Anda di halaman 1dari 40

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengelolaan Lahan Kering


Lahan kering merupakan sumberdaya alam yang penting dalam
mendukung proses kehidupan semua makhluk hidup yang ada di bumi, karena
semua makhluk hidup baik hewan maupun tumbuhan memerlukan lahan untuk
dapat tumbuh dan berkembang. Menurut Sitorus (2004a) sumberdaya lahan
adalah lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta
benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan
lahan. Dalam hal ini lahan juga mengandung pengertian ruang (space) atau
tempat. Sebagai suatu ruang, lahan berfungsi sebagai habitat berbagai mahkluk
hidup yang memiliki keterbatasan dalam mendukung kehidupan dan menampung
berbagai limbah yang dihasilkan. Jika lahan yang tersedia tidak ditata dan
dimanfaatkan secara terencana, efektif dan efisien sesuai dengan fungsi lahan
tersebut maka akan terjadi penurunan kualitas lingkungan hidup .
Lahan sebagai suatu sumberdaya, termasuk ke dalam kategori sumberdaya
alam yang bersifat dapat diperbaharui (renewable) jika dikelola dengan baik,
namun dapat bersifat tidak dapat diperbaharui (non renewable) apabila fungsi
lahan tersebut ditelantarkan terus-menerus sehingga menjurus kearah kerusakan
tanah yang dapat membahayakan kegiatan usaha pertanian di atas tanah tersebut.
Dengan demikian lahan atau tanah menggambarkan gabungan antara sifat
sumberdaya alam yang dapat diperbaharui dan tidak dapat diperbaharui (Sitorus,
2004b). Sebagai contoh adalah kesuburan tanah. Kesuburan tanah berhubungan
dengan adanya aktivitas organisme, sifat kimia alami tanah dan aktivitas akar
tanaman agar hara tanah dapat diserap tanaman. Keadaan ini merupakan sifat dari
sumberdaya alam yang dapat diperbaharui karena manusia dapat memanipulasi
kesuburan tanah sehingga dapat digunakan untuk jangka waktu yang lama sampai
ratusan tahun atau ribuan tahun. Misalnya, petani menggunakan pupuk, kapur,
tanaman pupuk hijau, kompos, dan sebagainya dalam kegiatan budidayanya. Sifat
tanah yang merupakan sifat dari sumberdaya biologis adalah apabila sumberdaya
lahan atau tanah ditingkatkan, dipertahankan atau digunakan sehingga

12
kesuburannya bertambah atau berkurang sebagai akibat dari pengaruh manusia.
Berbeda halnya dengan sifat fisik tanah misalnya tekstur tanah, yang dalam
proses pembentukannya memerlukan waktu yang relatif lama serta relatif sulit
untuk mengubahnya sehingga merupakan sifat seperti sumberdaya alam yang
tidak dapat diperbaharui.
Terdapat tiga tipe lahan marjinal, yaitu; 1) lahan kering bertanah masam
yang sesuai dimanfaatkan untuk tanaman buah, perkebunan tropis, hutan produksi
atau hutan tanaman industri, 2) lahan basah bertanah gambut yang dapat
dimanfaatkan untuk persawahan melalui reklamasi dan pembuatan jaringan
drainase yang efektif, dan 3) lahan beriklim kering yang dapat dimanfaatkan
untuk berbagai komoditas pertanian dan perkebunan dengan menggunakan teknik
irigasi dan konservasi air yang spesifik untuk daerah kering (Matsur, 2002).
Sumberdaya lahan jika ditinjau dari sifatnya yang dapat diperbaharui akan
mengalami kerusakan atau degradasi lahan (land degradation) jika dalam
pemanfaatannya tidak mempertimbangkan aspek kelestariannya (konservasi).
Degradasi lahan merupakan permasalahan yang sangat kompleks yang
berhubungan dengan aktivitas manusia dalam melaksanakan pembangunan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Degradasi lahan adalah hilangnya manfaat atau
menurunnya kegunaan/fungsi lahan yang optimal sebagai akibat aktivitas
manusia atau peristiwa alamiah (Barrow, 1991).
Lahan sebagai sumberdaya alam dapat berstatus sebagai lahan kritis jika
keadaan sumberdaya lahan tersebut telah menurun kualitasnya dan secara
ekonomis tidak dapat dikembalikan lagi dengan teknologi yang ada pada saat itu.
Lahan kritis terjadi karena penggunaan lahan yang tidak sesuai lagi dengan
kemampuan atau daya dukungnya, sehingga tanah mengalami kerusakan atau
berada dalam proses kerusakan fisik, kimia dan biologi. Proses tersebut
selanjutnya dapat membahayakan fungsi hidrologi, produksi pertanian,
permukiman dan kehidupan sosial ekonomi di daerah sekitarnya. Lahan kritis juga
dapat terjadi secara alamiah (antara lain karena faktor klimatologi) tetapi sebagian
besar karena faktor aktivitas manusia, baik secara langsung maupun tidak
langsung (Sitorus, 2004a).

13
Lahan kritis yang terjadi secara alamiah (karena faktor klimatologi)
membutuhkan teknologi untuk menjamin ketersediaan air sebagai salahsatu
faktor produksi dalam kegiatan pertanian. Berhubung lahan dan sumberdaya air
merupakan sumberdaya utama dalam kegiatan budidaya pertanian maka
keterbatasan sumberdaya air dalam pengelolaan lahan kering menjadi faktor yang
dominan dalam menyebabkan kegagalan panen dan rendahnya produktivitas
pertanian di lahan kering.
Masyarakat yang menggantungkan penghasilannya pada sumberdaya
lahan kering yang disebabkan oleh faktor klimatologi biasanya termasuk
kelompok masyarakat miskin yang memiliki tingkat penghasilan yang relatif jauh
lebih rendah dibandingkan dengan petani yang berusaha pada lahan kering yang
berkecukupan air apalagi jika dibandingkan dengan petani pada lahan sawah. Hal
ini dikarenakan, sebagian waktu dan tenaga masyarakat digunakan untuk mencari
air dan mengangkut air untuk kebutuhan domestik, disamping produktivitas
pertanian yang rendah dan hanya jenis komoditas tertentu yang dapat diusahakan
pada lahan kering yang memiliki curah hujan rendah. Oleh sebab itu, masalah
ketersediaan air, bahan pangan dan kebutuhan lainnya bagi masyarakat perlu
mendapat perhatian yang serius. Menurut Darsiharjo (2004) petani miskin yang
mengelola lahan pertanian yang berproduktivitas rendah akan terus saling
memiskinkan bila tidak diatasi oleh faktor eksternal baik oleh pemerintah atau
lembaga-lembaga non pemerintah.
Menurut Hagmann et al., (2000) salah satu tindakan untuk mengatasi
rendahnya pendapatan masyarakat yang melakukan usahatani pada lahan kering
yang kekurangan air adalah dengan menerapkan sistem pertanian konservasi
dengan cara mengelola sebidang tanah yang sesuai dengan kemampuan dan
memperlakukannya sesuai dengan persyaratan teknis yang diperlukan, dengan
mengintegrasikan kegiatan konservasi tanah dan air yang sesuai dan memadai ke
dalam sistem pertanian yang sesuai dengan karakteristik wilayah. Selain itu
pertanian konservasi tersebut dapat diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat
setempat, sehingga fungsi lingkungan (udara, air dan tanah) dapat terus
mendukung kehidupan dan keanekaragaman hayati serta dapat dipertahankan

14
secara berkelanjutan. Sebagai contoh pada konservasi tanah dengan sistem
budidaya lorong (alley cropping) di daerah transmigrasi Kuro Tidur, Provinsi
Bengkulu (Mulyono, 1999) ternyata budidaya lorong, pemberian pupuk, kapur
dan bahan organik meningkatkan produktivitas tanah. Pemberian kapur 2,5 ton
per hektar dan bahan organik 5,0 ton per hektar akan meningkatkan hasil kedelai
28,9 persen dan meningkatkan hasil jagung 2,5 ton per hektar, dan bahan organik
10,0 ton per hektar akan meningkatkan hasil kedelai 38,6 persen dan
meningkatkan hasil jagung 54,9 persen. Sedangkan pengelolaan lahan kering
berlereng yang tidak disertai dengan penerapan konservasi tanah menyebabkan
terjadinya kemunduran produktivitas (degradasi) lahan dan terjadinya erosi dalam
jumlah besar hingga terjadi penurunan produktivitas tanah. Penanggulangannya
tidak cukup dengan hanya mengendalikan laju erosi, melainkan bersama-sama
dengan upaya-upaya pemulihan (rehabilitasi) tanahnya.
Usaha-usaha konservasi tanah bertujuan untuk; 1) mencegah kerusakan
tanah, 2) memperbaiki lahan yang rusak, dan 3) memelihara serta meningkatkan
produktivitas lahan agar tercapai produksi maksimum dalam waktu yang tidak
terbatas. Menurut Sitorus (2004a) faktor-faktor yang sering menyebabkan
kerusakan tanah antara lain adalah; (1) erosi, (2) kehilangan unsur hara dan bahan
organik, (3) timbulnya senyawa beracun, dan (4) penjenuhan tanah oleh air.
Penerapan sistem pertanian konservasi pada dasarnya merupakan suatu
tindakan atau upaya pengelolaan terhadap sebidang lahan untuk menjaga dan atau
mempertinggi produksi lahan tersebut. Tujuan dari pengelolaan tanah pada
umumnya ada dua, yaitu; (1) tujuan fisik dan (2) tujuan ekonomi. Tujuan fisik
merupakan tujuan yang dinyatakan atau diukur dalam satuan fisik seperti tingkat
produksi per hektar, erosi yang minimum, dan sebagainya yang dapat dinyatakan
dalam bentuk satuan volume atau satuan berat dari hasil yang diperoleh. Tujuan
ekonomis biasanya dinyatakan atau diukur dalam istilah ekonomi seperti
pendapatan maksimum, stabilitas pendapatan, dan sebagainya. Walaupun
pengelolaan lahan mempunyai dua tujuan tersebut, tetapi sebenarnya tujuan akhir
dari suatu sistem pengelolaan lahan adalah tujuan ekonomi (Sitorus, 2004 a).

15
Menurut Sitorus (2004a) ada tiga metode yang dapat diterapkan dalam
usaha konservasi tanah, yaitu; 1) metode vegetatif, 2) metode mekanik, dan
3) metode kimia. Penjelasan tiga metode konservasi tanah tersebut adalah sebagai
berikut:
a). Metode vegetatif dalam konservasi tanah mempunyai tiga fungsi yaitu;
1) melindungi tanah terhadap daya perusak butir-butir hujan yang jatuh,
2) melindungi tanah terhadap daya perusak aliran permukaan atau aliran air di
atas permukaan tanah, dan 3) memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah dan
kemampuan tanah menyerap atau mengabsorbsi air. Kegiatan yang termasuk
dalam metode vegetatif dalam konservasi tanah adalah; 1) penghutanan atau
penghijauan, 2) penanaman dengan rumput makanan ternak, 3) penanaman
dengan tanaman penutup tanah permanen, 4) penanaman tanaman dalam strip
(strip cropping), 5) pergiliran tanaman dengan tanaman pupuk hijau atau
tanaman penutup tanah, dan 7) penanaman saluran pembuangan air dengan
rumput (vegetated atau grassed waterway).
b). Metode mekanik dalam konservasi tanah mempunyai dua fungsi, yaitu:
1) memperlambat aliran permukaan, dan 2) menampung dan menyalurkan
aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak merusak. Kegiatan yang
termasuk dalam metode konservasi mekanik adalah; 1) pengolahan tanah
(tillage), 2) pengolahan tanah menurut kontur, 3) pembuatan galengan atau
saluran menurut kontur, 4) pembuatan teras seperti teras tangga atau teras
bangku dan teras berdasar lebar, 5) perbaikan drainase dan pembangunan
irigasi, 6) pembuatan waduk, dam penghambat (chek dam), tanggul dan
sebagainya.
c). Metode kimia dalam kegiatan konservasi tanah bertujuan untuk membentuk
struktur tanah yang stabil dengan menggunakan senyawa kimia yang disebut
soil conditioner.

2.2. Erosi Tanah


Sehubungan dengan sistem pertanian konservasi di lahan kering terutama
untuk wilayah dengan topografi berlereng, tingkat erosi menjadi faktor yang

16
sangat menentukan produktivitas lahan. Erosi merupakan peristiwa pindah atau
terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain
oleh media alami (Suhara, 1991). Menurut Sitorus (2004 a), proses erosi terjadi
akibat interaksi antara faktor iklim, topografi, vegetasi, tanah, dan aktivitas
manusia.

Dari lima faktor yang mempengaruhi proses erosi dapat dikelompokkan


menjadi dua kategori, yaitu: 1) faktor yang dapat dimanipulasi oleh manusia
seperti vegetasi, sebagian sifat tanah (kesuburan dan kapasitas infiltrasi), serta
unsur topografi (panjang lereng) dan 2) faktor yang tidak dapat dimanipulasi oleh
manusia yaitu faktor iklim, tipe tanah dan kecuraman lereng. Salahsatu metode
yang dapat digunakan untuk menduga erosi lahan adalah metode Universal Soil
Loss Equation (USLE) yang dikemukakan oleh Wischmeier dan Smith (1978).
Metode pendugaan ini banyak digunakan karena sifatnya yang sederhana dan
praktis, namun ketepatan hasilnya sangat ditentukan oleh ketepatan pengukuran
dan penelitian faktor-faktor penduganya. Jumlah tanah yang hilang rata-rata setiap
tahun ditentukan oleh erosivitas hujan (daya erosi curah hujan), erodibilitas tanah
(kepekaan tanah terhadap erosi), panjang lereng, curamnya lereng, faktor vegetasi,
dan usaha-usaha pencegahan erosi.

Dikenal dua macam erosi yaitu erosi normal dan erosi dipercepat. Erosi
normal juga disebut erosi geologi atau erosi alamiah merupakan proses
pengangkutan tanah di bawah keadaan vegetasi alami, biasanya terjadi dengan
laju yang lambat dan memungkinkan terbentuknya tanah yang tebal yang mampu
mendukung pertumbuhan vegetasi secara normal. Proses erosi geologi
menyebabkan terjadinya sebagian bentuk permukaan bumi yang terdapat di alam.
Erosi dipercepat adalah pengangkutan tanah yang menimbulkan kerusakan tanah
sebagai akibat perbuatan manusia yang mengganggu keseimbangan antara proses
pembentukan dan pengangkutan tanah. Namun dari dua macam erosi tersebut,
hanya erosi dipercepat yang menjadi perhatian dalam konservasi tanah (Arsyad,
2000).

17
2.3. Teknik Multi Dimensional Scaling (MDS)

Mainstreaming pembangunan berkelanjutan adalah strategi dalam


meningkatkan pengelolaan lahan kering yang diharapkan dapat memperbaiki
kondisi sumberdaya dan masyarakat yang mengelola lahan kering itu sendiri.
Walaupun konsep keberlanjutan dalam sektor pertanian sudah mulai dapat
dipahami, namun sampai sekarang masih dialami kesulitan dalam
menganalisis/mengevaluasi keberlanjutan pembangunan sektor pertanian.
Khususnya ketika dihadapkan pada permasalahan mengintegrasikan
informasi/data dari keseluruhan komponen (secara holistic) meliputi aspek
ekologi, ekonomi dan sosial.

Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengevaluasi status


keberlanjutan pengelolaan lahan kering adalah menggunakan teknik Multi
Dimensional Scalling (MDS). MDS adalah suatu teknis multi-diciplinary rapid
appraisal untuk mengetahui tingkat keberlanjutan dari pengelolaan lahan kering
berdasarkan sejumlah atribut yang mudah untuk diskoring. Atribut dari setiap
dimensi ekologi, ekonomi dan sosial yang akan dievaluasi dapat dipilih untuk
merefleksikan keberlanjutan, serta dapat diperbaiki atau diganti ketika informasi
terbaru diperoleh. Ordinasi dari setiap atribut digambarkan dengan menggunakan
multi-dimensional scaling (MDS) (Kavanagh, 2001).

Pemilihan MDS dalam analisis keberlanjutan pengelolaan lahan kering


dilakukan mengingat metode yang lain, terbukti tidak mampu untuk menghasilkan
secara holistik, cepat, obyektif, dan terkuantifikasi. Didalam MDS, obyek atau
titik yang diamati dipetakan kedalam ruang dua atau tiga dimensi, sehingga obyek
atau titik tersebut diupayakan ada sedekat mungkin terhadap titik asal. Dengan
kata lain, dua titik atau obyek yang sama dipetakan dalam satu titik yang saling
berdekatan satu sama lain. Sebaliknya obyek atau titik yang tidak sama
digambarkan dengan titik yang berjauhan.

Pada setiap pengukuran yang bersifat mengukur (metric) seberapa fit


(goodness of fit), jarak titik pendugaan dengan titik asal, menjadi sangat penting.

18
Goodness of fit dalam MDS tidak lain mengukur seberapa tepat konfigurasi dari
suatu titik dapat mencerminkan data aslinya. Goodnes of fit dalam MDS
dicerminkan dari besaran nilai S-stress yang dihitung berdasarkan nilai S di atas.
Nilai stress yang rendah menunjukkan good fit sementara nilai S yang tinggi
sebaliknya. Di dalam model MDS yang baik ditunjukkan dengan nilai stress yang
lebih kecil dari 0,25 (S< 0,25) (Kavanagh, 2001).

Prosedur analisis MDS dalam penelitian pengelolaan lahan kering


berkelanjutan berbasis gender dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai
berikut:
a. analisis terhadap data pengelolaan lahan kering di Provinsi DI Yogyakarta
melalui survey, pengamatan, diskusi terarah dan studi literatur,
b. melakukan skoring dengan mengacu pada literatur dengan menggunakan
excel,
c. melakukan analisis MDS dengan software SPSS untuk menentukan
ordinasi dan nilai stress melalui ALSCAL Algoritma,
d. melakukan rotasi untuk menentukan posisi pengelolaan lahan kering pada
ordinasi bad dan good dengan Excell dan Visual Basic, dan
e. melakukan analisis sensitifitas (leverage analysis) dan Monte Carlo
analysis untuk memperhitungkan aspek ketidakpastian.

Penggunaan MDS dan analisis gender menghasilkan gambaran yang jelas


dan komprehensif mengenai kondisi sumberdaya lahan kering yang ada dan
permasalahan gender, khususnya lahan kering di daerah penelitian sehingga
akhirnya dapat dijadikan bahan untuk menentukan kebijakan yang tepat untuk
mencapai pembangunan pengelolaan lahan kering yang berkelanjutan berbasis
gender dan berwawasan lingkungan.

2.4. Akses, Kontrol, Manfaat dan Partisipasi Laki-Laki dan Perempuan


dalam Pengelolaan Lahan Kering Berkelanjutan.

Akses menunjuk pada kesempatan atau peluang yang bisa diraih oleh
individu untuk memperoleh beragam sumberdaya, seperti memperoleh informasi,

19
pendidikan, modal (kredit), teknologi, dan kesempatan berusaha, bekerja, dan
lain-lain. Adapun kontrol berhubungan dengan aspek penguasaan (pengaruh)
yang dimiliki oleh seseorang untuk menentukan atau mengambil keputusan
tentang segala sesuatu yang menyangkut berbagai kepentingan termasuk
memperoleh beragam sumberdaya bagi dirinya (Handayani & Sugiarti, 2002).
Dua konsep tersebut berhubungan dalam arti bahwa kontrol yang dimiliki
seseorang memungkinkan orang tersebut mempunyai akses terhadap satu atau
lebih sumberdaya. Namun demikian akses seseorang terhadap beragam
sumberdaya, belum tentu dikarenakan orang tersebut mempunyai kekuasaan
(kontrol) dalam memperoleh sumberdaya tadi. Malah bisa saja terjadi akses
seseorang terhadap beragam sumberdaya justru karena dia dikuasai (dikontrol)
orang lain (orang melakukan sesuatu tidak sama dengan memutuskan sesuatu).

Akses seseorang (kesempatan atau peluang yang bisa diraih oleh individu
untuk memperoleh beragam sumberdaya) dapat dilihat dari:

1. sumberdaya apa saja yang diperoleh seseorang,


2. kegiatan-kegiatan apa saja yang dikerjakan individu dalam usaha memperoleh
beragam sumberdaya, dan
3. siapa yang menikmati hasil dari kegiatan tersebut.
Konsep kontrol karena berhubungan dengan aspek kekuasaan, dapat
dianalisis melalui pengambilan keputusan yang dilakukan oleh individu untuk
melakukan sesuatu kegiatan baik dalam rumahtangga maupun masyarakat luas.
Alat ukur yang dipakai adalah frekuensi mengambil keputusan (memutuskan
untuk melakukan sesuatu kegiatan) oleh individu dalam periode waktu tertentu.

Handayani dan Sugiarti (2002) menjelaskan bahwa akses dan kontrol


(peluang dan penguasaan) terhadap sumberdaya dalam keluarga maupun
masyarakat umumnya dapat dilihat dari profil peluang dan penguasaan terhadap
sumberdaya dan manfaat. Sebab profil akses dan kontrol didekati dengan
mengidentifikasi kegiatan spesifik gender dalam produksi, reproduksi dan
perawatan. Arus sumberdaya dan keuntungan (manfaat) adalah konsep dasar yang
perlu dikaji untuk memahami bagaimana proyek dapat mengakses dan diakses

20
oleh perempuan dan lelaki, dan sejauh mana memberikan manfaat bagi keduanya.
Pemahaman akses (peluang) dan kontrol (penguasaan) perlu tegas dibedakan.
Akses yang dimaksud di sini adalah kesempatan untuk menggunakan sumber daya
ataupun hasilnya tanpa memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap
cara penggunaan dari hasil sumber daya tersebut. Artinya seseorang mempunyai
akses belum tentu selalu mempunyai kontrol.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan (2004b) menjelaskan bahwa akses


adalah peluang atau kesempatan dalam memperoleh atau menggunakan sumber
daya tertentu, sedangkan kontrol adalah penguasaan atau wewenang atau kekuatan
untuk mengambil keputusan. Sementara itu, dijelaskan pula bahwa kegiatan
produktif adalah kegiatan yang dilakukan anggota masyarakat dalam rangka
mencari nafkah. Kegiatan ini disebut juga kegiatan ekonomi karena kegiatan ini
menghasilkan uang secara langsung. Kegiatan reproduktif yaitu kegiatan yang
berhubungan erat dengan pemeliharaan dan pengembangan serta menjamin
kelangsungan sumber daya manusia dan biasanya dilakukan dalam keluarga.
Kegiatan ini tidak menghasilkan uang secara langsung dan biasanya dilakukan
bersamaan dengan tanggungjawab domestik atau kemasyarakatan dan dalam
beberapa referensi disebut reproduksi sosial. Kegiatan politik dan sosial budaya
yaitu kegiatan yang dilakukan anggota masyarakat yang berhubungan dengan
bidang politik, sosial dan kemasyarakatan dan mencakup penyediaan dan
pemeliharaan sumber daya yang digunakan oleh setiap orang seperti air, sekolah
dan pendidikan, dan lain-lain. Kegiatan ini bisa menghasilkan uang dan bisa juga
tidak.

Manfaat adalah kegunaan sumberdaya yang dapat dinikmati secara


optimal sedangkan partisipasi adalah kemampuan untuk dapat ikut serta dalam
memanfaatkan sumberdaya. Pada umumnya pola relasi gender antara akses,
kontrol, manfaat dan partisipasi terhadap suatu sumberdaya dipengaruhi oleh
konstruksi sosial budaya di wilayah tersebut.

21
2.5. Pengarusutamaan Gender dalam Pengelolaan Lahan Kering

Pertemuan puncak Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on


Sustainable Development) di Johannesburg, Afrika Selatan menghasilkan
kesepakatan untuk memberantas kemiskinan seperti yang tertuang pada pasal 4
Millenium Development Goals (MDG’s-Tujuan Pembangunan Abad Millenium),
mengubah pola konsumsi dan produksi yang tidak berkesinambungan, mengelola
sumberdaya alam untuk pembangunan sosial dan ekonomi, mengembangkan
kesehatan, dan mengembangkan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan
berkelanjutan harus difokuskan pada (a) Keberlanjutan pembangunan ekonomi
melalui pemberantasan kemiskinan dengan program cipta kerja; (b) Keberlanjutan
pembangunan sosial melalui peningkatan kualitas manusia dengan prioritas pada
pendidikan dan kesehatan yang memihak pada rakyat miskin dan pemberdayaan
gender; (c) Keberlanjutan pembangunan ekologi dengan mengarusutamakan
pembangunan berwawasan lingkungan. Ketiga dimensi harus ditopang oleh Good
Governance dengan kemitraan setara antara pemerintah, dunia bisnis dan
kelompok madani.
Kesetaraan gender adalah isu pembangunan yang paling mendasar,
kesetaraan gender akan meningkatkan kemampuan negara untuk berkembang,
mengurangi kemiskinan dan menjalankan pemerintahan secara efektif. Dengan
demikian, meningkatkan kesetaraan gender adalah bagian penting dari strategi
pembangunan yang mengupayakan pemberdayaan perempuan dan laki-laki untuk
melepaskan diri dari kemiskinan serta meningkatkan taraf hidup.
Pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) adalah strategi untuk
mencapai keadilan dan kesetaraan gender melalui kebijakan dan program yang
memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan
dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari
seluruh kebijakan dan program diberbagai bidang kehidupan dan pembangunan
(KPP, 2004a). Gender adalah pandangan masyarakat tentang perbedaan peran,
fungsi, dan tanggungjawab antara perempuan dan laki-laki yang merupakan
konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman

22
dan dukungan masyarakat itu sendiri (Anonim, 2001). Gender pada dasarnya
membahas permasalahan perempuan dan juga laki-laki dalam kehidupan
bermasyarakat agar terjadi keadilan dan kesetaraan gender.
Kesetaraan gender adalah suatu kondisi yang setara, seimbang, dan
sederajat dalam hubungan peran, kedudukan, fungsi, hak, dan tanggungjawab
antara perempuan dan laki-laki, sedangkan keadilan gender mengandung
pengertian suatu kondisi dan perlakuan yang adil tanpa ada perbedaan dalam
hubungan peran, fungsi, kedudukan, hak, dan tanggungjawab antara perempuan
dan laki-laki (KPP, 2001).
Pengarusutamaan gender dalam pengelolaan sumberdaya lahan kering
belum banyak dibahas dalam berbagai studi. Namun demikian, hasil beberapa
studi menunjukkan bahwa pengarusutamaan gender dalam pengelolaan suatu
sumberdaya akan meningkatkan partisipasi, fungsi kontrol, distribusi sumberdaya,
dan tanggungjawab masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya tersebut (Irianto
et al., 2003). Hal ini diperkuat oleh Dokumen Agenda 21 Sektoral yang secara
khusus membahas kesetaraan laki-laki dan perempuan (gender), kondisi,
kedudukan dan hak perempuan dalam berbagai program pembangunan agar
berhasil secara optimal (KNLH, 2000).
Peran perempuan dalam mendukung keberhasilan usahatani lahan kering
berkelanjutan sangat penting, dengan alasan 57,1 persen perempuan bersama
suami bertanggungjawab mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga
dan perempuan mempunyai posisi yang setara dengan laki-laki (suami) dalam
kegiatan usahatani seperti pembenihan, penyiangan gulma, panen, dan pemasaran.
Faktor-faktor yang menghambat peran perempuan dalam pengembangan
usahatani lahan kering antara lain : 1) Rendahnya pendidikan dan keterampilan,
2) Rendahnya akses terhadap teknologi, 3) Upah yang diterima perempuan lebih
rendah daripada laki-laki, 4) Akses anak perempuan terhadap pendidikan rendah,
dan 5) Belum ada teknologi khusus untuk perempuan (Bachrein et al., 2000).
Peran perempuan dalam pengelolaan lahan yang masih rendah ini
menyebabkan terjadinya disparitas pembagian kerja pada usahatani ladang antara
laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki menyumbang sebesar 485 jam

23
(47,32%) sedangkan perempuan sebesar 510 jam (52,68%), dominasi keterlibatan
laki-laki pada profil partisipasi, akses, dan kontrol dalam kegiatan usahatani dan
manfaat yang strategis seperti lahan, pengelolaan air, pola tanam, penyuluhan
pertanian serta pendidikan dan latihan. Bahkan dalam kegiatan kemasyarakatan
perempuan tidak terlibat dalam pengambilan keputusan, sedangkan kegiatan
domestik lebih didominasi perempuan. Akibatnya terjadi ketimpangan dan
ketidakadilan gender di sektor publik, domestik, maupun kemasyarakatan
(Bernard et al., 1998).
Masalah ketimpangan gender juga terlihat dalam penguasaan tanah.
Secara umum penguasaan tanah lebih sering dipegang oleh laki-laki dibanding
perempuan. Dalam berbagai kasus, pembuatan sertifikat tanah yang dibeli setelah
pernikahan umumnya dibuat atas nama suami sebagai kepala rumah tangga
dengan kesepakatan bersama. Dari suatu survai terhadap 1.500 peserta program
sertifikasi tanah ternyata hanya sedikit sertifikat yang dibuat atas nama istri (Tabel
1). Tanpa menguasai sertifikat tanah, perempuan akan sulit menggunakan tanah
sebagai jaminan untuk mendapatkan kredit usaha. Hal ini berdampak pada
terbatasnya peluang bagi perempuan dalam pengembangan usaha.
Tabel 1. Persentase Pemilikan Sertifikat Tanah Menurut Perempuan dan Laki-laki
No Penguasaan Asset Perempuan Laki-laki
1 Daerah Perkotaan 14,3 76,9
2 Daerah Pinggiran 17,4 67,4
3 Daerah Perdesaan 20,4 66,7
Sumber : Smeru (2004)
Pengarusutamaan gender merupakan salahsatu faktor yang perlu mendapat
perhatian dalam menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable
development). Konsep pembangunan berkelanjutan sudah diterima oleh semua
negara di dunia dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan agar tidak
mengalami kehancuran dan kepunahan. Konsep ini berlaku untuk seluruh sektor
pembangunan termasuk dalam pengelolaan lahan kering. Konsep ini bersifat multi
disiplin karena banyak aspek pembangunan yang harus dipertimbangkan, antara
lain aspek ekologi (konservasi), ekonomi, dan sosial. Dalam hal ini,

24
pengarusutamaan gender dalam pengelolaan lahan kering dapat terjadi pada aspek
konservasi, aspek ekonomi maupun aspek sosial.
Menurut Munasinghe (1993), pembangunan dikatakan berkelanjutan jika
memenuhi tiga dimensi, yaitu: secara ekonomi dapat efisien serta layak, secara
sosial berkeadilan, dan secara ekologis lestari (ramah lingkungan). Makna dari
pembangunan berkelanjutan dari dimensi ekologi memberikan penekanan pada
pentingnya menjamin dan meneruskan kepada generasi mendatang sejumlah
kuantitas modal alam (natural capital) yang dapat menyediakan suatu hasil
berkelanjutan secara ekonomis dan jasa lingkungan termasuk keindahan alam.
Konsep lain yang masih berkaitan dengan hal tersebut adalah konsep pemanfaatan
sumberdaya yang berkelanjutan (sustainable use of resources) yang bermakna
bahwa pemanenan, ekstraksi, ataupun pemanfaatan sumberdaya tidak boleh
melebihi jumlah yang dapat diproduksi atau dihasilkan dalam kurun waktu yang
sama.
Perlunya pengarusutamaan gender dalam pengelolaan sumberdaya lahan
secara berkelanjutan didasari oleh kondisi sebagai berikut (Mitchell et al., 2003):
1. Perempuan dilihat sebagai ”kapital” dalam proses transformasi sosial
ekonomi. Hal ini menyebabkan munculnya usaha yang cukup kuat untuk
membicarakan dan mendorong ”partisipasi perempuan” yang lebih besar
dalam berbagai kegiatan program pembangunan.
2. Tanggungjawab perempuan dalam menyediakan makanan yang sehat, air
bersih, dan bahan bakar dimana beban tersebut semakin bertambah pada saat
sumber bahan makanan, bahan bakar, dan air berkurang. Dengan demikian
perempuan cenderung mempunyai minat besar dalam melestarikan
sumberdaya alam dan lingkungan agar dapat dimanfaatkan selamanya atau
lestari.
3. Peran ganda perempuan dalam pekerjaan reproduktif, produktif, dan sosial
kemasyarakatan. Peran tersebut memberikan implikasi pada kondisi,
perempuanlah yang harus memulai kerja setiap hari, dan seringkali perempuan
juga yang paling akhir berhenti bekerja.

25
4. Banyak kegiatan produktif dan kemasyarakatan dalam hal ekonomi tidak
terlihat, sehingga kontribusi perempuan terhadap keluarga, masyarakat dan
negara seringkali tidak dinilai oleh keluarga dan pemimpin-pemimpin politik.
5. Semakin kecilnya kesempatan perempuan untuk mencari pendapatan
tambahan mengakibatkan status dan kekuasaan perempuan dalam keluarga
dan masyarakat semakin berkurang.
6. Kurangnya keterlibatan perempuan dalam kegiatan politik kemasyarakatan,
terutama dalam pembuatan keputusan, menyebabkan adanya bias gender,
sehingga peran perempuan menjadi status quo, dan perempuan dianggap
memang lebih rendah daripada laki-laki.
Pengarusutamaan gender dalam pengelolaan sumberdaya lahan
berkelanjutan memberikan penekanan pada peningkatan kemampuan perempuan
dalam hubungan mereka dengan laki-laki. Gender lebih menekankan pendekatan
untuk pengelolaan yang bersifat dari bawah ke atas (bottom up) daripada dari atas
ke bawah (top down). Gender memberi fasilitas kepada perempuan agar menjadi
percaya diri, melalui perubahan transformasi kebiasaan serta struktur, seperti
peraturan ketenagakerjaan, peraturan sipil, kebiasaan serta hak berdasarkan agama
dan budaya. Namun demikian usaha pengarusutamaan gender dalam berbagai
program pembangunan termasuk pengelolaan sumberdaya lahan kering
memerlukan upaya yang terus-menerus, terintegrasi, dan kemauan politik yang
kuat dari pengambil keputusan.

2.6. Pendekatan dan Pemodelan Sistem


Pendekatan sistem didefinisikan sebagai suatu metode penyelesaian
masalah yang dimulai dengan secara tentatif mendefinisikan atau merumuskan
tujuan dan hasilnya adalah suatu sistem operasi yang secara efektif dapat
digunakan untuk menyelesaikan permasalahan. Permasalahan tersebut dapat
dalam bentuk perbedaan kepentingan (conflict of interest) atau keterbatasan
sumberdaya (limited of resources) (Hardjomidjojo,2007).
Pendekatan sistem memberikan penyelesaian masalah dengan metode dan
alat yang mampu mengidentifikasi, menganalisis, mensimulasi dan mendesain

26
sistem dengan komponen-komponen yang saling terkait, yang diformulasikan
secara lintas-disiplin dan komplementer untuk mencapai tujuan yang sama
(Eriyatno, 2002). Menurut Manetch dan Park (1977), suatu pendekatan sistem
akan dapat berjalan dengan baik jika terpenuhi kondisi sebagai berikut:
1. tujuan sistem didefinisikan dengan baik dan dapat dikenali jika tidak dapat
dikuantifikasikan,
2. prosedur pembuatan keputusan dalam sistem konkrit adalah tersentralisasi
atau cukup jelas batasannya, dan
3. perencanaan jangka panjang memungkinkan untuk dilakukan.
Menurut Aminullah (2003), ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan
dalam pendekatan sistem untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks,
yaitu; (1) analisis kebutuhan, yang bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan
dari semua pemangku kepentingan dalam sistem; (2) formulasi permasalahan,
yang merupakan kombinasi dari semua permasalahan yang ada dalam sistem;
(3) identifikasi sistem, bertujuan untuk menentukan variabel-variabel sistem
dalam rangka memenuhi kebutuhan semua pemangku kepentingan dalam
sistem; (4) pemodelan abstrak, yang mencakup suatu proses interaktif antara
analis sistem dan pembuat keputusan, yang menggunakan model untuk
mengeksplorasi dampak dari berbagai alternatif dan variabel keputusan terhadap
berbagai kriteria sistem; (5) implementasi, tujuan utamanya adalah untuk
memberikan wujud fisik dari sistem yang diinginkan; dan (6) operasi, pada
tahap ini akan dilakukan validasi sistem dan seringkali pada tahap ini terjadi
modifikasi-modifikasi tambahan karena cepatnya perubahan lingkungan dimana
sistem tersebut berfungsi.
Menurut Manetch dan Park (1977), sistem adalah suatu gugus atau
kumpulan dari elemen yang berinteraksi dan terorganisir untuk mencapai tujuan.
O’Brien (1999) mendefinisikan sistem sebagai suatu bentuk atau struktur yang
memiliki lebih dari dua komponen yang saling berinteraksi secara fungsional.
Dengan demikian, tiap sistem harus memiliki komponen atau elemen yang saling
berinteraksi (terkait) dan terorganisir dengan suatu tujuan atau fungsi tertentu.

27
Lucas (1993) menyatakan bahwa secara teoritis komponen dalam suatu
sistem saling berhubungan dan memiliki ketergantungan antar komponen. Sistem
harus dipandang secara keseluruhan (holistik) dan akan bersifat sebagai pengejar
sasaran (goal seeking) sehingga terjadi sebuah keseimbangan untuk pencapaian
tujuan. Sebuah sistem mempunyai asupan (input) yang akan berproses untuk
menghasilkan luaran (output). Pada sebuah sistem ada umpan balik yang
berfungsi sebagai pengatur komponen sistem yang saling berinteraksi untuk
mencapai tujuan, dan sistem yang lebih besar dapat terdiri atas beberapa sistem
kecil (subsistem) yang akan membentuk suatu hirarki.
Secara sederhana, sistem di dalam ilmu manajemen digambarkan sebagai
satu kesatuan antara asupan, proses dan luaran. Sistem akan membentuk suatu
siklus yang berjalan secara terus-menerus dan dikendalikan oleh suatu fungsi
kontrol atau umpan balik. Prinsip sistem ini dapat digunakan sebagai dasar untuk
menyelesaikan permasalahan yang kompleks yang sering dihadapi atau menyusun
(merangkai) berbagai elemen sehingga menghasilkan sesuatu yang lebih
bermanfaat (Midgley, 2000). Untuk menyelesaikan permasalahan melalui
pendekatan sistem harus dilakukan identifikasi terhadap semua komponen yang
terdapat dalam sistem dan menentukan hubungan dari tiap komponen tersebut.
Ubahan pada satu komponen dari suatu sistem akan mempengaruhi
komponen lain dan biasanya akan menghasilkan umpan balik pada periode yang
sama atau pada periode berikutnya. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh
faktor internal (dari dalam sistem) maupun faktor eksternal (dari luar sistem).
Misalnya, jika terjadi perubahan harga asupan luas kepemilikan lahan pada sistem
pengelolaan lahan kering karena bertambahnya jumlah anggota keluarga
(penduduk) maka akan mempengaruhi variabel lain dalam bentuk penurunan
pendapatan petani. Dalam hal ini variabel luas kepemilikan lahan merupakan
faktor internal yang akan mempengaruhi variabel pendapatan dan secara
keseluruhan akan mempengaruhi perilaku sistem.
Menurut Manetch dan Park (1997) model adalah suatu penggambaran
abstrak dari sistem dunia nyata (riil), yang akan bertindak seperti dunia nyata
untuk aspek tertentu. Model dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu model

28
kuantitatif, kualitatif dan ekonik (Aminullah, 2003). Model yang baik akan
memberikan gambaran perilaku dunia nyata sesuai dengan permasalahan dan akan
meminimalkan perilaku yang tidak signifikan dari sistem yang dimodelkan.
Salahsatu cara untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks dengan
pendekatan sistem adalah menggunakan konsep model simulasi sistem. Dengan
menggunakan simulasi maka model akan mengkomputasikan jalur waktu dari
variabel model untuk tujuan tertentu dari asupan sistem dan parameter model.
Karena itu model simulasi akan dapat memberikan penyelesaian dunia nyata yang
kompleks. Model juga dapat digunakan untuk keperluan optimasi, dimana suatu
kriteria model dioptimalkan terhadap asupan atau struktur sistem alternatif.
Karena itu, model dapat dibangun dengan basis data (data base) atau basis
pengetahuan (knowledge base) (Eriyatno, 2003).
Langkah pertama dalam menyusun model sistem adalah dengan
menentukan struktur model. Struktur model akan memberikan bentuk pada
sistem dan sekaligus memberi ciri yang mempengaruhi perilaku sistem. Perilaku
tersebut dibentuk oleh kombinasi perilaku simpal umpan balik (causal loops)
yang menyusun struktur model. Semua perilaku model, bagaimanapun rumitnya
dapat disederhanakan menjadi struktur dasar yaitu mekanisme dari asupan, proses,
luaran, dan umpan balik.
Menurut Muhammadi et al., (2001), untuk memahami struktur dan
perilaku sistem yang akan membantu dalam pembentukan model dinamika
kuantitatif formal digunakan diagram sebab akibat (causal loop) dan diagram alir
(flow chart). Diagram sebab akibat dibuat dengan cara menentukan variabel
penyebab yang signifikan dalam sistem dan menghubungkannya dengan
menggunakan garis panah ke variabel akibat, dan garis panah tersebut dapat
berlaku dua arah jika dua variabel saling mempengaruhi.
Perilaku model sistem ditentukan oleh keunikan dari struktur model yang
dapat dipahami dari hasil simulasi model. Dengan simulasi akan didapatkan
perilaku dari suatu gejala atau proses yang terjadi dalam sistem, sehingga dapat
dilakukan analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa

29
depan. Menurut Muhammadi et al., (2001) tahapan untuk melakukan simulasi
model adalah sebagai berikut:
1. Penyusunan konsep.
Pada tahap ini dilakukan identifikasi variabel yang berperan dalam
menimbulkan gejala atau proses. Variabel tersebut saling berinteraksi, saling
berhubungan, dan saling tergantung. Kondisi ini dijadikan sebagai dasar
untuk menyusun gagasan atau konsep mengenai gejala atau proses yang akan
disimulasikan.
2. Pembuatan model
Gagasan atau konsep yang dihasilkan pada tahap pertama selanjutnya
dirumuskan sebagai model yang berbentuk uraian, gambar atau rumus.
3. Simulasi
Simulasi dilakukan dengan menggunakan model yang telah dibuat. Pada
model kuantitatif, simulasi dilakukan dengan memasukkan data ke dalam
model, sedangkan pada model kualitatif, simulasi dilakukan dengan
menelusuri dan melakukan analisis hubungan sebab-akibat antar-variabel
dengan memasukkan data atau informasi yang dikumpulkan untuk memahami
perilaku gejala atau proses model.
4. Validasi hasil simulasi.
Validasi bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dan
gejala atau proses yang ditirukan. Model dapat dinyatakan baik jika kesalahan
atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang terjadi di dunia
nyata relatif kecil. Hasil simulasi yang sudah divalidasi tersebut digunakan
untuk memahami perilaku gejala atau proses serta kecenderungan di masa
depan, yang dapat dijadikan sebagai dasar bagi pengambil keputusan untuk
merumuskan suatu kebijakan di masa mendatang.

2.7. Hasil Penelitian Terdahulu


Hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan topik penelitian ini,
baik yang berhubungan dengan metode penelitian yaitu pendekatan sistem dengan
menggunakan analisis keberlanjutan (rapid appraisal-multidimensional

30
scaling/MDS) maupun obyek yang dikaji (sumberdaya lahan kering). Menurut
Fauzi dan Anna (2002) metode MDS dapat digunakan untuk melakukan analisis
keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan dengan
dengan cara menyusun sebanyak 47 atribut yang dipergunakan untuk menentukan
nilai indeks keberlanjutan yang dikelompokkan ke dalam lima dimensi, yaitu:
dimensi ekonomi, dimensi sosial, dimensi teknologi, dimensi etika, dan dimensi
ekologi. Dari 47 atribut tersebut dihasilkan 15 atribut yang sensitif mempengaruhi
nilai keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan pesisir DKI
Jakarta. Soesilo (2003) dan Rohidin (2005) menggunakan metode MDS untuk
menilai keberlanjutan pengelolaan suatu sumberdaya dengan mengelompokkan
atribut ke dalam lima dimensi, yaitu: dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi
sosial-budaya, dimensi teknologi, dimensi hukum dan kelembagaan.
Pengelompokkan atribut ke dalam dimensi tersebut didasarkan atas konsep dasar
pembangunan berkelanjutan yang secara ekonomi harus layak, secara sosial
berkeadilan, dan secara ekologi ramah lingkungan (Munasinghe, 1993).
Studi tentang pengintegrasian gender dalam usahatani lahan kering yang
dilakukan oleh Irianto et al., (2003) mengambarkan bahwa profil partisipasi,
akses, dan kontrol laki-laki lebih dominan dalam kegiatan usahatani dan manfaat
yang strategis seperti lahan, pengelolaan air, pola tanam, penyuluhan pertanian
serta pendidikan dan latihan. Bahkan dalam kegiatan kemasyarakatan perempuan
tidak terlibat dalam pengambilan keputusan, sedangkan kegiatan domestik lebih
didominasi perempuan. Akibatnya terjadi ketimpangan dan ketidakadilan gender
sektor publik, domestik, maupun kemasyarakatan. Bernard et al., (1998)
mengemukakan bahwa terjadi disparitas pembagian kerja pada usahatani ladang
antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki menyumbang sebesar 458 jam (47,32%)
sedangkan perempuan sebesar 510 jam (52,68%). Proses pengambilan keputusan
umumnya dipengaruhi oleh dominasi keterlibatan laki-laki pada setiap tahap
sistem usahatani yang dilakukan. Akses dan kontrol terhadap sumberdaya
(pendidikan dan kesehatan) tidak lagi mencirikan disparitas berdasarkan jenis
kelamin, kecuali akses dan kontrol terhadap sumberdaya lahan yang mengacu
pada nilai anak laki-laki, dan akses terhadap sumber modal rendah.

31
Wasito (2004) melalui penelitiannya yang berjudul ”Aktivitas Harian
Petani Berdimensi Gender dan Etnis” yang dilakukan dengan metode pemahaman
pedesaan secara partisipatif (PPSP) dengan teknik pemetaan sumberdaya, diagram
aktivitas rutin harian, dan analisis mata pencaharian pada beberapa desa di
Sumatera Utara. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa profil kegiatan produktif
perempuan pada etnis Tapanuli, Karo, dan Mandailing di daerah aslinya cukup
besar, bahkan dapat dikatakan perempuan sebagai tulang punggung ekonomi
keluarga. Hal ini berbeda dengan yang ada di Langkat atau Deli Serdang, dimana
peran produktifnya lebih rendah. Heterogenitas etnis yang bermukim pada satu
wilayah cenderung untuk merubah pola kehidupan sesuai dengan tempat tinggal
saat ini. Secara rinci hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan metode
dan topik penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.

32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
.
.

Tabel 2. Hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan topik penelitian


No. Nama Waktu Judul Penelitian Metode Penelitian Kesimpulan
Peneliti Penelitian
1. Rohidin 2005 Desain sistem Pendekatan sistem Sistem budidaya sapi potong di Kabupaten
budidaya sapi dengan menggunakan Bengkulu Selatan pada saat ini termasuk kategori
potong analisis non parametrik, cukup berkelanjutan. Dari lima dimensi yang dikaji
berkelanjutan untuk multidimensional scaling yaitu; ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, hukum
mendukung aplikasi dan kelembagaan didapatkan bahwa dimensi
pelaksanaan ekonomi memiliki nilai keberlanjutan paling tinggi
otonomi daerah di dan yang terendah
Kabupaten
Bengkulu Selatan
2. Wasito 2004 Aktivitas harian Aktivitas harian keluarga Profil kegiatan produktif perempuan pada etnis
petani berdimensi tani dikaji melalui Tapanuli, Karo, dan Mandailing di daerah aslinya
gender dan etnis pemahaman pedesaan cukup besar, bahkan dapat dikatakan perempuan
secara partisipatif (PPSP) sebagai tulang punggung ekonomi keluarga. Hal ini
dengan teknik pemetaan berbeda dengan yang ada di Langkat atau Deli
sumberdaya, diagram Serdang, dimana peran produktifnya lebih rendah.
aktivitas rutin harian, dan Heterogenitas etnis yang bermukim pada satu
analisis mata pencaharian wilayah cenderung untuk merubah pola kehidupan
pada beberapa desa di sesuai dengan tempat tinggal saat ini.
Sumatera Utara.
.

Tabel 2 (lanjutan)
No. Nama Peneliti Waktu Judul Penelitian Metode Penelitian Kesimpulan
Penelitian
3. Soesilo Setyo 2003 Keberlanjutan Rapid appraisal Pembangunan pulau-pulau kecil di Kelurahan Pulau
Budi pembangunan pulau-pulau multidimensional: Panggang dan Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
kecil: Studi kasus dengan menggunakan termasuk kategori “cukup” berkelanjutan (dengan
Kelurahan Pulau Panggang aplikasi Rafish dan nilai indeks 50-75 dari skala indeks 0 – 100). Dari
dan Pulau Pari, Kepulauan simulasi model lima dimensi yang dikaji (ekologi, ekonomi, sosial,
Seribu, DKI Jakarta. ekonomi-ekologis. teknologi, hukum dan kelembagaan) didapatkan
bahwa dimensi ekonomi memiliki nilai
keberlanjutan paling rendah dan kondisi
ekonomi-ekologi di lokasi studi dalam kondisi
tidak seimbang. Dalam melakukan analisis
disusun sebanyak 61 atribut. Untuk meningkatkan
status keberlanjutan pembangunan pulau-pulau
kecil di Kepulauan Seribu ada 22 atribut yang
perlu diperhatikan diantaranya adalah sebagai
berikut. 1). Tingkat pencemaran perairan, 2).
Pembuangan limbah, 3). Penutupan terumbu
karang, 4). Transfer keuntungan, 5). Kontribusi
terhadap GDP, 6). Partisipasi keluarga dalam
pemanfaatan sumberdaya, 7). Tingkat pendidikan,
8). Penggunaan alat bantu penangkapan, 9).
Selektivitas alat tangkap ikan, 11). Jenis alat
tangkap, 12). Adanya tokoh panutan, 13). Aturan
adat dan agama/kepercayaan,
.

Tabel 2 (lanjutan)
No. Nama Peneliti Waktu Judul Penelitian Metode Penelitian Kesimpulan
Penelitian
4. Irianto Gatot, 2003 Pengintegrasian Untuk mendapatkan Profil partisipasi, akses, dan kontrol
Surmaini Elza, gender dalam potret hubungan gender menggambarkan bahwa laki-laki lebih dominan
Suhaeti Rita usahatani lahan dalam sistem usahatani dalam kegiatan usahatani dan manfaat yang
Bur, dan kering menggunakan M etode strategis seperti lahan, pengelolaan air, pola
Hamdani Harvard. Selanjutnya tanam, penyuluhan pertanian serta pendidikan
Adang untuk menentukan dan latihan. Bahkan dalam kegiatan
skala prioritas kemasyarakatan perempuan tidak terlibat dalam
pengarusutamaan pengambilan keputusan, sedangkan kegiatan
gender menggunakan domestik lebih didominasi perempuan. Akibatnya
Analytical Hierarchy terjadi ketimpangan dan ketidakadilan gender
Process (AHP) sektor publik, domestik, maupun kemasyarakatan.
Skala prioritas dalam pengarusutamaan gender
adalah sebagai berikut : 1) laki-laki saja yang
aktif pada lahan tanpa dam parit, 2) laki-laki saja
yang aktif pada lahan dengan dam dan parit, 3)
laki-laki dan perempuan aktif pada lahan tanpa
dam parit, 4) laki-laki dan perempuan aktif pada
lahan dengan dam dan parit, 5) perempuan saja
yang aktif pada lahan tanpa dam parit, dan
prioritas terakhir 6) perempuan saja yang aktif
pada lahan dengan dam parit.
.

Tabel 2 (lanjutan)
No. Nama Peneliti Waktu Judul Penelitian Metode Penelitian Kesimpulan
Penelitian
5. Fauzi Syam dan 2002 Evaluasi status “Rapid appraisal Ada 47 atribut yang disusun untuk mencerminkan
Anna Suzi keberlanjutan multidimensional: keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan
sumberdaya dengan menggunakan yang dikelompokkan ke dalam lima dimensi yaitu
perikanan: aplikasi aplikasi Rafish ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan etika.
pendekatan Rafish Dari 47 atribut, ada 15 atribut yang sensitif
(Studi kasus mempengaruhi status keberlanjutan masing-
perairan pesisir masing dimensi, yaitu: 1. Dimensi ekonomi:
DKI Jakarta) marketable right, sector employment, dan other
income; 2. Dimensi sosial: education level,
environmental knowledge, fishing income; 3.
Dimensi teknologi: selective gear, on-board
handling Ice 1.5,dan gear; 4. Dimensi etika: just
management, illegal fishing, dan alternative;
dan 5. Dimensi ekologi: range collapse, change
in level, dan size of fish caught. Dengan
demikian, 15 atribut tersebut perlu diperhatikan
agar status keberlanjutan pengelolaan
sumberdaya perikanan pada masa yang akan
datang dapat ditingkatkan.
.

Tabel 2 (lanjutan)
No. Nama Peneliti Waktu Judul Penelitian Metode Penelitian Kesimpulan
Penelitian
6. Matsur 2002 Potensi Studi pustaka Ada tiga tipe lahan kering marjinal, yaitu: 1)
pemanfaatan lahan lahan kering bertanah masam yang sesuai
marjinal untuk dimanfaatkan untuk tanaman buah, perkebunan
pembangunan tropis, hutan produksi atau HTI; 2) lahan basah
agribisnis bertanah gambut dapat dimanfaatkan untuk
berkelanjutan persawahan melalui reklamasi dan pembangunan
jaringan drainase yang efektif; dan 3) lahan
beriklim kering yang dapat dimanfaatkan untuk
berbagai komoditas pertanian dan perkebunan
dengan menggunakan teknik irigasi dan
konservasi air yang spesifik untuk daerah kering.
7. Prawiradisastra 2001 Optimalisasi Studi pustaka  Eksploitasi sumberdaya air di kawasan karst
Suryana pemanfaatan Gunung Sewu tergolong mahal biayanya
sumberdaya air, apalagi di musim kering.
salah satu usaha  Menggali sumber-sumber alternatif, seperti air
konservasi di hujan, air limpasan, maupun air telaga agar
kawasan karst diperoleh sumber air yang handal dan murah
Gunung Sewu, eksploitasinya.
Kabupaten Gunung  Mengembangkan budidaya pertanian yang
Kidul. tidak banyak menyerap air serta menanami
lahan-lahan kosong dengan pohon yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi.
.

Tabel 2 (lanjutan)
No. Nama Peneliti Waktu Judul Penelitian Metode Penelitian Kesimpulan
Penelitian
8. U. Kurnia 2001 Konservasi tanah Studi pustaka  Kemunduran produktivitas (degradasi) lahan
pada lahan kering akan terjadi dan berlanjut apabila pengelolaan
berlereng dan lahan usahatani tanaman pangan pada lahan
terdegradasi kering berlereng tidak disertai penerapan
untuk konservasi tanah.
meningkatkan  Akibat pengelolaan lahan usahatani yang tidak
produktivitas tepat dan tanpa menerapkan teknik konservasi
tanah. tanah, terjadi erosi dalam jumlah besar, hingga
terjadi penurunan produktivitas tanah.
 Penanggulangan kerusakan tanah tidak hanya
cukup dengan mengendalikan laju erosi,
melainkan harus bersama-sama dengan
pemulihan (rehabilitasi) tanahnya.
9. Bachrein 2000 Peranan wanita Dalam mempelajari  Perempuan berperanan penting dalam mendukung
Saeful, Ishaq I., dalam peranan wanita keberhasilan pengembangan usahatani lahan
dan Rufaidah pengembangan dilakukan tiga tahapan kering berkelanjutan, dengan alasan: 57,1 persen
V.W. sistem usahatani diagnosis, yaitu 1) perempuan bersama suami bertanggung jawab
aktivitas : siapa
lahan kering di mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan
mengerjakan apa
Jawa Barat. keluarga, perempuan mendominasi kegiatan
(berdasarkan waktu,
tempat, dan jenis reproduktif, dan perempuan mempunyai posisi
kegiatan), 2) akses dan yang setara dengan laki-laki (suami) dalam
kontrol dari anggota kegiatan usahatani, seperti pembenihan,
keluarga terhadap penyiangan gulma, panen, dan pemasaran.
.

Tabel 2 (lanjutan)
No. Nama Peneliti Waktu Judul Penelitian Metode Penelitian Kesimpulan
Penelitian
sumberdaya, 3) akses  Faktor-faktor yang mendorong peranan
dan kontrol terhadap Perempuan dalam pengembangan usahatani di
manfaat (keuntungan). lahan kering antara lain: 1) suami-istri secara
Aktivitas kerja laki-laki bersama bertanggung jawab untuk mencari
dan perempuan yang nafkah, 2) perempuan bekerja atas kemauan
diamati ada tiga jenis, sendiri, 3) perempuan bekerja atas dorongan
yaitu kerja produkti, suami, dan 4) pekerjaan terbaik bagi perempuan
kerja reproduktif, dan dalam membantu suami adalah sebagai petani.
kerja sosial. Faktor-faktor yang menghambat peran
Pengumpulan dan perempuan dalam pengembangan usahatani di
Analisis data lahan kering antara lain: 1) rendahnya pendidikan
menggunakan Rapid dan keterampilan, 2) rendahnya akeses terhadap
Appraisal of teknologi, 3) upah yang diterima lebih rendah
Agriculutural daripada laki-laki, 4) akses anak perempuan
Knowledge System terhadap pendidikan rendah, dan 5) belum
(RAAKS) ada teknologi khusus untuk perempuan
10. Mulyono Daru 1999 Konservasi lahan Rancangan Acak  Sisa tanaman merupakan sumber bahan
dengan sistem Lengkap dengan empat organik yang dapat berupa akar, batang, daun,
budidaya lorong perlakuan dan tiga maupun bagian lain dari tanaman pagar. Oleh
(Alley cropping) di ulangan dalam tiga karena itu budidaya lorong merupakan
daerah transmigrasi musim tanam. teknologi murah dan mudah dijangkau oleh
Kuro Tidur, petani untuk diterapkan di daerah pertanian,
Bengkulu. khususnya di lahan kering.
.

Tabel 2 (lanjutan)
No. Nama Peneliti Waktu Judul Penelitian Metode Penelitian Kesimpulan
Penelitian
 Dengan pengolahan yang baik, pemberian
pupuk, kapur, dan bahan organik akan
meningkatkan produktivitas tanah. Pemberian
kapur 2,5 ton per ha dan bahan organik 5,0 ton
per ha akan meningkatkan hasil kedelai 28,9
persen, dan meningkatkan hasil jagung 2,5 ton
per ha, dan bahan organik 10,0 ton per ha akan
meningkatkan hasil kedelai 38,6 persen dan
meningkatkan hasil jagung 54,9 persen.
 Flemengia congesta merupakan tanaman
pagar yang baik sebagai sumber bahan organik
11. Bernard B. D, 1998 Perspektif gender pada Penelitian  Terjadi disparitas pembagian kerja pada
Ekowati sistem usahatani ladang dilaksanakan pada usahatani ladang antara laki-laki dan
Chasana, dan suatu studi di Desa MT 1997/1998 perempuan. Laki-laki menyumbang sebesar
Sofyan Kabiarat Tanibar Selatan, terhadap kelompok 458 jam (47,32%) sedangkan perempuan
Bachmid Maluku Tenggara tani kooperator sebesar 510 jam (52,68%).
kegiatan adaptif  Proses pengambilan keputusan umumnya
teknologi tanaman dipengaruhi oleh dominasi keterlibatan pada
sela pada usahatani setiap tahap sistem usahatani yang dilakukan.
jambu mente.  Akases dan kontrol terhadap sumberdaya
Analisis gender (pendidikan dan kesehatan) tidak lagi
ditelususri dari :
a) deskripsi profil,
.

Tabel 2 (lanjutan)
No. Nama Peneliti Waktu Judul Penelitian Metode Penelitian Kesimpulan
Penelitian
pola pembagian kerja, mencirikan disparitas berdasarkan jenis
dan curahan tenaga kelamin, kecuali askes dan kontrol terhadap
kerja, b) deskripsi proses sumberdaya lahan yang mengacu pada nilai
dan pola pengambilan anak laki-laki, dan akses terhadap sumber
keputusan keluarga, c) modal rendah.
deskripsi akses dan
kontrol petani dan
anggota keluarga
terhadap sumberdaya
lahan,
keterampilan/pendidikan,
kesehatan dan konsumsi,
d) deskripsi persepsi
masyarakat terhadap
keterlibatan petani dan
anggota keluarga, serta
e) deskripsi kendala-
kendala yang dihadapi
petani dan anggota
keluarga dalam kegiatan
usahatani.

Anda mungkin juga menyukai