PENGARAH :
Irsal Las
PENYUNTING :
Didi Ardi S.
Undang Kurnia
Mamat H.S.
Wiwik Hartatik
Diah Setyorini
REDAKSI PELAKSANA :
Karmini Gandasasmita
Suwarto
Widhya Adhy
Sukmara
Diterbitkan oleh :
BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
SUMBERDAYA LAHAN PERTANIAN
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Departemen Pertanian
Jl. Ir. H. Juanda 98, Bogor 16123
Telp 0251-323012, Fax. 0251-311256
e-mail : csar@indosat.net.id
http://www.soil-climate.or.id
ISBN 979-9474-52-3
KATA PENGANTAR
Lahan rawa merupakan salah satu ekosistem yang sangat potensial untuk
pengembangan pertanian. Luas lahan ini, diperkirakan sekitar 33,4 juta ha, yang
terdiri atas lahan pasang surut sekitar 20 juta ha dan rawa lebak 13 juta ha.
Namun demikian, ekosistem rawa, secara alami bersifat rapuh (fragile) oleh
sebab itu dalam memanfaatkan lahan rawa dengan produktivitas optimal dan
berkelanjutan, diperlukan teknologi pengelolaan lahan yang tepat dan terpadu.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, melalui berbagai
lembaga penelitian dan kegiatan, terutama yang dikoordinasikan oleh Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian telah
mengidentifikasi karakteristik lahan rawa tersebut secara komprehensif dan
menemukan berbagai inovasi teknologi untuk mengatasi masalah yang ada,
sehingga pemanfaatannya optimal untuk kesejahteraan masyarakat. Teknologi
pengelolaan tanah, tata air mikro, ameliorasi tanah dan pemupukan, serta
penggunaan varietas yang adaptif merupakan beberapa hasil penelitian yang
telah terbukti sangat beperan dalam meningkatkan produktivitas lahan rawa.
Untuk menyebarluaskan hasil yang telah diperoleh, supaya dapat dimanfaatkan
masyarakat luas, maka hasil itu kami rangkum di dalam terbitan ini.
Buku Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa ini memuat informasi
tentang lahan rawa di Indonesia secara komprehensif mulai dari lahan rawa
secara umum, rawa pasang surut, dan rawa lebak, sampai teknologi pengelolaan
lahan sulfat masam dan gambut, pemanfaatan lahan rawa lebak, sumberdaya
hayati pertanian, konservasi dan rehabilitasi lahan rawa, dan usaha agribisnis di
lahan rawa pasang surut. Sehingga, diharapkan bisa digunakan sebagai acuan
bagi berbagai usaha praktis, di dalam pengelolaan maupun penelitian lanjutan,
untuk menemukan teknologi pemanfaatan lahan rawa yang lebih efektif dan
efisien.
Kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi bagi terbitnya buku
ini, saya sampaikan terima kasih.
i
DAFTAR ISI
Halaman
iii
KLASIFIKASI DAN
I PENYEBARANLAHAN RAWA
Subagyo H.
1
Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa
1.1. PENGERTIAN
Lahan rawa adalah lahan yang sepanjang tahun, atau selama waktu yang
panjang dalam setahun, selalu jenuh air (saturated) atau tergenang (waterlogged)
air dangkal. Dalam pustaka, lahan rawa sering disebut dengan berbagai istilah,
seperti “swamp”, “marsh”, “bog” dan “fen”, masing-masing mempunyai arti yang
berbeda.
“Swamp” adalah istilah umum untuk rawa, digunakan untuk menyatakan
wilayah lahan, atau area yang secara permanen selalu jenuh air, permukaan air
tanahnya dangkal, atau tergenang air dangkal hampir sepanjang waktu dalam
setahun. Air umumnya tidak bergerak, atau tidak mengalir (stagnant), dan bagian
dasar tanah berupa lumpur. Dalam kondisi alami, swamp ditumbuhi oleh berbagai
vegetasi dari jenis semak-semak sampai pohon-pohonan, dan di daerah tropika
biasanya berupa hutan rawa atau hutan gambut.
“Marsh” adalah rawa yang genangan airnya bersifat tidak permanen,
namun mengalami genangan banjir dari sungai atau air pasang dari laut secara
periodik, dimana debu dan liat sebagai muatan sedimen sungai seringkali
diendapkan. Tanahnya selalu jenuh air, dengan genangan relatif dangkal. Marsh
biasanya ditumbuhi berbagai tumbuhan akuatik, atau hidrofitik, berupa “reeds”
(tumbuhan air sejenis gelagah, buluh atau rumputan tinggi, seperti Phragmites
sp.), “sedges” (sejenis rumput rawa berbatang padat, tidak berbuluh, seperti famili
Cyperaceae), dan “rushes” (sejenis rumput rawa, seperti purun, atau “mendong”,
dari famili Juncaceae, yang batangnya dapat dianyam menjadi tikar, topi, atau
keranjang). Marsh dibedakan menjadi "rawa pantai" (coastal marsh, atau salt-
water marsh), dan "rawa pedalaman" (inland marsh, atau fresh water marsh)
(SSSA, 1984; Monkhouse dan Small, 1978).
“Bog” adalah rawa yang tergenang air dangkal, dimana permukaan
tanahnya tertutup lapisan vegetasi yang melapuk, khususnya lumut spaghnum
sebagai vegetasi dominan, yang menghasilkan lapisan gambut (ber-reaksi)
masam. Ada dua macam bog, yaitu "blanket bog”, dan "raised bog”. Blanket bog
adalah rawa yang terbentuk karena kondisi curah hujan tinggi, membentuk
deposit gambut tersusun dari lumut spaghnum, menutupi tanah seperti selimut
pada permukaan lahan yang relatif rata. Raised bog adalah akumulasi gambut
masam yang tebal, disebut “hochmoor", yang dapat mencapai ketebalan 5 meter,
dan membentuk lapisan (gambut) berbentuk lensa pada suatu cekungan dangkal.
2
Subagyo
“Fed” adalah rawa yang tanahnya jenuh air, ditumbuhi rumputan rawa
sejenis “reeds”, “sedges”, dan “rushes”, tetapi air tanahnya ber-reaksi alkalis,
biasanya mengandung kapur (CaCO3), atau netral. Umumnya membentuk
lapisan gambut subur yang ber-reaksi netral, yang disebut “laagveen” atau
“lowmoor”.
Lahan rawa merupakan lahan basah, atau “wetland”, yang menurut definisi
Ramsar Convention mencakup wilayah “marsh”, “fen”, lahan gambut (peatland),
atau air, baik terbentuk secara alami atau buatan, dengan air yang tidak bergerak
(static) atau mengalir, baik air tawar, payau, maupun air asin, termasuk juga
wilayah laut yang kedalaman airnya, pada keadaan surut terendah tidak melebihi
enam meter (Wibowo dan Suyatno, 1997).
Lahan rawa sebenarnya merupakan lahan yang menempati posisi
peralihan di antara sistem daratan dan sistem perairan (sungai, danau, atau laut),
yaitu antara daratan dan laut, atau di daratan sendiri, antara wilayah lahan kering
(uplands) dan sungai/danau. Karena menempati posisi peralihan antara sistem
perairan dan daratan, maka lahan ini sepanjang tahun, atau dalam waktu yang
panjang dalam setahun (beberapa bulan) tergenang dangkal, selalu jenuh air,
atau mempunyai air tanah dangkal. Dalam kondisi alami, sebelum dibuka untuk
lahan pertanian, lahan rawa ditumbuhi berbagai tumbuhan air, baik sejenis
rumputan (reeds, sedges, dan rushes), vegetasi semak maupun kayu-
kayuan/hutan, tanahnya jenuh air atau mempunyai permukaan air tanah dangkal,
atau bahkan tergenang dangkal.
Lahan rawa yang berada di daratan dan menempati posisi peralihan antara
sungai atau danau dan tanah darat (uplands), ditemukan di depresi, dan
cekungan-cekungan di bagian terendah pelembahan sungai, di dataran banjir
sungai-sungai besar, dan di wilayah pinggiran danau. Mereka tersebar di dataran
rendah, dataran berketinggian sedang, dan dataran tinggi. Lahan rawa yang
tersebar di dataran berketinggian sedang dan dataran tinggi, umumnya sempit
atau tidak luas, dan terdapat setempat-setempat. Lahan rawa yang terdapat di
dataran rendah, baik yang menempati dataran banjir sungai maupun yang
menempati wilayah dataran pantai, khususnya di sekitar muara sungai-sungai
besar dan pulau-pulau deltanya adalah yang dominan.
3
Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa
Wilayah rawa pasang surut air asin/payau terdapat di bagian daratan yang
bersambungan dengan laut, khususnya di muara sungai besar, dan pulau-pulau
delta di wilayah dekat muara sungai besar. Di bagian pantai ini, dimana pengaruh
pasang surut air asin/laut masih sangat kuat, sering kali disebut sebagai “tidal
wetlands”, yakni lahan basah yang dipengaruhi langsung oleh pasang surut air
laut/salin.
Di bagian pantai yang terbuka ke laut lepas, apabila pesisir pantainya
berpasir halus, dan ombak langsung mencapai garis pantai, oleh pengaruh energi
ombak dan angin biasanya terbentuk beting pasir pantai (coastal dunes/ridges),
yang di belakangnya terdapat semacam danau-danau sempit yang disebut
laguna (lagoons). Wilayah di belakang laguna, merupakan jalur yang ditumbuhi
hutan bakau atau mangrove (Rhizophora sp., Bruguiera sp.), dan masih
dipengaruhi oleh air pasang melalui sungai-sungai kecil (creeks). Di belakang
hutan mangrove, terdapat jalur wilayah yang dipengaruhi oleh air payau (brackish
water), dan ditumbuhi vegetasi nipah (Nipa fruticans). Di belakang hutan nipah,
terdapat landform rawa belakang (backswamp) yang dipengaruhi oleh air tawar
(fresh water).
4
Subagyo
Gambar 1.1. Pembagian zona lahan rawa di sepanjang daerah aliran sungai
(DAS) bagian bawah dan tengah
5
Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa
bawah air laut sewaktu air pasang, tetapi terlihat muncul sebagai daratan
sewaktu air surut. Dataran berlumpur ini disebut ”tidal flats”, atau ”mudflats”. Pada
bagian daratan yang sedikit lebih tinggi letaknya, yang sebagian atau seluruhnya
masih digenangi air pasang, disebut ”tidal marsh” (rawa pasang surut), atau "salt
marsh” (rawa dipengaruhi air garam). Di bagian terluar yang masih dipengaruhi
oleh pasang surut, biasanya didominasi oleh vegetasi rambai (Sonneratia sp.),
api-api (Avicennia sp.), dan jeruju (Acanthus licifolius), dan di belakangnya ke
arah daratan ditumbuhi oleh hutan bakau/mangrove, dengan tumbuhan bawah
buta-buta (Excoecaria agallocha), dan pial (Acrostichum aureum). Jalur bakau ini
lebarnya beragam dan dapat mencapai 1,5-2 km ke arah darat.
Wilayah di belakang hutan mangrove, masih dipengaruhi oleh air pasang
melalui sungai-sungai kecil, namun sudah ada pengaruh air tawar dari hutan
rawa pantai lebih ke darat. Bagian yang dipengaruhi oleh air payau ini,
didominasi oleh nipah bersama panggang (Araliceae) dan pedada (Sonneratia
acida), membentuk jalur hutan nipah yang lebarnya dapat mencapai 500 m. Di
belakang jalur hutan nipah terdapat landform rawa belakang yang sudah
dipengaruhi oleh air tawar. Di rawa delta Pulau Petak, wilayah rawa belakang ini,
umumnya didominasi pohon gelam (Melaleuca leucadendron). Lebih jauh ke arah
daratan, pada sub-landform cekungan/ depresi ditempati hutan rawa dan gambut
air tawar.
Bagian wilayah pasang surut yang dipengaruhi oleh air asin/salin dan air
payau ini, di pantai timur pulau Sumatera seperti di Sumatera Selatan, Jambi, dan
Riau, umumnya masuk ke dalam daratan Pulau Delta dan sepanjang sungai
besar sejauh dari beberapa ratus meter sampai sekitar 4-6 km ke dalam. Wilayah
ini, karena pengaruh air laut/salin atau air payau, tanahnya mengandung garam-
garam yang tinggi, dikatagorikan sebagai tipologi lahan salin, dan tidak sesuai
untuk lahan pertanian.
Berapa jauh zona I wilayah pasang surut air asin/payau masuk ke arah
hulu dari muara sungai, tergantung dari bentuk estuari, yaitu bagian muara
sungai yang melebar berbentuk V ke arah laut, dimana gerakan air pasang dan
surut terjadi. Jika bentuk estuari lebar dan lurus, pengaruh air asin/salin dapat
mencapai sekitar 10-20 km dari mulut/muara sungai besar. Namun, apabila relatif
sempit dan sungai berkelok, pengaruh air asin/salin hanya mencapai jarak 5-10
km dari muara sungai. Sementara dari laut/ sungai ke arah daratan Pulau Delta,
6
Subagyo
atau ke arah wilayah pinggiran sungai, jarak masuknya air pasang dapat
mencapai sekitar 4-5 km.
Wilayah pasang surut air tawar adalah wilayah rawa berikutnya ke arah
hulu sungai. Wilayahnya masih termasuk daerah aliran sungai bagian bawah,
namun posisinya lebih ke dalam ke arah daratan, atau ke arah hulu sungaI. Di
wilayah ini energi sungai, berupa gerakan aliran sungai ke arah laut, bertemu
dengan energi pasang surut yang umumnya terjadi dua kali dalam sehari (semi
diurnal). Karena wilayahnya sudah berada di luar pengaruh air asin/salin, yang
dominan adalah pengaruh air-tawar (fresh-water) dari sungai sendiri. Walaupun
begitu, energi pasang surut masih cukup dominan, yang ditandai oleh masih
adanya gerakan air pasang dan air surut di sungai.
Di daerah tropika yang beriklim munson, yang dicirikan oleh adanya musim
hujan dan musim kemarau, di musim hujan ditandai oleh volume air sungai yang
meningkat, berakibat bertambah besarnya pengaruh air pasang ke daratan kiri-
kanan sungai besar, dan bertambah jauh jarak jangkauan air pasang ke arah
hulu. Limpahan banjir sungai selama musim hujan yang dibawa air pasang,
mengendapkan fraksi debu dan pasir halus ke pinggir sungai. Pengendapan
bahan halus yang terjadi secara periodik selama ber-abad-abad akhirnya
membentuk (landform) tanggul sungai alam (natural levee), yang jelas terlihat ke
arah hulu dan makin tidak jelas terbentuk, karena pengaruh pasang surut, ke
arah hilir dan di muara sungai besar.
Di antara dua sungai besar, ke arah belakang tanggul sungai, tanah secara
berangsur atau secara mendadak menurun ke arah cekungan di bagian tengah
yang diisi tanah gambut. Ke bagian tengah, lapisan gambut semakin tebal/dalam
dan akhirnya membentuk kubah gambut (peat dome). Bagian yang menurun
tanahnya di antara tanggul sungai dan depresi/kubah gambut disebut (sub-
landform) rawa belakang (backswamp). Di musim kemarau, pada saat volume air
sungai relatif tetap atau malahan berkurang, pengaruh air asin/salin dapat
merambat sepanjang sungai sampai jauh ke pedalaman. Pada bulan-bulan
terkering, Juli-September, pengaruh air asin/salin di sungai dapat mencapai jarak
sejauh 40-90 km dari muara sungai.
7
Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa
Makin jauh ke pedalaman, atau ke arah hulu, gerakan naik turunnya air
sungai karena pengaruh pasang surut makin berkurang, dan pada jarak tertentu
berhenti. Di sinilah batas zona II, dimana tanda pasang surut yang terlihat pada
gerakan naik turunnya air tanah juga berhenti. Jarak zona II dari pantai,
tergantung dari bentuk dan lebar estuari di mulut/muara sungai dan kelak-kelok
sungai dapat mencapai sekitar 100-150 km dari pantai. Sebagai contoh, kota
Palembang di tepi S. Musi, pengaruh pasang surut masih terasa, tetapi relatif
sudah sangat lemah, berjarak sekitar 105 km dari pantai. Di muara Anjir Talaran
di dekat kota Marabahan di Sungai Barito, Provinsi Kalimantan Selatan, yang
berjarak (garis lurus) sekitar 65 km dari muara, pasang surut relatif masih agak
kuat.
Pencapaian air pasang di musim hujan dan air asin di musim kemarau
pada tiga sungai besar di Sumatera adalah S. Rokan: 48 dan 60 km, S.
Inderagiri: 146 dan 86 km, dan S. Musi 108 dan 42 km dari muara sungai. Di
Kalimantan, S. Kapuas Besar: 150 dan 24 km, S. Kahayan 125 dan 65 km, dan
S. Barito 158 dan 68 km dari muara sungai. Di Papua, S. Mamberamo: 30 dan 8
km, S. Lorenz (pantai selatan, barat Agats) 103 dan 63 km, dan S. Digul (barat
Merauke) 272 dan 58 km dari muara sungai (Nedeco/Euroconsult-Biec,1984).
1.2.3. Zona III: Wilayah rawa lebak, atau rawa non-pasang surut
Wilayah rawa lebak terletak lebih jauh lagi ke arah pedalaman, dan dimulai
di wilayah dimana pengaruh pasang surut sudah tidak ada lagi. Oleh karena itu,
rawa lebak sering disebut sebagai rawa pedalaman, atau rawa non-pasang surut.
Biasanya sudah termasuk dalam daerah aliran sungai bagian tengah pada
sungai-sungai besar. Landform rawa lebak bervariasi dan dataran banjir
(floodplains) pada sungai-sungai besar yang relatif muda umur geologisnya,
sampai dataran banjir bermeander (meandering floodplains), termasuk bekas
aliran sungai tua (old river beds), dan wilayah danau oxbow (oxbow lakes) pada
sungai-sungai besar yang lebih tua perkembangannya. Pengaruh sungai yang
sangat dominan adalah berupa banjir besar musiman, yang menggenangi
dataran banjir di sebelah kiri-kanan sungai besar. Peningkatan debit sungai yang
sangat besar selama musim hujan, "verval" sungai atau perbedaan penurunan
tanah dasar sungai yang rendah, sehingga aliran sungai melambat, ditambah
tekanan balik arus air pasang dari muara, mengakibatkan air sungai seakan-akan
8
Subagyo
9
Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa
Gambar 1.2. Peta penyebaran lahan rawa dan lahan gambut di Indonesia
10
Subagyo
Belum seluruh wilayah lahan rawa di Indonesia diteliti cukup intensif. Dari
ketiga pulau besar, Sumatera, Kalimantan, dan Papua, hanya lahan rawa pasang
surut di pantai timur Sumatera (Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Lampung)
telah banyak diteliti dan dipetakan tanahnya antara tahun 1969-1980 dalam
rangka pelaksanaan P4S (Proyek Pengembangan Persawahan Pasang Surut),
Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (sekarang, Departemen
Kimpraswil). Seluruh wilayah Pulau Sumatera, termasuk wilayah lahan rawanya,
kemudian dipetakan tanahnya pada tingkat tinjau oleh proyek LREP-I (Land
Resource Evaluation and Planning Project) Pusat Penelitian Tanah (sekarang
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian), antara tahun 1986-1990.
Di Kalimantan, lahan rawa di Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah, dan Kalimantan Selatan banyak memperoleh perhatian selama
pelaksanaan P4S. Di Kalimantan Barat, khususnya di wilayah pulau-pulau delta
di antara S. Kapuas Kecil, Punggur Besar, dan Ambawang, di sebelah selatan
kota Pontianak, seperti Rasau Jaya, Pinang luar, dan Air Putih. Di Kalimantan
Tengah di wilayah pulau delta pada aliran bawah Sungai Kahayan, antara S.
Kahayan dan Kapuas, seperti Pangkoh, Tamban luar, dan Berengbengkel. Di
11
Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa
Data luas lahan rawa pertama kali dikemukakan oleh Mulyadi (1977), yaitu
sekitar 39,42 juta ha, sudah termasuk lahan rawa lebak. Data ini kemudian
digunakan oleh Direktorat Rawa, Departemen Pekerjaan Umum (Direktorat
Rawa, 1992; Sugeng, 1992) untuk perencanaan pengembangan lahan rawa.
Sementara itu, Nedeco/Euroconsult-Biec (1984) bekerja sama dengan Direktorat
Sumberdaya Air, Departemen Pekerjaan Umum melaksanakan studi nasional
lahan pantai di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya (Papua), tidak termasuk
pulau Sulawesi, memperoleh luas lahan rawa di ketiga pulau tersebut sebesar
23,5 juta ha. Hasil penelitian ini, diuraikan agak mendetail, disajikan pada
Lampiran 1.1. Berdasarkan peta-peta laporan akhir studi tersebut,
Nedeco/Euroconsult-Biec tampaknya tidak memasukkan penyebaran lahan rawa
lebak.
12
Subagyo
Catatan:
- Data Polak (1952) hanya menyebutkan total luas tanah gambut di Indonesia.
- Data Mulyadi (1977) hanya menyebutkan luas lahan rawa di setiap pulau.
- Data Nedeco/Euroconsult-Biec (1984), tidak memperhitungkan luas rawa lebak. Pulau Sulawesi
tidak termasuk diteliti; tad = tidak ada data.
- Data Subagyo et al. (1990) diolah kembali; luas lahan basah (wetsoils) yang ada dikurangi luas
lahan sawah (BPS, 2000). Data Subagyo et al. (1990) dan Puslittanak (2000), sudah termasuk
lahan rawa lebak.
13
Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa
Berdasarkan studi ini, luas lahan rawa seluruhnya adalah 33,41 juta ha,
yang terbagi ke dalam lahan rawa lebak seluas 13,28 juta ha, dan lahan rawa
pasang surut 20,13 juta ha. Lahan pasang surut sendiri tersusun dari lima tipologi
lahan, yaitu lahan/tanah gambut sekitar 10,90 juta ha, lahan potensial 2,07 juta
ha, lahan sulfat masam potensial 4,34 juta ha, sulfat masam aktual 2,37 juta ha,
dan lahan salin sekitar 0,44 juta ha. Berdasarkan data pada Lampiran 1.2, terasa
sulit untuk menentukan secara pasti berapa luas sebenarnya masing-masing
tipologi lahan, karena adanya bermacam-macam asosiasi antar berbagai tipologi
lahan.
Data dari studi Nugroho et al. (1991) yang relatif komprehensif ini,
kemudian dijadikan semacam "angka resmi" luas lahan rawa di Indonesia, dan
digunakan oleh berbagai instansi dan proyek, seperti oleh Departemen
Kimpraswil (Ditjen Pengairan-Dep. PU, 1998), Balai Penelitian Tanaman Pangan
Lahan Rawa (Balittra) Banjarbaru-Kalimantan Selatan (Alihamsyah, 2001), dan
beberapa proyek pengembangan lahan rawa Badan Litbang Pertanian
Departemen Pertanian, seperti proyek SWAMPS-II 1985-1994, ISOP (Integrated
14
Subagyo
Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan data pada Tabel 1.1, adalah
bahwa luas lahan rawa di Indonesia sekitar 33,41-39,10 juta ha, dengan Iuas
rawa pasang surut sekitar 20,13-25,82 juta ha, dan lahan rawa lebak sekitar
13,28 juta ha. Luas lahan/tanah gambut berdasarkan estimasi rendah antara
9,26-14,89 juta ha, dan estimasi lebih tinggi sekitar 13,20-14,89 juta ha. Luas
total lahan gambut yang pada awalnya (sebelum reklamasi tahun 1970-an)
sekitar 16,35 juta ha, namun setelah reklamasi ekstensif selama Pelita I-III (1969-
1984) yang diikuti oleh pembukaan oleh masyarakat setempat/pemukim spontan
pada tahun-tahun sesudahnya, luasnya dewasa ini telah menyusut menjadi
sekitar 13-14 juta ha (Subagyo, 2002). Penyebaran lahan rawa diurutkan dari
yang terluas, terdapat di Sumatera, Papua, dan Kalimantan, serta Sulawesi.
15
Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa
PENUTUP
Dari ketiga zona wilayah rawa, ditinjau dari kegunaannya untuk pertanian,
yang paling potensial sebenarnya lahan rawa lebak, kemudian lahan rawa
pasang surut air tawar, dan terakhir lahan rawa pasang surut air asin/payau.
Dalam pembicaraan sehari-hari yang menyangkut potensi lahan rawa untuk
pertanian, sering kali kata ”rawa”, ”air tawar”, dan ”air asin/payau” dihilangkan,
sehingga hanya dikenal, lahan lebak, lahan pasang surut, dan lahan salin. Lahan
rawa secara keseluruhan masih tetap disebut lahan rawa, atau ”swampland”, dan
termasuk dalam kelompok lahan basah, atau ”wetlands”.
16
Subagyo
Lahan pasang surut yang dianggap memiliki potensi dan prospek yang
besar untuk dijadikan pilihan strategis guna pengembangan areal produksi
pertanian ke depan, untuk mendukung dan mengamankan ketahahan pangan
nasional, inventarisasi biofisiknya termasuk masalah berapa luas masing-masing
lahan pasang surut, lahan lebak, dan lahan salin yang lebih akurat, perlu lebih
mendapatkan perhatian di masa-masa mendatang. Luas total lahan rawa saat ini,
yang diestimasi antara 33-39 juta ha, masih bersifat perkiraan yang belum tentu
benar. Secara khusus, lahan rawa di Kawasan Timur Indonesia, terutama di
Pulau Papua (Irian Jaya) yang data dan informasinya masih sangat terbatas,
perlu lebih banyak dieksplorasi dan diteliti luas dan potensi alaminya, baik
potensinya sebagai sumberdaya pertanian maupun sebagai sumberdaya hayati
untuk tujuan konservasi, ekologi, dan lingkungan hidup.
DAFTAR PUSTAKA
17
Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa
18
Subagyo
Lousiana and Texas. October 6-21, 1990. USDA, SCS, National Soil
Survey Center, Lincoln, NE.
Sugeng, S. 1992. Pengembangan dan pemanfaatan rawa di Indonesia. h. 43-63.
Dalam Prosiding Seminar Nasional Pemanfaatan Potensi Lahan Rawa
untuk Pencapaian dan Pelestarian Swasembada Pangan. Fak. Pertanian,
Univ. Sriwijaya, Palembang, 23-24 Oktober 1991.
Wibowo, P., and N. Suyatno. 1997. An Overview of Indonesia Wetland Sites-
Included in Wetland Database. Wetlands International-Indonesia
Programme, PHPA, Bogor.
Widjaja-Adhi, I P.G., K. Nugroho, Didi Ardi S., dan A.S. Karama. 1992.
Sumberdaya lahan rawa: Potensi, keterbatasan, dan pemanfaatan. h. 19-
38. Dalam Sutjipto P. dan M. Syam (penyunting). Risalah Pertemuan
Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak.
Cisarua, 3-4 Maret 1992.
19
Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa
20
Subagyo
21
Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa
22
LAHAN RAWA PASANG SURUT
II Subagyo H.
23
Lahan Rawa Pasang Surut
24
Subagyo
dan zona II: wilayah rawa pasang surut air tawar. Sedangkan zona III: wilayah
rawa lebak/rawa non pasang surut disajikan pada Bab III.
Wilayah rawa pasang surut air asin/payau merupakan bagian dari wilayah
rawa pasang surut terdepan, yang berhubungan langsung dengan laut lepas.
Biasanya, wilayah rawa ini menempati bagian terdepan dan pinggiran pulau-
pulau delta serta bagian tepi estuari, yang dipengaruhi langsung oleh pasang
surut air laut/salin. Sebagai contoh, pulau-pulau delta di muara S. Musi dan
Banyuasin di Sumatera Selatan, antara lain adalah Delta Upang, Delta Telang,
dan P. Rimau. Di muara S. Batanghari di Jambi, yakni Delta Berbak; di muara S.
Barito dan Kapuas di Kalimantan Selatan, adalah Delta Pulau Petak. Di muara
Sungai Kapuas di Kalimantan Barat, adalah beberapa pulau delta yang dibentuk
oleh S. Kapuas Kecil, Punggur Besar, Ambawang, dan S. Kubu.
Pada zona wilayah rawa ini, terdapat kenampakan-kenampakan (features)
bentang alam (landscape) spesifik yang mempunyai bentuk dan sifat-sifat yang
khas disebut landform. Sebagian besar wilayah zona I termasuk dalam landform
marin. Pembagian lebih detail dari landform marin, disebut sub-landform, pada
zona I rawa pasang surut air asin/payau dapat dilihat pada irisan vertikal tegak
lurus pantai, dan diilustrasikan pada Gambar 2.1a dan 2.1b.
Gambar 2.1a. Penampang skematis zona I wilayah rawa pasang surut air asin/
payau, merupakan pantai lepas yang memiliki beting pasir pantai
(coastal dunes)
25
Lahan Rawa Pasang Surut
Gambar 2.1b. Penampang skematis zona I wilayah rawa pasang surut air asin/
payau, pantai pada bagian yang terlindung dalam estuari, atau
teluk
26
Subagyo
27
Lahan Rawa Pasang Surut
28
Subagyo
tanah dasar mineral tidak selalu terjadi secara berangsur, tetapi dapat juga
menurun secara mendadak dalam jarak yang relatif pendek, dan menjadi bagian
dari cekungan/depresi besar. Ini berarti dataran rawa belakangnya sangat sempit,
atau tidak ada.
Depresi besar di sekitar bagian tengah wilayah di antara dua sungai besar
ditempati tanah gambut. Posisi depresi di berbagai wilayah pulau delta tidak
selalu persis di bagian tengah, tetapi seringkali menyamping mengikuti bentuk
pulau delta. Batasan tanah gambut yang sederhana adalah memiliki kandungan
bahan organik lebih dari 65% (berdasarkan berat) dengan ketebalan gambut
lebih dari 0,5 m. Definisi tanah gambut yang disebut Histosols dalam Taksonomi
Tanah (Soil Survey Staff, 1999), lebih rumit, yaitu (i) harus tersusun dari bahan
tanah organik, (ii) jenuh air selama 1 bulan atau lebih setiap tahun, dan (iii)
ketebalannya minimal 0,4 atau 0,6 m tergantung dari tingkat dekomposisi bahan
gambut dan bobot-jenisnya.
Tanah gambut yang menempati cekungan/depresi besar mempunyai
ketebalan yang bervariasi. Di bagian pinggir ditempati gambut dangkal dengan
ketebalan 0,5-1 m, dan gambut sedang dengan ketebalan 1-2 m, dan seringkali
mengandung sisipan-sisipan lapisan tanah mineral. Keduanya biasanya
merupakan gambut topogen yang relatif subur (eutrofik). Semakin ke bagian
tengah depresi, lapisan gambut semakin tebal dan kesuburan bahan gambutnya
cenderung makin menurun. Tanah gambut dalam (2-3 m) dan gambut sangat-
dalam (>3 m) yang terbentuk disebut gambut ombrogen, dengan tingkat
kesuburan sedang (mesotrofik) sampai rendah (oligotrofik). Oleh karena
perbedaan pertumbuhan vegetasi hutan di bagian pinggir dan bagian tengah
cekungan, permukaan tanah gambut semakin meninggi di bagian tengah dan
membentuk semacam kubah dari tanah gambut, yang disebut kubah gambut
(peat dome). Ketinggian relatif di bagian tengah kubah, dapat mencapai sekitar 3-
5 m. Bentuk kubah gambut umumnya “lonjong” atau hampir bujur telur, dan
ukurannya cukup besar. Sebagai contoh dua kubah gambut di Delta Pulau Petak
yang diteliti Lembaga Penelitian Tanah tahun 1972, masing-masing berukuran
sekitar 4-9 km lebar dan 8-15 km panjang; serta 8-12 km lebar, dan 15-24 km
panjang (SRI, 1973). Dua buah kubah gambut di areal Proyek Pengembangan
Lahan Gambut Satu Juta Hektar (PLG) yang disurvei Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat tahun 1996, masing-masing mempunyai dimensi Iebar dan panjang
sekitar 17-22 km, dan 23-45 km (Subagyo, 2002).
29
Lahan Rawa Pasang Surut
30
Subagyo
senyawa besi-sulfida (FeS2) yang disebut pirit. Kandungan pirit di tanah rawa
pasang surut umumnya rendah, yakni hanya sekitar 0-5%, namun walaupun
kadarnya rendah, temyata di kemudian hari menjadi permasalahan utama yang
berat, atau sangat sulit diatasi, apabila tanah rawa dibuka untuk pertanian.
Masalahnya dimulai pada saat rawa direklamasi, yaitu dengan penggalian
saluran-saluran drainase besar, seperti saluran primer, sekunder, dan tersier,
dengan tujuan untuk mengeringkan wilayah agar tanah rawa yang semula basah
atau tergenang menjadi tanah yang relatif lebih kering yang siap digunakan
sebagai lahan pertanian.
Akibat adanya saluran-saluran drainase tersebut, permukaan air tanah
menjadi turun, dan tanah bagian atas menjadi kering dan terbuka. Akibat adanya
oksigen di udara, maka tanah bagian atas ini mengalami oksidasi, sementara
tanah bagian bawah masih tetap berada di lingkungan air tanah, yaitu tetap
dalam kondisi tereduksi. Pirit yang terbentuk dalam suasana reduksi dalam
endapan laut di dekat pantai dengan kandungan bahan organik tinggi, berasal
dari vegetasi pantai seperti api-api dan bakau/mangrove. Dalam kondisi reduksi,
pirit bersifat stabil sesuai dengan suasana lingkungan pembentukannya. Akibat
penurunan air tanah, pirit yang berada di tanah bagian atas ikut terbuka
(exposed) di lingkungan yang aerob, dan mengalami oksidasi, menghasilkan
asam sulfat dan senyawa besi bebas bervalensi 3 (Fe-III). Hasil akhirnya
merupakan tanah ber-reaksi masam ekstrim (pH <3,5), dan banyak mengandung
ion-ion sulfat (SO4), besi bervalensi 2 (Fe-II), dan aluminium (AI3+). Tanah ber-
reaksi masam ekstrim yang banyak mengandung ion sulfat ini disebut tanah
sulfat masam, atau “acid sulphate soils”. Seringkali juga disebut tanah sulfat
masam aktual, atau “actual acid sulphate soils”. Sebaliknya, semua tanah marin
yang mengandung pirit belum teroksidasi, mempunyai reaksi tanah agak masam
(pH 4,6-5,5), tetapi berpotensi akan menjadi ekstrim masam bila mengalami
drainase berlebihan, disebut tanah sulfat masam potensial, atau “potential acid
sulphate soils”. Tanah bagian atas yang sudah teroksidasi, karena berwarna
coklat, atau kelabu kecoklatan berkaratan besi coklat kemerahan, kadang disebut
“brown layer”. Sedangkan tanah bawah yang tereduksi penuh, yang berwarna
kelabu, kelabu gelap, atau kelabu kehijauan, sering disebut ”gray layer”.
Profil tanah sulfat masam aktual umumnya menunjukkan tanah bagian atas
teroksidasi, setebal 50-100 cm, hampir matang sampai matang, reaksi masam
ekstrim (pH <3,5), atau sangat masam (pH 3,5-4,0), tekstur umumnya liat
31
Lahan Rawa Pasang Surut
berdebu, berwarna coklat, coklat kemerahan atau kelabu. Lapisan tanah bawah
tereduksi, setengah matang sampai mentah, reaksi tanah sangat masam sampai
agak masam (pH >4,0), tekstur liat berdebu sampai liat, dan umumnya berwarna
kelabu-kelabu gelap.
Profil tanah sulfat masam potensial, tanah bagian atas teroksidasi relatif
lebih tipis sekitar 25-75 cm, setengah matang sampai hampir matang, reaksi
tanah sangat masam-agak masam (pH >4,0), tekstur umumnya liat berdebu, dan
warnanya kelabu tua sampai coklat kekelabuan. Lapisan bawah tereduksi, hampir
mentah (practically unripe) sampai mentah, reaksi tanah masam-agak masam
(pH >4,0), tekstur liat berdebu sampai liat, dan warnanya kelabu tua sampai
kelabu gelap.
Tanah sulfat masam aktual, karena memiliki reaksi masam ekstrim, dan
banyak kandungan ion-ion yang bersifat racun/toksik, sehingga tidak sesuai
untuk tanaman pertanian. Tanaman padi yang ditanam di tanah ini tidak
menghasilkan gabah yang berarti. Lahan ini banyak ditinggalkan petani
transmigran, sehingga menjadi lahan bongkor dan ditutupi semak-semak lebat.
Vegetasi alami yang mampu tumbuh adalah yang toleran terhadap kemasaman
tinggi, terdapat di Delta pulau Petak biasanya berupa purun (Lepironia
mucronata), atau purun tikus (Fimbristylis sp.), dan gelam (Melaleuca
leucadendron).
32
Subagyo
33
Lahan Rawa Pasang Surut
tahun sebelum masehi (SM), kenaikan permukaan air laut secara berangsur
(eustatik) berkurang atau berhenti, dan perluasan secara lateral dari pantai asli
mulai teljadi. Perluasan lateral karena proses akreasi yang membentuk Delta
Pulau Petak berlangsung melalui 3 fase sedimentasi, yaitu fase sedimentasi I,
dari 5.500 sampai 4.000-3.500 tahun SM, fase sedimentasi II, dari 4.000-3.500
tahun SM sampai 1.000-700 tahun SM, dan fase sedimentasi III dari 1.000-700
tahun SM. Pada fase I, bahan sedimen dipasok dari S. Barito dan Kapuas; pada
fase II sumber bahan sedimen berasal dari S. Barito dan S. Pulau Petak; dan
fase III sumber sedimen adalah S. Kapuasmurung dan Barito, dan membentuk
garis pantai yang ada sekarang ini.
Genesis tanah gambut di wilayah rawa pantai Indonesia diperkirakan
dimulai sekitar 5.000-4.000 tahun yang lalu (Subagyo, 2002), dan diperkirakan
hampir bersamaan waktunya dengan dimulainya proses akreasi yang membentuk
wilayah pulau-pulau delta di rawa pasang surut yang ada sekarang ini. Mengikuti
informasi geologi, diketahui bahwa berdasarkan “radiometric dating” periode
zaman es Pleistosin (Pleistocene glaciation) yang terakhir, yaitu zaman es
(glacial) Wisconsin (di Amerika Utara) yang setara dengan zaman es Wurm (di
Eropa) berakhir sekitar 18.000/15.000-10.000 tahun yang lalu (Strahler, 1973).
Dengan melelehnya lapisan es/ gletser zaman es Wisconsin dan Wurm tersebut,
permukaan air laut di seluruh dunia secara berangsur (eustatic) naik.
Diperkirakan kenaikan permukaan laut di seluruh dunia terjadi selama akhir
zaman Pleistosin sampai awal Holosin (Holocene), sekitar 100-135 m (Davis et
al., 1976; Holmes, 1978). Di perairan laut Indonesia, kenaikan permukaan air laut
diperkirakan !ebih dari 100 m (Andriesse, 1997), atau sekitar 120 m (Neuzil,
1997).
Stabilisasi permukaan laut di wilayah pantai di sebagian besar Asia
Tenggara tercapai sekitar 6.000-5.000 tahun yang lalu (Diemont dan Pons,
1991), atau 6.000-4.000 tahun yang lalu (Neuzil, 1997), sementara Brinkman dan
Pons (1968) menyebutkan sekitar 5.500 tahun yang lalu. Dengan adanya
permukaan laut yang sudah relatif stabil waktu itu, proses pelebaran/perluasan
pantai secara lateral akibat sedimentasi bahan-bahan halus yang dibawa sungai,
yakni proses akreasi pantai, diperkirakan mulai terjadi, diikuti dengan
pembentukan tanah gambut. Berbagai data pengukuran “C-14 dating” contoh-
contoh tanah gambut di Sumatera dan Kalimantan untuk memperkirakan umur
pembentukan gambut, memperkuat estimasi mulainya proses akreasi di wilayah
pantai di Indonesia. Sebagai contoh: di pantai timur P. Sumatera, gambut di
34
Subagyo
35
Lahan Rawa Pasang Surut
36
Subagyo
37
Lahan Rawa Pasang Surut
Tabel 2.1. Kandungan pirit dan pH-H2O lapang pada tanah rawa di Delta Pulau
Petak, Indonesia dan di Vietnam
pH-(H2O) pH-(H2O)
Profil Kedalaman Pirit Profil Kedalaman Pirit
lapang lapang
cm %FeS2 cm %FeS2
Indonesia Vietnam
TAB 4/I 11 5,0 RMB -1 15 -
4/II 33 5,4 0,24 -2 30 1,10
4/III 52 5,3 0,24 -3 50 2,40
4/IV 85 5,1 1,07 -4 90 4,90
4/V 125 4,9 4,71
4/VI 155 5,3 2,52
4/VII 180 5,8 2,11
LUP 1/I 5 6,1 0,25 RA -1 15 -
1/II 15 6,5 0,22 -2 30 1,20
1/III 32 6,2 0,07 -3 50 2,70
1/IV 51 6,4 0,11 -4 90 6,00
1/V 70 6,1 0,50
1/VI 95 6,3 0,20
1/VII 135 5,6 2,76
JEL 1/I 5 5,2 0,14 RM -1 15 -
1/II 15 5,4 0,15 -2 30 0,70
1/III 30 5,5 0,14 -3 50 0,90
1/V 67 5,9 0,15 -4 90 3,10
1/VI 115 5,8 1,35
SPT 2/II 5 3,5 0,16 R -1 15 -
2/III 20 3,6 0,15 -2 30 0,40
2/IV 38 3,9 1,29 -3 50 2,40
2/V 56 4,9 6,96 -4 90 3,30
SAK 2/I 7 4,5 0,05 F2X47-A 22 3,7 1,45
2/II 25 4,8 0,07 -B21 57 3,1
2/III 42 4,8 0,06 -B22 85 3,0
2/IV 62 4,9 0,07 -B23 115 3,2 0,14
2/V 90 5,0 0,07 -BC 150 2,8 0,82
2/VI 120 4,8 0,07 -C 230 2,9 0,80
2/VII 145 5,8 0,45
BEL 6/II 20 3,1 0,24 A2X5-B21 25 3,4 0,09
6/III 50 3,0 3,92 -B22 68 3,3 0,09
6/IV 80 4,0 5,76 -BC 86 3,0 0,25
6/V 100 4,3 4,33 -C 295 2,6 0,96
6/VI 120 4,4 3,30
6/VII 140 4,5 0,30
TAL 3/II 10 3,3 0,10 TL1 -B23 89 3,4 0,08
3/III 32 3,2 0,15 - 111 2,7 0,61
3/IV 54 3,4 0,12 1BC 178 2,8 1,12
3/V 69 3,3 0,15 -C1
3/VI 83 3,5 4,32
3/VII 98 3,6 3,90
3/VII 115 3,7 6,11
Sumber: Konsten dan Sarwani (1990) (data diproses); Konsten et al. (1986); Michaelsen and Phi
(1998).
TAB = Tabunganen; LUP = Lupakluar; JEL = Jelapat; SPT = Serapat; SAK = Sakalagun; BEL =
Belawang; TAL = Talaran. Dari Tabunganen ke Talaran, lokasinya makin jauh dari laut.
38
Subagyo
Perhitungan data kandungan pirit dari 22 profil tanah rawa yang terdiri atas
100 contoh dari Pulau Petak, Indonesia, dan 17 profil yang terdiri atas 59 contoh
dari Vietnam, menunjukkan variasi data rata-rata kandungan pirit dan simpangan
baku (standard deviation) seperti disajikan pada Tabel 2.2. Kandungan pirit tanah
rawa, sebagaimana diwakili dari data tanah rawa di Delta Pulau Petak, dengan
menggunakan skala kandungan pirit menurut Pons (1970) yaitu rendah (few):
<1,20%, sedang (common): 1,21-2,40%, tinggi (many): 2,41-4,50%, dan sangat
tinggi (abundant): >4,50%, menunjukkan bahwa kandungan pirit pada lapisan
tanah atas (0-50 cm) beragam dari 0,05-4,24%.
Tabel 2.2. Kandungan pirit pada tanah rawa di Indonesia dan Vietnam
Kandungan pirit
Tanah sulfat masam
Variasi Rata-rata Simpangan baku
…………………….. % ……………………..
Delta Pulau Petak, Indonesia
- Tanah bagian atas teroksidasi (0-50 cm) 0,05-4,24 0,52 (rendah) ± 0,94
- Lapisan bawah (50-100 cm) 0,07-6,96 1,89 (sedang) ± 2,60
- Tanah bawah tereduksi (100-150 cm) 0,30-6,11 2,61 (tinggi) ± 1,89
- Lapisan tanah tereduksi (150-200 cm) 2,11-6,00 3,54 (tinggi) ± 2,14
Vietnam
- Tanah bagian atas teroksidasi (0-50 cm) 0,00-3,50 0,87 (rendah) ± 1,13
- Lapisan bawah (50-100 cm) 0,09-6,00 2,45 (tinggi) ± 2,27
- Tanah bawah tereduksi (100-150 cm) 0,10-1,24 0,60 (rendah) ± 0,43
- Lapisan tanah tereduksi (150-200 cm) 0,14-1,12 0,71 (rendah) ± 0,37
Kesimpulan yang dapat ditarik dari observasi data pada Tabel 2.2 tersebut
adalah bahwa kandungan pirit pada tanah rawa bagian atas yang teroksidasi di
Indonesia, umumnya rendah. Kandungan pirit dalam tanah cenderung meningkat
ke lapisan bawah, yaitu termasuk sedang. Lebih ke bawah pada lapisan bawah
tereduksi, pada kedalaman lebih dari 1 m tergolong tinggi.
Lain halnya dengan kandungan pirit tanah rawa Vietnam, sampai
kedalaman sekitar 1 m sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan tanah rawa dari
Delta Pulau Petak. Kandungan pirit rata-rata pada tanah bagian atas, sama-sama
rendah, tetapi kandungan pirit di bagian tanah bawah tereduksi sedalam 1-2 m,
menjadi rendah kembali. Bahan sedimen yang diendapkan di tanah rawa
Vietnam mungkin berbeda dengan bahan sedimen yang membentuk tanah rawa
di Delta Pulau Petak.
39
Lahan Rawa Pasang Surut
40
Subagyo
Hasil reaksi adalah dihasilkannya besi-III koloidal, dan asam sulfat yang
terlarut menjadi ion sulfat dan melimpahnya ion H+, yang mengakibatkan pH
tanah turun drastis dari awalnya netral-agak alkalis (pH 5,5-6,5) menjadi masam
ekstrim (pH 1,3 sampai <3,5). Namun, apabila tanah memiliki cukup besar
senyawa-senyawa penetralisir, seperti ion OH-, kapur (CaCO3), basa-basa dapat
tukar, dan mineral-mineral silikat mudah melapuk, pH tanah tidak sampai turun di
bawah pH 4,0. Adanya liat marin yang mengandung cukup mineral liat smektit
yang jenuh basa-basa, juga ikut membuffer penurunan pH tanah.
Terlalu banyaknya ion H+ dalam larutan tanah akan merusak struktur
mineral liat, dan membebaskan banyak ion aluminium (Al3+) yang bersifat toksik
terhadap tanaman. Sebagian besar dari besi-III koloidal yang terbentuk, pada
akhimya mengkristal menjadi oksida besi “goethite”, yang berwarna coklat
kemerahan, berupa karatan, selaput atau nodul-nodul dalam tanah, dan dinding-
dinding saluran drainase.
Dalam kondisi oksidasi yang sangat kuat, misalnya oleh air tanah yang
turun terlalu dalam, atau akibat penggalian saluran drainase, bahan endapan
marin secara tiba-tiba diangkat ke lingkungan udara terbuka, oksidasi pirit akan
41
Lahan Rawa Pasang Surut
Jarosit stabil dalam kondisi teroksidasi (potensial redoks > 400-500 mV)
pada lingkungan masam (pH 2-4).
42
Subagyo
tanah relatif masih dangkal, dan reaksi tanah masih agak masam-netral (4,5-5,5).
Namun, dengan selesainya saluran-saluran primer dan sekunder yang berukuran
besar dan dalam, penurunan permukaan air tanah semakin besar, dan oksidasi
pirit mulai berlangsung cepat, khususnya selama musim kemarau. Didukung oleh
kondisi tata air mikro berupa pembuangan air di petakan-petakan sawah, serta di
saluran kuarter dan tersier berjalan tidak lancar, degradasi lahan sawah semakin
dipercepat, dan berakhir menjadi lahan sawah bongkor/mati yang ditumbuhi
semak-semak lebat.
Seperti telah diuraikan, dalam kondisi awal/asli, dalam suasana jenuh air
atau anaerobik, pirit bersifat stabil dan tidak berbahaya. Oleh adanya ion mono-
karbonat (HCO3), sebagai salah satu produk pembentukan pirit, pH tanah
cenderung mendekati netral sampai agak alkalis. Pada kondisi awal pembukaan
lahan, kondisi tanah sawah seperti ini masih cukup kondusif untuk pertanaman
padi sawah.
Sesudah lahan mengalami drainase, dan penurunan permukaan air tanah
yang melebihi kedalaman lapisan pirit, kemudian diikuti oksidasi pirit di musim
kemarau, kondisi tanah sawah di bagian atas sedalam 0-50 cm mengalami
perubahan drastis. Tanah marin yang semula berupa sulfat masam potensial
dapat berubah mendekati sifat-sifat tanah sulfat masam aktual, yang dicirikan
oleh reaksi tanah ekstrim masam dengan pH < 3,5. Kondisi tanah di lingkungan
perakaran 0-50 cm, pada akhir musim kemarau (sekitar Agustus-Oktober)
dicerminkan oleh sifat-sifat berikut:
pH tanah turun drastis, umumnya di bawah pH 4,0. Pada pH ini, ion aluminium
(AI3+) akan dibebaskan dalam tarutan tanah, dan dapat mencapal konsentrasi
yang bersifat toksik terhadap pertumbuhan padi atau tanaman lain.
Konsentrasi besi-III yang tinggi dan adanya ion AI yang melimpah dalam
larutan tanah, akan mengikat ion fosfat yang tersedia, sehingga mengurangi
fosfat yang tersedia, bahkan mengakibatkan kahat/defisiensi P.
Adanya ion AI yang berlebihan akan mengganti basa-basa dapat tukar pada
kompleks pertukaran kation, dan membebaskan ion Ca, Mg, dan K ke dalam
larutan tanah, yang selanjutnya dapat “tercuci” keluar karena dibawa hanyut
oleh air yang mengalir. Tidak hanya pasokan K menjadi terbatas, tetapi juga
mengakibatkan kahat unsur Ca dan Mg.
43
Lahan Rawa Pasang Surut
Dalam kondisi tergenang, oksigen yang berada dalam tanah dalam waktu relatif
singkat segera digunakan oleh bakteria aerobik, sehingga konsentrasinya
mendekati nol, oleh karena diffusi oksigen udara pada tanah jenuh air sangat
lambat. Dalam lingkungan reduksi, tanpa oksigen, bakteri anaerobik akan
memanfaatkan semua senyawa-senyawa teroksidasi sebagai sumber
oksigennya.
Tahap pertama yang mengalami reduksi adalah nitrat (NO3-), sehingga semua
nitrat akan direduksi menjadi ion amonium (NH4+). Setelah semua nitrat lenyap,
44
Subagyo
sebarang oksida-mangan (MnO2) yang ada akan direduksi menjadi ion Mn2+.
Dalam 1-3 minggu penggenangan, hampir seluruh Mn dapat tukar, direduksi
menjadi Mn2+ (Konsten et al., 1990). Sesudah semua MnO2 habis, reduksi
sebarang Fe-III (ferri-oksida) mulai terjadi, yang menghasilkan Fe-II (ferro) yang
melimpah, dan peningkatan pH oleh karena dihasilkannya senyawa
hidrokarbonat dalam larutan tanah.
Proses reduksi sulfat terjadi pada potensial redoks antara -0,12V dan -0,19V,
serta hanya terjadi di atas pH 5,0, tetapi juga pada reaksi lebih masam, pH 2,8-
3,4 (Konsten et al., 1990). Sulfida yang terbentuk segera bereaksi dengan Fe-II
yang tersedia dalam larutan tanah, dan membentuk senyawa ferro-sulfida.
Adanya reduksi sulfat pada lapisan tanah ditandai oleh karatan FeS yang
berwarna hitam, dan terkadang oleh bau (busuk) H2S. Senyawa H2S yang
dihasilkan dari reduksi sulfat bersifat sangat toksik terhadap pertumbuhan
tanaman.
Secara ringkas, akibat penggenangan selama musim hujan, terjadi peningkatan
pH tanah, dan penurunan konsentrasi AI. Namun, kemungkinan dapat terjadi
keracunan ion Fe-ll, dan Mn karena konsentrasinya yang sangat tinggi dalam
larutan tanah. Kemungkinan juga terjadi keracunan H2S, dan pencucian unsur
basa Ca dan Mg yang berakibat menurunkan kesuburan alami tanah rawa.
Demikian seriusnya permasalahan budidaya tanaman yang timbul akibat
oksidasi pirit, apabila senyawa-senyawa yang bersifat racun, yakni ion H+, Al3+,
45
Lahan Rawa Pasang Surut
SO42-, dan Fe-III, serta Fe2+, Mn2+, dan H2S tersebut tidak dapat terbuang dari
lingkungan perakaran, maka pertumbuhan tanaman yang normal sulit sekali
diharapkan. Lambat atau cepat, tanah akan mengalami degradasi dan
menunjukkan gejala bongkor, atau mati suri. Teknik pengelolaan tanah yang
sesuai, dan pengelolaan air yang tepat, yang mampu membuang atau melakukan
pencucian unsur-unsur beracun secara efektif, baik dengan air pasang
berkualitas baik, dan atau dengan air hujan, merupakan salah satu kunci utama
keberhasilan pertanian di lahan rawa. Selain itu, penggunaan bahan amelioran
seperti kapur pertanian (kaptan), dolomit, batuan fosfat (rock phosphate), abu
sisa pembakaran tumbuhan, abu dapur, dan abu volkan merupakan tindakan
yang sangat diperlukan untuk memperbaiki lingkungan perakaran,
mempertahankan kesuburan tanah, dan meningkatkan produktivitas tanah rawa.
Tanah rawa merupakan tanah yang terdapat pada “lahan basah”, atau
“wetland”, dan terdiri atas tanah-tanah basah, atau “wetsoils”. Secara umum
tanah rawa terdiri atas dua kelompok tanah, yaitu tanah mineral dan tanah
gambut. Dalam kondisi asli alami, tanah rawa merupakan tanah yang selalu jenuh
air atau tergenang, sepanjang tahun atau dalam waktu yang lama, beberapa
bulan, dalam setahun.
Sistem klasifikasi Taksonomi Tanah, atau “Soil Taxonomy” (Soil Survey
Staff, 1975; 1999; 2003) adalah sistem klasifikasi tanah “morfometrik”, yaitu
berdasarkan sifat-sifat morfologi tanah yang dapat diobservasi dan diukur.
Klasifikasi suatu tanah ditetapkan berdasarkan adanya horison penciri/diagnostik
dan karakteristik-karakteristik tanah penciri, yang didefinisikan secara kuantitatif.
Untuk itu dibedakan (i) horison permukaan penciri, atau disebut epipedon, (ii)
horison bawah (subsurface) penciri, dan (iii) karakteristik penciri/diagnostik
lainnya.
Seperti pada sistem klasifikasi Taksonomi Tumbuh-tumbuhan, yang
mengenal tingkatan atau kategori klasifikasi dari yang paling atas
(pengelompokkan secara garis besar) sampai yang paling detail: Phyllum-
Subphyllum-Class-Order-Family-Genus-Species, dan Subspecies. Dalam sistem
Taksonomi Tanah juga dikenal “taxa”, atau kategori klasifikasi, yang bila
diurutkan dari yang paling atas, adalah Ordo (order), Subordo (suborder), Jenis
46
Subagyo
Dalam Taksonomi Tanah, kondisi jenuh air atau tergenang pada tanah
rawa yang merupakan salah satu karakterisitk penciri utama, diberi istilah kondisi
“aquik” (aquic condition), yakni mengalami penjenuhan air, atau saturasi, dan
(proses) reduksi secara terus-menerus atau periodik. Jenis penjenuhan yang
dominan adalah penjenuhan air yang berasal dari bawah, yaitu datang dari air
tanah, sehingga semua lapisan tanah dari permukaan tanah sampai sedalam 200
cm atau lebih, jenuh air. Jenis penjenuhan seperti ini disebut “endosaturasi”
(endosaturation). Pada lahan basah, proses pembentukan tanah yang dominan
adalah gleisasi dan pembentukan gambut di permukaan tanah. Gleisasi adalah
terbentuknya lapisan tanah berwarna “glei” yaitu kelabu (N 7-4/0), kelabu (5Y 7-
4/1), kelabu gelap kehijauan (5B 7-4/1), atau kelabu kebiruan (5B 7-4/1) akibat
proses reduksi terus-menerus atau periodik yang berlangsung lama.
Pembentukan lapisan gambut di permukaan tanah setelah mencapai
ketebalan tertentu, dapat dimasukkan sebagai “epipedon histik”. Pada tanah
yang masih asli alami, ketebalan gambutnya disyaratkan antara 20-40 cm.
Apabila bahan gambut tiga-perempat bagian dari volumenya tersusun dari lumut
spaghnum, atau apabila bobot-isinya <0,1 g/cm3, disyaratkan mempunyai
ketebalan gambut 20-60 cm. Tetapi, apabila berupa lapisan tanah olah, Ap, maka
syarat ketebalannya adalah 25 cm. Sementara itu, tanah yang mempunyai
ketebalan gambut di permukaan kurang dari 25 cm, diperlakukan sebagai tanah
mineral (murni).
Secara genetis, tanah rawa pada awalnya berasal dari endapan marin
berupa lumpur cair berwarna kelabu gelap, seperti yang terdapat pada dataran
lumpur (mudflats). Sesuai dengan perkembangannya setelah lebih lama terbuka
di udara dan mengalami oksidasi, tanah rawa akan berubah menjadi lebih padat,
karena kandungan airnya berkurang, bersifat lembek, dengan konsistensi
lekat/sangat lekat, serta plastis. Perkembangan selanjutnya akan berubah
menjadi tanah relatif kering yang padat, konsistensinya agak teguh waktu
lembab, dan menjadi agak keras/keras sewaktu kering. Perubahan tanah rawa
dari kondisi lumpur cair, yang masih “mentah”, beralih ke kondisi lembek yang
47
Lahan Rawa Pasang Surut
lekat dan plastis, dan akhirnya berubah menjadi tanah relatif kering yang padat
dan teguh, yaitu kondisi “matang”, disebut proses “pematangan tanah” (ripening
process).
Derajat atau tingkat pematangan tanah ditunjukkan oleh nilai-n, yang
sebenarnya menyatakan jumlah air (dalam gram) yang diabsorb oleh satu gram
liat dalam tanah, dan dihitung dari rumus: n = (A-0,2 R)/(L + 3H), dimana:
A=kadar air dalam tanah pada kapasitas lapang; R=% kandungan fraksi debu
dan pasir; L=% kandungan liat; dan H=% kandungan bahan organik (% karbon
organik dikalikan 1,724). Semua faktor dihitung berdasarkan berat-kering tanah.
Tingkat pematangan tanah dapat ditetapkan di lapangan, dengan uji
remas, yaitu dengan cara meremas tanah rawa dalam telapak tangan. Hubungan
tingkat pematangan tanah dengan nilai-n, dan perkiraan kandungan airnya
menurut Pons dan Zonneveld (1965) disajikan pada Tabel 2.3.
Seperti telah diuraikan sebelumnya, semua tanah rawa yang berasal dari
endapan marin mengandung senyawa besi-oksida yang disebut pirit (FeS2).
Secara spesifik, dalam Taksonomi Tanah, senyawa besi-sulfida ini tidak disebut
pirit, tetapi sebagai “bahan sulfidik” (sulfidic materials), karena dipikirkan tidak
seluruhnya hanya tersusun dari senyawa FeS2, tetapi juga senyawa besi-sulfida
lainnya, termasuk H2S.
Sementara lapisan yang mengandung bahan sulfidik yang telah
teroksidasi, menghasilkan asam sulfat, unsur besi, dan berbagai ion ikutan
lainnya yang bersifat racun terhadap tanaman, dianggap telah mengalami proses
pembentukan tanah, dan disebut “horison sulfurik”. Keduanya, yakni bahan
sulfidik dan horison sulfurik, merupakan sifat dan horison penciri utama pada
tanah rawa pasang surut. Definisi keduanya adalah sebagai berikut.
48
Subagyo
Salah satu karakteristik penciri lain, yang mungkin ditemukan pada tanah
rawa pada zona I: lahan rawa pasang surut air asin/payau, adalah tanah-tanah
yang karena pengaruh pasang air laut mempunyai kadar garam larut (air),
natrium (NaCl) atau garam-garam lain yang tinggi. Pada musim kemarau, sering
terlihat lapisan garam yang tipis menutupi permukaan tanah. Tanah umumnya
mempunyai reaksi alkalis (pH 7,5-8,5). Dalam istilah Taksonomi Tanah,
digolongkan pada tanah-tanah salin atau sodik, atau mungkin mempunyai
horison salik, yang keduanya mempunyai kandungan unsur sodium (natrium)
tinggi. Definisi keduanya adalah sebagai berikut.
Tanah-tanah salin, atau sodik, (sodium, atau natrium: Na) adalah tanah
yang jenuh air sampai sedalam 100 cm, dan
pada separuh atau lebih dari tanah bagian atas mempunyai “kejenuhan
sodium” sebesar 15% atau lebih, atau nilai “rasio adsorpsi sodium” (SAR:
sodium adsorption ratio) 13 atau lebih;
49
Lahan Rawa Pasang Surut
kejenuhan sodium dan nilai SAR ini semakin berkurang pada kedalaman di
bawah 50 cm.
Horison salik (sal atau salt = garam) adalah horison akumulasi garam,
terutama “halite”, yaitu bentuk kristal dari garam dapur (NaCl), dan merupakan:
horison setebal 15 cm atau lebih, yang selama 3 bulan atau lebih secara
berturut-turut dalam setahun,
dalam bentuk pasta jenuh air, mempunyai daya hantar listrik (DHL) (electrical
conductivity) 30 dS/m atau lebih; dan
hasil perkalian antara DHL, dalam satuan dS/m, dan ketebalan horison, dalam
satuan cm, mencapai nilai 900 atau lebih.
Pada tanah-tanah rawa dalam zona I, sering juga dijumpai tanah-tanah
yang tingkat pematangannya tergolong “mentah” sampai “setengah matang”,
karena merupakan tanah yang semula berasal dari dataran lumpur, yang karena
secara periodik terbuka di udara mengalami proses pematangan awal. Tanah-
tanah yang masih “muda” tingkat perkembangannya ini mempunyai sifat “hidrik”,
yaitu dicirikan oleh kandungan air yang relatif tinggi. Definisi secara kuantitatif
adalah:
Sifat hidrik (hydro, atau adanya air) adalah pada semua lapisan di antara
kedalaman 20 dan 50 cm dari permukaan tanah, mempunyai nilai-n lebih dari 0,7
dan kandungan (fraksi) liat 8% atau lebih.
Pada tanah-tanah rawa dalam zona II, terdapat tanah-tanah yang
menempati (sublandform) tanggul sungai alam (natural levee) yang terbentuk
karena pengendapan muatan sedimen yang dibawa sungai sewaktu terjadi banjir
musiman, dan sering disebut endapan fluviatil (fiuvius = sungai). Dalam
Taksonomi Tanah, terbentuk oleh sedimentasi bahan yang berulang kali, dicirikan
secara kuantitatif mempunyai kandungan C-organik yang naik-turun, atau
berkurang secara tidak teratur di antara kedalaman 25-125 cm, dan mencapai
kandungan C-organik 0,2% atau lebih pada kedalaman 125 cm dari permukaan
tanah.
50
Subagyo
51
Lahan Rawa Pasang Surut
atau mempunyai horison salik atau berupa tanah salin, disebut Halaquepts; (iii)
yang mempunyai lapisan bahan organik cukup tebal di permukaan, yaitu
epipedon histik, disebut Humaquepts; dan (iv) yang secara dominan mengalami
penjenuhan endosaturasi, disebut Endoaquepts.
Pada tingkat subgrup, masing-masing great grup ditambahkan nama
awalan, yang merupakan sifat murni subgrup itu sendiri, disebut “Typic”, atau sifat
tambahan ke great grup yang sama, atau great grup/subordo tanah yang lain.
Pada Aquents, sifat-sifat tambahan tersebut umumnya berasal dari great grup
yang sama, yaitu selain “Histic”, “Sulfic”,dan “Sodic”, juga terdapat “Haplic”,
“Thapto-Histic”, dan ”Aeric”. Pada Aquepts, sifat-sifat tambahan dapat berasal
dari great grup yang sama, seperti “Histic” dan “Sulfic”, “Aeric”, dan “Vertic”, atau
sifat tambahan dari great grup/subordo tanah yang lain, seperti “Salidic”,
“Hydraquentic”, dan ”Fiuvaquentic”. Arti dari masing-masing sifat tambahan ini
adalah:
Haplic : sifat minimum (haplos = sederhana) pada tanah marin yang bukan
Hydraquent, yaitu ditunjukkan oleh nilai-n 0,7 atau kurang, atau
kandungan liat <8%.
Thapto-Histic: adanya lapisan bahan tanah organik tertimbun, tebalnya 20 cm
atau lebih, pada kedalaman 0-100 cm dari permukaan tanah.
Aeric : akibat (proses) oksidasi pada kedalaman antara 25-75 cm, terdapat
satu horison atau lebih berwarna kekuningan (2,5Y; 5Y) atau
kemerahan (10YR; 7,5YR), dengan kroma rendah dan value tinggi.
Vertic : adanya rekahan-rekahan (cracks) di dalam kedalaman 0-125 cm,
dan horison setebal 15 cm atau lebih yang menunjukkan adanya
bidang-bidang kilir (slickensides) atau memiliki agregat-agregat
berbentuk baji (wedge shape).
Salidic : mempunyai horison salik pada kedalaman 0-75 cm dari permukaan.
Horison salik adalah ciri utama (subordo) Salids, dari tanah-tanah
ordo Aridisols.
Hydraquentic: mempunyai nilai-n > 0,7 dan kandungan liat > 8%, pada satu
atau lebih lapisan, di antara kedalaman 20-50 cm dari permukaan.
Kedua ciri tersebut merupakan ciri utama great grup Hydraquents.
Fluvaquentic: mempunyai kandungan C-organik menurun secara tidak teratur
di dalam kedalaman 25-125 cm; atau kandungan C-organik pada
kedalaman 125 cm sebesar 0,2% atau lebih. Kedua sifat tersebut
merupakan ciri diagnostik pada great grup Fluvaquents.
52
Subagyo
Dalam kaitan ini, tanah sulfat masam potensial, karena mempunyai pirit
atau bahan sulfidik belum teroksidasi, dalam Taksonomi Tanah diklasifikasi
sebagai Entisols, termasuk great grup Sulfaquents. Sedangkan tanah sulfat
masam aktual, yang proses oksidasi bahan sulfidiknya belum selesai dan
ditunjukkan oleh pH tanah antara 3,5-4,0, diklasifikasikan sebagai Entisols, yaitu
masuk subgrup Sulfic Hydraquents, Sulfic Fluvaquents, atau Sulfic Endoaquents.
Sementara tanah sulfat masam aktual yang oksidasi bahan sulfidiknya sudah
selesai, yang ditunjukkan dengan pH tanah < 3,5, diklasifikasikan sebagai
lnceptisols dan termasuk Sulfaquepts.
Tanah-tanah basah yang relatif masih mentah pada wilayah rawa zona I,
diklasifikasikan sebagai Hydraquents, dapat termasuk sebagai Sulfic, Sodic, atau
Thapto-Histic Hydraquents. Tanah-tanah pada beting, atau bukit-bukit pasir
pantai, apabila basah dengan kondisi aquik, diklasifikasikan sebagai
Psammaquents. Apabila kering tidak mempunyai ciri-ciri kondisi aquik,
dimasukkan sebagai Psamments, yakni Entisols yang bertekstur pasir kasar.
Apabila pasirnya didominasi oleh pasir kuarsa (quartz), termasuk dalam (great
grup) Quartzipsamments, dan jika bukan kuarsa diklasifikasikan sebagai (great
grup) Udipsamments, yaitu Psamments yang berada di lingkungan iklim
lembab/humid (udus = lembab/humid).
53
Lahan Rawa Pasang Surut
54
Subagyo
Pada taksa, atau kategori lebih ke bawah yaitu tingkat subordo, Histosols
pada wilayah rawa berdasarkan tingkat dekomposisi bahan gambutnya dibagi
menjadi tiga subordo, yaitu Fibrists, Hemists, dan Saprists. Tanah gambut di
wilayah rawa pasang surut, mempunyai tanah dasar mineral berupa endapan
marin yang mengandung bahan sulfidik, sehingga keberadaan bahan sulfidik
atau horison sulfurik berikut kedalamannya dari permukaan tanah, termasuk
dalam definisi tanah gambut, dan ikut menentukan namanya.
Pada Hemists dan Saprists, yang mempunyai bahan sulfidik di dalam
kedalaman 0-100 cm dari permukaan tanah, disebut great grup Sulfihemists dan
Sulfisaprists. Apabila mempunyai horison sulfurik di dalam kedalaman 0-50 cm,
disebut (great grup) Sulfohemists dan Sulfosaprists. Di dalam definisi Histosols,
tidak disebutkan keberadaan horison sulfurik di dalam kedalaman 50-100 cm dari
permukaan tanah, oleh karena di alam memang tidak ditemukan horison sulfurik
pada kedalaman tersebut. Apabila bahan sulfidik terletak lebih dalam, yaitu pada
kedalaman lebih dari 100 cm (1 m), disebut Haplohemists dan Haplosaprists.
Akan halnya Fibrists, di daerah tropika, tampaknya belum ditemukan Fibrists
yang mempunyai bahan sulfidik di dalam kedalaman 0-100 cm, ataupun horison
sulfurik di dalam kedalaman 0-50 cm dari permukaan. Yang ditemukan umumnya
mempunyai bahan sulfidik yang terletak dalam, yaitu lebih dari 100 cm, dan oleh
karena itu disebut (great grup) Haplofibrists.
Untuk menetapkan sifat-sifat Histosols, dimana suatu sifat atau ciri tanah
harus ditetapkan, misalnya apakah bahan gambutnya dari tipe fibrik, hemik, atau
saprik, ataukah ada sisipan tanah mineral, atau lapisan air di dalam tanah
gambut, digunakan “penampang kontrol” (control section) yaitu kedalaman tanah
gambut, dihitung dari permukaan tanah gambut, dimana sesuatu sifat harus
ditetapkan. Untuk tanah gambut, kedalaman penampang kontrol adalah 130 atau
160 cm, dan terdiri atas tiga lapisan gambut, atau “tier”, yaitu tier permukaan, tier
bawah (permukaan), dan tier dasar. Tier permukaan umumnya 0-30 cm, tetapi
bila bahan gambutnya dari lumut spaghnum, atau bobot isinya <0,1 g/cm3,
ketebalan tier permukaan adalah 0-60 cm. Tier bawah biasanya 60 cm, dan tier
dasar umumnya 40 cm, kecuali jika penampang kontrol berakhir pada lapisan
yang keras/padat, yang disebut lapisan atau kontak densik, lithik, atau paralithik.
Pada tingkat subgrup Histosols, sebagaimana pada tanah mineral, masing-
masing great grup ditambahkan nama awalan, yang akhirnya membentuk nama
dari subgrup masing-masing. Subgrup yang mempunyai sifat murni, yaitu tidak
55
Lahan Rawa Pasang Surut
mempunyai sifat atau ciri-ciri great grup yang sama atau great grup/subordo yang
lain, disebut”Typic”. Yang mempunyai sifat tambahan dari great grup yang sama,
atau great grup/subordo tanah yang lain, dikatakan mempunyai sifat peralihan,
dan terbawa dalam nama subgrupnya. Sifat-sifat peralihan tersebut adalah
“Hydric”, “Terric”, “Hemic”, “Sapric”, “Fibric”, “Halic”, dan “Fluvaquentic”, serta
didefinisikan sebagai berikut:
Hydric : terdapat lapisan air di dalam penampang kontrol, di bawah tier
permukaan, atau umumnya di dalam kedalaman antara 30-130 cm dari
permukaan tanah.
Terric : mempunyai satu lapisan mineral setebal 30 cm atau lebih, di dalam
penampang kontrol, di bawah tier permukaan, atau umumnya di dalam
kedalaman antara 30-130 cm dari permukaan tanah.
Hemic : mempunyai satu atau lebih lapisan gambut dari bahan hemik atau
saprik, dengan ketebalan total 25 cm atau lebih di dalam penampang
kontrol, di bawah tier permukaan, atau umumnya di dalam kedalaman
antara 30-130 cm dari permukaan tanah.
Sapric : mempunyai satu atau lebih lapisan gambut saprik, dengan ketebalan
total 25 cm atau lebih di dalam penampang kontrol, di bawah tier
permukaan, atau umumnya di dalam kedalaman antara 30-130 cm dari
permukaan tanah.
Fibric : mempunyai satu atau lebih lapisan gambut fibrik, dengan ketebalan total
25 cm atau lebih di dalam penampang kontrol, di bawah tier
permukaan, atau umumnya di dalam kedalaman antara 30-130 cm dari
permukaan tanah.
Halic : mempunyai satu lapisan setebal 30 cm atau lebih di dalam penampang
kontrol, yang seluruh lapisan tersebut, selama 6 bulan atau lebih,
memiliki daya hantar listrik (electrical conductivity) sebesar 30 dS/m
atau lebih.
Fluvaquentic: mempunyai satu lapisan mineral setebal 5 cm atau lebih, atau dua
atau lebih lapisan mineral dengan sebarang ketebalan, di dalam
penampang kontrol, di bawah tier permukaan, atau umumnya di dalam
kedalaman antara 30-130 cm dari permukaan tanah.
Tidak setiap great grup mempunyai semua sifat peralihan tersebut,
misalnya Sulfosaprists hanya mempunyai “Typic” saja; sedangkan Sulfihemists
56
Subagyo
57
Lahan Rawa Pasang Surut
58
Subagyo
Tabel 2.4. Tipologi lahan di wilayah rawa pasang surut dan rawa lebak, versi
tahun 1987
Tipologi lahan Simbol Kriteria
Lahan potensial P Kadar pirit <2% belum mengalami proses
oksidasi, terletak pada kedalaman >50 cm
dari permukaan tanah, termauk tanah sulfat
masam potensial. Kendala produksi dan
kemungkinan munculnya kendala tersebut
diperkirakan kecil.
Lahan sulfat Sulfat masam SM Lapisan pirit dengan kadar >2% tidak/belum
masam potensial mengalami proses oksidasi, dan terletak lebih
dangkal, <50 cm dari pemukaan tanah.
Sulfat masam aktual SM Memiliki horison sulfurik, dengan jarosit/
brown layer, pH (H2O)<3,5.
Lahan gambut Gambut-dangkal G-1 Terbentuk dari bahan gambut, yang (1) jenuh
Gambut-sedang G-2 air dalam waktu lama, dan tersusun dari
Gambut-dalam G-3 bahan tanah organik, atau (2) tidak pernah
Gambut-sangat dalam G-4 jenuh air selama lebih dari beberapa hari,
Lahan bergambut G-0 dan kadar C-organik 20%. Ketebalan gambut
pada G-1: 50-100 cm; G-2: 100-200 cm; G-3:
200-300 cm; G-4: >300 cm; dan G-0: <50
cm.
Lahan salin, atau Lahan rawa di zona I: rawa pasang surut air
pantai salin/payau, dan dapat berupa lahan
potensial, sulfat masam, atau gambut.
Mendapat intrusi air laut lebih dari 4 bulan
dalam setahun; kandungan Na dalam larutan
tanah antara 8-15%.
Lahan lebak Lebak pematang Lahan rawa di zona III: rawa non-pasang
Lebak tengahan surut, atau rawa lebak. Tanahnya berupa
Lebak dalam Aluvial, Aluvial bergambut, atau gambut.
Lama dan dalamnya genangan pada lebak
pematang: <3 bulan, <50 cm; lebak
tengahan: 3-6 bulan, 50-100 cm; lebak
dalam: >6 bulan, >100 cm.
Sumber: Proyek PLPSR-Swamps II (1993a)
Widjaja-Adhi et al. (1992)
Klasifikasi tipologi lahan seperti yang tercantum pada Tabel 2.4 tersebut,
digunakan antara tahun 1986-1999. Perubahan kecil yang dibuat tahun 1998-
1999 (Proyek PSLPSS, 1998; 1999), hanyalah membagi lahan potensial (bahan
sulfidik >50 cm), menjadi lahan potensial-1 (bahan sulfidik >100 cm) dan lahan
potensial-2 (bahan sulfidik 50-100 cm), serta penamaan lahan bergambut
59
Lahan Rawa Pasang Surut
60
Subagyo
pada nilai pH <3,5 (horison sulfurik), atau pH >3,5 (bahan sulfidik sedang
teroksidasi) dan letak kedalamannya (<100 cm, atau >100 cm) dari permukaan
tanah. Perkembangan penamaan tipologi lahan dari versi awal (1985-1990), dan
versi terakhir yang diusulkan tahun 1995, disajikan pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5. Tipologi lahan rawa pasang surut, versi tahun 1995
Klasifikasi tipologi
Klasifikasi tipologi lahan Kedalaman pirit/bahan
lahan, 1992- Simbol
menurut Widjaja-Adhi, 1995 sulfidik
1993
Lahan potensial Aluvial bersulfida sangat dalam SMP-3 >100 cm
Aluvial bersulfida dalam SMP-2 50-100 cm
Lahan salin Salinitas dapat terjadi pada berbagai S <50 cm; >50 cm
tipologi pada tanah mineral
61
Lahan Rawa Pasang Surut
62
Subagyo
63
Lahan Rawa Pasang Surut
lahan potensial-1. Atas dasar alasan-alasan ini, diperkirakan bahwa lahan sulfat
masam aktual-3, SMA-3, yang memiliki pH-H2O <3,5 pada kedalaman > 100 cm,
yang secara teoritis mungkin saja terjadi, seperti halnya dengan lahan potensial
bergambut (Pot-G), tetapi tidak pernah dijumpai/ ditemukan di lapangan.
Mengenai tipologi lahan pada tanah gambut, yang membagi tanah gambut
berdasarkan ketebalan bahan gambut, secara umum tidak ada masalah.
Walaupun disebutkan bahwa faktor kematangan, atau tingkat dekomposisi bahan
gambut, yakni fibrik, hemik, dan saprik; kandungan hara gambut, apakah
oligotrofik, mesotrofik, atau eutrofik; serta bahan tanah bawah, atau substratum,
apakah endapan sungai, endapan marin, atau pasir kuarsa, cukup berpengaruh
pada pemanfaatan dan pengelolaan lahan rawa, tidak digunakan dalam kriteria
tipe-tipe lahan gambut.
Oleh karena sebagian besar tanah rawa, kecuali sedikit tanah-tanah
tanggul sungai alam, merupakan endapan marin, maka tanah gambut yang
terbentuk di cekungan/depresi juga memiliki tanah dasar berupa endapan marin
yang mengandung bahan sulfidik. Kontribusi konsep horison dan sifat-sifat penciri
yang didefinisikan secara kuantitatif untuk tanah rawa dari Taksonomi Tanah,
baik tanah mineral maupun tanah gambut, seperti bahan sulfidik, horison sulfurik,
tanah salin atau sifat sodik, dapat diaplikasikan pada kedua kelompok tanah
tersebut, untuk mempertajam pembagian tipologi lahan.
Atas dasar uraian di atas, usulan perbaikan klasifikasi tipologi lahan
Widjaja-Adhi versi 1995, pada dasarnya adalah:
1. Tipe-tipe lahan diurutkan mulai dari yang potensinya relatif terbaik, dan
dipisahkan antara tanah mineral dan tanah gambut. Lahan potensial-1 atau
aluvial bersulfida sangat dalam yang diberi simbol SMP-1 ditempatkan lebih
dahulu daripada lahan potensiai-2, ataualuvial bersulfat dalam, yang diberi
simbol SMP-2.
2. Dalam kelompok lahan sulfat masam potensial, SMP yang bergambut,
diurutkan lebih dahulu, dan dapat diberi simbol HSM (histik sulfat masam),
SMP-G (bergambut), atau G-O (tanah bergambut). Untuk menghormati versi
aslinya, digunakan simbol HSM. Definisi bergambut digunakan batasan
Taksonomi Tanah, yaitu mempunyai epipedon histik dengan ketebalan
gambut 20-50 cm. Karena potensi pertaniannya relatif lebih rendah, SMP
64
Subagyo
yang biasa atau lapisan gambutnya tipis, 0-20 cm, disebut aluvial bersulfida
dangkal dan diberi simbol SMP-3.
3. Sesuai potensinya, untuk kelompok lahan sulfat masam aktual, urutannya
sudah benar, yaitu terlebih dulualuvial bersulfat-1, yang diberi simbol SMA-1,
dan diikuti aluvial bersulfat-2, yang diberi simbol SMA-2. Berdasarkan alasan
yang telah diuraikan, untuk sementara sampai benar-benar dapat ditemukan
di lapangan, aluvial bersulfat-3, atau SMA-3, tidak dimunculkan dalam tabel
tipologi lahan.
4. Lahan salin, mengikuti pembagian Nugroho et al. (1991) dibagi menjadi dua,
yaitu lahan agak salin, S-1, yang dipengaruhi air salin/payau; dan lahan salin,
S-2, yang dipengaruhi air salin/air laut. Pembagiannya untuk sementara
menggunakan batasan tanah Halaquepts, dan lahan salin versi awal (1992-
1993), yaitu % kejenuhan natrium 8-15% untuk S-1, dan >15% untuk S-2.
5. Pembagian tipologi lahan untuk tanah gambut relatif tetap sama, hanya
diperbaiki dengan memasukkan kriteria adanya horison sulfurik dan bahan
sulfidik, dan letak kedalamannya dalam bahan gambut. Sehingga apabila
nantinya ditemukan horison sulfurik pada kedalaman 0-50 cm, ataupun
bahan sulfidik/pirit pada kedalaman 0-100 cm, kendala yang mungkin timbul
jika dibuka untuk tujuan pertanian dapat diketahui sejak awal dari nama tipe
lahan gambut yang bersangkutan.
6. Semua nama tipe-tipe lahan diperlakukan sebagai nama-diri (proper names),
seperti nama provinsi: Jawa Barat, nama kota: Makassar, nama orang:
Soekarno, sehingga huruf awalnya menggunakan huruf kapital, Contohnya:
Lahan Potensial, Aluvial Bersulfat Dangkal, dan Sulfat Masam Aktual. Untuk
tanah gambut, digunakan nama diri hanya untuk huruf pertama dan
disambung dengan garis datar pendek untuk menyatakan tingkat kedalaman
gambut, contoh Gambut-dangkal, Gambut-sedang, Gambut-dalam, dan
seterusnya.
Pembagian tipologi lahan berdasarkan usulan perbaikan yang diuraikan di
atas, berikut klasifikasinya dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999)
disajikan pada Tabel 2.6.
65
Lahan Rawa Pasang Surut
Tabel 2.6. Pembagian tipologi lahan dan klasifikasinya dalam Taksonomi Tanah
1999
Klasifikasi tipologi Klasifikasi tipologi Klasifikasi tipologi Kedalaman pirit/ Taksonomi tanah
lahan, 1987-1995* lahan, 1998-1999** lahan (2004) bahan sulfidik# (1999;2003)@
Lahan potensial Lahan potensial-1 Aluvial bersulfida 101-150 cm ENTISOLS
(Pot-1) sangat dalam (bahan sulfidik) Typic/Aeric/Sodic
(SMP-1) pH >4,0 Hydraquents;
Fluvaquents;
Endoaquents
Lahan potensial-2 Aluvial bersulfida 51-100 cm ENTISOLS
(Pot-2) dalam (SMP-2) (bahan sulfidik)
Sulfic Hydraquents/
pH >4,0
Fluvaquents/Endoa
quents
Lahan sulfat Sulfat masam Aluvial bersulfida 0-50 cm ENTISOLS
masam potensial (SMP) dangkal (SMP-3) (bahan sulfidik)
Typic/Haplic/Thapto
pH >4,0
-Histic Sulfaquents
Sulfat masam Aluvial Bersulfida 0-50 cm ENTISOLS
potensial bergambut dangkal bergambut (bahan sulfidik)
Histic Sulfaquents
(SMP-G) (gambut 20- (histik sulfat
50 cm) masam: HSM)
Sulfat masam aktual-1 Aluvial bersulfat-1 0-100 cm ENTISOLS: Sulfic
(SMA-1) (SMA-1) (pH 3,5-4,0) Hydraquents/
(bahan sulfidik Fluvaquents/
teroksidasi) INCEPTISOLS:
Sulfic Endoaquepts
Sulfat masam aktual-2 Aluvial bersulfat-2 50-150 cm INCEPTISOLS:
(SMA-2) (SMA-2) (Lapisan tanah 0- Typic Sulfaquepts,
50 cm, pH <3,5) Hydraquentic
Sulfaquepts, Salidic
Sulfaquepts
Lahan salin Lahan salin (LS) Lahan agak salin 0-150 cm ENTISOLS: Typic
(S-1) (pH >6,0;ESP 8- Hydraquents/Endoa
15%) quents
Lahan salin (S-2) 0-150 cm ENTISOLS: Typic
(pH >6,0;ESP Hydraquents/Endoa
>15%) quents
Lahan gambut Gambut-dangkal Gambut-dangkal Tebal gambut HISTOSOLS
(50-100 cm gambut) (G-1) 50-100 cm (0-
Haplofibrists/Haploh
(GDK) 100 cm, tanpa
emists/
bahan sulfidik)
Haplosaprists
Gambut-dangkal Tebal gambut HISTOSOLS:
bersulfida (G-1sf) 50-100 cm (0- Typic/Terric
100 cm, bahan Sulfihemists/Sulfisa
sulfidik) prists
66
Subagyo
Klasifikasi tipologi Klasifikasi tipologi Klasifikasi tipologi Kedalaman pirit/ Taksonomi tanah
lahan, 1987-1995* lahan, 1998-1999** lahan (2004) bahan sulfidik# (1999;2003)@
Gambut-dangkal Tebal gambut HISTOSOLS: Typic
bersulfat (G-1sr) 50-100 cm (0-50 Sulfohemists/Typic
cm, horison Sulfosaprists
sulfurik)
Gambut-sedang Gambut-sedang (G- Tebal gambut HISTOSOLS
(101-200 cm gambut) 2) 101-200 cm (0-
Haplofibrists/Haploh
(GSD) 200 cm, tanpa
emists/
bahan sulfidik)
Haplosaprists
Gambut-sedang Tebal gambut HISTOSOLS:
bersulfida (G-2sf) 101-200 cm (0- Typic/Terric
100 cm, bahan Sulfihemists/Sulfisa
sulfidik) prists
Gambut-sedang Tebal gambut HISTOSOLS: Typic
bersulfat (G-2sr) 101-200 cm (0- Sulfohemists/Sulfos
50 cm, horison aprists
sulfurik)
Gambut-dalam Gambut-dalam (G- Tebal gambut HISTOSOLS
(201-300 cm gambut) 3) 201-300 cm (0-
Haplofibrists/Haploh
(GDL) 300 cm, tanpa
emists/
bahan sulfidik)
Haplosaprists
Gambut-dalam Tebal gambut HISTOSOLS:
bersulfida (G-3sf) 201-300 cm (0- Typic/Terric
100 cm, bahan Sulfihemists/Sulfisa
sulfidik) prists
Gambut-sangat dalam Gambut-sangat Tebal gambut HISTOSOLS
( >300 cm gambut) dalam (G-4) >300 cm (>300
Haplofibrists/Haploh
(GSDL) cm, tanpa bahan
emists/
sulfidik)
Haplosaprists
*) Widjaja-Adhi et al. (1992) dan PPPLPSR-Swamps Il (1993a; 1993b); ** Proyek PSLPSS (1998;
1999); @ Soil Survey Staff (1999; 2003); # Kedalaman pirit/bahan sulfidik dihitung dari permukaan
tanah mineral; Ketebalan gambut dihitung dari permukaan tanah gambut.
67
68
Untuk dapat menguraikan sifat-sifat kimia dan kesuburan tanah dari tanah-
tanah rawa pasang surut, telah dikumpulkan data hasil analisis tanah dari 346
profil tanah mineral dan 378 profil tanah gambut, yang diperoleh dari
survei/inventarisasi tanah Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S)
dan kegiatan lainnya di Sumatera dan Kalimantan. Dari Sumatera, khususnya
berasal dari survei pelaksanaan P4S dan kegiatan lain di Sumatera Selatan, yaitu
Air Saleh (IPB, 1978a), Karangagung (IPB, 1978b), dan Karangagung Tengah
(PPT, 1989). Dari provinsi Riau, berasal dari S. Reteh (IPB, 1969), S. Enok-Delta
S. Retih (LPT, 1974), Bunut-Kuala Kampar (LPT, 1975), S. Rokan (LPT, 1976a),
dan S. Siak (LPT, 1976b). Sedangkan yang dari Kalimantan, sebagian besar dari
survei dan pemetaan tanah pulau-pulau delta di aliran bawah S. Kahayan,
Kapuas, dan Barito, di wilayah Proyek Pengembangan Gambut (PLG) satu juta
hektar, 1996-1998 (Puslittanak, 1997; 1998a; 1998b), dan di Delta Pulau Petak
(SRI, 1973), serta sebagian kecil dari wilayah rawa di provinsi Kalimantan Timur.
Uraian ringkas dari sifat-sifat kimia tanah, yang diberikan berikut ini
diurutkan dari tanah mineral, yaitu Tanah Tanggul Sungai, Lahan Potensial-1,
Lahan Potensiai-2, Sulfat Masam Potensial (SMP), Sulfat Masam Aktual (SMA),
dan Tanah Salin; serta Tanah Gambut, yakni Tanah Sulfat Masam Potensial
Bergambut, Gambut-dangkal, Gambut-sedang, Gambut-dalam, dan Gambut-
sangat dalam. Data tekstur, pH-H2O, dan kandungan sifat/ hara merupakan rata-
rata dari hasil analisis tanah semua profil yang tersedia dari masing-masing
tipologi lahan. Setiap sifat-sifat tanah dinilai tinggi, sedang, atau rendah
berdasarkan kriteria evaluasi standar yang biasa digunakan di Puslittanah dan
Agroklimat. Data sifat-sifat untuk tanah mineral disajikan pada Tabel 2.7,
sedangkan untuk tanah gambut pada Tabel 2.8.
a. Tanah mineral
69
Lahan Rawa Pasang Surut
yang lebih bervariasi, dengan kandungan liat antara 10-65%, dan debu sekitar
25-95%. Di Kalimantan, tekstur tanahnya relatif lebih homogen dan lebih halus,
dengan kandungan liat dan debu yang hampir sama yaitu antara 25-65%. Reaksi
tanah lapisan atas dan lapisan bawah sangat masam (very strongly acid) (pH 4,6-
5,0), dan cenderung sama atau sedikit meningkat di lapisan bawah. Kandungan
garam yang dinyatakan sebagai daya hantar listrik (electrical conductivity:EC),
umumnya sangat rendah (0,3-0,5 dS/m) sampai rendah (2,1-2,4 dS/m) di kedua
lapisan (TabeI 2.7).
Kandungan bahan organik, yang dinyatakan sebagai C-organik, di lapisan
atas sangat tinggi (5,30-6,46%), dan di lapisan bawah sedang sampai tinggi
(2,62-4,05%). Kandungan nitrogen (N) rata-rata termasuk sedang (0,27-0,35%) di
lapisan atas, dan berkurang menjadi sangat rendah sampai rendah (0,10-0,16%)
di lapisan bawah. Rasio C/N rata-rata lapisan atas termasuk sedang sampai
tinggi (15-18), dan di lapisan bawah termasuk tinggi (18-19).
Kandungan fosfat potensial (ekstraksi 25% HCI) dan dinyatakan sebagai
P2O5-HCI, termasuk sedang (27-28 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan sangat
rendah sampai sedang (12-28 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Kandungan
kalium potensial, K2O-HCI, sedang sampai tinggi (24-46 mg/100 g tanah) di
lapisan atas, dan menurun menjadi sedang (22-40 mg/100 g tanah) di lapisan
bawah. Kandungan fosfat tersedia (ekstraksi Bray-I) tergolong sedang (21,9-23,2
ppm) di lapisan atas, dan cenderung menurun menjadi rendah sampai sedang
(8,6-16,6 ppm) di lapisan bawah.
Jumlah basa-basa termasuk tinggi, baik di lapisan atas (14,2-24,6
cmol(+)/kg tanah) maupun lapisan bawah (17,8-22,4 cmol(+)/kg tanah). Basa
dapat tukar yang dominan di kedua lapisan tanah adalah Mg dan Na, masing-
masing di lapisan atas terdapat dalam jumlah tinggi sampai sangat tinggi (6,29-
8,69 mol(+)/kg tanah), dan sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali (3,08-8,64
cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah. Kandungan Ca-dapat tukar umumnya
bervariasi dari rendah sampai sedang, baik di lapisan atas (4,49-6,50 cmol(+)/kg
tanah) maupun di lapisan bawah (4,69-6,67 cmol(+)/kg tanah). Sedangkan K-
dapat tukar tergolong sedang (0,55-0,75 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan
sedikit meningkat (0,60-0,67 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawahnya.
Kapasitas tukar kation (KTK) tanah (KTK-pH 7), karena adanya kontribusi
dari bahan organik cenderung tinggi (26,1-27,5 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas
dan menurun menjadi sedang (21,4-22,3 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah.
Kejenuhan basa (KB-pH 7), termasuk sedang sampai tinggi (44-73%) di lapisan
atas, dan relatif tetap tinggi (61-75%) di lapisan bawah.
70
Tabel 2.7. Sifat-sifat tanah mineral pada lahan rawa pasang surut
Tanah Tanggul S. Lahan Potensial-1 Lahan Potensial-2 SM Potensial SM Aktual Lahan Salin
Sifat-sifat tanah Pulau
Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh
Jumlah profil Sum 45 19 43 13 - -
Kal 31 81 41 27 17 29
Tekstur Sum SiCL SiCL SiCL SiC SiC SiC SiC SiC
Kal SiC SiC SiC SiC SiC C SiC C SiC C SiC SiC
pH H2O (1:5) Sum 4,7 sm 4,6 sm 4,2 sms 4,1 sms 4,1 sms 3,6 sms 4,0 sms 3,8 sms
Kal 4,7 sm 5,0 sm 4,2 sms 4,2 sms 4,2 sms 3,7 sms 4,3 sms 3,5 me 3,6 sms 2,8 me 4,9 sm 4,7 sm
Karbon-organik Sum 6,46 st 2,62 sd 16,18 sts 4,08 t 19,97 sts 5,57 st 20,54 sts 6,31 st
(%) Kal 5,30 st 4,05 t 8,66 st 4,48 t 11,69 st 5,54 st 9,16 st 6,61 st 10,93 st 7,51 st 5,89 st 5,32 st
Nitrogen (%) Sum 0,27 sd 0,10 sr 0,71 t 0,13 r 0,84 st 0,25 sd 0,70 t 0,17 r
Kal 0,35 sd 0,16 r 0,50 sd 0,17 r 0,58 t 0,18 r 0,59 t 0,28 sd 0,49 sd 0,22 sd 0,33 sd 0,33 sd
Subagyo
P2O5-HCl Sum 28 sd 12 sr 38 sd 7 sr 70 st 25 sd 58 t 20 r
(mg/100 g tnh) Kal 27 sd 28 sd 50 t 17 r 133 st 25 sd 115 st 33 sd 45 t 17 r 45 t 35 sd
P2O5-Bray-I (ppm) Sum 23,2 sd 8,6 r 63,9 st 16,2 sd 72,3 st 23,6 sd 32,3 t 17,0 sd
Kal 21,9 sd 16,6 sd 38,5 st 13,8 r 53,1 st 21,6 sd 17,7 sd 15,2 sd 19,3 sd 12,6 r 8,5 sr 9,5 sr
Jumlah basa Sum 14,2 t 17,8 t 8,5 sd 10,6 sd 16,7 t 15,3 t 21,7 t 28,3 t
[cmol(+)/kg tnh] Kal 24,6 t 22,4 t 7,2 sd 7,3 sd 7,0 sd 9,8 sd 16,7 t 18,0 t 29,1 t 21,9 t 40,5 sts 59,0 sts
Ca-dapat tukar Sum 4,49 r 4,69 r 2,77 r 2,96 r 6,63 sd 4,39 r 7,84 sd 7,95 sd
[cmol(+)/kg tnh] Kal 6,50 sd 6,67 sd 2,74 r 2,18 r 1,57 sr 1,98 sr 5,11 r 4,61 r 4,12 r 3,49 r 6,95 sd 8,60 sd
Mg-dapat tukar Sum 6,29 t 8,05 st 4,63 t 5,59 t 8,36 st 8,69 st 10,89 st 14,19 st
[cmol(+)/kg tnh] Kal 8,69 st 8,54 st 2,78 t 3,88 t 3,38 t 5,70 t 7,05 t 8,02 t 9,25 st 8,30 st 15,35 sts 18,47 sts
K-dapat tukar Sum 0,55 sd 0,60 sd 0,33 r 0,43 sd 0,52 sd 0,41 sd 0,64 sd 0,55 sd
[cmol(+)/kg tnh] Kal 0,75 sd 0,67 sd 0,38 r 0,25 r 0,40 sd 0,29 r 0,56 sd 0,43 sd 0,89 t 0,37 r 2,07 st 1,79 st
Na-dapat tukar Sum 3,08 st 4,58 st 0,75 t 1,60 st 1,21 st 1,79 st 2,34 st 5,61 sts
[cmol(+)/kg tnh] Kal 8,64 sts 6,51 sts 1,31 st 1,00 t 1,72 st 1,82 st 6,01 sts 4,91 st 14,87 sts 9,70 sts 16,11 sts 30,16 sts
KTK-pH 7 Sum 27,5 t 22,3 sd 35,9 t 25,7 t 61,9 st 32,3 t 62,5 st 32,7 t
[cmol(+)/kg tnh] Kal 26,1 t 21,4 sd 31,3 t 24,1 t 37,3 t 25,6 t 31,5 t 28,9 t 37,2 t 33,5 t 34,1 t 33,6 t
71
Tanah Tanggul S. Lahan Potensial-1 Lahan Potensial-2 SM Potensial SM Aktual Lahan Salin
72
Sifat-sifat tanah Pulau
Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh
Pirit (%) Sum 2,53 sd 1,03 sr 3,04 sd 3,16 sd 0,48 sr 2,88 sd 0,44 sr 2,31 r
Kal 1,44 r 1,40 r 1,00 sr 1,04 sr 0,77 sr 0,81 sr 1,12 sr 1,35 r 0,85 sr 1,07 sr 2,38 r 2,51 sd
Catatan:
Tekstur, pH-H2O, dan masing-masing kandungan sifat/hara dihitung berdasarkan rata-rata (averages) dari semua profil yang dievaluasi.
Tekstur: SiCL = lempung liat berdebu; SiC = liat berdebu; C = liat.
pH-H2O: me = masam ekstrim (pH:3,5 atau kurang); sms = sangat masam sekali (pH:3,6-4,5); sm = sangat masam (very strongly acid) (pH:4,6-5,0).
Kandungan sifat/hara ; sr = sangat rendah; r = rendah; sd = sedang; t = tinggi; st = sangat tinggi; dan sts = sangat tinggi sekali.
Sum = Sumatera; Kal = kalimantan.
Lahan potensial-l
73
Lahan Rawa Pasang Surut
lapisan atas, dan menurun menjadi rendah sampai sedang (14-16 ppm) di lapisan
bawah.
Jumlah basa-basa termasuk sedang, baik di lapisan atas (7,2-8,5
cmol(+)/kg tanah) maupun lapisan bawah (7,3-10,6 cmol(+)/kg tanah). Basa
dapat tukar yang dominan adalah Mg dan Na, yang di seluruh lapisan masing-
masing terdapat dalam jumlah tinggi (2,78-5,59 cmol(+)/kg tanah), dan tinggi
sampai sangat tinggi (0,75-1,60 cmol(+)/kg tanah). Kandungan Ca-dapat tukar di
seluruh lapisan termasuk rendah (2,18-2,96 cmol(+)/kg tanah). Kandungan K--
dapat tukar rendah (0,33-0,38 cmol (+)/kg tanah) di lapisan atas, dan rendah
sampai sedang (0,25-0,43 cmol (+)/kg tanah) di lapisan bawah.
Kapasitas tukar kation tanah, karena kontribusi dari bahan organik, di
dalam tanah bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi, dengan rata-rata
tergolong tinggi (24,1-35,9 cmol(+)/kg tanah) di seluruh lapisan. KB bervariasi
dari sangat rendah sampai tinggi, dengan rata-rata di lapisan atas termasuk
rendah (23%), dan di lapisan bawah rendah sampai sedang (31-38%).
Kejenuhan AI umumnya bervariasi dari rendah sampai tinggi/sangat tinggi,
dengan rata-rata sedang sampai tinggi (46-62%), baik di lapisan atas maupun
lapisan bawah. Kandungan pirit (FeS2) sangat rendah (1,00-1,04%) sampai
sedang (3,04-3,16%) di lapisan atas dan lapisan bawah.
Lahan potensial-2
74
Subagyo
75
Lahan Rawa Pasang Surut
76
Subagyo
77
Lahan Rawa Pasang Surut
Data Sulfat Masam Aktual (SMA) yang tersedia, hanya berasal dari lahan
rawa di Kalimantan. Sementara data analisis yang berasal dari Sumatera, tidak
menyebutkan adanya SMA karena data relatif berumur tua, 1974-1978. Tanah
mempunyai lapisan gambut permukaan yang tipis, sekitar 0-12 cm. Seluruh
lapisan tanah memiliki tekstur halus, dengan kandungan fraksi liat 35-70%, dan
debu 25-60%, sehingga tekstur tanah lapisan atas tergolong liat berdebu, dan di
lapisan bawah liat. Lapisan atas ber-reaksi sangat masam sekali (pH 3,6),
sementara lapisan bawah antara kedalaman 20-120 cm menunjukkan pH antara
1,8-3,5, dengan pH rata-rata 2,8, sehingga tergolong ber-reaksi masam ekstrim.
Kandungan garam, yang dinyatakan sebagai daya hantar listrik tergolong sangat
tinggi sekali (4.344-5.686 dS/m) baik di lapisan atas maupun di lapisan bawah
(Tabel 2.7).
Kandungan bahan organik di seluruh lapisan bervariasi tinggi sampai
sangat tinggi, sehingga rata-ratanya tergolong sangat tinggi (7,51-10,93%).
Kandungan N rata-rata tergolong sedang (0,22-0,49%) di seluruh lapisan, dan
cenderung menurun di lapisan-Iapisan bawah. Rasio C/N bervariasi dari tinggi
sampai sangat tinggi, dan bertambah besar di lapisan bawah. Karena itu rasio
C/N rata-rata tergolong tinggi (25) di lapisan atas, dan sangat tinggi (39) di
lapisan bawah.
Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCI 25%) di lapisan atas bervariasi dari
rendah sampai sangat tinggi, dan rata-ratanya termasuk tinggi (45 mg/100 g
tanah). Kandungan P2O5 lapisan bawah, sebagian besar sangat rendah sampai
sedang, sehingga rata-ratanya rendah (17 mg/100 g tanah). Sebaliknya
kandungan K2O potensial (HCl 25%), sebagian besar tinggi sampai sangat tinggi
di semua lapisan, sehingga rata-ratanya tergolong sangat tinggi (73-81 mg/100 g
tanah). Kandungan fosfat tersedia (P Bray-I) di seluruh lapisan sangat rendah
sampai sedang, dan cenderung semakin rendah ke lapisan bawah. Oleh karena
itu, rata-ratanya termasuk sedang (19,3 ppm) di lapisan atas, dan rendah (12,6
ppm) di lapisan bawah.
Jumlah basa-basa di semua lapisan sampai sedalam 180 cm sangat
bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi sekali, dan cenderung menurun di
lapisan bawah. Karena itu, rata-rata jumlah basa, baik di lapisan atas maupun
lapisan bawah tergolong tinggi (21,9-29,1 cmol(+)/kg tanah). Seperti pada tipe-
78
Subagyo
tipe lahan sebelumnya, basa dapatttukar yang dominan di seluruh lapisan adalah
Mg dan Na. Mg terdapat dalam jumlah tinggi sampai sangat tinggi sekali, dan
rata-ratanya sangat tinggi (8,30-9,25 cmol(+)/kg tanah) di semua tapisan.
Demikian juga Na terdapat dalam jumlah tinggi sampai sangat tinggi sekali di
seluruh lapisan, sehingga rata-ratanya termasuk sangat tinggi sekali (9,70-14,87
cmol(+)/kg tanah). Sebaliknya kandungan Ca-dapat tukar umumnya bervariasi
dari sangat rendah sampai sedang, dan rata-ratanya tergolong rendah (3,49-4,12
cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas dan lapisan bawah. Sedangkan K-dapat tukar
tergolong tinggi (0,89 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan rendah (0,37
cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah.
Kapasitas tukar kation tanah bervariasi dari tinggi sampai sangat tinggi,
dan rata-ratanya tergolong tinggi (33,5-37,2 cmol(+)/kg tanah) di seluruh lapisan
karena kontribusi dari bahan organik. Kejenuhan basa di seluruh lapisan tanah
sangat bervariasi, sebagian sangat rendah, sebagian rendah sampai sedang, dan
sebagian lagi sangat tinggi, dengan rata-rata sedang (40-42%), baik di lapisan
atas maupun lapisan bawah.
Kejenuhan AI di semua lapisan umumnya bervariasi dari sedang sampai
sangat tinggi, sehingga rata-ratanya tinggi (67-71%) baik di lapisan atas maupun
lapisan bawah. Kandungan pirit (FeS2) menunjukkan rata-rata sangat rendah
(0,85-1,07%) di kedua lapisan tanah.
Lahan salin
Data lahan salin yang tersedia hanya diperoleh dari lahan rawa
Kalimantan. Tanah mempunyai lapisan gambut permukaan tipis sekitar 0-12 cm.
Tekstur di seluruh lapisan tanah tergolong halus. Kandungan liat bervariasi
antara 30-75%, dan debu 25-95%, sehingga rata-rata tekstur lapisan atas, 0-50
cm, dan lapisan bawah, sekitar 50-200 cm, tergolong liat berdebu. Reaksi tanah
seluruh lapisan bervariasi dari masam ekstrim sampai dengan netral, rata-rata
tergolong sangat masam (very strongly acid) (pH 4,7-4,9), baik di lapisan atas
maupun di lapisan bawah. Data daya hantar listrik, yang merupakan refleksi
kandungan garam di seluruh lapisan, rata-ratanya sangat tinggi sekali (13.994-
19.488 dS/m) (Tabel 2.7).
Kandungan bahan organik, dinyatakan sebagai % C-organik, beragam dari
sedang sampai sangat tinggi sekali, dan cenderung meningkat di antara
79
Lahan Rawa Pasang Surut
kedalaman 80-160 cm. Rata-rata kandungan bahan organik sangat tinggi (5,32-
5,89%) di seluruh lapisan, kecuali lapisan gambut di permukaan. Kandungan N di
seluruh lapisan bervariasi rendah sampai sedang, sehingga rata-ratanya sedang
(0,33%). Rasio C/N sangat beragam di semua lapisan dan meningkat di lapisan
bawah, rata-ratanya tergolong tinggi (C/N:21-25) pada seluruh lapisan.
Kandungan P2O5-HCI secara dominan bervariasi antara rendah sampai
sangat tinggi dan cenderung menurun di lapisan bawah. Rata-rata kandungan
P2O5-HCI termasuk tinggi (45 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan sedang (35
mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Kandungan K2O umumnya bervariasi sangat
tinggi di seluruh lapisan, sehingga rata-ratanya sangat tinggi (103-113 mg/100 g
tanah). Sebaliknya, kandungan P-tersedia bervariasi sangat rendah sampai
rendah di seluruh lapisan, sehingga rata-ratanya tergolong sangat rendah (8,5-
9,5 ppm).
Jumlah basa-basa di semua lapisan sampai sedalam 190 cm bervariasi
tinggi sampai sangat tinggi sekali, sehingga rata-ratanya di lapisan atas dan
lapisan bawah tergolong sangat tinggi sekali (40,5-59,0 cmol(+)/kg tanah).
Sebagaimana tipologi lahan lainnya, basa-basa dapat tukar yang dominan adalah
Mg dan Na. Mg-dapat tukar bervariasi dari tinggi sampai sangat tinggi sekali, dan
rata-ratanya sangat tinggi sekali (15,35-18,47-cmol(+)/kg tanah) di seluruh
lapisan. Kandungan Na-dapat tukar, bervariasi sangat tinggi sekali di semua
lapisan tanah, sehingga rata-ratanya juga sangat tinggi sekali (16,11-30,16
cmol(+)/kg tanah). Kandungan Ca-dapat tukar bervariasi dari rendah sampai
tinggi, dan rata-ratanya termasuk sedang (6,95-8,60 cmol(+)/kg tanah), baik di
lapisan atas maupun lapisan bawah. Sementara K-dapat tukar bervariasi dari
sedang sampai sangat tinggi sekali, dan rata-ratanya tergolong sangat tinggi
(1,79-2,07 cmol(+)/kg tanah) di seluruh lapisan.
Kapasitas tukar kation sebagian besar tanah bervariasi dari sedang sampai
sangat tinggi, oleh karena itu, rata-ratanya termasuk tinggi (33,6-34,1 cmol(+)/kg
tanah). Kejenuhan basa seluruh lapisan bervariasi dari sedang sampai sangat
tinggi, dan rata-ratanya adalah sangat tinggi (86%). Potensi kesuburan alami
tanah sebenarnya secara relatif termasuk sedang, namun kandungan garam
yang terlalu tinggi merupakan kendala utama yang dapat menurunkan kesuburan
tanah, sehingga potensi kesuburan tanahnya dikategorikan sangat rendah
sampai rendah untuk usaha pertanian.
Kejenuhan AI secara dominan termasuk sangat rendah sampai rendah,
sehingga rata-ratanya termasuk sangat rendah (7-15%), baik di lapisan atas
80
Subagyo
maupun lapisan bawah. Sementara itu, kandungan pirit (FeS2) tergolong rendah
(2,38%) di lapisan atas, dan sedang (2,51%) di lapisan bawah.
Dari data yang ada, ketebalan gambut di permukaan bervariasi antara 38-
45 cm. Lapisan gambut permukaan ini dapat berupa bahan organik murni, atau
campuran antara bahan tanah mineral, khususnya fraksi liat dan debu, dan
bahan organik. Kandungan fraksi liat dan debu umumnya cukup tinggi, masing-
masing 35-80% dan 20-92%, sehingga tekstur tanahnya termasuk liat berdebu.
Reaksi tanah bervariasi antara masam ekstrim sampai sangat masam, dan rata-
ratanya tergolong sangat masam sekali (pH 3,9). Kandungan garam-garam larut,
yang dinyatakan sebagai daya hantar listrik tercatat sangat rendah (0,1-2,0 dS/m)
(Tabel 2.8).
Kandungan bahan organik, dinyatakan sebagai % C-organik, lapisan atas
gambut ini umumnya sangat tinggi sekali (26,03-34,17%). Kandungan N sangat
tinggi (0,98-1,09%), dan rasio C/N juga sangat tinggi (25-31).
Rata-rata kandungan fosfat potensial (P2O5-HCI 25%) tergolong sedang
(38-94 mg/100 g tanah). Kandungan K2O potensial (HCI 25%) rendah sampai
sedang (15-27 mg/100 g tanah). Kandungan fosfat tersedia (P2O5-Bray I)
bervariasi dari tinggi sampai sangat tinggi, sehingga rata-rata P-tersedia sangat
tinggi (38,8-65,1 mg/100 g tanah).
Jumlah basa pada lapisan gambut permukaan rata-rata sedang sampai
tinggi (6,9-23,9 cmol(+)/kg tanah), dengan kandungan Mg dan Na-dapat tukar
dominan. Mg bervariasi tinggi sampai sangat tinggi (3,60-11,70 cmol(+)/kg
tanah), dan Na sedang sampai sangat tinggi (0,33-2,40 cmol(+)/kg tanah).
Sebaliknya kandungan Ca dan K-dapat tukar lebih rendah, yaitu Ca bervariasi
rendah sampai sedang (2,79-9,20 cmol(+)/kg tanah), dan K 0,20-0,48 cmol(+)/kg
tanah.
Kapasitas tukar kation gambut umumnya sangat tinggi (65,0-88,1
cmol(+)/kg tanah), dengan kejenuhan basa SMP bergambut dari Sumatera
termasuk sedang (36%), sementara yang berasal dari Kalimantan termasuk
rendah (24%). Kejenuhan AI bervariasi dari rendah sampai tinggi (30-69%),
sementara kandungan pint (FeS2) pada lapisan gambut permukaan ini termasuk
sangat rendah (0,33-0,46%).
81
Tabel 2.8. Sifat-sifat tanah gambut pada lahan pasang surut
82
SMP bergambut Gambut dangkal Gambut sedang Gambut dalam Gambut sangat dalam
Sifat-sifat tanah Pulau
Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh
Jumlah profil Sum 62 49 56 25 12
Kal 23 56 35 9 19
Tekstur Sum SiC SiC C SiC SiC
Kal hC-SiC hC hC hC hC
pH H2O (1:5) Sum 3,9 sms 3,8 sms 4,1 sms 4,0 sms 4,0 sms 3,8 sms 3,6 sms 3,7 sms 3,6 sms 3,4 me
Kal 3,9 sms 3,8 sms 3,8 sms 3,8 sms 4,0 sms 3,6 sms 3,6 sms 3,6 sms 3,2 me 3,4 me
Daya hantar Sum 0,3 sr 2,0 sr 0,4 sr 1,3 sr 0,5 sr 1,6 sr 0,2 sr 0,5 sr 0,2 sr 0,8 sr
listrik (dS/m) Kal 0,1 sr 0,6 sr 0,8 sr 1,1 sr 0,8 sr
Subagyo
83
Lahan Rawa Pasang Surut
84
Subagyo
b. Tanah gambut
Gambut-dangkal
85
Lahan Rawa Pasang Surut
Gambut-sedang
86
Subagyo
tinggi, yaitu 30-70% dan 30-95% pada gambut dari Sumatera, atau kandungan
liat sangat tinggi (45-85%) dan debu sedang (20-50%) pada gambut dari
Kalimantan, sehingga lapisan bawahnya masing-masing bertekstur liat berdebu,
atau liat berat (Tabel 2.8). Reaksi gambut di seluruh lapisan umumnya sangat
masam sekali, dan cenderung menurun di lapisan-lapisan bawah. Reaksi gambut
lapisan atas lebih tinggi (pH rata-rata 4,0) dibandingkan dengan gambut lapisan
bawah (pH rata-rata 3,6-3,8). Kandungan garam-garam larut, dinyatakan sebagai
daya hantar listrik sangat rendah (rata-rata 0,5-1,6 dS/m), di seluruh lapisan
(Tabel 2.8).
Kandungan bahan organik, di seluruh lapisan bervariasi dari sangat tinggi
sampai sangat tinggi sekali, dengan rata-rata sangat tinggi sekali (31,36-47,20%
C). Kandungan N di semua lapisan umumnya bervariasi dari sedang sampai
sangat tinggi dan menurun di lapisan bawah. Oleh karena itu, rata-rata
kandungan N sangat tinggi (1,46-1,78%) di lapisan atas, dan tinggi sampai
sangat tinggi (0,72-1,10%) di lapisan bawah. Rasio C/N di seluruh lapisan,
dominan bervariasi dari tinggi sampai sangat tinggi, dan cenderung meningkat di
lapisan-lapisan bawah, dengan rata-rata rasio C/N sangat tinggi (28-46) di
seluruh lapisan.
Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCl) di seluruh lapisan bervariasi dari
rendah sampai sangat tinggi, dan cenderung menurun di lapisan-lapisan bawah.
Dengan demikian, rata-rata kandungan P2O5 tergolong tinggi (42-58 mg/100 g
tanah) di lapisan atas, dan rendah (15-16 mg/100 g tanah) di lapisan bawah.
Kandungan K2O potensial, beragam dari sangat rendah sampai sangat tinggi, dan
menurun di lapisan-lapisan bawah, dengan rata-rata termasuk sedang (21-24
mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan rendah (14-19 mg/100 g tanah) di lapisan
bawah. Kandungan fosfat tersedia (P2O5-Bray I) di seluruh lapisan, baik pada
gambut Sumatera maupun Kalimantan, sama bervariasi dari sangat rendah
sampai sangat tinggi, tetapi variasinya pada gambut Sumatera lebih kecil (2-27
ppm) dibandingkan dengan gambut Kalimantan, 2-100 ppm, dan cenderung
menurun di lapisan bawah. Oleh karena itu, rata-rata P-tersedia pada gambut
Sumatera rendah (13,2 ppm) di lapisan atas, dan sedang (23,4 ppm) di lapisan
bawah. Sementara pada gambut Kalimantan, rata-rata P-tersedia tinggi (32,3
ppm) di lapisan atas, dan sedang (18,6 ppm) di lapisan bawah. Kandungan P2O5
dan K2O potensial, serta P2O5-tersedia di lapisan atas relatif selalu lebih tinggi
dibandingkan dengan kandungan hara yang sama di lapisan-lapisan bawah.
87
Lahan Rawa Pasang Surut
Jumlah basa-basa dapat tukar juga ada perbedaan antara gambut dari
Sumatera dan gambut dari Kalimantan. Jumlah basa di seluruh lapisan gambut
Sumatera bervariasi dari sangat rendah sampai sangat tinggi sekali, lebih tinggi
dibandingkan dengan variasi sangat rendah sampai tinggi pada gambut
Kalimantan. Oleh karena itu, rata-rata jumlah basa gambut Sumatera termasuk
sangat tinggi sekali (51,5 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan sangat tinggi
(39,8 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah. Sementara gambut Kalimantan
memiliki rata-rata jumlah basa-basa sedang (7,8 cmol(+)/kg tanah) di lapisan
atas, dan rendah (5,5 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah.
Perbedaan jumlah basa pada kedua gambut tersebut, juga tercermin pada
kandungan basa-basa dapat tukar. Basa-basa yang dominan, sebagaimana pada
tanah rawa sebelumnya, adalah Mg dan Na, yang pada gambut Sumatera rata-
rata sangat tinggi sekali di lapisan atas dan bawah, yaitu 16,36-25,60 cmol(+)/kg
tanah untuk Mg, dan 5,99-7,80 cmol(+)/kg tanah) untuk Na. Sementara pada
gambut Kalimantan, rata-rata kandungan basa-basa di kedua lapisan gambut
adalah tinggi (2,10-2,70 cmol(+)/kg tanah) untuk Mg, dan rendah (0,26 cmol(+)/kg
tanah) di lapisan atas serta sedang (0,42 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah
unruk Na. Kandungan Ca dan K-dapat tukar rata-rata pada gambut Sumatera
masing-masing tinggi, yaitu 12,23-15,38 cmol(+)/kg tanah dan 0,87-0,92
cmol(+)/kg tanah baik pada lapisan atas, maupun lapisan bawah. Sedangkan
pada gambut Kalimantan, rata-rata kandungannya di kedua lapisan semuanya
rendah, baik untuk Ca (5,18-2,22 cmol(+)/kg tanah) maupun untuk K (0,16-0,25
cmol(+)/kg tanah).
Kapasitas tukar kation (KTK) tanah gambut dari kedua pulau di seluruh
lapisan bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi sekali (20-195 cmol(+)/kg
tanah, dan cenderung sedikit menurun di lapisan bawah. Oleh karena itu, rata-
rata KTK gambut di lapisan atas termasuk sangat tinggi sampai sangat tinggi
sekali (78,8-120,4 cmol(+)/kg tanah), dan di lapisan bawah sangat tinggi (73,2-
84,4 cmol(+)/kg tanah). Kejenuhan basa (KB) dan kejenuhan Al di seluruh lapisan
gambut dari Sumatera, masing-masing tergolong sedang (43-57%) dan sangat
rendah (7-14%). Sedangkan KB pada gambut Kalimantan, tergolong sangat
rendah (11-14%) di seluruh lapisan, dengan kejenuhan Al termasuk sedang
(45%) di lapisan atas, dan tinggi (68%) di lapisan bawah. Data kandungan pirit
(FeS2), yang datanya hanya tersedia pada gambut Sumatera, termasuk sangat
rendah (0,64-0,89%), baik di lapisan gambut atas maupun di lapisan bawah.
88
Subagyo
Gambut-dalam
Kandungan bahan organik di seluruh lapisan sangat tinggi sekali, baik pada
gambut Sumatera maupun gambut Kalimantan, dan relatif tidak berubah ke
lapisan-lapisan di bawahnya dengan rata-rata 35,15-56,98% di seluruh lapisan.
Kandungan N juga tergolong sangat tinggi di seluruh lapisan, dengan rata-rata
0,95-1,94%. Demikian juga nilai rasio C/N sangat tinggi, pada semua lapisan
gambut, dengan rata-rata 30-41.
89
Lahan Rawa Pasang Surut
rata rendah (11,2 ppm) di lapisan atas, dan sangat rendah (5,3 ppm) di lapisan
bawah. Sementara kandungan P2O5-tersedia gambut Kalimantan lebih baik, yaitu
rata-rata sangat tinggi (41,5-57,5 ppm) di seluruh lapisan.
Kapasitas tukar kation gambut tergolong sangat tinggi sampai sangat tinggi
sekali (73,6-123,9 cmol(+)/kg tanah), dengan kejenuhan basa sangat rendah
sampai rendah (5-21%) di seluruh lapisan. Kejenuhan Al gambut Sumatera
sangat rendah (10%) dan rendah (22%) pada lapisan atas dan bawah, dan
kejenuhan Al gambut Kalimantan termasuk sedang (56-59%) di lapisan atas dan
lapisan bawah. Data kandungan pirit (FeS2) yang datanya hanya tersedia pada
Gambut dalam dari Sumatera sangat rendah (0,26-1,07%), baik di lapisan
gambut atas maupun lapisan gambut bawah.
90
Subagyo
Gambut-sangat dalam
Kandungan bahan organik di semua lapisan sangat tinggi sekali, baik pada
gambut Sumatera maupun gambut Kalimantan, dan relatif tidak berubah di
lapisan-lapisan di bawahnya, dengan rata-rata tergolong sangat tinggi sekali
(44,70-56,39%) di semua lapisan. Kandungan N juga bervariasi sangat tinggi di
seluruh lapisan gambut, dengan rata-rata sangat tinggi (1,06-2,02%). Demikian
juga nilai rasio C/N terdapat sangat tinggi pada semua lapisan gambut, dengan
rata-rata sangat tinggi (C/N 29-48). Kandungan garam-garam larut sangat rendah
dengan rata-rata 0,2-0,8 dS/m di seluruh lapisan. (Tabel 2.8).
91
Lahan Rawa Pasang Surut
lapisan bervariasi dari sangat rendah sampai tinggi, dengan rata-rata tinggi (14,8
cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas dan sedang (9,0 cmol(+)/kg tanah) di lapisan
bawah. Kandungan basa-basa gambut dari Kalimantan lebih rendah, menyebar di
seluruh lapisan, sebagian besar bervariasi sangat rendah sampai rendah, dengan
rata-rata rendah (3,4-4,1 cmol(+)/kg tanah).
PENUTUP
92
Subagyo
93
Lahan Rawa Pasang Surut
DAFTAR PUSTAKA
94
Subagyo
IPB (Institut Pertanian Bogor). 1969. Laporan Survei ke Daerah Pasang Surut S.
Reteh, Riau. IPB dan P4S Dirjen Pengairan, Dep. PUTL. Desember 1969.
IPB (Institut Pertanian Bogor). 1978a. Laporan Survei dan Pemetaan Tanah
Daerah Air Saleh, Sub-P4S Sumatera Selatan. IPB-P4S Dirjen Pengairan,
Dep. PUTL. April 1976.
IPB (Institut Pertanian Bogor). 1978b. Soil Surveys and Soil Mapping of
Karangagung Area, Sub-P4S South Sumatra. IPB-Tidal Swampland
Develop. Project, Direct. Gen. Water Resourc. Develop., Ministry of Public
Works and Electric Power. June 1978.
Jansen, J.A.M., H. Prasetyo, Alkasuma, and W. Andriesse. 1990. Landscape
Genesis and Physiography of Pulau Petak as Basis for Soil Mapping.
LAWOO/AARD Scientific Report No. 18. ILRI, Wageningen.
Jaya, A. 2002. Sebaran gambut di Kalimantan Tengah dan kandungan karbon. h.
161-172. Dalam CCFPI (Climate Change, Forests and Peatlands in
Indonesia). 2003. Sebaran Gambut di Indonesia. Seri Prosiding 02.
Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada.
Bogor.
Konsten, C.J.M., and M. Sarwani. 1990. Actual and potential acidity and related
chemical characteristics of acid sulphate soils in Pulau Petak, Kalimantan.
p. 30-50. In Papers Workshop on Acid Sulphate Soils in the Humid Tropics.
Bogor, 20-22 November 1990. AARD and LAWOO.
Konsten, C.J.M., S. Suping, I B. Aribawa, and I P.G. Widjaja-Adhi. 1990.
Chemical processes in acid sulphate soils in Pulau Petak, South and
Central Kalimantan, Indonesia. p. 109-135. In Papers Workshop on Acid
Sulphate Soils in the Humid Tropics. Bogor, 20-22 November 1990. AARD
and LAWOO.
Konsten, C.J.M., W. Andriesse, and R. Brinkman. 1986. A field laboratory method
to determine total potential and actual acidity in acid sulphate soils. p. 106-
134. In H. Dost (ed.). Selected Papers of the Dakar Symposium on Acid
Sulphate Soils. Dakar, Senegal, January 1986. ILRI publication 44,
Wageningen, The Netherlands.
Langenhoff, R. 1986. Distribution, Mapping, Classification and Use of Acid
Sulphate Soils in the Tropics. A literature Study. STIBOKA Intern. Comm.
No. 74, Wageningen, The Netherlands.
LPT (Lembaga Penelitian Tanah). 1969. Survey Tanah Delta Kapuas, Kalimantan
Barat, 1968-1969. Dokumen LPT No. 7/1969. Direktorat Jenderal
Pertanian, Departemen Pertanian.
95
Lahan Rawa Pasang Surut
LPT (Lembaga Penelitian Tanah). 1974. Survey dan pemetaan Tanah Daerah S.
Enok-Delta S. Retih, Riau. LPT, Dep. Pertanian dan P4S Dirjen Pengairan,
Dep. PUTL. Publ. LPT No. 3/1975.
LPT (Lembaga Penelitian Tanah). 1975. Survey dan Pemetaan Tanah Daerah
Bunut-Kuala Kampar, Riau. LPT, Dep. Pertanian dan P4S Dirjen
Pengairan, Dep. PUTL. Publ. LPT No. 10/1975.
LPT (Lembaga Penelitian Tanah). 1976a. Survey dan Pemetaan Tanah Daerah
Sungai Rokan, Riau. LPT, Dep. Pertanian dan P4S Dirjen Pengairan, Dep.
PUTL. Publ. LPT No. 5/1976.
LPT (Lembaga Penelitian Tanah). 1976b. Survey dan Pemetaan Tanah Daerah
Sungai Siak, Riau. LPT, Dep. Pertanian dan P4S Dirjen Pengairan, Dep.
PUTL. Publ. LPT No. 6/1976.
Michaelsen, J., and H.L. Phi. 1998. Field experiment in Ly Nhon. p. 71-85. In van
den Bosch, H., H.L. Phi, J. Michaelsen, and K. Nugroho. 1988. Evaluation
of water management strategies for sustainable land use of acid sulphate
soils in coastal lands in the tropics. DLO Winand Staring Centre. Report
157, 177 pp. Wageningen, The Netherlands.
Neuzil, S.G. 1997. Onset and rate of peat and carbon accumulation in four domed
ombrogenous peat deposits, Indonesia. p. 55-72. In Rieley, J.O., and S.E.
Page (Eds.). Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands. Proceed.
Int. Symp. on Biodiversity, Environmental Importance, and Sustainability of
Tropical Peat and Peatlands, Palangka Raya, 4-8 Sep. 1995.
Pons, L.J. 1970. Acid Sulphate Soils (soils with cat-clay phenomena) and the
Prediction of their Origin from Pyrite Muds. Fysisch. Geograf. en
Bodemkunde. Lab. Publ. No. 16, Amsterdam, The Netherlands.
Pons, L.J., and I.S. Zonneveld. 1965. Soil Ripening and Soil Classification. Initial
soil formation in Alluvial deposits and a classification of the resulting soils.
ILRI Pub. 13, Wageningen, The Netherlands.
Pons, L.J., N. Van Breemen, and P.M. Driessen. 1982. Physiography of coastal
sediments and development of potential soil acidity. p. 1-18. In J.A. Kittrick,
D.S. Fanning, and L.R. Hossner (Eds.) Acid Sulfate Weathering. Soil Sci.
Soc. Am. Spec. Pub. No. 10, Soil Sci. Soc. Am., Madison. WI.
Prasetyo H., J.A.M. Jansen, and Alkasuma. 1990. Landscape and soil genesis in
pulau Petak. p. 1829. In Papers Workshop on Acid Sulphate Soils in the
Humid Tropics. Bogor, 20-22 November 1990. Indonesia.
PPT (Pusat Penelitian Tanah), 1989. Survei dan Pemetaan Tanah Detail Daerah
Pasang Surut Karangagung Tengah, Kab. Musi Banyuasin, Prop.
Sumatera Selatan.
96
Subagyo
97
Lahan Rawa Pasang Surut
SRI (Soil Research Institute). 1973. Report on soil investigations of the Delta
Pulau Petak, South and Central Kalimantan. Direct. Gen. of Agric., Ministry
of Agric., SRI No. 5/1973.
Strahler, A.N. 1973. Introduction to Physical Geography. Third Edition. John Wiley
& Sons. New York, London, Sydney, Toronto. 468 pp.
Subagyo, H. 2002. Penyebaran dan potensi tanah gambut di Indonesia untuk
pengembangan pertanian. h. 197-227. Dalam CCFPI (Climate Change,
Forests and Peatlands in Indonesia). 2003. Sebaran Gambut di Indonesia.
Seri Prosiding 02. Wetlands International-Indonesia Programme dan
Wildlife Habitat Canada. Bogor.
Sudarsono. 1999. Pemanfaatan dan pengembangan lahan rawa/pasang surut
untuk pengembangan pangan. h. 81-93. Dalam Irsal Las et al. (penyunting)
Prosid. Sem. Nas. Sumberdaya Lahan, Cisarua-Bogor, 9-11 Pebruari
1999. Buku 1. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Van Bremen, N. 1973. Soil forming processes in acid sulphate soils. p. 66-130. In
Dost, H. (ed.). Acid Sulphate Soils. I. Introductory Papers and Bibliography.
Proc. Intern. Symp., 13-20 August 1972, Wageningen, The Netherlands.
Van Dam, D., and L.J. Pons. 1973. Micropedological observations on pyrite and
its pedological reaction products. p. 169-196. In Dost, H. (ed.). Acid
Sulphate Soils. II. Research Papers. Proc. Intern. Symp., 13-20 August
1972, Wageningen, The Netherlands.
Van Wijk, A.L.M., I P.G. Widjaja-Adhi, C.J. Ritsema, and C.J.M. Konsten. 1992. A
simulation model for acid sulphate soils, II. Validation and application. p.
357-367. In D.L. Dent, and M.E.F. van Mensvoort (ed.). Selected Papers of
the Ho Chi Minh City Symp. on Acid Sulphate Soils, Vietnam, March 1992.
ILRI publ. 53, Wageningen, The Netherlands.
Widjaja-Adhi, I P.G. 1995a. Potensi, Peluang, dan Kendala Perluasan Areal
Pertanian di Lahan Rawa di Kalimantan dan Irian Jaya. Sem. Perluasan
Areal Pertanian di KTI. PIl, Serpong 7-8 November 1995 (tidak dipublikasi).
Widjaja-Adhi, I P.G., K. Nugroho, Didi Ardi S., dan A.S. Karama. 1992.
Sumberdaya lahan rawa: Potensi, keterbatasan, dan pemanfaatan. h. 19-
38. Dalam Sutjipto P. dan M. Syam (penyunting). Risalah Pertemuan
Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak.
Cisarua, 3-4 Maret 1992.
Wiradinata, O.W., dan R. Hardjosusastro. 1979. Penyebaran dan beberapa sifat
gambut di daerah Sumatera Selatan. h. A18-01-A18.11. Makalah dalam
Simposium Nasional III Pengembangan Daerah Pasang Surut, Palembang
5-9 Februari 1979.
98
LAHAN RAWA LEBAK
III Subagyo H.
99
Lahan Rawa Lebak
3.1. PENGERTIAN
3.2. PENYEBARAN
Oleh karena rawa lebak terbentuk sebagai akibat banjir tahunan pada
wilayah yang letaknya rendah, yaitu sebagai wilayah peralihan antara lahan darat
(uplands) dan sungai-sungai besar, maka penyebarannya secara khusus terdapat
100
Subagyo
101
Lahan Rawa Lebak
dataran banjir dua anak sungai (besar). Sebagai salah satu contoh yang terbaik
yang ada di Sumatera Selatan (Gambar 3.1), yaitu lahan rawa lebak dan lahan
rawa pasang surut (air tawar) di sekitar Palembang, di sepanjang aliran Air Musi,
dan di antara Air Ogan dan Air Komering.
Gambar 3.1. Penyebaran lahan rawa lebak dan lahan rawa pasang surut di
sekitar Palembang, Sumatera Selatan
102
Subagyo
Topografi atau bentuk wilayah lahan lebak secara umum hampir datar (flat)
dengan lereng 1-2%, secara berangsur menurun membentuk cekungan (basin)
ke arah wilayah rawa belakang, dan bagian tengah menempati posisi paling
rendah.
Satuan-satuan landform di wilayah lahan lebak dapat dilihat pada
penampang skematis Gambar 3.2, dengan tiga kemungkinan satuan landform
yang berbeda. Pertama, adalah satuan landform yang dijumpai pada dataran
banjir satu sungai besar (Gambar 3.2a); kedua, satuan landform yang dijumpai
pada dataran banjir dua sungai besar (Gambar 3.2b); dan yang ketiga adalah
wilayah peralihan antara lahan lebak dan wilayah lahan pasang surut (Gambar
3.2c).
Pada keadaan pertama (Gambar 3.2a), apabila seseorang bergerak
misalnya dengan berjalan kaki dari daerah “talang” (lahan kering/uplands) pada
satu sisi, ke arah daerah “talang” di seberang sungai-dengan mengamati
keadaan terrain, kondisi permukaan tanah, dan kedalaman permukaan air tanah-
akan melewati wilayah dataran banjir sungai, yang terdiri atas wilayah cekungan,
kemudian dataran rawa belakang, dan selanjutnya mencapai tanggul sungai alam
(natural levee). Kondisi seperti ini umumnya dijumpai pada DAS bagian tengah ke
arah hilir sungai. Tanah yang terbentuk seluruhnya merupakan tanah endapan
sungai, atau sering disebut endapan aluvial atau fluviatil. Cekungan-cekungan di
dataran rawa belakang umumnya ditempati gambut topogen dangkal (50-100 cm)
sampai gambut-sedang (101-200 cm). Kubah gambut biasanya tidak terbentuk,
karena ukuran cekungan/depresi relatif kecil. Di banyak tempat, cekungan
tersebut seringkali juga hanya berisi air, sehingga menyerupai “danau-danau”
berukuran kecil. Tanah yang terbentuk seluruhnya juga merupakan tanah
endapan sungai, yang diendapkan selama ber-abad-abad setiap kali musim
banjir datang, menggenangi wilayah selama musim hujan. Bahan sedimen halus,
berupa lumpur sungai yang diendapkan setiap kali terjadi banjir tahunan adalah
bahan yang membentuk tanah di lahan lebak.
103
Lahan Rawa Lebak
Gambar 3.2a. Penampang skematis daerah lahan rawa lebak, pada satu sungai
besar
Cekungan
Sungai Sungai
Gambar 3.2b. Penampang skematis daerah lahan rawa lebak, antara dua sungai
besar
104
Subagyo
Pada keadaan ketiga (Gambar 3.2c), adalah keadaan apabila lahan rawa
lebak bersambungan dengan lahan rawa pasang surut. Pada kondisi ini, bahan
endapan sungai yang terbentuk lebih muda umur (geologis)-nya, menutupi
endapan laut/marin yang telah terbentuk terlebih dahulu. Kondisi seperti ini,
terjadi pada wilayah peralihan antara zona II (lahan rawa pasang surut air tawar)
dan zona III (lahan rawa non-pasang surut, atau lahan rawa lebak).
Cekungan
Gambar 3.2c. Penampang skematis daerah lahan rawa lebak peralihan antara
lahan rawa lebak dan lahan rawa pasang surut (marin)
105
Lahan Rawa Lebak
Kedalaman genangan
Tabel 3.1. Tipe-tipe (tipologi) lahan rawa lebak, berdasarkan lama dan tinggi
genangan
Lama genangan
Tinggi genangan
<3 bulan 3-6 bulan >6 bulan
<50 cm Lebak Pematang Lebak Pematang Lebak Pematang
50-100 cm Lebak Tengahan Lebak Tengahan Lebak Dalam
>100 cm Lebak Tengahan Lebak Dalam Lebak Dalam
106
Subagyo
Selain ketiga tipe lahan lebak tersebut, masih ada istilah “renah” dan
“talang” yang biasa digunakan untuk mendeskripsi keadaan wilayah lahan lebak
di Sumatera Selatan. Uraian secara ringkas dari semua istilah dan tipe lahan
rawa lebak adalah :
Renah, adalah bagian yang paling tinggi dari tanggul sungai. Biasanya jarang
kebanjiran, oleh karena itu umumnya dimanfaatkan untuk rumah-rumah dan
perkampungan penduduk.
Talang, adalah lahan darat atau lahan kering yang tidak pernah kebanjiran, dan
merupakan bagian dari wilayah berombak sampai bergelombang, terdiri atas
batuan sedimen, atau batuan volkan masam.
Lebak Pematang, adalah sawah di belakang perkampungan. dan merupakan
sebagian dari wilayah tanggul sungai dan sebagian wilayah dataran rawa
belakang. Lama genangan banjir umumnya kurang dari 3 bulan, atau minimal
satu bulan dalam setahun. Tinggi genangan rata-rata kurang dari 50 cm. Oleh
karena genangan air banjir selalu dangkal, maka bagian lebak ini sering juga
disebut “Lebak Dangkal”.
Lebak Tengahan, adalah sawah yang lebih jauh lagi dari perkampungan.
Genangannya lebih dalam, antara 50 sampai 100 cm, selama kurang dari 3
bulan, atau antara 3-6 bulan. Masih termasuk wilayah Lebak Tengahan, apabila
genangannya dalam, lebih dari 100 cm, tetapi jangka waktu genangannya
relatif pendek, yaitu kurang dari 3 bulan.
Lebak Dalam, adalah bagian lebak yang dalam airnya, dan sukar mengering
kecuali pada musim kemarau panjang. Disebut juga “lebak lebung”, tempat
memelihara ikan yang tertangkap, waktu air banjir telah surut. Tinggi air
genangan umumnya lebih dari 100 cm, selama 3-6 bulan, atau lebih dari 6
bulan. Masih termasuk Lebak Dalam, apabila genangannya lebih dangkal
antara 50-100 cm, tetapi lama genangannya harus lebih dari enam bulan
secara berturut-turut dalam setahun.
107
Lahan Rawa Lebak
di rawa lebak bukan merupakan endapan marin, maka tanah rawa lebak tidak
mengandung pirit. Namun, di wilayah peralihan dengan rawa pasang surut air
tawar, lapisan pirit masih mungkin diketemukan, tetapi biasanya pada kedalaman
50-70 cm atau lebih dari 120 cm.
Secara skematis, pembagian tanah pada lahan rawa lebak berdasarkan
ketebalan gambut, dan kedalaman lapisan bahan sulfidik (jika ini ada) disajikan
pada Gambar 3.4. Ada dua kelompok tanah pada lahan lebak, yaitu Tanah
Gambut, dengan ketebalan lapisan gambut >50 cm, dan Tanah Mineral, dengan
ketebalan lapisan gambut di permukaan 0-50 cm. Tanah mineral yang
mempunyai lapisan gambut di permukaan antara 20-50 cm disebut Tanah
Mineral Bergambut. Sedangkan Tanah Mineral murni, sesuai kesepakatan, hanya
memiliki lapisan gambut di permukaan tanah setebal <20 cm.
Tanah Gambut biasanya menempati wilayah Lebak Tengahan dan Lebak
Dalam, khususnya di cekungan-cekungan, dan sebagian besar merupakan
gambut-dangkal (ketebalan gambut antara 50-100 cm), dan sebagian kecil
merupakan gambut-sedang (ketebalan gambut 100-200 cm). Kubah gambut
nampaknya tidak terbentuk. Gambut yang terbentuk umumnya merupakan
gambut topogen, tersusun sebagian besar dari gambut dengan tingkat
dekomposisi sudah lanjut, yaitu gambut saprik. Sebagian lapisan tersusun dari
gambut hemik. Seringkali mempunyai sisipan-sisipan bahan tanah mineral di
antara lapisan gambut.
Warna tanah tersebut coklat sangat gelap (7,5YR 2,5/2), atau hitam (10YR
3/2), reaksi gambut di lapang termasuk masam-sangat masam (pH 4,5-6,0).
Kandungan basa-basa (hara) rendah (total kation: 1-6 me/100 g tanah), dan
kejenuhan basanya juga rendah (KB: 3-10%). Sebagian gambut di Lebak Dalam,
mempunyai tingkat dekomposisi bahan gambut tengahan, yaitu gambut hemik.
Warnanya relatif sama, coklat sangat gelap atau hitam, reaksi tanah masam (pH
6,0), dan kesuburan tanah masih termasuk rendah. Dalam klasifikasi Taksonomi
Tanah (Soil Survey Staff, 1999), tanah-tanah tersebut masuk dalam ordo
Histosols, dalam tingkat (subgrup) Typic/Hemic Haplosaprists, Terric
Haplosaprists, dan Terric Haplohemists.
Tanah gambut, sebagai Haplosaprists dangkal (antara 50-100 cm),
sebagian ditemukan di lebak tengahan, dan sebagai Haplohemists dan
Haplosaprists dangkal umumnya lebih banyak ditemukan di bagian lebak dalam.
108
Subagyo
109
Lahan Rawa Lebak
110
Subagyo
111
Lahan Rawa Lebak
Tekstur hC; C; SiC; SiCL; SiL; hC; C; SiC; SiCL hC; SiC
L; SL
(Ps: <15%; Db: 5-60%; (Ps: <10%; Db: 20-60%; (Ps: <5%; Db: 20-45%;
liat: 18-90%) liat: 35-80%) liat: 55-80%)
Reaksi tanah
pH-lapang 5,5-7,0 sm-nt 5,0-7,0 sm-nt 5,5-6,5 sm-sdm
pH-lab 4,0-5,5 mlb-sm 3,5-4,5 me-mlb 3,5-4,5 me-mlb
% karbon
Kisaran (%) 0,09-12,04 sr-st 0,52-17,20 sr-st 1,20-18,92 sr-st
Terbanyak (%) (0,40-8,60) sr-t (0,30-10,32) sr-st (1,72-12,04) r-st
Fosfat dan kalium (terbanyak)
P2O5 (mg/100 g) 5-40 sr-s 3-40 sr-s 2-25 sr-r
K2O (mg/100 g) 5-40 sr-s 5-60 sr-t 5-25 sr-s
P-Bray (ppm) 3-23 sr-s 2-27 sr-t 3-15 sr-r
Basa dapat tukar Terbanyak Ca & Mg; K Terbanyak Ca & Mg; K Terbanyak Ca & Mg; K
dan Na sangat sedikit dan Na sangat sedikit dan Na sangat sedikit
Total kation dapat 0,6-21% sr-t 1-20% sr-t 4-18% r-t
tukar
Kejenuhan basa 10-100% sr-st 3-80% sr-t 6-75% sr-t
Keterangan :
Tekstur : hC = liat berat; C = liat; SiC = liat berdebu; SiCL = lempung liat berdebu; SiL = lempung
berdebu; L = lempung; dan SL = lempung berpasir.
Reaksi tanah : me = masam ekstrim (pH ≤ 3,5); mlb = masam luar biasa (pH 3,6-4,5); sms = sangat
masam sekali (pH 4,6-5,0); sm = sangat masam (pH 5,1-5,5); am= agak masam (pH 5,6-6,0); sdm
= sedikit masam (pH 6,1-6,5); nt = netral (pH 6,6-7,3).
Kandungan sifat kimia lainnya : sr = sangat rendah; r = rendah; s = sedang; t = tinggi; dan st =
sangat tinggi.
Tekstur tanah rawa lebak umumnya dicirikan oleh kandungan fraksi liat dan
debu yang tinggi, tetapi fraksi pasirnya sangat rendah. Tekstur tanah terbanyak
adalah liat berat (hC), liat (C), dan liat berdebu (SiC). Tekstur tanah Lebak
pematang lebih bervariasi, dari halus (hC,C) sampai sedang (SiL, L), terkadang
juga dijumpai tekstur relatif kasar (SL). Tekstur lebak Tengahan relatif halus
(hC, C, SiC, dan SiCL), sedangkan tekstur Lebak Dalam sangat halus (hC dan
SiC), dengan kandungan liat yang sangat tinggi (55-80 %).
Kandungan bahan organik (% karbon) Lebak Tengahan dan Lebak Dalam
relatif lebih tinggi daripada lebak Pematang. Tetapi, kandungan P2O5 dan K2O
tanah Lebak Pematang cenderung lebih tinggi daripada Lebak Tengahan, dan
lebih tinggi daripada Lebak Dalam. Hal yang mirip sama terjadi pada fosfat (P)
112
Subagyo
113
Lahan Rawa Lebak
buahan, dan lahan untuk prasarana umum. Sistem pertanaman dengan teknik
surjan dapat dilaksanakan di zona ini.
Lebak Tengahan : yang sepanjang tahun relatif tidak kekurangan air, diarahkan
penggunaannya untuk wilayah persawahan lebak, seperti yang telah dilakukan
selama ini. Sebagai tambahan usaha, dapat juga dilakukan pertanaman
tanaman palawija dan sayuran pada galengan-galengan sawah. Sistem
pertanaman dengan teknik surjan, tergantung kondisi air genangan, mungkin
masih dapat dilaksanakan di zona ini.
Lebak Dalam : karena secara alamiah menempati posisi paling rendah, arahan
penggunaannya yang paling tepat adalah tetap berfungsi sebagai waduk
penampungan air banjir alamiah. Pemanfaatan lain yang selama ini telah
berlangsung adalah untuk budidaya perikanan air tawar, dan bila
memungkinkan dapat dijadikan tempat rekreasi air secara terbatas.
PENUTUP
Seperti telah disebutkan sebelumnya, luas lahan rawa lebak adalah sekitar
13,28-13,32 juta ha, atau kira-kira sepertiga dari luas total lahan rawa. Data
Dirjen Pengairan Dep. PU (sekarang Kimpraswil) sekitar 1,547 juta ha telah
dibuka untuk persawahan dan permukiman, sebagian besar 71% (1.009 juta ha)
melalui swadaya masyarakat, dan sisanya 29% melalui program pemerintah.
Kalau angka 13,32 juta ha benar, berarti masih cukup luas, sekitar 11,77 juta ha,
lahan lebak yang dapat dikembangkan untuk pertanian.
Ditinjau dari aspek potensi, secara umum lahan lebak sebenarnya lebih
baik dari lahan pasang surut, oleh karena tanah lahan lebak seluruhnya tersusun
dari endapan sungai (fluviatil), yang tidak mengandung bahan sulfidik/pirit.
Terkecuali tentunya pada zona peralihan antara lahan lebak dan lahan pasang
surut, di lapisan bawah sekitar kedalaman 1 m, mungkin masih ditemukan
adanya lapisan bahan sulfidik yang merupakan endapan marin. Bagian yang
potensial untuk pertanian dari lahan lebak adalah lebak pematang (atau lebak
dangkal), dan lebak tengahan, yang umumnya di jadikan persawahan lebak
dengan pertanaman palawija dan sayuran pada galengan sawah, atau di bagian
guludan/bedengan pada sistem surjan, terutama pada lebak pematang.
114
Subagyo
Sementara lebak dalam, karena bentuknya mirip suatu cekungan, kondisi airnya
relatif masih tetap dalam walaupun di musim kemarau, sehingga lebih sesuai
untuk budidaya perikanan air tawar.
DAFTAR PUSTAKA
Alkasuma, Suparto, Samdan CD., dan Jaelani. 2001. Laporan Akhir. Identifikasi
Potensi Lahan Rawa Lebak untuk Pengembangan Tanaman Pangan
dalam rangka Antisipasi Dampak EI-Nino. Bag. Proyek Penel. Sumberdaya
Air dan Iklim. Puslitbangtanak, Bogor.
Ditjen Pengairan PU (Pekerjaan Umum). 1998. Pengembangan Daerah Rawa.
Direktorat Jenderal Pengairan, Dep. PU. Februari 1998. Hlm. 93.
115
Lahan Rawa Lebak
116
TEKNOLOGI PENGELOLAAN
IV LAHAN SULFAT MASAM
Didi Ardi Suriadikarta dan Diah Setyorini
117
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam
4.1. PENDAHULUAN
Lahan rawa di Indonesia cukup luas dan tersebar di tiga pulau besar, yaitu
di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya (Papua). Menurut Widjaja-Adhi et al.
(1992) luas lahan rawa Indonesia ± 33,4 juta ha, yang terdiri atas lahan rawa
pasang surut sekitar 20 juta ha dan lahan lebak 13,4 juta ha.
Pembukaan lahan rawa pasang surut dilakukan berkaitan dengan program
pemukiman transmigrasi yang dimulai sejak Pelita I (orde baru) sekitar tahun
1969 melalui program Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S).
Pemanfaatan lahan pasang surut untuk pertanian merupakan pilihan yang
strategis dalam mengimbangi penciutan lahan produktif di pulau Jawa yang
dialihfungsikan untuk pembangunan sektor non pertanian seperti, perumahan,
jalan raya, industri dan pembangunan lainnya. Menurut Sudiadikarta et al., (1999)
sampai saat ini lahan rawa yang telah dibuka 2,4 juta ha, 1,5 juta ha di
Kalimantan dan 0,9 ha di Sumatera. Lahan rawa di Irian Jaya (Papua) sampai
saat ini masih belum dibuka untuk pertanian. Pengembangan lahan rawa
memerlukan perencanaan pengelolaan dan pemanfaatan yang baik dan
memerlukan penerapan teknologi yang sesuai, terutama pengelolaan tanah dan
air yang tepat.
Pemanfaatan yang bijak, pengembangan yang seimbang dan pengelolaan
yang sesuai dengan karakteristik, sifat dan kelakuannya, diharapkan dapat
mengembalikan lahan rawa menjadi lahan pertanian yang berproduktivitas tinggi,
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Widjaja-Adhi, 1995a dan 1995b).
Sejak proyek P4S tahun tujuh puluhan dan dilanjutkan dengan proyek penelitian
Badan Litbang Pertanian Swamp I, Swamp II, dan kerjasama dengan Belanda
(LAWOO) tahun delapan puluhan, Proyek Penelitian Pengembangan Lahan
Rawa Terpadu (ISDP) dan Proyek Pertanian PLG tahun sembilan puluhan telah
banyak teknologi pengelolaan lahan rawa yang dihasilkan (Suriadikarta dan A.
Abdurachman, 1999). Teknologi itu antara lain adalah teknologi pengelolaan
tanah, tata air mikro, teknologi ameliorasi tanah dan pemupukan, penggunaan
varietas yang adaptif, teknologi mengatasi hama dan penyakit, dan model
usahatani.
Namun penerapan teknologi pertanian lahan rawa umumnya tidak dapat
diterapkan secara berkelanjutan disebabkan ada beberapa kendala yaitu : modal
petani yang rendah, infrastruktur yang terbatas, kelembagaan pedesaan yang
minim, dan kurangnya perhatian pemerintah dalam pemeliharaan jaringan tata air
makro secara konsisten.
118
Suriadikarta dan Setyorini
Pengelolaan tanah dan air (soil and water management) merupakan kunci
utama untuk keberhasilan pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut,
termasuk tanah sulfat masam. Pengelolaan tanah dan air ini meliputi jaringan tata
air makro maupun mikro, penataan lahan, ameliorasi, dan pemupukan.
119
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam
Kolam
Kolam
Tersier
Saluran
sekunder
Sungai
Saluran primer
Sungai
Sistem jaringan tata air tersebut sebenarnya tidak berlaku umum tetapi
tergantung kepada tipologi lahan dan tipe luapan di daerah itu. Sistem jaringan
tata air selain dibedakan menurut bentuknya dapat pula dibedakan menurut
hubungan tata air, yaitu sistem terbuka dan sistem tertutup. Sistem reklamasi
jaringan tertutup adalah cara pembukaan lahan yang jaringan tata airnya tidak
berhubungan satu sama lain (zonasi). Sistem ini seperti yang dilakukan oleh
petani Suku Banjar di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah dan Suku
Bugis di Pulau Sumatera. Pada sistem tertutup ini pembuatan saluran atau handil
sangat hati-hati dengan memperhatikan karakteristik tanah dan tipe luapan air
sungai. Handil itu dibuat tegak lurus sungai ke arah hutan mengikuti garis kontur
sehingga handil itu tidak selalu lurus dan panjangnya tergantung air pasang
masuk (4-10 km). Cara reklamasi seperti ini umumnya berhasil dalam
120
Suriadikarta dan Setyorini
121
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam
122
Suriadikarta dan Setyorini
123
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam
124
Suriadikarta dan Setyorini
Saluran primer/jalur A
Flapgate (inlet)
A A
Saluran kuarter
pengeluaran Flapgate (outlet)
Saluran primer/jalur A
Stoplog Stoplog
Saluran sekunder pengeluaran
Stoplog
Gambar 4.3. Jaringan tata air sistem tabat untuk tipe luapan C dan D
125
126
Tabel 4.1. Penataan dan pola pemanfaatan lahan yang dianjurkan pada setiap tipologi lahan dan tipe luapan air
di pasang surut
Tipologi lahan Tipe luapan air
Kode Tipologi A B C D
Sistem surjan adalah salah satu contoh usaha penataan lahan untuk
melakukan diversifikasi tanaman dilahan rawa. Lebar guludan 3-5 m, dan tinggi
0,5-0,6 m, sedangkan tabukan dibuat dengan lebar 15 m. Setiap ha lahan dapat
dibuat 6-10 guludan, dan 5-9 tabukan. Tabukan surjan ditanami padi sawah,
sedangkan guludan ditanami dengan palawija, sayuran, dan tanaman industri
(kencur, kopi, dan kelapa). Dari Tabel 4.1 ditunjukkan bagaimana pola
pemanfaatan lahan dalam kaitannya tipologi lahan dan tipe luapan. Sistem surjan
baik dilakukan pada tipe luapan B dan C sedangkan tipe luapan D lebih baik
untuk sistem pertanian lahan kering. Untuk tanah gambut tekstur lapisan tanah
dibawahnya sangat menentukan dalam pola pemanfaatan lahannya.
Tanah sulfat masam merupakan tanah liat rawa dan seringkali memiliki
lapisan gambut tipis < 20 cm; memiliki lapisan pirit yang belum teroksidasi (bahan
sulfidik) atau sudah teroksidasi (horison sulfurik) pada kedalaman 0-50 cm.
Tanah sulfat masam terbagi menjadi sulfat masam potensial dan sulfat masam
aktual. Sulfat masam potensial dapat berubah menjadi sulfat masam aktual bila
tanah mengalami drainase yang berlebihan akibat reklamasi. Pirit yang semula
stabil dan tidak berbahaya pada kondisi anaerob atau tergenang, akan
teroksidasi bila kondisi berubah menjadi aerob. Menurunnya permukaan air tanah
akibat pembuatan saluran drainase primer-sekunder-tersier menyebabkan
oksigen masuk ke dalam pori tanah dan akan mengoksidasi pirit membentuk
asam sulfat, ion hidrogen dan Fe3+. Apabila oksidasi pirit berlangsung cepat maka
akan terbentuk mineral jarosit berupa bercak-bercak karatan berwarna kuning
jerami (Dent, 1986; Langenhoff, 1986).
Pada kondisi tergenang, kemasaman tanah dapat dikurangi namun disisi
lain muncul masalah keracunan besi fero (Fe2+), Al, Mn, Hidrogen sulfida, CO2,
dan asam organik. Masalah fisik yang sering dijumpai adalah terhambatnya
perkembangan akar tanaman pada horison sulfurik karena tanaman kekurangan
air, pematangan tanah terhambat serta saluran drainase tertutup oleh deposit
oksida besi. Pada kondisi seperti ini, pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme
tanah terhambat. Jenis tanaman yang dapat tumbuh dan berkembang akan
sangat terbatas dengan hasil rendah.
127
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam
Proses kimia pada tanah sulfat masam dapat dikelompokkan menjadi dua
bagian penting. Pertama, proses kimia yang terjadi dalam keadaan reduktif,
antara lain pembentukan pirit, reduksi besi feri menjadi fero, serta reduksi
senyawa beracun. Kedua, proses kimia pada kondisi oksidatif, yang terpenting
adalah oksidasi pirit.
a. Proses reduksi
128
Suriadikarta dan Setyorini
129
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam
perubahan nilai Eh atau pH yang drastis. Pada kasus kedua, nilai Eh akan
menurun tanpa meningkatkan pH. Menurut Dent (1986), tanah sulfat masam
yang sudah tua mengandung besi dalam bentuk kristal goetit dan hematit yang
stabil sehingga sulit tereduksi. Sebaliknya tanah sulfat masam yang masih muda
kaya akan koloid besi, sehingga diperkirakan mempunyai kadar besi terlarut yang
tinggi setelah penggenangan. Reduksi oksida Fe3+ dengan bahan organik
sebagai donor elektron akan mengkonsumsi 4 proton :
b. Proses oksidasi
Proses utama yang terjadi bila tanah sulfat masam teroksidasi adalah
oksidasi pirit. Reklamasi lahan rawa melalui pembuatan saluran drainase
mengakibatkan perubahan kimia di dalam tanah sulfat masam. Pirit yang semula
tidak berbahaya pada kondisi tergenang, secara perlahan berubah menjadi unsur
beracun dan merupakan sumber kemasaman tanah bila kondisi tanah berubah
menjadi oksidatif. Perbedaan yang besar antara pasang surutnya air laut serta
musim kemarau yang panjang menyebabkan pirit teroksidasi secara alami.
130
Suriadikarta dan Setyorini
Bila pH menurun hingga di bawah 4, maka feri (Fe3+) menjadi larut dan
akan mengoksidasi pirit dengan cepat. Reaksi oksidasi pirit oleh Fe3+ secara
lengkap menghasilkan 16 molekul H+ digambarkan sebagai berikut :
Pada nilai pH kurang dari 3,5 reaksi oksidasi kimia ini berjalan sangat
lambat dengan waktu paruh 1.000 hari. Kecepatan oksidasi pirit oleh Fe3+ sangat
dipengaruhi oleh pH, karena Fe3+ hanya larut pada nilai pH di bawah 4 dan
Thiobacillus ferrooxidans tidak tumbuh pada pH yang tinggi. Besi oksida dan pirit
di dalam tanah mungkin secara fisik berada pada tempat yang berdekatan,
namun ada tidaknya reaksi di antara mereka sangat dipengaruhi oleh kelarutan
Fe3+.
Kecepatan oksidasi pirit cenderung bertambah dengan menurunnya pH
tanah. Pada pH di bawah 4, proses oksidasi terhambat oleh suplai O2. Kecepatan
penurunan pH akibat oksidasi pirit tergantung pada : (1) jumlah pirit; (2)
kecepatan oksidasi; (3) kecepatan perubahan bahan hasil oksidasi; dan (4)
kapasitas netralisasi. Kalsium karbonat dan basa dapat ditukar merupakan bahan
penetralisir kemasaman dimana reaksinya dengan asam sulfat berjalan cepat
(van Breemen, 1993).
Di dalam tanah, berbagai tingkatan oksidasi yang berlangsung tidak terjadi
pada titik yang sama. Pengujian secara mikro-morfologi menunjukkan bahwa ada
perbedaan/batas yang nyata antara lokasi beradanya pirit dan bahan hasil
oksidasinya seperti jarosit, besi oksida, dan gipsum. Pirit biasanya terdapat di
dalam inti dari ped, sedangkan jarosit, besi oksida, dan gipsum terdapat pada
permukaan ped dan ruang pori. van Breemen (1976) menduga bahwa oksigen
bereaksi dengan Fe2+ terlarut membentuk Fe3+ terlebih dahulu sebelum bertemu
dengan pirit.
131
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam
Oksidasi pirit oleh Fe3+ menghasilkan ion (H+) yang kemudian sebagian
digunakan lagi untuk mengoksidasi Fe2+ menjadi Fe3+. Hasil akhir dari oksidasi
pirit adalah hidroksida Fe3+. Pada pH > 4, oksida dan hidroksida Fe3+ akan
mengendap, misalnya dalam bentuk goetit yang lambat laun akan berubah
menjadi hematit (Dent, 1986).
Jarosit [KFe3(SO4)2(OH)6] merupakan endapan berwarna kuning pucat
hasil oksidasi pirit pada kondisi yang sangat masam, yaitu pada Eh diatas 400
mV dan pH kurang dari 3,7. Reaksi pembentukannya sebagai berikut :
Pada pH di atas 4, jarosit tidak stabil dan mudah berubah menjadi goetit
dan terhidrolisa menjadi oksida besi. Hasil pengujian mikroskopi terhadap irisan
tipis dan difraksi sinar X menunjukkan bahwa bercak kuning yang merupakan
karakteristik tanah sulfat masam didominasi oleh jarosit dan goetit. Bercak merah
dan coklat pada sulfat masam adalah goetit yang kadang-kadang berasosiasi
dengan jarosit dan hematit (van Breemen, 1976).
Sulfat merupakan salah satu hasil oksidasi pirit yang sangat sedikit dijerap
oleh profil tanah. Sebagian besar dari sulfur terlarut hilang bersama air drainase
atau berdifusi ke lapisan di bawahnya yang kemudian akan direduksi kembali
menjadi sulfida. Sebagian kecil tertahan dalam bentuk jarosit atau gipsum.
Gipsum terbentuk pada tanah sulfat masam melalui reaksi netralisasi
kemasaman oleh kalsium karbonat :
132
Suriadikarta dan Setyorini
pH, bila pH meningkat maka aluminium akan mengendap sebagai hidroksida atau
basic sulfate (van Breemen, 1973).
Beberapa unsur mikro seperti Ni dan Co ikut terakumulasi di dalam
sedimen karena mensubstitusi Fe dalam pirit atau unsur Cu, Zn, Pb yang
menggantikan sulfida (Deer et al., 1965 dalam van Breemen, 1993). Unsur-unsur
tersebut akan terlepas kembali saat pirit teroksidasi. Satawathananont (1986
dalam van Breemen, 1993) menunjukkan bahwa konsentrasi unsur Cu, Zn, Mo,
Cd, Pb, Ni, dan As terdapat dalam jumlah yang lebih tinggi pada tanah berpirit
yang aerasinya baik (pH 2,9) dibandingkan pada tanah sulfat masam yang sudah
berkembang (pH 3,9-4,5) dan tanah marin yang tidak masam (pH 4,9) di
Bangkok. Lebih lanjut ia mengamati tanah yang diinkubasi pada nilai potensial
redoks dan pH yang terkontrol dalam suasana masam yang oksidatif selama dua
minggu, logam berat yang larut air lebih tinggi pada tanah berpirit dibandingkan
tanah lanjut/tua.
Selain unsur mikro, masih banyak unsur lain seperti gas SO2, Fe2+, H2S,
Al3+ dan asam-asam organik yang dilepaskan sebagai akibat teroksidasinya pirit.
Keluarnya unsur-unsur beracun tersebut dari tanah melalui air drainase ke
perairan umum dapat menyebabkan polusi dan mengancam kehidupan biota
sungai/laut.
Ameliorasi tanah sulfat masam untuk memperbaiki sifat kimia dan fisik
tanah harus dilakukan terlebih dahulu sebelum pemupukan dilaksanakan.
Pemupukan tanpa perbaikan tanah tidak akan efisien bahkan tidak respon.
Produktivitas tanah sulfat masam biasanya rendah, disebabkan oleh
tingginya kemasaman (pH rendah), kelarutan Fe, Al, dan Mn serta rendahnya
ketersediaan unsur hara terutama P dan K dan kejenuhan basa yang dapat
mengganggu pertumbuhan tanaman (Dent, 1986). Oleh karena itu tanah seperti
ini memerlukan bahan pembenah tanah (amelioran) untuk memperbaiki
kesuburan tanahnya sehingga produktivitas lahannya meningkat. Bahan
amelioran yang dapat digunakan adalah kaptan dan Rock Phosphate. Kaptan
digunakan untuk meningkatkan pH tanah sedangkan Rock Phosphate untuk
memenuhi kebutuhan hara P-nya.
133
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam
134
Suriadikarta dan Setyorini
dan Supardi et al., 2000). Rock Phosphate yang baik mutunya untuk tanah ini
adalah Rock Phosphate Maroko Ground karena mempunyai kandungan Ca yang
tinggi yaitu 27,65% dan kadar P2O5 total 28,8% (Suriadikarta dan Sjamsidi, 2001).
Hasil penelitian di lahan rawa menunjukkan pupuk kalium cukup diberikan 100 kg
KCl/ha untuk tanaman padi sawah.
135
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam
ada perbedaan yang nyata dengan penggunaan TSP, hal ini disebabkan
terjadinya proses penyanggaan Rock Phophate dalam media yang sangat
masam, menghasilkan bentuk P yang meta-stabil seperti Dicalsium phophate
yang tersedia untuk tanaman.
Subiksa et al. (1999), menunjukkan pemberian dolomit 2 t/ha dan SP-36
200-300 kg/ha dapat menghasilkan rata-rata 4,0 t/ha GKG pada tanah sulfat
masam potensial di Kecamatan Telang, Kabupaten Muba, Sumatera Selatan.
Dalam penelitian pada tanah sulfat masam potensial di Tabung Anen Kalimantan
Selatan pemberian pupuk P + kalium + bahan organik dan kapur masing-masing
sebesar 43 kg P/ha, 52 kg K/ha, kapur 1 t/ha dan pupuk kandang 5 t/ha
memberikan hasil 3,24 t/ha GKG, pemberian kapur didasarkan kepada metode
inkubasi untuk mencapai pH 5 (Hartatik et al., 1999). Sedangkan pemupukan P
berdasarkan kepada kebutuhan P untuk mencapai 0,02 ppm P dalam larutan
tanah.
Di Belawang kebutuhan kapurnya lebih tinggi yaitu sebesar 4 t/ha, respon
pemupukan P dan K tertinggi dicapai pada perlakuan P optimum (100 kg P/ha), K
78 kg/ha, dan 4 t kapur/ha. Hasil itu dapat dipahami karena tanah sulfat masam
aktual di Belawang piritnya telah mengalami oksidasi sehingga Al-dd tinggi dan P
tersedia rendah. Hasil penelitian pemupukan P dan kapur pada tanah sulfat
masam pada beberapa lokasi penelitian disajikan pada Tabel 4.3. P-alam yang
telah dicoba untuk tanah sulfat masam dan memberikan hasil yang sama baiknya
adalah P-alam Tunisia, Ciamis, Christmas, dan Aljazair.
Tabel 4.3. Hasil tanaman padi dengan pemupukan dan pengapuran pada
beberapa tanah sulfat masam di Sumatera dan Kalimantan
Pemupukan Hasil
Lokasi Kaptan/dolomit Varietas
P2 O 5 K2 O GKG
…….. kg/ha …….. ............. t/ha .............
Tabung Anen, Kalsel 98,5 62,7 1 kaptan 3,24 IR-64
Belawang, Kalsel 229 104 4 kaptan 3,25 IR-64
Telang Muba, Sumsel 300 P2O5 60 K2O 2 dolomit 4,0 IR-64
Unitalas, Kalteng 135 P2O5 50 K2O 1 kaptan 2,4 -
Lamunti, Ex PLG 56 P2O5 60 K2O 2 kaptan 2,0 IR-64
136
Suriadikarta dan Setyorini
kg P2O5/ha hasil yang diperoleh hanya 3,79 t/ha GKG, sedangkan di Palingkau
Kalimantan Tengah dengan dosis yang sama dapat memberikan masing-masing
3,7 t/ha dan 3,4 t/ha GKG (Supardi et al., 2000).
Pemupukan P-alam hingga 60% erapan maksimum P dalam tanah sulfat
masam Sumber Agung dan Sumber Rejo di Pulau Rimau, Sumatera Selatan
dapat meningkatkan kadar P tersedia, namun belum dapat menurunkan kadar
unsur beracun Fe2+, Fe-Al oksida, dan amorf serta sulfat dalam tanah. Unsur
beracun diatas ditemukan dalam jumlah yang lebih tinggi pada tanah sulfat
masam potensial yang baru teroksidasi dibandingkan tanah sulfat masam aktual
(Setyorini, 2001). Oleh karena itu diperlukan kehati-hatian dalam mereklamasi
atau melakukan pencucian/drainase di tanah sulfat masam potensial, apalagi jika
kandungan liat tinggi.
Lebih lanjut ia menyatakan bahwa erapan P maksimum pada tanah sulfat
masam aktual mencapai 2,000 µg P/g sedangkan pada sulfat masam potensial
sedikit lebih rendah yaitu sekitar 1,666 µg P/g. Nilai erapan maksimum yang
tinggi pada sulfat masam aktual dari pada sulfat masam potensial diakibatkan
perbedaan kadar dan jenis liat, kadar pirit, pH, Al dan Fe, serta bahan organik.
Ditinjau dari distribusi bentuk P-anorganik pada tanah sulfat masam diatas,
terlihat bahwa fraksi Fe-P dan Al-P mendominasi jumlah P anorganik pada tanah
sulfat masam potensial sedangkan fraksi Al-P dan Ca-P dominan pada sulfat
masam aktual. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan P pada tanah
sulfat masam antara lain pH, Alo, Feo, Ald, Fed, dan pirit. Tingginya kadar Fe dan
Al bentuk amorf pada tanah sulfat masam mempengaruhi distribusi fraksi P-
anorganik (Setyorini, 2001).
Dari hasil penelitian Konsten dan Sarwani (1990), di Pulau Petak
Kalimantan Selatan, diperoleh bahwa oksidasi pirit setelah reklamasi membuat
tanah di daerah tersebut sangat masam, dijenuhi oleh Al dan mempunyai pH
antara 3 dan 4. Adanya garam-garam besi bebas dan Al menyebabkan
keracunan tanaman dan defisiensi K dan Ca sangat sering terjadi. Kemasaman
tanah aktual dari tanah sulfat masam di Pulau Petak diduga dengan titrasi cepat
pada pH 5,5, jumlah Al-dd sampai 60 mmol/g. Kemasaman tanah aktual untuk
tanah pH kurang dari 4 adalah 20 mmol/100 g yang setara dengan keperluan
kapur 15 t/ha. Potensi kemasaman sangat tinggi dengan kandungan pirit
mencapai 8%. Selanjutnya Konsten dan Sarwani (1990) mengemukakan bahwa
untuk mengatasi kemasaman aktual yang tinggi dapat dilakukan dengan drainase
137
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam
138
Suriadikarta dan Setyorini
Tabel 4.4. Varietas padi lahan pasang surut yang telah dilepas dengan
beberapa sifat keunggulannya
Tahun Kadar Tekstur
Varietas Umur Sifat unggul
pelepasan ameliorasi nasi
hari %
IR-64 1980 140 27 Pera Tahan WC2, HDB, blast, Fe
Barito 1981 140 21 Pulen Tahan WC1 dan HDB
Mahakam 1983 135 26 Pera Tahan HDB, Fe, salinitas
Kapuas 1984 127 23 Pulen Tahan WC1, HDB, Fe
Musi 1988 135 24 Pera Tahan HDB, blast, salinitas
Lematang 1991 130 27 Pera Tahan WC1, Fe
Sei Lilin 1991 120 26 Pera Tahan WC1, Fe
Banyuasin 1997 120 22 Pulen Tahan HDB, blast, Fe, dan Al
Lalan 1997 125 27 Pera Tahan WC2, blast, salinitas
Batanghari 1999 125 26 Pera Tahan WC2, HDB, blast Fe
Dendang 199 125 20 Pulen Tahan WC2, HDB, blast, Fe, Al
Keterangan : WC 1, 2, 3 : wereng coklat biotipe 1, 2 dan 3
HDB : hewan daun bateri
Fe, Al : tahan keracuanan Fe dan Al
Sumber : Suwarno et al. (2000)
139
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam
a. Kelapa
140
Suriadikarta dan Setyorini
monokultur di guludan seperti di Riau. Di Karang Agung Ulu dan Karang Agung
Tengah produksi kelapa rata-rata berkisar 7-18 butir/pohon/periode petik dan 10-
17 butir/pohon/periode petik. Pupuk yang diberikan untuk tanaman kelapa ma-
sing-masing diberikan per pohon, tergantung kepada umur tanaman (Tabel 4.7).
Pemberian pupuk N, P, dan K paling tinggi pada umur tanaman kelapa 3 tahun.
Tabel 4.6. Dosis pemupukan tanaman sayuran dan buah-buahan pada lahan
sulfat masam
Komoditas Pupuk Bahan
No. Kapur Keterangan
(Varietas) Urea TSP KCl NPK organik
………….. kg/ha ………….. …… t/ha ……
1. Tomat 200 200 100 50-75 5 1-1,5 NPK diberikan dengan
- Ratna (Pukan) cara disiramkan (larutan
- Intan =5%) pada areal akar
tanaman pada waktu
pembungaan
Produksi :
Ratna = 18,54 t/ha
Intan = 13,48 t/ha
2. Bawang merah 200 200 150 0 10-15 1,8 Produksi :
Bisma-Brebes Pukan Sulfat masam:
Ampenan sapi 5-6,5 t/ha umbi kering
Bima-Brebes Potensial (Ampenan)
12,6 t/ha umbi kering
3. Petsai 200 200 150 0 5 1-2 Produksi :
Asveg 82-156 8,7-15,6 t/ha
Sangihe 200 200 150 0 5-10 3 Residu MT-2 :
Talaud Gambut 21,4 t/ha crop segar
4. Kubis 200 200 100 50 5 1-1,5 Produksi : 112-14 t/ha
5. Cabe keriting 250 300 100 0 10 1-1,5 Produksi :
3,5-4,5 t/ha
Bila diberikan Gandasil B
2 cc/l (450 l larutan/ha)
pada umur 1 dan 2 bulan
setelah tanam produksi
menjadi 4-5 t/ha buah
segar
6. Pisang 600 400 160 0 25 500 Pemupukan dilakukan
Ambon dengan interval 6 bulan
Mas dengan takaran pupuk
Rajanangka yang sama, jumlah
Rajasere anakan dibiarkan 2-3
batang tiap rumpun
Produksi :
Ambon = 14,2 kg/tadan
Rajanangka = 12 kg/tadan
Rajasere = 7,8 kg/tadan
Mas = 8,3 kg/tadan
Sumber : 1. Seminar hasil penelitian usahatani di lahan pasang surut dan rawa, tahun 1989
2. Prosiding seminar. penelitian lahan pasang surut dan rawa Swamps II, tahun 1990
141
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam
Tabel 4.7. Informasi dosis pemupukan tanaman kelapa pada berbagai umur di
lahan sulfat masam
Komoditas
Urea TSP KCl Kieserit Kapur Keterangan
(Varietas)
……..… g/pohon ..…..… kg/pohon
Kelapa
Jenis Kelapa
Dalam Riau
Umur 1 bulan 100 100 100 50 1.500 BO = Memanfaatkan sisa-sisa
tumbuhan dan gambut. Dicampur
1 Tahun dalam lubang tanaman dengan
6 bulan ke-I 200 250 300 100 perbandingan Tanah : BO = 1 : 1
6 bulan Ke-II 200 250 300 100
Pengapuran pada tahun ke-4 bila
2 Tahun perlu diberikan 2-3 kg/pohon
6 bulan ke-I 350 0 450 150 bersama-sama pemberian pupuk
6 bulan ke-II 350 600 450 150
Produksi = 80-110 butir/ th/pohon
3 Tahun
6 bulan ke-I 500 0 600 200
6 bulan ke-II 500 800 600 200
Sumber : 1. Seminar Hasil Penelitian Usahatani di Lahan Pasang Surut dan Rawa,
tahun 1989
2. Prosiding Seminar Penelitian Lahan Pasang Surut dan Rawa Swamps II,
tahun 1990
b. Temu-temuan
142
Suriadikarta dan Setyorini
dan dapat digunakan sebagai obat alternatif baik untuk manusia maupun ternak,
di antaranya kunyit, temulawak, jahe, kencur (obat reumatik pegel linu),
lempuyang (pegel linu) temu ireng dan bangle (obat cacing), temu giring (obat
panas dan batuk). Sebagai contoh untuk ternak, jahe dapat mencegah gejala
tetelo (ND), dan temulawak dapat menekan berkembangnya bakteri di
kotorannya, sehingga bau limbah dapat ditekan.
Produksi temu-temuan cukup bagus, jahe merah di Karang Agung Ulu
(Anonimous, 1993) dengan pemupukan 45 kg N + 36 kg P2O5 + 50 kg K2O + 200
kg kapur + 1,5 ton gambut/hektar memberikan hasil 15,5-23,6 t/ha. Sedangkan
untuk jahe putih kecil atau emprit produksi 4,9-8,5 t/ha dan jahe putih besar
varietas gajah produksi 4,5-5,9 t/ha. Demikian juga dari Kalimantan Tengah
produksi jahe putih kecil cukup baik 0,7-1,0 kg/rumpun. Produksi tanaman kencur
juga cukup baik di Karang Agung Ulu dapat mencapai 11,2-20,1 t/ha, dan dari uji
produksi di Kalimantan Tengah juga menunjukkan produksi yang baik yaitu
mencapai 200-300 g/rumpun.
c. Lada
Tanaman lada varietas Petaling I, Petaling II, dan LDK dapat tumbuh dan
beradaptasi baik di lahan pasang surut potensial maupun sulfat masam aktual
Karang Agung Ulu. Pada lahan potensial pengapuran dengan takaran 2-3
kg/tanaman dapat mempengaruhi produksi buah lada sampai panen ke-3 (panen
pertama 28 bulan). Sedangkan pada lahan sulfat masam, pembuatan saluran
cacing di kanan dan di kiri tanaman memberikan hasil tertinggi yaitu 140, 300,
dan 230 gram per pohon masing-masing pada panen pertama, kedua, dan ketiga.
Saluran cacing ini ditujukan untuk menjamin drainase yang baik agar kelembaban
tanah tidak berlebihan bagi tanaman lada. Karena lada memerlukan bahan
organik tinggi maka pengembangan di lahan bergambut tipis lebih sesuai untuk
tanaman lada produktif, pemupukan tiga kali setahun dengan interval empat
bulan sekali dengan takaran 512 g urea + 880 g TSP + 600 g KCl + 60 g kiserit
per pohon memberikan hasil tertinggi yaitu 1,22 kg/pohon (Anonimous, 1993).
Tiang panjat seperti lamtoro gung (Leucaena sp.) dan waru-waruan dengan
pemangkasan empat kali setahun memberikan pertumbuhan yang baik terhadap
lada di Karang Agung Ulu ini. Pengembangan tanaman industri/perkebunan lahan
sulfat masam disajikan pada Tabel 4.8.
143
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam
4.5.4. Perikanan
144
Suriadikarta dan Setyorini
Tabel 4.9. Hasil penelitian komponen perikanan dan usahatani pada berbagai
tipologi lahan
Jenis kegiatan Komoditas Jenis lahan dan lokasi Produksi
Tata air dan manejemen Nila Lahan potensial 1,2 t/ha
kolam Karang Agung Ulu
Pembenihan Nila Lahan Rawa ½ t/ha/th
Patratani
Budidaya ikan di Karamba Toman Lahan lebak 5 kg/m3/3 bln
Koan (sungai)
Jelawat
Lampan
Balong-itik Nila Lahan potensial 0,9 t/ha/th
Karang Agung Ulu
Budidaya udang galah Udang galah Lahan salin 4,2 t/ha/th
Delta Upang
Mina-padi Jelawat Lahan lebak 1,4 t/ha/th
Lampan Kayu Agung
Sepat siam
Tawes
Ikan-padi-palawija Jelawat Lahan lebak 1,5 t/ha/th
Lampan Kayu Agung
Sepat siam
Tawes
Polikultur Patin dan Nila Lahan pasang surut 1.660 kg/ha/3 bln
Mariana
Budidaya monokultur Patin Lahan potensial 390 kg/ha/2 bln
Karang Agung Ulu
Budidaya ikan Gurame Lahan lebak 330 kg/ha/2 bln
Patratani
Polikultur Jelawat Lahan rawa 1,15 t/ha/3 bln
Patin Patratani
Longyam Nila merah Pasang surut 4,25 t/ha/bln
Parit Keladi
Reklamasi lahan Nila merah Lahan sulfat masam 5 t/ha/2 bln
Palingkau
3
Budidaya lele dalam tong Lele dumbo Sulfat masam 2,6 kg/0,2 m
Palingkau
Sumber : D.A. Suriadikarta et al. (1999)
145
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam
PENUTUP
146
Suriadikarta dan Setyorini
DAFTAR PUSTAKA
147
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam
148
Suriadikarta dan Setyorini
Proyek ISDP. 1997. Gelar Teknologi Pertanian Lahan Pasang Surut Karang
Agung Ulu, Sumatera Selatan.
Richard, D.T. 1973. Sedimentary Ion Formation. Proc. Int. Symp. On Acid Sulfate
Soil. Vol-I. ILRI. Wegeningen. The Netherland.
Satsiyati, M. Januwati, dan H. Supriadi. 1999. Teknik Budidaya dan Potensi
Usahatani Sayuran Lahan Rawa di Kalimanatan Tengah. Proseding Temu
Pakar dan Lokakarya Nasional Desiminasi dan Optimasi Pemanfaatan
Sumberdaya Lahan Rawa, Jakarta 23-26 Nop. 1999. Hal 79-93.
Soil Survey Staff. 1998. Keys to Soil Taxonomy. Agency For International
Development, USDA.
Subagjo, H. dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1998. Peluang dan kendala penggunaan
lahan rawa untuk pengembangan pertanian di Indonesia : kasus Sumatera
Selatan dan Kalimantan Tengah. Makalah Utama Pertemuan Pembahasan
dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat, 10 Pebruari 1998
di Bogor.
Subagyono, K., I W. Suastika, dan E.E. Ananto. 1999 Penataan Lahan dan Tata
Air Mikro: Pengembangan SUP Lahan Pasang Surut, Sumatera Selatan.
Proyek Pengembangan Sistem Usaha Pertanian (SUP) Lahan Pasang
Surut Sumatera Selatan. Badan Penelitian dan Pengembangan,
Departemen Pertanian.
Subiksa, I G.M., D.A. Suriadikarta, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1990. Tata air dan
jarak kemalir terhadap kimia tanah dan hasil padi sawah pada tanah sulfic
Tropaquents. Pro.Sem.Penel. Lahan Pasang Surut dan Rawa. Swamps-II.
Palembang. 29-31 Oktober 1990.
Subiksa, I G.M. dan I. Basa. 1990. Kemajuan Penelitian Sistem Usahatani pada
Lahan Sulfat Masam di Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan. Risalah
Seminar Penlitian Proyek Swamps II. Bogor, 19-21 September 1990.
Suping, S., D.A. Suriadikarta, dan W. Hartatik. 2000. Prospek P alam sebagai
pengganti SP 36 di lahan sulfat masam. Dalam Prosiding Seminar Nasional
Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung 25-29
Juli 2000.
Suriadikarta, D.A. dan A. Abdurachman. 1999. Penelitian Teknologi Reklamasi
untuk Meningkatkan Produktivitas tanah Sulfat Masam Potensial. Pro.
Temu Pakar dan lokakarya Nasional Diseminasi Optimasi Pemanfaatan
Sumber Daya Lahan Rawa, Jakarta 23 – 26 Nopember 1999.
Suriadikarta, D.A., H. Supriadi, H. Malian, Z. Desmiyati, Suwarno, M. Januwati,
dan H.K. Anang. 1999. Kesiapan Teknologi dan Kendala Pengembangan
Usahatani Lahan Rawa. Dalam Prosiding Temu Pakar dan Lokakarya
149
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam
150
TEKNOLOGI PENGELOLAAN
V HARA LAHAN GAMBUT
Wiwik Hartatik dan Didi Ardi Suriadikarta
151
Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut
5.1. PENDAHULUAN
152
Hartatik dan Suriadikarta
153
Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut
154
Hartatik dan Suriadikarta
Tabel 5.2. Komposisi gambut Ombrogen di Indonesia dan kapasitas tukar kation
(Driessen, 1978)
Komposisi Bobot KTK
% me/100g
Lignin 64-74 150-180
Senyawa humat 10-20 40-80
Selulosa 0,2-10 7
Hemiselulosa 1-2 1-2
Lainnya <5 -
Total gambut 100 190-270
Unsur fosfor (P) pada tanah gambut sebagian besar dijumpai dalam bentuk
P organik, yang selanjutnya akan mengalami proses mineralisasi menjadi P
inorganik oleh jasad mikro. Sebagian besar senyawa P organik berada dalam
bentuk ester ortofosfat, sebagian lagi dalam bentuk mono dan diester. Ester yang
telah diidentifikasi terdiri atas inositol fosfat, fosfolipid, asam nukleat, nukleotida,
dan gula fosfat, ketiga senyawa pertama bersifat dominan.
Fraksi P organik diperkirakan mengandung 2% P sebagai asam nukleat,
1% sebagai fosfolipid, 35% inositol fosfat, dan sisanya belum teridentifikasi. Di
dalam tanah, pelepasan inositol fosfat sangat lambat dibandingkan ester lainnya,
sehingga senyawa ini banyak terakumulasi, dan kadarnya di dalam tanah
menempati lebih dari setengah P organik atau kira-kira seperempat total P tanah.
Senyawa inositol heksafosfat dapat bereaksi dengan Fe atau Al membentuk
garam yang sukar larut, demikian juga terhadap Ca. Dalam keadaan demikian,
garam ini sukar didegradasi oleh mikroba (Stevenson, 1994).
Penelitian pada tanah Histosol yang tidak diusahakan, dan didrainase yang
mengandung bahan mineral yang tinggi, termasuk besi feri (Fe3+) dan Ca yang
tinggi akan menurunkan mobilitas dan degradasi fosfat. Dari total P fraksi
terbesar yaitu fraksi P organik tidak labil dan yang resisten. Asam fulvat
berasosiasi dengan P sebesar 12% dari total P. Fosfat residu berturut-turut
sebesar 13; 29; dan 8% dari total P tanah pada Histosol yang diusahakan, tidak
diusahakan, dan yang digenangi (Ivanoff et al., 1998).
Proses mineralisasi P organik oleh jasad mikro sangat dipengaruhi oleh
nisbah C dan P. Bila nisbah C dan P mencapai 300 akan terjadi immobilisasi P
oleh jasad mikro, P akan digunakan sebagai energi dan penyusun struktur sel
155
Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut
jasad mikro. Sedangkan bila nisbah C dan P mencapai 200, proses mineralisasi
akan berjalan lebih cepat daripada proses immobilisasi, sehingga P akan dapat
lebih tersedia bagi tanaman. Menurut Tisdale et al. (1985) proses mineralisasi
akan lebih konstan bila nisbah C, N, dan P mencapai nilai sebesar 100:10:1.
Dengan demikian proses mineralisasi yang terjadi pada tanah gambut
berlangsung lambat, karena nisbah C dan P sangat lebar (Miller dan Donahue,
1990).
Pada tanah gambut kandungan unsur mikro umumnya terdapat dalam
jumlah yang sangat rendah, dan dapat menyebabkan gejala defisiensi bagi
tanaman. Tanah yang berkadar bahan organik tinggi seperti gambut, sebagian
besar hara mikro, terutama Cu dikhelat cukup kuat oleh bahan organik sehingga
tidak tersedia bagi tanaman (Kanapathy, 1972). Grup karboksilat dan fenolat
pada tapak reaktif tanah gambut dapat membentuk senyawa kompleks dengan
unsur mikro, sehingga mengakibatkan unsur mikro menjadi tidak tersedia bagi
tanaman. Selain itu adanya kondisi reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro
direduksi menjadi bentuk logamnya yang tidak bermuatan. Menurut Driessen
(1978) kandungan unsur mikro tanah gambut pada lapisan bawah umumnya
lebih rendah dibandingkan lapisan atas. Namun dapat juga kandungan unsur
mikro pada lapisan bawah dapat lebih tinggi apabila terjadi pencampuran dengan
bahan tanah mineral yang ada di lapisan bawah gambut tersebut.
156
Hartatik dan Suriadikarta
157
Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut
158
Hartatik dan Suriadikarta
159
Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut
tinggi sampai takaran 7,5% erapan maksimum besi pada tanah gambut dari
Kalimantan Tengah mampu menurunkan konsentrasi asam-asam fenolat sekitar
30% dan meningkatkan produksi padi dari 0,73 menjadi 3,24 t/ha (Tabel 5.3).
Pemberian tanah mineral juga dapat memperkuat ikatan-ikatan kation dan anion
sehingga konservasi terhadap unsur hara yang berasal dari pupuk menjadi lebih
baik. Selain itu, ikatan dengan koloid inorganik menyebabkan degradasi bahan
gambut menjadi terhambat (Alexander, 1977) sehingga gambut sebagai sumber
daya alam dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama.
Tabel 5.3. Rata-rata bobot gabah akibat pemberian bahan amelioran pada dua
jenis gambut di Kalteng (Salampak, 1999)
Bobot gabah pada
Bahan amelioran
Gambut pasang surut (Samuda) Gambut transisi (Sampit)
% erapan maksimum Fe ………….…….………. t /ha ……………..………….
0 0,73 a* 0,57 a
2,5 1,22 a 1,19 ab
5 2,06 b 1,87 c
7,5 3,24 c 2,75 d
10 2,15 c 2,03 d
*) Nilai tengah yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf 5%.
Kation besi dari amelioran tanah mineral dapat menciptakan tapak erapan
baru pada gambut sehingga ikatan fosfat menjadi lebih kuat dan tidak mudah
lepas. Kation besi berperan sebagai jembatan pengikat fosfat pada tapak erapan
reaktif gambut sehingga hara P dari tapak reaktif gambut dapat dilepaskan
secara lambat dan kebutuhan tanaman dapat dipenuhi.
Hartatik (2003) melaporkan pemberian bahan amelioran tanah mineral
takaran 7,5% erapan maksimum Fe pada tanah gambut Air Sugihan Kiri
Sumatera Selatan menurunkan konsentrasi asam siringat, asam kumarat dan
asam vanilat berturut-turut 88, 67, dan 36% (Tabel 5.4). Menurut Tadano et al.
(1992) beberapa jenis asam fenolat yang umum dijumpai dalam tanah gambut di
antaranya asam ferulat, asam vanilat, p-kumarat, dan p-hidroksibenzoat pada
konsentrasi tertentu dapat bersifat racun terhadap pertumbuhan tanaman. Asam-
160
Hartatik dan Suriadikarta
161
Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut
ppm. Sedangkan pada tanah mineral berpirit tinggi pencucian dua dan empat kali
sebulan mampu menurunkan kadar sulfat terlarut masing-masing 93 dan 91%.
Demikian juga pencucian yang dilakukan setelah tanah mineral berpirit
dicampur dengan tanah gambut juga cukup efektif menurunkan kadar sulfat
terlarut dalam tanah. Ameliorasi gambut dengan tanah mineral berpirit,
disarankan melakukan pencucian untuk menurunkan kadar sulfat sampai batas
tidak menghambat pertumbuhan tanaman, sebaiknya dilakukan percampuran
gambut dengan tanah mineral dahulu sebelum dilakukan pencucian, untuk
menghindari hilangnya basa-basa dalam gambut dan meningkatkan hasil
tanaman (Gambar 5.1).
16
16
13.85
13,85
14
14
12,17
12.17
(G/POT)
bernas (g/pot)
12
12
10
10
8,38
8.38
BERNAS
88
5,42
5.42 5,3
5.3
Gabah
66 5,05
5.05
GABAH
3,88
3.88
44 3,16
3.16
22 0,78
0.78 0.78
0,78
00
KIC0 RC4I RC2I TC4I TC2I KIC0 RIC4 RIC2 TIC4 TIC2
DIINKUBASI SETELAH
Diinkubasi setelah DICUCI
dicuci DICUCI SETELAH
Dicuci DIINKUBASI
setelah diinkubasi
Keterangan :
KIC0 = Kontrol RIC4 = Kadar pirit rendah, diinkubasi dicuci empat
RC4I = Kadar pirit rendah, dicuci empat kali, inkubasi, tanam kali, tanam
RC2I = Kadar pirit rendah, dicuci dua kali, inkubasi, tanam RIC2 = Kadar pirit rendah, diinkubasi, dicuci dua
TC4I = Kadar pirit tinggi, dicuci empat kali, inkubasi, tanam kali, tanam
TC2I = Kadar pirit tinggi, dicuci dua kali, inkubasi, tanam TIC4 = Kadar pirit tinggi, diinkubasi, dicuci empat
kali, tanam
TIC2 = Kadar pirit tinggi, diinkubasi, dicuci dua
kali, tanam
Sumber : Suastika (2004)
162
Hartatik dan Suriadikarta
163
Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut
164
Hartatik dan Suriadikarta
hibrida Yaponica peningkatannya kecil hanya 7,3% yaitu dari 6,8 t/ha menjadi 7,3
t/ha GKG. Peningkatan ini kecil karena varietas Yaponica belum dapat
beradaptasi dengan tanah Ultisols di Indonesia.
Pemberian bahan amelioran zeolit 0,5-1,5% dapat mengurangi kehilangan
K dari pupuk pada tanah gambut pantai dan peralihan masing-masing sebesar
0,5-2% dan 0,7-3%. K yang tercuci dari gambut pantai lebih kecil dari gambut
peralihan. Untuk meningkatkan efisiensi pemupukan K dalam tanah gambut,
maka disarankan untuk melakukan pemupukan K sesuai kebutuhan ke dalam
zeolit sebagai amelioran. Semakin tinggi dosis zeolit dan kalium pada tanah
gambut pantai dan peralihan tanpa maupun dengan pencucian, bobot gabah
kering semakin meningkat. Kombinasi pemberian zeolit 15 g/kg dan K 375 mg/kg
meningkatkan bobot gabah kering (Tabel 5.5). Perlakuan pencucian dan
pemberian bahan amelioran Fe3+ pada takaran 2,5% erapan maksimum Fe untuk
gambut pantai dan 5% untuk gambut peralihan meningkatkan bobot kering
tanaman (Tabel 5.6 ).
Tabel 5.5. Rata-rata bobot gabah kering padi akibat pencucian dan pemberian
zeolit serta kalium pada tanah gambut pantai dan peralihan
Tanpa Dengan Tanpa Dengan
Zeolit Kalium pencucian pencucian pencucian pencucian
Gambut pantai Gambut peralihan
g/kg mg/kg .............................................. g/pot .............................................
0 0 3,03a 6,83a 0,36a 2,03a
125 5,54b 8,17b 1,03b 4,48b
250 6,37bc 8,38b 1,30b 5,37b
375 7,00c 10,60c 1,30b 6,00b
5 0 5,10a 7,21a 1,05a 4,18a
125 7,34b 9,58b 1,91a 5,37b
250 7,85b 9,68b 1,65a 6,86b
375 8,98c 13,40c 2,25b 7,97c
10 0 6,34a 8,67a 1,40a 5,35a
125 6,92ab 11,65b 1,70a 5,95a
250 7,88b 12,54b 2,50b 6,89b
375 8,54b 14,29c 4,30c 7,54b
15 0 5,95a 11,00a 1,75a 4,90a
125 8,06b 14,27b 2,27a 7,55b
250 9,13c 15,37b 3,41b 8,13b
375 10,65d 17,60c 5,58c 9,60c
Nilai tengah yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf α = 0,05
165
Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut
166
Hartatik dan Suriadikarta
pengikatan P. Hal ini disebabkan karena besi terikat kuat dalam mineral apatit
yang sukar larut.
167
Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut
Kontrol
Christmas
10 - 20 10 - 20
Christmas
20 - 30 Kontrol tanpa TM 20 - 30
Kontrol TM
Maroko 50%
30 - 40 30 - 40
Maroko 100%
Maroko 200%
40 - 50 40 - 50
50 - 60 50 - 60
5 - 10
Kedalaman Kolom Tanah (cm)
5 - 10
Kedalaman kolom tanah (cm)
10 - 20 10 - 20
20 - 30 20 - 30
30 - 40 30 - 40 Kontrol tanpa TM
Kontrol tanpa TM
Kontrol TM
Kontrol TM
40 - 50 40 - 50 SP-36 50%
Ciamis 50%
SP-36 100%
Ciamis 100%
SP-36 200%
50 - 60 Ciamis 200% 50 - 60
Gambar 5.2. Pola distribusi fosfor dalam kolom tanah dari beberapa jenis
sumber P
168
Hartatik dan Suriadikarta
Tabel 5.7. Rataan bobot kering tanaman dan serapan P Total padi IR-64 akibat
pemberian beberapa jenis fosfat alam dan SP-36 pada tanah gambut
yang diberi bahan amelioran tanah mineral
Perlakuan Bobot kering tanaman Serapan P total
g/pot mg/pot
Kontrol - TM 1,17 d* 5,88 d
Kontrol + TM 1,85 cd 8,05 cd
Maroko 50% + TM 1,72 cd 10,47 cd
Maroko 100% + TM 1,44 cd 12,79 cd
Maroko 150% + TM 1,74 cd 10,69 cd
Christmas 50% + TM 1,83 cd 7,76 cd
Christmas 100% + TM 1,13 d 7,43 cd
Christmas 150% + TM 1,91 cd 10,02 cd
Ciamis 50% + TM 3,37 bc 16,57 bc
Ciamis 100% + TM 1,01 d 7,97 cd
Ciamis 150% + TM 1,47 cd 14,17 cd
SP-36 50% + TM 4,77 ab 24,98 ab
SP-36 100% + TM 5,87 a 27,31 a
SP-36 150% + TM 4,26 ab 34,93 a
Keterangan : Angka yang selajur diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%
TM = Tanah mineral
Sumber : Hartatik (2003)
169
Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut
170
Hartatik dan Suriadikarta
tidak terhambat. Sedangkan pada perlakuan fosfat alam terutama fosfat alam
Christmas kondisi perakaran memendek dan kurang lebat akibat pengaruh
fitotoksik dari asam-asam organik sehingga serapan P baik dari fosfat alam dan
tanah gambut terganggu yang berakibat pertumbuhan tanaman kerdil.
Persentase serapan P dengan metode isotop perlakuan pemberian bahan
amelioran dan SP-36 memberikan persentase serapan P lebih tinggi dari fosfat
alam. Persentase serapan P pada perlakuan pemberian bahan amelioran dan
SP-36 takaran 50%, 100%, 150% erapan P masing-masing sebesar 9,94; 4,85;
dan 5,35% (Gambar 5.4).
Serapan P
60% 60%
40% 40%
20%
20%
0%
0%
0 50 100 150
0 50 100 150
Takaran Fosfat Alam Ciamis (%erapan P)
Takaran SP-36 (%erapan P)
Gambar 5.3. Pengaruh pemberian beberapa jenis fosfat alam atau SP-36 pada
tanah gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral terhadap
proporsi serapan P oleh tanaman padi (Hartatik, 2003)
171
Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut
10 50%
9 100%
8 150%
Serapan P (%)
7
6
5
4
3
2
1
0
Maroko Christmas Ciamis SP-36
Sumber P
Gambar 5.4. Persentase serapan P akibat pemberian beberapa jenis fosfat alam
atau SP-36 pada tanah gambut yang diberi bahan amelioran tanah
mineral. Sumber: Hartatik (2003)
172
Hartatik dan Suriadikarta
173
Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut
174
Hartatik dan Suriadikarta
Tabel 5.9. Bobot gabah dan jerami kering penelitian pengelolaan hara terpadu
pada lahan sulfat masam potensial bergambut di Kalimantan Tengah
Perlakuan Bobot gabah kering Bobot jerami kering
….………………. ku/ha ………….……….
N0P1K1 16,30 c 14,30 e
N1P1K1 35,43 ab 29,43 bcd
N2P1K1 33,67 ab 43,87 a
N1P0K1 36,17 ab 32,47 abcd
N1P2K1 28,37 b 26,43 bcde
N1P1K0 31,10 ab 22,10 cde
N1P1K2 35,80 ab 30,70 abcd
N2P2K2 38,20 a 34,77 abc
N1P1K1L + BO 30,80 ab 30,97 abcd
N2P2K2L + BO 35,27 ab 38,27 ab
N1P1K1Zn+L 28,33 b 18,93 de
N1P1K1ZnCu+L 28,50 b 23,60 cde
N1P1K1ZnL + BO 32,20 ab 27,60 bcde
N1P1K1ZnCuL + BO 32,70 ab 26,77 bcde
N1P1K1 + BO+E138 32,27 ab 29,27 bcd
N1P1K1 + BO+E2001 32,20 ab 25,10 bcde
* Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT.
Sumber : Hartatik dan Suriadikarta (2001).
Keterangan :
Pupuk N yang digunakan urea dengan takaran 0, 150, dan 300 kg/ha (N0, N1, dan N2)
Pupuk P yang digunakan P-alam Christmas dengan takaran 0, 200, dan 400 kg/ha (P0,
P1, dan P2)
Pupuk K yang digunakan KCl dengan takaran 0, 100, dan 200 kg/ha (K0, K1, dan K2)
Takarn ZNSO4 dan CuSO4 15 kg/ha
175
Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut
PENUTUP
176
Hartatik dan Suriadikarta
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. John Wiley and Sons Inc.
New York.
Andriesse, J.P. 1974. Tropical Peats in South East Asia. Dept. of Agric. Res. Of
the Royal Trop. Inst. Comm. 63. Amsterdam 63 p.
Anwar, K. dan M. Alwi. 2000. Pengelolaan hara untuk meningkatkan hasil jagung
di lahan gambut dangkal. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan
Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung, 25-27 Juli 2000.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang
Pertanian. Departemen Pertanian.
Driessen, P.M. 1978. Peat soils. pp: 763-779. In: IRRI. Soil and rice. IRRI. Los
Banos. Philippines.
Driessen, P.M. and H. Suhardjo. 1976. On the defective grain formation of sawah
rice on peat. Soil Res. Inst. Bull. 3: 20 – 44. Bogor.
Halim, A. 1987. Pengaruh pencampuran tanah mineral dan basa dengan tanah
gambut pedalaman Kalimantan Tengah dalam budidaya tanaman kedelai.
Disertasi Fakultas Pascasarjana, IPB. Bogor. 322p.
Hartatik, W. dan D.A. Suriadikarta. 2001. Pengelolaan hara terpadu pada lahan
sulfat masam potensial bergambut. Dalam Prosiding Seminar Nasional
Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Pupuk. Cisarua, 30-31 Oktober 2001.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Hartatik, W., D.A. Suriadikarta, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1995. Pengaruh
ameliorasi dan pemupukan terhadap tanaman kedelai pada lahan gambut
Kalimantan Barat. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat
No. 2. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian.
Departemen Pertanian.
177
Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut
178
Hartatik dan Suriadikarta
179
Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut
________________________________________________________________
180
TEKNOLOGI PEMANFAATAN
VI LAHAN RAWA LEBAK
Trip Alihamsyah dan Isdijanto Ar-Riza
181
Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak
6.1. PENDAHULUAN
182
Alihamsyah dan Ar-Riza
Lahan rawa lebak adalah lahan yang rejim airnya dipengaruhi oleh hujan,
baik yang turun setempat maupun di daerah sekitarnya. Genangan air di lahan
lebak bisa lebih dari 6 bulan akibat adanya cekungan dalam, dikenal sebagai
rawa monoton atau disebut juga bono romo. Berdasarkan tinggi dan lama
genangan airnya, Widjaja-Adhi et al. (1992) mengelompokkan lahan lebak
menjadi lebak dangkal, lebak tengahan, dan lebak dalam. Masing-masing lahan
lebak tersebut memiliki karakteristik alami berbeda sehingga memerlukan
teknologi pemanfaatan yang berbeda pula.
Lahan lebak dangkal adalah lahan lebak yang tinggi genangan airnya-
kurang dari 50 cm selama kurang dari 3 bulan. Lebak dangkal secara analogis
dapat disamakan dengan kategori Watun I-II. Watun I adalah areal sepanjang
300 depa yang diukur dari tepi rawa dalam hal ini adalah lahan pekarangan
kearah tengah rawa. Satu depa setara dengan 1,7 m, sehingga Watun I
merupakan areal sepanjang 510 m kearah tengah rawa, sedangkan Watun II
merupakan areal yang posisinya lebih dalam dari watun I, yaitu sepanjang 300
depa atau 510 m dari batas akhir Watun I. Lahan ini umumnya mempunyai
kesuburan tanah yang lebih baik, karena adanya proses penambahan unsur hara
dari luapan air sungai yang membawa lumpur dari daerah hulu (Ismail et al.,
1993). Lahan lebak dangkal sangat potensial untuk budidaya tanaman pangan
terutama padi. Dengan pengetahuan dan pengalamannya, petani telah
memanfaatkan lahan ini untuk budidaya padi.
Lahan lebak tengahan adalah lahan lebak yang tinggi genangan airnya
50-100 cm selama 3-6 bulan. Lahan lebak tengahan dapat dianalogiskan dengan
Watun III-IV. Watun III merupakan areal yang posisinya lebih dalam dari Watun II,
yaitu sepanjang 510 m dari batas akhir Watun II, sedangkan posisi Watun IV
lebih dalam dari Watun III. Karena genangan air di lahan lebak tengahan lebih
dalam dan lebih lama dari pada di lahan lebak dangkal, maka masa pertanaman
183
Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak
padi di lahan ini lebih belakangan dari pada di lahan lebak dangkal. Pada lokasi
tertentu dimana sirkulasi air sangat jelek, maka akan terjadi pemasaman air
akibat dari hasil pembusukan bahan organik yang dikenal sebagai air bacam .
atau air bangai, yang ditandai oleh air yang berwarna coklat kehitaman, berbau
busuk yang menyengat, pH air sekitar 2,5 sehingga dapat mematikan tanaman.
Wilayah yang demikian tidak cocok untuk budidaya padi surung, tetapi sangat
potensial untuk padi rintak. Usahatani padi di lahan lebak tengahan hanya
dilaksanakan pada musim kemarau sesuai dengan kondisi genangan airnya.
Dengan pembuatan jaringan tata air, beragam pola tanam bisa diterapkan di
lahan lebak tengahan. Jaringan tata air di lahan lebak tengahan berupa
pembuatan saluran besar yang berfungsi menyalurkan air dari lahan ke sungai
dan parit yang berfungsi selain menyalurkan air dari petakan lahan ke saluran
besar, juga menampung air pada musim hujan untuk mengairi tanaman pada
musim kemarau. Potensi lahan tengahan untuk pertanian masih luas, yang
sekarang umumnya hanya ditumbuhi oleh gulma dan semak belukar.
Lahan lebak dalam adalah lahan lebak yang tinggi genangan airnya lebih
dari 100 cm selama lebih dari 6 bulan. Kategori lebak dalam dapat dianalogikan
dengan kategori Watun V yang merupakan areal dengan posisi lebih dalam dari
Watun IV. Pada musim kemarau dengan kondisi iklim yang normal, umumnya
lahan masih digenangi air dan ini ditumbuhi oleh beragam gulma terutama dari
jenis rumput Paspalidium yang tumbuh subur pada kondisi lahan berair.
Sehingga wilayah ini merupakan reservoir air dan sumber bibit ikan perairan
bebas. Lahan lebak dalam jarang digunakan untuk budidaya tanaman, kecuali
pada musim kering yang panjang akibat adanya anomali iklim seperti EI-Nino.
Pada kondisi demikian beberapa wilayah memang potensial untuk perluasan
areal tanaman. Namun demikian, dengan pembuatan jaringan tata air seperti
pada Iahan lebak tengahan, beragam pola tanam bisa diterapkan di lahan lebak
dalam. Jaringan tata air di lahan lebak dalam berupa pembuatan saluran besar
yang berfungsi menyalurkan air dari lahan ke sungai dan parit yang berfungsi
selain menyalurkan air dari petakan lahan ke saluran besar, juga menampung air
pada musim hujan untuk mengairi tanaman pada musim kemarau.
184
Alihamsyah dan Ar-Riza
a b
Gambar 6.1. Penataan lahan sistem surjan pada lebak dangkal (dok. Ar-Riza)
(a) Pola tanam padi-padi (tabukan) + ubi Alabio (surjan)
(b) Pola tanam padi-padi (tabukan) + labu merah (surjan)
Pola tanam untuk sawah dan bagian tabukan pada sistem surjan bisa padi
rancah gogo (rintak)-padi gogo rancah (surung), padi rintak-palawija/hortikultura-
padi surung dan padi rintak-palawija/hortikultura-palawija/hortikultura. Pola tanam
untuk sawah di lahan lebak tengahan adalah padi rintak-padi surung, padi rintak-
185
Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak
palawija dan padi rintak hortikultura. Pola tanam pada bagian guludan pada
sistem surjan bisa palawija/hortikultura palawija/hortikultura atau ditumpangsarikan
dengan buah-buahan tahunan dan pada tukungan ditanami tanaman buah-
buahan tahunan. Pola tanam di lahan lebak dalam yang dilengkapi dengan
jaringan tata air dan pada musim kemaraunya tidak tergenang air 4-6 bulan
adalah tumpang sisip jagung + kacang hijau, jagung + sayuran berumur pendek,
hortikultura berjarak tanam lebar + sayuran berumur pendek.
a b
Gambar 6.2. Sistem monokultur padi pada lebak tengahan (a) padi surung (b)
padi rintak (dok. Ar-Riza)
186
Alihamsyah dan Ar-Riza
besar dari kecepatan tumbuh tanaman padi, mengakibatkan bibit yang baru
ditanam terendam air dan mati.
Pertanaman padi rintak masalah utamanya kekeringan, maka memerlukan
varietas padi yang berumur pendek (genjah) dan tahan kekeringan. Varietas
umur genjah pada saat terkena kekeringan telah berada pada fase pengisian biji
atau masak susu sementara varietas umur sedang atau dalam masih berada fase
berbunga, sehingga varietas umur genjah dapat terhindar dari kekeringan dan
hasilnya tidak turun drastis seperti varietas umur dalam. Varietas yang telah teruji
kehandalannya diantaranya : Tajum, Secangkir, Progo, Cisokan (Ar-Riza, 2000).
Varietas lain seperti IR-36, IR-64, IR-66, dan beberapa varietas padi adaptif lahan
rawa pasang surut seperti Indragiri, Punggur, Lambur, Mendawak, Banyuasin,
Margasari dan Martapura dinilai sesuai untuk padi rintak (Ar-Riza dan Rina,
2003). Deskripsi padi adaptif lahan pasang surut disajikan pada Tabel 6.1.
Tabel 6.1. Varietas unggul padi rawa pasang surut yang bisa ditanam di lahan
lebak
187
Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak
a b
Gambar 6.3. Pertanaman palawija dan hortikultura di lahan lebak pada musim
kemarau. (a) jagung lokal var. Kima, (b) terong var. Mustang
188
Alihamsyah dan Ar-Riza
Tabel 6.2. Jenis dan varietas tanaman palawija dan hortikultura adaptif lahan
lebak
Jenis tanaman Varietas Hasil
t/ha
Jagung Arjuna, Kalingga, Bayu, Antasena, C-3, C-5, Semar, 4-5
Sukmaraga
Kedelai Wilis, Rinjani, Lokon, Dempo, Ga!unggung, Slamet, Lawit, 1,5-2,4
Merbabu, Petek, Kerinci, Tampomas, Tanggamus, Menyapa
Kacang tanah Gajah, Pelanduk, Kelinci, Singa, Jerapah, Komodo, Mahesa 1,8-3.5
Kacang hijau Betet, Walet, Gelatik 1,5
Tomat Intan, Permata, Berlian, Mirah, A V-22, Ratna 10-15
Cabai Tanjung-I, Tanjung-2, Barito, Bengkuiu, Tampar, Keriting, 4-6
Rawit Hijau dan Putih
Terong Mustang, Kopek Ungu, Ungu Panjang, No. 4000 30-40
Kubis KK Cross, KY Cross 20-25
Kacang panjang Super King, Pontianak, KP-I, KP-2, Lebar 15-28
Buncis Horti-I, Horti-2, Prosessor, Farmer Early, Green Leaf 6-8
Timun Saturnus, Mars, Pluto 35-40
Bawang merah Ampenan, Bima, Menteng, Sumenep, Kuning 4,1-7,6
Sawi Asveg#1, Sangihe, Talaud, Tosakan, Putih Jabung, Sawi 15-20
Hijau, Sawi Huma, No. 82-157
Slada New Grand Rapids 12-15
Bayam Maestro, Giti Hijau dan Merah, Cimangkok, Kakap Hijau 10-12
Kangkung LP-I, LP-2, Sutera 25-30
Sumber : Alihamsyah dan Ar-Riza, 2004.
189
Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak
untuk memperbaiki kondisi lahan menjadi lebih seragam dan rata dengan adanya
penggemburan dan perataan, juga untuk pencampuran bahan organik maupun
pupuk dengan tanah. Khusus pada tanah yang keras dan berbongkah, sebaiknya
tanah diolah sampai gembur atau melumpur. Bila tanahnya sudah gembur atau
berlumpur dan rata, pengolahan tanah secara intensif tidak diperlukan tetapi
diganti dengan pengolahan tanah minimum atau tanpa olah tanah (TOT) yang
dikombinasikan dengan penggunaan herbisida efektif.
Penyiapan lahan pada penanaman padi rintak jarang dilakukan dengan
pengolahan tanah karena selain tanahnya sudah lunak (kepadatan tanah atau
soil bulk density <1). juga untuk percepatan tanam karena jangka waktunya relatif
singkat. Penyiapan lahan dilakukan dengan cara menebas rerumputan dan
mengkaitnya ke pematang petakan lahan, yang dikenal sebagai cara tebas-kait.
Biomasa rerumputan yang sudah lapuk dimanfaatkan sebagai pupuk organik
atau mulsa untuk menghambat laju evaporasi, agar tanah tetap dalam keadaan
lembab dan sekaligus memperbaiki kesuburan tanahnya. Penyiapan lahan dapat
juga dilakukan dengan menggunakan herbisida tetapi harus mempertimbangkan
kondisi lahan dan ketebalan rerumputan di petak sawah. Pada kondisi lahan yang
rerumputannya sangat tebal, utamanya jika didominasi oleh jenis Paspalidium sp.
penyemprotan herbisida harus dilakukan lebih awal agar pada saat tanam,
rerumputan tersebut sudah terdekomposisi dengan baik. Proses dekomposisi
dapat menyebabkan naiknya kemasaman tanah dan berkurangnya nitrogen
karena digunakan oleh bakteri dekomposer. Oleh karena itu, penanaman bibit
yang bersamaan dengan proses pembusukan bahan organik harus dihindari
karena dapat menyebabkan kematian bibit, sehingga dapat mengurangi populasi
tananam. Pada kondisi lahan yang tergenang air, dianjurkan penggunaan
herbisida kontak agar rerumputan lebih cepat mati (Chaerudin dan Ar-Riza,
2001).
Penyiapan lahan untuk penanaman palawija dan hortikultura juga bisa
dilakukan dengan pengolahan tanah disertai pemberian mulsa maupun tanpa
olah tanah atau olah tanah minimum, tergantung kepada kondisi lahannya. Bila
tanahnya padat, lahan diolah sampai gembur dengan cangkul atau traktor,
sedangkan bila tanahnya sudah gembur dan rata, penyiapan lahan dilakukan
dengan pengolahan tanah minimum atau tanpa olah tanah dengan cara menebas
rerumputan yang dikombinasikan dengan penggunaan herbisida efektif. Khusus
untuk lahan bergambut, penyiapan lahan hanya dilakukan dengan menebas
rerumputan kemudian disemprot herbisida efektif.
190
Alihamsyah dan Ar-Riza
191
Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak
diperkecil. Model percepatan waktu tanam ini bisa diterapkan juga untuk
mengatasi kekeringan pada pertanaman padi rintak.
Penanaman palawija dilakukan dengan sistem tugal atau sistem alur, yaitu
dengan cara membuat lubang atau alur pada tanah dengan alat tugal atau
pembuat alur kemudian benih dimasukkan kedalam lubang atau alur tersebut lalu
ditutup kembali dengan tanah. Sedangkan penanaman hortikultura ada yang
dilakukan dengan cara tanam benih langsung seperti : timun, semangka, kacang
panjang, waluh, dan buncis maupun cara tanam bibit atau tanam pindah seperti :
tomat, cabai, terong, kubis, bayam, sawi, dan slada sehingga diperIukan
penyemaian benih yang baik.
6.4.3. Pemupukan
192
Alihamsyah dan Ar-Riza
sebanyak 3-5 t/ha. Belum tersedia informasi takaran pupuk yang pasti untuk
tanaman hortikultura di lahan lebak, namun demikian informasi takaran pupuk di
lahan rawa pasang surut dapat dipakai sebagai acuan (Tabel 6.3).
Tabel 6.3. Takaran pupuk pada tanaman hortikultura di lahan pasang surut
Takaran pupuk
Tanaman Tipologi
Pupuk kandang N P2O5 K2O
……………………. kg/ha …………………….
Cabai Potensial 5.000 90 90 50
Gambut 5.000 45 90 60
Tomat Potensial 5.000 135 90 60
Gambut 5.000 90 90 60
Bawang merah Potensial 10.000 90 90 75
Sawi Potensial 5.000 90 90 75
Semangka **) Potensial 10.000 0,027 0,020 0.006
*) Satuan g/pohon.
Sumber : Alihamsyah (2003)
193
Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak
sebagai mulsa, Sulvinia memberikan hasil yang lebih baik daripada Paspalidium
karena C/N rasionya lebih rendah sehingga mudah mengalami dekomposisi.
Pemanfaatan rumput Paspalidium dan Salvinia pada pertanaman padi rintak
dapat meningkatkan hasil sebesar 24,0-31,9% (Ar-Riza, 2002). Sedangkan
pupuk nitrogen yang dikombinasikan dengan biomasa Salvinia molesta sebanyak
1 t/ha dapat meningkatkan efisiensi pemupukan N sebesar 19,6% (Ar-Riza,
2002).
Tabel 6.4. Strategi dan taktik pengendalian terpadu hama tikus di lahan lebak
Komponen teknologi pengendalian
Stadia tanaman
padi Umpan Perangkap
Gropyokan Fumigasi SPP
beracun bambu
Bera x x x
Persemaian x x x
Anakan aktif x x
Bunting x x x
Bermalai x x
Panen x x
SPP : Sistem pagar perangkap untuk 1 ha dengan 40 buah bagi 20 ha tanaman padi.
Sumber : Balittra (2001).
194
Alihamsyah dan Ar-Riza
Kehilangan hasil padi di lahan lebak masih cukup tinggi, yaitu mencapai
12,5% dan mutunya rendah, karena belum baiknya penanganan panen dan
pasca panen, yaitu penentuan saat panen, cara panen, dan prosessing serta
terbatasnya tenaga kerja. Saat panen yang tepat adalah saat gabah padi telah
dalam fase masak fisiologis, yaitu hampir semua gabah matang. Pada fase ini,
prosentase kerontokan gabah akibat panen sedikit. Panen dilakukan dengan cara
memotong malai padi menggunakan sabit bergerigi kemudian hasilnya
dikumpulkan dan dirontok dengan mesin perontok (power thresher) atau digebot.
Penggunaan sabit bergerigi untuk panen padi dapat mengurangi kebutuhan
waktu kerja dari 388 jam/ha menjadi 130 jam/ha dengan susut hasil dan hasil
padi yang tidak berbeda. Sedangkan penggunaan power thresher selain dapat
meningkatkan kapasitas kerja dari 34,5 kg/jam menjadi 224,5 kg/jam juga
mengurangi kehilangan hasil dengan biaya jasa sewa lebih murah (Ananto et al.,
1999; Balittra, 2001).
195
Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak
196
Alihamsyah dan Ar-Riza
197
Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak
6.6.1. Prakondisi
Sebelum program dijalankan, maka diperlukan informasi unsur penunjang
yang dapat mendukung keberhasilan pelaksanaan program: (1) peta dan
informasi karakteristik wilayah, (2) kemampuan dan partisipasi masyarakat, (3)
ketersediaan sarana dan prasarana penunjang, (4) kebijaksanaan pemerintah.
Peta dan informasi karakteristik wilayah. Peta dan informasi
karakteristik wilayah diperlukan untuk menentukan pola pemanfaatan lahan dan
perakitan komponen teknologi. Peta tersebut minimal memuat informasi
penyebaran tipe lahan dan sifat fisiko-kimia penting tanah dan air, termasuk
masalah biofisiknya. Apabila hal ini tidak tersedia, maka tahap awal perlu
dilakukan identifikasi dan karakterisasi lahan di calon lokasi pengembangan.
Informasi lainnya adalah kondisi sosial ekonomi masyarakat dan kelembagaan
penunjang.
Kemampuan dan partisipasi masyarakat. Pengetahuan petani dan
penyuluh tentang pengelolaan usahatani di lahan lebak melalui penerapan
teknologi secara benar pada umumnya masih kurang. Oleh karena itu,
kemampuan mereka harus ditingkatkan melalui berbagai cara, antara lain
pelatihan dan pembinaan secara intensif serta kunjungan ke demplot.
Kemampuan masyarakat khususnya petani, bukan hanya pengetahuan tapi juga
dalam hal permodalan untuk usahataninya. Oleh karena itu, perlu adanya
dukungan lembaga perkreditan atau keuangan yang dapat menyediakan modal
usaha bagi petani secara cepat dengan prosedur yang sederhana dan mudah.
Partisipasi masyarakat diperlukan dalam penerapan teknologi pemanfaatan lebak
tidak hanya terbatas pada masyarakat petani dengan kelompoknya, tetapi juga
pihak swasta atau pengusaha dan aparat pemerintah.
Ketersediaan sarana dan prasarana penunjang. Teknologi pemanfaatan
lahan lebak baru bisa diterapkan dengan baik oleh petani apabila tersedia sarana
dan prasarana penunjang yang memadai. Penerapan teknologi varietas,
ameliorasi dan pemupukan perIu didukung oleh penyediaan benih bermutu,
bahan ameliorasi dan pupuk yang memadai secara tepat jumlah, jenis dan waktu.
Penerapan teknologi pengolahan tanah dan penanganan pasca panen
memerIukan dukungan alat dan mesin pertanian berupa traktor, mesin perontok
198
Alihamsyah dan Ar-Riza
199
Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak
PENUTUP
Lahan rawa lebak memiliki potensi besar dan merupakan salah satu pilihan
untuk sumber pertumbuhan agribisnis dan mendukung peningkatan ketahanan
pangan nasional. Namun untuk keberhasilannya, maka pengembangannya harus
dilakukan secara terencana melalui penerapan teknologi tepat guna dengan
pendekatan holistik, dan partisipatif dengan fokus optimalisasi pemanfaatan dan
pelestarian sumberdaya alamnya. Oleh karena itu, komitmen, koordinasi dan
sinkronisasi serta keterpaduan kerja antar pihak terkait khususnya Dinas
Pertanian dan Kimpraswil serta Badan Litbang Pertanian dan petani atau
kelompok tani perlu diwujudkan. Sebaiknya mulai dari perencanaan sampai
kepada pelaksanaan serta monitoring dan pembinaannya di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
200
Alihamsyah dan Ar-Riza
201
Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak
202
SUMBERDAYA HAYATI
VII PERTANIAN LAHAN RAWA
Izhar Khairullah, Mawardi, dan Muhrizal Sarwani
203
Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa
7.1. PENDAHULUAN
204
Khairullah et al.
besar bagi pencapaian penggunaan lahan rawa yang rasional untuk pertanian
yang berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan berorientasi agribisnis.
Penggunaan varietas unggul padi Margasari dan Martapura oleh petani lahan
pasang surut di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah merupakan
keberhasilan pemanfaatan plasma nutfah padi. Padi varietas Margasari dan
Martapura yang dilepas olen Balittra pada tahun 2000 berasal dari tetua varietas
Siam Unus, varietas padi lokal adaptif lahan pasang surut (Sulaiman et al., 2000).
Varietas lokal padi rawa yang telah dikoleksi dari tahun 1994 sampai 2002
sebanyak 221 asesi. Koleksi tersebut dilakukan di lahan rawa Kalimantan
Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, dan Lampung.
205
Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa
Dari jumlah tersebut, 175 asesi berasal dari lahan pasang surut dan 46 asesi
berasal dari lahan lebak. Diperkirakan lebih dari 300 asesi padi yang terdapat di
lahan rawa.
Pada umumnya umur tanaman padi varieras lokal yang ditanam di lahan
lebak (4-5 bulan) lebih genjah dari pada yang ditanam di lahan pasang surut (7-9
bulan). Hasil gabah bervariasi antara 1-3 t/ha. Berdasarkan informasi petani
setempat, mereka menanam varietas lokal padi tersebut antara lain karena sifat
adaptasinya yang tinggi dan rasa nasinya yang dianggap enak dengan tekstur
nasi pera dan pulen.
Beberapa varietas lokal yang ditanam di lahan lebak (Sumatera Selatan)
dianggap lebih toleran kekeringan, seperti varietas Banal, Serai Rampak, dan
Senapi. Sedangkan di lahan pasang surut (Kalimantan Selatan) terdapat varietas
Datu yang secara in situ, berbatang kuat dan besar dengan tinggi tanaman lebih
dari 2 m, malai panjang dan lebat dengan bentuk gabah besar. Varietas ini juga
pada fase matang ditemukan masih tergenang air asin (salin) sekirar 30-40 cm.
Varietas lainnya di lahan pasang surut yang memiliki kelebihan adalah varietas
Pudak, dimana gabah/berasnya harum (aromatik) (Khairullah et al., 2003).
Tinggi tanaman varietas lokal padi pasang surut bervariasi antara 105-180
cm dan jumlah anakan antara 10-24 batang. Malainya umumnya muncul penuh
dengan tingkat kerontokan gabah sedang (6-25%). Sudut daun datar dan sudut
daun bendera antara sedang sampai datar, tidak ada sudut daun bendera yang
tegak seperti halnya varietas unggul. Demikian pula sudut batang umumnya
sedang (antara tegak sampai membuka). Tanaman yang tinggi dan kuat cocok
untuk lahan pasang surut yang pada umumnya genangannya tinggi. Sedangkan
malai yang mulai penuh memudahkan bagi petani yang memanen dengan
menggunakan ani-ani. Sudut daun yang datar mungkin dapat menekan
pertumbuhan gulma yang berada di bawahnya dan dengan demikian beberapa
karakteristik padi varietas lokal yang akan mengurangi biaya penyiangan banyak
dijumpai di lahan pasang surut di Kalimantan Selatan disajikan pada Tabel 7.1.
Varietas lokal yang dikenal luas di lahan pasang surut Kalimantan Selatan
adalah 'kelompok' varietas Siam, Bayar, Pandak, dan Lema. Kelompok varietas
Siam paling banyak dijumpai dengan berbagai variasi namanya di tingkat petani.
Variasi nama ini dapat berdasarkan bentuk gabah, rasa nasi, nama petani
ataupun ciri-ciri khusus yang diterima petani setempat (Khairullah et al., 1998).
Varietas Bayar bahkan sudah dibudidayakan petani pasang surut Kalimantan
206
Khairullah et al.
Selatan sejak tahun 1920, sedangkan varietas Lemo sekitar tahun 1956 (Idak,
1982).
Tabel 7.1. Beberapa sifat padi varietas lokal yang banyak dijumpai di lahan
pasang surut di Kalimantan Selatan
Karakter Siam Unus Pandak Bayar Palas Lemo Kwatik Lakatan Gadur
Jumlah anakan 20 18 15 14 15
Tinggi tanaman 142 121 140 182 149
Umur (hari) 291 305 305 272 295
Panjang daun (cm) 58 44 46 44 47
Lebar daun (mm) 12 12 12 11 13
Panjang batang (cm) 118 95 116 154 121
Diameter batang (cm) 6,9 6,7 7,3 6,8 7,9
Panjang gabah (mm) 7,7 8,2 8,8 8,5 8,8
Lebar gabah (mm) 1,7 1,7 1,8 1,9 1,8
Kerebahan (%) 5 0 0 10 25
207
Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa
Gambar 7.1. Plasma nutfah padi lokal pasang surut yang memiliki kenggulan
toleran keracunan besi, gabah lebih ramping, rasa nasi disukai,
dan harga jual relatif lebih tinggi
208
Khairullah et al.
(0,44 me/L) kemudian menurun seiring dengan waktu (minggu ke-13 = 0,06
me/L). Berturut-turut kandungan besi pada air tanah.pada minggu ke- 3, 4, 5, 6,
7, 8, 9, 10, 11, 12. 13, dan 14 masing masing adalah 0,44; 1.71; 0,13; 0,01;
0,008; 0,079; 0,006; 0,56; 0.34; 0,08; 0,06; dan 0,47 me/L Fe.
Hasil penilaian (skoring) gejala keracunan besi (IRRI, 1996) menunjukkan
bahwa adanya variasi yang cukup besar antar umur bibit. Umur bibit satu minggu
menampakkan ketahanan yang lebih tinggi, disusul dengan umur bibit dua
minggu dan tiga minggu. Terdapat 35 varietas lokal padi yang tahan keracunan
besi pada umur bibit satu minggu, sedangkan pada umur bibit dua minggu
terdapat 29 varietas yang tahan, sementara untuk umur bibit tiga minggu hanya
ada 20 varietas yang tahan (Tabel 7.2). Pengamatan per minggu (selama empat
minggu) menunjukkan bahwa respon umur bibit varietas lokal tidak konsisten
terhadap keracunan besi. Beberapa varietas lokal menunjukkan adanya upaya
pemulihan/perbaikan tumbuh pada umur tanaman yang lebih tua, tetapi pada
varietas lain justru semakin tua tanaman, gejala keracunan cenderung
meningkat.
Hasil analisis kadar Fe dan Zn terhadap 71 beras varietas lokal
menunjukkan bahwa kandungan Fe dan Zn sangat bervariasi (Gambar 7.2).
Kandungan Fe berkisar antara 11-83 ppm. di mana kadar tersebut dibandingkan
dengan varietas unggul galur harapan maka kandungan Fe pada beras varietas
lokal tergolong cukup tinggi. Kadar Zn juga sangat bervariasi dengan selang yang
cukup lebar, yaitu berkisar antara 20-108 ppm Zn. Kadar tersebut juga tergolang
tinggi. Informasi kadar Fe dan Zn dari beras varietas lokal ini sangat bermanfaat
bagi para pemulia yang akan merakit suatu varietas unggul dengan kadar Fe dan
Zn tinggi. Varietas unggul demikian akan membantu mengurangi asupan zat besi
dan Zn dari sumber makanan lainnya (Khairullah et al., 2003).
Hasil pengujian ketahanan terhadap hama dan penyakit pada beberapa
varietas lokal, terseleksi sebanyak 22 varietas yang memiliki ketahanan terhadap
hama dan penyakit untuk dapat dijadikan sebagai sumber genetik bagi perbaikan
varietas padi di lahan rawa pasang surut dan lebak (Tabel 7.3) (Balittra, 2001).
209
Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa
Tabel 7.2. Ketahanan varietas lokal padi rawa terhadap keracunan besi yang
diuji dalam bak plastik bertanah sulfat masam di KP Belandean, MK
2003
Bibit umur Bibit umur Bibit umur
No. ACC Varietas
1 minggu 2 minggu 3 minggu
4 Siam Halus *
5 Siam Perak * * *
6 Siam Brandal * *
7 Siam Perak Halus * *
8 Siam Karang Dukuh Kuning *
42 Pandak *
44 Siam Pontianak Tinggi *
46 Kutut *
47 Siam Unus Kuning *
48 Siam gumpal *
49 Siam PX * *
50 Siam Arjuna *
51 Siam Karta * *
52 Siam Randah Putih * * *
53 Pal 6 * * *
54 Pal 11 * * *
55 Lakatan * * *
56 Raden Rata * * *
57 Kawi * * *
58 Siam Puntal * * *
59 Siam Randah Kuning * * *
60 Pirak * * *
61 Pandak Kembang * * *
62 Palon * * *
63 Siam rata * * *
64 Bayar Palas * * *
65 Unus Organik * * *
66 Siam Pontianak Halus * * *
67 Siam Pangling * *
68 Siam Tanggung *
69 Unus Gampa * *
70 Adil Kuning *
71 Siam Iantik * * *
72 Selumbung * * *
73 Bonai * * *
74 Putih Rampak * *
75 Petek * *
(*) skor: 1-3 (sangat tahan sampai tahan).
210
Khairullah et al.
Gambar 7.2. Kandungan Fe dan Zn dari beras varietas lokal padi pasang surut
Tabel 7.3. Ketahanan beberapa varietas lokal padi lahan pasang surut dan
lebak terhadap hama dan penyakit
Varietas lokal Ketahanan terhadap hama dan penyakit
Siam Arjan Tahan bias daun ras-002, bercak coklat
Palui Tahan wereng coklat biotipe I, agak tahan bercak coklat
Lakatan Jambu Agak tahan bercak coklat
Siam Pontianak Tahan blas daun ras 002
Badagai Tahan wereng coklat biotipe-1. agak tahan bias daun ras-002
Latur Tahan wereng coklat biotipe-1. agak tahan blas daun ras-002
Siam unus Agak tahan blas daun ras-002
Isip Tahan wereng coklat biotipe 1
Siam Pandak Tahan bercak coklat daun
Sabat Jalan Tahan blas daun ras-002
Siam Cinta Tahan bIas daun ras-002
Sanggul Tahan blas daun ras-002
Siam Bamban Tahan blas daun ras-002
Sasak Jalan Agak tahan blas daun ras-002
Siam Sanah Agak tahan blas daun ras-002
Lemo Agak tahan kekeringan
211
Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa
7.2.2. Ubi-ubian
Tabel 7.4. Beberapa varietas lokal ubi alabio (ubi putih, habang harum, dan
habang carang) asal lahan lebak Kalimantan Selatan
Karakteristik Ubi putih Ubi habang harum Ubi habang carang
Tipe Menjalar pada turus Menjalar pada turus Menjalar pada turus
Umur panen 6 bulan 6 bulan 6 bulan
Bentuk daun Jantung Jantung Jantung
Wama daun Hijau Hijau Hijau
Warna tangkai daun Hijau muda keputihan Merah Merah
Duduk daun Berhadapan Berhadapan Berhadapan & berseling
Warna batang Hijau Hijau Hijau
Bentuk batang Bersegi empat Bersegi empat Bersegi empat dan lima
Wama kulit umbi Coklat Coklat Coklat
Warna daging umbi Putih Merah keunguan Merah keunguan
Bentuk umbi Panjang Bundar Panjang bercabang
Rasa umbi Lembut Lembut agak Lembut agak berlendir,
berlendir, beraroma air rebusan berwarna
yang khas merah
Potensi hasil (t/ha) 30,4 22,4 51,2
Sumber: Saleh (1995)
212
Khairullah et al.
Untuk ubi jalar terdapat empat varietas lokal yang dikelola petani di lahan
lebak Kalimantan Selatan- yaitu varietas kyai lama, kyai baru, labu, dan varietas
negara. Potensi hasil varietas kyai lama, kyai baru, labu, dan negara, masing-
masing 7,39; 10,80; 9,60; dan 7,14 t/ha (William et al., 1995). Karakteristik
keempat varietas lokal ubi jalar tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.5.
Tabel 7.5. Beberapa varietas lokal ubi jalar (kyai lama, kyai baru, labu, dan
negara) asal lahan lebak Kalimantan Selatan
Karakteristik Kyai lama Kyai baru Labu Negara
Wama daun tua Hijau Hijau Hijau Hijau
Wama daun muda Hijau Hijau Hijau Ungu
Warna tangkai daun atas Ungu Ungu Hijau Ungu
Wama tangkai daun bawah Hijau Hijau Hijau Ungu
Wama batang tua Hijau Hijau Hijau Ungu
Wama batang muda Hijau Hijau Hijau Ungu
Bentuk batang Bulat Bulat Bulat Bulat
Bentuk daun Menjalar Menjalar Bulat Menjalar
Wama umbi luar Putih Kuning Putih Putih
Warna umbi dalam Putih Kuning Jingga Kuning
Rasa umbi Tawar, empuk Sedang, liat Manis, empuk Sedang, empuk
Panjang umbi (cm) 15,0 14,2 12,0 11,8
Diameter umbi (cm) 2,76 4,43 3,87 3,55
Potensi hasil (t/ha) 7,39 10,80 9,60 7,14
Sumber : William et al. (1995)
213
Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa
214
Khairullah et al.
215
Tabel 7.6. Karakterisasi buah durian yang berasal dari lahan rawa di Kalimantan Selatan dan Tengah, 2003
216
Malang Buaya
Karakteristik Itik Pisang Kerikil Hanau Lakatan Lai Duyan
Dewa Guntung
Tinggi tanaman (cm) 40 30 40 30 40 20 30 30 15
Tinggi cabang
10 4 4 10 15 5 20 20 3
pertama (cm)
Lingkar batang (m) 2,63 2 2,35 2,27 2,63 1,12 2 2 1,35
Bentuk batang Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Membulat Bulat Bulat Bulat
Khairullah et al.
Karakteristik Serangga Landak Mentega Kuning Tipis Waluh Gantang Belimbing Bainan
Tinggi tanaman (m) 40 35 35 26 35 20 35 40 10
Tinggi cabang
5 10 6 13 10 15 8 10 7
pertama (m)
Lingkar batang (m) 1,90 2,15 1,91 1,35 2.00 1.00 2,20 2,30 2,20
Bentuk batang Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat
Warna batang Coklat Coklat Abu-2 Coklat Coklat Abu-abu Abu-abu Coklat tua Mono
kehitaman
Bentuk percabangan Mono podial Mono podial Mono Sim podial Mono Mono podial Mono Mono Mono
podial podial podial podial podial
Bentuk kanopi Tdk teratur Tdk teratur Membulat Tidk teratur Tdk teratur Tdk teratur Membulat Membulat Membulat
Susunan daun Tunggal Tunggal Tunggal Tunggal Tunggal Tunggal Tunggal Tunggal Tunggal
bersirip bersirip bersirip bersirip bersirip bersirip bersirip bersirip bersirip
Panjang daun (cm) 15 13,5 20 15 15 12 17 15 15
Pinggir daun Rata Rata Rata Rata Rata Rata Rata Rata Rata
217
Bentuk ujung daun Runcing Runcing Runcing Runcing Runcing Runcing Runcing Runcing Runcing
Warna daun Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau
Karakteristik Serangga Landak Mentega Kuning Tipis Waluh Gantang Belimbing Bainan
218
Bentuk buah Tdk teratur Bundar Tdk teratur Lonjong Lonjong Bulat Lonjong Tdk teratur Tdk teratur
persegi
Bagian ujung buah Tumpul Tumpul Tumpul Tumpul Runcing Tumpul Tumpul Runcing Tumpul
Panjang buah (cm) 14 12 15 22 19 22 14 24 21
Lingkar buah (cm) 44 42 45 47 45 52 49 46 51
Bobot buah (kg) 0,92 0,75 1,0 1,3 1,1 1,9 1,2 1,9 1,9
Jumlah juring berbiji 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Khairullah et al.
muda
Berat buah (g) 25 30 20 15 20 22 20 15 13 22
Diameter buah (mm) 29 28 25 30 28 25 28 32 24 12
Panjang buah (cm) 5.2 4.5 5 4 5 4.5 4.5 4.5 5 4
Panjang rambut (mm) 17 10 15 11 15 15 15 11 13 12
Kerapatan bulu Jarang Sedang Sedang Sedang Rapat Sedang Jarang Jarang Sedang Sedang
Tebal daging (mm) 6 7 5 5 8 5 6 9 5 4
Tebal kulit (mm) 4 2 4 3 4 1.3 4 3 4 1,2
Panjang biji (mm) 32 23 25 25 25 24 25 25 24 18
Diameter biji (mm) 4 5 5 10 9 9 12 9 10 12
Citarasa Asam Manis Agak Agak Manis Manis Manis Manis Manis Agak
sedikit asam asam sedikit asam
asam asam
219
Lanjutan Tabel 7.7
220
Karakteristik Duyun Duyun Antalagi Gula Batu Buaya Timbul Batuk Garuda Batuk Dangut
Baru 1 Baru 2 Ganal
Tinggi tanaman (m) 30 12 5 5 8 9 10 5 5 6
Lingkar batang (cm) 30 12 5 5 8 9 10 5 5 6
Panjang daun (cm) 10 55 100 90 80 120 80 80 70 120
Lebar daun(cm) 3,4 - 4,5 3 - 4,5 8-9 5 - 5,5 4,3 - 4,7 7,5 - 8 9 - 9,5 5,2 - 5,5 4,6 - 5 5,3 - 5,5
Khairullah et al.
Tipe tulang daun Menyirip Menyirip Menyirip Menyirip Menyirip Menyirip
Tepi daun Rata Rata Rata Rata Rata Rata
Daging daun Spt. Kertas Spt. Perkemen Spt. Perkemen Spt. Kertas Spt. Kertas Spt. Kertas
Permukaan daun Agak kasar Licin Licin Agak kasar Licin Licin
Bentuk batang Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat
Arah tumbuh batang Tegak lurus Ke atas Ke atas Tegak lurus Tegak lurus Tegak lurus
Percabangan pada batang Monopodial Monopodial Monopodial Simpodial Simpodial Simpodial
Diameter buah (cm) 5 10-15 4 10-15
Panjang buah (cm) 6-8 10-15 7 15-20
Tipe buah Carnosius Lonjong Carnosus Majemuk
Warna kulit buah Merah Hitam Abu-abu
Warna daging buah Putih Putih lunak Lunak manis
Rasa daging buah Manis Berair
Habitat Tanah lembab Tanah lembab Tanah lembab Tanah lembab Tanah lembab Tanah lembab
Sifat khas/keunggulan Bentuk seperti Ukuran buah lebih Ukuran buah lebih
belimbing besar dari pada. besar dari pada
manggis biasa srikaya biasa
221
Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa
222
Khairullah et al.
aktif di dalam tanah pada lahan parupuk disebabkan oleh kondisi pH tanah,
kelembaban, dan suhu tanah yang sesuai untuk mendukung aktivitas dan
kehidupan makrofauna tanah. Terdapat hubungan yang nyata antara diversitas
makrofauna yang aktif di dalam tanah dengan dengan pH tanah dan kandungan
N-total tanah. Makrofauna tanah dominan yang mempunyai hubungan dengan
kualitas tanah lebak adalah populasi cacing tanah, biomassa cacing tanah, dan
populasi semut besar (Raihan, 2004).
Di lahan gambut, makrofauna tanah yang berpotensi dijadikan bioindikator
kualitas tanah gambut adalah populasi cacing, biomassa cacing, populasi semut
(Formicidae), dan milipida (Polydesmidae). Populasi makrofauna yang aktif di
permukaan dan di dalam tanah pada beberapa penggunaan lahan menunjukkan
adanya perbedaan. Makrofauna tanah yang aktif di permukaan tanah tertinggi
saat musim hujan dijumpai pada lahan hortikultura dan yang terendah pada lahan
terlantar. Pada musim kemarau populasi tertinggi di lahan karet dan yang
terendah di lahan terlantar. Populasi makrofauna yang aktif di dalam tanah baik
pada musim hujan maupun kemarau yang tertinggi pada lahan nanas dan
terendah pada lahan terlantar (Alwi et al., 2004). Perbedaan populasi ini
menunjukkan adanya perbedaan kondisi lingkungan. Di lahan nanas didominasi
oleh rayap (termitidae) yang memakan sisa-sisa tanaman yang telah mati. Rayap
berperan dalam dekomposisi bahan organik, pembentukan struktur tanah, dan
ketersediaan unsur hara (Black dan Okwako, 1997).
Diversitas makrofauna tanah yang aktif di permukaan dan di dalam tanah
pada musim hujan dan kemarau tertinggi di lahan hortikultura. Hal ini karena
adanya pengelolaan lahan dengan pemberian abu, kapur, dan pupuk kandang
sehingga memperbaiki kualitas tanah sekaligus lingkungan hidup mikroorganisme
tanah (Alwi et al., 2004). Menurut Baker (1998), kelimpahan biomassa dan
diversitas makrofauna tanah dipengaruhi oleh pktek pengelolaan lahan dan
penggunaan lahan. Diversitas makrofauna yang aktif di permukaan tanah pada
musim hujan menunjukkan hubungan nyata dengan C-organik dan C/N rasio
tanah, sedangkan makrofauna di dalam tanah pada musim hujan dan kemarau
menunjukkan hubungan nyata dengan pH, C-organik, C/N rasio, dan kadar air
tanah gambut.
Populasi bakteri selulotik pada lahan gambut di Kalimantan Tengah sangat
beragam. Isolasi bakteri selulotik pada tanah gambut diperoleh 28 isolat, dan dua
isolat diantaranya mempunyai kemampuan menghidrolisa selulosa yang tinggi,
yaitu BarH 4,2 dan Bar5K 4,1 (Alwi et al., 2004).
223
Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa
224
Khairullah et al.
yang rendah, padatan tersuspensi yang tinggi yang umumnya terjadi pada awal
musim hujan, dapat menyebabkan kematian ikan yang cukup tinggi. Pada saat itu
populasi ikan sungai menurun di perairan lebak. tetapi setelah satu atau dua
bulan "air bangai” yang berwarna hitam digantikan oleh air ”putih”. di mana
banyak ikan sungai yang bermigrasi ke perairan lebak (Chairuddin, 1989).
PENUTUP
225
Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa
DAFTAR PUSTAKA
226
Khairullah et al.
Galib, R., D.I. Saderi, H.R. Itjin, M. Saleh, dan Chairuddin. 1994. Analisis sistem
komoditas ubi jalar, ubi alabio dan ubi negara, dan perbaikan teknologi
budidayanya. Dalam. Laporan Hasil Penelitian Proyek Penelitian Tanaman
Pallgan Banjarbaru. Balittan Banjarbaru. Hlm 131-359.
Idak, H. 1982. Perkembangan dan sejarah persawahan di Kalimantan Selatan.
Pemda Tk. I Kalimantan Selatan. Banjarmasin. Hlm 40.
IRRI. 1996. Standard evaluation system for rice. Int. Ric. Test. Prog. Int. Ric. Res.
Ins. Manila, Philippines.
Khairullah, I., M. Imberan, dan S. Subowo. 1998. Adaptabilitas dan akseptabilitas
varietas padi di lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan. Kalimantan
Scientiae 47:38-50.
Khairullah, I., Mawardi, S. Sulaiman, dan M. Sarwani. 2003. Inventarisasi dan
karakterisasi plasma nutfah tanaman pangan di lahan rawa. Laporan Hasil
Penelitian. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru.
Khairullah, I., R. Humairie, M. Imberan, S. Subowo, dan S. Sulaiman. 2004,
Varietas lokal padi pasang surut Kalimantan Selatan: karakterisasi dan
pemanfaatan. Dalam. Astanto, et al. (Eds.). Prosiding Lokakarya
Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI) VII. Dukungan
Pemuliaan terhadap Industri Perbenihan pada Era Pertanian Kompetitif.
PERIPI-Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Ubi-ubian.
Malang.
Lavelle, P. 1994. Sil fauna and sustainable land use in the humid tropics. In D.J.
Greenland and I. Szaboles (Eds.). Soil resiliense and sustainable land use.
CAB. International, OXON..
Raihan, S. 2004. Penelitian komponen teknologi pengelolaan lahan terpadu untuk
optimalisasi dan peningkatan produktivitas lahan lebak. Dalam Laporan
Akhir TA 2004. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru.
Saleh, M. 1995. Kinerja beberapa varietas lokal ubi alabio di lahan rawa lebak
Kalimantan Selatan. Dalam M.Y. Maamun, Masganti, Mukhlis, R. Galib,
dan Sjachrani A (Eds.). Aspek Teknologi Budidaya dan Sosial Ekonomi
Ubi-ubian di Kalimantan Se!atan. Balai Penelitian Tanaman Pangan
Banjarbaru.
Sastrapraja, S.D. dan M.A. Rifai. 1989. Mengenal sumber pangan nabati dan
plasma nutfahnya. Komisi Pelestarian Plasma Nutfah Nasional-
Puslitbangtan Bioteknologi-LIPI Bogor.
Sulaiman, S., M. Imberan, dan I.K. Muhammad. 2000. Galur harapan padi
pasang surut hasil persilangan Siam unus dengan varietas unggul. Dalam:
T. Alihamsyah, M. Sabran, S. Sulaiman, R. Ramli, A. Hartono, dan D.
227
Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa
228
KONSERVASI DAN
VIII REHABILITASI LAHAN RAWA
Abdurachman Adimihardja, Kasdi Subagyono, dan M. Al-Jabri
229
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa
8.1. PENGERTIAN
230
Abdurachman et al.
231
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa
Tanah sulfat masam berkembang dari bahan induk besi sulfida yang kaya
kandungan besi dan sulfur (FeS). Pirit terakumulasi pada tanah tergenang yang
kaya kandungan bahan organik dan mendapat tambahan sulfur yang umumnya
dari air laut (Dent, 1986). Pembentukan pirit digambarkan dengan reaksi sebagai
berikut :
232
Abdurachman et al.
a. Pemasaman in-situ
233
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa
Jarosite stabil pada kondisi teroksidasi dan masam, yaitu pada nilai redoks
potensial > 400-500 mV dengan pH 2-4. Jika konsentrasi asam sulfat (H2SO4)
yang terbentuk pada reaksi (4) melebihi kapasitas penyangga (buffering capacity)
tanah, pH tanah akan menurun kurang dari 4.
Pada kondisi tergenang, misalnya jika tanah sulfat masam dikelola untuk
padi sawah atau kolam ikan, kemasaman bisa dikurangi, tetapi akan muncul
permasalahan baru, yaitu keracunan besi II (Fe2+), keracunan hidrogen sulfida
(H2S), dan keracunan CO2 dan asam-asam organik jika bahan organik tinggi.
Keracunan besi pada lahan sawah berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan
tanaman padi (Gambar 8.1).
Pada musim kering, tanah-tanah di daerah rawa pasang surut secara fisik
mengalami retakan (cracking) tergantung dari tipe mineral liat tanahnya.
Meskipun tidak semua tanah sulfat masam didominasi mineral liat tipe 2:1
(smectite), tetapi jika proporsinya cukup tinggi maka pada kondisi kering tanah
mudah menjadi retak, dan pada kondisi tergenang pada saat musim hujan tanah
mengembang. Retakan-retakan di permukaan (top soil) ini bisa mengakibatkan
masuknya oksigen ke dalam lapisan tanah yang lebih dalam, dan pirit akan
teroksidasi. Menurut Hanhart dan Duong van Ni (1993), proses pemasaman
dapat disebabkan oleh 3 proses, yaitu (a) difusi, (b) retakan (cracking), dan (c)
pencucian (leaching) asam-asam dari saluran-saluran air. Pengaruh ketiga
proses tersebut terhadap proses pemasaman tanah diilustrasikan pada Gambar
8.2.
234
Abdurachman et al.
Gambar 8.1. Keracunan besi pada lahan sawah di kawasan lahan pasang surut
bertanah sulfat masam
235
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa
236
Abdurachman et al.
Lahan pertanian
Musim hujan
Gambar 8.3. Aliran air masam bawah tanah dari hutan sekunder ke lahan
pertanian dan pengaruh saluran drainase intersepsi dengan
modifikasi (interceptor drain) (Sumber: Kselik et al., 1993)
237
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa
3.5
Penggenangan
3
Pencucian
2.5
Konsentrasi (me/100 g)
1.5
0.5
0
2+ 2+ 2+
Fe
Fe2+ Ca2+ Ca Mg2+ Mg
Lahan gambut adalah lahan rawa yang mempunyai lapisan gambut pada
berbagai ketebalan (Widjaja-Adhi, 1988) : (a) gambut dangkal (50-100 cm), (b)
gambut sedang (100-200 cm), (c) gambut dalam (200-300 cm), dan (d) gambut
sangat dalam (> 300 cm). Sedangkan lahan dengan ketebalan gambut < 50 cm
disebut lahan bergambut. Menurut Widjaja-Adhi et al. (1992), gambut dalam
sering disebut lahan tidak layak huni, oleh karena itu lahan gambut yang
direkomendasikan untuk program transmigrasi hanya yang ketebalannya < 200
cm. Hal ini didasarkan pada pengalaman selama program Proyek Pembukaan
Persawahan Pasang Surut (P4S), petani transmigran pada lahan dengan gambut
238
Abdurachman et al.
Secara umum gambut mempunyai berat isi (bulk density) yang rendah,
berkisar antara 0,05-0,25 g/cm3, dan gambut yang telah direklamasi akan lebih
padat dengan berat isi berkisar antara 0,1-0,4 g/cm3. Berat isi ini meningkat,
sejalan dengan bertambahnya kandungan mineral atau semakin halusnya ukuran
partikel, sesuai dengan tingkat pelapukan gambut (Bouman dan Driessen, 1985).
Berat isi dapat dijadikan indikasi kepadatan tanah, sekaligus merupakan indikasi
daya topang gambut terhadap beban di atasnya, seperti tanaman, bangunan
irigasi, jalan, dan mesin-mesin pertanian. Sesuai dengan tingkat pelapukannya
gambut dengan pelapukan rendah (fibric) mempunyai porositas lebih tinggi dari
95%. Gambut dengan pelapukan lanjut (sapric) memiliki porositas yang lebih
rendah, tetapi masih lebih tinggi dari 80%. Gambut dengan tingkat pelapukan
menengah mempunyai porositas di antara kedua nilai tersebut. Proses dominan
yang menyebabkan degradasi pada lahan gambut adalah penurunan muka tanah
(subsidence). Gambut akan mengalami penyusutan volume bila didrainase.
Akibatnya lahan ini mengalami penurunan permukaan (subsidence), yang tidak
dapat dikembalikan seperti permukaan semula. Sifat ini lebih dikenal dengan
irreversible drying effect.
239
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa
tingkat tersier maupun tata air mikro. Beberapa masalah telah dikemukakan oleh
Segeren dan Smith (1980) sehubungan dengan drainase lahan gambut. Gambut
mempunyai pori-pori yang cukup tinggi dengan kandungan air yang sangat tinggi,
karena kemampuannya menahan air yang tinggi dan dengan koefisien
konsolidasi yang rendah. Bila lahan gambut dikeringkan (drained), tekanan efektif
gambut meningkat. Berat isi gambut pada saat dikeringkan mencapai 1,59 g/cm3,
dan menjadi sangat rendah yaitu 0,59 g/cm3 bila tergenang air. Setelah lahan ini
dikeringkan, tekanan efektif meningkat sesuai dengan persamaan berikut: (1,59-
0,59)/0,59 x 100% = 169%. Untuk tanah mineral peningkatan ini hanya mencapai
60%. Akibat lain yang timbul apabila lahan gambut dikeringkan adalah terjadinya
oksidasi, yang mengakibatkan CO2 dan H2O berkurang atau hilang.
240
Abdurachman et al.
Waktu (tahun)
Gambar 8.5. Total subsidence terhitung (St) pada lahan gambut tropika dalam
hubungannya dengan berat isi dan kerapatan partikel (particle
density) dengan modifikasi (Sumber: Bouman dan Driessen, 1985)
Total subsidence terhitung (St)
Waktu (tahun)
Gambar 8.6. Total subsidence terhitung (St) pada lahan gambut tropika dalam
hubungannya dengan kedalaman awal saluran drainase dengan
modifikasi (Sumber: Bouman dan Driessen, 1985)
241
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa
242
Abdurachman et al.
243
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa
244
Abdurachman et al.
a. Konsep dasar
245
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa
Gambar 8.7. Tipe luapan air pada lahan rawa pasang surut
(Sumber : Widjaja-Adhi et al., 1992)
Strategi pengelolaan air didasarkan pada tipologi lahan dan tipe luapan.
Masing-masing tipologi lahan mempunyai sifat dan karakteristik yang berbeda,
sehingga strategi pengelolaan airnya perlu dibedakan. Strategi pengelolaan air
secara spesifik dibedakan menjadi 2, yaitu (a) pengelolaan air di tingkat tersier,
dan (b) pengelolaan air mikro di lahan petani. Keduanya harus sinergis dengan
sistem irigasi/drainase di tingkat makro (primer dan sekunder) yang telah
dibangun. Beberapa sistem irigasi/drainase yang telah dibangun sejak Pelita I
tahun 1969, antara lain adalah sistem garpu (fork system) atau disebut juga
sistem kolam (kolam system), sistem anjir dan handil dan kombinasinya yang
dijumpai di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Sistem sisir tunggal
(single comb system) dan ganda (couple comb system), kombinasi sistem garpu
dan sistem sisir dan sistem tangga dijumpai di Sumatera Selatan. Sistem anjir
dan handil adalah dua sistem drainase khas penduduk Banjar yang merupakan
teknologi lokal.
246
Abdurachman et al.
247
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa
248
Abdurachman et al.
DHL (dS/M)
Gambar 8.8. Pengaruh pengelolaan air terhadap daya hantar listrik (DHL) pada
tanah sulfat masam di Djiguinoum, Senegal (Sumber: Montoroi et
al.,1993)
Kemasaman pada tanah lapisan atas dan terbatasnya air untuk pencucian
merupakan kendala di dalam penerapan teknik pengelolaan air di lahan ini.
Tanah sulfat masam aktual umumnya dijumpai di lahan ini, dicirikan oleh reaksi
tanah masam dan munculnya keracunan besi (Fe2+) dan aluminium (Al3+) pada
tanaman.
249
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa
MK 1988) menjadi 0,2 me/kg (awal MK 1992). Konsentrasi Al3+ menurun, dari
konsentrasi awal 37,1 me/kg menjadi 17,0 me/kg (Subagyono et al., 1992).
Namun demikian konsentrasi kedua unsur tersebut berfluktuasi dari musim ke
musim (Gambar 8.10). Selain pengaruh pencucian dengan sistem aliran satu
arah, fluktuasi konsentrasi tersebut juga sangat ditentukan oleh kondisi iklim dan
hidrologi terhadap proses oksidasi dan reduksi di dalam tanah. Pada kondisi
tergenang terjadi reduksi besi feri (Fe3+) menjadi besi fero (Fe2+), sehingga
konsentrasi Fe2+ terlarut meningkat.
Saluran primer
Pintu klep
Saluran kuarter (pembuangan)
Gambar 8.9. Sistem aliran satu arah (one-way flow system) untuk lahan tipe B
dan bertanah sulfat masam aktual (Sumber : Subagyono et al.,
1997)
250
Abdurachman et al.
5
4.5
4
3.5
Fe2+ (me/kg)
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
0 I II III IV V VI VII VIII
Musim Tanam (1988-1992)
Tabel 8.3. Pengaruh pencucian dengan sistem aliran satu arah terhadap kualitas
tanah dan hasil padi pada tanah Sulfic Hydraquent dengan tipe luapan
B di Unit Tatas, Kalimantan Tengah
Sifat kimia tanah Pencucian Penggenangan
KTP (cmol/kg) 26,00 36,00
KTA (cmol/kg) 44,00 45,00
Bahan organik (%) 11,12 9,28
pH H2O 3,68 3,42
DHL (µS/cm) 84,00 98,00
2+
Fe (me/kg) 17,94 16,98
Al3+ (me/kg) 23,89 25,46
Hasil padi IR-42 (t/ha) 3,53 2,61
KTP : Kemasaman Total Potensial; KTA : Kemasaman Total Aktual;
DHL : Daya Hantar Listrik
Sumber : Subagyono et al. (1994)
251
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa
Lahan ini dijumpai pada bagian hulu sungai rawa dan bila belum terganggu
masih ditemukan gambut tebal yang pada umumnya masih berupa hutan primer.
Untuk sumber air bagi kawasan di sekelilingnya, maka lahan ini harus
dikonservasi untuk dijadikan kawasan tampung hujan.
Arus pasang surut praktis tidak banyak mempengaruhi hidrologi di
kawasan ini. Umumnya tanah sulfat masam di lahan tipologi ini tertutup oleh
gambut. Daerah Sakalagun, Kalimantan Tengah adalah salah satu contoh yang
mempunyai tipologi lahan seperti ini. Menurut Ritzema et al., (1993), pencucian
252
Abdurachman et al.
tidak dapat dilakukan dengan menggunakan arus pasang, karena posisinya yang
cukup tinggi dari pada luapan maksimum arus pasang. Jika daerah-daerah
tersebut sudah tidak tertutup oleh gambut karena gambutnya telah habis, maka
perlu tindakan konservasi untuk melestarikan sumberdaya alam gambut.
Saluran primer
Pintu tabat
Gambar 8.11. Sistem tabat untuk mempertahankan tinggi muka air di atas
lapisan pirit pada lahan tipe C dan bertanah sulfat masam aktual
(Sumber : Subagyono et al., 1997)
Kawasan dengan kubah gambut ini menjadi sumber air bagi daerah
sekelilingnya, karena kawasan ini mampu menyangga air hujan dan air akan
mengalir secara gravitasi. Daerah ini menjadi sumber air irigasi untuk kawasan
budidaya di sekelilingnya. Pengelolaan air dirancang dengan menggunakan
sumberdaya air dari kubah gambut tersebut. Pembuatan embung penampung air
dari daerah tangkapan akan membantu distribusi air secara terkontrol. Bila
prinsip-prinsip pengelolaan air tersebut diterapkan, maka lahan tipe ini bisa
253
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa
Salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk rehabilitasi lahan sulfat
masam aktual (SMA) di daerah rawa pasang surut adalah kapur. Kapur sebagai
bahan pembenah tanah sangat beralasan untuk diberikan pada tanah SMA untuk
padi sawah selama penggenangan tanah belum dapat menaikkan pH tanah di
atas 4,25-4,50. Sesuai dengan tingkat sensivitas dari beberapa tanaman pangan
terhadap kemasaman tanah dari yang paling tahan sampai sangat sensitif, maka
padi sangat tahan terhadap kemasaman tanah, kemudian diikuti jagung dan
kedele. Tanaman pangan dapat tumbuh di tanah SMA setelah tanahnya diberi
kapur, sehinga pH tanah disekitar akar > 4,25-4,50 untuk padi, > pH 4,50-5,00
untuk jagung, dan > 5,00-5,50 untuk kedele. Konsep pengapuran yang mencapai
puluhan sampai ratusan ton per ha untuk tanaman pangan hendaknya
ditinggalkan, kemudian perlu diteliti lebih lanjut mengingat keberadaan mineral
liat 2:1 (smektit) yang telah rusak sebagaimana dicirikan bentuk difraksi sinar-X
liat 2:1 yang cembung. Kebutuhan kapur (KK) tanah SMA yang ditetapkan
berdasarkan 100% kali nilai Al-dd KCl 1 N menghasilkan ekuivalen takaran kapur
yang berlebihan atau overestimasi. Al-Jabri (2002a) memperoleh bahwa KK
untuk padi pada tanah SMA sekitar < 3 t/ha, jika KK ditetapkan berdasarkan Al-dd
dengan KCl 0,25 N. Sebaliknya, jika KK tanah SMA Belawang ditetapkan
berdasarkan Al-dd dengan KCl 1 N maka takarannya dapat mencapai 14-15 t/ha.
KK yang tinggi tersebut disebabkan Al yang semula dalam bentuk tidak dapat
ditukar dalam struktur mineral liat 2:1 yang telah rusak oleh oksidasi pirit turut
terekstrak oleh KCl 1 N. KK berdasarkan 100% nilai Al-dd KCl 1 N tidak akurat,
sebab keberadaan liat 2:1 yang rusak mensuplai Al tidak hanya dalam bentuk
tidak dapat ditukar, tetapi juga Al dapat ditukar (Al-Jabri et al., 2000b).
Fakta-fakta diperoleh bahwa KK berdasarkan 100% kali nilai Al-dd 1 N KCl
terlalu tinggi ditunjukkan oleh hasil penelitian berikut: (1) KK optimum untuk
jagung varietas Arjuna 1,50 t/ha, atau setara 24% nilai Al-dd 1 N KCl ( nilai Al-dd
tanah SMA di Tri Mulyo 6,36 cmol/kg) dan 2,71 t/ha, atau setara 38% nilai Al-dd 1
N KCl (nilai Al-dd tanah SMA di Harapan Makmur 6.98 cmol/kg) (Al-Jabri et al.,
254
Abdurachman et al.
2000a). Takaran kapur 1,50 dan 2,71 t/ha tersebut berdasarkan turunan pertama
dari persamaan kuadratiknya.
Takaran kapur berdasar turunan pertama dari persamaan kuadratik
ternyata lebih rendah dari nilai Al-dd dengan KCl 0.25 N (Tabel 8.4). Sehubungan
dengan KK ekuivalen dari 100% nilai Al-dd KCl 0,25 N sedikit lebih tinggi, maka
larutan garam KCl masih perlu diencerkan dengan normalitas < 0,25 N.
Tabel 8.4. Nilai pH dan Al-dd dengan penetapan KCl 0; 0,25; 0,50; dan 1,00 N
untuk tanah SMA Trimulyo dan Harapan Makmur, Jambi
Al-dd
Lokasi pH-H2O
KCl 0 N KCl 0,25 N KCl 0,50 N KCl 1,0 N
................................ cmol/kg .................................
Trimulyo 3,9 0,25 2,44 2,93 4,18
Harapan Makmur 3,6 0,34 3,26 4,20 4,43
Tabel 8.5. Pengaruh kapur terhadap bobot gabah kering giling padi varietas IR-
64
Lokasi
Perlakuan Harapan Jaya Pamusiran R. Rasau Basarang
(Riau) (Jambi) (Jambi) (Kalteng)
……………………… t/ha ………………………
0 kg CaCO3 + 111 kg P alam 4,731 - - 0,030
12.000 kg CaCO3 + 111 kg P alam 4,669 4,627
0 kg CaCO3 + 111 kg P alam - 5,990 - -
3.000 kg CaCO3 + 111 kg P alam 6,506
0 kg CaCO3 + 111 kg P alam - - 1,502 -
6.000 kg CaCO3 + 111 kg P alam 3,947
255
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa
Tabel 8.6. Pengaruh keberadaan liat 2:1 (smektit) dan liat 1:1 terhadap
kebutuhan kapur (KK) berdasarkan metode inkubasi dan 100% kali
ekuivalen nilai Al-dd KCl 1,00 N t/ha untuk tanaman padi pada tanah
SMA
Kebutuhan kapur (K) Jenis liat
Asal tanah
Inkubasi dengan H2O* Al-dd KCl 1 N** 2:1 (smektit) 1:1 (kaolinit)
Pamusiran 0 t/ha 6,35 cmol/kg 18 % 70 %
(Jambi)
Basarang 7,99 t/ha 9,22 cmol/kg 47 % 42 %
(Kalteng)
Keterangan: * = KK berdasarkan inkubasi dengan H2O selama 2 minggu menunjukkan
bahwa pH tanah tanpa perlakuan kapur adalah 4,50, sehingga padi pada tanah SMA
Pamusiran tidak respons terhadap kapur (Tabel 8.5); **KK berdasarkan 100% kali nilai Al-
dd KCl 1 N untuk tanah SMA Pamusiran = 6,35 t/ha dan untuk tanah SMA Basarang =
9,22 t/ha
Sumber : Al-Jabri et al. (2000b)
256
Abdurachman et al.
257
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa
8.4.3. Pemupukan
Tabel 8.7. Pengaruh pupuk P dan kapur terhadap persentase gabah hampa dan
hasil GKG di Karang Agung Ulu, MH 1996/97
Perlakuan Persentase gabah Hasil GKG
hampa
% t/ha
0 ton kapur + 0 kg TSP/ha 30,97 c* 4,32 a
1,50 ton kapur + 0 kg TSP/ha 25,25 bc 6,99 b
1,50 ton kapur + 175 kg TSP/ha 21,99 b 7,63 bc
1,50 ton kapur + 350 kg TSP/ha 15,47 a 8,35 cd
1,50 ton kapur + 770 kg TSP/ha 14,70 a 8,67 d
* Angka-angka pada kolom sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda pada
taraf nyata DMRT 0,05
Sumber : Sri Ratmini et al. (2000)
Tanaman kedelai dapat ditanam pada tanah SMA di Basarang (Kalteng)
pada akhir musim hujan dengan perlakuan 8 ton kapur/ha dan 100 kg P/ha (500
kg TSP/ha) menghasilkan biji tertinggi sebanyak 2,12 t/ha (Tabel 8.8).
258
Abdurachman et al.
Tabel 8.8. Rata-rata hasil biji kedelai pada perlakuan rehabilitasi dengan pupuk P
dan kapur di Basarang (Kalteng)
Perlakuan Bobot biji kedelai
t/ha
0 ton kapur/ha + 0 kg TSP/ha 0,28 a*
8 ton kapur/ha + 0 kg TSP/ha 1,93 b
8 ton kapur/ha + 250 kg TSP/ha 1,98 b
8 ton kapur/ha + 500 kg TSP/ha 2,12 b
8 ton kapur/ha + 750 kg TSP/ha 2,11 b
* Angka-angka pada kolom sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda pada
taraf nyata DMRT 0,05
Sumber : Aribawa et al. (1997)
259
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa
ditingkatkan dengan pemberian unsur hara P, K, Ca, Mg, Cu, Zn sebagai pupuk
anorganik tunggal atau majemuk.
8.4.4. Ameliorasi
Selain kapur dan pupuk hara makro dan mikro, pemberian tanah mineral
dan abu bakaran dapat diberikan sebagai bahan ameliorasi. Agar produktivitas
tanah pada lahan rawa bongkor dapat ditingkatkan, maka tanaman yang
digunakan adalah varietas tanaman yang toleran terhadap kondisi tersebut, dan
tata airnya dapat dikendalikan.
Pemberian tanah mineral pada tanah gambut kurang dari > 50 cm
berpengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman, dan bobot gabah kering
tidak jauh berbeda bila dibandingkan dengan pemberian kapur (Tabel 8.9).
Tabel 8.9. Pengaruh pemberian tanah mineral dan kapur pada gambut asal Air
Sugihan (Sumsel) terhadap bobot kering jerami dan gabah isi padi
varietas IR-36 pada kondisi di rumah kaca
Bobot kering
Perlakuan
Gabah isi Jerami
…….……….. kg/ha …..…………...
G* - -
G + 500 gram M**/pot 3 506 3 026
G + 1 000 gram M**/pot 5 288 3 568
G + 20 gram CaCO3/pot 5 568 5 888
* = tanah gambut; M** = tanah mineral diambil dari bawah lahan gambut dangkal kurang
dari 50-100 cm
Sumber: Al-Jabri dan Suwardjo (1986)
Tanaman jagung varietas Arjuna dan kedele varietas Wilis yang ditanam
pada lahan gambut dengan tipologi lahan gambut sedang (G-2) di Sugihan Kiri
(Sumsel) dengan perlakuan lengkap, yaitu, 312 kg P alam Chrismast, 620 kg
dolomit, 50 kg sulfur, 10 kg CuSO4, dan 15 kg ZnSO4/ha menghasilkan biji jagung
pipilan 1,44 t/ha dan biji kedele 2,33 t/ha (Tabel 8.10). Meskipun perlakuan
lengkap (312 kg P alam Chrismast, 620 kg dolomit, 50 kg sulfur, 10 kg CuSO4,
dan 15 kg ZnSO4/ha) menghasilkan bobot biji kering jagung tertinggi 1,44 t/ha,
tetapi belum mencapai tingkat hasil yang sesungguhnya (Tabel 8.10). Hal ini
260
Abdurachman et al.
mungkin disebabkan banyak unsur hara dari pupuk hilang tercuci. Kehilangan
unsur hara dari pupuk melalui pencucian dapat ditekan seminimal mungkin
dengan pemberian tanah mineral atau pemadatan tanah gambut.
Bobot biji jagung dan kedele dengan perlakuan lengkap lebih tinggi dari
pada perlakuan pupuk Sulfomag. Efisiensi pupuk Sulfomag relatif rendah,
mungkin disebabkan karena kandungan Mg tanah gambut sudah tinggi
sebagaima hasil analisis Mg dapat ditukar tergolong tinggi (Hartatik et al., 2000).
Jadi, kandungan Mg tanah yang tinggi kemudian adanya kontribusi Mg dari
pupuk Sulfomag menurunkan serapan K, sebab adanya sifat antagonisme antara
Mg dan K. Hal ini dapat dibuktikan dari analisis daun dari tanaman kedele,
dimana serapan unsur K pada perlakuan pupuk Sulfomag 0,32 gram K per pot
lebih rendah dari perlakuan lengkap 0,47 gram K per pot. Penurunan serapan
unsur hara K pada perlakuan pupuk Sulfomag menghasilkan bobot biji kedele
1,39 t/ha, sedangkan perlakuan lengkap menghasilkan bobot biji kedele lebih
inggi yaitu 2,33 t/ha (Tabel 8.10).
Tabel 8.10. Ameliorasi pada lahan gambut di Air Sugihan Kiri (Sumsel) terhadap
bobot kering jagung varietas Arjuna dan kedele varietas Wilis
Perlakuan Bobot biji jagung pipilan Bobot biji kedele
………………………. t/ha ……………………….
Lengkap (L)* 1,44 2,33 a**
L-sulfur 1,05 1,77 ab
L-P alam 1,35 1,81 ab
L-dolomit 0,68 0,92 bc
L-(C+Zn) 0,42 1,45 abc
L + Fe 1,19 1,87 ab
Sulfomag 0,20 1,39 abc
Sulfomag + Fe 0,73 1,46 abc
Kontrol parsial 0,80 1,28 bc
Kontrol lengkap 0,40 0,68 c
* L = 312 kg P alam Chrismast, 620 kg dolomit, 50 kg sulfur, 10 kg CuSO4, dan 15 kg
ZnSO4 /ha
** Angka-angka pada kolom sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda pada
taraf nyata DMRT 0,05
Sumber: Hartatik et al. (2000)
Pemberian abu bakaran dari abu sawmill dapat digunakan sebagai bahan
amelioran, terutama pada gambut miskin dengan semakin tebalnya gambut
dengan tipologi gambut dalam 200-300 cm (G-3) dan gambut sangat dalam > 300
cm (G-4) (Tabel 8.11). Untuk menghindari petani membakar gambut kering, maka
disarankan agar abu yang digunakan adalah abu dari hasil pembakaran serasah
261
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa
Tabel 8.11. Pengaruh abu sawmill dan residunya terhadap hasil beberapa jenis
tanaman
Hasil tanaman
Takaran abu sawmill Kedele Jagung Kacang tanah
MK 1993 MH 1993/1994 MK 1994
t/ha ………………………. kg/ha ……………………….
0 5.070 1.131 310
10 1.440 3.008 480
20 1.587 2.935 840
30 1.973 4.292 930
40 2.237 4.940 1.110
Kontrol 440 953 220
Sumber: Subiksa (2000)
Teknologi untuk rehabilitasi lahan rawa pasang surut selain kapur, pupuk,
dan pengendalian tata air, adalah penanaman varietas unggul. Kajian beberapa
varietas unggul padi pada lahan pasang surut di beberapa tempat telah
didokumentasikan. Hasil padi varietas Batanghari mampu beradaptasi di masing-
masing tipologi lahan pasang surut dan sangat toleran terhadap kemasaman
tanah tinggi dan keracunan Fe, serta memberikan hasil tertinggi (Tabel 8.12).
Tabel 8.12. Hasil kajian beberapa varietas padi unggul pada beberapa tipologi
lahan pasang surut di Jambi MH 1999/2000
Varietas Rantau Jaya Harapan Makmur Trimulyo Lambur II Sidomukti Catur Rahayu
padi Potensial Sulfat masam Sulfat masam Bergambut Potensial Potensial
sulfida dalam potensial aktual sulfida dangkal tanpa sulfida sulfida dalam
………………………………………………… t/ha ……..………….………………………………
Batanghari 4,24 3,76 2,50 2,45 6,20 4,85
Banyuasin 3,62 3,29 2,80 2,08 -* 4,32
Dendang 3,12 1,45 2,08 2,40 - -
Lalan 2,37 1,90 2,08 2,08 4,00 3,64
Lematang 2,15 2,72 - - 4,50 3,51
IR-4 3,68 2,83 1,76 2,29 5,80 -
IR-64 2,13 0,80 1,50 1,55 - -
Cisang- - 3,18 1,76 - - -
garung
* tidak ada data
Sumber : Jumakir et al. (2000)
262
Abdurachman et al.
263
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa
7 Didrainase
Konsentrasi (me/m 2)
6 Tidak didrainase
0
H+ Fe2+ Al3+ SO42-
2+ 3+ + 2-
Gambar 8.12. Konsentrasi Fe , Al , H , dan SO4 pada lahan yang didrainase
dan yang tidak didrainase dengan modifikasi (Sumber: Konsten
et al.,1990)
60
Musim hujan
50 Musim kemarau
Jumlah ikan/tangkapan
40
30
20
10
0
Tabunganen Barambai Belawang Uniit Tatas
Gambar 8.13. Perbandingan hasil tangkapan ikan pada lahan dengan tingkat
kemasaman yang berbeda dengan modifikasi (Sumber:
Chairuddin et al.,1990)
264
Abdurachman et al.
8.5.1. Kendala
a. Tanah bermasalah
265
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa
b. Modal
c. Tenaga kerja
266
Abdurachman et al.
d. Kelembagaan
267
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa
268
Abdurachman et al.
PENUTUP
Mengingat cukup luasnya lahan rawa di Indonesia, yaitu lebih dari 33 juta
ha, maka keberadaan dan perkembangan lahan yang memiliki sifat tidak stabil ini
perlu terus dipantau. Pengalaman terdahulu mengajarkan bahwa kesalahan
langkah dalam mereklamasi lahan rawa mengakibatkan kerusakan lahan itu
sendiri beserta lingkungannya, seperti terlihat pada Proyek Lahan Gambut (PLG)
satu juta ha di Kalimantan Tengah. Sekali lahan rawa mengalami kerusakan atau
degradasi berat, maka proses pemulihannya kembali memerlukan waktu yang
sangat panjang, dapat mencapai waktu ratusan tahun.
Selain itu, kegiatan penelitian reklamasi, pengelolaan dan rehabilitasi lahan
rawa perlu terus direncanakan dan dilaksanakan dengan lebih baik, agar dapat
ditemukan metoda yang lebih efektif dan efisien. Teknologi dan informasi yang
diperoleh perlu didiseminasikan kepada para pengguna lahan rawa khususnya
dan masyarakat luas pada umumnya. Jaringan komunikasi antar peneliti dan
peminat lahan rawa perlu dibangun, tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga
seyogyanya meluas ke tataran internasional, karena permasalahan lahan rawa
merupakan permasalahan semua negara yang memiliki lahan rawa.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jabri, M. 2002a. Penetapan kebutuhan kapur dan pupuk fosfat untuk tanaman
padi (Oryza sativa L.) pada tanah sulfat masam aktual Belawang-
Kalimantan Selatan. Disertasi. Program Pascasarjana. UNPAD. Bandung.
Al-Jabri, M. 2002b. Formulasi Model untuk Rekomendasi Kebutuhan Kapur
terhadap Tanaman Padi Sawah pada Tanah Sulfat Masam Aktual di
Daerah Pasang Surut Belawang Kalimantan Selatan. Belum
dipublikasikan.
Al-Jabri, M., Sulaini, dan Suwalan. 2000a. Pemupukan kapur, fosfat, dan kalium
pada tanaman jagung dan padi di tanah sulfat masam lahan pasang surut
Jambi. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan
Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung, 25-27 Juli. ISDP. Puslitbangtan.
Badan Litbang. Pertanian.
Al-Jabri, M., Maryono, M.E. Suryadi, K. Kusumah, S. Dwiningsih, dan D.A.
Suriadikarta. 2000b. Pengaruh keberadaan mineral liat smektit terhadap
pengukuran kebutuhan kapur untuk tanah sulfat masam aktual. Prosiding
Seminar Nasional Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, Iklim,
dan Pupuk. Cipayung-Bogor, 31 Oktober-2 November.
269
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa
Al-Jabri, M., Sholeh, L.R. Widowati, A. Hamid, J.S. Adiningsih, dan I P.G. Widjaja-
Adhi. 1997. Penelitian uji fosfat tanah dan analisis tanaman sebagai dasar
rekomendasi pemupukan sawah bukaan baru. Pros. No. 13/Pen. Tanah.
Puslittanak, Badan Litbang Pertanian.
Al-Jabri, M. dan H. Suwardjo. 1986. Penelitian pengaruh cara pengelolaan tanah
gambut terhadap pertumbuhan tanaman padi. Pros. No. 6/Pen. Tanah. Hal:
341-355. Cipayung, Bogor, 18-20 Maret 1986.
Aribawa, I B., A. Supardi, M. Al-Jabri, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1997. Rehabilitasi
lahan tidur pasang surut jenis sulfat masam di Basarang, Kuala Kapuas,
Kalteng. Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil
Penelitian Tanah dan Agroklimat Bidang Kimia dan Biologi Tanah. Cisarua,
Bogor, 4-6 Maret 1997.
Auxtero, E.A. and J. Shamsuddin. 1991. Growth of oil palm (Elaeis guinensis)
seedlings on acid sulfate soils as affected water regime and Al. Plant and
Soil. 137:243-257.
Bouman, S.A.M. and P.M. Driessen. 1985. Physical properties of peat soils
affecting rice-based cropping systems. p 71-83 In IRRI. Soil Physics and
Rice. International Rice Research Institute. Los Banos. Laguna.
Philippines.
Chairuddin, Iriansyah, O. Klepper, and H.D. Rijksen. 1990. Environmental and
socio-economic aspects of fish and fisheries in an area of acid sulphate
soils, Pulau Petak, Indonesia. p 374-392. In AARD/LAWOO Paper
Workshop on Acid Sulphate Soils in the Humid Tropics. Bogor.
Charoenchamratcheep, C., B. Tantisira, P. Chitnuson, and V. Sinaiem. 1982.
Effect of liming and fertilizer application on acid sulphate soils for
improvement of rice production in Thailand. p 157-171. In Dost and Van
Breemen (Eds.). Proceedings of the Bangkok Symposium on Acid
Sulphate Soils. ILRI Publ. 31. Wageningen. The Netherlands.
De Geus and Jan G. 1973. Fertlizer guide for the tropics and subtropics. Centre
d’Etude de l’Azote, Zurich. Second Edition. 774 p.
Dent, D. 1986. Acid Sulphate Soils: A baseline for research and development.
ILRI Publ. 39. International Land Reclamation and Improvement.
Wageningen. The Netherlands. 204 p.
Driessen, P.M. and R. Dudal. 1989. Lecture Notes on the Geography, Formation,
Properties and Use of the Major Soils of the World. Agricultural University
Wageningen and Katholieke Universiteit Leuven. Wageningen. Leuven.
Belgium.
Fox, R.L., and E.J. Kamprath. 1970. Phosphate sorption isotherms for evaluating
the phosphate requirements of soils. Soil Sci. Soc. Am. Proc. 34: 902-907.
Gaspersz , V. 1991. Metode perancangan percobaan. Penerbit. CV. ARMICO.
Bandung.
270
Abdurachman et al.
Haby, V.A., M.P. Russelle, and E.O. Skogley. 1990. Testing soils for potassium,
calcium, and magnesium, pp. 181– 228. In Westerman, R. L (Ed.). Soil
testing and plant analysis. Soil Science Society of America., Inc. Madison,
Wisconsin. USA.
Hanhart, K., and Duong van Ni. 1993. Water management on rice fields at Hoa
An, Mekong Delta, Vietnam. In Dent and Van Mensvoort (Eds.). Selected
Papers of the Ho Chi Minh City Symposium on Acid Sulphate Soils. ILRI
Publ. 53. International Institute for Land Reclamation and Improvement.
Wageningen. The Netherlands. 425 p.
Hartatik, W., I G.M. Subiksa, dan D.A. Suriadikarta. 2000. Ameliorasi lahan
gambut di Ai Sugihan Kiri, Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional
Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung, 25-27
Juli. ISDP. Puslitbangtan. Badan Litbang. Pertanian.
Hasibuan, K.M. 1988. Pemodelan matematik di dalam biologi populasi. PAU-IPB
bekerjasama dengan Lembaga Sumberdaya Informasi IPB.
Joret, G., H. Malterre, and M. Cabazan. 1990. L’appreciation des besoins en
chaux des sols de limon d’apres leur etat de saturation en bases
exchangeables, p: 105-126. In Westerman, R. L (Ed.). Soil testing and
plant analysis. Soil Science Society of America., Inc. Madison, Wisconsin.
USA.
Jumakir, S. Suwalan, K. Bambang, dan T. Alihamsyah. 2000. Kajian beberapa
varietas unggul padi di lahan pasang surut. Prosiding Seminar Nasional
Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung, 25-27
Juli. ISDP. Puslitbangtan. Badan Litbang. Pertanian.
Keeny, D.R., and R.B. Corey. 1963. Factor affecting the lime requirement of
Wisconsin soils. Soil Sci. Soc. Am. Proc. 27: 277-280.
Konsten, C.J.M., S. Suping, I B. Aribawa, and I P.G. Widjaja-Adhi. 1990.
Chemical processes in acid sulphate soils in Pulau Petak, South and
Central Kalimantan, Indonesia. p 109-135. In AARD/LAWOO Paper
Workshop on Acid Sulphate Soils in the Humid Tropics. Bogor.
Kselik, R.A.L. 1990. Water Management on Acid Sulphate Soils at Pulau Petak,
Kalimantan. In AARD/LAWOO Paper Workshop on Acid Sulphate Soils in
the Humid Tropics. Bogor.
Kselik, R.A.L., K.W. Smilde, H.P. Ritzema, K. Subagyono, S. Saragih, M.
Damanik, and H. Suwardjo. 1993. Integrated research on water
management, soil fertility and cropping systems on acid sulphate soils in
South Kalimantan, Indonesia. In Dent and Van Mensvoort (Eds.). Selected
Papers of the Ho Chi Minh City Symposium on Acid Sulphate Soils. ILRI
Publ. 53. International Institute for Land Reclamation and Improvement.
Wageningen. The Netherlands. 425 pp.
271
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa
Liebhardt W.C. 1981. The basic cation saturation ratio concept of lime and
potassium recommendations on Delaware’s Coastal Plain Soils . Soil Sci.
Soc. Am. J. 45: 544-549.
Lindsay, W.L. 1979. Chemical equilibria in soils. John Wiley & Sons, New York.
Chichester. Brisbane. Toronto. 449p.
Mansur, D., D.A. Suriadikarta, I G.M. Subiksa, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1995.
Pengaruh tata air dan pencampuran gambut terhadap pertumbuhan dan
hasil padi di lahan bergambut. hal. 113-120 Dalam Sunihardi, A.
Musaddad, Trip Alihamsyah dan Inu G. Ismail (Eds.) Teknologi Produksi
dan Pengembangan Sistem Usahatani di Lahan Rawa. Kumpulan Hasil
Penelitian. Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu-
ISDP. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
McLean, E.O., R.C. Hartwig, D.J. Eckert, and G.B. Triplett. 1983. Basic cation
saturation ratios as a basis for fertilizing and liming agronomic crops. II.
Field studies. Agron. J. 75:635-639.
Moctar Toure. 1982. Improvement of acid sulphate soils: Effects of lime, wood
ash, green manure and preflooding. p. 223-236. In Dost and Van Breemen
(Eds.). Proceedings of the Bangkok Symposium on Acid Sulphate Soils.
ILRI Publ. 31. Wageningen. The Netherlands.
Montoroi, J.P., J. Albergel, A. Dobos, M. Fall, S. Sall, A. Bernard, D. Brunet, G.
Dubee, and P. Zante. 1993. Rehabilitation of rice fields in the acid sulphate
soils of lower casamance, Senegal. In Dent and Van Mensvoort (Eds.).
Selected Papers of the Ho Chi Minh City Symposium on Acid Sulphate
Soils. ILRI Publ. 53. International Institute for Land Reclamation and
Improvement. Wageningen. The Netherlands. 425 p.
Moorman, F.R. and N. Van Breemen. 1978. Rice: Soil, water and land.
International Rice Research Institute. Los Banos. Philippines.
Ponnamperuma, F.N. and J.L. Solivas. 1982. Field Amelioration on an Acid
Sulphate Soil For Rice with Manganese Dioxide and Lime. p 213-222. In
Dost and Van Breemen (Eds.). Proceedings of the Bangkok Symposium on
Acid Sulphate Soils. ILRI Publ. 31. Wageningen. The Netherlands.
Pons, L.J. and van Breemen. 1982. Factors Influencing the Foremation of
Potential Acidity in Tidal Swamps. P. 37-51. In Dost and ven Breemen
(Eds.). Proceeding of the Bangkok Symposium on Acid Sulphate Soils. ILPI
Publ. 31. Wageningen. The Netherlands.
Ritzema, H.P., R.A.L. Kselik, and K. Subagyono. 1993. Water Management
Strategies to Ameliorate and Use Acid Sulphate Soils in the Humid Tropics.
ILRI. Wageningen. The Netherlands.
Sabiham, S., T.B. Prasetyo, and S. Dohong. 1995. Phenolic acids in Indonesian
peat. P. 289-292 In Rieley and Page (Eds.). Biodiversity and Sustainability
of Tropical Peatland Proceedings of the International Symposium on
272
Abdurachman et al.
273
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa
274
USAHA AGRIBISNIS DI LAHAN
IX RAWA PASANG SURUT
Achmadi Jumberi dan Trip Alihamsyah
275
Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut
276
Jumberi dan Alihamsyah
Tabel 9.1. Keragaan ekonomi berbagai tanaman di lahan sulfat masam pada
Ekspose Teknologi Pertanian Lahan Pasang Surut di Barito Kuala,
2003
277
Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut
lahan usaha seluas 1,75 ha yang ditanami tanaman pangan dan sayuran
memberikan nilai IBCR sebesar 1,74. Komoditas ikan dan tanaman industri
umumnya memberikan kontribusi yang kecil terhadap penerimaan usahatani,
disebabkan usahatani ikan kurang menarik sedangkan tanaman industri
membutuhkan waktu yang lama untuk menghasilkan. Ternak memberikan
kontribusi cukup besar terhadap penerimaan usahatani, selain itu berfungsi juga
sebagai penangkal kesulitan dalam memperoleh uang kontan dan pupuk
kandangnya dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik bagi tanaman.
Tabel 9.2. Hasil analisis usahatani sistem surjan di lahan sulfat masam pada
Ekspose Teknologi Pertanian Lahan Pasang Surut di Barito Kuala,
2003
Jenis tanaman Biaya Penerimaan Keuntungan R/C
.................................. Rp/ha ..................................
Pola padi lokal pada tabukan dan jeruk + cabai pada guludan
Padi lokal 856.000 2.910.000 2.054.000 3,40
Jeruk 1.162.000 10.070.000 8.908.000 8,67
Cabai 810.000 1.500.000 690.000 1,85
Jumlah 2.828.000 14.480.000 11.652.000 4,93
Pola padi-padi unggul pada tabukan dan jeruk + cabai pada guludan
Padi unggul 3.794.000 6.984.000 3.190.000 1,84
Jeruk 1.162.000 10.070.000 8.908.000 8,67
Cabai 810.000 1.500.000 690.000 1,85
Jumlah 5.766.000 18.554.000 12.788.000 3,21
Sumber: Badan Litbang Pertanian (2003)
278
Jumberi dan Alihamsyah
Pemilihan pola tanam dan komoditas pertanian berkaitan erat dengan pola
penataan lahan dan ketersediaan air, dimana sumber air di lahan pasang surut
berasal dari air pasang dan air hujan atau hanya air hujan saja tergantung
kepada tipe luapan airnya. Bervariasinya jangkauan air pasang di lahan pasang
surut mengakibatkan adanya perbedaan suplai air ke petakan lahan untuk
menunjang keperluan tanaman. Anjuran pola tanam yang dapat dikembangkan
di lahan pasang surut diberikan oleh Suprihatno et al. (1999). Pada lahan bertipe
luapan air A yang umumnya berada di sepanjang sisi sungai ditata sebagai
sawah, dimana air pasang sudah mampu mensuplai keperluan air tanaman baik
pada musim hujan maupun kemarau, sehingga walaupun curah hujan bulanan
kurang dari 100 mm, penanaman padi tetap dapat dilakukan. Kendala pada
lahan ini adalah tingginya genangan air pada musim hujan sehingga diperlukan
279
Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut
varietas lebih tinggi dari genangan maksimum. Namun demikian, lahan di daerah
tersebut pada musim kemarau panjang sering mengalami intrusi air laut. Oleh
karena itu, pada musim kemarau diperlukan varietas yang toleran kegaraman
seperti Sei Lalan. Dengan demikian pola tanam yang sesuai dengan kondisi
lahan bertipe luapan air A adalah padi-padi.
Pada lahan bertipe luapan air B, dimana lahan hanya dapat terluapi air
pasang besar di musim hujan, maka untuk penanaman padi pada musim hujan,
air tidak menjadi masalah. Sedangkan penanaman padi pada musim kemarau,
sering menghadapi masalah kekurangan air karena selama musim kemarau ada
bulan-bulan tertentu yang curah hujan bulanannya kurang dari 100 mm, di lain
pihak kemampuan air pasang masuk ke petakan lahan berkurang, mengikuti
pola curah hujan. Oleh karena itu, pola tanam yang dapat dikembangkan harus
dikaitkan dengan agroklimat yang ada di Indonesia, yaitu padi-padi untuk tipe
iklim At B1 dan B2, sedangkan untuk tipe iklim C1 dan C2 adalah padi-padi atau
padi palawija. Penanaman palawija di lahan bertipe luapan air B pada musim
hujan membutuhkan tata air tertentu pada petakan lahan agar terhindar dari
genangan air.
Pada lahan bertipe luapan air C, sumber air utama berasal dari curah
hujan sehingga penanaman padi sawah di lahan tersebut hanya dapat dilakukan
pada musim hujan yaitu, seperti halnya sawah tadah hujan. Karena pola dan
distribusi hujan selalu berubah, maka padi sering mengalami kekurangan air.
Penanaman palawija pada lahan tersebut sangat dimungkinkan, baik pada
musim kemarau maupun musim hujan, berkat dukungan curah hujan dan
besarnya kandungan bahan organik dengan daya serap yang besar terhadap air.
Sebagai konsekuensi dari sifat tersebut maka penanaman palawija
membutuhkan drainase yang baik, karena itu perlu dibuat saluran-saluran
drainase.
Lahan bertipe luapan air D lebih bersifat seperti lahan kering dengan
sumber utama airnya adalah hujan, maka penanaman padi dilakukan pada
musim hujan saja dengan syarat masa pertanamannya berada pada bulan-bulan
basah. Karena besarnya porositas tanahnya maka perlu digunakan varietas padi
yang toleran terhadap kekeringan seperti : Cisanggarung, Sei Lalan, Banyuasin,
Batanghari, dan Dendang. Penanaman palawija dapat dilakukan pada musim
hujan maupun pada musim kemarau, sehingga pola tanam yang sesuai untuk
tipe lahan ini adalah padipalawija/sayuran atau palawija-palawija/sayuran.
280
Jumberi dan Alihamsyah
Gambar 9.1. Pola tanam padi-jeruk di lahan pasang surut tipe luapan B,
kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan
281
Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut
khususnya padi dan palawija yang adaptif di lahan pasang surut (Ismail et al.,
1993; Suwarno et al., 1993; Suprihatno et al., 1999; Alihamsyah et al., 2000;
Alihamsyah et al., 2001). Varietas unggul padi sawah yang beradaptasi baik di
lahan pasang surut yang tingkat kemasaman dan kadar besinya tidak terlalu
tinggi adalah Kapuas, Cisanggarung, Cisadane, IR-42, IR-66, Lematang, Sei
Lilin, Sei Lalan, Banyuasin, Dendang, dan Batanghari. Sedangkan untuk lahan
yang kemasaman dan kadar besinya tinggi dapat digunakan beberapa varietas
unggul lokal seperti Talang, Ceko, Mesir, Jalawara, Siam Lemo, Semut,
Pontianak, Sepulo, Pance, Salimah, Jambi Rotan, dan Tumbaran hanya saja
umurnya panjang, yaitu 120-150 hari.
Penanaman padi dapat dilakukan melalui dua pola tanam, yaitu pola padi
varietas unggul-unggul dan pola padi varietas unggul-Iokal. Pada pola padi
varietas unggul-Iokal, varietas unggul ditanam pada musim hujan dengan luasan
sekitar 75-80% dari luas petak lahan sedangkan 20-25% sisanya untuk
persemaian padi varietas lokal yang akan ditanam setelah padi varietas unggul
dipanen. Dengan demikian intensitas pertanaman pada pola ini antara 175-
180%. Dari serangkaian penelitian yang dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian,
maka sampai dengan tahun 2001 telah dilepas 18 varietas padi unggul adaptif
lahan pasang surut dengan berbagai sifat (Tabel 9.3) yang dapat dipilih sesuai
dengan kondisi biofisik lahan dan preferensi petani.
Gambar 9.2. Tampilan varietas ungul padi Margasari dan Ciherang di lahan
eks PLG, Dadahup, kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah
282
Jumberi dan Alihamsyah
Tabel 9.3. Varietas unggul padi pasang surut yang telah dilepas sampai tahun
2002
Tahun Umur Tekstur Ketahanan hama dan penyakit
Nama varietas Hasil
dilepas panen nasi WCk HOB BCk Blas
hari t/ha
Barito 1981 140-145 3 Pera T-1 AT - -
Mahakam 1983 135-140 3-4 Pera P-1,2,3 AT - -
Kapuas 1984 127 4-5 Sedang T -1 AT - -
Musi 1988 135-140 4,5 Pera T-2 T - T
Sei Lilin 1991 115-125 4-6 Pera AT-2 - - AP
Lematang 1991 125-130 4-6 Pera T-1 - - AT
Lalan 1997 125-130 4-6 Pera T-1,2, 3 - - T
Banyuasin 1997 115-120 4-6 Pulen T -3 - T T
Batanghari 1999 125 4-6 Pera T -1,2 T - T
Oendang 1999 125 3-5 Pulen T-1,2 - AT AT
Indragiri 2000 117 4,5-5,5 Sedang T-2 T - T
Punggur 2000 117 4,5-5 Sedang T-2,3 - - T
Margasari 2000 120-125 3-4 Sedan AT-2 - - T
Martapura 2000 120-125 3-4 Sedang AP - - T
Air Tenggulang 2001 125 5 Pera T-1,2,3 T T
Siak Raya 2001 125 5 Pera T-IR26 - T T
Lambur 2001 120 4 Pulen A T-3 - - T
Mendawak 2001 115 4 Pulen AT -3 - - AT
T = Tahan; AT = Agak Tahan; AP = Agak Peka; P = Peka; WCk = Wereng coklat; 1, 2, 3 =
Biotipe 1, 2, 3; HOB = Hawar daun bakteri; BCk = Bercak coklat
Sumber : Khairullah dan Sulaiman (2002).
283
Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut
Tabel 9.4. Jenis dan varietas tanaman non padi adaptif lahan pasang surut
Daya
Jenis tanaman Varietas Hasil
toleransi
t/ha
Jagung Arjuna, Kalingga, Wiyasa, Bisma, Bayu, Sedang 4-5
Antasena, C-3, C-5, Semar, Sukmaraga, H6, Bisi
Dua
Kedelai Wilis, Rinjani, Lokon, Dempo, Galunggung, Sedang 1,5-2,4
Siamet, Lawit, Merbabu, Petek, Kerinci,
Tampomas,Tanggamus, Menyapa
Kacang tanah Gajah, Pelanduk, Kelinci, Singa, Jerapah, Tahan 1,8-3,5
Komodo,Mahesa
Kacang hijau Betet, Walet, Gelatik Tahan 1,5
Tomat Intan, Permata, Berlian, Mirah, AV-22 , Ratna Sedang 10-15
Cabai Tanjung-1, Tanjung-2, Barito, Bengkulu, Sedang 4-6
Tampar, Keriting, Rawit Hijau dan Putih
Terong Mustang, Kopek Ungu, Ungu Panjang, No. 4000 Tahan 30-40
Kubis KK Cross, KY Cross, Grand 33 Sedang 20-25
Kacang panjang Super King, Pontianak, KP-1, KP-2 Tahan 15-28
Buncis Horti-1, Horti-2, Prosessor, Farmer Early, Green Sedang 6-8
Leaf
Timun Saturnus, Mars, Pluto Sedang 35-40
Bawang merah Ampenan, Bima, Menteng, Sumenep, Kuning Sedang 4,1-7,6
Sawi Asveg#1, Sangihe, Talaud, Tosakan, Putih Tahan 15-20
Jabung, Sawi Hijau, Sawi Huma, No. 82-157
Slada New Grand Rapids Sedang 12-15
Bayam Maestro, Giti dan Kakap Hijau dan Merah, Sedang 10-12
Cimangkok
Kangkung LP-1, LP-2, Sutera Sedang 25-30
Semangka Sugar Baby, New Dragon Sedang 15-25
Nenas Madu, Bangka, Paun Tahan 40
Jahe Merah Sedang 20-24
Kencur Sedang 21,6
Kelapa Dalam Riau Tahan 2,5-4,1
kopra
Kelapa sawit Tahan 19
Sumber : Alihamsyah et al. (2003)
284
Jumberi dan Alihamsyah
Gambar 9.3. Tampilan kacang tanah dan tanaman sayuran di lahan eks PLG,
Dadahup, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah
285
Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut
286
Jumberi dan Alihamsyah
287
Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut
288
Jumberi dan Alihamsyah
skem kredit seperti kredit usahatani dan kredit ketahanan pangan, namun pada
umumnya tidak berhasil baik dan bahkan banyak yang macet. Oleh karena itu,
perlu dikembangkan lembaga keuangan atau permodalan alternatif seperti
lembaga keuangan desa dan Grameen Bank yang fungsinya selain menyalurkan
kredit, juga melayani berbagai transaksi keuangan di wilayah pengembangan
mengingat lokasi pengembangan umumnya jauh dari kota. Prosedur pengajuan
kreditnya harus sesederhana mungkin dan biayanya murah serta pencairan
dananya cepat dan jangka waktu pengembalian kreditnya lebih lama atau
fleksibel, misalnya minimal satu tahun dan bukan satu musim tanam seperti yang
dilaksanakan sebelumnya.
289
Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut
290
Jumberi dan Alihamsyah
291
Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut
Karakteristik
biofisik lahan ● Calon lokasi/petani
● Penataan lahan
● Pilihan komoditas
● Budidaya tanaman
Karakteristik sistem
usahatani Model Usaha
Agribisnis di lahan
Karakteristik Pasang Surut
Wilayah
Karakteristik Sosek
& kelembagaan ● Calon lokasi/petani
● Prasarana usahatani Peningkatan :
● Prasarana ekonomi ● Produksi pangan
● Lembaga penunjang ● Pendapatan
Karakteristik ● Kapasitas petani ● Kesejahteraan
prasarana wilayah ● Kelestarian SDA
SASARAN
Gambar 9.5. Pola pikir perancangan model usaha agribisnis di lahan pasang
surut
292
Jumberi dan Alihamsyah
293
Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut
Gambar 9.6. Contoh susunan tata ruang hipotetik di lahan pasang surut
294
Jumberi dan Alihamsyah
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
295
Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut
296
Jumberi dan Alihamsyah
Supriadi, H., Ruhendi, dan A.S. Karama. 2000. Prosiding Seminar Hasil
Penelitian, dan Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut-ISOP
Kalimantan Barat Pontianak, 22-23 Maret 2000. Puslitbang Tanaman
Pangan
Suprihatno, B., T. Alihamsyah, dan E.E. Ananto. 1999. Teknologi pemanfaatan
lahan pasang surut dan lebak untuk pertanian tanaman pangan. Dalam
Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV di Bogor tanggal 22-
24 November 1999.
Widjaja-Adhi, I P.G. 1986. Pengelolaan lahan pasang surut dan lebak. Jurnal
Litbang Pertanian V(1), Januari 1986. Badan Litbang Pertanian.
Widjaja-Adhi, I P.G. 1995. Pengelolaan tanah dan air dalam pengembangan
sumberdaya lahan rawa untuk usahatani berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan. Makalah disampaikan pada Pelatihan Calon Pelatih untuk
Pengembangan Pertanian di daerah Pasang Surut, 26-30 Juni 1995,
Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan.
Widjaja-Adhi, I P.G. dan T. Alihamsyah. 1998. Pengembangan lahan pasang
surut : potensi, prospek dan kendala serta teknologi pengelolaannya untuk
pertanian. Dalam Prosiding Seminar Himpunan IImu Tanah Jawa Timur.
Malang, 18 Desember 1998.
297