Anda di halaman 1dari 179

National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No.

2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Conference Proceeding on Waste Treatment Technology

Penanggung Jawab:
Ir. Eko Julianto, M.Sc., FRINA.

Pemimpin Umum:
George Endri Kusuma, ST., Msc.Eng.
Pemimpin Redaksi:
Denny Dermawan, ST., MT.
Anggota Redaksi:
Harmin Sulistyaning Titah, S.T., M.T., Ph.D (ITS)
Dr. Hardianto S.T., M.T. (ITN Malang)
Dr. Nanik Astuti Rahman S.T., M.T. (ITN Malang)
Dwi Ratri Mitha Isnadina S.T., M.T. (UNAIR)
Dr. Eng. Kusdianto S.T., M.Sc.Eng (ITS)
Diah Susanti S.T., M.T., Ph.D (ITS)
Dr. Mirna Apriani, S.T., M.T.
Adhi Setiawan S.T., M.T.
Ahmad Erlan Afiuddin, S.T., M.T.
Dika Rahayu Widiana, S.T., M.T. Ph.D
Tanti Utami Dewi, S.Si., M.Sc.
Moch. Luqman Ashari, S.T., M.T.
Mochammad Choirul Rizal, S.T., M.T.
Novi Eka Mayangsari, S.T., M.T.
Vivin Setiani S.T., M.T., M.Eng.
Ulvi Pri Astuti, S.T., M.T.
Tarikh Azis Ramadani S.T., M.T.
Luqman Cahyono S.Pd., M.T.
Setyo Budi Kurniawan, S.T., M.T.
Ayu Nindyapuspa, S.T., M.T.
Alma Vita Sophia, S.T., M.T.
Pelaksana Teknis:
Aga Sandya L
Penerbit:
Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya
Alamat Sekretariat/Redaksi:
Jurusan Teknik Permesinan Kapal Gedung Direktorat Lt. 2
Jalan Teknik Kimia, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111
Telp: +62315947186 Fax: +62315942887
Email: wastetreatweek.ppns@gmail.com

Cetakan kedua, September 2019

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari
penerbit

i
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

KATA SAMBUTAN
KOORDINATOR PROGRAM STUDI TEKNIK PENGOLAHAN LIMBAH

Assalamualaikum Wr. Wb
Salam Sejahtera bagi kita semua,

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karuniaNya atas
terwujudnya acara “National Conference on Waste Treatment Technology” yang
diselenggarakan oleh Program Studi Teknik Pengolahan Limbah PPNS. Diharapkan melalui
penerbitan prosiding ini dapat menjadi masukan dan memberikan berbagai alternatif
penyelesaian terkait pencemaran lingkungan sehingga dapat terwujud lingkungan hidup
yang lestari dan berkelanjutan untuk generasi mendatang. Semua artikel ilmiah yang telah
dipresentasikan pada seminar akan didokumentasikan dalam prosiding ber-ISSN yang
bertajuk Conference Proceeding on Waste Treatment Technology Vol. 2.

Seminar nasional dengan tema “Sinergi Kebijakan, Teknologi, dan Kepedulian


Pengelolaan Limbah Terhadap Keberlanjutan Ekosistem Laut dan Pesisir”
dilaksanakan pada tanggal 21 September 2019 di Graha Dewa Ruci PPNS. Tema tersebut
diangkat sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pengelolaan dan
pengolahan limbah, khususnya limbah yang dihasilkan dari kegiatan industri. Diharapkan
dari seminar ini dapat memberikan ide-ide baru dalam pengembangan teknologi pengolahan
limbah industri serta menciptakan sinergi antara kebijakan dengan pemangku kepentingan
dalam upaya mengatasi masalah pencemaran ekosistem laut dan pesisir.

Pada kesempatan ini Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Manajemen PPNS,
sponsor, donator, media partners, keynote speakers, para dosen, reviewer, pemakalah,
peserta, dan panitia yang berpartisipasi dan berupaya mensukseskan Seminar Nasional ini.
Harapan kami selanjutnya, semoga Conference Proceeding on Waste Treatment Technology
Vol. 2 ini dapat bermanfaat sebagai bahan rujukan dalam upaya memelihara kelestarian
lingkungan hidup di Indonesia demi kesejahteraan seluruh masyarakat.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Surabaya, 21 September 2019


Koordinator Program Studi
Teknik Pengolahan Limbah

Adhi Setiawan S.T., M.T.


NIP. 198702242014041001

ii
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Conference Proceeding on Waste Treatment Technology

Daftar Isi
Conference Proceeding on Waste Treatment Technology i
KATA SAMBUTAN ii
Daftar Isi iii
HAZARDOUS WASTE

Biodegradasi Diesel oleh Konsorsium Bakteri Vibrio alginolyticus dan Acinetobacter


lwoffii yang Diisolasi dari Area Pembongkaran Kapal di Pantai Tanjungjati,
Madura, Indonesia
1 2
Muhammad Fauzul Imron , Setyo Budi Kurniawan 1

Pengaruh Penambahan Bakteri Pseudomonas aeruginosa pada Bioremediasi Total


Petroleum Hydrocarbon Penambangan Minyak Bumi Tradisional di Jawa Timur
Istina Nisa’ Adzini1*, Denny Dermawan1, Mirna Apriani1 7
Identifikasi Karakteristik Limbah Slag Aluminium sebagai Substitusi Semen dalam
Uji Setting Time dan Kualitas Material pada Mix Design Beton K-250
(Studi Kasus : Kawasan Home Industry Kecamatan Sumobito)2
Balqis Ramadhani1*, Denny Dermawan1, dan Moch. Luqman Azhari3 13
Pengaruh Limbah Phospo Gypsum sebagai Bahan Pengganti Semen terhadap Uji
Setting Time
Kurniawan Aji Sasono1*, Moch. Luqman Ashari2, Ridho Bayuaji3 19
Identifikasi Kelayakan Pemanfaatan Limbah Pasir Foundry sebagai Material
Agregat Halus pada Bata Beton (Paving Block)
Anis Rosyida1* , Denny Dermawan1 , Mochammad Choirul Rizal2 23
Karakteristisasi Limbah Bagasse Ash Pabrik Gula sebagai Alternatif Bahan Dasar
Zeolit Sintesis
Jihan Nabillah Hanun1*, Adhi Setiawan1, Ahmad Erlan Afiuddin1 29

EMMISION
Perancangan Ulang Bag Filter di Industri Peleburan Baja
Bety Noraini1*, Ahmad Erlan Afiuddin1, Alma Vita Sophia1 35
Studi Pengurangan Gas CO2 dari Emisi PLTU Batubara dengan Menggunakan
Mikroalga Botryococcus braunii
Jami’atul Hikmah1*, Ahmad Erlan Afiuddin1, Tanti Utami Dewi1 41

Inventarisasi Sumber Emisi PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk.


Bagas Saras Ardianarsya 1*, Ahmad Erlan Afiuddin 1, Mirna Apriani 1 47

Perencanaan Wet Scrubber pada Unit Boiler di Industri Minyak Goreng


Annisa Fitri Heriantini1*, Ahmad Erlan Afiuddin1, Alma Vita Sophia1 53

iii
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Perancangan Bag Filter pada Unit Rawmill di Industri Semen


Brellian Mutiaraning Nareswari1*, Ahmad Erlan Afiuddin1, Alma Vita Sophia1 59

SOLID WASTE
Pengaruh Waktu Delignifikasi terhadap Karakteristik Selulosa dari Daun Nanas dan
Jerami
Egata Dwi Veptiyan 1*, Mirna Apriani1, Novi Eka Mayangsari1 65

Perbandingan Efektifitas Jaring Ikan Bekas dan Botol Plastik Bekas Sebagai Media
Biofilter dengan Sistem Batch pada Limbah Laundry
Aditya Kresna Putra1*, Denny Dermawan1, Ulvi Pri Astuti1 71

Analisis Pengaruh Waktu Deasetilasi terhadap Karakteristik Kitosan dari Cangkang


Kepiting
Citra Eripramita Yunus1*, Adhi Setiawan1, Novi Eka Mayangsari1 75
Analisis Nilai Kalor Dari Briket Ampas Tebu dan Tempurung Kelapa
Risya Dwi Maulidya1*, Adhi Setiawan1, Vivin Setiani1 79

Analisis Kualitas Hasil Komposting Sampah Sisa Makanan dan Daun dengan
Metode Rotary Drum Composter (Studi Kasus: Politeknik Perkapalan Negeri
Surabaya)
Arlieza Nadya Pradini1*, Mirna Apriani1, Vivin Setiani1 83

WASTE WATER
Model Pengelolaan Air Balas Kapal Di Perairan Indonesia Sesuai Regulasi IMO
MEPC 56/23 Annex 2
Minto Basuki1*, Lukmandono2, Maria Margareta Zau Beu3 89

Spatial Approach Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah


1* 2
I Made Wahyu Wijaya , Mirna Apriani , Masrullita3 97

Recovery Konsentrasi Ammonium dan Fosfat pada Lindi Artifisial Menggunakan


Presipitasi Struvite
Dian Qoriati1*, Adhi Setiawan1, Denny Dermawan1 103

Limbah Penghasil Energi Listrik Melalui Microbial Fuel Cell


(Alternatif : Limbah Domestik IPLT Keputih, Surabaya)
Suci Wulandari1*, Adhi Setiawan1, Tanti Utami Dewi1 109

Sintesis dan Karakterisasi TiO2-Karbon Aktif Tempurung Kelapa sebagai


Photocatalyst Agent dalam Pengolahan Limbah Cair Batik
Putri Dwi Anggraini1* , Adhi Setiawan1 , Novi Eka Mayangsari1 113

iv
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Penurunan Kadar Minyak dan Lemak Industri Bir dan Minuman Ringan dengan
Dissolved Air Flotation
Ahmad Randi Taufiqussyakir1*, Ahmad Erlan Afiuddin1, Ulvi Pri Astuti1 119

Alternatif Pengolahan Instalasi Air Limbah Industri Kecap, Saos, dan Permen Ting-
Ting Jahe
Nedya Nayaka Sastri1*, Denny Dermawan1, Moch. Luqman Ashari2 123

Biokoagulan Biji Trembesi (Samanea saman) dan Daun Mimba (Azadirachta indica)
dalam Mengolah Air Limbah Industri Asam Fosfat
Emeralda Eka Putri Setyawati¹ *, Adhi Setiawan¹, Tanti Utami Dewi¹ 129

Penurunan Kadar Fluoride dan COD pada Industri Asam Fosfat Menggunakan
Kombinasi Metode Presipitasi Elektrokoagulasi dengan Elektroda Alumunium
Nadya Ayu Arianingtyas1*, Adhi Setiawan1, Novi Eka Mayangsari1 135

Pengaruh Removal TDS dan warna dengan menggunakan Koagulan Poly Aluminium
Chloride (PAC) dan Tawas pada Limbah Industri Minuman Bir
Arwinda Praditasari 1*, Adhi Setiawan1, Ulvi Priastuti1 139

Pengolahan Limbah Cair Logam Berat Pb (II) menggunakan Kombinasi Metode


Elektrokoagulasi - Adsorpsi dengan Karbon Aktif Biji Alpukat
Rizka Lutfita Hanastasia1*, Adhi Setiawan1, Tarikh Azis Ramadani1 145

LIFE CYCLE ANALYSIS


Life Cycle Assessment Emisi ke Udara Pada Proses Pembakaran di Kiln PT. Semen
Indonesia (Persero) Tbk. Pabrik Tuban
Adinda Noer Khalizah1*, Mirna Apriani1, Ahmad Erlan Afiuddin1 151

Analisis Daur Hidup pada Kegiatan Produksi Iodium


Fatimatuz Zahro’ 1*, Mirna Apriani1, Ahmad Erlan Afiuddin1 157

WASTE MANAGEMENT INFORMATION SYSTEM


Perancangan dan Pembuatan Sistem Informasi Penyimpanan Data Limbah B3
Menggunakan Metode Personal Extreme Programming (PXP) di Industri Asam
Fosfat
Rizal Hardiansyah1*, Ahmad Erlan Afiuddin1 ,Muhammad Khoirul Hasin2 163

Rancang Bangun Pemantau Parameter Karbon Monoksida (CO) Menggunakan


Sensor Berbasis Android
Moga Jiwa Satria Mulia1*, Ahmad Erlan Afiuddin1, Ryan Yudha Adhitya2 169

v
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Biodegradasi Diesel oleh Konsorsium Bakteri Vibrio alginolyticus dan


Acinetobacter lwoffii yang Diisolasi dari Area Pembongkaran Kapal di
Pantai Tanjungjati, Madura, Indonesia

Muhammad Fauzul Imron1* dan Setyo Budi Kurniawan2


1
Program Studi Teknik Lingkungan, Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Airlangga, Kampus C UNAIR, Jalan Mulyorejo, Surabaya, 60115, Indonesia
2
Program Studi Teknik Pengolahan Limbah, Jurusan Teknik Permesinan Kapal, Politeknik
Perkapalan Negeri Surabaya, Jalan Teknik Kimia, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111,
Indonesia
*
E-mail: fauzul.01@gmail.com

Abstrak

Hidrokarbon yang berasal dari minyak bumi seperti bahan bakar diesel, minyak mentah, dan sulingan
minyak bumi adalah jenis-jenis polutan yang ditemukan di lingkungan perairan laut. Polutan ini tergolong
jenis-jenis bahan yang berbahaya bagi lingkungan. Diperlukan teknologi khusus untuk meremediasi
pencemaran laut, utamanya oleh diesel, sebagai salah satu pencemar yang paling banyak ditemukan di
wilayah perairan laut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan kemampuan degradasi diesel oleh
konsorsium bakteri Vibrio alginolyticus dan Acinetobacter lwoffii. V. alginolyticus dan A. lwoffii diisolasi
dari area pembongkaran kapal di Pantai Tanjungjati, Madura, Indonesia. Studi kemampuan biodegradasi
diesel dilakukan dengan menginokulasi 10% (v/v) konsorsium bakteri ke dalam Mineral Salt Medium
(MSM) dengan 10% (v/v) konsentrasi diesel. Persentase degradasi diesel diamati dengan analisis GC-MS.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsorsium bakteri V. alginolyticus dan A. lwoffii mampu
mendegradasi diesel hingga 12,06% selama 14 hari. Konsorsium bakteri V. alginolyticus dan A. lwoffii
terbukti mampu menurunkan rantai karbon yang ada dalam diesel sehingga memiliki potensi untuk
digunakan sebagai agen bioremediasi lingkungan laut yang tercemar oleh hidrokarbon.
Keywords: A. lwoffii, Bioremediasi, Isolasi bakteri, Pencemaran laut, V. alginolitycus.

1. PENDAHULUAN
Diesel adalah jenis bahan bakar mesin yang mengandung hidrokarbon dengan rantai C berkisar antara
C8 - C26 serta polyaromatic hydrocarbons (PAHs) (Ramasamy dkk., 2017). Diesel banyak ditemukan
sebagai pencemar di wilayah perairan laut (Palanisamy dkk., 2014). Tumpahan diesel di laut dapat
menimbulkan efek buruk bagi ekosistem laut karena komponen penyusunnya memiliki karakteristik
karsinogenik dan toksik bagi makhluk hidup (Imron dan Titah, 2018; Ramasamy dkk., 2017). Sekitar 1,7
hingga 8,8 juta metrik ton hidrokarbon, termasuk diesel, dilaporkan mencemari wilayah darat dan laut setiap
tahunnya (Sihag dkk., 2014). Salah satu pendekatan untuk memulihkan wilayah perairan laut yang tercemar
adalah dengan menggunakan metode bioremediasi (Imron dkk., 2019; Purwanti dkk., 2017; Titah dkk.,
2018). Bioremediasi adalah salah satu bioteknologi yang memanfaatkan mikroorganisme untuk
menghilangkan atau menurunkan sifat berbahaya dari suatu zat pencemar (Purwanti dkk., 2019; Titah dkk.,
2019). Mikroorganisme indigenous, yang diisolasi dari daerah terkontaminasi, memiliki kemampuan yang
lebih efisien dalam mendegradasi pencemar (Kurniawan dkk., 2018; Prathyusha dkk., 2012; Titah dkk.,
2018a). Beberapa bakteri yang diisolasi dari daerah yang terkontaminasi diesel diantaranya Acinetobacter
sp., Vibrio sp., Moraxella sp., dan Bacillus sp. (Al-Baldawi dkk., 2017; Bhasheer dkk., 2014; Hamzah dkk.,
2010) telah terbukti mampu mendegradasi diesel. Selain itu, bioremediasi adalah salah satu teknologi ramah
lingkungan yang dapat diterapkan pada semua skala pencemaran (Abdel-Shafy dan Mansour, 2016; Sihag
dkk., 2014).
V. alginolyticus dan A. lwoffii dapat diisolasi lingkungan tercemar diesel dan terbukti memiliki
kemampuan mendegradasi diesel hingga 90% (Hamzah dkk., 2010; Isiodu dkk., 2016). Konsorsium dari
beberapa jenis bakteri cenderung memiliki kemampuan yang lebih baik dalam proses biodegradasi
pencemar (Priyanka dan Archana, 2011; Tiralerdpanich dkk., 2018; Zhang dkk., 2010). Penelitian terkait
1
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

dengan konsorsium antara dua spesies bakteri ini masih sangat terbatas. Penelitian terkait penggunaan
konsorsium bakteri untuk mendegradasi diesel sangatlah penting karena dimungkinkan dapat meningkatkan
efisiensi biodegradasi. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk menguji kemampuan degradasi diesel
oleh konsorsium bakteri V. alginolyticus dan A. lwoffii yang diisolasi dari area pembongkaran kapal di Pantai
Tanjungjati, Madura, Indonesia. Hasil dari penelitian ini dapat menjadi referensi proses biodegradasi diesel
serta tinjauan kemampuan kedua bakteri uji (V. alginolyticus dan A. lwoffii) dalam proses transformasi
hidrokarbon yang ada pada diesel.

2. METODE
2.1. Persiapan Bakteri

V. alginolyticus dan A. lwoffii diisolasi dari area pembongkaran kapal di Pantai Tanjungjati, Madura,
Indonesia. Proses isolasi merujuk pada Imron dkk., (2019). Kultur murni dipertahankan pada nutrien agar
miring pada suhu 4 °C. Regrowth bakteri dilakukan pada nutient agar (NA) (Merck, Jerman) untuk kemudan
diinkubasi dalam suhu 37° C selama 24 jam. Bakteri yang telah diregrowth kemudian dipindahkan ke
nutrient browth (NB) (Merck, Jerman). Inokulum kemudian dishaker (Innova 2000, Jerman) pada 150 rpm
selama 8 jam hingga mencapai OD600 = 1A. Bakteri dipanen melalui sentrifugasi (Memert, Jerman) selama
10 menit pada 3000 rpm. Pelet yang terbentuk kemudian dicuci dua kali dengan larutan fisiologis NaCl
0,85% steril sebelum digunakan dalam studi biodegradasi.

2.2. Studi Biodegradasi Diesel

Studi biodegradasi diesel dilakukan menggunakan Mineral Salt Medium (MSM) yang mengandung diesel
sebagai sumber karbon utama. MSM terdiri dari (NH4)2SO4 - 1 g/L; KH2PO4 - 1 g/L; K2HPO4 - 1 g/L;
MgSO4.7H2O – 0,2 g/L; FeCl3 – 0,05 g/L; CaCl2 – 0,02 g/L; dan NaCl – 16.53 g/L (Palanisamy dkk., 2014).
Biodegradasi diesel dilakukan dalam labu Erlenmeyer 250 mL (Pyrex, Jerman) yang mengandung 100 mL
MSM dengan 10% (v/v) diesel sebagai sumber karbon untuk konsorsium bakteri. Sejumlah 10% (v/v)
konsorsium bakteri V. alginolyticus dan A. lwoffii (OD600 = 1A) ditambahkan ke dalam MSM yang
mengandung diesel (Imron dan Titah, 2018). Kultur diinkubasi selama 14 hari pada 150 rpm shaker. Sekitar
5 mL sampel dari reaktor biodegradasi diesel diekstraksi dua kali dengan 20 mL n -hexane (Fulltime, USA)
sebagai pelarut dengan menggunakan corong pisah (Pyrex, Jerman). Residu diesel dipindahkan ke dalam
vial dan diinkubasi di Waterbath (Memmert, Jerman) pada suhu 55oC selama 3 hari untuk menguapkan n-
hexane. Ekstrak diesel dari proses biodegradasi kemudian dianalisis menggunakan GC-MS QP2010S
(Shimadzu, Jepang).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil analisis gas kromatografi dari proses biodegradasi diesel ditampilkan pada Gambar 1. Didapatkan
hasil bacaan degradasi diesel sebesar 12,06% selama kurun waktu 14 hari uji. Berdasarkan Gambar 1,
konsorsium bakteri ini berhasil mendegradasi rantai C maksimum dalam diesel dari sebelumnya C132
menjadi C109. Puncak tertinggi sebelum degradasi didapatkan pada rantai C77 dan turun menjadi C49
setelah proses degradasi oleh konsorsium bakteri. Sathishkumar dkk., (2008) melaporkan bahwa bakteri
pendegradasi diesel lebih cenderung menurunkan C6 - C15 dari alkana kemudian diikuti oleh C16 - C36.
Sedangkan senyawa aromatik dan siklik memiliki berat molekul lebih besar dengan struktur yang lebih
kompleks sehingga cenderung tidak terdegradasi oleh mikroorganisme.
Hasil ini juga menunjukkan kemungkinan bahwa kedua jenis bakteri berperan tidak sinergis dalam
proses degradasi, sehingga hanya menghasilkan penyisihan diesel yang relatif kecil. Hal ini disebabkan oleh
perbedaan kondisi optimal yang mempengaruhi proses degradasi diesel seperti ketersediaan nutrisi, pH,
suhu, dan salinitas. pH optimum untuk A. lwoffii adalah 6.5 (Hamzah dkk., 2010), sedangkan V.
Alginolyticus adalah 7,5 (Isiodu dkk., 2016). Hasil pengukuran pH dalam uji biodegradasi berkisar antara
6,4 hingga 7, yang merupakan pH optimum untuk A. lwoffii. Disamping itu, Panhwar dkk., (2018)
melaporkan bahwa A. lwoffii cenderung memiliki pertumbuhan rendah pada medium dengan salinitas tinggi,
sedangkan V. alginolyticus adalah bakteri halofilik (Surendran dkk., 1983). Yuan dkk., (2015) juga
melaporkan bahwa salinitas optimum untuk A. lwoffii adalah 5 ‰.
Kondisi optimum untuk kedua bakteri yang tidak dapat dicapai secara bersamaan menyebabkan
penghambatan reaksi enzimatis dalam proses degradasi diesel (Sihag dkk., 2014). Selain itu, kondisi
optimum pertumbuhan bakteri juga mempengaruhi proses produksi biosurfaktan. Biosurfaktan digunakan

2
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

oleh bakteri untuk mengemulsi diesel sebagai awal proses biodegradasi (Cerqueira dkk., 2011; Sari dkk.,
2018). Jika jumlah biosurfaktan yang dihasilkan tidak mencukupi untuk mengemulsi sejumlah diesel tertentu
diesel, maka proses pemanfaatan diesel sebagai sumber karbon untuk metabolisme bakteri tidak dapat
terlaksana (Morales-Guzmán dkk., 2017; Obayori dkk., 2009).

(a)

(b)
Gambar 1. Hasil analisis GC-MS (a) Awal (b) Setelah proses biodegradasi oleh konsorsium bakteri
V. alginolyticus dan A. lwoffii

4. KESIMPULAN
Konsorsium bakteri Vibrio alginolyticus dan Acinetobacter lwoffii mampu menyisihkan diesel hingga
12,06% dalam media MSM dengan konsentrasi diesel awal sebesar 10% (v/v) tanpa penambahan nutrisi
dalam proses degradasi. V. alginolyticus dan A. lwoffii terbukti mampu mendegradasi rantai alkana yang ada
pada diesel. Keberhasilan proses biodegradasi sangat bergantung pada ketersediaan nutrisi untuk
pertumbuhan bakteri dan kondisi lingkungan hidup bakteri. Penambahan nutrisi dan surfaktan sangat
disarankan untuk dapat meningkatkan kemampuan degradasi diesel oleh bakteri.

5. DAFTAR PUSTAKA
Abdel-Shafy, Hussein I., and Mona S.M. Mansour. 2016. “A Review on Polycyclic Aromatic Hydrocarbons:
Source, Environmental Impact, Effect on Human Health and Remediation.” Egyptian Journal of Petroleum
25 (1): 107–23.
Al-Baldawi, I. A., S. R.S. Abdullah, N. Anuar, and I. Mushrifah. 2017. “Bioaugmentation for the Enhancement of
Hydrocarbon Phytoremediation by Rhizobacteria Consortium in Pilot Horizontal Subsurface Flow
Constructed Wetlands.” International Journal of Environmental Science and Technology 14 (1): 75–84.

3
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Bhasheer, S K, S Umavathi, D Banupriya, M Thangavel, and Y Thangam. 2014. “Diversity of Diesel Degrading
Bacteria from a Hydrocarbon Contaminated Soil.” International Journal of Current Microbiology and
Applied Sciences 3 (11): 363–69.
Cerqueira, Vanessa S., Emanuel B. Hollenbach, Franciele Maboni, Marilene H. Vainstein, Flávio A.O. Camargo,
Maria do Carmo R. Peralba, and Fátima M. Bento. 2011. “Biodegradation Potential of Oily Sludge by Pure
and Mixed Bacterial Cultures.” Bioresource Technology 102 (23): 11003–10.
Hamzah, Ainon, AmirRabu, Raja Farzarul Hanim Raja Azmy, and Noor Ainni Yussoff. 2010. “Isolation and
Characterization of Bacteria Degrading Sumandak and South Andsi Oils.” Sains Malaysiana 39 (2): 161–68.
Imron, Muhammad Fauzul, Setyo Budi Kurniawan, and Harmin Sulistiyaning Titah. 2019. “Potential of Bacteria
Isolated from Diesel-Contaminated Seawater in Diesel Biodegradation.” Environmental Technology and
Innovation 14 (May): 100368.
Imron, Muhammad Fauzul, and Harmin Sulistiyaning Titah. 2018. “Optimization of Diesel Biodegradation by
Vibrio Alginolyticus Using Box-Behnken Design.” Environmental Engineering Research 23 (4): 374–82.
Isiodu, G G, H O Stanley, V Ezebuiro, and P O Okerentugba. 2016. “Role of Plasmid-Borne Genes in the
Biodegradation of Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) by Consortium of Aerobic Heterotrophic
Bacteria.” Journal of Petroleum & Environmental Biotechnology 07 (01): 1–7.
Kurniawan, Setyo Budi, Ipung Fitri Purwanti, and Harmin Sulistiyaning Titah. 2018. “The Effect of PH and
Aluminium to Bacteria Isolated from Aluminium Recycling Industry.” Journal of Ecological Engineering 19
(3): 154–61.
Morales-Guzmán, Gilberto, Ronald Ferrera-Cerrato, María del Carmen Rivera-Cruz, Luis Gilberto Torres-Bustillos,
Ramón Ignacio Arteaga-Garibay, Ma Remedios Mendoza-López, Rosalba Esquivel-Cote, and Alejandro
Alarcón. 2017. “Diesel Degradation by Emulsifying Bacteria Isolated from Soils Polluted with Weathered
Petroleum Hydrocarbons.” Applied Soil Ecology 121 (October): 127–34.
Obayori, Oluwafemi S., Matthew O. Ilori, Sunday A. Adebusoye, Ganiyu O. Oyetibo, Ayodele E. Omotayo, and
Olukayode O. Amund. 2009. “Degradation of Hydrocarbons and Biosurfactant Production by Pseudomonas
Sp. Strain LP1.” World Journal of Microbiology and Biotechnology 25 (9): 1615–23.
Palanisamy, Nandhini, Jayaprakash Ramya, Srilakshman Kumar, N. S. Vasanthi, Preethy Chandran, and Sudheer
Khan. 2014. “Diesel Biodegradation Capacities of Indigenous Bacterial Species Isolated from Diesel
Contaminated Soil.” Journal of Environmental Health Science and Engineering 12 (1): 1–8.
Panhwar, Abdul Haleem, Mustafa Tuzen, and Tasneem Gul Kazi. 2018. “Deep Eutectic Solvent Based Advance
Microextraction Method for Determination of Aluminum in Water and Food Samples: Multivariate Study.”
Talanta 178: 588–93.
Prathyusha, K., YSYV. Jagan Mohan, S. Sridevi, and B.V. Sandeep. 2012. “Isolation and Characterization of
Petroleum Hydrocarbon Degrading Indigenous Bacteria from Contaminated Sites of Visakhapatnam.”
International Journal of Advanced Research 4 (3): 357–62.
Priyanka, Nayak, and Tiwari Archana. 2011. “Biodegradability of Polythene and Plastic By The Help of
Microorganism: A Way for Brighter Future.” Journal of Environmental & Analytical Toxicology 01 (02).
Purwanti, Ipung Fitri, Setyo Budi Kurniawan, Nur ‘Izzati Ismail, Muhammad Fauzul Imron, and Siti Rozaimah
Sheikh Abdullah. 2019. “Aluminium Removal and Recovery from Wastewater and Soil Using Isolated
Indigenous Bacteria.” Journal of Environmental Management 249 (November): 109412.
Purwanti, Ipung Fitri, Setyo Budi Kurniawan, Bieby Voijant Tangahu, and Nalurika Muji Rahayu. 2017.
“Bioremediation of Trivalent Chromium in Soil Using Bacteria.” International Journal of Applied
Engineering Research 12 (20): 9346–50.
Ramasamy, Sugumar, Arumugam Arumugam, and Preethy Chandran. 2017. “Optimization of Enterobacter Cloacae
(KU923381) for Diesel Oil Degradation Using Response Surface Methodology (RSM).” Journal of
Microbiology 55 (2): 104–11.
Sari, Gina Lova, Yulinah Trihadiningrum, Dwiyanti Agustina Wulandari, Ellina Sitepu Pandebesie, and I. D.A.A.
Warmadewanthi. 2018. “Compost Humic Acid-like Isolates from Composting Process as Bio-Based
Surfactant: Properties and Feasibility to Solubilize Hydrocarbon from Crude Oil Contaminated Soil.” Journal
of Environmental Management 225 (November): 356–63.
Sathishkumar, Muthuswamy, Arthur Raj Binupriya, Sang Ho Baik, and Sei Eok Yun. 2008. “Biodegradation of
Crude Oil by Individual Bacterial Strains and a Mixed Bacterial Consortium Isolated from Hydrocarbon
Contaminated Areas.” Clean - Soil, Air, Water 36 (1): 92–96.
Sihag, Shallu, Hardik Pathak, and D P Jaroli. 2014. “Factors Affecting the Rate of Biodegradation of Polyaromatic
Hydrocarbons.” International Journal of Pure and Applied Bioscience 2 (3): 185–202.
Surendran, P K, K Mahadeva Iyer, and K Gopakumar. 1983. “Salt Tolerance of Bacteria Isolated from Tropical
Marine Fish and Prawn.” Fishery Technology 20: 105–10.
Tiralerdpanich, Parichaya, Prinpida Sonthiphand, Ekawan Luepromchai, Onruthai Pinyakong, and Prayad
Pokethitiyook. 2018. “Potential Microbial Consortium Involved in the Biodegradation of Diesel, Hexadecane
4
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

and Phenanthrene in Mangrove Sediment Explored by Metagenomics Analysis.” Marine Pollution Bulletin
133 (May): 595–605.
Titah, Harmin Sulistiyaning, Herman Pratikno, Atiek Moesriati, Muhammad Fauzul Imron, and Rizky Islami Putera.
2018. “Isolation and Screening of Diesel Degrading Bacteria from Ship Dismantling Facility at Tanjungjati,
Madura, Indonesia.” Journal of Engineering and Technological Sciences 50 (1): 99.
Titah, Harmin Sulistiyaning, Ipung Fitri Purwanti, Bieby Voijant Tangahu, Setyo Budi Kurniawan, Muhammad
Fauzul Imron, Siti Rozaimah Sheikh Abdullah, and Nur ‘Izzati Ismail. 2019. “Kinetics of Aluminium
Removal by Locally Isolated Brochothrix Thermosphacta and Vibrio Alginolyticus.” Journal of
Environmental Management 238 (May): 194–200.
Titah, Harmin Sulistiyaning, Siti Rozaimah, Siti Rozaimah Sheikh Abdullah, Mushrifah Idris, Nurina Anuar, Hassan
Basri, Muhammad Mukhlisin, Bieby Voijant Tangahu, Ipung Fitri Purwanti, and Setyo Budi Kurniawan.
2018. “Arsenic Resistance and Biosorption by Isolated Rhizobacteria from the Roots of Ludwigia
Octovalvis.” International Journal of Microbiology 2018 (1): 1–10.
Yuan, Chun Ying, Chuan Xu Li, Yue Wang, and Qing Man Cui. 2015. “Study on the Salinity Domestication and
Mechanism of Nitrite Nitrogen Removal of Acinetobacter Lwoffii.” Advanced Materials Research 1092–
1093: 641–44.
Zhang, Zhengzhi, Lixue Gai, Zhaowei Hou, Chunyu Yang, Cuiqing Ma, Zhongguo Wang, Baiping Sun, Xiaofei
He, Hongzhi Tang, and Ping Xu. 2010. “Characterization and Biotechnological Potential of Petroleum-
Degrading Bacteria Isolated from Oil-Contaminated Soils.” Bioresource Technology 101 (21): 8452–56.

5
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Halaman ini sengaja dikosongkan

6
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Pengaruh Penambahan Bakteri Pseudomonas aeruginosa pada


Bioremediasi Total Petroleum Hydrocarbon Penambangan Minyak Bumi
Tradisional di Jawa Timur
Istina Nisa’ Adzini1*, Denny Dermawan1, Mirna Apriani1
1
Program Studi Teknik Pengolahan Limbah, Jurusan Teknik Permesinan Kapal, Politeknik Perkapalan
Negeri Surabaya, Surabaya 60111
*
E-mail: denny.dermawan@ppns.ac.id

Abstrak

Penambangan minyak bumi tradisional di Desa Wonocolo, Kecamatan Kedewan, Kabupaten Bojonegoro
menghasilkan limbah minyak bumi berupa lumpur (sludge) yang memiliki kandungan Total Petroleum
Hydrocarbon (TPH) yang berpotensi mencemari lingkungan. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh
penambahan bakteri Pseudomonas aeruginosa pada proses bioremediasi limbah sludge. Penelitian ini diawali
dengan menambahkan bakteri kultur murni Pseudomonas aeruginosa dengan variasi 8%, 12%, 16%, dan
menambahkan serbuk gergaji sebesar 10% sebagai bulking agent ke dalam limbah sludge. Pemantauan sampel
secara berkala dua kali dalam tujuh hari meliputi parameter suhu, kadar air, penurunan TPH, dan jumlah sel
bakteri. Hasil analisis kandungan TPH awal limbah sludge sebesar 3,4%. Penambahan bakteri pada proses
bioremediasi memberikan pengaruh terhadap penurunan TPH. Kondisi optimal dicapai pada sampel S2
(bakteri 12% + serbuk gergaji 10%) dengan efisiensi degradasi TPH sebesar 48,53%.
Keywords: bioremediasi, TPH, Pseudomonas aeruginosa.

1. PENDAHULUAN
Kabupaten Bojonegoro merupakan salah satu wilayah di Jawa Timur yang memiliki kekayaan di bidang
minyak dan gas bumi. Kegiatan penambangannya masih menggunakan tenaga manusia atau tradisional.
Kegiatan operasi penambangan tradisional dimulai dari eksplorasi, produksi, sampai penimbunan dan
berpotensi menghasilkan limbah berupa lumpur minyak bumi (oil sludge). Oil sludge dibuang pada lahan
sekitar penambangan tanpa proses pengolahan karena tidak ada kepedulian dari kegiatan penambangan dan
masyarakat sekitar untuk menanggulangi pencemaran lingkungan tersebut.
Salah satu cara untuk pengelolaan dan pemanfaatan limbah dilakukan dengan menggunakan agen biologi
yang disebut bioremediasi. Bioremediasi merupakan suatu proses pemulihan (remediasi) lahan yang tercemar
limbah organik maupun limbah anorganik dengan memanfaatkan organisme hidup. Pengelolaan dengan
menggunakan organisme merupakan alternatif penanggulangan limbah minyak bumi yang murah, efektif, dan
ramah lingkungan. Pengelolaan dengan organisme menghasilkan senyawa akhir yang stabil dan tidak beracun,
namun metode ini membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan metode fisika atau kimia (Atlas dan Bartha,
1992). Kontaminan tersebut diolah dan direduksi hingga konsentrasi nilai Total Petroleum Hydrocarbon (TPH)
memenuhi persyaratan nilai akhir kurang dari 1% sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor
128 Tahun 2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah
Terkontaminasi oleh Minyak Bumi Secara Biologis.
Bioremediasi oil sludge dilakukan dengan pendekatan metode bioaugmentasi. Prinsip bioaugmentasi adalah
penambahan mikroorganisme tertentu pada suatu tempat tercemar yang berfungsi sebagai pembersih
kontaminan yang ada di daerah tersebut. Mikroorganisme yang umum digunakan dalam proses bioremediasi
limbah pengilangan minyak bumi adalah mikroorganise hidrokarbonoklastik. Mikroorganisme ini memiliki
kemampuan mendegradasi senyawa hidrokarbon yang terdapat dalam limbah tersebut (Davids, 1967). Bakteri
mendegradasi senyawa hidrokarbon dengan cara memotong rantai hidrokarbon tersebut menjadi lebih pendek
dengan melibatkan berbagai enzim. Sintesis enzim-enzim tersebut dikode oleh kromosom atau plasmid,
tergantung pada jenis bakterinya (Ashok, dkk., 1995).

7
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

2. METODE
a. Persiapan alat dan bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pH meter, oven, thermometer, ayakan 2x2 mm2,
autoclave, colony counter, inkubator, jarum ose, shaker, neraca analitik, hotplate, stirrer, AAS. Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah limbah sludge minyak bumi penambangan tradisional Wonocolo,
bakteri Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853, serbuk gergaji, nutrient agar, nutrient broth, cetrimide
agar, n-hexana, dan gliserol.

b. Proses bioremediasi
Kultur mikroba dalam bentuk cairan tersebut dicampurkan ke dalam limbah sludge yang telah diberi
serbuk gergaji sebanyak 10% (b/b). Variasi penambahan bakteri yaitu 8%, 12%, dan 16%. Semua bahan
dicampur homogen dimasukkan ke dalam wadah kaca yang telah disiapkan sebelumnya. Campuran tersebut
di aerasi dengan cara mengaduk setiap 24 jam sekali. Proses bioremediasi dalam limbah sludge dilakukan
selama ± 5 minggu dengan melakukan pengukuran parameter proses: suhu, pH, kadar air, TPH, dan TPC.
Tingkat degradasi TPH dapat diperoleh dengan menghitung selisih berat vial awal dan akhir.
(𝐵−𝐴)𝑔𝑟𝑎𝑚
TPH (% b, b) = 𝐴 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑥 100% (1)
Dimana:
B = berat vial akhir (dengan minyak hasil ekstraksi)
A = berat vial awal (sebelum ekstraksi)

Variasi penambahan serbuk gergaji dan bakteri Pseudomonas aeruginosa dapat dilihat pada Tabel 2.1
berikut.
Tabel 2.1 Variasi Penelitian
Serbuk
Bakteri Pseudomonas aeruginosa Nama Sampel
Gergaji
- - Kontrol 1 (K1)
10% - Kontrol 2 (K2)
10% 8% Sampel 1 (S1)
10% 12% Sampel 2 (S2)
10% 16% Sampel 3 (S3)
Penelitian dilakukan selama ±5 minggu dengan pengujian dua kali dalam satu minggu
Total Sampel: 5 sampel x 10 = 50 sampel x 2 (Duplo analisis) = 100 sampel

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


a. Analisis Suhu
Suhu tanah merupakan salah satu faktor penting dalam proses biodegradasi kontaminan senyawa
hidrokarbon. Pengukuran suhu dilakukan dua kali dalam tujuh hari. Hasil analisis suhu dapat dilihat pada

32

30

28

26
°C

24

22

20
ke-1 ke-2 ke-3 ke-4 ke-5 ke-6 ke-7 ke-8 ke-9
Pengukuran ke-

Suhu Optimum Rata-Rata Suhu Sampel

Gambar 3.1 Grafik Rata – Rata Suhu


Gambar 3.1 menunjukkan hasil pengukuran suhu sampel K1, K2, S1, S2, dan S3 dengan kisaran 28 –
29°C. Kisaran tersebut mengindikasikan bahwa bakteri eksogenous berupa Pseudomonas aeruginosa dapat
8
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

tumbuh pada suhu optimum 25 - 35° C. Suhu cenderung rendah disebabkan adanya bulking agent berupa
serbuk gergaji yang dapat menyerap kalor, sehingga meningkatkan porositas tanah yang mengakibatkan
hilangnya kalor yang terbentuk (Retno, D.I., dkk., 2013). Suhu optimum yang diperlukan bagi pertumbuhan
bakteri dalam biodegradasi lumpur minyak adalah 20-30°C (Helmy, dkk., 2006 dalam Retno, D.I., dkk.,
2013), sedangkan suhu yang optimal untuk degradasi hidrokarbon adalah 30-40°C (Antizar, dkk., 2007).
b. Analisis Kadar Air
Keberadaan air di dalam tanah sangat dibutuhkan untuk aktivitas metabolik dari mikroorganisme pada
limbah minyak bumi karena mikroorganisme hidup aktif pada interfase air dan minyak (Udiharto, dkk.,
1995 dalam Retno, D.I., dkk., 2013). Hasil pengamatan kadar air dapat dilihat pada grafik dibawah ini:

34,00
32,00
% Kadar Air

30,00
28,00
26,00
24,00
22,00
ke-1 ke-2 ke-3 ke-4 ke-5 ke-6 ke-7 ke-8 ke-9
Pengukuran ke-

Gambar 3.2 Grafik Kadar Air Sampel Limbah


Keterangan:
: Sampel K1 (Kontrol)
: Sampel K2 (10% serbuk gergaji)
: Sampel S1 (10% serbuk + 8% bakteri)
: Sampel S2 (10% serbuk + 12% bakteri)
: Sampel S3 (10% serbuk + 16% bakteri)

Grafik hasil uji kadar air pada Gambar 3.2 menunjukkan bahwa kadar air pada sampel kontrol (sampel
K1) berkisar 25,48% - 28,12% lebih rendah dibandingkan dengan sampel bioremediasi yang lainnya yang
berkisar 30,29% - 33,53%. Hal tersebut disebabkan karena campuran bulking agent berupa serbuk gergaji
memiliki kemampuan menyerap air lebih besar dibandingkan limbah sludge, sehingga mampu
mempertahankan kelembapan sampel limbah. Kondisi sampel limbah yang lembap mengakibatkan
degradasi bakteri menjadi optimal karena terpenuhinya nutrien dan substrat (Retno, dkk., 2013).
Kelembapan yang ideal bagi pertumbuhan bakteri adalah 25 – 28%, sedangkan kelembapan optimal untuk
mendegradasi hidrokarbon berkisar 30 – 90% (Vidali, 2001 dan Thapa, dkk., 2012).
Menurut Doerffer dalam Nugroho (2006), senyawa hidrokarbon akan mengalami degradasi secara alami
karena faktor-faktor lingkungan, meskipun laju degradasi berjalan lambat. Hal tersebut meliputi penguapan,
teremulsi dalam air, teradsorpsi pada partikel padat, tenggelam dalam perairan serta mengalami
biodegradasi oleh mikroba. Pengadukan juga berpengaruh pada aktivitas bakteri pada proses degradasi
hidrokarbon. Bakteri yang digunakan untuk mendegradasi hidrokarbon adalah bakteri aerob, yaitu bakteri
yang aktivitasnya membutuhkan oksigen. Oksigen yang diperlukan bakteri dapat diperoleh dari udara
melalui proses pengadukan dan penyiraman air.
Sampel S2 (serbuk gergaji 10% dan bakteri 12%) dengan kadar air berkisar 30,64 % - 32,46 %
memberikan efisiensi degradasi TPH optimal sebesar 48,5 %. Hubungan antara efisiensi degradasi TPH
dan kelembaban menunjukkan bahwa kelembaban tinggi mengakibatkan efisiensi degradasi TPH
meningkat, karena proses transfer nutrisi bagi bakteri berjalan optimal (Retno, D.I., dkk., 2013).

9
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

c. Analisis TPH
Hasil pengamatan TPH yang dilakukan dua kali dalam tujuh hari disajikan pada grafik dibawah ini:

3,50
3,30
3,10
2,90
2,70
% TPH

2,50
2,30
2,10
1,90
1,70
1,50
ke-1 ke-2 ke-3 ke-4 ke-5 ke-6 ke-7 ke-8 ke-9
Pengukuran ke-
Gambar 3.3 Grafik Hasil Analisis TPH
Keterangan:
: Sampel K1 (Kontrol)
: Sampel K2 (10% serbuk gergaji)
: Sampel S1 (10% serbuk + 8% bakteri)
: Sampel S2 (10% serbuk + 12% bakteri)
: Sampel S3 (10% serbuk + 16% bakteri)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan bakteri kultur murni Pseudomonas aeruginosa 12%
menghasilkan presentase degradasi TPH yang lebih besar dibandingkan presentase degradasi TPH dengan
konsentrasi bakteri yang lainnya (8% dan 16%) atau tanpa penambahan bakteri. Oleh karena itu,
disimpulkan bila semakin banyak penambahan konsentrasi bakteri, maka semakin meningkat persen
penyisihan TPH. Namun, pada titik tertentu ada batas penambahan bakteri yang sesuai. Hal tersebut
tergantung dari kemampuan bakteri dalam mendegradasi bahan pencemar (Sulistyorini, 2018).
d. Analisis Jumlah Bakteri (TPC)
Uji Total Plate Count (TPC) dilakukan untuk melihat aspek mikrobiologis dari setiap reaktor. Jumlah
total mikroba yang ada dalam setiap reaktor dapat dihitung melalui metode TPC. Pengujian jumlah total
bakteri dengan metode TPC dilakukan dua kali dalam tujuh hari dengan hasil pengamatan seperti pada
Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Hasil Pengamatan TPC
Pengecekan TPC (cfu/mL)
No
ke- K1 K2 S1 S2 S3
1,2 x 1,1 x
1 ke-1 <250 <250 <250 <250 <250 <250 <250 <250
106 106
5,5 x 1x 1,1 x 1,3 x
2 ke-2 <250 <250 <220 <250 <250 <250
103 104 107 107
2,3 x 4,4 x 2,1 x 2,1 x
3 ke-3 <250 <250 <250 <250 <250 <250
107 107 106 106
4,4 x 4,1 x 4,9 x 8,9 x
4 ke-4 <250 <250 <250 <250 <250 <250
106 106 106 106
2,7 x 2,6 x
5 ke-5 <250 <250 <250 <250 <250 <250 <250 <250
106 106
5,9 x 6,5 x 1,8 x
6 ke-6 <250 <250 <250 <250 <250 <250 <250
106 106 106
4,6 5,2 x 6,4 x
7 ke-7 <250 <250 <250 <250 <250 <250 <250
x106 106 104
1,7 x 1,6 x 3,9 x 6,3 x
8 ke-8 <220 <250 <220 <250 <250 <220
106 106 106 106
8,6 x 9,6 x 4x 2,6 x
9 ke-9 <250 <250 <250 <250 <250 <250
105 105 104 106

Tabel 3.1 menunjukkan pada sampel K1 (100% limbah sludge) dan K2 (90% limbah sludge + 10%
serbuk gergaji) tidak terdapat bakteri Pseudomonas aeruginosa. Populasi bakteri yang mendominasi proses
bioremediasi diduga merupakan kelompok bakteri atau kultur campuran yang hidup di tanah, yang disebut
bakteri indigenous. Hal ini dapat dilihat dari presentase degradasi TPH pada sampel K1 dan K2, dimana
pada sampel tersebut mengalami penurunan kandungan hidrokarbon namun hanya berkisar 14,71% -
20,59%. Dengan demikian, proses degradasi pada sampel K1 dan sampel K2 terjadi karena kelompok
10
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

bakteri indigenous yang sudah beradaptasi dengan lingkungan ekstrim minyak bumi sehingga bakteri
tersebut dapat memanfaatkan sludge minyak bumi sebagai sumber karbon. Penurunan kandungan
hidrokarbon pada sampel K1 dan sampel K2 juga dapat terjadi karena proses pengadukan / aerasi yang
dilakukan setiap hari sehingga mengakibatkan penguapan.
Hasil pengamatan pada Tabel 3.1 menunjukkan nilai TPC pada sampel S1 (limbah + 10% serbuk
gergaji + 8% bakteri) jauh lebih tinggi dari sampel lain, namun hal ini tidak linier dengan penurunan
kandungan TPH. Penurunan kandungan TPH pada sampel S1 sebesar 35,39% sedangkan pada sampel S2
sebesar 48,53%. Data tersebut menunjukkan bahwa penambahan satu jenis bakteri kultur murni
berpengaruh terhadap penurunan kandungan TPH limbah sludge namun pengaruhnya sangat kecil.
Tingginya tingkat degradasi TPH pada perlakuan dapat dipengaruhi oleh faktor penguapan dan
kemampuan dari bakteri hidrokarbonoklastik yang ditambahkan dalam mendegradasi senyawa – senyawa
hidrokarbon. Atlas (1981) mengemukakan tidak ada individu mikroorganisme yang dapat mendegradasi
hidrokarbon secara sempurna. Oleh karena itu, populasi campuran mikroorganisme dengan berbagai
macam kapasitas enzimatis diperlukan untuk mendegradasi campuran hidrokarbon yang kompleks seperti
minyak bumi. Sugoro (2002), Verania (2002), dan Astuti (2003) menambahkan penambahan kultur
campuran akan meningkatkan degradasi minyak bumi. Hal ini disebabkan kultur campuran memiliki
kemampuan mendegradasi komponen minyak bumi yang berbeda-beda, sehingga memiliki kemampuan
enzimatis yang lebih lengkap dalam mendegradasi minyak bumi.

4. KESIMPULAN
Penambahan bakteri eksogenous berupa bakteri kultur murni Pseudomonas aeruginosa memberikan
pengaruh terhadap penurunan TPH (Total Petroleum Hydrocarbon) dengan kondisi optimal dicapai sampel S2
(bakteri 12% + serbuk gergaji 10%) dengan efisiensi degradasi TPH sebesar 48,53%.

5. DAFTAR PUSTAKA
Antizar-Ladislao, B., Beck, A.J., Spanova, K., Lopez-Real, J., Russell, N.J. 2007. The Influence Of Different
Temperature Programmes On The Bioremediation Of Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (Pahs) In A Coal-
Tar Contaminated Soil By Invessel Composting. J. Hazard. Mater. 144, 340—347.
Astuti, D, I. 2003. Pemanfaatan Kultur Campuran Isolat Mikroba Lokal Untuk Degradasi Minyak Bumi dan
Produksi Biosurfaktan. Disertasi Doktor Institut Teknologi Bandung, Bandung. Atlas.
Atlas, R. M. 1981. Microbial Degradation of Petroleum Hydrocarbon : An Environmental Perspective.
Microbiol. Rev. 45, 297 – 308.
Atlas, R. M., and Bartha, R. 1992. Microbial Ecology. Benyamin Cummings Science, California.
Ashok, B. T., Saxena, S., Susarrat, J. (1995). Isolation and Characterization of Four Polycyclic Aromatic
Hydrocarbon Degrading Bacteria From Soil Near on Oil Refinery. Letter in Applied Microbiology. The
Society for Aplied Bacteriology.
Davids, J.B. 1967. Petroleum Microbiology. Elsevier Publishing Co., Amsterdam.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2003. Tata Cara dan Persyaratan Teknik Pengolahan
Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh Minyak Bumi secara Biologis.
Nugroho, A. 2006. Bioremediasi Oil sludge Minyak Bumi dalam Skala Mikroskopis: Simulasi Sederhana
Sebagai Kajian Awal Bioremediasi Land Treatment. Mukaru Teknologi, 10(2): 82-89.
Retno, D.I. Tri dan Nana Mulyana. 2013. Bioremediasi Lahan Tercemar Limbah Lumpur Minyak
Menggunakan Campuran Bulking Agent yang Diperkaya Konsorsia Mikroba Berbasis Kompos Iradiasi.
Pusat Aplikasi dan Teknologi Isotop dan Radiasi - Batan.
Sugoro, I. 2002. Bioremediasi Sludge Limbah Minyak Bumi Lahan Tercemar Dengan Teknik Landfarming
Dalam Skala Laboratorium. Tesis Magister Biologi Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Sulistyorini, Dr. dan Ir. Munaraw Ali., MT. 2018. Bioremediasi dengan Pseudomonas putida terhadap
Pencemaran Tanah Minyak Bumi dengan Bioaugmentasi. Jurnal Envirotek Vol.10 No.1.
Thapa, Bijay., Ajay Kumar Kc, Anish Ghimire. 2012. A Review On Bioremediation Of Petroleum
Hydrocarbon Contaminants In Soil, Kathmandu University Journal Of Science, Engineering And
Technology, Vol. 8, No. I, February, 2012, Pp 164-170.
Vidali, M. 2001. Bioremediation. an overview. Pure Applied Chem. 73 (7) pp.63-172.
Verania, 2002. Pengaruh Variasi Jumlah Bakteri Penghasil Biosurfaktan dan Bakteri Pendegradasi Terhadap
Biodegradasi Limbah Minyak Bumi. Tesis Magister Biologi Institut Teknologi Bandung, Bandung.

11
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Halaman ini sengaja dikosongkan

12
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Identifikasi Karakteristik Limbah Slag Aluminium sebagai Substitusi


Semen dalam Uji Setting Time dan Kualitas Material pada Mix Design
Beton K-250
(Studi Kasus : Kawasan Home Industry Kecamatan Sumobito)

Balqis Ramadhani1*, Denny Dermawan1, dan Moch. Luqman Azhari2


1
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah, Jurusan Teknik Permesinan Kapal, Politeknik Perkapalan
Negeri Surabaya, Surabaya 60111
2
Program Studi D4 Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Jurusan Teknik Permesinan Kapal, Politeknik
Perkapalan Negeri Surabaya, Surabaya 60111

*E-mail : balqisramadhani@student.ppns.ac.id

Abstrak

Peleburan logam bekas aluminium di kawasan home industry Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang
menghasilkan limbah produksi berupa slag sebanyak 70% dari bahan baku. Limbah slag aluminium
disalahgunakan oleh warga setempat sebagai material penguruk jalan hingga tanggul untuk mencegah banjir
kiriman tahunan, namun limbah tersebut berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat hingga menimbulkan
gagal panen. Aluminium oksida dikenal sebagai salah satu bahan pembuatan semen dengan kata lain, limbah
slag aluminium memiliki potensi sebagai material penyusun semen. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi karakteristik limbah slag aluminium dan potensinya sebagai material pengganti semen.
Penelitian dimulai dengan karakterisasi dengan analisa SEM, ICP, dan XRD; pengujian kualitas material dan
perencanaan campuran berdasarkan SNI 03-2834-2000, dan pengujian waktu pengikatan semen akhir. Hasil
analisa SEM, ICP, dan XRD limbah slag berukuran 10-55m mengandung unsur Al, Na, Cl, K, F, Si, Mg, Ca,
Fe, Cu, N dengan didominasi senyawa Al2O3 sebanyak 20%. Nilai setting time semen diuji dengan jarum vicat
mengalami kenaikan pada substitusi limbah slag aluminium 10% dan 11%. Pengujian kualitas material beton
memenuhi standar, kecuali kadar lumpur kerikil 8%, sehingga harus dicuci dahulu. Kebutuhan material
berdasarkan mix design beton mutu sedang 25 MPa untuk satu spesimen tanpa substitusi limbah yakni 965gr
semen, 338gr air, 850gr pasir, dan 1.579gr kerikil.
Kata kunci: home industry, limbah slag aluminium, material pengganti semen, setting time

1. PENDAHULUAN
Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang merupakan salah satu kawasan yang dikenal sebagai pusat
peleburan logam aluminium bekas baik dari skala kecil, menengah hingga skala besar. Kecamatan
Sumobito memiliki 110 industri yang terdiri dari 3 industri besar, 23 industri sedang, dan 66 industri kecil
(Arisandi, 2018). Industri peleburan sebanyak 50% berada di Desa Kendalsari, 23% berada di Desa
Bakalan, dan selebihnya tersebar merata di 12 desa yang telah beropersi sejak tahun 1976.
Satu tempat peleburan dengan 4 dapur pemasakan menghasilkan 300 kg aluminium batangan dari 3.000
kg bahan baku, sedangkan 2.700 kg dari sisa bahan baku tersebut menjadi limbah berupa terak yang
selanjutanya dikenal dengan istilah slag aluminium. Limbah slag selama ini dimanfaatkan warga sebagai
tanggul sungai, urug jalan, hingga fondasi bangunan tanpa pengolahan apapun. Limbah tersebut termasuk
kedalam limbah B3 kategori 2 menurut PP 101 tahun 2014, sehingga berpotensi mencemari lingkungan.
Biaya clean-up lahan tercemar setempat yang diprediksi oleh Dirjen Pengolahan Sampah dan Limbah B3
mencapai 29 Milyar Rupiah tiap luasan 40 m2.
Aluminium merupakan salah satu unsur penyusun semen yang umumnya terdapat sebagai Aluminium
Oksida. Limbah slag aluminium yang kaya akan aluminium berpotensi sebagai bahan penyusun semen,
sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik limbah tersebut sebagai bahan
substitusi semen dalam uji setting time dan kualitas material untuk mix design beton dengan kekuatan
rencana 25 MPa.

13
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

2. METODE

Penelitian ini memerlukan pengujian kandungan limbah slag aluminium dengan SEM-EDX, ICP, dan
XRD, pengujian kualitas material dan perencanaan campuran berdasarkan SNI 03-2834-2000, dan
pengujian waktu pengikatan akhir semen. Peralatan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah:
1. Instrumen uji SEM-EDX, ICP, dan XRD
2. Neraca analitik
3. Oven
4. Gelas beaker 1000 mL, gelas ukur 100 mL, tabung reaksi 1000 mL dan 500 mL
5. Loyang
6. Sekop
7. Alat vicat

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Limbah Slag Aluminium
Berdasarkan hasil pengujian karakteristik menggunakan SEM, partikel limbah slag aluminium diukur
dari skala pada Gambar 3.1 (a) sampai 3.1 (d) berukuran 10-50 mikrometer. Kandungan unsur yang
terdapat dalam limbah dari pengujian pendahuluan EDX, dan pengujian ICP, dapat dilihat dalam Tabel 3.1
berikut.

Gambar 3.1 Hasil pengujian SEM (a) perbesaran 1.000x (b) perbesaran 5.000x (c) perbesaran 10.000x
(d) perbesaran 20.000x

Tabel 3.1 Hasil Pengujian Karakteristik Limbah Slag Aluminium dengan Alat EDX dan ICP
Hasil Analisa
Unsur SEM-EDX ICP
% Mass ppm % Error % Mass ppm
Cl 5,26 526 5,3 5,51 551,22
Al 37,54 3754 4,38 3,91 391
Na 5,42 542 7,83 3,09 309
K 1,78 178 10,96 0,81 81
F 1,14 114 17,22 0,71 71
Si 2,94 294 8,15 0,70 70
Ca 0,97 97 17,03 0,62 62
Fe 0,96 96 34,85 0,33 33

14
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Mg 3,04 304 7,14 0,21 21


Cu 1,74 174 25,99 0,14 14
N 7,89 789 11,84 0,042 4,20
pH - - - 8,65

Gambar 3.2 Hasil analisa XRD

Berdasarkan analisa SEM dan ICP, kandungan limbah slag aluminium teridiri dari Al, Na, Cl, K, F, Si,
Mg, Ca, Fe, Cu, N. Senyawa yang terkandung dalam limbah slag aluminium didapat dari hasil XRD pada
gambar 3.2 berupa 20% Al2O3 dan AlN, 17% MgAlO4, 12% CuAlO4, 11% KFeO2, dan 10% NaCl dan Al.
Unsur logam berat yang terdapat dalam limbah slag aluminium adalah Cu dengan konsentrasi 14 ppm, dan
F dengan konsentrasi 71,57 ppm. Menurut PP 101 2014 pada lampiran III tentang baku mutu karakteristik
beracun untuk penetapan kategori limbah B3 Cu adalah 60 ppm, dan untuk F adalah 450 ppm, artinya
kandungan Cu dan F dalam lmbah slag aluminium telah memenuhi baku mutu. Hasil analisa antara SEM-
EDX dengan ICP memiliki perbedaan yang cukup jauh dikarenakan SEM-EDX hanya menganalisa
ketampakan permukaan sampel sedangkan ICP menganalisa sampel secara keseluruhan.

Pengujian Setting Time


Hasil pengujian setting time dapat dilihat dalam Tabel 3.3 berikut.

Tabel 3.2 Hasil Pengujian Setting Time


Substitusi Limbah Slag Waktu Ikat
(%) (menit)
0 120
6 105
7 105
8 120
9 120
10 165
11 180
12 120
13 120

Berdasarkan data pada Tabel 3.2 tersebut, dapat diartikan bahwa waktu pengikatan akhir atau final
setting time bertambah pada substitusi limbah 10% dan 11%. Kandungan aluminium yang tinggi
meningkatkan jumlah C3A dalam semen, sehingga waktu pengikatan air (reaksi hidrasi) oleh C 3A
bertambah dan mengakibatkan bertambahnya waktu pengikatan akhir semen (Sebayang, 2010). Hasil
tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mailar dkk. (2016), substitusi limbah aluminium
meningkatkan waktu ikat akhir semen.

15
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Pengujian Kualitas Material


Hasil Pengujian Kualitas Material dapat dilihat pada Tabel 3.3 berikut.

Tabel 3.3 Hasil Pengujian Kualitas Material


No Macam Pemeriksaan Nilai Satuan Standar Keterangan
Pasir Lumajang
1 Modulus Kehalusan 3,2 - 2,6 - 3,8 memenuhi
2 Berat Jenis 2,6 g/cm3 2,5-2,6 memenuhi
3 Kelembapan 2,7 % - -
4 Kadar Air 3,1 % - -
5 Kadar Lumpur 1,7 % maks 5 % memenuhi
6 Kebersihan terhadap zat organik no 1 - maks no 3 memenuhi
Kerikil Batu Pecah
1 Modulus Kehalusan 8 - 5-8 memenuhi
2 Berat Jenis 2,4 g/cm3 2,4-2,7 memenuhi
3 Kelembapan 8,1 % - -
4 Kadar Air 7,4 % - -
5 Kadar Lumpur 7,6 % maks 1 % tidak memenuhi
Limbah Slag Aluminium
1 Berat Jenis 2,57 g/cm3 - -

Berdasarkan Tabel 3.3, seluruh material memenuhi persyaratan kecual kadar lumpur kerikil yang
mencapai 8%. Kerikil harus dicuci terlebih dahulu sebelum digunakan dalam material pembuatan beton
hingga bersih atau hingga kadar lumpurnya kurang dari 1 %, karena kadar lumpur kerikil yang tingi dapat
mempersulit daya ikat agregat halus dan semen pada kerikil (Achmad, 2015).

Kebutuhan Material dari Mix Design

Tabel 3.4 Hasil Mix Design untuk mutu beton K-250

Semen Air Pasir Kerikil


Proporsi Campuran
(kg) (kg) (kg) (kg)

Tiap m3 614 215 541 1005

Proporsi (tiap komposisi : proporsi semen) 1 0,35 0,88 1,64

Tiap 1 spesimen 0,965 0,338 0,85 1,579

Berdasarkan Tabel 3.4, jumlah kebutuhan material berdasarkan mix design untuk satu spesimen beton
mutu K-250 dengan kuat tekan rencana 25 MPa tanpa substitusi limbah membutuhkan 965 gr semen, 338
gr air, 850 gr pasir, dan 1.579 gr kerikil. Apabila semen disubstitsi dengan aluminium maka jumlah
kebutuhan semen akan berkurang sesuai dengan penambahan persentase substitusi limbah slag aluminium.

4. KESIMPULAN
Kesimpulan penelitian ini sebagai berikut:
1. Limbah slag aluminium memliki ukuran antara 10 – 50 mikrometer dan teridiri dari Al, Na, Cl, K, F,
Si, Mg, Ca, Fe, Cu, N dengan didominasi senyawa Al2O3 sebanyak 20%.
2. Waktu pengikatan atau setting time bertambah pada substitusi limbah 10% dan 11%.
3. Material pembuatan beton memenuhi kriteria kecuali kadar lumpur kerikil sehingga kerikil harus
dicuci bersih sebelum digunakan. Jumlah kebutuhan material berdasarkan mix design untuk satu
spesimen beton mutu K-250 tanpa substitusi limbah 965 gr semen, 338 gr air, 850 gr pasir, dan 1.579
gr kerikil.

16
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

5. UCAPAN TERIMA KASIH


Melalui kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada pemilik home industry
peleburan logam bekas di Desa Bakalan, Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang, serta kepada kepala
Laboratorium Material dan Struktur Gedung Teknik Sipil ITS Kampus Manyar beserta jajarannya yang
telah membantu dalam proses mendapatk data, kepada keluarga D4 Teknik Pengolahan Limbah yang telah
membantu proses pengolahan data.

6. DAFTAR PUSTAKA
Achmad, D. 2015. Efek kadar lumpur terhadap kekuatan beton geopolimer. POLITEKNOLOGI. 14(1).
Aprida, L. F. 2018. Pemanfaatan Kandungan CaO Limbah Karbit Dan Kandungan Silika Abu Sekam Padi
Sebagai Bahan Pembuatan Bata Beton Pejal. Tugas Akhir. PPNS.
Arisandi, P. 2018 Jejak Beracun. Gresik: Ecoton.
Badan Standardisasi Nasional. 2000. SNI 03-2834-2000 tentang Tata Cara Pembuatan Rencana
Campuran Beton Normal. Badan Standarisasi Nasional.
Dermawan, Denny dan Azhari, Moch. Luqman. 2018. Studi Komparasi Kelayakan Teknis Pemanfaatan
Limbah B3 Sandblasting Terhadap Limbah B3 Sandblasting Dan Fly Ash Sebagai Campuran Beton.
PRESIPITASI UNDIP. vol. 01, no. November, pp. 187–192, 2018.
Dewi, R. N. 2016. Studi Pemanfaatan Limbah B3 Karbit Dan Fly Ash Sebagai Bahan Campuran Beton
Siap Pakai (BSP) (Studi Kasus : PT. Varia Usaha Beton). Tugas Akhir. PPNS.
Elinwa, A. U. dan Mbadike, E. 2011. The Use of Aluminum Waste for Concrete Production. JAABE.
(May) pp. 217–220. doi: 10.3130/jaabe.10.217.
Galat, N. Y., Dhawale, G. D. dan Kitey, M. S..2017. Performance Of Concrete Using Aluminium. JETIR.
4(07), pp. 5–10.
Ismunandar . 2006. Padatan Oksida Logam, Struktur, Sintesis, dan Sifat-sifatnya. Bandung: Institut
Teknologi Bandung.
Mailar, G. et al. 2016. Investigation of concrete produced using recycled aluminium dross for hot weather
concreting conditions. Resource-Efficient Technologies. Elsevier
B.V.doi:10.1016/j.reffit.2016.06.00
Nursyafril dkk . 2014. Pemanfaatan Abu Limbah Pembakaran Barang Mengandung Aluminium untuk
Bahan Campuran Mortar. TEDC Polban. 8, pp. 41–49.
Sebayang, S. .2010. Pengaruh Kadar Abu Terbang sebagai Pengganti Sejumlah Semen pada Beton Alir
Mutu Tinggi. JURNAL REKAYASA. 14(01).

17
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Halaman ini sengaja dikosongkan

18
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Pengaruh Limbah Phospo Gypsum sebagai Bahan Pengganti Semen


terhadap Uji Setting Time

Kurniawan Aji Sasono1*, Moch. Luqman Ashari2, Ridho Bayuaji3


1,
Program Studi Teknik Pengolahan Limbah, 2Program Studi Teknik keselamatan dan kesehatan kerja Jurusan
Teknik Permesinan Kapal, Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya, Surabaya 60111
3
Program Studi Diploma Teknik Sipil, Fakultas Vokasi, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
6011

*E-mail: kurniawanajisasono08@gmail.com

Abstrak

Limbah phospo gypsum adalah limbah dari hasil proses produksi pembuatan asam fosfat. Asam fosfat terbentuk
karena proses asam sulfat di kontakkan dengan batuan phospat yang menghasilkan limbah berupa phospo
gypsum. Limbah gypsum menurut lampiran PP 101 tahun 2014 adalah termasuk limbah B3 sumber spesifik
khusus kategori bahaya 2 dengan kode limbah B414. sehingga perlu adanya pengelolaan limbah B3 mengingat
limbah tersebut merupakan limbah yang berbahaya. Pengujian kualitas dan kelayakan bahan limbah phospo
gypsum yang akan digunakan sebagai bahan bangunan dapat dilakukan dengan pengujian setting time.
Pengujian setting time dilakukan dengan menggunakan jarum vicat. Setting time terdiri dari setting time awal
dan setting time akhir. Penelitian ini menggunakan 5 variabel yaitu menggunakan semen, air dan limbah
phospo gypsum, dengan prosentase limbah phospo gypsum sebesar 0%; 5%; 10%; 15%; dan 20%. Berdasarkan
hasil percobaan yang telah dilakukan didapatkan nilai uji setting time awal sebagai berikut 63,46 menit, 30
menit, 30 menit, 45 menit, dan 69 menit dan akhir sebagai berikut 120 menit, 120 menit, 120 menit 135 menit
dan 150 menit. Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan mengenai pengaruh limbah phospo gypsum
sebagai bahan pengganti semen terhadap nilai setting time dapat disimpulkan bahwa prosentase 5%, 10%, dan
15% dapat mempercepat setting time pada semen.
Keyword: limbah phospo gypsum, setting time awal, setting time akhir

1. PENDAHULUAN
Limbah phospo gypsum adalah limbah dari hasil proses produksi pembuatan asam fosfat. Asam fosfat
terbentuk karena proses asam sulfat di kontakkan dengan batuan phospat yang menghasilkan limbah berupa
phospo gypsum. Limbah phospo gypsum yang dihasilkan oleh preoses produksi dengan jumlah banyak akan
diolah kembali sebelum dijadikan bahan baku semen dengan proses purifikasi dan menghasilkan produk
samping berupa purified gypsum. Secara fisik limbah phospo gypsum berupa serbuk berwarna coklat yang
dapat menimbulkan pecemaran udara apabila tidak dilakukan pengolahan atau pemanfaatan yang bertujuan
mengurai jumlah limbah phospo gypsum yang mencemari udara.
Limbah gypsum menurut lampiran PP 101 tahun 2014 adalah termasuk limbah B3 sumber spesifik khusus
kategori bahaya 2 dengan kode limbah B414. Sehingga perlu adanya pengelolaan limbah B3 mengingat limbah
tersebut merupakan limbah yang berbahaya.
Salah satu syarat penentu mutu/kualitas bahan bangunan semen adalah dengan menggunakan pengujian
setting time. Pengujian setting time terdiri dari waktu pengikat awal (mulai mengikat) dan waktu pengikatan
akhir (mulai mengeras). Setting time awal adalah waktu dimana jarum pada alat vicat mencapai kedalaman 25
mm pada objek yang diuji, sedangkan setting time akhir adalah waktu yang dibutuhkan hingga objek yang diuji
sudah benar-benar mengeras dan menyebabkan jarum pada alat vicat sudah tidak mampu lagi menembus objek
tersebut. Metode pengujian setting time mengacu pada SNI 03-6827-2002 tentang Metode Pengujian Waktu
Ikat Awal Semen Portland dengan Menggunakan Alat Vicat untuk Pekerjaan Sipil. Penelitian uji campuran
bahan limbah phospo gypsum terhadap nilai setting time bertujuan menganalisis pengaruh penambahan limbah
phospo gypsum terhadap waktu pengikatan awal dan waktu pengerasan

19
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

2. METODE
Subjek penelitian ini adalah limbah phospo gypsum yang dicampur dengan semen dan air. Jumlah pengujian
pada penelitian yaitu 5 percobaan,yaitu:
1. Percobaan 1 semen, air dan 0% limbah phospo gypsum
2. Percobaan 2 semen, air dan 5% limbah phospo gypsum
3. Percobaan 3 semen, air dan 10% limbah phospo gypsum
4. Percobaan 4 semen, air dan 15% limbah phospo gypsum.
5. Percobaan 4 semen, air dan 20% limbah phospo gypsum
Sehingga bahan yang digunakan dalam pengujian limbah phospo gypsum terhadap nilai setting time adalah:
1. Semen
2. Air
3. Limbah phospo gypsum.
Alat yang digunakan antara lain:
1. Satu set alat vicat yang terdiri dari alat vicat, jarum vicat dan cincin ebonite
2. Spatula
3. Stopwatch,
4. Gelas ukur
5. Timbangan analitik dengan ketelitian 0,1 gram
6. Tempat pengaduk
7. Plat kaca (15x15x0,3) cm
Pengujian setting time dilakukan dengan menimbang semen sebanyak 250 gram dan akan terus berkurang
karena jumlah semen telah digantikan oleh limbah phospo gypsum pada prosentase yang berbeda-beda disetiap
percobaannya. Mencampur semen dengan air dengan volume yang sudah ditentukan melalui uji konsistensi
normal selama 3 menit hingga menjadi bola pasta. Bola pasta dilemparkan dari tangan satu ke tangan yang lain
dengan jarak kurang lebih 30 cm sebanyak 6 kali, setelah itu pasta dicetak ke dalam cetakan yang sudah
disediakan pada alat vicat. Bola pasta dibiarkan selama 45 menit kemudian jarum vicat dijatuhkan dan dicatat
penurunannya. Mencatat penurunan jarum vicat tiap 15 menit sampai pasta dirasa benar-benar sudah mengeras.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil uji setting time campuran limbah phospo gypsum akan disajikan pada Tabel 1. berikut.

Tabel 3.1. Hasil Pengukuran Nilai Setting Time Awal dan Setting Time Akhir
Prosentase limbah phospo Waktu Pengikat Awal Waktu Pengikat
gypsum (menit) Akhir(menit)
0% 63,46 120
5% 30 120
10% 37,5 120
15% 45 135
20% 69 150
(Sumber Analisa Laboratorium, 2019)

135 150
120 120 120
63,46 69
30 37,5 45

0% 5% 10% 15% 20%

WAKTU PENGIKAT AWAL menit WAKTU PENGIKAT AKHIR menit

Gambar 3.1 Grafik Setting Time


(Sumber Analisa Data, 2019)

Berdasarkan hasil percobaan prosentase penambahan limbah phospo gypsum sebesar 20% didapatkan nilai
setting time yang melebihi dari hasil percobaan semen normal,sedangkan pada prosentase limbah phospo

20
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

gypsum yang lain didapatkan nilai uji setting time pengikatan awal yang semakin cepat dibanding semen
normal tanpa subtitusi semen dengan limbah phospo gypsum. Sedangkan pengikatan akhir prosentase 5%,
10%, dan 15% memiliki nilai yang sama dengan nilai waktu pengikat akhir semen normal.
Pada prosentase tersebut merupakan nilai yang efektif untuk subtitusi semen dengan phospo gypsum. Hal
tersebut dikarenakan didalam phospo gypsum terdapat kandungan CaO yang dapat mempengaruhi waktu
pengikatan awal.

4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan mengenai pengaruh limbah phospo gypsum sebagai
bahan pengganti semen terhadap nilai setting time dapat disimpulkan bahwa prosentase 5%, 10%, dan 15%
dapat mempercepat waktu ikat awal setting time pada semen. Sedangkan waktu ikat akhir pada prosentase 5%,
dan 10% memiliki nilai ikat akhir sama dengan semen normal, tetapi pada prosentase 15%, dan 20% mengalami
peningkatan waktu ikat akhir yang mengakibatkan waktu ikat akhir yang lebih lama.

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Melalui kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada Industri Asam Fosfat, Gresik
dan kepada Laboratorium Beton D3 Teknik Sipil ITS yang telah membantu dalam proses mendapatkan serta
pengolahan data.

6. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2015). Modul Praktikum Teknologi Beton ITS. Surabaya : Fakultas Teknik Sipil dan
Perencanaan Institute Teknologi Sepuluh Nopember
Aprida, L. F.(2018). Pemanfaatan Kandungan CaO Limbah Karbit Dan Kandungan Silika Abu Sekam
Padi Sebagai Bahan Pembuatan Bata Beton Pejal. Tugas Akhir. Politeknik Perkapalan Negeri
Surabaya.
Badan Standarisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia Nomor 03-6827-2002 tentang Metode
Pengujian Waktu Ikat Awal Semen Portland dengan Menggunakan Alat Vicat untuk Pekerjaan
sipil (2002).
Nugroho, A. S. (2014). Tinjauan Kualitas Batako Dengan Pemakaian Bahan Tambah Limbah Gypsum.
Tugas Akhir, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Nur’aini. A.D. (2018). Pemanfaatan Kandungan Cao Limbah Karbit Sebagai Bahan Campuran Dalam
Pembuatan Bata Beton Pejal. Tugas Akhir, Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya.
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun. (2014). Jakarta: Sekertariat Negara.
Purnomo, T. A. (2013). Pengaruh Penambahan Tras Muria Terhadap Kuat Tekan dan Serapan
Air pada Bata Beton Pejal. Jakarta : Institut Sains dan Teknologi Nasional
Suwarno, A. R. (2014). Tinjauan Kuat Tekan Bata Beton Dengan Penambahan Limbah Gypsum PT.
Petrokimia Gresik Yang Menggunkan Agregat Halus Abu Batu. Tugas Akhir, Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Syarif. A.dkk. (2016). Analisa Uji Kuat Tekan Beton Dengan Bahan Tambahan Batu Bata Merah.
Sekolah Tinggi Teknologi Garut.
Utomo, H. M. (2010). Analisis Kuat Tekan Batako Dengan Limbah Karbit Sebagai Bahan Tambah.
Tugas Akhir, Universitas Negeri Yogyakarta.

21
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Halaman ini sengaja dikosongkan

22
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Identifikasi Kelayakan Pemanfaatan Limbah Pasir Foundry sebagai


Material Agregat Halus pada Bata Beton (Paving Block)

Anis Rosyida1* , Denny Dermawan1 , Mochammad Choirul Rizal2


1
Program Studi Teknik Pengolahan Limbah, Jurusan Teknik Permesinan Kapal, Politeknik Perkapalan
Negeri Surabaya, Jl. Teknik Kimia, Kampus-ITS, Sukolilo, Surabaya, Indonesia 60111
2
Program Studi Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Jurusan Teknik Permesinan Kapal, Politeknik
Perkapalan Negeri Surabaya, Jl. Teknik Kimia, Kampus-ITS, Sukolilo, Surabaya, Indonesia 60111

*Email: anisrosyida@student.ppns.ac.id

Abstrak

Limbah pasir foundry berasal dari cetakan logam (flash) yang dibongkar setelah logam siap diproduksi. Limbah
ini tergolong sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), karena adanya kandungan fenol dalam limbah
tersebut. Kandungan fenol berasal dari penggunaan resin phenolic urethane, untuk proses pengerasan pada
cetakan logam. Produksi limbah pasir foundry dalam industri peleburan baja yaitu 7 ton/hari, sehingga perlu
dilakukan upaya pemanfaatan. Upaya pemanfaatan limbah B3 yang dilakukan menggunakan proses
stabilisasi/solidifikasi semen. Stabilisasi dan solidifikasi adalah upaya penurunan kelarutan dan immobilitas
unsur yang bersifat racun menggunakan campuran semen (Trihadiningrum, 2016). Penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi kelayakan pemanfaatan limbah pasir foundry sebagai material agregat halus pada
paving block.. Analisa penelitian yang digunakan berupa pengujian sifat fisik limbah pasir foundry. Hasil
pengujian sifat fisik yaitu analisa gradasi pasir dengan fineness modulus 2,06 telah memenuhi standar ASTM
C128-93, kelembaban pasir 0,03%, berat jenis 2,6 gr/cm3 telah memenuhi standar ASTM C128-93, kadar air
resapan 3,05%, kebersihan terhadap bahan organik no. 2 (bersih) telah memenuhi standar ASTM C40-92,
kebersihan terhadap lumpur 0% telah memenuhi standar ASTM C117-95 dan SNI 03-6820-2002, sehingga
dapat disimpulkan bahwa limbah pasir foundry layak digunakan
sebagai pemanfaatan substitusi material agregat halus pada paving block.
Keyword: limbah B3, limbah pasir foundry, paving block, phenolic urethane, solidifikasi,

1. PENDAHULUAN
Pabrik Peleburan Baja membutuhkan 30 ton/2 hari pasir silika untuk kegiatan proses foundry, perharinya
menghasilkan limbah pasir foundry mencapai 7 (tujuh) sak jumbo dengan berat per saknya 1.000 kg, sehingga
1 (satu) hari menghasilkan 7 (tujuh) ton. Kegiatan tersebut menimbulkan timbunan pasir foundry yang akan
terus bertambah seiring dengan aktivitas proses produksi dari hari ke hari dan menimbulkan permasalahan yang
cukup serius. Limbah pasir foundry tergolong berbahaya dan beracun berdasarkan lampiran I Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun
dari sumber spesifik dengan kode limbah B309-3 termasuk dalam kategori 2 yaitu kronis.
Perusahaan tidak melakukan pengolahan terhadap limbah tersebut melainkan bekerja sama dengan pihak
ketiga yang telah memiliki izin dalam pengangkutan dan pemanfaatan, namun volume limbah yang tinggi
mengakibatkan cost yang dikeluarkan setiap 3 bulan 1 kali untuk pengangkutan dan pengolahannya tergolong
mahal, sehingga perlu dilakukan upaya pemanfaatan. Tujuan dari penelitian ini yaitu mengidentifikasi
kelayakan pemanfaatan limbah pasir foundry sebagai material agregat halus pada bata beton (paving block).
Hasil yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu limbah pasir foundry layak digunakan sebagai material
agregat halus sehingga dapat mencegah dan mengurangi dampak resiko limbah bahan berbahaya dan beracun
(B3) terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia, dan makhluk hidup lainnya.

2. METODE
Metode yang dilakukan pada penelitian ini meliputi tiga kegiatan utama yaitu: a) Pemeriksaan sifat fisik
limbah pasir foundry berdasarkan American Standard Testing and Material (ASTM); b) Pembuatan benda uji
bata beton (paving block) berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-0691-1996 dan; c) Analisa data
dan pembahasan hasil penelitian.

23
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Bentuk benda uji berbentuk bata dengan ukuran 21 cm x 10 cm x 6 cm dengan campuran Semen+Agregat
Halus+Limbah Pasir Foundry+Agregat Kasar 05. Pengujian dilakukan di Laboratorium Material dan Struktur
Gedung, Kampus ITS Manyar. Periode penelitian dilakukan pada bulan Januari hingga Juni 2019.

Bahan percobaan
Bahan yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah limbah pasir foundry dari pabrik peleburan baja Gresik,
pasir lumajang, kerikil 05, dan semen.

Alat Percobaan
Ayakan pasir, neraca analitik, mesin press hidrolik paving block, sekop, ember, oven.

Prosedur Percobaan
a. Analisa gradasi pasir berdasarkan standar ASTM C-33.
𝐵−𝐴
b. Kelembaban pasir berdasarkan standar ASTM C 566-71 dengan persamaan = 𝐴 𝑥100% (1).
500
c. Berat jenis berdasarkan standar ASTM C-128-9 dengan.persamaan = 500+𝐶−𝐵 (2).
500−A
d. Kadar air resapan berdasrkan standar ASTM C 128-93 dengan persamaan = A 𝑥100% (3).
e. Kebersihan pasir terhadap bahan organik berdasarkan standar ASTM C-40-92.

f. Kebersihan pasir terhadap lumpur berdasarkan ASTM C 117-95 dengan persamaan = 𝐻 𝑥100% (4).
g. Pembuatan benda uji berdasarkan SNI 03-0691-1996. Dokumentasi pembuatan paving block dapat dilihat
pada Gambar 1 berikut.

(a) (b) (c)

Gambar 1. Dokumentasi pembuatan paving block. (a) Proses percetakan, (b) Paving block yang telah
dicetak, (c) Curing

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisa Pemeriksaan sifat fisik limbah pasir foundry dilakukan sebagai berikut.
a. Analisa Gradasi Pasir
Pengujian gradasi pasir bertujuan untuk mengidentifikasi distribusi ukuran butiran atau gradasi limbah
pasir foundry. Berdasarkan hasil pengujian nilai fineness modulus limbah pasir foundry sebesar 2,06 hal ini
telah memenuhi range modulus kehalusan pasir berdasarkan standar ASTM C-33 yang berkisar antara 2-4
dan masuk pada zona gradasi 3 yaitu pasir halus. Zona gradasi limbah pasir foundry dapat dilihat pada
Gambar 2 berikut.

100
90
80
% Lolos Ayakan

70
60
50
40 Grading Zona 1
30 Grading Zona 2
20 Grading Zona 3
10 Grading Zona 4
0 Hasil Analisa Ayakan
0 0.15
1 0.30
2 0.6
3Nomor 1.2
4 2.4
5 4.8
6 9.6
7 19
8
Ayakan (mm)
Gambar 2. Zona gradasi limbah pasir foundry
24
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

b. Kelembaban Pasir
Pengujian kelembaban pasir bertujuan mengidentifikasi ataupun menghitung kelembaban pasir dengan
cara kering. Berdasarkan hasil pengujian diperoleh nilai kelembaban pasir yaitu 0,03%.

c. Berat Jenis Pasir


Pengujian berat jenis pasir dilakukan untuk mengidentifikasi berat jenis pasir dalam kondisi kering
permukaan. Berdasarkan hasil pengujian diperoleh berat jenis limbah pasir foundry sebesar 2,6 gr/cm3 hal
ini telah memenuhi standar ASTM C 128-78 mengenai berat jenis agregat halus berkisar antara 2,4 – 2,9
gr/cm3. Dokumentasi pengujian berat jenis pasir dapat dilihat pada Gambar 3 berikut.

Gambar 3. Dokumentasi pengujian berat jenis pasir

d. Kadar Air Resapan Pasir


Pengujian kadar air resapan pasir bertujuan untuk mengetahui kadar air resapan didalam pasir.
Berdasarkan hasil pengujian diperoleh nilai kadar air resapan pasir yaitu 3,05%. Dokumentasi pengujian
kadar air resapan dapat dilihat pada Gambar 4 berikut.

Gambar 4. Dokumentasi pengujian kadar air resapan pasir

e. Kebersihan Pasir terhadap Bahan Organik


Pengujian kebersihan limbah pasir foundry terhadap bahan organik bertujuan untuk mengidentifikasi
kadar zat organik yang terkandung dalam limbah pasir foundry. Semakin tua warna campuran maka kadar
organik semakin tinggi (kotor). Nomor 1 dan 2 kategori bersih, nomor 3 dan 4 kategori memerlukan
pencucian pasir dan kategori 5 tidak boleh digunakan. Berdasarkan pengamatan selama 24 jam dan
membandingkan menggunakan kaca warna standart, warna cairan termasuk pada kategori nomor 2 (bersih)
hal ini membuktikan bahwa limbah pasir foundry bersih dari bahan organik, dan tidak memerlukan
pencucian pasir. Dokumentasi pengujian kebersihan pasir terhadap bahan organik menggunakan warna
standar dapat dilihat pada Gambar 5 berikut.

No. 2
(bersih)

Gambar 5. Pengujian kebersihan pasir terhadap bahan organic

25
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

f. Kebersihan Pasir terhadap Lumpur


Pengujian kebersihan pasir terhadap lumpur bertujuan untuk mengidentifikasi kadar lumpur yang ada
dalam pasir. Berdasarkan hasil pengujian, tinggi endapan lumpur pada limbah pasir foundry diperoleh 0 cm
sehingga kandungan lumpur pada limbah pasir foundry sebesar 0% hal ini telah memenuhi standar ASTM
C 117-95 mengenai kebersihan pasir terhadap lumpur dan SNI 03-6820-2002 tentang Syarat Mutu Agregat
Halus yaitu kandungan lumpur dalam pasir tidak lebih dari 5%. Dokumentasi pengujian kebersihan pasir
terhadap lumpur dengan melakukan pengukuran tinggi endapan lumpur dan limbah pasir foundry dapat
dilihat pada Gambar 6 berikut.

Gambar 6. Pengukuran tinggi endapan lumpur dan limbah pasir foundry

Berdasarkan analisa pengujian sifat fisik limbah pasir foundry, seluruh pengujian telah memenuhi standar
spesifikasi agregat halus sehingga limbah pasir foundry layak digunakan sebagai pemanfaatan substitusi
material agregat halus pada bata beton (paving block).

4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengujian sifat fisik limbah pasir foundry yaitu analisa gradasi pasir dengan fineness
modulus 2,06 telah memenuhi standar ASTM C128-93 yaitu 2-4, kelembaban 0,03%, berat jenis 2,6 gr/cm3
telah memenuhi standar ASTM C128-93 yaitu 2,4-2,9 gr/cm3, kadar air resapan pasir 3,05%, kebersihan
terhadap bahan organik no. 2 (bersih) telah memenuhi standar ASTM C40-92, kebersihan terhadap lumpur 0%
telah memenuhi standar ASTM C117-95 dan SNI 03-6820-2002 tentang syarat mutu agregat halus sehingga,
dapat disimpulkan bahwa limbah pasir foundry layak digunakan sebagai upaya pemanfaatan limbah B3 berupa
substitusi material agregat halus dalam pembuatan bata beton (paving block).

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Allah SWT, orangtua dan keluarga, serta kedua dosen
pembimbing atas terselesaikannya penyusunan artikel ini, pihak salah satu industri peleburan baja di Gresik
yang telah mengijinkan dan membantu penulis dalam melakukan penelitian, pihak Laboratorium Material dan
Struktur Gedung, Kampus ITS Manyar yang telah membantu dalam proses pengerjaan artikel, dan teman-
teman yang telah membantu dan memberikan semangat kepada penulis.

6. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1996. Standart Nasional Indonesia Nomor 03-0691-1996 tentang Bata Beton (Paving Block). Badan
Standarisasi Nasional Indonesia.

Anonim. 2002. Standart Nasional Indonesia Nomor 03-6820-2002 tentang Spesifikasi Agregat Halus untuk
Pekerjaan Adukan dan Plesteran dengan Bahan Dasar Semen. Badan Standarisasi Nasional.

Ashari, M.L., dan Denny Dermawan, 2018. Jurnal Presipitasi: Media Komunikasi dan Pengembangan Teknik
Lingkungan. Studi Pemanfaatan Limbah Padat Industri Pengolahan Minyak Kelapa Sawit Spent Bleaching
Earth sebagai Pengganti Agregat pada Campuran Beton, Vol. 15 No. 1 Maret 2018.

Bhardwaj, B., dan Kumar, P., 2017. Elsevier Ltd. Waste foundry sand in concrete: A review Construction and
Building Materials, 156, pp.661–674.

26
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Dermawan, D., dan Moch. Luqman Ashari., 2018. Jurnal Presipitasi: Media Komunikasi dan Pengembangan
Teknik Lingkungan. Studi Komparasi Kelayakan Teknis dan Lingkungan Pemanfaatan Limbah B3
Sandblasting terhadap Limbah B3 Sandblasting dan Fly Ash sebagai Campuran Beton, Vol. 15 No. 1 ISSN
2550-0023.

Ganesh Prabhu, G., Hyun, J.H., dan Kim, Y. Y., 2014. Elsevier Ltd. Effects of foundry sand as a fine aggregate
in concrete production, Construction and Building Materials, 70, pp.514–521.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun.

Pertiwi, D., Boedi Wibowo, Endang Kasiati, Triaswati, dan Ari Gandhi Sabban, 2011. Jurnal Aplikasi: Media
Informasi & Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil Terkini. Perbandingan Penggunaan Pasir Lumajang
Dengan Pasir Gunung Merapi Terhadap Kuat Tekan Beton Jurusan Teknik Sipil ITATS. Program Diploma
Teknik Sipil FTSP ITS, Vol. 9(2), Pp.13–22.

Ratnasari, KD., 2018. Studi Karakteristik Lumpur Intake Perusahaan Pembangkit Listrik. PPNS (Politeknik
Perkapalan Negeri Surabaya). Conference Proceeding on Waste Treatment Technology. Surabaya,
Indonesia 02 Desember 2018. Surabaya: Indonesia.

Trihadiningrum,Y., 2016. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Yogyakarta: Teknosain.

27
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Halaman ini sengaja dikosongkan

28
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Karakteristisasi Limbah Bagasse Ash Pabrik Gula sebagai Alternatif


Bahan Dasar Zeolit Sintesis

Jihan Nabillah Hanun1*, Adhi Setiawan1, Ahmad Erlan Afiuddin1


1
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah, Jurusan Teknik Permesinan Kapal, Politeknik Perkapalan
Negeri Surabaya, Surabaya 60111

*E-mail: jihan.nabillah@student.ppns.ac.id

Abstrak
Bagasse ash merupakan limbah yang dihasilkan dari residu proses pembakaran ketel uap (boiler). Pemanfaatan
bagasse ash belum maksimal dikarenakan jumlahnya yang terus meningkat setiap hari seiring berjalannya
proses produksi pada musim giling. Jumlah penumpukan bagasse ash dengan pemanfaatan yang minim akan
menimbulkan masalah pencemaran dan mengurangi estetika lingkungan. Faktanya, bagasse ash memiliki
kandungan silika yang tinggi didalamnya sehingga berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan dasar
adsorben, yaitu zeolit sintesis. Zeolit sintesis dapat diaplikasikan dalam proses adsorpsi dalam menurunkan
kandungan logam berat dalam air limbah. Penelitian ini membahas mengenai hasil karakterisasi bagasse ash
menggunakan Difraksi Sinar-X (XRD), Spektrofotometer Inframerah (FTIR), dan Mikroskop Elektron (SEM-
EDX) yang dapat mendukung bahwa kandungan silika dalam bagasse ash dapat dimanfaatkan sebagai zeolit
sintesis. Perlakuan pada bagasse ash yaitu dipanaskan terlebih dahulu dengan menggunakan oven pada suhu
100°C selama 2 jam dan diayak dengan variasi ukuran diameter partikel 100 mesh dan 200 mesh. Hasil
penelitian menunjukan bahwa bagasse ash memiliki kristalinitas yang rendah pada analisis XRD. Analisis
FTIR menunjukan adanya serapan kuat pada bilangan gelombang 2000 cm-1 sampai dengan 450 cm-1. Bagasse
ash memiliki kandungan silika sebesar 31,65% dengan morfologi permukaan partikel yang tidak beraturan
yang ditunjukan dari hasil analisis SEM-EDX.
Kata Kunci: Bagasse ash, Karakteristisasi, Zeolit sintesis.

1. PEDAHULUAN
Bagasse ash atau abu ampas tebu merupakan salah satu jenis limbah padat yang dihasilkan dari proses
pembakaran ketel uap (boiler) berbahan bakar ampas tebu yang biasa digunakan di industri gula. Abu
ampas tebu tersebut diolah terlebih dahulu menggunakan dust collector sebelum dibuang ke lingkungan.
Jenis dust collector yang digunakan adalah wet scrubber, sehingga terbentuklah sludge bagasse ash sebagai
limbah padat. Pengolahan bagasse ash selama ini hanya sebatas ditampung dalam kolam abu dan dibiarkan
dalam keadaan terbuka. Pemanfaatan bagasse ash dilakukan dengan menjadikannya sebagai bahan baku
pembuatan genteng, batu bata, sebagai campuran bahn dasar semen dan pupuk kompos. Bagasse ash yang
dihasilkan oleh industri gula sendiri dalam sehari dapat mencapai leih dari 38 kuintal. Jumlah pemanfaatan
bagasse ash ini masih belum sebanding dengan jumlah yang ditampung seiring semakin meningkatnya
proses produksi pada musim giling. Bila tidak ditangani dengan baik, penumpukan bagasse ash akan
menjadi salah satu penyebab terjadinya pencemaran lingkungan, munculnya berbagai penyakit pernapasan,
dan mengurangi estetika lingkungan.
Komponen-komponen penyusun dari bagasse ash adalah SiO2, K2O, CaO, Al2O3, MgO, Fe2O3, LOI
(karbon), dan komponen penyusun lainnya dengan presentasi masing-masing 49,98%; 3,97%; 2,78%;
2,20%; 1,65%; 1,22%; 37,50%, dan 0,7% (Purnomo dkk., 2012). Bagasse ash dengan persentase berat
silika lebih dari 16,6% dapat dimanfaatkan sebagai zeolit sintesis (Sriatun dkk., 2018). Abu terbentuk
karena adanya kandungan mineral-mineral yang tidak mudah terbakar dalam bahan bakar boiler, seperti
silika (Si), alumina (Al), dan besi (Fe). Umumnya ampas tebu mengandung 52,67% air, karbon organik
55,89%, total nitrogen 0,25%, P2O5 0,16% dan K2O 0,38%. Ketika ampas tebu ini dibakar dalam kondisi
yang terkontrol, abu juga memiliki silika amorf. Setelah ampas tebu dikonversi menjadi abu, kandungan
silika (SiO2) menjadi 64,65% (Hanafi dkk., dalam Sriatun dkk., 2018). Penumpukan limbah bagasse ash
yang terus meningkat dan kandungan silika yang tinggi dalam bagasse ash dapat menjadi pertimbangan
untuk mengembangkan prosedur baru penggunaan kembali bagasse ash sebagai sumber silika yang dapat
digunakan dalam proses penyerapan kandungan logam berat dalam air limbah. Metode ini juga dapat
membantu meningkatkan nilai ekonomis dari limbah padat bagasse ash, sehingga akumulasi limbah dan
pencemaran lingkungan dapat dihindari.
Komponen-komponen bagasse ash tersebut hampir mirip dengan komponen penyusun pada zeolit
(Murniati dkk., 20090. Penelitian Moises, dkk. (2013) dan Purnomo, dkk. (2012) menyatakan bahwa
29
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

kandungan silika dalam bagasse ash dapat dimanfaatkan sebagai zeolit sintesis. Zeolit merupakan material
yang memiliki banyak kegunaan, diantaranya diaplikasikan sebagai adsorben, penukar ion, dan katalisator.
Zeolit adalah mineral kristal alumina silika tetrahidrat berpori yang memiliki struktur kerangka tiga
dimensi, terbentuk oleh tetrahedral [SiO4]4- dan [AlO4]5- yang saling terhubung oleh atom-atom oksigen
sedemikian rupa, sehingga membentuk kerangka tiga dimensi terbuka yang mengandung kanal-kanal dan
rongga-rongga, yang didalamnya terisi oleh ion-ion logam, biasanya adalah logam-logam alkali atau alkali
tanah dan molekul air yang dapat bergerak bebas (Chetam dalam Lestari, 2010).
Penelitian ini bertujuan untuk menunjukan potensi bagasse ash sebagai sumber silika yang dapat
diandalkan dalam pembuatan zeolit sintesis, sehingga dapat diaplikasikan dalam berbagai proses
pengolahan limbah, khususnya limbah cair yang mengandung logam berat. Penggunaan adsorben yang
murah dan ramah lingkungan perlu dilakukan agar biaya proses adsorpsi dapat ditekan (Amuda dan Ibrahim
dalam Kusmiyati dkk., 2012). Proses karakterisasi dibutuhkan untuk membuktikan adanya kandungan
silika dalam bagasse ash beserta jumlahnya. Karakterisasi bagasse ash meliputi analisis dengan metode
Difraksi Sinar-X (XRD), Spektrofotometer Inframerah (FTIR), dan Mikroskop Elektron (SEM-EDX).

2. METODE
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas lumpang porselain, oven, desikator, ayakan
dengan ukuran 100 dan 200 mesh, X-Ray Diffractometer (XRD) XPert MPD 30 mA 40 kV Philips dengan
CuKα (λ=1.54060 Å), Spektrofotmeter Inframerah (FTIR), dan Scanning Electrone Microscope and
Energy Dispersive X-Ray (SEM-EDX) EDAX-TSL Ametek. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah bagasse ash PT Perkebunan Nusantara X Pabrik Gula Gempolkrep, Mojokerto.

Karakterisasi Bagasse ash


Bagasse ash ditumbuk dan digerus menggunakan lumpang porselain untuk memperoleh butiran halus
abu ampas tebu. Selanjutnya bagasse ash dikeringkan menggunakan oven pada suhu 100°C selama 2 jam
untuk mengurangi kandungan kadar air di dalamnya. Bagasse ash yang telah dioven, disimpan dengan
menggunakan desikator hingga mencapai suhu ruangan. Bagasse ash yang telah kering diayak dengan
menggunakan ayakan dengan ukuran diameter 100 mesh dan 200 mesh. Hasil ayakan dari bagasse ash
dikarakterisasi dengan menggunakan Difraksi Sinar-X (XRD), Spektrofotometer Inframerah (FTIR), dan
Mikroskop Elektron (SEM-EDX).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakterisasi menggunakan XRD bertujuan untuk mengidentifikasi kristalinitas dan kemurnian
material dari bagasse ash sebagai bahan dasar pembuat zeolit sintesis. Pola difraksi sinar X dari sampel
bagasse ash diperoleh dengan menggunakan difraktometer XPert MPD, merk Philips. Kondisi operasi
melibatkan radiasi Cu pada 40 kV dengan arus sebesar 30 mA. Sampel di baca dari sudut 5° sampai dengan
60°. Hasil pembacaan difaktogram bagasse ash dapat dilihat pada Gambar 1.
Hasil difraksi sinar X bagasse ash memperlihatkan 3 puncak utama, yaitu pada posisi sudut 2θ
5,2316° ; 21,9022° ; dan 26,5780°. Ketiga puncak tersebut berdasarkan data JCPDS (Joint Comitte of
Powder Diffraction Standard) Nomor 88-2302 merupakan puncak-puncak yang menunjukan adanya
mineral kuarsa atau SiO2 dalam bagasse ash. Hasil data tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh
Moises, dkk. (2013), bahwa puncak-puncak kandungan SiO2 dalam bagasse ash terletak pada posisi 2θ 21°
dan 26°.

30
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

450
= puncak difaktogram SiO2
400
bagasse ash

350

300
Intensitas [A.U]
250

200

150

100

50

10 20 30 40 50
Posisi [°2Theta]

Gambar 1. Difaktogram bagasse ash

Difaktogram hasil analisis X-Ray Diffraction (XRD) menunjukan secara keseluruhan kristalinitas
yang dihasilkan dari bagasse ash bersifat amorf. Fase amorf ditunjukan dari intensitas puncak-puncak
difaktogram yang masih rendah dan melebar (Yusuf dkk. dalam Purnawan, 2018).
Karakterisasi FTIR bertujuan untuk untuk mengetahui komponen penyusun (gugus fungsi senyawa)
SiO2 dan Al2O3. Analisis FTIR dilakukan menggunakan spektrofotometer inframerah dengan pembacaan
serapan pada panjang gelombang antara 4000 cm-1 sampai dengan 500 cm-1. Spektrum inframerah
menunjukan adanya 5 pita serapan yang muncul pada daerah panjang gelombang 2356,12 cm-1 ; 2034,99
cm-1; 1034,94 cm-1; 788,67 cm-1; dan 439,87 cm-1. Hasil karakterisasi FTIR seperti disajikan pada Gambar
2 dibawah ini.

100

80
2356,12
2034,99

60
788,67
%Transmisi

1034,94

40
439,87

20

500 1000 1500 2000 2500 3000 3500


Panjang gelombang (cm-1)

Gambar 2. Spektra inframerah bagasse ash

Pita serapan pada panjang gelombang 2356,12 cm-1 dan 2034,99 cm-1 menunjukkan adanya gugus Si-
H (Ali dkk, 2015). Pita serapan yang melebar pada panjang gelombang 1034,94 cm-1 merupakan serapan
vibrasi gugus siloksan (Si-O-Si) asimetrik atau menunjukkan adanya ikatan-ikatan organik yaitu ikatan
silikon oksida (Purnawan dkk, 2018). Pita serapan pada gelombang tersebut juga menunjukkan adanya air
yang masih terperangkap pada pori zeolit (Ali dkk, 2015). Pita serapan pada panjang gelombang 788,67
cm-1 menunjukan adanya serapan rentangan asimetris ikatan O-Si-O (Murniati dkk., 2009). Panjang
gelombang 439,87 cm-1 merupakan vibrasi yang menunjukan adanya vibrasi internal dari serapan ulur (Si,
Al)-O (Moises dkk., 2013).

31
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Serapan inframerah bagasse ash menunjukkan keberadaan vibrasi karakteristik Si dan Al sebagai
satuan tetrahedral (TO4) yang merupakan struktur satuan primer pembangun zeolit. Si dan Al di sini belum
tersusun sebagai satuan kerangka zeolit karena belum adanya perlakuan aktivasi sesuai yang dilaporkan
pada penelitian Murniati, dkk. (2009).
Komposisi dan morfologi bagasse ash ditentukan dengan melakukan analisis menggunakan metode
SEM-EDX. Gambar 3 menunjukan karakterisasi morfologi bagasse ash yang dilakukan dengan
melakukan analisis pengujian SEM dengan perbesaran 3500 kali. Hasil analisis menunjukan bahwa
morfologi dari bagasse ash berbentuk butiran dengan topografi peremukaan yang tidak beraturan.
Kristalinitas yang rendah mengakibatkan susunan atom dalam bagasse ash menjadi tidak teratur. Proses
pengayakan untuk menghomogenitaskan ukuran partikel bagasse ash juga menjadi salah satu penyebab
tidak teraturnya susunan atom dalam bagasse ash.

Gambar 3. Morfologi bagasse ash

Spektra EDX mendeteksi sejumlah unsur-unsur yang terkandung dalam bagasse ash sebagaimana
komposisinya disajikan pada Tabel 1. Hasil analisis menunjukan bahwa bagasse ash memiliki kandungan
silika yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuat zeolit sintesis. Persentase berat silika dalam
bagasse ash adalah sebesar 31,65%, dimana angka ini telah memenuhi syarat kandungan silika yang dapat
dimanfaatkan sebagai zeolit sintesis sesuai dengan Sriatun, dkk. (2018).

Tabel 1. Komposisi kimia bagasse ash


Elemen Wt%

C 19,29

O 39,11

Mg 00,88

Al 03,99

Si 31,65

K 02,80

Ca 02,28

Pada analisis EDX juga terdeteksi unsur-unsur lain dalam jumlah yang relatif kecil seperti pada unsur
Mg, Al, K, dan Ca. Hal tersebut dapat disebabkan karena adanya pengotor dalam bagasse ash (Setiawan
dkk., 2018). Adapun unsur lain yang memiliki persentaseberat cukup besar diantaranya adalah pada unsur
C sebesar 19,29% dan O sebesar 39,11%. Kandungan karbon yang tinggi mengindikasikan bila bagasse ash
tidak hanya dapat dimanfaatkan sebagai zeolit sintesis, namun juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar
pembuat karbon aktif.

4. KESIMPULAN
Hasil karakterisasi menunjukan bahwa bagasse ash dapat digunakan sebagai bahan dasar zeolit
sintesis. Karakterisasi dengan menggunakan analisis XRD menunjukkan adanya kandungan SiO 2 dalam
bagasse ash dengan kristalinitas rendah yang ditandai dengan munculnya puncak-puncak mineral kuarsa
32
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

berdasarkan data JCPDS Nomor 88-2302. Adanya kandungan SiO2 ini juga didukung dengan hasil analisis
FTIR yang menunjukan adanya pita-pita serapan pada beberapa panjang gelombang, dimana panjang
gelombang tersebut menunjukan ikatan-ikatan unsur Si dengan unsur lain dalam bagasse ash. Kristalinitas
yang rendah dari hasil analisis XRD juga diperkuat oleh hasil analisis SEM, dimana terbentuk morfologi
permukaan dan partikel bagasse ash yang tidak beraturan. Spektra EDX juga mendeteksi adanya unsur Si
dalam bagasse ash dengan persentaseberat sebesar 31,65%.

5. DAFTAR PUSTAKA
Ali, Soifi, dkk. 2015. Synthesis and Characterization of Zeolite Y From Bagasse ash with Hydrothermal
Temperatures Variations Using The Sol-Gel Method. Jurnal ALCHEMY Vol. 4 No. 1 Maret 2015,
hal. 88-91.
Kusmiyati, Puspita A. L., dan Kunthi P. 2012. Pemanfaatan Karbon Aktif Arang Batubara (KAAB) Untuk
Menurunkan Kadar Ion Logam Berat Cu2+ dan Ag+ Pada Limbah Cair Industri. Jurnal Reaktor,
Vol. 14 No. 1, April 2012, Hal. 51-60.
Lestari, Dewi Yuanita. 2010. Kajian Modifikasi dan Karakterisasi Zeolit Alam dari Berbagai Negara.
Jurnal Prosiding Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia 2010. ISBN : 978-xxx-xxxxx-x-
x.
Moises, Murilo Pereira, Cleiser Thiago Pereira da Silva, dkk. 2013. Synthesis of Zeolite NaA from
Sugarcane Bagasse ash. Materials Letter 108 (2013) 243-246.
Murniati, dkk. 2009. Pemanfaatan Limbah Abu Dasar Batubara Sebagai Bahan Dasar Sintetis Zeolit dan
Aplikasinya Sebagai Adsorben Logam Berat Cu (II). Jurnal Prosiding Seminar Nasional
Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta.
Purnawan, Candra, dkk. 2018. Sintesis dan Karakteristik Silika Abu Ampas Tebu Termodifikasi Arginin
Sebagai Adsorben Ion Logam Cu(II). ALCHEMY Jurnal Penelitian Kimia, Vol. 14(2) 2018, 333-
348.
Purnomo, W. C., Chris S., dan Hirofumi H. 2012. Synthesis of Pure Na-X and Na-A Zeolite From Bagasse
Fly Ash. Elsevier Journal.
Setiawan, A., Ahmad Erlan A., Qurrotul Aini, dan Tanti Utami D. 2018. Recovery Koagulan dari Sludge
WWTP Pembangkit Listrik Tenaga Uap Sebagai Alternatif Pengolahan Air Limbah Secara Kimia.
Jurnal Riset Teknologi Indusrri, Vol. 12, No. 2.
Sriatun dkk. 2018. Synthesis of Zeolite from Bagasse ash Using Cetyltrimethylammonium Bromide as
Structure Directing Agent. Journal of Department of Chemistry, Faculty of Science and
Mathematics, Diponegoro University.

33
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Halaman ini sengaja dikosongkan

34
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Perancangan Ulang Bag Filter di Industri Peleburan Baja

Bety Noraini1*, Ahmad Erlan Afiuddin1, Alma Vita Sophia1


1
Program Studi Teknik Pengolahan Limbah, Jurusan Teknik Permesinan Kapal,
Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya, Surabaya 60111
*
E-mail: betynoraini@student.ppns.ac.id

Abstrak
Peleburan baja menghasilkan limbah debu dan asap yang berdampak pada lingkungan dan kesehatan mahluk
hidup. Kegiatan yang menghasilkan limbah diharuskan memiliki pengolahan limbah sebelum di buang
langsung ke lingkungan. Perancangan ulang bag filter dilakukan karena bag filter yang terpasang belum bisa
mengolah limbah partikulat secara maksimal, hal ini dibuktikan dengan hasil pengukuran konsentrasi partikel
yang melebihi baku mutu yaitu sebesar 193,162 mg/m3. Perancangan ulang bag filter terdiri dari pengukuran
kadar konsentrasi partikulat di area arc furnace menggunakan HVAS (High Volume Air Sampler) dan metode
gravimetri , pengukuran ukuran partikulat menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy), analisa data
dengan membandingkan fisik dan performa antara bag filter lama dan bag filter baru. Hasil penelitian
menunjukan bahwa kadar konsentrasi partikulat limbah peleburan baja sebesar 193,162 mg/m3 dan ukuran
partikulat paling kecil sebesar 1,845 𝜇m. Dimensi bag filter baru sebesar 7,7 m x 4,9 m x 13,73 m dengan
diameter duct 152,4 cm. Bag filter baru dirancang dengan efisiensi lebih besar dari bag filter lama yaitu sebesar
99,8% sedangkan bag filter lama 60,12%.

Keywords: Perancangan, bag filter, partikulat, peleburan baja, dan arc furnace.

1. PENDAHULUAN

Meningkatnya kebutuhan material berbahan besi dan baja memicu tingginya industri pengecoran di
Indonesia. Dampak lingkungan yang dihasilkan oleh industri pengecoran baja yaitu debu dan asap yang keluar
dari tungku. Tungku yang digunakan untuk meleburkan baja adalah jenis arc furnace dengan sistem peleburan
menggunakan elektroda yang dialiri dengan listrik. Tungku arc furnace memiliki tingkat produktifitas yang
lebih tinggi dari pada tungku yang lain, serta membutuhkan kontrol debu yang lebih rendah dibandingkan
tungku yang menggunakan bahan bakar fosil, gas alam, atau berbagai produk sekunder dari pembakaran
(Wright, 1968).
Industri peleburan baja harus memiliki sistem pengolahan partikulat untuk mengurangi limbah partikulat
dari proses peleburan baja. Kondisi eksisting industri peleburan baja memiliki sistem pengolahan partikulat
jenis bag filter namun belum bisa mengolah limbah partikulat secara maksimal. Hal ini dibuktikan dengan hasil
pengukuran kadar konsentrasi partikulat limbah peleburan yang melebihi baku mutu sesuai Peraturan Gubernur
Jawa Timur Nomor 10 tahun 2009 tentang Baku Mutu Udara Ambien dan Emisi Sumber Tidak Bergerak
sebesar 193,162 mg/m3. Oleh karena itu perlu adanya perancangan ulang bag filter yang digunakan supaya
dapat berfungsi secara maksimal untuk mengolah limbah partikulat dari proses peleburan baja.

2. METODE
Perancangan ulang bag filter dilakukan di industri pengecoran baja yang memiliki produksi rata-rata
sebesar 956 ton per bulan. Berikut ini tahapan perancangan ulang bag filter baru :
1. Kadar konsentrasi partikulat
Data konsentrasi partikulat didapatkan dari hasil pengukuran menggunakan peralatan High Volume Air
Sampler (HVAS) dengan metode gravimetric. Pengambilan sampel dilakukan di area arc furnace dengan
metode secara grab sampling (sesaat) karena limbah yang dihasilkan dari proses peleburan bersifat kontinyu
selama 24 jam dengan kapasitas yang sama yaitu 5 ton (Hasil data, 2019). Pengambilan sampel dilakukan di
udara ambien sesuai SNI 19-7119.6-2005.

35
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

2. Ukuran partikulat
Ukuran partikulat limbah peleburan logam diperoleh dari pengujian menggunakan metode Scanning
Electron Microscopy (SEM). Partikulat yang tertahan di kertas saring saat proses pengukuran menggunakan
HVAS yang diuji dengan SEM.
3. Perancangan ulang bag filter
Tahap perancangan ulang bag filter dilakukan dengan menghitung hood, duct, panjang filter, jumlah filter
dan dimensi bag filter yang dibutuhkan. Berikut ini tahapan yang dilakukan :
a. Merancang hood
Perencanaan hood disesuaikan dengan nilai minimum recommended control velocities limbah yang
didapatkan dari buku Schnelle, 2016. Nilai kecepatan minimum yang didapat digunakan untuk menghitung
dimensi hood. Rumus yang digunakan disesuaikan dengan jenis hood yang akan diaplikasikan di lapangan.
b. Merancang duct
Dimensi duct yang digunakan dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Q emisi
ADuct (m2 )= (1)
Vmin

4A 0,5
Dact = ( π ) (2)
Q
Vact = (3)
A act

Dimana :
A = luas duct (m2)
D = diameter duct (m)
V = kecepatan limbah (m2)
c. Effective Filtration Velocity
Rumus yang digunakan untuk menentukan effective filtration velocity
Vef = Vfn x A x T x P x D (4)
Dimana :
Vef = Effective filtration velocity
Vfn = Nominal filtration velocity
A = Application
0,8 = Oliy, moist or agglomerating
0,9 = Product collection
1,0 = Nuisance dust collection
T = Temperature
1,0 = Uo to 110°F (43°C)
0,9 = From 110° F to 225°F (107°C)
0,8 = Above 225°F (>107°C)
P = Particel Size
0,8 = Under 3,0 μ
0,9 = From 3 to 9 μ
1,0 = For 10 to 50 μ
1,1 = For 51 to 100 μ
1,2 = Above 100 μ
D = Dust Load
1,2 = For 10 or less gr/ft3
1,1 = For 10 or 20 gr/ft3
1,0 = For 20 or 50 gr/ft3
0,9 = For 50 or 80 gr/ft3
0,8 = Above 80 gr/ft3
d. Merancang panjang filter
Menentukan panjang filter diperlukan nilai Vc (can velocity) yang didapatkan dari buku Croom Miles. L,
1995. Panjang filter dapat ditentukan dengan menarik grafik pada filter length dan melakukan interpolasi.
e. Menentukan jumlah filter
Jumlah filter ditentukan dengan rumus dari EPA, 1998 sebagai berikut :
A
Nb = Ac (5)
b

Dimana :
Ac = area of the clothe (m2)
36
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Ab = luas filter tiap bag (m2)


f. Merancang dimensi bag filter
Dimensi bag filter ditentukan sesuai kebutuhan filter yang digunakan dan jarak antar filter.

4. Perbandingan fisik dan performa bag filter


Perbandingan fisik bag filter yaitu berupa dimensi bag filter, jenis hood, diamater duct, jenis filter, panjang
filter, jumlah filter. Perbandingan performa berupa efisiensi bag filter yang dirancang dengan bag filter lama.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil dan pembahasan yang dilakukan dalam perancangan ulang bag filter sebagai berikut:
1. Kadar konsentrasi partikulat
Hasil pengukuran kadar konsentrasi partikel nilai rata-rata konsentrasi limbah partikel peleburan baja diarea
arc furnace sebesar 193,162 mg/ m3.
2. Ukuran partikulat
Hasil pengukuran limbah partikel peleburan baja menunjukan bahwa partikel memiliki ukuran paling kecil
sebesar 1,845 µm dan ukuran terbesar 10,32 µm.
3. Perancangan ulang bag filter
Perancangan ulang bag filter dilakukan dengan menentukan debit limbah yang akan diolah dan layout bag
filter dari sumber pencemar sampai ke cerobong. Debit limbah perancangan ulang bag filter didapatkan dari
perkalian luas penampang keluaran tungku dengan laju alir limbah, perhitungan sebagai berikut :
Dimensi tungku arc furnace
 Diameter dalam tungku = 3,2 m
 Tinggi tungku = 0,32 m
Laju alir limbah dari tungku arc furnace = 5,2 m/s didapatkan dari pengukuran cerobong setiap 6 bulan
sekali.
Debit limbah (Q) = luas tungku (bentuk silinder) x laju alir
= π 𝑟2 x 𝜗
= 3,14 x (1,6 m)2 x 5,2 m/s
= 41, 80 m3/s
a. Merancang hood
Hood yang digunakan jenis canopy hood dan rectangular hood dengan dimensi masing-masing sebesar 1,9
m dan 2,5 m.
b. Merancang duct
Limbah peleburan baja memiliki range kecepatan minimum yang ada di buku Schnelle, 2016 sebesar 5000
fpm . Apabila dikonversikan menjadi m/s menjadi 25,40 m/s. Terdapat 7 jalur dari A-F sehingga perlu
dilakukan perhitungan pada masing-masing jalur.

Gambar 1 Jalur ducting


Perhitungan jalur ducting dihitung dengan rumus sebagai berikut :
 Jalur A
Jalur A memiliki panjang 14,5 meter berawal dari hood canopy sampai ke pipa utama. Besarnya debit yang
dapat dihisap dari hood sebesar 22,63 m3/s apabila dikonversikan ke scfm nilainya menjadi (2118,880003 x
22.63) = 47955,05 scfm (standard cubic feet per minute) dan kecepatan minimal hood sebesar 5000 ft/min.
Perhitungan dimensi duct sebagai berikut :
37
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

𝐷𝑒𝑏𝑖𝑡 𝑙𝑖𝑚𝑏𝑎ℎ (𝑄)


A (luas area) = 𝑉𝑒𝑙𝑜𝑐𝑖𝑡𝑦
47955,05 scfm
= 5000 ft/min
= 9,59 ft2
(D) diameter = (4A/π)2
4𝐴 0,5
=(𝜋)
0.5
4 𝑥 10 𝑓𝑡 2
= ( 3.14 )
= 3,495 ft
Diameter duct yang dibutuhkan untuk mengalirkan debu limbah peleburan baja sebesar 3,495 ft. Karena
dipasaran tidak tersedia duct berdiamater 3,495 ft, maka akan menggunakan duct berdiameter 3,5 ft atau 1067
mm sesuai katalog pipa. Jadi luas area aktual duct sebesar :
𝑄
Aact =1 2
𝑥 𝜋 𝑥𝐷
4
47955,05 scfm
Aact = 1
𝑥 3,14 𝑥3,52
4
Aact = 9,64 ft2
Berubahnya ukuran diameter duct aktual maka kecepatan yang terjadi didalam duct akan berubah.
Kecepatan aktual yang terjadi dalam duct sebesar :
Vact = Q/Aact
47955,05 scfm
Vact = 9,64 𝑓𝑡 2
Vact = 4986,88 ft/min

Tabel 1 Perhitungan dimensi ducting


Area
Flow Velocity (V D act A act Vact
Duct (A in D (ft)
(scfm) in ft/min) (ft) (ft2) (ft/min)
ft2)
A 47955.05 5000* 9.59 3.50 3.5 9.62 4986.88
B 52127.63 5000 10.43 3.64 4.0 12.56 4150.29
C 100082.68 5000 20.02 5.00 5.0 19.63 5099.75
D 100082.68 5000 20.02 5.00 5.0 19.63 5099.75
E 100082.68 5000 20.02 5.00 5.0 19.63 5099.75
F 100082.68 5000 20.02 5.00 5.0 19.63 5099.75

c. Effective Filtration Velocity


Perhitungan ini dapat ditentukan dengan mengetahui data aplikasi debu (application), suhu
(temperature), ukuran partikel (particle size), dan beban debu (dust load) :
Vef = Vfn ×A ×T×P×D
= 6 fpm x 0,9 x 0,9 x 0,8 x 1,2
= 4,67 fpm
d. Merancang panjang filter
Nilai panjang filter didapat dengan menarik garis sumbu Y (can velocity) sampai dengan garis X (effective
filtration velocity) yang terdapat pada grafik filter length di buku Croom miles, 1995, kemudian melakukan
interpolasi. Adapun perhitungannya sebagai berikut :
(2,5-5)/(2,5-4,67) = (18,8-9,4)/(18,8-x)
(-2,5)/(-2,2) = 9,4/(18,8-x)
-47+2,5x = -20,68
2,5x = 26,32
x = 10,53 ft
Panjang filter yang dibutuhkan adalah 10,53 ft dikonversikan menjadi meter 10,53 ft x 0,3048/(1 ft) = 3,21
meter. Panjang filter jenis nomex yang ada dipasaran sebesar 3,76 meter dan diameter sebesar 0,118 meter.
e. Menentukan jumlah filter
Menghitung jumlah bag yang diperlukan harus menghitung luas area (Ab) yang dibutuhkan per bag, dengan
persamaan sebagai berikut :
Ab = π x d(diameter bag) m x h (tinggi bag) m
= 3,14 x 0,12 m x 3,75 m
= 1,41 m2
38
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

= 15,00 ft2
Jumlah bag yang dibutuhkan (Nb) dengan perhitungan :
Nb = Ac/Ab
= ( 12510,33 ft2)/(15,00 ft2)
= 840 buah
f. Merancang dimensi bag filter
Jumlah bag di sisi panjang 42 buah dan sisi lebar sebanyak 20 buah, sehingga didapatkan panjang bag filter
7,70 meter dengan lebar 4,9 meter dan tinggi total 13,73 meter. Tinggi hopper yang digunakan sebesar 2,68
meter dengan kemiringan sudut 70o dan tinggi pagar bag filter sebesar 1,15 meter.
4. Perbandingan fisik dan performa bag filter
Perubahan fisik yang dilakukan dalam perancangan ulang bag filter dilakukan berdasarkan karakteristik
limbah yang ada di unit arc furnace di industri pengecoran baja. Perbandingan fisik antara bag filter baru
dengan yang lama ada pada Tabel 4.1.
Tabel 2 Perbandingan fisik bag filter lama dengan baru
Parameter Bag Bag filter baru
filter
lama
Jenis hood Canopy Canopy hood dan
hood rectangular hood
Dimensi 900 cm 1524 cm
duct
Dimensi 8,4 m x 7,7 m x 4,9 m x 13,73 m
bag filter 2,94 m x
9,47 m
Jumlah 600 buah 840 buah
filter
Panjang 2,79 m 3,76 m
filter
Jenis filter Polyester Nomex
Efisiensi 60,12% 99,8%
(Sumber : penulis, 2019)
Performa bag filter dibandingkan dengan nilai efisiensi alat yang dirancang. Nilai efisiensi bag filter baru
sebesar 99,8 %, sedangkan efisiensi bag filter lama sebesar 60,12 %.

4. KESIMPULAN
Perancangan ulang bag filter memiliki kemampuan debit hisap limbah sebesar 2833,8 m3/min. Jenis hood
yang digunakan canopy hood dan rectangular hood. Diameter duct sebesar 1524 mm. Dimensi bag filter baru
7,7 m x 4,9 m x 13,37 m. Jumlah filter yang dibutuhkan 840 filter dengan panjang 3,76 meter. Efisiensi bag
filter baru sebesar 99,8 %.

5. DAFTAR PUSTAKA
EPA, (United States Environmental Protection Agency). (1998). Fabric Filter Design Review, 2, 1–16. U.S.
EPA. (1998).
Croom ,Miles L.1995.Filter Dust Collector: Design And Application. Newyork: McGraw-hill
Schnelle Jr. Karl B., Charles A. Brown. 2016. Air Pollution Control Tecnology Handbook. New york. Taylor
dan Francis Group
SNI 19-7119.3. (2005). Udara ambien – Bagian 3: Cara Uji Partikel Tersuspensi Total Menggunakan
Peralatan High Volume Air Sampler (HVAS) dengan Metode gravimetri
Wright, R. J. (1968). Concepts of electric arc furnace fume control. Journal of the Air Pollution Control
Association, 18(3), 175–178.B
Katalog pipa. Dimension and weihgts of steel pipe ANSI 36.10

39
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Halaman ini sengaja dikosongkan

40
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Studi Pengurangan Gas CO2 dari Emisi PLTU Batubara dengan


Menggunakan Mikroalga Botryococcus braunii

Jami’atul Hikmah1*, Ahmad Erlan Afiuddin1, Tanti Utami Dewi1


1
Program Studi Teknik Pengolahan Limbah, Jurusan Teknik Permesinan Kapal, Politeknik Perkapalan
Negeri Surabaya, Surabaya 60111
*E-mail: jamiatulhikmah@student.ppns.ac.id

Abstrak
PLTU Batubara merupakan salah satu industri penghasil emisi gas CO 2 terbesar di Indonesia. Emisi gas CO2
dari PLTU Batubara mengandung gas CO2 sebesar 10-20%, sedangkan gas CO2 di alam sebesar 0,036%.
Pengolahan emisi gas CO2 di PLTU Batubara belum banyak diterapkan. Salah satu metode pengurangan emisi
gas CO2 yaitu menggunakan mikroalga Botryococcus braunii. Penelitian ini menggunakan variasi penambahan
nutrisi pupuk Walne dan vitamin sebesar 3 mL/L kultur. Volume mikroalga yang dimasukkan sebesar 10%
dari 5 L volume total reaktor. Pengurangan gas CO2 oleh mikroalga Botryococcus braunii dilakukan dengan
pendekatan analisis alkalinitas dan analisis klorofil a. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis alkalinitas
didapatkan nilai CO2 Total tertinggi untuk reaktor kontrol sebesar 1740,342 mg CO2/L dan untuk reaktor
penelitian sebesar 2067,072 mg CO2/L. Hasil analisis klorofil a tertinggi untuk reaktor kontrol sebesar 0,416
mg/L dan untuk reaktor penelitian sebesar 0,627 mg/L. Nilai tertinggi CO2 Terserap dalam penelitian ini untuk
reaktor kontrol sebesar 3988,980 mg CO2 dan untuk reaktor penelitian sebesar 6020,316 mg CO2 dengan nilai
CO2 Terserap rata-rata untuk reaktor kontrol sebesar 2689,651 mg CO2 dan nilai CO2 Terserap rata-rata untuk
reaktor penelitian sebesar 3459,679 mg CO2.

Kata Kunci: Alkalinitas, Botryococcus braunii, CO2, Klorofil a

1. PENDAHULUAN
Industri yang paling banyak menghasilkan emisi gas CO2 adalah PLTU Batubara. Penelitian Istiyanie
(2011), menjelaskan emisi gas CO2 dari PLTU Batubara mengandung gas CO2 sebesar 10-20%, sedangkan gas
CO2 di alam sebesar 0,036%. Kelemahan penggunaan batubara sebagai bahan baku dalam industri PLTU
adalah batubara tidak ramah lingkungan, karena memiliki komposisi yang terdiri dari kandungan C, H, O, N,
S, dan partikulat. Penelitian Istiyanie (2011) menjelaskan Kandungan C pada batubara dapat menghasilkan gas
CO2 yang paling banyak dari bahan bakar fosil lainnya.
Penelitian Prayitno (2016) menjelaskan penggunaan mikroalga sebagai penyerapan CO 2 secara biologi
merupakan sebuah alternatif untuk mengganti metode fisika yang memiliki biaya teknologi mahal. Mikroalga
dipilih karena dapat digunakan untuk mitigasi CO2 yang dapat menghasilkan energi seperti biofuel, bahan baku
bioplastik, farmasi, kosmetik, detergen, dan produk pakan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi
kemampuan mikroalga Botryococcus braunii dalam menyerap karbondioksida (CO2) dari emisi PLTU
Batubara. Penelitian ini dilakukan satu tahap selama 14 hari sesuai dengan proses pertumbuhan mikroalga
Botryococcus braunii dalam melakukan fotosintesis. Sistem yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem
batch.

2. METODE
Metode penelitian diuraikan dengan tujuan sebagai metode pendekatan yang digunakan untuk menjawab
permasalahan penelitian, agar sesuai dengan tujuan dan tahapan penelitian yang rinci, singkat, dan jelas.
Metode penelitian dibagi dalam 3 tahapan penting, yaitu:
2.1 Tahap Persiapan
Tahap persiapan meliputi persiapan alat dan bahan penelitian, secara umum sebagai berikut :
a. Persiapan Reaktor, penelitian ini menggunakan reaktor yang berbentuk tabung dengan volume 6 L
(volume yang dipakai sebesar 5 L) yang terbuat dari bahan plastik. Penelitian ini membutuhkan 16
reaktor dengan 2 reaktor sebagai kontrol. 14 reaktor penelitian mendapatkan supply gas CO2 dari
cerobong PLTU Batubara dan 2 reaktor kontrol mendapatkan supply gas CO2 dari udara ambien di
kawasan PLTU Batubara.

41
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

b. Persiapan Bahan, bibit murni mikroalga Botryococcus braunii, pupuk Walne dan vitamin didapatkan
dari Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Situbondo. Air laut yang digunakan sebagai media
tumbuh mikroalga diperoleh dari sumber air laut inlet primary PLTU Batubara. Sebelum digunakan
sebagai media tumbuh, air laut disterilisasi dengan menambahkan 60 ppm klorin dan 30 ppm Natrium
tiosulfat.
c. Persiapan Alat dan Bahan Analisis, analisis Klorofil a mengacu pada standar APHA (2005) dengan
menggunakan metode 10200 (teknik spektrofotometri) dan analisis alkalinitas mengacu pada standar
APHA (2005) dengan menggunakan metode spektrofotonetri 2320 dengan cara titrasi, kemudian
dilanjutkan dengan metode 4500-CO2.
2.2 Tahap Penelitian
a. Tahap Penelitian Observasional, tahap ini meliputi pengambilan sampel air laut di inlet primary PLTU
Batubara untuk mengetahui karakteristik sampel air laut, pengujian karakteristik emisi CO 2 dari PLTU
Batubara dan pemantauan pertumbuhan mikroalga sebelum dituang ke reaktor.
b. Tahap Penelitian Eksperimental, tahap ini meliputi proses pengembangbiakan (Seeding) mikroalga
dan proses pengolahan (Feeding) mikroalga.
2.3 Tahap Analisis
a. Tahap Pengumpulan Data, data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer yang
meliputi data pH dan suhu yang diukur setiap hari selama 14 hari, konsentrasi CO2 dari cerobong
PLTU Batubara sebesar 14,5% dan Laju Alir CO2 yang dimasukkan ke dalam reaktor penelitian
sebesar 30 L/menit.
b. Tahap Analisis Data, penyerapan emisi gas CO2 oleh mikroalga dihitung melalui pendekatan
perhitungan dari persamaan klorofil a dan alkalinitas, sebagai berikut :
 Analisis Alkalinitas, dilakukan untuk menentukan kandungan karbondioksida (CO 2) yang terserap
oleh mikroalga. Analisis Alkalinitas mengacu pada standar APHA (2005) menggunakan metode
spektrofotometri 2320 dengan cara titrasi menggunakan larutan H2SO4 sebagai titran. Perhitungan
Alkalinitas menggunakan persamaan, sebagai berikut :
𝐶𝑎𝐶𝑂3 𝐴 × 𝑁 × 50000
𝐴𝑙𝑘𝑎𝑙𝑖𝑛𝑖𝑡𝑎𝑠 (𝑚𝑔 )=
𝐿 𝑚𝐿 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
 Analisis Klorofil a, dilakukan untuk menentukan kandungan mikroalga pada reaktor. Analisis Klorofil
a dilakukan menggunkan Spectrophotometric Determination of Chlorofil sesuai standar yang
ditetapkan oleh APHA, (2005) dengan menggunakan persamaan, sebagai berikut :
𝑚𝑔 26,7 (664 − 665) × 𝑉1
𝐶ℎ𝑙𝑜𝑟𝑜𝑝ℎ𝑦𝑙𝑙 𝑎, =
𝑚3 𝑉2 × 𝐿

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


a. Analisis Alkalinitas
Perhitungan pembentukan CO2 dilakukan dengan berbagai tahapan perhitungan, diantaranya dengan
melakukan perhitungan nilai alkalinitas bikarbonat, alkalinitas karbonat, alkalinitas hidroksida, kadar CO 2
bebas, dan kadar CO2 total. Perhitungan CO2 Total dipengaruhi oleh nilai pH media yang terukur. pH
merupakan faktor penting yang mempengaruhi reaksi kesetimbangan hubungan karbondioksida (CO 2) yang
berikatan dengan air dalam media. Nilai pH cenderung sama, untuk reaktor kontrol nilai pH lebih besar berkisar
antara 7-9. Hal tersebut dikarenakan pada reaktor kontrol untuk masing-masing tahap penelitian mengambil
supply CO2 dari udara di sekitar kawasan PLTU Batubara sebesar 0,036%, sehingga CO2 yang tertangkap lebih
sedikit dan mengakibatkan kenaikan nilai pH di reaktor. Reaktor penelitian memiliki nilai pH yang lebih kecil
daripada reaktor kontrol yaitu berkisar antara 5-7. Hal tersebut dikarenakan reaktor penelitian mendapatkan
supply CO2 langsung dari cerobong PLTU Batubara sebesar 14,5%, sehingga CO 2 yang tertangkap lebih
banyak dan mengakibatkan penurunan nilai pH di reaktor.

42
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Berikut ini adalah grafik nilai CO2 Total dan grafik pH untuk reaktor kontrol dan reaktor penelitian, yaitu:

Gambar 1. a Grafik Nilai CO2 Total Reaktor Kontrol dan Gambar 1. b Grafik nilai pH yang terukur untuk reaktor
Reaktor Penelitian kontrol dan reaktor penelitian

b. Analisis Klorofil a
Berikut ini adalah grafik nilai klorofil a untuk reaktor kontrol dan reaktor penelitian, yaitu:

Gambar 1. c Grafik nilai klorofil a untuk reaktor kontrol dan reaktor penelitian

Hasil analisis klorofil a divisualisasikan dalam Gambar 3.3 untuk reaktor kontrol dan reaktor
penelitian. Garis warna hijau untuk reaktor kontrol menggambarkan fase pertumbuhan dan
perkembangan mikroalga yang relatif stabil sesuai dengan kurva pertumbuhan mikroalga. Nilai
klorofil a untuk reaktor penelitian dijelaskan dalam garis warna biru. Variasi penambahan nutrisi
memiliki peran dalam pertumbuhan dan perkembangan mikroalga yang ditunjukkan melalui analisis
klorofil a mikroalga. Penambahan nutrisi pupuk Walne dan vitamin sebesar 3 mL/L kultur
memberikan efek pertumbuhan dan perkembangan mikroalga yang lebih cepat. Semakin banyak
nutrisi yang diberikan ke media pertumbuhan mikroalga, maka pertumbuhan dan perkembangan
mikroalga semakin cepat dengan nilai klorofil a yang semakin besar.
c. Analisis Nilai Karbondioksida (CO2) Terserap
Penelitian Afiuddin (2013) menjelaskan Perhitungan jumlah karbondioksida (CO 2) yang terserap
oleh mikroalga sebesar 1 gram klorofil a setara dengan 1,92 gram CO 2 Terserap didapatkan dari
perbandingan stokiometri pada persamaan reaksi fotosintesis di bawah ini :
cahaya
106 CO2 + 236 H2 O + 16 NH4+ + HPO2− 4
𝐶100 𝐻181𝑂45 𝑁16 𝑃 (𝑠𝑒𝑙 𝑎𝑙𝑔𝑎) + 118 𝑂2 + 171 𝐻2 𝑂 + 14 𝐻+

Tahapan perhitungan CO2 Terserap, meliputi :


 𝑃𝑒𝑟𝑡𝑢𝑚𝑏𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑚𝑖𝑘𝑟𝑜𝑎𝑙𝑔𝑎 = 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑘𝑙𝑜𝑟𝑜𝑓𝑖𝑙 𝑎 × 𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑟𝑒𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟
𝑚𝑔 𝐶𝑂2
 𝐶𝑂2 𝑇𝑒𝑟𝑠𝑒𝑟𝑎𝑝 = 𝑃𝑒𝑟𝑡𝑢𝑚𝑏𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑚𝑖𝑘𝑟𝑜𝑎𝑙𝑔𝑎 × 1920 𝑚𝑔 𝑘𝑙𝑜𝑟𝑜𝑓𝑖𝑙 𝑎
Berikut ini contoh perhitungan nilai CO2 terserap untuk reaktor kontrol pada hari ke-0, yaitu :
 Nilai klorofil a = 0,184 mg/L
 Volume reaktor =5L
𝑃𝑒𝑟𝑡𝑢𝑚𝑏𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑚𝑖𝑘𝑟𝑜𝑎𝑙𝑔𝑎 = 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑘𝑙𝑜𝑟𝑜𝑓𝑖𝑙 𝑎 × 𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑟𝑒𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟
𝑚𝑔
𝑃𝑒𝑟𝑡𝑢𝑚𝑏𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑚𝑖𝑘𝑟𝑜𝑎𝑙𝑔𝑎 = 0,184 ×5𝐿
𝐿
43
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

 𝑃𝑒𝑟𝑡𝑢𝑚𝑏𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑚𝑖𝑘𝑟𝑜𝑎𝑙𝑔𝑎 = 0,921 𝑚𝑔 𝐾𝑙𝑜𝑟𝑜𝑓𝑖𝑙 𝑎


𝑚𝑔 𝐶𝑂2
 𝐶𝑂2 𝑇𝑒𝑟𝑠𝑒𝑟𝑎𝑝 = 𝑃𝑒𝑟𝑡𝑢𝑚𝑏𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑚𝑖𝑘𝑟𝑜𝑎𝑙𝑔𝑎 × 1920 𝑚𝑔 𝑘𝑙𝑜𝑟𝑜𝑓𝑖𝑙 𝑎
𝑚𝑔 𝐶𝑂2
𝐶𝑂2 𝑇𝑒𝑟𝑠𝑒𝑟𝑎𝑝 = 0,921 𝑚𝑔 𝐾𝑙𝑜𝑟𝑜𝑓𝑖𝑙 𝑎 × 1920
𝑚𝑔 𝐾𝑙𝑜𝑟𝑜𝑓𝑖𝑙 𝑎
𝐶𝑂2 𝑇𝑒𝑟𝑠𝑒𝑟𝑎𝑝 = 1768,608 𝑚𝑔 𝐶𝑂2
Berikut ini adalah perhitungan nilai CO2 terserap pada reaktor kontrol dan reaktor penelitian,
yaitu:
Tabel 1. a Data Perhitungan CO2 Terserap Tabel 1. b Data Perhitungan CO2 Terserap
Reaktor Kontrol Reaktor Penelitian

Pertumbuhan Pertumbuhan
Hari CO₂ Total CO₂ Terserap Hari CO₂ Total CO₂ Terserap
Mikroalga Mikroalga
ke- ke-
(mg CO₂) (mg Klorofil a) (mg CO₂) (mg CO₂) (mg Klorofil a) (mg CO₂)
0 3862.418 0.921 1768.608 0 4046.264 0.924 1775.016
1 4081.879 0.955 1832.688 1 4750.729 1.645 3159.144
2 3975.311 1.490 2861.172 2 6584.935 2.024 3886.452
3 3294.101 1.604 3079.044 3 5537.723 2.248 4315.788
4 3031.789 1.522 2922.048 4 6360.539 3.136 6020.316
5 3832.209 1.560 2995.740 5 7035.021 2.209 4242.096
6 3575.450 1.357 2604.852 6 8088.129 1.707 3277.692
7 3261.170 1.634 3136.716 7 8762.138 1.729 3319.344
8 4119.607 2.078 3988.980 8 9646.985 1.629 3127.104
9 5147.196 1.897 3642.948 9 10335.360 1.956 3755.088
10 8701.709 1.585 3043.800 10 9881.851 1.966 3774.312
11 8327.439 1.360 2611.260 11 9729.263 1.532 2941.272
12 8023.255 1.093 2098.620 12 9580.813 1.499 2877.192
13 7946.394 0.983 1887.156 13 9430.330 1.428 2742.624
14 7691.559 0.975 1871.136 14 8907.696 1.397 2681.748

Reaktor Penelitian lebih efektif dalam melakukan penyerapan emisi gas CO2 dari cerobong
PLTU Batubara dengan nilai yang cukup besar. Penambahan nutrisi memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap kemampuan mikroalga dalam menyerap emisi gas CO 2 dari cerobong PLTU
Batubara. Penambahan nutrisi yang lebih banyak mengakibatkan pertumbuhan mikroalga
Botryococcus braunii menjadi kurang optimal. Semakin besar jumlah nutrisi yang diberikan pada
kultur, semakin tinggi stress yang diberikan kepada mikroalga dalam kultur.
d. Perhitungan Nilai CO2 Sisa
Tahapan terakhir dalam perhitungan CO2 adalah perhitungan CO2 sisa. CO2 sisa merupakan
selisih antara CO2 Total dari hasil analisis alkalinitas dengan CO2 terserap dari hasil analisis klorofil
a mikroalga. Berikut ini adalah persamaan untuk menghitung nilai CO2 Sisa, adalah :
 𝐶𝑂2 𝑆𝑖𝑠𝑎 = 𝐶𝑂2 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 (𝑚𝑔 𝐶𝑂2 ) − 𝐶𝑂2 𝑇𝑒𝑟𝑠𝑒𝑟𝑎𝑝 (𝑚𝑔 𝐶𝑂2 )
𝐶𝑂2 𝑇𝑒𝑟𝑠𝑒𝑟𝑎𝑝 (𝑚𝑔 𝐶𝑂2 )
 % 𝐶𝑂2 𝑇𝑒𝑟𝑠𝑒𝑟𝑎𝑝 = 𝐶𝑂 × 100
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 (𝑚𝑔 𝐶𝑂 )
2 2
𝐶𝑂2 𝑆𝑖𝑠𝑎 (𝑚𝑔 𝐶𝑂2)
 % 𝑆𝑖𝑠𝑎 = × 100
𝐶𝑂2 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 (𝑚𝑔 𝐶𝑂2 )

44
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Berikut ini adalah contoh perhitungan nilai CO2 sisa untuk reaktor kontrol di hari ke-0, yaitu :
 CO2 Total = 3862,418 mg CO2
 CO2 Terserap = 1768,608 mg CO2
 CO2 Sisa
𝐶𝑂2 𝑆𝑖𝑠𝑎 = 𝐶𝑂2 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 (𝑚𝑔 𝐶𝑂2 ) − 𝐶𝑂2 𝑇𝑒𝑟𝑠𝑒𝑟𝑎𝑝 (𝑚𝑔 𝐶𝑂2 )
𝐶𝑂2 𝑆𝑖𝑠𝑎 = 3862,418 𝑚𝑔 𝐶𝑂2 − 1768,608 𝑚𝑔 𝐶𝑂2
𝐶𝑂2 𝑆𝑖𝑠𝑎 = 2093,810 𝑚𝑔 𝐶𝑂2
 % CO2 Terserap
𝐶𝑂2 𝑇𝑒𝑟𝑠𝑒𝑟𝑎𝑝 (𝑚𝑔 𝐶𝑂2 )
% 𝐶𝑂2 𝑇𝑒𝑟𝑠𝑒𝑟𝑎𝑝 = × 100
𝐶𝑂2 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 (𝑚𝑔 𝐶𝑂2 )
1768,608 𝑚𝑔 𝐶𝑂2
% 𝐶𝑂2 𝑇𝑒𝑟𝑠𝑒𝑟𝑎𝑝 = × 100
3862,418 𝑚𝑔 𝐶𝑂2
% 𝐶𝑂2 𝑇𝑒𝑟𝑠𝑒𝑟𝑎𝑝 = 45,790 %
 % CO2 Sisa
𝐶𝑂2 𝑆𝑖𝑠𝑎 (𝑚𝑔 𝐶𝑂2 )
% 𝐶𝑂2 𝑆𝑖𝑠𝑎 = × 100
𝐶𝑂2 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 (𝑚𝑔 𝐶𝑂2 )
2093,810 𝑚𝑔 𝐶𝑂2
% 𝐶𝑂2 𝑆𝑖𝑠𝑎 = × 100
3862,418 𝑚𝑔 𝐶𝑂2
% 𝐶𝑂2 𝑆𝑖𝑠𝑎 = 54,210 %

Berikut ini adalah hasil perhitungan CO2 Sisa untuk reaktor kontrol dan reaktor penelitian, yaitu :
Tabel 1. c Data Hasil Perhitungan Tabel 1. d Data Hasil Perhitungan
CO2 Sisa CO2 Sisa
Reaktor Kontrol Reaktor Penelitian
Hari CO₂ Total CO₂ Terserap CO₂ Sisa % CO₂ Hari CO₂ Total CO₂ Terserap CO₂ Sisa % CO₂
% CO₂ Sisa % CO₂ Sisa
ke- (mg CO₂) (mg CO₂) (mg CO₂) Terserap ke- (mg CO₂) (mg CO₂) (mg CO₂) Terserap
0 3862.418 1768.608 2093.810 45.790 54.210 0 4046.264 1775.016 2271.248 43.868 56.132
1 4081.879 1832.688 2249.191 44.898 55.102 1 4750.729 3159.144 1591.585 66.498 33.502
2 3975.311 2861.172 1114.139 71.974 28.026 2 6584.935 3886.452 2698.483 59.020 40.980
3 3294.101 3079.044 215.057 93.471 6.529 3 5537.723 4315.788 1221.935 77.934 22.066
4 3031.789 2922.048 109.741 96.380 3.620 4 6360.539 6020.316 340.223 94.651 5.349
5 3832.209 2995.740 836.469 78.173 21.827 5 7035.021 4242.096 2792.925 60.300 39.700
6 3575.450 2604.852 970.598 72.854 27.146 6 8088.129 3277.692 4810.437 40.525 59.475
7 3261.170 3136.716 124.454 96.184 3.816 7 8762.138 3319.344 5442.794 37.883 62.117
8 4119.607 3988.980 130.627 96.829 3.171 8 9646.985 3127.104 6519.881 32.415 67.585
9 5147.196 3642.948 1504.248 70.775 29.225 9 10335.360 3755.088 6580.272 36.332 63.668
10 8701.709 3043.800 5657.909 34.979 65.021 10 9881.851 3774.312 6107.539 38.194 61.806
11 8327.439 2611.260 5716.179 31.357 68.643 11 9729.263 2941.272 6787.991 30.231 69.769
12 8023.255 2098.620 5924.635 26.157 73.843 12 9580.813 2877.192 6703.621 30.031 69.969
13 7946.394 1887.156 6059.238 23.749 76.251 13 9430.330 2742.624 6687.706 29.083 70.917
14 7691.559 1871.136 5820.423 24.327 75.673 14 8907.696 2681.748 6225.948 30.106 69.894
Rata-rata 60.526 39.474 Rata-rata 47.138 52.862

Persentase % CO2 Sisa rata-rata reaktor kontrol lebih kecil daripada % CO2 Sisa rata-rata reaktor
penelitian. Reaktor kontrol pada penelitian ini lebih efektif dalam melakukan penyerapan CO 2 dari
udara di sekitar PLTU Batubara. Reaktor penelitian lebih efektif dalam menyerap CO 2 dari emisi
gas buang PLTU Batubara. Nutrisi pupuk walne mengandung komponen fosfat dan zat besi yang
dapat meningkatkan produktivitas mikroalga. Penelitian Sari (2013), menjelaskan Penambahan
vitamin dalam reaktor bertujuan untuk meningkatkan metobolisme mikroalga Botryococcus braunii,
karena vitamin mikroalga mengandung vitamin B1 dan vitamin B12 yang daapat meningkatkan
metabolisme mikroalga. Semakin banyak nutrisi pupuk walne dan vitamin yang ditambahkan ke
reaktor, maka kemampuan penyerapan CO2 oleh mikroalga Botryococcuss braunii akan semakin
efektif.

4. KESIMPULAN
Mikroalga Botryococcus braunii mampu menyerap CO2 dengan efektif dari emisi PLTU Batubara dengan
penambahan nutrisi pupuk Walne dan vitamin sebesar 3 mL/L kultur. Hasil rata-rata CO2 Terserap untuk
reaktor penelitian dengan supply CO2 dari emisi PLTU Batubara sebesar 3459,679 mg CO2. Rata-rata nilai
CO2 Terserap untuk reaktor kontrol dengan supply CO2 di sekitar kawasan PLTU Batubara sebesar 2689,651
mg CO2.

5. UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terimakasih penulis disampaikan kepada dosen D4. Teknik Pengolahan Limbah PPNS dan pihak
pihak terkait yang membantu penelitian ini serta teman teman D4. Teknik Pengolahan Limbah.

6. DAFTAR NOTASI
A = Volume titran yang dibutuhkan, mL
N = Nilai normalitas larutan titran
V1 = volume ekstrak, L
V2 = volume sampel, m3
45
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

L = lebar kuvet, cm
664, 665 = hasil pembacaan spektrofotometri

7. DAFTAR PUSTAKA
Afiuddin, Ahmad Erlan. (2013). Analisis Kemampuan Alga dalam Menyerap Karbondioksida (CO2). Tesis
Program Pascasarjana. Surabaya: Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh
November.
American Public Health Association (APHA). American Water Work Association, Water Environment
Federation. (2005). Standard Method for Examination of Water and Wastewater, USA.
Istiyanie, D. (2011). Pemanfaatan Emisi CO2 dari PLTU Batubara dalam Pengolahan Limbah Cair
Domestik Berbasis Mikroalga. Tesis Program Pascasarjana, 8-9. Jakarta : Program Pascasarjana
Kajian Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia.
Prayitno, J. (2015). Pola Pertumbuhan dan Pemanenan Biomassa dalam Fotobioreaktor Mikroalga Untuk
Penangkapan Karbon. Jurnal Teknologi Lingkungan Vol. 17, 46-47.
Sari, A. M.., H. E. Mayasari., Rachimoellah dan S. Zullaikah. (2013). Pertumbuhan dan Kandungan Lipida
dari Botryococcus braunii dalam Media Air Laut. Surabaya : Fakultas Teknologi Industri Institut
Teknologi Sepuluh November.

46
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Inventarisasi Sumber Emisi PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk.

Bagas Saras Ardianarsya 1*, Ahmad Erlan Afiuddin 1, Mirna Apriani 1


1
Program Studi Teknik Pengolahan Limbah, Jurusan Teknik Permesinan Kapal,
Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya, Surabaya 60111

*E-mail : bagas.saras@student.ppns.ac.id

Abstrak

PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk sebagai salah satu industri persemenan menghasilkan pencemar udara
melalui cerobong sebagai media penyalurnya. Pencemar dominan yang dihasilkan dari proses pembuatan
semen berupa partikulat dan gas seperti SO2 , NO2 . Paparan debu dan gas tersebut jika terhirup akan
mengganggu kesehatan khususnya gangguan fungsi paru sehingga perlu adanya pengelolaan kualitas udara.
Pengelolaan diawali dengan mengidentifikasi sumber-sumber pencemaran udara dan memperkirakan jumlah
spesifik pencemaran udara yang diemisikan dari satu atau lebih sumber pencemar. Penelitian ini melakukan
pencatatan sumber emisi tersebut yang dikenal dengan istilah inventarisasi sumber emisi. Penelitian ini
menginventarisasi sumber emisi sebanyak 13 cerobong dengan parameter SO2 , NO2 , PM (Particulate Matter),
dan merkuri (Hg). Hasil penelitian menunjukkan beban emisi tertinggi untuk parameter partikulat terdapat pada
Stack EP Raw Mill Tuban 3 dengan nilai 99.120 Kg/tahun. Nilai beban emisi tertinggi untuk parameter SO2
terdapat pada Stack EP Raw Mill Tuban 2 dengan nilai 275.235,8 Kg/tahun. Nilai beban emisi untuk parameter
NO2 terdapat pada Stack EP Raw Mill Tuban 2 dengan nilai 873.735,2 Kg/tahun. Sedangkan nilai beban emisi
untuk parameter merkuri (Hg) terdapat pada Stack EP Raw Mill Tuban 4 dengan nilai 2 Kg/tahun.
Keyword : PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk., Cerobong, Inventarisasi Emisi , Beban emisi

1. PENDAHULUAN
PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk merupakan salah satu industri persemenan terbesar di Indonesia
yang berada di Kabupaten Tuban, Jawa Timur yang memiliki sumber emisi yang dikeluarkan oleh salah
satu media penyalur emisi berupa cerobong. Emisi yang dihasilkan oleh PT. Semen Indonesia berasal dari
proses pembakaran menggunakan bahan bakar batu bara. Hasil pembakaran batu bara tersebut
menghasilkan pencemar udara yaitu debu dan gas seperti SO2 , NO2 , dll (Suryani, dkk. 2010). Kadar
pencemar tersebut apabila melebihi baku mutu dan terakumulasi, maka mengganggu kualitas lingkungan
dan kesehatan manusia.
Menurut Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2010, pencemaran udara
merupakan menurunnya kualitas udara ambien akibat masuknya komponen lain baik secara sengaja
maupun tidak disengaja yang disebabkan karena aktivitas manusia. Seperti contoh, kasus pencemaran udara
akibat industri semen di Kabupaten Tuban pada tahun 2016 menunjukkan adanya keluhan masyarakat
berupa gangguan kesehatan (Kompas, 2016).
Berdasarkan permasalahan di atas, perlu dilakukan pengendalian pencemaran udara akibat dari adanya
aktivitas industri tersebut. Cara yang dapat dilakukan salah satunya dengan melakukan inventarisasi emisi.
Inventarisasi emisi berfungsi sebagai dasar penetapan strategi dalam mengambil kebijakan terkait
pengendalian pencemaran udara (Kementerian Lingkungan Hidup, 2013). Penelitian ini melakukan
perhitungan beban emisi yang dihasilkan oleh masing masing sumber emisi khususnya sumber emisi tidak
bergerak yang ada di PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk.

2. METODE PENELITIAN
Penilitian ini dilakukan di PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. pabrik Tuban yang terdiri dari 4
pabrik/plant yaitu plant Tuban 1, Tuban 2, Tuban 3, dan Tuban 4. Total cerobong yang ada di pabrik Tuban
1, Tuban 2, Tuban 3, dan Tuban 4 berjumlah 13 cerobong. Data yang diperlukan untuk melakukan
inventarisasi emisi adalah data profil cerobong meliputi nama cerobong, diameter cerobong, waktu
operasional, kecepatan gas buang di cerobong, jenis parameter yang diuji, hasil uji parameter, perhitungan
laju alir dan perhitungan beban emisi. Perhitungan beban emisi di setiap cerobong dilakukan menggunakan
ketentuan teknis dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia terkait penilaian

47
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

mandiri aspek pengendalian pencemaran udara tahun 2014. Perhitungan laju alir dan perhitungan beban
emisi ditampilkan pada uraian sebagai berikut.
1. Perhitungan Laju Alir (Kementerian Lingkungan Hidup, 2014)

Q =VxA

Dimana :
Q = Laju Alir (m³/s)
V = Kecepatan gas buang di cerobong (m/s)
A = Luas Penampang (m²)

2. Perhitungan Beban Emisi (Kementerian Lingkungan Hidup, 2014)

E = C x Q x 10−6 (kg/mg) x 3600 (detik/jam) x Opr

Dimana
E = Beban Emisi
C = Konsentrasi emisi (mg/Nm³)
Opr = Waktu Operasional (Jam/Tahun)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


a) Penentuan Sumber Emisi dan Waktu Operasional
Berdasarkan data yang didapat dari hasil rekapitulasi pemantuan lingkungan yang dilakukan
PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk setiap 3 bulan sekali, terdapat 13 sumber emisi. Sumber emisi
tersebut merupakan sumber emisi tidak bergerak yang terdiri dari setiap unit kerja dan di setiap
sumber emisi memiliki waktu operasional yang berbeda. Diameter cerobong tisp sumber emisi
memiliki ukuran sebesar 1,8-5,7 m. Data mengenai sumber emisi dengan waktu operasional disajikan
dalam Tabel 1.
Tabel 1. Nama Sumber Emisi dan Waktu Operasional Sumber Emisi
Diameter Waktu
No. Nama Sumber Emisi Cerobong (m) Operasional
(Jam/Tahun)

1 Stack EP Raw Mill Tuban 1 5,7 1.599,7

2 Stack EP Raw Mill Tuban 2 5,7 1.505,8

3 Stack EP Raw Mill Tuban 3 5,7 1.609,9

4 Stack EP Raw Mill Tuban 4 5,3 1.884,5

5 Stack EP Cooler Tuban 1 3,62 2.031,5

6 Stack EP Cooler Tuban 2 3,62 1.718,5

7 Stack EP Cooler Tuban 3 3,62 1.955,8

8 Stack EP Cooler Tuban 4 3,65 2.162,8

9 Stack Coal Mill Tuban 1 1,8 1.928,2

10 Stack Coal Mill Tuban 2 1,8 1.217,7

11 Stack Coal Mill Tuban 3 1,8 1.912,4

12 Stack Coal Mill Tuban 4 2,5 2.128,7

13 Stack OK Mill 2,36 1.311,5

b) Kecepatan Gas Buang di Cerobong


Kecepatan gas buang di cerobong dibutuhkan dalam perhitungan beban emisi cerobong.
Kecepatan gas buang di cerobong diukur dengan satuan meter/detik. Data mengenai kecepatan gas
buang di cerobong disajikan dalam Tabel 2.

48
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Tabel 2. Kecepatan Gas Buang di Cerobong


Kecepatan Gas
No. Nama Sumber Emisi Buang di
Cerobong (m/s)

1 Stack EP Raw Mill Tuban 1 11,62

2 Stack EP Raw Mill Tuban 2 13,36

3 Stack EP Raw Mill Tuban 3 14,59

4 Stack EP Raw Mill Tuban 4 14,77

5 Stack EP Cooler Tuban 1 20,01

6 Stack EP Cooler Tuban 2 19,7

7 Stack EP Cooler Tuban 3 11,74

8 Stack EP Cooler Tuban 4 12,63

9 Stack Coal Mill Tuban 1 17,23

10 Stack Coal Mill Tuban 2 12,5

11 Stack Coal Mill Tuban 3 15,63

12 Stack Coal Mill Tuban 4 16,64

13 Stack OK Mill 19,2

c) Jenis Parameter dan Hasil Uji Parameter


Parameter yang dominan dihasilkan dari tiap sumber emisi adalah partikulat, SO2 , dan NO𝑥 .
Beberapa sumber emisi juga memiliki parameter merkuri (Hg) dikarenakan di unit tersebut
menggunakan batu bara sebagai bahan bakar proses produksi. Data mengenai jenis parameter dan
hasil uji parameter yang didapat dari hasil pemantauan lingkungan yang dilakukan PT. Semen
Indonesia (Persero) Tbk setiap 3 bulan sekali disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Jenis Parameter dan Hasil Uji Parameter
Hasil Uji Parameter (mg/Nm³)
No. Nama Sumber Emisi
Partikulat SO2 NO𝑥 Hg

1 Stack EP Raw Mill Tuban 1 24,04 17 111 0,0009

2 Stack EP Raw Mill Tuban 2 32,43 149 473 0,0009

3 Stack EP Raw Mill Tuban 3 45,96 25 209 0,0009

4 Stack EP Raw Mill Tuban 4 31,38 11 74 0,0009

5 Stack EP Cooler Tuban 1 45,34 - - -

6 Stack EP Cooler Tuban 2 34,56 - - -

7 Stack EP Cooler Tuban 3 35,98 - - -

8 Stack EP Cooler Tuban 4 39,36 - - -

9 Stack Coal Mill Tuban 1 55,55 - - -

10 Stack Coal Mill Tuban 2 52,36 - - -

11 Stack Coal Mill Tuban 3 64,89 - - -

12 Stack Coal Mill Tuban 4 56,24 - - -

13 Stack OK Mill 42,07 - - -

49
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

d) Perhitungan Laju Alir dan Beban Emisi


Contoh perhitungan laju alir dan beban emisi ditampilkan pada uraian berikut.
Sumber Emisi Stack EP Raw Mill Tuban 1
untuk perhitungan konsentrasi SO2
V = 11,62 m/s
A = 0.25 x 3.14 x (5.7)²
= 25,5047 m²
maka nilai laju alir (Q) = V x A
= 11,62 m/s x 25,5047 m²
= 296,36 m³/s

Cara perhitungan beban emisi (E) adalah sebagai berikut :


E = C x Q x 10−6 (kg/mg) x 3600 (detik/jam) x Opr
= 17 mg/Nm³ x 296,36 m³/s x 10−6 x 3600 x 1.599,79 jam/tahun
= 29.016,2 kg/tahun

Hasil perhitungan laju alir dan beban emisi dari semua sumber disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Perhitungan Laju Alir dan Beban Emisi

Laju Alir (m³/s) Beban Emisi (kg/tahun)


No. Nama Sumber Emisi
Partikulat Partikulat
1 Stack EP Raw Mill Tb. 1 296.36 296.36 296.36 296.36 41032.3 29016.2 189458.4 1.5
2 Stack EP Raw Mill Tb. 2 340.74 340.74 340.74 340.74 59905.4 275235.8 873735.2 1.7
3 Stack EP Raw Mill Tb. 3 372.11 372.11 372.11 372.11 99120.0 53916.5 53916.5 1.9
4 Stack EP Raw Mill Tb. 4 325.69 325.69 325.69 325.69 69337.4 24305.6 163510.7 2.0
5 Stack EP Cooler Tb. 1 205.84 - - - 68257.7 - - -
6 Stack EP Cooler Tb. 2 202.65 - - - 43330.8 - - -
7 Stack EP Cooler Tb. 3 120.77 - - - 30594.5 - - -
8 Stack EP Cooler Tb. 4 132.09 - - - 40480.4 - - -
9 Stack Coal Mill Tb. 1 43.82 - - - 16898.2 - - -
10 Stack Coal Mill Tb. 2 31.79 - - - 7297.6 - - -
11 Stack Coal Mill Tb. 3 39.75 - - - 17759.7 - - -
12 Stack Coal Mill Tb. 4 81.64 - - - 35186.8 - - -
13 Stack OK Mill 81.64 - - - 16217.2 - - -

4. KESIMPULAN
Kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini yaitu :
a. Nilai beban tertinggi untuk parameter partikulat terdapat pada Stack EP Raw Mill Tuban 3 dengan
nilai 99.120 kg/tahun.
b. Nilai beban tertinggi untuk parameter SO2 terdapat pada Stack EP Raw Mill Tuban 2 dengan nilai
275.235,8 kg/tahun.
c. Nilai beban tertinggi untuk parameter NO𝑥 terdapat pada Stack EP Raw Mill Tuban 2 dengan nilai
873.735,2 kg/tahun.
d. Nilai beban tertinggi untuk parameter merkuri (Hg ) terdapat pada Stack EP Raw Mill Tuban 4
dengan nilai 2 kg/tahun.

5. DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Lingkungan Hidup. (2010). Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 12 Tentang
Pelaksanaan Pengendalian Pencemaran Udara di Daerah. Jakarta.
Kementerian Lingkungan Hidup. (2013). Pedoman Teknis Penyusunan Inventarisasi Emisi Pencemar Udara
di Perkotaan. Jakarta.
Kementerian Lingkungan Hidup. (2014). Penilaian Mandiri Aspek Pengendalian Pencemaran Udara. Jakarta.

50
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Kompas. (2016). Banyak Warga Meninggal Dunia Terkait Pencemaran Udara,


URL:http://regional.kompas.com/read/2016/04/02/16072411/Banyak.Warga.Meni
nggal.Diduga.Terkait.Pencemaran Udara.Walhi.Lakukan.Investigasi. Diakses 20 Maret
2019.
Suryani, S., Gunawan, & Upe, A. (2010). Model Sebaran Polutan SO₂ Pada Cerobong Asap PT. Semen
Tonasa. Konggres dan Seminar Nasional Badan Koordinasi Pusat Studi Lingkungan Hidup se
Indonesia ke XX.

51
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Halaman ini sengaja dikosongkan

52
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Perencanaan Wet Scrubber pada Unit Boiler di Industri Minyak Goreng

Annisa Fitri Heriantini1*, Ahmad Erlan Afiuddin1, Alma Vita Sophia1


1
Program Studi Teknik Pengolahan Limbah, Jurusan Teknik Permesinan Kapal, Politeknik Perkapalan
Negeri Surabaya, Surabaya 60111

*E-mail: annisaheriantini@student.ppns.ac.id

Abstrak

Proses kerja coal boiler menghasilkan emisi dalam bentuk partikulat dengan kandungan gas CO, CO2, SO2, dan
NO2. Perusahaan mengantisipasi adanya dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh emisi coal boiler dengan
mengadakan sebuah unit gravity settling chamber (GSC). Penelitian terdahulu menyebutkan bahwa ukuran
partikulat di industri minyak goreng ini sebesar 5 µm, sehingga dapat diketahui bahwa GSC bukan tipe dust
collector yang sesuai karena GSC hanya digunakan untuk menghilangkan partikel dengan ukuran 40-60 µm.
Dust collector yang mampu mengolah kandungan partikulat dan gas dalam satu waktu adalah wet scrubber.
Perencanaan pengolahan partikulat yang lebih efektif di perusahaan ini terdiri dari proses perencanaan wet
scrubber dan proses perencanaan jalur pengolahan partikulat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
merencanakan proses pengolahan partikulat yang lebih efektif. Proses perencanaan wet scrubber membutuhkan
data ukuran partikulat, kecepatan gas dan konsentrasi partikulat yang dapat diukur menggunakan metode
gravimetri. Hasil uji konsentrasi partikulat menunjukkan partikulat yang lepas ke lingkungan masih melebihi
baku mutu Pergub Jatim No. 10/2009, dengan hasil uji sebesar 0,2657 mg/Nm³ dan 0,8345 mg/Nm³. Partikulat
yang terdapat pada industri ini memiliki diameter 0,1-13 µm. Hasil perencanaan wet scrubber diperoleh
dimensi wet scrubber dengan panjang 1,7 m; lebar 1,7 m dan tinggi 8 m. Hasil perencanaan jalur pengolahan
partikulat menunjukkan diameter duct yang dibutuhkan sebesar 1,37 m.
Keyword: partikulat, boiler, gravity settling chamber, perencanaan dan wet scrubber

1. PENDAHULUAN
Boiler merupakan salah satu unit terpenting di industri minyak goreng sebagai penghasil steam untuk
memasak minyak mentah. Boiler yang terdapat di industri minyak goreng ini berbahan bakar batu bara dengan
kapasitas maksimal 20 ton per hari. Proses kerja boiler menghasilkan beberapa jenis limbah diantaranya yang
berbentuk padat adalah fly ash dan bottom ash sedangkan gas buang yang dihasilkan berupa CO, CO2, SO2
dan NO2. Perusahaan mengantisipasi adanya dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh emisi coal boiler
seperti partikulat fly ash dan bottom ash dengan membangun sebuah unit dust collector berjenis GSC. Cholifah
(2008) menyebutkan bahwa ukuran partikulat di industri minyak goreng ini sebesar 5 µm, sehingga dapat
diketahui bahwa GSC bukan tipe dust collector yang sesuai karena GSC hanya digunakan untuk
menghilangkan partikel dengan ukuran 40-60 µm (Theodore, 2008). Penelitian ini bertujuan untuk melakukan
peningkatan terhadap upaya pengendalian pencemaran udara dengan merencanakan sebuah dust collector yang
lebih sesuai dengan kondisi pencemaran.
Analisa lapangan di area boiler menunjukkan kondisi pengendalian pencemaran udara yang telah dilakukan
oleh perusahaan kurang efektif karena adanya partikulat fly ash emisi boiler yang mencemari area sekitar unit
boiler. Partikulat fly ash yang beterbangan di area kerja unit menjadi pertanda bahwa upaya pengendalian
pencemaran yang dilakukan oleh perusahaan kurang efektif. Penelitian lebih lanjut terkait peningkatan upaya
pengendalian pencemaran udara sangat diperlukan. Beberapa jenis alat pengendali pencemaran udara yang
dapat memperbaiki kondisi pengendalian pencemaran udara di unit boiler adalah cyclone, wet scrubber, bag
filter dan electrostatic precipitator. Emisi yang keluar dari unit boiler terdiri dari partikulat dan gas buang CO,
CO2, SO2 dan NO2. Unit boiler membutuhkan dust collector yang mampu untuk mengolah emisi dengan
kandungan gas dan partikulat dalam satu waktu. Satu-satunya jenis alat yang dapat direncanakan untuk
mengoptimalisasi kinerja GSC dan menanggulangi adanya pencemaran udara berbentuk gas maupun partikulat
adalah wet scrubber.

2. METODE
Penelitian terkait peningkatan pengendalian pencemaran udara terdiri dari tiga tahap yaitu tahap
pengumpulan data, tahap perencanaan jalur pengolahan partikulat dan tahap perencanaan wet scrubber. Data
yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer data sekunder. Data sekunder terkait konsentrasi
53
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

emisi cerobong dan diameter partikulat diperoleh dari hasil pemantauan rutin perusahaan dengan parameter
pencemar NO2, SO2, konsentrasi partikulat dan Opasitas. Data primer terkait konsentrasi udara ambien
diperoleh dengan menggunakan alat berupa high volume air sampler (HVAS) menggunakan metode gravimetri
yang mengacu pada SNI 19-7119.3-2005. Laju alir emisi gas boiler diketahui metode penentuan kecepatan
aliran dan tingkat aliran volumetrik gas dalam emisi sumber tidak bergerak yang mengacu pada KEP-
205/BAPEDAL/07/1996. Perhitungan perencanaan jalur pengolahan partikulat mengacu pada Air Pollution
Control Technology Handbook Second Edition (Schnelle, 2016). Perencanaan dimensi wet scrubber mengacu
pada United States Environmetal Protection Agency 2002 tentang Air Pollution Control Cost Manual Sixth
Edition EPA/452/B-02-001.
Konsentrasi Emisi
Pengukuran konsentrasi partikulat pada unit boiler menggunakan HVAS kemudian dilakukan
pengukuran konsentrasi menggunakan metode gravimetri. Pengambilan sampel untuk menentukan nilai
konsentrasi partikulat dibutuhkan beberapa alat seperti: desikator, timbangan analitik, penjepit dan HVAS.
Bahan yang diperlukan dalam pengukuran konsentrasi emisi ini adalah kertas saring. Langkah kerja dalam
pengukuran konsentrasi emisi adalah sebagai berikut: (1) Memasukkan kertas saring kedalam desikator selama
24 jam, untuk dihilangkan kandungan air di dalam kertas saring tersebut. (2) kertas saring yang telah
dihilangkan kandungan airnya ditimbang menggunakan timbangan analitik untuk diketahui berat kertas saring
sebelum ada partikulat. (3) Mempersiapkan alat HVAS dan menempatkan kertas filter pada filter holder. (4)
Menyalakan HVAS dan lakukan pengambilan sampel selama 15 menit. (5) Memindahkan kertas saring dengan
hati – hati dan menjaganya agar tidak ada partikel yang terlepas. (6) Melipat kertas saring dan menyimpannya.
(7) Memasukkan kertas saring yang terdapat partikulat kedalam desikator selama 24 jam. (8) Menimbang
kertas saring dengan timbangan analitik untuk diketahui berat kertas saring sesudah ada partikulat.
Kecepatan Aliran Emisi Boiler
Beberapa jenis peralatan yang digunakan untuk menentukan kecepatan aliran dan tingkat aliran
volumetrik gas dalam emisi boiler adalah kantong tedlar, tabung pitot tipe S, termokopel, barometer,
manometer, termometer dan gas analyzer. Langkah kerja dalam pengukuran ini yang pertama adalah
merangkai seluruh peralatan yang digunakan sesuai dengan yang tercantum dalam KEP-
205/BAPEDAL/07/1996. Langkah selanjutnya adalah memeriksa rakitan peralatan untuk memastikan tidak
ada kebocoran. Kosongkan kantong tedlar lalu sambungkan rakitan pengambil contoh uji. Pasang pipa
pengambil contoh uji di tengah cerobong atau di sebuah titik yang jaraknya minimum 0,1 meter dari dinding
cerobong. Contoh uji diambil pada keadaan konstan dan bilas kantong tedlar dengan membuang isi gas dan
ulangi 2 sampai 3 kali dan catat hasil pengukuran.
Perencanaan Jalur Pengolahan Partikulat
Perencanaan jalur pengolahan partikulat terdiri dari dua proses utama yaitu menentukan diameter duct
dan menghitung total energy loss pada pipa dan sambungan. Menentukan diameter duct membutuhkan data
awal berupa debit emisi boiler dan nilai minimum control velocity. Langkah selanjutnya adalah menghitung
nilai luasan area duct dengan persamaan:
𝑄
A =Ѵ
Menentukan besar diameter duct yang akan digunakan dapat diketahui dengan persamaan:
4𝐴
D = √( 𝜋 )
Nilai total energy loss pada pipa dan sambungan dapat ditentukan dengan persamaan:
𝐷
𝑇𝑃 = [𝑓( 𝑉 )+(1+𝐾𝐻)+Σ𝐾𝑥]
Perencanaan Dimensi Wet Scrubber
Proses perencanaan dimensi wet scrubber membutuhkan beberapa data utama diantaranya diameter
partikulat, kandungan kelembaban, particulate loading, kecepatan gas dan densitas gas. Perencanaan dimensi
wet scrubber terdiri dari beberapa tahapan. Tahap pertama dalam perencanaan dimensi wet scrubber adalah
menentukan nilai cut diameter dengan persamaan:
Pt = 1 - ηd
Tahap kedua dalam proses perencanaan dimensi wet scrubber adalah menentukan scrubber power. Besar nilai
scrubber power dapat diketahui dari grafik hubungan antara cut diameter dengan konstanta B. Nilai yang dapat
diperoleh dari grafik tersebut adalah nilai scrubber power dan nilai pressure drop dalam wet scrubber. Tahap
selanjutnya adalah menentukan nilai kecepatan pada throat dan dimensi wet scrubber. Nilai kecepatan pada
throat ditentukan dengan menggunakan grafik hubungan antara pressure drop, kecepatan pada throat dan L/G.
Dimensi wet scrubber dapat ditentukan setelah nilai kecepatan pada throat diketahui. Penentuan dimensi wet
scrubber diawali dengan menentukan luas permukaan throat dengan persamaan:
𝛥𝑃 𝑥 1270
A = 𝐿 1/0.133
(Ѵ 𝑥 𝜌 𝑥 ( ))
𝐺

54
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Konsentrasi Emisi
Hasil nilai konsentrasi partikulat dalam 2 sampel yang diambil dengan lokasi yang berbeda di area boiler
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengukuran Konsentrasi Emisi Area Boiler
No Nama Lokasi Nilai Konsentrasi (mg/Nm³) Baku Mutu (mg/Nm3)
1 Area Boiler 1 0,2657 0,26
2 Area Boiler 2 0,8345 0,26
Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai konsentrasi emisi di sekitar area boiler melebihi baku mutu yang
berdasar pada Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 10 Tahun 2009 tentang baku mutu udara ambien dan emisi
sumber tidak bergerak. Hasil pengukuran konsentrasi emisi boiler di dua titik bernilai 0,2657 mg/Nm3 dan
0,8345 mg/Nm3. Baku mutu konsentrasi emisi yang berdasar pada Pergub Jatim No. 10/2009 tentang baku
mutu udara ambien dan emisi sumber tidak bergerak menyebutkan bahwa baku mutu konsentrasi emisi sebesar
0,26 mg/m3. Sehingga dapat diketahui bahwa konsentrasi emisi di area boiler melebihi baku mutu yang telah
ditetapkan. Nilai konsentrasi emisi yang melebihi baku mutu tersebut menunjukkan bahwa penggunaan GSC
sebagai unit pengendalian pencemaran partikulat yang dilakukan oleh perusahaan kurang efektif. Permasalahan
tersebut dapat diatasi dengan melakukan pengadaan unit wet scrubber untuk menangulangi adanya pencemaran
udara berbentuk gas maupun partikulat hasil emisi coal boiler.
Kecepatan Aliran Emisi Boiler
Berdasarkan hasil pengujian kecepatan aliran dan tingkat aliran volumetrik gas dapat diketahui nilai
kecepatan aliran gas sebesar 18,92 m/s. Pengujian kecepatan aliran dan tingkat aliran volumetrik gas juga
digunakan untuk mengetahui besar debit dari suatu aliran gas. Besar debit dari aliran gas emisi boiler adalah
33,411 m³/detik.
Perencanaan Jalur Pengolahan Partikulat
Proses perencanaan jalur pengolahan partikulat diawali dengan memperhitungkan besar nilai luasan area
dengan persamaan:
𝑄 70837,633 𝑠𝑐𝑓𝑚
A = Ѵ → A = 5000 𝑓𝑡/𝑚 → A = 14,168 ft2 = 1,316 m2
Proses selanjutnya adalah menentukan besar diameter duct yang akan digunakan dapat diketahui dengan
persamaan:
4𝐴 414,168 ft2
D = √( 𝜋 ) → D = √( ) → D = 4,246 ft = 1,294 m
𝜋
Berdasarkan hasil perhitungan dapat diketahui bahwa diameter duct yang dibutuhkan sebesar 4,246 ft. Kondisi
asli di pasaran tidak tersedia duct dengan diameter tersebut sehingga diperlukan adanya pembulatan ke nilai
terdekat. Hasil pembulatan diperoleh nilai diameter duct sebesar 4,498 ft. Jalur pengolahan partikulat dapat
dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Perencanaan Jalur Pengolahan Partikulat

55
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Proses akhir dari perencanaan jalur pengolahan partikulat adalah menghitung nilai total energy loss pada pipa
dan sambungan yang dapat ditentukan dengan persamaan di bawah. Berikut adalah hasil perhitungan nilai total
energy loss pada jalur A:
𝐷 0,55 𝑖𝑛 𝑓𝑡
𝑇𝑃 = [𝑓( )+(1+𝐾𝐻)+Σ𝐾𝑥] → 𝑇𝑃 = [𝑓( ) 𝑥 3,281 + ( 1 + 0 ) + Σ𝐾𝑥 ] x 1,24 = 1,24 inch of H2O
Ѵ 100 𝑓𝑡 100
Berikut adalah hasil perhitungan secara keseluruhan terkait nilai total energy loss pada pipa dan sambungan:
Tabel 2. Hasil Perhitungan Total Energy Loss pada Pipa dan Sambungan

Flow Velocity (Ѵin Area (A Dact Aact Ѵact


Duct D (ft)
(scfm) ft/min) in ft2) (ft) (ft2) (ft/min)

A 70837,633 5000 14,168 4,246 4,498 15,884 4459,815


B 70837,633 5000 14,168 4,246 4,498 15,884 4459,815
C 70837,633 5000 14,168 4,246 4,498 15,884 4459,815
D 70837,633 5000 14,168 4,246 4,498 15,884 4459,815
E 70837,633 5000 14,168 4,246 4,498 15,884 4459,815

Perencanaan Dimensi Wet Scrubber


Perencanaan peningkatan upaya pengendalian pencemaran udara dilakukan dengan menambah satu unit
dust collector berjenis wet scrubber yang terletak setelah economizer. Penambahan wet scrubber diharapkan
mampu untuk mengatasi permasalahan yang ada. Perhitungan desain wet scrubber mengacu pada Wet
Scrubbers for Particulate Matter.
Menentukan nilai cut diameter
Partikulat berukuran 1 μm diasumsikan tertangkap 90% untuk efisiensinya (kriteria desain koleksi
efisiensi wet scrubber 81-100%).
Pt = 1 - ηd → Pt = 1 - 0.9 → Pt = 0.1
Dari nilai Pt dan B = 2,0 , didapatkan nilai d cut/d50 = 0,28
dcut = 1 x 0.28 → dcut = 0.28 μm
Menentukan scrubber power
Dari grafik hubungan antara cut diameter diatas pressure drop dan power didapatkan:
19 hp
Daya (P) = ft3
1000
menit
Pressure Drop (∆) = 60 inch of H₂O
𝐿 20 gallon
=
G 1000 acf
Menentukan kecepatan pada throat dan dimensi wet scrubber
Asumsi penggunaan air atau L/G ratio adalah 20 gal/1000 acf, maka kecepatan pada throat dapat
diperkirakan, yaitu:
Ѵ pada throat = 490 ft/s = 149,352 m/s
Ѵ2 pada throat = 240100 ft/s = 73182,48 m/s
Maka kecepatan pada throat dari perhitungan yaitu:
lb kg
ρgas = 0.0506 = 0,811
ft3 m3
L
∆P = 5,4 ×10−4 × v 2 × ρgas × (G)
60 inch of H₂O
Ѵ2 = lb gallon
5.4 x (10−4 ) x 0.0506 x 20 acf
ft3 1000
ft m
= 109793 = 33464,906
s s
Kecepatan rata-rata pada throat diambil dari nilai tengah dari kedua v tersebut yaitu dan nilai luas area throat
dapat ditentukan dengan persamaan berikut:
60 inch of H₂O 𝑥 1270
Athroat = 1/0.133
(174946,794 𝑥 0.0506 𝑥 (600.78))
2 2
= 4,559 ft = 0,424 m
1
Athroat = 4 × 𝜋 × (d) 2
dthroat = √(4,559 𝑓𝑡 2 )
= 2,280 ft = 0,7 m

56
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Karena menggunakan Rectangular Venturi, maka dthroat = panjang throat, sehingga luas permukaan throat
yaitu:
Apermukaan throat = panjang throat × panjang throat
= 0,7 m × 0,7 m
= 0,49 m2
= 0,7 m
Panjang throat dan panjang diverging section dioptimalkan untuk pressure recovery. Untuk mengoptimalkan
pressure recovery, maka diasumsi:
Pwet scrubber = dthroat + dduct
= 0,7 m + 1m
= 1,7 m
Pthroat = 3 × dthroat
Pthroat = 3 × 0,7 m
= 2,1 m
Pdiverging section = 4 × dthroat
Pdiverging section = 4 × 0,7 m
= 2,8 m

Gambar 2. Dimensi Wet Scrubber


4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengujian, konsentrasi emisi boiler di dua titik bernilai 0,2657 mg/Nm3 dan 0,8345
mg/Nm3. Perencanaan wet scrubber yang telah dibahas menunjukkan dimensi wet scrubber yang dibutuhkan
dalam pengolahan ini adalah panjang dan lebar 1,7 m dengan tinggi total sebesar 8,5 m. Diameter duct yang
dibutuhkan untuk jalur pengolahan partikulat ini sebesar 1,37 m.

5. DAFTAR NOTASI
Pt = cut diameter
ηd = koleksi efisiensi
A = luas area (m²)
D = diameter (m)
TP = tekanan (Pa)
Ѵ = kecepatan (m/s)

6. DAFTAR PUSTAKA
Cholifah, N. (2008). Perancangan Local Exhaust Ventilation (LEV) Sebagai Upaya Pengendalian Debu Batu
Bara dari Hasil Proses Pembakaran Boiler Batu Bara. PPNS Surabaya: Jurnal Teknik Keselamatan dan
Kesehatan Kerja.
Keputusan Kepala Bapedal No. 205 Tahun 1996 Tentang Pedoman Teknis Pengendalian Pencemaran Udara
Sumber Tidak Bergerak.
Peraturan Gubernur Jawa Timur Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Baku Mutu Sumber Emisi
Tidak Bergerak.
SNI 19-7119.3. (2005). Udara ambien – Bagian 3: Cara Uji Partikel Tersuspensi Total Menggunakan Peralatan
High Volume Air Sampler (HVAS) dengan Metode Gravimetri.
Schnelle, Karl B., Jr. 2016. Air Pollution Control Technology Handbook Second Edition. New York: CRC
Press.
Theodore, L. (2008). Air Pollution Control Equipment. Kanada: JohnWiley & Sons.
U.S. EPA (United States Environmental Protection Agency). (2002). Air Pollution Control Cost Manual Sixth
Edition. Washington DC.

57
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Halaman ini sengaja dikosongkan

58
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Perancangan Bag Filter pada Unit Rawmill di Industri Semen

Brellian Mutiaraning Nareswari1*, Ahmad Erlan Afiuddin1, Alma Vita Sophia1


1
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah, Jurusan Teknik Permesinan Kapal, Politeknik Perkapalan
Negeri Surabaya, Jl.Teknik Kimia, Kampus-ITS, Sukolilo, Surabaya, Indonesia 60111
*E-mail: brelliannareswari@student.ppns.ac.id

Abstrak
Dust collector berupa Electrostatic Precipitator (EP) dipasang setelah proses penggilingan bahan baku semen
yakni pada unit rawmill sebagai pemisah partikulat semen dengan gas yang akan dibuang ke lingkungan.
Bertambahnya kapasitas produksi dan masa pakai membuat EP kerap mengalami penurunan kualitas alat.
Ketika kualitas alat menurun maka sistem operasi akan mati serta debu tidak akan tertangkap oleh EP.
Konsentrasi partikulat tertinggi yang terekam oleh continuous emission monitoring system (CEMS) yang
terpasang pada cerobong keluaran EP mencapai 208,2 mg/Nm3 nilai tersebut telah melebihi baku mutu yang
ditetapkan dalam PERMENLHK No. P.19 Tahun 2017 yakni sebesar 70 mg/Nm3. Oleh karena permasalahan
tersebut maka diperlukan dust collector pengganti dengan kemampuan yang setara yakni bag filter.
Perencanaan bag filter membutuhkan data konsentrasi partikulat yang diukur menggunakan metode gravimetri.
Desain bag filter terdiri dari perhitungan diameter duct, perhitungan daya blower perhitungan filter length,
penentuan jenis kain filter serta perhitungan jumlah bag. Berdasarkan analisa, partikulat yang akan diolah
memiliki konsentrasi sebesar 10,18 g/m3 dan perhitungan nilai diameter pipa sebesar 1,376 m, daya blower
masing –masing sebesar 114,404 HP dan 152,536 HP, filter length 2,9 m dan jenis kain fiberglass serta
jumlah filter 546 buah.

Kata Kunci: partikulat, industri semen, electrostatic precipitator, dan bag filter.

1. PENDAHULUAN

Electrostatic precipitator yang terpasang pada unit rawmill telah beroperasi cukup lama. Ketika terjadi
trouble pada EP maka sistem operasi akan mati serta debu tidak akan tertangkap oleh EP sehingga terlihat
kebulan asap tebal. Konsentrasi partikulat tertinggi yang terekam oleh Continuous Emission Monitoring System
(CEMS) yang terpasang pada cerobong keluaran EP mencapai 208,2 mg/Nm3 nilai tersebut melebihi baku mutu
yang ditetapkan dalam PERMENLHK No. P.19 Tahun 2017 yakni sebesar 70 mg/Nm3.
Hasil maintenance yang telah dilakukan menunjukkan adanya minyak pada plat pengumpul EP yang
berasal dari campuran limbah drilling dan cutting yang dicampurkan sebagai substitusi material semen. Hal ini
menyebabkan partikulat tidak dapat menempel pada plat pengumpul sehingga lepas ke udara. Menurut (EPA,
1999) EP yang bekerja dengan cara kering tidak dapat mengumpulkan partikulat dengan efisien apabila
terdapat minyak pada plat pengumpulnya. EP jenis lain yang dapat dioperasikan untuk emisi partikulat yang
mengandung minyak adalah EP dengan mekanisme pembersihan basah yakni menggunakan air atau campuran
detergen. EP dengan mekanisme pembersihan basah tidak akan dapat diterapkan pada industri semen, karena
metode dalam proses pembuatan semen adalah metode kering yakni tanpa menggunakan air. Sebagai solusi
dari permasalahan tersebut maka, dust collector yang terpasang pada unit rawmill yakni EP perlu digantikan
dengan dust collector lain dengan kemampuan yang setara yakni bag filter. Selain itu, pengoperasian bag filter
juga cukup mudah.
Penelitian pengendali partikulat bertujuan untuk mengetahui diameter duct yang digunakan untuk
mengalirkan partikulat menuju bag filter, nilai perkiraan net cloth area bag filter, mengetahui jumlah kantung
pada pulse-jet bag filter, dan mengetahui dimensi unit pulse-jet bag filter.

2. METODE

Penelitian ini membutuhkan data konsentrasi partikulat untuk perhitungan desain bag filter.

59
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Konsentrasi partikulat
Pengukuran konsentrasi partikulat pada sekitar area rawmill dimana sample partikulat diambil
menggunakan alat High Volume Air Sampler (HVAS) kemudian dilakukan pengukuran konsentrasi
menggunakan metode gravimetri.
Perencanaan duct
Perhitungan perencanaan jalur pengolahan partikulat diawali dengan menentukan kecepatan dalam duct
dengan menggunakan Tabel Range of Minimum Duct Velocities yang didapatkan dari Schnelle, Karl B., Jr.
(2016). Langkah selanjutnya adalah menghitung luasan duct
𝑄
𝐴𝑑𝑢𝑐𝑡 = 𝑉 (1)
Nilai diameter duct yang akan digunakan dapat diketahui dengan :
4𝐴 0,5
𝐷 = (𝜋) (2)

Total Energy Loss pada pipa dapat diketahui dengan :


𝐷
𝑇𝑃 = [𝑓 (𝑉 ) + (1 + 𝐾𝐻 ) + ∑ 𝐾𝑥 ] (3)

Penentuan Blower
Daya blower yang dibutuhkan pada perencanaan ini dapat ditentukan dengan persamaan :
𝑊 = 𝑄𝑒𝑚𝑖𝑠𝑖 × ∆𝑃 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 (4)

Perencanaan Dust collector


Langkah awal mendesain bag filter berdasarkan Croom, M.L. (1995) adalah menghitung panjang filter
menggunakan nilai effective filtration velocity
𝑉𝑒𝑓 = 𝑉𝑓𝑛 × 𝐴 × 𝑇 × 𝑃 × 𝐷 (5)

Langkah berikutnya adalah menentukan A/C ratio dengan tabel Air-to-Cloth Ratio yang terdapat pada buku
Theodore, L. (2008). Kemudian nilai A/C ratio digunakan untuk menghitung Area Filter (A) dengan persaman:
𝑄
𝐴= (6)
𝐴/𝐶 𝑟𝑎𝑡𝑖𝑜
Luas permukaan bag perlu dihitung untuk mengetahui jumlah bag yang dapat mengisi seluruh area filter.
Berdasarkan EPA (1998) luas permukaan bag dapat dihitung dengan persamaan :
𝐴=𝜋×𝐷×𝐿 (7)
Jumlah bag yang dibutuhkan untuk memenuhi area filter dapat diketahui dengan persamaan berikut:
𝐴
𝑁 = 𝐴𝑜 (8)
𝑝

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Partikulat
Berdasarkan data yang berasal dari industri semen yang memproduksi sebesar 39,1 juta ton/tahun nilai
konsentrasi partikulat pada proses penggilingan di rawmill adalah sebesar 10,18 g/m3 dan debit sebesar 129500
m3/jam serta suhu partikulat maksimum sebesar 250°C.
Perencanaan Duct
Menurut Schnelle, Karl B., Jr. (2016) perhitungan diameter duct diawali dengan mencari luasan duct yang
didapat dari pembagian antara nilai debit yang akan masuk kedalam duct dan nilai minimum control velocity
untuk kategori very light dust dengan nilai sebesar 5000 ft/min.
𝑚3 1 𝑚3 𝑚3
Debit : 129500 m3/jam dikonversikan menjadi 129500 𝑗𝑎𝑚 × 3600 𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘 = 35,972 𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘 kemudian dikonversi
𝑚3
menjadi satuan scfm 35,972 𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘 × 2118.88 = 76220,820 scfm
Menentukan nilai luasan area duct
𝑄
𝐴=
𝑉
76220,820 scfm
𝐴=
5000 ft/min
= 15,896 𝑓𝑡 2

60
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Menentukan diameter duct


4𝐴 0,5
𝐷= ( )
𝜋
0,5
4 × 15,896 𝑓𝑡 2
𝐷= ( )
𝜋
𝐷 = 4,498 𝑓𝑡
Hasil perhitungan diameter pipa sebesar 4,498 ft kemudian disesuaikan dengan diameter pipa yang tersedia
dipasaran. Nilai diameter pipa dipasaran yang mendekati nilai 4.498 ft adalah 4,5 ft atau setara 54 inch. Jalur
pengolahan partikulat dapat dilihat pada gambar 1

Gambar 1. Jalur pengolahan partikulat


Menghitung Total Energy Loss pada pipa
Nilai panjang pipa beserta jenis dan jumlah sambungan yang dibutuhkan untuk perhitungan total energy
loss pada pipa didasarkan pada jalur pipa yang telah ditentukan. Jalur dust collecting yang telah terpasang
kemudian diberi notasi agar mudah dalam perhitungannya.

Tabel 1. Perhitungan Diameter Duct pada Jalur Pengolahan Partikulat


Duct Flow Velocity Area D (ft) Dact Aact Vact
(scfm) (V in ft/min) (A in ft2) (ft) (ft2) (ft/min)
A 76220.82 5000 15.896 4.498 4.5 15.896 1517.134
B 76220.82 5000 15.896 4.498 4.5 15.896 1517.134
C 76220.82 5000 15.896 4.498 4.5 15.896 1517.134
D 76220.82 5000 15.896 4.498 4.5 15.896 1517.134
E 76220.82 5000 15.896 4.498 4.5 15.896 1517.134
F 76220.82 5000 15.896 4.498 4.5 15.896 1517.134

Jalur Pipa A
V = 4794,893 ft/min
𝑉 2
𝑉 (𝑠𝑡𝑑) = ( )
4005
4794,893 ft/min 2
𝑉 (𝑠𝑡𝑑) = ( )
4005
𝑉 (𝑠𝑡𝑑) = 1,433 in of H2O

Perhitungan friction membutuhkan nilai f atau friction factor yang di dapat dari grafik friction loss. Nilai f
pada seluruh jalur pipa pada penelitian ini adalah sama karena nilai diameter pipa dan nilai kecepatan pipa
yang sama pada semua jalur yakni sebesar 0,028 in of H2O/100 ft.
L = 98,4252 ft
0,028 𝑖𝑛
𝑓(𝐷/𝑉) = ( ) × 98,4252 𝑓𝑡/100
100𝑓𝑡
𝐷
𝑓 ( ) = 0,028 𝑖𝑛 𝑜𝑓 𝐻2 𝑂
𝑉

61
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Jalur A memiliki beberapa aksesoris yakni 2 buah elbow 30 yang memiliki nilai head loss constant sebesar
0.3 dan tidak memiliki hood
𝐾𝐻 = 0 𝐾𝑥 = 0,3
Perhitungan total energy loss pada jalur A sebagai berikut :
TP = (0,028+ 0,3) × 0,143 = 0,471 in of H2O
Total TP UP to fan = -(0,471) = -0,471
Penentuan Blower
Terdapat 2 blower yang terpasang pada jalur dust collecting yang ditempatkan diantara duct A dan duct B serta
diletakkan setelah unit dust collector menuju ke cerobong.
Blower 1
Q = 76220,820 ft3/min
∆P = 5- (-0,471) = 5,471≈ 6

0.0001575 × 𝑄 × ∆𝑃𝑓
𝑊𝑓 =
𝜂
0.0001575 × 100480 ft3/min × 6
𝑊𝑓 =
0,83

Blower 2 𝑊𝑓 = 114,402 𝐻𝑃
Q = Aact × V
= 50,24 ft2 × 2000 ft/min
= 100480 ft3/min
∆P = 5- (-2.868) = 7,868 ≈ 8
0.0001575 × 𝑄 × ∆𝑃𝑓
𝑊𝑓 =
𝜂
0.0001575 × 100480 ft3/min × 8
𝑊𝑓 =
0,83
𝑊𝑓 = 152,536 𝐻𝑃
Perencanaan Bag Filter
Perencanaan bag filter diawali dengan menentukan jenis kain filter yang akan digunakan, dalam
perencanaan ini jenis kain filter yang akan digunakan adalah fiberglass karena mampu bekerja pada suhu
maksimum sebesar 550°F atau 287,78°C. Pada penelitian ini suhu partikulat maksimal yang akan masuk ke
bag filter sebesar 250°C. Perancanaan bag filter ini menggunakan tipe pembersihan pulse jet dengan tekanan
tinggi untuk membersihkan secara otomatis partikulat yang menempel pada filter. Dalam merencanakan bag
filter memiliki beberapa tahapan yakni:
 Menentukan efektifitas kecepatan filter
Kecepatan filter (vef) didapat setelah menentukan nilai kecepatan filtrasi (vfn) berdasarkan tipe
pembersihan dengan high pressure dari limbah refractory dust, sehingga nilai Vfn sebesar 9 fpm,
selanjutnya menentukan nilai Aplikasi dari partikulat dimana nilai A ini sebesar 1 dikategorikan sebagai
debu yang menganggu, kemudian menentukan nilai T atau suhu, untuk suhu gas sebesar 250°C adalah
0,8. Nilai P atau ukuran partikulat, dalam perencanaan ini nilai P sebesar 0,8 karena ukuran dari partikulat
dibawah 3 µm. Nilai D adalah konsentrasi dari partikulat, konsentrasi partikulat didapatkan sebesar 10,18
g/m3 yang apabila dikonversi menjadi gr/ft 2 adalah 10,18 𝑚3 × 35,315 𝑓𝑡 2 = 0,288 𝑔𝑟⁄𝑓𝑡 2 sehingga nilai D
𝑔𝑟 1𝑚 3

adalah 1,2 karena nilai konsentrasi partikulat dibawah 10 gr/ft 2.


Perhitungan nilai efisiensi kecepatan filter (Vef) menggunakan persamaan berikut:
𝑉𝑒𝑓 = 𝑉𝑓𝑛 × 𝐴 × 𝑇 × 𝑃 × 𝐷
𝑉𝑒𝑓 = 9 𝑓𝑝𝑚 × 1 × 0,8 × 0,8 × 1,2
𝑉𝑒𝑓 = 6,912 𝑓𝑝𝑚

 Menentukan Panjang Filter


Panjang filter ditentukan dengan cara menarik grafik menggunakan nilai efisiensi kecepatan (Vef) dan
nilai can velocity (Vc). Diketahui nilai Vef adalah 6,912 fpm, nilai ini didapatkan dari perhitungan
sebelumnya sedangkan nilai Vc untuk refractory dust adalah 200 fpm, nilai ini didapatkan dari tabel can
velocity pada Croom, M.L. (1995), setelah mendapat nilai dari grafik kemudian melakukan interpolasi.
Berikut adalah perhitungan interpolasi untuk menentukan panjang filter.
5 − 7,5 13 − 8,4
=
5 − 6,912 13 − 𝑥
−2,5 4,6
=
−1,912 13 − 𝑥

62
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

2,5𝑥 = −8,7952 + 32,5


𝑥 = 9,482 𝑓𝑡
Nilai panjang filter sebesar 9,482 ft yang apabila dikonversi menjadi meter adalah sebesar 9,482 𝑓𝑡 ×
0,3048 𝑚
= 2,891 𝑚 ≈ 2,9 meter. Sehingga dari perhitungan diatas nilai panjang filter didapatkan sebesar
1 𝑓𝑡
2,9 meter.
 Menentukan Jumlah Filter
Penentuan jumlah filter yang dibutuhkan dimulai dari menghitung luasan area filter (net-cloth area).
Nilai debit yang digunakan sebesar 76220,82. Berdasarkan Theodore, L. (2008) nilai air-to-cloth ratio
yang digunakan adalah untuk kategori bahan cement dan mekanisme pembersihan pulse jet yakni sebesar
8 ft/min. Maka perhitungan area filter :
𝑄
𝐴=
𝑉
𝑓𝑡 3⁄
76220,82 𝑚𝑖𝑛
𝐴=
𝑓𝑡⁄
8 𝑚𝑖𝑛
𝐴 = 9527,603 𝑓𝑡 2

Menghitung luasan masing–masing filter kemudian didapat jumlah filter yang dapat memenuhi
seluruh area filter. Nilai diameter filter dipasaran untuk jenis kain fiberglass adalah sebesar 7 inch atau
0,584 ft.
𝜋 × 𝐷2
𝑎 = (𝜋 × 𝐷 × 𝐻 ) + ( )
4
𝜋 × 0,5842
𝑎 = (𝜋 × 0,584 × 9,482) + ( )
4
2
𝑎 = 17,664 𝑓𝑡
Maka jumlah filter yang dibutuhkan adalah
𝑁 = 𝐴/𝑎
9527,601𝑓𝑡 2
𝑁=
17,668 𝑓𝑡 2
𝑁 = 539,258 ≈ 546 𝑏𝑢𝑎ℎ
 Desain Dimensi Unit Bag Filter
Bag filter dengan jumlah 546 buah direncanakan memiliki dimensi panjang 8,8 meter, lebar 6,4
meter dan tinggi sebesar 8 meter. Filter direncanakan akan disusun menjadi 26 baris dan 21 buah pada
tiap kolomnya dan jarak antar filter sebesar 10 cm.

4. KESIMPULAN
Partikulat yang akan diolah memiliki konsentrasi sebesar 10,18 g/m3 dan debit sebesar 129.500 m3/jam
serta suhu partikulat maksimum sebesar 250°C. Dust collector berupa bag filter direncanakan memiliki
dimensi duct sebesar sebesar 1,37 m serta daya blower masing–masing sebesar 114,404 HP dan 152,536
HP. Perhitungan filter area sebesar 9527,603 ft2. Jumlah bag didapatkan 546 buah dengan dimensi
bag 2,9 m x 0,177 m dan jarak antar bag sebesar 0,1 m.

5. DAFTAR PUSTAKA
American Conference of Governmental Industrial Hygienists. (1998). Industrial Ventilation: A Manual of
Recommended Practice 23rd Edition, Amerika.
Croom, M.L. (1995). Filter Dust Collectors. United States Of America: McGrawHill
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.19 Tahun 2017 Tentang
Baku Mutu Emisi Bagi Usaha dan /atau Kegiatan Industri Semen
Schnelle, Karl B., Jr. (2016). Air Pollution Control Technology Handbook Second Edition. New York : CRC
Press
Theodore, L. (2008). Air Pollution Control Equipment. New Jersey: John Willey & Sons.
U.S. EPA (United States Environmental Protection Agency). (1998). Baghouses and Filters. Washington, DC.
U.S. EPA (United States Environmental Protection Agency). (1999). Electrostatic Precipitators. Washington,
DC

63
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Halaman ini sengaja dikosongkan

64
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Pengaruh Waktu Delignifikasi terhadap Karakteristik Selulosa dari


Daun Nanas dan Jerami

Egata Dwi Veptiyan 1*, Mirna Apriani1, Novi Eka Mayangsari1


1
Program Studi Teknik Pengolahan Limbah, Jurusan Teknik Permesinan Kapal,
Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya, Surabaya 60111

*E-mail : egataveptiyan@student.ppns.ac.id

Abstrak
Selulosa merupakan senyawa dominan penyusun struktur dari tumbuhan seperti yang ditemukan di dalam
daun nanas dan jerami. Selulosa memiliki gugus fungsi hidroksil dan karboksil yang berpotensi untuk
menyerap logam berat. Untuk memecah ikatan antara lignin dan selulosa maka diperlukan proses delignifikasi.
Pada umumnya proses delignifikasi atau penghilangan lignin dilakukan dengan larutan alkali. Proses ini
bertujuan untuk mengetahui karakteristik selulosa dari daun nanas dan jerami. Proses delignifikasi dilakukan
menggunakan NaOH 9% dengan variasi waktu 70 menit dan 90 menit. Daun nanas dan jerami sebelum dan
sesudah delignifikasi dianalisis dengan menggunakan metode chesson, SEM, dan XRD. Hasil analisis metode
chesson menunjukkan bahwa kandungan selulosa tertinggi daun nanas dan jerami dihasilkan dari proses
delignifikasi selama 70 menit. Kadar selulosa daun nanas dan jerami sebesar 59,12% dan 57,78% dengan
kandungan lignin sebesar 10,78% dan 8,28%. Hasil analisis SEM menunjukkan daun nanas dan jerami sebelum
mengalami delignifikasi memiliki morfologi permukaan yang halus, padat, dan rapat, setelah mengalami proses
delignifikasi morfologi permukaan menjadi kasar dan renggang. Hasil analisis XRD menunjukkan puncak
pada 2 sekitar 18 dan 23. Kristalinitas tertinggi daun nanas dan jerami pada proses delignifikasi selama 90
menit, sebesar 65,97% dan 71,77% dengan kadar lignin turun hingga mencapai 16,25% dan 31,77%.

Keywords: Jerami, Daun Nanas, Delignifikasi, Selulosa.

1. PENDAHULUAN
Nanas dan padi merupakan jenis tumbuhan yang banyak tumbuh di Indonesia. Kedua tanaman ini juga
menghasilkan limbah seperti daun nanas dan jerami padi. Daun nanas dan jerami sering dimanfaatkan sebagai
pakan ternak atau pupuk alami, karena memiliki kandungan selulosa yang tinggi. Daun nanas mengandung
sekitar 69,5%-71,5% selulosa (Hidayat, 2008) dan jerami padi sekitar 40% (Suryanto, 2017). Selulosa
merupakan unsur struktural dan komponen yang penting dalam dinding sel tumbuhan yang memiliki gugus
hidroksil dan karboksil. Selulosa terikat dengan lignin dalam rantai lignoselulosa dan terjebak di dalam matrik
(Trisanti, 2015). Untuk mendapatkan ekstraksi dari selulosa, diperlukan suatu metode untuk dapat melepas
ikatan antara lignin dan selulosa dalam rantai lignoselulosa. Hal ini dikarenakan lignin yang masih terikat
dengan selulosa akan menghalangi proses transfer ion ke sisi aktif adsorben, sehingga akan menghambat proses
adsorpsi (Mandasari, 2016).
Metode untuk melepas rantai lignoselulosa dapat dilakukan melalui proses delignifikasi. Pada umumnya
delignifikasi dilakukan dengan menggunakan larutan basa seperti NaOH, KOH, atau LiOH (Mardina, 2013).
Perlakuan dengan menggunakan NaOH merupakan salah satu metode yang paling efisien untuk mendapatkan
ekstrak selulosa. NaOH berfungsi sebagai delignifikator dengan cara mendegradasi dan merusak struktur
lignin, bagian kristalin, dan amorf, memisahkan sebagian lignin dan hemiselulosa serta dapat menyebabkan
penggembungan struktur dari selulosa (Gunam dkk, 2010).
Penelitian tentang delignifikasi selulosa pernah dilakukan oleh Widodo dkk (2010). Limbah batang ubi
kayu diekstraksi dengan proses prehidrolisis selama 2,5 jam pada suhu 100C. Proses prehidrolisis dilanjutkan
dengan proses delignifikasi menggunakan NaOH dengan variasi konsentrasi serta variasi lama waktu
delignifikasi. Alpha selulosa tertinggi didapatkan pada kondisi operasi terbaik pada konsentrasi NaOH 15%
dengan waktu delignifikasi selama 60 menit.
Namun, delignifikasi untuk daun nanas dan jerami belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis karakteristik selulosa daun nanas dan jerami padi sebelum dan setelah proses
delignifikasi selama 70 menit dan 90 menit dengan menggunakan larutan NaOH 9%.

65
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

2. METODE
Alat dan bahan : Spektrofotometri UV-VIS, blender, timbangan analitik, magnetic stirer, hot plate, beaker
glass, pH meter, ayakan 60 mesh, seperangkat Refluks, glassware, daun nanas, jerami, CuSO₄.5H₂O, NaOH ,
NH4OH 25 %, H₂SO₄ 98%, Na-Dietilditiokarbamat.
Preparasi adsorben :Daun nanas dan jerami dikeringkan kemudian dihaluskan dengan menggunakan blender
dan disaring dengan saringan 60 mesh. Serbuk daun nanas dan jerami selanjutnya direndam dengan NaOH
9% dengan variasi waktu 70 menit dan 90 menit. Rendaman disaring kemudian dicuci hingga pH netral,
kemudian dioven hingga berat konstan (Handayani, 2010).

Karakterisasi
Metode Chesson
Kadar selulosa, lignin, dan hemiselulosa dapat diketahui dengan menggunakan analisis metode Chesson.
Berat awal sampel kering (a). Berat sampel kering dicampur dengan aquadest dan dipanaskan pada temperatur
100C selama 1 jam, kemudian disaring dan dicuci dengan aquades panas. Sampel kemudian dikeringkan
dalam oven hingga beratnya konstan (b). Padatan kering kemudian dicampur dengan 150 mL larutan H 2SO4 1
N dan dipanaskan pada suhu 100C selama 1 jam. Padatan disaring dan dicuci dengan aquades. Padatan setelah
itu dikeringkan (c). Padatan kering kemudian direndam dalam 10 mL larutan H2SO4 72% selama 4 jam pada
suhu ruang, setelah itu ditambah 150 mL larutan H2SO4 1 N dan direfluks selama 1 jam. Padatan kemudian
dicuci menggunakan aquades 400 mL dan dipanaskan pada oven dengan suhu 105C hingga beratnya konstan
(e) (Trisanti, 2015). Padatan kemudian dipanaskan hingga menjadi abu (e). Presentase selulosa, hemiselulosa,
lignin, dapat dihitung dengan persamaan :
𝒅−𝒄
Selulosa (%) = x 100%…………...(1)
𝒂
𝒄−𝒃
Hemielulosa (%) = x 100%…………...(2)
𝒂
𝒆−𝒅
Lignin (%) = x 100%...................(3)
𝒂
Analisis X-Ray Diffraction (XRD)
Pengujian XRD dilakukan dengan menggunakan X-Ray Diffractometer. Intensitas relatif direkam pada 2
dari 5 hingga 60(Trisanti, 2015). Perhitungan derajat kristalinitas dengan menggunakan persamaan :

(𝑰𝟎𝟎𝟐−𝑰𝑨𝑴)
CrI= x 100%......................(4)
𝐈𝐀𝐌
Dengan :
CrI = Derajat Kristalinitas
I002 = Intensitas bagian kristalin
IAM = Intensitas bagian amorf

Analisis Scanning Electron Microscopy (SEM)


Morfologi dari daun nanas dan jerami untuk setiap proses delignifikasi diamati dengan menggunakan
Scanning Electron Microscopy dengan tegangan 10 kV. Sebelum proses SEM, sampel dilapisi dengan emas
dengan tujuan agar sampel tidak rusak ketika terkena tegangan (Trisanti, 2015).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada penelitian ini proses delignifikasi menggunakan NaOH 9% dengan waktu delignifikasi selama 70
menit dan 90 menit. NaOH dapat digunakan dalam proses delignifikasi karena larutan tersebut dapat merusak
ikatan eter yang mengubungkan antara lignin dengan selulosa, menghilangkan lignin dan meningkatkan
porositas dari biomassa (Kang, dkk, 2012). Pemecahan ikatan eter tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Mekanisme reaksi lignoselulosa dengan larutan NaOH (Zely, 2014)


Pembuktian adanya proses degradasi lignin pada proses delignifikasi dapat dilihat dari penurunan kadar
lignin yang ada pada produk. Kadar lignin yang turun dapat diketahui dari hasil analisis Chesson Datta.

66
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Analisis ini untuk mengetahui kadar selulosa, hemiselulosa, dan lignin baik sebelum dan setelah proses
(Trisanti, 2015). Hasil analisis Chesson Datta dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil perhitungan kadar selulosa, lignin dan hemiselulosa

Hemiselulosa
Sampel Selulosa (%) Lignin (%)
(%)
Jerami sebelum proses delignifikasi 21.11 9.78 11.02
Jerami setelah delignifikasi70 menit 57.78 8.28 18.10
Jerami setelah delignifikasi 90 menit 55.01 8.19 23.37
Nanas sebelum proses delignifikasi 25.33 12.81 8.98
Nanas setelah proses delignifikasi 70 menit 59.12 10.78 18.79
Nanas setelah proses delignifikasi 90 menit 55.10 8.74 25.06

Tabel 1 menunjukkan bahwa jerami dan nanas memiliki kandungan selulosa yaitu 21,11% dan 25,33%.
Setelah delignifikasi selulosa kedua sampel mengalami peningkatan menjadi 57,78% dan 59,12%. Peningkatan
kadar selulosa dikarenakan menurunnya kadar lignin akibat proses delignifikasi (Trisanti, 2015). Namun pada
saat delignifikasi 90 menit kadar selulosa mengalami penurunan yaitu sebesar 55,01% dan 55,10%. Penurunan
ini dikarenakan waktu delignifikasi yang lebih lama sehingga menyebabkan senyawa yang memiliki sisi aktif
ikut terlarut dalam NaOH (Handayani, 2010).
Untuk mengetahui derajat kristalinitas selulosa menggunakan analisis XRD. Gambar 2 menunjukkan bahwa
seluruh difraktogram memiliki puncak pada 2 sekitar 23. Struktur selulosa ini merupakan karakteristik dari
selulosa asli atau selulosa tipe I yang memiliki puncak tajam pada 2 22-23 (Suryanto, 2017). Hal ini
mengindikasikan bahwa struktur kristal dari selulosa tidak berubah selama proses delignifikasi, hanya terjadi
perubahan pada besaran intensitas.

Gambar 2. Profil XRD untuk jerami dan nanas sebelum dan setelah proses delignifikasi.
Difraktogram XRD selain untuk mengidentifikasi puncak, juga dapat mengidentifikasi derajat kristalinitas
dengan menggunakan metode Segal. Hasil perhitungan derajat kristalinitas dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil perhitungan derajat kristalinitas daun nanas dan jerami.

Sampel Derajat Kristalinitas (%)


Daun nanas sebelum delignifikasi 51,33
Daun nanas setelah delignifikasi 70 menit 53,58
Daun nanas setelah delignifikasi 90 menit 65,98
Jerami sebelum delignifikasi 59,30
Jerami setelah delignifikasi 70 menit 67,70
Jerami setelah delignifikasi 90 menit 71,77

Analisis XRD menunjukkan bahwa derajat kristalinitas daun nanas dan jerami sebelum delignifikasi sebesar
51,33% dan 59,30%. Setelah mengalami proses delignifikasi, derajat kristalinitas dari kedua produk semakin
menguat. Derajat kristalinitas tertinggi untuk daun nanas dan jerami terjadi saat delignifikasi selama 90 menit
67
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

dengan derajat kristalinitas sebesar 65,98% dan 71,77%. Derajat kristalinitas meningkat sesuai dengan semakin
lamanya waktu delignifikasi. Peningkatan waktu delignifikasi berpengaruh terhadap jumlah lignin yang
terdegradasi, sehingga tersisa komponen kristalin selulosa yang mengakibatkan kristalinitas besar (Darmawan,
dkk, 2017). Morfologi permukaan dari produk sebelum dan setelah proses delignifikasi selama 70 dan 90
menit dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4.

(a ) (b) (c)
Gambar 3. Hasil analisis SEM daun nanas dengan perbesaran 2500x. (a) Daun nanas sebelum
delignifikasi, (b) Daun nanas setelah delignifikasi 70 menit, (c) Daun nanas setelah
delignifikasi 90 menit.

(a ) (b) (c)

Gambar 4. Hasil analisis SEM jerami dengan perbesaran 2500x. (a) Jerami sebelum delignifikasi, (b)
Jerami setelah delignifikasi 70 menit, (c) Jerami setelah delignifikasi 90 menit.

Morfologi permukaan dari daun nanas dan jerami sebelum mengalami proses delignifikasi dapat dilihat
pada Gambar 2(a) dan 3(a). Daun nanas dan jerami terlihat memiliki permukaan yang halus, rapat, dan tidak
berongga. Permukaan ini terindikasi sebagai lignin yang berfungsi untuk mengisi dinding sel tanaman
(Rimbani, 2013). Produk setelah mengalami proses delignifikasi, kandungan ligninnya terlarut dalam NaOH
yang menyebabkan permukaan produk menjadi renggang, berongga dan kasar seperti pada gambar 3(b), 3(c)
(daun nanas) dan 4(b), 4(c) (jerami). Berdasarkan hasil analisis SEM, menunjukkan bahwa delignifikasi
menghancurkan dan menghilangkan permukaan luar dan membuka bagian dalam dari selulosa (Trisanti, 2015).

4. KESIMPULAN
Proses delignifikasi selama 70 menit dan 90 menit menghasilkan kadar selulosa yang cenderung lebih
rendah yaitu dari 59,12% menjadi 55,10% (daun nanas) dan 57,78% menjadi 55.01% (jerami). Hasil uji SEM
menunjukkan terjadinya degradasi permukaan yang semakin besar sesuai dengan semakin lama waktu
delignifikasi. Hasil uji XRD menunjukkan selulosa nanas dan jerami termasuk kategori selulosa tipe I karena
berada pada puncak 2 23. Derajat kristalinitas daun nanas dan jerami semakin tinggi seiring dengan
bertambahnya waktu delignifikasi.

5. DAFTAR PUSTAKA

Darmawan, Saptadi., Fendi., Dian Kurniaty. (2017). Derajat Kristalinitas dan Struktur Anatomi Kayu Jati
Muna Akibat Perlakuan Panas. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. Vol. 22(1):20-24.

68
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Gunam, Ida, B, W., Ni Made, W., Anak Agung, M, D, A., Pande, M, S. (2011). Delignifikasi Ampas Tebu
Dengan Larutan Natrium Hidroksida Sebelum Proses Sakarifikasi Secara Enzimatis Menggunakan Enzim
Selulase Kasar Dari Aspergillus niger FNU6018. LIPI. Vol. 34. Denpasar.
Handayani, Aries Wiwit. (2010). Penggunaan Selulosa Daun Nanas Sebagai Adsorben Logam Berat Cd (II).
Skripsi. Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta.
Hidayat, P., Santoso, E. (2008). Teknologi Pemanfaatan Serat Daun Nanas Sebagai Alternatif Bahan Baku
Tekstil,Teknoin, Vol 13, 31-35.
Kang, K. E, Jeong, G. T. and Park, D, H. (2012). Pretreatment of Rapessed Straw by Sodium Hydroxide.
Bioprocess and Biosystems Eng. Vol. 35, Issue 5, pp. 705-713.
Mardina, P., Adellina I, T., Jhon F, M., Sitinjak., Andri Nugroho., M, Reza Fahrizal. (2013). Pengaruh Proses
Delignifikasi Pada Produksi Glukosa Dari Tongkol Jagung Dengan Hidrolisis Asam Encer. Konversi.
Volume 2, pp.17-23.
Rimbani, Majid. (2013). Optimasi Bio-Pretreatment Jerami Padi Secara Fermentasi Fase Padat Oleh Isolat
Actinomycetes AcP-1 dan AcP-7. Skripsi. Universitas Lampung. Lampung.
Suryanto, Heru. (2017). Analisis Struktur Serat Selulosa Dari Bakteri. Prosiding SNTT. Volume 3.
Trisanti, Prida Novarita., Sena Setiawan., ElysaNur’aini dan Sumarno. (2015). Ekstraksi Selulosa Dari Serbuk
Gergaji Kayu Sengon Melalui Proses Delignifikasi Alkali Ultrasonik. Jurnal Sains Materi Indonesia.
Widodo, L. U., Ketut, S., Caccilia, P., dan Novel, K. (2013). Pemisahan alpha- Selulosa Dari Limbah Batang
Ubi Kayu Menggunakan Natrium Hidroksida. Jurnal Teknik Kimia. Vol 7, no, 2, 43-47.
Zely, Feki Desfran. (2014). Pengaruh Waktu dan Kadar Saccaromyces cereviseae Terhadap Produksi
Etanol Dari Serabut Kelapa Pada Proses Sakarifikasi dan Fermentasi Simultan Dengan Enzim Selulase.
Skripsi. Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan.Universitas Bengkulu. Bengkulu.

69
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Halaman ini sengaja dikosongkan

70
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Perbandingan Efektifitas Jaring Ikan Bekas dan Botol Plastik Bekas Sebagai
Media Biofilter dengan Sistem Batch pada Limbah Laundry

1* 1 1
Aditya Kresna Putra , Denny Dermawan , Ulvi Pri Astuti
1
Program Studi Teknik Pengolahan Limbah, Jurusan Teknik Permesinan Kapal, Politeknik
Perkapalan Negeri Surabaya, Surabaya 60111

*E-mail : adityakresna@student.ppns.ac.id

Abstrak

Limbah laundry merupakan salah satu sumber pencemar pada badan air. Alternatif pengolahan
limbah laundry bisa menggunakan biofilter dengan memanfaatkan mikroorganisme yang melekat
pada media untuk mengurangi senyawa pencemar. Biofilter merupakan pengolahan air limbah
dengan biaya yang rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan alternatif media biofilter
dengan menggunakan jaring ikan bekas dan botol plastik dalam mengolah limbah laundry. Pada
penelitian ini media yang digunakan yaitu jaring ikan bekas dan botol plastik bekas. Penelitian
dilakukan dengan menggunakan 6 buah reaktor yang dilengkapi dengan aerator dan diisi dengan
media berbeda. Variasi waktu tinggal 4 jam, 6 jam dan 8 jam. Parameter yang diamati adalah
Chemical Oxygen Demand (COD) dan Fosfat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi media
dan waktu tinggal terbaik terdapat pada media jaring dengan waktu tinggal 8 jam. Efisiensi
penyisihan COD dan fosfat pada media tersebut 89,3% dan 64%.

Keywords : biofilter, botol plastik bekas, jaring ikan bekas

1. PENDAHULUAN
Industry laundry merupakan salah satu pencemar badan air dengan konsentrasi pencemar COD
dan fosfat rendah, tetapi memiliki pengaruh yang besar karena jumlah industry laundry yang cukup
banyak. Pembuangan air limbah laundry langsung menuju badan air tanpa melalui pengolahan
terlebih dahulu menyebabkan pencemaran secara terus-menerus. Pencemaran yang terjadi dapat
merusak ekosistem pada badan air. Konsentrasi untuk satu industry laundry dapat mencapai BOD
314,25 ppm, kadar COD mencapai 690,76 ppm, dan kadar fosfat mencapai 24,67 ppm. Menurut
Pergub Jatim No.72 tahun 2013 parameter COD dan fosfat pada limbah laundry sebesar 250 ppm
dan 10 ppm
Beberapa kelebihan penggunaan biofilter ini adalah mudah dalam perawatan dan biaya
yang tidak terlalu mahal sehingga cocok diterapkan dalam industry laundry rumahan. Pemilihan
media biofilter ini memiliki pengaruh terhadap efisiensi unit tersebut. Semakin besar luas
permukaan yang digunakan maka semakin besar pula biomassa yang melekat. Pada dasarnya
dalam pemilihan media banyak aspek yang perlu diperhatikan. Salah satunya merupakan life time
dari media yang akan digunakan.
Media yang dapat kita jumpai dipasaran banyak berbahan dasar plastik (PVC) seperti
bioball, Kaldness, sarang tawon, dan lain-lain. Penggantian media ini dapat dilakukan dengan
bentuk lain yang berbahan dasar plastik. Peluang ini dapat dimanfaatkan untuk mengurangi
sampah plastik berupa jaring ikan bekas dan botol plastik bekas. Dengan pemanfaatan jaring ikan
bekas dan botol plastik bekas dapat membantu mengurangi pencemaran sampah plastik karena
sampah plastik yang membutuhkan waktu yang sangat lama terurai jika dibiarkan di alam.
Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan jaring ikan bekas dan botol plastik bekas sebagai
media biofilter. Selain itu, alternatif penggunaan jaring ikan bekas dan botol plastik bekas dapat
mengurangi sampah plastik. Menurut Hastuti dan Agustien (2013), penyisihan kandungan
organik menggunakan biofilter dengan media jaring ikan dan batok kelapa dapat mencapai 90%.
Botol plastik bekas dapat dimanfaatkan sebagai media biofilter dengan kemampuan
penghilangan konsentrasi COD dan BOD sebesar 87 % dan BOD sebesar 75 % (Purnaningtias,
2018).

71
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

2. METODE

2.1 Material
Pada proses awal, jaring ikan bekas dan botol plastik bekas air minum yang baru diambil harus
cuci bersih sebelum dipotong. Pencucian bertujuan untuk membersihkan kotoran yang menempel
pada jaring ikan bekas dan botol plastik bekas supaya tidak menghambat proses penempelan
biofilm saat proses seeding berlangsung.

A. Persiapan Reaktor
Reaktor yang digunakan adalah timba dengan ukuran 3L dengan jumlah 6 buah timba. Timba
yang digunakan harus dicuci bersih lalu diisi dengan jaring ikan bekas untuk 3 reaktor dan botol
plastik bekas untuk 3 reaktor.

B. Persiapan Media
Jaring ikan yang digunakan harus dipotong terlebih dahulu dengan ukuran 10 x 10 cm lalu
digulung. Botol plastik yang akan digunakan harus dipotong dengan jarak 1cm ke bawah lalu
dipotong melingkar. Media jaring ikan bekas dan botol plastik bekas dapat dilihat pada Gambar 1.

(A) (B)
Gambar 1 Jaring ikan setelah dipotong (A) dan botol plastik setelah dipotong (B)

2.2 Prosedur Percobaan

A. Proses Seeding
Pada proses seeding ini keenam reaktor tersebut ditambahkan dengan bakteri starter ANDALAN
45 dan ANDALAN 88 untuk nutrisi. Penambahan ANDALAN 88 bertujuan untuk mempercepat
pertumbuhan biofilm. Raktor dilengkapi dengan aerator untuk suplai udara dan dibiarkan selama 10
hari.

B. Percobaan Inti
Proses percobaan dilakukan dengan cara mengalirkan air limbah laundry menuju reaktor yang telah dilengkapi
dengan aerator. Rasio media yang digunakan sebesar 50% dari volume reaktor. Metode pengamatan yang
dilakukan dalam penelitian ini dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: Menguji
nilai COD, Fosfat dan angka lempeng total (ALT) sebagai parameter penelitian. Variasi waktu
pengamatan selama 4 jam, 6 jam dan 8 jam media lekat botol plastik bekas dan jaring ikan bekas
pada reaktor batch untuk mendapatkan media dan waktu tinggal terbaik,

72
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengujian Kadar COD

100,0
90,0 (89,3)
80,0 (81,8)
Efisiensi Removal (%)
(77,2) (87,0)
70,0
60,0 (59,9)
50,0
(44,8)
40,0
30,0
20,0
10,0
0,0 I(0,0)
0 2 4 6 8 10
Waktu Tinggal (jam)

jaring botol

Gambar 2. Grafik Hasil Pengujian COD

Berdasarkan gambar diatas, dapat diketahui bahwa konsentrasi COD outlet cenderung lebih kecil
dibandingkan dengan konsentrasi COD inlet yang menunjukkan bahwa telah terjadi proses
degradasi bahan organik pada air limbah. Proses degradasi senyawa-senyawa organik yang
menghasilkan adanya penurunan COD, sehingga efisiensi removal COD mengalami
peningkatan. Dapat dilihat efisiensi removal COD pada Gambar 2mengalami kenaikan dari
nol jam sampai delapan jam memiliki efisiensi tertinggi pada media jaring dengan waktu
tinggal delapan jam sebesar 89,3 % dan pada media botol dengan waktu tinggal delapan jam
sebesar 87 %. Semakin lama waktu tinggal, semakin lama pula limbah terkontak dengan
biological film bakteri yang terbentuk pada media jaring ikan bekas dan botol plastik
bekas. Sehingga besarnya waktu tinggal dalam reaktor semakin besar pula efisiensi pengolahan
(Ariani, Sumiyati, & Wardana, 2014)

Pengujian Kadar Fosfat

70,0 (64,0)
60,0
(57,0)
Efisiensi Removal (%)

50,0 (46,0)

40,0

30,0 (23,8) (28,4)


20,0

10,0 (10,2)
(0,0)
0,0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Waktu Tinggal (jam)

jaring botol

Gambar 3. Grafik Hasil Pengujian Fosfat


Hasil penelitian pada Gambar 3 menunjukkan penurunan kadar fosfat. F osfat merupakan salah
73
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

satu bahan pencemar organik yang terkandung dalam larutan deterjen (suastuti, suarsa, & putra,
2015). Dapat dilihat efisiensi removal diatas mengalami kenaikan dari nol jam sampai delapan
jam. Efisiensi tertinggi pada media jaring dengan waktu tinggal delapan jam sebesar 64 % dan
pada media botol plastik dengan waktu delapan jam sebesar 57 %. . Menurut Ishartanto W. A. (2009),
kadar fosfat dihasilkan oleh dekomposisi bahan organik menjadi senyawa nutrien N dan P. Peningkatan
kedua senyawa ini berdampak pada penyuburan perairan (eutrofikasi) yang menyebabkan terjadinya
blooming alga. . Eutrofikasi adalah masalah lingkungan hidup yang mengakibatkan kerusakan ekosistem
perairan khususnya pada air tawar di mana tumbuhan tumbuh dengan sangat cepat dibandingkan pertumbuhan
yang normal (Stefhany, Mumu, & Kancitra, 2013)

4. KESIMPULAN
Media terbaik berdasarkan hasil efisiensi removal COD dan fosfat adalah media jaring ikan bekas.
Media jaring ikan bekas mampu meremoval COD dan fosfat sebesar 87% dan 57% pada waktu
tinggal selama 8 jam.

5. DAFTAR PUSTAKA
Ariani, W., Sumiyati, S., & Wardana, I. W. (2014). Studi Penurunan Kadar COD dan TSS Pada Limbah Cair
Rumah Makan dengan Teknologi Biofilm Anaerobik - Aerob Menggunakan Media Bioring Susunan
Random. Jurnal Lingkungan Vol 3. No. 1.
Hastuti, E., & Agustien, R. R. (2013). DAUR ULANG AIR LIMBAH RUMAH TANGGA DENGAN
TEKNOLOGI BIOFILTER DAN HYBRID CONSTRUCTED WETLAND DI KAWASAN PESISIR
Domestic Wastewater Reuse by Using Biofilter Technology and Hybrid Constructed Wetland in coastal area.
Jurnal Permukiman Vol. 8 No. 3, 136-144.
Ishartanto, W. A. (2009). Pengaruh Aerasi dan Penambahan Bakteri Bacillus sp. Dalam Mereduksi Bahan
Pencemar Organik Air Limbah Domestik. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Purnaningtias, A. (2018). Perbandingan Efektifitas Biofilter Dengan Menggunakan Media Bioball, Sarang
tawon, dan Botol Plastik Bekas. Conference Proceeding on Waste Water Technology. ISSN No. 2623 - 1727.
Stefhany, C. A., M. S., & K. P. (2013). Fitoremediasi Phospat dengan menggunakan Tumbuhan Eceng
Gondok (Eichhornia crassipes) pada Limbah Cair Industri kecil Pencucian Pakaian (Laundry. Jurna Institut
Teknologi Inteernasional Vol. 1 No.1.
Suastuti, d. a., suarsa, i. w., & putra, d. k. (2015). pengolahan larutan deterjen dengan biofilter tanaman
kangkungan (ipomoea crassicaulis) dalam sistem batch (curah) teraerasi. Jurnal Kimia Vol. 9 No.1, 98.

74
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Analisis Pengaruh Waktu Deasetilasi terhadap Karakteristik Kitosan


dari Cangkang Kepiting

Citra Eripramita Yunus1*, Adhi Setiawan1, Novi Eka Mayangsari1


1,1,1
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah, Jurusan Teknik Permesinan Kapal, Politeknik Perkapalan
Negeri Surabaya, Surabaya 60111
*Email: citraeripramita@student.ppns.ac.id

Abstrak
Kitosan merupakan produk deasetilasi kitin yang merupakan polimer rantai panjang glukosamin (-1,4-2
amino-2-dioksi-D-Glukosa). Kitosan terbentuk pada proses penghilangan gugus asetil yang dilakukan setelah
tahap demineralisasi dan deproteinasi. Kitosan memiliki banyak kegunaan, seperti sebagai koagulan dalam
pengolahan limbah cair. Sebagai bahan baku utama dalam proses pembuatan biasanya digunakan limbah
berupa cangkang dari hewan crustacea seperti kepiting. Salah satu parameter penting dalam mengetahui
karakteristik kitosan yaitu derajat deasetilasi. Derajat deasetilasi (DD) menentukan seberapa besar persentase
penghilangan gugus asetil yang diubah menjadi NH2 (amina). Pada penelitian ini, nilai derajat deasetilasi
dioptimalkan dengan menggunakan variasi waktu kontak (4 jam, 5 jam, 6 jam) dengan suhu 125 °C pada tahap
deasetilasi. Berdasarkan hasil analisa FT-IR (Fourier Transform Infra-Red) dengan menggunakan Baseline
Method pada kitosan cangkang kepiting dapat diketahui nilai DD meliputi 62,4%, 72,2% dan 76,1%.
Peningkatan nilai DD ini seiring dengan peningkatan waktu deasetilasi.
Kata Kunci: Kitosan, Cangkang Kepiting, Derajat Deasetilasi, Koagulan

1. PENDAHULUAN
Limbah dari cangkang hewan crustacea dapat menjadi salah satu alternatif dalam pembuatan kitosan
yang merupakan turunan dari kitin. Limbah ini terdegradasi dalam waktu yang sangat lama dan di beberapa
negara menimbulkan permasalahan dengan keterbatasan lahan landfill (Pambi dan Musonge, 2014).
Cangkang kepiting memiliki kandungan kitin sebesar 71%, sedangkan udang memiliki kandungan kitin
sebesar 20-30% (Pratiwi, 2014). Limbah cangkang kepiting selama ini banyak ditemukan di rumah makan
seafood dan belum dimanfaatkan, sedangkan nilai kegunaan kandungan kitosan di dalamnya sangatlah
tinggi. Pada penelitian (Arif dkk., 2013), kitosan dari cangkang kepiting dengan DD sebesar 87,64%
digunakan sebagai koagulan alam pada pengolahan air sintetis. Penggunaan koagulan alam diharapkan bisa
mengurangi biaya pengolahan dan juga meminimalisasi dampak lingkungan yang disebabkan dari
penggunaan bahan sintetis yang menghasilkan efek samping (Puspitasari dkk., 2018).
Tiga tahap dalam proses pembuatan kitosan yaitu demineralisasi, deproteinasi dan deasetilasi. Nilai DD
dapat diketahui setelah melalui proses deasetilasi dimana proses ini menggunakan larutan basa dengan
konsentrasi tinggi. Reaksi deasetilasi bertujuan untuk memutuskan gugus asetil yang terikat pada nitrogen
dalam struktur senyawa kitin untuk memperbesar persentase gugus amina dalam kitosan (Aulia dkk., 2016).
Karakteristik kitosan berupa gugus fungsi dan nilai DD dianalisis menggunakan FT-IR (Fourier Transform
Infra-Red). Pada penelitian ini dilakukan optimalisasi nilai DD dengan membuat variasi waktu deasetilasi
untuk mengetahui pengaruhnya terhadap nilai DD pada kitosan dari cangkang kepiting.

2. METODE
2.1 Pembuatan Kitosan
a. Tahap Awal
Limbah cangkang kepiting diambil dari beberapa rumah makan seafood di Surabaya, dicuci,
direbus, kemudian dicuci kembali untuk menghilangkan kotoran yang melekat. Cangkang
kepiting yang telah bersih dikeringkan di dalam oven pada suhu 110-120°C selama kurang
lebih satu jam. Cangkang kepiting yang kering ditumbuk dan diayak menggunakan ayakan 60
mesh. Hasil ayakan tersebut digunakan sebagai sampel (Puspawati dan Simpen, 2010).

75
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

b. Tahap Demineralisasi
Serbuk cangkang kepiting ditambahkan dengan HCl 1,5 M dengan perbandingan 1:15 (b/v)
antara sampel dengan pelarut. Campuran dipanaskan pada suhu 70-80°C selama 4 jam sambil
dilakukan pengadukan pada 50 rpm kemudian disaring. Padatan yang diperoleh dicuci dengan
akuades untuk menghilangkan HCl yang tersisa. Filtrat yang diperoleh diuji dengan larutan
AgNO3, bila sudah tidak terbentuk endapan putih maka sisa ion Cl yang terkandung sudah
hilang (Puspawati dan Simpen, 2010). Padatan dikeringkan pada oven dengan temperatur 70°C
selama 6 jam sehingga diperoleh serbuk cangkang kepiting tanpa mineral yang kemudian
didinginkan di desikator.
c. Tahap Deproteinasi
Larutan NaOH 3,5% ditambahkan dengan perbandingan 1:10 (b/v) antara sampel dari
tahap demineralisasi dengan pelarut. Campuran tersebut dipanaskan pada suhu 65-70°C selama
4 jam sambil dilakukan pengadukan pada 50 rpm. Padatan disaring dan didinginkan sehingga
diperoleh kitin, yang kemudian dicuci dengan akuades sampai pH netral. Filtrat yang diperoleh
diuji dengan pereaksi biuret, bila filtrat berubah menjadi biru berarti protein yang terkandung
sudah hilang. Kitin yang sudah dicuci ditambahkan etanol 70% untuk melarutkan kitosan terlarut
sebanyak 100 mL dan dilanjutkan dengan penyaringan, pencucian kembali dengan aseton dan
akuades panas untuk menghilangkan warna masing-masing 100 mL. Kitin dikeringkan pada
suhu 80°C selama 6 jam kemudian didinginkan di desikator. Adanya kitin dapat dideteksi dengan
reaksi warna Van Wesslink. Pada cara ini, kitin direaksikan dengan larutan I2 -KI 1% yang
memberikan warna coklat kemudian jika ditambahkan H2SO4 1 M berubah menjadi violet, ini
menunjukkan reaksi positif adanya kitin (Puspawati dan Simpen, 2010).
d. Tahap Deasetilasi
Kitin dideasetilasi dengan menambahkan NaOH pekat dengan konsentrasi 60% dengan
perbandingan 1:20 (b/v) antara kitin dengan pelarut. Campuran diaduk dan dipanaskan pada suhu
125°C dengan beberapa variasi waktu yaitu 4 jam, 5 jam dan 6 jam. Larutan dipisahkan dan
disaring melalui kertas saring (Puspawati dan Simpen, 2010). Padatan dikeringkan pada 80°C
selama 6 jam.
2.2 Karakterisasi Kitosan
Kitosan dari hasil deasetilasi dianalisis dengan FT-IR (Fourier Transform Infra-Red) untuk
mengetahui pola spektra yang muncul. Pola spektra tersebut mampu menunjukkan gugus fungsi yang
ada pada kitosan pada panjang gelombang tertentu dan juga digunakan untuk menghitung nilai DD
melalui Baseline Method.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Derajat deasetilasi (DD) merupakan salah satu parameter utama dalam proses karakterisasi kitosan
cangkang kepiting. Tujuan dari penentuan DD adalah untuk mengetahui seberapa besar prosentase
penghilangan gugus asetil yang diganti dengan amina. Nilai standar untuk DD kitosan yaitu antara 60%-
100% (Zaeni dkk., 2015). Beberapa faktor yang mempengaruhi nilai DD adalah konsentrasi basa kuat, suhu
dan waktu kontak yang digunakan selama proses deasetilasi. Analisa FT-IR (Fourier Transform Infra-Red)
digunakan untuk mengetahui nilai DD berdasarkan Baseline Method. Selain itu melalui analisa FT-IR juga
dapat diidentifikasi beberapa gugus fungsi yang ada pada kitosan cangkang kepiting.

Gambar 1. Spektra FT-IR Kitosan Cangkang Kepiting dengan Waktu Deasetilasi 4 jam, 5 jam dan 6
jam

76
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Berdasarkan hasil analisis spektra FT-IR pada Gambar 1. menunjukkan bahwa pola serapan yang
muncul pada kitosan cangkang kepiting meliputi 3569,83 cm-1; 3572,58 cm-1 dan 3568,58 cm-1
menunjukkan vibrasi OH. Serapan lainnya yaitu pada rentang 2849,50 cm-1, 2849,90 cm-1, 2918,30 cm-1
menunjukkan vibrasi ulur dari gugus C-H metilen (Puspawati dan Simpen, 2010). Lalu pada bilangan
gelombang 1598,51 cm-1, 1595,85 cm-1 dan 1577,62 cm-1 menunjukkan adanya bending vibration gugus –
NH2. Bending vibration pada C-H muncul pada rentang 1427,20 cm-1, 1425,81 cm-1 dan 1427,59 cm-1
(Irawan dkk., 2018). Serapan pita amida III muncul pada panjang gelombang 1328,40 cm-1 dan 1321,93
cm-1. Vibrasi ulur C-O-C muncul. Selain itu terdapat serapan yang muncul pada panjang gelombang 877,76
cm-1, 878,19 cm-1 dan 877,47 cm-1 yang menunjukkan vibrasi dari gugus kibasan dan pelintiran NH2
(Puspawati dan Simpen, 2010).
Kedalaman peak yang muncul pada panjang gelombang 1427,20 cm-1, 1425,81 cm-1 dan 1427,59 cm-1
berbeda-beda. Hal ini dikarenakan perbedaan presentase transmitansi yang muncul. Semakin besar
presentase transmitansi maka semakin banyak frekuensi dari sinar infra merah yang dapat melewati
senyawa dan semakin kecil presentase transmitansi maka semakin banyak frekuensi dari sinar infra merah
yang dapat diserap oleh senyawa (Dachriyanus, 2004).
Berikut ini adalah grafik hasil penentuan nilai DD pada kitosan cangkang kepiting dengan waktu kontak
yang berbeda selama tahap deasetilasi seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Grafik Pengaruh Suhu dan Waktu Kontak terhadap Derajat Deasetilasi
Berdasarkan grafik hasil analisis pada Gambar 2. dapat dilihat bahwa semakin lama waktu kontak maka
semakin tinggi nilai DD. Hal ini menunjukkan bahwa lama reaksi dalam proses deasetilasi mampu
mempengaruhi nilai dari DD. Nilai DD tertinggi didapatkan dari sampel dengan waktu kontak selama 6
jam yaitu sebesar 76,1%. Pada Tabel 1. berikut ini dapat dilihat perbandingan antara gugus fungsi kitosan
yang memiliki nilai DD tertinggi dan gugus fungsi kitosan pada penelitian Kumirska dkk., (2010).

Tabel 1. Hasil Analisis Perbandingan Gugus Fungsi Kitosan


Gugus Fungsi Kitosan Kitosan
Cangkang (Kumirska dkk.,
Kepiting 2010).
Vibrasi gugus 3568,58 cm-1 3429 cm-1
OH.
Vibrasi ulur 2918,30 cm-1 2867 cm-1
gugus C-H
metilen
Bending 1577,62 cm-1 1592 cm-1
vibration gugus
–NH2
Bending 1427,59 cm-1 1485 cm-1
vibration gugus
C-H

77
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

4. KESIMPULAN
1. Nilai DD tertinggi terdapat pada waktu kontak selama 6 jam yaitu sebesar 76,1%.
2. Semakin lama waktu kontak dalam tahap deasetilasi maka semakin tinggi nilai derajat deasetilasi.

5. DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, S., Agustina, Adawyah, R., dan Candra, 2017. Daya Hambat Kitosan dari Cangkang Limbah
Budidaya Kepiting “Soka” terhadap Empat Isolat Bakteri Pembentuk Histamin pada Ikan Tongkol
(Euthynnus affinis). In: Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas
Lambung Mangkurat, Prosiding Seminar Nasional Lahan Basah Tahun 2016. Banjarbaru.
Arif, M. N., Soewondo, P., dan Sinardi, 2013. Studi Perbandingan Kitosan Cangkang Kepiting dengan
Pembuatan secara Kimiawi sebagai Koagulan Alam. Jurnal Teknik Lingkungan, 19 (1), pp. 64–74.

Aulia, Z., Sutrisno, E., dan Hadiwidodo, M., 2016. Pemanfaatan Limbah Cangkang Kepiting sebagai
Biokoagulan untuk Menurunkan Parameter Pencemar COD dan TSS pada Limbah Industri Tahu.
Jurnal Teknik Lingkungan, 5(2), pp. 1–12.

Dachriyanus, 2004. Analisis Struktur Senyawa Organik secara Spektroskopi. Padang: Lembaga
Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (LPTIK) Universitas Andalas.

Irawan, C., Nata, I. F., Putra, M. D., Marisa, R., Asnia, M., dan Arifin, Y. F., 2018. Biopolimer Kitosan
dari Sisik Ikan Sebagai Koagulant Alami untuk Pengolahan Air Tanah Terkontaminasi Besi. Jurnal
Rekayasa Kimia Dan Lingkungan, 13(2), pp. 93–99.

Kumirska, J., Kaczy, Z., dan Bychowska, A., 2010. Application of Spectroscopic Methods for Structural
Analysis of Chitin and Chitosan. Marine Drugs, 8, pp. 1567–1636.

Pambi, R. L. L., dan Musonge, P., 2014. Influence of Effluent Type on the Performance of Chitosan as a
Coagulant. In: Akshar Publication, Afro-Asian International Conference on Science Engineering &
Technology 2014. Durban.

Pratiwi, R., 2014. Manfaat Kitin dan Kitosan Bagi Kehidupan Manusia. Jurnal Oseana, XXXIX (1), pp.
35–43.

Puspawati, N. M., dan Simpen, I. N., 2010. Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang
Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal
Kimia, 4(1), pp. 79–90.

Puspitasari, D., Setiawan, A., dan Dewi, T. U., 2018. Penggunaan Lidah Buaya sebagai Biokoagulan di
Industri Minyak. In: Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya, Conference Proceeding on Waste
Treatment Technology. Surabaya.

Zaeni, A., Safitri, E., Fuadah, B., dan Sudiana, I. N., 2015. Microwave-Assisted Hydrolysis of Chitosan
from Shrimp Shell Waste for Glucosammine Hydrochlorid Production. In: IOP Publishing, The 5th
International Conference on Theoretical and Applied Physics 2015. Kendari.

78
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Analisis Nilai Kalor Dari Briket Ampas Tebu dan Tempurung Kelapa

Risya Dwi Maulidya1*, Adhi Setiawan1, Vivin Setiani1


1
Program Studi Teknik Pengolahan Limbah, Jurusan Teknik Permesinan Kapal,
Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya, Surabaya 60111

*
E-mail : risyadwi@student.ppns.ac.id

Abstrak

Kebutuhan energi fosil yang semakin meningkat membutuhkan energi alternatif. Limbah biomassa berasal dari
limbah organik dan bahannya mudah didapat. Limbah biomassa berupa ampas tebu dan tempurung kelapa
dapat dimanfaatkan sebagai energi alternatif berupa biobriket. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
pengaruh komposisi ampas tebu dan tempurung kelapa terhadap nilai kalor yang dihasilkan. Metode yang
digunakan dalam pembuatan briket ini adalah eksperimen dengan melakukan proses karbonisasi pada ampas
tebu dan tempurung kelapa yang dilanjutkan dengan pengayakan agar ukuran karbon yang dihasilkan
homogen. Jenis binder menggunakan tepung tapioka dengan kadar 10% dari berat adonan briket. Analisis nilai
kalor yang digunakan yaitu dengan menggunakan bomb calorimeter berdasarkan SNI 01-6235-2000. Untuk
mengetahui nilai kalor terbaik, maka digunakan variasi campuran ampas tebu dan tempurung kelapa yaitu
variasi 1 adalah 10% : 90%; variasi 2 adalah 20% : 80%; variasi 3 adalah 30% : 70%; variasi 4 adalah 40% :
60%; dan variasi 5 adalah 50% : 50%. Hasil uji menunjukkan briket dari ampas tebu dan tempurung kelapa
yang memenuhi standar mutu briket adalah variasi 1 sebesar 8530,36 kal/gr; variasi 2 sebesar 8134,81 kal/gr;
dan variasi 3 sebesar 5959,82 kal/gr.
Kata kunci: biobriket, biomassa, ampas tebu, tempurung kelapa, nilai kalor.

1. PENDAHULUAN
Setiap tahun kebutuhan akan energi semakin meningkat seiring dengan aktivitas manusia, terutama dalam
pemakaian bahan bakar fosil. Ketersediaan bahan bakar fosil yang semakin sedikit diperlukan suatu alternatif.
Salah satu alternatif yang dapat dilakukan yaitu menggunakan energi biomassa berupa biobriket. Energi
biomassa berasal dari sumber daya alam yang dapat diperbaruhi. Biobriket adalah bahan bakar padat yang
berasal dari limbah biomassa. Briket merupakan alternatif yang sederhana karena bahan baku yang mudah
didapat dan mudah dalam proses pembuatannya. Syarat briket yang baik yaitu briket yang mempunyai
permukaan halus dan tidak meninggalkan bekas hitam di tangan. Briket yang baik harus memenuhi kriteria
antara lain tidak mengeluarkan asap, mudah dinyalakan, dan kedap air apabila disimpan pada waktu yang lama
(Fachry dkk, 2010).
Ampas tebu dan tempurung kelapa merupakan biomassa yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar
pembuatan briket. Ampas tebu adalah residu dari proses penggilingan tanaman tebu setelah dikeluarkan
niranya (Miskah. 2014). Ampas tebu yang terdapat di pabrik gula masih melimpah karena biasanya hanya
digunakan sebagai bahan bakar pada boiler atau pembangkit ketel uap. Dari satu pabrik dapat dihasilkan ampas
tebu sekitar 35%-40% dari berat tebu yang digiling (Nugraha, 2013). Jumlah ampas tebu yang melimpah
tersebut dapat memberikan nilai ekonomis apabila dapat dimanfaatkan kembali. Komposisi kimia ampas tebu
meliputi air 48-52%; abu 3,82%; lignin 22,09%; silika 3,01%; dan gula pereduksi 3,3% (Hanania dan Mitarlis,
2013). Penyebaran tanaman kelapa yang banyak di Indonesia serta dengan banyaknya industri skala kecil dan
rumah tangga yang menggunakan bahan baku kelapa mengakibatkan limbah tempurung kelapa semakin
meningkat. Tempurung kelapa merupakan salah satu sumber energi alternatif yang belum dimanfaatkan secara
optimal. Tempurung kelapa dikategorikan sebagai kayu keras tetapi mempunyai kadar lignin yang lebih tinggi
(Suryani, 2012). Pemilihan tempurung kelapa sebagai bahan baku pembuatan briket yaitu karena tempurung
kelapa mempunyai nilai kalor yang tinggi. Nilai kalor tempurung kelapa sebelum diarangkan sebesar 4027,8
kal/gr, sedangkan nilai kalor tempurung kelapa sesudah diarangkan menjadi 7427,6 kal/gr (Anetiesia, 2015) .
Dalam pembuatan briket diperlukan perekat untuk merekatkan kedua bahan dasar agar saling mengikat.
Jenis perekat yang digunakan harus mempunyai daya rekat yang kuat. Perekat yang sering digunakan pada
pembuatan briket antara lain tapioka, tanah liat, tetes tebu, sagu, dan lain sebagainya. Jenis perekat berpengaruh
terhadap kerapatan, ketahanan tekan, nilai kalor bakar, kadar air, dan kadar abu. Bahan perekat dari tumbuh-
tumbuhan seperti pati (tapioka) memiliki keuntungan dimana jumlah perekat yang dibutuhkan untuk jenis ini
79
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

jauh lebih sedikit dibandingkan dengan bahan perekat hidrokarbon. Namun kelemahannya adalah briket yang
dihasilkan kurang tahan terhadap kelembapan (Saleh, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Lestari dkk (2010)
membandingkan antara pembuatan briket dengan perekat sagu dan perekat kanji. Perekat yang lebih baik yaitu
perekat kanji atau tapioka karena kandungan kadar air dan abu rendah, serta kandungan karbon pada kanji lebih
tinggi daripada perekat sagu.
Mutu briket yang dihasilkan harus memenuhi standar mutu briket yaitu SNI 01-6235-2000 tentang Briket
Arang Kayu. Standar mutu briket berdasarkan SNI 01-6235-2000 yaitu batas maksimum kadar air pada briket
sebesar 8 %, batas maksimum kadar abu sebesar 8%, kadar maksimum volatile matter sebesar 15%, dan kadar
minimum nilai kalor briket sebesar 5000 kal/gr. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis nilai kalor briket
dari ampas tebu dan tempurung kelapa.

2. METODE
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada pembuatan briket ini adalah oven, furnace, alat pres, cetakan briket, dan ayakan
ukuran 60 mesh. Sedangkan bahan yang digunakan adalah ampas tebu dan tempurung kelapa sebagai bahan
utama, dan tepung tapioka. Ampas tebu didapatkan dari pabrik gula Gempolkrep, Kab. Mojokerto, sedangkan
tempurung kelapa didapatkan dari pasar Tanjung Anyar, Kota Mojokerto.

Pembuatan Biobriket
Pada dasarnya dalam pembuatan biobriket meliputi proses karbonisasi. Prinsip proses karbonisasi adalah
pembakaran biomassa tanpa adanya kehadiran oksigen, sehingga yang terlepas hanya bagian zat terbang,
sedangkan karbonnya tetap tinggal didalamnya (Saleh, 2013). Langkah-langkah yang dilakukan dalam
pembuatan briket adalah pengeringan ampas tebu dan tempurung kelapa dengan suhu 110°C menggunakan
oven. Ampas tebu dan tempurung kelapa dikarbonisasi menggunakan furnace. Proses karbonisasi ampas tebu
menggunakan temperatur 350°C selama 2 jam, sedangkan proses karbonisasi pada tempurung kelapa
menggunakan temperatur 500°C selama 2 jam (Mariati, 2017). Arang ampas tebu dan tempurung kelapa hasil
karbonisasi biasanya masih berbentuk bahan aslinya. Oleh karena itu untuk menghomogenkan ukuran
keduanya maka arang ampas tebu dan tempurung kelapa dihaluskan menggunakan alat penumbuk dan diayak
menggunakan ayakan ukuran 60 mesh. Bahan baku yang berbentuk serbuk kemudian dicampur dengan perekat
sampai berbentuk seperti gel. Bahan baku dicampur dengan komposisi persentase ampas tebu dan tempurung
kelapa sebagai berikut:
a. Variasi 1, 10% ampas tebu : 90% tempurung kelapa
b. Variasi 2, 20% ampas tebu : 80% tempurung kelapa
c. Variasi 3, 30% ampas tebu : 70% tempurung kelapa
d. Variasi 4, 40% ampas tebu : 60% tempurung kelapa
e. Variasi 5, 50% ampas tebu : 50% tempurung kelapa
Adonan dicetak berbentuk silinder dengan ukuran diameter 3 cm dan panjang 4 cm. Pencetakan bertujuan
untuk memperoleh bentuk yang seragam. Briket yang sudah dicetak selanjutnya dilakukan pengeringan untuk
mengurangi kadar air dan mengeraskan briket agar tahan bentur dan terhindar dari jamur.

Pengukuran Nilai Kalor


Pengukuran nilai kalor menggunakan bomb calorimeter. Bomb calorimeter adalah alat yang digunakan
untuk mengukur jumlah panas yang dilepaskan pada pembakaran sempurna suatu senyawa, bahan makanan,
maupun bahan bakar. Sampel diletakkan di tabung terendam dalam penyerap panas sedang yang beroksigen
dan sampel akan dibakar dengan api dari logam nirkabel yang dimasukkan dalam tabung. Jumlah sampel dalam
ruang yang disebut bom akan dinyalakan atau dibakar dengan sistem pengapian listrik sehingga sampel
terbakar dan menghasilkan panas (Yerizam, 2013).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil analisis nilai kalor ampas tebu, tempurung kelapa, dan tepung tapioka sebelum proses karbonisasi
disajikan dalam Tabel 1.

80
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Tabel 1. Nilai Kalor Bahan Baku


No. Nama Bahan Nilai Kalor (kal/gr)
1. Ampas tebu 4282,35
2. Tempurung kelapa 4574,50
3. Tepung tapioka 3678,42

Tabel 1 menunjukkan bahwa hasil analisis nilai kalor awal ampas tebu sebesar 4282,35 kal/gr, nilai kalor
awal tempurung kelapa sebesar 4574,50 kal/gr, dan nilai kalor tepung tapioka sebesar 3678,42 kal/gr. Nilai
kalor terbesar pada bahan baku tersebut adalah tempurung kelapa. Dari hasil analisis tersebut diharapkan dapat
membuat nilai kalor briket lebih tinggi. Hasil analisis briket yang dihasilkan masing-masing variasi disajikan
dalam Tabel 2.

Tabel 2. Nilai Kalor Briket


No. Variasi campuran Nilai Kalor (kal/gr)
1. Variasi 1 8530,36
2. Variasi 2 8134,81
3. Variasi 3 5959,82
4. Variasi 4 4919,06
5. Variasi 5 4874,96

Komposisi bahan baku berpengaruh terhadap nilai kalor, sedangkan nilai kalor berpengaruh terhadap
kualitas briket yang dihasilkan. Semakin tinggi nilai kalor, maka kualitas briket semakin baik. Berdasarkan
Tabel 2 terlihat bahwa nilai kalor tertinggi terletak pada briket variasi 1 yaitu campuran 10% ampas tebu dan
90% tempurung kelapa dengan nilai kalor sebesar 8530,36 kal/gr. Nilai kalor terendah terletak pada briket
variasi 5 yaitu campuran 50% ampas tebu dan 50% tempurung kelapa dengan nilai kalor sebesar 4874,96
kal/gr. Hal ini dikarenakan nilai kalor awal dari tempurung kelapa lebih tinggi daripada ampas tebu. Semakin
banyak jumlah tempurung kelapa, maka semakin tinggi nilai kalor briket yang dihasilkan. Nilai kalor yang
tinggi juga disebabkan karena kandungan karbon pada briket tersebut tinggi.
Penelitian yang dilakukan oleh Qistina (2016) menjelaskan tentang kajian kualitas briket biomassa dari
sekam padi dan tempurung kelapa. Hasil penelitian nilai kalor menunjukkan bahwa nilai kalor briket dari
tempurung kelapa lebih besar dibandingkan dengan nilai kalor briket sekam padi. Hal tersebut disebabkan
karena kandungan volatile matter tempurung yang tinggi. Volatile matter yang terdapat dalam briket tersebut
kemungkinan adalah gas-gas yang mudah terbakar, sehingga nilai kalor yang dihasilkan tinggi. Selain itu,
kandungan karbon yang terdapat didalam tempurung kelapa besar. Karbon dalam tempurung kelapa akan
mudah bereaksi dengan oksigen membentuk gas dan kalor ketika proses pembakaran. Penelitian lain dilakukan
oleh Miskah (2014) tentang pembuatan biobriket dari campuran arang kulit kacang tanah dan arang ampas tebu
dengan aditif KMnO4. Hasil penelitian menjelaskan bahwa nilai kalor tertinggi pada variasi 40% kulit kacang
tanah : 60% ampas tebu yaitu sebesar 5707 kal/gr. Tinggi rendahnya nilai kalor yang dihasilkan dipengaruhi
oleh tinggi rendahnya nilai fixed carbon. Semakin tinggi fixed carbon maka semakin tinggi nilai kalor pada
briket campuran kulit kacang tanah dan ampas tebu. Penelitian yang dilakukan oleh Hendra (2000) tentang
pembuatan briket arang dari serbuk gergajian kayu dengan penambahan tempurung kelapa menjelaskan bahwa
nilai kalor briket dari bahan baku 100% arang serbuk gergajian kayu adalah 6198,99 kal/gr. Briket dari bahan
baku 90% arang serbuk gergajian kayu dengan penambahan 10% arang tempurung kelapa menghasilkan nilai
kalor 6522,84 kal/gr. Penambahan bahan baku arang tempurung kelapa mampu menaikkan nilai kalor
dibandingkan dengan briket yang bahan bakunya 100% arang serbuk gergajian kayu. Nilai kalor yang
dihasilkan juga sesuai dengan standar mutu briket yaitu minimal 5000 kal/gr.
SNI 01-6235-2000 tentang briket arang kayu menjelaskan bahwa nilai minimum nilai kalor briket sebesar
5000 kal/gr. Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa briket dengan variasi 1, variasi 2, dan variasi 3 sudah
memenuhi standar SNI. Briket dengan variasi 4 dan variasi 5 tidak memenuhi standar SNI karena nilai kalor
yang dihasilkan dibawah 5000 kal/gr.

4. KESIMPULAN
Penambahan arang tempurung kelapa mampu menaikkan nilai kalor briket. Hasil pengujian kualitas nilai
kalor briket menunjukkan bahwa briket dari campuran 10% ampas tebu dan 90% tempurung kelapa merupakan
variasi briket terbaik yaitu sebesar 8530,36 kal/gr.

81
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

5. DAFTAR PUSTAKA
Apriani. 2015. Uji Kualitas Biobriket Ampas Tebu dan Sekam Padi sebagai Bahan Bakar Alternatif. Skripsi.
Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin. Makassar.
Anetiesia, S. E., Syafrudin dan Zaman, B. 2015. Pembuatan Briket dari Bottom Ash dan Arang Tempurung
Kelapa Sebagai Sumber Energi Alternatif. Skripsi. Jurusan Teknik Lingkungan Universitas Diponegoro.
Badan Standarisasi Nasional. 2000. Briket Arang Kayu. SNI 01-6235-2000.
Fachry, A.R dkk. 2010. Teknik Pembuatan Briket Campuran Eceng Gondok dan Batubara sebagai Bahan
Bakar Alternatif Bagi Masyarakat Pedesaan. Palembang: UNSRI.
Hanania, V.E. dan Mitarlis. 2013. Pemanfaatan Limbah Padat Proses Sintesis Furfural dengan Material Awal
Ampas Tebu sebagai Bahan Pembuatan Bahan Bakar Briket. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
Hendra, D dan Darmawan, S. 2000. Pembuatan Briket Arang dari Serbuk Gergajian Kayu dengan Penambahan
Tempurung Kelapa. Buletin Penelitian Hasil Hutan. Vol. 18 No. 1 (1-9).
Lestari, L. dkk. 2010. Analisis Kualitas Briket Arang Tongkol Jagung yang Menggunakan Bahan Perekat Sagu
dan Kanji. Jurnal Aplikasi Fisika Vol.6, No.2 Agustus 2010. Jurusan Fisika FMIPA Universitas Haluoleo.
Mariati, L dan Yusbarina. 2017. Pembuatan Biobriket Dari Gambut dan Ampas Tebu Sebagai Sumber Belajar
Materi Ilmu Kimia dan Peranannya. UIN Suska Riau.
Miskah, S., L. Suhirman, dan H.R. Ramadhona. 2014. Pembuatan Biobriket dari Campuran Arang Kulit
Kacang Tanah dan Arang Ampas Tebu dengan Aditif KNnO4. Jurnal Teknik Kimia No. 3, Vol. 20 (12-21).
Nugraha, J. R. 2013. Karakteristik Termal Briket Arang Ampas Tebu dengan Variasi Bahan Perekat Lumpur
Lapindo. Skripsi. Jurusan Teknik Mesin Universitas Jember.
Qistina, I., Sukandar, D., dan Trilaksono. 2016. Kualitas Briket Biomassa dari Sekam Padi dan Tempurung
Kelapa. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Ilmu Kimia, Vol 2, No 2 (136-142).
Saleh, A. 2013. Efisiensi Konsentrasi Perekat Tepung Tapioka Terhadap Nilai Kalor Pembakaran pada
Biobriket Batang Jagung (Zea mays L.). Jurnal Teknosains, Vol. 7, No 1. (78-89).
Suryani, I., M. Y. Permana, dan M. H. Dahlan. 2012. Pembuatan Briket Arang dari Campuran Buah Bintaro
dan Tempurung Kelapa Menggunakan Perekat Amilum. Jurnal Teknik Kimia No. 1, Vol. 8. Universitas
Sriwijaya Kampus Palembang.
Yerizam, M. dkk. 2013. Characteristics of Composite Rice Straw and Coconut Shell as Biomass Energy
Resources (Briquette) (Case study: Muara Telang Village, Banyuasin of South Sumatra). International
Journal on Advanced Science Engineering Information Technology, Vol 3, No 3. (42-48).

82
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Analisis Kualitas Hasil Komposting Sampah Sisa Makanan dan


Daun dengan Metode Rotary Drum Composter
(Studi Kasus: Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya)

Arlieza Nadya Pradini1*, Mirna Apriani 1, Vivin Setiani 1


1
Program Studi Teknik Pengolahan Limbah, Jurusan Teknik Permesinan Kapal,
Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya, Surabaya 60111

E-mail : arliezanadya @student.ppns.ac.id

Abstrak

Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya (PPNS) adalah perguruan tinggi berbasis vokasi yang terus
berkembang setiap tahunnya sehingga memungkinkan sampah yang dihasilkan juga semakin bertambah baik
itu sampah organik seperti sampah sisa makanan, sampah daun-daun, dan serbuk kayu ataupun sampah non-
organik. Pengolahan sampah organik paling sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan pengomposan.
Proses pengomposan dapat dilakukan secara aerobik dengan menggunakan metode Rotary Drum Composter.
Parameter yang ingin diamati adalah pH, suhu, kadar air, dan rasio C/N. Sesuai hasil pengamatan, suhu pH,
kadar air dan rasio C/N komposter sebesar; 310C; 7,4; 48,60% dan 14,95. Berdasarkan pengamatan fisik
kompos, kompos yang terbentuk berwarna coklat kehitaman, serta bertekstur seperti tanah sesuai dengan
spesifikasi kompos SNI 19-7030-2004.

Keyword: Sampah Organik, Pengomposan, Metode Rotary Drum Composter

1. PENDAHULUAN
Saat ini, permasalahan sampah semakin kompleks karena jumlah sampah semakin bertambah. Sampah
yang tidak terkelola dengan baik, dapat mengakibatkan berkembangnya tempat dan sarang hewan seperti
serangga dan tikus sehingga menjadi sumber polusi serta pencemaran tanah, air dan udara. Sampah merupakan
hasil dari proses dekomposisi yang menghasilkan gas CO2, metana dan sebagainya. (Mirmanto, 2013). Hasil
dekomposisi tersebut, dapat menghasilkan cairan lindi (leachate) dan menimbulkan bau busuk. PPNS adalah
perguruan tinggi yang terus berkembang setiap tahunnya, sehingga sampah yang dihasilkan juga semakin
meningkat. Sampah organik berupa sisa makanan, sampah daun, dan serbuk kayu. Pengolahan sampah organik
dapat dilakukan melalui pengomposan (Khoirunissa,R., dkk, 2018).

Penelitian ini melakukan pemanfaatan sisa makanan dan daun-daun dari di PPNS untuk dijadikan kompos
menggunakan metode Rotary Drum Composter. Berdasarkan hasil penelitian (Kalamhad dan Kazmi, 2009),
metode ini mampu mempercepat waktu pengomposan menjadi 19 hari. Sedangkan penambahan MoL nasi basi
dapat mempengaruhi proses pengomposan menjadi lebih cepat yaitu 13 hari.(Royaeni dkk, 2014)

2. METODE
Pada penelitian ini, perlu diketahui rasio C/N sampah dan densitas untuk menentukan komposisi
pengomposan. Kemudian dilakukan pengamatan terhadap pH, suhu, kadar air, dan rasio C/N

A. Karakteristik Bahan
Berdasarkan data yang yang dhasilkan, rasio C/N dan kadar air pada sampah makanan, sampah
daun masing-masing 10,58 dan 24,49 dengan kadar air yang dihasilkan 41,48% dan 33,34%.
B. Menentukan Komposisi
Komposisi kompos dalam rotary drum composter adalah sampah daun dan sampah makana dengan
ketentuan:
Rasio C/N kompos ideal = 10-20.
Penelitian ini menggunakan rasio C/N 20

C/N= 20 =
dengan komposisi sampah makanan (67,31%) dan sampah daun (32,69%)

83
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

C. Menentukan Densitas
Pengukuran densitas sangat penting dilakukan untuk menentukan timbulan sampah. Pengukuran
densitas sampah mengacu pada SNI 3242:2008 tentang pengelolaan sampah di permukiman.

D. Membuat MoL Nas Basi


Penelitian ini menggunakan dosis optimum mol sampah nasi 20 mL/0,5 kg (Royaeni dkk, 2004)
Penelitian ini menggunakan MoL sebanayk 1460 mL

E. Pembuatan Kompos
Pengomposan menggunakan Rotary Drum Composter dengan kapasitas drum 120 liter. Langkah
langkah pembuatan kompos sebagai berikut:
1) Pencacahan feedstock kompos menjadi 2 cm-5 cm. Pencacahan berfungsi untuk mempercepat
proses dekomposisi.
2) Penambahan MoL nasi basi sebanyak 1460 mL sebagai bioaktivator untuk mempercepat
pengomposan.
3) Pengadukan kompos atau pembalikan kompos dilakukan untuk menghomogenkan kompos dan
berfungsi untuk supplai udara serta pematangan kompos. Pengadukan dilakukan selama 3 kali
pada waktu pagi, siang dan sore selama 15 menit.
4) Pengecekan parameter kompos (suhu, pH, kadar air, dan rasio C/N) 5) Pengamatan fisik
kompos (tekstur, bau dan warna kompos).

F. Analisis Parameter Kompos


1) Pengukuran suhu dilakukan dengan termometer setiap hari.
2) Pengukuran pH dilakukan setiap hari menggunakan pH meter yang telah distandarisasi
3) Pengukuran kadar air dari tumpukan kompos mengacu pada penentuan kadar air cara
pemanasan menggunakan oven (AOAC, 1990). Pengamatan kadar air dilakukan tiap 2 hari
sekali.
4) Pengukuran rasio C/N, pengukuran C dilakukan dengan metode Titrimetri dan N menggunakan
metode Kjehldahl. Pengukuran rasio C/N dilakukan pada hari 0, 14, 21, dan 28 (akhir
pengomposan).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Parameter Suhu
Salah satu indikator penting dalam menentukan keberhasilan proses pengomposan adalah suhu. Suhu
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses pengomposan. Suhu yang tinggi dihasilkan dari
aktivitas mikroba. Peningkatan suhu terjadi karena adanya konsumsi oksigen oleh mikroba decomposer
(Triviana, L dan Pradhana, 2018). Jika suhu semakin tinggi, makan konsumsi oksigen semakin banyak
sehingga proses pengomposan lebih cepat. Gambar 1 menunjukkan suhu pengomposan pada hari 1
adalah 320C. Setelah hari ke-1, temperatur kompos mengalami kenaikan menjadi 440C. Suhu maksimal
yang dicapai pada pengomposan selama 10 hari pengomposan terjadi pada hari ke-7 yakni sebesar 610C.
Kemudian suhu berangsur-angsur mulai menurun pada hari ke-10 yaitu sebesar 470C . Suhu berangsur-
angsur menurun hingga pada hari ke 13, dan menunjukkan angka yang stabil sebesar 31-330C pada hari
ke 15 dengan suhu ruang 280C . Penelitian sebelumnya ( Sriharti dan Salim T, 2008) dengan
pengomposan menggunakan limbah kulit pisang dan metode rotary drum composter juga menghasilkan
suhu akhir yang stabil sebesar 320 C.
Penelitian lainnya dari Syafruddin dan Zaman, B (2007) bahwa pengomposan menngunakan kotak
takakura menghasilkan suhu akhir pengomposan sebesar 270 C. Berbeda dengan penelitian komposting
dengan menggunakan tabung reaktor (co-composting) yang menggunakan limbah blotong dan bagasse
oleh Ismayana A, dkk (2012). Penelitian tersebut tidak mengalami fase termofilik sehingga suhu yang
dicapai sampai akhir pengomposan hanya sebesar 300C. Dari beberapa penelitian, dapat diketahui bahwa
kompos yang mulai terbentuk mempunyai suhu stabil dengan kisaran 27-320C. Grafik suhu pengomposan

84
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Gambar 1. Grafik Suhu Kompos


B. Parameter pH
Pengukuran pH dilakukan setiap hari menggunakan pHmeter sampai hari ke-30 pada jam 11.30-
12.30. Pada hari 1 pengomposan, pH mencapai 5,6. Menurut Habibi (2009) jika kondisi asam biasanya
dapat diatasi dengan pemberian kapur, namun sebenarnya dengan cara membolak-balikkan bahan
kompos secara tepat dan benar sudah dapat mempertahankan kondisi pH tetap pada titik netral. Selama
proses pengomposan, untuk mempertahankan pH hanya dengan membolak-balikkan bahan kompos
secara rutin pagi, siang dan sore selama 15 menit. Peningkatan pH mulai terjadi pada hari ke-13, sebesar
6,1 dan pada hari terakhir pengomposan, pH telah mencapai 7,4. Dalam penelitian sebelumnya
(Syafrudin dan Zaman ,2007), juga menyatakan bahwa pH akhir pengomposan menggunakan limbah teh
hitam dengan metode kotak takakura sebesar 6,97. Penelitian lain oleh Anindita F (2012) menyatakan
bahwa pengomposan sampah organik dengan metode in vessel pada hari ke 28 menghasilkan pH sebesar
7,9 pH tersebut melebihi nilai pH yang sesuai SNI 19-7030-2004 (pH netral 6-7,49). Menurut Ismayana
A, dkk (2012) pH pengomposan blotong dan bagasse dengan metode Co-Composting mampu
menghasilkan pH 7,5 pada hari ke 15. pH tersebut masih dalam range pH yang sesuai SNI. Dari penelitian
tersebut, diketahui bahwa ketiga metode yakni metode rotary drum composter, takakura dan co-
composting memiliki pH yang sesuai SNI 19-7030-2004 pada akhir pengomposannya. Grafik pH kompos
dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.

85
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Gambar 2. Grafik pH Kompos


C. Parameter Kadar Air
Pemantauan kadar air dilakukan selama 2 hari sekali menggunakan metode gravimetri dengan berat
sampel untuk masing-masing cawan sebesar 2 gram. Berat air pada awal pengomposan mengalami
penurunan. Hal ini disebabkan karena terjadi peningkatan pada suhu kompos. Sehingga kadar air ikut
menguap. Selama masa pengomposan, kadar air tiap komposter berangsur-angsur mendekati pada SNI
19-7030-2004, yaitu kadar air maksimum kompos yaitu sebesar 50%. Saat akhir pengomposan, kadar air
kompos telah mencapai kurang dari 50% yaitu sebesar 48,60%. Penelitian Syafrudin dan Zaman (2007)
menyatakan bahwa pengomposan limbah teh hitam dengan menggunakan metode takakura mampu
menghasilkan kadar air sebesar 46,46% di akhir masa pengomposan. Prosentase kadar air tersebut sesuai
dengan SNI. Pada penelitian lainnya, disebutkan bahwa kadar air pada pengomposan sampah organik
pasar dengan metode In vessel melebihi dari 60%. Sedangkan penelitian dari Citra, V dkk (2017),
pengomposan dengan metode open windrow menghasilkan kadar air 60% pada akhir pengomposan.
Dibandingkan dengan metode lainnya, metode rotary drum composter dan takakura mampu
menghasilkan kadar air yang ideal sesuai dengan SNI SNI 19-7030-2004. Grafik kadar air kompos dapat
dilihat pada Gambar 3 berikut.

ANALISIS KADAR AIR


70.00

60.00

50.00

40.00

30.00 komposter
sni 19-7030-2004
20.00

10.00

0.00
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
HARI KE
-

Gambar 3. Grafik Kadar Air


86
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

D. Parameter Rasio C/N


Rasio C/N merupakan aspek penting dalam proses pengomposan. Proses pendegradasian yang
terjadi dalam pengomposan membutuhkan bahan yang mengandung karbon organik (C) untuk
pemenuhan energi dan pertumbuhan, dan nitrogen (N) untuk pemenuhan protein sebagai zat pembangun
sel metabolisme. Menurut SNI 19-7030-2004, rasio C/N yang optimum berkisar antara 10-20. Hasil
analisis rasio C/N pada minggu ke-1 sebesar 14,76:1. Nilai rasio C/N tersebut telah memenuhi syarat
untuk rasio C/N yang sesuai SNI 19-7030-2004. Kemudian, pada minggu ke-2 rasio C/N yang dihasilkan
sebesar 15,42:1. Hasil rasio C/N pada minggu ke-3 sebesar 14,95:1. Rasio C/N pada minggu ke-3
mengalami penurunan dikarenakan proses dekomposisi mikroorganisme selama proses pengomposan.
Menurut penelitian sebelumnya, Sriharti dan Salim T (2008) menyatakan bahwa pengomposan limbah
kulit pisang dengan metode rotary drum composter mempunyai rasio C/N akhir sebesar 17. Sedangkan
penelitian Ismayana, A dkk (2012), pengomposan organik dengan feedstock blotong dan bagasse dengan
menggunakan metode co-composting menghasilkan rasio C/N akhir sebesar 15. Pada penelitian Citra V,
dkk (2017), rasio C/N pada kompos daun menghasilkan C/N akhir 17, 46 pada kadar air 40%. Menurut
Lu, dkk (2009), nilai kadar air berbanding terbalik dengan bahan organik, jika kadar air meningkat maka
bahan organik akan menurun. Grafik rasio C/N dapat dilihat pada Gambar 5 berikut.

ANALISIS RASIO
25.0

20.0

15.0
Rasio (Komposte )
SNI -703-200 (10
10.0 SNI -703-2004

5.0

0.0
1 2 3
Gambar 4. Kurva Rasio C/N

4. KESIMPULAN
Setelah dilakukan pengamatan, hasil suhu, pH, kadar air dan rasio C/N komposter dari penelitian ini
sebesar 310C; 7,4; 48,60% dan 14,95.

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih penulis disampaikan kepada seluruh pihak terkait yang sangat membantu demi
kelancaran penelitian ini.

6. DAFTAR PUSTAKA

Asri Dian., Samudro., Sumiyati, Sri., (2017). Pengaruh Kadar Air Terhadap Proses Pengomposan
Sampah Organik Dengan Metode Takakura. Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06.

Habibi. (2009). Pembuatan Pupuk Kompos Dari Limbah Rumah Tangga. Bandung: Penerbit Titian Ilmu.

Citra, Vanessa., Sumiyati, Sri., Samudro, G., (2017). Pengaruh Kadar Air Terhadap Hasil Pengomposan
Sampah Organik Dengan Metode Open Windrow. Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06.

Ismayana, Andes.,dkk. Faktor Rasio C/N Awal Dan Laju Aerasi Pada Proses Co-Composting Bagasse
Dan Blotong. Jurnal Teknologi Industri Pertanian 22 (3):173-179.

Kalamdhad, A. S., & Kazmi, A. A. (2009). Rotary Drum Composting of Different Organic Waste Mixture.
Waste and Manegement Research, 129-137.

87
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Khoirunnisa, R., Ashari, L. M., & Setiani, V. (2018). Pengukuran Timbulan, Densitas, Komposisi dan
Kadar Air Limbah Padat Non B3 di PPNS. Confrence Proceeding on waste Treatment
Technology. Surabaya.

Mirmanto. (2008). Nilai Kalor Sampah Hasil Produksi Kota Mataram. Mataram.
Royaeni, Pujiono, & Pudjowati, D. T. (2014). Pengaruh Penggunaan Bioaktivator Mol Nasi da Mol
Tapai Terhadap Lama Waktu Pengomposan Sampah Organik Pada Tingkat Rumah Tangga.
Visikes Jurnal Kesehatan Lingkungan, 1-9.

Syafrudin, Badrus Zaman .2007. Pengomposan Limbah Teh Hitam Dengan Penambahan Kotoran
Kambing Pada Variasi Yang Berbeda Dengan Menggunakan Starter EM4 (Effective
Microorganism 4). Teknik 28(2):125-131.

Sriharti, & Salim, T. (2008). Pemanfaatan Limbah Pisang Untuk Pembuatan Kompos menggunakan
Komposter Rotary Drum. Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna.

88
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Model Pengelolaan Air Balas Kapal Di Perairan Indonesia


Sesuai Regulasi IMO MEPC 56/23 Annex 2

Minto Basuki1*, Lukmandono2, Maria Margareta Zau Beu3


1,3
Jurusan Teknik Perkapalan ITATS
2
Jurusan Teknik Industri ITATS

*
E-mail: mintobasuki@itats.ac.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan menyusun model pengolahan air balas yang dibuang pada perairan pelabuhan. Sesuai
regulasi International Maritime Organization (IMO), air balas kapal tidak boleh langsung dibuang pada
perairan dan harus diolah dahulu menggunakan alat pengolah. Untuk kapal-kapal baru (bangunan baru),
implementasi regulasi tersebut tidak menjadi masalah, peralatan bisa dipasang di kapal, karena desain
menyesuaikan dengan regulasi. Pada kapal lama, akan menjadi sebuah masalah, berkaitan dengan kebutuhan
ruangan untuk meletakan alat, biaya dan waktu untuk doking. Data yang dipakai untuk analisis berdasarkan
data jumlah air balas yang dibuang kapal, kandungan air balas yang dibuang. Metode yang dipakai adalah
analitis dengan menyusun model pengelolaan air balas kapal. Model pertama adalah pengelolan air balas
dilakukan dengan ditampung pada tongkang, kemudian diolah sebelum dibuang pada perairan. Model kedua,
air balas ditampung dalam truk tangki, kemudian diolah di darat.

Kata kunci: IMO, Air balas, Pengolahan, Model pengolahan.

1. PENDAHULUAN
Salah satu program Pemerintahan Presiden Joko Widodo adalah pengembangan poros maritim dunia dan
tol laut dalam mendukung konektivitas antar daerah. Dengan program tol laut, diperlukan fasilitas pendukung
berupa kapal dan pelabuhan serta infrastruktur yang lain. Konektivitas antar daerah harus didukung adanya
kapal yang bisa melayani daerah-daerah kepulauan dengan baik dan handal. Secara logika, pelayaran dari satu
daerah ke daerah lain, maka pada saat kapal berlayar pulang pergi, muatan kapal harus dalam keadaan penuh,
sehingga akan menguntungkan pihak pemilik kapal, dan kapal harus tetap dijaga dalam kinerja yang optimal.
Kinerja kapal yang optimal akan diperoleh pada saat kapal berlayar dalam posisi sarat maksimal, sehingga
propeller juga bisa bekerja secara optimal untuk menghasilkan daya dorong. Kapal perlu menggunakan air
penyeimbang, bila sarat kapal maksimum tidak terpenuhi.
Dengan dimasukkannya air laut ke dalam lambung kapal lewat sea-chest sampai ke dalam tangki balas,
maka akan terdapat pengurangan tekanan hidrostatis pada lambung kapal. Air balas dapat membantu
memberikan stabilitas melintang kapal, dapat meningkatkan kemampuan propulsi kapal dan kemampuan oleh
gerak kapal (manuver). Air balas kapal dapat menjadi kompensasi perubahan berat kapal dalam berbagai
kondisi beban muatan kapal yang berubah setiap adanya pemuatan dimana tergantung pada berat jenis muatan
dan begitu juga dengan bahan bakar dan air tawar yang dikonsumsi kapal juga mengalami perubahan dalam
perjalanan kapal, maka kehadiran air balas sangat diperlukan.
Kegiatan memasukkan dan mengeluarkan air laut dari dan ke dalam kapal tampaknya seperti kegiatan yang
tidak menimbulkan masalah dan juga kegiatan yang tidak ada salahnya. Kegiatan ballasting kapal ini sangat
penting untuk pengoperasi pelayaran kapal yang aman dan efisien, namun tidak disadari bahwa kegiatan ini
dapat menimbulkan perubahan ekologi laut, menimbulkan permasalahan ekonomi dan menimbulkan dampak
kesehatan yang serius pada biota laut dan manusia. Hal ini disebabkan karena banyaknya kedatangan spesies
laut yang diakibatkan oleh adanya air balas kapal. Kegiatan balas ini telah diatur dalam konvensi internasional
oleh International Maritime Organization (IMO) yang lahir dari London Protocol dan London Convention
yaitu tentang Pencegahan Pencemaran Laut karena Pembuangan Limbah dan Material lain.
Berkaitan dengan pengelolaan air balas kapal sesuai dengan regulasi IMO, beberapa penelitian berkaitan
dengan Ballast Water Management telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Basuki dkk., (2018a) melakukan
89
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

penilaian risiko akibat pembuangan air balas kapal menggunakan deterministik dan matrik risiko. Basuki dkk.,
(2018b), melakukan proses penilaian risiko lingkungan akibat pembuangan air balas kapal di Pelabuhan
Tanjung Perak Surabaya berdasarkan jumlah kunjungan kapal internasional, potensi kerusakan ekologi laut
dan mengusulkan model penanganan buangan air balas kapal. Basuki dkk. (2018c), perlunya penerapan aturan
nasional dan internasional (IMO) dalam pengelolaan air balas kapal. Di daerah Pelindo II Jakarta, ada potensi
air balas kapal yang langsung dibuang kapal ke lingkungan laut sebesar 48,741.06 kL per tahun, dan ini harus
dikelola dengan baik. Briski dkk., (2014) mengungkapkan perlunya pengurangan Biological invasions seperti
yang disyaratkan oleh IMO pada proses pembuangan air balas kapal. Vorkapić dkk., (2018) membandingkan
metode Ultraviolet Irradiation And Electrochlorination dalam penanganan air balas kapal ditinjau dari segi
biaya. Menggunakan UV treatment untuk mengotrol air balas kapal yang dibuang pada pelabuhan, seperti
persyaratan IMO regulasi D2, telah dilakukan oleh Bradie dkk., (2017), First & Drake (2014).
Luasnya perairan laut yang menjadi territorial Indonesia, menuntut pengambil kebijakan untuk bisa bekerja
secara efektirf dan efisien. Tututan ini dalam rangka memenuhi isu-isu yang berkaitan dengan lingkungan, dan
dalam rangka memenuhi slogan blue ocean International Maritime Organization (IMO). Sesuai dengan
semangat pemerintah dalam pengembangan tol laut dan sebagai poros maritim dunia, sejogjanya pemerintah
juga berkomitmen menjalankan aturan internasional yang telah di rilis oleh International Maritime
Organization (IMO). Pemerintah Indonesia telah meratifikasi aturan tersebut pada Nopember 2015 dan sampai
saat ini sudah berjalan selama 3 tahun, dan kesiapan serta penerapan aturan tersebut perlu ditindaklanjuti secara
efektif dan efisien. Kesiapan tersebut meliputi, peraturan perundangan sebagai payung hukum, kesiapan
sumber daya manusia pendukung, persiapan fasilitas dan sarana pendukung lainnya.

2. METODE
Metode penelitian yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Identifikasi Hazard
Domain penelitian yang akan dilakukan adalah pada kelompok manajemen risiko, yang dikombinasikan
dengan prosedur evaluasi risiko serta kegiatan operasional kapal berkaitan dengan kegiatan water ballast
management. Adanya spesies-spesies ikutan pada air balas kapal ditengarai sebagai hawa pada spesies asli
pada saat air balas kapal dibongkar di pelabuhan tujuan. Identifikasi hazard dilakukan pada air balas kapal
yang dibongkar dan air dari perairan dimana kapal melakukan pengisian air balas kapal di pelabuhan asal.
2. Penyusunan Standar Environmental Risk Assessment Operasional Kapal
Standar penilaian risiko pada operasional kapal dikembangkan dengan dasar matrik risiko. Sumbu mendatar
adalah dampak terjadinya kegagalan (faktor biaya, waktu, kinerja perusahaan), sumbu tegak adalah probabilitas
terjadinya kegagalan. Standar Environmental Risk Assessment dipakai acuan dalam penilaian risiko
operasional kapal berkaitan dengan pengelolaan air balas kapal.
3. Penyusunan Model Pengelolaan Water Ballast Management
Menyusun model pengelolaan water ballast management, penerapan model pada pemangku kebijakan.
Pada tahap ini juga dilakukan penilaian terhadap income generating terhadap pengelolaan water ballast
management akibat operasional kapal.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Model Pengelolaan Air Balas Kapal ini ditujukan kepada pengambil kebijakan atau badan pemerintah,
antara lain: (i) Pengelola pelabuhan di Indonesia yaitu PT. Pelindo I sampai PT. Pelindo IV beserta cabang
pelabuhan yang ada dibawahnya. (ii) Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) yang ada pada setiap
pelabuhan di Indonesia. (iii) Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP), badan yang bertanggung jawab
terhadap keamanan dan keselamatan laut dan pantai, termasuk didalamnya pelabuhan. (iv) Badan Pemerintah
yang mengurusi lingkungan, ini berkaitan dengan penyelamatan lingkungan laut, yang telah menjadi isu
internasional. Dari hasil penelitian di daerah operasional PT. Pelindo I sampai PT. Pelindo IV, dengan dasar
pada kunjungan kapal (domestik dan asing), ada potensi 439.514,79 ton atau 450.502,66 kL air balas kapal
pada perairan pelabuhan untuk 60% kapal yang melakukan proses deballasting (Gambar 1 dan 2). Kekawatiran
terbesar adalah adanya spesies ikutan yang bersifat invasive yang terikut pada air balas kapal yang dibuang
tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu.

90
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

500,000.00 Air Balas Yang Dibuang Kapal 2016 (Ton)


450,000.00
Jumlah Air Balas yang Dibuang (Ton)
400,000.00

350,000.00
10% Kapal Membuang Balas
300,000.00
20% Kapal Membuang Balas
250,000.00
30% Kapal Membuang Balas
200,000.00
40% Kapal Membuang Balas
150,000.00 50% Kapal Membuang Balas
100,000.00 60% Kapal Membuang Balas

50,000.00

-
5 7.5 10 12.5 15 17.5 20 22.5 25
Rambatan Air Balas Yang Dibuang (Ton)

Gambar 1. Air Balas Yang di Buang Kapal di Perairan Indonesia Tahun 2012-2016 (ton)
500,000.00 Air Balas yang Dibuang Kapal 2016 (kL)
450,000.00
Jumlah Air Balas Yang Dibuang (kL)

400,000.00

350,000.00
10% Kapal Membuang Balas
300,000.00
20% Kapal Membuang Balas
250,000.00
30% Kapal Membuang Balas
200,000.00
40% Kapal Membuang Balas
150,000.00 50% Kapal Membuang Balas
100,000.00 60% Kapal Membuang Balas
50,000.00

-
5 7.5 10 12.5 15 17.5 20 22.5 25
Rambatan Iar Balas Yang Dibuang (Ton)

Gambar 2. Air Balas Yang di Buang Kapal di Perairan Indonesia Tahun 2012-2016 (kL)
Penelitian Ballast Water Management pada operasional kapal berbasis Environmental Risk Assessment ini,
salah satunya akan menghasilkan model pengelolaan air balas yang dibuang kapal. Pengelolaan air balas
dibedakan menjadi dua model, yaitu model pengelolaan air balas di darat menggunakan tangki penampungan
dan model pengelolaan air balas menggunakan tampungan tongkang. Model pengelolaan air balas kapal
tersebut dilakukan dengan pertimbangan:
a. Untuk kapal-kapal yang sudah dibangun, hal ini akan merubah lay out kamar mesin kapal dengan
penambahan peralatan pengolah air balas. Kondisi tersebut peluangya sangat kecil sekali, karena pada saat
desain awal tidak memperhitungkan adanya peralatan pengolah air balas kapal. Kalaupun bisa dilakukan
akan memerlukan biaya yang besar, yaitu adanya perobakan lay out kamar mesin, biaya merubah
konstruksi, biaya docking kapal, biaya pemasangan alat serta biaya sertifikasi dari klas.
b. Harga peralatan pengolah air balas kapal relatif mahal, berdasarkan hasil kajian awal, harga 1 unit peralatan
sekitar $ 5 juta.
c. Biaya perawatan alat dan biaya penggantian filter peralatan pengolah air balas kapal, dimana filter secara
periodik harus diganti.
d. Biaya listrik untuk operasional peralatan dan biaya bahan bakar lain.

Kedua model pengolahan air balas kapal sebagai bagian dari penerapan aturan International Maritime
Organization (IMO) dan peraturan yang ada di Negara Republik Indonesia sebagai berikut:

1. Model Pengolahan Air Balas Kapal Menggunakan Tangki Penampungan di Darat.


Pengolahan air balas kapal menggunakan tangki penampungan di darat, dimodelkan sebagai seperti gambar
2. Menggunakan model ini, pengolahan air balas kapal dilakukan dengan urutan sebagai berikut:
a. Proses deballasting, adalah proses pengeluaran air balas kapal dari tangki balas yang ada dikapal. Proses
ini dilakukan untuk menjaga keseimbangan kapal dan sarat kapal serta menyesuaikan dengan persyaratan
lambung timbul. Proses deballasting juga akibat kapal sudah dimulai dengan pemuatan muatan kapal.
91
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

b. Sambung pipa outlet dengan pipa portable. Kegiatan ini dilakukan untuk mengalirkan air balas kapal yang
dibuang kedalam truk tanki atau penampungan pada tongkang.
c. Tampung air balas kapal yang dibuang kedalam truk tangki atau tongkang, melalui pipa outlet kapal yang
telah disambung dengan pipa portable.
d. Tampung air balas dari truk atau tongkang ke tangki penampungan di darat untuk dilakukan pengolahan
lebih lanjut sesuai dengan baku mutu dari International Maritime Organization (IMO).
e. Memenuhi baku mutu International Maritime Organization (IMO), buang air balas kapal. Bila air balas
kapal sudah memenuhi baku mutu yan dipersyaratkan oleh International Maritime Organization (IMO).
Standar baku mutu untuk air balas kapal yang ditemukan adanya kandungan lebih dari 10 mikroorganisme
per meter kubik yang berukuran lebih atau sama dengan 50 mikron.
f. Tidak memenuhi baku mutu seperti baku mutu yang dipersyaratkan oleh International Maritime
Organization (IMO), maka air balas kapal harus olah sesuai aturan, sehingga memenuhi persyaratan baku
mutu International Maritime Organization (IMO). Model peralatan seperti contoh gambar 3 berikut:

Gambar 3. Contoh Model Alat Pengolah Air Balas Kapal

g. Memenuhi persyaratan baku mutu International Maritime Organization (IMO), air balas kapal baru boleh
dibuang dalam perairan pantai atau perairan pelabuhan.
h. Tidak memenuhi baku mutu International Maritime Organization (IMO), olah sesuai aturan, kembali
seperti loop.

92
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Kapal melakukan Sambung pipa buangan di Alirkan air balas kapal ke dalam
proses deballasting kapal dengan pipa portabel truk tangki atau tongkang
di pelabuhan tujuan

Buang air balas ke dalam


tangki penampungan di darat

Ya
Memenuhi baku
Buang ke laut
mutu IMO

Tidak

Olah sesuai aturan

Memenuhi baku Ya
Buang ke laut
mutu IMO

Tidak

Gambar 4. Model Pengolahan Air Balas di Darat

2. Model Pengolahan Air Balas Kapal Menggunakan Tongkang.


Pengolahan air balas kapal menggunakan tangki penampungan pada tongkang, dimodelkan sebagai seperti
gambar 3. Menggunakan model ini, pengolahan air balas kapal dilakukan dengan urutan sebagai berikut:
a. Proses deballasting, adalah proses pengeluaran air balas kapal dari tangki balas yang ada di kapal. Proses
ini dilakukan untuk menjaga keseimbangan kapal dan sarat kapal serta menyesuaikan dengan persyaratan
lambung timbul. Proses deballasting juga akibat kapal sudah dimulai dengan pemuatan muatan kapal.
b. Sambung pipa outlet dengan pipa portable. Kegiatan ini dilakukan untuk mengalirkan air balas kapal yang
dibuang kedalam truk tanki atau penampungan pada tongkang.
c. Tampung air balas kapal dalam tongkang, air balas yang dibuang melalui pipa outlet di kapal, dialirkan ke
dalam tangki penampungan yang ada ditongkang.
d. Memenuhi baku mutu International Maritime Organization (IMO), buang air balas kapal. Bila air balas
kapal sudah memenuhi baku mutu yan dipersyaratkan oleh International Maritime Organization (IMO).
Standar baku mutu untuk air balas kapal yang ditemukan adanya kandungan lebih dari 10 mikroorganisme
per meter kubik yang berukuran lebih atau sama dengan 50 mikron.
e. Tidak memenuhi baku mutu, olah air balas kapal di tongkang sesuai aturan. Tidak memenuhi baku mutu
seperti baku mutu yang dipersyaratkan oleh International Maritime Organization (IMO), maka air balas
kapal harus olah sesuai aturan, sehingga memenuhi persyaratan baku mutu International Maritime
Organization (IMO), seperti pada gambar 5.
f. Memenuhi baku mutu International Maritime Organization (IMO), air balas kapal baru boleh dibuang
dalam perairan pantai atau perairan pelabuhan.
g. Tidak memenuhi baku mutu International Maritime Organization (IMO), olah sesuai aturan, kembali
seperti loop.

93
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Kapal melakukan Sambung pipa buangan di Alirkan air balas kapal ke dalam
proses deballasting kapal dengan pipa portabel tongkang
di pelabuhan tujuan

Buang air balas dalam tangki


penampungan di tongkang

Ya
Memenuhi baku
Buang ke laut
mutu IMO

Tidak

Olah sesuai aturan pada Tongkang

Memenuhi baku Ya
Buang ke laut
mutu IMO

Tidak

Gambar 5. Model Pengolahan Air Balas di Tongkang

4. KESIMPULAN
Indonesia sudah meratifikasi aturan International Maritime Organization (IMO) pada sekitar Oktober 2015
berkaitan dengan Ballast Water Management System. Aturan nasional berkaitan Ballast Water Management
System masih belum diterbitkan oleh pihak berwenang. Ada potensi polutan terhadap perairan di teritorial
Indonesia akibat air balas kapal pada tahun 2016 sebanyak 439.514,79 ton atau 450.502,66 kL untuk 60% kapal
yang melakukan proses deballasting. Potensi polutan tersebut diatas harus diolah, sebelum dibuang lagi ke
perairan, sehingga akan minimalisir spesies ikutan yang bersifat invasive. Untuk kapal-kapal lama, yang
dibangun sebelum aturan ini diterapkan, maka sistim pengolahan air balas bisa dilakukan secara eksternal.

5. UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih peneliti sampaikan kepada DRPM DIKTI yang telah membiayai penelitian ini untuk
tahun anggaran 2019, dengan nomor kontrak 7/E/KPT/2019 antara DRPM dengan LL7 Dikti, serta nomor
kontrak 046/SP2H/LT/MULTI/L7/2019 antara LL7 Dikti dengan ITATS.

6. DAFTAR PUSTAKA
Basuki, M, Lukmandono, dan Margareta, M.Z.B, 2018a, Ballast Water Management Berbasis Environmental
Risk Assessment di Perairan Indonesia, Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan V UNHAS, Makasar.

Basuki, M, Lukmandono, dan Margareta, M.Z.B, 2018b, Pengelolaan Air Balas Kapal Berbasis
Environmental Risk Assessment Di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya Sebagai Upaya Pencegahan
Marine Pollution, Seminar Nasional Sekolah Pasca Sarjana USU, Medan.

Basuki, M, Lukmandono, dan Margareta, M.Z.B, 2018c, Implementation IMO Regulation of Ballast Water
Management at Inaport 2nd Jakarta Based Environmental Risk Assessment, 1st International Conference
ICATECH, ITATS, Surabaya.

94
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Bradie, J., Gianoli, C., He, J., Curto, A.L., Peter Stehouwer, P., Veldhuisf, M., Welschmeyer, N., Younan, L.,
Zaake, A., Sarah Bailey, S., 2017, Detection Of UV-Treatment Effects On Plankton By Rapid Analytic
Tools For Ballast Water Compliance Monitoring Immediately Following Treatment, Journal of Sea
Research, 09 (02).

Briski, E., Linley, R.D., Adams, J.K. and Bailey, S.A., 2014, Evaluating Efficacy Of A Ballast Water Filtration
System for Reducing Spread of Aquatic Species In Freshwater Ecosystems, Management of Biological
Invasions, 5 (3), pp 245–253.

First, M.R., and Drake, L.A., 2014, Life After Treatment: Detecting Living Microorganisms Following
Exposure To UV Light And Chlorine Dioxide, Journal Applied Phycology, 26, pp. 227–235.

95
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Halaman ini sengaja dikosongkan

96
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Spatial Approach Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah

I Made Wahyu Wijaya1*, Mirna Apriani2 , Masrullita3


1
Departemen Teknik Lingkungan, FTSLK, ITS, Kampus ITS-Sukolilo, Surabaya 60111
2
Teknik Pengolahan Limbah, Jurusan Teknik Permesinan Kapal, Politeknik Perkapalan Negeri
Surabaya, Surabaya 60111
3
Teknik Kimia , Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh, Cot Teungku Nie-Reuleut
Kecamatan Muara Batu Aceh Utara

*
E-mail: madewahyu9108@gmail.com

Abstrak

Studi ini bertujuan untuk mengkaji Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di Kota Denpasar
menggunakan metode pendekatan keruangan. Analisis menggunakan data Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) sebagai acuan perencanaan pengembangan wilayah dan data existing penggunaan lahan. Kota
Denpasar memiliki kearifan lokal yang tercantum dalam perda pembangunan kota mempertimbangkan
kawawan suci/ pura. Hasil kajian menunjukkan IPAL telah sesuai dengan RTRW dan baku mutu air limbah
untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. IPAL dapat mendukung upaya pembangunan berkelanjutan di
Kota Denpasar.
Keywords: IPAL, kawasan suci, keruangan, RTRW

1. PENDAHULUAN
Pendekatan keruangan (spatial approach) merupakan salah satu pendekatan utama geografi melalui
analisis yang menitikberakan pada keberadaan ruang yang berfungsi mengakomodasi aktivitas manusia
(Wesnawa, 2010). Perkembangan wilayah kota yang bersifat dinamis memberikan dampak terhadap pola
kehidupan masyarakat kota (Muta’ali, 2002). Pendekatan keruangan mempelajari perbedaan lokasi
menyangkut sifat-sifat penting atau seri sifat-sifat penting. Analisis ini memperhatikan penyebaran
penggunaan ruang yang telah ada dan penyediaan ruang yang akan digunakan (Bintarto dan Surastopo,
1979). Menurut Anurogo dkk., (2017) waste management system merupakan salah satu indikator yang
mempengaruhi apakah wilayah tersebut merupakan slum area atau bukan.
Kota Denpasar menjadi salah satu destinasi wisatawan domestik dan mancanegara yang berkunjung ke
Pulau Bali. Obyek wisata berupa pasar seni tradisional, taman, pantai dan lokasi peningggalan sejarah.
Peningkatan wisatawan perlu diimbangi dengan pemeliharaan fasilitas untuk menjaga kenyawaman dan
kelestarian lingkungan. Hasil analisis Pokja Sanitasi Kota Denpasar tahun 2013 menunjukkan 12 % air
limbah dibuang ke halaman, 26% dimasukkan ke septic tank, 62% dibuang ke saluran drainase. Penanganan
air limbah dari bidang pariwisata melalui sewerage treatment plant (STP) melayani 10% hotel melati dan
35% hotel bintang. Denpasar sewerage development project (DSDP) merupakan upaya kerjasama
pemerintah pusat, Propinsi Bali, Kota Denpasar dan Kabupaten Badung dalam mengelola air limbah. Sistem
pengolahan air limbah kota menggunakan system terpusat (off site) dan komunal (on site) melalui sanitasi
masyarakat (sanimas) yang diatur dalam Perda Kota Denpasar No. 27 tahun 2011 tentang Rencana Tata
Ruang Wiayah (RTRW) Kota Denpasar 2011-2031. Tujuan DSDP adalah menghubungkan rumah
penduduk dan fasilitas pariwisata melalui jaringan pipa penyalur air limbah menuju instalasi pengolahan air
limbah (IPAL). Peraturan zonazi sistem pengelolaan air limbah harus memperhatikan kawasan tempat suci/
pura dan efluen tidak melebihi baku mutu.
Analisis menggunakan pendekatan keruangan bertujuan untuk menganalisis IPAL DSDP apakah telah
sesuai dengan kegunaan tata ruang Kota Denpasar. Analisis mempertimbangkan kegunaan lahan dan
kearifan lokal berupa adat istiadat budaya keagamaan dengan mempertimbangkan tempat suci/ pura.

2. METODE
Kajian ini dilakukan dengan batasan wilayah studi Kota Denpasar berada pada 08°35’31”-08⁰44’49”
97
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Lintang Selatan dan 115°10’23’’-115⁰16’27” Bujur TImur. Kota Denpasar dibatasi oleh:
- Kabupaten Badung: sebelah utara
- Kabupaten Gianyar: sebelah timur
- Kabupaten Badung: sebelah barat
- Samudera Hindia: sebelah selatan
Total luas wilayah administrasi Kota Denpasar adalah 12.778 hektar mewakili 2,18% dari luas wilayah
Provinsi Bali. Kota Denpasar terdiri dari 4 wilayah kecamatan, 16 kelurahan, dan 27 desa. Kecamatan
terbagi menjadi Denpasar Selatan, Denpasar Timur, Denpasar Selatan, dan Denpasar Barat. Untuk makalah
yang terkait dengan percobaan laboratorium, maka metodologi berisi bahan percobaan, alat percobaan yang
digunakan, dan prosedur percobaan.
Metode yang digunakan dalam studi adalah pendekatan keruangan (spatial approach), mempelajari
perbedaan lokasi mengenai sifat-sifat penting atau seri sifat-sifat penting. Pendekatan dilakukan melalui
analisis keruangan dengan mempertimbangkan penyebaran penggunaan ruang existing dan penyediaan
ruang yang direncanakan akan dimanfaatkan untuk keperluan sesuai dengan perencanaannya. Analisis
keruangan dimulai dari pengumpulan data lokasi berupa point data yaitu data bidang (areal data) yang
terdiri dari data luas daerah pertanian, luas padang alang-alang, luas hutan dan luas penggunaan lahan
lainnya (Bintarto dan Surastopo, 1979).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


DSDP melayani Kota Denpasar dan Kabupaten Badung melalui jaringan limbah cari domestik.
Pembangunan DSDP yang terdiri dari IPAL dan jaringan penyaluran air limbah selesai pada tahun 2008
selama 5 tahun. IPAL terletak di Suwung, Denpasar dengan kapasitan 51.000 m3/hari, terdidi dari kolam
aerasi dan sedimentasi. Kolam aerasi berfungsi untuk mengatasi bau dan mengurangi kebutuhan lahan.
Kolam aerasi relatif lebih sederhana dan tidak memerlukan keahlian khusus dalam mengoperasikan. Efluen
IPAL DSDP menghasilkan nilai parameter BOD sebesar 30 mg/liter. Air hasil olahan IPAL dapat digunakan
untuk menyiram taman kota dan dapat dialirkan ke badan air penerima. Pencegahan terhadap rembesan air
limbah ke tanah dilakukan melalui pemberian lapisan geomembran dan geotekstil.
Jaringan penyalur air limbah memiliki panjang total senilai 90.000 meter dengan diameter 200-1.200
mm. Pelayanan IPAL telah memasuki tahap kedua seperti disajikan pada Tabel 1. Penduduk terlayani pada
tahap II telah mencapai 90.000 jiwa. Skema pengolahan DSDP dapat dilihat pada Gambar 1 dan lay out
IPAL dapat dilihat pada Gambar 2.
Tabel 1. Cakupan pelayanan DSDP
Lokasi Area pelayanan (Ha) Penduduk terlayani (jiwa)
Tahap Tahap Tahap I Tahap
I II II
Denpasar 520 250 71.000 40.000
Sanur 330 115 31.000 17.500
Kawasan kuta 295 350 58.000 32.500
Total 1.145 715 160.000 90.000

98
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Gambar 1. Skematik IPAL DSDP

Gambar 2. Lay out IPAL DSDP

Rencana struktur tata ruang wilayah Kota Denpasar diarahkan untuk meningkatkan integrasi dan
keterkaitan Kota Denpasar dengan wilayah yang lebih luas, yakni wilayah nasional, wilayah provinsi dan
kawasan Metropolitan Sarbagita. Kota Denpasar sebagai Kota Inti dari Kawasan Metropolitan Sarbagita
(Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan) membutuhkan koordinasi dan integrasi pengembangan sistem
prasarana kota, khususnya dalam hal pembangunan sanitasi, yakni pengembangan sistem pengolahan air
limbah.
Perda nomor 7 tahun 2011 tentang RTRW Kota Denpasar memberikan batasan sistem pengelolaan air
limbah kota terdiri dari pembangunan unit pengolahan limbah berada di luar radius kawasan tempat suci;
pengembangan jaringan tidak melewati dan/atau memotong kawasan tempat suci/ pura; pembuangan efluen
air limbah ke media lingkungan hidup tidak melampaui baku mutu air limbah; penataan lokasi, aktivitas dan
teknik pengolahan pada IPAL. Faktor pertimbangan dalam menentukan lokasi IPAL salah satunya adalah
tata guna lahan yang dituangkan dalam RTRW daerah setempat (Samsuhadi, 2012).
Rencana pembangunan IPAL harus dikoordinasikan dengan pemerintah setempat agar sesuai dengan
perencanaan tata ruang kota. Pemilihan lokasi IPAL pada wilayah yang memiliki tata guna lahan sebagai
lahan pertanian merupakan lokasi yang paling ideal. Perencanaan pengembangan suatu kota cenderung
memiliki prosentase yang lebih besar dalam hal pengembangan permukiman daripada pengembangan pada
sektor lain. Sehingga, untuk efisiensi luas wilayah yang digunakan, lokasi IPAL lebih baik di daerah
pengembanan wilayah yang mempunyai prosentase pengembangan kecil, misalnya daerah lahan pertanian.
RTRW Kota Denpasar dapat dilihat pada Gambar 3.

99
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Gambar 3. RTRW Kota Denpasar tahun 2010-2030

Lokasi IPAL DSDP terletak di BWK Selatan, Lingkungan Selatan III, yakni Kelurahan Pedungan. IPAL
tersebut melayani Kawasan Pusat Denpasar, sebagian Kawasan Denpasar Selatan, Kawasan Sanur, serta
sebagian Kawasan Kuta. Dilihat dari peta RTRW Kota Denpasar, lokasi IPAL DSDP terletak berbatasan
dengan kawasan perdagangan dan jasa serta kawasan lindung, yaitu hutan mangrove. Meski demikian,
efluen yang dihasilkan tidak akan mencemari badan air di kawasan hutan mangrove karena kualitas air
limbah telah memenuhi baku mutu yang berlaku. Lokasi tersebut sesuai dengan ketentuan dalam RTRW
Kota Denpasar, yakni berada di luar kawasan tempat suci. Lokasi IPAL DSDP yang dekat dengan kawasan
hutan mangrove menunjukan bahwa lokasi IPAl berada pada permukaan tanah yang rendah, sehingga
penyaluran air limbah domestik dari kawasan permukiman dan kawasan wisata dapat dilakukan secara
gravitasi. Hal tersebut juga dapat mencegah masuknya air limbah domestik yang tidak terolah ke badan air,
yaitu pantai secara langsung. Gambar 4 menunjukkan lokasi IPAL DSDP berada di luar kawasan suci jauh
dari permukinan dan pariwisata namun berdekatan dengan hutan mangrove.

Kawasan
Kawasan pariwisata
permukiman

Kawasan
hutan IPAL
mangrove DSDP
Kawasan
suci

Gambar 4. Lokasi IPAL DSDP Dilihat dari Citra Satelit (Google Earth)

100
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

4. KESIMPULAN
DSDP Propinsi Bali telah sesuai dengan kriteria lokasi IPAL berdasarkan pertimbangan aspek tata ruang
dan tata guna lahan yang berlsaku. IPAL tidak berada di kawasan suci/ pura namun berbatasan langsung
dengan hutan mangrove. DSDP dapat menunjang upaya pembangunan berkelanjutan di Propinsi Bali.
Perlu diperhatikan analisis pendekatan ekologis untuk menjaga kelestarian hutan mangrove di sekitar
IPAL.

5. DAFTAR PUSTAKA

Anurogo, W., Lubis, M Z., Pamungkas, D S., Hartono, Ibrahim, F M., (2017) A Spatial Approach to
Identify Slum Areas in East Wara Sub-Districts, South Sulawesi, IOP Conference Series: Earth and
Environmental Science, IOP Publishing Ltd.

Bintarto, Surastopo, H., (1979). Metode Analisa Geografi. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial.

Muta'ali, L., (2002). Pola Perkembangan Karakteristik Kekotaan Pada Desa-Desa Di Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Majalah Geografi Indonesia, 16(2002).

Pokja Sanitasi Kota Denpasar. Strategi Sanitasi Kota Denpasar 2013.

Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 27 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Denpasar Tahun 2011 – 2031

Samsuhadi., (2012). Tata Cara pemilihan Lokasi IPLT dan IPAl dengan Menggunakan Sistem Skor, Jurnal
teknik Lingkungan. ISSN 1441-318X, Edisi Khusus hari Lingkungan Hidup, Hal 157-168.

Wesnawa, I., (2010). Dinamika Pemanfaatan Ruang Berbasis Kearifan Lokal di Kabupaten Buleleng, Bali.

101
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Halaman ini sengaja dikosongkan

102
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Recovery Konsentrasi Ammonium dan Fosfat pada Lindi Artifisial


Menggunakan Presipitasi Struvite

Dian Qoriati1*, Adhi Setiawan1, Denny Dermawan1


1,1,1
Program Studi Teknik Pengolahan Limbah, Jurusan Teknik Permesinan Kapal, Politeknik Perkapalan
Negeri Surabaya, Surabaya 60111

*E-mail: dianqoriati@student.ppns.ac.id

Abstrak

Lindi yang dihasilkan oleh fasilitas penimbunan limbah B3 memiliki konsentrasi ammonium dan fosfat yang
tinggi dengan rasio BOD/COD rendah. Lindi dapat menimbulkan eutrofikasi perairan. Ammonium dan fosfat
dapat diolah dengan presipitasi struvite. Presipitasi struvite merupakan proses pengendapan yang mengandung
Mg2+ dan PO43- untuk menurunkan konsentrasi NH4+ sehingga terbentuk endapan berupa kristal struvite
(MgNH4PO4.6H2O) yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis kondisi
optimum dari rasio molar Mg2+: NH4+: PO43- dan pH terhadap penurunan konsentrasi ammonium dan fosfat.
Penelitian ini dilakukan dengan sistem batch dengan penambahan MgCl2.6H2O dan NaH2PO4.H2O sebagai
presipitan dan NaOH 10% sebagai pengatur pH. Rasio molar Mg2+: NH4+: PO43- yang digunakan yaitu adalah
1,0:1,0:1,0; 1,1:1,0:1,1; 1,2:1,0:1,2; 1,3:1,0:1,3 dan 1,4:1,0:1,4. Variasi pH yang digunakan yaitu 7, 8, 9, 10,
dan 11. Proses pengadukan menggunakan jartest dengan kecepatan pengadukan 150 rpm selama 30 menit dan
proses pengendapan selama 30 menit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pH optimum adalah 9 dan rasio
molar Mg2+:NH4+:PO43- optimum 1,3:1,0:1,3. Konsentrasi awal ammonium 1.560 mg/l dan residual
ammonium 139,10 mg/l. Konsentrasi awal fosfat 34,2 mg/l dan residual fosfat 10,18 mg/l.
Keyword: lindi, presipitasi, struvite, rasio molar, pH

1. PENDAHULUAN
Lindi dihasilkan dari infiltrasi air dan penguraian bahan organik pada landfill (Siciliano dkk., 2016) yang
memiliki potensi besar untuk merusak lingkungan. Cairan dalam landfill merupakan hasil dari dekomposisi
sampah dan cairan yang masuk ke tempat pembuangan seperti aliran atau drainase permukaan, air hujan dan
air tanah (Tchobanoglous dkk, 1993). Lindi ditandai oleh kandungan tinggi bahan organik (dinyatakan sebagai
COD, BOD5 dan TOC), konsentrasi nutrisi yang tinggi (N, P) dan mikroorganisme (Khai dkk, 2012).
Kandungan ammonium dalam air dapat menyebabkan toksisitas terhadap ikan, eutrofikasi dan penyakit seperti
hipertensi ethaemoglobinaemia dan kanker perut, serta lingkungan serius lainnya. Secara khusus, ammonium
telah diidentifikasi sebagai salah satu racun utama bagi mikroorganisme. Pembuangan lindi yang tidak
terkontrol dapat menghasilkan penurunan kualitas tanah dan air yang parah. Oleh sebab itu, pengolahan lindi
sangat diperlukan untuk menjaga kualitas tanah dan air.
Pengolahan lindi dengan Sequencing Batch Reactor memerlukan waktu aerasi yang lama, proses oksidasi
ammonium pada kondisi aerobik dan melibatkan reduksi nitrat ke gas nitrogen pada kondisi anoxic. Aerasi dan
penambahan sumber karbon dari luar dapat menyebabkan pengeluaran mengalami kenaikan (Kumar dkk,
2016). Ammonium pada lindi juga dapat diolah menggunakan ammonium stripping, akan tetapi membutuhkan
biaya pemeliharaan untuk pembangunan humongous towers, membutuhkan banyak udara untuk aerasi,
pengaturan pH sebelum dan sesudah proses, dan pengolahan ammonium dapat tercemar ammonium. Spray
towers tidak dapat bekerja pada kondisi dingin karena temperatur udara dingin dapat mengurangi efisiensi
secara drastis (Kumar dkk., 2016). Pengurangan ammonium sebagai chloramine menggunakan break point,
membutuhkan banyak liquid atau gas klorin. Gas klorin akan bereaksi dengan kandungan organik pada air
limbah dan membentuk Tri-Halo-Methane (THMs). Break point chlorination dapat digunakan, jika kandungan
ammonium sangat kecil (Kumar dkk., 2016).
Presipitasi struvite merupakan proses pengendapan melalui reaksi kimia dengan bantuan presipitan yang
mengandung Mg2+ dan PO43- untuk menurunkan konsentrasi ammonium dan fosfat sehingga terbentuk
endapan berupa kristal struvite (MgNH4PO46H2O) (Ratnasari, 2018). Presipitasi struvite merupakan alasan
dominan untuk menyisihkan konsentrasi ammonium, sedangkan konsentrasi fosfat dapat disisihkan dengan
surface adsorption, selain dari mekanisme presipitasi primer (Xu dkk., 2018). Proses ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya pH, komposisi kimia air limbah (derajat kejenuhan terhadap magnesium,
ammonium dan fosfat, kehadiran ion lainnya, kekuatan ion) dan suhu larutan (Khai dkk., 2012). Faktor yang

103
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

paling berpengaruh pada presipitasi struvite adalah rasio molar Mg2+: NH4+: PO43- dan pH (Kumar dkk., 2016).
Recovery fosfat lebih sensitif terhadap pH daripada konsentrasi ion magnesium, dengan tingkat penyisihan
yang menurun pada keduanya (Munir dkk, 2017). Recovery konsentrasi ammonium dan fosfat menggunakan
MgO-D terjadi pada pH 8 (Jing dkk., 2019), dengan rasio molar Mg 2+/PO43- yaitu 2:1 (Jia dkk., 2017).
Kelebihan metode ini dengan metode yang lain yaitu metode ini paling efektif untuk menyisihkan konsentrasi
ammonium yang tinggi dari lindi, karena tingkat reaksi dan efisiensi penyisihan yang tinggi (Kabdasli dkk.,
2000; Kim dkk., 2007), dan terbentuknya kembali senyawa PO43-, Mg2+, dan NH4+sebagai struvite yang dapat
dimanfaatkan sebagai pupuk yang bersifat slow release (Ratnasari, 2018). Struvite adalah mineral anorganik
dalam bentuk kristal putih, dengan formula kimia MgNH4PO4.6H2O. Struvite sangat larut dalam asam, dan
tidak larut dalam medium basa; pH kelarutan minimum adalah sekitar 9,0 (Munch dan Barr, 2001). Penelitian
ini bertujuan untuk menurunkan kandungan ammonium dan fosfat pada lindi artifisial. Penelitian ini
mengevaluasi efisiensi pengolahan optimum dengan mengetahui pH dan rasio molar Mg2+:NH4+:PO43-
optimum.

2. METODE
Alat dan Bahan: jartest, beaker glass 1000 mL, timbangan analitik, pH meter, cawan petri, spatula, pipet
volumetrik 5 mL, NaOH 10% untuk mengatur pH. Presipitan yang digunakan yaitu MgCl2.6H2O dan
NaH2PO4.H2O.
Preparasi Air Limbah: Sampel penelitian ini menggunakan lindi artifisial dengan menambahkan NH4Cl
sebagai sumber kandungan ammonium sebesar 1.560 mg/L dan NaH 2PO4.H2O sebagai sumber kandungan
fosfat sebesar 34,2 mg/L.
Pengujian: Sampel lindi sebanyak 500 mL dimasukkan kedalam beaker glass 1000 mL dan dilakukan
pengukuran pH awal. Lindi ditambahkan NaOH 10% untuk mengatur pH dengan kecepatan pengadukan 150
rpm dan dilakukan pengukuran pH akhir. Presipitan MgCl2.6H2O dan NaH2PO4.H2O ditambahkan kedalam
sampel dan diaduk selama 30 menit, kemudian diendapkan selama 30 menit untuk mengendapkan presipitat.
Supernatan dari proses presipitasi ini kemudian dianalisis parameter ammonium dan fosfat.
Analisis: Parameter ammonium dan fosfat dianalisis dengan metode spektrofotometri. Penentuan konsentrasi
ammonium dan fosfat menggunakan kurva standar. Perhitungan efisiensi penyisihan yaitu:
Konsentrasi awal - Konsentrasi akhir
Efisiensi penyisihan: ×100%
Konsentrasi awal

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengaruh Rasio Molar dan pH terhadap Kandungan Ammonium dan Fosfat
Presipitasi struvite dapat menurunkan kandungan ammonium dan fosfat. Metode ini dapat membentuk
kristal struvite. Reaksi pembentukan struvite dengan proses presipitasi pada penelitian ini diduga seperti reaksi
3.1.

MgCl2.6H2O + NH4Cl + NaH2PO4.H2O → MgNH4PO4.6H2O↓ + 2HCl + NaCl + H2O………..……...……(3.1)

Reaksi 3.1 menunjukkan reaksi pembentukan sludge struvite pada lindi artifisial yang memiliki kandungan
ammonium dan fosfat. Lindi artifisial memiliki konsentrasi NH4+ awal sebesar 1.560 mg/L. Lindi dilakukan
pengujian penyisihan ammonium dengan presipitasi struvite pada beberapa variasi rasio molar dan pH dapat
dilihat pada Gambar 1. Presipitasi struvite juga dapat menurunkan kandungan fosfat. Lindi artifisial memiliki
konsentrasi PO43- awal sebesar 34,2 mg/L. Lindi dilakukan pengujian penyisihan fosfat dengan presipitasi
struvite pada beberapa variasi rasio molar dan pH yang dapat dilihat pada Gambar 2.

104
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

95

90
Efisiensi Penyisihan Ammonium (%)

85 pH 9
80
pH 10
75 pH 8
70
pH 11
pH 7
65

60

55

50

45

40
1,0:1,0:1,0 1,1:1,0:1,1 1,2:1,0:1,2 1,3:1,0:1,3 1,4:1,0:1,4
2+ 4+ 3-
Rasio Molar Mg : NH : PO4

Gambar 1. Efisiensi Penyisihan Konsentrasi Ammonium

Gambar 1 menunjukkan bahwa konsentrasi residual ammonium mengalami penurunan, apabila


dibandingkan dengan konsentrasi awal pada berbagai variasi rasio molar dan pH. Pengaruh pH terhadap
efisiensi penyisihan konsentrasi ammonium menunjukkan bahwa semakin tinggi pH maka efisiensi penyisihan
ammonium akan semakin tinggi. Tingkat penurunan dan kenaikan pH mencerminkan kecepatan laju
pertumbuhan kristal dan juga mempengaruhi kualitas kristal yang diendapkan. pH dapat digunakan sebagai
indikator nukleasi struvite (Bouropoulos dan Koutsoukos, 2000; Kabdasli, dkk., 2004; Ronteltap, dkk., 2007).
Penyisihan ammonium tertinggi terjadi pada pH 9 dengan rasio molar 1,3:1,0:1,3 sebesar 91,08% dari
konsentrasi awal dengan konsentrasi residual ammonium sebesar 139,10 mg/l. Efisiensi penurunan konsentrasi
residual ammonium mengalami kenaikan pada pH 7, 8 dan 9. Hal tersebut terjadi karena semakin naik pH
maka kelarutan struvite akan semakin berkurang. pH kelarutan minimum struvite sekitar 9,0 (Munch dan Barr,
2001). Kelarutan minimum sekitar pH 9 lebih berpotensi menyebabkan pembentukan kristal struvite sehingga
penyisihan ammonium dapat meningkat (Fitriana dan Warmadewanthi, 2016). Efisiensi penurunan ammonium
semakin menurun pada pH 10 dan 11. Hal tersebut terjadi karena kenaikan pH larutan yang menunjukkan
kenaikan konsentrasi ion OH- dapat memberikan kondisi alkali untuk oksidasi ammonium. Konsentrasi
residual ammonium di dalam lindi akan mengalami penurunan jika pH semakin tinggi karena sebagian ion
ammonium mengalami volatilisasi. Semakin tinggi pH akan menggeser kesetimbangan ammonium menjadi
fase ammonia (NH3(aq)) yang bersifat volatil (Chimenos, dkk., 2006). Hasil penelitian ini sesuai dengan
pernyataan tersebut bahwa pada pH 10 dan 11 efisiensi penyisihan ammonium menurun daripada pH di bawah
kelarutan minimum (pH < 9). Tingkat pH yang lebih tinggi (>10,5) menyebabkan hilangnya struvite pada
endapan (Hao, dkk., 2008). Efisiensi penurunan konsentrasi residual ammonium mengalami kenaikan pada
rasio molar 1,0:1,0:1,0; 1,1:1,0:1,1; 1,2:1,0:1,2 dan 1,3:1,0:1,3. Hal tersebut terjadi karena kelebihan
ammonium akan menguntungkan dalam pembentukan struvite karena dapat dipastikan bahwa presipitat yang
akan terbentuk dalam reaksi adalah struvite, bukan co-presipitat pengotor lainnya (Warmadhewanti dan Liu,
2009). Efisiensi penurunan konsentrasi residual ammonium menurun pada rasio molar 1,4:1,0:1,4. Hal tersebut
terjadi karena penambahan magnesium yang berlebih akan menurunkan kemurnian struvite yang terbentuk,
sehingga konsentrasi ammonium semakin besar.

105
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

80

75
Efisiensi Penyisihan Fosfat (%)

pH 8
70
pH 10

65
pH 9
pH 11
60
pH 7

55

50
1.0:1.0:1.0 1.1:1.0:1.1 1.2:1.0:1.2 1.3:1.0:1.3 1.4:1.0:1.4
2+ 4+ 3-
Rasio Molar Mg : NH : PO4

Gambar 2. Efisiensi Penyisihan Konsentrasi Fosfat

106
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Konsentrasi residual fosfat mengalami penurunan dan kenaikan secara fluktuatif dari konsentrasi awal
pada berbagai perlakuan pH dan perbandingan molar Mg2+: NH4+:PO43- berdasarkan Gambar 2. Konsentrasi
awal yang digunakan adalah konsentrasi fosfat saat NaH2PO4.H2O ditambahkan ke dalam air limbah dan belum
dilakukan pengadukan. Hal ini dilakukan mengingat pada saat tersebut konsentrasi fosfat pada air limbah telah
berubah. Efisiensi penyisihan fosfat tertinggi yaitu pada rasio molar 1,3:1,0:1,3 dengan pH 9 sebesar 70,24%
dari konsentrasi awal dan konsentrasi residual fosfat menjadi 10,18 mg/l. pH 9 digunakan sebagai pH optimum
pada penurunan fosfat karena pada penurunan ammonium pada pH optimum pembentukan struvite. Efisiensi
penyisihan konsentrasi residual fosfat mengalami penurunan pada rasio molar 1,0:1,0:1,0; 1,1:1,0:1,1 dan
1,2:1,0:1,2. Efisiensi penyisihan konsentrasi residual fosfat mengalami kenaikan pada rasio molar 1,3:1,0:1,3
dan mengalami penurunan kembali pada rasio molar 1,4:1,0:1,4. Faktor rasio molar merupakan faktor yang
sangat berpengaruh terhadap kondisi supersaturasi didalam larutan. Kondisi supersaturasi sangat dipengaruhi
oleh konsentrasi masing-masing elemen pembentuk struvite. Penambahan magnesium yang berlebih dapat
meningkatkan efisiensi penyisihan pada proses ini, akan tetapi juga dapat menurunkan kemurnian struvite yang
terbentuk (Wang, dkk., 2006). Semakin besar rasio molar maka efisiensi penyisihan fosfat juga akan semakin
besar, akan tetapi kemurnian struvite yang terbentuk akan menurun (Warmadhewanti dan Liu, 2009).
Kelebihan ammonium akan menguntungkan dalam pembentukan struvite karena dapat dipastikan bahwa
presipitat yang akan terbentuk dalam reaksi adalah struvite, bukan co-presipitat pengotor lainnya
(Warmadhewanti dan Liu, 2009).

4. KESIMPULAN
Efisiensi penyisihan optimum terjadi pada rasio molar Mg 2+: NH4+: PO43- 1,3:1,0:1,3 dan pH 9. Efisiensi
penyisihan ammonium optimum sebesar 91,08% dengan konsentrasi residual ammonium sebesar 139,10 mg/l.
Efisiensi penyisihan fosfat optimum sebesar 70,24% dengan konsentrasi residual fosfat menjadi 10,18 mg/l.
5. DAFTAR PUSTAKA
Bouropoulos, N.C., Koutsoukos, P.G. (2000). ‘Spontaneous Precipitation of Struvite from Aqueous Solutions’.
Journal Cryst. Growth, Vol. 213, pp. 381–388.
Chimenos JM, Fernandez A I, Hernandez A, Haurie L, Espiell F., dan Ayora C. (2006). Optimization of
Phosphate Removal in Anodizing Aluminum Wastewater. Water Res. Vol. 401, pp. 137–143.
Fitriana, Rodlia dan Warmadewanthi, IDAA. 2016. Penurunan Kadar Ammonium dan Fosfat Pada Limbah
Cair Industri Pupuk. Jurnal Teknik ITS. Vol. 5. No. 2, pp. 2337-3539.
Hao, X.D., Wang, C.C., Lan, L., Von Loosdrecht, M.C.M. (2008). Struvite Formation, Analytical Methods and
Effects of pH and Ca2+. Water Science Technology. Vol. 58, pp. 1687–1692.
Iswarani, W. P. dan Warmadewanthi (2018). Recovery Fosfat dan Ammonium Menggunakan Teknik
Presipitasi Struvite. Jurnal Teknik ITS, Vol. 7, No. 1, pp. 2337-3520
Jia, G., Zhang, H., Krampe, J., Muster, T., Gao, B., Zhu, N., Jin, B. (2017). Applying a Chemical Equilibrium
Model for Optimizing Struvite Precipitation for Ammonium Recovery from Anaerobic Digester Effluent.
Journal of Cleaner Production
Kabdasli, I., Tunay, O., Ozturk, I., Yilmaz, S. dan Arikan, O. (2000). ‘Ammonia Removal from Young Landfill
Leachate by Magnesium Ammonium Phosphate Precipitation and Air Stripping’, Water Science and
Technology, Vol. 41, No. 1, pp. 237–240.
Khai, N. M., Thi, H. dan Trang, Q. (2012). ‘Chemical Precipitation of Ammonia and Phosphate from Nam Son
Landfill Leachate, Hanoi’, Iranica Journal of Energy and Environmental, Vol. 3, pp. 32–36. doi: 10.5829/
idosi. ijee.2012.03.05.06.
Kim, D., Ryu, H.D., Kim, M.S., Kim, J. dan Lee, S.I. (2007). ‘Enhancing Struvite Precipitation Potential for
Ammonia Nitrogen Removal in Municipal Landfill Leachate’, Journal of Hazardous Materials, Vol. 146,
No. 1–2, pp.81–85.
Kumar, G. S. dkk. (2016). ‘Removal of Ammonia Nitrogen (NH4-N) from Landfill Leachate by Chemical
Treatment’, Indian Journal of Science Technology, Vol. 9, No. 3, pp. 30. doi:
10.17485/ijst/2016/v9i30/99174.
Li, J., Wang, X., Wang, J., Li, Y., Xia, S., Zhao, J., (2019). ‘Simultaneous Recovery of Microalgae, Ammonium
and Phosphate from Simulated Wastewater by MgO Modified Diatomite’. Chemical Engineering Journal
Munch, E. dan Barr, K. (2001). ‘Controlled Struvite Crystallization for Removing Phosphorus from Anaerobic
Digester Sidestreams’, Water Res., Vol. 35, pp. 151–159.
Munir, M.T, Li Bing, Boiarkina, I., Baroutian, S., Yu, W., Young, B.R. (2017). ‘Phosphate Recovery from
Hydrothermally Treated Sewage Sludge Using Struvite Precipitation’, Bioresource Technology
Ratnasari, D. (2018). Penyisihan Ammonium dari Air Lindi dengan Metode Presipitasi: Pengaruh Dosis
Presipitan dan pH. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.

107
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Ronteltap M, Maurer M, dan Gujer W. (2007). Struvite Precipitation Thermodynamics in Source-Separated


Urine. Water Research. Vol. 5, pp. 977–984.
Siciliano, A. dkk. (2016). ‘Ammonium Removal from Landfill Leachate by Means of Multiple Recycling of
Struvite Residues Obtained through Acid Decomposition’, MDPI Applied Science Journal, Vol. 6, No.
375, pp. 1–17. doi: 10.3390/app6110375.
Siegrist, H. (1996). ‘Nitrogen Removal from Digester Supernatant Comparison of Chemical and Biological
Methods’, Water Science and Technology, Vol. 34, pp. 399–406.
Tchobanoglous, G., Theisen, H. and Vigil, S. (1993). ‘Integrated Solid Waste Management: Engineering
Principles and Management Issues’, New York: McGraw-Hill, Inc.
Walpole, R. E. dan Myers, R. H. (1990). ‘Probability and Statistics for Engineers and Scientist’. New York:
MacMillan Publishing Company.
Warmadhewanti, I. dan Liu, J. (2009). Recovery of Phosphate and Ammonium as Struvite from Semiconductor
Wastewater. Sep. Purify. Technology, Vol. 64, pp. 368-373
Xu, K., Lin, F., Dou, X., Zheng, M., Tan, Wei., Wang, C., (2018). ‘Recovery of Ammonium and Phosphate
from Urine as Value-Added Fertilizer Using Wood Waste Biochar Loaded with Magnesium Oxides’.
Journal of Cleaner Production

108
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Limbah Penghasil Energi Listrik Melalui Microbial Fuel Cell


(Alternatif : Limbah Domestik IPLT Keputih, Surabaya)

Suci Wulandari1*, Adhi Setiawan1, Tanti Utami Dewi1


1
Program Studi Teknik Pengolahan Limbah, Jurusan Teknik Permesinan Kapal, Politeknik Perkapalan
Negeri Surabaya, Surabaya 60111
*
E-mail: suciwulandari@student.ppns.ac.id

Abstrak

Sistem MFC merupakan sebuah alat yang dapat menghasilkan energi listrik dari energi kimia melalui reaksi
katalitik menggunakan mikroorganisme. MFC ini memanfaatkan metabolisme dari mikroorganisme untuk
menghasilkan arus listrik dari berbagai substrat organik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
pemilihan material logam aluminium, seng dan tembaga yang berbentuk pelat sebagai elektroda dengan luas
permukaan 132,68 cm2. Reaktor yang digunakan merupakan reaktor double-chamber, dengan tiap
kompartemen memiliki dimensi 11 cm x 15 cm x 15 cm. Kompartemen anoda diisi limbah tinja dari balancing
tank IPLT Keputih, Surabaya sedangkan kompartemen katoda diisi dengan akuades dengan suplai udara dan
membran Nafion 117 sebagai media transfer proton. Hasil penelitian menunjukkan kombinasi elektroda Zn/Cu
merupakan kombinasi elektroda yang menghasilkan produksi listrik paling besar. Hasil penelitian
menunjukkan pada hari pertama untuk kombinasi elektroda Zn/Cu menghasilkan tegangan maksimum sebesar
984,955 mV, kuat arus maksimum sebesar 9,845 mA, daya maksimum sebesar 9,697 mW serta kerapatan daya
maksimum sebesar 7,31 x 10-2 mW/cm2. Perolehan energi listrik yang dihasilkan oleh kedua kombinasi berbeda
secara signifikan, dan secara waktu kontak, semakin lama waktu kontak maka akan semakin kecil besaran
energi listrik yang dihasilkan. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa produksi energi listrik maksimum
dihasilkan dari kombinasi elektroda dengan material logam seng dan tembaga.
Keyword: Microbial Fuel Cell, elektroda, waktu kontak, limbah tinja.

1. PENDAHULUAN
Ketersediaan energi merupakan suatu kebutuhan yang esensial bagi kehidupan manusia. Penghasil
energi yang selama ini di dominasi menggunakan batubara, minyak bumi dan gas alam. Energi yang
dihasilkan dari batubara, minyak bumi dan gas alam menghasilkan emisi CO2 yang akan menimbulkan efek
rumah kaca. Sekarang ini sedang memfokuskan mencari sumber energi alternatif terbarukan dan ramah
lingkungan, hal ini bertujuan untuk mengurangi emisi CO2 yang dapat menimbulkan efek rumah kaca.
Salah satu teknologi terbarukan dan ramah lingkungan yang dapat diterapkan untuk masa depan adalah
Microbial Fuel Cell (MFC).
MFC ini merupakan sebuah alat yang dapat menghasilkan energi listrik dari energi kimia melalui
reaksi katalitik menggunakan mikroorganisme. MFC ini memanfaatkan metabolisme dari mikroorganisme
untuk menghasilkan arus listrik dari berbagai substrat organik. Salah satu limbah cair yang memiliki
kandungan organik terbanyak adalah limbah cair domestik (Metcalf dan Eddy, 2014). Salah satu tantangan
penting dalam pengembangan sistem MFC adalah memilih elektroda yang tepat untuk digunakan sebagai
anoda dan katoda yang akan mempengaruhi daya keluaran. Elektroda yang digunakan harus memiliki
konduktivitas yang baik, resistivitas yang rendah, non-korosif, stabil secara kimiawi dan mekanik serta
memiliki luas permukaan yang luas (Akbar dkk, 2017). Akbar dkk (2017) dalam penelitiannya, melakukan
berbagai kombinasi material anoda dan katoda dalam sistem MFC, logam yang digunakan yaitu aluminium,
tembaga dan seng dengan menggunakan lumpur sawah sebagai substrat dan jembatan garam dengan diisi
dengan sumbu kompor yang sudah di rendam dalam larutan NaCl 1 M. Kombinasi elektroda Cu/Zn
menghasilkan tegangan yang lebih tinggi dimana nilainya mencapai 0,5 Volt. Penelitian Bose et al (2018)
tentang penghasil listrik dan pengolahan limbah menggunakan substrat limbah tinja dengan menggunakan
double chamber MFC. Penelitian ini menghasilkan tegangan puncak sebesar 800 mV dan efisiensi removal
COD sekitar 78%.
Penelitian yang akan dilakukan ini merupakan penelitian eksperimental yang berkaitan dengan
pemilihan elektroda serta waktu kontak terhadap kinerja terbaik dari sistem MFC. Penilitian ini dilakukan
dengan menganalisis pengaruh penggunaan material elektroda serta waktu kontak pada reaktor double-

109
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

chamber MFC dengan menggunakan subtrat limbah domestik IPLT Keputih, Surabaya dan Nafion 117
sebagai media transfer kation terhadap produksi listrik yang dihasilkan.

2. METODE
c. Pembuatan Reaktor MFC
Pembuatan reaktor Microbial Fuel Cell untuk penelitian ini adalah reaktor Microbial Fuel cell
dengan tipe double chamber MFC. Reaktor ini terbuat dari bahan akrilik dengan ukuran 11 cm x 15 cm
x 15 cm. Luas membran Nafion 117 yang terkena kontak 9,62 cm2. Luas permukaan elektroda yang
tercelup adalah 13,268 m2. Setiap elektroda ini akan disambungkan dengan menggunakan kawat
tembaga oleh penjepit buaya kemudian penjepit buaya ini disambungkan dengan sistem pembacaan
arduino untuk menunjukkan tegangan dan kuat arus yang dihasilkan.

Gambar 1. Desain sistem MFC


Keterangan :
1. Sistem pembacaan arduino
2. Aerator
3. Kawat tembaga
4. Elektroda
5. Membran Nafion 117

b. Preparasi Membran
Membran ini pertama harus dididihkan dengan H2O2 3% selama 1 jam dengan suhu 80ᵒC lalu dibilas
dengan menggunakan akuades. Selanjutnya membran dididihkan kembali dengan menggunakan H2SO4
1 M selama 1,5 jam dengan suhu 80ᵒC kemudian dibilas dengan menggunakan akuades. Membran
kemudian disimpan dengan cara merendamnya dengan akuades sampai akan digunakan. Jika akan
digunakan dikeringkan dengan cara diangin-anginkan.

c. Preparasi Elektroda
Elektroda yang dipakai adalah aluminium (Al), seng (Zn) dan tembaga (Cu). Elektroda ini juga harus
dibersihkan dari kotoran maupun biofilm yang menempel pada elektroda. Cara membersihkan kotoran
serta biofilm ini dengan menggunakan amplas, jadi elektroda ini diamplas sampai bersih.

d. Pelaksanaan Eksperimen
Sistem MFC dengan menggunakan kombinasi seng, aluminium dan tembaga berbentuk pelat
sebagai elektroda anoda dan katoda. Eksperimen ini menggunakan variasi lama waktu kontak serta
kombinasi dari elektroda. Waktu kontak yang digunakan adalah 15 hari sedangkan untuk kombinasi
elektroda yang digunakan adalah aluminium dan seng digunakan sebagai anoda dan tembaga sebagai
katoda, berarti dapat dikatakan Zn/Cu dan Al/Cu.
Kompartemen anoda diisi dengan 2000 mL substrat limbah domestik IPLT Keputih yang
mengandung material organik dan mikroorganisme. Proses pengoksidasian material organik terjadi
pada kompartemen anoda oleh mikroorganisme yang menghasilkan elektron, proton serta CO 2. Proses
inilah yang dimanfaatkan sebagai penghasil listrik. Proton yang dihasilkan akan terdifusi menuju
kompartemen katoda melalui membran Nafion 117 sedangkan elektron mengalir melalui rangkaian
listrik menuju katoda. Secara umum reaksi yang terjadi pada kompartemen anoda adalah sebagai
berikut.
Molekul biodegradable + H2O + mikroorganisme CO2 + e- + H+ (1)

110
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Kompartemen katoda diisi dengan akuades 2000 mL dan diberikan suplai udara melalui aerator
dengan output 3 L/menit. Kompartemen katoda dan anoda dipisahkan oleh membran Nafion 117 yang
berfungsi sebagai mendifusikan proton dari anoda menuju ke katoda. Secara umum reaksi yang terjadi
pada kompartemen ini adalah sebagai berikut.
O2 + 4e- + 4H+ 2H2O (2)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


a. Tegangan dan Arus
Sistem MFC ini dioperasikan menggunakan mediator-less yaitu elektron yang dihasilkan dari hasil
degradasi senyawa organik langsung di transfer menuju elektroda tanpa bantuan zat kimia tambahan.
Tegangan dan kuat arus diukur menggunakan multimeter yang dihubungkan dengan kedua elektroda
pada sistme MFC, dimana kutub negatif dihubungkan dnegan anoda dan kutub positif dihubungkan
dengan katoda.

1000 10

900 9

800 Zn/Cu 8 Zn/Cu


Al/Cu Al/Cu
700 7

600 6
Tegangan

Kuat Arus
(mV)

(mA)
500 5

400 4

300 3

200 2

100 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Hari Ke- Hari Ke-

(a) (b)
Gambar 2. Grafik pengukuran (a) tegangan dan grafik pengukuran (b) kuat arus

Pengukuran tegangan pada sistem ini menggunakan hambatan bernilai 100 Ohm. Gambar 2(a)
menunjukkan hasil pengukuran tegangan untuk kedua kombinasi elektroda. Tegangan yang dihasilkan
dari kedua kombinasi ini menunjukkan perubahan yang signifikan dari untuk 15 hari, semakin lama
waktu kontak maka nilai tegangan yang dihasilkan juga akan semakin menurun, hal ini dikarenakan
kandungan senyawa organik berkurang akibat terdegradasi oleh mikroba. Menurut Logan (2008)
mengatakan bahwa produksi listrik akan mengalami penurunan apabila sudah tidak ada senyawa
organik yang tersisa untuk dioksidasi. Tegangan maksimum yang dapat dihasilkan oleh sistem MFC ini
sebesar 984,955 mV pada kombinasi elektroda Zn/Cu pada hari pertama.
Pengukuran kuat arus pada sistem ini menggunakan hambatan sebesar 100 Ohm. Sesuai dengan
kaidah hukum Ohm yang mana kuat arus didapatkan dengan membagi tegangan dengan hambatan. Kuat
arus maksimum yang dapat dihasilkan oleh sistem MFC ini sebesar 9,845 mA pada kombinasi elektroda
Zn/Cu pada hari pertama. Hambatan internal dapat mengalami kenaikan yang disebabkan oleh
terbentuknya lapisan sel bakteri (biofilm) pada permukaan anoda yang dapat menutupi luas permukaan
anoda aktif, sehingga akan menghambat proses transfer elektron (Permana dkk, 2013).

11 -2
8,0x10
10
-2
7,0x10
9
-2
8 6,0x10
Zn/Cu
Zn/Cu
7 Al/Cu
Al/Cu -2
5,0x10
Power Density

6
(mW/cm )

-2
2

4,0x10
(mW)
Daya

5
-2
4 3,0x10

3 -2
2,0x10
2
-2
1,0x10
1

0 0,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

Hari Ke- Hari Ke-

(a) (b)
Gambar 3. Grafik pengukuran (a) daya dan grafik pengukuran (b) kerapatan daya

111
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

b. Daya dan Kerapatan Daya


Nilai daya dan kerapatn gaya ditunjukkan oleh grafik 3 (a) dan 3 (b). Nilai daya didapatkan dari
besarnya tegangan dikalikan dengan besarnya kuat arus. Daya maksimum yang dihasilkan oleh sistem MFC
sebesar 9,697 mW pada kombinasi elektroda Zn/Cu pada pengukuran hari pertama. Nilai kerapatan daya
berbanding lurus dengan besarnya nilai tegangan dan kuat arus per luas permukaan elektroda. Luas
permukaan elektroda yang dipakai dalam penelitian ini 132,68 cm2. Kerapatan daya menunjukkan kinerja
anoda dalam mnegalirkan elektron menuju katoda (Akbar dkk, 2017). Kerapatan daya maksimum yang
dihasilkan dari sistem MFC ini sebesar 7,31 x 10-2 mW/cm2 pada kombinasi elektroda Zn/Cu pada
pengukuran hari pertama.Daya dan kerapatan daya ini sama-sama dipengaruhi oleh besarnya tegangan dan
kuat arus, jadi semakin kecil nilai tegangan dan kuat arus makan daya dan kerapatan daya yang dihasilkan
juga akan semakin kecil.

4. KESIMPULAN
1. Sistem MFC dengan menggunakan kombinasi elektroda Zn/Cu menghasilkan produksi listrik yang
lebih besar dibandingkan dengan kombinasi elektroda Al/Cu.
2. Semakin lama waktu kontak dalam eksperimen sistem MFC menghasilkan produksi listrik yang
semakin menurun.

5. DAFTAR PUSTAKA
Akbar, T. N., Kirom, M. R. and Iskandar, R. F. (2017) ‘Analisis Pengaruh Material Logam Sebagai
Elektroda Microbial Fuel Cell Terhadap Produksi Energi Listrik Analysis of the Effect of Metals As
an Electrode in Microbial Fuel Cell To the Electrical Energy Production’, e-Proceeding of
Engineering, 4(2), pp. 2123–2138.
Bose, D., Dhawan, H., Kandpal, V., Vijay, P., & Gopinath, M. (2018a). Bioelectricity generation from
sewage and wastewater treatment using two-chambered microbial fuel cell. International Journal of
Energy Research, 42(14), 4335–4344.
Logan, B. E. (2008). Microbial Fuel Cells. New Jersey: John & Wiley Inc.
Metcalf and Eddy. (2014). Waste WaterEngineering Treatmnet and Resource Recovery 5th. Newyork:
McGraw-Hill, Inc.
Permana, D., Haryadi, H. R., Putra, H. E., Juniaty, W., Rachman, S. D., & Ishmayana, S. (2013). Evaluasi
Penggunaan Metilen Blue Sebagai Mediator Elektron pada Microbial Fuel Cell dengan Biokatalis
Acetobacter Aceti. 8, 78-88.

112
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Sintesis dan Karakterisasi TiO2-Karbon Aktif Tempurung Kelapa


sebagai Photocatalyst Agent dalam Pengolahan Limbah Cair Batik

Putri Dwi Anggraini1* , Adhi Setiawan1 , Novi Eka Mayangsari1


1
Program Studi Teknik Pengolahan Limbah, Jurusan Teknik Permesinan Kapal, Politeknik Perkapalan
Negeri Surabaya, Surabaya 60111

*E-mail : putrianggraini@student.ppns.ac.id

Abstrak
Produksi industri batik banyak menggunakan bahan kimia dan pewarna sintetis dalam proses produksinya.
Limbah cair yang dihasilkan, apabila tidak diolah akan menyebabkan pencemaran lingkungan. Salah satu
metode alternatif dalam pengolahan limbah cair batik yaitu metode fotokatalis. Kelebihan metode fotokatalis
yaitu dapat mendegradasi bahan anorganik dan bahan organik, biaya operasi yang rendah dan ramah
lingkungan. Penelitihan ini bertujuan sintesis dan karakterisasi TiO2/C sebagai photocatalyst agent dalam
pengolahan limbah cair batik. Karakterisasi yang digunakan meliputi pengujian kualitas arang aktif teknis,
FTIR, dan XRD. Kualitas karbon aktif telah memenuhi (SNI) 06-3730-1995 tentang syarat mutu karbon aktif
teknis powder. Pengujian XRD dari hasil sintesis didapatkan TiO2 tipe anatase. Hasil pengujian FTIR karbon
aktif terbaca gugus fungsi O-H, C=C, C-O dan gugus C-C. FTIR TiO2 dan sintesis TiO2/C terbaca gugus Ti-
O-C dan Ti-O-Ti.
Kata Kunci : Fotokatalis, karakterisasi, TiO2, karbon aktif tempurung kelapa

1. PENDAHULUAN
Limbah yang dihasilkan dari industri tekstil semakin meningkat karena kebutuhan akan sandang sehingga
menyebabkan pencemaran bagi lingkungan. Industri tekstil seringkali menggunakan pewarna sintetis untuk
proses pewarnaannnya. Pewarna sistesis yang digunakan pada industri tekstil bersifat non biodegradable atau
sulit diurai oleh lingkungan. Selain itu aktivitas dari produksi industri tekstil diidentifikasi mengandung
substansi yang berpengaruh besar pada kadar BOD (Biological Oxygen Demand), COD (Chemical Oxygen
Demand), dan TSS (Total Suspended Solid). Apabila limbah dari industri tekstil langsung dibuang ke badan
air tanpa dilakukan pengolahan terlebih dahulu ini akan menjadi masalah serius yang berdampak ke
lingkungan.
Beberapa teknologi konvensional pengolahan limbah industri tekstil yang telah banyak dikembangkan para
peneliti antara lain klorinasi, ozonasi, dan biodegradasi (Naimah dkk., 2014). Akan tetapi teknologi tersebut
sulit diterapkan di Indonesia dan memiliki biaya operasi yang relatif tinggi. Metode fotokatalitis menjadi
metode alternatif yang digunakan dalam mendegradasi bahan anorganik maupun bahan organik dan memiliki
biaya operasi yang relatif rendah dan ramah lingkungan (Wang dkk., 2008).
Fotokatalis merupakan fotoreaksi yang menggunakan sinar UV dan katalis untuk mempercepat proses
reaksi. Titanium dioksida merupakan salah satu fotokatalis yang aktivitasnya cukup tinggi (Brown dkk., 1992).
TiO2 menjadi material fotokatalis yang paling diminati karena memiliki beberapa kelebihan tidak beracun,
aktifitas fotokataliknya tinggi, stabilitas yang tinggi, murah dan mudah didapatkan, memiliki kemampuan
oksidasi yang tinggi dalam degradasi senyawa organik, serta tidak menghasilkan produk samping (Isnaeni dkk.,
2010).
Penelitian tentang sintesis TiO2/C pernah dilakukan oleh Andayani dan Sumartono (2006), katalis TiO2/C
yang disintesa dengan proses sol-gel dan diimobilisasi pada pelat titanium, katalis TiO2/C dibuat dengan rasio
8/2 dan 5/5. Selain itu penambahan karbon aktif dapat meningkatkan aktivitas katalitik dari TiO2.
Penggunaan TiO2 apabila tidak di imbangi oleh kemampuan dalam mengadsorb senyawa target dapat
mengurangi kemampuan dari proses degradasi, sehingga proses degradasi tidak berjalan dengan baik atau
kurang maksimal (Aji dkk., 2016). Oleh karena itu perlu adanya material pendukung untuk memaksimalkan
kerja dari fotokatalitik dengan menggunakan material adsorbsi yang tinggi. Beberapa jenis material yang
memiliki daya adsorbsi tinggi yaitu karbon aktif, zeolit, dan silica gel. Adsorben yang akan digunakan dalam
penelitihan ini yaitu karbon aktif yang berasal dari tempurung kelapa. Tempurung kelapa sebagai karbon aktif
karena memiliki mikropori yang banyak, kadar abu yang rendah, kelarutan dalam air yang tinggi, memiliki

113
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

daya serap yang tinggi, tidak berbahaya bagi lingkungan, dan mempunyai reaktivitas yang tinggi (Dhidan,
2012).
Penelitihan ini bertujuan untuk mengetahui hasil sintesis dan karakterisasi TiO2/C dalam sebagai
photocatalyst agent dalam pengolahan limbah cair batik. Hasil karakterisasi TiO2/C dalam proses sintesis
menggunakan Fourier Transform Infra Red (FTIR) dan X-Ray Diffraction (XRD).

2. METODE
A. Pembuatan Karbon Aktif Tempurung Kelapa
Tempurung kelapa dibersihkan dan dioven pada suhu 105OC selama 1 jam. Tempurung kelapa di
karbonasi pada suhu 450OC selama 3 jam. Karbon ditumbuk dan disamakan ukurannya hingga menjadi
200 mesh. Karbon yang lolos ayakan diaktivasi dengan menggunakan ZnCl2 10% direndam selama 24
jam. Karbon aktif disaring, dan dioven dengan suhu 105OC selama 1 jam. Karbon setelah di oven, dicuci
dengan aquades sampai pH netral, disaring dan dioven pada suhu 100 OC selama 2 jam. Selanjutnya
dilakukan pengujian spesifik karbon aktif SNI 06-3730-1995, Fourier Transform Infra Red (FTIR) dan
X-Ray Diffraction (XRD).

B. Sintesis TiO2/C
TiO2 dan karbon aktif ditimbang dengan perbandingan massa (100:0; 60:40; 50:50; 40:60; dan
0:100) dengan massa total 15 gram. Massa yang telah ditimbang kemudian ditambahkan aquades dan
di aduk selama 5 jam, dan disonikasi selama 30 menit. Hasil sintesis TiO2/C di oven pada suhu 120OC
selama 5 jam dan difurnace dengan suhu 300OC selama 2 jam. Hasil dari proses sintesis TiO2/C
dilakukan pengujian Fourier Transform Infra Red (FTIR) dan X-Ray Diffraction (XRD).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Kualitas Karbon Aktif Tempurung Kelapa
Pengujian kualitas karbon aktif tempurung kelapa pada penelitian ini akan disamakan berdasarkan
Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-3730-1995 tentang syarat mutu karbon aktif teknis powder
meliputi nilai kadar air, kadar zat yang mudah menguap, kadar abu, karbon aktif murni, dan daya serap
iodin. Pengujain kualitas arang aktif digunakan sebagai indikator syarat mutu karbon aktif yang akan
digunakan sebagai bahan adsorben. Kualitas arang aktif teknis dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kualitas Karbon Aktif Tempurung Kelapa


Hasil
No. Pengujian Satuan Syaratan*
Analisis
1 Kadar Air % Maks. 15 5
2 O % Maks. 25 24,7
Bagian yang hilang pada pemanasan 950 C
3 Kadar Abu % Maks. 10 6,9
4 Karbon Aktif Murni % Min. 65 68,4
5 Daya Serap Iodin mg/g Min. 750 824,18
Sumber : * Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-3730-1995
Dari hasil pengujian kualitas arang aktif tempurung kelapa tersebut kemudian diverifikasi dengan
Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-3730-1995 tentang arang aktif teknis berbentuk powder. Hasil
karbon aktif tersebut digunakan sebagai proses sintesis TiO 2/C.
Kadar Air
Kadar air bertujuan untuk mengetahui sifat higroskopis dari karbon aktif. Menurut Esterina dan
Herlina (2015), kadar air karbon aktif yang rendah menunjukan keberhasilan aktivator kimia yaitu
ZnCl2 dalam mengikat molekul air yang terkandung dalam karbon aktif selama proses aktivasi. Kadar
air mempengaruhi luas permukaan karbon aktif, sehingga semakin tinggi kadar air dalam karbon aktif,
maka pori-pori dari karbon aktif tertutup oleh air. Hal ini akan berpengaruh terhadap luas permukaan
dari karbon aktif (Fauziah, 2009).
Kadar Zat Mudah Menguap
Kadar zat menguap pada karbon aktif merupakan banyaknya zat yang menguap pada suhu 950 OC.
Besarnya kadar zat mudah menguap mengarah kepada kemampuan daya serap dari arang aktif. Kadar
zat mudah menguap yang tinggi akan mengurangi daya serap arang aktif tersebut (Verlina, 2014).
114
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Kadar Abu
Kadar abu bertujuan untuk menentukan kandungan oksida logam yang masih terdapat dalam karbon
aktif tempurung kelapa. Besarnya nilai kadar abu dapat mempengaruhi daya serap arang aktif tersebut,
baik gas maupun larutan karena kandungan mineral yang terdapat dalam abu seperti kalsium, kalium,
magnesium, dan natrium akan menyebar dalam kisi-kisi. Kadar abu yang berlebihan dapat
menyebabkan terjadinya penyumbatan pori-pori karbon aktif sehingga luas permukaan karbon aktif
menjadi berkurang (Jamilatun dkk., 2015).
Karbon Aktif Murni
Kadar karbon murni bertujuan untuk mengetahui kandungan karbon yang terikat setelah proses
karbonasi dan aktivasi. Tingginya nilai karbon aktif murni di pengaruhi oleh kandungan seulosa dari
bahan baku tempurung kelapa. Menurut Pari (2004) tinggi rendahnya kadar karbon terikat yang
dihasilkan selain di pengaruhi oleh tinggi rendahnya kadar abu dan zat terbang juga dipengaruhi oleh
kandungan selulosa dan lignin yang dapat dikonversi menjadi atom karbon.
Daya Serap Iodin
Karbon aktif yang memiliki kemampuan menyerap iodin yang lebih tinggi berarti memiliki luas
permukaan yang lebih besar dan juga memiliki struktur mikropori dan mesopori yang lebih besar
(Suzuki dkk., 2007). Semakin besar angka iodin maka semakin besar pula kemampuan karbon aktif
dalam mengadsorpsi adsorbat. Jadi semakin tinggi daya serap iodin karbon aktif maka semakin baik
kualitas karbon aktif.

B. Hasil FTIR Karbon Aktif, TiO2 dan Sintesis TiO2/C


Karakterisasi menggunakan FTIR digunakan untuk mengetahui gugus fungsi dari karbon aktif
tempurung kelapa, TiO2, dan sintesis TiO2/C. Hasil FTIR dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3.

Gambar 2. Analisa Gugus Fungsi FTIR Karbon Aktif Gambar 3. Analisa Gugus Fungsi FTIR TiO2,
Tempurung Kelapa dan Sintesis TiO2-Karbon Aktif Tempurung
KelapaSpektrum ini
Gambar 2 merupakan hasil spektrum FTIR dari karbon aktf tempurung kelapa.
menunjukan adanya serapan pada panjang gelombang 3323,90 cm-1 menandakan adanya gugus
hidroksil O-H atau air yang teradorpsi pada karbon aktif. Bilangan gelombang 1574,96 cm-1
menandakan adannya vibrasi C=C streaching band karbon aktif tempurung kelapa. Pada serapan pita
1150,21 cm-1 menadakan adanya gugus C-O. Serapan pada panjang gelombang 464,18 cm-1
menandakan danya vibrasi C-C Sreatching.
Gambar 3.a memperlihatkan spektrum FTIR dari Titanium Dioksida (TiO 2). Pada spektrum tidak
terbaca angka pada bilangan gelombang, akan tetapi dapat dilihat adanya serapan kuat yang berada
dibilangan gelombang antara range 400-800 cm-1 yang menandakan gugus Ti-O-Ti. Serapan kuat pada
range tersebut menandakan adanya Titanium Diokida.
Gambar 3 pada poin b dan c memperlihatkan spektum FTIR hasil sintesis TiO2/C. Hasil sintesis
TiO2/C terbaca pita serapaan pada bilangan gelombang 1574,39 cm-1 dan 1577,54 cm-1 yang
menunjukan adanya ikatan Ti-O-C yang adanya interaksi antara karbon dan TiO2 yang merupakan
interaksi fisika. Interaksi fisika dapat terjadi melalui gaya Van der Walls, dipol-pol dan atau ikatan
hidrogen ketika TiO2 terdispersi ke permukaan karbon aktif. Terdapat pula serapan pada bilangan
115
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

gelombang 437,39 cm-1 dan 446,86 cm-1 menandakan adanya ikatan Ti-O-Ti yang menunjukan adanya
titanium dioksida. Gambar 3.d memperlihatkan spektrum FTIR sintesis TiO2/C. Terlihat adanya serapan
pada bilangan gelombang 429,66 cm-1 yang menandakan adanya ikatan Ti-O-Ti dari titanium dioksida.

C. Analisis XRD Karbon Aktif, TiO2, dan Sintesis TiO2- C


Karakterisasi menggunakan XRD (X-Ray Diffraction) digunakan untuk mengidentifikasi puncak
dan tipe kristal sampel. Hasil XRD dapat dilihat pada gambar 2 dan gambar 3.

Anatase

Gambar 2. Analisa Gugus Fungsi XRD Gambar 3. Analisa Gugus Fungsi XRD
Karbon Aktif Tempurung Kelapa Karbon Aktif Tempurung Kelapa

Pada Gambar 2 hasil difragtogram karbon aktif diketahui bahwa karbon aktif mempunyai bentuk
amorf. Hal ini ditunjukan pada pola XRD karbon aktif tempurung kelapa memperlihatkan hasil bentuk
puncak tidak tajam dan jangkauan sudut yang lebar, hal ini menandakan bahwa sampel karbon aktif
berbentuk amorf dan hasil telah diverifikasi dengan data JCPDS No. 00-023-0064. Dapat dilihat pula
puncak yang terbentuk strukturnya bukan berbentuk kristal tetapi berbentuk amorf, karena struktur
kristal biasanya memiliki banyak puncak yang periodik sedangkan dari hasil XRD terlihat satu puncak.
Diketahui pula bahwa struktur kristal memiliki puncak-puncak energi yang tajam dan sempit bahkan
satu buah garis lurus tetapi pada grafik tidak menunjukan ciri-ciri struktur kristal. Sehingga dapat
dikatakan bahwa struktur dari karbon aktif adalah amorf (Malik, 2013). Pada hasil XRD karbon aktif
tempurung kelapa menghasilkan sudut puncak 2𝜃 yang terbaca yaitu 11,06O.
Gambar 3.a.b.c.d hasil analisa XRD TiO2 dan sintesis TiO2/C yang telah diverifikasi berdasarkan
data JCPDS no.21-1272 pada posisi dan letak 2𝜃 = 25,40, 38,1ᴼ, 48,2ᴼ, 53,9ᴼ dan 55,1ᴼ memiliki
intensitas puncak yang merupakan ciri khas pola difraksi TiO 2 anatase. Berdasarkan hasil analisis dari
sintesis TiO2/C tersebut, dengan adanya penambahan karbon pada TiO2 tidak berpengaruh terhadap
perubahan pola difraksi sinar X dari TiO2 karena karbon aktif terlihat pada sudut 11,06ᴼ, akan tetapi
terjadi perubahan intensitas dari TiO2. Material hasil sintesis TiO2/C menujukan bahwa material hasil
sintesis masih ke dalam fasa TiO2 anatase. Dimana fasa anatase memiliki aktivitas yang lebih tinggi,
memiliki luas permukaan lebih besar, dan ukuran partikel yang lebih kecil dari fasa yang lainnya
(Matthews, 1992). Fasa anatase sangat cocok dan baik digunakan untuk aplikasi fotokatalis dalam
limbah cair. Fase anatase digunakan dalam proses fotokatalis kanrena memiliki aktivitas fotokatalis
yang tinggi dibandigkan dengan lainnya dan memiliki mobilitas elektron yang tinggi.

4. KESIMPULAN
Hasil karakterisasi kualitas karbon aktif tempurung kelapa telah memenuhi Standar Nasional Indonesia
(SNI) 06-3730-1995 tentang syarat mutu karbon aktif teknis powder. Sintesis TiO2/C telah berhasil dibuktikan
dengan adanya data karakterisasi menggunakan FTIR dan XRD. Hasil FTIR menunjukan adanya gugus fungsi
ikatan Ti-O-C yang berasal dari penambahan karbon aktif tempurung kelapa pada hasil sintesis. Hasil XRD
setelah dilakukan sintesis dengan karbon aktif memiliki fase anatase.

116
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

5. DAFTAR PUSTAKA
1. Aji NR, Wibowo EAP, Ujiningtyas R, Mardiansyah EA, Sari TM, Rahmawati. 2016. Sintesis dan
karakterisasi fotokatalis TiO2-Bentotit dan aplikasinya untuk penurunan BOD dan COD air embung
Unnes. Jurnal Kimia VALENSI: Jurnal Penelitian dan Pengembangan Ilmu Kmia, 2(2): 114-119.
2. Brown GN, Birks JW, Koval. 1992. Development and characterization of atitanium-dioxid based
semiconductors photoelectrochemical detector. Analysis Chemistry. 64(4): 427-434.
3. Isnaini, V.A., Arutati, O., Sustini, E., Aliah, H., Khairurijal dan abdullah, M. (2011): A Novel System
for Producing Photocatalytic Titanium Dioxide Coated Fibers for Decompising Organic Pollutants in
Water, Enfiron. Prog. Sustainable Energy
4. Jamilatun Siti, Martomo Setyawan, 2015. Pembuatan Arang Aktif dari Tempurung Kelapa dan
Aplikasinya untuk Penjernihan Asap Cair. Jurnal Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri
Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.
5. Naimah, S., dkk., 2014, Degradasi Zat Warna pada Limbah Cair Industri Tekstil dengan Metode
Fotokatalitik Menggunakan Nanokomposit TiO2- Zeolit, J. Kimia dan Kemaasan, 36(2): 215-224.
6. Malik, Usman. 2013. Efek Suhu Terhadap Pembentukan Besaran Butiran Arang Karbon Tempurung
Kelapa Sawit. Jurnal Ilmiah Edu Research. 2(1).
7. Matthews, S. G., 1992, Partial Metric Spaces, Research Report 212, BCTCS 8, Department of
Computer Science, University of Warwick, United Kingdom.
8. Pari, G. 2004. Kajian struktur arang aktif dari serbuk gergaji kayu sebagai adsorben emisi formaldehida
kayu lapis. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Insitut Pertanian Bogor. Bogor.
9. Verlina, W.O.V., A.W. Wahab, dan Maming. 2014. Potensi Arang Akif Tempurung Kelapa sebagai
Adsorben Emisi Gas CO, NO, dan NO pada Kendaraan Bermotor. Jurusan Kimia FMIPA Unhas.
Makasar.
10. Wang, S., Terdkiatburana, T., Tad’, M.O., 2008, Single and co-adsorption of heavy metals and humic
acid on fly ash, Separation and Purification Technology, 58, 353-358.

117
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Halaman ini sengaja dikosongkan

118
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Penurunan Kadar Minyak dan Lemak Industri Bir dan Minuman


Ringan dengan Dissolved Air Flotation

Ahmad Randi Taufiqussyakir1*, Ahmad Erlan Afiuddin1, Ulvi Pri Astuti1


1
Program Studi Teknik Pengolahan Limbah, Jurusan Teknik Permesinan Kapal,
Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya, Surabaya 60111
*
E-mail : ahmadrandi72@gmail.com

Abstrak

Setiap industri yang menghasilkan limbah cair diwajibkan memiliki IPAL dan IPLC (Izin Pembuangan Limbah
Cair) yang berdasarkan pada PP no. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kuantitas air dan pengendalian
pencemaran, KepMen LH No.111 Tahun 2003 tentang pedoman mengenai syarat tata cara perizinan serta
pedoman kajian pembuangan buih air limbah ke air atau sumber air. Salah satu parameter yang terdapat pada
IPLC adalah minyak dan lemak. Hasil pengamatan fisik di lapangan dan pada unit fish pond didapatkan hasil
kadar minyak dan lemak sebesar 20 mg/L. Penelitian ini menerapkan teknologi DAF (Dissolved Air Flotation)
sebagai pre - treatment dengan cara sistem flotasi udara sebagai solusi terhadap permasalahan tersebut. Hasil
perhitungan diperoleh dimensi untuk tangki saturasi (L= 222 mm x D = 148,3 mm), zona kontak (100 mm x
400 mm x 500 mm), zona separasi (700 mm x 400 mm x 700 mm) dan zona sedimentasi (A1= 400 mm x 600
mm , A2= 200 mm x 100 mm, H= 300 mm). Hasil pengujian prototype DAF pada tekanan 4 bar mampu
menurunkan konsentrasi beban pencemar minyak dan lemak dari 254,7 mg/L menjadi 1,6 mg/L dengan
efisiensi 99,4% dan telah memenuhi baku mutu IPLC industri bir dan minuman ringan yaitu 1,79 mg/L.
Keywords : Dissolved Air Flotation, Minyak dan Lemak, Industri bir dan minuman ringan.

1. PENDAHULUAN
Industri bir dan minuman ringan Kabupaten Mojokerto menghasilkan limbah cair dalam proses
produksi. industri tersebut telah memiliki unit IPAL yang pada prosesnya terdapat pengolahan dengan
sistem anaerobik dan aerobik untuk mengolah limbah cair dari aktivitas pabrik. Akan tetapi hasil effluent
IPAL masih melebihi baku mutu.
Kadar buangan limbah industri diatur pada IPLC (Izin Pembuangan Limbah Cair) yang juga mengacu
dalam pergub jatim no. 72 tahun 2013 tentang baku mutu air limbah bagi industri dan/atau kegiatan usaha
lainnya sehingga limbah cair harus diolah hingga memenuhi baku mutu yang telah ditetapkan pada IPLC.
Salah satu parameter yang terdapat pada IPLC adalah minyak dan lemak. Hasil analisa minyak dan
lemak pada unit fish pond didapatkan sebesar 20 mg/L. Data hasil pengujian limbah cair tersebut kandungan
minyak lemak yang masih terlarut dalam effluent masih tinggi, sehingga memerlukan solusi yang tepat agar
effluent dari IPAL dapat sesuai dan lebih baik dari kadar nilai minyak lemak yang tercantum dalam IPLC
yakni 1,79 mg/L.
Berdasarkan permasalahan dan hasil studi literatur, penelitian ini mencoba menerapkan sistem flotasi
udara terlarut DAF (Dissolved Air Flotation). Hasil penelitian terdahulu oleh (Rahayuningwulan, 2007)
menunjukkan bahwa DAF mampu menurunkan minyak dan lemak diatas 90% dengan skala variasi tekanan
2 hingga 4 bar pada air limbah minyak kelapa sawit. Penelitian ini akan mengaplikasikan unit DAF pada
skala laboratorium dengan memvariasikan tekanan saturasi sehingga mendapatkan hasil tertinggi hingga
mampu memenuhi baku mutu dalam menyisihkan kadar minyak dan lemak.

2. METODE

Metode penelitian dilakukan melalui 4 tahapan yang dijelaskan sebagai berikut :

A. Persiapan Prototipe dan Sampel Air Limbah


Persiapan prototipe sesuai hasil rancangan terdapat pada Gambar 1 Persiapan alat dan bahan yang
dibutuhkan terdapat pada data berikut :
119
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

1) Alat :
Alat pemotong, siku, meteran, pompa dengan kapasitas 2400 L/jam dan drum 150 L.

2) Bahan :
Bahan pada prototipe DAF menggunakan akrilik dengan tebal 1 cm karena
mempertimbangkan tekanan dan kapasitas volume pada prototipe. Terdapat pompa inlet
dan outlet dengan jenis pompa diafragma serta flowmeter yang dipasang setelah pompa
inlet dan outlet untuk mengatur debit yang dibutuhkan.pipa pvc, pipa besi, baut, mur,
skimer, rota meter, bar meter, besi potongan, nozzle.

Gambar 1. Rancangan DAF


B. Commisioning Test
Commissioning merupakan tahap uji coba alat DAF untuk memastikan tidak ada kebocoran
pada setiap unit dan sistem perpipaan sehingga siap digunakan. Selain itu juga dilakukan uji coba
terhadap komponen pendukung lainnya seperti pompa dan skimmer apakah sudah berfungsi atau
belum. Apabila masih belum sesuai dengan fungsinya maka akan dilakukan pembenahan.
C. Pengujian prototipe dengan variasi 2,3, 4 bar
Pengujian prototipe meliputi beberapa tahap dalam proses pengujian setiap variasinya
yang ditunjukkan pada tahap berikut ini :
1. Air limbah industri bir dan minuman ringan dipompa menuju inlet dan debit di stabilkan 4,3
L/menit pada flowmeter.
2. Mengisi unit DAF hingga air keluar pada outlet.
3. Mengatur ketinggian level air hingga menyentuh batas sekat miring menggunakan pipa
model leher angsa pada outlet DAF.
4. Memompa air recycle dan menstabilkan debit 1,3 L/menit pada flowmeter.
5. Membuka dan mengatur valve kompresor sampai tekanan sesuai kebutuhan.
6. Mengatur bukaan cek valve sebelum dan sesudah kompresor untuk mendapatkan tekanan
sesuai kebutuhan.
7. Hentikan alat setelah 23 menit..
D. Sampling dan Analisa
Pengambilan sampel dilakukan di awal pada inlet alat dan diakhir proses running pada
outlet alat. Analisa pada penelitian ini terkait efisiensi penurunan parameter minyak dan lemak
pada limbah industri bir dan minuman ringan menggunakan metode gravimetri yang mengacu
pada SNI 6989.10-2011.

120
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil penelitian skala lab DAF yang telah dilakukan menunjukkan peningkatan tekanan operasi di
tangki saturasi akan meningkatkan efisiensi penyisihan minyak dan lemak. Peningkatan efisiensi minyak
dan lemak yang dihasilkan cukup signifikan dari tekanan 2 bar sampai tekanan 4 bar dengan nilai rata –
rata diatas 40%. Hasil analisa terdapat pada Gambar 2.

120,0

100,0 99,4
Efisiensi Effluent (%)

80,0

60,0 59,3

40,0 43,0

20,0

0,0
2 3 4
Tekanan (bar)
Gambar 2. Pengaruh Tekanan terhadap Efisiensi Penyisihan Minyak dan Lemak
Hasil penelitian ini memberikan gambaran bahwa semakin tinggi tekanan operasi yang diberikan,
maka udara yang terlarut di dalam tangki saturasi akan semakin besar, sehingga setelah dilepas ke tekanan
atmosfer maka udara yang terlepas sebagai gelembung – gelembung halus akan semakin banyak, Tekanan
didalam pembentukan gelembung udara sangat berpengaruh, karena semakin tinggi tekanan yang diberikan
maka bentuk ukuran gelembung udara akan semakin lebih kecil, sehingga hal ini akan membantu
penyebaran udara yang merata untuk dapat mengikat partikel minyak dan lemak di dalam cairannya. Hal
ini dapat mempengaruhi di dalam penyisihan minyak dan lemak yang terkandung di dalam air limbah
tersebut. Pernyataan diatas sesuai dengan hukum Henry, dimana kelarutan udara dalam cairan berbanding
lurus dengan tekanan gas pada permukaan cairan (Shawwa and Smith, 1998).
Peningkatan efisiensi penyisihan juga karena faktor komposisi ruang liquid dan ruang udara di tangki
saturasi yang memadai. Menurut Eckenfelder (2000), selain faktor tekanan banyaknya udara terlarut dalam
air tergantung pada komposisi udara terlarut di dalam tangki saturasi. Pada penelitian ini menerapkan debit
recycle 30 % dengan komposisi ruang liquid 70% : 30 % ruang udara yang mengacu pada hasil optimum
pada penelitian octavian didapatkan efisiensi pada debit recycle dan tekanan 4 bar sebesar 93,64%
(Octavian, 2007).
Berdasarkan seluruh hasil percobaan dan analisa di laboratorium yang telah dilakukan, performa DAF
skala lab pada percobaan ini relatif cukup besar dalam menyisihkan kandungan minyak dan lemak dalam
air limbah industri bir dan minuman ringan , karena efisiensi yang didapatkan yaitu 99,4%. Performa yang
besar dipengaruhi oleh tekanan dan persentase penentuan recycle. Hal itu didukung dengan hasil penelitian
mulai dari 2 bar sampai 4 bar yang diberikan pada tangki saturasi, maka udara yang terlarut di dalam air
akan semakin banyak serta kejenuhan di permukaan air limbah juga semakin tinggi. Pada saat air limbah
yang telah disaturasi tersebut dilepaskan ke dalam unit flotasi , maka akan menghasilkan gelembung udara
dalam jumlah banyak dan berukuran mikro. Dengan gelembung udara mikro yang banyak diharapkan dapat
mengikat partikel cair atau solid lalu membawa naik ke permukaan air dan akan berefek pada efisiensi
penyisihan minyak dan lemak.

4. KESIMPULAN
Prototype DAF pada tekanan 4 bar mampu menurunkan konsentrasi beban pencemar minyak dan
lemak dari 254,7 mg/L menjadi 1,6 mg/L dengan efisiensi 99,4% dan telah memenuhi baku mutu IPLC
industri bir dan minuman ringan yaitu 1,7 mg/L,

121
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

5. DAFTAR PUSTAKA
Edzwald, J. K. (1995). Principles and applications of dissolved air flotation. Water Science and
Technology, 31(3-4), 1-23.

Metcalf and Eddy, Inc, Asano, T., Burton, F. L., Leverenz, H., Tsuchihashi, R., & Tchobanoglous, G.
(2007). Water reuse. McGraw-Hill Professional Publishing.

Octavian, S. 2007. Pemisahan Minyak dan Lemak Dari Air Limbah Rumah Makan Cepat Saji dengan
Menggunakan Unit Dissolved Air Flotation.

Shawwa, A. R., & Smith, D. W. (1998). Hydrodynamic characterization in dissolved air flotation (DAF)
contact zone. Water science and technology, 38(6), 245-252.

Rahayuningwulan, D., & Cahyaningsih, S. (2010). Kinerja DAF dalam Penyisihan Minyak Lemak dan
Padatan Tersuspensi pada Variasi Tekanan pada Air Limbah Industri Minyak Kelapa Sawit. Jurnal Kimia
Indonesia, 2(1).

Maharani, V. S. (2017). Studi Literatur: Pengolahan Minyak dan Lemak Limbah Industri (Doctoral
dissertation, Institut Teknologi Sepuluh Nopember).

122
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Alternatif Pengolahan Instalasi Air Limbah Industri Kecap, Saos, dan


Permen Ting-Ting Jahe

Nedya Nayaka Sastri1*, Denny Dermawan1, Moch. Luqman Ashari2


1
Program Studi Teknik Pengolahan Limbah, Jurusan Teknik Permesinan Kapal, Politeknik Perkapalan
Negeri Surabaya, Surabaya 60111
2
Program Studi Teknik K3, Jurusan Teknik Permesinan Kapal, Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya,
Surabaya 60111

*E-mail: nedyanayaka@student.ppns.ac.id

Abstrak

Industri kecap, saos dan permen ting-ting jahe dalam proses produksinya menghasilkan limbah, baik limbah
padat maupun cair dengan kadar COD dan BOD yang cukup tinggi. Kandungan organik dalam limbah, akan
menurunkan kualitas lingkungan bila dibuang langsung ke lingkungan. Karakteristik air limbah dari industri
ini melebihi Baku Mutu Pergub Jatim No 72 Tahun 2013 dengan nilai COD 6.048,9 mg/L, BOD 2.397,5 mg/L,
dan TSS 1.840 mg/L. Pengambilan sampel air limbah mengacu pada SNI 6989.59:2008. Penelitian ini
bertujuan sebagai acuan pemilihan unit IPAL yang sesuai untuk industri ini. Teknologi IPAL yang dipilih yaitu
alternatif 1 yang terdiri dari unit barscreen, bak ekualisasi, tangki netralisasi, Anaerobic Baffle Reactor/ABR,
Extended Aeration/EA, dan clarifier.
Keyword: IPAL, Alternatif, ekualisasi, Anaerobic Baffle Reactor, Extended Aeration

1. PENDAHULUAN
Sisa hasil proses produksi yang tidak dimanfaatkan didefinisikan sebagai limbah harus diolah. Pengolahan
limbah adalah upaya terakhir dalam sistem pengelolaan limbah setelah sebelumnya dilakukan optimasi setelah
proses produksi. Pengolahan limbah dimaksudkan untuk menurunkan tingkat cemaran yang terdapat dalam
limbah, sehingga aman untuk dibuang ke lingkungan (Rachman, 2009). Bahan produk yang kebanyakan
berasal dari tumbuhan membuat industri kecap, saos, dan permen ting-ting jahe tidak luput memperhatikan
kelestarian lingkungan. Namun, pada proses produksi akhirnya industri tersebut dimana belum memiliki
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), sehingga berpotensi mencemari lingkungan.
Proses pemilihan unit pengolahan memerlukan pertimbangan baik dari segi kemampuan suatu proses dalam
meremoval polutan, kemampuan finansial, maupun dari segi kemudahan operasi dan perawatan. Pada
perencanaan IPAL industri kecap, saos, dan permen ting-ting jahe mengacu pada kriteria mutu air berdasarkan
Pergub Jatim nomor 72 tahun 2013 tentang Baku Mutu Limbah Industri. Limbah akan dibuang ke badan air
yang merupakan sumber dari aktivitas hidup sehari-hari manusia berhubungan dengan pemakaian air.
Pengolahan limbah cair dapat dilakukan secara fisik, kimia, maupun secara biologis. Secara umum
karakteristik limbah cair industri pangan mengandung bahan organik yang tinggi, bahan tersuspensi, dan
volume limbah yang besar. Untuk mengolah limbah-limbah organik seperti limbah domestik, industri makanan
dan minuman cocok mengunakan pengolahan air limbah biologis. Pada pengolahan biologis, polutan-polutan
organik dalam limbah akan diurai secara biokimia oleh mikroorganisme menjadi senyawa yang lebih sederhana
seperti air (H2 O), karbondioksida (CO2 ), dan metan(CH4 ) (Herlambang, 2005).

2. METODE
Dilakukan dalam pemilihan alternatif terhadap instalasi pengolahan air limbah (IPAL) di industri saos,
kecap, dan permen ting-ting jahe.
a. Data yang dibutuhkan
1. Data Primer
- Karakteristik air limbah
- Dimensi dan Layout IPAL eksisting
2. Data Sekunder
- Debit air limbah
- Baku mutu air limbah
123
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

b. Langkah-langkah penyelesaian
Pada perancangan ini langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Studi literatur
Studi literatur menggunakan teks book, jurnal maupun peraturan-peraturan pemerintah.
2. Pengumpulan data
Data-data yang dikumpulkan meliputi data-data primer dan sekunder.
3. Analisa data
-Melakukan pengujian karakteristik air limbah.
- Menghitung penyisihan removal rencana .
- Membuat kesimpulan dan saran.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Kualitas Air Limbah
Setelah melakukan tahap survey pada proses produksinya industri kecap, saos, dan permen ting-ting
menghasilkan debit air limbah sebesar 36,37 m3.Kapasitas produksi perhari mencapai 240 botol, produksi
saos perhari mencapai 960 botol, dan produksi ting ting jahe perhari mencapai 7 kg. Parameter awal
berupa kualitas air limbah produksi tahu yang dibutuhkan untuk merancang dimensi dari IPAL. Baku
Mutu yang digunakan pada uji laboratorium mengunakan Pergub Jatim No. 72 Tahun 2013 tentang Baku
Mutu Industri Saos. Hasil uji laboratorium yang didapatkan terdapat pada Tabel 1 sebagai berikut :

Tabel. 1 Hasil Uji Laboratorium

Baku Hasil Analisa


Parameter Satuan Metode Analisa Memenuhi
Mutu 1 2 Rata-Rata Baku Mutu
pH - 7 3,81 3,83 3,82 p H meter Tidak
TSS mg/L 100 1860 1840 1850 Gravimetri Tidak
BOD mg/L 100 2243,58 2397,5 2320,54 Winkler Tidak
COD mg/L 250 5920,92 6048,47 5984,695 Reflux/Tetrimetri Tidak
Sumber : Balai Riset Dan Standarisasi Industri, 2019

Berdasarkan hasil tabel tersebut TSS 1850 mg/L, BOD 2397,5 mg/L, COD 6048,47 mg/L, pH 3,83.
Hasil uji laboratorium ini digunakan sebagai dasar penentuan unit IPAL beserta alternatifnya.

3.2 Perencanaan IPAL


Tahap awal perencanaan IPAL adalah menentukan unit yang akan di gunakan di perencanaan ini.
Alternatif IPAL akan dihitung neraca massanya untuk mengetahui efisiensi removalnya. Berikut adalah
alternatif unit IPAL untuk industri kecap, saos, dan permen ting-ting jahe.

Gambar 1. Alternatif 1

124
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Gambar 2. Alternatif 2

Gambar 3. Alternatif 3
Keterangan:
Alternatif 1 : Barscreen – Bak Ekualisasi – Netralisasi – Anaerobic Baffle Reactor – Extended Aeration
– Sedimentasi.
Alternatif 2 : Barscreen – Bak Ekualisasi – Netralisasi – biofilter Anaerobic – biofilter aerobic –
Sedimentasi. Alternatif 3 : Barscreen – Bak Ekualisasi – Netralisasi – UASB – activated sludge –
Sedimentasi.
Perhitungan neraca massa tiap alternatif tercantum pada Tabel 2 berikut ini :

Tabel. 2 Hasil Perhitungan Neraca Massa pada Setiap Alternatif


Tipe Pengolahan COD BOD TSS Memenuhi BM
mg/L mg/L mg/L
Baku Mutu 250 100 100 -
Alternatif 1 177,32 59,49 69 Ya
Alternatif 2 105,85 41,96 23 Ya
Alternatif 3 114,32 65,45 8,28 Ya
Sumber : hasil analisa

Berdasarkan hasil perhitungan neraca massa semua alternatif memenuhi baku mutu yang sesuai
dengan Peraturan Gubernur Jatim Nomer 72 Tahun 2013. Perbandingan beberapa aspek untuk semua
alternatif dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Perbandigan Alternatif Ditinjau dari Beberapa Aspek


ASPEK ALTERNATIF 1 ALTERNATIF 2 ALTERNATIF 3
Kualitas Effluen G G G
Berdasarkan hasil Berdasarkan hasil Berdasarkan hasil
perhitungan neraca perhitungan neraca perhitungan neraca
Keterangan
massa efluen sudah massa efluen sudah massa efluen sudah
memenuhi baku mutu. memenuhi baku mutu. memenuhi baku mutu.
Kebutuhan Lahan
AV AV AV

125
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Kebutuhanlahan cukup Kebutuhan lahan cukup Kebutuhan lahan cukup


Keterangan besar dikarenakan besar dikarenakan besar dikarenakan
terdapat unit anaerob. terdapat unit anaerob. terdapat unit anaerob.
ASPEK ALTERNATIF 1 ALTERNATIF 2 ALTERNATIF 3
Kemudahan
Operasi AV G AV
Membutuhkan seorang Unit tidak memerlukan Membutuhkan seorang
operator yang dapat seorang operator yang operator yang dapat
Keterangan melakukan pengecekan rutin karena operasinya melakukan pengecekan
rutin dan maintance. mudah. rutin dan maintance.
Kemudahan
Pemeliharaan untuk AV P P
proses anaerobik
Pemeliharaan relatif Pemeliharaan filter yang Ketidakstabilan dalam
mudah, karena tidak terbuat dari sarang tawon perawatan dikarenakan
Keterangan diperlukan pemantauan akan susah mendeteksi sistem hidrolik yang
harian. rusaknya filter bagian kompleks.
tengah maupun bawah.
Kebutuha Listrik AV AV AV
Dalam unit pengolahan Dalam unit pengolahan Dalam unit pengolahan
memerlukan blower, memerlukan blower, memerlukan blower,
aerator diffuser, pompa, aerator diffuser, pompa, aerator diffuser, pompa,
Keterangan
dll yang memerlukan dll yang memerlukan dll yang memerlukan
listrik yang cukup listrik yang cukup banyak. listrik yang cukup
banyak. banyak.
Kemudahan
Pemantauan Proses
G P G
untuk proses
aerobik
Pengecekan lumpur Diperlukan pemantauan Pengecekan lumpur aktif
aktif dan bakteri dapat proses khusus untuk unit dan bakteri dapat
dilakukan setiap hari biofilter aerob-anaerob dilakukan setiap hari
Keterangan dengan mudah. dengan mudah.
seperti bakteri yang
menempel pada media
filternya.

Keterangan :
VG : sangat bagus ; G : bagus ; AV : Lumayan ; P : kurang bagus
Penentuan unit akan memperhatikan beberapa aspek yang berpengaruh di operasional unit
IPAL, berdasarkan pertimbangan alternatif 1 dipilih, karena keunggulannya pada proses operasional,
pemeliharaan, dan kemudahan pemantauan proses. Jadi, dalam penelitian ini akan dirancang unit
barscreen, bak ekualisasi, tangki netralisasi, bak anaerobic baffle reactor, bak extended aeration, dan
clarifier.

4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisa uji air limbah karakteristik air limbah yang di dapat adalah pH 3,82 , TSS yang
di dapat adalah 1850 mg/L, BOD yang dihasilkan adalah 2320,54 mg/L, COD yang dihasilkan adalah
5984,695. Hasil uji laboratorium belum memenuhi Baku Mutu yang tertera pada Pergub Jatim No.72 Tahun
2013 Tentang Baku Mutu Industri Saos. Pada pemilihan unit alternatif pada perencanaan IPAL industri kecap,
saos dan permen ting-ting jahe terpilih alternatif 1 dengan unit barscreen, bak ekualisasi, bak netralisasi, bak
ABR, bak extended aeration, serta clarifier. Pemilihan alternatif jatuh pada alternatif 1 karena keungulannya
pada aspek operasional yang tidak membutuhkan pemantauan setiap harinya serta pada aspek kemudahan dan
pemantauan proses dengan pengecekan lumpur dan bakteri yang lebih mudah.

126
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

5. DAFTAR PUSTAKA
Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH) Industri Kecap, Saos, Dan Permen Ting-Ting Jahe. Kediri
: Dinas Lingkungan Hidup Kota Kediri.
Ginting, Perdana, 2007. Sistem Pengoelolaan Lingkungan Dan Limbah Industri, Bandung : CV. Yrama
Widya.
Herlambang, Arie.2005. Pengolahan Air Limbah Industri Sirup, Kecap Dan Saos. Jakarta: Badan Pengkajian
Dan Penerapan Teknologi.
Japan Sewage Association, 2012. Design Standart For Municipal Waste Water Traetment Plant. Tokyo: Japan
Sewage Work Association.
Kencanawati, Cok Istri Putri Kusuma. 2016. Sistem Pengolahan Air Limbah. Diklat Mata Kuliah. Bukit
Jimbaran: Fakultas Teknik Universitas Udayana
Metcalf & Eddy, 2003, Wastewater Engineering:Treatment, Disposal And Reuse, 4th Ed., Mcgraw Hill Book
Co., New York.
Metcalf And Eddy, 2004, Wastewater Engineering, 4th Edition, Mc Graw Hill International Editions, New
York.
Pergub Jatim No. 72 Tahun 2013 Tentang Baku Mutu Bagi Limbah Cair Industri. Surabaya: Sekertariat
Provinsi.
Rachman, Chairul. 2009.Pedoman Desain Ipal Agroindustri. Jakarta: Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian.
SNI 6989.59:2008, Metode Pengambilan Sampel Air.
Said, Nusa Idaman. 2015. Teknologi Pengolahan Air Limbah Rumahsakit Dengan Sistem Biofilter Anaerob-
Aerob. Jakarta:Badan Pengkajian Dan Penerapan Teknologi.

127
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Halaman ini sengsjs dikosongkan

128
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Biokoagulan Biji Trembesi (Samanea saman) dan Daun Mimba


(Azadirachta indica) dalam Mengolah Air Limbah Industri Asam Fosfat

Emeralda Eka Putri Setyawati¹*, Adhi Setiawan¹, Tanti Utami Dewi¹


¹Program Studi Teknik Pengolahan Limbah, Jurusan Teknik Permesinan Kapal, Politeknik Perkapalan
Negeri Surabaya, Surabaya 60111

*E-mail : emeralda.setyawati@student.ppns.ac.id

Abstrak
Industri asam fosfat menghasilkan air limbah yang berasal dari Sulphuric Acid Plant, Phosphoric Acid Plant,
dan Granulated Gypsum Plant. Air limbah yang dihasilkan dari masing–masing plant dilakukan pengolahan
dengan metode koagulasi dan flokulasi. Penggunaan koagulan sintetik yang digunakan pada industri asam
fosfat dapat menyebabkan dampak terhadap lingkungan dan kesehatan. Koagulan alami biji trembesi dan daun
mimba dipilih karena dapat menurunkan kadar pencemar tanpa memberikan dampak terhadap lingkungan dan
kesehatan. Polimer koagulan alami lebih kuat dalam pengikatan flok ketika aliran turbulen. Reaksi yang terjadi
pada koagulan alami yaitu polielektrolit, yang mampu membentuk flok lebih kuat karena terjadi mekanisme
double layer, flokulasi, adsorpsi–netralisasi muatan, dan adsorpsi–bridging. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui seberapa besar persentase penurunan kadar pencemar pada air limbah industri asam fosfat dengan
menggunakan koagulan biji trembesi dan daun mimba. Penambahan biji trembesi dan daun mimba sebagai
koagulan dalam fasa larutan. Proses pembuatan koagulan diawali dengan penghilangan bagian–bagian yang
tidak diinginkan, penumbukan masing–masing serbuk biji trembesi daun mimba sebesar 40 mesh, ekstraksi
soxhlet dan evaporasi dengan vacum rotary evaporator, jar test, dan analisis parameter. Variasi dosis yang
digunakan pada proses jar test yaitu 50 mL/L, 75 mL/L, 100 mL/L, dan 125 mL/L. Konsentrasi terbaik
penambahan koagulan didapat pada variasi 125 mL/L. Komposisi larutan kombinasi koagulan alami yaitu 50%
biji trembesi dan 50% daun mimba. Efisiensi removal yang dihasilkan TSS, fosfat, dan fluoride berturut–turut
sebesar 49,34 %, 53,40 %, 82,86 %.
Kata kunci: koagulan alami, biji trembesi (Samanea saman), daun mimba (Azadirachta indica), industri asam
fosfat, air limbah.

1. PENDAHULUAN

Asam fosfat diproduksi sebagai bahan baku pupuk untuk memenuhi kebutuhan pupuk nasional, tercatat
kebutuhan pupuk kategori fosfat (SP – 36) sebanyak 450.576 ton/tahun (APPI, 2018). Pendirian industri asam
fosfat mengurangi biaya import dikarenakan sudah dapat memproduksi sendiri. Limbah yang dihasilkan adalah
akumulasi dari semua plant yang saluran bermuara pada IPAL. Apabila tidak dilakukan pengolahan terlebih
dahulu maka dapat merusak ekosistem perairan dan kesehatan. Kandungan dalam air limbah industri asam
fosfat yaitu TSS, fosfat, dan fluorida yang masih di atas baku mutu yang dipersyaratkan (IPLC industri asam
fosfat, 2018).
Penelitian terhadap koagulan alami menunjukkan hasil yang baik dalam proses koagulasi. Koagulan alami
mampu mengolah air limbah industri sesuai baku mutu yang dipersyaratkan. Kecenderungan stabilitas tingkat
keasaman air limbah yang diolah, sludge yang dihasilkan lebih sedikit dan aman terhadap kesehatan dan
lingkungan. tanpa memberikan dampak samping dari sisi kesehatan dan lingkungan. Yin (2010) menyatakan
bahwa apabila dibandingkan dengan polimer koagulan sintetis, polimer koagulan alami lebih kuat dalam
pengikatan flok pada saat aliran turbulen. Vijayaraghavan (2011) dalam penelitiannya menyatakan ada empat
mekanisme yang menunjang bahwa koagulan alami mampu mengikat flok dengan baik melalui mekanisme
double layer, flokulasi, adsorpsi – netralisasi muatan, dan adsorpsi – bridging.
Biji Trembesi (Samanea saman) dan daun Mimba (Azadirachta indica) adalah salah satu alternatif
kombinasi koagulan alami sebagai pengganti koagulan sintetis yang mudah di temukan di daerah tropis.
Penelitian terdahulu terkait dengan bji trembesi telah dilakukan dalam penurunan kadar fosfat pada industri
pupuk. Utami (2011) menyatakan bahwa pada kondisi pH 2 dengan dosis 50 mg/L biji trembesi mampu
menurunkan kadar fosfat sebesar 45,67%. Kombinasi biji trembesi dan daun mimba dapat meningkatkan
efisiensi removal dari fosfat dan juga beberapa penelitian yang menyatakan bahwa daun mimba mampu
menurunkan parameter fluoride pada air limbah. Devatha, 2016 dalam Saxena menyatakan bahwa azadirachta
indica mampu menurunan fosfat sebesar 98,08% pada air limbah domestik. Swathy (2017) menyatakan pada
kadar 10g/L daun mimba mampu menurunkan kadar fluorida sebesar 85% pada air tanah. Jamode (2004) dalam
penelitiannya daun mimba mampu menurunkan kadar fluoride sebesar 80% pada air limbah terkontaminasi
fluoride.
129
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

2. METODE

Metodologi adalah tahap– tahap yang dilakukan pada peneltian. Metode penelitian dimulai dengan tahap
persiapan alat dan bahan, persiapan sampel, pembuatan kombinasi koagulan alami, dan pelaksanaan jar test.
Kemudian dilanjutkan pembahasan dan penarikan kesimpulan.
a. Persiapan Alat dan Bahan
Peralatan dan bahan yang akan digunakan dipersiapkan terlebih dahulu. Peralatan yang digunakan yaitu alu
dan mortar, ayakan 60 mesh, satu set soxhlet, vacum rotary evaporator, satu set labu kjeldahl, spektrofotometer,
dan pH meter. Bahan yang digunakan yaitu aquades, NaCl (Mercks), NaOH (Mercks), Ethanol 70%, larutan
uji masing–masing parameter.
b. Persiapan Sampel
Sampel limbah cair industri asam fosfat diambil dari inlet tangki koagulasi industri asam fosfat (neutralized
water). Pengujian konsentrasi awal dilakukan pada sampel yang meliputi PO₄ (Fosfat), TSS (Total Suspended
Solid), dan Fluoride. Pengujian dilakukan untuk mengetahui kandungan sampel yang akan digunakan dalam
percobaan.
c. Pembuatan Kombinasi Koagulan Alami
Biji Trembesi dipisahkan dari kulit polongnya, kemudian biji coklat tua yang masih bercampur dengan wax
dicuci hingga bersih. Biji yang berwarna coklat tua kemudian dilakukan pengupasan sehingga didapatkan bji
trembesi yang berwarna kuning. Biji yang telah dipisahkan tersebut kemudian dihaluskan dan disaring dengan
ayakan 60 mesh. Proses pada daun mimba yaitu pencucian dan penjemuran di bawah terik matahari selama
sehari. Kedua bahan tersebut kemudian dihaluskan dan disaring dengan ayakan 60 mesh.
Kedua bubuk lalu ditimbang masing – masing sesuai variasi massa 5 gram dan 10 gram untuk biji trembesi,
10 gram dan 15 gram untuk daun mimba. Bubuk tersebut kemudian dibungkus dengan kertas saring untuk
dilakukan proses ekstraksi. Ekstraksi dengan pelarut NaCl 1M untuk biji trembesi dan ethanol 70% untuk daun
mimba. Eksraksi dengan soxhlet selama 15x cycle. Pemisahan Pelarut dan pemekatan dilakukan dengan vacum
rotary evaporator yang kemudian dilakukan proses jar test.
d. Pelaksanaan Jar Test
Komposisi kombinasi koagulan yaitu 50% larutan daun mimba dan 50% larutan bij trembesi. Disiapkan 1L
sampel air limbah yang ditambahkan koagulan kombinasi dengan volume berbeda-beda pada setiap gelas
beaker sesuai variasi. Digunakan variasi konsentrasi kombinasi koagulan alami yaitu 50 mL/L, 75 mL/L, 100
mL/L, 120 mL/L. Urutan penambahan koagulan yaitu daun mimba terlebih dahulu, kemudian ditambahkan
larutan biji trembesi. Gelas beaker tersebut kemudian diaduk pada dua jenis kecepatan yang terdiri dari
pengadukan cepat selama 2 menit dilanjutkan pengadukan lambat selama 15 menit. Larutan yang telah diaduk
kemudian didiamkan selama 30 menit untuk mengendapkan flok – flok yang telah terbentuk. Setelah
pengendapan, dilakukan pemisahan filtrat dengan endapannya.
e. Analisis Parameter TSS, Fosfat, dan Fluoride
Analisis penurunan kadar pencemar dilakukan pada parameter Fosfat, TSS, dan Fluorida. Analisis
konsentrasi TSS dilakukan dengan menggunakan metode gravimetri sesuai dengan SNI 06- 6989.3-2004.
Analisis kandungan fosfat dilakukan dengan metode spektrofotometri berdasarkan SNI 06-6989.31-2005.
Analisis kandungan Fluoride pada sampel uji menggunakan metode spektrofotometri sesuai dengan SNI 06-
6989.29-2005.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis parameter awal bertujuan untuk mengetahui konsentrasi fosfat, fluorida, dan TSS pada air limbah
industri asam fosfat. Efektifitas removal kombinasi koagulan alami ini perlu dilakukan pengujian karakteristik
awal fosfat, fluoride, dan TSS pada air limbah. Pembahasan ini, akan diketahui besarnya penurunan kadar PO4,
TSS, dan Fluoride pada sampel air limbah sebelum dan sesudah dilakukan pembubuhan kombinasi koagulan
alami biji trembesi dan daun mimba. Kombinai koagulan alami yang digunakan yaitu murni dari hasil ekstaksi
yang telah dipisahkan dari pelarutnya dan dipekatkan. Perbandingan karakteristik awal air limbah,
karakteristik akhir effluent, dan baku mutu dapat diamati pada Tabel 1.

130
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Tabel 1 Hasil analisis konsentrasi TSS, fosfat, dan fluoride

Konsentrasi
Parameter Karakteristik Karakteristik Baku Satuan Metode
Awal Air Limbah Akhir Effluent Mutu
SNI 06-6989.3-
TSS 211 106,89 100 mg/L
2004
SNI 06-
Fosfat 63 29,35 20 mg/L
6989.31-2005
SNI 06-
Fluorida 108 18,51 15 mg/L
6989.29-2005

Tabel 1 merupakan hasil perbandingan pengujian karakteristik awal, akhir effluent, dan baku mutu. Kolom
karakteristik awal air limbah merupakan hasil yang terukur berdasarkan pengujian laboratorium. Karakteristik
akhir effluent didasarkan pada baku mutu IPLC (ijin pengolahan limbah cair) industri asam fosfat.
Variasi dosis yang ditambahkan yaitu 50 mL/L, 75 mL/L, dan 125 mL/L. Telah terjadi penurunan kadar
parameter TSS, fosfat, dan fluoride terhadap penambahan koagulan alami. Effluent yang dihasilkan pada dosis
125 mL/L masih belum memenuhi baku mutu IPLC industri asam fosfat. Efisiensi removal pada masing –
masing parameter juga mengalami perbedaan. Perbandingan efisensi removal pada masing – masing parameter
dapat diamati pada Gambar 1.

90

80
F
70
Efisiensi Removal (%)

60 PO4
50

40
TSS

30

20

10

0
25 50 75 100 125
Konsentrasi (mL/L)

Gambar 1 Efisiensi removal terhadap konsentrasi koagulan alami

Penambahan kombinasi koagulan alami biji trembesi dan daun mimba dengan konsentrasi optimum yaitu
125 mL/L yang dapat mengikat zat-zat pencemar dalam air limbah lebih baik daripada variasi yang lainnya.
Grafik efisiensi removal terhadap konsentrasi penamahan koagulan alami menghasil persentase berbeda.
Penambahan 125 mL/L larutan koagulan alami pada parameter TSS menghasilkan efisiensi removal sebesar
49,34%. Parameter fosfat menghasilkan efisiensi removal sebesar 53,40%. Efisiensi removal parameter
fluoride sebesar 82,86%. Hasil persentase removal parameter fluoride merupakan yang paling baik daripada
TSS, dan fosfat.
Dosis koagulan merupakan salah satu faktor penting yang telah dipertimbangkan untuk menentukan kondisi
optimum dari koagulan dalam proses koagulasi-flokulasi. Konsentrasi penambahan koagulan alami akan
berdampak pada kecenderungan efektif dan tidaknya ketika kontak langsung dengan air limbah. Mekanisme
koagulasi dalam tumbuhan Biji Trembesi dan daun mimba berpotensi menurunkan kekeruhan dalam air karena

131
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

memiliki kandungan protein yang terkandung pada masing – masing tumbuhan. Proses koagulasi – flokulasi
pada senyawa protein terjadi apabila terdapat gugus penyusun asam amino.
Hendricks (2006) menyatakan bahwa beberapa bagian permukaan senyawa mengionisasi kemudian
menyebabkan suatu permukaan bermuatan yang disebabkan karena pada senyawa protein mengandung gugus
karboksil (-COOH) dan amina (NH₂). Asam amino yang mendominasi pada biji trembesi yaitu sistin, lisin,
dan metionin (Hagan, 2013). Asam amino yang mendominasi pada daun mimba yaitu alanin, sistin, asam
aspartik, asam glutamik, dan tirosin (Neem Foundation, 2014).
Ketika penambahan koagulan kondisi pH basa menghasilkan ion – ion bermuatan positif. Sedangkan
penambahan koagulan kondisi pH asam menghasilkan ion – ion bermuatan negatif (Hendricks, 2006). Asam
amino pada sebagai koagulan alami pada air limbah dilakukan pada suasana pH basa, sehingga ion – ion
bermuatan positif berperan sebagai ion cationic yang akan mengikat ion – ion negatif pada air limbah. Setelah
terjadi mekanisme elektrostatik, zeta potensial menunjukkan nilai 0 yang akan terjadi proses bridging. Proses
bridging yaitu kondisi dimana flok saling berikatan satu sama lain.
Amran (2018) menyatakan bahwa bridging polimer didahului oleh adsorpsi polimer yang merupakan
proses di mana polimer dengan rantai panjang menempelkan dirinya pada permukaan partikel koloid karena
afinitas yang ada di antara mereka. Beberapa bagian dari polimer yang terpasang ke partikel sedangkan bagian
yang tidak terikat akan membentuk loop dan ekor (Bolto dalam Amran, 2018). Loop dan ekor ini adalah
struktur utama dari jembatan polimer karena memungkinkan ikatan dengan partikel koloid lain sehingga
membentuk flok yang lebih besar. Penelitian ini mampu menurunkan kadar TSS sebesar 49,34 %, Fosfat
sebesar 53,40 %, dan fluoride sebesar 82,86%. Variasi 125 mL/L dosis penambahan koagulan alami belum
mampu menurunkan kadar pencemar sesuai baku mutu industri asam fosfat.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa kadar terbaik kombinasi
koagulan alami Biji Trembesi (Samanea saman) dan daun Mimba (Azadirachta indica) mimba dalam
menurunkan kadar TSS, fosfat, dan fluoride yaitu 125 mL/L dengan efisiensi removal berturut – turut sebesar
49,34 %, 53,40 %, 82,86 %. Penurunan kadar pencemar masing – masing parameter dengan konsentrasi 125
mL/L masih belum di bawah baku mutu.

5. DAFTAR PUSTAKA

Amran, Amir Hafiz., Nur Syamimi Zaidi, Khalida Muda, Liew Wai Loan, 2018. Effectiveness of Natural
Coagulant in Coagulation Process : A Review. International journal of Engineering & Technology. 7 (3.9)
(2018) : 34 – 37.

APPI (Asosiasi Produsen PupukIndonesia), 2018. Supply and Demand Statistic Data.
https://www.appi.or.id/?statistic.[Diakses pada 5 Mei 2019]

Hendricks, David. 2006. Water Treatment : Unit Processes Physical and Chemical. Boca Raton : Taylor and
Francis Group.

IPLC Industri Asam Fosfat, 2018. PT. Petro Jordan Abadi : Gresik.

Jamode, V A., V. S. Sapkal, V. S. Jamode, 20014. Defluoridation of water using inexpensive adsorbents.
Maharasthra : J. Indian Inst. Sci., Sept.–Oct. 84 (2004) : 163–171.

Neem Foundation, 2014. Chemistry of Neem. https://www.neemfoundation.org/about-


neem/chemistry-of-neem/. [Diakses pada 21 Juni 2019].

Saxena, Gaurav., Ram Naresh Baraghava, 2019. Bioremediation of industrial Waste for Environtment Safety.
Volume 1 : Industrial waste and its management. London : Springer Nature Pte ltd.

Susanti, Erna, 2014. Prarancangan Pabrik Asam Fosfat denga Proses Nissan Kapasitas 150.000 ton / tahun.
Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

132
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Swathy, P., Swathy, M R., Anitha K., 2017. Defluoridation of Water Using Neem (Azadirachta indica) Leaf
as Adsorbent. Vol-3 4 (2017). IJARIIE-ISSN(O)-2395-4396.
Tripathy, Tridip., Bhudep Ranjan De., 2006. Flocculation : A New Way to Treat Waste Water. Journal of
Physical Science. 10,(2006) : 93 – 127.
Utami, Siti Dewi Ratna, 2011. Uji kemampuan Koagulan Alami dari Ekstrak Biji Trembesi (Samanea saman),
Biji Kelor (Moringa Oleifera), dan Kacang Merah (Phaseolus vulgaris) dalam proses penurunan Kadar
Fosfat pada Limbah Cair Industri Pupuk. Surabaya. Jurusan Teknik Lingkungan. Fakultas Teknik Sipil
dan Perencanaan : ITS.
Vijayaraghavan, 2013. Application of Plant Based Coagulants for Waste Water Treatment. IJAERS/Vol. I/
Issue I/October-December, 2011/88-92.
Yin C. Y., 2010. Emerging Usage of Plant – Based Coagulants for Water and Waste Water. Process
Biochemistry 45 : 1437 – 1444.

133
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Halaman ini sengaja dikosongkan

134
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Penurunan Kadar Fluoride dan COD pada Industri Asam Fosfat


Menggunakan Kombinasi Metode Presipitasi Elektrokoagulasi dengan
Elektroda Alumunium

Nadya Ayu Arianingtyas1*, Adhi Setiawan1, Novi Eka Mayangsari1


1
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah, Jurusan Teknik Permesinan Kapal, Politeknik Perkapalan
Negeri Surabaya, Surabaya 60111

*Email: nadyaayu@student.ppns.ac.id

Abstrak
Proses pembuatan asam fosfat akan menghasilkan air limbah yang perlu dilakukan pengolahan sebelum
dibuang ke badan air. Air limbah atau yang disebut dengan Acid Water (AW) dihasilkan dari blowdown proses
SWC (Shutdown Water Cleaning) di unit Phosporic Acid Plant (PA) dan kondensat steam di unit Sulfuric
Acid Plant (SA). Proses pengolahan limbah menggunakan bahan kimia, membutuhkan perlengkapan mekanik
serta biaya yang cukup besar. Teknologi pengolahan air limbah yang lain dibutuhkan sebagai alternatif
pengolahan yang lebih efisien yaitu meggunakan kombinasi metode presipitasi elektrokoagulasi. Kombinasi
metode presipitasi elektrokoagulasi merupakan metode pengolahan air limbah yang dapat meminimalisir bahan
kimia dan biaya yang lebih murah, sehingga perlu dilakukan sebuah penelitian tentang pengolahan air limbah
fluoride industri asam fosfat menggunakan kombinasi metode presipitasi elektrokoagulasi. Penelitian
dilakukan menggunakan reaktor presipitasi dan elektrokoagulasi, menggunakan presipitan Ca(OH) 2, serta pelat
elektroda alumunium dengan ukuran 10 cm x 20 cm. Air limbah fluoride yang digunakan berasal dari industri
asam fosfat dengan volume sebesar 10 liter diolah secara batch dengan tahapan pengolahan presipitasi
kemudian elektrokoagulasi lalu diukur konsentrasi dari COD dan fluoride. Hasil pengukuran kandungan COD
dan fluoride dianalisis berdasarkan pengaruh dari nilai tegangan yang digunakan yakni 17 Volt, 22 Volt, dan
27 Volt. Nilai tegangan listrik yang semakin meningkat, didukung dengan kondisi pH 9 dan waktu kontak
selama 60 menit, maka penurunan konsentrasi fluoride dan COD meningkat semakin baik. Penurunan terbesar
fluoride adalah 99,96% dengan konsentrasi 0,58 mg/L dan COD 65,24 % dengan konsentrasi 8,87 mg/L dengan
menggunakan tegangan listrik sebesar 27 V.
Kata Kunci: Fluoride, COD, Presiptasi, Elektrokoagulasi, Tegangan

1. PENDAHULUAN
Industri asam fosfat merupakan industri yang menghasilkan asam fosfat dengan mereaksikan asam sulfat
dengan batu fosfat. Dalam proses produksi dihasilkan air limbah yang mengandung fluoride yang cukup tinggi
serta pH yang bersifat asam. Fluoride dengan nilai konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan berbagai
macam penyakit seperti osteoporosis, arthritis, tulang rapuh, kanker, kemandulan, serangan sistem otak,
syndrome alzheimer, dan gangguan pada kelenjar thyroid (Mohammad dan Majumder, 2014), sehingga air
limbah fluoride yang dihasilkan harus diolah terlebih dahulu sebelum dilepaskan ke badan air agar tidak terjadi
pencemaran lingkungan.
Teknologi yang digunakan dalam mengolah air limbah fluoride industri asam fosfat adalah koagulasi
flokulasi kimia. Metode ini memiliki tingkat kebutuhan bahan kimia dan produksi sludge yang tinggi. Selain
itu, koagulan dan flokulan membutuhkan proses chemical preparation, lahan dan berbagai peralatan yang
membutuhkan biaya yang cukup mahal. Berbagai studi tentang efisiensi removal metode elektrokoagulasi
dilakukan untuk berbagai macam air limbah seperti limbah bahan berbahaya dan beracun Cr (VI) dengan
efisiensi removal 65,2% (Jati dan Aviandharie, 2015), air limbah artifisial penambahan NaF dengan efisiensi
removal fluoride sebesar 92 % (Shivayogimath dan Punage, 2014), air limbah industri asam fosfat dengan
efisiensi removal COD sebesar 640,675 mg/l; dan fluoride sebesar 15,615 mg/liter (Bimantara, dkk, 2018).
Berdasarkan penelitian di atas nilai efisiensi proses cukup tinggi dalam mendegradasi kandungan COD dan
fluoride pada berbagai macam air limbah. Pada penelitian ini dilakukan analisis pengaruh tegangan listrik yang
digunakan terhadap penurunan konsentrasi COD dan fluoride setelah dilakukan proses pengolahan
menggunakan kombinasi metode presipitasi elektrokoagulasi.

135
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

2. METODE
e. Alat dan bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah reaktor elektrokoagulasi dengan elektroda
alumunium, kemudian untuk reaktor presipitasi menggunakan propeller dengan kecepatan
pengadukan 100 rpm. DC power supply 30 V dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Ca(OH)2 dengan konsentrasi 25%.

Keterangan :
a a : Pengaduk dengan kecepatan pengadukan 100 rpm
b : Kran air sebagai titik sampling
b - Reaktor terbuat dari bahan Akrilik dengan tebal 5
mm
- Dimensi reaktor 25 cm x 25 cm x 20 cm
- Kapasitas reaktor 12,5 L

Gambar 1. Desain Reaktor Presipitasi

a Keterangan :

a : Elektroda Alumunium dengan ukuran 10 cm x 20


cm
b b : Kran air sebagai titik sampling
- Reaktor terbuat dari bahan Akrilik dengan tebal 5
mm
- Dimensi reaktor 25 cm x 20 cm x 20 cm
- Kapasitas reaktor 10 Liter

Gambar 2. Desain Reaktor Elektrokoagulasi


f. Prosedur Percobaan
Air limbah fluoride industri asam fosfat dengan volume 10 L dimasukkan ke dalam reaktor
presipitasi lalu ditambahkan larutan Ca(OH) 2 hingga mencapai pH 9. Kemudian dilanjutkan dengan
proses elektrokoagulasi, dengan memasukkan air hasil olahan presipitasi sebanyak 7 L ke dalam
reaktor elektrokoagulasi. Reaktor elektrokoagulasi dipersiapkan dengan memasang pelat elektroda
aluminium pada penyangga elektroda. Jarak antar pelat elektroda diatur 1 cm. Selanjutnya power
supply dipersiapkan dengan menghubungkannya ke sumber listrik lalu nilai tegangan diatur sesuai
dengan variasi tegangan yang akan digunakan dalam penelitian ini yakni 17 Volt, 22 Volt, dan 27
Volt. Kemudian memasang aligator probe pada masing-masing elektroda dan dihubungkan ke power
supply dengan menggunakan kabel pada elektroda. Power supply dinyalakan bersamaan dengan
dimulainya stopwatch. Apabila sudah mencapai waktu kontak 60 menit maka air olahan di sampling
dan power supply dimatikan. Air limbah di sampling melalui kran lalu disaring menggunakan kertas
saring. Air yang telah disaring akan diukur kandungan COD dan Fluoride.

g. Pengujian Hasil Proses Elektrokoagulasi


Air limbah fluoride industri asam fosfat baik sebelum maupun sesudah diolah dengan
kombinasi metode presipitasi elektrokoagulasi dianalisis kandungan COD dan fluoride, sehingga
dapat diketahui penurunan konsentrasi COD dan fluoridenya. Konsentrasi COD diukur dengan
metode titrimetri sesuai dengan SNI 6989.73:2009. Konsentrasi fluoride diukur dengan
spektrofotometri dengan larutan SPADNS berdasarkan SNI 06-6989.29-2005 dan analisis pH
menggunakan pH meter sesuai dengan SNI 06-6989.11-2004.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Efisiensi removal fluoride dan COD dengan menggunakan kombinasi metode presipitasi elektrokoagulasi
merupakan selisih konsentrasi antara konsentrasi air limbah sebelum dan sesudah diolah dengan kombinasi

136
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

metode presipitasi elektrokoagulasi. Hasil dari analisis konsentrasi fluoride dan COD pada air limbah fluoride
dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 2. Hasil Analisis Konsentrasi COD dan Fluoride Sebelum dan Sesudah Metode Kombinasi

Konsentrasi
Nama Sampel
COD (mg/L) Fluoride (mg/L)

Sebelum Proses Metode 1470,46


25,5
Kombinasi
17 V 12,33 9,84
Sesudah Proses 5,11
22 V 11,29
Metode Kombinasi
27 V 8,87 0,58

Berdasarkan dari hasil analisis konsentrasi fluoride dan COD, selisih konsentrasi yang selanjutnya dapat
dibuat tren penurunan, sehingga dapat diidentifikasi pengaruh dari nilai tegangan listrik yang digunakan dalam
proses kombinasi metode presipitasi elektrokoagulasi terhadap penurunan konsentrasi fluoride dan COD.
Pengaruh nilai tegangan listrik terhadap penurunan konsentrasi fluoride dan COD dengan menggunakan
kombinasi metode presipitasi elektrokoagulasi dapat dilihat pada Gambar 3 berikut:

110
Fluoride
COD
100
Efisiensi Removal (%)

90

80

70

60

50
16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Tegangan (V)

Gambar 3. 1 Pengaruh Nilai Tegangan Listrik Terhadap Efisiensi Removal Fluoride dan COD
Setelah Proses Kombinasi Metode Presipitasi Elektrokoagulasi
Berdasarkan Gambar 3.1, efisiensi removal fluoride dan COD menurun seiring dengan bertambahnya nilai
tegangan listrik yang digunakan. Penurunan tertinggi fluoride adalah sebesar 99,96% dengan konsentrasi yaitu
0,56 mg/liter dan COD sebesar 65,24% dengan konsentrasi yaitu 8,87 mg/liter dengan menggunakan tegangan
listrik 27 Volt. Nilai tegangan listrik yang semakin meningkat menyebabkan penurunan yang semakin besar.
Berdasarkan persamaan dari Hukum Faraday I mengenai konsumsi elektroda, jumlah elektroda yang terlarut
berbanding lurus dengan nilai arus listrik yang ada pada sistem elektrokoagulasi. Apabila ditinjau dari hukum
Ohm, maka kuat arus listrik berbanding lurus dengan nilai tegangan listrik. Oleh karena itu semakin tinggi nilai
tegangan listrik yang digunakan maka penurunan konsentrasi setelah melalui proses elektrokoagulasi akan
semakin besar. Selain itu, tegangan listrik yang diaplikasikan pada proses elektrokoagulasi menentukan jumlah
Al(OH)3 yang terbentuk dan pembentukan gelembung yang mana sangat berpengaruh terhadap pengadukan air
limbah (Farhadi dkk, 2012). Pada pelat elektroda aluminium terjadi reaksi oksidasi pada anoda. Reaksi oksidasi
yang terjadi pada pelat anoda adalah sebagai berikut:
Al(s)→ Al3+ (g)+ 3e(aq)………………………….....………………….(1)

137
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Pelat anoda aluminium teroksidasi menjadi ion Al3+ yang berfungsi sebagai koagulan dalam air limbah. Ion
3+
Al yang telah dihasilkan akan mendestabilisasi polutan dalam air limbah sehingga dapat dipisahkan. Di dalam
air limbah akan terjadi reaksi kimia berikut:
Al3+(g)+3OH- (aq)→ Al(OH)3(s)…………………………………………..(2)
Kemudian akan terjadi reaksi defluoridasi pada air limbah dengan reaksi kimia berikut:
Al(OH)3+xF- → Al(OH)3 - xFx+xOH- …………………….….……………..(3)
Berdasarkan reaksi diatas maka seiring dengan bertambahnya Al(OH) 3 yang terbentuk dari pelat elektroda
alumunium maka jumlah fluoride yang diendapkan dalam bentuk Al(OH)3 − xFx juga semakin banyak.
Senyawa Al(OH)3 yang telah terbentuk akan mengadsorpsi senyawa organik dan menangkap partikel koloid
sehingga akan mudah untuk dipisahkan. Berkurangnya kandungan senyawa organik dan partikel koloid
menyebabkan kandungan COD menurun (Bratby, 2006). Pelat katoda alumunium juga mengalami reaksi
reduksi dengan reaksi kimia berikut:
2H2O+2e→ H2+ 2OH- …………………………………………...………...……..(4)

Reaksi reduksi pada pelat katoda aluminium diatas menghasilkan gas H 2 atau hidrogen. Terbentuknya gas
hidrogen akan mengakibatkan tereduksinya material organik. Sebagian molekul yang terdapat pada limbah
ditangkap Al(OH)3 kemudian penyisihan oleh H2 sebagai senyawa organik membentuk gelembung yang dapat
menurunkan COD (Setianingrum dkk, 2016).

4. KESIMPULAN
Nilai tegangan listrik yang semakin meningkat dan didukung dengan kondisi pH 9 dan waktu kontak selama
60 menit, maka penurunan konsentrasi fluoride dan COD meningkat semakin baik. Penurunan terbesar fluoride
adalah 99,96% dengan konsentrasi 0,58 mg/L dan COD 65,24 % dengan konsentrasi 8,87% dengan
menggunakan tegangan listrik sebesar 27 V.

5. DAFTAR PUSTAKA
Bimantara, H. A., Setiawan, A. dan Mayangsari, N. E. (2018) ‘Penurunan Konsentrasi COD , TSS , dan
Fluoride pada Limbah Cair Industri Asam Fosfat Menggunakan Elektrokoagulasi’, (2623), pp. 145–
148.
Bratby, J. (2006). Coagulation and Flocculation in Water and Wastewater Treatment Second Edition.
London: IWA.
Farhadi, S., Aminzadeh, B., Torabian, A., Khatibikamal, V., & Fard, M. A. (2012). Comparison of COD
removal from pharmaceutical wastewater by electrocoagulation, photoelectrocoagulation, peroxi-
electrocoagulation and peroxi-photoelectrocoagulation processes. Journal of Hazardous Materials,
219-220.
Jati, B. N. dan Aviandharie, S. A. (2015). Kombinasi Teknologi Elektrokoagulasi dan Fotokatalisis dalam
Mereduksi Limbah Berbahaya dan Beracun Cr (VI). Jakarta Timur. Balai Besar Kimia dan
Kemasan,Kementrian Perindustrian.
Mohammad, & Majumder, C. B. (2014). Removal of Fluoride from Synthetic Waste Water by Using "Bio
Adsorbent". International Journal of Research in Engineering and Technology, 776-785.
Setianingrum, Novie Putri. dkk. (2016). Pengaruh Tegangan dan Jarak Antar Elektroda Terhadap Pewarna
Remazol Red RB dengan Metode Elektrokoagulasi. 93-97.
Shivayogimath, C. B., & Punage, S. (2014). Optimization of Parameters for Fluoride Removal by
Electrocoagulation using Aluminum Electrodes in Monopolar Parallel Combination. International
Journal of Engineering Research & Technology (IJERT), 1276-1280.
Takdastan, A., Tabar, S. E., Islam, A., Bazafkan, M., & Naisi, A. (2015). The Effect Of The Electrode In
Fluoride Removal From Drinking Water By Electrocoagulation Process.

138
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Pengaruh Removal TDS dan warna dengan menggunakan Koagulan


Poly Aluminium Chloride (PAC) dan Tawas pada Limbah Industri
Minuman Bir

Arwinda Praditasari 1*, Adhi Setiawan1, Ulvi Priastuti1


1
Program Studi Teknik Pengolahan Limbah, Jurusan Teknik Permesinan Kapal,
Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya, Surabaya 60111
*E-mail : arwindapraditasari@student.ppns.ac.id

Abstrak
Proses produksi industri minuman bir menghasilkan limbah, parameter TDS dan warna cukup tinggi. Tujuan
dari penelitian ini menganalisis pengaruh penambahan koagulan PAC dan Tawas terhadap removal TDS dan
warna dengan menggunakan flokulan polymer anionic. Metode penelitian ini dilakukan dengan dua tahap yaitu
tahap pertama analisis karakteristik TDS dan warna air limbah fish pond dilakukan dengan pengujian jartest.
Hasil analisis parameter TDS dan warna yang belum memenuhi standart baku mutu. Konsentrasi awal TDS
dan warna air limbah industri menunjukan adalah 1450 mg/L dan 218 PtCo. Hasil penelitian didapatkan dosis
optimum koagulan PAC dan flokulan polymer anionic sebesar 40 mg/L dan 3 mg/L dengan efisiensi removal
TDS dan warna sebesar 82,46 % dan 82,09%. Dosis optimum koagulan tawas dan flokulan polymer anionic
yaitu 35 mg/L dan 3 mg/L dengan efisiensi removal TDS dan warna sebesar 70,69 % dan 78,60 %.

Kata Kunci : Limbah Fish Pond, Koagulan Poly Aluminium Chloride (PAC), Tawas, Flokulan Polymer
Anionic.

1. PENDAHULUAN
Industri minuman bir merupakan usaha dibidang minuman beralkohol. Industri minuman bir di
Sampang Agung merupakan salah satu industri berskala besar. Industri minuman bir memerlukan air untuk
kebutuhan sanitari dengan rata-rata sebanyak 40 m3/jam, Proses pada industri minuman bir ini, parameter
TDS dan warna masih belum memenuhi baku mutu Peraturan Menteri Kesehatan No. 32 Tahun 2017 yang
dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan. Limbah cair industri minuman bir yang dibuang di sungai
akan mengakibatkan penurunan kualitas air. Hal tersebut mempengaruhi kondisi perairan dan akan
berdampak pada organisme yang ada di dalam air. Dalam mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan
pengolahan air limbah guna menurunkan nilai TDS dan warna untuk mencegah pencemaran lingkungan.
Parameter TDS dan warna pada limbah industri minuman bir mempunya konsentrasi 1450 mg/L dan 218
PtCo. Koagulasi – flokulasi merupakan salah satu proses pengolahan air limbah yang dapat digunakan
dalam penelitian ini. Pemilihan ini dikarenakan prosesnya yang sederhana, mudah diaplikasikan, biaya
relatif murah, dan mampu mengolah limbah hingga memenuhi baku mutu (Rusydi & Suherman, 2016).
Koagulasi adalah proses penambahan koagulan terhadap partikel – partikel koloid sehingga
menyebabkan destabilisasi partikel. Koagulan biasa dibubuhkan ke dalam air yang dikoagulasi yang
bertujuan untuk pembentukan flok dan untuk mencapai sifat spesifik flok yang diinginkan sehingga mudah
mengendap. Koagulan adalah zat kimia yang menyebabkan destabilisasi muatan negatif partikel di dalam
suspensi. Zat ini merupakan donor muatan positif yang digunakan untuk mendestabilisasi muatan negatif
partikel (Mayasari & Hastarina, 2018).Koagulan yang umum digunakan pada pengolahan air antara lain :
Aluminium Sulfat, Sodium Aluminat, Poly Aluminium Chloride (PAC), Ferri Sulfat, Ferri Klorida, dan
Ferro Sulfat.
Flokulasi adalah proses lanjutan dari koagulasi, flokulasi proses pengumpulan partikel – partikel
dengan muatan tidak stabil yang kemudian saling bertubrukan sehingga membentuk kumpulan partikel –
partikel dengan ukuran yang lebih besar (Rusydi & Suherman, 2016). Penelitian ini menggunakan proses
koagulasi – flokulasi dengan menggunakan dua bahan kimia koagulan yaitu Poly Aluminium Chloride
(PAC) dan tawas dengan flokuan polymer anionic. Tawas merupakan bahan koagulan yang paling banyak
digunakan. PAC merupakan alternatif dari tawas. PAC merupakan salah satu koagulan polimer utama yang
digunakan secara luas pada pengolahan air dan air limbah.
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Tamzil, Aziz Dwi Yahrinta Pratiwi, dan Lola Rethiana
(2013). Menunjukkan pengaruh penambahan tawas (Al2(SO4)3) dan Kaporit (Ca(OCl)2) terhadap
karakteristik fisik dan kimia air sungai lambidaro. Hasil penelitian ini, menggunakan 3 variasi dosis untuk
139
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

dianalisis yaitu 25 mg/L, 50 mg/L, 75 mg/L, dan 100 mg/L. Parameter yang diukur TDS, TSS, COD, BOD,
warna, sianida, fluorida, dan ammonia. Hasil penelitian menunjukkan dosis optimum yaitu 50 ppm dengan
penurunan konsentrasi hingga 89 ppm.

2. METODE
Penelitian ini dilakukan mengambil sampel air limbah dengan metode grab sampling pada outlet air
limbah fish pond sebanyak 30 liter. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Poly Aluminium
Chloride (PAC), tawas dan flokulan yang digunakan polymer anionic jenis padat. Konsentrasi larutan
koagulan PAC dan tawas dibuat dengan kosentrasi 1% dan flokulan polymer anionic dibuat dengan
konsentrasi 1%. Pada koagulan PAC dan tawas menggunakan variasi dosis yaitu 30 mg/L, 35 mg/L, 40
mg/L dan 45 mg/L dan variasi dosis flokulan polymer anionic yaitu 1 mg/L, 2 mg/L, dan 3 mg/L.
Pengolahan dilakukan dengan sistem batch dengan air limbah 500 mL pada 6 gelas beker berukuran 1000
mL dengan pengaduk mekanis. Pengadukan cepat (rapid mixing) dengan kecepatan 150 rpm selama 1 menit
dan pengadukan lambat (slow mixing) dengan kecepatan 60 rpm selama 20 menit pada sampel limbah fish
pond. Setelah itu, air limbah didiamkan mengendapan selama 4 menit. Fase cair yang terbentuk pada proses
pengendapan, dianalisis untuk mengetahui parameter TDS dan warna yang akan digunakan untuk
menentukan dosis optimum koagulan – flokulan air limbah fish pond.
Pengukuran TDS dilakukan dengan menggunakan kertas saring Whatman Grade 934 AH yang telah
dikeringkan dalam oven 105 0C dan diuapkan selama 1 jam dalam suhu 105 0C. Pengujian TDS berpedoman
pada SNI 06-6989.27-2005 tentang Cara Uji Padatan Tersusupensi Total Secara Gravimetri. Pengukuran
warna dilakukan dengan spektrofotometri pada panjang gelombang 450 nm – 465 nm dengan menggunakan
larutan standar. Pengujian warna bepedoman pada SNI 06-6989.27-2005 tentang cara uji warna secara
spektrofotometri.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Analisis Karakteristik TDS Dan Warna pada Limbah Fish Pond
Analisis karakteristik TDS dan warna pada air limbah fish pond ini dilakukan pada kondisi awal
sebelum penambahan koagulan-flokulan. Hasil analisis parameter TDS dan warna pada air limbah fish
pond dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Analisis Parameter TDS dan Warna Air Limbah Fish Pond Industri Minuman Bir
No Parameter Satuan Hasil Analisa Baku Mutu Metode Pengujian
1 TDS mg/L 1450 1000 Gravimetri
2 Warna PtCo 218 50 Spektometer

Berdasarkan hasil pengujian, parameter TDS dan warna pada air limbah fish pond belum memenuhi
baku mutu, sehingga perlu dilakukan penanganan agar konsentrasi TDS dan warna pada industri
minuman bir ini dapat memenuhi baku mutu.

B. Hasil Pengujian Metode Jartest


Pengaruh Dosis Koagulan – Flokulan Terhadap Efisiensi Removal TDS

Gambar 1. Pengaruh Koagulan PAC Terhadap Efisiensi Removal TDS

140
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Gambar 1 menunjukkan kenaikkan efisiensi removal koagulan PAC dari dosis 30 mg/L hingga 40
mg/L dengan penambahan dosis flokulan 1 mg/L hingga 3 mg/L, hal ini disebabkan PAC memiliki
muatan positif yang tinggi dan dapat mengikat koloid secara kuat untuk membentuk agregat (Mayasari
& Hastarina, 2018). Penambahan dosis koagulan PAC 45 mg/L menyebabkan penurunan efisiensi
removal, hal ini dikarenakan kation yang dilepaskan terlalu berlebihan dari pada yang dibutuhkan oleh
partikel koloid dalam air yang bermutan negatif untuk membentuk flok akibatnya akan terjadi
penyerapan kation yang berlebihan dan terjadi gaya tolak – menolak antar partikel atau terjadi
restabilisasi (Margareta & Mayangsari, 2012). Parameter TDS mengalami efisiensi removal terbesar
yaitu 82,46 % pada dosis 40 mg/L dan dosis flokulan polymer anionic 3 mg/L.
Gambar 2. Pengaruh Koagulan Tawas Terhadap Efisiensi Removal TDS

Gambar 2 menunjukkan kenaikan efisiensi removal pada koagulan tawas dengan dosis 30 mg/L
hingga 35 mg/L dengan penambahan dosis flokulan polymer anionic 1 mg/L hingga 3 mg/L, hal ini
disebabkan koagulan tawas memiliki muatan positif yang bisa mengikat partikel – partikel koloid
yang besifat negatif (Kristijarti, Suharto, & Marienna, 2013). Dosis koagulan tawas 40 mg/L hingga
45 mg/L mengalami penurunan efisiensi removal, hal ini disebabkan kation yang dilepaskan terlalu
berlebihan dari pada yang dibutuhkan oleh partikel koloid dalam air limbah yang bermutan negatif
untuk membentuk flok akibatnya akan terjadi penyerapan kation yang berlebihan dan terjadi gaya tolak
– menolak antar partikel atau terjadi restabilisasi. (Margareta & Mayangsari, 2012). Efisiensi removal
TDS didapat sebesar 70,69% pada dosis optimum koagulan tawas 35 mg/L dan dosis flokulan 3 mg/L.

Pengaruh Dosis Koagulan-Flokulan Terhadap Efisiensi Removal Warna

Gambar 3. Pengaruh Koagulan PAC Terhadap Efisiensi Removal Warna

Gambar 3 pengaruh koagulan PAC terhadap efisiensi removal warna dengan variasi dosis koagulan
30 mg/L hingga 40 mg.L dengan ditambahkan dosis flokulan polymer anionic 1 mg/L hingga 3 mg/L
mengalami kenaikan, hal ini disebabkan air limbah fish pond bermuatan negatif akan berikatan dengan
koagulan PAC memiliki muatan positif dan dapat mengikat koloid secara kuat untuk membentuk
partikel koloid (Winarni, 2003). Dosis optimum koagulan PAC 40 mg/L dan flokulan 3 mg/L dengan
efisiensi removal 82,09%. Pada dosis koagulan PAC 45 mg/L mengalami penurunan efisiensi removal,
hal ini disebabkan terjadinya restabilisasi koloid yang menyebabkan konsentrasi warna meningkat,
141
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

dosis koagulan berlebih dapat menurunkan efisiensi removal air limbah (Mayangsari & Hastarina,
2018).
Gambar 4. Pengaruh Koagulan Tawas terhadap Efisiensi Removal Warna

Gambar 4 menunjukkan kenaikan efisiensi removal pada koagulan tawas dengan dosis 30 mg/L
hingga 35 mg/L dengan penambahan dosis flokulan polymer anionic 1 mg/L hingga 3 mg/L, hal ini
disebabkan koagulan tawas memiliki muatan positif yang bisa mengikat partikel – partikel koloid
yang besifat negatif (Kristijarti, Suharto, & Marienna, 2013). Dosis koagulan tawas 40 mg/L hingga
45 mg/L mengalami penurunan efisiensi removal, hal ini disebabkan terjadinya restabilisasi koloid
yang menyebabkan konsentrasi warna meningkat (Mayangsari & Hastarina, 2018). Efisiensi removal
warna didapat 78,60% pada dosis optimum koagulan Tawas 35 mg/L dan dosis flokulan 3 mg/L.

4. KESIMPULAN
Koagulan PAC menunjukkan penurunan parameter TDS dan warna yang lebih efektif pada semua
variasi dibandingkan dengan koagulan tawas . Efisiensi removal TDS tertinggi pada koagulan PAC yaitu
sebesar 82,46 % dan warna sebesar 82,09 %. Hal ini disebabkan koagulan PAC lebih cepat membentuk
flok dari pada koagulan tawas. Koagulan PAC memiliki gugus aktif aluminat yang bekerja efektif dalam
mengikat koloid yang diikatan ini diperkuat dengan rantai polimer dari gugusan polielektrolit sehingga
gumpalan floknya menjadi lebih padat (Mayangsari & Hastarina, 2018). Berdasarkan hasil analisis tersebut,
pada pengujian secara batch akan menggunakan dosis optimum pada koagulan PAC sebesar 40 mg/L dan
flokulan polymer anionic sebesar 3 mg/L yang dapat digunakan dalam pengolahan limbah fish pond.
Parameter TDS dan warna dari konsentrasi 1450 mg/L dan 218 PtCo menjadi 254.37 mg/L dan 99,12 PtCo.

5. UCAPAN TERIMA KASIH


Pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada Bapak Suwandono di Multi Bintang
Indonesia atas semua ilmu, wawasan yang diberikan dan bantuan dalam pengambilan data, penyediaan
fasilitas penelitian di Laboratorium WWTP PT. Multi Bintang Indonesia.

6. DAFTAR PUSTAKA
Kristijarti, A., Suharto, I., & Marienna. (2013). Penentuan Jenis Koagulan Dan Dosis Optimum Untuk
Meningkatkan Efisiensi Sedimentasi Dalam Instalasi Pengolahan Air Limbah Pabrik Jamu X.
Laporan Penelitian.
Margareta, Mayangsari, R., & Dkk. (2012). Pengaruh Kualitas Air Baku Terhadap Dosis Dan Biaya
Koagulan Aluminium Sulfat Dan Poly Aluminium Chloride. Jurnal Teknik Kimia, 18(4).
Mayangsari, R., & Hastarina, M. (2018, Oktober). Universitas Muhammadiyah Palembang. Optimalisasi
Dosis Koagulan Aluminium Sulfat Dan Poli Aluminium Klorida (PAC) (Studi Kasus PDAM Tirta
Musi Palembang), 3(2), 2654 - 5551.
Mayasari, R., & Hastarina, M. (2018, Oktober). Optimasi Dosis Koagulan Aluminium Sulfat Dan Poli
Aluminium Klorida (PAC) (Studi Kasus PDAM Tirta Musi Palembang). Intergrasi, 3(2).
Putra, S., Rantjono, S., & Arifiansyah, T. (2009). Optimasi Tawas Dan Kapur Untuk Koagulasi Air Keruh
Dengan Penanda I-131. Seminar Nasional V (Pp. 1978-0176). Yogyakarta: Sekolah Tinggi Teknologi
Nuklir-Batan.

142
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Rusydi, A. F., & Suherman, D. (2016). Pengolahan Air Limbah Tekstil Melalui Proses Koagulasi -
Flokulasi Dengan Menggunakan Lempung Sebagai Penyumbang Partikel Tersuspensi Studi Kasus :
Banaran, Sukoharjo Dan Lawean, Kerto SURO, Jawa Tengah. Arena Tekstil, 31(2), 105-114.

143
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Halaman ini sengaja dikosongkan

144
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Pengolahan Limbah Cair Logam Berat Pb (II) menggunakan Kombinasi


Metode Elektrokoagulasi - Adsorpsi dengan Karbon Aktif Biji Alpukat

Rizka Lutfita Hanastasia1*, Adhi Setiawan1, Tarikh Azis Ramadani1


1
Program Studi D4 Teknik pengolahan Limbah, Jurusan Teknik Permesinan Kapal, Politeknik Perkapalan
Negeri Surabaya, Surabaya, 6011
*Email: rizkalutfita@student.ppns.ac.id

Abstrak

Keberadaan logam berat Pb(II) dalam air dapat menimbulkan risiko yang sangat berbahaya bagi makhluk
hidup apabila melebihi nilai baku mutu. Logam berat Pb(II) bersifat biomagnifikasi, yaitu dapat terakumulasi
dan tinggal di jaringan tubuh organisme dalam jangka waktu lama. Proses Elektrokoagulasi – Adsorpsi dapat
dijadikan salah satu metode alternatif untuk mengatasi penurunan keberadaan logam berat Pb. Metode
elektrokoagulasi didasarkan pada proses elektrokimia. Elektroda yang digunakan berupa aluminium dengan
reaktor uji berukuran 20 x 20 x 15 cm pada variasi tegangan sebesar 10, 20, dan 30 volt dengan waktu
kontak selama 30 menit. Limbah hasil elektrokoagulasi dilakukan treatment dengan metode adsorpsi.
Adsorpsi bertujuan untuk membantu penurunan efisiensi removal logam berat Pb(II) dengan menggunakan
karbonasi dari biji alpukat dengan variasi waktu adsorpsi 15 menit, 30 menit, dan 45 menit dengan massa
0,75, dan 1, gram. Hasil penelitian menyatakan bahwa pada saat proses elektrokoagulasi semakin tinggi nilai
tegangan maka semakin baik nilai efisiensi removal, dan semakin meningkat massa dan waktu adsorpsi
semakin tinggi efisiensi removal logam berat Pb(II). Pada tegangan 30 volt menghasilkan nilai efisiensi
removal 90,18 %, Pada treatment menggunakan metode adsorpsi biji alpukat pada waktu adsopsi 45 menit
dengan massa adsorben 1 gram menghasilkan nilai efisiensi removal 95,87%.

Kata kunci : Adsorpsi, Biji Alpukat, Elektrokoagulasi, Logam berat.

1. PENDAHULUAN
Limbah cair logam berat merupakan limbah yang dapat membahayakan manusia dan lingkungan
sekitar. Jenis logam berat yang merupakan unsur membahayakan kesehatan antara lain timbal, Pb
berbahaya karena bersifat biomagnifikasi, yaitu dapat terakumulasi dan tinggal dijaringan tubuh organisme
dalam jangka waktu lama sebagai racun terakumulasi Siregar & Murtini (2008). Pengaruh konsentrasi Pb
yang berlebihan dalam air dapat menimbulkan terganggunya kesehatan manusia seperti anemia berat, dari
adanya dampak negatif pencemaran logam Pb dapat dikurangi dengan pengolahan terhadap limbah
tersebut.
Penerapa Proses Elektrokoagulasi – Adsorpsi dapat dijadikan salah satu metode alternatif untuk
mengatasi penurunan keberadaan logam berat Pb tersebut. Fibrianti & Azizah, (2015) pada penelitiannya
melaporkan bahwa eletrokoagulasi pada penurunan logam Pb yaitu dalam penelitian elektrokoagulasi
dengan kombinasi elektroda Al - Al mempunyai efisiensi maksimum yakni sebesar 75,84%. Untuk
meningkatkan efisiensi tersebut, diperlukan proses adsorpsi menggunakan karbonasi dari biji alpukat. Biji
Alpukat dipilih karena mengandung senyawa organik yang tinggi yaitu amilosa 43,3% dan amilopektin
37,7% (Lubis, 2008). Amilosa dan amilopektin tersebut diubah menjadi kadar pati 80,01%. Kadar pati yang
tinggi menunjukan bahwa kadar karbon yang dimiliki juga tinggi. Pada proses elektrokoagulasi digunakan
tegangan yang berbeda dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh tegangan terhadap penurunan logam
berat. Pada proses adsorpsi digunakan waktu kontak dan massa adsorben yang berbeda dengan tujuan untuk
mengetahui pengaruh waktu kontak dan massa adsorben terhadap penurunan logam berat Pb.

145
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

2. METODE
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat elektrokoagulasi, DC power supply,
elektroda aluminium. Sedangkan bahan–bahan yang yang digunakan adalah sampel limbah cair buatan
yang mengandung logam berat Pb, biji apukat, H3PO4 30%,aseton. Prosedur penelitian terdiri dari:
A. Preparasi karbon aktif
Biji alpukat dihilangkan kulit ari, kemudian dipotong - potong dan dicuci. Biji alpukat yang
sudah dicuci bersih dikeringkan di bawah sinar matahari dan dioven dengan suhu 150º C. Biji alpukat
dimasukkan dalam furnace suhu 400ºC, kemudian biji alpukat yang telah dihancurkan diayak dengan
menggunakan ayakan 60 mesh. Setelah itu dilakukan aktivasi kimia dengan merendam menggunakan
H3PO4 30 %, dan dikeringkan dalam oven.
B. Proses elektrokoagulasi
Percobaan ini menggunakan variasi tegangan sebesar 10, 20, 30 volt dengan waktu kontak
tetap yakni 30 menit. Dilakukan pembuatan desain reaktor uji dengan tujuan untuk memudahkan pada
tahap pembuatan reaktor uji. Dimensi dari reaktor dapat dilihat pada Gambar 1 dan untuk komponen
elektrokoagulasi dapat dilihat pada Tabel 1.

Keterangan:
A = Plat elektroda

B = kran

C = DC power supplay

Gambar 1. Reaktor Elektrokoagulasi

Tabel 1. Perencanaan Elektrokoagulasi


Dimensi reaktor 20 x 20 x 15 cm
Bahan reaktor Akrilik
Dimensi elektroda 16 cm x 10 cm
Jenis elektroda Aluminium
Jarak antar elektroda 1 cm
Jumlah elektroda 8 buah
Waktu detensi 30 menit
Tegangan 10, 20, 30 volt
Desain rangkaian Monopolar
Elektroda Tercelup 10 m2/m3
Alat ukur Dc Power supply
Kabel + capitan buaya
C. Proses Adsorpsi
Metode ini dilakukan dengan sistem batch yaitu limbah cair elektrokoagulasi dimasukan ke dalam
gelas beker yang telah diisi oleh karbon aktif, diletakan pada hotplate dan magnetic stirrer. Pada
percobaan adsorpsi ini dilakukan dengan waktu kontak 15 menit. Pengujian konsentrasi Pb
menggunakan Spektrometri Serapan Atom (SSA).

146
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

D. Karakterisasi karbon aktif


Pengujian spesifikasi karbon aktif bertujuan untuk mengetahui kadar air, kadar abu bagian yang
hilang pada suhu 950ºC, kadar karbon terikat dan daya serap karbon terhadap iodin. Metode dan standar
yang digunakan dalam pengujian karbon aktif tercantum dalam SNI 06-3730-1995 tentang syarat mutu
dan pengujian karbon.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengujian kualitas arang aktif digunakan sebagai indikator syarat mutu karbon aktif menurut
SNI yang akan digunakan sebagai bahan adsorben. Kualitas karbon aktif biji alpukat dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Pengujian Karbon Aktiv setelah Aktivasi
Parameter Satuan Hasil Uji Standar
Kadar Air % 5,62 Max, 15
Kadar Abu % 4,14 Max, 10
Kadar Zat Menguap % 29.05 Max, 25
Kadar Karbon Terikat % 66.8 Min, 65

Dari hasil yang didapat kadar air arang aktif pada biji alpukat berkisar 5,62% kadar air yang
dihasilkan sesuai standar SNI. Kadar abu yang terdapat pada arang aktif dapat mengurangi daya
adsorpsi arang aktif, karena pori arang aktif tertutup oleh mineral seperti K, Na, Ca dan Mg yang
menempel pada permukaan arang aktif. Kadar abu yang diperoleh berkisar 4,14%. Menunjukan
bahwa dapat memenuhi SNI (1995) untuk karbon aktif berbentuk serbuk, yaitu kurang dari 10%.
Hasil dari pengujian untuk zat terbang sebesar 29,05 melebihi standart SNI 1995. Kadar zat terbang
mempengaruhi kemampuan daya serap arang aktif yang dihasilkan yang menunjukkan
kesempurnaan proses penguraian senyawa non karbon seperti S, N2, CO2, CO, CH4, dan H2 pada
proses karbonisasi dan aktivasi. Rendahnya kadar zat terbang arang aktif menunjukkan lebih
sempurnanya penguraian senyawa non karbon seperti CO2 , CO, CH4, dan H2 saat karbonisasi. Kadar
karbon terikat yang dihasilkan berkisar antara 66,8 % dan masih memenuhi SNI (1995), yaitu dari
65%. Tinggi rendahnya kadar karbon terikat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya kadar zat terbang
dan abu. Hal ini dipengaruhi oleh kadar zat terbang yang melebihi standar SNI, sehingga kadar
karbon terikat yang diperoleh semakin tinggi. Tingginya kadar tersebut menunjukkan sedikitnya
atom karbon yang bereaksi dengan uap air menghasilkan gas CO sehingga atom karbon tertata
kembali membentuk struktur heksagonal yang banyak (Fauziah, 2009).
Pengaruh Tegangan terhadap Efisiensi Removal
Pada percobaan proses elektrokoagulasi dengan waktu operasi 30 menit pada tegangan 10 Volt
- 30 Volt, maka akan didapatkan data hasil uji laboratorium. Pengaruh nilai tegangan
elektrokoagulasi, terhadap efisiensi removal logam berat dapat dilihat pada Gambar 2.

100

98

96

94
Efisiensi Removal (%)

92

90

88

86

84

82

80
10 15 20 25 30
Tegangan (Voltase)

Gambar 2. Pengaruh Tegangan terhadap Efisiensi Removal pada proses Elektrokoagulasi

147
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Pengaruh tegangan elektrokoagulasi terhadap efisiensi removal logam berat Pb(II) dapat dilihat
bahwa dari tegangan 10 Volt hingga 30 Volt nilai efisiensi elektrokoagulasi 10 volt menghasilkan nilai 86,80
%, pada tegangan 20 Volt menghasilkan nilai 89,76%, pencapaian terbesar dicapai pada tegangan 30 volt, yaitu
menghasilkan nilai efisiensi 90,18 %. Nilai efisiensi elektrokoagulasi yang diperoleh pada tegangan 30 Volt.
Nilai tegangan listrik yang semakin meningkat menyebabkan efisiensi removal semakin meningkat pula. Hal
ini dikarenakan semakin tingginya nilai tegangan listrik yang digunakan jumlah aluminium yang teroksidasi
menjadi meningkat sehingga polutan logam berat Pb(II) dalam air limbah yang tersisihkan semakin banyak.
(Takdastan dkk, 2014).

Pengaruh Waktu Adsorpsi terhadap Efisiensi Removal


Salah satu yang mempengaruhi daya serap karbon aktif adalah waktu adsorpsi. Waktu kontak
merupakan waktu yang diberikan karbon aktif biji alpukat untuk menyerap logam Pb(II). Penentuan waktu
kontak yang banyak menyerap logam Pb (II) dilakukan pada setiap adsorben dengan variasi berat adsorben.

97.00
97.00

96.75 96.75
10 Volt 10 Volt
96.50 96.50
20 Volt 20 Volt
96.25 96.25
30 Volt 30 Volt
96.00 96.00
95.75

Efisiensi Removal(%)
95.75
Efisiensi Removal(%)

95.50 95.50
95.25 95.25
95.00 95.00
94.75 94.75
94.50 94.50
94.25 94.25
94.00 94.00
93.75 93.75
93.50 93.50
93.25 93.25
93.00 93.00
10 15 20 25 30 35 40 45 50 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Waktu Adsorbsi (menit) Waktu Adsorbsi (menit)

Gambar 3. Pengaruh waktu adsorpsi, tegangan dan Gambar 4. Pengaruh waktu adsorpsi, tegangan
massa adsorpsi 0,75 gram terhadap Efisiensi removal Pb(II) dan massa adsorpsi 1 gram terhadap efisiensi removal
Pb(II)

Berdasarkan Pada Gambar 3 dan Gambar 4, removal logam Pb(II) cenderung naik pada saat waktu
kontak 15 menit hingga 45 menit. Waktu adsopsi terbaik terjadi pada waktu adsorpsi 45 menit, tegangan 30
Volt dan massa 1 gram menghasilkan nilai efisiensi 95,87 %. Semakin lama waktu kontak maka akan semakin
tinggi efisiensi removal logamnya. Hal ini dikarenakan peningkatan kadar Pb(II) yang teradsorpsi akibat dari
semakin banyak adsorben yang digunakan, semakin banyak pula situs aktif (C=O) dan (-OH) yang terdapat
dalam adsorben biji alpukat yang dapat mengadsorpsi Pb(II). Situs aktif inilah yang digunakan untuk proses
adsorpsi secara kimia melalui pembentukan kompleks antara Pb(II) dengan situs aktif dari adsorben.
Menurut penelitian Lestari (2010) dengan bertambahnya waktu kontak, maka jumlah adsorbat yang
terserap pada permukaan adsorben akan semakin meningkat.
Pengaruh Massa Adsorpsi terhadap Efisiensi Removal
Massa karbon aktif biji alpukat divariasikan masing-masing sebesar gram 0,75 gram, dan 1 gram,
untuk mengidentifikasi pengaruh massa karbon aktif biji alpukat terhadap penurunan nilai logam berat Pb(II).
Setiap adsorben pada setiap waktu kontak yang sama, memiliki tren efisiensi removal Pb yang cenderung naik.
Hal ini dikarenakan semakin banyak massa adsorben maka akan semakin banyak situs aktif (C=O) dan(-OH)
yang terdapat dalam adsorben biji alpukat yang dapat mengadsorpsi Pb(II). Faktor yang mempengaruhi
adsorpsi adalah jumlah adsorben, dimana peningkatan massa bahan penyerap juga menandakan peningkatan
kerapatan bahan penyerap dalam larutan, sehingga daya serap tertinggi akan tercapai pada kerapatan
tertentu yang memungkinkan terjadinya interaksi yang efektif antara ion logam dengan gugus aktif (Lestari
2010).
4. KESIMPULAN
1. Tegangan berpengaruh terhadap penurunan kadar logam berat Pb. Nilai tegangan listrik yang
digunakan mempengaruhi besarnya efisiensi removal. Seiring meningkatnya nilai tegangan listrik
maka efisiensi removal logam berat Pb(II) juga meningkat pada 30 volt dengan efisiensi removal
Pb(II) 90,18%.
2. Waktu dan massa adsorben berpengaruh terhadap penurunan kadar logam berat Pb. Bertambahnya massa
adsorben yang digunakan sebanding dengan bertambahnya daya serap biji alpukat. Sehingga penurunan
148
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

kadar logam berat Pb(II) semakin tinggi. Tegangan terbaik terjadi pada 30 Volt dengan waktu adsorpsi
45 menit dengan massa 1 gram menghasilkan nilai efisiensi removal Pb sebesar 95,87%.

5. DAFTAR PUSTAKA
1. Fauziah N. 2009. Pembuatan arang aktif secara langsung dari kulit Acacia Mangium Willd dengan aktivasi
fisika dan aplikasinya sebagai adsorben. [skripsi]. Bogor: Departemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan.
Institut Pertanian Bogor
2. Fibrianti, L. D., & Azizah, R. 2015. Karakteristik, Kadar Timbal (Pb) dalam Darah, dan Hipertensi Pekerja
Home Industry Aki Bekas di Desa Talun Kecamatan Sukodadi Kabupaten Lamongan. Jurnal Kesehatan
Lingkungan, 8(1), 92–102.
3. Lubis, L.M. 2008. Ekstrak Pati Dari Biji Alpukat. Karya Ilmiah. Medan : Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara.
4. Lestari, S. 2010 Pengaruh berat dan waktu kontak untuk adsorpsi timbal(ii) oleh adsorben dari kulit batang
jambu biji. Jurnal Kimia Mulawarman Volume 8 Nomor. Samarinda
5. Siregar, T. H., & Murtini, J. T. 2008. Kandungan logam berat pada beberapa lokasi perairan Indonesia pada
tahun 2001 sampai dengan 2005. Squalen, 3(1), 7–15. Skripsi
6. Takdastan, A., Tabar, S. E., Islam, A., Bazafkan, M., & Naisi, A. (2015). The Effect of the electrode in
fluoride removal from drinking water by electrocoagulation process.

149
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Halaman ini sengaja dikosongkan

150
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Life Cycle Assessment Emisi ke Udara Pada Proses Pembakaran di Kiln


PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. Pabrik Tuban

Adinda Noer Khalizah1*, Mirna Apriani1, Ahmad Erlan Afiuddin1


1
Program Studi Teknik Pengolahan Limbah, Jurusan Teknik Permesinan Kapal,
Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya, Surabaya 60111

*E-mail : ankdinda@gmail.com

Abstrak

Besarnya kapasitas produksi PT. Semen Indonesia Pabrik Tuban yakni lima belas juta ton/tahun, berpotensi
menimbulkan peningkatan dampak khususnya pencemaran udara seperti emisi gas (CO 2, CO, SO2, NOx, Hg)
dan partikel debu. Proses yang menjadi penyebab utama pencemaran udara adalah proses pembakaran di kiln.
Upaya untuk meminimasi dampak pencemaran udara perlu dilakukan untuk menghasilkan produk ramah
lingkungan. Life Cycle Assessment (LCA) yang sesuai dengan standar ISO 14040 digunakan untuk
mengidentifikasi dampak pencemaran udara dengan pendekatan gate to gate. Metode yang digunakan adalah
Environmental Design of Industrial Products (EDIP) 2003 karena sesuai dengan goal and scope penelitian.
Berdasarkan analisa dan perhitungan SimaPro diperoleh nilai kontribusi total sebesar 1,38 GPt pada proses
pembakaran di kiln. Kategori dampak acidification merupakan kontributor terbesar dari total dampak terhadap
lingkungan dengan nilai 0,682 GPt. Analisis perbaikan dilakukan dengan melakukan komparasi bahan bakar
dengan alternative fuel dan memproduksi semen dengan rasio klinker rendah.

Keywords : EDIP, kiln, life cycle assessment, semen,

1. PENDAHULUAN
PT. Semen Indonesia merupakan perusahaan semen terbesar di Indonesia. Sejak tahun 2013 kapasitas
produksi PT. Semen Indonesia yang berada di Kabupaten Tuban naik dari 12 juta ton per tahun menjadi sebesar
15 juta ton per tahun. Besarnya kapasitas produksi PT. Semen Indonesia Pabrik Tuban menjadikan dampak
lingkungan yang dihasilkan juga cukup besar khususnya pencemaran udara seperti emisi gas dan partikel debu.
Industri semen merupakan antropogenik potensi polusi udara diantaranya debu, nitrogen oksida (NO2), sulfur
oksida (SOx), dan karbon monoksida (Faridah, 2011). Industri semen menghasilkan debu dari stock pile,
penggalian, pengangkutan bahan baku, kiln, pendinginan klinker, dan penggilingan (Nur, Hartanti, dan Sutikno
2015). Zat-zat pencemar lainnya seperti karbon monoksida, sulfur oksida, dan nitrogen oksida dihasilkan dari
pembakaran bahan bakar dan pencampuran material bahan baku (Haryanto, 2015). Pencemaran udara secara
langsung ataupun tidak, turut berpengaruh terhadap penurunan kualitas kesehatan masyarakat maupun terhadap
kondisi iklim global. Tujuan dari penelitian ini untuk mengidentifikasi dampak ke lingkungan yang dihasilkan
pada proses produksi semen, khususnya pada proses pembakaran di kiln.
Dampak pencemaran udara terutama pada proses pembakaran di kiln dapat diminimasi dengan melakukan
sebuah strategi alternatif untuk menghasilkan produk ramah lingkungan pada proses produksi di PT. Semen
Indonesia. Metode yang dapat digunakan untuk mengetahui sustainability suatu produk salah satunya adalah
Life Cycle Assessment (LCA) sesuai dengan standar ISO 14040. LCA merupakan suatu metode untuk
menyusun data secara lengkap, mengevaluasi dan mengkaji semua dampak lingkungan yang terkait dengan
produk, proses, dan aktivitas. LCA dikembangkan salah satunya adalah untuk mengkaji dampak lingkungan
yang ditimbulkan oleh pabrik dan proses produksi (Haas, dkk, 2005). Software SimaPro 8.5.2 dapat digunakan
sebagai perangkat untuk menganalisis penghematan energi dan pengurangan emisi gas rumah kaca, audit
energi dan lingkungan global yang berfokus pada siklus hidup suatu produk, serta efisiensi penggunaan
sumberdaya berupa tanah, air, energi dan sumber daya alam lainnya. LCA juga dapat digunakan untuk
menentukan potensi pemanasan global dari setiap proses pemanfaatan biomasa (Rosmeika, Sutiarso, dan
Suratmo 2010).

151
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

2. METODE
Penelitian mengacu kepada langkah–langkah studi LCA berdasarkan ISO 14040 tahun 2006, yang dibagi
menjadi empat tahap yaitu: (1) tahap identifikasi awal berupa penentuan goal dan scope penelitian yang dapat
dilihat pada Gambar 2, (2) tahap pengumpulan data berupa input, output, dan emisi (3) tahap pengolahan data
dengan metode EDIP 2003 menggunakan software SimaPro dan (4) tahap interpretasi hasil dan kesimpulan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan gate to gate karena hanya ada satu proses yang akan diidentifikasi.
Perhitungan dalam penelitian ini menggunakan basis data inventarisasi input, output dan emisi dalam satu
bulan. Data input berupa penggunaan bahan baku dan penggunaan listrik. Data output berupa produk yang
dihasilkan pada proses tersebut. Data emisi berupa beban emisi yang dihasilkan dalam satuan waktu. Data
tersebut dapat didapatkan dari perusahaan. Langkah studi LCA pada ISO 14040 dapat dilihat pada Gambar 1.

Life Cycle Assessment Framework

Goal and Scope


Definition

Direct Applications:
Product development and improvement.
Inventory Strategic planning.
Interpretation Public policy making.
Analysis
Marketing.
Others

Impact
Assessment

Gambar 1. LCA Framework

LIMESTONE CLAY
QUARRY QUARRY KETERANGAN:

= SCOPE PENELITIAN

LIMESTONE CLAY
CRUSHER CUTTER

RAW MILL KILN FINISH MILL

SHIPPING PACKER

DISPOSAL USE

Gambar 2. Proses Pembuatan Semen

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Penentuan Goal and Scope
Lingkup pada penelitian ini terbatas pada gate to gate dimulai dari awal hingga akhir proses pembakaran
di kiln. Metode yang digunakan adalah Environmental Design of Industrial Products (EDIP) 2003 dikarenakan
untuk menyesuaikan tujuan penelitian yakni mengetahui dan membandingkan nilai dari setiap kategori
dampak. Batasan impact assessment penelitian ini adalah global warming 100a, acidification, ozone formation,
dan human toxicity dari sembilan belas impact yang ada dikarenakan disesuaikan dengan scope penelitan yakni
mengidentifikasi dampak yang ditimbulkan dari pencemaran ke udara. Scope pada penelitian ini hanya sebatas
152
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

pada proses pembakaran pada kiln. Alasan pemilihan scope dikarenakan pada proses produksi semen, yang
menyumbang polusi udara terbesar adalah proses pembakaran pada kiln. Proses pembakaran pada kiln yang
menggunakan batubara mengakibatkan adanya emisi CO2, CO, SO2, NOx, Hg dan partikulat.
Analisis Inventori
Inventori dilakukan berdasarkan input dan output material didalam sistem dan juga emisi yang dihasilkan.
Data input terdiri dari: kebutuhan bahan baku dan energi/kelistrikan yang digunakan. Data output berupa
produk semen dan emisi yang dilepaskan terhadap lingkungan di setiap prosesnya. Hasil inventarisasi input,
output dan beban emisi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Life Cycle Inventory Proses Pembakaran di Kiln
*Input *Output **Beban Emisi
Material Electricity
Jumlah/bulan Material Jumlah (ton/bln) Parameter Jumlah (ton/bln)
Fuels
Umpan Kiln 963.967,7 ton Partikulat 1.498,3
Batu bara 212.292,2 ton Klinker 517.574,6 SO2 24.34518,5
IDO 73,6 ton NOx 1.902
Sekam padi 3426,8 ton CO 37.573.630,9
Cocopeat 642,5 ton CO2 21.712,2
2.849.3636,7
Penggunaan Listrik Hg
kWh 88,8
Sumber: *Data Perusahaan dan **Hasil Perhitungan
Perhitungan beban emisi yang berasal dari cerobong pada unit pembakaran pada kiln menggunakan rumus:
E=CxQ
(1)
Dimana:
E = Beban pencemaran (satuan berat/satuan waktu)
C = Konsentrasi terkoreksi (mg/Nm3)
Q = Laju alir emisi volumetric (m3/satuan waktu)

Berikut ini merupakan contoh perhitungan beban emisi yang berasal dari stack EP Kiln Tuban 1 pada
unit pembakaran dan cooler processing:
E partikulat =CxQ
= 2,85 mg/Nm3 x 19588210560 m3/bulan
= 55826400096 mg/bulan
= 55,8264001 ton/bulan

Penilaian Dampak/Impact Assessment


Penilaian dampak yang dilakukan software simaPro adalah dengan membandingkan secara langsung hasil
LCI dalam setiap kategori. Berikut ini adalah penjelasan mengenai masing – masing dampak yang akan
dibahas:
1. Global warming
Impact ini membahas tentang efek yang ditimbulkan dari peningkatan suhu di atmosfer. Konsekuensi
kemungkinan yang terjadi akibat efek tersebut mengakibatkan gas rumah kaca dengan mencairnya es
gletser dan perubahan iklim regional. Satuan dari impact ini adalah CO2eq.
2. Ozone formation
Impact ini membahas tentang proses pembentukan ozon akibat adanya radikal peroksi hasil produk dari
reaksi antara VOC dan nitrogen oksida. Pembentukan ozon ini dalam konsentrasi tinggi dapat
membahayakan bagi kesehatan manusia dan pertumbuhan tumbuhan. Satuan dari impact ini adalah
person.ppm.h untuk manusia dan m2.ppm.h untuk tumbuhan.
3. Human toxicity via air
Impact ini membahas tentang emisi dari beberapa zat (seperti logam berat) yang dapat berdampak pada
kesehatan manusia. Emisi ini dapat melalui beberapa elemen, salah satunya adalah udara. Satuan dari
impact ini adalah m3.
4. Acidification
Impact ini membahas tentang deposisi asam. Sumber utama deposisi asam adalah sulfur dioksida (SO 2)
dan nitrogen oksida (NOx) yang dibebaskan ke atmosfer melalui pembakaran bahan bakar fosil. Satuan
dari impact ini adalah m2

153
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Penilaian dampak keseluruhan ini nantinya akan dihitung sebanyak tiga tahap, yakni sebagai berikut:
a. Characterization
Characterization merupakan tahapan di mana semua zat dikalikan dengan faktor yang mencerminkan
kontribusi relatif mereka terhadap dampak lingkungan, mengukur seberapa besar dampak produk atau
jasa di setiap kategori dampak. Hasil analisa characterization dapat dilihat pada Tabel.2.

Tabel 2. Hasil Analisis Characterization


KEGIATAN
Impact Category Unit
Proses Pembakaran Penggunaan Listrik
Global Warming kg CO2 eq - 2,17 x107
Ozone Formation (Human) person.ppm.h 1,66 x108 -
Human Toxicity via Air Person 1,81 x1015 -
Acidification m2 2,07 x1011 -

Hasil analisa characterization menunjukan bahwa kegiatan pembakaran di kiln menghasilkan dampak
pada impact category global warming, ozone formation, acidification dan human toxicity. Munculnya
dampak tersebut dikarenakan adanya emisi CO, SO2, NOx, Hg dan partikulat dari penggunaan batubara
sebagai bahan bakar pada kiln. Penggunaan listrik hanya menghasilkan dampak pada impact category
global warming karena hanya menghasilkan emisi CO2 .
b. Normalization
Normalization merupakan proses analisis data, di mana membandingkan indikator dampak dengan
kategori dampak. Prosedur ini menormalkan hasil indikator dengan membagi dengan nilai referensi
yang dipilih sehingga pada prosedur ini tidak ada unit satuan yang digunakan. Hasil analisa
normalization dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Analisis Normalization
KEGIATAN
Impact Category
Proses Pembakaran Penggunaan Listrik
Global Warming - 2,8 x103
Ozone Formation (Human) 5,85 x103 -
Human Toxicity via Air 3,81 x106 -
Acidification 5,25 x108 -

Analisis normalization menunjukkan bahwa acidification merupakan impact terbesar yang dihasilkan.
Nilai analisa ini perlu dikaji kembali dikarenakan pada masing – masing impact memiliki belum
memiliki satuan yang sama agar bisa dibandingkan sehingga belum dapat diketahui impact terbesar
pada nilai satuan yang sama.
c. Weighting dan Single Score
Weighting score merupakan proses yang memberikan bobot terhadap kategori dampak yang berbeda
berdasarkan kepentingan peneliti. Single score merupakan hasil dari weighting score berdasarkan proses
kegiatan. Nilai weighting dan single score didapatkan dari nilai normalization dikalikan dengan
characterization faktor masing – masing impact sehingga dihasilkan dalam satuan yang sama, yakni
satuan single score (Pt).
Tabel 4. Hasil Analisa Weighting and Single Score
KEGIATAN
Impact Category Unit
Proses Pembakaran Penggunaan Listrik
Global Warming GPt - 3,08 x10-6
Ozone Formation
GPt 0,0417 -
(Human)
Human Toxicity via Air GPt 0.00419 -
Acidification GPt 0,682 -

Unit pembakaran pada kiln setelah memasuki analisis weighting dan single score berdampak besar
pada impact acidification. Proses pembakaran yang menghasilkan emisi SO2 dan NO2 merupakan faktor
terbesar terjadinya impact acidification. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 4 bahwa nilai proses
pembakaran memiliki nilai yang paling besar dibandingkan proses yang lain.

154
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Interpretasi Data
Interpretasi adalah langkah terakhir dalam tahapan LCA sebelum membuat keputusan dan rencana tindakan.
Berdasarkan hasil analisis impact assessment Acidification merupakan hotspot pada tingkat kategori ampak
karena memiliki nilai terbesar diantara kategori dampak yang lain. Perlu dilakukan strategi alternatif untuk
mengurangi dampak ke lingkungan yang diakibatkan oleh prose pembakaran pada kiln, salah satunya dengan
aksi mitigasi emisi. Aksi mitigasi emisi bertujuan untuk mereduksi impact category global warming 100a,
acidification, ozone formation, dan human toxicity (air) terutama impact category acidification yang menjadi
hotspot/dampak terbesar yang muncul pada proses pembakaran. Terdapat beberapa aksi mitigasi yang
digunakan untuk mereduksi emisi pada unit pembakaran dan cooler processing:

a. Komparasi Batubara dengan Alternative Fuel


Penggunaan alternative fuel dapat dijadikan salah satu bentuk mitigasi emisi untuk mengurangi
penggunaan batubara.. Bahan bakar alternatif yang dapat digunakan antara lain sampah rumah tangga,
ban bekas, sekam padi, serbuk gergaji dan limbah B3 seperti oil sludge. Pada umumnya, pemakaian
bahan bakar alternatif ini berperan sebagai pengganti batubara sebanyak 3-5% dari keseluruhan total
pemakaian batubara. Maka dari itu, nilai kalori yang terkandung dalam material merupakan komponen
yang penting dalam pemakaian bahan bakar alternatif. Selain nilai kalori, hal lain yang menentukan
pemilihan bahan bakar alternatif yaitu kandungan air dari material tersebut. Bahan bakar alternatif yang
digunakan yaitu mixing antara oil sludge, serbuk gergaji, dan sekam padi dengan proporsi mixing
45%:45%:10%, bertujuan untuk mendapatkan nilai kalori sebesar 3.000 KKal dan nilai kandungan air
sebesar 30% sebagai standar pembakaran pada kiln (Chahyanti, 2012).
b. Produksi Semen dengan Rasio Klinker Rendah
Klinker merupakan bahan utama pembuatan semen. Klinker diperoleh dari proses klinkerisasi pada kiln.
Granulated Blast Furnace Slag (GBFS) atau semen slag merupakan inovasi untuk mengurangi rasio
klinker pada pembuatan semen. Slag merupakan limbah yang diperoleh dari proses pengolahan baja
pada proses tanur tinggi. Indonesia merupakan negara yang berkembang dalam industri baja, pada tahun
2010 Indonesia menghasilkan limbah slag yang cukup tinggi sekitar 800 ribu ton/tahun (Rahmawati,
2017). Semen slag terbuat dari campuran klinker dengan slag yang selama ini hanya dikenal sebagai
bahan limbah. Penggunaan campuran slag dengan klinker sehingga menjadi semen slag telah diatur
dalam SNI 6385:2016. Slag dapat digunakan sebagai bahan campuran klinker untuk prmbuatan semen
karena mengandung senyawa yang hampir sama dengan klinker yaitu SiO 2, CaO, Al2O3, and MgO
(Tarun, 2008). Persentase slag yang dapat digunakan sebagai bahan campuran klinker antara 10-70%,
sehingga sangat efektif untuk mengurangi rasio pembuatan klinker (Turu’allo, 2013). Salah satu
keunggulan dari semen slag yaitu mempunyai kuat tekan lebih tinggi dibandingkan dengan semen
portland.

4. KESIMPULAN
1. Nilai kontribusi total dampak yang dihasilkan selama satu bulan pada proses pembakaran sebesar 1,38
GPt. Acidification merupakan dampak terbesar dengan nilai dampak sebesar 0,682 GPt.
2. Aksi mitigasi emisi pada proses pembakaran di kiln dapat dilakukan dengan melakukan komparasi
bahan bakar dengan alternative fuel dan memproduksi semen dengan rasio klinker rendah.
5. DAFTAR PUSTAKA
Chahyanti, D.A, dkk. (2015). Analisis Penerapan Alternative Fuel Project di Industri Semen : Studi Kasus
Plant 8 PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk di Citeureup, Kabupaten Bogor. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Faridah, A. (2011). Evaluasi Pengendalian Pencemaran Udara Pt. Semen Padang, Indarung-Padang
Dalam Rangka Program Proper. Jurnal Teknik Lingkungan. Universitas Diponegoro. Semarang.
Haas, G., Geier, U., Frieben, B., & Köpke, U. (2005). Estimation Of Environmental Impact Of Conversion
To Organic Agriculture In Hamburg Using The Life-Cycle-Assessment Method. University of Bonn.
Jerman. 1–16.
Haryanto, J. T. (2015). Kodifikasi dan Efektivitas Kebijakan Fiskal untuk Menurunkan Emisi Gas Rumah
Kaca pada Industri Semen , Baja dan Pulp. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 19(1), 78–97.
Nur, R. R., Hartanti, F. D., dan Sutikno, P. (2015). Studi Awal Desain Pabrik Semen Portland dengan
Waste Paper Sludge Ash Sebagai Bahan Baku Alternatif. Jurnal Teknik Kimia. Institut Teknologi
Sepuluh Nopember. Surabaya.
Rahmawati, Anita. (2017). Pengaruh Penggunaan Limbah Steel Slag Sebagai Pengganti Agregat Kasar
Ukuran ½” Dan 3/8” Pada Campuran Hot Rolled Sheet_Wearing Course (Hrs_Wc). Jurnal Teknik
Sipil. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Yogyakarta.

155
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Rosmeika, Sutiarso, L., dan Suratmo, B. (2010). Pengembangan Perangkat Lunak Life Cycle Assessment
(Lca) Untuk Ampas Tebu. Jurnal Teknologi Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Vol.30.
Tarun, R. Naik. (2008). Sustainability of Concrete Construction”, Practice Periodical on Structural Design
and Construction. ASCE Journal.
Turu’allo, Gidion. (2013). Kinerja Ground Granulated Blast Furnage Slag (Ggbs) Sebagai Bahan
Pengganti Sebagian Semen Untuk Sustainable Development. Jurnal Teknik Sipil. Universitas
Tadulako. Palu

156
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Analisis Daur Hidup pada Kegiatan Produksi Iodium

Fatimatuz Zahro’ 1*, Mirna Apriani1, Ahmad Erlan Afiuddin1


1
Program Studi Teknik Pengolahan Limbah, Jurusan Teknik Permesinan Kapal,
Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya, Surabaya 60111
*E-mail : fatimatuzz750@gmail.com

Abstrak
Menurut pusat data dan teknologi informasi ESDM pada tahun 2016 kategori industri manufaktur dan konstruksi
menyumbang emisi (GRK) sebesar 76.257 Gg CO2 eq. Dimana industri pengolahan iodium merupakan termasuk
dalam industri manufaktur di Indonesia. Peningkatan dampak lingkungan dari kegiatan perindustrian menjadi
latar belakang peraturan mengenai lingkungan semakin ketat, salah satunya yaitu Program Penilaian Peringkat
Kinerja Perusahaan (PROPER). Sehingga perlu dilakukan identifikasi dampak lingkungan dari aktivitas produksi
dalam suatu industri, salah satu metode yang digunakan yaitu metode Life Cycle Asessment (LCA). Analisis
dampak dilakukan menggunakan metode Impact 2002+. Metode ini merupakan gabungan antara metode dengan
pendekatan midpoint dan endpoint terhadap dampak kerusakan. Tahapan yang dilakukan dalam analisis LCA,
yaitu goal dan scope, life cycle inventory, life cycle impact assessment dengan menggunakan sofware SimaPro
8.5.2, dan data interpretation. Hasil analisis kontribusi dampak terhadap lingkungan diperoleh nilai kontribusi
total dampak respiratory inorganics yaitu 35,3 Pt. Kategori, terrestrial acid/nutri sebesar 1,13 Pt, dan global
warming sebesar 22,8 Pt. Interpretasi data hasil analisis LCA berupa analisis perbaikan dan rekomendasi
berdasarkan aksi mitigasi yang akan dilakukan. Aksi mitigasi dilakukan melalui pembuatan alternatif sebagai
supply energi untuk mengurangi penggunaan listrik dan penggunaan biomassa/biogas sebagai pengganti bahan
bakar fosil.
Kata Kunci : Iodium, LCA, SimaPro 8.5.2, Impact 2002+, Aksi mitigasi.

1. PENDAHULUAN
Sektor industri merupakan salah satu penyumbang emisi gas CO 2 yang cukup tinggi. Proses industri dan
penggunaan energi menyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 49.629 Gg CO2 eq. Salah satu penyebab
peningkatan terbesar dipacu oleh kenaikan jumlah kendaraan bermotor untuk kegiatan transportasi dan
penggunaan energi. Kegiatan produksi iodium pada industri pengolahan iodium juga menyumbangkan emisi
udara yang berasal dari penggunaan bahan bakar dan energi listrik. Industri pengolahan iodium dalam
kegiatannya mengacu pada pemerintah Indonesia untuk pertama kali melakukan pemetaan gondok secara
nasional pada tahun 1998 dengan parameter pembesaran kelenjar tiroid yang dilakukan secara palpasi (Muhilal,
dkk., 2000). Kebutuhan iodium untuk mencegah penyakit gondok, gangguan motorik, bisu, tuli dan
keterbelakangan mental di Indonesia masih sangat tinggi. Kegiatan pembuatan iodium pada industri pengolahan
iodium, menjadi salah satu penyumbang beban pencemaran lingkungan berupa emisi udara. Industri pengolahan
iodium termasuk dalam jenis industri manufaktur yang menghasilkan sumber pencemar berupa CO 2, NOx, SOx.
Diperlukan identifikasi emisi udara pada proses pembuatan iodium melalui identifikasi daur hidup untuk
mengetahui impact yang akan timbul. Dilakukan identifikasi emisi udara yang dihasilkan dari proses produksi
iodium dengan menggunakan metode LCA, sehingga dapat tercapai konsep produksi ramah lingkungan. Konsep
produksi ramah lingkungan bertujuan meningkatkan kualitas hidup dengan mengurangi dampak lingkungan,
pemakaian sumber daya melalui daur hidup (life cycle) dan mengetahui tingkat sustainability suatu produk
(Palupi, 2014). Identifikasi daur hidup dilaksanakan menggunakan software SimaPro sebagai perangkat untuk
analisis penghematan energi. Batasan penelitian pada proses produksi iodium dilakukan secara gate to gate pada
proses utama pengolahan iodium. Gate to gate digunakan untuk menentukan dampak lingkungan dari langkah
produksi atau proses (Gabi, 2011). Kemudian diperlukan penetuan titik kritis penyumbang emisi dengan
menggunakan metode hotspots. Analisis titik kritis dilakukan sebagai penentuan aksi mitigasi berdasarkan
kontribusi dampak terbesar yang dihasilkan pada suatu unit kegitan. Pemetaan titik kritis yang didapatkan
digunakan sebagai dasar penentuan aksi mitigasi. Aksi mitigasi diharapkan dapat mereduksi emisi yang
dihasilkan dari kegiatan/produksi yang sedang dikerjakan.

157
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

2. METODE
Langkah studi LCA menurut Harjanto (2012) dilaksanakan berdasarkan ISO 14040 tahun 2006. Dibagi
menjadi empat tahap yaitu : (1) penentuan goal and scope, (2) life cycle inventory (LCI), (3) life cycle impact
assessment (LCIA), (4) interpretasi hasil dan kesimpulan. Pengolahan data pada penelitian dilakukan untuk
mengevaluasi dampak lingkungan menggunakan software Simapro 8.5.2. Langkah LCA dapat dilihat pada
Gambar 1.

Gambar 1. Tahapan LCA (ISO 14040, 2006)


Mengacu pada Gambar 1, tahapan LCA berdasarkan ISO 14040 (2006) penjelasannya yaitu sebagai
berikut : (1) Goal and scope, merupakan ruang lingkup yang didefinisikan dengan baik untuk memastikan
keluasan dan detail studi untuk mengatasi tujuan yang dinyatakan. (2) Inventory analysis, merupakan
pengumpulan dan pengolahan data sesuai penilaian siklus hidup dengan melibatkan kuantifikasi input output
untuk suatu produk sepanjang siklus hidupnya. (3) Impact Assessment, merupakan tahap penilaian siklus hidup
yang bertujuan memahami dan mengevaluasi besar dan pentingnya dampak untuk sistem produk di sepanjang
siklus hidup produk. (4) Interpretasi data, merupakan fase penilaian siklus hidup hasil analisis inventaris dan
penilaian dampak dievaluasi sehubungan dengan tujuan dan ruang lingkup yang ditetapkan untuk menentukan
rekomendasi. Penelitian dilakukan berdasarkan batasan gate to gate dari persiapan bahan baku sampai dengan
produk hasil berupa iodium 99,5% pada proses pemurnian. Batasan penelitian ini dijabarkan pada Gambar 2.
Proses yang berada didalam boundary merupakan proses yang dianalisis.

Gambar 2. Tahap Operasi yang digunakan sebagai Scope Life Cycle Assessment
Menurut Harjanto (2014) penilaian dampak (LCIA Method) berdasarkan ISO 14044 tahun 2006, dan hasil
LCI diklasifikasikan dalam kategori dampak, sesuai dengan indikator kategori. Analisis dampak (impact
assessment) menggunakan metode Impact 2002+ melalui empat tahapan yaitu, characterization, damage
assessment, normalization dan weighting single score. Satuan yang dihasilkan pada tahapan penyetaraan satuan
dalam analisis normalization yaitu DALY, PDF*m2*yr, dan Kg CO2eq. DALY adalah ukuran yang diterima
seseorang dari keseluruhan beban penyakit, dinyatakan sebagai jumlah tahun yang hilang akibat gangguan
kesehatan cacat, atau kematian dini. PDF*m2*yr adalah bagian dari ekosistem yang berpotensi hilang per
m2/tahun, merupakan suatu unit yang digunakan untuk mengukur dampak terhadap suatu ekosistem. Kg CO2eq
digunakan sebagai satuan unit dari kategori karakterisasi dampak global warming, dan efek yang ditimbulkan
adalah perubahan iklim secara global (Harjanto, 2012). Penilaian (LCIA) ditampilkan pada Gambar 3.

158
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Gambar 3. Tahapan LCIA

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Proses pengolahan iodium pada industri ini dimulai dari air brine iodium dari sumur tambang iodium.
Proses pengolahan yang digunakan dalam memproduksi iodium yaitu dengan metode absorbsi dengan
menggunakan karbon aktif. Kegiatan proses produksi iodium terdiri dari empat proses utama, yaitu proses
absorbsi-ekstraksi, proses pengendapan, proses sentrifugasi, dan proses pemurnian. Kegiatan pengolahan ini
dapat menjadi penyumbang emisi udara yang dapat berbahaya untuk lingkungan sehingga perlu dilakukan
proses pembebanan dampak menggunakan hasil analisis inventori.
3.1 Analisis Life Cycle Inventory
Analisis inventori dilakukan berdasarkan input dan output material didalam sistem. Data Input terdiri dari
kebutuhan bahan baku, energi/kelistrikan, air yang digunakan. Data output berupa produk iodium dan emisi
yang dilepaskan terhadap lingkungan di setiap prosesnya. Bahan baku utama dalam proses pembuatan
iodium yaitu brine iodium dan beberapa tambahan bahan kimia dapat dilihat pada Tabel 1. Data inventori
yang digunakan berupa data inventarisasi tahunan perusahaan.

Tabel 1. Life cycle Inventory pada Proses Produksi Iodium.


Proses Absorbsi-Ekstraksi
Kebutuhan bahan baku : Besaran Satuan Emisi Udara Jumlah (ton/tahun)
Brine iodium 649.753,57 m3 NOx 0,3494
NaNO2 30.867 Kg CO2 166,713
H2SO4 82,81 m3 SOx 0,02
NaOH 73,85 m3
Kebutuhan Energi Listrik : 178,99 Mwh
Kebutuhan Bahan bakar solar : 3,67 m3
Proses Pengendapan
Kebutuhan bahan baku : Besaran Satuan Emisi Udara Jumlah (ton/tahun)
Larutan NaI 5.562 m3 NOx 0,0662
NaNO2 19.725 Kg CO2 2,887
H2SO4 31,565 m3
H2O2 10,24 m3
H2O (air) 870 m3
Kebutuhan Energi Listrik : 3,291 Mwh
Proses Sentrifugasi
Kebutuhan bahan baku : Besaran Satuan Emisi Udara Jumlah (ton/tahun)
Iodium Slurry 52.749,6 Kg CO2 166,713
Kebutuhan Energi Listrik : 5,43 Mwh
Proses Pemurnian
Kebutuhan bahan baku : Besaran Satuan Emisi Udara Jumlah (ton/tahun)
Endapan Iodium 54.356 kg NOx 0,3494
H2SO4 128.000 kg CO2 166,713
SOx 0,02
Kebutuhan Energi Listrik : 0,115 Mwh
Kebutuhan Bahan bakar solar : 19,328 m3
Sumber : (Inventarisasi Data Industri Pengolahan Iodium, 2018)

159
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

3.2 Life Cycle Impact Assessment


Analisis impact assessment pada proses produksi iodium dilakukan menggunakan metode impact 2002+
(Jolliet dkk., 2012). Analisis dampak dilaksankan berdasarkan 4 tahap yaitu sebagai berikut :
a. Characterization
Characterization adalah mengalikan senyawa-senyawa kimia yang berkontribusi pada impact category
dengan characterization factor untuk menggambarkan kontribusi relatif substansi impact category yang
dianalisis. Hasil analisis (characterization) dapat dilihat pada Gambar 4.

Tabel 2. Diagram Analisis Characterization Proses Produksi Iodium


Proses Proses Proses Proses
Impact Category Unit Total
Abs-Eks Pengendapan Sentrifugasi Pemurnian
Respiratory inorganics Kg PM2.5 eq 39,7 15,9 8,43 - 15,4
Terrestrial acid/nutri Kg SO2 eq 1,64x103 638 363 - 640
Aquatic acidification Kg SO2 eq 235 98,8 46,3 - 90,2
Global warming Kg CO2 eq 2,78 x105 1,67 x105 2,89 x103 4,76 x103 1,03 x105

Dampak total respiratory inorganics sebesar 39,7 Kg PM2.5 eq merupakan kontribusi dari emisi NOx
dan SOx yang dihasilkan kegiatan produksi. Dampak total Terrestrial acid/nutri sebesar 1,64 x103 Kg SO2
eq merupakan kontribusi dari emisi NOx dan SOx yang dihasilkan kegiatan produksi. Dampak total aquatic
acidification sebesar 235 Kg SO2 eq merupakan kontribusi dari emisi NOx dan SOx yang dihasilkan
kegiatan produksi. Dampak total global warming sebesar 2,78 x105 Kg CO2 eq merupakan kontribusi dari
emisi CO2 yang dihasilkan kegiatan produksi. Kontribusi dampak tersebut belum dapat dipastikan
mencemari lingkungan karena perbedaan satuan sehingga perlu dilakukan pengelompokkan impact
berdasarkan kontribusi dampak endpoint.
b. Damage Assessment
Damage assessment merupakan pengkategorian sebelas karakterisasi dampak penilaian kerusakan
endpoint. Penilaian tiga kerusakan berguna sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan
rekomendasi perbaikan. Hasil analisis damage assessment dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Diagram Analisis Damage Assessment Proses Produksi Iodium


Proses Abs- Proses Proses Proses
Damage Category Unit Total
Eks Pengendapan Sentrifugasi Pemurnian
Human Health DALY 0,0278 0,0111 0,0059 - 0,0108
Ecosystem Quaity PDF*m2*yr 1,71 x103 664 378 - 665
Climate Change Kg CO2 eq 2,78 x105 1,67 x105 2,89 x103 4,76 x103 1,03 x105

Damage assessment menunjukkan kontribusi berdasarkan dampak endpoint kemudian dikalikan


sesuai damage factor dampak endpoint. Hasil analisis damage assessment diperoleh kontribusi total
human health sebesar 0,0278 DALY, ecosystem quality sebesar 1,71 x103 PDF*m2*yr, climate change
sebesar 2,78 x105 Kg CO2eq.
c. Analisa Normalization
Normalization merupakan tahap penyetaraan satuan unit untuk semua impact category untuk
menentukan pembebanan dampak lingkungan yang akan dihasilkan. Hasil analisa kategori dampak
(normalization) dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Diagram Analisis Normalization Proses Produksi Iodium


Damage Category Total Proses Abs-Eks Proses Pengendapan Proses Sentrifugasi Proses Pemurnian
Human Health 3,92 1,57 0,832 - 1,52
Ecosystem Quaity 0,125 0,0484 0,0276 - 0,0486
Climate Change 28,1 16,8 0,292 0,481 10,4

Analisis kontribusi normalization diperoleh nilai total sebesar 3,92 dampak human health, 0,125
dampak ecosystem quality, dan 28,1 dampak climate change. Berasal dari penyamaan satuan yang
dilakukan berdasarkan hasil damage assessment kemudian dikalikan dengan normalization factor
dampak endpoint. Hasil normalization kemudian dilakukan pembobotan damage category sehingga dapat
diketahui dampak terhadap lingkungan yang dihasilkan.

160
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

d. Analisa Weighting and Single Score


 Analisis Weighting
Weighting merupakan pembobotan penilaian dari LCIA, di mana memberikan bobot atau nilai relatif
terhadap kategori dampak yang berbeda. Kategori dampak tersebut berdasarkan tingkat kepentingan
yang berhubungan. Hasil analisis kategori dampak (weighting) dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Diagram Analisis Weighting Proses Produksi Iodium


Damage Category Unit Total Proses Abs-Eks Proses Pengendapan Proses Sentrifugasi Proses Pemurnian
Human Health Pt 3,92 1,57 0,832 - 1,52
Ecosystem Quaity Pt 0,125 0,0484 0,0276 - 0,0486
Climate Change Pt 28,1 16,8 0,292 0,481 10,4

Weighting merupakan damage category yang berasal dari perkalian hasil analisis normalization dan
nilai weighting factor kemudian diakumulasi sehingga mendapat total score. Analisis kontribusi
dampak diperoleh nilai kontribusi total yaitu 3,92 Pt dampak human health, 0,125 Pt dampak ecosystem
quality, 28,1 Pt dampak climate change. Unit satuan yang digunakan yaitu Pt (point), unit skala 1 Pt
adalah perwakilan untuk satu perseribu beban lingkungan tahunan satu penduduk rata-rata eropa.
 Analisis Single Score
Analisis single score dengan metode impact 2002+ merupakan klasifikasi semua nilai dari impact
category berdasarkan proses ataupun material pembentuknya. Hasil analisis single score dapat dilihat
pada Gambar 4.

Gambar 4. Diagram analisis weighting proses produksi iodium

Analisis single score merupakan penilaian dampak berdasarkan tiga damage category, pembobotan
pada single score menjelaskan mengenai besar unit proses yang menyumbangkan dampak terhadap
lingkungan. Diperoleh kontribusi total sebesar 3,92 Pt dampak human health, 0,125 Pt dampak ecosystem
quality, 28,1 Pt dampak climate change. Proses yang menyumbangkan damage cateogory human health
dan climate change terbesar pada proses produksi iodium berasal dari proses absorbsi-ekstraksi. Damage
cateogory ecosystem quality terbesar pada proses produksi iodium berasal dari kegiatan proses
pemurnian.
3.3 Interpretasi Data
Interpretasi merupakan langkah terakhir dalam tahapan LCA sebelum membuat keputusan dan
rencana tindakan. Interpretasi dilakukan untuk menentukan isu-isu penting lingkungan, Melalui pendekatan
analisis kontribusi yang bertujuan untuk mengidentifikasi data yang memiliki kontribusi terbesar terhadap
hasil indikator dampak.
a. Analisis Kontribusi
Analisis kontribusi digunakan dengan tujuan untuk mengetahui proses produksi iodium yang memiliki
kontribusi paling dominan, sehingga pengambilan keputusan dan perbaikan terhadap sistem menjadi tepat
dan efektif sesuai dengan tujuan penelitian. Analisis kontribusi dilakukan berdasarkan nilai kontribusi dari
analisis single score. Damage category yang menghasilkan kontribusi terbanyak dari keseluruhan proses
yaitu damage category climate change sehingga digunakan sebagai titik kritis untuk rekomendasi
perbaikan.
b. Analisis Perbaikan
Hasil analisis penakaran dampak dan kontribusi diketahui bahwa permasalahan utama yang menjadi
perhatian untuk direkomendasikan perbaikan lingkungan adalah penggunaan energi listrik pada proses
absorbsi-ekstraksi dan penggunaan bahan bakar pada proses pemurnian.

161
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Tabel 6. Aksi Mitigasi dan Hasil Perbaikan pada Proses Produksi Iodium.
Aksi Mitigasi Strategi Reduksi Nilai terhadap
Lingkungan
Penggunaan energi terbarukan untuk Pembuatan alternzatif pembangkit listrik dengan
26,8 Pt
supply listrik menggunakan solar cell
Penggunaan energi terbarukan untuk Penggunaan bahan bakar biomassa/biogas, dari
keperluan lain, termasuk penggunaan limbah biomassa padat atau dari energi biogas 1,3 Pt
bahan bakar nabati limbah kotoran hewan

Berdasarkan penggunaan energi listrik, aksi mitigasi yang dilakukan adalah dengan penggunaan
energi baru terbarukan sebagai supplai listrik. Berdasarkan penggunaan bahan bakar aksi mitigasi yang
dilakukan adalah dengan penggunaan energi baru terbarukan untuk keperluan lain, termasuk penggunaan
bahan bakar nabati.

4. KESIMPULAN
Kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini yaitu analisis LCA menghasilkan kontribusi dampak
human health sebesar 3,92 Pt, dampak ecosystem quality sebesar 0,125 Pt, dampak climate change sebesar
28,1 Pt. Dampak climate change sebesar 28,1 Pt merupakan kontribusi terbanyak dari keseluruhan proses
sehingga memiliki kontribusi terbesar terhadap lingkungan. Aksi mitigasi pertama berupa pembuatan
alternatif pembangkit listrik dengan menggunakan solar cell dengan nilai reduksi terhadap emisi lingkungan
sebesar 26,8 Pt. Kemudian untuk penggunaan bahan bakar biomassa/biogas sebagai pengganti bahan bakar
fosil memiliki nilai reduksi terhadap emisi lingkungan sebesar 1,3 Pt . Stategi yang dapat dilakukan sehari-
hari dimulai dengan melakukan penghematan penggunaan energi listrik. Selain itu juga dapat dilakukan
penanaman tanaman yang dapat menyerap emisi yang dihasilkan dari kegiatan penggunaan energi listrik dari
penggunaan bahan bakar fosil.

5. UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terimakasih penulis disampaikan kepada divisi manufaktur dan pertambangan industri
pengolahan iodium. Serta dosen teknik pengolahan limbah ppns dan pihak pihak terkait yang membantu
penelitian ini serta teman teman D4 TPL angkatan 2015.

6. DAFTAR PUSTAKA
GaBi, 2011. Handbook for Life Cycle Assessment (LCA) Using the GaBi Software, PE International,
Leinfelden-Echterdingen Germany.
Harjanto, T. R. (2012). Life Cycle Assessment Pabrik Semen PT Holcim Indonesia Tbk. Pabrik Cilacap:
Komparasi antara Bahan Bakar Batubara dengan Biomassa. Jurnal Rekayasa Proses, Vol. 6, No. 2, 51-
58.
Jolliet, O., Sébastien, H., Schryver, A. D., Manuele, M., 2012. Impact 2002 + : User Guide Swiss
Federal Institute of Technology Lausanne (EPFL), Switzerland.
Muhilal, Djoko Kartono, Dewi Permaesih, Dini Latief, Tilden RL. National Survey on Iodine Deficiency
Disorders (IDD) 1996- 1998. Gizi Indonesia. 2000;24:7
Organization, S. I. (2006). International Standard 14040. International Organization, 1-11.
Palupi, A. H. (2014). Evaluasi Dampak Lingkungan Produk Kertas Dengan Menggunakan Life Cycle
Assessment (LCA) dan Analytical Network Process (ANP). Malang: Universitas Brawijaya.

162
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Perancangan dan Pembuatan Sistem Informasi Penyimpanan Data


Limbah B3 Menggunakan Metode Personal Extreme Programming (PXP)
di Industri Asam Fosfat

Rizal Hardiansyah1*, Ahmad Erlan Afiuddin1 ,Muhammad Khoirul Hasin2


1
Program Studi Teknik Pengolahan Limbah, Jurusan Teknik Permesinan Kapal, Politeknik Perkapalan
Negeri Surabaya, Surabaya 60111
2
Program Studi Teknik Otomasi, Jurusan Teknik Kelistrikan Kapal. Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya,
Surabaya 60111

*E-mail : rizal.enviro@ppns.ac.id

Abstrak
Pelaporan limbah B3 dan penyimpanan limbah B3 pada industri asam fosfat menggunakan metode pelaporan
yang manual. Data limbah B3 dicatat dan diolah menggunakan Microsoft Excel, hal tersebut juga terjadi pada
manajemen manifest dan pewadahan. Sistem informasi memiliki keunggulan mudah digunakan serta fleksibel,
sehingga proses manajemen limbah B3 hanya dilakukan input data dan data akan otomatis diolah sistem.
Metode yang digunakan untuk membuat sistem informasi penyimpanan limbah B3 di industri asam fosfat
menggunakan Personal Extreme Programming karena metode ini lebih fleksibel serta cocok dikerjakan oleh
tim kecil ataupun individu. Metode ini memiliki tahapan yaitu Requirements, Planning, Iteration dan
Initialization, Design, Implementation, System Testing, Restrospective, dan Publikasi. Pembuatan sistem
informasi penyimpanan limbah B3 data limbah diolah dalam database berbasis MYSQL dan sistem informasi
ini dibangun menggunakan framework codeigniter. Sistem informasi penyimpanan limbah B3 memiliki fitur
notifikasi, pelabelan, penyimbolan wadah, data statistik limbah B3, pelaporan dan back-up manifest limbah
B3. Fitur pelaporan untuk logbook limbah B3 dan neraca massa limbah B3 mengacu pada format MENLHK
dengan hasil berkas berupa laporan dengan format PDF dan XLS. Sistem informasi penyimpanan limbah B3
berfungsi memudahkan SHE industri asam fosfat dalam manajemen limbah B3.
Keywords : Limbah B3, Personal Extreme Programming (PXP),TPS Limbah B3

1. PENDAHULUAN
Industri atau perseorangan yang menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) wajib melakukan
penyimpanan limbah B3 (Peraturan Pemerintah No.101 tahun 2014). Proses produksi industri asam fosfat
menghasilkan limbah B3. Limbah B3 industri asam fosfat diantaranya adalah oli bekas, pengotor belerang dan
ball cart bekas (Afifi,dkk,2018). Proses penyimpanan limbah B3 di industri asam fosfat, yaitu limbah B3
disimpan pada TPS limbah B3 dan disegel dalam wadah khusus serta diberi label yang tujuanya agar limbah
tidak mencemari lingkungan.
Manajemen penyimpanan limbah B3 yang dilakukan pada industri asam fosfat menggunakan metode
pelaporan yang masih konvensional. Operator memasukan limbah B3 yang akan disimpan dalam TPS, lalu
melabelinya dan melapor pada staf SHE yang bertugas menulis dan mencatat limbah B3 yang masuk ke dalam
TPS pada logbook limbah B3. Metode pencatatan dalam logbook memiliki kekurangan seperti tidak adanya
back up data ataupun softfile data, sehingga beresiko laporan limbah B3 rusak ataupun hilang. Data limbah
yang masuk dalam logbook harus diolah terlebih dahulu menggunakan Microsoft Excel untuk dijadikan neraca
massa limbah B3.
TPS limbah B3 sebaiknya memiliki sistem informasi berbasis web, sehingga data keluar masuk limbah B3
ataupun data limbah yang ada di dalam TPS dapat tersimpan di dalam server dan resiko hilang ataupun
kerusakan data dapat diminimalisir. Sistem informasi yang dibuat menggunakan metode Personal Extreme
Programming (PXP), memiliki beberapa keunggulan dari sisi kecepatan, dengan menggunakan PXP maka
siklus hidup perangkat lunak menjadi lebih cepat, dikarenakan penyederhanaan dari metode Extreme
Programming (XP) (Dzurov, dkk, 2009).
Penelitian ini akan membahas pembuatan sistem informasi menggunakan metode PXP, dan menggunakan
framework codeigniter dalam pembuatan sistem informasi.

163
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

2. METODE
Perencanaan sistem informasi memiliki beberapa tahapan, diantaranya adalah tahap pengumpulan data
pendukung dan tahap pembuatan sistem informasi menggunakan metode PXP.

Pengumpulan Data
Pembuatan sistem informasi penyimpanan data limbah B3 membutuhkan data pendukung sistem
diantaranya adalah sebagai berikut :
 Data limbah B3 yang dihasilkan
 Karakteristik limbah B3
 Masa penyimpanan limbah B3
 Format neraca limbah B3 dan Logbook limbah B3
 Wadah yang digunakan
 Format label limbah B3

Metode pembuatan software PXP


Fase proses PXP mengacu pada penelitian yang berjudul “Personal Extreme Programming-An Agile
Process for Autonomous Developers” (Dzurov, dkk, 2009).

Gambar 1. Metode Pengembangan Software Personal Extreme Programming

Penjelasan dari tiap fase PXP pada Gambar 1 sebagai berikut.


a. Requirements
Requirements merupakan tahapan identifikasi pengguna sistem, lalu dilanjutkan dengan pembentukan
arsitektur program.
b. Planning
Planning merupakan tahapan menentukan fungsionalitas keseluruhan yang akan dikembangkan dalam
sistem.
c. Iteration Initialization
Iteration initialization merupakan fungsionalitas yang sudah dibentuk dijabarkan menjadi terperinci
dalam bentuk Unified Modeling Language (UML).
d. Design
Design merupakan tahapan sistem mulai di desain, mulai dari desain database dan desain antarmuka
pengguna.
e. Implementation
Implementation merupakan tahapan dilakukannya pengodean sistem dengan bahasa PHP serta database
menggunakan MySQL. Apabila kode selesai kemudian kode tersebut diuji dalam unit testing, apabila ada
kesalahan maka dilakukan koreksi ulang atau refactor pada tahap dimana kesalahan tersebut bermula,
apabila tidak ada kesalahan maka dilanjutkan ke unit selanjutnya.

164
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

f. System Testing
System Testing merupakan tahapan diujinya fungsionalitas sistem, apakah masih ada kekurangan atau
sudah cukup menggunakan Black Box Testing.
g. Retrospective
Retrospective merupakan tahapan pengambilan kesimpulan terhadap sistem, apabila masih ada
kesalahan maka akan dilakukan perbaikan mulai dari tahap iteration initialization .

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Data yang dibutuhkan
Data limbah B3 didapatkan dari data internal industri asam fosfat, data yang didapatkan meliputi jenis
limbah yang dihasilkan, wadah yang digunakan, karakterisitik, dan masa penyimpanan limbah B3.

Data limbah B3
Data limbah B3 yang didapatkan digunakan sebagai dataase limbah pada sistem informasi penyimpanan
data limbah B3

Tabel 1. Data Limbah B3 Industri Asam Fosfat


Kode
Masa Wadah Simbol Simbol
No Limbah B3 Limbah Fasa
Simpan Limbah B3 bahaya 1 bahaya 2
B3
Ball cart Drum
1. 90 Hari B301-4 Padat Beracun -
Terkontaminasi B3 plastik 200L
Cairan
Drum logam
2. Oli Bekas 90 Hari B105d Cair Beracun Mudah
200L
Menyala
Majun bekas Drum
3. 90 Hari B110d Padat Beracun -
terkontaminasi B3 plastik 200L
Drum
4. Katalis 90 Hari B301-3 Padat Beracun -
plastik 200L
Cairan
Drum logam
5. Solar Bekas 90 Hari B105d Cair Beracun Mudah
200L
Menyala
Drum
6 Resin 90 Hari B106-d Padat Beracun -
plastik 200L
Drum
7 Minyak trafo bekas 90 Hari B105d Cair Beracun -
plastik 200L
Drum
8 Pengotor Belerang 90 Hari B301-4 Padat Beracun -
plastik 200L
Sumber : PP no 101 Tahun 2014 dan dokumen perusahaan.

Format label dan simbol bahaya limbah B3


Format label dan simbol bahaya akan digunakan dalam menu pelabelan pada sistem informasi penyimpanan
data limbah B3. Label dan simbol limbah B3 mengacu pada PERMENLH no 14 tahun 2013.

Gambar 2. Label dan Simbol Wadah Limbah B3

165
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Format Logbook limbah B3


Logbook limbah B3 dilengkapi dengan keterangan nomor dokumen untuk limbah keluar yang diisi dengan
nomor manifest limbah B3 yang dikeluarkan, sehingga setiap limbah yang keluar dari TPS limbah B3 dapat
dipertanggungjawabkan. Format logbook yang digunakan mengacu pada PERMENLH no 3 tahun 2007.
NERACA LIMBAH B3
LEMBAR DATA MASUK DATA MASUK DAN KELUARNYA LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (B3)

MASUKNYA LIMBAH B3 KE TEMPAT PENYIMPANAN KELUARNYA LIMBAH B3 DARI TEMPAT PENYIMPANAN SISA

TANGGAL MAKSIMAL SISA LB3 YANG


JENIS SUMBER JUMLAH TANGGAL JUMLAH
MASUK PENYIMPANAN TUJUAN BUKTI NOMOR ADA DI TEMPAT
NO. LIMBAH LIMBAH LIMBAH KELUAR LIMBAH
LIMBAH S.D T=0 +90 HR, PENYERAHAN DOKUMEN PENYIMPANAN
B3 MASUK B3 B3 MASUK LIMBAH B3 (TON)
B3 180 HR) (TON ATAU KG)

1
2
3
4
5
Gambar 3. Format Logbook Limbah B3

Format Neraca Limbah B3


Neraca limbah B3 berisi informasi jumlah limbah yang dihasilkan, dikelola, dimanfaatkan, dan diserahkan
pada pihak ke 3 dalam satu periode/ tahunan. Format neraca limbah B3 yang digunakan pada sistem informasi
mengacu pada web resmi MENLHK tahun 2012.

Gambar 4. Format Neraca Limbah B3

Pembuatan Sistem Informasi


Tahap pembuatan sistem informasi menampilkan diagram database, use case, tampilan sistem informasi
dan pengetesan sistem informasi menggunakan metode black box.

Desain Database dan Use case diagram


Desain database dilakukan pendataan tabel yang digunakan untuk mendukung sistem informasi ini serta
atribut apa saja yang akan dimasukan dalam tabel. Use Case yang digunakan dalam sistem informasi
penyimpanan limbah B3 memiliki 3 jenis pengguna berdasarkan hak akses sistem yaitu SHE Officer,
Supervisor, dan Officer Admin. Use case diagram dan desain database ditunjukkan pada gambar 5.

166
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Gambar 5. Database Diagram dan Use Case Diagram

Tampilan Sistem Informasi


Tampilan sistem informasi yang digunakan menggunakan template admin LTE 2.0 yang memiliki
responbilitas dan fleksibilitas yang baik untuk tampilan melalui dekstop dan smartphone. Gambar tampilan
sistem informasi ditunjukan pada gambar 6-7.

Gambar 6. Halaman Login dan Dashboard Sistem Informasi

Gambar 7. Halaman Pelabelan dan Logbook Sistem Informasi

167
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Pengujian Sistem Informasi


Pengujian pada sistem informasi ini menggunakan metode black box testing. Pengujian blackbox (blackbox
testing) adalah salah satu metode pengujian perangkat lunak yang berfokus pada sisi fungsionalitas.

Tabel 2. Pengujian Menu Utama Sistem Informasi


No Pengujian Hasil Yang Diharapkan Hasil Kesimpulan
Pengujian
1 Menu dashboard Website akan menampilkan menu dashboard Sesuai [√ ] berhasil
harapan [ ] gagal
2 Menu Input Limbah B3 Website akan menampilkan daftar wadah Sesuai [√ ] berhasil
limbah B3 dan form input wadah dan limbah. harapan [ ] gagal
3 Menu Output Limbah Website akan menampilkan informasi daftar Sesuai [√ ] berhasil
B3 wadah tersegel dan wadah yang telah keluar. harapan [ ] gagal
4 Menu Pelaporan limbah Website akan menampilkan form pilihan Sesuai [√] berhasil
B3 tahun dan periode untuk logbook dan neraca harapan [ ] gagal
5 Menu statistik limbah Website akan menampilkan grafik data Sesuai [√] berhasil
B3 limbah B3. harapan [ ] gagal
6 Menu pelabelan dan Website akan menampilkan daftar wadah Sesuai [√ ] berhasil
penyimbolan limbah B3 limbah B3 dan tombol download. harapan [ ] gagal
7 Menu Upload Manifest Website akan menampilkan daftar manifest Sesuai [√ ] berhasil
limbah B3 yang telah terunggah. harapan [ ] gagal
8 Menu Manage User Website akan menampilkan daftar pengguna Sesuai [√ ] berhasil
sistem informasi. harapan [ ] gagal
9 Menu Setup Limbah Website akan menampilkan daftar limbah B3 Sesuai [√ ] berhasil
yang dihasilkan. harapan [ ] gagal
10 Menu Setup Website akan menampilkan daftar Sesuai [√ ] berhasil
Karakteristik karakteristik. harapan [ ] gagal
11 Menu Setup jenis Website akan menampilkan jenis limbah yang Sesuai [√ ] berhasil
Limbah ada. harapan [ ] gagal
12 Menu Setup pihak ke 3 Website akan menampilkan daftar pihak ke 3 Sesuai [√ ] berhasil
yang berkerja sama. harapan [ ] gagal
13 Menu Setup notifikasi Website akan menampilkan daftar pengguna Sesuai [√ ] berhasil
untuk notifikasi. harapan [ ] gagal

4. KESIMPULAN
Pembuatan sistem informasi penyimpanan data limbah B3 menggunakan database berbasis MYSQL, dan
dibangun menggunakan framework codeigniter. Hasil keluaran sistem informasi pada menu pelaporan limbah
B3, logbook limbah B3 dan neraca masa limbah B3 menggunakan format KEMENLHK.

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih penulis disampaikan kepada dosen D4 Teknik Pengolahan Limbah PPNS dan pihak
pihak terkait yang membantu penelitian ini serta teman teman D4 TPL.

6. DAFTAR PUSTAKA
Afifi, L. R., Ashari, L. M., & Setiani, V. (2018). Redesain Tempat Penyimpanan Sementara Limbah B3 Pada
Industri. Conference Proceeding on Waste Treatment Technology. Vol 1, hal. 27-30. Surabaya: Program
Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya.
Dzurov, Yani, K., Iva, I., & Sylvia. (2009). Personal Extreme Programming–An Agile Process for Autonomous
Developers. Proceedings of International Conference on SOFTWARE, SERVICES & SEMANTIC
TECHNOLOGIES (hal. 252). Sofia, Bulgaria: Demetra EOOD.
Indonesia, R. (2014). PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 101 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN
LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN. JAKARTA: REPUBLIK INDONESIA.
Indonesia, R. (2014). PERATURAN MENTRI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NO 14 TAHUN 2013
TENTANG SIMBOL DAN LABEL LIMBAH BERBAHAYA DAN BERACUN. JAKARTA: MENTRI
LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA.
MENLH. (2012, Februari 12). Form Penilaian Mandiri. Dipetik Januari 6, 2019, dari proper.menlh.go.id:
http://proper.menlh.go.id/portal/?view=41&desc=1&iscollps=0&caption=DOWNLOAD

168
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Rancang Bangun Pemantau Parameter Karbon Monoksida (CO)


Menggunakan Sensor Berbasis Android

Moga Jiwa Satria Mulia1*, Ahmad Erlan Afiuddin2, Ryan Yudha Adhitya3
1,2
Program Studi Teknik Pengolahan Limbah, Jurusan Teknik Permesinan Kapal,
Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya, Surabaya 60111
3
Program Studi Teknik Otomasi, Jurusan Teknik Kelistrikan Kapal,
Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya, Surabaya 60111

*E-mail : mogajiwa@student.ppns.ac.id

Abstrak

Pemantauan pencemaran kualitas udara di sekitar industri gula hanya dilakukan tiap 3 bulan sekali, sehingga
perlu adanya alat pemantau kualitas udara secara kontinyu. Penelitian ini membahas tentang alat pemantau
kualitas udara di sekitar industri gula dengan menggunakan sensor untuk pembuatan hardware dan
pemrograman software menggunakan arduino dan android. Penelitian ini merupakan penyempurnaan dari
penelitian sebelumnya yaitu analisis pengukuran kualitas udara dalam ruangan. Metode yang digunakan adalah
metode waterfall yang mencakup desain sistem, pembuatan alat, kalibrasi sensor, validasi alat dan
pemrograman sistem informasi. Sensor yang digunakan adalah sensor MQ-7 untuk gas CO. Sensor dirakit
menjadi satu dengan microcontroller wemos dan dilakukan kalibrasi sesuai standar datasheet pada sensor.
Hasil validasi yang dilakukan yaitu gas CO sebesar 11.03% yang divalidasi dengan Direct Reading.
Pemrograman sistem informasi yang dibangun menggunakan software arduino IDE dan aplikasi android yaitu
Blynk Apps. Pengukuran kualitas udara yang terhubung dengan android yaitu Blynk Apps menggunakan
sambungan wireless yang terhubung ke prototype melalui wifi shield yang sudah tertanam pada microcontroller
wemosboard. Aplikasi android ini memiliki fitur notification, value display, gauge settings, timer, dan
superchart untuk melihat dan mengakses kualitas pencemaran udara secara real-time. Prototype ini berpotensi
dapat digunakan secara mandiri oleh industri untuk memudahkan pemantauan kualitas udara yang terjadi di
sekitar industri gula dan bersifat portable.
Keywords : Pemantauan Kualitas Udara, Sensor, Wemos, Arduino IDE, dan Android.

1. PENDAHULUAN

Kualitas udara merupakan salah satu faktor utama yang menentukan kesehatan, Kebutuhan manusia dengan
udara bersih adalah sebuah prioritas yang tidak bisa dianggap hal yang sederhana. Udara merupakan materi
yang tidak bisa dilihat dengan kasat mata, namun efek dari pencemaran udara tidak bisa langsung dirasakan.
Udara ini dibedakan menjadi udara emisi dan udara ambien. Udara emisi yaitu udara yang dikeluarkan oleh
sumber emisi seperti knalpot kendaraan bermotor dan cerobong gas buang industri. Udara ambien adalah udara
bebas di permukaan bumi yang sehari-hari dihirup oleh makhluk hidup (Peraturan Pemerintah No 41, 1999).
Udara ambien yang baik perlu dilakukan pengendalian pencemaran udara. Pengendalian pencemaran udara
dapat dilakukan salah satunya dengan memantau atau mengukur kualitas udara , baik udara ambien ataupun
udara emisi. Pengukuran kualitas udara ambien dapat dilakukan di kawasan perumahan, kawasan industri, dan
kawasan padat lalu lintas dimana di kawasan tersebut banyak terjadi kegiatan manusia.
Penulis mengambil judul “Rancang Bangun Pemantau Parameter Karbon Monoksida (CO) Menggunakan
Sensor Berbasis Android” dengan tujuan dapat membantu perusahaan dalam penyajian data dan diharapkan
mampu memberikan solusi terhadap masalah pencemaran udara karena biaya yang diperlukan terjangkau
dibanding dengan alat dari badan lingkungan hidup.

2. METODE

Penelitian ini mengacu pada model prototype yang disebut metode waterfall. Metode waterfall sering
dinamakan siklus hidup klasik (classic life cycle), dimana hal ini menggambarkan pendekatan yang sistematis
dan juga berurutan pada pengembangan perangkat lunak, dimulai dengan spesifikasi kebutuhan pengguna lalu
berlanjut melalui tahapan-tahapan kebutuhan perencanaan (requirement), Desain sistem (system design),
169
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

implementasi (implementation), serta penyerahan dan pengujian sistem ke para pelanggan/pengguna (testing),
yang diakhiri dengan dukungan pada perangkat lunak lengkap yang dihasilkan (maintenance) (Waworundeng,
J., & Lengkong, O, 2018).

2.1 Requirement
Tahapan kebutuhan perencanaan (requirement) dijelaskan dengan kebutuhan alat dan bahan yang
akan digunakan untuk penelitian ini. Alat yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi 2(dua)
yaitu:
a. Hardware
Sensor MQ-7, Microcontroller Wemos D1, Liquid Crystal Display (LCD), Kabel Pelangi,
Breadboard, Laptop, Smarthphone Android, Buzzer, dan Liquid Electric Display (LED).
b. Software
Internet, Arduino IDE, dan Blynk App.

2.2 System Design and Implementation


Desain sistem dalam penelitian ini ditujukan untuk mengidentifikasi kebutuhan pemodelan dari
sistem yang dirancang. Kebutuhan pemodelan sistem yang dirancang menggunakan aplikasi
Fritzing sebagai sarana pembuatan wiring diagram, dan untuk implementasinya akan dijelaskan
dalam Gambar 1.

Mikrokontroler
Sensor MQ-7 Wemos D1

LCD
Internet
(Monitoring)

Blynk Apps
(Notification)

Smartphone (User)

Gambar 1. Diagram Alir Implementasi

Gambar 1 menjelaskan pada sensor yang digunakan yaitu sensor MQ-7 sebagai pengukur gas CO,
microcontroller yang dipakai adalah Wemos D1, LCD sebagai sarana display, koneksi internet
sebagai penghubung prototype dengan Blynk Apps sebagai aplikasi android kepada pengguna
(smartphone user).

2.3 Testing and Maintenance


Tahapan ini dilakukan proses pengerjaan pembuatan prototype termasuk kalibrasi dan
validasi. Peralatan atau komponen terutama sensor yang digunakan harus dikalibrasi terlebih
dahulu agar mendapatkan nilai yang sesuai (Baehaqi, M. N, 2017). Berikut tahapan kalibrasi pada
sensor yang digunakan :
1) Hubungkan sensor ke Microcontroller Wemos D1.
2) Nyalakan daya, lalu lakukan preheating melalui daya selama 48 jam.
3) Sesuaikan tahanan resistansi nilai resistansi beban (RL) sekitar 10 KΩ (5KΩ hingga 47 KΩ)
hingga mendapatkan nilai sinyal yang merespons tertentu konsentrasi sensor pada titik akhir 90
detik.
4) Sesuaikan tahanan beban RL lain hingga mendapatkan nilai sinyal yang merespons konsentrasi
sensor pada titik akhir 60 detik.
5) Sensor siap digunakan

Bentuk maintenance yang dapat dilakukan yaitu pengecekan berkala pada kalibrasi alat
dengan pemrograman koding sensor dalam aplikasi Arduino IDE. Sensor yang telah dilakukan
170
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

kalibrasi, akan disiapkan untuk pengujian (validasi) untuk dengan alat Direct Reading sebagai sarana
pembanding nilai atau pengukuran data yang nanti akan dihasilkan dari kedua sensor. Hasil
pengukuran data analisa ini juga melihat acuan dari datasheet pada masing-masing sensor dan analisa
data yang didapat dari alat validation, dimana data yang dihasilkan memiliki % deviasi = hal ini dapat
dilihat dari hasil analisis yang diperoleh :

Data terukur − Data Referensi


% kesalahan = x 100%
Data Referensi

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Desain Sistem dan Perancangan Prototype

Gambar 2. Wiring Diagram Sensor

Gambar 2 menjelaskan diagram yang menunjukkan desain sistem untuk prototype hardware.
Sistem ini diawali dengan sensor MQ-7 mendeteksi kadar gas CO dengan nilai berupa perubahan
ADC. Selanjutnya peran Wemos D1 R2 sebagai microcontroller akan memproses perintah konversi
dari nilai perubahan ADC ke kadar CO dalam % ppm. Wemos D1 R2 juga memberi perintah pada
LED untuk menampilkan kadar CO yang terdeteksi oleh sensor MQ-7 dan buzzer bila terdeteksi
tingginya kadar CO. Waktu heater yang dibutuhkan sebelum sensor dapat digunakan yaitu 60 detik
sesuai dengan DataSheet MQ-7.

3.2 Validasi Alat

Pengujian terkait dengan fungsionalitas setiap komponen sebagai bagian dari alat. Pengujian
dilakukan dengan memberikan gas di sekitar area sensor. Dalam pengujian ini, contoh gas yang
digunakan yaitu knalpot sepeda motor yang dikeluarkan pada keadaan terbuka yang menghasilkan
gas CO, dan didekatkan pada area sensor. Sensor mendeteksi konsentrasi gas dan program pada
Wemos board, mencocokkan dengan level kualitas udara yang telah diatur pada program sesuai
dengan nilai yang terbaca oleh sensor. Hasil dari validasi alat untuk parameter CO dikemas dalam
tabel berikut :

Tabel 1. Hasil Pengujian Kadar CO


CO (ppm)
No Jam
Alat Direct Reading
1 16:52 39.4 37
2 16:52 39.2 38
3 16:52 39.2 39
4 16:52 39.3 30
5 16:52 39.3 39
6 16:52 39.4 38
7 16:52 39.4 36
8 16:52 39.4 36
9 16:52 39.4 37

171
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

10 16:52 39.3 23
11 16:52 39.4 24
12 16:52 39.3 34
13 16:52 39.4 46
14 16:52 39.1 45
15 16:53 39.1 29
Rata - rata 39.30666667 35.4
Koreksi 11.03578154

Sumber : Penulis, 2019

Data hasil komparasi dari nilai kadar gas CO dengan Direct Reading menunjukkan alat
sudah dapat membaca nilai konsentrasi gas CO dengan nilai satuan ppm dengan baik. Nilai kadar gas
CO yang terbaca oleh prototype juga sudah mendekati kadar nilai yang ditunjukkan oleh alat
operasional Direct Reading yang sudah terkalibrasi dengan rata-rata koreksi pada saat pengujian
hanya 35.4 ppm, sedangkan rata-rata untuk prototype adalah 39.3 ppm. Koreksi atau presentase error
yang dihasilkan yaitu :

35.4 − 39.3
% kesalahan = x 100%
39.3
= 11.03%
3.2 Pemrograman Sistem pada Android
Sistem kerja alat kedalam Android memiliki 2 (dua) tahapan, yaitu konstruksi alat dengan
pemrograman Arduino IDE dan perakitan interface Blynk Apps. Perakitan interface Blynk Apps dapat
dikerjakan dengan mudah menggunakan fitur menu yang sudah tersedia di dalam aplikasi. Berikut
tahapan-tahapan dalam pembuatan alat yang terkoneksi kedalam Blynk Apps:
1) Alat harus dalam kondisi aktif untuk mendeteksi gas yang diteliti yaitu gas CO.
2) Hasil deteksi sensor akan dikirimkan ke Wemos dan diproses sesuai dengan Arduino IDE.
3) Mikrokontoller Wemos sudah memiliki board modul wireless, sehingga saat hotspot dari
smartphone yang digunakan untuk running Blynk Apps akan langsung tersambung dengan catatan
mengisi kolom auth yang dikirim ke user melalui email, dan mengisi ssid & pass sebagai id_ dan
kata sandi untuk login.
4) Sambungan antara prototype dengan Blynk Apps sudah online, koneksikan angka yang terdapat
dalam Wemos ke Blynk Apps melalui fitur value yang ada di Blynk Apps.
5) Hasil deteksi sensor nanti akan bisa langsung tersambung secara real-time level kualitas udara
yang terdeteksi oleh sensor dapat dilihat pada Gambar 2.
6) Informasi dari Blynk Apps berisi push notification kepada user jika kualitas udara mengalami
peningkatan ke level yang berbahaya dengan menambah fitur eventor settings.

172
National Conference Proceeding on Waste Treatment Technology ISSN No. 2623 - 1727
Program Studi D4 Teknik Pengolahan Limbah – Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Notifications
Value Display

Gauge

SuperChart

LED Indicator
E-mail
Timer

Gambar 3. Display Blynk Apps Android

4 KESIMPULAN
Bedasarkan hasil analisis dan pengolahan data, penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1) Desain dari rancang bangun yaitu menggunakan sensor MQ-7 untuk pengukuran gas CO. Pembacaan
dari sensor menggunakan microcontroller Wemos D1 R2 dan koding dari Arduino IDE.
2) Hasil pengujian perbandingan antara alat peneliti dengan pembanding Direct Reading yaitu untuk Gas
CO sebesar 11.03%
3) Sistem kerja pada Android yang dipakai menggunakan aplikasi Blynk Apps dengan pembuatan coding
untuk LCD, LED, buzzer, serta sensor yang disambungkan ke smartphone melalui wireless.
Penggunaan fitur value sebagai real-time data telah dapat memonitoring dan memberikan notifikasi
kualitas udara via smartphone maupun email.

5 UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih penulis disampaikan kepada dosen D4 Teknik Pengolahan Limbah PPNS dan pihak
terkait yang membantu penelitian ini serta teman-teman D4 Teknik Pengolahan Limbah.

6 DAFTAR PUSTAKA
Baehaqi, M. N., 2017. Rancang Bangun Sistem Pemantau Kualitas Udara Menggunakan Sensor
GP2Y1010AU0F dan MQ-7 Berbasis Web di Tanjung Priok. [Research Proposal] (Updated 16 Jan 2017)
Available at : http://www.researchgate.net/publication/320311350. [Accessed 06 November 2018]

Peraturan Pemerintah., 1999. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Pengendalian Pencemaran Udara. Jakarta : Presiden Republik Indonesia

Waworundeng, J., & Lengkong, O., 2018. Sistem Monitoring dan Notifikasi Kualitas Udara dalam
Ruangan dengan Platform IoT Indoor Air Quality Monitoring and Notification System with IoT Platform.
Cogito Smart Journal, Vol 4 (1), pp.94-103.

173

Anda mungkin juga menyukai