Anda di halaman 1dari 202

KARAKTERISTIK DAN PENGELOLAAN LAHAN RAWA Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen


Pertanian 2006 KARAKTERISTIK DAN PENGELOLAAN LAHAN RAWA PENGARAH : Irsal Las
PENYUNTING : Didi Ardi S. Undang Kurnia Mamat H.S. Wiwik Hartatik Diah Setyorini
REDAKSI PELAKSANA : Karmini Gandasasmita Suwarto Widhya Adhy Sukmara Diterbitkan
oleh : BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA LAHAN PERTANIAN Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian Jl. Ir. H. Juanda 98,
Bogor 16123 Telp 0251-323012, Fax. 0251-311256 e-mail : csar@indosat.net.id
http://www.soil-climate.or.id Edisi pertama tahun 2006 ISBN 979-9474-52-3 i KATA
PENGANTAR Lahan rawa merupakan salah satu ekosistem yang sangat potensial untuk
pengembangan pertanian. Luas lahan ini, diperkirakan sekitar 33,4 juta ha, yang
terdiri atas lahan pasang surut sekitar 20 juta ha dan rawa lebak 13 juta ha. Namun
demikian, ekosistem rawa, secara alami bersifat rapuh (fragile) oleh sebab itu
dalam memanfaatkan lahan rawa dengan produktivitas optimal dan berkelanjutan,
diperlukan teknologi pengelolaan lahan yang tepat dan terpadu. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, melalui berbagai lembaga penelitian dan kegiatan, terutama
yang dikoordinasikan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian telah mengidentifikasi karakteristik lahan rawa tersebut secara
komprehensif dan menemukan berbagai inovasi teknologi untuk mengatasi masalah yang
ada, sehingga pemanfaatannya optimal untuk kesejahteraan masyarakat. Teknologi
pengelolaan tanah, tata air mikro, ameliorasi tanah dan pemupukan, serta penggunaan
varietas yang adaptif merupakan beberapa hasil penelitian yang telah terbukti
sangat beperan dalam meningkatkan produktivitas lahan rawa. Untuk menyebarluaskan
hasil yang telah diperoleh, supaya dapat dimanfaatkan masyarakat luas, maka hasil
itu kami rangkum di dalam terbitan ini. Buku Karakteristik dan Pengelolaan Lahan
Rawa ini memuat informasi tentang lahan rawa di Indonesia secara komprehensif mulai
dari lahan rawa secara umum, rawa pasang surut, dan rawa lebak, sampai teknologi
pengelolaan lahan sulfat masam dan gambut, pemanfaatan lahan rawa lebak, sumberdaya
hayati pertanian, konservasi dan rehabilitasi lahan rawa, dan usaha agribisnis d i
lahan rawa pasang surut. Sehingga, diharapkan bisa digunakan sebagai acuan
bagi berbagai usaha praktis, di dalam pengelolaan maupun penelitian lanjutan, untuk
menemukan teknologi pemanfaatan lahan rawa yang lebih efektif dan efisien. Kepada
semua pihak yang telah memberikan kontribusi bagi terbitnya buku ini, saya
sampaikan terima kasih. Bogor, Desember 2006 Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Dr. Ir. Achmad Suryana, MS iii DAFTAR ISI Halaman KATA
PENGANTAR ................................................................. .......
.......... i DAFTAR
ISI ..................................................................... .........
................. iii I. KLASIFIKASI DAN PENYEBARAN LAHAN
RAWA ......................... 1 Subagyo H. II. LAHAN RAWA PASANG
SURUT .................................................... .. 23 Subagyo H. III.
LAHAN RAWA
LEBAK .......................................................... ............. 99
Subagyo H. IV. TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN SULFAT MASAM .............. 117 Didi
Ardi Suriadikarta dan Diah Setyorini V. TEKNOLOGI PENGELOLAAN HARA LAHAN
GAMBUT ................. 151 Wiwik Hartatik dan Didi Ardi Suriadikarta VI.
TEKNOLOGI PEMANFAATAN LAHAN RAWA LEBAK ................... 181 Trip Alihamsyah dan
Isdijanto Ar-Riza VII. SUMBERDAYA HAYATI PERTANIAN LAHAN RAWA .....................
203 Izhar Khairullah, Mawardi, dan Muhrizal Sarwani VIII. KONSERVASI DAN
REHABILITASI LAHAN RAWA ....................... 229 Abdurachman Adimihardja, Kasdi
Subagyono, dan M. Al-Jabri IX. USAHA AGRIBISNIS DI LAHAN RAWA PASANG
SURUT ............ 275 Achmadi Jumberi dan Trip Alihamsyah 1 I KLASIFIKASI DAN
PENYEBARANLAHAN RAWA Subagyo H. Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa 2 1.1.
PENGERTIAN Lahan rawa adalah lahan yang sepanjang tahun, atau selama waktu yang
panjang dalam setahun, selalu jenuh air (saturated) atau tergenang (waterlogged)
air dangkal. Dalam pustaka, lahan rawa sering disebut dengan berbagai istilah,
seperti swamp , marsh , bog dan fen , masing-masing mempunyai arti yang berbeda.
Swamp adalah istilah umum untuk rawa, digunakan untuk menyatakan wilayah lahan,
atau area yang secara permanen selalu jenuh air, permukaan air tanahnya dangkal,
atau tergenang air dangkal hampir sepanjang waktu dalam setahun. Air umumnya tidak
bergerak, atau tidak mengalir (stagnant), dan bagian dasar tanah berupa lumpur.
Dalam kondisi alami, swamp ditumbuhi oleh berbagai vegetasi dari jenis semak-semak
sampai pohon-pohonan, dan di daerah tropika biasanya berupa hutan rawa atau hutan
gambut.
Marsh adalah rawa yang genangan airnya bersifat tidak permanen, namun mengalami
genangan banjir dari sungai atau air pasang dari laut secara periodik, dimana debu
dan liat sebagai muatan sedimen sungai seringkali diendapkan. Tanahnya selalu jenuh
air, dengan genangan relatif dangkal. Marsh biasanya ditumbuhi berbagai tumbuhan
akuatik, atau hidrofitik, berupa reeds (tumbuhan air sejenis gelagah, buluh atau
rumputan tinggi, seperti Phragmites sp.), sedges (sejenis rumput rawa berbatang
padat, tidak berbuluh, seperti famili Cyperaceae), dan rushes (sejenis rumput rawa,
seperti purun, atau mendong , dari famili Juncaceae, yang batangnya dapat dianyam
menjadi tikar, topi, atau keranjang). Marsh dibedakan menjadi "rawa pantai"
(coastal marsh, atau saltwater marsh), dan "rawa pedalaman" (inland marsh, atau
fresh water marsh) (SSSA, 1984; Monkhouse dan Small, 1978). Bog adalah rawa yang
tergenang air dangkal, dimana permukaan tanahnya tertutup lapisan vegetasi yang
melapuk, khususnya lumut spaghnum sebagai vegetasi dominan, yang menghasilkan
lapisan gambut (ber-reaksi) masam. Ada dua macam bog, yaitu "blanket bog , dan
"raised bog . Blanket bog adalah rawa yang terbentuk karena kondisi curah hujan
tinggi, membentuk deposit gambut tersusun dari lumut spaghnum, menutupi tanah
seperti selimut pada permukaan lahan yang relatif rata. Raised bog adalah akumulasi
gambut masam yang tebal, disebut hochmoor", yang dapat mencapai ketebalan 5 meter,
dan membentuk lapisan (gambut) berbentuk lensa pada suatu cekungan dangkal. Subagyo
3 Fed adalah rawa yang tanahnya jenuh air, ditumbuhi rumputan rawa sejenis reeds ,
sedges , dan rushes , tetapi air tanahnya ber-reaksi alkalis, biasanya mengandung
kapur (CaCO3), atau netral. Umumnya membentuk lapisan gambut subur yang ber-reaksi
netral, yang disebut laagveen atau lowmoor . Lahan rawa merupakan lahan basah, atau
wetland , yang menurut definisi Ramsar Convention mencakup wilayah marsh , fen ,
lahan gambut (peatland), atau air, baik terbentuk secara alami atau buatan, dengan
air yang tidak bergera k (static) atau mengalir, baik air tawar, payau, maupun air
asin, termasuk juga wilayah laut yang kedalaman airnya, pada keadaan surut terendah
tidak melebihi enam meter (Wibowo dan Suyatno, 1997). Lahan rawa sebenarnya
merupakan lahan yang menempati posisi peralihan di antara sistem daratan dan sistem
perairan (sungai, danau, atau laut ), yaitu antara daratan dan laut, atau di
daratan sendiri, antara wilayah lahan ker ing (uplands) dan sungai/danau. Karena
menempati posisi peralihan antara sistem perairan dan daratan, maka lahan ini
sepanjang tahun, atau dalam waktu yang panjang dalam setahun (beberapa bulan)
tergenang dangkal, selalu jenuh air, atau mempunyai air tanah dangkal. Dalam
kondisi alami, sebelum dibuka untuk lahan pertanian, lahan rawa ditumbuhi berbagai
tumbuhan air, baik sejenis rumputan (reeds, sedges, dan rushes), vegetasi semak
maupun kayukayuan/ hutan, tanahnya jenuh air atau mempunyai permukaan air tanah
dangkal, atau bahkan tergenang dangkal. 1.2. KLASIFIKASI WILAYAH RAWA Lahan rawa
yang berada di daratan dan menempati posisi peralihan antara sungai atau danau dan
tanah darat (uplands), ditemukan di depresi, dan cekungan-cekungan di bagian
terendah pelembahan sungai, di dataran banjir sungai-sungai besar, dan di wilayah
pinggiran danau. Mereka tersebar di dataran rendah, dataran berketinggian sedang,
dan dataran tinggi. Lahan rawa yang tersebar di dataran berketinggian sedang dan
dataran tinggi, umumnya sempit atau tidak luas, dan terdapat setempat-setempat.
Lahan rawa yang terdapat di dataran rendah, baik yang menempati dataran banjir
sungai maupun yang menempati wilayah dataran pantai, khususnya di sekitar muara
sungai-sungai
besar dan pulau-pulau deltanya adalah yang dominan. Klasifikasi dan Penyebaran
Lahan Rawa 4 Pada kedua wilayah terakhir ini, karena posisinya bersambungan dengan
laut terbuka, pengaruh pasang surut dari laut sangat dominan. Di bagian muara
sungai dekat laut, pengaruh pasang surut sangat dominan, dan ke arah hulu atau
daratan, pengaruhnya semakin berkurang sejalan dengan semakin jauhnya jarak dari
laut. Berdasarkan pengaruh air pasang surut, khususnya sewaktu pasang besar (spring
tides) di musim hujan, bagian daerah aliran sungai di bagian bawah (down stream
area) dapat dibagi menjadi 3 (tiga) zona. Klasifikasi zona-zona wilayah rawa ini
telah diuraikan oleh Widjaja-Adhi et al. (1992), dan agak mendetail ole h Subagyo
(1997). Ketiga zona wilayah rawa tersebut adalah: Zona I : Wilayah rawa pasang
surut air asin/payau Zona II : Wilayah rawa pasang surut air tawar Zona Ill :
Wilayah rawa lebak, atau rawa non-pasang surut 1.2.1. Zona I: Wilayah rawa pasang
surut air asin/payau Wilayah rawa pasang surut air asin/payau terdapat di bagian
daratan yang bersambungan dengan laut, khususnya di muara sungai besar, dan pulau-
pulau delta di wilayah dekat muara sungai besar. Di bagian pantai ini, dimana
pengaruh pasang surut air asin/laut masih sangat kuat, sering kali disebut sebagai
tidal wetlands , yakni lahan basah yang dipengaruhi langsung oleh pasang surut air
laut/salin. Di bagian pantai yang terbuka ke laut lepas, apabila pesisir pantainya
berpasir halus, dan ombak langsung mencapai garis pantai, oleh pengaruh energi
ombak dan angin biasanya terbentuk beting pasir pantai (coastal dunes/ridges), yang
di belakangnya terdapat semacam danau-danau sempit yang disebut laguna (lagoons).
Wilayah di belakang laguna, merupakan jalur yang ditumbuhi hutan bakau atau
mangrove (Rhizophora sp., Bruguiera sp.), dan masih dipengaruhi oleh air pasang
melalui sungai-sungai kecil (creeks). Di belakang hutan mangrove, terdapat jalur
wilayah yang dipengaruhi oleh air payau (brackish water), dan ditumbuhi vegetasi
nipah (Nipa fruticans). Di belakang hutan nipah, terdapat landform rawa belakang
(backswamp) yang dipengaruhi oleh air tawar (fresh water). Subagyo 5 Gambar 1.1.
Pembagian zona lahan rawa di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) bagian bawah dan
tengah Selanjutnya lebih jauh ke arah daratan, pada landform cekungan/depresi,
ditempati oleh hutan rawa dan gambut air tawar (fresh-water swamp and peat
forests). Di bagian estuari atau teluk yang terlindung dari hantaman ombak
langsung, atau di bagian pantai yang terlindung gosong pasir (sand spits), pada
bagian paling depan terdapat dataran lumpur tidak bervegetasi, yang terbenam di
Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa 6 bawah air laut sewaktu air pasang, tetapi
terlihat muncul sebagai daratan sewaktu air surut. Dataran berlumpur ini disebut
tidal flats , atau mudflats . Pada bagian daratan yang sedikit lebih tinggi
letaknya, yang sebagian atau seluruhnya masih digenangi air pasang, disebut tidal
marsh (rawa pasang surut), atau "salt marsh (rawa dipengaruhi air garam). Di bagian
terluar yang masih dipengaruhi oleh pasang surut, biasanya didominasi oleh vegetasi
rambai (Sonneratia sp.),
api-api (Avicennia sp.), dan jeruju (Acanthus licifolius), dan di belakangnya ke
arah daratan ditumbuhi oleh hutan bakau/mangrove, dengan tumbuhan bawah buta-buta
(Excoecaria agallocha), dan pial (Acrostichum aureum). Jalur bakau ini lebarnya
beragam dan dapat mencapai 1,5-2 km ke arah darat. Wilayah di belakang hutan
mangrove, masih dipengaruhi oleh air pasang melalui sungai-sungai kecil, namun
sudah ada pengaruh air tawar dari hutan rawa pantai lebih ke darat. Bagian yang
dipengaruhi oleh air payau ini, didominasi oleh nipah bersama panggang (Araliceae)
dan pedada (Sonneratia acida), membentuk jalur hutan nipah yang lebarnya dapat
mencapai 500 m. Di belakang jalur hutan nipah terdapat landform rawa belakang yang
sudah dipengaruhi oleh air tawar. Di rawa delta Pulau Petak, wilayah rawa belakang
ini , umumnya didominasi pohon gelam (Melaleuca leucadendron). Lebih jauh ke arah
daratan, pada sub-landform cekungan/ depresi ditempati hutan rawa dan gambut air
tawar. Bagian wilayah pasang surut yang dipengaruhi oleh air asin/salin dan air
payau ini, di pantai timur pulau Sumatera seperti di Sumatera Selatan, Jambi, da n
Riau, umumnya masuk ke dalam daratan Pulau Delta dan sepanjang sungai besar sejauh
dari beberapa ratus meter sampai sekitar 4-6 km ke dalam. Wilayah ini, karena
pengaruh air laut/salin atau air payau, tanahnya mengandung garamgar am yang
tinggi, dikatagorikan sebagai tipologi lahan salin, dan tidak sesuai untuk lahan
pertanian. Berapa jauh zona I wilayah pasang surut air asin/payau masuk ke arah
hulu dari muara sungai, tergantung dari bentuk estuari, yaitu bagian muara sungai
yang melebar berbentuk V ke arah laut, dimana gerakan air pasang dan surut terjadi.
Jika bentuk estuari lebar dan lurus, pengaruh air asin/salin dapa t mencapai
sekitar 10-20 km dari mulut/muara sungai besar. Namun, apabila relatif sempit dan
sungai berkelok, pengaruh air asin/salin hanya mencapai jarak 5-10 km dari muara
sungai. Sementara dari laut/ sungai ke arah daratan Pulau Delta, Subagyo 7 atau ke
arah wilayah pinggiran sungai, jarak masuknya air pasang dapat mencapai sekitar 4-5
km. 1.2.2. Zona II: Wilayah rawa pasang surut air tawar Wilayah pasang surut air
tawar adalah wilayah rawa berikutnya ke arah hulu sungai. Wilayahnya masih termasuk
daerah aliran sungai bagian bawah, namun posisinya lebih ke dalam ke arah daratan,
atau ke arah hulu sungaI. Di wilayah ini energi sungai, berupa gerakan aliran
sungai ke arah laut, bertemu dengan energi pasang surut yang umumnya terjadi dua
kali dalam sehari (semi diurnal). Karena wilayahnya sudah berada di luar pengaruh
air asin/salin, yang dominan adalah pengaruh air-tawar (fresh-water) dari sungai
sendiri. Walaupun begitu, energi pasang surut masih cukup dominan, yang ditandai
oleh masih adanya gerakan air pasang dan air surut di sungai. Di daerah tropika
yang beriklim munson, yang dicirikan oleh adanya musim hujan dan musim kemarau, di
musim hujan ditandai oleh volume air sungai yang meningkat, berakibat bertambah
besarnya pengaruh air pasang ke daratan kirikanan sungai besar, dan bertambah jauh
jarak jangkauan air pasang ke arah hulu. Limpahan banjir sungai selama musim hujan
yang dibawa air pasang, mengendapkan fraksi debu dan pasir halus ke pinggir sungai.
Pengendapan bahan halus yang terjadi secara periodik selama ber-abad-abad akhirnya
membentuk (landform) tanggul sungai alam (natural levee), yang jelas terlihat ke
arah hulu dan makin tidak jelas terbentuk, karena pengaruh pasang surut, ke
arah hilir dan di muara sungai besar. Di antara dua sungai besar, ke arah belakang
tanggul sungai, tanah secara berangsur atau secara mendadak menurun ke arah
cekungan di bagian tengah yang diisi tanah gambut. Ke bagian tengah, lapisan gambut
semakin tebal/dalam dan akhirnya membentuk kubah gambut (peat dome). Bagian yang
menurun tanahnya di antara tanggul sungai dan depresi/kubah gambut disebut
(sublandform) rawa belakang (backswamp). Di musim kemarau, pada saat volume air
sungai relatif tetap atau malahan berkurang, pengaruh air asin/salin dapat merambat
sepanjang sungai sampai jauh ke pedalaman. Pada bulan-bulan terkering, Juli-
September, pengaruh air asin/salin di sungai dapat mencapai jara k sejauh 40-90 km
dari muara sungai. Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa 8 Makin jauh ke pedalaman,
atau ke arah hulu, gerakan naik turunnya air sungai karena pengaruh pasang surut
makin berkurang, dan pada jarak tertentu berhenti. Di sinilah batas zona II, dimana
tanda pasang surut yang terlihat pada gerakan naik turunnya air tanah juga
berhenti. Jarak zona II dari pantai, tergantung dari bentuk dan lebar estuari di
mulut/muara sungai dan kelak-kelok sungai dapat mencapai sekitar 100-150 km dari
pantai. Sebagai contoh, kota Palembang di tepi S. Musi, pengaruh pasang surut masih
terasa, tetapi relatif sudah sangat lemah, berjarak sekitar 105 km dari pantai. Di
muara Anjir Talaran di dekat kota Marabahan di Sungai Barito, Provinsi Kalimantan
Selatan, yang berjarak (garis lurus) sekitar 65 km dari muara, pasang surut relatif
masih agak kuat. Pencapaian air pasang di musim hujan dan air asin di musim kemarau
pada tiga sungai besar di Sumatera adalah S. Rokan: 48 dan 60 km, S. Inderagiri:
146 dan 86 km, dan S. Musi 108 dan 42 km dari muara sungai. Di Kalimantan, S.
Kapuas Besar: 150 dan 24 km, S. Kahayan 125 dan 65 km, dan S. Barito 158 dan 68 km
dari muara sungai. Di Papua, S. Mamberamo: 30 dan 8 km, S. Lorenz (pantai selatan,
barat Agats) 103 dan 63 km, dan S. Digul (barat Merauke) 272 dan 58 km dari muara
sungai (Nedeco/Euroconsult-Biec,1984). 1.2.3. Zona III: Wilayah rawa lebak, atau
rawa non-pasang surut Wilayah rawa lebak terletak lebih jauh lagi ke arah
pedalaman, dan dimulai di wilayah dimana pengaruh pasang surut sudah tidak ada
lagi. Oleh karena itu, rawa lebak sering disebut sebagai rawa pedalaman, atau rawa
non-pasang surut. Biasanya sudah termasuk dalam daerah aliran sungai bagian tengah
pada sungai-sungai besar. Landform rawa lebak bervariasi dan dataran banjir
(floodplains) pada sungai-sungai besar yang relatif muda umur geologisnya, sampai
dataran banjir bermeander (meandering floodplains), termasuk bekas aliran sungai
tua (old river beds), dan wilayah danau oxbow (oxbow lakes) pada sungai-sungai
besar yang lebih tua perkembangannya. Pengaruh sungai yang sangat dominan adalah
berupa banjir besar musiman, yang menggenangi dataran banjir di sebelah kiri-kanan
sungai besar. Peningkatan debit sungai yang sangat besar selama musim hujan,
"verval" sungai atau perbedaan penurunan tanah dasar sungai yang rendah, sehingga
aliran sungai melambat, ditambah tekanan balik arus air pasang dari muara,
mengakibatkan air sungai seakan-akan Subagyo 9 "berhenti" (stagnant), sehingga
menimbulkan genangan banjir yang meluas. Tergantung dari letak dan posisi lahan di
landscape, genangan dapat berlangsung dari sekitar satu bulan sampai lebih dari
enam bulan. Sejalan dengan perubahan musim yang ditandai dengan berkurangnya curah
hujan, genangan air banjir secara berangsur-angsur akan surut sejalan dengan
perubahan musim ke musim kemarau berikutnya. 1.3. PENYEBARAN DAN LUAS LAHAN RAWA
1.3.1. Penyebaran lahan rawa Sumberdaya lahan rawa di Indonesia, sebagai salah satu
pilihan lahan pertanian di masa depan, secara dominan terdapat di empat pulau besar
di luar Jawa, yaitu Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua, serta sebagian kecil di
Pulau Sulawesi. Penyebaran lahan rawa, berikut tanah gambut diilustrasikan pada
Gambar 1.2. Di Sumatera, penyebaran lahan rawa secara dominan terdapat di dataran
rendah sepanjang pantai timur, terutama di Provinsi Riau, Sumatera Selatan, dan
Jambi, serta dijumpai lebih sempit di Provinsi Sumatera Utara dan Lampung. Di
pantai barat, lahan rawa menempati dataran pantai sempit, terutama di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (sekitar Meulaboh dan Tapaktuan), Sumatera Barat (Rawa
Lunang, Kabupaten Pesisir Selatan), dan Bengkulu (selatan kota Bengkulu). Di
Kalimantan, penyebaran lahan rawa yang dominan terdapat di dataran rendah sepanjang
pantai barat, termasuk wilayah Provinsi Kalimantan Barat; pantai selatan, dalam
wilayah Provinsi Kalimantan Tengah, dan sedikit di Kalimantan Selatan; serta pantai
timur dan timur laut, dalam wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Penyebaran rawa
lebak yang cukup luas, terdapat di daerah hulu Sungai Kapuas Besar, sebelah barat
Putussibau, Kalimantan Barat, serta di sekitar Danau Semayang dan Melintang,
sekitar Kotabangun, di Daerah Aliran Sungai (DAS) bagian tengah Sungai Mahakam,
Kalimantan Timur. Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa 10 Gambar 1.2. Peta
penyebaran lahan rawa dan lahan gambut di Indonesia Subagyo 11 Di Papua, penyebaran
lahan rawa yang terluas terdapat di dataran rendah sepanjang pantai selatan,
termasuk wilayah Kabupaten Fakfak, dan pantai tenggara dalam wilayah Kabupaten
Merauke. Kemudian di daerah Kepala Burung, di sekeliling Teluk Berau-Bintuni, dalam
wilayah Kabupaten Manokwari dan Sorong. Selanjutnya di sepanjang dataran pantai
utara, memanjang dari sekitar Nabire (Kabupaten Paniai) sampai Sarmi (Kabupaten
Jayawijaya). Penyebaran lahan rawa lebak yang cukup luas terdapat di lembah Sungai
Mamberamo, yang terletak hampir di bagian tengah pulau. Di Sulawesi, penyebaran
lahan rawa relatif tidak luas, dan terdapat setempat-setempat di dataran pantai
yang sempit. Lahn rawa yang relatif agak luas ditemukan di pantai barat-daya kota
Palu, dalam wilayah Kabupaten Mamuju, kemudian di sekitar Teluk Bone, sepanjang
pantai timur-Iaut Palopo, dan sedikit di pantai selatan Kabupaten Toli-toli di
sekitar Teluk Tomini. 1.3.2. Luas lahan rawa Belum seluruh wilayah lahan rawa di
Indonesia diteliti cukup intensif. Dari ketiga pulau besar, Sumatera, Kalimantan,
dan Papua, hanya lahan rawa pasang surut di pantai timur Sumatera (Riau, Jambi,
Sumatera Selatan, dan Lampung) telah banyak diteliti dan dipetakan tanahnya antara
tahun 1969-1980 dalam rangka pelaksanaan P4S (Proyek Pengembangan Persawahan Pasang
Surut), Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (sekarang, Departemen
Kimpraswil). Seluruh wilayah Pulau Sumatera, termasuk wilayah lahan rawanya,
kemudian dipetakan tanahnya pada tingkat tinjau oleh proyek LREP-I (Land Resource
Evaluation and Planning Project) Pusat Penelitian Tanah (sekarang Balai Besar
Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian), antara tahun 1986-1990. Di Kalimantan, lahan
rawa di Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan banyak
memperoleh perhatian selama pelaksanaan P4S. Di Kalimantan Barat, khususnya di
wilayah pulau-pulau delta di antara S. Kapuas Kecil, Punggur Besar, dan Ambawang,
di sebelah selatan kota Pontianak, seperti Rasau Jaya, Pinang luar, dan Air Putih.
Di Kalimantan
Tengah di wilayah pulau delta pada aliran bawah Sungai Kahayan, antara S. Kahayan
dan Kapuas, seperti Pangkoh, Tamban luar, dan Berengbengkel. Di Klasifikasi dan
Penyebaran Lahan Rawa 12 Kalimantan Selatan, sebagian besar penelitian
dikonsentrasikan di wilayah Delta Pulau Petak, seperti di Barambai, Jelapat, dan
Belawang. Selanjutnya penelitian wilayah lahan rawa terakhir, dilakukan antara
tahun 1996-1998, yaitu pada wilayah rawa antara S. Sebangau-Kahayan-Kapuas-
Kapuasmurung yang diteliti dalam rangka pelaksanaan proyek PLG (Pengembangan Lahan
Gambut Satu Juta Hektar) di wilayah tersebut. Di Papua, baru wilayah di sekitar
Merauke, yakni daerah S. DigulKabupaten Merauke, dan daerah S. Digul-Pantai
Kasuari, seluas 3,7 juta ha sudah dipetakan pada tingkat tinjau oleh Pusat
Penelitian Tanah untuk pengembangan wilayah di tempat tersebut (Puslittan, 1985,
1986). Wilayah rawa lainnya, seperti di sekitar Teluk Berau-Bintuni, dan di pantai
utara pulau antar a Nabire dan Sarmi belum pernah diteliti tanahnya. Tim peneliti
Nedeco/Euroconsult-Biec yang melakukan Nationwide study of coastal and near coastal
swamp land in Sumatra, Kalimantan, and Irian Jaya pada tahun 19821984, diperkirakan
pernah meneliti sebagian lahan rawa, khususnya di pantai selatan Pulau Papua ini.
Selama pelaksanaan P4S antara tahun 1969-1984, lahan rawa di Papua belum sempat
tertangani oleh pemerintah pusat. Oleh karena tidak lengkapnya data dan informasi
lahan rawa, maka data luas lahan rawa di Indonesia belum dapat ditentukan secara
lebih pasti dan akurat. Luas lahan rawa masih bersifat perkiraan, dan estimasi yang
dilakukan oleh beberapa peneliti atau instansi lain, menunjukkan luas lahan rawa
yang bervariasi, seperti terlihat pada Tabel 1.1. Data luas lahan rawa pertama kali
dikemukakan oleh Mulyadi (1977), yaitu sekitar 39,42 juta ha, sudah termasuk lahan
rawa lebak. Data ini kemudian digunakan oleh Direktorat Rawa, Departemen Pekerjaan
Umum (Direktorat Rawa, 1992; Sugeng, 1992) untuk perencanaan pengembangan lahan
rawa. Sementara itu, Nedeco/Euroconsult-Biec (1984) bekerja sama dengan Direktorat
Sumberdaya Air, Departemen Pekerjaan Umum melaksanakan studi nasional lahan pantai
di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya (Papua), tidak termasuk pulau Sulawesi,
memperoleh luas lahan rawa di ketiga pulau tersebut sebesar 23,5 juta ha. Hasil
penelitian ini, diuraikan agak mendetail, disajikan pada Lampiran 1.1. Berdasarkan
peta-peta laporan akhir studi tersebut, Nedeco/Euroconsult-Biec tampaknya tidak
memasukkan penyebaran lahan rawa lebak. Subagyo 13 Tabel 1.1. Estimasi luas lahan
rawa di Indonesia Lahan rawa Sumber data Pulau Tanah gambut Tanah mineral Rawa
lebak Total ha . .. Polak, 1952 Indonesia 16.349.865 Mulyadi, 1977 Sumatera
Kalimantan Papua Sulawesi 13.211.000 12.764.000 12.980.500 469.000 Total 39.424.500
Nedeco/EuroconsultBiec, 1984 Sumatera Kalimantan Papua Sulawesi 4.200.150 3.156.000
1.906.500 tad 4.742.790 3.872.350 5.872.000 tad 8.942.940 7.028.350 7.778.500 Total
9.262.650 14.487.140 23.749.790 Subagyo et al., 1990 Sumatera Kalimantan Papua
Sulawesi Maluku 6.407.750 5.352.500 3.129.750 -6.804.511 5.645.323 9.866.000
1.115.814 775.500 13.212.261 10.997.823 12.995.750 1.115.814 775.500 Total
14.890.000 24.207.148 39.097.148 Nugroho et al., 1991 Sumatera Kalimantan Papua
Sulawesi 4.798.000 4.674.800 1.284.250 145.500 1.806.000 3.452.100 2.932.690
1.039.450 2.786.000 3.580.500 6.305.770 608.500 9.390.000 11.707.400 10.522.710
1.793.450 Total 10.902.550 9.230.240 13.280.770 33.413.560
Puslittanak, 2000 Sumatera Kalimantan Papua Sulawesi Maluku 6.590.345 4.447.523
2.011.780 127.744 24.885 5.862.806 5.259.973 8.293.251 1.212.677 478.975 12.453.151
9.707.496 10.305.031 1.340.421 503.860 Total 13.302.276 21.107.682 34.309.958
Catatan: - Data Polak (1952) hanya menyebutkan total luas tanah gambut di
Indonesia. - Data Mulyadi (1977) hanya menyebutkan luas lahan rawa di setiap pulau.
- Data Nedeco/Euroconsult-Biec (1984), tidak memperhitungkan luas rawa lebak. Pu
lau Sulawesi tidak termasuk diteliti; tad = tidak ada data. - Data Subagyo et al.
(1990) diolah kembali; luas lahan basah (wetsoils) yang ad a dikurangi luas lahan
sawah (BPS, 2000). Data Subagyo et al. (1990) dan Puslittanak (2000), suda h
termasuk lahan rawa lebak. Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa 14 Selanjutnya,
Subagyo et al. (1990) dalam Studi ''wetsoils" di Indonesia, memperoleh luas lahan
basah, termasuk lahan sawah di empat pulau besar plus Maluku sebesar 43.124.250 ha.
Apabila dikurangi luas lahan sawah di lima pulau/kepulauan tersebut, seluas
4.027.102 ha (data BPS, 2000), maka diperoleh luas lahan rawa seluas 39.097.148 ha.
Studi yang lebih mendetail dilakukan Nugroho et al. (1991) untuk menentukan areal
potensial lahan pasang surut, rawa, dan pantai di Indonesia. Dengan menggunakan
peta dasar "Tactical Ploatage Chart" (TPC) berskala 1:500.000 yang berjumlah 49
lembar, dan berbagai sumber informasi, utamanya dari Nedeco/Euroconsult-Biec
(1984), peta-peta satuan lahan dan tanah P. Sumatera dan LREP-I 1990, peta-peta
sistem lahan dan RePPProT 1991, dan berbagai peta tanah dari dokumentasi
Puslittanah dan Agroklimat, diperoleh luas lahan rawa 33.413.560 ha. Hasil
penelitiannya, yang dilakukan berdasarkan tipologi lahan diuraikan agak mendetail
dan disajikan pada Lampiran 1.2. Berdasarkan studi ini, luas lahan rawa seluruhnya
adalah 33,41 juta ha, yang terbagi ke dalam lahan rawa lebak seluas 13,28 juta ha,
dan lahan rawa pasang surut 20,13 juta ha. Lahan pasang surut sendiri tersusun dari
lima tipolo gi lahan, yaitu lahan/tanah gambut sekitar 10,90 juta ha, lahan
potensial 2,07 juta ha, lahan sulfat masam potensial 4,34 juta ha, sulfat masam
aktual 2,37 juta ha, dan lahan salin sekitar 0,44 juta ha. Berdasarkan data pada
Lampiran 1.2, terasa sulit untuk menentukan secara pasti berapa luas sebenarnya
masing-masing
tipologi lahan, karena adanya bermacam-macam asosiasi antar berbagai tipologi
lahan. Data dari studi Nugroho et al. (1991) yang relatif komprehensif ini,
kemudian dijadikan semacam "angka resmi" luas lahan rawa di Indonesia, dan
digunakan oleh berbagai instansi dan proyek, seperti oleh Departemen Kimpraswil
(Ditjen Pengairan-Dep. PU, 1998), Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa
(Balittra) Banjarbaru-Kalimantan Selatan (Alihamsyah, 2001), dan beberapa proyek
pengembangan lahan rawa Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian, seperti
proyek SWAMPS-II 1985-1994, ISOP (Integrated Subagyo 15 Swamp Development Project)
1994-2000, dan Proyek PSLPSS (Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang
Surut Sumatera Selatan) 1997-2000. Sementara itu, berdasarkan sebaran jenis tanah
dari Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia, skala 1:1.000.000 (Puslittanak,
2000), luas lahan rawa sudah termasuk lahan rawa lebak, dapat dihitung, dan
diperoleh luas 34,31 juta ha, terdiri atas lahan/tanah gambut 13,20 juta ha, dan
tanah mineral basah 21,11 juta ha. Rincian luas lahan rawa berdasarkan jenis tanah,
disajikan pada Lampiran 1.3. Berdasarkan keempat penelitian terakhir (Tabel 1.1)
agak sulit menentukan berapa angka yang dipilih untuk luas lahan rawa di Indonesia.
Studi Nedeco/Euroconsult-Biec (1984) menunjukkan luas lahan rawa tidak termasuk
lahan lebak, di tiga pulau besar (Sumatera, Kalimantan, dan Papua) sebesar 23,75
juta ha. Seandainya data dari Nugroho et al. (1991) untuk lahan rawa di P. Sulawesi
(1,79 juta ha), dan rawa lebak di tiga pulau besar (12,67 juta ha) ditambahkan,
maka luas lahan rawa seluruhnya akan mencapai 38,22 juta ha. Sementara itu, data
luas lahan gambut juga berbeda, estimasi terendah berkisar antara 9,26-10,90 juta,
dan yang lebih tinggi antara 13,20-14,89 juta ha. Kesimpulan yang dapat diambil
berdasarkan data pada Tabel 1.1, adalah bahwa luas lahan rawa di Indonesia sekitar
33,41-39,10 juta ha, dengan Iuas rawa pasang surut sekitar 20,13-25,82 juta ha, dan
lahan rawa lebak sekitar 13,28 juta ha. Luas lahan/tanah gambut berdasarkan
estimasi rendah antara 9,26-14,89 juta ha, dan estimasi lebih tinggi sekitar 13,20-
14,89 juta ha. Luas total lahan gambut yang pada awalnya (sebelum reklamasi tahun
1970-an) sekitar 16,35 juta ha, namun setelah reklamasi ekstensif selama Pelita I-
III (19 691984) yang diikuti oleh pembukaan oleh masyarakat setempat/pemukim
spontan pada tahun-tahun sesudahnya, luasnya dewasa ini telah menyusut menjadi
sekitar 13-14 juta ha (Subagyo, 2002). Penyebaran lahan rawa diurutkan dari yang
terluas, terdapat di Sumatera, Papua, dan Kalimantan, serta Sulawesi. Klasifikasi
dan Penyebaran Lahan Rawa 16 PENUTUP Dari ketiga zona wilayah rawa, ditinjau dari
kegunaannya untuk pertanian, yang paling potensial sebenarnya lahan rawa lebak,
kemudian lahan rawa pasang surut air tawar, dan terakhir lahan rawa pasang surut
air asin/payau. Dalam pembicaraan sehari-hari yang menyangkut potensi lahan rawa
untuk pertanian, sering kali kata rawa , air tawar , dan air asin/payau
dihilangkan, sehingga hanya dikenal, lahan lebak, lahan pasang surut, dan lahan
salin. Lahan rawa secara keseluruhan masih tetap disebut lahan rawa, atau swampland
, dan termasuk dalam kelompok lahan basah, atau wetlands . Ditinjau dari
keluasannya, lahan pasang surut adalah paling dominan, diikuti oleh lahan lebak,
kemudian lahan pasang surut air asin/payau yang karena kandungan garamnya relatif
tinggi, atau salinitasnya tinggi, disebut lahan salin . Lahan salin ini, karena
kendala kandungan garam yang tinggi dengan reaksi
tanah netral sampai agak alkalis (pH 7,0-8,4), tidak cocok untuk budidaya tanaman
pertanian, sehingga umumnya tidak di reklamasi atau dibuka untuk persawahan dan
pemukiman. Pilihan penggunaan yang lebih sesuai adalah untuk budidaya tambak, atau
tetap dipertahankan keberadaannya sebagai wilayah konservasi alam, untuk tujuan
pengamanan sumberdaya hayati dan plasma nutfah, ekologi, dan lingkungan hidup.
Sementara itu, yang paling luas di reklamasi selama pembukaan wilayah pasang surut
secara besar-besaran, sekitar 1970-1984, adalah lahan pasang surut di Pulau
Sumatera (Provinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Barat, dan Lampung), dan
Kalimantan (Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan), serta
sedikit di Provinsi Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Lahan pasang surut di
Pulau Papua (Irian Jaya), karena begitu besarnya volume pekerjaan reklamasi di
Sumatera dan Kalimantan, belum sempat tertangani oleh pemerintah, walaupun 2-3
survei pendahuluan telah dilakukan pada lahan rawa di wilayah pantai bagian selatan
pulau. Sampai awal tahun 1998, menurut data Dirjen Pengairan Departemen PU
(sekarang Kimpraswil), reklamasi lahan rawa seluruhnya mencapai 5,39 juta ha.
Khusus untuk lahan pasang surut telah direklamasi 3,84 juta ha, yang terdiri atas
0,94 juta ha oleh pemerintah dan 2,90 juta ha oleh swadaya masyarakat. Subagyo 17
Lahan pasang surut yang dianggap memiliki potensi dan prospek yang besar untuk
dijadikan pilihan strategis guna pengembangan areal produksi pertanian ke depan,
untuk mendukung dan mengamankan ketahahan pangan nasional, inventarisasi
biofisiknya termasuk masalah berapa luas masing-masing lahan pasang surut, lahan
lebak, dan lahan salin yang lebih akurat, perlu lebih mendapatkan perhatian di
masa-masa mendatang. Luas total lahan rawa saat ini, yang diestimasi antara 33-39
juta ha, masih bersifat perkiraan yang belum tentu benar. Secara khusus, lahan rawa
di Kawasan Timur Indonesia, terutama di Pulau Papua (Irian Jaya) yang data dan
informasinya masih sangat terbatas, perlu lebih banyak dieksplorasi dan diteliti
luas dan potensi alaminya, baik potensinya sebagai sumberdaya pertanian maupun
sebagai sumberdaya hayati untuk tujuan konservasi, ekologi, dan lingkungan hidup.
DAFTAR PUSTAKA Alihamsyah, T. 2001. Propek pengembangan dan pemanfaatan lahan
pasang surut dalam perspektif eksplorasi sumber pertumbuhan pertanian masa depan.
h. 1-18. Dalam 1. A. Riza, T. Alihamsyah, dan M. Sarwani (penyunting). Pengelolaan
Air dan Tanah di Lahan Pasang Surut. Monograf ISSN 1410-637 X. Balai Penelitian
Tanaman Pangan Lahan Rawa. BPS (Badan Pusat Statistik). 2000. Statistik Indonesia
2000. Direktorat Rawa. 1992. Prasarana fisik bagi pengembangan lahan pasang surut:
Jaringan reklamasi rawa dan bangunan penunjang, serta operasionalisasinya. h. 63-
80. Dalam Sutjipto Ph., dan M. Syam (penyunting). Risalah Pertemuan Nasional
Pengembangan Pertanian Lahan Rawa pasang Surut dan Lebak. Cisarua, 3-4 Maret 1992.
Ditjen Pengairan PU (Pekerjaan Umum). 1998. Pengembangan Daerah Rawa. Direktorat
Jenderal Pengairan, Dep. PU. Februari 1998; 93 hal. Monkhouse, F.J., and J. Small.
1978. A Dictionary of the Natural Environment. A Halsted Press Book. John Wiley &
Sons, New York. Mulyadi, D. 1977. Sumberdaya Tanah Kering. Penyebaran dan
potensinya untuk kemungkinan budidaya pertanian. Kongres Agronomi I, Jakarta, 27-29
Oktober 1977. Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa 18 Nedeco/Euroconsult-Biec.
1984. Final Report. Nationwide Study of Coastal and Near Coastal Swamp land in
Sumatra, Kalimantan, and Irian Jaya. Volume
3 Maps. August 1984. Governm. of the Republic of Indonesia. Ministry of Public
Works. Direct. Gen. of Water Resources Development. Nugroho, K., Alkasuma, Paidi,
W. Wahdini, Abdulrachman, H. Suhardjo, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1991. Laporan
Akhir. Penentuan areal potensial lahan pasang surut, rawa, dan pantai. Skala
1:500.000. Laporan Teknik No. 1/PSRP/1991. Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan,
Puslittanah dan Agroklimat. Polak, B. 1952. Veen en Veenontginning in Indonesia.
Overdruk van het M.I.A.I Nr. 5 en 6.Sept.- Dec. 1952. Puslittanak (Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat). 2000. Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia. Skala
1:1.000.000. Badan Litbang Pertanian, Dep. Pertanian. Puslittan (Pusat Penelitian
Tanah). 1985. Survei dan Pemetaan Tanah Tingkat Tinjau Daerah Sungai Digul,
Kabupaten Merauke. Dep. Transmigrasi/Sekr. Jendral dan Dep. Pertanian/Badan Litbang
Pertanian, 222 hal. Puslittan (Pusat Penelitian Tanah). 1986. Survei dan Pemetaan
Tanah Tingkat Tinjau Daerah Merauke (Sungai Digul-Pantai Kasuari). Dep.
Transmigrasi/Sekr. Jendral dan Dep. Pertanian/Badan Litbang Pertanian, 235 hal.
SSSA (Soil Science Society of America). 1984. Glossary of Soil Science Terms. SSSA,
Madison, Wisconsin, USA. August 1984. Subagyo, H. 1997. Potensi pengembangan dan
tata ruang lahan rawa untuk pertanian. h. 17-55. Dalam A.S. Karama et al.
(penyunting). Prosiding Simposium Nasional dan Kongres VI PERAGI. Makalah Utama.
Jakarta, 25-27 Juni 1996. Subagyo, H. 2002. Penyebaran dan potensi tanah gambut di
Indonesia untuk pengembangan pertanian. h. 197-227. Dalam CCFPI (Climate Change,
Forests and Peatlands in Indonesia). 2003. Sebaran Gambut di Indonesia. Seri
Prosiding 02. Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat
Canada. Bogor. Subagyo, H., M. Sudjadi, E. Suryatna, and J. Dai. 1990. Wet soils of
Indonesia. p. 248-259. In Kimble, J.M. 1992 (ed.). Proc. Eighth Int. Soil Correl.
Meeting (VIII ISCOM): Characterization, Classification, and Utilization of Wet
Soils. Subagyo 19 Lousiana and Texas. October 6-21, 1990. USDA, SCS, National Soil
Survey Center, Lincoln, NE. Sugeng, S. 1992. Pengembangan dan pemanfaatan rawa di
Indonesia. h. 43-63. Dalam Prosiding Seminar Nasional Pemanfaatan Potensi Lahan
Rawa untuk Pencapaian dan Pelestarian Swasembada Pangan. Fak. Pertanian, Univ.
Sriwijaya, Palembang, 23-24 Oktober 1991. Wibowo, P., and N. Suyatno. 1997. An
Overview of Indonesia Wetland SitesIncluded in Wetland Database. Wetlands
International-Indonesia Programme, PHPA, Bogor. Widjaja-Adhi, I P.G., K. Nugroho,
Didi Ardi S., dan A.S. Karama. 1992. Sumberdaya lahan rawa: Potensi, keterbatasan,
dan pemanfaatan. h. 1938. Dalam Sutjipto P. dan M. Syam (penyunting). Risalah
Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak.
Cisarua, 3-4 Maret 1992. Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa 20 Lampiran 1.1.
Area of coastal and near coastal swamp of Indonesia Landform and island Not
suitable Suitable Total ha Deep peats Sumatra 3.972.375 3.972.375 Kalimantan
3.156.000 3.156.000
Papua 1.542.500 1.542.500 Subtotal 8.670.875 0 8.670.875 Complexes of deep peats
with floodplain Papua 364.000 364.000 Sumatra 227.775 227.775 Subtotal 591.775 0
591.775 Tidal flats Papua 1.515.000 1.515.000 Sumatra 531.325 531.325 Kalimantan
995.200 995.200 Subtotal 3.041.525 0 3.041.525 Meander belts Kalimantan 34.800
34.800 Lowland, poorly drained, tidal Papua 1.570.000 1.570.000 Kalimantan
1.232.675 1.232.675 Sumatra 1.380.140 1.380.140 Subtotal 4.182.815 4.182.815
Lowland, poorly drained, braided river Papua 360.375 191.625 552.000 Lowland,
poorly drained, floodplain Kalimantan 280.000 74.375 354.375 Sumatra 728.125
130.000 858.125 Papua 474.950 98.750 573.700 Subtotal 1.483.075 303.125 1.786.200
Lowland, poorly drained, low terraces Kalimantan 66.100 66.100 Papua 979.875
979.875 Subtotal 1.045.975 1.045.975 Miscellaneous Papua 138.750 258.250 397.000
Sumatra 168.525 168.525 Subtotal 307.275 258.250 565.525 Occupied lands Kalimantan
1.189.200 1.189.200 Sumatra 2.089.100 2.089.100 Subtotal 3.278.300 0 3.278.300
TOTAL 17.768.000 5.981.790 23.749.790 Sumber : Nedeco/Euroconsult-Biec. 1984.
Subagyo 21 Lampiran 1.2. Luas lahan rawa di Indonesia Pembagian lahan rawa dengan
tipologi lahan Simbol Luas Luas . ha . Lahan rawa lebak 13.280.770 Lebak dangkal R1
4.167.530 Lebak tengahan R2 3.444.550 Asosiasi Lebak tengahan, dengan Gambutdangkal
dan Gambut-sedang R2/G1 2.630.530 Lebak dalam R3 677.550 Asosiasi Lebak dalam,
dengan Gambut-dangkal dan Gambut-sedang R3/G1 2.360.610 Subtotal 13.280.770 Lahan
rawa pasang surut 20.132.790 Gambut-dangkal dan Gambut-sedang G1 4.261.900 Asosiasi
Gambut-dangkal dan Gambut-sedang, dengan Lahan agak salin
G1/S1 103.000 Gambut-dalam G2 3.720.650 Asosiasi Gambut-dalam dan Gambut-sangat
dalam G2/G3 2.817.000 Subtotal 10.902.550 Lahan potensial P 30.130 Asosiasi Lahan
potensial dengan Lahan agak salin P/S1 1.205.430 Asosiasi Lahan potensial dengan
Lahan salin P/S2 832.400 Subtotal 2.067.960 Sulfat masam potensial SM1 1.132.750
Asosiasi Sulfat masam potensial, dengan Gambut-dangkal dan Gambut-sedang SM1/G1
66.000 Asosiasi Sulfat masam potensial, dengan Lahan agak salin SM1/S1 1.017.430
Asosiasi Sulfat masam potensial, dengan Lahan salin SM1/S2 2.127.800 Subtotal
4.343.980 Asosiasi Sulfat masam aktual, dengan Lahan salin SM2/S2 2.374.000 Lahan
agak salin S1 304.000 Lahan salin S2 140.300 Subtotal 444.300 Total lahan rawa
33.413.560 Sumber : Nugroho et al. (1991) Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa 22
Lampiran 1.3. Jenis tanah dan luas lahan rawa di Indonesia SPT Takson tanah (Soil
Survey Staff, 1999) Bahan induk Sub-landform Tanah mineral Tanah gambut . ha . 2
Haplohemists Organik Kubah gambut - 6.474.932 Haplosaprists 3 Haplohemists Organik
Dataran gambut - 5.384.017 Sulfihemists 4 Endoaquents Aluvium dan Organik Dataran
pasang surut 1.508.075 1.005.384 Haplohemists 5 Hydraquents Aluvium Dataran pasang
surut 3.064.938 Sulfaquents 6 Endoaquepts Aluvium Dataran pasang surut 1.380.634
Endoaquents 7 Endoaquepts Aluvium Dataran pasang surut 285.310 -
Halaquepts 8 Udipsamments Aluvium Pesisir pantai 454.179 Endoaquents 14 Endoaquepts
Aluvium Delta atau dataran estuarin 2.225.819 Sulfaquents 15 Endoaquepts Aluvium
Rawa belakang 669.668 Sulfaquents 16 Endoaquepts Aluvium dan organik Basin aluvial
(lakustrin) 506.916 337.944 Haplohemists 17 Endoaquepts Aluvium Basin aluvial
(lakustrin) 83.019 Endoaquents 18 Endoaquepts Aluvium Basin aluvial (lakustrin)
24.102 Dystrudepts 20 Endoaquepts Aluvium Jalur aliran sungai 4.606.942 Dystrudepts
25 Sulfaquepts Aluvium Dataran aluvial 400.239 Sulfaquents 27 Endoaquepts Aluvium
Dataran aluvial 5.486.743 Dystrudepts 26 Endoaquepts Aluvium Dataran aluvial
411.098 Endoaquents Total : 21.107.682 13.202.276 Total lahan rawa : 34.309.958
Sumber : Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia, skala 1:1.000.000 (Puslitt
anak, 2000) 23 II LAHAN RAWA PASANG SURUT Subagyo H. Lahan Rawa Pasang Surut 24
2.1. TANAH LAHAN RAWA PASANG SURUT Dalam keadaan alamiah, tanah-tanah pada lahan
rawa pasang surut merupakan tanah yang jenuh air atau tergenang dangkal, sepanjang
tahun atau dalam waktu yang lama, beberapa bulan, dalam setahun. Dalam klasifikasi
Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999), tanah rawa termasuk tanah basah, atau
"wetsoils", yang dicirikan oleh kondisi aquik, yakni saat ini mengalami penjenuhan
air dan reduksi secara terus-menerus atau periodik. Proses pembentukan tanah yang
dominan adalah pembentukan horison tanah tereduksi berwarna kelabu-kebiruan,
disebut proses gleisasi, dan pembentukan lapisan gambut di permukaan. Bentuk
wilayah, atau topografi lahan rawa pasang surut adalah sangat rata (flat) sejauh
mata memandang, dengan ketinggian tempat relatif kecil, yaitu sekitar 0-0,5 m dpl
di pinggir laut sampai sekitar 5 m dpl di wilayah lebih ke pedalaman. Secara umum,
ada dua jenis tanah yang terbentuk, yaitu tanah gambut (peat soils), dan tanah non-
gambut, atau tanah mineral basah (wet mineral soils) .
Tanah mineral yang terdapat di wilayah rawa, seluruhnya merupakan endapan bahan
halus, berupa debu halus dan lumpur yang diendapkan air pasang ditambah dengan
bahan aluvium yang dibawa ke muara oleh air sungai. Oleh karena itu, tanah yang
terbentuk semuanya merupakan tanah aluvial basah, yang di permukaannya terdapat
lapisan gambut tipis (<20 cm), atau agak tebal, antara 20-50 cm. Yang terakhir ini
disebut tanah mineral-bergambut (peaty-soils). Apabila ketebalan lapisan gambut
sudah melebihi 50 cm, sudah tidak dapat lagi dikatakan sebagai tanah mineral,
tetapi sudah termasuk tanah gambut. Dalam sistem klasifikasi tanah lama, tanah
aluvial yang selalu jenuh air disebut Aluvial Hidromorf, dan yang relatif agak
kering tidak selalu basah diseb ut Aluvial (saja). Tanah aluvial yang memiliki
lapisan gambut tipis (<20 cm) di permukaan, disebut Glei Humus Rendah; sedangkan
yang lapisan gambutnya agak tebal (20-50 cm), disebut Glei Humus. Sementara tanah
gambut disebut Organosol. Dalam klasifikasi Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff,
1999), kelompok tanah Aluvial termasuk dalam (ordo) Entisols, atau Inceptisols;
sedangkan tanah gambut disebut Histosols. Sesuai dengan pembagian lahan rawa,
penyebaran dan sifat-sifat atau karakteristik tanah yang terbentuk akan mengikuti
pola landform yang ada, dan berbeda antara ketiga zona wilayah rawa. Dalam bab ini
dibahas lebih rinci dua zona wilayah lahan rawa, yaitu zona I: wilayah rawa pasang
surut air asin/payau, Subagyo 25 dan zona II: wilayah rawa pasang surut air tawar.
Sedangkan zona III: wilayah rawa lebak/rawa non pasang surut disajikan pada Bab
III. 2.1.1. Zona I: Wilayah rawa pasang surut air asin/payau Wilayah rawa pasang
surut air asin/payau merupakan bagian dari wilayah rawa pasang surut terdepan, yang
berhubungan langsung dengan laut lepas. Biasanya, wilayah rawa ini menempati bagian
terdepan dan pinggiran pulaupulau delta serta bagian tepi estuari, yang dipengaruhi
langsung oleh pasang surut air laut/salin. Sebagai contoh, pulau-pulau delta di
muara S. Musi dan Banyuasin di Sumatera Selatan, antara lain adalah Delta Upang,
Delta Telang, dan P. Rimau. Di muara S. Batanghari di Jambi, yakni Delta Berbak; di
muara S. Barito dan Kapuas di Kalimantan Selatan, adalah Delta Pulau Petak. Di
muara Sungai Kapuas di Kalimantan Barat, adalah beberapa pulau delta yang dibentuk
oleh S. Kapuas Kecil, Punggur Besar, Ambawang, dan S. Kubu. Pada zona wilayah rawa
ini, terdapat kenampakan-kenampakan (features) bentang alam (landscape) spesifik
yang mempunyai bentuk dan sifat-sifat yang khas disebut landform. Sebagian besar
wilayah zona I termasuk dalam landform marin. Pembagian lebih detail dari landform
marin, disebut sub-landform, pada zona I rawa pasang surut air asin/payau dapat
dilihat pada irisan vertikal tegak lurus pantai, dan diilustrasikan pada Gambar
2.1a dan 2.1b. Gambar 2.1a. Penampang skematis zona I wilayah rawa pasang surut air
asin/ payau, merupakan pantai lepas yang memiliki beting pasir pantai (coastal
dunes) Lahan Rawa Pasang Surut 26 Gambar 2.1b. Penampang skematis zona I wilayah
rawa pasang surut air asin/ payau, pantai pada bagian yang terlindung dalam
estuari, atau teluk Seperti telah diuraikan sebelumnya, di bagian terdepan terdapat
dataran lumpur , atau mud-flats , yang terbenam sewaktu pasang dan muncul sebagai
daratan lumpur tanpa vegetasi sewaktu air surut. Di belakang dataran lumpur, pada
pantai yang ombaknya kuat dan pantainya berpasir, dapat terbentuk bukitbuki t
rendah (beting) pasir pantai. Tanah yang terbentuk di sini merupakan tanah
berpasir. Di belakangnya terdapat danau-danau kecil dan sempit yang disebut laguna
(lagoons), biasanya ditempati tanah-tanah basah bertekstur liat. Lebih ke dalam ke
arah daratan, dijumpai rawa pasang surut bergaram (tidal salt marsh) yang sebagian
masih selalu digenangi pasang dan ditumbuhi hutan bakau/ mangove. Sebagian lagi, di
wilayah belakangnya terdapat bagian lahan yang kadang masih dipengaruhi air pasang
melalui sungai-sungai kecil (creeks), namun juga sudah ada pengaruh air tawar
(fresh-water) yang kuat dari wilayah hutan rawa dan gambut air tawar yang menempati
depresi/cekungan lebih ke darat. Bagian lahan yang dipengaruhi air payau ini
ditumbuhi banyak spesies, tetapi yang terutama adalah nipah (Nipa fruticans),
panggang (Sonneratia acida), dan pedada (Araliceae). Tanah di zona I, seluruhnya
terbentuk dari endapan marin, yaitu terbentuk dalam lingkungan laut/marin, yang
secara khas dicirikan oleh kandungan mineral besi-sulfida berukuran sangat halus,
beberapa mikron (0,001 mm), yang disebut pirit. Ditinjau dari sifat kematangan
tanah (soil ripeness), tanah pada zona I umumnya bervariasi dari masih mentah
(unripe) sampai setengah matang (half ripe). Profil tanah umumnya menunjukkan tanah
bagian atas (upper layers) teroksidasi setebal 25-50 cm, setengah matang sampai
hampir matang (nearly ripe), tekstur liat berdebu, dan berwarna kelabu sampai
coklat kekelabuan tua. Subagyo 27 Lapisan tanah bawah (subsoil) tereduksi, mentah
sampai setengah matang, tekstur liat berdebu, dan umumnya berwarna kelabu gelap-
sangat gelap terkadang hitam, atau kelabu kehijauan. Pada bagian "dataran bergaram"
yang ditumbuhi bakau/mangrove, karena pengaruh air laut pasang, tanahnya bersifat
salin, mempunyai reaksi alkalis (pH >7,5), mengandung garam/salinitas tinggi, dan
merupakan wilayah tipologi lahan salin. Pada bagian yang dipengaruhi air payau,
tanah umumnya bereaksi mendekati netral (pH 6,5-7,5) karena pengaruh air tawar
dengan kandungan garam lebih rendah, dan merupakan wilayah tipologi lahan agak-
salin. Pada wilayah rawa belakang yang dipengaruhi air tawar, tanah bereaksi
semakin masam, dan terbentuk lapisan gambut di permukaan, yang bersifat lebih
memasamkan tanah. Wilayah zona I, khususnya di bagian sub-landform "dataran
bergaram", atau "salt-marsh", baik yang dipengaruhi air asin/salin maupun air
payau, akibat salinitas atau kandungan garam yang masih tinggi, tanah umumnya tidak
sesuai untuk pertanian. Oleh karenanya, tanah tersebut tidak direklamasi, baik oleh
penduduk maupun oleh pemerintah. 2.1.2. Zona II: Wilayah rawa pasang surut air
tawar Seperti telah diuraikan sebelumnya, lokasi zona II masih terdapat pada
wilayah daerah aliran bagian bawah, tetapi lebih ke arah hulu, dimana pengaruh
langsung air laut/salin sudah tidak ada lagi, tetapi energi pasang surut masih
terasa berupa naik dan turunnya air (tawar) sungai mengikuti siklus gerakan air
pasang surut. Wilayahnya dapat mencakup seluruh pulau-pulau delta kecil, seperti
Delta Upang dan Delta Telang, atau sebagian besar wilayah pulau besar, seperti
Delta Berbak dan Delta Pulau Petak. Secara keseluruhan, wilayah ini umumnya
dimasukkan sebagai landform fluvio-marin, karena terbentuk dari gabungan pengaruh
sungai (fluvio) dan pengaruh marin. Satuan-satuan sub-landform yang terdapat di
zona II dapat dilihat lebih jelas pada wilayah yang terletak di antara dua sungai
besar. Penampang skematis sub-landform di antara dua sungai besar pada zona II
diilustrasikan pada Gambar 2.2. Lahan Rawa Pasang Surut 28 Gambar 2.2. Penampang
skematis sub-landform di antara dua sungai besar
pada zona II lahan rawa pasang surut air tawar Oleh karena pengaruh sungai masih
kuat, di sepanjang pinggir sungai terbentuk tanggul sungai alam (natural levee)
yang sempit dan lebarnya bervariasi, makin ke arah hilir relatif sempit dan tidak
begitu nyata terlihat d i lapangan. Tetapi ke arah hulu, kenampakannya di potret
udara lebih jelas, terutama karena perbedaan vegetasi yang tumbuh. Lebarnya yang
tercatat adalah sekitar 0,2-1 km, dan setempat-setempat sampai sekitar 2 km.
Tanggul sungai dapat terbentuk sebagai akibat pengendapan muatan sedimen sungai
yang terjadi selama berabad-abad, setiap kali sungai meluap ke daratan selama musim
hujan. Bahan endapan berupa debu halus dan lumpur, akan mengendap pertama-tama di
pinggir sungai, sementara bahan yang lebih halus berupa liat, akan diendapkan pada
wilayah di belakang tanggul. Tanah yang terbentuk di bagian tanggul sungai alam,
merupakan endapan sungai (fluviatile) yang tebalnya beragam, dari sekitar 0,5 m
sampai lebih dari 1,5 m, menutupi endapan dasar yang merupakan endapan marin. Oleh
karena terbentuk dari bahan relatif agak kasar, debu kasar dan halus serta lumpur,
tanah tanggul sungai (levee soils) umumnya bertekstur sedang, dengan kandungan
fraksi debu relatif tinggi, seperti lempung, lempung berdebu, lempung liat berdebu,
dan liat berdebu. Pada wilayah di belakang tanggul sungai, permukaan tanah umumnya
berangsur menurun ke arah cekungan/depresi besar di hampir bagian tengah wilayah di
antara dua sungai besar. Wilayah di antara tanggul sungai dan cekungan/depresi
besar di bagian tengah, disebut sub-landform dataran rawa belakang (backswamp).
Dari pengamatan lapangan di areal hutan gambut di antara S. Sebangau-Kahayan-
Kapuasmurung-Barito di Kalimantan Tengah, peralihan dari tanggul sungai ke arah
cekungan/depresi, menunjukkan penurunan Subagyo 29 tanah dasar mineral tidak selalu
terjadi secara berangsur, tetapi dapat juga menurun secara mendadak dalam jarak
yang relatif pendek, dan menjadi bagian dari cekungan/depresi besar. Ini berarti
dataran rawa belakangnya sangat sempit, atau tidak ada. Depresi besar di sekitar
bagian tengah wilayah di antara dua sungai besar ditempati tanah gambut. Posisi
depresi di berbagai wilayah pulau delta tidak selalu persis di bagian tengah,
tetapi seringkali menyamping mengikuti bentuk pulau delta. Batasan tanah gambut
yang sederhana adalah memiliki kandungan bahan organik lebih dari 65% (berdasarkan
berat) dengan ketebalan gambut lebih dari 0,5 m. Definisi tanah gambut yang disebut
Histosols dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999), lebih rumit, yaitu (i)
harus tersusun dari baha n tanah organik, (ii) jenuh air selama 1 bulan atau lebih
setiap tahun, dan (iii) ketebalannya minimal 0,4 atau 0,6 m tergantung dari tingkat
dekomposisi bahan gambut dan bobot-jenisnya. Tanah gambut yang menempati
cekungan/depresi besar mempunyai ketebalan yang bervariasi. Di bagian pinggir
ditempati gambut dangkal dengan ketebalan 0,5-1 m, dan gambut sedang dengan
ketebalan 1-2 m, dan seringkali mengandung sisipan-sisipan lapisan tanah mineral.
Keduanya biasanya merupakan gambut topogen yang relatif subur (eutrofik). Semakin
ke bagian tengah depresi, lapisan gambut semakin tebal dan kesuburan bahan
gambutnya cenderung makin menurun. Tanah gambut dalam (2-3 m) dan gambut
sangatdalam (>3 m) yang terbentuk disebut gambut ombrogen, dengan tingkat kesuburan
sedang (mesotrofik) sampai rendah (oligotrofik). Oleh karena perbedaan pertumbuhan
vegetasi hutan di bagian pinggir dan bagian tengah cekungan, permukaan tanah gambut
semakin meninggi di bagian tengah dan membentuk semacam kubah dari tanah gambut,
yang disebut kubah gambut (peat dome). Ketinggian relatif di bagian tengah kubah,
dapat mencapai sekitar 3 5 m. Bentuk kubah gambut umumnya lonjong atau hampir bujur
telur, dan
ukurannya cukup besar. Sebagai contoh dua kubah gambut di Delta Pulau Petak yang
diteliti Lembaga Penelitian Tanah tahun 1972, masing-masing berukuran sekitar 4-9
km lebar dan 8-15 km panjang; serta 8-12 km lebar, dan 15-24 km panjang (SRI,
1973). Dua buah kubah gambut di areal Proyek Pengembangan Lahan Gambut Satu Juta
Hektar (PLG) yang disurvei Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat tahun 1996,
masing-masing mempunyai dimensi Iebar dan panjang sekitar 17-22 km, dan 23-45 km
(Subagyo, 2002). Lahan Rawa Pasang Surut 30 Pada awal pembukaan lahan rawa pasang
surut di Sumatera dan Kalimantan, yang survei tanahnya dilakukan secara intensif
antara tahun 1969 dan 1984, banyak ditemukan wilayah kubah gambut di berbagai
tempat, baik di Sumatera maupun di Kalimantan. Di Sumatera, kubah gambut ditemukan
di daerah rawa Sumatera Selatan, seperti di Sugihan Kiri, Delta Upang, Delta
Telang, Pulau Rimau, dan Karang Agung Ulu (Wiradinata dan Hardjosusastro, 1979),
serta di Delta Reteh antara S. Reteh dan S. Inderagiri di Provinsi Riau. Di
Kalimantan Barat, terdapat beberapa kubah gambut besar di Delta S. Kapuas, di
antara S. Kapuas Kecil, Punggur Besar, Ambawang, dan Kubu-Terentang, pada wilayah
rawa pasang surut sebelah selatan kota Pontianak, di bagian muara S. Kapuas (LPT,
1969). Di Provinsi Kalimantan Tengah, wilayah kubah gambut ditemukan sangat luas di
wilayah delta antara S. Mentaya, Katingan, Sebangau, Kahayan, Kapuas, dan Barito
(Jaya, 2002). Dewasa ini, yakni sekitar 35 tahun kemudian, sebagian dari wilayah
kubah gambut tersebut, terutama yang telah berhasil dijadikan areal pemukiman
transmigrasi, telah lenyap dijadikan lahan pertanian. Yang tersisa umumnya tinggal
berupa wilayah lahan gambut sempit yang ditempati gambut dangkal atau tanah
bergambut. Sebagai contoh, wilayah dimana kubah gambut telah lenyap atau tinggal
sedikit sekali, di antaranya terdapat di Delta Upang, Delta Telang, Sugihan Kiri,
dan Pulau Rimau di Sumatera Selatan, serta Delta Pulau Petak di Kalimantan Selatan.
Bagian yang terluas dari zona II adalah wilayah dataran rawa belakang, yakni
wilayah bertopografi datar yang menempati posisi di antara tanggul sungai dan
cekungan/depresi di bagian tengah antara dua sungai besar. Di berbagai pulau delta,
baik di Sumatera maupun Kalimantan, wilayah rawa belakang ini merupakan wilayah
yang menjadi tujuan reklamasi rawa oleh P4S-PU (19691984), dan dewasa ini merupakan
persawahan pasang surut yang utama di lahan rawa. Menurut BPS (2001) luas lahan
sawah yang aktif ditanami padi adalah 591.877 ha, terutama tersebar di delapan
provinsi, yang bila diurutkan dari yang terluas sampai tersempit adalah Kalimantan
Selatan, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Jambi, Riau,
Lampung, dan Sumatera Utara. Sebagaimana pada zona I, endapan dasar yang membentuk
tanah rawa di wilayah rawa belakang adalah endapan marin, oleh karena itu sering
disebut sebagai tanah aluvial marin. Ciri yang unik dari tanah aluvial marin adalah
adan ya Subagyo 31 senyawa besi-sulfida (FeS2) yang disebut pirit. Kandungan pirit
di tanah rawa pasang surut umumnya rendah, yakni hanya sekitar 0-5%, namun walaupun
kadarnya rendah, temyata di kemudian hari menjadi permasalahan utama yang berat,
atau sangat sulit diatasi, apabila tanah rawa dibuka untuk pertanian. Masalahnya
dimulai pada saat rawa direklamasi, yaitu dengan penggalian saluran-saluran
drainase besar, seperti saluran primer, sekunder, dan tersier, dengan tujuan untuk
mengeringkan wilayah agar tanah rawa yang semula basah atau tergenang menjadi tanah
yang relatif lebih kering yang siap digunakan
sebagai lahan pertanian. Akibat adanya saluran-saluran drainase tersebut, permukaan
air tanah menjadi turun, dan tanah bagian atas menjadi kering dan terbuka. Akibat
adanya oksigen di udara, maka tanah bagian atas ini mengalami oksidasi, sementara
tanah bagian bawah masih tetap berada di lingkungan air tanah, yaitu tetap dalam
kondisi tereduksi. Pirit yang terbentuk dalam suasana reduksi dalam endapan laut di
dekat pantai dengan kandungan bahan organik tinggi, berasal dari vegetasi pantai
seperti api-api dan bakau/mangrove. Dalam kondisi reduksi, pirit bersifat stabil
sesuai dengan suasana lingkungan pembentukannya. Akibat penurunan air tanah, pirit
yang berada di tanah bagian atas ikut terbuka (exposed) di lingkungan yang aerob,
dan mengalami oksidasi, menghasilkan asam sulfat dan senyawa besi bebas bervalensi
3 (Fe-III). Hasil akhirnya merupakan tanah ber-reaksi masam ekstrim (pH <3,5), dan
banyak mengandung ion-ion sulfat (SO4), besi bervalensi 2 (Fe-II), dan aluminium
(AI3+). Tanah ber reaksi masam ekstrim yang banyak mengandung ion sulfat ini
disebut tanah sulfat masam, atau acid sulphate soils . Seringkali juga disebut
tanah sulfat masam aktual, atau actual acid sulphate soils . Sebaliknya, semua
tanah marin yang mengandung pirit belum teroksidasi, mempunyai reaksi tanah agak
masam (pH 4,6-5,5), tetapi berpotensi akan menjadi ekstrim masam bila mengalami
drainase berlebihan, disebut tanah sulfat masam potensial, atau potential acid
sulphate soils . Tanah bagian atas yang sudah teroksidasi, karena berwarna coklat,
atau kelabu kecoklatan berkaratan besi coklat kemerahan, kadang disebut brown layer
. Sedangkan tanah bawah yang tereduksi penuh, yang berwarna kelabu, kelabu gelap,
atau kelabu kehijauan, sering disebut gray layer . Profil tanah sulfat masam aktual
umumnya menunjukkan tanah bagian atas teroksidasi, setebal 50-100 cm, hampir matang
sampai matang, reaksi masam ekstrim (pH <3,5), atau sangat masam (pH 3,5-4,0),
tekstur umumnya liat Lahan Rawa Pasang Surut 32 berdebu, berwarna coklat, coklat
kemerahan atau kelabu. Lapisan tanah bawah tereduksi, setengah matang sampai
mentah, reaksi tanah sangat masam sampai agak masam (pH >4,0), tekstur liat berdebu
sampai liat, dan umumnya berwarna kelabu-kelabu gelap. Profil tanah sulfat masam
potensial, tanah bagian atas teroksidasi relatif lebih tipis sekitar 25-75 cm,
setengah matang sampai hampir matang, reaksi tanah sangat masam-agak masam (pH
>4,0), tekstur umumnya liat berdebu, dan warnanya kelabu tua sampai coklat
kekelabuan. Lapisan bawah tereduksi, hampir mentah (practically unripe) sampai
mentah, reaksi tanah masam-agak masam (pH >4,0), tekstur liat berdebu sampai liat,
dan warnanya kelabu tua sampai kelabu gelap. Tanah sulfat masam aktual, karena
memiliki reaksi masam ekstrim, dan banyak kandungan ion-ion yang bersifat
racun/toksik, sehingga tidak sesuai untuk tanaman pertanian. Tanaman padi yang
ditanam di tanah ini tidak menghasilkan gabah yang berarti. Lahan ini banyak
ditinggalkan petani transmigran, sehingga menjadi lahan bongkor dan ditutupi semak-
semak lebat. Vegetasi alami yang mampu tumbuh adalah yang toleran terhadap
kemasaman tinggi, terdapat di Delta pulau Petak biasanya berupa purun (Lepironia
mucronata), atau purun tikus (Fimbristylis sp.), dan gelam (Melaleuca
leucadendron). 2.2. GENESIS TANAH RAWA Seperti telah diuraikan sebelumnya, lahan
rawa pasang surut berada di bagian muara sungai-sungai besar, berupa pulau-pulau
delta berukuran relatif kecil yang terpisah dari daratan, atau sebagai pulau-pulau
delta besar yang menyambung ke daratan, dan diapit oleh dua sungai besar. Sebagai
contoh yang pertama adalah Delta (pulau) Upang, Delta Telang, dan Pulau Rimau pada
muara S. Musi-Banyuasin di Sumatera Selatan. Contoh yang kedua adalah Delta Berbak
pada S. Batanghari di Jambi, Delta Reteh antara S. Reteh dan Inderagiri di Riau,
dan Delta Pulau Petak antara S. Kapuasmurung dan Barito di Kalimantan Selatan.
Dengan mempertimbangkan posisi lahan rawa tersebut, dapat dimengerti bahwa lahan
rawa pasang surut terbentuk karena proses akreasi (accreation), yaitu proses
pelebaran daratan baru ke arah laut yang terjadi secara alami, Subagyo 33 karena
pengendapan bahan-bahan sedimen yang dibawa sungai (sedimen load) di wilayah bagian
muara sungai besar. Di bagian muara sungai, pada saat air sungai yang bereaksi
sekitar netral (pH 5-6), bertemu dengan air laut yang bereaksi sekitar alkalis (pH
7-9), maka muatan sedimen sungai yang berupa bahan halus, liat sampai debu halus,
akan "menjojot" yakni membentuk gumpalan-gumpalan kecil yang mengendap di dasar
laut. Pengendapan yang intensif terjadi selama musim hujan dan terus-menerus
berlangsung selama berabad-abad, lambat laun membentuk "dataran lumpur", atau
"mudflats" yang muncul sebagai daratan tanpa vegetasi sewaktu air surut, dan
tenggelam di bawah air sewaktu air pasang. Sejalan dengan waktu, tumbuhan yang
toleran air asin, khususnya api-api (Avicennia sp.) dan bakau/mangrove (Rhizophora
sp., Bruguiera sp.) akan tumbuh di lumpur, yang menjebak lebih banyak sedimen,
sehingga dataran lumpur terbangun secara vertikal semakin tinggi, dan akhirnya
menjadi dataran rawa pasang surut, tidal marsh , atau salt marsh , yang ditumbuhi
oleh hutan bakau/mangrove. Mencermati bentuk-bentuk pantai di Indonesia dimana
lokasi rawa pasang surut berada, dapat disimpulkan bahwa pantai-pantai Indonesia
bukan termasuk shorelines of submergence (Strahler, 1973), yaitu bentuk-bentuk
pantai yang terbentuk karena permukaan air laut naik, atau kerak bumi menurun. Juga
tidak termasuk shorelines of submergence , yaitu bentuk-bentuk pantai yang terjadi
karena permukaan air laut menurun, atau kerak bumi meninggi. Tetapi termasuk dalam
neutral submergence , yaitu apabila pantai terbentuk sebagai akibat penambahan
bahan-bahan baru ke dalam laut. Kata netral di sini diartikan, tidak ada perubahan
relatif pada posisi permukaan air laut atau posisi kerak bumi. Bentuk-bentuk pantai
Indonesia, karena berbentuk delta-delta, dapat dimasukkan sebagai delta
shorelines . Dari sekian banyak wilayah rawa di pulau-pulau delta di Indonesia,
tampaknya yang paling intensif diteliti dari aspek kIasifikasi tanah, proses fis
ika dan kimia, pengelolaan air dan kesuburan tanah, serta aspek lingkungan dari
reklamasi tanah sulfat masam adalah Delta Pulau Petak. Riset dilakukan oleh tim
gabungan antara peneliti-peneliti dari Land and Water Research Group (LAWOO) dan
dari Badan Litbang Pertanian (AARD), berlangsung dari Oktober 1987 sampai sekitar
Maret 1991. Genesis, atau proses pembentukan Delta Pulau Petak dilaporkan oleh
Jansen et al. (1990) dan Prasetyo et al. (1990). Sampai sekitar 5.500 tahun yang
lalu, seluruh wilayah Delta Pulau Petak sekarang ini masih merupakan wilayah teluk
yang berpantai dangkal. Dari 5.500 Lahan Rawa Pasang Surut 34 tahun sebelum masehi
(SM), kenaikan permukaan air laut secara berangsur (eustatik) berkurang atau
berhenti, dan perluasan secara lateral dari pantai asl i mulai teljadi. Perluasan
lateral karena proses akreasi yang membentuk Delta Pulau Petak berlangsung melalui
3 fase sedimentasi, yaitu fase sedimentasi I, dari 5.500 sampai 4.000-3.500 tahun
SM, fase sedimentasi II, dari 4.000-3.500 tahun SM sampai 1.000-700 tahun SM, dan
fase sedimentasi III dari 1.000-700 tahun SM. Pada fase I, bahan sedimen dipasok
dari S. Barito dan Kapuas; pada fase II sumber bahan sedimen berasal dari S. Barito
dan S. Pulau Petak; dan fase III sumber sedimen adalah S. Kapuasmurung dan Barito,
dan membentuk garis pantai yang ada sekarang ini. Genesis tanah gambut di wilayah
rawa pantai Indonesia diperkirakan
dimulai sekitar 5.000-4.000 tahun yang lalu (Subagyo, 2002), dan diperkirakan
hampir bersamaan waktunya dengan dimulainya proses akreasi yang membentuk wilayah
pulau-pulau delta di rawa pasang surut yang ada sekarang ini. Mengikuti informasi
geologi, diketahui bahwa berdasarkan radiometric dating periode zaman es Pleistosin
(Pleistocene glaciation) yang terakhir, yaitu zaman es (glacial) Wisconsin (di
Amerika Utara) yang setara dengan zaman es Wurm (di Eropa) berakhir sekitar
18.000/15.000-10.000 tahun yang lalu (Strahler, 1973). Dengan melelehnya lapisan
es/ gletser zaman es Wisconsin dan Wurm tersebut, permukaan air laut di seluruh
dunia secara berangsur (eustatic) naik. Diperkirakan kenaikan permukaan laut di
seluruh dunia terjadi selama akhir zaman Pleistosin sampai awal Holosin (Holocene),
sekitar 100-135 m (Davis et al., 1976; Holmes, 1978). Di perairan laut Indonesia,
kenaikan permukaan air lau t diperkirakan !ebih dari 100 m (Andriesse, 1997), atau
sekitar 120 m (Neuzil, 1997). Stabilisasi permukaan laut di wilayah pantai di
sebagian besar Asia Tenggara tercapai sekitar 6.000-5.000 tahun yang lalu (Diemont
dan Pons, 1991), atau 6.000-4.000 tahun yang lalu (Neuzil, 1997), sementara
Brinkman dan Pons (1968) menyebutkan sekitar 5.500 tahun yang lalu. Dengan adanya
permukaan laut yang sudah relatif stabil waktu itu, proses pelebaran/perluasan
pantai secara lateral akibat sedimentasi bahan-bahan halus yang dibawa sungai,
yakni proses akreasi pantai, diperkirakan mulai terjadi, diikuti dengan pembentukan
tanah gambut. Berbagai data pengukuran C-14 dating contohcontoh tanah gambut di
Sumatera dan Kalimantan untuk memperkirakan umur pembentukan gambut, memperkuat
estimasi mulainya proses akreasi di wilayah pantai di Indonesia. Sebagai contoh: di
pantai timur P. Sumatera, gambut di Subagyo 35 sekitar S. Batanghari di Jambi
menunjukkan umur 4.300 tahun SM (Cameron et al., 1987), gambut di Bengkalis, dan S.
Siak Kanan di Riau, masing-masing berumur 5.730-4.740 dan 5.220-3.620 tahun SM
(Neuzil, 1997). Di pantai P. Kalimantan, gambut di Teluk Keramat, Kalimantan Barat,
menunjukkan umur 4.040-2.570 tahun SM (Neuzil, 1997), di dekat S. Mahakam,
Kalimantan Timur, 4.400-3.850 tahun SM (Diemont dan Pons, 1991). Contoh gambut dari
S. Lassa dan Baram di Serawak, Malaysia, menunjukkan umur masing-masing 6.5005.000
dan 4.000 tahun SM (Neuzil, 1997). 2.3. PIRIT DALAM TANAH RAWA Seperti telah
diuraikan sebelumnya, di dalam lumpur dan endapan marin tereduksi, serta lapisan
tanah bawah tereduksi pada tanah sulfat masam potensial dan sulfat masam aktual
pada lahan rawa pasang surut air salin/payau (Zona I) dan air tawar (Zona II),
terdapat pirit. Pirit adalah mineral berkristal oktahedral, termasuk sistem kubus,
dari senyawa besi-sulfida (FeS2) yang terbentuk di dalam endapan marin kaya bahan
organik, dalam lingkungan air laut/payau yang mengandung senyawa sulfat (SO4)
larut. Dengan menggunakan teknik SEM (Scanning Electron Microscope) diketahui bahwa
partikel-partikel pirit berada dalam bentuk kristal, yang indivi duindividu kristal
tunggalnya sangat halus, terbanyak berukuran <1 mikron (1 mikron=0,001 mm), dan
sebagian kecil 2-9 mikron. Bentuk kristal tunggal dari kubus bervariasi, dan bentuk
(kristal) oktahedral adalah yang paling dominan, diikuti bentuk piritohedral, yang
semuanya termasuk sistem (kristalografi) kubus , atau isometrik. Pirit mengandung
46,55% Fe (berdasarkan berat), dan 53,45% S (Michaelsen dan Phi, 1998). Dilihat di
bawah mikroskop polarisasi, menggunakan cahaya biasa (normal) dan terpolarisasi,
kristal-kristal pirit berwarna hitam/op ak, tetapi apabila digunakan cahaya merkuri
warnanya hijau muda cerah (bright) (Van Dam dan Pons, 1973). Selain berbentuk
kristal tunggal-oktahedral, atau agregat lepas, umumnya kristal tunggal saling
bergabung membentuk agregat
lonjong (elliptical), atau membulat (spherical) yang padat, yang disebut framboid ,
sehingga ukurannya sedikit lebih besar, yakni berkisar dari 1-14 mikron, dengan
rata-rata enam mikron. Beberapa agregat pirit framboid berukuran sampai 100 mikron.
Kristal-kristal pirit berbentuk oktahedral dan framboidal dapat dilihat pada Gambar
2.3. Lahan Rawa Pasang Surut 36 Gambar 2.3. Kristal-kristal pirit diobservasi
dengan mikroskop elektron scanning (SEM), (a) memperlihatkan kristal besar
berbentuk oktahedral dan framboidal; (b) memperlihatkan framboidal besar yang
tersusun dari kristal-kristal tunggal oktahedral berukuran kecil (Michaelsen dan
Phi, 1998) a b Subagyo 37 Dalam lapisan tanah yang mengandung pirit, partikel pirit
tergabung dengan jaringan sisa-sisa akar mangrove, atau tersebar dalam matriks
tanah. Di lapangan, lapisan tanah yang mengandung pirit berwarna lebih gelap/hitam
(hue 10YR, 2,5Y, 5Y, N, dan 5GY; kroma 1), sering bercampur dengan sisa-sisa daun
atau akar tumbuhan bakau atau nipah, dan kadang berbau busuk (H2S). Secara umum
kandungan pirit yang terdapat dalam tanah sulfat masam potensial relatif tidak
tinggi, maksimum 6-7 persen (berdasarkan berat), dan kandungan yang paling umum
bervariasi dari 1-4 persen (Van Bremen, 1973). Pada tanah sulfat masam potensial di
Vietnam, kandungan pirit sampai sedalam 90 cm, berkisar dari 0,2 sampai 5,5-6%
(berdasarkan berat). Lapisan bagian atas sampai 50 cm, kandungan piritnya
bervariasi 0-3,5%, dan meningkat ke lapisan lebih bawah (Michaelsen dan Phi, 1998).
Walaupun kandungan pirit yang terdapat dalam tanah marin, khususnya sulfat masam
potensial relatif kecil, namun ternyata kemudian merupakan permasalahan atau
kendala berat dalam pemanfaatan lahan rawa untuk pertanian. Penyebaran kandungan
pirit dan pH-H2O lapangan di dalam profil tanah rawa di Delta Pulau Petak, yang
diambil dari lokasi dekat laut (Tabunganen) sampai Iokasi yang jauh dari laut
(Talaran), dan beberapa contoh profil dari Vietnam disajikan pada Tabel 2.1. Jarak
dekat atau jauhnya Iokasi profil dari laut, tampaknya tidak berpengaruh pada
kandungan pirit setiap lapisan di dalam profil tanah. Kandungan pirit pada profil
tanah di Tabunganen, yang terdekat dengan laut, tidak lebih tinggi dari kandungan
pirit pada profil tanah dari Talaran, yang ter letak paling jauh dari laut.
Sementara kandungan pirit pada profil tanah di Belawang, yang terletak cukup jauh
dari laut, ternyata justru menunjukkan kandungan pirit yang paling tinggi.
Sedangkan kandungan pirit pada profil tanah di Sakalagun, hanya berseberangan
dengan lokasi Belawang, paling rendah. Lahan Rawa Pasang Surut 38 Tabel 2.1.
Kandungan pirit dan pH-H2O lapang pada tanah rawa di Delta Pulau Petak, Indonesia
dan di Vietnam Profil Kedalaman pH-(H2O) lapang Pirit Profil Kedalaman pH-(H2O)
lapang Pirit cm %FeS2 cm %FeS2 Indonesia TAB 4/I 4/II 4/III
4/IV 4/V 4/VI 4/VII 11 33 52 85 125 155 180 5,0 5,4 5,3 5,1 4,9 5,3 5,8 0,24 0,24
1,07 4,71 2,52 2,11 Vietnam RMB -1 -2 -3 -4 15 30 50 90 1,10 2,40 4,90 LUP 1/I 1/II
1/III 1/IV 1/V 1/VI 1/VII 5 15 32 51 70 95 135 6,1 6,5 6,2 6,4 6,1 6,3 5,6 0,25
0,22
0,07 0,11 0,50 0,20 2,76 RA -1 -2 -3 -4 15 30 50 90 1,20 2,70 6,00 JEL 1/I 1/II
1/III 1/V 1/VI 5 15 30 67 115 5,2 5,4 5,5 5,9 5,8 0,14 0,15 0,14 0,15 1,35 RM -1 -2
-3 -4 15 30 50 90 0,70 0,90 3,10 SPT 2/II 2/III 2/IV 2/V 5 20 38 56 3,5 3,6 3,9
4,9 0,16 0,15 1,29 6,96 R -1 -2 -3 -4 15 30 50 90 0,40 2,40 3,30 SAK 2/I 2/II 2/III
2/IV 2/V 2/VI 2/VII 7 25 42 62 90 120 145 4,5 4,8 4,8 4,9 5,0 4,8 5,8 0,05 0,07
0,06 0,07 0,07 0,07 0,45 F2X47-A -B21 -B22 -B23 -BC -C 22 57 85 115 150 230 3,7 3,1
3,0
3,2 2,8 2,9 1,45 0,14 0,82 0,80 BEL 6/II 6/III 6/IV 6/V 6/VI 6/VII 20 50 80 100 120
140 3,1 3,0 4,0 4,3 4,4 4,5 0,24 3,92 5,76 4,33 3,30 0,30 A2X5-B21 -B22 -BC -C 25
68 86 295 3,4 3,3 3,0 2,6 0,09 0,09 0,25 0,96 TAL 3/II 3/III 3/IV 3/V 3/VI 3/VII
3/VII 10 32 54 69 83 98
115 3,3 3,2 3,4 3,3 3,5 3,6 3,7 0,10 0,15 0,12 0,15 4,32 3,90 6,11 TL1 -B23 1BC -C1
89 111 178 3,4 2,7 2,8 0,08 0,61 1,12 Sumber: Konsten dan Sarwani (1990) (data
diproses); Konsten et al. (1986); Micha elsen and Phi (1998). TAB = Tabunganen; LUP
= Lupakluar; JEL = Jelapat; SPT = Serapat; SAK = Sakalagun ; BEL = Belawang; TAL =
Talaran. Dari Tabunganen ke Talaran, lokasinya makin jauh dari l aut. Subagyo 39
Perhitungan data kandungan pirit dari 22 profil tanah rawa yang terdiri atas 100
contoh dari Pulau Petak, Indonesia, dan 17 profil yang terdiri atas 59 conto h dari
Vietnam, menunjukkan variasi data rata-rata kandungan pirit dan simpangan baku
(standard deviation) seperti disajikan pada Tabel 2.2. Kandungan pirit tana h rawa,
sebagaimana diwakili dari data tanah rawa di Delta Pulau Petak, dengan menggunakan
skala kandungan pirit menurut Pons (1970) yaitu rendah (few): <1,20%, sedang
(common): 1,21-2,40%, tinggi (many): 2,41-4,50%, dan sangat tinggi (abundant):
>4,50%, menunjukkan bahwa kandungan pirit pada lapisan tanah atas (0-50 cm) beragam
dari 0,05-4,24%. Tabel 2.2. Kandungan pirit pada tanah rawa di Indonesia dan
Vietnam Kandungan pirit Tanah sulfat masam Variasi Rata-rata Simpangan baku .. % ..
Delta Pulau Petak, Indonesia - Tanah bagian atas teroksidasi (0-50 cm) 0,05-4,24
0,52 (rendah) 0,94 - Lapisan bawah (50-100 cm) 0,07-6,96 1,89 (sedang) 2,60 -
Tanah bawah tereduksi (100-150 cm) 0,30-6,11 2,61 (tinggi) 1,89 - Lapisan tanah
tereduksi (150-200 cm) 2,11-6,00 3,54 (tinggi) 2,14 Vietnam - Tanah bagian atas
teroksidasi (0-50 cm) 0,00-3,50 0,87 (rendah) 1,13 - Lapisan bawah (50-100 cm)
0,09-6,00 2,45 (tinggi) 2,27
- Tanah bawah tereduksi (100-150 cm) 0,10-1,24 0,60 (rendah) 0,43 - Lapisan tanah
tereduksi (150-200 cm) 0,14-1,12 0,71 (rendah) 0,37 Kesimpulan yang dapat ditarik
dari observasi data pada Tabel 2.2 tersebut adalah bahwa kandungan pirit pada tanah
rawa bagian atas yang teroksidasi di Indonesia, umumnya rendah. Kandungan pirit
dalam tanah cenderung meningkat ke lapisan bawah, yaitu termasuk sedang. Lebih ke
bawah pada lapisan bawah tereduksi, pada kedalaman lebih dari 1 m tergolong tinggi.
Lain halnya dengan kandungan pirit tanah rawa Vietnam, sampai kedalaman sekitar 1 m
sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan tanah rawa dari Delta Pulau Petak.
Kandungan pirit rata-rata pada tanah bagian atas, sama-sama rendah, tetapi
kandungan pirit di bagian tanah bawah tereduksi sedalam 1-2 m, menjadi rendah
kembali. Bahan sedimen yang diendapkan di tanah rawa Vietnam mungkin berbeda dengan
bahan sedimen yang membentuk tanah rawa di Delta Pulau Petak. Lahan Rawa Pasang
Surut 40 Dengan menggunakan simulasi model untuk tanah sulfat masam (SMASS:
Simulation Model for Acid Sulphate Soils) yang divalidasi dengan kondisi lapangan
tanah sulfat masam potensial di Barambai I dan II, Delta Pulau Petak, dari kurva
prediksi hubungan antara kedalaman dan kandungan pirit yang dibuat van Wijk et al.
(1992) dapat diprediksi bahwa pada kondisi pengelolaan air norma l yang dilakukan
saat ini, dalam 5 tahun ke depan, pirit pada kedalaman 40 cm menurun dari kondisi
awal sekitar 3,9% menjadi sekitar 2,3%, atau terjadi penurunan kandungan pirit
rata-rata sekitar 0,32% per tahun. Dengan perbaikan pengelolaan air, berupa
pencucian tambahan pada akhir musim hujan dengan menggunakan air berkualitas lebih
baik dari saluran tersier, dapat diprediksi terjadi penurunan kandungan pirit dari
sekitar 3,9% menjadi 2%, atau rata-rata sekitar 0,38% per tahun. Namun, kurva
prediksi tersebut tidak menunjukkan perubahan kandungan pirit pada kedalaman tanah
lebih dalam, antara 50-100 cm. Kandungan pirit praktis tidak berubah, dan tetap
tinggi antara 4,2-6,5%, bai k sesudah 5 maupun 10 tahun, walaupun telah dilakukan
perlakuan perbaikan pengelolaan air. 2.3.1. Pembentukan dan oksidasi pirit Proses
pembentukan pirit telah disarikan oleh Langenhoff (1986) berdasarkan makalah Pons
et al. (1982) dan publikasi Dent (1986), metalui beberapa tahap: .. Reduksi sulfat
(SO4) menjadi sulfida (S) oleh bakteri pereduksi sulfat dalam lingkungan anaerobik;
.. Oksidasi parsial sulfida menjadi polisulfida (misalnya Fe3S4: Greigite; Fe4S5 :
Pyrrhotite), atau unsur S; diikuti pembentuksan FeS, dari sulfida terlarut, besi
oksida (FeOOH, Fe2O3), atau mineral silikat mengandung unsur Fe; .. Pembentukan
FeS2 dari penggabungan FeS dengan unsur S, atau presipitasi langsung dari besi (Fe-
II) terlarut dengan ion-ion polisulfida. Reaksi keseluruhan pembentukan pirit, dari
besi-oksida (Fe2O3) sebagai sumber Fe, digambarkan sebagai berikut: Fe2O3 + 4SO4 2-
+ 8CH2O + O2 . 2FeS2 + 8HCO3 - + 4H2O sulfat bahan organik PIRIT karbonat Subagyo
41 Bahan baku pembentukan pirit dengan demikian adalah besi-oksida, ion sulfat,
bahan organik (ditulis sebagai CH2O), kondisi reduksi, dan bakteri pereduksi
sulfat. Kondisi seperti ini terdapat pada lumpur atau bahan endapan
dalam lingkungan air asin/payau, yang kaya bahan organik berasal dari vegetasi api-
api dan bakau/mangrove. Da!am suasana jenuh air atau anaerobik, oleh adanya ion
mono-karbonat (HCO3 -), pH tanah endapan adalah netral sampai agak alkalis,
sehingga kondisi pirit stabil dan tidak berbahaya. Namun apabila lahan rawa pasang
surut direklamasi, yaitu dengan dibuatnya jaringan tata air makro berupa saluran-
saluran primer, sekunder sampai tersier, lahan mengalami pengeringan/pengatusan,
air tanah menjadi turun, maka lingkungan pirit menjadi terbuka (exposed) di udara.
Dalam suasana aerobik, pirit menjadi tidak stabil karena bereaksi dengan oksigen
udara. Reaksi oksidasi pirit dengan oksigen berjalan lambat, dan dipercepat oleh
adanya bakter i Thiobacillus ferrooxidans. Seluruh reaksinya digambarkan sebagai
berikut: FeS2 + 15/4O2 + 7/2 H2O . Fe(OH)3 + 2SO4 2- + 4H+ PIRIT oksigen besi-III
(koloidal) asam sulfat Hasil reaksi adalah dihasilkannya besi-III koloidal, dan
asam sulfat yang terlarut menjadi ion sulfat dan melimpahnya ion H+, yang
mengakibatkan pH tanah turun drastis dari awalnya netral-agak alkalis (pH 5,5-6,5)
menjadi masam ekstrim (pH 1,3 sampai <3,5). Namun, apabila tanah memiliki cukup
besar senyawa-senyawa penetralisir, seperti ion OH-, kapur (CaCO3), basa-basa dapat
tukar, dan mineral-mineral silikat mudah melapuk, pH tanah tidak sampai turun di
bawah pH 4,0. Adanya liat marin yang mengandung cukup mineral liat smektit yang
jenuh basa-basa, juga ikut membuffer penurunan pH tanah. Terlalu banyaknya ion H+
dalam larutan tanah akan merusak struktur mineral liat, dan membebaskan banyak ion
aluminium (Al3+) yang bersifat toksik terhadap tanaman. Sebagian besar dari besi-
III koloidal yang terbentuk, pada akhimya mengkristal menjadi oksida besi
goethite , yang berwarna coklat kemerahan, berupa karatan, selaput atau nodul-nodul
dalam tanah, dan dindingdind ing saluran drainase. Dalam kondisi oksidasi yang
sangat kuat, misalnya oleh air tanah yang turun terlalu dalam, atau akibat
penggalian saluran drainase, bahan endapan marin secara tiba-tiba diangkat ke
lingkungan udara terbuka, oksidasi pirit akan Lahan Rawa Pasang Surut 42
menghasilkan mineral jarosit, yang nampak sebagai karatan-karatan berwarna kuning
jerami, yang juga sangat masam. FeS2 + 15/4O2 + 5/2H2O + 1/3K+ . 1/3KFe3(SO4)2(OH)6
+ 4/3SO4 + 4H+ PIRIT oksigen JAROSIT asam sulfat Jarosit stabil dalam kondisi
teroksidasi (potensial redoks > 400-500 mV) pada lingkungan masam (pH 2-4). 2.3.2.
Kondisi tanah sesudah oksidasi pirit Berbagai pengamatan di berbagai daerah
transmigrasi yang menyertai pembukaan lahan rawa pasang surut di Kalimantan Tengah
(Pangkoh, Anjir Basarang), Kalimantan Selatan (Delta Pulau Petak, Barambai),
Sumatera Selatan (Sugihan Kanan), Jambi (Pamusiran), dan Riau, menunjukkan bahwa
pada tahun-tahun awal pembukaan, banyak wilayah persawahan transmigrasi yang
dibangun oleh proyek P4S, dilaporkan penduduk transmigran sebagai persawahan yang
produktif, dengan rata-rata produksi padi mencapai 2,5-3 ton GKP/ha. Namun dengan
berjalannya waktu, sesuai dengan selesainya saluransaluran primer, sekunder dan
tersier, banyak areal sawah mulai menurun produksinya, dan sesudah beberapa tahun
hasilnya sangat rendah. Khususnya sesudah rehabilitasi saluran, dimana saluran-
saluran diperdalam dan dibersihkan,
tanpa diikuti pembuatan pintu-pintu pengatur tingginya permukaan air, degradasi
lahan sawah semakin akut. Banyak areal sawah, yang sesudah 5 tahun berturutturut
digarap tidak pernah menghasilkan padi sama sekali, dan mulai banyak yang
ditinggalkan petani. Selanjutnya lahan ditutupi vegetasi liar, seperti puru n,
purun tikus, paku-pakuan, semak-semak gelam, atau semak dari vegetasi lain yang
toleran terhadap kondisi tanah masam ekstrim. Lahan sawah yang telah mengalami
degradasi menjadi bongkor/mati, dan tidak pernah digarap lagi dan ditinggalkan,
sehingga menjadi lahan tidur yang ditutupi semak belukar. Pengamatan lapangan
menunjukkan bahwa pada tahun awal pembukaan, lahan sawah aslinya merupakan tanah
sulfat masam potensial dengan lapisan tanah yang mengandung pirit atau bahan
sulfidik relatif dangkal (<50 cm). Air Subagyo 43 tanah relatif masih dangkal, dan
reaksi tanah masih agak masam-netral (4,5-5,5). Namun, dengan selesainya saluran-
saluran primer dan sekunder yang berukuran besar dan dalam, penurunan permukaan air
tanah semakin besar, dan oksidasi pirit mulai berlangsung cepat, khususnya selama
musim kemarau. Didukung oleh kondisi tata air mikro berupa pembuangan air di
petakan-petakan sawah, serta di saluran kuarter dan tersier berjalan tidak lancar,
degradasi lahan sawah semakin dipercepat, dan berakhir menjadi lahan sawah
bongkor/mati yang ditumbuhi semak-semak lebat. Seperti telah diuraikan, dalam
kondisi awal/asli, dalam suasana jenuh air atau anaerobik, pirit bersifat stabil
dan tidak berbahaya. Oleh adanya ion monok arbonat (HCO3), sebagai salah satu
produk pembentukan pirit, pH tanah cenderung mendekati netral sampai agak alkalis.
Pada kondisi awal pembukaan lahan, kondisi tanah sawah seperti ini masih cukup
kondusif untuk pertanaman padi sawah. Sesudah lahan mengalami drainase, dan
penurunan permukaan air tanah yang melebihi kedalaman lapisan pirit, kemudian
diikuti oksidasi pirit di musim kemarau, kondisi tanah sawah di bagian atas sedalam
0-50 cm mengalami perubahan drastis. Tanah marin yang semula berupa sulfat masam
potensial dapat berubah mendekati sifat-sifat tanah sulfat masam aktual, yang
dicirikan oleh reaksi tanah ekstrim masam dengan pH < 3,5. Kondisi tanah di
lingkungan perakaran 0-50 cm, pada akhir musim kemarau (sekitar Agustus-Oktober)
dicerminkan oleh sifat-sifat berikut: .. pH tanah turun drastis, umumnya di bawah
pH 4,0. Pada pH ini, ion aluminium (AI3+) akan dibebaskan dalam tarutan tanah, dan
dapat mencapal konsentrasi yang bersifat toksik terhadap pertumbuhan padi atau
tanaman lain. .. Konsentrasi besi-III yang tinggi dan adanya ion AI yang melimpah
dalam larutan tanah, akan mengikat ion fosfat yang tersedia, sehingga mengurangi
fosfat yang tersedia, bahkan mengakibatkan kahat/defisiensi P. .. Adanya ion AI
yang berlebihan akan mengganti basa-basa dapat tukar pada kompleks pertukaran
kation, dan membebaskan ion Ca, Mg, dan K ke dalam larutan tanah, yang selanjutnya
dapat tercuci keluar karena dibawa hanyut oleh air yang mengalir. Tidak hanya
pasokan K menjadi terbatas, tetapi juga mengakibatkan kahat unsur Ca dan Mg. Lahan
Rawa Pasang Surut 44 .. Secara ringkas, akibat penurunan pH tanah di bawah pH 3,5
terjadi keracunan ion H+, AI, SO4 2-, dan Fe-III, serta penurunan kesuburan tanah
alami akibat hilangnya basa-basa tanah, sehingga tanah mengalami kahat P, K, Ca,
dan Mg. Bloomfield dan Coulter (1973) melaporkan bahwa telah terjadi kahat unsur
hara makro (K, Ca, Mg), dan mikro (Mn, Zn, Cu, dan Mo) pada berbagai tanah sulfat
masam di daerah tropika. 2.3.3. Pengaruh penggenangan Memasuki musim hujan yang
berlangsung dari sekitar Oktober/November sampai dengan Maret/April, air tanah
berangsur naik ke permukaan, dan tergantung kondisi tata air makro dan mikro,
seringkali dapat menggenangi tanah. Tanah kembali menjadi jenuh air, atau bahkan
tergenang. Kondisi tanah dalam lapisan perakaran sesudah penggenangan di musim
hujan adalah sebagai berikut: .. Dalam kondisi tergenang, redoks potensial tanah
menjadi lebih tinggi, dan pH tanah meningkat kembali, yang mengakibatkan
konsentrasi ion H dan AI dalam larutan tanah menurun, atau kurang bersifat toksik,
tetapi masalah-masalah baru muncul. .. Kandungan ion sulfat (SO4 2-) dalam larutan
tanah meningkat kembali. Ini diakibatkan oleh hidrolisis AI-sulfat hidrat: AIOHSO4
+ 2H2O7 . AI(OH)3 + 2H+ + SO4 2Atau, desorpsi sulfat yang diadsorpsi kompleks
pertukaran liat tanah Tanah-SO4 + 2H2O . Tanah-(OH)2 + 2H+ + SO4 2.. Dalam kondisi
tergenang, oksigen yang berada dalam tanah dalam waktu relatif singkat segera
digunakan oleh bakteria aerobik, sehingga konsentrasinya mendekati nol, oleh karena
diffusi oksigen udara pada tanah jenuh air sangat lambat. Dalam lingkungan reduksi,
tanpa oksigen, bakteri anaerobik akan memanfaatkan semua senyawa-senyawa
teroksidasi sebagai sumber oksigennya. .. Tahap pertama yang mengalami reduksi
adalah nitrat (NO3 -), sehingga semua nitrat akan direduksi menjadi ion amonium
(NH4 +). Setelah semua nitrat lenyap, Subagyo 45 sebarang oksida-mangan (MnO2) yang
ada akan direduksi menjadi ion Mn2+. Dalam 1-3 minggu penggenangan, hampir seluruh
Mn dapat tukar, direduksi menjadi Mn2+ (Konsten et al., 1990). Sesudah semua MnO2
habis, reduksi sebarang Fe-III (ferri-oksida) mulai terjadi, yang menghasilkan Fe-
II (ferro) ya ng melimpah, dan peningkatan pH oleh karena dihasilkannya senyawa
hidrokarbonat dalam larutan tanah. Fe(OH)3 + CH2O + 2H+ . Fe2+ + CO2 + 1
H2O .. Peningkatan pH larutan tanah bersifat menstabilkan reduksi Fe-III, sehingga
dihasilkan ion Fe-II dalam konsentrasi tinggi yang bersifat toksik terhadap
tanaman. Selain itu, jumlah ion Fe-II yang melimpah mendesak ke luar basabasa dapat
tukar Ca dan Mg dari kompleks adsorpsi tanah, sehingga jumlahnya meningkat dalam
larutan tanah. Kedua unsur hara ini dengan mudah terbawa keluar dari lingkungan
akar oleh air yang mengalir. .. Sesudah semua ferri-oksida tereduksi, reduksi
sulfat mulai terjadi, yang berakibat menurunkan konsentrasi ion sulfat dan ion H+
(karena digunakan untuk membentuk bikarbonat), dan disertai dengan peningkatan pH
tanah. SO4 2- + 2CH2O . H2S + 2HCO3 .. Proses reduksi sulfat terjadi pada potensial
redoks antara -0,12V dan -0,19V, serta hanya terjadi di atas pH 5,0, tetapi juga
pada reaksi lebih masam, pH 2,83,4 (Konsten et al., 1990). Sulfida yang terbentuk
segera bereaksi dengan Fe-II
yang tersedia dalam larutan tanah, dan membentuk senyawa ferro-sulfida. Adanya
reduksi sulfat pada lapisan tanah ditandai oleh karatan FeS yang berwarna hitam,
dan terkadang oleh bau (busuk) H2S. Senyawa H2S yang dihasilkan dari reduksi sulfat
bersifat sangat toksik terhadap pertumbuhan tanaman. .. Secara ringkas, akibat
penggenangan selama musim hujan, terjadi peningkatan pH tanah, dan penurunan
konsentrasi AI. Namun, kemungkinan dapat terjadi keracunan ion Fe-ll, dan Mn karena
konsentrasinya yang sangat tinggi dalam larutan tanah. Kemungkinan juga terjadi
keracunan H2S, dan pencucian unsur basa Ca dan Mg yang berakibat menurunkan
kesuburan alami tanah rawa. Demikian seriusnya permasalahan budidaya tanaman yang
timbul akibat oksidasi pirit, apabila senyawa-senyawa yang bersifat racun, yakni
ion H+, Al3+, Lahan Rawa Pasang Surut 46 SO42-, dan Fe-III, serta Fe2+, Mn2+, dan
H2S tersebut tidak dapat terbuang dari lingkungan perakaran, maka pertumbuhan
tanaman yang normal sulit sekali diharapkan. Lambat atau cepat, tanah akan
mengalami degradasi dan menunjukkan gejala bongkor, atau mati suri. Teknik
pengelolaan tanah yang sesuai, dan pengelolaan air yang tepat, yang mampu membuang
atau melakukan pencucian unsur-unsur beracun secara efektif, baik dengan air pasang
berkualitas baik, dan atau dengan air hujan, merupakan salah satu kunci utama
keberhasilan pertanian di lahan rawa. Selain itu, penggunaan bahan amelioran
seperti kapur pertanian (kaptan), dolomit, batuan fosfat (rock phosphate), abu sisa
pembakaran tumbuhan, abu dapur, dan abu volkan merupakan tindakan yang sangat
diperlukan untuk memperbaiki lingkungan perakaran, mempertahankan kesuburan tanah,
dan meningkatkan produktivitas tanah rawa. 2.4. TANAH RAWA DALAM TAKSONOMI TANAH
Tanah rawa merupakan tanah yang terdapat pada lahan basah , atau wetland , dan
terdiri atas tanah-tanah basah, atau wetsoils . Secara umum tanah rawa terdiri atas
dua kelompok tanah, yaitu tanah mineral dan tanah gambut. Dalam kondisi asli alami,
tanah rawa merupakan tanah yang selalu jenuh air atau tergenang, sepanjang tahun
atau dalam waktu yang lama, beberapa bulan, dalam setahun. Sistem klasifikasi
Taksonomi Tanah, atau Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 1975; 1999; 2003) adalah
sistem klasifikasi tanah morfometrik , yaitu berdasarkan sifat-sifat morfologi
tanah yang dapat diobservasi dan diukur. Klasifikasi suatu tanah ditetapkan
berdasarkan adanya horison penciri/diagnostik dan karakteristik-karakteristik tanah
penciri, yang didefinisikan secara kuantit atif. Untuk itu dibedakan (i) horison
permukaan penciri, atau disebut epipedon, (ii) horison bawah (subsurface) penciri,
dan (iii) karakteristik penciri/diagnostik lainnya. Seperti pada sistem klasifikasi
Taksonomi Tumbuh-tumbuhan, yang mengenal tingkatan atau kategori klasifikasi dari
yang paling atas (pengelompokkan secara garis besar) sampai yang paling detail:
PhyllumSubphyllum-Class-Order-Family-Genus-Species, dan Subspecies. Dalam sistem
Taksonomi Tanah juga dikenal taxa , atau kategori klasifikasi, yang bila diurutkan
dari yang paling atas, adalah Ordo (order), Subordo (suborder), Jenis Subagyo 47
Tanah (Great group), Subgrup/Macam tanah (Subgroup), Famili (Family), dan Seri
tanah (Series). 2.4.1. Sifat-sifat penciri/diagnostik Dalam Taksonomi Tanah,
kondisi jenuh air atau tergenang pada tanah rawa yang merupakan salah satu
karakterisitk penciri utama, diberi istilah kondi si
aquik (aquic condition), yakni mengalami penjenuhan air, atau saturasi, dan
(proses) reduksi secara terus-menerus atau periodik. Jenis penjenuhan yang dominan
adalah penjenuhan air yang berasal dari bawah, yaitu datang dari air tanah,
sehingga semua lapisan tanah dari permukaan tanah sampai sedalam 200 cm atau lebih,
jenuh air. Jenis penjenuhan seperti ini disebut endosaturasi (endosaturation). Pada
lahan basah, proses pembentukan tanah yang dominan adalah gleisasi dan pembentukan
gambut di permukaan tanah. Gleisasi adalah terbentuknya lapisan tanah berwarna glei
yaitu kelabu (N 7-4/0), kelabu (5Y 74/1), kelabu gelap kehijauan (5B 7-4/1), atau
kelabu kebiruan (5B 7-4/1) akibat proses reduksi terus-menerus atau periodik yang
berlangsung lama. Pembentukan lapisan gambut di permukaan tanah setelah mencapai
ketebalan tertentu, dapat dimasukkan sebagai epipedon histik . Pada tanah yang
masih asli alami, ketebalan gambutnya disyaratkan antara 20-40 cm. Apabila bahan
gambut tiga-perempat bagian dari volumenya tersusun dari lumut spaghnum, atau
apabila bobot-isinya <0,1 g/cm3, disyaratkan mempunyai ketebalan gambut 20-60 cm.
Tetapi, apabila berupa lapisan tanah olah, Ap, maka syarat ketebalannya adalah 25
cm. Sementara itu, tanah yang mempunyai ketebalan gambut di permukaan kurang dari
25 cm, diperlakukan sebagai tanah mineral (murni). Secara genetis, tanah rawa pada
awalnya berasal dari endapan marin berupa lumpur cair berwarna kelabu gelap,
seperti yang terdapat pada dataran lumpur (mudflats). Sesuai dengan perkembangannya
setelah lebih lama terbuka di udara dan mengalami oksidasi, tanah rawa akan berubah
menjadi lebih padat, karena kandungan airnya berkurang, bersifat lembek, dengan
konsistensi lekat/sangat lekat, serta plastis. Perkembangan selanjutnya akan
berubah menjadi tanah relatif kering yang padat, konsistensinya agak teguh waktu
lembab, dan menjadi agak keras/keras sewaktu kering. Perubahan tanah rawa dari
kondisi lumpur cair, yang masih mentah , beralih ke kondisi lembek yang Lahan Rawa
Pasang Surut 48 lekat dan plastis, dan akhirnya berubah menjadi tanah relatif
kering yang padat dan teguh, yaitu kondisi matang , disebut proses pematangan tanah
(ripening process). Derajat atau tingkat pematangan tanah ditunjukkan oleh nilai-n,
yang sebenarnya menyatakan jumlah air (dalam gram) yang diabsorb oleh satu gram
liat dalam tanah, dan dihitung dari rumus: n = (A-0,2 R)/(L + 3H), dimana: A=kadar
air dalam tanah pada kapasitas lapang; R=% kandungan fraksi debu dan pasir; L=%
kandungan liat; dan H=% kandungan bahan organik (% karbon organik dikalikan 1,724).
Semua faktor dihitung berdasarkan berat-kering tanah. Tingkat pematangan tanah
dapat ditetapkan di lapangan, dengan uji remas, yaitu dengan cara meremas tanah
rawa dalam telapak tangan. Hubungan tingkat pematangan tanah dengan nilai-n, dan
perkiraan kandungan airnya menurut Pons dan Zonneveld (1965) disajikan pada Tabel
2.3. Tabel 2.3. Tingkat pematangan tanah rawa berdasarkan nilai-n Tingkat
pematangan Nilai-n Kandungan air (%) Mentah (totally unripe) >2,0 >80 Agak mentah
(practically unripe) 1,4-2,0 70-80 Setengah matang (half ripe) 1,0-1,4 60-70 Hampir
matang (nearly ripe) 0,7-1,0 50-60 Matang (ripe) <0,7 <50 Sumber: Pons dan
Zonneveld (1965) Seperti telah diuraikan sebelumnya, semua tanah rawa yang berasal
dari endapan marin mengandung senyawa besi-oksida yang disebut pirit (FeS2). Secara
spesifik, dalam Taksonomi Tanah, senyawa besi-sulfida ini tidak disebut pirit,
tetapi sebagai bahan sulfidik (sulfidic materials), karena dipikirkan tidak
seluruhnya hanya tersusun dari senyawa FeS2, tetapi juga senyawa besi-sulfida
lainnya, termasuk H2S. Sementara lapisan yang mengandung bahan sulfidik yang telah
teroksidasi, menghasilkan asam sulfat, unsur besi, dan berbagai ion ikutan lainnya
yang bersifat racun terhadap tanaman, dianggap telah mengalami proses pembentukan
tanah, dan disebut horison sulfurik . Keduanya, yakni bahan sulfidik dan horison
sulfurik, merupakan sifat dan horison penciri utama pada tanah rawa pasang surut.
Definisi keduanya adalah sebagai berikut. Subagyo 49 Bahan sulfidik (sulfida: unsur
S) merupakan bahan tanah mineral atau bahan tanah organik yang mengandung senyawa
sulfida yang dapat teroksidasi, dan memiliki: .. pH >3,5; dan .. apabila sebagai
lapisan setebal 1 cm diinkubasi pada suhu ruangan, dalam keadaan aerob dan lembab
(pada kapasitas lapang), dalam waktu delapan minggu, pH-nya turun 0,5 unit atau
lebih, menjadi pH 4,0 atau kurang. Pengukuran pH (H2O) diiakukan pada rasio
tanah/air 1:1, atau dengan air minimal untuk memungkinkan pengukuran. Horison
sulfurik (sulfuric acid = asam sulfaf) merupakan lapisan atau horison tanah setebal
15 cm atau lebih, tersusun dari bahan tanah mineral atau bahan tanah organik, yang
memiliki: .. pH 3,5 atau kurang; dan .. menunjukkan bukti bahwa adanya pH yang
rendah disebabkan oleh asam sulfat. Bukti-bukti tersebut, boleh satu atau lebih,
dapat berupa: - adanya konsentrasi jarosit; - terletak langsung di atas (Iapisan)
bahan sulfidik; - kandungan sulfat-Iarut air, (SO4)2-, 0,05% atau lebih. Salah satu
karakteristik penciri lain, yang mungkin ditemukan pada tanah rawa pada zona I:
lahan rawa pasang surut air asin/payau, adalah tanah-tanah yang karena pengaruh
pasang air laut mempunyai kadar garam larut (air), natrium (NaCl) atau garam-garam
lain yang tinggi. Pada musim kemarau, sering terlihat lapisan garam yang tipis
menutupi permukaan tanah. Tanah umumnya mempunyai reaksi alkalis (pH 7,5-8,5).
Dalam istilah Taksonomi Tanah, digolongkan pada tanah-tanah salin atau sodik, atau
mungkin mempunyai horison salik, yang keduanya mempunyai kandungan unsur sodium
(natrium) tinggi. Definisi keduanya adalah sebagai berikut. Tanah-tanah salin, atau
sodik, (sodium, atau natrium: Na) adalah tanah yang jenuh air sampai sedalam 100
cm, dan .. pada separuh atau lebih dari tanah bagian atas mempunyai kejenuhan
sodium sebesar 15% atau lebih, atau nilai rasio adsorpsi sodium (SAR: sodium
adsorption ratio) 13 atau lebih; Lahan Rawa Pasang Surut 50 .. kejenuhan sodium dan
nilai SAR ini semakin berkurang pada kedalaman di bawah 50 cm. Horison salik (sal
atau salt = garam) adalah horison akumulasi garam, terutama halite , yaitu bentuk
kristal dari garam dapur (NaCl), dan merupakan: .. horison setebal 15 cm atau
lebih, yang selama 3 bulan atau lebih secara berturut-turut dalam setahun, .. dalam
bentuk pasta jenuh air, mempunyai daya hantar listrik (DHL) (electrical
conductivity) 30 dS/m atau lebih; dan .. hasil perkalian antara DHL, dalam satuan
dS/m, dan ketebalan horison, dalam satuan cm, mencapai nilai 900 atau lebih. Pada
tanah-tanah rawa dalam zona I, sering juga dijumpai tanah-tanah yang tingkat
pematangannya tergolong mentah sampai setengah matang , karena merupakan tanah yang
semula berasal dari dataran lumpur, yang karena secara periodik terbuka di udara
mengalami proses pematangan awal. Tanahtanah yang masih muda tingkat
perkembangannya ini mempunyai sifat hidrik , yaitu dicirikan oleh kandungan air
yang relatif tinggi. Definisi secara kuantita
tif adalah: Sifat hidrik (hydro, atau adanya air) adalah pada semua lapisan di
antara kedalaman 20 dan 50 cm dari permukaan tanah, mempunyai nilai-n lebih dari
0,7 dan kandungan (fraksi) liat 8% atau lebih. Pada tanah-tanah rawa dalam zona II,
terdapat tanah-tanah yang menempati (sublandform) tanggul sungai alam (natural
levee) yang terbentuk karena pengendapan muatan sedimen yang dibawa sungai sewaktu
terjadi banjir musiman, dan sering disebut endapan fluviatil (fiuvius = sungai).
Dalam Taksonomi Tanah, terbentuk oleh sedimentasi bahan yang berulang kali,
dicirikan secara kuantitatif mempunyai kandungan C-organik yang naik-turun, atau
berkurang secara tidak teratur di antara kedalaman 25-125 cm, dan mencapai
kandungan C-organik 0,2% atau lebih pada kedalaman 125 cm dari permukaan tanah.
Subagyo 51 2.4.2. Klasifikasi tanah mineral Sesuai dengan bahan-bahan penyusunnya,
berupa bahan tanah mineral dan bahan tanah organik, dalam lingkungan basah atau
tergenang, tanah rawa dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu tanah mineral dan
tanah gambut. Tanah mineral pada lahan rawa secara dominan berasal dari sedimentasi
dalam lingkungan laut/marin, sehingga bahan induknya berupa endapan marin yang
mengandung bahan sulfidik. Berdasarkan pada tingkat perkembangan tanah, yang
diekspresikan pada tingkat pematangan tanah (nilai-n dan kandungan liat), adanya
horison sulfurik, dan tanda-tanda alterasi, atau perkembangan tanah lain, seperti
terbentuknya struktur tanah, warna yang tidak berubah saat terbuka di udara, maka
tanah mineral lahan rawa termasuk dalam dua kelompok besar, atau ordo tanah, yaitu
Entisols dan Inceptisols. Entisols, berasal dari suku kata "recent , adalah istilah
geologi yang berarti terbentuk di zaman Holosin ( 11.000 tahun SM) yaitu zaman
sekarang ini, maka berarti tanah yang paling muda umurnya. Inceptisols, berasal
dari kata "inceptum , atau beginning , artinya tanah yang sudah mulai menunjukkan
tanda-tanda awal pembentukan tanah, seperti tanah menjadi agak matang sampai
matang, terbentuknya struktur tanah, dan terbentuknya horison sulfurik. Tanah
mineral rawa termasuk tanah basah, yang secara dominan dicirikan oleh kondisi aquik
(aqua: air). Oleh karena itu, tanah rawa dari (ordo) Entisols dan Inceptisols,
termasuk dalam subordo Aquents (Aqu+ents) dan Aquepts (Aqu+epts). Dalam Aquents
terdapat lima great grup, yaitu (i) yang mempunyai bahan sulfidik di dalam
kedalaman 0-50 cm, disebut Sulfaquents; (ii) yang masih mentah dengan kandungan air
tinggi, yaitu nilai-n >0,7 dan kandungan fraksi liat >8%, disebut Hydraquents;
(iii) yang berasal dari bahan endapan sungai (fluvio = sungai), ditunjukkan
kandungan C-organik pada kedalaman 15-125 cm menurun secara tidak teratur, dan
mencapai 0,25% atau lebih pada kedalaman 125 cm, disebut Fluvaquents; (iv) yang
secara dominan mengalami penjenuhan endosaturasi, disebut Endoaquents; dan (v) yang
bertekstur pasir kasar, yakni pasir halus berlempung atau lebih kasar (psammos =
pasir), seperti pada beting pasir pantai, disebut Psammaquents. Dalam Aquepts
terdapat empat great grup, yaitu (i) yang mempunyai horison sulfurik pada kedalaman
0-50 cm, disebut Sulfaquepts; (ii) yang karena pengaruh air pasang dari air laut,
banyak mengandung garam natrium/sodium, Lahan Rawa Pasang Surut 52 atau mempunyai
horison salik atau berupa tanah salin, disebut Halaquepts; (iii) yang mempunyai
lapisan bahan organik cukup tebal di permukaan, yaitu
epipedon histik, disebut Humaquepts; dan (iv) yang secara dominan mengalami
penjenuhan endosaturasi, disebut Endoaquepts. Pada tingkat subgrup, masing-masing
great grup ditambahkan nama awalan, yang merupakan sifat murni subgrup itu sendiri,
disebut Typic , atau sifat tambahan ke great grup yang sama, atau great
grup/subordo tanah yang lain. Pada Aquents, sifat-sifat tambahan tersebut umumnya
berasal dari great grup yang sama, yaitu selain Histic , Sulfic ,dan Sodic , juga
terdapat Haplic , Thapto-Histic , dan Aeric . Pada Aquepts, sifat-sifat tambahan
dapat berasal dari great grup yang sama, seperti Histic dan Sulfic , Aeric , dan
Vertic , atau sifat tambahan dari great grup/subordo tanah yang lain, seperti
Salidic , Hydraquentic , dan Fiuvaquentic . Arti dari masing-masing sifat tambahan
ini adalah: .. Haplic : sifat minimum (haplos = sederhana) pada tanah marin yang
bukan Hydraquent, yaitu ditunjukkan oleh nilai-n 0,7 atau kurang, atau kandungan
liat <8%. .. Thapto-Histic: adanya lapisan bahan tanah organik tertimbun, tebalnya
20 cm atau lebih, pada kedalaman 0-100 cm dari permukaan tanah. .. Aeric : akibat
(proses) oksidasi pada kedalaman antara 25-75 cm, terdapat satu horison atau lebih
berwarna kekuningan (2,5Y; 5Y) atau kemerahan (10YR; 7,5YR), dengan kroma rendah
dan value tinggi. .. Vertic : adanya rekahan-rekahan (cracks) di dalam kedalaman 0-
125 cm, dan horison setebal 15 cm atau lebih yang menunjukkan adanya bidang-bidang
kilir (slickensides) atau memiliki agregat-agregat berbentuk baji (wedge shape). ..
Salidic : mempunyai horison salik pada kedalaman 0-75 cm dari permukaan. Horison
salik adalah ciri utama (subordo) Salids, dari tanah-tanah ordo Aridisols. ..
Hydraquentic: mempunyai nilai-n > 0,7 dan kandungan liat > 8%, pada satu atau lebih
lapisan, di antara kedalaman 20-50 cm dari permukaan. Kedua ciri tersebut merupakan
ciri utama great grup Hydraquents. .. Fluvaquentic: mempunyai kandungan C-organik
menurun secara tidak teratur di dalam kedalaman 25-125 cm; atau kandungan C-organik
pada kedalaman 125 cm sebesar 0,2% atau lebih. Kedua sifat tersebut merupakan ciri
diagnostik pada great grup Fluvaquents. Subagyo 53 Dalam kaitan ini, tanah sulfat
masam potensial, karena mempunyai pirit atau bahan sulfidik belum teroksidasi,
dalam Taksonomi Tanah diklasifikasi sebagai Entisols, termasuk great grup
Sulfaquents. Sedangkan tanah sulfat masam aktual, yang proses oksidasi bahan
sulfidiknya belum selesai dan ditunjukkan oleh pH tanah antara 3,5-4,0,
diklasifikasikan sebagai Entisols, yai tu masuk subgrup Sulfic Hydraquents, Sulfic
Fluvaquents, atau Sulfic Endoaquents. Sementara tanah sulfat masam aktual yang
oksidasi bahan sulfidiknya sudah selesai, yang ditunjukkan dengan pH tanah < 3,5,
diklasifikasikan sebagai lnceptisols dan termasuk Sulfaquepts. Tanah-tanah basah
yang relatif masih mentah pada wilayah rawa zona I, diklasifikasikan sebagai
Hydraquents, dapat termasuk sebagai Sulfic, Sodic, atau Thapto-Histic Hydraquents.
Tanah-tanah pada beting, atau bukit-bukit pasir pantai, apabila basah dengan
kondisi aquik, diklasifikasikan sebagai Psammaquents. Apabila kering tidak
mempunyai ciri-ciri kondisi aquik, dimasukkan sebagai Psamments, yakni Entisols
yang bertekstur pasir kasar. Apabila pasirnya didominasi oleh pasir kuarsa
(quartz), termasuk dalam (great grup) Quartzipsamments, dan jika bukan kuarsa
diklasifikasikan sebagai (great grup) Udipsamments, yaitu Psamments yang berada di
lingkungan iklim lembab/humid (udus = lembab/humid). Tanah-tanah tanggul sungai,
sebagian besar merupakan Fluvaquents, apabila mempunyai ciri kondisi aquik, dan
dapat termasuk (subgrup) Sulfic
Fluvaquents jika masih mempunyai bahan sulfidik relatif belum teroksidasi, atau
belum sempurna teroksidasi. Atau sebagai Thapto-Histic Fluvaquents, jika terdapat
bahan organik tertimbun di dalam tanahnya, atau sebagai Aeric Fluvaquents, jika
tidak mengandung bahan sulfidik, tetapi tanah bagian atasnya antara 25-75 cm, sudah
teroksidasi. Tanah tanggul sungai yang kering, dan tidak mempunyai ciri kondisi
aquik, diklasifikasikan sebagai (subordo) Fluvents. Lahan Rawa Pasang Surut 54
2.4.3. Klasifikasi tanah gambut Dalam sistem klasifikasi Taksonomi Tanah, tanah
gambut disebut Histosols, dan didefinisikan secara kuantitatif atau terukur,
mengikuti definisi ini, maka Histosols harus terdiri atas bahan tanah organik,
yaitu: .. kandungan C-organik minimal 12%, apabila tidak mengandung fraksi liat
(0%); atau .. kandungan C-organik minimal 18%, apabila mengandung fraksi liat 60%
atau lebih; atau .. jika kandungan fraksi liat antara 0-60%, maka kandungan C-
organik adalah 12% + (% kandungan liat dikalikan 0,1). Tingkat dekomposisi atau
pelapukan/perombakan bahan organik gambut dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu
fibrik (awal), hemik (tengahan), dan saprik (Ianjut), tergantung dari kandungan
serat (fibers) yang menyusunnya. .. Fibrik : gambut dengan tingkat dekomposisi
awal, yaitu kandungan serat tumbuhan lebih dari 75%, atau masih lebih dari tiga
perempat bagian dari volumenya. .. Hemik : gambut dengan tingkat dekomposisi
tengahan, yaitu kandungan serat antara 17-75%, atau tinggal antara 1/6-3/4 bagian
volumenya. .. Saprik : gambut dengan tingkat dekomposisi lanjut, yaitu kandungan
seratnya kurang dari 17%, atau tinggal kurang dari 1/6 bagian dari volumenya.
Gambut saprik biasanya berwarna kelabu sangat gelap sampai hitam. Sifat-sifatnya,
baik sifat fisik maupun kimianya, relatif sudah stabil. Batasan tanah gambut
sebagai Histosols, dengan demikian adalah: (i) terdiri atas bahan tanah organik;
dan (ii) jenuh air, selama 1 bulan atau lebih setiap tahun, dan (iii) ketebalannya
minimal 60 cm, apabila tersusun dari bahan fibrik, atau jika bobot-isinya kurang
dari 0,1 g/cm3; atau (iv) ketebalannya minimal 40 cm, apabila tersusun dari bahan
saprik, atau bahan hemik, atau jika terdiri atas bahan fibrik kandungan serat
jaringan kurang dari bagian volume, dan bobot-isinya harus 0,1 g/cm3 atau lebih.
Subagyo 55 Pada taksa, atau kategori lebih ke bawah yaitu tingkat subordo,
Histosols pada wilayah rawa berdasarkan tingkat dekomposisi bahan gambutnya dibagi
menjadi tiga subordo, yaitu Fibrists, Hemists, dan Saprists. Tanah gambut di
wilayah rawa pasang surut, mempunyai tanah dasar mineral berupa endapan marin yang
mengandung bahan sulfidik, sehingga keberadaan bahan sulfidik atau horison sulfurik
berikut kedalamannya dari permukaan tanah, termasuk dalam definisi tanah gambut,
dan ikut menentukan namanya. Pada Hemists dan Saprists, yang mempunyai bahan
sulfidik di dalam kedalaman 0-100 cm dari permukaan tanah, disebut great grup
Sulfihemists dan Sulfisaprists. Apabila mempunyai horison sulfurik di dalam
kedalaman 0-50 cm, disebut (great grup) Sulfohemists dan Sulfosaprists. Di dalam
definisi Histosols , tidak disebutkan keberadaan horison sulfurik di dalam
kedalaman 50-100 cm dari permukaan tanah, oleh karena di alam memang tidak
ditemukan horison sulfurik pada kedalaman tersebut. Apabila bahan sulfidik terletak
lebih dalam, yaitu pada
kedalaman lebih dari 100 cm (1 m), disebut Haplohemists dan Haplosaprists. Akan
halnya Fibrists, di daerah tropika, tampaknya belum ditemukan Fibrists yang
mempunyai bahan sulfidik di dalam kedalaman 0-100 cm, ataupun horison sulfurik di
dalam kedalaman 0-50 cm dari permukaan. Yang ditemukan umumnya mempunyai bahan
sulfidik yang terletak dalam, yaitu lebih dari 100 cm, dan oleh karena itu disebut
(great grup) Haplofibrists. Untuk menetapkan sifat-sifat Histosols, dimana suatu
sifat atau ciri tanah harus ditetapkan, misalnya apakah bahan gambutnya dari tipe
fibrik, hemik, atau saprik, ataukah ada sisipan tanah mineral, atau lapisan air di
dalam tanah gambut, digunakan penampang kontrol (control section) yaitu kedalaman
tanah gambut, dihitung dari permukaan tanah gambut, dimana sesuatu sifat harus
ditetapkan. Untuk tanah gambut, kedalaman penampang kontrol adalah 130 atau 160 cm,
dan terdiri atas tiga lapisan gambut, atau tier , yaitu tier permukaan, tie r bawah
(permukaan), dan tier dasar. Tier permukaan umumnya 0-30 cm, tetapi bila bahan
gambutnya dari lumut spaghnum, atau bobot isinya <0,1 g/cm3, ketebalan tier
permukaan adalah 0-60 cm. Tier bawah biasanya 60 cm, dan tier dasar umumnya 40 cm,
kecuali jika penampang kontrol berakhir pada lapisan yang keras/padat, yang disebut
lapisan atau kontak densik, lithik, atau paralith ik. Pada tingkat subgrup
Histosols, sebagaimana pada tanah mineral, masingmasing great grup ditambahkan nama
awalan, yang akhirnya membentuk nama dari subgrup masing-masing. Subgrup yang
mempunyai sifat murni, yaitu tidak Lahan Rawa Pasang Surut 56 mempunyai sifat atau
ciri-ciri great grup yang sama atau great grup/subordo yang lain, disebut Typic .
Yang mempunyai sifat tambahan dari great grup yang sama, atau great grup/subordo
tanah yang lain, dikatakan mempunyai sifat peralihan, dan terbawa dalam nama
subgrupnya. Sifat-sifat peralihan tersebut adalah Hydric , Terric , Hemic ,
Sapric , Fibric , Halic , dan Fluvaquentic , serta didefinisikan sebagai berikut:
Hydric : terdapat lapisan air di dalam penampang kontrol, di bawah tier permukaan,
atau umumnya di dalam kedalaman antara 30-130 cm dari permukaan tanah. Terric :
mempunyai satu lapisan mineral setebal 30 cm atau lebih, di dalam penampang
kontrol, di bawah tier permukaan, atau umumnya di dalam kedalaman antara 30-130 cm
dari permukaan tanah. Hemic : mempunyai satu atau lebih lapisan gambut dari bahan
hemik atau saprik, dengan ketebalan total 25 cm atau lebih di dalam penampang
kontrol, di bawah tier permukaan, atau umumnya di dalam kedalaman antara 30-130 cm
dari permukaan tanah. Sapric : mempunyai satu atau lebih lapisan gambut saprik,
dengan ketebalan total 25 cm atau lebih di dalam penampang kontrol, di bawah tier
permukaan, atau umumnya di dalam kedalaman antara 30-130 cm dari permukaan tanah.
Fibric : mempunyai satu atau lebih lapisan gambut fibrik, dengan ketebalan total 25
cm atau lebih di dalam penampang kontrol, di bawah tier permukaan, atau umumnya di
dalam kedalaman antara 30-130 cm dari permukaan tanah. Halic : mempunyai satu
lapisan setebal 30 cm atau lebih di dalam penampang kontrol, yang seluruh lapisan
tersebut, selama 6 bulan atau lebih, memiliki daya hantar listrik (electrical
conductivity) sebesar 30 dS/m atau lebih. Fluvaquentic: mempunyai satu lapisan
mineral setebal 5 cm atau lebih, atau dua atau lebih lapisan mineral dengan
sebarang ketebalan, di dalam penampang kontrol, di bawah tier permukaan, atau
umumnya di dalam
kedalaman antara 30-130 cm dari permukaan tanah. Tidak setiap great grup mempunyai
semua sifat peralihan tersebut, misalnya Sulfosaprists hanya mempunyai Typic saja;
sedangkan Sulfihemists Subagyo 57 dan Sulfisaprists hanya mempunyai Terric dan
Typic ; sementara Haplohemists memiliki 6 subgrup, yaitu Typic, Hydric, Terric,
Fibric, Sapric, dan Fluvaquenti c Haplohemists. Dikaitkan pada penyebaran tanah
gambut di lapangan, pada wilayah rawa zona I, umumnya ditemukan gambut topogen
dangkal (51-100 cm) sampai sedang (101-200 cm) pada cekungan-cekungan dangkal, yang
termasuk Typic atau Terric Sulfihemists, sesekali ditemukan Typic Sulfohemists.
Pada wilayah rawa zona II, juga terdapat gambut dangkal sampai sedang, pada
cekungancekungan pada (landform) rawa belakang. Gambut-gambut dangkal umumnya
merupakan gambut topogen yang termasuk Terric Sulfihemists atau Terric
Sulfisaprists, dan gambut sedang merupakan Typic Haplohemists dan Fluvaquentic
Haplohemists. Pada wilayah kubah gambut, seperti diketemukan di wilayah gambut di
lokasi PLG 1 juta hektar di Kalimantan Tengah, di bagian pinggir kubah gambut,
merupakan gambut dangkal topogen yang terutama terdiri atas Terric Sulfihemists dan
Terric Haplohemists, serta sebagian kecil Typic Haplohemists. Ke arah pusat kubah
gambut, ditemukan gambut sedang ombrogen, yang diklasifikasikan sebagai Typic
Haplohemists dan Terric Haplohemists, serta Terri c Sulfihemists. Selanjutnya
mencapai gambut-dalam (200-300 cm) dan gambutsangat dalam (>300 cm) bersifat
ombrogen, dan komposisinya sama, yaitu sebagian besar merupakan Typic Haplohemists
dan sebagian kecil Typic Haplofibrists. 2.5. TIPOLOGI LAHAN DAN SIFAT KIMIA TIPE-
TIPE LAHAN 2.5.1. Tipologi lahan Reklamasi lahan rawa pasang surut selalu diawali
dengan pembuatan saluran-saluran primer, sekunder, dan tersier, yang dimaksudkan
untuk mendrainase atau mengeringkan seluruh kawasan reklamasi agar tahapan
pemanfaatan lahan untuk pertanian dapat tercapai. Pada kenyataannya, sesudah
selesainya penggalian saluran-saluran tersebut, permukaan air tanah menjadi turun,
dan tanah terbebas dari kondisi jenuh air, dan setelah beberapa waktu mencapai
kondisi siap pakai sebagai lahan pertanian. Pada lahan petani, Lahan Rawa Pasang
Surut 58 mengikuti kondisi hidrotopografi permukaan lahan, ada bagian-bagian lahan
yang selalu terkena genangan setiap kali pasang naik, tetapi ada juga bagian lahan
yang tidak pernah terkena genangan pasang. Bagian yang rendah yang selalu tergenang
pasang harian, umumnya telah disawahkan. a. Klasifikasi tipologi lahan versi awal
Dalam awal pelaksanaan Proyek Penelitian Pertanian Lahan pasang Surut dan Rawa,
SWAMPS-II, sekitar tahun 1986-1987, (Proyek PPLPSR-Swamps II, 1993a), dirasakan
perlunya pembagian kelompok-kelompok tanah rawa yang kurang-Iebih sama sifat-
sifatnya, dan memiliki respons yang relatif sama pula terhadap perlakuan
pengelolaan tanah dan air. Hal ini diperlukan untuk perencanaan dan pengujian model
usahatani yang akan dikembangkan, dimana penelitiannya dilaksanakan melalui
pendekatan agroekosistem. Telah diketahui bahwa pada lahan rawa terdapat
agroekosistem tanah gambut dan tanah mineral. penggunaan sistem klasifikasi murni
seperti Taksonomi Tanah, untuk membedakan antara Sulfihemists dan Sulfohemists
serta Sulfaquents dan Sulfaquepts, yaitu tanah gambut dan tanah mineral yang bahan
sulfidiknya belum dan sudah teroksidasi, dirasakan rumit dan kurang praktis oleh
para praktisi dan peneliti agronomis yang menangani pengelolaan
tanah dan air, serta upaya peningkatan produktivitas lahan rawa pasang surut.
Berdasarkan pertimbangan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh dalam pemanfaatan dan
pengelolaan lahan rawa adalah: (a) kedalaman lapisan mengandung pirit/bahan
sulfidik, dan kondisinya masih tereduksi atau sudah mengalami proses oksidasi, (b)
ketebalan dan tingkat dekomposisi gambut serta kandungan hara gambut, (c) pengaruh
luapan pasang dari air salin/payau, (d) lama dan kedalaman genangan air banjir, dan
(e) keadaan lapisan tanah bawah, atau substratum, apakah endapan sungai, endapan
marin, atau pasir kuarsa, maka I P.G. Widjaja-Adhi, sekitar 1986-1987, mengusulkan
penggunaan klasifikasi tipe-tipe lahan, atau tipologi lahan pada wilayah rawa
pasang surut dan rawa lebak dengan persyaratan-persyaratan atau kriteria-
kriterianya seperti tercantum pada Tabel 2.4. Subagyo 59 Tabel 2.4. Tipologi lahan
di wilayah rawa pasang surut dan rawa lebak, versi tahun 1987 Tipologi lahan Simbol
Kriteria Lahan potensial P Kadar pirit <2% belum mengalami proses oksidasi,
terletak pada kedalaman >50 cm dari permukaan tanah, termauk tanah sulfat masam
potensial. Kendala produksi dan kemungkinan munculnya kendala tersebut diperkirakan
kecil. .. Sulfat masam potensial SM Lapisan pirit dengan kadar >2% tidak/belum
mengalami proses oksidasi, dan terletak lebih dangkal, <50 cm dari pemukaan tanah.
Lahan sulfat masam .. Sulfat masam aktual SM Memiliki horison sulfurik, dengan
jarosit/ brown layer, pH (H2O)<3,5. Lahan gambut .. Gambut-dangkal .. Gambut-sedang
.. Gambut-dalam .. Gambut-sangat dalam .. Lahan bergambut G-1 G-2 G-3 G-4 G-0
Terbentuk dari bahan gambut, yang (1) jenuh air dalam waktu lama, dan tersusun dari
bahan tanah organik, atau (2) tidak pernah jenuh air selama lebih dari beberapa
hari, dan kadar C-organik 20%. Ketebalan gambut pada G-1: 50-100 cm; G-2: 100-200
cm; G-3: 200-300 cm; G-4: >300 cm; dan G-0: <50 cm. Lahan salin, atau pantai Lahan
rawa di zona I: rawa pasang surut air salin/payau, dan dapat berupa lahan
potensial, sulfat masam, atau gambut. Mendapat intrusi air laut lebih dari 4 bulan
dalam setahun; kandungan Na dalam larutan tanah antara 8-15%.
Lahan lebak .. Lebak pematang .. Lebak tengahan .. Lebak dalam Lahan rawa di zona
III: rawa non-pasang surut, atau rawa lebak. Tanahnya berupa Aluvial, Aluvial
bergambut, atau gambut. Lama dan dalamnya genangan pada lebak pematang: <3 bulan,
<50 cm; lebak tengahan: 3-6 bulan, 50-100 cm; lebak dalam: >6 bulan, >100 cm.
Sumber: Proyek PLPSR-Swamps II (1993a) Widjaja-Adhi et al. (1992) b. Klasifikasi
tipologi lahan versi tahun 1995 Klasifikasi tipologi lahan seperti yang tercantum
pada Tabel 2.4 tersebut, digunakan antara tahun 1986-1999. Perubahan kecil yang
dibuat tahun 19981999 (Proyek PSLPSS, 1998; 1999), hanyalah membagi lahan potensial
(bahan sulfidik >50 cm), menjadi lahan potensial-1 (bahan sulfidik >100 cm) dan
lahan potensial-2 (bahan sulfidik 50-100 cm), serta penamaan lahan bergambut Lahan
Rawa Pasang Surut 60 menjadi lahan sulfat masam potensial bergambut, dengan
kedalaman lapisan gambut di permukaan tanah antara 25-50 cm. Sebelumnya Nugroho et
al. (1991) juga membagi lahan salin pantai ke dalam dua tipe lahan, yaitu
tanah/lahan agak salin, salin 1 (S1), yang dipengaruhi air asin/payau, dan
tanah/lahan salin, sal in 2 (S2), yang dipengaruhi air asin. Disebut tanah salin
apabila kadar garam >1.000 ppm, atau daya hantar listrik >1.400 dS/m, tetapi tidak
disebutkan kriteria atau batas pembagian kandungan garam, atau daya hantar listrik,
antara lahan agak salin dan lahan salin. Klasifikasi tipologi lahan seperti ini
relatif mudah dipahami, oleh karena itu secara luas telah digunakan untuk
klasifikasi tipologi lahan pertanian guna pengelolaan lahan rawa secara terpadu
oleh institusi dan berbagai proyek penelitian lahan rawa Badan Litbang Pertanian
Dep. Pertanian seperti, Balittra (Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa)
Banjarbaru, proyek SWAMPS-II (19851994), ISDP (Integrated Swamp Development
Project) (1994-2000), dan Proyek PSLPSS (Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan
Pasang Surut Sumatera Selatan) (1997-2000). Demikian juga berbagai tulisan dan
makalah tentang lahan rawa dari tahun 1985 sampai dengan sekitar tahun 2002, masih
banyak yang menggunakan istilah-istilah tipologi lahan tersebut. Namun dalam
perkembangannya, telah timbul berbagai kritikan tentang penamaan tipologi lahan
tersebut, yang seringkali menimbulkan kerancuan dan kesalahpengertian (Sudarsono,
1999). Yang dipersoalkan, sebenarnya hanyalah terletak pada istilah: lahan
potensial (P), untuk lahan pasang surut yang lapisan bahan sulfidiknya terdapat
pada kedalaman >50 cm vs sulfat masam potensial (SMP), untuk lahan pasang surut
yang lapisan bahan sulfidik terletak pada kedalaman <50 cm . Lahan potensial yang
dianggap berpotensi pertanian nomer 1-2 di lahan rawa dan SMP yang berpotensi
pertanian nomer 3, sama-sama menggunakan kata potensial . Untuk menanggapi kritikan
tersebut, Widjaja-Adhi (1995a), kemudian merevisi penamaan tipologi lahan 1985-1999
tersebut. Kini, semua lahan potensial dan sulfat masam potensial (SMP) yang sama-
sama memiliki bahan sulfidik/pirit yang belum mengalami proses oksidasi, disebut
Aluvial bersulfida (SMP) , dan pembagian selanjutnya didasarkan pada kedalaman
bahan sulfidik dari permukaan tanah. Sedangkan lahan sulfat masam aktual (SMA),
dimana bahan sulfidik telah mengalami proses oksidasi membentuk senyawa sulfat
(SO4), kini disebut Aluvial bersulfat (SMA) . Pembagian selanjutnya didasarkan
Subagyo 61 pada nilai pH <3,5 (horison sulfurik), atau pH >3,5 (bahan sulfidik
sedang teroksidasi) dan letak kedalamannya (<100 cm, atau >100 cm) dari permukaan
tanah. Perkembangan penamaan tipologi lahan dari versi awal (1985-1990), dan versi
terakhir yang diusulkan tahun 1995, disajikan pada Tabel 2.5. Tabel 2.5. Tipologi
lahan rawa pasang surut, versi tahun 1995 Klasifikasi tipologi lahan, 19921993
Klasifikasi tipologi lahan menurut Widjaja-Adhi, 1995 Simbol Kedalaman pirit/bahan
sulfidik Aluvial bersulfida sangat dalam SMP-3 >100 cm Lahan potensial Aluvial
bersulfida dalam SMP-2 50-100 cm Aluvial bersulfida dangkal SMP-1 <50 cm Aluvial
bersulfida dangkal bergambut (Histik sulfat masam) HSM/G-0 <50 cm; bergambut <50 cm
Aluvial bersulfat-1 SMA-1 <100 cm (pH-H2O >3,5) Aluvial bersulfat-2 SMA-2 <100 cm
(pH-H2O <3,5) Lahan sulfat masam Aluvial bersulat-3 SMA-3 >100 cm (pH-H2O <3,5)
Lahan salin Salinitas dapat terjadi pada berbagai tipologi pada tanah mineral S <50
cm; >50 cm Gambut-dangkal G-1 Ketebalan gambut 50-100 cm Gambut-tengahan G-2
Ketebalan gambut 101200 cm Gambut-dalam G-3 Ketebalan gambut 201300 cm Lahan gambut
Gambut-sangat dalam G-4 Ketebalan gambut >300 cm Sumber : Widjaja-Adhi et al.
(1992) dan Proyek PLPSR-Swamps II (1993b) Widjaja-Adhi (1995a) c. Usulan perbaikan
tipologi lahan versi tahun 1995 Pada uraian berikut akan diuraikan usulan-usulan
perbaikan pada tipologi lahan versi terakhir (Widjaja-Adhi, 1995a). Pengalaman di
lapangan di berbagai tempat pada tanah persawahan pasang surut yang sudah stabil
milik penduduk setempat seperti di daerah Muara Dadahup, dekat lokasi Proyek PLG 1
Juta hektar di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, menunjukkan bahwa kedalaman
lapisan bahan sulfidik pada sawah-sawah stabil tersebut umumnya terletak pada
kedalaman 100 cm atau lebih dari permukaan tanah. Lahan Rawa Pasang Surut 62
Sementara pada sawah-sawah tetap tersebut, yang produktivitasnya lebih rendah,
lapisan bahan sulfidik berada pada kedalaman antara 50-100 cm. Hal yang sama juga
ditemukan pada lahan persawahan pasang surut yang sudah stabil di Iokasi pemukiman
transmigrasi di Delta Upang dan Delta Telang, Kabupaten Musi Banyuasin di Sumatera
Setatan. Tampaknya lahan potensial yang kedalaman lapisan bahan sulfidik >50 cm,
merupakan lahan yang relatif terbaik , atau paling potensial , diantara lahan-Iahan
marginal di wilayah rawa pasang surut. Sedangkan lapisan bahan sulfidik yang
kedalamannya 100 cm atau lebih, bersifat lebih baik, atau lebih potensial lagi.
Akibat perbedaan potensinya, perlu dipisahkan antara lahan terbaik nomer1, Lahan
Potensial-1 (Pot-1), yang kedalaman lapisan bahan sulfidik >100 cm, dan lahan-lahan
terbaik nomer-2, Lahan Potensial-2 (Pot-2), yang kedalaman lapisan bahan
sulfidiknya antara 50-100 cm. Hal inipun sudah dikerjakan pada survei karakterisasi
lahan rawa di Sumatera Selatan (Proyek PSLPSS, 1998), dan sudah pula terliput dalam
tipologi lahan versi 1995, yang disebut Aluvial bersulfida sangat dalam, SMP-3, dan
Aluvial bersulfida dalam, SMP-2 (Tabel 2.4). Lahan dengan potensi pertanian agak
kurang, adalah lahan sulfat masam potensial, SMP, yang memiliki lapisan bahan
sulfidik relatif belum mengalami proses oksidasi, pada kedalaman <50 cm, atau
antara 0-50 cm dari permukaan tanah. Lahan ini masih memiliki lapisan gambut di
permukaan setebal <50 cm, disebut SMP-G (bergambut), atau HSM (Histik sulfat
masam), atau G-O (tanah bergambut), sebenarnya memiliki potensi kesuburan yang
lebih baik dari pada SMP yang lapisan gambutnya sudah habis, karena adanya lapisan
gambut yang ikut menyumbang tingkat kesuburan tanahnya. Sebenarnya hal yang sama
juga terjadi pada lahan potensial bergambut, atau Pot-G (bergambut), tetapi tipe
laha n ini pada umumnya tidak ditemukan lagi di lapangan, mungkin karena potensi
pertaniannya yang lebih baik, sudah digunakan secara intensif untuk persawahan atau
pertanian lahan kering, sehingga lapisan gambutnya sudah lenyap, atau tidak
terdeteksi lagi. Lahan yang potensi pertaniannya lebih rendah lagi akibat banyaknya
kendala, adalah lahan sulfat masam aktual, SMA. Ada dua tipe lahan SMA: pertama,
potensinya relatif lebih baik, menunjukkan lapisan bahan sulfidik pada kedalaman
<50 cm sedang mengalami proses oksidasi, tetapi relatif belum Subagyo 63
tuntas/habis, yang dicirikan oleh pH-H2O di lapangan antara 3,5-4,0, disebut SMA-1.
Kedua, dimana lapisan bahan sulfidik pada kedalaman yang sama, < 50 cm, relatif
sudah tuntas teroksidasi dan dicirikan oleh pH-H2O di lapangan < 3,5 , disebut SMA-
2. Secara teoritis, oksidasi pirit mulai terjadi saat penurunan air tanah telah
mencapai lapisan yang mengandung bahan sulfidik. Dengan semakin menurunnya
permukaan air tanah, udara yang mengandung oksigen akan masuk melalui pori-pori
atau rekahan-rekahan dalam tanah. Lingkungan pirit menjadi ter exposed dan pirit
lalu mengalami proses oksidasi. Karena udara masuk dari atmosfer di atas tanah,
maka proses oksidasi yang paling efektif akan terjadi di lapisan tanah bagian atas
(0-50 cm). Makin ke bawah, pada lapisan 50-100 cm, intensitas oksidasi pirit
diperkirakan makin berkurang, karena adanya gerakan naik air kapiler dari permukaan
air tanah di bawah kedalaman 100 cm. Inilah sebabnya mengapa definisi tanah
Sulfaquepts menyebutkan harus memiliki horison sulfurik (tebal 15 cm atau lebih,
dengan pH-H2O <3,5) yang batas atasnya berada pada kedalaman 0-50 cm dari permukaan
tanah. Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999) tidak pernah menyebutkan adanya
horison sulfurik pada kedalaman antara 50-100 cm, dan terlebih lagi pada kedalaman
>100 cm. Proses oksidasi pirit yang efektif, ditunjukkan oleh pH-H2O <3,5, pada
lapisan tanah lebih dari 1 m (100 cm), walaupun masih menjadi bahan perdebatan,
diperkirakan tidak dapat terjadi, ataupun kalau terjadi, tidak dapat berlangsung
lama. Alasannya yang pertama, diperlukan penurunan permukaan air tanah minimal 1,5
m atau 2 m untuk memicu terjadinya proses oksidasi pirit yang efektif, yang tidak
dipengaruhi gerakan naik air kapiler. Selain proses dif usi udara ke lapisan di
bawah 1 m yang berjarak relatif jauh, mungkin sangat sulit
mencapai penurunan permukaan air tanah sampai sedalam 1,5-2 m pada tanah rawa pada
(landform) rawa belakang, walaupun yang mempunyai tipe luapan C, dengan kedalaman
air tanah <0,5 m, dan tipe luapan D yang memiliki kedalaman air tanah >0,5 m.
Alasan kedua, seandainya dapat terjadi oksidasi cukup intensif pada musim kemarau
pada lapisan tanah sedalam lebih dari 1 m, akibat dari konduktivitas hidraulik
tanah rawa, baik yang vertikal maupun horisontal/lateral , yang relatif cepat, maka
proses oksidasi tidak dapat berlangsung lama, sementara ada kemungkinan hasil-hasil
oksidasi bahan sulfidik di tanah bagian atas <50 cm akan segera tercuci, yang pada
akhirnya justru akan membentuk Lahan Rawa Pasang Surut 64 lahan potensial-1. Atas
dasar alasan-alasan ini, diperkirakan bahwa lahan sulfat masam aktual-3, SMA-3,
yang memiliki pH-H2O <3,5 pada kedalaman > 100 cm, yang secara teoritis mungkin
saja terjadi, seperti halnya dengan lahan potensial bergambut (Pot-G), tetapi tidak
pernah dijumpai/ ditemukan di lapangan. Mengenai tipologi lahan pada tanah gambut,
yang membagi tanah gambut berdasarkan ketebalan bahan gambut, secara umum tidak ada
masalah. Walaupun disebutkan bahwa faktor kematangan, atau tingkat dekomposisi
bahan gambut, yakni fibrik, hemik, dan saprik; kandungan hara gambut, apakah
oligotrofik, mesotrofik, atau eutrofik; serta bahan tanah bawah, atau substratum ,
apakah endapan sungai, endapan marin, atau pasir kuarsa, cukup berpengaruh pada
pemanfaatan dan pengelolaan lahan rawa, tidak digunakan dalam kriteria tipe-tipe
lahan gambut. Oleh karena sebagian besar tanah rawa, kecuali sedikit tanah-tanah
tanggul sungai alam, merupakan endapan marin, maka tanah gambut yang terbentuk di
cekungan/depresi juga memiliki tanah dasar berupa endapan marin yang mengandung
bahan sulfidik. Kontribusi konsep horison dan sifat-sifat pencir i yang
didefinisikan secara kuantitatif untuk tanah rawa dari Taksonomi Tanah, baik tanah
mineral maupun tanah gambut, seperti bahan sulfidik, horison sulfurik , tanah salin
atau sifat sodik, dapat diaplikasikan pada kedua kelompok tanah tersebut, untuk
mempertajam pembagian tipologi lahan. Atas dasar uraian di atas, usulan perbaikan
klasifikasi tipologi lahan Widjaja-Adhi versi 1995, pada dasarnya adalah: 1. Tipe-
tipe lahan diurutkan mulai dari yang potensinya relatif terbaik, dan dipisahkan
antara tanah mineral dan tanah gambut. Lahan potensial-1 atau aluvial bersulfida
sangat dalam yang diberi simbol SMP-1 ditempatkan lebih dahulu daripada lahan
potensiai-2, ataualuvial bersulfat dalam, yang diberi simbol SMP-2. 2. Dalam
kelompok lahan sulfat masam potensial, SMP yang bergambut, diurutkan lebih dahulu,
dan dapat diberi simbol HSM (histik sulfat masam), SMP-G (bergambut), atau G-O
(tanah bergambut). Untuk menghormati versi aslinya, digunakan simbol HSM. Definisi
bergambut digunakan batasan Taksonomi Tanah, yaitu mempunyai epipedon histik dengan
ketebalan gambut 20-50 cm. Karena potensi pertaniannya relatif lebih rendah, SMP
Subagyo 65 yang biasa atau lapisan gambutnya tipis, 0-20 cm, disebut aluvial
bersulfida dangkal dan diberi simbol SMP-3. 3. Sesuai potensinya, untuk kelompok
lahan sulfat masam aktual, urutannya sudah benar, yaitu terlebih dulualuvial
bersulfat-1, yang diberi simbol SMA-1, dan diikuti aluvial bersulfat-2, yang diberi
simbol SMA-2. Berdasarkan alasan
yang telah diuraikan, untuk sementara sampai benar-benar dapat ditemukan di
lapangan, aluvial bersulfat-3, atau SMA-3, tidak dimunculkan dalam tabel tipologi
lahan. 4. Lahan salin, mengikuti pembagian Nugroho et al. (1991) dibagi menjadi
dua, yaitu lahan agak salin, S-1, yang dipengaruhi air salin/payau; dan lahan
salin, S-2, yang dipengaruhi air salin/air laut. Pembagiannya untuk sementara
menggunakan batasan tanah Halaquepts, dan lahan salin versi awal (19921993), yaitu
% kejenuhan natrium 8-15% untuk S-1, dan >15% untuk S-2. 5. Pembagian tipologi
lahan untuk tanah gambut relatif tetap sama, hanya diperbaiki dengan memasukkan
kriteria adanya horison sulfurik dan bahan sulfidik, dan letak kedalamannya dalam
bahan gambut. Sehingga apabila nantinya ditemukan horison sulfurik pada kedalaman
0-50 cm, ataupun bahan sulfidik/pirit pada kedalaman 0-100 cm, kendala yang mungkin
timbul jika dibuka untuk tujuan pertanian dapat diketahui sejak awal dari nama tipe
lahan gambut yang bersangkutan. 6. Semua nama tipe-tipe lahan diperlakukan sebagai
nama-diri (proper names), seperti nama provinsi: Jawa Barat, nama kota: Makassar,
nama orang: Soekarno, sehingga huruf awalnya menggunakan huruf kapital, Contohnya:
Lahan Potensial, Aluvial Bersulfat Dangkal, dan Sulfat Masam Aktual. Untuk tanah
gambut, digunakan nama diri hanya untuk huruf pertama dan disambung dengan garis
datar pendek untuk menyatakan tingkat kedalaman gambut, contoh Gambut-dangkal,
Gambut-sedang, Gambut-dalam, dan seterusnya. Pembagian tipologi lahan berdasarkan
usulan perbaikan yang diuraikan di atas, berikut klasifikasinya dalam Taksonomi
Tanah (Soil Survey Staff, 1999) disajikan pada Tabel 2.6. Lahan Rawa Pasang Surut
66 Tabel 2.6. Pembagian tipologi lahan dan klasifikasinya dalam Taksonomi Tanah
1999 Klasifikasi tipologi lahan, 1987-1995* Klasifikasi tipologi lahan, 1998-1999**
Klasifikasi tipologi lahan (2004) Kedalaman pirit/ bahan sulfidik# Taksonomi tanah
(1999;2003)@ Lahan potensial-1 (Pot-1) Aluvial bersulfida sangat dalam (SMP-1) 101-
150 cm (bahan sulfidik) pH >4,0 ENTISOLS Typic/Aeric/Sodic Hydraquents;
Fluvaquents; Endoaquents Lahan potensial Lahan potensial-2 (Pot-2) Aluvial
bersulfida dalam (SMP-2) 51-100 cm
(bahan sulfidik) pH >4,0 ENTISOLS Sulfic Hydraquents/ Fluvaquents/Endoa quents
Sulfat masam potensial (SMP) Aluvial bersulfida dangkal (SMP-3) 0-50 cm (bahan
sulfidik) pH >4,0 ENTISOLS Typic/Haplic/Thapto -Histic Sulfaquents Sulfat masam
potensial bergambut (SMP-G) (gambut 2050 cm) Aluvial Bersulfida dangkal bergambut
(histik sulfat masam: HSM) 0-50 cm (bahan sulfidik) ENTISOLS Histic Sulfaquents
Sulfat masam aktual-1 (SMA-1) Aluvial bersulfat-1 (SMA-1) 0-100 cm (pH 3,5-4,0)
(bahan sulfidik teroksidasi) ENTISOLS: Sulfic Hydraquents/ Fluvaquents/
INCEPTISOLS: Sulfic Endoaquepts Lahan sulfat masam Sulfat masam aktual-2 (SMA-2)
Aluvial bersulfat-2 (SMA-2) 50-150 cm (Lapisan tanah 050 cm, pH <3,5) INCEPTISOLS:
Typic Sulfaquepts, Hydraquentic Sulfaquepts, Salidic Sulfaquepts Lahan agak salin
(S-1) 0-150 cm (pH >6,0;ESP 815%)
ENTISOLS: Typic Hydraquents/Endoa quents Lahan salin Lahan salin (LS) Lahan salin
(S-2) 0-150 cm (pH >6,0;ESP >15%) ENTISOLS: Typic Hydraquents/Endoa quents Gambut-
dangkal (G-1) Tebal gambut 50-100 cm (0100 cm, tanpa bahan sulfidik) HISTOSOLS
Haplofibrists/Haploh emists/ Haplosaprists Lahan gambut Gambut-dangkal (50-100 cm
gambut) (GDK) Gambut-dangkal bersulfida (G-1sf) Tebal gambut 50-100 cm (0100 cm,
bahan sulfidik) HISTOSOLS: Typic/Terric Sulfihemists/Sulfisa prists Subagyo 67
Klasifikasi tipologi lahan, 1987-1995* Klasifikasi tipologi lahan, 1998-1999**
Klasifikasi tipologi lahan (2004) Kedalaman pirit/ bahan sulfidik# Taksonomi tanah
(1999;2003)@ Gambut-dangkal bersulfat (G-1sr) Tebal gambut 50-100 cm (0-50 cm,
horison sulfurik) HISTOSOLS: Typic Sulfohemists/Typic Sulfosaprists Gambut-sedang
(G2) Tebal gambut 101-200 cm (0200 cm, tanpa
bahan sulfidik) HISTOSOLS Haplofibrists/Haploh emists/ Haplosaprists Gambut-sedang
bersulfida (G-2sf) Tebal gambut 101-200 cm (0100 cm, bahan sulfidik) HISTOSOLS:
Typic/Terric Sulfihemists/Sulfisa prists Gambut-sedang (101-200 cm gambut) (GSD)
Gambut-sedang bersulfat (G-2sr) Tebal gambut 101-200 cm (050 cm, horison sulfurik)
HISTOSOLS: Typic Sulfohemists/Sulfos aprists Gambut-dalam (G3) Tebal gambut 201-300
cm (0300 cm, tanpa bahan sulfidik) HISTOSOLS Haplofibrists/Haploh emists/
Haplosaprists Gambut-dalam (201-300 cm gambut) (GDL) Gambut-dalam bersulfida (G-
3sf) Tebal gambut 201-300 cm (0100 cm, bahan sulfidik) HISTOSOLS: Typic/Terric
Sulfihemists/Sulfisa prists Gambut-sangat dalam ( >300 cm gambut) (GSDL) Gambut-
sangat dalam (G-4) Tebal gambut >300 cm (>300 cm, tanpa bahan sulfidik) HISTOSOLS
Haplofibrists/Haploh emists/ Haplosaprists *) Widjaja-Adhi et al. (1992) dan
PPPLPSR-Swamps Il (1993a; 1993b); ** Proyek PS LPSS (1998; 1999); @ Soil Survey
Staff (1999; 2003); # Kedalaman pirit/bahan sulfidik dihitu ng dari permukaan tanah
mineral; Ketebalan gambut dihitung dari permukaan tanah gambut. 68 Gambar 2.4.
Skema pembagian tipologi lahan rawa pasang surut, berdasarkan kedala man bahan
sulfidik/pirit, dan ketebalan gambut Lahan Rawa Pasang Surut Subagyo 69 2.5.2.
Sifat-sifat kimia tipe-tipe lahan Untuk dapat menguraikan sifat-sifat kimia dan
kesuburan tanah dari tanahtanah rawa pasang surut, telah dikumpulkan data hasil
analisis tanah dari 346 profil tanah mineral dan 378 profil tanah gambut, yang
diperoleh dari survei/inventarisasi tanah Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut
(P4S) dan kegiatan lainnya di Sumatera dan Kalimantan. Dari Sumatera, khususnya
berasal dari survei pelaksanaan P4S dan kegiatan lain di Sumatera Selatan, yaitu
Air Saleh (IPB, 1978a), Karangagung (IPB, 1978b), dan Karangagung Tengah (PPT,
1989). Dari provinsi Riau, berasal dari S. Reteh (IPB, 1969), S. Enok-Delt a S.
Retih (LPT, 1974), Bunut-Kuala Kampar (LPT, 1975), S. Rokan (LPT, 1976a), dan S.
Siak (LPT, 1976b). Sedangkan yang dari Kalimantan, sebagian besar dari survei dan
pemetaan tanah pulau-pulau delta di aliran bawah S. Kahayan, Kapuas, dan Barito, di
wilayah Proyek Pengembangan Gambut (PLG) satu juta hektar, 1996-1998 (Puslittanak,
1997; 1998a; 1998b), dan di Delta Pulau Petak (SRI, 1973), serta sebagian kecil
dari wilayah rawa di provinsi Kalimantan Timur . Uraian ringkas dari sifat-sifat
kimia tanah, yang diberikan berikut ini diurutkan dari tanah mineral, yaitu Tanah
Tanggul Sungai, Lahan Potensial-1, Lahan Potensiai-2, Sulfat Masam Potensial (SMP),
Sulfat Masam Aktual (SMA), dan Tanah Salin; serta Tanah Gambut, yakni Tanah Sulfat
Masam Potensial Bergambut, Gambut-dangkal, Gambut-sedang, Gambut-dalam, dan
Gambutsangat dalam. Data tekstur, pH-H2O, dan kandungan sifat/ hara merupakan
ratarata dari hasil analisis tanah semua profil yang tersedia dari masing-masing
tipologi lahan. Setiap sifat-sifat tanah dinilai tinggi, sedang, atau rendah
berdasarkan kriteria evaluasi standar yang biasa digunakan di Puslittanah dan
Agroklimat. Data sifat-sifat untuk tanah mineral disajikan pada Tabel 2.7,
sedangkan untuk tanah gambut pada Tabel 2.8. a. Tanah mineral Tanah tanggul sungai
Dalam keadaan alami, Tanah Tanggul Sungai alam (natural levee) seringkali mempunyai
lapisan gambut permukaan yang tipis, sekitar <20 cm, baik lapisan atas, sekitar 0-
50 cm, maupun lapisan bawah, antara 50-200 cm. Tekstur tanah relatif sama yaitu
liat berdebu (silty clay), atau lempung liat berdebu (s ilty clay loam). Tanah
tanggul sungai di Sumatera umumnya dicirikan oleh tekstur Lahan Rawa Pasang Surut
70 yang lebih bervariasi, dengan kandungan liat antara 10-65%, dan debu sekitar 25-
95%. Di Kalimantan, tekstur tanahnya relatif lebih homogen dan lebih halus, dengan
kandungan liat dan debu yang hampir sama yaitu antara 25-65%. Reaksi
tanah lapisan atas dan lapisan bawah sangat masam (very strongly acid) (pH 4,65,0),
dan cenderung sama atau sedikit meningkat di lapisan bawah. Kandungan garam yang
dinyatakan sebagai daya hantar listrik (electrical conductivity:EC), umumnya sangat
rendah (0,3-0,5 dS/m) sampai rendah (2,1-2,4 dS/m) di kedua lapisan (TabeI 2.7).
Kandungan bahan organik, yang dinyatakan sebagai C-organik, di lapisan atas sangat
tinggi (5,30-6,46%), dan di lapisan bawah sedang sampai tinggi (2,62-4,05%).
Kandungan nitrogen (N) rata-rata termasuk sedang (0,27-0,35%) di lapisan atas, dan
berkurang menjadi sangat rendah sampai rendah (0,10-0,16%) di lapisan bawah. Rasio
C/N rata-rata lapisan atas termasuk sedang sampai tinggi (15-18), dan di lapisan
bawah termasuk tinggi (18-19). Kandungan fosfat potensial (ekstraksi 25% HCI) dan
dinyatakan sebagai P2O5-HCI, termasuk sedang (27-28 mg/100 g tanah) di lapisan
atas, dan sangat rendah sampai sedang (12-28 mg/100 g tanah) di lapisan bawah.
Kandungan kalium potensial, K2O-HCI, sedang sampai tinggi (24-46 mg/100 g tanah) di
lapisan atas, dan menurun menjadi sedang (22-40 mg/100 g tanah) di lapisan bawah.
Kandungan fosfat tersedia (ekstraksi Bray-I) tergolong sedang (21,9-23,2 ppm) di
lapisan atas, dan cenderung menurun menjadi rendah sampai sedang (8,6-16,6 ppm) di
lapisan bawah. Jumlah basa-basa termasuk tinggi, baik di lapisan atas (14,2-24,6
cmol(+)/kg tanah) maupun lapisan bawah (17,8-22,4 cmol(+)/kg tanah). Basa dapat
tukar yang dominan di kedua lapisan tanah adalah Mg dan Na, masingmasing di lapisan
atas terdapat dalam jumlah tinggi sampai sangat tinggi (6,298,69 mol(+)/kg tanah),
dan sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali (3,08-8,64 cmol(+)/kg tanah) di
lapisan bawah. Kandungan Ca-dapat tukar umumnya bervariasi dari rendah sampai
sedang, baik di lapisan atas (4,49-6,50 cmol(+)/kg tanah) maupun di lapisan bawah
(4,69-6,67 cmol(+)/kg tanah). Sedangkan Kdapat tukar tergolong sedang (0,55-0,75
cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan sedikit meningkat (0,60-0,67 cmol(+)/kg
tanah) di lapisan bawahnya. Kapasitas tukar kation (KTK) tanah (KTK-pH 7), karena
adanya kontribusi dari bahan organik cenderung tinggi (26,1-27,5 cmol(+)/kg tanah)
di lapisan atas dan menurun menjadi sedang (21,4-22,3 cmol(+)/kg tanah) di lapisan
bawah. Kejenuhan basa (KB-pH 7), termasuk sedang sampai tinggi (44-73%) di lapisan
atas, dan relatif tetap tinggi (61-75%) di lapisan bawah. 71 Tabel 2.7. Sifat-sifat
tanah mineral pada lahan rawa pasang surut Tanah Tanggul S. Lahan Potensial-1 Lahan
Potensial-2 SM Potensial SM Aktual Laha n Salin Sifat-sifat tanah Pulau Lap. Atas
Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap.
Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Sum 45 19 43 13 - - Jumlah profil Kal 31 81 41 27 17 29 Sum
SiCL SiCL SiCL SiC SiC SiC SiC SiC Tekstur Kal SiC SiC SiC SiC SiC C SiC C SiC C
SiC SiC Sum 4,7 sm 4,6 sm 4,2 sms 4,1 sms 4,1 sms 3,6 sms 4,0 sms 3,8 sms pH H2O
(1:5) Kal 4,7 sm 5,0 sm 4,2 sms 4,2 sms 4,2 sms 3,7 sms 4,3 sms 3,5 me 3,6 sms 2,8
me 4,9 sm 4,7 sm Sum 0,3 sr 0,5 sr 0,3 sr 1,0 sr 0,5 sr 2,6 r Daya hantar listrik
(dS/m) Kal 2,4 r 2,1 r 0,3 sr 0,3 sr 1,7 sr 1,9 sr 7.253 sts 7.320 sts 5 ,686 sts
4,344 sts 13,994 sts 19,488 sts Sum 6,46 st 2,62 sd 16,18 sts 4,08 t 19,97 sts 5,57
st 20,54 sts 6,31 st Karbonorganik (%) Kal 5,30 st 4,05 t 8,66 st 4,48 t 11,69 st
5,54 st 9,16 st 6,61 st 10,93 st 7,51 st 5,89 st 5,32 st Sum 0,27 sd 0,10 sr 0,71 t
0,13 r 0,84 st 0,25 sd 0,70 t 0,17 r Nitrogen (%) Kal 0,35 sd 0,16 r 0,50 sd 0,17 r
0,58 t 0,18 r 0,59 t 0,28 sd 0,49 sd 0,22 sd 0
,33 sd 0,33 sd Sum 18 t 18 t 27 st 27 st 24 t 31 st 24 t 31 st Rasio C/N Kal 15 sd
19 t 17 t 21 t 22 t 30 st 16 t 30 st 25 t 39 st 25 t 21 t Sum 28 sd 12 sr 38 sd 7
sr 70 st 25 sd 58 t 20 r P2O5-HCl (mg/100 g tnh) Kal 27 sd 28 sd 50 t 17 r 133 st
25 sd 115 st 33 sd 45 t 17 r 45 t 35 sd Sum 24 sd 22 sd 22 sd 26 sd 39 sd 42 t 35
sd 60 t K2O-HCl (mg/100 g tnh) Kal 46 t 40 sd 24 sd 21 sd 28 sd 28 sd 32 sd 29 sd
81 st 73 st 103 st 113 st Sum 23,2 sd 8,6 r 63,9 st 16,2 sd 72,3 st 23,6 sd 32,3 t
17,0 sd P2O5-Bray-I (pp m) Kal 21,9 sd 16,6 sd 38,5 st 13,8 r 53,1 st 21,6 sd 17,7
sd 15,2 sd 19,3 sd 12,6 r 8,5 sr 9,5 sr Sum 14,2 t 17,8 t 8,5 sd 10,6 sd 16,7 t
15,3 t 21,7 t 28,3 t Jumlah basa [cmol(+)/kg tnh] Kal 24,6 t 22,4 t 7,2 sd 7,3 sd
7,0 sd 9,8 sd 16,7 t 18,0 t 29, 1 t 21,9 t 40,5 sts 59,0 sts Sum 4,49 r 4,69 r 2,77
r 2,96 r 6,63 sd 4,39 r 7,84 sd 7,95 sd Ca-dapat tukar [cmol(+)/kg tnh] Kal 6,50 sd
6,67 sd 2,74 r 2,18 r 1,57 sr 1,98 sr 5,11 r 4,61 r 4,12 r 3,49 r 6,95 sd 8,60 sd
Sum 6,29 t 8,05 st 4,63 t 5,59 t 8,36 st 8,69 st 10,89 st 14,19 st Mg-dapat tuka r
[cmol(+)/kg tnh] Kal 8,69 st 8,54 st 2,78 t 3,88 t 3,38 t 5,70 t 7,05 t 8,02 t 9 ,
25 st 8,30 st 15,35 sts 18,47 sts Sum 0,55 sd 0,60 sd 0,33 r 0,43 sd 0,52 sd 0,41
sd 0,64 sd 0,55 sd K-dapat tukar [cmol(+)/kg tnh] Kal 0,75 sd 0,67 sd 0,38 r 0,25 r
0,40 sd 0,29 r 0,56 sd 0,43 s d 0,89 t 0,37 r 2,07 st 1,79 st Sum 3,08 st 4,58 st
0,75 t 1,60 st 1,21 st 1,79 st 2,34 st 5,61 sts Na-dapat tuk ar [cmol(+)/kg tnh]
Kal 8,64 sts 6,51 sts 1,31 st 1,00 t 1,72 st 1,82 st 6,01 sts 4 ,91 st 14,87 sts
9,70 sts 16,11 sts 30,16 sts Sum 27,5 t 22,3 sd 35,9 t 25,7 t 61,9 st 32,3 t 62,5
st 32,7 t KTK-pH 7 [cmol(+)/kg tnh] Kal 26,1 t 21,4 sd 31,3 t 24,1 t 37,3 t 25,6 t
31,5 t 28,9 t 37 ,2 t 33,5 t 34,1 t 33,6 t Subagyo 72 Tanah Tanggul S. Lahan
Potensial-1 Lahan Potensial-2 SM Potensial SM Aktual Laha n Salin Sifat-sifat tanah
Pulau Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh
Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Sum 44 sd 61 t 23 r 38 sd 27 r 47 sd 35 r 84
st Kejenuhan basa (%) Kal 73 t 75 t 23 r 31 r 28 r 44 sd 49 sd 55 sd 42 sd 40 sd 86
st 86 st Sum 25 r 31 r 46 sd 55 sd 36 r 44 sd 32 r 30 r Kejenuhan Al (%) Kal 31 r
32 r 61 t 62 t 55 sd 60 sd 35 r 47 sd 71 t 67 t 7 sr 15 sr Sum 2,53 sd 1,03 sr 3,04
sd 3,16 sd 0,48 sr 2,88 sd 0,44 sr 2,31 r Pirit (%) Kal 1,44 r 1,40 r 1,00 sr 1,04
sr 0,77 sr 0,81 sr 1,12 sr 1,35 r 0,85 sr 1,07 sr 2,38 r 2,51 sd Catatan: Tekstur,
pH-H2O, dan masing-masing kandungan sifat/hara dihitung berdasarkan rat a-rata
(averages) dari semua profil yang dievaluasi. Tekstur: SiCL = lempung liat berdebu;
SiC = liat berdebu; C = liat. pH-H2O: me = masam ekstrim (pH:3,5 atau kurang); sms
= sangat masam sekali (pH:3 ,6-4,5); sm = sangat masam (very strongly acid)
(pH:4,6-5,0). Kandungan sifat/hara ; sr = sangat rendah; r = rendah; sd = sedang; t
= tinggi; st = sangat tinggi; dan sts = sangat tinggi sekali. Sum = Sumatera; Kal =
kalimantan. . Lahan Rawa Pasang Surut
Subagyo 73 Kejenuhan aluminium (AI), tergolong rendah (25-32%) baik di lapisan atas
maupun lapisan bawah. Sementara itu, kandungan pirit (FeS2) ternyata rendah sampai
sedang (1,44-2,53%) di lapisan atas, dan menjadi sangat rendah sampai rendah (1,03-
1,40%) di lapisan bawah. Lahan potensial-l Lahan potensial-1 mempunyai lapisan
gambut permukaan yang tipis, sekitar <24 cm. Tekstur tanah lapisan atas umumnya
liat berdebu, atau lempung liat berdebu, dan di lapisan bawahnya hampir semuanya
liat berdebu. Tekstur tanah lahan potensial-1 dari Kalimantan relatif lebih halus,
dengan kandungan li at relatif tinggi antara 35-90%. Sementara yang dari Sumatera
sedikit lebih kasar dengan kandungan liat lebih rendah, 20-70%, dan kandungan debu
tinggi, 3095%. Reaksi tanah sangat masam sekali (excessively acid) (pH 4,1-4,2),
baik di lapisan atas maupun lapisan bawah. Reaksi tanah cenderung lebih masam (pH
3,5 atau kurang) pada kedalaman 120-180 cm. Kandungan garam, yang dinyatakan
sebagai daya hantar listrik, sangat rendah (0,3-1,0 dS/m), di seluruh lapisan
(Tabel 2.7). Kandungan bahan organik, yang dinyatakan sebagai C-organik, lapisan
gambut tipis di permukaan sangat tinggi. Sementara kandungan bahan organik di
lapisan atas sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali (8,66-16,18%), dan menurun
menjadi tinggi (4,08-4,88%) di lapisan bawah. Kandungan bahan organik Lahan
Potensial-1 dari Kalimantan relatif lebih tinggi, bervariasi dari 1 sampai 17%,
sementara yang dari Sumatera bervariasi dari 1 sampai 8%. Kandungan N sedang sampai
tinggi (0,50-0,71%) di lapisan atas, dan menurun menjadi sangat rendah sampai
rendah (0,13-0,17%) di seluruh lapisan bawah. Rasio C/N bervariasi dari tinggi
sampai sangat tinggi (17-27), baik di lapisan a tas maupun lapisan bawah. Kandungan
fosfat potensial (P2O5-HCI 25%) di lapisan atas termasuk sedang sampai tinggi (38-
50 mg/100 g tanah), dan di lapisan bawah berkurang menjadi sangat rendah sampai
rendah (7-17 mg/100 g tanah). Kandungan K2O (HCI 25%) tergolong sedang (21-26
mg/100 g tanah) di seluruh lapisan. Kandungan P-tersedia, P2O5-Bray-I, termasuk
sangat tinggi (38,5-63,9 ppm) di Lahan Rawa Pasang Surut 74 lapisan atas, dan
menurun menjadi rendah sampai sedang (14-16 ppm) di lapisan bawah. Jumlah basa-basa
termasuk sedang, baik di lapisan atas (7,2-8,5 cmol(+)/kg tanah) maupun lapisan
bawah (7,3-10,6 cmol(+)/kg tanah). Basa dapat tukar yang dominan adalah Mg dan Na,
yang di seluruh lapisan masingmasing terdapat dalam jumlah tinggi (2,78-5,59
cmol(+)/kg tanah), dan tinggi sampai sangat tinggi (0,75-1,60 cmol(+)/kg tanah).
Kandungan Ca-dapat tukar di seluruh lapisan termasuk rendah (2,18-2,96 cmol(+)/kg
tanah). Kandungan K-dapat tukar rendah (0,33-0,38 cmol (+)/kg tanah) di lapisan
atas, dan rendah sampai sedang (0,25-0,43 cmol (+)/kg tanah) di lapisan bawah.
Kapasitas tukar kation tanah, karena kontribusi dari bahan organik, di dalam tanah
bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi, dengan rata-rata tergolong tinggi
(24,1-35,9 cmol(+)/kg tanah) di seluruh lapisan. KB bervariasi dari sangat rendah
sampai tinggi, dengan rata-rata di lapisan atas termasuk rendah (23%), dan di
lapisan bawah rendah sampai sedang (31-38%). Kejenuhan AI umumnya bervariasi dari
rendah sampai tinggi/sangat tinggi, dengan rata-rata sedang sampai tinggi (46-62%),
baik di lapisan atas maupun lapisan bawah. Kandungan pirit (FeS2) sangat rendah
(1,00-1,04%) sampai sedang (3,04-3,16%) di lapisan atas dan lapisan bawah.
Lahan potensial-2 Lahan potensial-2 memiliki lapisan gambut permukaan tipis,
sekitar 0-20/28 cm. Tekstur tanah Lahan Potensial-2 dari Sumatera sedikit lebih
kasar dan lebih homogen, dengan kandungan liat dan debu 30-70%, sementara yang dari
Kalimantan lebih bervariasi dan lebih halus, dengan kandungan liat antara 3580%,
dan debu 20-60%. Tetapi, semuanya tergolong bertekstur halus, yaitu liat berdebu di
lapisan atas, dan liat (clay) atau liat berdebu di lapisan bawah. Rea ksi tanah di
lapisan atas secara umum lebih tinggi daripada lapisan bawah, dengan rata-rata
sangat masam sekali, baik di lapisan atas (pH 4,1-4,2) maupun lapisan bawah (3,6-
3,7). Kandungan garam yang dinyatakan sebagai daya hantar listrik, tergolong sangat
rendah (0,5-1,7 dS/m) di lapisan atas, dan rendah (1,9-2,6 dS/m) di lapisan bawah
(Tabel 2.7). Subagyo 75 Kandungan bahan organik, dinyatakan sebagai % C-organik,
seluruh lapisan di luar lapisan gambut permukaan, umumnya bervariasi dari sedang
sampai sangat tinggi. Kandungan bahan organik Lahan Potensial-2 dari Kalimantan
sedikit lebih tinggi daripada lahan yang sama dari Sumatera. Ratarata kandungan
bahan organik tergolong sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali (11,69-19,97% C)
di lapisan atas, dan sangat tinggi (5,54-5,57% C) di lapisan bawah. Kandungan N di
lapisan atas termasuk tinggi sampai sangat tinggi (0,58-0,84%), dan di lapisan
bawah umumnya menurun menjadi rendah sampai sedang (0,18-0,25%). Rasio C/N lapisan
atas termasuk tinggi (22-24), dan di lapisan bawah sangat tinggi (30-31). Kandungan
fosfat potensial, (P2O5-HCI 25%), di lapisan atas termasuk sangat tinggi (70-133
mg/100 g tanah), dan menurun menjadi sedang (25 mg/100 g tanah) di lapisan bawah.
Kandungan kalium potensial, K2O (HCl 25%) sedang (28-39 mg/100 g tanah) di lapisan
atas, dan sedang sampai tinggi (28-42 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Kandungan
fosfat tersedia (P2O5-Bray I) rata-rata sangat tinggi (53,1-72,3 ppm) di lapisan
atas, dan menurun menjadi sedang (21,6-23,6 ppm) di lapisan bawah. Jumlah basa-basa
di seluruh lapisan tanah bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi, dan rata-
ratanya termasuk sedang sampai tinggi, baik di lapisan atas (7,0-16,7 cmol(+)/kg
tanah), maupun di lapisan bawah (9,8-15,3 cmol(+)/kg tanan). Basa dapatttukar yang
dominan, baik di lapisan atas maupun lapisan bawah adalah Mg dan Na. Kandungan Mg
dan Na berturut-turut masing-masing di seluruh lapisan adalah tinggi sampai sangat
tinggi (3,38-8,69 cmol(+)/kg tana h, dan sangat tinggi (1,21-1,82 cmol(+)/kg tanah.
Sebaliknya kandungan Ca-dapat tukar adalah sangat rendah sampai sedang (1,57-6,63
cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan menurun menjadi sangat rendah sampai rendah
(1,98-4,39 cmol (+)/kg tanah) di lapisan bawah. Kandungan K-dapat tukar tergolong
sedang (0,40-0,52 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan rendah sampai sedang
(0,290,41 cmol (+)/kg tanah) di lapisan bawah. Kapasitas tukar kation tanah ikut
terbawa tinggi sampai sangat tinggi (37,361,9 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas,
dan sedikit menurun menjadi tinggi (25,6 32,3 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah
karena adanya kandungan bahan organik sangat tinggi. Kejenuhan basa rendah (27-28%)
di lapisan atas, dan termasuk sedang (44-47%) di lapisan bawah. Lahan Rawa Pasang
Surut 76 Kejenuhan AI di semua lapisan umumnya sangat bervariasi dari sangat rendah
sampai sangat tinggi, dan rata-ratanya rendah sampai sedang (36-55%) di lapisan
atas, dan meningkat menjadi sedang (44-60%) di lapisan bawah. Kandungan pirit
(FeS2) sangat rendah (0,48-0,77%) di lapisan atas, dan sedikit
meningkat menjadi sangat rendah sampai sedang (0,81-2,88%) di lapisan bawah. Sulfat
masam potensial Data profil sulfat masam potensial (SMP) menunjukkan adanya lapisan
gambut permukaan yang tipis, sekitar 0-12/16 cm. Tekstur seluruh lapisan tanah
menunjukkan halus, yaitu tekstur tanah SMP dari Sumatera mempunyai kandungan liat
antara 40-75%, dengan debu 25-60%. Sementara kandungan liat SMP dari Kalimantan,
bervariasi antara 40-85%, dan debu 20-50%. Dengan demikian, tekstur tanah lapisan
atas termasuk liat berdebu, sedangkan lapisan bawahnya liat berdebu atau liat.
Reaksi tanah di seluruh lapisan bervariasi dari masam ekstrim (extremely acid) (pH
3,5 atau kurang) sampai sangat masam (very strongly acid) (pH 4,5-4,8), dan
cenderung makin masam di lapisan-Iapisan bawah. Reaksi tanah lapisan atas rata-rata
sangat masam sekali (pH 4,0-4,3), dan di lapisan bawah masam ekstrim sampai sangat
masam sekali (pH 3,5-3,8). Kandungan garam, dengan data terbatas yang hanya berasal
dari SMP Kalimantan, ditunjukkan oleh daya hantar listrik yang bervariasi dari
7.000-21.0 00 dS/m, dengan rata-rata termasuk sangat tinggi sekali (7.253-7.320
dS/m), baik di lapisan atas maupun lapisan bawah. Kemungkinan besar, contoh tanah
dari profil-profil yang diambil berasal dari lokasi di rawa zona I yang terkena
pasan g surut harian air asin/salin (Tabel 2.7). Kandungan bahan organik, tidak
termasuk lapisan gambut tipis di permukaan tanah bervariasi sedang sampai sangat
tinggi, baik pada SMP dari Sumatera maupun SMP dari Kalimantan. Rata-rata kandungan
bahan organik sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali (9,16-20,54%) di lapisan
atas, dan sangat tinggi (6,31-6,61%) di lapisan bawah. Kandungan N tinggi (0,59-
0,70%) di lapisan atas, dan menurun menjadi rendah sampai sedang (0,17-0,28%) di
lapisan bawah. Rasio C/N di seluruh lapisan tanah bervariasi dari tinggi sampai
sangat tinggi, dan cenderung meningkat di lapisan bawah. Rata-rata C/N tergolong
tinggi (16-24) di lapisan atas, dan sangat tinggi (30-31) di lapisan bawah. Subagyo
77 Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCI) pada SMP dari Sumatera bervariasi dari
rendah sampai sangat tinggi di lapisan atas, dan menurun menjadi rendah sampai
sedang di lapisan bawah. Rata-ratanya tinggi (58 mg/100 g tanah) di lapisan atas,
dan rendah (20 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Sementara kandungan P2O5 di
seluruh lapisan pada SMP dari Kalimantan, bervariasi dari rendah sampai sangat
tinggi. Oleh karena itu, rata-rata kandungan P2O5 potensial di lapisan atas
termasuk sangat tinggi (115 mg/100 g tanah), dan di lapisan bawah sedang (33 mg/100
g tanah). Kandungan K2O tergolong sedang (32-35 mg/100 g tanah) di lapisan atas,
dan sedang sampai tinggi (29-60 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Kandungan fosfat
tersedia (P2O5 Bray-I) tergolong sedang sampai tinggi (17,7-32,3 ppm) di lapisan
atas, dan sedang (15,2-17,0 ppm) di lapisan bawah. Jumlah basa, baik di lapisan
atas maupun lapisan bawah, tergolong tinggi (18,0-28,3 cmol(+)/kg tanah). Basa
dapatttukar yang dominan di seluruh lapisan tanah adalah Mg dan Na masing-masing
untuk Mg termasuk sangat tinggi (10,8914,19 cmol(+)/kg tanah, pada SMP dari
Sumatera, dan termasuk tinggi (7,05-8,02 cmol(+)/kg tanah) pada SMP dari
Kalimantan. Kandungan Na tergolong sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali, baik
di lapisan atas (2,34-6,01 cmol(+)/kg tanah) maupun di lapisan bawah (4,91-5,61
cmol(+)/kg tanah). Sebaliknya kandungan Ca-dapat tukar rendah sampai sedang, baik
di lapisan atas (5,11-7,84 cmol(+)/kg tanah), maupun lapisan bawah (4,61-7,95
cmol(+)/kg tanah). Sementara kandungan K-dapat tukar, tergolong sedang (0,43-0,64
cmol(+)/kg tanah) di seluruh lapisan.
Kapasitar tukar kation tanah, menunjukkan nilai tinggi sampai sangat tinggi (31,5-
62,5 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan tinggi (28,9-32,7 cmol(+)/kg tanah) di
lapisan bawah karena pengaruh kandungan bahan organik yang sangat tinggi. Kejenuhan
basa tergolong rendah sampai sedang (35-49%) di lapisan atas, dan sedang sampai
sangat tinggi (55-84%) di lapisan bawah. Kejenuhan AI di semua lapisan umumnya
sangat bervariasi dari sangat rendah sampai sangat tinggi, dan rata-ratanya rendah
(32-35%) di lapisan atas, dan rendah sampai sedang (30-47%) di lapisan bawah.
Kandungan pirit (FeS2) sangat rendah (0,44-1,12%) di lapisan atas, dan rendah
(1,35-2,31%) di lapisan bawah. Lahan Rawa Pasang Surut 78 Sulfat masam aktual Data
Sulfat Masam Aktual (SMA) yang tersedia, hanya berasal dari lahan rawa di
Kalimantan. Sementara data analisis yang berasal dari Sumatera, tidak menyebutkan
adanya SMA karena data relatif berumur tua, 1974-1978. Tanah mempunyai lapisan
gambut permukaan yang tipis, sekitar 0-12 cm. Seluruh lapisan tanah memiliki
tekstur halus, dengan kandungan fraksi liat 35-70%, dan debu 25-60%, sehingga
tekstur tanah lapisan atas tergolong liat berdebu, dan di lapisan bawah liat.
Lapisan atas ber-reaksi sangat masam sekali (pH 3,6), sementara lapisan bawah
antara kedalaman 20-120 cm menunjukkan pH antara 1,8-3,5, dengan pH rata-rata 2,8,
sehingga tergolong ber-reaksi masam ekstrim. Kandungan garam, yang dinyatakan
sebagai daya hantar listrik tergolong sangat tinggi sekali (4.344-5.686 dS/m) baik
di lapisan atas maupun di lapisan bawah (Tabel 2.7). Kandungan bahan organik di
seluruh lapisan bervariasi tinggi sampai sangat tinggi, sehingga rata-ratanya
tergolong sangat tinggi (7,51-10,93%). Kandungan N rata-rata tergolong sedang
(0,22-0,49%) di seluruh lapisan, dan cenderung menurun di lapisan-Iapisan bawah.
Rasio C/N bervariasi dari tinggi sampai sangat tinggi, dan bertambah besar di
lapisan bawah. Karena itu rasio C/N rata-rata tergolong tinggi (25) di lapisan
atas, dan sangat tinggi (39) di lapisan bawah. Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCI
25%) di lapisan atas bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi, dan rata-ratanya
termasuk tinggi (45 mg/100 g tanah). Kandungan P2O5 lapisan bawah, sebagian besar
sangat rendah sampai sedang, sehingga rata-ratanya rendah (17 mg/100 g tanah).
Sebaliknya kandungan K2O potensial (HCl 25%), sebagian besar tinggi sampai sangat
tinggi di semua lapisan, sehingga rata-ratanya tergolong sangat tinggi (73-81
mg/100 g tanah). Kandungan fosfat tersedia (P Bray-I) di seluruh lapisan sangat
rendah sampai sedang, dan cenderung semakin rendah ke lapisan bawah. Oleh karena
itu, rata-ratanya termasuk sedang (19,3 ppm) di lapisan atas, dan rendah (12,6 ppm)
di lapisan bawah. Jumlah basa-basa di semua lapisan sampai sedalam 180 cm sangat
bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi sekali, dan cenderung menurun di
lapisan bawah. Karena itu, rata-rata jumlah basa, baik di lapisan atas maupun
lapisan bawah tergolong tinggi (21,9-29,1 cmol(+)/kg tanah). Seperti pada tipe
Subagyo 79 tipe lahan sebelumnya, basa dapatttukar yang dominan di seluruh lapisan
adalah Mg dan Na. Mg terdapat dalam jumlah tinggi sampai sangat tinggi sekali, dan
rata-ratanya sangat tinggi (8,30-9,25 cmol(+)/kg tanah) di semua tapisan. Demikian
juga Na terdapat dalam jumlah tinggi sampai sangat tinggi sekali di seluruh
lapisan, sehingga rata-ratanya termasuk sangat tinggi sekali (9,70-14,87 cmol(+)/kg
tanah). Sebaliknya kandungan Ca-dapat tukar umumnya bervariasi dari sangat rendah
sampai sedang, dan rata-ratanya tergolong rendah (3,49-4,12 cmol(+)/kg tanah) di
lapisan atas dan lapisan bawah. Sedangkan K-dapat tukar tergolong tinggi (0,89
cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan rendah (0,37
cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah. Kapasitas tukar kation tanah bervariasi dari
tinggi sampai sangat tinggi, dan rata-ratanya tergolong tinggi (33,5-37,2
cmol(+)/kg tanah) di seluruh lapisa n karena kontribusi dari bahan organik.
Kejenuhan basa di seluruh lapisan tanah sangat bervariasi, sebagian sangat rendah,
sebagian rendah sampai sedang, dan sebagian lagi sangat tinggi, dengan rata-rata
sedang (40-42%), baik di lapisan atas maupun lapisan bawah. Kejenuhan AI di semua
lapisan umumnya bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi, sehingga rata-ratanya
tinggi (67-71%) baik di lapisan atas maupun lapisan bawah. Kandungan pirit (FeS2)
menunjukkan rata-rata sangat rendah (0,85-1,07%) di kedua lapisan tanah. Lahan
salin Data lahan salin yang tersedia hanya diperoleh dari lahan rawa Kalimantan.
Tanah mempunyai lapisan gambut permukaan tipis sekitar 0-12 cm. Tekstur di seluruh
lapisan tanah tergolong halus. Kandungan liat bervariasi antara 30-75%, dan debu
25-95%, sehingga rata-rata tekstur lapisan atas, 0-50 cm, dan lapisan bawah,
sekitar 50-200 cm, tergolong liat berdebu. Reaksi tanah seluruh lapisan bervariasi
dari masam ekstrim sampai dengan netral, rata-rata tergolong sangat masam (very
strongly acid) (pH 4,7-4,9), baik di lapisan atas maupun di lapisan bawah. Data
daya hantar listrik, yang merupakan refleksi kandungan garam di seluruh lapisan,
rata-ratanya sangat tinggi sekali (13.99419.488 dS/m) (Tabel 2.7). Kandungan bahan
organik, dinyatakan sebagai % C-organik, beragam dari sedang sampai sangat tinggi
sekali, dan cenderung meningkat di antara Lahan Rawa Pasang Surut 80 kedalaman 80-
160 cm. Rata-rata kandungan bahan organik sangat tinggi (5,325,89%) di seluruh
lapisan, kecuali lapisan gambut di permukaan. Kandungan N di seluruh lapisan
bervariasi rendah sampai sedang, sehingga rata-ratanya sedang (0,33%). Rasio C/N
sangat beragam di semua lapisan dan meningkat di lapisan bawah, rata-ratanya
tergolong tinggi (C/N:21-25) pada seluruh lapisan. Kandungan P2O5-HCI secara
dominan bervariasi antara rendah sampai sangat tinggi dan cenderung menurun di
lapisan bawah. Rata-rata kandungan P2O5-HCI termasuk tinggi (45 mg/100 g tanah) di
lapisan atas, dan sedang (35 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Kandungan K2O
umumnya bervariasi sangat tinggi di seluruh lapisan, sehingga rata-ratanya sangat
tinggi (103-113 mg/100 g tanah). Sebaliknya, kandungan P-tersedia bervariasi sangat
rendah sampai rendah di seluruh lapisan, sehingga rata-ratanya tergolong sangat
rendah (8,59,5 ppm). Jumlah basa-basa di semua lapisan sampai sedalam 190 cm
bervariasi tinggi sampai sangat tinggi sekali, sehingga rata-ratanya di lapisan
atas dan lapisan bawah tergolong sangat tinggi sekali (40,5-59,0 cmol(+)/kg tanah).
Sebagaimana tipologi lahan lainnya, basa-basa dapat tukar yang dominan adalah Mg
dan Na. Mg-dapat tukar bervariasi dari tinggi sampai sangat tinggi sekali, da n
rata-ratanya sangat tinggi sekali (15,35-18,47-cmol(+)/kg tanah) di seluruh
lapisan. Kandungan Na-dapat tukar, bervariasi sangat tinggi sekali di semua lapisan
tanah, sehingga rata-ratanya juga sangat tinggi sekali (16,11-30,16 cmol(+)/kg
tanah). Kandungan Ca-dapat tukar bervariasi dari rendah sampai tinggi, dan rata-
ratanya termasuk sedang (6,95-8,60 cmol(+)/kg tanah), baik di lapisan atas maupun
lapisan bawah. Sementara K-dapat tukar bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi
sekali, dan rata-ratanya tergolong sangat tinggi (1,79-2,07 cmol(+)/kg tanah) di
seluruh lapisan. Kapasitas tukar kation sebagian besar tanah bervariasi dari sedang
sampai sangat tinggi, oleh karena itu, rata-ratanya termasuk tinggi (33,6-34,1
cmol(+)/ kg
tanah). Kejenuhan basa seluruh lapisan bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi,
dan rata-ratanya adalah sangat tinggi (86%). Potensi kesuburan alami tanah
sebenarnya secara relatif termasuk sedang, namun kandungan garam yang terlalu
tinggi merupakan kendala utama yang dapat menurunkan kesuburan tanah, sehingga
potensi kesuburan tanahnya dikategorikan sangat rendah sampai rendah untuk usaha
pertanian. Kejenuhan AI secara dominan termasuk sangat rendah sampai rendah,
sehingga rata-ratanya termasuk sangat rendah (7-15%), baik di lapisan atas Subagyo
81 maupun lapisan bawah. Sementara itu, kandungan pirit (FeS2) tergolong rendah
(2,38%) di lapisan atas, dan sedang (2,51%) di lapisan bawah. Sulfat masam
potensial bergambut Dari data yang ada, ketebalan gambut di permukaan bervariasi
antara 3845 cm. Lapisan gambut permukaan ini dapat berupa bahan organik murni, atau
campuran antara bahan tanah mineral, khususnya fraksi liat dan debu, dan bahan
organik. Kandungan fraksi liat dan debu umumnya cukup tinggi, masingmasing 35-80%
dan 20-92%, sehingga tekstur tanahnya termasuk liat berdebu. Reaksi tanah
bervariasi antara masam ekstrim sampai sangat masam, dan rataratany a tergolong
sangat masam sekali (pH 3,9). Kandungan garam-garam larut, yang dinyatakan sebagai
daya hantar listrik tercatat sangat rendah (0,1-2,0 dS/m ) (Tabel 2.8). Kandungan
bahan organik, dinyatakan sebagai % C-organik, lapisan atas gambut ini umumnya
sangat tinggi sekali (26,03-34,17%). Kandungan N sangat tinggi (0,98-1,09%), dan
rasio C/N juga sangat tinggi (25-31). Rata-rata kandungan fosfat potensial (P2O5-
HCI 25%) tergolong sedang (38-94 mg/100 g tanah). Kandungan K2O potensial (HCI 25%)
rendah sampai sedang (15-27 mg/100 g tanah). Kandungan fosfat tersedia (P2O5-Bray
I) bervariasi dari tinggi sampai sangat tinggi, sehingga rata-rata P-tersedia sanga
t tinggi (38,8-65,1 mg/100 g tanah). Jumlah basa pada lapisan gambut permukaan
rata-rata sedang sampai tinggi (6,9-23,9 cmol(+)/kg tanah), dengan kandungan Mg dan
Na-dapat tukar dominan. Mg bervariasi tinggi sampai sangat tinggi (3,60-11,70
cmol(+)/kg tanah), dan Na sedang sampai sangat tinggi (0,33-2,40 cmol(+)/kg tanah).
Sebaliknya kandungan Ca dan K-dapat tukar lebih rendah, yaitu Ca bervariasi rendah
sampai sedang (2,79-9,20 cmol(+)/kg tanah), dan K 0,20-0,48 cmol(+)/kg tanah.
Kapasitas tukar kation gambut umumnya sangat tinggi (65,0-88,1 cmol(+)/kg tanah),
dengan kejenuhan basa SMP bergambut dari Sumatera termasuk sedang (36%), sementara
yang berasal dari Kalimantan termasuk rendah (24%). Kejenuhan AI bervariasi dari
rendah sampai tinggi (30-69%), sementara kandungan pint (FeS2) pada lapisan gambut
permukaan ini termasuk sangat rendah (0,33-0,46%). 82 Tabel 2.8. Sifat-sifat tanah
gambut pada lahan pasang surut SMP bergambut Gambut dangkal Gambut sedang Gambut
dalam Gambut sangat dalam Sifa t-sifat tanah Pulau Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas
Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Sum 62 49 56 25
12 Jumlah profil Kal 23 56 35 9 19 Sum SiC SiC C SiC SiC Tekstur Kal hC-SiC hC hC
hC hC Sum 3,9 sms 3,8 sms 4,1 sms 4,0 sms 4,0 sms 3,8 sms 3,6 sms 3,7 sms 3,6 sms
3,4 me pH H2O (1:5)
Kal 3,9 sms 3,8 sms 3,8 sms 3,8 sms 4,0 sms 3,6 sms 3,6 sms 3,6 sms 3,2 me 3,4 m e
Sum 0,3 sr 2,0 sr 0,4 sr 1,3 sr 0,5 sr 1,6 sr 0,2 sr 0,5 sr 0,2 sr 0,8 sr Daya h
antar listrik (dS/m) Kal 0,1 sr 0,6 sr 0,8 sr 1,1 sr 0,8 sr Sum 34,17 sts 5,71 st
41,98 sts 29,87 sts 47,20 sts 32,57 sts 56,98 sts 53,09 st s 56,39 sts 44,70 sts
Karbon-organik (%) Kal 26,03 sts 7,87 st 38,86 sts 28,70 sts 36,28 sts 31,36 sts
45,39 sts 35,1 5 sts 55,49 sts 47,23 sts Sum 0,98 st 0,11 r 1,50 st 1,21 st 1,78 st
1,10 st 1,94 st 1,40 st 2,02 st 1,16 st Nitrogen (%) Kal 1,09 st 0,21 sd 1,34 st
0,74 t 1,46 st 0,72 t 1,54 st 0,95 st 1,43 st 1,06 s t Sum 31 st 25 t 31 st 30 st
28 st 37 st 30 st 41 st 29 st 40 st Rasio C/N Kal 25 st 32 st 31 st 40 st 29 st 46
st 31 st 41 st 45 st 48 st Sum 38 sd 8 sr 50 t 16 r 42 t 15 r 65 st 20 r 41 t 9 sr
P2O5-HCl (mg/100 g tnh) Kal 94 st 24 sd 46 t 31 sd 58 t 16 r 49 t 34 sd 22 sd 23 sd
Sum 27 sd 29 sd 33 sd 16 r 21 sd 19 r 59 t 33 sd 54 r 26 sd K2O-HCl (mg/100 g tnh)
Kal 15 r 17 r 19 r 14 r 24 sd 14 r 41 t 21 sd 19 r 12 r Sum 38,8 st 13,4 r 19,4 sd
17,9 sd 13,2 r 23,4 sd 11,2 r 5,3 sr P2O5-Bray-I (ppm ) Kal 65,1 st 13,2 r 71,8 st
30,7 t 32,3 t 18,6 sd 57,5 st 41,5 st 34,3 t 25,9 sd Sum 23,9 t 17,7 t 29,7 t 21,8
t 51,5 sts 39,8 st 22,7 t 21,7 t 14,8 t 9,0 sd Jum lah basa [cmol(+)/kg tnh] Kal
6,9 sd 8,5 sd 9,0 sd 8,1 sd 7,8 sd 5,5 r 4,4 r 4,4 r 3,4 r 4,1 r Sum 9,20 sd 6,13
sd 12,03 t 7,20 sd 15,38 t 12,23 t 4,79 r 6,05 sd 8,09 sd 2,24 r Ca-dapat tukar
[cmol(+)/kg tnh] Kal 2,79 r 2,08 r 3,70 r 2,46 r 5,18 r 2,22 r 2,06 r 1,46 sr 1, 07
sr 1,71 sr Sum 11,70 st 8,83 st 14,21 st 11,64 st 25,60 sts 16,36 sts 7,19 t 7,87 t
4,66 t 5,34 t Mg-dapat tukar [cmol(+)/kg tnh] Kal 3,60 t 5,74 t 3,73 t 4,26 t 2,10
t 2,70 t 1,86 sd 2,37 t 1, 86 sd 1,87 sd Sum 0,48 sd 0,41 sd 0,76 sd 0,60 sd 0,92 t
0,87 t 1,16 st 0,68sd 1,24 st 0,47 sd K-dapat tukar [cmol(+)/kg tnh] Kal 0,20 r
0,18 r 0,61 sd 0,28 r 0,25 r 0,16 r 0,21 r 0,20 r 0, 26 r 0,15 r Sum 2,40 st 2,60
st 2,68 st 2,46 st 5,99 sts 7,80 sts 1,97 st 3,28 st 1,79 st 0, 90 t Na-dapat tukar
[cmol(+)/kg tnh] Kal 0,33 sd 0,58 sd 0,94 t 1,13 st 0,26 r 0,42 sd 0,24 r 0,32 s d
0,19 r 0,41 sd Lahan Rawa Pasang Surut 83 SMP bergambut Gambut dangkal Gambut
sedang Gambut dalam Gambut sangat dalam Sifa t-sifat tanah Pulau Lap. Atas Lap. Bwh
Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Sum
88,1 st 32,2 t 100,7 sts 72,9 st 120,4 sts 84,4 st 115,5 sts 123,9 sts 128,9 sts
134,2 sts KTK-pH 7 [cmol(+)/kg tnh] Kal 65,0 st 34,5 t 91,2 st 84,5 st 78,8 st 73,2
st 104,1 sts 73 ,6 st 121,5 sts 113,2 sts Sum 36 sd 54 sd 37 sd 40 sd 43 sd 57 sd
15 sr 18 sr 10 sr 15 sr Kejenuhan basa (%) Kal 24 sr 25 r 15 sr 12 sr 14 sr 11 sr 5
sr 21 r 3 sr 5 sr Sum 30 r 37 r 23 r 33 r 7 sr 14 sr 10 sr 22 r Kejenuhan Al (%)
Kal 69 t 66 t 60 sd 73 t 45 sd 68 t 59 sd 56 sd Sum 0,46 sr 1,87 r 1,20 sr 0,93 sr
0,64 sr 0,89 sr 0,26 sr 1,07 sr 0,27 sr 0,60 sr Pirit (%) Kal 0,33 sr 0,76 sr
Catatan: Tekstur, pH-H2O, dan masing-masing kandungan sifat/hara dihitung
berdasarkan rat a-rata (averages) dari semua profil yang dievaluasi. Tekstur: SiC =
liat berdebu; C = liat; hC = liat berat (heavy clay). pH-H2O: me = masam ekstrim
(extremely acid) (pH:3,5 atau kurang); sms = sangat m asam sekali (excessively
acid) (pH:3,6-4,5). Kandungan sifat/hara ; sr = sangat rendah; r = rendah; sd =
sedang; t = tinggi; st = sangat tinggi; dan sts = sangat tinggi sekali. Sum =
Sumatera; Kal = kalimantan. Subagyo Lahan Rawa Pasang Surut 84 Di bawah lapisan
gambut permukaan terdapat tanah mineral dengan kedalaman bervariasi antara 40-175
cm. Kandungan fraksi liat tanah mineral bawah bervariasi antara 18-80%, dan debu
20-95%, sehingga tekstur tanahnya termasuk liat berdebu sampai liat (berat) (heavy
clay). Reaksi tanah bevariasi antara masam ekstrim sampai sangat masam, dan rata-
ratanya sangat masam sekali (pH 3,8). Kandungan garam, dinyatakan sebagai daya
hantar listrik termasuk sangat rendah (0,6-2,0 dS/m). Kandungan bahan organik
bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi, dengan rata-rata sangat tinggi (5,71-
7,87%). Kandungan N rata-rata rendah sampai sedang (0,11-0,21%). Rasio C/N umumnya
beragam tinggi sampai sangat tinggi (25-32). Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCI)
pada sebagian besar contoh dari Sumatera bervariasi dari sangat rendah sampai
rendah, dengan rata-rata sangat rendah (8 mg/100 g tanah). Sementara P2O5 (HCI)
dari Kalimantan, umumnya termasuk sedang (24 mg/100 g tanah). Kandungan K2O
potensial, pada contoh dari Sumatera tergolong sedang (29 mg/100 g tanah),
sementara yang dari Kalimantan tergolong rendah (17 mg/100 g tanah). Kandungan
fosfat tersedia (P2O5-Bray-I) umumnya termasuk rendah (13,2-13,4 ppm). Jumlah basa
pada SMP bergambut dari Sumatera, sebagian besar bervariasi dari rendah sampai
sangat tinggi sekali, dengan rata-rata termasuk tinggi (17,7 cmol(+)/kg tanah).
Sedangkan jumlah basa tanah dari Kalimantan, umumnya tergolong sedang (8,5
cmol(+)/kg tanah). Basa dapat tukar yang relatif dominan adalah Mg dan Na, masing-
masing bervariasi dari tinggi sampai sangat tinggi (5,74-8,83 cmol(+)/kg tanah),
dan sedang sampai sangat tinggi (0,58-2,60 cmol(+)/kg tanah). Ca dan K-dapat tukar
masing-masing tergolong rendah sampai sedang, yaitu 2,08-6,13 cmol(+)/kg tanah
untuk C-dapat tukar, dan 0,18-0,41 cmol(+)/kg tanah untuk K-dapat tukar. Kapasitas
tukar kation tanah termasuk tinggi (32,2-34,5 cmol(+)/kg tanah), dengan kejenuhan
basa bervariasi lebar dari sangat rendah sampai sangat tinggi pada SMP-bergambut
dari Sumatera, dengan rata-rata sedang (54%). Sementara kejenuhan basa tanah dari
Kalimantan bervariasi dari sangat rendah sampai sedang, sehingga rata-ratanya
termasuk rendah (25%). Kejenuhan AI dan kandungan pirit (FeS2) pada contoh dari
Sumatera berturut-turut rendah, 37%, Subagyo 85 dan 1,87%, sedangkan kejenuhan AI
dan kandungan pirit dari Kalimantan berturut-turut tergolong tinggi (66%) dan
sangat rendah (0,76%). b. Tanah gambut Gambut-dangkal Gambut-dangkal yang
dievaluasi, tercatat mempunyai kedalaman sekitar 50-100 cm. Lapisan gambut bagian
atas sedalam 20 cm, umumnya terdiri atas bahan gambut murni, tetapi lapisan gambut
bagian bawah antara 20-100 cm, seringkali bercampur bahan tanah mineral, yang
dicrikan oleh kandungan fraksi liat cukup tinggi (15-80%) pada contoh dari
Sumatera, atau sangat tinggi (50-85%) pada contoh tanah dari Kalimantan, sehingga
masing-masing tanah bertekstur liat atau liat berat (Tabel 2.8).
Kandungan bahan organik, dinyatakan sebagai % C-organik, bervariasi dari sangat
tinggi sampai sangat tinggi sekali, sehingga rata-ratanya sangat tin ggi sekali
(28,70-41,98%), baik di lapisan atas (0-20 cm) maupun lapisan bawah (20100 cm).
Kandungan N bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi, cenderung tetap atau
sedikit menurun ke lapisan bawah, dengan rata-rata sangat tinggi (1,34-1,50%) di
lapisan atas, dan tinggi sampai sangat tinggi (0,74-1,21%) di lapisan bawah. Rasio
C/N umumnya bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi, dengan rata-rata sangat
tinggi (30-40) di semua lapisan. Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCl) rata-rata
tinggi (46-50 mg/100 g tanah) di lapisan atas dan menurun menjadi rendah sampai
sedang (16-31 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Sementara kandungan K2O potensial,
rendah sampai sedang (19-33 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan rendah (14-16
mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Kandungan P-tersedia (P-Bray I) termasuk sedang
(17,9-19,4 ppm) di seluruh lapisan, seperti contoh dari Sumatera, tetapi tinggi
sampai sangat tinggi (30,7-71,8 ppm) untuk contoh dari Kalimantan. Kandungan hara
P2O5, K2O, dan P-tersedia di lapisan atas relatif selalu lebih tinggi daripada
kandungan hara yang sama di lapisan bawah. Lahan Rawa Pasang Surut 86 Jumlah basa-
basa dapat tukar Gambut-dangkal dari Sumatera, bervariasi dari sangat rendah sampai
sangat tinggi di seluruh lapisan, dan cenderung menurun di lapisan bawah, dengan
rata-rata termasuk tinggi (21,8-29,7 cmol(+)/kg tanah) di kedua lapisan. Sementara
basa-basa dapat tukar contoh dari Kalimantan, bervariasi sangat rendah sampai
sangat tinggi, dengan rata-rata termasuk sedang (8,1-9,0 cmol(+)/kg tanah). Basa
yang dominan adalah Mg dan Na, di lapisan atas dan bawah dengan rata-rata sangat
tinggi, berturut-turut 11,64-14,21 Mg dan 2,46-2,68 cmol(+) Na/kg tanah pada contoh
dari Sumatera, dan rata-rata tinggi, 3,73-4,26 cmol(+)Mg/kg tanah, dan tinggi
sampai sangat tinggi (0,94-1,13 cmol(+)Na/kg tanah) pada contoh dari Kalimantan.
Kandungan Ca-dapat tukar rata-rata sedang sampai tinggi (7,20-12,03 cmol(+)/kg
tanah) pada contoh dari Sumatera, dan rendah (2,46-3,70 cmol(+)/kg tanah) pada
contoh tanah dari Kalimantan. Sementara kandungan K-dapat tukar, rata-rata sedang
(0,60-0,76 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan rendah sampai sedang (0,28-0,60
cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah. Kandungan basa Ca, Mg, K, dan Na di lapisan
atas umumnya selalu lebih tinggi dibandingkan dengan unsur yang sama di lapisan
bawah. Kapasitas tukar kation tanah gambut di seluruh lapisan umumnya bervariasi
dari sedang sampai sangat tinggi sekali, dengan rata-rata di kedua lapisan termasuk
sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali (72,9-100,7 cmol(+)/k g tanah) pada
gambut dari Sumatera, dan sangat tinggi (84,5-91,2 cmol(+)/kg tanah) pada gambut
Kalimantan. Kejenuhan basa di kedua lapisan termasuk sedang (37-40%), dengan
kejenuhan Al rendah (23-33%) pada gambut Sumatera, sementara nilainya untuk gambut
Kalimantan termasuk sangat rendah (12-15%) dan sedang sampai tinggi (60-73%).
Kandungan pirit (FeS2), yang datanya hanya tersedia untuk gambut Sumatera, termasuk
sangat rendah (0,931,20%), baik di lapisan atas maupun lapisan bawah. Gambut-sedang
Data profil pada Gambut-sedang yang dievaluasi, mempunyai kedalaman antara 104-200
cm. Sebagaimana pada Gambut-dangkal, lapisan gambut bagian atas sedalam 20 cm,
umumnya terdiri atas bahan gambut murni. Sementara lapisan gambut bawah antara 20-
200 cm, di bagian bawah sering bercampur bahan tanah mineral, yang dicirikan oleh
kandungan fraksi liat dan debu cukup Subagyo 87 tinggi, yaitu 30-70% dan 30-95%
pada gambut dari Sumatera, atau kandungan liat sangat tinggi (45-85%) dan debu
sedang (20-50%) pada gambut dari
Kalimantan, sehingga lapisan bawahnya masing-masing bertekstur liat berdebu, atau
liat berat (Tabel 2.8). Reaksi gambut di seluruh lapisan umumnya sangat masam
sekali, dan cenderung menurun di lapisan-lapisan bawah. Reaksi gambut lapisan atas
lebih tinggi (pH rata-rata 4,0) dibandingkan dengan gambut lapisan bawah (pH rata-
rata 3,6-3,8). Kandungan garam-garam larut, dinyatakan sebagai daya hantar listrik
sangat rendah (rata-rata 0,5-1,6 dS/m), di seluruh lapisan (Tabel 2.8). Kandungan
bahan organik, di seluruh lapisan bervariasi dari sangat tinggi sampai sangat
tinggi sekali, dengan rata-rata sangat tinggi sekali (31,36-47,20% C). Kandungan N
di semua lapisan umumnya bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi dan menurun di
lapisan bawah. Oleh karena itu, rata-rata kandungan N sangat tinggi (1,46-1,78%) di
lapisan atas, dan tinggi sampai sangat tinggi (0,72-1,10%) di lapisan bawah. Rasio
C/N di seluruh lapisan, dominan bervariasi dari tinggi sampai sangat tinggi, dan
cenderung meningkat di lapisan-lapisan bawah, dengan rata-rata rasio C/N sangat
tinggi (28-46) di seluruh lapisan. Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCl) di seluruh
lapisan bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi, dan cenderung menurun di
lapisan-lapisan bawah. Dengan demikian, rata-rata kandungan P2O5 tergolong tinggi
(42-58 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan rendah (15-16 mg/100 g tanah) di
lapisan bawah. Kandungan K2O potensial, beragam dari sangat rendah sampai sangat
tinggi, dan menurun di lapisan-lapisan bawah, dengan rata-rata termasuk sedang (21-
24 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan rendah (14-19 mg/100 g tanah) di lapisan
bawah. Kandungan fosfat tersedia (P2O5-Bray I) di seluruh lapisan, baik pada gambut
Sumatera maupun Kalimantan, sama bervariasi dari sangat rendah sampai sangat
tinggi, tetapi variasinya pada gambut Sumatera lebih kecil (2-27 ppm) dibandingkan
dengan gambut Kalimantan, 2-100 ppm, dan cenderung menurun di lapisan bawah. Oleh
karena itu, rata-rata P-tersedia pada gambut Sumatera rendah (13,2 ppm) di lapisan
atas, dan sedang (23,4 ppm) di lapisan bawah. Sementara pada gambut Kalimantan,
rata-rata P-tersedia tinggi (32,3 ppm) di lapisan atas, dan sedang (18,6 ppm) di
lapisan bawah. Kandungan P2O5 dan K2O potensial, serta P2O5-tersedia di lapisan
atas relatif selalu lebih ting gi dibandingkan dengan kandungan hara yang sama di
lapisan-lapisan bawah. Lahan Rawa Pasang Surut 88 Jumlah basa-basa dapat tukar juga
ada perbedaan antara gambut dari Sumatera dan gambut dari Kalimantan. Jumlah basa
di seluruh lapisan gambut Sumatera bervariasi dari sangat rendah sampai sangat
tinggi sekali, lebih tinggi dibandingkan dengan variasi sangat rendah sampai tinggi
pada gambut Kalimantan. Oleh karena itu, rata-rata jumlah basa gambut Sumatera
termasuk sangat tinggi sekali (51,5 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan sangat
tinggi (39,8 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah. Sementara gambut Kalimantan
memiliki rata-rata jumlah basa-basa sedang (7,8 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas,
dan rendah (5,5 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah. Perbedaan jumlah basa pada
kedua gambut tersebut, juga tercermin pada kandungan basa-basa dapat tukar. Basa-
basa yang dominan, sebagaimana pada tanah rawa sebelumnya, adalah Mg dan Na, yang
pada gambut Sumatera ratarata sangat tinggi sekali di lapisan atas dan bawah, yaitu
16,36-25,60 cmol(+)/kg tanah untuk Mg, dan 5,99-7,80 cmol(+)/kg tanah) untuk Na.
Sementara pada gambut Kalimantan, rata-rata kandungan basa-basa di kedua lapisan
gambut adalah tinggi (2,10-2,70 cmol(+)/kg tanah) untuk Mg, dan rendah (0,26
cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas serta sedang (0,42 cmol(+)/kg tanah) di lapisan
bawah unruk Na. Kandungan Ca dan K-dapat tukar rata-rata pada gambut Sumatera
masing-masing tinggi, yaitu 12,23-15,38 cmol(+)/kg tanah dan 0,87-0,92 cmol(+)/kg
tanah baik pada lapisan atas, maupun lapisan bawah. Sedangkan
pada gambut Kalimantan, rata-rata kandungannya di kedua lapisan semuanya rendah,
baik untuk Ca (5,18-2,22 cmol(+)/kg tanah) maupun untuk K (0,16-0,25 cmol(+)/kg
tanah). Kapasitas tukar kation (KTK) tanah gambut dari kedua pulau di seluruh
lapisan bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi sekali (20-195 cmol(+)/kg
tanah, dan cenderung sedikit menurun di lapisan bawah. Oleh karena itu, ratarata
KTK gambut di lapisan atas termasuk sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali
(78,8-120,4 cmol(+)/kg tanah), dan di lapisan bawah sangat tinggi (73,284,4
cmol(+)/kg tanah). Kejenuhan basa (KB) dan kejenuhan Al di seluruh lapisan gambut
dari Sumatera, masing-masing tergolong sedang (43-57%) dan sangat rendah (7-14%).
Sedangkan KB pada gambut Kalimantan, tergolong sangat rendah (11-14%) di seluruh
lapisan, dengan kejenuhan Al termasuk sedang (45%) di lapisan atas, dan tinggi
(68%) di lapisan bawah. Data kandungan pirit (FeS2), yang datanya hanya tersedia
pada gambut Sumatera, termasuk sangat rendah (0,64-0,89%), baik di lapisan gambut
atas maupun di lapisan bawah. Subagyo 89 Gambut-dalam Data profil dari Gambut-dalam
yang dievaluasi, memiliki kedalaman antara 210-300 cm. Sebagaimana pada Gambut-
sedang, seluruh lapisan gambut bagian atas sedalam 20 cm tersusun dari bahan gambut
murni. Sementara lapisan gambut bawah antara 20-300 cm, sebagian kecil di lapisan
bawah tersusun dari campuran antara bahan organik dan bahan tanah mineral,
khususnya fraksi liat dan debu. Pada Gambut-dalam dari Sumatera, kandungan liat dan
debu tanah mineralnya masing-masing berkisar antara 31-65% dan 34-69%, sehingga
tanah mineral tersebut mempunyai tekstur liat berdebu. Sementara pada Gambut-dalam
dari Kalimantan, kandungan liat tanah mineralnya sedikit lebih tinggi (34-73%),
dengan fraksi debu lebih rendah (27-62%), sehingga menunjukkan tekstur liat. Nilai
pH gambut di seluruh lapisan, bervariasi dari <3,5 (masam ekstrim) sampai 4,5
(sangat masam sekali), relatif tidak berubah, atau sedikit meningkat di lapisan-
lapisan bawah. Rata-rata reaksi tanah adalah sangat masam sekali (pH 3,6-3,7) di
seluruh lapisan. Kandungan garam-garam larut, dinyatakan sebagai daya hantar
listrik, sangat rendah (rata-rata 0,2-0,5 dS/m) di seluruh lapisan gambut (Tabel
2.8). Kandungan bahan organik di seluruh lapisan sangat tinggi sekali, baik pada
gambut Sumatera maupun gambut Kalimantan, dan relatif tidak berubah ke lapisan-
lapisan di bawahnya dengan rata-rata 35,15-56,98% di seluruh lapisan. Kandungan N
juga tergolong sangat tinggi di seluruh lapisan, dengan rata-rata 0,95-1,94%.
Demikian juga nilai rasio C/N sangat tinggi, pada semua lapisan gambut, dengan
rata-rata 30-41. Kandungan P2O5 potensial (P2O5-HCl) pada lapisan atas sekitar 50
cm, umumnya bervariasi dari sangat rendah sampai sangat tinggi, dan menurun menjadi
sangat rendah sampai sedang di lapisan-lapisan gambut bawah, dengan rata-rata
tinggi sampai sangat tinggi (49-65 mg/100 g tanah) di lapisan atas, da n rendah
sampai sedang (20-34 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Kandungan K2O potensial
(K2O-HCl) mirip dengan penyebaran P2O5 potensial, yaitu relatif tinggi pada lapisan
atas gambut sedalam sekitar 50 cm, kemudian menurun di lapisan-lapisan bawah. Rata-
rata kandungan K2O potensial tersebut termasuk tinggi (41-59 mg/100 g tanah) di
lapisan atas, dan sedang (21-33 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Kandungan P2O5-
tersedia, pada gambut Sumatera, rata Lahan Rawa Pasang Surut 90 rata rendah (11,2
ppm) di lapisan atas, dan sangat rendah (5,3 ppm) di lapisan bawah. Sementara
kandungan P2O5-tersedia gambut Kalimantan lebih baik, yaitu rata-rata sangat tinggi
(41,5-57,5 ppm) di seluruh lapisan. Jumlah basa-basa dapat tukar pada Gambut-dalam
dari Sumatera
tampaknya lebih baik, dibandingkan dengan Gambut-dalam dari Kalimantan. Jumlah basa
di dalam profil-profil tanah gambut Sumatera, bervariasi dari sangat rendah sampai
sangat tinggi sekali, dengan rata-rata tinggi (21,7-22,7 cmol(+)/k g tanah) di
lapisan atas dan bawah. Hal ini tercermin juga oleh kandungan Mg dan Na pada
lapisan atas dan bawah tergolong tinggi (7,19-7,87 cmol(+)/kg tanah) dan sangat
tinggi (1,97-3,28 cmol(+)/kg tanah). Sementara rata-rata kandungan Ca-dapat tukar
rendah (4,79 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan sedang (6,05 cmol(+)/kg tanah)
di lapisan bawah; dan kandungan K-dapat tukar rata-rata sangat tinggi (1,16
cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan sedang (0,68 cmol(+)/kg tanah) di lapisan
bawah. Kandungan basa-basa tanah gambut dari Kalimantan lebih rendah, sebarannya di
dalam profil bervariasi dari sangat rendah sampai sedang, dengan rata-rata rendah
(4,35-4,37 cmol(+)/kg tanah) di semua lapisan. Kation Mg dan Na di lapisan atas dan
lapisan bawah, masing-masing terdapat dalam jumlah sedang (1,86 cmol(+)/kg tanah)
dan tinggi (2,37 cmol(+)/kg tanah), serta rendah (0,24 cmol(+)/kg tanah) dan sedang
(0,32 cmol(+)/kg tanah). Sementara kandungan rata-rata Ca-dapat tukar tergolong
rendah (2,06 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan sangat rendah (1,46 cmol(+)/kg
tanah) di lapisan bawah. Sedangkan kandungan K-dapat tukar termasuk rendah (0,20-
0,21 cmol(+)/kg tanah), baik di lapisan atas maupun di lapisan bawah. Kapasitas
tukar kation gambut tergolong sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali (73,6-123,9
cmol(+)/kg tanah), dengan kejenuhan basa sangat rendah sampai rendah (5-21%) di
seluruh lapisan. Kejenuhan Al gambut Sumatera sangat rendah (10%) dan rendah (22%)
pada lapisan atas dan bawah, dan kejenuhan Al gambut Kalimantan termasuk sedang
(56-59%) di lapisan atas dan lapisan bawah. Data kandungan pirit (FeS2) yang
datanya hanya tersedia pada Gambut dalam dari Sumatera sangat rendah (0,26-1,07%),
baik di lapisan gambut atas maupun lapisan gambut bawah. Subagyo 91 Gambut-sangat
dalam Data profil Gambut-dalam memiliki kedalaman antara 300-665 cm, sebagian besar
antara 300-500 cm, dan sebagian lagi antara 610-665 cm. Seluruh lapisan Gambut-
sangat dalam berupa bahan organik murni. Kandungan bahan organik di semua lapisan
sangat tinggi sekali, baik pada gambut Sumatera maupun gambut Kalimantan, dan
relatif tidak berubah di lapisan-lapisan di bawahnya, dengan rata-rata tergolong
sangat tinggi sekali (44,70-56,39%) di semua lapisan. Kandungan N juga bervariasi
sangat tinggi di seluruh lapisan gambut, dengan rata-rata sangat tinggi (1,06-
2,02%). Demikian juga nilai rasio C/N terdapat sangat tinggi pada semua lapisan
gambut, dengan rata-rata sangat tinggi (C/N 29-48). Kandungan garam-garam larut
sangat rendah dengan rata-rata 0,2-0,8 dS/m di seluruh lapisan. (Tabel 2.8).
Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCl) pada gambut Sumatera, bervariasi dari rendah
sampai sangat tinggi di lapisan atas, dan sangat rendah sampai rendah di lapisan
bawah, dengan rata-rata tinggi (41 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan sangat
rendah (9 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Sementara P2O5 potensial gambut dari
Kalimantan, bervariasi dari rendah sampai tinggi di seluru h lapisan, dengan rata-
rata sedang (22-23 mg/100 g tanah). Kandungan K2O potensial, pada gambut Sumatera
bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi di lapisan atas, dan sangat rendah
sampai sedang di lapisan-lapisan bawah, dengan rata-rata tinggi (54 mg/100 g tanah)
di lapisan atas, dan sedang (26 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Kandungan K2O
potensial gambut Kalimantan sangat rendah sampai rendah/sedang di seluruh lapisan,
dengan rata-rata tergolong rendah (12-19 mg/100 g tanah). Kandungan fosfat tersedia
(P2O5-Bray I) hanya tersedia data dari gambut Kalimantan, yang bervariasi dari
rendah sampai sangat tinggi di lapisan atas, tetapi kemudian menurun menjadi sangat
rendah sampai tinggi, dan seterusnya sangat rendah sampai rendah di lapisanlapis an
di bawahnya. Rata-rata kandungan P-tersedia termasuk tinggi (34,3 ppm) di lapisan
atas dan sedang (25,9 ppm) di lapisan bawah. Jumlah basa-basa dapat tukar pada
Gambut-sangat dalam dari Sumatera tampaknya lebih baik, dibandingkan dengan Gambut-
sangat dalam dari Kalimantan. Di dalam profil-profil tanah gambut Sumatera, jumlah
basa di seluruh Lahan Rawa Pasang Surut 92 lapisan bervariasi dari sangat rendah
sampai tinggi, dengan rata-rata tinggi (14 ,8 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas dan
sedang (9,0 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah. Kandungan basa-basa gambut dari
Kalimantan lebih rendah, menyebar di seluruh lapisan, sebagian besar bervariasi
sangat rendah sampai rendah, dengan rata-rata rendah (3,4-4,1 cmol(+)/kg tanah).
Kandungan ion dominan adalah Mg dan Na, dimana kandungan Mg dan Na pada gambut
Sumatera berturut-turut tinggi (4,66-5,34 cmol(+)/kg tanah) dan tinggi sampai
sangat tinggi (0,90-1,79 cmol(+)/kg tanah) di seluruh lapisan. Sementara rata-rata
kandungan Ca-dapat tukar tergolong sedang (8,09 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas,
dan rendah (2,24 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah. Kandungan K-dapat tukar rata-
rata sangat tinggi (1,24 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan sedang (0,47
cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah. Rata-rata kandungan Mg-dapat tukar pada gambut
Kalimantan, termasuk sedang (1,86-1,87 cmol(+)/kg tanah) di seluruh lapisan,
sementara rata-rata Nada pat tukar rendah (0,19 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas,
dan sedang (0,41 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah. Kandungan rata-rata Ca dan K-
dapat tukar, berturut-turut tergolong sangat rendah (1,07-1,71 cmol(+)/kg tanah),
dan rendah (0,15-0,26 cmol(+)/kg tanah) di seluruh lapisan. Kapasitas tukar kation
gambut tergolong sangat tinggi sekali (113,2-134,2 cmol(+)/kg tanah), dengan
kejenuhan basa sangat rendah (3-15%) di seluruh lapisan. Kejenuhan Al yang datanya
hanya tersedia untuk gambut Kalimantan, termasuk rendah (34%) di lapisan atas, dan
sedang (46%) di lapisan bawah. Data kandungan pint (FeS2) yang datanya hanya
tersedia untuk gambut dari Sumatera sangat rendah (0,27-0,60%), baik di lapisan
gambut atas maupun lapisan gambut bawah. PENUTUP Dalam dua-tiga dekade terakhir,
akibat pertambahan penduduk yang masih cukup tinggi, 1,5%/tahun, di Pulau Jawa yang
kini dihuni sekitar 150 juta orang, dan pesatnya pertumbuhan komplek industri,
prasarana jalan, dan pembangunan komplek perumahan dan real estate , telah terjadi
tuntutan permintaan lahan yang luar biasa, khususnya di Jawa dan Bali, dan sekitar
kota-kota besar di Luar Subagyo 93 Jawa. Sebagai dampaknya terjadilah konversi
lahan pertanian, di mana the prime lands yang berupa lahan irigasi dan lahan
pertanian lainnya yang relatif subur berubah fungsi untuk penggunaan berbagai
keperluan non-pertanian. Kontribusi produksi padi dari Jawa terhadap produksi padi
nasional yang sampai tahun 1995, sekitar 59-60%, dewasa ini cenderung makin
menurun. Untuk mendukung ketahanan pangan, pengembangan agribisnis, dan penciptaan
lapangan kerja, pengembangan pertanian ke depan, termasuk perluasan lahan pertanian
baru, harus di arahkan pada lahan-lahan yang ada di luar Jawa. Pilihan sumberdaya
lahan yang tersedia untuk tujuan ini, adalah lahan kering dan lahan rawa. Sifat-
sifat dominan lahan kering, yang luasnya
diperkirakan 47 juta ha, umumnya bersifat masam dengan kesuburan alami yang rendah.
Lahan kering ini, yang umumnya didominasi oleh tanah Ultisols dan Oxisols,
berdasarkan pengalaman dua dekade terakhir, nampaknya kurang sesuai untuk usaha
pertanian tanaman pangan, tetapi lebih sesuai untuk budidaya tanaman
tahunan/perkebunan. Di sisi lain, di luar Jawa masih tersedia lahan rawa seluas
sekitar 33-39 juta ha lahan rawa, yang terdiri atas 20,1-25,8 juta ha lahan rawa
pasang surut, dan sekitar 13,3 juta ha lahan rawa lebak, yang sejak tahun 1970-an
telah berhasil d i reklamasi untuk pertanian seluas sekitar 5,4 juta ha. Selama
bertahun-tahun, melalui proses trials and erors , para petani lahan rawa, baik
penduduk setempat maupun petani transmigran, telah cukup banyak memiliki
pengetahuan bagaimana cara mengelola lahan rawa untuk dijadikan areal persawahan
yang produktif. Hasil penelitian dan pengalaman memperlihatkan bahwa dengan
pengelolaan yang tepat, sesuai dengan karakteristiknya, melalui penerapan Iptek
yang benar, maka lahan rawa yang termasuk lahan marjinal dengan tingkat kesuburan
alami yang rendah, dapat dijadikan areal pertanian produktif. Lahan rawa yang
merupakan lahan basah, atau wetland , adalah salah satu aset sumberdaya tanah
nasional yang semakin penting peranannya di masa mendatang. Pengembangan laha rawa
untuk pertanian, selain memiliki potensi dan prospek yang besar, juga menghadapi
berbagai masalah/kendala, baik biofisik, sosial ekonomi, maupun kelembagaan. Oleh
karena itu, untuk pelestarian sumberdaya dan keberlanjutan pemanfaatannya,
pengembangan pertanian di lahan rawa pada suatu kawasan luas, perlu direncanakan
dan ditangani secara cermat dan hati-hati, dengan memilih teknologi dan pola
penerapannya yang sesuai dengan karakteristik wilayahnya (Alihamsyah, 2001).
Kekeliruan dalam Lahan Rawa Pasang Surut 94 reklamasi dan pengelolaan lahan, sering
menghasilkan lahan-lahan tidur yang sulit/tidak dapat ditanami tanaman pertanian,
dan membutuhkan biaya besar untuk rehabilitasinya, serta sangat sukar untuk
memulihkan kembali seperti kondisi semula. DAFTAR PUSTAKA Alihamsyah, T. 2001.
Propek pengembangan dan pemanfaatan lahan pasang surut dalam perspektif eksplorasi
sumber pertumbuhan pertanian masa depan. Dalam I.Ar- Riza, T. Alihamsyah, dan M.
Sarwani (Eds.). Pengelolaan Air dan Tanah di Lahan Pasang Surut. Monograf ISSN
1410637 X. Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa. Hlm. 1-18. Andriesse, J.P.
1997. The reclamation of peatswamps and peat in Indonesia. Widiatmaka (ed.). Center
for Wetland Studies, Faculty of Agric., Bogor Agric. University. Bloomfield, C. and
J.K. Coulter. 1973. Genesis and management of acid sulphate soils. p. 265-326.
Advances in Agronomy. BPS, Jakarta - Indonesia. BPS (Badan Pusat Statistik). 2001.
Statistik Indonesia 2001. BPS, Jakarta-Indonesia. Brinkman, R., and L.J. Pons.
1968. A pedo-geomorphologial classification and map of the holocene sediments in
the coastal plain of the three Guianas. Soil Survey Papers 4, Stiboka, Wageningen.
Cameron, C.C,, Supardi, T.J. Malterer, and J.S. Esterle. 1987. Peat resources
mapping along the Batang Hari river, near Jambi, South Sumatra. lnt. Peat Soc.
Symp. on Tropical Peat and Peatlands, Yogyakarta. Davis, S.N., P.H. Reitan, and R.
Pestrong. 1976. Geology. Our Physical Environment. McGraw-Hill Book Company. 470
pp. Dent, D. 1986. Acid Sulphate Soils: A baseline for research and development.
International Land Reclamation Institutes Publ. 39, Wageningen, The Netherlands.
Diemont, W.H., and L.J. Pons. 1991. A preliminary note on peat formation and
gleying in the Mahakam inland floodplain, East Kalimantan, Indonesia. p. 74-80. In.
Aminuddin, B.Y. (ed.). Tropical Peat. Proc. Int. Symp. on Tropical Peatland,
Kuching, Sarawak, Malaysia, 6-10 May 1991. Holmes, D.L. 1978. Holmes Principles of
Physical Geology. A Halsted Press book. John Wiley & Sons. New York. 730 pp.
Subagyo 95 IPB (Institut Pertanian Bogor). 1969. Laporan Survei ke Daerah Pasang
Surut S. Reteh, Riau. IPB dan P4S Dirjen Pengairan, Dep. PUTL. Desember 1969. IPB
(Institut Pertanian Bogor). 1978a. Laporan Survei dan Pemetaan Tanah Daerah Air
Saleh, Sub-P4S Sumatera Selatan. IPB-P4S Dirjen Pengairan, Dep. PUTL. April 1976.
IPB (Institut Pertanian Bogor). 1978b. Soil Surveys and Soil Mapping of Karangagung
Area, Sub-P4S South Sumatra. IPB-Tidal Swampland Develop. Project, Direct. Gen.
Water Resourc. Develop., Ministry of Public Works and Electric Power. June 1978.
Jansen, J.A.M., H. Prasetyo, Alkasuma, and W. Andriesse. 1990. Landscape Genesis
and Physiography of Pulau Petak as Basis for Soil Mapping. LAWOO/AARD Scientific
Report No. 18. ILRI, Wageningen. Jaya, A. 2002. Sebaran gambut di Kalimantan Tengah
dan kandungan karbon. h. 161-172. Dalam CCFPI (Climate Change, Forests and
Peatlands in Indonesia). 2003. Sebaran Gambut di Indonesia. Seri Prosiding 02.
Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor.
Konsten, C.J.M., and M. Sarwani. 1990. Actual and potential acidity and related
chemical characteristics of acid sulphate soils in Pulau Petak, Kalimantan. p. 30-
50. In Papers Workshop on Acid Sulphate Soils in the Humid Tropics. Bogor, 20-22
November 1990. AARD and LAWOO. Konsten, C.J.M., S. Suping, I B. Aribawa, and I P.G.
Widjaja-Adhi. 1990. Chemical processes in acid sulphate soils in Pulau Petak, South
and Central Kalimantan, Indonesia. p. 109-135. In Papers Workshop on Acid Sulphate
Soils in the Humid Tropics. Bogor, 20-22 November 1990. AARD and LAWOO. Konsten,
C.J.M., W. Andriesse, and R. Brinkman. 1986. A field laboratory method to determine
total potential and actual acidity in acid sulphate soils. p. 106134. In H. Dost
(ed.). Selected Papers of the Dakar Symposium on Acid Sulphate Soils. Dakar,
Senegal, January 1986. ILRI publication 44, Wageningen, The Netherlands.
Langenhoff, R. 1986. Distribution, Mapping, Classification and Use of Acid Sulphate
Soils in the Tropics. A literature Study. STIBOKA Intern. Comm. No. 74, Wageningen,
The Netherlands. LPT (Lembaga Penelitian Tanah). 1969. Survey Tanah Delta Kapuas,
Kalimantan Barat, 1968-1969. Dokumen LPT No. 7/1969. Direktorat Jenderal Pertanian,
Departemen Pertanian. Lahan Rawa Pasang Surut 96 LPT (Lembaga Penelitian Tanah).
1974. Survey dan pemetaan Tanah Daerah S. Enok-Delta S. Retih, Riau. LPT, Dep.
Pertanian dan P4S Dirjen Pengairan, Dep. PUTL. Publ. LPT No. 3/1975. LPT (Lembaga
Penelitian Tanah). 1975. Survey dan Pemetaan Tanah Daerah Bunut-Kuala Kampar, Riau.
LPT, Dep. Pertanian dan P4S Dirjen Pengairan, Dep. PUTL. Publ. LPT No. 10/1975. LPT
(Lembaga Penelitian Tanah). 1976a. Survey dan Pemetaan Tanah Daerah Sungai Rokan,
Riau. LPT, Dep. Pertanian dan P4S Dirjen Pengairan, Dep. PUTL. Publ. LPT No.
5/1976. LPT (Lembaga Penelitian Tanah). 1976b. Survey dan Pemetaan Tanah Daerah
Sungai Siak, Riau. LPT, Dep. Pertanian dan P4S Dirjen Pengairan, Dep. PUTL. Publ.
LPT No. 6/1976.
Michaelsen, J., and H.L. Phi. 1998. Field experiment in Ly Nhon. p. 71-85. In va n
den Bosch, H., H.L. Phi, J. Michaelsen, and K. Nugroho. 1988. Evaluation of water
management strategies for sustainable land use of acid sulphate soils in coastal
lands in the tropics. DLO Winand Staring Centre. Report 157, 177 pp. Wageningen,
The Netherlands. Neuzil, S.G. 1997. Onset and rate of peat and carbon accumulation
in four domed ombrogenous peat deposits, Indonesia. p. 55-72. In Rieley, J.O., and
S.E. Page (Eds.). Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands. Proceed.
Int. Symp. on Biodiversity, Environmental Importance, and Sustainability of
Tropical Peat and Peatlands, Palangka Raya, 4-8 Sep. 1995. Pons, L.J. 1970. Acid
Sulphate Soils (soils with cat-clay phenomena) and the Prediction of their Origin
from Pyrite Muds. Fysisch. Geograf. en Bodemkunde. Lab. Publ. No. 16, Amsterdam,
The Netherlands. Pons, L.J., and I.S. Zonneveld. 1965. Soil Ripening and Soil
Classification. Ini tial soil formation in Alluvial deposits and a classification
of the resulting soils. ILRI Pub. 13, Wageningen, The Netherlands. Pons, L.J., N.
Van Breemen, and P.M. Driessen. 1982. Physiography of coastal sediments and
development of potential soil acidity. p. 1-18. In J.A. Kittrick, D.S. Fanning, and
L.R. Hossner (Eds.) Acid Sulfate Weathering. Soil Sci. Soc. Am. Spec. Pub. No. 10,
Soil Sci. Soc. Am., Madison. WI. Prasetyo H., J.A.M. Jansen, and Alkasuma. 1990.
Landscape and soil genesis in pulau Petak. p. 1829. In Papers Workshop on Acid
Sulphate Soils in the Humid Tropics. Bogor, 20-22 November 1990. Indonesia. PPT
(Pusat Penelitian Tanah), 1989. Survei dan Pemetaan Tanah Detail Daerah Pasang
Surut Karangagung Tengah, Kab. Musi Banyuasin, Prop. Sumatera Selatan. Subagyo 97
Proyek PPLPSR (Penelitian Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa)-SwampsII. 1993a.
Sewindu Penelitian Pertanian di Lahan Rawa, 1985-1993: Kontribusi dan prospek
pengembangan. Badan Litbang Pertanian, Dep. Pertanian. Proyek PPLPSR (Penelitian
Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa)-SwampsII. 1993b. Petunjuk Teknis Pengelolaan
Sistem Usahatani di Lahan Pasang Surut. Badan Litbang Pertanian (tidak
dipublikasikan). Proyek PSLPSS (Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang
Surut Sumatera Selatan). 1998. Prospek Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Modern
di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Laporan Tim Terpadu. Badan Litbang
Pertanian, Dep. Pertanian. Proyek PSLPSS (Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan
Pasang Surut Sumatera Selatan). 1999. Identifikasi dan Karakterisasi Wilayah
Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut di Propinsi Sumatera
Selatan. Tahap II. laporan Tim Terpadu. Badan Litbang Pertanian, Dep. Pertanian.
Puslittanak (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat). 1997. Laporan Survei dan
Pemetaan Tanah Tinjau Mendalam Daerah Kerja A, Proyek Pengembangan Lahan Gambut
Sejuta Hektar, untuk Pengembangan Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah. Tim Peneliti
Puslittanak (unpublished) . Hlm 173. Puslittanak (Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat). 1998a. Laporan Survei dan Pemetaan Tanah Tinjau Mendalam Daerah Kerja
B, Proyek Pengembangan Lahan Gambut Sejuta Hektar, untuk Pengembangan Tanaman
Pangan di Kalimantan Tengah. Tim Peneliti Puslittanak (unpublished) . Hlm 142.
Puslittanak (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat). 1998b. Laporan Final Survei
dan Pemetaan Tanah Tinjau Mendalam Daerah Kerja D, Proyek Pengembangan Lahan Gambut
Sejuta Hektar, untuk Pengembangan Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah. Tim peneliti
Puslittanak, (unpublished). Hlm 131. Soil Survey Staff. 1975. Soil Taxonomy. A
Basic System of Soil Classification fo r Making and Interpreting Soi Surveys. Agr.
Handb. 436, Soil Conservation Service-USDA. Soil Survey Staff. 1999. Soil Taxonomy.
A Basic System of Soil Classification fo r Making and Interpreting Soil Surveys.
Second Edition. Agr. Handb. 436, Natural Resources Conservation Service-USDA. Soil
Survey Staff. 2003. Keys Soil Taxonomy. Ninth Edition, 2003. Natural Resources
Conservation Service-USDA. Lahan Rawa Pasang Surut 98 SRI (Soil Research
Institute). 1973. Report on soil investigations of the Delta Pulau Petak, South and
Central Kalimantan. Direct. Gen. of Agric., Ministry of Agric., SRI No. 5/1973.
Strahler, A.N. 1973. Introduction to Physical Geography. Third Edition. John Wil ey
& Sons. New York, London, Sydney, Toronto. 468 pp. Subagyo, H. 2002. Penyebaran dan
potensi tanah gambut di Indonesia untuk pengembangan pertanian. h. 197-227. Dalam
CCFPI (Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia). 2003. Sebaran Gambut di
Indonesia. Seri Prosiding 02. Wetlands International-Indonesia Programme dan
Wildlife Habitat Canada. Bogor. Sudarsono. 1999. Pemanfaatan dan pengembangan lahan
rawa/pasang surut untuk pengembangan pangan. h. 81-93. Dalam Irsal Las et al.
(penyunting) Prosid. Sem. Nas. Sumberdaya Lahan, Cisarua-Bogor, 9-11 Pebruari 1999.
Buku 1. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Van Bremen, N. 1973. Soil forming
processes in acid sulphate soils. p. 66-130. I n Dost, H. (ed.). Acid Sulphate
Soils. I. Introductory Papers and Bibliography. Proc. Intern. Symp., 13-20 August
1972, Wageningen, The Netherlands. Van Dam, D., and L.J. Pons. 1973.
Micropedological observations on pyrite and its pedological reaction products. p.
169-196. In Dost, H. (ed.). Acid Sulphate Soils. II. Research Papers. Proc. Intern.
Symp., 13-20 August 1972, Wageningen, The Netherlands. Van Wijk, A.L.M., I P.G.
Widjaja-Adhi, C.J. Ritsema, and C.J.M. Konsten. 1992. A simulation model for acid
sulphate soils, II. Validation and application. p. 357-367. In D.L. Dent, and
M.E.F. van Mensvoort (ed.). Selected Papers of the Ho Chi Minh City Symp. on Acid
Sulphate Soils, Vietnam, March 1992. ILRI publ. 53, Wageningen, The Netherlands.
Widjaja-Adhi, I P.G. 1995a. Potensi, Peluang, dan Kendala Perluasan Areal Pertanian
di Lahan Rawa di Kalimantan dan Irian Jaya. Sem. Perluasan Areal Pertanian di KTI.
PIl, Serpong 7-8 November 1995 (tidak dipublikasi). Widjaja-Adhi, I P.G., K.
Nugroho, Didi Ardi S., dan A.S. Karama. 1992. Sumberdaya lahan rawa: Potensi,
keterbatasan, dan pemanfaatan. h. 1938. Dalam Sutjipto P. dan M. Syam (penyunting).
Risalah Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan
Lebak. Cisarua, 3-4 Maret 1992. Wiradinata, O.W., dan R. Hardjosusastro. 1979.
Penyebaran dan beberapa sifat gambut di daerah Sumatera Selatan. h. A18-01-A18.11.
Makalah dalam Simposium Nasional III Pengembangan Daerah Pasang Surut, Palembang 5-
9 Februari 1979. 99
III LAHAN RAWA LEBAK Subagyo H. Lahan Rawa Lebak 100 3.1. PENGERTIAN Seperti telah
diuraikan sebelumnya, lahan (rawa) lebak merupakan zona ketiga yang terletak makin
ke arah hulu sungai, yaitu mendekati atau berada pada daerah aliran sungai (DAS)
bagian tengah. Pengaruh pasang surut sudah tidak ada lagi, berganti dengan pengaruh
sungai yang sangat dominan, yaitu berupa banjir besar yang secara periodik
menggenangi wilayah selama musim hujan. Banjir tahunan dapat terjadi, sebagai
akibat dari volume air sungai yang menjadi sangat besar selama musim hujan, dan
tekanan balik arus pasang dari bagian muara. Sungai di daerah ini tidak mampu
menampung semua air, sehingga meluap membanjiri dataran banjir di kiri kanan
sungai. Selama musim hujan, rawa lebak selalu digenangi air kemudian secara
berangsur-angsur air banjir akan surut sejalan dengan perubahan musim hujan ke
musim kemarau tahun berikutnya. Istilah rawa lebak adalah istilah rawa non-pasang
surut di daerah Sumatera Selatan. Di Jambi, persawahan di rawa lebak dikenal
sebagai sawah rawa payau. Di Kalimantan Selatan, disebut sawah rintak/timur, jika
musim tanam pada awal musim kemarau, dan sawah surung/barat jika musim tanamnya
pada awal musim hujan. Di Kalimantan Timur, persawahan lebak disebut sawah rapak
atau sawah kelan. Sedangkan lahan lebak, yang secara terbatas terdapat di bagian
hilir alir an Sungai/Bengawan Solo di Jawa Timur, disebut "bonorowo". Lahan rawa
lebak seringkali didefinisikan sebagai lahan rawa non-pasang surut, yang karena
posisinya di dataran banjir sungai mendapat genangan secara periodik sekurang-
kurangnya sekali dalam setahun, yang berasal dari curah hujan dan/atau luapan
banjir sungai. Genangan yang membanjiri lahan lebak dapat terjadi lebih dari satu
kali, akibat curah hujan di wilayah tangkapan huja n di bagian hilir sungai
memiliki pola bimodal, yaitu dengan dua puncak musim hujan. Atau dapat juga
terjadi, karena kondisi oro-hidrologis daerah aliran sungai bagi an hilir sudah
rusak, sehingga dapat terjadi banjir di bagian hilir beberapa kali d alam setahun.
3.2. PENYEBARAN Oleh karena rawa lebak terbentuk sebagai akibat banjir tahunan pada
wilayah yang letaknya rendah, yaitu sebagai wilayah peralihan antara lahan darat
(uplands) dan sungai-sungai besar, maka penyebarannya secara khusus terdapat
Subagyo 101 di dataran banjir (floodplains), dataran meander (sungai berkelok-
kelok), dan bekas aliran sungai tua (oxbow) dari sungai-sungai besar dan anak-anak
sungai utamanya. Penyebaran lahan rawa lebak di luar Jawa terdapat di tiga pulau
besar, antara lain di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya (Papua) : .. Sumatera
Way Seputih, S. Tulangbawang, dan S. Mesuji, di Provinsi Lampung; Air Musi dengan
anak Sungai Ogan, Komering, dan Lematang di Provinsi Sumatera Selatan; S.
Batanghari, dan S. Tungkal di Provinsi Jambi; dan S. Inderagiri, S. Kampar, S.
Siak, dan S. Rokan di Provinsi Riau. .. Kalimantan S. Barito dengan anak sungai :
S. Negara, di Provinsi Kalimantan Selatan; S. Kapuas Besar di Provinsi Kalimantan
Barat; dan S. Mahakam di Provinsi Kalimantan Timur.
.. Irian Jaya (Papua) S. Mamberamo berikut wilayah Lembah Mamberamo, dan S. Digul.
Kemungkinan masih terdapat beberapa sungai besar lain, seperti di Provinsi Sumatera
Utara dan Sulawesi Selatan, yang mempunyai wilayah lahan lebak, namun tidak
tersedia data/informasinya. Sampai saat ini, secara umum telah diketahui bahwa
lahan lebak yang telah cukup intensif dibudidayakan untuk pertanian adalah lahan
lebak yang terdapat di Provinsi Sumatera Selatan (Air Musi, Ogan, Komering, dan
Lematang), dan di Kalimantan Selatan (S. Barito dan S. Negara). Berapa luas rawa
lebak ? Perkiraan luas lahan lebak di Indonesia lebih tidak pasti, karena tidak ada
rinciannya yang agak mendetail di masing-masing pulau besar. Angka yang seringkali
dipakai adalah dari penelitian Nugroho et al. (1991) yaitu luas lahan lebak di
seluruh Indonesia sekitar 13,28 juta ha, terdir i atas 4,17 juta ha lebak
dangkal/pematang, 6,08 juta ha lebak tengahan, dan 3,04 juta ha lebak dalam. Data
lain dari Ditjen Pengairan Departemen Pekerjaan Umum (1998) menyebutkan bahwa luas
lahan lebak adalah 13,317 juta ha, telah direklamasi, atau dibuka untuk persawahan
dan permukiman sekitar 1,547 juta ha, yaitu melalui program reklamasi oleh
pemerintah seluas 0,448 juta ha, dan oleh swadaya masyarakat sekitar 1,009 juta ha.
Luas lahan lebak yang belum dimanfaatkan diperkirakan masih sekitar 11,770 juta ha.
Lahan rawa lebak umumnya menempati posisi di kanan kiri, pada dataran banjir sungai
(besar), atau merupakan wilayah luas persambungan antara Lahan Rawa Lebak 102
dataran banjir dua anak sungai (besar). Sebagai salah satu contoh yang terbaik yang
ada di Sumatera Selatan (Gambar 3.1), yaitu lahan rawa lebak dan lahan rawa pasang
surut (air tawar) di sekitar Palembang, di sepanjang aliran Air Musi , dan di
antara Air Ogan dan Air Komering. Gambar 3.1. Penyebaran lahan rawa lebak dan lahan
rawa pasang surut di sekitar Palembang, Sumatera Selatan Subagyo 103 3.3. TOPOGRAFI
DAN LANDFORM Topografi atau bentuk wilayah lahan lebak secara umum hampir datar
(flat) dengan lereng 1-2%, secara berangsur menurun membentuk cekungan (basin) ke
arah wilayah rawa belakang, dan bagian tengah menempati posisi paling rendah.
Satuan-satuan landform di wilayah lahan lebak dapat dilihat pada penampang skematis
Gambar 3.2, dengan tiga kemungkinan satuan landform yang berbeda. Pertama, adalah
satuan landform yang dijumpai pada dataran banjir satu sungai besar (Gambar 3.2a);
kedua, satuan landform yang dijumpai pada dataran banjir dua sungai besar (Gambar
3.2b); dan yang ketiga adalah wilayah peralihan antara lahan lebak dan wilayah
lahan pasang surut (Gambar 3.2c). Pada keadaan pertama (Gambar 3.2a), apabila
seseorang bergerak misalnya dengan berjalan kaki dari daerah talang (lahan
kering/uplands) pada satu sisi, ke arah daerah talang di seberang sungai-dengan
mengamati keadaan terrain, kondisi permukaan tanah, dan kedalaman permukaan air
tanahakan melewati wilayah dataran banjir sungai, yang terdiri atas wilayah
cekungan, kemudian dataran rawa belakang, dan selanjutnya mencapai tanggul sungai
alam (natural levee). Kondisi seperti ini umumnya dijumpai pada DAS bagian tengah
ke arah hilir sungai. Tanah yang terbentuk seluruhnya merupakan tanah endapan
sungai, atau sering disebut endapan aluvial atau fluviatil. Cekungan-cekungan di
dataran rawa belakang umumnya ditempati gambut topogen dangkal (50-100 cm) sampai
gambut-sedang (101-200 cm). Kubah gambut biasanya tidak terbentuk, karena ukuran
cekungan/depresi relatif kecil. Di banyak tempat, cekungan tersebut seringkali juga
hanya berisi air, sehingga menyerupai danau-danau berukuran kecil. Tanah yang
terbentuk seluruhnya juga merupakan tanah endapan sungai, yang diendapkan selama
ber-abad-abad setiap kali musim banjir datang, menggenangi wilayah selama musim
hujan. Bahan sedimen halus, berupa lumpur sungai yang diendapkan setiap kali
terjadi banjir tahunan adalah bahan yang membentuk tanah di lahan lebak. Lahan Rawa
Lebak 104 Gambar 3.2a. Penampang skematis daerah lahan rawa lebak, pada satu sungai
besar Pada keadaan kedua (Gambar 3.2b), adalah kondisi landform yang dijumpai oleh
seseorang yang bergerak dan mampu melewati dataran banjir dari dua anak sungai
(besar). Antara daerah talang dan sungai pertama atau sungai kedua, bentukan
landform yang dijumpai akan menyerupai kondisi pertama. Namun sesudah itu, dataran
banjir sungai pertama akan bersambungan dengan dataran banjir sungai kedua, dan
membentuk dataran rawa belakang hampir rata (nearly flat) yang sangat luas, dan
lebarnya dapat mencapai puluhan kilometer. Sebagai contoh dataran banjir Air Ogan
yang bersambungan dengan dataran banjir Air Komering, di Kabupaten Ogan Komering
Ilir (OKI), di beberapa tempat dapat mencapai lebar 30-40 km. Seperti halnya pada
kondisi pertama, di dataran rawa belakang yang sangat luas ini banyak dijumpai
cekungan-cekungan dari berbagai ukuran, yang umumnya juga ditempati tanah gambut-
dangkal sampai sedang, atau hanya berupa danau-danau kecil yang biasanya
dimanfaatkan untuk budidaya perikanan air tawar. Tanah yang terbentuk, seluruhnya
juga merupakan tanah endapan sungai, yang diendapkan selama berabadabad setiap kali
musim banjir datang dan menggenangi wilayah ini selama musim hujan. Gambar 3.2b.
Penampang skematis daerah lahan rawa lebak, antara dua sungai besar Cekungan Sungai
Sungai Subagyo 105 Pada keadaan ketiga (Gambar 3.2c), adalah keadaan apabila lahan
rawa lebak bersambungan dengan lahan rawa pasang surut. Pada kondisi ini, bahan
endapan sungai yang terbentuk lebih muda umur (geologis)-nya, menutupi endapan
laut/marin yang telah terbentuk terlebih dahulu. Kondisi seperti ini, terjadi pada
wilayah peralihan antara zona II (lahan rawa pasang surut air tawar ) dan zona III
(lahan rawa non-pasang surut, atau lahan rawa lebak). Gambar 3.2c. Penampang
skematis daerah lahan rawa lebak peralihan antara lahan rawa lebak dan lahan rawa
pasang surut (marin) Sebagai contoh, wilayah sekitar kota Palembang, antara lain
wilayah Ogan-Keramasan dan Plaju-Sungaigerong, merupakan wilayah peralihan antara
zona III dan zona II. Pada wilayah ini, tanah yang terbentuk mempunyai dua bahan
induk, yaitu di bagian atas merupakan endapan sungai, dan bagian bawah berasal dari
endapan marin yang mengandung bahan sulfidik (pirit). Kedalaman bahan sulfidik di
daerah peralihan ini bervariasi, antara 70-150 cm, atau antara 50-120 cm dari
permukaan tanah. 3.4. TIPOLOGI LAHAN LEBAK Tipologi lahan rawa lebak, secara
skematis diilustrasikan pada Gambar 3.3. Pada musim hujan, wilayah tanggul sungai
umumnya tetap kering, tetapi di wilayah rawa belakang dan cekungan, air banjir
berangsur naik sampai mencapai puncak tertinggi di musim hujan, kemudian menurun
sesuai dengan surutnya air
sungai pada peralihan ke musim kemarau. Cekungan Lahan Rawa Lebak 106 Gambar 3.3.
Skematis tipologi lahan rawa lebak Berdasarkan lamanya genangan dan tingginya
genangan, lahan rawa lebak umumnya dibagi menjadi tiga tipe (tipologi) lahan lebak,
yaitu : (1) Lebak Pematang, (2) Lebak Tengahan, dan (3) Lebak Dalam, seperti
disajikan pada Tambar 3.1. Lebak Pematang seringkali disebut juga sebagai Lebak
Dangkal. Secara teoritis, setiap banjir, karena arus banjir masih kuat, tanggul
sungai merupakan tempat pengendapan bahan-bahan terkasar (pasir halus sampai pasir
sedang). Makin jauh dari sungai, dengan semakin lemahnya daya angkut air, terjadi
pengendapan bahan-bahan lebih halus, yaitu debu dan liat. Karena adanya sortasi air
dan semakin sedikitnya bahan-bahan yang diendapkan semakin jauh dari sungai, maka
tanggul sungai adalah tempat yang paling tinggi letaknya, dan tanah berangsur-
angsur menurun ke dataran rawa belakang. Dalam kenyataanya di lapangan, acapkali
perbedaan ketinggian antara keduanya tidak selalu nyata, walaupun hasil pengukuran
ketinggian antara keduanya memang menunjukkan penurunan yang amat berangsur ke arah
dataran rawa belakang. Demikian pula, tekstur tanah di wilayah tanggul sungai tidak
selalu berpasir, sebab komposisi fraksi dari lumpur yang diendapkan setiap tahun
tidak selalu kasar sifatnya. Tabel 3.1. Tipe-tipe (tipologi) lahan rawa lebak,
berdasarkan lama dan tinggi genangan Lama genangan Tinggi genangan <3 bulan 3-6
bulan >6 bulan <50 cm Lebak Pematang Lebak Pematang Lebak Pematang 50-100 cm Lebak
Tengahan Lebak Tengahan Lebak Dalam >100 cm Lebak Tengahan Lebak Dalam Lebak Dalam
Kedalaman genangan Subagyo 107 Selain ketiga tipe lahan lebak tersebut, masih ada
istilah renah dan talang yang biasa digunakan untuk mendeskripsi keadaan wilayah
lahan lebak di Sumatera Selatan. Uraian secara ringkas dari semua istilah dan tipe
lahan rawa lebak adalah : .. Renah, adalah bagian yang paling tinggi dari tanggul
sungai. Biasanya jarang kebanjiran, oleh karena itu umumnya dimanfaatkan untuk
rumah-rumah dan perkampungan penduduk. .. Talang, adalah lahan darat atau lahan
kering yang tidak pernah kebanjiran, da n merupakan bagian dari wilayah berombak
sampai bergelombang, terdiri atas batuan sedimen, atau batuan volkan masam. ..
Lebak Pematang, adalah sawah di belakang perkampungan. dan merupakan sebagian dari
wilayah tanggul sungai dan sebagian wilayah dataran rawa belakang. Lama genangan
banjir umumnya kurang dari 3 bulan, atau minimal satu bulan dalam setahun. Tinggi
genangan rata-rata kurang dari 50 cm. Oleh karena genangan air banjir selalu
dangkal, maka bagian lebak ini sering juga disebut Lebak Dangkal . .. Lebak
Tengahan, adalah sawah yang lebih jauh lagi dari perkampungan. Genangannya lebih
dalam, antara 50 sampai 100 cm, selama kurang dari 3 bulan, atau antara 3-6 bulan.
Masih termasuk wilayah Lebak Tengahan, apabila genangannya dalam, lebih dari 100
cm, tetapi jangka waktu genangannya relatif pendek, yaitu kurang dari 3 bulan. ..
Lebak Dalam, adalah bagian lebak yang dalam airnya, dan sukar mengering kecuali
pada musim kemarau panjang. Disebut juga lebak lebung , tempat memelihara ikan yang
tertangkap, waktu air banjir telah surut. Tinggi air
genangan umumnya lebih dari 100 cm, selama 3-6 bulan, atau lebih dari 6 bulan.
Masih termasuk Lebak Dalam, apabila genangannya lebih dangkal antara 50-100 cm,
tetapi lama genangannya harus lebih dari enam bulan secara berturut-turut dalam
setahun. 3.5. JENIS TANAH 3.5.1. Pembagian dan klasifikasi tanah Tanah-tanah di
lahan rawa lebak, baik di wilayah tanggul sungai maupun di rawa belakang, secara
morfologis mempunyai kenampakan mirip dengan tanah marin di lahan rawa pasang surut
air tawar. Hanya bedanya, karena tanah-tanah Lahan Rawa Lebak 108 di rawa lebak
bukan merupakan endapan marin, maka tanah rawa lebak tidak mengandung pirit. Namun,
di wilayah peralihan dengan rawa pasang surut air tawar, lapisan pirit masih
mungkin diketemukan, tetapi biasanya pada kedalaman 50-70 cm atau lebih dari 120
cm. Secara skematis, pembagian tanah pada lahan rawa lebak berdasarkan ketebalan
gambut, dan kedalaman lapisan bahan sulfidik (jika ini ada) disajikan pada Gambar
3.4. Ada dua kelompok tanah pada lahan lebak, yaitu Tanah Gambut, dengan ketebalan
lapisan gambut >50 cm, dan Tanah Mineral, dengan ketebalan lapisan gambut di
permukaan 0-50 cm. Tanah mineral yang mempunyai lapisan gambut di permukaan antara
20-50 cm disebut Tanah Mineral Bergambut. Sedangkan Tanah Mineral murni, sesuai
kesepakatan, hanya memiliki lapisan gambut di permukaan tanah setebal <20 cm. Tanah
Gambut biasanya menempati wilayah Lebak Tengahan dan Lebak Dalam, khususnya di
cekungan-cekungan, dan sebagian besar merupakan gambut-dangkal (ketebalan gambut
antara 50-100 cm), dan sebagian kecil merupakan gambut-sedang (ketebalan gambut
100-200 cm). Kubah gambut nampaknya tidak terbentuk. Gambut yang terbentuk umumnya
merupakan gambut topogen, tersusun sebagian besar dari gambut dengan tingkat
dekomposisi sudah lanjut, yaitu gambut saprik. Sebagian lapisan tersusun dari
gambut hemik. Seringkali mempunyai sisipan-sisipan bahan tanah mineral di antara
lapisan gambut. Warna tanah tersebut coklat sangat gelap (7,5YR 2,5/2), atau hitam
(10YR 3/2), reaksi gambut di lapang termasuk masam-sangat masam (pH 4,5-6,0).
Kandungan basa-basa (hara) rendah (total kation: 1-6 me/100 g tanah), dan kejenuhan
basanya juga rendah (KB: 3-10%). Sebagian gambut di Lebak Dalam, mempunyai tingkat
dekomposisi bahan gambut tengahan, yaitu gambut hemik. Warnanya relatif sama,
coklat sangat gelap atau hitam, reaksi tanah masam (pH 6,0), dan kesuburan tanah
masih termasuk rendah. Dalam klasifikasi Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999),
tanah-tanah tersebut masuk dalam ordo Histosols, dalam tingkat (subgrup)
Typic/Hemic Haplosaprists, Terric Haplosaprists, dan Terric Haplohemists. Tanah
gambut, sebagai Haplosaprists dangkal (antara 50-100 cm), sebagian ditemukan di
lebak tengahan, dan sebagai Haplohemists dan Haplosaprists dangkal umumnya lebih
banyak ditemukan di bagian lebak dalam. Subagyo 109 Gambar 3.4. Skematis pembagian
tanah pada lahan rawa lebak Lahan Rawa Lebak 110 Tanah Mineral yang menyusun lahan
rawa lebak, hampir seluruhnya berkembang atau terbentuk dari bahan endapan sungai.
Tetapi di wilayah peralihan antara zona II (lahan rawa pasang surut air tawar) dan
zona III (lahan rawa lebak), di bagian bawah profil tanah lebak ditemukan lapisan
yang mengandung bahan sulfidik (pirit). Tanah yang mengandung lapisan bahan
sulfidik, dengan sendirinya
termasuk tipologi lahan rawa pasang surut yang disebut Lahan Potensial. Berdasarkan
letak kedalaman bahan sulfidik dari permukaan tanah, dikenal Lahan Potensial-1,
jika kedalaman lapisan bahan sulfidik lebih dari 100 cm, dan Lahan Potensial-2,
jika kedalaman lapisan bahan sulfidik terletak antara 50-100 cm. Pengelolaan dan
penataan lahan yang mengandung bahan sulfidik harus lebih berhati-hati, dan
pemanfaatannya untuk pertanian harus mengikuti sistem penataan lahan yang berlaku
untuk lahan pasang surut (Bab 2.3 dan Bab 2.6 pada Bab Lahan Pasang Surut). Secara
umum, pengelolaan lahan untuk tanah mineral yang berbahan induk bahan endapan
sungai, lebih mudah karena bebas dari bahan sulfidik. Dalam Taksonomi Tanah (Soil
Survey Staff, 1999), tanah mineral pada lahan lebak termasuk dalam ordo Entisols
dan Inceptisols. Oleh karena termasuk tanah basah (wetsoils), semuanya masuk dalam
subordo Aquents, dan Aquepts. Klasifikasi lebih lanjut pada tingkat subgrup, baik
untuk Lahan Potensial-1 dan Lahan Potensial-2 maupun Tanah Rawa Lebak normal dan
Tanah Mineral Bergambut, dapat dilihat pada Gambar 3.4. Tanah-tanah mineral yang
menempati lebak pematang, umumnya termasuk Inceptisols basah, yakni (subgrup)
Epiaquepts dan Endoaquepts, dan sebagian Entisols basah yaitu Fluvaquents. Pada
lebak tengahan, yang dominan adalah Entisols basah, yakni Hydraquents dan
Endoaquents, serta sebagian Inceptisols basah, sebagai Endoaquepts. Kadang
ditemukan gambut-dangkal, yakni Haplosaprists. Pada wilayah lebak dalam yang air
genangannya lebih dalam, umumnya didominasi oleh Entisols basah, yakni Hydraquents
dan Endoaquents, serta sering dijumpai gambut-dangkal, Haplohemists dan
Haplosaprists. 3.5.2. Sifat kimia tanah mineral lahan lebak Dari hasil penelitian
identifikasi potensi lahan rawa lebak untuk pengembangan tanaman pangan, dalam
rangka antisipasi El-Nino , telah diketahui lahan rawa lebak di Provinsi Lampung,
Sumatera Selatan, Riau, dan Subagyo 111 Kalimantan Selatan (Alkasuma et al., 2001).
Dalam mendelineasi penyebaran lahan lebak di keempat provinsi tersebut, dilakukan
interpretasi citra satelit Landsat-TM5 bulan Januari 1998 (saat El-Nino berakhir),
dan Landsat TM7 bulan Mei 2000 (saat terjadi genangan), selain menggunakan berbagai
peta pendukung, seperti peta topografi, peta geologi, dan peta penggunaan lahan,
juga dilakukan interpretasi citra satelit Landsat-TM5 bulan Januari 1998 (saat E
lNino berakhir), dan Landsat TM7 bulan Mei 2000 (saat terjadi genangan). Hasilnya
menunjukkan bahwa di Sumatera Selatan terdapat lahan rawa lebak seluas 368.685 ha,
yang dijumpai di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Musi Banyuasin, Kotamadya Palembang,
dan Kabupaten Ogan Komering Ulu. Di Provinsi Lampung diidentifikasi lahan rawa
lebak seluas 126.465 ha, tersebar di Kabupaten Tulang Bawang, Lampung Timur, dan
Lampung Selatan. Di Provinsi Riau terdapat lahan rawa lebak seluas 211.587 ha,
menyebar di sepanjang aliran S. Kuantan, Kampar, dan Rokan. Di Provinsi Kalimantan
Selatan, lahan rawa lebak yang diidentifikasi sekitar 208.893 ha. Bagian terluas
terdapat di sekitar aliran Sungai Barito dan S. Negara, meliputi Kabupaten Hulu
Sungai Utara, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, dan Tapin. Selama
penelitian, pembuatan profil tanah di lahan rawa lebak sulit dilakukan karena air
tanah sangat rendah atau tergenang air. Oleh karena itu, telah diamati 33 pemboran
tanah, yang terdiri atas 15 pemboran di Lebak Pematang, 11 pemboran di Lebak
Tengahan, dan 7 pemboran di Lebak Dalam. Dari 33 pemboran tanah tersebut telah
dikumpulkan sebanyak 115 contoh tanah, yang semuanya dianalisis di laboratorium.
Hasil analisis dirangkum dalam Tabel 3.2, akan digunakan untuk mengevaluasi sifat-
sifat kimia dan kesuburan tanah mineral pada lahan rawa lebak. Dari evaluasi sifat-
sifat fisiko-kimia pada Tabel 3.2 tersebut dapat
disimpulkan hal-hal berikut : .. Sifat kimia dan kesuburan Lebak Pematang umumnya
lebih baik daripada Lebak Tengahan dan Lebak Dalam. Tekstur tanahnya lebih
bervariasi (halus sampai sedang), reaksi tanah lebih baik (kurang masam), dan
kandungan P2O5, total kation, dan kejenuhan basa relatif lebih tinggi daripada
kedua tipologi lebak lainnya. Lahan Rawa Lebak 112 Tabel 3.2. Sifat fisiko-kimia
tanah mineral lahan rawa lebak Sifat-sifat tanah Lebak pematang Lebak tengahan
Lebak dalam hC; C; SiC; SiCL; SiL; L; SL hC; C; SiC; SiCL hC; SiC Tekstur (Ps:
<15%; Db: 5-60%; liat: 18-90%) (Ps: <10%; Db: 20-60%; liat: 35-80%) (Ps: <5%; Db:
20-45%; liat: 55-80%) Reaksi tanah .. pH-lapang .. pH-lab 5,5-7,0 4,0-5,5 sm-nt
mlb-sm 5,0-7,0 3,5-4,5 sm-nt me-mlb 5,5-6,5 3,5-4,5 sm-sdm me-mlb % karbon ..
Kisaran (%) .. Terbanyak (%) 0,09-12,04 (0,40-8,60) sr-st sr-t 0,52-17,20 (0,30-
10,32) sr-st sr-st 1,20-18,92 (1,72-12,04) sr-st r-st Fosfat dan kalium (terbanyak)
.. P2O5 (mg/100 g) .. K2O (mg/100 g) .. P-Bray (ppm) 5-40 5-40 3-23 sr-s sr-s sr-s
3-40 5-60 2-27 sr-s sr-t sr-t 2-25 5-25 3-15 sr-r sr-s sr-r Basa dapat tukar
Terbanyak Ca & Mg; K dan Na sangat sedikit Terbanyak Ca & Mg; K dan Na sangat
sedikit Terbanyak Ca & Mg; K dan Na sangat sedikit Total kation dapat tukar 0,6-21%
sr-t 1-20% sr-t 4-18% r-t Kejenuhan basa 10-100% sr-st 3-80% sr-t 6-75% sr-t
Keterangan : .. Tekstur : hC = liat berat; C = liat; SiC = liat berdebu; SiCL =
lempung liat berdebu; SiL = lempung berdebu; L = lempung; dan SL = lempung
berpasir. .. Reaksi tanah : me = masam ekstrim (pH = 3,5); mlb = masam luar biasa
(pH 3,64,5); sms = sangat masam sekali (pH 4,6-5,0); sm = sangat masam (pH 5,1-
5,5); am= agak masam (pH 5, 6-6,0); sdm = sedikit masam (pH 6,1-6,5); nt = netral
(pH 6,6-7,3). .. Kandungan sifat kimia lainnya : sr = sangat rendah; r = rendah; s
= sedang; t = tinggi; dan st = sangat tinggi. .. Tekstur tanah rawa lebak umumnya
dicirikan oleh kandungan fraksi liat dan debu yang tinggi, tetapi fraksi pasirnya
sangat rendah. Tekstur tanah terbanyak adalah liat berat (hC), liat (C), dan liat
berdebu (SiC). Tekstur tanah Lebak pematang lebih bervariasi, dari halus (hC,C)
sampai sedang (SiL, L), terkadang juga dijumpai tekstur relatif kasar (SL). Tekstur
lebak Tengahan relatif halus (hC, C, SiC, dan SiCL), sedangkan tekstur Lebak Dalam
sangat halus (hC dan SiC), dengan kandungan liat yang sangat tinggi (55-80 %). ..
Kandungan bahan organik (% karbon) Lebak Tengahan dan Lebak Dalam relatif lebih
tinggi daripada lebak Pematang. Tetapi, kandungan P2O5 dan K2O tanah Lebak Pematang
cenderung lebih tinggi daripada Lebak Tengahan, dan lebih tinggi daripada Lebak
Dalam. Hal yang mirip sama terjadi pada fosfat (P) Subagyo 113 tersedia (P-Bray),
di mana kandungan P pada tanah Lebak Pematang dan Lebak Tengahan lebih tinggi
daripada Lebak Dalam. .. Komposisi basa-basa dapat tukar (Ca, Mg, K, dan Na)
menunjukkan bahwa Ca dan Mg terbanyak, sedangkan K dan Na sangat sedikit, namun
Lebak Pematang cenderung lebih kaya daripada Lebak Tengahan dan Lebak Dalam. Hal
ini diperkuat oleh kandungan total kation dapat tukar dan kejenuhan basa. 3.5.3.
Penataan lahan Secara umum tidak banyak yang dapat diinformasikan mengenai penataan
lahan di lahan Rawa lebak. Di daerah rawa lebak di Sumatera Selatan, di wilayah
Kabupaten Ogan Komering Ilir, Musi Banyuasin, Kotamadya Palembang, dan Kabupaten
Ogan Komering Ulu, sawah lebak telah diusahakan secara tetap dari
tahun ketahun, khususnya pada dataran banjir Sungai Musi, Ogan, Komering, Lematang.
Pada musim hujan (antara Oktober sampai dengan Mei), sungaisungai tersebut pada
umumnya banjir sampai melimpah ke kiri dan kanan sungai membanjiri dataran rawa
belakang. Puncak banjir tertinggi biasanya di sekitar bulan Desember sampai dengan
Januari. Air banjir mulai menurun sekitar bulan Februari-Maret, dimana persiapan
tanah dan pesemaian dimulai. Musim tanam padi lebak umumnya terjadi pada bulan Mei
sampai Juni, yaitu pada waktu tinggi air di lebak berkisar antara 25-30 cm.
Penanaman harus segera dimulai dan diselesaikan. Pada Lebak Pematang dan Lebak
Tengahan, apabila terlambat menanam dapat mengalami masalah kekeringan, dan
penyiangan akan lebih berat. Sebaliknya, pada Lebak Dalam, kalau terlambat menanam,
akan terjadi risiko tenggelam karena hujan sudah mulai turun, terutama pada bulan-
bulan panen. Panen padi pada sawah lebak di daerah ini umumnya terjadi dalam bulan
September sampai Oktober. Penataan lahan yang dapat dianjurkan secara umum adalah :
.. Lebak Pematang : memiliki kondisi alam yang relatif lebih menguntungkan,
dibandingkan dengan kedua tipe lebak lainnya, walaupun kemungkinan terjadi
kekeringan/kekurangan air pada musim kemarau. Zona ini seyogyanya diarahkan
penggunaannya untuk permukiman, pekarangan, kebun buah Lahan Rawa Lebak 114 buahan,
dan lahan untuk prasarana umum. Sistem pertanaman dengan teknik surjan dapat
dilaksanakan di zona ini. .. Lebak Tengahan : yang sepanjang tahun relatif tidak
kekurangan air, diarahkan penggunaannya untuk wilayah persawahan lebak, seperti
yang telah dilakukan selama ini. Sebagai tambahan usaha, dapat juga dilakukan
pertanaman tanaman palawija dan sayuran pada galengan-galengan sawah. Sistem
pertanaman dengan teknik surjan, tergantung kondisi air genangan, mungkin masih
dapat dilaksanakan di zona ini. .. Lebak Dalam : karena secara alamiah menempati
posisi paling rendah, arahan penggunaannya yang paling tepat adalah tetap berfungsi
sebagai waduk penampungan air banjir alamiah. Pemanfaatan lain yang selama ini
telah berlangsung adalah untuk budidaya perikanan air tawar, dan bila memungkinkan
dapat dijadikan tempat rekreasi air secara terbatas. PENUTUP Seperti telah
disebutkan sebelumnya, luas lahan rawa lebak adalah sekitar 13,28-13,32 juta ha,
atau kira-kira sepertiga dari luas total lahan rawa. Data Dirjen Pengairan Dep. PU
(sekarang Kimpraswil) sekitar 1,547 juta ha telah dibuka untuk persawahan dan
permukiman, sebagian besar 71% (1.009 juta ha) melalui swadaya masyarakat, dan
sisanya 29% melalui program pemerintah. Kalau angka 13,32 juta ha benar, berarti
masih cukup luas, sekitar 11,77 juta ha , lahan lebak yang dapat dikembangkan untuk
pertanian. Ditinjau dari aspek potensi, secara umum lahan lebak sebenarnya lebih
baik dari lahan pasang surut, oleh karena tanah lahan lebak seluruhnya tersusun
dari endapan sungai (fluviatil), yang tidak mengandung bahan sulfidik/pirit.
Terkecuali tentunya pada zona peralihan antara lahan lebak dan lahan pasang surut,
di lapisan bawah sekitar kedalaman 1 m, mungkin masih ditemukan adanya lapisan
bahan sulfidik yang merupakan endapan marin. Bagian yang potensial untuk pertanian
dari lahan lebak adalah lebak pematang (atau lebak dangkal), dan lebak tengahan,
yang umumnya di jadikan persawahan lebak dengan pertanaman palawija dan sayuran
pada galengan sawah, atau di bagian guludan/bedengan pada sistem surjan, terutama
pada lebak pematang. Subagyo 115 Sementara lebak dalam, karena bentuknya mirip
suatu cekungan, kondisi airnya relatif masih tetap dalam walaupun di musim kemarau,
sehingga lebih sesuai
untuk budidaya perikanan air tawar. Pengalaman penelitian terbatas dalam
pengelolaan lahan lebak menunjukkan bahwa lahan lebak, disamping padi sebagai
tanaman utama, berbagai tanaman palawija seperti jagung, kedelai, kacang hijau,
kacang tunggak, dan ubi jalar cukup potensial dikembangkan, baik secara monokultur
maupun tumpangsari. Salah satu masalah utama dalam pengelolaan lahan lebak adalah
kedalaman genangan yang semakin dalam selama berlangsungnya musim hujan, jika
penanaman padi di lakukan pada awal musim hujan. Sebaliknya lahan lebak berangsur
semakin surut menjadi hampir kering dan kering di musim kemarau. Secara
tradisional, petani menanami lahannya setelah genangan air mulai turun di akhir
musim hujan. Penanaman di mulai dari lebak pematang dan berlanjut ke lebak
tengahan. Pada tahun-tahun dengan kemarau panjang, lahan lebak merupakan lahan yang
subur untuk pertanaman padi dan palawija. Sebagaimana lahan pasang surut, ke depan,
lahan lebak juga merupakan calon lumbung padi/beras nasional, yang mampu mendukung
dan mengamankan program ketahanan pangan. Oleh karena potensinya yang besar untuk
penambahan areal produksi pertanian baru di masa mendatang, maka kegiatan
inventarisasi biofisik, termasuk masalah berapa luas lahan lebak yang lebih past i,
penelitian karakteristik pola hidrologi, dan potensi agronomi lahan lebak, perlu
lebih mendapatkan fokus perhatian lebih besar. Penelitian yang lebih intensif, juga
diperlukan untuk mendapatkan varitas-varitas tanaman berproduksi tinggi, yang
sesuai di budidayakan di lahan lebak. DAFTAR PUSTAKA Alkasuma, Suparto, Samdan CD.,
dan Jaelani. 2001. Laporan Akhir. Identifikasi Potensi Lahan Rawa Lebak untuk
Pengembangan Tanaman Pangan dalam rangka Antisipasi Dampak EI-Nino. Bag. Proyek
Penel. Sumberdaya Air dan Iklim. Puslitbangtanak, Bogor. Ditjen Pengairan PU
(Pekerjaan Umum). 1998. Pengembangan Daerah Rawa. Direktorat Jenderal Pengairan,
Dep. PU. Februari 1998. Hlm. 93. Lahan Rawa Lebak 116 Nugroho, K., Alkasuma, Paidi,
W. Wahdini, Abdulrachman, H. Suhardjo, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1991. Laporan
Akhir. Penentuan areal potensial lahan pasang surut, rawa, dan pantai. Skala
1:500.000. Laporan Teknik No. 1/PSRP/1991. Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan,
Puslittanah dan Agroklimat. Hlm.109. Soil Survey Staff. 1999. Soil Taxonomy. A
Basic System of Soil Classification fo r Making and Interpreting Soil Surveys.
Second Edition. Agr. Handb. 436, Natural Resources Conservation Service-USDA. 117
IV TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN SULFAT MASAM Didi Ardi Suriadikarta dan Diah
Setyorini Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam 118 4.1. PENDAHULUAN Lahan rawa
di Indonesia cukup luas dan tersebar di tiga pulau besar, yaitu di Sumatera,
Kalimantan, dan Irian Jaya (Papua). Menurut Widjaja-Adhi et al. (1992) luas lahan
rawa Indonesia 33,4 juta ha, yang terdiri atas lahan rawa pasang surut sekitar 20
juta ha dan lahan lebak 13,4 juta ha. Pembukaan lahan rawa pasang surut dilakukan
berkaitan dengan program pemukiman transmigrasi yang dimulai sejak Pelita I (orde
baru) sekitar tahun
1969 melalui program Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S). Pemanfaatan
lahan pasang surut untuk pertanian merupakan pilihan yang strategis dalam
mengimbangi penciutan lahan produktif di pulau Jawa yang dialihfungsikan untuk
pembangunan sektor non pertanian seperti, perumahan, jalan raya, industri dan
pembangunan lainnya. Menurut Sudiadikarta et al., (1999 ) sampai saat ini lahan
rawa yang telah dibuka 2,4 juta ha, 1,5 juta ha di Kalimantan dan 0,9 ha di
Sumatera. Lahan rawa di Irian Jaya (Papua) sampai saat ini masih belum dibuka untuk
pertanian. Pengembangan lahan rawa memerlukan perencanaan pengelolaan dan
pemanfaatan yang baik dan memerlukan penerapan teknologi yang sesuai, terutama
pengelolaan tanah dan air yang tepat. Pemanfaatan yang bijak, pengembangan yang
seimbang dan pengelolaan yang sesuai dengan karakteristik, sifat dan kelakuannya,
diharapkan dapat mengembalikan lahan rawa menjadi lahan pertanian yang
berproduktivitas tinggi, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Widjaja-Adhi,
1995a dan 1995b). Sejak proyek P4S tahun tujuh puluhan dan dilanjutkan dengan
proyek penelitian Badan Litbang Pertanian Swamp I, Swamp II, dan kerjasama dengan
Belanda (LAWOO) tahun delapan puluhan, Proyek Penelitian Pengembangan Lahan Rawa
Terpadu (ISDP) dan Proyek Pertanian PLG tahun sembilan puluhan telah banyak
teknologi pengelolaan lahan rawa yang dihasilkan (Suriadikarta dan A. Abdurachman,
1999). Teknologi itu antara lain adalah teknologi pengelolaan tanah, tata air
mikro, teknologi ameliorasi tanah dan pemupukan, penggunaan varietas yang adaptif,
teknologi mengatasi hama dan penyakit, dan model usahatani. Namun penerapan
teknologi pertanian lahan rawa umumnya tidak dapat diterapkan secara berkelanjutan
disebabkan ada beberapa kendala yaitu : modal petani yang rendah, infrastruktur
yang terbatas, kelembagaan pedesaan yang minim, dan kurangnya perhatian pemerintah
dalam pemeliharaan jaringan tata air makro secara konsisten. Suriadikarta dan
Setyorini 119 Berbagai kegagalan telah didokumentasikan namun keberhasilan juga
telah dicapai sepanjang pengembangan lahan rawa. Terjadinya lahan bongkor akibat
reklamasi yang kurang tepat merupakan pengalaman kegagalan yang tidak perlu
terulang lagi dalam pengembangan lahan rawa yang masih memungkinkan untuk
pengembangan pertanian. Potensi lahan rawa yang masih besar ini sebaiknya dapat
dimanfaatkan untuk menunjang persiapan pengembangan sistem ketahanan pangan dan
agribisnis yang menjadi program utama sektor pertanian. Sebagaimana disampaikan
oleh Menteri Pertanian (1999). Lahan rawa, baik rawa pasang surut maupun bukan
pasang surut (lebak) dapat dijadikan basis pengembangan sistem ketahanan pangan,
untuk kepentingan jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Sehingga perhatian
berupa investasi, terutama swasta dalam pemanfaatan lahan rawa seyogyanya dapat
lebih ditingkatkan 4.2. PENGELOLAAN TANAH DAN AIR Pengelolaan tanah dan air (soil
and water management) merupakan kunci utama untuk keberhasilan pengembangan
pertanian di lahan rawa pasang surut, termasuk tanah sulfat masam. Pengelolaan
tanah dan air ini meliputi jaringan tat a air makro maupun mikro, penataan lahan,
ameliorasi, dan pemupukan. 4.2.1. Jaringan tata air makro Pengembangan lahan rawa
meliputi kegiatan reklamasi dan pengelolaan. Kegiatan reklamasi dimulai dari
perencanaan, penelitian dan pelaksanaan di lapangan. Penelitian yang mendukung
perencanaan reklamasi sangat diperlukan terutama penelitian sumberdaya lahan
meliputi tanah, air, iklim, dan hidrologi serta aspek lingkungan. Dalam
pelaksanaannya reklamasi mencakup pekerjaan penebangan hutan dan pembakaran,
konstruksi jalan, dan pembuatan saluran drainase (Widjaja-Adhi, 1995).
Sistem reklamasi lahan rawa di Indonesia telah dilakukan sejak proyek P4S yang
dimulai awal Pelita I di lahan rawa pasang surut pantai timur Sumatera, Kalimantan
Tengah, dan Kalimantan Selatan serta Kalimantan Barat. Menurut Subagjo dan Widjaja-
Adhi (1998) selama PJP I telah ditetapkan lima sistem jaringan tata air makro,
yaitu: 1) sistem garpu, 2) tangga, 3) sisir tunggal, 4) sisir berpasangan, dan 5)
kombinasi garpu dengan sisir. Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam 120 Selain
kelima sistem tersebut UGM telah mengkombinasikan dengan pembuatan kolam pada ujung
saluran primer atau sekunder (Gambar 4.1) yang disebut dengan sistem kolam.
Keuntungan dari sistem kolam ini adalah asamasam atau racun dapat diendapkan dalam
kolam tersebut tidak masuk ke dalam lahan pertanian dan memelihara aliran sewaktu
air surut. Sistem kolam ini telah dilaksanakan di Pulau Petak dan Barabai
Kalimantan Selatan. Gambar 4.1. Jaringan tata air pada sistem kolam Sistem jaringan
tata air tersebut sebenarnya tidak berlaku umum tetapi tergantung kepada tipologi
lahan dan tipe luapan di daerah itu. Sistem jaringan tata air selain dibedakan
menurut bentuknya dapat pula dibedakan menurut hubungan tata air, yaitu sistem
terbuka dan sistem tertutup. Sistem reklamasi jaringan tertutup adalah cara
pembukaan lahan yang jaringan tata airnya tidak berhubungan satu sama lain
(zonasi). Sistem ini seperti yang dilakukan oleh petani Suku Banjar di Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Tengah dan Suku Bugis di Pulau Sumatera. Pada sistem
tertutup ini pembuatan saluran atau handil sangat hati-hati dengan memperhatikan
karakteristik tanah dan tipe luapan air sungai. Handil itu dibuat tegak lurus
sungai ke arah hutan mengikuti garis kontu r sehingga handil itu tidak selalu lurus
dan panjangnya tergantung air pasang masuk (4-10 km). Cara reklamasi seperti ini
umumnya berhasil dalam Saluran primer Sungai Sungai Saluran sekunder Tersier Kolam
Kolam Suriadikarta dan Setyorini 121 meningkatkan produktivitas lahan rawa,
terutama padi, palawija, dan tanaman buah-buahan. Berdasarkan hasil penelitian
Badan Litbang Pertanian bahwa lahan pasang surut memiliki prospek yang besar untuk
dikembangkan menjadi lahan pertanian terutama dalam kaitannya dalam mendukung
program ketahanan pangan dan agribisnis melalui peningkatan dan diversifikasi
produksi, peningkatan pendapatan dan lapangan kerja. Namun untuk mendukung kearah
pengembangan pertanian yang berhasil dan berkesinambungan dilahan pasang surut ada
dua hal penting yang harus diperhatikan dalam reklamasi lahan, yaitu pemanfaatan
jaringan tata air berikut salurannya dan tata ruang untuk penataan lahannya
(Widjaja-Adhi dan Alihamsyah, 1998). Selanjutnya dalam pembuatan saluran baik
primer, sekunder dan tersier perlu memperhatikan tata letak, dimens i dan cara
pembuatan salurannya disesuaikan dengan fisiografi dan kondisi lahan sehingga
menunjang kelestarian dan produktivitas lahan. Pembuatan saluran harus mengikuti
atau memperhatikan garis kontur dan tipologi lahannya. Saluran dengan
mempertimbangkan garis kontur maka aliran air dapat mengalir dengan baik, tinggi
air di saluran rata. Hal ini akan sangat
berpengaruh dalam proses pencucian bahan-bahan beracun dari lahan ke saluran dan
seterusnya ke sungai berjalan lancar. Dimensi dan kedalaman saluran perlu
dipertimbangkan sehubungan dengan keadaan hidrologi di daerah tersebut, sebab
penurunan muka air yang drastis akan mengakibatkan teroksidasi lapisan pirit, besi,
Al, dan sulfat akan muncul ke permukaan dan dengan adanya air hujan akan
meningkatkan kemasaman (pH) air di saluran. Selain itu penurunan permukaan air yang
drastis juga akan menyebabkan gambut kering tak balik (irrevisible drying) sehingga
akan mempercepat penurunan permukaan gambut (subsidence) dan atau cepat hilangnya
lapisan gambut. Pembuatan tata ruang sebelum saluran dibuat perlu memperhatikan dan
mempertimbangkan pola penggunaan lahan hipotetik yang dikemukakan oleh Widjaja-
Adhi, (1992). Menurut Harjono, (1995) sedikitnya terbuka lima peluang fungsi dari
jaringan pengairan rawa, yaitu 1) berfungsi sebagai saluran drainase, 2) sebagai
pemasukan air, 3) sebagai alat trasportasi, 4) berfungsi sebagai konservasi
sumberdaya air rawa, dan 5) sebagai pendukung bagi proses reklamasi. Untuk mencapai
jaringan tata air ini hendaknya berpegang kepada pola penggunaan lahan dan pola
pemanfaatan sekaligus diharapkan dapat berfungsi sebagai saluran drainase, pemasok
air, mendukung proses reklamasi, dan konservasi sumber air. Teknologi Pengelolaan
Lahan Sulfat Masam 122 Fungsi jaringan tata air sebagai alat transportasi perlu
dipertimbangkan pada tahapan mana ini dapat diberlakukan. Pada tahap saluran primer
dan sekunder mungkin fungsi ini dapat diberlakukan, tetapi untuk tersier sebaiknya
tidak dianjurkan. Pembuatan pintu air pada saluran primer atau sekunder seperti
dilahan ex-PLG sangat tidak efisien karena mengganggu fungsi transportasi
masyarakat sekitar sehingga akhirnya dijebol, pengaturan pintu air sebaiknya mulai
dilakukan di tingkat tersier ke bawah. Dalam rancangan infrastruktur hidrologi,
pengelolaan air di lahan pasang surut dibedakan ke dalam : (1) Pengelolaan air
makro, (2) pengelolaan air mikro, dan (3) pengelolaan air tingkat tersier yaitu
mengkaitkan antara pengelolaan air makro dan pengelolaan air mikro (Widjaja-Adhi
dan Alihamsyah, 1998). Pengelolaan air makro yaitu penguasaan air di tingkat
kawasan reklamasi yang bertujuan mengelola berfungsinya jaringan drainase/irigasi
(navigasi-sekunderter sier), kawasan retarder dan sepadan sungai/laut dan saluran
intersepsi bila diperlukan serta kawasan tampung hujan. Kawasan retarder
dimaksudkan untuk mengurangi terjadinya banjir di daerah hulu sungai termasuk
mengurangi kedalaman dan lama genangan air dilahan lebak dangkal dan tengahan.
Dalam hal ini, seyogyanya lebak dalam dapat dimanfaatkan sebagai kawasan retarder
dengan jalan diperdalam dan alirannya diarahkan ke sungai di bagian hilirnya.
Saluran itersepsi dimaksudkan untuk menampung aliran permukaan dan sebagai tempat
memproses air yang mengandung bahan beracun agar tidak memasuki areal pertanian.
Saluran ini dibuat di daerah perbatasan lahan kering dan rawa menyerupai waduk
panjang serta diarahkan untuk menyalurkan kelebihan air ke sungai di bagian
hilirnya. Kawasan tampung hujan dimaksudkan sebagai daerah sumber air untuk
irigasi. Kawasan tampung hujan sebaiknya dialokasikan pada lahan gambut di bagian
hulu sungai karena gambut memiliki daya menahan dan melepas air tinggi, yaitu
antara 300-800% bobotnya. 4.2.2. Tata air mikro Sistem pengelolaan tata air mikro
berfungsi untuk : (1) mencukupi kebutuhan evapotranspirasi tanaman, (2) mencegah
pertumbuhan tanaman liar pada padi sawah, (3) mencegah terjadinya bahan beracun
bagi tanaman melalui penggelontoran dan pencucian, (4) mengatur tinggi muka air,
dan (5) menjaga
kualitas air di petakan lahan dan di saluran. Untuk lebih memperlancar keluar
masuknya air pada petakan lahan yang sekaligus memperlancar pencucian Suriadikarta
dan Setyorini 123 bahan racun, Widjaja-Adhi (1995) menganjurkan pembuatan saluran
cacing pada petakan lahan dan di sekeliling petakan lahan. Oleh karena itu, sistem
pengelolaan tata air mikro mencakup pengaturan dan pengelolaan tata air di saluran
kuarter dan petakan lahan yang sesuai dengan kebutuhan tanaman dan sekaligus
memperlancar pencucian bahan beracun. Hasil penelitian Suriadikarta et al. (1999),
saluran kuarter biasanya dibuat di setiap batas pemilikan lahan, sedangkan di dalam
petakan lahan dibuat saluran cacing dengan interval 3-12 m dan di sekeliling
petakan lahan tergantung pada kondisi lahannya. Semakin tinggi tingkat keracunan,
semakin rapat pula jarak antar saluran cacing tersebut. Hasil penelitian Subagyono
et al. (1999) pencucian bahan beracun dari petakan lahan dilakukan dengan
memasukkan air ke petakan lahan sebelum tanah dibajak, kemudian air tersebut
dikeluarkan setelah pengolahan tanah selesai. Usaha pencucian ini akan berjalan
baik apabila terdapat cukup air segar, baik dari huj an maupun dari air pasang.
Oleh karena itu, air di petakan lahan perlu diganti seti ap dua minggu pada saat
pasang besar. Pengelolaan air tingkat tersier ditujukan untuk mengatur saluran
tersier agar berfungsi: (1) memasukkan air irigasi, (2) mengatur tinggi muka air di
saluran dan secara tidak langsung di petakan lahan, dan (3) mengatur kualitas ai r
dengan membuang bahan beracun yang terbentuk di petakan lahan serta mencegah
masuknya air asin ke petakan lahan. Sistem pengelolaan air di tingkat tersier dan
mikro tergantung kepada tipe luapan air pasang dan keracunan di petakan lahan.
Penataan air di lahan petani dapat dilakukan dengan sistem aliran satu arah (one-
way flow system) dan sistem aliran yang sifatnya bolak-balik (two way flow system).
Hal yang perlu mendapat perhatian khusus dalam sistem tata air adalah sinkronisasi
antara tata air makro dan mikro (Subagyono et al., 1999) . Misalnya, penerapan
aliran sistem satu arah untuk pencucian hanya akan berjalan efektif jika kondisi
saluran tersier, sekunder, dan primer semuanya dal am kondisi baik dan arah aliran
tidak bolak-balik. Pada sistem aliran satu arah dirancang saluran irigasi dan
saluran drainase secara terpisah. Pintu klep (flapgate) dipasang berlawanan arah.
Pada saluran irigasi pintu klep membuka ke arah dalam sedang pada saluran drainase
pintu klep membuka ke arah luar, sehingga pencucian lahan dapat berlangsung dengan
efektif. Pencucian lahan dimaksudkan agar unsur yang bersifat racun bagi tanaman
seperti Fe+2, sulfat, dan Al+3 keluar dari lahan usaha dan pH tanah menjadi lebih
baik. Tata air pada lahan yang bertipe luapan A dan B perlu diatur dalam sistem
aliran satu arah (one way flow system), sedangkan untuk lahan bertipe luapan C
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam 124 dan D, saluran air perlu
ditabat/disekat dengan stoplog untuk menjaga permukaan air tanah agar sesuai dengan
kebutuhan tanaman serta memungkinkan air hujan tertampung dalam saluran tersebut.
Untuk keperluan pengaturan tata air ini perlu dibangun pintu-pintu yang sesuai
sebagai pengendal i
air. Pintu air tersebut dapat berupa stoplog maupun pintu ayun atau pintu engsel
(flapgate). Skesta kedua sistem tata air tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.2 dan
4.3. Hasil penelitian pengelolaan tata air mikro dengan cara tersebut pada lahan
sulfat masam dengan berbagai sistem penataan lahan di Karang Agung Ulu oleh
Djayusman et al. (1995) menunjukkan adanya peningkatan kualitas lahan dan hasil
tanaman dari musim ke musim. Aliran satu arah dikombinasikan dengan pengolahan
tanah memakai traktor tangan dan pemberian dolomit pada lahan sulfat masam dalam
satu unit tata air saluran sekunder (50 ha) oleh Proyek ISDP (1997), dapat secara
cepat meningkatkan kualitas lahan dan memberikan hasil yang baik bagi tanaman padi
dan palawija. Nilai pH air tanah meningkat dari rata-rata 4,2 pada saat sebelum
pengolahan tanah menjadi rata-rata 4,8 pada saat penanaman dan 5,4 pada pada saat
panen (Widjaja-Adhi dan Alihamsyah, 1998). Sedangkan kandungan Fe++ 160 ppm pada
saat tanam dan 72 ppm pada saat panen. Hasil rata-rata ubinan padi varietas
Cisadane mencapai 6,26 t/ha GKP sedangkan varietas Cisangarung dapat mencapai 9,44
t/ha GKP. 4.2.3. Penataan lahan Penataan lahan perlu dilakukan untuk membuat lahan
tersebut sesuai dengan kebutuhan tanaman yang akan dikembangkan. Dalam melakukan
penataan lahan perlu diperhatikan hubungan antara tipologi lahan, tipe luapan, dan
pola pemanfaatannya seperti pada tipologi sulfat masam potensial dengan tipe luapan
A, maka penataan lahan sebaiknya untuk sawah (Tabel 4.1), karena pirit akan lebih
stabil tidak mengalami oksidasi dan tanaman padi dapat tumbuh dengan baik. Tetapi
bila tipe luapan B, maka pola pemanfaatan lahan dapat dilaksanakan dengan sistem
surjan. Sistem surjan dapat digunakan untuk tanaman padi, palawija, sayuran atau
buah-buahan. Untuk tanah sulfat masam potensial pengolahan tanah dan pembuatan
guludan sebaiknya dilakukan secara hati-hati dan bertahap. Guludan dibuat secara
bertahap dan tanahnya diambil dari lapisan atas. Hal ini dilakukan untuk
menghindari oksidasi pirit. Suriadikarta dan Setyorini 125 Gambar 4.2. Jaringan
tata air sistem saluran satu arah Gambar 4.3. Jaringan tata air sistem tabat untuk
tipe luapan C dan D Saluran primer/jalur A Flapgate (inlet) Flapgate (inlet)
Flapgate (outlet) Saluran tersier pemasukan Saluran kuarter pengeluaran Flapgate
(outlet) A A A Saluran tersier pengeluaran Saluran sekunder pemasukan Saluran
sekunder pengeluaran Saluran primer/jalur A Stoplog Stoplog Stoplog Saluran
keliling Saluran tersier pemasukan Saluran dangkal intensif Saluran kuarter
pengeluaran Saluran cacing Saluran tersier pengeluaran Stoplog A Saluran sekunder
pengeluaran Saluran sekunder pengeluaran
126 Tabel 4.1. Penataan dan pola pemanfaatan lahan yang dianjurkan pada setiap
tipol ogi lahan dan tipe luapan air di pasang surut Tipologi lahan Tipe luapan air
Kode Tipologi A B C D SMP-1 SMP-2 SMP-3/A SMA-1 SMA-2 SMA-3 HSM G-1 G-2 G-3 Aluvial
bersulfida dangkal Aluvial bersulfida dalam Aluvial bersulfida sangat dalam Aluvial
bersulfat 1 Aluvial bersulfat 2 Aluvial bersulfat 3 Aluvial bersulfida dangkal
bergambut Gambut dangkal Gambut sedang Gambut dalam Sawah Sawah Sawah Sawah/surjan
Sawah/surjan Sawah/surjan Sawah/surjan Sawah Sawah Sawah Sawah/surjan
Sawah/tegalan/kebun Sawah/surjan Sawah/surjan Sawah/kebun Sawah/tegalan
Sawah/tegalan Kebun/kebun Kebun/kebun Sawah/tegalan/kebun Tegalan/kebun
Sawah/tegalan/kebun Sawah/tegalan/kebun Tegalan/kebun Tegalan/kebun Tegalan/kebun
Kehutanan Konservasi Sumber : Widjaja-Adhi (1995) Teknologi Pengelolaan Lahan
Sulfat Masam Suriadikarta dan Setyorini 127 Sistem surjan adalah salah satu contoh
usaha penataan lahan untuk melakukan diversifikasi tanaman dilahan rawa. Lebar
guludan 3-5 m, dan tinggi 0,5-0,6 m, sedangkan tabukan dibuat dengan lebar 15 m.
Setiap ha lahan dapat dibuat 6-10 guludan, dan 5-9 tabukan. Tabukan surjan ditanami
padi sawah, sedangkan guludan ditanami dengan palawija, sayuran, dan tanaman
industri (kencur, kopi, dan kelapa). Dari Tabel 4.1 ditunjukkan bagaimana pola
pemanfaatan lahan dalam kaitannya tipologi lahan dan tipe luapan. Sistem surjan
baik dilakukan pada tipe luapan B dan C sedangkan tipe luapan D lebih baik untuk
sistem pertanian lahan kering. Untuk tanah gambut tekstur lapisan tanah dibawahnya
sangat menentukan dalam pola pemanfaatan lahannya. 4.3. SIFAT DAN KARAKTERISTIK
TANAH SULFAT MASAM Tanah sulfat masam merupakan tanah liat rawa dan seringkali
memiliki lapisan gambut tipis < 20 cm; memiliki lapisan pirit yang belum
teroksidasi (bah an sulfidik) atau sudah teroksidasi (horison sulfurik) pada
kedalaman 0-50 cm. Tanah sulfat masam terbagi menjadi sulfat masam potensial dan
sulfat masam aktual. Sulfat masam potensial dapat berubah menjadi sulfat masam
aktual bila tanah mengalami drainase yang berlebihan akibat reklamasi. Pirit yang
semula stabil dan tidak berbahaya pada kondisi anaerob atau tergenang, akan
teroksidasi bila kondisi berubah menjadi aerob. Menurunnya permukaan air tanah
akibat pembuatan saluran drainase primer-sekunder-tersier menyebabkan oksigen masuk
ke dalam pori tanah dan akan mengoksidasi pirit membentuk asam sulfat, ion hidrogen
dan Fe3+. Apabila oksidasi pirit berlangsung cepat mak a akan terbentuk mineral
jarosit berupa bercak-bercak karatan berwarna kuning jerami (Dent, 1986;
Langenhoff, 1986). Pada kondisi tergenang, kemasaman tanah dapat dikurangi namun
disisi lain muncul masalah keracunan besi fero (Fe2+), Al, Mn, Hidrogen sulfida,
CO2, dan asam organik. Masalah fisik yang sering dijumpai adalah terhambatnya
perkembangan akar tanaman pada horison sulfurik karena tanaman kekurangan air,
pematangan tanah terhambat serta saluran drainase tertutup oleh deposit oksida
besi. Pada kondisi seperti ini, pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme tanah
terhambat. Jenis tanaman yang dapat tumbuh dan berkembang akan sangat terbatas
dengan hasil rendah. Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam 128 4.3.1. Proses
kimia pada tanah sulfat masam Proses kimia pada tanah sulfat masam dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian penting. Pertama, proses kimia yang terjadi dalam
keadaan reduktif, antara lain pembentukan pirit, reduksi besi feri menjadi fero,
serta reduksi senyawa beracun. Kedua, proses kimia pada kondisi oksidatif, yang
terpenting adalah oksidasi pirit. a. Proses reduksi Pada kondisi aerob, sumber
elektron utama bagi aktivitas mikroorganisme pendekomposisi bahan organik adalah
oksigen. Bila keadaan berubah menjadi anaerob, oksigen di dalam tanah secara
perlahan menghilang. Namun demikian, dekomposisi bahan organik oleh bakteri anaerob
tetap berlangsung dengan
memanfaatkan elektron yang dilepaskan dalam proses reduksi nitrat, oksida mangan,
oksida besi, dan sulfat. Dalam proses reduksi selalu memanfaatkan proton, sehingga
pH tanah akan meningkat. Proses kimia penting yang terjadi adalah : Pembentukan
pirit. Pirit (FeS2) adalah mineral berkristal kubus dari senyawa besi-sulfida yang
terkumpul di dalam endapan marin kaya bahan organik dan diluapi air mengandung
senyawa sulfat (SO4 -) dari air laut. Bentuk kristal pirit sangat halus bervariasi
dari < 1 mikron hingga 2-6 mikron. Dalam endapan marin, kristal pirit bergabung
membentuk agregat membulat yang disebut framboid atau kristalaria berukuran > 2
mikron hingga > 100 mikron (van Dam dan Pons, 1972). Kandungan pirit dalam endapan
marin mencapai 5%, tetapi umumnya 1-4% (van Breemen, 1972). Pembentukan pirit
memerlukan persyaratan tertentu : 1. Lingkungan anaerob : Reduksi sulfat hanya
dapat terjadi pada kondisi yang sangat anaerob seperti pada sedimen tergenang dan
kaya bahan organik. Dekomposisi bahan organik oleh bakteri anaerob menghasilkan
senyawasenyawa yang bersifat masam sehingga menyebabkan lingkungan bertambah masam
(Pons et al., 1982); 2. Sulfat terlarut : Sumber utama sulfat adalah air laut atau
air payau pasang; Suriadikarta dan Setyorini 129 3. Bahan organik : Oksidasi bahan
organik menghasilkan energi yang sangat diperlukan oleh bakteri pereduksi sulfat.
Ion sulfat bertindak sebagai sumber elektron bagi respirasi bakteri kemudian
direduksi menjadi sulfida. Jumlah sulfida yang terbentuk berkaitan langsung dengan
jumlah bahan organik yang dimetabolisme oleh bakteri; 4. Jumlah besi : Tanah dan
sedimen mengandung besi oksida dan hidroksida dalam jumlah yang banyak, yang akan
tereduksi menjadi Fe2+, yang sangat larut pada pH sekitar normal atau dijerap oleh
senyawa organik yang larut; 5. Waktu : Waktu yang diperlukan untuk pembentukan
pirit pada kondisi alami masih belum banyak diketahui. Reaksi antara padatan FeS
dan S berjalan sangat lambat, memerlukan waktu bulanan bahkan tahunan untuk
menghasilkan sejumlah pirit. Namun demikian, pada kondisi yang sesuai, Fe2+ larut
dan ion polisulfida dapat membentuk pirit dalam beberapa hari (Howarth, 1979 dalam
Dent, 1986). Reaksi keseluruhan pembentukan pirit dari besi oksida (Fe2O3) sebagai
sumber Fe digambarkan sebagai berikut : Fe2O3 + SO4 2- + 8CH2O + O2 . 2FeS2 +
8HCO3 - + 4H2O sulfat bahan organik PIRIT karbonat Pada kondisi tergenang atau
anaerob, selain terbentuk ion mono-karbonat, di dalam tanah atau sedimen juga
mengandung karbonat yang berasal dari koral atau binatang laut. Karbonat akan
menetralisir kemasaman tanah dan mempertahankan pH sekitar netral. Reduksi
Fe3+menjadi Fe2+. Pada sebagian tanah masam, penggenangan akan mengakibatkan pH
meningkat hingga 6-7 setelah beberapa minggu. Pada kondisi seperti ini, proses
terpenting adalah reduksi Fe3+ menjadi Fe2+ (Ponnamperuma, 1972; Patrick dan Reddy,
1978). Pada tanah sulfat masam muda, peningkatan pH dari 3,0-3,5 menjadi 5,5-6,0
berkaitan dengan tingkat pelarutan Fe2+ yang dicapai. Pada tanah sulfat masam yang
telah lanjut, pH meningkat sangat lambat setelah penggenangan bahkan kadang-kadang
tidak mencapai 5,5-6,0. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh : (1) lambatnya proses
reduksi dan (2) tidak adanya bahan yang akan direduksi seperti misalnya oksida besi
feri. Pada kondisi pertama, maka setelah penggenangan tidak akan terjadi Teknologi
Pengelolaan Lahan Sulfat Masam 130
perubahan nilai Eh atau pH yang drastis. Pada kasus kedua, nilai Eh akan menurun
tanpa meningkatkan pH. Menurut Dent (1986), tanah sulfat masam yang sudah tua
mengandung besi dalam bentuk kristal goetit dan hematit yang stabil sehingga sulit
tereduksi. Sebaliknya tanah sulfat masam yang masih muda kaya akan koloid besi,
sehingga diperkirakan mempunyai kadar besi terlarut yang tinggi setelah
penggenangan. Reduksi oksida Fe3+ dengan bahan organik sebagai donor elektron akan
mengkonsumsi 4 proton : Fe2O3 + CH2O + 4H+ . 2Fe2+ + CO2 + 5/2H2O Konsten et
al., (1990) melaporkan bahwa tanah sulfat masam di Kalimantan ada yang tidak
menunjukkan peningkatan pH setelah penggenangan. Hal ini disebabkan tanah tersebut
mempunyai kandungan oksida Fe3+ yang rendah dibandingkan kapasitas netralisasi oleh
tanah. Reduksi sulfat. Proses reduksi sulfat menjadi sulfida dapat terjadi pada
kondisi pH di atas 4 hingga 5, pada pH di bawah itu reaksi terjadi sangat lambat
dan bahkan tidak ada. Reduksi sulfat seringkali terjadi pada tanah sulfat masam
yang masih muda dan sulfat masam lanjut yang lama tergenang. Reduksi sulfat ini
sangat berkaitan dengan adanya hasil dekomposisi bahan organik yang masih baru. H2S
yang terbentuk sangat beracun bagi tanaman, pada konsentrasi 0,1 mg l-1 H2S sudah
dapat meracuni tanaman padi dalam larutan hara (Mitsui, 1964 dalam van Breemen,
1993). Reaksi yang terjadi digambarkan sebagai berikut : SO4 2- + 2CH2O + 2H+ . H2S
+ 2CO2 + 2H2O b. Proses oksidasi Proses utama yang terjadi bila tanah sulfat masam
teroksidasi adalah oksidasi pirit. Reklamasi lahan rawa melalui pembuatan saluran
drainase mengakibatkan perubahan kimia di dalam tanah sulfat masam. Pirit yang
semula tidak berbahaya pada kondisi tergenang, secara perlahan berubah menjadi
unsur beracun dan merupakan sumber kemasaman tanah bila kondisi tanah berubah
menjadi oksidatif. Perbedaan yang besar antara pasang surutnya air laut serta musim
kemarau yang panjang menyebabkan pirit teroksidasi secara alami. Suriadikarta dan
Setyorini 131 Reaksi oksidasi pirit dengan oksigen pada tanah sulfat masam
berlangsung dalam beberapa tahapan, meliputi reaksi-reaksi kimia dan biologis
(Dent, 1986). Pada tahap awal, oksigen terlarut secara lambat bereaksi dengan pirit
menghasilkan 4 molekul H+ per molekul pirit yang dioksidasi : FeS2 + 15/4O2 +
7/2H2O . Fe(OH)3 + 2SO4 2- + 4H+ Bila pH menurun hingga di bawah 4, maka feri
(Fe3+) menjadi larut dan akan mengoksidasi pirit dengan cepat. Reaksi oksidasi
pirit oleh Fe3+ secara lengkap menghasilkan 16 molekul H+ digambarkan sebagai
berikut : FeS2 + 14Fe3+ + 8H2O . 15Fe2+ + 2SO4 2- + 16H+ Pada nilai pH kurang dari
3,5 reaksi oksidasi kimia ini berjalan sangat lambat dengan waktu paruh 1.000 hari.
Kecepatan oksidasi pirit oleh Fe3+ sangat dipengaruhi oleh pH, karena Fe3+ hanya
larut pada nilai pH di bawah 4 dan Thiobacillus ferrooxidans tidak tumbuh pada pH
yang tinggi. Besi oksida dan piri t di dalam tanah mungkin secara fisik berada pada
tempat yang berdekatan, namun ada tidaknya reaksi di antara mereka sangat
dipengaruhi oleh kelarutan Fe3+. Kecepatan oksidasi pirit cenderung bertambah
dengan menurunnya pH tanah. Pada pH di bawah 4, proses oksidasi terhambat oleh
suplai O2. Kecepatan penurunan pH akibat oksidasi pirit tergantung pada : (1)
jumlah pirit; (2) kecepatan oksidasi; (3) kecepatan perubahan bahan hasil oksidasi;
dan (4) kapasitas netralisasi. Kalsium karbonat dan basa dapat ditukar merupakan
bahan penetralisir kemasaman dimana reaksinya dengan asam sulfat berjalan cepat
(van Breemen, 1993).
Di dalam tanah, berbagai tingkatan oksidasi yang berlangsung tidak terjadi pada
titik yang sama. Pengujian secara mikro-morfologi menunjukkan bahwa ada
perbedaan/batas yang nyata antara lokasi beradanya pirit dan bahan hasil
oksidasinya seperti jarosit, besi oksida, dan gipsum. Pirit biasanya terdapat di
dalam inti dari ped, sedangkan jarosit, besi oksida, dan gipsum terdapat pada
permukaan ped dan ruang pori. van Breemen (1976) menduga bahwa oksigen bereaksi
dengan Fe2+ terlarut membentuk Fe3+ terlebih dahulu sebelum bertemu dengan pirit.
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam 132 c. Hasil oksidasi pirit Oksidasi pirit
oleh Fe3+ menghasilkan ion (H+) yang kemudian sebagian digunakan lagi untuk
mengoksidasi Fe2+ menjadi Fe3+. Hasil akhir dari oksidasi pirit adalah hidroksida
Fe3+. Pada pH > 4, oksida dan hidroksida Fe3+ akan mengendap, misalnya dalam bentuk
goetit yang lambat laun akan berubah menjadi hematit (Dent, 1986). Jarosit
[KFe3(SO4)2(OH)6] merupakan endapan berwarna kuning pucat hasil oksidasi pirit pada
kondisi yang sangat masam, yaitu pada Eh diatas 400 mV dan pH kurang dari 3,7.
Reaksi pembentukannya sebagai berikut : FeS2 + 15/4O2 + 5/2H2O + 1/3K+ .
1/3(KFe3(SO4)2(OH)6 + 4/3SO4 2- + 3H+ Pada pH di atas 4, jarosit tidak stabil dan
mudah berubah menjadi goetit dan terhidrolisa menjadi oksida besi. Hasil pengujian
mikroskopi terhadap irisan tipis dan difraksi sinar X menunjukkan bahwa bercak
kuning yang merupakan karakteristik tanah sulfat masam didominasi oleh jarosit dan
goetit. Bercak mera h dan coklat pada sulfat masam adalah goetit yang kadang-kadang
berasosiasi dengan jarosit dan hematit (van Breemen, 1976). Sulfat merupakan salah
satu hasil oksidasi pirit yang sangat sedikit dijerap oleh profil tanah. Sebagian
besar dari sulfur terlarut hilang bersama air draina se atau berdifusi ke lapisan
di bawahnya yang kemudian akan direduksi kembali menjadi sulfida. Sebagian kecil
tertahan dalam bentuk jarosit atau gipsum. Gipsum terbentuk pada tanah sulfat masam
melalui reaksi netralisasi kemasaman oleh kalsium karbonat : CaCO3 + 2H+ + SO4 2- +
H2O . CaSO4 2H2O + CO2 Ion hidrogen (proton) yang dihasilkan dari oksidasi pirit
menyebabkan kondisi tanah yang sangat masam. pH yang sangat rendah menyebabkan
penghancuran kisi-kisi mineral liat sehingga silikat dan Al3+ terlepas. Di lapan
gan, nilai pH tanah sulfat masam berkisar antara 3,2 hingga 3,8 (Dent, 1986).
Meningkatnya kandungan silika dan Al3+ terlarut mempengaruhi karakteristik tanah
dan air tanah. Aktivitas Al3+ terlarut berkorelasi secara langsung dengan
Suriadikarta dan Setyorini 133 pH, bila pH meningkat maka aluminium akan mengendap
sebagai hidroksida atau basic sulfate (van Breemen, 1973). Beberapa unsur mikro
seperti Ni dan Co ikut terakumulasi di dalam sedimen karena mensubstitusi Fe dalam
pirit atau unsur Cu, Zn, Pb yang menggantikan sulfida (Deer et al., 1965 dalam van
Breemen, 1993). Unsur-unsur tersebut akan terlepas kembali saat pirit teroksidasi.
Satawathananont (1986 dalam van Breemen, 1993) menunjukkan bahwa konsentrasi unsur
Cu, Zn, Mo, Cd, Pb, Ni, dan As terdapat dalam jumlah yang lebih tinggi pada tanah
berpirit yang aerasinya baik (pH 2,9) dibandingkan pada tanah sulfat masam yang
sudah berkembang (pH 3,9-4,5) dan tanah marin yang tidak masam (pH 4,9) di
Bangkok. Lebih lanjut ia mengamati tanah yang diinkubasi pada nilai potensial
redoks dan pH yang terkontrol dalam suasana masam yang oksidatif selama dua minggu,
logam berat yang larut air lebih tinggi pada tanah berpirit dibandingkan tanah
lanjut/tua. Selain unsur mikro, masih banyak unsur lain seperti gas SO2, Fe2+, H2S,
Al3+ dan asam-asam organik yang dilepaskan sebagai akibat teroksidasinya pirit.
Keluarnya unsur-unsur beracun tersebut dari tanah melalui air drainase ke perairan
umum dapat menyebabkan polusi dan mengancam kehidupan biota sungai/laut. 4.4.
TEKNOLOGI AMELIORASI DAN PEMUPUKAN PADA LAHAN SULFAT MASAM Ameliorasi tanah sulfat
masam untuk memperbaiki sifat kimia dan fisik tanah harus dilakukan terlebih dahulu
sebelum pemupukan dilaksanakan. Pemupukan tanpa perbaikan tanah tidak akan efisien
bahkan tidak respon. Produktivitas tanah sulfat masam biasanya rendah, disebabkan
oleh tingginya kemasaman (pH rendah), kelarutan Fe, Al, dan Mn serta rendahnya
ketersediaan unsur hara terutama P dan K dan kejenuhan basa yang dapat mengganggu
pertumbuhan tanaman (Dent, 1986). Oleh karena itu tanah seperti ini memerlukan
bahan pembenah tanah (amelioran) untuk memperbaiki kesuburan tanahnya sehingga
produktivitas lahannya meningkat. Bahan amelioran yang dapat digunakan adalah
kaptan dan Rock Phosphate. Kaptan digunakan untuk meningkatkan pH tanah sedangkan
Rock Phosphate untuk memenuhi kebutuhan hara P-nya. Teknologi Pengelolaan Lahan
Sulfat Masam 134 Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menetapkan
kebutuhan kapur menurut (Mc Lean, 1982, dalam Al-Jabri, 2002) adalah 1) derajat
pelapukan dari tipe bahan induk, 2) kandungan liat, 3) kandungan bahan organik, 4)
bentuk kemasaman, 5) pH tanah awal, 6) penggunaan metode kebutuhan kapur, dan 7)
waktu. Penetapan kebutuhan kapur untuk tanah sulfat masam dapat dilakukan melalui
beberapa metode, yaitu : 1) kebutuhan kapur berdasarkan metode inkubasi, 2) metode
titrasi, dan 3) berdasarkan Al-dd. Penetapan kebutuhan kapur dengan metode inkubasi
dilakukan dengan mencampurkan kapur dan tanah serta air dalam beberapa dosis kapur
selama beberapa waktu tertentu, biasanya dari satu minggu sampai beberapa minggu.
Lalu kebutuhan kapur ditentukan pada nilai pH tertentu. Menurut Mc. Lean (1982
dalam Al-Jabri 2002), kelemahan metode ini adalah terjadinya akumulasi garam (Ca,
Mg, dan K) sehubungan dengan aktivitas mikroba sehingga takaran kapurnya lebih
tinggi. Penetapan kebutuhan kapur berdasarkan metode titrasi dengan NaOH 0,05 N
untuk mencapai pH tertentu lebih rendah jika dibandingkan dengan metode inkubasi
dan Al-dd KCl 1 N, tetapi cara ini lambat tidak sesuai untuk analisis rutin (Al-
Jabri, 2002). Walaupun kebutuhan kapur dengan metode titrasi lebih rendah, tetapi
sebagian besar dari kemasaman tanah tidak dinetralisir oleh basa. Hal ini
disebabkan reaksi antara kation-kation asam yang dapat dititrasi berlangsung sangat
lambat. Penetapan kebutuhan kapur berdasarkan Al-dd KCl 1,0 N banyak dipertanyakan,
sebab tingkat keracunan Al bervariasi dengan tanaman dan tanah. Karena tingkat
keracunan untuk suatu jenis tanaman mempunyai variasi lebar dalam tanah yang
berbeda maka Al-dd tidak digunakan sebagai parameter yang menentukan keracunan
tetapi persentase kejenuhannya. Hasil penelitian di rumah kaca dan lapangan
ternyata pemberian dosis kapur berdasarkan titrasi dan inkubasi dapat diaplikasikan
pada tanah sulfat masam potensial bergambut di Lamunti ex. PLG Kalimantan Tengah
(Suriadikarta dan Sjamsidi, 2001), tanah sulfat masam umumnya ketersediaan hara P
dan K rendah namun bila bahan organiknya tinggi maka P dan K biasanya tinggi pula
(Tabel 4.2).
Pada tanah sulfat masam aktual kadar P dan K dalam tanah sangat rendah sehingga
pemupukan P dan K sangat diperlukan. Pemupukan P diberikan 100 kg TSP/ha atau 125
kg SP-36/ha yang setara dengan 200 kg RP/ha (Hartatik, 1999 Suriadikarta dan
Setyorini 135 dan Supardi et al., 2000). Rock Phosphate yang baik mutunya untuk
tanah ini adalah Rock Phosphate Maroko Ground karena mempunyai kandungan Ca yang
tinggi yaitu 27,65% dan kadar P2O5 total 28,8% (Suriadikarta dan Sjamsidi, 2001) .
Hasil penelitian di lahan rawa menunjukkan pupuk kalium cukup diberikan 100 kg
KCl/ha untuk tanaman padi sawah. Tabel 4.2. Sifat-sifat kimia tanah sulfat masam di
Indonesia Sifat tanah Lokasi Tipologi USDA Klasifikasi pH C organik P Bray K K2O P
HCl 25% P2O5 Al-dd KB % P2O5 ppm mg/100 g % % K.A I PI PS-I Sumsel SMA Fluvaquentic
Typic Sulfaquept 3,4 1,2 2,2 4 1 88,2 7 KA I P II PS-14 Sumsel SMA bergambut SMA 2
Fluvaquentic Sulfaquept 3,9 5,86 31,5 17 23 71,8 41 Lamunti Ex PLG Kalteng SMP
bergambut SMP-G Histic Sulfaquept 4,1 7,53 45,7 12 68 70,0 16 P. Petak Kalteng
Sulfat masam aktual Typic Sulfaquept 3,5 0,89 2,2 - - 15,42 54,95 Parit Ampera
Sungai Kakap Kalbar Sulfat masam potensial Typic Sulfaquent - 4,99 10,2 80 24 1,35
68
Telang, Muba Sumsel Sulfat masam potensial Typic Sulfaquent 4,4 4,89 32,2 5 29 4,27
61 Tabung Anen Kalsel Sulfat masam potensial Typic Sulfaquent 4,9 3,83 19,6 40 22
0,66 > 100 Belawang Kalsel Sulfat masam aktual Histic Sulfaquept 3,4 22,93 17,2 26
104 16,83 5 Tanah sulfat masam di Pulau Petak sangat respon terhadap pemupukan P
baik yang berasal dari TSP maupun dari Rock Phosphate. Hasil penelitian
Manuelpillei et al. (1986) di kebun percobaan Unitatas BARIF pemberian 135 kg
P2O5/ha, 1.000 kg kaptan/ha, 50 kg K2O/ha, dan 120 kg N/ha dapat meningkatkan hasil
tanaman padi menjadi 2,45 t/ha GKG terjadi delapan kali lipat peningkatan bila
dibandingkan dengan kontrol (tanpa P dan Kaptan). Pemberian 90 kg P2O5/ha dan
kaptan 500 kg/ha menghasilkan 2,21 t/ha GKG, hasil ini tidak berbeda nyata dengan
pemberian 135 kg P2O5/ha dan kaptan 1.000 kg/ha. Pemberian Rock Phosphate pada
tanah sulfat masam juga menunjukkan tidak Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam
136 ada perbedaan yang nyata dengan penggunaan TSP, hal ini disebabkan terjadinya
proses penyanggaan Rock Phophate dalam media yang sangat masam, menghasilkan bentuk
P yang meta-stabil seperti Dicalsium phophate yang tersedia untuk tanaman. Subiksa
et al. (1999), menunjukkan pemberian dolomit 2 t/ha dan SP-36 200-300 kg/ha dapat
menghasilkan rata-rata 4,0 t/ha GKG pada tanah sulfat masam potensial di Kecamatan
Telang, Kabupaten Muba, Sumatera Selatan. Dalam penelitian pada tanah sulfat masam
potensial di Tabung Anen Kalimantan Selatan pemberian pupuk P + kalium + bahan
organik dan kapur masing-masing sebesar 43 kg P/ha, 52 kg K/ha, kapur 1 t/ha dan
pupuk kandang 5 t/ha memberikan hasil 3,24 t/ha GKG, pemberian kapur didasarkan
kepada metode inkubasi untuk mencapai pH 5 (Hartatik et al., 1999). Sedangkan
pemupukan P berdasarkan kepada kebutuhan P untuk mencapai 0,02 ppm P dalam larutan
tanah. Di Belawang kebutuhan kapurnya lebih tinggi yaitu sebesar 4 t/ha, respon
pemupukan P dan K tertinggi dicapai pada perlakuan P optimum (100 kg P/ha), K 78
kg/ha, dan 4 t kapur/ha. Hasil itu dapat dipahami karena tanah sulfat masam aktual
di Belawang piritnya telah mengalami oksidasi sehingga Al-dd tinggi dan P tersedia
rendah. Hasil penelitian pemupukan P dan kapur pada tanah sulfat masam pada
beberapa lokasi penelitian disajikan pada Tabel 4.3. P-alam yang telah dicoba untuk
tanah sulfat masam dan memberikan hasil yang sama baiknya adalah P-alam Tunisia,
Ciamis, Christmas, dan Aljazair. Tabel 4.3. Hasil tanaman padi dengan pemupukan dan
pengapuran pada beberapa tanah sulfat masam di Sumatera dan Kalimantan Pemupukan
Lokasi P2O5 K2O Kaptan/dolomit Hasil GKG Varietas .. kg/ha .. .............
t/ha ............. Tabung Anen, Kalsel 98,5 62,7 1 kaptan 3,24 IR-64 Belawang,
Kalsel 229 104 4 kaptan 3,25 IR-64 Telang Muba, Sumsel 300 P2O5 60 K2O 2 dolomit
4,0 IR-64 Unitalas, Kalteng 135 P2O5 50 K2O 1 kaptan 2,4 Lamunti, Ex PLG 56 P2O5 60
K2O 2 kaptan 2,0 IR-64
Di Lamunti, ex PLG Kalimantan Tengah P-alam setara dengan 150 kg P2O5/ha rata-rata
dapat memberikan hasil 4,5 t/ha GKG, tetapi kalau diberikan 75 Suriadikarta dan
Setyorini 137 kg P2O5/ha hasil yang diperoleh hanya 3,79 t/ha GKG, sedangkan di
Palingkau Kalimantan Tengah dengan dosis yang sama dapat memberikan masing-masing
3,7 t/ha dan 3,4 t/ha GKG (Supardi et al., 2000). Pemupukan P-alam hingga 60%
erapan maksimum P dalam tanah sulfat masam Sumber Agung dan Sumber Rejo di Pulau
Rimau, Sumatera Selatan dapat meningkatkan kadar P tersedia, namun belum dapat
menurunkan kadar unsur beracun Fe2+, Fe-Al oksida, dan amorf serta sulfat dalam
tanah. Unsur beracun diatas ditemukan dalam jumlah yang lebih tinggi pada tanah
sulfat masam potensial yang baru teroksidasi dibandingkan tanah sulfat masam aktual
(Setyorini, 2001). Oleh karena itu diperlukan kehati-hatian dalam mereklamasi atau
melakukan pencucian/drainase di tanah sulfat masam potensial, apalagi jika
kandungan liat tinggi. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa erapan P maksimum pada
tanah sulfat masam aktual mencapai 2,000 g P/g sedangkan pada sulfat masam
potensial sedikit lebih rendah yaitu sekitar 1,666 g P/g. Nilai erapan maksimum
yang tinggi pada sulfat masam aktual dari pada sulfat masam potensial diakibatkan
perbedaan kadar dan jenis liat, kadar pirit, pH, Al dan Fe, serta bahan organik.
Ditinjau dari distribusi bentuk P-anorganik pada tanah sulfat masam diatas,
terlihat bahwa fraksi Fe-P dan Al-P mendominasi jumlah P anorganik pada tanah
sulfat masam potensial sedangkan fraksi Al-P dan Ca-P dominan pada sulfat masam
aktual. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan P pada tanah sulfat masam
antara lain pH, Alo, Feo, Ald, Fed, dan pirit. Tingginya kadar Fe d an Al bentuk
amorf pada tanah sulfat masam mempengaruhi distribusi fraksi Panorgani k
(Setyorini, 2001). Dari hasil penelitian Konsten dan Sarwani (1990), di Pulau Petak
Kalimantan Selatan, diperoleh bahwa oksidasi pirit setelah reklamasi membuat tanah
di daerah tersebut sangat masam, dijenuhi oleh Al dan mempunyai pH antara 3 dan 4.
Adanya garam-garam besi bebas dan Al menyebabkan keracunan tanaman dan defisiensi K
dan Ca sangat sering terjadi. Kemasaman tanah aktual dari tanah sulfat masam di
Pulau Petak diduga dengan titrasi cepat pada pH 5,5, jumlah Al-dd sampai 60 mmol/g.
Kemasaman tanah aktual untuk tanah pH kurang dari 4 adalah 20 mmol/100 g yang
setara dengan keperluan kapur 15 t/ha. Potensi kemasaman sangat tinggi dengan
kandungan pirit mencapai 8%. Selanjutnya Konsten dan Sarwani (1990) mengemukakan
bahwa untuk mengatasi kemasaman aktual yang tinggi dapat dilakukan dengan drainase
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam 138 dangkal, pencucian intensif tanah
lapisan atas, yang dikombinasikan dengan pemberian kapur dan pupuk kalium. 4.5.
PENGGUNAAN VARIETAS YANG ADAPTIF Tanaman yang dapat diusahakan dilahan sulfat masam
antara lain tanaman padi, palawija (jagung, kedelai, kacang tanah, dan kacang
hijau), sayuran (cabe, kacang panjang, kubis, tomat, dan terong), buah-buahan
(rambutan, nanas, pisang, jeruk, nangka, dan semangka), dan tanaman industri
(kelapa dan lada) (Suwarno et al., 2000). Tanaman tersebut dapat tumbuh baik bila
tanahnya masih SMP dan sistem tata air mikro seperti saluran drianase dan
ameliorasi tanah dilakukan dengan baik sesuai kondisi lahannya. Namun walaupun
banyak tanaman pangan, buah-buahan, sayuran, dan tanaman industri dapat tumbuh di
lahan rawa sulfat masam faktor pemasaman perlu dipertimbangkan.
4.5.1. Padi dan palawija Penelitian adaptabilitas tanaman padi sawah telah lama
dilakukan di lahan pasang surut khususnya pada tanah sulfat masam dan pertumbuhan
tanaman padi lebih baik pada tanah sulfat masam dibandingkan pada tanah gambut
dalam. Penelitian dimulai sejak sebelum Proyek Swamps sampai berakhir pada Proyek
ISDP tahun 2000. Menurut Suwarno et al. (2000) sampai saat ini telah dilepas secara
resmi 11 varietas yang cocok di lahan pasang surut (Tabel 4.4). Dari 11 varietas di
at as nampaknya yang akan cocok untuk di lahan sulfat masam adalah Mahakam, Kapuas,
Lematang, Sei Lilin, Banyuasin, Lalan, Batang hari, dan Dendang. Namun untuk tanah
sulfat masam aktual dimana kadar Al dan Fe sangat tinggi lebih baik ditanami
varietas lokal yang telah adaptif seperti varietas Ceko, Jalawara, Talang,
Gelombang, dan Bayur. Mengingat kondisi kesuburan tanah sulfat masam sangat beragam
maka pemupukan perlu disesuaikan dengan hasil analisis tanahnya. Suriadikarta dan
Setyorini 139 Tabel 4.4. Varietas padi lahan pasang surut yang telah dilepas dengan
beberapa sifat keunggulannya Varietas Tahun pelepasan Umur Kadar ameliorasi Tekstur
nasi Sifat unggul hari % IR-64 1980 140 27 Pera Tahan WC2, HDB, blast, Fe Barito
1981 140 21 Pulen Tahan WC1 dan HDB Mahakam 1983 135 26 Pera Tahan HDB, Fe,
salinitas Kapuas 1984 127 23 Pulen Tahan WC1, HDB, Fe Musi 1988 135 24 Pera Tahan
HDB, blast, salinitas Lematang 1991 130 27 Pera Tahan WC1, Fe Sei Lilin 1991 120 26
Pera Tahan WC1, Fe Banyuasin 1997 120 22 Pulen Tahan HDB, blast, Fe, dan Al Lalan
1997 125 27 Pera Tahan WC2, blast, salinitas Batanghari 1999 125 26 Pera Tahan WC2,
HDB, blast Fe Dendang 199 125 20 Pulen Tahan WC2, HDB, blast, Fe, Al Keterangan :
WC 1, 2, 3 : wereng coklat biotipe 1, 2 dan 3 HDB : hewan daun bateri Fe, Al :
tahan keracuanan Fe dan Al Sumber : Suwarno et al. (2000) Tanaman palawija umumnya
ditanam di lahan pekarangan sebagai kebun campuran dengan tanaman buah-buahan dan
sayuran. Varietas kedelai yang cocok untuk tanah sulfat masam adalah varietas
Wilis, Rinjani, Lokon, dan Dempo. Varietas kedelai tersebut mampu memberikan hasil
1,5- 2,4 t/ha, kacang tanah 3,5 t/ha, dan kacang hijau 1,2 t/ha biji kering, dan
jagung yang sesuai adalah varietas Arjuna dengan hasil 3-4 t/ha biji pipilan
kering. Hasil penelitian selama ini di lahan pasang surut khususnya tanah sulfat
masam potensial takaran pupuk yang dianjurkan disajikan pada Tabel 4.5. Tabel 4.5.
Takaran pupuk yang dianjurkan untuk tanaman palawija Pemupukan Jenis tanaman N P2O5
K2O Kaptan . kg/ha . t/ha Kedelai 22,5-45 45 50 2-3 Kacang tanah 22,5 45 50 1
Kacang hijau 22,5-45 45-90 50-60 2 Jagung 67,5 45-90 50 0,5-2 Sumber : Suwarno et
al. (2000) Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam
140 4.5.2. Sayuran dan buah-buahan Teknik penggunaan amelioran dan pengelolaan hara
terpadu serta penggunaan benih bermutu dengan waktu tanam yang tepat merupakan
persyaratan utama keberhasilan sayuran di lahan rawa (Satsiyati et al., 1999).
Namun keberadaan lokasi pengembangan yang terletak jauh dipedalaman dan tidak
didukung oleh infrastruktur dan sarana menjadi hambatan untuk pemasaran hasil
sayuran. Tanaman buah-buahan ditanam di pekarangan pada guludan adalah pisang,
nangka, dan rambutan atau jeruk. Tanam sayuran dan pisang cepat memberikan
kontribusi terhadap pendapatan petani terutama pada tahun pertama mereka tinggal di
tempat pemukiman baru. Hasil penelitian Proyek Swamps di lahan pekarangan lahan
sulfat masam di Karang Agung Ulu (1987/1988), komoditas hortikultura mampu
memberikan pendapatan lebih besar dari pada tanaman pangan dengan rincian 65,4%
untuk tanaman sayuran dan 34,6% untuk tanaman pangan (Subiksa dan Basa, 1990).
Jenis sayuran yang telah diteliti pada tanah sulfat masam adalah tomat varietas
Ratna dan Intan dengan potensi hasil masing-masing 18,54 t/ha dan 13,4 t/ha. Petsai
yang sesuai hanya ada satu varietas yaitu No. 82-157 dengan potensi hasil 15,6
t/ha. Selanjutnya bawang merah varietas Ampenan dan Bima dapat beradaptasi cukup
baik pada tanah sulfat masam dengan potensi hasil 6,4 dan 6,15 ton umbi kering/ha
(Sutater et al., 1990). Dosis pemupukan tanaman sayuran dan buah-buahan disajikan
pada Tabel 4.6. 4.5.3. Tanaman industri/perkebunan Hasil penelitian di Sumatera
Selatan dan Kalimantan Tengah ex PLG tanaman industri/perkebunan yang dapat
beradaptasi di lahan sulfat masam adalah kopi, kelapa, dan lada. a. Kelapa Tanaman
kelapa merupakan komoditas tanaman di lahan pasang surut, sebagai sentra produksi
kelapa sebaran tanaman kelapa di Provinsi Riau diperkirakan > 60% (Mahmud, 1990).
Jenis kelapa yang sesuai adalah kelapa lokal, yang dikenal memiliki daya adaptasi
dan toleransi terhadap lingkungan tumbuh sangat luas. Tanaman kelapa dapat ditanam
tumpangsari dengan tanaman kopi, palawija, dan hortikultura. Namun ada juga yang
ditanam secara Suriadikarta dan Setyorini 141 monokultur di guludan seperti di
Riau. Di Karang Agung Ulu dan Karang Agung Tengah produksi kelapa rata-rata
berkisar 7-18 butir/pohon/periode petik dan 1017 butir/pohon/periode petik. Pupuk
yang diberikan untuk tanaman kelapa masingmasing diberikan per pohon, tergantung
kepada umur tanaman (Tabel 4.7). Pemberian pupuk N, P, dan K paling tinggi pada
umur tanaman kelapa 3 tahun. Tabel 4.6. Dosis pemupukan tanaman sayuran dan buah-
buahan pada lahan sulfat masam Pupuk No. Komoditas (Varietas) Urea TSP KCl NPK
Bahan organik Kapur Keterangan .. kg/ha .. t/ha 1. Tomat - Ratna - Intan 200 200
100 50-75 5 (Pukan) 1-1,5 NPK diberikan dengan cara disiramkan (larutan =5%) pada
areal akar tanaman pada waktu pembungaan Produksi :
Ratna = 18,54 t/ha Intan = 13,48 t/ha 2. Bawang merah Bisma-Brebes Ampenan Bima-
Brebes 200 200 150 0 10-15 Pukan sapi 1,8 Produksi : Sulfat masam: 5-6,5 t/ha umbi
kering Potensial (Ampenan) 12,6 t/ha umbi kering 3. Petsai Asveg 82-156 Sangihe
Talaud 200 200 200 200 150 150 0 0 5 5-10 Gambut 1-2 3 Produksi : 8,7-15,6 t/ha
Residu MT-2 : 21,4 t/ha crop segar 4. Kubis 200 200 100 50 5 1-1,5 Produksi : 112-
14 t/ha 5. Cabe keriting 250 300 100 0 10 1-1,5 Produksi : 3,5-4,5 t/ha Bila
diberikan Gandasil B 2 cc/l (450 l larutan/ha) pada umur 1 dan 2 bulan setelah
tanam produksi menjadi 4-5 t/ha buah segar 6. Pisang Ambon Mas Rajanangka Rajasere
600 400 160 0 25 500 Pemupukan dilakukan dengan interval 6 bulan dengan takaran
pupuk yang sama, jumlah anakan dibiarkan 2-3 batang tiap rumpun Produksi : Ambon =
14,2 kg/tadan Rajanangka = 12 kg/tadan Rajasere = 7,8 kg/tadan Mas = 8,3 kg/tadan
Sumber : 1. Seminar hasil penelitian usahatani di lahan pasang surut dan rawa, t
ahun 1989 2. Prosiding seminar. penelitian lahan pasang surut dan rawa Swamps II,
tahun 19 90 Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam 142 Tabel 4.7. Informasi dosis
pemupukan tanaman kelapa pada berbagai umur di lahan sulfat masam Komoditas
(Varietas) Urea TSP KCl Kieserit Kapur Keterangan .. g/pohon .. .. kg/pohon Kelapa
Jenis Kelapa Dalam Riau Umur 1 bulan 1 Tahun 6 bulan ke-I 6 bulan Ke-II 2 Tahun 6
bulan ke-I 6 bulan ke-II 3 Tahun 6 bulan ke-I 6 bulan ke-II 100 200 200 350 350 500
500 100 250 250 0 600 0 800 100 300 300 450 450 600 600 50 100 100 150 150 200 200
1.500 BO = Memanfaatkan sisa-sisa tumbuhan dan gambut. Dicampur dalam lubang
tanaman dengan perbandingan Tanah : BO = 1 : 1 Pengapuran pada tahun ke-4 bila
perlu diberikan 2-3 kg/pohon
bersama-sama pemberian pupuk Produksi = 80-110 butir/ th/pohon Sumber : 1. Seminar
Hasil Penelitian Usahatani di Lahan Pasang Surut dan Rawa, tahun 1989 2. Prosiding
Seminar Penelitian Lahan Pasang Surut dan Rawa Swamps II, tahun 1990 b. Temu-temuan
Jenis tanaman temu-temuan di antaranya jahe, kencur, kunyit, temulawak, lengkuas,
dan bangle di lokasi pasang surut cukup baik pertumbuhannya dan dapat dikembangkan
secara monokultur dan tumpangsari dengan tanaman palawija atau tanaman tahunan yang
tidak terlalu tinggi tingkat naungannya (Anonimous, 1993 dan Anonimous, 1999).
Persyaratan tumbuh tanaman temutemuan menghendaki tanah yang gembur dan subur, pH
tanah normal dan tidak tahan genangan air, sehingga upaya perbaikan tanah meliputi
pemberian kaptan, pemupukan, pembuatan saluran cacing yang intensif, dan penambahan
lapisan gambut akan memberikan pertumbuhan dan produksi rimpang yang optimum. Temu-
temuan diharapkan dapat menunjang sistem usahatani di lahan pasang surut yang
mempunyai fungsi ganda dapat dimanfaatkan sebagai bumbu Suriadikarta dan Setyorini
143 dan dapat digunakan sebagai obat alternatif baik untuk manusia maupun ternak,
di antaranya kunyit, temulawak, jahe, kencur (obat reumatik pegel linu), lempuyang
(pegel linu) temu ireng dan bangle (obat cacing), temu giring (obat panas dan
batuk). Sebagai contoh untuk ternak, jahe dapat mencegah gejala tetelo (ND), dan
temulawak dapat menekan berkembangnya bakteri di kotorannya, sehingga bau limbah
dapat ditekan. Produksi temu-temuan cukup bagus, jahe merah di Karang Agung Ulu
(Anonimous, 1993) dengan pemupukan 45 kg N + 36 kg P2O5 + 50 kg K2O + 200 kg kapur
+ 1,5 ton gambut/hektar memberikan hasil 15,5-23,6 t/ha. Sedangkan untuk jahe putih
kecil atau emprit produksi 4,9-8,5 t/ha dan jahe putih besar varietas gajah
produksi 4,5-5,9 t/ha. Demikian juga dari Kalimantan Tengah produksi jahe putih
kecil cukup baik 0,7-1,0 kg/rumpun. Produksi tanaman kencur juga cukup baik di
Karang Agung Ulu dapat mencapai 11,2-20,1 t/ha, dan dari uji produksi di Kalimantan
Tengah juga menunjukkan produksi yang baik yaitu mencapai 200-300 g/rumpun. c. Lada
Tanaman lada varietas Petaling I, Petaling II, dan LDK dapat tumbuh dan beradaptasi
baik di lahan pasang surut potensial maupun sulfat masam aktual Karang Agung Ulu.
Pada lahan potensial pengapuran dengan takaran 2-3 kg/tanaman dapat mempengaruhi
produksi buah lada sampai panen ke-3 (panen pertama 28 bulan). Sedangkan pada lahan
sulfat masam, pembuatan saluran cacing di kanan dan di kiri tanaman memberikan
hasil tertinggi yaitu 140, 300, dan 230 gram per pohon masing-masing pada panen
pertama, kedua, dan ketiga. Saluran cacing ini ditujukan untuk menjamin drainase
yang baik agar kelembaban tanah tidak berlebihan bagi tanaman lada. Karena lada
memerlukan bahan organik tinggi maka pengembangan di lahan bergambut tipis lebih
sesuai untuk tanaman lada produktif, pemupukan tiga kali setahun dengan interval
empat bulan sekali dengan takaran 512 g urea + 880 g TSP + 600 g KCl + 60 g kiserit
per pohon memberikan hasil tertinggi yaitu 1,22 kg/pohon (Anonimous, 1993). Tiang
panjat seperti lamtoro gung (Leucaena sp.) dan waru-waruan dengan pemangkasan empat
kali setahun memberikan pertumbuhan yang baik terhadap lada di Karang Agung Ulu
ini. Pengembangan tanaman industri/perkebunan lahan sulfat masam disajikan pada
Tabel 4.8. Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam 144 Tabel 4.8. Pengembangan
tanaman industri/perkebunan pada tipologi lahan sulfat masam Sumatera Selatan dan
Kalimantan Tipologi lahan Komoditas Potensi produksi Lokasi
Sulfat masam Sulfat masam potensial Bergambut Lada Jahe merah Kelapa Kelapa Kelapa
Jahe kecil putih Kencur Kopi 1,22 kg/tan 23,6 t/ha 4-10 butir/pohon 7-11
butir/pohon 7 butir/pohon 10 butir/pohon 8-12 butir/pohon 6-15 butir/pohon 7-11
butir/pohon 0,7-11 kg/tan 0,2-0,3 kg/tan 0,4 kg/pohon Karang Agung Ulu Karang Agung
Ulu Karang Agung Ulu (Sumsel) Tarantang (Kalsel) Parit Keladi (Kalbar) Lambur II
(Jambi) Rasau Jaya (Kalbar) Pinrang Luar (Kalbar) Pinang Luar (Kalbar) Karang Agung
Ulu (Sumsel) Sakalagun (Kalsel) Lamunti (Kalteng) Lamunti, Dadahup (Kalteng) Pinang
Luar (Kalbar) Sumber : Suriadikarta et al., 1999 4.5.4. Perikanan Penelitian
komponen perikanan dalam sistem usahatani di lahan pasang surut dan rawa telah
dilakukan sejak 1985/86 di Kertamulia Patratani mewakili lahan rawa, Sungai Lempung
di Lubuk Lampan mewakili rawa banjiran, lahan pasang surut di tepi Sungai Musi
Mariana, lahan potensial di Karang Agung Ulu, lahan Salin di Delta Upang, dan lahan
lebak di Kayu Agung Sumatera Selatan. Sedangkan di wilayah Kalimantan yang mewakili
lahan pasang surut dan sulfat masam di daerah Parit Keladi dan Palingkau. Sistem
usahatani perikanan diartikan sebagai penelitian di lahan petani (Kasrino et al.,
1989 dan Partohard jo, 1989) yang bertujuan untuk meningkatkan produksi,
pendapatan, dan pemanfaatan sumberdaya secara optimal guna meningkatkan
kesejahteraan petani. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui penerapan teknologi
atau paket teknologi usahatani yang sesuai dengan kondisi biofisik dan sosio-
ekonomi yang ada di daerah (Manwan dan Oka, 1988). Penelitian perikanan menunjang
program usahatani dibagi atas dua jenis kegiatan yaitu (1) penelitian perikanan
yang bersifat komponen dan (2) penelitia n Suriadikarta dan Setyorini 145
dalam usahatani terpadu. Dalam kegiatan komponen dititik beratkan kepada
perekayasaan tata air dan manajemen kolam, produksi benih ikan, kesesuaian
komoditas, dan sistem budidaya. Dalam usahatani terpadu, titik berat diberikan
kepada optimasi pemanfaatan lahan dengan berbagai komoditas, penelitian komponen
perikanan pada berbagai tipe lahan dan model usahatani yang telah dilakukan
disajikan dalam Tabel 4.9. Tabel 4.9. Hasil penelitian komponen perikanan dan
usahatani pada berbagai tipologi lahan Jenis kegiatan Komoditas Jenis lahan dan
lokasi Produksi .. Tata air dan manejemen kolam Nila Lahan potensial Karang Agung
Ulu 1,2 t/ha .. Pembenihan Nila Lahan Rawa Patratani t/ha/th .. Budidaya ikan di
Karamba Toman Koan Jelawat Lampan Lahan lebak (sungai) 5 kg/m3/3 bln .. Balong-itik
Nila Lahan potensial Karang Agung Ulu 0,9 t/ha/th .. Budidaya udang galah Udang
galah Lahan salin Delta Upang 4,2 t/ha/th .. Mina-padi Jelawat Lampan Sepat siam
Tawes Lahan lebak Kayu Agung 1,4 t/ha/th .. Ikan-padi-palawija Jelawat Lampan Sepat
siam Tawes Lahan lebak Kayu Agung 1,5 t/ha/th .. Polikultur Patin dan Nila Lahan
pasang surut Mariana 1.660 kg/ha/3 bln .. Budidaya monokultur Patin Lahan potensial
Karang Agung Ulu 390 kg/ha/2 bln .. Budidaya ikan Gurame Lahan lebak Patratani 330
kg/ha/2 bln .. Polikultur Jelawat Patin Lahan rawa Patratani 1,15 t/ha/3 bln ..
Longyam Nila merah Pasang surut Parit Keladi
4,25 t/ha/bln .. Reklamasi lahan Nila merah Lahan sulfat masam Palingkau 5 t/ha/2
bln .. Budidaya lele dalam tong Lele dumbo Sulfat masam Palingkau 2,6 kg/0,2 m3
Sumber : D.A. Suriadikarta et al. (1999) Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam
146 Penelitian ikan telah dilakukan di lahan potensial, lahan lebak, lahan pasang
surut mempunyai pH air yang relatif lebih baik 4-5 dibandingkan dengan lahan sulfat
masam dengan hasil produksi yang bervariasi. Jumlah kapur yang ditambahkan pada
lahan potensial 5 t/ha, sedangkan pada lahan sulfat masam dosis pengapuran sekitar
10 t/ha. Kendala yang sering dijumpai pada kolamkolam yang dibangun di lahan pasang
surut yang ber-pH air 4 adalah rembesan air dari pematang dan masuknya air hujan
yang jatuh dari tepi pematang ke dalam kolam. Air tersebut menyebabkan pH air kolam
turun mendadak sampai < 3 sehingga menyebabkan ikan mati. Jenis ikan yang
dipelihara antara lain ikan patin, tembakang, lele, gurame, dan nila merah. Ikan
tersebut dapat beradaptasi dengan perubahan pH air kolam yang pada umumnya turun di
waktu hujan. Untuk mengatasi penurunan pH di waktu hujan, maka pembuatan kolam
harus dilakukan sebagai berikut : 1) lapisan atas tanah 0-10 cm dikupas kemudian
hasil tanah kupasan tersebut ditempatkan pada lokasi yang aman, 2) penggalian kolam
dilakukan sampai kedalaman tertentu biasanya antara 1-1,2 m, 3) setelah penggalian
kolam selesai lalu pembuatan galengan kolam disusun seperti tangga (2-3 tangga)
lalu guludan itu ditutup dengan tanah lapisan atas yang kita simpan itu, 4)
pengapuran kolam baru dilaksanakan dengan dosis 5-10 ton kaptan/ha. Pada
pemeliharaan yang dilakukan polikultur diharapkan ikan dapat memanfaatkan organisme
plankton seperti ikan nila sedangkan organisme yang hidup di dasar kolam diharapkan
dapat menjadi makanan ikan patin. Sedangkan untuk monokultur, ikan diberi tambahan
pakan pelet dan sisa makanan. PENUTUP Lahan sulfat masam adalah lahan yang
mempunyai kendala pH yang masam, mempunyai kandungan pirit, dan kandungan hara yang
rendah, namun sifat fisiknya cukup baik, oleh karena itu lahan tersebut berpotensi
untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian. Tanaman yang dapat dikembangkan pada
lahan ini adalah tanaman padi sawah, palawija, sayuran, perkebunan, dan tanaman
kehutanan. Namun dalam pelaksanaan penggunaan lahan untuk pertanian perlu
mempertimbangkan dua hal yang penting, yaitu letak kedalaman pirit dan tipe luapan
air pasang surut. Kedua faktor itu merupakan penentu di dalam menerapkan teknologi
penataan lahan dan tata air, serta pemilihan Suriadikarta dan Setyorini 147
komoditas yang dikembangkan. Selanjutnya dalam peningkatan produktivitas lahan
perlu didukung teknologi ameliorasi dan pemupukan sesuai dengan komoditasnya.
DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, A., A. Bambang, K. Sudarman, dan D.A. Suriadikarta.
2000. Perspektif pengembnagan lahan rawa untuk pertanian di Indonesia. Prosiding
Temu Pakar dan Lokakarya Nasional Diseminasi dan Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya
Lahan Rawa, Jakarta, 23-26 November 1999. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Bogor. Hal. 33-54. Al-Jabri, M. 2002. Penentapan Kebutuhan Kapur dan Pupuk Fosfat
untuk Tanaman Padi (Oryza sativa L.) pada Tanah Sulfat Masam Aktual Belawang,
Kalimantan Selatan. Disertasi. Program Pascasarjana. Universitas Padjadjaran
Bandung.
Anonimous. 1993. Sewindu penelitian di lahan rawa. Kontribusi dan prospek
pengembangan proyek penelitian pertanian lahan pasang surut dan rawa Swamps II.
Puslitbangtanak Bogor. Anonimous. 1999. Penelitian pengembangan sistem usahatani
lahan rawa pasang surut di kawasan PLG sejuta hektar. Kapet DAS Kakab Prop.
Kalimantan Tengah. Puslittanak, Balitbangtan, Deptan. Bogor. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. 2003. Panduan ekspose Nasional Pertanian Lahan Rawa Pasang
Surut. Barito Kuala, 30-31 Juli 2003. Bloomfield, C. and J.K. Coulter. 1973.
Genesis and management of Acid sulfate soils. Adv. Agron. 25:265-326. Academic
Press. Inc. New York. Boss, M.G. 1990. Research on Acid sulfate soils in humid
tropics. Paper workshop on acid sulfate soils in humid tropic. Bogor, 20-22
Nopember, 1990. Brinkman, R. and V.P. Sing. 1982. Rapid reclamation of fish pond in
acid sulfate soils. In Proc. Int. Symp. Acid Sulfate Soil. 318-330. Bangkok. Dent,
D. 1986. Acid Sulphate Soils : a baseline for research and development.
International Institute for Land Reclamation and Improvement Publication No.39
Wageningen, the Netherland. Driessen, P.M. and M. Soepraptohardjo. 1974. Soil for
Agriculture Expansion in Indonesia. Bulletin 1. Soil Research Institute Bogor.
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam 148 Djayusman, M., S. Sastraatmaja, I.G.
Ismail, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1995. Penataan lahan dan pengelolaan air untuk
meningkatkan produktivitas tanah sulfat masam. FAO-Unesco. 1974. Soil map of the
word. Vol I. Paris. 1974. Hartatik, W., I B. Aribawa, dan J.S. Adinigsih. 1999.
Pengelolaan hara terpadu pada lahan sulfat masam. Dalam Prosiding Seminar Nasional
Sumberdaya Tanah, Iklim, dan Pupuk. Puslitbangtanak, Indonesia. 6-8 Desember 1995.
Bogor. Jumberi, A., dan T. Alihamsyah. 2004. Reklamasi dan Agribisnis di lahan
pasang surut, Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Banjarbaru, Kalimantan
Selatan. Konsten, C.J.M. and M. Sarwani. 1990. Actual and Potential acidity and
related chemical characterities of acid sulfate soil in Pulau Petak Kalimantan.
Workshop on acid sulfate soil in the Humid Tropics, 20-22 November, Bogor
Indonesia. Kasryno, F., H. Nataatmadja, E. Pasandaran, E.A. Rasahan, dan C.G.
Swensen. 1989. Development an integrated farming system research in Indonesia.
Workshop on FSC in Indonesia. Sukamandi. 13-16 August, 1989. Mahmud, Z. 1990.
Potensi dan keragaan usahatani kelapa pasang surut Propinsi Riau. Laporan Bulanan
Balitra, Menado. 072/VIII/90. Manuelpillai, R.G., M. Damanik, and R.S. Simatupang.
1986. Site specipic soil characteristies and the amelioration of a sulfic
Tropaquepts (Acid sulfate) in Central Kalimantan. Symposium Lowland Development in
Indonesia. Jakarta, 24-31 August 1986. Menteri Pertanian. 1999. Sambutan Menteri
Pertanian Republik Indonesia dalam Pembukaan Temu Pakar dan lokakarya Nasional
Desiminasi dan Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya Lahan Rawa, Jakarta, 23-26 Nopember
1999. Nugroho, K., Alkasuma, Paidi, W. Wahdini, Abdulrachman, H. Subagjo, dan I
P.G. Widjaja-Adhi. 1992. Peta Areal Potensial untuk Pengembangan Pertanian Lahan
Pasang Surut, Rawa dan Pantai. Proyek Pendayagunaan Sumberdaya Lahan, Puslittanak.
Partohardjono, S. 1989. Pemantapan Program Nasional Penelitian Sistem Usahatani.
Pulsitbangtan. Makalah Latihan Metodologi Penelitian Usahatani. Sukamandi, 6-26
Pebruari. 1989. Prasetyo, H., J.A.M. Jansen, dan Alkasuma. 1990. Landscape and
soils genesis
in Pulau Petak, Kalimantan. Workshop on Acid sulfate soils in the Humid Tropics.
20-22 Nopember, 1990. Bogor. Indonesia. Suriadikarta dan Setyorini 149 Proyek ISDP.
1997. Gelar Teknologi Pertanian Lahan Pasang Surut Karang Agung Ulu, Sumatera
Selatan. Richard, D.T. 1973. Sedimentary Ion Formation. Proc. Int. Symp. On Acid
Sulfate Soil. Vol-I. ILRI. Wegeningen. The Netherland. Satsiyati, M. Januwati, dan
H. Supriadi. 1999. Teknik Budidaya dan Potensi Usahatani Sayuran Lahan Rawa di
Kalimanatan Tengah. Proseding Temu Pakar dan Lokakarya Nasional Desiminasi dan
Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Lahan Rawa, Jakarta 23-26 Nop. 1999. Hal 79-93.
Soil Survey Staff. 1998. Keys to Soil Taxonomy. Agency For International
Development, USDA. Subagjo, H. dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1998. Peluang dan kendala
penggunaan lahan rawa untuk pengembangan pertanian di Indonesia : kasus Sumatera
Selatan dan Kalimantan Tengah. Makalah Utama Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi
Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat, 10 Pebruari 1998 di Bogor. Subagyono, K., I
W. Suastika, dan E.E. Ananto. 1999 Penataan Lahan dan Tata Air Mikro: Pengembangan
SUP Lahan Pasang Surut, Sumatera Selatan. Proyek Pengembangan Sistem Usaha
Pertanian (SUP) Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Badan Penelitian dan
Pengembangan, Departemen Pertanian. Subiksa, I G.M., D.A. Suriadikarta, dan I P.G.
Widjaja-Adhi. 1990. Tata air dan jarak kemalir terhadap kimia tanah dan hasil padi
sawah pada tanah sulfic Tropaquents. Pro.Sem.Penel. Lahan Pasang Surut dan Rawa.
Swamps-II. Palembang. 29-31 Oktober 1990. Subiksa, I G.M. dan I. Basa. 1990.
Kemajuan Penelitian Sistem Usahatani pada Lahan Sulfat Masam di Karang Agung Ulu,
Sumatera Selatan. Risalah Seminar Penlitian Proyek Swamps II. Bogor, 19-21
September 1990. Suping, S., D.A. Suriadikarta, dan W. Hartatik. 2000. Prospek P
alam sebagai pengganti SP 36 di lahan sulfat masam. Dalam Prosiding Seminar
Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung 25-29 Juli
2000. Suriadikarta, D.A. dan A. Abdurachman. 1999. Penelitian Teknologi Reklamasi
untuk Meningkatkan Produktivitas tanah Sulfat Masam Potensial. Pro. Temu Pakar dan
lokakarya Nasional Diseminasi Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya Lahan Rawa, Jakarta
23 26 Nopember 1999. Suriadikarta, D.A., H. Supriadi, H. Malian, Z. Desmiyati,
Suwarno, M. Januwati, dan H.K. Anang. 1999. Kesiapan Teknologi dan Kendala
Pengembangan Usahatani Lahan Rawa. Dalam Prosiding Temu Pakar dan Lokakarya
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam 150 Nasional Desiminasi dan Optimasi
Pemanfaatan Sumber Daya Lahan Rawa. Jakarta, 23-26 Nopember 1999. Suriadikarta,
D.A. dan G. Sjamsidi. 2001. Teknologi peningkatan produktivitas tanah sulfat masam.
Laporan akhir. Proyek Sumber Daya Lahan Tanah dan Iklim. Sutater, T., Satsiyati,
A.H. Permadi, dan D. Haryadi. 1990. Daya hasil tanah di lahan sulfat masam. Risalah
hasil penelitian. Proyek Swamps-II. Bogor 1921 September 1989. Hal. 275-277. Tim
Peneliti Puslittanak. 1997. Survei Tanah Tinjau Mendalam Daerah Kerja A, Propinsi
Kalimantan Tengah. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian,
Departemen Pertanian. Van Breemen, N. 1976. Genesis and solution chemisty of acid
sulfate soils in Thailand. Center of Agricultural Publishing and Documentation.
Wegeningen, 1976. Ph.D. Dessertation.
Widjaja-Adhi, I P.G. 1986. Pengelolaan lahan rawa pasang surut dan lebak. Jurnal
Badan Litbang Pertanian V(1):1-9. Widjaja-Adhi, I P.G., K. Nugroho, D.A.
Suriadikarta, dan A.S. Karama. 1992. Sumberdaya lahan rawa: Potensi, keterbatasan
dan pemanfaatan. Risalah. PERNAS Pengembangan Pertanian Di lahan Rawa Pasang Surut
Dan Lebak. Cisarua 3-4 Maret 1992 Badan Litbang Pertanian. Widjaja-Adhi, I P.G.
1995a. Pengelolaan tanah dan air dalam pengembangan sumberdaya lahan rawa untuk
usahatani berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Makalah disampaikan pada
Pelatihan Calon Pelatih untuk Pengembangan Pertanian di Daerah Pasang Surut, 26-30
Juni 1995, Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan. Widjaja-Adhi, I P.G. 1995b. Potensi
peluang dan kendala perluasan areal pertanian lahan rawa di Kalimantan Tengah dan
Irian Jaya. Sopeng, 7-8 Nopember 1995. Widjaja-Adhi, I P.G. dan T. Alihamsyah.
1998. Pengembangan Lahan Pasang Surut ; Potensi, Prospek, dan Kendala Serta
Teknologi Pengelolaannya Untuk Pertanian. Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan
Tahunan Komda HITI, 16-17 Desember 1998. 151 V TEKNOLOGI PENGELOLAAN HARA LAHAN
GAMBUT Wiwik Hartatik dan Didi Ardi Suriadikarta Teknologi Pengelolaan Hara Lahan
Gambut 152 5.1. PENDAHULUAN Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan 11 juta ha
yang tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya (Papua), hampir 1/3
luas lahan rawa di Indonesia. Tanah gambut merupakan tanah yang tersusun dari bahan
organik, baik dengan ketebalan lebih dari 45 cm ataupun terdapat secara berlapis
bersama tanah mineral pada ketebalan 80 cm serta mempunyai tebal lapisan bahan
organik lebih dari 50 cm. Tanah gambut atau tanah organik dikenal juga sebagai
Organosol atau Histosol. Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, tanah gambut
dipilah menjadi: (a) gambut pantai atau pasang surut, yaitu gambut yang dominan
dipengaruhi oleh pasang surut air laut; (b) gambut pedalaman, yaitu gambut yang
tidak dipengaruhi oleh pasang surut air laut; (c) gambut peralihan (transisi), y
aitu gambut yang terdapat di antara gambut pantai dan gambut pedalaman. Widjaja-
Adhi (1988) menggolongkan tanah gambut berdasarkan ketebalan bahan organik, tanah
yang mempunyai ketebalan gambut kurang dari 50 cm sebagai tanah bergambut.
Selanjutnya tanah gambut dibedakan berdasar kedalamannya, yaitu: gambut dangkal
(50-100 cm), gambut sedang (100-200 cm), gambut dalam (200-300 cm) dan gambut
sangat dalam (>300 cm). Tanahtanah lainnya yang tergolong ke dalam tanah yang
banyak mengandung bahan organik dan terletak di dataran aluvium ialah tanah gley
humus yaitu tanah-tanah yang memiliki ketebalan gambut kurang dari 30 cm dengan
kadar karbon antara 15 hingga 30% (Koswara, 1973). Tanah gambut tebal di Indonesia
umumnya mengandung kurang dari 5% fraksi inorganik dan sisanya fraksi organik yaitu
lebih dari 95%. Fraksi organik terdiri senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga 20%,
sebagian besar terdiri atas senyawa-senyawa non humat yang meliputi senyawa lignin,
selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, sejumlah kecil protein, dan
lain-la in. Sedangkan senyawa-senyawa humat terdiri atas asam humat, himatomelanat
dan humin (Stevenson, 1994; Tan, 1993). Sebagian besar gambut tropika mempunyai
kemasaman yang relatif tinggi (pH 3-5) dan umumnya mengandung kurang dari 5% fraksi
inorganik (Driessen, 1978). Polak (1975) mengemukakan bahwa gambut yang ada di
Sumatera dan Kalimantan umumnya didominasi oleh bahan kayu-kayuan. Oleh karena itu
Hartatik dan Suriadikarta 153 komposisi bahan organiknya sebagian besar adalah
lignin yang umumnya melebihi 60% dari bahan kering, sedangkan kandungan komponen
lainnya seperti selulosa, hemiselulosa, dan protein umumnya tidak melebihi 11%.
Gambut di Indonesia umumnya merupakan gambut ombrogen, terutama gambut pedalaman
yang terdiri atas gambut tebal dan miskin akan unsur hara, digolongkan ke dalam
tingkat oligotrofik (Radjagukguk, 1997). Sedangkan pada gambut pantai pada umumnya
tergolong ke dalam gambut eutrofik karena adanya pengaruh air pasang surut. Air
pasang surut mengandung bahan-bahan halus dan bahan terlarut lain yang berasal dari
daratan karena terbawa oleh aliran air sungai pada waktu banjir atau berasal dari
lautan karena naiknya air laut pada saat terjadinya pasang (Andriesse, 1974;
Leiwakabessy, 1978). 5.2. KARAKTERISTIK TANAH GAMBUT 5.2.1. Kesuburan tanah gambut
Kesuburan alamiah tanah gambut sangat beragam, tergantung pada beberapa faktor: (a)
ketebalan lapisan tanah gambut dan tingkat dekomposisi, (b) komposisi tanaman
penyusunan gambut, dan (c) tanah mineral yang berada dibawah lapisan tanah gambut
(Andriesse, 1974). Polak (1949) menggolongkan gambut kedalam tiga tingkat kesuburan
yang didasarkan pada kandungan P2O5, CaO, K2O, dan kadar abunya, yaitu : (1) gambut
eutrofik dengan tingkat kesuburan yang tinggi, (2) gambut mesotrofik dengan tingkat
kesuburan yang sedang, dan (3) gambut oligotrofik dengan tingkat kesuburan yang
rendah (Tabel 5.1). Tabel 5.1. Kandungan hara pada tiga tingkat kesuburan gambut
Kandungan Tingkat kesuburan P2O5 CaO K2O Abu .. % bobot kering gambut .. Eutrofik >
0,25 > 4 > 0,1 > 10 Mesotrofik 0,20-0,25 1-4 0,1 5-10 Oligotrofik 0,05-0,20 0,25-1
0,03-0,1 2-5 Sumber : Polak, 1949. Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut 154
Tingginya kandungan basa-basa gambut eutrofik disebabkan pembentukannya dipengaruhi
oleh air payau (campuran air laut dan air sungai). Gambut mesotrofik pembentukannya
dipengaruhi oleh air sungai, sedangkan gambut oligotrofik pembentukannya
dipengaruhi oleh air hujan (Leiwakabessy, 1978). Tanah gambut di Indonesia sebagian
besar bereaksi masam hingga sangat masam dengan pH kurang dari 4,0. Hasil
penelitian Halim (1987) dan Salampak (1999) diperoleh nilai kisaran pH H2O (1:5)
yaitu tanah gambut pedalaman Berengbengkel Kalimantan Tengah sebesar 3,25 hingga
3,75. Sedangkan pH H2O tanah gambut dari Air Sugihan Kiri Sumatera Selatan lebih
tinggi yaitu sebesar 4,1-4,3 (Hartatik et al., 2004). Nilai kapasitas tukar kation
tanah gambut berkisar antara 100 hingga 300 me/100 g tanah, hal ini disebabkan oleh
muatan negatif bergantung pH yang sebagian besar dari gugus karboksil dan gugus
hidroksil dari fenol (Driessen dan Soepraptohardjo, 1974). Menurut Andriesse (1974)
dan Driessen (1978), kapasitas tukar kation (KTK) gambut ombrogen di Indonesia
sebagian besar
ditentukan oleh fraksi lignin dan senyawa humat (Tabel 5.2). Tanah gambut di
Indonesia, terutama tanah gambut ombrogen mempunyai komposisi vegetasi penyusun
gambut yang didominasi oleh tumbuhan yang berasal dari bahan kayukayuan . Bahan
kayu-kayuan umumnya banyak mengandung senyawa lignin yang dalam proses degradasinya
akan menghasilkan asam-asam fenolat (Stevenson, 1994). Kandungan kation basa-basa
(Ca, Mg, K, dan Na) umumnya terdapat dalam jumlah yang rendah terutama pada gambut
tebal. Semakin tebal gambut, kandungan abu semakin rendah, kandungan Ca dan Mg
menurun dan reaksi tanah menjadi lebih masam (Driessen dan Soepraptohardjo, 1974).
Kandungan basa-basa yang rendah disertai dengan nilai KTK yang tinggi, sehingga
ketersediaan basa-basa menjadi rendah. Rendahnya kandungan basa-basa pada gambut
pedalaman berhubungan erat dengan proses pembentukannya yang lebih banyak
dipengaruhi oleh air hujan (Leiwakabessy, 1978). Kejenuhan basa (KB) tanah gambut
pedalaman pada umumnya sangat rendah. Tanah gambut pedalaman Berengbengkel
Kalimantan Tengah mempunyai nilai KB kurang dari 10% (Tim Institut Pertanian Bogor,
1974), demikian juga nilai KB tanah gambut dataran rendah Riau (Suhardjo dan
Widjaja-Adhi, 1976). Hartatik dan Suriadikarta 155 Tabel 5.2. Komposisi gambut
Ombrogen di Indonesia dan kapasitas tukar kation (Driessen, 1978) Komposisi Bobot
KTK % me/100g Lignin 64-74 150-180 Senyawa humat 10-20 40-80 Selulosa 0,2-10 7
Hemiselulosa 1-2 1-2 Lainnya <5 Total gambut 100 190-270 Unsur fosfor (P) pada
tanah gambut sebagian besar dijumpai dalam bentuk P organik, yang selanjutnya akan
mengalami proses mineralisasi menjadi P inorganik oleh jasad mikro. Sebagian besar
senyawa P organik berada dalam bentuk ester ortofosfat, sebagian lagi dalam bentuk
mono dan diester. Ester yang telah diidentifikasi terdiri atas inositol fosfat,
fosfolipid, asam nukleat, nuk leotida, dan gula fosfat, ketiga senyawa pertama
bersifat dominan. Fraksi P organik diperkirakan mengandung 2% P sebagai asam
nukleat, 1% sebagai fosfolipid, 35% inositol fosfat, dan sisanya belum
teridentifikasi. D i dalam tanah, pelepasan inositol fosfat sangat lambat
dibandingkan ester lainnya, sehingga senyawa ini banyak terakumulasi, dan kadarnya
di dalam tanah menempati lebih dari setengah P organik atau kira-kira seperempat
total P tanah. Senyawa inositol heksafosfat dapat bereaksi dengan Fe atau Al
membentuk garam yang sukar larut, demikian juga terhadap Ca. Dalam keadaan
demikian, garam ini sukar didegradasi oleh mikroba (Stevenson, 1994). Penelitian
pada tanah Histosol yang tidak diusahakan, dan didrainase yang mengandung bahan
mineral yang tinggi, termasuk besi feri (Fe3+) dan Ca yang tinggi akan menurunkan
mobilitas dan degradasi fosfat. Dari total P fraksi terbesar yaitu fraksi P organik
tidak labil dan yang resisten. Asam fulvat berasosiasi dengan P sebesar 12% dari
total P. Fosfat residu berturut-turut sebesar 13; 29; dan 8% dari total P tanah
pada Histosol yang diusahakan, tidak diusahakan, dan yang digenangi (Ivanoff et
al., 1998). Proses mineralisasi P organik oleh jasad mikro sangat dipengaruhi oleh
nisbah C dan P. Bila nisbah C dan P mencapai 300 akan terjadi immobilisasi P
oleh jasad mikro, P akan digunakan sebagai energi dan penyusun struktur sel
Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut 156 jasad mikro. Sedangkan bila nisbah C
dan P mencapai 200, proses mineralisasi akan berjalan lebih cepat daripada proses
immobilisasi, sehingga P akan dapat lebih tersedia bagi tanaman. Menurut Tisdale et
al. (1985) proses mineralisasi akan lebih konstan bila nisbah C, N, dan P mencapai
nilai sebesar 100:10:1. Dengan demikian proses mineralisasi yang terjadi pada tanah
gambut berlangsung lambat, karena nisbah C dan P sangat lebar (Miller dan Donahue,
1990). Pada tanah gambut kandungan unsur mikro umumnya terdapat dalam jumlah yang
sangat rendah, dan dapat menyebabkan gejala defisiensi bagi tanaman. Tanah yang
berkadar bahan organik tinggi seperti gambut, sebagian besar hara mikro, terutama
Cu dikhelat cukup kuat oleh bahan organik sehingga tidak tersedia bagi tanaman
(Kanapathy, 1972). Grup karboksilat dan fenolat pada tapak reaktif tanah gambut
dapat membentuk senyawa kompleks dengan unsur mikro, sehingga mengakibatkan unsur
mikro menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Selain itu adanya kondisi reduksi yang
kuat menyebabkan unsur mikro direduksi menjadi bentuk logamnya yang tidak
bermuatan. Menurut Driessen (1978) kandungan unsur mikro tanah gambut pada lapisan
bawah umumnya lebih rendah dibandingkan lapisan atas. Namun dapat juga kandungan
unsur mikro pada lapisan bawah dapat lebih tinggi apabila terjadi pencampuran
dengan bahan tanah mineral yang ada di lapisan bawah gambut tersebut. 5.2.2. Sifat
kimia tanah gambut Tingkat kemasaman tanah gambut berhubungan erat dengan kandungan
asam-asam organiknya, yaitu asam humat dan asam fulvat (Andriesse, 1974; Miller dan
Donahue, 1990). Bahan organik yang telah mengalami dekomposisi mempunyai gugus
reaktif seperti karboksil ( COOH) dan fenol (C6H4OH) yang mendominasi kompleks
pertukaran dan dapat bersifat sebagai asam lemah sehingga dapat terdisosiasi dan
menghasilkan ion H dalam jumlah banyak. Diperkirakan bahwa 85 sampai 95% muatan
pada bahan organik disebabkan karena kedua gugus karboksil dan fenol tersebut.
Dekomposisi bahan organik dalam keadaan anaerob akan menghasilkan beberapa senyawa
dan gas, antara lain adalah metan, hidrogen sulfida, etilen, asam asetat, asam
butirat, asam laktat, dan asam-asam organik lainnya seperti asam-asam fenolat.
Sebagian besar dari asam-asam ini bersifat racun bagi Hartatik dan Suriadikarta 157
tanaman (Tsutsuki dan Ponnamperuma, 1987, Tsutsuki dan Kondo, 1995). Tanah-tanah
gambut di Indonesia mempunyai kandungan lignin yang lebih tinggi dibandingkan
dengan tanah-tanah gambut yang berada di daerah yang beriklim sedang (Driessen dan
Suhardjo, 1976; Driessen, 1978). Lignin tersebut akan mengalami proses degradasi
menjadi senyawa humat, dan selama proses degradasi tersebut akan dihasilkan asam-
asam fenolat (Kononova, 1968). Beberapa jenis asam fenolat yang umum dijumpai dalam
tanah adalah asam vanilat, p-kumarat, p-hidroksibenzoat, salisilat, galat, sinapat,
gentisat, dan asam siringat (Tsutsuki, 1984). Asam-asam fenolat tersebut
berpengaruh langsung terhadap proses biokimia dan fisiologi tanaman, serta
penyediaan hara di dalam tanah. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa asam-
asam fenolat bersifat fitotoksik bagi tanaman dan menyebabkan pertumbuhan tanaman
terhambat (Driessen, 1978; Stevenson, 1994; Tsutsuki, 1984). Konsentrasi asam
fenolat sebesar 0,6-3,0 mM dapat menghambat pertumbuhan akar padi sampai 50%,
sedangkan pada konsentrasi 0,001 hingga 0,1 mM dapat mengganggu pertumbuhan
beberapa tanaman (Takijima 1960, dalam Tsutsuki, 1984). Pengaruh asam p-
hidroksibenzoat yang diberikan terusmener us sampai panen dengan konsentrasi >0,1
mM menurunkan bobot kering
tanaman bagian atas dan biji pada saat panen (Tadano et al., 1992). Wang et al.
(1967) mendapatkan pada konsentrasi asam p-hidroksibenzoat sebesar 7-70 mM dapat
menekan pertumbuhan tanaman jagung, gandum, dan kacang-kacangan. Sedangkan pada
konsentrasi 180 mM tidak berpengaruh terhadap tanaman tebu, tetapi pada konsentrasi
asam p-hidroksibenzoat 360 mM berpengaruh terhadap pertumbuhan akar tanaman tebu.
Hartley dan Whitehead (1984) mengemukakan bahwa asam-asam fenolat pada konsentrasi
250 M menurunkan sangat nyata serapan kalium oleh tanaman barley. Asam salisilat
dan ferulat menyebabkan terhambatnya serapan kalium dan fosfor oleh tanaman gandum
serta asam ferulat pada konsentrasi 500 hingga 1000 M menurunkan serapan fosfor
pada tanaman kedelai. Bahan-bahan fitotoksik hasil dekomposisi bahan organik
berpengaruh terhadap perubahan permeabilitas sel tanaman, sehingga asam-asam amino
dan bahan lain mengalir keluar dari sel, nekrosis pada sel akar, menghambat dan
menunda perkecambahan. Selain bahan fitotoksik ini dapat mematikan biji, menghambat
pertumbuhan akar, pertumbuhan tanaman kerdil, mengganggu serapan hara, klorosis
layu, dan akhirnya dapat mematikan tanaman (Patrick, 1971). Teknologi Pengelolaan
Hara Lahan Gambut 158 5.3. TEKNOLOGI AMELIORASI DAN PEMUPUKAN PADA LAHAN GAMBUT
Rendahnya produktivitas lahan gambut disebabkan oleh adanya berbagai faktor
pembatas, diantaranya kandungan asam-asam fenolat yang tinggi, kemasaman yang
tinggi, kapasitas tukar kation yang tinggi dengan kejenuhan basa dan ketersediaan P
yang rendah. Mengusahakan lahan gambut dengan cara disawahkan, secara tidak
langsung dapat menekan terjadinya penurunan permukaan tanah (subsident), namun
permasalahan yang dihadapi adalah munculnya asam-asam organik dalam konsentrasi
yang tinggi yang meracuni tanaman, terutama asam-asam fenolat (Tadano et al.,1990;
Rachim 1995; Prasetyo, 1996; Salampak, 1999). Asam-asam fenolat tersebut merupakan
hasil biodegradasi anaerob dari senyawa lignin dalam bahan asal kayu-kayuan
(Tsutsuki dan Kondo, 1995). Pengaruh buruk dari derivat asam-asam fenolat dapat
dikurangi dengan pemberian kation-kation polivalen seperti Al, Fe, Cu, Zn (Rachim,
1995; Prasetyo , 1996; Saragih 1996). Penurunan asam-asam fenolat disebabkan oleh
adanya erapan kation-kation polivalen oleh tapak reaktif gugus fungsional asam-asam
organik sehingga membentuk senyawa kompleks yang resisten (Stevenson, 1994). Tapak-
tapak reaktif di dalam tanah gambut berasal dari gugus fungsional asam organik yang
mengandung oksigen (C=O, OH, dan COOH), terutama dari gugus OH asam fenolat.
Penelitian Saragih (1996) menunjukkan bahwa kation Fe+3 lebih efektif dan stabil
berikatan dengan senyawa-senyawa organik dalam gambut dibandingkan dengan kation
Al+3, Ca+2, Cu+2, dan Fe+2. Penggunaan kation Fe sangat baik bagi pengikatan P
sehingga dapat mengkonservasi dan meningkatkan ketersediaan P (Rachim, 1995). Upaya
peningkatan produktivitas lahan gambut melalui teknologi pencampuran dengan tanah
mineral telah lama dipraktekkan di lahan gambut. Tanah mineral yang sesuai sebagai
bahan amelioran untuk menekan aktivitas asam-asam fenolat tergantung kandungan
asam-asam fenolat dominan pada gambut. Untuk gambut dari Kalimantan Tengah yang
mengandung asam ferulat lebih tinggi, maka tanah mineral yang lebih sesuai yang
mengandung besi tinggi. Sedangkan pada gambut Sumatera Selatan yang mengandung asam
phidroksibenzoat yang lebih tinggi, maka pemberian tanah mineral perlu Hartatik dan
Suriadikarta 159 dikombinasikan dengan pemberian terusi (sumber Cu). Petani di
Belanda mencampurkan tanah mineral yang ada di bawah gambut dengan gambut yang
ada diatasnya, tanah mineral diaduk merata dengan gambut hingga kedalaman 40 cm.
Sedangkan petani di Rusia mencampurkan tanah mineral dengan gambut dengan cara
menyebarkan tanah mineral di atas tanah gambut sebanyak 300400 m3/ha atau setebal
3-4 cm, kemudian dibajak agar tanah mineral tercampur rata dengan tanah gambut.
Praktek petani di Jerman untuk meningkatkan produktivitas tanah gambut dengan tanah
mineral berbeda dengan Belanda dan Rusia. Tanah mineral yang diangkut dari tempat
terdekat, disebar rata di atas permukaan tanah gambut setebal 10 hingga 12 cm atau
1.000 hingga 1.200 m3/ha, tetapi tidak dicampur dengan gambut (Skoropanov, 1968).
Pemberian tanah mineral setebal 6 cm atau setara 600 t/ha pada tanah gambut Hokaido
Jepang meningkatkan hasil padi 4,3 t/ha (Miyake, 1982). Soepardi dan Surowinoto
(1986) melaporkan bahwa pemberian tanah mineral sebanyak 60 t/ha mampu meningkatkan
hasil tanaman, hanya saja upaya tersebut harus dibarengi dengan upaya pemupukan.
Halim (1987) melakukan pencampuran tanah gambut Sumatera Selatan dengan tanah
mineral berasal dari tanggul sungai (levee) sebesar 16 ton bahan tanah dan 3 ton
dolomit + 1,5 ton kalsit serta 80 kg besi per hektar meningkatka n hasil kedelai
sebesar 17,7 ku/ha. Rachim et al. (1991) melaporkan takaran tanah mineral berpirit
sebanyak 20% dari bobot tanah gambut meningkatkan hasil tanaman jagung dan padi.
Bila takaran campurannya ditingkatkan menjadi 40%, maka cenderung menurunkan hasil,
karena meningkatnya bobot gabah yang hampa. Pencampuran tanah mineral berpirit
perlu diwaspadai karena dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan tanaman,
karena meningkatnya Al-dd, H-dd, dan SO4 2-. Pemanfaatan bahan amelioran lumpur
laut dan kapur terhadap peningkatan produksi kedelai pada gambut Kalimantan Barat
menunjukkan bahwa lumpur laut dapat memperbaiki produktivitas gambut melalui
perbaikan sifat-sifat kimia, antara lain meningkatkan pH, ketersediaan Ca dan Mg,
kejenuhan basa, kombinasi kapur 3 t/ha dan lumpur laut 7,5% meningkatkan
pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai (Sagiman, 2001). Ameliorasi dengan tanah
mineral berkadar besi tinggi dapat mengurangi pengaruh buruk dari asam-asam fenolat
(Salampak, 1999; Mario, 2002; Hartatik, 2003). Salampak (1999) melaporkan pemberian
tanah mineral berkadar besi Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut 160 tinggi
sampai takaran 7,5% erapan maksimum besi pada tanah gambut dari Kalimantan Tengah
mampu menurunkan konsentrasi asam-asam fenolat sekitar 30% dan meningkatkan
produksi padi dari 0,73 menjadi 3,24 t/ha (Tabel 5.3). Pemberian tanah mineral juga
dapat memperkuat ikatan-ikatan kation dan anion sehingga konservasi terhadap unsur
hara yang berasal dari pupuk menjadi lebih baik. Selain itu, ikatan dengan koloid
inorganik menyebabkan degradasi bahan gambut menjadi terhambat (Alexander, 1977)
sehingga gambut sebagai sumber daya alam dapat digunakan dalam jangka waktu yang
lama. Tabel 5.3. Rata-rata bobot gabah akibat pemberian bahan amelioran pada dua
jenis gambut di Kalteng (Salampak, 1999) Bobot gabah pada Bahan amelioran Gambut
pasang surut (Samuda) Gambut transisi (Sampit) . . . t /ha .. . % erapan maksimum
Fe 0 2,5 5 7,5 10 0,73 a* 1,22 a 2,06 b 3,24 c
2,15 c 0,57 a 1,19 ab 1,87 c 2,75 d 2,03 d *) Nilai tengah yang diikuti oleh huruf
yang sama pada kolom yang sama tidak ber beda nyata pada taraf 5%. Kation besi dari
amelioran tanah mineral dapat menciptakan tapak erapan baru pada gambut sehingga
ikatan fosfat menjadi lebih kuat dan tidak mudah lepas. Kation besi berperan
sebagai jembatan pengikat fosfat pada tapak erapan reaktif gambut sehingga hara P
dari tapak reaktif gambut dapat dilepaskan secara lambat dan kebutuhan tanaman
dapat dipenuhi. Hartatik (2003) melaporkan pemberian bahan amelioran tanah mineral
takaran 7,5% erapan maksimum Fe pada tanah gambut Air Sugihan Kiri Sumatera Selatan
menurunkan konsentrasi asam siringat, asam kumarat dan asam vanilat berturut-turut
88, 67, dan 36% (Tabel 5.4). Menurut Tadano et al. (1992) beberapa jenis asam
fenolat yang umum dijumpai dalam tanah gambut di antaranya asam ferulat, asam
vanilat, p-kumarat, dan p-hidroksibenzoat pada konsentrasi tertentu dapat bersifat
racun terhadap pertumbuhan tanaman. Asam Hartatik dan Suriadikarta 161 asam fenolat
tersebut berpengaruh menekan aktivitas fisiologi akar, menghambat pertumbuhan akar,
dan mengganggu serapan hara. Tabel 5.4. Pengaruh pemberian bahan amelioran tanah
mineral terhadap konsentrasi asam-asam fenolat pada gambut Air Sugihan Kiri
(Hartatik, 2003) Asam fenolat Perlakuan p-hidroksi benzoat Vanilat p-kumarat
Sinapat Siringat Ferulat Amelioran
TM .....................................................
mM .......... ........................................... 0% Fe 0,26 0,28 0,21 0,06
1,6 0,006 2,5% Fe 0,15 0,38 0,15 0,04 0,09 0,004 5% Fe 0,12 0,34 0,21 0,09 0,28
0,004 7,5% Fe 0,40 0,18 0,07 0,06 0,19 0,003 10% Fe 0,97 0,39 0,14 0,04 0,26 0,002
Penurunan asam-asam fenolat ini disebabkan oleh adanya interaksi antara kation Fe
dari bahan amelioran sebagai jembatan kation dan asam-asam fenolat melalui proses
polimerisasi. Kation Fe bereaksi dengan ligan organik membentuk ikatan kompleks.
Asam-asam organik berperan sebagai penyumbang pasangan elektron (donor), sedangkan
kation Fe berperan sebagai penerima elektron (aseptor) (Tan, 1993). Penurunan
konsentrasi asam-asam fenolat dalam tanah gambut pada prinsipnya tidak dimaksudkan
untuk menghabiskan konsentrasi asam-asam organik tersebut, karena hampir seluruh
reaksi kimia yang terjadi di dalam tanah tersebut berada pada tapak reaktif dari
berbagai gugus fungsional asam-asam organik yang mengandung oksigen ( C=O, OH, dan
COOH). Oleh karena itu untuk menurunkan konsentrasi asam-asam organik yang meracun
dalam tanah gambut harus dirancang, agar tidak sampai menghilangkan fungsinya
sebagai media tumbuh tanaman, serta fungsinya sebagai pusat pertukaran kimia
(koloid). Ameliorasi gambut dari Air Sugihan Kiri Sumatera Selatan dengan tanah
mineral berpirit menunjukkan bahwa pencucian pada amelioran tanah mineral yang
berkadar pirit rendah maupun tinggi, mampu menurunkan kadar pirit terlarut. Pada
tanah mineral yang berkadar pirit rendah, pencucian yang dilakukan empat kali
sebulan menurunkan kadar sulfat terlarut sebesar 74% yaitu
dari 320 ppm menjadi 84 ppm, bila pencucian dilakukan dua kali sebulan mampu
menurunkan kadar sulfat terlarut sebesar 69% yaitu dari 317 ppm menjadi 98
Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut 162 ppm. Sedangkan pada tanah mineral
berpirit tinggi pencucian dua dan empat kali sebulan mampu menurunkan kadar sulfat
terlarut masing-masing 93 dan 91%. Demikian juga pencucian yang dilakukan setelah
tanah mineral berpirit dicampur dengan tanah gambut juga cukup efektif menurunkan
kadar sulfat terlarut dalam tanah. Ameliorasi gambut dengan tanah mineral berpirit,
disarankan melakukan pencucian untuk menurunkan kadar sulfat sampai batas tidak
menghambat pertumbuhan tanaman, sebaiknya dilakukan percampuran gambut dengan tanah
mineral dahulu sebelum dilakukan pencucian, untuk menghindari hilangnya basa-basa
dalam gambut dan meningkatkan hasil tanaman (Gambar 5.1). Gambar 5.1 . Pengaruh
periode pencucian terhadap gabah bernas Keterangan : KIC0 = Kontrol RC4I = Kadar
pirit rendah, dicuci empat kali, inkubasi, tanam RC2I = Kadar pirit rendah, dicuci
dua kali, inkubasi, tanam TC4I = Kadar pirit tinggi, dicuci empat kali, inkubasi,
tanam TC2I = Kadar pirit tinggi, dicuci dua kali, inkubasi, tanam RIC4 = Kadar
pirit rendah, diinkubasi dicuci empat kali, tanam RIC2 = Kadar pirit rendah,
diinkubasi, dicuci dua kali, tanam TIC4 = Kadar pirit tinggi, diinkubasi, dicuci
empat kali, tanam TIC2 = Kadar pirit tinggi, diinkubasi, dicuci dua kali, tanam
Sumber : Suastika (2004) 0.78 3.88 3.16 8.38 5.42 0.78 5.3 5.05 13.85 12.17 0 2 4 6
8 10 12 14 16 KIC0 RC4I RC2I TC4I TC2I KIC0 RIC4 RIC2 TIC4 TIC2 DIINKUBASI SETELAH
DICUCI DICUCI SETELAH DIINKUBASI GABAH BERNAS (G/POT) Gabah bernas (g/pot)
Diinkubasi setelah dicuci Dicuci setelah diinkubasi 16 14 12 10 8 6 4
2 0 0,78 3,88 3,16 8,38 5,42 0,78 5,3 5,05 13,85 12,17 Hartatik dan Suriadikarta
163 Ameliorasi gambut dengan tanah mineral berpirit yang telah diturunkan kadar
sulfatnya melalui pencucian dua kali setelah diinkubasi selama satu bulan
menunjukkan bahwa dapat menurunkan konsentrasi asam-asam fenolat dari tanah gambut
sebesar 44% untuk p-hidroksi benzoat, 75% untuk asam vanilat, 78% untuk asam p-
kumarat, 80% untuk asam sinapat, 96% untuk asam ferulat, dan 85% untuk asam
siringat, serta meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman padi (Suastika, 2004).
Mario (2002) melaporkan peningkatan produktivitas tanah gambut pantai (Samuda),
gambut transisi (Sampit) dan gambut pedalaman (Berengbengkel) Kalimantan Tengah,
dengan pemberian tanah mineral yang mengandung besi tinggi (Fe2O3 = 22,06%) dengan
takaran 5% erapan Fe maksimum yang dikombinasikan dengan terak baja (Fe2O3 = 42,6%)
dalam beberapa kombinasi. Kombinasi perlakuan yang dicobakan yaitu 90% tanah
mineral + 10% terak baja, 80% tanah mineral + 20% terak baja, 70% tanah mineral +
30% terak baja, 60% tanah mineral + 40% terak baja, 50% tanah mineral dan 50% terak
baja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengkayaan tanah mineral dengan pemberian
terak baja mampu menurunkan konsentrasi asam-asam fenolat. Penurunan proporsi bahan
tanah mineral sebagai bahan amelioran menurunkan kemampuan amelioran tersebut dalam
menurunkan konsentrasi asam-asam fenolat. Peningkatan proporsi terak baja dari 10%
hingga 50% menyebabkan menurunnya interaksi yang terjadi antara asam-asam fenolat
dengan Fe yang terkandung dalam amelioran. Pemberian amelioran meningkatkan
ketersediaan hara terutama basabasa dalam tanah gambut, meskipun kecenderungan
terjadi penurunan pH tanah, namun demikian peningkatan proporsi terak baja
cenderung meningkatkan pH tanah. Pemberian amelioran berpengaruh nyata dalam
meningkatkan pertumbuhan dan produksi padi. Pada gambut Berengbengkel peningkatan
proporsi terak baja secara linear meningkatkan produksi padi, sedangkan pada gambut
Samuda dan Sampit tidak terjadi perbedaan yang nyata. Peningkatan produktivitas
tanah gambut transisi dapat dicapai dengan pemberian 70% setara 4,6 t/ha bahan
tanah mineral yang diperkaya dengan 30% setara 1,5 t/ha terak baja, sedangkan untuk
gambut pantai hanya dengan pemberian bahan tanah mineral sebesar 7,9 t/ha. Untuk
gambut pedalaman penggunaan bahan tanah mineral yang diperkaya oleh terak baja
tidak mampu untuk memperbaiki produktivitas tanah gambut yang disawahkan. Hal ini
disebabkan pada gambut pedalaman mempunyai kandungan asam fenolat Teknologi
Pengelolaan Hara Lahan Gambut 164 potensial yang cukup tinggi, sehingga sulit
memprediksi kebutuhan bahan amelioran dalam menurunkan asam-asam fenolat.
Pengkayaan tanah mineral insitu oleh bahan berkadar besi tinggi (terak baja)
sebagai bahan amelioran pada gambut dari Air Sugihan Kiri untuk meningkatkan
produktivitas lahan gambut yang disawahkan menunjukkan bahwa pemberian amelioran
tanah mineral insitu dengan takaran 5% erapan maksimum Fe dengan terak baja 15%
meningkatkan hasil gabah kering sebesar 4,6 t/ha
(Laporan kerjasama Lembaga Penelitian IPB dan Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, 2001). Murnita (2001) mempelajari peranan bahan amelioran besi (Fe) dan
zeolit terhadap perilaku K dan hasil padi pada tanah gambut pantai dan gambut
peralihan Jambi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian bahan amelioran Fe
sebanyak 2,5% erapan maksimum Fe dan zeolit 0,25-3% dapat mengurangi konsentrasi
asam-asam fenolat dalam tanah gambut pantai saprik dan hemik masing-masing sebesar
9-47% dan 9-52%, serta gambut peralihan saprik dan hemik sebesar 9-53% dan 10-62%.
Pemberian Fe berperan lebih besar dalam menekan konsentrasi asam-asam fenolat
dibandingkan dengan zeolit. Suriadikarta dan Jayusman (2001), telah mencoba
menggunakan pupuk cair shimarock untuk meningkatkan produksi tanah gambut yang
disawahkan. Shimarock adalah pupuk cair yang berasal dari Jepang yang dibuat dari
ekstrak mineral vermikulit yang mengandung 22 jenis mineral, yaitu : Ca, Mg, K, Na,
Se, Si, P, Rb, Ge, Zn, W, Mn, Fe, Cu, Co, Ni, Mo, Li, V, Ti, Al, dan Ba. Mineral-
mineral tersebut sangat penting dalam proses fotosintesis, dan merupakan komponen
enzim yang penting sebagai katalisator dalam metabolisme tanaman. Shimarock dapat
membuat akar tanaman menjadi cepat tumbuh dan banyak membentuk akar-akar halus
tumbuh dan ini menjadi penting untuk tanaman (Kondo, 2001). Bahan shimarock telah
dicoba di Indonesia pada tanah gambut lahan sawah di daerah Air Sugihan Kiri,
Sumatera Selatan dengan tanaman padi varietas lokal Komojoyo. Penelitian
dilaksanakan pada MH 2001, dengan dosis 1 cc/lt. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
dengan penggunaan shimarock pada lahan gambut dapat meningkatkan tanaman padi dua
kali lipat lebih (212,5%), yaitu dari 1,6 t/ha menjadi 3,4 t/ha GKG.. Tetapi bila
digunakan pada tanah mineral masam (Ultisols) dengan varietas unggul baru IR-64
dapat meningkatkan hasil 20,3%, yaitu dari 6,4 t/ha menjadi 7,7 t/ha GKG, sedangkan
dengan varietas Hartatik dan Suriadikarta 165 hibrida Yaponica peningkatannya kecil
hanya 7,3% yaitu dari 6,8 t/ha menjadi 7,3 t/ha GKG. Peningkatan ini kecil karena
varietas Yaponica belum dapat beradaptasi dengan tanah Ultisols di Indonesia.
Pemberian bahan amelioran zeolit 0,5-1,5% dapat mengurangi kehilangan K dari pupuk
pada tanah gambut pantai dan peralihan masing-masing sebesar 0,5-2% dan 0,7-3%. K
yang tercuci dari gambut pantai lebih kecil dari gambut peralihan. Untuk
meningkatkan efisiensi pemupukan K dalam tanah gambut, maka disarankan untuk
melakukan pemupukan K sesuai kebutuhan ke dalam zeolit sebagai amelioran. Semakin
tinggi dosis zeolit dan kalium pada tanah gambut pantai dan peralihan tanpa maupun
dengan pencucian, bobot gabah kering semakin meningkat. Kombinasi pemberian zeolit
15 g/kg dan K 375 mg/kg meningkatkan bobot gabah kering (Tabel 5.5). Perlakuan
pencucian dan pemberian bahan amelioran Fe3+ pada takaran 2,5% erapan maksimum Fe
untuk gambut pantai dan 5% untuk gambut peralihan meningkatkan bobot kering tanaman
(Tabel 5.6 ). Tabel 5.5. Rata-rata bobot gabah kering padi akibat pencucian dan
pemberian zeolit serta kalium pada tanah gambut pantai dan peralihan Tanpa
pencucian Dengan pencucian Tanpa pencucian Dengan pencucian Zeolit Kalium Gambut
pantai Gambut peralihan
g/kg mg/kg ..............................................
g/pot ................ ............................. 0 0 3,03a 6,83a 0,36a 2,03a
125 5,54b 8,17b 1,03b 4,48b 250 6,37bc 8,38b 1,30b 5,37b 375 7,00c 10,60c 1,30b
6,00b 5 0 5,10a 7,21a 1,05a 4,18a 125 7,34b 9,58b 1,91a 5,37b 250 7,85b 9,68b 1,65a
6,86b 375 8,98c 13,40c 2,25b 7,97c 10 0 6,34a 8,67a 1,40a 5,35a 125 6,92ab 11,65b
1,70a 5,95a 250 7,88b 12,54b 2,50b 6,89b 375 8,54b 14,29c 4,30c 7,54b 15 0 5,95a
11,00a 1,75a 4,90a 125 8,06b 14,27b 2,27a 7,55b 250 9,13c 15,37b 3,41b 8,13b 375
10,65d 17,60c 5,58c 9,60c Nilai tengah yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris
dan kolom yang sama ti dak berbeda nyata pada taraf a = 0,05 Teknologi Pengelolaan
Hara Lahan Gambut 166 Tabel 5.6. Pengaruh interaksi antara pencucian dengan
pemberian bahan amelioran Fe3+ terhadap bobot kering tanaman padi pada gambut
pantai dan peralihan, Jambi (Murnita, 2001) Fe3+ (% erapan maksimum Fe3+) Pencucian
0 2,5 5,0 7,5 0 2,5 5,0 7,5 Gambut pantai Gambut peralihan .. Bobot kering
(g/pot) .. Tanpa pencucian 1,30a x 7,44c x 6,88c x 3,96b x 0,67a x 2,34b x 3,58b x
2,4b x Dengan pencucian 3,46a y 13,73c y 12,81c y 6,60b y 1,41a x 6,33c y 7,05d y
3,78b y Keterangan : Nilai tengah yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan
kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%. Hartatik et al. (2004)
melaporkan pengaruh pemberian beberapa jenis fosfat alam atau SP-36 pada tanah
gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral terhadap pencucian P dari kolom
tanah menunjukkan bahwa pemberian fosfat alam Maroko, Ciamis, atau SP-36 pada tanah
gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral terjadi akumulasi P pada lapisan
atas. Dari hasil analis
is kolom tanah setiap kedalaman 10 cm menunjukkan bahwa bahan amelioran dan fosfat
alam Maroko, Ciamis atau SP-36 menyebabkan P lebih banyak terakumulasi pada
kedalaman 5 hingga 20 cm. Nisbah kadar P kolom tanah antara kedalaman 0 hingga 30
cm dengan 30 hingga 60 cm masing-masing pada takaran 50, 100, dan 200% P yaitu
1,54; 1,90; dan 2,79 untuk fosfat alam Maroko dan 1,64; 1,76; dan 4,11 untuk fosfat
alam Ciamis serta 1,31; 2,05; dan 2,79 untuk SP-36 (Gambar 5.2). Pemberian bahan
amelioran dan pemupukan fosfat alam Maroko dan Ciamis meningkatkan P pada lapisan
atas, sehingga P yang tercuci berkurang dibandingkan SP-36. Sedangkan perlakuan
fosfat alam Christmas, P terakumulasi pada kedalaman 30 hingga 40 cm, dengan nisbah
kadar P kolom tanah antara kedalaman 0 hingga 30 cm dengan 30 hingga 60 cm pada
takaran 50, 100, dan 200% P yaitu 1,05; 1,11; dan 1,38. Diduga hal ini berkaitan
dengan rendahnya kelarutan fosfat alam tersebut dalam tanah. Adanya akumulasi P di
lapisan bawah menunjukkan bahwa tidak ada peranan Fe dalam fosfat alam terhadap
Hartatik dan Suriadikarta 167 pengikatan P. Hal ini disebabkan karena besi terikat
kuat dalam mineral apatit yang sukar larut. Kolom tanah tanpa perlakuan bahan
amelioran menunjukkan akumulasi P pada kedalaman 30 hingga 60 cm. Pemberian bahan
amelioran mampu meningkatkan ikatan P dalam tanah gambut, sehingga P tidak mudah
hilang tercuci dalam tanah. Diduga pemberian bahan amelioran akan membentuk
tapaktapak reaktif baru bagi P yang dihasilkan dari interaksi asam organik-Fe,
sehingga terbentuk senyawa kompleks organik-Fe-P. Besi dari bahan amelioran
berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan asam-asam organik dengan anion
fosfat. Adanya kemampuan pengikatan P ini, kehilangan P dari dalam tanah dapat
dikurangi, sehingga efisiensi pemupukan P dalam tanah gambut dapat ditingkatkan.
Hasil ini sesuai dengan percobaan yang dilakukan oleh Rachim (1995), Salampak
(1999), dan Wild (1990) yang mengemukakan bahwa kation polivalen dapat menjembatani
ikatan antara P dan asam-asam organik. Diantara sumber P, perlakuan fosfat alam
Maroko memberikan kadar P dalam kolom tanah paling tinggi diikuti berturut-turut
SP-36, Ciamis, dan terendah Christmas. Hartatik (2003) mempelajari pengaruh
pemberian beberapa jenis fosfat alam atau SP-36 pada tanah gambut yang diberi bahan
amelioran tanah mineral terhadap pertumbuhan dan serapan P tanaman padi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa fosfat alam Ciamis takaran 50% erapan maksimum P
memberikan bobot kering tanaman setara SP-36. Fosfat alam Ciamis meningkatkan bobot
kering tanaman sebesar 82% dibandingkan kontrol. Fosfat alam Maroko dan Christmas
umumnya memberikan bobot kering tanaman yang rendah yang tidak berbeda nyata dengan
kontrol (Tabel 5.7). Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut 168 Gambar 5.2. Pola
distribusi fosfor dalam kolom tanah dari beberapa jenis sumber P Maroko 0 20 40 60
80 0 - 5 5 - 10 10 - 20 20 - 30 30 - 40 40 - 50 50 - 60 Kedalaman kolom tanah (cm)
P (ppm)
Kontrol tanpa TM Kontrol TM Maroko 50% Maroko 100% Maroko 200% Christmas 0 10 20 30
40 0 - 5 5 - 10 10 - 20 20 - 30 30 - 40 40 - 50 50 - 60 Kedalaman kolom tanah (cm)
P (ppm) Kontrol tanpa Kontrol Christmas Christmas Christmas Ciamis 0 20 40 60 0 - 5
5 - 10 10 - 20 20 - 30 30 - 40 40 - 50 50 - 60 Kedalaman kolom tanah (cm) P (ppm)
Kontrol tanpa TM Kontrol TM Ciamis 50% Ciamis 100% Ciamis 200% SP-36 0 20 40 60 80
0 - 5 5 - 10 10 - 20 20 - 30 30 - 40 40 - 50 50 - 60 Kedalaman Kolom Tanah (cm) P
(ppm) Kontrol tanpa TM Kontrol TM SP-36 50% SP-36 100% SP-36 200% Hartatik dan
Suriadikarta 169 Perlakuan fosfat alam Maroko dan Christmas memberikan bobot kering
tanaman yang lebih rendah, hal ini disebabkan adanya dominasi asam p-hidroksi
benzoat dan p-kumarat yang menghambat pertumbuhan dan bobot kering
tanaman. Pemberian SP-36 meningkatkan bobot kering tanaman sebesar 158%
dibandingkan kontrol dan memberikan bobot kering tanaman lebih tinggi daripada
fosfat alam. Hal ini berkaitan dengan rendahnya konsentrasi asam p-kumarat dan p-
hidroksi benzoat yang terukur dan tingginya P yang diserap tanaman, sehingga
pertumbuhan dan bobot kering tanaman lebih optimum dibandingkan perlakuan fosfat
alam. Tabel 5.7. Rataan bobot kering tanaman dan serapan P Total padi IR-64 akibat
pemberian beberapa jenis fosfat alam dan SP-36 pada tanah gambut yang diberi bahan
amelioran tanah mineral Perlakuan Bobot kering tanaman Serapan P total g/pot mg/pot
Kontrol - TM 1,17 d* 5,88 d Kontrol + TM 1,85 cd 8,05 cd Maroko 50% + TM 1,72 cd
10,47 cd Maroko 100% + TM 1,44 cd 12,79 cd Maroko 150% + TM 1,74 cd 10,69 cd
Christmas 50% + TM 1,83 cd 7,76 cd Christmas 100% + TM 1,13 d 7,43 cd Christmas
150% + TM 1,91 cd 10,02 cd Ciamis 50% + TM 3,37 bc 16,57 bc Ciamis 100% + TM 1,01 d
7,97 cd Ciamis 150% + TM 1,47 cd 14,17 cd SP-36 50% + TM 4,77 ab 24,98 ab SP-36
100% + TM 5,87 a 27,31 a SP-36 150% + TM 4,26 ab 34,93 a Keterangan : Angka yang
selajur diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada
taraf 5% TM = Tanah mineral Sumber : Hartatik (2003) Serapan P total tanaman
cenderung meningkat dengan pemberian bahan amelioran. Adanya kation Fe dalam bahan
amelioran akan meningkatkan ikatan antara P dan asam-asam organik melalui jembatan
kation, sehingga P dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Teknologi Pengelolaan Hara
Lahan Gambut 170 Perlakuan SP-36 meningkatkan serapan P total sebesar 210%
dibandingkan dengan kontrol + TM. Serapan P total yang tinggi pada perlakuan SP-36
ini berkaitan erat dengan rendahnya konsentrasi asam p-kumarat dan phidrok si
benzoat, sehingga perakaran tanaman padi relatif berkembang karena pengaruh racun
asam-asam organik tersebut relatif kecil. Sedangkan pada fosfat alam Ciamis takaran
50% meningkatkan serapan P sebesar 106% dibandingkan dengan kontrol + TM. Fosfat
alam Maroko dan Christmas, serapan P agak terhambat karena perakaran tanaman
sebagian telah teracuni oleh asam-asam fenolat. Menurut Tadano et al. (1991)
konsentrasi asam-asam fenolat yang tinggi menyebabkan serapan P, K, Cu, dan Zn oleh
tanaman padi menurun. Fenomena ini menunjukkan bahwa kurang optimalnya pengaruh
fosfat alam terhadap pertumbuhan tanaman padi dan serapan P disebabkan karena
pengaruh racun asam-asam fenolat masih lebih dominan dibandingkan dengan perbaikan
terhadap perlakuan P dari fosfat alam. Dari fraksi serapan P tanaman Dengan
menggunakan isotop 32P dapat diketahui secara kuantitatif dan proporsional jumlah
fosfor yang diserap tanaman , baik yang berasal dari tanah gambut maupun dari pupuk
P. Proporsi hara P yang diserap tanaman padi dari tanah gambut dan pupuk disajikan
pada Gambar 5.3. Rataan persentase serapan P dari fosfat alam Maroko, Christmas,
Ciamis dan SP-36 masing-masing sebesar 50,19; 52,96; 54,48; dan 41,92%. Sedangkan
rataan persentase serapan P dari tanah gambut masing-masing sebesar 49,81;
47,04; 45,52; dan 58,08%. Secara umum perlakuan pemberian fosfat alam memberikan
persentase serapan P dari fosfat alam sedikit lebih tinggi dari persentase serapan
P dari tanah gambut dan sebaliknya pada perlakuan SP-36 persentase serapan P dari
tanah gambut sedikit lebih tinggi dari persentase serapan P dari SP-36. Tingginya
serapan P dari tanah gambut pada perlakuan SP-36 kemungkinan disebabkan karena SP-
36 merupakan pupuk P yang mudah larut, sehingga sebagian P digunakan oleh mikroba
sebagai hara atau energi untuk mendekomposisi gambut, sehingga proses mineralisasi
P sedikit lebih tinggi dari perlakuan fosfat alam (Stevenson, 1994). Peningkatan
takaran SP-36 sampai takaran 150% erapan P meningkatkan serapan P dari SP-36.
Keragaan pertumbuhan tanaman padi akibat pemberian bahan amelioran dan SP-36 lebih
baik karena didukung oleh kondisi perakaran yang lebat dan sehat sehingga serapan P
baik dari pupuk maupun tanah gambut Hartatik dan Suriadikarta 171 tidak terhambat.
Sedangkan pada perlakuan fosfat alam terutama fosfat alam Christmas kondisi
perakaran memendek dan kurang lebat akibat pengaruh fitotoksik dari asam-asam
organik sehingga serapan P baik dari fosfat alam dan tanah gambut terganggu yang
berakibat pertumbuhan tanaman kerdil. Persentase serapan P dengan metode isotop
perlakuan pemberian bahan amelioran dan SP-36 memberikan persentase serapan P lebih
tinggi dari fosfat alam. Persentase serapan P pada perlakuan pemberian bahan
amelioran dan SP-36 takaran 50%, 100%, 150% erapan P masing-masing sebesar 9,94;
4,85; dan 5,35% (Gambar 5.4). Gambar 5.3. Pengaruh pemberian beberapa jenis fosfat
alam atau SP-36 pada tanah gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral
terhadap proporsi serapan P oleh tanaman padi (Hartatik, 2003) 0% 20% 40% 60% 80%
100% 0 50 100 150 Takaran Fosfat A lam M aroko (% erapan P) Serapan P Serapan P
dari Fosfat Alam Maroko Serapan P dari tanah 0% 20% 40% 60% 80% 100% 0 50 100 150
Takaran Fosfat A lam Chrismas (% erapan P) Serapan P Serapan P dari Fosfat Alam
Chrismas Serapan P dari tanah 0% 20% 40% 60% 80% 100% 0 50 100 150 Takaran Fosfat
Alam Ciamis (% erapan P) Serapan P Serapan P dari Fosfat Alam Ciamis
Serapan P dari tanah 0% 20% 40% 60% 80% 100% 0 50 100 150 Takaran SP-36 (% erapan
P) Serapan P Serapan P dari SP-36 Serapan P dari tanah Teknologi Pengelolaan Hara
Lahan Gambut 172 Gambar 5.4. Persentase serapan P akibat pemberian beberapa jenis
fosfat alam atau SP-36 pada tanah gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral.
Sumber: Hartatik (2003) Lebih besarnya persentase serapan P dari SP-36 sejalan
dengan bobot kering tanaman dan serapan P yang lebih tinggi dibandingkan fosfat
alam Maroko, Christmas, dan Ciamis. Diantara beberapa jenis fosfat alam yang
dicoba, fosfat alam Ciamis takaran 50% memberikan persentase serapan P yang paling
tinggi yaitu sebesar 8,55 hampir menyamai SP-36 pada takaran yang sama. Peningkatan
takaran fosfat alam dan SP-36 menurunkan persentase serapan P. Rasjid, Sisworo, dan
Sisworo (1997) melaporkan hasil yang sama bahwa peningkatan takaran fosfat alam
atau SP-36 menurunkan persentase serapan P untuk tanaman padi-kedelai dan kacang
hijau yang ditanam berurutan. Lahan gambut selain memerlukan ameliorasi juga
memerlukan pemupukan NPK serta hara mikro Cu dan Zn, karena tanah gambut mempunyai
afinitas yang lemah terhadap kation maupun anion, sehingga pemberian pupuk harus
dilakukan secara bertahap sesuai dengan masa pertumbuhan tanaman. Pemberian 5 kg
terusi (CuSO4) nyata meningkatkan hasil dan mengurangi kehampaan gabah, sedangkan
pada gambut dalam diperlukan 15 kg terusi/ha. Pemberian hara mikro Zn dan Cu
dikombinasikan dengan pemupukan Urea 100 kg/ha, TSP 100 kg/ha, dan KCl 100 kg/ha,
nyata meningkatkan hasil padi sebesar 0,81 t/ha yaitu dari 3,3 t/ha menjadi 4,1
t/ha pada gambut dalam Indragi ri Hilir, Riau (Yusuf et al., 1995). 0 1 2 3 4 5 6 7
8 9 10 Serapan P (%) Maroko Christmas Ciamis SP-36 Sumber P 50% 100% 150% Hartatik
dan Suriadikarta 173 Penelitian respon tanaman jagung terhadap pemupukan P telah
dilakukan di lahan gambut Sugihan Kiri, Sumatera Selatan menggunakan beberapa
sumber
pupuk P yaitu fosfat alam Maroko, Christmas, dan Christmas dikombinasikan dengan
abu batubara, dengan takaran pupuk P yaitu 0, 25, 50, dan 100 kg P/ha, dan takaran
abu batubara 700 kg/ha. Pupuk dasar yang digunakan Urea 200 kg/ha, KCl 100 kg/ha,
dan 2 t/ha kapur. Hasil percobaan menunjukkan bahwa pemupukan P meningkatkan hasil
jagung dan fosfat alam Maroko nyata lebih baik dibandingkan fosfat alam Christmas,
sedangkan abu batubara tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap hasil jagung
(Sholeh, 1999). Pemupukan P pada tanah gambut dengan pupuk P yang mudah larut
seringkali tidak memberikan respon yang nyata, hal ini disebabkan sebagian P yang
diberikan akan tercuci, dan tidak terserap tanaman. Penelitian penggunaan fosfat
alam pada gambut Kelampangan, Kalteng menunjukkan bahwa pemupukan fosfat alam
cenderung memberikan hasil yang lebih baik dari SP-36. Walaupun hasil yang
diperoleh belum maksimal, namun terdapat kecenderungan bahwa fosfat alam Christmas
yang mengandung seskuioksida tinggi memberikan hasil yang lebih baik dari fosfat
alam Ciamis dan SP-36. Adanya seskuioksida (Al2O3 dan Fe2O3) yang tinggi, akan
meningkatkan ketersediaan hara P, sehingga dapat diserap tanaman. Penelitian pada
gambut dalam yang baru dibuka (dengan pH 4,3 dan P-Bray I 10 ppm) di Kelampangan
Kalteng, menunjukkan bahwa penambahan KSP, kaptan fosfatan, dan P-alam Ciamis
memberikan hasil yang lebih baik dari SP-36 (Tabel 5.8 ) (Subiksa et al., 1998).
Pengaruh ameliorasi dan pemupukan P dan K terhadap kedelai pada lahan gambut
Kalimantan Barat dilakukan di Siantan Hilir menggunakan ameliorasi abu gergaji,
dolomit, abu gergaji + terak baja dan dolomit + terak baja dan kombinas i pemupukan
P dan K. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian abu gergaji dan dolomit
meningkatkan pH tanah, kation tukar Ca, Mg, dan K serta P tersedia. Amelioran abu
gergaji nyata lebih baik dari ameliorasi lainnya dengan urutan abu gergaji>abu
gergaji + terak baja > dolomit > dolomit + terak baja. Kombinasi pemupukan 40 kg P
dan 50 kg K/ha dengan ameliorasi abu gergaji meningkatkan bobot biji kering kedelai
yaitu sebesar 12,38 ku/ha (Hartatik et al., 1995). Teknologi Pengelolaan Hara Lahan
Gambut 174 Tabel 5.8. Pengaruh sumber dan takaran P terhadap hasil jagung Perlakuan
Hasil Jagung RAE ku/ha % Kontrol KSP KSP KSP SP-36 1 + kaptan SP-36 2 + kaptan SP-
36 3 + kaptan SP-36 1 + kapur fosfatan SP-36 2 + kapur fosfatan SP-36 3 + kapur
fosfatan Fosfat alam Ciamis 1 + kaptan Fosfat alam Ciamis 2 + kaptan Fosfat alam
Ciamis 3 + kaptan 0,48 a 2,47 de 1,02 abc 1,77 b-e 0,52 a 0,87 ab 1,05 abc 2,08 cde
2,00 b-e 2,80 e
1,95 b-e 2,30 de 0,88 ab 510 138 331 10 100 146 410 390 595 377 467 103 Sumber :
Subiksa et al., 1998 Keterangan SP-36 1 = 50 kg/ha, SP-36 2 = 100 kg/ha, SP-36 3 =
200 kg/ha Pengaruh pemberian beberapa jenis dan takaran amelioran terhadap
pertumbuhan tanaman jagung pada gambut dari Air Sugihan Kiri, Sumatera Selatan
menunjukkan bahwa amelioran abu bakar nyata lebih baik dari dolomit, pupuk kandang
dan tanah mineral. Amelioran abu bakar 5 dan 10 t/ha nyata meningkatkan hasil
jagung berturut-turut sebesar 3,9 dan 4,5 t/ha (Hartatik, 2001). Pengelolaan hara
dengan pemupukan 135 kg N/ha, 90 kg/ha P2O5 SP-36, dan 90-120 kg/ha K2O yang diberi
secara tugal atau pemberian 0,5 t/ha setara CaO dalam bentuk dolomit, 300 kg/ha abu
sekam atau limbah gergajian, 300 kg/ha brangkasan kering yang telah dipotong halus
sebagai sumber N, perlakuan pupuk mikroba biofosfat atau rhizoplus pada biji
sewaktu tanam meningkatkan hasil jagung di lahan gambut dangkal (Anwar dan Alwi,
2000). Pengelolaan hara terpadu pada lahan sulfat masam potensial bergambut di
Lamunti A-1 Blok F Kalimantan Tengah, menunjukkan bahwa kombinasi pemupukan urea
150 kg/ha, fosfat alam Christmas 200 kg/ha, dan KCl 100 kg/ha nyata meningkatkan
bobot gabah kering sebesar 3,5 t/ha (Tabel 5.9). Pemberian Hartatik dan
Suriadikarta 175 kapur dan pupuk kandang mampu meningkatkan pH dan menurunkan Al
dapat ditukar (Hartatik dan Suriadikarta, 2001). Tabel 5.9. Bobot gabah dan jerami
kering penelitian pengelolaan hara terpadu pada lahan sulfat masam potensial
bergambut di Kalimantan Tengah Perlakuan Bobot gabah kering Bobot jerami kering . .
ku/ha . . N0P1K1 N1P1K1 N2P1K1 N1P0K1 N1P2K1 N1P1K0 N1P1K2 N2P2K2 N1P1K1L + BO
N2P2K2L + BO N1P1K1Zn+L N1P1K1ZnCu+L N1P1K1ZnL + BO N1P1K1ZnCuL + BO N1P1K1 +
BO+E138 N1P1K1 + BO+E2001 16,30 c 35,43 ab
33,67 ab 36,17 ab 28,37 b 31,10 ab 35,80 ab 38,20 a 30,80 ab 35,27 ab 28,33 b 28,50
b 32,20 ab 32,70 ab 32,27 ab 32,20 ab 14,30 e 29,43 bcd 43,87 a 32,47 abcd 26,43
bcde 22,10 cde 30,70 abcd 34,77 abc 30,97 abcd 38,27 ab 18,93 de 23,60 cde 27,60
bcde 26,77 bcde 29,27 bcd 25,10 bcde * Angka yang diikuti oleh huruf yang sama
tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT. Sumber : Hartatik dan Suriadikarta
(2001). Keterangan : .. Pupuk N yang digunakan urea dengan takaran 0, 150, dan 300
kg/ha (N0, N1, dan N2) .. Pupuk P yang digunakan P-alam Christmas dengan takaran 0,
200, dan 400 kg/ha (P0, P1, dan P2) .. Pupuk K yang digunakan KCl dengan takaran 0,
100, dan 200 kg/ha (K0, K1, dan K2) .. Takarn ZNSO4 dan CuSO4 15 kg/ha Teknologi
Pengelolaan Hara Lahan Gambut 176 PENUTUP Dalam mengaplikasikan teknologi
pengelolaan lahan gambut harus mempertimbangkan dan memperhatikan karakteristiknya
sebelum lahan gambut dibuka untuk lahan pertanian. Karakteristik itu adalah di
antaranya: ketebalan d an kematangan tanah gambut, kesuburan tanah gambut, dan
lapisan tanah yang berada di bawahnya. Selain itu, ada beberapa sifat fisik yang
perlu diperhatikan , yaitu berat jenis (bulk density), subsidence (penurunan
permukaan lapisan tanah gambut), dan sifat kering tak balik (irreversible drying).
Jika pembukaan lahan gambut untuk pertanian tidak mengindahkan karakteristiknya
maka akan mengalami kegagalan seperti yang terjadi pada beberapa lokasi pemukiman
transmigrasi di Indonesia, yaitu Sumatera dan Kalimantan. Selain itu, yang perlu
diperhatikan dan merupakan kunci utama keberhasilan usaha pertanian di lahan gambut
adalah tata air (water
management), yaitu bagaimana pengaturan air di lahan usaha dan saluran air agar
tidak terjadi kering berlebihan (over drain). Biasanya kedalaman dan lebar saluran
harus memperhatikan tipe pasang surut yang terjadi di wilayah itu. Tata air ini
sangat erat hubungannya dengan penataan dan pemanfaatan lahan, yaitu antara tipe
luapan dan tipologi lahannya. Pola pemanfaatan dan tata air pada gambut di lahan
lebak akan berbeda dengan gambut yang berada di pasang surut air tawar, atau di
payau. Pengaturan tata air sangat penting untuk : 1) pemanfaatan air pasang untuk
pengairan, 2) mencegah akumulasi garam pada daerah perakaran, 3) mencuci zat-zat
toksik bagi tanaman, 4) mengatur tinggi genangan untuk sawah dan tinggi permukaa
air, dan 5) mencegah penurunan permukaan tanah yang terlalu cepat untuk tanah
gambut. Untuk itu, pola pemanfaatan dari penataan tanah gambut untuk pertanian
dapat dilakukan sebagai berikut : a. Untuk tipe luapan/tipe rawa lebak dengan
tipologi lahan gambut dangkal, pola pemanfaatan dan penataan lahannya adalah
sawah/sawah tadah hujan, sistem polder. Sedangkan untuk tipologi lahan gambut
sedang-dalam adalah perkebunan, sistem polder. b. Untuk tipe luapan/tipe rawa
pasang surut air tawar : .. Tipologi lahan aluvial bergambut, pola pemanfaatan dan
penataan lahannya adalah sawah. Hartatik dan Suriadikarta 177 .. Tipologi lahan
gambut dangkal, pola pemanfaatan dan penataan lahannya adalah sawah. .. Tipologi
lahan gambut sedang, pola pemanfaatan dan penataan lahannya tergantung substratum
di bawahnya, bisa tanaman pangan dan hortikultura/perkebunan. .. Tipologi lahan
gambut dalam, pola pemanfaatan dan penataan lahannya adalah perkebunan. c. Untuk
tipe luapan/tipe rawa pasang surut air payau/air asin dengan tipologi lahan gambut
payau/air asin, pola pemanfaatan dan penataan lahannya adalah hutan mangrove.
DAFTAR PUSTAKA Alexander, M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. John Wiley
and Sons Inc. New York. Andriesse, J.P. 1974. Tropical Peats in South East Asia.
Dept. of Agric. Res. Of the Royal Trop. Inst. Comm. 63. Amsterdam 63 p. Anwar, K.
dan M. Alwi. 2000. Pengelolaan hara untuk meningkatkan hasil jagung di lahan gambut
dangkal. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan
Rawa. Cipayung, 25-27 Juli 2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Driessen, P.M. 1978. Peat soils. pp:
763-779. In: IRRI. Soil and rice. IRRI. Los Banos. Philippines. Driessen, P.M. and
H. Suhardjo. 1976. On the defective grain formation of sawah rice on peat. Soil
Res. Inst. Bull. 3: 20 44. Bogor. Halim, A. 1987. Pengaruh pencampuran tanah
mineral dan basa dengan tanah gambut pedalaman Kalimantan Tengah dalam budidaya
tanaman kedelai. Disertasi Fakultas Pascasarjana, IPB. Bogor. 322p. Hartatik, W.
dan D.A. Suriadikarta. 2001. Pengelolaan hara terpadu pada lahan sulfat masam
potensial bergambut. Dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Lahan
dan Pupuk. Cisarua, 30-31 Oktober 2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat. Bogor. Hartatik, W., D.A. Suriadikarta, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1995.
Pengaruh ameliorasi dan pemupukan terhadap tanaman kedelai pada lahan gambut
Kalimantan Barat. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat No. 2.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian.
Departemen Pertanian. Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut 178 Hartatik, W., K.
Idris, S. Sabiham, S. Djuniwati, dan J.S. Adiningsih. 2004. Pengaruh pemberian
fosfat alam dan SP-36 pada tanah gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral
terhadap serapan P dan efisiensi pemupukan P. Prosiding Kongres Nasional VIII HITI.
Universitas Andalas. Padang. Hartley, R.D. and D C. Whitehead. 1984. Phenolic acids
in soil and their influen ce of plant growth and soil microbial processes. In: D.
Vaughan and R.E. Malcolm (ed). Soil organic matter and biological activity.
Martinus Nijhoff, DR W. Junk Publisher. Lancaster. pp. 109-149. Ivanoff, D.B., K.R.
Reddy, and S. Robinson. 1998. Chemical fractionation of organik phosphorus in
selected Histosols. J. Soil Sci. 163(1):36-45. Kononova. M.M. 1968. Transformation
of organic matter and their relation to soil fertility. Sov. Soil. Sci. 8:1047-
1056. Koswara, O. 1973. Potensi dan pemanfaatan daerah pasang surut : suatu kasus
di Sumatera. Seminar Pembangunan Fakultas Pertanian, IPB-Badan Pengendali Bimas,
Departemen Pertanian. Laporan Kerjasama Lembaga Penelitian IPB dengan Puslittanak.
2001. Leiwakabessy, F.M. 1978. Sifat lahan yang tersedia pada daerah transmigrasi.
Seminar pemantapan usaha-usaha pembangunan di daerah transmigrasi oleh JTKI-PPSM.
Mario, M.D. 2002. Peningkatan produktivitas dan stabilitas tanah gambut dengan
pemberian tanah mineral yang diperkaya oleh bahan berkadar besi tinggi. Disertasi
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Miller, M.H. and R.L. Donahue.
1990. Soils. An Introduction to Soils and Plant Growth. Prentice Hall Englewood
Cliffs. New Jersey. 768p. Murnita. 2001. Peranan bahan amelioran besi (Fe3+) dan
zeolit terhadap perilaku kalium dan produksi padi pada tanah gambut pantai dan
peralihan Jambi. Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Patrick,
Z.A. 1971. Phytotoxic substance associated with the decomposition in soil of plant
residues. Soil Sci. 111: 13-18. Polak, B. 1949. The Rawa Lakbok ( South Priangan,
Java ). Investigation into the composition of an eutrophic topogenous bog. Cont.
Gen. Agr. Res. Sta. No. 8, Bogor, Indonesia. Polak, B. 1975. Character and
occurrence of peat deposits in the Malaysian tropics. In: G.J. Barstra, and W.A.
Casparie (Eds.). Modern Quaternary Research in Southeast Asia. Balkema, Rotterdam.
Prasetyo, T.B. 1996. Perilaku asam-asam organik meracun pada tanah gambut yang
diberi garam Na dan beberapa unsur mikro dalam kaitannya dengan hasil padi.
Disertasi. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Hartatik dan
Suriadikarta 179 Rachim, A. 1995. Penggunaan kation-kation polivalen dalam
kaitannya dengan ketersediaan fosfat untuk meningkatkan produksi jagung pada tanah
gambut. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rachim, A., A.
Sutandi, S. Anwar, dan B. Nugroho. 1991. Alternatif perbaikan kesuburan tanah
gambut tebal. J. Ilmu Pertanian Indonesia 1:72-78. Radjagukguk, B. 1997. Peat soil
of Indonesia: Location, classification, and problems for sustainability. In: J.O.
Rieley and S.E. Page (Eds.). pp. 45-54. Biodiversity and sustainability of tropical
peat and peatland. Proceedings of the International Symposium on Biodiversity,
environmental importance and sustainability of tropical peat and peatlands,
Palangka Raya, Central Kalimantan 4-8 September 1999. Samara Publishing Ltd.
Cardigan. UK.
Rasjid, H., E.L. Sisworo, dan W.H. Sisworo 1997. Keefisienan fospat alam sebagai
pupuk p tanaman jagung. Risalah pertemuan ilmiah. penelitian dan pengembangan
Aplikasi isotop dan radiasi, Jakarta 18-19 Februari 1997 Buku 2 P3TIR-BATAN . Hlm
95-98. Sagiman, S. 2001. Peningkatan produksi kedelai di tanah gambut melalui
inokulasi Bradyrhizobium japonicum asal gambut dan pemanfaatan bana amelioran
(lumpur dan kapur). Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Salampak, 1999. Peningkatan produktivitas tanah gambut yang disawahkan dengan
pemberian bahan amelioran tanah mineral berkadar besi tinggi. Disertasi Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Saragih, E.S. 1996. Pengendalian Asam-Asam
Organik Meracun dengan Penambahan Fe (III) pada Tanah Gambut Jambi, Sumatera. Tesis
S2. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sholeh. 1999. Pengaruh
penggunaan P-alam dan abu batu bara untuk meningkatkan produktivitas lahan gambut
di Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Tanah, Iklim, dan Pupuk,
Lido-Bogor, 6-8 Desember 1999. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Stevenson,
F.J. 1994. Humus Chemistry. Genesis, Composition, and Reactions. John Wiley and
Sons. Inc. New York. 443 p. Suastika, I W. 2004. Efektivitas Amelioran Tanah
Mineral Berpirit yang Telah Diturunkan Kadar Sulfatnya pada Peningkatan
Produktivitas Tanah Gambut. Tesis S2. Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor. Subiksa, I G.M., Sulaeman, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1998. Pembandingan
pengaruh bahan amelioran untuk meningkatkan produktivitas lahan gambut. Dalam
Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan
Agroklimat. Bogor, 10-12 Februari 1998. Suhardjo, H. and I P.G. Widjaja-Adhi. 1976.
Chemical characteristics of the uppe r 30 cms of peat soils from Riau. ATA 106.
Bull. 3: 74-92. Soil Res. Inst. Bogor. Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut 180
Tadano, T., K.B. Ambak, K. Yonebayashi, and W. Pantanahiran. 1991. Occurrence of
phenolic compounds and aluminum toxicity in tropical peat soils. In: Tropical peat,
Proceedings of the International Symposium on Tropical Peatland. MARDI, Malaysia.
Tadano, T., K.B. Ambak, K. Yonebayashi, T. Hara, P. Vijarnsorn, C. Nilnond, and S.
Kawaguchi. 1990. Nutritional Factors Limiting Crop Growth in Tropical Peat Soils.
In Soil Constraints on Sustainable Plant Production in the Tropics. Proc. 24th
inter. Symp. Tropical Agric. Res. Kyoto. Tadano, T., K.Yonebayashi , and N. Saito.
1992 Effect of phenolic acids on the growth and occurrence of sterility in cnop
plants. pp: 358-369. In: K. Kyuma, P. Vijarnsorn, and A. Zakaria (Eds). Coastal
lowland ecosystems in southern Thailand and Malaysia. Showado-printing Co. Skyoku.
Kyoto. Tan. 1993. Principles of Soil Chemistry. Marcel Dekker, Inc. New York.
362pp. Tim Institut Pertanian Bogor, 1974. Laporan survai produktivitas tanah dan
pengembangan pertanian daerah Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Bogor. Tisdale,
S.L., W.L. Nelson, and J.D. Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizer s. 4 th ed.
The Macmillan Publ. Co. New York. 694p. Tsutsuki, K. 1984. Volatile products and
low-molecular-weight products of the anaerobic decomposition of organik matter.
Inter. Rice Res. inst, Soil Organik Matter. Pp: 329-343 Tsutsuki, K. and F.N.
Ponnamperuma. 1987. Behavior of anaerobic decomposition products in submerged
soils. Soil Sci. and Plant Nutr. 3(1):13-33. Tsutsuki, K. and R. Kondo. 1995.
Lignin-derived phenolic compounds in different
types of peat profiles in Hokkaido. Japan. Soil Sci. and Plant Nutr. 41(3): 515-
527. Wang, T.S.C., T.T. Yang, and T.T. Chang. 1967. Soil phenolic acids as plant
growth inhibitors. Soil Sci. 103:239 246. Widjaja-Adhi, I P.G. 1988. Physical and
chemical characteristic of peat soil of Indonesia. IARD J. 10:59-64. Wild, A.
1990 . The relation of thosphate by soil : A review . J. soil sci. 1: 2 21 237.
Yusuf, A., E. Rusdi, N. Hasan, dan A. Taher. 1995. Kajian tata air, kalium, dan
hara mikro terhadap padi di lahan gambut dalam. Dalam Teknologi Produksi dan
Pengembangan Sistem Usahatani di Lahan Rawa. Kumpulan Hasil Penelitian. Proyek
Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu-ISDP. Badan Litbang Pertanian.
________________________________________________________________ 181 VI TEKNOLOGI
PEMANFAATAN LAHAN RAWA LEBAK Trip Alihamsyah dan Isdijanto Ar-Riza Teknologi
Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak 182 6.1. PENDAHULUAN Meningkatnya pertambahan penduduk
dan perkembangan industri kebutuhan pangan nasional terutama beras dan lapangan
kerja serta berkurangnya lahan pertanian subur terutama di Jawa dan Bali seiring
dengan merupakan masalah dan tantangan serius bagi pembangunan pertanian di
Indonesia. Berdasarkan analisis data yang ada, Puslitbangtan (1992) memprediksi
bahwa kebutuhan beras nasional pada tahun 2018 dapat dipenuhi apabila produksi padi
pada tahun tersebut sebanyak 83,38 juta ton. Di lain pihak telah terjadi penciutan
lahan pertanian subur terutama di Jawa dan Bali karena beralih fungsi ke penggunaan
non-pertanian atau produksi non pangan yang sangat besar, yaitu 35.000-50.000
ha/tahun (Nasoetion dan Winoto,1995). Untuk memenuhi kebutuhan beras yang makin
meningkat tersebut, menurut Adimiharja et al. (2000) diperlukan penambahan areal
sawah seluas 20.250 ha/tahun. Salah satu alternatif pemecahan masalah dan sekaligus
menjawab tantangan tersebut adalah memanfaatkan lahan rawa lebak sebagai area!
produksi pertanian khususnya tanaman pangan, mengingat arealnya sangat luas serta
pemanfaatannya belum dilakukan secara intensif dan ekstensif. (WidjajaAdhi et al.
1992 dan Nugroho et al. 1993) memperkirakan luas lahan lebak di Indonesia mencapai
13,28 juta ha yang terdiri atas lebak dangkal 4,167 juta ha, lebak tengahan 6,075
juta ha, dan lebak dalam 3,038 juta ha, tersebar di Sumatera, Papua dan Kalimantan.
Lahan tersebut belum diusahakan secara maksimal untuk usaha pertanian. Padahal
dengan menerapkan teknologi penataan lahan dan pengelolaan lahan serta komoditas
pertanian secara terpadu, lahan lebak dapat dijadikan sebagai salah satu andalan
sumber pertumbuhan agribisnis dan pendukung ketahanan pangan nasional. Pemanfaatan
lahan lebak untuk usaha pertanian kedepan perlu mendapatkan perhatian yang lebih
baik agar potensinya dapat dimanfaatkan secara optimal dan sumberdaya alamnya tetap
terpelihara dengan baik. Lahan tersebut juga menyimpan beragam sumber daya genetik
aneka komoditas pertanian. Masalah utama pengembangannya adalah rejim air yang
sangat fluktuatif dan sulit diduga. Oleh karenanya untuk mengembangkan lahan lebak
menjadi areal pertanian, khususnya untuk tanaman padi dalam skala luas memerlukan
penataan lahan dan penerapan teknologi yang sesuai dengan kondisi wilayahnya agar
diperoleh hasil optimal.
Alihamsyah dan Ar-Riza 183 6.2. EKOSISTEM LAHAN LEBAK DAN ARAHAN PEMANFAATANNYA
Lahan rawa lebak adalah lahan yang rejim airnya dipengaruhi oleh hujan, baik yang
turun setempat maupun di daerah sekitarnya. Genangan air di lahan lebak bisa lebih
dari 6 bulan akibat adanya cekungan dalam, dikenal sebagai rawa monoton atau
disebut juga bono romo. Berdasarkan tinggi dan lama genangan airnya, Widjaja-Adhi
et al. (1992) mengelompokkan lahan lebak menjadi lebak dangkal, lebak tengahan, dan
lebak dalam. Masing-masing lahan lebak tersebut memiliki karakteristik alami
berbeda sehingga memerlukan teknologi pemanfaatan yang berbeda pula. 6.2.1. Lebak
dangkal Lahan lebak dangkal adalah lahan lebak yang tinggi genangan airnyakurang
dari 50 cm selama kurang dari 3 bulan. Lebak dangkal secara analogis dapat
disamakan dengan kategori Watun I-II. Watun I adalah areal sepanjang 300 depa yang
diukur dari tepi rawa dalam hal ini adalah lahan pekarangan kearah tengah rawa.
Satu depa setara dengan 1,7 m, sehingga Watun I merupakan areal sepanjang 510 m
kearah tengah rawa, sedangkan Watun II merupakan areal yang posisinya lebih dalam
dari watun I, yaitu sepanjang 300 depa atau 510 m dari batas akhir Watun I. Lahan
ini umumnya mempunyai kesuburan tanah yang lebih baik, karena adanya proses
penambahan unsur hara dari luapan air sungai yang membawa lumpur dari daerah hulu
(Ismail et al., 1993). Lahan lebak dangkal sangat potensial untuk budidaya tanaman
pangan terutama padi. Dengan pengetahuan dan pengalamannya, petani telah
memanfaatkan lahan ini untuk budidaya padi. 6.2.2. Lebak tengahan Lahan lebak
tengahan adalah lahan lebak yang tinggi genangan airnya 50-100 cm selama 3-6 bulan.
Lahan lebak tengahan dapat dianalogiskan dengan Watun III-IV. Watun III merupakan
areal yang posisinya lebih dalam dari Watun II , yaitu sepanjang 510 m dari batas
akhir Watun II, sedangkan posisi Watun IV lebih dalam dari Watun III. Karena
genangan air di lahan lebak tengahan lebih dalam dan lebih lama dari pada di lahan
lebak dangkal, maka masa pertanaman Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak 184 padi
di lahan ini lebih belakangan dari pada di lahan lebak dangkal. Pada lokasi
tertentu dimana sirkulasi air sangat jelek, maka akan terjadi pemasaman air akibat
dari hasil pembusukan bahan organik yang dikenal sebagai air bacam . atau air
bangai, yang ditandai oleh air yang berwarna coklat kehitaman, berbau busuk yang
menyengat, pH air sekitar 2,5 sehingga dapat mematikan tanaman. Wilayah yang
demikian tidak cocok untuk budidaya padi surung, tetapi sangat potensial untuk padi
rintak. Usahatani padi di lahan lebak tengahan hanya dilaksanakan pada musim
kemarau sesuai dengan kondisi genangan airnya. Dengan pembuatan jaringan tata air,
beragam pola tanam bisa diterapkan di lahan lebak tengahan. Jaringan tata air di
lahan lebak tengahan berupa pembuatan saluran besar yang berfungsi menyalurkan air
dari lahan ke sungai dan parit yang berfungsi selain menyalurkan air dari petakan
lahan ke saluran besar, juga menampung air pada musim hujan untuk mengairi tanaman
pada musim kemarau. Potensi lahan tengahan untuk pertanian masih luas, yang
sekarang umumnya hanya ditumbuhi oleh gulma dan semak belukar. 6.2.3. Lebak dalam
Lahan lebak dalam adalah lahan lebak yang tinggi genangan airnya lebih dari 100 cm
selama lebih dari 6 bulan. Kategori lebak dalam dapat dianalogikan dengan kategori
Watun V yang merupakan areal dengan posisi lebih dalam dari Watun IV. Pada musim
kemarau dengan kondisi iklim yang normal, umumnya lahan masih digenangi air dan ini
ditumbuhi oleh beragam gulma terutama dari jenis rumput Paspalidium yang tumbuh
subur pada kondisi lahan berair. Sehingga wilayah ini merupakan reservoir air dan
sumber bibit ikan perairan
bebas. Lahan lebak dalam jarang digunakan untuk budidaya tanaman, kecuali pada
musim kering yang panjang akibat adanya anomali iklim seperti EI-Nino. Pada kondisi
demikian beberapa wilayah memang potensial untuk perluasan areal tanaman. Namun
demikian, dengan pembuatan jaringan tata air seperti pada Iahan lebak tengahan,
beragam pola tanam bisa diterapkan di lahan lebak dalam. Jaringan tata air di lahan
lebak dalam berupa pembuatan saluran besar yang berfungsi menyalurkan air dari
lahan ke sungai dan parit yang berfungsi selain menyalurkan air dari petakan lahan
ke saluran besar, juga menampung air pada musim hujan untuk mengairi tanaman pada
musim kemarau. Alihamsyah dan Ar-Riza 185 6.3. TEKNOLOGI PENATAAN LAHAN DAN TANAMAN
6.3.1. Penataan lahan dan pola tanam Penataan lahan perlu dilakukan guna
mengoptimalkan pemanfaatan lahan lebak untuk usaha pertanian. Karena genangan
airnya kurang dari 50 cm, lahan lebak dangkal dapat ditata sebagai sawah tadah
hujan atau kombinasi sawah dan tukungan maupun sistem surjan (Gambar 6.1).
Sedangkan Iahan lebak tengahan karena genangan airnya lebih dari 50 cm hendaknya
ditata sebagai sawah tadah hujan atau kombinasi sawah dan tukungan. Untuk lebak
dalam yang karena selalu tergenang air cukup tinggi dalam waktu yang lama
seyogyanya dibiarkan alami untuk usaha perikanan dan tanaman palawija maupun
hortikultura pada musim kemaraunya. Guna menyeragamkan tinggi genangan air dan
kesuburan tanah di petakan lahannya. maka lahan perlu diratakan bersamaan dengan
kegiatan pengolahan tanah. Gambar 6.1. Penataan lahan sistem surjan pada lebak
dangkal (dok. Ar-Riza) (a) Pola tanam padi-padi (tabukan) + ubi Alabio (surjan) (b)
Pola tanam padi-padi (tabukan) + labu merah (surjan) Pola tanam untuk sawah dan
bagian tabukan pada sistem surjan bisa padi rancah gogo (rintak)-padi gogo rancah
(surung), padi rintak-palawija/hortikultur apadi surung dan padi rintak-
palawija/hortikultura-palawija/hortikultura. Pola tanam untuk sawah di lahan lebak
tengahan adalah padi rintak-padi surung, padi rintaka b Teknologi Pemanfaatan Lahan
Rawa Lebak 186 palawija dan padi rintak hortikultura. Pola tanam pada bagian
guludan pada sistem surjan bisa palawija/hortikultura palawija/hortikultura atau
ditumpangsar ikan dengan buah-buahan tahunan dan pada tukungan ditanami tanaman
buahbuahan tahunan. Pola tanam di lahan lebak dalam yang dilengkapi dengan jaringan
tata air dan pada musim kemaraunya tidak tergenang air 4-6 bulan adalah tumpang
sisip jagung + kacang hijau, jagung + sayuran berumur pendek, hortikultura berjarak
tanam lebar + sayuran berumur pendek. 6.3.2. Jenis dan varietas tanaman Melalui
penataan lahan dan pengaturan tata air, berbagai komoditas tanaman pangan (padi dan
palawija) dan hortikultura (sayur-sayuran dan buahbuaha n) dapat dikembangkan di
lahan lebak. Penanaman padi yang dilakukan pada musim hujan dikenal sebagai padi
surung, yang juga sering juga disebut padi sawah barat karena dilakukan pada musim
barat (Noorsjamsi dan Hidayat 1970) sedangkan padi yang ditanam di akhir musim
hujan disebut padi rintak. Penanaman padi surung membutuhkan varietas padi yang
tinggi tanamannya Iebih tinggi dari tinggi genangan air seperti Tapus, Alabio, dan
Negara (Gambar 6.2). Gambar 6.2. Sistem monokultur padi pada lebak tengahan (a)
padi surung (b) padi rintak (dok. Ar-Riza) Permasalahannya adalah fluktuasi
perubahan tinggi genangan air yang
sering sangat besar dan mendadak serta kecepatan tinggi genangan air lebih a b
Alihamsyah dan Ar-Riza 187 besar dari kecepatan tumbuh tanaman padi, mengakibatkan
bibit yang baru ditanam terendam air dan mati. Pertanaman padi rintak masalah
utamanya kekeringan, maka memerlukan varietas padi yang berumur pendek (genjah) dan
tahan kekeringan. Varietas umur genjah pada saat terkena kekeringan telah berada
pada fase pengisian biji atau masak susu sementara varietas umur sedang atau dalam
masih berada fase berbunga, sehingga varietas umur genjah dapat terhindar dari
kekeringan dan hasilnya tidak turun drastis seperti varietas umur dalam. Varietas
yang telah te ruji kehandalannya diantaranya : Tajum, Secangkir, Progo, Cisokan
(Ar-Riza, 2000). Varietas lain seperti IR-36, IR-64, IR-66, dan beberapa varietas
padi adaptif la han rawa pasang surut seperti Indragiri, Punggur, Lambur, Mendawak,
Banyuasin, Margasari dan Martapura dinilai sesuai untuk padi rintak (Ar-Riza dan
Rina, 2003). Deskripsi padi adaptif lahan pasang surut disajikan pada Tabel 6.1.
Tabel 6.1. Varietas unggul padi rawa pasang surut yang bisa ditanam di lahan lebak
Ketahanan hama dan penyakit Nama varietas Tahun dilepas Umur panen Hasil Tekstur
nasi WCk HDB BCk BIas hari t/ha Barito 1981 140-145 3 Pera 1-1 AT - Mahakam 1983
135-140 3-4 Pera P- 1.2,3 AT - Kapuas 1984 127 4-5 Sedang 1-1 AT - Musi 1988 135-
140 4,5 Pera 1-2 T - T Sei Lilin 1991 115-125 4-6 Pera AI-2 - - AP Lematang 1991
125-130 4-6 Pera 1-1 - - AT Lalan 1997 125-130 4-6 Pera 1-1.2,3 - - T Banyuasin
1997 115-120 4-6 Pulen 1-3 - T T Batanghari 1999 125 4-6 Pera T-1,2 T - T Dendang
1999 125 3-5 Pulen 1-1,2 - AT AT Indragiri 2000 117 4,5-5,5 Sedang 1-2 T - T
Punggur 2000 117 4,5-5 Sedang 1-2,3 - - T Margasari 2000 120-125 3-4 Sedang AI-2 -
- T Martapura 2000 120-125 3-4 Sedang AP - - T Air Tenggulang 2001 125 5 Pera 1
1.2,3 T - T Siak Raya 2001 125 5 Pera 1 IR26 - T T Lambur 2001 120 4 Pulen AI-3 - -
T Mendawak 2001 115 4 Pulen AI-3 - - A T T = tahan; At = Agak Tahan; AP = Agak
Peka; P = Peka; WCk = Wereng coklat; 1,2,3 = Biotipe 1,2,3; HDB = Hawar daun
bakteri; BCk = Bercak coklat Sumber' : Khairullah dan Sulaeman (2002) Teknologi
Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak 188 Namun demikian, pemilihan varietas padi yang akan
ditanam di lahan lebak perlu disesuaikan dengan preferensi petani dan konsumen di
wilayah pengembangannya. Lokasi yang cocok untuk penanaman padi surung adalah lahan
lebak dangkal sedangkan untuk padi rintak bisa lahan lebak dangkal dan tengahan.
Penanaman palawija dan hortikultura di lahan lebak dilakukan pada musim
kemarau atau MK II, bila lahan sudah mengering atau di bagian guludan pada lahan
yang ditata dengan sistem surjan (Gambar 6.3). Gambar 6.3. Pertanaman palawija dan
hortikultura di lahan lebak pada musim kemarau. (a) jagung lokal var. Kima, (b)
terong var. Mustang Tanaman palawija yang dapat dikembangkan di lahan lebak adalah
jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi jalar dan talas, sedangkan untu k
tanaman sayuran adalah cabai, tomat, terong, waluh, timun, kacang panjang, buncis,
kubis, bawang, dan aneka sayuran cabut seperti sawi, slada, bayam, dan kangkung
(Alihamsyah dan Ar-Riza, 2004). Tanaman buah buahan semusim yang dapat ditanam di
lahan lebak adalah semangka, timun suri, dan melon. Pilihan jenis dan varietas
tanaman palawija dan hortikultura yang dapat dikembangkan di lahan lebak disajikan
pada Tabel 6.2. a b Alihamsyah dan Ar-Riza 189 Tabel 6.2. Jenis dan varietas
tanaman palawija dan hortikultura adaptif lahan lebak Jenis tanaman Varietas Hasil
t/ha Jagung Arjuna, Kalingga, Bayu, Antasena, C-3, C-5, Semar, Sukmaraga 4-5
Kedelai Wilis, Rinjani, Lokon, Dempo, Ga!unggung, Slamet, Lawit, Merbabu, Petek,
Kerinci, Tampomas, Tanggamus, Menyapa 1,5-2,4 Kacang tanah Gajah, Pelanduk,
Kelinci, Singa, Jerapah, Komodo, Mahesa 1,8-3.5 Kacang hijau Betet, Walet, Gelatik
1,5 Tomat Intan, Permata, Berlian, Mirah, A V-22, Ratna 10-15 Cabai Tanjung-I,
Tanjung-2, Barito, Bengkuiu, Tampar, Keriting, Rawit Hijau dan Putih 4-6 Terong
Mustang, Kopek Ungu, Ungu Panjang, No. 4000 30-40 Kubis KK Cross, KY Cross 20-25
Kacang panjang Super King, Pontianak, KP-I, KP-2, Lebar 15-28 Buncis Horti-I,
Horti-2, Prosessor, Farmer Early, Green Leaf 6-8 Timun Saturnus, Mars, Pluto 35-40
Bawang merah Ampenan, Bima, Menteng, Sumenep, Kuning 4,1-7,6 Sawi Asveg#1, Sangihe,
Talaud, Tosakan, Putih Jabung, Sawi Hijau, Sawi Huma, No. 82-157 15-20 Slada New
Grand Rapids 12-15 Bayam Maestro, Giti Hijau dan Merah, Cimangkok, Kakap Hijau 10-
12 Kangkung LP-I, LP-2, Sutera 25-30 Sumber : Alihamsyah dan Ar-Riza, 2004. 6.4.
TEKNOLOGI BUDIDAYA TANAMAN 6.4.1. Penyiapan lahan Penyiapan lahan adalah kegiatan
pembersihan rerumputan dan atau pengolahan tanah, yang ditujukan agar lahan menjadi
rata dan lebih seragam sehingga pelaksanaan tanam dapat dilakukan lebih mudah dan
memberikan hasil yang lebih baik. Penyiapan lahan pada penanaman padi surung bisa
dilakukan dengan pengolahan tanah seksama baik maupun tanpa pengolahan tanah, yaitu
dengan menebas rerumputan dan menyemprot herbisida efektif tergantung kepada
kondisi lahannya. Pengolahan tanah di lahan lebak diperlukan selain Teknologi
Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak 190 untuk memperbaiki kondisi lahan menjadi lebih
seragam dan rata dengan adanya penggemburan dan perataan, juga untuk pencampuran
bahan organik maupun
pupuk dengan tanah. Khusus pada tanah yang keras dan berbongkah, sebaiknya tanah
diolah sampai gembur atau melumpur. Bila tanahnya sudah gembur atau berlumpur dan
rata, pengolahan tanah secara intensif tidak diperlukan tetapi diganti dengan
pengolahan tanah minimum atau tanpa olah tanah (TOT) yang dikombinasikan dengan
penggunaan herbisida efektif. Penyiapan lahan pada penanaman padi rintak jarang
dilakukan dengan pengolahan tanah karena selain tanahnya sudah lunak (kepadatan
tanah atau soil bulk density <1). juga untuk percepatan tanam karena jangka
waktunya relati f singkat. Penyiapan lahan dilakukan dengan cara menebas rerumputan
dan mengkaitnya ke pematang petakan lahan, yang dikenal sebagai cara tebas-kait.
Biomasa rerumputan yang sudah lapuk dimanfaatkan sebagai pupuk organik atau mulsa
untuk menghambat laju evaporasi, agar tanah tetap dalam keadaan lembab dan
sekaligus memperbaiki kesuburan tanahnya. Penyiapan lahan dapat juga dilakukan
dengan menggunakan herbisida tetapi harus mempertimbangkan kondisi lahan dan
ketebalan rerumputan di petak sawah. Pada kondisi lahan yang rerumputannya sangat
tebal, utamanya jika didominasi oleh jenis Paspalidium sp. penyemprotan herbisida
harus dilakukan lebih awal agar pada saat tanam, rerumputan tersebut sudah
terdekomposisi dengan baik. Proses dekomposisi dapat menyebabkan naiknya kemasaman
tanah dan berkurangnya nitrogen karena digunakan oleh bakteri dekomposer. Oleh
karena itu, penanaman bibit yang bersamaan dengan proses pembusukan bahan organik
harus dihindari karena dapat menyebabkan kematian bibit, sehingga dapat mengurangi
populasi tananam. Pada kondisi lahan yang tergenang air, dianjurkan penggunaan
herbisida kontak agar rerumputan lebih cepat mati (Chaerudin dan Ar-Riza, 2001).
Penyiapan lahan untuk penanaman palawija dan hortikultura juga bisa dilakukan
dengan pengolahan tanah disertai pemberian mulsa maupun tanpa olah tanah atau olah
tanah minimum, tergantung kepada kondisi lahannya. Bila tanahnya padat, lahan
diolah sampai gembur dengan cangkul atau traktor, sedangkan bila tanahnya sudah
gembur dan rata, penyiapan lahan dilakukan dengan pengolahan tanah minimum atau
tanpa olah tanah dengan cara menebas rerumputan yang dikombinasikan dengan
penggunaan herbisida efektif. Khusus untuk lahan bergambut, penyiapan lahan hanya
dilakukan dengan menebas rerumputan kemudian disemprot herbisida efektif.
Alihamsyah dan Ar-Riza 191 6.4.2. Penyemaian dan penanaman Sistem persemaian
merupakan salah satu komponen penting yang perlu diperhatikan dalam usahatani padi
rintak. Bibit yang ditanam harus sehat, umur bibit tidak tua, bibit cukup tinggi
agar tidak terendam air saat ditanam. Untuk memperoleh bibit yang baik dan sehat
perlu digunakan benih yang baik dan sistem persemaian yang dapat mendorong
pertumbuhan bibit lebih cepat. Karena padi rintak ditanam pada awal musim kemarau,
yaitu saat menjelang surutnya air, maka persemaian harus telah disiapkan lebih
dahulu pada saat genangan air rawa masih dalam. Ada dua macam teknologi persemaian,
yaitu persemaian kering-basah dan persemaian apung. Persemaian kering-basah yaitu
penyemaian dengan kepadatan benih 200-250 g/m2 dilakukan di tempat kering yang
letaknya agak tinggi seperti di tepi rawa atau pematang dan setelah berumur 10 hari
dipindahkan ke tempat basah (Ar-Riza dan Noor, 1993). Pada umur 25 hari bibit pada
sistem semai kering-basah telah tumbuh kuat dan tinggi sehingga dapat ditanam pada
lahan dengan tinggi genangan air 5-15 cm, dan jika kondisi lapangan belum
memungkinkan bibit dapat dipelihara sampai umur 30 hari. Persemaian apung adalah
persemaian yang dilakukan pada tempat persemaian dari rakit batang pisang yang
telah diberi lumpur dan diikat pada suatu tempat agar tidak terbawa arus air rawa.
Pada padi rintak, penanaman dilakukan dengan cara tanam jajar pada saat genangan
air sudah dangkal sehingga selain jumlah bibit yang diperIukan relatif lebih
sedikit, pengendalian gulma juga menjadi lebih mudah. Populasi tanaman
sebaiknya antara 250.000 sampai 330.000 rumpun per ha, tergantung kepada kondisi
lahan dan varietas yang digunakan. Varietas yang berkanopi kecil dan tegak seperti
Cisokan atau IR-66 ditanam lebih rapat, tetapi sebaliknya varietas yang berkanopi
setengah menyebar seperti Margasari perIu ditanam agak renggang agar tidak saling
menaungi. Penanaman padi surung dapat dilakukan dengan cara tanam pindah maupun
tanam benih langsung pada awal musim hujan. Dengan sistem tanam benih sebar
langsung atau tanam pindah yang dipercepat waktu tanamnya dengan pemberian air
dengan menggunakan pompa air pada fase awal pertumbuhan tanaman, maka resiko
terendamnya tanaman dapat dihindari, karena saat air mulai menggenang petakan
lahan, tanaman padi sudah cukup tinggi. Dengan percepatan waktu tanam tersebut
resiko kegagalan panen dapat Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak 192 diperkecil.
Model percepatan waktu tanam ini bisa diterapkan juga untuk mengatasi kekeringan
pada pertanaman padi rintak. Penanaman palawija dilakukan dengan sistem tugal atau
sistem alur, yaitu dengan cara membuat lubang atau alur pada tanah dengan alat
tugal atau pembuat alur kemudian benih dimasukkan kedalam lubang atau alur tersebut
lalu ditutup kembali dengan tanah. Sedangkan penanaman hortikultura ada yang
dilakukan dengan cara tanam benih langsung seperti : timun, semangka, kacang
panjang, waluh, dan buncis maupun cara tanam bibit atau tanam pindah seperti :
tomat, cabai, terong, kubis, bayam, sawi, dan slada sehingga diperIukan penyemaian
benih yang baik. 6.4.3. Pemupukan Lahan lebak memiliki keragaman kesuburan tanah
yang tinggi dengan kandungan hara N-total sedang (0,33%), P-tersedia rendah (11,3
me/100 g), Kterse dia rendah (0,20 me/100 g), dan C-organik 10,8%. Tingkat
kesuburan tanah di lahan lebak dapat dikatakan kurang sampai sedang sehingga untuk
meningkatkan produktivitasnya perIu dilakukan pemupukan. Takaran pupuk yang
diperlukan sangat tergantung pada kondisi kesuburan tanah dan varietas yang ditanam
sehingga untuk pemberian pupuk yang tepat dan efisien perlu dilakukan uji tanah di
setiap wilayah pengembangan. Pada umumnya varietas padi yang berkanopi tegak sangat
responsif terhadap pemupukan, sehingga memerIukan takaran yang lebih tinggi,
sedangkan yang berkanopi menyebar memerIukan pupuk lebih sedikit. Takaran pupuk
yang dianjurkan untuk padi surung adalah 45-90 kg N + 4590 kg P205 + 25-50 kg K20
per ha dan untuk padi rintak dengan varietas resposif pemupukan adalah 90-135 kg N
+ 50-70 kg P205 + 50 kg K20 per ha, sedangkan untuk varietas yang tidak rensposif
pemupukan seperti Martapura dan Margasari adalah 45-70 kg N + 70 kg P205 + 60 kg
K20 per ha (Ar-Riza dan Rina, 2003). Pupuk N diberikan dua tahap yaitu 1/3 bagian
diberikan bersamaan dengan pupuk P dan K pada saat tanam sedangkan sisanya
diberikan pada saat tanaman berumur 30 hari. Takaran pupuk untuk tanaman jagung
adalah 90-135 kg N + 45-90 kg P205 + 25-50 kg K20 per ha. Untuk tanaman kacang-
kacangan pemberian pupuk sebanyak 45 kg N + 75 kg P205 + 50 kg K20 sudah cukup
memadai, sedangkan untuk tanaman hortikultura, selain pemberian pupuk anorganik
diperlukan juga pemberian pupuk organik berupa pupuk kandang Alihamsyah dan Ar-Riza
193 sebanyak 3-5 t/ha. Belum tersedia informasi takaran pupuk yang pasti untuk
tanaman hortikultura di lahan lebak, namun demikian informasi takaran pupuk di
lahan rawa pasang surut dapat dipakai sebagai acuan (Tabel 6.3). Tabel 6.3. Takaran
pupuk pada tanaman hortikultura di lahan pasang surut Takaran pupuk Tanaman
Tipologi Pupuk kandang N P2O5 K2O . kg/ha .
Cabai Potensial 5.000 90 90 50 Gambut 5.000 45 90 60 Tomat Potensial 5.000 135 90
60 Gambut 5.000 90 90 60 Bawang merah Potensial 10.000 90 90 75 Sawi Potensial
5.000 90 90 75 Semangka **) Potensial 10.000 0,027 0,020 0.006 *) Satuan g/pohon.
Sumber : Alihamsyah (2003) 6.4.4. Pengelolaan gulma dan bahan organik Gulma atau
rerumputan di lahan lebak tumbuh subur dan berkembang cepat serta merupakan salah
satu faktor pembatas pertumbuhan tanaman terutama padi di lahan lebak serta dapat
menurunkan hasil padi sampai 74,2%. Potensi gulma yang sangat melimpah di lahan
lebak tersebut perlu dikelola sehingga tidak merugikan tanaman tetapi malah
meningkatkan kualitas dan produktivitas lahan. Gulma pada pertanaman padi rintak
umumnya didominasi oleh gulma berdaun lebar seperti Alternatera sp., Heliotropium
sp., gulma berdaun sempit Axonopus sp., golongan teki (Cyperus) dan Fimbristylis
sp. (Chaerudin dan Ar-Riza, 2001). Pengendalian gulma untuk pernyiapan lahan
berbeda dengan pengendalian gulma untuk penyiangan. Selain secara tradisional,
pengendalian gulma dapat dilakukan juga dengan herbisida efektif, yaitu untuk
pertanaman padi dan kedelai dapat digunakan Diuron 80 WP, Metachlor 500 EC,
Oxyfluorfen 2EC, Oxadiazon 25 EC atau 2-4-DA mine, maupun MPCA dengan takaran 1,5
l/ha (Ar-Riza et al., 1998, 2000 dan Chaerudin et al., 2000). Gulma atau rerumputan
tersebut bisa digunakan sebagai mulsa guna menekan evaporasi dan menekan
pertumbuhan gulma baru serta meningkatkan kualitas lahan. Dengan takaran kompos
gulma sebanyak 2-3 t/ha ternyata dapat meningkatkan hasil padi rintak. Dari kedua
macam gulma yang dapat digunakan Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak 194 sebagai
mulsa, Sulvinia memberikan hasil yang lebih baik daripada Paspalidium karena C/N
rasionya lebih rendah sehingga mudah mengalami dekomposisi. Pemanfaatan rumput
Paspalidium dan Salvinia pada pertanaman padi rintak dapat meningkatkan hasil
sebesar 24,0-31,9% (Ar-Riza, 2002). Sedangkan pupuk nitrogen yang dikombinasikan
dengan biomasa Salvinia molesta sebanyak 1 t/ha dapat meningkatkan efisiensi
pemupukan N sebesar 19,6% (Ar-Riza, 2002). 6.4.5. Pengendalian OPT Pada dasarnya
pengendalian hama dan penyakit dilakukan Secara terpadu menggunakan teknologi PHT
melalui penggunaan varietas tahan, musuh alami, penerapan teknik budidaya yang baik
dan sanitasi lingkungan sedangkan penggunaan pestisida kimiawi dilakukan sebagai
tindakan terakhir (Balitra, 2001) . Hama utama tanaman kususnya padi adalah tikus
dan penggerek batang padi putih. Serangan hama tikus umumnya terjadi pada saat
tanaman memasuki fase bunting, sehingga upaya pengendalian dini sangat bermanfaat
dalam menurunkan populasi tikus. Pengendalian hama secara dini dilaksanakan dengan
cara pembongkaran lubang-Iubang persembunyian dan memasang umpan beracun sejak 15
hari sebelum semai sampai fase awal pertumbuhan generatif setelah itu, dilakukan
pengendalian dengan cara fumigasi dan pemasangan bubu serta pagar plastik pada fase
pertumbuhan generatif. Sedangkan penggerek batang padi putih dapat dikendalikan
dengan insektisida BPMC takaran 2-2,5 cc/air dengan volume semprot 600 lt air/ha.
Untuk keberhasilan pengendalian hama dari penyakit ini diperlukan partisipasi aktif
petani dan dukungan aparat pemerintah serta sarana dan prasarana penunjang yang
memadai. Tabel 6.4. Strategi dan taktik pengendalian terpadu hama tikus di lahan
lebak Komponen teknologi pengendalian Stadia tanaman padi Gropyokan Umpan
beracun Fumigasi SPP Perangkap bambu Bera x x x Persemaian x x x Anakan aktif x x
Bunting x x x Bermalai x x Panen x x SPP : Sistem pagar perangkap untuk 1 ha dengan
40 buah bagi 20 ha tanaman padi. Sumber : Balittra (2001). Alihamsyah dan Ar-Riza
195 6.4.6. Penanganan panen dan pasca panen Kehilangan hasil padi di lahan lebak
masih cukup tinggi, yaitu mencapai 12,5% dan mutunya rendah, karena belum baiknya
penanganan panen dan pasca panen, yaitu penentuan saat panen, cara panen, dan
prosessing serta terbatasnya tenaga kerja. Saat panen yang tepat adalah saat gabah
padi telah dalam fase masak fisiologis, yaitu hampir semua gabah matang. Pada fase
ini, prosentase kerontokan gabah akibat panen sedikit. Panen dilakukan dengan cara
memotong malai padi menggunakan sabit bergerigi kemudian hasilnya dikumpulkan dan
dirontok dengan mesin perontok (power thresher) atau digebot. Penggunaan sabit
bergerigi untuk panen padi dapat mengurangi kebutuhan waktu kerja dari 388 jam/ha
menjadi 130 jam/ha dengan susut hasil dan hasil padi yang tidak berbeda. Sedangkan
penggunaan power thresher selain dapat meningkatkan kapasitas kerja dari 34,5
kg/jam menjadi 224,5 kg/jam juga mengurangi kehilangan hasil dengan biaya jasa sewa
lebih murah (Ananto et al., 1999; Balittra, 2001). 6.5. UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI
Pada umumnya, produksi tanaman khususnya padi di lahan lebak masih relatif rendah
padahal peluang peningkatan produksi tersebut cukup besar mengingat potensi
arealnya cukup luas dan teknologi pemanfaatannya sudah cukup tersedia. Karena upaya
peningkatan produksi pertanian terutama tanaman pangan di lahan lebak guna
mendukung ketahanan pangan nasional, secara garis besar dapat dilakukan melalui dua
cara, yaitu : (1) peningkatan produktivi tas lahan, dan (2) perluasan areal tanam.
Penerapan kedua cara tersebut memerlukan prasyarat atau prakondisi tertentu agar
dapat dilaksanakan dengan hasil baik. 6.5.1. Peningkatan produktivitas lahan
Peningkatan produktivitas, dapat dilakukan dengan menerapkan teknologi yang
tersedia seperti yang diterangkan pada bab teknologi budidaya, dengan
mengitegrasikan secara sinergis masing-masing komponen teknologi yang disesuaikan
dengan karakteristik lahannya. Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak 196 Selain
penerapan komponen teknologi yang sinergis dan sesuai, agar mencapai hasil maksimal
maka harus didukung oleh penataan lahan dan jaringan tata air. Dalam jangka
panjang, penataan lahan dan sekaligus penataan jaringan tata air sangat diperlukan,
agar dapat memberikan sumbangan yang lebih besar terhadap ptoduksi padi dan
sekaligus dapat meningkatkan diversifikasi hasil pertanian. Lahan lebak dangkal
mempunyai potensi yang lebih baik, karena posisinya yang lebih dekat dengan sungai
besar. Lahan lebak dangkal bisa ditata sebagai surjan dengan ukuran tinggi sekitar
60-75 cm, dengan lebar 1-2 m atau sawah dan tukungan dengan diameter sekitar 2 m.
Pada petakan lahan yang ditata sistem surjan, pada salah satu sisinya digali
saluran berukuran (dalam 0, 6 m, lebar 1 m), fungsinya sebagai pengatur kelengasan
tanah pada petak sawah dan tempat hidup atau perangkap ikan alami. Sementara pada
bagian guludan
surjan dapat dimanfaatkan untuk tanaman palawija atau hortikuitura. Pembuatan dan
perataan petak sawah diperlukan guna membantu pengaturan air. Pada lahan lebak
tengahan dan lebak dalam perlu dibuat jaringan tata air berupa saluran besar yang
menghubungkan petakan lahan ke sungai guna mengalirkan air dari kawasan lahan
kesungai sehingga air genangan cepat surut dan sekaligus sebagai prasarana
transportasi. Sedangkan pada petakan lahan perlu dibuat parit berukuran lebar 1 m
dan dalam 0,6 m yang dilengkapi dengan pintu air sistem tabat guna mengalirkan air
dari petakan lahan ke saluran besar dan menampung air pada musim kemarau untuk
mengairi tanaman palawija atau hortikultura serta sekaligus sebagai tempat hidup
atau perangkap ikan alami Sistem jaringan tata air ini akan lebih baik jika
dikombinasikan dengan penggunaan pompa air untuk memanfaatkan sungai yang posisinya
tidak terlalu jauh dari kawasan lahan lebak. Dengan demikian, bantuan pemerintah
sangat diperlukan terutama untuk sistem tata air menggunakan pompa. Sedangkan untuk
penataan lahan sistem surjan atau tukungan dapat dilakukan oleh petani tetapi perlu
percontohan dan penyuluhan yang lebih intensif. 6.5.2. Perluasan areal pertanaman
Perluasan areal tanam dilakukan dengan meningkatkan intensitas pertanaman (IP) dan
penambahan luas baku lahan melalui pembukaan lahan baru. Alihamsyah dan Ar-Riza 197
Saat ini, intensitas pertanaman di lahan lebak umumnya masih rendah, yaitu sekitar
110% padahal dengan penerapan teknologi, IP di lahan lebak dangkal bisa mencapai
300% dengan menerapkan pola tanam padi rintakpalawija/ hortikultura-padi surung,
dengan menerapkan teknologi percepatan tanam. Adapun di lahan lebak tengahan bisa
mencapai 200% dengan menerapkan padi rintak-padi surung atau padi rintak-
palawija/hortikultura. Untuk meningkatkan keberhasilan penerapan pola tanam
tersebut diperlukan upaya pemanfaatan air secara efisien dengan memanfaatkan air
sungai menggunakan pompa yang disertai pembuatan jaringan tata air. Pengairan
dengan pompa air dapat dimanfaatkan untuk mempercepat waktu tanam padi surung
dengan pemberian air ke petakan lahan sebelum banyak turun hujan karena air yang
diperlukan tanaman padi pada fase awal pertumbuhan tanaman sedikit. Dengan
percepatan waktu tanam tersebut resiko terendamnya tanaman dapat dihindari, karena
saat air rawa mulai menggenang tanaman padi telah cukup tinggi. Dalam jangka
panjang, perluasan areal pertanaman di lahan lebak hendaknya dilakukan juga melalui
pembukaan lahan baru, mengingat potensinya luas sedangkan yang diusahakan masih
terbatas karena berbagai masalah dan kendala terutama dalam kaitannya dengan
infrastruktur dan kemampuan petani. Lahan lebak yang berpotensi ditanami tanaman
pangan khususnya padi adalah lahan lebak dangkal dan lebak tengahan yang luas
totalnya diperkirakan 4.186.000 ha untuk lebak dangkal dan 6.075.000 ha untuk lebak
tengahan, sedangkan yang sudah diusahakan hanya sekitar 729.000 ha. Lahan lebak
dalam pada musim kemarau dengan kondisi iklim yang normal masih tergenang air,
tetapi pada kondisi tertentu seperti saat terjadi EI-Nino pada sebagian lok asi
airnya surut dan menjadi lahan yang potensial untuk usahatani padi. Dalam
hubungannya dengan hal tersebut Alkusuma et al. (2002) cit Irianto et al. (2002)
melalui interpretasi citra landsat di Sumatera Selatan, Lampung, Riau, Kalimantan
Selatan, menginformasikan bahwa lebak dalam pada saat terjadi EINino sekitar
174.851 ha, dan lebak tengahan sekitar 35.431 ha bisa diubah menjadi lahan yang
sesuai untuk usahatani padi. Masalahnya adalah dimana saja dan berapa luas
efektifnya serta bagaimana karakteristik rinci lahan terseb ut. Oleh karena itu,
salah satu langkah strategis yang perlu dilakukan adalah menginventarisir dan
mengkarakterisasi sebaik mungkin lahan-lahan tersebut
guna menentukan pola pemanfaatan lahannya dan penerapan teknologi pengembangannya
secara tepat dan efisien serta ramah lingkungan. Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa
Lebak 198 6.6. PRAKONDISI DAN TAHAPAN LANGKAH OPERASIONAL 6.6.1. Prakondisi Sebelum
program dijalankan, maka diperlukan informasi unsur penunjang yang dapat mendukung
keberhasilan pelaksanaan program: (1) peta dan informasi karakteristik wilayah, (2)
kemampuan dan partisipasi masyarakat, (3) ketersediaan sarana dan prasarana
penunjang, (4) kebijaksanaan pemerintah. Peta dan informasi karakteristik wilayah.
Peta dan informasi karakteristik wilayah diperlukan untuk menentukan pola
pemanfaatan lahan dan perakitan komponen teknologi. Peta tersebut minimal memuat
informasi penyebaran tipe lahan dan sifat fisiko-kimia penting tanah dan air,
termasuk masalah biofisiknya. Apabila hal ini tidak tersedia, maka tahap awal perlu
dilakukan identifikasi dan karakterisasi lahan di calon lokasi pengembangan.
Informasi lainnya adalah kondisi sosial ekonomi masyarakat dan kelembagaan
penunjang. Kemampuan dan partisipasi masyarakat. Pengetahuan petani dan penyuluh
tentang pengelolaan usahatani di lahan lebak melalui penerapan teknologi secara
benar pada umumnya masih kurang. Oleh karena itu, kemampuan mereka harus
ditingkatkan melalui berbagai cara, antara lain pelatihan dan pembinaan secara
intensif serta kunjungan ke demplot. Kemampuan masyarakat khususnya petani, bukan
hanya pengetahuan tapi juga dalam hal permodalan untuk usahataninya. Oleh karena
itu, perlu adanya dukungan lembaga perkreditan atau keuangan yang dapat menyediakan
modal usaha bagi petani secara cepat dengan prosedur yang sederhana dan mudah.
Partisipasi masyarakat diperlukan dalam penerapan teknologi pemanfaatan lebak tidak
hanya terbatas pada masyarakat petani dengan kelompoknya, tetapi juga pihak swasta
atau pengusaha dan aparat pemerintah. Ketersediaan sarana dan prasarana penunjang.
Teknologi pemanfaatan lahan lebak baru bisa diterapkan dengan baik oleh petani
apabila tersedia sarana dan prasarana penunjang yang memadai. Penerapan teknologi
varietas, ameliorasi dan pemupukan perIu didukung oleh penyediaan benih bermutu,
bahan ameliorasi dan pupuk yang memadai secara tepat jumlah, jenis dan waktu.
Penerapan teknologi pengolahan tanah dan penanganan pasca panen memerIukan dukungan
alat dan mesin pertanian berupa traktor, mesin perontok Alihamsyah dan Ar-Riza 199
dan pengering mengingat terbatasanya tenaga kerja. Sedangkan penerapan teknologi
pengendalian OPT memerIukan bahan pengendali OPT dan peralatan untuk aplikasinya.
Sarana dan prasarana tersebut harus memadai secara tepat jumlah, jenis dan waktu
serta terjangkau agar penerapan teknologi di lahan lebak dapat berjalan dengan
baik. Dalam kaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana ini diperIukan
pengembangan kelembagaan agribisnis yang sesuai, terutama yang melibatkan kelompok
atau koperasi petani dan pengusaha swasta lokal. Kebijaksanaan pemerintah. Dari
berbagai pengalaman pengembangan pertanian di daerah rawa menunjukkan bahwa
kebijaksanaan yang perIu diperhatikan oleh pemerintah untuk mendukung pengembangan
teknologi pertanian di lahan rawa secara berkelanjutan mencakup beberapa hal,
terutama : (1) identifikasi dan karakterisasi daerah pengembangan potensial, (2)
rehabilita si dan peningkatan prasarana tata air, (3) peningkatan kemampuan petugas
dan petani termasuk fasilitas dan sarana penyuluhan, (4) insentif harga yang layak
serta fasilitas kredit dan permodalan, (5) penyediaan dan deregulasi tata niaga
sarana produksi dan pemasaran hasil, (6) pengembangan kelembagaan, terutama yang
berakar dari masyarakat termasuk lembaga keuangan pedesaan, (7) pengembangan
jaringan perhubungan antar wilayah, dan (8) peningkatan koordinasi dan keterpaduan
kerja antar instansi terkait melalui pendekatan mekanisme fungsional maupun
struktural. 6.6.2. Tahapan dan langkah operasional Untuk mendukung keberhasilan
pengembangan teknologi pemanfaatan lahan lebak perlu dilakukan beberapa langkah
operasional berikut : 1. Identifikasi atau inventarisasi dan karakterisasi calon
wilayah pengembangan oleh Dinas Pertanian, Badan Litbang Pertanian (BPTP) dan Dinas
Kimpraswil. 2. Menyusun tata ruang dan menentukan alternatif paket teknologi sesuai
karakteristik lahan dan sosial ekonomi setempat oleh Badan Litbang Pertanian (BPTP)
dan Dinas Pertanian. 3. Menyusun program pengembangan oleh Dinas Pertanian, Badan
Litbang Pertanian (BPTP) dan Dinas Kimpraswil dengan melibatkan berbagai pihak
terkait. Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak 200 4. Apresiasi dan sosialisasi
program pengembangan pada berbagai tingkatan terutama kepada penyuluh, petani dan
kelompok tani oleh Dinas Pertanian. 5. Meningkatkan pengetahuan maupun motivasi
petani dan petugas terutama penyuluh melalui pelatihan dan percontohan serta
kunjungan lapang oleh Dinas Pertanian bekerjasama dengan Badan Litbang Pertanian
(BPTP) dan Balai Diklat Deptan. 6. Menyediakan dan mendistribusikan sarana produksi
khususnya benih, pupuk dan pestisida serta alsintan oleh Dinas Pertanian dengan
melibatkan berbagai pihak terkait dan lembaga agribisnis termasuk koperasi tani. 7.
Meningkatkan prasarana pendukung terutama jaringan tata air dan perhubungan oleh
Dinas Kimpraswil. 8. Memonitor, membina dan mengevaluasi pelaksanaan program
pengembangan secara berkala oleh Dinas Pertanian dan Badan Litbang Pertanian (BPTP)
dengan melibatkan berbagai pihak terkait. PENUTUP Lahan rawa lebak memiliki potensi
besar dan merupakan salah satu pilihan untuk sumber pertumbuhan agribisnis dan
mendukung peningkatan ketahanan pangan nasional. Namun untuk keberhasilannya, maka
pengembangannya harus dilakukan secara terencana melalui penerapan teknologi tepat
guna dengan pendekatan holistik, dan partisipatif dengan fokus optimalisasi
pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alamnya. Oleh karena itu, komitmen,
koordinasi dan sinkronisasi serta keterpaduan kerja antar pihak terkait khususnya
Dinas Pertanian dan Kimpraswil serta Badan Litbang Pertanian dan petani atau
kelompok tani perlu diwujudkan. Sebaiknya mulai dari perencanaan sampai kepada
pelaksanaan serta monitoring dan pembinaannya di lapangan. DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja, A., K. Sudarman, dan D.A. Suriadikarta. 2000. Pengembangan Lahan
Pasang Surut : keberhasilan dan kegagalan ditinjau dari fisiko kimia lahan pasang
surut. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian menunjang Akselerasi
Pengembangan Lahan Pasang Surut. Balittra. Banjarbaru. Alihamsyah dan Ar-Riza 201
Alihamsyah, T. dan I. Ar-Riza. 2004. Potensi dan teknologi pemanfaatan lahan rawa
lebak untuk pertanian. Makalah Utama. Workshop Nasional Pengembangan Lahan Rawa
Lebak. Kerjasama Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa-Pemda Kabupaten Hulu Sungai-
Dinas Pertanian Prop. Kalimantan Selatan, Kandangan, 11-12 Oktober 2004.
Alihamsyah, T. 2003. Hasil penelitian pertanian pada lahan pasang Surut.
Prosiding Seminar Nasional. Hasil-Hasil Penelitian dan Pengkajian Teknologi
Spesifik Lokasi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian JambiBadan Penelitian dan
Pengembangan Daerah Provinsi Jambi. Hlm 20-26. Ananto, E.E., Astanto, dan Sutrisno.
1999. Sistem panen dan pasca panen padi di lahan pasang surut. Laporan Proyek
Pengembangan SUP Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Hlm 30. Ar-Riza, I. dan Y.
Rina. 2003. Optimasi pemanfaatan lahan rawa lebak untuk peningkatan produksi padi.
Dalam. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Sumberdaya Tanah dan Iklim.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor. Ar-Riza, I., H.Dj. Noor, D.
Nazemi, dan Chairudin. 1993. Varietas padi rintak berdaya hasil tinggi di lahan
lebak Kalimantan Selatan. Dalam. Teknologi Produksi dan Pengembangan Sistem
Usahatani di Lahan Rawa. Hasil Penelitian. Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian
Rawa TerpaduISDP. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Ar-Riza, I. 2000.
Prospek pengembangan lahan rawa lebak Kalimantan Selatan dalam mendukung
peningkatan produksi padi. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. 19(3):92. Ar-
Riza, I. 2002. Upaya peningkatan produksi dalam budidaya padi rintak di lahan rawa
lebak. Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI). 29-30
Oktober 2002. Bogor. Balittra. 2001. Laporan Tahunan 2001. Balai Penelitian Tanaman
Pangan Lahan Rawa. Banjarbaru. Chaerudin, R.S. Simatupang, dan D. Nazemi. 2000.
Pengelolaan gulma di lahan rawa lebak menunjang sistem budidaya pertanian
konservasi. Dalam Prosiding Seminar Nasional. Budidaya Pertanian Olah Tanah
Konservasi. Himpunan Ilmu Gulma Indonesia (HIGI) dan Balai Penelitian Tanaman
Pangan Lahan Rawa. Banjarbaru. Hlm 82-92. Chaerudin dan I. Ar-Riza. 2001. Pengaruh
penyiapan lahan pada wilayah yang didominasi pertumbuhan gulma Paspalidium sp.
terhadap hasil padi rintak. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Pertanian
Lahan Rawa. Pusat Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak 202 Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Banjarbaru. (tidak dipublikasi). Irianto, G., H.
Syahbuddin, W. Estiningtyas, E. Surmaini, dan I. Las. 2002. Pendayagunaan keragaman
iklim untuk meningkatkan produksi padi. Dalam. Suprihatno, B.l. Soeyitno, M. Syam,
A.K. Makarim, Suwandi, L.N. Widiarta, dan Hermanto (Eds). 2002. Kebijakan
Perberasan dan Inovasi Teknologi Padi. Buku-l. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.
Hlm 142. Ismail, I.G., T. Alihamsyah, I P.G. Widjaja-Adhi, Suwarno, H. Tati, R.
Tahir, da n D.E. Sianturi. 1993. Sewindu Penelitian Pertanian di Lahan Rawa
(19851993). Kontribusi dan Prospek Pengembangan. Proyek Penelitian Pertanian Lahan
Pasang Surut dan Rawa Swamps II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Bogor. Khairullah, I. dan S. Sulaeman. 2002. Varietas unggul dan galur harapan padi
adaptif lahan rawa. Monograf : Varietas Tanaman Pangan Adaptif Lahan Rawa. Balai
Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru. Nasoetion, L.T. dan T. Winoto. 1995.
Masalah alih fungsi lahan pertanian dan dampaknya terhadap keberlangsungan
swasembada pangan. Makalah. Lokakarya Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan
dan Air: Dampaknya Terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan, Cipayung, Bogor, 31
Oktober-2 November 1995. Noorsjamsi and O. Hidayat. 1970. the Tidal Swamps Rice
Culture in South Kalimantan. Central Research Institute For Agricultural
Representation.
Kalimantan Indonesia. Puslitbangtan. 1992. Arah dan strategi penelitian dan
pengembangan tanaman pangan dalam PIP II. Makalah disampaikan pada Raker Badan
Litbang Pertanian, 15-17 Juni 1992. Cisarua, Bogor. Widjaja-Adhi, I P.G., K.
Nugroho, D.A. Suriadikarta, dan A.S. Karama. 1992. Sumber daya lahan pasang surut,
rawa dan pantai: Keterbatasan dan Pemanfaatan. Dalam. Partohardjono dan M. Syam
(Ed). 1992. Pengembangan Terpadu Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. 203 VII SUMBERDAYA HAYATI
PERTANIAN LAHAN RAWA Izhar Khairullah, Mawardi, dan Muhrizal Sarwani Sumberdaya
Hayati Pertanian Lahan Rawa 204 7.1. PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu
negara pemilik "mega diversity "sumber daya hayati yang melimpah diantaranya
terdapat di lahan rawa. Lahan rawa di Indonesia diperkirakan meliputi areal 33,4-
39,4 juta ha yang tersebar umumnya di empat pulau besar yaitu Kalimantan, Sumatera,
Irian Jaya (Papua), dan Sulawesi. Sebagai sebuah ekosistem yang spesifik, lahan
rawa dicirikan oleh sifat hidrologi dan tanah yang khas. Sifat hidrologinya
dipengaruhi oleh diurnal pasang surut atau ketergenangan melebihi tiga bulan,
sedangkan sitat tanahnya yang khas adalah adanya mineral pirit sebagai pembentuk
tanah sulfat masam dan gambut sebagai bahan dasar pembentuk tanah gambut. Sifat
yang khas ini mendukung tumbuhan, binatang dan mikroba yang khas rawa. Misalnya
tumbuhan rotan akan berkembang dengan baik pada suasana "recalcitrant" yang tinggi
yaitu pada tanah gambut. Dalam keadaan alami, lahan rawa merupakan salah satu
ekosistem yang memiliki keanekaan hayati yang cukup tinggi dan kompleks meliputi
beragam tanaman, pohon komersial (38 jenis), ikan ( 200-300 jenis). dan ternak yang
khas rawa (Chairuddin, 1989). Selain itu, lahan rawa memiliki beragam tanaman yang
mempunyai sifat unggul. Sebagai contoh adalah padi lokal pasang surut yang sebagian
mempunyai kemampuan adaptasi terhadap kondisi genangan maupun kondisi pH yang
rendah. Beberapa buah lokal memiliki keunggulan seperti durian liar (Durio
lowianus) diketahui mempunyai ketahanan terhadap durian "patch cancer" (yang
disebabkan Phytoptora palmivora) dan mempunyai batang lebih tegar sehingga
berprospek digunakan sebagai rootstock plants bagi durian komersial. Mangga hambuku
adalah sejenis mangga yang tumbuh dan bertahan hidup meskipun dalam keadaan
terendam. Oleh karena itu, upaya menjaring keberagaman sifat-sifat genetik tanaman
sangat diperlukan untuk memperbaiki produktivitas dan kualitas tanaman, Perakitan
varietas padi unggul modern adalah contoh keberhasilan pemanfaatan sumber daya
genetik. Lebih dari 100 varietas padi lokal asal Indonesia telah digunakan dalam
program pembentukan padi tipe baru (Fagi et aI., 2002). Karena itu, informasi
tentang potensi dan karakteristik lahan dan sumberdaya hayati dapat dimanfaatkan
untuk strategi peningkatan produktivitas dan kualitas jenis-jenis lahan rawa:
Sukses yang dicapai dalam menggali potensi sumberdaya lahan secara nasional dan
pengumpulan bahan genetik lahan rawa berarti sumbangan yang Khairullah et al. 205
besar bagi pencapaian penggunaan lahan rawa yang rasional untuk pertanian yang
berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan berorientasi agribisnis.
Penggunaan varietas unggul padi Margasari dan Martapura oleh petani lahan pasang
surut di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah merupakan keberhasilan
pemanfaatan plasma nutfah padi. Padi varietas Margasari dan Martapura yang dilepas
olen Balittra pada tahun 2000 berasal dari tetua varietas Siam Unus, varietas padi
lokal adaptif lahan pasang surut (Sulaiman et al., 2000 ). 7.2. SUMBERDAYA HAYATI
TANAMAN PANGAN DI LAHAN RAWA Sumber daya hayati berbeda pengertian dengan plasma
nutfah. Sumberdaya hayati didefinisikan sebagai kekayaan alamiah yang terdiri atas
satu species atau lebih yang diperkirakan atau diketahui memberikan kemanfaatan
ekonomis bagi manusia. Sedangkan plasma nutfah diartikan sebagai sumber genetik
dalam suatu species tanaman yang memiliki keragaman genetik yang luas, yang
ditimbulkan oleh perbedaan varietas, strain, galur, sub-species atau populasi.
Dengan demikian koleksi plasma nutfah adalah kumpulan varietas, populasi, strain,
galur klon, mutan dari satu species yang sama yang berasal dar i lokasi, agroklimat
atau asal usul yang berlainan (Sumarno, 1994). Dengan demikian nampak jelas bahwa
sumberdaya hayati memiliki cakupan yang lebih luas dari pada plasma nutfah. Padi,
jagung, kedelai, dan umbi-umbian adalah tanaman pangan yang dapat tumbuh di lahan
rawa. Tetapi hanya padi dan umbi-umbian yang memiliki kekhasan di lahan rawa. Padi
varietas lokal sangat banyak di jumpai di lahan rawa, baik di lahan pasang surut
maupun di lahan lebak. Hal ini mungkin karena sifat adaptasinya yang tinggi pada
kondisi lingkungan lahan rawa, meskipun hasilnya termasuk rendah. Sementara ubi
ubian lebih banyak ditemukan .di lahan lebak. (Sastrapraja dan Rifai 1989)
menyatakan bahwa Indonesia merupakan pusat keragaman genetik untuk Dioschorea sp.
(uwi, yam). 7.2.1. Padi lahan rawa Varietas lokal padi rawa yang telah dikoleksi
dari tahun 1994 sampai 2002 sebanyak 221 asesi. Koleksi tersebut dilakukan di lahan
rawa Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, dan
Lampung. Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa 206 Dari jumlah tersebut, 175 asesi
berasal dari lahan pasang surut dan 46 asesi berasal dari lahan lebak. Diperkirakan
lebih dari 300 asesi padi yang terdapat d i lahan rawa. Pada umumnya umur tanaman
padi varieras lokal yang ditanam di lahan lebak (4-5 bulan) lebih genjah dari pada
yang ditanam di lahan pasang surut (7-9 bulan). Hasil gabah bervariasi antara 1-3
t/ha. Berdasarkan informasi petani setempat, mereka menanam varietas lokal padi
tersebut antara lain karena sifat adaptasinya yang tinggi dan rasa nasinya yang
dianggap enak dengan tekstur nasi pera dan pulen. Beberapa varietas lokal yang
ditanam di lahan lebak (Sumatera Selatan) dianggap lebih toleran kekeringan,
seperti varietas Banal, Serai Rampak, dan Senapi. Sedangkan di lahan pasang surut
(Kalimantan Selatan) terdapat varietas Datu yang secara in situ, berbatang kuat dan
besar dengan tinggi tanaman lebih dari 2 m, malai panjang dan lebat dengan bentuk
gabah besar. Varietas ini juga pada fase matang ditemukan masih tergenang air asin
(salin) sekirar 30-40 cm. Varietas lainnya di lahan pasang surut yang memiliki
kelebihan adalah varietas Pudak, dimana gabah/berasnya harum (aromatik) (Khairullah
et al., 2003). Tinggi tanaman varietas lokal padi pasang surut bervariasi antara
105-180 cm dan jumlah anakan antara 10-24 batang. Malainya umumnya muncul penuh
dengan tingkat kerontokan gabah sedang (6-25%). Sudut daun datar dan sudut daun
bendera antara sedang sampai datar, tidak ada sudut daun bendera yang tegak seperti
halnya varietas unggul. Demikian pula sudut batang umumnya sedang (antara tegak
sampai membuka). Tanaman yang tinggi dan kuat cocok
untuk lahan pasang surut yang pada umumnya genangannya tinggi. Sedangkan malai yang
mulai penuh memudahkan bagi petani yang memanen dengan menggunakan ani-ani. Sudut
daun yang datar mungkin dapat menekan pertumbuhan gulma yang berada di bawahnya dan
dengan demikian beberapa karakteristik padi varietas lokal yang akan mengurangi
biaya penyiangan banyak dijumpai di lahan pasang surut di Kalimantan Selatan
disajikan pada Tabel 7.1. Varietas lokal yang dikenal luas di lahan pasang surut
Kalimantan Selatan adalah 'kelompok' varietas Siam, Bayar, Pandak, dan Lema.
Kelompok varietas Siam paling banyak dijumpai dengan berbagai variasi namanya di
tingkat petani. Variasi nama ini dapat berdasarkan bentuk gabah, rasa nasi, nama
petani ataupun ciri-ciri khusus yang diterima petani setempat (Khairullah et al.,
1998) . Varietas Bayar bahkan sudah dibudidayakan petani pasang surut Kalimantan
Khairullah et al. 207 Selatan sejak tahun 1920, sedangkan varietas Lemo sekitar
tahun 1956 (Idak, 1982). Tabel 7.1. Beberapa sifat padi varietas lokal yang banyak
dijumpai di lahan pasang surut di Kalimantan Selatan Karakter Siam Unus Pandak
Bayar Palas Lemo Kwatik Lakatan Gadur Jumlah anakan 20 18 15 14 15 Tinggi tanaman
142 121 140 182 149 Umur (hari) 291 305 305 272 295 Panjang daun (cm) 58 44 46 44
47 Lebar daun (mm) 12 12 12 11 13 Panjang batang (cm) 118 95 116 154 121 Diameter
batang (cm) 6,9 6,7 7,3 6,8 7,9 Panjang gabah (mm) 7,7 8,2 8,8 8,5 8,8 Lebar gabah
(mm) 1,7 1,7 1,8 1,9 1,8 Kerebahan (%) 5 0 0 10 25 Varietas lokal padi pasang surut
Kalimantan Selatan pada umumnya memiliki sifat antara lain sebagai berikut
(Khairullah et al., 2004): Sudut daun : tegak sampai miring Sudut daun bendera :
bervariasi dari miring sampai datar, datar sampai merunduk. dan tegak sampai miring
Panjang daun : 33-46 cm Panjang daun bendera : 24-36 cm Lebar daun : 0,8-1,2 cm
Lebar daun bendera : 0,8-1,2 cm Sudut batang : tegak sampai miring Jumlah anakan :
7-19 anakan Anakan produktif : 7-17 anakan Bentuk lidah : bercelah Panjang lidah :
0,5-2,3 cm Gabah : tidak berekor, ramping Malai : keluar penuh (tangkai panjang)
dan kompak Beras : kecil-ramping dan jernih Tinggi tanaman : 80-125 cm Sumberdaya
Hayati Pertanian Lahan Rawa 208 Gambar 7.1. Plasma nutfah padi lokal pasang surut
yang memiliki kenggulan toleran keracunan besi, gabah lebih ramping, rasa nasi
disukai, dan harga jual relatif lebih tinggi Sebagian besar varietas yang
dikarakterisasi relatif tahan rebah, seperti varietas Bayar Palas, Pandak Putih,
Siam Unus, dan Lemo Putih. Hal ini antara lain disebabkan oleh batangnya yang cukup
besar dan kuat sehingga cukup mampu menopang pertumbuhan tanaman. Kisaran diameter
batang bawah dari varietas lokal antara 4,9-8,9 mm.
Varietas-varietas lokal yang dikarakterisasi di lapangan secara visual tidak
menampakkan adanya gejala keracunan besi. Hal ini mungkin disebabkan umur bibitnya
yang tua (sekitar empat bulan) sehingga bibit saat ditanam dalam keadaan kuat dan
besar. Di samping itu mungkin pula kondisi sawah sudah mulai turun kadar besi
terlarutnya dalam tanah sehingga bibit terhindar dari keracunan besi. Karakterisasi
(skrining) toleransi keracunan besi terhadap 130 varietas lokal yang berasal dari
lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan menunjukkan variasi
yang berbeda. Kandungan besi tanah 156 ppm Fe; sedangkan kandungan besi pada air
tanah pada awalnya tinggi Khairullah et al. 209 (0,44 me/L) kemudian menurun
seiring dengan waktu (minggu ke-13 = 0,06 me/L). Berturut-turut kandungan besi pada
air tanah.pada minggu ke- 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12. 13, dan 14 masing masing
adalah 0,44; 1.71; 0,13; 0,01; 0,008; 0,079; 0,006; 0,56; 0.34; 0,08; 0,06; dan
0,47 me/L Fe. Hasil penilaian (skoring) gejala keracunan besi (IRRI, 1996)
menunjukkan bahwa adanya variasi yang cukup besar antar umur bibit. Umur bibit satu
minggu menampakkan ketahanan yang lebih tinggi, disusul dengan umur bibit dua
minggu dan tiga minggu. Terdapat 35 varietas lokal padi yang tahan keracunan besi
pada umur bibit satu minggu, sedangkan pada umur bibit dua minggu terdapat 29
varietas yang tahan, sementara untuk umur bibit tiga minggu hanya ada 20 varietas
yang tahan (Tabel 7.2). Pengamatan per minggu (selama empat minggu) menunjukkan
bahwa respon umur bibit varietas lokal tidak konsisten terhadap keracunan besi.
Beberapa varietas lokal menunjukkan adanya upaya pemulihan/perbaikan tumbuh pada
umur tanaman yang lebih tua, tetapi pada varietas lain justru semakin tua tanaman,
gejala keracunan cenderung meningkat. Hasil analisis kadar Fe dan Zn terhadap 71
beras varietas lokal menunjukkan bahwa kandungan Fe dan Zn sangat bervariasi
(Gambar 7.2). Kandungan Fe berkisar antara 11-83 ppm. di mana kadar tersebut
dibandingkan dengan varietas unggul galur harapan maka kandungan Fe pada beras
varietas lokal tergolong cukup tinggi. Kadar Zn juga sangat bervariasi dengan
selang yang cukup lebar, yaitu berkisar antara 20-108 ppm Zn. Kadar tersebut juga
tergolang tinggi. Informasi kadar Fe dan Zn dari beras varietas lokal ini sangat
bermanfaa t bagi para pemulia yang akan merakit suatu varietas unggul dengan kadar
Fe dan Zn tinggi. Varietas unggul demikian akan membantu mengurangi asupan zat besi
dan Zn dari sumber makanan lainnya (Khairullah et al., 2003). Hasil pengujian
ketahanan terhadap hama dan penyakit pada beberapa varietas lokal, terseleksi
sebanyak 22 varietas yang memiliki ketahanan terhadap hama dan penyakit untuk dapat
dijadikan sebagai sumber genetik bagi perbaikan varietas padi di lahan rawa pasang
surut dan lebak (Tabel 7.3) (Balittra, 2001). Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan
Rawa 210 Tabel 7.2. Ketahanan varietas lokal padi rawa terhadap keracunan besi yang
diuji dalam bak plastik bertanah sulfat masam di KP Belandean, MK 2003 No. ACC
Varietas Bibit umur 1 minggu Bibit umur 2 minggu Bibit umur 3 minggu
4 Siam Halus * 5 Siam Perak * * * 6 Siam Brandal * * 7 Siam Perak Halus * * 8 Siam
Karang Dukuh Kuning * 42 Pandak * 44 Siam Pontianak Tinggi * 46 Kutut * 47 Siam
Unus Kuning * 48 Siam gumpal * 49 Siam PX * * 50 Siam Arjuna * 51 Siam Karta * * 52
Siam Randah Putih * * * 53 Pal 6 * * * 54 Pal 11 * * * 55 Lakatan * * * 56 Raden
Rata * * * 57 Kawi * * * 58 Siam Puntal * * * 59 Siam Randah Kuning * * * 60 Pirak
* * * 61 Pandak Kembang * * * 62 Palon * * * 63 Siam rata * * * 64 Bayar Palas * *
* 65 Unus Organik * * * 66 Siam Pontianak Halus * * * 67 Siam Pangling * * 68 Siam
Tanggung * 69 Unus Gampa * * 70 Adil Kuning * 71 Siam Iantik * * * 72 Selumbung * *
* 73 Bonai * * * 74 Putih Rampak * * 75 Petek * * (*) skor: 1-3 (sangat tahan
sampai tahan). Khairullah et al. 211 Gambar 7.2. Kandungan Fe dan Zn dari beras
varietas lokal padi pasang surut Tabel 7.3. Ketahanan beberapa varietas lokal padi
lahan pasang surut dan lebak terhadap hama dan penyakit Varietas lokal Ketahanan
terhadap hama dan penyakit Siam Arjan Tahan bias daun ras-002, bercak coklat Palui
Tahan wereng coklat biotipe I, agak tahan bercak coklat Lakatan Jambu Agak tahan
bercak coklat Siam Pontianak Tahan blas daun ras 002 Badagai Tahan wereng coklat
biotipe-1. agak tahan bias daun ras-002 Latur Tahan wereng coklat biotipe-1. agak
tahan blas daun ras-002 Siam unus Agak tahan blas daun ras-002 Isip Tahan wereng
coklat biotipe 1 Siam Pandak Tahan bercak coklat daun Sabat Jalan Tahan blas daun
ras-002 Siam Cinta Tahan bIas daun ras-002 Sanggul Tahan blas daun ras-002 Siam
Bamban Tahan blas daun ras-002 Sasak Jalan Agak tahan blas daun ras-002 Siam Sanah
Agak tahan blas daun ras-002
Lemo Agak tahan kekeringan Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa 212 7.2.2. Ubi-
ubian Ubi-ubian lokal yang dibudidayakan di lahan lebak Kalimantan Selatan adalah
ubi alabio (Dioscorea sp.) dan ubi jalar (Ipomoea sp). Kedua jenis ubiubi an ini
merupakan komoditas primadona dan khas bagi petani lahan lebak. Sumbangan ubi
alabio terhadap pendapatan petani di lahan rawa lebak mencapai 31,8-39,1% (SWAMPS
II, 1990; SWAMPS II, 1991). Sedangkan ubi negara dapat mencapai 60% (Galib et al.,
1994). Biasanya ubi-ubian ini ditanam petani setempat pada musim kemarau, saat air
kering. Varietas lokal ubi alabio yang ditanam petani sangat beragam jenisnya,
diantaranya ubi habang harum, ubi kesumba, ubi tongkat, ubi ketan, ubi nyiur, ub i
jawa, ubi cina, ubi putih, dan ubi habang carang (BlP, 1994). Potensi hasil ubi
putih, habang harum, dan habang carang masing-masing adalah 30,4; 22,4; dan 51,2
t/ha. Varietas putih dan habang harum lebih disukai daripada habang carang (Saleh,
1995). Karakteristik ketiga jenis ubi alabio tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.4.
Tabel 7.4. Beberapa varietas lokal ubi alabio (ubi putih, habang harum, dan habang
carang) asal lahan lebak Kalimantan Selatan Karakteristik Ubi putih Ubi habang
harum Ubi habang carang Tipe Menjalar pada turus Menjalar pada turus Menjalar pada
turus Umur panen 6 bulan 6 bulan 6 bulan Bentuk daun Jantung Jantung Jantung Wama
daun Hijau Hijau Hijau Warna tangkai daun Hijau muda keputihan Merah Merah Duduk
daun Berhadapan Berhadapan Berhadapan & berseling Warna batang Hijau Hijau Hijau
Bentuk batang Bersegi empat Bersegi empat Bersegi empat dan lima Wama kulit umbi
Coklat Coklat Coklat Warna daging umbi Putih Merah keunguan Merah keunguan Bentuk
umbi Panjang Bundar Panjang bercabang Rasa umbi Lembut Lembut agak berlendir,
beraroma yang khas Lembut agak berlendir, air rebusan berwarna merah Potensi hasil
(t/ha) 30,4 22,4 51,2 Sumber: Saleh (1995) Khairullah et al. 213 Untuk ubi jalar
terdapat empat varietas lokal yang dikelola petani di lahan lebak Kalimantan
Selatan- yaitu varietas kyai lama, kyai baru, labu, dan varieta s negara. Potensi
hasil varietas kyai lama, kyai baru, labu, dan negara, masingmas ing 7,39; 10,80;
9,60; dan 7,14 t/ha (William et al., 1995). Karakteristik keempat varietas lokal
ubi jalar tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.5. Tabel 7.5. Beberapa varietas lokal
ubi jalar (kyai lama, kyai baru, labu, dan negara) asal lahan lebak Kalimantan
Selatan Karakteristik Kyai lama Kyai baru Labu Negara Wama daun tua Hijau Hijau
Hijau Hijau Wama daun muda Hijau Hijau Hijau Ungu Warna tangkai daun atas Ungu Ungu
Hijau Ungu
Wama tangkai daun bawah Hijau Hijau Hijau Ungu Wama batang tua Hijau Hijau Hijau
Ungu Wama batang muda Hijau Hijau Hijau Ungu Bentuk batang Bulat Bulat Bulat Bulat
Bentuk daun Menjalar Menjalar Bulat Menjalar Wama umbi luar Putih Kuning Putih
Putih Warna umbi dalam Putih Kuning Jingga Kuning Rasa umbi Tawar, empuk Sedang,
liat Manis, empuk Sedang, empuk Panjang umbi (cm) 15,0 14,2 12,0 11,8 Diameter umbi
(cm) 2,76 4,43 3,87 3,55 Potensi hasil (t/ha) 7,39 10,80 9,60 7,14 Sumber : William
et al. (1995) 7.3. SUMBERDAYA HAYATI TANAMAN BUAH-BUAHAN Tanaman buah-buahan yang
telah dikumpulkan berupa mangga rawa (Kasturi, Hambuku, Kuini, Ampalam, Hambawang,
Kebembem), durian (durian Kuning, Pampakin, Lai, Lahung, Mahrawin, Si hijau), jenis
manggis (Biasa, Mundar, Liar), lengkeng liar (Ihau/Babuku Hijau dan Kuning),
rambutan (Garuda, Antalagi, Sibatuk, Timbul, Zaenal serta jenis liarnya seperti
Maritam dan Siwau) , jenis nangka (Cempedak Malinau dan Batu Mandi, Tarap, dan
Kopuan). Selain itu, diidentifikasi/dikoleksi pula buah-buahan seperti buah Kapul,
Balangkasua, Mentega, Pitanak, Gitaan Ramania, Rambai, dan Langsat. Sumberdaya
Hayati Pertanian Lahan Rawa 214 Dari tanaman yang dikumpulkan dapat disebutkan
keunggulannya antara lain: mangga rawa mempunyai kemampuan terhadap genangan lebih
dari 3 bulan (mangga lebak yaitu mangga Kasturi dan mangga Hambuku) dan terhadap
genangan harian dan kemasaman tanah yang cukup ekstrim (pH 4) (mangga kueni Anjir).
Durian pasang surut (durian Anjir) tahan terendam harian dan kemasaman tanah
ekstrim sehingga cocok digunakan sebagai batang bawah untuk pengembangan durian
kawasan pasang surut. Lai dan Pampakin merupakan jenis durian yang warna daging
buahnya kuning dan ada juga kuning kemerahan, tanpa bau menyengat yang umum pada
durian serta sangat jarang dijumpai hama-hama penggerek di daging buahnya sehingga
cocok dikembangkan sebagai bahan plasma nutfah durian untuk pengembangan durian
tanpa aroma dan tahan penggerek batang. Beberapa buah lokal seperti buah mentega
dan ramania masih belum digali potensinya terutama sebagai buah meja atau sebagai
penghasil jus atau tumbuhan obat mengingat kemungkinan kandungan vitaminnya.
Rambutan (Siwau, Maritam), gitaan (tampirik), durian Lahong, kopuan, pitanal
balangkasua, putaran, dan babuku termasuk buah langka yang perlu segera
diselamatkan dan belum banyak digali potensinya. Tanaman buah-buahan yang
dieksplorasi di lahan rawa lebak di Kalimantan Timur adalah manggis besar, sarikaya
besar, lai-lai lidung, duyan, kelidang, durian merah, jelutung, manggis hutan,
kalambuku, cempedak malinau. maritam, dan rambutan malinau. Umur tanaman ini antara
10 sampai lebih dari 50 tahun. Tanaman duyan mirip dengan durian tetapi buahnya
tidak jatuh walaupun telah matang. Isi buah akan jatuh sendiri apabila buah telah
matang, sedangkan kulit buahnya masih di pohonnya. Biasanya masyarakat setempat
mengkonsumsinya untuk dijadikan bahan sayuran. Durian merah memiliki isi buah yang
berwama merah, tetapi rasanya tidak selezat durian biasa. Manggis hutan buahnya
lebih kecil dari manggis biasa, sedangkan manggis besar buahnya jauh lebih besar
dari pada buah manggis biasa. Di lahan rawa lebak di Kalimantan Selatan telah
dieksplorasi dan dikoleksi sejumlah tanaman buah-buahan. Dikoleksi sejumlah durian
seperti Si japang, Si dodol, Si lanjung, Enam hapat, Si kerikil, Malang dewa, Si
pisang, Si lakatan, S i habuk, Si hanau, dan Si buaya guntung, dan Si itik. Selain
itu dikoleksi pula je
nisjenis rambutan, seperti: Padangin 1 dan 2, Geronggong, Pamarangan kiwa 1 dan 2,
Sungai Pimping 1 dan 2, Banyu Tajun 1, 2, dan 3, serta Duyun Baru 1 dan 2. Buah-
buahan lain yang dikoleksi Pampaken kasumba, Balangkasua, dan Mangga hambuku.
Khairullah et al. 215 Di lahan rawa pasang surut di Kalimantan Tengah diperoleh
durian Serangga, Landak, Mentega, Kuning, Tipis, Waluh, Gantang Belimbing, dan
Bainah. Selain itu juga didapatkan rambutan Antalagi, Garuda, Gula Batu, Buaya,
Timbul Batuk, Batuk Ganal, dan Dangut. Karakterisasi morfologi dilakukan terutama
untuk tanaman durian dan rambutan, mengingat tanaman ini banyak keragamannya.
Tanaman durian dan rambutan yang telah dikarakterisasi dibuat dalam database
tanaman. Ada 18 jenis durian yang dikarakterisasi, yaitu si itik, si pisang, si
kerikil malang d ewa, si Hanau, si Lakatan, Buaya Guntung, Serangga, Landak,
Mentega. Kuning, Tipis, Waluh, Gantang, Belimbing, dan Sainah. Sedangkan rambutan
ada 20 macam yang dikarakterisasi, yaitu: rambutan Padangin, Geronggong, Pamarangan
Kiwa, Sungai Pimping, Banyu Tajun, Duyun Baru, Dangut Antalagi, Garuda, Gula Batu,
Buaya, Timbul Batuk, Batuk Ganal, dan Dangut. Tinggi tanaman durian berkisar dari
20-40 m, lingkar batang 1,1-2,6 m, dan panjang daun 11-17 cm. Buah umumnya bulat
dan sebagian berlekuk, panjang buah 13-20 cm, lingkar buah 38-49 cm, dan bobot buah
0,8-1,6 kg serta tebal daging 5-13 mm. Cita rasa dari kurang manis sampai sangat
manis dengan cita alkoholik cukup dan sedang. Bobot biji antara 15-30 g/biji.
Selain durian dan rambutan diketahui pula karakteristik beberapa tanaman buah-
buahan eksotik seperti Lembutung, Manggis besar, Manggis hutan, Kalambuku,
Kelidang, dan Srikaya besar (Tabel 7.8). Manggis besar ukurannya lebih besar
daripada manggis biasa, sedangkan manggis hutan ukurannya lebih kecil dari manggis
biasa. Srikaya besar, selain ukurannya yang jauh lebih besar dari srikaya biasa
juga rasa daging buahnya agak mirip dengan sirsak. 216 Sumberdaya Hayati Pertanian
Lahan Rawa Tabel 7.6. Karakterisasi buah durian yang berasal dari lahan rawa di
Kalimantan Selatan dan Tengah, 2003 Karakteristik Itik Pisang Kerikil Malang Dewa
Hanau Lakatan Buaya Guntung Lai Duyan Tinggi tanaman (cm) 40 30 40 30 40 20 30 30
15 Tinggi cabang pertama (cm) 10 4 4 10 15 5 20 20 3 Lingkar batang (m) 2,63 2 2,35
2,27 2,63 1,12 2 2 1,35 Bentuk batang Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Membulat Bulat
Bulat Bulat Warna batang Abu-2 Abu-2 Abu-2 Abu-2 Abu-2 Abu-2 Abu-2 Abu-2 Coklat
Bentuk percabangan Mono podial Mono podial Mono podial Sim podial Mono podial Mono
podial Mono podial Mono podial Mono podial Bentuk kanopi Tdk teratur Tdk teratur
Tdk teratur Tdk teratur Membulat Tdk terat ur Bulat Bulat Tdk teratur Susunan daun
Tunggal bersirip Tunggal bersirip
Tunggal bersirip Tunggal bersirip Tunggal bersirip Tunggal bersirip Tunggal
bersirip Tunggal bersirip Tunggal bersirip Pnjang daun (cm) 14-17 12,5 17-18 14-16
1 11-13 15-17 15-17 30 Pinggir daun Rata Rata Rata Rata Rata Rata Rata Rata Rata
Bentuk ujung daun Runcing Runcing Runcing Runcing Runcing Runcing Runcing Runcin g
Runcing Warna daun Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Bentuk
buah Bundar Bundar Lonjong Above Lonjong Lonjong Above Bagian ujung buah Runcing
Tumpul Tumpul Tumpul Tumpul Tumpul Tumpul Panjang buah (cm) 18 13 19 18 20,5 19,5
16 Lingkar buah (cm) 46 38 47 49 44 43 41 Bobot buah (kg) 1,20 0,62 1,6 1,5 1,5
0,80 1,5 Jumlah juring berbiji 5 5 5 5 5 5 5 Jumlah juring tak berbiji 0 0 0 0 0 0
0 Tebal daging buah (mm) 13 5 10 10 10 10 10 217 Khairullah et al. Karakteristik
Itik Pisang Kerikil Malang Dewa Hanau Lakatan Buaya Guntung Lai Duyan Citarasa
manis Kurang manis Sangat manis Cukup manis Sangat manis Sedang Sangat manis Sedang
Cita alkoholik Sedang Sedang Sedang Cukup Sedang Sedang Sedang Bobot biji (gr) 30
10 15 25 20 10 10 Bentuk biji Lonjong Agak bulat Lonjong Lonjong Lonjong Lonjong
Lonjong Warna biji Kuning Putih Kuning Putih muda Putih Putih Putih Lanjutan Tabel
7.6 Karakteristik Serangga Landak Mentega Kuning Tipis Waluh Gantang Belimbing
Baina n Tinggi tanaman (m) 40 35 35 26 35 20 35 40 10 Tinggi cabang pertama (m) 5
10 6 13 10 15 8 10 7 Lingkar batang (m) 1,90 2,15 1,91 1,35 2.00 1.00 2,20 2,30
2,20 Bentuk batang Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Warna
batang Coklat Coklat Abu-2 Coklat Coklat Abu-abu Abu-abu kehitaman
Coklat tua Mono Bentuk percabangan Mono podial Mono podial Mono podial Sim podial
Mono podial Mono podial Mono podial Mono podial Mono podial Bentuk kanopi Tdk
teratur Tdk teratur Membulat Tidk teratur Tdk teratur Tdk tera tur Membulat
Membulat Membulat Susunan daun Tunggal bersirip Tunggal bersirip Tunggal bersirip
Tunggal bersirip Tunggal bersirip Tunggal bersirip Tunggal bersirip Tunggal
bersirip Tunggal bersirip Panjang daun (cm) 15 13,5 20 15 15 12 17 15 15 Pinggir
daun Rata Rata Rata Rata Rata Rata Rata Rata Rata Bentuk ujung daun Runcing Runcing
Runcing Runcing Runcing Runcing Runcing Runcin g Runcing Warna daun Hijau Hijau
Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau 218 Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan
Rawa Karakteristik Serangga Landak Mentega Kuning Tipis Waluh Gantang Belimbing
Baina n Bentuk buah Tdk teratur Bundar Tdk teratur Lonjong Lonjong Bulat persegi
Lonjong Tdk teratur Tdk teratur Bagian ujung buah Tumpul Tumpul Tumpul Tumpul
Runcing Tumpul Tumpul Runcing Tump ul Panjang buah (cm) 14 12 15 22 19 22 14 24 21
Lingkar buah (cm) 44 42 45 47 45 52 49 46 51 Bobot buah (kg) 0,92 0,75 1,0 1,3 1,1
1,9 1,2 1,9 1,9 Jumlah juring berbiji 5 5 5 5 5 5 5 5 5 Jumlah juring tak berbiji 0
0 0 0 0 0 0 0 0 Tebal daging buah (mm) 9 5 8 10 3 9 8 7 9 Citarasa manis Manis
Kurang manis Sedang Sedang Cukup manis Sedang Sangat manis
Manis Sedang Cita alkoholik Sangat tinggi Sangat tinggi Kurang Sedang Cukup Cukup
Tinggi Tinggi Sedang Bobot biji (gr) 13 12 15 15 16 20 20 17 16 Bentuk biji Lonjong
Agak bulat Lonjong Lonjong Lonjong Lonjong Lonjong Lonjong L onjong Warna biji
Coklat muda Coklat muda Coklat muda Kuning muda Coklat muda Coklat muda Coklat muda
Coklat muda Coklat muda 219 Khairullah et al. Tabel 7.7. Karakterisasi buah
rambutan yang berasal dari lahan rawa di Kalimanta n Selatan Karakteristik Padangin
1 Padangin 2 Geronggong Pamarangan Kiwa 1 Pamarangan Kiwa 2 Sungai Pimping 1 Sungai
Pimping 2 Banyu Tajun 1 Banyu Tajun 2 Banyu Tajun 3 Tinggi tanaman (m) 1 12 9 6.5 9
10 4 7 7,5 8 Lingkar batang (cm) 32 55 67 43 64 59 46 100 43 70 Panjang daun (cm)
11,5 11,5 13 13 10,5 7 8,5 6,5 15 12 Lebar daun (cm) 5 5 5.5 5.5 5 7.5 4.5 8 6 7
Warna buah Merah Merah Merah muda Merah Merah tua Merah Merah Merah tua Merah Merah
Berat buah (g) 25 30 20 15 20 22 20 15 13 22 Diameter buah (mm) 29 28 25 30 28 25
28 32 24 12 Panjang buah (cm) 5.2 4.5 5 4 5 4.5 4.5 4.5 5 4 Panjang rambut (mm) 17
10 15 11 15 15 15 11 13 12 Kerapatan bulu Jarang Sedang Sedang Sedang Rapat Sedang
Jarang Jarang Sedang Sed
ang Tebal daging (mm) 6 7 5 5 8 5 6 9 5 4 Tebal kulit (mm) 4 2 4 3 4 1.3 4 3 4 1,2
Panjang biji (mm) 32 23 25 25 25 24 25 25 24 18 Diameter biji (mm) 4 5 5 10 9 9 12
9 10 12 Citarasa Asam Manis sedikit asam Agak asam Agak asam Manis Manis Manis
Manis Manis sedikit asam Agak asam 220 Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa
Lanjutan Tabel 7.7 Karakteristik Duyun Baru 1 Duyun Baru 2 Antalagi Gula Batu Buaya
Timbul Batuk Ganal Garuda Batuk Dangut Tinggi tanaman (m) 30 12 5 5 8 9 10 5 5 6
Lingkar batang (cm) 30 12 5 5 8 9 10 5 5 6 Panjang daun (cm) 10 55 100 90 80 120 80
80 70 120 Lebar daun(cm) 3,4 - 4,5 3 - 4,5 8 - 9 5 - 5,5 4,3 - 4,7 7,5 - 8 9 - 9,5
5,2 - 5 ,5 4,6 - 5 5,3 - 5,5 Warna buah Merah kekuningan Merah Merah agak kuning
Merah Merah tua Merah Merah muda Merah Merah Merah Berat buah (g) 25 50 35 28 63 40
35 54 49 44 Diameter buah (mm) 28 40 15 31 40 40 35 37 33 35 Panjang buah (cm) 4
5.5 6 4.5 7 5.2 5 6.2 5.5 3.5 Panjang rambut (mm) 12 15 0.8 10 11 15 13 17 11 13
Kerapatan bulu Sedang Sedang Jarang Sedang Jarang Sedang Rapat Jarang Sedang Sed
ang Tebal daging (mm) 5 10 6 5 9 10 8 8 6 8 Tebal kulit (mm) 3 7 4 3 7 4 4 6 4 3
Panjang biji (mm) 22 28 33 26 35 30 30 33 30 33 Diameter biji (mm) 10 10 10 10 11 8
10 10 10 8 Citarasa Agak asam Sangat manis Manis Manis sedikit asam Manis agak asam
Sangat
manis Sangat manis Manis Sangat manis Manis agak asam 221 Khairullah et al. Tabel
7.8. Karakteristik beberapa sifat buah-buahan eksotik lahan rawa asal Kali mantan
Timur, 2003 Karakteristik Lembutung Manggis besar Manggis hutan Kalambuku Kelidang
Srikaya b esar Tinggi tanaman (m) 20 10 4 20 30 4 Lingkar batang (cm) 2 3 1 1.5
4.55 0.5 Lebar tajuk (m) 10 3 4 7 15 3 Bentuk daun Memanjang Jorong Lonjong Jorong
majemuk menyirip Jorong Memanjang Pangkal daun Membelah Membelah Membelah Terbelah
Runcing Runcing Lebar helaian daun (cm) 12 12 8 7 10 10 Panjang daun (cm) 30 30 20
15-20 30 15-20 Ujung daun Meruncing Meruncing Meruncing Meruncing Meruncing
Meruncing Tipe tulang daun Menyirip Menyirip Menyirip Menyirip Menyirip Menyirip
Tepi daun Rata Rata Rata Rata Rata Rata Daging daun Spt. Kertas Spt. Perkemen Spt.
Perkemen Spt. Kertas Spt. Kertas Spt. Kertas Permukaan daun Agak kasar Licin Licin
Agak kasar Licin Licin Bentuk batang Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Arah
tumbuh batang Tegak lurus Ke atas Ke atas Tegak lurus Tegak lurus Tegak lur us
Percabangan pada batang Monopodial Monopodial Monopodial Simpodial Simpodial Sim
podial Diameter buah (cm) 5 10-15 4 10-15 Panjang buah (cm) 6-8 10-15 7 15-20 Tipe
buah Carnosius Lonjong Carnosus Majemuk Warna kulit buah Merah Hitam Abu-abu Warna
daging buah Putih Putih lunak Lunak manis Rasa daging buah Manis Berair Habitat
Tanah lembab Tanah lembab Tanah lembab Tanah lembab Tanah lembab Tanah l embab
Sifat khas/keunggulan Bentuk seperti belimbing Ukuran buah lebih besar dari pada.
manggis biasa Ukuran buah lebih besar dari pada srikaya biasa Sumberdaya Hayati
Pertanian Lahan Rawa 222 7.4. SUMBERDAYA HAYATI BIOTA TANAH Sumberdaya hayati biota
tanah yang dimaksud di sini mencakup makrofauna, mesofauna, dan bakteri selulotik
tanah baik di lahan lebak maupun lahan gambut. Di lahan lebak Kalimantan Selatan,
beberapa famili makrofauna yang aktif di permukaan tanah dan di dalam tanah
adalah : Gryllidae, Lycosidae, Carabidae, Spirobolidae, Araneidae, Polydesmidae,
Formicidae, Staphylinidae,
Pyrrocoridae, Pentatomidae, Glomeridae, Thomisidae, Megascolecidae, Glosscolecidae,
dan Blatidae. Sedangkan mesofauna tanah dominan pada semua tipe penggunaan lahan
adalah Ordo Acarina, kecuali pada lahan parupuk yang didominasi oleh Ordo
Hymenoptera (Famili Formicidae) (Raihan, 2004). Populasi makrofauna yang aktif di
permukaan tanah berbeda menurut penggunaan lahan lebak dan musim. Pada musim hujan
populasi makrofauna tertinggi ditemui pada lahan waluh dan terendah pada lahan
karet. Pada musim kemarau, lahan jagung menunjukkan populasi tertinggi dan yang
terendah lahan karet (Raihan, 2004). Populasi makrofauna tanah ini lebih dominan
ditemui pada musim hujan daripada musim kemarau. Tipe penggunaan lahan sangat
mempengaruhi komposisi dan populasi makrofauna tanah. Iklim mikro (kelembaban dan
suhu tanah) serta sumber makanan merupakan faktor utama yang mempengaruhi
diversitas dan populasi makrofauna tanah (Levelle, 1994). Populasi makrofauna yang
aktif di dalam tanah pada musim hujan tertinggi dijumpai pada lahan parupuk dan
terendah pada lahan karet. Pada musim kemarau, populasi makrofauna di dalam tanah
tertinggi ditemui pada lahan jagung dan yang terendah pada lahan (Raihan, 2004).
Dominasi makrofauna ini pada musim hujan terdapat pada lahan yang ditanami padi dan
lahan parupuk, sedangkan lahan lainnya dominasinya terjadi pada musim hujan,
terutama lahan waluh/jagung. Perbedaan ini disebabkan adanya dominasi formicidae
(semut) pada lahan bekas waluh akibat adanya sisa-sisa bahan organik dari tanaman
waluh yang belum terdekomposisi. Semut dapat bertindak sebagai dekomposer bahan
organik dan meningkatkan pori makro, sehingga meningkatkan aerasi tanah (Coleman
dan Crossley, 1995). Diversitas makrofauna yang aktif di dalam tanah pada musim
hujan dan kemarau yang terendah dijumpai pada lahan terlantar, sedangkan pada musim
hujan tertinggi ditemui pada lahan parupuk. Pada musim kemarau diversitas
makrofauna di permukaan tanah tertinggi pada lahan waluh dan makrofauna di dalam
tanah tertinggi pada lahan parupuk. Tingginya diversitas makrofauna yang Khairullah
et al. 223 aktif di dalam tanah pada lahan parupuk disebabkan oleh kondisi pH
tanah, kelembaban, dan suhu tanah yang sesuai untuk mendukung aktivitas dan
kehidupan makrofauna tanah. Terdapat hubungan yang nyata antara diversitas
makrofauna yang aktif di dalam tanah dengan dengan pH tanah dan kandungan N-total
tanah. Makrofauna tanah dominan yang mempunyai hubungan dengan kualitas tanah lebak
adalah populasi cacing tanah, biomassa cacing tanah, dan populasi semut besar
(Raihan, 2004). Di lahan gambut, makrofauna tanah yang berpotensi dijadikan
bioindikator kualitas tanah gambut adalah populasi cacing, biomassa cacing,
populasi semut (Formicidae), dan milipida (Polydesmidae). Populasi makrofauna yang
aktif di permukaan dan di dalam tanah pada beberapa penggunaan lahan menunjukkan
adanya perbedaan. Makrofauna tanah yang aktif di permukaan tanah tertinggi saat
musim hujan dijumpai pada lahan hortikultura dan yang terendah pada lahan
terlantar. Pada musim kemarau populasi tertinggi di lahan karet dan yang terendah
di lahan terlantar. Populasi makrofauna yang aktif di dalam tanah baik pada musim
hujan maupun kemarau yang tertinggi pada lahan nanas dan terendah pada lahan
terlantar (Alwi et al., 2004). Perbedaan populasi ini menunjukkan adanya perbedaan
kondisi lingkungan. Di lahan nanas didominasi oleh rayap (termitidae) yang memakan
sisa-sisa tanaman yang telah mati. Rayap berperan dalam dekomposisi bahan organik,
pembentukan struktur tanah, dan ketersediaan unsur hara (Black dan Okwako, 1997).
Diversitas makrofauna tanah yang aktif di permukaan dan di dalam tanah pada musim
hujan dan kemarau tertinggi di lahan hortikultura. Hal ini karena adanya
pengelolaan lahan dengan pemberian abu, kapur, dan pupuk kandang sehingga
memperbaiki kualitas tanah sekaligus lingkungan hidup mikroorganisme tanah (Alwi et
al., 2004). Menurut Baker (1998), kelimpahan biomassa dan diversitas makrofauna
tanah dipengaruhi oleh pktek pengelolaan lahan dan penggunaan lahan. Diversitas
makrofauna yang aktif di permukaan tanah pada
musim hujan menunjukkan hubungan nyata dengan C-organik dan C/N rasio tanah,
sedangkan makrofauna di dalam tanah pada musim hujan dan kemarau menunjukkan
hubungan nyata dengan pH, C-organik, C/N rasio, dan kadar air tanah gambut.
Populasi bakteri selulotik pada lahan gambut di Kalimantan Tengah sangat beragam.
Isolasi bakteri selulotik pada tanah gambut diperoleh 28 isolat, dan du a isolat
diantaranya mempunyai kemampuan menghidrolisa selulosa yang tinggi, yaitu BarH 4,2
dan Bar5K 4,1 (Alwi et al., 2004). Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa 224 7.5.
SUMBERDAYA HAYATI PERIKANAN Lahan lebak di Kalimantan Selatan memiliki peranan
penting sebagai tempat ikan mencari makan, selain peranannya sebagai tempat
pembesaran dan pemijahan ikan. Peranan lahan lebak dalam musim hujan meningkatkan
keanekaan jenis ikan. Pada awal musim hujan ditemukan 96 jenis ikan : yang termasuk
dalam 47 famili dan 11 ordo. Diperkirakan sekurang-kurangnya ada 200-300 jenis ikan
yang terdapat di lahan lebak. Penangkapan ikan merupakan sumber ekonomi yang
penting di lahan lebak. Usaha ini merupakan pekerjaan utama bagi penduduk pada awal
musim hujan dan sebagai pekerjaan sambilan di luar musim tersebut (Chairuddin,
1989). Di tingkat nelayan di lahan rawa Kalimantan Selatan, jenis ikan digolongkan
atas ikan sungai dan ikan danau-rawa. Ikan sungai disebut ikan putih tak bersisik,
ikan putih bersisik dan ordo Ostariophysi. Umumnya jenis ika n ini termasuk
pendatang di perairan danau-rawa. Sedangkan ikan danau-rawa disebut ikan hitam,
yang umumnya termasuk dalam ardo Labyrinthici. Kepadatan relatif ikan di lahan
lebak berturut-turut dari yang tertinggi sampai rendah ada lah papuyu, haruan
(Ophiocephalus striatus), sepat siam (Trichopodus pectoralis), dan biawan
(Helestome temminckii) (Chairuddin, 1989). Kondisi hidrologi lahan lebak
memungkinkan kesinambungan rantai makanan berdasarkan proses penggenangan di awal
musim hujan dan penurunan kedalaman di musim kemarau. Pada musim kemarau Iahan
lebak menjadi kering atau pada cekungan lahan masih berair. Saat itu hanya ikan
jenis Labyrinthici yang dapat bertahan hidup. Di awal musim hujan, ikan rawa mulai
memijah, anak ikan mulai menyebar dengan sedikit gangguan dari pemangsa yang belum
memasuki perairan ini. Pada pertengahan musim hujan, banyak ikan sungai yang masuk
lebak untuk aktivitas makan dan pemijahan. Ikan putih tergolong herbivora seperti
payau, jelawat, dan kelabau (famili Cyprinidae) yang memanfaatkan ketersediaan
makanan di perairan ini ikan omnivor memperoleh organisme yang beragam dan
berlimpah. Keadaan ini dimanfaatkan pula oleh ikan carnivor untuk memangsa ikan-
ikan kecil yang mengalami pertumbuhan pesat (Chairuddin, 1989). Fluktuasi air baik
kuantitas maupun kualitas yang terlampau besar pada awal musim hujan sering
menentukan kehidupan ikan. istilah "air bangai yang dicirikan oleh kemasaman yang
tinggi, Kadar sulfat yang tinggi. Kadar oksigen Khairullah et al. 225 yang rendah,
padatan tersuspensi yang tinggi yang umumnya terjadi pada awal musim hujan, dapat
menyebabkan kematian ikan yang cukup tinggi. Pada saat itu populasi ikan sungai
menurun di perairan lebak. tetapi setelah satu atau dua bulan "air bangai yang
berwarna hitam digantikan oleh air putih . di mana banyak ikan sungai yang
bermigrasi ke perairan lebak (Chairuddin, 1989). PENUTUP Lahan rawa merupakan salah
satu ekosistem yang memiliki keanekaan hayati yang cukup tinggi dan kompleks
meliputi beragam tanaman yang
mempunyai sifat unggul, pohon komersial, ikan, dan ternak yang khas rawa. Selain
itu juga terdapat keragaman biota tanah berupa makroflora. Tanaman pangan yang
banyak terdapat di lahan rawa adalah padi varietas lokal. Selain disukai oleh
masyarakat setempat, padi lokal ini memiliki keunggul an toleran terhadap keracunan
besi dan memiliki kadar Fe dan Zn dalam beras yang cukup tinggi. Tanaman buah-
buahan in-situ di lahan rawa seperti jenis rambutan, durian, mangga, manggis,
nangka. Selain itu, terdapat pula jenis tanaman eksotik seperti lembutung,
kalambuku, kelidang, manggis besar, srikaya besa, dan durian merah (lahong).
Tanaman-tanaman ini memiliki kekhasan dan keunggulan tertentu yang merupakan sumber
genetik potensial untuk dijadikan sebagai sumber gen di dalam perakitan varietas
unggul baru. Terdapat sekitar 96 jenis ikan yang termasuk dalam 47 famili dan 11
ordo. Diperkirakan sekurang-kurangnya ada 200-300 jenis ikan yang terdapat di lahan
rawa lebak. Ikan danau-rawa alami (ikan hitam) termasuk dalam ordo Labyrinthici.
Kepadatan relatif ikan di lahan rawa lebak adalah papuyu, haruan (Ophiocephalus
striatus), sepat siam (Trichopodus pectoralis), dan biawan (Helestome temminckii).
Sumberdaya hayati biota tanah mencakup makrofauna, mesofauna, dan bakteri selulotik
tanah. Beberapa famili makrofauna yang aktif di permukaan dan di dalam tanah di
lahan rawa lebak adalah: Gryllidae, Lycosidae, Carabidae, Spirobolidae, Araneidae,
Polydesmidae, Formicidae, Staphylinidae, Pyrrocoridae, Pentatomidae, Glomeridae,
Thomisidae, Megascolecidae, Glosscolecidae, Blatidae. Mesofauna tanah dominan
adalah ordo Acarina dan Hymenoptera (Famili Formicidae). Di lahan gambut,
makrofauna tanah yang berpotensi Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa 226
dijadikan bioindikator kualitas tanah gambut adalah populasi cacing, biomassa
cacing, populasi semut (Formicidae), dan milipida (Polydesmidae). Informasi
keragaman jenis dan varietas tanaman, species ikan, dan biota tanah sangat penting
artinya baik ditinjau dari segi sumberdaya genetik maupun pemanfaatannya secara
langsung dan tidak langsung. Sifat adaptif dari beragam jenis tanaman dan ikan
dapat dijadikan sebagai sumber gen dalam perakitan varietas unggul yang baru. Ikan
selain dapat dimanfaatkan secara langsung dapat pula dijadikan sebagai salah satu
sumber genetik perikanan khas rawa. Keragaman makrofauna dapat dijadikan sebagai
bioindikator kesuburan di lahan rawa, sehingga memudahkan di dalam pengelolaan
lahan tersebut untuk berbagai komoditas unggulan. DAFTAR PUSTAKA Alwi, M., S.
Saragih, dan Y. Lestari. 2004. Komponen teknologi pengelolaan lahan terpadu untuk
meningkatkan produktivitas dan konservasi lahan gambut. Dalam Laporan Akhir TA
2004. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. BIP Banjarbaru. 1984. Mengenal ubi
alabio Liptan. Balai Informasi Pertanian. Banjarbaru. Baker, G.H. 1998. Recognising
and responding to the influences of agriculture and other land use practices on
soil fauna in Australia. App. Soil Ecol. 9:303-310. Balittra. 2001. Laporan Hasil
Penelitian. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru. Black, H.I.J. and
Okwakol. 1996. Agricultural intensification, soil biodiversity , and agroecosystem
function in tropic: the rore of termites. App.Soil Ecol. 6:3753. Chairuddin, T.
1989. Keberadaan dan konservasi lahan basah Kalimantan Selatan: peranannya sebagai
"feeding ground" dan keanekaan jenis ikan. Workshop Conservation of Sungai Negara
Wetlands. Barito Basin, South Kalimantan. Kerjasama UNLAM, Kompas Borneo, Ditjen
PHPA, dan Asian
Wetland Bureau. Banjarbaru, 6-8 March 1989. Coleman, D.C. and D.A. Crossley. 1995.
Fundamental of Soil Ecology. Academic Press. New York. Khairullah et al. 227 Galib,
R., D.I. Saderi, H.R. Itjin, M. Saleh, dan Chairuddin. 1994. Analisis sis tem
komoditas ubi jalar, ubi alabio dan ubi negara, dan perbaikan teknologi
budidayanya. Dalam. Laporan Hasil Penelitian Proyek Penelitian Tanaman Pallgan
Banjarbaru. Balittan Banjarbaru. Hlm 131-359. Idak, H. 1982. Perkembangan dan
sejarah persawahan di Kalimantan Selatan. Pemda Tk. I Kalimantan Selatan.
Banjarmasin. Hlm 40. IRRI. 1996. Standard evaluation system for rice. Int. Ric.
Test. Prog. Int. Ric. Res. Ins. Manila, Philippines. Khairullah, I., M. Imberan,
dan S. Subowo. 1998. Adaptabilitas dan akseptabilita s varietas padi di lahan rawa
pasang surut Kalimantan Selatan. Kalimantan Scientiae 47:38-50. Khairullah, I.,
Mawardi, S. Sulaiman, dan M. Sarwani. 2003. Inventarisasi dan karakterisasi plasma
nutfah tanaman pangan di lahan rawa. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian
Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru. Khairullah, I., R. Humairie, M. Imberan, S.
Subowo, dan S. Sulaiman. 2004, Varietas lokal padi pasang surut Kalimantan Selatan:
karakterisasi dan pemanfaatan. Dalam. Astanto, et al. (Eds.). Prosiding Lokakarya
Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI) VII. Dukungan Pemuliaan terhadap
Industri Perbenihan pada Era Pertanian Kompetitif. PERIPI-Balai Penelitian Tanaman
Kacang-kacangan dan Ubi-ubian. Malang. Lavelle, P. 1994. Sil fauna and sustainable
land use in the humid tropics. In D. J. Greenland and I. Szaboles (Eds.). Soil
resiliense and sustainable land use. CAB. International, OXON.. Raihan, S. 2004.
Penelitian komponen teknologi pengelolaan lahan terpadu untuk optimalisasi dan
peningkatan produktivitas lahan lebak. Dalam Laporan Akhir TA 2004. Balai
Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru. Saleh, M. 1995. Kinerja beberapa
varietas lokal ubi alabio di lahan rawa lebak Kalimantan Selatan. Dalam M.Y.
Maamun, Masganti, Mukhlis, R. Galib, dan Sjachrani A (Eds.). Aspek Teknologi
Budidaya dan Sosial Ekonomi Ubi-ubian di Kalimantan Se!atan. Balai Penelitian
Tanaman Pangan Banjarbaru. Sastrapraja, S.D. dan M.A. Rifai. 1989. Mengenal sumber
pangan nabati dan plasma nutfahnya. Komisi Pelestarian Plasma Nutfah
NasionalPuslitbangtan Bioteknologi-LIPI Bogor. Sulaiman, S., M. Imberan, dan I.K.
Muhammad. 2000. Galur harapan padi pasang surut hasil persilangan Siam unus dengan
varietas unggul. Dalam: T. Alihamsyah, M. Sabran, S. Sulaiman, R. Ramli, A.
Hartono, dan D. Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa 228 Djauhari (Eds.).
Prosiding Hasil-hasil Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Palangkaraya. Palangkaraya. Sumarno. 1994. Strategi
pengelolaan plasma nutfah nasional. Makalah pada Pelatihan Pengelolaan Plasma
Nutfah Pertanian. BLPP Ketindan-Balittan Malang. SWAMPS-II. 1990. Laporan tahunan
1988/89. Proyek Pengembangan Lahan Pasang Surut dan Rawa. Badan Litbang Pertanian.
SWAMPS-II. 1991. Laporan tahunan 1989/99. Proyek Pengembangan Lahan
Pasang Surut dan Rawa. Badan Litbang Pertanian. William, E., M. Imberan, dan I.
Khairullah. 1995. Identifikasi klon; klon lokal ubi jalar di Kalimantan Selatan.
Dalam. M.Y. Maamun, Masganti, Mukhlis, R. Galib, dan Sjachrani A. (Eds.). Aspek
Teknologi Budidaya dan Sosial Ekonomi Ubi-ubian di Kalimantan Selatan. Balai
Penelitian Tanaman Pangan Banjarbaru. 229 VIII KONSERVASI DAN REHABILITASI LAHAN
RAWA Abdurachman Adimihardja, Kasdi Subagyono, dan M. Al-Jabri Konservasi dan
Rehabilitasi Lahan Rawa 230 8.1. PENGERTIAN Pada umumnya lahan pertanian di
Indonesia, baik lahan sawah, lahan kering maupun lahan rawa selalu mengalami proses
degradasi dengan intensitas yang berlainan, yang disebabkan oleh perlakuan manusia
dan faktor alam. Proses yang destruktif tersebut mengakibatkan penurunan kualitas
tanah dan tingkat produktivitas lahan. Apabila dibiarkan terus berlanjut,
produktivitasnya akan menurun terus, sehingga mencapai tingkat yang sangat rendah
atau tidak produktif sama sekali. Oleh karena itu, perlu dilakukan pencegahan
melalui penerapan tindakan konservasi tanah dan air, serta rehabilitasi lahan, yang
seharusnya merupakan bagian dari usaha budidaya pertanian. Konservasi diartikan
sebagai tindakan pencegahan terhadap terjadinya proses degradasi lahan pertanian.
Sedangkan rehabilitasi merupakan upaya meningkatkan kembali produktivitas lahan
yang sebelumnya telah mengalami degradasi. Apabila dibandingkan dengan lahan sawah
maupun lahan kering, lahan rawa lebih memerlukan upaya konservasi, dan kehati-
hatian dalam mengelolanya. Menurut Widjaja-Adhi et al. (1992), lahan rawa tergolong
ekosistem yang tidak saja marginal tetapi juga fragil, sehingga untuk menjadikannya
produktif diperlukan perencanaan yang teliti, pemanfatan dan penerapan teknologi
yang sesuai, serta pengelolaan tanah dan air yang tepat. Pengelolaan lahan
pertanian rawa yang salah di berbagai lokasi di Kalimantan dan Sumatera, telah
mengakibatkan perubahan karakteristik tanah, dan menurunkan produktivitasnya,
bahkan sebagian menjadi tidak produktif sama sekali. Lahan yang telah mengalami
degradasi berat, biasanya sulit sekali direhabilitasi dan memerlukan biaya tinggi.
Untuk menilai apakah degradasi lahan sudah mencapai suatu batas yang merugikan,
telah ditetapkan kriteria kerusakan beberapa sifat tanah, seperti tercantum pada
Tabel 8.1 (Peraturan Pemerintah No. 150, tahun 2000). Agar kondisi lahan tidak
lebih rendah dari batas ambangnya, maka penggunaan lahan rawa seyogyanya mengikuti
pola yang teratur. Dalam kondisi belum terganggu, pada dasarnya di antara sungai-
sungai alami di kawasan rawa pasang surut dijumpai lahan dengan gambut sangat
dalam. Dari tengah ke arah sungai-sungai alami dijumpai gambut dangkal, tanah
sulfat masam potensial, dan lahan-lahan yang terpengaruh oleh luapan sungai.
Variabilitas tanah ini berimplikasi pada pola penggunaannya yang juga bervariasi
tergantung pada hidrotopografi. Abdurachman et al. 231 Tabel 8.1. Kriteria
kerusakan tanah untuk lahan rawa No. Sifat dasar tanah Ambang kritis Metode ukur
Peralatan 1 Subsidensi gambut dari atas parit
> 35 cm / 5 tahun Pengukuran langsung Patok subsidensi 2 Kedalaman lapisan berpirit
dari permukaan tanah < 25 cm, pH H202 < 2,5 Reaksi oksidasi & pengukuran langsung
Cepuk plastik H2O2, pH meter, meteran 3 Kedalaman air tanah dangkal > 25 cm
Pengukuran langsung Meteran 4 Redoks untuk tanah bergambut (mV) > 100 Tegangan
listrik pH meter, elektroda platina 5 Redoks untuk gambut (mV) > 200 Tegangan
listrik pH meter.elektroda platina 6 pH (H2O) 1: 2,5 < 4,0 ; > 7,0 Potensiometrik
pH meter, pH stik 7 Daya hantar listrik (DHL) > 4,0 mS/cm Tahanan listrik EC meter
8 Jumlah mikroba < 100 cfu/g tanah Plating technique Petridish, colony counter
Sumber: PP No. 150, 2000 8.2. DEGRADASI LAHAN Berdasarkan kondisi hidrologinya,
lahan rawa dapat dibedakan menjadi lahan rawa pasang surut dan non pasang surut
yang disebut juga lahan rawa lebak. Lahan rawa pasang surut lebih sensitif terhadap
proses degradasi dibandingkan dengan lahan rawa lebak, karena pada lahan tersebut
dijumpai tanah-tanah bermasalah, yaitu tanah sulfat masam dan tanah gambut.
Kemasaman, keracunan (toxicity), penurunan permukaan tanah (subsidence), gambut
kering tak balik (irreversible drying effect), kualitas air yang buruk merupakan
masalah-masalah utama yang akan muncul jika salah dalam mengelola lahan rawa pasang
surut. Sedangkan pada lahan rawa lebak hampir tidak dijumpai proses degradasi
tersebut. Ada 2 prinsip dasar yang harus dipertimbangkan di dalam pengelolaan lahan
rawa, yaitu (a) apakah lahan rawa akan direklamasi secara total (total reclaimed),
atau (b) hanya direklamasi sebagian (minimum disturbance). Kedua prinsip tersebut
perlu ditetapkan sebelum memutuskan untuk mengelola lahan Konservasi dan
Rehabilitasi Lahan Rawa 232 rawa, baik untuk pertanian, pemukiman transmigran
maupun untuk penggunaan yang lainnya. Strategi yang akan dikembangkan di dalam
mengelola lahan rawa berbeda antara kedua prinsip tersebut. Widjaja-Adhi (1997)
mengemukakan beberapa faktor penyebab degradasi pada lahan rawa, antara lain (a)
reklamasi lahan dengan membangun saluran drainase dalam dimensi besar, yang
memungkinkan drainase berlebihan (over drain) yang mengakibatkan pirit teroksidasi
dan gambut mengering tak balik
(irreversible drying effect), (b) penerapan sistem pemanfaatan lahan yang tidak
memperhatikan tipologi lahan dan tipe luapan, (c) pembakaran gambut yang berakibat
pada munculnya tanah sulfat masam yang umumnya berada di bawahnya. Di Indonesia,
seluas 20,1 juta ha lahan rawa pasang surut telah direklamasi untuk pertanian yang
dimulai sejak Repelita I tahun 1969. Kondisi lahan setelah reklamasi menjadi rusak
karena proses pemasaman tanah. Pembukaan lahan untuk menunjang program transmigrasi
dilaksanakan dengan membangun jaringan irigasi/drainase dalam dimensi besar.
Penggalian saluran dalam ukuran besar tersebut mengakibatkan tereksposnya lapisan
pirit (FeS2) hingga teroksidasi, dan tanah menjadi masam. Pengalaman-pengalaman di
dalam mengkonservasi, mereklamasi, dan merehabilitasi lahan rawa pasang surut
dilakukan melalui berbagai proyek seperti P4S, P3S, LAWOO-AARD, SWAMPS I dan II,
ISDP, dan SUP serta kegiatan-kegiatan penelitian yang dilaksanakan oleh Proyek
Pengelolaan Sumberdaya Lahan Balai Penelitian Tanah akan diuraikan dan
didiskusikan. Analisis kebijakan disertakan sebagai implikasi pengelolaan lahan
rawa pasang surut dan dampaknya terhadap lingkungan. 8.2.1. Degradasi lahan sulfat
masam Tanah sulfat masam berkembang dari bahan induk besi sulfida yang kaya
kandungan besi dan sulfur (FeS). Pirit terakumulasi pada tanah tergenang yang kaya
kandungan bahan organik dan mendapat tambahan sulfur yang umumnya dari air laut
(Dent, 1986). Pembentukan pirit digambarkan dengan reaksi sebagai berikut : Fe2O3 +
4 SO4 2- + 8 CH2O + O2 .. 2 FeS2 + 8 HCO3 - + 4 H2O...... (1) Abdurachman et al.
233 Pembentukan pirit membutuhkan sumber unsur besi (dari sedimen), unsur sulfur
(umumnya dari air laut), bakteri pereduksi (telah ada di hampir seluruh kawasan
pantai), sumber energi (bahan organik dari bakau), dan pada kondisi pasang surut
(Van Mensvoort, 1996). Tanah sulfat masam terbentuk oleh oksidasi bahan sulfidik
dimana konsentrasi asam sulfat yang dihasilkan dari oksidasi senyawa sulfur
tersebut melebihi konsentrasi basa-basa yang mempunyai kemampuan menetralisir
kemasaman dan pH menurun di bawah 4 (Pons dan van Breemen, 1982). Degradasi pada
lahan sulfat masam umumnya didominasi oleh (a) proses pemasaman tanah dan air
sebagai akibat dari oksidasi pirit, dan (b) pencucian basa-basa sebagai dampak dari
pencucian asam. Pemasaman yang terjadi dapat dibedakan menjadi dua yaitu, (a)
pemasaman in-situ, dan (b) pemasaman akibat aliran air. a. Pemasaman in-situ Pada
kondisi tereduksi (saat tergenang air), pirit dapat dipertahankan stabil. Tetapi
pada saat permukaan air bawah permukaan (groundwater) menurun hingga melebihi
kedalaman lapisan pirit, pirit akan teroksidasi dan tana h menjadi masam. Kondisi
ini bisa terjadi pada saat reklamasi dijalankan dengan menggali saluran-saluran
irigasi/drainase berdimensi besar, seperti saluran primer, sekunder, dan tersier.
Pirit teroksidasi menghasilkan asam sulfat dengan tahapan reaksi sebagai berikut :
FeS2(s) + 7/2 O2 (aq,g) + H2O .. Fe2+ (aq) + 2 SO4 2(aq) + 2 H+ .................
(2) Fe2+ (aq) + 1/4 O2 (aq,g) + H+ .. Fe3+ (aq) +
H2O....................................(3)
FeS2(s) + 14 Fe3+ (aq) + 8 H2O .. 15 Fe2+ (aq) + 16 H+ (aq) + 2SO4 2(aq) .....(4)
Fe2+ (aq) + 1/4O2(aq,g) + 3/2H2O .. FeO.OH(s) + 2 H+............................(5)
Meskipun besi III oksida merupakan hasil reaksi, jarosite umumnya terbentuk lebih
awal, dengan reaksi sebagai berikut (Van Breemen, 1972) : FeS2+15O2+5/2H2O+.
K+ .. . KFe3(SO4)2(OH)6+4/3SO4 2-+3H+ ......(6) Konservasi dan Rehabilitasi Lahan
Rawa 234 Jarosite stabil pada kondisi teroksidasi dan masam, yaitu pada nilai
redoks potensial > 400-500 mV dengan pH 2-4. Jika konsentrasi asam sulfat (H2SO4)
yang terbentuk pada reaksi (4) melebihi kapasitas penyangga (buffering capacity)
tanah, pH tanah akan menurun kurang dari 4. Pemasaman akibat oksidasi pirit
merupakan proses degradasi yang berakibat pada penurunan produktivitas lahan. Pada
kondisi pH kurang dari 4, aluminium akan terlarut dalam larutan tanah yang akan
mencapai konsentrasi yang meracuni tanaman (Moorman dan Van Breemen, 1978). Dent
(1986) mereview beberapa penelitian sebelumnya mengenai masalah-masalah yang akan
muncul jika tanah sulfat masam dikelola untuk tanaman lahan kering, yaitu kelarutan
aluminium (Al3+), besi III (Fe3+), mangan (Mn2+), dan ion hidrogen (H+ ) meningkat,
ketersediaan fosfat menurun akibat terbentuknya aluminium-fosfat yang tidak larut,
basa-basa tertukar menjadi menurun, dan terjadi defisiensi har a. Pada kondisi
tergenang, misalnya jika tanah sulfat masam dikelola untuk padi sawah atau kolam
ikan, kemasaman bisa dikurangi, tetapi akan muncul permasalahan baru, yaitu
keracunan besi II (Fe2+), keracunan hidrogen sulfida (H2S), dan keracunan CO2 dan
asam-asam organik jika bahan organik tinggi. Keracunan besi pada lahan sawah
berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan tanaman padi (Gambar 8.1). Pada musim
kering, tanah-tanah di daerah rawa pasang surut secara fisik mengalami retakan
(cracking) tergantung dari tipe mineral liat tanahnya. Meskipun tidak semua tanah
sulfat masam didominasi mineral liat tipe 2:1 (smectite), tetapi jika proporsinya
cukup tinggi maka pada kondisi kering tanah mudah menjadi retak, dan pada kondisi
tergenang pada saat musim hujan tanah mengembang. Retakan-retakan di permukaan (top
soil) ini bisa mengakibatkan masuknya oksigen ke dalam lapisan tanah yang lebih
dalam, dan pirit akan teroksidasi. Menurut Hanhart dan Duong van Ni (1993), proses
pemasaman dapat disebabkan oleh 3 proses, yaitu (a) difusi, (b) retakan (cracking),
dan (c ) pencucian (leaching) asam-asam dari saluran-saluran air. Pengaruh ketiga
proses tersebut terhadap proses pemasaman tanah diilustrasikan pada Gambar 8.2.
Abdurachman et al. 235 Gambar 8.1. Keracunan besi pada lahan sawah di kawasan lahan
pasang surut bertanah sulfat masam Gambar 8.2. Pengaruh proses difusi, retakan
(cracking) dan pencucian (leaching) terhadap pemasaman pada tanah sulfat masam
(Sumber: Hanhart dan Duong van Ni, 1993) Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa
236 b. Pemasaman akibat aliran air Selain proses in-situ sebagaimana dijelaskan
sebelumnya, proses pemasaman di suatu tempat di kawasan lahan rawa pasang surut
bertanah sulfat masam atau gambut dapat disebabkan oleh aliran air masam yang
berasal dari tempat-tempat yang telah mengalami pemasaman. Salah satu contoh proses
pemasaman yang disebabkan oleh aliran air yang berasal dari hutan sekunder yang
telah mengalami pemasaman akibat reklamasi dan aktivitas manusia di dalam hutan
tersebut dijumpai di Unit Tatas, Kalimantan Tengah (Kselik et al., 1993). Pengaruh
buruk dari aliran air masam tersebut dapat ditanggulangi dengan membangun saluran
drainase intersepsi (interceptor drained) antara hutan sekunder dengan lahan yang
dikelola (Gambar 8.3). Saluran drainase intersepsi sangat nyata pengaruhnya dalam
memperbaiki kualitas air di lahan pertanian (Gambar 8.3). Konsentrasi sulfat (SO4
2-) pada lahan di dekat hutan sekunder jauh lebih tinggi dibandingkan dengan lahan
yang dikelola untuk padi sawah. Demikian juga hal yang sama dijumpai untuk
konsentrasi besi II (Fe2+). Sebaliknya pH meningkat ke arah menjauh dari hutan
sekunder. Hal ini karena aliran air yang masam dengan konsentrasi SO4 2- dan Fe2+
yang tinggi dari hutan sekunder terhalang oleh saluran drainase intersepsi. Air
dari hutan sekunder yang masuk ke saluran drainase tersebut selanjutnya dibuang
pada saat air surut. Saluran drainase intersepsi yang diaplikasikan di Unit Tatas,
Kalimantan Tengah berdimensi lebar 1 m dan dalam 1 m dengan panjang yang mengikuti
lebar petakan lahan sawah. Meskipun kemasaman yang timbul bisa dinetralisir dengan
pemanfaatan kapur (Charoenchamratcheep et al., 1982; Ponnamperuma dan Solivas,
1982; Moctar Toure, 1982; Smilde, 1990), tetapi kebutuhan kapur tergolong tinggi
terutama jika kandungan pirit di dalam tanah masih tinggi (Dent, 1986). Pencucian
(flushing) sebagai salah satu strategi pengelolaan air tidak hanya mengurangi
kemasaman, tetapi berdampak pada tercucinya basa-basa yang diperlukan untuk
pertumbuhan dan produksi tanaman. Dari penelitiannya di Unit Tatas, Kalimantan
Tengah pada tanah sulfat masam aktual dengan tipe luapan B dengan menerapkan sistem
aliran satu arah untuk pencucian, Subagyono et al. (1994) menemukan bahwa selain
mencuci, asam Ca2+ dan Mg2+ juga ikut tercuci. Hal ini terbukti bahwa kandungan
Ca2+ dan Mg2+ di dalam tanah pada lahan yang dicuci lebih rendah dari pada lahan
yang digenangi (Gambar 8.4). Tanpa introduksi kapur sebagai sumber Ca2+ dan Mg2+,
tanah akan mengalami defisiensi unsur hara tersebut. Abdurachman et al. 237 Gambar
8.3. Aliran air masam bawah tanah dari hutan sekunder ke lahan pertanian dan
pengaruh saluran drainase intersepsi dengan modifikasi (interceptor drain) (Sumber:
Kselik et al., 1993) Musim kemarau Musim hujan Lahan pertanian Hutan Zona dengan
oksidasi pirit intensif, kemasaman, dan keracunan Tinggi muka air tanah Aliran air
masam dan unsur beracun dari hutan ke saluran sekunder melalui lahan pertanian
Aliran air masam dan unsur beracun ke saluran drainase
intersepsi Saluran drainase intersepsi, ke saluran sekunder Saluran drainase
intersepsi Musim hujan Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa 238 Gambar 8.4.
Dampak negatif pencucian terhadap konsentrasi basa-basa pada kedalaman tanah 0-20
cm yang berpotensi sebagai penyebab degradasi lahan dengan modifikasi (Sumber:
Subagyono et al., 1994) 8.2.2. Degradasi lahan gambut Lahan gambut adalah lahan
rawa yang mempunyai lapisan gambut pada berbagai ketebalan (Widjaja-Adhi, 1988) :
(a) gambut dangkal (50-100 cm), (b) gambut sedang (100-200 cm), (c) gambut dalam
(200-300 cm), dan (d) gambut sangat dalam (> 300 cm). Sedangkan lahan dengan
ketebalan gambut < 50 cm disebut lahan bergambut. Menurut Widjaja-Adhi et al.
(1992), gambut dalam sering disebut lahan tidak layak huni, oleh karena itu lahan
gambut yang direkomendasikan untuk program transmigrasi hanya yang ketebalannya <
200 cm. Hal ini didasarkan pada pengalaman selama program Proyek Pembukaan
Persawahan Pasang Surut (P4S), petani transmigran pada lahan dengan gambut 0 0.5 1
1.5 2 2.5 3 3.5 Fe2+ Ca2+ Mg2+ Konsentrasi (me/100 g) Penggenangan Pencucian Fe2+
Ca2+ Mg2+ Abdurachman et al. 239 dalam, sebagian besar meninggalkan lahannya.
Gambut dalam memang tidak cocok untuk sawah (Widjaja-Adhi, 1988), karena tingginya
perkolasi dan rendahnya daya topang (low bearing capacity). Namun petani-petani di
Riau dapat mengusahakan kebun, terutama kelapa dan membangun rumah mereka di lahan
gambut. Secara umum gambut mempunyai berat isi (bulk density) yang rendah, berkisar
antara 0,05-0,25 g/cm3, dan gambut yang telah direklamasi akan lebih padat dengan
berat isi berkisar antara 0,1-0,4 g/cm3. Berat isi ini meningkat, sejalan dengan
bertambahnya kandungan mineral atau semakin halusnya ukuran partikel, sesuai dengan
tingkat pelapukan gambut (Bouman dan Driessen, 1985). Berat isi dapat dijadikan
indikasi kepadatan tanah, sekaligus merupakan indikasi daya topang gambut terhadap
beban di atasnya, seperti tanaman, bangunan irigasi, jalan, dan mesin-mesin
pertanian. Sesuai dengan tingkat pelapukannya gambut dengan pelapukan rendah
(fibric) mempunyai porositas lebih tinggi dari 95%. Gambut dengan pelapukan lanjut
(sapric) memiliki porositas yang lebih rendah, tetapi masih lebih tinggi dari 80%.
Gambut dengan tingkat pelapukan menengah mempunyai porositas di antara kedua nilai
tersebut. Proses dominan yang menyebabkan degradasi pada lahan gambut adalah
penurunan muka tanah (subsidence). Gambut akan mengalami penyusutan volume bila
didrainase.
Akibatnya lahan ini mengalami penurunan permukaan (subsidence), yang tidak dapat
dikembalikan seperti permukaan semula. Sifat ini lebih dikenal dengan irreversible
drying effect. Selain itu gambut mempunyai kemampuan menahan beban yang relatif
rendah. Menurut Bouman dan Driessen (1985), gambut mempunyai ketahanan penetrasi
antara 0-40 kPa, jauh lebih rendah dari tanah-tanah mineral yang mempunyai
ketahanan penetrasi bervariasi yaitu 10, 100 atau 1.000 kPa. Ketahanan penetrasi
yang rendah ini sangat menyulitkan dalam mekanisasi pertanian. Ketahan geser (shear
strength) pada tanah gambut dengan batangbatang kayu yang belum terdekomposisi
umumnya sangat rendah. Nilainya berkisar antara 5-20 kPa. Gambut dengan campuran
liat (peaty clay) mempunyai ketahanan geser antara 50-120 kPa (Bouman dan Driessen,
1985). Pada umumnya gambut mempunyai permeabilitas yang relatif cepat.
Permeabilitas horizontal (lateral permeability) lebih cepat dibanding vertikal. Hal
ini harus diperhatikan dalam upaya pengaturan sistem pengelolaan air, baik pada
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa 240 tingkat tersier maupun tata air mikro.
Beberapa masalah telah dikemukakan oleh Segeren dan Smith (1980) sehubungan dengan
drainase lahan gambut. Gambut mempunyai pori-pori yang cukup tinggi dengan
kandungan air yang sangat tinggi, karena kemampuannya menahan air yang tinggi dan
dengan koefisien konsolidasi yang rendah. Bila lahan gambut dikeringkan (drained),
tekanan efekti f gambut meningkat. Berat isi gambut pada saat dikeringkan mencapai
1,59 g/cm3, dan menjadi sangat rendah yaitu 0,59 g/cm3 bila tergenang air. Setelah
lahan ini dikeringkan, tekanan efektif meningkat sesuai dengan persamaan berikut:
(1,590,59)/0,59 x 100% = 169%. Untuk tanah mineral peningkatan ini hanya mencapai
60%. Akibat lain yang timbul apabila lahan gambut dikeringkan adalah terjadinya
oksidasi, yang mengakibatkan CO2 dan H2O berkurang atau hilang. Penurunan muka
tanah (subsidence) disebabkan oleh 3 proses utama, yaitu (a) hilangnya vegetasi
pada lahan gambut, (b) drainase, dan (c) pengurangan bahan-bahan penyusun gambut
secara fisik, kimia dan biologi. Drainase pada lahan gambut mempunyai empat
pengaruh utama, dan tiga yang pertama berhubungan dengan penurunan permukaan : 1.
Pengerutan (shrinkage) di lapisan tanah atas. Tingkat pengerutan tergantung pada
ketebalan gambut, iklim dan kondisi drainase. Pengerutan ini mengakibatkan
terbentuknya retakan yang akan mempercepat permeabilitas tanah. 2. Oksidasi bahan
organik. Kecepatan oksidasi tergantung pada iklim, penggunaan lahan, kedalaman muka
air tanah, dan kandungan bahan organik. 3. Tekanan pada lapisan di bawah air tanah.
Besarnya tekanan tergantung pada ketebalan lapisan tersebut, kompresibilitas, dan
kedalaman muka air tanah setelah didrainase. 4. Pengeringan tak balik (irreversible
drying). Penyusutan volume gambut akibat hilangnya volume besar air bisa mencapai
kurang lebih 80%. Bila diairi atau digenangi gambut yang telah menyusut ini tidak
dapat kembali pada volume semula. Penurunan permukaan gambut sangat bervariasi
tergantung pada berat isi dan berat jenis partikel gambut, kedalaman gambut,
kedalaman saluran drainase dan periode drainase (Bouman dan Driessen, 1985). Pada
Gambar 8.5 dan 8.6 diilustrasikan penurunan muka tanah pada lahan gambut tropika.
Abdurachman et al. 241 Gambar 8.5. Total subsidence terhitung (St) pada lahan
gambut tropika dalam hubungannya dengan berat isi dan kerapatan partikel (particle
density) dengan modifikasi (Sumber: Bouman dan Driessen, 1985) Gambar 8.6. Total
subsidence terhitung (St) pada lahan gambut tropika dalam hubungannya dengan
kedalaman awal saluran drainase dengan modifikasi (Sumber: Bouman dan Driessen,
1985) Waktu (tahun) Total subsidence terhitung (St) Waktu (tahun) Total subsidence
terhitung (St) Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa 242 Umumnya tanah gambut
sangat masam, pH 3-4,5 dan kandungan bahan organik < 5%. Fraksi organik tanah
gambut mengandung lignin, selulosa, hemiselulosa, dan protein, tannin, resin dalam
jumlah yang relatif sedikit. Kandungan abu, K2O, P2O5, dan SiO2 pada tanah lapisan
atas menurun setelah deforestasi, tetapi CaO dan MgO cenderung meningkat. Kandungan
nitrogen tanah gambut berkisar antara 2.000-4.000 kg/ha pada kedalaman 0-20 cm,
tetapi hanya sebagian kecil yang tersedia bagi tanaman (Driessen dan Dudal, 1989).
8.3. TEKNOLOGI KONSERVASI Konservasi lahan rawa mencakup kegiatan perlindungan,
pengawetan dan peningkatan fungsi dan manfaat. Oleh karena itu, berdasarkan
fungsinya lahan rawa dibedakan menjadi tiga kawasan, yaitu (1) kawasan lindung, (2)
kawasan pengawetan, dan (3) kawasan reklamasi untuk peningkatan fungsi dan manfaat.
Kawasan lindung dan pengawetan disebut juga kawasan non-reklamasi atau non-budidya,
sedangkan kawasan reklamasi disebut juga kawasan budidaya. Pengelolaan lahan rawa
menjaga keseimbangan antara kawasan budidaya dan non-budidaya serta kelestarian
sumberdaya alam rawa (Widjaja-Adhi, 1997). 8.3.1. Kawasan non reklamasi Kawasan non
reklamasi adalah lahan-lahan yang relatif belum terganggu oleh tindakan manusia,
terdiri atas lahan gambut sangat dalam (> 3 m) dengan vegetasi alami. Menurut
Widjaja-Adhi (1997), lahan tersebut dapat dijadikan kawasan konservasi dengan
berbagai tujuan, antara lain : (a) sebagai kawasan tampung hujan, (b) sebagai
kawasan untuk perlindungan hewan dan tanaman langka, dan (c) untuk keperluan
penelitian masa depan yang melibatkan ekosistem gambut di lahan rawa pasang surut.
Kawasan tampung hujan merupakan daerah penyangga yang berfungsi sebagai penampung
dan pendistribusian air untuk keperluan irigasi di musim kemarau untuk sawah-sawah
di sekelilingnya. Hutan suaka alam praktis bisa dikembangkan di kawasan ini, karena
umumnya masih memiliki vegetasi alami dan sebagai tempat hewan-hewan langka hidup
dan berkembang biak. Abdurachman et al. 243 Di bawah lapisan gambut umumnya adalah
tanah sulfat masam potensial, yaitu tanah sulfat masam yang belum mengalami
pemasaman karena terpeliharanya kondisi reduksi. Konservasi lahan gambut sekaligus
menghindari munculnya tanah sulfat masam di permukaan, dan menghindari degradasi
lahan akibat pemasaman tanah. 8.3.2. Kawasan reklamasi Lahan-lahan di kawasan ini
umumnya telah mengalami degradasi yang sebagian besar disebabkan oleh proses
pemasaman. Penyebab lain dari penurunan produktivitas lahan di kawasan ini antara
lain adalah penurunan permukaan tanah (subsidence), genangan (water logging),
polusi lingkungan perairan oleh asam-asam organik dan anorganik serta unsur beracun
seperti besi (Fe2+), dan keracunan (toxicity) oleh unsur bersifat racun bagi
tanaman. Untuk tidak terjadi proses degradasi yang berkelanjutan, maka lahan-lahan
di kawasan ini perlu tindakan konservasi. Kawasan ini dicirikan dengan telah
dibangunnya jaringan irigasi/drainase. Untuk lahan dengan tanah sulfat masam,
mempertahankan tinggi muka air di atas lapisan pirit merupakan strategi yang bisa
dilakukan untuk mempertahankan
tanah dalam kondisi tereduksi dan mencegah terjadinya pemasaman akibat oksidasi
pirit. Pengelolaan air sekaligus dapat difungsikan sebagai tindakan konservasi
tanah. Untuk menghindari kerusakan lahan yang berkelanjutan, sistem pengelolaan
lahan harus didasarkan pada tipologi lahan dan tipe luapan. Pada dasarnya sawah
merupakan alternatif yang sangat memungkinkan untuk mempertahankan tanah dalam
kondisi tergenang dan reduktif. Namun demikian, bervariasinya tipologi lahan pada
setiap kawasan dengan tipe luapan yang berbeda berimplikasi pada pola pengelolaan
yang berbeda. Widjaja-Adhi et al. (1992) mengetengahkan alternatif sistem
pengelolaan rawa pasang surut berdasarkan tipologi lahan dan tipe luapan (Tabel
8.2). Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa 244 Tabel 8.2. Sistem pengelolaan
lahan rawa pasang surut Tipe luapan/Penggunaan lahan Tipologi lahan A B C D Lahan
potensial Lahan sulfat masam Lahan bergambut Gambut dangkal Lahan gambut dalam
Sawah+kbb1 Sawah+kbb Sawah+kbb Sawah+kbb1 Sawah+kbb1 skp3 Sawah+kbb Surjan
Sawah/surjan Sawah/skp Gogo-sawah/ Surjan4 Lahan kering, tan. tahunan, kelapa sawit
Lahan kering, tan. tahunan, karet Lahan kering, hortikultura Lahan kering,
hortikultura, Kelapa, kelapa sawit Keterangan : 1 kbb = kedelai budidaya basah, 2
menggunakan pintu tabat (stop log ) di saluran tersier, 3 skp = surjan kredit
dimulai dengan puntukan, 4 10-15 cm lapisan gambut dicampu r dengan tanah mineral
di bawahnya Sumber : Widjaja-Adhi et al. (1992) 8.4. REHABILITASI LAHAN RAWA Lahan
rawa yang telah terdegradasi dan menurun produktivitasnya perlu direhabilitasi
terlebih dahulu, agar usaha pertanian menjadi lebih efisien dan menguntungkan.
Pengalaman menunjukkan bahwa pengelolaan air memegang peranan penting dalam
keberhasilan rehabilitasi dan pengelolaan lahan rawa (Kselik, 1990; Sevenhuysen,
1990; Widjaja-Adhi et al., 1990; Ritzema et al., 1993; Mansur et al., 1995; Hanhart
dan Duong van Ni, 1993; Subagyono et al., 1997; Kselik et al., 1993; Subagyono et
al., 1998). Peningkatan produktivitas lahan dan produksi tanaman akan lebih tinggi
jika pengelolaan air ini
dikombinasikan dengan pengelolaan tanah melalui pengapuran (liming), pemupukan dan
pemberian bahan amelioran. 8.4.1. Pengelolaan air Pengelolaan air berperan sangat
penting di dalam rehabilitasi lahan rawa pasang surut bertanah sulfat masam dan
gambut. Selama hampir 2 dasa warsa terakhir (1985-2001), penelitian-penelitian
pengelolaan air yang dilaksanakan oleh berbagai proyek seperti Proyek SWAMPS II,
Proyek kerjasama antara Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Land and
Water Research Abdurachman et al. 245 Group (LAWOO) Belanda, Proyek Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu atau Integrated Swamp Development Project
(ISDP), Proyek Lahan gambut Sejuta Hektar (PLG) maupun Proyek Penelitian Sumberdaya
Lahan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat telah menghasilkan komponen teknologi
utama pengelolaan air yang meliputi (a) sistem aliran satu arah (onewa y flow
system), (b) sistem drainase dangkal intensif, (c) sistem drainase intersepsi
(interceptor drain), (d) sistem drainase berkala (intermittent drain) , (e) irigasi
dengan air pasang dan pencucian, dan (f) sistem tabat. a. Konsep dasar Untuk
meningkatkan produktivitas lahan rawa pasang surut, pengelolaan air memegang
peranan sangat penting. Pada lahan rawa pasang surut bertanah gambut, konservasi
air merupakan upaya penting selain upaya drainase lahan. Pengelolaan air dilakukan
dengan memperhatikan kedalaman gambut, tingkat pelapukan gambut, lapisan bawah
gambut (substratum), ada tidaknya bahan pengkayaan, dan tipe luapan pasang surut.
Kawasan konservasi sebagai kawasan tampung hujan dialokasikan di bagian hulu sungai
rawa (Widjaja-Adhi et al., 1992). Sementara itu, untuk menanggulangi, mengurangi,
dan menghilangkan kemasaman serta untuk meningkatkan hasil komoditas yang
dibudidayakan di lahan sulfat masam, pengelolaan air didasarkan pada tipologi lahan
pasang surut dan tipe luapan. Tipologi lahan sulfat masam potensial dengan tipe
luapan A, tipologi lahan sulfat masam aktual dengan tipe luapan B, C, D (Ritzema et
al., 1993). Berdasarkan kemampuan arus pasang mencapai daratan, maka tipe luapan
pada lahan rawa pasang surut dibedakan menjadi 4 macam tipe luapan (Kselik, 1990;
Widjaja-Adhi et al., 1992). Tipe A : Lahan yang selalu terluapi air pasang, baik
pada saat pasang maksimum (spring tide) maupun pasang minimum (neap tide). Tipe B :
Lahan yang terluapi air pasang pada saat pasang besar. Tipe C : Lahan yang tidak
pernah terluapi air pasang, tetapi air pasang berpengaruh pada air tanah dan
kedalaman muka air tanah kurang dari 50 cm. Tipe D : Lahan yang tidak pernah
terluapi air pasang, tetapi air pasang berpengaruh pada air tanah dan kedalaman
muka air tanah lebih dari 50 cm. Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa 246 Gambar
8.7. Tipe luapan air pada lahan rawa pasang surut (Sumber : Widjaja-Adhi et al.,
1992) Klasifikasi tipe luapan ini didasarkan pada pasang maksimum dan minimum pada
saat musim hujan (Gambar 8.7). Untuk musim kemarau, kemampuan arus pasang mencapai
daratan berkurang, sehingga perlu perancangan teknik pengelolaan air harus
disesuaikan. b. Strategi pengelolaan air Strategi pengelolaan air didasarkan pada
tipologi lahan dan tipe luapan. Masing-masing tipologi lahan mempunyai sifat dan
karakteristik yang berbeda, sehingga strategi pengelolaan airnya perlu dibedakan.
Strategi pengelolaan air
secara spesifik dibedakan menjadi 2, yaitu (a) pengelolaan air di tingkat tersie r,
dan (b) pengelolaan air mikro di lahan petani. Keduanya harus sinergis dengan
sistem irigasi/drainase di tingkat makro (primer dan sekunder) yang telah dibangun.
Beberapa sistem irigasi/drainase yang telah dibangun sejak Pelita I tahun 1969,
antara lain adalah sistem garpu (fork system) atau disebut juga sistem kolam (kolam
system), sistem anjir dan handil dan kombinasinya yang dijumpai di Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Tengah. Sistem sisir tunggal (single comb system) dan ganda
(couple comb system), kombinasi sistem garpu dan sistem sisir dan sistem tangga
dijumpai di Sumatera Selatan. Sistem anjir dan handil adalah dua sistem drainase
khas penduduk Banjar yang merupakan teknologi lokal. Abdurachman et al. 247
Pengelolaan air di tingkat tersier Pengelolaan air di tingkat tersier menjembatani
pengelolaan air makro dan mikro. Pengalaman di kawasan pasang surut Delta Pulau
Petak, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa degradasi lahan
akibat pemasaman tanah terjadi setelah saluran-saluran dengan dimensi besar
dibangun. Beberapa tahun setelah reklamasi, hasil padi menurun disebabkan oleh
keracunan (Roesle et al., tidak dipublikasi). Oleh karena itu, penggalian saluran
hendaknya disesuaikan dengan kedalaman lapisan pirit (pada tanah sulfat masam) dan
kemungkinan subsidence pada tanah gambut. Sebagaimana dijumpai di Delta Pulau
Petak, pengelolaan air di tingkat tersier dilaksanakan diantara 2 saluran tersier,
dengan jarak antara saluran tersier 150 m, 200 m, dan 400 m, mengikuti jarak
saluran tersier dari sistem drainase garpu (fork system) yang telah ada. Untuk
menerapkan sistem pengelolaan air yang sesuai dengan masalah di masing-masing
lokasi, maka di saluran-saluran tersier dipasang pintu-pintu otomatis (flapgate)
atau pintu tabat (stoplog), tergantung strategi pengelolaan air yang diterapkan.
Untuk menerapkan pencucian, maka di saluran-saluran tersier dipasang pintu-pintu
otomatis yang berbeda arah untuk menciptakan sistem aliran satu arah (one-way flow
system), sehingga tercipta saluran tersier sebaga i saluran irigasi dan sebagai
saluran drainase. Lahan tipe luapan A Prinsip dasar pengelolaan air pada tipologi
ini adalah menanggulangi terjadinya proses pemasaman tanah. Banjir sering menjadi
kendala pada lahan dengan tipe luapan ini. Oleh karena itu, pengelolaan air
dirancang untuk menanggulangi bahaya banjir (Ritzema et al., 1993). Pada musim
kemarau panjang, salinitas menjadi masalah yang lebih menonjol dibandingkan dengan
kemasaman, sehingga strategi pengelolaan air diarahkan untuk menanggulangi masalah
tersebut. Untuk mencegah terjadinya pemasaman tanah, tinggi muka air harus
dipertahankan di atas lapisan pirit. Pada lahan ini, lapisan pirit terletak pada
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa 248 kedalaman kurang dari 50 cm. Pembuatan
saluran irigasi/drainase harus memperhatikan kedalaman lapisan tersebut. Bila
kedalaman saluran harus digali melebihi lapisan pirit, tinggi muka air di saluran
harus dipertahankan di atas lapisan tersebut dengan pintu tabat (stoplog).
Pengelolaan tanah minimum (minimum disturbance) harus dijadikan prinsip dasar agar
lahan tetap lestari dan aman. Pembuatan tanggul-tanggul dan penggunaan pompa air
merupakan alternatif pengelolaan air untuk mengatasi bahaya banjir dan masalah
drainase
lahan. Tinggi tanggul harus di atas tinggi luapan maksimum yang mungkin terjadi.
Pemompaan dilaksanakan jika perbedaan gradien potensial antara lahan dengan saluran
dan sungai tidak memungkinkan untuk dilakukan drainase secara gravitasi.
Perancangan pompa hendaknya memanfaatkan sumberdaya yang ada seperti angin sebagai
tenaga, dengan terlebih dulu merancang baling-baling atau kincir angin. Dalam
kondisi belum didrainase, mempertahankan air di atas lapisan pirit tidak menjadi
masalah karena lahan ini selalu terluapi arus pasang. Namun bila sistem drainase
telah dibangun, penurunan muka air harus dikontrol dengan merancang dimensi saluran
drainase yang tepat. Untuk mencegah masuknya air pasang yang bergaram, pemasangan
pintu-pintu otomatis (flapgate) di saluran tersier sangat dianjurkan. Montoroi et
al. (1993) merancang teknik pengelolaan air untuk mengurangi salinitas di lahan
sawah dengan strategi (a) mencuci garam pada awal musim hujan, (b) mempertahankan
tinggi muka air optimal di lahan sawah selama musim hujan, (c) menghindari genangan
air di bagian cekungan lahan, dan (d) membuka pintu dam jika beda tinggi muka air
di upstream dan downstream mencapai sekurang-kurangnya 4 cm. Pengaruh teknik
pengelolaan air tersebut terhadap salinitas disajikan pada Gambar 8.8. Rancangan
pintu ini sangat bervariasi menurut kondisinya. Bila saluran tersier digunakan
untuk sarana transportasi, seperti dijumpai di daerah Tabunganen, Kalimantan
Selatan, maka pintu air tersebut harus bisa membuka dan menutup ke samping. Bila
tidak digunakan untuk transportasi, pintu tersebut dirancang untuk bisa membuka dan
menutup ke atas dan ke bawah. Rancangan pintu ini sangat efektif bila bisa
berfungsi secara otomatis. Abdurachman et al. 249 Gambar 8.8. Pengaruh pengelolaan
air terhadap daya hantar listrik (DHL) pada tanah sulfat masam di Djiguinoum,
Senegal (Sumber: Montoroi et al.,1993) Lahan tipe luapan B Kemasaman pada tanah
lapisan atas dan terbatasnya air untuk pencucian merupakan kendala di dalam
penerapan teknik pengelolaan air di lahan ini. Tanah sulfat masam aktual umumnya
dijumpai di lahan ini, dicirikan oleh reaksi tanah masam dan munculnya keracunan
besi (Fe2+) dan aluminium (Al3+) pada tanaman. Untuk mengurangi bahaya kemasaman
dan unsur bersifat racun, pencucian dengan sistem aliran satu arah (Gambar 8.9)
bisa diterapkan. pengalaman penelitian di Unit Tatas, Kalimantan Tengah menunjukkan
bahwa kualitas tanah dan hasil tanaman padi dapat diperbaiki (Tabel 8.3) dengan
menggunakan sistem tersebut (Subagyono et al., 1997). Pemanfaatan arus pasang
dengan sistem aliran satu arah mampu merubah konsentrasi Fe2+ di dalam tanah dari
konsentrasi awal 2,8 me/kg (akhir DHL (dS/M) Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa
250 MK 1988) menjadi 0,2 me/kg (awal MK 1992). Konsentrasi Al3+ menurun, dari
konsentrasi awal 37,1 me/kg menjadi 17,0 me/kg (Subagyono et al., 1992). Namun
demikian konsentrasi kedua unsur tersebut berfluktuasi dari musim ke musim (Gambar
8.10). Selain pengaruh pencucian dengan sistem aliran satu arah, fluktuasi
konsentrasi tersebut juga sangat ditentukan oleh kondisi iklim d an hidrologi
terhadap proses oksidasi dan reduksi di dalam tanah. Pada kondisi tergenang terjadi
reduksi besi feri (Fe3+) menjadi besi fero (Fe2+), sehingga konsentrasi Fe2+
terlarut meningkat. Gambar 8.9. Sistem aliran satu arah (one-way flow system) untuk
lahan tipe B dan bertanah sulfat masam aktual (Sumber : Subagyono et al., 1997)
Pintu klep (pemasukan) Pintu klep (pemasukan) Saluran tersier Saluran primer Pintu
klep (pembuangan) Saluran sekunder Saluran kuarter Pintu klep (pembuangan)
Abdurachman et al. 251 Gambar 8.10. Perubahan konsentrasi Fe2+ di dalam tanah oleh
pengaruh penerapan sistem aliran satu arah pada tanah Sulfic Hydraquent dengan tipe
luapan B di Unit Tatas, Kalimantan Tengah dengan modifikasi (Sumber : Subagyono et
al.,1992) Tabel 8.3. Pengaruh pencucian dengan sistem aliran satu arah terhadap
kualitas tanah dan hasil padi pada tanah Sulfic Hydraquent dengan tipe luapan B di
Unit Tatas, Kalimantan Tengah Sifat kimia tanah Pencucian Penggenangan KTP
(cmol/kg) KTA (cmol/kg) Bahan organik (%) pH H2O DHL (S/cm) Fe2+ (me/kg) Al3+
(me/kg) Hasil padi IR-42 (t/ha) 26,00 44,00 11,12 3,68 84,00 17,94 23,89 3,53 36,00
45,00 9,28 3,42 98,00 16,98 25,46 2,61 KTP : Kemasaman Total Potensial; KTA :
Kemasaman Total Aktual; DHL : Daya Hantar Listrik Sumber : Subagyono et al. (1994)
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 0 I II III IV V VI VII VIII Musim Tanam (1988-1992)
Fe2+ (me/kg)
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa 252 Lahan tipe luapan C Pada umumnya lahan
yang telah direklamasi akan kehilangan lapisan gambut yang berada di atas tanah
mineral, yang berpotensi munculnya tanah sulfat masam. Lahan ini terpengaruh arus
pasang secara tidak langsung melalui fluktuasi tinggi muka air tanah. Air pasang
tidak mampu meluapi permukaan lahan, hanya berfluktuasi di saluran-saluran tersier.
Lahan di kawasan pasang surut tipe C didominasi tanah sulfat masam aktual dengan
tingkat kerusakan akibat kemasaman cukup tinggi. Keracunan besi dan aluminium
umumnya lebih parah dibandingkan dengan tanah-tanah di lahan tipe luapan B. Sebagai
contoh dijumpai di Barambai-1 (Sulfic Hydraquent dengan tipe luapan C). Vadari et
al. (1990) melaporkan bahwa tanah tersebut sangat masam sampai masam (pH 3,67-
5,24), dan kandungan Al3+ mencapai 33,49 me/kg. Pengendalian air dilakukan pada
saluran-saluran tersier, yakni dengan mempertahankan muka air yang cukup tinggi di
lahan yang dibudidayakan. Oleh karena itu, pada saluran tersier dipasang pintu
tabat (stoplog) yang ditujukan untuk mencapai tinggi muka air di atas rata-rata
lapisan pirit (Gambar 8.11). Menurut Ritzema et al., (1993), perbaikan sistem
drainase dapat dilakukan pada tingkat sekunder dan primer untuk membuang air yang
masam pada awal musim hujan. Dari hasil penelitiannya di Karang Agung I, Mansur et
al. (1995) melaporkan bahwa produksi padi pada lahan yang dicuci dengan air pasang
dan didrainase sedalam 60 cm mencapai 2,6 t/ha, dan hasil padi meningkat hingga 4,3
t/ha jika pengelolaan air dengan cara pencucian ini dikombinasikan dengan
pencampuran gambut pada tanah lapisan atas. Lahan tipe luapan D Lahan ini dijumpai
pada bagian hulu sungai rawa dan bila belum terganggu masih ditemukan gambut tebal
yang pada umumnya masih berupa hutan primer. Untuk sumber air bagi kawasan di
sekelilingnya, maka lahan ini harus dikonservasi untuk dijadikan kawasan tampung
hujan. Arus pasang surut praktis tidak banyak mempengaruhi hidrologi di kawasan
ini. Umumnya tanah sulfat masam di lahan tipologi ini tertutup oleh gambut. Daerah
Sakalagun, Kalimantan Tengah adalah salah satu contoh yang mempunyai tipologi lahan
seperti ini. Menurut Ritzema et al., (1993), pencucian Abdurachman et al. 253 tidak
dapat dilakukan dengan menggunakan arus pasang, karena posisinya yang cukup tinggi
dari pada luapan maksimum arus pasang. Jika daerah-daerah tersebut sudah tidak
tertutup oleh gambut karena gambutnya telah habis, maka perlu tindakan konservasi
untuk melestarikan sumberdaya alam gambut. Gambar 8.11. Sistem tabat untuk
mempertahankan tinggi muka air di atas lapisan pirit pada lahan tipe C dan bertanah
sulfat masam aktual (Sumber : Subagyono et al., 1997) Kawasan dengan kubah gambut
ini menjadi sumber air bagi daerah sekelilingnya, karena kawasan ini mampu
menyangga air hujan dan air akan mengalir secara gravitasi. Daerah ini menjadi
sumber air irigasi untuk kawasan budidaya di sekelilingnya. Pengelolaan air
dirancang dengan menggunakan sumberdaya air dari kubah gambut tersebut. Pembuatan
embung penampung air dari daerah tangkapan akan membantu distribusi air secara
terkontrol. Bila prinsip-prinsip pengelolaan air tersebut diterapkan, maka lahan
tipe ini bisa Pintu tabat Pintu tabat Saluran primer Saluran keliling Pintu tabat
Saluran primer Saluran sekunder Saluran tengah Saluran cacing
Saluran kuarter Pintu tabat Pintu tabat Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa 254
disawahkan. Namun, drainase diperlukan untuk mengurangi genangan pada saat musim
hujan. 8.4.2. Pengapuran (liming) Salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk
rehabilitasi lahan sulfat masam aktual (SMA) di daerah rawa pasang surut adalah
kapur. Kapur sebagai bahan pembenah tanah sangat beralasan untuk diberikan pada
tanah SMA untuk padi sawah selama penggenangan tanah belum dapat menaikkan pH tanah
di atas 4,25-4,50. Sesuai dengan tingkat sensivitas dari beberapa tanaman pangan
terhadap kemasaman tanah dari yang paling tahan sampai sangat sensitif, maka padi
sangat tahan terhadap kemasaman tanah, kemudian diikuti jagung dan kedele. Tanaman
pangan dapat tumbuh di tanah SMA setelah tanahnya diberi kapur, sehinga pH tanah
disekitar akar > 4,25-4,50 untuk padi, > pH 4,50-5,00 untuk jagung, dan > 5,00-5,50
untuk kedele. Konsep pengapuran yang mencapai puluhan sampai ratusan ton per ha
untuk tanaman pangan hendaknya ditinggalkan, kemudian perlu diteliti lebih lanjut
mengingat keberadaan mineral liat 2:1 (smektit) yang telah rusak sebagaimana
dicirikan bentuk difraksi sinarX liat 2:1 yang cembung. Kebutuhan kapur (KK) tanah
SMA yang ditetapkan berdasarkan 100% kali nilai Al-dd KCl 1 N menghasilkan
ekuivalen takaran kapur yang berlebihan atau overestimasi. Al-Jabri (2002a)
memperoleh bahwa KK untuk padi pada tanah SMA sekitar < 3 t/ha, jika KK ditetapkan
berdasarkan Al-dd dengan KCl 0,25 N. Sebaliknya, jika KK tanah SMA Belawang
ditetapkan berdasarkan Al-dd dengan KCl 1 N maka takarannya dapat mencapai 14-15
t/ha. KK yang tinggi tersebut disebabkan Al yang semula dalam bentuk tidak dapat
ditukar dalam struktur mineral liat 2:1 yang telah rusak oleh oksidasi pirit tur ut
terekstrak oleh KCl 1 N. KK berdasarkan 100% nilai Al-dd KCl 1 N tidak akurat,
sebab keberadaan liat 2:1 yang rusak mensuplai Al tidak hanya dalam bentuk tidak
dapat ditukar, tetapi juga Al dapat ditukar (Al-Jabri et al., 2000b). Fakta-fakta
diperoleh bahwa KK berdasarkan 100% kali nilai Al-dd 1 N KCl terlalu tinggi
ditunjukkan oleh hasil penelitian berikut: (1) KK optimum untuk jagung varietas
Arjuna 1,50 t/ha, atau setara 24% nilai Al-dd 1 N KCl ( nilai Al -dd tanah SMA di
Tri Mulyo 6,36 cmol/kg) dan 2,71 t/ha, atau setara 38% nilai Al-dd 1 N KCl (nilai
Al-dd tanah SMA di Harapan Makmur 6.98 cmol/kg) (Al-Jabri et al., Abdurachman et
al. 255 2000a). Takaran kapur 1,50 dan 2,71 t/ha tersebut berdasarkan turunan
pertama dari persamaan kuadratiknya. Takaran kapur berdasar turunan pertama dari
persamaan kuadratik ternyata lebih rendah dari nilai Al-dd dengan KCl 0.25 N (Tabel
8.4). Sehubungan dengan KK ekuivalen dari 100% nilai Al-dd KCl 0,25 N sedikit lebih
tinggi, maka larutan garam KCl masih perlu diencerkan dengan normalitas < 0,25 N.
Tabel 8.4. Nilai pH dan Al-dd dengan penetapan KCl 0; 0,25; 0,50; dan 1,00 N untuk
tanah SMA Trimulyo dan Harapan Makmur, Jambi Al-dd Lokasi pH-H2O KCl 0 N KCl 0,25 N
KCl 0,50 N KCl 1,0 N ................................
cmol/kg ................................. Trimulyo
Harapan Makmur 3,9 3,6 0,25 0,34 2,44 3,26 2,93 4,20 4,18 4,43 Demikian juga,
pertumbuhan tanaman padi varietas IR-64 di rumah kaca dengan menggunakan tanah SMA
dari Harapan Jaya (Rengat, Riau) dan Pamusiran (Jambi), tanpa perlakuan kapur
hampir sama baiknya dibandingkan dengan yang dikapur. Sebaliknya, jika menggunakan
contoh tanah SMA dari Rantau Rasau (Jambi) dan Basarang (Kalteng), maka pertumbuhan
tanaman padi tanpa perlakuan kapur lebih jelek dari perlakuan kapur (Tabel 8.5).
Tabel 8.5. Pengaruh kapur terhadap bobot gabah kering giling padi varietas IR64
Lokasi Perlakuan Harapan Jaya (Riau) Pamusiran (Jambi) R. Rasau (Jambi) Basarang
(Kalteng) t/ha 0 kg CaCO3 + 111 kg P alam 12.000 kg CaCO3 + 111 kg P alam 4,731
4,669 - - 0,030 4,627 0 kg CaCO3 + 111 kg P alam 3.000 kg CaCO3 + 111 kg P alam -
5,990 6,506 - 0 kg CaCO3 + 111 kg P alam 6.000 kg CaCO3 + 111 kg P alam - - 1,502
3,947 Sumber : Al-Jabri et al. (2000b) Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa 256
Faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan respons tanaman pada tanah SMA terhadap
kapur tersebut antara lain varietas padi, banyak sedikitnya smektit , kedalaman
pirit, oksidasi pirit sudah berlangsung sempurna atau belum. Berdasarkan difraksi
sinar-X, persentase smektit (liat 2:1) dan kaolinit (liat 1 :1) dari tanah SMA
Pamusiran masing-masing 18 dan 70%, sedangkan liat 2:1 dan liat 1:1 dari tanah SMA
Basarang masing-masing 47 dan 42% (Tabel 8.6). Tabel 8.6. Pengaruh keberadaan liat
2:1 (smektit) dan liat 1:1 terhadap kebutuhan kapur (KK) berdasarkan metode
inkubasi dan 100% kali ekuivalen nilai Al-dd KCl 1,00 N t/ha untuk tanaman padi
pada tanah
SMA Kebutuhan kapur (K) Jenis liat Asal tanah Inkubasi dengan H2O* Al-dd KCl 1 N**
2:1 (smektit) 1:1 (kaolinit) Pamusiran (Jambi) 0 t/ha 6,35 cmol/kg 18 % 70 %
Basarang (Kalteng) 7,99 t/ha 9,22 cmol/kg 47 % 42 % Keterangan: * = KK berdasarkan
inkubasi dengan H2O selama 2 minggu menunjukkan bahwa pH tanah tanpa perlakuan
kapur adalah 4,50, sehingga padi pada tanah SMA Pamusiran tidak respons terhadap
kapur (Tabel 8.5); **KK berdasarkan 100% kali n ilai Aldd KCl 1 N untuk tanah SMA
Pamusiran = 6,35 t/ha dan untuk tanah SMA Basarang = 9,22 t/ha Sumber : Al-Jabri et
al. (2000b) Fakta ini memperkuat hipotesis bahwa metode pengukuran KK ekuivalen
100% kali nilai Al-dd KCl 1 N tidak berlaku umum untuk semua tanah SMA, sebab garam
KCl 1 N terlalu kuat. Formulasi model adalah cara lain untuk menetapkan KK yang
lebih realistik. Penetapan KK secara tidak langsung dengan formulasi model sudah
digunakan sejak lama, tetapi tidak berlaku umum. Penetapan KK dengan formulasi
model spesifik lokasi dengan tipologi lahan SMA untuk tanaman padi telah diperoleh
(Al-Jabri, 2002b). Pada awalnya formulasi model dibangun dengan mengukur kemasaman
tanah secara langsung terhadap respons tanaman. Kemudian, takaran KK diestimasi
dari sifat-sifat tanah yang dianggap paling berpengaruh tanpa harus mengukur
kemasaman tanah secara langsung. Abdurachman et al. 257 Beberapa formulasi model KK
yang pernah dikembangkan, antara lain: (1) KK = 0,11[% liat + (5 x % bahan
organik)] (Joret et al., 1990); (2) KK = [pH 6,5 0pH tanah] x % bahan organik untuk
tanah-tanah dengan Al-dd rendah (Keeny dan Corey , 1963); (3) KK = faktor. [Al-dd -
% kejenuhan Al . (KTK efektif)] unt uk kedelai yang ditanam pada tanah Ultisols di
Sitiung (Sumatera Barat) yang didominasi mineral liat 1:1 (Wade et al., 1987).
Formulasi model KK bersifat kondisional dapat digunakan untuk menentukan takaran
kapur, sebab aktivitas komponen-komponen kemasaman tersebut sangat kompleks dan
interaksinya dalam keadaan yang sebenarnya sangat sulit dideteksi. Formulasi model
dalam bentuk persamaan regresi linear, dimana KK-inkubasi = fungsi Al-dd dengan KCl
yang dimodifikasi dengan normalitas garam KCl diencerkan < 1 N. Beberapa keuntungan
penggunaan formulasi model, antara lain: (1) tidak hanya menjelaskan fakta-fakta
yang teramati, tetapi juga meramal kejadian-kejadian yang pada saat itu tidak
teramati, (2) mengatasi masalah ketidak akuratan data yang terukur, (3) menjelaskan
bahwa dua atau lebih elemen pembentuk sistem saling berhubungan, sebab pada
dasarnya suatu sistem terdiri atas peubahpeubah yang saling tergantung satu sama
lain dan bekerja sama dalam menjelaskan sekumpulan fakta untuk mencapai suatu
tujuan (Gaspersz, 1991). Formulasi model dapat dikatakan tidak mantap jika nilai
dugaan dari parameter memiliki ragam yang besar maka harus dimodifikasi, sehingga
teori dapat menjawab masalah dengan lebih tepat dan benar. Peramalan KK dari data
aktual laboratorium sebaiknya divalidasi dengan nilai aktual produksi tanaman,
sebab data peubah bebas dan peubah tidak bebas bersifat kondisional. Oleh karena
itu, pada waktu mengkonstruksinya harus dilakukan dengan cermat (Hasibuan, 1988).
Informasi yang harus diketahui sehubungan dengan KK, maka dipastikan dahulu bahwa %
kejenuhan Ca terhadap KTK < 25% (Haby et al., 1990). Jika pH
tanah SMA < 4,00 dengan % kejenuhan Ca < 25% dipastikan tanaman padi perlu kapur.
Meskipun % kejenuhan Ca ditingkatkan > 25% dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman,
tetapi KK disesuaikan dengan batas pH terendah dimana tanaman padi dapat tumbuh.
Sesuai dengan McLean et al. (1983), bahwa pH tanah berkorelasi lebih baik terhadap
hasil dari pada % kejenuhan basa. Jadi, ji ka padi akan ditanam pada tanah SMA maka
% kejenuhan Ca diatas 25% dan pH tanah terendah 4,50. Telah dilaporkan oleh
Liebhardt (1981) dan Sholeh et al. (2001), bahwa kation-kation basa tidak
signifikan terhadap peningkatan hasil. Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa 258
8.4.3. Pemupukan Tanaman padi yang dikembangkan di daerah pasang surut yang
didominasi oleh tanah sulfat masam setelah pirit teroksidasi (pH tanah = 3,0)
setelah musim tanam kedua tidak mau tumbuh. Kemudian lahan dibiarkan terlantar dan
ditumbuhi tanaman semak dan menjadikannya sebagai lahan bongkor. Lahan bongkor
tersebut bertipologi lahan SMA atau gambut tidak produktif. Meskipun demikian,
produktivitas lahan bongkor tersebut sangat rendah, tetapi dapat diperbaiki dengan
pemberian pupuk hara makro primer (N, P, dan K), hara sekundair (Ca) dan hara mikro
(Cu dan Zn). Jumlah pupuk yang diberikan dapat ditentukan melalui analisis tanah
secara preskriptif. Tanaman padi varietas IR-42 yang ditanam pada tanah SMA di
Karang Agung Ulu (Sumsel) dengan perlakuan 1,50 ton kapur dan 140 kg P/ha (700 kg
TSP/ha) untuk mencapai 100% kebutuhan P eksternal (P larutan 0,02 ppm P)
menghasilkan gabah kering giling (GKG) tertinggi sebanyak 8,67 t/ha (Tabel 8.7).
Perlu diinga t bahwa tanaman tidak respons terhadap pupuk P jika pH tanah < 3,00.
Oleh karena itu, pH tanah harus diketahui dahulu sebelum pupuk P diberikan. Jadi,
jik a pH tanah berkisar antara 4,25-4,50, maka kapur tidak harus diberikan. Tabel
8.7. Pengaruh pupuk P dan kapur terhadap persentase gabah hampa dan hasil GKG di
Karang Agung Ulu, MH 1996/97 Perlakuan Persentase gabah hampa Hasil GKG % t/ha 0
ton kapur + 0 kg TSP/ha 1,50 ton kapur + 0 kg TSP/ha 1,50 ton kapur + 175 kg TSP/ha
1,50 ton kapur + 350 kg TSP/ha 1,50 ton kapur + 770 kg TSP/ha 30,97 c* 25,25 bc
21,99 b 15,47 a 14,70 a 4,32 a 6,99 b 7,63 bc 8,35 cd 8,67 d * Angka-angka pada
kolom sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda pa da taraf nyata DMRT
0,05 Sumber : Sri Ratmini et al. (2000) Tanaman kedelai dapat ditanam pada tanah
SMA di Basarang (Kalteng) pada akhir musim hujan dengan perlakuan 8 ton kapur/ha
dan 100 kg P/ha (500 kg TSP/ha) menghasilkan biji tertinggi sebanyak 2,12 t/ha
(Tabel 8.8).
Abdurachman et al. 259 Tabel 8.8. Rata-rata hasil biji kedelai pada perlakuan
rehabilitasi dengan pupuk P dan kapur di Basarang (Kalteng) Perlakuan Bobot biji
kedelai t/ha 0 ton kapur/ha + 0 kg TSP/ha 8 ton kapur/ha + 0 kg TSP/ha 8 ton
kapur/ha + 250 kg TSP/ha 8 ton kapur/ha + 500 kg TSP/ha 8 ton kapur/ha + 750 kg
TSP/ha 0,28 a* 1,93 b 1,98 b 2,12 b 2,11 b * Angka-angka pada kolom sama yang
diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda pa da taraf nyata DMRT 0,05 Sumber :
Aribawa et al. (1997) Kebutuhan kapur yang tinggi (8 ton kapur/ha) masih bersifat
mencari-cari, karena metode penetapannya bukan metode untuk tanah dari daerah rawa,
sehingga tidak dapat disamakan dengan tanah mineral masam berasal dari daerah rawa
pasang surut. Kebutuhan pupuk P dapat ditentukan melalui pendekatan kurva erapan P
jika batas kritis P larutan untuk suatu jenis tanaman telah diketahui (Fox dan
Kamprath, 1970). Meskipun sampai saat ini hanya batas kritis P larutan untuk padi
saja yang baru diketahui pada tanah mineral masam adalah 0,015 ppm P (Al-Jabri et
al., 1997), tetapi untuk tanah SMA tidak jauh berbeda. Batas kritis P larutan untuk
tanaman pangan lainnya (jagung dan kedele) yang ditanam pada lahan rawa yang
didominasi tanah mineral dan gambut belum didokumentasikan. Lahan gambut dangkal
tebal 50-100 cm (G-1), gambut sedang tebal 100200 cm (G-2), dan gambut dalam tebal
200-300 cm (G-3) yang berupa lahan bongkor sangat beralasan untuk direhabilitasi,
dan ditanami berbagai jenis komoditas tanaman sesuai dengan kesesuaian lahannya.
Meskipun setiap tipologi lahan gambut tersebut berbeda, tetapi pada umumnya lahan
gambut dihadapkan pada kendala-kendala sifat fisik, kimia, dan biologi (Widjaja-
Adhi, 1988). Kendala sifat fisik tanah gambut antara lain subsidence jika
didrainase, mengering tidak balik dan mudah tererosi, permeabilitas horizontal
tinggi. Kendala sifat kimia tanah gambut antara lain pH dan kejenuhan basa sangat
rendah, rasio C/N tinggi, status hara P, K, Ca, Mg, Cu, Zn rendah. Kendala sifat
biologi tanah gambut dicirikan oleh keterbatasan aktivitas mikrobiologi karena
kemasaman tanahnya sangat tinggi. Produktivitas lahan gambut dapat Konservasi dan
Rehabilitasi Lahan Rawa 260 ditingkatkan dengan pemberian unsur hara P, K, Ca, Mg,
Cu, Zn sebagai pupuk anorganik tunggal atau majemuk. 8.4.4. Ameliorasi Selain kapur
dan pupuk hara makro dan mikro, pemberian tanah mineral dan abu bakaran dapat
diberikan sebagai bahan ameliorasi. Agar produktivitas tanah pada lahan rawa
bongkor dapat ditingkatkan, maka tanaman yang digunakan adalah varietas tanaman
yang toleran terhadap kondisi tersebut, dan tata airnya dapat dikendalikan.
Pemberian tanah mineral pada tanah gambut kurang dari > 50 cm berpengaruh positif
terhadap pertumbuhan tanaman, dan bobot gabah kering tidak jauh berbeda bila
dibandingkan dengan pemberian kapur (Tabel 8.9). Tabel 8.9. Pengaruh pemberian
tanah mineral dan kapur pada gambut asal Air
Sugihan (Sumsel) terhadap bobot kering jerami dan gabah isi padi varietas IR-36
pada kondisi di rumah kaca Bobot kering Perlakuan Gabah isi Jerami . ..
kg/ha .. ... G* G + 500 gram M**/pot G + 1 000 gram M**/pot G + 20 gram CaCO3/pot 3
506 5 288 5 568 3 026 3 568 5 888 * = tanah gambut; M** = tanah mineral diambil
dari bawah lahan gambut dangkal ku rang dari 50-100 cm Sumber: Al-Jabri dan
Suwardjo (1986) Tanaman jagung varietas Arjuna dan kedele varietas Wilis yang
ditanam pada lahan gambut dengan tipologi lahan gambut sedang (G-2) di Sugihan Kiri
(Sumsel) dengan perlakuan lengkap, yaitu, 312 kg P alam Chrismast, 620 kg dolomit,
50 kg sulfur, 10 kg CuSO4, dan 15 kg ZnSO4/ha menghasilkan biji jagung pipilan 1,44
t/ha dan biji kedele 2,33 t/ha (Tabel 8.10). Meskipun perlakuan lengkap (312 kg P
alam Chrismast, 620 kg dolomit, 50 kg sulfur, 10 kg CuSO4, dan 15 kg ZnSO4/ha)
menghasilkan bobot biji kering jagung tertinggi 1,44 t/ha, tetapi belum mencapai
tingkat hasil yang sesungguhnya (Tabel 8.10). Hal ini Abdurachman et al. 261
mungkin disebabkan banyak unsur hara dari pupuk hilang tercuci. Kehilangan unsur
hara dari pupuk melalui pencucian dapat ditekan seminimal mungkin dengan pemberian
tanah mineral atau pemadatan tanah gambut. Bobot biji jagung dan kedele dengan
perlakuan lengkap lebih tinggi dari pada perlakuan pupuk Sulfomag. Efisiensi pupuk
Sulfomag relatif rendah, mungkin disebabkan karena kandungan Mg tanah gambut sudah
tinggi sebagaima hasil analisis Mg dapat ditukar tergolong tinggi (Hartatik et al.,
200 0). Jadi, kandungan Mg tanah yang tinggi kemudian adanya kontribusi Mg dari
pupuk Sulfomag menurunkan serapan K, sebab adanya sifat antagonisme antara Mg dan
K. Hal ini dapat dibuktikan dari analisis daun dari tanaman kedele, dimana serapan
unsur K pada perlakuan pupuk Sulfomag 0,32 gram K per pot lebih rendah dari
perlakuan lengkap 0,47 gram K per pot. Penurunan serapan unsur hara K pada
perlakuan pupuk Sulfomag menghasilkan bobot biji kedele 1,39 t/ha, sedangkan
perlakuan lengkap menghasilkan bobot biji kedele lebih inggi yaitu 2,33 t/ha (Tabel
8.10). Tabel 8.10. Ameliorasi pada lahan gambut di Air Sugihan Kiri (Sumsel)
terhadap bobot kering jagung varietas Arjuna dan kedele varietas Wilis Perlakuan
Bobot biji jagung pipilan Bobot biji kedele . t/ha . Lengkap (L)* L-sulfur L-P alam
L-dolomit L-(C+Zn) L + Fe Sulfomag
Sulfomag + Fe Kontrol parsial Kontrol lengkap 1,44 1,05 1,35 0,68 0,42 1,19 0,20
0,73 0,80 0,40 2,33 a** 1,77 ab 1,81 ab 0,92 bc 1,45 abc 1,87 ab 1,39 abc 1,46 abc
1,28 bc 0,68 c * L = 312 kg P alam Chrismast, 620 kg dolomit, 50 kg sulfur, 10 kg
CuSO4, dan 15 kg ZnSO4 /ha ** Angka-angka pada kolom sama yang diikuti oleh huruf
yang sama tidak berbeda p ada taraf nyata DMRT 0,05 Sumber: Hartatik et al. (2000)
Pemberian abu bakaran dari abu sawmill dapat digunakan sebagai bahan amelioran,
terutama pada gambut miskin dengan semakin tebalnya gambut dengan tipologi gambut
dalam 200-300 cm (G-3) dan gambut sangat dalam > 300 cm (G-4) (Tabel 8.11). Untuk
menghindari petani membakar gambut kering, maka disarankan agar abu yang digunakan
adalah abu dari hasil pembakaran serasah Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa 262
terkendali atau abu sawmill gergajian. Pembakaran serasah terkendali adalah
pembakaran serasah pada tempat khusus, sehingga tidak terjadi perluasan areal yang
terbakar. Sebaliknya, jika abu yang digunakan diperoleh dengan cara membakar gambut
kering dari permukaan tanah di ladang, maka cara ini sangat berbahaya bagi
kelestarian gambut, karena gambut mudah terbakar dan api sulit dipadamkan. Tabel
8.11. Pengaruh abu sawmill dan residunya terhadap hasil beberapa jenis tanaman
Hasil tanaman Takaran abu sawmill Kedele MK 1993 Jagung MH 1993/1994 Kacang tanah
MK 1994 . kg/ha . t/ha 0 10 20 30 40 Kontrol
5.070 1.440 1.587 1.973 2.237 440 1.131 3.008 2.935 4.292 4.940 953 310 480 840 930
1.110 220 Sumber: Subiksa (2000) Teknologi untuk rehabilitasi lahan rawa pasang
surut selain kapur, pupuk, dan pengendalian tata air, adalah penanaman varietas
unggul. Kajian beberapa varietas unggul padi pada lahan pasang surut di beberapa
tempat telah didokumentasikan. Hasil padi varietas Batanghari mampu beradaptasi di
masingmasi ng tipologi lahan pasang surut dan sangat toleran terhadap kemasaman
tanah tinggi dan keracunan Fe, serta memberikan hasil tertinggi (Tabel 8.12). Tabel
8.12. Hasil kajian beberapa varietas padi unggul pada beberapa tipologi lahan
pasang surut di Jambi MH 1999/2000 Varietas padi Rantau Jaya Potensial sulfida
dalam Harapan Makmur Sulfat masam potensial Trimulyo Sulfat masam aktual Lambur II
Bergambut sulfida dangkal Sidomukti Potensial tanpa sulfida Catur Rahayu Potensial
sulfida dalam t/ha .. . Batanghari Banyuasin Dendang Lalan Lematang IR-4 IR-64
Cisanggarung 4,24 3,62 3,12
2,37 2,15 3,68 2,13 3,76 3,29 1,45 1,90 2,72 2,83 0,80 3,18 2,50 2,80 2,08 2,08
1,76 1,50 1,76 2,45 2,08 2,40 2,08 2,29 1,55 6,20 -* 4,00 4,50 5,80 4,85 4,32 3,64
3,51 * tidak ada data Sumber : Jumakir et al. (2000) Abdurachman et al. 263 8.4.5.
Dampak lingkungan reklamasi lahan rawa Sebagian besar proyek-proyek reklamasi yang
telah dimulai sejak tahun 1970-an dilaksanakan dengan membangun saluran-saluran
drainase berdimensi besar. Sebagai contoh, sistem drainase garpu di Kalimantan
Selatan memiliki panjang saluran primer 1 sampai 2 km yang bercabang menjadi 2
saluran sekunder dengan panjang 8 sampai 12 km. Di ujung saluran sekunder
dilengkapi kolam yang berukuran 300 m x 300 m. Jarak antara 2 saluran sekunder
mencapai 3 sampai 4 km. Setiap saluran sekunder dilengkapi dengan saluran tersier
yang berjarak 200 m. Hal ini berakibat pada tingkat drainase yang berleb ih
(over drain) yang sangat potensial untuk tereksposenya pirit hingga teroksidasi
menjadi masam. Kebakaran hutan juga merupakan penyebab degradasi lahan di kawasan
rawa pasang surut. Kebakaran hutan ini, selain menyebabkan hilangnya sebagian besar
vegetasi juga menipisnya lapisan gambut yang semakin berisiko terhadap tereksposnya
lapisan pirit ke permukaan, karena pada umumnya tanah sulfat masam dijumpai di
bawah lapisan gambut. Sekali pirit terekspos ke permukaan, oksigen akan masuk ke
dalam tanah dan pirit akan teroksidasi. Inilah awal rusaknya lahan rawa akibat
kemasaman tanah dan air yang meningkat, dan munculnya unsur-unsur yang bersifat
racun ke lingkungan perairan. Kandungan besi (Fe2+), aluminium (Al3+), ion hidrogen
(H+) dan sulfat (SO4 2-) pada lahan yang didrainase lebih tinggi dibandingkan
dengan lahan yang tidak/belum didrainase (Gambar 8.12). Hal ini memberikan
implikasi bahwa setelah lahan direklamasi dengan membangun sistem dan jaringan
drainase akan mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan tanah dan air. Total SO4
2- yang tercuci (leached) dari lahan yang didrainase 3,34 mol/m2/tahun, sebanding
dengan 1,17 mol FeS2/m2/tahun atau 140 g pirit/m2/ tahun. Pada lahan yang tidak
didrainase, total SO4 2- yang tercuci 1,18 mol FeS2 /m2/tahun yang sebanding dengan
0,59 mol FeS2/m2/tahun atau 71 g pirit/m2/ tahun. Menurut Chairuddin et al. (1990),
kemasaman dan meningkatnya unsur beracun seperti besi berakibat pada buruknya
lingkungan hidup ikan di lahan rawa pasang surut. Jumlah spesies ikan dan hasil
tangkapan ikan berkurang hingga 50% dari kondisi normal (sebelum terjadi
pemasaman), meskipun ada spesies ikan seperti gabus (Channa striata) dan papuyu
(Anabas testudineus) yang toleran terhadap air dengan pH < 3. Adaptasi spesies ikan
berbeda untuk kondisi tingkat kemasaman yang berbeda. Ikan papuyu masih relatif
banyak dijumpai pada lahan yang sangat masam, sedangkan gandaria (Dangila ocellata)
dan baung (Mystus nemurus) dominan pada lahan yang agak masam. Hasil Konservasi dan
Rehabilitasi Lahan Rawa 264 tangkapan ikan pada lahan yang kurang masam di
Tabunganen (Kalimantan Selatan) lebih banyak dibanding pada lahan yang sangat masam
seperti di Barambai dan Belawang (Kalimantan Selatan), dan Unit Tatas (Kalimantan
Tengah) (Gambar 8.13). Gambar 8.12. Konsentrasi Fe2+, Al3+, H+, dan SO4 2- pada
lahan yang didrainase dan yang tidak didrainase dengan modifikasi (Sumber: Konsten
et al.,1990) Gambar 8.13. Perbandingan hasil tangkapan ikan pada lahan dengan
tingkat kemasaman yang berbeda dengan modifikasi (Sumber: Chairuddin et al.,1990) 0
1 2 3 4 5 6 7 8 Konsentrasi (me/m2) Didrainase Tidak didrainase H+ Fe2+ Al3+ SO4
260
50 40 30 20 10 0 Musim hujan Musim kemarau Tabunganen Barambai Belawang Uniit Tatas
Jumlah ikan/tangkapan Abdurachman et al. 265 8.5. PENGEMBANGAN TEKNOLOGI KONSERVASI
DAN REHABILITASI LAHAN RAWA 8.5.1. Kendala Berbagai kendala dan kompleksnya
permasalahan di lahan rawa pasang surut menjadikan hambatan dalam pengembangan
teknologi konservasi dan rehabilitasi lahan. Selain faktor biofisik lahan, kendala
lain menyangkut kondis i sosial ekonomi masyarakat petani dan minimnya kelembagaan
dalam pemanfaatan dan pengelolaan lahan di kawasan ini. Secara rinci, faktor-faktor
tersebut adalah (a) dominannya tanah bermasalah (gambut dan sulfat masam) dengan
berbagai dampak pengelolaannya, (b) permodalan petani yang sangat minim untuk
mengkonservasi, merehabilitasi dan mengelola lahan, (c) keterbatasan tenaga kerja,
(d) kelembagaan penunjang yang minim, dan (e) kesadaran petani dalam
mengkonservasi, merehabilitasi dan mengelola lahannya. a. Tanah bermasalah
Sebagaimana telah diuraikan dalam bahasan degradasi lahan rawa, sekali proses
pemasaman terjadi, maka kualitas lahan akan makin memburuk yang ditandai dengan
turunnya pH tanah dan air, munculnya unsur bersifat racun bagi tanaman, makin tidak
tersediaanya unsur hara penting bagi tanaman seperti fosfor dan kalium, dan
kualitas air minum yang juga makin buruk. Penurunan permukaan tanah (subsidence),
khususnya pada lahan gambut makin mempersulit petani dalam mengelola lahannya.
Permasalahan ini muncul sebagai dampak dari dibangunnya sistem drainase dengan
dimensi besar. Pengalaman buruk dalam pengembangan lahan gambut sejuta hektar (PLG)
di Kalimantan Tengah adalah contoh yang harus dijadikan pelajaran yang berharga.
Saluran drainase dengan ukuran sangat besar dibangun menembus kawasan gambut sangat
dalam yang seharusnya dikonservasi. Sebagai dampaknya adalah lepasnya asam-asam
organik di perairan yang lebih dikenal dengan black water stream. Dampak lain sudah
barang tentu hilangnya sebagian besar vegetasi alami dan biota. Untuk mengurangi
permasalahan tersebut diperlukan biaya yang besar dan waktu yang tidak bisa
singkat. Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa 266 Dalam berbagai kasus,
pembangunan sistem drainase merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan. Pengalaman
reklamasi lahan rawa pasang surut untuk alokasi masyarakat transmigran sejak Pelita
I, menunjukkan bahwa sistem drainase diperlukan untuk mempercepat pematangan tanah,
sehingga mampu menopang bangunan rumah dan infrastruktur lain. Namun demikian,
pengalaman juga menunjukkan bahwa kelebihan laju drainase (over drainage) tidak
bisa dihindarkan karena sistem drainase yang dibangun dengan dimensi besar. Selain
untuk bangunan dan infrastruktur, pembangunan sistem drainase juga memberikan
peluang untuk pengelolaan lahan rawa pasang surut yang ditanami tanaman palawija
(jagung, kedelai, kacang tanah) dan tanaman tahunan (kelapa dan kelapa sawit). b.
Modal
Pada umumnya petani di lahan rawa pasang surut adalah petani-petani yang mengelola
lahannya untuk tanaman semusim, khususnya padi sawah dan tanaman palawija sebagai
tanaman kedua. Di era pemerintah menyediakan fasilitas kredit, kredit usahatani
(KUT) adalah yang paling utama diperoleh peta ni, meskipun realisasi kredit
tersebut tidak seperti yang telah direncanakan dan diharapkan oleh petani. Skim
kredit ini untuk memenuhi sarana produksi yang meliputi pupuk, obat-obatan dan
biaya pengolahan tanah, tidak ada yang dialokasikan untuk tindakan konservasi dan
rehabilitasi lahan. Hal inilah yang menyebabkan sulitnya implementasi teknologi
konservasi dan rehabilitasi di lahan rawa. c. Tenaga kerja Tidak seperti di Jawa,
petani-petani transmigran di lahan rawa memiliki 2 ha lahan pengelolaan.
Kepemilikan lahan ini umumnya tidak sebanding dengan tenaga kerja yang tersedia,
yang sebagian besar telah tercurah pada kegiatan penyiapan lahan, pemupukan,
pengendalian hama dan panen. Hampir tidak ada tenaga kerja khusus untuk tindakan
konservasi dan rehabilitasi lahan. Kalaupun tersedia, umumnya dengan upah yang
relatif mahal. Khusus untuk tindakan pengelolaan air di tingkat tersier sebagai
salah satu kegiatan rehabilitasi laha n dilakukan secara bergotong-royong dan
waktunya tidak sebanyak yang harus dicurahkan ke lahan masing-masing. Abdurachman
et al. 267 d. Kelembagaan Operasionalisasi tindakan konservasi dan rehabilitasi
lahan mengalami berbagai kendala. Khusus mengenai pengelolaan air, operasionalisasi
dan pemeliharaan jaringan irigasi dan drainase serta bangunan air umumnya tidak
optimal, bahkan sebagian tidak terealisasi. Hal ini berakibat pada makin burukny a
kondisi saluran dan bangunan air yang menghambat sirkulasi air dari saluran ke
lahan yang dikelola. Untuk lahan dengan tipe luapan A, kondisi ini berdampak pada
makin buruknya kondisi drainase. Salah satu kelembagaan yang dibentuk Departemen
Permukiman dan Prasarana Wilayah (Depkimpraswil, dulu Departemen Pekerjaan Umum)
adalah Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) yang memiliki wewenang untuk
operasionalisasi jaringan irigasi dan drainase, umumnya sudah tidak berfungsi.
Operasionalisasi jaringan tata air lebih banyak dilakukan oleh kelompok tani
sebagai suatu rangkaian kegiatan sistem usahatani. Namun demikian, kelompok tani
ini hanya menangani operasionalisasi dan pemeliharaan jaringan tata air di tingkat
tersier, sedangkan untuk tingkat primer dan sekunder dikelola oleh Depkimpraswil.
Terbatasnya dana operasionalisasi dan pemeliharaan jaringan tata air berdampak pada
makin buruknya fungsi jaringan tersebut di dalam upaya konservasi dan rehabilitasi
lahan. e. Kesadaran (awareness) petani Dari hasil penelitiannya di Delta Pulau
Petak Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah Tengah, Subagyono et al. (1992)
melaporkan bahwa kesadaran petani di dalam menangani tata air sebagai suatu
tindakan rehabilitasi lahan sangat rendah. Kondisi yang sama dijumpai juga di lahan
rawa pasang surut di Sumatera Selatan. Keterlibatan petani di dalam
operasionalisasi sistem pengelolaan air terbatas pada lahan mereka masing-masing.
Kegiatan operasionalisasi dan pemeliharaan jaringan tata air di tingkat tersier
jarang se kali dilakukan. 8.5.2. Strategi pengembangan teknologi konservasi
Meskipun secara teknis teknologi konservasi dan rehabilitasi memberikan kontribusi
yang cukup tinggi terhadap kelestarian sumberdaya alam di lahan rawa, namun
penerapannya tidak mudah. Keterbatasan-keterbatasan yang ada
pada petani khususnya yang menyangkut biaya, tenaga kerja dan kesadaran Konservasi
dan Rehabilitasi Lahan Rawa 268 petani akan pentingnya teknologi tersebut perlu
dicari pemecahannya. Strategi pengembangan teknologi konservasi dan rehabilitasi
lahan harus dilakukan dengan memperhatikan berbagai masalah yang dihadapi petani di
lahan rawa. Terbatasnya biaya konservasi dan rehabilitasi khususnya, dan biaya
usahatani pada umumnya memerlukan dukungan terhadap pengembangan skim kredit yang
memadai. Pembinaan terhadap kelompok tani didalam mengelola alsintan atau ternak
merupakan salah satu alternatif sumber dana untuk usahatani dan tindakan konservasi
dan rehabilitasi lahan. Sistem penyewaan traktor kepada anggota akan memberikan
masukan dana ke kelompok, selanjutnya dana ini digunakan untuk tindakan konservasi
dan rehabilitasi lahan. Alternatif lain, yaitu dengan introduksi ternak melalui
program penggemukan atau perbanyakan ternak. Sisa hasil penjualan ternak dapat
dijadikan modal untuk tindakan konservasi dan rehabilitasi lahan. Menanamkan
kesadaran kepada petani terhadap pentingnya melakukan tindakan konservasi dan
rehabilitasi lahan secara kelompok tidak mudah dilakukan. Demikian juga terbatasnya
sosialisasi kebijakan pemerintah didalam pemanfaatan dan penggunaan lahan berakibat
pada makin maraknya perambahan hutan yang seharusnya untuk kawasan konservasi.
Delineasi kawasan gambut sangat dalam (> 300 cm) sebagai kawasan konservasi perlu
dilakukan dan disosialisasikan kepada masyarakat petani di lahan rawa. Untuk
kawasan budidaya, pengelolaan lahan diarahkan untuk selalu memperhatikan aspek
tipologi lahan dan tipe luapan. Meskipun sawah merupakan alternatif yang aman
terhadap pencegahan proses pemasaman yang berlanjut, introduksi dan sosialisasi
teknologi pengelolaan air masih diperlukan . Tindakan konservasi pada lahan di
kawasan budidaya harus diarahkan untuk meminimalkan terjadinya proses pemasaman
(acidification). Mempertahankan tinggi muka air di atas lapisan pirit harus menjadi
strategi pengelolaan air uta ma, selain secara berkala dilakukan pencucian dengan
sistem aliran satu arah (oneway flow system). Di dalam penerapan teknologi
pengelolaan air, petani masih memikirkan lahannya masing-masing yang akan
berpengaruh buruk terhadap kondisi tata air secara makro (tingkat sekunder dan
primer). Operasionalisasi teknik pengelolaan air sebagai upaya konservasi dan
rehabilitasi lahan di tingka t mikro (lahan petani) harus menyesuaikan dengan
tingkat tersier dan makro. Beberapa kesalahan sistem tata air di tingkat makro
hendaknya diperbaiki, yaitu dengan mendasarkan pada tipologi lahan dan tipe luapan.
Abdurachman et al. 269 PENUTUP Mengingat cukup luasnya lahan rawa di Indonesia,
yaitu lebih dari 33 juta ha, maka keberadaan dan perkembangan lahan yang memiliki
sifat tidak stabil ini perlu terus dipantau. Pengalaman terdahulu mengajarkan bahwa
kesalahan langkah dalam mereklamasi lahan rawa mengakibatkan kerusakan lahan itu
sendiri beserta lingkungannya, seperti terlihat pada Proyek Lahan Gambut (PLG) satu
juta ha di Kalimantan Tengah. Sekali lahan rawa mengalami kerusakan atau degradasi
berat, maka proses pemulihannya kembali memerlukan waktu yang sangat panjang, dapat
mencapai waktu ratusan tahun. Selain itu, kegiatan penelitian reklamasi,
pengelolaan dan rehabilitasi lahan rawa perlu terus direncanakan dan dilaksanakan
dengan lebih baik, agar dapat ditemukan metoda yang lebih efektif dan efisien.
Teknologi dan informasi yang
diperoleh perlu didiseminasikan kepada para pengguna lahan rawa khususnya dan
masyarakat luas pada umumnya. Jaringan komunikasi antar peneliti dan peminat lahan
rawa perlu dibangun, tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga seyogyanya meluas ke
tataran internasional, karena permasalahan lahan rawa merupakan permasalahan semua
negara yang memiliki lahan rawa. DAFTAR PUSTAKA Al-Jabri, M. 2002a. Penetapan
kebutuhan kapur dan pupuk fosfat untuk tanaman padi (Oryza sativa L.) pada tanah
sulfat masam aktual BelawangKalimantan Selatan. Disertasi. Program Pascasarjana.
UNPAD. Bandung. Al-Jabri, M. 2002b. Formulasi Model untuk Rekomendasi Kebutuhan
Kapur terhadap Tanaman Padi Sawah pada Tanah Sulfat Masam Aktual di Daerah Pasang
Surut Belawang Kalimantan Selatan. Belum dipublikasikan. Al-Jabri, M., Sulaini, dan
Suwalan. 2000a. Pemupukan kapur, fosfat, dan kalium pada tanaman jagung dan padi di
tanah sulfat masam lahan pasang surut Jambi. Prosiding Seminar Nasional Penelitian
dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung, 25-27 Juli. ISDP.
Puslitbangtan. Badan Litbang. Pertanian. Al-Jabri, M., Maryono, M.E. Suryadi, K.
Kusumah, S. Dwiningsih, dan D.A. Suriadikarta. 2000b. Pengaruh keberadaan mineral
liat smektit terhadap pengukuran kebutuhan kapur untuk tanah sulfat masam aktual.
Prosiding Seminar Nasional Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, Iklim, dan
Pupuk. Cipayung-Bogor, 31 Oktober-2 November. Konservasi dan Rehabilitasi Lahan
Rawa 270 Al-Jabri, M., Sholeh, L.R. Widowati, A. Hamid, J.S. Adiningsih, dan I P.G.
Widja jaAdhi. 1997. Penelitian uji fosfat tanah dan analisis tanaman sebagai dasar
rekomendasi pemupukan sawah bukaan baru. Pros. No. 13/Pen. Tanah. Puslittanak,
Badan Litbang Pertanian. Al-Jabri, M. dan H. Suwardjo. 1986. Penelitian pengaruh
cara pengelolaan tanah gambut terhadap pertumbuhan tanaman padi. Pros. No. 6/Pen.
Tanah. Hal: 341-355. Cipayung, Bogor, 18-20 Maret 1986. Aribawa, I B., A. Supardi,
M. Al-Jabri, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1997. Rehabilit asi lahan tidur pasang surut
jenis sulfat masam di Basarang, Kuala Kapuas, Kalteng. Prosiding Pertemuan
Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat Bidang Kimia dan
Biologi Tanah. Cisarua, Bogor, 4-6 Maret 1997. Auxtero, E.A. and J. Shamsuddin.
1991. Growth of oil palm (Elaeis guinensis) seedlings on acid sulfate soils as
affected water regime and Al. Plant and Soil. 137:243-257. Bouman, S.A.M. and P.M.
Driessen. 1985. Physical properties of peat soils affecting rice-based cropping
systems. p 71-83 In IRRI. Soil Physics and Rice. International Rice Research
Institute. Los Banos. Laguna. Philippines. Chairuddin, Iriansyah, O. Klepper, and
H.D. Rijksen. 1990. Environmental and socio-economic aspects of fish and fisheries
in an area of acid sulphate soils, Pulau Petak, Indonesia. p 374-392. In AARD/LAWOO
Paper Workshop on Acid Sulphate Soils in the Humid Tropics. Bogor.
Charoenchamratcheep, C., B. Tantisira, P. Chitnuson, and V. Sinaiem. 1982. Effect
of liming and fertilizer application on acid sulphate soils for improvement of rice
production in Thailand. p 157-171. In Dost and Van Breemen (Eds.). Proceedings of
the Bangkok Symposium on Acid Sulphate Soils. ILRI Publ. 31. Wageningen. The
Netherlands. De Geus and Jan G. 1973. Fertlizer guide for the tropics and
subtropics. Centre d Etude de l Azote, Zurich. Second Edition. 774 p. Dent, D.
1986. Acid Sulphate Soils: A baseline for research and development. ILRI Publ. 39.
International Land Reclamation and Improvement.
Wageningen. The Netherlands. 204 p. Driessen, P.M. and R. Dudal. 1989. Lecture
Notes on the Geography, Formation, Properties and Use of the Major Soils of the
World. Agricultural University Wageningen and Katholieke Universiteit Leuven.
Wageningen. Leuven. Belgium. Fox, R.L., and E.J. Kamprath. 1970. Phosphate sorption
isotherms for evaluating the phosphate requirements of soils. Soil Sci. Soc. Am.
Proc. 34: 902-907. Gaspersz , V. 1991. Metode perancangan percobaan. Penerbit. CV.
ARMICO. Bandung. Abdurachman et al. 271 Haby, V.A., M.P. Russelle, and E.O.
Skogley. 1990. Testing soils for potassium, calcium, and magnesium, pp. 181 228. In
Westerman, R. L (Ed.). Soil testing and plant analysis. Soil Science Society of
America., Inc. Madison, Wisconsin. USA. Hanhart, K., and Duong van Ni. 1993. Water
management on rice fields at Hoa An, Mekong Delta, Vietnam. In Dent and Van
Mensvoort (Eds.). Selected Papers of the Ho Chi Minh City Symposium on Acid
Sulphate Soils. ILRI Publ. 53. International Institute for Land Reclamation and
Improvement. Wageningen. The Netherlands. 425 p. Hartatik, W., I G.M. Subiksa, dan
D.A. Suriadikarta. 2000. Ameliorasi lahan gambut di Ai Sugihan Kiri, Sumatera
Selatan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan
Rawa. Cipayung, 25-27 Juli. ISDP. Puslitbangtan. Badan Litbang. Pertanian.
Hasibuan, K.M. 1988. Pemodelan matematik di dalam biologi populasi. PAU-IPB
bekerjasama dengan Lembaga Sumberdaya Informasi IPB. Joret, G., H. Malterre, and M.
Cabazan. 1990. L appreciation des besoins en chaux des sols de limon d apres leur
etat de saturation en bases exchangeables, p: 105-126. In Westerman, R. L (Ed.).
Soil testing and plant analysis. Soil Science Society of America., Inc. Madison,
Wisconsin. USA. Jumakir, S. Suwalan, K. Bambang, dan T. Alihamsyah. 2000. Kajian
beberapa varietas unggul padi di lahan pasang surut. Prosiding Seminar Nasional
Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung, 25-27 Juli. ISDP.
Puslitbangtan. Badan Litbang. Pertanian. Keeny, D.R., and R.B. Corey. 1963. Factor
affecting the lime requirement of Wisconsin soils. Soil Sci. Soc. Am. Proc. 27:
277-280. Konsten, C.J.M., S. Suping, I B. Aribawa, and I P.G. Widjaja-Adhi. 1990.
Chemical processes in acid sulphate soils in Pulau Petak, South and Central
Kalimantan, Indonesia. p 109-135. In AARD/LAWOO Paper Workshop on Acid Sulphate
Soils in the Humid Tropics. Bogor. Kselik, R.A.L. 1990. Water Management on Acid
Sulphate Soils at Pulau Petak, Kalimantan. In AARD/LAWOO Paper Workshop on Acid
Sulphate Soils in the Humid Tropics. Bogor. Kselik, R.A.L., K.W. Smilde, H.P.
Ritzema, K. Subagyono, S. Saragih, M. Damanik, and H. Suwardjo. 1993. Integrated
research on water management, soil fertility and cropping systems on acid sulphate
soils in South Kalimantan, Indonesia. In Dent and Van Mensvoort (Eds.). Selected
Papers of the Ho Chi Minh City Symposium on Acid Sulphate Soils. ILRI Publ. 53.
International Institute for Land Reclamation and Improvement. Wageningen. The
Netherlands. 425 pp. Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa 272 Liebhardt W.C.
1981. The basic cation saturation ratio concept of lime and potassium
recommendations on Delaware s Coastal Plain Soils . Soil Sci. Soc. Am. J. 45: 544-
549. Lindsay, W.L. 1979. Chemical equilibria in soils. John Wiley & Sons, New York.
Chichester. Brisbane. Toronto. 449p.
Mansur, D., D.A. Suriadikarta, I G.M. Subiksa, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1995.
Pengaruh tata air dan pencampuran gambut terhadap pertumbuhan dan hasil padi di
lahan bergambut. hal. 113-120 Dalam Sunihardi, A. Musaddad, Trip Alihamsyah dan Inu
G. Ismail (Eds.) Teknologi Produksi dan Pengembangan Sistem Usahatani di Lahan
Rawa. Kumpulan Hasil Penelitian. Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa
TerpaduISDP. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. McLean, E.O., R.C.
Hartwig, D.J. Eckert, and G.B. Triplett. 1983. Basic cation saturation ratios as a
basis for fertilizing and liming agronomic crops. II. Field studies. Agron. J.
75:635-639. Moctar Toure. 1982. Improvement of acid sulphate soils: Effects of
lime, wood ash, green manure and preflooding. p. 223-236. In Dost and Van Breemen
(Eds.). Proceedings of the Bangkok Symposium on Acid Sulphate Soils. ILRI Publ. 31.
Wageningen. The Netherlands. Montoroi, J.P., J. Albergel, A. Dobos, M. Fall, S.
Sall, A. Bernard, D. Brunet, G. Dubee, and P. Zante. 1993. Rehabilitation of rice
fields in the acid sulphate soils of lower casamance, Senegal. In Dent and Van
Mensvoort (Eds.). Selected Papers of the Ho Chi Minh City Symposium on Acid
Sulphate Soils. ILRI Publ. 53. International Institute for Land Reclamation and
Improvement. Wageningen. The Netherlands. 425 p. Moorman, F.R. and N. Van Breemen.
1978. Rice: Soil, water and land. International Rice Research Institute. Los Banos.
Philippines. Ponnamperuma, F.N. and J.L. Solivas. 1982. Field Amelioration on an
Acid Sulphate Soil For Rice with Manganese Dioxide and Lime. p 213-222. In Dost and
Van Breemen (Eds.). Proceedings of the Bangkok Symposium on Acid Sulphate Soils.
ILRI Publ. 31. Wageningen. The Netherlands. Pons, L.J. and van Breemen. 1982.
Factors Influencing the Foremation of Potential Acidity in Tidal Swamps. P. 37-51.
In Dost and ven Breemen (Eds.). Proceeding of the Bangkok Symposium on Acid
Sulphate Soils. ILPI Publ. 31. Wageningen. The Netherlands. Ritzema, H.P., R.A.L.
Kselik, and K. Subagyono. 1993. Water Management Strategies to Ameliorate and Use
Acid Sulphate Soils in the Humid Tropics. ILRI. Wageningen. The Netherlands.
Sabiham, S., T.B. Prasetyo, and S. Dohong. 1995. Phenolic acids in Indonesian peat.
P. 289-292 In Rieley and Page (Eds.). Biodiversity and Sustainability of Tropical
Peatland Proceedings of the International Symposium on Abdurachman et al. 273
Biodiversity, Environmental Importance and Sustainability o Tropical Peats and
Peatland. Palangkaraya, 4-8 September 1995. Segeren, W.A. and H. Smith. 1980.
Drainage of Newly Reclaimed Marine Clayey Sediments, Peat Soils, and Acis Sulphate
Soils. In Drainage Principles and Applications. Vol. IV. Design and Management of
Drainage Systems. ILRI Publ. 16. Wageningen. The Netherlands. Sevenhuysen, R.J.
1990. The water management puzzle: A Summary of the Research. p 338-346 In
AARD/LAWOO Paper Workshop on Acid Sulphate Soils in the Humid Tropics. Bogor.
Shamshuddin, J., S.R. Syed Omar, and A.R. Anuar. 2003. A New Paradigm in Tropical
Soil Management. Department of Land Management, Faculty of Agriculture Universiti
Putra Malaysia, 43000 Serdang, Selangor, Malaysia. Kongres Nasional VIII. Padang
21-23 Juli 2003. Sholeh, U. Sudiatna, dan Maryam. 2001. Nisbah kejenuhan kation
basa sebagai dasar pemupukan Ca, Mg, dan K untuk padi sawah. Prosiding Seminar
Nasional Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Pupuk. Cisarua-Bogor 3031 Oktober 2001.
Puslitbangtanak. Badan Litbang Pertanian. Smilde, K.W. 1990. Lime and Fertilizer
Application for Crop Yield Improvement. p 224-237. In AARD/LAWOO Paper Workshop on
Acid Sulphate Soils in the
Humid Tropics. Bogor. Sri Ratmini, N.P., I G.M. Subiksa, dan Komaruddin. 2000.
Rehabilitasi lahan sulfat masam Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan. Prosiding
Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung, 25-
27 Juli. ISDP. Puslitbangtan. Badan Litbang. Pertanian. Subagyono, K., E. Ananto, I
M.O. Adnyana, and I P.G. Widjaja-Adhi. 1998. Water management strategies for
farming system development in tidal swamp areas of South Sumatra. IARD Journal,
Vol. 20 No. 4:83-90. Subagyono, K., I P.G. Widjaja-Adhi, T. Alihamsyah, E. Ananto,
dan I G.M. Subiksa. 1997. Petunjuk Pelaksanaan Penataan Lahan dan Air untuk
Pengembangan SUP Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Proyek Pengembangan SUP Lahan
Pasang Surut Sumatera Selatan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian. (Tidak dipublikasi). Subagyono, K., H. Suwardjo, A. Abas Id.,
dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1994. Pengaruh pencucian, kapur, dan pemupukan K terhadap
sifat kimia tanah, kualitas air, dan hasil padi pada tanah sulfat masam di Unit
Tatas, Kalimantan Tengah. Pemb. Pen. Tanah dan Pupuk, No. 12: 35-47. Subagyono, K.,
H. Suwardjo, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1992. Kontribusi Beberapa Teknik Reklamasi
terhadap Perbaikan Mutu Lahan Pasang Surut Bertanah Sulfat Masam. Makalah
disampaikan pada Seminar Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa 274
Terpadu Kawasan Pasang Surut di Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (Tidak
dipublikasi). Subiksa, I G.M. 2000. Ameliorasi lahan gambut untuk usahatani yang
berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di
Lahan Rawa. Cipayung, 25-27 Juli. ISDP. Puslitbangtan. Badan Litbang. Pertanian.
Tim Puslitbangtanak. 2000. Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya.
Puslitbangtanak. Badan Litbang Pertanian. Edisi pertama. 266 halaman. Vadari, T.,
K. Subagyono, H. Suwardjo, and A. Abas Id. 1990. The effect of water management and
soil amelioration on water quality and soil properties in acid sulphate soils at
Pulau Petak Delta, South Kalimantan, Indonesia. p. 277-294. In AARD/LAWOO Paper
Workshop on Acid Sulphate Soils in the Humid Tropics. Bogor. Wade, M.K., M. Al-
Jabri, and M. Sudjadi. 1987. The effect of liming on soybean yield and soil acidity
parameters of three red yellow podzolic soils of West Sumatra. Pemberitaan
Penelitian Tanah dan Pupuk. 6:1-8. Puslittanak. Badan Litbang Pertanian. Van
Breemen, N. 1972. Soils forming processes in acid sulphate soils. In Dost (ed.):
Acid Sulphate Soils. Proc. Intern. Symp. ILRI Publ. 18, vol. 1. p. 66130. Van
Mensvoort, M.E.F. 1996. Soil Knowledge for Farmers, Farmer Knowledge for Soil
Scientists. The case of acid sulphate soils in the Mekong Delta, Viet Nam. PhD
Thesis Landbouwuniversiteit Wageningen, Wageningen, The Netherlands. Widjaja-Adhi,
I P.G., I G.M. Subiksa., Sutjipto Ph., dan B. Radjagukguk. 1990. Pengelolaan tanah
dan air lahan pasang surut: Studi Kasus Karang Agung, Sumatera Selatan. Hal. 121-
131 dalam Mahyuddin Syam et al. (Eds.) Usahatani di Lahan Pasang Surut dan Rawa
Swamps II. Bogor 19-21 September 1989. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian. Widjaja-Adhi, I P.G., IPG. 1988. Physical and chemical
characteristics of peat s oil of Indonesia. IARD Journal, Vol. 10 No. 3: 59-64.
Widjaja-Adhi, I P.G., K. Nugroho, D.A. Suriadikarta, dan A.S. Karama. 1992.
Sumberdaya Lahan Pasang Surut, Rawa dan Pantai: Potensi,
Keterbatasan dan Pemanfaatan. Makalah Utama disajikan dalam Pertemuan Nasional
Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa. Bogor. Widjaja-Adhi, I P.G.
1997. Mencegah Degradasi dan Merehabilitasi Lahan Sulfat Masam. Makalah disajikan
dalam Pertemuan Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut Kalimantan Selatan, 18 Maret
1997 di Banjarmasin. (Tidak dipublikasi). 275 IX USAHA AGRIBISNIS DI LAHAN RAWA
PASANG SURUT Achmadi Jumberi dan Trip Alihamsyah Usaha Agribisnis di Lahan Rawa
Pasang Surut 276 9.1. POTENSI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DAN LAPANGAN KERJA Potensi
pengembangan pertanian di lahan pasang surut sangat besar mengingat arealnya luas
dan dan teknologi pengelolaannya sudah tersedia secara memadai. Adanya potensi
peningkatan dan diversifikasi produksi memberi peluang besar terhadap pengembangan
agribisnis dan agroindustri. Berbagai usaha sebagai bagian dari subsistem
agribisnis dapat dikembangkan, mulai dari usaha penyediaan benih dan sarana
produksi sampai kepada usaha jasa tenaga kerja dan keuangan serta pengolahan dan
pemasaran hasil berbagai komoditas pertanian. Sedangkan pengembangan agroindustri
atau industri hasil olahan komoditas pertanian ditujukan terutama untuk
meningkatkan nilai tambah, seperti kelapa menjadi kopra dan minyak kelapa atau
cabai dan tomat menjadi sambal dan saus serta buah-buahan menjadi selai dan sirup
atau buah-buahan dalam kaleng untuk ekspor. Pengembangan agroindustri hasil
pertanian dapat dilakukan oleh petani dalam skala rumah tangga atau oleh perusahaan
besar, seperti industri aneka panganan seperti gula dan minyak kelapa, kripik,
krupuk, jagung marning, selai, dan sirup nenas serta pakan terna k dan ikan.
Pengembangan agribisnis dan agroindustri ini tentunya secara otomatis meningkatkan
kegiatan ekonomi sebagai akibat dari pengembangan pertanian baik oleh petani dalam
skala kecil maupun oleh pengusaha dalam skala luas. Hal ini pada akhirnya akan
membuka peluang kesempatan kerja, baik tenaga kasar atau buruh tani maupun tenaga
terdidik dan aktivitas ekonomi setempat serta pendapatan masyarakat maupun
pengembangan wilayah setempat. Beberapa contoh disini adalah berkembangnya wilayah
pasang surut di berbagai lokasi transmigrasi di Sumatera Selatan, Jambi, Riau,
serta Kalimantan Barat, Tengah, dan Selatan sebagai daerah pemasok hasil pertanian
terutama tanaman pangan dan hortikultura dan ternak. 9.2. KELAYAKAN PENGEMBANGAN
AGRIBISNIS Hasil analisis usahatani eks-ante pada Ekspose Teknologi Pertanian Lahan
Pasang Surut di Barito Kuala tahun 2003 menunjukkan bahwa melalui penerapan
teknologi pengelolaan lahan dan tanaman secara terpadu, usahatani berbagai
komoditas pertanian adaptif baik secara tunggal maupun dalam suatu Jumberi dan
Alihamsyah 277 sistem usahatani terpadu di lahan pasang surut cukup layak
pengembangannya secara ekonomi (Tabel 9.1 dan 9.2). Secara umum terlihat bahwa
tanaman sayuran memberikan nilai keuntungan dan R/C lebih tinggi daripada tanaman
pangan, hanya saja memerlukan pemeliharaan lebih intensif dan biaya lebih tinggi
sehingga pengusahaannya oleh petani tidak bisa.secara ekstensif. Sedangkan
usahatani terpadu antara tanaman padi dengan jeruk dan sayuran khususnya cabai
memberikan keuntungan dan nilai R/C yang tinggi (Tabel 56), sehingga layak untuk
dikembangkan secara komersial.
Tabel 9.1. Keragaan ekonomi berbagai tanaman di lahan sulfat masam pada Ekspose
Teknologi Pertanian Lahan Pasang Surut di Barito Kuala, 2003 Jenis tanaman Biaya
Penerimaan Keuntungan R/C .................................
Rp/ha ................................. Tanaman pangan Padi lokal 1.103.300
3.750.000 2.647.000 3.40 Padi Margasari 2.499.000 4.500.000 2.001.000 1.80 Padi
unggul 3.086.000 4.200.000 1.114.000 1,36 Kedelai 4.368.000 6.300.000 1.932.000
1.44 Kacang tanah 3.080.000 8.000.000 4.920.000 2.60 Kacang hijau 3.561.000
6.750.000 3.190.000 1.90 Jagung 2.400.000 4.000.000 1.600.000 1.67 Tanaman sayur a)
Cabai 1.380.000 4.800.000 3.420.000 3.48 Tomat 1.231.000 7.680.000 6.449.000 6.24
Kubis 1.926.000 7.168.000 5.242.000 3.72 Timun 1.713.000 4.608.000 2.895.000 2.69
Buncis 1.820.000 3.072.000 1.252.000 1.69 a) Tanaman sayuran ditanam pada bagian
guludan surjan seluas 0,224 ha/ha lahan Sumber: Badan Litbang Pertanian (2003)
Seberapa hasil penelitian pengembangan sistem usahatani di Sumatera Selatan, Jambi,
Riau dan Kalimantan Barat dan Selatan menunjukkan bahwa walaupun keragaan
pengembangan pertanian beragam antar lokasi lahan pasang surut tapi masih layak,
dimana tanaman padi memberikan kontribusi paling besar terhadap penerimaan
usahatani di semua tipologi lahan (Proyek Swamp II, 1993 dan Alihamsyah dan Ananto,
1998). Nilai Incremental Benefit Cost Ratio (IBCR) sistem usahatani masing-masing
sebesar 3,55; 2,65; 1,54; dan 2,14 pada lahan potensial, sulfat masam, gambut, dan
salin. Sedangkan kombinasi usahatani sistem longyam di lahan pekarangan dan sistem
surjan di Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut 278 lahan usaha seluas 1,75
ha yang ditanami tanaman pangan dan sayuran memberikan nilai IBCR sebesar 1,74.
Komoditas ikan dan tanaman industri umumnya memberikan kontribusi yang kecil
terhadap penerimaan usahatani, disebabkan usahatani ikan kurang menarik sedangkan
tanaman industri membutuhkan waktu yang lama untuk menghasilkan. Ternak memberikan
kontribusi cukup besar terhadap penerimaan usahatani, selain itu berfungsi juga
sebagai penangkal kesulitan dalam memperoleh uang kontan dan pupuk kandangnya dapat
dimanfaatkan sebagai pupuk organik bagi tanaman. Tabel 9.2. Hasil analisis
usahatani sistem surjan di lahan sulfat masam pada Ekspose Teknologi Pertanian
Lahan Pasang Surut di Barito Kuala, 2003 Jenis tanaman Biaya Penerimaan Keuntungan
R/C .................................. Rp/ha ..................................
Pola padi lokal pada tabukan dan jeruk + cabai pada guludan Padi lokal 856.000
2.910.000 2.054.000 3,40 Jeruk 1.162.000 10.070.000 8.908.000 8,67 Cabai 810.000
1.500.000 690.000 1,85 Jumlah 2.828.000 14.480.000 11.652.000 4,93 Pola padi-padi
unggul pada tabukan dan jeruk + cabai pada guludan Padi unggul 3.794.000 6.984.000
3.190.000 1,84 Jeruk 1.162.000 10.070.000 8.908.000 8,67 Cabai 810.000 1.500.000
690.000 1,85 Jumlah 5.766.000 18.554.000 12.788.000 3,21 Sumber: Badan Litbang
Pertanian (2003) 9.5. ARAH PENGEMBANGAN DAN ALTERNATIF MODEL AGRIBISNIS
Pengembangan usaha agribisnis di lahan pasang surut menurut Alihamsyah et al.
(2000) harus diarahkan kepada pengembangan agribisnis
aneka komoditas dalam suatu sistem usaha terpadu sesuai dengan karakteristik
biofisik lahan dan prospek pemasaran hasil komoditasnya dalam perspektif
pengembangan wilayah. Model atau sistem usaha terpadu bertitik tolak kepada
optimalisasi pemanfaatan hubungan sinergistik antar subsistem agribisnisnya serta
bersifat spesifik dan dinamis sehingga pengembangannya disesuaikan dengan
karakteristik biofisik lahan dan prospek pemasaran hasil komoditas yang akan
diusahakan. Model agribisnis yang bisa dikembangkan di lahan pasang surut bisa
berupa model agribisnis yang dibangun baru sesuai dengan kebutuhan inovasi Jumberi
dan Alihamsyah 279 teknologi yang akan dikembangkan, maupun penyempurnaan model
agribisnis yang ada. Dengan demikian, model agribisnis tersebut hendaknya merupakan
reformasi dan revitalisasi serta renovasi dari teknologi dan kelembagaan yang sudah
ada disesuaikan dengan kebutuhan sistem pendukung inovasi teknologi yang akan
dikembangkan dan kondisi wilayah. Dilihat dari pelaku dan tujuan pengembangannya,
secara garis besar ada dua model usaha agribisnis terpadu yang cocok dikembangkan
di lahan pasang surut, yaitu usaha agribisnis berbasis tanaman pangan dan usaha
agribisnis berbasis komoditas andalan (Alihamsyah dan Ananto, 1998 dan Suprihatno
et al., 1999). Usaha agribisnis berbasis tanaman pangan ditujukan utamanya untuk
menjamin keamanan pangan bagi petani, sedangkan usaha agribisnis berbasis komoditas
andalan dapat dikembangkan dalam skala luas dalam perspektif usaha komersial. Usaha
agribisnisnya perlu mencakup sistem agribisnis yang holistik. mulai dari subsistem
agribisnis hulu sampai subsistem agribisnis hilir yang bisa berupa: subsistem
penyediaan sarana produksi, subsistem jasa tenaga kerja, produksi, subsistem pasca
panen dan subsistem pemasaran hasil. Oleh karena itu. perlu dibangun kelembagaan
dari setiap subsistem tersebut dalam suatu tatanan yang sinergis dan harmonis
melalui pemberdayaan masyarakat serta rekayasa atau peningkatan kelembagaan yang
sudah ada. 9.4. POLA TANAM DALAM HUBUNGANNYA DENGAN TIPE LUAPAN AIR SERTA IKLIM
Pemilihan pola tanam dan komoditas pertanian berkaitan erat dengan pola penataan
lahan dan ketersediaan air, dimana sumber air di lahan pasang surut berasal dari
air pasang dan air hujan atau hanya air hujan saja tergantung kepada tipe luapan
airnya. Bervariasinya jangkauan air pasang di lahan pasang surut mengakibatkan
adanya perbedaan suplai air ke petakan lahan untuk menunjang keperluan tanaman.
Anjuran pola tanam yang dapat dikembangkan di lahan pasang surut diberikan oleh
Suprihatno et al. (1999). Pada lahan bertip e luapan air A yang umumnya berada di
sepanjang sisi sungai ditata sebagai sawah, dimana air pasang sudah mampu mensuplai
keperluan air tanaman baik pada musim hujan maupun kemarau, sehingga walaupun curah
hujan bulanan kurang dari 100 mm, penanaman padi tetap dapat dilakukan. Kendala
pada lahan ini adalah tingginya genangan air pada musim hujan sehingga diperlukan
Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut 280 varietas lebih tinggi dari genangan
maksimum. Namun demikian, lahan di daerah tersebut pada musim kemarau panjang
sering mengalami intrusi air laut. Oleh karena itu, pada musim kemarau diperlukan
varietas yang toleran kegaraman seperti Sei Lalan. Dengan demikian pola tanam yang
sesuai dengan kondisi lahan bertipe luapan air A adalah padi-padi. Pada lahan
bertipe luapan air B, dimana lahan hanya dapat terluapi air pasang besar di musim
hujan, maka untuk penanaman padi pada musim hujan, air tidak menjadi masalah.
Sedangkan penanaman padi pada musim kemarau, sering menghadapi masalah kekurangan
air karena selama musim kemarau ada bulan-bulan tertentu yang curah hujan
bulanannya kurang dari 100 mm, di lain
pihak kemampuan air pasang masuk ke petakan lahan berkurang, mengikuti pola curah
hujan. Oleh karena itu, pola tanam yang dapat dikembangkan harus dikaitkan dengan
agroklimat yang ada di Indonesia, yaitu padi-padi untuk tipe iklim At B1 dan B2,
sedangkan untuk tipe iklim C1 dan C2 adalah padi-padi atau padi palawija. Penanaman
palawija di lahan bertipe luapan air B pada musim hujan membutuhkan tata air
tertentu pada petakan lahan agar terhindar dari genangan air. Pada lahan bertipe
luapan air C, sumber air utama berasal dari curah hujan sehingga penanaman padi
sawah di lahan tersebut hanya dapat dilakukan pada musim hujan yaitu, seperti
halnya sawah tadah hujan. Karena pola dan distribusi hujan selalu berubah, maka
padi sering mengalami kekurangan air. Penanaman palawija pada lahan tersebut sangat
dimungkinkan, baik pada musim kemarau maupun musim hujan, berkat dukungan curah
hujan dan besarnya kandungan bahan organik dengan daya serap yang besar terhadap
air. Sebagai konsekuensi dari sifat tersebut maka penanaman palawija membutuhkan
drainase yang baik, karena itu perlu dibuat saluran-saluran drainase. Lahan bertipe
luapan air D lebih bersifat seperti lahan kering dengan sumber utama airnya adalah
hujan, maka penanaman padi dilakukan pada musim hujan saja dengan syarat masa
pertanamannya berada pada bulan-bulan basah. Karena besarnya porositas tanahnya
maka perlu digunakan varietas padi yang toleran terhadap kekeringan seperti :
Cisanggarung, Sei Lalan, Banyuasin, Batanghari, dan Dendang. Penanaman palawija
dapat dilakukan pada musim hujan maupun pada musim kemarau, sehingga pola tanam
yang sesuai untuk tipe lahan ini adalah padipalawija/sayuran atau palawija-
palawija/sayuran. Jumberi dan Alihamsyah 281 Gambar 9.1. Pola tanam padi-jeruk di
lahan pasang surut tipe luapan B, kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan 9.5.
PEMILIHAN KOMODITAS DAN VARIETAS TANAMAN Identifikasi jenis komoditas dan varietas
tanaman untuk pengembangan agribisnis di lahan pasang surut sangat penting agar
dapat memberikan hasil optimal. Karena kondisi lahannya yang spesifik menyebabkan
hanya beberapa jenis komoditas dan varietas tertentu saja yang dapat tumbuh dan
memberikan hasil baik. Dari hasil pengujian dan pengalaman pengembangan di
lapangan, Badan Litbang Pertanian telah mengidentifikasi berbagai jenis komoditas
pertanian dan varietas tanaman yang dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di
lahan pasang surut. baik berupa varietas unggul lokal maupun varietas unggul
nasional. Komoditas yang bisa dikembangkan di lahan pasang surut meliputi : tanaman
pangan (padi. jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, dan ubi-ubian), tanaman
sayuran (tomat, cabai, timun, kacang panjang, terong, buncis, kubis, bawang merah,
sawi, slada, bayam, dan kangkung), tanaman buah-buahan (nenas, semangka, jeruk
rambutan, dan pisang), tanaman perkebunan (kelapa, kelapa sawit, kopi, lada, dan
jahe), ternak (unggas, ruminansia kecil dan besar), dan ikan (nila, patin, jelawat,
betutu, tambakan) (Ismail et al., 1993 dan Alihamsyah et al., 2003). Untuk
mendukung pengembangan pertanian di lahan pasang surut, Badan Litbang Pertanian
juga telah menghasilkan berbagai varietas unggul tanaman Usaha Agribisnis di Lahan
Rawa Pasang Surut 282 khususnya padi dan palawija yang adaptif di lahan pasang
surut (Ismail et al., 1993; Suwarno et al., 1993; Suprihatno et al., 1999;
Alihamsyah et al., 2000; Alihamsyah et al., 2001). Varietas unggul padi sawah yang
beradaptasi baik di lahan pasang surut yang tingkat kemasaman dan kadar besinya
tidak terlalu tinggi adalah Kapuas, Cisanggarung, Cisadane, IR-42, IR-66, Lematang,
Sei Lilin, Sei Lalan, Banyuasin, Dendang, dan Batanghari. Sedangkan untuk lahan
yang kemasaman dan kadar besinya tinggi dapat digunakan beberapa varietas unggul
lokal seperti Talang, Ceko, Mesir, Jalawara, Siam Lemo, Semut,
Pontianak, Sepulo, Pance, Salimah, Jambi Rotan, dan Tumbaran hanya saja umurnya
panjang, yaitu 120-150 hari. Penanaman padi dapat dilakukan melalui dua pola tanam,
yaitu pola padi varietas unggul-unggul dan pola padi varietas unggul-Iokal. Pada
pola padi varietas unggul-Iokal, varietas unggul ditanam pada musim hujan dengan
luasan sekitar 75-80% dari luas petak lahan sedangkan 20-25% sisanya untuk
persemaian padi varietas lokal yang akan ditanam setelah padi varietas unggul
dipanen. Dengan demikian intensitas pertanaman pada pola ini antara 175180%. Dari
serangkaian penelitian yang dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian, maka sampai
dengan tahun 2001 telah dilepas 18 varietas padi unggul adaptif lahan pasang surut
dengan berbagai sifat (Tabel 9.3) yang dapat dipilih sesuai dengan kondisi biofisik
lahan dan preferensi petani. Gambar 9.2. Tampilan varietas ungul padi Margasari dan
Ciherang di lahan eks PLG, Dadahup, kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah Jumberi dan
Alihamsyah 283 Tabel 9.3. Varietas unggul padi pasang surut yang telah dilepas
sampai tahun 2002 Ketahanan hama dan penyakit Nama varietas Tahun dilepas Umur
panen Hasil Tekstur nasi WCk HOB BCk Blas hari t/ha Barito 1981 140-145 3 Pera T-1
AT - Mahakam 1983 135-140 3-4 Pera P-1,2,3 AT - Kapuas 1984 127 4-5 Sedang T -1 AT
- Musi 1988 135-140 4,5 Pera T-2 T - T Sei Lilin 1991 115-125 4-6 Pera AT-2 - - AP
Lematang 1991 125-130 4-6 Pera T-1 - - AT Lalan 1997 125-130 4-6 Pera T-1,2, 3 - -
T Banyuasin 1997 115-120 4-6 Pulen T -3 - T T Batanghari 1999 125 4-6 Pera T -1,2 T
- T Oendang 1999 125 3-5 Pulen T-1,2 - AT AT Indragiri 2000 117 4,5-5,5 Sedang T-2
T - T Punggur 2000 117 4,5-5 Sedang T-2,3 - - T Margasari 2000 120-125 3-4 Sedan
AT-2 - - T Martapura 2000 120-125 3-4 Sedang AP - - T Air Tenggulang 2001 125 5
Pera T-1,2,3 T T Siak Raya 2001 125 5 Pera T-IR26 - T T Lambur 2001 120 4 Pulen A
T-3 - - T Mendawak 2001 115 4 Pulen AT -3 - - AT T = Tahan; AT = Agak Tahan; AP =
Agak Peka; P = Peka; WCk = Wereng coklat; 1, 2, 3 = Biotipe 1, 2, 3; HOB = Hawar
daun bakteri; BCk = Bercak coklat Sumber : Khairullah dan Sulaiman (2002).
Pemilihan komoditas selain padi sangat dimungkinkan bila lahan ditata dengan sistem
surjan atau tukungan terutama pada lahan bertipe luapan air BIC dan tegalan pada
lahan bertipe luapan air C dan D yang disertai dengan pembuatan drainase dangkal
intensif. Tanaman palawija dan hortikultura atau tanaman industri dapat diusahakan
pada guludan surjan dan pada lahan bertipe luapan air C dan D terutama pada musim
kemarau Varietas unggul tanaman palawija yang beradaptasi baik di lahan pasang
surut adalah Arjuna, Wiyasa, dan Kalingga untuk jagung; Wilis, Rinjani, Lokon,
Dempo, dan Galunggung untuk kedelai; Gajah, Pelanduk, dan Kerinci untuk kacang
tanah; Betet dan Walet untuk kacang hijau. Daftar jenis dan varietas tanaman
palawija, sayuran, buahbua han, dan tanaman industri yang adaptif lahan pasang
surut secara rinci disajikan pada Tabel 9.4. Hal ini menunjukkan bahwa tersedia
beragam pilihan
komoditas dan varietas yang dapat dikembangkan untuk usaha agribisnis di lahan
pasang surut disesuaikan dengan preferensi pasar atau konsumen. Usaha Agribisnis di
Lahan Rawa Pasang Surut 284 Dengan demikian, pengembangan agribisnis di lahan
pasang surut dengan beragam pilihan komoditas dan varietas sesuai dengan preferensi
pasar atau konsumen sangat prospektif. Tabel 9.4. Jenis dan varietas tanaman non
padi adaptif lahan pasang surut Jenis tanaman Varietas Daya toleransi Hasil t/ha
Jagung Arjuna, Kalingga, Wiyasa, Bisma, Bayu, Antasena, C-3, C-5, Semar, Sukmaraga,
H6, Bisi Dua Sedang 4-5 Kedelai Wilis, Rinjani, Lokon, Dempo, Galunggung, Siamet,
Lawit, Merbabu, Petek, Kerinci, Tampomas,Tanggamus, Menyapa Sedang 1,5-2,4 Kacang
tanah Gajah, Pelanduk, Kelinci, Singa, Jerapah, Komodo,Mahesa Tahan 1,8-3,5 Kacang
hijau Betet, Walet, Gelatik Tahan 1,5 Tomat Intan, Permata, Berlian, Mirah, AV-22 ,
Ratna Sedang 10-15 Cabai Tanjung-1, Tanjung-2, Barito, Bengkulu, Tampar, Keriting,
Rawit Hijau dan Putih Sedang 4-6 Terong Mustang, Kopek Ungu, Ungu Panjang, No. 4000
Tahan 30-40 Kubis KK Cross, KY Cross, Grand 33 Sedang 20-25 Kacang panjang Super
King, Pontianak, KP-1, KP-2 Tahan 15-28 Buncis Horti-1, Horti-2, Prosessor, Farmer
Early, Green Leaf Sedang 6-8 Timun Saturnus, Mars, Pluto Sedang 35-40 Bawang merah
Ampenan, Bima, Menteng, Sumenep, Kuning Sedang 4,1-7,6 Sawi Asveg#1, Sangihe,
Talaud, Tosakan, Putih Jabung, Sawi Hijau, Sawi Huma, No. 82-157 Tahan 15-20 Slada
New Grand Rapids Sedang 12-15 Bayam Maestro, Giti dan Kakap Hijau dan Merah,
Cimangkok Sedang 10-12 Kangkung LP-1, LP-2, Sutera Sedang 25-30 Semangka Sugar
Baby, New Dragon Sedang 15-25 Nenas Madu, Bangka, Paun Tahan 40 Jahe Merah Sedang
20-24 Kencur Sedang 21,6 Kelapa Dalam Riau Tahan 2,5-4,1 kopra Kelapa sawit Tahan
19 Sumber : Alihamsyah et al. (2003) Jumberi dan Alihamsyah 285 Komoditas
hortikultura, baik sayuran maupun buah-buahan, memiliki nilai ekonomi lebih tinggi
dari pada tanaman pangan, tetapi teknik budidayanya lebih
rumit dan memerlukan ketekunan. Selain itu, komoditas ini sangat rentan terhadap
kondisi lingkungan yang kurang baik, seperti curah hujan tinggi, kekeringan, dan
organisme pengganggu tanaman. Tanaman industri atau perkebunan walaupun memiliki
prospek besar untuk agribisnis di lahan pasang surut, namun pengusahaannya harus
dilakukan dalam skala lebih luas untuk efisiensi pengolahan hasil dan peningkatan
nilai tambah. Gambar 9.3. Tampilan kacang tanah dan tanaman sayuran di lahan eks
PLG, Dadahup, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah 9.6. KOMPONEN UTAMA SISTEM
AGRIBISNIS Seperti pada agro-ekosistem lainnya, sistem agribisnis di lahan pasang
surut perlu mencakup : (1) subsistem produksi berupa penerapan teknologi produks!
(2) subsistem sarana dan prasarana pertanian seperti pengembangan prasarana tata
air serta penyediaan sarana produksi dan jasa tenaga kerja, (3) subsistem
pengolahan hasil atau agroindustri, (4) subsistem pemasaran dan distribusi, dan (5)
subsistem pendukung. Setiap subsistem tersebut memerlukan kelembagaan yang sesuai
dan ditata dalam suatu tatanan yang sinergis dan harmonis melalui peningkatan
kemampuan dan pemberdayaan masyarakat maupun kelembagaan yang sudah ada (Alihamsyah
et al., 2003). Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut 286 9.6.1. Model
usahatani sebagai subsistem produksi Adanya keragaman karakteristik biofisik lahan
dan sosial ekonomi, maka model usahatani yang dapat dikembangkan adalah model
usahatani yang berbasis sumberdaya lokal yaitu kondisi lahan dan komoditas yang
sesuai. Model usahataninya bersifat spesifik dan dinamis disesuaikan dengan
tipologi lahan dan tipe luapan air serta sosial ekonomi dan kemampuan masyarakat
setempat maupun prospek pemasaran komoditasnya. Usahataninya harus diarahkan kepada
pengembangan aneka komoditas dalam suatu sistem usaha terpadu baik antar komoditas
yang diusahakan maupun antar komponen teknologi budidayanya yang pemilihannya
disesuaikan dengan kondisi lahan dan prospek pemasarannya. Penganekaragam komoditas
ini perlu dilakukan untuk meningkatkan pendapatan dan mengurangi risiko kegagalan
usahatani. Sistem usahataninya mencakup : aspek penataan lahan dan jaringan
pengairan, pola tanam dan pemilihan komoditas serta teknologi produksinya
disesuaikan dengan karakteristik wilayahnya. Dengan demikian, sistem usahanya
bersifat spesifik dan dinamis disesuaikan dengan karakteristik lahan dan kondisi
sosial ekonomi setempat serta prospek pemasaran hasil komoditas yang bisa
dikembangkan. Sistem usaha terpadu tersebut didasarkan kepada sistem usaha yang
bertitik tolak kepada pemanfaatan hubungan sinergistik antar subsistemnya agar
kelestarian sumberdaya alam dan keberlanjutan pertaniannya tetap terjamin. Dilihat
dari pelaku dan tujuan pengembangannya, secara garis besar ada dua model usahatani
yang cocok dikembangkan di lahan pasang surut, yaitu : usahatani berbasis tanaman
pangan dan usaha tani berbasis komoditas unggulan (Alihamsyah dan Ananto, 1998;
Suprihatno et aI., 1999; Alihamsyah et aI., 2000). Usahatani berbasis tanaman
pangan ditujukan untuk menjamin keamanan pangan bagi petaninya, sedangkan usahatani
berbasis komoditas unggulan dikembangkan pada skala luas dalam perspektif
agribisnis oleh pengusaha. Komoditas yang bisa dikembangkan di lahan pasang surut
meliputi : tanaman pangan, tanaman sayuran, tanaman buah-buahan, tanaman
perkebunan, ternak, dan ikan. Pemilihan komoditas untuk suatu wilayah pengembangan
perlu disesuaikan dengan kondisi lahan serta prospek pemasarannya. Sedangkan
pemilihan varietas tanamannya didasarkan kepada daya adaptabilitasnya terhadap
kondisi lahan pasang surut yang beragam, Jumberi dan Alihamsyah 287 termasuk
preferensi petani dan konsumen. Dari prospek pemasarannya, berbagai komoditas
andalan yang memiliki keunggulan komparatif ataupun
kompetitif dapat dikembangkan, antara lain: kelapa, sawit, lada, jahe, nenas,
pisang, cabe, tomat, ternak ruminansia dan unggas, ikan patin, nila, dan jelawat .
Beberapa contoh model dan penerapan usahatani di lahan pasang surut baik secara
terpadu maupun parsial dikemukakan dalam Ar-Riza et al. (1993), Ismail et al.
(1993), Areo et al. (1998), Sabran et al. (1998), Area et al. (1999), Alihamsyah et
al. (2000), Ananto et al. (2000), Ismail et al. (2000), Herawati e t al. (2000),
dan Supriadi et al. (2000). 9.6.2. Subsistem penyediaan sarana dan jasa tenaga
kerja Subsistem ini merupakan subsistem pendukung utama pada subsistem produksi.
Subsistem penyediaan sarana produksi pertanian mencakup terutama : perbenihan dan
pembibitan, amelioran dan pupuk serta obat-obatan, alat dan mesin pertanian
(alsintan), serta bahan pendukung lainnya. Sedangkan subsistem jasa tenaga kerja
terkait dengan kelangkaan tenaga kerja di wilayah lahan pasang surut. Dengan
terbatasnya modal dan keterampilan serta jiwa wirausaha petani dan mahalnya harga
alsintan, pengembangan alsintan diarahkan kepada sistem penyewaan melalui usaha
pelayanan jasa alsintan (UPJA) sehingga petani tidak menanggung risiko kerugian.
Subsistem ini bisa berupa UPJA untuk kegiatan penyiapan lahan. penanaman,
pemeliharaan tanaman, pemompaan air, panen dan pasca panen. Sarana produksi yang
penyediaannya sering bermasalah adalah benih, bibit dan pupuk. Dalam kaitan dengan
penyediaan benih, petani penangkar benih yang dibina oleh dan bermitra dengan pihak
swasta perlu ditumbuhkembangkan . Selain itu, keperluan benih atau bibit untuk
setiap lokasi pengembangan termasuk varietas dan waktunya perlu diinventarisir,
agar penyediaannya tepat sasaran, efektif dan efisien. Sedangkan dalam hal
penyediaan pupuk dan obat-obatan peranan koperasi desa dan kios sarana produksi
perlu ditingkatkan. Peranan pihak swasta dalam penanganan subsistem ini sangat
diperlukan agar sarana produksi dan pelayanan jasa tersebut dapat tersedia dengan
baik. Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut 288 9.6.3. Subsistem pasca panen
dan pemasaran hasil Masalah utama dalam subsistem pasca panen di lahan pasang surut
adalah belum baiknya penanganan panen dan pasca panen, disebabkan oleh musim panen
bersamaan dengan musim hujan serta terbatasnya tenaga kerja dan prasarana
penunjangnya. Hal ini mengakibatkan tingginya kehilangan dan rendahnya mutu hasil
tanaman sehingga harga jual hasil pertanian juga rendah. Pengembangan alsintan
panen dan pasca panen baik pasca panen primer maupun pasca panen sekunder bertujuan
selain untuk mengatasi keterbatasan tenaga kerja juga untuk menekan kehilangan dan
memperbaiki mutu serta meningkatkan nilai tambah hasil pertanian. Hal ini
memerlukan pengembangan UPJA untuk kegiatan pasca panen primer dan pengembangan
industri pengolahan hasil atau agroindustri yang dapat menghasilkan beragam produk
olahan. Berbagai komoditas pertanian telah diusahakan oleh petani di berbagai
wilayah lahan pasang surut dan memberikan hasil yang cukup tinggi. Namun hasil
pertanian tersebut tidak bisa dipasarkan dengan baik dan kadang-kadang harganya
sangat murah karena sistem pemasaran yang tidak baik. Masalah pemasaran hasil
pertanian di wilayah lahan pasang surut terkait juga dengan keterbatasan
aksesibilitas wilayah dan informasi pasar serta kemampuan petani dalam memasarkan
hasil pertaniannya. Hal ini mengakibatkan rendahnya posisi tawar petani terlebih
lagi pada saat panen raya dan dalam jangka panjang akan berpengaruh jelek terhadap
keberlanjutan usahatani. Oleh karena itu. kelembagaan tata niaga atau pemasaran
hasil pertanian sistem informasi pasar perlu dibangun dan kemampuan petani atau
kelompoknya dalam memasarkan hasil pertaniaannya ditingkatkan sehingga petani
memiliki posisi tawar yang lebi
h baik dan menerima keuntungan yang lebih layak. 9.6.4. Subsistem keuangan dan
permodalan Pada wilayah lahan pasang surut yang sudah dikembangkan, terbatasnya
modal merupakan salah satu kendala utama petani dalam mengembangkan usahatani yang
intensif dan ekstensif. Terlebih lagi lembaga keuangan belum berkembang di lokasi
tersebut. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah termasuk memberikan
bantuan dana bergulir dan mengembangkan berbagai Jumberi dan Alihamsyah 289 skem
kredit seperti kredit usahatani dan kredit ketahanan pangan, namun pada umumnya
tidak berhasil baik dan bahkan banyak yang macet. Oleh karena itu, perlu
dikembangkan lembaga keuangan atau permodalan alternatif seperti lembaga keuangan
desa dan Grameen Bank yang fungsinya selain menyalurkan kredit, juga melayani
berbagai transaksi keuangan di wilayah pengembangan mengingat lokasi pengembangan
umumnya jauh dari kota. Prosedur pengajuan kreditnya harus sesederhana mungkin dan
biayanya murah serta pencairan dananya cepat dan jangka waktu pengembalian
kreditnya lebih lama atau fleksibel, misalnya minimal satu tahun dan bukan satu
musim tanam seperti yang dilaksanakan sebelumnya. 9.6.5. Subsistem informasi dan
penyuluhan Peranan subsistem informasi dan penyuluhan penting dalam penyediaan dan
penyebaran informasi terkini dari berbagai aspek terkait dengan pengembangan
pertanian atau agribisnis di lahan pasang surut dan sekaligus meningkatkan
kemampuan petani dalam berusahatani atau beragribisnis. Untuk itu, perlu
dikembangkan sistem informasi pertanian atau agribisnis yang baik agar mampu
menyediakan informasi terkini mengenai potensi lahan dan karakteristiknya serta
ketersediaan teknologi dan perkembangan pasar komoditas pertanian. Kemampuan Balai
informasi dan penyuluhan pertanian yang ada perlu ditingkatkan, baik sarana dan
prasarananya maupun sumberdaya manusianya agar mampu mengelola sistem informasi dan
penyuluhan pertanian maju. Sebagai ujung tombak pengembangan pertanian atau
agribisnis di lahan pasang surut, penyuluh pertanian perlu ditingkatkan pengetahuan
dan kemampuan serta keterampilannya dalam berbagai aspek pengembangan agribisnis.
Selain itu, kepada mereka seyogyanya diberikan insentif dan dana operasional serta
sarana dan prasarana yang memadai agar gairah dan semangat kerjanya meningkat. 9.7.
KENDALA PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS Selain memiliki prospek yang baik,
pengembangan agribisnis di lahan pasang surut juga menghadapi berbagai kendala
sosial ekonomi dan dukungan eksternal yang terkait antara satu dengan yang lainnya.
Oleh karena itu, untuk Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut 290 keberhasilan
dan keberlanjutan pengembangan agribisnis di lahan pasang surut harus diupayakan
semaksimal mungkin pemecahan kendala tersebut. 9.7.1. Kendala sosial ekonomi petani
Kendala sosial ekonomi pengembangan agribisnis di daerah pasang surut yang umumnya
dihuni oleh penduduk lokal atau sebagai daerah transmigrasi meliputi : (1)
rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan petani, (2) masih kuatnya adat budaya
tradisional, dan (3) terbatasnya tenaga kerja. Hal ini menyebabkan sulit dan
lambannya adopsi teknologi baru oleh petani. Untuk mendukung keberhasilan
pengembangan usahatani atau agribisnis, maka petani atau buruh tani sebagai
pelaksana dalam subsistem produksi perlu ditingkatkan kemampuan dan partisipasi
aktifnya melalui berbagai upaya termasuk sosialisasi, penyuluhan dan pelatihan.
9.7.2. Kendala dukungan eksternal Dukungan eksternal yang menjadi kendala dalam
pengembangan usaha agribisnis di lahan pasang surut mencakup : (1) terbatasnya
infrastruktur atau
prasarana penunjang terutama jaringan tata air dan perhubungan serta air bersih,
(2) rendahnya aksesibilitas lokasi, dan (3) belum berkembang dan berfungsinya
secara baik kelembagaan agribisnis terutama penyediaan sarana produksi, keuangan
atau permodalan, pengelolaan pasca panen, pemasaran hasil, sistem informasi dan
penyuluhan. Sarana dan prasarana transpotasi di daerah pasang surut terbatas dan
umumnya berupa transportasi air, sedangkan pasar hanya dimiliki oleh wilayah yang
sudah lama dibuka dan perkembangannya pun sangat lamban. Lembaga keuangan formal
untuk perkreditan maupun penyimpanan uang umumnya belum tersedia di wilayah pasang
surut sehingga fasilitas perkreditan dan mobilitas dana sulit berkembang. Keadaan
transpotasi dan pemasaran yang demikian akan menghambat penyaluran sarana produksi
dan pemasaran hasil pertanian. Lembaga penyuluhan seperti Balai Informasi dan
Penyuluhan Pertanian sebagai penyedia informasi dan penyebaran teknologi pertanian
walaupun ada, tetapi sarana dan prasarananya umumnya terbatas serta kemampuan
tenaga penyuluhnya relatif masih rendah. Jumberi dan Alihamsyah 291 9.8.
PERANCANGAN MODEL PENGEMBANGAN AGRIBISNIS Perancangan model usaha pertanian atau
agribisnis di lahan pasang surut harus didasarkan kepada kondisi dan karakteristik
wilayah pengembangannya, sehingga akan bersifat spesifik wilayah. Perancangan dan
pengembangan usaha agribisnis di lahan pasang surut perlu dilakukan dengan
pendekatan holistik terpadu, artinya bahwa perancangan. dan pengembangannya
dilakukan dalam suatu sistem terpadu yang sinergi dan serasi antar komponen atau
subsistemnya, baik komoditas yang dikembangkan maupun teknologi yang digunakan
serta dukungan eksternalnya (Gambar 9.4). Oleh karena itu, Identifikasi dan
karakterisasi wilayah lahan pasang surut secara rinci merupakan langkah pertama dan
utama yang harus dilakukan guna tercapainya sasaran pengembangan agribisnis di
lahan pasang surut. Gambar 9.4. Gambaran perancangan model agribisnis di lahan
pasang surut Model Usaha Agribisnis di Lahan Pasang Surut Spesifik Lokasi Penataan
lahan: - Sawah - Surjan - Tukungan - Sistem caren Jaringan tata air : - Tata letak
saluran - Tipe dan dimensi saluran - Bangunan tata air Sistem Usahatani : - Pola
tanam - Komoditas & varietas tanaman - Teknik budidaya Kapasitas Petani : -
Pengetahuan & Ketrampilan - Tenaga & model kerja - Motivasi & partisipasi -
Kelompok tani Kelembagaan : - Sarana Produksi - Keuangan & permodalan
- Jasa Alsintan - Pemasaran hasil - Informasi & penyuluhan Prasarana Lainnya : -
Jalan usahatani - Gudang & Prasarana prosesing - Prasarana lainnya Usaha Agribisnis
di Lahan Rawa Pasang Surut 292 Dalam mengoptimalkan pengembangan usaha agribisnis
di lahan pasang surut, masalahnya adalah dimana saja dan berapa luas efektifnya
serta bagaimana karakteristik lahannya. Oleh karena itu, salah satu langkah awal
yang merupakan tahapan sangat penting dalam pengembangan usaha agribisnis di lahan
pasang surut yang perlu dilakukan adalah melakukan identifikasi atau inventarisasi
dan karakterisasi sebaik mungkin terhadap lahan-Iahan tersebut. Informasi dalam
bentuk peta minimal memuat penyebaran tipologi lahan dan tipe luapan air serta
sifat fisiko-kimia penting tanah dan airnya dapat digunakan dalam penyusunan
kembali tata ruang wilayah serta pola penataan lahan dan jaringan tata air maupun
pola tanam dan pemilihan komoditas serta teknologi budidayanya. Sedangkan
karakterisasi sosial ekonomi dan persepsi petani, prospek pemasaran komoditas dan
kelembagaan serta prasarana penunjang digunakan untuk menyempurnakan prasarana
usahatani, prasarana ekonomi, dan kelembagaan yang lebih sesuai serta pola
peningkatan kapasitas petani. Pola pikir dalam perancangan model usaha agribisnis
dalam kaitannya dengan karakterisasi wilayah lahan pasang surut disajikan pada
Gambar 9.5. Gambar 9.5. Pola pikir perancangan model usaha agribisnis di lahan
pasang surut Karakteristik biofisik lahan Karakteristik sistem usahatani
Karakteristik Sosek & kelembagaan Karakteristik prasarana wilayah . Calon
lokasi/petani . Penataan lahan . Pilihan komoditas . Budidaya tanaman . Calon
lokasi/petani . Prasarana usahatani . Prasarana ekonomi . Lembaga penunjang .
Kapasitas petani Model Usaha Agribisnis di lahan Pasang Surut Peningkatan : .
Produksi pangan . Pendapatan . Kesejahteraan . Kelestarian SDA SASARAN
Karakteristik Wilayah Jumberi dan Alihamsyah 293
Agar kelestarian sumberdaya alamnya tetap terpelihara, pengembangan usaha
agribisnis di lahan pasang surut selain penerapan teknologi secara benar juga
memerlukan pengaturan tata ruang yang cermat. Tata ruang pada pengembangan lahan
pasang surut perlu diatur, baik untuk tata ruang skala makro maupun untuk tata
ruang budidaya pertanian pada suatu wilayah pengembangan. Untuk pengaturan tata
ruang, maka karakteristik dari setiap tipologi lahan pasang surut dapat dipakai
sebagai acuan peruntukan atau pemanfaatan dan penataan lahan serta pemilihan
komoditas yang sesuai. Sedangkan tata ruang pertanian disusun berdasarkan hasil
karakterisasi wilayah terutama arahan kesesuaian lahan. Untuk skala makro, maka
areal lahan perlu dibagi menjadi kawasan non budidaya, kawasan budidaya atau
reklamasi dan kawasan prasarana penunjang seperti pemukiman dan fasilitas umum.
Kawasan non budidaya diperuntukkan sebagai wilayah penyangga guna mempertahankan
kelestarian sumberdaya alam, yang bisa berupa kawasan lindung dan suaka alam.
Kawasan lindung meliputi kawasan gambut sangat dalam beserta hutannya, sempadan
pantai dan sungai serta kawasan hutan bakau, sedangkan suaka alam adalah kawasan
yang memiliki ekosistem khas dan merupakan habitat alami fauna atau flora tertentu
yang langka dengan tujuan untuk melindungi keanekaragaman hayati. Kawasan budidaya
atau reklamasi bisa berupa kawasan hutan tanaman industri, kawasan perkebunan dan
kawasan pertanian. Sesuai dengan karakteristik lahannya, maka lahan gambut dalam
dan lahan sulfat masam aktual dijadikan kawasan perhutanan atau konservasi,
sedangkan lahan gambut sedang dan sulfat masam dijadikan kawasan perkebunan.
Kawasan pertanian dipilih pada lokasi bertipologi lahan potensial, sulfat masam
potensial, bergamb ut dan gambut dangkal, sedangkan untuk kawasan permukiman atau
penunjang sedapat mungkin diletakan pada tipologi lahan sulfat masam. Gambar 9.6
adalah contoh pengaturan tata ruang umum bersifat hipotetik untuk pengembangan
usaha agribisnis di lahan pasang surut. Pada kawasan budidaya pertanian, wilayah
pengembangan ditata menjadi beberapa sub kawasan, yaitu bisa berupa sub kawasan
tanaman pangan sub kawasan tanaman buah-buahan, sub kawasan tanaman sayuran, dan
sub kawasan kombinasi dari aneka komoditas pertanian disesuaikan dengan penataan
kesesuian lahan serta prospek pasar komoditas yang akan dikembangkan. Usaha
Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut 294 Gambar 9.6. Contoh susunan tata ruang
hipotetik di lahan pasang surut Jumberi dan Alihamsyah 295 PENUTUP Lahan pasang
surut di Indonesia, karena merupakan lahan marjinal dan rapuh dengan berbagai
masalah dan kendala pengembangan yang kompleks, maka reklamasi dan pengelolaannya
harus benar-benar dilakukan secara terencana, cermat, dan hati-hati melalui
penerapan teknologi reklamasi dan pengelolaan lahan yang tepat sesuai dengan
karakteristik fisiko-kimia lahannya. Agar pemanfaatannya untuk usaha agribisnis
dapat berkelanjutan dan berhasil baik, maka fokus utama pengembangannya adalah
optimalisasi pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya lahan serta pengembangan
infrastruktur dan kelembagaan. Untuk itu, identifikasi dan karakterisasi wilayah
mutlak perlu dilakukan secara rinci, baik menyangkut aspek biofisik lahan dan
sistem usahatani yang ada maupun sosial ekonomi dan persepsi petani serta
infrastruktur dan kelembagaan penunjang yang ada. DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, A.,
K. Sudarman, dan D.A. Suriadikarta. 1998. Pengembangan Lahan Pasang Surut
keberhasilan dan kegagalan ditinjau dari fisiko kimia lahan pasan surut. M. Sabran
dkk. Dalam Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Menunjang Akselerasi
Pengembangan Lahan Pasang
Surut. Balittra. Banjarbaru. Alihamsyah, T. dan E.E. Ananto. 1998. Sintesis hasil
penelitian budidaya tanaman dan alsintan pada lahan pasang surut. M. Sabran dkk.
Dalam Presiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Menunjang Akselerasi Pengembangan
Lahan Pasang Surut. Balittra. Banjarbaru. Alihamsyah, T., E.E. Ananto, H. Supriadi,
I.G. Ismail, dan D.E. Sianturi. 2000. Dwi Windu Penelitian Lahan Rawa : Mendukung
Pertanian Masa Depan. Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu-ISDP.
Badan Litbang Pertanian. Bogor. Ananto, E.E., A. Supriyo, Soentore, Hermanto, Y.
Soelaeman, I W. Suastika, dan B. Nuryanto. 2000. Pengembangan Usaha Pertanian Lahan
Pasang Surut Sumatera Selatan : Mendukung Ketahanan Pangan dan Pengembangan
Agribisnis. P2SLPS2. Badan Litbang Pertanian. Areo, Z.A., D. Djauhari, M.S.
Mokhtar, S. Fahri, dan M.A. Firmansyah. 1998. Prosiding Seminar Hasil
Penelitian/Pengkajian untuk Mendukung Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut
296 Pengembangan Lahan Rawa/Gambut Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah.
Palangkaraya, 3-4 Januari 1998. BPTP Palangkaraya. Areo, Z.A, D. Djauhari, R.
Ramli, Sriansyah, dan M.S. Mokhtar 1999. Presiding Lokakarya Nasional Hasil
Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian. Palangkaraya, 26-27 Agustus 1999.
BPTP Palangkaraya. Ar-Riza, I., R. Ramli, H.D. Noor, dan H. Susanto. 1993. Sistem
usahatani dan teknologi penunjang di lahan pasang surut dan lebak Kalimantan
Selatan. Balai Penelitian Tanaman Pangan. Banjarbaru. Badan Litbang Pertanian.
2003. Panduan Ekspose Nasional Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut. Barito Kuala,
Kalimantan Selatan, 30-31 Juli 2003. Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan
Lahan. 1995. Luas penggunaan lahan rawa pasang surut, lebak, polder, dan rawa
lainnya di tujuh propinsi. Dirjen Tanaman Pangan dan Hortikultura. Departemen
Pertanian. Jakarta. Herawati, T., E.E. Ananto, dan A.S. Karama. 2000. Prosiding
Seminar Hasil Penelitian dan Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut-ISOP Riau.
Pekanbaru, 27-28 Maret 2000. Puslitbang Tanaman Pangan. Idak, H. 1982. Perkembangan
dan sejarah persawahan di Kalimantan Selatan. Mimeographi, Pemda Kalimantan
Selatan, Banjarmasin. Ismail, I.G., T. Alihamsyah, I P.G. Widjaja-Adhi, Suwarno, T.
Herawati, R. Thahi r, dan D.E. Sianturi. 1993. Sewindu Penelitian Pertanian di
Lahan Rawa : Kontribusi dan Prospek Pengembangan. Proyek Swamps II. Puslitbang
Tanaman Pangan, Bogor. Khairullah, I. and S. Sulaiman. 2002. Varietas unggul dan
galur harapan padi adaptif lahan pasang surut. Monograf: Varietas Tanaman Pangan
Adaptif Lahan Pasang Surut. ISSN 1410-637 X. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa.
Banjarbaru, Indonesia Noorsyamsi, H. and O.O. Hidayat. 1974. The tidal swamp rice
culture in South Kalimantan. Contrib. Cent. Res. Inst. Agric. 10: 1-8. Sabran, M.,
M.Y. Maamum, S. Abdussamad, B. Prayudi, I. Noar, dan S. Sulaiman. 1998. Prosiding
Seminar Nasional Hasil Penelitian Menunjang Akselerasi Pengembangan Lahan Pasang
Surut. Balittra. Banjarbaru, 2122 M8'et 1998 Schophuys, H.J. 1969. Perspectives of
lifting water for irrigation and drainage in Indonesia in general, in Sumatra and
Kalimantan in particular (Mimeographed) Bogor, Indonesia. Jumberi dan Alihamsyah
297 Supriadi, H., Ruhendi, dan A.S. Karama. 2000. Prosiding Seminar Hasil
Penelitian, dan Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut-ISOP
Kalimantan Barat Pontianak, 22-23 Maret 2000. Puslitbang Tanaman Pangan Suprihatno,
B., T. Alihamsyah, dan E.E. Ananto. 1999. Teknologi pemanfaatan lahan pasang surut
dan lebak untuk pertanian tanaman pangan. Dalam Prosiding Simposium Penelitian
Tanaman Pangan IV di Bogor tanggal 2224 November 1999. Widjaja-Adhi, I P.G. 1986.
Pengelolaan lahan pasang surut dan lebak. Jurnal Litbang Pertanian V(1), Januari
1986. Badan Litbang Pertanian. Widjaja-Adhi, I P.G. 1995. Pengelolaan tanah dan air
dalam pengembangan sumberdaya lahan rawa untuk usahatani berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan. Makalah disampaikan pada Pelatihan Calon Pelatih untuk
Pengembangan Pertanian di daerah Pasang Surut, 26-30 Juni 1995, Karang Agung Ulu,
Sumatera Selatan. Widjaja-Adhi, I P.G. dan T. Alihamsyah. 1998. Pengembangan lahan
pasang surut : potensi, prospek dan kendala serta teknologi pengelolaannya untuk
pertanian. Dalam Prosiding Seminar Himpunan IImu Tanah Jawa Timur. Malang, 18
Desember 1998.

Anda mungkin juga menyukai