Anda di halaman 1dari 301

KARAKTERISTIK DAN

PENGELOLAAN LAHAN RAWA

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian


Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Departemen Pertanian
2006
KARAKTERISTIK DAN
PENGELOLAAN LAHAN RAWA

PENGARAH :
Irsal Las

PENYUNTING :
Didi Ardi S.
Undang Kurnia
Mamat H.S.
Wiwik Hartatik
Diah Setyorini

REDAKSI PELAKSANA :
Karmini Gandasasmita
Suwarto
Widhya Adhy
Sukmara

Diterbitkan oleh :
BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
SUMBERDAYA LAHAN PERTANIAN
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Departemen Pertanian
Jl. Ir. H. Juanda 98, Bogor 16123
Telp 0251-323012, Fax. 0251-311256
e-mail : csar@indosat.net.id
http://www.soil-climate.or.id

Edisi pertama tahun 2006

ISBN 979-9474-52-3
KATA PENGANTAR

Lahan rawa merupakan salah satu ekosistem yang sangat potensial untuk
pengembangan pertanian. Luas lahan ini, diperkirakan sekitar 33,4 juta ha, yang
terdiri atas lahan pasang surut sekitar 20 juta ha dan rawa lebak 13 juta ha.
Namun demikian, ekosistem rawa, secara alami bersifat rapuh (fragile) oleh
sebab itu dalam memanfaatkan lahan rawa dengan produktivitas optimal dan
berkelanjutan, diperlukan teknologi pengelolaan lahan yang tepat dan terpadu.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, melalui berbagai
lembaga penelitian dan kegiatan, terutama yang dikoordinasikan oleh Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian telah
mengidentifikasi karakteristik lahan rawa tersebut secara komprehensif dan
menemukan berbagai inovasi teknologi untuk mengatasi masalah yang ada,
sehingga pemanfaatannya optimal untuk kesejahteraan masyarakat. Teknologi
pengelolaan tanah, tata air mikro, ameliorasi tanah dan pemupukan, serta
penggunaan varietas yang adaptif merupakan beberapa hasil penelitian yang
telah terbukti sangat beperan dalam meningkatkan produktivitas lahan rawa.
Untuk menyebarluaskan hasil yang telah diperoleh, supaya dapat dimanfaatkan
masyarakat luas, maka hasil itu kami rangkum di dalam terbitan ini.
Buku Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa ini memuat informasi
tentang lahan rawa di Indonesia secara komprehensif mulai dari lahan rawa
secara umum, rawa pasang surut, dan rawa lebak, sampai teknologi pengelolaan
lahan sulfat masam dan gambut, pemanfaatan lahan rawa lebak, sumberdaya
hayati pertanian, konservasi dan rehabilitasi lahan rawa, dan usaha agribisnis di
lahan rawa pasang surut. Sehingga, diharapkan bisa digunakan sebagai acuan
bagi berbagai usaha praktis, di dalam pengelolaan maupun penelitian lanjutan,
untuk menemukan teknologi pemanfaatan lahan rawa yang lebih efektif dan
efisien.
Kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi bagi terbitnya buku
ini, saya sampaikan terima kasih.

Bogor, Desember 2006

Kepala Badan Penelitian dan


Pengembangan Pertanian

Dr. Ir. Achmad Suryana, MS

i
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR .................................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
I. KLASIFIKASI DAN PENYEBARAN LAHAN RAWA ......................... 1
Subagyo H.
II. LAHAN RAWA PASANG SURUT ...................................................... 23
Subagyo H.
III. LAHAN RAWA LEBAK ....................................................................... 99
Subagyo H.
IV. TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN SULFAT MASAM .............. 117
Didi Ardi Suriadikarta dan Diah Setyorini
V. TEKNOLOGI PENGELOLAAN HARA LAHAN GAMBUT ................. 151
Wiwik Hartatik dan Didi Ardi Suriadikarta
VI. TEKNOLOGI PEMANFAATAN LAHAN RAWA LEBAK ................... 181
Trip Alihamsyah dan Isdijanto Ar-Riza
VII. SUMBERDAYA HAYATI PERTANIAN LAHAN RAWA ..................... 203
Izhar Khairullah, Mawardi, dan Muhrizal Sarwani
VIII. KONSERVASI DAN REHABILITASI LAHAN RAWA ....................... 229
Abdurachman Adimihardja, Kasdi Subagyono, dan M. Al-Jabri
IX. USAHA AGRIBISNIS DI LAHAN RAWA PASANG SURUT ............ 275
Achmadi Jumberi dan Trip Alihamsyah

iii
KLASIFIKASI DAN
I PENYEBARANLAHAN RAWA
Subagyo H.

1
Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa

1.1. PENGERTIAN

Lahan rawa adalah lahan yang sepanjang tahun, atau selama waktu yang
panjang dalam setahun, selalu jenuh air (saturated) atau tergenang (waterlogged)
air dangkal. Dalam pustaka, lahan rawa sering disebut dengan berbagai istilah,
seperti “swamp”, “marsh”, “bog” dan “fen”, masing-masing mempunyai arti yang
berbeda.
“Swamp” adalah istilah umum untuk rawa, digunakan untuk menyatakan
wilayah lahan, atau area yang secara permanen selalu jenuh air, permukaan air
tanahnya dangkal, atau tergenang air dangkal hampir sepanjang waktu dalam
setahun. Air umumnya tidak bergerak, atau tidak mengalir (stagnant), dan bagian
dasar tanah berupa lumpur. Dalam kondisi alami, swamp ditumbuhi oleh berbagai
vegetasi dari jenis semak-semak sampai pohon-pohonan, dan di daerah tropika
biasanya berupa hutan rawa atau hutan gambut.
“Marsh” adalah rawa yang genangan airnya bersifat tidak permanen,
namun mengalami genangan banjir dari sungai atau air pasang dari laut secara
periodik, dimana debu dan liat sebagai muatan sedimen sungai seringkali
diendapkan. Tanahnya selalu jenuh air, dengan genangan relatif dangkal. Marsh
biasanya ditumbuhi berbagai tumbuhan akuatik, atau hidrofitik, berupa “reeds”
(tumbuhan air sejenis gelagah, buluh atau rumputan tinggi, seperti Phragmites
sp.), “sedges” (sejenis rumput rawa berbatang padat, tidak berbuluh, seperti famili
Cyperaceae), dan “rushes” (sejenis rumput rawa, seperti purun, atau “mendong”,
dari famili Juncaceae, yang batangnya dapat dianyam menjadi tikar, topi, atau
keranjang). Marsh dibedakan menjadi "rawa pantai" (coastal marsh, atau salt-
water marsh), dan "rawa pedalaman" (inland marsh, atau fresh water marsh)
(SSSA, 1984; Monkhouse dan Small, 1978).
“Bog” adalah rawa yang tergenang air dangkal, dimana permukaan
tanahnya tertutup lapisan vegetasi yang melapuk, khususnya lumut spaghnum
sebagai vegetasi dominan, yang menghasilkan lapisan gambut (ber-reaksi)
masam. Ada dua macam bog, yaitu "blanket bog”, dan "raised bog”. Blanket bog
adalah rawa yang terbentuk karena kondisi curah hujan tinggi, membentuk
deposit gambut tersusun dari lumut spaghnum, menutupi tanah seperti selimut
pada permukaan lahan yang relatif rata. Raised bog adalah akumulasi gambut
masam yang tebal, disebut “hochmoor", yang dapat mencapai ketebalan 5 meter,
dan membentuk lapisan (gambut) berbentuk lensa pada suatu cekungan dangkal.

2
Subagyo

“Fed” adalah rawa yang tanahnya jenuh air, ditumbuhi rumputan rawa
sejenis “reeds”, “sedges”, dan “rushes”, tetapi air tanahnya ber-reaksi alkalis,
biasanya mengandung kapur (CaCO3), atau netral. Umumnya membentuk
lapisan gambut subur yang ber-reaksi netral, yang disebut “laagveen” atau
“lowmoor”.
Lahan rawa merupakan lahan basah, atau “wetland”, yang menurut definisi
Ramsar Convention mencakup wilayah “marsh”, “fen”, lahan gambut (peatland),
atau air, baik terbentuk secara alami atau buatan, dengan air yang tidak bergerak
(static) atau mengalir, baik air tawar, payau, maupun air asin, termasuk juga
wilayah laut yang kedalaman airnya, pada keadaan surut terendah tidak melebihi
enam meter (Wibowo dan Suyatno, 1997).
Lahan rawa sebenarnya merupakan lahan yang menempati posisi
peralihan di antara sistem daratan dan sistem perairan (sungai, danau, atau laut),
yaitu antara daratan dan laut, atau di daratan sendiri, antara wilayah lahan kering
(uplands) dan sungai/danau. Karena menempati posisi peralihan antara sistem
perairan dan daratan, maka lahan ini sepanjang tahun, atau dalam waktu yang
panjang dalam setahun (beberapa bulan) tergenang dangkal, selalu jenuh air,
atau mempunyai air tanah dangkal. Dalam kondisi alami, sebelum dibuka untuk
lahan pertanian, lahan rawa ditumbuhi berbagai tumbuhan air, baik sejenis
rumputan (reeds, sedges, dan rushes), vegetasi semak maupun kayu-
kayuan/hutan, tanahnya jenuh air atau mempunyai permukaan air tanah dangkal,
atau bahkan tergenang dangkal.

1.2. KLASIFIKASI WILAYAH RAWA

Lahan rawa yang berada di daratan dan menempati posisi peralihan antara
sungai atau danau dan tanah darat (uplands), ditemukan di depresi, dan
cekungan-cekungan di bagian terendah pelembahan sungai, di dataran banjir
sungai-sungai besar, dan di wilayah pinggiran danau. Mereka tersebar di dataran
rendah, dataran berketinggian sedang, dan dataran tinggi. Lahan rawa yang
tersebar di dataran berketinggian sedang dan dataran tinggi, umumnya sempit
atau tidak luas, dan terdapat setempat-setempat. Lahan rawa yang terdapat di
dataran rendah, baik yang menempati dataran banjir sungai maupun yang
menempati wilayah dataran pantai, khususnya di sekitar muara sungai-sungai
besar dan pulau-pulau deltanya adalah yang dominan.

3
Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa

Pada kedua wilayah terakhir ini, karena posisinya bersambungan dengan


laut terbuka, pengaruh pasang surut dari laut sangat dominan. Di bagian muara
sungai dekat laut, pengaruh pasang surut sangat dominan, dan ke arah hulu atau
daratan, pengaruhnya semakin berkurang sejalan dengan semakin jauhnya jarak
dari laut.
Berdasarkan pengaruh air pasang surut, khususnya sewaktu pasang besar
(spring tides) di musim hujan, bagian daerah aliran sungai di bagian bawah (down
stream area) dapat dibagi menjadi 3 (tiga) zona. Klasifikasi zona-zona wilayah
rawa ini telah diuraikan oleh Widjaja-Adhi et al. (1992), dan agak mendetail oleh
Subagyo (1997). Ketiga zona wilayah rawa tersebut adalah:
Zona I : Wilayah rawa pasang surut air asin/payau
Zona II : Wilayah rawa pasang surut air tawar
Zona Ill : Wilayah rawa lebak, atau rawa non-pasang surut

1.2.1. Zona I: Wilayah rawa pasang surut air asin/payau

Wilayah rawa pasang surut air asin/payau terdapat di bagian daratan yang
bersambungan dengan laut, khususnya di muara sungai besar, dan pulau-pulau
delta di wilayah dekat muara sungai besar. Di bagian pantai ini, dimana pengaruh
pasang surut air asin/laut masih sangat kuat, sering kali disebut sebagai “tidal
wetlands”, yakni lahan basah yang dipengaruhi langsung oleh pasang surut air
laut/salin.
Di bagian pantai yang terbuka ke laut lepas, apabila pesisir pantainya
berpasir halus, dan ombak langsung mencapai garis pantai, oleh pengaruh energi
ombak dan angin biasanya terbentuk beting pasir pantai (coastal dunes/ridges),
yang di belakangnya terdapat semacam danau-danau sempit yang disebut
laguna (lagoons). Wilayah di belakang laguna, merupakan jalur yang ditumbuhi
hutan bakau atau mangrove (Rhizophora sp., Bruguiera sp.), dan masih
dipengaruhi oleh air pasang melalui sungai-sungai kecil (creeks). Di belakang
hutan mangrove, terdapat jalur wilayah yang dipengaruhi oleh air payau (brackish
water), dan ditumbuhi vegetasi nipah (Nipa fruticans). Di belakang hutan nipah,
terdapat landform rawa belakang (backswamp) yang dipengaruhi oleh air tawar
(fresh water).

4
Subagyo

Gambar 1.1. Pembagian zona lahan rawa di sepanjang daerah aliran sungai
(DAS) bagian bawah dan tengah

Selanjutnya lebih jauh ke arah daratan, pada landform cekungan/depresi,


ditempati oleh hutan rawa dan gambut air tawar (fresh-water swamp and peat
forests).
Di bagian estuari atau teluk yang terlindung dari hantaman ombak
langsung, atau di bagian pantai yang terlindung gosong pasir (sand spits), pada
bagian paling depan terdapat dataran lumpur tidak bervegetasi, yang terbenam di

5
Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa

bawah air laut sewaktu air pasang, tetapi terlihat muncul sebagai daratan
sewaktu air surut. Dataran berlumpur ini disebut ”tidal flats”, atau ”mudflats”. Pada
bagian daratan yang sedikit lebih tinggi letaknya, yang sebagian atau seluruhnya
masih digenangi air pasang, disebut ”tidal marsh” (rawa pasang surut), atau "salt
marsh” (rawa dipengaruhi air garam). Di bagian terluar yang masih dipengaruhi
oleh pasang surut, biasanya didominasi oleh vegetasi rambai (Sonneratia sp.),
api-api (Avicennia sp.), dan jeruju (Acanthus licifolius), dan di belakangnya ke
arah daratan ditumbuhi oleh hutan bakau/mangrove, dengan tumbuhan bawah
buta-buta (Excoecaria agallocha), dan pial (Acrostichum aureum). Jalur bakau ini
lebarnya beragam dan dapat mencapai 1,5-2 km ke arah darat.
Wilayah di belakang hutan mangrove, masih dipengaruhi oleh air pasang
melalui sungai-sungai kecil, namun sudah ada pengaruh air tawar dari hutan
rawa pantai lebih ke darat. Bagian yang dipengaruhi oleh air payau ini,
didominasi oleh nipah bersama panggang (Araliceae) dan pedada (Sonneratia
acida), membentuk jalur hutan nipah yang lebarnya dapat mencapai 500 m. Di
belakang jalur hutan nipah terdapat landform rawa belakang yang sudah
dipengaruhi oleh air tawar. Di rawa delta Pulau Petak, wilayah rawa belakang ini,
umumnya didominasi pohon gelam (Melaleuca leucadendron). Lebih jauh ke arah
daratan, pada sub-landform cekungan/ depresi ditempati hutan rawa dan gambut
air tawar.
Bagian wilayah pasang surut yang dipengaruhi oleh air asin/salin dan air
payau ini, di pantai timur pulau Sumatera seperti di Sumatera Selatan, Jambi, dan
Riau, umumnya masuk ke dalam daratan Pulau Delta dan sepanjang sungai
besar sejauh dari beberapa ratus meter sampai sekitar 4-6 km ke dalam. Wilayah
ini, karena pengaruh air laut/salin atau air payau, tanahnya mengandung garam-
garam yang tinggi, dikatagorikan sebagai tipologi lahan salin, dan tidak sesuai
untuk lahan pertanian.
Berapa jauh zona I wilayah pasang surut air asin/payau masuk ke arah
hulu dari muara sungai, tergantung dari bentuk estuari, yaitu bagian muara
sungai yang melebar berbentuk V ke arah laut, dimana gerakan air pasang dan
surut terjadi. Jika bentuk estuari lebar dan lurus, pengaruh air asin/salin dapat
mencapai sekitar 10-20 km dari mulut/muara sungai besar. Namun, apabila relatif
sempit dan sungai berkelok, pengaruh air asin/salin hanya mencapai jarak 5-10
km dari muara sungai. Sementara dari laut/ sungai ke arah daratan Pulau Delta,

6
Subagyo

atau ke arah wilayah pinggiran sungai, jarak masuknya air pasang dapat
mencapai sekitar 4-5 km.

1.2.2. Zona II: Wilayah rawa pasang surut air tawar

Wilayah pasang surut air tawar adalah wilayah rawa berikutnya ke arah
hulu sungai. Wilayahnya masih termasuk daerah aliran sungai bagian bawah,
namun posisinya lebih ke dalam ke arah daratan, atau ke arah hulu sungaI. Di
wilayah ini energi sungai, berupa gerakan aliran sungai ke arah laut, bertemu
dengan energi pasang surut yang umumnya terjadi dua kali dalam sehari (semi
diurnal). Karena wilayahnya sudah berada di luar pengaruh air asin/salin, yang
dominan adalah pengaruh air-tawar (fresh-water) dari sungai sendiri. Walaupun
begitu, energi pasang surut masih cukup dominan, yang ditandai oleh masih
adanya gerakan air pasang dan air surut di sungai.
Di daerah tropika yang beriklim munson, yang dicirikan oleh adanya musim
hujan dan musim kemarau, di musim hujan ditandai oleh volume air sungai yang
meningkat, berakibat bertambah besarnya pengaruh air pasang ke daratan kiri-
kanan sungai besar, dan bertambah jauh jarak jangkauan air pasang ke arah
hulu. Limpahan banjir sungai selama musim hujan yang dibawa air pasang,
mengendapkan fraksi debu dan pasir halus ke pinggir sungai. Pengendapan
bahan halus yang terjadi secara periodik selama ber-abad-abad akhirnya
membentuk (landform) tanggul sungai alam (natural levee), yang jelas terlihat ke
arah hulu dan makin tidak jelas terbentuk, karena pengaruh pasang surut, ke
arah hilir dan di muara sungai besar.
Di antara dua sungai besar, ke arah belakang tanggul sungai, tanah secara
berangsur atau secara mendadak menurun ke arah cekungan di bagian tengah
yang diisi tanah gambut. Ke bagian tengah, lapisan gambut semakin tebal/dalam
dan akhirnya membentuk kubah gambut (peat dome). Bagian yang menurun
tanahnya di antara tanggul sungai dan depresi/kubah gambut disebut (sub-
landform) rawa belakang (backswamp). Di musim kemarau, pada saat volume air
sungai relatif tetap atau malahan berkurang, pengaruh air asin/salin dapat
merambat sepanjang sungai sampai jauh ke pedalaman. Pada bulan-bulan
terkering, Juli-September, pengaruh air asin/salin di sungai dapat mencapai jarak
sejauh 40-90 km dari muara sungai.

7
Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa

Makin jauh ke pedalaman, atau ke arah hulu, gerakan naik turunnya air
sungai karena pengaruh pasang surut makin berkurang, dan pada jarak tertentu
berhenti. Di sinilah batas zona II, dimana tanda pasang surut yang terlihat pada
gerakan naik turunnya air tanah juga berhenti. Jarak zona II dari pantai,
tergantung dari bentuk dan lebar estuari di mulut/muara sungai dan kelak-kelok
sungai dapat mencapai sekitar 100-150 km dari pantai. Sebagai contoh, kota
Palembang di tepi S. Musi, pengaruh pasang surut masih terasa, tetapi relatif
sudah sangat lemah, berjarak sekitar 105 km dari pantai. Di muara Anjir Talaran
di dekat kota Marabahan di Sungai Barito, Provinsi Kalimantan Selatan, yang
berjarak (garis lurus) sekitar 65 km dari muara, pasang surut relatif masih agak
kuat.
Pencapaian air pasang di musim hujan dan air asin di musim kemarau
pada tiga sungai besar di Sumatera adalah S. Rokan: 48 dan 60 km, S.
Inderagiri: 146 dan 86 km, dan S. Musi 108 dan 42 km dari muara sungai. Di
Kalimantan, S. Kapuas Besar: 150 dan 24 km, S. Kahayan 125 dan 65 km, dan
S. Barito 158 dan 68 km dari muara sungai. Di Papua, S. Mamberamo: 30 dan 8
km, S. Lorenz (pantai selatan, barat Agats) 103 dan 63 km, dan S. Digul (barat
Merauke) 272 dan 58 km dari muara sungai (Nedeco/Euroconsult-Biec,1984).

1.2.3. Zona III: Wilayah rawa lebak, atau rawa non-pasang surut

Wilayah rawa lebak terletak lebih jauh lagi ke arah pedalaman, dan dimulai
di wilayah dimana pengaruh pasang surut sudah tidak ada lagi. Oleh karena itu,
rawa lebak sering disebut sebagai rawa pedalaman, atau rawa non-pasang surut.
Biasanya sudah termasuk dalam daerah aliran sungai bagian tengah pada
sungai-sungai besar. Landform rawa lebak bervariasi dan dataran banjir
(floodplains) pada sungai-sungai besar yang relatif muda umur geologisnya,
sampai dataran banjir bermeander (meandering floodplains), termasuk bekas
aliran sungai tua (old river beds), dan wilayah danau oxbow (oxbow lakes) pada
sungai-sungai besar yang lebih tua perkembangannya. Pengaruh sungai yang
sangat dominan adalah berupa banjir besar musiman, yang menggenangi
dataran banjir di sebelah kiri-kanan sungai besar. Peningkatan debit sungai yang
sangat besar selama musim hujan, "verval" sungai atau perbedaan penurunan
tanah dasar sungai yang rendah, sehingga aliran sungai melambat, ditambah
tekanan balik arus air pasang dari muara, mengakibatkan air sungai seakan-akan

8
Subagyo

"berhenti" (stagnant), sehingga menimbulkan genangan banjir yang meluas.


Tergantung dari letak dan posisi lahan di landscape, genangan dapat
berlangsung dari sekitar satu bulan sampai lebih dari enam bulan. Sejalan
dengan perubahan musim yang ditandai dengan berkurangnya curah hujan,
genangan air banjir secara berangsur-angsur akan surut sejalan dengan
perubahan musim ke musim kemarau berikutnya.

1.3. PENYEBARAN DAN LUAS LAHAN RAWA

1.3.1. Penyebaran lahan rawa

Sumberdaya lahan rawa di Indonesia, sebagai salah satu pilihan lahan


pertanian di masa depan, secara dominan terdapat di empat pulau besar di luar
Jawa, yaitu Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua, serta sebagian kecil di
Pulau Sulawesi. Penyebaran lahan rawa, berikut tanah gambut diilustrasikan
pada Gambar 1.2.
Di Sumatera, penyebaran lahan rawa secara dominan terdapat di dataran
rendah sepanjang pantai timur, terutama di Provinsi Riau, Sumatera Selatan, dan
Jambi, serta dijumpai lebih sempit di Provinsi Sumatera Utara dan Lampung. Di
pantai barat, lahan rawa menempati dataran pantai sempit, terutama di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (sekitar Meulaboh dan Tapaktuan), Sumatera Barat
(Rawa Lunang, Kabupaten Pesisir Selatan), dan Bengkulu (selatan kota
Bengkulu).
Di Kalimantan, penyebaran lahan rawa yang dominan terdapat di dataran
rendah sepanjang pantai barat, termasuk wilayah Provinsi Kalimantan Barat;
pantai selatan, dalam wilayah Provinsi Kalimantan Tengah, dan sedikit di
Kalimantan Selatan; serta pantai timur dan timur laut, dalam wilayah Provinsi
Kalimantan Timur. Penyebaran rawa lebak yang cukup luas, terdapat di daerah
hulu Sungai Kapuas Besar, sebelah barat Putussibau, Kalimantan Barat, serta di
sekitar Danau Semayang dan Melintang, sekitar Kotabangun, di Daerah Aliran
Sungai (DAS) bagian tengah Sungai Mahakam, Kalimantan Timur.

9
Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa

Gambar 1.2. Peta penyebaran lahan rawa dan lahan gambut di Indonesia

10
Subagyo

Di Papua, penyebaran lahan rawa yang terluas terdapat di dataran rendah


sepanjang pantai selatan, termasuk wilayah Kabupaten Fakfak, dan pantai
tenggara dalam wilayah Kabupaten Merauke. Kemudian di daerah Kepala
Burung, di sekeliling Teluk Berau-Bintuni, dalam wilayah Kabupaten Manokwari
dan Sorong.
Selanjutnya di sepanjang dataran pantai utara, memanjang dari sekitar
Nabire (Kabupaten Paniai) sampai Sarmi (Kabupaten Jayawijaya). Penyebaran
lahan rawa lebak yang cukup luas terdapat di lembah Sungai Mamberamo, yang
terletak hampir di bagian tengah pulau.
Di Sulawesi, penyebaran lahan rawa relatif tidak luas, dan terdapat
setempat-setempat di dataran pantai yang sempit. Lahn rawa yang relatif agak
luas ditemukan di pantai barat-daya kota Palu, dalam wilayah Kabupaten
Mamuju, kemudian di sekitar Teluk Bone, sepanjang pantai timur-Iaut Palopo,
dan sedikit di pantai selatan Kabupaten Toli-toli di sekitar Teluk Tomini.

1.3.2. Luas lahan rawa

Belum seluruh wilayah lahan rawa di Indonesia diteliti cukup intensif. Dari
ketiga pulau besar, Sumatera, Kalimantan, dan Papua, hanya lahan rawa pasang
surut di pantai timur Sumatera (Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Lampung)
telah banyak diteliti dan dipetakan tanahnya antara tahun 1969-1980 dalam
rangka pelaksanaan P4S (Proyek Pengembangan Persawahan Pasang Surut),
Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (sekarang, Departemen
Kimpraswil). Seluruh wilayah Pulau Sumatera, termasuk wilayah lahan rawanya,
kemudian dipetakan tanahnya pada tingkat tinjau oleh proyek LREP-I (Land
Resource Evaluation and Planning Project) Pusat Penelitian Tanah (sekarang
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian), antara tahun 1986-1990.
Di Kalimantan, lahan rawa di Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah, dan Kalimantan Selatan banyak memperoleh perhatian selama
pelaksanaan P4S. Di Kalimantan Barat, khususnya di wilayah pulau-pulau delta
di antara S. Kapuas Kecil, Punggur Besar, dan Ambawang, di sebelah selatan
kota Pontianak, seperti Rasau Jaya, Pinang luar, dan Air Putih. Di Kalimantan
Tengah di wilayah pulau delta pada aliran bawah Sungai Kahayan, antara S.
Kahayan dan Kapuas, seperti Pangkoh, Tamban luar, dan Berengbengkel. Di

11
Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa

Kalimantan Selatan, sebagian besar penelitian dikonsentrasikan di wilayah Delta


Pulau Petak, seperti di Barambai, Jelapat, dan Belawang. Selanjutnya penelitian
wilayah lahan rawa terakhir, dilakukan antara tahun 1996-1998, yaitu pada
wilayah rawa antara S. Sebangau-Kahayan-Kapuas-Kapuasmurung yang diteliti
dalam rangka pelaksanaan proyek PLG (Pengembangan Lahan Gambut Satu
Juta Hektar) di wilayah tersebut.
Di Papua, baru wilayah di sekitar Merauke, yakni daerah S. Digul-
Kabupaten Merauke, dan daerah S. Digul-Pantai Kasuari, seluas 3,7 juta ha
sudah dipetakan pada tingkat tinjau oleh Pusat Penelitian Tanah untuk
pengembangan wilayah di tempat tersebut (Puslittan, 1985, 1986). Wilayah rawa
lainnya, seperti di sekitar Teluk Berau-Bintuni, dan di pantai utara pulau antara
Nabire dan Sarmi belum pernah diteliti tanahnya. Tim peneliti
Nedeco/Euroconsult-Biec yang melakukan “Nationwide study of coastal and near
coastal swamp land in Sumatra, Kalimantan, and Irian Jaya” pada tahun 1982-
1984, diperkirakan pernah meneliti sebagian lahan rawa, khususnya di pantai
selatan Pulau Papua ini. Selama pelaksanaan P4S antara tahun 1969-1984,
lahan rawa di Papua belum sempat tertangani oleh pemerintah pusat.
Oleh karena tidak lengkapnya data dan informasi lahan rawa, maka data
luas lahan rawa di Indonesia belum dapat ditentukan secara lebih pasti dan
akurat. Luas lahan rawa masih bersifat perkiraan, dan estimasi yang dilakukan
oleh beberapa peneliti atau instansi lain, menunjukkan luas lahan rawa yang
bervariasi, seperti terlihat pada Tabel 1.1.

Data luas lahan rawa pertama kali dikemukakan oleh Mulyadi (1977), yaitu
sekitar 39,42 juta ha, sudah termasuk lahan rawa lebak. Data ini kemudian
digunakan oleh Direktorat Rawa, Departemen Pekerjaan Umum (Direktorat
Rawa, 1992; Sugeng, 1992) untuk perencanaan pengembangan lahan rawa.
Sementara itu, Nedeco/Euroconsult-Biec (1984) bekerja sama dengan Direktorat
Sumberdaya Air, Departemen Pekerjaan Umum melaksanakan studi nasional
lahan pantai di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya (Papua), tidak termasuk
pulau Sulawesi, memperoleh luas lahan rawa di ketiga pulau tersebut sebesar
23,5 juta ha. Hasil penelitian ini, diuraikan agak mendetail, disajikan pada
Lampiran 1.1. Berdasarkan peta-peta laporan akhir studi tersebut,
Nedeco/Euroconsult-Biec tampaknya tidak memasukkan penyebaran lahan rawa
lebak.

12
Subagyo

Tabel 1.1. Estimasi luas lahan rawa di Indonesia


Lahan rawa
Sumber data Pulau Tanah Tanah
Rawa lebak Total
gambut mineral
……………………………… ha ……….……………..………
Polak, 1952 Indonesia 16.349.865
Mulyadi, 1977 Sumatera 13.211.000
Kalimantan 12.764.000
Papua 12.980.500
Sulawesi 469.000
Total 39.424.500
Nedeco/Euroconsult- Sumatera 4.200.150 4.742.790 8.942.940
Biec, 1984 Kalimantan 3.156.000 3.872.350 7.028.350
Papua 1.906.500 5.872.000 7.778.500
Sulawesi tad tad -
Total 9.262.650 14.487.140 23.749.790
Subagyo et al., 1990 Sumatera 6.407.750 6.804.511 13.212.261
Kalimantan 5.352.500 5.645.323 10.997.823
Papua 3.129.750 9.866.000 12.995.750
Sulawesi - 1.115.814 1.115.814
Maluku - 775.500 775.500
Total 14.890.000 24.207.148 39.097.148
Nugroho et al., 1991 Sumatera 4.798.000 1.806.000 2.786.000 9.390.000
Kalimantan 4.674.800 3.452.100 3.580.500 11.707.400
Papua 1.284.250 2.932.690 6.305.770 10.522.710
Sulawesi 145.500 1.039.450 608.500 1.793.450
Total 10.902.550 9.230.240 13.280.770 33.413.560
Puslittanak, 2000 Sumatera 6.590.345 5.862.806 12.453.151
Kalimantan 4.447.523 5.259.973 9.707.496
Papua 2.011.780 8.293.251 10.305.031
Sulawesi 127.744 1.212.677 1.340.421
Maluku 24.885 478.975 503.860
Total 13.302.276 21.107.682 34.309.958

Catatan:
- Data Polak (1952) hanya menyebutkan total luas tanah gambut di Indonesia.
- Data Mulyadi (1977) hanya menyebutkan luas lahan rawa di setiap pulau.
- Data Nedeco/Euroconsult-Biec (1984), tidak memperhitungkan luas rawa lebak. Pulau Sulawesi
tidak termasuk diteliti; tad = tidak ada data.
- Data Subagyo et al. (1990) diolah kembali; luas lahan basah (wetsoils) yang ada dikurangi luas
lahan sawah (BPS, 2000). Data Subagyo et al. (1990) dan Puslittanak (2000), sudah termasuk
lahan rawa lebak.

13
Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa

Selanjutnya, Subagyo et al. (1990) dalam Studi ''wetsoils" di Indonesia,


memperoleh luas lahan basah, termasuk lahan sawah di empat pulau besar plus
Maluku sebesar 43.124.250 ha. Apabila dikurangi luas lahan sawah di lima
pulau/kepulauan tersebut, seluas 4.027.102 ha (data BPS, 2000), maka diperoleh
luas lahan rawa seluas 39.097.148 ha.

Studi yang lebih mendetail dilakukan Nugroho et al. (1991) untuk


menentukan areal potensial lahan pasang surut, rawa, dan pantai di Indonesia.
Dengan menggunakan peta dasar "Tactical Ploatage Chart" (TPC) berskala
1:500.000 yang berjumlah 49 lembar, dan berbagai sumber informasi, utamanya
dari Nedeco/Euroconsult-Biec (1984), peta-peta satuan lahan dan tanah P.
Sumatera dan LREP-I 1990, peta-peta sistem lahan dan RePPProT 1991, dan
berbagai peta tanah dari dokumentasi Puslittanah dan Agroklimat, diperoleh luas
lahan rawa 33.413.560 ha. Hasil penelitiannya, yang dilakukan berdasarkan
tipologi lahan diuraikan agak mendetail dan disajikan pada Lampiran 1.2.

Berdasarkan studi ini, luas lahan rawa seluruhnya adalah 33,41 juta ha,
yang terbagi ke dalam lahan rawa lebak seluas 13,28 juta ha, dan lahan rawa
pasang surut 20,13 juta ha. Lahan pasang surut sendiri tersusun dari lima tipologi
lahan, yaitu lahan/tanah gambut sekitar 10,90 juta ha, lahan potensial 2,07 juta
ha, lahan sulfat masam potensial 4,34 juta ha, sulfat masam aktual 2,37 juta ha,
dan lahan salin sekitar 0,44 juta ha. Berdasarkan data pada Lampiran 1.2, terasa
sulit untuk menentukan secara pasti berapa luas sebenarnya masing-masing
tipologi lahan, karena adanya bermacam-macam asosiasi antar berbagai tipologi
lahan.

Data dari studi Nugroho et al. (1991) yang relatif komprehensif ini,
kemudian dijadikan semacam "angka resmi" luas lahan rawa di Indonesia, dan
digunakan oleh berbagai instansi dan proyek, seperti oleh Departemen
Kimpraswil (Ditjen Pengairan-Dep. PU, 1998), Balai Penelitian Tanaman Pangan
Lahan Rawa (Balittra) Banjarbaru-Kalimantan Selatan (Alihamsyah, 2001), dan
beberapa proyek pengembangan lahan rawa Badan Litbang Pertanian
Departemen Pertanian, seperti proyek SWAMPS-II 1985-1994, ISOP (Integrated

14
Subagyo

Swamp Development Project) 1994-2000, dan Proyek PSLPSS (Pengembangan


Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan) 1997-2000.

Sementara itu, berdasarkan sebaran jenis tanah dari Atlas Sumberdaya


Tanah Eksplorasi Indonesia, skala 1:1.000.000 (Puslittanak, 2000), luas lahan
rawa sudah termasuk lahan rawa lebak, dapat dihitung, dan diperoleh luas 34,31
juta ha, terdiri atas lahan/tanah gambut 13,20 juta ha, dan tanah mineral basah
21,11 juta ha. Rincian luas lahan rawa berdasarkan jenis tanah, disajikan pada
Lampiran 1.3.

Berdasarkan keempat penelitian terakhir (Tabel 1.1) agak sulit menentukan


berapa angka yang dipilih untuk luas lahan rawa di Indonesia. Studi
Nedeco/Euroconsult-Biec (1984) menunjukkan luas lahan rawa tidak termasuk
lahan lebak, di tiga pulau besar (Sumatera, Kalimantan, dan Papua) sebesar
23,75 juta ha. Seandainya data dari Nugroho et al. (1991) untuk lahan rawa di P.
Sulawesi (1,79 juta ha), dan rawa lebak di tiga pulau besar (12,67 juta ha)
ditambahkan, maka luas lahan rawa seluruhnya akan mencapai 38,22 juta ha.
Sementara itu, data luas lahan gambut juga berbeda, estimasi terendah berkisar
antara 9,26-10,90 juta, dan yang lebih tinggi antara 13,20-14,89 juta ha.

Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan data pada Tabel 1.1, adalah
bahwa luas lahan rawa di Indonesia sekitar 33,41-39,10 juta ha, dengan Iuas
rawa pasang surut sekitar 20,13-25,82 juta ha, dan lahan rawa lebak sekitar
13,28 juta ha. Luas lahan/tanah gambut berdasarkan estimasi rendah antara
9,26-14,89 juta ha, dan estimasi lebih tinggi sekitar 13,20-14,89 juta ha. Luas
total lahan gambut yang pada awalnya (sebelum reklamasi tahun 1970-an)
sekitar 16,35 juta ha, namun setelah reklamasi ekstensif selama Pelita I-III (1969-
1984) yang diikuti oleh pembukaan oleh masyarakat setempat/pemukim spontan
pada tahun-tahun sesudahnya, luasnya dewasa ini telah menyusut menjadi
sekitar 13-14 juta ha (Subagyo, 2002). Penyebaran lahan rawa diurutkan dari
yang terluas, terdapat di Sumatera, Papua, dan Kalimantan, serta Sulawesi.

15
Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa

PENUTUP

Dari ketiga zona wilayah rawa, ditinjau dari kegunaannya untuk pertanian,
yang paling potensial sebenarnya lahan rawa lebak, kemudian lahan rawa
pasang surut air tawar, dan terakhir lahan rawa pasang surut air asin/payau.
Dalam pembicaraan sehari-hari yang menyangkut potensi lahan rawa untuk
pertanian, sering kali kata ”rawa”, ”air tawar”, dan ”air asin/payau” dihilangkan,
sehingga hanya dikenal, lahan lebak, lahan pasang surut, dan lahan salin. Lahan
rawa secara keseluruhan masih tetap disebut lahan rawa, atau ”swampland”, dan
termasuk dalam kelompok lahan basah, atau ”wetlands”.

Ditinjau dari keluasannya, lahan pasang surut adalah paling dominan,


diikuti oleh lahan lebak, kemudian lahan pasang surut air asin/payau yang karena
kandungan garamnya relatif tinggi, atau salinitasnya tinggi, disebut lahan salin.
Lahan salin ini, karena kendala kandungan garam yang tinggi dengan reaksi
tanah netral sampai agak alkalis (pH 7,0-8,4), tidak cocok untuk budidaya
tanaman pertanian, sehingga umumnya tidak di reklamasi atau dibuka untuk
persawahan dan pemukiman. Pilihan penggunaan yang lebih sesuai adalah
untuk budidaya tambak, atau tetap dipertahankan keberadaannya sebagai
wilayah konservasi alam, untuk tujuan pengamanan sumberdaya hayati dan
plasma nutfah, ekologi, dan lingkungan hidup.

Sementara itu, yang paling luas di reklamasi selama pembukaan wilayah


pasang surut secara besar-besaran, sekitar 1970-1984, adalah lahan pasang
surut di Pulau Sumatera (Provinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Barat,
dan Lampung), dan Kalimantan (Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan
Kalimantan Selatan), serta sedikit di Provinsi Kalimantan Timur, dan Sulawesi
Selatan. Lahan pasang surut di Pulau Papua (Irian Jaya), karena begitu besarnya
volume pekerjaan reklamasi di Sumatera dan Kalimantan, belum sempat
tertangani oleh pemerintah, walaupun 2-3 survei pendahuluan telah dilakukan
pada lahan rawa di wilayah pantai bagian selatan pulau. Sampai awal tahun
1998, menurut data Dirjen Pengairan Departemen PU (sekarang Kimpraswil),
reklamasi lahan rawa seluruhnya mencapai 5,39 juta ha. Khusus untuk lahan
pasang surut telah direklamasi 3,84 juta ha, yang terdiri atas 0,94 juta ha oleh
pemerintah dan 2,90 juta ha oleh swadaya masyarakat.

16
Subagyo

Lahan pasang surut yang dianggap memiliki potensi dan prospek yang
besar untuk dijadikan pilihan strategis guna pengembangan areal produksi
pertanian ke depan, untuk mendukung dan mengamankan ketahahan pangan
nasional, inventarisasi biofisiknya termasuk masalah berapa luas masing-masing
lahan pasang surut, lahan lebak, dan lahan salin yang lebih akurat, perlu lebih
mendapatkan perhatian di masa-masa mendatang. Luas total lahan rawa saat ini,
yang diestimasi antara 33-39 juta ha, masih bersifat perkiraan yang belum tentu
benar. Secara khusus, lahan rawa di Kawasan Timur Indonesia, terutama di
Pulau Papua (Irian Jaya) yang data dan informasinya masih sangat terbatas,
perlu lebih banyak dieksplorasi dan diteliti luas dan potensi alaminya, baik
potensinya sebagai sumberdaya pertanian maupun sebagai sumberdaya hayati
untuk tujuan konservasi, ekologi, dan lingkungan hidup.

DAFTAR PUSTAKA

Alihamsyah, T. 2001. Propek pengembangan dan pemanfaatan lahan pasang


surut dalam perspektif eksplorasi sumber pertumbuhan pertanian masa
depan. h. 1-18. Dalam 1. A. Riza, T. Alihamsyah, dan M. Sarwani
(penyunting). Pengelolaan Air dan Tanah di Lahan Pasang Surut.
Monograf ISSN 1410-637 X. Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan
Rawa.
BPS (Badan Pusat Statistik). 2000. Statistik Indonesia 2000.
Direktorat Rawa. 1992. Prasarana fisik bagi pengembangan lahan pasang surut:
Jaringan reklamasi rawa dan bangunan penunjang, serta
operasionalisasinya. h. 63-80. Dalam Sutjipto Ph., dan M. Syam
(penyunting). Risalah Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian
Lahan Rawa pasang Surut dan Lebak. Cisarua, 3-4 Maret 1992.
Ditjen Pengairan PU (Pekerjaan Umum). 1998. Pengembangan Daerah Rawa.
Direktorat Jenderal Pengairan, Dep. PU. Februari 1998; 93 hal.
Monkhouse, F.J., and J. Small. 1978. A Dictionary of the Natural Environment. A
Halsted Press Book. John Wiley & Sons, New York.
Mulyadi, D. 1977. Sumberdaya Tanah Kering. Penyebaran dan potensinya untuk
kemungkinan budidaya pertanian. Kongres Agronomi I, Jakarta, 27-29
Oktober 1977.

17
Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa

Nedeco/Euroconsult-Biec. 1984. Final Report. Nationwide Study of Coastal and


Near Coastal Swamp land in Sumatra, Kalimantan, and Irian Jaya. Volume
3 Maps. August 1984. Governm. of the Republic of Indonesia. Ministry of
Public Works. Direct. Gen. of Water Resources Development.
Nugroho, K., Alkasuma, Paidi, W. Wahdini, Abdulrachman, H. Suhardjo, dan I
P.G. Widjaja-Adhi. 1991. Laporan Akhir. Penentuan areal potensial lahan
pasang surut, rawa, dan pantai. Skala 1:500.000. Laporan Teknik No.
1/PSRP/1991. Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan, Puslittanah dan
Agroklimat.
Polak, B. 1952. Veen en Veenontginning in Indonesia. Overdruk van het M.I.A.I
Nr. 5 en 6.Sept.- Dec. 1952.
Puslittanak (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat). 2000. Atlas Sumberdaya
Tanah Eksplorasi Indonesia. Skala 1:1.000.000. Badan Litbang Pertanian,
Dep. Pertanian.
Puslittan (Pusat Penelitian Tanah). 1985. Survei dan Pemetaan Tanah Tingkat
Tinjau Daerah Sungai Digul, Kabupaten Merauke. Dep. Transmigrasi/Sekr.
Jendral dan Dep. Pertanian/Badan Litbang Pertanian, 222 hal.
Puslittan (Pusat Penelitian Tanah). 1986. Survei dan Pemetaan Tanah Tingkat
Tinjau Daerah Merauke (Sungai Digul-Pantai Kasuari). Dep.
Transmigrasi/Sekr. Jendral dan Dep. Pertanian/Badan Litbang Pertanian,
235 hal.
SSSA (Soil Science Society of America). 1984. Glossary of Soil Science Terms.
SSSA, Madison, Wisconsin, USA. August 1984.
Subagyo, H. 1997. Potensi pengembangan dan tata ruang lahan rawa untuk
pertanian. h. 17-55. Dalam A.S. Karama et al. (penyunting). Prosiding
Simposium Nasional dan Kongres VI PERAGI. Makalah Utama. Jakarta,
25-27 Juni 1996.
Subagyo, H. 2002. Penyebaran dan potensi tanah gambut di Indonesia untuk
pengembangan pertanian. h. 197-227. Dalam CCFPI (Climate Change,
Forests and Peatlands in Indonesia). 2003. Sebaran Gambut di Indonesia.
Seri Prosiding 02. Wetlands International-Indonesia Programme dan
Wildlife Habitat Canada. Bogor.
Subagyo, H., M. Sudjadi, E. Suryatna, and J. Dai. 1990. Wet soils of Indonesia. p.
248-259. In Kimble, J.M. 1992 (ed.). Proc. Eighth Int. Soil Correl. Meeting
(VIII ISCOM): Characterization, Classification, and Utilization of Wet Soils.

18
Subagyo

Lousiana and Texas. October 6-21, 1990. USDA, SCS, National Soil
Survey Center, Lincoln, NE.
Sugeng, S. 1992. Pengembangan dan pemanfaatan rawa di Indonesia. h. 43-63.
Dalam Prosiding Seminar Nasional Pemanfaatan Potensi Lahan Rawa
untuk Pencapaian dan Pelestarian Swasembada Pangan. Fak. Pertanian,
Univ. Sriwijaya, Palembang, 23-24 Oktober 1991.
Wibowo, P., and N. Suyatno. 1997. An Overview of Indonesia Wetland Sites-
Included in Wetland Database. Wetlands International-Indonesia
Programme, PHPA, Bogor.
Widjaja-Adhi, I P.G., K. Nugroho, Didi Ardi S., dan A.S. Karama. 1992.
Sumberdaya lahan rawa: Potensi, keterbatasan, dan pemanfaatan. h. 19-
38. Dalam Sutjipto P. dan M. Syam (penyunting). Risalah Pertemuan
Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak.
Cisarua, 3-4 Maret 1992.

19
Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa

Lampiran 1.1. Area of coastal and near coastal swamp of Indonesia


Landform and island Not suitable Suitable Total
………………………… ha ……………………………
Deep peats
Sumatra 3.972.375 3.972.375
Kalimantan 3.156.000 3.156.000
Papua 1.542.500 1.542.500
Subtotal 8.670.875 0 8.670.875
Complexes of deep peats with floodplain
Papua 364.000 364.000
Sumatra 227.775 227.775
Subtotal 591.775 0 591.775
Tidal flats
Papua 1.515.000 1.515.000
Sumatra 531.325 531.325
Kalimantan 995.200 995.200
Subtotal 3.041.525 0 3.041.525
Meander belts
Kalimantan 34.800 34.800
Lowland, poorly drained, tidal
Papua 1.570.000 1.570.000
Kalimantan 1.232.675 1.232.675
Sumatra 1.380.140 1.380.140
Subtotal 4.182.815 4.182.815
Lowland, poorly drained, braided river
Papua 360.375 191.625 552.000
Lowland, poorly drained, floodplain
Kalimantan 280.000 74.375 354.375
Sumatra 728.125 130.000 858.125
Papua 474.950 98.750 573.700
Subtotal 1.483.075 303.125 1.786.200
Lowland, poorly drained, low terraces
Kalimantan 66.100 66.100
Papua 979.875 979.875
Subtotal 1.045.975 1.045.975
Miscellaneous
Papua 138.750 258.250 397.000
Sumatra 168.525 168.525
Subtotal 307.275 258.250 565.525
Occupied lands
Kalimantan 1.189.200 1.189.200
Sumatra 2.089.100 2.089.100
Subtotal 3.278.300 0 3.278.300
TOTAL 17.768.000 5.981.790 23.749.790
Sumber : Nedeco/Euroconsult-Biec. 1984.

20
Subagyo

Lampiran 1.2. Luas lahan rawa di Indonesia


Pembagian lahan rawa dengan tipologi lahan Simbol Luas Luas
…………. ha …………….
Lahan rawa lebak 13.280.770
Lebak dangkal R1 4.167.530
Lebak tengahan R2 3.444.550
Asosiasi Lebak tengahan, dengan Gambut- R2/G1 2.630.530
dangkal dan Gambut-sedang
Lebak dalam R3 677.550
Asosiasi Lebak dalam, dengan Gambut-dangkal R3/G1 2.360.610
dan Gambut-sedang
Subtotal 13.280.770
Lahan rawa pasang surut 20.132.790
Gambut-dangkal dan Gambut-sedang G1 4.261.900
Asosiasi Gambut-dangkal dan Gambut-sedang, G1/S1 103.000
dengan Lahan agak salin
Gambut-dalam G2 3.720.650
Asosiasi Gambut-dalam dan Gambut-sangat G2/G3 2.817.000
dalam
Subtotal 10.902.550
Lahan potensial P 30.130
Asosiasi Lahan potensial dengan Lahan agak P/S1 1.205.430
salin
Asosiasi Lahan potensial dengan Lahan salin P/S2 832.400
Subtotal 2.067.960
Sulfat masam potensial SM1 1.132.750
Asosiasi Sulfat masam potensial, dengan SM1/G1 66.000
Gambut-dangkal dan Gambut-sedang
Asosiasi Sulfat masam potensial, dengan Lahan SM1/S1 1.017.430
agak salin
Asosiasi Sulfat masam potensial, dengan Lahan SM1/S2 2.127.800
salin
Subtotal 4.343.980
Asosiasi Sulfat masam aktual, dengan Lahan salin SM2/S2 2.374.000
Lahan agak salin S1 304.000
Lahan salin S2 140.300
Subtotal 444.300
Total lahan rawa 33.413.560
Sumber : Nugroho et al. (1991)

21
Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa

Lampiran 1.3. Jenis tanah dan luas lahan rawa di Indonesia


Takson tanah (Soil Tanah Tanah
SPT Bahan induk Sub-landform
Survey Staff, 1999) mineral gambut
……………. ha …………….
2 Haplohemists Organik Kubah gambut - 6.474.932
Haplosaprists
3 Haplohemists Organik Dataran gambut - 5.384.017
Sulfihemists
4 Endoaquents Aluvium dan Dataran pasang 1.508.075 1.005.384
Organik surut
Haplohemists
5 Hydraquents Aluvium Dataran pasang 3.064.938 -
surut
Sulfaquents
6 Endoaquepts Aluvium Dataran pasang 1.380.634 -
surut
Endoaquents
7 Endoaquepts Aluvium Dataran pasang 285.310 -
surut
Halaquepts
8 Udipsamments Aluvium Pesisir pantai 454.179 -
Endoaquents
14 Endoaquepts Aluvium Delta atau dataran 2.225.819 -
estuarin
Sulfaquents
15 Endoaquepts Aluvium Rawa belakang 669.668 -
Sulfaquents
16 Endoaquepts Aluvium dan Basin aluvial 506.916 337.944
organik (lakustrin)
Haplohemists
17 Endoaquepts Aluvium Basin aluvial 83.019 -
(lakustrin)
Endoaquents
18 Endoaquepts Aluvium Basin aluvial 24.102 -
(lakustrin)
Dystrudepts
20 Endoaquepts Aluvium Jalur aliran sungai 4.606.942 -
Dystrudepts
25 Sulfaquepts Aluvium Dataran aluvial 400.239 -
Sulfaquents
27 Endoaquepts Aluvium Dataran aluvial 5.486.743 -
Dystrudepts
26 Endoaquepts Aluvium Dataran aluvial 411.098
Endoaquents
Total : 21.107.682 13.202.276
Total lahan rawa : 34.309.958
Sumber : Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia, skala 1:1.000.000 (Puslittanak, 2000)

22
LAHAN RAWA PASANG SURUT
II Subagyo H.

23
Lahan Rawa Pasang Surut

2.1. TANAH LAHAN RAWA PASANG SURUT

Dalam keadaan alamiah, tanah-tanah pada lahan rawa pasang surut


merupakan tanah yang jenuh air atau tergenang dangkal, sepanjang tahun atau
dalam waktu yang lama, beberapa bulan, dalam setahun. Dalam klasifikasi
Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999), tanah rawa termasuk tanah basah,
atau "wetsoils", yang dicirikan oleh kondisi aquik, yakni saat ini mengalami
penjenuhan air dan reduksi secara terus-menerus atau periodik. Proses
pembentukan tanah yang dominan adalah pembentukan horison tanah tereduksi
berwarna kelabu-kebiruan, disebut proses gleisasi, dan pembentukan lapisan
gambut di permukaan. Bentuk wilayah, atau topografi lahan rawa pasang surut
adalah sangat rata (flat) sejauh mata memandang, dengan ketinggian tempat
relatif kecil, yaitu sekitar 0-0,5 m dpl di pinggir laut sampai sekitar 5 m dpl di
wilayah lebih ke pedalaman.
Secara umum, ada dua jenis tanah yang terbentuk, yaitu tanah gambut
(peat soils), dan tanah non-gambut, atau tanah mineral basah (wet mineral soils).
Tanah mineral yang terdapat di wilayah rawa, seluruhnya merupakan endapan
bahan halus, berupa debu halus dan lumpur yang diendapkan air pasang
ditambah dengan bahan aluvium yang dibawa ke muara oleh air sungai. Oleh
karena itu, tanah yang terbentuk semuanya merupakan tanah aluvial basah, yang
di permukaannya terdapat lapisan gambut tipis (<20 cm), atau agak tebal, antara
20-50 cm. Yang terakhir ini disebut tanah mineral-bergambut (peaty-soils).
Apabila ketebalan lapisan gambut sudah melebihi 50 cm, sudah tidak dapat lagi
dikatakan sebagai tanah mineral, tetapi sudah termasuk tanah gambut.
Dalam sistem klasifikasi tanah lama, tanah aluvial yang selalu jenuh air
disebut Aluvial Hidromorf, dan yang relatif agak kering tidak selalu basah disebut
Aluvial (saja). Tanah aluvial yang memiliki lapisan gambut tipis (<20 cm) di
permukaan, disebut Glei Humus Rendah; sedangkan yang lapisan gambutnya
agak tebal (20-50 cm), disebut Glei Humus. Sementara tanah gambut disebut
Organosol. Dalam klasifikasi Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999),
kelompok tanah Aluvial termasuk dalam (ordo) Entisols, atau Inceptisols;
sedangkan tanah gambut disebut Histosols.
Sesuai dengan pembagian lahan rawa, penyebaran dan sifat-sifat atau
karakteristik tanah yang terbentuk akan mengikuti pola landform yang ada, dan
berbeda antara ketiga zona wilayah rawa. Dalam bab ini dibahas lebih rinci dua
zona wilayah lahan rawa, yaitu zona I: wilayah rawa pasang surut air asin/payau,

24
Subagyo

dan zona II: wilayah rawa pasang surut air tawar. Sedangkan zona III: wilayah
rawa lebak/rawa non pasang surut disajikan pada Bab III.

2.1.1. Zona I: Wilayah rawa pasang surut air asin/payau

Wilayah rawa pasang surut air asin/payau merupakan bagian dari wilayah
rawa pasang surut terdepan, yang berhubungan langsung dengan laut lepas.
Biasanya, wilayah rawa ini menempati bagian terdepan dan pinggiran pulau-
pulau delta serta bagian tepi estuari, yang dipengaruhi langsung oleh pasang
surut air laut/salin. Sebagai contoh, pulau-pulau delta di muara S. Musi dan
Banyuasin di Sumatera Selatan, antara lain adalah Delta Upang, Delta Telang,
dan P. Rimau. Di muara S. Batanghari di Jambi, yakni Delta Berbak; di muara S.
Barito dan Kapuas di Kalimantan Selatan, adalah Delta Pulau Petak. Di muara
Sungai Kapuas di Kalimantan Barat, adalah beberapa pulau delta yang dibentuk
oleh S. Kapuas Kecil, Punggur Besar, Ambawang, dan S. Kubu.
Pada zona wilayah rawa ini, terdapat kenampakan-kenampakan (features)
bentang alam (landscape) spesifik yang mempunyai bentuk dan sifat-sifat yang
khas disebut landform. Sebagian besar wilayah zona I termasuk dalam landform
marin. Pembagian lebih detail dari landform marin, disebut sub-landform, pada
zona I rawa pasang surut air asin/payau dapat dilihat pada irisan vertikal tegak
lurus pantai, dan diilustrasikan pada Gambar 2.1a dan 2.1b.

Gambar 2.1a. Penampang skematis zona I wilayah rawa pasang surut air asin/
payau, merupakan pantai lepas yang memiliki beting pasir pantai
(coastal dunes)

25
Lahan Rawa Pasang Surut

Gambar 2.1b. Penampang skematis zona I wilayah rawa pasang surut air asin/
payau, pantai pada bagian yang terlindung dalam estuari, atau
teluk

Seperti telah diuraikan sebelumnya, di bagian terdepan terdapat “dataran


lumpur”, atau “mud-flats”, yang terbenam sewaktu pasang dan muncul sebagai
daratan lumpur tanpa vegetasi sewaktu air surut. Di belakang dataran lumpur,
pada pantai yang ombaknya kuat dan pantainya berpasir, dapat terbentuk bukit-
bukit rendah (beting) pasir pantai. Tanah yang terbentuk di sini merupakan tanah
berpasir. Di belakangnya terdapat danau-danau kecil dan sempit yang disebut
laguna (lagoons), biasanya ditempati tanah-tanah basah bertekstur liat. Lebih ke
dalam ke arah daratan, dijumpai rawa pasang surut bergaram (tidal salt marsh)
yang sebagian masih selalu digenangi pasang dan ditumbuhi hutan bakau/
mangove. Sebagian lagi, di wilayah belakangnya terdapat bagian lahan yang
kadang masih dipengaruhi air pasang melalui sungai-sungai kecil (creeks),
namun juga sudah ada pengaruh air tawar (fresh-water) yang kuat dari wilayah
hutan rawa dan gambut air tawar yang menempati depresi/cekungan lebih ke
darat. Bagian lahan yang dipengaruhi air payau ini ditumbuhi banyak spesies,
tetapi yang terutama adalah nipah (Nipa fruticans), panggang (Sonneratia acida),
dan pedada (Araliceae).
Tanah di zona I, seluruhnya terbentuk dari endapan marin, yaitu terbentuk
dalam lingkungan laut/marin, yang secara khas dicirikan oleh kandungan mineral
besi-sulfida berukuran sangat halus, beberapa mikron (0,001 mm), yang disebut
pirit. Ditinjau dari sifat kematangan tanah (soil ripeness), tanah pada zona I
umumnya bervariasi dari masih mentah (unripe) sampai setengah matang (half
ripe). Profil tanah umumnya menunjukkan tanah bagian atas (upper layers)
teroksidasi setebal 25-50 cm, setengah matang sampai hampir matang (nearly
ripe), tekstur liat berdebu, dan berwarna kelabu sampai coklat kekelabuan tua.

26
Subagyo

Lapisan tanah bawah (subsoil) tereduksi, mentah sampai setengah matang,


tekstur liat berdebu, dan umumnya berwarna kelabu gelap-sangat gelap
terkadang hitam, atau kelabu kehijauan.
Pada bagian "dataran bergaram" yang ditumbuhi bakau/mangrove, karena
pengaruh air laut pasang, tanahnya bersifat salin, mempunyai reaksi alkalis (pH
>7,5), mengandung garam/salinitas tinggi, dan merupakan wilayah tipologi lahan
salin. Pada bagian yang dipengaruhi air payau, tanah umumnya bereaksi
mendekati netral (pH 6,5-7,5) karena pengaruh air tawar dengan kandungan
garam lebih rendah, dan merupakan wilayah tipologi lahan agak-salin. Pada
wilayah rawa belakang yang dipengaruhi air tawar, tanah bereaksi semakin
masam, dan terbentuk lapisan gambut di permukaan, yang bersifat lebih
memasamkan tanah.
Wilayah zona I, khususnya di bagian sub-landform "dataran bergaram",
atau "salt-marsh", baik yang dipengaruhi air asin/salin maupun air payau, akibat
salinitas atau kandungan garam yang masih tinggi, tanah umumnya tidak sesuai
untuk pertanian. Oleh karenanya, tanah tersebut tidak direklamasi, baik oleh
penduduk maupun oleh pemerintah.

2.1.2. Zona II: Wilayah rawa pasang surut air tawar

Seperti telah diuraikan sebelumnya, lokasi zona II masih terdapat pada


wilayah daerah aliran bagian bawah, tetapi lebih ke arah hulu, dimana pengaruh
langsung air laut/salin sudah tidak ada lagi, tetapi energi pasang surut masih
terasa berupa naik dan turunnya air (tawar) sungai mengikuti siklus gerakan air
pasang surut. Wilayahnya dapat mencakup seluruh pulau-pulau delta kecil,
seperti Delta Upang dan Delta Telang, atau sebagian besar wilayah pulau besar,
seperti Delta Berbak dan Delta Pulau Petak. Secara keseluruhan, wilayah ini
umumnya dimasukkan sebagai landform fluvio-marin, karena terbentuk dari
gabungan pengaruh sungai (fluvio) dan pengaruh marin.
Satuan-satuan sub-landform yang terdapat di zona II dapat dilihat lebih
jelas pada wilayah yang terletak di antara dua sungai besar. Penampang
skematis sub-landform di antara dua sungai besar pada zona II diilustrasikan
pada Gambar 2.2.

27
Lahan Rawa Pasang Surut

Gambar 2.2. Penampang skematis sub-landform di antara dua sungai besar


pada zona II lahan rawa pasang surut air tawar

Oleh karena pengaruh sungai masih kuat, di sepanjang pinggir sungai


terbentuk tanggul sungai alam (natural levee) yang sempit dan lebarnya
bervariasi, makin ke arah hilir relatif sempit dan tidak begitu nyata terlihat di
lapangan. Tetapi ke arah hulu, kenampakannya di potret udara lebih jelas,
terutama karena perbedaan vegetasi yang tumbuh. Lebarnya yang tercatat
adalah sekitar 0,2-1 km, dan setempat-setempat sampai sekitar 2 km. Tanggul
sungai dapat terbentuk sebagai akibat pengendapan muatan sedimen sungai
yang terjadi selama berabad-abad, setiap kali sungai meluap ke daratan selama
musim hujan. Bahan endapan berupa debu halus dan lumpur, akan mengendap
pertama-tama di pinggir sungai, sementara bahan yang lebih halus berupa liat,
akan diendapkan pada wilayah di belakang tanggul. Tanah yang terbentuk di
bagian tanggul sungai alam, merupakan endapan sungai (fluviatile) yang
tebalnya beragam, dari sekitar 0,5 m sampai lebih dari 1,5 m, menutupi endapan
dasar yang merupakan endapan marin. Oleh karena terbentuk dari bahan relatif
agak kasar, debu kasar dan halus serta lumpur, tanah tanggul sungai (levee
soils) umumnya bertekstur sedang, dengan kandungan fraksi debu relatif tinggi,
seperti lempung, lempung berdebu, lempung liat berdebu, dan liat berdebu.
Pada wilayah di belakang tanggul sungai, permukaan tanah umumnya
berangsur menurun ke arah cekungan/depresi besar di hampir bagian tengah
wilayah di antara dua sungai besar. Wilayah di antara tanggul sungai dan
cekungan/depresi besar di bagian tengah, disebut sub-landform dataran rawa
belakang (backswamp). Dari pengamatan lapangan di areal hutan gambut di
antara S. Sebangau-Kahayan-Kapuasmurung-Barito di Kalimantan Tengah,
peralihan dari tanggul sungai ke arah cekungan/depresi, menunjukkan penurunan

28
Subagyo

tanah dasar mineral tidak selalu terjadi secara berangsur, tetapi dapat juga
menurun secara mendadak dalam jarak yang relatif pendek, dan menjadi bagian
dari cekungan/depresi besar. Ini berarti dataran rawa belakangnya sangat sempit,
atau tidak ada.
Depresi besar di sekitar bagian tengah wilayah di antara dua sungai besar
ditempati tanah gambut. Posisi depresi di berbagai wilayah pulau delta tidak
selalu persis di bagian tengah, tetapi seringkali menyamping mengikuti bentuk
pulau delta. Batasan tanah gambut yang sederhana adalah memiliki kandungan
bahan organik lebih dari 65% (berdasarkan berat) dengan ketebalan gambut
lebih dari 0,5 m. Definisi tanah gambut yang disebut Histosols dalam Taksonomi
Tanah (Soil Survey Staff, 1999), lebih rumit, yaitu (i) harus tersusun dari bahan
tanah organik, (ii) jenuh air selama 1 bulan atau lebih setiap tahun, dan (iii)
ketebalannya minimal 0,4 atau 0,6 m tergantung dari tingkat dekomposisi bahan
gambut dan bobot-jenisnya.
Tanah gambut yang menempati cekungan/depresi besar mempunyai
ketebalan yang bervariasi. Di bagian pinggir ditempati gambut dangkal dengan
ketebalan 0,5-1 m, dan gambut sedang dengan ketebalan 1-2 m, dan seringkali
mengandung sisipan-sisipan lapisan tanah mineral. Keduanya biasanya
merupakan gambut topogen yang relatif subur (eutrofik). Semakin ke bagian
tengah depresi, lapisan gambut semakin tebal dan kesuburan bahan gambutnya
cenderung makin menurun. Tanah gambut dalam (2-3 m) dan gambut sangat-
dalam (>3 m) yang terbentuk disebut gambut ombrogen, dengan tingkat
kesuburan sedang (mesotrofik) sampai rendah (oligotrofik). Oleh karena
perbedaan pertumbuhan vegetasi hutan di bagian pinggir dan bagian tengah
cekungan, permukaan tanah gambut semakin meninggi di bagian tengah dan
membentuk semacam kubah dari tanah gambut, yang disebut kubah gambut
(peat dome). Ketinggian relatif di bagian tengah kubah, dapat mencapai sekitar 3-
5 m. Bentuk kubah gambut umumnya “lonjong” atau hampir bujur telur, dan
ukurannya cukup besar. Sebagai contoh dua kubah gambut di Delta Pulau Petak
yang diteliti Lembaga Penelitian Tanah tahun 1972, masing-masing berukuran
sekitar 4-9 km lebar dan 8-15 km panjang; serta 8-12 km lebar, dan 15-24 km
panjang (SRI, 1973). Dua buah kubah gambut di areal Proyek Pengembangan
Lahan Gambut Satu Juta Hektar (PLG) yang disurvei Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat tahun 1996, masing-masing mempunyai dimensi Iebar dan panjang
sekitar 17-22 km, dan 23-45 km (Subagyo, 2002).

29
Lahan Rawa Pasang Surut

Pada awal pembukaan lahan rawa pasang surut di Sumatera dan


Kalimantan, yang survei tanahnya dilakukan secara intensif antara tahun 1969
dan 1984, banyak ditemukan wilayah kubah gambut di berbagai tempat, baik di
Sumatera maupun di Kalimantan. Di Sumatera, kubah gambut ditemukan di
daerah rawa Sumatera Selatan, seperti di Sugihan Kiri, Delta Upang, Delta
Telang, Pulau Rimau, dan Karang Agung Ulu (Wiradinata dan Hardjosusastro,
1979), serta di Delta Reteh antara S. Reteh dan S. Inderagiri di Provinsi Riau. Di
Kalimantan Barat, terdapat beberapa kubah gambut besar di Delta S. Kapuas, di
antara S. Kapuas Kecil, Punggur Besar, Ambawang, dan Kubu-Terentang, pada
wilayah rawa pasang surut sebelah selatan kota Pontianak, di bagian muara S.
Kapuas (LPT, 1969). Di Provinsi Kalimantan Tengah, wilayah kubah gambut
ditemukan sangat luas di wilayah delta antara S. Mentaya, Katingan, Sebangau,
Kahayan, Kapuas, dan Barito (Jaya, 2002).
Dewasa ini, yakni sekitar 35 tahun kemudian, sebagian dari wilayah kubah
gambut tersebut, terutama yang telah berhasil dijadikan areal pemukiman
transmigrasi, telah lenyap dijadikan lahan pertanian. Yang tersisa umumnya
tinggal berupa wilayah lahan gambut sempit yang ditempati gambut dangkal atau
tanah bergambut. Sebagai contoh, wilayah dimana kubah gambut telah lenyap
atau tinggal sedikit sekali, di antaranya terdapat di Delta Upang, Delta Telang,
Sugihan Kiri, dan Pulau Rimau di Sumatera Selatan, serta Delta Pulau Petak di
Kalimantan Selatan.
Bagian yang terluas dari zona II adalah wilayah dataran rawa belakang,
yakni wilayah bertopografi datar yang menempati posisi di antara tanggul sungai
dan cekungan/depresi di bagian tengah antara dua sungai besar. Di berbagai
pulau delta, baik di Sumatera maupun Kalimantan, wilayah rawa belakang ini
merupakan wilayah yang menjadi tujuan reklamasi rawa oleh P4S-PU (1969-
1984), dan dewasa ini merupakan persawahan pasang surut yang utama di lahan
rawa. Menurut BPS (2001) luas lahan sawah yang aktif ditanami padi adalah
591.877 ha, terutama tersebar di delapan provinsi, yang bila diurutkan dari yang
terluas sampai tersempit adalah Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Jambi, Riau, Lampung, dan Sumatera
Utara.
Sebagaimana pada zona I, endapan dasar yang membentuk tanah rawa di
wilayah rawa belakang adalah endapan marin, oleh karena itu sering disebut
sebagai tanah aluvial marin. Ciri yang unik dari tanah aluvial marin adalah adanya

30
Subagyo

senyawa besi-sulfida (FeS2) yang disebut pirit. Kandungan pirit di tanah rawa
pasang surut umumnya rendah, yakni hanya sekitar 0-5%, namun walaupun
kadarnya rendah, temyata di kemudian hari menjadi permasalahan utama yang
berat, atau sangat sulit diatasi, apabila tanah rawa dibuka untuk pertanian.
Masalahnya dimulai pada saat rawa direklamasi, yaitu dengan penggalian
saluran-saluran drainase besar, seperti saluran primer, sekunder, dan tersier,
dengan tujuan untuk mengeringkan wilayah agar tanah rawa yang semula basah
atau tergenang menjadi tanah yang relatif lebih kering yang siap digunakan
sebagai lahan pertanian.
Akibat adanya saluran-saluran drainase tersebut, permukaan air tanah
menjadi turun, dan tanah bagian atas menjadi kering dan terbuka. Akibat adanya
oksigen di udara, maka tanah bagian atas ini mengalami oksidasi, sementara
tanah bagian bawah masih tetap berada di lingkungan air tanah, yaitu tetap
dalam kondisi tereduksi. Pirit yang terbentuk dalam suasana reduksi dalam
endapan laut di dekat pantai dengan kandungan bahan organik tinggi, berasal
dari vegetasi pantai seperti api-api dan bakau/mangrove. Dalam kondisi reduksi,
pirit bersifat stabil sesuai dengan suasana lingkungan pembentukannya. Akibat
penurunan air tanah, pirit yang berada di tanah bagian atas ikut terbuka
(exposed) di lingkungan yang aerob, dan mengalami oksidasi, menghasilkan
asam sulfat dan senyawa besi bebas bervalensi 3 (Fe-III). Hasil akhirnya
merupakan tanah ber-reaksi masam ekstrim (pH <3,5), dan banyak mengandung
ion-ion sulfat (SO4), besi bervalensi 2 (Fe-II), dan aluminium (AI3+). Tanah ber-
reaksi masam ekstrim yang banyak mengandung ion sulfat ini disebut tanah
sulfat masam, atau “acid sulphate soils”. Seringkali juga disebut tanah sulfat
masam aktual, atau “actual acid sulphate soils”. Sebaliknya, semua tanah marin
yang mengandung pirit belum teroksidasi, mempunyai reaksi tanah agak masam
(pH 4,6-5,5), tetapi berpotensi akan menjadi ekstrim masam bila mengalami
drainase berlebihan, disebut tanah sulfat masam potensial, atau “potential acid
sulphate soils”. Tanah bagian atas yang sudah teroksidasi, karena berwarna
coklat, atau kelabu kecoklatan berkaratan besi coklat kemerahan, kadang disebut
“brown layer”. Sedangkan tanah bawah yang tereduksi penuh, yang berwarna
kelabu, kelabu gelap, atau kelabu kehijauan, sering disebut ”gray layer”.
Profil tanah sulfat masam aktual umumnya menunjukkan tanah bagian atas
teroksidasi, setebal 50-100 cm, hampir matang sampai matang, reaksi masam
ekstrim (pH <3,5), atau sangat masam (pH 3,5-4,0), tekstur umumnya liat

31
Lahan Rawa Pasang Surut

berdebu, berwarna coklat, coklat kemerahan atau kelabu. Lapisan tanah bawah
tereduksi, setengah matang sampai mentah, reaksi tanah sangat masam sampai
agak masam (pH >4,0), tekstur liat berdebu sampai liat, dan umumnya berwarna
kelabu-kelabu gelap.
Profil tanah sulfat masam potensial, tanah bagian atas teroksidasi relatif
lebih tipis sekitar 25-75 cm, setengah matang sampai hampir matang, reaksi
tanah sangat masam-agak masam (pH >4,0), tekstur umumnya liat berdebu, dan
warnanya kelabu tua sampai coklat kekelabuan. Lapisan bawah tereduksi, hampir
mentah (practically unripe) sampai mentah, reaksi tanah masam-agak masam
(pH >4,0), tekstur liat berdebu sampai liat, dan warnanya kelabu tua sampai
kelabu gelap.
Tanah sulfat masam aktual, karena memiliki reaksi masam ekstrim, dan
banyak kandungan ion-ion yang bersifat racun/toksik, sehingga tidak sesuai
untuk tanaman pertanian. Tanaman padi yang ditanam di tanah ini tidak
menghasilkan gabah yang berarti. Lahan ini banyak ditinggalkan petani
transmigran, sehingga menjadi lahan bongkor dan ditutupi semak-semak lebat.
Vegetasi alami yang mampu tumbuh adalah yang toleran terhadap kemasaman
tinggi, terdapat di Delta pulau Petak biasanya berupa purun (Lepironia
mucronata), atau purun tikus (Fimbristylis sp.), dan gelam (Melaleuca
leucadendron).

2.2. GENESIS TANAH RAWA

Seperti telah diuraikan sebelumnya, lahan rawa pasang surut berada di


bagian muara sungai-sungai besar, berupa pulau-pulau delta berukuran relatif
kecil yang terpisah dari daratan, atau sebagai pulau-pulau delta besar yang
menyambung ke daratan, dan diapit oleh dua sungai besar. Sebagai contoh yang
pertama adalah Delta (pulau) Upang, Delta Telang, dan Pulau Rimau pada muara
S. Musi-Banyuasin di Sumatera Selatan. Contoh yang kedua adalah Delta Berbak
pada S. Batanghari di Jambi, Delta Reteh antara S. Reteh dan Inderagiri di Riau,
dan Delta Pulau Petak antara S. Kapuasmurung dan Barito di Kalimantan
Selatan.
Dengan mempertimbangkan posisi lahan rawa tersebut, dapat dimengerti
bahwa lahan rawa pasang surut terbentuk karena proses akreasi (accreation),
yaitu proses pelebaran daratan baru ke arah laut yang terjadi secara alami,

32
Subagyo

karena pengendapan bahan-bahan sedimen yang dibawa sungai (sedimen load)


di wilayah bagian muara sungai besar. Di bagian muara sungai, pada saat air
sungai yang bereaksi sekitar netral (pH 5-6), bertemu dengan air laut yang
bereaksi sekitar alkalis (pH 7-9), maka muatan sedimen sungai yang berupa
bahan halus, liat sampai debu halus, akan "menjojot" yakni membentuk
gumpalan-gumpalan kecil yang mengendap di dasar laut. Pengendapan yang
intensif terjadi selama musim hujan dan terus-menerus berlangsung selama
berabad-abad, lambat laun membentuk "dataran lumpur", atau "mudflats" yang
muncul sebagai daratan tanpa vegetasi sewaktu air surut, dan tenggelam di
bawah air sewaktu air pasang. Sejalan dengan waktu, tumbuhan yang toleran air
asin, khususnya api-api (Avicennia sp.) dan bakau/mangrove (Rhizophora sp.,
Bruguiera sp.) akan tumbuh di lumpur, yang menjebak lebih banyak sedimen,
sehingga dataran lumpur terbangun secara vertikal semakin tinggi, dan akhirnya
menjadi dataran rawa pasang surut, “tidal marsh”, atau “salt marsh”, yang
ditumbuhi oleh hutan bakau/mangrove.
Mencermati bentuk-bentuk pantai di Indonesia dimana lokasi rawa pasang
surut berada, dapat disimpulkan bahwa pantai-pantai Indonesia bukan termasuk
“shorelines of submergence” (Strahler, 1973), yaitu bentuk-bentuk pantai yang
terbentuk karena permukaan air laut naik, atau kerak bumi menurun. Juga tidak
termasuk “shorelines of submergence”, yaitu bentuk-bentuk pantai yang terjadi
karena permukaan air laut menurun, atau kerak bumi meninggi. Tetapi termasuk
dalam “neutral submergence”, yaitu apabila pantai terbentuk sebagai akibat
penambahan bahan-bahan baru ke dalam laut. Kata netral di sini diartikan, tidak
ada perubahan relatif pada posisi permukaan air laut atau posisi kerak bumi.
Bentuk-bentuk pantai Indonesia, karena berbentuk delta-delta, dapat dimasukkan
sebagai “delta shorelines”.
Dari sekian banyak wilayah rawa di pulau-pulau delta di Indonesia,
tampaknya yang paling intensif diteliti dari aspek kIasifikasi tanah, proses fisika
dan kimia, pengelolaan air dan kesuburan tanah, serta aspek lingkungan dari
reklamasi tanah sulfat masam adalah Delta Pulau Petak. Riset dilakukan oleh tim
gabungan antara peneliti-peneliti dari “Land and Water Research Group
(LAWOO)” dan dari Badan Litbang Pertanian (AARD), berlangsung dari Oktober
1987 sampai sekitar Maret 1991. Genesis, atau proses pembentukan Delta Pulau
Petak dilaporkan oleh Jansen et al. (1990) dan Prasetyo et al. (1990).
Sampai sekitar 5.500 tahun yang lalu, seluruh wilayah Delta Pulau Petak
sekarang ini masih merupakan wilayah teluk yang berpantai dangkal. Dari 5.500

33
Lahan Rawa Pasang Surut

tahun sebelum masehi (SM), kenaikan permukaan air laut secara berangsur
(eustatik) berkurang atau berhenti, dan perluasan secara lateral dari pantai asli
mulai teljadi. Perluasan lateral karena proses akreasi yang membentuk Delta
Pulau Petak berlangsung melalui 3 fase sedimentasi, yaitu fase sedimentasi I,
dari 5.500 sampai 4.000-3.500 tahun SM, fase sedimentasi II, dari 4.000-3.500
tahun SM sampai 1.000-700 tahun SM, dan fase sedimentasi III dari 1.000-700
tahun SM. Pada fase I, bahan sedimen dipasok dari S. Barito dan Kapuas; pada
fase II sumber bahan sedimen berasal dari S. Barito dan S. Pulau Petak; dan
fase III sumber sedimen adalah S. Kapuasmurung dan Barito, dan membentuk
garis pantai yang ada sekarang ini.
Genesis tanah gambut di wilayah rawa pantai Indonesia diperkirakan
dimulai sekitar 5.000-4.000 tahun yang lalu (Subagyo, 2002), dan diperkirakan
hampir bersamaan waktunya dengan dimulainya proses akreasi yang membentuk
wilayah pulau-pulau delta di rawa pasang surut yang ada sekarang ini. Mengikuti
informasi geologi, diketahui bahwa berdasarkan “radiometric dating” periode
zaman es Pleistosin (Pleistocene glaciation) yang terakhir, yaitu zaman es
(glacial) Wisconsin (di Amerika Utara) yang setara dengan zaman es Wurm (di
Eropa) berakhir sekitar 18.000/15.000-10.000 tahun yang lalu (Strahler, 1973).
Dengan melelehnya lapisan es/ gletser zaman es Wisconsin dan Wurm tersebut,
permukaan air laut di seluruh dunia secara berangsur (eustatic) naik.
Diperkirakan kenaikan permukaan laut di seluruh dunia terjadi selama akhir
zaman Pleistosin sampai awal Holosin (Holocene), sekitar 100-135 m (Davis et
al., 1976; Holmes, 1978). Di perairan laut Indonesia, kenaikan permukaan air laut
diperkirakan !ebih dari 100 m (Andriesse, 1997), atau sekitar 120 m (Neuzil,
1997).
Stabilisasi permukaan laut di wilayah pantai di sebagian besar Asia
Tenggara tercapai sekitar 6.000-5.000 tahun yang lalu (Diemont dan Pons,
1991), atau 6.000-4.000 tahun yang lalu (Neuzil, 1997), sementara Brinkman dan
Pons (1968) menyebutkan sekitar 5.500 tahun yang lalu. Dengan adanya
permukaan laut yang sudah relatif stabil waktu itu, proses pelebaran/perluasan
pantai secara lateral akibat sedimentasi bahan-bahan halus yang dibawa sungai,
yakni proses akreasi pantai, diperkirakan mulai terjadi, diikuti dengan
pembentukan tanah gambut. Berbagai data pengukuran “C-14 dating” contoh-
contoh tanah gambut di Sumatera dan Kalimantan untuk memperkirakan umur
pembentukan gambut, memperkuat estimasi mulainya proses akreasi di wilayah
pantai di Indonesia. Sebagai contoh: di pantai timur P. Sumatera, gambut di

34
Subagyo

sekitar S. Batanghari di Jambi menunjukkan umur 4.300 tahun SM (Cameron et


al., 1987), gambut di Bengkalis, dan S. Siak Kanan di Riau, masing-masing
berumur 5.730-4.740 dan 5.220-3.620 tahun SM (Neuzil, 1997). Di pantai P.
Kalimantan, gambut di Teluk Keramat, Kalimantan Barat, menunjukkan umur
4.040-2.570 tahun SM (Neuzil, 1997), di dekat S. Mahakam, Kalimantan Timur,
4.400-3.850 tahun SM (Diemont dan Pons, 1991). Contoh gambut dari S. Lassa
dan Baram di Serawak, Malaysia, menunjukkan umur masing-masing 6.500-
5.000 dan 4.000 tahun SM (Neuzil, 1997).

2.3. PIRIT DALAM TANAH RAWA

Seperti telah diuraikan sebelumnya, di dalam lumpur dan endapan marin


tereduksi, serta lapisan tanah bawah tereduksi pada tanah sulfat masam
potensial dan sulfat masam aktual pada lahan rawa pasang surut air salin/payau
(Zona I) dan air tawar (Zona II), terdapat pirit.
Pirit adalah mineral berkristal oktahedral, termasuk sistem kubus, dari
senyawa besi-sulfida (FeS2) yang terbentuk di dalam endapan marin kaya bahan
organik, dalam lingkungan air laut/payau yang mengandung senyawa sulfat (SO4)
larut. Dengan menggunakan teknik SEM (Scanning Electron Microscope)
diketahui bahwa partikel-partikel pirit berada dalam bentuk kristal, yang individu-
individu kristal tunggalnya sangat halus, terbanyak berukuran <1 mikron (1
mikron=0,001 mm), dan sebagian kecil 2-9 mikron. Bentuk kristal tunggal dari
kubus bervariasi, dan bentuk (kristal) oktahedral adalah yang paling dominan,
diikuti bentuk piritohedral, yang semuanya termasuk sistem (kristalografi) kubus,
atau isometrik. Pirit mengandung 46,55% Fe (berdasarkan berat), dan 53,45% S
(Michaelsen dan Phi, 1998). Dilihat di bawah mikroskop polarisasi, menggunakan
cahaya biasa (normal) dan terpolarisasi, kristal-kristal pirit berwarna hitam/opak,
tetapi apabila digunakan cahaya merkuri warnanya hijau muda cerah (bright)
(Van Dam dan Pons, 1973). Selain berbentuk kristal tunggal-oktahedral, atau
agregat lepas, umumnya kristal tunggal saling bergabung membentuk agregat
lonjong (elliptical), atau membulat (spherical) yang padat, yang disebut
“framboid”, sehingga ukurannya sedikit lebih besar, yakni berkisar dari 1-14
mikron, dengan rata-rata enam mikron. Beberapa agregat pirit framboid
berukuran sampai 100 mikron. Kristal-kristal pirit berbentuk oktahedral dan
framboidal dapat dilihat pada Gambar 2.3.

35
Lahan Rawa Pasang Surut

Gambar 2.3. Kristal-kristal pirit diobservasi dengan mikroskop elektron scanning


(SEM), (a) memperlihatkan kristal besar berbentuk oktahedral dan
framboidal; (b) memperlihatkan framboidal besar yang tersusun
dari kristal-kristal tunggal oktahedral berukuran kecil (Michaelsen
dan Phi, 1998)

36
Subagyo

Dalam lapisan tanah yang mengandung pirit, partikel pirit tergabung


dengan jaringan sisa-sisa akar mangrove, atau tersebar dalam matriks tanah. Di
lapangan, lapisan tanah yang mengandung pirit berwarna lebih gelap/hitam (hue
10YR, 2,5Y, 5Y, N, dan 5GY; kroma 1), sering bercampur dengan sisa-sisa daun
atau akar tumbuhan bakau atau nipah, dan kadang berbau busuk (H2S).
Secara umum kandungan pirit yang terdapat dalam tanah sulfat masam
potensial relatif tidak tinggi, maksimum 6-7 persen (berdasarkan berat), dan
kandungan yang paling umum bervariasi dari 1-4 persen (Van Bremen, 1973).
Pada tanah sulfat masam potensial di Vietnam, kandungan pirit sampai sedalam
90 cm, berkisar dari 0,2 sampai 5,5-6% (berdasarkan berat). Lapisan bagian atas
sampai 50 cm, kandungan piritnya bervariasi 0-3,5%, dan meningkat ke lapisan
lebih bawah (Michaelsen dan Phi, 1998). Walaupun kandungan pirit yang
terdapat dalam tanah marin, khususnya sulfat masam potensial relatif kecil,
namun ternyata kemudian merupakan permasalahan atau kendala berat dalam
pemanfaatan lahan rawa untuk pertanian.
Penyebaran kandungan pirit dan pH-H2O lapangan di dalam profil tanah
rawa di Delta Pulau Petak, yang diambil dari lokasi dekat laut (Tabunganen)
sampai Iokasi yang jauh dari laut (Talaran), dan beberapa contoh profil dari
Vietnam disajikan pada Tabel 2.1.
Jarak dekat atau jauhnya Iokasi profil dari laut, tampaknya tidak
berpengaruh pada kandungan pirit setiap lapisan di dalam profil tanah.
Kandungan pirit pada profil tanah di Tabunganen, yang terdekat dengan laut,
tidak lebih tinggi dari kandungan pirit pada profil tanah dari Talaran, yang terletak
paling jauh dari laut. Sementara kandungan pirit pada profil tanah di Belawang,
yang terletak cukup jauh dari laut, ternyata justru menunjukkan kandungan pirit
yang paling tinggi. Sedangkan kandungan pirit pada profil tanah di Sakalagun,
hanya berseberangan dengan lokasi Belawang, paling rendah.

37
Lahan Rawa Pasang Surut

Tabel 2.1. Kandungan pirit dan pH-H2O lapang pada tanah rawa di Delta Pulau
Petak, Indonesia dan di Vietnam
pH-(H2O) pH-(H2O)
Profil Kedalaman Pirit Profil Kedalaman Pirit
lapang lapang
cm %FeS2 cm %FeS2
Indonesia Vietnam
TAB 4/I 11 5,0 RMB -1 15 -
4/II 33 5,4 0,24 -2 30 1,10
4/III 52 5,3 0,24 -3 50 2,40
4/IV 85 5,1 1,07 -4 90 4,90
4/V 125 4,9 4,71
4/VI 155 5,3 2,52
4/VII 180 5,8 2,11
LUP 1/I 5 6,1 0,25 RA -1 15 -
1/II 15 6,5 0,22 -2 30 1,20
1/III 32 6,2 0,07 -3 50 2,70
1/IV 51 6,4 0,11 -4 90 6,00
1/V 70 6,1 0,50
1/VI 95 6,3 0,20
1/VII 135 5,6 2,76
JEL 1/I 5 5,2 0,14 RM -1 15 -
1/II 15 5,4 0,15 -2 30 0,70
1/III 30 5,5 0,14 -3 50 0,90
1/V 67 5,9 0,15 -4 90 3,10
1/VI 115 5,8 1,35
SPT 2/II 5 3,5 0,16 R -1 15 -
2/III 20 3,6 0,15 -2 30 0,40
2/IV 38 3,9 1,29 -3 50 2,40
2/V 56 4,9 6,96 -4 90 3,30
SAK 2/I 7 4,5 0,05 F2X47-A 22 3,7 1,45
2/II 25 4,8 0,07 -B21 57 3,1
2/III 42 4,8 0,06 -B22 85 3,0
2/IV 62 4,9 0,07 -B23 115 3,2 0,14
2/V 90 5,0 0,07 -BC 150 2,8 0,82
2/VI 120 4,8 0,07 -C 230 2,9 0,80
2/VII 145 5,8 0,45
BEL 6/II 20 3,1 0,24 A2X5-B21 25 3,4 0,09
6/III 50 3,0 3,92 -B22 68 3,3 0,09
6/IV 80 4,0 5,76 -BC 86 3,0 0,25
6/V 100 4,3 4,33 -C 295 2,6 0,96
6/VI 120 4,4 3,30
6/VII 140 4,5 0,30
TAL 3/II 10 3,3 0,10 TL1 -B23 89 3,4 0,08
3/III 32 3,2 0,15 - 111 2,7 0,61
3/IV 54 3,4 0,12 1BC 178 2,8 1,12
3/V 69 3,3 0,15 -C1
3/VI 83 3,5 4,32
3/VII 98 3,6 3,90
3/VII 115 3,7 6,11
Sumber: Konsten dan Sarwani (1990) (data diproses); Konsten et al. (1986); Michaelsen and Phi
(1998).
TAB = Tabunganen; LUP = Lupakluar; JEL = Jelapat; SPT = Serapat; SAK = Sakalagun; BEL =
Belawang; TAL = Talaran. Dari Tabunganen ke Talaran, lokasinya makin jauh dari laut.

38
Subagyo

Perhitungan data kandungan pirit dari 22 profil tanah rawa yang terdiri atas
100 contoh dari Pulau Petak, Indonesia, dan 17 profil yang terdiri atas 59 contoh
dari Vietnam, menunjukkan variasi data rata-rata kandungan pirit dan simpangan
baku (standard deviation) seperti disajikan pada Tabel 2.2. Kandungan pirit tanah
rawa, sebagaimana diwakili dari data tanah rawa di Delta Pulau Petak, dengan
menggunakan skala kandungan pirit menurut Pons (1970) yaitu rendah (few):
<1,20%, sedang (common): 1,21-2,40%, tinggi (many): 2,41-4,50%, dan sangat
tinggi (abundant): >4,50%, menunjukkan bahwa kandungan pirit pada lapisan
tanah atas (0-50 cm) beragam dari 0,05-4,24%.

Tabel 2.2. Kandungan pirit pada tanah rawa di Indonesia dan Vietnam
Kandungan pirit
Tanah sulfat masam
Variasi Rata-rata Simpangan baku
…………………….. % ……………………..
Delta Pulau Petak, Indonesia
- Tanah bagian atas teroksidasi (0-50 cm) 0,05-4,24 0,52 (rendah) ± 0,94
- Lapisan bawah (50-100 cm) 0,07-6,96 1,89 (sedang) ± 2,60
- Tanah bawah tereduksi (100-150 cm) 0,30-6,11 2,61 (tinggi) ± 1,89
- Lapisan tanah tereduksi (150-200 cm) 2,11-6,00 3,54 (tinggi) ± 2,14
Vietnam
- Tanah bagian atas teroksidasi (0-50 cm) 0,00-3,50 0,87 (rendah) ± 1,13
- Lapisan bawah (50-100 cm) 0,09-6,00 2,45 (tinggi) ± 2,27
- Tanah bawah tereduksi (100-150 cm) 0,10-1,24 0,60 (rendah) ± 0,43
- Lapisan tanah tereduksi (150-200 cm) 0,14-1,12 0,71 (rendah) ± 0,37

Kesimpulan yang dapat ditarik dari observasi data pada Tabel 2.2 tersebut
adalah bahwa kandungan pirit pada tanah rawa bagian atas yang teroksidasi di
Indonesia, umumnya rendah. Kandungan pirit dalam tanah cenderung meningkat
ke lapisan bawah, yaitu termasuk sedang. Lebih ke bawah pada lapisan bawah
tereduksi, pada kedalaman lebih dari 1 m tergolong tinggi.
Lain halnya dengan kandungan pirit tanah rawa Vietnam, sampai
kedalaman sekitar 1 m sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan tanah rawa dari
Delta Pulau Petak. Kandungan pirit rata-rata pada tanah bagian atas, sama-sama
rendah, tetapi kandungan pirit di bagian tanah bawah tereduksi sedalam 1-2 m,
menjadi rendah kembali. Bahan sedimen yang diendapkan di tanah rawa
Vietnam mungkin berbeda dengan bahan sedimen yang membentuk tanah rawa
di Delta Pulau Petak.

39
Lahan Rawa Pasang Surut

Dengan menggunakan simulasi model untuk tanah sulfat masam (SMASS:


Simulation Model for Acid Sulphate Soils) yang divalidasi dengan kondisi
lapangan tanah sulfat masam potensial di Barambai I dan II, Delta Pulau Petak,
dari kurva prediksi hubungan antara kedalaman dan kandungan pirit yang dibuat
van Wijk et al. (1992) dapat diprediksi bahwa pada kondisi pengelolaan air normal
yang dilakukan saat ini, dalam 5 tahun ke depan, pirit pada kedalaman 40 cm
menurun dari kondisi awal sekitar 3,9% menjadi sekitar 2,3%, atau terjadi
penurunan kandungan pirit rata-rata sekitar 0,32% per tahun. Dengan perbaikan
pengelolaan air, berupa pencucian tambahan pada akhir musim hujan dengan
menggunakan air berkualitas lebih baik dari saluran tersier, dapat diprediksi
terjadi penurunan kandungan pirit dari sekitar 3,9% menjadi 2%, atau rata-rata
sekitar 0,38% per tahun. Namun, kurva prediksi tersebut tidak menunjukkan
perubahan kandungan pirit pada kedalaman tanah lebih dalam, antara 50-100
cm. Kandungan pirit praktis tidak berubah, dan tetap tinggi antara 4,2-6,5%, baik
sesudah 5 maupun 10 tahun, walaupun telah dilakukan perlakuan perbaikan
pengelolaan air.

2.3.1. Pembentukan dan oksidasi pirit

Proses pembentukan pirit telah disarikan oleh Langenhoff (1986)


berdasarkan makalah Pons et al. (1982) dan publikasi Dent (1986), metalui
beberapa tahap:
ƒ Reduksi sulfat (SO4) menjadi sulfida (S) oleh bakteri pereduksi sulfat dalam
lingkungan anaerobik;
ƒ Oksidasi parsial sulfida menjadi polisulfida (misalnya Fe3S4: Greigite; Fe4S5:
Pyrrhotite), atau unsur S; diikuti pembentuksan FeS, dari sulfida terlarut, besi
oksida (FeOOH, Fe2O3), atau mineral silikat mengandung unsur Fe;
ƒ Pembentukan FeS2 dari penggabungan FeS dengan unsur S, atau presipitasi
langsung dari besi (Fe-II) terlarut dengan ion-ion polisulfida.
Reaksi keseluruhan pembentukan pirit, dari besi-oksida (Fe2O3) sebagai
sumber Fe, digambarkan sebagai berikut:

Fe2O3 + 4SO42- + 8CH2O + ½O2 → 2FeS2 + 8HCO3- + 4H2O


sulfat bahan organik PIRIT karbonat

40
Subagyo

Bahan baku pembentukan pirit dengan demikian adalah besi-oksida, ion


sulfat, bahan organik (ditulis sebagai CH2O), kondisi reduksi, dan bakteri
pereduksi sulfat. Kondisi seperti ini terdapat pada lumpur atau bahan endapan
dalam lingkungan air asin/payau, yang kaya bahan organik berasal dari vegetasi
api-api dan bakau/mangrove. Da!am suasana jenuh air atau anaerobik, oleh
adanya ion mono-karbonat (HCO3-), pH tanah endapan adalah netral sampai
agak alkalis, sehingga kondisi pirit stabil dan tidak berbahaya.
Namun apabila lahan rawa pasang surut direklamasi, yaitu dengan
dibuatnya jaringan tata air makro berupa saluran-saluran primer, sekunder
sampai tersier, lahan mengalami pengeringan/pengatusan, air tanah menjadi
turun, maka lingkungan pirit menjadi terbuka (exposed) di udara. Dalam suasana
aerobik, pirit menjadi tidak stabil karena bereaksi dengan oksigen udara. Reaksi
oksidasi pirit dengan oksigen berjalan lambat, dan dipercepat oleh adanya bakteri
Thiobacillus ferrooxidans. Seluruh reaksinya digambarkan sebagai berikut:

FeS2 + 15/4O2 + 7/2 H2O → Fe(OH)3 + 2SO42- + 4H+


PIRIT oksigen besi-III (koloidal) asam sulfat

Hasil reaksi adalah dihasilkannya besi-III koloidal, dan asam sulfat yang
terlarut menjadi ion sulfat dan melimpahnya ion H+, yang mengakibatkan pH
tanah turun drastis dari awalnya netral-agak alkalis (pH 5,5-6,5) menjadi masam
ekstrim (pH 1,3 sampai <3,5). Namun, apabila tanah memiliki cukup besar
senyawa-senyawa penetralisir, seperti ion OH-, kapur (CaCO3), basa-basa dapat
tukar, dan mineral-mineral silikat mudah melapuk, pH tanah tidak sampai turun di
bawah pH 4,0. Adanya liat marin yang mengandung cukup mineral liat smektit
yang jenuh basa-basa, juga ikut membuffer penurunan pH tanah.
Terlalu banyaknya ion H+ dalam larutan tanah akan merusak struktur
mineral liat, dan membebaskan banyak ion aluminium (Al3+) yang bersifat toksik
terhadap tanaman. Sebagian besar dari besi-III koloidal yang terbentuk, pada
akhimya mengkristal menjadi oksida besi “goethite”, yang berwarna coklat
kemerahan, berupa karatan, selaput atau nodul-nodul dalam tanah, dan dinding-
dinding saluran drainase.
Dalam kondisi oksidasi yang sangat kuat, misalnya oleh air tanah yang
turun terlalu dalam, atau akibat penggalian saluran drainase, bahan endapan
marin secara tiba-tiba diangkat ke lingkungan udara terbuka, oksidasi pirit akan

41
Lahan Rawa Pasang Surut

menghasilkan mineral jarosit, yang nampak sebagai karatan-karatan berwarna


kuning jerami, yang juga sangat masam.

FeS2 + 15/4O2 + 5/2H2O + 1/3K+ → 1/3KFe3(SO4)2(OH)6 + 4/3SO4 + 4H+


PIRIT oksigen JAROSIT asam sulfat

Jarosit stabil dalam kondisi teroksidasi (potensial redoks > 400-500 mV)
pada lingkungan masam (pH 2-4).

2.3.2. Kondisi tanah sesudah oksidasi pirit

Berbagai pengamatan di berbagai daerah transmigrasi yang menyertai


pembukaan lahan rawa pasang surut di Kalimantan Tengah (Pangkoh, Anjir
Basarang), Kalimantan Selatan (Delta Pulau Petak, Barambai), Sumatera Selatan
(Sugihan Kanan), Jambi (Pamusiran), dan Riau, menunjukkan bahwa pada
tahun-tahun awal pembukaan, banyak wilayah persawahan transmigrasi yang
dibangun oleh proyek P4S, dilaporkan penduduk transmigran sebagai
persawahan yang produktif, dengan rata-rata produksi padi mencapai 2,5-3 ton
GKP/ha.
Namun dengan berjalannya waktu, sesuai dengan selesainya saluran-
saluran primer, sekunder dan tersier, banyak areal sawah mulai menurun
produksinya, dan sesudah beberapa tahun hasilnya sangat rendah. Khususnya
sesudah rehabilitasi saluran, dimana saluran-saluran diperdalam dan dibersihkan,
tanpa diikuti pembuatan pintu-pintu pengatur tingginya permukaan air, degradasi
lahan sawah semakin akut. Banyak areal sawah, yang sesudah 5 tahun berturut-
turut digarap tidak pernah menghasilkan padi sama sekali, dan mulai banyak
yang ditinggalkan petani. Selanjutnya lahan ditutupi vegetasi liar, seperti purun,
purun tikus, paku-pakuan, semak-semak gelam, atau semak dari vegetasi lain
yang toleran terhadap kondisi tanah masam ekstrim. Lahan sawah yang telah
mengalami degradasi menjadi bongkor/mati, dan tidak pernah digarap lagi dan
ditinggalkan, sehingga menjadi lahan tidur yang ditutupi semak belukar.
Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa pada tahun awal pembukaan,
lahan sawah aslinya merupakan tanah sulfat masam potensial dengan lapisan
tanah yang mengandung pirit atau bahan sulfidik relatif dangkal (<50 cm). Air

42
Subagyo

tanah relatif masih dangkal, dan reaksi tanah masih agak masam-netral (4,5-5,5).
Namun, dengan selesainya saluran-saluran primer dan sekunder yang berukuran
besar dan dalam, penurunan permukaan air tanah semakin besar, dan oksidasi
pirit mulai berlangsung cepat, khususnya selama musim kemarau. Didukung oleh
kondisi tata air mikro berupa pembuangan air di petakan-petakan sawah, serta di
saluran kuarter dan tersier berjalan tidak lancar, degradasi lahan sawah semakin
dipercepat, dan berakhir menjadi lahan sawah bongkor/mati yang ditumbuhi
semak-semak lebat.
Seperti telah diuraikan, dalam kondisi awal/asli, dalam suasana jenuh air
atau anaerobik, pirit bersifat stabil dan tidak berbahaya. Oleh adanya ion mono-
karbonat (HCO3), sebagai salah satu produk pembentukan pirit, pH tanah
cenderung mendekati netral sampai agak alkalis. Pada kondisi awal pembukaan
lahan, kondisi tanah sawah seperti ini masih cukup kondusif untuk pertanaman
padi sawah.
Sesudah lahan mengalami drainase, dan penurunan permukaan air tanah
yang melebihi kedalaman lapisan pirit, kemudian diikuti oksidasi pirit di musim
kemarau, kondisi tanah sawah di bagian atas sedalam 0-50 cm mengalami
perubahan drastis. Tanah marin yang semula berupa sulfat masam potensial
dapat berubah mendekati sifat-sifat tanah sulfat masam aktual, yang dicirikan
oleh reaksi tanah ekstrim masam dengan pH < 3,5. Kondisi tanah di lingkungan
perakaran 0-50 cm, pada akhir musim kemarau (sekitar Agustus-Oktober)
dicerminkan oleh sifat-sifat berikut:
ƒ pH tanah turun drastis, umumnya di bawah pH 4,0. Pada pH ini, ion aluminium
(AI3+) akan dibebaskan dalam tarutan tanah, dan dapat mencapal konsentrasi
yang bersifat toksik terhadap pertumbuhan padi atau tanaman lain.
ƒ Konsentrasi besi-III yang tinggi dan adanya ion AI yang melimpah dalam
larutan tanah, akan mengikat ion fosfat yang tersedia, sehingga mengurangi
fosfat yang tersedia, bahkan mengakibatkan kahat/defisiensi P.
ƒ Adanya ion AI yang berlebihan akan mengganti basa-basa dapat tukar pada
kompleks pertukaran kation, dan membebaskan ion Ca, Mg, dan K ke dalam
larutan tanah, yang selanjutnya dapat “tercuci” keluar karena dibawa hanyut
oleh air yang mengalir. Tidak hanya pasokan K menjadi terbatas, tetapi juga
mengakibatkan kahat unsur Ca dan Mg.

43
Lahan Rawa Pasang Surut

ƒ Secara ringkas, akibat penurunan pH tanah di bawah pH 3,5 terjadi keracunan


ion H+, AI, SO42-, dan Fe-III, serta penurunan kesuburan tanah alami akibat
hilangnya basa-basa tanah, sehingga tanah mengalami kahat P, K, Ca, dan
Mg. Bloomfield dan Coulter (1973) melaporkan bahwa telah terjadi kahat unsur
hara makro (K, Ca, Mg), dan mikro (Mn, Zn, Cu, dan Mo) pada berbagai tanah
sulfat masam di daerah tropika.

2.3.3. Pengaruh penggenangan

Memasuki musim hujan yang berlangsung dari sekitar Oktober/November


sampai dengan Maret/April, air tanah berangsur naik ke permukaan, dan
tergantung kondisi tata air makro dan mikro, seringkali dapat menggenangi tanah.
Tanah kembali menjadi jenuh air, atau bahkan tergenang. Kondisi tanah dalam
lapisan perakaran sesudah penggenangan di musim hujan adalah sebagai
berikut:
ƒ Dalam kondisi tergenang, redoks potensial tanah menjadi lebih tinggi, dan pH
tanah meningkat kembali, yang mengakibatkan konsentrasi ion H dan AI dalam
larutan tanah menurun, atau kurang bersifat toksik, tetapi masalah-masalah
baru muncul.
ƒ Kandungan ion sulfat (SO42-) dalam larutan tanah meningkat kembali. Ini
diakibatkan oleh hidrolisis AI-sulfat hidrat:

AIOHSO4 + 2H2O7 → AI(OH)3 + 2H+ + SO42-

Atau, desorpsi sulfat yang diadsorpsi kompleks pertukaran liat tanah

Tanah-SO4 + 2H2O → Tanah-(OH)2 + 2H+ + SO42-

ƒ Dalam kondisi tergenang, oksigen yang berada dalam tanah dalam waktu relatif
singkat segera digunakan oleh bakteria aerobik, sehingga konsentrasinya
mendekati nol, oleh karena diffusi oksigen udara pada tanah jenuh air sangat
lambat. Dalam lingkungan reduksi, tanpa oksigen, bakteri anaerobik akan
memanfaatkan semua senyawa-senyawa teroksidasi sebagai sumber
oksigennya.
ƒ Tahap pertama yang mengalami reduksi adalah nitrat (NO3-), sehingga semua
nitrat akan direduksi menjadi ion amonium (NH4+). Setelah semua nitrat lenyap,

44
Subagyo

sebarang oksida-mangan (MnO2) yang ada akan direduksi menjadi ion Mn2+.
Dalam 1-3 minggu penggenangan, hampir seluruh Mn dapat tukar, direduksi
menjadi Mn2+ (Konsten et al., 1990). Sesudah semua MnO2 habis, reduksi
sebarang Fe-III (ferri-oksida) mulai terjadi, yang menghasilkan Fe-II (ferro) yang
melimpah, dan peningkatan pH oleh karena dihasilkannya senyawa
hidrokarbonat dalam larutan tanah.

Fe(OH)3 + ¼ CH2O + 2H+ → Fe2+ + ¼ CO2 + 1 ¼ H2O

ƒ Peningkatan pH larutan tanah bersifat menstabilkan reduksi Fe-III, sehingga


dihasilkan ion Fe-II dalam konsentrasi tinggi yang bersifat toksik terhadap
tanaman. Selain itu, jumlah ion Fe-II yang melimpah mendesak ke luar basa-
basa dapat tukar Ca dan Mg dari kompleks adsorpsi tanah, sehingga
jumlahnya meningkat dalam larutan tanah. Kedua unsur hara ini dengan mudah
terbawa keluar dari lingkungan akar oleh air yang mengalir.
ƒ Sesudah semua ferri-oksida tereduksi, reduksi sulfat mulai terjadi, yang
berakibat menurunkan konsentrasi ion sulfat dan ion H+ (karena digunakan
untuk membentuk bikarbonat), dan disertai dengan peningkatan pH tanah.

SO42- + 2CH2O → H2S + 2HCO3-

ƒ Proses reduksi sulfat terjadi pada potensial redoks antara -0,12V dan -0,19V,
serta hanya terjadi di atas pH 5,0, tetapi juga pada reaksi lebih masam, pH 2,8-
3,4 (Konsten et al., 1990). Sulfida yang terbentuk segera bereaksi dengan Fe-II
yang tersedia dalam larutan tanah, dan membentuk senyawa ferro-sulfida.
Adanya reduksi sulfat pada lapisan tanah ditandai oleh karatan FeS yang
berwarna hitam, dan terkadang oleh bau (busuk) H2S. Senyawa H2S yang
dihasilkan dari reduksi sulfat bersifat sangat toksik terhadap pertumbuhan
tanaman.
ƒ Secara ringkas, akibat penggenangan selama musim hujan, terjadi peningkatan
pH tanah, dan penurunan konsentrasi AI. Namun, kemungkinan dapat terjadi
keracunan ion Fe-ll, dan Mn karena konsentrasinya yang sangat tinggi dalam
larutan tanah. Kemungkinan juga terjadi keracunan H2S, dan pencucian unsur
basa Ca dan Mg yang berakibat menurunkan kesuburan alami tanah rawa.
Demikian seriusnya permasalahan budidaya tanaman yang timbul akibat
oksidasi pirit, apabila senyawa-senyawa yang bersifat racun, yakni ion H+, Al3+,

45
Lahan Rawa Pasang Surut

SO42-, dan Fe-III, serta Fe2+, Mn2+, dan H2S tersebut tidak dapat terbuang dari
lingkungan perakaran, maka pertumbuhan tanaman yang normal sulit sekali
diharapkan. Lambat atau cepat, tanah akan mengalami degradasi dan
menunjukkan gejala bongkor, atau mati suri. Teknik pengelolaan tanah yang
sesuai, dan pengelolaan air yang tepat, yang mampu membuang atau melakukan
pencucian unsur-unsur beracun secara efektif, baik dengan air pasang
berkualitas baik, dan atau dengan air hujan, merupakan salah satu kunci utama
keberhasilan pertanian di lahan rawa. Selain itu, penggunaan bahan amelioran
seperti kapur pertanian (kaptan), dolomit, batuan fosfat (rock phosphate), abu
sisa pembakaran tumbuhan, abu dapur, dan abu volkan merupakan tindakan
yang sangat diperlukan untuk memperbaiki lingkungan perakaran,
mempertahankan kesuburan tanah, dan meningkatkan produktivitas tanah rawa.

2.4. TANAH RAWA DALAM TAKSONOMI TANAH

Tanah rawa merupakan tanah yang terdapat pada “lahan basah”, atau
“wetland”, dan terdiri atas tanah-tanah basah, atau “wetsoils”. Secara umum
tanah rawa terdiri atas dua kelompok tanah, yaitu tanah mineral dan tanah
gambut. Dalam kondisi asli alami, tanah rawa merupakan tanah yang selalu jenuh
air atau tergenang, sepanjang tahun atau dalam waktu yang lama, beberapa
bulan, dalam setahun.
Sistem klasifikasi Taksonomi Tanah, atau “Soil Taxonomy” (Soil Survey
Staff, 1975; 1999; 2003) adalah sistem klasifikasi tanah “morfometrik”, yaitu
berdasarkan sifat-sifat morfologi tanah yang dapat diobservasi dan diukur.
Klasifikasi suatu tanah ditetapkan berdasarkan adanya horison penciri/diagnostik
dan karakteristik-karakteristik tanah penciri, yang didefinisikan secara kuantitatif.
Untuk itu dibedakan (i) horison permukaan penciri, atau disebut epipedon, (ii)
horison bawah (subsurface) penciri, dan (iii) karakteristik penciri/diagnostik
lainnya.
Seperti pada sistem klasifikasi Taksonomi Tumbuh-tumbuhan, yang
mengenal tingkatan atau kategori klasifikasi dari yang paling atas
(pengelompokkan secara garis besar) sampai yang paling detail: Phyllum-
Subphyllum-Class-Order-Family-Genus-Species, dan Subspecies. Dalam sistem
Taksonomi Tanah juga dikenal “taxa”, atau kategori klasifikasi, yang bila
diurutkan dari yang paling atas, adalah Ordo (order), Subordo (suborder), Jenis

46
Subagyo

Tanah (Great group), Subgrup/Macam tanah (Subgroup), Famili (Family), dan


Seri tanah (Series).

2.4.1. Sifat-sifat penciri/diagnostik

Dalam Taksonomi Tanah, kondisi jenuh air atau tergenang pada tanah
rawa yang merupakan salah satu karakterisitk penciri utama, diberi istilah kondisi
“aquik” (aquic condition), yakni mengalami penjenuhan air, atau saturasi, dan
(proses) reduksi secara terus-menerus atau periodik. Jenis penjenuhan yang
dominan adalah penjenuhan air yang berasal dari bawah, yaitu datang dari air
tanah, sehingga semua lapisan tanah dari permukaan tanah sampai sedalam 200
cm atau lebih, jenuh air. Jenis penjenuhan seperti ini disebut “endosaturasi”
(endosaturation). Pada lahan basah, proses pembentukan tanah yang dominan
adalah gleisasi dan pembentukan gambut di permukaan tanah. Gleisasi adalah
terbentuknya lapisan tanah berwarna “glei” yaitu kelabu (N 7-4/0), kelabu (5Y 7-
4/1), kelabu gelap kehijauan (5B 7-4/1), atau kelabu kebiruan (5B 7-4/1) akibat
proses reduksi terus-menerus atau periodik yang berlangsung lama.
Pembentukan lapisan gambut di permukaan tanah setelah mencapai
ketebalan tertentu, dapat dimasukkan sebagai “epipedon histik”. Pada tanah
yang masih asli alami, ketebalan gambutnya disyaratkan antara 20-40 cm.
Apabila bahan gambut tiga-perempat bagian dari volumenya tersusun dari lumut
spaghnum, atau apabila bobot-isinya <0,1 g/cm3, disyaratkan mempunyai
ketebalan gambut 20-60 cm. Tetapi, apabila berupa lapisan tanah olah, Ap, maka
syarat ketebalannya adalah 25 cm. Sementara itu, tanah yang mempunyai
ketebalan gambut di permukaan kurang dari 25 cm, diperlakukan sebagai tanah
mineral (murni).
Secara genetis, tanah rawa pada awalnya berasal dari endapan marin
berupa lumpur cair berwarna kelabu gelap, seperti yang terdapat pada dataran
lumpur (mudflats). Sesuai dengan perkembangannya setelah lebih lama terbuka
di udara dan mengalami oksidasi, tanah rawa akan berubah menjadi lebih padat,
karena kandungan airnya berkurang, bersifat lembek, dengan konsistensi
lekat/sangat lekat, serta plastis. Perkembangan selanjutnya akan berubah
menjadi tanah relatif kering yang padat, konsistensinya agak teguh waktu
lembab, dan menjadi agak keras/keras sewaktu kering. Perubahan tanah rawa
dari kondisi lumpur cair, yang masih “mentah”, beralih ke kondisi lembek yang

47
Lahan Rawa Pasang Surut

lekat dan plastis, dan akhirnya berubah menjadi tanah relatif kering yang padat
dan teguh, yaitu kondisi “matang”, disebut proses “pematangan tanah” (ripening
process).
Derajat atau tingkat pematangan tanah ditunjukkan oleh nilai-n, yang
sebenarnya menyatakan jumlah air (dalam gram) yang diabsorb oleh satu gram
liat dalam tanah, dan dihitung dari rumus: n = (A-0,2 R)/(L + 3H), dimana:
A=kadar air dalam tanah pada kapasitas lapang; R=% kandungan fraksi debu
dan pasir; L=% kandungan liat; dan H=% kandungan bahan organik (% karbon
organik dikalikan 1,724). Semua faktor dihitung berdasarkan berat-kering tanah.
Tingkat pematangan tanah dapat ditetapkan di lapangan, dengan uji
remas, yaitu dengan cara meremas tanah rawa dalam telapak tangan. Hubungan
tingkat pematangan tanah dengan nilai-n, dan perkiraan kandungan airnya
menurut Pons dan Zonneveld (1965) disajikan pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Tingkat pematangan tanah rawa berdasarkan nilai-n


Tingkat pematangan Nilai-n Kandungan air (%)
Mentah (totally unripe) >2,0 >80
Agak mentah (practically unripe) 1,4-2,0 70-80
Setengah matang (half ripe) 1,0-1,4 60-70
Hampir matang (nearly ripe) 0,7-1,0 50-60
Matang (ripe) <0,7 <50
Sumber: Pons dan Zonneveld (1965)

Seperti telah diuraikan sebelumnya, semua tanah rawa yang berasal dari
endapan marin mengandung senyawa besi-oksida yang disebut pirit (FeS2).
Secara spesifik, dalam Taksonomi Tanah, senyawa besi-sulfida ini tidak disebut
pirit, tetapi sebagai “bahan sulfidik” (sulfidic materials), karena dipikirkan tidak
seluruhnya hanya tersusun dari senyawa FeS2, tetapi juga senyawa besi-sulfida
lainnya, termasuk H2S.
Sementara lapisan yang mengandung bahan sulfidik yang telah
teroksidasi, menghasilkan asam sulfat, unsur besi, dan berbagai ion ikutan
lainnya yang bersifat racun terhadap tanaman, dianggap telah mengalami proses
pembentukan tanah, dan disebut “horison sulfurik”. Keduanya, yakni bahan
sulfidik dan horison sulfurik, merupakan sifat dan horison penciri utama pada
tanah rawa pasang surut. Definisi keduanya adalah sebagai berikut.

48
Subagyo

Bahan sulfidik (sulfida: unsur S) merupakan bahan tanah mineral atau


bahan tanah organik yang mengandung senyawa sulfida yang dapat teroksidasi,
dan memiliki:
ƒ pH >3,5; dan
ƒ apabila sebagai lapisan setebal 1 cm diinkubasi pada suhu ruangan, dalam
keadaan aerob dan lembab (pada kapasitas lapang), dalam waktu delapan
minggu, pH-nya turun 0,5 unit atau lebih, menjadi pH 4,0 atau kurang.
Pengukuran pH (H2O) diiakukan pada rasio tanah/air 1:1, atau dengan air
minimal untuk memungkinkan pengukuran.
Horison sulfurik (sulfuric acid = asam sulfaf) merupakan lapisan atau
horison tanah setebal 15 cm atau lebih, tersusun dari bahan tanah mineral atau
bahan tanah organik, yang memiliki:
ƒ pH 3,5 atau kurang; dan
ƒ menunjukkan bukti bahwa adanya pH yang rendah disebabkan oleh asam
sulfat. Bukti-bukti tersebut, boleh satu atau lebih, dapat berupa:
- adanya konsentrasi jarosit;
- terletak langsung di atas (Iapisan) bahan sulfidik;
- kandungan sulfat-Iarut air, (SO4)2-, 0,05% atau lebih.

Salah satu karakteristik penciri lain, yang mungkin ditemukan pada tanah
rawa pada zona I: lahan rawa pasang surut air asin/payau, adalah tanah-tanah
yang karena pengaruh pasang air laut mempunyai kadar garam larut (air),
natrium (NaCl) atau garam-garam lain yang tinggi. Pada musim kemarau, sering
terlihat lapisan garam yang tipis menutupi permukaan tanah. Tanah umumnya
mempunyai reaksi alkalis (pH 7,5-8,5). Dalam istilah Taksonomi Tanah,
digolongkan pada tanah-tanah salin atau sodik, atau mungkin mempunyai
horison salik, yang keduanya mempunyai kandungan unsur sodium (natrium)
tinggi. Definisi keduanya adalah sebagai berikut.
Tanah-tanah salin, atau sodik, (sodium, atau natrium: Na) adalah tanah
yang jenuh air sampai sedalam 100 cm, dan
ƒ pada separuh atau lebih dari tanah bagian atas mempunyai “kejenuhan
sodium” sebesar 15% atau lebih, atau nilai “rasio adsorpsi sodium” (SAR:
sodium adsorption ratio) 13 atau lebih;

49
Lahan Rawa Pasang Surut

ƒ kejenuhan sodium dan nilai SAR ini semakin berkurang pada kedalaman di
bawah 50 cm.
Horison salik (sal atau salt = garam) adalah horison akumulasi garam,
terutama “halite”, yaitu bentuk kristal dari garam dapur (NaCl), dan merupakan:
ƒ horison setebal 15 cm atau lebih, yang selama 3 bulan atau lebih secara
berturut-turut dalam setahun,
ƒ dalam bentuk pasta jenuh air, mempunyai daya hantar listrik (DHL) (electrical
conductivity) 30 dS/m atau lebih; dan
ƒ hasil perkalian antara DHL, dalam satuan dS/m, dan ketebalan horison, dalam
satuan cm, mencapai nilai 900 atau lebih.
Pada tanah-tanah rawa dalam zona I, sering juga dijumpai tanah-tanah
yang tingkat pematangannya tergolong “mentah” sampai “setengah matang”,
karena merupakan tanah yang semula berasal dari dataran lumpur, yang karena
secara periodik terbuka di udara mengalami proses pematangan awal. Tanah-
tanah yang masih “muda” tingkat perkembangannya ini mempunyai sifat “hidrik”,
yaitu dicirikan oleh kandungan air yang relatif tinggi. Definisi secara kuantitatif
adalah:
Sifat hidrik (hydro, atau adanya air) adalah pada semua lapisan di antara
kedalaman 20 dan 50 cm dari permukaan tanah, mempunyai nilai-n lebih dari 0,7
dan kandungan (fraksi) liat 8% atau lebih.
Pada tanah-tanah rawa dalam zona II, terdapat tanah-tanah yang
menempati (sublandform) tanggul sungai alam (natural levee) yang terbentuk
karena pengendapan muatan sedimen yang dibawa sungai sewaktu terjadi banjir
musiman, dan sering disebut endapan fluviatil (fiuvius = sungai). Dalam
Taksonomi Tanah, terbentuk oleh sedimentasi bahan yang berulang kali, dicirikan
secara kuantitatif mempunyai kandungan C-organik yang naik-turun, atau
berkurang secara tidak teratur di antara kedalaman 25-125 cm, dan mencapai
kandungan C-organik 0,2% atau lebih pada kedalaman 125 cm dari permukaan
tanah.

50
Subagyo

2.4.2. Klasifikasi tanah mineral

Sesuai dengan bahan-bahan penyusunnya, berupa bahan tanah mineral


dan bahan tanah organik, dalam lingkungan basah atau tergenang, tanah rawa
dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu tanah mineral dan tanah gambut. Tanah
mineral pada lahan rawa secara dominan berasal dari sedimentasi dalam
lingkungan laut/marin, sehingga bahan induknya berupa endapan marin yang
mengandung bahan sulfidik. Berdasarkan pada tingkat perkembangan tanah,
yang diekspresikan pada tingkat pematangan tanah (nilai-n dan kandungan liat),
adanya horison sulfurik, dan tanda-tanda alterasi, atau perkembangan tanah lain,
seperti terbentuknya struktur tanah, warna yang tidak berubah saat terbuka di
udara, maka tanah mineral lahan rawa termasuk dalam dua kelompok besar, atau
ordo tanah, yaitu Entisols dan Inceptisols.
Entisols, berasal dari suku kata "recent”, adalah istilah geologi yang berarti
terbentuk di zaman Holosin (± 11.000 tahun SM) yaitu zaman sekarang ini, maka
berarti tanah yang paling “muda” umurnya. Inceptisols, berasal dari kata
"inceptum”, atau “beginning”, artinya tanah yang sudah mulai menunjukkan
tanda-tanda awal pembentukan tanah, seperti tanah menjadi agak matang
sampai matang, terbentuknya struktur tanah, dan terbentuknya horison sulfurik.
Tanah mineral rawa termasuk tanah basah, yang secara dominan dicirikan
oleh kondisi aquik (aqua: air). Oleh karena itu, tanah rawa dari (ordo) Entisols dan
Inceptisols, termasuk dalam subordo Aquents (Aqu+ents) dan Aquepts
(Aqu+epts).
Dalam Aquents terdapat lima great grup, yaitu (i) yang mempunyai bahan
sulfidik di dalam kedalaman 0-50 cm, disebut Sulfaquents; (ii) yang masih
“mentah” dengan kandungan air tinggi, yaitu nilai-n >0,7 dan kandungan fraksi liat
>8%, disebut Hydraquents; (iii) yang berasal dari bahan endapan sungai (fluvio =
sungai), ditunjukkan kandungan C-organik pada kedalaman 15-125 cm menurun
secara tidak teratur, dan mencapai 0,25% atau lebih pada kedalaman 125 cm,
disebut Fluvaquents; (iv) yang secara dominan mengalami penjenuhan
endosaturasi, disebut Endoaquents; dan (v) yang bertekstur pasir kasar, yakni
pasir halus berlempung atau lebih kasar (psammos = pasir), seperti pada beting
pasir pantai, disebut Psammaquents.
Dalam Aquepts terdapat empat great grup, yaitu (i) yang mempunyai
horison sulfurik pada kedalaman 0-50 cm, disebut Sulfaquepts; (ii) yang karena
pengaruh air pasang dari air laut, banyak mengandung garam natrium/sodium,

51
Lahan Rawa Pasang Surut

atau mempunyai horison salik atau berupa tanah salin, disebut Halaquepts; (iii)
yang mempunyai lapisan bahan organik cukup tebal di permukaan, yaitu
epipedon histik, disebut Humaquepts; dan (iv) yang secara dominan mengalami
penjenuhan endosaturasi, disebut Endoaquepts.
Pada tingkat subgrup, masing-masing great grup ditambahkan nama
awalan, yang merupakan sifat murni subgrup itu sendiri, disebut “Typic”, atau sifat
tambahan ke great grup yang sama, atau great grup/subordo tanah yang lain.
Pada Aquents, sifat-sifat tambahan tersebut umumnya berasal dari great grup
yang sama, yaitu selain “Histic”, “Sulfic”,dan “Sodic”, juga terdapat “Haplic”,
“Thapto-Histic”, dan ”Aeric”. Pada Aquepts, sifat-sifat tambahan dapat berasal
dari great grup yang sama, seperti “Histic” dan “Sulfic”, “Aeric”, dan “Vertic”, atau
sifat tambahan dari great grup/subordo tanah yang lain, seperti “Salidic”,
“Hydraquentic”, dan ”Fiuvaquentic”. Arti dari masing-masing sifat tambahan ini
adalah:
ƒ Haplic : sifat minimum (haplos = sederhana) pada tanah marin yang bukan
Hydraquent, yaitu ditunjukkan oleh nilai-n 0,7 atau kurang, atau
kandungan liat <8%.
ƒ Thapto-Histic: adanya lapisan bahan tanah organik tertimbun, tebalnya 20 cm
atau lebih, pada kedalaman 0-100 cm dari permukaan tanah.
ƒ Aeric : akibat (proses) oksidasi pada kedalaman antara 25-75 cm, terdapat
satu horison atau lebih berwarna kekuningan (2,5Y; 5Y) atau
kemerahan (10YR; 7,5YR), dengan kroma rendah dan value tinggi.
ƒ Vertic : adanya rekahan-rekahan (cracks) di dalam kedalaman 0-125 cm,
dan horison setebal 15 cm atau lebih yang menunjukkan adanya
bidang-bidang kilir (slickensides) atau memiliki agregat-agregat
berbentuk baji (wedge shape).
ƒ Salidic : mempunyai horison salik pada kedalaman 0-75 cm dari permukaan.
Horison salik adalah ciri utama (subordo) Salids, dari tanah-tanah
ordo Aridisols.
ƒ Hydraquentic: mempunyai nilai-n > 0,7 dan kandungan liat > 8%, pada satu
atau lebih lapisan, di antara kedalaman 20-50 cm dari permukaan.
Kedua ciri tersebut merupakan ciri utama great grup Hydraquents.
ƒ Fluvaquentic: mempunyai kandungan C-organik menurun secara tidak teratur
di dalam kedalaman 25-125 cm; atau kandungan C-organik pada
kedalaman 125 cm sebesar 0,2% atau lebih. Kedua sifat tersebut
merupakan ciri diagnostik pada great grup Fluvaquents.

52
Subagyo

Dalam kaitan ini, tanah sulfat masam potensial, karena mempunyai pirit
atau bahan sulfidik belum teroksidasi, dalam Taksonomi Tanah diklasifikasi
sebagai Entisols, termasuk great grup Sulfaquents. Sedangkan tanah sulfat
masam aktual, yang proses oksidasi bahan sulfidiknya belum selesai dan
ditunjukkan oleh pH tanah antara 3,5-4,0, diklasifikasikan sebagai Entisols, yaitu
masuk subgrup Sulfic Hydraquents, Sulfic Fluvaquents, atau Sulfic Endoaquents.
Sementara tanah sulfat masam aktual yang oksidasi bahan sulfidiknya sudah
selesai, yang ditunjukkan dengan pH tanah < 3,5, diklasifikasikan sebagai
lnceptisols dan termasuk Sulfaquepts.

Tanah-tanah basah yang relatif masih mentah pada wilayah rawa zona I,
diklasifikasikan sebagai Hydraquents, dapat termasuk sebagai Sulfic, Sodic, atau
Thapto-Histic Hydraquents. Tanah-tanah pada beting, atau bukit-bukit pasir
pantai, apabila basah dengan kondisi aquik, diklasifikasikan sebagai
Psammaquents. Apabila kering tidak mempunyai ciri-ciri kondisi aquik,
dimasukkan sebagai Psamments, yakni Entisols yang bertekstur pasir kasar.
Apabila pasirnya didominasi oleh pasir kuarsa (quartz), termasuk dalam (great
grup) Quartzipsamments, dan jika bukan kuarsa diklasifikasikan sebagai (great
grup) Udipsamments, yaitu Psamments yang berada di lingkungan iklim
lembab/humid (udus = lembab/humid).

Tanah-tanah tanggul sungai, sebagian besar merupakan Fluvaquents,


apabila mempunyai ciri kondisi aquik, dan dapat termasuk (subgrup) Sulfic
Fluvaquents jika masih mempunyai bahan sulfidik relatif belum teroksidasi, atau
belum sempurna teroksidasi. Atau sebagai Thapto-Histic Fluvaquents, jika
terdapat bahan organik tertimbun di dalam tanahnya, atau sebagai Aeric
Fluvaquents, jika tidak mengandung bahan sulfidik, tetapi tanah bagian atasnya
antara 25-75 cm, sudah teroksidasi. Tanah tanggul sungai yang kering, dan tidak
mempunyai ciri kondisi aquik, diklasifikasikan sebagai (subordo) Fluvents.

53
Lahan Rawa Pasang Surut

2.4.3. Klasifikasi tanah gambut

Dalam sistem klasifikasi Taksonomi Tanah, tanah gambut disebut


Histosols, dan didefinisikan secara kuantitatif atau terukur, mengikuti definisi ini,
maka Histosols harus terdiri atas bahan tanah organik, yaitu:
ƒ kandungan C-organik minimal 12%, apabila tidak mengandung fraksi liat (0%);
atau
ƒ kandungan C-organik minimal 18%, apabila mengandung fraksi liat 60% atau
lebih; atau
ƒ jika kandungan fraksi liat antara 0-60%, maka kandungan C-organik adalah
12% + (% kandungan liat dikalikan 0,1).
Tingkat dekomposisi atau pelapukan/perombakan bahan organik gambut
dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu fibrik (awal), hemik (tengahan), dan saprik
(Ianjut), tergantung dari kandungan serat (fibers) yang menyusunnya.
ƒ Fibrik : gambut dengan tingkat dekomposisi awal, yaitu kandungan serat
tumbuhan lebih dari 75%, atau masih lebih dari tiga perempat bagian
dari volumenya.
ƒ Hemik : gambut dengan tingkat dekomposisi tengahan, yaitu kandungan
serat antara 17-75%, atau tinggal antara 1/6-3/4 bagian volumenya.
ƒ Saprik : gambut dengan tingkat dekomposisi lanjut, yaitu kandungan seratnya
kurang dari 17%, atau tinggal kurang dari 1/6 bagian dari volumenya.
Gambut saprik biasanya berwarna kelabu sangat gelap sampai
hitam. Sifat-sifatnya, baik sifat fisik maupun kimianya, relatif sudah
stabil.
Batasan tanah gambut sebagai Histosols, dengan demikian adalah:
(i) terdiri atas bahan tanah organik; dan
(ii) jenuh air, selama 1 bulan atau lebih setiap tahun, dan
(iii) ketebalannya minimal 60 cm, apabila tersusun dari bahan fibrik, atau jika
bobot-isinya kurang dari 0,1 g/cm3; atau
(iv) ketebalannya minimal 40 cm, apabila tersusun dari bahan saprik, atau bahan
hemik, atau jika terdiri atas bahan fibrik kandungan serat jaringan kurang dari
¾ bagian volume, dan bobot-isinya harus 0,1 g/cm3 atau lebih.

54
Subagyo

Pada taksa, atau kategori lebih ke bawah yaitu tingkat subordo, Histosols
pada wilayah rawa berdasarkan tingkat dekomposisi bahan gambutnya dibagi
menjadi tiga subordo, yaitu Fibrists, Hemists, dan Saprists. Tanah gambut di
wilayah rawa pasang surut, mempunyai tanah dasar mineral berupa endapan
marin yang mengandung bahan sulfidik, sehingga keberadaan bahan sulfidik
atau horison sulfurik berikut kedalamannya dari permukaan tanah, termasuk
dalam definisi tanah gambut, dan ikut menentukan namanya.
Pada Hemists dan Saprists, yang mempunyai bahan sulfidik di dalam
kedalaman 0-100 cm dari permukaan tanah, disebut great grup Sulfihemists dan
Sulfisaprists. Apabila mempunyai horison sulfurik di dalam kedalaman 0-50 cm,
disebut (great grup) Sulfohemists dan Sulfosaprists. Di dalam definisi Histosols,
tidak disebutkan keberadaan horison sulfurik di dalam kedalaman 50-100 cm dari
permukaan tanah, oleh karena di alam memang tidak ditemukan horison sulfurik
pada kedalaman tersebut. Apabila bahan sulfidik terletak lebih dalam, yaitu pada
kedalaman lebih dari 100 cm (1 m), disebut Haplohemists dan Haplosaprists.
Akan halnya Fibrists, di daerah tropika, tampaknya belum ditemukan Fibrists
yang mempunyai bahan sulfidik di dalam kedalaman 0-100 cm, ataupun horison
sulfurik di dalam kedalaman 0-50 cm dari permukaan. Yang ditemukan umumnya
mempunyai bahan sulfidik yang terletak dalam, yaitu lebih dari 100 cm, dan oleh
karena itu disebut (great grup) Haplofibrists.
Untuk menetapkan sifat-sifat Histosols, dimana suatu sifat atau ciri tanah
harus ditetapkan, misalnya apakah bahan gambutnya dari tipe fibrik, hemik, atau
saprik, ataukah ada sisipan tanah mineral, atau lapisan air di dalam tanah
gambut, digunakan “penampang kontrol” (control section) yaitu kedalaman tanah
gambut, dihitung dari permukaan tanah gambut, dimana sesuatu sifat harus
ditetapkan. Untuk tanah gambut, kedalaman penampang kontrol adalah 130 atau
160 cm, dan terdiri atas tiga lapisan gambut, atau “tier”, yaitu tier permukaan, tier
bawah (permukaan), dan tier dasar. Tier permukaan umumnya 0-30 cm, tetapi
bila bahan gambutnya dari lumut spaghnum, atau bobot isinya <0,1 g/cm3,
ketebalan tier permukaan adalah 0-60 cm. Tier bawah biasanya 60 cm, dan tier
dasar umumnya 40 cm, kecuali jika penampang kontrol berakhir pada lapisan
yang keras/padat, yang disebut lapisan atau kontak densik, lithik, atau paralithik.
Pada tingkat subgrup Histosols, sebagaimana pada tanah mineral, masing-
masing great grup ditambahkan nama awalan, yang akhirnya membentuk nama
dari subgrup masing-masing. Subgrup yang mempunyai sifat murni, yaitu tidak

55
Lahan Rawa Pasang Surut

mempunyai sifat atau ciri-ciri great grup yang sama atau great grup/subordo yang
lain, disebut”Typic”. Yang mempunyai sifat tambahan dari great grup yang sama,
atau great grup/subordo tanah yang lain, dikatakan mempunyai sifat peralihan,
dan terbawa dalam nama subgrupnya. Sifat-sifat peralihan tersebut adalah
“Hydric”, “Terric”, “Hemic”, “Sapric”, “Fibric”, “Halic”, dan “Fluvaquentic”, serta
didefinisikan sebagai berikut:
Hydric : terdapat lapisan air di dalam penampang kontrol, di bawah tier
permukaan, atau umumnya di dalam kedalaman antara 30-130 cm dari
permukaan tanah.
Terric : mempunyai satu lapisan mineral setebal 30 cm atau lebih, di dalam
penampang kontrol, di bawah tier permukaan, atau umumnya di dalam
kedalaman antara 30-130 cm dari permukaan tanah.
Hemic : mempunyai satu atau lebih lapisan gambut dari bahan hemik atau
saprik, dengan ketebalan total 25 cm atau lebih di dalam penampang
kontrol, di bawah tier permukaan, atau umumnya di dalam kedalaman
antara 30-130 cm dari permukaan tanah.
Sapric : mempunyai satu atau lebih lapisan gambut saprik, dengan ketebalan
total 25 cm atau lebih di dalam penampang kontrol, di bawah tier
permukaan, atau umumnya di dalam kedalaman antara 30-130 cm dari
permukaan tanah.
Fibric : mempunyai satu atau lebih lapisan gambut fibrik, dengan ketebalan total
25 cm atau lebih di dalam penampang kontrol, di bawah tier
permukaan, atau umumnya di dalam kedalaman antara 30-130 cm dari
permukaan tanah.
Halic : mempunyai satu lapisan setebal 30 cm atau lebih di dalam penampang
kontrol, yang seluruh lapisan tersebut, selama 6 bulan atau lebih,
memiliki daya hantar listrik (electrical conductivity) sebesar 30 dS/m
atau lebih.
Fluvaquentic: mempunyai satu lapisan mineral setebal 5 cm atau lebih, atau dua
atau lebih lapisan mineral dengan sebarang ketebalan, di dalam
penampang kontrol, di bawah tier permukaan, atau umumnya di dalam
kedalaman antara 30-130 cm dari permukaan tanah.
Tidak setiap great grup mempunyai semua sifat peralihan tersebut,
misalnya Sulfosaprists hanya mempunyai “Typic” saja; sedangkan Sulfihemists

56
Subagyo

dan Sulfisaprists hanya mempunyai “Terric” dan “Typic”; sementara Haplohemists


memiliki 6 subgrup, yaitu Typic, Hydric, Terric, Fibric, Sapric, dan Fluvaquentic
Haplohemists.
Dikaitkan pada penyebaran tanah gambut di lapangan, pada wilayah rawa
zona I, umumnya ditemukan gambut topogen dangkal (51-100 cm) sampai
sedang (101-200 cm) pada cekungan-cekungan dangkal, yang termasuk Typic
atau Terric Sulfihemists, sesekali ditemukan Typic Sulfohemists. Pada wilayah
rawa zona II, juga terdapat gambut dangkal sampai sedang, pada cekungan-
cekungan pada (landform) rawa belakang. Gambut-gambut dangkal umumnya
merupakan gambut topogen yang termasuk Terric Sulfihemists atau Terric
Sulfisaprists, dan gambut sedang merupakan Typic Haplohemists dan
Fluvaquentic Haplohemists.
Pada wilayah kubah gambut, seperti diketemukan di wilayah gambut di
lokasi PLG 1 juta hektar di Kalimantan Tengah, di bagian pinggir kubah gambut,
merupakan gambut dangkal topogen yang terutama terdiri atas Terric
Sulfihemists dan Terric Haplohemists, serta sebagian kecil Typic Haplohemists.
Ke arah pusat kubah gambut, ditemukan gambut sedang ombrogen, yang
diklasifikasikan sebagai Typic Haplohemists dan Terric Haplohemists, serta Terric
Sulfihemists. Selanjutnya mencapai gambut-dalam (200-300 cm) dan gambut-
sangat dalam (>300 cm) bersifat ombrogen, dan komposisinya sama, yaitu
sebagian besar merupakan Typic Haplohemists dan sebagian kecil Typic
Haplofibrists.

2.5. TIPOLOGI LAHAN DAN SIFAT KIMIA TIPE-TIPE LAHAN

2.5.1. Tipologi lahan

Reklamasi lahan rawa pasang surut selalu diawali dengan pembuatan


saluran-saluran primer, sekunder, dan tersier, yang dimaksudkan untuk
mendrainase atau mengeringkan seluruh kawasan reklamasi agar tahapan
pemanfaatan lahan untuk pertanian dapat tercapai. Pada kenyataannya, sesudah
selesainya penggalian saluran-saluran tersebut, permukaan air tanah menjadi
turun, dan tanah terbebas dari kondisi jenuh air, dan setelah beberapa waktu
mencapai kondisi siap pakai sebagai lahan pertanian. Pada lahan petani,

57
Lahan Rawa Pasang Surut

mengikuti kondisi hidrotopografi permukaan lahan, ada bagian-bagian lahan yang


selalu terkena genangan setiap kali pasang naik, tetapi ada juga bagian lahan
yang tidak pernah terkena genangan pasang. Bagian yang rendah yang selalu
tergenang pasang harian, umumnya telah disawahkan.

a. Klasifikasi tipologi lahan versi awal

Dalam awal pelaksanaan Proyek Penelitian Pertanian Lahan pasang Surut


dan Rawa, SWAMPS-II, sekitar tahun 1986-1987, (Proyek PPLPSR-Swamps II,
1993a), dirasakan perlunya pembagian kelompok-kelompok tanah rawa yang
kurang-Iebih sama sifat-sifatnya, dan memiliki respons yang relatif sama pula
terhadap perlakuan pengelolaan tanah dan air. Hal ini diperlukan untuk
perencanaan dan pengujian model usahatani yang akan dikembangkan, dimana
penelitiannya dilaksanakan melalui pendekatan agroekosistem.
Telah diketahui bahwa pada lahan rawa terdapat agroekosistem tanah
gambut dan tanah mineral. penggunaan sistem klasifikasi murni seperti
Taksonomi Tanah, untuk membedakan antara Sulfihemists dan Sulfohemists
serta Sulfaquents dan Sulfaquepts, yaitu tanah gambut dan tanah mineral yang
bahan sulfidiknya belum dan sudah teroksidasi, dirasakan rumit dan kurang
praktis oleh para praktisi dan peneliti agronomis yang menangani pengelolaan
tanah dan air, serta upaya peningkatan produktivitas lahan rawa pasang surut.
Berdasarkan pertimbangan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh dalam
pemanfaatan dan pengelolaan lahan rawa adalah: (a) kedalaman lapisan
mengandung pirit/bahan sulfidik, dan kondisinya masih tereduksi atau sudah
mengalami proses oksidasi, (b) ketebalan dan tingkat dekomposisi gambut serta
kandungan hara gambut, (c) pengaruh luapan pasang dari air salin/payau, (d)
lama dan kedalaman genangan air banjir, dan (e) keadaan lapisan tanah bawah,
atau substratum, apakah endapan sungai, endapan marin, atau pasir kuarsa,
maka I P.G. Widjaja-Adhi, sekitar 1986-1987, mengusulkan penggunaan
klasifikasi tipe-tipe lahan, atau tipologi lahan pada wilayah rawa pasang surut dan
rawa lebak dengan persyaratan-persyaratan atau kriteria-kriterianya seperti
tercantum pada Tabel 2.4.

58
Subagyo

Tabel 2.4. Tipologi lahan di wilayah rawa pasang surut dan rawa lebak, versi
tahun 1987
Tipologi lahan Simbol Kriteria
Lahan potensial P Kadar pirit <2% belum mengalami proses
oksidasi, terletak pada kedalaman >50 cm
dari permukaan tanah, termauk tanah sulfat
masam potensial. Kendala produksi dan
kemungkinan munculnya kendala tersebut
diperkirakan kecil.
Lahan sulfat ƒ Sulfat masam SM Lapisan pirit dengan kadar >2% tidak/belum
masam potensial mengalami proses oksidasi, dan terletak lebih
dangkal, <50 cm dari pemukaan tanah.
ƒ Sulfat masam aktual SM Memiliki horison sulfurik, dengan jarosit/
brown layer, pH (H2O)<3,5.

Lahan gambut ƒ Gambut-dangkal G-1 Terbentuk dari bahan gambut, yang (1) jenuh
ƒ Gambut-sedang G-2 air dalam waktu lama, dan tersusun dari
ƒ Gambut-dalam G-3 bahan tanah organik, atau (2) tidak pernah
ƒ Gambut-sangat dalam G-4 jenuh air selama lebih dari beberapa hari,
ƒ Lahan bergambut G-0 dan kadar C-organik 20%. Ketebalan gambut
pada G-1: 50-100 cm; G-2: 100-200 cm; G-3:
200-300 cm; G-4: >300 cm; dan G-0: <50
cm.
Lahan salin, atau Lahan rawa di zona I: rawa pasang surut air
pantai salin/payau, dan dapat berupa lahan
potensial, sulfat masam, atau gambut.
Mendapat intrusi air laut lebih dari 4 bulan
dalam setahun; kandungan Na dalam larutan
tanah antara 8-15%.
Lahan lebak ƒ Lebak pematang Lahan rawa di zona III: rawa non-pasang
ƒ Lebak tengahan surut, atau rawa lebak. Tanahnya berupa
ƒ Lebak dalam Aluvial, Aluvial bergambut, atau gambut.
Lama dan dalamnya genangan pada lebak
pematang: <3 bulan, <50 cm; lebak
tengahan: 3-6 bulan, 50-100 cm; lebak
dalam: >6 bulan, >100 cm.
Sumber: Proyek PLPSR-Swamps II (1993a)
Widjaja-Adhi et al. (1992)

b. Klasifikasi tipologi lahan versi tahun 1995

Klasifikasi tipologi lahan seperti yang tercantum pada Tabel 2.4 tersebut,
digunakan antara tahun 1986-1999. Perubahan kecil yang dibuat tahun 1998-
1999 (Proyek PSLPSS, 1998; 1999), hanyalah membagi lahan potensial (bahan
sulfidik >50 cm), menjadi lahan potensial-1 (bahan sulfidik >100 cm) dan lahan
potensial-2 (bahan sulfidik 50-100 cm), serta penamaan lahan bergambut

59
Lahan Rawa Pasang Surut

menjadi lahan sulfat masam potensial bergambut, dengan kedalaman lapisan


gambut di permukaan tanah antara 25-50 cm. Sebelumnya Nugroho et al. (1991)
juga membagi lahan salin pantai ke dalam dua tipe lahan, yaitu tanah/lahan agak
salin, salin 1 (S1), yang dipengaruhi air asin/payau, dan tanah/lahan salin, salin 2
(S2), yang dipengaruhi air asin. Disebut tanah salin apabila kadar garam >1.000
ppm, atau daya hantar listrik >1.400 dS/m, tetapi tidak disebutkan kriteria atau
batas pembagian kandungan garam, atau daya hantar listrik, antara lahan agak
salin dan lahan salin.
Klasifikasi tipologi lahan seperti ini relatif mudah dipahami, oleh karena itu
secara luas telah digunakan untuk klasifikasi tipologi lahan pertanian guna
pengelolaan lahan rawa secara terpadu oleh institusi dan berbagai proyek
penelitian lahan rawa Badan Litbang Pertanian Dep. Pertanian seperti, Balittra
(Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa) Banjarbaru, proyek SWAMPS-II (1985-
1994), ISDP (Integrated Swamp Development Project) (1994-2000), dan Proyek
PSLPSS (Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut
Sumatera Selatan) (1997-2000). Demikian juga berbagai tulisan dan makalah
tentang lahan rawa dari tahun 1985 sampai dengan sekitar tahun 2002, masih
banyak yang menggunakan istilah-istilah tipologi lahan tersebut.
Namun dalam perkembangannya, telah timbul berbagai kritikan tentang
penamaan tipologi lahan tersebut, yang seringkali menimbulkan “kerancuan dan
kesalahpengertian” (Sudarsono, 1999). Yang dipersoalkan, sebenarnya hanyalah
terletak pada istilah: “lahan potensial (P), untuk lahan pasang surut yang lapisan
bahan sulfidiknya terdapat pada kedalaman >50 cm” vs “sulfat masam potensial
(SMP), untuk lahan pasang surut yang lapisan bahan sulfidik terletak pada
kedalaman <50 cm”. Lahan potensial yang dianggap berpotensi pertanian nomer
1-2 di lahan rawa dan SMP yang berpotensi pertanian nomer 3, sama-sama
menggunakan kata “potensial”.
Untuk menanggapi kritikan tersebut, Widjaja-Adhi (1995a), kemudian
merevisi penamaan tipologi lahan 1985-1999 tersebut. Kini, semua lahan
potensial dan sulfat masam potensial (SMP) yang sama-sama memiliki bahan
sulfidik/pirit yang belum mengalami proses oksidasi, disebut “Aluvial bersulfida
(SMP)”, dan pembagian selanjutnya didasarkan pada kedalaman bahan sulfidik
dari permukaan tanah. Sedangkan lahan sulfat masam aktual (SMA), dimana
bahan sulfidik telah mengalami proses oksidasi membentuk senyawa sulfat
(SO4), kini disebut “Aluvial bersulfat (SMA)”. Pembagian selanjutnya didasarkan

60
Subagyo

pada nilai pH <3,5 (horison sulfurik), atau pH >3,5 (bahan sulfidik sedang
teroksidasi) dan letak kedalamannya (<100 cm, atau >100 cm) dari permukaan
tanah. Perkembangan penamaan tipologi lahan dari versi awal (1985-1990), dan
versi terakhir yang diusulkan tahun 1995, disajikan pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5. Tipologi lahan rawa pasang surut, versi tahun 1995
Klasifikasi tipologi
Klasifikasi tipologi lahan Kedalaman pirit/bahan
lahan, 1992- Simbol
menurut Widjaja-Adhi, 1995 sulfidik
1993
Lahan potensial Aluvial bersulfida sangat dalam SMP-3 >100 cm
Aluvial bersulfida dalam SMP-2 50-100 cm

Lahan sulfat Aluvial bersulfida dangkal SMP-1 <50 cm


masam Aluvial bersulfida dangkal bergambut HSM/G-0 <50 cm; bergambut
(Histik sulfat masam) <50 cm
Aluvial bersulfat-1 SMA-1 <100 cm (pH-H2O >3,5)
Aluvial bersulfat-2 SMA-2 <100 cm (pH-H2O <3,5)
Aluvial bersulat-3 SMA-3 >100 cm (pH-H2O <3,5)

Lahan salin Salinitas dapat terjadi pada berbagai S <50 cm; >50 cm
tipologi pada tanah mineral

Lahan gambut Gambut-dangkal G-1 Ketebalan gambut 50-100


cm
Gambut-tengahan G-2 Ketebalan gambut 101-
200 cm
Gambut-dalam G-3 Ketebalan gambut 201-
300 cm
Gambut-sangat dalam G-4 Ketebalan gambut >300
cm
Sumber : Widjaja-Adhi et al. (1992) dan Proyek PLPSR-Swamps II (1993b)
Widjaja-Adhi (1995a)

c. Usulan perbaikan tipologi lahan versi tahun 1995

Pada uraian berikut akan diuraikan usulan-usulan perbaikan pada tipologi


lahan versi terakhir (Widjaja-Adhi, 1995a). Pengalaman di lapangan di berbagai
tempat pada tanah persawahan pasang surut yang sudah “stabil” milik penduduk
setempat seperti di daerah Muara Dadahup, dekat lokasi Proyek PLG 1 Juta
hektar di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, menunjukkan bahwa
kedalaman lapisan bahan sulfidik pada sawah-sawah stabil tersebut umumnya
terletak pada kedalaman 100 cm atau lebih dari permukaan tanah.

61
Lahan Rawa Pasang Surut

Sementara pada sawah-sawah tetap tersebut, yang produktivitasnya lebih


rendah, lapisan bahan sulfidik berada pada kedalaman antara 50-100 cm. Hal
yang sama juga ditemukan pada lahan persawahan pasang surut yang sudah
“stabil” di Iokasi pemukiman transmigrasi di Delta Upang dan Delta Telang,
Kabupaten Musi Banyuasin di Sumatera Setatan.
Tampaknya lahan potensial yang kedalaman lapisan bahan sulfidik >50
cm, merupakan lahan yang relatif “terbaik”, atau “paling potensial”, diantara
lahan-Iahan marginal di wilayah rawa pasang surut. Sedangkan lapisan bahan
sulfidik yang kedalamannya 100 cm atau lebih, bersifat “lebih baik, atau lebih
potensial” lagi.
Akibat perbedaan potensinya, perlu dipisahkan antara lahan terbaik nomer-
1, Lahan Potensial-1 (Pot-1), yang kedalaman lapisan bahan sulfidik >100 cm,
dan lahan-lahan terbaik nomer-2, Lahan Potensial-2 (Pot-2), yang kedalaman
lapisan bahan sulfidiknya antara 50-100 cm. Hal inipun sudah dikerjakan pada
survei karakterisasi lahan rawa di Sumatera Selatan (Proyek PSLPSS, 1998),
dan sudah pula terliput dalam tipologi lahan versi 1995, yang disebut Aluvial
bersulfida sangat dalam, SMP-3, dan Aluvial bersulfida dalam, SMP-2 (Tabel
2.4).
Lahan dengan potensi pertanian agak kurang, adalah lahan sulfat masam
potensial, SMP, yang memiliki lapisan bahan sulfidik relatif belum mengalami
proses oksidasi, pada kedalaman <50 cm, atau antara 0-50 cm dari permukaan
tanah. Lahan ini masih memiliki lapisan gambut di permukaan setebal <50 cm,
disebut SMP-G (bergambut), atau HSM (Histik sulfat masam), atau G-O (tanah
bergambut), sebenarnya memiliki potensi kesuburan yang lebih baik dari pada
SMP yang lapisan gambutnya sudah habis, karena adanya lapisan gambut yang
ikut menyumbang tingkat kesuburan tanahnya. Sebenarnya hal yang sama juga
terjadi pada lahan potensial bergambut, atau Pot-G (bergambut), tetapi tipe lahan
ini pada umumnya tidak ditemukan lagi di lapangan, mungkin karena potensi
pertaniannya yang lebih baik, sudah digunakan secara intensif untuk persawahan
atau pertanian lahan kering, sehingga lapisan gambutnya sudah lenyap, atau
tidak terdeteksi lagi.
Lahan yang potensi pertaniannya lebih rendah lagi akibat banyaknya
kendala, adalah lahan sulfat masam aktual, SMA. Ada dua tipe lahan SMA:
pertama, potensinya relatif lebih baik, menunjukkan lapisan bahan sulfidik pada
kedalaman <50 cm sedang mengalami proses oksidasi, tetapi relatif belum

62
Subagyo

tuntas/habis, yang dicirikan oleh pH-H2O di lapangan antara 3,5-4,0, disebut


SMA-1. Kedua, dimana lapisan bahan sulfidik pada kedalaman yang sama, < 50
cm, relatif sudah tuntas teroksidasi dan dicirikan oleh pH-H2O di lapangan < 3,5,
disebut SMA-2.
Secara teoritis, oksidasi pirit mulai terjadi saat penurunan air tanah telah
mencapai lapisan yang mengandung bahan sulfidik. Dengan semakin
menurunnya permukaan air tanah, udara yang mengandung oksigen akan masuk
melalui pori-pori atau rekahan-rekahan dalam tanah. Lingkungan pirit menjadi ter-
“exposed” dan pirit lalu mengalami proses oksidasi. Karena udara masuk dari
atmosfer di atas tanah, maka proses oksidasi yang paling efektif akan terjadi di
lapisan tanah bagian atas (0-50 cm). Makin ke bawah, pada lapisan 50-100 cm,
intensitas oksidasi pirit diperkirakan makin berkurang, karena adanya gerakan
naik air kapiler dari permukaan air tanah di bawah kedalaman 100 cm. Inilah
sebabnya mengapa definisi tanah Sulfaquepts menyebutkan harus memiliki
horison sulfurik (tebal 15 cm atau lebih, dengan pH-H2O <3,5) yang batas
atasnya berada pada kedalaman 0-50 cm dari permukaan tanah. Taksonomi
Tanah (Soil Survey Staff, 1999) tidak pernah menyebutkan adanya horison
sulfurik pada kedalaman antara 50-100 cm, dan terlebih lagi pada kedalaman
>100 cm.
Proses oksidasi pirit yang efektif, ditunjukkan oleh pH-H2O <3,5, pada
lapisan tanah lebih dari 1 m (100 cm), walaupun masih menjadi bahan
perdebatan, diperkirakan tidak dapat terjadi, ataupun kalau terjadi, tidak dapat
berlangsung lama. Alasannya yang pertama, diperlukan penurunan permukaan
air tanah minimal 1,5 m atau 2 m untuk memicu terjadinya proses oksidasi pirit
yang efektif, yang tidak dipengaruhi gerakan naik air kapiler. Selain proses difusi
udara ke lapisan di bawah 1 m yang berjarak relatif jauh, mungkin sangat sulit
mencapai penurunan permukaan air tanah sampai sedalam 1,5-2 m pada tanah
rawa pada (landform) rawa belakang, walaupun yang mempunyai tipe luapan C,
dengan kedalaman air tanah <0,5 m, dan tipe luapan D yang memiliki kedalaman
air tanah >0,5 m. Alasan kedua, seandainya dapat terjadi oksidasi cukup intensif
pada musim kemarau pada lapisan tanah sedalam lebih dari 1 m, akibat dari
konduktivitas hidraulik tanah rawa, baik yang vertikal maupun horisontal/lateral,
yang relatif cepat, maka proses oksidasi tidak dapat berlangsung lama,
sementara ada kemungkinan hasil-hasil oksidasi bahan sulfidik di tanah bagian
atas <50 cm akan segera tercuci, yang pada akhirnya justru akan membentuk

63
Lahan Rawa Pasang Surut

lahan potensial-1. Atas dasar alasan-alasan ini, diperkirakan bahwa lahan sulfat
masam aktual-3, SMA-3, yang memiliki pH-H2O <3,5 pada kedalaman > 100 cm,
yang secara teoritis mungkin saja terjadi, seperti halnya dengan lahan potensial
bergambut (Pot-G), tetapi tidak pernah dijumpai/ ditemukan di lapangan.
Mengenai tipologi lahan pada tanah gambut, yang membagi tanah gambut
berdasarkan ketebalan bahan gambut, secara umum tidak ada masalah.
Walaupun disebutkan bahwa faktor kematangan, atau tingkat dekomposisi bahan
gambut, yakni fibrik, hemik, dan saprik; kandungan hara gambut, apakah
oligotrofik, mesotrofik, atau eutrofik; serta bahan tanah bawah, atau substratum,
apakah endapan sungai, endapan marin, atau pasir kuarsa, cukup berpengaruh
pada pemanfaatan dan pengelolaan lahan rawa, tidak digunakan dalam kriteria
tipe-tipe lahan gambut.
Oleh karena sebagian besar tanah rawa, kecuali sedikit tanah-tanah
tanggul sungai alam, merupakan endapan marin, maka tanah gambut yang
terbentuk di cekungan/depresi juga memiliki tanah dasar berupa endapan marin
yang mengandung bahan sulfidik. Kontribusi konsep horison dan sifat-sifat penciri
yang didefinisikan secara kuantitatif untuk tanah rawa dari Taksonomi Tanah,
baik tanah mineral maupun tanah gambut, seperti bahan sulfidik, horison sulfurik,
tanah salin atau sifat sodik, dapat diaplikasikan pada kedua kelompok tanah
tersebut, untuk mempertajam pembagian tipologi lahan.
Atas dasar uraian di atas, usulan perbaikan klasifikasi tipologi lahan
Widjaja-Adhi versi 1995, pada dasarnya adalah:
1. Tipe-tipe lahan diurutkan mulai dari yang potensinya relatif terbaik, dan
dipisahkan antara tanah mineral dan tanah gambut. Lahan potensial-1 atau
aluvial bersulfida sangat dalam yang diberi simbol SMP-1 ditempatkan lebih
dahulu daripada lahan potensiai-2, ataualuvial bersulfat dalam, yang diberi
simbol SMP-2.
2. Dalam kelompok lahan sulfat masam potensial, SMP yang bergambut,
diurutkan lebih dahulu, dan dapat diberi simbol HSM (histik sulfat masam),
SMP-G (bergambut), atau G-O (tanah bergambut). Untuk menghormati versi
aslinya, digunakan simbol HSM. Definisi bergambut digunakan batasan
Taksonomi Tanah, yaitu mempunyai epipedon histik dengan ketebalan
gambut 20-50 cm. Karena potensi pertaniannya relatif lebih rendah, SMP

64
Subagyo

yang biasa atau lapisan gambutnya tipis, 0-20 cm, disebut aluvial bersulfida
dangkal dan diberi simbol SMP-3.
3. Sesuai potensinya, untuk kelompok lahan sulfat masam aktual, urutannya
sudah benar, yaitu terlebih dulualuvial bersulfat-1, yang diberi simbol SMA-1,
dan diikuti aluvial bersulfat-2, yang diberi simbol SMA-2. Berdasarkan alasan
yang telah diuraikan, untuk sementara sampai benar-benar dapat ditemukan
di lapangan, aluvial bersulfat-3, atau SMA-3, tidak dimunculkan dalam tabel
tipologi lahan.
4. Lahan salin, mengikuti pembagian Nugroho et al. (1991) dibagi menjadi dua,
yaitu lahan agak salin, S-1, yang dipengaruhi air salin/payau; dan lahan salin,
S-2, yang dipengaruhi air salin/air laut. Pembagiannya untuk sementara
menggunakan batasan tanah Halaquepts, dan lahan salin versi awal (1992-
1993), yaitu % kejenuhan natrium 8-15% untuk S-1, dan >15% untuk S-2.
5. Pembagian tipologi lahan untuk tanah gambut relatif tetap sama, hanya
diperbaiki dengan memasukkan kriteria adanya horison sulfurik dan bahan
sulfidik, dan letak kedalamannya dalam bahan gambut. Sehingga apabila
nantinya ditemukan horison sulfurik pada kedalaman 0-50 cm, ataupun
bahan sulfidik/pirit pada kedalaman 0-100 cm, kendala yang mungkin timbul
jika dibuka untuk tujuan pertanian dapat diketahui sejak awal dari nama tipe
lahan gambut yang bersangkutan.
6. Semua nama tipe-tipe lahan diperlakukan sebagai nama-diri (proper names),
seperti nama provinsi: Jawa Barat, nama kota: Makassar, nama orang:
Soekarno, sehingga huruf awalnya menggunakan huruf kapital, Contohnya:
Lahan Potensial, Aluvial Bersulfat Dangkal, dan Sulfat Masam Aktual. Untuk
tanah gambut, digunakan nama diri hanya untuk huruf pertama dan
disambung dengan garis datar pendek untuk menyatakan tingkat kedalaman
gambut, contoh Gambut-dangkal, Gambut-sedang, Gambut-dalam, dan
seterusnya.
Pembagian tipologi lahan berdasarkan usulan perbaikan yang diuraikan di
atas, berikut klasifikasinya dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999)
disajikan pada Tabel 2.6.

65
Lahan Rawa Pasang Surut

Tabel 2.6. Pembagian tipologi lahan dan klasifikasinya dalam Taksonomi Tanah
1999
Klasifikasi tipologi Klasifikasi tipologi Klasifikasi tipologi Kedalaman pirit/ Taksonomi tanah
lahan, 1987-1995* lahan, 1998-1999** lahan (2004) bahan sulfidik# (1999;2003)@
Lahan potensial Lahan potensial-1 Aluvial bersulfida 101-150 cm ENTISOLS
(Pot-1) sangat dalam (bahan sulfidik) Typic/Aeric/Sodic
(SMP-1) pH >4,0 Hydraquents;
Fluvaquents;
Endoaquents
Lahan potensial-2 Aluvial bersulfida 51-100 cm ENTISOLS
(Pot-2) dalam (SMP-2) (bahan sulfidik)
Sulfic Hydraquents/
pH >4,0
Fluvaquents/Endoa
quents
Lahan sulfat Sulfat masam Aluvial bersulfida 0-50 cm ENTISOLS
masam potensial (SMP) dangkal (SMP-3) (bahan sulfidik)
Typic/Haplic/Thapto
pH >4,0
-Histic Sulfaquents
Sulfat masam Aluvial Bersulfida 0-50 cm ENTISOLS
potensial bergambut dangkal bergambut (bahan sulfidik)
Histic Sulfaquents
(SMP-G) (gambut 20- (histik sulfat
50 cm) masam: HSM)
Sulfat masam aktual-1 Aluvial bersulfat-1 0-100 cm ENTISOLS: Sulfic
(SMA-1) (SMA-1) (pH 3,5-4,0) Hydraquents/
(bahan sulfidik Fluvaquents/
teroksidasi) INCEPTISOLS:
Sulfic Endoaquepts
Sulfat masam aktual-2 Aluvial bersulfat-2 50-150 cm INCEPTISOLS:
(SMA-2) (SMA-2) (Lapisan tanah 0- Typic Sulfaquepts,
50 cm, pH <3,5) Hydraquentic
Sulfaquepts, Salidic
Sulfaquepts
Lahan salin Lahan salin (LS) Lahan agak salin 0-150 cm ENTISOLS: Typic
(S-1) (pH >6,0;ESP 8- Hydraquents/Endoa
15%) quents
Lahan salin (S-2) 0-150 cm ENTISOLS: Typic
(pH >6,0;ESP Hydraquents/Endoa
>15%) quents
Lahan gambut Gambut-dangkal Gambut-dangkal Tebal gambut HISTOSOLS
(50-100 cm gambut) (G-1) 50-100 cm (0-
Haplofibrists/Haploh
(GDK) 100 cm, tanpa
emists/
bahan sulfidik)
Haplosaprists
Gambut-dangkal Tebal gambut HISTOSOLS:
bersulfida (G-1sf) 50-100 cm (0- Typic/Terric
100 cm, bahan Sulfihemists/Sulfisa
sulfidik) prists

66
Subagyo

Klasifikasi tipologi Klasifikasi tipologi Klasifikasi tipologi Kedalaman pirit/ Taksonomi tanah
lahan, 1987-1995* lahan, 1998-1999** lahan (2004) bahan sulfidik# (1999;2003)@
Gambut-dangkal Tebal gambut HISTOSOLS: Typic
bersulfat (G-1sr) 50-100 cm (0-50 Sulfohemists/Typic
cm, horison Sulfosaprists
sulfurik)
Gambut-sedang Gambut-sedang (G- Tebal gambut HISTOSOLS
(101-200 cm gambut) 2) 101-200 cm (0-
Haplofibrists/Haploh
(GSD) 200 cm, tanpa
emists/
bahan sulfidik)
Haplosaprists
Gambut-sedang Tebal gambut HISTOSOLS:
bersulfida (G-2sf) 101-200 cm (0- Typic/Terric
100 cm, bahan Sulfihemists/Sulfisa
sulfidik) prists
Gambut-sedang Tebal gambut HISTOSOLS: Typic
bersulfat (G-2sr) 101-200 cm (0- Sulfohemists/Sulfos
50 cm, horison aprists
sulfurik)
Gambut-dalam Gambut-dalam (G- Tebal gambut HISTOSOLS
(201-300 cm gambut) 3) 201-300 cm (0-
Haplofibrists/Haploh
(GDL) 300 cm, tanpa
emists/
bahan sulfidik)
Haplosaprists
Gambut-dalam Tebal gambut HISTOSOLS:
bersulfida (G-3sf) 201-300 cm (0- Typic/Terric
100 cm, bahan Sulfihemists/Sulfisa
sulfidik) prists
Gambut-sangat dalam Gambut-sangat Tebal gambut HISTOSOLS
( >300 cm gambut) dalam (G-4) >300 cm (>300
Haplofibrists/Haploh
(GSDL) cm, tanpa bahan
emists/
sulfidik)
Haplosaprists

*) Widjaja-Adhi et al. (1992) dan PPPLPSR-Swamps Il (1993a; 1993b); ** Proyek PSLPSS (1998;
1999); @ Soil Survey Staff (1999; 2003); # Kedalaman pirit/bahan sulfidik dihitung dari permukaan
tanah mineral; Ketebalan gambut dihitung dari permukaan tanah gambut.

67
68

Lahan Rawa Pasang Surut


Gambar 2.4. Skema pembagian tipologi lahan rawa pasang surut, berdasarkan kedalaman bahan sulfidik/pirit,
dan ketebalan gambut
Subagyo

2.5.2. Sifat-sifat kimia tipe-tipe lahan

Untuk dapat menguraikan sifat-sifat kimia dan kesuburan tanah dari tanah-
tanah rawa pasang surut, telah dikumpulkan data hasil analisis tanah dari 346
profil tanah mineral dan 378 profil tanah gambut, yang diperoleh dari
survei/inventarisasi tanah Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S)
dan kegiatan lainnya di Sumatera dan Kalimantan. Dari Sumatera, khususnya
berasal dari survei pelaksanaan P4S dan kegiatan lain di Sumatera Selatan, yaitu
Air Saleh (IPB, 1978a), Karangagung (IPB, 1978b), dan Karangagung Tengah
(PPT, 1989). Dari provinsi Riau, berasal dari S. Reteh (IPB, 1969), S. Enok-Delta
S. Retih (LPT, 1974), Bunut-Kuala Kampar (LPT, 1975), S. Rokan (LPT, 1976a),
dan S. Siak (LPT, 1976b). Sedangkan yang dari Kalimantan, sebagian besar dari
survei dan pemetaan tanah pulau-pulau delta di aliran bawah S. Kahayan,
Kapuas, dan Barito, di wilayah Proyek Pengembangan Gambut (PLG) satu juta
hektar, 1996-1998 (Puslittanak, 1997; 1998a; 1998b), dan di Delta Pulau Petak
(SRI, 1973), serta sebagian kecil dari wilayah rawa di provinsi Kalimantan Timur.
Uraian ringkas dari sifat-sifat kimia tanah, yang diberikan berikut ini
diurutkan dari tanah mineral, yaitu Tanah Tanggul Sungai, Lahan Potensial-1,
Lahan Potensiai-2, Sulfat Masam Potensial (SMP), Sulfat Masam Aktual (SMA),
dan Tanah Salin; serta Tanah Gambut, yakni Tanah Sulfat Masam Potensial
Bergambut, Gambut-dangkal, Gambut-sedang, Gambut-dalam, dan Gambut-
sangat dalam. Data tekstur, pH-H2O, dan kandungan sifat/ hara merupakan rata-
rata dari hasil analisis tanah semua profil yang tersedia dari masing-masing
tipologi lahan. Setiap sifat-sifat tanah dinilai tinggi, sedang, atau rendah
berdasarkan kriteria evaluasi standar yang biasa digunakan di Puslittanah dan
Agroklimat. Data sifat-sifat untuk tanah mineral disajikan pada Tabel 2.7,
sedangkan untuk tanah gambut pada Tabel 2.8.

a. Tanah mineral

Tanah tanggul sungai

Dalam keadaan alami, Tanah Tanggul Sungai alam (natural levee)


seringkali mempunyai lapisan gambut permukaan yang tipis, sekitar <20 cm, baik
lapisan atas, sekitar 0-50 cm, maupun lapisan bawah, antara 50-200 cm. Tekstur
tanah relatif sama yaitu liat berdebu (silty clay), atau lempung liat berdebu (silty
clay loam). Tanah tanggul sungai di Sumatera umumnya dicirikan oleh tekstur

69
Lahan Rawa Pasang Surut

yang lebih bervariasi, dengan kandungan liat antara 10-65%, dan debu sekitar
25-95%. Di Kalimantan, tekstur tanahnya relatif lebih homogen dan lebih halus,
dengan kandungan liat dan debu yang hampir sama yaitu antara 25-65%. Reaksi
tanah lapisan atas dan lapisan bawah sangat masam (very strongly acid) (pH 4,6-
5,0), dan cenderung sama atau sedikit meningkat di lapisan bawah. Kandungan
garam yang dinyatakan sebagai daya hantar listrik (electrical conductivity:EC),
umumnya sangat rendah (0,3-0,5 dS/m) sampai rendah (2,1-2,4 dS/m) di kedua
lapisan (TabeI 2.7).
Kandungan bahan organik, yang dinyatakan sebagai C-organik, di lapisan
atas sangat tinggi (5,30-6,46%), dan di lapisan bawah sedang sampai tinggi
(2,62-4,05%). Kandungan nitrogen (N) rata-rata termasuk sedang (0,27-0,35%) di
lapisan atas, dan berkurang menjadi sangat rendah sampai rendah (0,10-0,16%)
di lapisan bawah. Rasio C/N rata-rata lapisan atas termasuk sedang sampai
tinggi (15-18), dan di lapisan bawah termasuk tinggi (18-19).
Kandungan fosfat potensial (ekstraksi 25% HCI) dan dinyatakan sebagai
P2O5-HCI, termasuk sedang (27-28 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan sangat
rendah sampai sedang (12-28 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Kandungan
kalium potensial, K2O-HCI, sedang sampai tinggi (24-46 mg/100 g tanah) di
lapisan atas, dan menurun menjadi sedang (22-40 mg/100 g tanah) di lapisan
bawah. Kandungan fosfat tersedia (ekstraksi Bray-I) tergolong sedang (21,9-23,2
ppm) di lapisan atas, dan cenderung menurun menjadi rendah sampai sedang
(8,6-16,6 ppm) di lapisan bawah.
Jumlah basa-basa termasuk tinggi, baik di lapisan atas (14,2-24,6
cmol(+)/kg tanah) maupun lapisan bawah (17,8-22,4 cmol(+)/kg tanah). Basa
dapat tukar yang dominan di kedua lapisan tanah adalah Mg dan Na, masing-
masing di lapisan atas terdapat dalam jumlah tinggi sampai sangat tinggi (6,29-
8,69 mol(+)/kg tanah), dan sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali (3,08-8,64
cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah. Kandungan Ca-dapat tukar umumnya
bervariasi dari rendah sampai sedang, baik di lapisan atas (4,49-6,50 cmol(+)/kg
tanah) maupun di lapisan bawah (4,69-6,67 cmol(+)/kg tanah). Sedangkan K-
dapat tukar tergolong sedang (0,55-0,75 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan
sedikit meningkat (0,60-0,67 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawahnya.
Kapasitas tukar kation (KTK) tanah (KTK-pH 7), karena adanya kontribusi
dari bahan organik cenderung tinggi (26,1-27,5 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas
dan menurun menjadi sedang (21,4-22,3 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah.
Kejenuhan basa (KB-pH 7), termasuk sedang sampai tinggi (44-73%) di lapisan
atas, dan relatif tetap tinggi (61-75%) di lapisan bawah.

70
Tabel 2.7. Sifat-sifat tanah mineral pada lahan rawa pasang surut
Tanah Tanggul S. Lahan Potensial-1 Lahan Potensial-2 SM Potensial SM Aktual Lahan Salin
Sifat-sifat tanah Pulau
Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh
Jumlah profil Sum 45 19 43 13 - -
Kal 31 81 41 27 17 29

Tekstur Sum SiCL SiCL SiCL SiC SiC SiC SiC SiC
Kal SiC SiC SiC SiC SiC C SiC C SiC C SiC SiC

pH H2O (1:5) Sum 4,7 sm 4,6 sm 4,2 sms 4,1 sms 4,1 sms 3,6 sms 4,0 sms 3,8 sms
Kal 4,7 sm 5,0 sm 4,2 sms 4,2 sms 4,2 sms 3,7 sms 4,3 sms 3,5 me 3,6 sms 2,8 me 4,9 sm 4,7 sm

Daya hantar Sum 0,3 sr 0,5 sr 0,3 sr 1,0 sr 0,5 sr 2,6 r


listrik (dS/m) Kal 2,4 r 2,1 r 0,3 sr 0,3 sr 1,7 sr 1,9 sr 7.253 sts 7.320 sts 5,686 sts 4,344 sts 13,994 sts 19,488 sts

Karbon-organik Sum 6,46 st 2,62 sd 16,18 sts 4,08 t 19,97 sts 5,57 st 20,54 sts 6,31 st
(%) Kal 5,30 st 4,05 t 8,66 st 4,48 t 11,69 st 5,54 st 9,16 st 6,61 st 10,93 st 7,51 st 5,89 st 5,32 st

Nitrogen (%) Sum 0,27 sd 0,10 sr 0,71 t 0,13 r 0,84 st 0,25 sd 0,70 t 0,17 r
Kal 0,35 sd 0,16 r 0,50 sd 0,17 r 0,58 t 0,18 r 0,59 t 0,28 sd 0,49 sd 0,22 sd 0,33 sd 0,33 sd

Rasio C/N Sum 18 t 18 t 27 st 27 st 24 t 31 st 24 t 31 st


Kal 15 sd 19 t 17 t 21 t 22 t 30 st 16 t 30 st 25 t 39 st 25 t 21 t

Subagyo
P2O5-HCl Sum 28 sd 12 sr 38 sd 7 sr 70 st 25 sd 58 t 20 r
(mg/100 g tnh) Kal 27 sd 28 sd 50 t 17 r 133 st 25 sd 115 st 33 sd 45 t 17 r 45 t 35 sd

K2O-HCl (mg/100 Sum 24 sd 22 sd 22 sd 26 sd 39 sd 42 t 35 sd 60 t


g tnh) Kal 46 t 40 sd 24 sd 21 sd 28 sd 28 sd 32 sd 29 sd 81 st 73 st 103 st 113 st

P2O5-Bray-I (ppm) Sum 23,2 sd 8,6 r 63,9 st 16,2 sd 72,3 st 23,6 sd 32,3 t 17,0 sd
Kal 21,9 sd 16,6 sd 38,5 st 13,8 r 53,1 st 21,6 sd 17,7 sd 15,2 sd 19,3 sd 12,6 r 8,5 sr 9,5 sr

Jumlah basa Sum 14,2 t 17,8 t 8,5 sd 10,6 sd 16,7 t 15,3 t 21,7 t 28,3 t
[cmol(+)/kg tnh] Kal 24,6 t 22,4 t 7,2 sd 7,3 sd 7,0 sd 9,8 sd 16,7 t 18,0 t 29,1 t 21,9 t 40,5 sts 59,0 sts

Ca-dapat tukar Sum 4,49 r 4,69 r 2,77 r 2,96 r 6,63 sd 4,39 r 7,84 sd 7,95 sd
[cmol(+)/kg tnh] Kal 6,50 sd 6,67 sd 2,74 r 2,18 r 1,57 sr 1,98 sr 5,11 r 4,61 r 4,12 r 3,49 r 6,95 sd 8,60 sd

Mg-dapat tukar Sum 6,29 t 8,05 st 4,63 t 5,59 t 8,36 st 8,69 st 10,89 st 14,19 st
[cmol(+)/kg tnh] Kal 8,69 st 8,54 st 2,78 t 3,88 t 3,38 t 5,70 t 7,05 t 8,02 t 9,25 st 8,30 st 15,35 sts 18,47 sts

K-dapat tukar Sum 0,55 sd 0,60 sd 0,33 r 0,43 sd 0,52 sd 0,41 sd 0,64 sd 0,55 sd
[cmol(+)/kg tnh] Kal 0,75 sd 0,67 sd 0,38 r 0,25 r 0,40 sd 0,29 r 0,56 sd 0,43 sd 0,89 t 0,37 r 2,07 st 1,79 st

Na-dapat tukar Sum 3,08 st 4,58 st 0,75 t 1,60 st 1,21 st 1,79 st 2,34 st 5,61 sts
[cmol(+)/kg tnh] Kal 8,64 sts 6,51 sts 1,31 st 1,00 t 1,72 st 1,82 st 6,01 sts 4,91 st 14,87 sts 9,70 sts 16,11 sts 30,16 sts
KTK-pH 7 Sum 27,5 t 22,3 sd 35,9 t 25,7 t 61,9 st 32,3 t 62,5 st 32,7 t
[cmol(+)/kg tnh] Kal 26,1 t 21,4 sd 31,3 t 24,1 t 37,3 t 25,6 t 31,5 t 28,9 t 37,2 t 33,5 t 34,1 t 33,6 t
71
Tanah Tanggul S. Lahan Potensial-1 Lahan Potensial-2 SM Potensial SM Aktual Lahan Salin

72
Sifat-sifat tanah Pulau
Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh

Kejenuhan basa Sum 44 sd 61 t 23 r 38 sd 27 r 47 sd 35 r 84 st


(%) Kal 73 t 75 t 23 r 31 r 28 r 44 sd 49 sd 55 sd 42 sd 40 sd 86 st 86 st

Kejenuhan Al (%) Sum 25 r 31 r 46 sd 55 sd 36 r 44 sd 32 r 30 r


Kal 31 r 32 r 61 t 62 t 55 sd 60 sd 35 r 47 sd 71 t 67 t 7 sr 15 sr

Pirit (%) Sum 2,53 sd 1,03 sr 3,04 sd 3,16 sd 0,48 sr 2,88 sd 0,44 sr 2,31 r
Kal 1,44 r 1,40 r 1,00 sr 1,04 sr 0,77 sr 0,81 sr 1,12 sr 1,35 r 0,85 sr 1,07 sr 2,38 r 2,51 sd

Catatan:
Tekstur, pH-H2O, dan masing-masing kandungan sifat/hara dihitung berdasarkan rata-rata (averages) dari semua profil yang dievaluasi.
Tekstur: SiCL = lempung liat berdebu; SiC = liat berdebu; C = liat.
pH-H2O: me = masam ekstrim (pH:3,5 atau kurang); sms = sangat masam sekali (pH:3,6-4,5); sm = sangat masam (very strongly acid) (pH:4,6-5,0).
Kandungan sifat/hara ; sr = sangat rendah; r = rendah; sd = sedang; t = tinggi; st = sangat tinggi; dan sts = sangat tinggi sekali.
Sum = Sumatera; Kal = kalimantan.

Lahan Rawa Pasang Surut


.
Subagyo

Kejenuhan aluminium (AI), tergolong rendah (25-32%) baik di lapisan atas


maupun lapisan bawah. Sementara itu, kandungan pirit (FeS2) ternyata rendah
sampai sedang (1,44-2,53%) di lapisan atas, dan menjadi sangat rendah sampai
rendah (1,03-1,40%) di lapisan bawah.

Lahan potensial-l

Lahan potensial-1 mempunyai lapisan gambut permukaan yang tipis,


sekitar <24 cm. Tekstur tanah lapisan atas umumnya liat berdebu, atau lempung
liat berdebu, dan di lapisan bawahnya hampir semuanya liat berdebu. Tekstur
tanah lahan potensial-1 dari Kalimantan relatif lebih halus, dengan kandungan liat
relatif tinggi antara 35-90%. Sementara yang dari Sumatera sedikit lebih kasar
dengan kandungan liat lebih rendah, 20-70%, dan kandungan debu tinggi, 30-
95%. Reaksi tanah sangat masam sekali (excessively acid) (pH 4,1-4,2), baik di
lapisan atas maupun lapisan bawah. Reaksi tanah cenderung lebih masam (pH
3,5 atau kurang) pada kedalaman 120-180 cm. Kandungan garam, yang
dinyatakan sebagai daya hantar listrik, sangat rendah (0,3-1,0 dS/m), di seluruh
lapisan (Tabel 2.7).
Kandungan bahan organik, yang dinyatakan sebagai C-organik, lapisan
gambut tipis di permukaan sangat tinggi. Sementara kandungan bahan organik di
lapisan atas sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali (8,66-16,18%), dan
menurun menjadi tinggi (4,08-4,88%) di lapisan bawah. Kandungan bahan
organik Lahan Potensial-1 dari Kalimantan relatif lebih tinggi, bervariasi dari 1
sampai 17%, sementara yang dari Sumatera bervariasi dari 1 sampai 8%.
Kandungan N sedang sampai tinggi (0,50-0,71%) di lapisan atas, dan menurun
menjadi sangat rendah sampai rendah (0,13-0,17%) di seluruh lapisan bawah.
Rasio C/N bervariasi dari tinggi sampai sangat tinggi (17-27), baik di lapisan atas
maupun lapisan bawah.
Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCI 25%) di lapisan atas termasuk
sedang sampai tinggi (38-50 mg/100 g tanah), dan di lapisan bawah berkurang
menjadi sangat rendah sampai rendah (7-17 mg/100 g tanah). Kandungan K2O
(HCI 25%) tergolong sedang (21-26 mg/100 g tanah) di seluruh lapisan.
Kandungan P-tersedia, P2O5-Bray-I, termasuk sangat tinggi (38,5-63,9 ppm) di

73
Lahan Rawa Pasang Surut

lapisan atas, dan menurun menjadi rendah sampai sedang (14-16 ppm) di lapisan
bawah.
Jumlah basa-basa termasuk sedang, baik di lapisan atas (7,2-8,5
cmol(+)/kg tanah) maupun lapisan bawah (7,3-10,6 cmol(+)/kg tanah). Basa
dapat tukar yang dominan adalah Mg dan Na, yang di seluruh lapisan masing-
masing terdapat dalam jumlah tinggi (2,78-5,59 cmol(+)/kg tanah), dan tinggi
sampai sangat tinggi (0,75-1,60 cmol(+)/kg tanah). Kandungan Ca-dapat tukar di
seluruh lapisan termasuk rendah (2,18-2,96 cmol(+)/kg tanah). Kandungan K--
dapat tukar rendah (0,33-0,38 cmol (+)/kg tanah) di lapisan atas, dan rendah
sampai sedang (0,25-0,43 cmol (+)/kg tanah) di lapisan bawah.
Kapasitas tukar kation tanah, karena kontribusi dari bahan organik, di
dalam tanah bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi, dengan rata-rata
tergolong tinggi (24,1-35,9 cmol(+)/kg tanah) di seluruh lapisan. KB bervariasi
dari sangat rendah sampai tinggi, dengan rata-rata di lapisan atas termasuk
rendah (23%), dan di lapisan bawah rendah sampai sedang (31-38%).
Kejenuhan AI umumnya bervariasi dari rendah sampai tinggi/sangat tinggi,
dengan rata-rata sedang sampai tinggi (46-62%), baik di lapisan atas maupun
lapisan bawah. Kandungan pirit (FeS2) sangat rendah (1,00-1,04%) sampai
sedang (3,04-3,16%) di lapisan atas dan lapisan bawah.

Lahan potensial-2

Lahan potensial-2 memiliki lapisan gambut permukaan tipis, sekitar 0-20/28


cm. Tekstur tanah Lahan Potensial-2 dari Sumatera sedikit lebih kasar dan lebih
homogen, dengan kandungan liat dan debu 30-70%, sementara yang dari
Kalimantan lebih bervariasi dan lebih halus, dengan kandungan liat antara 35-
80%, dan debu 20-60%. Tetapi, semuanya tergolong bertekstur halus, yaitu liat
berdebu di lapisan atas, dan liat (clay) atau liat berdebu di lapisan bawah. Reaksi
tanah di lapisan atas secara umum lebih tinggi daripada lapisan bawah, dengan
rata-rata sangat masam sekali, baik di lapisan atas (pH 4,1-4,2) maupun lapisan
bawah (3,6-3,7). Kandungan garam yang dinyatakan sebagai daya hantar listrik,
tergolong sangat rendah (0,5-1,7 dS/m) di lapisan atas, dan rendah (1,9-2,6
dS/m) di lapisan bawah (Tabel 2.7).

74
Subagyo

Kandungan bahan organik, dinyatakan sebagai % C-organik, seluruh


lapisan di luar lapisan gambut permukaan, umumnya bervariasi dari sedang
sampai sangat tinggi. Kandungan bahan organik Lahan Potensial-2 dari
Kalimantan sedikit lebih tinggi daripada lahan yang sama dari Sumatera. Rata-
rata kandungan bahan organik tergolong sangat tinggi sampai sangat tinggi
sekali (11,69-19,97% C) di lapisan atas, dan sangat tinggi (5,54-5,57% C) di
lapisan bawah. Kandungan N di lapisan atas termasuk tinggi sampai sangat
tinggi (0,58-0,84%), dan di lapisan bawah umumnya menurun menjadi rendah
sampai sedang (0,18-0,25%). Rasio C/N lapisan atas termasuk tinggi (22-24),
dan di lapisan bawah sangat tinggi (30-31).
Kandungan fosfat potensial, (P2O5-HCI 25%), di lapisan atas termasuk
sangat tinggi (70-133 mg/100 g tanah), dan menurun menjadi sedang (25 mg/100
g tanah) di lapisan bawah. Kandungan kalium potensial, K2O (HCl 25%) sedang
(28-39 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan sedang sampai tinggi (28-42 mg/100
g tanah) di lapisan bawah. Kandungan fosfat tersedia (P2O5-Bray I) rata-rata
sangat tinggi (53,1-72,3 ppm) di lapisan atas, dan menurun menjadi sedang
(21,6-23,6 ppm) di lapisan bawah.
Jumlah basa-basa di seluruh lapisan tanah bervariasi dari rendah sampai
sangat tinggi, dan rata-ratanya termasuk sedang sampai tinggi, baik di lapisan
atas (7,0-16,7 cmol(+)/kg tanah), maupun di lapisan bawah (9,8-15,3 cmol(+)/kg
tanan). Basa dapatttukar yang dominan, baik di lapisan atas maupun lapisan
bawah adalah Mg dan Na. Kandungan Mg dan Na berturut-turut masing-masing
di seluruh lapisan adalah tinggi sampai sangat tinggi (3,38-8,69 cmol(+)/kg tanah,
dan sangat tinggi (1,21-1,82 cmol(+)/kg tanah. Sebaliknya kandungan Ca-dapat
tukar adalah sangat rendah sampai sedang (1,57-6,63 cmol(+)/kg tanah) di
lapisan atas, dan menurun menjadi sangat rendah sampai rendah (1,98-4,39
cmol (+)/kg tanah) di lapisan bawah. Kandungan K-dapat tukar tergolong sedang
(0,40-0,52 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan rendah sampai sedang (0,29-
0,41 cmol (+)/kg tanah) di lapisan bawah.
Kapasitas tukar kation tanah ikut terbawa tinggi sampai sangat tinggi (37,3-
61,9 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan sedikit menurun menjadi tinggi (25,6-
32,3 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah karena adanya kandungan bahan
organik sangat tinggi. Kejenuhan basa rendah (27-28%) di lapisan atas, dan
termasuk sedang (44-47%) di lapisan bawah.

75
Lahan Rawa Pasang Surut

Kejenuhan AI di semua lapisan umumnya sangat bervariasi dari sangat


rendah sampai sangat tinggi, dan rata-ratanya rendah sampai sedang (36-55%)
di lapisan atas, dan meningkat menjadi sedang (44-60%) di lapisan bawah.
Kandungan pirit (FeS2) sangat rendah (0,48-0,77%) di lapisan atas, dan sedikit
meningkat menjadi sangat rendah sampai sedang (0,81-2,88%) di lapisan bawah.

Sulfat masam potensial

Data profil sulfat masam potensial (SMP) menunjukkan adanya lapisan


gambut permukaan yang tipis, sekitar 0-12/16 cm. Tekstur seluruh lapisan tanah
menunjukkan halus, yaitu tekstur tanah SMP dari Sumatera mempunyai
kandungan liat antara 40-75%, dengan debu 25-60%. Sementara kandungan liat
SMP dari Kalimantan, bervariasi antara 40-85%, dan debu 20-50%. Dengan
demikian, tekstur tanah lapisan atas termasuk liat berdebu, sedangkan lapisan
bawahnya liat berdebu atau liat. Reaksi tanah di seluruh lapisan bervariasi dari
masam ekstrim (extremely acid) (pH 3,5 atau kurang) sampai sangat masam
(very strongly acid) (pH 4,5-4,8), dan cenderung makin masam di lapisan-Iapisan
bawah. Reaksi tanah lapisan atas rata-rata sangat masam sekali (pH 4,0-4,3),
dan di lapisan bawah masam ekstrim sampai sangat masam sekali (pH 3,5-3,8).
Kandungan garam, dengan data terbatas yang hanya berasal dari SMP
Kalimantan, ditunjukkan oleh daya hantar listrik yang bervariasi dari 7.000-21.000
dS/m, dengan rata-rata termasuk sangat tinggi sekali (7.253-7.320 dS/m), baik di
lapisan atas maupun lapisan bawah. Kemungkinan besar, contoh tanah dari
profil-profil yang diambil berasal dari lokasi di rawa zona I yang terkena pasang
surut harian air asin/salin (Tabel 2.7).
Kandungan bahan organik, tidak termasuk lapisan gambut tipis di
permukaan tanah bervariasi sedang sampai sangat tinggi, baik pada SMP dari
Sumatera maupun SMP dari Kalimantan. Rata-rata kandungan bahan organik
sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali (9,16-20,54%) di lapisan atas, dan
sangat tinggi (6,31-6,61%) di lapisan bawah. Kandungan N tinggi (0,59-0,70%) di
lapisan atas, dan menurun menjadi rendah sampai sedang (0,17-0,28%) di
lapisan bawah. Rasio C/N di seluruh lapisan tanah bervariasi dari tinggi sampai
sangat tinggi, dan cenderung meningkat di lapisan bawah. Rata-rata C/N
tergolong tinggi (16-24) di lapisan atas, dan sangat tinggi (30-31) di lapisan
bawah.

76
Subagyo

Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCI) pada SMP dari Sumatera bervariasi


dari rendah sampai sangat tinggi di lapisan atas, dan menurun menjadi rendah
sampai sedang di lapisan bawah. Rata-ratanya tinggi (58 mg/100 g tanah) di
lapisan atas, dan rendah (20 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Sementara
kandungan P2O5 di seluruh lapisan pada SMP dari Kalimantan, bervariasi dari
rendah sampai sangat tinggi. Oleh karena itu, rata-rata kandungan P2O5 potensial
di lapisan atas termasuk sangat tinggi (115 mg/100 g tanah), dan di lapisan
bawah sedang (33 mg/100 g tanah). Kandungan K2O tergolong sedang (32-35
mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan sedang sampai tinggi (29-60 mg/100 g
tanah) di lapisan bawah. Kandungan fosfat tersedia (P2O5 Bray-I) tergolong
sedang sampai tinggi (17,7-32,3 ppm) di lapisan atas, dan sedang (15,2-17,0
ppm) di lapisan bawah.
Jumlah basa, baik di lapisan atas maupun lapisan bawah, tergolong tinggi
(18,0-28,3 cmol(+)/kg tanah). Basa dapatttukar yang dominan di seluruh lapisan
tanah adalah Mg dan Na masing-masing untuk Mg termasuk sangat tinggi (10,89-
14,19 cmol(+)/kg tanah, pada SMP dari Sumatera, dan termasuk tinggi (7,05-8,02
cmol(+)/kg tanah) pada SMP dari Kalimantan. Kandungan Na tergolong sangat
tinggi sampai sangat tinggi sekali, baik di lapisan atas (2,34-6,01 cmol(+)/kg
tanah) maupun di lapisan bawah (4,91-5,61 cmol(+)/kg tanah). Sebaliknya
kandungan Ca-dapat tukar rendah sampai sedang, baik di lapisan atas (5,11-7,84
cmol(+)/kg tanah), maupun lapisan bawah (4,61-7,95 cmol(+)/kg tanah).
Sementara kandungan K-dapat tukar, tergolong sedang (0,43-0,64 cmol(+)/kg
tanah) di seluruh lapisan.
Kapasitar tukar kation tanah, menunjukkan nilai tinggi sampai sangat tinggi
(31,5-62,5 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan tinggi (28,9-32,7 cmol(+)/kg
tanah) di lapisan bawah karena pengaruh kandungan bahan organik yang sangat
tinggi. Kejenuhan basa tergolong rendah sampai sedang (35-49%) di lapisan
atas, dan sedang sampai sangat tinggi (55-84%) di lapisan bawah.
Kejenuhan AI di semua lapisan umumnya sangat bervariasi dari sangat
rendah sampai sangat tinggi, dan rata-ratanya rendah (32-35%) di lapisan atas,
dan rendah sampai sedang (30-47%) di lapisan bawah. Kandungan pirit (FeS2)
sangat rendah (0,44-1,12%) di lapisan atas, dan rendah (1,35-2,31%) di lapisan
bawah.

77
Lahan Rawa Pasang Surut

Sulfat masam aktual

Data Sulfat Masam Aktual (SMA) yang tersedia, hanya berasal dari lahan
rawa di Kalimantan. Sementara data analisis yang berasal dari Sumatera, tidak
menyebutkan adanya SMA karena data relatif berumur tua, 1974-1978. Tanah
mempunyai lapisan gambut permukaan yang tipis, sekitar 0-12 cm. Seluruh
lapisan tanah memiliki tekstur halus, dengan kandungan fraksi liat 35-70%, dan
debu 25-60%, sehingga tekstur tanah lapisan atas tergolong liat berdebu, dan di
lapisan bawah liat. Lapisan atas ber-reaksi sangat masam sekali (pH 3,6),
sementara lapisan bawah antara kedalaman 20-120 cm menunjukkan pH antara
1,8-3,5, dengan pH rata-rata 2,8, sehingga tergolong ber-reaksi masam ekstrim.
Kandungan garam, yang dinyatakan sebagai daya hantar listrik tergolong sangat
tinggi sekali (4.344-5.686 dS/m) baik di lapisan atas maupun di lapisan bawah
(Tabel 2.7).
Kandungan bahan organik di seluruh lapisan bervariasi tinggi sampai
sangat tinggi, sehingga rata-ratanya tergolong sangat tinggi (7,51-10,93%).
Kandungan N rata-rata tergolong sedang (0,22-0,49%) di seluruh lapisan, dan
cenderung menurun di lapisan-Iapisan bawah. Rasio C/N bervariasi dari tinggi
sampai sangat tinggi, dan bertambah besar di lapisan bawah. Karena itu rasio
C/N rata-rata tergolong tinggi (25) di lapisan atas, dan sangat tinggi (39) di
lapisan bawah.
Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCI 25%) di lapisan atas bervariasi dari
rendah sampai sangat tinggi, dan rata-ratanya termasuk tinggi (45 mg/100 g
tanah). Kandungan P2O5 lapisan bawah, sebagian besar sangat rendah sampai
sedang, sehingga rata-ratanya rendah (17 mg/100 g tanah). Sebaliknya
kandungan K2O potensial (HCl 25%), sebagian besar tinggi sampai sangat tinggi
di semua lapisan, sehingga rata-ratanya tergolong sangat tinggi (73-81 mg/100 g
tanah). Kandungan fosfat tersedia (P Bray-I) di seluruh lapisan sangat rendah
sampai sedang, dan cenderung semakin rendah ke lapisan bawah. Oleh karena
itu, rata-ratanya termasuk sedang (19,3 ppm) di lapisan atas, dan rendah (12,6
ppm) di lapisan bawah.
Jumlah basa-basa di semua lapisan sampai sedalam 180 cm sangat
bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi sekali, dan cenderung menurun di
lapisan bawah. Karena itu, rata-rata jumlah basa, baik di lapisan atas maupun
lapisan bawah tergolong tinggi (21,9-29,1 cmol(+)/kg tanah). Seperti pada tipe-

78
Subagyo

tipe lahan sebelumnya, basa dapatttukar yang dominan di seluruh lapisan adalah
Mg dan Na. Mg terdapat dalam jumlah tinggi sampai sangat tinggi sekali, dan
rata-ratanya sangat tinggi (8,30-9,25 cmol(+)/kg tanah) di semua tapisan.
Demikian juga Na terdapat dalam jumlah tinggi sampai sangat tinggi sekali di
seluruh lapisan, sehingga rata-ratanya termasuk sangat tinggi sekali (9,70-14,87
cmol(+)/kg tanah). Sebaliknya kandungan Ca-dapat tukar umumnya bervariasi
dari sangat rendah sampai sedang, dan rata-ratanya tergolong rendah (3,49-4,12
cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas dan lapisan bawah. Sedangkan K-dapat tukar
tergolong tinggi (0,89 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan rendah (0,37
cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah.
Kapasitas tukar kation tanah bervariasi dari tinggi sampai sangat tinggi,
dan rata-ratanya tergolong tinggi (33,5-37,2 cmol(+)/kg tanah) di seluruh lapisan
karena kontribusi dari bahan organik. Kejenuhan basa di seluruh lapisan tanah
sangat bervariasi, sebagian sangat rendah, sebagian rendah sampai sedang, dan
sebagian lagi sangat tinggi, dengan rata-rata sedang (40-42%), baik di lapisan
atas maupun lapisan bawah.
Kejenuhan AI di semua lapisan umumnya bervariasi dari sedang sampai
sangat tinggi, sehingga rata-ratanya tinggi (67-71%) baik di lapisan atas maupun
lapisan bawah. Kandungan pirit (FeS2) menunjukkan rata-rata sangat rendah
(0,85-1,07%) di kedua lapisan tanah.

Lahan salin

Data lahan salin yang tersedia hanya diperoleh dari lahan rawa
Kalimantan. Tanah mempunyai lapisan gambut permukaan tipis sekitar 0-12 cm.
Tekstur di seluruh lapisan tanah tergolong halus. Kandungan liat bervariasi
antara 30-75%, dan debu 25-95%, sehingga rata-rata tekstur lapisan atas, 0-50
cm, dan lapisan bawah, sekitar 50-200 cm, tergolong liat berdebu. Reaksi tanah
seluruh lapisan bervariasi dari masam ekstrim sampai dengan netral, rata-rata
tergolong sangat masam (very strongly acid) (pH 4,7-4,9), baik di lapisan atas
maupun di lapisan bawah. Data daya hantar listrik, yang merupakan refleksi
kandungan garam di seluruh lapisan, rata-ratanya sangat tinggi sekali (13.994-
19.488 dS/m) (Tabel 2.7).
Kandungan bahan organik, dinyatakan sebagai % C-organik, beragam dari
sedang sampai sangat tinggi sekali, dan cenderung meningkat di antara

79
Lahan Rawa Pasang Surut

kedalaman 80-160 cm. Rata-rata kandungan bahan organik sangat tinggi (5,32-
5,89%) di seluruh lapisan, kecuali lapisan gambut di permukaan. Kandungan N di
seluruh lapisan bervariasi rendah sampai sedang, sehingga rata-ratanya sedang
(0,33%). Rasio C/N sangat beragam di semua lapisan dan meningkat di lapisan
bawah, rata-ratanya tergolong tinggi (C/N:21-25) pada seluruh lapisan.
Kandungan P2O5-HCI secara dominan bervariasi antara rendah sampai
sangat tinggi dan cenderung menurun di lapisan bawah. Rata-rata kandungan
P2O5-HCI termasuk tinggi (45 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan sedang (35
mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Kandungan K2O umumnya bervariasi sangat
tinggi di seluruh lapisan, sehingga rata-ratanya sangat tinggi (103-113 mg/100 g
tanah). Sebaliknya, kandungan P-tersedia bervariasi sangat rendah sampai
rendah di seluruh lapisan, sehingga rata-ratanya tergolong sangat rendah (8,5-
9,5 ppm).
Jumlah basa-basa di semua lapisan sampai sedalam 190 cm bervariasi
tinggi sampai sangat tinggi sekali, sehingga rata-ratanya di lapisan atas dan
lapisan bawah tergolong sangat tinggi sekali (40,5-59,0 cmol(+)/kg tanah).
Sebagaimana tipologi lahan lainnya, basa-basa dapat tukar yang dominan adalah
Mg dan Na. Mg-dapat tukar bervariasi dari tinggi sampai sangat tinggi sekali, dan
rata-ratanya sangat tinggi sekali (15,35-18,47-cmol(+)/kg tanah) di seluruh
lapisan. Kandungan Na-dapat tukar, bervariasi sangat tinggi sekali di semua
lapisan tanah, sehingga rata-ratanya juga sangat tinggi sekali (16,11-30,16
cmol(+)/kg tanah). Kandungan Ca-dapat tukar bervariasi dari rendah sampai
tinggi, dan rata-ratanya termasuk sedang (6,95-8,60 cmol(+)/kg tanah), baik di
lapisan atas maupun lapisan bawah. Sementara K-dapat tukar bervariasi dari
sedang sampai sangat tinggi sekali, dan rata-ratanya tergolong sangat tinggi
(1,79-2,07 cmol(+)/kg tanah) di seluruh lapisan.
Kapasitas tukar kation sebagian besar tanah bervariasi dari sedang sampai
sangat tinggi, oleh karena itu, rata-ratanya termasuk tinggi (33,6-34,1 cmol(+)/kg
tanah). Kejenuhan basa seluruh lapisan bervariasi dari sedang sampai sangat
tinggi, dan rata-ratanya adalah sangat tinggi (86%). Potensi kesuburan alami
tanah sebenarnya secara relatif termasuk sedang, namun kandungan garam
yang terlalu tinggi merupakan kendala utama yang dapat menurunkan kesuburan
tanah, sehingga potensi kesuburan tanahnya dikategorikan sangat rendah
sampai rendah untuk usaha pertanian.
Kejenuhan AI secara dominan termasuk sangat rendah sampai rendah,
sehingga rata-ratanya termasuk sangat rendah (7-15%), baik di lapisan atas

80
Subagyo

maupun lapisan bawah. Sementara itu, kandungan pirit (FeS2) tergolong rendah
(2,38%) di lapisan atas, dan sedang (2,51%) di lapisan bawah.

Sulfat masam potensial bergambut

Dari data yang ada, ketebalan gambut di permukaan bervariasi antara 38-
45 cm. Lapisan gambut permukaan ini dapat berupa bahan organik murni, atau
campuran antara bahan tanah mineral, khususnya fraksi liat dan debu, dan
bahan organik. Kandungan fraksi liat dan debu umumnya cukup tinggi, masing-
masing 35-80% dan 20-92%, sehingga tekstur tanahnya termasuk liat berdebu.
Reaksi tanah bervariasi antara masam ekstrim sampai sangat masam, dan rata-
ratanya tergolong sangat masam sekali (pH 3,9). Kandungan garam-garam larut,
yang dinyatakan sebagai daya hantar listrik tercatat sangat rendah (0,1-2,0 dS/m)
(Tabel 2.8).
Kandungan bahan organik, dinyatakan sebagai % C-organik, lapisan atas
gambut ini umumnya sangat tinggi sekali (26,03-34,17%). Kandungan N sangat
tinggi (0,98-1,09%), dan rasio C/N juga sangat tinggi (25-31).
Rata-rata kandungan fosfat potensial (P2O5-HCI 25%) tergolong sedang
(38-94 mg/100 g tanah). Kandungan K2O potensial (HCI 25%) rendah sampai
sedang (15-27 mg/100 g tanah). Kandungan fosfat tersedia (P2O5-Bray I)
bervariasi dari tinggi sampai sangat tinggi, sehingga rata-rata P-tersedia sangat
tinggi (38,8-65,1 mg/100 g tanah).
Jumlah basa pada lapisan gambut permukaan rata-rata sedang sampai
tinggi (6,9-23,9 cmol(+)/kg tanah), dengan kandungan Mg dan Na-dapat tukar
dominan. Mg bervariasi tinggi sampai sangat tinggi (3,60-11,70 cmol(+)/kg
tanah), dan Na sedang sampai sangat tinggi (0,33-2,40 cmol(+)/kg tanah).
Sebaliknya kandungan Ca dan K-dapat tukar lebih rendah, yaitu Ca bervariasi
rendah sampai sedang (2,79-9,20 cmol(+)/kg tanah), dan K 0,20-0,48 cmol(+)/kg
tanah.
Kapasitas tukar kation gambut umumnya sangat tinggi (65,0-88,1
cmol(+)/kg tanah), dengan kejenuhan basa SMP bergambut dari Sumatera
termasuk sedang (36%), sementara yang berasal dari Kalimantan termasuk
rendah (24%). Kejenuhan AI bervariasi dari rendah sampai tinggi (30-69%),
sementara kandungan pint (FeS2) pada lapisan gambut permukaan ini termasuk
sangat rendah (0,33-0,46%).

81
Tabel 2.8. Sifat-sifat tanah gambut pada lahan pasang surut
82

SMP bergambut Gambut dangkal Gambut sedang Gambut dalam Gambut sangat dalam
Sifat-sifat tanah Pulau
Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh
Jumlah profil Sum 62 49 56 25 12
Kal 23 56 35 9 19
Tekstur Sum SiC SiC C SiC SiC
Kal hC-SiC hC hC hC hC
pH H2O (1:5) Sum 3,9 sms 3,8 sms 4,1 sms 4,0 sms 4,0 sms 3,8 sms 3,6 sms 3,7 sms 3,6 sms 3,4 me
Kal 3,9 sms 3,8 sms 3,8 sms 3,8 sms 4,0 sms 3,6 sms 3,6 sms 3,6 sms 3,2 me 3,4 me
Daya hantar Sum 0,3 sr 2,0 sr 0,4 sr 1,3 sr 0,5 sr 1,6 sr 0,2 sr 0,5 sr 0,2 sr 0,8 sr
listrik (dS/m) Kal 0,1 sr 0,6 sr 0,8 sr 1,1 sr 0,8 sr

Lahan Rawa Pasang Surut


Karbon-organik Sum 34,17 sts 5,71 st 41,98 sts 29,87 sts 47,20 sts 32,57 sts 56,98 sts 53,09 sts 56,39 sts 44,70 sts
(%) Kal 26,03 sts 7,87 st 38,86 sts 28,70 sts 36,28 sts 31,36 sts 45,39 sts 35,15 sts 55,49 sts 47,23 sts
Nitrogen (%) Sum 0,98 st 0,11 r 1,50 st 1,21 st 1,78 st 1,10 st 1,94 st 1,40 st 2,02 st 1,16 st
Kal 1,09 st 0,21 sd 1,34 st 0,74 t 1,46 st 0,72 t 1,54 st 0,95 st 1,43 st 1,06 st
Rasio C/N Sum 31 st 25 t 31 st 30 st 28 st 37 st 30 st 41 st 29 st 40 st
Kal 25 st 32 st 31 st 40 st 29 st 46 st 31 st 41 st 45 st 48 st
P2O5-HCl Sum 38 sd 8 sr 50 t 16 r 42 t 15 r 65 st 20 r 41 t 9 sr
(mg/100 g tnh) Kal 94 st 24 sd 46 t 31 sd 58 t 16 r 49 t 34 sd 22 sd 23 sd
K2O-HCl (mg/100 Sum 27 sd 29 sd 33 sd 16 r 21 sd 19 r 59 t 33 sd 54 r 26 sd
g tnh) Kal 15 r 17 r 19 r 14 r 24 sd 14 r 41 t 21 sd 19 r 12 r
P2O5-Bray-I (ppm) Sum 38,8 st 13,4 r 19,4 sd 17,9 sd 13,2 r 23,4 sd 11,2 r 5,3 sr
Kal 65,1 st 13,2 r 71,8 st 30,7 t 32,3 t 18,6 sd 57,5 st 41,5 st 34,3 t 25,9 sd
Jumlah basa Sum 23,9 t 17,7 t 29,7 t 21,8 t 51,5 sts 39,8 st 22,7 t 21,7 t 14,8 t 9,0 sd
[cmol(+)/kg tnh] Kal 6,9 sd 8,5 sd 9,0 sd 8,1 sd 7,8 sd 5,5 r 4,4 r 4,4 r 3,4 r 4,1 r
Ca-dapat tukar Sum 9,20 sd 6,13 sd 12,03 t 7,20 sd 15,38 t 12,23 t 4,79 r 6,05 sd 8,09 sd 2,24 r
[cmol(+)/kg tnh] Kal 2,79 r 2,08 r 3,70 r 2,46 r 5,18 r 2,22 r 2,06 r 1,46 sr 1,07 sr 1,71 sr
Mg-dapat tukar Sum 11,70 st 8,83 st 14,21 st 11,64 st 25,60 sts 16,36 sts 7,19 t 7,87 t 4,66 t 5,34 t
[cmol(+)/kg tnh] Kal 3,60 t 5,74 t 3,73 t 4,26 t 2,10 t 2,70 t 1,86 sd 2,37 t 1,86 sd 1,87 sd
K-dapat tukar Sum 0,48 sd 0,41 sd 0,76 sd 0,60 sd 0,92 t 0,87 t 1,16 st 0,68sd 1,24 st 0,47 sd
[cmol(+)/kg tnh] Kal 0,20 r 0,18 r 0,61 sd 0,28 r 0,25 r 0,16 r 0,21 r 0,20 r 0,26 r 0,15 r
Na-dapat tukar Sum 2,40 st 2,60 st 2,68 st 2,46 st 5,99 sts 7,80 sts 1,97 st 3,28 st 1,79 st 0,90 t
[cmol(+)/kg tnh] Kal 0,33 sd 0,58 sd 0,94 t 1,13 st 0,26 r 0,42 sd 0,24 r 0,32 sd 0,19 r 0,41 sd
SMP bergambut Gambut dangkal Gambut sedang Gambut dalam Gambut sangat dalam
Sifat-sifat tanah Pulau
Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh
KTK-pH 7 Sum 88,1 st 32,2 t 100,7 sts 72,9 st 120,4 sts 84,4 st 115,5 sts 123,9 sts 128,9 sts 134,2 sts
[cmol(+)/kg tnh] Kal 65,0 st 34,5 t 91,2 st 84,5 st 78,8 st 73,2 st 104,1 sts 73,6 st 121,5 sts 113,2 sts
Kejenuhan basa Sum 36 sd 54 sd 37 sd 40 sd 43 sd 57 sd 15 sr 18 sr 10 sr 15 sr
(%) Kal 24 sr 25 r 15 sr 12 sr 14 sr 11 sr 5 sr 21 r 3 sr 5 sr
Kejenuhan Al (%) Sum 30 r 37 r 23 r 33 r 7 sr 14 sr 10 sr 22 r
Kal 69 t 66 t 60 sd 73 t 45 sd 68 t 59 sd 56 sd
Pirit (%) Sum 0,46 sr 1,87 r 1,20 sr 0,93 sr 0,64 sr 0,89 sr 0,26 sr 1,07 sr 0,27 sr 0,60 sr
Kal 0,33 sr 0,76 sr
Catatan:
Tekstur, pH-H2O, dan masing-masing kandungan sifat/hara dihitung berdasarkan rata-rata (averages) dari semua profil yang dievaluasi.
Tekstur: SiC = liat berdebu; C = liat; hC = liat berat (heavy clay).
pH-H2O: me = masam ekstrim (extremely acid) (pH:3,5 atau kurang); sms = sangat masam sekali (excessively acid) (pH:3,6-4,5).
Kandungan sifat/hara ; sr = sangat rendah; r = rendah; sd = sedang; t = tinggi; st = sangat tinggi; dan sts = sangat tinggi sekali.
Sum = Sumatera; Kal = kalimantan.

Subagyo
83
Lahan Rawa Pasang Surut

Di bawah lapisan gambut permukaan terdapat tanah mineral dengan


kedalaman bervariasi antara 40-175 cm. Kandungan fraksi liat tanah mineral
bawah bervariasi antara 18-80%, dan debu 20-95%, sehingga tekstur tanahnya
termasuk liat berdebu sampai liat (berat) (heavy clay). Reaksi tanah bevariasi
antara masam ekstrim sampai sangat masam, dan rata-ratanya sangat masam
sekali (pH 3,8). Kandungan garam, dinyatakan sebagai daya hantar listrik
termasuk sangat rendah (0,6-2,0 dS/m).

Kandungan bahan organik bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi,


dengan rata-rata sangat tinggi (5,71-7,87%). Kandungan N rata-rata rendah
sampai sedang (0,11-0,21%). Rasio C/N umumnya beragam tinggi sampai
sangat tinggi (25-32).

Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCI) pada sebagian besar contoh dari


Sumatera bervariasi dari sangat rendah sampai rendah, dengan rata-rata sangat
rendah (8 mg/100 g tanah). Sementara P2O5 (HCI) dari Kalimantan, umumnya
termasuk sedang (24 mg/100 g tanah). Kandungan K2O potensial, pada contoh
dari Sumatera tergolong sedang (29 mg/100 g tanah), sementara yang dari
Kalimantan tergolong rendah (17 mg/100 g tanah). Kandungan fosfat tersedia
(P2O5-Bray-I) umumnya termasuk rendah (13,2-13,4 ppm).

Jumlah basa pada SMP bergambut dari Sumatera, sebagian besar


bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi sekali, dengan rata-rata termasuk
tinggi (17,7 cmol(+)/kg tanah). Sedangkan jumlah basa tanah dari Kalimantan,
umumnya tergolong sedang (8,5 cmol(+)/kg tanah). Basa dapat tukar yang relatif
dominan adalah Mg dan Na, masing-masing bervariasi dari tinggi sampai sangat
tinggi (5,74-8,83 cmol(+)/kg tanah), dan sedang sampai sangat tinggi (0,58-2,60
cmol(+)/kg tanah). Ca dan K-dapat tukar masing-masing tergolong rendah sampai
sedang, yaitu 2,08-6,13 cmol(+)/kg tanah untuk C-dapat tukar, dan 0,18-0,41
cmol(+)/kg tanah untuk K-dapat tukar.

Kapasitas tukar kation tanah termasuk tinggi (32,2-34,5 cmol(+)/kg tanah),


dengan kejenuhan basa bervariasi lebar dari sangat rendah sampai sangat tinggi
pada SMP-bergambut dari Sumatera, dengan rata-rata sedang (54%). Sementara
kejenuhan basa tanah dari Kalimantan bervariasi dari sangat rendah sampai
sedang, sehingga rata-ratanya termasuk rendah (25%). Kejenuhan AI dan
kandungan pirit (FeS2) pada contoh dari Sumatera berturut-turut rendah, 37%,

84
Subagyo

dan 1,87%, sedangkan kejenuhan AI dan kandungan pirit dari Kalimantan


berturut-turut tergolong tinggi (66%) dan sangat rendah (0,76%).

b. Tanah gambut

Gambut-dangkal

Gambut-dangkal yang dievaluasi, tercatat mempunyai kedalaman sekitar


50-100 cm. Lapisan gambut bagian atas sedalam 20 cm, umumnya terdiri atas
bahan gambut murni, tetapi lapisan gambut bagian bawah antara 20-100 cm,
seringkali bercampur bahan tanah mineral, yang dicrikan oleh kandungan fraksi
liat cukup tinggi (15-80%) pada contoh dari Sumatera, atau sangat tinggi (50--
85%) pada contoh tanah dari Kalimantan, sehingga masing-masing tanah
bertekstur liat atau liat berat (Tabel 2.8).

Kandungan bahan organik, dinyatakan sebagai % C-organik, bervariasi


dari sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali, sehingga rata-ratanya sangat tinggi
sekali (28,70-41,98%), baik di lapisan atas (0-20 cm) maupun lapisan bawah (20-
100 cm). Kandungan N bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi, cenderung
tetap atau sedikit menurun ke lapisan bawah, dengan rata-rata sangat tinggi
(1,34-1,50%) di lapisan atas, dan tinggi sampai sangat tinggi (0,74-1,21%) di
lapisan bawah. Rasio C/N umumnya bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi,
dengan rata-rata sangat tinggi (30-40) di semua lapisan.

Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCl) rata-rata tinggi (46-50 mg/100 g


tanah) di lapisan atas dan menurun menjadi rendah sampai sedang (16-31
mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Sementara kandungan K2O potensial, rendah
sampai sedang (19-33 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan rendah (14-16
mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Kandungan P-tersedia (P-Bray I) termasuk
sedang (17,9-19,4 ppm) di seluruh lapisan, seperti contoh dari Sumatera, tetapi
tinggi sampai sangat tinggi (30,7-71,8 ppm) untuk contoh dari Kalimantan.
Kandungan hara P2O5, K2O, dan P-tersedia di lapisan atas relatif selalu lebih
tinggi daripada kandungan hara yang sama di lapisan bawah.

85
Lahan Rawa Pasang Surut

Jumlah basa-basa dapat tukar Gambut-dangkal dari Sumatera, bervariasi


dari sangat rendah sampai sangat tinggi di seluruh lapisan, dan cenderung
menurun di lapisan bawah, dengan rata-rata termasuk tinggi (21,8-29,7
cmol(+)/kg tanah) di kedua lapisan. Sementara basa-basa dapat tukar contoh dari
Kalimantan, bervariasi sangat rendah sampai sangat tinggi, dengan rata-rata
termasuk sedang (8,1-9,0 cmol(+)/kg tanah). Basa yang dominan adalah Mg dan
Na, di lapisan atas dan bawah dengan rata-rata sangat tinggi, berturut-turut
11,64-14,21 Mg dan 2,46-2,68 cmol(+) Na/kg tanah pada contoh dari Sumatera,
dan rata-rata tinggi, 3,73-4,26 cmol(+)Mg/kg tanah, dan tinggi sampai sangat
tinggi (0,94-1,13 cmol(+)Na/kg tanah) pada contoh dari Kalimantan. Kandungan
Ca-dapat tukar rata-rata sedang sampai tinggi (7,20-12,03 cmol(+)/kg tanah)
pada contoh dari Sumatera, dan rendah (2,46-3,70 cmol(+)/kg tanah) pada
contoh tanah dari Kalimantan. Sementara kandungan K-dapat tukar, rata-rata
sedang (0,60-0,76 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan rendah sampai sedang
(0,28-0,60 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah. Kandungan basa Ca, Mg, K, dan
Na di lapisan atas umumnya selalu lebih tinggi dibandingkan dengan unsur yang
sama di lapisan bawah.
Kapasitas tukar kation tanah gambut di seluruh lapisan umumnya
bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi sekali, dengan rata-rata di kedua
lapisan termasuk sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali (72,9-100,7 cmol(+)/kg
tanah) pada gambut dari Sumatera, dan sangat tinggi (84,5-91,2 cmol(+)/kg
tanah) pada gambut Kalimantan. Kejenuhan basa di kedua lapisan termasuk
sedang (37-40%), dengan kejenuhan Al rendah (23-33%) pada gambut
Sumatera, sementara nilainya untuk gambut Kalimantan termasuk sangat rendah
(12-15%) dan sedang sampai tinggi (60-73%). Kandungan pirit (FeS2), yang
datanya hanya tersedia untuk gambut Sumatera, termasuk sangat rendah (0,93-
1,20%), baik di lapisan atas maupun lapisan bawah.

Gambut-sedang

Data profil pada Gambut-sedang yang dievaluasi, mempunyai kedalaman


antara 104-200 cm. Sebagaimana pada Gambut-dangkal, lapisan gambut bagian
atas sedalam 20 cm, umumnya terdiri atas bahan gambut murni. Sementara
lapisan gambut bawah antara 20-200 cm, di bagian bawah sering bercampur
bahan tanah mineral, yang dicirikan oleh kandungan fraksi liat dan debu cukup

86
Subagyo

tinggi, yaitu 30-70% dan 30-95% pada gambut dari Sumatera, atau kandungan
liat sangat tinggi (45-85%) dan debu sedang (20-50%) pada gambut dari
Kalimantan, sehingga lapisan bawahnya masing-masing bertekstur liat berdebu,
atau liat berat (Tabel 2.8). Reaksi gambut di seluruh lapisan umumnya sangat
masam sekali, dan cenderung menurun di lapisan-lapisan bawah. Reaksi gambut
lapisan atas lebih tinggi (pH rata-rata 4,0) dibandingkan dengan gambut lapisan
bawah (pH rata-rata 3,6-3,8). Kandungan garam-garam larut, dinyatakan sebagai
daya hantar listrik sangat rendah (rata-rata 0,5-1,6 dS/m), di seluruh lapisan
(Tabel 2.8).
Kandungan bahan organik, di seluruh lapisan bervariasi dari sangat tinggi
sampai sangat tinggi sekali, dengan rata-rata sangat tinggi sekali (31,36-47,20%
C). Kandungan N di semua lapisan umumnya bervariasi dari sedang sampai
sangat tinggi dan menurun di lapisan bawah. Oleh karena itu, rata-rata
kandungan N sangat tinggi (1,46-1,78%) di lapisan atas, dan tinggi sampai
sangat tinggi (0,72-1,10%) di lapisan bawah. Rasio C/N di seluruh lapisan,
dominan bervariasi dari tinggi sampai sangat tinggi, dan cenderung meningkat di
lapisan-lapisan bawah, dengan rata-rata rasio C/N sangat tinggi (28-46) di
seluruh lapisan.
Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCl) di seluruh lapisan bervariasi dari
rendah sampai sangat tinggi, dan cenderung menurun di lapisan-lapisan bawah.
Dengan demikian, rata-rata kandungan P2O5 tergolong tinggi (42-58 mg/100 g
tanah) di lapisan atas, dan rendah (15-16 mg/100 g tanah) di lapisan bawah.
Kandungan K2O potensial, beragam dari sangat rendah sampai sangat tinggi, dan
menurun di lapisan-lapisan bawah, dengan rata-rata termasuk sedang (21-24
mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan rendah (14-19 mg/100 g tanah) di lapisan
bawah. Kandungan fosfat tersedia (P2O5-Bray I) di seluruh lapisan, baik pada
gambut Sumatera maupun Kalimantan, sama bervariasi dari sangat rendah
sampai sangat tinggi, tetapi variasinya pada gambut Sumatera lebih kecil (2-27
ppm) dibandingkan dengan gambut Kalimantan, 2-100 ppm, dan cenderung
menurun di lapisan bawah. Oleh karena itu, rata-rata P-tersedia pada gambut
Sumatera rendah (13,2 ppm) di lapisan atas, dan sedang (23,4 ppm) di lapisan
bawah. Sementara pada gambut Kalimantan, rata-rata P-tersedia tinggi (32,3
ppm) di lapisan atas, dan sedang (18,6 ppm) di lapisan bawah. Kandungan P2O5
dan K2O potensial, serta P2O5-tersedia di lapisan atas relatif selalu lebih tinggi
dibandingkan dengan kandungan hara yang sama di lapisan-lapisan bawah.

87
Lahan Rawa Pasang Surut

Jumlah basa-basa dapat tukar juga ada perbedaan antara gambut dari
Sumatera dan gambut dari Kalimantan. Jumlah basa di seluruh lapisan gambut
Sumatera bervariasi dari sangat rendah sampai sangat tinggi sekali, lebih tinggi
dibandingkan dengan variasi sangat rendah sampai tinggi pada gambut
Kalimantan. Oleh karena itu, rata-rata jumlah basa gambut Sumatera termasuk
sangat tinggi sekali (51,5 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan sangat tinggi
(39,8 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah. Sementara gambut Kalimantan
memiliki rata-rata jumlah basa-basa sedang (7,8 cmol(+)/kg tanah) di lapisan
atas, dan rendah (5,5 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah.
Perbedaan jumlah basa pada kedua gambut tersebut, juga tercermin pada
kandungan basa-basa dapat tukar. Basa-basa yang dominan, sebagaimana pada
tanah rawa sebelumnya, adalah Mg dan Na, yang pada gambut Sumatera rata-
rata sangat tinggi sekali di lapisan atas dan bawah, yaitu 16,36-25,60 cmol(+)/kg
tanah untuk Mg, dan 5,99-7,80 cmol(+)/kg tanah) untuk Na. Sementara pada
gambut Kalimantan, rata-rata kandungan basa-basa di kedua lapisan gambut
adalah tinggi (2,10-2,70 cmol(+)/kg tanah) untuk Mg, dan rendah (0,26 cmol(+)/kg
tanah) di lapisan atas serta sedang (0,42 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah
unruk Na. Kandungan Ca dan K-dapat tukar rata-rata pada gambut Sumatera
masing-masing tinggi, yaitu 12,23-15,38 cmol(+)/kg tanah dan 0,87-0,92
cmol(+)/kg tanah baik pada lapisan atas, maupun lapisan bawah. Sedangkan
pada gambut Kalimantan, rata-rata kandungannya di kedua lapisan semuanya
rendah, baik untuk Ca (5,18-2,22 cmol(+)/kg tanah) maupun untuk K (0,16-0,25
cmol(+)/kg tanah).
Kapasitas tukar kation (KTK) tanah gambut dari kedua pulau di seluruh
lapisan bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi sekali (20-195 cmol(+)/kg
tanah, dan cenderung sedikit menurun di lapisan bawah. Oleh karena itu, rata-
rata KTK gambut di lapisan atas termasuk sangat tinggi sampai sangat tinggi
sekali (78,8-120,4 cmol(+)/kg tanah), dan di lapisan bawah sangat tinggi (73,2-
84,4 cmol(+)/kg tanah). Kejenuhan basa (KB) dan kejenuhan Al di seluruh lapisan
gambut dari Sumatera, masing-masing tergolong sedang (43-57%) dan sangat
rendah (7-14%). Sedangkan KB pada gambut Kalimantan, tergolong sangat
rendah (11-14%) di seluruh lapisan, dengan kejenuhan Al termasuk sedang
(45%) di lapisan atas, dan tinggi (68%) di lapisan bawah. Data kandungan pirit
(FeS2), yang datanya hanya tersedia pada gambut Sumatera, termasuk sangat
rendah (0,64-0,89%), baik di lapisan gambut atas maupun di lapisan bawah.

88
Subagyo

Gambut-dalam

Data profil dari Gambut-dalam yang dievaluasi, memiliki kedalaman antara


210-300 cm. Sebagaimana pada Gambut-sedang, seluruh lapisan gambut bagian
atas sedalam 20 cm tersusun dari bahan gambut murni. Sementara lapisan
gambut bawah antara 20-300 cm, sebagian kecil di lapisan bawah tersusun dari
campuran antara bahan organik dan bahan tanah mineral, khususnya fraksi liat
dan debu. Pada Gambut-dalam dari Sumatera, kandungan liat dan debu tanah
mineralnya masing-masing berkisar antara 31-65% dan 34-69%, sehingga tanah
mineral tersebut mempunyai tekstur liat berdebu. Sementara pada Gambut-dalam
dari Kalimantan, kandungan liat tanah mineralnya sedikit lebih tinggi (34-73%),
dengan fraksi debu lebih rendah (27-62%), sehingga menunjukkan tekstur liat.
Nilai pH gambut di seluruh lapisan, bervariasi dari <3,5 (masam ekstrim) sampai
4,5 (sangat masam sekali), relatif tidak berubah, atau sedikit meningkat di
lapisan-lapisan bawah. Rata-rata reaksi tanah adalah sangat masam sekali (pH
3,6-3,7) di seluruh lapisan. Kandungan garam-garam larut, dinyatakan sebagai
daya hantar listrik, sangat rendah (rata-rata 0,2-0,5 dS/m) di seluruh lapisan
gambut (Tabel 2.8).

Kandungan bahan organik di seluruh lapisan sangat tinggi sekali, baik pada
gambut Sumatera maupun gambut Kalimantan, dan relatif tidak berubah ke
lapisan-lapisan di bawahnya dengan rata-rata 35,15-56,98% di seluruh lapisan.
Kandungan N juga tergolong sangat tinggi di seluruh lapisan, dengan rata-rata
0,95-1,94%. Demikian juga nilai rasio C/N sangat tinggi, pada semua lapisan
gambut, dengan rata-rata 30-41.

Kandungan P2O5 potensial (P2O5-HCl) pada lapisan atas sekitar 50 cm,


umumnya bervariasi dari sangat rendah sampai sangat tinggi, dan menurun
menjadi sangat rendah sampai sedang di lapisan-lapisan gambut bawah, dengan
rata-rata tinggi sampai sangat tinggi (49-65 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan
rendah sampai sedang (20-34 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Kandungan
K2O potensial (K2O-HCl) mirip dengan penyebaran P2O5 potensial, yaitu relatif
tinggi pada lapisan atas gambut sedalam sekitar 50 cm, kemudian menurun di
lapisan-lapisan bawah. Rata-rata kandungan K2O potensial tersebut termasuk
tinggi (41-59 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan sedang (21-33 mg/100 g
tanah) di lapisan bawah. Kandungan P2O5-tersedia, pada gambut Sumatera, rata-

89
Lahan Rawa Pasang Surut

rata rendah (11,2 ppm) di lapisan atas, dan sangat rendah (5,3 ppm) di lapisan
bawah. Sementara kandungan P2O5-tersedia gambut Kalimantan lebih baik, yaitu
rata-rata sangat tinggi (41,5-57,5 ppm) di seluruh lapisan.

Jumlah basa-basa dapat tukar pada Gambut-dalam dari Sumatera


tampaknya lebih baik, dibandingkan dengan Gambut-dalam dari Kalimantan.
Jumlah basa di dalam profil-profil tanah gambut Sumatera, bervariasi dari sangat
rendah sampai sangat tinggi sekali, dengan rata-rata tinggi (21,7-22,7 cmol(+)/kg
tanah) di lapisan atas dan bawah. Hal ini tercermin juga oleh kandungan Mg dan
Na pada lapisan atas dan bawah tergolong tinggi (7,19-7,87 cmol(+)/kg tanah)
dan sangat tinggi (1,97-3,28 cmol(+)/kg tanah). Sementara rata-rata kandungan
Ca-dapat tukar rendah (4,79 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan sedang (6,05
cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah; dan kandungan K-dapat tukar rata-rata
sangat tinggi (1,16 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan sedang (0,68
cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah.

Kandungan basa-basa tanah gambut dari Kalimantan lebih rendah,


sebarannya di dalam profil bervariasi dari sangat rendah sampai sedang, dengan
rata-rata rendah (4,35-4,37 cmol(+)/kg tanah) di semua lapisan. Kation Mg dan
Na di lapisan atas dan lapisan bawah, masing-masing terdapat dalam jumlah
sedang (1,86 cmol(+)/kg tanah) dan tinggi (2,37 cmol(+)/kg tanah), serta rendah
(0,24 cmol(+)/kg tanah) dan sedang (0,32 cmol(+)/kg tanah). Sementara
kandungan rata-rata Ca-dapat tukar tergolong rendah (2,06 cmol(+)/kg tanah) di
lapisan atas, dan sangat rendah (1,46 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah.
Sedangkan kandungan K-dapat tukar termasuk rendah (0,20-0,21 cmol(+)/kg
tanah), baik di lapisan atas maupun di lapisan bawah.

Kapasitas tukar kation gambut tergolong sangat tinggi sampai sangat tinggi
sekali (73,6-123,9 cmol(+)/kg tanah), dengan kejenuhan basa sangat rendah
sampai rendah (5-21%) di seluruh lapisan. Kejenuhan Al gambut Sumatera
sangat rendah (10%) dan rendah (22%) pada lapisan atas dan bawah, dan
kejenuhan Al gambut Kalimantan termasuk sedang (56-59%) di lapisan atas dan
lapisan bawah. Data kandungan pirit (FeS2) yang datanya hanya tersedia pada
Gambut dalam dari Sumatera sangat rendah (0,26-1,07%), baik di lapisan
gambut atas maupun lapisan gambut bawah.

90
Subagyo

Gambut-sangat dalam

Data profil Gambut-dalam memiliki kedalaman antara 300-665 cm,


sebagian besar antara 300-500 cm, dan sebagian lagi antara 610-665 cm.
Seluruh lapisan Gambut-sangat dalam berupa bahan organik murni.

Kandungan bahan organik di semua lapisan sangat tinggi sekali, baik pada
gambut Sumatera maupun gambut Kalimantan, dan relatif tidak berubah di
lapisan-lapisan di bawahnya, dengan rata-rata tergolong sangat tinggi sekali
(44,70-56,39%) di semua lapisan. Kandungan N juga bervariasi sangat tinggi di
seluruh lapisan gambut, dengan rata-rata sangat tinggi (1,06-2,02%). Demikian
juga nilai rasio C/N terdapat sangat tinggi pada semua lapisan gambut, dengan
rata-rata sangat tinggi (C/N 29-48). Kandungan garam-garam larut sangat rendah
dengan rata-rata 0,2-0,8 dS/m di seluruh lapisan. (Tabel 2.8).

Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCl) pada gambut Sumatera, bervariasi


dari rendah sampai sangat tinggi di lapisan atas, dan sangat rendah sampai
rendah di lapisan bawah, dengan rata-rata tinggi (41 mg/100 g tanah) di lapisan
atas, dan sangat rendah (9 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Sementara P2O5
potensial gambut dari Kalimantan, bervariasi dari rendah sampai tinggi di seluruh
lapisan, dengan rata-rata sedang (22-23 mg/100 g tanah). Kandungan K2O
potensial, pada gambut Sumatera bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi di
lapisan atas, dan sangat rendah sampai sedang di lapisan-lapisan bawah,
dengan rata-rata tinggi (54 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan sedang (26
mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Kandungan K2O potensial gambut Kalimantan
sangat rendah sampai rendah/sedang di seluruh lapisan, dengan rata-rata
tergolong rendah (12-19 mg/100 g tanah). Kandungan fosfat tersedia (P2O5-Bray
I) hanya tersedia data dari gambut Kalimantan, yang bervariasi dari rendah
sampai sangat tinggi di lapisan atas, tetapi kemudian menurun menjadi sangat
rendah sampai tinggi, dan seterusnya sangat rendah sampai rendah di lapisan-
lapisan di bawahnya. Rata-rata kandungan P-tersedia termasuk tinggi (34,3 ppm)
di lapisan atas dan sedang (25,9 ppm) di lapisan bawah.

Jumlah basa-basa dapat tukar pada Gambut-sangat dalam dari Sumatera


tampaknya lebih baik, dibandingkan dengan Gambut-sangat dalam dari
Kalimantan. Di dalam profil-profil tanah gambut Sumatera, jumlah basa di seluruh

91
Lahan Rawa Pasang Surut

lapisan bervariasi dari sangat rendah sampai tinggi, dengan rata-rata tinggi (14,8
cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas dan sedang (9,0 cmol(+)/kg tanah) di lapisan
bawah. Kandungan basa-basa gambut dari Kalimantan lebih rendah, menyebar di
seluruh lapisan, sebagian besar bervariasi sangat rendah sampai rendah, dengan
rata-rata rendah (3,4-4,1 cmol(+)/kg tanah).

Kandungan ion dominan adalah Mg dan Na, dimana kandungan Mg dan


Na pada gambut Sumatera berturut-turut tinggi (4,66-5,34 cmol(+)/kg tanah) dan
tinggi sampai sangat tinggi (0,90-1,79 cmol(+)/kg tanah) di seluruh lapisan.
Sementara rata-rata kandungan Ca-dapat tukar tergolong sedang (8,09
cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan rendah (2,24 cmol(+)/kg tanah) di lapisan
bawah. Kandungan K-dapat tukar rata-rata sangat tinggi (1,24 cmol(+)/kg tanah)
di lapisan atas, dan sedang (0,47 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah.

Rata-rata kandungan Mg-dapat tukar pada gambut Kalimantan, termasuk


sedang (1,86-1,87 cmol(+)/kg tanah) di seluruh lapisan, sementara rata-rata Na-
dapat tukar rendah (0,19 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan sedang (0,41
cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah. Kandungan rata-rata Ca dan K-dapat tukar,
berturut-turut tergolong sangat rendah (1,07-1,71 cmol(+)/kg tanah), dan rendah
(0,15-0,26 cmol(+)/kg tanah) di seluruh lapisan.

Kapasitas tukar kation gambut tergolong sangat tinggi sekali (113,2-134,2


cmol(+)/kg tanah), dengan kejenuhan basa sangat rendah (3-15%) di seluruh
lapisan. Kejenuhan Al yang datanya hanya tersedia untuk gambut Kalimantan,
termasuk rendah (34%) di lapisan atas, dan sedang (46%) di lapisan bawah. Data
kandungan pint (FeS2) yang datanya hanya tersedia untuk gambut dari Sumatera
sangat rendah (0,27-0,60%), baik di lapisan gambut atas maupun lapisan gambut
bawah.

PENUTUP

Dalam dua-tiga dekade terakhir, akibat pertambahan penduduk yang masih


cukup tinggi, 1,5%/tahun, di Pulau Jawa yang kini dihuni sekitar 150 juta orang,
dan pesatnya pertumbuhan komplek industri, prasarana jalan, dan pembangunan
komplek perumahan dan ”real estate”, telah terjadi tuntutan permintaan lahan
yang luar biasa, khususnya di Jawa dan Bali, dan sekitar kota-kota besar di Luar

92
Subagyo

Jawa. Sebagai dampaknya terjadilah konversi lahan pertanian, di mana ”the


prime lands” yang berupa lahan irigasi dan lahan pertanian lainnya yang relatif
subur berubah fungsi untuk penggunaan berbagai keperluan non-pertanian.
Kontribusi produksi padi dari Jawa terhadap produksi padi nasional yang sampai
tahun 1995, sekitar 59-60%, dewasa ini cenderung makin menurun. Untuk
mendukung ketahanan pangan, pengembangan agribisnis, dan penciptaan
lapangan kerja, pengembangan pertanian ke depan, termasuk perluasan lahan
pertanian baru, harus di arahkan pada lahan-lahan yang ada di luar Jawa.
Pilihan sumberdaya lahan yang tersedia untuk tujuan ini, adalah lahan
kering dan lahan rawa. Sifat-sifat dominan lahan kering, yang luasnya
diperkirakan 47 juta ha, umumnya bersifat masam dengan kesuburan alami yang
rendah. Lahan kering ini, yang umumnya didominasi oleh tanah Ultisols dan
Oxisols, berdasarkan pengalaman dua dekade terakhir, nampaknya kurang
sesuai untuk usaha pertanian tanaman pangan, tetapi lebih sesuai untuk
budidaya tanaman tahunan/perkebunan.
Di sisi lain, di luar Jawa masih tersedia lahan rawa seluas sekitar 33-39 juta
ha lahan rawa, yang terdiri atas 20,1-25,8 juta ha lahan rawa pasang surut, dan
sekitar 13,3 juta ha lahan rawa lebak, yang sejak tahun 1970-an telah berhasil di
reklamasi untuk pertanian seluas sekitar 5,4 juta ha. Selama bertahun-tahun,
melalui proses ”trials and erors”, para petani lahan rawa, baik penduduk setempat
maupun petani transmigran, telah cukup banyak memiliki pengetahuan
bagaimana cara mengelola lahan rawa untuk dijadikan areal persawahan yang
produktif. Hasil penelitian dan pengalaman memperlihatkan bahwa dengan
pengelolaan yang tepat, sesuai dengan karakteristiknya, melalui penerapan Iptek
yang benar, maka lahan rawa yang termasuk lahan marjinal dengan tingkat
kesuburan alami yang rendah, dapat dijadikan areal pertanian produktif.
Lahan rawa yang merupakan lahan basah, atau ”wetland”, adalah salah
satu aset sumberdaya tanah nasional yang semakin penting peranannya di masa
mendatang. Pengembangan laha rawa untuk pertanian, selain memiliki potensi
dan prospek yang besar, juga menghadapi berbagai masalah/kendala, baik
biofisik, sosial ekonomi, maupun kelembagaan. Oleh karena itu, untuk pelestarian
sumberdaya dan keberlanjutan pemanfaatannya, pengembangan pertanian di
lahan rawa pada suatu kawasan luas, perlu direncanakan dan ditangani secara
cermat dan hati-hati, dengan memilih teknologi dan pola penerapannya yang
sesuai dengan karakteristik wilayahnya (Alihamsyah, 2001). Kekeliruan dalam

93
Lahan Rawa Pasang Surut

reklamasi dan pengelolaan lahan, sering menghasilkan lahan-lahan tidur yang


sulit/tidak dapat ditanami tanaman pertanian, dan membutuhkan biaya besar
untuk rehabilitasinya, serta sangat sukar untuk memulihkan kembali seperti
kondisi semula.

DAFTAR PUSTAKA

Alihamsyah, T. 2001. Propek pengembangan dan pemanfaatan lahan pasang


surut dalam perspektif eksplorasi sumber pertumbuhan pertanian masa
depan. Dalam I.Ar- Riza, T. Alihamsyah, dan M. Sarwani (Eds.).
Pengelolaan Air dan Tanah di Lahan Pasang Surut. Monograf ISSN 1410-
637 X. Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa. Hlm. 1-18.
Andriesse, J.P. 1997. The reclamation of peatswamps and peat in Indonesia.
Widiatmaka (ed.). Center for Wetland Studies, Faculty of Agric., Bogor
Agric. University.
Bloomfield, C. and J.K. Coulter. 1973. Genesis and management of acid sulphate
soils. p. 265-326. Advances in Agronomy.
BPS, Jakarta - Indonesia. BPS (Badan Pusat Statistik). 2001. Statistik Indonesia
2001. BPS, Jakarta-Indonesia.
Brinkman, R., and L.J. Pons. 1968. A pedo-geomorphologial classification and
map of the holocene sediments in the coastal plain of the three Guianas.
Soil Survey Papers 4, Stiboka, Wageningen.
Cameron, C.C,, Supardi, T.J. Malterer, and J.S. Esterle. 1987. Peat resources
mapping along the Batang Hari river, near Jambi, South Sumatra. lnt. Peat
Soc. Symp. on Tropical Peat and Peatlands, Yogyakarta.
Davis, S.N., P.H. Reitan, and R. Pestrong. 1976. Geology. Our Physical
Environment. McGraw-Hill Book Company. 470 pp.
Dent, D. 1986. Acid Sulphate Soils: A baseline for research and development.
International Land Reclamation Institutes Publ. 39, Wageningen, The
Netherlands.
Diemont, W.H., and L.J. Pons. 1991. A preliminary note on peat formation and
gleying in the Mahakam inland floodplain, East Kalimantan, Indonesia. p.
74-80. In. Aminuddin, B.Y. (ed.). Tropical Peat. Proc. Int. Symp. on Tropical
Peatland, Kuching, Sarawak, Malaysia, 6-10 May 1991.
Holmes, D.L. 1978. Holmes Principles of Physical Geology. A Halsted Press
book. John Wiley & Sons. New York. 730 pp.

94
Subagyo

IPB (Institut Pertanian Bogor). 1969. Laporan Survei ke Daerah Pasang Surut S.
Reteh, Riau. IPB dan P4S Dirjen Pengairan, Dep. PUTL. Desember 1969.
IPB (Institut Pertanian Bogor). 1978a. Laporan Survei dan Pemetaan Tanah
Daerah Air Saleh, Sub-P4S Sumatera Selatan. IPB-P4S Dirjen Pengairan,
Dep. PUTL. April 1976.
IPB (Institut Pertanian Bogor). 1978b. Soil Surveys and Soil Mapping of
Karangagung Area, Sub-P4S South Sumatra. IPB-Tidal Swampland
Develop. Project, Direct. Gen. Water Resourc. Develop., Ministry of Public
Works and Electric Power. June 1978.
Jansen, J.A.M., H. Prasetyo, Alkasuma, and W. Andriesse. 1990. Landscape
Genesis and Physiography of Pulau Petak as Basis for Soil Mapping.
LAWOO/AARD Scientific Report No. 18. ILRI, Wageningen.
Jaya, A. 2002. Sebaran gambut di Kalimantan Tengah dan kandungan karbon. h.
161-172. Dalam CCFPI (Climate Change, Forests and Peatlands in
Indonesia). 2003. Sebaran Gambut di Indonesia. Seri Prosiding 02.
Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada.
Bogor.
Konsten, C.J.M., and M. Sarwani. 1990. Actual and potential acidity and related
chemical characteristics of acid sulphate soils in Pulau Petak, Kalimantan.
p. 30-50. In Papers Workshop on Acid Sulphate Soils in the Humid Tropics.
Bogor, 20-22 November 1990. AARD and LAWOO.
Konsten, C.J.M., S. Suping, I B. Aribawa, and I P.G. Widjaja-Adhi. 1990.
Chemical processes in acid sulphate soils in Pulau Petak, South and
Central Kalimantan, Indonesia. p. 109-135. In Papers Workshop on Acid
Sulphate Soils in the Humid Tropics. Bogor, 20-22 November 1990. AARD
and LAWOO.
Konsten, C.J.M., W. Andriesse, and R. Brinkman. 1986. A field laboratory method
to determine total potential and actual acidity in acid sulphate soils. p. 106-
134. In H. Dost (ed.). Selected Papers of the Dakar Symposium on Acid
Sulphate Soils. Dakar, Senegal, January 1986. ILRI publication 44,
Wageningen, The Netherlands.
Langenhoff, R. 1986. Distribution, Mapping, Classification and Use of Acid
Sulphate Soils in the Tropics. A literature Study. STIBOKA Intern. Comm.
No. 74, Wageningen, The Netherlands.
LPT (Lembaga Penelitian Tanah). 1969. Survey Tanah Delta Kapuas, Kalimantan
Barat, 1968-1969. Dokumen LPT No. 7/1969. Direktorat Jenderal
Pertanian, Departemen Pertanian.

95
Lahan Rawa Pasang Surut

LPT (Lembaga Penelitian Tanah). 1974. Survey dan pemetaan Tanah Daerah S.
Enok-Delta S. Retih, Riau. LPT, Dep. Pertanian dan P4S Dirjen Pengairan,
Dep. PUTL. Publ. LPT No. 3/1975.
LPT (Lembaga Penelitian Tanah). 1975. Survey dan Pemetaan Tanah Daerah
Bunut-Kuala Kampar, Riau. LPT, Dep. Pertanian dan P4S Dirjen
Pengairan, Dep. PUTL. Publ. LPT No. 10/1975.
LPT (Lembaga Penelitian Tanah). 1976a. Survey dan Pemetaan Tanah Daerah
Sungai Rokan, Riau. LPT, Dep. Pertanian dan P4S Dirjen Pengairan, Dep.
PUTL. Publ. LPT No. 5/1976.
LPT (Lembaga Penelitian Tanah). 1976b. Survey dan Pemetaan Tanah Daerah
Sungai Siak, Riau. LPT, Dep. Pertanian dan P4S Dirjen Pengairan, Dep.
PUTL. Publ. LPT No. 6/1976.
Michaelsen, J., and H.L. Phi. 1998. Field experiment in Ly Nhon. p. 71-85. In van
den Bosch, H., H.L. Phi, J. Michaelsen, and K. Nugroho. 1988. Evaluation
of water management strategies for sustainable land use of acid sulphate
soils in coastal lands in the tropics. DLO Winand Staring Centre. Report
157, 177 pp. Wageningen, The Netherlands.
Neuzil, S.G. 1997. Onset and rate of peat and carbon accumulation in four domed
ombrogenous peat deposits, Indonesia. p. 55-72. In Rieley, J.O., and S.E.
Page (Eds.). Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands. Proceed.
Int. Symp. on Biodiversity, Environmental Importance, and Sustainability of
Tropical Peat and Peatlands, Palangka Raya, 4-8 Sep. 1995.
Pons, L.J. 1970. Acid Sulphate Soils (soils with cat-clay phenomena) and the
Prediction of their Origin from Pyrite Muds. Fysisch. Geograf. en
Bodemkunde. Lab. Publ. No. 16, Amsterdam, The Netherlands.
Pons, L.J., and I.S. Zonneveld. 1965. Soil Ripening and Soil Classification. Initial
soil formation in Alluvial deposits and a classification of the resulting soils.
ILRI Pub. 13, Wageningen, The Netherlands.
Pons, L.J., N. Van Breemen, and P.M. Driessen. 1982. Physiography of coastal
sediments and development of potential soil acidity. p. 1-18. In J.A. Kittrick,
D.S. Fanning, and L.R. Hossner (Eds.) Acid Sulfate Weathering. Soil Sci.
Soc. Am. Spec. Pub. No. 10, Soil Sci. Soc. Am., Madison. WI.
Prasetyo H., J.A.M. Jansen, and Alkasuma. 1990. Landscape and soil genesis in
pulau Petak. p. 1829. In Papers Workshop on Acid Sulphate Soils in the
Humid Tropics. Bogor, 20-22 November 1990. Indonesia.
PPT (Pusat Penelitian Tanah), 1989. Survei dan Pemetaan Tanah Detail Daerah
Pasang Surut Karangagung Tengah, Kab. Musi Banyuasin, Prop.
Sumatera Selatan.

96
Subagyo

Proyek PPLPSR (Penelitian Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa)-Swamps-


II. 1993a. Sewindu Penelitian Pertanian di Lahan Rawa, 1985-1993:
Kontribusi dan prospek pengembangan. Badan Litbang Pertanian, Dep.
Pertanian.
Proyek PPLPSR (Penelitian Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa)-Swamps-
II. 1993b. Petunjuk Teknis Pengelolaan Sistem Usahatani di Lahan Pasang
Surut. Badan Litbang Pertanian (tidak dipublikasikan).
Proyek PSLPSS (Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut
Sumatera Selatan). 1998. Prospek Pengembangan Sistem Usaha
Pertanian Modern di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Laporan Tim
Terpadu. Badan Litbang Pertanian, Dep. Pertanian.
Proyek PSLPSS (Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut
Sumatera Selatan). 1999. Identifikasi dan Karakterisasi Wilayah
Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut di Propinsi
Sumatera Selatan. Tahap II. laporan Tim Terpadu. Badan Litbang
Pertanian, Dep. Pertanian.
Puslittanak (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat). 1997. Laporan Survei dan
Pemetaan Tanah Tinjau Mendalam Daerah Kerja A, Proyek
Pengembangan Lahan Gambut Sejuta Hektar, untuk Pengembangan
Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah. Tim Peneliti Puslittanak
(unpublished) . Hlm 173.
Puslittanak (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat). 1998a. Laporan Survei dan
Pemetaan Tanah Tinjau Mendalam Daerah Kerja B, Proyek
Pengembangan Lahan Gambut Sejuta Hektar, untuk Pengembangan
Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah. Tim Peneliti Puslittanak
(unpublished) . Hlm 142.
Puslittanak (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat). 1998b. Laporan Final Survei
dan Pemetaan Tanah Tinjau Mendalam Daerah Kerja D, Proyek
Pengembangan Lahan Gambut Sejuta Hektar, untuk Pengembangan
Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah. Tim peneliti Puslittanak,
(unpublished). Hlm 131.
Soil Survey Staff. 1975. Soil Taxonomy. A Basic System of Soil Classification for
Making and Interpreting Soi Surveys. Agr. Handb. 436, Soil Conservation
Service-USDA.
Soil Survey Staff. 1999. Soil Taxonomy. A Basic System of Soil Classification for
Making and Interpreting Soil Surveys. Second Edition. Agr. Handb. 436,
Natural Resources Conservation Service-USDA.
Soil Survey Staff. 2003. Keys Soil Taxonomy. Ninth Edition, 2003. Natural
Resources Conservation Service-USDA.

97
Lahan Rawa Pasang Surut

SRI (Soil Research Institute). 1973. Report on soil investigations of the Delta
Pulau Petak, South and Central Kalimantan. Direct. Gen. of Agric., Ministry
of Agric., SRI No. 5/1973.
Strahler, A.N. 1973. Introduction to Physical Geography. Third Edition. John Wiley
& Sons. New York, London, Sydney, Toronto. 468 pp.
Subagyo, H. 2002. Penyebaran dan potensi tanah gambut di Indonesia untuk
pengembangan pertanian. h. 197-227. Dalam CCFPI (Climate Change,
Forests and Peatlands in Indonesia). 2003. Sebaran Gambut di Indonesia.
Seri Prosiding 02. Wetlands International-Indonesia Programme dan
Wildlife Habitat Canada. Bogor.
Sudarsono. 1999. Pemanfaatan dan pengembangan lahan rawa/pasang surut
untuk pengembangan pangan. h. 81-93. Dalam Irsal Las et al. (penyunting)
Prosid. Sem. Nas. Sumberdaya Lahan, Cisarua-Bogor, 9-11 Pebruari
1999. Buku 1. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Van Bremen, N. 1973. Soil forming processes in acid sulphate soils. p. 66-130. In
Dost, H. (ed.). Acid Sulphate Soils. I. Introductory Papers and Bibliography.
Proc. Intern. Symp., 13-20 August 1972, Wageningen, The Netherlands.
Van Dam, D., and L.J. Pons. 1973. Micropedological observations on pyrite and
its pedological reaction products. p. 169-196. In Dost, H. (ed.). Acid
Sulphate Soils. II. Research Papers. Proc. Intern. Symp., 13-20 August
1972, Wageningen, The Netherlands.
Van Wijk, A.L.M., I P.G. Widjaja-Adhi, C.J. Ritsema, and C.J.M. Konsten. 1992. A
simulation model for acid sulphate soils, II. Validation and application. p.
357-367. In D.L. Dent, and M.E.F. van Mensvoort (ed.). Selected Papers of
the Ho Chi Minh City Symp. on Acid Sulphate Soils, Vietnam, March 1992.
ILRI publ. 53, Wageningen, The Netherlands.
Widjaja-Adhi, I P.G. 1995a. Potensi, Peluang, dan Kendala Perluasan Areal
Pertanian di Lahan Rawa di Kalimantan dan Irian Jaya. Sem. Perluasan
Areal Pertanian di KTI. PIl, Serpong 7-8 November 1995 (tidak dipublikasi).
Widjaja-Adhi, I P.G., K. Nugroho, Didi Ardi S., dan A.S. Karama. 1992.
Sumberdaya lahan rawa: Potensi, keterbatasan, dan pemanfaatan. h. 19-
38. Dalam Sutjipto P. dan M. Syam (penyunting). Risalah Pertemuan
Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak.
Cisarua, 3-4 Maret 1992.
Wiradinata, O.W., dan R. Hardjosusastro. 1979. Penyebaran dan beberapa sifat
gambut di daerah Sumatera Selatan. h. A18-01-A18.11. Makalah dalam
Simposium Nasional III Pengembangan Daerah Pasang Surut, Palembang
5-9 Februari 1979.

98
LAHAN RAWA LEBAK
III Subagyo H.

99
Lahan Rawa Lebak

3.1. PENGERTIAN

Seperti telah diuraikan sebelumnya, lahan (rawa) lebak merupakan zona


ketiga yang terletak makin ke arah hulu sungai, yaitu mendekati atau berada
pada daerah aliran sungai (DAS) bagian tengah. Pengaruh pasang surut sudah
tidak ada lagi, berganti dengan pengaruh sungai yang sangat dominan, yaitu
berupa banjir besar yang secara periodik menggenangi wilayah selama musim
hujan. Banjir tahunan dapat terjadi, sebagai akibat dari volume air sungai yang
menjadi sangat besar selama musim hujan, dan tekanan balik arus pasang dari
bagian muara. Sungai di daerah ini tidak mampu menampung semua air,
sehingga meluap membanjiri dataran banjir di kiri kanan sungai. Selama musim
hujan, rawa lebak selalu digenangi air kemudian secara berangsur-angsur air
banjir akan surut sejalan dengan perubahan musim hujan ke musim kemarau
tahun berikutnya.
Istilah rawa lebak adalah istilah rawa non-pasang surut di daerah Sumatera
Selatan. Di Jambi, persawahan di rawa lebak dikenal sebagai sawah rawa payau.
Di Kalimantan Selatan, disebut sawah rintak/timur, jika musim tanam pada awal
musim kemarau, dan sawah surung/barat jika musim tanamnya pada awal musim
hujan. Di Kalimantan Timur, persawahan lebak disebut sawah rapak atau sawah
kelan. Sedangkan lahan lebak, yang secara terbatas terdapat di bagian hilir aliran
Sungai/Bengawan Solo di Jawa Timur, disebut "bonorowo".
Lahan rawa lebak seringkali didefinisikan sebagai lahan rawa non-pasang
surut, yang karena posisinya di dataran banjir sungai mendapat genangan secara
periodik sekurang-kurangnya sekali dalam setahun, yang berasal dari curah
hujan dan/atau luapan banjir sungai. Genangan yang membanjiri lahan lebak
dapat terjadi lebih dari satu kali, akibat curah hujan di wilayah tangkapan hujan di
bagian hilir sungai memiliki pola bimodal, yaitu dengan dua puncak musim hujan.
Atau dapat juga terjadi, karena kondisi oro-hidrologis daerah aliran sungai bagian
hilir sudah rusak, sehingga dapat terjadi banjir di bagian hilir beberapa kali dalam
setahun.

3.2. PENYEBARAN

Oleh karena rawa lebak terbentuk sebagai akibat banjir tahunan pada
wilayah yang letaknya rendah, yaitu sebagai wilayah peralihan antara lahan darat
(uplands) dan sungai-sungai besar, maka penyebarannya secara khusus terdapat

100
Subagyo

di dataran banjir (floodplains), dataran meander (sungai berkelok-kelok), dan


bekas aliran sungai tua (oxbow) dari sungai-sungai besar dan anak-anak sungai
utamanya. Penyebaran lahan rawa lebak di luar Jawa terdapat di tiga pulau
besar, antara lain di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya (Papua) :
ƒ Sumatera
Way Seputih, S. Tulangbawang, dan S. Mesuji, di Provinsi Lampung; Air Musi
dengan anak Sungai Ogan, Komering, dan Lematang di Provinsi Sumatera
Selatan; S. Batanghari, dan S. Tungkal di Provinsi Jambi; dan S. Inderagiri, S.
Kampar, S. Siak, dan S. Rokan di Provinsi Riau.
ƒ Kalimantan
S. Barito dengan anak sungai : S. Negara, di Provinsi Kalimantan Selatan; S.
Kapuas Besar di Provinsi Kalimantan Barat; dan S. Mahakam di Provinsi
Kalimantan Timur.
ƒ Irian Jaya (Papua)
S. Mamberamo berikut wilayah Lembah Mamberamo, dan S. Digul.
Kemungkinan masih terdapat beberapa sungai besar lain, seperti di
Provinsi Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan, yang mempunyai wilayah lahan
lebak, namun tidak tersedia data/informasinya. Sampai saat ini, secara umum
telah diketahui bahwa lahan lebak yang telah cukup intensif dibudidayakan untuk
pertanian adalah lahan lebak yang terdapat di Provinsi Sumatera Selatan (Air
Musi, Ogan, Komering, dan Lematang), dan di Kalimantan Selatan (S. Barito dan
S. Negara).
Berapa luas rawa lebak ? Perkiraan luas lahan lebak di Indonesia lebih
tidak pasti, karena tidak ada rinciannya yang agak mendetail di masing-masing
pulau besar. Angka yang seringkali dipakai adalah dari penelitian Nugroho et al.
(1991) yaitu luas lahan lebak di seluruh Indonesia sekitar 13,28 juta ha, terdiri
atas 4,17 juta ha lebak dangkal/pematang, 6,08 juta ha lebak tengahan, dan 3,04
juta ha lebak dalam.
Data lain dari Ditjen Pengairan Departemen Pekerjaan Umum (1998)
menyebutkan bahwa luas lahan lebak adalah 13,317 juta ha, telah direklamasi,
atau dibuka untuk persawahan dan permukiman sekitar 1,547 juta ha, yaitu
melalui program reklamasi oleh pemerintah seluas 0,448 juta ha, dan oleh
swadaya masyarakat sekitar 1,009 juta ha. Luas lahan lebak yang belum
dimanfaatkan diperkirakan masih sekitar 11,770 juta ha.
Lahan rawa lebak umumnya menempati posisi di kanan kiri, pada dataran
banjir sungai (besar), atau merupakan wilayah luas persambungan antara

101
Lahan Rawa Lebak

dataran banjir dua anak sungai (besar). Sebagai salah satu contoh yang terbaik
yang ada di Sumatera Selatan (Gambar 3.1), yaitu lahan rawa lebak dan lahan
rawa pasang surut (air tawar) di sekitar Palembang, di sepanjang aliran Air Musi,
dan di antara Air Ogan dan Air Komering.

Gambar 3.1. Penyebaran lahan rawa lebak dan lahan rawa pasang surut di
sekitar Palembang, Sumatera Selatan

102
Subagyo

3.3. TOPOGRAFI DAN LANDFORM

Topografi atau bentuk wilayah lahan lebak secara umum hampir datar (flat)
dengan lereng 1-2%, secara berangsur menurun membentuk cekungan (basin)
ke arah wilayah rawa belakang, dan bagian tengah menempati posisi paling
rendah.
Satuan-satuan landform di wilayah lahan lebak dapat dilihat pada
penampang skematis Gambar 3.2, dengan tiga kemungkinan satuan landform
yang berbeda. Pertama, adalah satuan landform yang dijumpai pada dataran
banjir satu sungai besar (Gambar 3.2a); kedua, satuan landform yang dijumpai
pada dataran banjir dua sungai besar (Gambar 3.2b); dan yang ketiga adalah
wilayah peralihan antara lahan lebak dan wilayah lahan pasang surut (Gambar
3.2c).
Pada keadaan pertama (Gambar 3.2a), apabila seseorang bergerak
misalnya dengan berjalan kaki dari daerah “talang” (lahan kering/uplands) pada
satu sisi, ke arah daerah “talang” di seberang sungai-dengan mengamati
keadaan terrain, kondisi permukaan tanah, dan kedalaman permukaan air tanah-
akan melewati wilayah dataran banjir sungai, yang terdiri atas wilayah cekungan,
kemudian dataran rawa belakang, dan selanjutnya mencapai tanggul sungai alam
(natural levee). Kondisi seperti ini umumnya dijumpai pada DAS bagian tengah ke
arah hilir sungai. Tanah yang terbentuk seluruhnya merupakan tanah endapan
sungai, atau sering disebut endapan aluvial atau fluviatil. Cekungan-cekungan di
dataran rawa belakang umumnya ditempati gambut topogen dangkal (50-100 cm)
sampai gambut-sedang (101-200 cm). Kubah gambut biasanya tidak terbentuk,
karena ukuran cekungan/depresi relatif kecil. Di banyak tempat, cekungan
tersebut seringkali juga hanya berisi air, sehingga menyerupai “danau-danau”
berukuran kecil. Tanah yang terbentuk seluruhnya juga merupakan tanah
endapan sungai, yang diendapkan selama ber-abad-abad setiap kali musim
banjir datang, menggenangi wilayah selama musim hujan. Bahan sedimen halus,
berupa lumpur sungai yang diendapkan setiap kali terjadi banjir tahunan adalah
bahan yang membentuk tanah di lahan lebak.

103
Lahan Rawa Lebak

Gambar 3.2a. Penampang skematis daerah lahan rawa lebak, pada satu sungai
besar

Pada keadaan kedua (Gambar 3.2b), adalah kondisi landform yang


dijumpai oleh seseorang yang bergerak dan “mampu” melewati dataran banjir
dari dua anak sungai (besar). Antara daerah talang dan sungai pertama atau
sungai kedua, bentukan landform yang dijumpai akan menyerupai kondisi
pertama. Namun sesudah itu, dataran banjir sungai pertama akan bersambungan
dengan dataran banjir sungai kedua, dan membentuk dataran rawa belakang
hampir rata (nearly flat) yang sangat luas, dan lebarnya dapat mencapai puluhan
kilometer. Sebagai contoh dataran banjir Air Ogan yang bersambungan dengan
dataran banjir Air Komering, di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), di beberapa
tempat dapat mencapai lebar 30-40 km. Seperti halnya pada kondisi pertama, di
dataran rawa belakang yang sangat luas ini banyak dijumpai cekungan-cekungan
dari berbagai ukuran, yang umumnya juga ditempati tanah gambut-dangkal
sampai sedang, atau hanya berupa “danau-danau” kecil yang biasanya
dimanfaatkan untuk budidaya perikanan air tawar. Tanah yang terbentuk,
seluruhnya juga merupakan tanah endapan sungai, yang diendapkan selama ber-
abad-abad setiap kali musim banjir datang dan menggenangi wilayah ini selama
musim hujan.

Cekungan
Sungai Sungai

Gambar 3.2b. Penampang skematis daerah lahan rawa lebak, antara dua sungai
besar

104
Subagyo

Pada keadaan ketiga (Gambar 3.2c), adalah keadaan apabila lahan rawa
lebak bersambungan dengan lahan rawa pasang surut. Pada kondisi ini, bahan
endapan sungai yang terbentuk lebih muda umur (geologis)-nya, menutupi
endapan laut/marin yang telah terbentuk terlebih dahulu. Kondisi seperti ini,
terjadi pada wilayah peralihan antara zona II (lahan rawa pasang surut air tawar)
dan zona III (lahan rawa non-pasang surut, atau lahan rawa lebak).

Cekungan

Gambar 3.2c. Penampang skematis daerah lahan rawa lebak peralihan antara
lahan rawa lebak dan lahan rawa pasang surut (marin)

Sebagai contoh, wilayah sekitar kota Palembang, antara lain wilayah


Ogan-Keramasan dan Plaju-Sungaigerong, merupakan wilayah peralihan antara
zona III dan zona II. Pada wilayah ini, tanah yang terbentuk mempunyai dua
bahan induk, yaitu di bagian atas merupakan endapan sungai, dan bagian bawah
berasal dari endapan marin yang mengandung bahan sulfidik (pirit). Kedalaman
bahan sulfidik di daerah peralihan ini bervariasi, antara 70-150 cm, atau antara
50-120 cm dari permukaan tanah.

3.4. TIPOLOGI LAHAN LEBAK

Tipologi lahan rawa lebak, secara skematis diilustrasikan pada Gambar


3.3. Pada musim hujan, wilayah tanggul sungai umumnya tetap kering, tetapi di
wilayah rawa belakang dan cekungan, air banjir berangsur naik sampai mencapai
puncak tertinggi di musim hujan, kemudian menurun sesuai dengan surutnya air
sungai pada peralihan ke musim kemarau.

105
Lahan Rawa Lebak

Kedalaman genangan

Gambar 3.3. Skematis tipologi lahan rawa lebak

Berdasarkan lamanya genangan dan tingginya genangan, lahan rawa


lebak umumnya dibagi menjadi tiga tipe (tipologi) lahan lebak, yaitu : (1) Lebak
Pematang, (2) Lebak Tengahan, dan (3) Lebak Dalam, seperti disajikan pada
Tambar 3.1. Lebak Pematang seringkali disebut juga sebagai Lebak Dangkal.
Secara teoritis, setiap banjir, karena arus banjir masih kuat, tanggul sungai
merupakan tempat pengendapan bahan-bahan terkasar (pasir halus sampai pasir
sedang). Makin jauh dari sungai, dengan semakin lemahnya daya angkut air,
terjadi pengendapan bahan-bahan lebih halus, yaitu debu dan liat. Karena
adanya sortasi air dan semakin sedikitnya bahan-bahan yang diendapkan
semakin jauh dari sungai, maka tanggul sungai adalah tempat yang paling tinggi
letaknya, dan tanah berangsur-angsur menurun ke dataran rawa belakang.
Dalam kenyataanya di lapangan, acapkali perbedaan ketinggian antara keduanya
tidak selalu nyata, walaupun hasil pengukuran ketinggian antara keduanya
memang menunjukkan penurunan yang amat berangsur ke arah dataran rawa
belakang. Demikian pula, tekstur tanah di wilayah tanggul sungai tidak selalu
berpasir, sebab komposisi fraksi dari lumpur yang diendapkan setiap tahun tidak
selalu kasar sifatnya.

Tabel 3.1. Tipe-tipe (tipologi) lahan rawa lebak, berdasarkan lama dan tinggi
genangan
Lama genangan
Tinggi genangan
<3 bulan 3-6 bulan >6 bulan
<50 cm Lebak Pematang Lebak Pematang Lebak Pematang
50-100 cm Lebak Tengahan Lebak Tengahan Lebak Dalam
>100 cm Lebak Tengahan Lebak Dalam Lebak Dalam

106
Subagyo

Selain ketiga tipe lahan lebak tersebut, masih ada istilah “renah” dan
“talang” yang biasa digunakan untuk mendeskripsi keadaan wilayah lahan lebak
di Sumatera Selatan. Uraian secara ringkas dari semua istilah dan tipe lahan
rawa lebak adalah :
ƒ Renah, adalah bagian yang paling tinggi dari tanggul sungai. Biasanya jarang
kebanjiran, oleh karena itu umumnya dimanfaatkan untuk rumah-rumah dan
perkampungan penduduk.
ƒ Talang, adalah lahan darat atau lahan kering yang tidak pernah kebanjiran, dan
merupakan bagian dari wilayah berombak sampai bergelombang, terdiri atas
batuan sedimen, atau batuan volkan masam.
ƒ Lebak Pematang, adalah sawah di belakang perkampungan. dan merupakan
sebagian dari wilayah tanggul sungai dan sebagian wilayah dataran rawa
belakang. Lama genangan banjir umumnya kurang dari 3 bulan, atau minimal
satu bulan dalam setahun. Tinggi genangan rata-rata kurang dari 50 cm. Oleh
karena genangan air banjir selalu dangkal, maka bagian lebak ini sering juga
disebut “Lebak Dangkal”.
ƒ Lebak Tengahan, adalah sawah yang lebih jauh lagi dari perkampungan.
Genangannya lebih dalam, antara 50 sampai 100 cm, selama kurang dari 3
bulan, atau antara 3-6 bulan. Masih termasuk wilayah Lebak Tengahan, apabila
genangannya dalam, lebih dari 100 cm, tetapi jangka waktu genangannya
relatif pendek, yaitu kurang dari 3 bulan.
ƒ Lebak Dalam, adalah bagian lebak yang dalam airnya, dan sukar mengering
kecuali pada musim kemarau panjang. Disebut juga “lebak lebung”, tempat
memelihara ikan yang tertangkap, waktu air banjir telah surut. Tinggi air
genangan umumnya lebih dari 100 cm, selama 3-6 bulan, atau lebih dari 6
bulan. Masih termasuk Lebak Dalam, apabila genangannya lebih dangkal
antara 50-100 cm, tetapi lama genangannya harus lebih dari enam bulan
secara berturut-turut dalam setahun.

3.5. JENIS TANAH

3.5.1. Pembagian dan klasifikasi tanah

Tanah-tanah di lahan rawa lebak, baik di wilayah tanggul sungai maupun di


rawa belakang, secara morfologis mempunyai kenampakan mirip dengan tanah
marin di lahan rawa pasang surut air tawar. Hanya bedanya, karena tanah-tanah

107
Lahan Rawa Lebak

di rawa lebak bukan merupakan endapan marin, maka tanah rawa lebak tidak
mengandung pirit. Namun, di wilayah peralihan dengan rawa pasang surut air
tawar, lapisan pirit masih mungkin diketemukan, tetapi biasanya pada kedalaman
50-70 cm atau lebih dari 120 cm.
Secara skematis, pembagian tanah pada lahan rawa lebak berdasarkan
ketebalan gambut, dan kedalaman lapisan bahan sulfidik (jika ini ada) disajikan
pada Gambar 3.4. Ada dua kelompok tanah pada lahan lebak, yaitu Tanah
Gambut, dengan ketebalan lapisan gambut >50 cm, dan Tanah Mineral, dengan
ketebalan lapisan gambut di permukaan 0-50 cm. Tanah mineral yang
mempunyai lapisan gambut di permukaan antara 20-50 cm disebut Tanah
Mineral Bergambut. Sedangkan Tanah Mineral murni, sesuai kesepakatan, hanya
memiliki lapisan gambut di permukaan tanah setebal <20 cm.
Tanah Gambut biasanya menempati wilayah Lebak Tengahan dan Lebak
Dalam, khususnya di cekungan-cekungan, dan sebagian besar merupakan
gambut-dangkal (ketebalan gambut antara 50-100 cm), dan sebagian kecil
merupakan gambut-sedang (ketebalan gambut 100-200 cm). Kubah gambut
nampaknya tidak terbentuk. Gambut yang terbentuk umumnya merupakan
gambut topogen, tersusun sebagian besar dari gambut dengan tingkat
dekomposisi sudah lanjut, yaitu gambut saprik. Sebagian lapisan tersusun dari
gambut hemik. Seringkali mempunyai sisipan-sisipan bahan tanah mineral di
antara lapisan gambut.
Warna tanah tersebut coklat sangat gelap (7,5YR 2,5/2), atau hitam (10YR
3/2), reaksi gambut di lapang termasuk masam-sangat masam (pH 4,5-6,0).
Kandungan basa-basa (hara) rendah (total kation: 1-6 me/100 g tanah), dan
kejenuhan basanya juga rendah (KB: 3-10%). Sebagian gambut di Lebak Dalam,
mempunyai tingkat dekomposisi bahan gambut tengahan, yaitu gambut hemik.
Warnanya relatif sama, coklat sangat gelap atau hitam, reaksi tanah masam (pH
6,0), dan kesuburan tanah masih termasuk rendah. Dalam klasifikasi Taksonomi
Tanah (Soil Survey Staff, 1999), tanah-tanah tersebut masuk dalam ordo
Histosols, dalam tingkat (subgrup) Typic/Hemic Haplosaprists, Terric
Haplosaprists, dan Terric Haplohemists.
Tanah gambut, sebagai Haplosaprists dangkal (antara 50-100 cm),
sebagian ditemukan di lebak tengahan, dan sebagai Haplohemists dan
Haplosaprists dangkal umumnya lebih banyak ditemukan di bagian lebak dalam.

108
Subagyo

Gambar 3.4. Skematis pembagian tanah pada lahan rawa lebak

109
Lahan Rawa Lebak

Tanah Mineral yang menyusun lahan rawa lebak, hampir seluruhnya


berkembang atau terbentuk dari bahan endapan sungai. Tetapi di wilayah
peralihan antara zona II (lahan rawa pasang surut air tawar) dan zona III (lahan
rawa lebak), di bagian bawah profil tanah lebak ditemukan lapisan yang
mengandung bahan sulfidik (pirit).
Tanah yang mengandung lapisan bahan sulfidik, dengan sendirinya
termasuk tipologi lahan rawa pasang surut yang disebut Lahan Potensial.
Berdasarkan letak kedalaman bahan sulfidik dari permukaan tanah, dikenal
Lahan Potensial-1, jika kedalaman lapisan bahan sulfidik lebih dari 100 cm, dan
Lahan Potensial-2, jika kedalaman lapisan bahan sulfidik terletak antara 50-100
cm. Pengelolaan dan penataan lahan yang mengandung bahan sulfidik harus
lebih berhati-hati, dan pemanfaatannya untuk pertanian harus mengikuti sistem
penataan lahan yang berlaku untuk lahan pasang surut (Bab 2.3 dan Bab 2.6
pada Bab Lahan Pasang Surut).
Secara umum, pengelolaan lahan untuk tanah mineral yang berbahan
induk bahan endapan sungai, lebih mudah karena bebas dari bahan sulfidik.
Dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999), tanah mineral pada lahan
lebak termasuk dalam ordo Entisols dan Inceptisols. Oleh karena termasuk
“tanah basah” (wetsoils), semuanya masuk dalam subordo Aquents, dan
Aquepts. Klasifikasi lebih lanjut pada tingkat subgrup, baik untuk Lahan
Potensial-1 dan Lahan Potensial-2 maupun Tanah Rawa Lebak normal dan
Tanah Mineral Bergambut, dapat dilihat pada Gambar 3.4.
Tanah-tanah mineral yang menempati lebak pematang, umumnya
termasuk Inceptisols basah, yakni (subgrup) Epiaquepts dan Endoaquepts, dan
sebagian Entisols basah yaitu Fluvaquents. Pada lebak tengahan, yang dominan
adalah Entisols basah, yakni Hydraquents dan Endoaquents, serta sebagian
Inceptisols basah, sebagai Endoaquepts. Kadang ditemukan gambut-dangkal,
yakni Haplosaprists. Pada wilayah lebak dalam yang air genangannya lebih
dalam, umumnya didominasi oleh Entisols basah, yakni Hydraquents dan
Endoaquents, serta sering dijumpai gambut-dangkal, Haplohemists dan
Haplosaprists.

3.5.2. Sifat kimia tanah mineral lahan lebak

Dari hasil penelitian “identifikasi potensi lahan rawa lebak untuk


pengembangan tanaman pangan, dalam rangka antisipasi El-Nino”, telah
diketahui lahan rawa lebak di Provinsi Lampung, Sumatera Selatan, Riau, dan

110
Subagyo

Kalimantan Selatan (Alkasuma et al., 2001). Dalam mendelineasi penyebaran


lahan lebak di keempat provinsi tersebut, dilakukan interpretasi citra satelit
Landsat-TM5 bulan Januari 1998 (saat El-Nino berakhir), dan Landsat TM7 bulan
Mei 2000 (saat terjadi genangan), selain menggunakan berbagai peta
pendukung, seperti peta topografi, peta geologi, dan peta penggunaan lahan,
juga dilakukan interpretasi citra satelit Landsat-TM5 bulan Januari 1998 (saat El-
Nino berakhir), dan Landsat TM7 bulan Mei 2000 (saat terjadi genangan).
Hasilnya menunjukkan bahwa di Sumatera Selatan terdapat lahan rawa
lebak seluas 368.685 ha, yang dijumpai di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Musi
Banyuasin, Kotamadya Palembang, dan Kabupaten Ogan Komering Ulu. Di
Provinsi Lampung diidentifikasi lahan rawa lebak seluas 126.465 ha, tersebar di
Kabupaten Tulang Bawang, Lampung Timur, dan Lampung Selatan. Di Provinsi
Riau terdapat lahan rawa lebak seluas 211.587 ha, menyebar di sepanjang aliran
S. Kuantan, Kampar, dan Rokan. Di Provinsi Kalimantan Selatan, lahan rawa
lebak yang diidentifikasi sekitar 208.893 ha. Bagian terluas terdapat di sekitar
aliran Sungai Barito dan S. Negara, meliputi Kabupaten Hulu Sungai Utara, Hulu
Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, dan Tapin.
Selama penelitian, pembuatan profil tanah di lahan rawa lebak sulit
dilakukan karena air tanah sangat rendah atau tergenang air. Oleh karena itu,
telah diamati 33 pemboran tanah, yang terdiri atas 15 pemboran di Lebak
Pematang, 11 pemboran di Lebak Tengahan, dan 7 pemboran di Lebak Dalam.
Dari 33 pemboran tanah tersebut telah dikumpulkan sebanyak 115 contoh tanah,
yang semuanya dianalisis di laboratorium. Hasil analisis dirangkum dalam Tabel
3.2, akan digunakan untuk mengevaluasi sifat-sifat kimia dan kesuburan tanah
mineral pada lahan rawa lebak.
Dari evaluasi sifat-sifat fisiko-kimia pada Tabel 3.2 tersebut dapat
disimpulkan hal-hal berikut :
ƒ Sifat kimia dan kesuburan Lebak Pematang umumnya lebih baik daripada
Lebak Tengahan dan Lebak Dalam. Tekstur tanahnya lebih bervariasi (halus
sampai sedang), reaksi tanah lebih baik (kurang masam), dan kandungan
P2O5, total kation, dan kejenuhan basa relatif lebih tinggi daripada kedua
tipologi lebak lainnya.

111
Lahan Rawa Lebak

Tabel 3.2. Sifat fisiko-kimia tanah mineral lahan rawa lebak


Sifat-sifat tanah Lebak pematang Lebak tengahan Lebak dalam

Tekstur hC; C; SiC; SiCL; SiL; hC; C; SiC; SiCL hC; SiC
L; SL
(Ps: <15%; Db: 5-60%; (Ps: <10%; Db: 20-60%; (Ps: <5%; Db: 20-45%;
liat: 18-90%) liat: 35-80%) liat: 55-80%)
Reaksi tanah
ƒ pH-lapang 5,5-7,0 sm-nt 5,0-7,0 sm-nt 5,5-6,5 sm-sdm
ƒ pH-lab 4,0-5,5 mlb-sm 3,5-4,5 me-mlb 3,5-4,5 me-mlb
% karbon
ƒ Kisaran (%) 0,09-12,04 sr-st 0,52-17,20 sr-st 1,20-18,92 sr-st
ƒ Terbanyak (%) (0,40-8,60) sr-t (0,30-10,32) sr-st (1,72-12,04) r-st
Fosfat dan kalium (terbanyak)
ƒ P2O5 (mg/100 g) 5-40 sr-s 3-40 sr-s 2-25 sr-r
ƒ K2O (mg/100 g) 5-40 sr-s 5-60 sr-t 5-25 sr-s
ƒ P-Bray (ppm) 3-23 sr-s 2-27 sr-t 3-15 sr-r
Basa dapat tukar Terbanyak Ca & Mg; K Terbanyak Ca & Mg; K Terbanyak Ca & Mg; K
dan Na sangat sedikit dan Na sangat sedikit dan Na sangat sedikit
Total kation dapat 0,6-21% sr-t 1-20% sr-t 4-18% r-t
tukar
Kejenuhan basa 10-100% sr-st 3-80% sr-t 6-75% sr-t
Keterangan :
ƒ Tekstur : hC = liat berat; C = liat; SiC = liat berdebu; SiCL = lempung liat berdebu; SiL = lempung
berdebu; L = lempung; dan SL = lempung berpasir.
ƒ Reaksi tanah : me = masam ekstrim (pH ≤ 3,5); mlb = masam luar biasa (pH 3,6-4,5); sms = sangat
masam sekali (pH 4,6-5,0); sm = sangat masam (pH 5,1-5,5); am= agak masam (pH 5,6-6,0); sdm
= sedikit masam (pH 6,1-6,5); nt = netral (pH 6,6-7,3).
ƒ Kandungan sifat kimia lainnya : sr = sangat rendah; r = rendah; s = sedang; t = tinggi; dan st =
sangat tinggi.

ƒ Tekstur tanah rawa lebak umumnya dicirikan oleh kandungan fraksi liat dan
debu yang tinggi, tetapi fraksi pasirnya sangat rendah. Tekstur tanah terbanyak
adalah liat berat (hC), liat (C), dan liat berdebu (SiC). Tekstur tanah Lebak
pematang lebih bervariasi, dari halus (hC,C) sampai sedang (SiL, L), terkadang
juga dijumpai tekstur relatif kasar (SL). Tekstur lebak Tengahan relatif halus
(hC, C, SiC, dan SiCL), sedangkan tekstur Lebak Dalam sangat halus (hC dan
SiC), dengan kandungan liat yang sangat tinggi (55-80 %).
ƒ Kandungan bahan organik (% karbon) Lebak Tengahan dan Lebak Dalam
relatif lebih tinggi daripada lebak Pematang. Tetapi, kandungan P2O5 dan K2O
tanah Lebak Pematang cenderung lebih tinggi daripada Lebak Tengahan, dan
lebih tinggi daripada Lebak Dalam. Hal yang mirip sama terjadi pada fosfat (P)

112
Subagyo

tersedia (P-Bray), di mana kandungan P pada tanah Lebak Pematang dan


Lebak Tengahan lebih tinggi daripada Lebak Dalam.
ƒ Komposisi basa-basa dapat tukar (Ca, Mg, K, dan Na) menunjukkan bahwa Ca
dan Mg terbanyak, sedangkan K dan Na sangat sedikit, namun Lebak
Pematang cenderung “lebih kaya” daripada Lebak Tengahan dan Lebak
Dalam. Hal ini diperkuat oleh kandungan total kation dapat tukar dan kejenuhan
basa.

3.5.3. Penataan lahan

Secara umum tidak banyak yang dapat diinformasikan mengenai penataan


lahan di lahan Rawa lebak. Di daerah rawa lebak di Sumatera Selatan, di wilayah
Kabupaten Ogan Komering Ilir, Musi Banyuasin, Kotamadya Palembang, dan
Kabupaten Ogan Komering Ulu, sawah lebak telah diusahakan secara tetap dari
tahun ketahun, khususnya pada dataran banjir Sungai Musi, Ogan, Komering,
Lematang. Pada musim hujan (antara Oktober sampai dengan Mei), sungai-
sungai tersebut pada umumnya banjir sampai melimpah ke kiri dan kanan sungai
membanjiri dataran rawa belakang. Puncak banjir tertinggi biasanya di sekitar
bulan Desember sampai dengan Januari. Air banjir mulai menurun sekitar bulan
Februari-Maret, dimana persiapan tanah dan pesemaian dimulai. Musim tanam
padi lebak umumnya terjadi pada bulan Mei sampai Juni, yaitu pada waktu tinggi
air di lebak berkisar antara 25-30 cm. Penanaman harus segera dimulai dan
diselesaikan. Pada Lebak Pematang dan Lebak Tengahan, apabila terlambat
menanam dapat mengalami masalah kekeringan, dan penyiangan akan lebih
berat. Sebaliknya, pada Lebak Dalam, kalau terlambat menanam, akan terjadi
risiko tenggelam karena hujan sudah mulai turun, terutama pada bulan-bulan
panen. Panen padi pada sawah lebak di daerah ini umumnya terjadi dalam bulan
September sampai Oktober.

Penataan lahan yang dapat dianjurkan secara umum adalah :

ƒ Lebak Pematang : memiliki kondisi alam yang relatif lebih menguntungkan,


dibandingkan dengan kedua tipe lebak lainnya, walaupun kemungkinan terjadi
kekeringan/kekurangan air pada musim kemarau. Zona ini seyogyanya
diarahkan penggunaannya untuk permukiman, pekarangan, kebun buah-

113
Lahan Rawa Lebak

buahan, dan lahan untuk prasarana umum. Sistem pertanaman dengan teknik
surjan dapat dilaksanakan di zona ini.

ƒ Lebak Tengahan : yang sepanjang tahun relatif tidak kekurangan air, diarahkan
penggunaannya untuk wilayah persawahan lebak, seperti yang telah dilakukan
selama ini. Sebagai tambahan usaha, dapat juga dilakukan pertanaman
tanaman palawija dan sayuran pada galengan-galengan sawah. Sistem
pertanaman dengan teknik surjan, tergantung kondisi air genangan, mungkin
masih dapat dilaksanakan di zona ini.

ƒ Lebak Dalam : karena secara alamiah menempati posisi paling rendah, arahan
penggunaannya yang paling tepat adalah tetap berfungsi sebagai waduk
penampungan air banjir alamiah. Pemanfaatan lain yang selama ini telah
berlangsung adalah untuk budidaya perikanan air tawar, dan bila
memungkinkan dapat dijadikan tempat rekreasi air secara terbatas.

PENUTUP
Seperti telah disebutkan sebelumnya, luas lahan rawa lebak adalah sekitar
13,28-13,32 juta ha, atau kira-kira sepertiga dari luas total lahan rawa. Data
Dirjen Pengairan Dep. PU (sekarang Kimpraswil) sekitar 1,547 juta ha telah
dibuka untuk persawahan dan permukiman, sebagian besar 71% (1.009 juta ha)
melalui swadaya masyarakat, dan sisanya 29% melalui program pemerintah.
Kalau angka 13,32 juta ha benar, berarti masih cukup luas, sekitar 11,77 juta ha,
lahan lebak yang dapat dikembangkan untuk pertanian.

Ditinjau dari aspek potensi, secara umum lahan lebak sebenarnya lebih
baik dari lahan pasang surut, oleh karena tanah lahan lebak seluruhnya tersusun
dari endapan sungai (fluviatil), yang tidak mengandung bahan sulfidik/pirit.
Terkecuali tentunya pada zona peralihan antara lahan lebak dan lahan pasang
surut, di lapisan bawah sekitar kedalaman 1 m, mungkin masih ditemukan
adanya lapisan bahan sulfidik yang merupakan endapan marin. Bagian yang
potensial untuk pertanian dari lahan lebak adalah lebak pematang (atau lebak
dangkal), dan lebak tengahan, yang umumnya di jadikan persawahan lebak
dengan pertanaman palawija dan sayuran pada galengan sawah, atau di bagian
guludan/bedengan pada sistem surjan, terutama pada lebak pematang.

114
Subagyo

Sementara lebak dalam, karena bentuknya mirip suatu cekungan, kondisi airnya
relatif masih tetap dalam walaupun di musim kemarau, sehingga lebih sesuai
untuk budidaya perikanan air tawar.

Pengalaman penelitian terbatas dalam pengelolaan lahan lebak


menunjukkan bahwa lahan lebak, disamping padi sebagai tanaman utama,
berbagai tanaman palawija seperti jagung, kedelai, kacang hijau, kacang
tunggak, dan ubi jalar cukup potensial dikembangkan, baik secara monokultur
maupun tumpangsari. Salah satu masalah utama dalam pengelolaan lahan lebak
adalah kedalaman genangan yang semakin dalam selama berlangsungnya
musim hujan, jika penanaman padi di lakukan pada awal musim hujan.
Sebaliknya lahan lebak berangsur semakin surut menjadi hampir kering dan
kering di musim kemarau. Secara tradisional, petani menanami lahannya setelah
genangan air mulai turun di akhir musim hujan. Penanaman di mulai dari lebak
pematang dan berlanjut ke lebak tengahan. Pada tahun-tahun dengan kemarau
panjang, lahan lebak merupakan lahan yang subur untuk pertanaman padi dan
palawija.

Sebagaimana lahan pasang surut, ke depan, lahan lebak juga merupakan


calon lumbung padi/beras nasional, yang mampu mendukung dan mengamankan
program ketahanan pangan. Oleh karena potensinya yang besar untuk
penambahan areal produksi pertanian baru di masa mendatang, maka kegiatan
inventarisasi biofisik, termasuk masalah berapa luas lahan lebak yang lebih pasti,
penelitian karakteristik pola hidrologi, dan potensi agronomi lahan lebak, perlu
lebih mendapatkan fokus perhatian lebih besar. Penelitian yang lebih intensif,
juga diperlukan untuk mendapatkan varitas-varitas tanaman berproduksi tinggi,
yang sesuai di budidayakan di lahan lebak.

DAFTAR PUSTAKA

Alkasuma, Suparto, Samdan CD., dan Jaelani. 2001. Laporan Akhir. Identifikasi
Potensi Lahan Rawa Lebak untuk Pengembangan Tanaman Pangan
dalam rangka Antisipasi Dampak EI-Nino. Bag. Proyek Penel. Sumberdaya
Air dan Iklim. Puslitbangtanak, Bogor.
Ditjen Pengairan PU (Pekerjaan Umum). 1998. Pengembangan Daerah Rawa.
Direktorat Jenderal Pengairan, Dep. PU. Februari 1998. Hlm. 93.

115
Lahan Rawa Lebak

Nugroho, K., Alkasuma, Paidi, W. Wahdini, Abdulrachman, H. Suhardjo, dan I


P.G. Widjaja-Adhi. 1991. Laporan Akhir. Penentuan areal potensial lahan
pasang surut, rawa, dan pantai. Skala 1:500.000. Laporan Teknik No.
1/PSRP/1991. Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan, Puslittanah dan
Agroklimat. Hlm.109.
Soil Survey Staff. 1999. Soil Taxonomy. A Basic System of Soil Classification for
Making and Interpreting Soil Surveys. Second Edition. Agr. Handb. 436,
Natural Resources Conservation Service-USDA.

116
TEKNOLOGI PENGELOLAAN
IV LAHAN SULFAT MASAM
Didi Ardi Suriadikarta dan Diah Setyorini

117
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam

4.1. PENDAHULUAN

Lahan rawa di Indonesia cukup luas dan tersebar di tiga pulau besar, yaitu
di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya (Papua). Menurut Widjaja-Adhi et al.
(1992) luas lahan rawa Indonesia ± 33,4 juta ha, yang terdiri atas lahan rawa
pasang surut sekitar 20 juta ha dan lahan lebak 13,4 juta ha.
Pembukaan lahan rawa pasang surut dilakukan berkaitan dengan program
pemukiman transmigrasi yang dimulai sejak Pelita I (orde baru) sekitar tahun
1969 melalui program Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S).
Pemanfaatan lahan pasang surut untuk pertanian merupakan pilihan yang
strategis dalam mengimbangi penciutan lahan produktif di pulau Jawa yang
dialihfungsikan untuk pembangunan sektor non pertanian seperti, perumahan,
jalan raya, industri dan pembangunan lainnya. Menurut Sudiadikarta et al., (1999)
sampai saat ini lahan rawa yang telah dibuka 2,4 juta ha, 1,5 juta ha di
Kalimantan dan 0,9 ha di Sumatera. Lahan rawa di Irian Jaya (Papua) sampai
saat ini masih belum dibuka untuk pertanian. Pengembangan lahan rawa
memerlukan perencanaan pengelolaan dan pemanfaatan yang baik dan
memerlukan penerapan teknologi yang sesuai, terutama pengelolaan tanah dan
air yang tepat.
Pemanfaatan yang bijak, pengembangan yang seimbang dan pengelolaan
yang sesuai dengan karakteristik, sifat dan kelakuannya, diharapkan dapat
mengembalikan lahan rawa menjadi lahan pertanian yang berproduktivitas tinggi,
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Widjaja-Adhi, 1995a dan 1995b).
Sejak proyek P4S tahun tujuh puluhan dan dilanjutkan dengan proyek penelitian
Badan Litbang Pertanian Swamp I, Swamp II, dan kerjasama dengan Belanda
(LAWOO) tahun delapan puluhan, Proyek Penelitian Pengembangan Lahan
Rawa Terpadu (ISDP) dan Proyek Pertanian PLG tahun sembilan puluhan telah
banyak teknologi pengelolaan lahan rawa yang dihasilkan (Suriadikarta dan A.
Abdurachman, 1999). Teknologi itu antara lain adalah teknologi pengelolaan
tanah, tata air mikro, teknologi ameliorasi tanah dan pemupukan, penggunaan
varietas yang adaptif, teknologi mengatasi hama dan penyakit, dan model
usahatani.
Namun penerapan teknologi pertanian lahan rawa umumnya tidak dapat
diterapkan secara berkelanjutan disebabkan ada beberapa kendala yaitu : modal
petani yang rendah, infrastruktur yang terbatas, kelembagaan pedesaan yang
minim, dan kurangnya perhatian pemerintah dalam pemeliharaan jaringan tata air
makro secara konsisten.

118
Suriadikarta dan Setyorini

Berbagai kegagalan telah didokumentasikan namun keberhasilan juga


telah dicapai sepanjang pengembangan lahan rawa. Terjadinya lahan bongkor
akibat reklamasi yang kurang tepat merupakan pengalaman kegagalan yang
tidak perlu terulang lagi dalam pengembangan lahan rawa yang masih
memungkinkan untuk pengembangan pertanian.
Potensi lahan rawa yang masih besar ini sebaiknya dapat dimanfaatkan
untuk menunjang persiapan pengembangan sistem ketahanan pangan dan
agribisnis yang menjadi program utama sektor pertanian. Sebagaimana
disampaikan oleh Menteri Pertanian (1999). Lahan rawa, baik rawa pasang surut
maupun bukan pasang surut (lebak) dapat dijadikan basis pengembangan sistem
ketahanan pangan, untuk kepentingan jangka pendek, menengah maupun jangka
panjang. Sehingga perhatian berupa investasi, terutama swasta dalam
pemanfaatan lahan rawa seyogyanya dapat lebih ditingkatkan

4.2. PENGELOLAAN TANAH DAN AIR

Pengelolaan tanah dan air (soil and water management) merupakan kunci
utama untuk keberhasilan pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut,
termasuk tanah sulfat masam. Pengelolaan tanah dan air ini meliputi jaringan tata
air makro maupun mikro, penataan lahan, ameliorasi, dan pemupukan.

4.2.1. Jaringan tata air makro

Pengembangan lahan rawa meliputi kegiatan reklamasi dan pengelolaan.


Kegiatan reklamasi dimulai dari perencanaan, penelitian dan pelaksanaan di
lapangan. Penelitian yang mendukung perencanaan reklamasi sangat diperlukan
terutama penelitian sumberdaya lahan meliputi tanah, air, iklim, dan hidrologi
serta aspek lingkungan. Dalam pelaksanaannya reklamasi mencakup pekerjaan
penebangan hutan dan pembakaran, konstruksi jalan, dan pembuatan saluran
drainase (Widjaja-Adhi, 1995).
Sistem reklamasi lahan rawa di Indonesia telah dilakukan sejak proyek
P4S yang dimulai awal Pelita I di lahan rawa pasang surut pantai timur Sumatera,
Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan serta Kalimantan Barat. Menurut
Subagjo dan Widjaja-Adhi (1998) selama PJP I telah ditetapkan lima sistem
jaringan tata air makro, yaitu: 1) sistem garpu, 2) tangga, 3) sisir tunggal, 4) sisir
berpasangan, dan 5) kombinasi garpu dengan sisir.

119
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam

Selain kelima sistem tersebut UGM telah mengkombinasikan dengan


pembuatan kolam pada ujung saluran primer atau sekunder (Gambar 4.1) yang
disebut dengan sistem kolam. Keuntungan dari sistem kolam ini adalah asam-
asam atau racun dapat diendapkan dalam kolam tersebut tidak masuk ke dalam
lahan pertanian dan memelihara aliran sewaktu air surut. Sistem kolam ini telah
dilaksanakan di Pulau Petak dan Barabai Kalimantan Selatan.

Kolam

Kolam

Tersier

Saluran
sekunder

Sungai

Saluran primer

Sungai

Gambar 4.1. Jaringan tata air pada sistem kolam

Sistem jaringan tata air tersebut sebenarnya tidak berlaku umum tetapi
tergantung kepada tipologi lahan dan tipe luapan di daerah itu. Sistem jaringan
tata air selain dibedakan menurut bentuknya dapat pula dibedakan menurut
hubungan tata air, yaitu sistem terbuka dan sistem tertutup. Sistem reklamasi
jaringan tertutup adalah cara pembukaan lahan yang jaringan tata airnya tidak
berhubungan satu sama lain (zonasi). Sistem ini seperti yang dilakukan oleh
petani Suku Banjar di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah dan Suku
Bugis di Pulau Sumatera. Pada sistem tertutup ini pembuatan saluran atau handil
sangat hati-hati dengan memperhatikan karakteristik tanah dan tipe luapan air
sungai. Handil itu dibuat tegak lurus sungai ke arah hutan mengikuti garis kontur
sehingga handil itu tidak selalu lurus dan panjangnya tergantung air pasang
masuk (4-10 km). Cara reklamasi seperti ini umumnya berhasil dalam

120
Suriadikarta dan Setyorini

meningkatkan produktivitas lahan rawa, terutama padi, palawija, dan tanaman


buah-buahan.
Berdasarkan hasil penelitian Badan Litbang Pertanian bahwa lahan pasang
surut memiliki prospek yang besar untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian
terutama dalam kaitannya dalam mendukung program ketahanan pangan dan
agribisnis melalui peningkatan dan diversifikasi produksi, peningkatan
pendapatan dan lapangan kerja. Namun untuk mendukung kearah
pengembangan pertanian yang berhasil dan berkesinambungan dilahan pasang
surut ada dua hal penting yang harus diperhatikan dalam reklamasi lahan, yaitu
pemanfaatan jaringan tata air berikut salurannya dan tata ruang untuk penataan
lahannya (Widjaja-Adhi dan Alihamsyah, 1998). Selanjutnya dalam pembuatan
saluran baik primer, sekunder dan tersier perlu memperhatikan tata letak, dimensi
dan cara pembuatan salurannya disesuaikan dengan fisiografi dan kondisi lahan
sehingga menunjang kelestarian dan produktivitas lahan.
Pembuatan saluran harus mengikuti atau memperhatikan garis kontur dan
tipologi lahannya. Saluran dengan mempertimbangkan garis kontur maka aliran
air dapat mengalir dengan baik, tinggi air di saluran rata. Hal ini akan sangat
berpengaruh dalam proses pencucian bahan-bahan beracun dari lahan ke
saluran dan seterusnya ke sungai berjalan lancar. Dimensi dan kedalaman
saluran perlu dipertimbangkan sehubungan dengan keadaan hidrologi di daerah
tersebut, sebab penurunan muka air yang drastis akan mengakibatkan
teroksidasi lapisan pirit, besi, Al, dan sulfat akan muncul ke permukaan dan
dengan adanya air hujan akan meningkatkan kemasaman (pH) air di saluran.
Selain itu penurunan permukaan air yang drastis juga akan menyebabkan
gambut kering tak balik (irrevisible drying) sehingga akan mempercepat
penurunan permukaan gambut (subsidence) dan atau cepat hilangnya lapisan
gambut. Pembuatan tata ruang sebelum saluran dibuat perlu memperhatikan dan
mempertimbangkan pola penggunaan lahan hipotetik yang dikemukakan oleh
Widjaja-Adhi, (1992).
Menurut Harjono, (1995) sedikitnya terbuka lima peluang fungsi dari
jaringan pengairan rawa, yaitu 1) berfungsi sebagai saluran drainase, 2) sebagai
pemasukan air, 3) sebagai alat trasportasi, 4) berfungsi sebagai konservasi
sumberdaya air rawa, dan 5) sebagai pendukung bagi proses reklamasi. Untuk
mencapai jaringan tata air ini hendaknya berpegang kepada pola penggunaan
lahan dan pola pemanfaatan sekaligus diharapkan dapat berfungsi sebagai
saluran drainase, pemasok air, mendukung proses reklamasi, dan konservasi
sumber air.

121
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam

Fungsi jaringan tata air sebagai alat transportasi perlu dipertimbangkan


pada tahapan mana ini dapat diberlakukan. Pada tahap saluran primer dan
sekunder mungkin fungsi ini dapat diberlakukan, tetapi untuk tersier sebaiknya
tidak dianjurkan. Pembuatan pintu air pada saluran primer atau sekunder seperti
dilahan ex-PLG sangat tidak efisien karena mengganggu fungsi transportasi
masyarakat sekitar sehingga akhirnya dijebol, pengaturan pintu air sebaiknya
mulai dilakukan di tingkat tersier ke bawah.
Dalam rancangan infrastruktur hidrologi, pengelolaan air di lahan pasang
surut dibedakan ke dalam : (1) Pengelolaan air makro, (2) pengelolaan air mikro,
dan (3) pengelolaan air tingkat tersier yaitu mengkaitkan antara pengelolaan air
makro dan pengelolaan air mikro (Widjaja-Adhi dan Alihamsyah, 1998).
Pengelolaan air makro yaitu penguasaan air di tingkat kawasan reklamasi yang
bertujuan mengelola berfungsinya jaringan drainase/irigasi (navigasi-sekunder-
tersier), kawasan retarder dan sepadan sungai/laut dan saluran intersepsi bila
diperlukan serta kawasan tampung hujan.
Kawasan retarder dimaksudkan untuk mengurangi terjadinya banjir di
daerah hulu sungai termasuk mengurangi kedalaman dan lama genangan air
dilahan lebak dangkal dan tengahan. Dalam hal ini, seyogyanya lebak dalam
dapat dimanfaatkan sebagai kawasan retarder dengan jalan diperdalam dan
alirannya diarahkan ke sungai di bagian hilirnya. Saluran itersepsi dimaksudkan
untuk menampung aliran permukaan dan sebagai tempat memproses air yang
mengandung bahan beracun agar tidak memasuki areal pertanian. Saluran ini
dibuat di daerah perbatasan lahan kering dan rawa menyerupai waduk panjang
serta diarahkan untuk menyalurkan kelebihan air ke sungai di bagian hilirnya.
Kawasan tampung hujan dimaksudkan sebagai daerah sumber air untuk irigasi.
Kawasan tampung hujan sebaiknya dialokasikan pada lahan gambut di bagian
hulu sungai karena gambut memiliki daya menahan dan melepas air tinggi, yaitu
antara 300-800% bobotnya.

4.2.2. Tata air mikro

Sistem pengelolaan tata air mikro berfungsi untuk : (1) mencukupi


kebutuhan evapotranspirasi tanaman, (2) mencegah pertumbuhan tanaman liar
pada padi sawah, (3) mencegah terjadinya bahan beracun bagi tanaman melalui
penggelontoran dan pencucian, (4) mengatur tinggi muka air, dan (5) menjaga
kualitas air di petakan lahan dan di saluran. Untuk lebih memperlancar keluar
masuknya air pada petakan lahan yang sekaligus memperlancar pencucian

122
Suriadikarta dan Setyorini

bahan racun, Widjaja-Adhi (1995) menganjurkan pembuatan saluran cacing pada


petakan lahan dan di sekeliling petakan lahan. Oleh karena itu, sistem
pengelolaan tata air mikro mencakup pengaturan dan pengelolaan tata air di
saluran kuarter dan petakan lahan yang sesuai dengan kebutuhan tanaman dan
sekaligus memperlancar pencucian bahan beracun. Hasil penelitian Suriadikarta
et al. (1999), saluran kuarter biasanya dibuat di setiap batas pemilikan lahan,
sedangkan di dalam petakan lahan dibuat saluran cacing dengan interval 3-12 m
dan di sekeliling petakan lahan tergantung pada kondisi lahannya. Semakin tinggi
tingkat keracunan, semakin rapat pula jarak antar saluran cacing tersebut. Hasil
penelitian Subagyono et al. (1999) pencucian bahan beracun dari petakan lahan
dilakukan dengan memasukkan air ke petakan lahan sebelum tanah dibajak,
kemudian air tersebut dikeluarkan setelah pengolahan tanah selesai. Usaha
pencucian ini akan berjalan baik apabila terdapat cukup air segar, baik dari hujan
maupun dari air pasang. Oleh karena itu, air di petakan lahan perlu diganti setiap
dua minggu pada saat pasang besar.
Pengelolaan air tingkat tersier ditujukan untuk mengatur saluran tersier
agar berfungsi: (1) memasukkan air irigasi, (2) mengatur tinggi muka air di
saluran dan secara tidak langsung di petakan lahan, dan (3) mengatur kualitas air
dengan membuang bahan beracun yang terbentuk di petakan lahan serta
mencegah masuknya air asin ke petakan lahan. Sistem pengelolaan air di tingkat
tersier dan mikro tergantung kepada tipe luapan air pasang dan keracunan di
petakan lahan. Penataan air di lahan petani dapat dilakukan dengan sistem aliran
satu arah (one-way flow system) dan sistem aliran yang sifatnya bolak-balik (two-
way flow system). Hal yang perlu mendapat perhatian khusus dalam sistem tata
air adalah sinkronisasi antara tata air makro dan mikro (Subagyono et al., 1999).
Misalnya, penerapan aliran sistem satu arah untuk pencucian hanya akan
berjalan efektif jika kondisi saluran tersier, sekunder, dan primer semuanya dalam
kondisi baik dan arah aliran tidak bolak-balik.
Pada sistem aliran satu arah dirancang saluran irigasi dan saluran drainase
secara terpisah. Pintu klep (flapgate) dipasang berlawanan arah. Pada saluran
irigasi pintu klep membuka ke arah dalam sedang pada saluran drainase pintu
klep membuka ke arah luar, sehingga pencucian lahan dapat berlangsung
dengan efektif. Pencucian lahan dimaksudkan agar unsur yang bersifat racun
bagi tanaman seperti Fe+2, sulfat, dan Al+3 keluar dari lahan usaha dan pH tanah
menjadi lebih baik.
Tata air pada lahan yang bertipe luapan A dan B perlu diatur dalam sistem
aliran satu arah (one way flow system), sedangkan untuk lahan bertipe luapan C

123
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam

dan D, saluran air perlu ditabat/disekat dengan stoplog untuk menjaga


permukaan air tanah agar sesuai dengan kebutuhan tanaman serta
memungkinkan air hujan tertampung dalam saluran tersebut. Untuk keperluan
pengaturan tata air ini perlu dibangun pintu-pintu yang sesuai sebagai pengendali
air. Pintu air tersebut dapat berupa stoplog maupun pintu ayun atau pintu engsel
(flapgate). Skesta kedua sistem tata air tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.2
dan 4.3. Hasil penelitian pengelolaan tata air mikro dengan cara tersebut pada
lahan sulfat masam dengan berbagai sistem penataan lahan di Karang Agung
Ulu oleh Djayusman et al. (1995) menunjukkan adanya peningkatan kualitas
lahan dan hasil tanaman dari musim ke musim.
Aliran satu arah dikombinasikan dengan pengolahan tanah memakai
traktor tangan dan pemberian dolomit pada lahan sulfat masam dalam satu unit
tata air saluran sekunder (50 ha) oleh Proyek ISDP (1997), dapat secara cepat
meningkatkan kualitas lahan dan memberikan hasil yang baik bagi tanaman padi
dan palawija. Nilai pH air tanah meningkat dari rata-rata 4,2 pada saat sebelum
pengolahan tanah menjadi rata-rata 4,8 pada saat penanaman dan 5,4 pada
pada saat panen (Widjaja-Adhi dan Alihamsyah, 1998). Sedangkan kandungan
Fe++ 160 ppm pada saat tanam dan 72 ppm pada saat panen. Hasil rata-rata
ubinan padi varietas Cisadane mencapai 6,26 t/ha GKP sedangkan varietas
Cisangarung dapat mencapai 9,44 t/ha GKP.

4.2.3. Penataan lahan

Penataan lahan perlu dilakukan untuk membuat lahan tersebut sesuai


dengan kebutuhan tanaman yang akan dikembangkan. Dalam melakukan
penataan lahan perlu diperhatikan hubungan antara tipologi lahan, tipe luapan,
dan pola pemanfaatannya seperti pada tipologi sulfat masam potensial dengan
tipe luapan A, maka penataan lahan sebaiknya untuk sawah (Tabel 4.1), karena
pirit akan lebih stabil tidak mengalami oksidasi dan tanaman padi dapat tumbuh
dengan baik. Tetapi bila tipe luapan B, maka pola pemanfaatan lahan dapat
dilaksanakan dengan sistem surjan. Sistem surjan dapat digunakan untuk
tanaman padi, palawija, sayuran atau buah-buahan. Untuk tanah sulfat masam
potensial pengolahan tanah dan pembuatan guludan sebaiknya dilakukan secara
hati-hati dan bertahap. Guludan dibuat secara bertahap dan tanahnya diambil
dari lapisan atas. Hal ini dilakukan untuk menghindari oksidasi pirit.

124
Suriadikarta dan Setyorini

Saluran primer/jalur A

Flapgate (inlet) Flapgate (outlet)

Saluran sekunder pengeluaran


Saluran sekunder pemasukan

Flapgate (inlet)

Saluran tersier pemasukan

A A
Saluran kuarter
pengeluaran Flapgate (outlet)

Saluran tersier pengeluaran

Gambar 4.2. Jaringan tata air sistem saluran satu arah

Saluran primer/jalur A

Stoplog Stoplog
Saluran sekunder pengeluaran

Saluran sekunder pengeluaran


Stoplog Saluran keliling

Saluran tersier pemasukan

Saluran dangkal intensif


Saluran
cacing
Saluran kuarter pengeluaran

Stoplog

Saluran tersier pengeluaran

Gambar 4.3. Jaringan tata air sistem tabat untuk tipe luapan C dan D

125
126

Tabel 4.1. Penataan dan pola pemanfaatan lahan yang dianjurkan pada setiap tipologi lahan dan tipe luapan air
di pasang surut
Tipologi lahan Tipe luapan air
Kode Tipologi A B C D

Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam


SMP-1 Aluvial bersulfida dangkal Sawah Sawah Sawah -
SMP-2 Aluvial bersulfida dalam Sawah Sawah/surjan Sawah/surjan Sawah/tegalan/kebun

SMP-3/A Aluvial bersulfida sangat dalam - Sawah/surjan Sawah/tegalan/kebun Tegalan/kebun


SMA-1 Aluvial bersulfat 1 - Sawah/surjan Sawah/surjan Sawah/tegalan/kebun

SMA-2 Aluvial bersulfat 2 - Sawah/surjan Sawah/surjan Sawah/tegalan/kebun

SMA-3 Aluvial bersulfat 3 - - Sawah/kebun Tegalan/kebun


HSM Aluvial bersulfida dangkal bergambut - Sawah Sawah/tegalan Tegalan/kebun

G-1 Gambut dangkal - Sawah Sawah/tegalan Tegalan/kebun


G-2 Gambut sedang - - Kebun/kebun Kehutanan
G-3 Gambut dalam - - Kebun/kebun Konservasi
Sumber : Widjaja-Adhi (1995)
Suriadikarta dan Setyorini

Sistem surjan adalah salah satu contoh usaha penataan lahan untuk
melakukan diversifikasi tanaman dilahan rawa. Lebar guludan 3-5 m, dan tinggi
0,5-0,6 m, sedangkan tabukan dibuat dengan lebar 15 m. Setiap ha lahan dapat
dibuat 6-10 guludan, dan 5-9 tabukan. Tabukan surjan ditanami padi sawah,
sedangkan guludan ditanami dengan palawija, sayuran, dan tanaman industri
(kencur, kopi, dan kelapa). Dari Tabel 4.1 ditunjukkan bagaimana pola
pemanfaatan lahan dalam kaitannya tipologi lahan dan tipe luapan. Sistem surjan
baik dilakukan pada tipe luapan B dan C sedangkan tipe luapan D lebih baik
untuk sistem pertanian lahan kering. Untuk tanah gambut tekstur lapisan tanah
dibawahnya sangat menentukan dalam pola pemanfaatan lahannya.

4.3. SIFAT DAN KARAKTERISTIK TANAH SULFAT MASAM

Tanah sulfat masam merupakan tanah liat rawa dan seringkali memiliki
lapisan gambut tipis < 20 cm; memiliki lapisan pirit yang belum teroksidasi (bahan
sulfidik) atau sudah teroksidasi (horison sulfurik) pada kedalaman 0-50 cm.
Tanah sulfat masam terbagi menjadi sulfat masam potensial dan sulfat masam
aktual. Sulfat masam potensial dapat berubah menjadi sulfat masam aktual bila
tanah mengalami drainase yang berlebihan akibat reklamasi. Pirit yang semula
stabil dan tidak berbahaya pada kondisi anaerob atau tergenang, akan
teroksidasi bila kondisi berubah menjadi aerob. Menurunnya permukaan air tanah
akibat pembuatan saluran drainase primer-sekunder-tersier menyebabkan
oksigen masuk ke dalam pori tanah dan akan mengoksidasi pirit membentuk
asam sulfat, ion hidrogen dan Fe3+. Apabila oksidasi pirit berlangsung cepat maka
akan terbentuk mineral jarosit berupa bercak-bercak karatan berwarna kuning
jerami (Dent, 1986; Langenhoff, 1986).
Pada kondisi tergenang, kemasaman tanah dapat dikurangi namun disisi
lain muncul masalah keracunan besi fero (Fe2+), Al, Mn, Hidrogen sulfida, CO2,
dan asam organik. Masalah fisik yang sering dijumpai adalah terhambatnya
perkembangan akar tanaman pada horison sulfurik karena tanaman kekurangan
air, pematangan tanah terhambat serta saluran drainase tertutup oleh deposit
oksida besi. Pada kondisi seperti ini, pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme
tanah terhambat. Jenis tanaman yang dapat tumbuh dan berkembang akan
sangat terbatas dengan hasil rendah.

127
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam

4.3.1. Proses kimia pada tanah sulfat masam

Proses kimia pada tanah sulfat masam dapat dikelompokkan menjadi dua
bagian penting. Pertama, proses kimia yang terjadi dalam keadaan reduktif,
antara lain pembentukan pirit, reduksi besi feri menjadi fero, serta reduksi
senyawa beracun. Kedua, proses kimia pada kondisi oksidatif, yang terpenting
adalah oksidasi pirit.

a. Proses reduksi

Pada kondisi aerob, sumber elektron utama bagi aktivitas mikroorganisme


pendekomposisi bahan organik adalah oksigen. Bila keadaan berubah menjadi
anaerob, oksigen di dalam tanah secara perlahan menghilang. Namun demikian,
dekomposisi bahan organik oleh bakteri anaerob tetap berlangsung dengan
memanfaatkan elektron yang dilepaskan dalam proses reduksi nitrat, oksida
mangan, oksida besi, dan sulfat. Dalam proses reduksi selalu memanfaatkan
proton, sehingga pH tanah akan meningkat.
Proses kimia penting yang terjadi adalah :
Pembentukan pirit. Pirit (FeS2) adalah mineral berkristal kubus dari
senyawa besi-sulfida yang terkumpul di dalam endapan marin kaya bahan
organik dan diluapi air mengandung senyawa sulfat (SO4-) dari air laut. Bentuk
kristal pirit sangat halus bervariasi dari < 1 mikron hingga 2-6 mikron. Dalam
endapan marin, kristal pirit bergabung membentuk agregat membulat yang
disebut framboid atau kristalaria berukuran > 2 mikron hingga > 100 mikron (van
Dam dan Pons, 1972). Kandungan pirit dalam endapan marin mencapai 5%,
tetapi umumnya 1-4% (van Breemen, 1972). Pembentukan pirit memerlukan
persyaratan tertentu :
1. Lingkungan anaerob : Reduksi sulfat hanya dapat terjadi pada kondisi yang
sangat anaerob seperti pada sedimen tergenang dan kaya bahan organik.
Dekomposisi bahan organik oleh bakteri anaerob menghasilkan senyawa-
senyawa yang bersifat masam sehingga menyebabkan lingkungan
bertambah masam (Pons et al., 1982);
2. Sulfat terlarut : Sumber utama sulfat adalah air laut atau air payau pasang;

128
Suriadikarta dan Setyorini

3. Bahan organik : Oksidasi bahan organik menghasilkan energi yang sangat


diperlukan oleh bakteri pereduksi sulfat. Ion sulfat bertindak sebagai sumber
elektron bagi respirasi bakteri kemudian direduksi menjadi sulfida. Jumlah
sulfida yang terbentuk berkaitan langsung dengan jumlah bahan organik yang
dimetabolisme oleh bakteri;
4. Jumlah besi : Tanah dan sedimen mengandung besi oksida dan hidroksida
dalam jumlah yang banyak, yang akan tereduksi menjadi Fe2+, yang sangat
larut pada pH sekitar normal atau dijerap oleh senyawa organik yang larut;
5. Waktu : Waktu yang diperlukan untuk pembentukan pirit pada kondisi alami
masih belum banyak diketahui. Reaksi antara padatan FeS dan S berjalan
sangat lambat, memerlukan waktu bulanan bahkan tahunan untuk
menghasilkan sejumlah pirit. Namun demikian, pada kondisi yang sesuai,
Fe2+ larut dan ion polisulfida dapat membentuk pirit dalam beberapa hari
(Howarth, 1979 dalam Dent, 1986).
Reaksi keseluruhan pembentukan pirit dari besi oksida (Fe2O3) sebagai
sumber Fe digambarkan sebagai berikut :

Fe2O3 + SO42- + 8CH2O + ½ O2 → 2FeS2 + 8HCO3- + 4H2O


sulfat bahan organik PIRIT karbonat

Pada kondisi tergenang atau anaerob, selain terbentuk ion mono-karbonat,


di dalam tanah atau sedimen juga mengandung karbonat yang berasal dari koral
atau binatang laut. Karbonat akan menetralisir kemasaman tanah dan
mempertahankan pH sekitar netral.
Reduksi Fe3+menjadi Fe2+. Pada sebagian tanah masam, penggenangan
akan mengakibatkan pH meningkat hingga 6-7 setelah beberapa minggu. Pada
kondisi seperti ini, proses terpenting adalah reduksi Fe3+ menjadi Fe2+
(Ponnamperuma, 1972; Patrick dan Reddy, 1978). Pada tanah sulfat masam
muda, peningkatan pH dari 3,0-3,5 menjadi 5,5-6,0 berkaitan dengan tingkat
pelarutan Fe2+ yang dicapai. Pada tanah sulfat masam yang telah lanjut, pH
meningkat sangat lambat setelah penggenangan bahkan kadang-kadang tidak
mencapai 5,5-6,0. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh : (1) lambatnya proses
reduksi dan (2) tidak adanya bahan yang akan direduksi seperti misalnya oksida
besi feri. Pada kondisi pertama, maka setelah penggenangan tidak akan terjadi

129
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam

perubahan nilai Eh atau pH yang drastis. Pada kasus kedua, nilai Eh akan
menurun tanpa meningkatkan pH. Menurut Dent (1986), tanah sulfat masam
yang sudah tua mengandung besi dalam bentuk kristal goetit dan hematit yang
stabil sehingga sulit tereduksi. Sebaliknya tanah sulfat masam yang masih muda
kaya akan koloid besi, sehingga diperkirakan mempunyai kadar besi terlarut yang
tinggi setelah penggenangan. Reduksi oksida Fe3+ dengan bahan organik
sebagai donor elektron akan mengkonsumsi 4 proton :

Fe2O3 + ½CH2O + 4H+ → 2Fe2+ + ½ CO2 + 5/2H2O

Konsten et al., (1990) melaporkan bahwa tanah sulfat masam di


Kalimantan ada yang tidak menunjukkan peningkatan pH setelah penggenangan.
Hal ini disebabkan tanah tersebut mempunyai kandungan oksida Fe3+ yang
rendah dibandingkan kapasitas netralisasi oleh tanah.
Reduksi sulfat. Proses reduksi sulfat menjadi sulfida dapat terjadi pada
kondisi pH di atas 4 hingga 5, pada pH di bawah itu reaksi terjadi sangat lambat
dan bahkan tidak ada. Reduksi sulfat seringkali terjadi pada tanah sulfat masam
yang masih muda dan sulfat masam lanjut yang lama tergenang. Reduksi sulfat
ini sangat berkaitan dengan adanya hasil dekomposisi bahan organik yang masih
baru. H2S yang terbentuk sangat beracun bagi tanaman, pada konsentrasi 0,1 mg
l-1 H2S sudah dapat meracuni tanaman padi dalam larutan hara (Mitsui, 1964
dalam van Breemen, 1993). Reaksi yang terjadi digambarkan sebagai berikut :

SO42- + 2CH2O + 2H+ → H2S + 2CO2 + 2H2O

b. Proses oksidasi

Proses utama yang terjadi bila tanah sulfat masam teroksidasi adalah
oksidasi pirit. Reklamasi lahan rawa melalui pembuatan saluran drainase
mengakibatkan perubahan kimia di dalam tanah sulfat masam. Pirit yang semula
tidak berbahaya pada kondisi tergenang, secara perlahan berubah menjadi unsur
beracun dan merupakan sumber kemasaman tanah bila kondisi tanah berubah
menjadi oksidatif. Perbedaan yang besar antara pasang surutnya air laut serta
musim kemarau yang panjang menyebabkan pirit teroksidasi secara alami.

130
Suriadikarta dan Setyorini

Reaksi oksidasi pirit dengan oksigen pada tanah sulfat masam


berlangsung dalam beberapa tahapan, meliputi reaksi-reaksi kimia dan biologis
(Dent, 1986). Pada tahap awal, oksigen terlarut secara lambat bereaksi dengan
pirit menghasilkan 4 molekul H+ per molekul pirit yang dioksidasi :

FeS2 + 15/4O2 + 7/2H2O → Fe(OH)3 + 2SO42- + 4H+

Bila pH menurun hingga di bawah 4, maka feri (Fe3+) menjadi larut dan
akan mengoksidasi pirit dengan cepat. Reaksi oksidasi pirit oleh Fe3+ secara
lengkap menghasilkan 16 molekul H+ digambarkan sebagai berikut :

FeS2 + 14Fe3+ + 8H2O → 15Fe2+ + 2SO42- + 16H+

Pada nilai pH kurang dari 3,5 reaksi oksidasi kimia ini berjalan sangat
lambat dengan waktu paruh 1.000 hari. Kecepatan oksidasi pirit oleh Fe3+ sangat
dipengaruhi oleh pH, karena Fe3+ hanya larut pada nilai pH di bawah 4 dan
Thiobacillus ferrooxidans tidak tumbuh pada pH yang tinggi. Besi oksida dan pirit
di dalam tanah mungkin secara fisik berada pada tempat yang berdekatan,
namun ada tidaknya reaksi di antara mereka sangat dipengaruhi oleh kelarutan
Fe3+.
Kecepatan oksidasi pirit cenderung bertambah dengan menurunnya pH
tanah. Pada pH di bawah 4, proses oksidasi terhambat oleh suplai O2. Kecepatan
penurunan pH akibat oksidasi pirit tergantung pada : (1) jumlah pirit; (2)
kecepatan oksidasi; (3) kecepatan perubahan bahan hasil oksidasi; dan (4)
kapasitas netralisasi. Kalsium karbonat dan basa dapat ditukar merupakan bahan
penetralisir kemasaman dimana reaksinya dengan asam sulfat berjalan cepat
(van Breemen, 1993).
Di dalam tanah, berbagai tingkatan oksidasi yang berlangsung tidak terjadi
pada titik yang sama. Pengujian secara mikro-morfologi menunjukkan bahwa ada
perbedaan/batas yang nyata antara lokasi beradanya pirit dan bahan hasil
oksidasinya seperti jarosit, besi oksida, dan gipsum. Pirit biasanya terdapat di
dalam inti dari ped, sedangkan jarosit, besi oksida, dan gipsum terdapat pada
permukaan ped dan ruang pori. van Breemen (1976) menduga bahwa oksigen
bereaksi dengan Fe2+ terlarut membentuk Fe3+ terlebih dahulu sebelum bertemu
dengan pirit.

131
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam

c. Hasil oksidasi pirit

Oksidasi pirit oleh Fe3+ menghasilkan ion (H+) yang kemudian sebagian
digunakan lagi untuk mengoksidasi Fe2+ menjadi Fe3+. Hasil akhir dari oksidasi
pirit adalah hidroksida Fe3+. Pada pH > 4, oksida dan hidroksida Fe3+ akan
mengendap, misalnya dalam bentuk goetit yang lambat laun akan berubah
menjadi hematit (Dent, 1986).
Jarosit [KFe3(SO4)2(OH)6] merupakan endapan berwarna kuning pucat
hasil oksidasi pirit pada kondisi yang sangat masam, yaitu pada Eh diatas 400
mV dan pH kurang dari 3,7. Reaksi pembentukannya sebagai berikut :

FeS2 + 15/4O2 + 5/2H2O + 1/3K+ → 1/3(KFe3(SO4)2(OH)6 + 4/3SO42- + 3H+

Pada pH di atas 4, jarosit tidak stabil dan mudah berubah menjadi goetit
dan terhidrolisa menjadi oksida besi. Hasil pengujian mikroskopi terhadap irisan
tipis dan difraksi sinar X menunjukkan bahwa bercak kuning yang merupakan
karakteristik tanah sulfat masam didominasi oleh jarosit dan goetit. Bercak merah
dan coklat pada sulfat masam adalah goetit yang kadang-kadang berasosiasi
dengan jarosit dan hematit (van Breemen, 1976).
Sulfat merupakan salah satu hasil oksidasi pirit yang sangat sedikit dijerap
oleh profil tanah. Sebagian besar dari sulfur terlarut hilang bersama air drainase
atau berdifusi ke lapisan di bawahnya yang kemudian akan direduksi kembali
menjadi sulfida. Sebagian kecil tertahan dalam bentuk jarosit atau gipsum.
Gipsum terbentuk pada tanah sulfat masam melalui reaksi netralisasi
kemasaman oleh kalsium karbonat :

CaCO3 + 2H+ + SO42- + H2O → CaSO4 2H2O + CO2

Ion hidrogen (proton) yang dihasilkan dari oksidasi pirit menyebabkan


kondisi tanah yang sangat masam. pH yang sangat rendah menyebabkan
penghancuran kisi-kisi mineral liat sehingga silikat dan Al3+ terlepas. Di lapangan,
nilai pH tanah sulfat masam berkisar antara 3,2 hingga 3,8 (Dent, 1986).
Meningkatnya kandungan silika dan Al3+ terlarut mempengaruhi karakteristik
tanah dan air tanah. Aktivitas Al3+ terlarut berkorelasi secara langsung dengan

132
Suriadikarta dan Setyorini

pH, bila pH meningkat maka aluminium akan mengendap sebagai hidroksida atau
basic sulfate (van Breemen, 1973).
Beberapa unsur mikro seperti Ni dan Co ikut terakumulasi di dalam
sedimen karena mensubstitusi Fe dalam pirit atau unsur Cu, Zn, Pb yang
menggantikan sulfida (Deer et al., 1965 dalam van Breemen, 1993). Unsur-unsur
tersebut akan terlepas kembali saat pirit teroksidasi. Satawathananont (1986
dalam van Breemen, 1993) menunjukkan bahwa konsentrasi unsur Cu, Zn, Mo,
Cd, Pb, Ni, dan As terdapat dalam jumlah yang lebih tinggi pada tanah berpirit
yang aerasinya baik (pH 2,9) dibandingkan pada tanah sulfat masam yang sudah
berkembang (pH 3,9-4,5) dan tanah marin yang tidak masam (pH 4,9) di
Bangkok. Lebih lanjut ia mengamati tanah yang diinkubasi pada nilai potensial
redoks dan pH yang terkontrol dalam suasana masam yang oksidatif selama dua
minggu, logam berat yang larut air lebih tinggi pada tanah berpirit dibandingkan
tanah lanjut/tua.
Selain unsur mikro, masih banyak unsur lain seperti gas SO2, Fe2+, H2S,
Al3+ dan asam-asam organik yang dilepaskan sebagai akibat teroksidasinya pirit.
Keluarnya unsur-unsur beracun tersebut dari tanah melalui air drainase ke
perairan umum dapat menyebabkan polusi dan mengancam kehidupan biota
sungai/laut.

4.4. TEKNOLOGI AMELIORASI DAN PEMUPUKAN


PADA LAHAN SULFAT MASAM

Ameliorasi tanah sulfat masam untuk memperbaiki sifat kimia dan fisik
tanah harus dilakukan terlebih dahulu sebelum pemupukan dilaksanakan.
Pemupukan tanpa perbaikan tanah tidak akan efisien bahkan tidak respon.
Produktivitas tanah sulfat masam biasanya rendah, disebabkan oleh
tingginya kemasaman (pH rendah), kelarutan Fe, Al, dan Mn serta rendahnya
ketersediaan unsur hara terutama P dan K dan kejenuhan basa yang dapat
mengganggu pertumbuhan tanaman (Dent, 1986). Oleh karena itu tanah seperti
ini memerlukan bahan pembenah tanah (amelioran) untuk memperbaiki
kesuburan tanahnya sehingga produktivitas lahannya meningkat. Bahan
amelioran yang dapat digunakan adalah kaptan dan Rock Phosphate. Kaptan
digunakan untuk meningkatkan pH tanah sedangkan Rock Phosphate untuk
memenuhi kebutuhan hara P-nya.

133
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam

Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menetapkan


kebutuhan kapur menurut (Mc Lean, 1982, dalam Al-Jabri, 2002) adalah 1)
derajat pelapukan dari tipe bahan induk, 2) kandungan liat, 3) kandungan bahan
organik, 4) bentuk kemasaman, 5) pH tanah awal, 6) penggunaan metode
kebutuhan kapur, dan 7) waktu.
Penetapan kebutuhan kapur untuk tanah sulfat masam dapat dilakukan
melalui beberapa metode, yaitu : 1) kebutuhan kapur berdasarkan metode
inkubasi, 2) metode titrasi, dan 3) berdasarkan Al-dd. Penetapan kebutuhan
kapur dengan metode inkubasi dilakukan dengan mencampurkan kapur dan
tanah serta air dalam beberapa dosis kapur selama beberapa waktu tertentu,
biasanya dari satu minggu sampai beberapa minggu. Lalu kebutuhan kapur
ditentukan pada nilai pH tertentu. Menurut Mc. Lean (1982 dalam Al-Jabri 2002),
kelemahan metode ini adalah terjadinya akumulasi garam (Ca, Mg, dan K)
sehubungan dengan aktivitas mikroba sehingga takaran kapurnya lebih tinggi.
Penetapan kebutuhan kapur berdasarkan metode titrasi dengan NaOH
0,05 N untuk mencapai pH tertentu lebih rendah jika dibandingkan dengan
metode inkubasi dan Al-dd KCl 1 N, tetapi cara ini lambat tidak sesuai untuk
analisis rutin (Al-Jabri, 2002). Walaupun kebutuhan kapur dengan metode titrasi
lebih rendah, tetapi sebagian besar dari kemasaman tanah tidak dinetralisir oleh
basa. Hal ini disebabkan reaksi antara kation-kation asam yang dapat dititrasi
berlangsung sangat lambat.
Penetapan kebutuhan kapur berdasarkan Al-dd KCl 1,0 N banyak
dipertanyakan, sebab tingkat keracunan Al bervariasi dengan tanaman dan
tanah. Karena tingkat keracunan untuk suatu jenis tanaman mempunyai variasi
lebar dalam tanah yang berbeda maka Al-dd tidak digunakan sebagai parameter
yang menentukan keracunan tetapi persentase kejenuhannya.
Hasil penelitian di rumah kaca dan lapangan ternyata pemberian dosis
kapur berdasarkan titrasi dan inkubasi dapat diaplikasikan pada tanah sulfat
masam potensial bergambut di Lamunti ex. PLG Kalimantan Tengah
(Suriadikarta dan Sjamsidi, 2001), tanah sulfat masam umumnya ketersediaan
hara P dan K rendah namun bila bahan organiknya tinggi maka P dan K biasanya
tinggi pula (Tabel 4.2).
Pada tanah sulfat masam aktual kadar P dan K dalam tanah sangat rendah
sehingga pemupukan P dan K sangat diperlukan. Pemupukan P diberikan 100 kg
TSP/ha atau 125 kg SP-36/ha yang setara dengan 200 kg RP/ha (Hartatik, 1999

134
Suriadikarta dan Setyorini

dan Supardi et al., 2000). Rock Phosphate yang baik mutunya untuk tanah ini
adalah Rock Phosphate Maroko Ground karena mempunyai kandungan Ca yang
tinggi yaitu 27,65% dan kadar P2O5 total 28,8% (Suriadikarta dan Sjamsidi, 2001).
Hasil penelitian di lahan rawa menunjukkan pupuk kalium cukup diberikan 100 kg
KCl/ha untuk tanaman padi sawah.

Tabel 4.2. Sifat-sifat kimia tanah sulfat masam di Indonesia


Sifat tanah
Lokasi
pH C P Bray K K2O P HCl Al-dd KB
Tipologi
orga- 25%
USDA Klasifikasi
nik
P2 O 5
% P2 O 5 mg/100 g % %
ppm
K.A I SMA Fluvaquentic 3,4 1,2 2,2 4 1 88,2 7
PI Typic Sulfaquept
PS-I Sumsel
KA I SMA bergambut Fluvaquentic 3,9 5,86 31,5 17 23 71,8 41
P II SMA 2 Sulfaquept
PS-14
Sumsel
Lamunti SMP bergambut Histic 4,1 7,53 45,7 12 68 70,0 16
Ex PLG SMP-G Sulfaquept
Kalteng
P. Petak Sulfat masam Typic Sulfaquept 3,5 0,89 2,2 - - 15,42 54,95
Kalteng aktual
Parit Ampera Sulfat masam Typic Sulfaquent - 4,99 10,2 80 24 1,35 68
Sungai Kakap potensial
Kalbar
Telang, Muba Sulfat masam Typic Sulfaquent 4,4 4,89 32,2 5 29 4,27 61
Sumsel potensial
Tabung Anen Sulfat masam Typic Sulfaquent 4,9 3,83 19,6 40 22 0,66 > 100
Kalsel potensial
Belawang Sulfat masam Histic Sulfaquept 3,4 22,93 17,2 26 104 16,83 5
Kalsel aktual

Tanah sulfat masam di Pulau Petak sangat respon terhadap pemupukan P


baik yang berasal dari TSP maupun dari Rock Phosphate. Hasil penelitian
Manuelpillei et al. (1986) di kebun percobaan Unitatas BARIF pemberian 135 kg
P2O5/ha, 1.000 kg kaptan/ha, 50 kg K2O/ha, dan 120 kg N/ha dapat meningkatkan
hasil tanaman padi menjadi 2,45 t/ha GKG terjadi delapan kali lipat peningkatan
bila dibandingkan dengan kontrol (tanpa P dan Kaptan). Pemberian 90 kg
P2O5/ha dan kaptan 500 kg/ha menghasilkan 2,21 t/ha GKG, hasil ini tidak
berbeda nyata dengan pemberian 135 kg P2O5/ha dan kaptan 1.000 kg/ha.
Pemberian Rock Phosphate pada tanah sulfat masam juga menunjukkan tidak

135
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam

ada perbedaan yang nyata dengan penggunaan TSP, hal ini disebabkan
terjadinya proses penyanggaan Rock Phophate dalam media yang sangat
masam, menghasilkan bentuk P yang meta-stabil seperti Dicalsium phophate
yang tersedia untuk tanaman.
Subiksa et al. (1999), menunjukkan pemberian dolomit 2 t/ha dan SP-36
200-300 kg/ha dapat menghasilkan rata-rata 4,0 t/ha GKG pada tanah sulfat
masam potensial di Kecamatan Telang, Kabupaten Muba, Sumatera Selatan.
Dalam penelitian pada tanah sulfat masam potensial di Tabung Anen Kalimantan
Selatan pemberian pupuk P + kalium + bahan organik dan kapur masing-masing
sebesar 43 kg P/ha, 52 kg K/ha, kapur 1 t/ha dan pupuk kandang 5 t/ha
memberikan hasil 3,24 t/ha GKG, pemberian kapur didasarkan kepada metode
inkubasi untuk mencapai pH 5 (Hartatik et al., 1999). Sedangkan pemupukan P
berdasarkan kepada kebutuhan P untuk mencapai 0,02 ppm P dalam larutan
tanah.
Di Belawang kebutuhan kapurnya lebih tinggi yaitu sebesar 4 t/ha, respon
pemupukan P dan K tertinggi dicapai pada perlakuan P optimum (100 kg P/ha), K
78 kg/ha, dan 4 t kapur/ha. Hasil itu dapat dipahami karena tanah sulfat masam
aktual di Belawang piritnya telah mengalami oksidasi sehingga Al-dd tinggi dan P
tersedia rendah. Hasil penelitian pemupukan P dan kapur pada tanah sulfat
masam pada beberapa lokasi penelitian disajikan pada Tabel 4.3. P-alam yang
telah dicoba untuk tanah sulfat masam dan memberikan hasil yang sama baiknya
adalah P-alam Tunisia, Ciamis, Christmas, dan Aljazair.

Tabel 4.3. Hasil tanaman padi dengan pemupukan dan pengapuran pada
beberapa tanah sulfat masam di Sumatera dan Kalimantan
Pemupukan Hasil
Lokasi Kaptan/dolomit Varietas
P2 O 5 K2 O GKG
…….. kg/ha …….. ............. t/ha .............
Tabung Anen, Kalsel 98,5 62,7 1 kaptan 3,24 IR-64
Belawang, Kalsel 229 104 4 kaptan 3,25 IR-64
Telang Muba, Sumsel 300 P2O5 60 K2O 2 dolomit 4,0 IR-64
Unitalas, Kalteng 135 P2O5 50 K2O 1 kaptan 2,4 -
Lamunti, Ex PLG 56 P2O5 60 K2O 2 kaptan 2,0 IR-64

Di Lamunti, ex PLG Kalimantan Tengah P-alam setara dengan 150 kg


P2O5/ha rata-rata dapat memberikan hasil 4,5 t/ha GKG, tetapi kalau diberikan 75

136
Suriadikarta dan Setyorini

kg P2O5/ha hasil yang diperoleh hanya 3,79 t/ha GKG, sedangkan di Palingkau
Kalimantan Tengah dengan dosis yang sama dapat memberikan masing-masing
3,7 t/ha dan 3,4 t/ha GKG (Supardi et al., 2000).
Pemupukan P-alam hingga 60% erapan maksimum P dalam tanah sulfat
masam Sumber Agung dan Sumber Rejo di Pulau Rimau, Sumatera Selatan
dapat meningkatkan kadar P tersedia, namun belum dapat menurunkan kadar
unsur beracun Fe2+, Fe-Al oksida, dan amorf serta sulfat dalam tanah. Unsur
beracun diatas ditemukan dalam jumlah yang lebih tinggi pada tanah sulfat
masam potensial yang baru teroksidasi dibandingkan tanah sulfat masam aktual
(Setyorini, 2001). Oleh karena itu diperlukan kehati-hatian dalam mereklamasi
atau melakukan pencucian/drainase di tanah sulfat masam potensial, apalagi jika
kandungan liat tinggi.
Lebih lanjut ia menyatakan bahwa erapan P maksimum pada tanah sulfat
masam aktual mencapai 2,000 µg P/g sedangkan pada sulfat masam potensial
sedikit lebih rendah yaitu sekitar 1,666 µg P/g. Nilai erapan maksimum yang
tinggi pada sulfat masam aktual dari pada sulfat masam potensial diakibatkan
perbedaan kadar dan jenis liat, kadar pirit, pH, Al dan Fe, serta bahan organik.
Ditinjau dari distribusi bentuk P-anorganik pada tanah sulfat masam diatas,
terlihat bahwa fraksi Fe-P dan Al-P mendominasi jumlah P anorganik pada tanah
sulfat masam potensial sedangkan fraksi Al-P dan Ca-P dominan pada sulfat
masam aktual. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan P pada tanah
sulfat masam antara lain pH, Alo, Feo, Ald, Fed, dan pirit. Tingginya kadar Fe dan
Al bentuk amorf pada tanah sulfat masam mempengaruhi distribusi fraksi P-
anorganik (Setyorini, 2001).
Dari hasil penelitian Konsten dan Sarwani (1990), di Pulau Petak
Kalimantan Selatan, diperoleh bahwa oksidasi pirit setelah reklamasi membuat
tanah di daerah tersebut sangat masam, dijenuhi oleh Al dan mempunyai pH
antara 3 dan 4. Adanya garam-garam besi bebas dan Al menyebabkan
keracunan tanaman dan defisiensi K dan Ca sangat sering terjadi. Kemasaman
tanah aktual dari tanah sulfat masam di Pulau Petak diduga dengan titrasi cepat
pada pH 5,5, jumlah Al-dd sampai 60 mmol/g. Kemasaman tanah aktual untuk
tanah pH kurang dari 4 adalah 20 mmol/100 g yang setara dengan keperluan
kapur 15 t/ha. Potensi kemasaman sangat tinggi dengan kandungan pirit
mencapai 8%. Selanjutnya Konsten dan Sarwani (1990) mengemukakan bahwa
untuk mengatasi kemasaman aktual yang tinggi dapat dilakukan dengan drainase

137
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam

dangkal, pencucian intensif tanah lapisan atas, yang dikombinasikan dengan


pemberian kapur dan pupuk kalium.

4.5. PENGGUNAAN VARIETAS YANG ADAPTIF

Tanaman yang dapat diusahakan dilahan sulfat masam antara lain


tanaman padi, palawija (jagung, kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau),
sayuran (cabe, kacang panjang, kubis, tomat, dan terong), buah-buahan
(rambutan, nanas, pisang, jeruk, nangka, dan semangka), dan tanaman industri
(kelapa dan lada) (Suwarno et al., 2000). Tanaman tersebut dapat tumbuh baik
bila tanahnya masih SMP dan sistem tata air mikro seperti saluran drianase dan
ameliorasi tanah dilakukan dengan baik sesuai kondisi lahannya. Namun
walaupun banyak tanaman pangan, buah-buahan, sayuran, dan tanaman industri
dapat tumbuh di lahan rawa sulfat masam faktor pemasaman perlu
dipertimbangkan.

4.5.1. Padi dan palawija

Penelitian adaptabilitas tanaman padi sawah telah lama dilakukan di lahan


pasang surut khususnya pada tanah sulfat masam dan pertumbuhan tanaman
padi lebih baik pada tanah sulfat masam dibandingkan pada tanah gambut
dalam. Penelitian dimulai sejak sebelum Proyek Swamps sampai berakhir pada
Proyek ISDP tahun 2000.
Menurut Suwarno et al. (2000) sampai saat ini telah dilepas secara resmi
11 varietas yang cocok di lahan pasang surut (Tabel 4.4). Dari 11 varietas di atas
nampaknya yang akan cocok untuk di lahan sulfat masam adalah Mahakam,
Kapuas, Lematang, Sei Lilin, Banyuasin, Lalan, Batang hari, dan Dendang.
Namun untuk tanah sulfat masam aktual dimana kadar Al dan Fe sangat tinggi
lebih baik ditanami varietas lokal yang telah adaptif seperti varietas Ceko,
Jalawara, Talang, Gelombang, dan Bayur. Mengingat kondisi kesuburan tanah
sulfat masam sangat beragam maka pemupukan perlu disesuaikan dengan hasil
analisis tanahnya.

138
Suriadikarta dan Setyorini

Tabel 4.4. Varietas padi lahan pasang surut yang telah dilepas dengan
beberapa sifat keunggulannya
Tahun Kadar Tekstur
Varietas Umur Sifat unggul
pelepasan ameliorasi nasi
hari %
IR-64 1980 140 27 Pera Tahan WC2, HDB, blast, Fe
Barito 1981 140 21 Pulen Tahan WC1 dan HDB
Mahakam 1983 135 26 Pera Tahan HDB, Fe, salinitas
Kapuas 1984 127 23 Pulen Tahan WC1, HDB, Fe
Musi 1988 135 24 Pera Tahan HDB, blast, salinitas
Lematang 1991 130 27 Pera Tahan WC1, Fe
Sei Lilin 1991 120 26 Pera Tahan WC1, Fe
Banyuasin 1997 120 22 Pulen Tahan HDB, blast, Fe, dan Al
Lalan 1997 125 27 Pera Tahan WC2, blast, salinitas
Batanghari 1999 125 26 Pera Tahan WC2, HDB, blast Fe
Dendang 199 125 20 Pulen Tahan WC2, HDB, blast, Fe, Al
Keterangan : WC 1, 2, 3 : wereng coklat biotipe 1, 2 dan 3
HDB : hewan daun bateri
Fe, Al : tahan keracuanan Fe dan Al
Sumber : Suwarno et al. (2000)

Tanaman palawija umumnya ditanam di lahan pekarangan sebagai kebun


campuran dengan tanaman buah-buahan dan sayuran. Varietas kedelai yang
cocok untuk tanah sulfat masam adalah varietas Wilis, Rinjani, Lokon, dan
Dempo. Varietas kedelai tersebut mampu memberikan hasil 1,5- 2,4 t/ha, kacang
tanah 3,5 t/ha, dan kacang hijau 1,2 t/ha biji kering, dan jagung yang sesuai
adalah varietas Arjuna dengan hasil 3-4 t/ha biji pipilan kering.
Hasil penelitian selama ini di lahan pasang surut khususnya tanah sulfat
masam potensial takaran pupuk yang dianjurkan disajikan pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5. Takaran pupuk yang dianjurkan untuk tanaman palawija


Pemupukan
Jenis tanaman Kaptan
N P2 O 5 K2 O
……………………. kg/ha ……………………. t/ha
Kedelai 22,5-45 45 50 2-3
Kacang tanah 22,5 45 50 1
Kacang hijau 22,5-45 45-90 50-60 2
Jagung 67,5 45-90 50 0,5-2
Sumber : Suwarno et al. (2000)

139
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam

4.5.2. Sayuran dan buah-buahan

Teknik penggunaan amelioran dan pengelolaan hara terpadu serta


penggunaan benih bermutu dengan waktu tanam yang tepat merupakan
persyaratan utama keberhasilan sayuran di lahan rawa (Satsiyati et al., 1999).
Namun keberadaan lokasi pengembangan yang terletak jauh dipedalaman dan
tidak didukung oleh infrastruktur dan sarana menjadi hambatan untuk pemasaran
hasil sayuran. Tanaman buah-buahan ditanam di pekarangan pada guludan
adalah pisang, nangka, dan rambutan atau jeruk. Tanam sayuran dan pisang
cepat memberikan kontribusi terhadap pendapatan petani terutama pada tahun
pertama mereka tinggal di tempat pemukiman baru. Hasil penelitian Proyek
Swamps di lahan pekarangan lahan sulfat masam di Karang Agung Ulu
(1987/1988), komoditas hortikultura mampu memberikan pendapatan lebih besar
dari pada tanaman pangan dengan rincian 65,4% untuk tanaman sayuran dan
34,6% untuk tanaman pangan (Subiksa dan Basa, 1990).
Jenis sayuran yang telah diteliti pada tanah sulfat masam adalah tomat
varietas Ratna dan Intan dengan potensi hasil masing-masing 18,54 t/ha dan
13,4 t/ha. Petsai yang sesuai hanya ada satu varietas yaitu No. 82-157 dengan
potensi hasil 15,6 t/ha. Selanjutnya bawang merah varietas Ampenan dan Bima
dapat beradaptasi cukup baik pada tanah sulfat masam dengan potensi hasil 6,4
dan 6,15 ton umbi kering/ha (Sutater et al., 1990). Dosis pemupukan tanaman
sayuran dan buah-buahan disajikan pada Tabel 4.6.

4.5.3. Tanaman industri/perkebunan

Hasil penelitian di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah ex PLG


tanaman industri/perkebunan yang dapat beradaptasi di lahan sulfat masam
adalah kopi, kelapa, dan lada.

a. Kelapa

Tanaman kelapa merupakan komoditas tanaman di lahan pasang surut,


sebagai sentra produksi kelapa sebaran tanaman kelapa di Provinsi Riau
diperkirakan > 60% (Mahmud, 1990). Jenis kelapa yang sesuai adalah kelapa
lokal, yang dikenal memiliki daya adaptasi dan toleransi terhadap lingkungan
tumbuh sangat luas. Tanaman kelapa dapat ditanam tumpangsari dengan
tanaman kopi, palawija, dan hortikultura. Namun ada juga yang ditanam secara

140
Suriadikarta dan Setyorini

monokultur di guludan seperti di Riau. Di Karang Agung Ulu dan Karang Agung
Tengah produksi kelapa rata-rata berkisar 7-18 butir/pohon/periode petik dan 10-
17 butir/pohon/periode petik. Pupuk yang diberikan untuk tanaman kelapa ma-
sing-masing diberikan per pohon, tergantung kepada umur tanaman (Tabel 4.7).
Pemberian pupuk N, P, dan K paling tinggi pada umur tanaman kelapa 3 tahun.

Tabel 4.6. Dosis pemupukan tanaman sayuran dan buah-buahan pada lahan
sulfat masam
Komoditas Pupuk Bahan
No. Kapur Keterangan
(Varietas) Urea TSP KCl NPK organik
………….. kg/ha ………….. …… t/ha ……
1. Tomat 200 200 100 50-75 5 1-1,5 NPK diberikan dengan
- Ratna (Pukan) cara disiramkan (larutan
- Intan =5%) pada areal akar
tanaman pada waktu
pembungaan
Produksi :
Ratna = 18,54 t/ha
Intan = 13,48 t/ha
2. Bawang merah 200 200 150 0 10-15 1,8 Produksi :
Bisma-Brebes Pukan Sulfat masam:
Ampenan sapi 5-6,5 t/ha umbi kering
Bima-Brebes Potensial (Ampenan)
12,6 t/ha umbi kering
3. Petsai 200 200 150 0 5 1-2 Produksi :
Asveg 82-156 8,7-15,6 t/ha
Sangihe 200 200 150 0 5-10 3 Residu MT-2 :
Talaud Gambut 21,4 t/ha crop segar
4. Kubis 200 200 100 50 5 1-1,5 Produksi : 112-14 t/ha
5. Cabe keriting 250 300 100 0 10 1-1,5 Produksi :
3,5-4,5 t/ha
Bila diberikan Gandasil B
2 cc/l (450 l larutan/ha)
pada umur 1 dan 2 bulan
setelah tanam produksi
menjadi 4-5 t/ha buah
segar
6. Pisang 600 400 160 0 25 500 Pemupukan dilakukan
Ambon dengan interval 6 bulan
Mas dengan takaran pupuk
Rajanangka yang sama, jumlah
Rajasere anakan dibiarkan 2-3
batang tiap rumpun
Produksi :
Ambon = 14,2 kg/tadan
Rajanangka = 12 kg/tadan
Rajasere = 7,8 kg/tadan
Mas = 8,3 kg/tadan
Sumber : 1. Seminar hasil penelitian usahatani di lahan pasang surut dan rawa, tahun 1989
2. Prosiding seminar. penelitian lahan pasang surut dan rawa Swamps II, tahun 1990

141
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam

Tabel 4.7. Informasi dosis pemupukan tanaman kelapa pada berbagai umur di
lahan sulfat masam
Komoditas
Urea TSP KCl Kieserit Kapur Keterangan
(Varietas)
……..… g/pohon ..…..… kg/pohon
Kelapa
Jenis Kelapa
Dalam Riau
Umur 1 bulan 100 100 100 50 1.500 BO = Memanfaatkan sisa-sisa
tumbuhan dan gambut. Dicampur
1 Tahun dalam lubang tanaman dengan
6 bulan ke-I 200 250 300 100 perbandingan Tanah : BO = 1 : 1
6 bulan Ke-II 200 250 300 100
Pengapuran pada tahun ke-4 bila
2 Tahun perlu diberikan 2-3 kg/pohon
6 bulan ke-I 350 0 450 150 bersama-sama pemberian pupuk
6 bulan ke-II 350 600 450 150
Produksi = 80-110 butir/ th/pohon
3 Tahun
6 bulan ke-I 500 0 600 200
6 bulan ke-II 500 800 600 200
Sumber : 1. Seminar Hasil Penelitian Usahatani di Lahan Pasang Surut dan Rawa,
tahun 1989
2. Prosiding Seminar Penelitian Lahan Pasang Surut dan Rawa Swamps II,
tahun 1990

b. Temu-temuan

Jenis tanaman temu-temuan di antaranya jahe, kencur, kunyit, temulawak,


lengkuas, dan bangle di lokasi pasang surut cukup baik pertumbuhannya dan
dapat dikembangkan secara monokultur dan tumpangsari dengan tanaman
palawija atau tanaman tahunan yang tidak terlalu tinggi tingkat naungannya
(Anonimous, 1993 dan Anonimous, 1999). Persyaratan tumbuh tanaman temu-
temuan menghendaki tanah yang gembur dan subur, pH tanah normal dan tidak
tahan genangan air, sehingga upaya perbaikan tanah meliputi pemberian kaptan,
pemupukan, pembuatan saluran cacing yang intensif, dan penambahan lapisan
gambut akan memberikan pertumbuhan dan produksi rimpang yang optimum.

Temu-temuan diharapkan dapat menunjang sistem usahatani di lahan


pasang surut yang mempunyai fungsi ganda dapat dimanfaatkan sebagai bumbu

142
Suriadikarta dan Setyorini

dan dapat digunakan sebagai obat alternatif baik untuk manusia maupun ternak,
di antaranya kunyit, temulawak, jahe, kencur (obat reumatik pegel linu),
lempuyang (pegel linu) temu ireng dan bangle (obat cacing), temu giring (obat
panas dan batuk). Sebagai contoh untuk ternak, jahe dapat mencegah gejala
tetelo (ND), dan temulawak dapat menekan berkembangnya bakteri di
kotorannya, sehingga bau limbah dapat ditekan.
Produksi temu-temuan cukup bagus, jahe merah di Karang Agung Ulu
(Anonimous, 1993) dengan pemupukan 45 kg N + 36 kg P2O5 + 50 kg K2O + 200
kg kapur + 1,5 ton gambut/hektar memberikan hasil 15,5-23,6 t/ha. Sedangkan
untuk jahe putih kecil atau emprit produksi 4,9-8,5 t/ha dan jahe putih besar
varietas gajah produksi 4,5-5,9 t/ha. Demikian juga dari Kalimantan Tengah
produksi jahe putih kecil cukup baik 0,7-1,0 kg/rumpun. Produksi tanaman kencur
juga cukup baik di Karang Agung Ulu dapat mencapai 11,2-20,1 t/ha, dan dari uji
produksi di Kalimantan Tengah juga menunjukkan produksi yang baik yaitu
mencapai 200-300 g/rumpun.

c. Lada

Tanaman lada varietas Petaling I, Petaling II, dan LDK dapat tumbuh dan
beradaptasi baik di lahan pasang surut potensial maupun sulfat masam aktual
Karang Agung Ulu. Pada lahan potensial pengapuran dengan takaran 2-3
kg/tanaman dapat mempengaruhi produksi buah lada sampai panen ke-3 (panen
pertama 28 bulan). Sedangkan pada lahan sulfat masam, pembuatan saluran
cacing di kanan dan di kiri tanaman memberikan hasil tertinggi yaitu 140, 300,
dan 230 gram per pohon masing-masing pada panen pertama, kedua, dan ketiga.
Saluran cacing ini ditujukan untuk menjamin drainase yang baik agar kelembaban
tanah tidak berlebihan bagi tanaman lada. Karena lada memerlukan bahan
organik tinggi maka pengembangan di lahan bergambut tipis lebih sesuai untuk
tanaman lada produktif, pemupukan tiga kali setahun dengan interval empat
bulan sekali dengan takaran 512 g urea + 880 g TSP + 600 g KCl + 60 g kiserit
per pohon memberikan hasil tertinggi yaitu 1,22 kg/pohon (Anonimous, 1993).
Tiang panjat seperti lamtoro gung (Leucaena sp.) dan waru-waruan dengan
pemangkasan empat kali setahun memberikan pertumbuhan yang baik terhadap
lada di Karang Agung Ulu ini. Pengembangan tanaman industri/perkebunan lahan
sulfat masam disajikan pada Tabel 4.8.

143
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam

Tabel 4.8. Pengembangan tanaman industri/perkebunan pada tipologi lahan


sulfat masam Sumatera Selatan dan Kalimantan
Tipologi lahan Komoditas Potensi produksi Lokasi
Sulfat masam Lada 1,22 kg/tan Karang Agung Ulu
Jahe merah 23,6 t/ha Karang Agung Ulu
Kelapa 4-10 butir/pohon Karang Agung Ulu (Sumsel)
7-11 butir/pohon Tarantang (Kalsel)
7 butir/pohon Parit Keladi (Kalbar)

Sulfat masam Kelapa 10 butir/pohon Lambur II (Jambi)


potensial Rasau Jaya (Kalbar)
Pinrang Luar (Kalbar)

Bergambut Kelapa 8-12 butir/pohon Pinang Luar (Kalbar)


6-15 butir/pohon Karang Agung Ulu (Sumsel)
7-11 butir/pohon Sakalagun (Kalsel)

Jahe kecil putih 0,7-11 kg/tan Lamunti (Kalteng)


Kencur 0,2-0,3 kg/tan Lamunti, Dadahup (Kalteng)
Kopi 0,4 kg/pohon Pinang Luar (Kalbar)
Sumber : Suriadikarta et al., 1999

4.5.4. Perikanan

Penelitian komponen perikanan dalam sistem usahatani di lahan pasang


surut dan rawa telah dilakukan sejak 1985/86 di Kertamulia Patratani mewakili
lahan rawa, Sungai Lempung di Lubuk Lampan mewakili rawa banjiran, lahan
pasang surut di tepi Sungai Musi Mariana, lahan potensial di Karang Agung Ulu,
lahan Salin di Delta Upang, dan lahan lebak di Kayu Agung Sumatera Selatan.
Sedangkan di wilayah Kalimantan yang mewakili lahan pasang surut dan sulfat
masam di daerah Parit Keladi dan Palingkau. Sistem usahatani perikanan
diartikan sebagai penelitian di lahan petani (Kasrino et al., 1989 dan Partohardjo,
1989) yang bertujuan untuk meningkatkan produksi, pendapatan, dan
pemanfaatan sumberdaya secara optimal guna meningkatkan kesejahteraan
petani. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui penerapan teknologi atau paket
teknologi usahatani yang sesuai dengan kondisi biofisik dan sosio-ekonomi yang
ada di daerah (Manwan dan Oka, 1988).
Penelitian perikanan menunjang program usahatani dibagi atas dua jenis
kegiatan yaitu (1) penelitian perikanan yang bersifat komponen dan (2) penelitian

144
Suriadikarta dan Setyorini

dalam usahatani terpadu. Dalam kegiatan komponen dititik beratkan kepada


perekayasaan tata air dan manajemen kolam, produksi benih ikan, kesesuaian
komoditas, dan sistem budidaya. Dalam usahatani terpadu, titik berat diberikan
kepada optimasi pemanfaatan lahan dengan berbagai komoditas, penelitian
komponen perikanan pada berbagai tipe lahan dan model usahatani yang telah
dilakukan disajikan dalam Tabel 4.9.

Tabel 4.9. Hasil penelitian komponen perikanan dan usahatani pada berbagai
tipologi lahan
Jenis kegiatan Komoditas Jenis lahan dan lokasi Produksi
ƒ Tata air dan manejemen Nila Lahan potensial 1,2 t/ha
kolam Karang Agung Ulu
ƒ Pembenihan Nila Lahan Rawa ½ t/ha/th
Patratani
ƒ Budidaya ikan di Karamba Toman Lahan lebak 5 kg/m3/3 bln
Koan (sungai)
Jelawat
Lampan
ƒ Balong-itik Nila Lahan potensial 0,9 t/ha/th
Karang Agung Ulu
ƒ Budidaya udang galah Udang galah Lahan salin 4,2 t/ha/th
Delta Upang
ƒ Mina-padi Jelawat Lahan lebak 1,4 t/ha/th
Lampan Kayu Agung
Sepat siam
Tawes
ƒ Ikan-padi-palawija Jelawat Lahan lebak 1,5 t/ha/th
Lampan Kayu Agung
Sepat siam
Tawes
ƒ Polikultur Patin dan Nila Lahan pasang surut 1.660 kg/ha/3 bln
Mariana
ƒ Budidaya monokultur Patin Lahan potensial 390 kg/ha/2 bln
Karang Agung Ulu
ƒ Budidaya ikan Gurame Lahan lebak 330 kg/ha/2 bln
Patratani
ƒ Polikultur Jelawat Lahan rawa 1,15 t/ha/3 bln
Patin Patratani
ƒ Longyam Nila merah Pasang surut 4,25 t/ha/bln
Parit Keladi
ƒ Reklamasi lahan Nila merah Lahan sulfat masam 5 t/ha/2 bln
Palingkau
3
ƒ Budidaya lele dalam tong Lele dumbo Sulfat masam 2,6 kg/0,2 m
Palingkau
Sumber : D.A. Suriadikarta et al. (1999)

145
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam

Penelitian ikan telah dilakukan di lahan potensial, lahan lebak, lahan


pasang surut mempunyai pH air yang relatif lebih baik 4-5 dibandingkan dengan
lahan sulfat masam dengan hasil produksi yang bervariasi. Jumlah kapur yang
ditambahkan pada lahan potensial 5 t/ha, sedangkan pada lahan sulfat masam
dosis pengapuran sekitar 10 t/ha. Kendala yang sering dijumpai pada kolam-
kolam yang dibangun di lahan pasang surut yang ber-pH air 4 adalah rembesan
air dari pematang dan masuknya air hujan yang jatuh dari tepi pematang ke
dalam kolam. Air tersebut menyebabkan pH air kolam turun mendadak sampai <
3 sehingga menyebabkan ikan mati.
Jenis ikan yang dipelihara antara lain ikan patin, tembakang, lele, gurame,
dan nila merah. Ikan tersebut dapat beradaptasi dengan perubahan pH air kolam
yang pada umumnya turun di waktu hujan. Untuk mengatasi penurunan pH di
waktu hujan, maka pembuatan kolam harus dilakukan sebagai berikut : 1) lapisan
atas tanah 0-10 cm dikupas kemudian hasil tanah kupasan tersebut ditempatkan
pada lokasi yang aman, 2) penggalian kolam dilakukan sampai kedalaman
tertentu biasanya antara 1-1,2 m, 3) setelah penggalian kolam selesai lalu
pembuatan galengan kolam disusun seperti tangga (2-3 tangga) lalu guludan itu
ditutup dengan tanah lapisan atas yang kita simpan itu, 4) pengapuran kolam
baru dilaksanakan dengan dosis 5-10 ton kaptan/ha.
Pada pemeliharaan yang dilakukan polikultur diharapkan ikan dapat
memanfaatkan organisme plankton seperti ikan nila sedangkan organisme yang
hidup di dasar kolam diharapkan dapat menjadi makanan ikan patin. Sedangkan
untuk monokultur, ikan diberi tambahan pakan pelet dan sisa makanan.

PENUTUP

Lahan sulfat masam adalah lahan yang mempunyai kendala pH yang


masam, mempunyai kandungan pirit, dan kandungan hara yang rendah, namun
sifat fisiknya cukup baik, oleh karena itu lahan tersebut berpotensi untuk
dikembangkan sebagai lahan pertanian. Tanaman yang dapat dikembangkan
pada lahan ini adalah tanaman padi sawah, palawija, sayuran, perkebunan, dan
tanaman kehutanan. Namun dalam pelaksanaan penggunaan lahan untuk
pertanian perlu mempertimbangkan dua hal yang penting, yaitu letak kedalaman
pirit dan tipe luapan air pasang surut. Kedua faktor itu merupakan penentu di
dalam menerapkan teknologi penataan lahan dan tata air, serta pemilihan

146
Suriadikarta dan Setyorini

komoditas yang dikembangkan. Selanjutnya dalam peningkatan produktivitas


lahan perlu didukung teknologi ameliorasi dan pemupukan sesuai dengan
komoditasnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, A., A. Bambang, K. Sudarman, dan D.A. Suriadikarta. 2000.


Perspektif pengembnagan lahan rawa untuk pertanian di Indonesia.
Prosiding Temu Pakar dan Lokakarya Nasional Diseminasi dan Optimasi
Pemanfaatan Sumber Daya Lahan Rawa, Jakarta, 23-26 November 1999.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Hal. 33-54.
Al-Jabri, M. 2002. Penentapan Kebutuhan Kapur dan Pupuk Fosfat untuk
Tanaman Padi (Oryza sativa L.) pada Tanah Sulfat Masam Aktual
Belawang, Kalimantan Selatan. Disertasi. Program Pascasarjana.
Universitas Padjadjaran Bandung.
Anonimous. 1993. Sewindu penelitian di lahan rawa. Kontribusi dan prospek
pengembangan proyek penelitian pertanian lahan pasang surut dan rawa
Swamps II. Puslitbangtanak Bogor.
Anonimous. 1999. Penelitian pengembangan sistem usahatani lahan rawa
pasang surut di kawasan PLG sejuta hektar. Kapet DAS Kakab Prop.
Kalimantan Tengah. Puslittanak, Balitbangtan, Deptan. Bogor.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2003. Panduan ekspose
Nasional Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut. Barito Kuala, 30-31 Juli
2003.
Bloomfield, C. and J.K. Coulter. 1973. Genesis and management of Acid sulfate
soils. Adv. Agron. 25:265-326. Academic Press. Inc. New York.
Boss, M.G. 1990. Research on Acid sulfate soils in humid tropics. Paper
workshop on acid sulfate soils in humid tropic. Bogor, 20-22 Nopember,
1990.
Brinkman, R. and V.P. Sing. 1982. Rapid reclamation of fish pond in acid sulfate
soils. In Proc. Int. Symp. Acid Sulfate Soil. 318-330. Bangkok.
Dent, D. 1986. Acid Sulphate Soils : a baseline for research and development.
International Institute for Land Reclamation and Improvement Publication
No.39 Wageningen, the Netherland.
Driessen, P.M. and M. Soepraptohardjo. 1974. Soil for Agriculture Expansion in
Indonesia. Bulletin 1. Soil Research Institute Bogor.

147
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam

Djayusman, M., S. Sastraatmaja, I.G. Ismail, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1995.


Penataan lahan dan pengelolaan air untuk meningkatkan produktivitas
tanah sulfat masam.
FAO-Unesco. 1974. Soil map of the word. Vol I. Paris. 1974.
Hartatik, W., I B. Aribawa, dan J.S. Adinigsih. 1999. Pengelolaan hara terpadu
pada lahan sulfat masam. Dalam Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya
Tanah, Iklim, dan Pupuk. Puslitbangtanak, Indonesia. 6-8 Desember 1995.
Bogor.
Jumberi, A., dan T. Alihamsyah. 2004. Reklamasi dan Agribisnis di lahan pasang
surut, Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Banjarbaru, Kalimantan
Selatan.
Konsten, C.J.M. and M. Sarwani. 1990. Actual and Potential acidity and related
chemical characterities of acid sulfate soil in Pulau Petak Kalimantan.
Workshop on acid sulfate soil in the Humid Tropics, 20-22 November,
Bogor Indonesia.
Kasryno, F., H. Nataatmadja, E. Pasandaran, E.A. Rasahan, dan C.G. Swensen.
1989. Development an integrated farming system research in Indonesia.
Workshop on FSC in Indonesia. Sukamandi. 13-16 August, 1989.
Mahmud, Z. 1990. Potensi dan keragaan usahatani kelapa pasang surut Propinsi
Riau. Laporan Bulanan Balitra, Menado. 072/VIII/90.
Manuelpillai, R.G., M. Damanik, and R.S. Simatupang. 1986. Site specipic soil
characteristies and the amelioration of a sulfic Tropaquepts (Acid sulfate) in
Central Kalimantan. Symposium Lowland Development in Indonesia.
Jakarta, 24-31 August 1986.
Menteri Pertanian. 1999. Sambutan Menteri Pertanian Republik Indonesia dalam
Pembukaan Temu Pakar dan lokakarya Nasional Desiminasi dan Optimasi
Pemanfaatan Sumber Daya Lahan Rawa, Jakarta, 23-26 Nopember 1999.
Nugroho, K., Alkasuma, Paidi, W. Wahdini, Abdulrachman, H. Subagjo, dan I
P.G. Widjaja-Adhi. 1992. Peta Areal Potensial untuk Pengembangan
Pertanian Lahan Pasang Surut, Rawa dan Pantai. Proyek Pendayagunaan
Sumberdaya Lahan, Puslittanak.
Partohardjono, S. 1989. Pemantapan Program Nasional Penelitian Sistem
Usahatani. Pulsitbangtan. Makalah Latihan Metodologi Penelitian
Usahatani. Sukamandi, 6-26 Pebruari. 1989.
Prasetyo, H., J.A.M. Jansen, dan Alkasuma. 1990. Landscape and soils genesis
in Pulau Petak, Kalimantan. Workshop on Acid sulfate soils in the Humid
Tropics. 20-22 Nopember, 1990. Bogor. Indonesia.

148
Suriadikarta dan Setyorini

Proyek ISDP. 1997. Gelar Teknologi Pertanian Lahan Pasang Surut Karang
Agung Ulu, Sumatera Selatan.
Richard, D.T. 1973. Sedimentary Ion Formation. Proc. Int. Symp. On Acid Sulfate
Soil. Vol-I. ILRI. Wegeningen. The Netherland.
Satsiyati, M. Januwati, dan H. Supriadi. 1999. Teknik Budidaya dan Potensi
Usahatani Sayuran Lahan Rawa di Kalimanatan Tengah. Proseding Temu
Pakar dan Lokakarya Nasional Desiminasi dan Optimasi Pemanfaatan
Sumberdaya Lahan Rawa, Jakarta 23-26 Nop. 1999. Hal 79-93.
Soil Survey Staff. 1998. Keys to Soil Taxonomy. Agency For International
Development, USDA.
Subagjo, H. dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1998. Peluang dan kendala penggunaan
lahan rawa untuk pengembangan pertanian di Indonesia : kasus Sumatera
Selatan dan Kalimantan Tengah. Makalah Utama Pertemuan Pembahasan
dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat, 10 Pebruari 1998
di Bogor.
Subagyono, K., I W. Suastika, dan E.E. Ananto. 1999 Penataan Lahan dan Tata
Air Mikro: Pengembangan SUP Lahan Pasang Surut, Sumatera Selatan.
Proyek Pengembangan Sistem Usaha Pertanian (SUP) Lahan Pasang
Surut Sumatera Selatan. Badan Penelitian dan Pengembangan,
Departemen Pertanian.
Subiksa, I G.M., D.A. Suriadikarta, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1990. Tata air dan
jarak kemalir terhadap kimia tanah dan hasil padi sawah pada tanah sulfic
Tropaquents. Pro.Sem.Penel. Lahan Pasang Surut dan Rawa. Swamps-II.
Palembang. 29-31 Oktober 1990.
Subiksa, I G.M. dan I. Basa. 1990. Kemajuan Penelitian Sistem Usahatani pada
Lahan Sulfat Masam di Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan. Risalah
Seminar Penlitian Proyek Swamps II. Bogor, 19-21 September 1990.
Suping, S., D.A. Suriadikarta, dan W. Hartatik. 2000. Prospek P alam sebagai
pengganti SP 36 di lahan sulfat masam. Dalam Prosiding Seminar Nasional
Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung 25-29
Juli 2000.
Suriadikarta, D.A. dan A. Abdurachman. 1999. Penelitian Teknologi Reklamasi
untuk Meningkatkan Produktivitas tanah Sulfat Masam Potensial. Pro.
Temu Pakar dan lokakarya Nasional Diseminasi Optimasi Pemanfaatan
Sumber Daya Lahan Rawa, Jakarta 23 – 26 Nopember 1999.
Suriadikarta, D.A., H. Supriadi, H. Malian, Z. Desmiyati, Suwarno, M. Januwati,
dan H.K. Anang. 1999. Kesiapan Teknologi dan Kendala Pengembangan
Usahatani Lahan Rawa. Dalam Prosiding Temu Pakar dan Lokakarya

149
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam

Nasional Desiminasi dan Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya Lahan


Rawa. Jakarta, 23-26 Nopember 1999.
Suriadikarta, D.A. dan G. Sjamsidi. 2001. Teknologi peningkatan produktivitas
tanah sulfat masam. Laporan akhir. Proyek Sumber Daya Lahan Tanah
dan Iklim.
Sutater, T., Satsiyati, A.H. Permadi, dan D. Haryadi. 1990. Daya hasil tanah di
lahan sulfat masam. Risalah hasil penelitian. Proyek Swamps-II. Bogor 19-
21 September 1989. Hal. 275-277.
Tim Peneliti Puslittanak. 1997. Survei Tanah Tinjau Mendalam Daerah Kerja A,
Propinsi Kalimantan Tengah. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat,
Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Van Breemen, N. 1976. Genesis and solution chemisty of acid sulfate soils in
Thailand. Center of Agricultural Publishing and Documentation.
Wegeningen, 1976. Ph.D. Dessertation.
Widjaja-Adhi, I P.G. 1986. Pengelolaan lahan rawa pasang surut dan lebak.
Jurnal Badan Litbang Pertanian V(1):1-9.
Widjaja-Adhi, I P.G., K. Nugroho, D.A. Suriadikarta, dan A.S. Karama. 1992.
Sumberdaya lahan rawa: Potensi, keterbatasan dan pemanfaatan. Risalah.
PERNAS Pengembangan Pertanian Di lahan Rawa Pasang Surut Dan
Lebak. Cisarua 3-4 Maret 1992 Badan Litbang Pertanian.
Widjaja-Adhi, I P.G. 1995a. Pengelolaan tanah dan air dalam pengembangan
sumberdaya lahan rawa untuk usahatani berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan. Makalah disampaikan pada Pelatihan Calon Pelatih untuk
Pengembangan Pertanian di Daerah Pasang Surut, 26-30 Juni 1995,
Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan.
Widjaja-Adhi, I P.G. 1995b. Potensi peluang dan kendala perluasan areal
pertanian lahan rawa di Kalimantan Tengah dan Irian Jaya. Sopeng, 7-8
Nopember 1995.
Widjaja-Adhi, I P.G. dan T. Alihamsyah. 1998. Pengembangan Lahan Pasang
Surut ; Potensi, Prospek, dan Kendala Serta Teknologi Pengelolaannya
Untuk Pertanian. Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan
Komda HITI, 16-17 Desember 1998.

150
TEKNOLOGI PENGELOLAAN
V HARA LAHAN GAMBUT
Wiwik Hartatik dan Didi Ardi Suriadikarta

151
Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut

5.1. PENDAHULUAN

Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan 11 juta ha yang tersebar di


Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya (Papua), hampir 1/3 luas lahan rawa
di Indonesia.
Tanah gambut merupakan tanah yang tersusun dari bahan organik, baik
dengan ketebalan lebih dari 45 cm ataupun terdapat secara berlapis bersama
tanah mineral pada ketebalan 80 cm serta mempunyai tebal lapisan bahan
organik lebih dari 50 cm. Tanah gambut atau tanah organik dikenal juga sebagai
Organosol atau Histosol.
Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, tanah gambut dipilah
menjadi: (a) gambut pantai atau pasang surut, yaitu gambut yang dominan
dipengaruhi oleh pasang surut air laut; (b) gambut pedalaman, yaitu gambut yang
tidak dipengaruhi oleh pasang surut air laut; (c) gambut peralihan (transisi), yaitu
gambut yang terdapat di antara gambut pantai dan gambut pedalaman.
Widjaja-Adhi (1988) menggolongkan tanah gambut berdasarkan ketebalan
bahan organik, tanah yang mempunyai ketebalan gambut kurang dari 50 cm
sebagai tanah bergambut. Selanjutnya tanah gambut dibedakan berdasar
kedalamannya, yaitu: gambut dangkal (50-100 cm), gambut sedang (100-200
cm), gambut dalam (200-300 cm) dan gambut sangat dalam (>300 cm). Tanah-
tanah lainnya yang tergolong ke dalam tanah yang banyak mengandung bahan
organik dan terletak di dataran aluvium ialah tanah gley humus yaitu tanah-tanah
yang memiliki ketebalan gambut kurang dari 30 cm dengan kadar karbon antara
15 hingga 30% (Koswara, 1973).
Tanah gambut tebal di Indonesia umumnya mengandung kurang dari 5%
fraksi inorganik dan sisanya fraksi organik yaitu lebih dari 95%. Fraksi organik
terdiri senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga 20%, sebagian besar terdiri
atas senyawa-senyawa non humat yang meliputi senyawa lignin, selulosa,
hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, sejumlah kecil protein, dan lain-lain.
Sedangkan senyawa-senyawa humat terdiri atas asam humat, himatomelanat
dan humin (Stevenson, 1994; Tan, 1993). Sebagian besar gambut tropika
mempunyai kemasaman yang relatif tinggi (pH 3-5) dan umumnya mengandung
kurang dari 5% fraksi inorganik (Driessen, 1978).
Polak (1975) mengemukakan bahwa gambut yang ada di Sumatera dan
Kalimantan umumnya didominasi oleh bahan kayu-kayuan. Oleh karena itu

152
Hartatik dan Suriadikarta

komposisi bahan organiknya sebagian besar adalah lignin yang umumnya


melebihi 60% dari bahan kering, sedangkan kandungan komponen lainnya
seperti selulosa, hemiselulosa, dan protein umumnya tidak melebihi 11%.
Gambut di Indonesia umumnya merupakan gambut ombrogen, terutama
gambut pedalaman yang terdiri atas gambut tebal dan miskin akan unsur hara,
digolongkan ke dalam tingkat oligotrofik (Radjagukguk, 1997). Sedangkan pada
gambut pantai pada umumnya tergolong ke dalam gambut eutrofik karena
adanya pengaruh air pasang surut. Air pasang surut mengandung bahan-bahan
halus dan bahan terlarut lain yang berasal dari daratan karena terbawa oleh
aliran air sungai pada waktu banjir atau berasal dari lautan karena naiknya air laut
pada saat terjadinya pasang (Andriesse, 1974; Leiwakabessy, 1978).

5.2. KARAKTERISTIK TANAH GAMBUT

5.2.1. Kesuburan tanah gambut

Kesuburan alamiah tanah gambut sangat beragam, tergantung pada


beberapa faktor: (a) ketebalan lapisan tanah gambut dan tingkat dekomposisi, (b)
komposisi tanaman penyusunan gambut, dan (c) tanah mineral yang berada
dibawah lapisan tanah gambut (Andriesse, 1974). Polak (1949) menggolongkan
gambut kedalam tiga tingkat kesuburan yang didasarkan pada kandungan P2O5,
CaO, K2O, dan kadar abunya, yaitu : (1) gambut eutrofik dengan tingkat
kesuburan yang tinggi, (2) gambut mesotrofik dengan tingkat kesuburan yang
sedang, dan (3) gambut oligotrofik dengan tingkat kesuburan yang rendah (Tabel
5.1).

Tabel 5.1. Kandungan hara pada tiga tingkat kesuburan gambut


Tingkat Kandungan
kesuburan P2 O 5 CaO K2O Abu
………………….. % bobot kering gambut …………………..
Eutrofik > 0,25 >4 > 0,1 > 10
Mesotrofik 0,20-0,25 1-4 0,1 5-10
Oligotrofik 0,05-0,20 0,25-1 0,03-0,1 2-5
Sumber : Polak, 1949.

153
Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut

Tingginya kandungan basa-basa gambut eutrofik disebabkan


pembentukannya dipengaruhi oleh air payau (campuran air laut dan air sungai).
Gambut mesotrofik pembentukannya dipengaruhi oleh air sungai, sedangkan
gambut oligotrofik pembentukannya dipengaruhi oleh air hujan (Leiwakabessy,
1978).
Tanah gambut di Indonesia sebagian besar bereaksi masam hingga
sangat masam dengan pH kurang dari 4,0. Hasil penelitian Halim (1987) dan
Salampak (1999) diperoleh nilai kisaran pH H2O (1:5) yaitu tanah gambut
pedalaman Berengbengkel Kalimantan Tengah sebesar 3,25 hingga 3,75.
Sedangkan pH H2O tanah gambut dari Air Sugihan Kiri Sumatera Selatan lebih
tinggi yaitu sebesar 4,1-4,3 (Hartatik et al., 2004).
Nilai kapasitas tukar kation tanah gambut berkisar antara 100 hingga 300
me/100 g tanah, hal ini disebabkan oleh muatan negatif bergantung pH yang
sebagian besar dari gugus karboksil dan gugus hidroksil dari fenol (Driessen dan
Soepraptohardjo, 1974). Menurut Andriesse (1974) dan Driessen (1978),
kapasitas tukar kation (KTK) gambut ombrogen di Indonesia sebagian besar
ditentukan oleh fraksi lignin dan senyawa humat (Tabel 5.2). Tanah gambut di
Indonesia, terutama tanah gambut ombrogen mempunyai komposisi vegetasi
penyusun gambut yang didominasi oleh tumbuhan yang berasal dari bahan kayu-
kayuan. Bahan kayu-kayuan umumnya banyak mengandung senyawa lignin yang
dalam proses degradasinya akan menghasilkan asam-asam fenolat (Stevenson,
1994).
Kandungan kation basa-basa (Ca, Mg, K, dan Na) umumnya terdapat
dalam jumlah yang rendah terutama pada gambut tebal. Semakin tebal gambut,
kandungan abu semakin rendah, kandungan Ca dan Mg menurun dan reaksi
tanah menjadi lebih masam (Driessen dan Soepraptohardjo, 1974). Kandungan
basa-basa yang rendah disertai dengan nilai KTK yang tinggi, sehingga
ketersediaan basa-basa menjadi rendah. Rendahnya kandungan basa-basa pada
gambut pedalaman berhubungan erat dengan proses pembentukannya yang
lebih banyak dipengaruhi oleh air hujan (Leiwakabessy, 1978). Kejenuhan basa
(KB) tanah gambut pedalaman pada umumnya sangat rendah. Tanah gambut
pedalaman Berengbengkel Kalimantan Tengah mempunyai nilai KB kurang dari
10% (Tim Institut Pertanian Bogor, 1974), demikian juga nilai KB tanah gambut
dataran rendah Riau (Suhardjo dan Widjaja-Adhi, 1976).

154
Hartatik dan Suriadikarta

Tabel 5.2. Komposisi gambut Ombrogen di Indonesia dan kapasitas tukar kation
(Driessen, 1978)
Komposisi Bobot KTK
% me/100g
Lignin 64-74 150-180
Senyawa humat 10-20 40-80
Selulosa 0,2-10 7
Hemiselulosa 1-2 1-2
Lainnya <5 -
Total gambut 100 190-270

Unsur fosfor (P) pada tanah gambut sebagian besar dijumpai dalam bentuk
P organik, yang selanjutnya akan mengalami proses mineralisasi menjadi P
inorganik oleh jasad mikro. Sebagian besar senyawa P organik berada dalam
bentuk ester ortofosfat, sebagian lagi dalam bentuk mono dan diester. Ester yang
telah diidentifikasi terdiri atas inositol fosfat, fosfolipid, asam nukleat, nukleotida,
dan gula fosfat, ketiga senyawa pertama bersifat dominan.
Fraksi P organik diperkirakan mengandung 2% P sebagai asam nukleat,
1% sebagai fosfolipid, 35% inositol fosfat, dan sisanya belum teridentifikasi. Di
dalam tanah, pelepasan inositol fosfat sangat lambat dibandingkan ester lainnya,
sehingga senyawa ini banyak terakumulasi, dan kadarnya di dalam tanah
menempati lebih dari setengah P organik atau kira-kira seperempat total P tanah.
Senyawa inositol heksafosfat dapat bereaksi dengan Fe atau Al membentuk
garam yang sukar larut, demikian juga terhadap Ca. Dalam keadaan demikian,
garam ini sukar didegradasi oleh mikroba (Stevenson, 1994).
Penelitian pada tanah Histosol yang tidak diusahakan, dan didrainase yang
mengandung bahan mineral yang tinggi, termasuk besi feri (Fe3+) dan Ca yang
tinggi akan menurunkan mobilitas dan degradasi fosfat. Dari total P fraksi
terbesar yaitu fraksi P organik tidak labil dan yang resisten. Asam fulvat
berasosiasi dengan P sebesar 12% dari total P. Fosfat residu berturut-turut
sebesar 13; 29; dan 8% dari total P tanah pada Histosol yang diusahakan, tidak
diusahakan, dan yang digenangi (Ivanoff et al., 1998).
Proses mineralisasi P organik oleh jasad mikro sangat dipengaruhi oleh
nisbah C dan P. Bila nisbah C dan P mencapai 300 akan terjadi immobilisasi P
oleh jasad mikro, P akan digunakan sebagai energi dan penyusun struktur sel

155
Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut

jasad mikro. Sedangkan bila nisbah C dan P mencapai 200, proses mineralisasi
akan berjalan lebih cepat daripada proses immobilisasi, sehingga P akan dapat
lebih tersedia bagi tanaman. Menurut Tisdale et al. (1985) proses mineralisasi
akan lebih konstan bila nisbah C, N, dan P mencapai nilai sebesar 100:10:1.
Dengan demikian proses mineralisasi yang terjadi pada tanah gambut
berlangsung lambat, karena nisbah C dan P sangat lebar (Miller dan Donahue,
1990).
Pada tanah gambut kandungan unsur mikro umumnya terdapat dalam
jumlah yang sangat rendah, dan dapat menyebabkan gejala defisiensi bagi
tanaman. Tanah yang berkadar bahan organik tinggi seperti gambut, sebagian
besar hara mikro, terutama Cu dikhelat cukup kuat oleh bahan organik sehingga
tidak tersedia bagi tanaman (Kanapathy, 1972). Grup karboksilat dan fenolat
pada tapak reaktif tanah gambut dapat membentuk senyawa kompleks dengan
unsur mikro, sehingga mengakibatkan unsur mikro menjadi tidak tersedia bagi
tanaman. Selain itu adanya kondisi reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro
direduksi menjadi bentuk logamnya yang tidak bermuatan. Menurut Driessen
(1978) kandungan unsur mikro tanah gambut pada lapisan bawah umumnya
lebih rendah dibandingkan lapisan atas. Namun dapat juga kandungan unsur
mikro pada lapisan bawah dapat lebih tinggi apabila terjadi pencampuran dengan
bahan tanah mineral yang ada di lapisan bawah gambut tersebut.

5.2.2. Sifat kimia tanah gambut

Tingkat kemasaman tanah gambut berhubungan erat dengan kandungan


asam-asam organiknya, yaitu asam humat dan asam fulvat (Andriesse, 1974;
Miller dan Donahue, 1990). Bahan organik yang telah mengalami dekomposisi
mempunyai gugus reaktif seperti karboksil (–COOH) dan fenol (C6H4OH) yang
mendominasi kompleks pertukaran dan dapat bersifat sebagai asam lemah
sehingga dapat terdisosiasi dan menghasilkan ion H dalam jumlah banyak.
Diperkirakan bahwa 85 sampai 95% muatan pada bahan organik disebabkan
karena kedua gugus karboksil dan fenol tersebut.
Dekomposisi bahan organik dalam keadaan anaerob akan menghasilkan
beberapa senyawa dan gas, antara lain adalah metan, hidrogen sulfida, etilen,
asam asetat, asam butirat, asam laktat, dan asam-asam organik lainnya seperti
asam-asam fenolat. Sebagian besar dari asam-asam ini bersifat racun bagi

156
Hartatik dan Suriadikarta

tanaman (Tsutsuki dan Ponnamperuma, 1987, Tsutsuki dan Kondo, 1995).


Tanah-tanah gambut di Indonesia mempunyai kandungan lignin yang lebih tinggi
dibandingkan dengan tanah-tanah gambut yang berada di daerah yang beriklim
sedang (Driessen dan Suhardjo, 1976; Driessen, 1978). Lignin tersebut akan
mengalami proses degradasi menjadi senyawa humat, dan selama proses
degradasi tersebut akan dihasilkan asam-asam fenolat (Kononova, 1968).
Beberapa jenis asam fenolat yang umum dijumpai dalam tanah adalah
asam vanilat, p-kumarat, p-hidroksibenzoat, salisilat, galat, sinapat, gentisat, dan
asam siringat (Tsutsuki, 1984). Asam-asam fenolat tersebut berpengaruh
langsung terhadap proses biokimia dan fisiologi tanaman, serta penyediaan hara
di dalam tanah. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa asam-asam
fenolat bersifat fitotoksik bagi tanaman dan menyebabkan pertumbuhan tanaman
terhambat (Driessen, 1978; Stevenson, 1994; Tsutsuki, 1984).
Konsentrasi asam fenolat sebesar 0,6-3,0 mM dapat menghambat
pertumbuhan akar padi sampai 50%, sedangkan pada konsentrasi 0,001 hingga
0,1 mM dapat mengganggu pertumbuhan beberapa tanaman (Takijima 1960,
dalam Tsutsuki, 1984). Pengaruh asam p-hidroksibenzoat yang diberikan terus-
menerus sampai panen dengan konsentrasi >0,1 mM menurunkan bobot kering
tanaman bagian atas dan biji pada saat panen (Tadano et al., 1992). Wang et al.
(1967) mendapatkan pada konsentrasi asam p-hidroksibenzoat sebesar 7-70 mM
dapat menekan pertumbuhan tanaman jagung, gandum, dan kacang-kacangan.
Sedangkan pada konsentrasi 180 mM tidak berpengaruh terhadap tanaman tebu,
tetapi pada konsentrasi asam p-hidroksibenzoat 360 mM berpengaruh terhadap
pertumbuhan akar tanaman tebu.
Hartley dan Whitehead (1984) mengemukakan bahwa asam-asam fenolat
pada konsentrasi 250 µM menurunkan sangat nyata serapan kalium oleh
tanaman barley. Asam salisilat dan ferulat menyebabkan terhambatnya serapan
kalium dan fosfor oleh tanaman gandum serta asam ferulat pada konsentrasi 500
hingga 1000 µM menurunkan serapan fosfor pada tanaman kedelai.
Bahan-bahan fitotoksik hasil dekomposisi bahan organik berpengaruh
terhadap perubahan permeabilitas sel tanaman, sehingga asam-asam amino dan
bahan lain mengalir keluar dari sel, nekrosis pada sel akar, menghambat dan
menunda perkecambahan. Selain bahan fitotoksik ini dapat mematikan biji,
menghambat pertumbuhan akar, pertumbuhan tanaman kerdil, mengganggu
serapan hara, klorosis layu, dan akhirnya dapat mematikan tanaman (Patrick,
1971).

157
Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut

5.3. TEKNOLOGI AMELIORASI DAN PEMUPUKAN PADA LAHAN GAMBUT

Rendahnya produktivitas lahan gambut disebabkan oleh adanya berbagai


faktor pembatas, diantaranya kandungan asam-asam fenolat yang tinggi,
kemasaman yang tinggi, kapasitas tukar kation yang tinggi dengan kejenuhan
basa dan ketersediaan P yang rendah.
Mengusahakan lahan gambut dengan cara disawahkan, secara tidak
langsung dapat menekan terjadinya penurunan permukaan tanah (subsident),
namun permasalahan yang dihadapi adalah munculnya asam-asam organik
dalam konsentrasi yang tinggi yang meracuni tanaman, terutama asam-asam
fenolat (Tadano et al.,1990; Rachim 1995; Prasetyo, 1996; Salampak, 1999).
Asam-asam fenolat tersebut merupakan hasil biodegradasi anaerob dari senyawa
lignin dalam bahan asal kayu-kayuan (Tsutsuki dan Kondo, 1995).
Pengaruh buruk dari derivat asam-asam fenolat dapat dikurangi dengan
pemberian kation-kation polivalen seperti Al, Fe, Cu, Zn (Rachim, 1995; Prasetyo,
1996; Saragih 1996). Penurunan asam-asam fenolat disebabkan oleh adanya
erapan kation-kation polivalen oleh tapak reaktif gugus fungsional asam-asam
organik sehingga membentuk senyawa kompleks yang resisten (Stevenson,
1994). Tapak-tapak reaktif di dalam tanah gambut berasal dari gugus fungsional
asam organik yang mengandung oksigen (C=O, –OH, dan –COOH), terutama
dari gugus –OH asam fenolat.
Penelitian Saragih (1996) menunjukkan bahwa kation Fe+3 lebih efektif dan
stabil berikatan dengan senyawa-senyawa organik dalam gambut dibandingkan
dengan kation Al+3, Ca+2, Cu+2, dan Fe+2. Penggunaan kation Fe sangat baik bagi
pengikatan P sehingga dapat mengkonservasi dan meningkatkan ketersediaan P
(Rachim, 1995).
Upaya peningkatan produktivitas lahan gambut melalui teknologi
pencampuran dengan tanah mineral telah lama dipraktekkan di lahan gambut.
Tanah mineral yang sesuai sebagai bahan amelioran untuk menekan aktivitas
asam-asam fenolat tergantung kandungan asam-asam fenolat dominan pada
gambut. Untuk gambut dari Kalimantan Tengah yang mengandung asam ferulat
lebih tinggi, maka tanah mineral yang lebih sesuai yang mengandung besi tinggi.
Sedangkan pada gambut Sumatera Selatan yang mengandung asam p-
hidroksibenzoat yang lebih tinggi, maka pemberian tanah mineral perlu

158
Hartatik dan Suriadikarta

dikombinasikan dengan pemberian terusi (sumber Cu). Petani di Belanda


mencampurkan tanah mineral yang ada di bawah gambut dengan gambut yang
ada diatasnya, tanah mineral diaduk merata dengan gambut hingga kedalaman
40 cm. Sedangkan petani di Rusia mencampurkan tanah mineral dengan gambut
dengan cara menyebarkan tanah mineral di atas tanah gambut sebanyak 300-
400 m3/ha atau setebal 3-4 cm, kemudian dibajak agar tanah mineral tercampur
rata dengan tanah gambut. Praktek petani di Jerman untuk meningkatkan
produktivitas tanah gambut dengan tanah mineral berbeda dengan Belanda dan
Rusia. Tanah mineral yang diangkut dari tempat terdekat, disebar rata di atas
permukaan tanah gambut setebal 10 hingga 12 cm atau 1.000 hingga 1.200
m3/ha, tetapi tidak dicampur dengan gambut (Skoropanov, 1968). Pemberian
tanah mineral setebal 6 cm atau setara 600 t/ha pada tanah gambut Hokaido
Jepang meningkatkan hasil padi 4,3 t/ha (Miyake, 1982). Soepardi dan
Surowinoto (1986) melaporkan bahwa pemberian tanah mineral sebanyak 60 t/ha
mampu meningkatkan hasil tanaman, hanya saja upaya tersebut harus dibarengi
dengan upaya pemupukan.
Halim (1987) melakukan pencampuran tanah gambut Sumatera Selatan
dengan tanah mineral berasal dari tanggul sungai (levee) sebesar 16 ton bahan
tanah dan 3 ton dolomit + 1,5 ton kalsit serta 80 kg besi per hektar meningkatkan
hasil kedelai sebesar 17,7 ku/ha. Rachim et al. (1991) melaporkan takaran tanah
mineral berpirit sebanyak 20% dari bobot tanah gambut meningkatkan hasil
tanaman jagung dan padi. Bila takaran campurannya ditingkatkan menjadi 40%,
maka cenderung menurunkan hasil, karena meningkatnya bobot gabah yang
hampa. Pencampuran tanah mineral berpirit perlu diwaspadai karena dapat
berdampak negatif terhadap pertumbuhan tanaman, karena meningkatnya Al-dd,
H-dd, dan SO4 2-.
Pemanfaatan bahan amelioran lumpur laut dan kapur terhadap
peningkatan produksi kedelai pada gambut Kalimantan Barat menunjukkan
bahwa lumpur laut dapat memperbaiki produktivitas gambut melalui perbaikan
sifat-sifat kimia, antara lain meningkatkan pH, ketersediaan Ca dan Mg,
kejenuhan basa, kombinasi kapur 3 t/ha dan lumpur laut 7,5% meningkatkan
pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai (Sagiman, 2001).
Ameliorasi dengan tanah mineral berkadar besi tinggi dapat mengurangi
pengaruh buruk dari asam-asam fenolat (Salampak, 1999; Mario, 2002; Hartatik,
2003). Salampak (1999) melaporkan pemberian tanah mineral berkadar besi

159
Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut

tinggi sampai takaran 7,5% erapan maksimum besi pada tanah gambut dari
Kalimantan Tengah mampu menurunkan konsentrasi asam-asam fenolat sekitar
30% dan meningkatkan produksi padi dari 0,73 menjadi 3,24 t/ha (Tabel 5.3).
Pemberian tanah mineral juga dapat memperkuat ikatan-ikatan kation dan anion
sehingga konservasi terhadap unsur hara yang berasal dari pupuk menjadi lebih
baik. Selain itu, ikatan dengan koloid inorganik menyebabkan degradasi bahan
gambut menjadi terhambat (Alexander, 1977) sehingga gambut sebagai sumber
daya alam dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama.

Tabel 5.3. Rata-rata bobot gabah akibat pemberian bahan amelioran pada dua
jenis gambut di Kalteng (Salampak, 1999)
Bobot gabah pada
Bahan amelioran
Gambut pasang surut (Samuda) Gambut transisi (Sampit)
% erapan maksimum Fe ………….…….………. t /ha ……………..………….

0 0,73 a* 0,57 a
2,5 1,22 a 1,19 ab
5 2,06 b 1,87 c
7,5 3,24 c 2,75 d
10 2,15 c 2,03 d
*) Nilai tengah yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf 5%.

Kation besi dari amelioran tanah mineral dapat menciptakan tapak erapan
baru pada gambut sehingga ikatan fosfat menjadi lebih kuat dan tidak mudah
lepas. Kation besi berperan sebagai jembatan pengikat fosfat pada tapak erapan
reaktif gambut sehingga hara P dari tapak reaktif gambut dapat dilepaskan
secara lambat dan kebutuhan tanaman dapat dipenuhi.
Hartatik (2003) melaporkan pemberian bahan amelioran tanah mineral
takaran 7,5% erapan maksimum Fe pada tanah gambut Air Sugihan Kiri
Sumatera Selatan menurunkan konsentrasi asam siringat, asam kumarat dan
asam vanilat berturut-turut 88, 67, dan 36% (Tabel 5.4). Menurut Tadano et al.
(1992) beberapa jenis asam fenolat yang umum dijumpai dalam tanah gambut di
antaranya asam ferulat, asam vanilat, p-kumarat, dan p-hidroksibenzoat pada
konsentrasi tertentu dapat bersifat racun terhadap pertumbuhan tanaman. Asam-

160
Hartatik dan Suriadikarta

asam fenolat tersebut berpengaruh menekan aktivitas fisiologi akar, menghambat


pertumbuhan akar, dan mengganggu serapan hara.

Tabel 5.4. Pengaruh pemberian bahan amelioran tanah mineral terhadap


konsentrasi asam-asam fenolat pada gambut Air Sugihan Kiri
(Hartatik, 2003)
Asam fenolat
Perlakuan p-hidroksi Vanilat p-kumarat Sinapat Siringat Ferulat
benzoat
Amelioran TM ..................................................... mM .....................................................
0% Fe 0,26 0,28 0,21 0,06 1,6 0,006
2,5% Fe 0,15 0,38 0,15 0,04 0,09 0,004
5% Fe 0,12 0,34 0,21 0,09 0,28 0,004
7,5% Fe 0,40 0,18 0,07 0,06 0,19 0,003
10% Fe 0,97 0,39 0,14 0,04 0,26 0,002

Penurunan asam-asam fenolat ini disebabkan oleh adanya interaksi antara


kation Fe dari bahan amelioran sebagai jembatan kation dan asam-asam fenolat
melalui proses polimerisasi. Kation Fe bereaksi dengan ligan organik membentuk
ikatan kompleks. Asam-asam organik berperan sebagai penyumbang pasangan
elektron (donor), sedangkan kation Fe berperan sebagai penerima elektron
(aseptor) (Tan, 1993).
Penurunan konsentrasi asam-asam fenolat dalam tanah gambut pada
prinsipnya tidak dimaksudkan untuk menghabiskan konsentrasi asam-asam
organik tersebut, karena hampir seluruh reaksi kimia yang terjadi di dalam tanah
tersebut berada pada tapak reaktif dari berbagai gugus fungsional asam-asam
organik yang mengandung oksigen (–C=O, –OH, dan –COOH). Oleh karena itu
untuk menurunkan konsentrasi asam-asam organik yang meracun dalam tanah
gambut harus dirancang, agar tidak sampai menghilangkan fungsinya sebagai
media tumbuh tanaman, serta fungsinya sebagai pusat pertukaran kimia (koloid).
Ameliorasi gambut dari Air Sugihan Kiri Sumatera Selatan dengan tanah
mineral berpirit menunjukkan bahwa pencucian pada amelioran tanah mineral
yang berkadar pirit rendah maupun tinggi, mampu menurunkan kadar pirit
terlarut. Pada tanah mineral yang berkadar pirit rendah, pencucian yang
dilakukan empat kali sebulan menurunkan kadar sulfat terlarut sebesar 74% yaitu
dari 320 ppm menjadi 84 ppm, bila pencucian dilakukan dua kali sebulan mampu
menurunkan kadar sulfat terlarut sebesar 69% yaitu dari 317 ppm menjadi 98

161
Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut

ppm. Sedangkan pada tanah mineral berpirit tinggi pencucian dua dan empat kali
sebulan mampu menurunkan kadar sulfat terlarut masing-masing 93 dan 91%.
Demikian juga pencucian yang dilakukan setelah tanah mineral berpirit
dicampur dengan tanah gambut juga cukup efektif menurunkan kadar sulfat
terlarut dalam tanah. Ameliorasi gambut dengan tanah mineral berpirit,
disarankan melakukan pencucian untuk menurunkan kadar sulfat sampai batas
tidak menghambat pertumbuhan tanaman, sebaiknya dilakukan percampuran
gambut dengan tanah mineral dahulu sebelum dilakukan pencucian, untuk
menghindari hilangnya basa-basa dalam gambut dan meningkatkan hasil
tanaman (Gambar 5.1).

16
16
13.85
13,85
14
14
12,17
12.17
(G/POT)
bernas (g/pot)

12
12

10
10
8,38
8.38
BERNAS

88
5,42
5.42 5,3
5.3
Gabah

66 5,05
5.05
GABAH

3,88
3.88
44 3,16
3.16

22 0,78
0.78 0.78
0,78

00
KIC0 RC4I RC2I TC4I TC2I KIC0 RIC4 RIC2 TIC4 TIC2
DIINKUBASI SETELAH
Diinkubasi setelah DICUCI
dicuci DICUCI SETELAH
Dicuci DIINKUBASI
setelah diinkubasi

Gambar 5.1 . Pengaruh periode pencucian terhadap gabah bernas

Keterangan :
KIC0 = Kontrol RIC4 = Kadar pirit rendah, diinkubasi dicuci empat
RC4I = Kadar pirit rendah, dicuci empat kali, inkubasi, tanam kali, tanam
RC2I = Kadar pirit rendah, dicuci dua kali, inkubasi, tanam RIC2 = Kadar pirit rendah, diinkubasi, dicuci dua
TC4I = Kadar pirit tinggi, dicuci empat kali, inkubasi, tanam kali, tanam
TC2I = Kadar pirit tinggi, dicuci dua kali, inkubasi, tanam TIC4 = Kadar pirit tinggi, diinkubasi, dicuci empat
kali, tanam
TIC2 = Kadar pirit tinggi, diinkubasi, dicuci dua
kali, tanam
Sumber : Suastika (2004)

162
Hartatik dan Suriadikarta

Ameliorasi gambut dengan tanah mineral berpirit yang telah diturunkan


kadar sulfatnya melalui pencucian dua kali setelah diinkubasi selama satu bulan
menunjukkan bahwa dapat menurunkan konsentrasi asam-asam fenolat dari
tanah gambut sebesar 44% untuk p-hidroksi benzoat, 75% untuk asam vanilat,
78% untuk asam p-kumarat, 80% untuk asam sinapat, 96% untuk asam ferulat,
dan 85% untuk asam siringat, serta meningkatkan pertumbuhan dan hasil
tanaman padi (Suastika, 2004).
Mario (2002) melaporkan peningkatan produktivitas tanah gambut pantai
(Samuda), gambut transisi (Sampit) dan gambut pedalaman (Berengbengkel)
Kalimantan Tengah, dengan pemberian tanah mineral yang mengandung besi
tinggi (Fe2O3 = 22,06%) dengan takaran 5% erapan Fe maksimum yang
dikombinasikan dengan terak baja (Fe2O3 = 42,6%) dalam beberapa kombinasi.
Kombinasi perlakuan yang dicobakan yaitu 90% tanah mineral + 10% terak baja,
80% tanah mineral + 20% terak baja, 70% tanah mineral + 30% terak baja, 60%
tanah mineral + 40% terak baja, 50% tanah mineral dan 50% terak baja. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pengkayaan tanah mineral dengan pemberian
terak baja mampu menurunkan konsentrasi asam-asam fenolat. Penurunan
proporsi bahan tanah mineral sebagai bahan amelioran menurunkan kemampuan
amelioran tersebut dalam menurunkan konsentrasi asam-asam fenolat.
Peningkatan proporsi terak baja dari 10% hingga 50% menyebabkan
menurunnya interaksi yang terjadi antara asam-asam fenolat dengan Fe yang
terkandung dalam amelioran.
Pemberian amelioran meningkatkan ketersediaan hara terutama basa-
basa dalam tanah gambut, meskipun kecenderungan terjadi penurunan pH
tanah, namun demikian peningkatan proporsi terak baja cenderung meningkatkan
pH tanah. Pemberian amelioran berpengaruh nyata dalam meningkatkan
pertumbuhan dan produksi padi. Pada gambut Berengbengkel peningkatan
proporsi terak baja secara linear meningkatkan produksi padi, sedangkan pada
gambut Samuda dan Sampit tidak terjadi perbedaan yang nyata.
Peningkatan produktivitas tanah gambut transisi dapat dicapai dengan
pemberian 70% setara 4,6 t/ha bahan tanah mineral yang diperkaya dengan 30%
setara 1,5 t/ha terak baja, sedangkan untuk gambut pantai hanya dengan
pemberian bahan tanah mineral sebesar 7,9 t/ha. Untuk gambut pedalaman
penggunaan bahan tanah mineral yang diperkaya oleh terak baja tidak mampu
untuk memperbaiki produktivitas tanah gambut yang disawahkan. Hal ini
disebabkan pada gambut pedalaman mempunyai kandungan asam fenolat

163
Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut

potensial yang cukup tinggi, sehingga sulit memprediksi kebutuhan bahan


amelioran dalam menurunkan asam-asam fenolat.
Pengkayaan tanah mineral insitu oleh bahan berkadar besi tinggi (terak
baja) sebagai bahan amelioran pada gambut dari Air Sugihan Kiri untuk
meningkatkan produktivitas lahan gambut yang disawahkan menunjukkan bahwa
pemberian amelioran tanah mineral insitu dengan takaran 5% erapan maksimum
Fe dengan terak baja 15% meningkatkan hasil gabah kering sebesar 4,6 t/ha
(Laporan kerjasama Lembaga Penelitian IPB dan Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, 2001).
Murnita (2001) mempelajari peranan bahan amelioran besi (Fe) dan zeolit
terhadap perilaku K dan hasil padi pada tanah gambut pantai dan gambut
peralihan Jambi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian bahan
amelioran Fe sebanyak 2,5% erapan maksimum Fe dan zeolit 0,25-3% dapat
mengurangi konsentrasi asam-asam fenolat dalam tanah gambut pantai saprik
dan hemik masing-masing sebesar 9-47% dan 9-52%, serta gambut peralihan
saprik dan hemik sebesar 9-53% dan 10-62%. Pemberian Fe berperan lebih
besar dalam menekan konsentrasi asam-asam fenolat dibandingkan dengan
zeolit.
Suriadikarta dan Jayusman (2001), telah mencoba menggunakan pupuk
cair shimarock untuk meningkatkan produksi tanah gambut yang disawahkan.
Shimarock adalah pupuk cair yang berasal dari Jepang yang dibuat dari
ekstrak mineral vermikulit yang mengandung 22 jenis mineral, yaitu : Ca, Mg, K,
Na, Se, Si, P, Rb, Ge, Zn, W, Mn, Fe, Cu, Co, Ni, Mo, Li, V, Ti, Al, dan Ba.
Mineral-mineral tersebut sangat penting dalam proses fotosintesis, dan
merupakan komponen enzim yang penting sebagai katalisator dalam
metabolisme tanaman. Shimarock dapat membuat akar tanaman menjadi cepat
tumbuh dan banyak membentuk akar-akar halus tumbuh dan ini menjadi penting
untuk tanaman (Kondo, 2001).
Bahan shimarock telah dicoba di Indonesia pada tanah gambut lahan
sawah di daerah Air Sugihan Kiri, Sumatera Selatan dengan tanaman padi
varietas lokal Komojoyo. Penelitian dilaksanakan pada MH 2001, dengan dosis 1
cc/lt. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan penggunaan shimarock pada
lahan gambut dapat meningkatkan tanaman padi dua kali lipat lebih (212,5%),
yaitu dari 1,6 t/ha menjadi 3,4 t/ha GKG.. Tetapi bila digunakan pada tanah
mineral masam (Ultisols) dengan varietas unggul baru IR-64 dapat meningkatkan
hasil 20,3%, yaitu dari 6,4 t/ha menjadi 7,7 t/ha GKG, sedangkan dengan varietas

164
Hartatik dan Suriadikarta

hibrida Yaponica peningkatannya kecil hanya 7,3% yaitu dari 6,8 t/ha menjadi 7,3
t/ha GKG. Peningkatan ini kecil karena varietas Yaponica belum dapat
beradaptasi dengan tanah Ultisols di Indonesia.
Pemberian bahan amelioran zeolit 0,5-1,5% dapat mengurangi kehilangan
K dari pupuk pada tanah gambut pantai dan peralihan masing-masing sebesar
0,5-2% dan 0,7-3%. K yang tercuci dari gambut pantai lebih kecil dari gambut
peralihan. Untuk meningkatkan efisiensi pemupukan K dalam tanah gambut,
maka disarankan untuk melakukan pemupukan K sesuai kebutuhan ke dalam
zeolit sebagai amelioran. Semakin tinggi dosis zeolit dan kalium pada tanah
gambut pantai dan peralihan tanpa maupun dengan pencucian, bobot gabah
kering semakin meningkat. Kombinasi pemberian zeolit 15 g/kg dan K 375 mg/kg
meningkatkan bobot gabah kering (Tabel 5.5). Perlakuan pencucian dan
pemberian bahan amelioran Fe3+ pada takaran 2,5% erapan maksimum Fe untuk
gambut pantai dan 5% untuk gambut peralihan meningkatkan bobot kering
tanaman (Tabel 5.6 ).

Tabel 5.5. Rata-rata bobot gabah kering padi akibat pencucian dan pemberian
zeolit serta kalium pada tanah gambut pantai dan peralihan
Tanpa Dengan Tanpa Dengan
Zeolit Kalium pencucian pencucian pencucian pencucian
Gambut pantai Gambut peralihan
g/kg mg/kg .............................................. g/pot .............................................
0 0 3,03a 6,83a 0,36a 2,03a
125 5,54b 8,17b 1,03b 4,48b
250 6,37bc 8,38b 1,30b 5,37b
375 7,00c 10,60c 1,30b 6,00b
5 0 5,10a 7,21a 1,05a 4,18a
125 7,34b 9,58b 1,91a 5,37b
250 7,85b 9,68b 1,65a 6,86b
375 8,98c 13,40c 2,25b 7,97c
10 0 6,34a 8,67a 1,40a 5,35a
125 6,92ab 11,65b 1,70a 5,95a
250 7,88b 12,54b 2,50b 6,89b
375 8,54b 14,29c 4,30c 7,54b
15 0 5,95a 11,00a 1,75a 4,90a
125 8,06b 14,27b 2,27a 7,55b
250 9,13c 15,37b 3,41b 8,13b
375 10,65d 17,60c 5,58c 9,60c
Nilai tengah yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf α = 0,05

165
Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut

Tabel 5.6. Pengaruh interaksi antara pencucian dengan pemberian bahan


amelioran Fe3+ terhadap bobot kering tanaman padi pada gambut
pantai dan peralihan, Jambi (Murnita, 2001)
Fe3+ (% erapan maksimum Fe3+)
Pencucian
0 2,5 5,0 7,5 0 2,5 5,0 7,5
Gambut pantai Gambut peralihan
……………………….. Bobot kering (g/pot) ………………………..
Tanpa pencucian 1,30ax 7,44cx 6,88cx 3,96bx 0,67ax 2,34bx 3,58bx 2,4bx
a c c b a c d
Dengan 3,46 y 13,73 y 12,81 y 6,60 y 1,41 x 6,33 y 7,05 y 3,78by
pencucian
Keterangan : Nilai tengah yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom yang
sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%.

Hartatik et al. (2004) melaporkan pengaruh pemberian beberapa jenis


fosfat alam atau SP-36 pada tanah gambut yang diberi bahan amelioran tanah
mineral terhadap pencucian P dari kolom tanah menunjukkan bahwa pemberian
fosfat alam Maroko, Ciamis, atau SP-36 pada tanah gambut yang diberi bahan
amelioran tanah mineral terjadi akumulasi P pada lapisan atas. Dari hasil analisis
kolom tanah setiap kedalaman 10 cm menunjukkan bahwa bahan amelioran dan
fosfat alam Maroko, Ciamis atau SP-36 menyebabkan P lebih banyak
terakumulasi pada kedalaman 5 hingga 20 cm. Nisbah kadar P kolom tanah
antara kedalaman 0 hingga 30 cm dengan 30 hingga 60 cm masing-masing pada
takaran 50, 100, dan 200% P yaitu 1,54; 1,90; dan 2,79 untuk fosfat alam Maroko
dan 1,64; 1,76; dan 4,11 untuk fosfat alam Ciamis serta 1,31; 2,05; dan 2,79
untuk SP-36 (Gambar 5.2). Pemberian bahan amelioran dan pemupukan fosfat
alam Maroko dan Ciamis meningkatkan P pada lapisan atas, sehingga P yang
tercuci berkurang dibandingkan SP-36.

Sedangkan perlakuan fosfat alam Christmas, P terakumulasi pada


kedalaman 30 hingga 40 cm, dengan nisbah kadar P kolom tanah antara
kedalaman 0 hingga 30 cm dengan 30 hingga 60 cm pada takaran 50, 100, dan
200% P yaitu 1,05; 1,11; dan 1,38. Diduga hal ini berkaitan dengan rendahnya
kelarutan fosfat alam tersebut dalam tanah. Adanya akumulasi P di lapisan
bawah menunjukkan bahwa tidak ada peranan Fe dalam fosfat alam terhadap

166
Hartatik dan Suriadikarta

pengikatan P. Hal ini disebabkan karena besi terikat kuat dalam mineral apatit
yang sukar larut.

Kolom tanah tanpa perlakuan bahan amelioran menunjukkan akumulasi P


pada kedalaman 30 hingga 60 cm. Pemberian bahan amelioran mampu
meningkatkan ikatan P dalam tanah gambut, sehingga P tidak mudah hilang
tercuci dalam tanah. Diduga pemberian bahan amelioran akan membentuk tapak-
tapak reaktif baru bagi P yang dihasilkan dari interaksi asam organik-Fe,
sehingga terbentuk senyawa kompleks organik-Fe-P. Besi dari bahan amelioran
berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan asam-asam organik dengan
anion fosfat. Adanya kemampuan pengikatan P ini, kehilangan P dari dalam
tanah dapat dikurangi, sehingga efisiensi pemupukan P dalam tanah gambut
dapat ditingkatkan. Hasil ini sesuai dengan percobaan yang dilakukan oleh
Rachim (1995), Salampak (1999), dan Wild (1990) yang mengemukakan bahwa
kation polivalen dapat menjembatani ikatan antara P dan asam-asam organik.
Diantara sumber P, perlakuan fosfat alam Maroko memberikan kadar P dalam
kolom tanah paling tinggi diikuti berturut-turut SP-36, Ciamis, dan terendah
Christmas.

Hartatik (2003) mempelajari pengaruh pemberian beberapa jenis fosfat


alam atau SP-36 pada tanah gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral
terhadap pertumbuhan dan serapan P tanaman padi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa fosfat alam Ciamis takaran 50% erapan maksimum P
memberikan bobot kering tanaman setara SP-36. Fosfat alam Ciamis
meningkatkan bobot kering tanaman sebesar 82% dibandingkan kontrol. Fosfat
alam Maroko dan Christmas umumnya memberikan bobot kering tanaman yang
rendah yang tidak berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 5.7).

167
Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut

Maroko P (ppm) Christmas P (ppm)


0 20 40 60 80 0 10 20 30 40
0-5 0-5
Kontrol
tanpa
5 - 10 5 - 10
Kedalaman kolom tanah (cm)

Kontrol

Kedalaman kolom tanah (cm)


Christmas

Christmas
10 - 20 10 - 20
Christmas

20 - 30 Kontrol tanpa TM 20 - 30
Kontrol TM
Maroko 50%
30 - 40 30 - 40
Maroko 100%
Maroko 200%
40 - 50 40 - 50

50 - 60 50 - 60

Ciamis P (ppm) SP-36 P (ppm)


0 20 40 60 0 20 40 60 80
0-5 0-5

5 - 10
Kedalaman Kolom Tanah (cm)

5 - 10
Kedalaman kolom tanah (cm)

10 - 20 10 - 20

20 - 30 20 - 30

30 - 40 30 - 40 Kontrol tanpa TM
Kontrol tanpa TM
Kontrol TM
Kontrol TM
40 - 50 40 - 50 SP-36 50%
Ciamis 50%
SP-36 100%
Ciamis 100%
SP-36 200%
50 - 60 Ciamis 200% 50 - 60

Gambar 5.2. Pola distribusi fosfor dalam kolom tanah dari beberapa jenis
sumber P

168
Hartatik dan Suriadikarta

Perlakuan fosfat alam Maroko dan Christmas memberikan bobot kering


tanaman yang lebih rendah, hal ini disebabkan adanya dominasi asam p-hidroksi
benzoat dan p-kumarat yang menghambat pertumbuhan dan bobot kering
tanaman. Pemberian SP-36 meningkatkan bobot kering tanaman sebesar 158%
dibandingkan kontrol dan memberikan bobot kering tanaman lebih tinggi daripada
fosfat alam. Hal ini berkaitan dengan rendahnya konsentrasi asam p-kumarat dan
p-hidroksi benzoat yang terukur dan tingginya P yang diserap tanaman, sehingga
pertumbuhan dan bobot kering tanaman lebih optimum dibandingkan perlakuan
fosfat alam.

Tabel 5.7. Rataan bobot kering tanaman dan serapan P Total padi IR-64 akibat
pemberian beberapa jenis fosfat alam dan SP-36 pada tanah gambut
yang diberi bahan amelioran tanah mineral
Perlakuan Bobot kering tanaman Serapan P total
g/pot mg/pot
Kontrol - TM 1,17 d* 5,88 d
Kontrol + TM 1,85 cd 8,05 cd
Maroko 50% + TM 1,72 cd 10,47 cd
Maroko 100% + TM 1,44 cd 12,79 cd
Maroko 150% + TM 1,74 cd 10,69 cd
Christmas 50% + TM 1,83 cd 7,76 cd
Christmas 100% + TM 1,13 d 7,43 cd
Christmas 150% + TM 1,91 cd 10,02 cd
Ciamis 50% + TM 3,37 bc 16,57 bc
Ciamis 100% + TM 1,01 d 7,97 cd
Ciamis 150% + TM 1,47 cd 14,17 cd
SP-36 50% + TM 4,77 ab 24,98 ab
SP-36 100% + TM 5,87 a 27,31 a
SP-36 150% + TM 4,26 ab 34,93 a
Keterangan : Angka yang selajur diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%
TM = Tanah mineral
Sumber : Hartatik (2003)

Serapan P total tanaman cenderung meningkat dengan pemberian bahan


amelioran. Adanya kation Fe dalam bahan amelioran akan meningkatkan ikatan
antara P dan asam-asam organik melalui jembatan kation, sehingga P dapat
dimanfaatkan oleh tanaman.

169
Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut

Perlakuan SP-36 meningkatkan serapan P total sebesar 210%


dibandingkan dengan kontrol + TM. Serapan P total yang tinggi pada perlakuan
SP-36 ini berkaitan erat dengan rendahnya konsentrasi asam p-kumarat dan p-
hidroksi benzoat, sehingga perakaran tanaman padi relatif berkembang karena
pengaruh racun asam-asam organik tersebut relatif kecil. Sedangkan pada fosfat
alam Ciamis takaran 50% meningkatkan serapan P sebesar 106% dibandingkan
dengan kontrol + TM. Fosfat alam Maroko dan Christmas, serapan P agak
terhambat karena perakaran tanaman sebagian telah teracuni oleh asam-asam
fenolat. Menurut Tadano et al. (1991) konsentrasi asam-asam fenolat yang tinggi
menyebabkan serapan P, K, Cu, dan Zn oleh tanaman padi menurun. Fenomena
ini menunjukkan bahwa kurang optimalnya pengaruh fosfat alam terhadap
pertumbuhan tanaman padi dan serapan P disebabkan karena pengaruh racun
asam-asam fenolat masih lebih dominan dibandingkan dengan perbaikan
terhadap perlakuan P dari fosfat alam.
Dari fraksi serapan P tanaman Dengan menggunakan isotop 32P dapat
diketahui secara kuantitatif dan proporsional jumlah fosfor yang diserap tanaman,
baik yang berasal dari tanah gambut maupun dari pupuk P. Proporsi hara P yang
diserap tanaman padi dari tanah gambut dan pupuk disajikan pada Gambar 5.3.
Rataan persentase serapan P dari fosfat alam Maroko, Christmas, Ciamis dan
SP-36 masing-masing sebesar 50,19; 52,96; 54,48; dan 41,92%. Sedangkan
rataan persentase serapan P dari tanah gambut masing-masing sebesar 49,81;
47,04; 45,52; dan 58,08%. Secara umum perlakuan pemberian fosfat alam
memberikan persentase serapan P dari fosfat alam sedikit lebih tinggi dari
persentase serapan P dari tanah gambut dan sebaliknya pada perlakuan SP-36
persentase serapan P dari tanah gambut sedikit lebih tinggi dari persentase
serapan P dari SP-36. Tingginya serapan P dari tanah gambut pada perlakuan
SP-36 kemungkinan disebabkan karena SP-36 merupakan pupuk P yang mudah
larut, sehingga sebagian P digunakan oleh mikroba sebagai hara atau energi
untuk mendekomposisi gambut, sehingga proses mineralisasi P sedikit lebih
tinggi dari perlakuan fosfat alam (Stevenson, 1994).
Peningkatan takaran SP-36 sampai takaran 150% erapan P meningkatkan
serapan P dari SP-36. Keragaan pertumbuhan tanaman padi akibat pemberian
bahan amelioran dan SP-36 lebih baik karena didukung oleh kondisi perakaran
yang lebat dan sehat sehingga serapan P baik dari pupuk maupun tanah gambut

170
Hartatik dan Suriadikarta

tidak terhambat. Sedangkan pada perlakuan fosfat alam terutama fosfat alam
Christmas kondisi perakaran memendek dan kurang lebat akibat pengaruh
fitotoksik dari asam-asam organik sehingga serapan P baik dari fosfat alam dan
tanah gambut terganggu yang berakibat pertumbuhan tanaman kerdil.
Persentase serapan P dengan metode isotop perlakuan pemberian bahan
amelioran dan SP-36 memberikan persentase serapan P lebih tinggi dari fosfat
alam. Persentase serapan P pada perlakuan pemberian bahan amelioran dan
SP-36 takaran 50%, 100%, 150% erapan P masing-masing sebesar 9,94; 4,85;
dan 5,35% (Gambar 5.4).

Serapan P dari Fosfat Alam Maroko


Serapan P dari tanah Serapan P dari Fosfat Alam Chrismas
Serapan P dari tanah
100%
100%
80%
80%
Serapan P

60% Serapan P 60%


40% 40%
20% 20%
0% 0%
0 50 100 150 0 50 100 150
Takaran Fo sfat A lam M aro ko (% erapan P ) Takaran Fo sfat A lam Chrismas (% erapan P )

Serapan P dari Fosfat Alam Ciamis Serapan P dari SP-36


Serapan P dari tanah
Serapan P dari tanah
100% 100%
80% 80%
Serapan P

Serapan P

60% 60%
40% 40%
20%
20%
0%
0%
0 50 100 150
0 50 100 150
Takaran Fosfat Alam Ciamis (%erapan P)
Takaran SP-36 (%erapan P)

Gambar 5.3. Pengaruh pemberian beberapa jenis fosfat alam atau SP-36 pada
tanah gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral terhadap
proporsi serapan P oleh tanaman padi (Hartatik, 2003)

171
Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut

10 50%
9 100%
8 150%

Serapan P (%)
7
6
5
4
3
2
1
0
Maroko Christmas Ciamis SP-36

Sumber P

Gambar 5.4. Persentase serapan P akibat pemberian beberapa jenis fosfat alam
atau SP-36 pada tanah gambut yang diberi bahan amelioran tanah
mineral. Sumber: Hartatik (2003)

Lebih besarnya persentase serapan P dari SP-36 sejalan dengan bobot


kering tanaman dan serapan P yang lebih tinggi dibandingkan fosfat alam
Maroko, Christmas, dan Ciamis. Diantara beberapa jenis fosfat alam yang dicoba,
fosfat alam Ciamis takaran 50% memberikan persentase serapan P yang paling
tinggi yaitu sebesar 8,55 hampir menyamai SP-36 pada takaran yang sama.
Peningkatan takaran fosfat alam dan SP-36 menurunkan persentase serapan P.
Rasjid, Sisworo, dan Sisworo (1997) melaporkan hasil yang sama bahwa
peningkatan takaran fosfat alam atau SP-36 menurunkan persentase serapan P
untuk tanaman padi-kedelai dan kacang hijau yang ditanam berurutan.
Lahan gambut selain memerlukan ameliorasi juga memerlukan pemupukan
NPK serta hara mikro Cu dan Zn, karena tanah gambut mempunyai afinitas yang
lemah terhadap kation maupun anion, sehingga pemberian pupuk harus
dilakukan secara bertahap sesuai dengan masa pertumbuhan tanaman.
Pemberian 5 kg terusi (CuSO4) nyata meningkatkan hasil dan mengurangi
kehampaan gabah, sedangkan pada gambut dalam diperlukan 15 kg terusi/ha.
Pemberian hara mikro Zn dan Cu dikombinasikan dengan pemupukan Urea 100
kg/ha, TSP 100 kg/ha, dan KCl 100 kg/ha, nyata meningkatkan hasil padi
sebesar 0,81 t/ha yaitu dari 3,3 t/ha menjadi 4,1 t/ha pada gambut dalam Indragiri
Hilir, Riau (Yusuf et al., 1995).

172
Hartatik dan Suriadikarta

Penelitian respon tanaman jagung terhadap pemupukan P telah dilakukan


di lahan gambut Sugihan Kiri, Sumatera Selatan menggunakan beberapa sumber
pupuk P yaitu fosfat alam Maroko, Christmas, dan Christmas dikombinasikan
dengan abu batubara, dengan takaran pupuk P yaitu 0, 25, 50, dan 100 kg P/ha,
dan takaran abu batubara 700 kg/ha. Pupuk dasar yang digunakan Urea 200
kg/ha, KCl 100 kg/ha, dan 2 t/ha kapur. Hasil percobaan menunjukkan bahwa
pemupukan P meningkatkan hasil jagung dan fosfat alam Maroko nyata lebih baik
dibandingkan fosfat alam Christmas, sedangkan abu batubara tidak menunjukkan
pengaruh yang nyata terhadap hasil jagung (Sholeh, 1999).
Pemupukan P pada tanah gambut dengan pupuk P yang mudah larut
seringkali tidak memberikan respon yang nyata, hal ini disebabkan sebagian P
yang diberikan akan tercuci, dan tidak terserap tanaman. Penelitian penggunaan
fosfat alam pada gambut Kelampangan, Kalteng menunjukkan bahwa
pemupukan fosfat alam cenderung memberikan hasil yang lebih baik dari SP-36.
Walaupun hasil yang diperoleh belum maksimal, namun terdapat kecenderungan
bahwa fosfat alam Christmas yang mengandung seskuioksida tinggi memberikan
hasil yang lebih baik dari fosfat alam Ciamis dan SP-36. Adanya seskuioksida
(Al2O3 dan Fe2O3) yang tinggi, akan meningkatkan ketersediaan hara P, sehingga
dapat diserap tanaman. Penelitian pada gambut dalam yang baru dibuka (dengan
pH 4,3 dan P-Bray I 10 ppm) di Kelampangan Kalteng, menunjukkan bahwa
penambahan KSP, kaptan fosfatan, dan P-alam Ciamis memberikan hasil yang
lebih baik dari SP-36 (Tabel 5.8 ) (Subiksa et al., 1998).
Pengaruh ameliorasi dan pemupukan P dan K terhadap kedelai pada lahan
gambut Kalimantan Barat dilakukan di Siantan Hilir menggunakan ameliorasi abu
gergaji, dolomit, abu gergaji + terak baja dan dolomit + terak baja dan kombinasi
pemupukan P dan K. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian abu gergaji
dan dolomit meningkatkan pH tanah, kation tukar Ca, Mg, dan K serta P tersedia.
Amelioran abu gergaji nyata lebih baik dari ameliorasi lainnya dengan urutan abu
gergaji>abu gergaji + terak baja > dolomit > dolomit + terak baja. Kombinasi
pemupukan 40 kg P dan 50 kg K/ha dengan ameliorasi abu gergaji meningkatkan
bobot biji kering kedelai yaitu sebesar 12,38 ku/ha (Hartatik et al., 1995).

173
Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut

Tabel 5.8. Pengaruh sumber dan takaran P terhadap hasil jagung

Perlakuan Hasil Jagung RAE


ku/ha %
Kontrol 0,48 a
KSP 2,47 de 510
KSP 1,02 abc 138
KSP 1,77 b-e 331
SP-36 1 + kaptan 0,52 a 10
SP-36 2 + kaptan 0,87 ab 100
SP-36 3 + kaptan 1,05 abc 146
SP-36 1 + kapur fosfatan 2,08 cde 410
SP-36 2 + kapur fosfatan 2,00 b-e 390
SP-36 3 + kapur fosfatan 2,80 e 595
Fosfat alam Ciamis 1 + kaptan 1,95 b-e 377
Fosfat alam Ciamis 2 + kaptan 2,30 de 467
Fosfat alam Ciamis 3 + kaptan 0,88 ab 103
Sumber : Subiksa et al., 1998
Keterangan SP-36 1 = 50 kg/ha, SP-36 2 = 100 kg/ha, SP-36 3 = 200 kg/ha

Pengaruh pemberian beberapa jenis dan takaran amelioran terhadap


pertumbuhan tanaman jagung pada gambut dari Air Sugihan Kiri, Sumatera
Selatan menunjukkan bahwa amelioran abu bakar nyata lebih baik dari dolomit,
pupuk kandang dan tanah mineral. Amelioran abu bakar 5 dan 10 t/ha nyata
meningkatkan hasil jagung berturut-turut sebesar 3,9 dan 4,5 t/ha (Hartatik,
2001).

Pengelolaan hara dengan pemupukan 135 kg N/ha, 90 kg/ha P2O5 SP-36,


dan 90-120 kg/ha K2O yang diberi secara tugal atau pemberian 0,5 t/ha setara
CaO dalam bentuk dolomit, 300 kg/ha abu sekam atau limbah gergajian, 300
kg/ha brangkasan kering yang telah dipotong halus sebagai sumber N, perlakuan
pupuk mikroba biofosfat atau rhizoplus pada biji sewaktu tanam meningkatkan
hasil jagung di lahan gambut dangkal (Anwar dan Alwi, 2000).

Pengelolaan hara terpadu pada lahan sulfat masam potensial bergambut di


Lamunti A-1 Blok F Kalimantan Tengah, menunjukkan bahwa kombinasi
pemupukan urea 150 kg/ha, fosfat alam Christmas 200 kg/ha, dan KCl 100 kg/ha
nyata meningkatkan bobot gabah kering sebesar 3,5 t/ha (Tabel 5.9). Pemberian

174
Hartatik dan Suriadikarta

kapur dan pupuk kandang mampu meningkatkan pH dan menurunkan Al dapat


ditukar (Hartatik dan Suriadikarta, 2001).

Tabel 5.9. Bobot gabah dan jerami kering penelitian pengelolaan hara terpadu
pada lahan sulfat masam potensial bergambut di Kalimantan Tengah
Perlakuan Bobot gabah kering Bobot jerami kering
….………………. ku/ha ………….……….
N0P1K1 16,30 c 14,30 e
N1P1K1 35,43 ab 29,43 bcd
N2P1K1 33,67 ab 43,87 a
N1P0K1 36,17 ab 32,47 abcd
N1P2K1 28,37 b 26,43 bcde
N1P1K0 31,10 ab 22,10 cde
N1P1K2 35,80 ab 30,70 abcd
N2P2K2 38,20 a 34,77 abc
N1P1K1L + BO 30,80 ab 30,97 abcd
N2P2K2L + BO 35,27 ab 38,27 ab
N1P1K1Zn+L 28,33 b 18,93 de
N1P1K1ZnCu+L 28,50 b 23,60 cde
N1P1K1ZnL + BO 32,20 ab 27,60 bcde
N1P1K1ZnCuL + BO 32,70 ab 26,77 bcde
N1P1K1 + BO+E138 32,27 ab 29,27 bcd
N1P1K1 + BO+E2001 32,20 ab 25,10 bcde
* Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT.
Sumber : Hartatik dan Suriadikarta (2001).
Keterangan :
ƒ Pupuk N yang digunakan urea dengan takaran 0, 150, dan 300 kg/ha (N0, N1, dan N2)
ƒ Pupuk P yang digunakan P-alam Christmas dengan takaran 0, 200, dan 400 kg/ha (P0,
P1, dan P2)
ƒ Pupuk K yang digunakan KCl dengan takaran 0, 100, dan 200 kg/ha (K0, K1, dan K2)
ƒ Takarn ZNSO4 dan CuSO4 15 kg/ha

175
Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut

PENUTUP

Dalam mengaplikasikan teknologi pengelolaan lahan gambut harus


mempertimbangkan dan memperhatikan karakteristiknya sebelum lahan gambut
dibuka untuk lahan pertanian. Karakteristik itu adalah di antaranya: ketebalan dan
kematangan tanah gambut, kesuburan tanah gambut, dan lapisan tanah yang
berada di bawahnya. Selain itu, ada beberapa sifat fisik yang perlu diperhatikan,
yaitu berat jenis (bulk density), subsidence (penurunan permukaan lapisan tanah
gambut), dan sifat kering tak balik (irreversible drying). Jika pembukaan lahan
gambut untuk pertanian tidak mengindahkan karakteristiknya maka akan
mengalami kegagalan seperti yang terjadi pada beberapa lokasi pemukiman
transmigrasi di Indonesia, yaitu Sumatera dan Kalimantan.
Selain itu, yang perlu diperhatikan dan merupakan kunci utama
keberhasilan usaha pertanian di lahan gambut adalah tata air (water
management), yaitu bagaimana pengaturan air di lahan usaha dan saluran air
agar tidak terjadi kering berlebihan (over drain). Biasanya kedalaman dan lebar
saluran harus memperhatikan tipe pasang surut yang terjadi di wilayah itu. Tata
air ini sangat erat hubungannya dengan penataan dan pemanfaatan lahan, yaitu
antara tipe luapan dan tipologi lahannya. Pola pemanfaatan dan tata air pada
gambut di lahan lebak akan berbeda dengan gambut yang berada di pasang
surut air tawar, atau di payau. Pengaturan tata air sangat penting untuk : 1)
pemanfaatan air pasang untuk pengairan, 2) mencegah akumulasi garam pada
daerah perakaran, 3) mencuci zat-zat toksik bagi tanaman, 4) mengatur tinggi
genangan untuk sawah dan tinggi permukaa air, dan 5) mencegah penurunan
permukaan tanah yang terlalu cepat untuk tanah gambut. Untuk itu, pola
pemanfaatan dari penataan tanah gambut untuk pertanian dapat dilakukan
sebagai berikut :
a. Untuk tipe luapan/tipe rawa lebak dengan tipologi lahan gambut dangkal, pola
pemanfaatan dan penataan lahannya adalah sawah/sawah tadah hujan,
sistem polder. Sedangkan untuk tipologi lahan gambut sedang-dalam adalah
perkebunan, sistem polder.
b. Untuk tipe luapan/tipe rawa pasang surut air tawar :
ƒ Tipologi lahan aluvial bergambut, pola pemanfaatan dan penataan
lahannya adalah sawah.

176
Hartatik dan Suriadikarta

ƒ Tipologi lahan gambut dangkal, pola pemanfaatan dan penataan lahannya


adalah sawah.
ƒ Tipologi lahan gambut sedang, pola pemanfaatan dan penataan lahannya
tergantung substratum di bawahnya, bisa tanaman pangan dan
hortikultura/perkebunan.
ƒ Tipologi lahan gambut dalam, pola pemanfaatan dan penataan lahannya
adalah perkebunan.
c. Untuk tipe luapan/tipe rawa pasang surut air payau/air asin dengan tipologi
lahan gambut payau/air asin, pola pemanfaatan dan penataan lahannya
adalah hutan mangrove.

DAFTAR PUSTAKA

Alexander, M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. John Wiley and Sons Inc.
New York.
Andriesse, J.P. 1974. Tropical Peats in South East Asia. Dept. of Agric. Res. Of
the Royal Trop. Inst. Comm. 63. Amsterdam 63 p.
Anwar, K. dan M. Alwi. 2000. Pengelolaan hara untuk meningkatkan hasil jagung
di lahan gambut dangkal. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan
Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung, 25-27 Juli 2000.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang
Pertanian. Departemen Pertanian.
Driessen, P.M. 1978. Peat soils. pp: 763-779. In: IRRI. Soil and rice. IRRI. Los
Banos. Philippines.
Driessen, P.M. and H. Suhardjo. 1976. On the defective grain formation of sawah
rice on peat. Soil Res. Inst. Bull. 3: 20 – 44. Bogor.
Halim, A. 1987. Pengaruh pencampuran tanah mineral dan basa dengan tanah
gambut pedalaman Kalimantan Tengah dalam budidaya tanaman kedelai.
Disertasi Fakultas Pascasarjana, IPB. Bogor. 322p.
Hartatik, W. dan D.A. Suriadikarta. 2001. Pengelolaan hara terpadu pada lahan
sulfat masam potensial bergambut. Dalam Prosiding Seminar Nasional
Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Pupuk. Cisarua, 30-31 Oktober 2001.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Hartatik, W., D.A. Suriadikarta, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1995. Pengaruh
ameliorasi dan pemupukan terhadap tanaman kedelai pada lahan gambut
Kalimantan Barat. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat
No. 2. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian.
Departemen Pertanian.

177
Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut

Hartatik, W., K. Idris, S. Sabiham, S. Djuniwati, dan J.S. Adiningsih. 2004.


Pengaruh pemberian fosfat alam dan SP-36 pada tanah gambut yang
diberi bahan amelioran tanah mineral terhadap serapan P dan efisiensi
pemupukan P. Prosiding Kongres Nasional VIII HITI. Universitas Andalas.
Padang.
Hartley, R.D. and D C. Whitehead. 1984. Phenolic acids in soil and their influence
of plant growth and soil microbial processes. In: D. Vaughan and R.E.
Malcolm (ed). Soil organic matter and biological activity. Martinus Nijhoff,
DR W. Junk Publisher. Lancaster. pp. 109-149.
Ivanoff, D.B., K.R. Reddy, and S. Robinson. 1998. Chemical fractionation of
organik phosphorus in selected Histosols. J. Soil Sci. 163(1):36-45.
Kononova. M.M. 1968. Transformation of organic matter and their relation to soil
fertility. Sov. Soil. Sci. 8:1047-1056.
Koswara, O. 1973. Potensi dan pemanfaatan daerah pasang surut : suatu kasus
di Sumatera. Seminar Pembangunan Fakultas Pertanian, IPB-Badan
Pengendali Bimas, Departemen Pertanian.
Laporan Kerjasama Lembaga Penelitian IPB dengan Puslittanak. 2001.
Leiwakabessy, F.M. 1978. Sifat lahan yang tersedia pada daerah transmigrasi.
Seminar pemantapan usaha-usaha pembangunan di daerah transmigrasi
oleh JTKI-PPSM.
Mario, M.D. 2002. Peningkatan produktivitas dan stabilitas tanah gambut dengan
pemberian tanah mineral yang diperkaya oleh bahan berkadar besi tinggi.
Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Miller, M.H. and R.L. Donahue. 1990. Soils. An Introduction to Soils and Plant
Growth. Prentice Hall Englewood Cliffs. New Jersey. 768p.
Murnita. 2001. Peranan bahan amelioran besi (Fe3+) dan zeolit terhadap perilaku
kalium dan produksi padi pada tanah gambut pantai dan peralihan Jambi.
Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Patrick, Z.A. 1971. Phytotoxic substance associated with the decomposition in
soil of plant residues. Soil Sci. 111: 13-18.
Polak, B. 1949. The Rawa Lakbok ( South Priangan, Java ). Investigation into the
composition of an eutrophic topogenous bog. Cont. Gen. Agr. Res. Sta. No.
8, Bogor, Indonesia.
Polak, B. 1975. Character and occurrence of peat deposits in the Malaysian
tropics. In: G.J. Barstra, and W.A. Casparie (Eds.). Modern Quaternary
Research in Southeast Asia. Balkema, Rotterdam.
Prasetyo, T.B. 1996. Perilaku asam-asam organik meracun pada tanah gambut
yang diberi garam Na dan beberapa unsur mikro dalam kaitannya dengan
hasil padi. Disertasi. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

178
Hartatik dan Suriadikarta

Rachim, A. 1995. Penggunaan kation-kation polivalen dalam kaitannya dengan


ketersediaan fosfat untuk meningkatkan produksi jagung pada tanah
gambut. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Rachim, A., A. Sutandi, S. Anwar, dan B. Nugroho. 1991. Alternatif perbaikan
kesuburan tanah gambut tebal. J. Ilmu Pertanian Indonesia 1:72-78.
Radjagukguk, B. 1997. Peat soil of Indonesia: Location, classification, and
problems for sustainability. In: J.O. Rieley and S.E. Page (Eds.). pp. 45-54.
Biodiversity and sustainability of tropical peat and peatland. Proceedings of
the International Symposium on Biodiversity, environmental importance
and sustainability of tropical peat and peatlands, Palangka Raya, Central
Kalimantan 4-8 September 1999. Samara Publishing Ltd. Cardigan. UK.
Rasjid, H., E.L. Sisworo, dan W.H. Sisworo 1997. Keefisienan fospat alam
sebagai pupuk p tanaman jagung. Risalah pertemuan ilmiah. penelitian dan
pengembangan Aplikasi isotop dan radiasi, Jakarta 18-19 Februari 1997
Buku 2 P3TIR-BATAN . Hlm 95-98.
Sagiman, S. 2001. Peningkatan produksi kedelai di tanah gambut melalui
inokulasi Bradyrhizobium japonicum asal gambut dan pemanfaatan bana
amelioran (lumpur dan kapur). Disertasi Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Salampak, 1999. Peningkatan produktivitas tanah gambut yang disawahkan
dengan pemberian bahan amelioran tanah mineral berkadar besi tinggi.
Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Saragih, E.S. 1996. Pengendalian Asam-Asam Organik Meracun dengan
Penambahan Fe (III) pada Tanah Gambut Jambi, Sumatera. Tesis S2.
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sholeh. 1999. Pengaruh penggunaan P-alam dan abu batu bara untuk
meningkatkan produktivitas lahan gambut di Sumatera Selatan. Prosiding
Seminar Nasional Sumberdaya Tanah, Iklim, dan Pupuk, Lido-Bogor, 6-8
Desember 1999. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Stevenson, F.J. 1994. Humus Chemistry. Genesis, Composition, and Reactions.
John Wiley and Sons. Inc. New York. 443 p.
Suastika, I W. 2004. Efektivitas Amelioran Tanah Mineral Berpirit yang Telah
Diturunkan Kadar Sulfatnya pada Peningkatan Produktivitas Tanah
Gambut. Tesis S2. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Subiksa, I G.M., Sulaeman, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1998. Pembandingan
pengaruh bahan amelioran untuk meningkatkan produktivitas lahan
gambut. Dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil
Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor, 10-12 Februari 1998.
Suhardjo, H. and I P.G. Widjaja-Adhi. 1976. Chemical characteristics of the upper
30 cms of peat soils from Riau. ATA 106. Bull. 3: 74-92. Soil Res. Inst.
Bogor.

179
Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut

Tadano, T., K.B. Ambak, K. Yonebayashi, and W. Pantanahiran. 1991.


Occurrence of phenolic compounds and aluminum toxicity in tropical peat
soils. In: Tropical peat, Proceedings of the International Symposium on
Tropical Peatland. MARDI, Malaysia.
Tadano, T., K.B. Ambak, K. Yonebayashi, T. Hara, P. Vijarnsorn, C. Nilnond, and
S. Kawaguchi. 1990. Nutritional Factors Limiting Crop Growth in Tropical
Peat Soils. In Soil Constraints on Sustainable Plant Production in the
Tropics. Proc. 24th inter. Symp. Tropical Agric. Res. Kyoto.
Tadano, T., K.Yonebayashi , and N. Saito. 1992 Effect of phenolic acids on the
growth and occurrence of sterility in cnop plants. pp: 358-369. In: K.
Kyuma, P. Vijarnsorn, and A. Zakaria (Eds). Coastal lowland ecosystems in
southern Thailand and Malaysia. Showado-printing Co. Skyoku. Kyoto.
Tan. 1993. Principles of Soil Chemistry. Marcel Dekker, Inc. New York. 362pp.
Tim Institut Pertanian Bogor, 1974. Laporan survai produktivitas tanah dan
pengembangan pertanian daerah Palangka Raya, Kalimantan Tengah.
Bogor.
Tisdale, S.L., W.L. Nelson, and J.D. Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizers. 4 th
ed. The Macmillan Publ. Co. New York. 694p.
Tsutsuki, K. 1984. Volatile products and low-molecular-weight products of the
anaerobic decomposition of organik matter. Inter. Rice Res. inst, Soil
Organik Matter. Pp: 329-343
Tsutsuki, K. and F.N. Ponnamperuma. 1987. Behavior of anaerobic
decomposition products in submerged soils. Soil Sci. and Plant Nutr.
3(1):13-33.
Tsutsuki, K. and R. Kondo. 1995. Lignin-derived phenolic compounds in different
types of peat profiles in Hokkaido. Japan. Soil Sci. and Plant Nutr. 41(3):
515-527.
Wang, T.S.C., T.T. Yang, and T.T. Chang. 1967. Soil phenolic acids as plant
growth inhibitors. Soil Sci. 103:239 –246.
Widjaja-Adhi, I P.G. 1988. Physical and chemical characteristic of peat soil of
Indonesia. IARD J. 10:59-64.
Wild, A. 1990 . The relation of thosphate by soil : A review . J. soil sci. 1: 221 –
237.
Yusuf, A., E. Rusdi, N. Hasan, dan A. Taher. 1995. Kajian tata air, kalium, dan
hara mikro terhadap padi di lahan gambut dalam. Dalam Teknologi
Produksi dan Pengembangan Sistem Usahatani di Lahan Rawa. Kumpulan
Hasil Penelitian. Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa
Terpadu-ISDP. Badan Litbang Pertanian.

________________________________________________________________

180
TEKNOLOGI PEMANFAATAN
VI LAHAN RAWA LEBAK
Trip Alihamsyah dan Isdijanto Ar-Riza

181
Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak

6.1. PENDAHULUAN

Meningkatnya pertambahan penduduk dan perkembangan industri


kebutuhan pangan nasional terutama beras dan lapangan kerja serta
berkurangnya lahan pertanian subur terutama di Jawa dan Bali seiring dengan
merupakan masalah dan tantangan serius bagi pembangunan pertanian di
Indonesia. Berdasarkan analisis data yang ada, Puslitbangtan (1992)
memprediksi bahwa kebutuhan beras nasional pada tahun 2018 dapat dipenuhi
apabila produksi padi pada tahun tersebut sebanyak 83,38 juta ton. Di lain pihak
telah terjadi penciutan lahan pertanian subur terutama di Jawa dan Bali karena
beralih fungsi ke penggunaan non-pertanian atau produksi non pangan yang
sangat besar, yaitu 35.000-50.000 ha/tahun (Nasoetion dan Winoto,1995). Untuk
memenuhi kebutuhan beras yang makin meningkat tersebut, menurut Adimiharja
et al. (2000) diperlukan penambahan areal sawah seluas 20.250 ha/tahun.
Salah satu alternatif pemecahan masalah dan sekaligus menjawab
tantangan tersebut adalah memanfaatkan lahan rawa lebak sebagai area!
produksi pertanian khususnya tanaman pangan, mengingat arealnya sangat luas
serta pemanfaatannya belum dilakukan secara intensif dan ekstensif. (Widjaja-
Adhi et al. 1992 dan Nugroho et al. 1993) memperkirakan luas lahan lebak di
Indonesia mencapai 13,28 juta ha yang terdiri atas lebak dangkal 4,167 juta ha,
lebak tengahan 6,075 juta ha, dan lebak dalam 3,038 juta ha, tersebar di
Sumatera, Papua dan Kalimantan. Lahan tersebut belum diusahakan secara
maksimal untuk usaha pertanian. Padahal dengan menerapkan teknologi
penataan lahan dan pengelolaan lahan serta komoditas pertanian secara
terpadu, lahan lebak dapat dijadikan sebagai salah satu andalan sumber
pertumbuhan agribisnis dan pendukung ketahanan pangan nasional.
Pemanfaatan lahan lebak untuk usaha pertanian kedepan perlu
mendapatkan perhatian yang lebih baik agar potensinya dapat dimanfaatkan
secara optimal dan sumberdaya alamnya tetap terpelihara dengan baik. Lahan
tersebut juga menyimpan beragam sumber daya genetik aneka komoditas
pertanian. Masalah utama pengembangannya adalah rejim air yang sangat
fluktuatif dan sulit diduga. Oleh karenanya untuk mengembangkan lahan lebak
menjadi areal pertanian, khususnya untuk tanaman padi dalam skala luas
memerlukan penataan lahan dan penerapan teknologi yang sesuai dengan
kondisi wilayahnya agar diperoleh hasil optimal.

182
Alihamsyah dan Ar-Riza

6.2. EKOSISTEM LAHAN LEBAK DAN ARAHAN PEMANFAATANNYA

Lahan rawa lebak adalah lahan yang rejim airnya dipengaruhi oleh hujan,
baik yang turun setempat maupun di daerah sekitarnya. Genangan air di lahan
lebak bisa lebih dari 6 bulan akibat adanya cekungan dalam, dikenal sebagai
rawa monoton atau disebut juga bono romo. Berdasarkan tinggi dan lama
genangan airnya, Widjaja-Adhi et al. (1992) mengelompokkan lahan lebak
menjadi lebak dangkal, lebak tengahan, dan lebak dalam. Masing-masing lahan
lebak tersebut memiliki karakteristik alami berbeda sehingga memerlukan
teknologi pemanfaatan yang berbeda pula.

6.2.1. Lebak dangkal

Lahan lebak dangkal adalah lahan lebak yang tinggi genangan airnya-
kurang dari 50 cm selama kurang dari 3 bulan. Lebak dangkal secara analogis
dapat disamakan dengan kategori Watun I-II. Watun I adalah areal sepanjang
300 depa yang diukur dari tepi rawa dalam hal ini adalah lahan pekarangan
kearah tengah rawa. Satu depa setara dengan 1,7 m, sehingga Watun I
merupakan areal sepanjang 510 m kearah tengah rawa, sedangkan Watun II
merupakan areal yang posisinya lebih dalam dari watun I, yaitu sepanjang 300
depa atau 510 m dari batas akhir Watun I. Lahan ini umumnya mempunyai
kesuburan tanah yang lebih baik, karena adanya proses penambahan unsur hara
dari luapan air sungai yang membawa lumpur dari daerah hulu (Ismail et al.,
1993). Lahan lebak dangkal sangat potensial untuk budidaya tanaman pangan
terutama padi. Dengan pengetahuan dan pengalamannya, petani telah
memanfaatkan lahan ini untuk budidaya padi.

6.2.2. Lebak tengahan

Lahan lebak tengahan adalah lahan lebak yang tinggi genangan airnya
50-100 cm selama 3-6 bulan. Lahan lebak tengahan dapat dianalogiskan dengan
Watun III-IV. Watun III merupakan areal yang posisinya lebih dalam dari Watun II,
yaitu sepanjang 510 m dari batas akhir Watun II, sedangkan posisi Watun IV
lebih dalam dari Watun III. Karena genangan air di lahan lebak tengahan lebih
dalam dan lebih lama dari pada di lahan lebak dangkal, maka masa pertanaman

183
Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak

padi di lahan ini lebih belakangan dari pada di lahan lebak dangkal. Pada lokasi
tertentu dimana sirkulasi air sangat jelek, maka akan terjadi pemasaman air
akibat dari hasil pembusukan bahan organik yang dikenal sebagai air bacam .
atau air bangai, yang ditandai oleh air yang berwarna coklat kehitaman, berbau
busuk yang menyengat, pH air sekitar 2,5 sehingga dapat mematikan tanaman.
Wilayah yang demikian tidak cocok untuk budidaya padi surung, tetapi sangat
potensial untuk padi rintak. Usahatani padi di lahan lebak tengahan hanya
dilaksanakan pada musim kemarau sesuai dengan kondisi genangan airnya.
Dengan pembuatan jaringan tata air, beragam pola tanam bisa diterapkan di
lahan lebak tengahan. Jaringan tata air di lahan lebak tengahan berupa
pembuatan saluran besar yang berfungsi menyalurkan air dari lahan ke sungai
dan parit yang berfungsi selain menyalurkan air dari petakan lahan ke saluran
besar, juga menampung air pada musim hujan untuk mengairi tanaman pada
musim kemarau. Potensi lahan tengahan untuk pertanian masih luas, yang
sekarang umumnya hanya ditumbuhi oleh gulma dan semak belukar.

6.2.3. Lebak dalam

Lahan lebak dalam adalah lahan lebak yang tinggi genangan airnya lebih
dari 100 cm selama lebih dari 6 bulan. Kategori lebak dalam dapat dianalogikan
dengan kategori Watun V yang merupakan areal dengan posisi lebih dalam dari
Watun IV. Pada musim kemarau dengan kondisi iklim yang normal, umumnya
lahan masih digenangi air dan ini ditumbuhi oleh beragam gulma terutama dari
jenis rumput Paspalidium yang tumbuh subur pada kondisi lahan berair.
Sehingga wilayah ini merupakan reservoir air dan sumber bibit ikan perairan
bebas. Lahan lebak dalam jarang digunakan untuk budidaya tanaman, kecuali
pada musim kering yang panjang akibat adanya anomali iklim seperti EI-Nino.
Pada kondisi demikian beberapa wilayah memang potensial untuk perluasan
areal tanaman. Namun demikian, dengan pembuatan jaringan tata air seperti
pada Iahan lebak tengahan, beragam pola tanam bisa diterapkan di lahan lebak
dalam. Jaringan tata air di lahan lebak dalam berupa pembuatan saluran besar
yang berfungsi menyalurkan air dari lahan ke sungai dan parit yang berfungsi
selain menyalurkan air dari petakan lahan ke saluran besar, juga menampung air
pada musim hujan untuk mengairi tanaman pada musim kemarau.

184
Alihamsyah dan Ar-Riza

6.3. TEKNOLOGI PENATAAN LAHAN DAN TANAMAN

6.3.1. Penataan lahan dan pola tanam

Penataan lahan perlu dilakukan guna mengoptimalkan pemanfaatan lahan


lebak untuk usaha pertanian. Karena genangan airnya kurang dari 50 cm, lahan
lebak dangkal dapat ditata sebagai sawah tadah hujan atau kombinasi sawah
dan tukungan maupun sistem surjan (Gambar 6.1). Sedangkan Iahan lebak
tengahan karena genangan airnya lebih dari 50 cm hendaknya ditata sebagai
sawah tadah hujan atau kombinasi sawah dan tukungan. Untuk lebak dalam yang
karena selalu tergenang air cukup tinggi dalam waktu yang lama seyogyanya
dibiarkan alami untuk usaha perikanan dan tanaman palawija maupun
hortikultura pada musim kemaraunya. Guna menyeragamkan tinggi genangan air
dan kesuburan tanah di petakan lahannya. maka lahan perlu diratakan
bersamaan dengan kegiatan pengolahan tanah.

a b

Gambar 6.1. Penataan lahan sistem surjan pada lebak dangkal (dok. Ar-Riza)
(a) Pola tanam padi-padi (tabukan) + ubi Alabio (surjan)
(b) Pola tanam padi-padi (tabukan) + labu merah (surjan)

Pola tanam untuk sawah dan bagian tabukan pada sistem surjan bisa padi
rancah gogo (rintak)-padi gogo rancah (surung), padi rintak-palawija/hortikultura-
padi surung dan padi rintak-palawija/hortikultura-palawija/hortikultura. Pola tanam
untuk sawah di lahan lebak tengahan adalah padi rintak-padi surung, padi rintak-

185
Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak

palawija dan padi rintak hortikultura. Pola tanam pada bagian guludan pada
sistem surjan bisa palawija/hortikultura palawija/hortikultura atau ditumpangsarikan
dengan buah-buahan tahunan dan pada tukungan ditanami tanaman buah-
buahan tahunan. Pola tanam di lahan lebak dalam yang dilengkapi dengan
jaringan tata air dan pada musim kemaraunya tidak tergenang air 4-6 bulan
adalah tumpang sisip jagung + kacang hijau, jagung + sayuran berumur pendek,
hortikultura berjarak tanam lebar + sayuran berumur pendek.

6.3.2. Jenis dan varietas tanaman

Melalui penataan lahan dan pengaturan tata air, berbagai komoditas


tanaman pangan (padi dan palawija) dan hortikultura (sayur-sayuran dan buah-
buahan) dapat dikembangkan di lahan lebak. Penanaman padi yang dilakukan
pada musim hujan dikenal sebagai padi surung, yang juga sering juga disebut
padi sawah barat karena dilakukan pada musim barat (Noorsjamsi dan Hidayat
1970) sedangkan padi yang ditanam di akhir musim hujan disebut padi rintak.
Penanaman padi surung membutuhkan varietas padi yang tinggi tanamannya
Iebih tinggi dari tinggi genangan air seperti Tapus, Alabio, dan Negara (Gambar
6.2).

a b

Gambar 6.2. Sistem monokultur padi pada lebak tengahan (a) padi surung (b)
padi rintak (dok. Ar-Riza)

Permasalahannya adalah fluktuasi perubahan tinggi genangan air yang


sering sangat besar dan mendadak serta kecepatan tinggi genangan air lebih

186
Alihamsyah dan Ar-Riza

besar dari kecepatan tumbuh tanaman padi, mengakibatkan bibit yang baru
ditanam terendam air dan mati.
Pertanaman padi rintak masalah utamanya kekeringan, maka memerlukan
varietas padi yang berumur pendek (genjah) dan tahan kekeringan. Varietas
umur genjah pada saat terkena kekeringan telah berada pada fase pengisian biji
atau masak susu sementara varietas umur sedang atau dalam masih berada fase
berbunga, sehingga varietas umur genjah dapat terhindar dari kekeringan dan
hasilnya tidak turun drastis seperti varietas umur dalam. Varietas yang telah teruji
kehandalannya diantaranya : Tajum, Secangkir, Progo, Cisokan (Ar-Riza, 2000).
Varietas lain seperti IR-36, IR-64, IR-66, dan beberapa varietas padi adaptif lahan
rawa pasang surut seperti Indragiri, Punggur, Lambur, Mendawak, Banyuasin,
Margasari dan Martapura dinilai sesuai untuk padi rintak (Ar-Riza dan Rina,
2003). Deskripsi padi adaptif lahan pasang surut disajikan pada Tabel 6.1.

Tabel 6.1. Varietas unggul padi rawa pasang surut yang bisa ditanam di lahan
lebak

Tahun Umur Tekstur Ketahanan hama dan penyakit


Nama varietas Hasil
dilepas panen nasi WCk HDB BCk BIas
hari t/ha
Barito 1981 140-145 3 Pera 1-1 AT - -
Mahakam 1983 135-140 3-4 Pera P- 1.2,3 AT - -
Kapuas 1984 127 4-5 Sedang 1-1 AT - -
Musi 1988 135-140 4,5 Pera 1-2 T - T
Sei Lilin 1991 115-125 4-6 Pera AI-2 - - AP
Lematang 1991 125-130 4-6 Pera 1-1 - - AT
Lalan 1997 125-130 4-6 Pera 1-1.2,3 - - T
Banyuasin 1997 115-120 4-6 Pulen 1-3 - T T
Batanghari 1999 125 4-6 Pera T-1,2 T - T
Dendang 1999 125 3-5 Pulen 1-1,2 - AT AT
Indragiri 2000 117 4,5-5,5 Sedang 1-2 T - T
Punggur 2000 117 4,5-5 Sedang 1-2,3 - - T
Margasari 2000 120-125 3-4 Sedang AI-2 - - T
Martapura 2000 120-125 3-4 Sedang AP - - T
Air Tenggulang 2001 125 5 Pera 1 – 1.2,3 T - T
Siak Raya 2001 125 5 Pera 1 –IR26 - T T
Lambur 2001 120 4 Pulen AI-3 - - T
Mendawak 2001 115 4 Pulen AI-3 - - AT
T = tahan; At = Agak Tahan; AP = Agak Peka; P = Peka; WCk = Wereng coklat; 1,2,3 =
Biotipe 1,2,3; HDB = Hawar daun bakteri; BCk = Bercak coklat
Sumber' : Khairullah dan Sulaeman (2002)

187
Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak

Namun demikian, pemilihan varietas padi yang akan ditanam di lahan


lebak perlu disesuaikan dengan preferensi petani dan konsumen di wilayah
pengembangannya. Lokasi yang cocok untuk penanaman padi surung adalah
lahan lebak dangkal sedangkan untuk padi rintak bisa lahan lebak dangkal dan
tengahan.
Penanaman palawija dan hortikultura di lahan lebak dilakukan pada musim
kemarau atau MK II, bila lahan sudah mengering atau di bagian guludan pada
lahan yang ditata dengan sistem surjan (Gambar 6.3).

a b

Gambar 6.3. Pertanaman palawija dan hortikultura di lahan lebak pada musim
kemarau. (a) jagung lokal var. Kima, (b) terong var. Mustang

Tanaman palawija yang dapat dikembangkan di lahan lebak adalah


jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi jalar dan talas, sedangkan untuk
tanaman sayuran adalah cabai, tomat, terong, waluh, timun, kacang panjang,
buncis, kubis, bawang, dan aneka sayuran cabut seperti sawi, slada, bayam, dan
kangkung (Alihamsyah dan Ar-Riza, 2004). Tanaman buah buahan semusim
yang dapat ditanam di lahan lebak adalah semangka, timun suri, dan melon.
Pilihan jenis dan varietas tanaman palawija dan hortikultura yang dapat
dikembangkan di lahan lebak disajikan pada Tabel 6.2.

188
Alihamsyah dan Ar-Riza

Tabel 6.2. Jenis dan varietas tanaman palawija dan hortikultura adaptif lahan
lebak
Jenis tanaman Varietas Hasil
t/ha
Jagung Arjuna, Kalingga, Bayu, Antasena, C-3, C-5, Semar, 4-5
Sukmaraga
Kedelai Wilis, Rinjani, Lokon, Dempo, Ga!unggung, Slamet, Lawit, 1,5-2,4
Merbabu, Petek, Kerinci, Tampomas, Tanggamus, Menyapa
Kacang tanah Gajah, Pelanduk, Kelinci, Singa, Jerapah, Komodo, Mahesa 1,8-3.5
Kacang hijau Betet, Walet, Gelatik 1,5
Tomat Intan, Permata, Berlian, Mirah, A V-22, Ratna 10-15
Cabai Tanjung-I, Tanjung-2, Barito, Bengkuiu, Tampar, Keriting, 4-6
Rawit Hijau dan Putih
Terong Mustang, Kopek Ungu, Ungu Panjang, No. 4000 30-40
Kubis KK Cross, KY Cross 20-25
Kacang panjang Super King, Pontianak, KP-I, KP-2, Lebar 15-28
Buncis Horti-I, Horti-2, Prosessor, Farmer Early, Green Leaf 6-8
Timun Saturnus, Mars, Pluto 35-40
Bawang merah Ampenan, Bima, Menteng, Sumenep, Kuning 4,1-7,6
Sawi Asveg#1, Sangihe, Talaud, Tosakan, Putih Jabung, Sawi 15-20
Hijau, Sawi Huma, No. 82-157
Slada New Grand Rapids 12-15
Bayam Maestro, Giti Hijau dan Merah, Cimangkok, Kakap Hijau 10-12
Kangkung LP-I, LP-2, Sutera 25-30
Sumber : Alihamsyah dan Ar-Riza, 2004.

6.4. TEKNOLOGI BUDIDAYA TANAMAN

6.4.1. Penyiapan lahan

Penyiapan lahan adalah kegiatan pembersihan rerumputan dan atau


pengolahan tanah, yang ditujukan agar lahan menjadi rata dan lebih seragam
sehingga pelaksanaan tanam dapat dilakukan lebih mudah dan memberikan hasil
yang lebih baik. Penyiapan lahan pada penanaman padi surung bisa dilakukan
dengan pengolahan tanah seksama baik maupun tanpa pengolahan tanah, yaitu
dengan menebas rerumputan dan menyemprot herbisida efektif tergantung
kepada kondisi lahannya. Pengolahan tanah di lahan lebak diperlukan selain

189
Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak

untuk memperbaiki kondisi lahan menjadi lebih seragam dan rata dengan adanya
penggemburan dan perataan, juga untuk pencampuran bahan organik maupun
pupuk dengan tanah. Khusus pada tanah yang keras dan berbongkah, sebaiknya
tanah diolah sampai gembur atau melumpur. Bila tanahnya sudah gembur atau
berlumpur dan rata, pengolahan tanah secara intensif tidak diperlukan tetapi
diganti dengan pengolahan tanah minimum atau tanpa olah tanah (TOT) yang
dikombinasikan dengan penggunaan herbisida efektif.
Penyiapan lahan pada penanaman padi rintak jarang dilakukan dengan
pengolahan tanah karena selain tanahnya sudah lunak (kepadatan tanah atau
soil bulk density <1). juga untuk percepatan tanam karena jangka waktunya relatif
singkat. Penyiapan lahan dilakukan dengan cara menebas rerumputan dan
mengkaitnya ke pematang petakan lahan, yang dikenal sebagai cara tebas-kait.
Biomasa rerumputan yang sudah lapuk dimanfaatkan sebagai pupuk organik
atau mulsa untuk menghambat laju evaporasi, agar tanah tetap dalam keadaan
lembab dan sekaligus memperbaiki kesuburan tanahnya. Penyiapan lahan dapat
juga dilakukan dengan menggunakan herbisida tetapi harus mempertimbangkan
kondisi lahan dan ketebalan rerumputan di petak sawah. Pada kondisi lahan yang
rerumputannya sangat tebal, utamanya jika didominasi oleh jenis Paspalidium sp.
penyemprotan herbisida harus dilakukan lebih awal agar pada saat tanam,
rerumputan tersebut sudah terdekomposisi dengan baik. Proses dekomposisi
dapat menyebabkan naiknya kemasaman tanah dan berkurangnya nitrogen
karena digunakan oleh bakteri dekomposer. Oleh karena itu, penanaman bibit
yang bersamaan dengan proses pembusukan bahan organik harus dihindari
karena dapat menyebabkan kematian bibit, sehingga dapat mengurangi populasi
tananam. Pada kondisi lahan yang tergenang air, dianjurkan penggunaan
herbisida kontak agar rerumputan lebih cepat mati (Chaerudin dan Ar-Riza,
2001).
Penyiapan lahan untuk penanaman palawija dan hortikultura juga bisa
dilakukan dengan pengolahan tanah disertai pemberian mulsa maupun tanpa
olah tanah atau olah tanah minimum, tergantung kepada kondisi lahannya. Bila
tanahnya padat, lahan diolah sampai gembur dengan cangkul atau traktor,
sedangkan bila tanahnya sudah gembur dan rata, penyiapan lahan dilakukan
dengan pengolahan tanah minimum atau tanpa olah tanah dengan cara menebas
rerumputan yang dikombinasikan dengan penggunaan herbisida efektif. Khusus
untuk lahan bergambut, penyiapan lahan hanya dilakukan dengan menebas
rerumputan kemudian disemprot herbisida efektif.

190
Alihamsyah dan Ar-Riza

6.4.2. Penyemaian dan penanaman

Sistem persemaian merupakan salah satu komponen penting yang perlu


diperhatikan dalam usahatani padi rintak. Bibit yang ditanam harus sehat, umur
bibit tidak tua, bibit cukup tinggi agar tidak terendam air saat ditanam. Untuk
memperoleh bibit yang baik dan sehat perlu digunakan benih yang baik dan
sistem persemaian yang dapat mendorong pertumbuhan bibit lebih cepat. Karena
padi rintak ditanam pada awal musim kemarau, yaitu saat menjelang surutnya air,
maka persemaian harus telah disiapkan lebih dahulu pada saat genangan air
rawa masih dalam. Ada dua macam teknologi persemaian, yaitu persemaian
kering-basah dan persemaian apung. Persemaian kering-basah yaitu
penyemaian dengan kepadatan benih 200-250 g/m2 dilakukan di tempat kering
yang letaknya agak tinggi seperti di tepi rawa atau pematang dan setelah
berumur 10 hari dipindahkan ke tempat basah (Ar-Riza dan Noor, 1993). Pada
umur 25 hari bibit pada sistem semai kering-basah telah tumbuh kuat dan tinggi
sehingga dapat ditanam pada lahan dengan tinggi genangan air 5-15 cm, dan jika
kondisi lapangan belum memungkinkan bibit dapat dipelihara sampai umur 30
hari. Persemaian apung adalah persemaian yang dilakukan pada tempat
persemaian dari rakit batang pisang yang telah diberi lumpur dan diikat pada
suatu tempat agar tidak terbawa arus air rawa.
Pada padi rintak, penanaman dilakukan dengan cara tanam jajar pada saat
genangan air sudah dangkal sehingga selain jumlah bibit yang diperIukan relatif
lebih sedikit, pengendalian gulma juga menjadi lebih mudah. Populasi tanaman
sebaiknya antara 250.000 sampai 330.000 rumpun per ha, tergantung kepada
kondisi lahan dan varietas yang digunakan. Varietas yang berkanopi kecil dan
tegak seperti Cisokan atau IR-66 ditanam lebih rapat, tetapi sebaliknya varietas
yang berkanopi setengah menyebar seperti Margasari perIu ditanam agak
renggang agar tidak saling menaungi.
Penanaman padi surung dapat dilakukan dengan cara tanam pindah
maupun tanam benih langsung pada awal musim hujan. Dengan sistem tanam
benih sebar langsung atau tanam pindah yang dipercepat waktu tanamnya
dengan pemberian air dengan menggunakan pompa air pada fase awal
pertumbuhan tanaman, maka resiko terendamnya tanaman dapat dihindari,
karena saat air mulai menggenang petakan lahan, tanaman padi sudah cukup
tinggi. Dengan percepatan waktu tanam tersebut resiko kegagalan panen dapat

191
Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak

diperkecil. Model percepatan waktu tanam ini bisa diterapkan juga untuk
mengatasi kekeringan pada pertanaman padi rintak.
Penanaman palawija dilakukan dengan sistem tugal atau sistem alur, yaitu
dengan cara membuat lubang atau alur pada tanah dengan alat tugal atau
pembuat alur kemudian benih dimasukkan kedalam lubang atau alur tersebut lalu
ditutup kembali dengan tanah. Sedangkan penanaman hortikultura ada yang
dilakukan dengan cara tanam benih langsung seperti : timun, semangka, kacang
panjang, waluh, dan buncis maupun cara tanam bibit atau tanam pindah seperti :
tomat, cabai, terong, kubis, bayam, sawi, dan slada sehingga diperIukan
penyemaian benih yang baik.

6.4.3. Pemupukan

Lahan lebak memiliki keragaman kesuburan tanah yang tinggi dengan


kandungan hara N-total sedang (0,33%), P-tersedia rendah (11,3 me/100 g), K-
tersedia rendah (0,20 me/100 g), dan C-organik 10,8%. Tingkat kesuburan tanah
di lahan lebak dapat dikatakan kurang sampai sedang sehingga untuk
meningkatkan produktivitasnya perIu dilakukan pemupukan. Takaran pupuk yang
diperlukan sangat tergantung pada kondisi kesuburan tanah dan varietas yang
ditanam sehingga untuk pemberian pupuk yang tepat dan efisien perlu dilakukan
uji tanah di setiap wilayah pengembangan. Pada umumnya varietas padi yang
berkanopi tegak sangat responsif terhadap pemupukan, sehingga memerIukan
takaran yang lebih tinggi, sedangkan yang berkanopi menyebar memerIukan
pupuk lebih sedikit.
Takaran pupuk yang dianjurkan untuk padi surung adalah 45-90 kg N + 45-
90 kg P205 + 25-50 kg K20 per ha dan untuk padi rintak dengan varietas resposif
pemupukan adalah 90-135 kg N + 50-70 kg P205 + 50 kg K20 per ha, sedangkan
untuk varietas yang tidak rensposif pemupukan seperti Martapura dan Margasari
adalah 45-70 kg N + 70 kg P205 + 60 kg K20 per ha (Ar-Riza dan Rina, 2003).
Pupuk N diberikan dua tahap yaitu 1/3 bagian diberikan bersamaan dengan
pupuk P dan K pada saat tanam sedangkan sisanya diberikan pada saat
tanaman berumur 30 hari. Takaran pupuk untuk tanaman jagung adalah 90-135
kg N + 45-90 kg P205 + 25-50 kg K20 per ha. Untuk tanaman kacang-kacangan
pemberian pupuk sebanyak 45 kg N + 75 kg P205 + 50 kg K20 sudah cukup
memadai, sedangkan untuk tanaman hortikultura, selain pemberian pupuk
anorganik diperlukan juga pemberian pupuk organik berupa pupuk kandang

192
Alihamsyah dan Ar-Riza

sebanyak 3-5 t/ha. Belum tersedia informasi takaran pupuk yang pasti untuk
tanaman hortikultura di lahan lebak, namun demikian informasi takaran pupuk di
lahan rawa pasang surut dapat dipakai sebagai acuan (Tabel 6.3).

Tabel 6.3. Takaran pupuk pada tanaman hortikultura di lahan pasang surut
Takaran pupuk
Tanaman Tipologi
Pupuk kandang N P2O5 K2O
……………………. kg/ha …………………….
Cabai Potensial 5.000 90 90 50
Gambut 5.000 45 90 60
Tomat Potensial 5.000 135 90 60
Gambut 5.000 90 90 60
Bawang merah Potensial 10.000 90 90 75
Sawi Potensial 5.000 90 90 75
Semangka **) Potensial 10.000 0,027 0,020 0.006
*) Satuan g/pohon.
Sumber : Alihamsyah (2003)

6.4.4. Pengelolaan gulma dan bahan organik

Gulma atau rerumputan di lahan lebak tumbuh subur dan berkembang


cepat serta merupakan salah satu faktor pembatas pertumbuhan tanaman
terutama padi di lahan lebak serta dapat menurunkan hasil padi sampai 74,2%.
Potensi gulma yang sangat melimpah di lahan lebak tersebut perlu dikelola
sehingga tidak merugikan tanaman tetapi malah meningkatkan kualitas dan
produktivitas lahan. Gulma pada pertanaman padi rintak umumnya didominasi
oleh gulma berdaun lebar seperti Alternatera sp., Heliotropium sp., gulma
berdaun sempit Axonopus sp., golongan teki (Cyperus) dan Fimbristylis sp.
(Chaerudin dan Ar-Riza, 2001). Pengendalian gulma untuk pernyiapan lahan
berbeda dengan pengendalian gulma untuk penyiangan. Selain secara
tradisional, pengendalian gulma dapat dilakukan juga dengan herbisida efektif,
yaitu untuk pertanaman padi dan kedelai dapat digunakan Diuron 80 WP,
Metachlor 500 EC, Oxyfluorfen 2EC, Oxadiazon 25 EC atau 2-4-DA mine,
maupun MPCA dengan takaran 1,5 l/ha (Ar-Riza et al., 1998, 2000 dan
Chaerudin et al., 2000).
Gulma atau rerumputan tersebut bisa digunakan sebagai mulsa guna
menekan evaporasi dan menekan pertumbuhan gulma baru serta meningkatkan
kualitas lahan. Dengan takaran kompos gulma sebanyak 2-3 t/ha ternyata dapat
meningkatkan hasil padi rintak. Dari kedua macam gulma yang dapat digunakan

193
Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak

sebagai mulsa, Sulvinia memberikan hasil yang lebih baik daripada Paspalidium
karena C/N rasionya lebih rendah sehingga mudah mengalami dekomposisi.
Pemanfaatan rumput Paspalidium dan Salvinia pada pertanaman padi rintak
dapat meningkatkan hasil sebesar 24,0-31,9% (Ar-Riza, 2002). Sedangkan
pupuk nitrogen yang dikombinasikan dengan biomasa Salvinia molesta sebanyak
1 t/ha dapat meningkatkan efisiensi pemupukan N sebesar 19,6% (Ar-Riza,
2002).

6.4.5. Pengendalian OPT

Pada dasarnya pengendalian hama dan penyakit dilakukan Secara terpadu


menggunakan teknologi PHT melalui penggunaan varietas tahan, musuh alami,
penerapan teknik budidaya yang baik dan sanitasi lingkungan sedangkan
penggunaan pestisida kimiawi dilakukan sebagai tindakan terakhir (Balitra, 2001).
Hama utama tanaman kususnya padi adalah tikus dan penggerek batang padi
putih. Serangan hama tikus umumnya terjadi pada saat tanaman memasuki fase
bunting, sehingga upaya pengendalian dini sangat bermanfaat dalam
menurunkan populasi tikus. Pengendalian hama secara dini dilaksanakan dengan
cara pembongkaran lubang-Iubang persembunyian dan memasang umpan
beracun sejak 15 hari sebelum semai sampai fase awal pertumbuhan generatif
setelah itu, dilakukan pengendalian dengan cara fumigasi dan pemasangan bubu
serta pagar plastik pada fase pertumbuhan generatif. Sedangkan penggerek
batang padi putih dapat dikendalikan dengan insektisida BPMC takaran 2-2,5
cc/air dengan volume semprot 600 lt air/ha. Untuk keberhasilan pengendalian
hama dari penyakit ini diperlukan partisipasi aktif petani dan dukungan aparat
pemerintah serta sarana dan prasarana penunjang yang memadai.

Tabel 6.4. Strategi dan taktik pengendalian terpadu hama tikus di lahan lebak
Komponen teknologi pengendalian
Stadia tanaman
padi Umpan Perangkap
Gropyokan Fumigasi SPP
beracun bambu
Bera x x x
Persemaian x x x
Anakan aktif x x
Bunting x x x
Bermalai x x
Panen x x
SPP : Sistem pagar perangkap untuk 1 ha dengan 40 buah bagi 20 ha tanaman padi.
Sumber : Balittra (2001).

194
Alihamsyah dan Ar-Riza

6.4.6. Penanganan panen dan pasca panen

Kehilangan hasil padi di lahan lebak masih cukup tinggi, yaitu mencapai
12,5% dan mutunya rendah, karena belum baiknya penanganan panen dan
pasca panen, yaitu penentuan saat panen, cara panen, dan prosessing serta
terbatasnya tenaga kerja. Saat panen yang tepat adalah saat gabah padi telah
dalam fase masak fisiologis, yaitu hampir semua gabah matang. Pada fase ini,
prosentase kerontokan gabah akibat panen sedikit. Panen dilakukan dengan cara
memotong malai padi menggunakan sabit bergerigi kemudian hasilnya
dikumpulkan dan dirontok dengan mesin perontok (power thresher) atau digebot.
Penggunaan sabit bergerigi untuk panen padi dapat mengurangi kebutuhan
waktu kerja dari 388 jam/ha menjadi 130 jam/ha dengan susut hasil dan hasil
padi yang tidak berbeda. Sedangkan penggunaan power thresher selain dapat
meningkatkan kapasitas kerja dari 34,5 kg/jam menjadi 224,5 kg/jam juga
mengurangi kehilangan hasil dengan biaya jasa sewa lebih murah (Ananto et al.,
1999; Balittra, 2001).

6.5. UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI

Pada umumnya, produksi tanaman khususnya padi di lahan lebak masih


relatif rendah padahal peluang peningkatan produksi tersebut cukup besar
mengingat potensi arealnya cukup luas dan teknologi pemanfaatannya sudah
cukup tersedia. Karena upaya peningkatan produksi pertanian terutama tanaman
pangan di lahan lebak guna mendukung ketahanan pangan nasional, secara
garis besar dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu : (1) peningkatan produktivitas
lahan, dan (2) perluasan areal tanam. Penerapan kedua cara tersebut
memerlukan prasyarat atau prakondisi tertentu agar dapat dilaksanakan dengan
hasil baik.

6.5.1. Peningkatan produktivitas lahan


Peningkatan produktivitas, dapat dilakukan dengan menerapkan teknologi
yang tersedia seperti yang diterangkan pada bab teknologi budidaya, dengan
mengitegrasikan secara sinergis masing-masing komponen teknologi yang
disesuaikan dengan karakteristik lahannya.

195
Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak

Selain penerapan komponen teknologi yang sinergis dan sesuai, agar


mencapai hasil maksimal maka harus didukung oleh penataan lahan dan jaringan
tata air. Dalam jangka panjang, penataan lahan dan sekaligus penataan jaringan
tata air sangat diperlukan, agar dapat memberikan sumbangan yang lebih besar
terhadap ptoduksi padi dan sekaligus dapat meningkatkan diversifikasi hasil
pertanian. Lahan lebak dangkal mempunyai potensi yang lebih baik, karena
posisinya yang lebih dekat dengan sungai besar. Lahan lebak dangkal bisa ditata
sebagai surjan dengan ukuran tinggi sekitar 60-75 cm, dengan lebar 1-2 m atau
sawah dan tukungan dengan diameter sekitar 2 m. Pada petakan lahan yang
ditata sistem surjan, pada salah satu sisinya digali saluran berukuran (dalam 0,6
m, lebar 1 m), fungsinya sebagai pengatur kelengasan tanah pada petak sawah
dan tempat hidup atau perangkap ikan alami. Sementara pada bagian guludan
surjan dapat dimanfaatkan untuk tanaman palawija atau hortikuitura. Pembuatan
dan perataan petak sawah diperlukan guna membantu pengaturan air.
Pada lahan lebak tengahan dan lebak dalam perlu dibuat jaringan tata air
berupa saluran besar yang menghubungkan petakan lahan ke sungai guna
mengalirkan air dari kawasan lahan kesungai sehingga air genangan cepat surut
dan sekaligus sebagai prasarana transportasi. Sedangkan pada petakan lahan
perlu dibuat parit berukuran lebar 1 m dan dalam 0,6 m yang dilengkapi dengan
pintu air sistem tabat guna mengalirkan air dari petakan lahan ke saluran besar
dan menampung air pada musim kemarau untuk mengairi tanaman palawija atau
hortikultura serta sekaligus sebagai tempat hidup atau perangkap ikan alami
Sistem jaringan tata air ini akan lebih baik jika dikombinasikan dengan
penggunaan pompa air untuk memanfaatkan sungai yang posisinya tidak terlalu
jauh dari kawasan lahan lebak. Dengan demikian, bantuan pemerintah sangat
diperlukan terutama untuk sistem tata air menggunakan pompa. Sedangkan
untuk penataan lahan sistem surjan atau tukungan dapat dilakukan oleh petani
tetapi perlu percontohan dan penyuluhan yang lebih intensif.

6.5.2. Perluasan areal pertanaman

Perluasan areal tanam dilakukan dengan meningkatkan intensitas


pertanaman (IP) dan penambahan luas baku lahan melalui pembukaan lahan
baru.

196
Alihamsyah dan Ar-Riza

Saat ini, intensitas pertanaman di lahan lebak umumnya masih rendah,


yaitu sekitar 110% padahal dengan penerapan teknologi, IP di lahan lebak
dangkal bisa mencapai 300% dengan menerapkan pola tanam padi rintak-
palawija/hortikultura-padi surung, dengan menerapkan teknologi percepatan
tanam. Adapun di lahan lebak tengahan bisa mencapai 200% dengan
menerapkan padi rintak-padi surung atau padi rintak-palawija/hortikultura. Untuk
meningkatkan keberhasilan penerapan pola tanam tersebut diperlukan upaya
pemanfaatan air secara efisien dengan memanfaatkan air sungai menggunakan
pompa yang disertai pembuatan jaringan tata air. Pengairan dengan pompa air
dapat dimanfaatkan untuk mempercepat waktu tanam padi surung dengan
pemberian air ke petakan lahan sebelum banyak turun hujan karena air yang
diperlukan tanaman padi pada fase awal pertumbuhan tanaman sedikit. Dengan
percepatan waktu tanam tersebut resiko terendamnya tanaman dapat dihindari,
karena saat air rawa mulai menggenang tanaman padi telah cukup tinggi.
Dalam jangka panjang, perluasan areal pertanaman di lahan lebak
hendaknya dilakukan juga melalui pembukaan lahan baru, mengingat potensinya
luas sedangkan yang diusahakan masih terbatas karena berbagai masalah dan
kendala terutama dalam kaitannya dengan infrastruktur dan kemampuan petani.
Lahan lebak yang berpotensi ditanami tanaman pangan khususnya padi adalah
lahan lebak dangkal dan lebak tengahan yang luas totalnya diperkirakan
4.186.000 ha untuk lebak dangkal dan 6.075.000 ha untuk lebak tengahan,
sedangkan yang sudah diusahakan hanya sekitar 729.000 ha. Lahan lebak
dalam pada musim kemarau dengan kondisi iklim yang normal masih tergenang
air, tetapi pada kondisi tertentu seperti saat terjadi EI-Nino pada sebagian lokasi
airnya surut dan menjadi lahan yang potensial untuk usahatani padi. Dalam
hubungannya dengan hal tersebut Alkusuma et al. (2002) cit Irianto et al. (2002)
melalui interpretasi citra landsat di Sumatera Selatan, Lampung, Riau,
Kalimantan Selatan, menginformasikan bahwa lebak dalam pada saat terjadi EI-
Nino sekitar 174.851 ha, dan lebak tengahan sekitar 35.431 ha bisa diubah
menjadi lahan yang sesuai untuk usahatani padi. Masalahnya adalah dimana
saja dan berapa luas efektifnya serta bagaimana karakteristik rinci lahan tersebut.
Oleh karena itu, salah satu langkah strategis yang perlu dilakukan adalah
menginventarisir dan mengkarakterisasi sebaik mungkin lahan-lahan tersebut
guna menentukan pola pemanfaatan lahannya dan penerapan teknologi
pengembangannya secara tepat dan efisien serta ramah lingkungan.

197
Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak

6.6. PRAKONDISI DAN TAHAPAN LANGKAH OPERASIONAL

6.6.1. Prakondisi
Sebelum program dijalankan, maka diperlukan informasi unsur penunjang
yang dapat mendukung keberhasilan pelaksanaan program: (1) peta dan
informasi karakteristik wilayah, (2) kemampuan dan partisipasi masyarakat, (3)
ketersediaan sarana dan prasarana penunjang, (4) kebijaksanaan pemerintah.
Peta dan informasi karakteristik wilayah. Peta dan informasi
karakteristik wilayah diperlukan untuk menentukan pola pemanfaatan lahan dan
perakitan komponen teknologi. Peta tersebut minimal memuat informasi
penyebaran tipe lahan dan sifat fisiko-kimia penting tanah dan air, termasuk
masalah biofisiknya. Apabila hal ini tidak tersedia, maka tahap awal perlu
dilakukan identifikasi dan karakterisasi lahan di calon lokasi pengembangan.
Informasi lainnya adalah kondisi sosial ekonomi masyarakat dan kelembagaan
penunjang.
Kemampuan dan partisipasi masyarakat. Pengetahuan petani dan
penyuluh tentang pengelolaan usahatani di lahan lebak melalui penerapan
teknologi secara benar pada umumnya masih kurang. Oleh karena itu,
kemampuan mereka harus ditingkatkan melalui berbagai cara, antara lain
pelatihan dan pembinaan secara intensif serta kunjungan ke demplot.
Kemampuan masyarakat khususnya petani, bukan hanya pengetahuan tapi juga
dalam hal permodalan untuk usahataninya. Oleh karena itu, perlu adanya
dukungan lembaga perkreditan atau keuangan yang dapat menyediakan modal
usaha bagi petani secara cepat dengan prosedur yang sederhana dan mudah.
Partisipasi masyarakat diperlukan dalam penerapan teknologi pemanfaatan lebak
tidak hanya terbatas pada masyarakat petani dengan kelompoknya, tetapi juga
pihak swasta atau pengusaha dan aparat pemerintah.
Ketersediaan sarana dan prasarana penunjang. Teknologi pemanfaatan
lahan lebak baru bisa diterapkan dengan baik oleh petani apabila tersedia sarana
dan prasarana penunjang yang memadai. Penerapan teknologi varietas,
ameliorasi dan pemupukan perIu didukung oleh penyediaan benih bermutu,
bahan ameliorasi dan pupuk yang memadai secara tepat jumlah, jenis dan waktu.
Penerapan teknologi pengolahan tanah dan penanganan pasca panen
memerIukan dukungan alat dan mesin pertanian berupa traktor, mesin perontok

198
Alihamsyah dan Ar-Riza

dan pengering mengingat terbatasanya tenaga kerja. Sedangkan penerapan


teknologi pengendalian OPT memerIukan bahan pengendali OPT dan peralatan
untuk aplikasinya. Sarana dan prasarana tersebut harus memadai secara tepat
jumlah, jenis dan waktu serta terjangkau agar penerapan teknologi di lahan lebak
dapat berjalan dengan baik. Dalam kaitan dengan penyediaan sarana dan
prasarana ini diperIukan pengembangan kelembagaan agribisnis yang sesuai,
terutama yang melibatkan kelompok atau koperasi petani dan pengusaha swasta
lokal.
Kebijaksanaan pemerintah. Dari berbagai pengalaman pengembangan
pertanian di daerah rawa menunjukkan bahwa kebijaksanaan yang perIu
diperhatikan oleh pemerintah untuk mendukung pengembangan teknologi
pertanian di lahan rawa secara berkelanjutan mencakup beberapa hal, terutama :
(1) identifikasi dan karakterisasi daerah pengembangan potensial, (2) rehabilitasi
dan peningkatan prasarana tata air, (3) peningkatan kemampuan petugas dan
petani termasuk fasilitas dan sarana penyuluhan, (4) insentif harga yang layak
serta fasilitas kredit dan permodalan, (5) penyediaan dan deregulasi tata niaga
sarana produksi dan pemasaran hasil, (6) pengembangan kelembagaan,
terutama yang berakar dari masyarakat termasuk lembaga keuangan pedesaan,
(7) pengembangan jaringan perhubungan antar wilayah, dan (8) peningkatan
koordinasi dan keterpaduan kerja antar instansi terkait melalui pendekatan
mekanisme fungsional maupun struktural.

6.6.2. Tahapan dan langkah operasional


Untuk mendukung keberhasilan pengembangan teknologi pemanfaatan
lahan lebak perlu dilakukan beberapa langkah operasional berikut :
1. Identifikasi atau inventarisasi dan karakterisasi calon wilayah pengembangan
oleh Dinas Pertanian, Badan Litbang Pertanian (BPTP) dan Dinas
Kimpraswil.
2. Menyusun tata ruang dan menentukan alternatif paket teknologi sesuai
karakteristik lahan dan sosial ekonomi setempat oleh Badan Litbang
Pertanian (BPTP) dan Dinas Pertanian.
3. Menyusun program pengembangan oleh Dinas Pertanian, Badan Litbang
Pertanian (BPTP) dan Dinas Kimpraswil dengan melibatkan berbagai pihak
terkait.

199
Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak

4. Apresiasi dan sosialisasi program pengembangan pada berbagai tingkatan


terutama kepada penyuluh, petani dan kelompok tani oleh Dinas Pertanian.
5. Meningkatkan pengetahuan maupun motivasi petani dan petugas terutama
penyuluh melalui pelatihan dan percontohan serta kunjungan lapang oleh
Dinas Pertanian bekerjasama dengan Badan Litbang Pertanian (BPTP) dan
Balai Diklat Deptan.
6. Menyediakan dan mendistribusikan sarana produksi khususnya benih, pupuk
dan pestisida serta alsintan oleh Dinas Pertanian dengan melibatkan
berbagai pihak terkait dan lembaga agribisnis termasuk koperasi tani.
7. Meningkatkan prasarana pendukung terutama jaringan tata air dan
perhubungan oleh Dinas Kimpraswil.
8. Memonitor, membina dan mengevaluasi pelaksanaan program
pengembangan secara berkala oleh Dinas Pertanian dan Badan Litbang
Pertanian (BPTP) dengan melibatkan berbagai pihak terkait.

PENUTUP

Lahan rawa lebak memiliki potensi besar dan merupakan salah satu pilihan
untuk sumber pertumbuhan agribisnis dan mendukung peningkatan ketahanan
pangan nasional. Namun untuk keberhasilannya, maka pengembangannya harus
dilakukan secara terencana melalui penerapan teknologi tepat guna dengan
pendekatan holistik, dan partisipatif dengan fokus optimalisasi pemanfaatan dan
pelestarian sumberdaya alamnya. Oleh karena itu, komitmen, koordinasi dan
sinkronisasi serta keterpaduan kerja antar pihak terkait khususnya Dinas
Pertanian dan Kimpraswil serta Badan Litbang Pertanian dan petani atau
kelompok tani perlu diwujudkan. Sebaiknya mulai dari perencanaan sampai
kepada pelaksanaan serta monitoring dan pembinaannya di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Adimihardja, A., K. Sudarman, dan D.A. Suriadikarta. 2000. Pengembangan


Lahan Pasang Surut : keberhasilan dan kegagalan ditinjau dari fisiko kimia
lahan pasang surut. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian
menunjang Akselerasi Pengembangan Lahan Pasang Surut. Balittra.
Banjarbaru.

200
Alihamsyah dan Ar-Riza

Alihamsyah, T. dan I. Ar-Riza. 2004. Potensi dan teknologi pemanfaatan lahan


rawa lebak untuk pertanian. Makalah Utama. Workshop Nasional
Pengembangan Lahan Rawa Lebak. Kerjasama Balai Penelitian Pertanian
Lahan Rawa-Pemda Kabupaten Hulu Sungai- Dinas Pertanian Prop.
Kalimantan Selatan, Kandangan, 11-12 Oktober 2004.
Alihamsyah, T. 2003. Hasil penelitian pertanian pada lahan pasang Surut.
Prosiding Seminar Nasional. Hasil-Hasil Penelitian dan Pengkajian
Teknologi Spesifik Lokasi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi-
Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Jambi. Hlm 20-26.
Ananto, E.E., Astanto, dan Sutrisno. 1999. Sistem panen dan pasca panen padi
di lahan pasang surut. Laporan Proyek Pengembangan SUP Lahan
Pasang Surut Sumatera Selatan. Hlm 30.
Ar-Riza, I. dan Y. Rina. 2003. Optimasi pemanfaatan lahan rawa lebak untuk
peningkatan produksi padi. Dalam. Prosiding Seminar Nasional Inovasi
Teknologi Sumberdaya Tanah dan Iklim. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor.
Ar-Riza, I., H.Dj. Noor, D. Nazemi, dan Chairudin. 1993. Varietas padi rintak
berdaya hasil tinggi di lahan lebak Kalimantan Selatan. Dalam. Teknologi
Produksi dan Pengembangan Sistem Usahatani di Lahan Rawa. Hasil
Penelitian. Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu-
ISDP. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Ar-Riza, I. 2000. Prospek pengembangan lahan rawa lebak Kalimantan Selatan
dalam mendukung peningkatan produksi padi. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. 19(3):92.
Ar-Riza, I. 2002. Upaya peningkatan produksi dalam budidaya padi rintak di lahan
rawa lebak. Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Agronomi Indonesia
(PERAGI). 29-30 Oktober 2002. Bogor.
Balittra. 2001. Laporan Tahunan 2001. Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan
Rawa. Banjarbaru.
Chaerudin, R.S. Simatupang, dan D. Nazemi. 2000. Pengelolaan gulma di lahan
rawa lebak menunjang sistem budidaya pertanian konservasi. Dalam
Prosiding Seminar Nasional. Budidaya Pertanian Olah Tanah Konservasi.
Himpunan Ilmu Gulma Indonesia (HIGI) dan Balai Penelitian Tanaman
Pangan Lahan Rawa. Banjarbaru. Hlm 82-92.
Chaerudin dan I. Ar-Riza. 2001. Pengaruh penyiapan lahan pada wilayah yang
didominasi pertumbuhan gulma Paspalidium sp. terhadap hasil padi rintak.
Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Pusat

201
Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak

Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Banjarbaru. (tidak


dipublikasi).
Irianto, G., H. Syahbuddin, W. Estiningtyas, E. Surmaini, dan I. Las. 2002.
Pendayagunaan keragaman iklim untuk meningkatkan produksi padi.
Dalam. Suprihatno, B.l. Soeyitno, M. Syam, A.K. Makarim, Suwandi, L.N.
Widiarta, dan Hermanto (Eds). 2002. Kebijakan Perberasan dan Inovasi
Teknologi Padi. Buku-l. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor. Hlm 142.
Ismail, I.G., T. Alihamsyah, I P.G. Widjaja-Adhi, Suwarno, H. Tati, R. Tahir, dan
D.E. Sianturi. 1993. Sewindu Penelitian Pertanian di Lahan Rawa (1985-
1993). Kontribusi dan Prospek Pengembangan. Proyek Penelitian
Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa Swamps II. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Khairullah, I. dan S. Sulaeman. 2002. Varietas unggul dan galur harapan padi
adaptif lahan rawa. Monograf : Varietas Tanaman Pangan Adaptif Lahan
Rawa. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru.
Nasoetion, L.T. dan T. Winoto. 1995. Masalah alih fungsi lahan pertanian dan
dampaknya terhadap keberlangsungan swasembada pangan. Makalah.
Lokakarya Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air:
Dampaknya Terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan, Cipayung,
Bogor, 31 Oktober-2 November 1995.
Noorsjamsi and O. Hidayat. 1970. the Tidal Swamps Rice Culture in South
Kalimantan. Central Research Institute For Agricultural Representation.
Kalimantan Indonesia.
Puslitbangtan. 1992. Arah dan strategi penelitian dan pengembangan tanaman
pangan dalam PIP II. Makalah disampaikan pada Raker Badan Litbang
Pertanian, 15-17 Juni 1992. Cisarua, Bogor.
Widjaja-Adhi, I P.G., K. Nugroho, D.A. Suriadikarta, dan A.S. Karama. 1992.
Sumber daya lahan pasang surut, rawa dan pantai: Keterbatasan dan
Pemanfaatan. Dalam. Partohardjono dan M. Syam (Ed). 1992.
Pengembangan Terpadu Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

202
SUMBERDAYA HAYATI
VII PERTANIAN LAHAN RAWA
Izhar Khairullah, Mawardi, dan Muhrizal Sarwani

203
Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa

7.1. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara pemilik "mega diversity "sumber


daya hayati yang melimpah” diantaranya terdapat di lahan rawa. Lahan rawa di
Indonesia diperkirakan meliputi areal 33,4-39,4 juta ha yang tersebar umumnya di
empat pulau besar yaitu Kalimantan, Sumatera, Irian Jaya (Papua), dan
Sulawesi. Sebagai sebuah ekosistem yang spesifik, lahan rawa dicirikan oleh
sifat hidrologi dan tanah yang khas. Sifat hidrologinya dipengaruhi oleh diurnal
pasang surut atau ketergenangan melebihi tiga bulan, sedangkan sitat tanahnya
yang khas adalah adanya mineral pirit sebagai pembentuk tanah sulfat masam
dan gambut sebagai bahan dasar pembentuk tanah gambut. Sifat yang khas ini
mendukung tumbuhan, binatang dan mikroba yang khas rawa. Misalnya
tumbuhan rotan akan berkembang dengan baik pada suasana "recalcitrant" yang
tinggi yaitu pada tanah gambut.
Dalam keadaan alami, lahan rawa merupakan salah satu ekosistem yang
memiliki keanekaan hayati yang cukup tinggi dan kompleks meliputi beragam
tanaman, pohon komersial (38 jenis), ikan ( 200-300 jenis). dan ternak yang khas
rawa (Chairuddin, 1989). Selain itu, lahan rawa memiliki beragam tanaman yang
mempunyai sifat unggul. Sebagai contoh adalah padi lokal pasang surut yang
sebagian mempunyai kemampuan adaptasi terhadap kondisi genangan maupun
kondisi pH yang rendah. Beberapa buah lokal memiliki keunggulan seperti durian
liar (Durio lowianus) diketahui mempunyai ketahanan terhadap durian "patch
cancer" (yang disebabkan Phytoptora palmivora) dan mempunyai batang lebih
tegar sehingga berprospek digunakan sebagai rootstock plants bagi durian
komersial. Mangga hambuku adalah sejenis mangga yang tumbuh dan bertahan
hidup meskipun dalam keadaan terendam. Oleh karena itu, upaya menjaring
keberagaman sifat-sifat genetik tanaman sangat diperlukan untuk memperbaiki
produktivitas dan kualitas tanaman, Perakitan varietas padi unggul modern
adalah contoh keberhasilan pemanfaatan sumber daya genetik. Lebih dari 100
varietas padi lokal asal Indonesia telah digunakan dalam program pembentukan
padi tipe baru (Fagi et aI., 2002). Karena itu, informasi tentang potensi dan
karakteristik lahan dan sumberdaya hayati dapat dimanfaatkan untuk strategi
peningkatan produktivitas dan kualitas jenis-jenis lahan rawa:
Sukses yang dicapai dalam menggali potensi sumberdaya lahan secara
nasional dan pengumpulan bahan genetik lahan rawa berarti sumbangan yang

204
Khairullah et al.

besar bagi pencapaian penggunaan lahan rawa yang rasional untuk pertanian
yang berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan berorientasi agribisnis.
Penggunaan varietas unggul padi Margasari dan Martapura oleh petani lahan
pasang surut di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah merupakan
keberhasilan pemanfaatan plasma nutfah padi. Padi varietas Margasari dan
Martapura yang dilepas olen Balittra pada tahun 2000 berasal dari tetua varietas
Siam Unus, varietas padi lokal adaptif lahan pasang surut (Sulaiman et al., 2000).

7.2. SUMBERDAYA HAYATI TANAMAN PANGAN DI LAHAN RAWA

Sumber daya hayati berbeda pengertian dengan plasma nutfah.


Sumberdaya hayati didefinisikan sebagai kekayaan alamiah yang terdiri atas satu
species atau lebih yang diperkirakan atau diketahui memberikan kemanfaatan
ekonomis bagi manusia. Sedangkan plasma nutfah diartikan sebagai sumber
genetik dalam suatu species tanaman yang memiliki keragaman genetik yang
luas, yang ditimbulkan oleh perbedaan varietas, strain, galur, sub-species atau
populasi. Dengan demikian koleksi plasma nutfah adalah kumpulan varietas,
populasi, strain, galur klon, mutan dari satu species yang sama yang berasal dari
lokasi, agroklimat atau asal usul yang berlainan (Sumarno, 1994). Dengan
demikian nampak jelas bahwa sumberdaya hayati memiliki cakupan yang lebih
luas dari pada plasma nutfah.
Padi, jagung, kedelai, dan umbi-umbian adalah tanaman pangan yang
dapat tumbuh di lahan rawa. Tetapi hanya padi dan umbi-umbian yang memiliki
kekhasan di lahan rawa. Padi varietas lokal sangat banyak di jumpai di lahan
rawa, baik di lahan pasang surut maupun di lahan lebak. Hal ini mungkin karena
sifat adaptasinya yang tinggi pada kondisi lingkungan lahan rawa, meskipun
hasilnya termasuk rendah. Sementara ubi ubian lebih banyak ditemukan .di lahan
lebak. (Sastrapraja dan Rifai 1989) menyatakan bahwa Indonesia merupakan
pusat keragaman genetik untuk Dioschorea sp. (uwi, yam).

7.2.1. Padi lahan rawa

Varietas lokal padi rawa yang telah dikoleksi dari tahun 1994 sampai 2002
sebanyak 221 asesi. Koleksi tersebut dilakukan di lahan rawa Kalimantan
Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, dan Lampung.

205
Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa

Dari jumlah tersebut, 175 asesi berasal dari lahan pasang surut dan 46 asesi
berasal dari lahan lebak. Diperkirakan lebih dari 300 asesi padi yang terdapat di
lahan rawa.
Pada umumnya umur tanaman padi varieras lokal yang ditanam di lahan
lebak (4-5 bulan) lebih genjah dari pada yang ditanam di lahan pasang surut (7-9
bulan). Hasil gabah bervariasi antara 1-3 t/ha. Berdasarkan informasi petani
setempat, mereka menanam varietas lokal padi tersebut antara lain karena sifat
adaptasinya yang tinggi dan rasa nasinya yang dianggap enak dengan tekstur
nasi pera dan pulen.
Beberapa varietas lokal yang ditanam di lahan lebak (Sumatera Selatan)
dianggap lebih toleran kekeringan, seperti varietas Banal, Serai Rampak, dan
Senapi. Sedangkan di lahan pasang surut (Kalimantan Selatan) terdapat varietas
Datu yang secara in situ, berbatang kuat dan besar dengan tinggi tanaman lebih
dari 2 m, malai panjang dan lebat dengan bentuk gabah besar. Varietas ini juga
pada fase matang ditemukan masih tergenang air asin (salin) sekirar 30-40 cm.
Varietas lainnya di lahan pasang surut yang memiliki kelebihan adalah varietas
Pudak, dimana gabah/berasnya harum (aromatik) (Khairullah et al., 2003).
Tinggi tanaman varietas lokal padi pasang surut bervariasi antara 105-180
cm dan jumlah anakan antara 10-24 batang. Malainya umumnya muncul penuh
dengan tingkat kerontokan gabah sedang (6-25%). Sudut daun datar dan sudut
daun bendera antara sedang sampai datar, tidak ada sudut daun bendera yang
tegak seperti halnya varietas unggul. Demikian pula sudut batang umumnya
sedang (antara tegak sampai membuka). Tanaman yang tinggi dan kuat cocok
untuk lahan pasang surut yang pada umumnya genangannya tinggi. Sedangkan
malai yang mulai penuh memudahkan bagi petani yang memanen dengan
menggunakan ani-ani. Sudut daun yang datar mungkin dapat menekan
pertumbuhan gulma yang berada di bawahnya dan dengan demikian beberapa
karakteristik padi varietas lokal yang akan mengurangi biaya penyiangan banyak
dijumpai di lahan pasang surut di Kalimantan Selatan disajikan pada Tabel 7.1.
Varietas lokal yang dikenal luas di lahan pasang surut Kalimantan Selatan
adalah 'kelompok' varietas Siam, Bayar, Pandak, dan Lema. Kelompok varietas
Siam paling banyak dijumpai dengan berbagai variasi namanya di tingkat petani.
Variasi nama ini dapat berdasarkan bentuk gabah, rasa nasi, nama petani
ataupun ciri-ciri khusus yang diterima petani setempat (Khairullah et al., 1998).
Varietas Bayar bahkan sudah dibudidayakan petani pasang surut Kalimantan

206
Khairullah et al.

Selatan sejak tahun 1920, sedangkan varietas Lemo sekitar tahun 1956 (Idak,
1982).

Tabel 7.1. Beberapa sifat padi varietas lokal yang banyak dijumpai di lahan
pasang surut di Kalimantan Selatan
Karakter Siam Unus Pandak Bayar Palas Lemo Kwatik Lakatan Gadur
Jumlah anakan 20 18 15 14 15
Tinggi tanaman 142 121 140 182 149
Umur (hari) 291 305 305 272 295
Panjang daun (cm) 58 44 46 44 47
Lebar daun (mm) 12 12 12 11 13
Panjang batang (cm) 118 95 116 154 121
Diameter batang (cm) 6,9 6,7 7,3 6,8 7,9
Panjang gabah (mm) 7,7 8,2 8,8 8,5 8,8
Lebar gabah (mm) 1,7 1,7 1,8 1,9 1,8
Kerebahan (%) 5 0 0 10 25

Varietas lokal padi pasang surut Kalimantan Selatan pada umumnya


memiliki sifat antara lain sebagai berikut (Khairullah et al., 2004):
Sudut daun : tegak sampai miring
Sudut daun bendera : bervariasi dari miring sampai datar, datar sampai
merunduk. dan tegak sampai miring
Panjang daun : 33-46 cm
Panjang daun bendera : 24-36 cm
Lebar daun : 0,8-1,2 cm
Lebar daun bendera : 0,8-1,2 cm
Sudut batang : tegak sampai miring
Jumlah anakan : 7-19 anakan
Anakan produktif : 7-17 anakan
Bentuk lidah : bercelah
Panjang lidah : 0,5-2,3 cm
Gabah : tidak berekor, ramping
Malai : keluar penuh (tangkai panjang) dan kompak
Beras : kecil-ramping dan jernih
Tinggi tanaman : 80-125 cm

207
Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa

Gambar 7.1. Plasma nutfah padi lokal pasang surut yang memiliki kenggulan
toleran keracunan besi, gabah lebih ramping, rasa nasi disukai,
dan harga jual relatif lebih tinggi

Sebagian besar varietas yang dikarakterisasi relatif tahan rebah, seperti


varietas Bayar Palas, Pandak Putih, Siam Unus, dan Lemo Putih. Hal ini antara
lain disebabkan oleh batangnya yang cukup besar dan kuat sehingga cukup
mampu menopang pertumbuhan tanaman. Kisaran diameter batang bawah dari
varietas lokal antara 4,9-8,9 mm.
Varietas-varietas lokal yang dikarakterisasi di lapangan secara visual tidak
menampakkan adanya gejala keracunan besi. Hal ini mungkin disebabkan umur
bibitnya yang tua (sekitar empat bulan) sehingga bibit saat ditanam dalam
keadaan kuat dan besar. Di samping itu mungkin pula kondisi sawah sudah mulai
turun kadar besi terlarutnya dalam tanah sehingga bibit terhindar dari keracunan
besi.
Karakterisasi (skrining) toleransi keracunan besi terhadap 130 varietas
lokal yang berasal dari lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan dan
Sumatera Selatan menunjukkan variasi yang berbeda. Kandungan besi tanah
156 ppm Fe; sedangkan kandungan besi pada air tanah pada awalnya tinggi

208
Khairullah et al.

(0,44 me/L) kemudian menurun seiring dengan waktu (minggu ke-13 = 0,06
me/L). Berturut-turut kandungan besi pada air tanah.pada minggu ke- 3, 4, 5, 6,
7, 8, 9, 10, 11, 12. 13, dan 14 masing masing adalah 0,44; 1.71; 0,13; 0,01;
0,008; 0,079; 0,006; 0,56; 0.34; 0,08; 0,06; dan 0,47 me/L Fe.
Hasil penilaian (skoring) gejala keracunan besi (IRRI, 1996) menunjukkan
bahwa adanya variasi yang cukup besar antar umur bibit. Umur bibit satu minggu
menampakkan ketahanan yang lebih tinggi, disusul dengan umur bibit dua
minggu dan tiga minggu. Terdapat 35 varietas lokal padi yang tahan keracunan
besi pada umur bibit satu minggu, sedangkan pada umur bibit dua minggu
terdapat 29 varietas yang tahan, sementara untuk umur bibit tiga minggu hanya
ada 20 varietas yang tahan (Tabel 7.2). Pengamatan per minggu (selama empat
minggu) menunjukkan bahwa respon umur bibit varietas lokal tidak konsisten
terhadap keracunan besi. Beberapa varietas lokal menunjukkan adanya upaya
pemulihan/perbaikan tumbuh pada umur tanaman yang lebih tua, tetapi pada
varietas lain justru semakin tua tanaman, gejala keracunan cenderung
meningkat.
Hasil analisis kadar Fe dan Zn terhadap 71 beras varietas lokal
menunjukkan bahwa kandungan Fe dan Zn sangat bervariasi (Gambar 7.2).
Kandungan Fe berkisar antara 11-83 ppm. di mana kadar tersebut dibandingkan
dengan varietas unggul galur harapan maka kandungan Fe pada beras varietas
lokal tergolong cukup tinggi. Kadar Zn juga sangat bervariasi dengan selang yang
cukup lebar, yaitu berkisar antara 20-108 ppm Zn. Kadar tersebut juga tergolang
tinggi. Informasi kadar Fe dan Zn dari beras varietas lokal ini sangat bermanfaat
bagi para pemulia yang akan merakit suatu varietas unggul dengan kadar Fe dan
Zn tinggi. Varietas unggul demikian akan membantu mengurangi asupan zat besi
dan Zn dari sumber makanan lainnya (Khairullah et al., 2003).
Hasil pengujian ketahanan terhadap hama dan penyakit pada beberapa
varietas lokal, terseleksi sebanyak 22 varietas yang memiliki ketahanan terhadap
hama dan penyakit untuk dapat dijadikan sebagai sumber genetik bagi perbaikan
varietas padi di lahan rawa pasang surut dan lebak (Tabel 7.3) (Balittra, 2001).

209
Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa

Tabel 7.2. Ketahanan varietas lokal padi rawa terhadap keracunan besi yang
diuji dalam bak plastik bertanah sulfat masam di KP Belandean, MK
2003
Bibit umur Bibit umur Bibit umur
No. ACC Varietas
1 minggu 2 minggu 3 minggu
4 Siam Halus *
5 Siam Perak * * *
6 Siam Brandal * *
7 Siam Perak Halus * *
8 Siam Karang Dukuh Kuning *
42 Pandak *
44 Siam Pontianak Tinggi *
46 Kutut *
47 Siam Unus Kuning *
48 Siam gumpal *
49 Siam PX * *
50 Siam Arjuna *
51 Siam Karta * *
52 Siam Randah Putih * * *
53 Pal 6 * * *
54 Pal 11 * * *
55 Lakatan * * *
56 Raden Rata * * *
57 Kawi * * *
58 Siam Puntal * * *
59 Siam Randah Kuning * * *
60 Pirak * * *
61 Pandak Kembang * * *
62 Palon * * *
63 Siam rata * * *
64 Bayar Palas * * *
65 Unus Organik * * *
66 Siam Pontianak Halus * * *
67 Siam Pangling * *
68 Siam Tanggung *
69 Unus Gampa * *
70 Adil Kuning *
71 Siam Iantik * * *
72 Selumbung * * *
73 Bonai * * *
74 Putih Rampak * *
75 Petek * *
(*) skor: 1-3 (sangat tahan sampai tahan).

210
Khairullah et al.

Gambar 7.2. Kandungan Fe dan Zn dari beras varietas lokal padi pasang surut

Tabel 7.3. Ketahanan beberapa varietas lokal padi lahan pasang surut dan
lebak terhadap hama dan penyakit
Varietas lokal Ketahanan terhadap hama dan penyakit
Siam Arjan Tahan bias daun ras-002, bercak coklat
Palui Tahan wereng coklat biotipe I, agak tahan bercak coklat
Lakatan Jambu Agak tahan bercak coklat
Siam Pontianak Tahan blas daun ras 002
Badagai Tahan wereng coklat biotipe-1. agak tahan bias daun ras-002
Latur Tahan wereng coklat biotipe-1. agak tahan blas daun ras-002
Siam unus Agak tahan blas daun ras-002
Isip Tahan wereng coklat biotipe 1
Siam Pandak Tahan bercak coklat daun
Sabat Jalan Tahan blas daun ras-002
Siam Cinta Tahan bIas daun ras-002
Sanggul Tahan blas daun ras-002
Siam Bamban Tahan blas daun ras-002
Sasak Jalan Agak tahan blas daun ras-002
Siam Sanah Agak tahan blas daun ras-002
Lemo Agak tahan kekeringan

211
Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa

7.2.2. Ubi-ubian

Ubi-ubian lokal yang dibudidayakan di lahan lebak Kalimantan Selatan


adalah ubi alabio (Dioscorea sp.) dan ubi jalar (Ipomoea sp). Kedua jenis ubi-
ubian ini merupakan komoditas primadona dan khas bagi petani lahan lebak.
Sumbangan ubi alabio terhadap pendapatan petani di lahan rawa lebak
mencapai 31,8-39,1% (SWAMPS II, 1990; SWAMPS II, 1991). Sedangkan ubi
negara dapat mencapai 60% (Galib et al., 1994). Biasanya ubi-ubian ini ditanam
petani setempat pada musim kemarau, saat air kering.
Varietas lokal ubi alabio yang ditanam petani sangat beragam jenisnya,
diantaranya ubi habang harum, ubi kesumba, ubi tongkat, ubi ketan, ubi nyiur, ubi
jawa, ubi cina, ubi putih, dan ubi habang carang (BlP, 1994). Potensi hasil ubi
putih, habang harum, dan habang carang masing-masing adalah 30,4; 22,4; dan
51,2 t/ha. Varietas putih dan habang harum lebih disukai daripada habang carang
(Saleh, 1995). Karakteristik ketiga jenis ubi alabio tersebut dapat dilihat pada
Tabel 7.4.

Tabel 7.4. Beberapa varietas lokal ubi alabio (ubi putih, habang harum, dan
habang carang) asal lahan lebak Kalimantan Selatan
Karakteristik Ubi putih Ubi habang harum Ubi habang carang
Tipe Menjalar pada turus Menjalar pada turus Menjalar pada turus
Umur panen 6 bulan 6 bulan 6 bulan
Bentuk daun Jantung Jantung Jantung
Wama daun Hijau Hijau Hijau
Warna tangkai daun Hijau muda keputihan Merah Merah
Duduk daun Berhadapan Berhadapan Berhadapan & berseling
Warna batang Hijau Hijau Hijau
Bentuk batang Bersegi empat Bersegi empat Bersegi empat dan lima
Wama kulit umbi Coklat Coklat Coklat
Warna daging umbi Putih Merah keunguan Merah keunguan
Bentuk umbi Panjang Bundar Panjang bercabang
Rasa umbi Lembut Lembut agak Lembut agak berlendir,
berlendir, beraroma air rebusan berwarna
yang khas merah
Potensi hasil (t/ha) 30,4 22,4 51,2
Sumber: Saleh (1995)

212
Khairullah et al.

Untuk ubi jalar terdapat empat varietas lokal yang dikelola petani di lahan
lebak Kalimantan Selatan- yaitu varietas kyai lama, kyai baru, labu, dan varietas
negara. Potensi hasil varietas kyai lama, kyai baru, labu, dan negara, masing-
masing 7,39; 10,80; 9,60; dan 7,14 t/ha (William et al., 1995). Karakteristik
keempat varietas lokal ubi jalar tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.5.

Tabel 7.5. Beberapa varietas lokal ubi jalar (kyai lama, kyai baru, labu, dan
negara) asal lahan lebak Kalimantan Selatan
Karakteristik Kyai lama Kyai baru Labu Negara
Wama daun tua Hijau Hijau Hijau Hijau
Wama daun muda Hijau Hijau Hijau Ungu
Warna tangkai daun atas Ungu Ungu Hijau Ungu
Wama tangkai daun bawah Hijau Hijau Hijau Ungu
Wama batang tua Hijau Hijau Hijau Ungu
Wama batang muda Hijau Hijau Hijau Ungu
Bentuk batang Bulat Bulat Bulat Bulat
Bentuk daun Menjalar Menjalar Bulat Menjalar
Wama umbi luar Putih Kuning Putih Putih
Warna umbi dalam Putih Kuning Jingga Kuning
Rasa umbi Tawar, empuk Sedang, liat Manis, empuk Sedang, empuk
Panjang umbi (cm) 15,0 14,2 12,0 11,8
Diameter umbi (cm) 2,76 4,43 3,87 3,55
Potensi hasil (t/ha) 7,39 10,80 9,60 7,14
Sumber : William et al. (1995)

7.3. SUMBERDAYA HAYATI TANAMAN BUAH-BUAHAN

Tanaman buah-buahan yang telah dikumpulkan berupa mangga rawa


(Kasturi, Hambuku, Kuini, Ampalam, Hambawang, Kebembem), durian (durian
Kuning, Pampakin, Lai, Lahung, Mahrawin, Si hijau), jenis manggis (Biasa,
Mundar, Liar), lengkeng liar (Ihau/Babuku Hijau dan Kuning), rambutan (Garuda,
Antalagi, Sibatuk, Timbul, Zaenal serta jenis liarnya seperti Maritam dan Siwau),
jenis nangka (Cempedak Malinau dan Batu Mandi, Tarap, dan Kopuan). Selain
itu, diidentifikasi/dikoleksi pula buah-buahan seperti buah Kapul, Balangkasua,
Mentega, Pitanak, Gitaan Ramania, Rambai, dan Langsat.

213
Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa

Dari tanaman yang dikumpulkan dapat disebutkan keunggulannya antara


lain: mangga rawa mempunyai kemampuan terhadap genangan lebih dari 3
bulan (mangga lebak yaitu mangga Kasturi dan mangga Hambuku) dan terhadap
genangan harian dan kemasaman tanah yang cukup ekstrim (pH 4) (mangga
kueni Anjir). Durian pasang surut (durian Anjir) tahan terendam harian dan
kemasaman tanah ekstrim sehingga cocok digunakan sebagai batang bawah
untuk pengembangan durian kawasan pasang surut. Lai dan Pampakin
merupakan jenis durian yang warna daging buahnya kuning dan ada juga kuning
kemerahan, tanpa bau menyengat yang umum pada durian serta sangat jarang
dijumpai hama-hama penggerek di daging buahnya sehingga cocok
dikembangkan sebagai bahan plasma nutfah durian untuk pengembangan durian
tanpa aroma dan tahan penggerek batang.
Beberapa buah lokal seperti buah mentega dan ramania masih belum
digali potensinya terutama sebagai buah meja atau sebagai penghasil jus atau
tumbuhan obat mengingat kemungkinan kandungan vitaminnya. Rambutan
(Siwau, Maritam), gitaan (tampirik), durian Lahong, kopuan, pitanal balangkasua,
putaran, dan babuku termasuk buah langka yang perlu segera diselamatkan dan
belum banyak digali potensinya.
Tanaman buah-buahan yang dieksplorasi di lahan rawa lebak di
Kalimantan Timur adalah manggis besar, sarikaya besar, lai-lai lidung, duyan,
kelidang, durian merah, jelutung, manggis hutan, kalambuku, cempedak malinau.
maritam, dan rambutan malinau. Umur tanaman ini antara 10 sampai lebih dari
50 tahun. Tanaman duyan mirip dengan durian tetapi buahnya tidak jatuh
walaupun telah matang. Isi buah akan jatuh sendiri apabila buah telah matang,
sedangkan kulit buahnya masih di pohonnya. Biasanya masyarakat setempat
mengkonsumsinya untuk dijadikan bahan sayuran. Durian merah memiliki isi
buah yang berwama merah, tetapi rasanya tidak selezat durian biasa. Manggis
hutan buahnya lebih kecil dari manggis biasa, sedangkan manggis besar
buahnya jauh lebih besar dari pada buah manggis biasa.
Di lahan rawa lebak di Kalimantan Selatan telah dieksplorasi dan dikoleksi
sejumlah tanaman buah-buahan. Dikoleksi sejumlah durian seperti Si japang, Si
dodol, Si lanjung, Enam hapat, Si kerikil, Malang dewa, Si pisang, Si lakatan, Si
habuk, Si hanau, dan Si buaya guntung, dan Si itik. Selain itu dikoleksi pula jenis-
jenis rambutan, seperti: Padangin 1 dan 2, Geronggong, Pamarangan kiwa 1 dan
2, Sungai Pimping 1 dan 2, Banyu Tajun 1, 2, dan 3, serta Duyun Baru 1 dan 2.
Buah-buahan lain yang dikoleksi Pampaken kasumba, Balangkasua, dan
Mangga hambuku.

214
Khairullah et al.

Di lahan rawa pasang surut di Kalimantan Tengah diperoleh durian


Serangga, Landak, Mentega, Kuning, Tipis, Waluh, Gantang Belimbing, dan
Bainah. Selain itu juga didapatkan rambutan Antalagi, Garuda, Gula Batu, Buaya,
Timbul Batuk, Batuk Ganal, dan Dangut.
Karakterisasi morfologi dilakukan terutama untuk tanaman durian dan
rambutan, mengingat tanaman ini banyak keragamannya. Tanaman durian dan
rambutan yang telah dikarakterisasi dibuat dalam database tanaman. Ada 18
jenis durian yang dikarakterisasi, yaitu si itik, si pisang, si kerikil malang dewa, si
Hanau, si Lakatan, Buaya Guntung, Serangga, Landak, Mentega. Kuning, Tipis,
Waluh, Gantang, Belimbing, dan Sainah. Sedangkan rambutan ada 20 macam
yang dikarakterisasi, yaitu: rambutan Padangin, Geronggong, Pamarangan Kiwa,
Sungai Pimping, Banyu Tajun, Duyun Baru, Dangut Antalagi, Garuda, Gula Batu,
Buaya, Timbul Batuk, Batuk Ganal, dan Dangut.
Tinggi tanaman durian berkisar dari 20-40 m, lingkar batang 1,1-2,6 m, dan
panjang daun 11-17 cm. Buah umumnya bulat dan sebagian berlekuk, panjang
buah 13-20 cm, lingkar buah 38-49 cm, dan bobot buah 0,8-1,6 kg serta tebal
daging 5-13 mm. Cita rasa dari kurang manis sampai sangat manis dengan cita
alkoholik cukup dan sedang. Bobot biji antara 15-30 g/biji.
Selain durian dan rambutan diketahui pula karakteristik beberapa tanaman
buah-buahan eksotik seperti Lembutung, Manggis besar, Manggis hutan,
Kalambuku, Kelidang, dan Srikaya besar (Tabel 7.8). Manggis besar ukurannya
lebih besar daripada manggis biasa, sedangkan manggis hutan ukurannya lebih
kecil dari manggis biasa. Srikaya besar, selain ukurannya yang jauh lebih besar
dari srikaya biasa juga rasa daging buahnya agak mirip dengan sirsak.

215
Tabel 7.6. Karakterisasi buah durian yang berasal dari lahan rawa di Kalimantan Selatan dan Tengah, 2003
216
Malang Buaya
Karakteristik Itik Pisang Kerikil Hanau Lakatan Lai Duyan
Dewa Guntung
Tinggi tanaman (cm) 40 30 40 30 40 20 30 30 15
Tinggi cabang
10 4 4 10 15 5 20 20 3
pertama (cm)
Lingkar batang (m) 2,63 2 2,35 2,27 2,63 1,12 2 2 1,35
Bentuk batang Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Membulat Bulat Bulat Bulat

Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa


Warna batang Abu-2 Abu-2 Abu-2 Abu-2 Abu-2 Abu-2 Abu-2 Abu-2 Coklat
Bentuk percabangan Mono podial Mono podial Mono Sim podial Mono Mono podial Mono podial Mono Mono podial
podial podial podial
Bentuk kanopi Tdk teratur Tdk teratur Tdk teratur Tdk teratur Membulat Tdk teratur Bulat Bulat Tdk teratur
Susunan daun Tunggal Tunggal Tunggal Tunggal Tunggal Tunggal Tunggal Tunggal Tunggal
bersirip bersirip bersirip bersirip bersirip bersirip bersirip bersirip bersirip
Pnjang daun (cm) 14-17 12,5 17-18 14-16 1 11-13 15-17 15-17 30
Pinggir daun Rata Rata Rata Rata Rata Rata Rata Rata Rata
Bentuk ujung daun Runcing Runcing Runcing Runcing Runcing Runcing Runcing Runcing Runcing
Warna daun Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau
Bentuk buah Bundar Bundar Lonjong Above Lonjong Lonjong Above
Bagian ujung buah Runcing Tumpul Tumpul Tumpul Tumpul Tumpul Tumpul
Panjang buah (cm) 18 13 19 18 20,5 19,5 16
Lingkar buah (cm) 46 38 47 49 44 43 41
Bobot buah (kg) 1,20 0,62 1,6 1,5 1,5 0,80 1,5
Jumlah juring berbiji 5 5 5 5 5 5 5
Jumlah juring tak
0 0 0 0 0 0 0
berbiji
Tebal daging buah
13 5 10 10 10 10 10
(mm)
Malang Buaya
Karakteristik Itik Pisang Kerikil Hanau Lakatan Lai Duyan
Dewa Guntung
Citarasa manis Kurang Sangat Cukup Sangat Sedang Sangat Sedang
manis manis manis manis manis
Cita alkoholik Sedang Sedang Sedang Cukup Sedang Sedang Sedang
Bobot biji (gr) 30 10 15 25 20 10 10
Bentuk biji Lonjong Agak bulat Lonjong Lonjong Lonjong Lonjong Lonjong
Warna biji Kuning Putih Kuning Putih muda Putih Putih Putih

Lanjutan Tabel 7.6

Khairullah et al.
Karakteristik Serangga Landak Mentega Kuning Tipis Waluh Gantang Belimbing Bainan
Tinggi tanaman (m) 40 35 35 26 35 20 35 40 10
Tinggi cabang
5 10 6 13 10 15 8 10 7
pertama (m)
Lingkar batang (m) 1,90 2,15 1,91 1,35 2.00 1.00 2,20 2,30 2,20
Bentuk batang Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat
Warna batang Coklat Coklat Abu-2 Coklat Coklat Abu-abu Abu-abu Coklat tua Mono
kehitaman
Bentuk percabangan Mono podial Mono podial Mono Sim podial Mono Mono podial Mono Mono Mono
podial podial podial podial podial
Bentuk kanopi Tdk teratur Tdk teratur Membulat Tidk teratur Tdk teratur Tdk teratur Membulat Membulat Membulat
Susunan daun Tunggal Tunggal Tunggal Tunggal Tunggal Tunggal Tunggal Tunggal Tunggal
bersirip bersirip bersirip bersirip bersirip bersirip bersirip bersirip bersirip
Panjang daun (cm) 15 13,5 20 15 15 12 17 15 15
Pinggir daun Rata Rata Rata Rata Rata Rata Rata Rata Rata
217

Bentuk ujung daun Runcing Runcing Runcing Runcing Runcing Runcing Runcing Runcing Runcing
Warna daun Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau
Karakteristik Serangga Landak Mentega Kuning Tipis Waluh Gantang Belimbing Bainan
218
Bentuk buah Tdk teratur Bundar Tdk teratur Lonjong Lonjong Bulat Lonjong Tdk teratur Tdk teratur
persegi
Bagian ujung buah Tumpul Tumpul Tumpul Tumpul Runcing Tumpul Tumpul Runcing Tumpul
Panjang buah (cm) 14 12 15 22 19 22 14 24 21
Lingkar buah (cm) 44 42 45 47 45 52 49 46 51
Bobot buah (kg) 0,92 0,75 1,0 1,3 1,1 1,9 1,2 1,9 1,9
Jumlah juring berbiji 5 5 5 5 5 5 5 5 5

Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa


Jumlah juring tak
0 0 0 0 0 0 0 0 0
berbiji
Tebal daging buah
9 5 8 10 3 9 8 7 9
(mm)
Citarasa manis Manis Kurang Sedang Sedang Cukup Sedang Sangat Manis Sedang
manis manis manis
Cita alkoholik Sangat Sangat Kurang Sedang Cukup Cukup Tinggi Tinggi Sedang
tinggi tinggi
Bobot biji (gr) 13 12 15 15 16 20 20 17 16
Bentuk biji Lonjong Agak bulat Lonjong Lonjong Lonjong Lonjong Lonjong Lonjong Lonjong
Warna biji Coklat muda Coklat Coklat Kuning Coklat Coklat muda Coklat Coklat Coklat
muda muda muda muda muda muda muda
Tabel 7.7. Karakterisasi buah rambutan yang berasal dari lahan rawa di Kalimantan Selatan
Pamara- Pamara-
Padangin Padangin Gerong- Sungai Sungai Banyu Banyu Banyu
Karakteristik ngan ngan Kiwa
1 2 gong Pimping 1 Pimping 2 Tajun 1 Tajun 2 Tajun 3
Kiwa 1 2
Tinggi tanaman (m) 1 12 9 6.5 9 10 4 7 7,5 8
Lingkar batang (cm) 32 55 67 43 64 59 46 100 43 70
Panjang daun (cm) 11,5 11,5 13 13 10,5 7 8,5 6,5 15 12
Lebar daun (cm) 5 5 5.5 5.5 5 7.5 4.5 8 6 7
Warna buah Merah Merah Merah Merah Merah tua Merah Merah Merah tua Merah Merah

Khairullah et al.
muda
Berat buah (g) 25 30 20 15 20 22 20 15 13 22
Diameter buah (mm) 29 28 25 30 28 25 28 32 24 12
Panjang buah (cm) 5.2 4.5 5 4 5 4.5 4.5 4.5 5 4
Panjang rambut (mm) 17 10 15 11 15 15 15 11 13 12
Kerapatan bulu Jarang Sedang Sedang Sedang Rapat Sedang Jarang Jarang Sedang Sedang
Tebal daging (mm) 6 7 5 5 8 5 6 9 5 4
Tebal kulit (mm) 4 2 4 3 4 1.3 4 3 4 1,2
Panjang biji (mm) 32 23 25 25 25 24 25 25 24 18
Diameter biji (mm) 4 5 5 10 9 9 12 9 10 12
Citarasa Asam Manis Agak Agak Manis Manis Manis Manis Manis Agak
sedikit asam asam sedikit asam
asam asam
219
Lanjutan Tabel 7.7
220
Karakteristik Duyun Duyun Antalagi Gula Batu Buaya Timbul Batuk Garuda Batuk Dangut
Baru 1 Baru 2 Ganal
Tinggi tanaman (m) 30 12 5 5 8 9 10 5 5 6
Lingkar batang (cm) 30 12 5 5 8 9 10 5 5 6
Panjang daun (cm) 10 55 100 90 80 120 80 80 70 120
Lebar daun(cm) 3,4 - 4,5 3 - 4,5 8-9 5 - 5,5 4,3 - 4,7 7,5 - 8 9 - 9,5 5,2 - 5,5 4,6 - 5 5,3 - 5,5

Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa


Warna buah Merah Merah Merah Merah Merah tua Merah Merah Merah Merah Merah
kekuningan agak muda
kuning
Berat buah (g) 25 50 35 28 63 40 35 54 49 44
Diameter buah (mm) 28 40 15 31 40 40 35 37 33 35
Panjang buah (cm) 4 5.5 6 4.5 7 5.2 5 6.2 5.5 3.5
Panjang rambut (mm) 12 15 0.8 10 11 15 13 17 11 13
Kerapatan bulu Sedang Sedang Jarang Sedang Jarang Sedang Rapat Jarang Sedang Sedang
Tebal daging (mm) 5 10 6 5 9 10 8 8 6 8
Tebal kulit (mm) 3 7 4 3 7 4 4 6 4 3
Panjang biji (mm) 22 28 33 26 35 30 30 33 30 33
Diameter biji (mm) 10 10 10 10 11 8 10 10 10 8
Citarasa Agak asam Sangat Manis Manis Manis Sangat Sangat Manis Sangat Manis
manis sedikit agak manis manis manis agak
asam asam asam
Tabel 7.8. Karakteristik beberapa sifat buah-buahan eksotik lahan rawa asal Kalimantan Timur, 2003
Karakteristik Lembutung Manggis besar Manggis hutan Kalambuku Kelidang Srikaya besar
Tinggi tanaman (m) 20 10 4 20 30 4
Lingkar batang (cm) 2 3 1 1.5 4.55 0.5
Lebar tajuk (m) 10 3 4 7 15 3
Bentuk daun Memanjang Jorong Lonjong Jorong majemuk Jorong Memanjang
menyirip
Pangkal daun Membelah Membelah Membelah Terbelah Runcing Runcing
Lebar helaian daun (cm) 12 12 8 7 10 10
Panjang daun (cm) 30 30 20 15-20 30 15-20
Ujung daun Meruncing Meruncing Meruncing Meruncing Meruncing Meruncing

Khairullah et al.
Tipe tulang daun Menyirip Menyirip Menyirip Menyirip Menyirip Menyirip
Tepi daun Rata Rata Rata Rata Rata Rata
Daging daun Spt. Kertas Spt. Perkemen Spt. Perkemen Spt. Kertas Spt. Kertas Spt. Kertas
Permukaan daun Agak kasar Licin Licin Agak kasar Licin Licin
Bentuk batang Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat
Arah tumbuh batang Tegak lurus Ke atas Ke atas Tegak lurus Tegak lurus Tegak lurus
Percabangan pada batang Monopodial Monopodial Monopodial Simpodial Simpodial Simpodial
Diameter buah (cm) 5 10-15 4 10-15
Panjang buah (cm) 6-8 10-15 7 15-20
Tipe buah Carnosius Lonjong Carnosus Majemuk
Warna kulit buah Merah Hitam Abu-abu
Warna daging buah Putih Putih lunak Lunak manis
Rasa daging buah Manis Berair
Habitat Tanah lembab Tanah lembab Tanah lembab Tanah lembab Tanah lembab Tanah lembab
Sifat khas/keunggulan Bentuk seperti Ukuran buah lebih Ukuran buah lebih
belimbing besar dari pada. besar dari pada
manggis biasa srikaya biasa
221
Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa

7.4. SUMBERDAYA HAYATI BIOTA TANAH

Sumberdaya hayati biota tanah yang dimaksud di sini mencakup


makrofauna, mesofauna, dan bakteri selulotik tanah baik di lahan lebak maupun
lahan gambut. Di lahan lebak Kalimantan Selatan, beberapa famili makrofauna
yang aktif di permukaan tanah dan di dalam tanah adalah : Gryllidae, Lycosidae,
Carabidae, Spirobolidae, Araneidae, Polydesmidae, Formicidae, Staphylinidae,
Pyrrocoridae, Pentatomidae, Glomeridae, Thomisidae, Megascolecidae,
Glosscolecidae, dan Blatidae. Sedangkan mesofauna tanah dominan pada
semua tipe penggunaan lahan adalah Ordo Acarina, kecuali pada lahan parupuk
yang didominasi oleh Ordo Hymenoptera (Famili Formicidae) (Raihan, 2004).
Populasi makrofauna yang aktif di permukaan tanah berbeda menurut
penggunaan lahan lebak dan musim. Pada musim hujan populasi makrofauna
tertinggi ditemui pada lahan waluh dan terendah pada lahan karet. Pada musim
kemarau, lahan jagung menunjukkan populasi tertinggi dan yang terendah lahan
karet (Raihan, 2004). Populasi makrofauna tanah ini lebih dominan ditemui pada
musim hujan daripada musim kemarau. Tipe penggunaan lahan sangat
mempengaruhi komposisi dan populasi makrofauna tanah. Iklim mikro
(kelembaban dan suhu tanah) serta sumber makanan merupakan faktor utama
yang mempengaruhi diversitas dan populasi makrofauna tanah (Levelle, 1994).
Populasi makrofauna yang aktif di dalam tanah pada musim hujan tertinggi
dijumpai pada lahan parupuk dan terendah pada lahan karet. Pada musim
kemarau, populasi makrofauna di dalam tanah tertinggi ditemui pada lahan
jagung dan yang terendah pada lahan (Raihan, 2004). Dominasi makrofauna ini
pada musim hujan terdapat pada lahan yang ditanami padi dan lahan parupuk,
sedangkan lahan lainnya dominasinya terjadi pada musim hujan, terutama lahan
waluh/jagung. Perbedaan ini disebabkan adanya dominasi formicidae (semut)
pada lahan bekas waluh akibat adanya sisa-sisa bahan organik dari tanaman
waluh yang belum terdekomposisi. Semut dapat bertindak sebagai dekomposer
bahan organik dan meningkatkan pori makro, sehingga meningkatkan aerasi
tanah (Coleman dan Crossley, 1995).
Diversitas makrofauna yang aktif di dalam tanah pada musim hujan dan
kemarau yang terendah dijumpai pada lahan terlantar, sedangkan pada musim
hujan tertinggi ditemui pada lahan parupuk. Pada musim kemarau diversitas
makrofauna di permukaan tanah tertinggi pada lahan waluh dan makrofauna di
dalam tanah tertinggi pada lahan parupuk. Tingginya diversitas makrofauna yang

222
Khairullah et al.

aktif di dalam tanah pada lahan parupuk disebabkan oleh kondisi pH tanah,
kelembaban, dan suhu tanah yang sesuai untuk mendukung aktivitas dan
kehidupan makrofauna tanah. Terdapat hubungan yang nyata antara diversitas
makrofauna yang aktif di dalam tanah dengan dengan pH tanah dan kandungan
N-total tanah. Makrofauna tanah dominan yang mempunyai hubungan dengan
kualitas tanah lebak adalah populasi cacing tanah, biomassa cacing tanah, dan
populasi semut besar (Raihan, 2004).
Di lahan gambut, makrofauna tanah yang berpotensi dijadikan bioindikator
kualitas tanah gambut adalah populasi cacing, biomassa cacing, populasi semut
(Formicidae), dan milipida (Polydesmidae). Populasi makrofauna yang aktif di
permukaan dan di dalam tanah pada beberapa penggunaan lahan menunjukkan
adanya perbedaan. Makrofauna tanah yang aktif di permukaan tanah tertinggi
saat musim hujan dijumpai pada lahan hortikultura dan yang terendah pada lahan
terlantar. Pada musim kemarau populasi tertinggi di lahan karet dan yang
terendah di lahan terlantar. Populasi makrofauna yang aktif di dalam tanah baik
pada musim hujan maupun kemarau yang tertinggi pada lahan nanas dan
terendah pada lahan terlantar (Alwi et al., 2004). Perbedaan populasi ini
menunjukkan adanya perbedaan kondisi lingkungan. Di lahan nanas didominasi
oleh rayap (termitidae) yang memakan sisa-sisa tanaman yang telah mati. Rayap
berperan dalam dekomposisi bahan organik, pembentukan struktur tanah, dan
ketersediaan unsur hara (Black dan Okwako, 1997).
Diversitas makrofauna tanah yang aktif di permukaan dan di dalam tanah
pada musim hujan dan kemarau tertinggi di lahan hortikultura. Hal ini karena
adanya pengelolaan lahan dengan pemberian abu, kapur, dan pupuk kandang
sehingga memperbaiki kualitas tanah sekaligus lingkungan hidup mikroorganisme
tanah (Alwi et al., 2004). Menurut Baker (1998), kelimpahan biomassa dan
diversitas makrofauna tanah dipengaruhi oleh pktek pengelolaan lahan dan
penggunaan lahan. Diversitas makrofauna yang aktif di permukaan tanah pada
musim hujan menunjukkan hubungan nyata dengan C-organik dan C/N rasio
tanah, sedangkan makrofauna di dalam tanah pada musim hujan dan kemarau
menunjukkan hubungan nyata dengan pH, C-organik, C/N rasio, dan kadar air
tanah gambut.
Populasi bakteri selulotik pada lahan gambut di Kalimantan Tengah sangat
beragam. Isolasi bakteri selulotik pada tanah gambut diperoleh 28 isolat, dan dua
isolat diantaranya mempunyai kemampuan menghidrolisa selulosa yang tinggi,
yaitu BarH 4,2 dan Bar5K 4,1 (Alwi et al., 2004).

223
Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa

7.5. SUMBERDAYA HAYATI PERIKANAN

Lahan lebak di Kalimantan Selatan memiliki peranan penting sebagai


tempat ikan mencari makan, selain peranannya sebagai tempat pembesaran dan
pemijahan ikan. Peranan lahan lebak dalam musim hujan meningkatkan
keanekaan jenis ikan. Pada awal musim hujan ditemukan 96 jenis ikan : yang
termasuk dalam 47 famili dan 11 ordo. Diperkirakan sekurang-kurangnya ada
200-300 jenis ikan yang terdapat di lahan lebak. Penangkapan ikan merupakan
sumber ekonomi yang penting di lahan lebak. Usaha ini merupakan pekerjaan
utama bagi penduduk pada awal musim hujan dan sebagai pekerjaan sambilan di
luar musim tersebut (Chairuddin, 1989).
Di tingkat nelayan di lahan rawa Kalimantan Selatan, jenis ikan
digolongkan atas ikan sungai dan ikan danau-rawa. Ikan sungai disebut ikan
putih tak bersisik, ikan putih bersisik dan ordo Ostariophysi. Umumnya jenis ikan
ini termasuk ”pendatang” di perairan danau-rawa. Sedangkan ikan danau-rawa
disebut ikan hitam, yang umumnya termasuk dalam ardo Labyrinthici. Kepadatan
relatif ikan di lahan lebak berturut-turut dari yang tertinggi sampai rendah adalah
papuyu, haruan (Ophiocephalus striatus), sepat siam (Trichopodus pectoralis),
dan biawan (Helestome temminckii) (Chairuddin, 1989).
Kondisi hidrologi lahan lebak memungkinkan kesinambungan rantai
makanan berdasarkan proses penggenangan di awal musim hujan dan
penurunan kedalaman di musim kemarau. Pada musim kemarau Iahan lebak
menjadi kering atau pada cekungan lahan masih berair. Saat itu hanya ikan jenis
Labyrinthici yang dapat bertahan hidup. Di awal musim hujan, ikan rawa mulai
memijah, anak ikan mulai menyebar dengan sedikit gangguan dari pemangsa
yang belum memasuki perairan ini. Pada pertengahan musim hujan, banyak ikan
sungai yang masuk lebak untuk aktivitas makan dan pemijahan. Ikan putih
tergolong herbivora seperti payau, jelawat, dan kelabau (famili Cyprinidae) yang
memanfaatkan ketersediaan makanan di perairan ini ikan omnivor memperoleh
organisme yang beragam dan berlimpah. Keadaan ini dimanfaatkan pula oleh
ikan carnivor untuk memangsa ikan-ikan kecil yang mengalami pertumbuhan
pesat (Chairuddin, 1989).
Fluktuasi air baik kuantitas maupun kualitas yang terlampau besar pada
awal musim hujan sering menentukan kehidupan ikan. istilah "air bangai” yang
dicirikan oleh kemasaman yang tinggi, Kadar sulfat yang tinggi. Kadar oksigen

224
Khairullah et al.

yang rendah, padatan tersuspensi yang tinggi yang umumnya terjadi pada awal
musim hujan, dapat menyebabkan kematian ikan yang cukup tinggi. Pada saat itu
populasi ikan sungai menurun di perairan lebak. tetapi setelah satu atau dua
bulan "air bangai” yang berwarna hitam digantikan oleh air ”putih”. di mana
banyak ikan sungai yang bermigrasi ke perairan lebak (Chairuddin, 1989).

PENUTUP

Lahan rawa merupakan salah satu ekosistem yang memiliki keanekaan


hayati yang cukup tinggi dan kompleks meliputi beragam tanaman yang
mempunyai sifat unggul, pohon komersial, ikan, dan ternak yang khas rawa.
Selain itu juga terdapat keragaman biota tanah berupa makroflora.
Tanaman pangan yang banyak terdapat di lahan rawa adalah padi varietas
lokal. Selain disukai oleh masyarakat setempat, padi lokal ini memiliki keunggulan
toleran terhadap keracunan besi dan memiliki kadar Fe dan Zn dalam beras yang
cukup tinggi. Tanaman buah-buahan in-situ di lahan rawa seperti jenis rambutan,
durian, mangga, manggis, nangka. Selain itu, terdapat pula jenis tanaman eksotik
seperti lembutung, kalambuku, kelidang, manggis besar, srikaya besa, dan durian
merah (lahong). Tanaman-tanaman ini memiliki kekhasan dan keunggulan
tertentu yang merupakan sumber genetik potensial untuk dijadikan sebagai
sumber gen di dalam perakitan varietas unggul baru.
Terdapat sekitar 96 jenis ikan yang termasuk dalam 47 famili dan 11 ordo.
Diperkirakan sekurang-kurangnya ada 200-300 jenis ikan yang terdapat di lahan
rawa lebak. Ikan danau-rawa alami (ikan hitam) termasuk dalam ordo
Labyrinthici. Kepadatan relatif ikan di lahan rawa lebak adalah papuyu, haruan
(Ophiocephalus striatus), sepat siam (Trichopodus pectoralis), dan biawan
(Helestome temminckii).
Sumberdaya hayati biota tanah mencakup makrofauna, mesofauna, dan
bakteri selulotik tanah. Beberapa famili makrofauna yang aktif di permukaan dan
di dalam tanah di lahan rawa lebak adalah: Gryllidae, Lycosidae, Carabidae,
Spirobolidae, Araneidae, Polydesmidae, Formicidae, Staphylinidae, Pyrrocoridae,
Pentatomidae, Glomeridae, Thomisidae, Megascolecidae, Glosscolecidae,
Blatidae. Mesofauna tanah dominan adalah ordo Acarina dan Hymenoptera
(Famili Formicidae). Di lahan gambut, makrofauna tanah yang berpotensi

225
Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa

dijadikan bioindikator kualitas tanah gambut adalah populasi cacing, biomassa


cacing, populasi semut (Formicidae), dan milipida (Polydesmidae).
Informasi keragaman jenis dan varietas tanaman, species ikan, dan biota
tanah sangat penting artinya baik ditinjau dari segi sumberdaya genetik maupun
pemanfaatannya secara langsung dan tidak langsung. Sifat adaptif dari beragam
jenis tanaman dan ikan dapat dijadikan sebagai sumber gen dalam perakitan
varietas unggul yang baru. Ikan selain dapat dimanfaatkan secara langsung
dapat pula dijadikan sebagai salah satu sumber genetik perikanan khas rawa.
Keragaman makrofauna dapat dijadikan sebagai bioindikator kesuburan di lahan
rawa, sehingga memudahkan di dalam pengelolaan lahan tersebut untuk
berbagai komoditas unggulan.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, M., S. Saragih, dan Y. Lestari. 2004. Komponen teknologi pengelolaan


lahan terpadu untuk meningkatkan produktivitas dan konservasi lahan
gambut. Dalam Laporan Akhir TA 2004. Balai Penelitian Pertanian Lahan
Rawa. BIP Banjarbaru. 1984. Mengenal ubi alabio Liptan. Balai Informasi
Pertanian. Banjarbaru.
Baker, G.H. 1998. Recognising and responding to the influences of agriculture
and other land use practices on soil fauna in Australia. App. Soil Ecol.
9:303-310.
Balittra. 2001. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa.
Banjarbaru.
Black, H.I.J. and Okwakol. 1996. Agricultural intensification, soil biodiversity, and
agroecosystem function in tropic: the rore of termites. App.Soil Ecol. 6:37-
53.
Chairuddin, T. 1989. Keberadaan dan konservasi lahan basah Kalimantan
Selatan: peranannya sebagai "feeding ground" dan keanekaan jenis ikan.
Workshop Conservation of Sungai Negara Wetlands. Barito Basin, South
Kalimantan. Kerjasama UNLAM, Kompas Borneo, Ditjen PHPA, dan Asian
Wetland Bureau. Banjarbaru, 6-8 March 1989.
Coleman, D.C. and D.A. Crossley. 1995. Fundamental of Soil Ecology. Academic
Press. New York.

226
Khairullah et al.

Galib, R., D.I. Saderi, H.R. Itjin, M. Saleh, dan Chairuddin. 1994. Analisis sistem
komoditas ubi jalar, ubi alabio dan ubi negara, dan perbaikan teknologi
budidayanya. Dalam. Laporan Hasil Penelitian Proyek Penelitian Tanaman
Pallgan Banjarbaru. Balittan Banjarbaru. Hlm 131-359.
Idak, H. 1982. Perkembangan dan sejarah persawahan di Kalimantan Selatan.
Pemda Tk. I Kalimantan Selatan. Banjarmasin. Hlm 40.
IRRI. 1996. Standard evaluation system for rice. Int. Ric. Test. Prog. Int. Ric. Res.
Ins. Manila, Philippines.
Khairullah, I., M. Imberan, dan S. Subowo. 1998. Adaptabilitas dan akseptabilitas
varietas padi di lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan. Kalimantan
Scientiae 47:38-50.
Khairullah, I., Mawardi, S. Sulaiman, dan M. Sarwani. 2003. Inventarisasi dan
karakterisasi plasma nutfah tanaman pangan di lahan rawa. Laporan Hasil
Penelitian. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru.
Khairullah, I., R. Humairie, M. Imberan, S. Subowo, dan S. Sulaiman. 2004,
Varietas lokal padi pasang surut Kalimantan Selatan: karakterisasi dan
pemanfaatan. Dalam. Astanto, et al. (Eds.). Prosiding Lokakarya
Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI) VII. Dukungan
Pemuliaan terhadap Industri Perbenihan pada Era Pertanian Kompetitif.
PERIPI-Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Ubi-ubian.
Malang.
Lavelle, P. 1994. Sil fauna and sustainable land use in the humid tropics. In D.J.
Greenland and I. Szaboles (Eds.). Soil resiliense and sustainable land use.
CAB. International, OXON..
Raihan, S. 2004. Penelitian komponen teknologi pengelolaan lahan terpadu untuk
optimalisasi dan peningkatan produktivitas lahan lebak. Dalam Laporan
Akhir TA 2004. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru.
Saleh, M. 1995. Kinerja beberapa varietas lokal ubi alabio di lahan rawa lebak
Kalimantan Selatan. Dalam M.Y. Maamun, Masganti, Mukhlis, R. Galib,
dan Sjachrani A (Eds.). Aspek Teknologi Budidaya dan Sosial Ekonomi
Ubi-ubian di Kalimantan Se!atan. Balai Penelitian Tanaman Pangan
Banjarbaru.
Sastrapraja, S.D. dan M.A. Rifai. 1989. Mengenal sumber pangan nabati dan
plasma nutfahnya. Komisi Pelestarian Plasma Nutfah Nasional-
Puslitbangtan Bioteknologi-LIPI Bogor.
Sulaiman, S., M. Imberan, dan I.K. Muhammad. 2000. Galur harapan padi
pasang surut hasil persilangan Siam unus dengan varietas unggul. Dalam:
T. Alihamsyah, M. Sabran, S. Sulaiman, R. Ramli, A. Hartono, dan D.

227
Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa

Djauhari (Eds.). Prosiding Hasil-hasil Penelitian dan Pengkajian Teknologi


Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Palangkaraya.
Palangkaraya.
Sumarno. 1994. Strategi pengelolaan plasma nutfah nasional. Makalah pada
Pelatihan Pengelolaan Plasma Nutfah Pertanian. BLPP Ketindan-Balittan
Malang.
SWAMPS-II. 1990. Laporan tahunan 1988/89. Proyek Pengembangan Lahan
Pasang Surut dan Rawa. Badan Litbang Pertanian.
SWAMPS-II. 1991. Laporan tahunan 1989/99. Proyek Pengembangan Lahan
Pasang Surut dan Rawa. Badan Litbang Pertanian.
William, E., M. Imberan, dan I. Khairullah. 1995. Identifikasi klon; klon lokal ubi
jalar di Kalimantan Selatan. Dalam. M.Y. Maamun, Masganti, Mukhlis, R.
Galib, dan Sjachrani A. (Eds.). Aspek Teknologi Budidaya dan Sosial
Ekonomi Ubi-ubian di Kalimantan Selatan. Balai Penelitian Tanaman
Pangan Banjarbaru.

228
KONSERVASI DAN
VIII REHABILITASI LAHAN RAWA
Abdurachman Adimihardja, Kasdi Subagyono, dan M. Al-Jabri

229
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

8.1. PENGERTIAN

Pada umumnya lahan pertanian di Indonesia, baik lahan sawah, lahan


kering maupun lahan rawa selalu mengalami proses degradasi dengan intensitas
yang berlainan, yang disebabkan oleh perlakuan manusia dan faktor alam.
Proses yang destruktif tersebut mengakibatkan penurunan kualitas tanah dan
tingkat produktivitas lahan. Apabila dibiarkan terus berlanjut, produktivitasnya
akan menurun terus, sehingga mencapai tingkat yang sangat rendah atau tidak
produktif sama sekali. Oleh karena itu, perlu dilakukan pencegahan melalui
penerapan tindakan konservasi tanah dan air, serta rehabilitasi lahan, yang
seharusnya merupakan bagian dari usaha budidaya pertanian.
Konservasi diartikan sebagai tindakan pencegahan terhadap terjadinya
proses degradasi lahan pertanian. Sedangkan rehabilitasi merupakan upaya
meningkatkan kembali produktivitas lahan yang sebelumnya telah mengalami
degradasi. Apabila dibandingkan dengan lahan sawah maupun lahan kering,
lahan rawa lebih memerlukan upaya konservasi, dan kehati-hatian dalam
mengelolanya. Menurut Widjaja-Adhi et al. (1992), lahan rawa tergolong
ekosistem yang tidak saja marginal tetapi juga fragil, sehingga untuk
menjadikannya produktif diperlukan perencanaan yang teliti, pemanfatan dan
penerapan teknologi yang sesuai, serta pengelolaan tanah dan air yang tepat.
Pengelolaan lahan pertanian rawa yang salah di berbagai lokasi di
Kalimantan dan Sumatera, telah mengakibatkan perubahan karakteristik tanah,
dan menurunkan produktivitasnya, bahkan sebagian menjadi tidak produktif sama
sekali. Lahan yang telah mengalami degradasi berat, biasanya sulit sekali
direhabilitasi dan memerlukan biaya tinggi. Untuk menilai apakah degradasi lahan
sudah mencapai suatu batas yang merugikan, telah ditetapkan kriteria kerusakan
beberapa sifat tanah, seperti tercantum pada Tabel 8.1 (Peraturan Pemerintah
No. 150, tahun 2000). Agar kondisi lahan tidak lebih rendah dari batas
ambangnya, maka penggunaan lahan rawa seyogyanya mengikuti pola yang
teratur. Dalam kondisi belum terganggu, pada dasarnya di antara sungai-sungai
alami di kawasan rawa pasang surut dijumpai lahan dengan gambut sangat
dalam. Dari tengah ke arah sungai-sungai alami dijumpai gambut dangkal, tanah
sulfat masam potensial, dan lahan-lahan yang terpengaruh oleh luapan sungai.
Variabilitas tanah ini berimplikasi pada pola penggunaannya yang juga bervariasi
tergantung pada hidrotopografi.

230
Abdurachman et al.

Tabel 8.1. Kriteria kerusakan tanah untuk lahan rawa


No. Sifat dasar tanah Ambang kritis Metode ukur Peralatan
1 Subsidensi gambut > 35 cm / 5 tahun Pengukuran Patok subsidensi
dari atas parit langsung
2 Kedalaman lapisan < 25 cm, pH H202 < Reaksi oksidasi & Cepuk plastik
berpirit dari 2,5 pengukuran H2O2, pH meter,
permukaan tanah langsung meteran
3 Kedalaman air > 25 cm Pengukuran Meteran
tanah dangkal langsung
4 Redoks untuk > 100 Tegangan listrik pH meter, elek-
tanah bergambut troda platina
(mV)
5 Redoks untuk > 200 Tegangan listrik pH meter.elek-
gambut (mV) troda platina
6 pH (H2O) 1: 2,5 < 4,0 ; > 7,0 Potensiometrik pH meter, pH stik
7 Daya hantar listrik > 4,0 mS/cm Tahanan listrik EC meter
(DHL)
8 Jumlah mikroba < 100 cfu/g tanah Plating technique Petridish, colony
counter
Sumber: PP No. 150, 2000

8.2. DEGRADASI LAHAN

Berdasarkan kondisi hidrologinya, lahan rawa dapat dibedakan menjadi


lahan rawa pasang surut dan non pasang surut yang disebut juga lahan rawa
lebak. Lahan rawa pasang surut lebih sensitif terhadap proses degradasi
dibandingkan dengan lahan rawa lebak, karena pada lahan tersebut dijumpai
tanah-tanah bermasalah, yaitu tanah sulfat masam dan tanah gambut.
Kemasaman, keracunan (toxicity), penurunan permukaan tanah (subsidence),
gambut kering tak balik (irreversible drying effect), kualitas air yang buruk
merupakan masalah-masalah utama yang akan muncul jika salah dalam
mengelola lahan rawa pasang surut. Sedangkan pada lahan rawa lebak hampir
tidak dijumpai proses degradasi tersebut.
Ada 2 prinsip dasar yang harus dipertimbangkan di dalam pengelolaan
lahan rawa, yaitu (a) apakah lahan rawa akan direklamasi secara total (total
reclaimed), atau (b) hanya direklamasi sebagian (minimum disturbance). Kedua
prinsip tersebut perlu ditetapkan sebelum memutuskan untuk mengelola lahan

231
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

rawa, baik untuk pertanian, pemukiman transmigran maupun untuk penggunaan


yang lainnya. Strategi yang akan dikembangkan di dalam mengelola lahan rawa
berbeda antara kedua prinsip tersebut.
Widjaja-Adhi (1997) mengemukakan beberapa faktor penyebab degradasi
pada lahan rawa, antara lain (a) reklamasi lahan dengan membangun saluran
drainase dalam dimensi besar, yang memungkinkan drainase berlebihan (over
drain) yang mengakibatkan pirit teroksidasi dan gambut mengering tak balik
(irreversible drying effect), (b) penerapan sistem pemanfaatan lahan yang tidak
memperhatikan tipologi lahan dan tipe luapan, (c) pembakaran gambut yang
berakibat pada munculnya tanah sulfat masam yang umumnya berada di
bawahnya.
Di Indonesia, seluas 20,1 juta ha lahan rawa pasang surut telah
direklamasi untuk pertanian yang dimulai sejak Repelita I tahun 1969. Kondisi
lahan setelah reklamasi menjadi rusak karena proses pemasaman tanah.
Pembukaan lahan untuk menunjang program transmigrasi dilaksanakan dengan
membangun jaringan irigasi/drainase dalam dimensi besar. Penggalian saluran
dalam ukuran besar tersebut mengakibatkan tereksposnya lapisan pirit (FeS2)
hingga teroksidasi, dan tanah menjadi masam. Pengalaman-pengalaman di
dalam mengkonservasi, mereklamasi, dan merehabilitasi lahan rawa pasang
surut dilakukan melalui berbagai proyek seperti P4S, P3S, LAWOO-AARD,
SWAMPS I dan II, ISDP, dan SUP serta kegiatan-kegiatan penelitian yang
dilaksanakan oleh Proyek Pengelolaan Sumberdaya Lahan Balai Penelitian
Tanah akan diuraikan dan didiskusikan. Analisis kebijakan disertakan sebagai
implikasi pengelolaan lahan rawa pasang surut dan dampaknya terhadap
lingkungan.

8.2.1. Degradasi lahan sulfat masam

Tanah sulfat masam berkembang dari bahan induk besi sulfida yang kaya
kandungan besi dan sulfur (FeS). Pirit terakumulasi pada tanah tergenang yang
kaya kandungan bahan organik dan mendapat tambahan sulfur yang umumnya
dari air laut (Dent, 1986). Pembentukan pirit digambarkan dengan reaksi sebagai
berikut :

Fe2O3 + 4 SO42- + 8 CH2O + ½ O2 Æ 2 FeS2 + 8 HCO3- + 4 H2O ...... (1)

232
Abdurachman et al.

Pembentukan pirit membutuhkan sumber unsur besi (dari sedimen), unsur


sulfur (umumnya dari air laut), bakteri pereduksi (telah ada di hampir seluruh
kawasan pantai), sumber energi (bahan organik dari bakau), dan pada kondisi
pasang surut (Van Mensvoort, 1996). Tanah sulfat masam terbentuk oleh
oksidasi bahan sulfidik dimana konsentrasi asam sulfat yang dihasilkan dari
oksidasi senyawa sulfur tersebut melebihi konsentrasi basa-basa yang
mempunyai kemampuan menetralisir kemasaman dan pH menurun di bawah 4
(Pons dan van Breemen, 1982).
Degradasi pada lahan sulfat masam umumnya didominasi oleh (a) proses
pemasaman tanah dan air sebagai akibat dari oksidasi pirit, dan (b) pencucian
basa-basa sebagai dampak dari pencucian asam. Pemasaman yang terjadi dapat
dibedakan menjadi dua yaitu, (a) pemasaman in-situ, dan (b) pemasaman akibat
aliran air.

a. Pemasaman in-situ

Pada kondisi tereduksi (saat tergenang air), pirit dapat dipertahankan


stabil. Tetapi pada saat permukaan air bawah permukaan (groundwater)
menurun hingga melebihi kedalaman lapisan pirit, pirit akan teroksidasi dan tanah
menjadi masam. Kondisi ini bisa terjadi pada saat reklamasi dijalankan dengan
menggali saluran-saluran irigasi/drainase berdimensi besar, seperti saluran
primer, sekunder, dan tersier. Pirit teroksidasi menghasilkan asam sulfat dengan
tahapan reaksi sebagai berikut :
FeS2(s) + 7/2 O2 (aq,g) + H2O Æ Fe2+ (aq) + 2 SO42- (aq) + 2 H+ .................(2)

Fe2+ (aq) + 1/4 O2 (aq,g) + H+ Æ Fe3+ (aq) + ½ H2O ....................................(3)

FeS2(s) + 14 Fe3+(aq) + 8 H2O Æ 15 Fe2+(aq) + 16 H+(aq) + 2SO42-(aq) .....(4)

Fe2+(aq) + 1/4O2(aq,g) + 3/2H2O Æ FeO.OH(s) + 2 H+............................(5)

Meskipun besi III oksida merupakan hasil reaksi, jarosite umumnya


terbentuk lebih awal, dengan reaksi sebagai berikut (Van Breemen, 1972) :
FeS2+15O2+5/2H2O+⅓ K+ Æ ⅓ KFe3(SO4)2(OH)6+4/3SO42-+3H+ ......(6)

233
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

Jarosite stabil pada kondisi teroksidasi dan masam, yaitu pada nilai redoks
potensial > 400-500 mV dengan pH 2-4. Jika konsentrasi asam sulfat (H2SO4)
yang terbentuk pada reaksi (4) melebihi kapasitas penyangga (buffering capacity)
tanah, pH tanah akan menurun kurang dari 4.

Pemasaman akibat oksidasi pirit merupakan proses degradasi yang


berakibat pada penurunan produktivitas lahan. Pada kondisi pH kurang dari 4,
aluminium akan terlarut dalam larutan tanah yang akan mencapai konsentrasi
yang meracuni tanaman (Moorman dan Van Breemen, 1978). Dent (1986)
mereview beberapa penelitian sebelumnya mengenai masalah-masalah yang
akan muncul jika tanah sulfat masam dikelola untuk tanaman lahan kering, yaitu
kelarutan aluminium (Al3+), besi III (Fe3+), mangan (Mn2+), dan ion hidrogen (H+)
meningkat, ketersediaan fosfat menurun akibat terbentuknya aluminium-fosfat
yang tidak larut, basa-basa tertukar menjadi menurun, dan terjadi defisiensi hara.

Pada kondisi tergenang, misalnya jika tanah sulfat masam dikelola untuk
padi sawah atau kolam ikan, kemasaman bisa dikurangi, tetapi akan muncul
permasalahan baru, yaitu keracunan besi II (Fe2+), keracunan hidrogen sulfida
(H2S), dan keracunan CO2 dan asam-asam organik jika bahan organik tinggi.
Keracunan besi pada lahan sawah berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan
tanaman padi (Gambar 8.1).

Pada musim kering, tanah-tanah di daerah rawa pasang surut secara fisik
mengalami retakan (cracking) tergantung dari tipe mineral liat tanahnya.
Meskipun tidak semua tanah sulfat masam didominasi mineral liat tipe 2:1
(smectite), tetapi jika proporsinya cukup tinggi maka pada kondisi kering tanah
mudah menjadi retak, dan pada kondisi tergenang pada saat musim hujan tanah
mengembang. Retakan-retakan di permukaan (top soil) ini bisa mengakibatkan
masuknya oksigen ke dalam lapisan tanah yang lebih dalam, dan pirit akan
teroksidasi. Menurut Hanhart dan Duong van Ni (1993), proses pemasaman
dapat disebabkan oleh 3 proses, yaitu (a) difusi, (b) retakan (cracking), dan (c)
pencucian (leaching) asam-asam dari saluran-saluran air. Pengaruh ketiga
proses tersebut terhadap proses pemasaman tanah diilustrasikan pada Gambar
8.2.

234
Abdurachman et al.

Gambar 8.1. Keracunan besi pada lahan sawah di kawasan lahan pasang surut
bertanah sulfat masam

Gambar 8.2. Pengaruh proses difusi, retakan (cracking) dan pencucian


(leaching) terhadap pemasaman pada tanah sulfat masam
(Sumber: Hanhart dan Duong van Ni, 1993)

235
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

b. Pemasaman akibat aliran air

Selain proses in-situ sebagaimana dijelaskan sebelumnya, proses


pemasaman di suatu tempat di kawasan lahan rawa pasang surut bertanah sulfat
masam atau gambut dapat disebabkan oleh aliran air masam yang berasal dari
tempat-tempat yang telah mengalami pemasaman. Salah satu contoh proses
pemasaman yang disebabkan oleh aliran air yang berasal dari hutan sekunder
yang telah mengalami pemasaman akibat reklamasi dan aktivitas manusia di
dalam hutan tersebut dijumpai di Unit Tatas, Kalimantan Tengah (Kselik et al.,
1993). Pengaruh buruk dari aliran air masam tersebut dapat ditanggulangi
dengan membangun saluran drainase intersepsi (interceptor drained) antara
hutan sekunder dengan lahan yang dikelola (Gambar 8.3).
Saluran drainase intersepsi sangat nyata pengaruhnya dalam memperbaiki
kualitas air di lahan pertanian (Gambar 8.3). Konsentrasi sulfat (SO42-) pada
lahan di dekat hutan sekunder jauh lebih tinggi dibandingkan dengan lahan yang
dikelola untuk padi sawah. Demikian juga hal yang sama dijumpai untuk
konsentrasi besi II (Fe2+). Sebaliknya pH meningkat ke arah menjauh dari hutan
sekunder. Hal ini karena aliran air yang masam dengan konsentrasi SO42- dan
Fe2+ yang tinggi dari hutan sekunder terhalang oleh saluran drainase intersepsi.
Air dari hutan sekunder yang masuk ke saluran drainase tersebut selanjutnya
dibuang pada saat air surut. Saluran drainase intersepsi yang diaplikasikan di
Unit Tatas, Kalimantan Tengah berdimensi lebar 1 m dan dalam 1 m dengan
panjang yang mengikuti lebar petakan lahan sawah.
Meskipun kemasaman yang timbul bisa dinetralisir dengan pemanfaatan
kapur (Charoenchamratcheep et al., 1982; Ponnamperuma dan Solivas, 1982;
Moctar Toure, 1982; Smilde, 1990), tetapi kebutuhan kapur tergolong tinggi
terutama jika kandungan pirit di dalam tanah masih tinggi (Dent, 1986).
Pencucian (flushing) sebagai salah satu strategi pengelolaan air tidak
hanya mengurangi kemasaman, tetapi berdampak pada tercucinya basa-basa
yang diperlukan untuk pertumbuhan dan produksi tanaman. Dari penelitiannya di
Unit Tatas, Kalimantan Tengah pada tanah sulfat masam aktual dengan tipe
luapan B dengan menerapkan sistem aliran satu arah untuk pencucian,
Subagyono et al. (1994) menemukan bahwa selain mencuci, asam Ca2+ dan
Mg2+ juga ikut tercuci. Hal ini terbukti bahwa kandungan Ca2+ dan Mg2+ di dalam
tanah pada lahan yang dicuci lebih rendah dari pada lahan yang digenangi
(Gambar 8.4). Tanpa introduksi kapur sebagai sumber Ca2+ dan Mg2+, tanah
akan mengalami defisiensi unsur hara tersebut.

236
Abdurachman et al.

Musim kemarau Hutan

Lahan pertanian

Zona dengan oksidasi pirit


intensif, kemasaman, dan
keracunan

Musim hujan Tinggi muka air tanah

Aliran air masam dan unsur


beracun dari hutan ke
saluran sekunder melalui
lahan pertanian

Musim hujan

Saluran drainase Saluran drainase


intersepsi intersepsi, ke
saluran sekunder

Aliran air masam dan unsur


beracun ke saluran drainase
intersepsi

Gambar 8.3. Aliran air masam bawah tanah dari hutan sekunder ke lahan
pertanian dan pengaruh saluran drainase intersepsi dengan
modifikasi (interceptor drain) (Sumber: Kselik et al., 1993)

237
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

3.5

Penggenangan
3
Pencucian

2.5
Konsentrasi (me/100 g)

1.5

0.5

0
2+ 2+ 2+
Fe
Fe2+ Ca2+ Ca Mg2+ Mg

Gambar 8.4. Dampak negatif pencucian terhadap konsentrasi basa-basa pada


kedalaman tanah 0-20 cm yang berpotensi sebagai penyebab
degradasi lahan dengan modifikasi (Sumber: Subagyono et al.,
1994)

8.2.2. Degradasi lahan gambut

Lahan gambut adalah lahan rawa yang mempunyai lapisan gambut pada
berbagai ketebalan (Widjaja-Adhi, 1988) : (a) gambut dangkal (50-100 cm), (b)
gambut sedang (100-200 cm), (c) gambut dalam (200-300 cm), dan (d) gambut
sangat dalam (> 300 cm). Sedangkan lahan dengan ketebalan gambut < 50 cm
disebut lahan bergambut. Menurut Widjaja-Adhi et al. (1992), gambut dalam
sering disebut lahan tidak layak huni, oleh karena itu lahan gambut yang
direkomendasikan untuk program transmigrasi hanya yang ketebalannya < 200
cm. Hal ini didasarkan pada pengalaman selama program Proyek Pembukaan
Persawahan Pasang Surut (P4S), petani transmigran pada lahan dengan gambut

238
Abdurachman et al.

dalam, sebagian besar meninggalkan lahannya. Gambut dalam memang tidak


cocok untuk sawah (Widjaja-Adhi, 1988), karena tingginya perkolasi dan
rendahnya daya topang (low bearing capacity). Namun petani-petani di Riau
dapat mengusahakan kebun, terutama kelapa dan membangun rumah mereka di
lahan gambut.

Secara umum gambut mempunyai berat isi (bulk density) yang rendah,
berkisar antara 0,05-0,25 g/cm3, dan gambut yang telah direklamasi akan lebih
padat dengan berat isi berkisar antara 0,1-0,4 g/cm3. Berat isi ini meningkat,
sejalan dengan bertambahnya kandungan mineral atau semakin halusnya ukuran
partikel, sesuai dengan tingkat pelapukan gambut (Bouman dan Driessen, 1985).
Berat isi dapat dijadikan indikasi kepadatan tanah, sekaligus merupakan indikasi
daya topang gambut terhadap beban di atasnya, seperti tanaman, bangunan
irigasi, jalan, dan mesin-mesin pertanian. Sesuai dengan tingkat pelapukannya
gambut dengan pelapukan rendah (fibric) mempunyai porositas lebih tinggi dari
95%. Gambut dengan pelapukan lanjut (sapric) memiliki porositas yang lebih
rendah, tetapi masih lebih tinggi dari 80%. Gambut dengan tingkat pelapukan
menengah mempunyai porositas di antara kedua nilai tersebut. Proses dominan
yang menyebabkan degradasi pada lahan gambut adalah penurunan muka tanah
(subsidence). Gambut akan mengalami penyusutan volume bila didrainase.
Akibatnya lahan ini mengalami penurunan permukaan (subsidence), yang tidak
dapat dikembalikan seperti permukaan semula. Sifat ini lebih dikenal dengan
irreversible drying effect.

Selain itu gambut mempunyai kemampuan menahan beban yang relatif


rendah. Menurut Bouman dan Driessen (1985), gambut mempunyai ketahanan
penetrasi antara 0-40 kPa, jauh lebih rendah dari tanah-tanah mineral yang
mempunyai ketahanan penetrasi bervariasi yaitu 10, 100 atau 1.000 kPa.
Ketahanan penetrasi yang rendah ini sangat menyulitkan dalam mekanisasi
pertanian. Ketahan geser (shear strength) pada tanah gambut dengan batang-
batang kayu yang belum terdekomposisi umumnya sangat rendah. Nilainya
berkisar antara 5-20 kPa. Gambut dengan campuran liat (peaty clay) mempunyai
ketahanan geser antara 50-120 kPa (Bouman dan Driessen, 1985).
Pada umumnya gambut mempunyai permeabilitas yang relatif cepat.
Permeabilitas horizontal (lateral permeability) lebih cepat dibanding vertikal. Hal
ini harus diperhatikan dalam upaya pengaturan sistem pengelolaan air, baik pada

239
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

tingkat tersier maupun tata air mikro. Beberapa masalah telah dikemukakan oleh
Segeren dan Smith (1980) sehubungan dengan drainase lahan gambut. Gambut
mempunyai pori-pori yang cukup tinggi dengan kandungan air yang sangat tinggi,
karena kemampuannya menahan air yang tinggi dan dengan koefisien
konsolidasi yang rendah. Bila lahan gambut dikeringkan (drained), tekanan efektif
gambut meningkat. Berat isi gambut pada saat dikeringkan mencapai 1,59 g/cm3,
dan menjadi sangat rendah yaitu 0,59 g/cm3 bila tergenang air. Setelah lahan ini
dikeringkan, tekanan efektif meningkat sesuai dengan persamaan berikut: (1,59-
0,59)/0,59 x 100% = 169%. Untuk tanah mineral peningkatan ini hanya mencapai
60%. Akibat lain yang timbul apabila lahan gambut dikeringkan adalah terjadinya
oksidasi, yang mengakibatkan CO2 dan H2O berkurang atau hilang.

Penurunan muka tanah (subsidence) disebabkan oleh 3 proses utama,


yaitu (a) hilangnya vegetasi pada lahan gambut, (b) drainase, dan (c)
pengurangan bahan-bahan penyusun gambut secara fisik, kimia dan biologi.
Drainase pada lahan gambut mempunyai empat pengaruh utama, dan tiga yang
pertama berhubungan dengan penurunan permukaan :
1. Pengerutan (shrinkage) di lapisan tanah atas. Tingkat pengerutan tergantung
pada ketebalan gambut, iklim dan kondisi drainase. Pengerutan ini
mengakibatkan terbentuknya retakan yang akan mempercepat permeabilitas
tanah.
2. Oksidasi bahan organik. Kecepatan oksidasi tergantung pada iklim,
penggunaan lahan, kedalaman muka air tanah, dan kandungan bahan
organik.
3. Tekanan pada lapisan di bawah air tanah. Besarnya tekanan tergantung
pada ketebalan lapisan tersebut, kompresibilitas, dan kedalaman muka air
tanah setelah didrainase.
4. Pengeringan tak balik (irreversible drying). Penyusutan volume gambut akibat
hilangnya volume besar air bisa mencapai kurang lebih 80%. Bila diairi atau
digenangi gambut yang telah menyusut ini tidak dapat kembali pada volume
semula.

Penurunan permukaan gambut sangat bervariasi tergantung pada berat isi


dan berat jenis partikel gambut, kedalaman gambut, kedalaman saluran drainase
dan periode drainase (Bouman dan Driessen, 1985). Pada Gambar 8.5 dan 8.6
diilustrasikan penurunan muka tanah pada lahan gambut tropika.

240
Abdurachman et al.

Total subsidence terhitung (St)

Waktu (tahun)

Gambar 8.5. Total subsidence terhitung (St) pada lahan gambut tropika dalam
hubungannya dengan berat isi dan kerapatan partikel (particle
density) dengan modifikasi (Sumber: Bouman dan Driessen, 1985)
Total subsidence terhitung (St)

Waktu (tahun)

Gambar 8.6. Total subsidence terhitung (St) pada lahan gambut tropika dalam
hubungannya dengan kedalaman awal saluran drainase dengan
modifikasi (Sumber: Bouman dan Driessen, 1985)

241
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

Umumnya tanah gambut sangat masam, pH 3-4,5 dan kandungan bahan


organik < 5%. Fraksi organik tanah gambut mengandung lignin, selulosa,
hemiselulosa, dan protein, tannin, resin dalam jumlah yang relatif sedikit.
Kandungan abu, K2O, P2O5, dan SiO2 pada tanah lapisan atas menurun setelah
deforestasi, tetapi CaO dan MgO cenderung meningkat. Kandungan nitrogen
tanah gambut berkisar antara 2.000-4.000 kg/ha pada kedalaman 0-20 cm, tetapi
hanya sebagian kecil yang tersedia bagi tanaman (Driessen dan Dudal, 1989).

8.3. TEKNOLOGI KONSERVASI

Konservasi lahan rawa mencakup kegiatan perlindungan, pengawetan dan


peningkatan fungsi dan manfaat. Oleh karena itu, berdasarkan fungsinya lahan
rawa dibedakan menjadi tiga kawasan, yaitu (1) kawasan lindung, (2) kawasan
pengawetan, dan (3) kawasan reklamasi untuk peningkatan fungsi dan manfaat.
Kawasan lindung dan pengawetan disebut juga kawasan non-reklamasi atau
non-budidya, sedangkan kawasan reklamasi disebut juga kawasan budidaya.
Pengelolaan lahan rawa menjaga keseimbangan antara kawasan budidaya dan
non-budidaya serta kelestarian sumberdaya alam rawa (Widjaja-Adhi, 1997).

8.3.1. Kawasan non reklamasi

Kawasan non reklamasi adalah lahan-lahan yang relatif belum terganggu


oleh tindakan manusia, terdiri atas lahan gambut sangat dalam (> 3 m) dengan
vegetasi alami. Menurut Widjaja-Adhi (1997), lahan tersebut dapat dijadikan
kawasan konservasi dengan berbagai tujuan, antara lain : (a) sebagai kawasan
tampung hujan, (b) sebagai kawasan untuk perlindungan hewan dan tanaman
langka, dan (c) untuk keperluan penelitian masa depan yang melibatkan
ekosistem gambut di lahan rawa pasang surut.

Kawasan tampung hujan merupakan daerah penyangga yang berfungsi


sebagai penampung dan pendistribusian air untuk keperluan irigasi di musim
kemarau untuk sawah-sawah di sekelilingnya. Hutan suaka alam praktis bisa
dikembangkan di kawasan ini, karena umumnya masih memiliki vegetasi alami
dan sebagai tempat hewan-hewan langka hidup dan berkembang biak.

242
Abdurachman et al.

Di bawah lapisan gambut umumnya adalah tanah sulfat masam potensial,


yaitu tanah sulfat masam yang belum mengalami pemasaman karena
terpeliharanya kondisi reduksi. Konservasi lahan gambut sekaligus menghindari
munculnya tanah sulfat masam di permukaan, dan menghindari degradasi lahan
akibat pemasaman tanah.

8.3.2. Kawasan reklamasi

Lahan-lahan di kawasan ini umumnya telah mengalami degradasi yang


sebagian besar disebabkan oleh proses pemasaman. Penyebab lain dari
penurunan produktivitas lahan di kawasan ini antara lain adalah penurunan
permukaan tanah (subsidence), genangan (water logging), polusi lingkungan
perairan oleh asam-asam organik dan anorganik serta unsur beracun seperti besi
(Fe2+), dan keracunan (toxicity) oleh unsur bersifat racun bagi tanaman. Untuk
tidak terjadi proses degradasi yang berkelanjutan, maka lahan-lahan di kawasan
ini perlu tindakan konservasi.

Kawasan ini dicirikan dengan telah dibangunnya jaringan irigasi/drainase.


Untuk lahan dengan tanah sulfat masam, mempertahankan tinggi muka air di
atas lapisan pirit merupakan strategi yang bisa dilakukan untuk mempertahankan
tanah dalam kondisi tereduksi dan mencegah terjadinya pemasaman akibat
oksidasi pirit. Pengelolaan air sekaligus dapat difungsikan sebagai tindakan
konservasi tanah.

Untuk menghindari kerusakan lahan yang berkelanjutan, sistem


pengelolaan lahan harus didasarkan pada tipologi lahan dan tipe luapan. Pada
dasarnya sawah merupakan alternatif yang sangat memungkinkan untuk
mempertahankan tanah dalam kondisi tergenang dan reduktif. Namun demikian,
bervariasinya tipologi lahan pada setiap kawasan dengan tipe luapan yang
berbeda berimplikasi pada pola pengelolaan yang berbeda. Widjaja-Adhi et al.
(1992) mengetengahkan alternatif sistem pengelolaan rawa pasang surut
berdasarkan tipologi lahan dan tipe luapan (Tabel 8.2).

243
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

Tabel 8.2. Sistem pengelolaan lahan rawa pasang surut


Tipe luapan/Penggunaan lahan
Tipologi lahan
A B C D
1 1
Lahan potensial Sawah+kbb Sawah+kbb Sawah/surjan Lahan kering, tan. tahunan,
kelapa sawit
1
Lahan sulfat masam Sawah+kbb Sawah+kbb Sawah/skp Lahan kering, tan. tahunan,
3
skp karet

Lahan bergambut Sawah+kbb Sawah+kbb Gogo-sawah/ Lahan kering, hortikultura


4
Surjan Surjan
Gambut dangkal Lahan kering, hortikultura,
Lahan gambut dalam - - - Kelapa, kelapa sawit
1 2
Keterangan : kbb = kedelai budidaya basah, menggunakan pintu tabat (stop log) di saluran tersier,
3 4
skp = surjan kredit dimulai dengan puntukan, 10-15 cm lapisan gambut dicampur dengan tanah
mineral di bawahnya
Sumber : Widjaja-Adhi et al. (1992)

8.4. REHABILITASI LAHAN RAWA

Lahan rawa yang telah terdegradasi dan menurun produktivitasnya perlu


direhabilitasi terlebih dahulu, agar usaha pertanian menjadi lebih efisien dan
menguntungkan. Pengalaman menunjukkan bahwa pengelolaan air memegang
peranan penting dalam keberhasilan rehabilitasi dan pengelolaan lahan rawa
(Kselik, 1990; Sevenhuysen, 1990; Widjaja-Adhi et al., 1990; Ritzema et al.,
1993; Mansur et al., 1995; Hanhart dan Duong van Ni, 1993; Subagyono et al.,
1997; Kselik et al., 1993; Subagyono et al., 1998). Peningkatan produktivitas
lahan dan produksi tanaman akan lebih tinggi jika pengelolaan air ini
dikombinasikan dengan pengelolaan tanah melalui pengapuran (liming),
pemupukan dan pemberian bahan amelioran.

8.4.1. Pengelolaan air

Pengelolaan air berperan sangat penting di dalam rehabilitasi lahan rawa


pasang surut bertanah sulfat masam dan gambut. Selama hampir 2 dasa warsa
terakhir (1985-2001), penelitian-penelitian pengelolaan air yang dilaksanakan
oleh berbagai proyek seperti Proyek SWAMPS II, Proyek kerjasama antara
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Land and Water Research

244
Abdurachman et al.

Group (LAWOO) Belanda, Proyek Penelitian dan Pengembangan Pertanian


Rawa Terpadu atau Integrated Swamp Development Project (ISDP), Proyek
Lahan gambut Sejuta Hektar (PLG) maupun Proyek Penelitian Sumberdaya
Lahan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat telah menghasilkan komponen
teknologi utama pengelolaan air yang meliputi (a) sistem aliran satu arah (one-
way flow system), (b) sistem drainase dangkal intensif, (c) sistem drainase
intersepsi (interceptor drain), (d) sistem drainase berkala (intermittent drain), (e)
irigasi dengan air pasang dan pencucian, dan (f) sistem tabat.

a. Konsep dasar

Untuk meningkatkan produktivitas lahan rawa pasang surut, pengelolaan


air memegang peranan sangat penting. Pada lahan rawa pasang surut bertanah
gambut, konservasi air merupakan upaya penting selain upaya drainase lahan.
Pengelolaan air dilakukan dengan memperhatikan kedalaman gambut, tingkat
pelapukan gambut, lapisan bawah gambut (substratum), ada tidaknya bahan
pengkayaan, dan tipe luapan pasang surut. Kawasan konservasi sebagai
kawasan tampung hujan dialokasikan di bagian hulu sungai rawa (Widjaja-Adhi et
al., 1992). Sementara itu, untuk menanggulangi, mengurangi, dan menghilangkan
kemasaman serta untuk meningkatkan hasil komoditas yang dibudidayakan di
lahan sulfat masam, pengelolaan air didasarkan pada tipologi lahan pasang surut
dan tipe luapan. Tipologi lahan sulfat masam potensial dengan tipe luapan A,
tipologi lahan sulfat masam aktual dengan tipe luapan B, C, D (Ritzema et al.,
1993).
Berdasarkan kemampuan arus pasang mencapai daratan, maka tipe
luapan pada lahan rawa pasang surut dibedakan menjadi 4 macam tipe luapan
(Kselik, 1990; Widjaja-Adhi et al., 1992).
Tipe A : Lahan yang selalu terluapi air pasang, baik pada saat pasang
maksimum (spring tide) maupun pasang minimum (neap tide).
Tipe B : Lahan yang terluapi air pasang pada saat pasang besar.
Tipe C : Lahan yang tidak pernah terluapi air pasang, tetapi air pasang
berpengaruh pada air tanah dan kedalaman muka air tanah kurang dari
50 cm.
Tipe D : Lahan yang tidak pernah terluapi air pasang, tetapi air pasang
berpengaruh pada air tanah dan kedalaman muka air tanah lebih dari
50 cm.

245
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

Gambar 8.7. Tipe luapan air pada lahan rawa pasang surut
(Sumber : Widjaja-Adhi et al., 1992)

Klasifikasi tipe luapan ini didasarkan pada pasang maksimum dan


minimum pada saat musim hujan (Gambar 8.7). Untuk musim kemarau,
kemampuan arus pasang mencapai daratan berkurang, sehingga perlu
perancangan teknik pengelolaan air harus disesuaikan.

b. Strategi pengelolaan air

Strategi pengelolaan air didasarkan pada tipologi lahan dan tipe luapan.
Masing-masing tipologi lahan mempunyai sifat dan karakteristik yang berbeda,
sehingga strategi pengelolaan airnya perlu dibedakan. Strategi pengelolaan air
secara spesifik dibedakan menjadi 2, yaitu (a) pengelolaan air di tingkat tersier,
dan (b) pengelolaan air mikro di lahan petani. Keduanya harus sinergis dengan
sistem irigasi/drainase di tingkat makro (primer dan sekunder) yang telah
dibangun. Beberapa sistem irigasi/drainase yang telah dibangun sejak Pelita I
tahun 1969, antara lain adalah sistem garpu (fork system) atau disebut juga
sistem kolam (kolam system), sistem anjir dan handil dan kombinasinya yang
dijumpai di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Sistem sisir tunggal
(single comb system) dan ganda (couple comb system), kombinasi sistem garpu
dan sistem sisir dan sistem tangga dijumpai di Sumatera Selatan. Sistem anjir
dan handil adalah dua sistem drainase khas penduduk Banjar yang merupakan
teknologi lokal.

246
Abdurachman et al.

Pengelolaan air di tingkat tersier

Pengelolaan air di tingkat tersier menjembatani pengelolaan air makro dan


mikro. Pengalaman di kawasan pasang surut Delta Pulau Petak, Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa degradasi lahan akibat
pemasaman tanah terjadi setelah saluran-saluran dengan dimensi besar
dibangun. Beberapa tahun setelah reklamasi, hasil padi menurun disebabkan
oleh keracunan (Roesle et al., tidak dipublikasi). Oleh karena itu, penggalian
saluran hendaknya disesuaikan dengan kedalaman lapisan pirit (pada tanah
sulfat masam) dan kemungkinan subsidence pada tanah gambut.

Sebagaimana dijumpai di Delta Pulau Petak, pengelolaan air di tingkat


tersier dilaksanakan diantara 2 saluran tersier, dengan jarak antara saluran
tersier 150 m, 200 m, dan 400 m, mengikuti jarak saluran tersier dari sistem
drainase garpu (fork system) yang telah ada.

Untuk menerapkan sistem pengelolaan air yang sesuai dengan masalah di


masing-masing lokasi, maka di saluran-saluran tersier dipasang pintu-pintu
otomatis (flapgate) atau pintu tabat (stoplog), tergantung strategi pengelolaan air
yang diterapkan. Untuk menerapkan pencucian, maka di saluran-saluran tersier
dipasang pintu-pintu otomatis yang berbeda arah untuk menciptakan sistem
aliran satu arah (one-way flow system), sehingga tercipta saluran tersier sebagai
saluran irigasi dan sebagai saluran drainase.

Lahan tipe luapan A

Prinsip dasar pengelolaan air pada tipologi ini adalah menanggulangi


terjadinya proses pemasaman tanah. Banjir sering menjadi kendala pada lahan
dengan tipe luapan ini. Oleh karena itu, pengelolaan air dirancang untuk
menanggulangi bahaya banjir (Ritzema et al., 1993). Pada musim kemarau
panjang, salinitas menjadi masalah yang lebih menonjol dibandingkan dengan
kemasaman, sehingga strategi pengelolaan air diarahkan untuk menanggulangi
masalah tersebut.

Untuk mencegah terjadinya pemasaman tanah, tinggi muka air harus


dipertahankan di atas lapisan pirit. Pada lahan ini, lapisan pirit terletak pada

247
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

kedalaman kurang dari 50 cm. Pembuatan saluran irigasi/drainase harus


memperhatikan kedalaman lapisan tersebut. Bila kedalaman saluran harus digali
melebihi lapisan pirit, tinggi muka air di saluran harus dipertahankan di atas
lapisan tersebut dengan pintu tabat (stoplog). Pengelolaan tanah minimum
(minimum disturbance) harus dijadikan prinsip dasar agar lahan tetap lestari dan
aman.

Pembuatan tanggul-tanggul dan penggunaan pompa air merupakan


alternatif pengelolaan air untuk mengatasi bahaya banjir dan masalah drainase
lahan. Tinggi tanggul harus di atas tinggi luapan maksimum yang mungkin terjadi.
Pemompaan dilaksanakan jika perbedaan gradien potensial antara lahan dengan
saluran dan sungai tidak memungkinkan untuk dilakukan drainase secara
gravitasi. Perancangan pompa hendaknya memanfaatkan sumberdaya yang ada
seperti angin sebagai tenaga, dengan terlebih dulu merancang baling-baling atau
kincir angin.

Dalam kondisi belum didrainase, mempertahankan air di atas lapisan pirit


tidak menjadi masalah karena lahan ini selalu terluapi arus pasang. Namun bila
sistem drainase telah dibangun, penurunan muka air harus dikontrol dengan
merancang dimensi saluran drainase yang tepat. Untuk mencegah masuknya air
pasang yang bergaram, pemasangan pintu-pintu otomatis (flapgate) di saluran
tersier sangat dianjurkan. Montoroi et al. (1993) merancang teknik pengelolaan
air untuk mengurangi salinitas di lahan sawah dengan strategi (a) mencuci garam
pada awal musim hujan, (b) mempertahankan tinggi muka air optimal di lahan
sawah selama musim hujan, (c) menghindari genangan air di bagian cekungan
lahan, dan (d) membuka pintu dam jika beda tinggi muka air di upstream dan
downstream mencapai sekurang-kurangnya 4 cm. Pengaruh teknik pengelolaan
air tersebut terhadap salinitas disajikan pada Gambar 8.8. Rancangan pintu ini
sangat bervariasi menurut kondisinya. Bila saluran tersier digunakan untuk
sarana transportasi, seperti dijumpai di daerah Tabunganen, Kalimantan Selatan,
maka pintu air tersebut harus bisa membuka dan menutup ke samping. Bila tidak
digunakan untuk transportasi, pintu tersebut dirancang untuk bisa membuka dan
menutup ke atas dan ke bawah. Rancangan pintu ini sangat efektif bila bisa
berfungsi secara otomatis.

248
Abdurachman et al.

DHL (dS/M)

Gambar 8.8. Pengaruh pengelolaan air terhadap daya hantar listrik (DHL) pada
tanah sulfat masam di Djiguinoum, Senegal (Sumber: Montoroi et
al.,1993)

Lahan tipe luapan B

Kemasaman pada tanah lapisan atas dan terbatasnya air untuk pencucian
merupakan kendala di dalam penerapan teknik pengelolaan air di lahan ini.
Tanah sulfat masam aktual umumnya dijumpai di lahan ini, dicirikan oleh reaksi
tanah masam dan munculnya keracunan besi (Fe2+) dan aluminium (Al3+) pada
tanaman.

Untuk mengurangi bahaya kemasaman dan unsur bersifat racun,


pencucian dengan sistem aliran satu arah (Gambar 8.9) bisa diterapkan.
pengalaman penelitian di Unit Tatas, Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa
kualitas tanah dan hasil tanaman padi dapat diperbaiki (Tabel 8.3) dengan
menggunakan sistem tersebut (Subagyono et al., 1997).

Pemanfaatan arus pasang dengan sistem aliran satu arah mampu


merubah konsentrasi Fe2+ di dalam tanah dari konsentrasi awal 2,8 me/kg (akhir

249
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

MK 1988) menjadi 0,2 me/kg (awal MK 1992). Konsentrasi Al3+ menurun, dari
konsentrasi awal 37,1 me/kg menjadi 17,0 me/kg (Subagyono et al., 1992).
Namun demikian konsentrasi kedua unsur tersebut berfluktuasi dari musim ke
musim (Gambar 8.10). Selain pengaruh pencucian dengan sistem aliran satu
arah, fluktuasi konsentrasi tersebut juga sangat ditentukan oleh kondisi iklim dan
hidrologi terhadap proses oksidasi dan reduksi di dalam tanah. Pada kondisi
tergenang terjadi reduksi besi feri (Fe3+) menjadi besi fero (Fe2+), sehingga
konsentrasi Fe2+ terlarut meningkat.

Saluran primer

Pintu klep (pemasukan) Pintu klep (pembuangan)

Pintu klep (pemasukan) Saluran tersier


Saluran sekunder

Pintu klep
Saluran kuarter (pembuangan)

Gambar 8.9. Sistem aliran satu arah (one-way flow system) untuk lahan tipe B
dan bertanah sulfat masam aktual (Sumber : Subagyono et al.,
1997)

250
Abdurachman et al.

5
4.5
4
3.5

Fe2+ (me/kg)
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
0 I II III IV V VI VII VIII
Musim Tanam (1988-1992)

Gambar 8.10. Perubahan konsentrasi Fe2+ di dalam tanah oleh pengaruh


penerapan sistem aliran satu arah pada tanah Sulfic Hydraquent
dengan tipe luapan B di Unit Tatas, Kalimantan Tengah dengan
modifikasi (Sumber : Subagyono et al.,1992)

Tabel 8.3. Pengaruh pencucian dengan sistem aliran satu arah terhadap kualitas
tanah dan hasil padi pada tanah Sulfic Hydraquent dengan tipe luapan
B di Unit Tatas, Kalimantan Tengah
Sifat kimia tanah Pencucian Penggenangan
KTP (cmol/kg) 26,00 36,00
KTA (cmol/kg) 44,00 45,00
Bahan organik (%) 11,12 9,28
pH H2O 3,68 3,42
DHL (µS/cm) 84,00 98,00
2+
Fe (me/kg) 17,94 16,98
Al3+ (me/kg) 23,89 25,46
Hasil padi IR-42 (t/ha) 3,53 2,61
KTP : Kemasaman Total Potensial; KTA : Kemasaman Total Aktual;
DHL : Daya Hantar Listrik
Sumber : Subagyono et al. (1994)

251
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

Lahan tipe luapan C

Pada umumnya lahan yang telah direklamasi akan kehilangan lapisan


gambut yang berada di atas tanah mineral, yang berpotensi munculnya tanah
sulfat masam. Lahan ini terpengaruh arus pasang secara tidak langsung melalui
fluktuasi tinggi muka air tanah. Air pasang tidak mampu meluapi permukaan
lahan, hanya berfluktuasi di saluran-saluran tersier. Lahan di kawasan pasang
surut tipe C didominasi tanah sulfat masam aktual dengan tingkat kerusakan
akibat kemasaman cukup tinggi. Keracunan besi dan aluminium umumnya lebih
parah dibandingkan dengan tanah-tanah di lahan tipe luapan B. Sebagai contoh
dijumpai di Barambai-1 (Sulfic Hydraquent dengan tipe luapan C). Vadari et al.
(1990) melaporkan bahwa tanah tersebut sangat masam sampai masam (pH
3,67-5,24), dan kandungan Al3+ mencapai 33,49 me/kg.
Pengendalian air dilakukan pada saluran-saluran tersier, yakni dengan
mempertahankan muka air yang cukup tinggi di lahan yang dibudidayakan. Oleh
karena itu, pada saluran tersier dipasang pintu tabat (stoplog) yang ditujukan
untuk mencapai tinggi muka air di atas rata-rata lapisan pirit (Gambar 8.11).
Menurut Ritzema et al., (1993), perbaikan sistem drainase dapat dilakukan pada
tingkat sekunder dan primer untuk membuang air yang masam pada awal musim
hujan. Dari hasil penelitiannya di Karang Agung I, Mansur et al. (1995)
melaporkan bahwa produksi padi pada lahan yang dicuci dengan air pasang dan
didrainase sedalam 60 cm mencapai 2,6 t/ha, dan hasil padi meningkat hingga
4,3 t/ha jika pengelolaan air dengan cara pencucian ini dikombinasikan dengan
pencampuran gambut pada tanah lapisan atas.

Lahan tipe luapan D

Lahan ini dijumpai pada bagian hulu sungai rawa dan bila belum terganggu
masih ditemukan gambut tebal yang pada umumnya masih berupa hutan primer.
Untuk sumber air bagi kawasan di sekelilingnya, maka lahan ini harus
dikonservasi untuk dijadikan kawasan tampung hujan.
Arus pasang surut praktis tidak banyak mempengaruhi hidrologi di
kawasan ini. Umumnya tanah sulfat masam di lahan tipologi ini tertutup oleh
gambut. Daerah Sakalagun, Kalimantan Tengah adalah salah satu contoh yang
mempunyai tipologi lahan seperti ini. Menurut Ritzema et al., (1993), pencucian

252
Abdurachman et al.

tidak dapat dilakukan dengan menggunakan arus pasang, karena posisinya yang
cukup tinggi dari pada luapan maksimum arus pasang. Jika daerah-daerah
tersebut sudah tidak tertutup oleh gambut karena gambutnya telah habis, maka
perlu tindakan konservasi untuk melestarikan sumberdaya alam gambut.

Saluran primer

Pintu tabat Pintu tabat


Pintu
Saluran keliling
Saluran sekunder

tabat Saluran primer

Saluran Saluran cacing


tengah
Pintu tabat
Saluran kuarter

Pintu tabat

Gambar 8.11. Sistem tabat untuk mempertahankan tinggi muka air di atas
lapisan pirit pada lahan tipe C dan bertanah sulfat masam aktual
(Sumber : Subagyono et al., 1997)

Kawasan dengan kubah gambut ini menjadi sumber air bagi daerah
sekelilingnya, karena kawasan ini mampu menyangga air hujan dan air akan
mengalir secara gravitasi. Daerah ini menjadi sumber air irigasi untuk kawasan
budidaya di sekelilingnya. Pengelolaan air dirancang dengan menggunakan
sumberdaya air dari kubah gambut tersebut. Pembuatan embung penampung air
dari daerah tangkapan akan membantu distribusi air secara terkontrol. Bila
prinsip-prinsip pengelolaan air tersebut diterapkan, maka lahan tipe ini bisa

253
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

disawahkan. Namun, drainase diperlukan untuk mengurangi genangan pada saat


musim hujan.

8.4.2. Pengapuran (liming)

Salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk rehabilitasi lahan sulfat
masam aktual (SMA) di daerah rawa pasang surut adalah kapur. Kapur sebagai
bahan pembenah tanah sangat beralasan untuk diberikan pada tanah SMA untuk
padi sawah selama penggenangan tanah belum dapat menaikkan pH tanah di
atas 4,25-4,50. Sesuai dengan tingkat sensivitas dari beberapa tanaman pangan
terhadap kemasaman tanah dari yang paling tahan sampai sangat sensitif, maka
padi sangat tahan terhadap kemasaman tanah, kemudian diikuti jagung dan
kedele. Tanaman pangan dapat tumbuh di tanah SMA setelah tanahnya diberi
kapur, sehinga pH tanah disekitar akar > 4,25-4,50 untuk padi, > pH 4,50-5,00
untuk jagung, dan > 5,00-5,50 untuk kedele. Konsep pengapuran yang mencapai
puluhan sampai ratusan ton per ha untuk tanaman pangan hendaknya
ditinggalkan, kemudian perlu diteliti lebih lanjut mengingat keberadaan mineral
liat 2:1 (smektit) yang telah rusak sebagaimana dicirikan bentuk difraksi sinar-X
liat 2:1 yang cembung. Kebutuhan kapur (KK) tanah SMA yang ditetapkan
berdasarkan 100% kali nilai Al-dd KCl 1 N menghasilkan ekuivalen takaran kapur
yang berlebihan atau overestimasi. Al-Jabri (2002a) memperoleh bahwa KK
untuk padi pada tanah SMA sekitar < 3 t/ha, jika KK ditetapkan berdasarkan Al-dd
dengan KCl 0,25 N. Sebaliknya, jika KK tanah SMA Belawang ditetapkan
berdasarkan Al-dd dengan KCl 1 N maka takarannya dapat mencapai 14-15 t/ha.
KK yang tinggi tersebut disebabkan Al yang semula dalam bentuk tidak dapat
ditukar dalam struktur mineral liat 2:1 yang telah rusak oleh oksidasi pirit turut
terekstrak oleh KCl 1 N. KK berdasarkan 100% nilai Al-dd KCl 1 N tidak akurat,
sebab keberadaan liat 2:1 yang rusak mensuplai Al tidak hanya dalam bentuk
tidak dapat ditukar, tetapi juga Al dapat ditukar (Al-Jabri et al., 2000b).
Fakta-fakta diperoleh bahwa KK berdasarkan 100% kali nilai Al-dd 1 N KCl
terlalu tinggi ditunjukkan oleh hasil penelitian berikut: (1) KK optimum untuk
jagung varietas Arjuna 1,50 t/ha, atau setara 24% nilai Al-dd 1 N KCl ( nilai Al-dd
tanah SMA di Tri Mulyo 6,36 cmol/kg) dan 2,71 t/ha, atau setara 38% nilai Al-dd 1
N KCl (nilai Al-dd tanah SMA di Harapan Makmur 6.98 cmol/kg) (Al-Jabri et al.,

254
Abdurachman et al.

2000a). Takaran kapur 1,50 dan 2,71 t/ha tersebut berdasarkan turunan pertama
dari persamaan kuadratiknya.
Takaran kapur berdasar turunan pertama dari persamaan kuadratik
ternyata lebih rendah dari nilai Al-dd dengan KCl 0.25 N (Tabel 8.4). Sehubungan
dengan KK ekuivalen dari 100% nilai Al-dd KCl 0,25 N sedikit lebih tinggi, maka
larutan garam KCl masih perlu diencerkan dengan normalitas < 0,25 N.

Tabel 8.4. Nilai pH dan Al-dd dengan penetapan KCl 0; 0,25; 0,50; dan 1,00 N
untuk tanah SMA Trimulyo dan Harapan Makmur, Jambi
Al-dd
Lokasi pH-H2O
KCl 0 N KCl 0,25 N KCl 0,50 N KCl 1,0 N
................................ cmol/kg .................................
Trimulyo 3,9 0,25 2,44 2,93 4,18
Harapan Makmur 3,6 0,34 3,26 4,20 4,43

Demikian juga, pertumbuhan tanaman padi varietas IR-64 di rumah kaca


dengan menggunakan tanah SMA dari Harapan Jaya (Rengat, Riau) dan
Pamusiran (Jambi), tanpa perlakuan kapur hampir sama baiknya dibandingkan
dengan yang dikapur. Sebaliknya, jika menggunakan contoh tanah SMA dari
Rantau Rasau (Jambi) dan Basarang (Kalteng), maka pertumbuhan tanaman
padi tanpa perlakuan kapur lebih jelek dari perlakuan kapur (Tabel 8.5).

Tabel 8.5. Pengaruh kapur terhadap bobot gabah kering giling padi varietas IR-
64
Lokasi
Perlakuan Harapan Jaya Pamusiran R. Rasau Basarang
(Riau) (Jambi) (Jambi) (Kalteng)
……………………… t/ha ………………………
0 kg CaCO3 + 111 kg P alam 4,731 - - 0,030
12.000 kg CaCO3 + 111 kg P alam 4,669 4,627
0 kg CaCO3 + 111 kg P alam - 5,990 - -
3.000 kg CaCO3 + 111 kg P alam 6,506
0 kg CaCO3 + 111 kg P alam - - 1,502 -
6.000 kg CaCO3 + 111 kg P alam 3,947

Sumber : Al-Jabri et al. (2000b)

255
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

Faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan respons tanaman pada tanah


SMA terhadap kapur tersebut antara lain varietas padi, banyak sedikitnya smektit,
kedalaman pirit, oksidasi pirit sudah berlangsung sempurna atau belum.
Berdasarkan difraksi sinar-X, persentase smektit (liat 2:1) dan kaolinit (liat 1:1)
dari tanah SMA Pamusiran masing-masing 18 dan 70%, sedangkan liat 2:1 dan
liat 1:1 dari tanah SMA Basarang masing-masing 47 dan 42% (Tabel 8.6).

Tabel 8.6. Pengaruh keberadaan liat 2:1 (smektit) dan liat 1:1 terhadap
kebutuhan kapur (KK) berdasarkan metode inkubasi dan 100% kali
ekuivalen nilai Al-dd KCl 1,00 N t/ha untuk tanaman padi pada tanah
SMA
Kebutuhan kapur (K) Jenis liat
Asal tanah
Inkubasi dengan H2O* Al-dd KCl 1 N** 2:1 (smektit) 1:1 (kaolinit)
Pamusiran 0 t/ha 6,35 cmol/kg 18 % 70 %
(Jambi)
Basarang 7,99 t/ha 9,22 cmol/kg 47 % 42 %
(Kalteng)
Keterangan: * = KK berdasarkan inkubasi dengan H2O selama 2 minggu menunjukkan
bahwa pH tanah tanpa perlakuan kapur adalah 4,50, sehingga padi pada tanah SMA
Pamusiran tidak respons terhadap kapur (Tabel 8.5); **KK berdasarkan 100% kali nilai Al-
dd KCl 1 N untuk tanah SMA Pamusiran = 6,35 t/ha dan untuk tanah SMA Basarang =
9,22 t/ha
Sumber : Al-Jabri et al. (2000b)

Fakta ini memperkuat hipotesis bahwa metode pengukuran KK ekuivalen


100% kali nilai Al-dd KCl 1 N tidak berlaku umum untuk semua tanah SMA,
sebab garam KCl 1 N terlalu kuat. Formulasi model adalah cara lain untuk
menetapkan KK yang lebih realistik. Penetapan KK secara tidak langsung
dengan formulasi model sudah digunakan sejak lama, tetapi tidak berlaku umum.
Penetapan KK dengan formulasi model spesifik lokasi dengan tipologi lahan SMA
untuk tanaman padi telah diperoleh (Al-Jabri, 2002b). Pada awalnya formulasi
model dibangun dengan mengukur kemasaman tanah secara langsung terhadap
respons tanaman. Kemudian, takaran KK diestimasi dari sifat-sifat tanah yang
dianggap paling berpengaruh tanpa harus mengukur kemasaman tanah secara
langsung.

256
Abdurachman et al.

Beberapa formulasi model KK yang pernah dikembangkan, antara lain: (1)


KK = 0,11[% liat + (5 x % bahan organik)] (Joret et al., 1990); (2) KK = [pH 6,50-
pH tanah] x % bahan organik untuk tanah-tanah dengan Al-dd rendah (Keeny
dan Corey , 1963); (3) KK = faktor. [Al-dd - % kejenuhan Al . (KTK efektif)] untuk
kedelai yang ditanam pada tanah Ultisols di Sitiung (Sumatera Barat) yang
didominasi mineral liat 1:1 (Wade et al., 1987). Formulasi model KK bersifat
kondisional dapat digunakan untuk menentukan takaran kapur, sebab aktivitas
komponen-komponen kemasaman tersebut sangat kompleks dan interaksinya
dalam keadaan yang sebenarnya sangat sulit dideteksi. Formulasi model dalam
bentuk persamaan regresi linear, dimana KK-inkubasi = fungsi Al-dd dengan KCl
yang dimodifikasi dengan normalitas garam KCl diencerkan < 1 N. Beberapa
keuntungan penggunaan formulasi model, antara lain: (1) tidak hanya
menjelaskan fakta-fakta yang teramati, tetapi juga meramal kejadian-kejadian
yang pada saat itu tidak teramati, (2) mengatasi masalah ketidak akuratan data
yang terukur, (3) menjelaskan bahwa dua atau lebih elemen pembentuk sistem
saling berhubungan, sebab pada dasarnya suatu sistem terdiri atas peubah-
peubah yang saling tergantung satu sama lain dan bekerja sama dalam
menjelaskan sekumpulan fakta untuk mencapai suatu tujuan (Gaspersz, 1991).
Formulasi model dapat dikatakan tidak mantap jika nilai dugaan dari parameter
memiliki ragam yang besar maka harus dimodifikasi, sehingga teori dapat
menjawab masalah dengan lebih tepat dan benar. Peramalan KK dari data aktual
laboratorium sebaiknya divalidasi dengan nilai aktual produksi tanaman, sebab
data peubah bebas dan peubah tidak bebas bersifat kondisional. Oleh karena itu,
pada waktu mengkonstruksinya harus dilakukan dengan cermat (Hasibuan,
1988).
Informasi yang harus diketahui sehubungan dengan KK, maka dipastikan
dahulu bahwa % kejenuhan Ca terhadap KTK < 25% (Haby et al., 1990). Jika pH
tanah SMA < 4,00 dengan % kejenuhan Ca < 25% dipastikan tanaman padi perlu
kapur. Meskipun % kejenuhan Ca ditingkatkan > 25% dapat memperbaiki
pertumbuhan tanaman, tetapi KK disesuaikan dengan batas pH terendah dimana
tanaman padi dapat tumbuh. Sesuai dengan McLean et al. (1983), bahwa pH
tanah berkorelasi lebih baik terhadap hasil dari pada % kejenuhan basa. Jadi, jika
padi akan ditanam pada tanah SMA maka % kejenuhan Ca diatas 25% dan pH
tanah terendah 4,50. Telah dilaporkan oleh Liebhardt (1981) dan Sholeh et al.
(2001), bahwa kation-kation basa tidak signifikan terhadap peningkatan hasil.

257
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

8.4.3. Pemupukan

Tanaman padi yang dikembangkan di daerah pasang surut yang


didominasi oleh tanah sulfat masam setelah pirit teroksidasi (pH tanah ≤ 3,0)
setelah musim tanam kedua tidak mau tumbuh. Kemudian lahan dibiarkan
terlantar dan ditumbuhi tanaman semak dan menjadikannya sebagai lahan
bongkor. Lahan bongkor tersebut bertipologi lahan SMA atau gambut tidak
produktif. Meskipun demikian, produktivitas lahan bongkor tersebut sangat
rendah, tetapi dapat diperbaiki dengan pemberian pupuk hara makro primer (N,
P, dan K), hara sekundair (Ca) dan hara mikro (Cu dan Zn). Jumlah pupuk yang
diberikan dapat ditentukan melalui analisis tanah secara preskriptif. Tanaman
padi varietas IR-42 yang ditanam pada tanah SMA di Karang Agung Ulu (Sumsel)
dengan perlakuan 1,50 ton kapur dan 140 kg P/ha (700 kg TSP/ha) untuk
mencapai 100% kebutuhan P eksternal (P larutan 0,02 ppm P) menghasilkan
gabah kering giling (GKG) tertinggi sebanyak 8,67 t/ha (Tabel 8.7). Perlu diingat
bahwa tanaman tidak respons terhadap pupuk P jika pH tanah < 3,00. Oleh
karena itu, pH tanah harus diketahui dahulu sebelum pupuk P diberikan. Jadi, jika
pH tanah berkisar antara 4,25-4,50, maka kapur tidak harus diberikan.

Tabel 8.7. Pengaruh pupuk P dan kapur terhadap persentase gabah hampa dan
hasil GKG di Karang Agung Ulu, MH 1996/97
Perlakuan Persentase gabah Hasil GKG
hampa
% t/ha
0 ton kapur + 0 kg TSP/ha 30,97 c* 4,32 a
1,50 ton kapur + 0 kg TSP/ha 25,25 bc 6,99 b
1,50 ton kapur + 175 kg TSP/ha 21,99 b 7,63 bc
1,50 ton kapur + 350 kg TSP/ha 15,47 a 8,35 cd
1,50 ton kapur + 770 kg TSP/ha 14,70 a 8,67 d
* Angka-angka pada kolom sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda pada
taraf nyata DMRT 0,05
Sumber : Sri Ratmini et al. (2000)
Tanaman kedelai dapat ditanam pada tanah SMA di Basarang (Kalteng)
pada akhir musim hujan dengan perlakuan 8 ton kapur/ha dan 100 kg P/ha (500
kg TSP/ha) menghasilkan biji tertinggi sebanyak 2,12 t/ha (Tabel 8.8).

258
Abdurachman et al.

Tabel 8.8. Rata-rata hasil biji kedelai pada perlakuan rehabilitasi dengan pupuk P
dan kapur di Basarang (Kalteng)
Perlakuan Bobot biji kedelai
t/ha
0 ton kapur/ha + 0 kg TSP/ha 0,28 a*
8 ton kapur/ha + 0 kg TSP/ha 1,93 b
8 ton kapur/ha + 250 kg TSP/ha 1,98 b
8 ton kapur/ha + 500 kg TSP/ha 2,12 b
8 ton kapur/ha + 750 kg TSP/ha 2,11 b
* Angka-angka pada kolom sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda pada
taraf nyata DMRT 0,05
Sumber : Aribawa et al. (1997)

Kebutuhan kapur yang tinggi (8 ton kapur/ha) masih bersifat mencari-cari,


karena metode penetapannya bukan metode untuk tanah dari daerah rawa,
sehingga tidak dapat disamakan dengan tanah mineral masam berasal dari
daerah rawa pasang surut. Kebutuhan pupuk P dapat ditentukan melalui
pendekatan kurva erapan P jika batas kritis P larutan untuk suatu jenis tanaman
telah diketahui (Fox dan Kamprath, 1970). Meskipun sampai saat ini hanya batas
kritis P larutan untuk padi saja yang baru diketahui pada tanah mineral masam
adalah 0,015 ppm P (Al-Jabri et al., 1997), tetapi untuk tanah SMA tidak jauh
berbeda. Batas kritis P larutan untuk tanaman pangan lainnya (jagung dan
kedele) yang ditanam pada lahan rawa yang didominasi tanah mineral dan
gambut belum didokumentasikan.
Lahan gambut dangkal tebal 50-100 cm (G-1), gambut sedang tebal 100-
200 cm (G-2), dan gambut dalam tebal 200-300 cm (G-3) yang berupa lahan
bongkor sangat beralasan untuk direhabilitasi, dan ditanami berbagai jenis
komoditas tanaman sesuai dengan kesesuaian lahannya. Meskipun setiap
tipologi lahan gambut tersebut berbeda, tetapi pada umumnya lahan gambut
dihadapkan pada kendala-kendala sifat fisik, kimia, dan biologi (Widjaja-Adhi,
1988). Kendala sifat fisik tanah gambut antara lain subsidence jika didrainase,
mengering tidak balik dan mudah tererosi, permeabilitas horizontal tinggi.
Kendala sifat kimia tanah gambut antara lain pH dan kejenuhan basa sangat
rendah, rasio C/N tinggi, status hara P, K, Ca, Mg, Cu, Zn rendah. Kendala sifat
biologi tanah gambut dicirikan oleh keterbatasan aktivitas mikrobiologi karena
kemasaman tanahnya sangat tinggi. Produktivitas lahan gambut dapat

259
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

ditingkatkan dengan pemberian unsur hara P, K, Ca, Mg, Cu, Zn sebagai pupuk
anorganik tunggal atau majemuk.

8.4.4. Ameliorasi

Selain kapur dan pupuk hara makro dan mikro, pemberian tanah mineral
dan abu bakaran dapat diberikan sebagai bahan ameliorasi. Agar produktivitas
tanah pada lahan rawa bongkor dapat ditingkatkan, maka tanaman yang
digunakan adalah varietas tanaman yang toleran terhadap kondisi tersebut, dan
tata airnya dapat dikendalikan.
Pemberian tanah mineral pada tanah gambut kurang dari > 50 cm
berpengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman, dan bobot gabah kering
tidak jauh berbeda bila dibandingkan dengan pemberian kapur (Tabel 8.9).

Tabel 8.9. Pengaruh pemberian tanah mineral dan kapur pada gambut asal Air
Sugihan (Sumsel) terhadap bobot kering jerami dan gabah isi padi
varietas IR-36 pada kondisi di rumah kaca
Bobot kering
Perlakuan
Gabah isi Jerami
…….……….. kg/ha …..…………...
G* - -
G + 500 gram M**/pot 3 506 3 026
G + 1 000 gram M**/pot 5 288 3 568
G + 20 gram CaCO3/pot 5 568 5 888
* = tanah gambut; M** = tanah mineral diambil dari bawah lahan gambut dangkal kurang
dari 50-100 cm
Sumber: Al-Jabri dan Suwardjo (1986)

Tanaman jagung varietas Arjuna dan kedele varietas Wilis yang ditanam
pada lahan gambut dengan tipologi lahan gambut sedang (G-2) di Sugihan Kiri
(Sumsel) dengan perlakuan lengkap, yaitu, 312 kg P alam Chrismast, 620 kg
dolomit, 50 kg sulfur, 10 kg CuSO4, dan 15 kg ZnSO4/ha menghasilkan biji jagung
pipilan 1,44 t/ha dan biji kedele 2,33 t/ha (Tabel 8.10). Meskipun perlakuan
lengkap (312 kg P alam Chrismast, 620 kg dolomit, 50 kg sulfur, 10 kg CuSO4,
dan 15 kg ZnSO4/ha) menghasilkan bobot biji kering jagung tertinggi 1,44 t/ha,
tetapi belum mencapai tingkat hasil yang sesungguhnya (Tabel 8.10). Hal ini

260
Abdurachman et al.

mungkin disebabkan banyak unsur hara dari pupuk hilang tercuci. Kehilangan
unsur hara dari pupuk melalui pencucian dapat ditekan seminimal mungkin
dengan pemberian tanah mineral atau pemadatan tanah gambut.
Bobot biji jagung dan kedele dengan perlakuan lengkap lebih tinggi dari
pada perlakuan pupuk Sulfomag. Efisiensi pupuk Sulfomag relatif rendah,
mungkin disebabkan karena kandungan Mg tanah gambut sudah tinggi
sebagaima hasil analisis Mg dapat ditukar tergolong tinggi (Hartatik et al., 2000).
Jadi, kandungan Mg tanah yang tinggi kemudian adanya kontribusi Mg dari
pupuk Sulfomag menurunkan serapan K, sebab adanya sifat antagonisme antara
Mg dan K. Hal ini dapat dibuktikan dari analisis daun dari tanaman kedele,
dimana serapan unsur K pada perlakuan pupuk Sulfomag 0,32 gram K per pot
lebih rendah dari perlakuan lengkap 0,47 gram K per pot. Penurunan serapan
unsur hara K pada perlakuan pupuk Sulfomag menghasilkan bobot biji kedele
1,39 t/ha, sedangkan perlakuan lengkap menghasilkan bobot biji kedele lebih
inggi yaitu 2,33 t/ha (Tabel 8.10).

Tabel 8.10. Ameliorasi pada lahan gambut di Air Sugihan Kiri (Sumsel) terhadap
bobot kering jagung varietas Arjuna dan kedele varietas Wilis
Perlakuan Bobot biji jagung pipilan Bobot biji kedele
………………………. t/ha ……………………….
Lengkap (L)* 1,44 2,33 a**
L-sulfur 1,05 1,77 ab
L-P alam 1,35 1,81 ab
L-dolomit 0,68 0,92 bc
L-(C+Zn) 0,42 1,45 abc
L + Fe 1,19 1,87 ab
Sulfomag 0,20 1,39 abc
Sulfomag + Fe 0,73 1,46 abc
Kontrol parsial 0,80 1,28 bc
Kontrol lengkap 0,40 0,68 c
* L = 312 kg P alam Chrismast, 620 kg dolomit, 50 kg sulfur, 10 kg CuSO4, dan 15 kg
ZnSO4 /ha
** Angka-angka pada kolom sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda pada
taraf nyata DMRT 0,05
Sumber: Hartatik et al. (2000)
Pemberian abu bakaran dari abu sawmill dapat digunakan sebagai bahan
amelioran, terutama pada gambut miskin dengan semakin tebalnya gambut
dengan tipologi gambut dalam 200-300 cm (G-3) dan gambut sangat dalam > 300
cm (G-4) (Tabel 8.11). Untuk menghindari petani membakar gambut kering, maka
disarankan agar abu yang digunakan adalah abu dari hasil pembakaran serasah

261
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

terkendali atau abu sawmill gergajian. Pembakaran serasah terkendali adalah


pembakaran serasah pada tempat khusus, sehingga tidak terjadi perluasan areal
yang terbakar. Sebaliknya, jika abu yang digunakan diperoleh dengan cara
membakar gambut kering dari permukaan tanah di ladang, maka cara ini sangat
berbahaya bagi kelestarian gambut, karena gambut mudah terbakar dan api sulit
dipadamkan.

Tabel 8.11. Pengaruh abu sawmill dan residunya terhadap hasil beberapa jenis
tanaman
Hasil tanaman
Takaran abu sawmill Kedele Jagung Kacang tanah
MK 1993 MH 1993/1994 MK 1994
t/ha ………………………. kg/ha ……………………….
0 5.070 1.131 310
10 1.440 3.008 480
20 1.587 2.935 840
30 1.973 4.292 930
40 2.237 4.940 1.110
Kontrol 440 953 220
Sumber: Subiksa (2000)

Teknologi untuk rehabilitasi lahan rawa pasang surut selain kapur, pupuk,
dan pengendalian tata air, adalah penanaman varietas unggul. Kajian beberapa
varietas unggul padi pada lahan pasang surut di beberapa tempat telah
didokumentasikan. Hasil padi varietas Batanghari mampu beradaptasi di masing-
masing tipologi lahan pasang surut dan sangat toleran terhadap kemasaman
tanah tinggi dan keracunan Fe, serta memberikan hasil tertinggi (Tabel 8.12).

Tabel 8.12. Hasil kajian beberapa varietas padi unggul pada beberapa tipologi
lahan pasang surut di Jambi MH 1999/2000
Varietas Rantau Jaya Harapan Makmur Trimulyo Lambur II Sidomukti Catur Rahayu
padi Potensial Sulfat masam Sulfat masam Bergambut Potensial Potensial
sulfida dalam potensial aktual sulfida dangkal tanpa sulfida sulfida dalam
………………………………………………… t/ha ……..………….………………………………
Batanghari 4,24 3,76 2,50 2,45 6,20 4,85
Banyuasin 3,62 3,29 2,80 2,08 -* 4,32
Dendang 3,12 1,45 2,08 2,40 - -
Lalan 2,37 1,90 2,08 2,08 4,00 3,64
Lematang 2,15 2,72 - - 4,50 3,51
IR-4 3,68 2,83 1,76 2,29 5,80 -
IR-64 2,13 0,80 1,50 1,55 - -
Cisang- - 3,18 1,76 - - -
garung
* tidak ada data
Sumber : Jumakir et al. (2000)

262
Abdurachman et al.

8.4.5. Dampak lingkungan reklamasi lahan rawa

Sebagian besar proyek-proyek reklamasi yang telah dimulai sejak tahun


1970-an dilaksanakan dengan membangun saluran-saluran drainase berdimensi
besar. Sebagai contoh, sistem drainase garpu di Kalimantan Selatan memiliki
panjang saluran primer 1 sampai 2 km yang bercabang menjadi 2 saluran
sekunder dengan panjang 8 sampai 12 km. Di ujung saluran sekunder dilengkapi
kolam yang berukuran 300 m x 300 m. Jarak antara 2 saluran sekunder
mencapai 3 sampai 4 km. Setiap saluran sekunder dilengkapi dengan saluran
tersier yang berjarak 200 m. Hal ini berakibat pada tingkat drainase yang berlebih
(over drain) yang sangat potensial untuk tereksposenya pirit hingga teroksidasi
menjadi masam. Kebakaran hutan juga merupakan penyebab degradasi lahan di
kawasan rawa pasang surut. Kebakaran hutan ini, selain menyebabkan hilangnya
sebagian besar vegetasi juga menipisnya lapisan gambut yang semakin berisiko
terhadap tereksposnya lapisan pirit ke permukaan, karena pada umumnya tanah
sulfat masam dijumpai di bawah lapisan gambut.
Sekali pirit terekspos ke permukaan, oksigen akan masuk ke dalam tanah
dan pirit akan teroksidasi. Inilah awal rusaknya lahan rawa akibat kemasaman
tanah dan air yang meningkat, dan munculnya unsur-unsur yang bersifat racun
ke lingkungan perairan. Kandungan besi (Fe2+), aluminium (Al3+), ion hidrogen
(H+) dan sulfat (SO42-) pada lahan yang didrainase lebih tinggi dibandingkan
dengan lahan yang tidak/belum didrainase (Gambar 8.12). Hal ini memberikan
implikasi bahwa setelah lahan direklamasi dengan membangun sistem dan
jaringan drainase akan mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan tanah
dan air. Total SO42- yang tercuci (leached) dari lahan yang didrainase 3,34
mol/m2/tahun, sebanding dengan 1,17 mol FeS2/m2/tahun atau 140 g pirit/m2/
tahun. Pada lahan yang tidak didrainase, total SO42- yang tercuci 1,18 mol FeS2
/m2/tahun yang sebanding dengan 0,59 mol FeS2/m2/tahun atau 71 g pirit/m2/
tahun.
Menurut Chairuddin et al. (1990), kemasaman dan meningkatnya unsur
beracun seperti besi berakibat pada buruknya lingkungan hidup ikan di lahan
rawa pasang surut. Jumlah spesies ikan dan hasil tangkapan ikan berkurang
hingga 50% dari kondisi normal (sebelum terjadi pemasaman), meskipun ada
spesies ikan seperti gabus (Channa striata) dan papuyu (Anabas testudineus)
yang toleran terhadap air dengan pH < 3. Adaptasi spesies ikan berbeda untuk
kondisi tingkat kemasaman yang berbeda. Ikan papuyu masih relatif banyak
dijumpai pada lahan yang sangat masam, sedangkan gandaria (Dangila ocellata)
dan baung (Mystus nemurus) dominan pada lahan yang agak masam. Hasil

263
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

tangkapan ikan pada lahan yang kurang masam di Tabunganen (Kalimantan


Selatan) lebih banyak dibanding pada lahan yang sangat masam seperti di
Barambai dan Belawang (Kalimantan Selatan), dan Unit Tatas (Kalimantan
Tengah) (Gambar 8.13).

7 Didrainase
Konsentrasi (me/m 2)
6 Tidak didrainase

0
H+ Fe2+ Al3+ SO42-
2+ 3+ + 2-
Gambar 8.12. Konsentrasi Fe , Al , H , dan SO4 pada lahan yang didrainase
dan yang tidak didrainase dengan modifikasi (Sumber: Konsten
et al.,1990)

60
Musim hujan
50 Musim kemarau
Jumlah ikan/tangkapan

40

30

20

10

0
Tabunganen Barambai Belawang Uniit Tatas

Gambar 8.13. Perbandingan hasil tangkapan ikan pada lahan dengan tingkat
kemasaman yang berbeda dengan modifikasi (Sumber:
Chairuddin et al.,1990)

264
Abdurachman et al.

8.5. PENGEMBANGAN TEKNOLOGI KONSERVASI


DAN REHABILITASI LAHAN RAWA

8.5.1. Kendala

Berbagai kendala dan kompleksnya permasalahan di lahan rawa pasang


surut menjadikan hambatan dalam pengembangan teknologi konservasi dan
rehabilitasi lahan. Selain faktor biofisik lahan, kendala lain menyangkut kondisi
sosial ekonomi masyarakat petani dan minimnya kelembagaan dalam
pemanfaatan dan pengelolaan lahan di kawasan ini. Secara rinci, faktor-faktor
tersebut adalah (a) dominannya tanah bermasalah (gambut dan sulfat masam)
dengan berbagai dampak pengelolaannya, (b) permodalan petani yang sangat
minim untuk mengkonservasi, merehabilitasi dan mengelola lahan, (c)
keterbatasan tenaga kerja, (d) kelembagaan penunjang yang minim, dan (e)
kesadaran petani dalam mengkonservasi, merehabilitasi dan mengelola
lahannya.

a. Tanah bermasalah

Sebagaimana telah diuraikan dalam bahasan degradasi lahan rawa, sekali


proses pemasaman terjadi, maka kualitas lahan akan makin memburuk yang
ditandai dengan turunnya pH tanah dan air, munculnya unsur bersifat racun bagi
tanaman, makin tidak tersediaanya unsur hara penting bagi tanaman seperti
fosfor dan kalium, dan kualitas air minum yang juga makin buruk. Penurunan
permukaan tanah (subsidence), khususnya pada lahan gambut makin
mempersulit petani dalam mengelola lahannya. Permasalahan ini muncul
sebagai dampak dari dibangunnya sistem drainase dengan dimensi besar.
Pengalaman buruk dalam pengembangan lahan gambut sejuta hektar (PLG) di
Kalimantan Tengah adalah contoh yang harus dijadikan pelajaran yang berharga.
Saluran drainase dengan ukuran sangat besar dibangun menembus kawasan
gambut sangat dalam yang seharusnya dikonservasi. Sebagai dampaknya
adalah lepasnya asam-asam organik di perairan yang lebih dikenal dengan black
water stream. Dampak lain sudah barang tentu hilangnya sebagian besar
vegetasi alami dan biota. Untuk mengurangi permasalahan tersebut diperlukan
biaya yang besar dan waktu yang tidak bisa singkat.

265
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

Dalam berbagai kasus, pembangunan sistem drainase merupakan hal


yang tidak bisa dihindarkan. Pengalaman reklamasi lahan rawa pasang surut
untuk alokasi masyarakat transmigran sejak Pelita I, menunjukkan bahwa sistem
drainase diperlukan untuk mempercepat pematangan tanah, sehingga mampu
menopang bangunan rumah dan infrastruktur lain. Namun demikian, pengalaman
juga menunjukkan bahwa kelebihan laju drainase (over drainage) tidak bisa
dihindarkan karena sistem drainase yang dibangun dengan dimensi besar. Selain
untuk bangunan dan infrastruktur, pembangunan sistem drainase juga
memberikan peluang untuk pengelolaan lahan rawa pasang surut yang ditanami
tanaman palawija (jagung, kedelai, kacang tanah) dan tanaman tahunan (kelapa
dan kelapa sawit).

b. Modal

Pada umumnya petani di lahan rawa pasang surut adalah petani-petani


yang mengelola lahannya untuk tanaman semusim, khususnya padi sawah dan
tanaman palawija sebagai tanaman kedua. Di era pemerintah menyediakan
fasilitas kredit, kredit usahatani (KUT) adalah yang paling utama diperoleh petani,
meskipun realisasi kredit tersebut tidak seperti yang telah direncanakan dan
diharapkan oleh petani. Skim kredit ini untuk memenuhi sarana produksi yang
meliputi pupuk, obat-obatan dan biaya pengolahan tanah, tidak ada yang
dialokasikan untuk tindakan konservasi dan rehabilitasi lahan. Hal inilah yang
menyebabkan sulitnya implementasi teknologi konservasi dan rehabilitasi di
lahan rawa.

c. Tenaga kerja

Tidak seperti di Jawa, petani-petani transmigran di lahan rawa memiliki 2


ha lahan pengelolaan. Kepemilikan lahan ini umumnya tidak sebanding dengan
tenaga kerja yang tersedia, yang sebagian besar telah tercurah pada kegiatan
penyiapan lahan, pemupukan, pengendalian hama dan panen. Hampir tidak ada
tenaga kerja khusus untuk tindakan konservasi dan rehabilitasi lahan. Kalaupun
tersedia, umumnya dengan upah yang relatif mahal. Khusus untuk tindakan
pengelolaan air di tingkat tersier sebagai salah satu kegiatan rehabilitasi lahan
dilakukan secara bergotong-royong dan waktunya tidak sebanyak yang harus
dicurahkan ke lahan masing-masing.

266
Abdurachman et al.

d. Kelembagaan

Operasionalisasi tindakan konservasi dan rehabilitasi lahan mengalami


berbagai kendala. Khusus mengenai pengelolaan air, operasionalisasi dan
pemeliharaan jaringan irigasi dan drainase serta bangunan air umumnya tidak
optimal, bahkan sebagian tidak terealisasi. Hal ini berakibat pada makin buruknya
kondisi saluran dan bangunan air yang menghambat sirkulasi air dari saluran ke
lahan yang dikelola. Untuk lahan dengan tipe luapan A, kondisi ini berdampak
pada makin buruknya kondisi drainase.
Salah satu kelembagaan yang dibentuk Departemen Permukiman dan
Prasarana Wilayah (Depkimpraswil, dulu Departemen Pekerjaan Umum) adalah
Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) yang memiliki wewenang untuk
operasionalisasi jaringan irigasi dan drainase, umumnya sudah tidak berfungsi.
Operasionalisasi jaringan tata air lebih banyak dilakukan oleh kelompok tani
sebagai suatu rangkaian kegiatan sistem usahatani. Namun demikian, kelompok
tani ini hanya menangani operasionalisasi dan pemeliharaan jaringan tata air di
tingkat tersier, sedangkan untuk tingkat primer dan sekunder dikelola oleh
Depkimpraswil. Terbatasnya dana operasionalisasi dan pemeliharaan jaringan
tata air berdampak pada makin buruknya fungsi jaringan tersebut di dalam upaya
konservasi dan rehabilitasi lahan.

e. Kesadaran (awareness) petani

Dari hasil penelitiannya di Delta Pulau Petak Kalimantan Selatan dan


Kalimantan Tengah Tengah, Subagyono et al. (1992) melaporkan bahwa
kesadaran petani di dalam menangani tata air sebagai suatu tindakan rehabilitasi
lahan sangat rendah. Kondisi yang sama dijumpai juga di lahan rawa pasang
surut di Sumatera Selatan. Keterlibatan petani di dalam operasionalisasi sistem
pengelolaan air terbatas pada lahan mereka masing-masing. Kegiatan
operasionalisasi dan pemeliharaan jaringan tata air di tingkat tersier jarang sekali
dilakukan.

8.5.2. Strategi pengembangan teknologi konservasi

Meskipun secara teknis teknologi konservasi dan rehabilitasi memberikan


kontribusi yang cukup tinggi terhadap kelestarian sumberdaya alam di lahan
rawa, namun penerapannya tidak mudah. Keterbatasan-keterbatasan yang ada
pada petani khususnya yang menyangkut biaya, tenaga kerja dan kesadaran

267
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

petani akan pentingnya teknologi tersebut perlu dicari pemecahannya. Strategi


pengembangan teknologi konservasi dan rehabilitasi lahan harus dilakukan
dengan memperhatikan berbagai masalah yang dihadapi petani di lahan rawa.
Terbatasnya biaya konservasi dan rehabilitasi khususnya, dan biaya
usahatani pada umumnya memerlukan dukungan terhadap pengembangan skim
kredit yang memadai. Pembinaan terhadap kelompok tani didalam mengelola
alsintan atau ternak merupakan salah satu alternatif sumber dana untuk
usahatani dan tindakan konservasi dan rehabilitasi lahan. Sistem penyewaan
traktor kepada anggota akan memberikan masukan dana ke kelompok,
selanjutnya dana ini digunakan untuk tindakan konservasi dan rehabilitasi lahan.
Alternatif lain, yaitu dengan introduksi ternak melalui program penggemukan atau
perbanyakan ternak. Sisa hasil penjualan ternak dapat dijadikan modal untuk
tindakan konservasi dan rehabilitasi lahan.
Menanamkan kesadaran kepada petani terhadap pentingnya melakukan
tindakan konservasi dan rehabilitasi lahan secara kelompok tidak mudah
dilakukan. Demikian juga terbatasnya sosialisasi kebijakan pemerintah didalam
pemanfaatan dan penggunaan lahan berakibat pada makin maraknya
perambahan hutan yang seharusnya untuk kawasan konservasi. Delineasi
kawasan gambut sangat dalam (> 300 cm) sebagai kawasan konservasi perlu
dilakukan dan disosialisasikan kepada masyarakat petani di lahan rawa.
Untuk kawasan budidaya, pengelolaan lahan diarahkan untuk selalu
memperhatikan aspek tipologi lahan dan tipe luapan. Meskipun sawah
merupakan alternatif yang aman terhadap pencegahan proses pemasaman yang
berlanjut, introduksi dan sosialisasi teknologi pengelolaan air masih diperlukan.
Tindakan konservasi pada lahan di kawasan budidaya harus diarahkan untuk
meminimalkan terjadinya proses pemasaman (acidification). Mempertahankan
tinggi muka air di atas lapisan pirit harus menjadi strategi pengelolaan air utama,
selain secara berkala dilakukan pencucian dengan sistem aliran satu arah (one-
way flow system). Di dalam penerapan teknologi pengelolaan air, petani masih
memikirkan lahannya masing-masing yang akan berpengaruh buruk terhadap
kondisi tata air secara makro (tingkat sekunder dan primer). Operasionalisasi
teknik pengelolaan air sebagai upaya konservasi dan rehabilitasi lahan di tingkat
mikro (lahan petani) harus menyesuaikan dengan tingkat tersier dan makro.
Beberapa kesalahan sistem tata air di tingkat makro hendaknya diperbaiki, yaitu
dengan mendasarkan pada tipologi lahan dan tipe luapan.

268
Abdurachman et al.

PENUTUP

Mengingat cukup luasnya lahan rawa di Indonesia, yaitu lebih dari 33 juta
ha, maka keberadaan dan perkembangan lahan yang memiliki sifat tidak stabil ini
perlu terus dipantau. Pengalaman terdahulu mengajarkan bahwa kesalahan
langkah dalam mereklamasi lahan rawa mengakibatkan kerusakan lahan itu
sendiri beserta lingkungannya, seperti terlihat pada Proyek Lahan Gambut (PLG)
satu juta ha di Kalimantan Tengah. Sekali lahan rawa mengalami kerusakan atau
degradasi berat, maka proses pemulihannya kembali memerlukan waktu yang
sangat panjang, dapat mencapai waktu ratusan tahun.
Selain itu, kegiatan penelitian reklamasi, pengelolaan dan rehabilitasi lahan
rawa perlu terus direncanakan dan dilaksanakan dengan lebih baik, agar dapat
ditemukan metoda yang lebih efektif dan efisien. Teknologi dan informasi yang
diperoleh perlu didiseminasikan kepada para pengguna lahan rawa khususnya
dan masyarakat luas pada umumnya. Jaringan komunikasi antar peneliti dan
peminat lahan rawa perlu dibangun, tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga
seyogyanya meluas ke tataran internasional, karena permasalahan lahan rawa
merupakan permasalahan semua negara yang memiliki lahan rawa.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jabri, M. 2002a. Penetapan kebutuhan kapur dan pupuk fosfat untuk tanaman
padi (Oryza sativa L.) pada tanah sulfat masam aktual Belawang-
Kalimantan Selatan. Disertasi. Program Pascasarjana. UNPAD. Bandung.
Al-Jabri, M. 2002b. Formulasi Model untuk Rekomendasi Kebutuhan Kapur
terhadap Tanaman Padi Sawah pada Tanah Sulfat Masam Aktual di
Daerah Pasang Surut Belawang Kalimantan Selatan. Belum
dipublikasikan.
Al-Jabri, M., Sulaini, dan Suwalan. 2000a. Pemupukan kapur, fosfat, dan kalium
pada tanaman jagung dan padi di tanah sulfat masam lahan pasang surut
Jambi. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan
Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung, 25-27 Juli. ISDP. Puslitbangtan.
Badan Litbang. Pertanian.
Al-Jabri, M., Maryono, M.E. Suryadi, K. Kusumah, S. Dwiningsih, dan D.A.
Suriadikarta. 2000b. Pengaruh keberadaan mineral liat smektit terhadap
pengukuran kebutuhan kapur untuk tanah sulfat masam aktual. Prosiding
Seminar Nasional Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, Iklim,
dan Pupuk. Cipayung-Bogor, 31 Oktober-2 November.

269
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

Al-Jabri, M., Sholeh, L.R. Widowati, A. Hamid, J.S. Adiningsih, dan I P.G. Widjaja-
Adhi. 1997. Penelitian uji fosfat tanah dan analisis tanaman sebagai dasar
rekomendasi pemupukan sawah bukaan baru. Pros. No. 13/Pen. Tanah.
Puslittanak, Badan Litbang Pertanian.
Al-Jabri, M. dan H. Suwardjo. 1986. Penelitian pengaruh cara pengelolaan tanah
gambut terhadap pertumbuhan tanaman padi. Pros. No. 6/Pen. Tanah. Hal:
341-355. Cipayung, Bogor, 18-20 Maret 1986.
Aribawa, I B., A. Supardi, M. Al-Jabri, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1997. Rehabilitasi
lahan tidur pasang surut jenis sulfat masam di Basarang, Kuala Kapuas,
Kalteng. Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil
Penelitian Tanah dan Agroklimat Bidang Kimia dan Biologi Tanah. Cisarua,
Bogor, 4-6 Maret 1997.
Auxtero, E.A. and J. Shamsuddin. 1991. Growth of oil palm (Elaeis guinensis)
seedlings on acid sulfate soils as affected water regime and Al. Plant and
Soil. 137:243-257.
Bouman, S.A.M. and P.M. Driessen. 1985. Physical properties of peat soils
affecting rice-based cropping systems. p 71-83 In IRRI. Soil Physics and
Rice. International Rice Research Institute. Los Banos. Laguna.
Philippines.
Chairuddin, Iriansyah, O. Klepper, and H.D. Rijksen. 1990. Environmental and
socio-economic aspects of fish and fisheries in an area of acid sulphate
soils, Pulau Petak, Indonesia. p 374-392. In AARD/LAWOO Paper
Workshop on Acid Sulphate Soils in the Humid Tropics. Bogor.
Charoenchamratcheep, C., B. Tantisira, P. Chitnuson, and V. Sinaiem. 1982.
Effect of liming and fertilizer application on acid sulphate soils for
improvement of rice production in Thailand. p 157-171. In Dost and Van
Breemen (Eds.). Proceedings of the Bangkok Symposium on Acid
Sulphate Soils. ILRI Publ. 31. Wageningen. The Netherlands.
De Geus and Jan G. 1973. Fertlizer guide for the tropics and subtropics. Centre
d’Etude de l’Azote, Zurich. Second Edition. 774 p.
Dent, D. 1986. Acid Sulphate Soils: A baseline for research and development.
ILRI Publ. 39. International Land Reclamation and Improvement.
Wageningen. The Netherlands. 204 p.
Driessen, P.M. and R. Dudal. 1989. Lecture Notes on the Geography, Formation,
Properties and Use of the Major Soils of the World. Agricultural University
Wageningen and Katholieke Universiteit Leuven. Wageningen. Leuven.
Belgium.
Fox, R.L., and E.J. Kamprath. 1970. Phosphate sorption isotherms for evaluating
the phosphate requirements of soils. Soil Sci. Soc. Am. Proc. 34: 902-907.
Gaspersz , V. 1991. Metode perancangan percobaan. Penerbit. CV. ARMICO.
Bandung.

270
Abdurachman et al.

Haby, V.A., M.P. Russelle, and E.O. Skogley. 1990. Testing soils for potassium,
calcium, and magnesium, pp. 181– 228. In Westerman, R. L (Ed.). Soil
testing and plant analysis. Soil Science Society of America., Inc. Madison,
Wisconsin. USA.
Hanhart, K., and Duong van Ni. 1993. Water management on rice fields at Hoa
An, Mekong Delta, Vietnam. In Dent and Van Mensvoort (Eds.). Selected
Papers of the Ho Chi Minh City Symposium on Acid Sulphate Soils. ILRI
Publ. 53. International Institute for Land Reclamation and Improvement.
Wageningen. The Netherlands. 425 p.
Hartatik, W., I G.M. Subiksa, dan D.A. Suriadikarta. 2000. Ameliorasi lahan
gambut di Ai Sugihan Kiri, Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional
Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung, 25-27
Juli. ISDP. Puslitbangtan. Badan Litbang. Pertanian.
Hasibuan, K.M. 1988. Pemodelan matematik di dalam biologi populasi. PAU-IPB
bekerjasama dengan Lembaga Sumberdaya Informasi IPB.
Joret, G., H. Malterre, and M. Cabazan. 1990. L’appreciation des besoins en
chaux des sols de limon d’apres leur etat de saturation en bases
exchangeables, p: 105-126. In Westerman, R. L (Ed.). Soil testing and
plant analysis. Soil Science Society of America., Inc. Madison, Wisconsin.
USA.
Jumakir, S. Suwalan, K. Bambang, dan T. Alihamsyah. 2000. Kajian beberapa
varietas unggul padi di lahan pasang surut. Prosiding Seminar Nasional
Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung, 25-27
Juli. ISDP. Puslitbangtan. Badan Litbang. Pertanian.
Keeny, D.R., and R.B. Corey. 1963. Factor affecting the lime requirement of
Wisconsin soils. Soil Sci. Soc. Am. Proc. 27: 277-280.
Konsten, C.J.M., S. Suping, I B. Aribawa, and I P.G. Widjaja-Adhi. 1990.
Chemical processes in acid sulphate soils in Pulau Petak, South and
Central Kalimantan, Indonesia. p 109-135. In AARD/LAWOO Paper
Workshop on Acid Sulphate Soils in the Humid Tropics. Bogor.
Kselik, R.A.L. 1990. Water Management on Acid Sulphate Soils at Pulau Petak,
Kalimantan. In AARD/LAWOO Paper Workshop on Acid Sulphate Soils in
the Humid Tropics. Bogor.
Kselik, R.A.L., K.W. Smilde, H.P. Ritzema, K. Subagyono, S. Saragih, M.
Damanik, and H. Suwardjo. 1993. Integrated research on water
management, soil fertility and cropping systems on acid sulphate soils in
South Kalimantan, Indonesia. In Dent and Van Mensvoort (Eds.). Selected
Papers of the Ho Chi Minh City Symposium on Acid Sulphate Soils. ILRI
Publ. 53. International Institute for Land Reclamation and Improvement.
Wageningen. The Netherlands. 425 pp.

271
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

Liebhardt W.C. 1981. The basic cation saturation ratio concept of lime and
potassium recommendations on Delaware’s Coastal Plain Soils . Soil Sci.
Soc. Am. J. 45: 544-549.
Lindsay, W.L. 1979. Chemical equilibria in soils. John Wiley & Sons, New York.
Chichester. Brisbane. Toronto. 449p.
Mansur, D., D.A. Suriadikarta, I G.M. Subiksa, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1995.
Pengaruh tata air dan pencampuran gambut terhadap pertumbuhan dan
hasil padi di lahan bergambut. hal. 113-120 Dalam Sunihardi, A.
Musaddad, Trip Alihamsyah dan Inu G. Ismail (Eds.) Teknologi Produksi
dan Pengembangan Sistem Usahatani di Lahan Rawa. Kumpulan Hasil
Penelitian. Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu-
ISDP. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
McLean, E.O., R.C. Hartwig, D.J. Eckert, and G.B. Triplett. 1983. Basic cation
saturation ratios as a basis for fertilizing and liming agronomic crops. II.
Field studies. Agron. J. 75:635-639.
Moctar Toure. 1982. Improvement of acid sulphate soils: Effects of lime, wood
ash, green manure and preflooding. p. 223-236. In Dost and Van Breemen
(Eds.). Proceedings of the Bangkok Symposium on Acid Sulphate Soils.
ILRI Publ. 31. Wageningen. The Netherlands.
Montoroi, J.P., J. Albergel, A. Dobos, M. Fall, S. Sall, A. Bernard, D. Brunet, G.
Dubee, and P. Zante. 1993. Rehabilitation of rice fields in the acid sulphate
soils of lower casamance, Senegal. In Dent and Van Mensvoort (Eds.).
Selected Papers of the Ho Chi Minh City Symposium on Acid Sulphate
Soils. ILRI Publ. 53. International Institute for Land Reclamation and
Improvement. Wageningen. The Netherlands. 425 p.
Moorman, F.R. and N. Van Breemen. 1978. Rice: Soil, water and land.
International Rice Research Institute. Los Banos. Philippines.
Ponnamperuma, F.N. and J.L. Solivas. 1982. Field Amelioration on an Acid
Sulphate Soil For Rice with Manganese Dioxide and Lime. p 213-222. In
Dost and Van Breemen (Eds.). Proceedings of the Bangkok Symposium on
Acid Sulphate Soils. ILRI Publ. 31. Wageningen. The Netherlands.
Pons, L.J. and van Breemen. 1982. Factors Influencing the Foremation of
Potential Acidity in Tidal Swamps. P. 37-51. In Dost and ven Breemen
(Eds.). Proceeding of the Bangkok Symposium on Acid Sulphate Soils. ILPI
Publ. 31. Wageningen. The Netherlands.
Ritzema, H.P., R.A.L. Kselik, and K. Subagyono. 1993. Water Management
Strategies to Ameliorate and Use Acid Sulphate Soils in the Humid Tropics.
ILRI. Wageningen. The Netherlands.
Sabiham, S., T.B. Prasetyo, and S. Dohong. 1995. Phenolic acids in Indonesian
peat. P. 289-292 In Rieley and Page (Eds.). Biodiversity and Sustainability
of Tropical Peatland Proceedings of the International Symposium on

272
Abdurachman et al.

Biodiversity, Environmental Importance and Sustainability o Tropical Peats


and Peatland. Palangkaraya, 4-8 September 1995.
Segeren, W.A. and H. Smith. 1980. Drainage of Newly Reclaimed Marine Clayey
Sediments, Peat Soils, and Acis Sulphate Soils. In Drainage Principles and
Applications. Vol. IV. Design and Management of Drainage Systems. ILRI
Publ. 16. Wageningen. The Netherlands.
Sevenhuysen, R.J. 1990. The water management puzzle: A Summary of the
Research. p 338-346 In AARD/LAWOO Paper Workshop on Acid Sulphate
Soils in the Humid Tropics. Bogor.
Shamshuddin, J., S.R. Syed Omar, and A.R. Anuar. 2003. A New Paradigm in
Tropical Soil Management. Department of Land Management, Faculty of
Agriculture Universiti Putra Malaysia, 43000 Serdang, Selangor, Malaysia.
Kongres Nasional VIII. Padang 21-23 Juli 2003.
Sholeh, U. Sudiatna, dan Maryam. 2001. Nisbah kejenuhan kation basa sebagai
dasar pemupukan Ca, Mg, dan K untuk padi sawah. Prosiding Seminar
Nasional Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Pupuk. Cisarua-Bogor 30-
31 Oktober 2001. Puslitbangtanak. Badan Litbang Pertanian.
Smilde, K.W. 1990. Lime and Fertilizer Application for Crop Yield Improvement. p
224-237. In AARD/LAWOO Paper Workshop on Acid Sulphate Soils in the
Humid Tropics. Bogor.
Sri Ratmini, N.P., I G.M. Subiksa, dan Komaruddin. 2000. Rehabilitasi lahan
sulfat masam Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan. Prosiding Seminar
Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa.
Cipayung, 25-27 Juli. ISDP. Puslitbangtan. Badan Litbang. Pertanian.
Subagyono, K., E. Ananto, I M.O. Adnyana, and I P.G. Widjaja-Adhi. 1998. Water
management strategies for farming system development in tidal swamp
areas of South Sumatra. IARD Journal, Vol. 20 No. 4:83-90.
Subagyono, K., I P.G. Widjaja-Adhi, T. Alihamsyah, E. Ananto, dan I G.M.
Subiksa. 1997. Petunjuk Pelaksanaan Penataan Lahan dan Air untuk
Pengembangan SUP Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Proyek
Pengembangan SUP Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. (Tidak
dipublikasi).
Subagyono, K., H. Suwardjo, A. Abas Id., dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1994.
Pengaruh pencucian, kapur, dan pemupukan K terhadap sifat kimia tanah,
kualitas air, dan hasil padi pada tanah sulfat masam di Unit Tatas,
Kalimantan Tengah. Pemb. Pen. Tanah dan Pupuk, No. 12: 35-47.
Subagyono, K., H. Suwardjo, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1992. Kontribusi Beberapa
Teknik Reklamasi terhadap Perbaikan Mutu Lahan Pasang Surut Bertanah
Sulfat Masam. Makalah disampaikan pada Seminar Pengembangan

273
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

Terpadu Kawasan Pasang Surut di Indonesia. Institut Pertanian Bogor.


Bogor. (Tidak dipublikasi).
Subiksa, I G.M. 2000. Ameliorasi lahan gambut untuk usahatani yang
berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan
Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung, 25-27 Juli. ISDP. Puslitbangtan.
Badan Litbang. Pertanian.
Tim Puslitbangtanak. 2000. Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya.
Puslitbangtanak. Badan Litbang Pertanian. Edisi pertama. 266 halaman.
Vadari, T., K. Subagyono, H. Suwardjo, and A. Abas Id. 1990. The effect of water
management and soil amelioration on water quality and soil properties in
acid sulphate soils at Pulau Petak Delta, South Kalimantan, Indonesia. p.
277-294. In AARD/LAWOO Paper Workshop on Acid Sulphate Soils in the
Humid Tropics. Bogor.
Wade, M.K., M. Al-Jabri, and M. Sudjadi. 1987. The effect of liming on soybean
yield and soil acidity parameters of three red yellow podzolic soils of West
Sumatra. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk. 6:1-8. Puslittanak.
Badan Litbang Pertanian.
Van Breemen, N. 1972. Soils forming processes in acid sulphate soils. In Dost
(ed.): Acid Sulphate Soils. Proc. Intern. Symp. ILRI Publ. 18, vol. 1. p. 66-
130.
Van Mensvoort, M.E.F. 1996. Soil Knowledge for Farmers, Farmer Knowledge for
Soil Scientists. The case of acid sulphate soils in the Mekong Delta, Viet
Nam. PhD Thesis Landbouwuniversiteit Wageningen, Wageningen, The
Netherlands.
Widjaja-Adhi, I P.G., I G.M. Subiksa., Sutjipto Ph., dan B. Radjagukguk. 1990.
Pengelolaan tanah dan air lahan pasang surut: Studi Kasus Karang Agung,
Sumatera Selatan. Hal. 121-131 dalam Mahyuddin Syam et al. (Eds.)
Usahatani di Lahan Pasang Surut dan Rawa Swamps II. Bogor 19-21
September 1989. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian.
Widjaja-Adhi, I P.G., IPG. 1988. Physical and chemical characteristics of peat soil
of Indonesia. IARD Journal, Vol. 10 No. 3: 59-64.
Widjaja-Adhi, I P.G., K. Nugroho, D.A. Suriadikarta, dan A.S. Karama. 1992.
Sumberdaya Lahan Pasang Surut, Rawa dan Pantai: Potensi,
Keterbatasan dan Pemanfaatan. Makalah Utama disajikan dalam
Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut dan
Rawa. Bogor.
Widjaja-Adhi, I P.G. 1997. Mencegah Degradasi dan Merehabilitasi Lahan Sulfat
Masam. Makalah disajikan dalam Pertemuan Pengelolaan Lahan Rawa
Pasang Surut Kalimantan Selatan, 18 Maret 1997 di Banjarmasin. (Tidak
dipublikasi).

274
USAHA AGRIBISNIS DI LAHAN
IX RAWA PASANG SURUT
Achmadi Jumberi dan Trip Alihamsyah

275
Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut

9.1. POTENSI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DAN LAPANGAN KERJA

Potensi pengembangan pertanian di lahan pasang surut sangat besar


mengingat arealnya luas dan dan teknologi pengelolaannya sudah tersedia
secara memadai. Adanya potensi peningkatan dan diversifikasi produksi
memberi peluang besar terhadap pengembangan agribisnis dan agroindustri.
Berbagai usaha sebagai bagian dari subsistem agribisnis dapat dikembangkan,
mulai dari usaha penyediaan benih dan sarana produksi sampai kepada usaha
jasa tenaga kerja dan keuangan serta pengolahan dan pemasaran hasil
berbagai komoditas pertanian. Sedangkan pengembangan agroindustri atau
industri hasil olahan komoditas pertanian ditujukan terutama untuk meningkatkan
nilai tambah, seperti kelapa menjadi kopra dan minyak kelapa atau cabai dan
tomat menjadi sambal dan saus serta buah-buahan menjadi selai dan sirup atau
buah-buahan dalam kaleng untuk ekspor. Pengembangan agroindustri hasil
pertanian dapat dilakukan oleh petani dalam skala rumah tangga atau oleh
perusahaan besar, seperti industri aneka panganan seperti gula dan minyak
kelapa, kripik, krupuk, jagung marning, selai, dan sirup nenas serta pakan ternak
dan ikan.
Pengembangan agribisnis dan agroindustri ini tentunya secara otomatis
meningkatkan kegiatan ekonomi sebagai akibat dari pengembangan pertanian
baik oleh petani dalam skala kecil maupun oleh pengusaha dalam skala luas.
Hal ini pada akhirnya akan membuka peluang kesempatan kerja, baik tenaga
kasar atau buruh tani maupun tenaga terdidik dan aktivitas ekonomi setempat
serta pendapatan masyarakat maupun pengembangan wilayah setempat.
Beberapa contoh disini adalah berkembangnya wilayah pasang surut di berbagai
lokasi transmigrasi di Sumatera Selatan, Jambi, Riau, serta Kalimantan Barat,
Tengah, dan Selatan sebagai daerah pemasok hasil pertanian terutama
tanaman pangan dan hortikultura dan ternak.

9.2. KELAYAKAN PENGEMBANGAN AGRIBISNIS

Hasil analisis usahatani eks-ante pada Ekspose Teknologi Pertanian


Lahan Pasang Surut di Barito Kuala tahun 2003 menunjukkan bahwa melalui
penerapan teknologi pengelolaan lahan dan tanaman secara terpadu, usahatani
berbagai komoditas pertanian adaptif baik secara tunggal maupun dalam suatu

276
Jumberi dan Alihamsyah

sistem usahatani terpadu di lahan pasang surut cukup layak pengembangannya


secara ekonomi (Tabel 9.1 dan 9.2). Secara umum terlihat bahwa tanaman
sayuran memberikan nilai keuntungan dan R/C lebih tinggi daripada tanaman
pangan, hanya saja memerlukan pemeliharaan lebih intensif dan biaya lebih
tinggi sehingga pengusahaannya oleh petani tidak bisa.secara ekstensif.
Sedangkan usahatani terpadu antara tanaman padi dengan jeruk dan sayuran
khususnya cabai memberikan keuntungan dan nilai R/C yang tinggi (Tabel 56),
sehingga layak untuk dikembangkan secara komersial.

Tabel 9.1. Keragaan ekonomi berbagai tanaman di lahan sulfat masam pada
Ekspose Teknologi Pertanian Lahan Pasang Surut di Barito Kuala,
2003

Jenis tanaman Biaya Penerimaan Keuntungan R/C


................................. Rp/ha .................................
Tanaman pangan
Padi lokal 1.103.300 3.750.000 2.647.000 3.40
Padi Margasari 2.499.000 4.500.000 2.001.000 1.80
Padi unggul 3.086.000 4.200.000 1.114.000 1,36
Kedelai 4.368.000 6.300.000 1.932.000 1.44
Kacang tanah 3.080.000 8.000.000 4.920.000 2.60
Kacang hijau 3.561.000 6.750.000 3.190.000 1.90
Jagung 2.400.000 4.000.000 1.600.000 1.67
a
Tanaman sayur )
Cabai 1.380.000 4.800.000 3.420.000 3.48
Tomat 1.231.000 7.680.000 6.449.000 6.24
Kubis 1.926.000 7.168.000 5.242.000 3.72
Timun 1.713.000 4.608.000 2.895.000 2.69
Buncis 1.820.000 3.072.000 1.252.000 1.69
a) Tanaman sayuran ditanam pada bagian guludan surjan seluas 0,224 ha/ha lahan
Sumber: Badan Litbang Pertanian (2003)

Seberapa hasil penelitian pengembangan sistem usahatani di Sumatera


Selatan, Jambi, Riau dan Kalimantan Barat dan Selatan menunjukkan bahwa
walaupun keragaan pengembangan pertanian beragam antar lokasi lahan
pasang surut tapi masih layak, dimana tanaman padi memberikan kontribusi
paling besar terhadap penerimaan usahatani di semua tipologi lahan (Proyek
Swamp II, 1993 dan Alihamsyah dan Ananto, 1998). Nilai Incremental Benefit
Cost Ratio (IBCR) sistem usahatani masing-masing sebesar 3,55; 2,65; 1,54;
dan 2,14 pada lahan potensial, sulfat masam, gambut, dan salin. Sedangkan
kombinasi usahatani sistem longyam di lahan pekarangan dan sistem surjan di

277
Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut

lahan usaha seluas 1,75 ha yang ditanami tanaman pangan dan sayuran
memberikan nilai IBCR sebesar 1,74. Komoditas ikan dan tanaman industri
umumnya memberikan kontribusi yang kecil terhadap penerimaan usahatani,
disebabkan usahatani ikan kurang menarik sedangkan tanaman industri
membutuhkan waktu yang lama untuk menghasilkan. Ternak memberikan
kontribusi cukup besar terhadap penerimaan usahatani, selain itu berfungsi juga
sebagai penangkal kesulitan dalam memperoleh uang kontan dan pupuk
kandangnya dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik bagi tanaman.
Tabel 9.2. Hasil analisis usahatani sistem surjan di lahan sulfat masam pada
Ekspose Teknologi Pertanian Lahan Pasang Surut di Barito Kuala,
2003
Jenis tanaman Biaya Penerimaan Keuntungan R/C
.................................. Rp/ha ..................................
Pola padi lokal pada tabukan dan jeruk + cabai pada guludan
Padi lokal 856.000 2.910.000 2.054.000 3,40
Jeruk 1.162.000 10.070.000 8.908.000 8,67
Cabai 810.000 1.500.000 690.000 1,85
Jumlah 2.828.000 14.480.000 11.652.000 4,93
Pola padi-padi unggul pada tabukan dan jeruk + cabai pada guludan
Padi unggul 3.794.000 6.984.000 3.190.000 1,84
Jeruk 1.162.000 10.070.000 8.908.000 8,67
Cabai 810.000 1.500.000 690.000 1,85
Jumlah 5.766.000 18.554.000 12.788.000 3,21
Sumber: Badan Litbang Pertanian (2003)

9.5. ARAH PENGEMBANGAN DAN ALTERNATIF MODEL AGRIBISNIS

Pengembangan usaha agribisnis di lahan pasang surut menurut


Alihamsyah et al. (2000) harus diarahkan kepada pengembangan agribisnis
aneka komoditas dalam suatu sistem usaha terpadu sesuai dengan karakteristik
biofisik lahan dan prospek pemasaran hasil komoditasnya dalam perspektif
pengembangan wilayah. Model atau sistem usaha terpadu bertitik tolak kepada
optimalisasi pemanfaatan hubungan sinergistik antar subsistem agribisnisnya
serta bersifat spesifik dan dinamis sehingga pengembangannya disesuaikan
dengan karakteristik biofisik lahan dan prospek pemasaran hasil komoditas yang
akan diusahakan.
Model agribisnis yang bisa dikembangkan di lahan pasang surut bisa
berupa model agribisnis yang dibangun baru sesuai dengan kebutuhan inovasi

278
Jumberi dan Alihamsyah

teknologi yang akan dikembangkan, maupun penyempurnaan model agribisnis


yang ada. Dengan demikian, model agribisnis tersebut hendaknya merupakan
reformasi dan revitalisasi serta renovasi dari teknologi dan kelembagaan yang
sudah ada disesuaikan dengan kebutuhan sistem pendukung inovasi teknologi
yang akan dikembangkan dan kondisi wilayah.
Dilihat dari pelaku dan tujuan pengembangannya, secara garis besar ada
dua model usaha agribisnis terpadu yang cocok dikembangkan di lahan pasang
surut, yaitu usaha agribisnis berbasis tanaman pangan dan usaha agribisnis
berbasis komoditas andalan (Alihamsyah dan Ananto, 1998 dan Suprihatno et
al., 1999). Usaha agribisnis berbasis tanaman pangan ditujukan utamanya untuk
menjamin keamanan pangan bagi petani, sedangkan usaha agribisnis berbasis
komoditas andalan dapat dikembangkan dalam skala luas dalam perspektif
usaha komersial.
Usaha agribisnisnya perlu mencakup sistem agribisnis yang holistik. mulai
dari subsistem agribisnis hulu sampai subsistem agribisnis hilir yang bisa
berupa: subsistem penyediaan sarana produksi, subsistem jasa tenaga kerja,
produksi, subsistem pasca panen dan subsistem pemasaran hasil. Oleh karena
itu. perlu dibangun kelembagaan dari setiap subsistem tersebut dalam suatu
tatanan yang sinergis dan harmonis melalui pemberdayaan masyarakat serta
rekayasa atau peningkatan kelembagaan yang sudah ada.

9.4. POLA TANAM DALAM HUBUNGANNYA DENGAN


TIPE LUAPAN AIR SERTA IKLIM

Pemilihan pola tanam dan komoditas pertanian berkaitan erat dengan pola
penataan lahan dan ketersediaan air, dimana sumber air di lahan pasang surut
berasal dari air pasang dan air hujan atau hanya air hujan saja tergantung
kepada tipe luapan airnya. Bervariasinya jangkauan air pasang di lahan pasang
surut mengakibatkan adanya perbedaan suplai air ke petakan lahan untuk
menunjang keperluan tanaman. Anjuran pola tanam yang dapat dikembangkan
di lahan pasang surut diberikan oleh Suprihatno et al. (1999). Pada lahan bertipe
luapan air A yang umumnya berada di sepanjang sisi sungai ditata sebagai
sawah, dimana air pasang sudah mampu mensuplai keperluan air tanaman baik
pada musim hujan maupun kemarau, sehingga walaupun curah hujan bulanan
kurang dari 100 mm, penanaman padi tetap dapat dilakukan. Kendala pada
lahan ini adalah tingginya genangan air pada musim hujan sehingga diperlukan

279
Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut

varietas lebih tinggi dari genangan maksimum. Namun demikian, lahan di daerah
tersebut pada musim kemarau panjang sering mengalami intrusi air laut. Oleh
karena itu, pada musim kemarau diperlukan varietas yang toleran kegaraman
seperti Sei Lalan. Dengan demikian pola tanam yang sesuai dengan kondisi
lahan bertipe luapan air A adalah padi-padi.
Pada lahan bertipe luapan air B, dimana lahan hanya dapat terluapi air
pasang besar di musim hujan, maka untuk penanaman padi pada musim hujan,
air tidak menjadi masalah. Sedangkan penanaman padi pada musim kemarau,
sering menghadapi masalah kekurangan air karena selama musim kemarau ada
bulan-bulan tertentu yang curah hujan bulanannya kurang dari 100 mm, di lain
pihak kemampuan air pasang masuk ke petakan lahan berkurang, mengikuti
pola curah hujan. Oleh karena itu, pola tanam yang dapat dikembangkan harus
dikaitkan dengan agroklimat yang ada di Indonesia, yaitu padi-padi untuk tipe
iklim At B1 dan B2, sedangkan untuk tipe iklim C1 dan C2 adalah padi-padi atau
padi palawija. Penanaman palawija di lahan bertipe luapan air B pada musim
hujan membutuhkan tata air tertentu pada petakan lahan agar terhindar dari
genangan air.
Pada lahan bertipe luapan air C, sumber air utama berasal dari curah
hujan sehingga penanaman padi sawah di lahan tersebut hanya dapat dilakukan
pada musim hujan yaitu, seperti halnya sawah tadah hujan. Karena pola dan
distribusi hujan selalu berubah, maka padi sering mengalami kekurangan air.
Penanaman palawija pada lahan tersebut sangat dimungkinkan, baik pada
musim kemarau maupun musim hujan, berkat dukungan curah hujan dan
besarnya kandungan bahan organik dengan daya serap yang besar terhadap air.
Sebagai konsekuensi dari sifat tersebut maka penanaman palawija
membutuhkan drainase yang baik, karena itu perlu dibuat saluran-saluran
drainase.
Lahan bertipe luapan air D lebih bersifat seperti lahan kering dengan
sumber utama airnya adalah hujan, maka penanaman padi dilakukan pada
musim hujan saja dengan syarat masa pertanamannya berada pada bulan-bulan
basah. Karena besarnya porositas tanahnya maka perlu digunakan varietas padi
yang toleran terhadap kekeringan seperti : Cisanggarung, Sei Lalan, Banyuasin,
Batanghari, dan Dendang. Penanaman palawija dapat dilakukan pada musim
hujan maupun pada musim kemarau, sehingga pola tanam yang sesuai untuk
tipe lahan ini adalah padipalawija/sayuran atau palawija-palawija/sayuran.

280
Jumberi dan Alihamsyah

Gambar 9.1. Pola tanam padi-jeruk di lahan pasang surut tipe luapan B,
kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan

9.5. PEMILIHAN KOMODITAS DAN VARIETAS TANAMAN

Identifikasi jenis komoditas dan varietas tanaman untuk pengembangan


agribisnis di lahan pasang surut sangat penting agar dapat memberikan hasil
optimal. Karena kondisi lahannya yang spesifik menyebabkan hanya beberapa
jenis komoditas dan varietas tertentu saja yang dapat tumbuh dan memberikan
hasil baik. Dari hasil pengujian dan pengalaman pengembangan di lapangan,
Badan Litbang Pertanian telah mengidentifikasi berbagai jenis komoditas
pertanian dan varietas tanaman yang dapat tumbuh dan berkembang dengan
baik di lahan pasang surut. baik berupa varietas unggul lokal maupun varietas
unggul nasional. Komoditas yang bisa dikembangkan di lahan pasang surut
meliputi : tanaman pangan (padi. jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau,
dan ubi-ubian), tanaman sayuran (tomat, cabai, timun, kacang panjang, terong,
buncis, kubis, bawang merah, sawi, slada, bayam, dan kangkung), tanaman
buah-buahan (nenas, semangka, jeruk rambutan, dan pisang), tanaman
perkebunan (kelapa, kelapa sawit, kopi, lada, dan jahe), ternak (unggas,
ruminansia kecil dan besar), dan ikan (nila, patin, jelawat, betutu, tambakan)
(Ismail et al., 1993 dan Alihamsyah et al., 2003).
Untuk mendukung pengembangan pertanian di lahan pasang surut, Badan
Litbang Pertanian juga telah menghasilkan berbagai varietas unggul tanaman

281
Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut

khususnya padi dan palawija yang adaptif di lahan pasang surut (Ismail et al.,
1993; Suwarno et al., 1993; Suprihatno et al., 1999; Alihamsyah et al., 2000;
Alihamsyah et al., 2001). Varietas unggul padi sawah yang beradaptasi baik di
lahan pasang surut yang tingkat kemasaman dan kadar besinya tidak terlalu
tinggi adalah Kapuas, Cisanggarung, Cisadane, IR-42, IR-66, Lematang, Sei
Lilin, Sei Lalan, Banyuasin, Dendang, dan Batanghari. Sedangkan untuk lahan
yang kemasaman dan kadar besinya tinggi dapat digunakan beberapa varietas
unggul lokal seperti Talang, Ceko, Mesir, Jalawara, Siam Lemo, Semut,
Pontianak, Sepulo, Pance, Salimah, Jambi Rotan, dan Tumbaran hanya saja
umurnya panjang, yaitu 120-150 hari.
Penanaman padi dapat dilakukan melalui dua pola tanam, yaitu pola padi
varietas unggul-unggul dan pola padi varietas unggul-Iokal. Pada pola padi
varietas unggul-Iokal, varietas unggul ditanam pada musim hujan dengan luasan
sekitar 75-80% dari luas petak lahan sedangkan 20-25% sisanya untuk
persemaian padi varietas lokal yang akan ditanam setelah padi varietas unggul
dipanen. Dengan demikian intensitas pertanaman pada pola ini antara 175-
180%. Dari serangkaian penelitian yang dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian,
maka sampai dengan tahun 2001 telah dilepas 18 varietas padi unggul adaptif
lahan pasang surut dengan berbagai sifat (Tabel 9.3) yang dapat dipilih sesuai
dengan kondisi biofisik lahan dan preferensi petani.

Gambar 9.2. Tampilan varietas ungul padi Margasari dan Ciherang di lahan
eks PLG, Dadahup, kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah

282
Jumberi dan Alihamsyah

Tabel 9.3. Varietas unggul padi pasang surut yang telah dilepas sampai tahun
2002
Tahun Umur Tekstur Ketahanan hama dan penyakit
Nama varietas Hasil
dilepas panen nasi WCk HOB BCk Blas
hari t/ha
Barito 1981 140-145 3 Pera T-1 AT - -
Mahakam 1983 135-140 3-4 Pera P-1,2,3 AT - -
Kapuas 1984 127 4-5 Sedang T -1 AT - -
Musi 1988 135-140 4,5 Pera T-2 T - T
Sei Lilin 1991 115-125 4-6 Pera AT-2 - - AP
Lematang 1991 125-130 4-6 Pera T-1 - - AT
Lalan 1997 125-130 4-6 Pera T-1,2, 3 - - T
Banyuasin 1997 115-120 4-6 Pulen T -3 - T T
Batanghari 1999 125 4-6 Pera T -1,2 T - T
Oendang 1999 125 3-5 Pulen T-1,2 - AT AT
Indragiri 2000 117 4,5-5,5 Sedang T-2 T - T
Punggur 2000 117 4,5-5 Sedang T-2,3 - - T
Margasari 2000 120-125 3-4 Sedan AT-2 - - T
Martapura 2000 120-125 3-4 Sedang AP - - T
Air Tenggulang 2001 125 5 Pera T-1,2,3 T T
Siak Raya 2001 125 5 Pera T-IR26 - T T
Lambur 2001 120 4 Pulen A T-3 - - T
Mendawak 2001 115 4 Pulen AT -3 - - AT
T = Tahan; AT = Agak Tahan; AP = Agak Peka; P = Peka; WCk = Wereng coklat; 1, 2, 3 =
Biotipe 1, 2, 3; HOB = Hawar daun bakteri; BCk = Bercak coklat
Sumber : Khairullah dan Sulaiman (2002).

Pemilihan komoditas selain padi sangat dimungkinkan bila lahan ditata


dengan sistem surjan atau tukungan terutama pada lahan bertipe luapan air BIC
dan tegalan pada lahan bertipe luapan air C dan D yang disertai dengan
pembuatan drainase dangkal intensif. Tanaman palawija dan hortikultura atau
tanaman industri dapat diusahakan pada guludan surjan dan pada lahan bertipe
luapan air C dan D terutama pada musim kemarau Varietas unggul tanaman
palawija yang beradaptasi baik di lahan pasang surut adalah Arjuna, Wiyasa,
dan Kalingga untuk jagung; Wilis, Rinjani, Lokon, Dempo, dan Galunggung untuk
kedelai; Gajah, Pelanduk, dan Kerinci untuk kacang tanah; Betet dan Walet
untuk kacang hijau. Daftar jenis dan varietas tanaman palawija, sayuran, buah-
buahan, dan tanaman industri yang adaptif lahan pasang surut secara rinci
disajikan pada Tabel 9.4. Hal ini menunjukkan bahwa tersedia beragam pilihan
komoditas dan varietas yang dapat dikembangkan untuk usaha agribisnis di
lahan pasang surut disesuaikan dengan preferensi pasar atau konsumen.

283
Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut

Dengan demikian, pengembangan agribisnis di lahan pasang surut dengan


beragam pilihan komoditas dan varietas sesuai dengan preferensi pasar atau
konsumen sangat prospektif.

Tabel 9.4. Jenis dan varietas tanaman non padi adaptif lahan pasang surut
Daya
Jenis tanaman Varietas Hasil
toleransi
t/ha
Jagung Arjuna, Kalingga, Wiyasa, Bisma, Bayu, Sedang 4-5
Antasena, C-3, C-5, Semar, Sukmaraga, H6, Bisi
Dua
Kedelai Wilis, Rinjani, Lokon, Dempo, Galunggung, Sedang 1,5-2,4
Siamet, Lawit, Merbabu, Petek, Kerinci,
Tampomas,Tanggamus, Menyapa
Kacang tanah Gajah, Pelanduk, Kelinci, Singa, Jerapah, Tahan 1,8-3,5
Komodo,Mahesa
Kacang hijau Betet, Walet, Gelatik Tahan 1,5
Tomat Intan, Permata, Berlian, Mirah, AV-22 , Ratna Sedang 10-15
Cabai Tanjung-1, Tanjung-2, Barito, Bengkulu, Sedang 4-6
Tampar, Keriting, Rawit Hijau dan Putih
Terong Mustang, Kopek Ungu, Ungu Panjang, No. 4000 Tahan 30-40
Kubis KK Cross, KY Cross, Grand 33 Sedang 20-25
Kacang panjang Super King, Pontianak, KP-1, KP-2 Tahan 15-28
Buncis Horti-1, Horti-2, Prosessor, Farmer Early, Green Sedang 6-8
Leaf
Timun Saturnus, Mars, Pluto Sedang 35-40
Bawang merah Ampenan, Bima, Menteng, Sumenep, Kuning Sedang 4,1-7,6
Sawi Asveg#1, Sangihe, Talaud, Tosakan, Putih Tahan 15-20
Jabung, Sawi Hijau, Sawi Huma, No. 82-157
Slada New Grand Rapids Sedang 12-15
Bayam Maestro, Giti dan Kakap Hijau dan Merah, Sedang 10-12
Cimangkok
Kangkung LP-1, LP-2, Sutera Sedang 25-30
Semangka Sugar Baby, New Dragon Sedang 15-25
Nenas Madu, Bangka, Paun Tahan 40
Jahe Merah Sedang 20-24
Kencur Sedang 21,6
Kelapa Dalam Riau Tahan 2,5-4,1
kopra
Kelapa sawit Tahan 19
Sumber : Alihamsyah et al. (2003)

284
Jumberi dan Alihamsyah

Komoditas hortikultura, baik sayuran maupun buah-buahan, memiliki nilai


ekonomi lebih tinggi dari pada tanaman pangan, tetapi teknik budidayanya lebih
rumit dan memerlukan ketekunan. Selain itu, komoditas ini sangat rentan
terhadap kondisi lingkungan yang kurang baik, seperti curah hujan tinggi,
kekeringan, dan organisme pengganggu tanaman. Tanaman industri atau
perkebunan walaupun memiliki prospek besar untuk agribisnis di lahan pasang
surut, namun pengusahaannya harus dilakukan dalam skala lebih luas untuk
efisiensi pengolahan hasil dan peningkatan nilai tambah.

Gambar 9.3. Tampilan kacang tanah dan tanaman sayuran di lahan eks PLG,
Dadahup, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah

9.6. KOMPONEN UTAMA SISTEM AGRIBISNIS

Seperti pada agro-ekosistem lainnya, sistem agribisnis di lahan pasang


surut perlu mencakup : (1) subsistem produksi berupa penerapan teknologi
produks! (2) subsistem sarana dan prasarana pertanian seperti pengembangan
prasarana tata air serta penyediaan sarana produksi dan jasa tenaga kerja, (3)
subsistem pengolahan hasil atau agroindustri, (4) subsistem pemasaran dan
distribusi, dan (5) subsistem pendukung. Setiap subsistem tersebut memerlukan
kelembagaan yang sesuai dan ditata dalam suatu tatanan yang sinergis dan
harmonis melalui peningkatan kemampuan dan pemberdayaan masyarakat
maupun kelembagaan yang sudah ada (Alihamsyah et al., 2003).

285
Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut

9.6.1. Model usahatani sebagai subsistem produksi

Adanya keragaman karakteristik biofisik lahan dan sosial ekonomi, maka


model usahatani yang dapat dikembangkan adalah model usahatani yang
berbasis sumberdaya lokal yaitu kondisi lahan dan komoditas yang sesuai.
Model usahataninya bersifat spesifik dan dinamis disesuaikan dengan tipologi
lahan dan tipe luapan air serta sosial ekonomi dan kemampuan masyarakat
setempat maupun prospek pemasaran komoditasnya. Usahataninya harus
diarahkan kepada pengembangan aneka komoditas dalam suatu sistem usaha
terpadu baik antar komoditas yang diusahakan maupun antar komponen
teknologi budidayanya yang pemilihannya disesuaikan dengan kondisi lahan dan
prospek pemasarannya. Penganekaragam komoditas ini perlu dilakukan untuk
meningkatkan pendapatan dan mengurangi risiko kegagalan usahatani. Sistem
usahataninya mencakup : aspek penataan lahan dan jaringan pengairan, pola
tanam dan pemilihan komoditas serta teknologi produksinya disesuaikan dengan
karakteristik wilayahnya. Dengan demikian, sistem usahanya bersifat spesifik
dan dinamis disesuaikan dengan karakteristik lahan dan kondisi sosial ekonomi
setempat serta prospek pemasaran hasil komoditas yang bisa dikembangkan.
Sistem usaha terpadu tersebut didasarkan kepada sistem usaha yang
bertitik tolak kepada pemanfaatan hubungan sinergistik antar subsistemnya agar
kelestarian sumberdaya alam dan keberlanjutan pertaniannya tetap terjamin.
Dilihat dari pelaku dan tujuan pengembangannya, secara garis besar ada dua
model usahatani yang cocok dikembangkan di lahan pasang surut, yaitu :
usahatani berbasis tanaman pangan dan usaha tani berbasis komoditas
unggulan (Alihamsyah dan Ananto, 1998; Suprihatno et aI., 1999; Alihamsyah et
aI., 2000).
Usahatani berbasis tanaman pangan ditujukan untuk menjamin keamanan
pangan bagi petaninya, sedangkan usahatani berbasis komoditas unggulan
dikembangkan pada skala luas dalam perspektif agribisnis oleh pengusaha.
Komoditas yang bisa dikembangkan di lahan pasang surut meliputi :
tanaman pangan, tanaman sayuran, tanaman buah-buahan, tanaman
perkebunan, ternak, dan ikan. Pemilihan komoditas untuk suatu wilayah
pengembangan perlu disesuaikan dengan kondisi lahan serta prospek
pemasarannya. Sedangkan pemilihan varietas tanamannya didasarkan kepada
daya adaptabilitasnya terhadap kondisi lahan pasang surut yang beragam,

286
Jumberi dan Alihamsyah

termasuk preferensi petani dan konsumen. Dari prospek pemasarannya,


berbagai komoditas andalan yang memiliki keunggulan komparatif ataupun
kompetitif dapat dikembangkan, antara lain: kelapa, sawit, lada, jahe, nenas,
pisang, cabe, tomat, ternak ruminansia dan unggas, ikan patin, nila, dan jelawat.
Beberapa contoh model dan penerapan usahatani di lahan pasang surut baik
secara terpadu maupun parsial dikemukakan dalam Ar-Riza et al. (1993), Ismail
et al. (1993), Areo et al. (1998), Sabran et al. (1998), Area et al. (1999),
Alihamsyah et al. (2000), Ananto et al. (2000), Ismail et al. (2000), Herawati et al.
(2000), dan Supriadi et al. (2000).

9.6.2. Subsistem penyediaan sarana dan jasa tenaga kerja

Subsistem ini merupakan subsistem pendukung utama pada subsistem


produksi. Subsistem penyediaan sarana produksi pertanian mencakup terutama
: perbenihan dan pembibitan, amelioran dan pupuk serta obat-obatan, alat dan
mesin pertanian (alsintan), serta bahan pendukung lainnya. Sedangkan
subsistem jasa tenaga kerja terkait dengan kelangkaan tenaga kerja di wilayah
lahan pasang surut. Dengan terbatasnya modal dan keterampilan serta jiwa
wirausaha petani dan mahalnya harga alsintan, pengembangan alsintan
diarahkan kepada sistem penyewaan melalui usaha pelayanan jasa alsintan
(UPJA) sehingga petani tidak menanggung risiko kerugian. Subsistem ini bisa
berupa UPJA untuk kegiatan penyiapan lahan. penanaman, pemeliharaan
tanaman, pemompaan air, panen dan pasca panen.
Sarana produksi yang penyediaannya sering bermasalah adalah benih,
bibit dan pupuk. Dalam kaitan dengan penyediaan benih, petani penangkar
benih yang dibina oleh dan bermitra dengan pihak swasta perlu ditumbuh-
kembangkan. Selain itu, keperluan benih atau bibit untuk setiap lokasi
pengembangan termasuk varietas dan waktunya perlu diinventarisir, agar
penyediaannya tepat sasaran, efektif dan efisien. Sedangkan dalam hal
penyediaan pupuk dan obat-obatan peranan koperasi desa dan kios sarana
produksi perlu ditingkatkan. Peranan pihak swasta dalam penanganan subsistem
ini sangat diperlukan agar sarana produksi dan pelayanan jasa tersebut dapat
tersedia dengan baik.

287
Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut

9.6.3. Subsistem pasca panen dan pemasaran hasil

Masalah utama dalam subsistem pasca panen di lahan pasang surut


adalah belum baiknya penanganan panen dan pasca panen, disebabkan oleh
musim panen bersamaan dengan musim hujan serta terbatasnya tenaga kerja
dan prasarana penunjangnya. Hal ini mengakibatkan tingginya kehilangan dan
rendahnya mutu hasil tanaman sehingga harga jual hasil pertanian juga rendah.
Pengembangan alsintan panen dan pasca panen baik pasca panen primer
maupun pasca panen sekunder bertujuan selain untuk mengatasi keterbatasan
tenaga kerja juga untuk menekan kehilangan dan memperbaiki mutu serta
meningkatkan nilai tambah hasil pertanian. Hal ini memerlukan pengembangan
UPJA untuk kegiatan pasca panen primer dan pengembangan industri
pengolahan hasil atau agroindustri yang dapat menghasilkan beragam produk
olahan.
Berbagai komoditas pertanian telah diusahakan oleh petani di berbagai
wilayah lahan pasang surut dan memberikan hasil yang cukup tinggi. Namun
hasil pertanian tersebut tidak bisa dipasarkan dengan baik dan kadang-kadang
harganya sangat murah karena sistem pemasaran yang tidak baik. Masalah
pemasaran hasil pertanian di wilayah lahan pasang surut terkait juga dengan
keterbatasan aksesibilitas wilayah dan informasi pasar serta kemampuan petani
dalam memasarkan hasil pertaniannya. Hal ini mengakibatkan rendahnya posisi
tawar petani terlebih lagi pada saat panen raya dan dalam jangka panjang akan
berpengaruh jelek terhadap keberlanjutan usahatani. Oleh karena itu.
kelembagaan tata niaga atau pemasaran hasil pertanian sistem informasi pasar
perlu dibangun dan kemampuan petani atau kelompoknya dalam memasarkan
hasil pertaniaannya ditingkatkan sehingga petani memiliki posisi tawar yang lebih
baik dan menerima keuntungan yang lebih layak.

9.6.4. Subsistem keuangan dan permodalan

Pada wilayah lahan pasang surut yang sudah dikembangkan, terbatasnya


modal merupakan salah satu kendala utama petani dalam mengembangkan
usahatani yang intensif dan ekstensif. Terlebih lagi lembaga keuangan belum
berkembang di lokasi tersebut. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah
termasuk memberikan bantuan dana bergulir dan mengembangkan berbagai

288
Jumberi dan Alihamsyah

skem kredit seperti kredit usahatani dan kredit ketahanan pangan, namun pada
umumnya tidak berhasil baik dan bahkan banyak yang macet. Oleh karena itu,
perlu dikembangkan lembaga keuangan atau permodalan alternatif seperti
lembaga keuangan desa dan Grameen Bank yang fungsinya selain menyalurkan
kredit, juga melayani berbagai transaksi keuangan di wilayah pengembangan
mengingat lokasi pengembangan umumnya jauh dari kota. Prosedur pengajuan
kreditnya harus sesederhana mungkin dan biayanya murah serta pencairan
dananya cepat dan jangka waktu pengembalian kreditnya lebih lama atau
fleksibel, misalnya minimal satu tahun dan bukan satu musim tanam seperti yang
dilaksanakan sebelumnya.

9.6.5. Subsistem informasi dan penyuluhan

Peranan subsistem informasi dan penyuluhan penting dalam penyediaan


dan penyebaran informasi terkini dari berbagai aspek terkait dengan
pengembangan pertanian atau agribisnis di lahan pasang surut dan sekaligus
meningkatkan kemampuan petani dalam berusahatani atau beragribisnis. Untuk
itu, perlu dikembangkan sistem informasi pertanian atau agribisnis yang baik
agar mampu menyediakan informasi terkini mengenai potensi lahan dan
karakteristiknya serta ketersediaan teknologi dan perkembangan pasar
komoditas pertanian. Kemampuan Balai informasi dan penyuluhan pertanian
yang ada perlu ditingkatkan, baik sarana dan prasarananya maupun
sumberdaya manusianya agar mampu mengelola sistem informasi dan
penyuluhan pertanian maju. Sebagai ujung tombak pengembangan pertanian
atau agribisnis di lahan pasang surut, penyuluh pertanian perlu ditingkatkan
pengetahuan dan kemampuan serta keterampilannya dalam berbagai aspek
pengembangan agribisnis. Selain itu, kepada mereka seyogyanya diberikan
insentif dan dana operasional serta sarana dan prasarana yang memadai agar
gairah dan semangat kerjanya meningkat.

9.7. KENDALA PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS

Selain memiliki prospek yang baik, pengembangan agribisnis di lahan


pasang surut juga menghadapi berbagai kendala sosial ekonomi dan dukungan
eksternal yang terkait antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, untuk

289
Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut

keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan agribisnis di lahan pasang surut


harus diupayakan semaksimal mungkin pemecahan kendala tersebut.

9.7.1. Kendala sosial ekonomi petani

Kendala sosial ekonomi pengembangan agribisnis di daerah pasang surut


yang umumnya dihuni oleh penduduk lokal atau sebagai daerah transmigrasi
meliputi : (1) rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan petani, (2) masih
kuatnya adat budaya tradisional, dan (3) terbatasnya tenaga kerja. Hal ini
menyebabkan sulit dan lambannya adopsi teknologi baru oleh petani. Untuk
mendukung keberhasilan pengembangan usahatani atau agribisnis, maka petani
atau buruh tani sebagai pelaksana dalam subsistem produksi perlu ditingkatkan
kemampuan dan partisipasi aktifnya melalui berbagai upaya termasuk
sosialisasi, penyuluhan dan pelatihan.

9.7.2. Kendala dukungan eksternal

Dukungan eksternal yang menjadi kendala dalam pengembangan usaha


agribisnis di lahan pasang surut mencakup : (1) terbatasnya infrastruktur atau
prasarana penunjang terutama jaringan tata air dan perhubungan serta air
bersih, (2) rendahnya aksesibilitas lokasi, dan (3) belum berkembang dan
berfungsinya secara baik kelembagaan agribisnis terutama penyediaan sarana
produksi, keuangan atau permodalan, pengelolaan pasca panen, pemasaran
hasil, sistem informasi dan penyuluhan. Sarana dan prasarana transpotasi di
daerah pasang surut terbatas dan umumnya berupa transportasi air, sedangkan
pasar hanya dimiliki oleh wilayah yang sudah lama dibuka dan
perkembangannya pun sangat lamban.
Lembaga keuangan formal untuk perkreditan maupun penyimpanan uang
umumnya belum tersedia di wilayah pasang surut sehingga fasilitas perkreditan
dan mobilitas dana sulit berkembang. Keadaan transpotasi dan pemasaran yang
demikian akan menghambat penyaluran sarana produksi dan pemasaran hasil
pertanian. Lembaga penyuluhan seperti Balai Informasi dan Penyuluhan
Pertanian sebagai penyedia informasi dan penyebaran teknologi pertanian
walaupun ada, tetapi sarana dan prasarananya umumnya terbatas serta
kemampuan tenaga penyuluhnya relatif masih rendah.

290
Jumberi dan Alihamsyah

9.8. PERANCANGAN MODEL PENGEMBANGAN AGRIBISNIS

Perancangan model usaha pertanian atau agribisnis di lahan pasang surut


harus didasarkan kepada kondisi dan karakteristik wilayah pengembangannya,
sehingga akan bersifat spesifik wilayah. Perancangan dan pengembangan
usaha agribisnis di lahan pasang surut perlu dilakukan dengan pendekatan
holistik terpadu, artinya bahwa perancangan. dan pengembangannya dilakukan
dalam suatu sistem terpadu yang sinergi dan serasi antar komponen atau
subsistemnya, baik komoditas yang dikembangkan maupun teknologi yang
digunakan serta dukungan eksternalnya (Gambar 9.4). Oleh karena itu,
Identifikasi dan karakterisasi wilayah lahan pasang surut secara rinci merupakan
langkah pertama dan utama yang harus dilakukan guna tercapainya sasaran
pengembangan agribisnis di lahan pasang surut.

Penataan lahan: Jaringan tata air : Sistem Usahatani :


− Sawah − Tata letak saluran − Pola tanam
− Surjan − Tipe dan dimensi − Komoditas & varietas
− Tukungan saluran tanaman
− Sistem caren − Bangunan tata air − Teknik budidaya

Model Usaha Agribisnis


di Lahan Pasang Surut
Spesifik Lokasi

Kapasitas Petani : Prasarana Lainnya : Kelembagaan :


− Pengetahuan & − Jalan usahatani − Sarana Produksi
Ketrampilan − Gudang & Prasarana − Keuangan & permodalan
− Tenaga & model kerja prosesing − Jasa Alsintan
− Motivasi & partisipasi − Prasarana lainnya − Pemasaran hasil
− Kelompok tani − Informasi & penyuluhan

Gambar 9.4. Gambaran perancangan model agribisnis di lahan pasang surut

291
Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut

Dalam mengoptimalkan pengembangan usaha agribisnis di lahan pasang


surut, masalahnya adalah dimana saja dan berapa luas efektifnya serta
bagaimana karakteristik lahannya. Oleh karena itu, salah satu langkah awal yang
merupakan tahapan sangat penting dalam pengembangan usaha agribisnis di
lahan pasang surut yang perlu dilakukan adalah melakukan identifikasi atau
inventarisasi dan karakterisasi sebaik mungkin terhadap lahan-Iahan tersebut.
Informasi dalam bentuk peta minimal memuat penyebaran tipologi lahan dan tipe
luapan air serta sifat fisiko-kimia penting tanah dan airnya dapat digunakan
dalam penyusunan kembali tata ruang wilayah serta pola penataan lahan dan
jaringan tata air maupun pola tanam dan pemilihan komoditas serta teknologi
budidayanya. Sedangkan karakterisasi sosial ekonomi dan persepsi petani,
prospek pemasaran komoditas dan kelembagaan serta prasarana penunjang
digunakan untuk menyempurnakan prasarana usahatani, prasarana ekonomi,
dan kelembagaan yang lebih sesuai serta pola peningkatan kapasitas petani.
Pola pikir dalam perancangan model usaha agribisnis dalam kaitannya dengan
karakterisasi wilayah lahan pasang surut disajikan pada Gambar 9.5.

Karakteristik
biofisik lahan ● Calon lokasi/petani
● Penataan lahan
● Pilihan komoditas
● Budidaya tanaman
Karakteristik sistem
usahatani Model Usaha
Agribisnis di lahan
Karakteristik Pasang Surut
Wilayah
Karakteristik Sosek
& kelembagaan ● Calon lokasi/petani
● Prasarana usahatani Peningkatan :
● Prasarana ekonomi ● Produksi pangan
● Lembaga penunjang ● Pendapatan
Karakteristik ● Kapasitas petani ● Kesejahteraan
prasarana wilayah ● Kelestarian SDA

SASARAN

Gambar 9.5. Pola pikir perancangan model usaha agribisnis di lahan pasang
surut

292
Jumberi dan Alihamsyah

Agar kelestarian sumberdaya alamnya tetap terpelihara, pengembangan


usaha agribisnis di lahan pasang surut selain penerapan teknologi secara benar
juga memerlukan pengaturan tata ruang yang cermat. Tata ruang pada
pengembangan lahan pasang surut perlu diatur, baik untuk tata ruang skala
makro maupun untuk tata ruang budidaya pertanian pada suatu wilayah
pengembangan. Untuk pengaturan tata ruang, maka karakteristik dari setiap
tipologi lahan pasang surut dapat dipakai sebagai acuan peruntukan atau
pemanfaatan dan penataan lahan serta pemilihan komoditas yang sesuai.
Sedangkan tata ruang pertanian disusun berdasarkan hasil karakterisasi wilayah
terutama arahan kesesuaian lahan.
Untuk skala makro, maka areal lahan perlu dibagi menjadi kawasan non
budidaya, kawasan budidaya atau reklamasi dan kawasan prasarana penunjang
seperti pemukiman dan fasilitas umum. Kawasan non budidaya diperuntukkan
sebagai wilayah penyangga guna mempertahankan kelestarian sumberdaya
alam, yang bisa berupa kawasan lindung dan suaka alam. Kawasan lindung
meliputi kawasan gambut sangat dalam beserta hutannya, sempadan pantai dan
sungai serta kawasan hutan bakau, sedangkan suaka alam adalah kawasan
yang memiliki ekosistem khas dan merupakan habitat alami fauna atau flora
tertentu yang langka dengan tujuan untuk melindungi keanekaragaman hayati.
Kawasan budidaya atau reklamasi bisa berupa kawasan hutan tanaman
industri, kawasan perkebunan dan kawasan pertanian. Sesuai dengan
karakteristik lahannya, maka lahan gambut dalam dan lahan sulfat masam aktual
dijadikan kawasan perhutanan atau konservasi, sedangkan lahan gambut
sedang dan sulfat masam dijadikan kawasan perkebunan. Kawasan pertanian
dipilih pada lokasi bertipologi lahan potensial, sulfat masam potensial, bergambut
dan gambut dangkal, sedangkan untuk kawasan permukiman atau penunjang
sedapat mungkin diletakan pada tipologi lahan sulfat masam. Gambar 9.6 adalah
contoh pengaturan tata ruang umum bersifat hipotetik untuk pengembangan
usaha agribisnis di lahan pasang surut. Pada kawasan budidaya pertanian,
wilayah pengembangan ditata menjadi beberapa sub kawasan, yaitu bisa berupa
sub kawasan tanaman pangan sub kawasan tanaman buah-buahan, sub
kawasan tanaman sayuran, dan sub kawasan kombinasi dari aneka komoditas
pertanian disesuaikan dengan penataan kesesuian lahan serta prospek pasar
komoditas yang akan dikembangkan.

293
Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut

Gambar 9.6. Contoh susunan tata ruang hipotetik di lahan pasang surut

294
Jumberi dan Alihamsyah

PENUTUP

Lahan pasang surut di Indonesia, karena merupakan lahan marjinal dan


rapuh dengan berbagai masalah dan kendala pengembangan yang kompleks,
maka reklamasi dan pengelolaannya harus benar-benar dilakukan secara
terencana, cermat, dan hati-hati melalui penerapan teknologi reklamasi dan
pengelolaan lahan yang tepat sesuai dengan karakteristik fisiko-kimia lahannya.
Agar pemanfaatannya untuk usaha agribisnis dapat berkelanjutan dan berhasil
baik, maka fokus utama pengembangannya adalah optimalisasi pemanfaatan
dan pelestarian sumberdaya lahan serta pengembangan infrastruktur dan
kelembagaan. Untuk itu, identifikasi dan karakterisasi wilayah mutlak perlu
dilakukan secara rinci, baik menyangkut aspek biofisik lahan dan sistem
usahatani yang ada maupun sosial ekonomi dan persepsi petani serta
infrastruktur dan kelembagaan penunjang yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, A., K. Sudarman, dan D.A. Suriadikarta. 1998. Pengembangan


Lahan Pasang Surut keberhasilan dan kegagalan ditinjau dari fisiko kimia
lahan pasan surut. M. Sabran dkk. Dalam Prosiding Seminar Nasional
Hasil Penelitian Menunjang Akselerasi Pengembangan Lahan Pasang
Surut. Balittra. Banjarbaru.
Alihamsyah, T. dan E.E. Ananto. 1998. Sintesis hasil penelitian budidaya
tanaman dan alsintan pada lahan pasang surut. M. Sabran dkk. Dalam
Presiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Menunjang Akselerasi
Pengembangan Lahan Pasang Surut. Balittra. Banjarbaru.
Alihamsyah, T., E.E. Ananto, H. Supriadi, I.G. Ismail, dan D.E. Sianturi. 2000.
Dwi Windu Penelitian Lahan Rawa : Mendukung Pertanian Masa Depan.
Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu-ISDP. Badan
Litbang Pertanian. Bogor.
Ananto, E.E., A. Supriyo, Soentore, Hermanto, Y. Soelaeman, I W. Suastika, dan
B. Nuryanto. 2000. Pengembangan Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut
Sumatera Selatan : Mendukung Ketahanan Pangan dan Pengembangan
Agribisnis. P2SLPS2. Badan Litbang Pertanian.
Areo, Z.A., D. Djauhari, M.S. Mokhtar, S. Fahri, dan M.A. Firmansyah. 1998.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian/Pengkajian untuk Mendukung

295
Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut

Pengembangan Lahan Rawa/Gambut Sejuta Hektar di Kalimantan


Tengah. Palangkaraya, 3-4 Januari 1998. BPTP Palangkaraya.
Areo, Z.A, D. Djauhari, R. Ramli, Sriansyah, dan M.S. Mokhtar 1999. Presiding
Lokakarya Nasional Hasil Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian.
Palangkaraya, 26-27 Agustus 1999. BPTP Palangkaraya.
Ar-Riza, I., R. Ramli, H.D. Noor, dan H. Susanto. 1993. Sistem usahatani dan
teknologi penunjang di lahan pasang surut dan lebak Kalimantan Selatan.
Balai Penelitian Tanaman Pangan. Banjarbaru.
Badan Litbang Pertanian. 2003. Panduan Ekspose Nasional Pertanian Lahan
Rawa Pasang Surut. Barito Kuala, Kalimantan Selatan, 30-31 Juli 2003.
Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan. 1995. Luas penggunaan
lahan rawa pasang surut, lebak, polder, dan rawa lainnya di tujuh propinsi.
Dirjen Tanaman Pangan dan Hortikultura. Departemen Pertanian. Jakarta.
Herawati, T., E.E. Ananto, dan A.S. Karama. 2000. Prosiding Seminar Hasil
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut-ISOP Riau.
Pekanbaru, 27-28 Maret 2000. Puslitbang Tanaman Pangan.
Idak, H. 1982. Perkembangan dan sejarah persawahan di Kalimantan Selatan.
Mimeographi, Pemda Kalimantan Selatan, Banjarmasin.
Ismail, I.G., T. Alihamsyah, I P.G. Widjaja-Adhi, Suwarno, T. Herawati, R. Thahir,
dan D.E. Sianturi. 1993. Sewindu Penelitian Pertanian di Lahan Rawa :
Kontribusi dan Prospek Pengembangan. Proyek Swamps II. Puslitbang
Tanaman Pangan, Bogor.
Khairullah, I. and S. Sulaiman. 2002. Varietas unggul dan galur harapan padi
adaptif lahan pasang surut. Monograf: Varietas Tanaman Pangan Adaptif
Lahan Pasang Surut. ISSN 1410-637 X. Balai Penelitian Pertanian Lahan
Rawa. Banjarbaru, Indonesia
Noorsyamsi, H. and O.O. Hidayat. 1974. The tidal swamp rice culture in South
Kalimantan. Contrib. Cent. Res. Inst. Agric. 10: 1-8.
Sabran, M., M.Y. Maamum, S. Abdussamad, B. Prayudi, I. Noar, dan S.
Sulaiman. 1998. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Menunjang
Akselerasi Pengembangan Lahan Pasang Surut. Balittra. Banjarbaru, 21-
22 M8'et 1998
Schophuys, H.J. 1969. Perspectives of lifting water for irrigation and drainage in
Indonesia in general, in Sumatra and Kalimantan in particular
(Mimeographed) Bogor, Indonesia.

296
Jumberi dan Alihamsyah

Supriadi, H., Ruhendi, dan A.S. Karama. 2000. Prosiding Seminar Hasil
Penelitian, dan Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut-ISOP
Kalimantan Barat Pontianak, 22-23 Maret 2000. Puslitbang Tanaman
Pangan
Suprihatno, B., T. Alihamsyah, dan E.E. Ananto. 1999. Teknologi pemanfaatan
lahan pasang surut dan lebak untuk pertanian tanaman pangan. Dalam
Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV di Bogor tanggal 22-
24 November 1999.
Widjaja-Adhi, I P.G. 1986. Pengelolaan lahan pasang surut dan lebak. Jurnal
Litbang Pertanian V(1), Januari 1986. Badan Litbang Pertanian.
Widjaja-Adhi, I P.G. 1995. Pengelolaan tanah dan air dalam pengembangan
sumberdaya lahan rawa untuk usahatani berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan. Makalah disampaikan pada Pelatihan Calon Pelatih untuk
Pengembangan Pertanian di daerah Pasang Surut, 26-30 Juni 1995,
Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan.
Widjaja-Adhi, I P.G. dan T. Alihamsyah. 1998. Pengembangan lahan pasang
surut : potensi, prospek dan kendala serta teknologi pengelolaannya untuk
pertanian. Dalam Prosiding Seminar Himpunan IImu Tanah Jawa Timur.
Malang, 18 Desember 1998.

297

Anda mungkin juga menyukai