Anda di halaman 1dari 13

EKOLOGI LAHAN RAWA

Mutya Ariani Zahrah 171081522007, Nazla Rahmatina 1710815220009, M.


Robby 1710815210004 , Norhalimah 1710815220010, Riandi Rosmawan
Adhitama 1710815310017
Teknik Lingkungan, Teknik, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Jend.
A. Yani KM. 36, Banjarbaru, 70722, Indonesia
E-mail: mutyaarianiz@gmail.com

ABSTRAK

Luas lahan rawa di Indonesia mencapai sekitar 33,43 juta ha. Kawasan itu
tersebar di pantai timur dan utara Pulau Sumatra, pantai barat, selatan, dan
timur Pulau Kalimantan, pantai barat dan timur Pulau Sulawesi, serta pantai
selatan Pulau Papua. Ekologi lahan rawa sendiri adalah suatu ilmu yang
mempelajari tentang hubungan timbal balik antara organisme dengan lingkungan
hidupnya terutama di kawasan sepanjang pantai, aliran sungai, danau, atau
lebak yang menjorok masuk (intake) ke pedalaman sampai sekitar 100 km atau
sejauh dirasakannya pengaruh gerakan pasang. Jadi, lahan rawa dapat
dikatakan sebagai lahan yang mendapat pengaruh pasang surut air laut atau
sungai di sekitarnya. Lahan rawa sendiri memiliki banyak potensi untuk
dimanfaatkan terutama di bidang pertanian.

Kata kunci: Ekologi, Lahan Rawa, air.

ABSTRACT

The area of swamps in Indonesia reaches around 33.43 million ha. The area is
spread on the east and north coast of Sumatra Island, the west, south and east
coast of Kalimantan Island, the west and east coast of Sulawesi Island, and the
southern coast of Papua Island. Swamp land ecology itself is a study that studies
the reciprocal relationship between organisms and their environment, especially
in areas along the coast, streams, lakes, or lakes that protrudes into the interior to
about 100 km or as far as the influence of tidal movements is felt. So, swampy
land can be said to be the land that is affected by tidal water or the surrounding
river. Swamp land itself has a lot of potential to be utilized especially in
agriculture.

Keywords: Ecology, Swamp Land, water.


I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Luas lahan rawa di Indonesia mencapai sekitar 33,43 juta ha.
Kawasan itu tersebar di pantai timur dan utara Pulau Sumatra, pantai barat,
selatan, dan timur Pulau Kalimantan, pantai barat dan timur Pulau Sulawesi,
serta pantai selatan Pulau Papua. Menurut Muhammad Noor dalam
bukunya Lahan Rawa (2004), rawa adalah kawasan sepanjang pantai, aliran
sungai, danau, atau lebak yang menjorok masuk (intake) ke pedalaman
sampai sekitar 100 km atau sejauh dirasakannya pengaruh gerakan pasang.
Jadi, lahan rawa dapat dikatakan sebagai lahan yang mendapat pengaruh
pasang surut air laut atau sungai di sekitarnya. Di Indonesia telah disepakai
istilah rawa dalam dua pengertian, yakni rawa pasang surut dan rawa lebak.
Rawa pasang surut diartikan sebagai daerah rawa yang mendapatkan
pengaruh langsung atau tidak langsung oleh ayunan pasang surut air laut
atau sungai di sekitarnya. Sedangkan rawa lebak adalah daerah rawa yang
mengalami genangan selama lebih dari tiga bulan dengan tinggi genangan
terendah 25 – 50 cm.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan lahan rawa?
2. Apa saja jenis-jenis lahan rawa?
3. Bagaimana klasifikasi lahan rawa?
4. Apa perbedaan lahan rawa dibandingkan lahan-lahan yang lain?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian lahan rawa.
2. Untuk mengidentifikasi jenis-jenis lahan rawa.
3. Untuk mengetahui klasifikasi lahan rawa.
4. Untuk mengetahui perbedaan lahan rawa dibandingkan lahan-lahan yang
lain
II. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Lahan Rawa
Secara tata bahasa Indonesia rawa didefinisikan adalah lahan
genangan air secara ilmiah yang terjadi terus-menerus atau musiman akibat
drainase yang terhambat serta mempunyai ciri-ciri khusus secara fisika,
kimiawi dan biologis. Dari segi hidrologi, pedologi dan ekologi, rawa
tercakup dalam pengertian lahan basah. Menurut sifat airnya, rawa dapat
dibagi menjadi rawa air tawar dan rawa air payau. Menurut letaknya,
rawa dapat dibagi menjadi rawa pedalaman dan rawa pantai. Menurut
gerakan airnya, rawa dibagi menjadi rawa bergenangan tetap, lebak,
bonorowo, dan rawa pasang surut. Dalam istilah pustaka Inggris dijumpai
berbagai istilah yang dapat dipadankan dengan kata rawa. Istilah-istilah
itu sebetulnya menunjuk bentang lahan yang mempunyai beberapa
tampakan (feature) yang berbeda. Ada juga istilah swamp yang berarti
baruh (lowland), secara tetap berada dalam keadaan jenuh air, biasanya
tertutup vegetasi yang berpohon di sana-sini, dan tanahnya berkadar
bahan organik tinggi. (A Dictionary of the Natural Environment, Am.
Geol. Inst., 1962; Moore, 1972).

2.2 Jenis-jenis lahan rawa


Rawa dapat dibedakan menjadi berbagai jenis. Jenis- jenis rawa ini
dibedakan atas dasar keadaan air dan organisme yang hidup, letaknya serta
rasa airnya. Untuk penjelasan mengenai masing- masing jenis rawa ini
adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan kondisi air serta flora dan fauna yang tumbuh, rawa
dibedakan menjadi jenis- jenis berikut:
 Swamp
Jenis rawa yang pertama adalah swamp. Swamp merupakan
jenis rawa yang berupa lahan basah yang selalu digenangi oleh air.
Ada beberapa tumbuhan yang hidup di area swamp ini. beberapa
tumbuhan yang hidup di area swamp ini antara lain adalah lumut,
rumput- rumputan, semak- semak dan juga berbagai jenis pohon.
 Marsh
Jenis jawa kedua selain swamp adalah marsh. Marsh juga
mirip dengan swamp. Marsh merupakan lahan basah yang digenangi
oleh air. Yang membedakan antara swamp dengan marsh adalah
tumbuhan yang hidup (meskipun banyak juga yang sama). Beberapa
vegatasi atau tumbuhan yang hidup di marsh ini antara lain adalah
jenis lumut- lumutan, rumput- rumputan, dan juga alang- alang yang
daunnya menyeruak hingga ketinggian tertentu.

 Bog
Jenis rawa yang ketiga adalah bog. Sedikit berbeda dengan
swamp dan juga marsh, bog merupakan lahan basah namun
permukaannya relatif kering. Sementara permukaannya relatif kering,
namun sifat di dalamnya basah dan juga jenuh air. Genangan air ini
pada umumnya dalam, sementara genangan yang dangkal hanya
terlihat di beberapa tempat saja.

 Rawa Pasang Surut


Jenis rawa yang keempat adalah rawa pasang surut. Pada
awalnya kita membicarakan rawa sebagai genangan air yang sifatnya
adalah air tawar. Namun rawa pasang surut merupakan salah satu jenis
rawa yang ternyata airnya bukan merupakan air tawar. Rawa pasang
surut memiliki air asin karena air di rawa ini berasal dari air laut yang
mengalami pasang. Jadi, nama pasang surut ini memang diambil dari
peristiwa pasang surutnya air laut. Rawa akan terisi air ketika air laut
mengalami pasang, dan mungkin air tersebut akan berkurang
volumenya ketika air laut surut sehingga akan terlihat sebagian
daratannya.
Adapun rawa pasang surut ini ditumbuhi oleh beberapa
vegetasi. Jenis vegetasi yang tumbuh di rawa pasang surut ini adalah
pohon bakau atau mangrove. Di Indonesia sendiri banyak sekali rawa
pasang surut, bahkan hingga mencapai 23 hektar. Sebagian besar air
rawa memiliki tingkat keasaman yang tinggi. namun hal ini tidak
berlaku pada rawa pasang surut. Hal ini karena air di rawa pasang
surut selalu berganti- ganti sehingga kadar keasamannya tidak terlalu
tinggi. hal inilah yang membuat flora serta fauna yang hidup di rawa
pasang surut ini lebih banyak daripada rawa lainnya.

2. Berdasarkan lokasi keberadaan rawa, rawa dibedakan menjadi beberapa


jenis antara lain sebagai berikut:
 Rawa pantai
Rawa pantai adalah rawa yang terletak di pinggir pantai. Jenis
rawa ini sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut karena letaknya
yang berada di pinggir pantai. Contohnya adalah rawa-rawa pantai
yang berada di teluk Bone Sulawesi Selatan.
 Rawa payau
Rawa payau merupakan rawa yang letaknya ada di dekat
muara sungai atau di perbatasan antara sungai dengan laut. Rawa
payau terjadi karena ada bagian rendah di sekitar muara sungai selalu
tergenang akibat peluapan air sungai dan pasang surutnya air laut.
Rawa jenis ini banyak ditumbuhi rerumputan dan pohon-pohon yang
tahan air seperti kayu ulin, bakau, dan sebagainya. Contohnya banyak
ditemukan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Rawa jenis
ini banyak dijadikan sebagai wilayah persawahan pasang surut oleh
penduduk dan pemerintah .
 Rawa sungai
Rawa sungai adalah rawa yang berada di sekitar sungai.
Biasanya, dataran di kanan kiri sungai ini lebih rendah sehingga selalu
digenangi oleh air sungai. Contohnya dalah rawa-rawa yang ada di
sungai Musi antara Kota Palembang hingga Kota Sebayu (Sumatera
Selatan), rawa-rawa sungai Mahakam antara Muara Kaman hingga
Muara Amuntai dan Kahala yang ada di Kalimantan Timur.
 Rawa cekungan
Rawa cekungan merupakan cekungan yang selalu digenangi
oleh air. Terjadinya cekungan tersebut yaitu karena penurunan atau
pengangkatan oleh tenaga endogen di sekeliling cekungan.
Contohnya: Rawa Pening yang ada di Jawa Tengah.
 Rawa danau
Rawa danau adalah rawa yang dipengaruhi oleh pasang surut
air danau. Pada musim hujan, danau akan menggenangi daerah
sekitarnya dan pada musim kemarau air danau akan surut. Daerah
sekeliling danau yang mengalami pasang surut maka akan terbentuk
rawa danau. Contohnya yaitu rawa yang di sekitar danau Tempe,
Sulawesi Selatan.
3. Berdasarkan rasa airnya, rawa dibedakan menjadi:
 Rawa air asin
Rawa air asin adalah rawa yang memiliki kandungan air terdiri
dari air asin atau air laut. Rawa ini banyak terdapat di daerah pantai di
Indonesia, seperti rawa-rawa yang ada di pantai barat dan pantai timur
Aceh, rawa-rawa yang ada di sekitar pantai teluk Bone Sulawesi
Selatan dan lain sebagainya.
 Rawa air tawar
Rawa air tawar adalah yaitu rawa yang airnya berasal dari air yang ada
di daratan. Rawa yang kandungan airnya dipengaruhi oleh air sungai,
air hujan, dan air tanah. Rawa ini memiliki rasa air yang tawar. Rawa
jenis ini banyak terdapat pada daerah pedalaman sungai yang ada di
Kalimantan dan pedalaman sungai yang ada di pantai timur pulau
Sumatera dan juga rawa-rawa yang ada di daerah cekungan dan rawa
danau.
 Rawa air payau
Rawa air payau adalah rawa yang terbentuk karena adanya
percampuran antara air asin (air laut) dan air tawar. Rawa ini memiliki
rasa air yang payau. Rawa air payau banyak terdapat di muara sungai
yang ada di Kalimantan dan muara sungai yang ada di pantai timur
pulau Sumatera.

2.3 Klasifikasi Lahan Rawa


Lahan rawa yang berada di daratan dan menempati posisi peralihan
antara sungai atau danau dan tanah darat (uplands), ditemukan di depresi,
cekungan-cekungan di bagian terendah pelembahan sungai, di dataran
banjir sungai-sungai besar, dan di wilayah pinggiran danau. Mereka
tersebar di dataran rendah, dataran berketinggian sedang, dan dataran
tinggi. Lahan rawa yang tersebar di dataran berketinggian sedang dan
dataran tinggi, umumnya sempit atau tidak luas, dan terdapat setempat-
setempat.
Lahan rawa yang terdapat di dataran rendah, baik yang
menempati dataran banjir sungai maupun yang menempati wilayah dataran
pantai, khususnya di sekitar muara sungai-sungai besar dan pulau-pulau
deltanya adalah yang dominan. Pada kedua wilayah terakhir ini, karena
posisinya bersambungan dengan laut terbuka, pengaruh pasang surut dari
laut sangat dominan. Di bagian muara sungai dekat laut, pengaruh pasang
surut sangat dominan, dan ke arah hulu atau daratan serta pengaruhnya
semakin berkurang sejalan dengan semakin jauhnya jarak dari laut.
Berdasarkan pengaruh air pasang surut, khususnya sewaktu pasang besar
(spring tides) di musim hujan, bagian daerah aliran sungai di bagian bawah
(down stream area) dapat dibagi menjadi 3 (tiga) zona.
Klasifikasi zona-zona wilayah rawa ini telah diuraikan oleh Widjaja-
Adhi et al. (1992), dan lebih mendetail oleh Subagyo (1997). Ketiga zona
wilayah rawa tersebut adalah :
 Zona I : Wilayah rawa pasang surut air asin/payau
 Zona II : Wilayah rawa pasang surut air tawar
 Zona III : Wilayah rawa lebak, atau rawa non-pasang surut

1. Zona I: Wilayah rawa pasang surut air asin/payau


Wilayah rawa pasang surut air asin/payau terdapat di bagian
daratan yang bersambungan dengan laut, khususnya di muara sungai
besar, dan pulau- pulau delta di wilayah dekat muara sungai besar.
Di bagian pantai ini, dimana pengaruh pasang surut air asin/laut masih
sangat kuat, sering kali disebut sebagai “tidal wetlands”, yakni lahan
basah yang dipengaruhi langsung oleh pasang surut air laut/salin.

2. Zona II: Wilayah rawa pasang surut air tawar


Wilayah pasang surut air tawar adalah wilayah rawa
berikutnya ke arah hulu sungai. Wilayahnya masih termasuk daerah
aliran sungai bagian bawah, namun posisinya lebih ke dalam ke arah
daratan, atau ke arah hulu sungai. Di wilayah ini energi sungai, berupa
gerakan aliran sungai ke arah laut, bertemu dengan energi pasang surut
yang umumnya terjadi dua kali dalam sehari (semi diurnal). Karena
wilayahnya sudah berada di luar pengaruh air asin/salin, yang dominan
adalah pengaruh air tawar (fresh water) dari sungai sendiri. Walaupun
begitu, energi pasang surut masih cukup dominan, yang ditandai oleh
masih adanya gerakan air pasang dan air surut di sungai.
3. Zona III: Wilayah rawa lebak, atau rawa non-pasang surut
Wilayah rawa lebak terletak lebih jauh lagi ke arah
pedalaman, dan dimulai di wilayah dimana pengaruh pasang surut sudah
tidak ada lagi. Oleh karena itu, rawa lebak sering disebut sebagai rawa
pedalaman, atau rawa non-pasang surut. Biasanya sudah termasuk
dalam daerah aliran sungai bagian tengah pada sungai-sungai besar.
Landform rawa lebak bervariasi dan dataran banjir (floodplains) pada
sungai-sungai besar yang relatif muda umur geologisnya, sampai dataran
banjir bermeander (meandering floodplains), termasuk bekas aliran
sungai tua (old river beds), dan wilayah danau oxbow (oxbow lakes)
pada sungai-sungai besar yang lebih tua perkembangannya. Pengaruh
sungai yang sangat dominan adalah berupa banjir besar musiman, yang
menggenangi dataran banjir di sebelah kiri-kanan sungai besar.
Peningkatan debit sungai yang sangat besar selama musim hujan,
"verval" sungai atau perbedaan penurunan tanah dasar sungai yang
rendah, sehingga aliran sungai melambat ditambah tekanan arus
balik air pasang dari muara, mengakibatkan air sungai seakan-akan
"berhenti" (stagnant), sehingga menimbulkan genangan banjir yang
meluas. Tergantung dari letak dan posisi lahan di landscape,
genangan dapat berlangsung dari sekitar satu bulan sampai lebih dari
enam bulan. Sejalan dengan perubahan musim yang ditandai dengan
berkurangnya curah hujan, genangan air banjir secara berangsur- angsur
akan surut sejalan dengan perubahan musim ke musim kemarau
berikutnya.

2.4 Perbedaan Lahan Rawa dengan Lahan Lainnya


 Karakteristik tanah di lahan rawa
Lahan rawa, secara khusus tidak bisa diartikan bahwa semua
lahan yang basah dapat dikategorikan sebagai lahan rawa, hal ini
disebabkan kriteria lahan rawa membawa pada konsekuensi kondisi
tanah yang jenuh air atau tergenang untuk jangka waktu tertentu. Kondisi
tersebut berimplikasi pada hanya jenis tanaman tertentu yang mampu
beradaptasi. Ketika tanah menjadi basah, pori-pori tanah mulai terisi air
sehingga ketersediaan oksigen menjadi terbatas dan akhirnya tanah
menjadi jenuh, sedangkan pada daerah yang tidak masuk dalam kategori
rawa maka air akan cepat di drainase sehingga tanah tidak jenuh. Kondisi
jenuh menyebabkan suasana anaerob, reaksi keseimbangan dalam tanah
menjadi sangat berbeda dibandingkan tanah yang aerob karena air
menjadi faktor utama yang menentukan keseimbanagan tesebut, baik
secara fisik, kimia maupun biologi.
Lahan rawa adalah sebuah kata yang menunjukkan kondisi lahan
yang berhubungan dengan keberadaan air sebagai faktor kuncinya.
Berdasarkan posisinya, maka lahan ini selama sepanjang tahun, atau
dalam waktu yang panjang dalam setahun (beberapa bulan) tergenang
dalam, dangkal, selalu jenuh air, atau mempunyai air tanah dangkal,
sehingga secara langsung atau tidak langsung sangat mempengaruhi sifat
lahan tersebut.
 Karakteristik tanah gambut
Lahan gambut adalah sumber daya alam yang bersifat rapuh dan
tidak dapat diperbaharui, tingginya biodiversitas sumberdaya alam yang
ada di atasnya menjadikan lahan ini berpotensi untuk memberikan
manfaat yang besar bagi manusia, sebalinya potensi ini dapat berubah
menjadi sumber bencana bagi kehidupan mahluk hidup jika terjadi
kesalahan dalam pemanfaatan dan pengelolaannya. Kerusakan akibat
kesalahan kelola akan menyebabkan degradasi lahan secara cepat atau
lambat. Sifat rapuh (fragile) yang melekat pada lahan gambut
mengandung makna bahwa pemanfaatan dan pengelolaannya harus
sangat hati-hati, tidak hanya wilayah sekitar lahan yang menerima
dampak dari kerusakannya tetapi seluruh wilayah di muka bumi secara
tidak langsung juga berpotensi menerima dampaknya.
Lahan gambut atau lapisan gambut dapat berfungsi sebagai
sumber hara dan sebagai “protective sponge” yang melindungi lapisan
tanah dibawahnya dan lahan-lahan di sekitarnya (Rieley et al., 2008;
Fahmi et al.,2012; 2014a). Hal ini berarti pengelolaan lahan gambut
harus memperhatikan seluruh aspek lingkungan biotik maupun abiotik.
Pemanfaatan lahan gambut agar tetap lestari tidak cukup hanya dengan
memperhatikan ketebalan gambut tetapi juga harus memperhatikan sifat
dari mineral yang berada di bawah lapisan gambut, status hidrologi serta
kondisi sosial–budaya masyarakat lokal setempat (Limin et al., 2007;
Fahmi et al., 2010; 2014a; Fahmi dan Radjagukguk, 2013).
 Karakteristik tanah sulfat masam
Tanah sulfat masam adalah tanah yang mengandung mineral besi
sulfida (bahan sulfidik) atau senyawa-senyawa hasil ataupun dipengaruhi
oleh transformasi mineral sulfida. Tanah sulfat masam merupakan
endapan dari bahan marin yang dapat dicirikan oleh salah satu atau
beberapa hal sebagai yaitu mengandung bahan sulfidik, memiliki horison
sulfurik, terdapat bercak jarosit dan mengandung bahan penetral berupa
karbonat atau basa tukar lainnya. Tanah sulfat masam pada lingkungan
sekitar pantai atau rawa mangrop adalah kondisi lingkungan yang ideal
untuk pembentukan/stabilitas pirit. Secara ringkas dapat dijelaskan
bahwa pembentukan tanah sulfat masam merupakan serangkaian proses
pengendapan bahan sedimen marin pada masa ribuan tahun silam, proses
ini berhubungan dengan turunnya permukaan air laut atau pengangkatan
daratan. Sedimen marin yang kaya sulfida atau polysulfida hasil reduksi
sulfat selama proses pengendapannya bereaksi dengan besi membentuk
sulfida besi.
Luapan pasang yang terjadi secara berkala dan terus menerus
membawa sedimen baru membentuk lapisan baru diatas lapisan marin
sebelumnya yang diikuti oleh suksesi vegetasi secara bertahap. Adaya
pengaruh bahan induk dan dinamika kondisi hidologi yang terus menerus
menjadikan tanahtanah yang terdapat pada ekosistem ini memiliki sifat
yang khas. Faktor hidrologi menjadi elemen utama yang mempengaruhi
terhadap sifat tanah di lahan rawa, tidak terkecuali tanah sulfat masam.
Hanhart dan Ni (1993) menemukan bahwa pH tanah sulfat masam
membentuk pola yang berulang dimana pH tanah tertinggi sekitar 7,0
terjadi pada akhir musim hujan sampai puncak musim kemarau dan
terendah berkisar 3,0 yang terjadi pada saat transisi musim kemarau ke
musim hujan. Sifat tanah yang seolah membentuk siklus musiman ini
berhubungan dengan proses redoks dan pelarutan dari hasil oksidasi pada
musim kemarau (Hicks el., 2009).
Kemasaman tanah sulfat masam dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti ; keberadaan senyawa sulfur tereduksi, mineral besi oksida-
hidrooksida, sulfat, bahan organik, bahan penetral, kelembaban tanah
atau kondisi hidologis lahan. Berdasarkan ordonya, maka kemasaman
tanah sulfat masam berkisar antara pH 4 (ordo entisol) dan pH <3,5 (ordo
inceptisol). Tanah sulfat masam yang tergenang dapat mempunyai
kemasaman tanah yang lebih rendah (pH >4,0). Peningkatan kemasaman
pada tanah sulfat masam utamanya disebabkan oleh teroksidasinya
mineral pirit, pemasaman tanah terjadi ketika jumlah asam yang
dihasilkan melebihi daya sangga tanah. Ketika pH lingkungan <4,0 maka
Fe3+ yang dihasilkan dari oksidasi Fe2+ di larutan tanah dapat kembali
mengoksidasi pirit secara langsung dengan bantuan thiobacillus
ferroxidans yang hidup pada kisaran pH 2,8 – 3,5 (Kirk, 2004). Proses ini
berjalan lebih cepat dibandingkan oksidasi pirit oleh O2 (Ritchie, 1994).

III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Rawa adalah daerah rendah yang selalu tergenang air yang pada
umumnya permukaan air rawa selalu dibawah atau sama dengan
permukaan air laut, dan permukaan airnya selalu tertutup oleh vegetasi
tertentu.
2. Rawa dapat dibagi menjadi 3 (tiga) zona berdasarkan pasang surutnya;
rawa pasang surut air asin/payau, rawa pasang surut air tawar, rawa lebak
atau rawa non-pasang surut
3. Penyebaran lahan rawa secara dominan terdapat di dataran rendah
sepanjang pantai timur, terutama di Provinsi Riau, Sumatera Selatan, dan
Jambi, serta dijumpai lebih sempit di Provinsi Sumatera Utara dan
Lampung.
4. Luas lahan rawa di yang ada di Indonesia kira – kira 34 juta hektar,
menyimpan keanekaragaman biota yang hidup di dalam ekosistem lahan
tersebut. Secara garis besar lahan rawa yang ada terbagi menjadi
beberapa bagian, yaitu tanah gambut, tanah mineral, dan rawa lebak,
DAFTAR PUSTAKA

Ariyani, S. B. 2011. Penurunan Kadar Fenol Pada Kasus Limbah Industri Jamu
Dengan Metode Lumpur Aktif Secara Anaerob. Jurnal Biopropal
Industri. 2(1).

Dr. A. Bhargava. 2016. Activated Sludge Treatment Process – Concept and


System Design. IJEDR. 4(2) : 890-896.

Kulkarni, S.J., Abhishek, T.S., dan Meera T.S. 2017. Characterization of Sludge
and Design of Activated Sludge Process for Sewage Treatment. Journal of
Environmental Science, Toxicology and Food Technology 11(9) : 20-25

Nielsen, E., Bo F., Rikke P., Kristian K. 1996. Extraction Of Extracellular


Polymers From Activated Sludge Using A Cation Exchange Resin.
Elsevier Science Ltd. 30(8) : 1748-1753.

Said, N,S., dan Kristianti, U. 2007. Pengolahan Air Limbah Domestik Dengan
Proses Lumpur Aktif Yang Diisi Dengan Media Biobal. Jurnal JAI. 3(2) :
160-174

Suastuti, Ni G. A. M. D. A. 2010. Efektivitas Penurunan Kadar Dodesil Benzen


Sulfonat (Dbs) Dari Limbah Deterjen Yang Diolah Dengan Lumpur Aktif.
Jurnal Kimia 4. 1(1): 49-53.

Surerus, V., Giordano, G., dan Texeira L.A.C. 2013. Activated Sludge Inhibition
Capacity Index. Jurnal of chemical engineering. 31(2) : 385-392

Jafarinejad, S. 2017. Activated sludge combined with powdered activated carbon


(PACT process) for the petroleum industry wastewater treatment: a
review. Chemistry International. International 3(4) : 368-367.

Ratnani R. D. 2011. Kecepatan Penyerapan Zat Organik Pada Limbah Cair


Industri Tahu Dengan Lumpur Aktif. Momentum. 7(2) : 18-24.

Mino, T. 2000. Microbial Selection of Polyphosphate-Accumulating Bacteria in


Activated Sludge Wastewater Treatment Processes for Enhanced
Biological Phosphate Removal. Biochemistry (Moscow). 65(3) : 341-348.

Anda mungkin juga menyukai