Anda di halaman 1dari 7

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam |

Universitas Lambung Mangkurat


Menu
Skip to content
Beranda
Fauna Lahan Basah
Flora Lahan Basah
Jurnal & Laporan Akhir
Tentang

27 FEBRUARI 2015 BY PLLBFMIPAUNLAM

Lahan Basah (Wetland)

Lahan basah atau wetland (Ingg.) adalah wilayah-


wilayah di mana tanahnya jenuh dengan air, baik bersifat permanen (menetap) atau musiman. Wilayah-wilayah
itu sebagian atau seluruhnya kadang-kadang tergenangi oleh lapisan air yang dangkal. Digolongkan ke dalam
lahan basah ini, di antaranya, adalah rawa-rawa (termasuk rawa bakau), paya, dan gambut. Air yang
menggenangi lahan basah dapat tergolong ke dalam air tawar, payau atau asin.
Lahan basah merupakan wilayah yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dibandingkan
dengan kebanyakan ekosistem. Di atas lahan basah tumbuh berbagai macam tipe vegetasi (masyarakat
tetumbuhan), seperti hutan rawa air tawar, hutan rawa gambut, hutan bakau, paya rumput dan lain-lain.
Margasatwa penghuni lahan basah juga tidak kalah beragamnya, mulai dari yang khas lahan basah seperti
buaya, kura-kura, biawak, ular, aneka jenis kodok, dan pelbagai macam ikan; hingga ke ratusan jenis burung
dan mamalia, termasuk pula harimau dan gajah.

Pada sisi yang lain, banyak kawasan lahan basah yang merupakan lahan yang subur, sehingga kerap dibuka,
dikeringkan dan dikonversi menjadi lahan-lahan pertanian. Baik sebagai lahan persawahan, lokasi
pertambakan, maupun di Indonesia sebagai wilayah transmigrasi. Mengingat nilainya yang tinggi itu, di
banyak negara lahan-lahan basah ini diawasi dengan ketat penggunaannya serta dimasukkan ke dalam
program-program konservasi dan rancangan pelestarian keanekaragaman hayati semisal Biodiversity Action
Plan.

Definisi teknis

Lahan basah digolongkan baik ke dalam bioma maupun ekosistem. Lahan basah dibedakan dari perairan dan
juga dari tataguna lahan lainnya berdasarkan tingginya muka air dan juga tipe vegetasi yang tumbuh di
atasnya. Lahan basah dicirikan oleh muka air tanah yang relatif dangkal, dekat dengan permukaan tanah, pada
waktu yang cukup lama sepanjang tahun untuk menumbuhkan hidrofita, yakni tetumbuhan yang khas tumbuh
di wilayah basah.

Lahan basah juga kerap dideskripsi sebagai ekoton, yakni wilayah peralihan antara daratan dan perairan.
Seperti disebutkan Mitsch dan Gosselink, lahan basah terbentuk:

at the interface between truly terrestrial ecosystems and aquatic systems, making them inherently different
from each other, yet highly dependent on both.
Sementara Konvensi Ramsar mendefinisikan:

Pasal 1.1: lahan basah adalah wilayah paya, rawa, gambut, atau perairan, baik alami maupun
buatan, permanen atau temporer (sementara), dengan air yang mengalir atau diam, tawar, payau, atau
asin, termasuk pula wilayah dengan air laut yang kedalamannya di saat pasang rendah (surut) tidak
melebihi 6 meter.
Pasal 2.1: [Lahan basah] dapat pula mencakup wilayah riparian (tepian sungai) dan pesisir yang
berdekatan dengan suatu lahan basah, pulau-pulau, atau bagian laut yang dalamnya lebih dari 6 meter
yang terlingkupi oleh lahan basah.
Upaya konservasi
Konvensi Ramsar

Konvensi Ramsar, atau nama lengkapnya The Convention on Wetlands of International Importance, especially
as Waterfowl Habitat, adalah kesepakatan internasional tentang perlindungan wilayah-wilayah lahan basah
yang penting, terutama yang memiliki arti penting sebagai tempat tinggal burung air. Tujuan perjanjian itu
adalah untuk mendaftar lahan-lahan basah yang memiliki nilai penting di aras internasional, menganjurkan
pemanfaatannya secara bijaksana, serta mencegah kerusakan yang semakin menggerogoti nilai-nilai tinggi
dalam segi ekonomi, budaya, ilmiah dan sebagai sumber wisata; dengan tujuan akhir untuk melestarikan
kawasan-kawasan lahan basah dunia.

Negara yang menjadi anggota dalam Perjanjian Ramsar itu harus mendaftarkan sekurangnya satu lokasi lahan
basah di dalam wilayahnya ke dalam daftar lahan basah yang penting secara internasional, yang biasanya
disebut Daftar Ramsar. Negara anggota memiliki kewajiban bukan hanya terhadap perlindungan lokasi lahan
basah yang terdaftar, melainkan juga harus membangun dan melaksanakan rencana tingkat pemerintah untuk
menggunakan lahan basah di wilayahnya secara bijaksana.

Beberapa tipe lahan basah


Rawa

Rawa adalah lahan genangan air secara ilmiah yang


terjadi terus-menerus atau musiman akibat drainase yang terhambat serta mempunyai ciri-ciri khusus secara
fisika, kimiawi dan biologis.
Definisi yang lain dari rawa adalah semua macam tanah berlumpur yang terbuat secara alami, atau buatan
manusia dengan mencampurkan air tawar dan air laut, secara permanen atau sementara, termasuk daerah laut
yang dalam airnya kurang dari 6 m pada saat air surut yakni rawa dan tanah pasang surut. Rawa-rawa , yang
memiliki penuh nutrisi, adalah gudang harta ekologis untuk kehidupan berbagai macam makhluk hidup. Rawa-
rawa juga disebut pembersih alamiah, karena rawa-rawa itu berfungsi untuk mencegah polusi atau
pencemaran lingkungan alam. Dengan alasan itu, rawa-rawa memiliki nilai tinggi dalam segi ekonomi, budaya,
lingkungan hidup dan lain-lain, sehingga lingkungan rawa harus tetap dijaga kelestariannya.

Perjanjian Ramsar

Perjanjian Ramsar adalah perjanjian tentang tempat rawa-rawa yang dianggap penting secara internasional,
yang memiliki makna sebagai tempat tinggal burung air. Tujuan perjanjian itu adalah untuk pencegahan
kerusakan rawa yang semakin menggerogoti, nilai tinggi dalam segi ekonomi, budaya, ilmiah dan sebagai
sumber wisata.

Rawa dibedakan menjadi dua; Hutan Rawa air tawar dan Hutan bakau
Hutan rawa air tawar, atau banjir hutan, adalah hutan yang dibanjiri dengan air tawar, baik secara
permanen maupun musiman. Mereka biasanya terjadi di sepanjang hilir sungai dan sekitar danau air
tawar.
Hutan rawa air tawar ditemukan di berbagai zona iklim, dari utara melalui beriklim sedang dan
subtropis ke tropis. Di Cekungan Amazon Brazil, hutan banjir musiman dikenal sebagai
sebuah vrzea, penggunaan yang sekarang menjadi lebih luas untuk jenis hutan di Amazon (meskipun
umumnya dieja varzea ketika digunakan dalam bahasa Inggris). Igap, kata lain yang digunakan di
Brazil untuk hutan Amazon banjir, juga kadang-kadang digunakan dalam bahasa Inggris.
Secara khusus, varzea mengacu pada arung-hutan terendam, dan igapo untuk blackwater-hutan
terendam.
Hutan Rawa gambut, rawa hutan di mana tanah tergenang air mencegah puing-puing kayu dari
sepenuhnya membusuk, yang dari waktu ke waktu menciptakan lapisan tebal gambut asam.
Hutan bakau atau disebut juga hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair
payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh
khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-
teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat
dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.
Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang mengakibatkan
kurangnya aerasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta mengalami daur penggenangan oleh
pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan
jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan
evolusi.Luas dan Penyebaran

Hutan-hutan bakau menyebar luas di bagian


yang cukup panas di dunia, terutama di sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di
subtropika.
Luas hutan bakau Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan mangrove yang terluas di
dunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha) (Spalding dkk, 1997
dalam Noor dkk, 1999).
Di Indonesia, hutan-hutan mangrove yang luas terdapat di seputar Dangkalan Sunda yang relatif
tenang dan merupakan tempat bermuara sungai-sungai besar. Yakni di pantai timur Sumatra, dan
pantai barat serta selatan Kalimantan. Di pantai utara Jawa, hutan-hutan ini telah lama terkikis oleh
kebutuhan penduduknya terhadap lahan.
Di bagian timur Indonesia, di tepi Dangkalan Sahul, hutan-hutan mangrove yang masih baik terdapat
di pantai barat daya Papua, terutama di sekitar Teluk Bintuni. Mangrove di Papua mencapai luas 1,3
juta ha, sekitar sepertiga dari luas hutan bakau Indonesia.Lingkungan fisik dan zonasi
Jenis-jenis tumbuhan hutan bakau ini bereaksi berbeda terhadap variasi-variasi lingkungan fisik di
atas, sehingga memunculkan zona-zona vegetasi tertentu. Beberapa faktor lingkungan fisik tersebut
adalah:Jenis tanah
Sebagai wilayah pengendapan, substrat di pesisir bisa sangat berbeda. Yang paling umum adalah
hutan bakau tumbuh di atas lumpur tanah liat bercampur dengan bahan organik. Akan tetapi di
beberapa tempat, bahan organik ini sedemikian banyak proporsinya; bahkan ada pula hutan bakau
yang tumbuh di atas tanah bergambut.
Substrat yang lain adalah lumpur dengan kandungan pasir yang tinggi, atau bahkan dominan pecahan
karang, di pantai-pantai yang berdekatan dengan terumbu karang.Terpaan ombak
Bagian luar atau bagian depan hutan bakau yang berhadapan dengan laut terbuka sering harus
mengalami terpaan ombak yang keras dan aliran air yang kuat. Tidak seperti bagian dalamnya yang
lebih tenang.
Yang agak serupa adalah bagian-bagian hutan yang berhadapan langsung dengan aliran air sungai,
yakni yang terletak di tepi sungai. Perbedaannya, salinitas di bagian ini tidak begitu tinggi, terutama di
bagian-bagian yang agak jauh dari muara. Hutan bakau juga merupakan salah satu perisai alam yang
menahan laju ombak besar.Penggenangan oleh air pasang
Bagian luar juga mengalami genangan air pasang yang paling lama dibandingkan bagian yang lainnya;
bahkan kadang-kadang terus menerus terendam. Pada pihak lain, bagian-bagian di pedalaman hutan
mungkin hanya terendam air laut manakala terjadi pasang tertinggi sekali dua kali dalam sebulan.
Menghadapi variasi-variasi kondisi lingkungan seperti ini, secara alami terbentuk zonasi
vegetasi mangrove; yang biasanya berlapis-lapis mulai dari bagian terluar yang terpapar gelombang
laut, hingga ke pedalaman yang relatif kering.
Jenis-jenis bakau (Rhizophora spp.) biasanya tumbuh di bagian terluar yang kerap digempur ombak.
Bakau Rhizophora apiculata dan R. mucronata tumbuh di atas tanah lumpur. Sedangkan bakau
R. stylosa dan perepat (Sonneratia alba) tumbuh di atas pasir berlumpur. Pada bagian laut yang lebih
tenang hidup api-api hitam (Avicennia alba) di zona terluar atau zona pionir ini.
Di bagian lebih ke dalam, yang masih tergenang pasang tinggi, biasa ditemui campuran bakau
R. mucronata dengan jenis-jenis kendeka (Bruguiera spp.), kaboa (Aegiceras corniculata) dan lain-
lain. Sedangkan di dekat tepi sungai, yang lebih tawar airnya, biasa ditemui nipah (Nypa fruticans),
pidada (Sonneratia caseolaris) dan bintaro (Cerbera spp.).
Pada bagian yang lebih kering di pedalaman hutan didapatkan nirih (Xylocarpus spp.), teruntum
(Lumnitzera racemosa), dungun (Heritiera littoralis) dan kayu buta-buta (Excoecaria agallocha).
Bentuk-bentuk adaptasi
Menghadapi lingkungan yang ekstrim di hutan bakau, tetumbuhan beradaptasi dengan berbagai cara.
Secara fisik, kebanyakan vegetasi mangrove menumbuhkan organ khas untuk bertahan hidup. Seperti
aneka bentuk akar dan kelenjar garam di daun. Namun ada pula bentuk-bentuk adaptasi fisiologis.
Pohon-pohon bakau (Rhizophora spp.), yang biasanya tumbuh di zona terluar, mengembangkan akar
tunjang (stilt root) untuk bertahan dari ganasnya gelombang. Jenis-jenis api-api (Avicennia spp.) dan
pidada (Sonneratia spp.) menumbuhkan akar napas (pneumatophore) yang muncul dari pekatnya
lumpur untuk mengambil oksigen dari udara. Pohon kendeka (Bruguiera spp.) mempunyai akar lutut
(knee root), sementara pohon-pohon nirih (Xylocarpus spp.) berakar papan yang memanjang berkelok-
kelok; keduanya untuk menunjang tegaknya pohon di atas lumpur, sambil pula mendapatkan udara
bagi pernapasannya. Ditambah pula kebanyakan jenis-jenis vegetasi mangrove memiliki lentisel,
lubang pori pada pepagan untuk bernapas.
Untuk mengatasi salinitas yang tinggi, api-api mengeluarkan kelebihan garam melalui kelenjar di
bawah daunnya. Sementara jenis yang lain, seperti Rhizophora mangle, mengembangkan sistem
perakaran yang hampir tak tertembus air garam. Air yang terserap telah hampir-hampir tawar, sekitar
90-97% dari kandungan garam di air laut tak mampu melewati saringan akar ini. Garam yang sempat
terkandung di tubuh tumbuhan, diakumulasikan di daun tua dan akan terbuang bersama gugurnya
daun.
Pada pihak yang lain, mengingat sukarnya memperoleh air tawar, vegetasi mangrove harus berupaya
mempertahankan kandungan air di dalam tubuhnya. Padahal lingkungan lautan tropika yang panas
mendorong tingginya penguapan. Beberapa jenis tumbuhan hutan bakau mampu mengatur bukaan
mulut daun (stomata) dan arah hadap permukaan daun di siang hari terik, sehingga mengurangi
evaporasi dari daun.
Perkembangbiakan

Adaptasi lain yang penting diperlihatkan dalam


hal perkembang biakan jenis. Lingkungan yang keras di hutan bakau hampir tidak memungkinkan
jenis biji-bijian berkecambah dengan normal di atas lumpurnya. Selain kondisi kimiawinya yang
ekstrem, kondisi fisik berupa lumpur dan pasang-surut air laut membuat biji sukar mempertahankan
daya hidupnya.
Hampir semua jenis flora hutan bakau memiliki biji atau buah yang dapat mengapung, sehingga dapat
tersebar dengan mengikuti arus air. Selain itu, banyak dari jenis-jenis mangrove yang bersifat vivipar:
yakni biji atau benihnya telah berkecambah sebelum buahnya gugur dari pohon.
Contoh yang paling dikenal barangkali adalah perkecambahan buah-buah bakau (Rhizophora), tengar
(Ceriops) atau kendeka (Bruguiera). Buah pohon-pohon ini telah berkecambah dan mengeluarkan
akar panjang serupa tombak manakala masih bergantung pada tangkainya. Ketika rontok dan jatuh,
buah-buah ini dapat langsung menancap di lumpur di tempat jatuhnya, atau terbawa air pasang,
tersangkut dan tumbuh pada bagian lain dari hutan. Kemungkinan lain, terbawa arus laut dan
melancong ke tempat-tempat jauh.
Buah nipah (Nypa fruticans) telah muncul pucuknya sementara masih melekat di tandannya.
Sementara buah api-api, kaboa (Aegiceras), jeruju (Acanthus) dan beberapa lainnya telah pula
berkecambah di pohon, meski tak nampak dari sebelah luarnya. Keistimewaan-keistimewaan ini tak
pelak lagi meningkatkan keberhasilan hidup dari anak-anak semai pohon-pohon itu. Anak semai
semacam ini disebut dengan istilah propagul.
Propagul-propagul seperti ini dapat terbawa oleh arus dan ombak laut hingga berkilometer-kilometer
jauhnya, bahkan mungkin menyeberangi laut atau selat bersama kumpulan sampah-sampah laut
lainnya. Propagul dapat tidur (dormant) berhari-hari bahkan berbulan, selama perjalanan sampai tiba
di lokasi yang cocok. Jika akan tumbuh menetap, beberapa jenis propagul dapat mengubah
perbandingan bobot bagian-bagian tubuhnya, sehingga bagian akar mulai tenggelam dan propagul
mengambang vertikal di air. Ini memudahkannya untuk tersangkut dan menancap di dasar air dangkal
yang berlumpur.
Suksesi hutan bakau

Tumbuh dan berkembangnya suatu hutan


dikenal dengan istilah suksesi hutan (forest succession atau sere). Hutan bakau merupakan suatu
contoh suksesi hutan di lahan basah (disebut hydrosere). Dengan adanya proses suksesi ini, perlu
diketahui bahwa zonasi hutan bakau pada uraian di atas tidaklah kekal, melainkan secara perlahan-
lahan bergeser.
Suksesi dimulai dengan terbentuknya suatu paparan lumpur (mudflat) yang dapat berfungsi sebagai
substrat hutan bakau. Hingga pada suatu saat substrat baru ini diinvasi oleh propagul-propagul
vegetasi mangrove, dan mulailah terbentuk vegetasi pionir hutan bakau.
Tumbuhnya hutan bakau di suatu tempat bersifat menangkap lumpur. Tanah halus yang dihanyutkan
aliran sungai, pasir yang terbawa arus laut, segala macam sampah dan hancuran vegetasi, akan
diendapkan di antara perakaran vegetasi mangrove. Dengan demikian lumpur lambat laun akan
terakumulasi semakin banyak dan semakin cepat. Hutan bakau pun semakin meluas.
Pada saatnya bagian dalam hutan bakau akan mulai mengering dan menjadi tidak cocok lagi bagi
pertumbuhan jenis-jenis pionir seperti Avicennia alba dan Rhizophora mucronata. Ke bagian ini
masuk jenis-jenis baru seperti Bruguiera spp. Maka terbentuklah zona yang baru di bagian belakang.
Demikian perubahan terus terjadi, yang memakan waktu berpuluh hingga beratus tahun. Sementara
zona pionir terus maju dan meluaskan hutan bakau, zona-zona berikutnya pun bermunculan di bagian
pedalaman yang mengering.
Uraian di atas adalah penyederhanaan, dari keadaan alam yang sesungguhnya jauh lebih rumit. Karena
tidak selalu hutan bakau terus bertambah luas, bahkan mungkin dapat habis karena faktor-faktor alam
seperti abrasi. Demikian pula munculnya zona-zona tak selalu dapat diperkirakan.
Di wilayah-wilayah yang sesuai, hutan mangrove ini dapat tumbuh meluas mencapai ketebalan 4 km
atau lebih; meskipun pada umumnya kurang dari itu.
Kekayaan flora
Beraneka jenis tumbuhan dijumpai di hutan bakau. Akan tetapi hanya sekitar 54 spesies dari 20
genera, anggota dari sekitar 16 suku, yang dianggap sebagai jenis-jenis mangrove sejati. Yakni jenis-
jenis yang ditemukan hidup terbatas di lingkungan hutan mangrove dan jarang tumbuh di luarnya.
Dari jenis-jenis itu, sekitar 39 jenisnya ditemukan tumbuh di Indonesia; menjadikan hutan bakau
Indonesia sebagai yang paling kaya jenis di lingkungan Samudera Hindia dan Pasifik. Total jenis
keseluruhan yang telah diketahui, termasuk jenis-jenis mangrove ikutan, adalah 202 spesies (Noor
dkk, 1999).
Berikut ini adalah daftar suku dan genus mangrove sejati, beserta jumlah jenisnya (dimodifikasi dari
Tomlinson, 1986).
Penyusun Utama

SUKU GENUS, JUMLAH SPESIES

Anda mungkin juga menyukai