Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH KULTUR JARINGAN

TUMBUHAN KANTUNG SEMAR (Nephentes sp)

Disusun oleh:
Kelompok 3
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Destri Apriani (13222025)


Dewi Sundari (13222029)
Evitia Yuliani (13222039)
Rapida Juliana (12222086)
Rika Damayanti
(12222090)
Roris Agafta
(12222093)

Dosen Pembimbing:
Riri Novita, S, M.Si

PROGRAM STUDI TADRIS BIOLOGI


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2015
BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa macamnya salah
satunya dalam kerajaan tumbuhan, sebagai contoh adalah Nepenthes atau kantong
semar merupakan sejenis tanaman hias yang unik dan merupakan salah satu
tanaman pemakan serangga khas daerah tropis. Nepenthes sp. merupakan salah satu
tanaman unik dan langka yang ada di Indonesia. Menurut Direktorat Budidaya
Tanaman Hias (2006) Nepenthes merupakan jenis tumbuhan yang termasuk dalam
CITES Appendix 1 tahun 2003 dan 2. Tanaman yang terdaftar di dalamnya
merupakan jenis-jenis yang telah terancam punah, sehingga perdagangan
internasional spesimen yang berasal dari habitat alam harus dikontrol dengan ketat
dan hanya diperkenankan untuk kepentingan non komersial tertentu dengan izin
khusus.
Nepenthes diberi sebutan kantong semar karena ujung daunnya termodifikasi
menjadi kantong seperti perut semar yang buncit. Kantong-kantong ini sangat
menarik, karena bentuk dan warnanya yang indah. Keunikan lainnya terdapat pada
kantung yang berbentuk corong berisi cairan yang di dalamnya dapat ditemukan
berbagai jenis serangga.
Metode perbanyakan tanaman Nepenthes yang banyak dilakukan selama ini
ialah dengan menggunakan biji, stek dan pemisahan anakan. Pengembangbiakan
Nepenthes dengan biji memiliki kendala pada lamanya waktu berkecambah dan
keragaman individu akibat segregasi. Cara perbanyakan melalui stek terbatas dari
jumlah buku dan waktu yang relatif lama untuk penyiapan tanaman induk yang siap
memproduksi stek. Perbanyakan dengan pemisahan anakan terbatas oleh sedikitnya
jumlah anakan yang terbentuk. Pada Nepenthes mirabilis anakan jarang terbentuk,
salah satu alternatif metode perbanyakan yang dapat ditempuh adalah melalui
kultur in vitro. Metode ini diharapkan mampu menghasilkan tanaman dalam skala
besar dengan waktu yang relatif cepat. Sudarmonowati (2002) menyatakan bahwa
perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan telah banyak dilakukan untuk
tanaman yang bernilai ekonomi tinggi atau tanaman yang tergolong langka dan sulit
dipropagasi dengan cara konvensional, oleh karena itu dalam makalah ini akan

dibahas tentang salah satu cara untuk memperbanyak tanaman Nepenthes dengan
menggunakan teknik kultur jaringan melalui berbagai konsentrasi media MS.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana teknik dalam kultur jaringan tumbuhan?
2. Apa saja media yang dapat digunakan dalam kultur jaringan
tumbuhan?
3. Faktor apa saja yang mempengaruhi keberhasilan dalam kultur
jaringan tumbuhan?
4. Bagaimana cara mengkultur bagian tunas dari tumbuhan
kantung semar ?
5. Media apa yang digunakan dalam kultur tunas dari tumbuhan
kantung semar ?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kultur Jaringan Tumbuhan
A. Pengertian Kultur Jaringan
Kultur jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi bagian dari
tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, serta
menumbuhkannya dalam kondisi yang aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut
dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali.
Pada mulanya, orientasi teknik kultur jaringan hanya pada pembuktian teori
totipotensi sel. Kemudian hal ini menjadi sarana penelitian di bidang fisiologi
tanaman dan aspek-aspek biokimia tanaman (Gunawan, 1987).
Perbanyakan mikro beberapa tanaman yang biasa diperbanyak secara vegetatif,
merupakan contoh aspek yang menarik dari penerapan kultur jaringan. Teknik kultur
jaringan juga dapat diterapkan dalam pemuliaan tanaman untuk mempercepat
pencapaian tujuan dan membantu dimana cara-cara konvensional menemui
rintangan alamiah (Gunawan, 1987).
Teknik kultur jaringan tanaman terdiri dari beberapa tahapan yang secara umum
terdiri dari: tahap persiapan, tahap inisiasi kultur, tahap multiplikasi tunas, tahap
pemanjangan tunas, induksi akar dan perkembangan akar dan tahap terakhir berupa
pemindahan ke rumah kaca (aklimatisasi).
Salah satu teknik yang dilakukan di kultur jaringan yaitu subkultur.
Subkultur merupakan pemindahan kultur ke media yang baru, baik media yang
sama maupun media yang komposisi kimianya berbeda (Gunawan, 1992).
Subkultur

dapat

menjadi

kebutuhan

untuk

memperbanyak

tanaman

dan

mempertahankan kultur (George dan Sherrington, 1984). Pierik (1987) juga


menyatakan bahwa subkultur perlu dilakukan jika unsur hara dan hormon yang
terdapat pada media telah berkurang atau habis, untuk merubah pola pertumbuhan
dan perkembangan kultur, serta bila kultur telah memenuhi botol kultur.
B. Media Kultur Jaringan
Media

tanam

adalah

faktor

penentu

dalam

perbanyakan

tanaman dengan teknik kultur jaringan. Komposisi media yang


digunakan

bergantung

dengan

jenis

tanaman

yang

akan

diperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam


mineral, vitamin, dan hormon. Selainitu, diperlukan juga bahan
tambahan seperti agar, gula, dan lain-lain. Zat pengatur tumbuh
(hormon) yang ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya maupun
jumlahnya, bergantung dengan tujuan dari kultur jaringan yang
dilakukan. Media yang sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi
atau botol-botol kaca. Media yang digunakan juga harus disterilkan
dengan cara memanaskannya dengan autoklaf.
Jenis dan komposisi media sangat mempengaruhi besarnya
daya tahan eksplan untuk hidup pada media tersebut, sedangkan
zat pengatur tumbuh Auksin dan Sitokinin endogen yang terdapat
pada eksplan berpengaruh terhadap besarnya penyerapan zat
makanan yang tersedia dalam media kultur sehingga eksplan dapat
bertahan hidup lebih lama, bila pertumbuhan eksplan baik maka
dapat meningkatkan daya tahan hidup eksplan. Media dalam kultur
jaringan tanaman umumnya terdiri dari komponen-komponen
sebagai berikut: hara makro, hara mikro, vitamin, asam amino atau
suplemen nitrogen lainnya, gula, bahan organik komplek, bahan
pemadat (agar), dan zat pengatur tumbuh (hormon).
Beberapa formulasi media yang sudah umum digunakan dalam
banyak pekerjaan kultur jaringan antara lain adalah media White,
Murashige & Skoog (MS), Gamborg et al. (B5), Gautheret, Schenk &
Hilderbrandt (SH), Nitch & Nitch, Lloyd & McCown (WPM) dll. Media
MS, SH dan B5 merupakan media yang kaya garam-garam makro.
Menurut George dan Sherington (1984) ada media dasar yang pada
umumnya diberi nama sesuai dengan nama penemunya, antara
lain :
1. Medium dasar Murashige dan Skoog (MS), digunakan hamper
pada semua macam tanaman terutama herbaceous. Media ini
memiliki konsentrasi garam-garam mineral yang tinggi dan
senyawa N dalam bentuk NO3- dan NH4+.

2. Medium dasar B5 atau Gamborg, digunakan untuk

kultur

suspense sel kedelai, alfafa dan legume lain.


3. Medium dasar white, digunakan untuk kultur akar. Medium ini
merupakan medium dasar dengan konsentrasi garam-garam
mineral yang rendah.
4. Medium Vacint Went (VW), digunakan khusus untuk medium
anggrek.
5. Medium dasar Nitsch dan Nitsch, digunakn untuk kultur tepung
sari (Pollen) dan kultur sel.
6. Medium dasar schenk dan Hildebrandt, digunakan untuk tanaman
yang berkayu.
7. Medium dasar Woody Plant Medium (WMP), digunakan untuk
tanamn yang berkayu.
8. Medium dasar N6, digunakan untuk tanaman serealia terutama
padi, dan lain-lain.
Berikut ini adalah perbandingan komposisi beberapa media kultur
jaringan, yaitu diantaranya:
1. Media Murashige & Skoog (media MS)
Media MS paling banyak digunakan untuk berbagai tujuan kultur,
merupakan perbaikan komposisi media Skoog, Pertama kali unsurunsur makro dalam media MS dibuat untuk kultur kalus tembakau,
tetapi komposisi MS ini sudah umum digunakan untuk kultur jaringan
jenis tanaman lain Media MS mengandung 40 mM N dalam bentuk
NO3 dan 29 mM N dalam bentuk NH4+. Kandungan N ini, lima kali
lebih tinggi dari N total yang terdapat pada media Miller, 15 kali lebih
tinggi dari media tembakau Hildebrant, dan 19 kali lebih tinggi dari
media White. Kalium juga ditingkatkan sampai 20 mM, sedangkan P,
1.25 mM. Unsur makro lainnya konsemtrasinya dinaikkan sedikit.
Pada tahun-tahun sesudah penemuan media MS, dikembangkan
media-media lain berdasarkan media MS tersebut, antara lain media :
1. Lin & Staba, menggunakan media dengan setengah dari komposisi
unsur makro MS, dan memodifikasi : 9 mM ammonium nitrat yang
seharusnya 10mM, sedangkan KH2 PO4 yang dikurangi menjadi 0.5
Mm, tidak 0.625 mM. Larutan senyawa makro dari media Lin & Staba,

kemudian digunakan oleh Halperin untuk penelitian embryogenesis


kultur jaringan wortel dan juga digunakan oleh Bourgin & Nitsch (1967
dalam Gunawan 1988) serta Nitsch & Nitsch (1969 dalam Gunawan
1988) dalam penelitian kultur anther.
Modifikasi media MS yang lain dibuat oleh Durzan et alI (1973
dalam Gunawan 1988) untuk kultur suspensi sel white spruce dengan
cara

mengurangi

konsentrasi

K+

dan

NO3-,

dan

menambah

konsentrasi Ca2+ nya. 3. Chaturvedi et al (1978) mengubah media


MS dengan menurunkan konsentrasi NO3-, K+, Ca2+, Mg2+ dan SO42 untuk keperluan kultur pucuk Bougainvillea glabra.
2. Media Gamborg B5 (media B5)
Pertama kali dikembangkan untuk kultur kalus kedelai dengan
konsentrasi nitrat dan amonium lebih rendah dibandingkan media MS.
Untuk selanjutnya media B5 dikembangkan untuk kultur kalus dan
suspensi, serta sangat baik sebagai media dasar untuk meregenerasi
seluruh bagian tanaman.. Pada masa ini media B5 juga digunakan
untuk kultur-kultur lain. Media ini dikembangkan dari komposisi PRL-4,
media ini menggunakan konsentrasi NH4+ yang rendah, karena
konsentrasi yang lebih tinggi dari 2 mM menghambat pertumbuhan
sel kedelai. Fosfat yang diberikan setelah 1 mM, Ca2+ antara 1-4 mM,
sedangkan Mg2+ antara 0.5-3 mM (Gamborg et al, 1968).
3. Media Schenk & Hildebrant (media SH)
Merupakan media yang juga cukup terkenal, untuk kultur kalus
tanaman monokotil dan dikotil (Trigiano & Gray, 2000). Konsentrasi
ion-ion dalam komposisi media SH sangat mirip dengan komposisi
pada media Gamborg dengan perbedaan kecil yaitu level Ca2+,
Mg2+, dan PO4-3 yang lebih tinggi. Schenk & Hildebrant mempelajari
pertumbuhan jaringan dari 37 jenis tanaman dalam media SH dan
mendapatkan bahwa: 32 % dari spesies yang dicobakan, tumbuh
dengan sangat baik, 19% baik, 30% sedang, 14% kurang baik, dan
5% buruk pertumbuhannya. Tetapi karena zat tumbuh yang diberikan
pada tiap jenis tanaman tersebut berbeda. Media SH ini cukup luas
penggunaannya, terutama untuk tanaman legume.

4. Media WPM (Woody Plant Medium)


Dikembangkan oleh Lioyd & Mc Coen pada tahun 1981,
merupakan media dengan konsentrasi ion yang lebih rendah dari
media MS. Media diperuntukkan khusus tanaman berkayu, dan
dikembangkan oleh ahli lain, tetapi sulfat yang digunakan lebih tinggi
dari sulfat pada media WPM. Saat ini WPM banyak digunakan untuk
perbanyakan tanaman hias berperawakan perdu dan pohon-pohon.
5. Media Nitsch & Nitsch
Menggunakan NO3- dan K+ dengan kadar yang cukup tinggi untuk
mengkulturkan jaringan tanaman artichoke Jerussalem. Penambahan
ammonium khlorida sebanyak 0.1 mM, menghasilkan pertumbuhan
jaringan yang menurun. Mereka mengambil kesimpulan, bahwa NH4+
sangat menunjang pertumbuhan kalus tembakau (Miller et al, (1956
dalam Gunawan 1988).
6. Media Knop
Dapat juga digunakan untuk menumbuhkan kalus wortel. Kultur
kalus, biasanya ditumbuhkan pada media dengan kosentrasi garamgaram yang rendah seperti dalam kultur akar dengan penambahan
suplemen seperti glucosa, gelatine, thiamine, cysteine-HCl dan IAA
(Dodds and Roberts, 1983)
7. Media White
Dikembangkan oleh Hildebrant untuk keperluan kultur jaringan
tumor

bunga

matahari,

ditemukan

bahwa

unsur

makro

yang

dibutuhkan kultur tersebut, lebih tinggi dari pada yang dibutuhkan


oleh kultur tembakau. Unsur F, Ca, Hg dan S, pada media untuk tumor
bunga matahari ini, sama dengan media untuk jaringan normal yang
dikembangkan kemudian. Konsentrasi NO3- dan K+ yang digunakan
Hildebrant ini lebih tinggi dari media white, tetapi masih lebih rendah
dari pada media-media lain yang umum digunakan sekarang.
8. Media Knudson dan media Vacin and Went
Media ini dikembangkan khusus untuk kultur anggrek. Tanaman
yang

ditanam

di

kebun

dapat

tumbuh

dengan

baik

dengan

pemupukan yang hanya mengandung N dari Nitrat. S Knudson pada


tahun 1922, menemukan penambahan 7.6 mM NH4+ disamping 8.5
mM NO3-, sangat baik untuk perkencambahan dan pertumbuhan biji
anggrek.

Penambahan

NH4+

ternyata

dibutuhkan

untuk

perkembangan protocorm.
9. Media B5(Gamborg)
Dalam metode kultur in vitro dikenal beberapa macam jenis
media dasar diantaranya media Murashige dan Skoog (MS) dan
Gamborg (B5). Media B5 dikembangkan oleh Gamborg et al. pada
tahun 1968 untuk kultur suspensi kedelai. Pertama kali dikembangkan
untuk kultur kalus kedelai dengan konsentrasi nitrat dan amonium
lebih rendah dibandingkan media MS. Untuk selanjutnya media B5
dikembangkan untuk kultur kalus dan suspensi, serta sangat baik
sebagai media dasar untuk meregenerasi seluruh bagian tanaman.
Pada masa ini media B5 juga digunakan untuk kultur-kultur lain.
Media ini dikembangkan dari komposisi PRL-4, menggunakan
konsentrasi NH4+ yang rendah, karena konsentrasi yang lebih tinggi
dari 2 mM menghambat pertumbuhan sel kedelai. Tetapi peneliti lain
melaporkan bahwa konsentrasi NH4+ yang tinggi sampai 20 mM
berpengaruh baik dalam kultur jaringan seperti pada kultur kalus
tembakau Konsentrasi fosfat yang diberikan pada media tersebut
adalah 1mM , Ca+ antara 1-4 mM, dan Mg antara 0,5-4 mM lebih
mengutamakan kandungan ammonium dibandingkan media MS.
Meskipun media B5 pada awalnya digunakan untuk menginduksi
kalus

atau

diutamakan

sebagai

kultur

suspensi,

tetapi

dapat

digunakan pula sebagai media dasar bagi perbanyakan tanaman


pada umumnya. Gamborg (1991) menyatakan bahwa kadar hara
anorganik yang dikandung media dasar Gamborg (B5) umumnya lebih
rendah dari pada media dasar MS. Hal tersebut sering kali lebih baik
bagi sel spesies tertentu. Untuk selanjutnya media B5 dikembangkan
untuk kultur kalus dan suspensi, serta sangat baik sebagai media
dasar untuk meregenerasi seluruh bagian tanaman.

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Kultur Jaringan


Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan
propagul in vitro adalah eksplan, media tanam, kondisi fisik media, Zat Pengatur
Tumbuh (ZPT) dan lingkungan tumbuh (Wattimena et al., 1992).
1. Eksplan
Eksplan merupakan sebutan bagi bahan tanaman
Menurut

Harjadi

(1989)

bagian

tanaman

yang

yang

dijadikan

dikulturkan.

sebagai

eksplan

mencakup ujung pucuk (shoot tips), irisan-irisan batang, daun, daun bunga, daun keping
biji, akar, buah, embrio, meristem pucuk apikal (yang betul-betul merupakan
titik tumbuh) dan jaringan nuselar. Rasco jr dan Maquilan (2005) menggunakan
eksplan

biji pada

studi perkecambahan

N. truncata,

dan Sayekti (2007) juga

menggunakan eksplan biji pada studi perkecambahan N. mirabilis dan N. ampularia.


Menurut Gunawan (1987), eksplan harus diusahakan agar dalam keadaan aseptik
melalui prosedur sterilisasi dengan berbagai bahan kimia. Melalui eksplan yang aseptik
kemudian diperoleh kultur yang axenik yaitu kultur dengan hanya satu macam
organisme yang diinginkan.
Menurut Gunawan (1987), ukuran eksplan yang dikulturkan turut menentukan
keberhasilan dari suatu teknik kultur jaringan. Ukuran eksplan yang terlalu kecil akan
kurang daya tahannya bila dikulturkan.

Sedangkan bila ukurannya terlalu besar

akan sulit didapatkan eksplan yang steril. Mariska dan Sukmadjaja

(2003)

juga

menambahkan bahwa ukuran eksplan yang dapat digunakan dalam teknik kultur
jaringan bervariasi dari ukuran mikroskopik ( 0,1 mm) hingga 5 cm.
2. Media tanam
Penambahan agar-agar ke dalam kultur bertujuan agar terjadinya kontak antara
jaringan tanaman, media dan udara. Jika media berbentuk cair, kultur harus selalu
digoyangkan dengan shaker agar aerasi yang baik tetap terjaga. Jika media tersebut
tidak

digoyang-goyangkan,

eksplan

akan

tenggelam

seluruhnya

yang dapat

menyebabkan terjadinya kematian eksplan karena kondisi anaerobik (Wetherell, 1982).


Sayekti (2007) menyatakan media MS mampu menghasilkan waktu
inisiasi

berkecambah

tercepat

pada

perkecambahan

Nepenthes

mirabilis

(37.61HST), jumlah daun terbanyak dan tanaman paling tinggi (3.99 mm).
Tinggi tanaman terendah (1.07 mm) diperoleh pada media MS. Hal ini diduga terjadi
karena adanya penghambatan pertumbuhan pada media MS yang disebabkan oleh
konsentrasi garam yang tinggi.
3. Zat Pengatur Tumbuh

Zat pengatur tumbuh (ZPT) didefinisikan sebagai senyawa organik bukan nutrisi
yang aktif dalam jumlah kecil (10-6-10-5 mM) yang disintesiskan pada bagian
tertentu tanaman dan pada umumnya diangkut ke bagian lain tanaman dimana zat
tersebut menimbulkan tanggapan secara biokimia, fisiologis dan morfologis
(Wattimena, 1988). Dua golongan zat pengatur tumbuh yang penting dalam kultur
jaringan yaitu auksin dan sitokinin. Zat pengatur tumbuh ini mempengaruhi
pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel dan organ.
Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan dalam
media

dan

perkembangan

yang
suatu

diproduksi
kultur

oleh

sel

(Gunawan,

secara
1987).

endogen

menentukan

Armini

et

al.

arah
(1991)

menambahkan bahwa untuk pertumbuhan dan perkembangan kultur in vitro diperlukan


komposisi dan atau konsentrasi zat pengatur tumbuh yang berbeda untuk satu
varietas dengan varietas lain dari suatu tanaman.

Penentuan taraf konsentrasi juga

disesuaikan dengan tipe organ atau eksplan, metode kultur jaringan dan tingkat
kultur jaringan (pembuatan kalus, induksi tunas, induksi akar, dan lain-lain).
2.2 Kantong semar (Nepenthes)
Nepenthes atau kantong semar merupakan sejenis tanaman hias yang unik
dan

merupakan salah satu tanaman pemakan serangga khas daerah tropis.

Sebanyak 60% dari 83 spesies yang telah teridentifikasi di dunia dapat ditemukan
di Indonesia dengan bermacam-macam nama yang diberikan terhadap tanaman
tersebut sesuai dengan wilayahnya masing-masing, seperti Periuk Monyet di Riau,
Kantong Beruk di Jambi, di Bangka dikenal dengan Ketakung, sedangkan
masyarakat Jawa Barat mengenal Nepenthes dengan sebutan Sosok Raja Mantri
(Mansur, 2006).
Tumbuhan ini diklasifikasikan sebagai tumbuhan karnivora karena tanaman ini
mempunyai kemampuan untuk memangsa serangga melalui kantong yang terbentuk
dari ujung daun untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya (Clarke, 2001 dalam
Rahayu dan Isnaini, 2009). Kemampuannya itu disebabkan oleh adanya organ
berbentuk kantong yang menjulur dari ujung daunnya yang disebut pitcher atau
kantong. Handoyo dan Sitanggang (2006) melaporkan bahwa uniknya kantongkantong Nepenthes adalah pada kantongnya yang merupakan penjebak ulung bagi
serangga berupa lalat, semut, maupun kupu-kupu, bahkan ada jenis kantong
Nepenthes tertentu bisa menjebak katak atau burung. Berdasarkan habitatnya

Nepenthes dikelompokkan atas 2, yaitu spesies Nepenthes yang menyebabkan


spesiesnya semakin berkurang. Di samping pemanenan Nepenthes di alam secara
langsung, pembakaran dan alih fungsi hutan juga menyebabkan spesies dari
tanaman ini semakin langka dan semakin susah ditemukan. Oleh karena itu
Nepenthes dimasukkan ke dalam golongan tumbuhan yang sudah hampir punah,
sehingga wajib dilindungi. Di Indonesia, tanaman ini dilindungi berdasarkan UU
No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Jenis-Jenis
Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi (Samsurianto, 2010).
Nepenthes tidak hanya unik dan indah namun tanaman ini mempunyai
beberapa manfaat diantaranya adalah: 1) air yang tersimpan di dalam kantong
sebagai obat pencegah ngompol bagi anak balita, 2) masyarakat Maluku meyakini
bahwa air yang berada dalam kantong Nepenthes bisa mendatangkan hujan pada
musim kemarau, 3) masyarakat Sumatra memanfaatkan kantong dari tanaman ini
sebagai alat untuk memasak lemang, 4) air yang terdalam didalam kantong
bermanfaat juga sebagai ramuan untuk menyembuhkan penyakit tertentu, seperti
obat sakit mata, batuk dan maag. Batangnya digunakan sebagai tali atau tempat nasi
pada upacara adat (Handoyo dan Sitanggang, 2006).
Permintaan terhadap tanaman hias ini semakin lama semakin meningkat
seiring dengan meningkatnya taraf hidup masyarakat dan minat akan keindahan,
sehingga sering terjadi pemanenan secara liar di alam tanpa adanya upaya untuk
konservasi yang menyebabkan spesiesnya semakin berkurang. Di samping
pemanenan Nepenthes di alam secara langsung, pembakaran dan alih fungsi hutan
juga menyebabkan spesies dari tanaman ini semakin langka dan semakin susah
ditemukan. Oleh karena itu Nepenthes dimasukkan ke dalam golongan tumbuhan
yang sudah hampir punah, sehingga wajib dilindungi. Di Indonesia, tanaman ini
dilindungi berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang
Jenis-Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi (Samsurianto, 2010).
2.3 Kultur Jaringan Pada Tumbuhan Kantung Semar
A. Bahan Tanaman
Bahan tanaman yang digunakan sebagai sumber eksplan adalah tunas dari
kultur in vitro (tunas mikro) Nepenthes ampullaria dan Nepenthes mirabilis.

Tunas-tunas mikro ini dipisah-pisahkan dan ditanam pada media 1/2 MS selama 2
minggu yang bertujuan untuk melihat tingkat kontaminasi eksplan dan
keseragaman tunas.

Selanjutnya dipilih tunas yang memiliki penampilan baik

yaitu yang pertumbuhannya bagus, warna daun hijau cerah, pertumbuhannya tidak
merana seperti kekurangan hara dan tidak terbentuk kalus.

Pertumbuhan yang

seragam yaitu tinggi tanaman dan jumlah daun awal sama. Setelah dilakukan
pemilihan terhadap tunas yang bagus kemudian tunas-tunas ini ditanam pada
media perlakuan. Tiap botol kultur terdiri atas satu eksplan agar tersedia ruang
yang cukup bagi eksplan pada saat membentuk kantong.
B. Media Tanam
Media tanam yang digunakan tersusun dari garam mineral (makro dan mikro),
vitamin dan bahan-bahan organik formulasi MS (Murashige dan Skoog, 1962).
Media untuk induksi kantong yang digunakan terdiri dari lima (5) konsentrasi
perlakuan media MS yaitu : 0,500 MS yaitu media MS dengan :
unsur makro, 0,250 MS yaitu media MS dengan
unsur makro, 0,125 MS yaitu media MS dengan
1/8 unsur makro, 0,0625 MS yaitu media MS dengan
1/16 unsur makro dan 0,000 MS yaitu media yang hanya terdiri atas air, gula dan
agar.
Pada semua media yang digunakan ditambahkan sukrosa (30 g/l). Sebelum
disterilkan, pH media diatur sehingga mencapai 5.7 dengan penambahan
(1N) atau NaOH (1N).

HCL

Bahan pemadat agar swallow tambahkan ke dalam

campuran media sebanyak 7 gr/l dan dilarutkan dengan pengadukan dan pemanasan.
Media dituang ke dalam botol kultur berkapasitas 300 ml. Setelah itu ditutup
dengan plastik bening, masing-masing botol diisi lebih kurang 30 ml media. Botol
kultur yang telah di isi media disterilkan selama 7 menit dalam autoklaf yang
dipanaskan sampai 121C dan tekanan 1.5 kg/cm3.
Pengamatan dilakukan setiap 2 minggu hingga 12 minggu
setelah tanam. Perubah yang diamati adalah jumlah daun, jumlah
kantong yang terbentuk per eksplan, dan tinggi tanaman. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa pertumbuhan awal tanaman
pada semua perlakuan tidak memperlihatkan perbedaan. Semua

tunas terlihat segar, daun hijau dan cerah. Setelah dua minggu di
media perlakuan, mulai terlihat munculnya tendril atau bakal
kantong

pada

ujung-ujung

daun

tanaman.

Kantong

mulai

terbentuk pada saat umur tanaman mencapai 4 minggu setelah


tanam dalam media perlakuan. Hampir semua daun memiliki
tendril pada ujungnya, namun tidak semua tendril mampu
membentuk kantong yang sesungguhnya.
1. Jumlah Daun
Hasil pengamatan terhadap jumlah daun tanaman dari
minggu

pertama

hingga

12

minggu

setelah

tanam

menunjukkan bahwa jenis nepenthes mempengaruhi jumlah


daun dari minggu pertama setelah ditanam di media perlakuan,
sedangkan pengaruh dari berbagai konsentrasi media MS baru
terlihat pada umur 4 minggu setelah tanam. Nepenthes
mirabilis menghasilkan jumlah daun yang lebih banyak yaitu
sebesar 9,63 daun/tanaman dibandingkan dengan Nepenthes
ampullaria sebesar 7,80 daun/tanaman. Selain jenis Nepenthes,
media juga memberikan pengaruh terhadap jumlah daun pada
umur 4 minggu setelah tanam. Terdapat perbedaan pengaruh
antara media 0,500 MS dengan 0,125 MS, dan 0,000 MS
terhadap jumlah daun tanaman, namun antara media 0,500 MS
dengan 0,250 dan 0,0625 MS tidak berbeda begitu juga antara
0,125 MS dengan 0,0625 MS dan 0,000 MS. Pada umur 8
minggu dan 12 minggu setelah tanam media sudah tidak
memperlihatkan pengaruhnya terhadap jumlah daun sedangkan
jenis tanaman masih mempengaruhi jumlah daun. Jenis N.
mirabilis tetap mempunyai jumlah daun tertinggi sampai akhir
pengamatan. Hasil pengamatan terhadap jumlah daun pada
minggu pertama hingga 12 minggu setelah tanam disajikan
dalam Tabel 2. Dinarti et al. (2010) melaporkan bahwa media
MS

tanpa

penambahan

BAP

sudah

cukup

efisien

untuk

menghasilkan jumlah daun yang banyak. Penambahan BAP


bahkan bisa menekan jumlah daun dan jumlah tunas.
2. Jumlah Kantong
Berdasarkan hasil analisis ragam terhadap jumlah kantong
tanaman

menunjukkan

tidak

ada

interaksi

antara

jenis

nepenthes dengan konsentrasi media tumbuh yang digunakan


mulai dari awal hingga akhir pengamatan. Oleh karena itu akan
dibahas

pengaruh

dari

masing-masing

faktor

yaitu

jenis

tanaman dan konsentrasi media secara tersendiri. Menurut


Clarke (2001), proses pembentukan kantong pada tanaman
Nepenthes berbeda-beda setiap jenisnya. Ada yang hanya
membutuhkan waktu beberapa hari, tetapi ada juga yang
membutuhkan waktu berbulan-bulan. Handoyo dan Sitanggang
(2006) melaporkan bahwa kantong nepenthes yang sehat dapat
bertahan

segar

kurang

lebih

minggu

hingga

15

bulan,tergantung pada spesiesnya.


3. Tinggi tanaman
Pada tabel 4 dapat diketahui bahwa jenis Nepenthes
mempengaruhi tinggi tanaman mulai dari pertumbuhan awal
tanaman. Tinggi tanaman Nepenthes mirabilis lebih tinggi
dibandingkan dengan Nepenthes ampullaria. Sedangkan media
dengan berbagai konsentrasi garam mineral memberikan
pengaruh yang sama terhadap tinggi tanaman. Pertambahan
tinggi tanaman dari awal pertumbuhan tanaman tidak berbeda
walaupun setelah diberi berbagai perlakuan konsentrasi garam
mineral.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kultur jaringan merupakan salah satu cara memperbanyak
tanaman secara in vitro, kultur jaringan memiliki beberapa teknik
seperti tahap persiapan, tahap inisiasi kultur, tahap multiplikasi
tunas, tahap pemanjangan tunas, induksi akar dan perkembangan
akar dan tahap terakhir berupa pemindahan ke rumah kaca
(aklimatisasi). Keberhasilan kultur jaringan dipengaruhi beberapa
faktor salah satunya kondisi fisik tanaman dan media tanam.
Tumbuhan kantong semar (Nepenthes) salah satu dari tumbuhan
yang langkah dan bernilai ekonomis dapat diperbanyak dengan
cara dikulturkan menggunakan media MS. Jenis Nepenthes yang
dikulturkan memberikan pengaruh terhadap jumlah daun, jumlah
kantong dan tinggi tanaman pada media in vitro. Selain jenis
Nepenthes, berbagai konsentrasi media MS juga mempengaruhi
jumlah daun dan jumlah kantong yang terbentuk, namun tinggi
tanaman tidak dipengaruhi oleh konsentrasi media MS.

DAFTAR PUSTAKA
Clarke, C. 2001. Nepenthes of Sumatra and Peninsular Malaysia. Kota
Kinabalu : Natural History Publications (Borneo).
Dagla, H.R. 2012. Plant Tissue Culture. Historical Developments and
Applied Aspects. Resonance.
Direktorat Budidaya Tanaman Hias. 2006. Profil Tanaman Hias:
Zingiberaceae, Phalaenopsis, Cordyline. Direktorat Jenderal
Hortikultura. Departemen Pertanian.
Gunawan, L.W. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tanaman. Departemen
Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Mansur, M. 2006. Nepenthes, Kantong Semar yang Unik. Jakarta :
Penebar Swadaya.
Samsurianto. 2010. Induksi Tunas Mikro Kantong Semar (Nepenthes
spp.) In Vitro. Bioprospek.
Wattimena G.A., L.W. Gunawan, M.N. Ansori, E. Syamsudin, M.N.W.
Armini, dan A. Ernawati. 1992. Bioteknologi Tanaman.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktoorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, PAU Bioteknologi IPB. 71p.
Wattimena, G. A. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Bogor : Pusat
Antar Universitas Institut Pertanian Bogor.
Alitalia,Y.2008.Webside:http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/12
3456789/3009/A08yal.pdf?sequence=4. Di Akses pada tanggal
07 April 2015 pada pukul 10.30 WIB.
http://journal.unila.ac.id/index.php/agrotropika/article/viewArticle/837.
http://journal.ipb.ac.id/index.php/jhi/article/download/4085/1111

Anda mungkin juga menyukai