Anda di halaman 1dari 31

KATA PENGANTAR

Lahan rawa merupakan salah satu ekosistem yang sangat potensial untuk
pengembangan pertanian. Luas lahan ini, diperkirakan sekitar 33,4 juta ha, yang
terdiri atas lahan pasang surut sekitar 20 juta ha dan rawa lebak 13 juta ha. Namun
demikian, ekosistem rawa, secara alami bersifat rapuh (fragile) oleh sebab itu
dalam memanfaatkan lahan rawa dengan produktivitas optimal dan berkelanjutan,
diperlukan teknologi pengelolaan lahan yang tepat dan terpadu. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, melalui berbagai lembaga penelitian dan kegiatan,
terutama yang dikoordinasikan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian telah mengidentifikasi karakteristik lahan rawa
tersebut secara komprehensif dan menemukan berbagai inovasi teknologi untuk
mengatasi masalah yang ada, sehingga pemanfaatannya optimal untuk
kesejahteraan masyarakat. Teknologi pengelolaan tanah, tata air mikro, ameliorasi
tanah dan pemupukan, serta penggunaan varietas yang adaptif merupakan
beberapa hasil penelitian yang telah terbukti sangat beperan dalam meningkatkan
produktivitas lahan rawa. Untuk menyebarluaskan hasil yang telah diperoleh,
supaya dapat dimanfaatkan masyarakat luas, maka hasil itu kami rangkum di
dalam terbitan ini. Buku Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa ini memuat
informasi tentang lahan rawa di Indonesia secara komprehensif mulai dari lahan
rawa secara umum, rawa pasang surut, dan rawa lebak, sampai teknologi
pengelolaan lahan sulfat masam dan gambut, pemanfaatan lahan rawa lebak,
sumberdaya hayati pertanian, konservasi dan rehabilitasi lahan rawa, dan usaha
agribisnis di lahan rawa pasang surut. Sehingga, diharapkan bisa digunakan
sebagai acuan bagi berbagai usaha praktis, di dalam pengelolaan maupun
penelitian lanjutan, untuk menemukan teknologi pemanfaatan lahan rawa yang
lebih efektif dan efisien. Kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi
bagi terbitnya buku ini, saya sampaikan terima kasih.

Bogor, Desember 2006

Kepala Badan Penelitian dan


Pengembangan Pertanian

Dr. Ir. Achmad Suryana, MS


DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR .................................................................................. i

DAFTAR ISI .............................................................................................. ii

I. KLASIFIKASI DAN PENYEBARAN LAHAN RAWA ...


Subagyo H.
II. II. LAHAN RAWA PASANG SURUT ...........
Subagyo H.
III. III. LAHAN RAWA LEBAK .................
IV. Subagyo H.
V. TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN SULFAT MASAM...
Didi Ardi Suriadikarta dan Diah Setyorini
VI. TEKNOLOGI PENGELOLAAN HARA LAHAN GAMBUT .........
Wiwik Hartatik dan Didi Ardi Suriadikarta
VII. TEKNOLOGI PEMANFAATAN LAHAN RAWA LEBAK ...................
181
Trip Alihamsyah dan Isdijanto Ar-Riza
VIII. SUMBERDAYA HAYATI PERTANIAN LAHAN RAWA .....................
203
Izhar Khairullah, Mawardi, dan Muhrizal Sarwani
IX. KONSERVASI DAN REHABILITASI LAHAN RAWA ..........
Abdurachman Adimihardja, Kasdi Subagyono, dan M. Al-Jabri
X. USAHA AGRIBISNIS DI LAHAN RAWA PASANG SURUT ...
Achmadi Jumberi dan Trip Alihamsyah
I. KLASIFIKASI DAN PENYEBARAN LAHAN RAWA

I.1 PENGERTIAN

Lahan rawa adalah lahan yang sepanjang tahun, atau


selama waktu yang panjang dalam setahun, selalu jenuh air
(saturated) atau tergenang (waterlogged) air dangkal. Dalam
pustaka, lahan rawa sering disebut dengan berbagai istilah,
seperti “swamp”, “marsh”, “bog” dan “fen”, masing-masing
mempunyai arti yang berbeda.

“Marsh” adalah rawa yang genangan airnya bersifat tidak


permanen, namun mengalami genangan banjir dari sungai atau
air pasang dari laut secara periodik, dimana debu dan liat
sebagai muatan sedimen sungai seringkali diendapkan.

“Bog” adalah rawa yang tergenang air dangkal, dimana


permukaan tanahnya tertutup lapisan vegetasi yang melapuk,
khususnya lumut spaghnum sebagai vegetasi dominan, yang
menghasilkan lapisan gambut (ber-reaksi) masam.

“Fed” adalah rawa yang tanahnya jenuh air, ditumbuhi


rumputan rawa sejenis “reeds”, “sedges”, dan “rushes”, tetapi
air tanahnya ber-reaksi alkalis, biasanya mengandung kapur
(CaCO3), atau netral. Umumnya membentuk lapisan gambut
subur yang ber-reaksi netral, yang disebut “laagveen” atau
“lowmoor”.

Lahan rawa merupakan lahan basah, atau “wetland”,


yang menurut definisi Ramsar Convention mencakup wilayah
“marsh”, “fen”, lahan gambut (peatland), atau air, baik
terbentuk secara alami atau buatan, dengan air yang tidak
bergerak (static) atau mengalir, baik air tawar, payau, maupun
air asin, termasuk juga wilayah laut yang kedalaman airnya,
pada keadaan surut terendah tidak melebihi enam meter
(Wibowo dan Suyatno, 1997).

Lahan rawa sebenarnya merupakan lahan yang


menempati posisi peralihan di antara sistem daratan dan sistem
perairan (sungai, danau, atau laut), yaitu antara daratan dan
laut, atau di daratan sendiri, antara wilayah lahan kering
(uplands) dan sungai/danau.

I.2 KLASIFIKASI WILAYAH RAWA

Lahan rawa yang berada di daratan dan menempati posisi


peralihan antara sungai atau danau dan tanah darat (uplands),
ditemukan di depresi, dan cekungan-cekungan di bagian
terendah pelembahan sungai, di dataran banjir sungai-sungai
besar, dan di wilayah pinggiran danau. Lahan rawa yang terdapat
di dataran rendah, baik yang menempati dataran banjir sungai
maupun yang menempati wilayah dataran pantai, khususnya di
sekitar muara sungai-sungai besar dan pulau-pulau deltanya adalah
yang dominan.

Berdasarkan pengaruh air pasang surut, khususnya


sewaktu pasang besar (spring tides) di musim hujan, bagian
daerah aliran sungai di bagian bawah (down stream area) dapat
dibagi menjadi 3 (tiga) zona. Klasifikasi zona-zona wilayah
rawa ini telah diuraikan oleh Widjaja-Adhi et al. (1992), dan
agak mendetail oleh Subagyo (1997).

Ketiga zona wilayah rawa tersebut adalah:


Zona I : Wilayah rawa pasang surut air asin/payau
Zona II : Wilayah rawa pasang surut air tawar
Zona Ill : Wilayah rawa lebak, atau rawa non-pasang surut

Zona I:

Wilayah rawa pasang surut air asin/payau Wilayah rawa pasang


surut air asin/payau terdapat di bagian daratan yang
bersambungan dengan laut, khususnya di muara sungai besar,
dan pulau-pulau delta di wilayah dekat muara sungai besar. Di
bagian pantai ini, dimana pengaruh pasang surut air asin/laut
masih sangat kuat, sering kali disebut sebagai “tidal wetlands”,
yakni lahan basah yang dipengaruhi langsung oleh pasang surut
air laut/salin.
Bagian wilayah pasang surut yang dipengaruhi oleh air
asin/salin dan air payau ini, di pantai timur pulau Sumatera
seperti di Sumatera Selatan, Jambi, dan Riau, umumnya masuk
ke dalam daratan Pulau Delta dan sepanjang sungai besar
sejauh dari beberapa ratus meter sampai sekitar 4-6 km ke
dalam. Berapa jauh zona I wilayah pasang surut air asin/payau
masuk ke arah hulu dari muara sungai, tergantung dari bentuk
estuari, yaitu bagian muara sungai yang melebar berbentuk V ke
arah laut, dimana gerakan air pasang dan surut terjadi. Jika bentuk
estuari lebar dan lurus, pengaruh air asin/salin dapat mencapai
sekitar 10-20 km dari mulut/muara sungai besar. Namun, apabila
relatif sempit dan sungai berkelok, pengaruh air asin/salin hanya
mencapai jarak 5-10 km dari muara sungai. Sementara dari laut/
sungai ke arah daratan Pulau Delta, Subagyo 7 atau ke arah wilayah
pinggiran sungai, jarak masuknya air pasang dapat mencapai sekitar
4-5 km.

Zona II:

Wilayah pasang surut air tawar adalah wilayah rawa berikutnya


ke arah hulu sungai. Wilayahnya masih termasuk daerah aliran
sungai bagian bawah, namun posisinya lebih ke dalam ke arah
daratan, atau ke arah hulu sungaI. Di wilayah ini energi sungai,
berupa gerakan aliran sungai ke arah laut, bertemu dengan
energi pasang surut yang umumnya terjadi dua kali dalam
sehari (semi diurnal). Karena wilayahnya sudah berada di luar
pengaruh air asin/salin, yang dominan adalah pengaruh air-
tawar (fresh-water) dari sungai sendiri. Walaupun begitu,
energi pasang surut masih cukup dominan, yang ditandai oleh
masih adanya gerakan air pasang dan air surut di sungai.

Di daerah tropika yang beriklim munson, yang dicirikan oleh


adanya musim hujan dan musim kemarau, di musim hujan
ditandai oleh volume air sungai yang meningkat, berakibat
bertambah besarnya pengaruh air pasang ke daratan kirikanan
sungai besar, dan bertambah jauh jarak jangkauan air pasang ke
arah hulu. Pada bulan-bulan terkering, Juli-September,
pengaruh air asin/salin di sungai dapat mencapai jarak sejauh
40-90 km dari muara sungai. Makin jauh ke pedalaman, atau ke
arah hulu, gerakan naik turunnya air sungai karena pengaruh pasang
surut makin berkurang, dan pada jarak tertentu berhenti. Di sinilah
batas zona II, dimana tanda pasang surut yang terlihat pada gerakan
naik turunnya air tanah juga berhenti. Jarak zona II dari pantai,
tergantung dari bentuk dan lebar estuari di mulut/muara sungai dan
kelak-kelok sungai dapat mencapai sekitar 100-150 km dari pantai.

Zona III

Wilayah rawa lebak terletak lebih jauh lagi ke arah pedalaman,


dan dimulai di wilayah dimana pengaruh pasang surut sudah
tidak ada lagi. Oleh karena itu, rawa lebak sering disebut
sebagai rawa pedalaman, atau rawa non-pasang surut. Pengaruh
sungai yang sangat dominan adalah berupa banjir besar musiman,
yang menggenangi dataran banjir di sebelah kiri-kanan sungai besar.

I.3 PENYEBARAN DAN LUAS LAHAN RAWA

a. Penyebaran lahan rawa.

Penyebaran lahan rawa Sumberdaya lahan rawa di


Indonesia, sebagai salah satu pilihan lahan pertanian di
masa depan, secara dominan terdapat di empat pulau besar
di luar Jawa, yaitu Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua,
serta sebagian kecil di Pulau Sulawesi.

b. Luas lahan rawa

Belum seluruh wilayah lahan rawa di Indonesia


diteliti cukup intensif. Dari ketiga pulau besar, Sumatera,
Kalimantan, dan Papua, hanya lahan rawa pasang surut di
pantai timur Sumatera (Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan
Lampung) telah banyak diteliti dan dipetakan tanahnya
antara tahun 1969-1980 dalam rangka pelaksanaan P4S
(Proyek Pengembangan Persawahan Pasang Surut),
Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik
(sekarang, Departemen Kimpraswil). Seluruh wilayah
Pulau Sumatera, termasuk wilayah lahan rawanya,
kemudian dipetakan tanahnya pada tingkat tinjau oleh
proyek LREP-I (Land Resource Evaluation and Planning
Project) Pusat Penelitian Tanah (sekarang Balai Besar
Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian), antara tahun 1986-
1990.
Di Papua, baru wilayah di sekitar Merauke, yakni
daerah S. DigulKabupaten Merauke, dan daerah S. Digul-
Pantai Kasuari, seluas 3,7 juta ha sudah dipetakan pada
tingkat tinjau oleh Pusat Penelitian Tanah untuk
pengembangan wilayah di tempat tersebut (Puslittan, 1985,
1986). Data luas lahan rawa pertama kali dikemukakan oleh
Mulyadi (1977), yaitu sekitar 39,42 juta ha, sudah termasuk
lahan rawa lebak. Data ini kemudian digunakan oleh Direktorat
Rawa, Departemen Pekerjaan Umum (Direktorat Rawa, 1992;
Sugeng, 1992) untuk perencanaan pengembangan lahan rawa.
Sementara itu, Nedeco/Euroconsult-Biec (1984) bekerja sama
dengan Direktorat Sumberdaya Air, Departemen Pekerjaan
Umum melaksanakan studi nasional lahan pantai di Sumatera,
Kalimantan, dan Irian Jaya (Papua), tidak termasuk pulau
Sulawesi, memperoleh luas lahan rawa di ketiga pulau tersebut
sebesar 23,5 juta ha.

Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan data adalah


bahwa luas lahan rawa di Indonesia sekitar 33,41-39,10 juta ha,
dengan Iuas rawa pasang surut sekitar 20,13-25,82 juta ha, dan
lahan rawa lebak sekitar 13,28 juta ha. Luas lahan/tanah gambut
berdasarkan estimasi rendah antara 9,26-14,89 juta ha, dan
estimasi lebih tinggi sekitar 13,20-14,89 juta ha. Luas total lahan
gambut yang pada awalnya (sebelum reklamasi tahun 1970-an)
sekitar 16,35 juta ha, namun setelah reklamasi ekstensif selama
Pelita I-III (1969- 1984) yang diikuti oleh pembukaan oleh
masyarakat setempat/pemukim spontan pada tahun-tahun
sesudahnya, luasnya dewasa ini telah menyusut menjadi sekitar
13-14 juta ha (Subagyo, 2002). Penyebaran lahan rawa
diurutkan dari yang terluas, terdapat di Sumatera, Papua, dan
Kalimantan, serta Sulawesi.
II. LAHAN RAWA PASANG SURUT

2.1. TANAH LAHAN RAWA PASANG SURUT

Dalam keadaan alamiah, tanah-tanah pada lahan rawa


pasang surut merupakan tanah yang jenuh air atau tergenang
dangkal, sepanjang tahun atau dalam waktu yang lama,
beberapa bulan, dalam setahun. Dalam sistem klasifikasi tanah
lama, tanah aluvial yang selalu jenuh air disebut Aluvial
Hidromorf, dan yang relatif agak kering tidak selalu basah
disebut Aluvial (saja). Sesuai dengan pembagian lahan rawa,
penyebaran dan sifat-sifat atau karakteristik tanah yang
terbentuk akan mengikuti pola landform yang ada, dan berbeda
antara ketiga zona wilayah rawa. Dalam bab ini dibahas lebih
rinci dua zona wilayah lahan rawa, zona I: wilayah rawa
pasang surut air asin/payau, Subagyo 25 dan zona II: wilayah
rawa pasang surut air tawar

Z0NA I : Wilayah rawa pasang surut air asin/payau

Wilayah rawa pasang surut air asin/payau merupakan


bagian dari wilayah rawa pasang surut terdepan, yang
berhubungan langsung dengan laut lepas. Biasanya, wilayah
rawa ini menempati bagian terdepan dan pinggiran pulaupulau
delta serta bagian tepi estuari, yang dipengaruhi langsung oleh
pasang surut air laut/salin. Pada zona wilayah rawa ini,
terdapat kenampakan-kenampakan (features) bentang alam
(landscape) spesifik yang mempunyai bentuk dan sifat-sifat
yang khas disebut landform.

Sebagian besar wilayah zona I termasuk dalam


landform marin. Tanah di zona I, seluruhnya terbentuk dari
endapan marin, yaitu terbentuk dalam lingkungan laut/marin,
yang secara khas dicirikan oleh kandungan mineral besi-
sulfida berukuran sangat halus, beberapa mikron (0,001 mm),
yang disebut pirit. Ditinjau dari sifat kematangan tanah (soil
ripeness), tanah pada zona I umumnya bervariasi dari masih
mentah (unripe) sampai setengah matang (half ripe).

Profil tanah umumnya menunjukkan tanah bagian atas


(upper layers) teroksidasi setebal 25-50 cm, setengah matang
sampai hampir matang (nearly ripe), tekstur liat berdebu, dan
berwarna kelabu sampai coklat kekelabuan tua. Subagyo 27
Lapisan tanah bawah (subsoil) tereduksi, mentah sampai
setengah matang, tekstur liat berdebu, dan umumnya berwarna
kelabu gelap-sangat gelap terkadang hitam, atau kelabu
kehijauan.

Pada bagian yang dipengaruhi air payau, tanah


umumnya bereaksi mendekati netral (pH 6,5-7,5) karena
pengaruh air tawar dengan kandungan garam lebih rendah, dan
merupakan wilayah tipologi lahan agak-salin.

ZONA II : Wilayah rawa pasang surut air tawar.

Wilayahnya dapat mencakup seluruh pulau-pulau delta


kecil, seperti Delta Upang dan Delta Telang, atau sebagian
besar wilayah pulau besar, seperti Delta Berbak dan Delta
Pulau Petak. Secara keseluruhan, wilayah ini umumnya
dimasukkan sebagai landform fluvio-marin, karena terbentuk
dari gabungan pengaruh sungai (fluvio) dan pengaruh marin.
Satuan-satuan sub-landform yang terdapat di zona II dapat
dilihat lebih jelas pada wilayah yang terletak di antara dua
sungai besar. Oleh karena pengaruh sungai masih kuat, di
sepanjang pinggir sungai terbentuk tanggul sungai alam
(natural levee) yang sempit dan lebarnya bervariasi, makin ke
arah hilir relatif sempit dan tidak begitu nyata terlihat di
lapangan.

Tetapi ke arah hulu, kenampakannya di potret udara


lebih jelas, terutama karena perbedaan vegetasi yang tumbuh.
Lebarnya yang tercatat adalah sekitar 0,2-1 km, dan setempat-
setempat sampai sekitar 2 km. Tanah yang terbentuk di bagian
tanggul sungai alam, merupakan endapan sungai (fluviatile)
yang tebalnya beragam, dari sekitar 0,5 m sampai lebih dari
1,5 m, menutupi endapan dasar yang merupakan endapan
marin. Depresi besar di sekitar bagian tengah wilayah di antara
dua sungai besar ditempati tanah gambut. Posisi depresi di
berbagai wilayah pulau delta tidak selalu persis di bagian
tengah, tetapi seringkali menyamping mengikuti bentuk pulau
delta. Batasan tanah gambut yang sederhana adalah memiliki
kandungan bahan organik lebih dari 65% (berdasarkan berat)
dengan ketebalan gambut lebih dari 0,5 m.

Definisi tanah gambut yang disebut Histosols dalam


Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999), lebih rumit, yaitu
(i) harus tersusun dari bahan tanah organik, (ii) jenuh air
selama 1 bulan atau lebih setiap tahun, dan (iii) ketebalannya
minimal 0,4 atau 0,6 m tergantung dari tingkat dekomposisi
bahan gambut dan bobot-jenisnya.

Tanah gambut yang menempati cekungan/depresi besar


mempunyai ketebalan yang bervariasi. Di bagian pinggir
ditempati gambut dangkal dengan ketebalan 0,5-1 m, dan
gambut sedang dengan ketebalan 1-2 m, dan seringkali
mengandung sisipan-sisipan lapisan tanah mineral. Keduanya
biasanya merupakan gambut topogen yang relatif subur
(eutrofik). Bentuk kubah gambut umumnya “lonjong” atau
hampir bujur telur, dan ukurannya cukup besar. Sebagai contoh
dua kubah gambut di Delta Pulau Petak yang diteliti Lembaga
Penelitian Tanah tahun 1972, masing-masing berukuran sekitar
4-9 km lebar dan 8-15 km panjang; serta 8-12 km lebar, dan
15-24 km panjang (SRI, 1973).

Dewasa ini, yakni sekitar 35 tahun kemudian, sebagian


dari wilayah kubah gambut tersebut, terutama yang telah
berhasil dijadikan areal pemukiman transmigrasi, telah lenyap
dijadikan lahan pertanian. Yang tersisa umumnya tinggal
berupa wilayah lahan gambut sempit yang ditempati gambut
dangkal atau tanah bergambut. Ciri yang unik dari tanah
aluvial marin adalah adanya Subagyo 31 senyawa besi-sulfida
(FeS2) yang disebut pirit. Kandungan pirit di tanah rawa
pasang surut umumnya rendah, yakni hanya sekitar 0-5%,
namun walaupun kadarnya rendah, temyata di kemudian hari
menjadi permasalahan utama yang berat, atau sangat sulit
diatasi, apabila tanah rawa dibuka untuk pertanian.

Akibat adanya saluran-saluran drainase tersebut,


permukaan air tanah menjadi turun, dan tanah bagian atas
menjadi kering dan terbuka. Akibat adanya oksigen di udara,
maka tanah bagian atas ini mengalami oksidasi, sementara
tanah bagian bawah masih tetap berada di lingkungan air
tanah, yaitu tetap dalam kondisi tereduksi. Pirit yang terbentuk
dalam suasana reduksi dalam endapan laut di dekat pantai
dengan kandungan bahan organik tinggi, berasal dari vegetasi
pantai seperti api-api dan bakau/mangrove.

Sebaliknya, semua tanah marin yang mengandung pirit


belum teroksidasi, mempunyai reaksi tanah agak masam (pH
4,6-5,5), tetapi berpotensi akan menjadi ekstrim masam bila
mengalami drainase berlebihan, disebut tanah sulfat masam
potensial, atau “potential acid sulphate soils”. Profil tanah
sulfat masam potensial, tanah bagian atas teroksidasi relatif
lebih tipis sekitar 25-75 cm, setengah matang sampai hampir
matang, reaksi tanah sangat masam-agak masam (pH >4,0),
tekstur umumnya liat berdebu, dan warnanya kelabu tua
sampai coklat kekelabuan.

Lapisan bawah tereduksi, hampir mentah (practically


unripe) sampai mentah, reaksi tanah masam-agak masam (pH
>4,0), tekstur liat berdebu sampai liat, dan warnanya kelabu
tua sampai kelabu gelap. Tanah sulfat masam aktual, karena
memiliki reaksi masam ekstrim, dan banyak kandungan ion-
ion yang bersifat racun/toksik, sehingga tidak sesuai untuk
tanaman pertanian.

2.2. GENESIS TANAH RAWA


Di bagian muara sungai, pada saat air sungai yang
bereaksi sekitar netral (pH 5-6), bertemu dengan air laut yang
bereaksi sekitar alkalis (pH 7-9), maka muatan sedimen sungai
yang berupa bahan halus, liat sampai debu halus, akan
"menjojot" yakni membentuk gumpalan-gumpalan kecil yang
mengendap di dasar laut. Pengendapan yang intensif terjadi
selama musim hujan dan terus-menerus berlangsung selama
berabad-abad, lambat laun membentuk "dataran lumpur", atau
"mudflats" yang muncul sebagai daratan tanpa vegetasi
sewaktu air surut, dan tenggelam di bawah air sewaktu air
pasang. Sejalan dengan waktu, tumbuhan yang toleran air asin,
khususnya api-api (Avicennia sp.) dan bakau/mangrove
(Rhizophora sp., Bruguiera sp.) akan tumbuh di lumpur, yang
menjebak lebih banyak sedimen, sehingga dataran lumpur
terbangun secara vertikal semakin tinggi, dan akhirnya menjadi
dataran rawa pasang surut, “tidal marsh”, atau “salt marsh”,
yang ditumbuhi oleh hutan bakau/mangrove.

Dari sekian banyak wilayah rawa di pulau-pulau delta


di Indonesia, tampaknya yang paling intensif diteliti dari aspek
kIasifikasi tanah, proses fisika dan kimia, pengelolaan air dan
kesuburan tanah, serta aspek lingkungan dari reklamasi tanah
sulfat masam adalah Delta Pulau Petak. Perluasan lateral
karena proses akreasi yang membentuk Delta Pulau Petak
berlangsung melalui 3 fase sedimentasi, yaitu fase sedimentasi
I, dari 5.500 sampai 4.000-3.500 tahun SM, fase sedimentasi
II, dari 4.000-3.500 tahun SM sampai 1.000-700 tahun SM,
dan fase sedimentasi III dari 1.000-700 tahun SM. Pada fase I,
bahan sedimen dipasok dari S. Barito dan Kapuas; pada fase II
sumber bahan sedimen berasal dari S. Barito dan S. Pulau
Petak; dan fase III sumber sedimen adalah S. Kapuasmurung
dan Barito, dan membentuk garis pantai yang ada sekarang ini.

Stabilisasi permukaan laut di wilayah pantai di


sebagian besar Asia Tenggara tercapai sekitar 6.000-5.000
tahun yang lalu (Diemont dan Pons, 1991), atau 6.000-4.000
tahun yang lalu (Neuzil, 1997), sementara Brinkman dan Pons
(1968) menyebutkan sekitar 5.500 tahun yang lalu. Dengan
adanya permukaan laut yang sudah relatif stabil waktu itu,
proses pelebaran/perluasan pantai secara lateral akibat
sedimentasi bahan-bahan halus yang dibawa sungai, yakni
proses akreasi pantai, diperkirakan mulai terjadi, diikuti
dengan pembentukan tanah gambut.

2.3. PIRIT DALAM TANAH RAWA


Pirit adalah mineral berkristal oktahedral, termasuk
sistem kubus, dari senyawa besi-sulfida (FeS2) yang terbentuk
di dalam endapan marin kaya bahan organik, dalam
lingkungan air laut/payau yang mengandung senyawa sulfat
(SO4) larut. Pirit mengandung 46,55% Fe (berdasarkan berat),
dan 53,45% S (Michaelsen dan Phi, 1998). Dilihat di bawah
mikroskop polarisasi, menggunakan cahaya biasa (normal) dan
terpolarisasi, kristal-kristal pirit berwarna hitam/opak, tetapi
apabila digunakan cahaya merkuri warnanya hijau muda cerah
(bright). Penyebaran kandungan pirit dan pH-H2O lapangan di
dalam profil tanah rawa di Delta Pulau Petak, yang diambil
dari lokasi dekat laut (Tabunganen) sampai Iokasi yang jauh
dari laut (Talaran). Jarak dekat atau jauhnya Iokasi profil dari
laut, tampaknya tidak berpengaruh pada kandungan pirit setiap
lapisan di dalam profil tanah.

a. Pembentukan dan oksidasi pirit

Proses pembentukan pirit telah disarikan oleh


Langenhoff (1986) berdasarkan makalah Pons et al. (1982)
dan publikasi Dent (1986), metalui beberapa tahap: ƒ
Reduksi sulfat (SO4) menjadi sulfida (S) oleh bakteri
pereduksi sulfat dalam lingkungan anaerobik; ƒ Oksidasi
parsial sulfida menjadi polisulfida (misalnya Fe3S4:
Greigite; Fe4S5: Pyrrhotite), atau unsur S; diikuti
pembentuksan FeS, dari sulfida terlarut, besi oksida
(FeOOH, Fe2O3), atau mineral silikat mengandung unsur
Fe; ƒ Pembentukan FeS2 dari penggabungan FeS dengan
unsur S, atau presipitasi langsung dari besi (Fe-II) terlarut
dengan ion-ion polisulfida. Namun apabila lahan rawa
pasang surut direklamasi, yaitu dengan dibuatnya jaringan
tata air makro berupa saluran-saluran primer, sekunder
sampai tersier, lahan mengalami pengeringan/pengatusan,
air tanah menjadi turun, maka lingkungan pirit menjadi
terbuka (exposed) di udara.

b. Kondisi tanah sesudah oksidasi pirit

Namun dengan berjalannya waktu, sesuai dengan


selesainya saluransaluran primer, sekunder dan tersier,
banyak areal sawah mulai menurun produksinya, dan
sesudah beberapa tahun hasilnya sangat rendah. Khususnya
sesudah rehabilitasi saluran, dimana saluran-saluran
diperdalam dan dibersihkan, tanpa diikuti pembuatan
pintu-pintu pengatur tingginya permukaan air, degradasi
lahan sawah semakin akut. Pengamatan lapangan
menunjukkan bahwa pada tahun awal pembukaan, lahan
sawah aslinya merupakan tanah sulfat masam potensial
dengan lapisan tanah yang mengandung pirit atau bahan
sulfidik relatif dangkal, dan reaksi tanah masih agak
masam-netral (4,5-5,5). Namun, dengan selesainya saluran-
saluran primer dan sekunder yang berukuran besar dan
dalam, penurunan permukaan air tanah semakin besar, dan
oksidasi pirit mulai berlangsung cepat, khususnya selama
musim kemarau. Sesudah lahan mengalami drainase, dan
penurunan permukaan air tanah yang melebihi kedalaman
lapisan pirit, kemudian diikuti oksidasi pirit di musim
kemarau, kondisi tanah sawah di bagian atas sedalam 0-50
cm mengalami perubahan drastis.

c. Pengaruh penggenangan

Kondisi tanah dalam lapisan perakaran sesudah


penggenangan di musim hujan adalah sebagai berikut:

1. Dalam kondisi tergenang, redoks potensial tanah


menjadi lebih tinggi, dan pH tanah meningkat kembali,
yang mengakibatkan konsentrasi ion H dan AI dalam
larutan tanah menurun, atau kurang bersifat toksik,
tetapi masalah-masalah baru muncul. ƒ
2. Kandungan ion sulfat (SO4 2-) dalam larutan tanah
meningkat kembali. Ini diakibatkan oleh hidrolisis AI-
sulfat hidrat: AIOHSO4 + 2H2O7 → AI(OH)3 + 2H+ +
SO4 2- Atau, desorpsi sulfat yang diadsorpsi kompleks
pertukaran liat tanah Tanah-SO4 + 2H2O → Tanah-
(OH)2 + 2H+ + SO4 2- ƒ
3. Dalam kondisi tergenang, oksigen yang berada dalam
tanah dalam waktu relatif singkat segera digunakan oleh
bakteria aerobik, sehingga konsentrasinya mendekati
nol, oleh karena diffusi oksigen udara pada tanah jenuh
air sangat lambat. Dalam lingkungan reduksi, tanpa
oksigen, bakteri anaerobik akan memanfaatkan semua
senyawa-senyawa teroksidasi sebagai sumber
oksigennya. ƒ
4. Tahap pertama yang mengalami reduksi adalah nitrat
(NO3 - ), sehingga semua nitrat akan direduksi menjadi
ion amonium (NH4 + ). Setelah semua nitrat lenyap,
Subagyo 45 sebarang oksida-mangan (MnO2) yang ada
akan direduksi menjadi ion Mn2+. Dalam 1-3 minggu
penggenangan, hampir seluruh Mn dapat tukar,
direduksi menjadi Mn2+ (Konsten et al., 1990).
Sesudah semua MnO2 habis, reduksi sebarang Fe-III
(ferri-oksida) mulai terjadi, yang menghasilkan Fe-II
(ferro) yang melimpah, dan peningkatan pH oleh karena
dihasilkannya senyawa hidrokarbonat dalam larutan
tanah. Fe(OH)3 + ¼ CH2O + 2H+ → Fe2+ + ¼ CO2 +
1 ¼ H2O ƒ
5. Peningkatan pH larutan tanah bersifat menstabilkan
reduksi Fe-III, sehingga dihasilkan ion Fe-II dalam
konsentrasi tinggi yang bersifat toksik terhadap
tanaman. Selain itu, jumlah ion Fe-II yang melimpah
mendesak ke luar basabasa dapat tukar Ca dan Mg dari
kompleks adsorpsi tanah, sehingga jumlahnya
meningkat dalam larutan tanah. Kedua unsur hara ini
dengan mudah terbawa keluar dari lingkungan akar oleh
air yang mengalir. ƒ
6. Sesudah semua ferri-oksida tereduksi, reduksi sulfat
mulai terjadi, yang berakibat menurunkan konsentrasi
ion sulfat dan ion H+ (karena digunakan untuk
membentuk bikarbonat), dan disertai dengan
peningkatan pH tanah. SO4 2- + 2CH2O → H2S +
2HCO3 - ƒ
7. Proses reduksi sulfat terjadi pada potensial redoks
antara -0,12V dan -0,19V, serta hanya terjadi di atas pH
5,0, tetapi juga pada reaksi lebih masam, pH 2,8- 3,4
(Konsten et al., 1990). Sulfida yang terbentuk segera
bereaksi dengan Fe-II yang tersedia dalam larutan
tanah, dan membentuk senyawa ferro-sulfida. Adanya
reduksi sulfat pada lapisan tanah ditandai oleh karatan
FeS yang berwarna hitam, dan terkadang oleh bau
(busuk) H2S. Senyawa H2S yang dihasilkan dari
reduksi sulfat bersifat sangat toksik terhadap
pertumbuhan tanaman. ƒ
8. Secara ringkas, akibat penggenangan selama musim
hujan, terjadi peningkatan pH tanah, dan penurunan
konsentrasi AI. Namun, kemungkinan dapat terjadi
keracunan ion Fe-ll, dan Mn karena konsentrasinya
yang sangat tinggi dalam larutan tanah. Kemungkinan
juga terjadi keracunan H2S, dan pencucian unsur basa
Ca dan Mg yang berakibat menurunkan kesuburan
alami tanah rawa.

2.4. TANAH RAWA DALAM TAKSONOMI TANAH


Tanah rawa merupakan tanah yang terdapat pada
“lahan basah”, atau “wetland”, dan terdiri atas tanah-tanah
basah, atau “wetsoils”. Secara umum tanah rawa terdiri atas
dua kelompok tanah, yaitu tanah mineral dan tanah gambut.
Dalam kondisi asli alami, tanah rawa merupakan tanah yang
selalu jenuh air atau tergenang, sepanjang tahun atau dalam
waktu yang lama, beberapa bulan, dalam setahun.

Seperti pada sistem klasifikasi Taksonomi Tumbuh-


tumbuhan, yang mengenal tingkatan atau kategori klasifikasi
dari yang paling atas (pengelompokkan secara garis besar)
sampai yang paling detail: PhyllumSubphyllum-Class-Order-
Family-Genus-Species, dan Subspecies. Dalam sistem
Taksonomi Tanah juga dikenal “taxa”, atau kategori
klasifikasi, yang bila diurutkan dari yang paling atas, adalah
Ordo (order), Subordo (suborder), Jenis Subagyo 47 Tanah
(Great group), Subgrup/Macam tanah (Subgroup), Famili
(Family), dan Seri tanah (Series).

a. Sifat-sifat penciri/diagnostic

Dalam Taksonomi Tanah, kondisi jenuh air atau


tergenang pada tanah rawa yang merupakan salah satu
karakterisitk penciri utama, diberi istilah kondisi “aquik”
(aquic condition), yakni mengalami penjenuhan air, atau
saturasi, dan (proses) reduksi secara terus-menerus atau
periodik.

Jenis penjenuhan yang dominan adalah penjenuhan


air yang berasal dari bawah, yaitu datang dari air tanah,
sehingga semua lapisan tanah dari permukaan tanah sampai
sedalam 200 cm atau lebih, jenuh air.

Jenis penjenuhan seperti ini disebut “endosaturasi”


(endosaturation). Pada lahan basah, proses pembentukan
tanah yang dominan adalah gleisasi dan pembentukan
gambut di permukaan tanah. Gleisasi adalah terbentuknya
lapisan tanah berwarna “glei” yaitu kelabu (N 7-4/0),
kelabu (5Y 7- 4/1), kelabu gelap kehijauan (5B 7-4/1), atau
kelabu kebiruan (5B 7-4/1) akibat proses reduksi terus-
menerus atau periodik yang berlangsung lama. Secara
genetis, tanah rawa pada awalnya berasal dari endapan
marin berupa lumpur cair berwarna kelabu gelap, seperti
yang terdapat pada dataran lumpur (mudflats).

Sesuai dengan perkembangannya setelah lebih lama


terbuka di udara dan mengalami oksidasi, tanah rawa akan
berubah menjadi lebih padat, karena kandungan airnya
berkurang, bersifat lembek, dengan konsistensi lekat/sangat
lekat, serta plastis. Sementara lapisan yang mengandung
bahan sulfidik yang telah teroksidasi, menghasilkan asam
sulfat, unsur besi, dan berbagai ion ikutan lainnya yang
bersifat racun terhadap tanaman, dianggap telah mengalami
proses pembentukan tanah, dan disebut “horison sulfurik”.
Keduanya, yakni bahan sulfidik dan horison sulfurik,
merupakan sifat dan horison penciri utama pada tanah rawa
pasang surut.

Bahan sulfidik (sulfida: unsur S) merupakan bahan


tanah mineral atau bahan tanah organik yang mengandung
senyawa sulfida yang dapat teroksidasi, dan memiliki: ƒ pH
>3,5; dan ƒ apabila sebagai lapisan setebal 1 cm diinkubasi
pada suhu ruangan, dalam keadaan aerob dan lembab (pada
kapasitas lapang), dalam waktu delapan minggu, pH-nya
turun 0,5 unit atau lebih, menjadi pH 4,0 atau kurang.
Pengukuran pH (H2O) diiakukan pada rasio tanah/air 1:1,
atau dengan air minimal untuk memungkinkan pengukuran.

Horison sulfurik (sulfuric acid = asam sulfaf)


merupakan lapisan atau horison tanah setebal 15 cm atau
lebih, tersusun dari bahan tanah mineral atau bahan tanah
organik, yang memiliki: ƒ pH 3,5 atau kurang; dan ƒ
menunjukkan bukti bahwa adanya pH yang rendah
disebabkan oleh asam sulfat. Bukti-bukti tersebut, boleh
satu atau lebih, dapat berupa: - adanya konsentrasi jarosit; -
terletak langsung di atas (Iapisan) bahan sulfidik; -
kandungan sulfat-Iarut air, (SO4)2-, 0,05% atau lebih.

Tanah-tanah salin, atau sodik, (sodium, atau


natrium: Na) adalah tanah yang jenuh air sampai sedalam
100 cm, dan ƒ pada separuh atau lebih dari tanah bagian
atas mempunyai “kejenuhan sodium” sebesar 15% atau
lebih, atau nilai “rasio adsorpsi sodium” (SAR: sodium
adsorption ratio) 13 atau lebih; Lahan Rawa Pasang Surut
50 ƒ kejenuhan sodium dan nilai SAR ini semakin
berkurang pada kedalaman di bawah 50 cm.

Horison salik (sal atau salt = garam) adalah horison


akumulasi garam, terutama “halite”, yaitu bentuk kristal
dari garam dapur (NaCl), dan merupakan: ƒ horison setebal
15 cm atau lebih, yang selama 3 bulan atau lebih secara
berturut-turut dalam setahun, ƒ dalam bentuk pasta jenuh
air, mempunyai daya hantar listrik (DHL) (electrical
conductivity) 30 dS/m atau lebih; dan ƒ hasil perkalian
antara DHL, dalam satuan dS/m, dan ketebalan horison,
dalam satuan cm, mencapai nilai 900 atau lebih.

b. Klasifikasi tanah mineral

Entisols, berasal dari suku kata "recent”, adalah


istilah geologi yang berarti terbentuk di zaman Holosin (±
11.000 tahun SM) yaitu zaman sekarang ini, maka berarti
tanah yang paling “muda” umurnya. Inceptisols, berasal
dari kata "inceptum”, atau “beginning”, artinya tanah yang
sudah mulai menunjukkan tanda-tanda awal pembentukan
tanah, seperti tanah menjadi agak matang sampai matang,
terbentuknya struktur tanah, dan terbentuknya horison
sulfurik.

Pada tingkat subgrup, masing-masing great grup


ditambahkan nama awalan, yang merupakan sifat murni
subgrup itu sendiri, disebut “Typic”, atau sifat tambahan ke
great grup yang sama, atau great grup/subordo tanah yang
lain. Pada Aquents, sifat-sifat tambahan tersebut umumnya
berasal dari great grup yang sama, yaitu selain “Histic”,
“Sulfic”,dan “Sodic”, juga terdapat “Haplic”, “Thapto-
Histic”, dan ”Aeric”. Pada Aquepts, sifat-sifat tambahan
dapat berasal dari great grup yang sama, seperti “Histic”
dan “Sulfic”, “Aeric”, dan “Vertic”, atau sifat tambahan
dari great grup/subordo tanah yang lain, seperti “Salidic”,
“Hydraquentic”, dan ”Fiuvaquentic”. Arti dari masing-
masing sifat tambahan ini adalah: ƒ Haplic : sifat minimum
(haplos = sederhana) pada tanah marin yang bukan
Hydraquent, yaitu ditunjukkan oleh nilai-n 0,7 atau kurang,
atau kandungan liat 0,7 dan kandungan liat > 8%, pada satu
atau lebih lapisan, di antara kedalaman 20-50 cm dari
permukaan. Kedua ciri tersebut merupakan ciri utama great
grup Hydraquents. ƒ Fluvaquentic: mempunyai kandungan
C-organik menurun secara tidak teratur di dalam kedalaman
25-125 cm; atau kandungan C-organik pada kedalaman 125
cm sebesar 0,2% atau lebih. Kedua sifat tersebut
merupakan ciri diagnostik pada great grup Fluvaquents.

c. Klasifikasi tanah gambut

Dalam sistem klasifikasi Taksonomi Tanah, tanah


gambut disebut Histosols, dan didefinisikan secara
kuantitatif atau terukur, mengikuti definisi ini, maka
Histosols harus terdiri atas bahan tanah organik, yaitu: ƒ

1. kandungan C-organik minimal 12%, apabila tidak


mengandung fraksi liat (0%); atau ƒ

2. kandungan C-organik minimal 18%, apabila


mengandung fraksi liat 60% atau lebih; atau ƒ jika
kandungan fraksi liat antara 0-60%, maka

3. kandungan C-organik adalah 12% + (% kandungan liat


dikalikan 0,1).

Tingkat dekomposisi atau pelapukan/perombakan bahan


organik gambut dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu fibrik
(awal), hemik (tengahan), dan saprik (Ianjut), tergantung
dari kandungan serat (fibers) yang menyusunnya. ƒ

1. Fibrik : gambut dengan tingkat dekomposisi awal, yaitu


kandungan serat tumbuhan lebih dari 75%, atau masih lebih
dari tiga perempat bagian dari volumenya. ƒ

2. Hemik : gambut dengan tingkat dekomposisi tengahan,


yaitu kandungan serat antara 17-75%, atau tinggal antara
1/6-3/4 bagian volumenya. ƒ

3. Saprik : gambut dengan tingkat dekomposisi lanjut, yaitu


kandungan seratnya kurang dari 17%, atau tinggal kurang
dari 1/6 bagian dari volumenya. Gambut saprik biasanya
berwarna kelabu sangat gelap sampai hitam. Sifat-sifatnya,
baik sifat fisik maupun kimianya, relatif sudah stabil.
Sifat-sifat peralihan tersebut adalah “Hydric”,
“Terric”, “Hemic”, “Sapric”, “Fibric”, “Halic”, dan
“Fluvaquentic”, serta didefinisikan sebagai berikut:

1. Hydric : terdapat lapisan air di dalam penampang


kontrol, di bawah tier permukaan, atau umumnya di dalam
kedalaman antara 30-130 cm dari permukaan tanah.

2. Terric : mempunyai satu lapisan mineral setebal 30 cm


atau lebih, di dalam penampang kontrol, di bawah tier
permukaan, atau umumnya di dalam kedalaman antara 30-
130 cm dari permukaan tanah.

3. Hemic : mempunyai satu atau lebih lapisan gambut dari


bahan hemik atau saprik, dengan ketebalan total 25 cm atau
lebih di dalam penampang kontrol, di bawah tier
permukaan, atau umumnya di dalam kedalaman antara 30-
130 cm dari permukaan tanah.

4. Sapric : mempunyai satu atau lebih lapisan gambut


saprik, dengan ketebalan total 25 cm atau lebih di dalam
penampang kontrol, di bawah tier permukaan, atau
umumnya di dalam kedalaman antara 30-130 cm dari
permukaan tanah.

5. Fibric : mempunyai satu atau lebih lapisan gambut fibrik,


dengan ketebalan total 25 cm atau lebih di dalam
penampang kontrol, di bawah tier permukaan, atau
umumnya di dalam kedalaman antara 30-130 cm dari
permukaan tanah.

6. Halic : mempunyai satu lapisan setebal 30 cm atau lebih


di dalam penampang kontrol, yang seluruh lapisan tersebut,
selama 6 bulan atau lebih, memiliki daya hantar listrik
(electrical conductivity) sebesar 30 dS/m atau lebih.

7. Fluvaquentic: mempunyai satu lapisan mineral setebal 5


cm atau lebih, atau dua atau lebih lapisan mineral dengan
sebarang ketebalan, di dalam penampang kontrol, di bawah
tier permukaan, atau umumnya di dalam kedalaman antara
30-130 cm dari permukaan tanah.
2.5. TIPOLOGI LAHAN DAN SIFAT KIMIA TIPE-TIPE
LAHAN

a. Tipologi lahan
Reklamasi lahan rawa pasang surut selalu diawali
dengan pembuatan saluran-saluran primer, sekunder, dan
tersier, yang dimaksudkan untuk mendrainase atau
mengeringkan seluruh kawasan reklamasi agar tahapan
pemanfaatan lahan untuk pertanian dapat tercapai. Bagian
yang rendah yang selalu tergenang pasang harian,
umumnya telah disawahkan.

1. Klasifikasi tipologi lahan versi awal

Berdasarkan pertimbangan bahwa faktor-faktor


yang berpengaruh dalam pemanfaatan dan pengelolaan
lahan rawa adalah:

(a) kedalaman lapisan mengandung pirit/bahan sulfidik, dan


kondisinya masih tereduksi atau sudah mengalami proses
oksidasi,

(b) ketebalan dan tingkat dekomposisi gambut serta


kandungan hara gambut,

(c) pengaruh luapan pasang dari air salin/payau,

(d) lama dan kedalaman genangan air banjir, dan

(e) keadaan lapisan tanah bawah, atau substratum, apakah


endapan sungai, endapan marin, atau pasir kuarsa.

2. Klasifikasi tipologi lahan versi tahun 1995

Klasifikasi tipologi lahan seperti ini relatif mudah


dipahami, oleh karena itu secara luas telah digunakan untuk
klasifikasi tipologi lahan pertanian guna pengelolaan lahan
rawa secara terpadu oleh institusi dan berbagai proyek
penelitian lahan rawa Badan Litbang Pertanian Dep.
Pertanian seperti, Balittra (Balai Penelitian Pertanian Lahan
Rawa) Banjarbaru, proyek SWAMPS-II (1985- 1994),
ISDP (Integrated Swamp Development Project) (1994-
2000), dan Proyek PSLPSS (Pengembangan Sistem Usaha
Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan) (1997-
2000). Demikian juga berbagai tulisan dan makalah tentang
lahan rawa dari tahun 1985 sampai dengan sekitar tahun
2002, masih banyak yang menggunakan istilah-istilah
tipologi lahan tersebut.

Pembagian selanjutnya didasarkan Subagyo 61 pada


nilai pH 3,5 (bahan sulfidik sedang teroksidasi) dan letak
kedalamannya (100 cm) dari permukaan tanah.

3. Usulan perbaikan tipologi lahan versi tahun 1995

Pada uraian berikut akan diuraikan usulan-usulan


perbaikan pada tipologi lahan versi terakhir (Widjaja-Adhi,
1995a). Sementara pada sawah-sawah tetap tersebut, yang
produktivitasnya lebih rendah, lapisan bahan sulfidik
berada pada kedalaman antara 50-100 cm.

Akibat perbedaan potensinya, perlu dipisahkan


antara lahan terbaik nomer1, Lahan Potensial-1 (Pot-1),
yang kedalaman lapisan bahan sulfidik >100 cm, dan lahan-
lahan terbaik nomer-2, Lahan Potensial-2 (Pot-2), yang
kedalaman lapisan bahan sulfidiknya antara 50-100 cm. Hal
inipun sudah dikerjakan pada survei karakterisasi lahan
rawa di Sumatera Selatan (Proyek PSLPSS, 1998), dan
sudah pula terliput dalam tipologi lahan versi 1995, yang
disebut Aluvial bersulfida sangat dalam, SMP-3, dan
Aluvial bersulfida dalam.

Kontribusi konsep horison dan sifat-sifat penciri


yang didefinisikan secara kuantitatif untuk tanah rawa dari
Taksonomi Tanah, baik tanah mineral maupun tanah
gambut, seperti bahan sulfidik, horison sulfurik, tanah salin
atau sifat sodik, dapat diaplikasikan pada kedua kelompok
tanah tersebut, untuk mempertajam pembagian tipologi
lahan.

Atas dasar uraian di atas, usulan perbaikan


klasifikasi tipologi lahan Widjaja-Adhi versi 1995, pada
dasarnya adalah:

1. Tipe-tipe lahan diurutkan mulai dari yang potensinya


relatif terbaik, dan dipisahkan antara tanah mineral dan
tanah gambut. Lahan potensial-1 atau aluvial bersulfida
sangat dalam yang diberi simbol SMP-1 ditempatkan lebih
dahulu daripada lahan potensiai-2, ataualuvial bersulfat
dalam, yang diberi simbol SMP-2.

2. Dalam kelompok lahan sulfat masam potensial, SMP


yang bergambut, diurutkan lebih dahulu, dan dapat diberi
simbol HSM (histik sulfat masam), SMP-G (bergambut),
atau G-O (tanah bergambut). Untuk menghormati versi
aslinya, digunakan simbol HSM. Definisi bergambut
digunakan batasan Taksonomi Tanah, yaitu mempunyai
epipedon histik dengan ketebalan gambut 20-50 cm. Karena
potensi pertaniannya relatif lebih rendah, SMP Subagyo 65
yang biasa atau lapisan gambutnya tipis, 0-20 cm, disebut
aluvial bersulfida dangkal dan diberi simbol SMP-3.

3. Sesuai potensinya, untuk kelompok lahan sulfat masam


aktual, urutannya sudah benar, yaitu terlebih dulualuvial
bersulfat-1, yang diberi simbol SMA-1, dan diikuti aluvial
bersulfat-2, yang diberi simbol SMA-2. Berdasarkan alasan
yang telah diuraikan, untuk sementara sampai benar-benar
dapat ditemukan di lapangan, aluvial bersulfat-3, atau
SMA-3, tidak dimunculkan dalam tabel tipologi lahan.

4. Lahan salin, mengikuti pembagian Nugroho et al. (1991)


dibagi menjadi dua, yaitu lahan agak salin, S-1, yang
dipengaruhi air salin/payau; dan lahan salin, S-2, yang
dipengaruhi air salin/air laut. Pembagiannya untuk
sementara menggunakan batasan tanah Halaquepts, dan
lahan salin versi awal (1992- 1993), yaitu % kejenuhan
natrium 8-15% untuk S-1, dan >15% untuk S-2.

5. Pembagian tipologi lahan untuk tanah gambut relatif


tetap sama, hanya diperbaiki dengan memasukkan kriteria
adanya horison sulfurik dan bahan sulfidik, dan letak
kedalamannya dalam bahan gambut. Sehingga apabila
nantinya ditemukan horison sulfurik pada kedalaman 0-50
cm, ataupun bahan sulfidik/pirit pada kedalaman 0-100 cm,
kendala yang mungkin timbul jika dibuka untuk tujuan
pertanian dapat diketahui sejak awal dari nama tipe lahan
gambut yang bersangkutan.
6. Semua nama tipe-tipe lahan diperlakukan sebagai nama-
diri (proper names), seperti nama provinsi: Jawa Barat,
nama kota: Makassar, nama orang: Soekarno, sehingga
huruf awalnya menggunakan huruf kapital, Contohnya:
Lahan Potensial, Aluvial Bersulfat Dangkal, dan Sulfat
Masam Aktual. Untuk tanah gambut, digunakan nama diri
hanya untuk huruf pertama dan disambung dengan garis
datar pendek untuk menyatakan tingkat kedalaman gambut,
contoh Gambut-dangkal, Gambut-sedang, Gambut-dalam,
dan seterusnya.

b. Sifat-sifat kimia tipe-tipe lahan


Setiap sifat-sifat tanah dinilai tinggi, sedang, atau
rendah berdasarkan kriteria evaluasi standar yang biasa
digunakan di Puslittanah dan Agroklimat.

a. Tanah mineral

Tanah tanggul sungai

Dalam keadaan alami, Tanah Tanggul Sungai alam


(natural levee) seringkali mempunyai lapisan gambut
permukaan yang tipis, sekitar <20 cm, , baik lapisan atas,
sekitar 0-50 cm, maupun lapisan bawah, antara 50-200 cm.
Kandungan bahan organik, yang dinyatakan sebagai C-
organik, di lapisan atas sangat tinggi (5,30-6,46%), dan di
lapisan bawah sedang sampai tinggi (2,62-4,05%).
Kandungan nitrogen (N) rata-rata termasuk sedang (0,27-
0,35%) di lapisan atas, dan berkurang menjadi sangat
rendah sampai rendah (0,10-0,16%) di lapisan bawah.
Kandungan fosfat potensial (ekstraksi 25% HCI) dan
dinyatakan sebagai P2O5-HCI, termasuk sedang (27-28
mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan sangat rendah sampai
sedang (12-28 mg/100 g tanah) di lapisan bawah.
Kandungan kalium potensial, K2O-HCI, sedang sampai
tinggi (24-46 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan menurun
menjadi sedang (22-40 mg/100 g tanah) di lapisan bawah.

Jumlah basa-basa termasuk tinggi, baik di lapisan


atas (14,2-24,6 cmol(+)/kg tanah) maupun lapisan bawah
(17,8-22,4 cmol(+)/kg tanah). Basa dapat tukar yang
dominan di kedua lapisan tanah adalah Mg dan Na,
masingmasing di lapisan atas terdapat dalam jumlah tinggi
sampai sangat tinggi (6,29- 8,69 mol(+)/kg tanah), dan
sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali (3,08-8,64
cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah. Kandungan Ca-dapat
tukar umumnya bervariasi dari rendah sampai sedang, baik
di lapisan atas (4,49-6,50 cmol(+)/kg tanah) maupun di
lapisan bawah (4,69-6,67 cmol(+)/kg tanah). Sedangkan
Kdapat tukar tergolong sedang (0,55-0,75 cmol(+)/kg
tanah) di lapisan atas, dan sedikit meningkat (0,60-0,67
cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawahnya.

Lahan potensial-l

Lahan potensial-1 mempunyai lapisan gambut


permukaan yang tipis, sekitar <24 cm. Tekstur tanah
lapisan atas umumnya liat berdebu, atau lempung liat
berdebu, dan di lapisan bawahnya hampir semuanya liat
berdebu. Tekstur tanah lahan potensial-1 dari Kalimantan
relatif lebih halus, dengan kandungan liat relatif tinggi
antara 35-90%. Kandungan bahan organik, yang dinyatakan
sebagai C-organik, lapisan gambut tipis di permukaan
sangat tinggi. Sementara kandungan bahan organik di
lapisan atas sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali (8,66-
16,18%), dan menurun menjadi tinggi (4,08-4,88%) di
lapisan bawah.

Kapasitas tukar kation tanah, karena kontribusi dari


bahan organik, di dalam tanah bervariasi dari sedang
sampai sangat tinggi, dengan rata-rata tergolong tinggi
(24,1-35,9 cmol(+)/kg tanah) di seluruh lapisan.

Lahan potensial-2

Lahan potensial-2 memiliki lapisan gambut


permukaan tipis, sekitar 0-20/28 cm. Tekstur tanah Lahan
Potensial-2 dari Sumatera sedikit lebih kasar dan lebih
homogen, dengan kandungan liat dan debu 30-
70%.Kandungan bahan organik, dinyatakan sebagai % C-
organik, seluruh lapisan di luar lapisan gambut permukaan,
umumnya bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi.
Jumlah basa-basa di seluruh lapisan tanah bervariasi dari
rendah sampai sangat tinggi, dan rata-ratanya termasuk
sedang sampai tinggi, baik di lapisan atas (7,0-16,7
cmol(+)/kg tanah), maupun di lapisan bawah (9,8-15,3
cmol(+)/kg tanah). Kejenuhan AI di semua lapisan
umumnya sangat bervariasi dari sangat rendah sampai
sangat tinggi, dan rata-ratanya rendah sampai sedang (36-
55%) di lapisan atas, dan meningkat menjadi sedang (44-
60%) di lapisan bawah.

Sulfat masam potensial

Data profil sulfat masam potensial (SMP)


menunjukkan adanya lapisan gambut permukaan yang tipis,
sekitar 0-12/16 cm. Tekstur seluruh lapisan tanah
menunjukkan halus, yaitu tekstur tanah SMP dari Sumatera
mempunyai kandungan liat antara 40-75%, dengan debu
25-60%. Kandungan bahan organik, tidak termasuk lapisan
gambut tipis di permukaan tanah bervariasi sedang sampai
sangat tinggi, baik pada SMP dari Sumatera maupun SMP
dari Kalimantan. Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCI)
pada SMP dari Sumatera bervariasi dari rendah sampai
sangat tinggi di lapisan atas, dan menurun menjadi rendah
sampai sedang di lapisan bawah.

Rata-ratanya tinggi (58 mg/100 g tanah) di lapisan


atas, dan rendah (20 mg/100 g tanah) di lapisan bawah.
Jumlah basa, baik di lapisan atas maupun lapisan bawah,
tergolong tinggi (18,0-28,3 cmol(+)/kg tanah). Basa
dapatttukar yang dominan di seluruh lapisan tanah adalah
Mg dan Na masing-masing untuk Mg termasuk sangat
tinggi (10,89- 14,19 cmol(+)/kg tanah, pada SMP dari
Sumatera, dan termasuk tinggi (7,05-8,02 cmol(+)/kg
tanah) pada SMP dari Kalimantan.

Kejenuhan AI di semua lapisan umumnya sangat


bervariasi dari sangat rendah sampai sangat tinggi, dan rata-
ratanya rendah (32-35%) di lapisan atas, dan rendah sampai
sedang (30-47%) di lapisan bawah.

Sulfat masam actual


Data Sulfat Masam Aktual (SMA) yang tersedia,
hanya berasal dari lahan rawa di Kalimantan. Kandungan
bahan organik di seluruh lapisan bervariasi tinggi sampai
sangat tinggi, sehingga rata-ratanya tergolong sangat tinggi
(7,51-10,93%). Kejenuhan AI di semua lapisan umumnya
bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi, sehingga rata-
ratanya tinggi (67-71%) baik di lapisan atas maupun lapisan
bawah.

Lahan salin

Data lahan salin yang tersedia hanya diperoleh dari


lahan rawa Kalimantan. Tanah mempunyai lapisan gambut
permukaan tipis sekitar 0-12 cm. Tekstur di seluruh lapisan
tanah tergolong halus. Kandungan liat bervariasi antara 30-
75%, dan debu 25-95%, sehingga rata-rata tekstur lapisan
atas, 0-50 cm, dan lapisan bawah, sekitar 50-200 cm,
tergolong liat berdebu. Kandungan bahan organik,
dinyatakan sebagai % C-organik, beragam dari sedang
sampai sangat tinggi sekali, dan cenderung meningkat di
antara Lahan Rawa Pasang Surut 80 kedalaman 80-160 cm.

Jumlah basa-basa di semua lapisan sampai sedalam


190 cm bervariasi tinggi sampai sangat tinggi sekali,
sehingga rata-ratanya di lapisan atas dan lapisan bawah
tergolong sangat tinggi sekali (40,5-59,0 cmol(+)/kg tanah).
Kejenuhan AI secara dominan termasuk sangat rendah
sampai rendah, sehingga rata-ratanya termasuk sangat
rendah (7-15%), baik di lapisan atas Subagyo 81 maupun
lapisan bawah.

Sulfat masam potensial bergambut

Dari data yang ada, ketebalan gambut di permukaan


bervariasi antara 38- 45 cm. Kandungan bahan organik,
dinyatakan sebagai % C-organik, lapisan atas gambut ini
umumnya sangat tinggi sekali (26,03-34,17%). Jumlah basa
pada lapisan gambut permukaan rata-rata sedang sampai
tinggi (6,9-23,9 cmol(+)/kg tanah), dengan kandungan Mg
dan Na-dapat tukar dominan.
Kandungan bahan organik bervariasi dari sedang
sampai sangat tinggi, dengan rata-rata sangat tinggi (5,71-
7,87%). Kandungan N rata-rata rendah sampai sedang
(0,11-0,21%).

b. Tanah gambut

Gambut-dangkal

Gambut-dangkal yang dievaluasi, tercatat


mempunyai kedalaman sekitar 50-100 cm. Lapisan gambut
bagian atas sedalam 20 cm, umumnya terdiri atas bahan
gambut murni, tetapi lapisan gambut bagian bawah antara
20-100 cm, seringkali bercampur bahan tanah mineral,
yang dicrikan oleh kandungan fraksi liat cukup tinggi (15-
80%), Kandungan bahan organik, dinyatakan sebagai % C-
organik, bervariasi dari sangat tinggi sampai sangat tinggi
sekali, sehingga rata-ratanya sangat tinggi sekali (28,70-
41,98%), baik di lapisan atas (0-20 cm) maupun lapisan
bawah (20- 100 cm).

Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCl) rata-rata


tinggi (46-50 mg/100 g tanah) di lapisan atas dan menurun
menjadi rendah sampai sedang (16-31 mg/100 g tanah) di
lapisan bawah. Jumlah basa-basa dapat tukar Gambut-
dangkal dari Sumatera, bervariasi dari sangat rendah
sampai sangat tinggi di seluruh lapisan, dan cenderung
menurun di lapisan bawah, dengan rata-rata termasuk tinggi
(21,8-29,7 cmol(+)/kg tanah) di kedua lapisan.

Gambut-sedang

Data profil pada Gambut-sedang yang dievaluasi,


mempunyai kedalaman antara 104-200 cm. Sebagaimana
pada Gambut-dangkal, lapisan gambut bagian atas sedalam
20 cm, umumnya terdiri atas bahan gambut murni.
Sementara lapisan gambut bawah antara 20-200 cm, di
bagian bawah sering bercampur bahan tanah mineral, yang
dicirikan oleh kandungan fraksi liat dan debu cukup
Subagyo 87 tinggi, yaitu 30-70% dan 30-95%. Kandungan
bahan organik, di seluruh lapisan bervariasi dari sangat
tinggi sampai sangat tinggi sekali, dengan rata-rata sangat
tinggi sekali (31,36-47,20% C). Jumlah basa-basa dapat
tukar juga ada perbedaan antara gambut dari Sumatera dan
gambut dari Kalimantan.

Jumlah basa di seluruh lapisan gambut Sumatera


bervariasi dari sangat rendah sampai sangat tinggi sekali,
lebih tinggi dibandingkan dengan variasi sangat rendah
sampai tinggi pada gambut Kalimantan. Perbedaan jumlah
basa pada kedua gambut tersebut, juga tercermin pada
kandungan basa-basa dapat tukar. Basa-basa yang dominan,
sebagaimana pada tanah rawa sebelumnya, adalah Mg dan
Na, yang pada gambut Sumatera ratarata sangat tinggi
sekali di lapisan atas dan bawah, yaitu 16,36-25,60
cmol(+)/kg tanah untuk Mg, dan 5,99-7,80 cmol(+)/kg
tanah) untuk Na.

Gambut-dalam

Data profil dari Gambut-dalam yang dievaluasi,


memiliki kedalaman antara 210-300 cm. Sebagaimana pada
Gambut-sedang, seluruh lapisan gambut bagian atas
sedalam 20 cm tersusun dari bahan gambut murni.
Sementara lapisan gambut bawah antara 20-300 cm,
sebagian kecil di lapisan bawah tersusun dari campuran
antara bahan organik dan bahan tanah mineral, khususnya
fraksi liat dan debu. Kandungan P2O5 potensial (P2O5-
HCl) pada lapisan atas sekitar 50 cm, umumnya bervariasi
dari sangat rendah sampai sangat tinggi, dan menurun
menjadi sangat rendah sampai sedang di lapisan-lapisan
gambut bawah, dengan rata-rata tinggi sampai sangat tinggi
(49-65 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan rendah sampai
sedang (20-34 mg/100 g tanah) di lapisan bawah.

Jumlah basa-basa dapat tukar pada Gambut-dalam


dari Sumatera tampaknya lebih baik, dibandingkan dengan
Gambut-dalam dari Kalimantan. Jumlah basa di dalam
profil-profil tanah gambut Sumatera, bervariasi dari sangat
rendah sampai sangat tinggi sekali, dengan rata-rata tinggi
(21,7-22,7 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas dan bawah.
Kapasitas tukar kation gambut tergolong sangat tinggi
sampai sangat tinggi sekali (73,6-123,9 cmol(+)/kg tanah),
dengan kejenuhan basa sangat rendah sampai rendah (5-
21%) di seluruh lapisan. Kejenuhan Al gambut Sumatera
sangat rendah (10%) dan rendah (22%) pada lapisan atas
dan bawah, dan kejenuhan Al gambut Kalimantan termasuk
sedang (56-59%) di lapisan atas dan lapisan bawah.

Gambut-sangat dalam

Data profil Gambut-dalam memiliki kedalaman


antara 300-665 cm, sebagian besar antara 300-500 cm, dan
sebagian lagi antara 610-665 cm. Seluruh lapisan Gambut-
sangat dalam berupa bahan organik murni. Kandungan
fosfat potensial (P2O5-HCl) pada gambut Sumatera,
bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi di lapisan atas,
dan sangat rendah sampai rendah di lapisan bawah, dengan
rata-rata tinggi (41 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan
sangat rendah (9 mg/100 g tanah) di lapisan bawah.
Kandungan K2O potensial, pada gambut Sumatera
bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi di lapisan atas,
dan sangat rendah sampai sedang di lapisan-lapisan bawah,
dengan rata-rata tinggi (54 mg/100 g tanah) di lapisan atas,
dan sedang (26 mg/100 g tanah) di lapisan bawah.

Jumlah basa-basa dapat tukar pada Gambut-sangat


dalam dari Sumatera tampaknya lebih baik, dibandingkan
dengan Gambut-sangat dalam dari Kalimantan. Kapasitas
tukar kation gambut tergolong sangat tinggi sekali (113,2-
134,2 cmol(+)/kg tanah), dengan kejenuhan basa sangat
rendah (3-15%) di seluruh lapisan. Kejenuhan Al yang
datanya hanya tersedia untuk gambut Kalimantan, termasuk
rendah (34%) di lapisan atas, dan sedang (46%) di lapisan
bawah.
III. LAHAN RAWA LEBAK
3.1. PENGERTIAN

Istilah rawa lebak adalah istilah rawa non-pasang surut di


daerah Sumatera Selatan. Di Jambi, persawahan di rawa lebak
dikenal sebagai sawah rawa payau. Di Kalimantan Selatan, disebut
sawah rintak/timur, jika musim tanam pada awal musim kemarau,
dan sawah surung/barat jika musim tanamnya pada awal musim
hujan. Di Kalimantan Timur, persawahan lebak disebut sawah
rapak atau sawah kelan. Sedangkan lahan lebak, yang secara
terbatas terdapat di bagian hilir aliran Sungai/Bengawan Solo di
Jawa Timur, disebut "bonorowo".

Lahan rawa lebak seringkali didefinisikan sebagai lahan


rawa non-pasang surut, yang karena posisinya di dataran banjir
sungai mendapat genangan secara periodik sekurang-kurangnya
sekali dalam setahun, yang berasal dari curah hujan dan/atau
luapan banjir sungai. Genangan yang membanjiri lahan lebak dapat
terjadi lebih dari satu kali, akibat curah hujan di wilayah tangkapan
hujan di bagian hilir sungai memiliki pola bimodal, yaitu dengan
dua puncak musim hujan. Atau dapat juga terjadi, karena kondisi
oro-hidrologis daerah aliran sungai bagian hilir sudah rusak,
sehingga dapat terjadi banjir di bagian hilir beberapa kali dalam
setahun.

Anda mungkin juga menyukai