Lahan Rawa
1.1. PENGERTIAN
Lahan rawa adalah lahan yang sepanjang tahun, atau selama waktu yang
panjang dalam setahun, selalu jenuh air (saturated) atau tergenang (waterlogged)
air dangkal. Dalam pustaka, lahan rawa sering disebut dengan berbagai istilah,
seperti “swamp”, “marsh”, “bog” dan “fen”, masing-masing mempunyai arti yang
berbeda.
“Swamp” adalah istilah umum untuk rawa, digunakan untuk menyatakan
wilayah lahan, atau area yang secara permanen selalu jenuh air, permukaan air
tanahnya dangkal, atau tergenang air dangkal hampir sepanjang waktu dalam
setahun. Air umumnya tidak bergerak, atau tidak mengalir (stagnant), dan bagian
dasar tanah berupa lumpur. Dalam kondisi alami, swamp ditumbuhi oleh berbagai
vegetasi dari jenis semak-semak sampai pohon-pohonan, dan di daerah tropika
biasanya berupa hutan rawa atau hutan gambut.
“Marsh” adalah rawa yang genangan airnya bersifat tidak permanen,
namun mengalami genangan banjir dari sungai atau air pasang dari laut secara
periodik, dimana debu dan liat sebagai muatan sedimen sungai seringkali
diendapkan. Tanahnya selalu jenuh air, dengan genangan relatif dangkal. Marsh
biasanya ditumbuhi berbagai tumbuhan akuatik, atau hidrofitik, berupa “reeds”
(tumbuhan air sejenis gelagah, buluh atau rumputan tinggi, seperti Phragmites
sp.), “sedges” (sejenis rumput rawa berbatang padat, tidak berbuluh, seperti famili
Cyperaceae), dan “rushes” (sejenis rumput rawa, seperti purun, atau “mendong”,
dari famili Juncaceae, yang batangnya dapat dianyam menjadi tikar, topi, atau
keranjang). Marsh dibedakan menjadi "rawa pantai" (coastal marsh, atau salt-
water marsh), dan "rawa pedalaman" (inland marsh, atau fresh water marsh)
(SSSA, 1984; Monkhouse dan Small, 1978).
“Bog” adalah rawa yang tergenang air dangkal, dimana permukaan
tanahnya tertutup lapisan vegetasi yang melapuk, khususnya lumut spaghnum
sebagai vegetasi dominan, yang menghasilkan lapisan gambut (ber-reaksi)
masam. Ada dua macam bog, yaitu "blanket bog”, dan "raised bog”. Blanket bog
adalah rawa yang terbentuk karena kondisi curah hujan tinggi, membentuk
deposit gambut tersusun dari lumut spaghnum, menutupi tanah seperti selimut
pada permukaan lahan yang relatif rata. Raised bog adalah akumulasi gambut
masam yang tebal, disebut “hochmoor", yang dapat mencapai ketebalan 5 meter,
dan
2 membentuk lapisan (gambut) berbentuk lensa pada suatu cekungan dangkal.
Subagyo
“Fed” adalah rawa yang tanahnya jenuh air, ditumbuhi rumputan rawa
sejenis “reeds”, “sedges”, dan “rushes”, tetapi air tanahnya ber-reaksi alkalis,
biasanya mengandung kapur (CaCO3), atau netral. Umumnya membentuk
lapisan gambut subur yang ber-reaksi netral, yang disebut “laagveen” atau
“lowmoor”.
Lahan rawa merupakan lahan basah, atau “wetland”, yang menurut definisi
Ramsar Convention mencakup wilayah “marsh”, “fen”, lahan gambut (peatland),
atau air, baik terbentuk secara alami atau buatan, dengan air yang tidak bergerak
(static) atau mengalir, baik air tawar, payau, maupun air asin, termasuk juga
wilayah laut yang kedalaman airnya, pada keadaan surut terendah tidak melebihi
enam meter (Wibowo dan Suyatno, 1997).
Lahan rawa sebenarnya merupakan lahan yang menempati posisi
peralihan di antara sistem daratan dan sistem perairan (sungai, danau, atau laut),
yaitu antara daratan dan laut, atau di daratan sendiri, antara wilayah lahan kering
(uplands) dan sungai/danau. Karena menempati posisi peralihan antara sistem
perairan dan daratan, maka lahan ini sepanjang tahun, atau dalam waktu yang
panjang dalam setahun (beberapa bulan) tergenang dangkal, selalu jenuh air,
atau mempunyai air tanah dangkal. Dalam kondisi alami, sebelum dibuka untuk
lahan pertanian, lahan rawa ditumbuhi berbagai tumbuhan air, baik sejenis
rumputan (reeds, sedges, dan rushes), vegetasi semak maupun kayu-
kayuan/hutan, tanahnya jenuh air atau mempunyai permukaan air tanah dangkal,
atau bahkan tergenang dangkal.
Lahan rawa yang berada di daratan dan menempati posisi peralihan antara
sungai atau danau dan tanah darat (uplands), ditemukan di depresi, dan
cekungan-cekungan di bagian terendah pelembahan sungai, di dataran banjir
sungai-sungai besar, dan di wilayah pinggiran danau. Mereka tersebar di dataran
rendah, dataran berketinggian sedang, dan dataran tinggi. Lahan rawa yang
tersebar di dataran berketinggian sedang dan dataran tinggi, umumnya sempit
atau tidak luas, dan terdapat setempat-setempat. Lahan rawa yang terdapat di
dataran rendah, baik yang menempati dataran banjir sungai maupun yang
menempati wilayah dataran pantai, khususnya di sekitar muara sungai-sungai
besar dan pulau-pulau deltanya adalah yang dominan.
3
Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa
Wilayah rawa pasang surut air asin/payau terdapat di bagian daratan yang
bersambungan dengan laut, khususnya di muara sungai besar, dan pulau-pulau
delta di wilayah dekat muara sungai besar. Di bagian pantai ini, dimana pengaruh
pasang surut air asin/laut masih sangat kuat, sering kali disebut sebagai “tidal
wetlands”, yakni lahan basah yang dipengaruhi langsung oleh pasang surut air
laut/salin.
Di bagian pantai yang terbuka ke laut lepas, apabila pesisir pantainya
berpasir halus, dan ombak langsung mencapai garis pantai, oleh pengaruh energi
ombak dan angin biasanya terbentuk beting pasir pantai (coastal dunes/ridges),
yang di belakangnya terdapat semacam danau-danau sempit yang disebut
laguna (lagoons). Wilayah di belakang laguna, merupakan jalur yang ditumbuhi
hutan bakau atau mangrove (Rhizophora sp., Bruguiera sp.), dan masih
dipengaruhi oleh air pasang melalui sungai-sungai kecil (creeks). Di belakang
hutan mangrove, terdapat jalur wilayah yang dipengaruhi oleh air payau (brackish
water), dan ditumbuhi vegetasi nipah (Nipa fruticans). Di belakang hutan nipah,
terdapat landform rawa belakang (backswamp) yang dipengaruhi oleh air tawar
(fresh water).
4
Subagyo
Gambar 1.1. Pembagian zona lahan rawa di sepanjang daerah aliran sungai
(DAS) bagian bawah dan tengah
5
Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa
bawah air laut sewaktu air pasang, tetapi terlihat muncul sebagai daratan
sewaktu air surut. Dataran berlumpur ini disebut ”tidal flats”, atau ”mudflats”. Pada
bagian daratan yang sedikit lebih tinggi letaknya, yang sebagian atau seluruhnya
masih digenangi air pasang, disebut ”tidal marsh” (rawa pasang surut), atau "salt
marsh” (rawa dipengaruhi air garam). Di bagian terluar yang masih dipengaruhi
oleh pasang surut, biasanya didominasi oleh vegetasi rambai (Sonneratia sp.),
api-api (Avicennia sp.), dan jeruju (Acanthus licifolius), dan di belakangnya ke
arah daratan ditumbuhi oleh hutan bakau/mangrove, dengan tumbuhan bawah
buta-buta (Excoecaria agallocha), dan pial (Acrostichum aureum). Jalur bakau ini
lebarnya beragam dan dapat mencapai 1,5-2 km ke arah darat.
Wilayah di belakang hutan mangrove, masih dipengaruhi oleh air pasang
melalui sungai-sungai kecil, namun sudah ada pengaruh air tawar dari hutan
rawa pantai lebih ke darat. Bagian yang dipengaruhi oleh air payau ini,
didominasi oleh nipah bersama panggang (Araliceae) dan pedada (Sonneratia
acida), membentuk jalur hutan nipah yang lebarnya dapat mencapai 500 m. Di
belakang jalur hutan nipah terdapat landform rawa belakang yang sudah
dipengaruhi oleh air tawar. Di rawa delta Pulau Petak, wilayah rawa belakang ini,
umumnya didominasi pohon gelam (Melaleuca leucadendron). Lebih jauh ke arah
daratan, pada sub-landform cekungan/ depresi ditempati hutan rawa dan gambut
air tawar.
Bagian wilayah pasang surut yang dipengaruhi oleh air asin/salin dan air
payau ini, di pantai timur pulau Sumatera seperti di Sumatera Selatan, Jambi, dan
Riau, umumnya masuk ke dalam daratan Pulau Delta dan sepanjang sungai
besar sejauh dari beberapa ratus meter sampai sekitar 4-6 km ke dalam. Wilayah
ini, karena pengaruh air laut/salin atau air payau, tanahnya mengandung garam-
garam yang tinggi, dikatagorikan sebagai tipologi lahan salin, dan tidak sesuai
untuk lahan pertanian.
Berapa jauh zona I wilayah pasang surut air asin/payau masuk ke arah
hulu dari muara sungai, tergantung dari bentuk estuari, yaitu bagian muara
sungai yang melebar berbentuk V ke arah laut, dimana gerakan air pasang dan
surut terjadi. Jika bentuk estuari lebar dan lurus, pengaruh air asin/salin dapat
mencapai sekitar 10-20 km dari mulut/muara sungai besar. Namun, apabila relatif
sempit dan sungai berkelok, pengaruh air asin/salin hanya mencapai jarak 5-10
km dari muara sungai. Sementara dari laut/ sungai ke arah daratan Pulau Delta,
6
Subagyo
atau ke arah wilayah pinggiran sungai, jarak masuknya air pasang dapat
mencapai sekitar 4-5 km.
Wilayah pasang surut air tawar adalah wilayah rawa berikutnya ke arah
hulu sungai. Wilayahnya masih termasuk daerah aliran sungai bagian bawah,
namun posisinya lebih ke dalam ke arah daratan, atau ke arah hulu sungaI. Di
wilayah ini energi sungai, berupa gerakan aliran sungai ke arah laut, bertemu
dengan energi pasang surut yang umumnya terjadi dua kali dalam sehari (semi
diurnal). Karena wilayahnya sudah berada di luar pengaruh air asin/salin, yang
dominan adalah pengaruh air-tawar (fresh-water) dari sungai sendiri. Walaupun
begitu, energi pasang surut masih cukup dominan, yang ditandai oleh masih
adanya gerakan air pasang dan air surut di sungai.
Di daerah tropika yang beriklim munson, yang dicirikan oleh adanya musim
hujan dan musim kemarau, di musim hujan ditandai oleh volume air sungai yang
meningkat, berakibat bertambah besarnya pengaruh air pasang ke daratan kiri-
kanan sungai besar, dan bertambah jauh jarak jangkauan air pasang ke arah
hulu. Limpahan banjir sungai selama musim hujan yang dibawa air pasang,
mengendapkan fraksi debu dan pasir halus ke pinggir sungai. Pengendapan
bahan halus yang terjadi secara periodik selama ber-abad-abad akhirnya
membentuk (landform) tanggul sungai alam (natural levee), yang jelas terlihat ke
arah hulu dan makin tidak jelas terbentuk, karena pengaruh pasang surut, ke
arah hilir dan di muara sungai besar.
Di antara dua sungai besar, ke arah belakang tanggul sungai, tanah secara
berangsur atau secara mendadak menurun ke arah cekungan di bagian tengah
yang diisi tanah gambut. Ke bagian tengah, lapisan gambut semakin tebal/dalam
dan akhirnya membentuk kubah gambut (peat dome). Bagian yang menurun
tanahnya di antara tanggul sungai dan depresi/kubah gambut disebut (sub-
landform) rawa belakang (backswamp). Di musim kemarau, pada saat volume air
sungai relatif tetap atau malahan berkurang, pengaruh air asin/salin dapat
merambat sepanjang sungai sampai jauh ke pedalaman. Pada bulan-bulan
terkering, Juli-September, pengaruh air asin/salin di sungai dapat mencapai jarak
sejauh 40-90 km dari muara sungai.
7
Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa
Makin jauh ke pedalaman, atau ke arah hulu, gerakan naik turunnya air
sungai karena pengaruh pasang surut makin berkurang, dan pada jarak tertentu
berhenti. Di sinilah batas zona II, dimana tanda pasang surut yang terlihat pada
gerakan naik turunnya air tanah juga berhenti. Jarak zona II dari pantai,
tergantung dari bentuk dan lebar estuari di mulut/muara sungai dan kelak-kelok
sungai dapat mencapai sekitar 100-150 km dari pantai. Sebagai contoh, kota
Palembang di tepi S. Musi, pengaruh pasang surut masih terasa, tetapi relatif
sudah sangat lemah, berjarak sekitar 105 km dari pantai. Di muara Anjir Talaran
di dekat kota Marabahan di Sungai Barito, Provinsi Kalimantan Selatan, yang
berjarak (garis lurus) sekitar 65 km dari muara, pasang surut relatif masih agak
kuat.
Pencapaian air pasang di musim hujan dan air asin di musim kemarau
pada tiga sungai besar di Sumatera adalah S. Rokan: 48 dan 60 km, S.
Inderagiri: 146 dan 86 km, dan S. Musi 108 dan 42 km dari muara sungai. Di
Kalimantan, S. Kapuas Besar: 150 dan 24 km, S. Kahayan 125 dan 65 km, dan
S. Barito 158 dan 68 km dari muara sungai. Di Papua, S. Mamberamo: 30 dan 8
km, S. Lorenz (pantai selatan, barat Agats) 103 dan 63 km, dan S. Digul (barat
Merauke) 272 dan 58 km dari muara sungai (Nedeco/Euroconsult-Biec,1984).
1.2.3. Zona III: Wilayah rawa lebak, atau rawa non-pasang surut
Wilayah rawa lebak terletak lebih jauh lagi ke arah pedalaman, dan dimulai
di wilayah dimana pengaruh pasang surut sudah tidak ada lagi. Oleh karena itu,
rawa lebak sering disebut sebagai rawa pedalaman, atau rawa non-pasang surut.
Biasanya sudah termasuk dalam daerah aliran sungai bagian tengah pada
sungai-sungai besar. Landform rawa lebak bervariasi dan dataran banjir
(floodplains) pada sungai-sungai besar yang relatif muda umur geologisnya,
sampai dataran banjir bermeander (meandering floodplains), termasuk bekas
aliran sungai tua (old river beds), dan wilayah danau oxbow (oxbow lakes) pada
sungai-sungai besar yang lebih tua perkembangannya. Pengaruh sungai yang
sangat dominan adalah berupa banjir besar musiman, yang menggenangi
dataran banjir di sebelah kiri-kanan sungai besar. Peningkatan debit sungai yang
sangat besar selama musim hujan, "verval" sungai atau perbedaan penurunan
tanah dasar sungai yang rendah, sehingga aliran sungai melambat, ditambah
tekanan balik arus air pasang dari muara, mengakibatkan air sungai seakan-akan
8
Subagyo
9
Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa
Gambar 1.2. Peta penyebaran lahan rawa dan lahan gambut di Indonesia
10
Subagyo
Belum seluruh wilayah lahan rawa di Indonesia diteliti cukup intensif. Dari
ketiga pulau besar, Sumatera, Kalimantan, dan Papua, hanya lahan rawa pasang
surut di pantai timur Sumatera (Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Lampung)
telah banyak diteliti dan dipetakan tanahnya antara tahun 1969-1980 dalam
rangka pelaksanaan P4S (Proyek Pengembangan Persawahan Pasang Surut),
Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (sekarang, Departemen
Kimpraswil). Seluruh wilayah Pulau Sumatera, termasuk wilayah lahan rawanya,
kemudian dipetakan tanahnya pada tingkat tinjau oleh proyek LREP-I (Land
Resource Evaluation and Planning Project) Pusat Penelitian Tanah (sekarang
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian), antara tahun 1986-1990.
Di Kalimantan, lahan rawa di Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah, dan Kalimantan Selatan banyak memperoleh perhatian selama
pelaksanaan P4S. Di Kalimantan Barat, khususnya di wilayah pulau-pulau delta
di antara S. Kapuas Kecil, Punggur Besar, dan Ambawang, di sebelah selatan
kota Pontianak, seperti Rasau Jaya, Pinang luar, dan Air Putih. Di Kalimantan
Tengah di wilayah pulau delta pada aliran bawah Sungai Kahayan, antara S.
Kahayan dan Kapuas, seperti Pangkoh, Tamban luar, dan Berengbengkel. Di
11
Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa
Data luas lahan rawa pertama kali dikemukakan oleh Mulyadi (1977), yaitu
sekitar 39,42 juta ha, sudah termasuk lahan rawa lebak. Data ini kemudian
digunakan oleh Direktorat Rawa, Departemen Pekerjaan Umum (Direktorat
Rawa, 1992; Sugeng, 1992) untuk perencanaan pengembangan lahan rawa.
Sementara itu, Nedeco/Euroconsult-Biec (1984) bekerja sama dengan Direktorat
Sumberdaya Air, Departemen Pekerjaan Umum melaksanakan studi nasional
lahan pantai di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya (Papua), tidak termasuk
pulau Sulawesi, memperoleh luas lahan rawa di ketiga pulau tersebut sebesar
23,5 juta ha. Hasil penelitian ini, diuraikan agak mendetail, disajikan pada
Lampiran 1.1. Berdasarkan peta-peta laporan akhir studi tersebut,
Nedeco/Euroconsult-Biec tampaknya tidak memasukkan penyebaran lahan rawa
lebak.
12
Subagyo
Catatan:
- Data Polak (1952) hanya menyebutkan total luas tanah gambut di Indonesia.
- Data Mulyadi (1977) hanya menyebutkan luas lahan rawa di setiap pulau.
- Data Nedeco/Euroconsult-Biec (1984), tidak memperhitungkan luas rawa lebak. Pulau Sulawesi
tidak termasuk diteliti; tad = tidak ada data.
- Data Subagyo et al. (1990) diolah kembali; luas lahan basah (wetsoils) yang ada dikurangi luas
lahan sawah (BPS, 2000). Data Subagyo et al. (1990) dan Puslittanak (2000), sudah termasuk
lahan rawa lebak.
13
Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa
Berdasarkan studi ini, luas lahan rawa seluruhnya adalah 33,41 juta ha,
yang terbagi ke dalam lahan rawa lebak seluas 13,28 juta ha, dan lahan rawa
pasang surut 20,13 juta ha. Lahan pasang surut sendiri tersusun dari lima tipologi
lahan, yaitu lahan/tanah gambut sekitar 10,90 juta ha, lahan potensial 2,07 juta
ha, lahan sulfat masam potensial 4,34 juta ha, sulfat masam aktual 2,37 juta ha,
dan lahan salin sekitar 0,44 juta ha. Berdasarkan data pada Lampiran 1.2, terasa
sulit untuk menentukan secara pasti berapa luas sebenarnya masing-masing
tipologi lahan, karena adanya bermacam-macam asosiasi antar berbagai tipologi
lahan.
Data dari studi Nugroho et al. (1991) yang relatif komprehensif ini,
kemudian dijadikan semacam "angka resmi" luas lahan rawa di Indonesia, dan
digunakan oleh berbagai instansi dan proyek, seperti oleh Departemen
Kimpraswil (Ditjen Pengairan-Dep. PU, 1998), Balai Penelitian Tanaman Pangan
Lahan Rawa (Balittra) Banjarbaru-Kalimantan Selatan (Alihamsyah, 2001), dan
beberapa proyek pengembangan lahan rawa Badan Litbang Pertanian
Departemen Pertanian, seperti proyek SWAMPS-II 1985-1994, ISOP (Integrated
14
Subagyo
Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan data pada Tabel 1.1, adalah
bahwa luas lahan rawa di Indonesia sekitar 33,41-39,10 juta ha, dengan Iuas
rawa pasang surut sekitar 20,13-25,82 juta ha, dan lahan rawa lebak sekitar
13,28 juta ha. Luas lahan/tanah gambut berdasarkan estimasi rendah antara
9,26-14,89 juta ha, dan estimasi lebih tinggi sekitar 13,20-14,89 juta ha. Luas
total lahan gambut yang pada awalnya (sebelum reklamasi tahun 1970-an)
sekitar 16,35 juta ha, namun setelah reklamasi ekstensif selama Pelita I-III (1969-
1984) yang diikuti oleh pembukaan oleh masyarakat setempat/pemukim spontan
pada tahun-tahun sesudahnya, luasnya dewasa ini telah menyusut menjadi
sekitar 13-14 juta ha (Subagyo, 2002). Penyebaran lahan rawa diurutkan dari
yang terluas, terdapat di Sumatera, Papua, dan Kalimantan, serta Sulawesi.
15
Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa
PENUTUP
Dari ketiga zona wilayah rawa, ditinjau dari kegunaannya untuk pertanian,
yang paling potensial sebenarnya lahan rawa lebak, kemudian lahan rawa
pasang surut air tawar, dan terakhir lahan rawa pasang surut air asin/payau.
Dalam pembicaraan sehari-hari yang menyangkut potensi lahan rawa untuk
pertanian, sering kali kata ”rawa”, ”air tawar”, dan ”air asin/payau” dihilangkan,
sehingga hanya dikenal, lahan lebak, lahan pasang surut, dan lahan salin. Lahan
rawa secara keseluruhan masih tetap disebut lahan rawa, atau ”swampland”, dan
termasuk dalam kelompok lahan basah, atau ”wetlands”.
16