam tulisan ini – merupakan bagian dari
penelitian CAPRi (Collective Action and Property Rights) yang cakupannya lebih
luas. Kelompok-kelompok dalam penelitian tersebut dipilih berdasarkan kriteria
pembentukan kelompok, keseimbangan gender (laki-laki dan perempuan),
etnisitas, periode keberadaan kelompok tersebut dan keragaman topik dalam
setiap kelompok.

Tabel 30. Karakteristik kelompok

Kelompok Sinar Tani Kelompok Tunas Harapan


(Desa Sungai Telang) (Desa Lubuk Kambing)
- Anggota kelompok terdiri dari laki-laki - Kelompok ini beranggotakan 34 orang
yang mewakili keanggotaan dalam yang semuanya adalah laki-laki dari
organisasi desa dan masyarakat yang satu RT di dusun Sukamaju-Desa Lubuk
bertujuan untuk membantu anggota Kambing.
petani lainnya dalam kelompok dalam - Kelompok ini bertujuan untuk
pengolahan lahan. saling membantu pengolahan lahan
- Kelompok ini menerima dukungan dari pertanian masing-masing anggota
petugas pertanian lapangan (PPL). kelompok.
- Kelompok terbentuk ketika ada - Anggotanya berasal dari para
program pemerintah yang masuk pendatang yang membutuhkan lahan
untuk memperbaiki proyek irigasi untuk kegiatan pertanian.
untuk lahan persawahan.
- Keanggotaan kelompok terdiri dari
beberapa warga dari dusun-dusun di
Desa Sungai Telang.

Kelompok ini memiliki aktivitas yang


terbatas sejak menerima bantuan
pemerintah pada 1998. Akan tetapi
kelompok ini tetap melakukan aktivitas
bersama (aksi kolektif ) dengan sendirinya.
Kemudian pada 2001 kelompok ini juga
memperoleh bantuan pemerintah dalam
bentuk bibit padi, akan tetapi hanya
beberapa anggota saja yang tertarik dalam
proyek ini.
354 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Kelompok Sinar Tani merupakan kumpulan petani laki-laki yang bersama-sama


mengolah padi sawah. Anggotanya berasal dari berbagai unsur masyarakat seperti
anggota pemerintah desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), tokoh masyarakat
dan masyarakat lainnya. Kelompok ini tertarik untuk membuat sertifikat formal
dari pemerintah atas lahan yang mereka miliki, baik lahan warisan istri atau
saudara perempuan maupun lahan yang diperoleh dari hasil jual beli.

Kelompok Tunas Harapan merupakan kumpulan petani laki-laki pendatang


dengan berbagai etnis. Anggotanya bekerjasama dalam mengolah lahan di dusun
termuda Desa Lubuk Kambing.

Proses fasilitasi lebih difokuskan pada pengembangan kapasitas sumberdaya


manusia dan pembentukan jaringan kerja dalam upaya memperoleh kepastian
hukum atas lahan.

Menjembatani Kelompok dengan Pemerintah


Upaya memperoleh kepastian hukum hak kelola atas lahan dilakukan masyarakat,
baik secara individu, kolektif, langsung ataupun tidak langsung. Secara individu,
masyarakat masing-masing berupaya mendapatkan pengakuan (legitimasi) hak
atas lahan melalui kantor desa setempat. Bentuk pengakuan hak atas lahan
yang paling sering dijumpai adalah Surat Keterangan Tanah (SKT) dan Surat
Pengakuan atas Fisik Lahan yang dikeluarkan oleh kepala desa.

Upaya juga dilakukan secara kolektif oleh kelompok masyarakat melalui berbagai
kelompok informal desa seperti kelompok tani. Aksi kolektif masyarakat untuk
mendapatkan pengakuan hak atas lahan dari pemerintah tidak seluruhnya
dilakukan secara langsung, seperti program PRONA (Proyek Operasi Nasional
Agraria) untuk sertifikasi tanah, yang merupakan sertifikasi atas lahan. Mereka
juga mengajukan usulan yang tidak langsung terkait dengan pengakuan terhadap
lahan. Mereka mengajukan usulan untuk memperoleh bantuan pemerintah di
bidang pertanian, perkebunan, dan kehutanan, serta pembangunan sarana dan
prasarana berupa gedung SD dan Posyandu. Kelompok Sinar Tani menindaklanjuti
aksi tersebut dengan mengajukan pengakuan hak secara tidak langsung, dalam
bentuk bantuan pembangunan berupa bibit tanaman, gedung sekolah dsb.
Sebagai langkah “awal” bagi adanya pengakuan hak atas lahan dimana bibit
tersebut ditanam dan bangunan tersebut dibangun. Mereka berpikir bahwa ketika
tanaman sudah tumbuh besar atau bangunan sudah digunakan, secara perlahan-
lahan mereka memperoleh hak atas lahannya.
BAGIAN 4-4 • Yuliana Siagian dan Neldysavrino 355

Di sisi lain, berbagai program pembangunan yang dijalankan pemerintah, secara


langsung atau tidak mengarah pada terbukanya peluang akses masyarakat terhadap
sumberdaya alam. Pemberian izin pemanfaatan hasil hutan non-kayu misalnya
memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dalam pemanfaatan hasil hutan
non-kayu seperti rotan, gaharu, damar, dsb. Contoh lainnya adalah perbaikan
sistem irigasi persawahan membuka akses pemanfaatan air secara lebih efisien
bagi kepentingan bersama. Seiring berjalannya waktu peluang-peluang tersebut
mengarah pada pengakuan terhadap hak-hak properti masyarakat, yaitu pengakuan
kepada hak kepemilikan maupun hak pengelolaan atas lahan. Persoalannya,
tidak seluruh informasi program pemerintah tersebut sampai kepada masyarakat,
atau bahkan sebaliknya tidak seluruh aspirasi masyarakat tersampaikan kepada
pemerintah. Pada keadaan ini, proses fasilitasi yang dilakukan lewat penelitian
CAPRi, berfungsi untuk menjembatani komunikasi antara masyarakat dengan
pemerintah kabupaten.

Melalui fasilitasi, komunikasi antara kelompok masyarakat dengan instansi


pemerintah dibangun dengan cara mempertemukan wakil dari kelompok
masyarakat dengan staf pemerintah melalui forum-forum diskusi maupun
kunjungan langsung ke kantor instansi pemerintah. Biasanya, wakil masyarakat
mendatangi kantor-kantor pemerintah di kecamatan atau kabupaten, atau
sebaliknya aparat pemerintah berkunjung ke desa. Dari berbagai kunjungan dan
diskusi tersebut diperoleh banyak informasi tentang kehutanan, perkebunan,
pertanian dan pertanahan, yang sangat berguna bagi masyarakat.

Upaya itu tidak terlepas dari proses yang telah dilalui bersama kelompok
masyarakat.

MENGHIMPUN UPAYA MELALUI AKSI KOLEKTIF


Kelompok tani di kedua desa melakukan upaya untuk mendapatkan pengakuan
hak atas lahan dari pemerintah, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional dan
instansi pemerintah lainnya. Kelompok Sinar Tani di Desa Sungai Telang berupaya
mendapatkan kepastian hak milik atas lahan persawahan yang diperoleh dari
warisan, secara langsung dengan mengajukan usulan melalui PRONA. Sedangkan
kelompok tani Tunas Harapan di Desa Lubuk Kambing berupaya mendapatkan
pengakuan hak atas lahan kebun dari pemerintah, secara tidak langsung, dengan
mengajukan usulan melalui program P2WK atau Pembangunan Perkebunan
Wilayah Khusus, dengan sasaran tanaman karet. Perbedaan strategi kedua
356 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

kelompok lebih ditentukan oleh keberadaan program pemerintah dimaksud dan


status lahan yang mereka miliki.

Kotak1. Berbagai bentuk pengakuan dalam persepsi masyarakat

“Bupati ada memberikan bantuan atap seng untuk gedung sekolah dasar perintis di
dusun kita. Itu tandanya Bupati sudah mengakui keberadaan masyarakat di dusun
ini”
(Mulyadi-warga Dusun Suka Maju).

“Kalau jalan sudah dibuka pemerintah, itu berarti dusun kita ini sudah diakui sebagai
bagian dari wilayah Kabupaten Tanjung Jabung barat”
(A. Majid Zakaria-warga Dusun Suka Maju)

Kelompok Sinar Tani


Anggota kelompok Sinar Tani bersama-sama melakukan upaya untuk memperoleh
sertifikat tanah sebagai bentuk kepastian hukum bagi hak kepemilikan atas lahan
persawahan mereka. Aksi kolektif mereka dilatarbelakangi oleh persoalan-persoalan
yang terjadi dalam pembagian harta warisan lahan sawah. Cara pembagian warisan
yang hanya dilakukan secara lisan oleh ninik mamak, ketidakjelasan ukuran lahan
dan terjadinya pergeseran batas lahan bermuara pada tidak adanya kepastian
hukum atas lahan mereka.

Persoalan ketidakpastian hak atas lahan mengemuka ketika kelompok tani


berkumpul dalam suatu pertemuan. Beranjak dari hasil identifikasi permasalahan,
para anggota sepakat untuk melakukan langkah bersama mendapatkan pengakuan
hak atas lahan sawah secara resmi dari pemerintah, agar hak mereka atas lahan
tersebut lebih pasti.

Melalui fasilitasi, kelompok tani tersebut melakukan langkah awal membangun


komunikasi dengan pihak pemerintah daerah Kabupaten Bungo. Pada kunjungan
ke Bappeda Kabupaten Bungo, Yahya (mewakili kelompok tani) berdiskusi dengan
staf Bappeda dan menyampaikan aspirasi kelompok tani untuk mendapatkan
kepastian hukum atas lahan. Pihak Bappeda menyambut positif keinginan tersebut
dan selanjutnya bersama-sama dengan BPN Kabupaten Bungo, sebagai instansi
yang bertanggungjawab dalam hal sertifikasi tanah, melakukan kunjungan ke Desa
Sungai Telang untuk memberikan penjelasan tentang sertifikasi lahan. Berhubung
lokasi desa dan sawah-sawah masyarakat sangat berdekatan dengan kawasan
BAGIAN 4-4 • Yuliana Siagian dan Neldysavrino 357

hutan, dalam pertemuan tersebut terlibat juga wakil dari Dinas Kehutanan dan
Perkebunan.

Masyarakat desa, khususnya kelompok tani, menyambut baik kunjungan tersebut


dan sangat senang memperoleh informasi berguna. Hal ini telah memotivasi
anggota kelompok untuk secara kolektif menempuh langkah lebih lanjut, yang
salah satunya adalah mengajukan usulan program PRONA, seperti yang terungkap
dalam acara refleksi kelompok. Para anggota kelompok berpikir memilih PRONA
karena relatif mudah karena pembuatan sertifikat tanah bisa dilakukan secara
kolektif dan lebih murah biayanya karena dibantu sumber dana APBN.

Langkah anggota kelompok selanjutnya adalah menyiapkan seluruh persyaratan


yang diperlukan untuk pengajuan program PRONA. Semangat kerja bersama dan
pembagian peran yang jelas di antara anggota kelompok mempermudah penyiapan
persyaratan pengajuan program PRONA. Aksi kolektif dan dukungan berbagai
pihak di tingkat desa memperlancar proses, sehingga pada akhirnya permohonan
kelompok tersebut dapat disampaikan kepada BPN Kabupaten Bungo.

Harapan kelompok tani untuk mendapatkan sertifikat ternyata belum dapat


terwujud. Kepala BPN Kabupaten Bungo mengungkapkan bahwa kuota sertifikat
PRONA yang dikeluarkan oleh BPN Kabupaten Bungo untuk 2005 sebanyak
250 sertifikat, dan akan dialokasikan untuk desa-desa lain di Kabupaten Bungo,
yang telah memasukan permohonan PRONA setahun sebelumnya yaitu 2004.
Keterbatasan sumberdana memaksa instansi pemerintah ini mengambil kebijakan
prioritas.

Langkah kelompok yang pada awalnya ini sangat lancar, pada akhirnya harus
terhenti. Anggota kelompok sadar bahwa mereka tidak dapat berbuat banyak
dan memberi pengaruh terhadap keputusan tersebut. Mereka hanya bisa pasrah
menghadapi keadaan tersebut dan dengan lapang dada berharap akan tetap
terbuka peluang untuk mendapatkan sertifikat tersebut, setidaknya pada tahun-
tahun yang akan datang.

Kelompok Tunas Harapan


Kelompok ini beranggotakan para pendatang yang tinggal di dusun termuda,
Dusun Sukamaju, Desa Lubuk Kambing, Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Mereka termotivasi membentuk kelompok dalam rangka saling membantu
mengolah lahan pertanian. Sebagai warga pendatang, mereka dihadapkan pada
tantangan mewujudkan impian mereka untuk memperoleh pengakuan hak milik
358 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

atas lahan. Persoalannya, lahan tempat mereka bermukim dan membuka ladang
adalah lahan negara dengan status kawasan hutan produksi, yang selama ini silih
berganti dikuasai oleh beberapa perusahaan, baik dalam bentuk HPH maupun
HTI, seperti PT. Sadar Nila, PT. Loka Rahayu dan PT. Inhutani V.

Selama ini, sebagian besar pendatang mendapatkan pengakuan hak atas


lahan kebun mereka, yang sebagian diantaranya berada di luar kawasan hutan,
dalam bentuk surat keterangan tanah SPORADIK yang dikeluarkan kepala
desa. Kurangnya informasi di kalangan masyarakat menyebabkan tidak sedikit
masyarakat pendatang maupun lokal menganggap bahwa surat keterangan tanah
dapat diberikan tanpa perlu memperhatikan dimana lahan tersebut berada.
Meskipun tanpa legalitas yang kuat, mereka puas mempunyai selembar kertas
tersebut sebagai bentuk pengakuan hak kepemilikan lahan mereka. Setidaknya
surat ini dapat mereka pergunakan untuk mempertahankan hak mereka atas
lahan ketika muncul klaim dari penduduk lokal.

Dalam perkembangannya, anggota kelompok menemukan persoalan terbatasnya


kemampuan mereka untuk menggarap dan mengelola lahan. Tercetus keinginan
untuk mendapatkan perhatian pemerintah terhadap kegiatan budidaya
pertanian yang mereka lakukan. Harapan yang sama juga kemudian disampaikan
masyarakat kepada kepala desa, ketika kepala desa melaksanakan pertemuan
dengan masyarakat di Dusun Suka Maju. “Lahan di wilayah ini luas pak, sedangkan
pembinaan pertanian belum pernah ada. Untuk itu tolong bapak datangkan penyuluh
pertanian (PPL) agar dapat membina kami,” ungkap salah seorang warga pada
pertemuan tersebut.

Melalui fasilitasi, anggota kelompok Tunas Harapan bersepakat untuk mencari


informasi tentang kegiatan pertanian dari instansi pemerintah terkait, dalam hal ini
Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Kecamatan Merlung. Langkah awal membangun
komunikasi dengan instansi pemerintah pun akhirnya dilakukan. Wakil kelompok
berkunjung ke BPP Kecamatan Merlung. Interaksi tersebut membuahkan hasil
dan harapan. Masyarakat memperoleh informasi yang penting dan berguna,
sementara pihak BPP Merlung merasa ‘disadarkan’ bahwa masih ada masyarakat
yang membutuhkan peran mereka. Komunikasi antara kedua pihak mulai
terjalin. Banyak informasi program pemerintah bidang pertanian dan perkebunan
sampai kepada masyarakat. Pada saat yang sama, aspirasi kelompok tani untuk
mendapatkan pembinaan mendapat tanggapan positif dari BPP Merlung, yang
diwujudkan dalam bentuk temu-lapangan ke Dusun Suka Maju. Dari kegiatan
itu, BPP Merlung semakin mengetahui kondisi pertanian masyarakat dan potensi
lahan yang ada.
BAGIAN 4-4 • Yuliana Siagian dan Neldysavrino 359

Dalam sebuah pertemuan kelompok, anggota melakukan refleksi dan menyusun


rencana baru. Pada pertemuan itu muncul keinginan masyarakat untuk
mendapatkan bantuan pemerintah dalam bidang pertanian: perkebunan atau
tanaman pangan. Tidak semua anggota langsung sepakat dengan keinginan
tersebut. Sebagian ingin memfokuskan kegiatan kelompok untuk usaha tanaman
perkebunan, sebagian lain menginginkan tanaman pangan. Kepentingan dan
kebutuhan pribadi beberapa anggota tampak jelas menjadi alasan mereka
menjadikan pilihan pribadi menjadi kegiatan kelompok. Pada akhirnya mereka
sadar akan kebutuhan sebagian besar anggota dan tersedianya potensi sumberdaya,
sehingga sepakat mengajukan usulan untuk memperoleh bibit tanaman karet dari
pemerintah melalui P2WK, sebuah program bantuan yang mereka dengar ketika
ada penyuluhan di desa mereka.

Kemudian anggota kelompok secara bersama menyusun sebuah rencana aksi.


Anggota kelompok sepakat mencari informasi yang lebih dalam tentang program
P2WK dari Kantor Cabang Dinas (KCD) Kehutanan dan Perkebunan Kecamatan
Merlung. Beberapa anggota ditunjuk dan diberi tugas mendatangi kantor instansi
tersebut dan menyampaikan keinginan kelompok kepada staf KCD.

Anggota kelompok tani secara bersama-sama kemudian menyiapkan persyaratan


permohonan P2WK. Termotivasi oleh kekompakan tim dan harapan keberhasilan
kegiatan kelompok, anggota kelompok dengan semangat menyiapkan persyaratan
dan berbagi tugas. Hasilnya, seluruh persyaratan pengajuan program P2WK
dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat. Namun, proses pengajuan
permohonan tidak berjalan mulus. Kades menolak menandatangani surat
permohonan P2WK dengan alasan masyarakat yang mengajukan permohonan
P2WK tersebut belum terdaftar sebagai warga Desa Lubuk Kambing. Dalam
pertemuan kelompok, anggota kelompok membahas kasus penolakan kades
tersebut dan beragam tanggapan mewarnai pertemuan. Sebagian memandang
sikap kades sangat tidak beralasan dan lebih bersifat tendensius1.

Penolakan kepala desa tidak menyurutkan keinginan kelompok untuk mengajukan


permohonan P2WK, meskipun sempat membuat semangat kelompok tani
menjadi lemah. Anggota Kelompok bersepakat untuk mengambil langkah lain
dengan mendatangi pihak Kecamatan Merlung, dan memohon bantuan untuk
menyampaikan permohonan tersebut kepada instansi terkait. Pihak pemerintah
kecamatan membantu kelompok ini untuk menyampaikan permohonan kepada
instansi pemerintah di ibukota kabupaten.

1 Alasan kades bahwa mereka bukan warga LK menarik ditelusuri. Pada saat pemerintah desa berkepentingan dengan masyarakat, misalnya dalam
pemilihan kades, masyarakat dibutuhkan dan dilibatkan dalam proses. Namun, ketika masyarakat membutuhkan dukungan dan menginginkan
keberadaan mereka diakui, justru kades menunjukkan sikap yang berbeda.
360 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Dalam sebuah pertemuan tim terungkap bahwa pengajuan usulan bantuan


tanaman karet melalui program P2WK didasarkan atas alasan anggota kelompok
dan masyarakat secara keseluruhan untuk memperoleh pengakuan terhadap
keberadaan mereka di dusun tersebut. Mereka melihat bentuk-bentuk bantuan
pemerintah dalam kerangka program pembangunan sebagai ‘bentuk lain’ dari
pengakuan pemerintah terhadap keberadaan mereka di wilayah tersebut, yang
pada gilirannya akan membuka peluang semakin diakuinya hak mereka terhadap
lahan dan sumberdaya alam di sekitarnya. Mereka berpikiran bahwa pengakuan
tidak mesti berwujud hak milik atas lahan, melainkan dapat berupa hak kelola
dan akses untuk memanfaatkan sumberdaya.

Dalam perkembangannya, harapan kelompok tani untuk mendapatkan bantuan


P2WK ternyata masih belum dapat terwujud. Kuota bantuan program P2WK
seluas 50 ha untuk Kecamatan Merlung untuk tahun 2005 yang disetujui DPRD
telah dialokasikan untuk kelompok tani dari desa lain, yang telah mengajukan
permohonan pada 2004. Selain karena terbatasnya kuota, kelompok tani ini
juga sadar bahwa lokasi lahan tempat tanaman karet akan dibangun yang berada
dalam kawasan Hutan Produksi (HP) menjadi salah satu alasan tidak lolosnya
permohonan mereka. Walau demikian, anggota kelompok tersebut menerima
kenyataan bahwa apa yang mereka upayakan belum berhasil. Mereka berharap
masih ada jalan keluar lain yang dapat menampung dan memberi kepastian hukum
atas lahan yang mereka tempati.

HIKMAH DAN PEMBELAJARAN


Dari kedua kasus dapat dipahami bahwa terdapat dua pengertian mengenai hak
properti, yakni ‘hak kepemilikan’ dan ‘hak kelola’, yang keduanya merupakan
bentuk-bentuk kepastian hukum atas lahan yang diperlukan oleh masyarakat.
Kasus Sungai Telang menggambarkan upaya masyarakat yang telah memiliki
lahan untuk mencari bentuk kepastian hukum atas lahan melalui legalisasi
(sertifikat) kepemilikan. Sementara itu kelompok masyarakat Dusun Sukamaju di
Lubuk Kambing berupaya untuk mencari kepastian hukum atas lahan berupa hak
pengelolaan atas lahan garapan.

Sesungguhnya, hak kelola merupakan bentuk kepastian hukum atas lahan yang
memberikan jaminan lebih pasti terhadap kepastian hidup (securing livelihood)
bagi masyarakat secara berkelompok dalam mengusahakan sumberdaya alam
di atasnya. Hal ini terutama atas lahan-lahan yang berada di bawah wewenang
pemerintah. Hutan tanaman rakyat, hutan kemasyarakatan atau hutan tanaman
BAGIAN 4-4 • Yuliana Siagian dan Neldysavrino 361

industri skala kecil, misalnya yang disertai dengan aturan yang jelas bisa menjadi
model pola pengelolaan secara berkelanjutan.

Hikmah yang lain adalah bahwa dalam persepsi masyarakat, hak properti tidak
selalu berarti hak kepemilikan dalam bentuk sertifikat hak milik, tetapi bisa juga
berarti hak pengelolaan atas sumberdaya alam. Luasnya pengertian hak properti
atas lahan dan sumberdaya alam memberi peluang lebih besar bagi terbentuknya
strategi dan model pengelolaan berbasis masyarakat. Jika program-program
pemerintah dapat dirancang dan dilaksanakan melalui proses kolaboratif dengan
mengakomodasikan suara masyarakat, dan disertai dengan aturan-aturan yang jelas
dan transparan, tentu sumberdaya alam dapat dikelola secara berkelanjutan.

Aksi Kolektif Lebih Kuat Dibanding Aksi Individu


Proses belajar bersama memotivasi setiap anggota kelompok untuk meraih
tujuan bersama dan memperkuat aksi kolektif. Sikap menempatkan kepentingan
bersama sebagai hal yang utama mendorong semangat anggota kelompok untuk
bekerjasama.

Setiap kelompok memiliki aturan yang disepakati bersama. Aturan yang dibentuk
mengikat setiap individu dalam kelompok untuk tetap teguh mencapai tujuan
bersama. Meski dalam prosesnya ada satu-dua individu yang melanggar komitmen,
namun hal itu tidak berpengaruh nyata terhadap keutuhan kelompok dan tujuan
yang ingin dicapai karena kuatnya komitmen dari anggota lainnya untuk membuat
perubahan mewujudkan tujuan bersama. Ketika salah seorang anggota kelompok
tani Tunas Harapan mempengaruhi anggota lain untuk tidak datang ke pertemuan
dengan alasan ada pungutan uang bagi kegiatan kelompok, misalnya, justru
anggota kelompok tidak mengubrisnya dan cenderung meninggalkan provokator
tersebut.

Melalui kelompok, ada banyak gagasan individu dan banyak pilihan untuk
menemukan solusi terbaik mengatasi kendala dalam mencapai tujuan bersama.
Menanggapi kasus penolakan Kepala desa untuk menandatangani usulan
permohonan, anggota kelompok tani justru muncul dengan gagasan dan alternatif
solusi untuk dimusyawarahkan.

Kelompok memberikan ruang bagi kesetaraan peran antar anggota. Setiap


kelompok mempunyai keunikan tersendiri termasuk didalamnya membangun
aturan dalam berkelompok, pembagian peran atau tugas dan tanggung jawab
362 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

bagi setiap anggotanya, dan juga mengatur waktu kerja, pertemuan dsb. Setiap
kelompok punya kebebasan untuk menentukan pola interaksi antar anggotanya
sesuai dan yang diinginkan oleh para anggotanya. Dasar kesetaraan pun bisa
menjadi landasan interaksi antar anggota kelompok. Kesetaraan ini mampu
memunculkan rasa tanggung-jawab yang besar dari masing-masing individu
terhadap kepentingan kelompok. Kesetaraan peran juga menyebabkan hubungan
yang terjadi antar anggota lebih informal. Hal ini melahirkan persamaan hak dan
kewajiban bagi masing-masing anggota.

Kelompok juga membutuhkan figur kepemimpinan yang memperoleh kepercayaan


yang tinggi dari anggotanya. Figur kepemimpinan yang baik menjadi pemersatu
anggota kelompok. Kepercayaan anggota terhadap pimpinan menjadi modal bagi
keberhasilan kelompok. Namun tidak mudah untuk mendapatkan figur pemimpin
yang baik. Adanya konflik pribadi antar anggota memunculkan persaingan yang
tidak baik, yang pada akhirnya melunturkan figur kepemimpinan seseorang.
Pada saat yang sama, terjadi juga provokasi untuk menjatuhkan kepemimpinan
seseorang, yang dilatarbelakangi oleh persaingan untuk menjadi pemimpin.

Pembagian Peran Menguatkan Aksi Kolektif


Adanya pembagian peran bagi setiap individu menjadi kunci bagi pencapaian
tujuan bersama. Dengan adanya pembagian peran, maka pekerjaan akan lebih
mudah diselesaikan secara efektif, baik dari sisi waktu maupun hasil.

Aksi Kolektif Memperkecil Peluang Dominasi Elit


Hal ini sangat berhubungan dengan kesetaraan peran dan tanggung-jawab
dalam kelompok. Adanya kesetaraan peran antar anggota menjadi benteng bagi
munculnya dominasi elit dalam beraksi kolektif.

Program Pemerintah Lebih Mudah Diakses Oleh Kelompok


Masyarakat
Kebijakan-kebijakan pemerintah yang lahir di era desentralisasi lebih membuka
kesempatan untuk bisa diakses oleh kelompok masyarakat. Program-program
pemerintah yang ditawarkan pada masyarakat mensyaratkan pembentukan
kelompok dan prosedur secara kolektif. Contohnya, P2WK, PRONA, Bantuan
Usaha Produktif, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, HTI mini, dll.
BAGIAN 4-4 • Yuliana Siagian dan Neldysavrino 363

Legalitas Kelompok: Pemerintah Lebih Percaya Pada


Keberadaan Kelompok.
Ada kecenderungan bahwa kelompok lebih dipercaya oleh pihak pemerintah
dibandingkan dengan individu seperti yang terungkap pada pemberian program-
program pembangunan pemerintah maupun pemberian izin pemanfaatan maupun
pengelolaan sumberdaya baik di tingkat kabupaten maupun nasional. Melalui
kelompok, pemerintah juga lebih mudah mendistribusikan dan mengawasi
program yang dijalankan.

UCAPAN TERIMAKASIH
Tulisan ini merupakan hasil dari penelitian “Collective Action to Secure Property
Rights for the Poor: Avoiding Elite Capture of Natural Resource Benefits and Governance
Systems” kerjasama antara CIFOR dan Pemerintah Daerah Kabupaten Bungo.
Penelitian didanai oleh BMZ, the Federal Ministry for Economic Cooperation and
Development, Germany, yang disalurkan melalui CGIAR System-wide Program on
Collective Action and Property Rights (CAPRi).

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada program ACM-CIFOR yang


telah menyelenggarakan kegiatan Lokatulis Buku Bungo. Ucapan terima kasih
juga disampaikan kepada seluruh masyarakat Desa Sungai Telang dan Desa Lubuk
Kambing dan seluruh pihak, yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah
mendukung seluruh proses penelitian dan penyusunan tulisan ini.

BAHAN BACAAN
Anonim, 1998. Action Research for Community Forestry: Sharing Experiences
from Nepal. Department for International Development. Environment
Policy Department, London.
Brydon-Miller, M., Greenwood, D. dan Maguire, P. 2003. Why Action Research?.
Action Research 1(1): 9-28.
Fisher, R. (ed). 1999. Workshop on Participatory Action Research. CIFOR, Bogor.
Indonesia.
364 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Freire, P. 1982. Creating Alternative Research Methods: Learning to Do it


by Doing it. Dalam: Hall, B., Gillette, A. dan Tandon, R. Creating
Knowledge: A Monopoly?. Society for Participatory Research in Asia.
New Delhi, India.
Kelly, C dan Breinlinger, S. 1996. The Social Psychology of Collective Action:
Identify, Injustice, and Gender. Taylor and Francis, Washington DC.
Kemmis, S. dan McTaggart, R. (ed). 1988. The Action Research Planner. Deakin
University Victoria, Australia.
Marshall, G. 1998. A Dictionary of Sociology. Oxford University Press, New
York.
Meinzen-Dick, R., Knox, A. dan Di Gregorio, M. (ed). 2001. Collective Action,
Property Rights and Devolution of Natural Resource Management:
Exchange of Knowledge and Implications for Policy. Deutsche Stiftung
fur internationale Entwicklung (DSE), Feldafing, Jerman.
Ostrom, E. 2004. Understanding Collective Action. Collective Action and
Property Rights for Sustainable Development. Focus 11, Brief 2,
February. International Food Policy Research Institute (IFPRI).
Sriskandarajah, N. dan Fisher, R.J. 1992. A Participatory Approach to Improving
Rural Livelihoods of People in the Goilala District of Papua New Guinea.
Hawkesbury, Australia, Faculty of Agriculture and Rural Development,
University of Western Sydney. Australia.
Stall, S. dan Stoecker, R. 1998. “Community Organizing or Organizing Community?
Gender and the Crafts of Empowerment.” Gender and Society 12(6):
729-756.
BAGIAN 4-5
Kebijakan Kehutanan, Aksi Kolektif dan
Hak Properti: Sebuah Pelajaran dari Bungo

Mustafal Hadi, Heru Komarudin dan Monico Schagen


366 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

PENDAHULUAN
Pembangunan kehutanan sangat terkait erat dengan sistem pemerintahan
pada suatu negara. Pada masa lalu, sistem pemerintahan yang sentralistik telah
memunculkan peran dominan pemerintah pusat dalam menentukan arah
kebijakan pembangunan. Program-program dialirkan dari pusat ke daerah, dan
pemerintah daerah hanya berperan sebagai pelaksana. Masyarakat lebih banyak
berperan sebagai penerima. Sistem pemerintahan yang dulu berjalan cukup
baik, saat ini tidak lagi sesuai dengan situasi dan kondisi era globalisasi dan
demokratisasi.

Kerusakan hutan sudah mencapai taraf yang memprihatinkan. Dari sekitar 120
juta ha kawasan hutan di Indonesia, sekitar lima puluh jutaan ha termasuk dalam
kategori kritis. Untuk Propinsi Jambi, berdasarkan kajian citra Landsat yang
dilakukan oleh KKI-WARSI dan Birdlife, dalam kurun waktu sepuluh tahun dari
1990 sampai 2000, tercatat satu juta ha hutan hilang, dari 2,4 juta ha menjadi 1,4
juta ha (Taher, 2005). Kondisi tutupan hutan di Kabupaten Bungo juga mengalami
perubahan yang cukup signifikan (KKI-WARSI et al., 2005). Berdasarkan
hasil kajian tutupan lahan hutan di Kabupaten Bungo antara 1990-2002 yang
dilakukan oleh KKI-WARSI, tampak bahwa tutupan hutan pada 1990 masih
42,78% dari total luas Kabupaten Bungo. Sementara pada 2002 tinggal 30,63%
atau seluas 139.896 ha. Penyebab deforestasi antara lain konversi areal hutan dan
pemanfaatan hutan yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah pengelolaan hutan
lestari. Tingginya tingkat kerusakan hutan disebabkan oleh rendahnya kesadaran
dan tanggungjawab pengusaha hutan dalam melaksanakan kegiatannya, lemahnya
pengawasan dan pemantauan oleh pemerintah, rendahnya tingkat kesejahteraan
masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, sempitnya peluang kerja pada
sektor lain, dan tidak jelasnya hak-hak properti dan tatabatas kawasan hutan.
Tidak jelasnya status lahan eks HPH seluas 743.311 ha, misalnya (Kompas, 2004),
merupakan contoh lemahnya hak properti yang ditengarai menjadi salah satu
penyebab kerusakan hutan.

Hutan merupakan sumber mata pencaharian yang paling menarik dan hasilnya
relatif mudah diusahakan. Masyarakat setempat hidupnya sangat tergantung
pada hasil hutan, karena hasil dari sektor pertanian belum mampu memenuhi
kebutuhan hidup mereka sepenuhnya. Masyarakat belum mampu melakukan
usaha lain selain pertanian, mengingat banyak kendala seperti keterbatasan
modal dan keterampilan. Lapangan pekerjaan sempit, pendidikan rendah dan
tingginya tingkat persaingan menyebabkan masyarakat tidak mempunyai pilihan
BAGIAN 4-5 • Mustafal Hadi, Heru Komarudin dan Monico Schagen 367

selain memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di sekitarnya. Tekanan terhadap


sumberdaya hutan dengan sendirinya semakin besar.

Kebijakan pengelolaan hutan masa lalu cenderung lebih didominasi oleh pemerintah
pusat, dan lebih memberikan manfaat hanya pada individu atau sekelompok
orang yang dekat dengan penguasa. Peran para pihak lain dalam menentukan
arah pembangunan kehutanan hampir tidak ada. Sekalipun ada peraturan
perundangan yang mensyaratkan keterlibatan publik, dalam prakteknya tidak
ada mekanisme yang jelas bagaimana pihak lain dapat berperan dan memastikan
suara mereka di dengar. Alhasil, kebijakan sentralistis tanpa keterlibatan pihak lain
terbukti menemui kegagalan. Pengurusan sumberdaya hutan ternyata tidak dapat
ditangani hanya oleh pemerintah sendiri. Peran serta masyarakat dan para pihak
lain diperlukan.

Keterbatasan pemerintah semakin terlihat jelas jika kita melihat luasnya


sumberdaya hutan yang harus diurus dan dipantau. Padahal persoalan lemahnya
pengawasan pemerintah pada suatu kegiatan kehutanan disebabkan oleh
terbatasnya sumberdaya manusia di lapangan. Dari kondisi inilah, muncul aksi
kolektif yang dilakukan berbagai pihak termasuk masyarakat sekitar hutan, baik
yang muncul karena dorongan dari luar maupun atas inisiatif masyarakat itu
sendiri. Masyarakat dan para-pihak, turut memegang peranan penting dalam
menjaga dan melestarikan sumberdaya alam.

Demokratisasi mendorong munculnya tuntutan pemerintah daerah agar diberi


kewenangan yang lebih besar untuk mengurus sumberdaya alam di wilayahnya.
Tuntutan juga muncul dari masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan
untuk memperoleh hak properti dan akses yang lebih besar terhadap sumberdaya
alam di sekitarnya. Salah satu pelajaran yang diperoleh selama beberapa tahun
pelaksanaan otonomi daerah sejak 1999 adalah perlunya pemerintah pusat,
pemerintah daerah dan para pihak untuk membangun kesepahaman bersama
dalam mengelola sumberdaya hutan secara kolaboratif tanpa mengorbankan
prinsip-prinsip kelestarian.

Dalam periode 2004-2005, Pemerintah Kabupaten Bungo, khususnya Dishutbun,


menyusun dan melaksanakan tiga kebijakan dan program, yakni rekonstruksi
tatabatas hutan lindung, pemberian dana bantuan untuk usaha produktif
dan rehabilitasi hutan dan lahan. Tulisan ini menggambarkan pelaksanaan
dan pembelajaran dari program-program tersebut dan mengkaji sejauh mana
mendorong efektivitas aksi kolektif di tingkat masyarakat dan mendorong
penguatan hak properti.
368 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

KONDISI HUTAN DI KABUPATEN BUNGO


Di Kabupaten Bungo, kawasan hutan mencakup luasan 22,7% (162.447 ha) dari
luas wilayah 716.000 ha. Kawasan hutan itu terdiri dari Taman Nasional Kerinci
Seblat seluas 71.179 ha, Hutan Lindung (HL) Pematang Panjang Rantau Bayur
13.529 ha, Hutan Produksi (HP) 75.719 ha, Hutan Adat Batu Kerbau 1.220 ha
dan Hutan Adat Baru Pelepat 820 ha. Dengan keragaman formasi, status dan
fungsinya, hutan di kabupaten ini cukup potensial dalam memberikan kontribusi
bagi pemerintah dan masyarakat.

Kendati belum ada data pasti yang dapat dijadikan rujukan, namun hasil kajian
KKI-WARSI atas tutupan lahan hutan menyebutkan bahwa lebih dari 12%
hutan alam mengalami deforestasi pada kurun waktu 1990-2002 (Suherman
dan Taher, 2008)1. Hilangnya tutupan hutan Bungo ini adalah akibat adanya
pemberian ijin untuk konsesi HPH yang pernah aktif di Kabupaten Bungo yang
areal pengusahaannya tidak dikelola dengan baik2. Pelepasan kawasan hutan
oleh Departemen Kehutanan menjadi peruntukan lain seperti perkebunan sawit
dalam skala yang besar juga turut menyumbang kehilangan tutupan hutan ini3.
Transmigrasi juga memberikan dampak cukup besar terhadap hutan yang di
beberapa tempat disertai dengan perkebunan (PIR Trans)4. Selain itu, perambahan
hutan5 dan tidak terkendalinya sistem pemanfaatan hutan yang marak di awal era
otonomi daerah, seperti IPPK dan IUPHH, turut menjadi penyebab berkurangnya
tutupan hutan di kabupaten ini.

1 Sebagai perbandingan, angka taksiran yang juga seringkali menjadi acuan –sekalipun tidak secara resmi dipublikasikan– adalah hampir sekitar 80%
dari hutan produksi (HP) dan 25-30% hutan lindung (HL) di Kabupaten Bungo telah mengalami deforestasi.
2 Terdapat dua HPH yang pernah aktif di Kabupaten Bungo pada masa 1990-2002, yaitu PT. Rimba Karya Indah (PT. RKI) dan PT. Mugitriman
Intercontinental yang kemudian diambil alih oleh PT. Inhutani V SPH Pelepat Ule. PT. RKI berhenti beroperasi pada 1997 akibat konflik dengan
masyarakat. Sedangkan Inhutani tidak mampu melanjutkan pengelolaan kawasan dan berhenti pada 2001. Keduanya meninggalkan kewajibannya
dalam mengamankan kawasan kelolanya, sehingga menjadi penyebab maraknya pembalakan liar di areal bekas HPH.
3 Perkebunan kelapa sawit marak di Jambi, termasuk Kabupaten Bungo, pada awal 1990-an. Sampai tahun 2000 luas perkebunan sawit mencapai
32.843 ha dengan produksi sebesar 157.973 ton per tahun (Renstra Kabupaten Bungo 2001-2005). Pola pengembangan perkebunan sawit bervariasi,
misalnya ada pola PBS (Perkebunan Besar Swasta), PIR Trans (Pola Inti Rakyat Transmigrasi), KKPA (Kredit Koperasi Primer untuk Anggota) dan
perkebunan rakyat. Pola PBS semakin berkembang dengan adanya pelepasan kawasan hutan oleh Departemen Kehutanan dan Perkebunan pada
1998. Salah satu contohnya adalah pola PIR Trans yang dikembangkan PT. Jamika Raya berbekal sebuah Surat Keputusan Menteri tentang Pelepasan
Kawasan Hutan. No. 720/KPTS-II/ 1989 tertanggal 24 November 1989. Pada 1993, perusahaan tersebut kembali memperoleh ijin pelepasan ka-
wasan hutan, sehingga luas kawasan hutan total yang dilepaskan mencapai 20,603 Ha.
4 Pembukaan kawasan hutan untuk dijadikan areal transmigrasi dimulai pada 1983 dengan jumlah penduduk transmigrasi sebanyak 4.403 jiwa yang
tersebar dari daerah Kuamang Kuning I sampai Kuamang Kuning V. Sampai tahun 1990, jumlah transmigran bertambah menjadi 17.897 jiwa yang
tersebar di Kuamang Kuning I sampai Kuamang Kuning X, dan Kuamang Kuning XIV sampai XIX, daerah Danau Dusun, Desa Datar dan Jujuhan I.
Jumlah transmigran terus bertambah, dan sampai tahun 2002 tercatat 19.332 jiwa dengan penyebaran meluas ke Jujuhan II sampai Jujuhan V, Baru
Pelepat dan Rantau Pandan. Walaupun belum ada data yang pasti mengenai luas total pembukaan hutan untuk peruntukan transmigrasi, tapi pro-
gram pemerintah tersebut telah turut menyumbang berkurangnya tutupan hutan di Kabupaten Bungo. Selain itu, bertambahnya jumlah penduduk
secara drastis telah meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya alam.
5 Perambahan lahan biasanya dilakukan para pembalak liar dengan mengubah lahan bekas tebangan menjadi lahan pertanian kering berupa ladang.
Perambahan dilakukan di lokasi yang sama dengan tempat berlangsungnya kegiatan pembalakan liar. Awalnya perambahan terjadi di areal bekas
konsesi yang ditinggalkan oleh pemegang ijin HPH seperti PT RKI. Para perambah memanfaatkan akses jalan yang ditinggalkan perusahaan dan
membuka ladang tidak hanya di lokasi bekas tebangan HPH, tetapi juga di tempat-tempat sekitarnya di luar areal bekas tebangan. Meskipun belum
ada data pasti mengenai luas total perubahan hutan menjadi ladang, tetapi diyakini kegiatan perambahan hutan turut berperan dalam mengurangi
tutupan hutan di Kabupaten Bungo.
BAGIAN 4-5 • Mustafal Hadi, Heru Komarudin dan Monico Schagen 369

HAK PROPERTI DAN AKSI KOLEKTIF


Aksi kolektif merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh suatu kelompok
(baik untuk mereka sendiri maupun atas nama suatu organisasi) dalam mencapai
tujuan yang diinginkan bersama (Marshall, 1998). Aksi kolektif juga merujuk
pada suatu perkumpulan atau kelompok yang terbentuk, baik secara sukarela
maupun karena dorongan dari luar (dibentuk oleh pemerintah atau pihak lain),
baik yang sifatnya informal ataupun formal (dalam bentuk organisasi berbadan
hukum).

Dalam pengertian yang sederhana, istilah umum seperti ’gotong-royong’ dan


pepatah yang berbunyi “ringan sama dijinjing, berat sama dipikul“ mungkin
mendekati makna aksi kolektif. Kebiasaan gotong-royong dalam masyarakat sudah
mulai pudar dan banyak sekali program dan kegiatan yang sebenarnya sangat
potensial dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat menjadi terbengkalai
dan mubazir karena tidak adanya dukungan kolektif. Di sisi lain, banyak tindakan
atau kebijakan penguasa yang cenderung mengabaikan hak-hak masyarakat dan
memperlemah semangat aksi kolektif diantara kelompok masyarakat.

Dalam pembangunan kehutanan yang belakangan ini lebih mengarah pada pola-
pola berbasis masyarakat, kebijakan yang mendorong terjadinya aksi kolektif
menjadi sangat penting. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan secara
lestari dan bertanggung jawab dapat dicapai dengan lebih mudah melalui kerjasama
dan kolaborasi. Dalam hal ini, aksi kolektif memegang peran penting baik dalam
bentuk keterlibatan para pihak di dalam jaringan yang lebih luas, maupun aksi
bersama kelompok masyarakat atau petani hutan yang diberi hak kelola hutan.
Melalui aksi kolektif, setiap individu atau kelompok bukan hanya saling mengisi
peran, tetapi juga memastikan terjaganya aturan main dan akuntabilitas.

Pentingnya peranan aksi kolektif di dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam


telah ditunjukkan oleh berbagai peneliti di berbagai wilayah seperti Agrawal dan
Ostrom (2001) dan Meinzen-Dick et al. (2004a dan 2004b). Kajian tentang aksi
kolektif mencakup banyak jenis. Misalnya ada kajian tentang bentuk-bentuk aksi
kolektif yang mendorong pada pengelolaan sumberdaya alam yang lebih lestari,
faktor-faktor yang mendorong atau menghambat terjadinya sebuah aksi kolektif,
hasil dari sebuah aksi kolektif terhadap kelestarian sumberdaya alam atau terhadap
pendapatan masyarakat.

Dalam konteks institusi dengan pengertian yang lebih luas, aksi kolektif juga
dipahami sebagai suatu aksi terkoordinasi yang dilakukan oleh unsur-unsur di
370 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

dalam struktur pemerintahan dan para pihak dalam mencapai tujuan bersama.
Misalnya dalam penyusunan program-program pemerintah, pendistribusian atau
mobilisasi sumberdaya dan lain-lain.

Hak properti, menurut salah satu definisi yang paling sering dikutip dalam
literatur, dipahami sebagai “the capacity to call upon the collective to stand behind
one’s claim to a benefit stream“ (suatu kemampuan kolektif untuk menopang
klaim seseorang atas sebuah aliran manfaat) (Bromley, 1991 dalam Meinzen-
Dick et al., 2004a). Jadi hak properti mencakup hubungan antar pemilik hak,
pihak lain dan institusi yang memberikan dukungan atas sebuah klaim. Wiber
(1993) menyatakan, hak atas properti merupakan hak individu atau kelompok
atas pemanfaatan atau kontrol sumberdaya alam yang diakui dan mendapat
legitimasi dari masyarakat secara luas dan dilindungi secara hukum. Individu
atau kelompok (pengguna sumberdaya, masyarakat, perusahaan, negara, dan
lain sebagainya) bisa menegaskan berbagai klaim atas sumberdaya alam seperti
hak menggunakan, mengambil hasil sumberdaya, mengontrol penggunaan dan
membuat peraturan atas penggunaan sumberdaya termasuk mengenai siapa saja
yang boleh menggunakan dan mentransfer sumberdaya alam tersebut dengan cara
dijual, disewakan, dihadiahkan ataupun diwariskan6.

Meinzen-Dick et al. (2004a) menggolongkan hak properti ke dalam dua golongan,


yakni hak penggunaan atau use right dan hak kendali atau pengambilan keputusan
(control atau decision-making rights). Hak untuk mendapatkan akses terhadap
sumberdaya hutan, hak untuk mengambil hasil hutan untuk kepentingan ekonomi
seperti HPH (Hak Pengusahaan Hutan) atau IPKR (Ijin Pemanfaatan Kayu
Rakyat), misalnya, masuk dalam golongan pertama. Hak untuk mengendalikan,
hak untuk mengatur siapa yang mendapat akses dan hak atas sumberdaya hutan
tertentu dan siapa yang tidak mendapat akses –biasanya dipegang oleh pihak yang
punya kewenangan (pemerintah)– merupakan contoh dari golongan kedua.

Dari uraian tersebut, kita pahami bahwa hak properti bukan bermakna sempit
sebagai hak kepemilikan (ownership) saja, yang seringkali menjadi isu sensitif
ketika kita membicarakannya dalam konteks pengelolaan sumberdaya hutan di
Indonesia. Hak properti mencakup pengertian yang lebih luas, dan tidak sekedar
hak, tetapi juga kewajiban dan aturan. Untuk mendapat legitimasi, klaim atas
sumberdaya tersebut harus diakui secara kolektif oleh masyarakat. Konflik akan
muncul ketika terdapat klaim yang berbeda atas sumberdaya tertentu yang

6 Sejalan dengan ini, Agrawal dan Ostrom (2001) mengklasifikasikan hak properti ke dalam empat bentuk, yakni withdrawal (hak untuk masuk pada
suatu batas wilayah tertentu dan memungut hasil sumberdaya), management (hak untuk mengatur pola-pola pemanfaatan sumberdaya), exclusion
(hak untuk memutuskan siapa yang memperoleh hak dan bagaimana hak tersebut bisa dialihkan ke pihak lain) dan alienation (hak untuk menjual,
menyewakan, hak pemanfaatan dan pengelolaan).
BAGIAN 4-5 • Mustafal Hadi, Heru Komarudin dan Monico Schagen 371

ditopang dengan sumber legitimasi yang berbeda.

Suatu klaim atas sumberdaya alam tertentu seringkali diatur oleh peraturan dan
hukum yang beragam, baik hukum negara, hukum lokal, hukum agama, hukum
adat, dan lain-lain. Namun Gulliet (1998) mengatakan aturan dengan sumber
yang berbeda tidak berada dalam kondisi saling mengisolasi satu sama lain, tetapi
saling berinteraksi, mempengaruhi dan saling mendukung. Oleh karena itu jalan
terbaik adalah negosiasi, karena peraturan dan hukum merupakan sesuatu yang
bisa dinegosiasikan, diinterpretasikan dan diubah.

Hak properti merujuk pada hubungan antar aktor terkait dengan sumberdaya
alam. Hak properti itu sendiri sifatnya dinamis seperti halnya hubungan antar
aktor, yang berubah dengan berjalannya waktu. Karena sifat alam yang penuh
dengan ketidakpastian dan sangat kompleks, maka ada kecenderungan alami
atau termotivasi oleh faktor luar, para aktor terlibat di dalam tindakan bersama-
sama untuk mengatasi isu-isu yang timbul tentang bagaimana sumberdaya
dimanfaatkan secara optimal dan bagaimana keputusan bersama bisa diambil
dengan memberikan ruang dan manfaat yang adil bagi semua pihak yang terlibat.
Pluralitas hukum, misalnya yang terwujud dalam bentuk tumpang tindihnya
hak properti atas suatu hamparan sumberdaya alam tertentu dengan sendirinya
menuntut aksi dan reaksi dari setiap aktor yang berkepentingan dalam upaya
masing-masing pihak memaksimalkan manfaat yang diperolehnya.

kompleksitas kebijakan PENGELOLAAN


HUTAN DI KABUPATEN BUNGO
Banyak pembelajaran yang kita peroleh dari pengelolaan sumberdaya hutan di
Kabupaten Bungo, jika dikaitkan dengan kedua konsep di atas. Setelah melalui
periode sentralisasi di zaman Orde Baru sampai 1998, dalam kurun waktu 1999
sampai 2001 pemerintah daerah mulai diberikan kewenangan yang lebih besar
untuk mengusahakan sumberdaya hutan dalam bentuk pengeluaran ijin-ijin
pemanfaatan skala kecil seperti IPHH dan IPKR. Namun demikian, dalam 2002
kewenangan daerah dalam pengelolaan sumberdaya hutan kembali dibatasi setelah
pemerintah pusat melalui Departemen Kehutanan mengeluarkan peraturan
yang mencabut kembali kewenangan daerah di bidang kehutanan. Dermawan
et al. (2006) menggambarkan pengurusan hutan di Indonesia seperti pendulum,
yakni beralih dari bentuk sentralisasi ke desentralisasi dan akhirnya kembali ke
bentuk sentralisasi. Dari mulai soal lemah dan belum siapnya pemerintah daerah
mengemban wewenang yang lebih besar dalam mengelola hutan, kekhawatiran
372 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

terus terdegradasinya sumberdaya alam, sampai pada keengganan pemerintah


pusat dalam memberikan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah
mewarnai perjalanan penyelenggaraan otonomi daerah di bidang kehutanan.

Salah satu isu krusial dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan
adalah ketidakjelasan hak properti, seperti yang terjadi di Kabupaten Bungo dan
juga umumnya di berbagai wilayah lain di Indonesia. Banyak kawasan hutan yang
tidak jelas batas penguasaan dan pengusahaannya, yang mengakibatkan terjadi
tumpang tindih peruntukan dan klaim kepemilikan. Kasus klaim masyarakat adat
setempat terhadap hutan yang di bawah penguasaan suatu perusahaan kehutanan,
misalnya, sangat sering terjadi. Pihak mana yang mempunyai hak dan tanggung
jawab memanfaatkan suatu sumberdaya hutan seringkali tidak jelas. Di sisi lain,
pemerintah yang mempunyai otoritas untuk menentukan aturan juga seringkali
dalam prakteknya tidak berdaya karena lemahnya kapasitas dan legalitas.

Setelah kewenangan pemerintah daerah kabupaten untuk mengeluarkan kebijakan


di bidang pengusahaan hutan, terutama terkait dengan hasil hutan kayu, dicabut
oleh pemerintah pusat7, otonomi daerah dalam bidang kehutanan tidak berjalan
lagi. Sebagian besar pengurusan hutan oleh pemerintah daerah dalam kurun waktu
dua-tiga tahun terakhir lebih merupakan kegiatan dalam kerangka dekonsentrasi
dan tugas pembantuan. Setelah kewenangan ditarik kembali, sebenarnya
pemerintah pusat masih memberi peluang kepada pemerintah daerah untuk
mengeluarkan hak atau ijin pemanfaatan kayu. Misalnya, salah satu keputusan
Menteri Kehutanan8 yang memberikan kewenangan daerah mengeluarkan
IPHH (Ijin Pemungutan Hasil Hutan) bagi perseorangan dan kelompok beserta
koperasi. Namun, tanggapan pemerintah daerah di berbagai wilayah tampaknya
tidak begitu besar seperti halnya ketika IPPK (Ijin Pemungutan dan Pemanfaatan
Kayu) yang marak saat otonomi daerah diberlakukan sekitar awal 2000. Demikian
juga di Bungo, pemerintah daerah tidak mengeluarkan ijin IPHH. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa rendahnya tanggapan pemerintah daerah terhadap peluang
tersebut dikarenakan dua hal utama. Pertama, tampaknya ada sikap yang lebih
hati-hati di kalangan pemerintah daerah untuk tidak mengeluarkan kebijakan
seperti yang terjadi dalam periode sebelumnya. Mereka khawatir bahwa kebijakan
yang dikeluarkannya akan bertentangan dengan peraturan perundangan yang
berlaku. Belum terbitnya peraturan pemerintah terkait pembagian kewenangan
antara pemerintah pusat dan daerah, sebagai pengganti PP No. 25/2000, juga
menjadi salah satu penyebab kekhawatiran pihak pemerintah daerah.

7 SK Menteri Kehutanan No. 541/2002, SK Menteri Kehutanan No. 6886/2002 dan Peraturan Pemerintah No. 34/2002 mempertegas penundaan dan
pencabutan kembali kewenangan daerah di bidang kehutanan. Untuk uraian yang lebih lengkap, dapat dilihat pada Dermawan et al. (2006).
8 Keputusan Menteri Kehutanan No. 6886.
BAGIAN 4-5 • Mustafal Hadi, Heru Komarudin dan Monico Schagen 373

Kedua, hasil hutan yang boleh dipanen dalam aturan tersebut sangat terbatas
karena memang bertujuan bukan untuk diperdagangkan (khususnya hasil hutan
berupa kayu). Untuk satu ijin, maksimum hasil hutan yang boleh dipanen hanya
20 m3 untuk kayu dan 20 ton untuk bukan kayu per ha per tahun. Tampaknya
rendahnya volume yang boleh dipanen ini kurang menarik bagi sebagian pihak
yang selama ini lebih banyak terlibat dalam pengusahaan hutan skala komersial.
Dorongan pemerintah daerah untuk mencari sumber-sumber keuangan potensial
untuk meningkatkan PAD tampaknya menjadi alasan kenapa SK Menteri tersebut
tidak menjadi prioritas perhatian daerah.

Contoh lain adalah SK Menteri Kehutanan No. 382/kpts-II/2004 yang mengatur


pemberian IPK di luar kawasan hutan atau di areal KBNK (Kawasan Budidaya
Non-Kehutanan). Bupati dapat mengeluarkan ijin pemanfaatan kayu kepada
pemohon perseorangan, koperasi, BUMN dan BUMD dan swasta. Setelah areal
yang dimohonkan untuk IPK diketahui potensinya melalui cruising dan ijin
diperoleh, pemegang IPK berhak untuk melaksanakan penebangan kayu selama
berlakunya ijin, yakni 1 tahun dan dapat diperpanjang. Dalam SK tersebut juga
diatur mengenai kewajiban, aturan dan sanksi bagi pemegang hak.

Uraian tentang pengelolaan hutan tersebut di atas menggambarkan secara


eksplisit konteks otonomi daerah dan hak-hak properti dalam pemanfaatan
sumberdaya, penggunaan otoritas dan pengaturan siapa yang harus memperoleh
hak dan siapa yang tidak, serta aturan, kewajiban dan sanksi bagi pelanggaran
yang dilakukan. Secara normatif, peraturan perundangan yang digambarkan
tampak sudah cukup memadai dalam memperkuat hak properti, yang indikatornya
adalah adanya jaminan akses manfaat kepada si pemegang hak, adanya aturan
yang jelas dan mengikat serta adanya mekanisme sanksi. Namun demikian, dalam
implementasinya masih menyisakan persoalan.

Berbagai tantangan tampaknya masih menghadang upaya memperkuat hak


properti. Misalnya terlihat dari masih banyaknya lahan hutan di wilayah di
Kabupaten Bungo yang berada dengan kondisi “open access“, yang terbuka bagi
siapa saja dan seolah tidak ada yang memiliki atau tidak ada pihak yang mempunyai
“kewenangan“ untuk menjaganya. Ketidakmampuan pemerintah dalam memantau
dan mengawasi kegiatan pemanfaatan sumberdaya hutan (karena terbatasnya
personil, keterampilan dan peralatan), banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh
pemegang hak, okupasi kawasan hutan oleh masyarakat dan lemahnya penerapan
sanksi merupakan kelemahan-kelemahan yang masih terlihat di lapangan.
374 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

INISIATIF PROGRAM KEHUTANAN Kabupaten


BUNGO
Dalam periode 2004-2005, Pemerintah Daerah Kabupaten Bungo, khususnya
Dishutbun, mengambil inisiatif mengusulkan dan menjalankan program kehutanan
yang berpeluang dalam mendorong efektivitas aksi kolektif dan memperkuat hak
properti. Ketiga kebijakan dan program tersebut antara lain adalah rekonstruksi
tatabatas hutan lindung, bantuan usaha produktif dan rehabilitasi hutan dan
lahan, seperti yang diuraikan berikut ini.

Rekonstruksi Tatabatas Hutan Lindung


Mengacu pada salah satu kebijakan prioritas Departemen Kehutanan terkait
pemantapan kawasan hutan9, pada 2004 Dishutbun Kabupaten Bungo
mengusulkan program rekonstruktuksi tatabatas kawasan hutan kepada
pemerintah daerah dan DPRD. Program yang akhirnya disetujui tersebut menjadi
salah satu program yang mendapat pendanaan dari APBD 2005 dan 2006. Sebagai
konsekuensi dari sebuah inisiatif, pemerintah daerah menanggung sendiri dana
pelaksanaan program tersebut.

Inisiatif tersebut muncul sebelum keluarnya surat Badan Planologi Departemen


Kehutanan yang menginstruksikan pemerintah daerah untuk mempercepat
pemantapan kawasan hutan10. Surat tersebut berbunyi bahwa urusan pemantapan
kawasan hutan, kecuali penataan batas kawasan konservasi, sudah menjadi
kewenangan pemerintah propinsi dan kabupaten (kota).

Dishutbun mengajukan program rekonstruksi setelah melihat kondisi kawasan


hutan di wilayah ini yang memprihatinkan. Kawasan hutan di wilayah ini belum
seluruhnya ditatabatas. Keadaan dan posisi sebagian patok-patok yang membatasi
kawasan hutan dengan lahan milik masyarakat tidak jelas. Di sebagian wilayah,
masyarakat, baik secara sadar maupun tidak, telah memperluas lahan pertanian
dan menempati kawasan hutan.

Dalam melaksanakan program ini, Dishutbun berperan sebagai pemrakarsa dan


sekaligus pelaksana kegiatan. Program tersebut dilakukan pada kawasan Hutan

9 Empat kebijakan lainnya adalah pemberantasan pencurian kayu di hutan negara dan perdagangan kayu ilegal; revitalisasi sektor kehutanan,
khususnya industri kehutanan; rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan; dan pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar
kawasan hutan (SK Menteri Kehutanan No. SK.456/Menhut-II/2004 tanggal 29 Nopember 2004)
10 Surat Kepala Badan Planologi No. SE.722/VII-KP/2005 tanggal 22 Agustus 2005 tentang percepatan proses pemantapan kawasan hutan yang
ditujukan kepada kepala dinas kehutanan propinsi dan dinas kabupaten
BAGIAN 4-5 • Mustafal Hadi, Heru Komarudin dan Monico Schagen 375

Lindung Pematang Panjang Rantau Bayur, Kabupaten Bungo, yang melintasi


beberapa kecamatan. Panjang rekonstruksi tatabatas adalah 35 km dan sebagian
jalur tatabatasnya melintasi wilayah Desa Sungai Telang Kecamatan Rantau
Pandan, desa tempat penelitian berlangsung. Sungai Telang adalah desa yang
dekat dengan hutan lindung tersebut yang menjadi zona penyangga Taman
Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Desa tersebut juga merupakan hulu Sungai
Batang Pelepat dan Batang Bungo, sehingga menjadikan wilayah yang sangat
penting dan perlu dijaga kelestariannya.

Tujuan rekonstruksi tatabatas ini adalah mempertegas keberadaan batas kawasan


hutan yang sudah ada, mengganti pal batas yang rusak dan melakukan tindakan
preventif pengamanan kawasan. Pekerjaan rekonstruksi tatabatas tersebut
dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak seperti petugas Dishutbun Kabupaten
Bungo, petugas BPKH11 Propinsi Jambi dan masyarakat desa-desa yang terlintasi
oleh jalur rekonstruksi, termasuk Desa Sungai Telang.

Manfaat yang diharapkan dari kegiatan ini adalah adanya ketegasan dan kejelasan
batas antara kawasan hutan lindung dengan lahan milik masyarakat dan mencegah
terjadinya okupasi kawasan hutan lindung. Dengan demikian akan terwujud
kepastian lahan milik masyarakat yang berada dekat kawasan hutan lindung
tersebut, dan juga hak-hak negara atas kawasan hutan, yang pada gilirannya
mendorong penguatan hak-hak properti bagi berbagai pihak.

Pada tahap persiapan, petugas dari Dishutbun Kabupaten Bungo melakukan


orientasi ke lokasi (Desa Sungai Telang) dan sosialisasi kepada masyarakat untuk
memaparkan maksud dan tujuan pemerintah melakukan rekonstruksi tatabatas.
Dari hasil survei, ditemukan adanya kebun karet yang melewati pal batas hutan
lindung. Terungkap lebih kurang lima kepala keluarga yang membuka kebun karet
melampaui batas kawasan. Berdasarkan data tersebut, petugas Dishutbun serta
petugas dari BPKH Propinsi Jambi bersama masyarakat melakukan peninjauan ke
lokasi tatabatas. Hasil peninjauan ternyata menguatkan data temuan sebelumnya.
Masyarakat menjelaskan alasan okupasi lahan tersebut dan beralasan bahwa
kebutuhan untuk bercocok tanam dan sempitnya lahan pertanian masyarakat
telah mendorong mereka memperluas kebun mereka.

Melalui sebuah pertemuan sosialisasi, petugas memperoleh pemahaman soal


kondisi lapangan dan masyarakat menjadi lebih sadar terhadap pentingnya
fungsi hutan lindung dalam menjaga ekosistem dan kehidupan mereka. Untuk
menyelesaikan masalah okupasi, akhirnya melalui suatu musyawarah yang dihadiri

11 Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), sebelumnya di sebut BIPHUT


376 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

seluruh unsur masyarakat, termasuk mereka yang mengokupasi kawasan lindung,


kepala desa, ketua BPD, tokoh masyarakat dan alim ulama, dicapai kesepakatan
bahwa:
1) Masyarakat yang sudah terlanjur membuat kebun di dalam kawasan hutan
lindung, diperbolehkan untuk terus memelihara tanaman dan mengambil
hasilnya sampai lahan tersebut tidak produktif lagi. Setelah itu, masyarakat
diminta untuk menghentikan kegiatannya. Selama pemeliharaan, mereka
dilarang memperluas areal kebunnya dalam hutan lindung. Mereka juga
dianjurkan sedapat mungkin menanam tanaman hutan, khususnya pada
tempat-tempat yang dianggap rawan longsor.
2) Masyarakat akan menjaga hutan lindung dan mencegahnya dari kerusakan
dan pencurian kayu. Mereka diperbolehkan mengambil hasil hutan selain
kayu, yakni berupa rotan dan jernang.

Setelah kesepakatan dibuat, petugas Dishutbun menawarkan masyarakat desa


untuk ikut bekerjasama dalam merintis tatabatas lama. Tawaran ini diberikan
kepada lima orang (kelompok yang sudah memiliki keahlian merintis tatabatas)
yang dibayar imbalan jasanya dalam bentuk upah sesuai pagu anggaran
pemerintah yang tersedia. Selain merintis tatabatas, mereka juga terlibat dalam
pembuatan peta pal batas, pengukuran jarak patok, menghitung dan memberi
tanda patok-patok yang hilang dan rusak.

Pada tahap rekonstruksi tatabatas, pekerjaan orientasi dilanjutkan dengan


pemasangan (penggantian) pal batas lama, baik yang rusak maupun yang
hilang, bersama-sama masyarakat yang terpilih sesuai hasil musyawarah. Jalur
rekonstruksi tatabatas sepanjang 35 km dikerjakan lebih kurang dalam waktu dua
minggu. Kegiatan rekonstruksi tatabatas ini tidak hanya melibatkan masyarakat
Desa Sungai Telang, tetapi juga Desa Laman Panjang, karena secara administratif
kawasan hutan lindung berada dalam wilayah Desa Laman Panjang, dan kedua
desa dilalui jalur pal batas. Bentuk keikutsertaan kelompok masyarakat dalam
rekonstruksi tatabatas ini merupakan penghargaan bagi masyarakat dalam
pembangunan kehutanan.

Dalam kasus tersebut, kebetulan masyarakatnya mau menerima (mengakui)


tatabatas lama, sehingga proses musyawarah dan mufakat berjalan lancar. Namun,
dalam kasus lain di daerah lain di Kabupaten Bungo ditemukan masyarakat yang
tidak menerima tatabatas kawasan yang ada tersebut. Mereka menyampaikan
alasan: (i) mereka telah lebih dulu hidup dan berkebun di sana sebelum pal batas
dibuat; (ii) lahan garapan mereka terbatas; (iii) pada waktu pembuatan pal batas
tersebut mereka tidak diberi kesempatan bicara, dan lain-lain.
BAGIAN 4-5 • Mustafal Hadi, Heru Komarudin dan Monico Schagen 377

Bagaimana sikap pemerintah dalam menyelesaikan masalah ini? Dengan


berpegang pada prinsip bahwa masyarakat adalah mitra pemerintah dan pelaku
pembangunan dan pemerintah memegang amanat menjalankan kehendak rakyat,
maka jalan terbaik yang ditempuh adalah musyawarah. Salah satunya adalah
dengan memberikan jaminan hak kelola kepada masyarakat dalam batas wilayah
yang disepakati bersama melalui kebijakan-kebijakan yang telah ditawarkan oleh
Departemen Kehutanan seperti hutan kemasyarakatan dan hutan desa. Hak
yang diberikan kepada individu dan kelompok masyarakat tersebut adalah untuk
memanfaatkan hasil hutan sesuai dengan fungsi kawasan hutan bersangkutan
tanpa harus mengubah status kawasan hutannya. Selain diberi wewenang untuk
menentukan perencanaan dan peruntukannya, masyarakat diwajibkan turut
membantu atau berpartisipasi menjaga dan memelihara sumberdaya alam. Hak
kelola merupakan salah satu bentuk hak yang dapat memperkuat hak properti
masyarakat.

Melalui keterlibatannya dalam kegiatan rekonstruksi tatabatas dan interaksi


dengan petugas Dishutbun, masyarakat terlihat termotivasi untuk lebih hati-
hati dalam membuka ladang dan mencari informasi terlebih dahulu ke kantor
Dishubun. Proses musyawarah, sikap menerima terhadap tawaran petugas di
tahap awal dan keterlibatan langsung dalam rekonstruksi menjadi modal penting
dalam menentukan perubahan perilaku mereka12.

Bantuan Usaha Produktif


Bantuan Usaha Produktif (BUP) merupakan sebuah program dengan dukungan
APBD yang bertujuan mendorong kemandirian masyarakat yang tinggal di sekitar
dan dalam hutan melalui pemberian dana stimulan. Program ini dimaksudkan
agar mereka mendapat peluang untuk dapat meningkatkan pendapatannya
dan secara tidak langsung mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap
sumberdaya hutan. Program ini murni merupakan inisiatif Dishutbun dan diajukan
kepada pihak legislatif sebagai bagian dari program pemerintah daerah. Sasaran
program ini adalah kelompok masyarakat yang tinggal di dalam atau sekitar
hutan, yang mempunyai usaha produktif namun memiliki kesulitan modal untuk
pengembangan usahanya, atau di daerah tersebut terdapat potensi usaha yang
perlu dikembangkan untuk meningkatkan penghasilan masyarakat setempat.

Kegiatan diawali dengan survei kelompok masyarakat dan bentuk usaha di seluruh
wilayah Kabupaten Bungo. Survei dipusatkan pada wilayah yang berdekatan

12 Indikasi perubahan perilaku ini terlihat di masyarakat yang menerima hasil musyawarah di lokasi penelitian. Sementara itu, sikap masyarakat yang
menolak terhadap musyawarah di lokasi lain di Kabupaten Bungo tidak teramati, apakah diantara mereka juga ada indikasi perubahan perilaku atau
tidak
378 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

dengan hutan. Hasil survei menemukan empat kecamatan di Kabupaten Bungo


yang terletak berdekatan dengan kawasan hutan, yaitu Kecamatan Pelepat, Rantau
Pandan, Tanah Tumbuh, dan Limbur Lubuk Mengkuang. Survei juga menemukan
45 kelompok usaha produktif yang tersebar di empat kecamatan (Tabel 31).

Tabel 31. Kelompok dan jenis usaha produktif

No Kecamatan Jumlah Kelompok Jenis Usaha


1 Pelepat 14 Pertanian tanaman semusim, ternak
unggas, kerajinan rumah tangga (anyaman
dan mebel dari bambu)
2 Rantau Pandan 8 Pembibitan tanaman karet, ternak unggas,
pertanian tanaman semusim, kerajinan

3 Tanah Tumbuh 3 Keramba ikan dan budidaya ikan air tawar


4 Limbur Lubuk 20 Usaha pertanian tanaman pangan dan
Mengkuang ternak unggas

Dari hasil seleksi dan pengecekan lapangan diperoleh delapan jenis usaha yang
mendapat BUP, yaitu: anyaman bambu dan budidaya bawang merah (Desa Baru
Pelepat), budidaya bawang merah (Batu Kerbau), pembibitan jernang (Sungai
Telang), keramba ikan dan pembibitan karet (Rambah), budidaya ikan air tawar
(Sei Ipuh) dan usaha budidaya cabe (Tuo Limbur).

Setelah menetapkan kelompok sasaran, petugas Dishutbun melakukan sosialisasi


dengan tujuan agar masyarakat memperoleh pemahaman tentang maksud
dan tujuan pemerintah melaksanakan program BUP, dan menampung usulan
masyarakat.

Kelompok terpilih dibimbing untuk membuat proposal oleh petugas Penyuluh


Pertanian Lapangan (PPL). Proposal berisikan antara lain uraian tentang latar
belakang pentingnya bantuan usaha produktif bagi daerah dan kelompok
bersangkutan, aspek teknis, manajemen, pemasaran dan analisis usaha. Peninjauan
dilakukan oleh petugas ke lokasi masyarakat yang proposalnya sudah dianggap
layak. Peninjauan lapangan dilakukan untuk memeriksa kebenaran antara apa
yang tertuang dalam proposal dengan kenyataan di lapangan. Setelah dianggap
benar, dana bantuan modal diberikan kepada kelompok masyarakat terpilih, yang
ditransfer melalui rekening bank kelompok. Sekalipun sifatnya dana bantuan,
tetapi pesan yang disampaikan kepada kelompok adalah: dana tersebut merupakan
dana bergulir (revolving fund) yang harus dikembalikan dan digulirkan kepada
BAGIAN 4-5 • Mustafal Hadi, Heru Komarudin dan Monico Schagen 379

kelompok lain. Jumlah dan lama waktu pengembalian dana sesuai dengan analisa
usaha yang tercantum dalam proposal.

Khusus untuk Desa Sungai Telang, modal bantuan tidak jadi disalurkan untuk
kegiatan kerajinan dan pemeliharaan ternak itik. Setelah melalui proses
refleksi, dana bantuan kemudian dialihkan untuk usaha pembibitan jernang
dan jelutung. Ada beberapa pertimbangan mengapa bantuan tersebut dialihkan.
Pertama, masyarakat Desa Sungai Telang akan lebih berpeluang mengembangkan
ekonominya melalui kedua jenis tanaman tersebut. Bibit kedua tanaman
tersebut sangat laku di pasaran dan hasil getah keduanya sangat mahal, sehingga
akan menambah penghasilan masyarakat. Kedua jenis tanaman tersebut juga
sudah langka di Kabupaten Bungo. Bibitnya hanya terdapat di hutan lindung
Bukit Panjang Rantau Bayur, yang lokasinya berdekatan dengan Desa Sungai
Telang. Oleh karena itu, melalui dukungan BUP diharapkan masyarakat dapat
mengembangkan usaha pembibitan kedua jenis tanaman tersebut dalam bentuk
persemaian. Masyarakat juga akan termotivasi untuk melindungi pohon induknya
di kawasan hutan lindung dan jenis-jenis tanaman langka lainnya.

Kedua, masyarakat ternyata sangat memberikan tanggapan positif terhadap


rencana pengembangan kedua jenis tanaman tersebut, dan sadar akan prospek
yang lebih baik di masa mendatang. Namun, selain modal membuat pembibitan,
mereka merasa perlu bantuan bimbingan teknologinya.

Ketiga, inisiatif Dishutbun Bungo untuk menjadikan Desa Sungai Telang sebagai
sentra produksi tanaman jelutung dan jernang sudah mendapat sambutan positif
dari Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS),
Departemen Kehutanan. Pengukuhan desa tersebut sebagai sentra produksi bibit
jernang akan ditetapkan melalui sebuah Surat Keputusan.

Sekalipun masih perlu waktu lama untuk melihat dampak program ini, namun selama
proses berlangsung tampak ada kelompok masyarakat di Desa Sungai Telang yang
secara sukarela membentuk kelompok sendiri dan secara bersama-sama melakukan
kegiatan pencarian bibit-bibit jernang di dalam hutan. Berdasarkan wawancara
dengan beberapa anggota kelompok tersebut, mereka termotivasi oleh prospek
yang cerah tentang usaha tanaman jernang dan oleh kelompok lain yang telah
memperoleh dana stimulan BUP dari pemerintah dan berhasil mengembangkan
usahanya. Pada akhirnya, keberhasilan mereka memobilisasi diri dalam kelompok
dan mengembangkan usaha melalui program BUP tersebut berpeluang memperkuat
hak properti mereka atas sumberdaya. Terbentuknya kelompok masyarakat
yang kuat berpotensi memperoleh pengakuan dari pemerintah (misalnya dalam
380 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

bentuk ijin dan sertifikat)


untuk mengelola sumberdaya
jernang di hutan sekitar desa
mereka.

Rehabilitasi Hutan
dan Lahan

© Heru Komarudin
Kegiatan ini merupakan
salah satu program prioritas
nasional, dilaksanakan dalam
Melalui aksi kolekif, kelompok masyarakat bentuk GERHAN (Gerakan
mengumpulkan bibit jernang dari hutan sekitar Nasional Rehabilitasi Hutan
Desa Sungai Telang.
dan Lahan) dan Reboisasi.
GERHAN merupakan
kegiatan nasional dengan dana dari Departemen Kehutanan; sedangkan
reboisasi merupakan kegiatan daerah dengan dana dari DAK-DR (Dana Alokasi
Khusus-Dana Reboisasi). Namun teknis kedua kegiatan itu di lapangan adalah
sama. Kegiatan ini dilakukan dengan menanam jenis-jenis tanaman kehutanan
dan pertanian di dalam dan luar kawasan hutan, dan dimaksudkan untuk
mengembalikan fungsi hutan yang telah mengalami degradasi. Pelaksanaannya
dilakukan bersama-sama antara petugas Dishutbun dengan masyarakat setempat.
Masyarakat dilibatkan dari mulai tahap penentuan komoditi tanaman sampai
pada penanaman serta pemeliharaan tanaman.

Program rehabilitasi lahan terdiri atas dua kegiatan, yaitu reboisasi dan penghijauan.
Reboisasi dilakukan di dalam kawasan hutan yang kritis, sedangkan penghijauan
dilakukan pada lahan milik masyarakat di luar kawasan.

Pada tahap persiapan, dilakukan orientasi lapangan dan sosialisasi kepada


masyarakat. Dalam orientasi dikumpulkan data monografi desa dan data lain
yang relevan. Calon areal penanaman diukur dan dituangkan dalam peta serta
dibangun pondok kerja. Kegiatan ini dilakukan oleh petugas Dishutbun bersama
masyarakat setempat. Pada tahap ini sudah terjadi penegasan batas kawasan hutan
dengan lahan milik masyarakat melalui proses musyawarah. Selanjutnya dalam
sosialisasi disepakati jenis tanaman yang akan ditanam, tenaga kerja penanaman,
upah penanaman, urutan pekerjaan dan teknis penanaman. Pelatihan tentang
teknis penanaman diberikan kepada kelompok masyarakat yang terlibat. Jadwal
waktu kegiatan penanaman disusun bersama masyarakat.
BAGIAN 4-5 • Mustafal Hadi, Heru Komarudin dan Monico Schagen 381

Tahap kegiatan program ini yang menarik adalah orientasi lokasi, yang terkait
erat dengan pengakuan hak properti masyarakat atas lahan milik pribadi maupun
ulayat, berupa penentuan batas kawasan. Selama ini batas-batas itu tidak jelas
karena masing-masing pihak tidak pernah bertemu langsung di lapangan. Kasus
menarik adalah yang terjadi di kawasan hutan produksi di Desa Tebing Tinggi,
Kecamatan Tanah Tumbuh yang telah diokupasi oleh masyarakat setempat.
Masyarakat yang terlanjur memperluas kebunnya beralasan bahwa mereka:
(i) tidak paham soal batas antara lahan mereka dengan kawasan;
(ii) kekurangan lahan pertanian untuk meningkatkan pendapatan keluarga;
(iii) terdorong oleh terbukanya akses jalan dan keinginan untuk memanfaatkan
lahan yang tidak terurus; dan
(iv) merasa sudah temurun tinggal di daerah tersebut.

Jalan keluar yang diambil Dishutbun adalah dengan membuka ruang negosiasi
melalui musyawarah.

Pendekatan dimulai dengan kepala desa, ninik mamak, cerdik pandai, alim ulama,
tuo tengganai dan tokoh-tokoh masyarakat serta masyarakat yang mengokupasi
lahan hutan. Pertemuan yang dilakukan berakhir dengan beberapa kesepakatan
berikut:
a. Masyarakat dilarang mengklaim lahan yang diokupasi sebagai hak milik,
memperjualbelikan atau menyewakannya kepada pihak lain. Komitmen ini
ditulis dalam surat pernyataan di atas meterai;
b. Masyarakat yang telah terlanjur mengokupasi lahan, diperbolehkan
meneruskan kegiatan bercocok tanamnya hingga habis masa produksi.13
Selama mereka melakukan kegiatan, mereka tidak boleh memperluas
lahannya. Setelah habis masa produksi, mereka harus meninggalkan lahan
tersebut;
c. Selama mengelola lahan tersebut, masyarakat berkewajiban memelihara dan
menanam tanaman hutan, minimal 10% dari luas lahan yang diolahnya;
dan
d. Selama mengelola lahan tersebut, masyarakat mendapatkan hak memperoleh
bantuan dari pemerintah sesuai dengan program pemerintah daerah.

Pelaksanaan GERHAN di dalam kawasan hutan melibatkan berbagai kelompok.


Kelompok diberi imbal-jasa sesuai dengan pagu anggaran. Imbalan tersebut
sebenarnya bukan upah, tetapi pengganti pendapatan jika mereka bekerja.
Sedangkan dalam pelaksanaan GERHAN di luar kawasan, dilibatkan kelompok-
13 Produksi tanaman karet adalah antara 25 sampai 30 tahun (1 kali masa produksi)
382 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

kelompok masyarakat beranggotakan masing-masing 25-30 orang untuk menggarap


100 ha. Pada waktu penanaman di lapangan, berbagai pihak lain selain masyarakat
seperti LSM dan jajaran KODIM setempat juga dilibatkan.

Pada tahap pelaksanaan, dilakukan pembersihan lahan sesuai kondisi lapangan.


Pembuatan lobang tanam dan penanaman dilakukan sesuai dengan ketentuan
teknis yang sudah dirancang pada tahap persiapan. Kegiatan tersebut dilakukan
oleh kelompok masyarakat. Penanaman GERHAN di suatu lokasi dilakukan
serentak oleh unsur pemerintah, LSM, Kodim dan masyarakat setempat;
sedangkan reboisasi (DAK-DR) pada hari penanaman tidak mengikutsertakan
LSM dan KODIM.

Kegiatan selanjutnya adalah pendampingan (pemberdayaan) kelompok


Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL). Setiap kelompok diberi pengetahuan
tentang pemeliharaan tanaman, monitoring dan evaluasi, serta pelaporan.
Kegiatan pemeliharaan, monitoring, evaluasi serta pelaporan perlu direncanakan
dengan baik. Kalau tidak, yang sudah ditanam tidak akan membuahkan hasil
yang memuaskan.

Jika dikaji dari sisi pelaksanaannya, program ini berperan dalam mendorong
masyarakat termobilisasi dalam kelompok dan berlatih berinteraksi dengan pihak
luar dalam bernegosiasi untuk menentukan hak properti mereka, misalnya dalam
bentuk akses mereka untuk terus mengolah kebun-kebun mereka yang ternyata
terletak dalam kawasan hutan. Idealnya, program tersebut tidak terhenti pada
tahap penanaman saja, tetapi berlanjut di tahap pemeliharaan tanaman dan tahap-
tahap selanjutnya. Dengan demikian, ada peluang bagi masyarakat memastikan
hak properti mereka (dalam kurun waktu yang lebih relatif lebih berjangka
panjang) dalam kaitannya dengan ruang dan tanaman hasil rehabilitasi, misalnya
dalam bentuk akses terhadap ruang diantara tanaman pokok kehutanan yang bisa
mereka tanami dengan tanaman pertanian, atau bagi hasil atas hasil hutan non
kayu di areal rehabilitasi.

PERHUTANAN SOSIAL SEBAGAI SALAH SATU


ALTERNATIF
Sebagai bagian dari proses revisi tata ruang, Pemerintahan Kabupaten Bungo telah
mengusulkan perubahan status sebagian kawasan hutan di wilayah ini menjadi
KBNK atau APL. Selain karena sebagian wilayah kawasan hutan sudah ditanami
BAGIAN 4-5 • Mustafal Hadi, Heru Komarudin dan Monico Schagen 383

masyarakat setempat, kebutuhan akan sumber dana pembangunan daerah


menjadi alasan perlunya mengubah status kawasan hutan. Dari sebuah lokakarya
di Jambi14, diketahui bahwa angka luasan yang diusulkan perubahan status
dan peruntukkannya oleh pemerintah Kabupaten Bungo adalah sekitar 22.500
ha. Banyak isu dan opini muncul dalam lokakarya tersebut, baik yang sifatnya
mendukung maupun menolak usulan tersebut. Salah satunya adalah perlunya
menerapkan strategi perhutanan sosial dalam bentuk pengelolaan hutan bersama
masyarakat sebagai alternatif solusi tumpang tindih kawasan hutan. Dengan
strategi tersebut, diharapkan ada peran dan manfaat lebih besar bagi pemerintah
daerah dan masyarakat setempat, tanpa harus mengubah status kawasan hutan.

Melalui serangkaian diskusi terfokus, para pihak di Kabupaten Bungo membahas


lebih lanjut peluang-peluang penerapan sistem perhutanan sosial yang sesuai
untuk kondisi hutan dan budaya masyarakat Bungo. Melalui serangkaian diskusi
itu pula, terjadi peningkatan pemahaman para pihak, khususnya pemerintah
daerah, terhadap alternatif solusi tumpang tindih kawasan. Selama ini, sebagian
besar unsur pemerintah daerah hanya melihat perubahan status kawasan hutan
sebagai satu-satunya solusi.

Selain UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, peraturan yang menjadi acuan


pelaksanaan perhutanan sosial adalah Peraturan Menteri Kehutanan No. P.01/
Menhut-II/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam dan atau
Sekitar Hutan dalam rangka social forestry. Beberapa kegiatan pengembangan
model perhutanan sosial antara lain penyusunan Rencana Teknis Social Forestry
atau RTSF, yang meliputi penyusunan rencana kelola, rencana usaha, kelembagaan
dan rencana monitoring dan evaluasi.

Berdasarkan hasil penelitian, diusulkan agar areal kawasan hutan seluas 10,000
ha yang terletak di Kecamatan Limbur Lubuk Mengkuang dijadikan sebagai
lokasi untuk RTSF. Lokasi ini dipilih karena secara geografis terletak di bagian
hulu sub-DAS Batang Tebo dan berdekatan lokasinya dengan kawasan TNKS.
Masih rendahnya tingkat ekonomi masyarakat di sekitar areal yang diusulkan juga
menjadi salah satu aspek yang dipertimbangkan.

Karena belum tertuang dengan jelas dalam peraturan perundangan, beberapa aspek
lain masih perlu dikaji khususnya menyangkut bentuk hak yang diberikan kepada
pengelola hutan, mekanisme pemberian hak, lama waktu berlakunya hak kelola,

14 Lokakarya dengan tema ”Menata Ruang Daerah dan Kawasan Hutan yang Mendorong Penguatan Hak-hak Properti Masyarakat” diselenggarakan
pada 27 April 2006 di Kota Jambi dan dihadiri berbagai unsur pemerintah, perguruan tinggi, LSM dan masyarakat dari tingkat Propinsi Jambi, dan
dua kabupaten tempat penelitian yaitu Tanjung Jabung Barat dan Bungo. Wakil dari Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan juga hadir
dalam lokakarya tersebut
384 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

hak dan kewajiban pemegang


hak, pembagian peran antara
masyarakat setempat, pemerintah
daerah kabupaten/propinsi dan
pihak lain dalam implementasi
hak, aturan dan sanksi.

© Dok. CAPRi
HIKMAH DAN
IMPLIKASINYA BAGI
Interaksi yang intensif antar pihak untuk berbagi KEBIJAKAN
pengalaman dan saling belajar mendorong
tumbuhnya pemahaman untuk melihat suatu
masalah secara lebih bijak dan komprehensif
Masih diperlukan waktu yang
cukup untuk bisa melihat
sejauh mana kebijakan daerah
dan sistem pengelolaan hutan bersama masyarakat dalam berbagai bentuknya
secara nyata mendorong efektivitas aksi kolektif dan memperkuat hak properti.
Misalnya, sejauhmana aksi kolektif, baik yang sukarela dari masyarakat sendiri
maupun melalui dana stimulan pemerintah, memberi dampak pada berkurangnya
ketergantungan dan tekanan masyarakat terhadap sumberdaya hutan, dan pada
peningkatan pendapatan masyarakat. Beberapa hikmah yang dapat dicatat
antara lain:
a) Sebelum menilai efektivitas sebuah kebijakan dalam mendorong aksi
kolektif di tingkat masyarakat, perlu disimak dulu sejauh mana instansi-
instansi pemerintah mampu beraksi kolektif untuk menyelaraskan program-
programnya. Dalam kasus BUP, misalnya, koordinasi antara Dishubun
dengan instansi lain sangat penting untuk mengefektifkan dampak dari dana
stimulan yang digulirkan kepada kelompok.
b) Keterlibatan para pihak itu sangat penting; dan proses negosiasi dan
musyawarah dalam menyelesaikan masalah klaim lahan dan hak properti perlu
diprioritaskan. Kebijakan rekonstruksi tatabatas, misalnya, mempertemukan
antara pemerintah dengan masyarakat untuk mempertegas batas suatu
kawasan. Penegasan tersebut tidak akan mencapai sasarannya bila kelompok
masyarakat di sekitar kawasan itu tidak diikutsertakan. Berbagai kesepakatan
dan kesadaran pada kepentingan bersama dihasilkan melalui interaksi
intensif dan musyawarah.
c) Rekonstruksi tatabatas merupakan langkah pertama, sebelum hak properti
dalam bentuk hak kelola, hak kepemilikan dan hak lainnya dapat ditegaskan.
BAGIAN 4-5 • Mustafal Hadi, Heru Komarudin dan Monico Schagen 385

Agar hasil yang diperoleh menguntungkan semua pihak, perlu dibuka ruang
untuk bernegosiasi antara masyarakat dengan pemerintah.
d) Perlunya disusun suatu peraturan daerah yang mengatur sumberdaya alam
(hutan) agar hak-hak masyarakat dapat diperkuat, sehingga keuntungan dari
sumberdaya hutan tidak hanya didominasi oleh pihak tertentu saja. Aturan
mengenai eligibilitas “perseorangan atau koperasi“ untuk memperoleh hak
seperti yang tertuang di banyak peraturan perundangan, misalnya, perlu
dipertegas pada pasal-pasal selanjutnya. Dengan demikian, ada jaminan
bahwa hak tersebut bisa benar-benar sampai pada lembaga, organisasi atau
kelompok masyarakat.
e) Kewenangan dan peran pemerintah daerah dalam mengelola sumberdaya
hutan perlu lebih diperjelas. Hal ini penting selain sejalan dengan upaya
penguatan kapasitas daerah dan masyarakat untuk mengelola sumberdaya
juga memperkuat hak properti bagi otoritas yang paling dekat dengan
sumberdaya hutan. Wewenang pemerintah daerah untuk membuat keputusan
dan mengatur siapa yang berhak dan siapa yang tidak atas sumberdaya hutan
perlu diperkuat.
f) Sejalan dengan program nasional Departemen Kehutanan tentang social
forestry, perlu dicari bentuk-bentuk pengelolaan berbasis masyarakat dengan
strategi perhutanan sosial. Untuk Kabupaten Bungo, bentuk yang paling
sesuai adalah wanatani (agroforestry) dalam bentuk tumpangsari yang
mengkombinasikan antara tanaman perkebunan dengan kehutanan. Bentuk
pengelolaan seperti ini juga sesuai untuk areal hutan yang sudah tidak
berhutan lagi dan yang sudah diokupasi oleh ladang masyarakat, tanpa harus
mengubah status kawasan hutan.
g) Program BUP secara langsung mendorong masyarakat untuk beraksi kolektif.
BUP lebih berperan sebagai dana stimulan dengan efek jangka pendek. Masih
perlu dipantau dan dievaluasi sejauh mana dampaknya terhadap masyarakat
untuk secara sukarela mau bekerjasama satu sama lain untuk mencapai tujuan
bersama. Perlu juga diciptakan suatu kondisi yang mendorong masyarakat
untuk tetap beraksi kolektif sekalipun bantuan pemerintah tidak ada lagi.
Bantuan dana juga seharusnya diberikan kepada kelompok-kelompok
masyarakat yang memang sudah ada, dan bukan pada kelompok yang dibuat
secara mendadak ketika akan ada bantuan. Aspek akuntabilitas juga perlu
mendapat perhatian.
386 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

UCAPAN TERIMA KASIH


Tulisan ini merupakan hasil penelitian “Collective Action to Secure Property Rights
for the Poor: Avoiding Elite Capture of Natural Resource Benefits and Governance
Systems” kerjasama antara CIFOR dan Pemerintah Daerah Kabupaten Bungo.
Penelitian didanai oleh BMZ, the Federal Ministry for Economic Cooperation and
Development, Germany, yang disalurkan melalui CGIAR System-wide Program on
Collective Action and Properti Rights (CAPRi). Penulis mengucapkan terima kasih
kepada pihak donor dan semua pihak yang telah memberikan kontribusinya pada
penelitian ini.

BAHAN BACAAN
Agrawal, A. dan Ostrom, E. 2001. Collective Action, Property Rights and
Decentralization in Resource Use in India and Nepal. Politics and Society
29(4). Sage Publications.
Dermawan, A. Komarudin, H dan McGrath, S. 2006. Decentralization in
Indonesia’s Forestry Sector-Is It Over? What Comes Next?. Makalah
disampaikan dalam the Eleventh Biennial Global Conference of the
International Association for the Study of Common Property (IASCP) yang
bertema ‘Survival of the Commons: Mounting Challenges and New Realities’,
Bali, 19–23 Juni, 2006.
Gulliet, D. 1998. “Rethingking Legal Pluralism?”: Local Law and State Law in the
Evolution of Water Property Rights in Northwestern Spain”, Comparative
Studies in Society and History.
Irawan, D., Hasan, U. dan Komarudin, H. 2008. Penataan Ruang untuk Memperkuat
Hak Properti Masyarakat. Dalam: Adnan, H. Tadjudin, Dj., Yuliani, E.L.,
Komarudin, H., Lopulalan, D., Siagian, Y.L., Munggoro, D.W. (ed.) Belajar
dari Bungo: Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi. CIFOR,
Bogor, Indonesia.
Kompas, 2004. Lebih dari Sejuta Hektar Hutan di Provinsi Jambi hilang. Edisi 8
Oktober.
Marshall, G. 1998. A Dictionary of Sociology. Oxford University Press, New York,
USA.
Meinzen-Dick, R., Pradhan, R. dan Di Gregorio, M. 2004a. Collective Action and
Property Rights for Sustainable Development: Understanding Property
Rights. Focus 11, Brief 3 of 16. CAPRi.
BAGIAN 4-5 • Mustafal Hadi, Heru Komarudin dan Monico Schagen 387

Meinzen-Dick, R., Di Gregorio, M. dan McCarthy, N. 2004b. Methods for Studying


Collective Action in Rural Development. Agricultural Systems 82:197–214.
Elsevier.
Taher, M. 2005. Potret Perubahan Kondisi Hutan Jambi 1990 – 2000: Dasawarsa
Hilangnya Sejuta Hektar Hutan. Warta Warsi Januari 2005, Jambi,
Indonesia.
Suherman, K . dan Taher, M. 2008. Potret Perubahan Tutupan Hutan di Kabupaten
Bungo tahun 1990–2002. Dalam: Adnan, H. Tadjudin, Dj., Yuliani, E.L.,
Komarudin, H., Lopulalan, D., Siagian, Y.L., Munggoro, D.W. (ed.) Belajar
dari Bungo: Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi. CIFOR,
Bogor, Indonesia.
KKI-WARSI, ACM-Jambi dan ICRAF. 2005. Usulan Untuk Revisi RTRW-K
Bungo: Penentuan WP I dan WP II Kabupaten Bungo berdasarkan
Gabungan Pendekatan DAS dan Growth Pole, diusulkan dalam
penyusunan RTRW-K Bungo. Muara Bungo, Indonesia.
Wiber, M.G. 1993. Levels of Property Rights and Level of Law: A Case Study from
the Northern Phillippines. Man, New Series 26(3):469-492.
BAGIAN 4-6
Penataan Ruang untuk Memperkuat
Hak Properti Masyarakat

Deddy Irawan, Umar Hasan dan Heru Komarudin


BAGIAN 4-6 • Deddy Irawan, Umar Hasan dan Heru Komarudin 389

© Dok. CAPRi
Kepastian status lahan dan kawasan hutan menjadi faktor penting dalam upaya melestarikan
hutan, membangun daerah dan mensejahterakan masyarakat. Keterpaduan ruang antar wilayah
dan kerberlanjutan fungsi ekosistem perlu menjadi pertimbangan utama

PENDAHULUAN
Banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan lain sebagainya yang kerapkali terjadi
dalam beberapa kurun waktu terakhir semakin menyadarkan kita bahwa
sumberdaya alam harus dikelola secara terencana, rasional, bertanggung jawab
dan sesuai dengan daya dukung lingkungan. Jika pembangunan berkelanjutan
dan kesejahteraan masyarakat menjadi sasaran yang ingin dicapai, maka dimensi
kelestarian dan keseimbangan lingkungan harus menjadi perhatian serius.
Sumberdaya alam juga harus dikelola agar memberikan manfaat untuk masa
sekarang serta menjamin kehidupan pada masa mendatang.

UU No. 24/19921 tentang Penataan Ruang mengamanatkan bahwa ruang suatu


daerah perlu dikembangkan dan dilestarikan pemanfaatannya secara optimal
demi mencapai kelangsungan hidup yang berkualitas. Sebagai suatu sistem,
ruang seharusnya dimanfaatkan secara terkoordinasi, terpadu dan efektif dengan
memperhatikan faktor-faktor lingkungan strategis dan daya dukung lingkungan.
Penataan ruang yang mantap sangat penting, terutama karena semakin dinamis dan

1 Saat tulisan ini disusun, UU No. 24/1992 direvisi dengan UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, yang diterbitkan tanggal 26 April 2007.
Ketentuan tentang sanksi pidana bagi pelanggar penataan ruang dan mekanisme insentif dan disinsentif dalam UU 26/2007 merupakan salah satu
bagian penting yang membedakannya dengan UU pendahulunya.
390 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

intensifnya kegiatan pembangunan dan pemanfaatan ruang oleh berbagai pihak,


yang satu sama lain seringkali tidak sejalan. Tidak harmonisnya pemanfaatan
ruang berpotensi menimbulkan konflik yang tidak mudah diatasi dan menjadi
penghambat laju pembangunan.

Salah satu tantangan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Bungo adalah


bagaimana memfungsikan rencana tata ruang sebagai acuan dan media untuk
mengakomodasikan berbagai kepentingan. Salah satu isu sumberdaya alam yang
dihadapi pemerintah daerah saat ini adalah terkait dengan keberadaan kawasan
hutan di wilayah Kabupaten Bungo. Kawasan tersebut menjadi aset nasional
yang harus dipertahankan karena peran pentingnya sebagai penjaga ekosistem.
Namun, terbatasnya lahan-lahan produktif tidak lagi memadai untuk menopang
kehidupan penduduk yang terus bertambah dan sangat menggantungkan mata
pencaharian di bidang pertanian. Hal ini terlihat dari sebagian kawasan hutan
yang sudah tidak tertutup hutan lagi dan sudah menjadi kebun masyarakat2.

Perkembangan daerah yang dinamis sebagai konsekuensi berlakunya otonomi


daerah juga tidak dapat dipungkiri telah mendorong pemerintah daerah untuk
memanfaatkan ruang di wilayahnya dengan tetap memperhatikan asas-asas
kelestarian. Dilemanya, berbagai soal alokasi lahan secara langsung menjadi
permasalahan yang harus ditangani oleh pemerintah daerah, namun kewenangan
atas kawasan hutan ada sepenuhnya pada Departemen Kehutanan.

Tulisan ini menggambarkan proses penyusunan tata ruang dan usul pemerintah
daerah mengenai perubahan status kawasan hutan, dan melihat peluangnya
memperkuat hak-hak properti untuk masyarakat, perusahaan dan pemerintah
daerah (pemerintah pusat). Tulisan ini didasarkan atas penelitian dengan
pendekatan penelitian aksi disertai metode wawancara, diskusi kelompok dan
lokakarya. Peneliti mendorong berlangsungnya proses interaksi antar pihak terkait
dalam proses penataan ruang dan mengikuti siklus refleksi atas proses yang telah
terjadi, menyusun rencana dan melakukan aksi.

BAGAIMANA PROSES TATA RUANG BUNGO


DILAKUKAN?
Kabupaten Bungo, termasuk dalam wilayah Propinsi Jambi, secara administratif
terdiri dari 13 kecamatan. Daerah ini sangat strategis karena merupakan jalur
lintas barat Sumatera yang menghubungkan Pulau Sumatera dengan Pulau Jawa.

2 Selengkapnya tentang perubahan tutupan hutan di Kabupaten Bungo dapat dilihat pada Hadi et al., (in prep) dalam buku ini
BAGIAN 4-6 • Deddy Irawan, Umar Hasan dan Heru Komarudin 391

Oleh karena itu perkembangan daerah ini sangat pesat, sehingga memerlukan
revisi tata ruang untuk mengakomodasikan kebutuhan pembangunan berbagai
sektor yang memerlukan ruang. Dalam kurun waktu 2000-2006, Pemerintah
Kabupaten Bungo sudah melakukan dua kali revisi Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW).

Revisi pertama dilakukan untuk menjawab pemekaran wilayah Kabupaten


Bungo Tebo menjadi Kabupaten Bungo dan Kabupaten Tebo. Revisi kedua
dilakukan untuk mengantisipasi dinamika pembangunan daerah, antara lain
untuk memberikan ruang bagi perkebunan dan pertambangan batubara. Hal ini
merupakan konsekuensi logis dari wilayah yang sedang berkembang.

Dulu, wilayah Kecamatan Bathin II hanya berfungsi sebagai hinterland (daerah


pendalaman) bagi Kota Muara Bungo, dan persinggahan antara Kota Muara Bungo
dengan Muara Tebo. Ibu Kota Kecamatan Bathin II (Babeko) sudah menjadi salah
satu pusat pertumbuhan baru. Daerah ini mendapat perhatian yang besar karena
berfungsi sebagai halaman depan bagi Kabupaten Bungo. Di kota kecamatan ini
sudah dibangun beberapa fasilitas perkantoran, pasar lelang karet dan pabrik
kelapa sawit, yang diharapkan dapat menjadi pusat pertumbuhan.

Khusus di wilayah Kecamatan Rantau Pandan, Rencana Umum Tata Ruang


(RUTR) juga telah disusun pada 2001. Kecamatan ini memiliki potensi sumberdaya
alam yang sangat kaya seperti mineral, hutan, lahan pertanian dan perkebunan.
Terdapat pula beberapa lokasi transmigrasi. Proses penyusunan rencana tata ruang
Kecamatan Rantau Pandan dilaksanakan bekerja sama dengan konsultan. Dalam
penyusunannya, data hasil survei dipadukan dengan data sekunder. Pemerintah
daerah membentuk sebuah tim teknis yang beranggotakan staf instansi terkait.
Pada setiap tahap laporan, selalu dilakukan diskusi antara tim penyusun dengan
tim teknis. Pada tahapan akhir, dilaksanakan seminar dengan mengundang para
pihak, termasuk masyarakat Kecamatan Rantau Pandan.

Salah satu permasalahan yang timbul adalah semakin banyak investor yang
membutuhkan lahan dalam skala luas untuk kegiatan usahanya, sementara
sebagian besar lahan yang dibutuhkan tersebut merupakan perkebunan masyarakat.
Sehubungan dengan itu, Pemerintah Kabupaten Bungo melakukan peninjauan
kembali terhadap RTRW Kabupaten Bungo sebagai bentuk intervensi terhadap
pemanfaatan ruang oleh berbagai sektor dan aktor pembangunan.
392 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

PROSES PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG


Penyusunan rencana tata ruang merupakan salah satu tugas Bappeda Kabupaten
Bungo, namun karena keterbatasan sumberdaya manusia yang memiliki keahlian
dan latar belakang pendidikan planologi, maka penyusunan RTRW tersebut
bekerjasama dengan pihak ketiga (konsultan). Meskipun demikian, proses
penyusunannya melibatkan parapihak seperti pemerintah desa, kecamatan, sektor
terkait, LSM, tokoh masyarakat dan anggota DPRD. Dalam hal ini pemerintah
daerah bertindak sebagai penentu kebijakan, sementara DPRD menjadi pihak
yang melegalisasi dalam bentuk Perda.

Sebagai kegiatan yang dibiayai APBD, proses penyusunan RTRW harus diselesaikan
dalam waktu satu tahun anggaran. Terbatasnya waktu tersebut menjadi kendala
dalam mengakomodasikan aspirasi dari para-pihak. Untuk mengatasinya, maka
dalam setiap tahapan selalu diadakan diskusi teknis, baik di tingkat kabupaten
maupun kecamatan yang bersangkutan. Diskusi dengan berbagai komponen
masyarakat lainnya seperti LSM juga dilakukan untuk melengkapi data dan mencari
masukan untuk revisi RTRW. Pada tahap akhir, dilaksanakan seminar dengan
mengundang berbagai pihak guna memberikan koreksi terakhir terhadap data
yang dimuat RTRW. Dinas Kehutanan, misalnya, memberikan koreksi terhadap
angka luasan kawasan hutan dan fungsinya. Dinas Pertanian menyampaikan data
tentang luas lahan sawah, palawija, tanaman hortikultura dan populasi ternak.

Dalam struktur pemerintahan daerah, tugas beberapa instansi berkaitan langsung


dengan tata ruang, seperti Bappeda, Bagian Pemerintahan, Dinas Perkotaan
dan Badan Pertanahan Nasional. Instansi-instansi tersebut tergabung dalam
sebuah tim, yakni Tim Koordinasi Pengendalian Pemanfaatan Ruang, yang saat
ini sedang diaktifkan lagi oleh pemerintah daerah setelah beberapa lama tidak
berjalan. Keberadaan tim ini sangat penting dalam memberikan pertimbangan
dan masukan terhadap pengendalian pemanfaatan ruang, misalnya dalam proses
pembahasan ijin lokasi.

Sebetulnya masing-masing desa (dusun) telah memiliki konsep penataan ruang


yang dijadikan pedoman oleh masyarakatnya. Desa (dusun) telah mengalokasikan
ruang wilayahnya untuk perumahan, lahan pertanian, perkebunan dan
kegiatan-kegiatan lainnya seperti lapangan dan lain-lain. Idealnya, konsep itu
diakomodasikan untuk penyempurnaan RTRW Kabupaten3.

3 Yang menarik dari hasil pengamatan adalah bahwa di salah satu desa di Kabupaten Bungo, yakni Desa Batu Kerbau, tata ruang berupa “hutan adat”
telah diakomodir dalam RTRW Kabupaten Bungo. Munculnya hutan adat dalam peta hasil revisi ini merupakan salah satu strategi pemerintah daerah
untuk menunjukkan kepeduliannya terhadap pelestarian lingkungan dan pengakuan terhadap masyarakat adat.
BAGIAN 4-6 • Deddy Irawan, Umar Hasan dan Heru Komarudin 393

HAK PROPERTI: MENGAPA PERLU DIPERKUAT?


Sebuah referensi yang agak tua memberikan pemahaman soal hak properti sebagai
sebuah kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan dalam situasi tertentu
(Commons, 1968). Meinzen-Dick et al., (2004) menyebut hak properti sebagai
kumpulan hak dan bukan terbatas secara sempit sebagai hak kepemilikan saja, tetapi
juga hak pemanfaatan, hak untuk mengendalikan dan mengambil keputusan terkait
dengan sumberdaya. Mengapa hak properti perlu diperkuat? Kepastian hak atas
tanah dan akses terhadap sumberdaya hutan merupakan insentif untuk mengelola
hutan secara lestari dan menjaga keseimbangan lingkungan (Meinzen-Dick et al.,
2001; Agrawal dan Ostrom, 2001). Dengan hak yang diakui, masyarakat setempat
(secara lebih luas juga berlaku untuk para pihak lain, seperti perusahaan) akan
memperoleh kepastian hukum dan insentif untuk melindungi hutan dan sekaligus
meningkatkan pendapatannya dari usaha perkebunan (kehutanan) dari lahan yang
mempunyai status hukum yang pasti. Sekalipun demikian, seperti ditunjukkan
sebuah penelitian di Lampung (Safitri, 2006), kepastian tenurial bukan satu-
satunya faktor yang menentukan keputusan masyarakat untuk melestarikan hutan.
Faktor politik, sosial, ekonomi, ekologi dan hukum turut memberi pengaruh.

Terlepas dari bentuknya, apakah hak milik, hak pemanfaatan dan hak lainnya,
hak properti atas sumberdaya alam tertentu dipandang kuat jika ada kejelasan
hubungan antara pemegang hak dengan pihak lain di sekitarnya serta dengan
institusi yang mempunyai kewenangan untuk memberikan hak tersebut. Kendali
atas sumberdaya alam tersebut harus diakui dan mendapat legitimasi dari
masyarakat secara luas dan dilindungi secara hukum. Hak properti juga dianggap
kuat jika ada aturan main yang ditaati bersama, yang disertai dengan mekanisme
sanksi atas pelanggaran yang terjadi.

MEMPERKUAT HAK PROPERTI MASYARAKAT


MELALUI PENATAAN RUANG
Penataan ruang adalah proses menata dan mengatur pemanfaatan ruang serta
mengendalikan kegiatan pemanfaatannya. Di dalamnya terkandung aspek
teknis dan politis. Aspek-aspek teknis berupa arahan umum yang disertai rincian
pemanfaatan ruang. Proses tata ruang juga melibatkan proses negosiasi antar
berbagai pihak dengan beragam kepentingan. Jika dilihat dari sifat makro dokumen
yang dihasilkan dan rendahnya tingkat keterlibatan para pihak, pertanyaan yang
timbul adalah sejauh mana proses penataan ruang dapat mendorong penguatan
hak-hak properti masyarakat?
394 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Pengakuan Hak Kelola Masyarakat dalam Dokumen Tata


Ruang Wilayah
Dalam proses revisi yang terakhir (2005), Pemerintah Daerah Bungo telah
memasukkan kawasan hutan adat, yakni hutan adat Desa Batu Kerbau dan Desa
Baru Pelepat, ke dalam dokumen revisi tata ruang. Hutan adat yang sebagian
terletak di dalam kawasan hutan dan sebagian lagi di luar kawasan hutan tersebut,
dikelola, dimanfaatkan dan dilestarikan oleh masyarakat. Dokumen tata ruang
akan menjadi acuan untuk pemanfaatan ruang di masa mendatang. Dengan
memasukkan zonasi tersebut ke dalam dokumen rencana dan pengakuan dari
berbagai pihak setidaknya akan memberi kepastian jangka panjang bahwa kawasan
tersebut akan terjaga keberadaannya.

Mengakomodasikan Tata Ruang Desa Partisipatif


Idealnya, sebuah ruang ditata dari tingkat mikro desa secara partisipatif. Namun,
tidak mudah untuk mengakomodasikan proses tata ruang partisipatif itu. Ada
alasan perlunya mempertahankan keterpaduan wilayah dan subsistem, kepraktisan,
kemampuan dan ketersediaan data dan peta. Selain itu, lingkup dan skala waktu
perencanaan yang sangat kaku juga menghambat proses dari bawah. Sebagai
ilustrasi, dengan wilayah desa yang berjumlah 125 desa, Pemerintah Kabupaten
Bungo akan perlu waktu yang sangat lama untuk menyusun tata ruang Kabupaten
Bungo. Dari sisi peraturan, ternyata UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang
juga tidak menyebut tata ruang desa sebagai bagian dari hierarki rencana tata
ruang.

UU tersebut hanya mengenal pedesaan sebagai kawasan dengan kegiatan utama


pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi
kawasan sebagai tempat pemukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan,
pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Bahkan di pasal 19 hanya membedakan
tiga rencana tata ruang, yakni nasional, propinsi dan kabupaten, sekalipun
isi dari kedua tata ruang terakhir menyangkut arahan pengelolaan kawasan
pedesaan. Padahal seperti ditunjukkan Kusumanto (2004) dan Limberg et
al. (2006), keberhasilan pembangunan kabupaten sangat ditentukan oleh
keberhasilan pembangunan desa-desanya. Masukan dari tata ruang desa sangat
berarti bagi terbentuknya tata ruang kabupaten. Informasi tentang pemanfaatan
lahan, potensi sumberdaya dan target pembangunan yang lebih rinci dan tepat
berasal dari skala ruang yang lebih kecil yaitu desa.
BAGIAN 4-6 • Deddy Irawan, Umar Hasan dan Heru Komarudin 395

Banyak tantangan yang dihadapi ketika tata ruang desa diharapkan bisa menjadi
masukan bagi tata ruang kabupaten. Berdasarkan pengalaman di Kabupaten
Malinau; kurangnya data, peta dan kemampuan pemerintah daerah serta sulitnya
mengaitkan skala tingkat desa ke tingkat kabupaten menjadi kendala penyusunan
tata ruang yang baik (Limberg et al., 2006). Tata ruang kabupaten merupakan arahan
yang bersifat makro, sementara tata ruang desa menyangkut hal-hal penggunaan
lahan yang sangat rinci dengan skala yang besar. Dalam sebuah lokakarya4 di Jambi,
terungkap argumen bahwa tata ruang desa tidak bisa dijadikan sebagai penopang
tata ruang di atasnya karena wilayah merupakan suatu ekosistem yang seharusnya
tidak dipecah-pecah dalam unit-unit yang lebih kecil. Pengaturan ruang terkait
dengan keutuhan sistem, dan pengelolaan satu subsistem akan berpengaruh pada
subsistem yang lainnya, yang pada akhirnya akan mempengaruhi sistem ruang
secara keseluruhan.

Terlepas dari alasan-alasan tersebut, ada peluang bahwa penataan ruang kabupaten
dan desa bisa diselaraskan. Tentu saja perlu waktu dan proses, dan seperti yang
ditunjukkan Kusumanto (2004), lemahnya kemampuan masyarakat desa dan
pemerintah daerah di dalam merancang dan menyusun rencana pemanfaatan
ruang dan pengendaliannya perlu mendapat perhatian.

Unsur-unsur tata ruang desa diharapkan dapat menjadi masukan berharga bagi
tata ruang kabupaten. Pola-pola penggunaan lahan masyarakat dalam tata ruang
desa dengan sendirinya akan menjadi kuat kedudukannya dan dapat terjamin
kepastian hukumnya dalam jangka panjang, jika masuk dalam dokumen rencana
tata ruang kabupaten.

Menjadikan Hutan sebagai Areal Penggunaan Lain (APL)


Bertambahnya jumlah penduduk yang diiringi dengan meningkatnya kebutuhan
lahan menjadi salah satu tantangan yang dihadapi pemerintah daerah dalam
membangun daerahnya. Lahan budidaya pertanian yang semakin tidak mencukupi
mendorong masyarakat untuk membuka kawasan hutan produksi. Sebuah survei
kawasan hutan yang dilakukan di Kecamatan Tanah Tumbuh pada 2004, misalnya,
menunjukkan bahwa 1.330 ha dari luasan 6.000 ha hutan sudah berupa ladang
dan kebun masyarakat termasuk kebun sawit.

Dilema kemudian muncul ketika masyarakat menuntut untuk memperoleh


kepastian hak atas kebun yang berada di kawasan hutan. Secara formal

4 Lokakarya tentang “Menata Ruang Daerah dan Kawasan Hutan yang Mendorong Penguatan Hak-hak Properti Masyarakat: Studi Kasus di Kabupaten
Tanjung Jabung Barat dan Bungo, Provinsi Jambi” 27 April 2006, diselenggarakan oleh CIFOR/CAPRI dan Bappeda Provinsi Jambi.
396 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

kewenangan pemanfaatan kawasan hutan berada di Departemen Kehutanan,


yang memiliki pemahaman bahwa kawasan hutan produksi perlu dipertahankan
fungsinya. Salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Bungo adalah
mengajukan perubahan status kawasan hutan yang dipandang cukup potensial
dijadikan kawasan budidaya kepada Menteri Kehutanan melalui Gubernur Jambi.
Usulan tersebut juga dimasukkan ke dalam RTRW Propinsi Jambi.

Pada Agustus 2004, Pemerintah Daerah Bungo awalnya mengajukan permohonan


perubahan status 6.000 ha kawasan hutan. Karena tidak ada tanggapan dari
Departemen Kehutanan terhadap permohonan pertama, pemerintah kabupaten
kemudian mengajukan kembali usulan rencana perubahan RTRW pada Februari
2005. Sesuai dengan perkembangan, luasan kawasan hutan yang diusulkan
perubahan statusnya menjadi bertambah. Tabel 32 menyajikan data mengenai
lokasi, luas dan kondisi lapangan kawasan yang diusulkan perubahan statusnya.
Pemerintah daerah memasukkan rincian dan angka luasan yang sama ke dalam
Rencana Tata Ruang Revisi 2005 yang diajukan kepada pemerintah propinsi.

Sebagai bagian dari siklus penelitian aksi partisipatif, isu tata ruang dibahas secara
berulang-ulang melalui rangkaian diskusi kelompok dan pertemuan informal
Bungo5. Salah satu hasil refleksinya adalah masih belum adanya pemahaman yang
utuh di kalangan pemerintah daerah soal mekanisme persetujuan perubahan
status dan fungsi kawasan hutan. Hal ini mengakibatkan munculnya sikap
yang mempertanyakan lambatnya Departemen Kehutanan dalam menanggapi
usulan perubahan tersebut. Hasil lainnya adalah adanya kesepakatan untuk
mempertemukan pihak pemerintah daerah, baik propinsi maupun kabupaten,
dengan pihak Departemen Kehutanan.

Sebagai bagian dari aksi penelitian, diselenggarakan sebuah lokakarya6 yang


mempertemukan para-pihak. Dari lokakarya tersebut terungkap alasan-alasan
pemerintah daerah mengusulkan perubahan status kawasan hutan. Antara
lain adalah tentang perlunya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan
memberikan hak tenurial kepemilikan kepada masyarakat, sehingga masyarakat
dapat mempunyai modal yang legal atas sumberdaya; kondisi kawasan hutan
yang tidak lagi berhutan berdasarkan kriteria penetapan suatu kawasan yang
sebenarnya berpotensi untuk dikembangkan secara lebih produktif dengan bentuk
penggunaan lain seperti kebun, dan perlunya lahan untuk pembangunan daerah.

5 Sebuah pertemuan multipihak yang secara rutin diselenggarakan di Kabupaten Bungo, dan difasilitasi secara bergantian oleh pemerintah daerah,
LSM dan lembaga penelitian di Kabupaten Bungo. Topik yang dibahas dalam setiap pertemuan berganti-ganti dan tidak terbatas pada isu tata ru-
ang.
6 Lihat catatan kaki No. 4.
BAGIAN 4-6 • Deddy Irawan, Umar Hasan dan Heru Komarudin 397

Tabel 32. Usulan perubahan status kawasan di Kabupaten Bungo dalam revisi tata ruang
tahun 2005

Lokasi Luas Status sekarang Usulan Kondisi


(ha) perubahan
Batang Uleh 1.330 Kawasan Hutan Kawasan Ladang, kebun karet
Produksi Budidaya masyarakat, kebun
Pertanian kelapa sawit
Batang Uleh 12.200 Kawasan Hutan Areal Kebun karet dan
Produksi Penggunaan ladang masyarakat
Lain (APL) yang berada di antara
perkebunan swasta

Batang Uleh 5.500 Kawasan Hutan Areal Kebun karet dan


(Desa Pauh Produksi Penggunaan ladang masyarakat
Agung dan Lain (APL) yang berada di antara
Tuo Lubuk perkebunan swasta
Mengkuang)
Batang Uleh 3.000 Kawasan Hutan Areal Kebun karet dan
(Desa Renah Produksi Penggunaan ladang masyarakat
Sungai Ipuh dan Lain (APL) yang berada di antara
Rantau Tipu) perkebunan swasta
Kemarau 1.850 Kawasan Hutan Areal Kebun karet dan
Produksi Penggunaan ladang masyarakat
Lain (APL) yang berada di antara
perkebunan swasta
Kecamatan 1.400 Areal Penggunaan Kawasan Hutan Kebun karet dan
Rantau Pandan Lain (APL) Produksi ladang masyarakat
yang berada di antara
perkebunan swasta
Merangin 10.000 Kawasan Hutan Hutan Lindung Kebun karet dan
Produksi ladang masyarakat
yang berada di antara
perkebunan swasta
Total 35.280

Di sisi lain, pihak Departemen Kehutanan menyatakan bahwa penyusunan review


tata ruang seharusnya mengakomodasikan aset-aset negara berupa kawasan
hutan yang telah ditunjuk, ditata-batas dan dinyatakan sebagai kawasan hutan7.
Kawasan yang ditata-ruang adalah kawasan yang secara sistem terkait satu sama

7 Dalam kaitan ini, Menteri Kehutanan menyampaikan surat kepada Gubernur, dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia Nomor 238/Menhut-VII/2003
tertanggal 21 April 2003
398 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

lain dan tercakup dalam suatu ekosistem. Dengan demikian, pemanfaatan ruang
dengan hanya memfokuskan pada suatu wilayah saja, misalnya, dapat mengancam
kelestarian ekosistem. UU No. 41/19998 menyebutkan dengan jelas tentang
perlunya hasil penelitian terpadu menjadi dasar penentuan perubahan peruntukan
dan fungsi kawasan hutan9.

Topik lain yang muncul adalah usulan perubahan status kawasan seharusnya
tidak hanya didasarkan pada pertimbangan sebuah kawasan sudah tidak berhutan
lagi atau sudah diokupasi oleh masyarakat. Desakan kebutuhan akan lahan yang
menjadi alasan pengusulan juga terkait dengan pola pemanfaatan lahan. Ada
kekhawatiran bahwa sumberdaya hutan akan habis karena pola penggunaan
lahan cenderung bersifat ekstensif, yakni masyarakat membuka lahan baru ketika
lahan yang tersedia sudah tidak lagi memadai. Sementara, masih banyak lahan
tidur yang belum dimanfaatkan.

Keinginan pemerintah daerah untuk mendapatkan persetujuan perubahan status


kawasan hutan tampaknya memang tidak mudah terkabul dan membutuhkan
waktu yang cukup lama. Jika dilihat dari mekanismenya, terdapat berbagai
persyaratan agar sebuah kawasan hutan produksi bisa diubah statusnya menjadi
bukan kawasan hutan. SK Menteri No. 70/200110 antara lain menyebutkan
syarat yang harus dipenuhi, yakni adanya kepentingan strategis, dampak negatif
lingkungan dan keutuhan kawasan sebagai satu unit pengelolaan. Persetujuan
dari DPR diperlukan jika perubahan kawasan mempunyai dampak penting,
mempunyai cakupan yang luas dan bernilai strategis. Sebuah penelitian terpadu
diperlukan untuk menunjukkan bahwa perubahan tersebut tidak menimbulkan
dampak negatif.

Perubahan status kawasan hutan dilakukan dengan cara pelepasan kawasan Hutan
Produksi yang dapat dikonversi (HPK) atau Kawasan Budidaya Non-Kehutanan
(KBNK) untuk daerah-daerah yang memang mempunyai areal HPK, dan dengan
cara tukar menukar kawasan hutan. Sebuah tanah pengganti dengan luasan yang
sama (rasio 1:1) harus disediakan jika kawasan hutan yang diubah statusnya akan
digunakan untuk kepentingan umum terbatas. Luasan yang lebih besar perlu
disediakan jika kawasan hutan diperuntukkan pembangunan proyek strategis
yang diprioritaskan pemerintah (1:2) dan untuk kepentingan komersial (1:3).

8 Pasal 19 Ayat 1
9 Sesuai ketentuan, Menteri Kehutanan akan mengambil keputusan dilepas atau tidaknya status kawasan hutan setelah menerima rekomendasi dari
tim terpadu yang terdiri dari unsur pemerintah, perguruan tinggi dan pihak lainnya. Sekalipun pengajuan usulan perubahan sudah melibatkan berba-
gai pihak, yang hasilnya seharusnya sudah bisa menjadi landasan pengambilan keputusan oleh Menteri Kehutanan, tetapi tampaknya kajian dari tim
terpadu tetap harus dilakukan untuk melihat dampak ekonomi, ekologi dan sosial secara lebih komprehensif.
10 SK Menteri Kehutanan No. 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan (ditetapkan tanggal
15 Maret 2001). Khususnya untuk Pasal 8, 12, 13, 16 dan 18 dari SK sudah mengalami penyempurnaan melalui SK Menteri Kehutanan No. 48/
Menhut-II/2004 yang ditetapkan tanggal 23 Januari 2004
BAGIAN 4-6 • Deddy Irawan, Umar Hasan dan Heru Komarudin 399

Pertanyaannya adalah diperuntukkan untuk apakah kawasan hutan di Kabupaten


Bungo yang diusulkan perubahan statusnya, dan bagaimana perubahan luasan
kawasan hutan yang tertuang dalam Tabel 32 di atas dapat menjawab soal rasio?
Adakah areal pengganti di tempat lain?

Dari sisi peruntukan, cukup menarik untuk melihat lebih jauh ke arah mana
kawasan hutan yang diusulkan akan dimanfaatkan. Dari dokumen revisi rencana
tata ruang terakhir, belum tampak jelas arahan pemanfaatannya. Dari dua surat
usulan perubahan yang disampaikan kepada Gubernur untuk diteruskan kepada
Menteri Kehutanan juga kurang terlihat arah pemanfaatannya kelak, apakah
untuk kepentingan pembangunan yang strategis, kepentingan komersial atau
untuk memperkuat hak-hak properti masyarakat. Jika kondisinya saat ini berupa
ladang atau kebun masyarakat, maka kemungkinan besar kawasan hutan tersebut
-jika permohonan disetujui- tersebut akan lebih layak untuk memperkuat hak-
hak properti masyarakat.

Kecenderungan pemanfaatan kawasan akan berbeda untuk kondisi yang lain,


misalnya untuk areal seluas 12.200 ha di Batang Uleh (lihat Tabel 32) dengan
kondisi lapangan berupa kebun karet dan ladang masyarakat yang terletak
di antara perkebunan swasta. Kebijakan dari pemerintah daerah di dalam
menentukan prioritas pembangunan daerah akan sangat menentukan apakah
proses yang dilalui melalui revisi tata ruang tersebut mendorong penguatan hak
properti atau tidak. Hal yang menarik untuk dianalisis lebih lanjut adalah sejauh
mana peraturan perundangan yang berlaku mendukung upaya memperkuat hak-
hak properti atas lahan bagi masyarakat. Dari beberapa SK Menteri terkait soal
pelepasan kawasan hutan, tidak dikenal istilah hak properti atau pemantapan atas
hak tenurial atau kelola masyarakat. Dalam SK Menteri tersebut hanya disebutkan
bawah kawasan hutan dapat diubah statusnya untuk “pembangunan kepentingan
umum terbatas oleh pemerintah” yang pengertiannya adalah untuk kepentingan
dan kebutuhan masyarakat atas jalan umum, saluran air, waduk, bendungan dan
bangunan pengairan lainnya, fasilitas pemakaman umum, fasilitas keselamatan
umum, yang tujuan penggunaannya tidak untuk mencari keuntungan. Tidak ada
penjelasan rinci, apakah ladang dan kebun yang justru lebih banyak menempati
kawasan hutan dapat masuk ke dalam kategori ini.

Pertanyaan yang mungkin perlu diajukan adalah apakah sebenarnya yang


dibutuhkan masyarakat atas lahan? Apakah yang dituntut masyarakat atas
kawasan hutan tersebut adalah hak kepemilikan atau hak kelola? Berdasarkan
hasil penelitian di Desa Sungai Telang, Kecamatan Rantau Pandan, jawaban
terhadap pertanyaan tersebut cukup beragam, tergantung pada status lahan
400 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

mereka. Sebagian dari masyarakat yang memiliki lahan di luar kawasan hutan
cenderung memilih hak kepemilikan atas lahan, dan saat ini mereka dalam proses
fasilitasi dan sedang berupaya memperoleh sertifikasi atas lahan mereka (melalui
PRONA). Sebagian masyarakat lain yang tidak mempunyai lahan dengan status
yang pasti, seperti lahan di atas kawasan hutan atau di lahan desa yang bukan
miliknya, maka seringkali tertangkap ungkapan masyarakat seperti ”...kami perlu
kepastian atas akses kami untuk mengambil hasil alam dan untuk mengelola lahan untuk
kehidupan kami saat ini dan masa mendatang”. Hak kepemilikan atas lahan tentu saja
mereka dambakan, mengingat mereka butuh modal yang pasti bagi penghidupan
mereka dan sekali-kali untuk menjaminkan sertifikat lahannya ketika mereka
meminjam uang ke bank. Namun, tampaknya secara rasional masyarakat lebih
perlu hak kelola dan pemanfaatan atas lahan di kawasan hutan. Berbeda dengan
masyarakat asli, masyarakat pendatang di sebagian wilayah Desa Lubuk Kambing
di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, contohnya, yang berladang di atas kawasan
hutan juga cenderung pasrah untuk memilih hak kelola. Keterkaitan yang tidak
terlalu kuat antara mereka dengan lahan yang saat ini menjadi areal kerja sebuah
perusahaan kehutanan skala besar menjadi salah satu alasannya.

Satu kasus yang terjadi di Lampung, dimana masyarakat justru memperjualbelikan


lahan yang dimilikinya, seringkali dijadikan contoh oleh sebagian pihak yang
kurang setuju dengan pemberian hak kepemilikan lahan. Usulan perubahan status
kawasan hutan yang disertai pemberian hak kepemilikan kepada masyarakat
dengan maksud mensejahterakan kehidupan mereka menjadi alasan yang kurang
berdasar.

PENYELESAIAN KASUS PER KASUS DAN SOLUSI


ALTERNATIF
Pada era otonomi daerah ini, pemerintah daerah dituntut untuk lebih mandiri
dan kreatif di dalam menyusun sebuah kebijakan tentang ruang, dengan tetap
memperhatikan keseimbangan lingkungan. Menyusun tata ruang ideal yang dapat
mengakomodasikan berbagai kepentingan menghadapi tantangan yang tidak
mudah. Proses usulan perubahan status kawasan hutan tampaknya perlu terus
didorong. Para pihak seperti pemerintah daerah, DPRD, pemerintah propinsi
dan Departemen Kehutanan perlu terus membangun pemahaman bersama soal
pentingnya memanfaatkan secara optimal lahan bagi pembangunan daerah di era
otonomi dan mengambil aksi nyata di lapangan.
BAGIAN 4-6 • Deddy Irawan, Umar Hasan dan Heru Komarudin 401

Melihat keberagaman kepentingan berbagai pihak, tampaknya kita perlu segera


mengubah pendekatan yang selama ini dianut. Selama ini, interaksi antar pihak
yang cukup intensif telah melahirkan banyak pembelajaran yang bisa mendorong
percepatan penyelesaian kasus-kasus tumpang tindih lahan di kawasan hutan.
Mekanisme pengeluaran ijin perubahan kawasan yang awalnya dipahami sangat
rumit dan tertutup oleh pihak pemerintah daerah, misalnya, sekarang sudah
dipahami secara lebih baik.

Tampaknya setiap usulan perubahan status kawasan hutan perlu dikaji secara
kasus per kasus. Pandangan yang selalu menolak perubahan status kawasan hutan
tanpa melihat secara obyektif kondisi lapangan perlu dihindarkan. Hal yang sama
juga berlaku bagi pandangan yang cenderung melihat keberadaan kawasan hutan
sebagai cermin dominasi kekuasaan pemerintah pusat.

Proses dialog untuk menentukan suatu areal dapat dikeluarkan dari kawasan hutan
atau tidak, ternyata memang perlu waktu dan biaya yang tidak sedikit. Keharusan
untuk mengkaji kasus melalui penelitian terpadu, seperti yang disyaratkan dalam
aturan, menjadikan kasus tidak cukup diselesaikan di atas meja. Para pihak
perlu melihat secara langsung di lapangan. Jika memang semua pihak sudah
berkomitmen, maka permasalahan teknis dan dana menjadi sesuatu yang harus
diselesaikan bersama-sama.

Mengingat banyaknya areal kawasan hutan yang diusulkan diubah statusnya,


ada baiknya tawaran solusi alternatif melalui penerapan sistem perhutanan sosial
dalam bentuk Hutan Kemasyarakatan (HKm) menjadi bagian dari proses dialog.
Dengan kejelasan hak-hak properti dan peran bagi semua pihak (pemerintah
pusat, pemerintah daerah dan masyarakat setempat), HKm menjadi solusi
alternatif yang menguntungkan semua pihak, tanpa harus mengubah status.
Sikap pemerintah daerah untuk menerima kehadiran HKm di wilayahnya dapat
menjadi bahan pertimbangan diterimanya sebagian usulan perubahan kawasan
hutan, sekalipun tetap hasil dari penelitian terpadu yang mempertimbangkan
aspek ekologi, ekonomi dan sosial.

PEMBELAJARAN: SUDAH MULAI SATU LANGKAH


BERSAMA
Salah satu hikmah yang dapat diambil dari proses penataan ruang di Kabupaten
Bungo adalah adanya peluang untuk mendorong penguatan hak-hak properti atas
sumberdaya alam dan lahan bagi masyarakat. Peluang tersebut semakin terbuka
402 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

dan berpotensi membuahkan hasil yang lebih besar jika publik dilibatkan dalam
prosesnya. Melalui rangkaian diskusi yang difasilitasi baik oleh pemerintah daerah
sendiri maupun pihak lain (LSM, lembaga penelitian), setidaknya ada pemahaman
yang meningkat soal opsi-opsi alternatif pemecahan masalah pemanfaatan lahan
yang tidak sesuai dengan peruntukan lahan dalam RTRW. Satu langkah bersama
sudah diambil dan pemahaman yang semakin baik sudah muncul di antara para
pihak tentang pentingnya sebuah isu dihadapi secara bersama dan pentingnya
mengedepankan sebuah proses dari pada output.

Sebagai mekanisme yang baku, konsultan sebagai tenaga ahli teknis masih
cukup memegang peranan penting dalam proses penentuan arah pemanfaatan
ruang di Kabupaten Bungo. Meskipun demikian, sebuah dokumen rencana
yang akan dijadikan acuan tidaklah cukup dengan muatan teknis saja. Sebuah
proses negosiasi, kesepahaman dan kesepakatan antar pihak juga harus dibangun.
Dengan melalui pelibatan masyarakat secara lebih luas dan intensif diharapkan
dapat memberikan warna yang berbeda terhadap penataan ruang Bungo di masa
mendatang.

UCAPAN TERIMA KASIH


Tulisan ini merupakan hasil dari penelitian “Collective Action to Secure Property
Rights for the Poor: Avoiding Elite Capture of Natural Resource Benefits and Governance
Systems” kerjasama antara CIFOR dan Pemerintah Daerah Kabupaten Bungo.
Penelitian didanai oleh BMZ, the Federal Ministry for Economic Cooperation and
Development, Germany, yang disalurkan melalui CGIAR System-wide Program on
Collective Action and Properti Rights (CAPRi). Penulis mengucapkan terima kasih
kepada pihak donor dan semua pihak yang telah memberikan kontribusinya pada
penelitian ini. Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Hendra Gunawan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen
Kehutanan yang telah membantu mereview tulisan ini.

BAHAN BACAAN
Agrawal, A. dan Ostrom, E., 2001. Collective Action, Property Rights, and
Decentralization in Resource Use in India and Nepal. Politics & Society
29(4):485-514. Sage Publications
BAGIAN 4-6 • Deddy Irawan, Umar Hasan dan Heru Komarudin 403

Commons, J. R. 1968. Legal Foundations of Capitalism, Madison, University of


Wisconsin Press.
Kusumanto, T. 2004. Apabila Penataan Ruang Dijadikan Cara untuk Meningkatkan
Kesejahteraan Masyarakat dan Kelestarian Lingkungan dalam Rangka
Otonomi Desa. Makalah disampaikan dalam Lokakarya Peluang Tata
Ruang Desa dalam Menunjang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Otonomi Desa, Kecamatan Pelepat, 22 April 2004. ACM-Jambi, Muara
Bungo, Indonesia.
Limberg, G. Iwan, R., Wollenberg, E. dan Moeliono, M. 2006. Bagaimana
Masyarakat Dapat Dilibatkan dalam Perencanaan Tata Ruang
Kabupaten? Governance Brief No. 16b. CIFOR.
Meinzen-Dick, R., Knox, A. dan Di Gregorio, M. (ed). 2001. Collective Action,
Property Rights and Devolution of Natural Resource Management:
Exchange of Knowledge and Implications for Policy. Deutsche Stiftung
fur internationale Entwicklung (DSE), Feldafing, Jerman.
Meinzen-Dick, R. Pradhan, R. dan Di Gregorio, M. 2004. Collective Action and
Property Rights for Sustainable Development: Understanding Property
Rights. Focus 11, Brief 3 of 16. CAPRi.
Safitri, M.A. 2006. Mampukah Kepastian Tenurial Mendorong Pelestarian
Hutan? Hutan Kemasyarakatan di Lampung dalam Perspektif Sosio-
Legal. Makalah disampaikan pada seminar internal di CIFOR, Bogor,
3 February.
BAGIAN 4-7
Jalan Menikung:
Proses Multipihak dalam Pengakuan Hutan Adat

Pariyanto
BAGIAN 4-7 • Pariyanto 405

PENDAHULUAN
Gerakan reformasi memberikan dampak lain bagi masyarakat di sekitar hutan.
Seperti banyak tempat di Indonesia, pada saat itu banyak masyarakat yang
pekerjaannya beralih dari bertani atau berkebun, ke usaha pembalakan kayu.
Begitu pula dengan masyarakat Desa Baru Pelepat yang berada di daerah
penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat. Desa seluas 7.265 ha, sekitar 5.970
ha masih berupa hutan1. Pada masa itu, bisa dikatakan sebagian besar kaum lelaki
beralih profesi menjadi pembalak.

Ada banyak sebab peralihan ini. Pembukaan lahan transmigrasi di kebun karet
tua pada 1997 memicu hilangnya mata pencaharian penduduk yang sebelumnya
dikenal sebagai petani karet. Selain itu, kondisi ini juga dipicu oleh keuntungan
menjual kayu yang cukup menjanjikan2. Hal lainnya adalah karena masyarakat
merasa bahwa selama ini mereka tidak bisa menikmati hasil dari hutan. Pak
Abdurrahman (mantan kades) bahkan menyebutkan pada masa akhir 1980-an,
masyarakat takut ke hutan, karena hutan ada penjaganya yang bersenjata.

Di Desa Baru Pelepat, sedikitnya ada empat perusahaan yang pernah beroperasi di
wilayah ini. Tahun 1975 PT. Mugitriman mulai beroperasi, kemudian PT. Rimba
Karya Indah dan PT. Gajah Mada tahun 1980, menyusul kemudian tahun 1999
PT. Lamusa sebagai kontraktor Inhutani V. Kegiatan penebangan kayu besar-
besaran oleh perusahaan-perusahaan HPH ini telah mengubah hutan-hutan
perawan menjadi hutan sekunder atau bekas tebangan HPH. Hutan perawan
kini tinggal berada di daerah-daerah yang sulit dijangkau karena kemiringan
tanahnya, daerah-daerah perbukitan. Dampak negatif terbesar adalah bagi
kehidupan kelompok-kelompok Orang Rimba yang mempunyai ketergantungan
tinggi terhadap sumberdaya hutan (sumberdaya hutan non-kayu).

Sumberdaya hutan di lokasi ini tak ubahnya bersifat open access, meski berdasarkan
adat setempat sumberdaya alam wilayah ini adalah milik adat (salah satu bentuk
common property) masyarakat setempat.

Seiring dengan maraknya perusahaan HPH yang masuk, merebak pula pembalakan
liar yang dilakukan oleh masyarakat baik dari dalam maupun dari luar desa. Tak
mengherankan jika di sekitar wilayah ini mulai bermunculan pos-pos penggergajian
kayu atau sawmill, karena dekat dengan lokasi bahan baku.

1 Data sekunder dan hasil survei lapangan (Tim ICDP-TNKS, 2000), dan ditambah hutan adat.
2 Wawancara dengan Malek, seorang masyarakat desa yang dahulu pernah melakukan pengambilan kayu, menyebutkan bahwa satu truk kayu bisa
menghasilkan satu juta rupiah. Jumlah ini jauh bila dibanding berkebun yang cuma menghasilkan 80 ribu rupiah/ha.
406 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Emas hijau itu tak lama dirasakan, seiring mulai habisnya kayu di sekitar desa juga
dengan dikeluarkannya Inpres No.4/2005 tentang percepatan Pemberantasan
Kayu Secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah
Indonesia. Beberapa sawmill di sekitar desa tutup.

Bukan hanya secara ekonomi dampak buruk yang dirasakan oleh masyarakat. Di
musim hujan, bahaya banjir mengancam. Seperti yang dialami pertengahan awal
2006 lalu, dimana banjir bandang menerjang desa. Dusun-dusun yang berada
di pinggir sungai nyaris terendam semua. Belasan hektar lahan pertanian pun
bernasib serupa. Air tergenang dimana-mana, di mesjid, rumah, sekolah, bahkan
jalan ke desa pun tak dapat dilalui. Pun jembatan gantung yang menghubungkan
Dusun Baru Tuo dengan bekas Dusun Suka Menanti tampak retak dan salah
satu tiangnya miring akibat derasnya terjangan arus sungai yang meluap. Kendati
tak ada korban jiwa, namun kerugian ada di depan mata: gagal panen dan itu
artinya padi untuk satu tahun ke depan tidak akan tersedia. Kondisi sebaliknya
justru terjadi saat di musim kemarau, beberapa anak sungai tampak surut airnya,
bahkan ada yang kering, sumur-sumur di desa kering dan mata airpun sulit untuk
di dapatkan.

Keadaan ini menimbulkan kesadaran baru di masyarakat untuk mengelola


lingkungan hidup mereka secara bijaksana. Pada 2001, bersama-sama proyek
ICDP-TNKS, masyarakat berinisiatif membangkitkan kembali aturan adat dalam
pengelolaan sumberdaya alam, melalui rimbo adat dan lubuk larang. Inisiasi
ini dianggap penting sebagai upaya untuk menyediakan lahan bagi anak cucu.
Pada saat itu pula berhasil diidentifikasi kawasan seluas 820 ha di Bukit Siketan3
sebagai rimbo adat dan lima lubuk larangan yang tersebar di Dusun Baru Tuo,
Lubuk Pakan, Lubuk Beringin dan Pedukuh.

Pada 2002, proyek ICDP-TNKS berhenti, beberapa inisiasi yang sudah dimulai
menjadi terbengkalai. Pada saat yang bersamaan di Desa Baru Pelepat juga
sedang berjalan proyek ACM yang diselenggarakan oleh Yayasan Gita Buana
(YGB), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Otonomi Daerah (PSHK-ODA),
dan Center for International Forestry Research (CIFOR). Proyek ini berupaya
mengembangkan pilihan-pilihan yang positif untuk pengelolaan hutan di
Indonesia. Proyek difokuskan pada membangun peran potensial dan makna
kolaborasi serta pembelajaran bersama di antara pihak kepentingan sebagai cara
untuk meningkatkan kesetaraan, meningkatkan sumber penghidupan rumah
tangga dan pengelolaan hutan secara lestari.

3 Secara geografis hutan ini terletak di antara 01° 49’ 01,6’’ - 01°51’ 10,04’’ LS dan 102° 03’ 55,1’’ BT dengan ketinggian 130 meter – 635 meter dpl.
BAGIAN 4-7 • Pariyanto 407

Kotak 1. Berawal dari musyawarah desa

Musyawarah desa 19 juni 2004 merupakan rencana tindak lanjut dari hasil lokakarya
Desa Baru Pelepat yang dilakukan pada 23 Agustus 2003. Lokakarya ini merefleksi
kegiatan yang dilakukan desa bersama ACM dan penyusunan rencana ke depan.

Beberapa rencana yang berkaitan dengan pengelolaan hutan tersebut adalah:


1. Pengelolaan hutan bersama untuk pendapatan desa:
a. Batas hutan adat
b. Batas hutan lindung
c. Pengakuan hutan adat dan lindung
2. Melestarikan sumberdaya alam secara mandiri
3. Mengantisipasi “serangan dari luar” terhadap hutan adat

Kesepakatan yang dihasilkan dalam lokakarya inilah yang diterapkan dalam bentuk
penyusunan aturan pengelolaan Hutan Adat Desa Baru Pelepat dan mengajukan
kebijakan pengelolaan hutan ini ke kabupaten.

Proyek ini bertajuk Membangun Kolaborasi dan Belajar Bersama untuk Pengelolaan
Hutan yang Adil dan Lestari dengan menggunakan pendekatan Adaptive
Collaborative Management (ACM) atau Pengelolaan Hutan secara Bersama
dan Adaptif (PHBA). Pendekatan ini menyadari perlunya kolaborasi antara
multi-pihak dan secara terus menerus menyesuaikan atau mengadaptasi sistem
pengelolaannya sesuai perubahan yang terjadi. Dalam pelaksanaannya, kegiatan
ini menggunakan metodologi penelitian Participatory Action Research (PAR), yaitu
penelitian melalui aksi, dimana kelompok kepentingan yang terlibat dalam aksi
turut melakukan penelitian. PAR menawarkan pendekatan penelitian dan aksi
yang terstruktur yang dapat mendorong para pihak mengambil pelajaran dan
pengalaman melalui siklus observasi-perencanaan-aksi-refleksi.

Keinginan masyarakat adat Desa Baru Pelepat untuk mengukuhkan rimbo adat
Datuk Rangkayo Mulio menjadi titik tolak bagi tim ACM-Jambi dan Dishutbun
Kabupaten Bungo untuk melakukan aksi secara bersama mewujudkan keinginan
masyarakat Baru Pelepat untuk mengelola hutan, dampingan ini ditunjukkan
dengan proses aksi atau kegiatan bersama4.

4 Dukungan pemerintah kabupaten terhadap hal di atas merupakan satu bentuk implementasi dari Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, dimana disebutkan
bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang dan juga isi pasal 5
ayat (3) dan Pasal 67 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang no. 41/1999 tentang Kehutanan.
408 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Melalui metode PAR5, kolaborasi multipihak ini menyusun perencanaan aksi


bersama antara masyarakat desa dengan Pemerintah Kabupaten Bungo dalam
mengukuhkan keberadaan rimbo adat. Kolaborasi ini juga menggambarkan suatu
proses penyusunan kebijakan tentang pengelolaan dan pemanfaatan hutan secara
bottom up, dari masyarakat desa hingga ke kabupaten.

Tulisan ini akan menitikberatkan pada dinamika kolaborasi di tingkat kabupaten


yang juga berjalan paralel dengan proses di tingkat desa (lihat Dobesto, 2008).

BELAJAR DARI KEBERHASILAN DESA LAIN


Dalam penyusunan peraturan desa tentang pengelolaan dan pemanfaatan hutan
adat, berbagai pihak di desa merasakan ada satu kebutuhan untuk memperoleh
pengetahuan secara langsung dari desa ataupun masyarakat yang secara nyata
telah berhasil dalam mengelola hutan adatnya. Hal ini penting karena masyarakat
menginginkan pengelolaan hutan adat nantinya memang untuk kesejahteraan
masyarakat. Selain itu, selama ini pengaturan hutan adat hanya berupa fungsi
pengawasan yang dilaksanakan oleh BPD.

Untuk memenuhi kebutuhan ini, pada September 2004 dilaksanakan kunjungan


banding ke Desa Guguk di Kabupaten Merangin. Desa ini, selain telah mendapatkan
penghargaan Kalpataru tingkat Propinsi Jambi, juga telah dikukuhkan keberadaan
hutan adatnya melalui Surat Keputusan Bupati Merangin.

Kunjungan belajar ini diikuti oleh multipihak desa yang terdiri dari Pemdes, BPD,
tokoh adat, tokoh perempuan, dan tokoh masyarakat. Mereka disambut oleh
segenap warga Desa Guguk, kelompok pengelola hutan adat, pemerintahan desa
dan Datuk Bakar, tokoh adat yang mempelopori pengelolaan hutan adat di desa itu.
Selain berdialog, kunjungan juga melakukan perjalanan ke Bukit Tapanggang.

Dalam kunjungan itu, kedua masyarakat desa saling berbagi pengalaman tentang
bentuk pengelolaan hutan adat di daerah masing-masing dan melakukan
kunjungan ke Bukit Tapanggang yang menjadi kawasan hutan adat Desa Guguk.
Lokasi tersebut dahulu sempat menjadi daerah operasi HPH PT. Injapsim dan
sempat mengalami gundul karena musim kemarau yang panjang.

5 Dalam mendorong pendekatan ACM, digunakan metodologi penelitian Participatory Action Research (PAR), yaitu penelitian melalui aksi, dimana
kelompok kepentingan yang terlibat dalam aksi turut melakukan penelitian. PAR menawarkan pendekatan penelitian dan aksi yang terstruktur yang
dapat mendorong para pihak mengambil pelajaran dan pengalaman melalui siklus observasi-perencanaan-aksi-refleksi.
BAGIAN 4-7 • Pariyanto 409

Kotak 2. Menyusun peraturan desa secara partisipatif

Pengelolaan dan pemanfaatan hutan adat di Baru Pelepat dilakukan seirama antara
adat dan pemerintahan desa. Hal ini ditunjukkan terhadap penyusunan peraturan
desa (Perdes) tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Adat, Perdes tersebut
sebenarnya berisi aturan-aturan adat tentang pengelolaan dan pemanfaatan hutan
yang selama ini dijalankan oleh masyarakat adat di Desa Baru Pelepat.

Tahapan penyusunan Perdes yaitu:


1. Usulan disampaikan secara tertulis atau lisan kepada BPD atau Pemdes
kepada BPD atau Pemdes.
2. Jika Pemdes atau BPD telah menerima usulan tersebut, maka langkah-langkah
yang dilakukan oleh BPD atau Pemdes adalah; (a) Musyawarah anggota BPD
atau Pemdes, (b) Jika yang menerima usul adalah BPD, hasil Musyawarah
BPD dimusyawarahkan dengan pemdes atau jika pemdes yang menerima
usul, dimusyawarahkan dengan BPD, (c) Hasil musyawarah BPD dan pemdes
dimusyawarahkan lagi dengan wakil kelompok masyarakat.
3. Setelah itu dilakukan pembahasan rancangan Perdes antara BPD, pemdes
dan wakil kelompok masyarakat dengan syarat: (a) 2/3 anggota BPD harus
hadir, (b) Seandainya anggota BPD tidak sampai 2/3 yang hadir, maka sidang
ditunda selama tiga hari, (c) Seandainya sidang kedua kalinya anggota BPD
yang hadir tidak sampai 2/3, maka sidang dilanjutkan dengan syarat anggota
BPD sebanyak 4 orang.
4. Setelah disetujui BPD, maka ranperdes harus disahkan oleh Kades satu bulan
setelah tanggal disetujui.
5. Sebelum Ranperdes disahkan, masyarakat diberikan kesempatan untuk
memberikan saran dengan cara diumumkan selama dua minggu.

Dengan melalui proses penyusunan peraturan desa, maka Perdes tentang


pengelolaan dan pemanfaatan rimbo adat Datuk Rangkayo Mulio-pun disahkan
kepala desa pada tanggal 3 Juli 2005.

“...setelah melihat hutan adat Bukit Tapanggang ini, kami berpikir kalau rimbo adat
kita sebenarnya lebih bagus karena memang masih asli dibanding di sini yang dulunya
pernah gundul, namun dengan pengelolaan yang bagus, hutan di sini sekarang menjadi
tempat orang berwisata...” demikian kata pak Andra, seorang peserta studi banding
yang saat itu menjabat sebagai sekretaris Desa Baru Pelepat.

Dampak positif dari kunjungan ini adalah semakin tingginya kesadaran masyarakat
desa untuk melindungi hutan di wilayah mereka. Selain dengan melihat bentuk
pengelolaan hutan di Desa Guguk, ada kebutuhan untuk membentuk satu
410 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

kelompok yang berperan mengelola hutan adat, mulai dari perencanaan hingga
pengawasannya.

Dari refleksi studi banding pengelolaan hutan tersebut, multipihak desa


membentuk kelompok pengelola yang terdiri atas perwakilan lembaga-lembaga
di desa dan menyusun tugas dan fungsi kelompok pengelola tersebut kemudian
memasukkannya ke dalam isi rancangan peraturan desa pengelolaan dan
pemanfaatan hutan adat yang sedang disusun.

INISIASI MULTIPIHAK
Rencana masyarakat Desa Baru Pelepat untuk mengajukan pengukuhan hutan
adat ke tingkat yang lebih tinggi dimulai seiring dengan penetapan Perdes No.
2/2005 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan rimbo adat Datuk Rangkayo Mulio.
Proses yang dibangun adalah dengan membawa isu pengukuhan ini ke dalam
dialog kebijakan yang melibatkan beberapa instansi di Kabupaten Bungo.

Dialog kebijakan dilaksanakan melalui pertemuan pada Forum Diskusi Multipihak6.


Pertemuan itu bertujuan untuk mengkomunikasikan keinginan masyarakat akan
adanya satu bentuk dukungan kebijakan yang dapat mengukuhkan hutan adat
di Desa Baru Pelepat. Pesertanya terdiri dari multipihak di Kabupaten Bungo,
diantaranya anggota DPRD Komisi II, Bappeda, Bagian Hukum Setda, Dishutbun,
Bagian Pemerintahan Desa, Dinas Pertambangan Energi dan Lingkungan Hidup,
KKI-WARSI, ICRAF, dan tokoh masyarakat dari Desa Baru Pelepat dan Desa
Batu Kerbau, serta Tim ACM.

Ternyata usulan pengukuhan itu mendapat dukungan dari para peserta, khususnya
dari anggota DPRD, “.....masalah kehutanan ini memang menjadi perhatian DPRD
Bungo khususnya kami yang berada di Komisi II dan kami mendukung agar hutan adat
di Desa Baru Pelepat bisa dibuat aturan hukumnya berupa peraturan daerah” tukas
Herman Teleng, selaku Ketua Komisi II DPRD Bungo.

Diskusi ini pun menghasilkan beberapa kesepakatan:


1. Melihat kondisi kehutanan di Kabupaten Bungo saat ini memang
diperlukan suatu payung kebijakan yang mengatur bentuk-bentuk
pengelolaan hutan adat di Kabupaten Bungo.

6 Forum Diskusi Multipihak adalah forum informal yang digagas oleh Dishutbun Kabupaten Bungo bersama Dinas Pertambangan Energi dan Lingkun-
gan Hidup, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), proyek Adaptive Collaborative Management (ACM) Jambi (CIFOR, PSHK-ODA,
Yayasan Gita Buana), KKI-WARSI dan World Agroforestry Center (ICRAF). Forum ini bertujuan sebagai wadah untuk membangun wacana tentang
hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan kehutanan di Bungo.
BAGIAN 4-7 • Pariyanto 411

2. Kebijakan pengelolaan hutan adat yang jelas di Kabupaten Bungo


tentunya akan memberi dampak dan manfaat bagi pemerintah juga bagi
masyarakat, yaitu:
• Mengurangi beban pemerintah daerah dalam pengawasan terhadap
hutan, karena masyarakat secara langsung terlibat dalam penjagaan
hutan.
• Harmonisasi hubungan antara pemerintah dengan masyarakat
karena selama ini pemerintah dianggap hanya mengeksploitasi
hutan tanpa melibatkan masyarakat.
• Bagi masyarakat, ada kepastian dari apa yang diperjuangkan selama
ini, karena ada kekuatiran hutan adat bisa dijaga oleh masyarakat
tapi tidak terhadap ancaman pihak luar, sehingga perlu pengukuhan
di tingkat yang lebih tinggi.
• Ada penghargaan atas kerja dan usaha masyarakat yang berdampak
pada meningkatnya kepercayaan dan harga diri masyarakat.
3. Disepakati bahwa bentuk legalisasi yang tepat adalah melalui Peraturan
Daerah (Perda). Beberapa keuntungan dari bentuk ini adalah ikatan
komitmen bersama antara pemerintah dan masyarakat. Melalui
Perda, pengakuan menjadi lebih kuat dan akan memberi dampak bagi
pengaturan pembangunan lainnya, seperti tata ruang, dan lain-lain.
4. Disadari pula bahwa legalisasi hutan adat dengan peraturan daerah
diatur dalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, pasal 5 ayat 2 dan 3,
pasal 67 ayat 1,2 dan 3.
5. Disepakati perlunya komitmen dan kerjasama serta dukungan para
pihak untuk mewujudkan kesepakatan tersebut.

Selain kesepakatan di atas, pertemuan itu juga menghasilkan rencana tindak


lanjut, dimana Bagian Hukum Setda, Bappeda dan Dishutbun akan menjadi
pihak yang paling berperan dalam proses pengukuhan hutan adat ini dengan
Dishutbun sebagai leading sector-nya. Selain itu, masyarakat adat Desa Baru
Pelepat akan difasilitasi oleh Tim ACM-Jambi untuk menyusun secara bersama
naskah akademik dan Ranperda hutan adat.

Proses penyusunan naskah akademik dan draft Ranperda hutan adat berlangsung
panjang dan alot, melalui serangkaian diskusi, penggalian data dan informasi di
lapangan, hingga konsultasi publik baik di tingkat desa dan kabupaten.
412 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

AKSI MULTIPIHAK
Setelah bentuk kebijakan disepakati, maka proses selanjutnya adalah memenuhi
substansi naskah akademik, seperti ketersediaan peta dan batas yang jelas,
dokumentasi aturan adat, keberadaan kelompok pengelola, dan lainnya.
Menariknya, selama proses tersebut, keterlibatan multipihak tingkat kabupaten
juga tinggi sebagai mana tergambar dalam proses-proses berikut:

Survei penentuan batas fungsi adat dan batas


fungsi lindung

Rimbo adat Datuk Rangkayo Mulio seluas 820 Ha tersebut disepakati oleh
masyarakat Desa Baru Pelepat untuk dibagi dalam dua fungsi, yaitu fungsi adat dan
fungsi lindung7. Fungsi adat berarti hutan tersebut dapat dikelola oleh masyarakat
desa sehingga bermanfaat terhadap kesejahteraan mereka sedangkan fungsi lindung
diartikan sebagai hutan yang benar-benar dilindungi dan dijaga kelestariannya.
Untuk menentukan batas tersebut, dilaksanakan kegiatan penentuan batas fungsi
adat dan lindung pada Oktober 2004. Kegiatan ini selain diikuti oleh multipihak
desa, juga multipihak kabupaten.

Suasana kebersamaan dan satu tujuan antar pihak sangat muncul dalam kegiatan
ini, pembagian tugas dilakukan dan semua menjalankan dengan tanggung jawab.
Diskusi multipihak desa dan kabupaten pun selalu terjadi sepanjang kegiatan dan
semakin meneguhkan semangat peserta untuk menjaga hutan.

Survei pengukuran ulang batas keliling hutan adat


Survei pengukuran ulang batas keliling hutan adat dilakukan dengan tujuan untuk
memperjelas tanda batas hutan adat. Karena pengukuran dan pemasangan patok
batas yang dilakukan saat ICDP-TNKS pada 2000 saat itu sudah tidak tampak
lagi bentuk fisiknya. Selain itu, kegiatan ini juga untuk mengecek kondisi terkini
dari hutan adat dan mengidentifikasi potensi ekowisata. Kegiatan ini juga untuk
membangun pondok di pinggir hutan sebagai tempat berteduh bagi kelompok
pengelola hutan adat. Kegiatan diikuti oleh multipihak desa dan kabupaten.

7 Yang dilakukan dalam penentuan batas ini adalah pemisahan luas fungsi hutan adat dan luas fungsi hutan lindung, mendata nama, diameter dan tinggi
pohon dan diberi tanda batas. Tanda batas berupa pelat alumunium seukuran 15 cm x 20 cm bertuliskan HA BP 2004. Kegiatan penentuan batas ini
dilaksanakan dari tanggal 5-7 Oktober 2004 diikuti oleh anggota BPD, Pemdes, 8 pemuda dari setiap dusun, empat orang perwakilan dari lembaga
adat serta ibu-ibu yang melakukan persiapan untuk kegiatan ini. Kegiatan ini juga melibatkan wakil dari Pemda, yaitu dari Bappeda, Dishutbun dan
Dispertamben LH, serta pendamping dari Tim ACM Jambi.
BAGIAN 4-7 • Pariyanto 413

DINAMIKA KETERLIBATAN MULTIPIHAK

Kolaborasi dalam menyusun kebijakan yang mendukung pada pengukuhan hutan


adat ternyata berjalan tidak semudah yang dibayangkan. Kami melihat proses
membangun persepsi yang sama tentang bentuk kebijakan yang akan digunakan
dalam pengukuhan ini menjadi hal yang sangat penting, karena perbedaan
persepsi dapat berakibat fatal, sebagaimana yang pernah kami alami. Munculnya
surat Edaran Menteri Kehutanan No. 57/2004 tentang Masalah Hukum Adat dan
Tuntutan Kompensasi atau Ganti Rugi oleh masyarakat hukum adat, menyebabkan
salah satu pihak merubah kesepakatan semula dan berkeras untuk mengikuti Surat
Edaran tersebut. Menurut Surat Edaran tersebut, Menteri Kehutanan memberikan
satu alternatif mekanisme pengajuan hutan adat oleh suatu masyarakat hukum
adat ketika terjadi konflik antara pemilik HPH (Hak Pengusahaan Hutan) atau
IUPHHK (Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu), tahapannya adalah:
1. Untuk menetapkan hutan negara sebagai hutan adat yang pengelolaannya
diserahkan kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap) setempat,
lebih dahulu diadakan penelitian oleh pakar hukum adat, tokoh masyarakat
yang ada di daerah yang bersangkutan, instansi atau pihak lain yang terkait
serta memperhatikan aspirasi masyarakat setempat untuk menentukan apakah
permohonan yang bersangkutan masih merupakan masyarakat hukum adat
atau bukan. Bupati atau walikota kemudian melakukan pengusulan hutan
negara tersebut untuk ditetapkan sebagai hutan adat dengan memuat letak,
luas hutan serta peta hutan adat yang diusulkan kepada Menteri Kehutanan
dengan rekomendasi Gubernur, dengan ketentuan sepanjang menurut
kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada (de
facto) dan diakui keberadaannya (de jure).
2. Apabila berdasarkan hasil penelitian permohonan tersebut memenuhi syarat,
maka masyarakat hukum adat tersebut dapat ditetapkan dengan Peraturan
Daerah Propinsi.
3. Peraturan Daerah tentang keberadaan masyarakat hukum adat selanjutnya
disampaikan kepada Menteri Kehutanan untuk diajukan permohonan
penetapannya sebagai hutan adat. Atas permohonan tersebut Menteri
Kehutanan dapat menerima atau menolak penetapan hutan adat.
4. Apabila berdasarkan permohonan tersebut Menteri Kehutanan dapat
menerima maka akan ditetapkan hutan adat untuk masyarakat yang
bersangkutan.

Tahapan yang ditawarkan dalam surat edaran tersebut ternyata berbeda dengan
hasil pertemuan multipihak kabupaten yang menyepakati bahwa proses yang
414 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

dilakukan untuk melegalisasi rimbo adat Datuk Rangkayo Mulio adalah Perda
Kabupaten.

Meskipun dalam UU No. 10/2004 surat edaran tersebut bukan menjadi bagian
dari tata urutan peraturan perundangan, serta konteks dikeluarkannya surat itu
adalah untuk wilayah hutan yang mengalami konflik antara masyarakat adat dan
pemegang ijin HPH, namun alasan ini tetap tidak menyurutkan beberapa pihak
kabupaten untuk berkeras mengikuti aturan berdasarkan surat edaran tersebut
dalam menyusun kebijakan pengukuhan hutan adat. Hal ini menimbulkan
perdebatan panjang di dalam tim penyusun naskah akademik yang pada akhirnya
dilakukan beberapa perubahan mendasar:
1. Adanya perubahan nama naskah akademik yang semula bernama Naskah
Akademik tentang Pengukuhan Masyarakat Hukum Adat Desa Baru Pelepat
sebagai Pengelola Rimbo Adat Datuk Rangkayo Mulio menjadi Naskah
Akademik tentang Pengukuhan Masyarakat Hukum Adat Datuk Rangkayo
Mulio.
2. Perubahan target pada pengajuan Perda, yang semula Perda Kabupaten
tentang pengukuhan masyarakat hukum adat sebagai pengelola rimbo adat
menjadi Perda Propinsi dan hanya untuk mengukuhkan masyarakat Hukum
Adat Datuk Rangkayo Mulio-nya saja

Perubahan-perubahan ini tentunya berdampak pada semakin panjangnya proses


pengukuhan hutan adat. Selain itu, masyarakat dihadapkan pada kenyataan bahwa
Perda yang akan dihasilkan nantinya baru mengakui keberadaan masyarakat
hukum adat, sedangkan pengukuhan hutan adat masih harus melalui tahapan
pengajuan ke tingkat nasional.

Untuk menangkap gejala ini, kelompok pengelola rimbo adat Desa Baru Pelepat
dan pihak di kabupaten melakukan diskusi untuk merencanakan kembali strategi
yang akan dilakukan selanjutnya8, salah satu hasil yang disepakati adalah dibentuk
tim penyusun naskah akademik yang anggotanya adalah perwakilan dari Bappeda,
Dinas kehutanan, Desa Baru Pelepat dan tim ACM9.

Proses penyusunan naskah akademik Pengukuhan Masyarakat Hukum Adat


Datuk Rangkayo Mulio ini ternyata cukup melelahkan karena tim penyusun
ternyata harus memperbaiki ulang sistematika naskah akademik tersebut, melihat

8 Diskusi ini dilakukan di Bappeda Bungo pada 12 Agustus 2005 dengan agenda membahas rencana tindak lanjut pasca perubahan strategi pengukuhan
rimbo adat.
9 Tim teknis terdiri atas perwakilan masyarakat Desa Baru Pelepat (Abu Nazar, Abunjani, M Arif dan Hamdan), pemerintah kabupaten (Mustafal
Hadi, Azwardi, Deddy Irawan dan Umar Hasan), serta Tim ACM-Jambi.
BAGIAN 4-7 • Pariyanto 415

dan menganalisa lebih dalam tentang masyarakat adat Desa Baru Pelepat dan
dibutuhkan komunikasi intensif tim penyusun di tengah kesibukan dan kegiatan
mereka masing-masing.

Kotak 3. Beberapa aturan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam

Secara adat, sebenarnya masyarakat Desa Baru Pelepat sudah memiliki prinsip-
prinsip pengelolaan sumberdaya alam, seperti:
a. Tando kayu batakuk lopang, tando kulik kaliki aka yang mengandung maksud
bahwa hak kepemilikan atas lahan maupun tanaman harus diberi tanda.
b. Dalam hal berladang, harus sompak, kompak, setumpak yang berarti bahwa
masyarakat dalam melaksanakan perladangan dilakukan bersama, jika tidak
dilakukan, sanksinya diberikan teguran oleh ninik mamak berdasarkan jumlah
jiwa dalam keluarga.
c. Umpang boleh disisip, kerap boleh diganggu, maksudnya dalam hal
pengambilan sumberdaya alam harus memperhatikan potensi yang ada, bila
potensinya baik boleh diambil, yang rusak harus diperbaiki.
d. Bak napuh diujung tanjung, ilang sikuk baganti sikuk, lapuk ali baganti ali,
maksudnya sumberdaya alam harus tetap dipertahankan kelestariannya.
e. Lapuk pua jalipung tumbuh, maksudnya terhadap lahan kritis harus dilakukan
penghijauan kembali.
f. Ka darek babungo kayu, ka ayik babungo pasir maksudnya setiap pemanfaatan
sumberdaya alam dikenakan sumbangan untuk pembangunan desa.
g. Tanah lombang, umput layu maksudnya setiap orang yang membunuh
binatang liar yang halal dimakan maka sebagian harus diberikan kepada
pimpinan adat.
h. Pengambilan ikan disungai hanya boleh dilakukan dengan cara menjala,
memancing, pukat, menauh, nyukam, nembak, najur, nagang, lukah.


Setelah memakan waktu yang cukup panjang, pada Maret 2005, tim penyusun
berhasil menyusun rancangan naskah akademik tersebut. Untuk lebih
mematangkannya, diadakan diskusi sebagai upaya finalisasi terhadap substansi
naskah akademik dengan melibatkan Lembaga Adat Kabupaten Bungo. Beberapa
rekomendasi yang dihasilkan dalam diskusi perbaikan tersebut adalah:
1. Perlu ada pembanding antara peraturan adat yang ada di Desa Baru Pelepat
dengan peraturan adat di Kabupaten Bungo, rujukannya saat itu adalah
Buku Panduan tentang Adat Kabupaten Bungo.
2. Perlu ada penjelasan lebih detail terhadap seloko-seloko adat, karena meskipun
bahasa adat Bungo bisa dikatakan sama antara satu desa dengan desa lain,
namun tidak semua mengerti maksud yang disampaikan.
3. Perlu ada penyebaran hasil perbaikan kepada peserta diskusi saat itu.
416 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Gambar 45. Proses pengukuhan masyarakat hukum adat Datuk Sinaro Putih

Proses Pengukuhan Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih


Desa Baru Pelepat dan Desa Batu Kerbau, Kecematan Pelepat, Kabupaten Bungo-Jambi

Oktober 2006, DPRD


menyetujui draft
Ranperda Masyarakat
Hukum Adat Datuk
Sinaro Putih menjadi
Perda No.3/2006.
Diskusi-diskusi
penyusunan kerangka
NA dicapai kesepakatan
pada 25 Maret 2005

Konsultasi Publik tingkat desa Naskah Akademik


dan Kabupaten untuk yang sudah final dan
Tahap mendapatkan masukan draft Ranperda
Penyusunan mengenai substansi Naskah Masyarakat Hukum
Naskah Akademik dan pembelajaran Adat Datuk Sinaro
Akademik untuk pihak lain dalam Putih lalu diusulkan
menyusun Perda. kepada DPRD Bungo

Penyusunan Pengumpulan bahan


draf NA dan data, serta
penelitian lapangan

Diskusi lanjutan antara tim Mencari bentuk Perda Desember 2004,


ACM-Jambi, Bag. Hukum, tentang Hutan Adat. Melalui Diskusi Multipihak tentang
dan dishutbun, menyepakati diskusi antara tim ACM- Pengelolaan Hutan Adat di
bahwa Dishutbun sebagai Jambi, Bag. Hukum, dan Kabupaten Bungo.
leading sector dalam dishutbun disepakati Disepakati perlunya Perda
menyusun Naskah Akademik bentuknya adalah Perda yang mengatur tentang
dan Draft Ranperda Hutan Khusus. Hutan Adat
Adat.

BPD mengumpulkan Diskusi Informal antara tim


Juni 2004
pendapat dari masyarakat ACM-Jambi & masyarakat
Dilaksanakan Musyawarah Desa yang dengan Bappeda,
dan menyusun menjadi menyepakati aturan pengelolaan RADRM. Dishutbun, Bag. Hukum
Raperdes Aturan tersebut akan ditindaklanjuti Setda Bungo serta
dalam bentuk Perdes dan memulai proses Dismentamben & LH

Sejak lama, Desa Baru Tahun 2001-2003 ada program


Pelepat dan Desa Batu Integrated Conservation and
Kerbau telah memiliki Agustus 2003, Development Program (ICDP)
kawasan hutan adat, sebagai Bersama ACM dilaksanakan yang membangkitkan kembali
cadangan maupun lindung. Musyawarah Desa yang Rimbo Adat dan Lindung desa
Pada zaman Belanda menghasilkan Kesepakatan melalui Kesepakatan
dilakukan pemasangan patok untuk pengukuhan Rimbo Adat Konservasi Desa (KKD),
dan tanda keberadaan Datuk Rangkayo Muli (RADRM) penentuan dan pemetaan
kawasan ini kawasan
BAGIAN 4-7 • Pariyanto 417

Proses penyusunan naskah akademik ini terus berjalan dengan melakukan


perbaikan-perbaikan dan diskusi-diskusi kecil di tim penyusun.

PENUTUP
Pada Oktober 2006, Pemkab Bungo mengeluarkan Perda No.3/2006 tentang
Penetapan Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih yang berlaku untuk Desa
Baru Pelepat dan Desa Batu Kerbau. Meski begitu, proses kolaborasi multipihak
desa dan kabupaten ini belumlah usai. Masih dibutuhkan waktu hingga apa yang
diharapkan masyarakat untuk mendapat hak pengelolaan terhadap rimbo adat
dapat tercapai. Isu desentralisasi kebijakan dalam era otonomi-pun belumlah
menjadi trend daerah, ketika dihadapkan pada satu kenyataan ada aturan pusat
yang sebenarnya tidak menjadi atribusi/delegasi (harus dijadikan pertimbangan
dalam penentuan kebijakan di daerah) juga sulit untuk tidak diindahkan.

Apakah perjuangan masyarakat Desa Baru Pelepat untuk memperoleh hak


pengelolaan terhadap hutan dapat terwujud? Pertanyaan ini harus dijawab dengan
merefleksikan hal-hal di atas.
1. Komitmen masyarakat dalam pengelolaan hutan perlu dukungan dari semua
pihak.
2. Untuk mewujudkan hak pengelolaan hutan perlu pembelajaran antara
desa satu dengan desa yang lain melalui studi banding atau bentuk lain dan
kesadaran pemegang kebijakan bahwa setiap kebijakan yang dibuat akan
selalu berhubungan dengan masyarakat desa begitu juga sebaliknya dan
ini juga berlaku pada pemegang kebijakan diatasnya seperti propinsi dan
kabupaten.
3. Kekompakan antara adat dan pemerintahan desa yang bersifat formal menjadi
arti penting untuk mewujudkan sebuah keinginan.
4. Pembelajaran sosial diperlukan guna membangun komunikasi dan jaringan
dengan pihak kepentingan lain, khususnya dengan pihak di atas desa, yaitu
kecamatan dan kabupaten bahkan propinsi.

Meski kerja belum selesai, namun proses aksi kolaborasi dalam legalisasi hutan adat
ini menjadi satu pembelajaran di mana perhatian pemerintah terhadap kebutuhan
masyarakat akan pengaturan hak pengelolaan hutan sangat diperlukan.
418 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada para pihak di Kabupaten Bungo yang
selama ini telah dengan setia bekerja sama untuk mendorong berjalannya proses
pembelajaran bagi masyarakat di sekitar hutan terhadap pengelolaan hutan
yang lestari, khususnya masyarakat Desa Baru Pelepat. Ucapan terimakasih juga
disampaikan kepada seluruh Tim ACM-Jambi yang berasal dari tiga lembaga
(Yayasan Gita Buana, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Otonomi Daerah dan
CIFOR) yang secara bersama saling bahu membahu berpikir dan beraktivitas serta
berefleksi bersama.

BAHAN BACAAN
Adnan, H., Hadi, M. dan Pariyanto. 2005. Hutan Adat: Dari Masyarakat menuju
Kebijakan Daerah, Sebuah Pembelajaran dari Desa pada Kawasan
Penyangga (Bufferzone) Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS),
makalah disampaikan pada Simposium International Antropologi
Indonesia, Depok, Juli 2005.
Amendemen Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Sekretariat
Jenderal, Majelis Permusyawaratan Rakyat. Jakarta. Indonesia.
Dobesto, I. 2008. Jalan Panjang Partisipasi: Proses dan Pembelajaran dalam
Penyusunan Peraturan Desa secara Partisipatif. Dalam: Adnan, H.,
Tadjudin, D.J., Yuliani, E.L., Komarudin, H., Lopulalan, D., Siagian,
Y.L., Munggoro, D.W. (ed.) Belajar dari Bungo: Mengelola Sumberdaya
Alam di Era Desentralisasi. CIFOR, Bogor, Indonesia.
Pemerintah Desa Baru Pelepat. 2005. Peraturan Desa No.2 tentang Pengelolaan
dan Pemanfaatan Rimbo Adat Datuk Rangkayo Mulio
Tim ACM-Jambi. 2004. Laporan Kegiatan Penentuan Batas Fungsi Rimbo Adat
Datuk Rangkayo Mulio. Tidak dipublikasikan.
Tim ACM-Jambi. 2004. Notulensi Musyawarah Desa Baru Pelepat. Tidak
dipublikasikan.
Tim ICDP-TNKS. 2000. Laporan Kegiatan Pemetaan dan Pemanfaatan Lahan di
Desa Baru Pelepat. ICDP-TNKS, Jambi, Indonesia.
Undang Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan.
Yuliani, E.L., Adnan, H., Surma, E.H., Marzoni, Novasyurahati, Anggana.
2004. Studi Potensi Kawasan Hutan Bukit Siketan, Desa Baru Pelepat,
Kabupaten Bungo, Jambi. Laporan untuk BAPPEDA Kabupaten Bungo
sebagai syarat untuk memperoleh pengakuan formal atas Hutan Adat
Desa Baru Pelepat. CIFOR. Bogor. Indonesia.
BAGIAN 4-8
Jalan Panjang Partisipasi:
Proses dan Pembelajaran dalam Penyusunan
Peraturan Desa secara Partisipatif

Ismal Dobesto
420 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

© Dok. ACM-Jambi
PENDAHULUAN
Otonomi daerah ditandai dengan desentralisasi pemerintahan hingga ke tingkat
desa. UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian digantikan
dengan UU No. 32/2004 secara jelas mengembalikan sistem pemerintahan yang
mengarah pada hak asal usul berdasarkan adat istiadat setempat. Kebijakan ini
berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat desa atau sebutan lainnya.
Secara tegas, UU No. 32/2004 menyatakan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki batas-batas wilayah tertentu yang berwenang mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara
Republik Indonesia. Kesempatan ini digunakan oleh pemerintah daerah, mulai
dari tingkat desa hingga propinsi, untuk menentukan, mengurus dan mengatur
daerahnya secara mandiri. Kemandirian ini terlihat dalam bentuk kebijakan daerah
masing-masing dalam mengatur tentang pembangunan, Pendapatan Asli Daerah
(PAD), dan lainnya, termasuk pengaturan pengelolaan sumber daya alam.

Kemandirian ini juga dimanfaatkan oleh Desa Baru Pelepat untuk mengurus dan
mengembangkan desanya ke arah yang lebih baik. Desa yang terletak di daerah
BAGIAN 4-8 • Ismal Dobesto 421

penyangga TNKS-Jambi ini, berupaya mengatur pengelolaan sumberdaya alamnya


melalui penyusunan kebijakan desa secara partisipatif. Salah satunya melalui
penyusunan Peraturan Desa No.2/2005 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan
Rimbo Adat Datuk Rangkayo Mulio.

Proses penyusunan peraturan desa (Perdes) ini melalui partisipasi yang panjang dan
berliku. Mulai dari musyawarah tingkat dusun hingga pembahasan di kelompok-
kelompok kepentingan yang ada di desa. Kendati demikian, proses yang panjang
ternyata dirasakan banyak memberi pelajaran bagi masyarakat, khususnya
pemerintahan desa. Bahwa dalam membuat suatu kebijakan yang menyangkut
kepentingan orang banyak, perlu pertimbangan dan penggalian yang mendalam,
sehingga kebijakan yang dihasilkan, bisa mengakomodir kepentingan semua
pihak. Karenanya, proses panjang bukanlah suatu hal yang perlu diperdebatkan.
mengingat melibatkan banyak pihak kepentingan dalam penyusunan suatu
kebijakan desa, jauh lebih penting untuk membangun kesadaran masyarakat dalam
membangun desa dan kepemilikan terhadap kebijakan tersebut. Di samping itu,
kajian-kajian yang mendalam dan partisipatif memberikan kontribusi terhadap
substansi (isi) dari kebijakan tersebut. Proses yang partisipatif dan isi kebijakan
yang berkualitas akan menghasilkan kebijakan yang tidak saja mengakomodasi
berbagai kepentingan, tetapi juga mampu dilaksanakan di lapangan.

Tulisan ini memberikan gambaran proses yang berlangsung dan pembelajaran


yang dapat dipetik dalam penyusunan kebijakan tentang pengelolaan hutan adat
oleh masyarakat, sebagai wujud kemandirian desa.

Proses Pembentukan Peraturan Desa Partisipatif tentang


Pengelolaan Hutan Adat

Munculnya kesadaran baru

Pada mulanya masyarakat Desa Baru Pelepat mengelola sumberdaya alam


berdasarkan kearifan lokal yang mereka miliki. “Umpang boleh disisip, kerap boleh
diganggu” adalah salah satu contoh aturan adat yang mengatur pengambilan hasil
hutan dengan memperhatikan potensi yang ada. Bila potensinya baik, boleh
diambil, namun bila rusak harus diperbaiki.

Namun seiring dengan masuknya HPH pada awal 1970-an, terjadi eksploitasi
kayu besar-besaran dan areal bekas tebangan tidak lagi ditanami. Hal ini tentunya
bertentangan dengan hukum adat “nan rapat boleh dijarangkan, nan jarang harus
422 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

ditanam”. Maksudnya, orang boleh menebang kayu jika masih bagus potensinya
(rapat jaraknya), dan setelah menebang harus menanam kembali agar hutan
kembali menjadi rapat. Kala itu, masyarakat hanya menjadi penonton dibukanya
hutan-hutan mereka tanpa berani untuk mencegahnya.

Kondisi semakin diperparah dengan bergulirnya reformasi pada 1998. “Kalau


orang luar boleh menebang hutan, mengapa kami yang tinggal disini tidak boleh?
Kami pun ingin menikmati hasil hutan”, begitulah kira-kira alasan masyarakat
menyertai maraknya bebalok (pembalakan liar) yang dilakukan oleh masyarakat di
dalam maupun dari luar desa. Dampaknya tak perlu ditunggu lama, banjir di kala
hujan deras dan kekeringan di kala kemarau mulai dirasakan.

Kondisi ini kemudian memunculkan kesadaran baru di masyarakat desa untuk


kembali menjaga hutan mereka dari penebangan liar.

Kesepakatan Konservasi Desa

Gayung pun bersambut. Keinginan masyarakat tersebut mulai direalisasikan


bersamaan dengan masuknya Proyek Terpadu Pembangunan dan Konservasi
(Integrated Conservation and Development Project — ICDP) yang dilaksanakan di
daerah penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat1 pada 2000. Proyek ini dirancang
menurut empat komponen inti, yaitu Pengelolaan Taman Nasional, Pembangunan
Daerah/Desa, Integrasi Pengelolaan Keragaman Hayati dan Pengusahaan Hutan,
serta Pemantauan dan Evaluasi.

Untuk pembangunan daerah/desa, proyek dirancang untuk memperbaiki


perencanaan tata guna lahan, hak kepemilikan lahan dan pengelolaan sumber
daya alam oleh masyarakat di 134 desa yang berada di sekitar taman nasional
ini, yang salah satunya adalah di Desa Baru Pelepat. Kegiatan ini difasilitasi oleh
KKI-WARSI yang mendorong tercapainya suatu kesepakatan bersama antara
masyarakat desa di sekitar kawasan, pemerintah daerah, dan Balai TNKS2.
Kesepakatan bersama ini kemudian disusun dalam suatu dokumen Kesepakatan
Konservasi Desa (KKD). Dokumen KKD ini memuat dua hal pokok yaitu
kesepakatan partisipasi masyarakat dalam pelestarian TNKS dan rencana
pembangunan desa serta rencana tata guna lahan desa yang disusun secara
partisipatif dan selaras dengan pelestarian TNKS.

1 Proyek ICDP didanai oleh Bank Dunia dan bertujuan untuk menjamin kelestarian keragaman hayati di TNKS dan untuk menghentikan fragmentasi
habitat. Caranya, pertama, adalah dengan meningkatkan pengelolaan dan perlindungan taman nasional, khususnya dengan lebih mengikutsertakan
masyarakat setempat. Kedua, dengan menggalakkan pengelolaan keragaman hayati di dalam taman nasional secara lestari dan mendukung upaya
untuk mempertahankan lahan yang tetap berhutan yang masih tersisa di kawasan pengusahaan hutan di daerah-daerah penyangga. Untuk lebih
jelasnya silahkan lihat http://www.dekimichael.web.id/icdp.php
2 Lihat http://www.warsi.or.id/Projects/ICDP_ind.htm
BAGIAN 4-8 • Ismal Dobesto 423

Untuk di Baru Pelepat, KKD berisi rencana pembangunan desa dan tata guna
lahan yang meliputi pembentukan Bukit Siketan sebagai kawasan hutan (rimbo)
adat desa dan lubuk larangan di Dusun Pedukuh, Lubuk Beringin dan Baru Tuo.
Tujuannya adalah sebagai cadangan hutan, pelestarian hewan dan tumbuhan,
serta menjadi daerah tangkapan air (hujan). Melalui kesepakatan itu, hutan adat
dibagi ke dalam dua fungsi, yaitu fungsi adat seluas 390 ha dan fungsi lindung
seluas 390 ha3.

Untuk fungsi adat, hasil hutan dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat
desa (bukan untuk diperjualbelikan) melalui izin kelompok pengelola. Namun
pemanfaatannya baru bisa dilakukan setelah lima tahun sejak KKD disahkan.
Selain itu ada sumbangan yang harus diberikan ke desa sebesar Rp. 50.000,- per-
kubiknya.

Sedangkan untuk fungsi lindung, tanaman dan buah-buahan boleh dimanfaatkan


dengan tidak merusak batangnya. Untuk tanaman obat, pemanfaatan dengan
tetap menjaga kelestariannya. Setiap pelanggaran akan dikenai sanksi. Yang
melanggar harus membayar dengan seekor kerbau + beras 100 gantang4 + kain
8 kayu + selemak semanis/seasam segaram + kayu di sita + denda Rp. 100 juta.
Dan bila sanksi tidak diterima, maka akan ditingkatkan ke hukum negara.

Pada 2002, proyek tersebut dihentikan padahal masyarakat memerlukan dukungan


kebijakan dalam implementasi KKD. Kenyataan di lapangan, KKD ternyata
kurang mampu menjadi landasan dalam pengelolaan hutan Adat. Menurut Helmi
(2006), KKD sulit untuk diterapkan karena ada ketidakjelasan pada lima hal, yaitu
mekanisme perijinan pemanfaatan hutan adat, persyaratan pemohon, mekanisme
pengawasan, peran pemerintah desa dan sanksi yang diberikan.

Memulai perubahan melalui siklus pembelajaran bersama

Di pertengahan 2003, proyek Adaptive Collaborative Management (ACM) Jambi


memulai fase keduanya di Desa Baru Pelepat. Proyek ini melibatkan Center for
International Forestry Research (CIFOR), Yayasan Gita Buana (YGB) serta Pusat
Studi Hukum dan Kebijakan Otonomi Daerah (PSHK-ODA). Pada fase pertama
proyek ini memfokuskan pada pengembangan kapasitas masyarakat desa untuk
beradaptasi dengan perubahan dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam.
Sedangkan pada fase kedua adalah untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang
adil dan lestari.
3 Dari hasil penataan batas di lapangan dan penghitungan data terbaru, luas total Rimbo Adat Datuk Rangkayo Mulyo adalah 820 ha (Tim ACM-
Jambi, 2007).
4 1 gantang sama dengan 16 kg.
424 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Mengawali fase kedua ini, masyarakat bersama dengan Tim ACM-Jambi kemudian
menyusun suatu langkah belajar bersama dalam pengelolaan sumberdaya alam.

Membangun kesepakatan bersama melalui musyawarah desa

Pada Agustus 2003 dilaksanakan lokakarya desa yang diikuti oleh multipihak
kepentingan desa, terdiri dari pemerintah desa, Badan Perwakilan Desa, tetua
adat, kaum perempuan, kelompok pemuda dan kelompok tani, serta difasilitasi
oleh Tim ACM-Jambi. Agendanya adalah menentukan perencanaan bersama
antara masyarakat Desa Baru Pelepat dengan Tim ACM-Jambi.

Salah satu agenda yang muncul adalah keinginan masyarakat untuk adanya
kebijakan yang mendukung dan memayungi upaya mereka dalam menjaga hutan
adat. Selain sebagai tindak lanjut dari selesainya proyek ICDP-TNKS di desa
mereka, keinginan ini di dorong oleh suatu kenyataan hutan semakin berkurang.
Datuk Gani, seorang tetua adat berujar, “Kini kayu la payah, tinggaan juo untuak
anak cucu kito” (kayu sudah susah mengambilnya, tinggalkan untuk generasi
yang akan datang). Masyarakat beranggapan pentingnya dukungan kebijakan
dalam memperkuat rasa percaya diri masyarakat dalam mempertahankan hutan
mereka.

Melalui musyawarah ini disepakati untuk menindaklanjuti pengukuhan hutan


adat dimulai di tingkat desa hingga ke tingkat di atasnya. Sebagai langkah awal,
disepakati untuk mempersiapkan pengukuhan di tingkat desa melalui peraturan
desa. Langkah ini dianggap penting, karena selain menjadi kewenangan desa,
peraturan desa juga menjadi peraturan daerah dan diakui legalitasnya sepanjang
tidak bertentangan dengan peraturan di atasnya. Selain itu, pengaturan ini akan
menunjukkan kemandirian desa dalam menentukan pengelolaan sumberdaya
alamnya.

Pelatihan penyusunan Peraturan Desa

Ketika hendak menyusun peraturan desa, pemerintahan desa merasa bahwa


mereka belum memiliki kemampuan dan ketrampilan untuk menyusun peraturan
tersebut. Kendati beberapa produk hukum desa telah dihasilkan, seperti fee
untuk desa bagi pendatang yang akan membuka ladang di desa, fee kayu, dan
lainnya. Namun mereka merasa bahwa kebijakan tersebut seringkali tidak bisa
diimplementasikan. Dari refleksi awal disadari bahwa selama ini penyusunan
kebijakan desa dibuat oleh segelintir orang (Kades, Sekdes, ketua adat atau ketua
BPD), sehingga kebijakan tidak diketahui oleh masyarakat desa. Selain itu adanya
BAGIAN 4-8 • Ismal Dobesto 425

limbago, perasaan kekerabatan yang tinggi, seringkali menghalangi pelaksanaan


kebijakan.

Atas dasar refleksi inilah kemudian disusun agenda pelatihan yang meliputi proses
dan tata cara penyusunan produk hukum desa, serta substansi dari produk hukum
tersebut. Pelatihan ini diikuti oleh multipihak desa dan desa tetangga bahkan dari
Malinau (Kalimantan Timur). Selain itu, untuk membangun hubungan dengan
pihak kabupaten, salah satu narasumber dalam kegiatan ini berasal dari Biro
Hukum Pemkab Bungo.

Selama pelatihan, peserta tidak hanya diperkenalkan dengan teknik dan tatacara
penyusunan produk hukum, tetapi juga dengan persoalan berkaitan substansi,
seperti peran masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam, peran adat dan
posisinya dalam sistem perundangan nasional. Selain itu peserta juga langsung
mempraktekkan materi dengan menyusun rancangan peraturan desa tentang
tata cara penyusunan peraturan desa. Rancangan ini dianggap penting sebagai
landasan formal bagi penyusunan produk hukum di desa.

Keluaran dari kegiatan ini, selain peserta menjadi sadar dan tahu bagaimana
menyusun suatu produk hukum, tetapi juga menghasilkan sebuah rancangan draft
yang akan ditindaklanjuti dengan sosialisasi draft tersebut ke dusun-dusun.

Merancang Peraturan Desa tentang Pengelolaan Hutan Adat


Perdes No.1/2004 tentang tata cara penyusunan peraturan desa disahkan pada
sekitar bulan Mei 2004. Hal itu menjadi landasan masyarakat untuk bergerak lebih
jauh dalam pengelolaan hutan adat desa. Langkah tersebut direalisasikan pada
Juni 2004 dengan mengadakan musyawarah desa yang diikuti oleh multipihak
desa.

Dalam pertemuan tersebut, semua pihak angkat bicara karena yang dibahas
mengenai pengelolaan hutan mereka sendiri. Pemerintahan desa beranggapan
bahwa kewenangan terbesar berada di tangan mereka, karena secara administratif
dan kelembagaan, segala yang berada di wilayah desa berada di bawah pengaturan
mereka. Di sisi lain, lembaga adat menyadari perannya dalam menjaga hutan adat
dan mengusulkan agar dalam penyusunan peraturan desa memasukkan nilai-nilai
adat. Mereka juga beranggapan bila dicantumkan dalam peraturan desa, nilai-
nilai adat akan langgeng dan diketahui oleh generasi yang lebih muda. Tak mau
ketinggalan kelompok perempuan juga bersuara. Bahwa perempuan juga punya
peran yang sama dalam menjaga hutan. Hal ini dibuktikan dengan keterlibatan
426 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

perempuan dalam melakukan pemetaan bersama saat ICDP dulu. Begitu juga
kelompok pemuda, mereka merasa sebagai generasi penerus yang akan melanjutkan
pengelolaan hutan adat. Kondisi ini menimbulkan diskusi yang semangat diantara
peserta.

Selain bicara soal kepentingan masing-masing, mereka juga merefleksikan


keberadaan KKD selama ini. Mereka melihat kendati KKD sudah ada, namun
implementasi di lapangan masih sangat jauh dari harapan. Hal ini dikarenakan
tidak jelasnya siapa yang menjadi pengawas dan pelaksana KKD, serta sanksi yang
tidak jelas, selain itu masyarakat tidak kompak menjaga kesepakatan. Menariknya
pada saat itu, beberapa anggota masyarakat mengakui bahwa mereka masih
mengambil kayu di hutan adat. Mereka berjanji akan menghentikan kegiatan
tersebut. Masyarakat kemudian sepakat mulai hari itu, semua aktivitas pembalakan
kayu di hutan adat dihentikan.

Dari hasil diskusi, kemudian disepakati beberapa hal yang perlu diatur dalam
rancangan Perdes tentang pengelolaan hutan adat, yaitu :
a. Mekanisme perizinan. Setiap masyarakat Desa Baru Pelepat dapat
memanfaatkan hutan adat setelah mendapatkan izin dari kelompok pengelola.
Pengajuan izin diawali dengan mengirimkan surat permohonan kepada
kelompok pengelola. Berdasarkan surat tersebut, kelompok pengelola akan
meneliti kebutuhan pemohon. Bila dianggap memenuhi syarat, izin akan
dikeluarkan dengan sepengetahuan pemerintahan desa. Setiap pemohon
hanya diperbolehkan mengambil maksimal 5 m3. Selain pemanfaatan secara
individual, hutan adat juga dapat dimanfaatkan secara komunal, misalnya
untuk membangun masjid atau sekolah. Untuk pemanfaatan seperti ini,
keputusan diambil melalui musyawarah desa.
b. Mekanisme pengawasan dalam hutan adat. Pengawasan dilakukan, baik
dalam kawasan fungsi adat maupun fungsi lindung, secara bersama.
Pengawasan bukan hanya tanggung jawab kelompok pengelola saja tetapi juga
melibatkan multi-pihak kepentingan yang ada di desa, termasuk masyarakat
secara individual. Jika terjadi pelanggaran terhadap hutan adat, orang yang
mengetahuinya punya kewajiban untuk melaporkan ke kelompok pengelola
untuk diproses menurut aturan yang ditetapkan.
c. Sanksi. Bila terjadi pelanggaran, seperti pencurian ataupun penyalahgunaan
izin, akan diberikan sanksi. Prosesnya diawali dengan laporan dari individu
atau kelompok yang menyaksikan terjadinya pelanggaran kepada kelompok
pengelola hutan adat. Berdasarkan laporan itu, kelompok pengelola
melakukan pengecekan ke lapangan untuk mengumpulkan barang bukti dan
atau memanggil pelaku, untuk diminta keterangan. Setelah cukup bukti,
BAGIAN 4-8 • Ismal Dobesto 427

kelompok pengelola mengajukan permohonan persidangan ke lembaga adat.


Selanjutnya sidang adat akan dilaksanakan dengan dipimpin oleh lembaga
adat dan mengundang Pemdes, BPD, tokoh masyarakat, pelaku dan kelompok
pengelola. Lembaga adat bertindak sebagai hakim yang berpedoman pada
aturan adat dan aturan desa yang berlaku. Pada saat itulah sanksi adat
diputuskan kepada pelaku.
d. Pengelolaan. Hutan adat dibagi dalam dua fungsi, adat dan lindung. Untuk
fungsi adat, masyarakat dapat memanfaatkannya. Sedangkan fungsi lindung
terlarang untuk dimanfaatkan karena sebagai cadangan hutan, menjaga
kelestarian tumbuhan dan hewan serta menjadi serapan air.
e. Nama. Untuk penamaan hutan adat, akhirnya disepakati untuk menggunakan
nama yang berasal dari adat. Selain sebagai identitas, tetapi juga untuk
pengingat bahwa nilai-nilai adat di Desa Baru Pelepat masih dilaksanakan.
Istilah hutan adat kemudian diganti menjadi “rimbo adat” dan karena
lokasinya di bawah kekuasaan Datuk Rangkayo Mulio, maka nama hutan
adat mereka adalah “Rimbo Adat Datuk Rangkayo Mulio”.

Selain kelima hal di atas, musyawarah juga menyepakati memberikan mandat


kepada pemerintahan desa (BPD dan pemerintah desa) untuk menyusun dan
merumuskan rancangan peraturan desa.

Perumusan Ranperdes oleh BPD dan Pemdes

Pada awalnya, pemerintahan desa sangat percaya diri dalam menyusun rumusan
draft Perdes, mengingat mereka sudah memiliki pengalaman sebelumnya. Baik
melalui pelatihan produk hukum desa maupun pada saat menyusun Perdes
No.1/2004. Namun saat pembahasan berlangsung, pemerintahan desa baru
menyadari bahwa masih terdapat hal-hal yang belum diatur pada saat musyawarah
terdahulu. Misalnya, ketika berbicara soal pemanfaatan hutan, ternyata mereka
lebih banyak bicara soal kayu, padahal ada hasil hutan non-kayu yang dapat
dimanfaatkan, seperti daun, buah, maupun anakan. Mereka juga baru mengatur
hak pemanfaatan bagi masyarakat, tetapi belum mengatur kewajiban masyarakat
dalam melestarikan hutan.

Selain itu, saat bicara soal hasil hutan non-kayu, mereka tidak punya data yang
akurat mengenai potensi sumberdaya hutan yang ada. Mereka juga mengalami
kebingungan ketika mencoba merumuskan aturan tentang kelompok pengelola.
Akan seperti apa bentuk kelembagaannya? Bagaimana mekanisme kerja dan
pengambilan keputusan diantara mereka? Pertanyaan-pertanyaan kritis ini muncul
sebagai refleksi atas kegagalan kelompok pengelola yang sudah dibentuk pada saat
428 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

ICDP dulu. Serta belum adanya data yang akurat mengenai pembagian kawasan
fungsi adat dan lindung dari rimbo adat.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, bersama Tim ACM-Jambi, lalu disusunlah


rencana tindak lanjut untuk melakukan studi potensi keanekaragaman hayati
yang ada di rimbo adat. Selain itu juga direncanakan untuk melakukan penataan
ulang batas hutan adat sekaligus menentukan batas kawasan lindung dan adat.
Pada saat itu muncul kebutuhan untuk melihat daerah lain yang dianggap telah
berhasil dalam mengelola hutan adat mereka. Bersama Tim ACM-Jambi kemudian
direncanakan untuk melakukan studi banding ke Desa Guguk, Merangin yang
sudah cukup sukses dalam menjaga hutan adat mereka.

Kajian potensi keanekaragaman hayati

Kajian potensi keanekaragaman hayati di kawasan rimbo adat dilakukan oleh


peneliti CIFOR, ACM-Jambi dan anggota masyarakat yang mewakili para pihak
di desa. Hal ini dilakukan untuk melihat seberapa besar potensi yang ada di
kawasan Bukit Siketan, sehingga layak untuk dipertahankan. Kajian dilakukan
dengan menggabungkan metode konvensional dan partisipatif (lihat Yuliani et al.,
2008) yaitu analisis vegetasi dengan metode Modified Whittaker, cruising (jelajah)
dan semi structured interview.

Hasil kajian Yuliani et al. (2004) memperlihatkan bahwa kondisi hutan primer
di Bukit Siketan memiliki tingkat keanekaragaman yang sangat tinggi (indeks
keanekaragaman Shanon-Wiener 4,422, 149 spesies pohon dan 37 spesies
tumbuhan non-kayu). Dari hasil wawancara, ada 96 jenis tumbuhan yang
digunakan oleh masyarakat baik sebagai tumbuhan obat, makanan, perkakas,
anyaman maupun konstruksi; dan banyak jenis hewan yang termasuk dilindungi
dan termasuk dalam daftar CITES.

Selain itu, kajian juga menemukan anakan, tiang dan pancang jauh lebih banyak
daripada pohon berukuran besar di sekitar hutan. Selain itu, beberapa jenis
binatang, seperti burung murai, kuau, dan lainnya. Hal ini memperlihatkan bahwa
hutan Bukit Siketan merupakan aset yang sangat bernilai baik dari segi sosial-
ekonomi jangka panjang untuk masyarakat maupun pemerintah, dan dari segi
ekologis5.

5 Dari segi ekologis, keberadaan pohon-pohon besar/pohon induk perlu dipertahankan untuk: (1) Menjaga fungsi hidrologis karena dengan topografi
yang curam, kawasan ini akan mudah longsor bila tidak ada pohon besar; dan (2) Menjaga fungsi regenerasi yaitu agar produksi anakan terjadi secara
alami dan berkesinambungan.
BAGIAN 4-8 • Ismal Dobesto 429

Hasil kajian ini semakin menebalkan tekad masyarakat desa untuk menjaga rimbo
adat mereka.

Penataan ulang batas hutan adat secara bersama

Kegiatan bersama berikutnya adalah menata-ulang batas rimbo adat. Penataan


ini dilakukan, karena hasil pemetaan partisipatif pada saat ICDP dahulu masih
belum lengkap, khususnya untuk batas fungsi adat dan lindung. Selain itu, dari
penelusuran kembali di lokasi dijumpai patok-patok batas yang dulu dibuat telah
rusak.

Kegiatan ini diikuti oleh multipihak desa dan pemerintah kabupaten Bungo,
yaitu dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun), Bagian Lingkungan
Hidup (LH), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten
Bungo dan Tim ACM-Jambi. Penataan batas dilakukan dengan memasang plat
alumunium. Plat ini sebelumnya telah dibuat secara bergotong-royong oleh
masyarakat. Selain memasang plat, tim juga mengambil titik koordinat dengan
menggunakan alat Global Positioning System (GPS).

Keterlibatan pihak pemerintah dalam kegiatan ini memberikan dukungan moral


yang besar bagi masyarakat. Selama kegiatan berlangsung, pada malam hari
dilakukan diskusi yang tidak saja membicarakan rencana harian tetapi juga
bagaimana mengelola hutan adat ke depan. Keterlibatan ini adalah bentuk
pengakuan tidak langsung dari pemerintah kepada upaya masyarakat dalam
menjaga hutan adat mereka.

Studi banding ke Guguk

Untuk memperkaya gagasan tentang bentuk pengelolaan hutan, pemerintahan


desa, tokoh masyarakat, pemuda dan kelompok perempuan Desa Baru Pelepat,
melakukan studi banding ke Desa Guguk Kabupaten Merangin, pada September
2004. Desa Guguk dipilih karena dianggap berhasil dalam mengelola hutan adat
mereka. Selain itu mereka juga sudah mendapatkan pengakuan dari pemerintah
daerah Merangin, berupa SK-Bupati.

Selain melakukan serangkaian diskusi dengan tokoh adat, pemerintahan desa dan
kelompok pengelola, rombongan masyarakat Desa Pelepat juga menyempatkan
diri melihat dari dekat Hutan Adat Guguk.
430 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Banyak pelajaran dipetik dari kegiatan ini, khususnya bagi masyarakat Desa Baru
Pelepat:
1. Salah satu yang mendorong kuatnya tekad masyarakat untuk menjaga hutan
adat adalah adanya teladan dari para tokoh adatnya.
2. Pengelolaan hutan adat Guguk dikoordinasikan oleh kelompok pengelola.
Kelompok ini mendapat mandat yang kuat dari pemerintah desa dan
didukung oleh pemuka adat. Kelompok pengelola tidak saja berisi pemuka
adat, tetapi mewakili kelompok yang ada di desa, bahkan kaum perempuan
pun menjadi anggota aktif dari kelompok ini.
3. Dalam pengelolaannya, hutan adat diperkaya melalui program reboisasi
yang bekerjasama dengan dinas kehutanan setempat. Selain mereka juga
mengembangkan ekowisata yang dikelola secara bersama-sama dengan
melibatkan kelompok perempuan dan pemuda desa.

Pembentukan kelompok pengelola

Kunjungan ke Guguk, membuka mata masyarakat mengenai pentingnya


kelompok pengelola dalam mengelola hutan adat. Setelah melalui serangkaian
diskusi persiapan, pada bulan Desember 2004 dilaksanakan musyawarah untuk
membentuk kelompok pengelola rimbo adat. Musyawarah ini melibatkan
multipihak desa: BPD, pemerintah desa, tokoh masyarakat, pemuda dan kelompok
perempuan.
Kehadiran kelompok perempuan dalam musyawarah ini sangat memberi
pengaruh terhadap diskusi, dimana kelompok perempuan menginginkan adanya
wakil perempuan untuk menjadi anggota kelompok pengelola rimbo adat. Pada
awalnya ada keberatan dari kelompok laki-laki apakah perempuan akan mampu
menjalankan perannya dalam kelompok ini? Dengan berapi-api kelompok
perempuan berhasil meyakinkan peserta lainnya bahwa itu bukanlah kendala
bagi mereka, asal diberikan kesempatan mereka siap menjalankannya. Akhirnya
disepakati bahwa kaum perempuan akan ada perwakilan.
Selanjutnya musyawarah menyusun kriteria dan tugas bagi calon anggota kelompok
pengelola. Disepakati, kriterianya adalah sebagai berikut:
1. berjasa dalam proses pembuatan rimbo adat (ikut merintis).
2. ada pengalaman dalam rimbo itu sendiri.
3. terdiri dari ninik mamak, pemuda, tokoh masyarakat dan kelompok
perempuan.
BAGIAN 4-8 • Ismal Dobesto 431

Adapun tugas kelompok pengelola rimbo adat adalah mengelola rimbo adat,
mengurus izin pemanfaatan rimbo adat, melakukan pemeliharaan terhadap
tumbuhan dan hewan yang ada didalamnya, melakukan pengawasan di seluruh
kawasan rimbo adat, melaporkan kondisi rimbo adat sekali dalam tiga bulan kepada
pemerintahan desa, dan memprosesnya apabila terjadi pelanggaran.

Berdasarkan kriteria dan tugas tersebut akhirnya terpilihlah 11 orang pengurus


kelompok pengelola yang dipimpin oleh Datuk Abu Nazar. Kelompok ini terdiri
dari perwakilan tiap dusun, unsur ninik mamak, pemuda, tokoh masyarakat
dan kelompok perempuan. Untuk memperkuat kelompok ini, pemerintah desa
memberikan SK pengangkatan untuk kelompok pengelola.

Musyawarah antar dusun

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh mengenai aturan


desa tentang pengelolaan rimbo adat, pemerintahan desa melakukan kajian
mendalam di setiap dusun, melalui kegiatan musyawarah dusun. Kegiatan ini
berupaya menghimpun masukan, kritikan dan saran dari warga yang selama ini
tidak pernah terlibat dalam perumusan peraturan desa. Selain itu, kegiatan ini
bertujuan menyentuh bagian terkecil dari kelompok masyarakat desa, sehingga
setiap warga menyadari perannya dalam penyusunan peraturan desa ini. kegiatan
ini Musyawarah dilakukan secara bertahap di empat dusun, yaitu :
• Pertama dilakukan di Dusun Lubuk Beringin melibatkan peserta sekitar 20
orang yang terdiri dari unsur pemerintahan, tokoh masyarakat, pemuda dan
ibu-ibu yang ada di Dusun Lubuk Beringin.
• Kedua diadakan di Dusun Lubuk Pekan dengan peserta sekitar 20 orang,
terdiri dari unsur pemerintahan, tokoh masyarakat, pemuda dan ibu-ibu juga
pendatang/transmigran. Kegiatan ini juga menunjukkan bahwa semua warga
masyarakat yang tinggal di desa Baru Pelepat punya hak dan kewajiban untuk
memberikan pendapatnya untuk masukan Ranperdes.
• Ketiga diadakan di Dusun Pedukuh dengan peserta sekitar 20 orang terdiri
dari unsur pemerintahan, tokoh masyarakat, pemuda dan ibu-ibu, adalah
dusun yang berbatasan langsung dengan rimbo adat.
• Keempat adalah lokakarya yang terakhir diadakan di Dusun Baru Tuo, yang
sebagian besar penduduknya masyarakat asli yang masih satu garis keturunan
dan mempunyai pengaruh sangat besar dalam desa. Pesertanya sama terdiri
dari unsur pemerintahan, tokoh masyarakat, pemuda dan ibu-ibu.
432 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Musyawarah dilakukan melalui diskusi mendalam, bahkan tak jarang terjadi


perdebatan antar warga. Beberapa hal yang menonjol diantaranya soal pemanfaatan
hasil hutan non-kayu, baik di kawasan fungsi adat maupun lindung. “Kalau manisan
sialang ado dalam fungsi lindung gimano? Itu kan baguno untuk kesehatan, jika dibiaan
kan mubazir”, ujar peserta. Yang lain tetap bersikeras “Kalau dalam kawasan fungsi
lindung tetap tidak boleh namonyo sajo di fungsi lindung.”

Dari musyawarah empat dusun BPD dan Pemdes menyimpulkan hasilnya :


1. Untuk pemanfaatan hasil non-kayu hanya dapat dilakukan di dalam kawasan
fungsi adat saja.
2. Untuk mengambil hasil non-ayu dalam jumlah yang besar harus mendapat
izin dari kelompok pengelola.
3. Bagi yang mengambil hasil non-kayu melebihi batasan yang ditentukan
dikenakan bungo. Misalnya jika mengambil madu lebih dari 10 liter dikenakan
bungo madu sebesar 10% dari hasil yang didapat.
4. Dalam kawasan fungsi lindung tidak dapat dimanfaatkan demi
mempertahankan kelestarian lingkungannya.
5. Disepakati juga mengenai jumlah sanksi berupa denda uang yang sebelumnya
paling tinggi Rp. 5.000.000 menjadi Rp 2.500.000,
6. Pemanfaatan rimbo adat dapat disepakati setelah Ranperdes disahkan menjadi
Perdes melalui tanda tangan kepala desa.

Pelajaran yang didapat dalam lokakarya tingkat dusun, adanya pengalaman baru
dari warga yang selama ini tidak pernah terlibat dalam menyusun peraturan desa.
Banyak masukan warga dusun menambahkan hal-hal yang sebelumnya tidak
dipikirkan oleh tim penyusun. Dampaknya adalah tingginya rasa memiliki warga
terhadap aturan yang mereka buat sendiri. Warga dusun merasa dihargai dengan
diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat mereka.

Sosialisasi seluruh desa

Musyawarah tingkat dusun adalah penggalian terakhir tentang substansi


pengelolaan dan pemanfaatan rimbo adat. Selanjutnya, BPD dan Pemdes
memasukkan hasil musyawarah dari empat dusun tersebut sebagai tambahan
dalam substansi Ranperdes. Masukan tersebut menjadi versi terakhir (draft final)
dari rancangan peraturan desa.

Selain sebagai sarana menggali informasi, musyawarah tingkat dusun juga menjadi
sarana sosialisasi kegiatan penyusunan peraturan desa. Sosialisasi meliputi
penyampaian proses-proses yang telah dilakukan. Selain itu, bagi warga desa
BAGIAN 4-8 • Ismal Dobesto 433

yang tidak bisa baca tulis, musyawarah dusun menjadi ajang yang efektif untuk
mendengar pendapat mereka.

Sosialisasi lainnya adalah dengan menempelkan hasil Ranperdes di tempat-tempat


umum di tiap dusun, seperti di musholla, warung, maupun tempat berkumpul
masyarakat lainnya. Selama satu bulan, diberikan waktu kepada warga desa untuk
memberikan masukan, kritikan dan saran, baik secara tertulis maupun lisan.

Sidang Akhir BPD

Setelah menyiapkan perlengkapan termasuk draft final dari Ranperdes tentang


rimbo adat, BPD mengundang Pemdes, tokoh masyarakat, lembaga adat,
pemuda, kelompok perempuan, untuk mengadakan sidang pembahasan draft
final Ranperdes rimbo adat. Sidang diadakan di rumah kepala desa pada malam
hari 3 Juli 2005 dipimpin oleh ketua BPD. Sidang berjalan dengan lancar tidak
ada perubahan dengan substansi Ranperdes, hanya saja berlangsung agak lama
dalam memperbaiki kalimat-kalimat ke dalam bentuk narasi yang baik dan mudah
dipahami oleh masyarakat.

Sidang akhirnya menyepakati Ranperdes menjadi Perdes No.2/2005 dan disahkan


pada malam itu juga oleh kepala desa. Ini adalah sidang yang sangat bermakna
bagi seluruh peserta, selain berlangsung hingga dini hari, tetapi juga karena proses
yang berjalan melibatkan seluruh warga desa. Disamping karena yang diatur
adalah kepentingan orang banyak yaitu tentang hutan. Sidang ditutup dengan
membacakan do’a bersama menyatakan rasa syukur mereka telah bisa mewujudkan
peraturan desa.

Pemberitahuan kepada pihak kecamatan dan kabupaten


Sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku, setiap peraturan
yang dikeluarkan oleh desa harus disampaikan ke Bupati, Dewan Pewakilan
Rakyat Daerah (DPRD) dan kecamatan, untuk mendapatkan pengakuan.
Maka Peraturan Desa No. 2/2005 yang sudah disahkan, diberitahukan ke pihak
kecamatan dan kabupaten. Dengan tujuan untuk dilihat oleh pihak kecamatan
dan kabupaten apakah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau
tidak, jika bertentangan pihak kecamatan dan kabupaten berhak membatalkan
peraturan desa tersebut, jika tidak pihak kecamatan dan kabupaten bisa membuat
surat pernyataan setuju dengan peraturan desa yang dikeluarkan. Seandainya
pihak kecamatan dan kabupaten tidak ada tanggapan selama tiga puluh hari maka
secara otomatis peraturan desa yang diberitahukan diakui keberadaannya. Ini juga
434 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

merupakan bentuk sosialisasi ke pihak luar desa bahwa Desa Baru Pelepat telah
mengeluarkan peraturan desa tentang rimbo adat.

Pembelajaran
Dari proses di atas kita dapat melihat dengan jelas kerjasama antar pihak
yang terjadi baik secara horisontal maupun secara vertikal. Secara horisontal,
penyusunan produk hukum ini membuka komunikasi antar pihak yang ada di
desa. Pemerintahan desa memegang peranan penting dalam mengawal proses ini.
Mulai dari menyiapkan pertemuan, penggalian informasi, hingga menuangkannya
ke dalam bentuk tertulis.

Secara vertikal, komunikasi antara dusun dan desa berlangsung lebih lancar.
Kondisi ini pun membuka mata pemerintahan desa dalam melihat keanekaragaman
warganya, baik secara kelompok etnik, usia, maupun kepentingan masing-masing.
Di sisi lain, keterlibatan penuh para pihak di tingkat dusun dan desa meningkatkan
rasa kepemilikan (sense of belonging) terhadap peraturan tersebut, khususnya saat
peraturan tersebut diberlakukan. Hal ini tampak dari kasus sidang adat bagi
pelaku pembalakan liar di hutan adat (lihat lampiran). Meskipun pelaku memiliki
hubungan kekerabatan dengan para pemimpin desa, tetapi pelaku tetap dihukum
dan aturan tetap harus dilaksanakan.

Selain itu, proses ini memperlihatkan bagaimana penerapan dari pembangunan


partisipatif, yaitu keterlibatan penuh para pihak di masyarakat dalam penyusunan
kebijakan. Proses tersebut memperlihatkan kemampuan dan kemauan masyarakat
untuk saling berbagi peran dalam menyusun perencanaan bersama, implementasi,
proses monitoring dan evaluasi bersama.

Secara vertikal juga terjalin komunikasi para pihak antara desa dan kabupaten.
Hal ini memberikan pengalaman baru bagi keduanya. Di tingkat desa, keterlibatan
pemerintah daerah dirasakan penting untuk meningkatkan kepastian hukum
bagi mereka juga pengakuan atas peran masyarakat. Sementara bagi pemerintah
daerah, mereka dapat merasakan kebutuhan masyarakat secara langsung.

Selain komunikasi, pembelajaran sosial juga terjadi di antara masyarakat maupun


pemerintah daerah :
1. Keterlibatan para pihak kepentingan, baik di tingkat dusun, desa dan
kabupaten dalam memberikan masukan, kritik dan saran menjadikan
BAGIAN 4-8 • Ismal Dobesto 435

peraturan tersebut secara substansi mampu mengakomodasi kepentingan


masing-masing pihak.
2. Selama proses penyusunan ini terjadi dialog antar pihak yang mampu
mengartikulasi kebutuhan serta peran dari masing-masing pihak itu. Hal
ini semakin menyadarkan berbagai pihak untuk saling bekerjasama dalam
mengelola hutan adat mereka.
3. Kemampuan saling memahami antar pihak memungkinkan terjadinya
konsolidasi sosial di masyarakat. Ketegangan yang selama ini terjadi antar
pihak di desa, seperti pemerintah desa dengan BPD, pemerintah desa dengan
adat, dapat dikurangi.

PENUTUP
Proses penyusunan kebijakan desa secara partisipatif adalah salah satu kegiatan
perencanaan bersama yang dapat dilakukan oleh desa. Banyak kegiatan
perencanaan yang dapat dilakukan secara partisipatif seperti penyusunan tata
ruang desa, penataan batas desa, rencana pembangunan desa dan sebagainya.
Rangkaian proses penyusunan kebijakan yang dilakukan oleh Desa Baru Pelepat
bukan suatu pedoman yang harus dilakukan oleh desa atau daerah lain, disini
hanya menitikberatkan betapa pentingnya pelibatan semua pihak kepentingan,
mulai dari perencanaan bersama, proses monitoring dan evaluasi bersama oleh
masyarakat dan pemerintah.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terimakasih penulis sampaikan kepada kawan-kawan tim ACM-Jambi,
Pemerintahan Desa Baru Pelepat, lembaga adat Desa Baru Pelepat, kelompok
pengelola rimbo adat, terkhusus keluarga (istri dan anak tercinta) yang terus
mendorong penulis untuk terus berkreasi.

BAHAN BACAAN
Helmi. 2006. Dari Adat ke Peraturan Daerah. Dalam Yuliani, E.L., Tadjudin,
Dj., Indriatmoko, Y., Munggoro, D.W., Gaban, F., Maulana, F. (editor),
Kehutanan Multipihak: Langkah Menuju Perubahan. CIFOR, Bogor,
Indonesia.
436 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Laporan kegiatan Tim ACM-Jambi tahun 2003-2006.


Undang Undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Peraturan Desa No. 1/2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Desa di
Desa Baru Pelepat.
Peraturan Desa No. 2/2005 tentang Pemanfaatan dan Pengelolaan rimbo adat
Datuk Rangkayo Mulio.
Tim ACM-Jambi. 2007. Laporan Kegiatan Penataan Ulang Batas Rimbo Adat
dan Peta Digital. YGB, PSHK-ODA, CIFOR.
Yuliani, E.L., Adnan, H., Surma, E.H., Marzoni, Novasyurahati, Anggana. 2004.
Studi Potensi Kawasan Hutan Bukit Siketan, Desa Baru Pelepat,
Kabupaten Bungo, Jambi. Laporan untuk BAPPEDA Kabupaten Bungo
sebagai syarat untuk memperoleh pengakuan formal atas Hutan Adat
Desa Baru Pelepar. Cifor, Bogor, Indonesia.
Yuliani, E.L., Anggana dan Novasyurahati. 2008. Kekayaan Hutan Bukit Siketan.
Dalam: Adnan, H., Tadjudin, D.J., Yuliani, E.L., Komarudin, H.,
Lopulalan, D., Siagian, Y.L., Munggoro, D.W. (ed.) Belajar dari Bungo:
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi. CIFOR, Bogor,
Indonesia.
BAGIAN 4-8 • Ismal Dobesto 437

Lampiran 1. Proses Penyusunan Perdes No.2/2005 tentang Pemanfaatan dan Pengelolaan


rimbo adat Datuk Rangkayo Mulio di tingkat desa

Proses Penyusunan Perdes No.2/2005 tentang Pengelolaan Rimbo Adat Datuk


Rangkayo Mulio Desa Baru Pelepat
Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo-Jambi

Sejak lama, Desa Baru Tahun 2001-2003 ada program


Pelepat dan Desa Batu Agustus 2003, Integrated Conservation and
Kerbau telah memiliki Bersama ACM dilaksanakan Development Program (ICDP)
kawasan hutan adat, sebagai Musyawarah Desa yang yang membangkitkan kembali
cadangan maupun lindung. menghasilkan Kesepakatan Rimbo Adat dan Lindung desa
Pada zaman Belanda untuk pengukuhan Rimbo Adat melalui Kesepakatan
dilakukan pemasangan patok Datuk Rangkayo Muli (RADRM) Konservasi Desa (KKD),
dan tanda keberadaan penentuan dan pemetaan
kawasan ini kawasan

BPD mengumpulkan Juni 2004


Dilaksanakan Musyawarah Desa yang Proses pengukuhan di
pendapat dari masyarakat tingkat kabupaten dan
dan menyusun menjadi menyepakati aturan pengelolaan RADRM.
Aturan tersebut akan ditindaklanjuti propinsi serta pembentukan
Raperdes Forum Diskusi Multipihak
dalam bentuk Perdes dan memulai proses
pengukuhan di tingkat kabupaten

Agustus 2004, 3 Juli 2005, Musyawarah Desa


Bersama tim ACM, kami dipimpin oleh BPD untuk membahas
melaksanakan kajian dan mengesahkan Perdes Rimbo
lapangan untuk melihat Adat. Desa mengusulkan kebijakan
keaneka ragaman hayati hutan adat di tingkat kabupaten
RADRM

September 2004,
Untuk memperluas Fasilitasi BPD dalam
wawasan, kami menyusun dan
mengadakan studi banding finalisasi Raperdes
ke desa Guguk, kab. RADRM, sebagai
Merangin yang hutan wujud KEMANDIRIAN
adatnya telah dikukuhkan kami dalam mengelola
melalui SK Bupati. hutan kami

Oktober 2004, Desember 2004, Musyawarah di empat


Bersama staf Dishutbun, Melalui musyawarah Desa dusun, pembahasan
LH dan ACM melakukan dilakukan pembentukan dan penyempurnaan
survei batas fungsi adat Kelompok Pengelola draft Ranperdes
dan lindung RADRM RADRM
438 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Lampiran 2. Salah satu bentuk penegakan hukum oleh masyarakat

Ketika Hukum Berdaulat:


Penegakan Hukum oleh Masyarakat dalam Menyelesaikan
Kasus Pencurian Kayu di Rimbo Adat Datuk Rangkayo Mulio

oleh Ismal Dobesto dan Hasantoha

Belum genap satu tahun usia


Perdes No.2/2005 tentang
Pemanfaatan dan Pengelolaan
Rimbo Adat Datuk Rangkayo
Mulio disahkan, namun sudah
mendapat tantangan dalam
pelaksanannya.

Ceritanya bermula dari kabar yang


diterima Pak Abunazar, selaku
ketua kelompok pengelola rimbo
adat, dari Hamadi pada Jum’at,
16 September 2005 lalu. Hamadi
bercerita bahwa ketika ia pergi
menjalo ikan ke daerah sungai
Meliau pada 15 September 2005

© Dok. ACM-Jambi
lalu, ia melihat ada dua orang
di daerah tersebut. Kemudian ia
juga melihat balok-balok kayu di
pinggir sungai Meliau. Tak lama
kemudian ia mendengar suara
chainsaw berbunyi, tanda orang sedang menggesek kayu. Suara itu ia dengar di
sebelah kanan laju ke mudik sungai Meliau. Ketika ia terus menelusuri sungai
tersebut, tampaklah pondok darurat di sisi kanan sungai. Di sana juga tampak
beberapa orang yang ia duga melakukan penebangan di Rimbo Adat.

Cerita itu diperkuat oleh oleh Abenhur yang juga melaporkan ke Pak Abunazar
persis setelah Hamadi bercerita tentang pencurian kayu itu. “Pado waktu ambo
maagih makan kobau, tadonga dek ambo bunyi mesin sinsow, rasonyo dalam kawasan
rimbo adat itu nian! Kalau io Pak tongah! Sekali iko jangan dilimbagokan yoolai, harus
ditindak sampai tuntas, menuruik ambo bia tumbuah terjadi diabak ambo, sedikik tidak
BAGIAN 4-8 • Ismal Dobesto 439

ado limbagonyo, kalu kito masih memakai limbago rimbo adat itu ancua, untuk
yang kadatang tidak usah dibuek limbago adat juo lai,” begitu ceritanya berapi-api
kepada Pak Ketua kelompok pengelola.

Mendapat dua informasi itu, Pak Abunazar segera mencari informasi lebih
lengkap ke beberapa warga baik di Desa Baru Pelepat maupun Batu Kerbau.
Dari hasil tanya-sana-tanya-sini, akhirnya didapatlah informasi bahwa salah
seorang warga Belukar Panjang, Desa Batu Kerbau memang ada mengambil
kayu hingga masuk ke kawasan rimbo adat. Orang itu bernama Tumpul.

Untuk memastikan kebenaran berita itu, ditemuilah Tumpul dan menanyakan


kebenaran berita tersebut. Tanpa mengelak Tumpul pun mengakui bahwa ia telah
mengambil kayu di kawasan rimbo adat. Pak Abunazar lalu memberitahukan
soal Perdes No.2/2005 berkenaan dengan pengelolaan dan pemanfaatan
rimbo adat serta sanksi jika ada pelanggaran. Mendengar hal itu, Tumpul pun
berjanji bersedia untuk menjalankan sanksi tersebut. Namun, sebelum sanksi
dijatuhkan, akan diadakan terlebih dahulu musyawarah adat yang membahas
soal ini.

Untuk memperkuat bukti-bukti pelanggaran tersebut, Pak Abunazar kemudian


meminta salah seorang anggota kelompok pengelola, yaitu Bang Mizi, untuk
melakukan pengecekan ke lokasi pencurian tersebut. Pada Sabtu, 17 September
2005, Bang Mizi dengan membawa Ramadon (anaknya, 8 th), pergi melakukan
pengecekan ke lokasi. Di tempat tersebut, ia menemukan beberapa pohon
sudah ditebang, bahkan sudah dijadikan kayu balok, setidaknya terdapat 10
kotong. Sedangkan lokasinya memang berada di kawasan rimbo adat.

Keesokan harinya, Minggu, 18 September 2005, datanglah bapak mertua


Tumpul ke tempat Pak Abunazar. Ia menyampaikan telah melarang Tumpul
untuk mengambil kayu balok di sebelah kanan laju mudik sungai Meliau, karena
itu termasuk kawasan rimbo adat. Kalau mau mengambil sebaiknya di kiri laju
mudik. Namun tampaknya hal tersebut tidak dihiraukan oleh Tumpul. Pak Abu
tak banyak menanggapi berita itu, ia hanya mencatat dan menjadikan bukti
penguat telah terjadi pelanggaran di rimbo adat dalam musyawarah nanti.

Setelah bukti-bukti yang dikumpulkan dirasakan cukup kuat, Pak Abunazar


atas nama kelompok pengelola rimbo adat lalu membuat surat tertanggal 19
September 2005 yang ditujukan kepada Ketua Lembaga Adat Desa Baru Pelepat.
Surat tersebut berisikan permohonan untuk menyelenggarakan musyawarah
adat berkaitan dengan adanya pelanggaran di rimbo adat. Hal ini dilakukan
440 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

karena menurut Perdes No.2/2005 yang berwenang untuk menyelenggarakan


sidang adat adalah lembaga adat.

Namun sayangnya lembaga adat tidak segera menanggapi surat tersebut. Hingga
dua minggu tidak ada kabar berita mengenai tindak lanjut dari surat tersebut.

Karenanya, seusai dilaksanakan pengukuhan kelompok pengelola oleh Bupati


Bungo pada 2 Oktober 2005, kelompok pengelola lalu mengadakan pertemuan
untuk membicarakan penyelesaian kasus pelanggaran di rimbo adat dan menyusun
rencana tindak lanjutnya. Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan:
1. mengupah orang untuk mengeluarkan kayu atau barang bukti dari rimbo
adat untuk kemudian kayu tersebut dijual. Hasil penjualan, akan digunakan
untuk membiayai sidang adat dan operasional kelompok pengelola.
2. Mengirimkan kembali surat susulan kepada lembaga adat yang isinya meminta
kepada lembaga adat untuk menyelenggarakan sidang adat berkaitan dengan
penyelesaian kasus pencurian kayu di rimbo adat.

Surat susulan tersebut tertanggal 18 November 2006. Namun kembali tidak ada
tanggapan dari lembaga adat atas surat tersebut. Pada saat itu di masyarakat
pun mulai muncul pertanyaan; mengapa lembaga adat tidak cepat menyelesaikan
masalah ini? Setelah menunggu sekian lama, akhirnya kelompok pengelola
berinisiatif membicarakan hal ini kepada pemerintahan desa. Kepala desa segera
menanggapinya dengan meminta secepatnya melaksanakan sidang adat. Ia
menyediakan rumahnya untuk menjadi tempat persidangan. Pihak pengundang
adalah kelompok pengelola, sedangkan yang diundang, selain tersangka, saksi-
saksi, juga lembaga adat, BPD, Pemdes, ninik mamak, tokoh masyarakat.

Kelompok pengelola pun bergerak cepat. Undangan segera dibuat dan dikirimkan
pada 20 November 2005, sedangkan sidang direncanakan pada 25 November
2005 bertempat di rumah kepala desa.

Sidang pun dilaksanakan pada tanggal dimaksud. Sayangnya tertunda beberapa


jam karena menunggu kehadiran Kades dan Ketua BPD. Sidang baru bisa di mulai
sekitar jam 23.00, undangan pun tidak sepenuhnya hadir, namun dianggap cukup
mewakili kelompok masyarakat yang ada.

Sidang diawali dengan penyampaian pengantar dan duduk persoalan mengapa


sidang adat itu perlu dilaksanakan oleh ketua kelompok pengelola. Setelah itu
sidang pun diserahkan kepada ketua lembaga adat dan sekaligus memimpin sidang
serta menerima berkas perkara dari ketua kelompok pengelola.
BAGIAN 4-8 • Ismal Dobesto 441

Dalam pembukaannya, Datuk Arif, selaku ketua lembaga adat, menyampaikan


bahwa baruak dirimbo disusukan anak dipangku dilapehkan, artinya siapapun
pelanggarnya kebenaran harus ditegakkan, tidak memandang bulu. Bang Hamdan,
selaku kepala desa dalam sambutannya juga berpendapat senada. “Yang salah tetap
salah, kami tidak akan bersifat belah buluh dalam perkara ini, silahkan mengeluarkan
pendapat jangan malu dan segan dengan saya, sekalipun si Tumpul masih ada hubungan
keluarga dengan saya.”

Saat berjalannya sidang, Bang Mirul, selaku ketua BPD turut membantu lembaga
adat dengan menggali satu-persatu pendapat peserta sidang tentang pencurian
kayu di rimbo adat. Dari penggalian ini didapat kata sepakat bahwa tersangka
terbukti bersalah. Sidang pun berlanjut untuk menentukan besarnya sanksi
dan denda yang mesti diberlakukan kendati Perdes No.2/2005 sudah cukup
jelas mengatur sanksi dan denda yang harus dibayarkan, namun sidang berjalan
sangat alot. Sebagian menganggap bahwa terdakwa harus membayar sebagaimana
tercakup pada Perdes No.2/2005, yaitu kambing satu ekor, seasam segaram, beras
dua puluh gantang, kain dua kayu; uang minimal Rp. 2 500.000; hasil kayu dan
non kayu disita dan dijual. Namun sebagian lain cukuplah terdakwa membayar
denda adat saja tanpa denda uang. Menghadapi situasi ini, Bang Mirul, lagi-lagi
menggali pendapat satu-persatu ke seluruh peserta sidang perihal sanksi apa yang
sebaiknya diberikan kepada terdakwa.

Akhirnya disepakati bahwa terdakwa akan dikenai sanksi adat dan denda uang.
Hanya saja belum disepakati berapa besar denda uang yang harus diberikan.
Kembali sidang berjalan alot. Kemudian pimpinan sidang menanyakan kesanggupan
terdakwa untuk membayar sanksi tersebut. Terdakwa mengakui kesalahannya,
namun ia meminta pertimbangan peserta sidang, bahwa ia tidak menyengaja
melakukannya, lagipula ia tidak mengetahui adanya Perdes No.2/2005 tersebut.
Selain itu, dengan keadaan saat ini, ia tidak sanggup bila harus membayar sanksi
dan denda seperti termuat pada Perdes No.2/2005.

Pimpinan sidang kemudian mengembalikan ke peserta mengenai permohonan


terdakwa tersebut. Sidang kemudian memutuskan bahwa terdakwa harus
membayar sanksi adat berupa kambing seekor, seasam segaram, dua puluh
gantang beras, dan kain dua kayu. Namun hingga larut malam, sidang belum
mampu memutuskan apakah terdakwa juga harus membayar denda uang. Saat itu
ada tiga pendapat yang berkembang, yaitu terdakwa membayar separuhnya (Rp.
1.250.000) sebagaimana diusulkan oleh Datuk Gani, atau Rp. 500.000 (diusulkan
oleh Pak Abunazar), atau tidak membayar sama sekali seperti yang diusulkan
Datuk Arif.
442 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Abdullah, salah seorang anggota kelompok pengelola, keberatan dengan usulan


tersebut karena tidak sesuai dengan Perdes No.2/2005. Ia meminta kepada ninik
mamak untuk memutus perkara dengan pertimbangan masak-masak. “Kito la susah
payah membuat kesepakatan Perdes, hari berganti hari, bulan berganti bulan, bahkan
sampai satu tahun, jadi jangan rubah semua kesepakatan yang telah kita buat besama,
artinya yang salah harus dihukum sesuai dengan perdes, paling tidak denda uang harus
dibunyikan tidak masalah jumlahnya sedikit atau banyak,” begitu jelasnya dengan
penuh berapi-api.

Sayangnya, karena malam sudah terlalu larut, dan sebagian peserta sudah lelah.
Akhirnya usulan agar diberikan sanksi adat saja diterima. Dengan pertimbangan
ini adalah kasus yang pertama, selain itu terdakwa tidak menyanggupi kalau
ditambah denda uang. Terdakwa harus membayar sanksi adat berupa seekor
kambing, seasam segaram, dua puluh gantang beras, dan kain dua kayu yang harus
dibayarkan 14 hari terhitung sejak keputusan tersebut dibuat. Dengan tidak puas
akhirnya hal tersebut diterima oleh peserta sidang adat.

Keesokan harinya, sebagian masyarakat bertanya-tanya mengenai hasil sidang adat


tersebut, mengapa Tumpul hanya dikenakan sanksi adat saja? Padahal menurut
Perdes No.2/2005 disebutkan pula denda uang. Mereka merasa percuma telah
membuat peraturan dengan susah payah tapi tidak dijalankan. Mereka menuntut
agar denda uangnya dibunyikan, tak masalah jumlah yang harus dibayarkannya.
Tuntutan ini penting karena itu berdsarkan keputusan bersama. Bila hal itu tidak
dilaksanakan, berarti masih ada limbago, ada ketidakadilan dalam pelaksanaan
hukum. Bila hal ini nanti terulang kembali, maka masyarakat akan selalu mengacu
pada hasil sidang pertama ini. Dan ini artinya mengkhianati kesepakatan yang
telah dibangun bersama di tingkat dusun hingga desa untuk menjaga rimbo adat.
Bahkan ada yang secara emosional menganggap bahwa keputusan tersebut sama
saja dengan menghancurkan rimbo adat secara perlahan.

Melihat banyaknya masyarakat yang tak puas dengan keputusan tersebut.


Beberapa anggota masyarakat kemudian membuat surat pernyataan keberatan
atas keputusan hasil sidang adat. Dalam surat tersebut mereka meminta agar
sidang diulang kembali dan denda uang dihidupkan kembali. Apabila hal tersebut
tidak dilaksanakan, mereka tidak menjamin kelangsungan rimbo adat di masa
mendatang. Surat tersebut ditujukan kepada lembaga adat desa, kades, ketua
BPD, ketua kelompok pengelola, dan ditandatangani oleh sekitar 24 orang terdiri
dari perwakilan masyarakat termasuk kelompok perempuan.
BAGIAN 4-8 • Ismal Dobesto 443

Tiga hari setelah mendapat surat keberatan tersebut, ketua kelompok pengelola
berkonsultasi dengan kepala desa dan ketua BPD untuk mencari jalan
penyelesaiannya. Hasilnya disepakati agar sidang adat tidak usah diulang, namun
denda uang tetap dihidupkan. Saat itu disepakati bahwa denda uang yag harus
dibayar oleh terdakwa sebesar Rp. 200.000. Mendengar keputusan ini, maka
masyarakat pun tidak lagi bertanya-tanya mengenai keputusan sidang adat
tersebut.

Pada 10 Desember 2005 dilaksanakanlah acara pembayaran denda adat di rumah


ketua lembaga adat. Saat itu diserahkan seekor kambing, seasam segaram, dua
puluh gantang beras dan kain 2 kayu. Kambing dipotong dan seasam segaram
menjadi bumbunya. Nasi pun ditanak menjadi santapan bersama masyarakat
desa. Pada saat itu pula disebutkan kembali kewajiban terdakwa untuk membayar
denda uang sebesar Rp.200.000.

Menjalani itu semua masyarakat merasa puas, karena telah mampu melaksanakan
kesepakatan yang telah disusun bersama-sama. Ujian pertama telah berhasil
dilalui dengan baik. Apakah masyarakat masih mampu menghadapi ujian-ujian
lainnya? Semoga...
BAGIAN 4-9
Menata Ruang Desa:
Jalan menuju Komunikasi dan Kolaborasi

Marzoni

Kami indak biso membuek aturan-aturan di dalam ladang kami, jiko’ ladang itu indak
tau uteh jo batehnyo (kami tak bisa membuat aturan dalam mengatur ladang kami jika
kami tidak tahu dimana batas-batasnya).
Kuris (48 th), kadus Lubuk Pekan, Desa Baru Pelepat, Jambi.
BAGIAN 4-9 • Marzoni 445

© Dok. ACM-Jambi
PENDAHULUAN
Pernyataan di bagian muka muncul saat kami memulai kegiatan penelitian-
pendampingan ACM di Desa Baru Pelepat dalam sebuah workshop desa yang
menggagas perlunya menata ruang desa sebagai wujud implementasi otonomi desa.
Hal ini penting, karena dalam konteks otonomi desa, penataan ruang berperan
sebagai dasar pembangunan desa.

Tata ruang adalah cara pembagian wilayah dan pola pemanfaatan ruang
berdasarkan fungsi dan kepentingan tertentu, baik direncanakan maupun tidak.
Dalam penataan ruang terdapat tiga aspek utama, yaitu proses perencanaan dan
pembentukan tata ruang, prinsip pemanfaatan ruang, serta aspek pengendalian
(pengawasan) pemanfaatan ruang. Tata ruang disusun untuk meningkatkan
mutu lingkungan hidup dan pemanfaatannya, yang merupakan perpaduan antara
tata guna tanah, air, udara dan tata guna sumberdaya lainnya. Jika ketiga aspek
tersebut dapat diterapkan di dalam implementasi sebuah tata ruang maka manfaat
dari sebuah tata ruang akan terasa sangat besar.

Seiring dengan berjalannya otonomi daerah berdasarkan UU No. 22/1999, yang


kemudian direvisi melalui UU No. 32/2004, pemerintah daerah diberi kewenangan
446 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

yang luas dalam mengatur, membagi dan memanfaatkan sumberdaya alam. Dalam
hal ini, tata ruang memegang peranan yang sangat penting sebagai kerangka
yang menetapkan peluang dan batasan bagi kegiatan pembangunan. Sehingga
perencanaan tata ruang adalah awal dasar dan panduan bagi perencanaan
pembangunan.

Berdasarkan UU No. 24/1992, terdapat 3 tingkatan rencana tata ruang, yaitu


nasional, propinsi, dan kabupaten yang satu sama lain perlu saling berkoordinasi.
Selain pemerintah, melalui Permendagri No. 9/1998 tentang Tata Cara Peran
Serta Masyarakat dalam Proses Perencanaan Tata Ruang di Daerah, diperjelas
mengenai keterlibatan masyarakat luas dalam perencanaan, pemanfaatan dan
pengendalian pemanfaatan tata ruang.

Secara ideal, penataan ruang kabupaten berisi penjabaran dari tata ruang desa
(TRD). Desa menjadi penopang pembangunan dan kelangsungan kabupaten.
Keberhasilan pembangunan dan keberadaan kabupaten sangat ditentukan oleh
berhasil-tidaknya pembangunan desa-desa yang berada di wilayahnya. Pada saat
yang sama, pembangunan desa sangat tergantung dari sarana dan prasarana
yang disediakan pemerintah beserta peraturan pemerintahnya. Hubungan ini
memperlihatkan adanya saling mendukung antar satu sama lain.

Sayangnya, dalam penataan ruang, UU No. 24/1992 hanya menyebutkan tata


ruang desa sebagai bagian dari tata ruang kabupaten. Ini tentunya kurang sejalan
dengan semangat otonomi desa yang memberi kewenangan desa untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat desanya. Selain itu keterbatasan dana,
kurangnya dukungan kapasitas dan lemahnya kemampuan lembaga, seringkali
menghambat peran dari tata ruang desa ini.

Padahal, banyak pula yang melihat penyusunan TRD sebagai satu bentuk
keterlibatan langsung dalam proses penataan ruang daerah oleh masyarakat.
Selain itu, ada keinginan yang besar untuk melihat seberapa jauh peran tata
ruang desa mempengaruhi strategi pengelolaan sumber daya alam dan rencana
pembangunan pedesaan.

Tulisan ini memperlihatkan proses panjang serta pembelajaran dalam menyusun


tata ruang desa yang dilakukan secara kolaboratif. Perbedaan pandangan dan
pengetahuan antar pihak justru menjadi jalan menuju komunikasi, saling belajar
dan kerjasama banyak pihak, baik di dalam desa maupun pihak lain di luar desa.
Selain itu penyusunan tata ruang menjadi sarana untuk menyelesaikan persoalan
batas desa dengan baik.
BAGIAN 4-9 • Marzoni 447

MENGAPA PERLU PENATAAN RUANG?


Beberapa hal yang melatarbelakangi perlunya penataan ruang di Desa Baru
Pelepat, pertama, adanya berbagai persepsi ruang di desa yang saling tumpang
tindih satu sama lain. Selama ini masyarakat desa mengenal pembagian ruang
secara adat (penentuan lahan untuk berladang, jenis tanaman, dll). Namun sejak
1998 mereka juga mengenal tata ruang transmigrasi1, tata ruang administrasi desa,
dan lainnya.

Kedua, dengan dilaksanakannya program transmigrasi di desa, terjadi pembukaan


areal 300 ha kebun karet tua menjadi wilayah permukiman transmigrasi dan lahan
usaha (LU). Belakangan baru disadari ternyata hal tersebut merugikan masyarakat
dengan hilangnya sumber matapencaharian dari hasil kebun karet. Selain itu,
karena penataan ruang yang kurang memperhitungkan akses jalan, lahan usaha
akhirnya terbengkalai, disamping ketiadaan pemodal sebagaimana dijanjikan.
Dampak selanjutnya, masyarakat kemudian melakukan pembalakan di hutan-
hutan sekitar desa sebagai mata pencaharian. Kegiatan ini kemudian terhenti
seiring dengan semakin sulitnya mendapatkan kayu dan diberlakukannya Inpres
tentang penebangan liar. Kondisi ini kemudian membuka pemikiran masyarakat
mengenai perlunya penataan ruang secara partisipatif dan berkelanjutan.

Ketiga, adanya berbagai rencana program pengembangan pertanian di desa.


Sepanjang 2004-2005 teridentifikasi sekitar 13 program pertanian, perkebunan
dan kehutanan dilaksanakan di Desa Baru Pelepat. Implementasi program-program
ini tentunya membutuhkan perencanaan lahan dan kesiapan dari masyarakat.

Peran, Tujuan dan Sasaran Penyusunan TRD


Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan penyusunan TRD:
a. Sebagai dasar dalam penyusunan rencana pembangunan kecamatan/
kabupaten (melalui mekanisme musyawarah rencana pembangunan desa).
b. Penyusunan TRD dengan melibatkan seluruh masyarakat, sehingga tergali
kebutuhan, visi dan rencana kegiatan pembangunan ke depan.
c. Penataan ruang juga membantu dalam mempertajam program-program
pembangunan maupun pertanian dari pemerintah, sehingga program tersebut
tidak mubazir. Hal ini karena program yang diturunkan oleh pemerintah

1 Istilah ini muncul dengan masuknya program transmigrasi pada 1998 di Desa Baru Pelepat. Tata ruang transmigrasi dimaksudkan sebagai perencanaan
dan pemanfaatan ruang di wilayah desa yang menjadi lokasi program transmigrasi.
448 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

tidak menjadi kebutuhan bagi masyarakat. Atau kendati dibutuhkan, namun


masyarakat tidak siap, sehingga program tersebut gagal dan hanya membuang
duit saja.
d. Selain itu, penataan ruang juga berperan sebagai kendali dan pemantauan
dalam pemanfaatan potensi yang ada di desa. Misalnya kawasan yang
sudah disepakati untuk menjadi lahan perkebunan dipertahankan sebagai
perkebunan, bukan sebagai permukiman, misalnya. Karenanya partisipasi
masyarakat menjadi menentukan dalam proses penyusunan tata ruang ini.
Tujuan yang hendak dicapai dalam penyusunan TRD adalah:
a. Terciptanya keserasian perkembangan kegiatan pertanian dalam menunjang
wilayah sekitarnya, termasuk didalamnya kesatuan sistem atau keterkaitan
sosial ekonomi.
b. Terkendalinya konservasi pemanfaatan ruang sehingga dapat tercegahnya
kerusakan lingkungan.
c. Terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan prasarana dan sarana yang
menunjang produktivitas pengumpulan pemasaran hasil produksi
pertanian.
d. Terciptanya lingkungan perumahan dan permukiman yang layak, bersih,
sehat dan aman dengan tersedianya prasarana dan sarana air bersih, air
limbah, pendidikan, sosial, ekonomi, ibadah dan sebagainya.

Sedangkan sasaran yang hendak dicapai dalam penyusunan TRD adalah:


a. Tersusunnya strategi pengembangan wilayah perdesaan sebagai wilayah yang
mempunyai kedudukan strategis.
b. Tersusunnya rencana pengembangan prasarana dan sarana dasar wilayah
perdesaan.
c. Tersusunnya struktur pemanfaatan ruang wilayah perdesaan sebagai wujud
dari alokasi kegiatan dalam suatu wilayah.
d. Tersusunnya prioritas pembangunan di kawasan pedesaan (berdasarkan
Sektor, Indikasi Program Pembangunan, Lokasi Tahapan Pelaksanaan 5
Tahun I dan 5 Tahun ll).
BAGIAN 4-9 • Marzoni 449

Proses Panjang Kolaborasi dalam


Menyusun Tata Ruang Desa

Pengumpulan informasi
dan musyawarah untuk
perencanaan TRD
Kegiatan pengumpulan informasi
diawali dengan menyelenggarakan
© Hasantoha Adnan
lokakarya diikuti oleh masyarakat
desa di Kecamatan Pelepat, wakil
dari Balai Taman Nasional Kerinci
Sebelat, Bappeda Bungo, Dinas
Kehutanan dan Perkebunan, Dinas
Nakertrans, Dinas Pertambangan, Dinas Pertanian, ICRAF–Ma. Bungo dan Tim
ACM-Jambi. Lokakarya ini selain menggali pemahaman peserta tentang tata ruang
desa juga mengidentifikasi hal-hal yang menjadi permasalahan dalam menyusun
tata ruang desa. Melalui lokakarya diketahui bahwa hingga saat ini belum ada
satupun desa yang telah menyusun tata ruang sebagai landasan pembangunan
desanya. Selain itu, di tingkat kabupaten sendiri tata ruang masih difokuskan
pada tata ruang kabupaten dan kecamatan, dan belum memfokuskan ke desa. Hal
ini dikarenakan terbatasnya pembiayaan daerah.

Beberapa persoalan yang muncul diantaranya perbedaan antara tata ruang adat,
yang selama ini menjadi acuan di desa, dengan tata ruang yang diusulkan oleh
pemerintah. Misalnya, seperti di Batu Kerbau dan Baru Pelepat, secara adat,
beberapa kawasan dijadikan hutan (rimbo) adat secara turun temurun, tetapi
dalam kenyataannya kawasan tersebut masuk ke dalam kawasan hutan produksi.
Persoalan lain mencakup masalah tata batas antar desa, karena ada perbedaan
antara batas yang diatur secara administratif dengan batas adat yang juga diakui
oleh masyarakat.

Pembuatan sketsa desa


Pembuatan sketsa dimulai dengan cara memperkirakan perkembangan yang
mungkin terjadi pada 10 tahun yang akan datang. Metoda yang digunakan
adalah ”skenario masa depan.” Hasilnya adalah adanya perkiraan kebutuhan dan
kemungkinan yang dapat terjadi pada 10 atau 15 tahun yang akan datang. Sebagai
450 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

contoh,masyarakat merencanakan adanya sebuah jembatan yang menghubungkan


satu hamparan lahan pertanian dengan hamparan lainnya di desa kami pada
10 tahun yang akan datang. Akan tetapi karena ada peluang pembangunan
infrastruktur desa oleh pemerintah kabupaten, maka jembatan tersebut ternyata
tidak harus menunggu 10 tahun. Pembuatan sketsa menjadi langkah awal dalam
penataan ruang sebagai wujud struktural pembagian ruang secara nyata dan
tertata.

Pertemuan desa selanjutnya adalah memperkaya sketsa perencanaan ruang desa


dengan data dan pengetahuan serta kondisi faktual yang diperoleh dari berbagai
anggota masyarakat. Untuk memastikan keterwakilan antar kelompok atau
lembaga di desa, juga untuk adanya saling berbagi pengetahuan dan pengalaman
antar mereka, pertemuan ini dihadiri oleh perwakilan dari ibu-ibu, pemuda, tokoh
masyarakat, pemerintah desa, BPD dan Lembaga Adat Desa. Pada tahap ini, sketsa
desa dilengkapi dengan data dan kondisi faktual sesungguhnya. Selain itu sketsa
desa juga dilengkapi dengan rencana peruntukan ruang. Sehingga sketsa itu akan
berisi informasi masa lalu dan masa depan. Sketsa inilah yang kemudian dibahas
kembali untuk disepakati oleh seluruh anggota masyarakat desa dan disahkan
secara tertulis.

Membuat kesepakatan pemanfaatan ruang desa


Musyawarah desa untuk menyusun sketsa desa berisi batas-batas dengan desa
tetangga, identifikasi pemanfaatan lahan-lahan yang ada, dan identifikasi potensi
pengembangan desa ke depan. Dari identifikasi tersebut tergali tiga kaidah umum
penataan ruang di desa, yaitu untuk pemukiman dan fasilitas umum, konservasi
dan perlindungan, serta usaha dan pengembangan ekonomi.

Melakukan kegiatan bersama dengan pihak terkait

Pembuatan kesepakatan batas wilayah desa

Seperti banyak terjadi di tempat lain, batas wilayah kelola masyarakat, baik
itu batas administrasi desa maupun batas wilayah adat, seringkali tidak jelas di
lapangan. Bahkan kesepakatan dengan pihak lain yang berbatasan pun tidak ada.
Hal ini menjadi salah satu penghambat yang cukup signifikan bagi pengelolaan
sumberdaya alam, karena tak jarang menimbulkan konflik. Karenanya, kegiatan
pemetaan dan negosiasi tata batas menjadi salah satu solusinya.
BAGIAN 4-9 • Marzoni 451

Dengan adanya batas-batas yang


jelas, masyarakat merasakan
adanya kepastian untuk mengelola
sumberdaya alam yang ada dalam
wilayah Baru Pelepat. Seperti
diungkapkan salah seorang tokoh
masyarakat, “Bagaimana kita
hendak membuat aturan agar

© Dok. ACM-Jambi
orang lain tidak mengganggu
kebun kita jika batas-batas kebun
itu tidak diketahui dan tidak
disepakati?”.

Sebagai langkah awal masyarakat menyusun perencanaan kegiatan, mulai


dari diskusi kelompok terfokus di setiap dusun hingga ke tingkat desa. Selain
itu juga dilakukan diskusi-diskusi informal dalam kelompok yang kecil untuk
membincangkan sejarah desa, pengetahuan batas adat atau alam, serta perkiraan
hambatan dalam menegaskan batas wilayah.

Kemudian diadakan musyawarah tingkat desa untuk membuat perencanaan yang


lebih matang, mengenai kejelasan wilayah dan batas-batas desa. Yang perlu diingat
adalah bahwa tujuan penegasan wilayah bukan untuk membuat konflik dengan
desa tetangga melainkan untuk memperjelas wilayah tetangga yang berbatasan
dengan wilayah Desa Baru Pelepat. Refleksi juga mengulang kembali cerita
sejarah para pendahulu yang juga berkaitan dengan batas wilayah. Sejak menjadi
pemerintahan desa pada 1980an, wilayah desa tidak lagi sesuai berdasarkan adat.
Selain itu, tak jelas benar apa persepsi masyarakat desa tetangga tentang batas
mereka. Apakah mereka sudah punya batas yang jelas ataukah belum. Apakah
mereka juga mempunyai batas sesuai sejarah adat? Hal inilah yang kemudian kami
jajaki dan musyawarahkan dengan desa-desa tetangga tersebut. Sebagai bahan
acuan akan digunakan peta wilayah desa yang telah dibuat BPN Kabupaten Bungo
tahun 2000. Disepakati pula bahwa negosiasi dilakukan pertama kali kepada
masyarakat desa-desa tetangga dulu, setelah itu baru melibatkan pemerintah.

Kemudian disusunlah perencanaan pemetaan wilayah. Pertama, akan dilakukan


musyawarah dengan Desa Sungai Beringin, Desa Pulau Tebakar, dan Desa Rantel.
Desa Batu Kerbau batasnya dianggap sudah jelas, masih merupakan kesatuan
adat Desa Baru Pelepat sehingga diasumsikan tidak akan sulit, namun akan ada
pemberitahuan juga ke desa tersebut. Kedua, setelah ada kesepakatan barulah
dicari batas-batasnya dan ditentukan titik koordinatnya. Proses ini direncanakan
452 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

juga dilakukan dengan cara merintis atau berjalan menyusuri batas keliling wilayah
desa.

Sesuai dengan perencanaan desa tersebut maka dikirim utusan ke desa-desa


tetangga (Sungai Beringin dan Pulau Tebakar). Penyampaian dilakukan secara
lisan sekaligus bermaksud mengetahui persepsi pihak desa tetangga atas undangan
yang disampaikan.

Tanggapan dari Desa Sungai Beringin dan Pulau Tebakar rupanya positif. Menurut
kepala desa dan kepala dusun, serta ninik mamak di Desa Sungai Beringin, atas
nama masyarakat Desa Sungai Beringin menyambut baik maksud dari undangan
yang disampaikan dan bersedia untuk memenuhi undangan dari masyarakat Desa
Baru Pelepat. Begitu juga tanggapan yang disampaikan oleh masyarakat Pulau
Terbakar. Proses musyawarah tentang tata batas antar desa ini memang baru
pertama kali ini diadakan.

Akhirnya pertemuan pun terselenggara sesuai undangan. Perwakilan dari Pulau


Tebakar datang ke Desa Baru Pelepat, sedangkan dari Desa Sungai Beringin
berhalangan memenuhi undang dan hanya memberikan informasi tentang persepsi
mereka melalui surat resmi dari desanya. Dari hasil pembicaraan bersama, persepsi
dari masing-masing pihak tentang tata batas dapat dikomunikasikan. Ternyata
memang terdapat persepsi yang berbeda tentang batas menurut cerita adat dari
masing-masing desa selain memang desa-desa tetangga juga tidak tahu batas
wilayah mereka di lapangan.

Lanjutan dari pertemuan tersebut adalah meninjau bersama ke lapangan untuk


sekalian menentukan titik-titik batas yang disepakati. Kegiatan ini memang
berjalan lambat karena semuanya memerlukan proses, selain waktu masyarakat
yang terbatas, karena dipergunakan untuk kegiatan mengelola ladang sehari-hari,
kendati jarak kebunnya jauh dari permukiman. Pelajaran yang dapat diperoleh
misalnya bahwa minimal dalam masyarakat sendiri berkembang wacana soal tata
batas mereka dan semua dikomunikasikan dan didiskusikan bersama. Hal lain juga
berarti masyarakat desa-desa tetangga turut belajar dalam proses ini. Sengaja atau
tidak, rasa peduli mereka terhadap wilayah yang menjadi hak kelola mereka.

Pemetaan partisipatif

Pemetaan partisipatif adalah penyusunan peta dilakukan secara bersama-sama


antar warga masyarakat, yang bertujuan saling melengkapi informasi antar satu
sama lain. Pemetaan partisipatif diawali dengan musyawarah tingkat dusun, desa
BAGIAN 4-9 • Marzoni 453

dan adat untuk menggali dan mengumpulkan berbagai informasi tentang batas,
kondisi dan potensi desa. Dalam musyawarah ini juga ditentukan langkah kerja
selanjutnya serta informasi dan kebutuhan apa saja yang akan dihimpun dalam
peta tersebut.

Setelah informasi terkumpul, dilanjutkan dengan mematangkan kapasitas


masyarakat, diantaranya melalui pelatihan pemetaan partisipatif. Dalam pelatihan
ini, masyarakat selain diperkenalkan dengan prinsip-prinsip pemetaan partisipatif,
juga dibekali dengan keterampilan untuk menggunakan alat, seperti GPS, kompas,
meteran, pembuatan peta dua dan tiga dimensi.

Setelah masyarakat memiliki keterampilan tersebut, maka pengumpulan data pun


dapat dilakukan. Pengumpulan data dilakukan oleh tim yang mewakili multipihak
desa. Tim inilah yang melakukan pengecekan lapangan (ground check) ke lokasi-
lokasi yang disebutkan secara adat. Seperti batas adat pada umumnya, kondisi
atau karakteristik alam menjadi patokan dalam batas tersebut, seperti hulu sungai,
pematang bukit maupun tumbuhan-tumbuhan khas setempat.

Hasil dari pengumpulan data lalu diperiksa secara bersama-sama. Data-data


itu kemudian diolah, dianalisis dan didiskusikan bersama masyarakat. Hasil
pemeriksaan bersama ini kemudian dipindahkan ke dalam peta dua dimensi (peta
kertas) dan peta tiga dimensi.

Yang terpenting dari keseluruhan proses ini adalah adanya kesepakatan antar
masyarakat.

Penataan batas wilayah rimbo adat

Salah satu bentuk pemanfaatan lahan


adalah rimbo adat. Kendati sudah pernah
dilakukan penataan batas rimbo adat saat
proyek ICDP-TNKS dulu, setelah 3 tahun,
batas-batas tersebut sudah tidak kelihatan
lagi. Karenanya dibutuhkan penataan
ulang batas rimbo adat. Selain untuk
kejelasan, juga sebagai bahan pendukung
dalam penyusunan peraturan desa tentang
© Dok. ACM-Jambi

pemanfaatan rimbo adat.


454 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Untuk itu dilaksanakanlah penataan batas wilayah rimbo adat. Mengingat adanya
keinginan masyarakat desa agar rimbo adat mereka diakui oleh pihak pemerintah
kabupaten, maka saat penataan batas selain melibatkan multipihak desa, juga
melibatkan pihak-pihak terkait di tingkat kabupaten, seperti DPELH, Dishutbun,
Bappeda dan BPN.

Penataan batas rimbo adat, selain untuk menentukan batas wilayahnya, juga
untuk menentukan batas fungsi, antara fungsi lindung dan adat. Fungsi lindung
dimaksudkan kawasan tersebut sebagai daerah tangkapan air dan suaka bagi flora
dan faunanya. Di kawasan ini tidak boleh ada usaha pemanfaatan yang bertujuan
eksploitasi. Sedangkan fungsi adat membolehkan pemanfaatan kayu dan non-
kayu di kawasan ini, namun diatur sepenuhnya secara adat. Penataan batas fungsi
ini ditandai dengan pemasangan pelat alumunium yang ditempelkan di batang
pohon 2.

Dalam melakukan kegiatan ini, tim dibagi ke dalam gugus tugas, yaitu merintis
jalan; memasang pelat; pengukur jarak; juru catat nama, diameter dan tinggi
pohon yang dipasang tanda batas; logistik dan perlengkapan; serta juru kompas
menentukan arah atau rute perjalanan.

Hasil dari kegiatan ini, selain adanya batas yang jelas antara fungsi adat dan
lindung di rimbo adat, serta teridentifikasinya potensi keanekaragaman hayati,
juga terjalinnya komunikasi yang intensif dengan pihak pemerintah kabupaten.

Pembuatan peta tata


ruang desa

Penyusunan peta tata ruang


desa diawali dengan membuat
perencanaan ke depan. Perencanaan
ini menggunakan metode skenario
© Dok. ACM-Jambi

masa depan (future scenario). Metode


ini membantu untuk menentukan
arah dan tujuan yang hendak
dicapai dengan mempertimbangkan
berbagai faktor yang saling mempengaruhi, kondisi saat ini, dan perkiraan
kecenderungan (trend) masa depan.

2 Pelat berukuran 15x20cm dan bertuliskan HA BP 2004


BAGIAN 4-9 • Marzoni 455

Metode ini diawali dengan mengajak masyarakat untuk membayangkan kondisi


desa dalam 25 tahun mendatang. Kegiatan ini disebut tahap membangun visi yang
bertujuan untuk mengidentifikasi harapan yang ingin diwujudkan berdasarkan
kondisi saat ini. Selanjutnya ditentukan strategi untuk mewujudkan harapan yang
dianggap paling diinginkan. Setelah strategi ditemukan, kemudian ditentukan
hal-hal yang menjadi penghalang dan digambarkan kondisi-kondisi yang mungkin
terjadi akibat faktor-faktor yang berpengaruh.

Hasilnya adalah skenario masa depan pembangunan desa untuk kemudian


membangun kesepakatan bersama mengenai penataan ruang desa dengan kaidah-
kaidah seperti yang disajikan pada Lampiran 1. Adapun aspek-aspek yang diatur
adalah sebagai berikut:
• Batas dan pengaturan rimbo adat
• Lokasi kebun karet rakyat
• Pola pemanfaatan sungai dan pengelolaan lubuk larangan
• Rencana pembuatan sarana air bersih dan PLTA
• Infrastruktur (lokasi pemekaran permukiman, jembatan, jalan dll.)

Manfaat yang diperoleh dari kegiatan ini adalah secara fisik memperjelas alokasi
lahan pertanian desa, kebun palawija, maupun perkebunan karet rakyat. Selain itu,
untuk perkebunan di kawasan Areal Penggunaan Lain (APL), pemanfaatannya
dilakukan dengan berkolaborasi antara masyarakat, pemerintah dan pihak ketiga.
Manfaat lainnya adalah tersusunnya rencana kegiatan pembangunan desa untuk
jangka pendek, menengah dan panjang. Keseluruhan proses ini melalui kegiatan
runding desa.

Selain manfaat fisik, secara sosial budaya, penyusunan tata ruang desa juga
memberikan pengakuan kepada adat, khususnya mengenai aturan-aturan
penataan ruang adat. Selain itu, kegiatan ini menjadi sarana saling belajar antara
pihak desa dengan luar desa, antara kaum tua dengan kaum muda, khususnya
dalam menjaga kearifan tradisional.

Manfaat terakhir adalah memperjelas kewenangan desa dalam pengaturan sumber


daya alam. Dalam hal ini, peraturan desa menjadi sarana untuk menguatkan satu
keputusan desa, termasuk untuk penguatan keputusan tentang penataan ruang
desa, peraturan desa dapat menjadi satu bentuk produk hukum yang menjadi
fondasi dalam pemanfaatan dan pengendalian penataan ruang di desa.
456 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Hubungan antara Tata Ruang Desa dan Kabupaten

Menarik untuk mencermati proses


di Kabupaten Bungo, yang baru-
baru ini melakukan revisi tata
ruang kabupaten periode 2005-
2010. Kendati belum mengikuti
sepenuhnya prosedur sebagai
mana tercantum dalam UU No.

© Dok. ACM-Jambi
24/1992, namun dalam prosesnya
sudah mencoba mengakomodir
berbagai pihak yang terlibat melalui
beberapa kali konsultasi publik.

Terkait dengan kegiatan ini, tata ruang desa menjadi sumber informasi bagi
pemerintah kabupaten. Selain itu sebagaimana tertuang dalam UU No. 24/1992
disebutkan peran serta masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang wilayah,
baik di tingkat daerah maupun nasional. Dalam hal ini, tata ruang desa menjadi
wujud partisipasi masyarakat dalam turut menyusun tata ruang wilayah.

Karenanya, dalam penyusunan Revisi Tata Ruang Wilayah Kabupaten


direkomendasikan pemanfaatan ruang berdasarkan zonasi hulu dan hilir. Dimana
daerah hulu adalah daerah konservasi dan pengembangan usaha perkebunan
berbasis konservasi. Di sini keberadaan masyarakat adat serta hutan adat (di Desa
Baru Pelepat dan Batu Kerbau), serta kebun lindung (di Desa Lubuk Beringin)
diakui oleh pemerintah daerah. Selain itu untuk daerah hilir sebagai pengembangan
dengan berbasis industri dan perkebunan skala besar (sawit maupun karet).

PENUTUP:
Pembelajaran, Aliran informasi, dan
kolaborasi
Beberapa pembelajaran penting yang dapat kami himpun adalah sebagai berikut:
a. Pada tingkat desa, penyusunan tata ruang secara bersama membantu desa
untuk menentukan arah pembangunan desa sesuai dengan kebutuhan desa,
dan bukan berdasarkan kepentingan atau keinginan pihak tertentu saja.
Menarik diperhatikan dalam proses ini adalah komitmen dari kelompok
BAGIAN 4-9 • Marzoni 457

perempuan dalam upaya peningkatan kesejahteraan rumah tangga dengan


“meyakinkan” kaum lelaki untuk kembali berkebun. Selain itu, kesadaran
sebagai daerah hulu, mendorong pengelolaan sumberdaya alam dengan
prinsip-prinsip kelestarian dan keberlanjutan, seperti adanya hutan adat,
lubuk larangan, tanah bathin, dan lain sebagainya.
b. Perhatian pada lahan menjadi semakin tinggi. Proses tata ruang mendorong
masyarakat untuk memanfaatkan lebih optimal lahan-lahan bekas ladangnya,
dengan tanaman palawija maupun keras lainnya.
c. Meningkatnya kesadaran penataan ruang dalam konteks yang lebih luas dari
sekedar desa dalam pengelolaan sumberdaya alam. Masyarakat Desa Baru
Pelepat adalah bagian dari masyarakat adat Pelepat Ulu, bersama dengan
Desa Batu Kerbau dan Dusun Lubuk Telau (Desa Rantel). Disini perlu
penyelarasan antara tata ruang desa dengan tata ruang adat.
d. Pada tingkat kabupaten, masih diperlukan interaksi yang lebih erat dalam
rangka membangun persepsi bersama tentang peran tata ruang desa dalam
penataan ruang kabupaten. Kendati dalam penyusunan revisi tata ruang
kabupaten sudah cukup partisipatif, dan secara substansial sudah mendukung
gagasan konservasi dan pengembangan ekonomi (melalui pendekatan hulu-
hilir), namun belum menampung tata ruang desa sebagai dasarnya.
e. Kendala birokrasi dan pendanaan perlu disikapi secara lebih strategis agar
ada keselarasan antara tata ruang desa dengan kabupaten.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis menghaturkan terima kasih kepada Pemerintah Desa Baru Pelepat, Sungai
Beringin, Rantel, Balai Jaya, Rantau Keloyang serta Desa Batu Kerbau yang telah
terlibat dalam kegiatan yang berkenaan dengan penataan ruang desa sekaligus
memperkaya informasi. Juga kepada teman-teman di tim ACM-Jambi yang
banyak memberikan masukan dan pemahaman, serta keterlibatan dalam proses
selama ini. Kekayaan informasi juga tidak terlepas dari interaksi dengan teman-
teman di Bappeda Bungo (khususnya bang Deddy Irawan, Mbak Dewi Rezeki,
dan Pak Mawardi). Serta para penggiring proses penataan ruang desa: Hamdan,
Mirul, Andra Hidrianto, Malek, Abu Nazar, M. Arip dan Datuk Gani. Proses ini
mengilhami sebagian besar tulisan ini. Dan ucapan terima kasih tidak lupa pula
saya sampaikan kepada Ibu Ratni SP yang telah memberi dukungan semangat
agar tulisan ini dapat diselesaikan.
458 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

BAHAN BACAAN
Hidrianto, A dan Mirul. 2004. Kondisi Tata Ruang Desa Baru Pelepat, Manfaat
dan Berbagai Hal yang Mempengaruhinya. Makalah disampaikan dalam
Lokakarya Peluang Tata Ruang Desa dalam Menunjang Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Otonomi Desa, Aula Kecamatan Pelepat, 22
April 2004. ACM-Jambi. Muara Bungo. Indonesia.
Kusumanto, T. 2004. Apabila Penataan Ruang Dijadikan Cara Untuk
Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat dan Kelestarian Lingkungan
dalam Rangka Otonomi Desa. Makalah disampaikan dalam Lokakarya
Peluang Tata Ruang Desa dalam Menunjang Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Otonomi Desa, Kecamatan Pelepat, 22 April 2004. ACM-
Jambi, Muara Bungo. Indonesia.
Marzoni. 2004. Prosiding Lokakarya Peluang Tata Ruang Desa dalam Menunjang
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Otonomi Desa, Aula Kecamatan
Pelepat, 22 April 2004. ACM-Jambi. Muara Bungo. Indonesia.
Marzoni dan Adnan, H. 2005. Laporan Lokakarya Pemetaan Partisipatif, Desa
Baru Pelepat. Tidak dipublikasikan.
Marzoni dan Indriatmoko, Y. 2003. Penegasan Batas Wilayah Kelola Baru Pelepat.
Warta Langkah No.1/2003. YGB-PSHKODA-CIFOR.
Marzoni. 2006. Negosiasi batas wilayah desa. Dalam: Yuliani, E.L., Tadjudin,
Dj., Indriatmoko, Y., Moenggoro, W.W., Gaban, F., Maulana, F. (ed).
Kehutanan Multipihak: Langkah Menuju Perubahan. CIFOR, Bogor,
Indonesia.
Mawardi. 2004. Peran dan Proses Tata Ruang Desa dalam Tata Ruang Kabupaten.
Makalah disampaikan dalam Lokakarya Peluang Tata Ruang Desa
dalam Menunjang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Otonomi
Desa, Kecamatan Pelepat, 22 April 2004. ACM-Jambi. Muara Bungo.
Indonesia.
Sutono, M. 2004. Pemetaan Partisipatif sebagai Salah Satu Bentuk Peran Serta
Masyarakat dalam Perencanaan Tata Ruang. Makalah disampaikan
dalam Lokakarya Peluang Tata Ruang Desa dalam Menunjang
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Otonomi Desa, Aula Kecamatan
Pelepat, 22 April 2004. ACM-Jambi. Muara Bungo. Indonesia.
Undang-Undang No. 24/1992 tentang Penataan Ruang
BAGIAN 4-9 • Marzoni 459

Lampiran 1. Kesepakatan Penataan Ruang di Desa Baru Pelepat

Kesepakatan penataan ruang di Desa Baru Pelepat berdasarkan musyawarah desa


pada April 2005 antara lain:

Kebun
• Untuk tanaman karet, lokasi penanaman di pinggir atau di sepanjang jalan
yang ada di wilayah Desa Baru Pelepat, dengan lebar 1 (satu) km.
• Untuk lahan tanaman muda lokasinya adalah di Tanjung Sagu, status tanah
ini adalah Tanah Ulayat (luas 20 ha) termasuk tanah yang di seberang di
Muaro Sagu kecil. Sementara untuk Dusun Pedukuh untuk tanaman muda
di Onah Lubuak Congkiang. Luas peruntukan 20 ha.
• Lahan di sepanjang Batang Pauh sampai ke hulunya diperuntukkan bagi
penanaman kebun karet rakyat.
• Masyarakat Desa Baru Pelepat menolak Perusahaan AML (Aman Pratama
Lestari) yang memiliki lokasi di Baru Pelepat untuk menanam sawit.
• Untuk lahan penanaman gaharu dari dinas kehutanan dilakukan tumpang
sari dengan karet di lokasi Sungai Pauh untuk dusun Baru Tuo. Lokasi di
Dusun Pedukuh menurut sungai Batu Sawan ke arah mudik dengan luas 15
Ha.
• Lahan kebun karet untuk Dusun Lubuk Telau diperuntukkan di pinggir
Sungai Beliang, dengan lebar 1 km kiri kanan sungai.

Konservasi
• Untuk lokasi penghijauan dilakukan di dalam desa, untuk reboisasi
dilakukan di dalam kawasan hutan adat. Kegiatan ini dapat dilakukan
secara swadaya masyarakat dan dapat pula melalui bantuan dari pihak
luar.
• Agar sungai tidak tercemar, berbagai bentuk sumber pencemaran
(pertambangan emas dan lain sebagainya, meracun ikan) dilarang. Perlu
ada musyawarah dengan desa hulu untuk membuat kesepakatan dan perlu
ada kebijakan desa (Perdes) tentang sungai dan pengelolaannya.
• Rencana lokasi pembentukan Lubuk Larangan untuk masa yang akan
datang: Dusun Lubuk Beringin, Lubuk Batu Sawan, Lubuk Juni.
460 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Fasilitas Umum
• Desa Baru Pelepat menginginkan dan menghendaki jalan desa diaspal pada
10 tahun mendatang.
• Cadangan untuk pembangunan mesjid berlokasi di depan TKD dekat
Pelabuhan/ di dekat camp PU.
• Air bersih: ada perencanaan untuk mendatangkan air bersih yang diambil
dari sungai yang ada di bukit. Sungai yang direncanakan adalah: Sikotan,
Dereh dan Tamalun.
• PLTA, lokasi PLTA di Telun Tirau Sungai Meliau.
• Jembatan permanen, lokasi di Dusun Lubuk Beringin.
• Penambahan areal permukiman, berada di Dusun Pedukuh
• SMA atau pesantren, lokasi peruntukan SMA di tanah pembibitan (tanah
R) di dusun Lubuk Pekan.
• Untuk madrasah di Dusun Pedukuh di tanah keluarga Abenhur dan Idris

Ekonomi Kerakyatan
• Pembuatan keramba dan kolam di desa
• Ada rencana pembuatan proposal dibantu oleh Dishutbun untuk diajukan
ke pihak donor (penyandang dana) dalam kegiatan peningkatan ekonomi
masyarakat dan pelestarian lingkungan
Penutup:
Sebuah Ulasan

Erna Rosdiana
Direktorat Bina Perhutanan Sosial, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan
462 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Sungguh suatu kesempatan berharga bagi saya dapat mengulas buku ini. Di sela-
sela kesibukan akhir tahun saya berupaya menyisakan waktu untuk membaca
buku ini. Konsentrasi sempat terpecah ke tugas-tugas lain yang mendesak yaitu
mempersiapkan penulisan buku untuk UNFCCC 2007 di Bali dan Pencanangan
Hutan Kemasyarakatan. Syukurlah buku ini ditulis dalam kata dan kalimat yang
sederhana sehingga dapat dibaca cepat dan mudah dipahami. Beberapa bagian
dari artikel-artikel terdapat pengulangan informasi yang kadang membosankan
tapi di sisi lain itu berguna untuk memeriksa ulang informasi tersebut. Akhirnya
ulasan ini terselesaikan juga.

Cerita perjalanan panjang tentang perubahan-perubahan yang terjadi di sebuah


kabupaten bernama Bungo, itulah kesan yang muncul tatkala saya mengakhiri
bacaan artikel terakhir dari buku ini. Sebuah kristalisasi dari catatan para peneliti
yang sarat dengan hasil-hasil pembelajaran. Hasil Riset Aksi Partisipatif ini
akan sangat bermanfaat sebagai acuan replikasi di kabupaten lain dengan tidak
membatasi kreativitas. Belajar dari Bungo: Mengelola Sumberdaya Alam di Era
Desentralisasi, sebuah judul yang tepat.

Bungo sebuah kabupaten yang kaya dengan keanekaragaman hayati dan menjadi
habitat beberapa jenis satwa langka. Keanekaragaman hayati dalam berbagai
formasi lahan digambarkan dalam artikel pertama yang berjudul “Kelimpahan
Sumberdaya Hutan di Sekitar Desa Baru Pelepat”. Sesap (areal bekas ladang)
yang tampak kurang bernilai ternyata memiliki keanekaragaman hayati yang
cukup tinggi dan potensial sebagai sumber komoditi tanaman obat.

Artikel kedua dan ketiga menampilkan informasi tentang dinamika tutupan


lahan disertai penjelasan mengapa dan bagaimana itu terjadi. Dari artikel tersebut
diperoleh informasi bahwa dalam kurun waktu 30 tahun sejak 1970, lebih dari
setengah areal lahan berhutan telah berubah menjadi tidak berhutan. Dan kini
sebagian besar lahan di Kabupaten Bungo didominasi oleh perkebunan karet dan
sawit monokultur. Tutupan hutan tersisa 30,63%. Sedangkan luas karet rakyat
relatif stabil.

Perubahan kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat digambarkan dalam


artikel-artikel di bagian kedua, dan kemudian semakin jelas dalam beberapa artikel
di bagian keempat. Dan bagian ketiga memaparkan potensi ekonomi sumberdaya
alam.

Dalam bagian ke dua buku ini, diuraikan beberapa kearifan lokal masyarakat
baik kearifan lokal dalam tatanan sosial maupun dalam mengelola sumberdaya
PENUTUP • 463

alam seperti hutan adat, kebun karet, lubuk larang dan upaya adaptif mereka
dalam merespon perubahan-perubahan. Dalam artikel terakhir dari bagian kedua
menyebutkan bahwa menghidupkan kembali sistem pemerintahan Rio kini telah
menjadi keinginan masyarakat. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kembali
ke sistem pemerintahan Rio ini merupakan pilihan yang tepat di tengah kenyataan
perubahan-perubahan sosial yang terjadi?

Bagian keempat menguraikan interaksi berbagai sistem dan dampak yang


ditimbulkannya. Kebijakan pemerintah berdampak nyata terhadap perubahan-
perubahan sosial di masyarakat. Artikel “Adaptasi Kelembagaan dan Aksi
Kolektif Masyarakat terhadap Program Transmigrasi” menguraikan pengaruh
beberapa kebijakan pemerintah terhadap kearifan lokal dan hak-hak masyarakat
adat. Dalam pelaksanaan kebijakan, pemerintah lebih fokus mensukseskan proyek
daripada kewajiban melindungi hak-hak masyarakat. Aktivitas-aktivitas proyek
pemerintah dilindungi secara hukum, sementara hak-hak masyarakat adat/lokal
terabaikan. Peran pemerintah dalam melindungi hak-hak masyarakat relatif tidak
dilakukan.

Kebijakan HPH menyemai konflik. Banyak wilayah kelola masyarakat ditetapkan


secara formal sebagai areal kerja HPH. Kehadiran perusahaan HPH menggeser
perilaku sosial masyarakat dari taat terhadap kearifan tatanan adat ke cara
pandang ekonomi jangka pendek. Khususnya terjadi pada generasi-generasi
muda yang memang belum kuat memegang adat. Mereka tertarik hal-hal baru.
Bebalok (mengambil kayu dari hutan) lebih menarik dibandingkan kerja di kebun
karet dan ladang. Krisis memudarnya tatanan adat dan kearifan lokal ini makin
dipicu dengan munculnya kebijakan pemerintah dalam penyeragaman bentuk
pemerintahan desa sesuai UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa.

Kebijakan lain adalah program transmigrasi. Program transmigrasi mendorong


terjadinya pengalihan kepemilikan lahan secara besar-besaran. Yang paling
dirugikan adalah penduduk setempat. Kedaulatan mereka sebagai masyarakat
lokal yang telah hidup turun temurun di wilayah adatnya tidak terakomodasi
dalam program tersebut. Sistem kepemilikan lahan pun makin bergeser dengan
adanya proyek sertifikasi dari Badan Pertanahan Nasional, dari kepemilikan publik
kepada kepemilikan pribadi.

Itulah perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat yang memuncak di akhir


masa pemerintahan Orde Baru tahun 1997. Dalam era reformasi, kesadaran untuk
melakukan perubahan ke arah yang lebih baik muncul. Desentralisasi menjadi
pilihan. Bahkan dapat dikatakan desentralisasi menjadi sebuah keniscayaan
464 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

setelah sistem sentralisasi yang dianut sebelumnya gagal menghantarkan ke arah


kemajuan bangsa secara hakiki.

Waktu pun berjalan, dalam beberapa kasus pelaksanaan desentralisasi


disalahgunakan di beberapa daerah. Hal ini menimbulkan keraguan terhadap
desentralisasi, bahkan bagi yang tidak mendukung dijadikan alasan untuk menarik
kembali kewenangan. Kebijakan pemerintah mulai mendua dan cenderung
berbalik ke arah re-sentralisasi. Apa sebetulnya yang menjadi faktor penghambat
betapa sulitnya berupaya menuju kemajuan bangsa ini. Sehingga seolah berputar
dalam lingkaran yang tidak berujung.

Tiga setengah abad sistem kolonial bercokol di negeri ini. Masa yang panjang
ini telah membentuk sistem, cara pikir (mindset), perilaku bahkan karakter
bangsa. Kesenjangan yang lebar terjadi antara pemerintahan dan rakyat, bahkan
dapat dikatakan pemerintah dan wakil rakyat telah tercabut dari akarnya (baca:
rakyatnya). Pemerintah dan wakil rakyat lebih berperan sebagai penguasa, dan
bukan memberikan pelayanan atau pembawa aspirasi rakyat. Sementara itu rakyat
tidak sadar akan haknya bahkan terbelenggu dalam kebodohan dan kemiskinan
terstruktur. Rakyat pasrah, tergantung dan tunduk kepada yang berkuasa. Seolah
semua itu sudah menjadi bagian dari takdirnya. Bahkan keberadaannya pun
sebagai bagian dari negara ini tidak disadari. Pernyataan menarik dari Mulyadi
warga dusun Suka Maju yang dikutip dalam buku ini: “Bupati ada memberikan
bantuan atap seng untuk gedung sekolah dasar perintis di dusun kita. Itu tandanya
Bupati sudah mengakui masyarakat di dusun ini”. Pernyataan lain dari A. Madjid
Zakaria juga warga Dusun Suka Maju: “Kalau jalan sudah dibuka pemerintah, itu
berarti dusun kita ini sudah diakui sebagai bagian dari wilayah Kabupaten Tanjung
Jabung Barat”. Sungguh menyedihkan. Ini bukti betapa jauhnya rakyat terpisah
dari pemerintah. Padahal dalam tatanan bernegara, tidak ada pemerintah dan
wakil rakyat tanpa rakyat.

Ketika kesadaran menginginkan adanya perubahan ke arah pengaturan yang lebih


adil dan keberlanjutan, dalam kondisi berdaulat dan demokratis. Pertanyaannya
adalah apakah mungkin kita melakukan perubahan dalam kondisi sistem dan
cara pikir kolonialisme yang masih melekat dan mengakar. Itulah persoalannya.
Tidak ada pilihan lain sistem dan cara pikir warisan kolonialisme inilah yang harus
diubah dari bangsa ini.

Inisiatif dari program Adaptive Collaborative Management yang dilakukan CIFOR


bersama mitra kerjanya di Kabupaten Bungo merupakan upaya strategis dalam
mendorong perubahan. Proses-proses kolaborasi yang dikembangkan dilakukan
PENUTUP • 465

dengan menerapkan prinsip-prinsip tata pengaturan yang baik transparan,


partisipasi dan akuntabilitas. Aksi Kolektif ditujukan untuk meningkatkan
kapasitas masyarakat agar posisi tawar dan kepercayaan diri meningkat. Hal ini
sangat dibutuhkan masyarakat dalam meningkatkan kesadaran akan hak-haknya
dan mempertahankannya.

Aksi kolektif disamping mendorong penataan berkaitan dengan hak-hak properti


rakyat, juga fasilitasi peningkatan kapasitas dari praktik pengelolaan sumberdaya
alam. Banyak potensi rakyat yang dapat dikembangkan seperti Kebun Karet Rakyat,
Lubuk Larang dan komoditi hasil hutan bukan kayu yang memiliki nilai konservasi
lingkungan dan nilai ekonomi yang bisa ditingkatkan. Peningkatan nilai ekonomi
dari praktek pengelolaan sumberdaya alam disamping untuk meningkatkan nilai
tambah juga sebagai alat negosiasi untuk menghindari terjadinya alih fungsi.
Melalui fasilitasi tersebut berkembang modal-modal sosial masyarakat dalam
menghadapi perubahan di masa datang.

Memang tidak mudah merajut ulang struktur yang sudah rusak, tetapi juga bukan
hal yang tidak mungkin. Menghidupkan kembali nilai-nilai kearifan bangsa
dan membangun kembali sistem demokratis memerlukan keuletan, kesabaran,
ketulusan dan dedikasi yang tinggi. Motivator, mediator dan fasilitator yang
mempunyai karakter itulah yang dibutuhkan sebagai penggerak perubahan.

Kabupaten Bungo adalah “Indonesia kecil”, ungkapan menarik dan inspiratif ini
tertulis dalam pendahuluan. Hal ini mengisyaratkan bahwa Bungo tetap Indonesia;
bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desentralisasi tetap suatu
keniscayaan. Masih ada harapan yang sangat mungkin dapat diwujudkan. Semoga
inisiatif Bungo ini dapat terus bergulir dan meluas ke kabupaten-kabupaten lain.
Melalui desentralisasi, Indonesia-Indonesia kecil membangun Indonesia Raya.
Center for International Forestry Research (CIFOR) adalah lembaga penelitian kehutanan
internasional terdepan, yang didirikan pada tahun 1993 sebagai tanggapan atas keprihatinan
dunia akan konsekuensi sosial, lingkungan dan ekonomi yang disebabkan oleh kerusakan dan
kehilangan hutan. Penelitian CIFOR ditujukan untuk menghasilkan kebijakan dan teknologi
untuk pemanfaatan dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan, dan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di negara-negara berkembang yang bergantung kepada hutan tropis
untuk kehidupannya. CIFOR adalah salah satu di antara 15 pusat di bawah Consultative Group on
International Agricultural Research (CGIAR). Berpusat di Bogor, Indonesia, CIFOR mempunyai
kantor regional di Brazil, Bolivia, Burkina Faso, Cameroon, Ethiopia, India, Zambia dan
Zimbabwe dan bekerja di lebih dari 30 negara di seluruh dunia.
Setelah turunnya rezim Soeharto, desentralisasi menjadi jawaban dan harapan untuk
keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara bagi lebih 220 juta penduduk yang
tersebar di lebih 15.000 pulau dan beraneka sukubangsa. Kenyataannya, implementasi
dari desentralisasi tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Desentralisasi justru
memunculkan berbagai permasalahan, mulai dari konflik antar warga yang menolak
pemekaran, konflik antara pemerintah daerah pemekaran dengan daerah induknya, hingga
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Termasuk carut marutnya pengelolaan
sumberdaya alam, khususnya hutan. Faktanya, sejak diberlakukan pada 2001, desentralisasi
menyumbang deforestasi, bahkan FAO menyebutkan angka penyusutan sudah mencapai
1,87 juta hektar per tahun.

Di tengah muramnya dunia kehutanan Indonesia, berbagai pihak terus berupaya


membangun sistem kehutanan yang lebih baik. Salah satunya adalah apa yang dilakukan
oleh banyak pihak di Kabupaten Bungo, Jambi. Berbagai program dan proyek terkait
dengan pengelolaan sumberdaya alam yang sudah dilaksanakan sejak tahun 1990an oleh
berbagai pihak, seperti LSM, universitas, lembaga riset internasional, hingga terbentuknya
forum multipihak kabupaten maupun Perda Masyarakat Hukum Adat menjadi pengalaman
penting dalam memberi makna desentralisasi di Indonesia.

Buku ini adalah upaya untuk menggambarkan secara utuh bagaimana desentralisasi berjalan
dalam kehidupan sehari-hari di tingkat kabupaten serta dampaknya terhadap pengelolaan
sumberdaya alam. Harapannya dapat dipetik pelajaran berharga dari pengalaman-
pengalaman tersebut.

 Qb:IQbQITAITiAbIc

  

Anda mungkin juga menyukai