Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PRAKTIKUM

EKOLOGI LAHAN RAWA


TIPOLOGI DAN VEGETASI HIJAUAN DI LAHAN RAWA

Disusun Oleh:
Kelompok 4

Geza Jagad Satria 05041282126032


Iqnabila Kurathol Aini 05041282126030
Jeremia Hutapea 05041282126029
M. Rizky Muchdi Wijaya 05041282126035
Najwa aliffia 05041282126023
Putri Andini 05041282126031
Reza Ilham Wahyudi 05041282126037
Rizki Destimarta Dwiyono 05041282126040

PROGRAM STUDI PETERNAKAN


JURUSAN TEKNOLOGI DAN INDUSTRI PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2023
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Rawa adalah genangan air tawar atau payau yang luas dan permanen di
daratan. Lahan rawa yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia. Luas lahan
rawa di Indonesia diperkirakan sekitar 33,4 juta ha, terdiri dari 13,29 juta ha lahan
rawa lebak dan 20,1 juta ha lahan rawa pasang surut. Lahan rawa dapat dibagi
menjadi beberapa kategori yaitu berdasarkan istilah dibedakan menjadi dua bagian
yaitu rawa pasang surut (tidal swamps) dan rawa lebak (swampy atau nontidal
swamps). Berdasarkan letaknya dibedakan menjadi 3, yakni rawa dataran rendah
dan rawa dataran tinggi, rawa peralihan. Berdasarkan tipologi, dibedakan menjadi
lima yaitu lahan potensial kendala produksi tergolong kecil karena mutu tanah
tidak termasuk tanah tidak bermasalah. Lahan sulfat masam, lahan gambut, lahan
salin atau lahan pantai, lahan lebak adalah rawa nonpasang surut. Lahan lebak
berdasarkan tinggi dapat dibagi menjadi empat tipologi yaitu lebak (Puspita dan
prasetyo, 2020)
Hijauan rawa memiliki potensi yang sangat besar untuk dioptimalkan sebagai
pakan ternak. Selain ketersedian cukup melimpah, juga pertumbuhannya yang
sangat pesat bahkan sebagian kalangan menganggap bahwa hijauan rawa adalah
gulma. Diantara beberapa hijauan rawa, terdapat hijauan rawa purun tikus yang
sangat dominan tumbuh di lahan rawa yang dekat dengan sumber air yang
biasanya menunjukan pH yang sangat asam. Hijauan rawa umumnya memiliki
Kehadiran hijauan rawa lebih sering dianggap sebagai gulma karena dapat
menyebabkan pendangkalan dan menyebabkan pengurangan air dan nutrisi yang
besar. Produksi rawa kering dengan sistem panen 2-3 kali seminggu menghasilkan
44 ton/ha/tahun (Jaelani et al., 2019)

1.2. Tujuan
Untuk mengetahui topologi lahan rawa dan vegetasi hijauan yang terletak
pada lebak dangkal, lebak tengahan atau sedang, dan lebak dalam. Serta untuk
mengetahui produksi hijauan yang ada di rawa tersebut.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lahan Rawa


Lahan rawa adalah jenis lahan yang jenuh atau tergenang akan air dalam
waktu yang lama atau permanen, terutama selama musim hujan. Lahan rawa
terbentuk di daerah yang rendah, seperti lembah sungai atau dataran banjir dan
dapat ditemukan di berbagai jenis iklim, termasuk iklim tropis, subtropis, dan
sedang. Lahan rawa merupakan ekosistem yang berada pada daerah transisi di
antara daratan dan perairan (sungai, danau, atau laut), yaitu antara daratan dan
laut, atau di daratan sendiri, antara wilayah lahan kering (uplands) dan
sungai/danau (Fahmi dan Wakhid, 2018). Menurut Tim Koordinasi Penyusunan
Perencanaan Nasional Pengelolaan Lahan Rawa Berkelanjutan (P2NPLRB)
disebut rawa apabila memenuhi 4 (empat) unsur utama berikut, yaitu: (1) jenuh air
sampai tergenang secara terus-menerus atau berkala yang menyebabkan suasana
anaerob, (2) topografi landai, datar sampai cekung, (3) sedimen mineral (akibat
erosi terbawa aliran sungai) dan atau gambut akibat tumpukan sisa vegetasi
setempat), dan (4) ditumbuhi vegetasi secara alami.
Lahan rawa memiliki tanah yang memiliki karakteristik yang berbeda dari
tanah yang biasa dikenal. Sebagian besar lahan rawa memiliki kadar oksigen yang
rendah, sehingga tanaman dan hewan yang hidup di sana harus dapat beradaptasi
dengan kondisi tersebut. Selain itu, lahan rawa juga memiliki flora dan fauna yang
khas, tergantung pada kondisi air dan kelembaban yang berubah-ubah. Lahan
rawa memiliki potensi yang besar sebagai sumber daya alam dan ekosistem yang
penting, karena dapat mendukung keanekaragaman hayati dan memberikan
layanan ekosistem, seperti penyimpanan karbon dan pengendalian banjir. Namun,
eksploitasi yang tidak berkelanjutan dan perubahan lingkungan dapat mengancam
keberlangsungan lahan rawa dan ekosistem yang terkait dengannya.
Konversi lahan menjadi salah satu permasalahan yang pada Lahan rawa,
Konversi lahan merupakan suatu proses perubahan penggunaan lahan dari bentuk
penggunaan tertentu menjadi penggunaan lain misalnya ke non pertanian, seperti
lahan untuk permukiman, tempat usaha (perdagangan dan jasa) dan fasilitas
umum (Dumatubun, Subagiyo, & Wicaksono, 2020). Kepemilikan lahan yang
kurang luas sehingga tidak menjadi efisien dalam penggarapannya dan terjadinya
degredasi lahan atau menurunnya tingkat kesuburan yang akan menurunkan
produksi pertanian.

2.2. Tipologi Lahan Rawa


Lahan rawa meliputi rawa pasang surut dan rawa lebak. Wilayah rawa pasang
surut terdapat di bagian daratan yang berkesambungan dengan laut, sedangkan
wilayah rawa lebak terdapat di hulu sungai. Rawa lebak adalah lahan rawa yang
genangannya terjadi karena luapan air sungai dan atau air hujan di daerah
cekungan di pedalaman. Oleh sebab itu, genangan umumnya terjadi pada musim
hujan dan menyusut atau hilang pada musim kemarau. Berdasarkan lama dan
ketinggian genangan air, lahan rawa lebak dikelompokkan menjadi (1) lebak
dangkal, (2) lebak tengahan, (3) lebak dalam dan (4) lebak sangat dalam. Lebak
dangkal dicirikan oleh ketinggian genangan air < 3 bulan.
Rawa pasang surut dibedakan menjadi dua yaitu pasang surut air asin dan
pasang surut air tawar :
1. Pasang surut air asin/ payau adalah wilayah rawa yang terletak di dekat
laut. Wilayah ini dipengaruhi dengan gerakan pasang surut air laut,
akibatnya wilayah tersebut cenderung asin, baik pada pasang besar
maupun pasang kecil, selama musim hujan dan kemarau. Pada zona ini
biasanya di dominasi oleh tumbuhan bakau.
2. Pasang surut air tawar adalah wilayah rawa yang terletak di antara rawa
payau dan rawa lebak (peralihan). Wilayah ini kekuatan arus air pasang
dari laut sedikit besar atau sam dengan kekuatan arus air dari hulu
sungai. Pada kawasan ini gerakan pasang surut harian masih terlihat,
hanya airnya disominasi oleh air tawar yang berasal dari sungai itu
sendiri.
Berdasarkan pengaruh luapan pasang surutnya air laut/sungai, lahan rawa
pasang surut dapat dibagi dalam 4 (empat) tipe luapan yaitu tipe A,B,C dan D
1. Tipe A: selalu terluapi air pasang, baik pasang besar (spring tide)
maupun pasang keeil (neap tide). Tipe lahan ini biasanya ditemui di
daerah dekat pantai atau sepanjang pantai
2. Tipe B : hanya terluapi oleh pasang besar (spring tide), tetapi
terdrainase harian. Wilayah tipe luapan ini meliputi wilayah pedalaman
3. Tipe C : tidak pernah terluapi walaupun pasang besar, namun
permukaan air tanah kurang dari 50 em. Drainase permanen dan air
pasang mempengaruhi seeara tidak langsung.
4. Tipe D : tidak pernah terluapi dan permukaan air tanah lebih dari 50
cm. Drainase terbatas, penurunan air tanah terjadi selama musim
kemarau ketika evaporasi melebihi eurah hujan. Dalam kawasan rawa
pasang surut terdapat sekitar 10-20% wilayah tipe luapan A, 20-30%
wilayah tipe luapan B dan D, dan 60-70% wilayah tipe luapan C.
Lahan pasang surut berdasarkan jenis tanah dan kendalanya dalam
pengembangan pertanian, lahan rawa dibagi dalam 4 (empat) tipologi yaitu : (1)
lahan potensial, (2) lahan sulfat masam, (3) lahan gambut dan (4) lahan salin.
Batasan pembagian tipologi lahan dan kendala pengembangannya untuk pertanian
sebagai berikut:
1. Lahan potensial adalah lahan rawa pasang surut yang mempunyai
kadar pirit < 2% pada jeluk (depth) > 50 em dari permukaan tanah,
kemasaman tanah sedang (pH tanah > 4,0 - 4,5). Kendala produksi
tergolong keeil karena tanah tidak termasuk bermasalah.
2. Lahan sulfat masam adalah lahan rawa pasang surut yang mempunyai
lapisan pirit padajeluk 50-100 em, pH tanah 4,5 -4,5 yang apabila
teroksidasi menurunkan pH menjadi < 3,5. Kadar aluminium dan besi
yang eukup tinggi. Lahan sulfat masam berdasarkan kedalaman pirit
dan tingkat oksidasi dibagi dalam dua tipologi yaitu (1) lahan sulfat
masam potensial, (2) sulfat masam aktual.
3. Lahan gambut adalah lahan yang terbentuk dari bahan organik berupa
(1) bahan jenuh air dengan kadar > 12%, tanpa kandungan lempung
(clay) atau paling tidak 18% apabila mengandung lempung paling
tinggi 60%, atau (2) bahan tidak jenuh air selama kurang dari beberapa
hari dengan kadar organik paling sedikit 20%.
4. Lahan salin adalah lahan rawa terkena pengaruh penyusupan air laut
atau bersifat payau, yang termasuk lahan potensial, lahan sulfat masam
atau lahan gambut. Penyusupan air laut ini paling tidak selama 3 bulan
dalam setahun dengan kadar natrium (Na) dalam larutan tanah 8-15%.
Lahan salin ringan atas dasar salinitas dibagi tiga kategori, yaitu salin
ringan (apabila nilai DHL < 1mS cm'), sedang (nilai DHL 1-4 mS
em:') dan sangat salin (nilai DHL > 4 mS cm').

2.3. Vegetasi Hijauan Lahan Rawa


Hijauan pakan ternak adalah semua bentuk bahan pakan berasal dari tanaman
atau rumput termasuk leguminosa baik yang belum dipotong maupun yang
dipotong dari lahan dalam keadaan segar (Akoso, 2018) yang berasal dari
pemanenan bagian vegetatif tanaman yang berupa bagian hijauan yang meliputi
daun, batang, kemungkinan juga sedikit bercampur bagian generatif, utamanya
sebagai sumber makanan ternak ruminansia (Reksohadiprodjo, 2019). Untuk
penanaman hijauan makanan ternak dibutuhkan tanah yang subur dan memenuhi
persyaratan-persyaratan jenis tanah dan iklim yang sesuai dengan yang
dikehendaki (Sosroamidjoyo dan Soeradji, 2019). Identifikasi genus/spesies
hijauan pakan semakin penting dilakukan mengingat semakin pentingnya arti
hijauan pakan bagi kebutuhan ternak. Identifikasi hijauan pakan khususnya
rumput dapat dilakukan berdasarkan pada tanda-tandakarakteristik vegetatif
(Reksohadiprodjo,2019). Termasuk kelompok makanan hijauan ini ialah bangsa
rumput (graminae), leguminosa dan hijauan dari tumbuh-tumbuhan lain seperti
daun nangka, daun waru dan lain sebagainya (AAK, 2018). Dalam lahan rawa
juga terdapat banyak tumbuh hijauan dan sangat berpotensi dijadikan pakan
ternak.
Adapun dari Hijauan tersebut yang umum tumbuh di lahan rawa terdiri dari
rumput dan legum. Rata-rata vegetasi hijauan di rawsa berpotensi untuk pakan
ternak maka adapun jenis-jenis hijauan tersebut seperti rumput rawa yang dapat
dimanfaatkan ialah rumput bento rayap (Leersia hexandra), rumput kumpai
minyak (Hymnenachne amplexicualis), rumput kumpai tembaga (Hymnenachne
acutigluma), rumput kumpai padi (Oryza rufipogon), dan rumput purun tikus
(Eleocharis dulcis). Legum yang tumbuh di lahan rawa terdapat beberapa spesies
antara lain Pipisangan (Ludwigia hyssopifolia), Beberasan (Polygonum barbatum
L), Babatungan (Persicaria barbata), SupanSupan (Neptunia oleracea Lour) dan
Bundungan (Actinoscirpus grossus).
BAB 3
METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat


Praktikum dilaksanakan pada hari Sabtu, 18 Maret 2023 pukul 13.30 WIB di
Lahan rawa, Universitas Sriwijaya, Indralaya

3.2. Alat dan Bahan


Pipa 1x1 beserta pipa L sebanyak 4 kuadran, kantong plastik bening 1 pack,
alat potong rumput seperti gunting, kertas label, alat tulis, timbangan gram, dan
sepatu boots.

3.3. Cara kerja


Cara kerja yang dilakukan pada praktikum ini adalah dengan sistem
pembagian kuadran. Setiap tipologi dibagi menjadi tiga kuadran, yaitu kuadran I,
kuadran II, dan kuadran III. Lempar kuadran lalu ambil sampel hijauan/rumput
menggunakan gunting. Kemudian, di timbang tiap hijauan yang didapat di setiap
kuadran dan di catat hasilnya. Untuk selanjutnya dihitung besar produksi hijauan
yang didapat.

3.4. Produksi Hijauan


Hijauan pakan ternak adalah semua bentuk bahan pakan berasal dari tanaman
atau rumput termasuk leguminosa baik yang belum dipotong maupun yang
dipotong dari lahan dalam keadaan segar.
Perhitungan produksi hijauan berdasarkan berat segar menggunakan rumus:
X = ∑ xi / n
Keterangan :
X : Rata-rata produksi biomassa hijauan yang ada (g/m2 )
∑xi : Jumlah produksi biomassa hijauan pada setiap pengamatan (g)
n : Jumlah pengamatan
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Tabel.1. Analisis Vegetasi Hijauan Rawa Lebak dengan Tipologi yang Berbeda di
Universitas Sriwijaya
Jumlah Total
No Tipologi Lahan Rawa Kuadran Jenis Rumput
(%) (gr)
1. R. Kerak Maling 60
2. R. Kumpai Padi
I 3. Cecengkehan 12 41
18

1. R. Kerak Maling 84
2. R. Kumpai Padi
1 Dangkal II 3. Cecengkehan 0 47
16

1. R Kerak Maling 60
2. R. Kumpai Padi
III 3. Cecengkehan 12 44
18

1. R. Kumpai
Minyak
I 100 39

1. R. Kumpai
Minyak
II 100 44
2 Tengahan

1. R. Kumpai
100
Minyak
III 2. R. Berondong 36
0

1. R. Purun Tikus 25
I 100
1. R. Purun Tikus 39
3 Dalam II 100
III 1. R. Purun Tikus 100 43

Lebak Dangkal X = 132/3 = 44 gram, Lebak Tengahan X = 119/3 = 39,6667


gram, dan Lebak Dalam X = 107/3 = 35,6667gram
Maka hasil yang diperoleh dari data tersebut yaitu jika ditotal rata-rata jumlah
berat hijauan yang didapat pada lahan rawa lebak dangkal adalah 44,00 gr
sehingga produksi hijauan yang ada di lahan rawa lebak dangkal berkisar 0,44
ton/ha, sedangkan jika ditotal rata-rata jumlah berat hijauan yang didapat pada
lahan rawa lebak tengahan adalah 39,6667 gr sehingga produksi hijauan yang ada
di lahan rawa lebak tengahan adalah berkisar 0,396667 ton/ha, serta jika ditotal
rata-rata jumlah berat hijauan yang didapat pada lahan rawa lebak dalam adalah
35,6667gr sehingga produksi hijauan yang ada di lahan rawa lebak dalam adalah
berkisar 0,356667ton/ha.

4.2. Pembahasan
Pada praktikum pengambilan sampel dilakukan dengan metode kuadran,
pelemparan didilakukan pada lebak dangkal dan lebak tengahan, pada setiap
lebak dilakukan lemparan sebanyak tiga kali. Selanjutnya setelah pelemparan
kuadran dilakukan pemotongan hijauan dan kemudian hijauan dipisahkan sesuai
dengan jenis hijauan, lalu dilakukannya penimbangan berdasarkan jenis dan
kuadrannya. Rawa lebak dibagi menjadi tiga pertama lebak dangkal atau lebak
pematang, yaitu rawa lebak dengan genangan air kurang dari 50cm. Lahan ini
biasanya terletak di sepanjang tanggul sungai dengan lama genangan kurang dari
3 bulan. Ketiga lebak tengahan, yaitu lebak dengan kedalaman genangan 50-
100cm. Genangan biasanya terjadi selama 3-6 bulan. Lebak dalam, yaitu lebak
dengan genagan air lebih dari 100cm. Lahan ini biasanya terletak di sebelah dalam
menjauhi sungai dengan lama genangan lebih dari 6 bulan. Wilayah rawa lebak
terletak lebih jauh lagi kearah pedalaman dan dimulai di wilayah dimana pengaruh
pasang surut sudah tidak ada lagi. Rawa lebak sering disebut sebagai rawa
pedalaman, atau rawa non-pasang surut.
Tipologi lahan rawa lebak dangkal di kuadran I terdapat rumput cecengkehan
sebesar 18%, kerak maling 60% dan rumput Kumpai Padi sebesar 12% dengan
berat 41gr dengan lemparan arah ke depan. Pada lahan rawa lebak dangkal di
kuadran II terdapat rumput cecengkehan sebesar 16% dan kerak maling 84%
dengan berat 47gr dengan lemparan ke samping kanan. Pada lahan rawa lebak
dangkal di kuadran III terdapat rumput cecengkehan sebesar 12%, kumpai padi
54%, dan kerak maling 34% dengan berat 44gr dengan lemparan ke samping kiri.
Jika ditotal rata-rata jumlah berat hijauan yang didapat adalah 44,00gr. Produksi
hijauan yang ada di lahan rawa lebak dangkal berkisar 0,44ton/ha. Lahan rawa
lebak tengahan di kuadran I terdapat rumput Kumpai minyak sekitar 100%
dengan berat 39gr dengan lemparan arah ke samping kanan. Lahan rawa lebak
tengahan di kuadran II terdapat rumput Kumpai minyak sekitar 100% dengan
berat 44gr dengan lemparan arah ke arah depan.
Lahan rawa lebak tengahan di kuadran III terdapat rumput berondong sekitar
100% dengan berat 36gr dengan lemparan arah samping kanan. Jika ditotal rata-
rata jumlah berat hijauan yang didapat adalah 39,6667gr sehingga produksi
hijauan yang ada di lahan rawa lebak tengahan adalah berkisar 0,396667ton/ha.
Setelah dilihat terjadi peningkatan produksi sebelumnya produksi hijauan rendah
di daerah rawa lebak dangkal, selanjutnya di daerah rawa lebak tengahan
produksinya tinggi. Hal tersebut bertolak belakang yang seharusnya semakin ke
dalam semakin rendah produksi hijauan yang dihasilkan. Lahan rawa lebak dalam
di kuadran I hanya terdapat rumput purun tikus sekitar 100% dengan berat 25gr
dengan lemparan arah ke samping kiri. Lahan rawa lebak dalam kuadran II juga
terdapat rumput purun tikus sekitar 100% dengan berat 39gr dengan lemparan
arah ke samping kiri. Terakhir Lahan rawa lebak dalam III yang terdapat rumput
purun tikus sekitar 100% dengan berat 43gr dengan lemparan arah ke samping
kanan . Jika ditotal rata-rata jumlah berat hijauan yang didapat adalah 35,6667gr
sehingga produksi hijauan yang ada di lahan rawa lebak dalam adalah berkisar
0,356667 ton/ha.Setelah diamati terjadi penurunan produksi hijauan. Produksi
hijauan tinggi di lebak dangkal kemudian mulai menurun di lebak tengahan dan
makin menurun di lebak dalam. Hal ini sama dengan pernyataan bahwa semakin
dalam lebak semakin rendah produksi hijauan yang dihasilkan.
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Lahan rawa adalah jenis lahan yang jenuh atau tergenang akan air dalam
waktu yang lama atau permanen, terutama selama musim hujan, adapun tipologi
dari lahan rawa dibagi beberapa macam yaitu; berdasarkan lama genangan air dan
ketinggiannya dibagi menjadi 1) lebak dangkal 2) lebak tengahan 3) lebak dalam
dan 4) lebak sangat dalam. Selanjutnya berdasarkan pengaruh luapan terbagi
menjadi 4 yaitu Tipe A, B, C dan D dimulai dari selalu terluapi air pasang hingga
tidak pernah terluapi, selain itu ada kendala dalam lahan rawa untuk
pengembangan pertanian yaitu; lahan potensial, sulfat masam, gambut dan salin,
vegetasi juga yang hidup di lahan rawa umumnya rumput-rumputan dan
leguminosa seperti bento rayap (Leersia hexandra), rumput kumpai minyak
(Hymnenachne amplexicualis), rumput kumpai tembaga (Hymnenachne
acutigluma), rumput kumpai padi (Oryza rufipogon), dan rumput purun tikus
(Eleocharis dulcis).
Berdasarkan praktikum yang sudah dilakukan dengan Teknik pelemparan petak
cuplikan didapat total vegetasi hijauan yang menurun dari dangkal, tengahan ke
dalam satuannya yaitu; lebak dangkal x = 132/3 = 44 gram, lebak tengahan x =
119/3 = 39,6667 gram, dan lebak dalam x = 107/3 = 35,6667gram, jenis vegetasi
yang didapat dimulai dari rumput kerak maling, kumpai padi, cecengkehan,
kumpai minyak, rumput berondong dan rumput purun tikus

5.2. Saran
Mungkin dalam pelaksanaannya memerlukan beberapa pengamanan
dikarenakan pada lebak dalam air sangat deras dan juga kami harap dapat
melakukan praktikum dengan jenis lahan yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA

AAK. 2018. Hijauan Makanan Ternak Potong, Kerja dan Perah. Yayasan
Kanisius, Yogyakarta.
Akoso, B.T. 2018. Kesehatan Sapi. Kanisius, Yogyakarta.
Dumatubun, V. D., Subagiyo, A., & Wicaksono, A. D. 2020. Konversi
Penggunaan Lahan Pertanian Dan Perkembangannya Tahun 2013-2018 Di
Kecamatan Prafi, Kabupaten MANOKWARI. Planning For Urban Region
And Environment: 9(3).
Fahmi, Arifin,. Dan Wakhid, Nur. 2018. Karakteristik Lahan Rawa. Dalam
Agroekologi Rawa. PT RAJAGRAFINDO PERSADA: 91-118.
Jaelani, A., Malik, A. dan Nimah, G. K., 2019. Evaluasi Hijauan Rawa Purun
Tikus (Heleocharis Dulcis Burm) yang dimodifikasi Sebagai Pakan
Kambing Berbentuk Granul. Ziraa'ah Majalah Ilmiah Pertanian, 44(3),
388-395.
Puspita, D. Prasetyo, S. E. 2020. Ekologi dan Keanekaragaman Flora di Pulau
Enggano. Majalah Ilmiah Biologi BIOSFERA: A Scientific Journal,
37(3), 175-179.
Reksohadiprodjo, S. 2019. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak tropic.
Edisi Kedua. BPFE. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Siregar, S.B.
1994. Ransum Ternak Ruminansia. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.
Sosroamidjojo, M.S dan Soeradji. 2019. Peternakan Umum. CV. Yasaguna,
Jakarta.
Sosroamidjojo, M.S dan Soeradji. 2019. Peternakan Umum. CV. Yasaguna,
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai